Obesitas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Essay OBESITAS - September 17, 2017



OBESITAS Oleh Razana Hijani Setelah dianggap sebagai masalah negara berpenghasilan tinggi, kelebihan berat badan dan obesitas kini meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di daerah perkotaan. Nyatanya, sudah lebih 40 juta orang dewasa di Indonesia yang obesitas atau kegemukan. Seiring meningkatnya kesejahteraan rakyat dan bertambahnya jumlah penduduk usia produktif sebagai buah dari bonus demografi, jumlah orang dewasa yang obesitas dipastikan terus meningkat karena gaya hidup yang membuat pola makan yang salah dan aktivitas fisik yang kurang. Kebiasaan hidup tidak sehat pada orang tua berpotensi menurun kepada anak karena anak cenderung meniru segala hal yang dilakukan oleh orang tuanya. Setiap tahun , angka penderita obesitas di Indonesia selalu meningkat. Ironisnya, kalangan wanita merupakan yang paling tinggi kenaikan angka penderitanya. Kasus obesitas tahun 2013 di Indonesia mencapai 17,7% atau naik dari 13,9% di tahun 2007. Pada perempuan, kasus obesitas di tahun 2007 baru 14% namun di tahun 2016 mencapai 35%. Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 ,menunjukkan, ada sebanyak 18,8% anak usia 5-12 tahun mengalami kelebihan berat badan, dan 10,8% menderita obesitas. Riskesdas 2013 juga menyatakan prevalensi obesitas pada anak yang disertai dengan komordibitas erat kaitannya dengan kejadian obesitas pada orang tua. Penyebab kelebihan berat badan dan kekurangan gizi saling terkait, anak yang mengalami hambatan pertumbuhan pada usia dini berisiko lebih besar untuk mengalami kelebihan berat badan dikemudian hari. Risiko kelebihan berat badan juga dipicu banyaknya anak mengkonsumsi makanan tak bergizi atau ‘junk food’ dan minuman cepat saji. Aktivitas fisik dan gaya hidup tidak aktif atau kurang bergerak, memberi kontribusi signifikan terhadap meningkatnya prevalensi penyakit kronis seperti diabetes dan kondisi jantung. Pola asuh anak menjadi faktor penting lainnya yang membuat seorang anak mengalami obesitas. Banyak anak yang diasuh oleh nenek atau kakeknya, karena kedua orang tuanya bekerja. Tapi banyak diantara mereka (kakek-nenek), yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang asupan gizi yang seimbang. Mereka juga terpengaruh oleh iklan-iklan makanan instan, yang seolah menunjukkan itu adalah makanan yang tepat dikonsumsi.



Masalah gizi memiliki dampak yang luas, tidak saja terhadap kesakitan, kecacatan, dan kematian, tetapi juga terhadap pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dengan produktivitas optimal. Kualitas anak ditentukan sejak terjadinya konsepsi hinga masa balita. Kecukupan gizi ibu selama hamil hingga anak berusia di bawah 5 tahun serta pola pengasuhan yang tepat akan memberikan kontribusi nyata dalam mencetak generasi unggul. Guna menanggulangi permasalahan gizi di Indonesia, diperlukan dukungan seluruh lapisan masyarakat dan lintas sektor. Hal ini dilatarbelakangi bahwa permasalahan gizi tidak hanya berhubungan dengan kesehatan saja. Namun, lebih luas daripada itu, masalah gizi dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti ekonomi, sosial, budaya, pola pengasuhan, pendidikan juga lingkungan. Kementerian Kesehatan RI mengadakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperingati Hari Obesitas Sedunia 11 Oktober 2016 lalu. Kegiatan yang dilakukan meliputi: 1) melaksanakan sosialisasi dan diseminasi informasi tentang kelebihan berat badan dan obesitas melalui berbagai media cetak, elektronik dan media lainnya serta pemasangan spanduk, umbulumbul berisi pesan tentang obesitas, 2) Membuat Surat Edaran keada seluruh Dinas Kesehatan Provinsi di Indonesia terkait Hari Obesitas Sedunia untuk melakukan promosi kesehatan, deteksi dini, dan kerjasama LSM untuk melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat. Kementerian Kesehatan juga memberikan himbauan kepada pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan mendukung upaya pencegahan dan pengendalian obesitas pada anak. Mendorong kementerian dan lintas sektor terkait lainnya untuk meningkatkan kerjasama dalam mengatasi masalah kesehatan sehingga semua kebijakan yang ada berpihak pada kesehatan.



LOS ANGELES — Warga lokal Los Angeles, Kathleen Mulcahy, telah berjuang melawan berat badannya selama 55 tahun. “Orang tua saya punya seorang bayi, seorang putra, dan ia meninggal saat lahir. Usia saya waktu itu 7 tahun, dan saya kira itu saat saya mulai menjadi gemuk. Ibu saya meninggal tiba-tiba saat saya berusia 12 tahun, dan berat badan saya langsung melonjak. Saat saya lulus SMA, berat saya sekitar 118 kg,” ujar Mulcahy. Ia tidak sendiri. Lemak, garam, gula Masalah dengan obesitas di seluruh dunia telah melonjak tiga kali lipat sejak 1975, menurut Organisasi Kesehatan Dunia. Ini bukan saja masalah dengan negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat. Ada semakin banyak orang yang mengalami obesitas dan gemuk di



negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Berat badan berlebih terkait dengan meningkatnya angka kematian global ketimbang berat badan di bawah rata-rata. “Makanan cepat saji, perusahaan-perusahaan transnasional, perusahaan-perusahaan minuman ringan merambah negara-negara berkembang dan memiliki pengaruh yang sangat besar atas terjadinya epidemi kelebihan berat badan dan obesitas, karena mereka menambah kalori dan makanan olahan, garam, dan gula ke dalam pola makan yang mereka biasa makan,” ujar Dana Hunnes, seorang asisten profesor di the University of California, Los Angeles, Fielding School of Public Health. Gaya hidup orang di negara-negara berkembang juga ikut berubah. “Saat orang-orang mulai tinggal di kawasan perkotaan dan memiliki uang lebih banyak dan gaya hidup yang cenderung kurang aktif, berat badan mereka juga bertambah dan mengikuti pola gaya hidup Amerika Serikat,” ujar Hunnes. Menurut seorang psikoterapis, Deena Solomon, ada alasan lain juga mengapa orang semakin gemuk secara global. “Orang-orang menjauh dari keluarga asalnya. Mereka tidak memiliki sistem pendukung yang akan membantu mereka juga mengelola dan memiliki hubungan sebagai pilihan saat mereka mengalami stres, sehingga orang beralih ke makanan,” ujar Solomon. Meskipun pola diet yang populer dapat menjadi sarana untuk menurunkan berat badan secara cepat, namun menjaga agar tidak kegemukan adalah tantangan tersendiri. “Dalam menjaga berat badan yang ideal, studi secara meyakinkan menunjukkan pola makan dengan sayur-sayuran merupakan jalan keluar yang baik untuk jangka panjang,” ujar Hunnes. Namun, apabila beralih menjadi seorang vegetarian terlalu esktrim, pola makan dengan sedikit daging juga dapat membantu, ujarnya. Perubahan perilaku Ketimbang fokus pada apa yang dimakan, Solomon membantu orang-orang untuk menjaga berat badan ideal dengan mengubah pola pikir orang untuk mengubah kebiasaan makannya. Ia mengatakan berat badannya 102 kg dan berhasil mengurangi 32 kg lebih dari 30 tahun. Solomon menulis buku tentang pengelolaan berat badan dan telah membantu banyak klien seperti Mulcahy untuk memiliki kesadaran diri yang lebih besar. Bagian penting dari metodenya adalah sebuah jurnal, dimana mereka yang makan terlalu banyak menuliskan segala yang mereka makan sebelum mereka makan. “Jadi kesadaran itu, rasa untuk lebih berhati-hati, menjadi lebih kuat ketimbang rasa kepuasan langsung yang ditimbulkan makanan. Namun anda harus mempelajarinya. Ini harus menjadi kebiasaan,” ujar Solomon.



Metode ini berhasil untuk Mulcahy, yang telah berhasil menjaga berat badannya saat ini selama hampir tiga tahun. “Anda mendapatkan sebuah perasaan keberhasilan, rasa keberdayaan dan nilai, yang dapat anda terapkan dimana-mana,” ujar Mulcahy. Psikologi makanan “Cara kita berpiir tentang makanan, psikologi kita tentang makanan sangat penting dalam kaitannya dengan diet,” ujar Hunnes. Bagaimana budaya yang berbeda berpikir tentang jenis-jenis makanan yang berbeda juga memainkan peran tentang apa yang orang makan dan berat badan mereka. “Kita tahu bahwa pola makan Barat, pola makan yang tinggi dengan kandungan produk-produk hewani, tidak menjadi dasar yang menunjang kesehatan agar tidak terjangkit penyakit diabetes Tipe 2, kanker, penyakit jantung, dan jumlah masalah kesehatan yang tidak terhitung banyaknya. Mengkonsumsi daging sebanyak itu, mengkonsumsi produk hewani sebanyak itu, sama sekali tidak sehat. Dan makan dengan pola makan tradisional yang didominasi buah dan sayur-sayuran serta biji-bijian dan serat adalah sesuatu yang kami (bangsa Barat) inginkan,” ujar Hunnes. [ww]



Suara.com - Menurut hasil riset kesehatan dasar atau Riskesdas 2018 yang baru dirilis Jumat (2/11/2018) ini, tingkat obesitas pada orang dewasa di Indonesia meningkat menjadi 21,8 persen. Prevalensi ini meningkat dari hasil Riskesdas 2013 yang menyebut bahwa angka obesitas di Indonesia hanya mencapai 14,8 persen. Obesitas sendiri mengacu pada kondisi di mana indeks massa tubuh diatas 27. Begitu juga dengan prevalensi berat badan berlebih dengan indeks massa tubuh antara 25 hingga 27, juga meningkat dari 11,5 persen di 2013 ke 13,6 persen di 2018. Menariknya, angka obesitas pada dewasa diatas 18 tahun menurut hasil Riskesdas 2018 paling tinggi di Sulawesi Utara, yakni sebanyak 30,2 persen. Di posisi tertinggi selanjutnya berada di DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Prevalensi obesitas sentral alias perut buncit di kalangan masyarakat Indonesia juga meningkat. Jika pada 2013 angka obesitas sentral hanya mencapai 26,6 persen, maka di 2018 ini jumlahnya meningkat menjadi 31 persen. Lagi-lagi daerah dengan prevalensi perut buncit tertinggi berada di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. Disampaikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Siswanto, hasil Riskesdas 2018 ini diambil dari 300 ribu sampel rumah tangga atau sekitar 1,2 juta jiwa. Menurut dia, hasil Riskesdas 2018 ini dapat mewakili wajah kesehatan Indonesia. "Data Riskesdas ini nantinya dapat digunakan untuk menghitung Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) sehingga dapat diketahui perubahan pencapaian sasaran



pembangunan kesehatan di setiap level wilayah dari tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional dan dapat menentukan intervensi apa yang bisa dilakukan," ujar Siswanto dalam pemaparan Hasil Riskesdas 2018 di Kemenkes, Jumat (2/11/2018).