NKP 3 (Paradigma Penyidikan) AGNES [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN IMPLEMENTASI PARADIGMA BARU PROSES PENYIDIKAN POLRI GUNA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM RANGKA MEWUJUDKAN GOOD GOVERNMENT AND CLEAN GOVERNANCE BAB I PENDAHULUAN 1.



Latar belakang Fungsi peran dan tugas Polri semakin jelas dengan keluarnya undang-undang nomor : 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berisikan fungsi, peran dan tugas yang mendasari profesi Polri yang merupakan fungsi pemerintahan dan alat negara dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.



Sehubungan dengan fungsi tersebut di atas bisa



menimbulkan persoalan bagi rakyat, karena kewenangan penyidikan pada hakekatnya dapat “melanggar hak asasi secara sah” seperti melakukan upaya paksa yaitu penangkapan, penahanan, penyelidikan dan penyitaan. Awaloedin Djamin menyatakan wewenang penyidikan harus didasarkan pada undang-undang yang dibuat oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga secara resmi rakyat menyetujui pemberian wewenang tersebut (Awaloedin Djamin : 200:144)1. Untuk mengungkapkan kejahatan tersebut diperlukan penyidikan yang memadai baik kualitas maupun kuantitas, di samping peralatan dan dana yang cukup. Di lain pihak tuntutan masyarakat untuk mewujudkan paradigma baru di bidang penyidikan Polri yang cepat, tepat, tuntas, adil dengan senantiasa menjunjung tinggi, supremasi hukum dan hak asasi manusia yang terus menguat. Sedangkan paradigma baru itu sendiri menuntut suatu komitmen kuat dan berkesinambungan, dan perubahan total atas paradigma lama yang cenderung represif serta menonjolkan aspek kekuasaan daripada hukum itu sendiri. Paradigma lama yang selama ini diterapkan menyebabkan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan Polri mengalami beberapa kekurangan ataupun kesalahan dalam 1



Awaloedin Djamin : 200 : 144



2 memberikan pengayoman, pelayanan, perlindungan serta penegakan hukum kepada pencari keadilan, sehingga kurang menampilkan adanya kepastian hukum dan memperburuk citra lembaga Polri sebagai lembaga hukum yang otonomi, selain hal teesbut ternyata kegiatan di lapangan masih ditemukan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum petugas penyidik Polri baik dalam hal pelayanan yaitu perilaku yang tidak sopan atau kekerasan serta ucapan yang tidak manusiawi maupun tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat. Sementara itu substansi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP banyak aturan yang menambahkan beban penyidik dengan kegiatan-kegiatan formal yang sebetulnya tidak mendasar bila dikaitkan dengan beban pembuktian yang bersifat material dan kondisi seperti ini memaksa penyidik untuk mengerahkan tenaga dan pikiran dalam menyelesaikan berkas perkara. Di sisi lain para penjahat memanfaatkan peluang yang semakin luas, karena adanya keterbatasan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki pihak penyidik . Penerapan paradigm penyidikan tersebut salah satunya diaktualisasikan dalam penanganan tindak pidana korupsi banyak cara dan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mencegah dan memberantas korupsi, akan tetapi semua upaya tersebut tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Korupsi terus menjamur diberbagai instansi pemerintah dan telah menimbulkan kerugian keuangan dan perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional, oleh karenanya pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilaksanakan dengan cara-cara yang luar biasa dan dilakukan secara profesional, intensif, komprehensif dan berkesinambungan. Data kasus tindak pidana korupsi yang terjadi dalam tahun 2008 s/d 2009 dan tahun 2010 ( januari s/d Mei) berjumlah 57 kasus sedangkan proses penyelesaiannya adalah sekitar 35,08%. Guna penanggulangan tindak pidana korupsi tersebut, penyidik Polri secara aktif melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang terjadi, namun dalam penyidikan yang dilaksanakan, masih banyak perkara-perkara tindak pidana korupsi yang belum selesai penanganannya, hal ini disebabkan beragam permasalahan, diantaranya, rendahnya keterampilan, pengetahuan dan perilaku penyidik dalam melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi serta belum adanya standar kompetensi bagi Penyidik Tipikor



3 disamping terbatasnya anggaran, sarana dan prasarana dan belum terlaksananya koordinasi yang baik dan khususnya pelaksanaan penyidikan masih menggunakan pendekatan yang konvisional, kaku kurang dan transparan dan akuntabel sehingga kurang sesuai dengan paradigm baru Polri dibidang penegakan huku. Menyikapi hal tersebut perlu dilakukan langkah-langkah konkrit dan sistematis guna penerapan paradigma penyidikan Polri yang efektif dan efisien dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sehingga pada akhirnya dapat terwujud good government and clean governance di Negara tercinta kita ini 1.



Pokok Masalah dan Persoalan a.



Pokok Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas serta dikaitkan dengan judul, maka yang menjadi pokok masalah dalam tulisan ini adalah, “Bagaimana penerapan paradigma penyidikan Polri yang efektif dan efisien dalam penanggulangan tindak pidana korupsi guna mewujudkan good government and clean governance ? “



b.



Persoalan Dari pokok masalah tersebut, kemudian diidentifikasi menjadi beberapa persoalan-persoalan yang akan dijawab dalam pembahasan sebagai berikut : 1)



Bagaimana pelaksanaan penanggulangan tindak pidana korupsi saat ini ?



2)



Bagaimana kondisi objektif pelaksanaan penyidikan saat ini ?



3)



Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi ?



4)



Bagaimana pelaksanaan penyidikan yang diharapkan ?



5)



Bagaimna upaya penerapan paradigma penyidikan Polri yang efektif dan efisien dalam penanggulangan tindak pidana korupsi ?



3.



Ruang lingkup Naskah ini adalah mengenai upaya impelementasi penyidikan yang efektif dan efisien pada kesatuan Tingkat Polda guna penanggulangan tindak pidana korupsi dalam rangka mewujudkan good and clean governance .



4.



Tata Urut



4 Bab I



Pendahuluan :Merupakan bab pembuka yang berisikan latar belakang pokok permasalahan dan persoalan, ruang lingkup serta tata urut dalam penulisan ini.



Bab II



Landasan teori : Pada bab ini dijelaskan mengenai landasan teori yang merupakan pisau analisis dalam pemecahan permasalahan – permasalahan yang ada yaitu Teori Penegakkan Hukum.



Bab III



Kondisi



Penyidikan Polri dalam penanggulangan Tindak Pidana



korupsi Saat Ini : Pada bab ini diuraikan mengenai kondisi objektif pelaksanaan penyidikan Polri dalam pelaksanaan penanggulangan tindak pidana korupsi saat ini. Bab IV



Faktor-Faktor yang Mempengaruhi : Pada bab ini membahas tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja Penyidik Ppolri dalam pelaksanaan penanggulangan tindak pidana baik itu factor internal maupun factor eksternal.



Bab V



Kondisi



Penyidikan Polri dalam penanggulangan Tindak Pidana



korupsi Yang diharapkan : Pada bab ini diuraikan mengenai pelaksanaan penyidikan Polri yang diharapkan serta pelaksanaan penanggulangan tindak pidana korupsi yang diharapkan Bab VI



upaya penerapan paradigma penyidikan Polri yang efektif dan efisien dalam



penanggulangan tindak pidana korupsi : Bab ini membahas



tentang bagaimana langkah – langkah implementasi paradigm penyidikan Polri yang efektif dan efisien dalam menanggulangi tindak pidana korupsi yang diformulasikan menjadi bentuk konsepsi pemecahan masalah Bab VII



Penutup : Merupakan bab yang mengakhiri seluruh uraian dalam penulisan ini, berisikan kesimpulan tentang permasalahan – permasalahan yang dikemukakan juga memuat saran yang direkomendasikan oleh penulis. BAB II



5 KAJIAN KEPUSTAKAAN Kajian kepustakaan merupakan operasionalisasi dari konsep-konsep dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah penelitian guna menerangkan secara mendalam konsep, teori tersebut sehingga lebih mudah dimengerti dan dipahami (Parsudi Suparlan 1999) 5. Dengan demikian kajian kepustakaan dianggap terkait dengan judul sekaligus dijadikan sebagai kerangka teori dalam pembahasan dan kajian terhadap permasalahan dalam penulisan Naskap ini antara lain : 1.



Konsepsi Tupoksi Polri Fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan Kamtibmas, penegakan hukum dan perlindungan, pengayoman serta pelayanan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa tugas-tugas pokok Polri adalah: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.



2.



Teori Penegakkan Hukum Secara konsepsional



inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan



menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut yang meliputi faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.



BAB III 5



Parsudi Suparlan 1999



6 KONDISI PENYIDIKAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI SAAT INI 1.



Kondisi Objektif Pelaksanaan Penyidikan Saat Ini Penyidikan tindak pidana merupakan tugas pokok Polri selaku aparat negara penegak hukum. Berdasarkan Pasal 1 nomor 2 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan Pasal 1 nomor 13 Undang-Undang No. 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta petunjuk teknis tentang pemeriksaan tersangka dan saksi, bahwa yang dimaksudkan dengan penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam KUHAP, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana antara lain adalah penyelidikan, penindakan, pemberkasan dan penyerahan tersangka kepada Jaksa sebagai Penuntut Umum. Pada pelaksanaannya penyidikan tindak pidana masih terlihat menggunakan paragdima lama. Paradigma lama yang selama ini diterapkan menyebabkan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan Polri mengalami beberapa kekurangan ataupun kesalahan dalam memberikan pengayoman, pelayanan, perlindungan serta penegakan hukum kepada pencari keadilan, sehingga kurang menampilkan adanya kepastian hukum dan memperburuk citra lembaga Polri sebagai lembaga hukum yang otonomi.



Hal tersebut tercermin dalam hal,



antara lain : a.



Orientasi kepada jangka pendek / kepentingan sesaat.



b.



Cenderung arogan dan tidak berpihak kepada masyarakat melainkan kepada penguasa.



c.



Merendahkan nilai-nilai potensial dari hasil pelaksanaan penyidikan.



d.



Terjebak pada kondisi bahwa penyidikan yang berkualitas hanya dapat dicapai dengan biaya tinggi, sehingga cenderung bersifat komersial dalam melaksanakan pekerjaan.



e.



Mengedepankan kebiasaan sebagai komandan dan mengesampingkan sikap kepemimpinan yang memberikan dorongan dan motivasi.



7 Selain hal-hal beberapa hal terkait proses penyidikan oleh Polri masih sering diwarnai dengan adanya berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik hal tersebut dapat terlihat dengan adanya beberapa keluhan masyarakat terhadap penyidik dalam kegiatan penyidikan, seperti berikut : a.



Surat Pemberitahuan Perkembangan hasil Penyelidikan/penyidikan (SP2HP) kepada pelapor, masih sering terlambat dan terkesan kurang transparan.



b.



Penyidik masih terkesan kurang cepat tanggap dalam merespon setiap laporan dan pengaduan masyarakat.



c.



Masih banyak penyidik tanpa sepengetahuan pimpinan berani menyelesaikan permasalahan di lapangan, dengan meminta imbalan berupa uang maupun barang yang dikehendaki penyidik.



d.



Masih adanya anggota yang terlambat dalam mendatangi TKP dan lambat merespon informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang telah terjadinya tindak pidana.



e.



Dalam pemanggilan-pemanggilan saksi yang akan diperiksa tidak sesuai dengan ketentuan dengan waktu yang tercantum pada surat pemanggilan, dan tenggang waktu selalu mepet bagi saksi yang akan diperiksa.



f.



Masih adanya perbedaan pelayanan atau diskriminatif baik terhadap tersangka maupun terhadap sanksi dengan harapan imbalan / jasa / materi.



g.



Masih ditemukan adanya penyidik yang cepat menyerah / tidak ulet, tidak percaya pada kekuatan sendiri, sehingga tidak dapat mengungkap perkara yang sedang ditangani.



h.



Masih adanya anggota yang menyelesaikan perkara di bawah tangan, tidak sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.



i.



Adanya penyidik pembantu yang berani menerapkan pasal-pasal yang tidak sesuai atau memberikan pasal-pasal yang lebih meringankan tersangka, sehingga dalam putusan tidak sesuai dengan perbuatan.



j.



Adanya arogansi penyidik, khususnya dalam melakukan pemeriksaan saksi, penyidik cenderung menakut-nakuti saksi yang diperiksa tersebut dengan peraturan yang ada dan menganggap seolah-olah saksi tersebut terlibat sehingga dapat ditingkatkan



8 statusnya menjadi tersangka, dengan demikian penyidik akan mendapatkan materi dari saksi yang diperiksa tersebut untuk kepentingan pribadi penyidik. k.



Adanya perilaku penyidik yang menggampangkan dalam kegiatan penyidikan dan selalu menunda-nunda pelaksanaannya, seperti pengiriman tembusan Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan ataupun penyitaan kepada keluarga tersangka yang dapat berakibat hukum atas kelalaian tersebut. Selain itu keengganan penyidik membuat dan mempersiapkan konsep pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam pemeriksaan, baik terhadap saksi maupun tersangka, agar pemeriksaan dapat berjalan dengan cepat dan terarah.



l.



Sering dilakukannya sikap kasar dalam pemeriksaan tersangka (use of execive force) baik secara fisik maupun psikis serta kurang di terapkannya azas praduga tak bersalah dan kurang dihormatinya HAM oleh penyidik.



2.



Pelaksanaan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Saat Ini Perkembangan kasus tindak pidana korupsi yang telah ditangani oleh aparat penyidik sangat fluktuatif dari tahun ke tahun, hal ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: ketersediaan personil, kemampuan personil, kesadaran hukum masyarakat, sifat dari kasus korupsi itu sendiri, dan sebagainya. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir (2001-2003), dengan tidak menutup kemungkinan adanya tindak pidana korupsi yang tidak termonitor oleh Institusi Kepolisian dan tidak dilaporkan oleh masyarakat, maka jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Sattipikor adalah sebagai berikut :



a.



Jumlah Tindak Pidana Korupsi



selama Tahun 2008 adalah 11 kasus sedangkan Jumlah



Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi hnaya 5 kasus; b.



Jumlah Tindak Pidana Korupsi Tahun 2009 adalah 36 kasus sedangkan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi hanya dalah 6 kasus;



c.



Jumlah Tindak Pidana Korupsi Tahun 2010 (jan s/d mei) adalah 16 kasus sedangkan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi hanya dalah 4 kasus.



9 Secara sederhana, korupsi terjadi karena bertemunya niat dan kesempatan. Niat muncul karena perilaku atau moral pejabat yang tidak baik, dan kesempatan muncul karena adanya kelemahan sistem. Jika itu bersatu, maka terjadilah korupsi. Korupsi di Indonesia harus diberantas dan dicegah pertumbuhannya.



Pemberantasan korupsi merupakan



serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan dengan mengikutsertakan peran masyarakat (pasal 1 ayat (3) UU No. 30 tahun 2002). Namun dalam pelaksanaannya, penanggulangan Tindak Pidana korupsi oleh Sat Opsnal Tipikor ditingkat Polda masih belum dilaksanakan secara maksimal, hal tersebut dapat terlihat seperti berikut : a.



Pembinaan personil Polri yang kurang mendukung terutama dalam penempatan penyidik Polri, maupun dalam rangka pendidikan kejuruan tindak pidana korupsi.



b.



Penempatan pada bidang tindak pidana korupsi kurang memperhatikan kualitas personil serta tidak memiliki pendidikan formal yang memadai dan kurang berpengalaman di bidangnya.



c.



Berdasarkan pengamatan ada penyidik Polri yang kurang mampu untuk berperan dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi.



d.



Disisi lain ditemukannya praktek-praktek penyimpangan Polisi



(Police



Deviance) baik berupa penyimpangan tugas dan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi dalam tugas penyidikan, seperti; kolusi penyidik dengan tersangka dalam pelaksanaan tugas antara lain menerima uang, membuat atau mengatur jalan kabur / dikaburkannya alat bukti yang diperlukan dalam proses penyidikan. e.



Masih adanya intervensi dari internal Polri, terutama dari atasan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang menghilangkan kemandirian (independency) penyidik dalam menentukan langkah-langkah penyidikan dan penentuan hukum yang diterapkan sebagai akibat adanya tekanan psikologis yang menurunkan moral penyidik.



10 f.



Keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki penyidik khususnya dalam rangka menunjang kegiatan penyelidikan dan penyidikan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.



g.



Ketentuan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi yang memberikan kewenangan penyidikan tidak hanya kepada Polri, tetapi diberikan juga kewenangan kepada instansi lain, dan apabila penyidik Polri tidak memiliki kualitas berperan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi maka akan menghilangkan eksistensi penyidik Polri dalam kewenangan untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi.



h.



Lemahnya koordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil terutama yang berada pada Departemen yang berkompeten dengan penanggulangan tindak pidana korupsi seperti halnya (BPK , KPK,



Pengadilan,



Pengacara dan



ombudsman). i.



Koordinasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi yang belum tertata dengan baik tentang program-program penanggulangan tindak pidana korupsi.



11 BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi upaya impelementasi penyidikan yang efektif dan efisien pada kesatuan Tingkat Polda guna penanggulangan tindak pidana korupsi dalam rangka mewujudkan good and clean governance. dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT yaitu analisa mengenai EFAS dan IFAS sebagai berikut: 1.



Matriks SWOT



INTERNAL FAKTOR



STRENGHTS



WEAKNESESS



1. Adanya UU sbg dasar yuridis



1. Keterbatasn Polri dalam sumber daya yang dimilikinya (man, materil, money dan method) 2. Pengetahuan anggota Polri tentang konsep polisi sipil dan perundangan Korupsi masih bersifat parsial. 3. Kurangnya pengawasan thdp diskresi penyidik hingga sering terjadi lahgun wewenang. 4. Adanya intervensi internal dalam proses penyidikan korupsi 5. Konsep paradigma baru Polri belum tersosialisasi secara rata pada semua penyidik.



bagi Polri dalam perannya sebagai penyidik,



EKSTERNAL FAKTOR



OPORTUNITIES



2. Kebijakan pimpinan dalam paradigm baru Polri sbg Polri Sipil 3. Tersedianya Sat Opsnal Tipikor pada tiap Polda 4. Adanya lemdik Reserse guna meningkatkan profesionalisme anggota 5. Validasi Bareskrim sebagai komando utama Polri yang bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi Reserse Kepolisian yang menjadi wewenang Mabes Polri dan mendukung pelaksanaan operasional Kepolisian di tingkat Kewilayahan Strategi SO : Strategi WO :



12 1. Dilaksanakannya reformasi nasional yang diikuti dengan reformasi dalam tubuh Polri yang ditandai dengan adanya Adanya perubahan pardigma kepolisian 2. Adanya himbauan pemerintah agar setiap kasus korupsi memperoleh prioritas utama dalam penanganannya Terbukanya perusahaan bagi co-partnership . 3. Munculnya sikap kritis dari wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap perlunya penyidikan kasus-kasus korupsi. 4. Banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian terhadap kasus-kasus korupsi. 5. Banyaknya komentar atau analisis terhadap mekanisme pengelolaan keuangan negara dari para pakar, seperti pakar ekonomi, hukum dan sebagainya dapat membantu meningkatkan kemampuan para penyidik kepolisian dalam memahami tindak pidana korupsi yang terjadi; TREATHS 1)



1. Memantapkan reformasi 1. Perbaharui dan nasional melalui penetapan kembangkan sumber daya landasan yurudis dalam Polri dalam laks setiap pelaksanaan tugas penyidikan dengan kepolisian termasuk memanfatkan momentum dibidang penyidikan nasional 2. Pelaksanaan paradigma baru 2. Perbaiki pengetahuan Polri yang dijabarkan dalam penyidik yang parsial setiap pelaksanaan dengan kaji himbauan dan penyidikan tindak pidana perintah pemerintah korupsi dalam gul TP korupsi. 3. Mengoptimalkan peran Sat 3. Hindari terjadinya tipikor guna menjamin tindakan diskresi terselenggarannya berlebihan dengan penyidikan TP korupsi manfaatkan pengawasan dengan manfaatkan dari DPRD. dukungan DPRD. 4. Atasi terjadinya 4. Memberdayakan peran intervensi internal dalam lemdik serse guna penyidikan dengan meningkatkan kinerja berdayakan LSM dan penyidik dalam gul TP pemerhati kinerja korupsi dan memberdayakan kepolisian. peran LSM pemerhati 5. Atasi kekurang merataan korupsi sosialiasi paradigma baru 5. Dayagunakan Validitasi polri dengan Barekrim Polri dalam proses memanfatkan analisa, penyidikan yang cepat, tepat komentar dan masukan dan terarah guna para pakar. mengakomodir harapan Pemerintah dan masyarakat terhadap terciptnya Penyidik yang professional Strategi ST : Strategi WT :



Upaya intervensi dari 1. Dayagunakan aturan 1. normatif guna pihak luar yang bermaksud pengembangan kekuatan / sumber daya yang dimiliki untuk mempengaruhi dalam penyidikan TP korupsi 2. Sosialisasikan paradigma 2. jalannya penyidikan sering



Atasi keterbatasan sumber daya Polri dlm setiap penyidikan dan hindari intervesi dari pihak luar. Atasi keterbatasan



13 terjadi;



baru Polri terhadap seluruh penyidik serta kembangkan 2) Munculnya sikap apatis pengetahuan dan wawasan anggota dari penyidik ketika akan 3. Mengotimalkan konerja Sat Opsnal Tipikor dalam gul TP 3. melakukan pemeriksaan korupsi yang disertai dengan kasus korupsi karena pelaksanaan pengawasan dan pengendalian yang konsisten kentalnya muatan politis 4. Meningkatkan pengetahuan, kemapuan dan mentalitas 4. 3) Tingkat koordinasi penyidik dengan memberdayakan lemdik dengan lembaga terkait CJS, serse BPK dan KPK guna gul 5. Dayagunakan validasi 5. bareksrim Polri guna Tipikor masih lemah pemantapan pelaksanaan paradigma baru Polri dalam 4) Adanya intimidasi setiap proses penyidikan terhadap



aparat



maupun



penyidik



keluarganya



pihak-pihak



yang



pengetahuan anggota dan hindari sikap apatis penyidik terhadap penyidikan yang kental muatan politis Atasi perbuatan diskresi berlebihan dari penyidik dan atasi lemahnya koordinasi dengan instansi terkait. Atasi adanya intervensi internal dan hindari terjadinya intimidasi terhadap penyidik Hindari terjadinya pensosialisasian konsep paradigma baru yang tidak merata serta atasi adanya politisasasi penyidikan TP korupsi



dari tidak



menginginkan dilakukannya pemeriksaan



terhadap



tersangka korupsi; 5)



Kasus



korupsi



kental



dengan politik 2.



Penetuan Skor dan Bobot FAKTOR STRATEGIK INTERNAL



1



BOBOT



PERINGK



SKOR



0,0-1,0



AT



BOB



2



1-4 3



OT 4



14 Kekuatan 1. Perundangan dasar yuridis penyidikan 2. Kebijakan paradigma baru Polri 3. Tersediannya Sat Tipikor pada tiap Polda 4. Adanya Lemdik Reskrim 5. Validadasi Bareskrim dalam membina anggota Kelemahan 1. Sumber daya penyidikan terbattas 2. pengetahuan anggota tentang paradigm baru penyidikan bersifat parsial 3. Kurangnya pengawasan terhadap diskresi . 4. Adanya intervensi internal 5 Konsep paradigm baru Polri belum tersosialisasi secara rata pada penyidik TOTAL BOBOT 0,0-1,0



1



TOTAL 3.



AVARAGE 2,0-2,99



STRONG 3.0-4.0 I



II



III



0.40 0.30



0.1 0.1 0.1



3 3 4



0.30 0.30 0.40



0.1 0.1



2 1



0.20 0.10



0.05 0.1 0.05



2 1 1



0.10 0.1 0.10 2.85 SKOR BOBOT



2



PERINGKA T 1-4 3



0.1



4



0.40



0.1



3



0.30



0.1 0.1 0.05



4 4 3



0.40 0.40 0.15



0.1 0.1



2 1



0.20 0.10



0.05 0.05 0.05



2 1 1



0.1 0.05 0.05



1.00



Penentuan kuadran



4 3



1.00



FAKTOR STRATEGIK EKSTERNAL Peluang 1. Reformasi nasional sebagai landasan perubahan paradigma 2. Kebijan pemerintah dalam penanggulangan korupsi. 3. Muncul dukungan dari DPRD 4. Banyaknya LSM pengawas korupsi 5 Adanya analisis dan komentar pakar Ancaman 1 Adanya intervensi penyidikan dari pihak luar 2. Muatan politis dlm penyidikan timbulkan sikap apatis 3. Koordinasi dengan lembaga terkait lemah. 4. Terjadinya intimidasi kepada penyidik 5. Adanya politisasi proses penyidikan



0.1 0.1



4



2.45



15



IV



V



VI



SCS B VII



VIII



IX



WEAK 1,0-1,99 4.0



3.0



4.0



2.0



1.0 HIGH 3.0-4.0



3.0 MEDIUM 2,0-2,99 2.0



1.0 Berdasarkan matriks di atas diketahui bahwa “upaya impelementasi penyidikan yang efektif dan efisien pada kesatuan Tingkat Polda guna penanggulangan tindak pidana korupsi dalam rangka mewujudkan good and clean governance berada pada kuadran V (Growth Stability). Artinya perusahaan dalam posisi pertumbuhan, Maka stategi yang dapat digunakan adalah resource development dan legislation penetration.



16



BAB V KONDISI PENYIDIKAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIHARAPAN 1.



Kondisi Objektif Pelaksanaan Penyidikan yang diharapkan Sejalan dengan penerapan paradigm baru kepolisian, maka Polri dituntut untuk mereformasi dirinya yang dalam hal ini difokuskan kepada transparansi / keterbukaan penyidik Polri kepada publik dalam hal penyelenggaraan administrasi dan operasional penyidikan.



17 Hal ini sejalan dengan semangat demokratisasi yang mendasari pertanggung-jawaban penyelenggaraan negara kepada rakyat. Seiring dengan harapan masyarakat tersebut, maka kegiatan penyidikan yang diharapkan adalah sebagai berikut : a.



Tidak menutup-nutupi kelemahan / kekurangan. Transparansi mensyaratkan kerelaan Pimpinan Polri menyampaikan secara terbuka kepada publik terhadap kekurangan / kelemahan administrasi dan operasional penyidikan. Diharapkan Pimpinan Sat Reskrim Polresta Maros tidak lagi merasa sungkan untuk menyampaikan kepada publik terhadap kondisi internal sesuai kenyataan yang sebenarnya, keterbukaan tersebut merupakan cerminan paradigma baru di jajaran Polri.



b.



Penyidikan secara utuh dan menyeluruh. Penyidikan yang dilakukan Polresta Maros harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh mulai dari tahap penyelidikan yang berlanjut kepada penyidikan yang terdiri dari langkah-langkah : pemeriksaan, pemanggilan, penyitaan, penangkapan, penahanan, pemberkasan dan penyerahan berkas perkara ke penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



c.



Dibangunnya Akuntabilitas publik berdasarkan sistem informasi yang handal. Akuntabilitas yang dibangun harus didukung dengan sistem informasi yang dapat di percaya dan dapat diuji kekuatannya sehingga dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan laporan akuntabilitas yang dibuat dan dapat dipercaya dalam proses penyidikan perkara. Selain itu sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap proses



penyidikan



yang



dilakukan,



penyidik



senantiasa



memberitahukan



perkembangan penyidikan (SP2HP) secara transparan kepada pelapor atau pihakpihak yang dirugikan maupun media, hal ini sebagai bentuk



komunikasi dan



informasi pertanggung jawaban di dalam penyidikan suatu kasus. d.



Tidak diskriminatif. Sejalan dengan



akuntabiitas



penyidikan tindak pidana, penyidik



serta kaitannya dalam proses akuntabilitas tentunya tidak membedakan



status sosial



18 masyarakat yang dilayaninya dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung kepentingan



publik dan penegak keadilan



dan kebenaran, serta senantiasa



melandasi setiap tindakan yang dilakukan sesuai aturan-aturan yang berlaku.



Selain hal-hal beberapa hal terkait proses penyidikan oleh Polri diharapkan dengan memenuhi prinsip profesionalisme dan mampu memenuhi segenap aspirasi dan harapan masyarakat terhadap penyidik dalam kegiatan penyidikan, seperti berikut : a.



Surat Pemberitahuan Perkembangan hasil Penyelidikan/penyidikan (SP2HP) kepada pelapor dilaksanakan secara cepat, akurat dan transparan.



b.



Penyidik dapat proaktif dalam merespon setiap laporan dan pengaduan masyarakat.



c.



Bertindak cepat dalam mendatangi TKP dan t merespon informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang telah terjadinya tindak pidana.



d.



Dalam pemanggilan-pemanggilan saksi yang akan diperiksa dapat sesuai dengan ketentuan dengan waktu yang tercantum pada surat pemanggilan, dan tenggang waktu yang cukup bagi saksi yang akan diperiksa.



e.



Dapat memberikan rasa keadilan kepada korban maupun pelaku kejahatan serta tidak membeda-beda pelayanan kepada seluruh masyarakat pencari keadilan.



f.



Penyidik memiliki integritas, loyalitas dan komitmen yang baik dalam melaksanakan penyidikan guna pengungkapan perkara pidana..



g.



Anggota dapat berperilaku simpatik dengan menggunakan pendekatan yang persuasif, komunikatif dan dialogis dalam melaksanakan penyidikan serta mampu meninggalkan pendekatan yang kaku dan konvensional.



h.



Terhindar dari perbuatan kasar (use of execive force) dalam pemeriksaan tersangka baik secara fisik maupun psikis serta dapat menerapkan azas praduga tak bersalah dan menghormatihak-hak tersangka.



2.



Pelaksanaan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Saat Ini Apabila terjadi suatu tindak pidana korupsi maka seorang Polisi bertugas Dit Reskrim mempunyai kewenangan selaku penyidik.



Dalam pasal 14 UU no. 28 tahun 1997



ayat (1) huruf a, yang berbunyi sebagai berikut :”Melakukan penyidikan dan penyelidikan



19 terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangundangan lainnya. Dalam kaitan ini seorang penyidik Polri mengemban tugas untuk melakukan penyidikan dengan benar, sehingga paradigma Polri benar-benar terwujud, dimana aparat penyidik tersebut tertera dalam surat perintah penyidikan, setelah menerima surat perintah tesebut segera membuat Rendik (rencana penyidikan) seraya memepelajari/ memahami hasil penyelidikan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang disidiknya, sehingga akan dapat menentukan penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan bukti-bukti yang mendukung penyimpangan tersebut Adapun penanggulangan tindak pidana korupsi yang diharapkan adalah sebagai berikut: a.



Dalam menegakkan hukum terutama memberantas kejahatan tindak pidana korupsi tidak boleh ditunda-tunda, karena kejahatan itu sendiri akan menguasai kita dan menghancurkan apa yang ada. Penerapan hukum yang tegas akan menimbulkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah maupun aparat penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).



b.



Unsur penegak hukum seperti Polri, Jaksa, dan unsur Pengadilan harus secara konsisten dan berkesinambungan untuk bersama-sama memberantas tindak pidana korupsi dan tidak memandang kepada siapa mereka bertindak, bahkan yang berbau politik sekalipun.



c.



Memberdayakan forum Aseanapol dalam menyusun berbagai kesepakatan Bilateral atau Multilateral di antara Kepolisian Asean atau antara Asean dengan Lembaga Kepolisian Regional lainnya (OKI, GNB, Cina dan negara-negara kawasan Pasifik) untuk menghadapi tersangka yang melarikan ke luar negeri.



d.



Membentuk dan mengembangkan kerjasama Intelijen



dengan badan-badan atau



Lembaga Intelijen, terutama dalam tukar menukar informasi Intelijen yang terkait dengan pelaku yang berusaha ke luar negeri untuk pencekalan. e.



Mengembangkan kerjasama pendidikan dan pelatihan Personil Polri dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.



20 f.



Mengintensifkan



kerjasama



dengan



Departemen-departemen



Pemerintah



dan



Organisasi Non Pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial ekonomi, yang merupakan salah satu faktor signifikan dan ketidakadilan sosial ekonomi akibat adanya tindak pidana korupsi. g.



Ikut memberikan masukan kepada Pemerintah dan MPR dalam penyusunan GBHN di bidang hukum, terutama aspek penegakan hukum dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.



h.



Memberdayakan Direktorat III Bareskrim Polri sebagai pembina fungsi penyidikan kepada satuan-satuan dibawahnya dalam penanganan tindak pidana korupsi.



i.



Memberdayakan peran LSM-LSM yang ada untuk membantu memberikan informasiinformasi tentang adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik instansi swasta maupun pemerintah dan sebagai kontrol terhadap kinerja dari aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi.



j.



Terlaksananya kerjasama dan koordinasi secara sinergis dengan instansi terkait yang berada pada Departemen yang berkompeten dengan penanggulangan tindak pidana korupsi seperti halnya (BPK , KPK, Pengadilan, Pengacara dan ombudsman).



k.



Koordinasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi yang belum tertata dengan baik tentang program-program penanggulangan tindak pidana korupsi.



BAB VI UPAYA IMPLEMENTASI PARADIGMA PENYIDIKAN POLRI YANG EFEKTIF DAN EFISIEN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Langkah – langkah yang dapat dilaksanakan guna mengimplementasikan paradigma penyidikan Polri yang efektif dan efisien dalam



penanggulangan tindak pidana korupsi,



dilaksanakan dalam langkah-langkah action plan yang diformulasikan sebagai sebagai konsepsi pemecahan masalah, seperti berikut :



21



1.



Penetuan focal concern Focal concern yang dipilih adalah “ Paradigma Baru Penyidikan Polri”



2.



Penentuan Kuadran Setelah diadakan penilaian secara kualitatif terhadap faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan faktor eksternal (Peluang dan Kendala) maka dapat ditentukan posisi upaya impelementasi penyidikan yang efektif dan efisien pada kesatuan Tingkat Polda guna penanggulangan tindak pidana korupsi dalam rangka mewujudkan good goverment and clean governance berada pada kuadran V (Growth Stability). Artinya perusahaan dalam posisi pertumbuhan, Maka stategi yang dapat digunakan adalah berbenah diri melalui pendekatan resource development dan legislation penetration.



2.



Action Plan a.



Tahap Formulasi 1)



Implementasikan paradigma penyidikan Polri yang efektif dan efisien dalam penanggulangan tindak pidana korupsi berada pada posisi memiliki peluang yang cukup besar yaitu ditandai peraturan perundangan dan political will dari pemerintah, akan tetapi aparat Polri masih memiliki keterbasan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Dengan demikian Polri perlu melakukan pembenahan terhadap Sumder Daya organisasi.



2)



Guna impelementasi penyidikan yang efektif dan efisien pada kesatuan Tingkat Polda guna penanggulangan tindak pidana korupsi dalam rangka mewujudkan good goverment and clean governance maka diadakan pembenahan pada 4 (empat) pilar hukum :



b.



a)



Aparat penegak hukum Polri



b)



Sarana Prasarana dan anggaran



c)



Peraturan perundang-undangan.



d)



Instansi Terkait



e)



Masyarakat.



Tahap Impelemntasi



22 1)



Aparat penegak hukum Polri. a)



Meningkatkan profesionalisme. (1)



Kemampuan taktik dan tehnik penyidikan



(2)



Penguasaan



peraturan



/



perundang-undangan



tentang



penyidikan (3)



Pelatihan penyidikan TP korupsi dengan menggunakan model simulasi.



(4)



Melaksanakan



seminar



dengan



tema



peningkatan



profesionalisme penyidik Polri dalam penegakan hukum TP korupsi. (5)



Pelatihan



konsep



kepolisian



sipil



dalam



pelaksanaan



penyidikan (6)



Memberikan kesempatan dikjur secara adil dan transparan



(7)



Pembinaan mental anggota yang berkaitan diskresi penyidikan



(8)



Memberikan pembekalan pada jam pimpinan dan awal penyidikan agar mampu meninggalkan pola-pola kaku dan konvensional dalam proses penyidikan perkara serta lebih melakukan pendekatan secara persuasive, komunikatif dan dialogis dalam setiap penyidikan perkara.



b)



Meningkatkan kesejahteraan anggota Polri. (1)



Asuransi bagi setiap anggota Polri yang dibiaya oleh dinas.



(2)



Menyalurkan hak-hak anggota secara proporsional dan tepat waktu.



(3)



Maksimalkan



peran



primkopol



guna



mening-katkan



kesejahteraan anggota. (4)



Memberikan insentif bagi anggota yang berprestasi.



(5)



Menyediakan perumahan dengan memanfaatkan semua potensi yang ada.



c)



Reward and punishment



23 (1)



Memberikan penghargaan bagi anggota



yang berprestasi



dalam bentuk materi, sertifikat, prioritas mengikuti pendidikan dan lain-lain. (2)



Memberikan sanksi hukuman yang keras apabila anggota Polri melakukan



pelanggaran



dan



penyalahgunaan



dalam



pelaksanaan penyidikan. (3)



Memberikan pujian serta situmulus-stimulus positif lainnnya guna meningkatkan integritas, loyalitas dan komitmen anggota dalam melakukan penyidikan sesuai dengan paradigma baru Polri



2)



Meningkatkan sarana dan prasarana dan anggaran. a)



Pendataan ulang seluruh materil dan logistik serta menyusun suatu administrasi yang tertib sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



b)



Melakukan penyimpanan dan pemeliharaan serta perawatan sarana prasarana yang ada secara periodik guna memperpanjang usia pemakaian.



c)



Melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap sarana prasarana yang ada untuk melihat layak tidaknya sarana prasarana yang ada untuk digunakan.



d)



Meningkatkan sarana laboratorium forensik Polri sebagai upaya scientific investigation.



e)



Meningkatkan dan melengkapi ruang pelayanan Polri pada setiap unit kerja (AC, TV, Meubler dan lain-lain ).



f)



Mengupayakan bentuk-bentuk penghimpunan dana yang sifatnya tidak mengikat, namun tidak menyimpang guna menutupi kekurangan anggaran.



g)



Melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap anggaran yang telah dipergunakan agar tidak terjadi pemborosan.



24 h)



Melakukan



permohonan



penambahan



anggaran



operasionalMengajukan permohonan anggaran pada pemerintah daerah 3)



Peraturan perundang-undangan a)



Mengusulkan kepada pemerintah agar dilaksanakan penelitian terhadap perundangan apakah hukum yang hidup itu merupakan hukum yang adil (just living law) atau tidak adil (unjust living law). Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk dianalisa apakah hukum itu memang merupakan hukum yang harus ditaati oleh masyarakat atau tidak.



b)



Membuat buku pedoman yang dijadikan sebagai acuan pelaksanaan penyidikan sesuai dengan konsep paradigma baru Polri.



c)



Melengkapi produk-produk / peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan penyidikan TP korupsi.



d)



Membentuk



tim



yang



ditugaskan



untuk



menganalisa



dan



mengevaluasi semua peraturan perundang-undangan yang mengatur penyidikan TP korupsi e)



Mengajukan usulan kepada pemerintah agar dibuat aturan yang mengatur batas lapis kewenangan masing-masing instansi yang terkait dalam criminal justice sistem.



4)



Kerjasama dan koordinasi dengan isntansi terkait a)



Meningkatkan koordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum sejak awal dimulainya penyidikan, sehingga Jaksa Penuntut Umum sudah dilibatkan dari awal dan diharapkan akan timbul sinergitas antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penanganan perkara korupsi tersebut. Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bolak-baliknya perkara, karena hasil penyidikan sudah pasti akan



25 memenuhi dan sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, sehingga prosentase penyelesaian perkara akan dapat ditingkatkan. b)



Meningkatkan kerjasama dengan aparat penegak hukum lainnya seperti; kehakiman, peradilan, BPK (Badan Pengawas Keuangan), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), bea cukai, dan TNI AL serta instansi terkait lainnya dalam rangka penegakkan hukum terhadap para pelaku korupsi.



c)



Melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai Undang-Undang Korupsi berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.



5)



Meningkatkan kesadaran / partisipasi masyarakat a)



Menggugah kesadaran hukum masyarakat untuk tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi dan membantu Polri dalam mengungkap perkaranya dengan jalan memberikan informasi, bukti-bukti dan mau memberikan kesaksian terhadap perkara tersebut.



b)



Melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam pengawasan dan pemantauan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.



c)



Aktifkan LSM guna membantu sosial kontrol dalam penyidikan tindak pidana korupsi.



d)



Pelatihan dan pembentukan kelompok masyarakat yang membantu Polri dalam proses penyidikan terhadap TP korupsi. BAB VII PENUTUP



1.



Kesimpulan a.



Guna memaksimalkan penerapan paradigma penyidikan diperlukan suatu pengkajian terhadap hal-hal yang meliputi legislasi dengan memperhatikan



prinsip-prinsip



kepastian hukum, akuntabilitas , profesionalitas, transparansi dan sinkronisasi serta



26 Kondisi dan kinerja aparat penegak hukum yang masih memerlukan peningkatan profesionalisme secaraa terpadu. b.



Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi belum menunjukan hasil yang maksimal, bahkan dari tahun ketahun kejahatan ini cenderung menunjukan semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun dari segi kerugian negara yang ditimbulkan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya dilihat dari profesionalisme penyidik tetapi dilandasi dengan etika moral yang baik dari segenap aparatur penegak hukum dalam lingkup Criminal Justice System (CJS) dengan didukung kemauan politik pemerintah dan masyarakat, lambat laun perkara korupsi dapat ditanggulangi secara menyeluruh dan tuntas.



2.



Rekomendasi a.



Polri perlu segera menyusun team untuk menguji dan mempersiapkan konsep rumusan etika profesi penyidik dan revisi KUHAP untuk diajukan ke pemerintah dan dibahas DPR. Serta dilakukan studi banding ke beberapa negara lain yang lebih maju untuk mendalami proses penyidikan yang mereka lakukan serta merubah pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak efisien.



b.



Untuk mengeliminir timbulnya kasus tindak pidana korupsi dalam tubuh Polri dan menghindarkan para Pimpinan Polri khususnya tingkat KOD menjadi tersangka, maka perlu langkah pengawasan internal dari KOMPOLNAS terhadap langkah transparansi DIPA



Lembang,



Juni 2010



Penulis.