Objektivitas Dan Subjektivitas Sejarah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS SEJARAH Subjektivitas dan objektivitas sejarah merupakan suatu hal yang sering diperdebatkan oleh masyarakat umum maupun para sejarawan sendiri. Subjektivitas dan objektivitas menyangkut suatu hal yang ada di luar fikiran manusia. Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai, dan sebaliknya. Subjektivitas adalah tafsiran yang berdasarkan perasaan atau fikiran manusia. Jadi bisa diartikan jika subjektivitas adalah sikap memihak golongan tertentu. Dan dalam sejarah, subjektivitas banyak ditemukan dalam interpretasi. Dalam interpretasi, sejarah bukan lagi dipandang sebagai obyek sebagaimana mestinya, melainkan bisa dikreasikan sesuai hati nurani penulis. Dalam merekontruksi, banyak sejarah yang mungkin dihilangkan atau ditafsirkan sesuai dengan kehendak penulis agar tulisan lebih bermakna. Objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar persepsi manusia. Jika seseorang bersikap objektif, maka tidak akan dipengaruhi oleh pihak lain. Dalam konteks sejarah, seseorang harus menggunakan bukti-bukti dalam menulis sejarah. Selain itu, dalam menulis sejarah, seseorang harus tidak memihak satu hal sehingga harus obyektif 100%. Arti sederhana dari objektivitas adalah sejarah dalam kenyataan, jadi semua kejadian harus terlepas dari subjek. Sebenarnya munculnya isu-isu kontroversial ada hubungannya dengan masalah obyektivitas dan/ subyekvitas sejarah yang masih merupakan debat lama yang tidak pernah selasai, paling tidak seperti yang direfleksikan dalam filsafat sejarah. Pertanyannya apakah sejarah dapat objektif? Sebenarnya bukan hanya sejarah saja tetapi juga disiplin-disiplin kognitif lain tidak dapat objektif yang dimaksud dengan kata ”obyektif” itu tuntutan yang sulit atau mustahil dipenuhi seperti : a. Kebenaran mutlak b. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyikan. c. Netralitas mutlak, tidak memihak, dan tidak terikat. d. Kondisi kondisi yang harus lengkap untuk peristiwa atau menuntuk penempatan seluruh peristiwa kedalam hukum-hukum yang berlaku umum. Sejarah sebagaimana yang dipenuhi oleh para sejarawan bukanlah masalalu melainkan catatan (record) daningatan (memory) mengenal masa lalu. Oleh sebab itu jika kita tidak ada catatan atau ingatan tidak ada sejarah. Sebagai catatan atau ingatan, tentu ada orang yang mencatat atau mengingat dan sebagai manusia ia (mereka) mempunyai pandangan-pandangan, mempunyai



prasangka-prasangka yang memasuki catatan atau ingatan itu dan memberi warna tertentu kepadanya yang disebut memihak (bias). Dari sini saja si pencatat atau si pengingat (untuk tradisi lisan) sudah ”subjektif”. Laporan-laporan para pejabat Belanda, baik berupa etnografi dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia



ataupun



mengenai



perlawanan-perlawanan



terhadap



Belanda



sebelum abad ke-20, misal, telah diwarnai dengan prasangka dan pemihakan mereka. laporan inilah yang menjadi sember-sumber pertama penulisan sejarah selai sumber-sumber pribumi lainnya. Ketika sejarawan Belanda menghasilkan karya-karya sejarah Indonesia ejarawan Indonesia sendiri juga menghasilkan tulisan sejarah yang bersebrangan dengan mereka. Paling tidak ada empat kemungkinan yang menyebabkan tidak ada kesepakatan di antara sejarawan yang mempunyai konsekwensi kepada masalah subjektivitas dan objektivitas sejarah ini : a. Pemihakan Pribadi Persoalan suka dan tidak suka pribadi terhadap individual-individual atau golongan dari seseorang. b. Prasangka Kelompok Di sini menyangkut keang-gotaan sejarawan dalam suatu kelompok apakah itu bagus, ras, kelompok sosial, atau agama tertentu. c. Teori-teori yang berlawanan tentang penafsiran sejarah Sejarawan



Marxis,



misalnya,



akan



menulis



berdasarkan



teori



determinisme ekonomi dalam menafsirkan faktor penyebab sejarah; bahwa ekonomilah satusatunya penggerak utama sejarah. Begitu pula para determinis lain yang akan menulis berdasarkan faktor atau tenaga tunggal ras, atau geografis. d. Konflik-konflik filsafat yang mendasar Kaitanya



dengan



kepercayaan



moral



atau



Weltanschauungen



(pandangan hidup seseorang). Secara teoristis, seorang yang menganut filsafat hidup tertentu, paham, keper-cayaan, atau agama tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangan ini. Bagaimana juga para sejarawan yang baik sepakat untuk menulis karyakarya sejarah yang tidak memihak dan tidak bersifat pribadi. Semua karya sejarah yang berargumentasi



dan



kesimpulannya



diputarbalik



prasangka dan propaganda dianggap buruk.



untuk



tujuan-tujuan



Namun ada beberapa alasan jika sejarah tidak bisa bersifat objektif. Sejarah pasti bersifat subjektif. Beberapa diantara alasannya adalah : 1. Alasan Induksi Menurut G. Myrdal tidak mungkin sejarah ditulis secara objektif. Subjektivitas tidak bisa dielakkan. Namun demikian, Myrdal berpendapat bahwa setiap sejarawan harus menyadari nilai-nilai yg dianutnya agar dapat mengesampingkan nilai-nilai tersebut dalam penulisannya. 2. Alasan Relativisme Proses penulisan sejarah menyangkut tiga hal penting :  Masa silam itu sendiri.  Bekas-bekas yg ditinggalkan oleh masa silam.  Bagaimana sejarawan menggambarkan masa silam tersebut. 3. Alasan Bahasa Dalam bahasa sehari-hari yang dipakai oleh orang biasa maupun oleh seorang sejarawan terdapat berbagai ungkapan yang mengandung suatu penilaian. Ungkapan “Sukarno diamankan setelah meletusnya peristiwa G 30 S” dengan ungkapan “Sukarno dijaga setelah meletusnya peristiwa G 30 S”  memiliki konotasi yang amat berbeda. 4.  Alasan Idealis Menurut paham idealisme, kenyataan merupakan hasil dari budi/akal manusia. Kenyataan kita maklumi, sejauh kita berpikir mengenai kenyataan. Oleh kaum idealis pendapat ini diruncingkan, dijadikan dalil, bahwa kenyataan itu hanya ada sejauh kita menyadari kenyataan. Sebagai bagian dari kenyataan seluruhnya, maka kenyataan historis pun merupakan hasil dari budi manusia. 5. Alasan Marxis Seperti para idealis, kaum marxis juga berpendapat bahwa tak mungkin memisahkan subyek yang mengenal dari obyek yang dikenal, tetapi penalaran seorang marxis berbeda dari jalan pikiran seorang idealis. Bagi seorang marxis pengetahuan kita selalu berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan.  Walaupun pada dasarnya perasangka dalam arti subyektif individu tidak pernah lepas namun yang tidak diinginkan adalah adalanya perasangka yang ekstrim, dalam artian perasaan suka- tidak suka, senang-tidak senangharis di hindari, kesimpulan atau penjelasan ilmiah harus mengacu hanya pada fakta



yang ada, sehingga setiap orang dapat melihatnya secara sama pula tanpa melibatkan perasaan peribadi yang ada pada saat itu (Uhar Suharsaputra, 2004: 49). Artinya bahwa dalam penulisan ilmiah prasangka memang ada namun kecendrungan untuk suka-tidak suka yang ditunjukkan untuk menggambarkan sesuatu misalnya adalah suatu kesalahan. Sejalan dengan itu berbicara tentang sikap atau pendangan suatu bangsa sudah barang tentu hal itu dihubungkan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya, yaitu ikatan kulturalnya. Umum mengetahui bahwa individu dijadikan anggota masyarakat lewat proses sosialisasi atau enkulturasi, suatu proses yang membudidayakan pada diri individu serta membentuk seluruh pikiran. Perasaan, dan kemauannya dengan menolaknya menurut struktur ideasional, estetis, dan etis yang berlaku dalam masyarakat. Kesemuanya perlu melembaga dalam diri individu, sehingga tidak berlebihan apabila dia ada dalam keterikatan pada kebudayaannya. akibatnya ialah bahwa ada padanya subyektivitas kultural yang sangat mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah (Kartodirdjo, 1992: 63-64). Lebih lanjut dikatakan bahwa subjektivitas kultural telah mencakup subjektivitas waktu atau zaman oleh karena kebudayaan bereksistensi dalam waktu tertentu. Dalam banyak karya sejarah subyektivitas zaman disebut tersendiri, bahkan sering dipakai pula istilah jiwa zaman atau Zeitgeist. Pengertian yang sangat abstrak ini menunjuk pada suasana atau iklim mentral yang dominan pada suatu waktu dan berpengaruh pada segala macam manifestasi gaya hidup masyarakat, antara lain materialistis atau idealistis, tredisionalistis atau moderinistis, religious atau sekuler, dan lain sebagainya (Sartono Kartodirdjo, 1992: 64). Pandangan ini memberikan wawasan pada kita bahwa pada dasarnya dalam penulisan sejarah bukan untuk masa lampaunya, akan tetapi untuk masyarakat yang sejaman untuk memahami masa lalu tersebut dan untuk generasi yang akan datang yang mungkin dengan pengaruh nilai yang berbeda akan berbeda pula dalam menapsirkan masa lalu yang sama. Namun bagaimanapun seorang sejarawan supaya tidak terjadi antikuarian dalam istilah Sartono, maka pemahaman jiwa zaman yang di lalui oleh pelaku dan peristiwa zamannya harus di pahami dengan benar. Subjektivitas waktu akan terasa amat sulit untuk diatasi, terutama dalam usaha menggarap sejarah kontemporer (masa kini). Jarak waktu yang amat dekat membuat perspektif sejarah kurang jelas dan kabur, terutama karena



orang belum dapat membuat distansi dengan peristiwa yang hendak ditulis. Keterlibatan penulis sendiri secara langsung masih besar. Masih banyak pelaku yang masih hidup atau sanak saudaranya, dan lain sebagainya. Lagi pula, banyhak dokumen belum terbuka untuk di teliti. Penafsiran mudah tercampur dengan pandangan partisan yang mengakibatkan kesepihakan. Sering pula pandangan serta interpretasi bertentangan dengan versi pihak yang sedang berkuasa (establishment). Secara mudah subjektivitas memasuki penulisan sejarah (Kartodirdjo, 1992: 64-65). Bukan hanya itu, ada juga kesalahan sejarawan yang menganggap pendapat prinadi sebagai fakta. Sejarawan yang melihat pendapat dan kesenangan pribadi berlaku umum dan sebagai fakta sejarah. Misalnya pada tahun 1910-an di Surakarta ada wanita yang pandai memainkan musik barat, prestasi pribadi semacam itu tidaklah dapat dianggap sebagai bukti bahwa pada zaman itu sudah pandai memainkan musik. Inilah contoh Subjektivitas pembenaran oleh pandangan pribadi (Kuntowijoyo, 2005: 172-173). Memang secara transparan kita bisa melihatnya pada karya-karya sejarah yang banyak di kritisi pada zaman reformasi ini, penulisan sejarah yang dilakukan atas perintah penguasa tidak mudah menghindari subjektivitas tertentu. Dalam hal ini mungkin akan condong pada sejarah yang berbau polotik, sedangkan penulisan sejarah kebudayaan misalnya yang secara lokal tidak akan tereduksi oleh pembenaran sepihak dari pesanan penguasa karena merupakan gambaran dari masyarakat yang tidak akan menjatuhkan legitimasi penguasa dan memang tidak berkaitan. Berdasarkan



penjelasan



tersebut,



Pandangan



subjektivistik



dan



objektivistik bukanlah sesuatu hal yang dapat dihindari oleh para sejarawan. Ia adalah satu kesatuan utuh dalam setiap kajian sejarah sebagai sebuah kisah. Pada umumnya para ahli sejarah sepakat, bahwa penulisan sejarah yang objktif sedapat mungkin harus diusahakan. Persoalan mengenai subjektivitas, meskipun dirasakan sulit, merupakan masalah yang urgen sekali dalam menghadapi pertumbuhan historiografi. Masalah subjektivitas dan objektivitas segera muncul, misalnya begitu orang hendak bermaksud menyusun historiografi Indonesia modern. Subjektivitas dan objektivitas merupakan satu kesatuan utuh yang terkandung dalam jiwa seorang sejarawan ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media tulis. Subjektivitas berangkat dari objektivitas yang



objektivistik. Kenyataan yang terkandung dalam setiap fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti oleh aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu kesatuan antara pandangan pribadi atas satu peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan, serta filsafat sejarah apa yang ia anut ketika memandang suatu peristiwa sejarah dalam konteks fakta historis. DAFTAR LITERATUR Syamsyudin, Helius. 2012. Model Pendekatan Pembelajaran Sejarah Dari Isu-Isu Kontroversial, Sejarah-Komparatif Ke Analisis Tekstual. Jurnal Agastya Vol. 02 No. 01. Hal. 12-14. F.R. Ankersmit, “Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah”, Gramedia, Jakarta, 1987. Abdullah Taufik & Abdurrachman Surjomihardjo. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia. Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta . BENTANG. Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia. Uhar Suharsaputra. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Universitas Kuningan. Supardan Dadang. 2011. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.