Novel [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TJIN.TA ITU OREO By : eL Machata



Chapter I Quote:



Prolog: Liberty



S



iang itu tidak seperti siang yang biasanya. Matahari tidak seterik biasanya



bersinar. Awan-awan putih bergerak lambat menutupi matahari. Angin-angin membelai hamparan ilalang. Air sungai berbisik dibebatuan. Dan samar-samar terdengar sebuah melodi yang indah terlantun. Sebuah lagu yang dinyanyikan seorang gadis berambut hitam lurus dari tepi sungai itu. Suara itu terus mengalun indah. Seakan ia berada diatas sebuah panggung dan ribuan penonton menyaksikannya. Lagu ini begitu ia resapi. Ekspresinya seakan-akan ia sungguh meminta seseorang untuk memberitahunya tentang arti sebuah kata cinta. Mariah Carey – I Want To Know What Love Is “Niki...!” Seseorang memanggilnya dari belakang. Ia tetap tidak memperdulikan orang itu. Ia tetap bernyanyi. Menikmati pemandangan alam yang alami ini. “Niki, kita sudah lama berada ditempat ini” laki-laki itu memperingatinya lagi. Kemudian gadis itu berhenti menyanyi dan tertunduk. Dengan segera laki-laki bermata sipit itu menghampirinya. Merangkul pundaknya. Dan menyandarkan kepala Niki dipundaknya. “Kita tidak bisa sebiasa mungkin Niki” ucapnya kemudian. “Iya aku tahu” jawab Niki perlahan. “Ini jalan yang kita pilih. Membuat orang lain selalu ingin tahu apa yang kita lakukan” “Iya.. Aku tahu” jawab Niki sehelaan nafasnya. “Jadi kita harus lebih protective terhadap diri kita sendiri” “Iya... Aku... Tahu...” kali ini Niki nampak kesal. Ia melepas rangkulan itu dan berjalan menuju sebuah mobil VW kodok berwarna cream. Ia jelas tidak ingin berdebat lagi dengan laki-laki itu yang sejak sejam lalu memintanya masuk kedalam mobil. Ia tahu alasannya. Ia sadari ia pun salah. Tapi... semua kebebasan ini adalah haknya juga. Bukankah begitu? Bukankah ia juga adalah seorang warga negara yang bebas?



Niki merengut didalam mobil. Laki-laki itu tidak sama sekali beranjak dari tepi sungai. Apakah gemericik air diantara bebatuan itu menghipnotisnya? Atau ia baru saja menemukan sesuatu yang hilang selama ini. Kebebasannya. Kebebasan yang sudah menjadi hak tiap mahluk hidup dimuka bumi ini. Ia tak berpikir bahwa hal ini akan ia dapatkan. Terlebih saat ini. “Niki... kita pulang satu jam lagi!” Entah apakah ini balas dendam atau semacamnya. Laki-laki itu melepaskan semua pandangannya pada alam yang menghijau itu. Suara-suara indah gemericik air masih terdengar. Laki-laki itu semakin tenggelam dalam lamunannya. Perlahan ia menutup mata dan merentangkan tangan. Direngkuhnya isi dunia yang begitu damai ini. “Aku ingin pulang! Titik!” Niki mengamuk didalam mobil. “Aku ingin kita pulang!” teriaknya berulang. 15 menit laki-laki itu tak merespon perkataan Niki. Kemudian ia berbalik dan menancap gas dalam-dalam keluar dari jalur yang berbatu memasuki jalur bebas hambatan yang sangat sepi. Ia tersenyum pada Niki. Menghilangkan matanya yang segaris itu. Sebuah lesung pipi muncul dikedua sisi wajahnya. “Terima kasih...” ucap Niki terputus. “Terima kasih atas hadiah ulang tahunnya,” ulang Niki kemudian. Lihat saja dijok belakang VW kodok itu. Banyak rangkaian bunga mawar bertumpuk. Terlebih lagi dengan sebuah kalung yang kini ia kenakan. Terselip didress mawar yang ia padukan dengan sebuah scraf merah muda. Ia meraihnya. Liontin itu adalah 2 huruf yaitu huruf ‘N’ yang bergantung pada huruf ‘K’. Niki dan Koo. Inisial mereka berdua.



Chapter II Quote:



Dua = Satu



M



atahari baru menyinari pagi hari dikamar dita. Ia melakukan ritualnya seperti



biasa saat bangun pagi. Meregangkan persendiannya diatas tempat tidur. Menatap jam dinding dan terdiam. Diamatinya benar-benar jam itu. Jarum pendeknya menunjuk angka 8. Benar. Ia tak mungkin salah lihat. Dengan segera ia bangun dari tempat tidurnya. Karena kecerobohannya, ia terjerembab kelantai. Itulah ritualnya setiap pagi. “Dita... Katanya mau cari kerja?” teriak mamah dari luar kamar. “I.. Iya mah.. Ini baru bangun kok” 30 menit berikutnya ia sambil menyisir rambut dimeja makan membaca sebuah koran yang penuh dengan lowongan kerja. Dita baru saja lulus kuliah. Ia tadinya bercitacita sebagai pemilik sebuah salon. Hobinya berdandan dan memadu-padankan pakaian membuatnya kecanduan terlihat cantik. Ia juga sedikit belajar tentang make up dari tantenya yang bekerja sebagai perias pengantin. Namun lihatlah hari ini. Ia jauh dari kesan kata cantik. Rambut keriting menggulungnya bahkan dapat disangkutkan sebuah sisir. Kaki kanannya naik ke atas kursi makan. Tidak sopan dan juga tidak anggun. Mamah bahkan menggeleng. Sejak kapan aku memiliki anak laki-laki, pikir mamah. Semenjak kepergian papah yang berpulang ke rahmatullah. Mamah bersedia menggantikan posisinya seorang diri. Menghidupi kedua putrinya yang masih usia sekolah. Untung saja usaha catering mamah berjalan lancar. Pasang surut kehidupan sudah banyak ia rasakan. Demi cintanya pada papah. Mamah menolak tiap cinta yang datang. Ia merasa cukup dengan hadirnya Dita dan Vika, warisan papah yang paling berharga untuk mamah. Tidak mengapa, seorang diripun ia masih bisa menjalankan hidup ini. Sempat ia berpikir untuk menerima lamaran Om Diki, namun setelah ia bertanya pada tuhan dalam doanya. Mamah menolak secara halus. Ia mengakui bahwa ia sudah tidak muda lagi untuk bermain-main dengan kata cinta, kasih dan sayang. Begitu memabukkan. Hidup bukan hanya untuk memikirkan tentang cinta. “Kamu sudah yakin tidak mau datang ke tempat Tante Liana?” mamah memastikan lagi. “Eumm...” sejenak Dita berpikir. “Ya sudah. Kalau kamu ingin. Telpon saja mamah!” ucap mamah sambil mengulurkan tangan kemudian mengecup kening dita. Mamah pergi bekerja jam 9 pagi setiap harinya. Mamah sudah memiliki asisten yang bekerja lebih pagi. Sehingga tugas mamah hanya mengawasinya saja.



Ini tentang tawaran mamah memperkenalkan dita pada tante liana, teman sma mamah. Ia bekerja disebuah perusahaan menejemen artis yang sangat terkenal. Awalnya, siapa sih yang gak mau bekerja ditempat itu? Hah, itu hanya awalnya saja. Setelah bekerja nanti, ya pekerjaannya sama saja dengan seorang pembantu. Ya hanya jabatannya yang memiliki nama yang keren, asisten artis. Dita berpikir 2 kali. Itu berarti akan merendahkan kuliah 3 tahunnya. D3 bidang ekonomi. Wah... Masa iya tidak ada pekerjaan yang lebih layak lagi. Dikota yang sebesar ini? Nyatanya, sejak 2 jam lalu ia ditolak oleh beberapa perusahaan. Terdamparlah ia disebuah kedai pinggir jalan dengan aroma soto jawa yang memenuhi udara. Makan siang itu terganggu dengan pikirannya, dengan kata mamah, dengan sebuah nama: Tante Liana. Ia mulai goyah. Ditinjau dari segi mana pun ternyata tidak semudah itu untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Seperti yang almamaternya gambarkan. Sebuah pekerjaan dengan pakaian berdasi dan rapi. Terlalu angin surga. “Halo..” Dita merekatkan handphonenya ketelinga. Terlalu berisik suasana kota diwaktu makan siang seperti ini. “Ya. Ada apa, Dit?” “Mah... Tentang Tante Liana?” Dita ragu. “Kamu mau?” tanya mamah “Mamah setuju gak?” kali ini ia lebih memilih untuk mendengarkan pendapat mamah. “Mamah sih setuju saja. Asal, jangan anggap ini pekerjaan utamamu. Ini hanya sekedar batu loncatan. Dari sana kamu bisa mendapatkan kenalan yang bekerja diperusahaan yang kamu bilang berdasi dan berpakaian rapi itu.” usul mamah. “Iya sih.” Dita mengakuinya “Jadi?” “Dita pikir, baiknya seperti kata mamah saja” “Ya sudah. Nanti mamah telpon Tante Liana. Kamu tinggal ketempatnya saja.” “Baik mah.” Buru-buru Dita menghabiskan semangkuk soto jawanya. Ia ingin memiliki sedikit waktu untuk merapikan penampilannya yang mulai kacau setelah berjalan door-todoor antar perusahaan. Kini dihapadannya sebuah gedung bertuliskan besar ‘Sunrise.N.' Dita gugup. Ia menghampiri pos security dengan smash 110 night ridernya.



“Selamat siang pak” sapanya seramah mungkin. “Ya?” “Saya datang kesini ingin bertemu dengan Bu Liana manejer HRD.” “Sudah buat janji?” “Sudah pak” “Kalau begitu isi buku tamu ini dulu” Bapak itu kemudian menyodorkan sebuah buku tamu. Dita harus melewati penjagaan depan ini terlebih dahulu. Sebab jelas tertulis dipintu palang itu tulisan ‘selain karyawan dilarang masuk’. Sesampainya di front office pun sama saja. Lagi-lagi ia harus mengisi buku tamu. Memang sih penjagaan ditempat ini harus ketat. Lihat saja! Banyak bintang televisi dimana-mana. Ada yang saling bercengkrama dilobby. Bahkan berjalan santai didekat Dita. Dita hanya bisa tersenyum. Wah kapan lagi bisa seperti ini? “Sabar ya mbak. Bu Liana sedang meeting.” ucap mbak di front office. Dita duduk dikursi tamu diruangan HRD. Setengah jam pertama kebosanan segera menghantuinya. Tidak tahan. Ia pun mencari toilet. “Permisi. Mas, bisa beritahu saya toilet ada disebelah mana?” ia memanggil orang pertama yang ia temui setelah keluar ruangan tamu itu. “Ya? Saya?” laki-laki itu berbalik. Memastikan ia yang dipanggil oleh Dita. “A...” Dita kaku seketika. Ia tidak yakin baru saja menanyakan toilet kepada laki-laki itu. Dia itu kan artis yang sangat-sangat terkenal. Yang filmnya digandrungi sama cewekcewek. Wah, masa iya dita bertemu dengan artis itu disini. Dita masih terkagumkagum. “Koo... Yitjin... An” gumam dita perlahan menyebutkan nama artis itu. “Saya?” tanya Koo berulang. “Oh... Maaf. Bukan. Maksud saya bukan. Iya. Bukan.” dita salah tingkah. Ia merapikan rambutnya. Aduh, apakah ia tidak tertarik dengan aku yang secantik ini? Tanya Dita dalam hati. “O... Tapi kalau kamu mencari toilet. Itu ada diujung sebelah kanan. Ikuti saja jalan ini!” ia tahu bahwa dita sedang salah tingkah dihadapannya. Gadis mana sih yang gak ambil posisi yang tercantik yang bisa ia pamerkan kepada koo?



“Eh, iya. Terima. Kasih” Koo segera pergi meninggalkan dita ditempat itu sendiri. Dita seperti orang kesurupan. Ia bergemetar seperti baru saja melihat malaikat tampan. "Oh tuhan, he’s an angel." Sudah beberapa menit Koo menghilang dari pandangannya. Ia masih terpaku disana. “Dita?” “Dit?” ulang wanita itu lagi. “Eh.. Tante Liana.” dita baru sadar Tante Liana sudah ada dihadapannya. Padahal Tante Liana baru saja datang dari arah koo pergi. Tante liana menggeleng saja. Ia tahu selera anak muda. Yang segar-segar seperti rujak segar. Apalagi kalau bukan Koo Yitjin An!



Chapter III - Bagian Pertama Quote:



Monolog



S



uara telpon berdering nyaring diatas meja. Tidak ada siapa-siapa diruangan itu.



Telpon berhenti berdering. Namun detik berikutnya berbunyi lagi. Nampak dilayar handphone itu satu nama lengkap dengan nomornya, bella nikita. Handphone itu jelas tertinggal diatas meja diapartemen milik koo. Poster Koo yang besar itu membiarkan niki menelpon berulang kali. “Aku kesal kamu perlakukan seperti ini. Jangan telpon aku lagi. Titik!” itu pesan yang terekam ditelpon rumah koo. Niki sudah menyerah menghubungi ponsel Koo. Detik-detik berlalu kemudian. Koo berlari dari pintu lift menuju apartemennya. Ia baru saja menyadari ada yang tertinggal diapartemennya. Sesuatu yang sangat berharga. Yang selalu menghubungkannya dengan niki. Ia hampir tak pernah meninggalkan ponsel khusus yang didalamnya hanya ada nomor niki. Yang panggilan cepat no.1 adalah Niki. Yang memenuhi kotak pesannya adalah pesan dari Niki. Yang memenuhi memory card microsd 2gb itu hanya photo Niki dan lagu kesukaan Niki. Khusus untuk Niki. Kekasihnya tercinta. “Astaga!” Koo terduduk disofa. Kakinya lemas seketika. Dilihatnya ada 31 panggilan tidak terjawab dan semuanya dari niki. 31. Bagi niki 31 itu sudah cukup membuatnya marah besar. 31 adalah tanggal kelahiran niki. Ia tahu saat ini niki pasti tidak akan menerima telpon darinya. Bahkan mematikan handphonenya agar semua panggilan tidak masuk. Siang itu, hari pertama dita masuk kerja. Ia melihat wajah Koo lesu diruangan tamu. Tidak biasanya ia bersembunyi diruangan itu sebelum sesi pemotretan. Jelas ia sedang mengalami masalah yang sangat besar. Namun dita tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal itu. Ia juga disibukkan dengan tugasnya sebagai asisten dari menejer Ivana, menejer dari artis bernama Laura Ciana. “Katanya kamu bisa make-up juga ya?” tanya mbak Ivana pada Dita. “Sedikit. Diajari tante saya” “Sebelum Laura dapat sponsor make-up. Yah bolehlah kamu yang make-up’in dulu. Bisa?” “Saya? Yakin ingin saya yang make-up?” Dita kaget. Laura dan Ivana menatap Dita. Diruangan make-up itu hanya ada mereka bertiga. Si artis, menejer serta asisten menejernya. “Jadi kita gak perlu manggil make-up artis. Mereka sombong kalau artis yang dimakeup kurang terkenal.” keluh Laura. “Ah masa iya mbak Laura kurang terkenal?” polos Dita.



“Menurutmu?” tanya Laura sambil merapikan rambutnya yang ikal. “Ya. Oke deh. Saya yang make-up’in. Tapi mohon bantuannya ya mbak.” “Nah... Gitu dong dit. Udah gak usah panggil mbak. Kita kan seumuran” jawab Laura ramah. Siang itu ruang make-up hanya diisi oleh ketiga orang itu. Dita dibantu dengan Ivana menata riasan yang akan dipakai untuk pemotretan. Setelah selesai mereka bertiga masuk keruangan pemotretan untuk artikel dimajalah remaja. Disana sudah ada Koo, Lily, Tino dan Chaca. Mereka berlima akan dijadikan cover majalah dengan mengusung satu per satu profile dan gaya costum mereka. Koo Yitjin An dengan gaya baju v neck sampai ke bagian dada memperlihatkan dadanya yang bidang dan celana ¾ warna hitam. Lily Hapsari dengan dress pantai dilengkapi topi pantai yang lebar. Tino JV. Kurniamega, mengenakan kaos oblong bertuliskan ‘i ♥ indonesia’ dengan celana levi’s hitam. Chaca Mahardika, costum sporty girl dengan jacket merah dan celana pendek putih. Yang terakhir laura ciana, rambut ikalnya dibiarkan bergantung manja dengan sebuah bandana biru soft dipadukan dengan baju kaus berkerah dan celana ¾ berwarna biru lebih soft dari bajunya. Karena tema pemotretan ini adalah remaja yang aktif dan sporty. Dita menyemangati artisnya. Ia pun semakin akrab dengan Ivana. Ia juga sudah tidak lagi mematung saat melihat koo. Ia mulai sekarang harus membiasakan diri dengan artis-artis ternama. Namun sesuatu terjadi. Laura tidak sengaja menginjak sepatu Koo saat pergantian gaya. Gila. Ivana mengetuk kepalanya sendiri. Bakalan repot urusannya nih. Ia sudah tahu sejak awal, akan susah bila berurusan dengan menejernya Koo. Siapa lagi kalau bukan Adelia. Ia langsung memarahi Laura ditempat itu. Ya ampun, ini kali pertamanya dita menyaksikan sendiri keganasan mbak Adelia. Koo sih santai saja. Ia tidak ambil pusing tentang apa yang terjadi. Baginya masalah terbesarnya ialah Niki. “Seharian ini aku melihat mukamu kusut. Ada apa?” tanya Adelia diruangan mereka sendiri setelah pemotretan usai. “Bukan apa-apa” “Niki?” tebak Adelia. “Kenapa?” “Sudah aku bilang Koo. Niki itu terlalu manja” “Aku sudah mengeluarkan kata itu ditelinga kiri!” acuhnya pada Adelia. “Niki. Sampai kapan Niki akan berakhir mempengaruhimu? Hah!” ia kini memarahi



Koo. “Aku tidak perduli!” “Tebakanku pasti benar, Koo. Setelah ia sukses membuat konser soprannya. Ia pasti memintamu putus. Ia pasti tidak ingin kamu mengekang langkahnya untuk go internasional.” “Untuk apa?” “Ia tahu kamu tidak akan mengijinkannya untuk pergi. Bahkan kuliah diluar negeri.” “Tidak. Aku tidak seperti itu” Koo menyangkalnya. “Koo, kamu pasti akan menikahinya. Iya kan?” “Pasti” jawab Koo penuh kesungguhan. “Itu yang mengekangnya! Ia tidak ingin terikat. Apalagi pernikahaan. Masih jauh dipikirannya.” “Kamu bukan ibunya, juga bukan ibuku! Kamu hanya menejer disini!” Koo emosi. “Tapi aku lebih tahu, meski aku bukan siapa-siapa. Aku memahami orang sepertimu, juga seperti Niki” “Dan aku tidak perduli. Dengar itu!” Koo meninggalkan ruangan menejernya. Ia terpancing emosi akan kata-kata Adelia. Sedikit banyaknya perkataan Adelia benar. Niki memang seorang gadis yang manja. Dimana semua keinginannya harus dituruti. Ia akui itu. Tapi untuk meninggalkannya. Koo berpikir berkali-kali lagi. Rasanya tidak mungkin. Esok, pagi-pagi sekali niki menelponnya. Tebak apa yang ia katakan kepada Koo. ‘terima kasih cinta’. Alangkah indahnya kata itu mampir ditelinga koo. Dan tebak lagi niki berterima kasih atas apa? Yaitu sebuah dress yang tergantung ditempat tidurnya, dibalik renda-renda. Dress berwarna putih berkilauan. Niki memang tipe gadis yang menyukai dress. Untuk itu kemarin Doo meminta adelia membelikannya sebuah dress. Dan pagi yang berbeda dialami dita. Ia sungguh sebal bangun jam 6 seperti ini dan berangkat kerja. Ia tidak biasa bangun sepagi ini untuk mandi dan mendandani dirinya sendiri. Kali ini ia harus merias laura lebih awal. Ada sebuah casting untuk iklan. “Kamu nampak cantik pagi ini” puji Dita pada Laura yang sudah datang lebih awal ke Sunrise.N. “Aku sudah biasa bangun pagi. Sebelumnya aku harus olahraga dulu. Menjaga agar



tetap fresh. Mumpung masih belum terlalu banyak job, Dit” “Iya. Jadi cantiknya alami” puji Dita. Ia sendiri meriasi laura sambil menguap. Ivana menyediakan mobil diparkiran untuk pergi ke tempat casting. Pagi itu tidak mungkin mereka sia-siakan. Ivana sangat bersemangat karena Laura juga bersemangat untuk mendapatkan pekerjaan. Ia pasti juga menyadari bahwa mencari pekerjaan sekarang ini sangat susah. Saingan ada dimana-mana. Dilangkahan pertama laura turun dari mobil. Wartawan memburu namun bukan Laura, sebuah mobil yang datang kemudian. Seorang gadis dengan dress putih berkilauan keluar dari mobil. Ia menggunakan kacamata gelap dan diikuti oleh kedua make-up artisnya. Ia adalah artis dari MRC, Manejemen Rayan Citra. Ia terus berjalan kekawanan artis lainnya didepan photo stage. “Kami yakin Niki yang akan mendapatkan iklan ini” ucap Jessica, menejernya Niki pada wartawan. Sebenarnya wartawan masih memiliki banyak pertanyaan sehubungan kedekatan niki dengan Koo yang kemarin tertangkap kamera sedang menonton broadway diluar negeri. Namun terhalang security yang menahan sampai pintu masuk. Semua artis masuk ke lobby untuk menunggu acara dibuka. Didalam sana beberapa menejer artis memuji kecantikan Niki. Dengan bangga Jessica memamerkan Niki. Ia sangat percaya diri sekali akan mendapatkan iklan kecantikan ini. Kalau mendapat kontrak dari perusahaan kecantikan ini bukan hanya uang yang diperoleh juga sponsor untuk kosmetik yang akan digunakannya sehari-hari. “Ini Laura Ciana-mu!” tegur Jessica pada Ivana. “Aku kira kalian tidak akan datang karena Niki ada disini. Ada atau tidaknya kalian tidak akan mempengaruhi penilaian juri nanti. Bukankah begitu? Sebaiknya jangan mengganggu” Jessica memberikan peringatan tegas pada Ivana. Ia berlalu dengan pandangan sebelah mata pada laura. Ivana tentu saja meradang. Namun tangan Laura menahannya. Ia tidak ingin mencari masalah ditempat ini apalagi banyak wartawan infotaiment diluar sana. Nama laura memang tidak segemerlap Niki. Ia tak memiliki skandal cinta dengan aktor manapun. Lagi pula laura belum memiliki banyak sinetron yang ia bintangi. Pintu ballroom sudah dibuka. Didalam sana sudah duduk juri dari penata rias senior, model iklan kosmetik sebelumnya dan pihak dari perusahaan kosmetik. Satu persatu artis maju kehadapan juri memenuhi tantangan juri, wawancara juga menunjukkan bakat dibidangnya. Semua mata terpana ketika Niki menyanyi didepan sana. Suaranya memenuhi ruangan. Mengalun indah seakan diiringi oleh alat musik. Menggema dikepala Dita. Baru kali ini ia mendengar suara niki secara langsung dihadapannya. Begitu jernih tanpa lipsing buatan. Tepuk tangan pun memenuhi ruangan setelah ia selesai



menunjukkan bakatnya. Jessica tersenyum penuh kemenangan. Ia yakin 100% tidak akan kalah. continue... Chapter III - Bagian Dua.



Chapter III - Bagian Kedua Quote: sambungan... Laura terduduk disudut bersama Ivana dan Dita. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya. Kemudian namanya disebutkan untuk maju kehadapan juri. Tantangan ekspresi dari juri berhasil ia lakukan begitu juga dengan wawancara. Tinggal menunjukkan



bakatnya saja. “Kamu pikir kamu ini siapa? Berani sekali kamu mendekati pacarku” “Aku... bukan... aku...” “Jangan bohong kamu!” “Laura, bukan maksudku. Kamu percayakan sama aku, kembaranmu” “Sudahlah Ciana, kamu gak usah bohong! Aku tahu apa yang kamu mau, karena aku juga kamu” “Laura...” Laura menampar angin didepannya. Ia sedang bermonolog. Ia memerankan 2 tokoh yang berbeda. Laura yang antagonis dan Ciana yang Protagonis. Setelah itu tokoh Laura pergi dari hadapan juri maka cerita pun usai. Juri terdiam. Hipnotis mimik Laura yang begitu cepat berganti dari Antagonis menjadi Protagonis berlangsung cepat dan mulus. Tinggal penilaian juri saja yang menentukan. “Hebat...” puji Dita. “Hehehe” Laura tertawa kecil. Ia sedang gugup. Ternyata pelajaran akting yang ia dalami bermanfaat untuk hari seperti ini. “Semoga juri tidak buta... amin” doa Ivana sekejap. Mereka dipersilahkan keluar dari ballroom untuk menunggu hasilnya. Ternyata diluar sana telah menunggu seorang pria juga bersama menejernya. Siapa lagi kalau bukan Koo dan Adelia yang membawa buket bunga. Ia segera menyerahkan pada Jessica. Sementara Koo memeluk Niki mesra membuat iri artis yang lainnya. “Selamat ya mbak...” ucap Adelia. “Ah belum juga ketahuan hasilnya” Jessica nampak berbasa basi. “Saya yakin kok Niki akan mendapatkannya” “Tentu saja. Terima kasih ya sudah datang jauh-jauh ketempat ini. Eh iya kenapa juga Sunrise.N mengirimkan Laura kemari? Tidak pada artis yang sudah ternama saja” Jessica nampak mengorek tentang hadirnya Laura dan Ivana. Ia dan Adelia sedikit memiliki permasalahan dengan Ivana dimasa sebelumnya. “Oh, itu. Laura kan artis baru kami. Dia belum mendapat sponsor make-up, jadi pimpinan mengusulkan Ivana saja yang ikut dicasting ini. Apakah usahanya buruk?” “Yah, seperti orang gila seperti biasanyalah. Hahaha”



Mereka tertawa kecil berdua. Sementara Niki dan Koo asik bermesraan disofa ruang lobby. Tanpa sadar Dita memperhatikan keduanya yang begitu mesra. Laura ikut berdiri disamping Dita memperhatikan pandangan penuh cinta dihadapan mereka. “Apakah aku harus mencari skandal dulu baru bisa terkenal seperti Niki?” tanya Laura yang sebenarnya tak berarah. “Mungkin...” jawab Dita keceplosan. Laura dan Dita saling berpandangan satu sama lain. Ada yang tak beres dipikiran mereka berdua. Keduanya segera kembali pada Ivana yang menunggu hasil pengumuman dengan cemas didepan pintu ballroom. “Aku takut” aku Ivana. “Santai dong mbak, kita bukannya tak perlu skandal untuk mendapatkan sponsor ini?” jawab Laura masih terpengaruh dengan kata-kata itu. “Tapi bagaimana kalau kita gagal?” Ivana masih membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi. “Bukankah kita masih akan ada Dita?” Laura mendorong Dita kehadapan Ivana. Nampak wajah yang prihatin kepada Ivana. “Dita masih mau kan jadi penata rias Laura?” Ivana meyakinkannya. “Tentu saja” Dita menjawabnya dengan tersenyum. Ia tidak ingin membuat Ivana semakin khawatir. Disofa itu Niki dan Koo masih berduaan menikmati rasa iri orang yang melihatnya. Niki merebahkan kepalanya dalam lengan dan bahu Koo. Ia sedang bermanja dihadapan laki-laki itu. Koo mulai membelai rambut Niki yang terurai lurus sebahu. “Kemarin...” ucap Koo perlahan. “Dressnya bagus... terima kasih ya sayang” Koo tak dapat berkata lagi. Ia menyimpan tanya perihal apa Niki kemarin menelponnya berkalikali. Setiap bersama dengan Niki, ia seperti terbungkam oleh aura gadis itu. Hanya dapat memandanginya dengan penuh perhatian. Dimenit berikutnya pintu ballroom terbuka. Ketiga juri berdiri didepan sana dikawal ketat security. Ada perasaan cemas, harap dan penuh kemenangan. Laura menggenggam tangan Dita. Niki dalam rangkulan Koo. Jessica, Adelia dan Ivana nampak berpandangan satu sama lain. “Atas pertimbangan dan perdebatan yang sulit kami memutuskan salah satu diantara peserta yang hadir disini mewakili perusahaan kami sebagai brand ambasador produk kami. Dia seseorang yang berbakat, yang memiliki multitalenta dan juga seseorang yang sudah dikenal setiap pemirsa dilayar televisi. Kami memilih...”



“Bella Nikita” sambung salah satu juri. Jessica memandang rendah pada Ivana. Ia penuh percaya diri menghantarkan Niki bersamasama dewan juri juga humas perusahaan ke depan gedung tepat di Photo Stage tempat wartawan berkumpul. Ivana nampak lesu meninggalkan gedung itu bersama Laura dan Dita. “Gagal lagi? bukankah harusnya berhenti saja?” tegur Adelia pada Ivana. Keduanya saling berpandangan satu sama lain. Laura dan Dita segera menyeret Ivana memasuki mobil. Tidak boleh ada perseteruan antara menejer satu manajemen seperti ini. Laura juga sadar diri ia masih bukan siapa-siapa diantara banyak artis dibawah naungan Sunrise.N. Tidak pantas baginya membuat pertikaian dengan sesama artis. “Aku tidak mengerti mengapa mereka begitu?” tanya Dita pada Laura yang sebenarnya juga sedang kecewa karena kegagalannya mendapatkan sponsor ini. “Mereka? Adelia dan Jessica?” tanya Laura. “Iya. Mereka” “Adelia dan Jessica adalah sahabat lama. Dulu Jessica juga menejer dari Sunrise.N. Ia pindah ke MCR memenejeri penyanyi bukan artis pemain film dan sinetron seperti kami. Kepindahan Jessica meninggalkan Roman yang kemudian diambil alih oleh Ivana. Padahal...” Laura terputus. “Padahal Roman adalah kekasih Adelia, ketidakbisaan pemimpin membiarkan Roman dimenejeri oleh kekasihnya sendiri membuat Adelia cemburu padaku. Ia menuding aku mengambil Roman. Gossip itu bukan hanya menghancurkan karir Roman juga karir ku. Dan Laura adalah produk baru yang aku coba orbitkan lagi. Mereka mengharapkan aku gagal seperti ini” sambung Ivana sambil mengemudikan mobil. “Lalu kemana sekarang Roman?” tanya Dita seolah tak punya hati. Laura segera memberinya kode agar tak menanyakan hal itu. “Dia sudah tidak jadi artis lagi.” jawab Ivana datar. Nampaknya kemacetan telah berlalu. Kini mobil yang mereka kendarai berjalan mulus dijalan raya untuk kembali ke Sunrise.N. Siang itu sangat melelahkan bukan hanya bagi Laura dan Ivana, juga Dita karena ia harus bangun lebih awal dari yang biasanya untuk merapikan dandanannya sendiri.



Chapter IV Quote:



(Bukan) Pepatah



K



etika semua harus tetap berjalan bahkan disaat yang tidak tepat. Hari yang



berhujan malam itu. Dita menghitung domba-domba ditempat tidurnya. Ia paling tidak bisa tidur dengan suara guntur membelah langit hitam beserta kilatan petirnya yang sesekali menerangi kamar. Diluar sana sebuah mobil sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Ruas jalan memang menyepi. Pengendara roda dua sudah berteduh pastinya. Lampu merah sudah dinyalakan warna Orange, artinya agar tetap berhati-hati saat melintasi persimpangan jalan. Seorang wanita mengendarai honda jazz merah menyeruak hujan itu. Dari arah lain sebuah mobil box sudah menyalakan lampu tanda belok dipertigaan jalan. Ia sudah bersiap untuk motong jalan. Ketika ditengah persimpangan pengendara Honda Jazz merah itu baru melihat bahwa ada mobil yang sedang memotong jalan. Dengan panik ia menginjak pedal rem dan membanting stir. Yang terdengar berikutnya adalah bunyi gesekan ban yang mencoba untuk berhenti diatas aspal yang terguyur hujan. “Sudah lihat berita pagi ini?” tanya Ivana pada Laura diruangan milik Laura Ciana. “Ada apa? Sepertinya pagi-pagi sekali tempat ini sudah sibuk” nampaknya Laura belum menyalakan televisi pagi ini. Ivana menyalakan televisi diruangan itu. Disiarkan bahwa seorang artis mengalami kecelakaan disebuah persimpangan. Nama artis itu ialah Besuki Dindayani. Kini Laura memandang kearah Ivana. Ada banyak yang ingin ia katakan. “Tidakkah kita menjenguknya?” Ucap Laura diakhir pandangannya. “Permisi...” Dita masuk dengan parsel buah-buahan ditangannya. Laura terkejut. Ada senyum dibibir Ivana. Dan kebingungan diwajah Dita. Semalam ia tidak tidur dengan tenang karena hujan. Lalu ketika pagi menjelang dia diminta Ivana untuk membeli parsel buah-buahan. Sekarang ia bahkan belum sempat masuk keruangan itu, ia telah digeret oleh Laura dan Ivana menuju parkiran memasuki mobil dan meluncur kerumah sakit. “Ini bukan menari diatas penderitaan orang lain ataupun memancing diair yang keruh” tegas Ivana. “Iya. Aku tak mengatakannya begitu. Tapi semoga saja kita beruntung kali ini” sambung Laura. “Apa?” Dita kebingungan. “Sini, kamu cukup perbaiki riasanku sayang. Nanti kamu akan tahu!” jawab Laura.



“Kalian ini kenapa sih?” ucap Dita sambil merias Laura dalam perjalanan. Sesampainya dirumah sakit ternyata banyak wartawan yang berkumpul mengambil berita disekitar sana. Ivana dan Dita membuka jalan untuk Laura memasuki wilayah yang telah dilarang untuk reporter dari stasiun televisi manapun karena akan mengganggu kerja dan kenyamanan orang yang berobat dirumah sakit itu. “Saya turut berduka mbak” Ivana memeluk Rita, menejer Dinda. Dita menyerahkan parselnya pada keluarga Dinda. Laura memeluk ibunda Dinda. Ia mencoba menenangkan orang tua itu yang terus menangis. Dinda sendiri masih dalam perawatan intensif dan belum dapat dijenguk secara langsung. Tak lama kemudian Tante Liana dan Pimpinan Sunrise.N hadir dengan karangan bunga dan parsel. Bu Parish, pimpinan Sunrise.N. duduk bersebelahan dengan orang tua Dinda. Tak banyak bicara. Orang tua itu masih terisak dibahu Laura. Tante Liana dan Ivana serta Rita tengah membicarakan hal yang terjadi sebelum kecelakaan itu. “Jadi malam itu Dinda bilang ia ingin pulang saat syuting dibatalkan karena hujan. Ia tidak membangunkan Pak Lodi karena ia pikir akan kembali ke tempat syuting setelah hujan reda. Padahal saya sudah melarangnya pergi sendirian” Rita mulai terisak. Ivana merangkulnya. Membenamkan wajah penuh air mata Rita didalam peluknya. Bu Parish menarik Tante Liana untuk berbicara dengan setengah berbisik. Tentang pekerjaan Dinda yang pasti akan terbengkalai. Ia harus menempatkan seseorang dari Sunrise.N untuk menggantikan Dinda disinetron tiap sabtu dan minggu itu. Siang itu juga seluruh artis beserta menejernya dikumpulkan diruang rapat. Hanya Bu Parish dan Tante Liana yang belum datang. Suasana riuh ramai mereda saat kedua orang penting itu memasuki ruangan rapat. Bu Parish duduk dikursinya sebagai Pimpinan Utama dan Tante Liana sebagai Menejer Utama. “Baiklah, saya buka rapat ini. Bu Liana dipersilahkan menerangkan topik bahasan dalam rapat ini” Bu Parish menyerahkan kelanjutannya pada Tante Liana. “Hari ini telah kita ketahui bahwa salah satu artis kita mengalami musibah dan sedang dirawat dirumah sakit secara intensif. Juga diperkirakan akan istirahat dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Untuk itu, untuk menggantikan posisinya di drama ‘Love Paradise’ maka kami ingin mengadakan seleksi terhadap beberapa artis yang berminat menggantikan perannya” Belum selesai Tante Liana menerangkannya seseorang telah mengangkat tangan mengajukan diri. Jelas saja semua mata tertuju padanya. “Laura Ciana? Apa yang membuatmu merasa pantas mengajukan diri?” tantang Tante Liana. “Saya mampu memerankan Anastasya.” Laura berdiri.



“Tunjukkan!” Tante Liana tak segan. Ivana menutup mata. Ia tidak bermaksud seperti ini. Ia ingin menunggu apakah Tante Liana memilih Laura karena datang lebih awal ketika menjenguk Dinda. Bukan yang seperti ini. Laura mendekati Koo sebab pemeran utama pria didrama itu ialah dia sebagai Dr. Josep. “Ini memang memalukan Dok, keluarga kami memang tak pantas mendapatkan bantuan seperti ini. Saya benar meminta maaf atas nama Fransisca. Dokter...” wajah Laura memelas dihadapan Koo yang membuat laki-laki itu salah tingkah. “Dengar ya Fransisca, Dokter Josep itu milikku. Kamu boleh mencintainya, tapi simpan cintamu itu sampai mati karena aku, Anastasyalah yang akan jadi pengantinnya bagaimanapun caranya! Aku tidak akan membiarkanmu hidup jika kau menggangguku! Camkan itu baik-baik!” kini Laura melotot kearah Adelia. Ia hanya mengekspresikan bahwa ia benci terhadap Fransisca sesuai alur cerita didrama itu. Dita bertepuk tangan seorang diri. Adelia nampak membalas tatapan tajam dari Laura dengan serius. Laura segera tersenyum diiringi senyuman diwajah Tante Liana. Ia segera kembali duduk disamping Ivana diiringi tepuk tangan. “Jadi siapa yang setuju peran Dinda digantikan oleh Laura, tolong angkat tangan?” Tante Liana melakukan persetujuan atas semua pihak yang hadir diruangan rapat hari ini. “Bagaimana Bu Parish, kita sudah mendapati persetujuan dari berbagai pihak. Apakah ibu berkeberatan?” tanya Tante Liana sebagai pertimbangan akhir pada pemimpin Sunrise.N. “Saya setuju.” jawab Bu Parish. “Kamu sudah mendapatkan jawaban langsung dari pimpinan kita, bagaimana? Apakah kamu puas Laura?” tanya Tante Liana kembali pada Laura yang dengan berani mengambil kesempatan ini. “Tentu, tentu saja. Saya mengucapkan terima kasih terhadap teman-teman sekalian yang sudah mempercayakan peran ini kepada saya. Saya mohon bantuan temanteman semua” Sekali lagi Laura menunduk merendahkan diri. Koo nampak tersenyum melihat Laura. Berbeda dengan Adelia, ia merasa dilecehkan oleh akting Laura yang baru saja. Berani-beraninya ia memarahiku! Pikir Adelia dalam hati. Ivana dan Dita tersenyum puas. Kemarin rasanya Laura yang dimarahi habis-habisan karena tidak sengaja menginjak kaki Koo saat pemotretan. Kini kedudukan berimbang satu sama. “Senangnya...” Laura tersenyum puas menghadap jendela. “Akan beradu akting bersama Koo Yitjin An?” tebak Dita.



“Tentu bukan. Akan membintangi drama akhir pekan yang ditonton oleh banyak pemirsa setia ‘Love Paradise’” Jawab Ivana. “Kamu akan tahu rasanya jadi seseorang yang ditunggu-tunggu oleh penonton kalau kamu jadi seorang artis juga. Ada kepuasan sendiri Dita” jelas Laura masih menatap jendela. “Namun ada juga yang akan berubah. Nanti ketika seseorang terkenal maka dunianya akan terbatas” tambah Laura lagi. Dita masih tidak mengerti apa yang Laura katakan. Tentang perasaan puas menjadi seseorang yang ditunggu kehadirannya juga tentang dunia yang akan menyempit. Namun setiap yang bekerja didunia hiburan seperti mereka pasti akan mengalaminya saat karir menanjak. Seperti kata pepatah, semakin tinggi gunung semakin kencang angin bertiup. Tidak hanya orang yang senang melihatmu berada dipuncak karir tapi juga orang-orang yang menunggumu jatuh. Mungkin dalam kasus ini Dinda lah orang yang terjatuh itu. “Hallo” “Hallo, Ivana. Besok pagi kalian datang lebih awal. Hari ini boleh istirahat dulu” “Baik Bu” “Jaga baik-baik Laura” “Ya Bu... Terima kasih” Ivana menutup telponnya. Ia memandang Laura dan Dita bersamaan. Ada semburat senyum dibibirnya. Hanya kebingungan yang Laura dan Dita hadapi. “Hari ini kita libur, tapi besok harus datang lebih awal” Sekarang Laura mengerti apa maksud senyum itu. Ia mengambil tasnya. Kini ia yang tersenyum penuh arti. “Kita harus mengadakan perayaan untuk ini. Aku traktir kalian menyanyi” Laura menarik tangan Dita juga Ivana. Jadilah mereka menghabiskan hari ini ditempat karaoke KTV. Ia melepas stressnya dengan berteriak selepas mungkin. Besok adalah hari pertempuran yang menegangkan. Lagipula skrip belum ia terima karena direncanakan cerita drama akan berubah. Mengubah peran Anastasya karena tokoh itu melekat pada Dinda. Tidak serta merta kehadiran Laura menggantikan peran Anastasya.



Chapter V Quote:



Anastasya



H



ari itu dilokasi syuting telah hadir disana Laura beserta menejer dan asisten



menejernya. Ia sibuk menghapalkan dialog dalam skrip yang baru diterimanya. Koo



nampak baru datang dan langsung dirias oleh make-up artisnya. Tidak hanya Koo, namun juga pemeran Fransisca yaitu Juanita. Hari perdana Laura beradu akting dengan aktor dan aktris kesayangan pemirsa akhir pekan. Ada gugup disana. “Love Paradise take 1 sesion 1 episode 17, camera rolling!” ucap asisten sutradara. “Permisi...” Laura menegetuk sebuah pintu. “Siapa ya?” Dr. Josep membuka pintu itu. Dr. Josep seolah kaget melihat rambut Laura yang perlahan ia sibakkan dari wajahnya. Ia teringat akan sebuah foto dimana Anastasya dan Laura berfoto bersama. “Saya dari agen penyalur pembantu, nama saya Maryam” Laura menunduk memberi hormat. “Kamu? Mirip seseorang. Kamu kenal Anastasya?” Dr. Josep memegang pundak Maryam untuk memastikan bahwa gadis ini bukan Anastasya. “Saya... Maryam. Saya tidak mengenal Anastasya” aku Maryam gugup. “Silahkan masuk, kita bicara didalam saja” Dr. Josep mengangkat tas pakaian milik Maryam masuk. “Cut!” sutradara berteriak menghentikan perekaman gambar. Didalam rumah Koo dan Laura tersenyum. Ini sesi pertama yang akan ditayangkan dihari minggu. “Akting kamu hebat, sekali take tidak perlu diulang lagi” puji Koo. “Terima kasih, senang bekerja dengan orang profesional seperti kamu” balas Laura. “Kita bertemu di Take 3 lagi. Persiapkan dirimu!” Laura hanya membalasnya dengan senyuman lalu pergi ke kubu Dita dan Ivana. Langsung saja Dita merapikan wajah Laura yang sedikit berkeringatan. Laura masih asik membaca naskahnya. “Dita bisa minta tolong ambilkan botol minumku dimobil?” tanya Laura sedikit memohon. “Baiklah” Dita segera meninggalkan Laura seorang diri meja itu. Ia menemukan sebuah botol minuman disekitar jok belakang mobil. Ia membawanya kembali pada Laura. Namun ditengah perjalanan ia melihat Juanita yang sedang marah-marah. “Ini gak adil! Image aku berubah hanya karena wanita itu datang menggantikan



Dinda. Aku gak mau bermain drama kalau aku jadi bawang merahnya. Aku bukan tokoh antagonis. Aku malaikatnya!” ia memaki sutradara. “Kamu mau atau tidak memerankan Fransisca? Kalau kamu tidak mau kamu bisa pergi dari tempat ini!” sutradara menanggapinya datar. “Apa? Pak sutradara yakin?” Juanita tak habis pikir bagaimana sutradara mampu ngucapkan kata itu padanya. Juanita dengan penuh kesal meninggalkan sutradara. Dita baru saja ingat bahwa Laura sedang menunggunya membawakan botol minuman. Ia bergegas menghampiri tempat Laura duduk. “Seperti apa sih kelanjutan ceritanya?” tanya Dita. “Disini ceritanya sedikit berubah. Ternyata Fransisca lah yang mendorong Anastasya ke danau. Dimana Anastasya tidak dapat berenang. Ia ditinggalkan oleh keluarga Fransisca karena tidak ingin anaknya masuk penjara. Dan nanti ketika Fransisca berkunjung diapartemen Dr. Josep ia bertemu dengan Maryam. Ia akan teringat wajah Maryam yang ia dorong ke danau. Sebenarnya Maryam kembaran Anastasya yang terpisah saat dibuang ibu mereka. Maryam dititipkan dipanti asuhan sedang Anastasya dibuang ketempat sampah dan ditemukan oleh orang tuanya Fransisca.” Jelas Laura. “Pantas saja Juanita komplain pada sutradara karena image Fransisca berubah” gumam Dita. “Apa?” Laura tentu terkejut mendengarnya. “Ah tidak bukan apa-apa” Dita seolah salah sebut. “Bahaya! Akting ini akan menjadi nyata” ucap Laura. “Hah?” tentu saja Dita terkejut. “Nanti sore akan ada pengambilan gambar didanau” wajah Laura semakin pucat. “Kamu benar tidak bisa berenang?” tanya Dita polos. “Itu masalahnya. Pasti tidak sempat meminta peran pengganti, pasti Juaniata akan langsung mendorongku” Laura ketakutan. “Bagaimana ini?” Dita pun panik. “Laura.... giliran kamu sayang. Lakukan seperti tadi saja!” Ivana datang menjemput Laura untuk kembali syuting. Laura dan Dita saling berpandangan satu sama lain. Ivana tidak ambil pusing. Ia menuntun Laura ke studio bagian apartemen Dr. Josep. Laura berjalan penuh getir.



Bahkan saat pengambilan gambar. Padahal perkara mudah. Tidak ada dialog yang perlu ia ucapkan. Ia hanya harus berekspresi seakan takjub dengan kamar pembantu yang akan ia tempati. “Cut” teriak pertama sutradara. “Cut” teriak kedua sutradara. “Cut! Heh kamu bisa tidak memerankannya? Hanya mengamati ruangan ini saja tidak bisa!” Sutradara nampak marah. “Maaf” Laura tertunduk. Dita berlari mendekati Laura. Ivana tentu saja nampak terkejut. “Heh kamu! Cepat minggir!” teriak asisten sutradara. “Maaf, Laura sedang tidak enak badan” jawab Dita. “Kamu dengar kata saya tidak! Minggir!” asisten sutradara tetap berteriak pada Dita. “Sudah... aku gak apa. Kita selesaikan saja dulu. Kamu keluar saja Dita!” bisik Laura sambil mendorong Dita keluar dari tempat syuting. Ia membenarkan tata rambutnya yang kusut. Lalu mengangkat wajah tinggi-tinggi. “Ayo lakukan!” ucap Laura memberanikan diri. Disudut sana Juanita tersenyum lalu pergi meninggalkan studio. Dita tanpa sadar berdiri disamping Koo. Ia menggenggam kedua tangannya yang kedinginan. Wajahnya pucat pasi. “Ada apa?” tanya Koo. “Laura gak bisa berenang. Take 4 akan ada adegan ditengah danau.” Jawab Dita. “Oh,” Koo hanya menganggukkan kepala. Make-up artis segera pergi dari sisi Laura. Pengambilan gambar akan dimulai. Laura memandangi kamar sederhana yang berwarna biru itu. Sejenak ia memejamkan mata lalu menghirup udara dan membuka mata mengitari ruangan itu. Dan... “Cut! Gitu dong, hanya seperti itu saja harus berulang-ulang. Jangan diulangi lagi. Kamu harus fokus” celoteh sutradara. “Oke, persiapan take 3. Maryam dan Dr. Josep. Studio 4. 10 menit lagi” Asisten sutradara mengumumkan pengambilan gambar selanjutnya.



Dita mencari keberadaan Koo disampingnya. Laki-laki itu sudah beranjak pergi bersama menejernya. Ivana menuntun Laura kembali ke basecamp mereka. Dita pun mengikuti dari belakang. “Ada apa?” tanya Ivana sesampainya disana. “Itu...” Dita tidak tahu apakah ia harus menceritakan kekesal Juanita. “Dita!” Laura menatap tajam menyuruh Dita diam. “Ya sudah lah, pokoknya kamu harus fokus. Tentang pengambilan gambar didanau biar aku yang menguruskan” Ivana tersenyum. “Tunggu...” Laura menghentikan langkahan kaki Ivana. “Bagaimana bisa?” tanya Laura perihal Ivana mengetahui bahwa ia tidak dapat berenang. “Kamu pikir aku siapa?” ucap Ivana santai. “Serahkan semuanya padaku. Oke?” Ivana semakin melegakan perasaan Laura. Sesi pengambilan gambar ditempat ini telah selesai. Mereka segera menuju lokasi syuting ditempat terbuka dipinggiran danau. Ada tiga kapal yang mengambang disana. Kapal yang dinaiki kru film, kapal basecamp artis dan kapal yang gunakan untuk syuting. Sutradara telah mengarahkan bahwa dibagian Fransisca mendorong Anastasya akan digantikan oleh pemeran pengganti. Pengambilan gambar pun dari jarak jauh agar tidak begitu nampak. Dan ketika assisten sutradara menyebutkan kamera rolling, drama pun dimulai. “Cukup Anastasya! Aku bosan kamu perlakukan seperti ini” Fransisca keluar dari dek kapal diikuti oleh Anastasya. “Kamu pikir berkat siapa kamu dapat bertemu Dr. Josep. Aku! Aku Fransisca! Semua yang Dr. Josep lakukan karena aku” Anastasya nampak menyombongkan diri. “Dr. Josep menyukaiku! Bukan kamu!” Fransisca geram. “Bukan kamu! Tapi aku!” Anastasya tak mau kalah. Akhirnya Fransisca menarik rambut Anastasya. Mereka akhirnya terlibat dalam pergulatan yang sengit. Sutradara tersenyum melihat keduanya mendalami peran. Terlebih Fransisca ternyata dengan sungguh-sungguh menarik rambut dan mencakar pipi Anastasya. Ia benci terhadap pemeran Anastasya. “Hentikan!” Teriak Ivana dari kapal khusus artis. “Ku mohon hentikan” Dita pun ikut berteriak. Namun sutradara membiarkannya. Ia nampak menikmati pergulatan Juanita dan



Laura. Keduanya sudah berada ditepi kapal dan tidak ada yang tahu siapa yang akan terjatuh. ‘Byur’ Keduanya terjatuh. Juanita berenang meraih sisi kapal. Sutradara menyuruh agar tidak ditolong dulu. Laura sudah berteriak meminta tolong. Tak satu pun diantaranya mau menolong. Yang tidak disangka Dita melompat dari kapal khusus basecamp artis. Ia berenang menghampiri Laura. Namun gerakkannya kalah cepat oleh seorang lakilaki yang ikut melompat dibelakangnya.. Laki-laki itu ialah Koo Yitjin An. Ia mengapungkan tubuh Laura yang sempat tenggelam. Dita segera menghampirinya. Mereka membawa tubuh Laura yang pingsan ketakutan ke kapal properti syuting. Dita segera memompa dada Laura yang sempat terminum air danau. Akhirnya Laura tersedak memuntahkan air itu. “Kamu gak apa-apakan? Sudah gak apa-apakan?” Dita menepuk kecil wajah Laura. Gadis itu pucat pasi dan menangis. Jelas ia mengalami ketakutan yag dahsyat. “Kalian gila! Apa kalian gak punya perasaan ya? Kalian pikir ini tidak dapat menyebabkan kematian? Bodoh!” Koo marah-marah dan meninju kru film yang berada di kapal itu. Ia kehilangan kendali emosinya. “Sudahlah! Tidak ada gunanya memukul mereka! Tidak akan mengembalikan waktu!” Dita berteriak sambil menangis kepada Koo. “Kamu!” Kepalan tinju tertahan dihadapan wajah Juanita. Koo tidak mungkin menyakiti gadis itu. Ia buka tipe laki-laki yang bertangan ringan terlebih kepada perempuan. “Tidak punya perasaan” Koo menghempaskan tubuh Juanita lalu pergi ke kapal basecamp artis yang terlebih dulu merapat. Ivana segera menyelimuti tubuh Laura dengan handuk. Ia dan Dita memanggul tubuh Laura menyebrangi kapal basecamp artis. Sutradara hanya tersenyum. Syuting kali ini penuh emosi. Ia berhasil membawa konflik dalam drama kedunia nyata. Namun apakah ini sebuah prestasi?



Chapter VI Quote:



Kisah Terindah (Andai...)



T



idak seperti biasanya. Mama masih menemukan Dita dirumah beserta iPod



terpasang ditelinga dan terduduk dibalkon. Mama perlahan menghampirinya. Mengelus rambut putrinya. Ada perasaan rindu disetiap mama memandang. Sudah lama rasanya tak melihat Dita berada dirumah sejak bekerja di Sunrise.N. “Libur?” tanya mama. “Iya. Libur sebentar mah. Nanti siang harus tetap ke kantor” jawab Dita membuka earphone dan mendekati mamah segera memeluknya.



“Bagaimana pekerjaanmu itu? Kamu suka?” “Hm, sedikit” jawab Dita datar. Terlebih saat mengingat peristiwa kemarin. “Kok begitu?” tanya mama keheranan. “Kenapa yah mah ada saja orang yang tidak suka atas kesuksesan orang lain?” Dita mengalihkan pembicaraan. Ia sedang mengadu pada mamah. “Itu... wajarlah Dit. Semua orang ingin sukses, jadi bila ada yang sukses lebih awal akan menimbulkan kecemburuan. Memangnya kamu tidak cemburu terhadap kesuksesan orang lain?” mamah bertanya kembali kepada Dita. “Iya sih. Kadang rasanya berharap orang lain jatuh dan diri sendiri maju melangkah jadi yang terbaik. Memangnya salah ya mah?” “Salah dan tidaknya tergantung cara kita menanggapi kecemburuan itu.” jawab mamah perlahan sambil mengelus rambut Dita. “Mungkin salah bila terlalu cemburu?” gumam Dita. Dilangit berbeda Koo sedang menemani kekasihnya ke studio latihan vokal. Niki nampak marah. Juga tentang peristiwa kemarin ditempat syuting. Ia tidak ingin terjadi sesuatu hal yang mengganggu kesehatan kekasihnya itu. “Sayang... maafin aku dong” Koo berusaha membujuknya. “Kamu pikir aku tidak khawatir? Kamu pikir kalau kamu sakit siapa yang akan repot? Aku, sayang.” Niki masih merajuk. “Iya... aku minta maaf. Tidak ku ulangi lagi deh” Koo memberikan janji jari kelingking. “Aku,... benci kalau kamu bersikap manis seperti ini.” Niki mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking milik Koo. Ia tertunduk malu. Kemudian Koo memeluknya erat. Ia tahu bahwa Niki sangat menyayanginya. Ia juga sangat menyayangi Niki. Gadis itu berhasil memenjarakan Koo sejak pertama kali bertemu. Saat itu... Koo bertemu Niki diacara teather musikal. Keduanya saling bertegur sapa dan saling mengajari satu sama lain. Koo ahli dalam berperan sedangkan Niki ahli dalam olah suara. Kedekatan mulai terjalin terlebih saat itu mereka dipasangkan sebagai Ratna dan Galih dalam panggung ‘Gita Cinta SMA’.



Rupa-rupanya Ratna dan Galih bercinta dibalik layar panggung. Mereka meresmikan hubungan bersama di Pantai Jimbaran. Bahkan baru-baru ini mereka berdua pergi ke luar negeri bersama untuk menonton Broadway. Kabar itu segera tersebar diinfotaiment. Banyak yang memburu kegiatan mereka. Meskipun terkesan ditutuptutupi kepada infotaiment namun mereka, para pencari berita itu menguber-uber kemanapun keduanya pergi. “Kata sutradara, besok kita akan mulai syuting lagi” ucap Ivana menyerahkan naskah baru. “Diubah lagi?” tanya Laura. “Ya begitulah. Ingat tentang kejadian kemarin mencederai wajahmu” Memang saat ini wajah Laura sedikit ditempeli perban. Ia membuka kembali naskah itu. Dita ikut membaca disampingnya. “Diceritakan bahwa luka dipipimu itu karena cakaran kucing ketika kamu pergi ke pasar. Lalu Dr. Josep akan meninggalkanmu dirumah. Kemudian Fransisca menelpon ke apartemen Dr. Josep. Ia langsung mendatangi apartemen Dr Josep. Sebelum itu Dr. Josep sudah berkata jangan membukakan pintu untuk siapapun selain Dr. Josep.” terang Ivana yang sudah membaca naskah baru itu. “Dengan penuh cinta Dr. Josep memandang Maryam sebelum meninggalkannya di apartemen... oh....” Ivana mulai berakting seolah Koo ada dihadapannya dan menghamburkan cinta dari mata sipitnya. “Hahaha” Laura dan Dita tertawa bersama-sama. Mereka melewati hari bersama-sama melatih akting untuk pengambilan gambar esok. Ruangan penuh kekacauan. Ada tawa canda yang tak tertahankan membahana di seluruh sudut ruangan yang bertuliskan Laura Ciana Room’s. Seseorang mendekati ruangan itu. Mengintipnya dari cela jendela yang terbuka sedikit. “Mbak Ivana keruh nih, gak ada aktingnya Dr. Josep sampai peluk-peluk segala. Mau mati dia dibunuh sama Niki. Hahaha” ucap Dita mengomentari Ivana yang memeluk Laura. “Hush! Gue yakin kalau diperannya Dr. Josep diberikan adegan peluk pasti rating penonton akan naik berkali-kali lipat.” usul Ivana. “Hahaha mimpi ketiban duren dong mbak. Penonton pasti pada iri” sambung Laura. Mereka akhiri dengan tertawa bersama. Tidak tahukah bahwa pemeran Dr. Josep sedang melihat mereka dari luar sana. Koo melanjutkan langkahan kakinya menjauh pergi meninggalkan jejak hari ini. meninggalkan kebahagiaan yang sedang terjalin diruangan khusus milik Laura Ciana. Ditengah syuting di studio 4 sedang dalam keadaan sepi hanya terdengar suara dari Laura dan Koo. Didepan pintu Koo memandang Laura penuh cinta berhamburan



dimatanya. Laura hampir saja muntah-muntah melihat akting Koo. Bukan hanya Laura yang hampir tertawa, Ivana dan Dita tersipu malu. Rasanya mereka pernah mengucapkan hal itu. Tubuh Laura tertarik kearah Koo. Dr. Josep memeluk Maryam dalam-dalam. Ada perasaan bergetar bukan buatan ditubuh Laura. “Jangan pernah buka pintu ini selain untuk aku. Mengerti?” bisik Dr. Josep. “Tuan....?” Laura bingung harus mengucapkan apa sebagai Maryam. Ia lupa dialog berikutnya. “Aku pergi dulu. Jaga rumah baik-baik ya” Dr. Josep mengelus rambut Maryam yang terkepang dua. Dr. Josep segera membuka pintu dan keluar dari ruangan. Maryam masih terdiam didepan pintu melihat papan tak bergeming itu seperti hantu. Ia membatu. Sebenarnya hal itu tidak ada didalam skrip namun sutradara tak menghentikannya. Entah apa yang dipikirkan bapak tua itu. Ia seperti memainkan ceritanya sendiri meski tak mengikuti skrip. “Cut!” sutradara baru saja mengucapkannya. Laura masih terdiam ditempat dengan tatapan kosong. “Lakukan lagi akting seperti itu. Kamu akan mendapatkan peran dilayar lebar nanti” saran sutradara kemudian. Laura mengalihkan pandangannya pada sutradara. Ternyata ekspresi itu yang mampu membuat sutradara terpukau. Ivana dan Dita segera menghampirinya karena pengambilan gambar berikutnya diadakan ditempat lain. Koo mendapat jabatan tangan dan pelukkan hangat dari sutradara karena improvisasinya yang memukau. Laura, Ivana dan Dita juga semakin kagum dengan akting dari Koo. “Aku dengar sayang membuat bintang baru itu terperangah?” Niki mengintrogasi kekasihnya dalam perjalanan. “Kamu cemburu?” Koo menanyakan langsung diwajah Niki yang memerah. “Tentu” Niki segera memukul kepala Koo dengan sebuah kipas. “Aw... kekerasan dalam rumah tangga nih” Koo mengaduh sakit dengan manja dihadapan Niki. Ia segera mengakhiri ekspresi itu karena wajah Niki terlihat serius sedang marah padanya. Niki menyilangkan tangan dibadannya. Menandakan ia sedang marah, sungguh sedang marah. “Namun ku terlanjur mencintai dirimu...” Koo menyanyikan sebaris lagu itu menggombal dihadapan Niki.



“Sayang hari Senin ini tanggal berapa?” tanya Niki seolah tidak tahu. Sebenarnya ia sedang mengetes apakah ingatan kekasihnya ini masih bagus atau tidak. “Tanggal 31, hari ulang tahunnya sayangku” tebakan Koo tepat. “Kadonya aku gak mau kalau dress?” Niki sudah menebak apa yang akan Koo berikan padanya. “Apa ya?” Koo nampak bingung. “Pokoknya aku gak mau kalau itu dress, tiket konser broadway, tiket disneyland, tiket konser javajazz atau tiket apapun itu” Niki sudah mematok harga mati terhadap kado ulang tahunnya. Ia ingin sesuatu yang baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Atas permintaan itulah Koo nampak kebingungan. Di apartemen ia membuka-buka apa yang ia miliki ditumpukkan dvd film romantis dunia. Ia nampak malu-malu menonton adegan ciuman dilayar televisi. Jujur dia masih belum melakukan hal itu bahkan dengan Niki. Niki adalah cinta pertamanya. Koo Yitjin An tumbuh dikeluarga yang sedikit tertutup. Keluarga penuh seni. Ibunya ialah penulis novel terkenal, Empat Musim Panas Berbeda. Ayahnya seorang budayawan tionghoa. Adik satu-satunya ialah pianis muda berbakat yang mendapat gelar warga kehormatan amerika serikat. Darah seni mengalir dari kedua orang tuanya. Sejak ia hidup dilingkungan warga tionghoa ia tak menemukan dunia lain sebelum akhirnya ia bertemu dengan Niki. Gadis itu sedikit banyak mengubah gaya hidup Koo. Terlebih dari waktu-waktu luang yang Koo miliki habis begitu saja. “Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi dengan ciuman” begitulah kutipan film tersebut. Setelah itu Koo nampak mengamati betapa nikmatnya melumat ice cream coklat ditangannya. Ternyata ia punya koleksi film seperti ini. Terlalu dewasa dan sangat butuh bimbingan orang tua. Koo langsung mematikan layar televisinya dan membantingkan diri keatas kasur empuknya. Ia memeluk guling dan terbayangkan sesuatu. “Ah...” ia menepis bayangan film yang baru ditontonnya. Ia memandangi langit-langit dikamarnya. Angannya mengambang disana. Teringat akan pemandangan hijau dan gemericik air mengalir disela bebatuan. Entah sebuah tempat yang Koo rasakan pernah ia kunjungi. Sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, kemacetan, wartawan, kamera dan semua orang yang menganggapnya sebagai seseorang luar biasa dari keluarga yang luar biasa. Dilangit malam lain Dita masih terjaga dengan secangkir kopi dibalkon rumahnya. Dari



tempat itu ia dapati beberapa anak laki-laki sedang bermain bola basket dilapangan dekat rumahnya. Pikirannya masih terganggu dengan hasil penayangan drama yang baru Laura bintangi. Apakah ini akan sukses atau sebaliknya? Mereka sudah berusaha menampilkan yang terbaik namun semua ada ditangan penonton nanti malam.



Chapter VII - Bagian Pertama Quote:



Kiss.able



M



inggu pagi yang menyenangkan. Namun Dita tidak sedang berada dirumah. Ia



bersama Ivana dan Laura sedang jalan-jalan dipusat perbelanjaan. Pengambilan gambar akan dimulai sore nanti. Karena itu mereka bertiga dapat bebas bepergian untuk refreshing setelah seminggu ini mengalami hal yang berat. Ketiganya sangat tegang menghadapi tanggapan pemirsa setelah nanti malam drama Love Paradise ditayangkan perdana dengan tokoh baru. “Cocok gak?” Laura memakai kumis palsu. “Hahaha” Ivana dan Dita tertawa. Dita mengambil topi baret dan sebuah syal berwarna senada, biru tua. Ia mengambil



sebuah kumis palsu ditumpukan kumis yang Laura baru saja coba. Lalu ia mengambil sebuah kacamata biru gelap. Ia memakai semua aksesoris itu dan berdiri didepan kaca. “Wah? Ada detektif nyasar nih” tegur Ivana. “Kalau aku bagaimana?” Laura mengenakan bandana yang ditambahkan rambut palsu serta scraft pink dilehernya. Ia juga segera mengambil kacamata berlensa merah muda. Kini ia menyeret Dita berdiri disampingnya menghadap Ivana. Keduanya bergaya seolah memegang sepucuk pistol. “Mr & Mrs. Smith!” tebak Ivana. Kemudian keduanya berganti gaya lagi. Kali ini Laura mengambil selendang kecil berwarna merah muda berkilauan itu. Ia merentangkan tangan dan Dita memeluknya dari belakang. Ivana tertawa melihat tingkah kedua gadis muda didepannya. Tak hanya itu, penjaga toko juga mengulum senyum. Beberapa pengunjung yang mengenal Laura mengabadikan aksi mereka dengan kamera ponsel. “Ayo, Mbak Ivana juga ikutan!” Laura menarik lengan Ivana mendekati rak aksesoris. Kini ketiganya mengenakan kumis, topi baret, syal, kacamata dan berdiri dengan kuda-kuda bidadari menyerang difilm Carlie’s Angel. Ivana tak tahan menahan tawa. Setelah beberapa orang dengan berani mengabadikan photo ketiganya Ivana terbahak-bahak sendiri. Ia tak habis pikir dengan kedua gadis muda ini. Otak mereka sepertinya sudah rusak. Sudah lama rasanya Ivana tidak tertawa selepas ini. Ia benar tertawa hingga sakit perut. Ini mengingatkannya ketika seumuran Laura dan Dita dulu. Melakukan hal-hal gila yang menyenangkan. Tidak hanya membuat diri sendiri tertawa juga orang lain. Juga mengingatkan bahwa ia sudah tidak muda lagi untuk melakukan kegilaan yang sama. Gila adalah kata yang tepat untuk Koo. Ia sibuk marah-marah dikantor. Adelia keluar dari ruangan bertuliskan Koo Yitjin An’s Room. Ia mengambil secangkir kopi dipantry. Ia bisa gila dibuatnya. Ia bahkan tidak mengerti arah dari amarah Koo. Laki-laki itu tidak sedang ingin diganggu oleh pemotretan atau pada hal semacamnya. Ia tengah kebingungan tentang hadiah yang ia akan berikan pada Niki besok diacara ulang tahun gadis itu. “Cut!” sutradara menghentikan pengambilan gambar. “Oke kita lanjut setelah pemutaran drama ditivi selesai. Harap jangan pergi jauh dari studio terutama pasangan Dr. Josep dan Maryam!” teriak asisten sutradara. Koo dan Laura saling tersenyum. Mereka masih berada diarea pengambilan gambar. Laura segera pergi menuju tempat berkumpulnya kru yang ingin menyaksikan



bagaimana hasilnya drama itu ditelevisi. Koo nampak tak tertarik menonton drama yang ia perankan ditelevisi bersama kru-kru lain. Ia berjalan menuju ruangan rias. “Eh,..” Dita gugup melihat Koo memasuki ruangan rias. Ia baru saja merapikan alat rias untuk Laura. “Bisa tolong cepat keluar dari tempat ini?” Koo menatap Dita dalam. “Eh,..” Dita mengalami missing time yang lama terhadap cinta-cinta yang terpanahkan langsung kematanya. Tidak sengaja Dita justru menjatuhkan kotak riasnya hingga berhamburan dilantai. Dita gugup sekali. Ia tidak tahu harus melakukan apa, ia kehilangan akal. Ia segera menunduk memunguti make-up yang berhamburan. Dengan ceroboh ia justru membenturkan kepala pada meja rias. Keadaan semakin membingungkan untuk Dita. “Rapikan dan tenang!” ucap Koo sambil menaikkan kaki keatas meja rias. Dita terdiam. Perlahan demi perlahan ia memunguti dan meletakkan alat make-up kedalam kotaknya. Koo segera mengacuhkan Dita. Laki-laki itu memejamkan mata. Dita mulai membaik. Ia hanya tidak tahu bagaiamana bersikap didepan Koo yang melihatnya. Ia hanya grogi saat berada dekat dan berdua saja seperti ini. Setelah selesai merapikannya Dita pergi bersama kotak itu dengan menutup pintu secara perlahan agar tidak mengganggu Koo. “Setan?” Ivana menanyakan kegugupan Dita yang masih jelas terlihat. “Pria bertaburan cinta dimatanya!” jawab Dita sekenanya. “Itu lebih mengerikan lagi!” sambar Laura sambil menarik Dita kesampingnya. “Halah, keruh kamu Dita!” Ivana mengulek kepala Dita. “Beneran... ada lope-lope berhamburan dari matanya” Dita bersikeras meyakinkan. “Oh... aku tahu. Dia gak nonton bareng?” Laura sudah mengerti siapa yang Dita maksud. “Iya. Dia sepertinya tertidur disana” sambung Dita yang sudah mulai mendapatkan lawan bicara yang tepat. “Siapa dan dimana?” Ivana nampak masih belum menemukan arah dari pembicaraan mereka. “Pria bertaburan cinta dimatanya!!!” kesal Laura. Ia juga bingung mengapa Ivana bisa jadi menejernya, gak nyambung begini. “O...”



“Haduh, keruh nih Mbak Ivana!” Dita membalikkan kata-kata itu. “Juga random!” timpal Laura. Drama mulai ditayangkan. Laura tersenyum melihat namanya sendiri dibagian bintang drama itu. Akting pun dimulai. Para penonton terpana dengan duet akting Laura dan Koo. Seakan kehidupan terhenti hanya untuk menyaksikan Dr. Josep dan Maryam dilayar televisi. Kru-kru komplain karena iklannya dirasa terlalu lama. Padahal waktu tayang iklan sama saja seperti biasanya, mengambil separuh waktu tayang acara utama. “Bagaimana?” asisten sutradara nampak sibuk dengan ponselnya. “Apa? Rating Love Paradise melonjak naik! 50% dari sebelumnya” wajah asisten sutradara riang gembira. Ia tak dapat membendung kebahagiaannya. Ia berteriak dan memeluk bapak tua si sutradara yang bagi Ivana sangat menjengkelkan sekali itu. Laura juga senang sekali mendengarnya. Ia hanya seorang aktris baru yang menapaki karirnya dari nol. Ia tidak akan melupakan Ivana dan Dita yang bersedia mendampingi jalan kesuksesannya. “We are friends forever?” tanya Laura memandangi Ivana dan Dita. “For... ever...” sambut keduanya. Bu Parish datang ke lokasi syuting bersama Tante Liana. Mereka pun menyambutnya penuh hormat. Bu Parish berdiri ditengah-tengah kru dan tersenyum kemudian. Pertanda baik yang sudah dapat dipastikan. “Malam ini syuting sampai disini saja. Saya akan mentraktir semuanya minum-minum sedikit untuk melepas lelah. Sebentar saja, bolehkah?” Bu Paris langsung meminta ijin pada sutradara. Bapak tua itu tidak mungkin menolak. Ia diminta langsung oleh pimpinan Sunrise.N. Ia hanya menganggukkan kepala. Maka jadilah malam itu syuting dibatalkan. Ada pesta perayaan ternyata yang telah disiapkan disebuah klub malam. Koo dan Laura disandingkan bersama sebagai pasangan paling mesra didrama itu. Dita hanya duduk dimeja bar memandangi dari kejauhan. “Pak ada minuman yang tidak memabukkan?” tanya Dita melihat-lihat barisan botol bir didepannya. Bartender bingung. Dibelakangannya terjejer rapi botol-botol minuman beralkohol. Mungkin Dita sudah mabuk saat menanyakan hal itu padanya. Ia melihat seseorang disampingnya meneguk minuman berwarna kuning seperti minuman penambah stamina. “Yang seperti itu saja!” tunjuknya.



Lama ia memandangi minuman itu. Ia mungkin tak berniat menyentuhnya. Ia melihat Ivana tengah duduk dimeja bersama Bu Parish dan Tante Liana serta sutradara juga menejer lainnya. Ia menarik nafas dalam. Ditempat ini ia tidak mengenal siapa pun dengan baik. “Jangan diminum kalau tidak ingin terbangun ditempat yang salah!” Dita terkejut. Disampingnya laki-laki itu duduk. Dita tak berani menatap matanya. Banyak cinta berhamburan disana. Ada apa dengan mata sipit Koo Yitjin An ini? Mengapa begitu menyihir? Dita tercenung. Ia membatu. “Kamu asistennya Laura kan?” Koo sedang bertanya pada Dita. “Hah?” Dita tak menyangka akan diajak bicara oleh Koo. “Iya atau Tidak?” Koo menegaskan lagi. “Eh, iya saya asistennya Laura. Ada apa?” Dita selesai melamunkan wajah Koo. “Emmm... kamu tahu gak apa yang diinginkan seorang gadis ketika ulang tahun, bukan sebuah dress, bukan sebuah tiket liburan atau semacamnya?” tanya Koo sedikit berbisik. “Apa ya?” Dita seolah berpikir keras untuk menemukan jawabannya. “Aha... bagaimana kalau cari tahu di film romantis saja?” usul Dita. “Film romantis? Film apa?” tanya Koo, bukankah ia sudah melakukan hal itu dan masih belum menemukan jawabannya. “Judulnya apa yah... aku lupa. Tapi ada kata-kata yang ku ingat dari film itu. Seperti ini: ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata...” “Tapi dengan ciuman!” sambung Koo. “Iya. Film itu, mas tahu juga?” Dita merasa menemukan lawan bicara yang searah. “Ha? Film porno itu? Berapa kali kamu menontonnya?” Koo terkejut bahwa Dita menonton film yang sama. “Ngak kok. Itu gak porno...” Dita berkilah. ... continue Chapter VII - Bagian Kedua



Chapter VII - Bagian Kedua Quote:



sambungan.... “Gak porno dari mananya? Jelas-jelas melakukan ciuman selama itu dibilang tidak porno” Koo berkeras karena semalam ia baru saja menonton film itu sampai adegannya terbawa ke mimpi. “Kan... udah dewasa.” Timpal Dita malu. “Kamu yakin sudah dewasa?” Koo mendekati wajah Dita. Kaku. Dita tak tahu harus melakukan apa. Koo benar begitu dekat dengannya. Tangan Koo menjauhkan tangan Dita dari gelas birnya yang sejak tadi ia hanya pegang saja. Dita perlahan menutup mata dan memasang bibir yang ingin dikecup manis. “Aku saja yang minum birnya. Kamu puasa saja yah, anak kecil!” ucap Koo kemudian. Tentu saja Dita malu sekali. Ia memukul-mukul kepalanya. Bisa-bisanya ia berharap Koo mendaratkan bibir manis itu dibibirnya. Rasanya ia ingin pergi saja meninggalkan tempat itu. Ia serba salah menghadapi Koo. “Sudahlah. Makanya jangan terlalu banyak nonton film dewasa seperti itu. Kamu masih anak kecil!” Koo menegurnya.



“Tentang hadiah itu, kalau kamu punya usul lain. Tolong beri tahu aku!” Koo beranjak dari kursinya. Ia dengan sadar sudah membuat Dita berharap sesuatu. Ia tidak ingin menambah kekacauan dihidupnya. Cukup dengan memikirkan hadiah untuk Niki saja ia sudah bisa sepusing ini apalagi sampai Niki tahu ia menggoda wanita lain. Ia bisa digorok dengan pisau dapur oleh Niki. Semalaman Dita menonton kumpulan dvdnya. Beberapa judul film tergeletak dihadapannya: Ada Apa Dengan Cinta, cin(T)a, Eiffel... I’m In Love, My Girl And I, The Classic, Beauty 200 Pounds, bahkan film-film pendek yang ia tonton secara online di YouTube[.]com. Ia terus memutar ulang film mini dari @LVCBV dan @Meliavita yang berjudul Sehari Saja. Tissue sudah berhamburan disisi tempat tidurnya. Hingga akhirnya ia yang ditonton oleh laptopnya sendiri. Dita tertidur pulas bersama angannya tentang kencan pertama.



Chapter VIII - Bagian Pertama Quote:



(Aku) Tak Bisa Memiliki



F



ajar menyingsing menyilaukan mata Koo. Ia terjatuh dari sofa saat Adelia



membuka jendela dan membiarkan cahaya matahari masuk. Jelas sekali semalam ia tidak tidur. Setelah pulang dari pesta kecil diklub ia tak langsung pulang ke apartemennya. Ia menemui kekasihnya dan pergi berduaan ditepi pantai merayakan ulang tahun Niki berdua saja dengan sepotong cake lengkap sebuah lilin diatasnya. “I love you...u...” Adelia mengucapkannya berayun. “Jangan memulai! Aku sedang mengantuk! Tutup saja tirainya!” pinta Koo kembali menempatkan tubuhnya pada posisi yang nyaman. “Setidaknya kamu mandi dulu!” usul Adelia. “Haruskah?” Koo nampak marah karena tidurnya diganggu. “Apa kamu tidak malu?” ketus Adelia. “Tidak ada wartawan yang dapat masuk ke gedung ini! Bukan stasiun televisi!” Koo kembali memejamkan matanya. “Entah apa yang dilihat gadis-gadis diluar sana. Mereka mau saja pada aktor yang malas mandi ini!” pancing Adelia berikutnya.



“Iya. Aku mandi! Puas?!” Koo menjadi geram. Koo mengambil handuk dan baju ganti yang selalu tersedia dilemari diruangannya. Ia berjalan menuju kamar mandi khusus laki-laki dengan langkah yang gontai. Tempat itu nampak begitu jauh bagi kakinya yang sedang malas melangkah. “Mas...” Dita memanggilnya. Koo merasa heran dipanggil dengan kata ‘Mas’. Ini pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan kata ‘Mas’ bahkan sejak awal bertemu dengannya. Biasanya tidak jauh-jauh dari kata ‘Koko’ sesuai dengan mata sipitnya. “Masnya, semalam aku teringat ingin mengatakan sesuatu” ucap Dita saat sampai disamping Koo yang masih menatapnya dengan keheranan. Lagi-lagi gadis ini memanggilnya dengan ‘Mas’, maksud mu? “Itu yang semalam, mas ingat kan?” Dita mencoba mengingatkannya. Tapi bukan bagian dimana Dita berharap Koo menciumnya. “O...” ia nampak malas menanggapinya saat ini. Dengan seenaknya Koo meletakkan handuk dibahu Dita, juga baju ganti yang masih dihanger dan kantung plastik berisi peralatan mandi. Ia menyuruh Dita berjalan ke arah kamar mandi bersamanya. “Jadi bagaimana kalau membawanya kesuatu tempat yang damai, tenang dan romantis. Seperti kepedesaan, pegunungan, sungai atau tengah lautan?” usul Dita. “Kamu kira dia putri duyung?” Koo membahas bagian terakhir usul dari Dita. “Ya itu kan sesuatu yang langka dan tidak semua orang melakukannya. Menikmati matahari terbenam ditengah lautan berduaan dan hidangan Lobster di candle light dinner, romantis!” Dita sudah membayangkan ia dan Koo yang melakukannya. “Kamu pikir apa? Dia alergi sama udang” “Yah gak ses nih. Padahal udang itu makanan ternikmat yang aku suka” aku Dita semacam curhat colongan. “Ses?” Koo semakin bingung. Ini anak sebenarnya ketemu kamus gila dari mana? Tadi baru saja ia dipanggil dengan ‘Mas’ dan kini hadir lagi kata ‘Ses’. “Iya, ses! Masa gitu aja gak tahu?” Dita meremehkan Koo. “Eits, mau apa kamu buka pintunya?” Koo menahan tangan Dita yang menyentuh gagang pintu kamar mandi.



“Ini?” Dita memamerkan handuk juga pakaian yang ia bawa pada Koo. “Baca!” Koo menunjuk pada tulisan ‘Bathroom for Man’ didepan pintu itu. Dita mundur selangkah. Ia terlalu asik mengobrol sambil jalan bersama Koo. Kali ini ia benar merasa bodoh sekali. Laki-laki itu mengambil semua barang yang ia titipkan pada Dita. Dan menyuruh gadis itu berbalik badan dan pergi dari tempat itu. “Tapi usulmu boleh aku pertimbangkan!” ucap Koo sebelum masuk ke kamar mandi. “Jangan lupa bawa dokter spesialis alergi!!!” balas Dita dari jauh. Kemudian ia pergi dari tempat itu dengan riang gembira seperti mendapatkan teman baru. Ia bahagia sekali bisa berdiri disamping Koo, pria bertaburan cinta dimatanya. Laura dan Ivana menyengir kuda melihat Dita mabuk cinta. Haduh kesambet setan tampan mana lagi ini anak, pikir keduanya. Beberapa menit kemudian... “Permisi, Dita-nya ada?” Koo berdiri didepan pintu ruangan khusus Laura Ciana. Tentu saja Ivana dan Laura terperanjat, “Dita?” Keduanya keceplosan. “Dita bukannya asistennya Laura ya?” Koo meyakinkan bahwa ia tidak salah ruangan. Keduanya menunjuk kearah Koo. Dita tepat berdiri dibelakang laki-laki itu dengan secangkir teh hangat dan menampilkan wajah blo’on yang ia punya. “Oh, terima kasih” ucap Koo sambil menyambar segelas teh ditangan kanan Dita dan langsung menyeruputnya tanpa banyak tanya. “Itu...” Dita tak punya kata-kata untuk mengatakan bahwa teh itu untuk Ivana dan Laura. “Aku pinjam Ditanya dulu sebentar saja” Koo langsung menyeret Dita keruangannya yang tidak jauh dari ruangan Laura. Ivana dan Laura tercengang membatu. Benarkah? Benarkah yang baru saja itu adalah aktor tampan pujaan gadis-gadis yang bernama Koo Yitjin An? Keduanya meneguk ludah dan menarik nafas dalam-dalam. Masih terheran-heran. “Jadi ini rencanamu?” Koo mengamati barang yang baru saja Dita beli. Sepasang kumis, sepasang syal, sepasang topi baret, sepasang kacamata dan sepasang sarung tangan diatas meja. “Ini penyamarannya. Bisa memakainya?” tanya Dita meragukan Koo.



“Begini?” Koo sudah lengkap dengan atribut yang Dita beli. “Yupz... cocok sekali. Aku yakin tidak akan ada yang mengenali” “Aku janji akan pulang sebelum syuting dimulai. Katakan itu pada Adelia, handphone ku tinggal saja” ucapnya sambil meletakkan handphone diatas meja. Syal itu menutupi hingga hidung Koo. Ia segera berjalan keluar dengan menyelinap dan mengkelabui Adelia yang sedang duduk dilobby. Ia pulang ke apartemen dengan sebuah taksi. Mengambil kunci mobil VW kodok kesayangannya dan meluncur ke tempat latihan Niki. Setelah memakaikan gadis itu atribut penyamaran, mereka berdua menyelinap kabur bersama. Siang itu tidak seperti siang yang biasanya. Matahari tidak seterik biasanya bersinar. Awan-awan putih bergerak lambat menutupi matahari. Angin-angin membelai hamparan ilalang. Air sungai berbisik dibebatuan. Dan samar-samar terdengar sebuah melodi yang indah terlantun. Sebuah lagu yang dinyanyikan seorang gadis berambut hitam lurus dari tepi sungai itu. Suara itu terus mengalun indah. Seakan ia berada diatas sebuah panggung dan ribuan penonton menyaksikannya. Lagu ini begitu ia resapi. Ekspresinya seakan-akan ia sungguh meminta seseorang untuk memberi tahunya tentang arti sebuah kata cinta. Mariah Carey – I Want To Know What Love Is “Niki...!” Seseorang memanggilnya dari belakang. Ia tetap tidak memperdulikan orang itu. Ia tetap bernyanyi. Menikmati pemandangan alam yang alami ini. “Niki, kita sudah lama berada ditempat ini” laki-laki itu memperingatkannya lagi. Kemudian gadis itu berhenti menyanyi dan tertunduk. Dengan segera laki-laki bermata sipit itu menghampirinya. Merangkul pundaknya. Dan menyandarkan kepala Niki dipundaknya. “Kita tidak bisa sebiasa mungkin Niki” ucapnya kemudian. “Iya aku tahu” jawab Niki perlahan. “Ini jalan yang kita pilih. Membuat orang lain selalu ingin tahu apa yang kita lakukan” “Iya.. Aku tahu” jawab Niki sehelaan nafasnya. “Jadi kita harus lebih protective terhadap diri kita sendiri” “Iya... Aku... Tahu...” kali ini Niki nampak kesal.



Ia melepas rangkulan itu dan berjalan menuju sebuah mobil VW kodok berwarna cream. Ia jelas tidak ingin berdebat lagi dengan Koo yang sejak sejam lalu memintanya masuk kedalam mobil. Ia tahu alasannya. Ia sadari ia pun salah. Tapi... semua kebebasan ini adalah haknya juga. Bukankah begitu? Bukankah ia juga adalah seorang warga negara yang bebas? Niki merengut didalam mobil. Koo tidak sama sekali beranjak dari tepi sungai. Apakah gemericik air diantara bebatuan itu menghipnotisnya? Atau ia baru saja menemukan sesuatu yang hilang selama ini. Kebebasannya. Kebebasan yang sudah menjadi hak tiap mahluk hidup dimuka bumi ini. Ia tak berpikir bahwa hal ini akan ia dapatkan. Terlebih saat ini. “Niki... kita pulang satu jam lagi!” Entah apakah ini balas dendam atau semacamnya. Koo melepaskan semua pandangannya pada alam yang menghijau itu. Suara-suara indah gemericik air masih terdengar. Koo semakin tenggelam dalam lamunannya. Perlahan ia menutup mata dan merentangkan tangan. Direngkuhnya isi dunia yang begitu damai ini. “Aku ingin pulang! Titik!” Niki mengamuk didalam mobil. “Aku ingin kita pulang!” Teriaknya berulang. ... continue Chapter VIII - Bagian Kedua



Chapter VIII - Bagian Kedua Quote:



... sambungan 15 menit sudah Koo tak merespon perkataan Niki. Kemudian ia berbalik dan menancap gas dalam-dalam keluar dari jalur yang berbatu memasuki jalur bebas hambatan yang sangat sepi. Ia tersenyum pada Niki. Menghilangkan matanya yang segaris itu. Sebuah lesung pipi muncul dikedua sisi wajahnya. “Terima kasih...” Ucap Niki terputus. “Terima kasih atas hadiah ulang tahunnya.” Ulang Niki kemudian. Lihat saja dijok belakang VW kodok itu. Banyak rangkaian bunga mawar bertumpuk. Terlebih lagi dengan sebuah kalung yang kini ia kenakan. Terselip di dress mawar yang ia padukan dengan sebuah scraf merah muda. Ia meraihnya. Liontin itu adalah 2 huruf yaitu huruf ‘N’ yang bergantung pada huruf ‘K’. Niki dan Koo. Inisial mereka berdua. Terima kasih juga karena Koo membiarkannya menikmati kebebasan yang lama ia tak dapatkan. Ini adalah hal yang tak tergantikan dengan dress manapun yang pernah Koo berikan untuknya, juga tiket liburan kemana pun yang Koo tawarkan. Ia menatap Koo dalam diperjalanan pulang itu. Sementara itu di Sunrise.N, Adelia mengamuk. Ia mencerca habis-habisan Dita. Juga menyindir bahwa Ivana dan Dita sama saja. Sama-sama menjerumuskan orang lain dan tidak becus. Laura hanya dapat menggigit bibirnya. Tante Liana tak mampu mendiamkan Adelia, ia tak sepenuhnya salah juga tidak sepenuhnya benar. Ini sebagai pelajaran bahwa tidak ada yang boleh campur tangan dalam meloloskan artis manapun apalagi tanpa membawa alat komunikasi. “Ada apa ini?” Koo memasuki ruang tamu di HRD. Laura menghampirinya. Melayangkan tamparan ke wajah Koo secara tiba-tiba.



“Ini untuk menghapus kesialan di wajahmu!” Laura segera pergi menuntun Dita yang tertunduk tanpa ekspresi. Koo semakin tidak mengerti. Sebenarnya apa yang telah terjadi. Dari wajahnya tergambarkan tanda tanya yang besar yang ia layangkan pada semua orang yang tengah berkumpul ditempat itu. Namun mereka segera masuk kembali ke ruangan masing-masing meninggalkan Tante Liana, Adelia, Ivana dan Koo diruangan itu. “Kalian ikut keruangan saya!” Tante Liana berjalan menuju ruangannya diujung sana. Ivana tidak memberikan ekspresi apapun, Adelia memusuti lengan Koo seolah menanyakan telah terjadi apa saja diluar sana selama ia pergi.



Chapter IX - Bagian Pertama Quote:



Sorry, Sorry



“K



alau kamu merasa tidak enak badan ya sudah aku dan Ivana ijinkan kok untuk



libur saja hari ini” Tawar Laura pagi itu diruang rias studio. Ia prihatin pada Dita yang kemarin disudutkan habis-habisan oleh Adelia. Lesu, Dita terduduk kemudian. Ia mengelap peluh dikeningnya. Rambutnya kucel, matanya sembab dan pipinya cekung. Ia mengalami depresi hebat semalam. “Aku tahu kamu pasti mau bilang kalau orang tuamu saja tidak pernah melakukan hal itu!” tebak Laura. “Sudah jangan dimasukkan dalam hati, Mbak Ivana juga sudah sering diperlakukan seperti itu” Ivana mengelusi rambut Dita. “Kami tidak sedikit pun menyalahkan kamu Dita, tidak” Laura menyemangatinya. ‘Brak!’ pintu dibuka paksa. “Laura, pengambilan gambar dimulai” seorang kru menghampirinya. Ia dan Ivana meninggalkan ruang rias menuju studio. Rupanya asisten sutradara sudah emosi berat terlebih kemarin batal syuting karena masalah internal Sunrise.N. Adelia tersenyum masam pada Laura. “Kamu pikir kamu princess-nya” tegur Adelia pada Laura. “Kalau belum puas masih bisa dilanjutkan setelah ini!” tantang Laura. Ia terus berlalu dihadapan Adelia dan menghampiri Koo distudio. Ia menatap tajam pada laki-laki itu. “Camera Rolling!”



Dan peran pun dimulai, “Kamu bohong! Aku gak mau terima. Anastasya belum mati! Belum mati...” Laura sekali lagi memukul wajah Koo dengan sungguh-sungguh. Kemudian terduduk lemas dan menangis seolah tidak menerima bahwa Anastasya saudara kembarannya telah mati. “Aku benar melihatnya. Seseorang merekam kejadian itu didanau” Koo nampak tertunduk merasa bersalah. “Gak! Kamu bohong! Katakan bahwa itu bohong! Dokter... katakan bahwa itu bohong” Maryam mencengkram celana Dr. Josep dan memukul-mukul kaki pria itu. “Tidak Maryam, kamu harus terima kenyataan itu. Bagaimana pun akhirnya akan tetap sama” “Tidak...” Maryam menatap wajah Dr. Josep yang menunduk. Ia kehilangan asa. Cengkramannya perlahan terlepas kelantai. Ia tak punya kata-kata lagi untuk diucapkan. “Cut!” sutradara berteriak. Mengakhiri peran emosi itu. “Tamparan kali ini peringatan!” bisik Laura pada Koo. Laki-laki itu memegang wajahnya yang terasa sakit. Adelia menghampiri dan mengelus pipi Koo. “Kamu gak apa kan?” tanya Adelia prihatin. “Gak apa” Koo menepikan tangan Adelia dari wajahnya. “Biar aku balas dia!” gumam Adelia. “Jangan!” Koo menahan tangan Adelia. “Tiap yang kamu lakukan akan berbalik padaku, sebaiknya jaga sikap dan emosimu! Tidak ingatkah pada ceramah Bu Liana kemarin? Masih kurangkah membuat orang lain menangis?” Koo membentak Adelia. Mereka berdua jadi pusat perhatian disana. Bahkan Laura dan Ivana berhenti melangkah hanya untuk melihat Adelia dimarahi oleh artis bawahannya sendiri. “Kamu pikir enak dimarahi didepan umum!” celoteh Ivana. Tidak ingin menambah keributan, Laura menarik tangan Ivana meninggalkan studio. Ia perlu merapikan riasan wajah dan rambutnya yang acak-acakan. Di sana Dita dengan wajah yang lebih segar menunggunya. Ivana bahkan terkejut melihat perubahan di mimik wajah gadis itu. Ia menduga Dita mengenakan topeng.



Koo melempar minuman gelas ke mobilnya. Ia sedang kesal setengah mati. Ia bingung apa yang sedang ia lakukan saat ini. Ia belum pernah merasakan hal seperti ini. Pertama kali dihidupnya membuat masalah yang sungguh rumit. Ia ingin berteriak namun tertahan. Adelia duduk dijok depan sedang kesal pada Koo. Mereka berdua saling diam satu sama lain. Supir kebingungan diantara mereka. “Kamu pikir aku ini siapa Koo?” Adelia mulai membuka suara. “Kamu hanya menejer disini! Sudah ku katakan berkali-kali! Muak aku mengingatkanmu jangan memasuki area pribadiku!” Koo ketus. “Aku ini yang bertanggung jawab terhadapmu, aku memegang mandat dari orang tuamu. Aku perwakilan mereka!” “Diamlah! Kita tidak sepaham kali ini. Papah mengusirku dari rumah karena aku memilih menjadi artis, kalau tidak begitu bagaimana kamu dapatkan semua yang kamu miliki hari ini? Berilah aku ruang!” “Hanya ruang kecil untuk merasakan kebebasan” sambung Koo kemudian. Keduanya terdiam lagi. Benar sekali perkataan Koo, ia memang tidak mendapat ijin dari papah untuk terjun kedunia hiburan seperti ini. Papah telah mencanangkan Koo sebagai penerus restoran cina dan toko obat milik mereka. Sementara mamah tak begitu ambil pusing terhadap pekerjaan yang Koo pilih. Mamah lebih bersikap terbuka pada keputusan anak sulungnya itu. Sebagai konsekuensinya, Koo tinggal diapartemen. Papah tidak ingin mendapat gunjingan tetangga bilamana putra sulungnya yang belum menikah ini pulang pagi. Begitu pula dengan Adelia. Mamah telah menyerahkan Koo dengan berat hati. Mamah memilih Adelia sesuai saran dari Bu Parish kenalan mamah. Bu Parish yang mempromosikan Adelia karena dirasa mampu menjaga putra sahabatnya itu. Adelia memang tegas pada apa pun, ia selalu menepati apa yang dipercayakan kepadanya. Terlebih mamah adalah sahabat pimpinannya di Sunrise.N. “Sayang, aku tahu harimu sulit. Bersabar yah” Niki menghiburnya melalui telpon. “Aku... tidak tahu harus apa sayang” Koo mengeluhkannya pada Niki. “Do you love me, honey?” tanya Niki kemudian. “Yess, I do. Honey.” Balas Koo memanja. “Tidurlah, harimu akan bahagia. Aku sudah bicara pada tuhan, katanya harimu esok akan baik-baik saja” bujuk Niki. Ia melihat jarum jam didinding dikamarnya. Sudah menunjukkan jam 2 pagi mereka masih belum tidur dan saling menggenggam handphone masing-masing. “Benarkah?” Koo nampak tak percaya. “Tentu saja. Hitunglah domba-domba ditaman kita sampai sayang tertidur” saran Niki



lagi. “Aku mengganggu sayang yah? Sayang gak suka aku telpon yah?” Koo nampak melankolis. “Bukan sayang, aku hanya gak ingin kamu sakit. Bukankah besok masih akan ada syuting?” Niki mengelak. Padahal ia sudah menguap sejak tadi ditempat tidurnya. “Tidurlah sayang. Nanti kamu juga sakit. Selamat malam sayang, love you” Koo mengakhiri pembicaraan. “Selamat malam sayang, love you too” Niki buru-buru menekan tombol merah mematikan power di handphonenya dan ia segera terlelap. Ia tak ingin siapapun mengganggunya tidur. Di ruangan itu Koo masih terjaga dengan mata 100% bersinar terang. Ia tak mampu memejamkan mata bagaimana pun caranya. Ia merasa bersalah pada Adelia, pada Dita juga pada dirinya sendiri yang tak mampu menjadi yang terbaik. Pilihannya ternyata membuat orang lain menderita. Selama ini ia pikir ia tahu apa yang terbaik. “Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata... tapi dengan ciuman” ia memutar film itu lagi kali ini. Dicover dvd itu tertuliskan ‘I Kiss You’. Semacam pernah mendengarnya entah dimana. Koo semakin pusing mengapa ia memilih film ini untuk ia tonton kedua kalinya. Ia hanya teringat seseorang pernah mengucapkan kata-kata itu. Kemudian ia terlihat sibuk mencari sesuatu diapartemennya. Ia mengobrak abrik ruang pakaian, dapur, ruang tamu, kamar mandi juga kamarnya sendiri. Ia tak menemukan apa yang ia cari. Segera ia berlari mengambil kunci mobil antiknya. VW kodok berwarna silver yang ia koleksi sebagai mobil pertama yang ia beli dengan usahanya sendiri. Didalam sana ia menemukan tas berisi kumis palsu, syal, topi baret, kacamata dan sarung tangan. Ia ingat lupa berterima kasih juga lupa menggantikan uang Dita untuk semuanya ini. Ia ingat ketika menyuruh gadis itu membelikannya alat penyamaran, Dita langsung pergi tanpa meminta uang padanya. “Apa yang dilakukan gadis itu?” Koo tanpa sadar merebahkan kepalanya diroda kemudi besar milik VW kodoknya. ... continue Chapter IX - Bagian Kedua



Chapter IX - Bagian Kedua Quote: ... sambungan. Jauh ia menyusuri pikirannya. Menjawab sendiri pertanyaan demi pertanyaan yang ia pikirkan. Menghitung domba-domba yang melintasi pagar dikhayalannya. Dan akhirnya ia tertidur disana memeluk roda kemudi. “Namaku, Dita... Aku hanya seorang gadis biasa yang tinggal dan bergaul dengan orangorang biasa. Aku seperti secangkir susu dimejamu, yang hangat dan sangat nikmat. Orang-orang terkadang mengabaikan kehadiranku. Yah, karena aku hanya gadis biasa seperti gadis-gadis lainnya yang tertawa ketika ada yang lucu dan menangis disaat merasa sedih. Aku... Dita. Kamu siapa?” tanya gadis dihadapan Koo. “Namaku Koo Yitjin An... Aku pria terkenal. Aku seorang artis. Teman-temanku berasal dari kalangan artis. Bahkan aku tak tahu apakah mereka itu teman-temanku? Mereka nampak manis didepanku. Bila hanya berada didepanku. Aku selalu cemas bila mereka mengharapkan aku terjatuh. Aku tak dapat mempercayai siapapun, tidak ada yang sungguh-sungguh dihidupku. Semua seperti sandiwara berjalan. Dan anehnya kenapa aku terus melakukannya. Kamu tahu kenapa?” tanya Koo pada gadis itu. “Kau kehilangan Oreomu, hidup dinikmati dengan 3 tahapan. Diputar, dijilat dan dicelupi...” suara wanita itu kemudian berubah tak karuan. Akhirnya Koo terbangun. Kepalanya membentur dashboard mobil. Dan semalam rupanya ia tidak sengaja menekan tombol power diradio mobil. Yang masuk ke dalam mimpinya ternyata suara iklan diradio. Segera ia matikan radio itu dan dilihatnya sudah jam berapakah ini. “Koo, bangunlah! Aku minta maaf atas yang kemarin” Adelia menekan tombol bel dipintu apartemen Koo berulang-ulang. Laki-laki setengah sadar itu berjalan dari arah belakang Adelia dan membuka pintu dengan kartu kunci yang digesekkannya. Kemudian ia menutup pintu tanpa mempersilahkan Adelia masuk.



“Tunggu beberapa menit diluar sana. Latihlah kesabaranmu dari sekarang!” ucap Koo dari alat komunikasi dipintu itu. Adelia mengendus tidak senang. Ia jadi kesal, namun tak ada cara lain lagi. Ia segera bersandar dipintu itu sambil menghitung detak jarum panjang berputar. Didalam sana Koo membuka baju dan bersiap mandi, setelah selesai ia segera masuk keruang pakaian. Ia memilih kemeja untuk hari ini. Sebuah kemeja berwarna soft pink. Dimenit berikutnya ia segera keluar dari apartemen. “Sudah?” tanya Koo tersenyum pada Adelia. “Kau membuatku kesal!” keluh Adelia. “Untunglah aku bukan Laura” Koo mengkodekannya. “Iya, aku janji tidak membuat api lagi” Adelia memamerkan kedua jarinya tuk berkata ‘Janji!’" “Jadwal kita apa hari ini?” “Oh iya.. ada pemotretan, wawancara......” Suara Adelia segera menghilang. Koo kembali bersemangat untuk bekerja lagi. Beginilah Koo yang sebenarnya. Ia seseorang yang aslinya sangat kaku. Ia menjalani semua hari-harinya dengan berperan sebagai seseorang yang memiliki banyak pergaulan, tersenyum pada fansnya juga bersikap ramah sebagai pencitraan. Koo yang asli ialah Koo yang tertutup.



Chapter X Quote:



I Don’t Know Why



L



ebih jauh lagi Dita melihat keluar sana. Laura asik menghapalkan dialog yang



harus ia ucapkan. Ivana tak nampak batang hidungnya diruangan itu. Sebuah note tertempel dilemari. Note ijin dari Ivana karena ia akan datang terlambat. Hari ini ia memiliki urusan pribadi. Ivana memarkirkan mobilnya ditepi jalan. Ia segera keluar dengan kacamata hitam serta mantel yang membuatnya tersamarkan. Ia berjalan menuju sebuah rumah didalam gang yang sempit. Sebuah rumah dengan pintu geser agar menghemat ruang. “Datang lagi...” suara laki-laki menyambutnya saat membuka pintu. “Bukankah selalu begitu?” jawab Ivana. Laki-laki itu duduk dengan semangkuk mie panas didepannya. Ia tidak perlu menawarkan mie itu pada Ivana. Ia tahu Ivana tidak perlu memakan-makanan seperti ini. Tak pantas baginya. Ivana langsung masuk dan memeriksa kotak-kotak penyimpanan ditempat yang laki-laki itu sebut dengan dapur. Ivana miris melihatnya. Melihat dapur juga melihat keadaan laki-laki itu. “Tidak kah ingin kembali bekerja?” tanya Ivana. “Kau tidak lihatkah aku sedang makan?” jawab laki-laki itu. “Kembalilah, dunia sudah melupakan peristiwa itu!” Ivana kini duduk dihadapan lakilaki itu. Tatapan Ivana membuatnya tidak enak makan. Ia segera berpaling dan menghabiskan mie dalam mangkuknya. “Kau tidak mengerti!” ucapnya sambil membersihkan sisa kuah dibibirnya. “Aku mengerti karena itu aku disini, untuk membawamu kembali” Ivana menarik wajah laki-laki itu kehadapannya. “Kembalilah!” bujuk Ivana. “Tidak!” laki-laki itu menolak dan pergi menaruh mangkuknya kedapur.



“Aku tidak datang memberikanmu uang hari ini. Aku sudah tidak perduli kau mau mati atau apapun! Kau harus kembali bila ingin mendapatkan uang. Jadilah dirimu yang dulu... Roman” Ivana memasang kacamatanya, ia jujur tidak mampu melihat tatapan laki-laki itu. Sudah lama waktu berlalu. Ivana menyembunyikan Roman ditempat kumuh ini. Lakilaki itu telah kehilangan segalanya. Wajah tampannya, aktingnya, nama tenarnya juga wanitanya. Semua hancur seketika disaat karirnya mulai memuncak. Ia trauma berada didunia glamor yang memberikan mimpi-mimpi indah itu. Ia sudah patah arang terhadap hidupnya. Semua karena sebuah peristiwa yang diluar kendalinya. Tidak ada angin atau badai pun diluar sana. Adelia memarahi Ivana hingga menjadi pusat perhatian. Wartawan mengelilingi mereka. Adelia menarik rambut Ivana dan mendorong wanita itu hingga terjatuh. Ada amarah dimatanya. Usut punya usut ia sedang terbakar cemburu. Rumor yang beredar bahwa Ivana bermain api cinta dibelakangnya bersama Roman. Ada seseorang yang mengupload photo ke internet. Photo itu tentang Roman dan Ivana yang memasuki kamar hotel dengan keadaan mabuk. Terang saja menyulut api dihati Adelia. Atas peristiwa itu Roman diberhentikan dari Sunrise.N. Kejadian itu merusak citra Sunrise.N. Dan tak pernah ada lagi wartawan yang boleh membawa kamera memasuki gedung itu. Adelia memutuskan Roman. Laki-laki itu bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ivana menyembunyikan Roman ke daerah terpencil dipinggir kota dan menghidupi laki-laki itu dengan uang tabungannya. Ia merasa bertanggung jawab dan merasa bersalah pada peristiwa itu. Harusnya ia tak membawa Roman malam itu ke pesta disebuah klub malam. Ia tidak tahu bahwa laki-laki itu gila dengan minumminuman beralkohol. Namun semuanya itu dulu sudah lama berlalu. Ingatan akan peristiwa itu pun lambat laun akan menghilang. Ia kini menjemput Roman untuk kembali ke dunia glamor itu lagi. Ia merasa menemukan saat yang tepat dimana Laura sedang berjaya. Ia telah mengonsultasikan pengembalian karir Roman pada Bu Liana. Ada jaminan Roman akan kembali berjaya. “Aku meninggalkan uang ini hanya untuk kamu pergi potong rambut juga rapikan wajahmu. Datanglah ke Laura Ciana’s Room. Itu adalah tempatmu yang dulu.” Ivana beranjak pergi dan menutup pintu rumah itu. Ia tak berpaling sekali pun tuk melihat Roman yang memperhatikannya pergi. Ia ingin menegaskan bahwa ia tidak akan kembali lagi. Ivana tidak sekedar mengancamnya. Selama ini laki-laki itu memang hidup dari uang yang tiap bulan Ivana berikan. Ya meskipun laki-laki itu bekerja dikedai makanan orang pinggiran yang kumuh. Setidaknya ia memiliki pekerjaan yang dapat membuatnya sibuk dan melupakan masa-masa sulitnya. “Kembalilah...” ucap Ivana berharap. Mobil segera meluncur dibadan jalan. Ia merasa tidak perlu memaksa laki-laki itu. Ia membiarkan Roman menjadi dewasa dengan menentukan pilihannya sendiri. Lama Roman terdiam memandangi beberapa lembar uang itu. Ia kemudian mencari



gulungan kertas posternya. Dulu ia terlihat tampan penuh kilauan. Kini ia nampak dicermin dengan rambut panjang dan wajah yang berantakkan. Hidup yang keras yang ia jalani akhir-akhir ini membuatnya begitu berbeda. Apakah ia merindukan dirinya yang dulu? “Dita!” seru laki-laki itu dari belakang. “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku minta maaf atas kejadian kemarin” Dita masih memandangi laki-laki pemilik suara itu. Laki-laki yang lebih tinggi darinya. Laki-laki yang dimatanya bertaburan cinta. Laki-laki yang... yang membuat Dita kini terbungkam tak berkutik dihadapannya. “Ini” Koo menggenggamkan beberapa tiket konser ditangan Dita yang kaku. “Datanglah!” bisik Koo. Laki-laki itu segera berlalu meninggalkannya dalam kebekuan. Ivana menghampirinya beberapa saat kemudian setelah keluar dari lift. Ia memainkan jarinya didepan mata Dita yang tak melihat satu pun orang lain selain wajah Koo. “Dita???” Ivana mengguncang tubuh Dita dan mengembalikan gadis itu kekehidupan nyata. “Dita ada apa?” tanyanya khawatir. “Tiket konser, dia baru saja mengajakku kencan. Lihat!” Dita riang gembira memamerkan tiket konser ditangannya. Semakin ia jelas melihat tiket konser itu ternyata tidak berbayang dimatanya. Ia benar-benar melihat bahwa ada tiga lembar tiket konser VIP ditangannya. “Itu berarti kencannya bareng aku dan Laura!” Ivana segera menarik dua lembar tiket konser itu dan memberikannya pada Laura. Dita masih terperangah tidak percaya. “Hei... itu tiket konserku!” Ia baru benar-benar sadar bahwa Ivana sudah merebut tiket konser dari tangannya. “Dari mana kamu dapat tiket ini?” selidik Laura keheranan melihat nama ditiket itu. Ia yakin bahwa ia sedang memegang tiket VIP konser penyanyi jazz terkenal yang namanya melambung bahkan diluar negeri. Ia sedang membaca satu per satu huruf ditiket itu. S.A.N.D.H.Y.S.O.N.D.O.R.O. Ia jelas membacanya dengan teliti. Ia segera menyambar tabloid yang tergeletak diatas meja. Ia membaca cover depan tabloid itu.



“Terjual habis dalam waktu 1 jam. Tiket VIP konser SANDHY SONDORO” Ketiganya saling berpandangan. Terjaul habis dalam satu jam? Tiket VIP yang sedang mereka pegang? Tidak mungkin. Laura dan Ivana segera mengintrogasinya. “Siapa?” “Apa?” “Bagaimana?” “Kapan?” “Dimana?” Dita ditodong dengan banyak pertanyaan. Laura dan Ivana begitu penasaran siapa yang memberikan tiket VIP ini pada Dita. Mereka tidak akan melepaskan Dita hiduphidup jika tidak memberitahukan siapa dalang dibalik tiket konser ini. “Sebenarnya itu dari...” Dita ragu untuk mengatakannya. “Dari...???” keduanya menunggu Dita melanjutkan pengakuan. “Koo Yitjin An” “Ah jangan main-main kamu Dita!” Laura tidak percaya. “Benar. Dita tidak berbohong” Ivana mundur dan kembali ke tempat duduknya. Ia nampak tidak tertarik dengan tiket itu. “Bagaimana bisa?” Laura masih penasaran. “Tadi aku menemukan Dita didepan dalam keadaan mematung. Pasti dia baru saja melihat ‘Pria bertaburan cinta dimatanya’” tabak Ivana. “Benarkah?” Laura menanyakan langsung kebenaran cerita Ivana. Dengan polosnya Dita menganggukkan kepala. Laura menghela nafas kemudian. Ia pun mengembalikan tiket itu ke tangan Dita. Ia merasa aroma kesialan pada tiket itu. Ia malas berhubungan lebih jauh dengan laki-laki menyebalkan yang wajahnya penuh kesialan. ‘Sial karena terlalu tampan. Sialnya lagi dia sudah ada yang punya!’ pikir Laura. “Tidakkah ini menarik?” Dita menyodorkan kembali tiket itu pada Laura. “Kau tahu bila ia memberikan tiket ini padamu artinya ia dan Niki pasti akan kesana juga. Pasti akan ada Adelia dan juga Jessica. Itu artinya penghuni neraka sedang berkumpul dan berpesta disana! Mengerti?” “Separah itukah? Ini kan hanya tiket konser?” Dita sangat menyayangkan tiket konser ditangannya itu.



Lama ia memandangi tiga lembar tiket konser berwarna orange itu. Ia masih tidak percaya bahwa Laura dan Ivana menolaknya. Ia seperti sedang memegang buah simalakama. Dimakan mati, dibuang sayang. Begitu bermasalahkah dengan ke empat orang itu? Tidakkah bisa berbaikkan? Dita manyun memikirkan harus ia apakan tiket ini. Dimasukkannya kedalam dompet. “Siapa tahu akan berguna” gumamnya.



Chapter XI - Bagian Kedua Quote:



... sambungan Sore itu juga Dita mengemudikan sepeda motornya menuju lokasi syuting Pak Heru. Ia mempersiapkan mental yang kuat untuk menghadapi bapak sutradara yang satu itu. Ia tahu orang tua itu sangat kejam membunuh karakternya seketika. “Permisi pak...” Dita menyapa Pak Heru ditengah kesibukkannya. “Ada apa lagi? Kamu asistennya Laura kan?” tebak Pak Heru. “Itu, mulai hari ini saya bekerja sebagai menejernya Roman Lagonda. Nama saya Dita dan ini kartu nama saya. Saya mohon bantuannya...” Dita menyelipkan senyum dikartu namanya. Ia nampak bodoh sekali didepan sutradara itu. Pak Heru memperhatikan benar-benar wajah Dita. Ia merasa tidak percaya tentang apa yang baru saja ia dengar. “Kamu... muda sekali untuk jadi seorang menejer, bahkan untuk memenejeri Roman!” ucapnya. “Maaf pak?” Dita tak mengerti. “Tidak apa. Pulanglah dan katakan pada Roman untuk menemui saya sendiri!” ucapnya. Pak Heru segera mengusir Dita dengan kode ditangannya. Dita merasa keheranan. Ia masih belum mengerti apa yang Pak Heru katakan. Siapa sebenarnya Roman itu? Bagaimana ia bisa menjadi seorang menejer untuk orang yang tidak ia kenali. Hidupnya terasa kacau. Ia masih mempertanyakan mengapa ia yang harus mengalami semua ini? “Tadi saat aku menemui Pak Heru, ia bilang agar kamu menemuinya sendiri!” Dita menyampaikan pesan sutradara itu sesampainya diruangan Roman Lagonda’s Room. Tempat kerjanya yang baru. “Ivana yang mengusulkannya?” tanya Roman. “Iya. Aku bahkan mengadu padanya bahwa bekerja seperti ini sangat melelahkan” tambah Dita dengan sedikit curhatan. “Begitulah. Tidak seperti menjadi anak mami. Kamu harus mengumpulkan kepercayaan orang lain dengan dirimu sendiri.” “Ngomong-ngomong kamu sekarang tinggal dimana?” tanya Dita masih menyelidikinya. “Aku belum memiliki tempat tinggal. Mungkin akan menginap untuk sementara diruangan ini” jawab Roman kembali merebahkan badannya.



“Dirumahku ada kamar. Kalau ingin menginap? Namun aku belum tahu jawaban mamah apakah boleh membawa laki-laki kerumah kami” “Mamah kamu?” tebak Roman dengan menjawabnya dalam hati. “Janda. Aku berdua bersaudara dan keduanya adalah anak perempuan.” terang Dita. “Tidak perlu. Aku tidur disini saja” jawab Roman dengan pasti. “Jadi... kapan bertemu dengan Pak Heru?” selidik Dita. “Kapan jadwal syuting Love Paradise?” tanya Roman bersemangat.



Chapter XII - Bagian Pertama Quote:



Malam Biru



P



erubahan datang pada kehidupan Dita. Semua yang berputar mengelilinginya



nampak menarik dan menyapanya seolah Dita mengenal mereka semua. Ia sedang menemani Roman pemotretan. Ini pekerjaan pertama yang Dita peroleh setelah seharian berkeliling mencari orang yang mungkin tertarik dengan apa yang ia tawarkan. Yaitu seorang laki-laki yang pernah menjadi trend dimasa lalu. “Koo Yitjin An-nya mana?” tanya ketua koordinator pemotretan tabloid itu pada salah satu krunya. “Dalam perjalanan pak” jawab kru yang ia tanyai. “Mari silahkan duduk dulu!” Ia segera membawa Roman dan Dita duduk disofa tamu. “Maaf harus menunggu sebentar, aktor yang satunya lagi belum datang.” Ucapnya setelah itu meninggalkan Roman dan Dita. Ada kerinduan ternyata dibenak Roman. Ada cahaya blitz yang bersinar dimatanya. Dahulu ia sering melakukan pemotretan. Namun ia selalu menjadi pihak yang ditunggu, bukan pihak yang menunggu seperti hari ini. Ternyata benar bahwa dunia sudah berubah. Berputar begitu cepat meninggalkan ketenaran itu dimasa lalu. “Maaf kami terlambat” Adelia menyapa masuk ruang pemotretan. “Tidak apa. Silahkan duduk disana. Kami akan menyiapkan kostum” Adelia terdiam melihat Roman duduk ditempat yang ketua koordinator pemotretan tunjukkan. Sementara Koo dan Dita saling sapa melalui senyumnya. Perlahan Adelia menghampiri mereka. “Kamu sedang apa disini?” tegur Koo pada Dita yang duduk disampingnya. Sementara Adelia dan Roman terpisah antara ujung ke ujung sofa. “Ini, Roman akan diphoto untuk pertama kalinya. Bukankah bersama Mas Koo?” jawab Dita masih dengan kata ‘Mas’. “Kamu... oh, jadi Roman yang akan berfoto dengan saya.” Koo tidak jadi protes pada Dita tentang kata ‘Mas’. “Iya. Senang yah bisa bekerja sama” Dita tersenyum pada Koo dan itu membuat Adelia muak. Ia tak suka terhadap Dita sejak menjadi asisten Laura dan Ivana. Kenapa justru Dita yang kini menjadi menejer dari mantan kekasihnya itu? Adelia tidak habis pikir. Namun Adelia akhirnya sedikit melumer. Ia mau saja membantu Dita yang kerepotan



merapikan kostum Roman. Walau bagaimanapun Roman juga masih member Sunrise.N. Ia harus bekerja secara profesional. Mungkin memang ada kemelut diantara keduanya. Untuk saat ini harus ia tanggalkan ego itu. Roman mengenakan kostum serba putih sedangkan Koo mengenakan kostum serba cokelat. Mereka difoto bersama dengan wallpaper putih. Gaya mereka diarahkan saling berbalik belakang tubuh dan menghadap kamera. Juga gaya berhadapan namun saling menunduk. Juga gaya duduk diatas kursi. Dan foto dengan properti mawar merah untuk keduanya. Diakhir pemotretan keduanya diwawancarai untuk artikel majalah. Dengan sabar Adelia dan Dita menunggu mereka selesai. Pengalaman pertama bagi Dita menemani artisnya sendiri. Cukup menegangkan baginya. “Bagaimana? Enak jadi menejer?” tanya Adelia. “Yah... tidak semudah itu rupanya” “Bersabarlah hingga orang-orang mengenalmu” saran Adelia. “Iya, terima kasih. Mohon bantuannya” “Jangan sungkan. Bukankah kita satu menejemen? Dan satu lagi, maaf ya atas yang terjadi kemarin” Adelia menyelipkan sebuah permintamaafan disana. “Sudah. Meskipun tak diucapkan aku sudah memaafkan. Tentang Roman?” ada pertanyaan yang sungkan Dita ucapkan. “Ya aku juga merasa bersalah...” Adelia menunduk memperhatikan laki-laki yang mereka sedang bicarakan. “Jangan sungkan terhadapnya, bukankah kita adalah teman?” Dita memberikan janji jari kelingking persahabatan pada Adelia. Dengan sedikit gengsi Adelia menyambut janji jari kelingking itu. Koo dan Roman tersenyum melihat keduanya akur seperti itu. “Aku sudah tidak muda lagi untuk melakukan janji jari kelingking seperti ini” aku Adelia. “Kenapa orang selalu menilai usia sebagai ukuran pergaulan? Bukankah tua atau pun muda sama saja. Kita berhak menikmati hidup dengan bahagia” “Ya, mungkin aku kurang bahagia belakangan ini” aku Adelia.



Senja menanti di hari yang lain. Niki asik mendengarkan earphonenya. Ia menikmati perjalanan diwaktu macet dengan mendengar lagu-lagu kesukaannya. Ia telah memakai pakaian pesta, top backless dengan tali temali dibagian punggungnya ia



padu padankan dengan sebuah long skirt yang melewati ujung high heelsnya. Balutan nuansa perak menyelimuti tubuh putih Niki. Ia telah bersiap menuju pesta launching album baru sebelum acara konser soprannya beberapa hari lagi. Ketika ia membuka pintu mobil sorotan kamera memburunya. Cahaya blitz tak terelakkan dan membuat gaun yang ia kenakan berkilauan menyilaukan mata. Ia segera diamankan oleh security untuk masuk ke klub yang telah disewa malam ini untuk pesta perayaan. Wajahnya nampak sedikit kecewa karena dihari yang penting ini Koo tak dapat menemaninya. Kemanakah sosok pria itu? Disms yang Niki terima menyatakan bahwa Koo sedang berada dirumah sakit. Ibunya jatuh pingsan, bahkan adiknya yang masih berada di Amerika segera pulang dengan penerbangan internasional terakhir. Dilorong yang terasa sepi. Tidak seperti biasanya. Apakah orang-orang tidak ada yang sakit lagi? Mengapa Koo merasa kesepian hanya pada dirinya. Ayah disampingnya tak menyapa. Lelaki budayawan itu memiliki banyak konflik dengan putra sulungnya ini. Lalu mengapa mereka lantas saling diam ketika orang yang mereka sayangi tengah berada didalam ruang ICU. “Lihat! Dimana gadis yang kamu banggakan itu? Ia tak ada ketika bahkan ibu mu yang mendukungnya sedang sakit seperti ini.” Ayah memecah kesunyian. Koo tentu terbungkam. Ia tak mampu membantahnya. Selain ayah tak setuju dengan pekerjaan yang Koo geluti sekarang ini, beliau juga tidak senang terhadap gadis yang bersama Koo. Ia memandang Niki bukan gadis yang tepat untuk putra sulungnya itu. Bukan hanya tidak memiliki mata yang sipit, gadis itu terlalu manja dan kekanakkanakkan. Juga satu hal yang tidak mampu Niki lakukan sebagai seorang perempuan, sejatinya ia harus mampu bekerja didapur. Bagaimana bisa ia tidak mampu memberi makan suaminya dengan masakannya sendiri? Apakah ia seorang istri atau anak-anak? Derap langkah memburu ruang ICU. Sepatu laki-laki itu menapaki koridor dengan tergesa-gesa. Ada nafas yang mengambang ke udara dan tertahan dilangit-langit koridor. “Papi... Koko...” laki-laki itu melebur dalam pelukkan keduanya. Dia adalah Lee Yuan An, adik satu-satunya yang Koo miliki. Sudah lama ia tak pulang ke Indonesia. Bahkan ketika liburan tahun baru. Dan kini ibu terbaring didalam sana. Bagaimana ia tak khawatir setengah mati. Tak ada apa pun yang lebih penting dari menjenguk ibunya. ‘Niki jangan terlalu banyak minum! I Love You’ Niki langsung menghapus pesan itu. Ia sedang marah pada pengirim pesan itu. Ia berharap sebentar saja Koo datang menemaninya. Ini acara yang sangat penting untuknya. Dimeja itu sudah beberapa botol berguling. Niki pun sudah kehilangan kendali. Ia berjalan tanpa arah meninggalkan meja itu. Tidak menunggu lama ia segera terjatuh.



Di waktu berikutnya suara jam weker berbunyi nyaring menyuruh seseorang mematikan dengan cepat. Namun tidak ada jam itu diruang tamu yang begitu klasik minimalis. Juga tidak ada dimeja pantry. Ruang santai nampak begitu kosong. Disebuah kamar yang gordennya bahkan belum dibuka sepagi ini masih ada seorang perempuan yang tertidur pulas diatas ranjang. Setelah merasa cukup terganggu akhirnya tangan kirinya meraih jam yang berbunyi itu. Dalam hitungan menit jam weker itu berhenti berbunyi dengan baterai yang melompat dari tempatnya. Lama ia masih asik melanjutkan tidurnya. Namun samarsamar ia sadar bahwa ia tidak melihat renda-renda cantik bergelayut diranjangnya. Nuansa biru memenuhi ruang tidur itu. Ia jelas sadar bahwa ia tidak sedang tidur dikamarnya yang cantik penuh nuansa princess. Ia segera bangun dan menutup mulutnya. Ia tidak percaya ia sedang tidak berada dirumahnya saat ini. Lalu ia berada ditempat siapa? Ia kemudian berteriak keras karena menemukan tubuhnya tidak terbalut pakaian sebenang pun. Ia hanya tidur dengan bedcover hangat berwarna biru itu. Penglihatannya penuh dengan air mata. Ia harap seseorang mau menjelaskan apa yang terjadi semalam. Ia hanya mengingat bahwa ia menghapus pesan dari Koo karena ia kesal sekali kekasihnya itu tak memihaknya. Ia meminum banyak alkohol yang membuatnya mabuk hingga akhirnya ia tak sadarkan diri untuk mengingat apa yang terjadi setelah itu. ... continue Chapter XII - Bagian Kedua



Chapter XII - Bagian Kedua Quote:



... sambungan Seseorang keluar dari kamar mandi dengan kimono handuk. Ia masuk sambil mengeringkan rambutnya. Ia mengabaikan tangisan Niki. Ia mengambilkan Niki gaun silver yang gadis itu pakai semalam dibawah ranjang. Melemparkan gaun itu ke wajah



Niki. Jelas Niki mengenal laki-laki itu. Foto besar laki-laki itu terpajang disamping pintu kamar lengkap dengan tanda tangan juga namanya: Maulana J. Sihombing. Lengkap sudah ketakutan Niki. Ia berada dikamar seorang penyanyi pop terkenal yang berwajah tampan itu. Ia tak pernah ingin menerima kenyataan ini bahwa ia telah menghabiskan malam bersama laki-laki yang tidak ia harapkan. Apa yang telah terjadi? Sejauh apa ia dan laki-laki itu semalam? Berbohonglah! Harap Niki cemas. “Jika kau hamil, beritahu saja aku!” ucap Lana sambil mengenakan pakaian dihadapan Niki. “Kau telah memperkosaku! Kau penjahat... kau bajingan!” Niki melemparkan gaunnya pada Lana. “Hei, kau sadar apa yang kau lakukan? Aku bisa saja tidak akan bertanggung jawab atas bayi yang kau kandung! Berbaik hatilah aku tidak melakukan hal yang lebih” Lana tidak terima atas perlakuan Niki. Ia merasa mereka melakukan hal itu bukan atas dasar paksaan dari salah satu pihak. Tidak ada penolakkan dari Niki saat mereka melakukannya. “Aku tidak memaksamu untuk menikah denganku! Kamu bisa menikah dengan Koo. Aku tidak melarangmu” sambung Lana melihat kekacauan dimata Niki. “Bodoh!” Niki kesal dan serba salah. Pagi itu juga Niki pulang dengan kemeja dan celana panjang milik Lana. Lana telah memanggil taksi untuk menunggunya didepan lift parkir apartemen. Mata sembabnya ia tutupi dengan kacamata. Seharian ia mengurung diri dikamar tak mau menemui ayah, ibu dan juga menejernya yang pagi itu datang menjemput. “Pergi...!!!” teriaknya dari dalam kamar. Ia memeluk tulang keringnya. Gorden dikamar tidak ia buka. Ia menikmati gelapnya kamar. Biasanya ia ketakutan bila kamar itu tidak terang. Matahari mungkin sudah membiru beku tak bersinar untuknya. Ia menahan isakan tangis. Ia tidak percaya bahwa ia sudah tidak PERAWAN lagi. Ia kalut. Ia membutuhkan Koo disampingnya disaat yang seberat ini. Ia meraih handphonenya dan membuka menu pesan singkat. Namun tangannya tertahan. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan pada Koo. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia sudah tidur dengan Lana. Koo bisa memutuskannya saat itu juga. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Ia tidak bisa putus dari Koo, ia tidak inginkan hal itu. Walau bagaimanapun marahnya ia pada Koo yang tak menemaninya malam kemarin, ia tidak akan sanggup kehilangan Koo. ‘Sayang aku butuh kamu sekarang!’ Sebaris pesan akhirnya mampu ia kirimkan pada Koo. Dengan gelisah ia menggenggam handphonenya. Ia sangat berharap Koo segera membalasnya. Ia butuh kepastian



bahwa ia masih menjadi yang paling dicintai dan paling disayangi oleh Koo. ‘Mamiku masih dirawat intensif sayang. Aku belum bisa menemani kamu sekarang. Maaf ya... I Love You, honey.’ Niki kecewa berat. Ia benar-benar tidak menerima kenyataan bahwa Koo tidak menjadikannya yang pertama. Ia merasa diabaikan. Ia meraung menangis memanggil nama laki-laki itu. Ia melempar handphonenya ke ranjang. Ia sedang tersudut dipojok kamar itu. Tidak ada yang melihat apa yang ia rasakan, penderitaan yang membatin. Ia bisa gila bila ingat semua hal indah saat bersama Koo. Tidak ingin ia akui statusnya sekarang ini. Ia memang belum menikah, namun ia sudah tidak suci lagi. Ia ragu Koo akan menerimanya. Sudah pupus harapannya. Ia bukan bunga yang harum baunya. Asa pergi terbang melayang, Niki pingsan seketika. Langit biru diatas laut yang biru. Niki berlarian bersama Koo. Ombak berkejaran menepi menghempas bibir pantai. Koo berhasil menangkap tubuh Niki dalam pelukkannya. Niki tertawa ringan lepas namun segera melepaskan diri dari pelukkan itu dan kembali berlari. Terus berlari hingga ia sadar Koo tak mengejarnya, laki-laki itu bahkan tak terlihat dimata Niki. Ia berjalan menyusuri pantai yang telah ia lalui demi mencari Koo. Sejauh apa pun ia meneriakkan nama laki-laki itu, tak nampak dimatanya sosok laki-laki itu meski bayangannya sekali pun. “Niki...!!!” suara itu menggema entah dari mana datangnya.



Chapter XIII - Bagian Pertama Quote:



Bella Nikita



D



itempat itu Koo berdiri untuk seseorang. Hari yang berat ia pikul sendiri. Mami



mulai berangsur membaik, namun Niki sedang terbaring disana. Wanita itu tertidur dengan suntikan penenang karena mengamuk tiap kali bangun dari pingsannya. Wartawan berspekulasi sendiri digaris batas kunjungan yang dijaga security. Tidak ada yang boleh melintas koridor itu dengan kamera atau semacamnya. Daerah itu dinetralisasi dari infotaiment.



“Apa yang terjadi, Koo?” Tante Liana berkunjung dengan sebuket bunga. “Sesuatu yang saya tidak ketahui. Saya benar tidak tahu” Koo menjawab dengan tatapan kosong. Ia berada didilemanya sendiri. Diantara dua pilihan yang begitu menyesalkan. Ia tahu bahwa tiap-tiap manusia memiliki buah simalakamanya sendiri. Kini ia sedang merasakan perasaan dari buah simalakama itu. Angannya jauh mengambang membawanya ke masa lalu. “A’kuo sudah keterlaluan sekali!” Ayah nampak marah dan keluar dari bangunan tengah tempat menyambut tamu. Ibu melipat koran itu dan menaruhnya kembali ke meja. Semua berasal dari pojok kanan atas koran dikatakan bahwa: Koo Yitjin An menjalin cinta mematahkan hati fansnya. Lalu mengapa ayah marah pada headline itu? Semua pasal A’kuo, panggilan kecil untuk Koo, tidak meminta ijin untuk berhubungan dengan putri orang lain yang belum jelas asal usulnya dimata ayah. Ayah sebenarnya sangat menyayangi A’kuo lebih dari yang ia tahu. Ia mengusir A’kuo agar hidup mandiri, juga ada kesal terselip disana. Ia telah bercita-cita menjadikan A’kuo sebagai pengusaha penerus usaha keluarga mereka juga bersama adiknya, A’li. Rumah ini begitu besar untuk kedua putra tercintanya. Namun tak satu pun diantara mereka yang tinggal ditempat itu. A’li pergi ke Amerika meneruskan kuliah dan bermain musik disana. Sedangkan A’kuo pergi dari rumah setelah ayah menentang dengan keras permintaannya menjadi seorang aktor. “Sudahlah pi. Bukankah ia mirip denganmu?” Ibu mengelus dada ayah yang penuh sesak kekesalan. “Dari mana kau melihat aku mirip dengannya? Bukankah aku lebih tampan?” Ibu tersenyum. Ayah masih mampu menyelipkan canda diantara amarahnya. “Ya mami akui papi lebih tampan. Karena itu akuo’an juga tampan, ia mewarisi wajah papinya” puji ibu. “Kau sangat melindungi putramu. Kau berpihak pada mereka dan menigakan aku! Kemana cintamu terbagi?” “Disini. Dari hatimu hingga mengalir kehati buah hati kita. Tidak kah kau memperhatikannya?” Ibu menaruh tangannya didada Ayah. Ayah dan ibu saling berpandangan. Romansa jaman dahulu kembali terulang. Ayah benarlah mirip dengan Koo. Ia memiliki pemikiran yang luas dan kebebasan yang hakiki dimana ia akan mempertahankan yang ia anggap benar dan meninggalkan sesuatu yang ia anggap menyesatkannya. Sifat itu mewaris digaris hidup Koo. Seorang laki-laki yang memilih jalan hidupnya sendiri. Pun akhirnya ketika bertemu dengan Niki. Gadis itu mencuri separuh kehidupan Koo. Membuat Koo menjadikan matahari dalam hidup. Ketika itu...



“Namaku Bella Nikita...” Ya Koo sudah tahu nama gadis itu. Lebih jauh lagi ia semakin dekat dengan gadis itu. Ada kisah lain diantara teather musikal itu. Ada Koo dan Niki dibalik panggung Galih dan Ratna. Ada perasaan yang hilang yang Koo temukan dikehidupan Niki. Perasaan melindungi seorang adik perempuan yang lucu, manis dan manja. Banyak cara yang ia lakukan untuk menghentikan Niki menangis. Ada bunga, permen dan es krim disetiap air mata yang Niki keluarkan. Bahagia adalah milik Niki seorang. Orang lain tak perlu ikut campur mengurusi urusan mereka berdua. Juga ayah yang melarangnya pacaran dengan anak bau kencur itu, juga Adelia yang sudah menegaskan agar menjaga jarak dengan gadis itu. Namun seperti yang ibu restui, Koo semakin tak lepas dari Niki. Kemesraan ditaburkan pada media massa. Mengatakan bahwa mereka adalah pasangan selebritis yang paling akur, kompak dan benar-benar penuh dengan cinta. Meski dalam keadaan sakit Koo masih mau pergi menemani Niki menonton broadway hingga akhirnya mereka tertangkap kamera. Koo juga tetap datang ke acara casting iklan kecantikan sesuai permintaan Niki meski ia tahu banyak wartawan yang menunggu kedatangannya di photo stage. Dan ia ambil pusing memikirkan hadiah apa yang akan ia berikan pada Niki dihari ulang tahunnya. Saat Niki menolak hadiah yang berupa tiket konser, sebenarnya ia telah membeli empat lembar tiket konser berwarna orange. Untuk ia, Niki, ibu dan adiknya yang berencana liburan ke Indonesia. Seperti sudah diaturkan. Kini ia berikan tiga lembar tiket itu untuk Dita, Laura dan Ivana. Serta sisanya ia tetap berikan pada A’li. Adiknya telah datang lebih awal dari yang diperkirakan. Mereka pantas mendapatkan tiket itu. Koo mulai menyadari pikirannya yang luas dan bebas telah terkekang. Ia tak mampu menghirup udara bebas sedamai yang ia alami ketika akhirnya ia nekad kabur bersama Niki ke sebuah sungai untuk menyegarkan diri lepas dari kegemerlapan dunia mereka. Lembar demi lembar ia mulai menuntut dirinya yang bebas untuk mendapatkan hak kebebasannya. Dan yang terjadi malam itu. Pilihan besar yang harus ia putuskan. Niki menunggunya dengan gaun silver diacara pesta meriah sementara ibunya menunggu kepedulian Koo dengan pakaian putih rumah sakit. Ia memilih menunggu ibunya sampai pulih. Juga ada niat untuk memperbaiki hubungan ayah dan anak yang sempat retak. Ia tak pernah menyangka bahwa pilihannya membuat Niki seperti ini. Ia tak tahu apa yang terjadi. Jessica menghubungi Adelia yang terus menyampaikan pesan bahwa Niki pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Ia tidak mengerti mengapa semua orang dihidupnya saat ini berada dirumah sakit. Mengapa hanya ia yang merasa sepi ketika wartawan berdesak masuk mencuri cela keamanan dari pihak menejemen MCR, tempat Niki berlindung. “Kamu cantik seperti namamu, Bella.” puji Koo saat pertama bertemu. “Aku Niki! Bukan Bella, siapa itu Bella? Bella itu bukan siapa-siapa. Bukankah aku lebih dari sekedar cantik?” Niki membuat Koo tersenyum saat itu, saat dimana ia



merasa kehilangan rumahnya yang hangat. “Kamu sendiri memiliki nama yang aneh. Bagaimana aku membacanya?” Niki memperhatikan kartu nama dari Koo. “Seperti ini: Kuo Yicin An!” “Kuo Yitjin An?” “Bukan, bukan begitu. "TJ" dibaca dengan huruf "C". Kuo Yicin An!” “Oh... Kuo Yicin An. Lalu apa artinya?” Lama Koo terdiam memikirkannya. “Apa?” Niki mendesak. “Anak yang tampan? Bukankah nama kita sama saja? Sebuah pujian. Bella dinamamu mengartikan cantik bukan?” balas Koo. “Ha.. aku tahu. Pasti kamu tidak tahu apa arti namamu? Benarkan? Hei hei bukankah nama adalah doa?” tuding Niki. “Oke. Memang aku tak tahu. Namun seperti yang orang sering katakan: Apalah arti sebuah nama?” Koo tak mau kalah. “Penting itu. Biar kamu tahu sebenarnya kamu itu siapa!” Niki berbalik dan merasa marah. “Bella? Niki? Ta? Jadi kamu itu siapa?” tanya Koo juga berbalik memunggungi Niki. “Aku ini Niki!” Ia berbalik dan memukul bahu Koo. Ia tidak ingin dipanggil dengan nama Bella. Terlalu biasa. Ia merasa lebih dari sekedar cantik. Sisi lain yang tak mereka ketahui tentang Bella Nikita. Sebuah lembaran dibuku harian Niki. Buku harian berwarna hitam, satu-satunya yang berwarna mencolok diantara cerahnya warna kamar Niki bernuansa Princess. Dibuku itu Niki berkeluh kesah. Ia menceritakan hal buruk yang terjadi kepadanya kedalam buku hitam itu. Quote: Originally Posted by Inside the Black Book 6 Januari, Aku melihat ayah dan seorang wanita muda dihotel ketika aku menghadiri pesta ulang tahun temanku. Aku mulai curiga. 8 Juni, Ibu menangis dikamarnya. Ku dengar selingkuhan ayah hamil dan meminta hak bayinya sebagai keluarga kami.



9 Januari, Tepat hari itu aku bukan anak semata wayang lagi. Ibu membohongi ku bahwa mengadopsi adik baru. Jelas aku tahu itu anak ayah dan selingkuhannya. 9 Maret, Akan ku bunuh adik bayi ini bila ayah dan ibu tak mengijinkan aku pacaran dengan Koo Yitjin An. Aku ingin disayangi, dipeluk dan dicintai lagi seperti dulu. 2 Februari, Aku ingin menikah. Akan ku bunuh Koo Yitjin An bila tak menikah denganku, bila ia berselingkuh dariku. Aku tak ingin diduakan. Aku tak ingin jadi seperti ibu.



.... continue Chapter XIII - Bagian Kedua



Chapter XIII - Bagian Kedua Quote:



... sambungan Koo terdiam melihat catatan terakhir dilembaran buku harian hitam milik Niki yang orang tuanya serahkan. Ia baru tahu bahwa Niki memiliki trauma dan dendam sendiri selama ini. Ia selalu mengira bahwa Niki adalah gadis periang yang dicintai semua orang. Sisi lain yang ia tak sadari. Ia meminta ijin pada mami untuk berada disamping Niki saat ini. Niki membutuhkannya, yang Koo pikir begitu. Hanya itu yang dapat Koo lakukan selama Niki masih dalam kendali anastesi. Niki masih sering mengamuk dan berteriak tanpa arah. Niki terbangun saat malam tiba. Koo tertidur disisi ranjang rawat inapnya. Ayah



masih terjaga, ibu juga sudah tertidur disofa. Niki menangis. Ia memandang jelas ke arah Koo. Ia mukul wajah itu. Tentu saja ayah segera menangkap lengan Niki. Koo terbangun dan terjatuh dari kursinya. Ia terperangah melihat Niki yang merontaronta. Niki berteriak untuk menjauhkan Koo darinya. Ia tak ingin bertemu dan melihat Koo. Terpaksa Koo dipaksa untuk keluar ruangan inap. “Om ingin berbicara kepadamu. Masuklah!” ajak ayahnya Niki. Niki sudah kembali tertidur. Kali ini ibunya yang menjaga disamping Niki. Ayahnya Niki mempersilahkan Koo yang sedari tadi menunggu diluar ruangan masuk. Ada hal penting yang ingin ia ceritakan pada Koo. “Mungkin akan sulit untuk kamu mendengar dan menerimanya. Niki sudah tidak perawan lagi. Niki sudah melakukan itu dengan orang bernama Lana! Ia terus menyebut nama Lana. Ia ingin laki-laki itu yang bertanggung jawab padanya. Bukan kamu. Jadi kemungkinan kami akan menikahkan mereka. Tolong rahasiakan hal ini nak, Koo” pinta ayahnya Niki kemudian meninggalkan Koo. Koo tertunduk. Ia tenggelam dalam kesedihan. Tak ada yang mampu ia katakan. Ia keluar ruangan dengan wajah yang lesu. Angin malam menyambut tubuhnya. Menghilangkannya dalam pekat malam. Semua rasa, semua nada, semua meninggalkan kebahagiaan itu. Terseok-seok diantara roda kehidupan. “Aku lebih dari sekedar cantik” satu kata yang terus Koo ingat tentang Niki. Benar saja. Niki memang tidak sekedar cantik. Ia mampu menyembunyikan duka dihatinya. Namun saat semua hal yang membebaninya begitu berat ia tak mampu lagi berjalan menyusuri hidupnya yang penuh kesuraman. Yang ia butuhkan adalah kepastian. Ia harus hidup atau lebih baik mati?



Chapter XIV - Bagian Pertama Quote:



With Or Without U



“D



imana anak itu? Apa dia sudah merasa hebat jam segini belum datang!” pak



sutradara marah-marah. Pasalnya sejak dari 3 jam lalu jadwal syuting drama Love Paradise, Koo pemeran Dr. Josep tidak kunjung datang. Tentu saja membuat syuting harus ditunda. Adelia sibuk menelponnya, namun tak satu pun panggilannya terhubung. Ada resah tergambar



diwajahnya. Dita dan Roman memasuki studio yang dipenuhi oleh emosi. Ivana sudah memberikan kode agar Roman tidak menampakkan wajahnya didepan sutradara. Sesuatu akan terjadi bila ia lakukan saat ini. Namun Roman tetap berjalan menuju laki-laki itu yang memendam kesal dikursi kehormatannya. “Paman...” sapa Roman kepada pak sutradara itu. “Kau?! Kau anak durhaka itu!” Pak sutradara langsung memukuli Roman dengan kertas naskah. Ia bahkan menendang dan memukul Roman dengan tangannya hingga terjatuh. Dita ingin menghentikan perlakuan kasar itu. Andai saja bisa, tangannya tertahan oleh Ivana, Adelia dan Laura. Ada apa ini? “Kalian ini kenapa?” Dita membentak ketiganya. “Sudahlah. Ini urusan keluarga mereka!” Balas Adelia. “Keluarga?” Dita makin tak mengerti. “Roman itu keponakannya. Sudah lama tak kembali kerumah” Jelas Ivana. “Karena masa pengasingannya” tambah Laura. “Dan semua itu karena aku” Aku Adelia. Dita, Ivana dan Laura kini melihat kearah Adelia dengan tajam. “Itukan dulu... ah sudahlah. Kemana lagi Koo ini.” Adelia segera mengalihkan pembicaraannya pada handphone yang sejak tadi ia pegang. Maka jadilah hari itu Roman dipukuli habis-habisan oleh pamannya. Ia kesal setengah mati. Pulang dari studio setelah menemui pamannya ia segera mengambek di ruangannya. Ditambah dia yang harus mengemudikan mobil sebab Dita tidak mampu melakukannya. Dita benar merasa bersalah. “Pakaian kotormu dimana?” tanya Dita disela kekesalan Roman. “Ada apa?” “Aku ingin membuat diriku sedikit berguna” “Kalau ingin membantuku sebaiknya kau cepat belajar mengemudi!” Roman ketus sekali. Dita beringsut mencari sendiri tumpukan pakaian kotor Roman. Sejak kembali menjadi artis ia tak memiliki tempat tinggal. Dulu sebelum menghilang, ia



membelikan mamanya sebuah rumah. Namun mama segera menjualnya karena Roman tak kunjung kembali. Membuat mama merasa kesepian, ketakutan dan semakin sakit. Sejak itu pula mama pindah ke rumah kakaknya, pak sutradara itu. Tidak ada hal yang lebih baik selain menyibukkan diri. Masih belum ada yang menelponnya untuk urusan bisnis selain pemotretan pertama untuk majalah minggu ini. Roman sedang sepi penggemar. Permohonan yang Dita masukkan ke radio juga belum dikonfirmasi. Jadilah kini Dita menyeret ember pakaian Roman yang sudah selesai ia cuci untuk dijemur diatap gedung Sunrise.N. Terseok-seok ia membawanya menaiki tangga menuju roof. Disana ada tali jemuran yang kosong. Dita dengan semangat menjemuri pakaian itu. Sambil bernyanyi-nyanyi mengusir kebosanan. Hari sedang terik sekali. Setelah selesai menjemur ia menyempatkan diri melihat pemandangan dari atas sana. Begitu indah, ia meyukai gedung-gedung yang tinggi. Dari tempat yang tinggi ia dapat melihat pemandangan lebih luas. “Kau ingin mati?” tegur seseorang disana. “Ya?” Tentu Dita terkejut. Ia tidak mendengar bahwa pintu roof dibuka. “Menjauhlah dari pembatas itu!” Dita semakin terperangah saat mendapati sosok yang ia kenali. Koo Yitjin An. Lakilaki yang duduk bersandar didinding gudang. Sejak kapan ia ada disana? Kenapa bisa Dita bahkan tidak merasakan keberadaannya. Dita gugup dan salah melangkah hingga terjerembab. “Ceroboh sekali. Menjauhlah dari pembatas itu. Kau bisa celaka.” Saran Koo. “Aku... aku baik-baik saja. Sungguh.” Jawab Dita sambil mencoba berdiri. Ia kemudian berjalan mendekati Koo dan kini berdiri dihadapan laki-laki itu. “Bukankah saat ini harusnya mas bekerja? Mbak Adelia mencari mas.” “Aku sedang tidak ingin.” Bantah Koo. “Mas... aku tidak tahu orang macam apakah mas ini. Mas tahu tidak? Hanya karena mas tidak hadir syuting hari ini dibatalkan, banyak orang yang kecewa dan tidak bisa bekerja hari ini. Mas pikir mas itu siapa?” Dita memarahinya. Sebab Dita merasakan sendiri bagaimana rasanya tidak memiliki pekerjaan untuk dikerjakan. “Kau ini! Seharusnya kau urus saja pekerjaanmu!” Koo mengacuhkan Dita. “Dasar keras kepala. Mas memang tidak berperasaan. Entah mengapa banyak gadisgadis menyukai mas? Angkuh!” Dita pergi dengan tertatih. Ia membawa embernya meninggalkan Koo bersama kesunyiannya diatas atap. Ia berjalan perlahan menuju ruangan kerjanya dengan



perasaan yang kesal. Sesampainya dipintu ia mendengar suara memanggilnya. Suara yang sudah ia hapal. Gadis itu berdiri diambang pintu ruangan Laura Ciana, siapa lagi dia kalau bukan Laura. Syuting dibatalkan hingga Koo ditemukan. Adelia berlari panik melintasi mereka yang juga saling terdiam dipintu ruangan masing-masing. “Mbak Adelia!” Kini Dita yang memanggilnya. Menghentikan langkah Adelia membuka pintu. Jadilah ketiganya berada didepan pintu masing-masing dan saling berpandangan. Dita meletakkan embernya dan menyusuri dinding karena rasa sakit dikakinya belum hilang. Ia mendekati Adelia dan Laura mengikutinya. “Kau mencari Koo?” tanya Dita. Sebenarnya sudah pasti Adelia mencari Koo kemanamana. Bahkan handphone ditangannya masih berkata, ‘Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan’. Bohong sekali operator itu, jelas Koo berada ditempat yang banyak sinyal ponsel. “Jangan memarahinya. Ia nampak sedang kesal. Dia berada diatap sekarang! Percuma memaksanya. Dia sedang membangkang kali ini” saran Dita. Adelia terdiam. Laura penuh tanya. Keduanya tidak bersuara. Adelia segera berlari menuju lift. Ia begitu tergesa-gesa. Laura hanya mengatakan ‘begitulah’ dari ekspresi diwajahnya. “Jadi?” tanya Dita tentang alasan Laura memanggilnya. Laura segera menuntun Dita keruangan Laura Ciana’s Room. Ia duduk disana sambil membuka majalah yang bernuansa pink. Tanggal 14 februari telah berlalu beberapa hari lalu. Ia memamerkan wajahnya disampul majalah itu. “Bukankah aku cantik?” pujinya sendiri. “Ya, kau sekarang membuatku iri. Aku mau kembali keruanganku saja dan merobekrobek majalah ini disana!” Dita menggeretaknya. “Jangan!” Laura segera mencegah Dita “Oh tenanglah. Kecantikanmu tidak akan hilang! Kau puas?” “Bukan itu... diruanganmu sedang ada... kau tahu kemana Ivana sekarang?” Laura membuatnya sedikit rumit. “Ops, jangan bilang... Ivana... Roman... Ada sesuatu?” Dita mulai mengerti. “Sekotak P3K. Sekotak cinta.” Laura memilihkan judul yang tepat dengan keadaan saat ini. “Kau memang anak nakal!” Dita meluruskan kakinya disofa hingga kakinya naik kepangkuan Laura. Berani sekali



anak ini! pikir Laura tidak terima. “Aku terjatuh di atas!” Dita meminta toleransi sedikit saja. “Lagi-lagi kau melihat pria penuh cinta dimatanya. Pernahkah kau bersikap biasa saja?” Laura keheranan sambil memijit-mijit kaki Dita perlahan. “Nanti. Ketika ada artis baru yang melejit namanya. Bisa saja aku pindah kelain hati.” “Huh kau? Potongan orang sepertimu pasti tidak akan melakukan itu. Aku paham benar kau seperti apa!” Laura memperkeras pijatannya hingga Dita menurunkan kakinya. “Kau sendiri jomblo? Memangnya tidak ada laki-laki yang kau sukai? Dan jangan bilang kalau menyukai ....” Dita memandang sebelah mata, curiga. “Kau ini. Bukankah aku mencintaimu... sayang...” Laura menggoda Dita. Laura suka sekali menjaili Dita. Menakuti Dita hingga Dita terjatuh lagi dari sofa. “Aku hanya belum menemukannya. Seseorang yang mencintai keluargaku, tuhanku dan aku” ucapnya penuh pendalaman. Hari itu mereka curhat bersama diruangan Laura Ciana’s Room. Sementara Ivana sedang membersihkan luka-luka ditubuh Roman karena dipukuli oleh pamannya. Ivana tahu bahwa akan terjadi hal seperti ini. Jelas saja Roman akan terkena amuk pak sutradara. Bapak tua itu sedang kesal melihat tingkah Koo yang mulai berulah, kemudian ia melihat wajah keponakannya yang sudah lama membuatnya kesal. Maka sekalian saja ia memukul Roman tanpa ampun. Keluarga yang cukup lucu. Karena itu pula Ivana menyuruhkan Dita menghampiri pak sutradara untuk memberitahukan bahwa keponakannya kembali kedunia hiburan lagi. Sore itu akhirnya jam pulang kantor. Setelah check lock Dita menuju lift untuk pergi ke tempat parkiran. Ia tidak mengira tangan seseorang menghentikan pintu yang segera tertutup. Koo memasuki lift sambil menggenggam tangannya yang lumayan sakit karena terjepit. Ia memandangi Dita dengan kejam siap menerkam gadis itu. “Kau terlalu ikut campur!” Koo membentak Dita. “Aku hanya ...” Dita tak dapat menjawab apapun. Ia benar yang memberitahukan keberadaan Koo yang sedang menyendiri diatap gedung. ... continue Chapter XIV - Bagian Kedua



Chapter XIV - Bagian Kedua Quote:



... sambungan



“Kau!” Koo marah besar kepada Dita. “Aku tahu mas sedang dalam masalah. Tapi akan lebih bijak juga bila mas tidak membuat masalah” Dita mencoba menyabarkannya. Koo terdiam hingga lift berbunyi menandakan mereka sudah sampai diarea parkiran. Koo meninggalkan Dita yang masih tertatih menyeret kakinya. Ia belum meninggalkan parkiran dengan mobilnya, ia masih sempat melihat Dita hampir merebahkan motornya. Ia hanya acuh disana. Ia setengah kesal pada Dita. Setelah Dita bersiap



pergi dari parkiran barulah Koo pergi. “Apa Mas Koo seangkuh itu? Mata sipit mas mengatakan tidak... Mas itu penuh dengan cinta, Mas Koo. Tapi kata orang mata sipit itu orang yang pelit. Ah apa iya Mas Koo pelit?” Dita jadi ragu. Dita melihat lagi kedalam dompetnya. 2 tiket yang tersisa. Besok malam adalah waktunya konser itu. Dita bingung akan melakukan apa pada kedua tiket ini. Kemudian ia teringat pada Roman. Ia memarkirkan motornya lagi dan kembali ke lift. Roman begitu terkejut melihat Dita memasuki ruangan. Sebab ia baru saja selesai mandi dan akan berganti pakaian diruangnya. “Ini, kau bisa mengajak Ivana pergi!” Dita meletakkan tiket konser itu diatas meja. “Konser?” “Sepertinya kalian butuh waktu untuk berdua” Dita tersenyum seraya membalikkan tubuh memunggungi Roman dan meninggalkan laki-laki itu sendiri. “Dita...” Roman tidak peduli ia sedang tidak mengenakan baju dikoridor itu. Lagi pula kantor sudah sepi, sudah lama jam pulang kerja berlalu. “Terima kasih ya! Jangan paksakan dirimu bekerja terlalu keras! Aku bersedia mengemudikan untukmu. Maaf untuk yang tadi siang! Aku hanya sedang emosi.” Ucapnya malu pada Dita. “Tak apa. Aku tahu. Kalau ada waktu jenguklah ibumu. Kitakan sedang tidak banyak pekerjaan. Kau masih punya banyak waktu untuk itu. Beliau merindukanmu” balas Dita sebelum masuk lift. “Ya.. aku akan...” janji Roman. Roman tersenyum dan mengipaskan tiket itu. Ini demi perkembangan hubungan ia dan Ivana. Kencan pertama mereka. Meski sebenarnya Roman belum mengatakan bahwa ia menyukai Ivana secara jelas. Namun mereka tahu sama tahu bahwa keduanya memiliki perasaan yang sama. Dita merenungi harinya ditempat tidur. Ia mengenang kembali pertemuannya dengan Koo Yitjin An. Ketika itu ia sedang bertanya dimanakah toilet berada bahkan pada aktor super tampan itu. Ketika hari dimana Koo menyuruhnya jangan meminum bir yang ia pesan. Ketika Koo meminta bantuannya untuk menyelinap dari pengawasan Adelia. Dan ketika terakhir mereka bertemu di lift. Tatapan Koo yang tak terarah itu nampak menyiratkan kesedihan. Sesuatu sedang terjadi padanya. Dita sangat yakin sekali. “Kak...” Vika memasuki kamar Dita.



“Ada apa?” Dita bangkit dari tempat tidurnya. Vika memburu kedalam pelukkan kakaknya. “Besok, aku akan menemui Sandhy Sondoro. Bagaimana rasanya ya menemui orang yang sudah lama kita rindukan?” Vika nampak labil menjelang malam konser bintang favoritenya. “Entahlah. Ada perasaan yang akan membuatmu kaku di depannya. Suaramu akan menghilang dan kau hanya akan mematung di depannya. Membuatnya tidak mengerti apa yang kau lakukan” jawab Dita berdasarkan pengalamannya terhadap Koo Yitjin An. “Apa yang harus ku lakukan? Aku harus memakai pakaian apa?” Vika nampak benar bingung. “Biar kakak yang urus pakaianmu! Kau percayakan kakak bisa menyulapmu menjadi seorang putri. Kau adik kakak yang paling cantik, Vika” puji Dita. “Kakak...” Vika masuk kedalam mata Dita yang bulat. Ia hadir disana memenuhi mata Dita. Ia merindukan ayah. Vika tak lama bersama ayah. Sejak usia 3 tahun Vika harus kehilangan sosok ayah. Ibu mengambil semua peran ayah. Dita? Ia tak mampu melakukan apa pun. Ia juga seorang anak kecil saat itu. “Satu hal yang harus kau ingat Vika, jangan sentuh satu pun minuman atau makanan yang akan membuatmu mabuk! Itu pesan dari seseorang yang kakak kenal” ucap Dita sambil mengelus rambut Vika. “Apakah aku harus membawa botol minuman sendiri?” “Ya, kau bisa melakukan itu. Atau kau bisa berpuasa dulu saat itu. Jangan sampai kau berakhir ditempat yang salah” Dita menasihati adiknya agar tidak salah dalam melangkah. Itu yang seseorang katakan padanya, itu yang akan selalu ia ingat. Dita segera menyuruh adiknya cepat pergi tidur. Mereka terjaga sudah terlalu malam. Namun Dita sendiri masih tak bisa memejamkan matanya berkali pun ia coba. Akhirnya ia bangkit menuju meja riasnya. Didalam laci meja ia mengeluarkan sebuah diary berwarna putih dengan gambar hati disudut covernya. Quote: Originally Posted by Diary 25 Ferbruari, Aku rindu ayah. Aku melihat ayah di wajah Vika. Aku harap ayah bahagia disana. Aku juga berharap ayah membantuku menjadi kakak yang baik. Aku harap orang-orang masih akan menyukai kehadiranku, bukan sebuah tipuan. Aku merasa sepi jika diabaikan, bahkan oleh orang yang aku sukai yang memang tidak menyukaiku. Koo Yitjin An. Semoga dia cepat terbebas dari apapun masalahnya. Amin...



Dita menutupkan buku itu. Ia tersenyum melihat wajahnya dicermin. Segera ia kembali ketempat tidur dan memejamkan mata dengan susah payah. Malam memeluk intan, bulan purnama diatas langit Dita. Sudah banyak purnama berlalu. Dita masih ingin menjadi Dita yang dibutuhkan orang lain dan Dita yang pantang menyerah. Tiap doanya, ia berharap semua yang ia lakukan menjadi yang terbaik. “Menjadi diri sendiri bukankah lebih baik?”



Chapter XV - Bagian Pertama Quote:



(I Can’t Wait To) Hate U



D



ita duduk dikursinya dengan secangkir teh bersama majalah dengan cover Koo



dan Roman yang dilengkapi properti bunga mawar merah sebagai benang merah atas perbedaan mereka. Dengan serius Dita membaca artikel wawancara kemarin terhadap keduanya. Koo nampak manis mengenakan kemeja dan blazer coklat itu. Sejak tadi ia memandangi gambar Koo. Ia mengabaikan gambar Roman, laki-laki itu sudah bosan ia lihat ditempat ini.



“Kau lihat ini!” Roman masuk dengan sebuah koran. Tentu Dita terkejut melihat gambar Niki disudut kanan atas koran dengan judul artikel: Mencampakkan Koo, Niki nikahi penyanyi Solo. Jadi itu sebab Koo nampak kalut kemarin. Bahkan ia begitu dingin untuk seseorang yang bertaburan cinta dimatanya. Dita memahami posisi Koo saat ini. “Sepertinya akan segera turun pamor...” gumam Roman. “Tidak. Kau tidak tahu artinya apa? Mungkin Koo akan patah hati namun penggemarnya akan semakin cinta. Sebab Koo kini Jomblo. Tidakkah karir Niki yang akan turun?” Dita menganalisanya. “Bisa saja... berharaplah seperti itu” Roman masih ragu. “Lalu bagaimana konser soprannya?” Dita masih belum mendapat kabar perihal konser Niki yang seharusnya dilakukan beberapa hari lagi. “Dibatalkan. Niki mengutamakan menikah. Entah apa yang dipikirkan anak itu” Roman sendiri bingung. “Malam ini kau sudah mengajak Ivana pergikan?” tanya Dita mengalihkan pembicaraan. Ia merasa tidak perlu tahu banyak apa yang terjadi dengan Niki. “Aku belum, apa iya dia akan menerimanya?” “Tentu saja! Cepat pergi sana! Kau membuang waktu. Jangan lupa nanti siang kita ada kerjaan. Iklan pertamamu!” Dita mengingatkan. “Iklan? Apa? Kau tidak mengkonfirmasikannya!” Roman nampak maSrah. “Hei hei jangan terlalu memilihlah saat ini. Seseorang melihat artikel dimajalah ini dan tertarik menjadikanmu model iklannya. Terima saja! Iklan makanan ringan. Kau pasti akan suka!” Dita sedikit membocorkannya. “Apa? Jangan membuatku penasaran!” Roman kesal tidak diberi tahu. “Nanti kau akan tahu. Ini sureprise. Cepat sana pergi temui Ivana!” Dita mengusir Roman kemudian. Dibukanya laci meja, ada sebungkus makanan kecil yang terselip disana. Dita tersenyum penuh kejailan. Ia senang sekali ada yang menelponnya untuk tawaran iklan. Sudah lama ia merindukan hal ini. Ia baru merasakan bagian menyenangkan menjadi seorang menejer. Menerima telpon, menandatangani dokumen dan menerima uang. Dita memasang sebuah note dikalender. 26 februari, iklan pertama. Oreo. “Hahaha...” Dita nampak puas melihat wajah Roman. Ia tak henti tertawa bahkan saat berpapasan



dengan Adelia dan Koo dikoridor. Sebab ia baru saja menyaksikan syuting iklan Roman yang pertama. Sebuah perusahaan makanan ringan baru saja meluncurkan produk baru mereka. Golden Oreo. Diiklan itu Roman diminta berperan sebagai bapak-bapak bahkan menikah saja ia belum. Dan yang paling membuat Dita geli adalah adegan 3 langkah cara menikmati makanan ringan itu. Roman harus sampai 3 kali mengulang karena ia sering terbalik melakukannya. Kesalahan di pengambilan gambar yang pertama adalah ia langsung mencelupkan ke dalam susu. Kesalahan yang kedua ia menyenggol kepala si anak yang duduk di sampingnya hingga terjatuh. Dan yang ketiga kalinya ia sungguh hati-hati hingga akhirnya syuting selesai. Bahkan sudah beberapa bungkus makanan itu diganti dengan yang baru. Jelas saja membuat Dita begitu senang mengejeknya. “Berhentilah! Kau puas menertawakanku!” Roman memukul kepala Dita dengan kedua jarinya. “Maaf... jadi bagaimana? Kau jadi pergi dengan Ivana?” selidik Dita tentang perkembangan hubungan keduanya. “Bersyarat. Harus menemui ibuku dulu” Roman lesu. “Lalu?” “Kau tahu kan aku tak berani menemuinya?” Roman menjadi emosi. “Kau ini. Bukankah itu ibumu sendiri. Kalau aku jadi Ivana pun aku akan meminta hal yang sama. Lagi pula kau sudah janji padaku untuk menemui ibumu. Kau takut pada pamanmu? Kita taruhan saja. Dia tidak akan memukulmu di depan ibumu!” Dita menantang keberanian Roman agar laki-laki itu mau sedikit mengalah pada keadaannya. “Aku tidak tahu. Aku pusing dengan iklan itu!” Roman menutup wajahnya dengan koran dan pura-pura tidur disofa. “Jika kau tak membutuhkan tiket itu kau bisa mengembalikkannya padaku.” “Kau ini pelit sekali. Apakah matamu sudah menjadi sipit?” Roman kesal dan pergi menemui Ivana. Ia bosan mendengarkan Dita berceloteh. Bahkan Roman pun berkata bahwa mata sipit itu adalah orang yang pelit. Diruangan itu sepi menyergap membuat Dita jadi kepikiran tentang Koo. Pasti laki-laki itu sedang terpukul sekarang. Andainya ada yang bisa ia bantu. Dita sadari ia bukan siapa-siapa. Matahari tenggelam diupuk barat. Setelah selesai merapikan dandanan Vika ia mencarikan taksi. Tidak mungkin ia membawa Vika pergi dengan motornya. Itu akan merusak rambut Vika yang sudah ia tata dengan rapi. Vika nampak cantik dengan gaun glow pink yang memiliki bulu-bulu dibagian ujung bawahannya. Bola-bola kristal bersinaran dibagian kerah berbentuk V yang nampak seperti ia mengenakan kalung. Vika nampak bersinar malam itu.



“Kau cantik” puji Dita. Ia ikut mengantarkan adiknya sampai gedung konser. Telah ramai orang mengantri dijalur umum. Dita mengantarkan adiknya sampai kedepan pemeriksaan tiket VIP. Ia menatap dalam pada Vika lagi. “Iya... aku puasa kak. Aku gak akan minum atau makan apapun” janji Vika. “Benar?” Dita meminta janji jari kelingking pada adiknya. Setelah Dita memeluknya erat ia melepaskan Vika kedepan pemeriksaan tiket.. “Beritahu aku jika sudah pulang. Tunggu aku akan menjemputmu!” Pesan Dita sebelum adiknya benar memasuki gedung konser. Dita berat hati melepaskan adiknya. Ini pertama kalinya Vika boleh keluar malam. Ia bertanggung jawab atas keselamatan adiknya. Maka dari itu menyeret kakinya yang masih sakit ke sebuah kursi taman tidak jauh dari tempat gedung konser. Seseorang menghampirinya. Laki-laki berkacamata, memakai topi dan berjaket kulit. Tentu membuat Dita ketakutan. “Kau tidak masuk?” tegurnya mengajak Dita mengobrol. “Tidak, kau siapa? Apa aku mengenalmu?” tanya Dita ketakutan. Ia ingat seperti adegan di film-film. Laki-laki berjaket yang membunuh dengan pisau yang tersembunyi dibalik sarung tangannya. “Kau tidak mengenaliku? Bukankah kau yang mengajariku menyamar?” “Apa? Aku?” Dita semakin penasaran. “Iya. Aku ini Mas Koo-mu. Biasanya kau panggil aku seperti itu!” Laki-laki itu mengakui dirinya. Merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar Dita mendekatkan wajah Koo yang tertunduk. “Astaga... sedang apa mas disini?” tanya Dita keheranan. “Mengikutimu. Tadi ketika mengantar adikku, aku melihatmu masuk bersama seorang wanita cantik. Siapa dia?” selidik Koo. “Adikku. Dia masih belum boleh pacaran. Jangan berharap padanya!” dengan pede Dita berkata seperti itu. “Adikmu cantik tapi kau biasa saja. Sungguh berbeda!” gumam Koo. “Hei aku ini memang biasa saja, memang biasa dipuji cantik. Jadi jangan coba menggombal!” larang Dita. “Keluargamu seperti apa hingga kau seperti ini?” tanya Koo penasaran.



“Ibuku seorang janda, aku anak pertama, aku memiliki adik perempuan. Kami hidup bahagia meski tanpa ayah. Itulah keluargaku” “Kasihan!” gumam Koo lagi. “Mas tidak punya pekerjaan lain selain mengasihani orang lain ya? Heran!” Dita cemberut. “Tentang kata ‘ses’ yang waktu itu aku benar tidak tahu artinya apa?” aku Koo malumalu. “Ya ampun mas benar tidak tahu. Hahaha mas gak ses nih.” Balas Dita kegirangan. “Iya. Lalu apa artinya?” Koo membentak. “Ses itu semacam kompak, klop dan menyatu atau sepaham. Tidak ses berarti tidak kompak, tidak klop. Bukankah itu kata yang gaul?” jelas Dita. “Hah... kau ini memungut kata itu dari mana? Jelek sekali!” Koo kemudian menghinanya membuang muka malunya. Tentu saja Dita memasang wajah tidak terima dan memalingkannya dari Koo. Koo berlutut dihadapan Dita. Tak mampu Dita tahan getaran dihatinya. Akankah? Akankah Koo menyatakan cinta setelah putus dari Niki? Akankah seperti yang ia bayangkan? Tuhan kuatkan hati ini. Tuhan... .... continue Chapter XV - Bagian Kedua



Chapter XV - Bagian Kedua Quote:



... sambungan Irama mulai bergelora setelah tepuk tangan penonton menghambur ruangan. Bintang yang ditunggu-tunggu telah berada dikursinya dengan sebuah gitar. Ia memetik gitar itu penuh dengan perasaan yang ia sampaikan kepada fans-nya yang hadir malam ini. Apresiasi mereka sungguh berarti bagi sang bintang, Sandhy Sondoro tersenyum membuat hati fans wanita-nya melambung ke udara. “Suatu malam yang biru tanpa dirimu berjuta-juta rinduku padamu...” Bait pertamanya mengundang penonton terhanyut larut dalam suasana. Seperti yang



mama bilang bahwa lagu itu membuatnya pusing merindukan ayah. Namun kali ini Dita pusing karena Koo berada didepannya berlutut seperti seorang pangeran yang memohon putrinya berdansa. Saat itu juga rasanya Dita memakai sepatu kaca. “Buka kaus kakimu! Kau pikir aku bisa melakukannya dengan kaus kaki tertutup!” tegur Koo pada Dita yang sudah kege-eran tingkat dewa. “Mas Koo mau apa?” Dita berusaha menarik kakinya dari tangan Koo yang menggenggam erat. “Kakimu terkilir bukan? Kau masih belum memijatnya?” “I... iya” Dita akui kakinya memang masih sakit. “Bukalah kaus kakimu. Hari ini aku yang akan menerapinya. Gratis!” tawar Koo. “Mas Koo yakin bisa?” Dita meragukan Koo dalam hal itu. “Bapakku tukang obat, aku belajar terapi darinya. Tenang saja. Aku ahli. Kalau tidak sembuh paling-paling kau harus amputasi” Koo menambahkan sedikit candaan disana. Dita sedikit sungkan membuka kaus kakinya. Bukan lantaran kakinya berbulu panjang dan keriting. Namun ia harus menjaga image didepan laki-laki pujaan hatinya. Karena terlalu lambat Koo sendiri yang membuka kaus kaki itu dan menggenggam kaki Dita agar diam ditempat. “Rilekslah. Agak sedikit sakit!” kali ini Koo tidak bercanda. Beberapa detik kemudian Dita memejamkan mata menggigit bibirnya untuk menahan teriakan. Bisa bahaya bila ia berteriak ditempat itu. Orang-orang akan menemukan Koo yang sedang menyamar. Ia benar tidak pernah tahu bahwa laki-laki ini piawai memainkan tangannya untuk terapi. Dita sungguh surprise selain tampan, laki-laki ini juga terampil. Semakin Dita jatuh hati. “Mas Koo tidak buka cabang?” tanya Dita sedikit bercanda. “Tidak. Cukup orang-orang dekat saja yang tahu aku bisa terapi.” “Kenapa tidak ditekuni?” Dita makin penasaran. “Itu yang membuatku kabur dari rumah.” “Mas Koo ini sama saja dengan Roman. Apa semua laki-laki seperti kalian?” Dita jadi teringat Roman yang dipukuli oleh pamannya sendiri. “Apa semua perempuan ingin mengetahuinya?” Kini Koo duduk disamping Dita. Ia telah membuat kaki Dita terasa lebih baik. “Tidak. Mungkin hanya aku. Akukan berbeda.”



“Apa? Jadi kamu suka perempuan?” Koo terkejut. “A... Mas Koo ini. Aku ini perempuan normal yang menyukai pria sepertimu” aku Dita, ada pengungakapan disana. “Yang seperti aku atau memang aku?” entahlah apakah kali ini Koo sedang bercanda “Mas ini!” Dita kesal ditanya seperti itu. Membuatnya malu saja. “Lupakan. Kau tak harus menjawabnya. Tadi ke sini naik motor lagi?” tanya Koo mengalihkan pembicaraan. “Memang Mas Koo... Tidak. Hari ini dengan taksi. Tidak mungkinkan aku mengacaukan dandanan adikku?” Dita memercepat bagian ia menjawab kejujuran dihatinya. Koo tersenyum dan berdiri kemudian. “Jangan! Aku takut hanya menjadikanmu pelampisan, pelarian atau apapun namanya. Aku tidak bisa sekarang!” Koo melangkah pergi. Ia bahkan tidak menengok kearah Dita. Ia benar pergi. Tidak dapat Dita percaya. Dita juga masih tidak mengerti pada perkataan Koo yang terakhir. Setelah acara konser selesai Dita segera menjemput adiknya. Mereka bertemu dengan pasangan Roman dan Ivana. itu tandanya Roman sudah pergi menemui ibunya. Dengan penuh keberuntungan Dita dan Vika diantarkan pulang oleh Roman. Malam masih jauh mengambang. Dita tidur dengan sebuah tanda tanya besar. Malam itu Koo duduk memandangi jendela kamar Niki. Ia diluar sana menahan dinginnya malam sendiri. Niki tak pernah mematikan lampunya untuk pergi tidur. Semalaman Koo duduk diatas mobilnya. Ia tidak yakin ini terjadi pada Niki. Padahal ia sering memperingatkan agar tidak minum minuman yang membuatnya mabuk. Koo menyayangkan sekali Niki tak mendengarkan apa katanya. Jodoh itu, Bintang-bintang dilangit malam yang menghiasi bulan. Jodoh itu ada ditangan tuhan. Sekeras apapun Koo memikirkannya ia jelas semakin tidak mengerti mengapa bintang-bintang hanya ada dimalam hari. Apakah matahari memang tak berjodoh dengannya. Apakah Koo adalah matahari itu? Ia semakin jauh dengan bintang hatinya. Sinar bintangnya yang temarang mulai menghilang, bulan mencuri semuanya. “Aku... tidak bisa terus begini. Aku masih punya hidup, Niki.” Koo berteriak setengah tertahan. Ketika ia meninggalkan tempat itu ia telah menyerahkan segalanya. Tidak ada harapan yang ia tinggalkan lagi. Niki sudah akan menikah dengan atau tanpa restu darinya. Niki didalam kamarnya memandangi kepulan asap malam dari mobil Koo. Ia tidak sedang tidur. Ia benar merasa bersalah. Ia tidak memiliki muka untuk menghadapi Koo. Ia tahu ia telah melukai Koo, dalam dihatinya dalam dihidupnya.



Biarlah kisahnya jadi rahasia diwaktu yang akan datang. Pupus sudah kisah cintanya dengan Koo malam itu.



Chapter XVI - Bagian Pertama Quote:



Let Me Hear Your Voice



Y



ang terjadi esoknya sungguh berbeda. Koo berjalan melintasi hadapan Dita tanpa



sapaan lagi. Ia seakan mengabaikan keberadaan Dita. Dimana pun mereka bertemu Koo tak menegurnya, memberikan sebuah senyum saja pun tidak. Dita hanya dapat tersenyum miris. Benarkah yang ia lihat saat ini adalah Koo. Tidak kah ia mengingat bahwa nama gadis itu Dita, seseorang yang menyukainya lebih. “Dita...?” seorang laki-laki membuyarkan lamunan Dita. Seseorang laki-laki yang berbadan tinggi dan tambun. Dita pernah melihat wajah lakilaki ini. Tubuh besarnya tak asing lagi bahkan lesung pipinya akan selalu Dita ingat. “Kak Tama?” Dita menerka lagi namanya.



“Iya. Kamu ngapain disini?” Tama berhasil menyita perhatian Dita. “Aku.. ini aku kesini karena seseorang. Oh iya tunggu sebentar...” Dita mengeluarkan dokumen yang ia bawa. “Roman?” Tama nampak bingung. “Iya. Aku ingin memasukkan lamaran untuk Roman sebagai announcer diradio ini. Aku harap ada lowongan.” Pinta Dita. “Kenapa tidak kamu sendiri?” selidik Tama sambil melihat CV Roman. “Oh iya, sebaiknya kita selesaikan di dalam saja. Aku baru selesai siaran. Waktu itu kamu juga datang kan? Seseorang memberitahuku” sambung Tama kemudian. “Iya... maaf begitu mendesak” Dita tertunduk. Koo mulai menyadari keberadaan Dita saat Tama memegang tangan gadis itu menuju Lounge Private. Ia bahkan mengabaikan lawan bicaranya hanya untuk melihat Dita ditarik kedalam ruangan. Satu-satunya yang Dita lakukan hanya menuruti arah langkah Tama. Tama Rashati, 25 tahun, Head of Announcer. Dita mengenal sosok itu jauh bahkan sebelum ia terkenal sebagai penyiar radio juga presenter diberbagai acara off air juga disebuah stasiun televisi lokal. Tama sudah seperti kakak laki-laki yang tak pernah Dita miliki. Tama mengenal baik akan keluarga Dita. Bagaimana bisa ia melupakan candaan bersama diruang keluarga dirumah Dita. Semenjak ia mengambil beasiswa ke Australia untuk mendalami public speaking semua berlalu. “Sudah lama tidak berkunjung kerumahmu. Tidak pindahkan?” Ucap Tama sambil memeriksa dokumen dari Dita. “Iya. Belum.” “Kau sekarang hebat ya. Sudah jadi menejer artis.” Puji Tama. “Kakak yang sekarang hebat. Sudah jadi menejer ditempat semegah ini. Pasti banyak orang yang kakak kenal” “Bukankah selalu begitu? Hanya keberuntungan yang membawaku ketempat ini lagi. Bagaimana kabar tante juga Vika?” Tama merendah. “Baik. Mereka selalu baik.” “Oh iya kamu punya kartu namakan? Bisa aku memintanya?”



“Kartu nama?” Dita bingung. “Untuk menghubungimu apakah Roman bisa masuk ke radio ini.” jelas Tama. “Oh tentu saja” Tanpa menaruh curiga Dita menyerahkan kartu namanya. Ia sangat berharap Roman dapat pekerjaan dari tempat ini. Ia berusaha keras untuk mengembalikan ketenaran Roman. Sepulangnya dari radio Dita menghampiri Roman yang sudah menunggunya di dalam mobil diparkiran. Mereka segera meluncur ke tempat fashion show. Hari ini memang telah tertulis di jadwal Dita bahwa ada fashion show yang mereka sudah tanda tangani. Dengan kotak make-up ajaibnya Dita menyulap Roman. Penuh mantra diwajah Roman hingga begitu bersinar. Yang tidak disangka Koo dan Adelia memasuki ruangan itu juga. Adelia langsung diberikan tumpukkan baju yang mesti Koo pamerkan. Tidak banyak waktu Koo langsung berganti pakaian didepan Dita. Meskipun Koo memakai kaus dalam dan celana pendek tetap saja membuat Dita sungkan melihatnya. Koo masih mengabaikan keberadaan Dita. “Koo, kau berputar tiga kali! Yang lain bersiap saat pergantian pakaian Koo. Jangan terlalu cepat! Berikan durasi yang lebih lama! Oke!” Koordinator acara mengaturkan urutan tampil. Benar saja. Roman lama menunggu gilirannya. Sementara Koo berganti pakaian lagi. Make-up artis yang Adelia bawa kali ini lebih banyak untuk membantu Koo dengan cepat merubah gaya. Terlalu asik memperhatikan Koo yang dikelilingi make-up artis sampai membuat Dita lupa giliran tampil untuk Roman. Dibalik panggung itu Dita memperhatikan Roman berjalan di Catwalk memamerkan baju rancangan Ira Awalanti dengan tema Eksekutif Briliant, pakaian para pengusaha muda yang penuh modifikasi yang dapat memperlihatkan bahwa ia seorang laki-laki elegant namun tahu pergaulan masa kini. “Kau! Jangan berdiri disana!” Koordinator acara memarahi Dita yang berdiri di tengah jalan. Koo segera melintasinya dengan baju rancangan berbeda. Kali ini berwarna soft cream dengan ujung lengan yang berenda seperti jaman kerajaan dulu. Itu yang disebut dengan William Prince seperti yang Dita baca di katalognya. Sekali lagi Koo berganti pakaian dengan terburu-buru. Dita mematung disana seperti Roman dipanggung itu. Sebentar lagi pameran akan ditutup dengan baju rancangan terakhir Ira Awalanti yang akan Koo pamerkan. Sebuah baju berwarna Orange trend tahun ini dengan kerah yang tinggi dan sudut yang membulat di bagian tepi baju. Ada garis bercahaya orange yang memeluk tubuh Koo dalam balutan pakaian itu. Sublima Orange itu nama yang tercantum dikatalog. “Pesona tahun ini. Inilah dia... Sublima Orange yang dibawakan oleh Koo Yitjin An yang juga menjadi pesona untuk tahun ini. Dibuat khusus dengan bahan ....” begitulah yang Dita dengar dari moderator yang mengiklankan baju itu satu per satu.



Setelah acara penyerahan bunga oleh berbagai pihak kepada Ira Awalanti, Koo membanting diri dikursi. Ia nampak penuh dengan peluh. Roman sudah berganti baju dengan pakaian yang ia kenakan sebelumnya. Dita akhirnya berpamitan pulang lebih awal pada Adelia. Ia meninggalkan Koo yang tak memandangnya. Atau sebenarnya sedang memandang Dita tanpa ia ketahui, Koo melihat Dita melambai dari kaca rias didepannya. “Kau nampak berbeda. Sebaiknya ambil cuti dan selesaikan beberapa episode Love Paradise lebih awal! Liburan akan membantu melupakannya” saran Adelia. “Justru ketika aku libur aku jadi teringat selalu padanya.” Koo nampak bosan dengan pakaian orange itu. “Mungkin kau butuh cinta yang lain...” Adelia segera pergi sebelum Koo mengetuknya dengan benda apa saja di dekatnya. “Ayo kita pulang saja! Cinta membuatku kesal!” Koo segera membuka Sublima Orange dan memasang kembali bajunya. Ia tidak berminat pada Sublima Orange yang dihadiahkan untuknya. Namun Adelia tetap melipatnya dan membawa ketiga baju itu kedalam mobil. ‘Siapa tahu Koo akan berubah pikiran. Anak itu kan tidak dapat ditebak.’ Pikir Adelia. Koo berjalan menuju pantry untuk mengambil secangkir kopi hangat. Ia menemukan Dita di samping meja kopi. Dita sedang membalas pesan singkat dengan antusias. Ia kali ini yang tak menghiraukan kedatangan Koo. Ia bergeser dari tempatnya tanpa diminta agar Koo dapat menuangkan kopi kegelasnya. “Laki-laki gendut di radio itu?” tanya Koo curiga. “Bagaimana mas bisa mengetahuinya? Apakah mas ini X-men?” tanya Dita yang merespon tebakan Koo. “Ya baiklah. Aku memang X-Men!” Koo menekan kata terakhirnya. Yang ia maksud dengan X-Men adalah mantan pacar. Orang yang sudah diputuskan. "Sialnya!" “Apa aku berkata seperti itu? Lupakan. Abaikan saja!” Dita beringsut pergi dengan bunyi tanda pesan masuk dihandphonenya. Kali ini ia yang meninggalkan Koo ditempat itu setelah membuatnya kesal setengah mati. ... continue Chapter XVI - Bagian Kedua



Chapter XVI - Bagian Kedua Quote:



... sambungan Dengan kesal Koo memasuki ruangannya. Adelia mengkerutkan dahi. Ia melihat sesuatu terbakar di ubun-ubun Koo. Apakah karena gossip yang tertempel dihalaman koran pagi ini dengan headline, "Pria Playboy 2011: Koo Yitjin An". “Dikabarkan sedang dekat dengan beberapa wanita setelah putus hubungan dengan Bella Nikita yang akan segera menikah...” “Stop!” Koo berteriak menghentak Adelia yang sedang membacakannya berita yang tertulis dikoran itu. “Kenapa? Kau tidak ingin tahu apa yang masyarakat baca tentangmu?” sanggah Adelia. “Aku tahu. Mereka bilang aku sedang mencari pelarian saja. Bukankah begitu intinya?” Koo membentak Adelia dan segera terdiam. Lama ruangan bergambarkan photo Koo yang berukuran besar dengan pencahayaan didinding itu hening. Adelia melipat lagi korannya. Ia menjauhkan Koo dari kekesalan.



Ia mendekati Koo dan menatap dalam mata yang kosong. Ada beban tertumpuk dibahu Koo. “Ceritakan saja” pinta Adelia. “Kacau. Hidupku jadi kacau. Ratingku naik drastis karena aku baru saja putus dari Niki. Apakah selama ini mereka memang tidak setuju bila aku bersama Niki. Apakah hanya aku saja yang egois bahwa aku cocok dengan Niki. Ternyata masyarakat memang tidak merestui aku dengan Niki. Mereka seperti papiku. Parahnya aku tidak tahu bahwa aku memang tidak berjodoh dengan Niki...” Curhatan Koo berhenti. Ia kesal mengapa hanya ia yang tidak menyadari bahwa Tuhan sudah menegur tentang ketidakberjodohannya dengan Niki. Ia benar merasa sebagai orang bodoh sedunia yang tak memperhatikan kata Tuhan yang tersampaikan dari kata ayahnya. “Belakangan ada seseorang yang menarik sebagian perhatiannku pada Niki. Jujur aku mulai goyah pada Niki sebelum kami putus. Aku mulai menyadari bahwa aku selama ini memperlakukan Niki seperti adik kecilku. Seorang adik yang ingin dilindungi kakaknya. Yang tidak akan mungkin kulakukan pada Ali’an.” sambung Koo lagi. “Semuanya semakin jelas ketika akhirnya Tuhan memisahkan kami. Aku tidak merasa kehilangan seorang pacar. Aku justru merasa kehilangan adikku. Adik yang selalu aku lindungi.” Koo berhenti sampai disitu. Ia memejamkan matanya dalam. Ia menyandarkan tubuhnya disofa. Adelia kembali ke kursinya. Ia tahu bahwa Koo sedang butuh seseorang yang mendengarkannya. “Tentang liburan itu. Aku masih menawarkanmu, ajaklah seseorang bersamamu. Kita tidak punya waktu luang lagi. Sehari saja ku ijinkan kamu bebas dari semua job dari pagi sampai malam!” Adelia mengingatkan lagi akan tawarannya. Koo mendengarkan dan memikirkannya sejenak lalu ia tidur sambil duduk disofa. Seperti yang sedang Roman lakukan diruangannya. Dita tidak ada ditempat itu. Dita sedang bertetangga di ruangan Laura. Mereka reuni keluarga. Dan menjadikan Ivana bulan-bulanan karena tertangkap basah kemarin dikonser yang awalnya ia tidak mau hadiri karena yang ia tahu tiket itu dari Koo Yitjin An. “Hallo,...” Dita meminta Laura dan Ivana agar tenang saat panggilan masuk di handphonenya. “Kamu ada waktu besok Dita?” tanya Tama melalui telpon itu. “Mungkin,... ada apa ya Kak?” “Ini.. aku ingin jalan ke Dunia Fantasi. Sudah lama tidak pergi kesana. Terakhir kita pergi saat ulang tahun Vika” ajak Tama. “Dunia Fantasi? Wah aku ingin! Kita pergi bersama Vika lagi?” tanya Dita. “Em... bagaimana ya?...” Tama nampak kebingungan. Ia seakan menolak Dita



membawa adiknya. Ivana dan Laura menyuruh Dita membatalkan mengajak Vika. “Baiklah, aku tidak akan mengajak Vika” “Ya, maksudku begitu. Kalau begitu besok aku jemput di rumah atau di kantor?” “Di kantor saja. Aku masih harus menyiapkan jadwal untuk Roman. Meskipun tidak banyak pekerjaan, Roman masih perlu aku urus. Aku kan menejernya!” Dita mengingatkan lagi tentang pekerjaanya. “Baiklah. Besok dikantormu, jam 8 ya.” Tama memastikannya lagi. Setelah itu Dita diintrogasi oleh Laura dan Ivana. Ia sungguh malu mengungkapkan tentang Tama. Ia mengenal Tama luar dan dalam tentang masa lalunya. Tapi ia tidak tahu Tama hari ini orang yang seperti apa. Ia baru saja bertemu lagi setelah lama Tama tinggal di Darwin, Australia. Tanpa Dita ketahui Tama menyiapkan sebuah cincin dikotak perhiasan berbentuk love warna merah. Ia sudah merencanakan tuk mengatakan cinta pada Dita. Ia kangen bukan pada Dita sebagai adik melainkan seorang perempuan dewasa. Dita tak pernah tahu tentang itu. Ia terus mengira bahwa Tama menganggapnya hanya sebagai adik dan ia juga menganggap Tama hanya sebagai kakak yang tak pernah ia miliki. Jadi kapankah kesalahpahaman ini akan terungkap. Dapatkah Tama menerima kenyataan itu? Juga Dita, bagaimana reaksinya mendengarkan pernyataan cinta dari Tama. Mungkin mereka butuh segelas bir dengan kadar alkohol tinggi untuk menjelaskan bahwa semua ini adalah kesalahpahaman saja. Dita menutup hari ini dengan doa luar biasanya agar semua berjalan dan berkahir dengan indah pada waktunya. Tama menutup harinya sambil memandangi kotak perhiasaan yang terletak disamping bingkai foto dirinya dan Dita di taman bermain. Dan Koo menutup harinya dengan kegelisahan. Ia justru menyediakan segelas kopi agar tetap terjaga dari tidurnya. Malam itu... Tuhan berkata lain.



Chapter XVII - Bagian Pertama Quote:



Lights To Follow



A



pa kabarnya cinta hari ini? Akankah cinta tumbuh bersemi dibawah matahari



indah pagi ini. Dita menjalani harinya seperti biasa. Bangun pagi dan terjerembab ke lantai yang sudah mama sediakan ambal agar tidak begitu sakit. Dita masih menjadi Dita yang ceroboh seperti biasanya. Ia juga masih berkejaran dengan Vika hingga mengganggu mama yang sedang memasak didapur. Tidak ada yang berubah begitu cepat sejak Dita menjadi menejer. Ia masih Dita yang sama yang tidak bisa mengemudikan mobil. Kini ia berangkat kerja dengan sepeda motornya yang selalu setia menemani. “Dita...” seru laki-laki itu menarik lengan Dita dan membawanya pergi meski Dita melakukan perlawanan. Dita di bawa kesebuah mobil VW kodok berwarna silver. Mobil antik itu kesayangan Koo. Ia menyuruh Dita masuk dengan paksa dan tidak menerima interupsi. Mobil segera meluncur kebadan jalan. Menuju sebuah gedung yang tinggi. Dita dipaksa keluar dan mengikuti langkahan kaki Koo. “Apa yang ingin mas lakukan. Aku bukan wanita murahan!” Dita membentak Koo didepan pintu didalam apartemen laki-laki itu. “Kau lihat rambutku, wajahku dan pakaianku berantakan tidak? Semalam aku tidak



tidur! Aku memikirkanmu! Aku terus memikirkanmu! Aku tidak tahu kenapa aku memikirkanmu! Juga tidak ingin kamu tahu aku memikirkanmu! Kamu! Membuatku cemburu dengan penyiar radio itu!” Dita terbungkam. Atas dasar apa Koo mampu membalik bentakan Dita. Ia kaget setengah mati mendengar pernyataan Koo. Apakah Koo tidak salah berkata? Apakah yang Dita dengar ini nyata? Tidakkah ia salah dengar? Koo nampak salah tingkah dihadapan Dita saat ini. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus mengatakan apa kemudian. “Pergilah mandi! Aku akan menunggu disini!” Dita mendorong tubuh Koo menjauh dari jalannya menuju ruang tamu. Benar sekali Koo semalam tidak tidur. Di ruang tamu itu banyak sekali bungkus makanan ringan yang ia habiskan sepanjang malam. Koo ingin membereskannya namun tangan Dita mengusirnya agar segera mandi. Koo pun meninggalkan Dita diruang tamu. Di dalam kamar mandi Koo termenung dan tersenyum dibawah shower. Ia bahkan tak mengira ia bisa mengatakan hal itu pada Dita. Selama ini ia menyimpannya. Hatinya mulai bercabang ketika ia sadar kebebasan yang ia miliki ternyata palsu. Niki bukan orang yang benar ia cintai sebagai perempuan dewasa. Ia mencintai Niki hanya sebagai adik. Ucapan terima kasih Niki membuatnya tahu bahwa harusnya ucapan itulah yang Dita dengar. Semua yang ia berikan diulang tahun Niki adalah hadiah dari Dita. Ditalah yang mampu memberinya kebebasan. Dita lah... perempuan yang Koo cari. “Apa yang kau lakukan? Lihat tanganmu jadi kotor!” tegur Koo saat ia selesai merapikan diri dengan kemeja Dark Maroon dengan lengan ¾ serta celana jeans ¾ berwarna hitam luntur yang memperlihatkan bulu kakinya ditulang kering berbalut kulit putih. “Aku hanya merapikannya. Inikan sabun? Aku justru membersihkannya?” jawab Dita sambil tertegun melihat penampilan Koo yang begitu segar tidak seperti sebelumnya. “Hei... apa yang kau lihat! Jangan memintaku membuka baju disini!” Koo langsung mendekati Dita. Ia membantu Dita menyuci piring dan juga gelas-gelasnya. Tentu saja itu membuat Dita semakin gagu. “Kau ini suka menjadi babu ya? Kemarin mencuci baju, sekarang mencuci piring. Apa hanya itu kelebihanmu?” “Aku... aku bisa memasak, menyetrika, mengasuh adikku dan aku bisa menjadi menejer!” balas Dita. “Baguslah! Aku tidak akan perlu repot-repot mengajarimu memasak” gumam Koo. “Apa maksud mas?” Dita bingung akan arah pembicaraan Koo. Koo hanya tersenyum memperhatikan wajah bodoh Dita. Setelah selesai Koo



mengajak Dita segera pergi. Dita menarik topi dan kacamata yang pernah ia belikan untuk penyamaran Koo dari atas buffet disamping televisi. Kemudian ia memakaikannya sebelum keluar menuju VW kodok. Dita tak perlu menanyakan kemana Koo akan membawanya. Ia duduk dengan tenang di sana, di jok yang memang seharusnya Dita duduki selama ini. ‘Dita kamu kemana? Ini ada Tama endutmu kekantor! Dia sudah menunggu sejak tadi.’ Pesan singkat dari Ivana. Di depan Ivana laki-laki itu sungguh terdiam dan mengitarkan pandangannya melihat tempat kerja Dita. Laura duduk di sebelah Ivana sambil mengajak Tama mengobrol. Roman duduk di kursi Dita. Memutar-mutarkan kursi itu dengan kebosanannya. ‘Bilang saja aku sedang ada urusan! Sstt! Pribadi!’ balas Dita. ‘Duh kamu ini. Hati-hati kalau berurusan dengan laki-laki.’ ‘Kenapa?’ Dita merasa aneh dengan pesan dari Ivana. ‘Jangan sampai menyentuh tangan mereka. Nanti kamu justru tidak ingin melepaskannya. Tangan laki-laki itu berbahaya!’ saran Ivana. ‘O... itu. Jadi gimana dengan Tama?’ ‘Beres. Kau tahu Laura ahli berperan bukan?’ ‘Apa yang....’ belum sempat Dita mengetikkan pesannya handphone itu ditarik oleh Koo. “Hei... itu pesan dari Ivana!” Dita memintanya lagi. “Hari ini kita tanpa alat komunikasi! Mengerti?” Koo melempar handphone itu setelah menekan tombol powernya ke jok belakang. Dita jengkel setengah mati. Memangnya itu handphone tidak dibeli dengan uang? Pikirnya ngambek. Dita memalingkan wajah kearah jendela disampingnya. Ia benar kesal dibuat kelakuan Koo. “Sehari saja!” ucap Koo sambil meraih tangan Dita. Seperti perkataan Ivana. Jangan sampai menyentuh tangan laki-laki. Itu berbahaya. Dita tak bisa menolaknya. Ia semakin mempererat genggaman tangan Koo. Kekesalannya luntur seketika. Ada perasaan aneh merambat dari tangan Dita hingga ke dadanya. Jantung Dita berpacu lebih cepat. Nafasnya tak karuan ia seperti ingin pingsan dipelukkan Koo. Kali ini ia pingsan pun pilih-pilih tempat dan gaya yang cantik. Sebelum ia melancarkan mimpinya itu mobil telah berhenti. Nyaris saja ia bersandar di bahu Koo. Tentu saja membuatnya malu. Laki-laki itu hanya tersenyum. Ia mengajak Dita keluar dari mobil. Tak lupa dipasangnya kacamata dan topi penyamarannya.



Dita tak pernah menyangka bahwa arah tujuan Koo adalah daerah pecinan. Banyak sekali yang bermata sesipit Koo. Ada yang sedang berjualan makanan, memanggul beras, mendorong becak sayur dan aktifitas lainnya. Koo menggenggam tangan Dita mengajaknya melangkah. Dita memasang wajah ingin bertanya kemanakah mereka akan pergi. Koo lansung merapatkan tubuh Dita agar tidak menabrak orang yang hilir mudik dengan pekerjaannya masing-masing. Dita merasa aman dan nyaman berada disamping Koo. Seperti impian cinderella, hanya saja kali ini pangerannya lebih sipit. “Kita kemana?” akhirnya Dita tidak dapat memendam pertanyaan itu lebih lama lagi. “Ke rumah papi mamiku.” “Secepat itu? Bahkan mas belum menembakku.” Dita berhenti berjalan. “Aku tidak ingin menjadikanmu pacar. Karena itu aku tidak menembakmu!” jawab Koo santai. “Lalu untuk apa aku kesini?” Dita bingung. Ia merasa tidak pantas berada ditempat ini. “Aku ingin memintamu menikah denganku. Lebih dari sekedar pacaran yang bisa putus kapan saja. Aku ingin menikahimu agar kata putus dari mu itu jadi tidak berarti” “Teganya?... Mas jahat!” Dita manyun. “Ayolah. Aku tidak akan memutuskanmu, menduakanmu dan meninggalkanmu sendiri. Aku... orang yang bisa kau percaya! Jangan men-judge mata sipitku kali ini!” pinta Koo untuk kembali menggenggam tangannya dan meneruskan jalan yang sempat terhenti. “Aku masih punya adik yang belum lulus SMA. Juga punya seorang ibu yang janda. Aku... bukan wanita cantik” Aku Dita. “Aku tidak men-judge orang melalui tampilan luarnya. Aku menyukai pribadimu, Dita yang mampu memberikan semangat dan selalu memberikan semangat. You cheer my life,..” Koo menjemput tangan Dita. Hal itu membuat Dita melemah. Jujur Dita mendambakan hal ini terjadi dihidupnya. Yang ia selalu selipkan dalam doa sebelum tidur. Dita kembali mengiringi langkah Koo menuju sebuah rumah yang ditutupi pagar merah disekeliling rumahnya. Dita melihat rumah khas Cina yang disetiap sudutnya berwarna merah. Lampion-lampion tergantung rapi menghiasi beranda. Bau obat berada dimana-mana. Seperti kata Koo bahwa ayahnya adalah seorang tukang obat. Semua pelayan yang mereka jumpai memberikan salam sambil menunduk. Dita seperti dibawa kembali ke jaman dimana saudagar Cina sangat dihormati.



... continue Chapter XVII - Bagian Kedua



Chapter XVII - Bagian Kedua Quote:



... sambungan Dita gugup saat memasuki ruangan tengah tempat menyambut tamu. Tanpa diminta Ayah dan Ibu Koo memasuki ruangan tamu dan melihat Koo dan Dita yang duduk bersimpuh di sebuah bantal duduk. Dita tertunduk mendengar suara deheman ayah Koo yang mengambil posisi duduk di depan putranya. Sedangkan ibu Koo duduk berhadapan dengan Dita. Pembicaraan tidak dimulai sebelum teh datang. “Pah, Mah... perkenalkan ini Dita. Ia anak pertama. Dia memiliki seorang adik perempuan dan seorang ibu yang janda. Ia bekerja sebagai menejer artis. Ia juga suka melakukan pekerjaan rumah serta bisa memasak. Aku ingin menikahinya segera setelah kalian memberikan restu” Koo menjelaskan pada kedua orang tuanya tentang Dita. “Kamu pikir semudah itu kamu akan menikah? Tidak bisa! Tidak akan ada pernikahan bila kamu tidak melepas pekerjaanmu sebagai artis. Kami tidak akan mendukungmu. Buktikan dulu apa kau mampu meninggalkan nama tenarmu baru kau boleh menikah. Ayah bosan melihat wartawan datang kemari hanya untuk mengetahui tentang kamu, tentang kabar buruk bersama Niki!” Ayah memalingkan wajah. Ia tidak merestui putranya menikahi wanita manapun sebelum lepas dari nama artisnya. Koo terdiam. Ia memang menyesal menyusahkan orang tuanya perihal wartawan yang mengejar berita tentang kabar putusnya Koo dan Niki. Dita memandangi laki-laki itu miris. Apa yang akan Koo lakukan? Dita berpikir tidak akan mungkin Koo keluar dari dunia artis. Karirnya dalam puncak kejayaan sekarang ini. Pilihan yang berat harus ia tentukan. “Pulanglah kembali lain kali kalau kau sudah bisa memilih. Kau boleh menikahinya



jika kau sudah mengerti jalan hidupmu sendiri!” Ayah hendak segera beranjak dari tempat itu. Ia kecewa ternyata putranya belum berubah. “Ayah... tunggu!” entah apa yang Dita lakukan. Ia merasa bodoh sekali. Orang tua itu melihat kearahnya. Sejak tadi tidak ada wanita yang bersuara bahkan istrinya pun tidak. “Aku memiliki ini, aku selalu ingin memakannya bersama seorang ayah. Maukah ayah menemaiku makan? Aku sudah lama merindukan sosok ayah, sejak umur 6 tahun ayahku meninggal. Ibu tak berniat sedikit pun untuk mencarikan sosok ayah baru. Di rumah ibu memerankan lakon ayah, namun itu tidak mungkin cukup bagiku. Ibu tetaplah ibu, ayah tetaplah ayah. Aku mohon... sekali saja kita makan bersama seperti yang sering kulihat iklan ditelevisi. Aku mohon, ayah...” Dita memelas. Semua kata yang ia ucapkan jujur dari hatinya. Ia memohon dengan sebungkus Golden Oreo. Ibu menarik tangan suaminya. Memohon agar orang tua itu kembali duduk dan menikmati makanan itu bersama Dita. Perlahan keangkuhan orang tua itu meluntur. Ia kembali duduk dan menunggu Dita membuka bungkus Oreonya. Dita kemudian mempersilahkan ayah Koo mengambilnya lebih dulu. “Tunggu...! Bukan begitu caranya!” Dita menahan ayah Koo yang hampir mencelupkan Oreonya kedalam cangkir teh. “Perhatikan ayah, pertama diputar, kemudian dijilat cream vanillanya lalu terkahir dicelupkan!” Dita mengajari ayah Koo cara menikmati Oreo dengan benar. “Kau pikir kau siapa? Beraninya mengajari!” ayah Koo nampak marah. “Ayah... bukankah hidup harus melalui tahapan agar terasa nikmat diakhirnya. Bukankah tidak ada yang instan dalam menjalani hidup. Seperti memakan Oreo. Seperti putramu, ia sedang menjalani tahapannya. Berilah ia waktu...” pinta Dita dengan menganalogikan hidup sebagai sepotong Oreo. “Apa-apaan kau ini mengajariku yang lebih tua! Pulanglah!” ayah mengenggam Oreonya dan pergi dari tempat itu. Ibu tersenyum pada Dita. Ia merasa menemukan lawan yang tepat untuk memancing emosi suaminya. Ia tak pernah melihat wajah laki-laki itu kehilangan muka dihadapan seorang anak kecil seperti Dita. Kemudian ibu menyarankan untuk Koo memikirkan baik-baik apa yang harus ia perbuat. Ibu memberikan kesempatan lagi pada Dita. Ia bahkan berharap dapat melihat Dita lagi. Ibu juga berkata bahwa ‘Satu wanita tak kan sama dengan yang lainnya’. Ada yang ibu selipkan dari perkataan itu. Akhirnya Koo mengajak Dita kesebuah jembatan yang tak jauh dari rumahnya. Ia bercerita dulu ketika ia dimarahi ayahnya ia akan datang kejembatan ini. Melemparkan batu mengusir kesialannya kedalam sungai. Kini ia ingin melakukan hal itu lagi. Ia ingin membuang ceritanya dengan Niki jauh didalam sungai karena kini ia telah menemukan bagian hatinya yang hilang.



Seperti sebuah cahaya yang tak padam. Dita bersinar perlahan membakar emosi di hati Koo. Ingin sekali ia memeluk cahaya itu. Namun ia tahu mereka bahkan belum mendapatkan restu untuk menikah. Koo membiarkan cahaya itu menari-nari di sekitarnya. Ia akan terus mengikuti cahaya itu. Tidak akan dibiarkannya cahaya itu pergi.



Chapter XVIII Quote:



It Has To Be You



L



angit cerah dihari pernikahannya. Bunga-bunga bertaburan disudut kamar. Niki



menghadap cermin di kamar pengantin itu. Niki dengan gaun putihnya. Ia menahan tangis. Sebentar lagi ia akan menikah. Menjelang hari bahagianya, apakah ia bahagia? Meski bukan dengan Koo. Jessica berdiri disisi pintu. Ia melihat kegundahan di hati Niki. Ia tak mampu berkata apapun. Niki telah memilih untuk menjadi Ny. Lana. Ia tak bisa membiarkan Koo yang mempertanggungjawabkan bayi yang ia sedang kandung. Ini bukan bayi Koo, ia sangat sadari itu. Ia tidak ingin melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Ia mencoba menerima semua ini sendiri sebagai akibat yang ia perbuat seorang diri. “Apakah aku melukai Koo?” tanya Niki pada Jessica yang kemudian menyuruh perias pengantin segera keluar. Ia ingin berbicara berdua saja dengan Niki. “Tentu. Sedikit banyak Koo pasti akan terluka, tapi ia laki-laki yang kuat Niki. Aku yakin ia bisa menerima keputusanmu” “Lalu apakah dia akan datang?” tanya Niki ragu. Tak ada yang mampu menjawabnya. Hanya Koo seorang. Adelia meninggalkannya diruang rias. Syuting Love Paradise telah selesai sampai 25 episode. Nanti malam akan ada perayaan syuting telah selesai dengan baik tinggal menunggu hasilnya ditayangkan ditelevisi. Koo gamang. Ia butuh seseorang untuk menuntunnya saat itulah Dita hadir diimajinasinya. “Dita, apakah aku harus pergi kepernikahannya?” tanya Koo melalui ponselnya. “Pergilah. Bawakan ia bunga kesukaannya. Tersenyumlah di hadapannya. Dan ucapkan Mas Koo turut bahagia. Jangan sekali pun memperlihatkan wajah sedih mas.



Begitulah agar mas menjaga perasaannya. Ini pernikahan yang ia pilih. Tunjukkan bahwa mas merestuinya agar ia tenang.” Jelas Dita di seberang sana. “Begitu?” Koo meragukannya. “Jika aku sutradaranya apakah mas akan percaya semua akan berjalan dengan lancar? Sayangnya aku bukan sutradara, Mas Koo. Mas Koo harus berbuat sesuai kata hati mas. Mas Koo yang memilih takdir mas sendiri. Lakukanlah yang terbaik, aku menunggu mas disini.” Dita cemas. Ia takut kehilangan Koo. Jauh dalam hatinya ia ingin berkata tidak usah datang saja. “Terima kasih, Dita, Oreoku” andai Dita ada disisinya ia pasti akan mengelus rambut Dita. Koo segera beranjak dari kursinya. Ia melangkah pergi meninggalkan studio bahkan mungkin untuk terakhir kalinya. Ia juga harus memilih. Dita memang mungkin akan menunggunya, tapi takdir terus mengitari. Ia tidak akan tahu kapan orang tuanya akan pergi meninggalkan untuk selamanya. Di resepsi itu Koo datang dengan sublima orange hadiah dari designer Ira Awalanti. Tentu saja membuat orang-orang iri karena Koo nampak bercahaya dengan pelukan garis berkilauan orange dibaju itu. Ia membawakan sebuah kado yang langsung diberikannya pada Niki. “Untuk bayi kecil kalian. Selamat menempuh hidup baru” ucapnya. Niki mengabaikan kado itu. Ia memeluk Koo. Pelukan terakhir sebagai seorang wanita mantan kekasih Koo. Koo menyuruhnya jangan menangis, itu akan membuatnya terlihat seperti hantu dengan maskara yang luntur. Koo juga memeluk Lana dan menasihatinya agar menjaga Niki baik-baik. Kemudian ia pergi di pintu itu meniggalkan acara resepsi pernikahan. Tak satu pun ia ajak berbicara. Ia sudah tak sanggup lagi. Ia bersembunyi dalam mobil yang membawanya pergi jauh-jauh. ‘Dita, aku pergi. Tunggulah hingga aku kembali dengan seutuhnya untuk kamu’ Sebuah pesan singkat yang menjelaskan ketidakhadiran Koo di malam perayaan kesuksesan Love Paradise. Hari-hari berikutnya ia juga tak menemui Koo di Sunrise.N. Laki-laki itu tidak sedang bersembunyi diatap gedung. Laki-laki itu tak mengabarkan apapun pada Adelia, Adelia hanya diminta mengepak barang-barangnya dan dikirimkan ke rumah orang tuanya. Seperti yang pernah terjadi di hidup Roman. Dita memandangi majalah dengan cover cokelat dan putih. Ia memandangi wajah Koo. Laki-laki itu pergi saat karirnya berada di puncak. Menghilang entah kemana. Dita terdiam. Hanya itu yang dapat ia lakukan sekarang. Ia tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri yang menyuruh Koo menghadiri resepsi pernikahan Niki. Ia merasa melakukan hal yang benar. Namun ketika akhirnya sepi mendampingi kehidupannya. Ia pun harus terima. Dita menapaki hari demi harinya dan berkembang menjadi wanita yang lebih sabar lagi. Ia bersabar hingga Koo datang.



Ia selalu menantikan kehadiran laki-laki itu. Koridor ini begitu sepi tanpanya. Tahukah ia? One Years Later... “Jadi kamu bilang kalau aku sudah memiliki calon suami?” Dita, Laura dan Ivana duduk dikamar pengantin. Hari ini Ivana akan menikah dengan Roman. Mereka mengenang hari-hari yang terlewati. “Tama ternyata tampan juga ya...” Laura menggigit ujung lidahnya saat mengatakan pujian itu. “Hah kau ini. Jelas dia kan calon suamimu! Cepat ajak dia menikah!” Ivana memukul kening Laura. Semenjak Tama patah hati, Laura merasa bersalah pada laki-laki itu. Tidak lama kemudian rasa bersalah itu kian berganti menjadi rasa perhatian dan akhirnya menjadi rasa cinta. Mereka mempublikasikan hubungan dimedia massa. Laura tidak ingin ada yang menuliskan berita yang salah tentang ia dan Tama. Sementara itu Ivana sudah dilamar. Ibunda Roman sudah tinggal bersama Ivana. Ia belajar menjadi menantu yang baik sejak dini. Dan sekarang dihari pernikahan Ivana. Laura dan Dita mengutuki Ivana agar cepat dapat momongan. Tentu saja membuat wajah Ivana memerah. Dan Dita, kisah berhenti. Dita masih sering pulang larut. Ia memandangi bekas ruangan khusus Koo Yitjin An. Kini ruangan itu telah diganti dengan nama artis lain, Mathew Sevan. Dita masih mengingat semua kenangan ia dan Koo di koridor ini. Dita... meleburkan kesepiannya dengan lagu yang adiknya suka. Satu koleksi hits dari Sandhy Sondoro – Malam Biru. Engkau yang seharusnya disisiku Engkau yang selalu ada dikhayalku Semoga kau mendengar lagu ini Yang ku cipta untuk mu... .................................Dipopulerkan oleh Sandhy Sondoro Dita menyisipkan senyum. Ia ternyata masih mencintai Koo Yitjin An bahkan saat lakilaki itu tidak lagi ia lihat dan dengar. Mungkinkah ini yang mama rasakan tanpa ada ayah. Ada perasaan saling terikat kuat tak mau pergi mengkhianati. Bagaimana ia bisa melupakan pemilik mata yang bertaburan cinta itu? Dita membiarkan waktu yang berlalu mendewasakannya. Membiarkan jodoh berada ditangan tuhan. Membiarkan hidup yang ia pilih terus berjalan seperti apa adanya.



Chapter XIX - Bagian Pertama Quote:



Waktu Tak Kan Mampu



B



ulan keempat dari hari pernikahan Ivana dan Roman. Kini Ivana sudah



mengandung. Dan kini Tama dan Laura berencana menikah. Mereka memilih-milih kartu undangan di ruangan Laura. Sialnya Dita harus memilihkan untuk mereka. Karena itu Dita pergi keluar dari ruangan Laura dan menangis. “Kapan Mas akan kembali?” Dita menangis ditempat yang sama ketika dulu Koo menyendiri diatas atap gedung. “Dita...” Laura memburunya ketempat itu. “Ada apa?” Dita kesal. “Maaf. Aku tidak bermaksud.” “Bukan kamu, cantik. Bukan salah kamu” Dita mengelus rambut Laura. Dita diam. Di rumah pun Dita terdiam. Di semua tempat ia terdiam. Apa yang sedang ia pikirkan adalah satu persatu mimpinya berguguran seperti daun-daun dipohon samping rumahnya. Kekeringan. Dita menyiraminya dengan air kran berharap pohon itu akan tetap hidup. Mamah tak mengerti bagaimana pohon yang telah mati itu masih ia sirami. “Namanya juga usaha mah. Nanti kalau pohon ini hidup kembali pasti akan lebih rindang dari hari ini” Dita sebenarnya mengatakan hal itu untuk menyemangati dirinya sendiri. “Carilah pria lain, Dita” saran mamah. Saat itu juga ia meninggalkan mamah dan masuk ke dalam kamar. Ia sudah bertahan sejauh ini. Ia sudah menghabiskan waktunya untuk menghitung hari yang ia lewati tanpa cinta. Ia sudah patah hati berkali-kali namun tetap bangkit untuk mempercayai bahwa Koo akan kembali.



“Mas Koo... belum cukupkah aku menunggu mas? Katakan! Jangan mas diam saja.” Dita melepaskan kekesalnya pada angin yang melalui roof Sunrise.N. Ia bersandar pada pagar pembatas itu. Samar-samar ia mendengar suara Koo. “Kau ingin mati?” tegur seseorang disana. “Menjauhlah dari pembatas itu!” Dita yakin itu suara Koo. “Ceroboh sekali. Menjauhlah dari pembatas itu. Kau bisa celaka.” Ia sangat bahagia saat ini mendengar suara Koo. Tuhan benarkah Koo ada dibelakangku? Tuhan aku sangat berharap. Pinta Dita. Kenyataan harus ia terima. Bayangan Koo yang duduk disamping gudang menghilang. Suara itu ialah suara yang terekam diingatannya. Dita menangis. Ia menjauhi pagar pembatas itu. Ia berlari ke ruangannya dengan air mata yang berlinangan membuat Roman tak enak hati. “Kau ini kenapa? Siang bolong seperti ini kau bertemu hantu apa?” “Hiks... hiks...” Dita menjawabnya dengan mata yang sembab. “Sudah hentikan tangisanmu. Tidak enak dilihat yang lain. Nanti mereka kira aku menyakitimu. Kita harus bergegas ke ruang rapat. Bu Liana akan mengumumkan sesuatu.” saran Roman memberikan sapu tangan pada Dita. “Rapat apa?” Dita mulai memperbaiki wajahnya yang kacau. “Seperti biasa. Rapat dadakan. Entahlah akan terjadi apa lagi. Berharap saja Koo yang diumumkan kembali ke Sunrise.N” ucap Roman mengingatkan seperti dirinya dulu. “Kau...” Dita manyun mengikuti langkah Roman. Disana sudah ramai berkumpul artis dan menejernya serta asisten menejer yang berdiri dibelakang mereka. Seperti biasanya mereka ribut memperbincangkan apa saja yang mungkin akan dibahas dalam rapat dadak. Dan kebiasaan itu akan terhenti ketika Bu Parish dan Tante Liana memasuki ruang rapat. “Pagi ini kami dihubungi oleh rumah produksi. Ada sebuah tawaran dari rumah produksi itu. Mereka akan membuat film berdasarkan karya cerpen yang dimenangkan dalam lomba karya tulis dengan tema ‘Oreo dan Aku’. Cerpen itu kemudian menjadi skenario dan membutuhkan pemeran dalam filmnya. Dan kami telah menandatangani kontrak kerja siang ini. Mereka hanya menggunakan aktor dan aktris dari Sunrise.N.” jelas Bu Liana. “Wah...” seluruh hadirin rapat tercengang. Mendapat peran dilayar lebar? Siapa yang tidak mau.



“Ini adalah daftar artis yang memerankan tokoh difilm itu sesuai pilihan mereka. Dan juga skenario filmnya!” Masing-masing menerima naskah mereka dari asisten Bu Liana. Mereka terkejut mendapatkan nama dan peran-perannya. Banyak pertanyaan yang mengumpul diruangan itu. “Kami harap semuanya bekerja sama. Untuk kesiapannya tolong hadir tepat waktu di lokasi syuting besok. Waktu dan tempat kami akan informasikan lagi. Bila tidak ada pertanyaan rapat ini dibubarkan” Setelah kepergian Bu Parish dan Bu Liana ruang rapat menjadi riuh rendah. Bagaimana tidak? Bahkan artis baru pun ikut berperan di film itu walau hanya sebagai pemeran pembantu, tokoh samping juga sekedar lewat saja. “Tjin.Ta Itu Oreo” gumam Dita membaca judul filmnya. “Pengarang El Machatta” gumamnya kedua kali. ... continue Chapter XIX - Bagian Kedua



Chapter XIX - Bagian Kedua Quote:



... sambungan Ia semakin penasaran seperti apa cerita ini berkisah. Ada apa dengan cinta dan oreo? Dita membaca skenario itu berjam-jam. Ia merasa cerita ini berlebihan. Bagaimana bisa ada seorang gadis SMA yang mencintai kakak kelasnya yang angkuh dan sudah memiliki pacar. Bagaimana bisa ada seorang gadis SMA yang meski ditolak mentahmentah dan dikucilkan masih tetap mencintai kakak kelasnya. Bagaimana mungkin ada kisah akhirnya sang kakak jatuh cinta karena sepotong oreo dari gadis itu. Keajaiban ternyata. Doa gadis itu terkabul suatu malam. Ia ditemukan oleh neneknya yang sudah lama mencari gadis itu. Semua berkilauan kemudian. Di saat yang sama keluarga si kakak kelas bangkrut. Ia ditinggal pacarnya. Dan kakak itu berkerja keras menghidupi keluarga dan juga hampir putus sekolah. Gadis itu tetap mencintai kakak kelasnya. Ia memberikan hartanya pada si kakak kelas. Ia berkata bahwa hidup itu harus dinikmati tiap langkahnya. Ketika terjatuh ya terima saja. ketika bahkan semua menjadi bahagia ya ingatlah ketika tidak memilikinya. Pun ketika akhirnya semua harus pergi ya berbesar hatilah. Mereka yang pergi akan kembali dengan caranya sendiri. seperti saat memakan Oreo, kalau tidak diputar, dijilat dan dicelupin rasanya ada yang kurang. Dita tertawa sendiri membaca cerita itu. Ia seperti pernah mendengarnya entah dimana. Cerita ini adalah juara 1 dilomba karya tulis ‘Oreo dan Aku’. Dita jadi semakin penasaran terhadap penulisnya. Ia segera membuka laptop dan menghubungkan dengan jaringan wifi. Ia mendapati Profile El Machatta. Seorang anak yang masih duduk dibangku kuliah. Penulis fiksimini yang diprakarsai Clara Ng dan kawan-kawannya dijejaring sosial Twitter. Dan satu hal yang mengecewakannya adalah El Machatta memang benar bukan Koo Yitjin An. Ia berharap yang hadir dirapat dadakkan itu adalah orang yang telah lama menghilang. “Kau ini seberapa gila? Mengapa cerpenmu yang menang? Bukankah ini cerita biasa. Cerita yang sangat fiksi.” Gumam Dita. Namun esok segera tiba. Roman tidak lagi mengemudikan mobil. Dita sudah membuat dirinya lebih berguna dengan kursus mengendarai mobil. Sesampainya disana ia melihat bapak tua sutradara itu duduk dikursi kebanggaannya. Asistennya juga masih sama, yang suka marah-marah itu. Roman hanya tersenyum miris melihat pamannya



masih niat menggarap film seperti ini. “Bersiaplah! Kita akan memulai syuting!” teriak assisten sutradara itu dengan TOA. Mereka hanya saling menyapa sebentar sebelum berganti kostum sebagai anak SMA. Jujur tidak ada yang masih berseragam SMA di Sunrise.N. Mereka tidak mempekerjakan anak yang masih berseragam sekolah. Bu Parish tidak mau main-main dengan anak sekolah. Tanggung jawabnya lebih besar. “Cinta Itu Oreo Take 1 Sesion 1 Camera Rolling” Semua berjalan dengan lancar karena mereka memang orang-orang yang sudah profesional. Mereka lahir dari panggung-panggung teather dan kelas akting. Sudah tidak diragukan lagi keahlian mereka merubah mimik, menghapal dialog juga sedikit improvisasi. Tanpa terasa waktu berlalu hingga akhirnya malam tiba. “Pak sutradara syuting hari ini dicukupkan saja. Pimpinan kami ingin sekali menjamu semuanya diballroom PH kami. Dan kami berharap semuanya hadir” ucap asisten produser setelah menerima telpon dari pimpinannya. “Kalian dengar? Pergilah berpesta sebentar. Tapi aku tidak ingin kalian terlambat besok!” Pak sutradara melanjutkan memeriksa naskahnya. Roman dan semuanya membubarkan diri dengan serentak. Roman mendekati istrinya yang sedang hamil. Dita yakin mereka tak akan pergi ke pesta. Dita menawarkan jasa pengantaran ke rumah mereka meski pun akhirnya ia terlambat ke pesta. Tidak ada minuman beralkohol ditempat itu. Teh, susu dan kopi serta air putih yang cocok diminum dengan makanan kecil juga beberapa potong kambing guling. Rupanya Dita telah terlambat acara pembukaan. Telah nampak para undangan berbincang masing-masing. Dita hanya mencari orang yang ia kenali dengan segelas susu hangat ditangannya. Ia berputar-putar tak nampak orang-orang yang ia biasa ajak bicara saat dikantor. Dita berdiri didepan meja puding. Ia akhirnya memenuhi piringnya dengan beracam rasa puding. Lalu mencari tempat duduk yang kosong. Ia seperti orang tersesat. Yang ia lihat kebanyakan krukru film. Laura juga tak menampakkan batang hidungnya. Ia mulai bosan bila akhirnya ia berpikiran bahwa Laura sedang kencan dengan Tama. “Kau perlu teman?” tawar seseorang yang duduk dibelakangnya. Dita mengabaikan ajakan itu. Ia tidak berpikir bahwa orang itu sedang mengajaknya berbicara. “Tidakkah kau rindu?” sekali lagi laki-laki itu mengajaknya mengobrol. Lagi, Dita mengacuhkannya. “Dita... aku berbicara denganmu!” laki-laki itu kini memastikan bahwa Dita lah yang ia ajak bicara.



“Kamu?” Dita berbalik dan terperangah. Tangannya beku dan kaku. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Dihadapannya ia melihat mimpi-mimpi indahnya, ruang kesepian itu, harapan yang semua orang bilang itu palsu dan pria yang bertaburan cinta dimatanya. Dialah yang selama ini Dita tunggu. Laki-laki yang tak akan Dita lupakan lekuk wajahnya, cara memandangnya, tangan hangatnya dan cara ia mengucapkan sebuah nama, Dita bukan sayang. Ia tidak mengenal seseorang yang bernama sayang. Yang ia kenal seseorang yang bernama Dita yang sangat ia cinta dan sayangi. “Mas Koo...” lara hati Dita saat menyebut nama laki-laki itu. Ia pingsan seketika dan membuat panik undangan yang hadir.



~ Ending ~ Quote:



Epilog: Complete



P



agi yang cerah ketika akhirnya Dita terbangun dari tidur. Semalam ia telah



membuat Koo khawatir setengah mati. Ia kira Dita terkena serangan jantung. Ternyata Dita hanya kelelahan karena beban dipikirannya yang menumpuk yang ia tanggung sendiri. Koo tak bermaksud untuk berbuat seperti itu. Dita memandangi wajah Koo yang sedang tertidur di samping ranjang rawat inapnya. Ia tak tega membangunkan laki-laki itu. Ia mengelus rambut Koo. Kali ini untuk pertama kalinya Dita menyentuh rambut Koo. Dan ternyata itu membuat Koo terbangun dari tidurnya. “Kau sudah bangun?” Koo memperhatikan wajah Dita yang nampak kabur dimatanya. “Iya. Mas juga” Dita menarik tangannya menjauhi Koo. “Ayo kita pulang. Naiklah dipunggungku!” Koo memberi Dita punggung seolah Dita tak mampu berjalan. “Aku sudah tidak muda lagi untuk melakukan hal itu. Lagi pula aku baik-baik saja. Kenapa harus menginap di rumah sakit segala sih?” Dita bangkit dari ranjangnya. “Habisnya aku tidak mungkin menginap dirumahmu dan papiku akan arah kalau aku membawa wanita malam hari ke rumah. Kalau sudah begitu aku kan jadinya tidak bisa menjagamu.” Koo menampakan ekspresi yang Dita rindukan. Dita berdiri di hadapannya untuk membuktikan bahwa ia masih kuat berjalan. Koo menangkap kaki Dita dan menggendongnya seperti menggendong bayi. Dita malu. Ia menutupi wajah sepanjang perjalanan menuju tempat parkir. Sebuah VW kodok menunggu mereka. Masih VW kodok yang berwarna silver itu. “Mas ini sebenarnya siapa?” Dita keheranan. “Aku... sekarang mendirikan PH, memiliki usaha terapis, memiliki usaha sop bebek dan memiliki toko obat. Tapi aku tidak memiliki istri, malangnya aku. Maukah kau menikah denganku?” jawab Koo ditengah perjalanan.



“Tentu saja. Aku akan menikahimu, Mas ! Mas memang anak malang. Aku akan membawa keberuntungan dihidupmu, mas.” Dita tersenyum sumringah. “Hei... harusnya kau menolak. Pasti kau mengincar hartaku ya?” Selidik Koo bercanda. “Ah ayolah. Apa yang bisa Mas banggakan? Mas pasti masih bertengkar dengan ayah! Bagaimana kabarnya ayah?” Dita jadi teringat orang tua itu. “Beliau merindukanmu. Ia sudah sejak kapan hari menyuruhku menjemputmu. Ia ingin makan Oreo bersamamu. Kau menantu yang ia tunggu-tunggu” Koo tersenyum manis kala mengingat ayahnya siap sedia dengan secangkir teh dan sebungkus Golden Oreo didepan televisi menonton iklan yang diperankan oleh Roman. “Kabar mas sendiri?” “Aku... merindukanmu. Ternyata meninggalkanmu itu hal yang paling berat. Aku selalu menahan diriku agar tidak bertemu denganmu. Aku sedang mencari bekal untuk kita menikah. Aku juga sudah menjual apartemenku. Kini aku tinggal bersama keluargaku. Ternyata setiap malam wajahmu menghantuiku. Kamu cukup menyeramkan ya... entah kenapa aku semakin takut, takut bila kehilanganmu” aku Koo. “Kalau aku...” “Sudah jangan ceritakan. Aku tahu apa yang kau lakukan. Mencoba membunuh diri di atap gedung. Memperhatikan ruangan kerja ku dulu sampai kau tak melihat aku berdiri dipintu ruangan Laura. Kau kehilangan hidupmu. Kau kehilangan aku. Kau bahkan juga menyiram pohon kering seperti diceritakan ibumu. Kau ini aneh... kau juga tidak berhenti menungguku. Apakah di hidupmu tidak ada cerita lain selain aku?” Dita tidak menyangka bahwa selama itu ternyata Koo mengawasinya. Ia bahkan tidak sadar. Ia benar kehilangan keberadaan Koo sampai tidak menyadari bahwa Koo selalu ada melihatnya. “Satu hal juga. Kau iri melihat baju pengantin Ivana. Aku berjanji akan membuatmu menjadi pengantin yang paling cantik yang satu-satunya untukku” Koo memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Agak jauh dari rumahnya. Ia mengajak Dita jalan kaki untuk melihat sisi lain kehidupan di pecinan. Menyusuri kehidupan Koo saat masih kecil. Dita tak berkeberatan untuk itu. Ia telah merasa hidupnya sempurna. Ia tak menyesal telah menunggu Koo selama ini. Ketika tiba di rumah ayah Koo mengajaknya makan Oreo. Dita tertawa riang bersama orang tua itu. Pintu telah terbuka lebar untuk Dita masuki kapan saja ia inginkan. Dita dapat merasakan bahwa tempat ini seperti rumahnya sendiri. Ia tak perlu sungkan. Ia telah mendapatkan restu dari orang-orang yang ia sayangi. Betapa bahagianya Dita.



Koo membawa calon istrinya itu mengunjugi tempat-tempat ia tumbuh dewasa. Ia ada disana berlarian bersama A’li. Ia bahkan membuat adiknya itu menangis. Juga memeluk A’li kecil saat hujan turun dimalam hari. Ia menguatkan adiknya yang ketakutan. Mengajari adiknya saling berbagi. Banyak hal yang ia lakukan di rumah kayu bercat merah itu. Semua yang Koo lakukan membuat Dita menjadi iri. Yaitu tentang canda tawa bersama ayahnya, saat sedang bertengkar dengan ayahnya juga saat ayahnya sakit. Dan yang paling Dita rindukan adalah belaian ayah ketika ia terbaring sakit. Namun kini ia memiliki Koo untuk menjadi ayah dari anak mereka kelak. “Tentang film Tjinta itu Oreo, kenapa cerpen itu yang menang?” tanya Dita penasaran. “Judul aslinya Cinta itu Oreo, namun karena mirip seperti kisah kita. Maka ku ganti jadi Tjin.Ta untuk Tjin dari Koo Yi-Tjin An dan Ta dari Di-Ta Purwanti. Inisial kita berdua. Analogi anak itu saat memakan Oreo juga sama seperti analogimu tentang hidup. Kalian memiliki cara pandang yang sama” jelas Koo. “O... pantas saja aku merasa pernah mendengar analogi itu entah dimana. Ternyata itu seperti analogiku sendiri. Lalu jika selama ini mas mengawasiku mengapa membiarkan aku kesepian? Menderita rindu akut! Aku bahkan takut kehilangan mas lagi” Dita mulai mengambek setelah tahu bahwa Koo membiarkannya tidak tahu bahwa ia ada disekitarnya. “Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata... tapi dengan...” jawab Koo. Kelanjutan jawaban Koo ia jelaskan langsung antara bibir dan bibir. Hanya gemericik air dikolam ikan koi dibelakang rumah yang menyaksikannya. Mereka saling berpagut dan membiarkan bibir mereka memberitahukan bahwa semua ini terjadi karena cinta... I do what everything I can do because I love you.



“Untuk aku, untuk kamu dan untuk Tuhan kita. Aku menikahimu” 12 Maret, Hari Bahagia Tjin & Ta.



TamaT