Operasi SC [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEKSIO SESAREA (Sari Pustaka)



Oleh : dr. Wahyuridistia Marhenriyanto PPDS Obstetri dan Ginekologi



Pembimbing : dr. H. Ariadi, Sp.OG



PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 2018



DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ...................................................................................ii DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii



BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4 A. Definisi Operasi Seksio Sesarea .................................................... 4 B. Peningkatan Insidensi Operasi Seksio Sesarea ............................. 4 C. Indikasi Operasi Seksio Sesarea dan Resiko ................................. 6 D. Morbiditas dan Mortalitas Ibu ......................................................... 8 E. Morbiditas Neonatus .................................................................... 15 F. Cesarean Delivery on Maternal Request (CDMR) ....................... 15 G. Persiapan Pasien ......................................................................... 17 H. Teknik Operasi Seksio Sesarea ................................................... 21 I. Manajemen Peripartum ................................................................. 51



BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 58



DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 59



DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Insisi Kulit Pfanenstiel ............................................................ 22 Gambar 2. Jenis Insisi Abdomen ............................................................. 23 Gambar 3. Pemotongan Linea Alba ......................................................... 24 Gambar 4. Pemotongan Fascia ............................................................... 25 Gambar 5. Pemotongan Lapisan Vesicouterina ...................................... 27 Gambar 6. Gunting Metzenbaum ............................................................. 27 Gambar 7. Forcep atau Pinset ................................................................. 28 Gambar 8. Pelebaran Insisi Vesicouterina ............................................... 28 Gambar 9. Diseksi Tumpul Pemisahan Vesicouterina ............................. 29 Gambar 10. Hemostat.............................................................................. 30 Gambar 11. Gunting Perban .................................................................... 30 Gambar 12. Insisi Miometrium ................................................................. 31 Gambar 13. Pelebaran Insisi Uterus ........................................................ 31 Gambar 14. Pelebaran Uterus Cephalad-Caudad ................................... 32 Gambar 15. Melahirkan Kepala Bayi ....................................................... 33 Gambar 16. Forcep Kepala Bayi .............................................................. 34 Gambar 17. Melahirkan Bahu Bayi .......................................................... 35 Gambar 18. Klem Pennington .................................................................. 37 Gambar 19. Ring Forcep ......................................................................... 37 Gambar 20. Pengeluaran Uterus ............................................................. 38 Gambar 21. Penjahitan Kedua Ujung Uterus ........................................... 39 Gambar 22. Penjahitan Ujung Uterus ...................................................... 40 Gambar 23. Jahitan Jelujur Uterus .......................................................... 41 Gambar 24. Jahitan 1 dan 2 Lapis Uterus ............................................... 41 Gambar 25. Penjahitan Uterus................................................................. 42 Gambar 26. Insisi Klasik .......................................................................... 46 Gambar 27. Penjahitan Insisi Klasik ........................................................ 47



DAFTAR TABEL Tabel 1. Indikasi Operasi Seksio Sesarea ................................................. 6 Tabel 2. Indikasi Operasi Seksio Sesarea ................................................. 7 Tabel 3. Lokasi Spesifik SSI Organ atau Rongga Intraabdomen ............. 13 Tabel 4. Skoring Perlengketan SC ........................................................... 51 Tabel 5. Pemberian Analgesi Intravena Pasien Operasi SC.................... 53 Tabel 6. Skala REEDA ............................................................................. 57



PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG



LEMBAR PENGESAHAN



Nama



: dr. Wahyuridistia Marhenriyanto



Semester



:V



Telah menyelesaikan Sari Pustaka dengan judul Seksio Sesarea



Padang, Mei 2018 Mengetahui / Menyetujui :



Peserta PPDS



Pembimbing



Obstetri & Ginekologi



(dr. H. Ariadi, Sp.OG)



(dr. Wahyuridistia Marhenriyanto)



Diketahui : Ketua Program Studi



dr. H. Syahredi S.A., SpOG(K)



LEMBARAN KONSULTASI KARYA ILMIAH PESERTA PPDS I OBSTETRI & GINEKOLOGI FK. UNAND/RS. M. DJAMIL PADANG NAMA



: dr. Wahyuridistia Marhenriyanto



NO. CHS



: 1550302014



SEMESTER



:V



JENIS



: LP/RF/PK/JR/Sub. Bag/Ans/PA/Sar.Pus/Prop.Pen/TA. B.I/KM/JK



No



PEMBIMBING



: dr. H. Ariadi, Sp.OG



JUDUL



: Sectio Caesaria



Tanggal



Tgl



Koreksi



Diterima



Keterangan : R LP PK JR Sub. Bag Sar.Pus Prop. Pen TA Ans PA B.I KM



: Referat : Laporan Kasus : Presentasi Kasus : Journal Reading : Onko, Endo,Feto, Uro, Sito, Obsos,Rep.Man : Sari Pustaka : Proposal Penelitian : Tulisan Akhir : Anesthesi : Patologi Anatomi : Bahasa Inggris : Kasus Kematian



Paraf



Ket



BAB I PENDAHULUAN



Kesehatan



reproduksi



didefinisikan



dimana



manusia



mempunyai



tanggungjawab, kepuasan dan kehidupan seks yang aman dimana mereka mempunyai kemampuan reproduktif dan kebebasan untuk memilih kapan dan seberapa seringnya. Secara implisit berarti setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan informasi, akses yang aman, efektif, terjangkau dan metode reproduksi sesuai keinginanannya. Setiap orang juga memiliki hak untuk dapat mengakses sarana kesehatan yang dapat melayani kehamilan dan persalinan secara aman dan memberikan pasangan kemungkinan terbaik untuk memiliki keturunan yang sehat (WHO, 2015). Manusia pada dasarnya memiliki dua pilihan dalam proses persalinan yaitu secara normal (pervaginam) atau dengan operasi seksio sesarea atau biasa dikenal dengan SC. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing, namun persalinan normal atau persalinan pervaginam memiliki kelebihan dibanding operasi SC diantaranya kecepatan penyembuhan, meminimalkan resiko ruptur uteri pada kehamilan selanjutnya, minimal resiko plasenta akreta, lebih sedikit jumlah perdarahan, terhidar dari cedera organ dalam saat operasi, minimal infeksi luka operasi, minimal efek anastesi, emboli dan terhindar dari resiko SC ulangan (Clinnic, 2018). Paparan terhadap mikroflora vagina pada persalinan normal berpengaruh terhadap perkembangan normal imunitas bayi (Neu and Rushing, 2011). SC sendiri mempunyai angka kematian yang lebih tinggi dibanding kelahiran normal, kemungkinan plasenta previa dan solusio plasenta dan meningkatkan kemungkinan distress pernafasan pada neonatal (Hannah, 2004). Sedangkan SC elektif



sendiri mempunyai kelebihan yaitu menurunkan



kemungkinan inkontinensia urin, inkontinensia alvi, tidak merasakan nyeri persalinan, menurunkan rasa ketakutan dan stress saat menghadapi persalinan, kenyamanan, dapat memilih hari/tanggal kelahiran bayi, menurunkan angka kematian yang tidak diprediksi, menurunkan resiko prolapse tali pusat, fetal distress, menurunkan resiko after coming head pada persalinan sungsang dan ruptur perineum pada persalinan normal (Hannah, 2004). Pada bidang medis terdapat sebuah prinsip yang dikenal dengan istilah



Primum non Nocere atau First Do No Harm yang berarti jangan merusak atau mencelakakan. Prinsip etik dasar ini juga dapat diartikan lebih baik tidak melakukan sesuatu ketimbang melakukan suatu tindakan yang akhirnya mencelakakan pasien. Prinsip ini dipakai juga dalam bidang obstetri sebagai dasar pemilihan jenis persalinan. Dengan mempertimbangkan kelebihan persalinan normal dan banyaknya resiko, komplikasi serta dampak kedepannya dari SC, maka persalinan normal selalu menjadi pilihan terbaik untuk persalinan (Harrison, 2007). Operasi SC adalah operasi untuk melahirkan bayi dengan insisi uterus. Asal muasal operasi SC tidak jelas. Ada 2 tipe operasi SC yaitu operasi SC primer dan sekunder. Operasi SC primer merupakan operasi SC yang pertama kali dilakukan sedangkan sekunder merupakan operasi SC kedua atau lebih (Cunningham, 2014). Persalinan dengan seksio sesarea dapat dipilih jika terdapat indikasi medis yang jelas yaitu faktor ibu, faktor janin dan faktor plasenta. Cesarean delivery on maternal request (CDMR) adalah persalinan secara SC yang dipilih oleh seorang wanita tanpa adanya indikasi medis. CDMR dilegalkan di beberapa negara maju dengan syarat pasien telah diterangkan secara lengkap mengenai kelebihan dan kekurangan SC, perbandingannya dengan persalinan normal, komplikasi yang mungkin terjadi seperti kecacatan, cedera organ, alergi, kemungkinan angkat Rahim hingga kematian serta prognosis persalinan kedepannya. CDMR dapat dikatakan legal jika pasien telah mengerti dan tetap memutuskan memilih persalinan seksio sesarea (Cunningham, 2014). Data mengenai Cesarean delivery on maternal request (CDMR) terbatas, meskipun begitu diperkirakan ada 1-7% pemilih di US pada tahun 2003 (Cunningham, 2014). Untuk menghitung angka insidensi CDMR di Indonesia sendiri saat ini sangat sulit. Angka insiden SC di Indonesia relatif terkendali karena CDMR tidak dicover oleh BPJS. Kenyataan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memakai pembiayaan kesehatan BPJS tidak menghalangi wanita mendapatkan keinginan mereka untuk bersalin secara SC karena negosiasi pasien dengan dokter, keteguhan independensi pengambilan keputusan seorang dokter berdasarkan keilmuan dan pengaruh perbedaan jasa medis antara persalinan normal dan operasi SC memegang peranan penting dalam keputusan



akhir persalinan seorang wanita. Seksio sesarea merupakan pilihan persalinan saat adanya kontraindikasi untuk persalinan normal. Faktor ibu, janin dan plasenta merupakan pertimbangan dalam melakukan SC. Komplikasi seperti perdarahan, infeksi, alergi, cedera organ, pengangkatan rahim hingga kematian wajib diketahui oleh pasien sebelum menjalani SC. Banyaknya faktor yang berperan dan harus dipertimbangkan sebelumnya membuat operasi SC menarik untuk diangkat sebagai judul sari pustaka. Harapannya sari pustaka ini dapat berperan sebagai bahan pembelajaran dan pertimbangan persalinan secara SC.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Definisi Operasi Seksio Sesarea Operasi seksio sesarea (SC) adalah operasi untuk melahirkan bayi dengan insisi corpus uteri (Cunningham, 2014). Meskipun angka operasi SC terus meningkat 10-15 tahun terakhir, 4 indikasi klinis yang menjadi faktor penentu SC tidak berubah yaitu fetal distress (22%), kegagalan persalinan normal (20%), riwayat SC (14%) dan letak sungsang (11%). Saat ini ditambah faktor kelima yaitu CDMR dengan syarat terpenuhi (7%) (Gian Carlo Di Renzo, 2017).



B. Peningkatan Insidensi Operasi Seksio Sesarea Angka operasi SC saat ini terus meningkat. Alasan peningkatan ini tidak sepenuhnya dimengerti, namun beberapa penjelasan yang mungkin diantaranya (Cunningham, 2014) : 1. Wanita mempunyai sedikit anak sehingga presentase kejadian melahirkan nulipara meningkat, dimana nulipara meningkatkan resiko untuk operasi SC. 2. Rata-rata umur ibu meningkat, dimana wanita nulipara tua meningkatkan resiko operasi SC. 3. Penggunaan CTG tersebar luas. Teknik ini berkaitan dengan peningkatan operasi SC dibandingkan pemeriksaan denyut jantung secara berkala. 4. Sebagian besar dari janin dengan letak sungsang saat ini dilahirkan dengan operasi SC. Dengan mempertimbangkan cedera janin dan persalinan yang memenuhi kriteria percobaan persalinan pervaginam. 5. Frekwensi dari vakum dan forcep menurun. 6. Angka kejadian induksi persalinan meningkat terutama pada nulipara menyebabkan peningkatan resiko untuk operasi SC.



7. Operasi SC pada pasien preeklampsia meningkat dimana persalinan dengan induksi pada pasien ini menurun. 8. Presentase persalinan VBAC menurun dari 28% menjadi 8% tahun 2007. 9. Operasi SC elektif meningkat dengan berbagai indikasi termasuk pertimbangan cedera pada dinding pelvis terkait persalinan per vaginam, menurunkan resiko cedera janin dan permintaan ibu. 10. Kejadian malpraktek terkait cedera saat persalinan pervaginam dan tindakan operatif persalinan pervaginam (vakum & forcep) juga menjadi alasan kecenderungan memilih SC. Persalinan dengan operasi SC digunakan secara efektif sepanjang abad ke 20 dan merupakan salah satu jenis operasi yang sering dilakukan hingga saat ini. Angka operasi SC di US tahun 2009 meningkat menjadi 32,9%, peningkatan sebanyak 50% selama 15 tahun. Tidak begitu jelas kenapa angka operasi SC begitu meningkat, namun diduga sebabnya bersifat multifaktorial meliputi (Callahan and Caughey, 2013) : 1. Sebab biologis seperti peningkatan kejadian kehamilan multipel, populasi usia tua dengan lebih banyak penyakit medis dan tingginya angka overweight dan obesitas. 2. Pasien dengan kecenderungan memilih SC atau Caesarean Delivery on Maternal Request (CDMR). 3. Rendahnya insentif persalinan normal dibandingkan SC. Walaupun kematian terkait operasi SC rendah, sekitar 0.01-0.02%, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam. Lebih jauh, morbiditas dari infeksi, kejadian trombotic, wound dehiscence dan waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan persalinan per vaginam. Sebagai tambahan, resiko kehamilan selanjutnya dengan kelainan yang meningkat patut untuk dijadikan pertimbangan sebelum melakukan operasi SC yang pertama, ini meliputi kemungkinan operasi SC ulang, plasenta previa dan plasenta akreta (Callahan and Caughey, 2013). Operasi SC yang dilakukan pada wanita yang akan meninggal disebut operasi SC perimortem, sedangkan pada wanita yang baru saja meninggal disebut operasi SC postmortem. Jika operasi SC dilanjutkan dengan histerektomi disebut secarean histerektomi, jika histerektomi dilakukan segera



setelah partus pervaginam dinamakan postpartum histerektomi (Cunningham, 2014). C. Indikasi Operasi SC dan Resiko Indikasi tersering dari operasi SC adalah kegagalan kemajuan persalinan. Kegagalan kemajuan persalinan dapat disebabkan oleh salah satu dari 3P. Indikasi dari operasi SC dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Callahan and Caughey, 2013). Tabel 1. Indikasi operasi section caesarea (Callahan and Caughey, 2013).



Indikasi Operasi Seksio Sesarea Tipe



Indikasi



Ibu/Janin



CPD Gagal Induksi



Ibu



Penyakit ibu



Riwayat SC klasik



Herpes genital aktif



Myomectomi full-thickness



HIV tidak diterapi (kenaikan Riwayat ruptur uterus



Janin



viral load)



Obstruksi jalan lahir



Ca Cervix



Fibroid



Riwayat operasi uterus



Tumor ovarium



Tes janin yang meragukan



Kehamilan multiple



Bradikardi



Presentasi selain kepala janin



Absen variabilitas FHR



1 kehamilan ganda



Scalp pH 500 cc selama operasi SC, BMI  30 kg/m2, lama rawatan  4 hari, letak sungsang, penggunaan anastesi spinal dan analgesia intratechal secara signifikan meningkatkan resiko SSI (Jasim et al., 2017).



2. Pemeriksaan Perdarahan SC Perdarahan dihitung berdasarkan perbandingan Hb dan Hct antara sebelum operasi dan setelah operasi. Hb dan Hct dapat mencerminkan kehilangan darah selama operasi. Hemoglobin (Hb) merupakan protein didalam sel darah merah yang bertanggung jawab untuk mengikat oksigen dan menyalurkannya ke jaringan tubuh. Untuk menjamin oksigenasi jaringan yang adekuat, jumlah Hb yang cukup harus dijaga. Jumlah Hb dalam tubuh dihitung dalam satuan gram per deciliter (g/dL). Nilai normal Hb untuk laki-laki 14-18 g/dL dan untuk wanita 12-16 g/dL. Saat nilai Hb rendah pasien dinyatakan anemia. Eritrositosis merupakan keadaan dimana jumlah sel darah merah berlebihan yang mengakibatkan nilai Hb berada diatas normal (Billett, 1990). Hematokrit (Hct) merupakan jumlah sel darah merah dalam total keseluruhan volume darah (sel darah merah dan plasma). Nilai hematokrit dinyatakan dalam %. Nilai hematocrit 30% berarti dalam 100cc darah terdapat 30cc sel darah merah. Nilai hematokrit normal untuk laki-laki adalah 40-54% dan wanita 36-48% (Billett, 1990). Hb dan Hct merupakan penghitungan berdasarkan jumlah volume darah dan sangat bergantung terhadap volume plasma. Saat pasien dehidrasi berat, nilai Hb dan Hct dapat naik dibanding pasien normovolemik, begitu pula pada pasien dengan kelebihan cairan, nilai Hb dan Hct dapat turun (Billett, 1990).



3. Infeksi Luka Operasi Walaupun operasi SC dilakukan di lingkungan yang steril, resiko untuk terjadinya infeksi selalu ada. Penggunaan antibiotik profilaksis terbukti menurunkan morbiditas infeksi post SC. American College of Obstetrician and Gynecologist (ACOG) menyarankan pemberian antibiotik profilaksis 1 jam sebelum operasi SC atau dimana keadaan tidak memungkinkan, lakukan sesegera mungkin (Gelaw et al., 2017). Biasanya luka operasi SC akan sembuh dalam rentang waktu yang kurang lebih sama. Pada sebagian kecil kasus, luka operasi akan terkontaminasi dan terjadi infeksi, hal ini dapat terjadi dimana saja termasuk di rumah sakit modern dengan protocol standar persiapan operasi dan antibiotik profilaksis yang baik (Gelaw et al., 2017). SSI menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) merupakan infeksi yang terjadi dalam 30 hari setelah operasi dimana hari operasi dihitung sebagai hari pertama. SSI dibagi menjadi 3 yaitu (CDC, 2018): a. SSI insisi superfisial (Superficial Incisional SSI) b. SSI insisi dalam (Deep Incisional SSI) c. SSI organ (Organ/Space SSI)



SSI insisi superfisial harus memenuhi 2 kriteria wajib sebagai berikut (CDC, 2018): a. Infeksi terjadi dalam rentang waktu 30 hari setelah operasi (hari operasi dihitung sebagai hari pertama) b. Melibatkan kulit dan jaringan subkutan dari lokasi insisi



Ditambah minimal 1 kriteria tambahan dibawah ini : a. Ditemukan cairan purulent pada insisi superfisial b. Didapatkan organisme dari lokasi insisi di kulit maupun jaringan subkutan baik dari tes kultur maupun non kultur c. Insisi superfisial yang secara sengaja dibuat oleh dokter dan pasien mempunyai minimal salah satu gejala nyeri, bengkak, kemerahan atau panas



d. Ditegakkannya diagnosis SSI superfisial oleh dokter



SSI insisi dalam harus memenuhi 2 kriteria wajib sebagai berikut (CDC, 2018): a. Infeksi terjadi dalam rentang waktu 30-90 hari setelah operasi (hari operasi dihitung sebagai hari pertama) b. Melibatkan jaringan lunak di dalam (fascia dan otot)



Ditambah minimal 1 kriteria tambahan di bawah ini : a. Cairan purulen didapatkan pada insisi dalam b. Insisi dalam yang secara sengaja dibuat oleh dokter. dan didapatkan organisme dari tes kultur dan non kultur mikrobiologi yang dilakukan dengan tujuan diagnosis atau terapi atau tdak dilakukan tes kultur dan non kultur mikrobiologi namun pasien mempunyai salah satu gejala demam (>380C), nyeri. c. Ditemukan abses atau bukti infeksi lain pada insisi dalam yang terlihat pada anatomi secara makro atau histopatologi atau pemeriksaan radiologi.



SSI organ/rongga abdomen harus memenuhi 2 kriteria wajib yaitu (CDC, 2018): a. Infeksi terjadi dalam selang waktu antara 30-90 hari setelah operasi (hari operasi dihitung sebagai hari pertama). b. Infeksi melibatkan bagian yang lebih dalam dari fascia/otot yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi.



Ditambah minimal 1 kriteria di bawah ini : a. Ditemukan cairan purulent pada drain yang diletakkan pada organ atau rongga intraabdomen.



b. Ditemukan organisme dari cairan atau jaringan pada organ dalam atau rongga intraabdomen. Organisme ditemukan dari tes kultur atau non kultur mikrobiologi yang dilakukan dengan tujuan diagnosis atau terapi. c. Ditemukan abses atau bukti infeksi lain yang melibatkan organ dalam dan rongga intraabdomen yang terlihat pada anatomi secara makro atau histopatologi atau pemeriksaan radiologi yang mengarah kepada infeksi.



Ditambah minimal 1 kriteria spesifik dari infeksi organ atau rongga intraabdomen pada tabel 3 sesuai dengan Surveillance Definitions for Specific Types of Infections.



Tabel 3. Lokasi spesifik SSI organ atau rongga intraabdomen



Kode



Lokasi



Kode



Lokasi



BONE



Osteomielitis



MED



Mediastinitis



BRST



Abses payudara atau



MEN



Meningitis atau



mastitis CARD



Miokarditis atau pericarditis



ventrikulitis ORAL



Rongga mulut (mulut, lidah atau gusi)



DISC



Ruang Disc



OREP



Infeksi lain dari saluran reproduksi wanita atau pria



EAR



Telinga, mastoid



PJI



Infeksi sendi periprostetik



EMET



Endometritis



SA



Abses spinal tanpa meningitis



ENDO



Endocarditis



SINU



Sinusitis



GIT



Saluran pencernaan



UR



Infeksi saluran pernafasan



IAB



Intraabdomen, tidak



USI



spesifik IC



Intracranial, abses



kencing VASC



otak atau dura JNT



Sendi atau bursa



LUNG



Infeksi lain dari saluran



Infeksi saluran



Infeksi arteria atau vena



VCUF



Vaginal cuff



nafas bawah



Angka terjadinya infeksi luka operasi SC antara 6-27%. Angka ini dapat meningkat bergantung adanya faktor resiko seperti kontaminasi pada area operasi, ketuban pecah dini, persalinan lama, persalinan macet, waktu operasi SC lama, operasi SC emergensi, pasien dengan kelainan imunologis dan ruangan operasi yang kurang steril (Gelaw et al., 2017). Resiko infeksi pada negara miskin dan berkembang lebih besar 23x lipat dibanding negara maju karena adanya malnutrisi, anemia, kemiskinan, persiapan pre operatif buruk, kontaminasi luka dan pilihan antibiotik kurang (Gelaw et al., 2017). Operasi SC mempunyai resiko 5-20 kali lipat lebih besar dibandingkan persalinan normal. 15-80% infeksi luka operasi SC terjadi segera setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit. Pemulihan diri pasien dengan infeksi luka operasi lebih sulit, infeksi ini mungkin bisa berpengaruh pada organ pelvis dan saluran kencing. Infeksi luka operasi meningkatkan resiko kematian hingga 2-11 kali (Gelaw et al., 2017).



Pada penelitian yang dilakukan di Nigeria yang melibatkan 445 rumah sakit didapatkan angka resiko SSI sebesar 9,1%. Faktor yang berpengaruh dalam kejadian SSI adalah persalinan macet, durasi operasi lama dan perdarahan banyak (Jido TA, 2012). Leukosit atau sel darah putih atau White Blood Cell (WBC) merupakan grup heterogen sel nucleus yang dapat ditemukan di sirkulasi manusia. Konsentrasi normal berkisar anatara 4.000-10.000 per microliter. Leukosit mempunyai peran penting dalam fogositosis, imunitas dan pertahanan terhadap infeksi. Leukosit dapat dinilai secara kuantitatif dan kualitatif di laboratorium. Tes sederhana leukosit adalah jumlah leukosit dan hitung jenis. Jumlah leukosit dapat dihitung manual dalam ruang Neubauer atau dihitung dengan mesin. Hitung jenis dinilai dengan cara meletakkan setetes darah pada gelas kaca, disapukan dan dihitung berdasarkan jenis sel nya. Leukosit dibagi menjadi 3 jenis yaitu granulosit, limfosit dan monosit. Granulosit terbagi menjadi 3 yaitu neutrophil, eosinophil dan basophil (Blumenreich, 1990). Peningkatan kadar leukosit atau biasa disebut leukositosis mempunyai banyak penyebab yaitu keganasan (malignancy) dan nonmalignancy. Penting untuk menggunakan nilai normal spesifik leukosit untuk umur tertentu dan kondisi tertentu seperti kehamilan (Riley LK, 2015). Peningkatan eosinophil merupakan tanda infeksi parasit atau kondisi alergi, peningkatan limfosit merupakan tanda infeksi virus pada anak sedang leukositosis merupakan tanda infeksi terutama bakteri yang membutuhkan dokter untuk mengenali gejala dan tandanya. Stress seperti operasi, olahraga berat, trauma dan emosi dapat meningkatkan kadar leukosit. Etiologi lain dari leukositosis meliputi penggunaan obat tertentu, asplenia, merokok, obesitas dan kondisi inflamasi kronis (Riley LK, 2015). Selama kehamilan terjadi peningkatan secara bertahap kadar leukosit, wanita yang hamil trimester 3 yang tidak demam mempunyai rataan kadar leukosit sebanyak 13.200 (tertinggi 15.900 per mm3). Pasien post partum memiliki nilai leukosit rata-rata 12.620 per mm3, sedang pasien post SC 12.710 per mm3. Leukositosis kurang dapat dipercaya sebagai pertimbangan pemberian antibiotik post partum. Peningkatan leukosit dapat merupakan tanda terjadinya infeksi namun tidak secara



mutlak (definitif). Tes leukositosis tunggal adalah prediktor buruk adanya bakteremia dan bukan menjadi indikasi untuk melakukan kultur darah (Riley LK, 2015). Leukositosis tidak berhubungan dengan infeksi bakteri saat nifas dan tidak menjadi pertimbangan dalam pemberian antibiotik (P Dior et al., 2013).



E. Morbiditas Neonatus Operasi SC berkaitan dengan resiko rendah untuk terjadinya trauma pada janin. Hal ini pada banyak instansi merupakan pengaruh yang penting dalam pemilihan operasi SC walaupun ada banyak resiko pada ibu. Kemungkinan cedera janin sebesar 1% pada operasi SC. Laserasi kulit adalah yang tersering, hal lain adalah cephalhematom, fraktur clavicula, plexopathy brachial, fraktur kepala dan palsy nervus wajah. Operasi SC setelah kegagalan vacuum atau forcep mempunyai resiko cedera yang tertinggi, dimana resiko terendah 0,5% pada operasi SC elektif. 96% persalinan pervaginam terjadi tanpa adanya efek samping pada bayi (Cunningham, 2014). Walaupun cedera fisik rendah, operasi SC tidak terkait dengan prognosis neurodevelopmental pada bayi. Insidensi kejang neonatal atau cerebral palsy tidak menurun walaupun angka operasi SC meningkat (Cunningham, 2014).



F. Cesarean Delivery on Maternal Request (CDMR) Cesarean Delivery on Maternal Request (CDMR) didefinisikan sebagai operasi SC yang dilakukan tanpa indikasi maternal ataupun fetus. Saat ini banyak sekali ibu hamil dan keluarga meminta untuk dilakukannya operasi caesar kareana ingin anaknya lahir di tanggal yang cantik dengan berbagai alasan yang timbul. Hal ini mengakibatkan timbulnya perdebatan etik dari berbagai bidang (Kasdu, 2003). Pertimbangan hukum dari CDMR termuat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia tahun 2012 Pasal 11 Ayat 3 yang berbunyi, seorang dokter wajib berhati-hati,



mempertimbangkan



berbagai



aspek



diagnosis,



pengobatan/perlakuan dan prognosis pada konteks kehidupan reproduksi pada umumnya serta menggunakan pelbagai kemajuan/kecanggihan teknologi reproduktif apapun yang dapat menghilangkan atau menurunkan harkat dan martabat manusia. Yang dimaksud dengan reproduksi adalah terutama



tentang



awal



pumbuahan/kehamilan,



kelahiran,



sterilisasi/pencegahan kehamilan, section caesaria/SC, prokreasi (inseminasi buatan), sel punca/stem cell, cloning dan lain-lain hingga akhir kehidupan/saat kematian dan teknologi reproduktif lainnya, khususnya yang didorong oleh kehendak pasien/keluarganya serta kedokteran genetika dan molecular dengan atau tanpa teknologi nano serta jenis teknologi lainnya. Makna dari Pasal diatas adalah CDMR diperbolehkan dengan syarat dokter telah berhatihati mempertimbangkan berbagai aspek diagnosis, pengobatan (SC) dan prognosis. Dokter juga harus mempunyai kemampuan yang cukup melakukan melakukan prosedur SC yang baik dan dapat menggunakan kemajuan ilmu dan teknologi untuk memaksimalkan hasil operasi SC sehingga tidak menghilangkan atau menurunkan harkat dan martabat manusia (Purwadianto et al., 2012). Hal ini didukung oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 74 Ayat 1 yang berbunyi, Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotive, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan (POGI, 2009). Dari sisi medis, pada pertemuan terakhir dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI di Jakarta, Juli 2011, telah disepakati, dilakukan perubahan pada standar kode etik POGI yang menyatakan bahwa tindakan SC atas permintaan pasien bukanlah merupakan suatu bentuk pelanggaran etik selama dilakukan suatu informed consent khusus, yaitu adanya surat persetujuan tindakan medik bedah caesar dengan format khusus dan dijelaskan langsung oleh dokter yang akan melakukan tindakan, didampingi saksi dari pihak dokter dan saksi dari pihak pasien. Dari sisi ekonomi, sosial, dan kultur, persalinan dengan caesar akan menghabiskan biaya 3-5 kali lebih besar dari persalinan normal. Perencanaan kehamilan kembali juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemulihan persalinan yang berlangsung lama sehingga ibu akan lebih lama tinggal di rumah sakit, dan otomatis biayannya semakin mahal (Kasdu, 2003).



CDMR elektif direkomendasikan pada umur kehamilan minimal 39 minggu dan tidak direkomendasikan pada wanita yang berkeinginan mempunyai banyak anak mengingat banyaknya resiko saat kehamilan selanjutnya (Practice, 2013). Resiko perlekatan plasenta yang abnormal dan sesarean histerektomi selalu meningkat setiap kali SC (Cunningham, 2014). Angka CDMR semakin meningkat tiap tahunnya terutama di negara maju karena SC elektif memberikan kemudahan dalam menata jadwal kerja, mendapat kepastian kehadiran dokter spesialis pada saat persalinan, menurunkan kemungkinan terjadinya IUFD, mempertahankan otot-otot dasar panggul yang berhubungan dengan fungsi seksual, menurunkan resiko atonia uteri akibat lamanya persalinan, perdarahan intracerebral pada bayi, distosia bayi, cedera pleksus brachialis, fraktur bayi dan asfiksia (Duperron, 2011). Meskipun biaya SC jauh lebih mahal dibandingkan persalinan normal, banyak wanita tetap tertarik untuk memilihnya dan membuat angka insidensinya meningkat. Pada tahun 1985, WHO menetapkan angka SC ideal adalah 1015% dari seluruh persalinan. Dari global survei yang dilakukan WHO tahun 2004-2008 dan 2010-2011 di 21 negara, dengan menggunakan kriteria Robson yang membagi wanita dalam 10 grup, keseluruhan didapatkan angka SC terus meningkat dari 26,4% menjadi 31,2%, pengecualian didapatkan di Jepang dimana angka SC justru menurun (Vogel et al., 2015). Di Indonesia sendiri, menurut data Riskesdas 2010 tingkat persalinan SC 15,3% (Suryati, 2012). Tahun 2016 operasi SC menduduki peringkat tertinggi pembiayaan kesehatan di Indonesia, mencapai 2,24 Trilyun (WHO, 2015).



G. Persiapan Pasien 1.



Waktu Persiapan Operasi Tidak ada standar nasional yang mengatur menganai waktu persiapan operasi SC. Sebelumnya, ditentukan waktu 30 menit dari penegakan keputusan untuk melakukan operasi SC hingga mulainya irisan pertama. Pada kebanyakan instansi, operasi SC tidak harus dalam rentang 30 menit ini. 69% dari 7.450 operasi SC dilakukan lebih dari 30 menit setelah pengambilan keputusan operasi. Pada operasi SC karena indikasi emergensi. Kegagalan melakukan operasi SC kurang dari 30 menit setelah



pengambilan keputusan tidak terkait dengan keluaran negative neonatus. Dilain pihak, saat menghadapi kejadian akut, buruknya kondisi janin, operasi SC biasanya dilakukan secepatnya, penundaan yang tidak beralasan tidak diperkenankan. Fasilitas yang memberikan pelayanan obstetric harus mempunyai kemampuan untuk melakukan operasi SC pada rentang waktu singkat (Cunningham, 2014).



2. Informed Consent Mendapatkan informed consent merupakan proses dan bukan hanya mengenai dokumen rekam medis. Percakapan antara dokter dan pasien harus mencapai kondisi dimana ibu paham mengenai diagnosisnya dan berisi diskusi mengenai tindakan medis dan alternatif operasi, prosedur, tujuan, keterbatasan dan resiko operasi. Untuk wanita dengan riwayat operasi SC, pilihan VBAC harus diberikan jika syarat terpenuhi. Demikian pula pada wanita dengan permintaan untuk steril, pilihan ini juga dibicarakan (Cunningham, 2014).



3. Waktu Menjadwalkan Operasi SC Efek samping berupa immaturitas neonatal pada operasi SC dihindari dengan merencanakan operasi pada usia kehamilan 39 minggu (RCOG, 2004).



4. Perawatan Perioperatif Pada umumnya, tidak ada sedatif, narkotik atau penenang yang diberikan sampai saat bayi lahir. Asupan oral dihentikan 8 jam sebelum operasi. Wanita dengan rencana operasi re-SC dievaluasi ulang sehari sebelumnya oleh tim obstetrik dan anastesi. Pemeriksaan hematokrit dan tes Coombs indirek dilakukan, ketersediaan darah yang kompatibel harus dipastikan (Cunningham, 2014). Analgesia regional disarankan untuk operasi SC. Antacid diberikan sesaat sebelum analgesia regional atau induksi dengan anastesi umum. Contohnya Bicitra, 30mL oral dengan dosis tunggal. Hal ini meminimalisir resiko cedera paru oleh aspirasi asam lambung. Tidak cukup data untuk menentukan pentingnya memonitor denyut jantung janin (DJJ) sebelum operasi



SC



pada



wanita



tanpa



faktor



resiko.



DJJ



sebaiknya



didokumentasikan didalam kamar operasi sebelum dilakukannya operasi (Cunningham, 2014) Jika rambut menghalangi daerah operasi maka harus dihilangkan pada hari operasi dengan menggunting. Ini berkaitan dengan kemungkinan infeksi pada daerah operasi dibandingkan dengan mencukur. Kateter urin menetap biasanya dipasang di rumah sakit Parkland untuk mengempeskan kandung kencing menjauhi daerah insisi histerotomi, untuk menghindari retensi urin terkait analgesia regional dan untuk menfasilitasi penilaian akurat produksi urin postoperatif. Penelitian dalam skala kecil mendukung tidak digunakannya kateter urin pada wanita yang stabil untuk meminimalisir terjadinya infeksi saluran kencing. Resiko tromboemboli meningkat pada kehamilan dan 2 kali lipat pada wanita dengan operasi SC (Cunningham, 2014). Beberapa wanita dengan penyakit comorbid membutuhkan beberapa manajemen spesifik sebelum operasi SC. Diantaranya termasuk pemberian insulin pada wanita dengan diabetes, koagulopati atau thrombophilia, penggunaan kortikosteroid kronis dan penyakit saluran pernafasan reaktif yang signifikan (Cunningham, 2014).



5. Tindakan Pencegahan Infeksi Morbiditas demam sering terjadi setelah operasi SC. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa dosis tunggal antimikroba yang diberikan pada saat operasi SC secara signifikan menurunkan morbiditas infeksi. Pada wanita yang menjalani operasi SC yang tidak dijadwalkan, tindakan ini juga secara signifikan menurunkan angka infeksi postoperasi. Bergantung pada riwayat alergi, antimikroba dosis tunggal paling direkomendasikan adalah Beta lactam, antara cephalosporin atau derivate penicillin spectrum luas. Cefazolin 1 gram adalah pilihan yang efektif dan murah (Cunningham, 2014). Untuk wanita yang obesitas, dosis 2 gram biasanya adekuat, walaupun dosis ini mungkin tidak adekuat untuk wanita dengan body mass index (BMI) >40. Pemberian antibiotik ulangan setelah operasi pada pasien obesitas dapat menurunkan infeksi luka operasi sebanyak 63%. Kada antibiotik dalam darah pasien obesitas cenderung rendah, kehilangan darah selama operasi SC akan semakin menurunkan kadar antibiotik



dalam darah pasien dan secara umum kadarnya akan menghilang 4 jam setelah melahirkan. Dalam 4 jam tersebut, luka belum sembuh dan kemungkinan bakteri masuk dalam luka insisi dan uterus akan selalu ada terlebih pada pasien dengan riwayat pecah ketuban sebelumnya. Oleh karenanya pemberian antibiotik lanjutan setelah operasi diperlukan untuk mencegah infeksi luka operasi secara umum dan selulitis, morbiditas luka insisi, endometriosis, demam dan terbukanya luka secara khusus (Haelle, 2017). Pada wanita dengan alergi penicillin atau cephalosporin, dosis tunggal



klindamicin



600mg



intravena



dikombinasikan



dengan



aminoglikosida dengan dosis berdasarkan berat badan merupakan alternatif yang dapat dipilih. Klindamicin 900mg digunakan pada pasien dengan obesitas (Cunningham, 2014). Pemberian antimikroba sebelum insisi operasi menunjukkan angka infeksi postoperatif yang lebih rendah tanpa efek samping pada neonates dibandingkan pemberian setelah tali pusat diklem. Karena alasan ini, direkomendasikan



profilaksis



diberikan



dalam



60



menit



sebelum



dimulainya operasi SC. Untuk operasi emergensi, profilaksis diberikan secepatnya saat sudah memungkinkan (Cunningham, 2014). Antibiotik diberikan kedua kalinya jika operasi berlangsung lama melebihi waktu paruh obat antibiotik yang telah diberikan (NICE, 2011). Persiapan preoperatif pada dinding perut efektif mencegah infeksi luka operasi. Pilihan antara chlorhexidine atau povidone-iodine dapat digunakan. Sebagai tambahan, untuk mencegah metritis post operasi SC, pembersihan vagina pre operasi dengan cairan povidone-iodine sudah dievaluasi dalam studi kecil randomized trial. Beberapa menunjukkan keuntungan sementara yang lain tidak. Pembersihan vagina bukan merupakan persiapan preoperative di rumah sakit Parkland, sedang membersihkan vagina dengan povido iodine sebelum operasi menurunkan kemungkinan endometritis dari 8,3% menjadi 4,3%, terutama pada pasien yang dioperasi saat sudah dalam persalinan 13% dibanding 7,4% (Haas DM, 2014). Antibiotik



profilaksis



untuk



endocarditis



infektif



tidak



direkomendasikan pada mayoritas penyakit jantung, terkecuali wanita dengan penyakit jantung sianosis, katup prostetik atau keduanya. Regimen



rutin untuk profilaksis infeksi operasi SC juga berefek cukup untuk endocarditis (Cunningham, 2014).



6. Keselamatan Operasi Joint Commision (2013) menetapkan protocol untuk mencegah kesalahan yang mencakup 3 komponen yaitu : a. Verifikasi sebelum prosedur terkait dokumen yang relevan. b. Menandai lokasi operasi c. Melakukan “time out”sebelum memulai operasi. “Time out” memerlukan perhatian seluruh tim untuk mengkonfirmasi pasien, tempat operasi dan prosedur operasinya benar. Diskusi penting juga mencakup pengenalan tim operasi, verifikasi antibiotik profilaksis, estimasi lamanya



operasi



dan



mengkomunikasikan



antisipasi



terhadap



komplikasi yang muncul. Sebagai tambahan, permintaan instrument tambahan dilakukan sebelum operasi untuk menghindari ancaman potensial pasien dan penundaan intraoperatif (Cunningham, 2014). Instrument, busa (kassa) dan jarum dihitung sebelum dan sesudah operasi dan persalinan pervaginam merupakan hal penting untuk menjamin keamanan. Jika penghitungan tidak tepat atau meragukan, pemeriksaan radiologi tambahan diperlukan untuk mengidentifikasi adanya benda asing (Cunningham, 2014).



H. Teknik Operasi Seksio Sesarea Dengan sedikit variasi, performa operasi SC dapat dibandingkan di seluruh dunia. Kebanyakan langkah operasi ditemukan dengan berbasis data penelitian. Seperti operasi pada umumnya, pemahaman mengenai anatomi mutlak diperlukan (Cunningham, 2014).



1. Insisi Abdomen Ada 2 tipe insisi yaitu insisi transversal (Pfanenstiel, Maylard, Cherney dan Joel Cohen) dan insisi longitudinal (median dan paramedian). Insisi Pfanenstiel yang diperkenalkan tahun 1990 lebih



sering dipilih untuk operasi SC. Insisi transversal mengikuti garis langer menurunkan



ketegangan



kulit



dan



lebih



baik



secara



kosmetik



dibandingkan dengan insisi vertikal. Sebagai tambahan, penurunan angka nyeri postoperatif, wound dehiscence dan hernia dari insisi merupakan keuntungan dibandingkan insisi vertikal. Insisi pfanenstiel dilakukan dalam area segitiga Malgaigne. Penggunaan insisi Pfanenstiel kadang tidak digunakan saat dibutuhkan lapangan operasi yang luas dimana akses ke abdomen bagian atas dibutuhkan (Gian Carlo Di Renzo, 2017).



Gambar 1. (a) Insisi kulit pfanenstiel. Tiga titik segitiga Malgaigne. (b) Insisi pfanenstiel dilanjutkan insisi subcutis dengan elektrocauter (Gian Carlo Di Renzo, 2017).



Struktur



neurovascular



diantaranya



syaraf



ilioinguinal



dan



iliohipogastrik dan pembuluh darah epigastric inferior sering terpotong pada insisi transversal. Secara logis, perdarahan, hematoma dan



gangguan neurologis terjadi lebih sering pada irisan ini disbanding irisan vertikal. Pada kasus re-SC, irisan ulang Pfanenstiel biasanya lebih memakan waktu dan sulit karena adanya scar (Cunningham, 2014). Insisi vertikal mempunyai kemungkinan 8x lebih besar untuk mengalami wound dehisens dibandingkan insisi transversal (Mowat and Bonnar, 1971). Insisi Maylard berbeda dengan Pfanenstiel karena irisan horizontal pada otot rectus abdominis untuk memperlebar lapangan operasi. Secara teknis insisi ini lebih sulit karena memerlukan isolasi dan ligase dari arteri epigastric inferior yang terletak lateral dari otot perut (Cunningham, 2014).



Gambar 2. Jenis insisi abdomen (Serov et al., 2014).



Insisi vertikal infraumbilikal mempersingkat waktu insisi hingga melahirkan bayi. Inisisi vertikal mempunyai keuntungan sedikitnya jumlah perdarahan, akses mudah abdomen bagian atas, lapangan operasi luas dan fleksibilitas untuk memperlebar luka jika lapangan operasi luas dibutuhkan. Tidak ada struktur neurovaskuler penting yang melewati insisi ini. Kelemahan utamanya adalah kurang secara kosmetik, lebih tinggi kemungkinan dehiscence dan lebih nyeri postoperatif. Untuk pasien obesitas, insisi vertikal yang melebihi umbilical mungkin dibutuhkan (Cunningham, 2014).



a. Insisi Transversal Pada insisi Pfanenstiel, kulit dan jaringan subkutan diinsisi rendah, transversal, sedikit berbentuk curvilinier. Insisi ini dilakukan pada garis rambut pubis, yang biasanya 3 cm diatas batas atas simphisis pubis. Insisi ini diperluas hingga ke batas luar lateral dari otot rectus



abdominis.



Ini



seharusnya



sudah



adekuat



untuk



mengakomodasi persalinan (12-15 cm). Diseksi tajam dilakukan pada lapisan subkutan hingga fascia. Pembuluh darah superficial epigastrik biasanya dapat diidentifikasi diantara kulit dan fascia, beberapa centimeter dari midline dan dikoagulasi. Jika terjadi laserasi, sumber perdarahan diligasi menggunakan benang plain gut 3-0 atau dikoagulasi memakai pisau elektrosurgikal (Cunningham, 2014). Fascia kemudian diinsisi tajam di midline. Bagian anterior fascia abdomen



terdiri dari 2 lapisan yaitu aponeurosis dari otot



oblique eksternal dan gabungan lapisan yang terdiri dari otot oblique internal dan otot abdominis transversal. Idealnya kedua layer masingmasing diinsisi terpisah. Pembuluh darah epigastrik inferior biasanya terletak diluar batas lateral dari otot rectus abdominis dan di bawah gabungan aponeurosis dari otot oblique internal dan otot tranverse abdominis. Demikianlah, walaupun jarang dibutuhkan, perluasan insisi dapat menyebabkan terpotongnya pembuluh darah. Walaupun begitu, jika memang dibutuhkan perluasan, pembuluh darah ini harus diidentifikasi kemudian diligasi atau dikoagulasi untuk mencegah perdarahan dan retraksi pembuluh darah (Cunningham, 2014).



Gambar 3. Pemotongan linea alba. Asisten melakukan traksi pada bagian atas fascia. Insisi dapat dilakukan dengan gunting mayo atau elektrik cauter (Gian Carlo Di Renzo, 2017).



Jika fascia telah diinsisi, batas inferior fascia dipegang dengan klem dan dielevasikan oleh asisten saat operator memisahkan lapisan fascia dari otot rectus abdominis baik dengan cara tumpul maupun tajam hingga batas atas dari simphisis pubis tercapai. Jika ada pembuluh darah ditemukan lakukan klem, potong kemudian ligasi atau koagulasi dengan pisau elektrosurgikal (Cunningham, 2014). Setelah itu, batas atas fascia dipegang kemudian pemisahan fascia dari otot rectus selesai. Hemostasis teliti penting untuk menurunkan angka infeksi dan perdarahan. Pemisahan fascia dibuat



cukup untuk membuat insisi midline longitudinal peritoneum yang adekuat. Otot rectus abdominis dan piramidalis dipisahkan di bagian midline dengan diseksi tajam atau tumpul agar fascia transversalis dan peritoneum terlihat (Cunningham, 2014).



Gambar 4. Pemotongan fascia dengan gunting lengkung mayo. Ujung insisi diangkat dengan jari (Gian Carlo Di Renzo, 2017).



Fascia transversalis dan lemak peritoneum didiseksi secara hati-hati untuk mencapai peritoneum. Peritoneum dekat ujung atas insisi dibuka hati-hati baik dengan cara tajam atau tumpul. Cara tajam dengan mengangkat peritoneum dengan 2 klem hemostat dengan jarak 2 cm. peritoneum diantara kedua klem secara hati-hati diperiksa, apakah ada omentum, usus atau vesica yang melekat. Peritoneum kemudian diinsisi, kemudian diperluas keatas dan kebawah hingga batas refleksi dari vesica. Penting pada wanita dengan riwayat operasi intraabdominal termasuk operasi SC, omentum atau usus mungkin melekat pada peritoneum. Bahkan pada wanita dengan persalinan macet,



vesica



urinari



(Cunningham, 2014). b. Insisi Vertikal



dapat



naik



hingga



setinggi



umbilikus



Insisi midline infra umbilical dimulai 2-3 cm diatas batas atas dari simphisis pubis dan harus cukup panjang untuk dilewati bayi tanpa kesulitan. Meskipun begitu panjang insisi harus sesuai dengan estimasi besar janin, biasanya insisi dibuat 12-15 cm. diseksi tajam atau menggunakan kauter elektrik dilakukan hingga permukaan rectus. Pembukaan dengan irisan kecil dibuat tajam dengan scalpel pada setengah bagian atas linea alba, pemilihan tempat ini menghindari cystotomi (irisan pada vesica urinari). Jari telunjuk dan tengah diletakkan diantara fascia dan insisi fascia diperluas keatas dan kebawah dengan gunting atau scalpel. Pemisahan midline dari otot rectus dan piramidalis serta jalan masuk ke peritoneum mempunyai cara yang sama dengan insisi pfanenstiel (Cunningham, 2014).



4. Histerotomi Lebih sering, segmen bawah uterus diinsisi transversal. Terkadang, insisi segmen bawah uterus secara vertikal juga digunakan. Insisi klasik adalah insisi vertikal pada corpus uteri diatas segmen bawah uterus dan mencapai fundus uteri. Pada prakteknya, insisi klasik sama seperti insisi vertikal rendah, dimana perluasan kea rah kaudal hanya dibuat sebatas perkiraan bayi dapat lahir. Pada sebagian besar kasus operasi SC, insisi transversal lebih dipilih. Dibandingkan dengan insisi klasik, insisi jenis ini lebih mudah dijahit, karena berlokasi di segmen yang tidak aktif dan lebih kecil



kemungkinannya



untuk



ruptur



saat



kehamilan



berikutnya,



perdarahan lebih sedikit dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya perlengketan antara usus dan omentum dengan tempat insisi myometrium (Cunningham, 2014).



5. Insisi Operasi SC Low Transversal Sebelum melakukan histerotomi, operator harus melakukan palpasi fundus dan adneksa untuk mengidentifikasi derajat putaran uterus. Uterus mungkin saja berputar ke kanan sehingga ligamen sebelah kiri berada di depan dan mendekati midline. Pada kasus tersebut, insisi dimodifikasi sehingga tetap berada ditengah segmen bawah rahim. Hal ini menghindari laserasi dari arteri uterine sebelah kiri. Jika ditemukan meconium yang banyak atau cairan amnion terinfeksi, beberapa operator memilih untuk



menempatkan kassa/drumcast yang telah dibasahi pada tiap celah peritoneum untuk menyerap cairan dan darah serta mencegahnya keluar dari uterus yang terbuka. Kassa/drumcast basah juga berfungsi untuk menjauhkan usus yang keluar dan menghalangi lapangan operasi (Cunningham, 2014). Refleksi peritoneum diatas batas atas dari vesica yang menutupi segmen bawah Rahim disebut flap vesica urinari, batas ini dipegang di midline kemudian dipotong secara transversal dengan gunting. Flap vesica yang dibuat ini efektif untuk membuat vesica urinari menjauh dari lokasi insisi yang direncanakan dan mencegah laserasi jika terjadi perluasan robekan yang tidak direncanakan pada segmen bawah uterus selama proses melahirkan bayi (Cunningham, 2014).



Gambar 5. Pemotongan lapisan vesicouterina yang longgar diatas refleksi vesica uterine dengan gunting Metzenbaum (Cunningham, 2014).



Gambar 6. Gunting Metzenbaum berujung tumpul (Tighe, 2016).



Gambar 7. Forcep atau pinset (Tighe, 2016).



Setelah melakukan insisi ini, gunting dimasukkan diantara lapisan vesicouterina serosa dan myometrium segmen bawah rahim. Gunting ditekan kearah lateral kiri dan kanan dari midline untuk lebih lanjut membuka peritoneum visceral agar myometrium terlihat. Insisi peritoneum transversal ini meluas sampai hamper seluruh segmen bawah Rahim. Sebelum mencapai ujung, gunting diarahkan lebih keatas. Bagian bawah peritoneum diangkat kemudian vesica urinari dipisahkan dari myometrium dibawahnya dengan diseksi tumpul atau tajam dalam ruang vesicouterina ini (Cunningham, 2014).



Gambar 8. Pelebaran inisisi vesicouterina (Cunningham, 2014).



Gambar 9. Diseksi tumpul pemisahan vesica urinari dengan uterus sehingga segmen bawah Rahim terlihat (Cunningham, 2014).



Umumnya pemisahan ini tidak lebih dari 5 cm dan biasanya kurang. Beberapa operator tidak membuat flap vesica. Keuntungan utamanya adalah memperpendek waktu antara insisi hingga melahirkan bayi, meskipun begitu, data penelitian yang menyokong hal ini terbatas (Cunningham, 2014). Pintu masuk ke uterus dibuat dari segmen bawah rahim, kira-kira 1 cm diatas batas refleksi peritoneum. Penting untuk membuat insisi relatif lebih tinggi pada kasus dimana terdapat dilatasi cerviks besar atau komplit. Kegagalan dalam menyesuaikan tinggi irisan menyebabkan perluasan laserasi hingga mengenai arteri uterine. Hal ini juga dapat berakhir pada kesalahan menginsisi cervix atau vagina. Penempatan lokasi insisi menggunakan



refleksi



lapisan



vesikouterina



sebagai



panduan



(Cunningham, 2014).



6. Insisi Uterus Uterus dapat diinsisi dengan berbagai variasi teknik. Masingmasing diinisiasi dengan menggunakan skalpel untuk melakukan insisi transversal pada segmen bawah yang terekspos sebesar 1-2 cm di bagian garis tengah. Hal ini harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari janin terinsisi. Upaya untuk masuk secara hati-hati dengan menggunakan hemostat atau jari untuk memisahkan otot mungkin berguna. Ketika uterus



telah terbuka, insisi dapat diperluas kearah lateral sedikit keatas dengan menggunakan kedua jari telunjuk. Sebagai alternatif, jika segmen bawah uterus tebal, menggunting kearah lateral dengan gunting perban dapat dilakukan. Penting untuk dilakukan saat melebarkan dengan gunting perban, jari telunjuk dan tengah tangan yang tidak memegang gunting dimasukkan antara endometrium dengan janin untuk mencegah terguntingnya



bagian



janin.



Membandingkan



antara



perluasan



menggunakan teknik tumpul dan tajam, perluasan tajam dihubungkan dengan peningkatan kehilangan darah, namun perubahan hematokrit postoperasi, kemungkinan transfusi dan angka infeksi tidak berbeda dengan perluasan tumpul (Cunningham, 2014).



Gambar 10. Hemostat (Tighe, 2016).



Gambar 11. Gunting perban (bandage scissor) (Tighe, 2016).



Gambar 12. Insisi Myometrium secara hati-hati untuk menghindari kemungkinan janin terpotong (Cunningham, 2014).



Gambar 13. Pelebaran insisi ke lateral dengan kedua jari atau menggunakan gunting kassa (Cunningham, 2014).



Insisi uterus harus dibuat cukup untuk melahirkan kepala dan bokong bayi tanpa membuat putus atau terinsisi arteri uterine yang



berjalan sepanjang kedua tepi lateral uterus. Jika plasenta berada di jalur insisi, plasenta harus dipisahkan atau di insisi. Saat plasenta diinsisi, perdarahan mungkin terjadi dalam jumlah besar. Saat terjadi hal tersebut, melahirkan bayi dan memasang klem tali pusat harus dilakukan secepatnya (Cunningham, 2014). Saat insisi segmen bawah rahim tidak memberikan cukup ruang untuk melahirkan bayi, di beberapa instansi irisan diperluas ke arah atas hingga mencapai bagian myometrium yang berkontraksi, insisi ini disebut insisi J. jika insisi ini dilakukan pada kedua sisi disebut insisi U. Beberapa lebih memilih melakukan insisi pada garis tengah ke arah atas yang disebut insisi T. seperti yang telah diduga, perluasan insisi ini berhubungan dengan kehilangan darah yang lebih banyak. Jika perluasan insisi mencapai bagian myometrium yang berkontraksi maka VBAC menjadi kontraindikasi pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2014). Perluasan dari insisi segmen bawah rahim dapat juga dilakukan secara tumpul dengan traksi cephalad-caudad. Cara ini mempunyai kelebihan dibanding traksi kearah lateral yaitu minimalnya kehilangan darah dan lebih jarang menimbulkan robekan ekstra ke lateral yang membutuhkan tambahan penjahitan (Cromi et al.).



Gambar 14. A. Perluasan SBR secara tumpul kearah lateral. B. Perluasan SBR secara tumpul dengan traksi cephalad-caudad (Cromi et al.).



7. Melahirkan Bayi



Pada presentasi kepala, tangan operator diselipkan pada rongga uterus antara simphisis dan kepala bayi. Kepala bayi diangkat secara lembut dengan jari dan telapak tangan melewati insisi. Saat kepala sudah melewati insisi, melahirkan kepala bayi mungkin dibantu dengan tekanan yang cukup pada fundus abdomen (Cunningham, 2014).



Gambar 15. Melahirkan kepala bayi (Cunningham, 2014).



Setelah persalinan lama dengan CPD. Kepala bayi mungkin terjepit erat pada dasar panggul. Situasi ini mungkin dapat berakibat buruk, situasi ini mempunyai 3 pilihan yang dapat dipilih yaitu (Cunningham, 2014): a. Metode mendorong. Tekanan kearah atas dilakukan pada kepala bayi lewat vagina oleh asisten akan membantu mengeluarkan kepala dari dasar panggul dan membuat kemungkinan melahirkan dari atas simphisis. Mengeluarkan kepala dari dasar panggul mempunyai resiko meluasnya insisi uterus, bertambahnya kehilangan darah dan meningkatnya kemungkinan fraktur kepala janin. b. Metode menarik. Metode ini digunakan dengan cara memegang kaki janin kemudian melahirkan dengan cara menarik kaki bayi keluar melewati insisi, bagian janin yang lain dilahirkan sama dengan cara melahirkan ekstraksi komplit bokong. Dukungan untuk metode ini dating dari penelitian kecil randomized trial dan case series.



c. Memperluas insisi dengan melakukan insisi J, U atau insisi T. perluasan insisi digunakan untuk memperluas ruang sehingga mendukung metode menarik yang akan dilakukan. Untuk pasien tanpa proses melahirkan, mungkin ditemukan kepala tidak masuk kedalam panggul. Kepala janin mungkin sulit untuk diangkat untuk diarahkan ke insisi uterus dengan SBR yang relatif tebal. Untuk kondisi seperti ini alat forcep atau vacuum mungkin dibutuhkan untuk membantu melahirkan kepala bayi (Cunningham, 2014).



Gambar 16. A. Daun forcep pertama diletakkan. B. Tarikan sedikit ke arah atas



luar



dilakukan



untuk



mengangkat



kepala



melewati



insisi



(Cunningham, 2014).



Setelah melahirkan kepala bayi, jari dilewatkan ke leher janin untuk melihat adanya lilitan tali pusat. Jika terdapat lilitan tali pusat, tali pusat dibebaskan dengan melewatkan kepala bayi. Kepala bayi dirotasikan pada posisi occiput transverse. Kedua sisi kepala dipegang dengan kedua tangan dan secara lembut melakukan traksi kebawah untuk mengeluarkan bahu anterior lewat insisi uterus. Selanjutknya dengan gerakan keatas, bahu posterior dilahirkan. Selama persalinan, sentakan dan tenaga kuat tiba-tiba dihindarkan untuk menghindari cedera pleksus brachialis. Dengan trkasi keluar secara tenang, sisa badan bayi akan mengikuti.



Tekanan lembut pada fundus mungkin membantu pada saat ini (Cunningham, 2014).



Gambar 17. A. Bahu anterior dilahirkan. B. Kemudian disusul melahirkan bahu posterior (Cunningham, 2014).



Dengan beberapa pengecualian, American Heart Association Neonatal Resuscitation merekomendasikan menghindari melakukan suction segera setelah bayi dilahirkan walaupun terlihat dengan meconium. Tali pusat kemudian di klem dan bayi diberikan kepada tim yang akan melakukan resusitasi jika diperlukan (Cunningham, 2014). American



Academy



merekomendasikan



tenaga



of yang



Pediatrics



and



mempunyai



ACOG



kemampuan



(2012) untuk



resusitasi harus berada dalam ruang persalinan dengan alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan resusitasi pada bayi (Cunningham, 2014). Suatu studi kohort melaporkan bahwa bayi yang lahir melalui operasi SC dengan anastesi regional mempunyai kemungkinan nilai APGAR 1 menit pertama