Pandora Boss [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Walkles 1



Walkles 3



Prolog "Bagaimana tanggapan Anda?" Lampu-lampublitzmenyala silih berganti, begitu silau sampai membutakan matanya. Suara mereka terdengar seperti dengungan lebah di balik telinganya yang ditutup rapat oleh tangan kurus itu hingga berhasil melewati kerumunan. "Katanya emang dulu nikah demi harta, udah kayak lintah di keluarganya..." "Nggak tahu malu..." "Amit-amit, ih..." Lampu blitz itu telah berhenti, menyisakan suara umpatan dan hinaan yang orang-orang layangkan kepada wanita yang selalu mendekapnya erat. Tangannya yang dingin dan gemetar tak cukup untuk menahan suara-suara itu untuk menembus telinganya. Rafka mendongak, menatap wajah wanita itu. Semakin hari, raut ketakutan dan kesedihan di wajahnya meluntur, perlahan berganti dengan wajah dingin tanpa ekspresi, sedingin tangan yang Rafka genggam hari itu.



Walkles 4



-1- Masquerade "Ya, semua udah siap. Surat pengunduran diri udah masuk. Seminggu lagi udah bisa berangkat ke Batu." Pria denganbluetooth earphonedi telinganya itu terlihat berusaha membagi fokusnya dengan layar komputer dan telepon. Ia memijit pelipisnya yang terasa tegang karena Pak Kamalâ ”pria yang sekarang ini ia hubungitidak memberikan jawaban yang ia inginkan. "Gimana bisa belum dapet kontrakan, Pak Kamal? Terus nanti aku tinggal di mana?" balas Rafka tak mengerti. Pak Kamal sudah bekerja pada keluarganya sejak ia remaja, kinerjanya bagus hingga kakek Rafka memercayakan segala permasalahan padanya, dari yang remeh temeh seperti urusan keluarga hingga urusan bisnis maha penting. Pak Kamal bahkan sampai punya beberapa asisten untuk membantunya mengerjakan banyak hal itu. Jarang sekali Rafka mendapati Pak Kamal ceroboh seperti ini. "Ya udahlah, sedapetnya aja," jawab Rafka pasrah. Lagi pula mau bagaimana lagi? Mau menyalahkan orang



Walkles 5



lupa juga percuma. "Jangan lupa ingetin Bian buat ngirim data yang aku minta kemarin. Oke." Rafka memutuskan sambungan teleponnya, kemudian mendesah. Ia benar-benar tidak suka kalau ada sesuatu yang berjalan di luar rencananya seperti ini, walaupun hanya sekecil urusan mencari kontrakan. Misinya harus berjalan mulus sampai akhir. Sudah hampir dua tahun ini Rafka mengelilingi cabang-cabang Hotel Pramoedya di Indonesia. Ia sedang menjalankan misi rahasia untuk menginspeksi kinerja hotel-hotel cabang. Yah, walaupun sebenarnya juga tidak terlalu rahasia ketika ia terpaksa memberikan uang tutup mulut kepada beberapasecurityhotel karena tertangkap CCTV sedang melihat-lihat dokumen dan dituduh mencuri. Demi apa pun, ia bukan Tom Cruise di Mission Impossible ataupun Charlie's Angel. Tapi Pramoedya's Angel. Sial, kakeknya bahkan lebih mirip Charlie karena menjadi pria tua yang menjadi dalang dari misi-misi ini. Ia memanfaatkan keinginan Rafka dan Bianâ ”sepupunyaâ ”untuk mencari keuntungan. Ia menitahkan Rafka dan Bian untuk mencari tahu



Walkles 6



penyebab penurunan keuntungan hotel yang lumayan drastis. Dalam misinya itu, Rafka berhasil mendapati ada dua cabang yang telah mengirimkan laporan keuangan yang tidak sesuai dengan aslinya, walaupun telah rutin dilakukan audit. Yang lain, delapan cabang lain masih baik-baik saja, kalaupun menurun, penurunan terjadi karena alasan klasik, kurangnya pengunjung dan manajemen yang tidak begitu baik. Sebenarnya Rafka tidak berencana untuk melakukannya dengan berpura-pura sebagaiHousemanseperti ini. Awalnya ia dan Bian hanya akan bergantian melakukan inspeksi mendadak di hotel cabang. Namun, hasilnya gagal total karena berita Bian akan inspeksi selalu bocor. Kesalahan tidak ditemukan, bahkan di cabang yang sudah dinilai potensi bobroknya paling besar. Mereka harus putar otak untuk mencari rencana baru. Satu cara gila yang mereka coba ternyata berjalan lumayan sesuai harapan, yaitu dengan membuat Rafka menyamar sebagai pegawai baru, dengan posisi yang paling cocok adalah sebagaihouseman. Rafka dapat dengan bebas keliling hotel, juga keluar masuk bagian manajemen tanpa ada yang curiga.



Walkles 7



Rencana ini dilakukan bukan tanpa persiapan. Rafka sampai harus menggelapkan kulitnya, memanjangkan rambut, dan jenggot karena menurut Pak Kamal, ia harus menghilangkan 'aura orang kaya' yang menguar dari tubuhnya. Rafka juga masih harus menekan egonya dalam-dalam, demi memberikan pelayanan terbaik untuk tamu-tamunya. Kedengarannya memang gila. Kalau semua rencana ini berhasil sampai akhir, mungkin setelah ini Rafka akan memikirkan untuk pindah pekerjaan menjadi bagian dari Badan Intelijen Negara saja. Kalau bukan karena iming-iming posisigeneral managercabang Jogja dan posisichiefdi bagianpublic relationhotel pusat, Rafka dan Bian tidak akan mau melakukannya. Setelah menekan tombolsendpadaemail-nya, Rafka mematikan laptop. Ia mengangkat tangannya keatas, meregangkan otot-ototnya yang kaku karena seharian membersihkan kaca dan kolam renang hotel. Diraihnya bungkusan plastik dan membukanya, semerbak bau koyo menguar menusuk-nusuk hidung. Bau itu mengingatkannya pada almarhum Mbah Uti-nya. Bertemankan cermin, ia memasang koyo-koyo itu di punggung dan lengan atasnya. Sepertinya ia sudah tidak peduli kalau ada yang menganggap dirinya kakek-kakek.



Walkles 8



Andai ia bisa membawa Bu Tiyem untuk bisa memijitnya setiap hari, mungkin bahu dan punggungnya ini tidak terasa seperti sedang ditarik oleh sapi dari kedua sisi. Memasuki hari ketiga Rafka bekerja di hotel cabang Batu, ia bisa merasa sedikit lebih tenang karena selain anak buah Pak Kamal sudah mendapatkan kontrakan untuknya, saat ini ia tahu mendapatkan supervisor yang baik selama bekerja di sini, juga temantemanhouseman-nya sangat terbuka menerimanya. Dalam hati Rafka bersyukur tak ada yang curiga dengan tinggi badannya dan rambutnya yang sudah ia potong rapi. "Hee,lapo ngelamun ae.Wes mangan a, awakmu? (Melamun saja. Kamu sudah makan?)"tanya Ucup yang tiba-tiba merangkul Rafka dari belakang, membuat Rafka berjengit kaget. Bibirnya tertawa lebar, memperliatkan gigi gingsulnya di sebelah kiri. Rafka memaksakan sebuah senyum. "Urung," jawabnya. Untung saja ia pernah tinggal lama di Jogja, yah paling tidak sedikit-sedikit ia masih bisa bahasa jawa, walaupun ia masih seringroamingkarena bahasa Jawa-tengahan berbeda jauh dengan bahasa Jawatimuran."



Walkles 9



Lha yok opo awakmu iki, Pak Priyo lagi syukuran, cuk. Dihubungi kaet mau ae gak iso, gawe opo awakmu nduwe HP?" Ucup berusaha memiting kepala Rafka, tapi karena Rafka terlalu tinggi, ia hanya sanggup untuk merangkulkan tangan saja. Rafka merogoh saku celananya, mengambil ponsel 'kerja' yang sejak tadi lupa belum ia lihat. Sudah ada duamissed calldari Pak Priyo dan notifikasi grupchathotel, yang juga dikirimkan oleh Pak Priyo. "Ngapurane." "Wado, awakmu iki arek endi se? Ndeso temen lak omong." Ucup menggiring Rafka kembali ke ruang istirahat mereka dengan langkah lebar. "Saya orang Indonesia," putus Rafka setelah berusaha memahami apa yang Ucup katakan. "Jancik, iku aku yo eroh." "He, rame ae. Wes dienteni ket mau, cek suwene." Pak Priyo, supervisor mereka membuka pintu ketika mendengar suara Ucup dan Rafka mendekat. Ia langsung mengarahkan Rafka dan Ucup pada meja yang di atasnya sudah tersedia tiga kotak besar berisi ayam



Walkles 10



bakar, urap, dan nasi putih. Tadi dibawa dari rumah, untuk syukuran tujuh bulanan anaknya yang baru lahir. "Rafkaiki lho, ndeso temen, njaluk sepuro ae 'ngapurane', durung ae 'urung', wingi-wingi ngomong gak eroh dadi 'ra reti'." Ucup mencibir. "Ngomong isok koyok pepak boso jowo.""Iyo ta?" Pak Priyo tertawatawa mendengar cibiran Ucup. "Wes, makansek. Santai." "Siap bos,nuwus, (*suwun dibalik, artinya terima kasih)" Ucup mengangkat tangannya, memberikan tanda hormat pada Pak Priyo. Alih-alih disayang, kepala Ucup malah ditempeleng sebagai balasannya. Kesal, Ucup mendengus dengan bibir rapat. "Wes alah, ditempeleng gak opo sing penting wareg." "Lambemu, Cup," ujar Mardi yang sudah lebih dulu makan di ruangan itu. "Rafka,yok opo? Betah kerjae?" tanya Pak Priyo ketika Rafka telah duduk di salah satu kursi kosong. "Inggih." Rafka sebisa mungkin menjawab dengan



Walkles 11



singkat, takut kalau-kalau ia salah menjawab. "Omahmu endi se? Duduk wong kene, lak berarti awakmu ga tahu dolan nde kutho mesti? Ayok, tak terno," tawar Ucup sebelum menyumpal mulutnya dengan nasi dan ayam bakar. Rafka menelan ludahnya. Ia tidak mengerti Ucup bilang apa. Ia hanya paham kalau Ucup menanyakan di mana rumahnya, yang lainnya Rafka angkat tangan. Tidak mengerti. Ia benar-benar baru menyadari bahwa bahasa Jawa Timur ternyata sesulit ini. Sudah sulit, Ucup sering membolak-balik kata-katanya pula. Rafka memutuskan untuk menjawab yang ia tahu saja, "Aku kost." Mendengarnya, Ucup membelalak dan menatap Rafka remeh."Kost? Entuk kost rego piro? Gaji gak tentu ae isok kost barang. Mending kontrak ambek aku." Rafka mengernyit. Bahkan yang tadinya mau menyuapkan makanan ke mulutnya, tangannya sampai terhenti di udara. "Gaji gak tentu? Gaji kanwis ana ningkontrak?" Pak Priyo menepuk pundaknya, bibirnya tersenyum,



Walkles 12



seolah ingin membesarkan hati Rafka. "Gini, besaran gaji di kontrak ada, tapirealisasinekanyo mesti gak podo. Kadang kesithiken, kadang kepunjulen. Tergantung tamu," jelasnya. Ia tidak ingin Rafka merasa tertipu karena gaji yang nanti ia terima tak sama, padahal saat ini Rafka sedang menipunya. "Lho, yang di kontrak kan besaran gaji pokok? Yang nggak tetapkuwibonus. Jadi seharusnya nggak mungkin di bawah besaran gaji pokok," jelas Rafka. Pasalnya ia tahu persis bagaimana peraturan-peraturan yang ada di hotel, termasuk sistem penggajian karyawan. "Yo yok opo, awakdewe ki mek mawahan, kate protes yo mesti gak dirungokno. Biyen tahu onok sing protes, tapi akhir e malah dipecat. Wis, oralah. Penting pawone bojoku isok ngebul ae aman, (Mau gimana? Kita ini cuma bawahan, mau protes juga nggak didengerin. Dulu udah pernah ada yang protes, tapi akhirnya malah dipecat. Nggak deh, yang penting dapur istriku bisa ngebul udah aman)" potong Mardi dengan wajah bosan. Mungkin Mardi sudah sering mendengar protes semacam itu. Rafka terdiam. Ia mulai mencium ketidakberesan yang mungkin saja terjadi di hotel ini. Seharusnya



Walkles 13



cabang Batu dan Trawangan menjadi hotel yang paling sehat jika dilihat dari laporan-laporan yang selama ini mereka kirimkan, makanya dua cabang ini menjadi dua cabang terakhir yang akan ia kunjungi. Ia tidak menyangka ada masalah yang luput dari pengawasan hotel pusat, apalagi ini tentang hak-hak pegawai. "Halah, gak usah dipikir wes. Penting kerjo tenanan, lek ancen rejeki yo mesti sing kuoso bakal ngekeki," ujar Mardi saat hendak beranjak mengambil air minum. "Lapo? Awakmu butuh duik a, makane sambat?" Rafka membelalak, kemudian menggeleng cepat. Tentu saja ia tidak membutuhkan uang seperti kata Mardi. Kalau memang butuh, ia akan meminjam pada kakeknya, dengan garis bawah kata meminjam. Kakeknya adalah orang paling pelit yang pernah ia kenal, tapi hal itu hanya berlaku pada Rafka, Bian, dan Marina. Buktinya uang-uangnya lebih banyak masuk ke rekening yayasan Pramoedya Group yang dulunya dikelola oleh Mbah Uti untuk membantu manula yang sudah tak diurus keluarganya. "Terus opo o?" Kini ganti Ucup yang bertanya di sela-sela kunyahannya. Mulutnya penuh, tapi telinga



Walkles 14



dan pikirannya masih bisa untuk diajakmultitasking. "Lek butuh, nyelang duik aku ae gak popo." "Rak, matur nuwun." "Lho! Rungokno, Pak Pri! Lak ngomong lak ndeso!" Sampai waktu istirahat selesai, Rarka harus rela dirinya jadi bahan tertawaan Ucup. Logat Jogja yang Rafka gunakan membuatnya terlihat kaku dan kampungan. Ia sampai yakin kalau Ucup tertawa lebih lama, perutnya biassixpackdalam sekejap saking kakunya. ***



Walkles 15



-2- Beginning Lima minggu Rafka bekerja di sana, ia sudah bisa mendapatkan pola kecurangan dari manajemen hotel cabang Batu. Mereka tidak mentransfer gaji pegawai dengan sesuai dan melakukan manipulasi dengan membuat kwitansi potongan gaji secara terpisah. Dan lagi-lagi Rafka ketahuan saat mendapatkan bukti kwitansi di salah satu sudut arsip bagian keuangan saat selesai jam pulang dan terpaksa menyogok satpam untuk tutup mulut. Rafka sempat marah besar ketika mengetahui semua ini terjadi. Ia termenung lama di ruangan itu sebelum diringkus oleh dua orang satpam. Bagaimana bisa ini kakeknya kecolongan seperti ini? Untung saja hotel ini belum didemo oleh pegawainya dan nama baik hotel bisa saja kembali tercemar. Malamnya ia langsung menelepon Bian dan Pak Kamal agar berita itu disampaikan kepada kakeknya. Yang jelas, Rafka sudah mendapatkan bukti. Sisanya biar saja mereka yang mengurus, termasuk sogokan untuk kedua satpam yang menangkapnya. "Jancik, awakmu niat ngresiki koco gak se? Deloken



Walkles 16



ta jik reget kabeh,"Ucup tiba-tiba datang sambil bersungut-sungut, membuyarkan lamunannya tentang kejadian semalam. Sejak tadi Ucup memang sedang mengepel di ruangan yang sama dengannya. Ucapan Ucup membuat Rafka melangkah mundur untuk melihat hasil kerjanya. Sial, memang masih kotor seperti apa yang dikatakan Ucup. Banyak debu-debu yang menempel membentuk garis-garis putih. Beda jauh dengan lantai mengkilap yang dibersihkan oleh Ucup. Walaupun terlalu banyak berkicau saat bekerja, Ucup bisa jadi sangat serius walaupun hanya sekadar mengepel lantai ataupun mengelap vas bunga. Bagi Ucup semua harus mengkilap sampai cling dan berada tepat pada tempatnya seperti pengidap OCD. Mungkin Rafka akan mempertimbangkan Ucup untuk menjadi bagian dari hotelnya di Jogja nanti. "Lapo se? Jik mikir duit?" tanya Ucup ketika Rafka tak kunjung menjawab. Rafka menoleh pada Ucup yang masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan sorot mata mengejek. What?



Walkles 17



Pada detik ini Rafka menyesal telah meminjam uang pada Ucup untuk membeli makan siang dan bensin karena dompetnya ketinggalan. Pada akhirnya Ucup malah mengasihaninya dan melarangnya untuk mengembalikan uang itu. Apa mukanya terlihat semiskin itu? Baru kali in Rafka diperlakukan seperti ini. Belum sempat Rafka membalas, tiba-tiba saja tubuh Ucup terdorong dan oleng hingga jatuh ke pelukannya. Kepala Ucup terantuk alat panjang yang entah kenapa sedang dibawa orang-orang kerooftop hotel hingga membuatnya terjatuh. Rafka mengerjapkan matanya beberapa kali, kejadian itu berlalu begitu cepat. Ia dan Ucup berpelukan untuk saling menjaga keseimbangan. Kepala Ucup bertumpu di dadanya, sedangkan tangannya melingkari punggung Ucup, tadinya mencari pegangan. Saking terkejutnya, posisi itu bertahan hingga seseorang menghampiri dan menepuk bahu Ucup. "Maaf, Mas. Saya nggak sengaja," ujar pria itu setelah meletakan barang yang tadi dibawanya terlebih dahulu. Suara itu membuat Rafka tersadar seketika. Ia



Walkles 18



menunduk ke bawah, menyadari posisinya sedikit... tak pantas dilihat. Refleks, Rafka mendorong Ucup. Namun, sepertinya tenaganya terlalu kuat karena detik berikutnya, yang ia lihat adalah bayangan tubuh Ucup yang terhuyung ke belakang, disusul bunyi gedebuk keras saat Ucup telentang di lantai. Rafka mendekap tubuhnya sendiri dengan jijik. Sialan Ucup. Ia sudah mengerutkan alis dan menipiskannya, bersiap hendak marah. Namun, saat melihat Ucup, rasa marahnya jadi luntur berganti dengan rasa bersalah. Masalahnya Ucup menatapnya dengan amarah yang lebih besar dari Rafkaâ ”sebenarnya Rafka merasa najis saat mengakui ini, tapi ia bersumpah bisa merasakan tatapan terluka dari sinar mata Ucup, membuat Rafka hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah. "Cup..." Rafka mengangkat tangannya ke udara, berusaha menenangkan Ucup sebelum mengulurkan tangan untuk menawarkan bantuan. "Maaf, Cup. Nggak sengaja." "Nggak sengaja, nggak sengaja," gerutu Ucup sambil menerima uluran tangan Rafka. Dalam dua detik, ia sudah kembali berdiri.



Walkles 19



"Lagian posisi elo gitu sih, Cup!" "Ela elo, gak usah sokngutho!" ujar Ucup dengan nada sewot, membuat Rafka sadar kalau ia baru saja keceplosan. Begitu detik selanjutnya, Ucup sudah marah-marah, Rafka kemudian langsung bernafas lega karena Ucup terlalu marah untuk curiga. "Titenono awakmu!" *** Begitu menjejakkan kakinya keconblockpelataran hotel, Meta menyipit, berusaha menghalau cahaya matahari yang berebutan masuk ke matanya. Ia terus tertidur selama empat jam perjalanan dari Bandara Juanda ke Batu yang terasa begitu lama karena macet. Tubuhnya terasa lelah bukan main setelah begadang dua malam untuk mengerjakaneditingfotopreweddingmilik Gale karena pria itu memiliki jadwal pemotretan lain di Sumba. Bulan depan jadi bulan-bulan favorit orang-orang menikah, sehingga ini waktu yang tepat untuknya dan Galeâ ”yang memang spesialis fotopreweddinguntuk 'kejar setoran'. Walaupun keteteran karena Meta



Walkles 20



sendiri juga memiliki jadwal pemotretan lain, ia tidak punya pilihan selain salingback-updengan Gale. Kalau bukan karena kebutuhan pembangunan studio yang tidak kunjung selesai, ia dan Gale mungkin tidak akan sebegininya pontang-panting menerima semua tawaranjobyang masuk. Foto wisuda, oke. Foto keluarga, oke. Fotoprewedding, oke. Bahkan panggilanjobdari majalah seperti yang sekarang ini Meta lakukan juga amat sangat oke. "Lo mau istirahat dulu, Mbak?" tanya Fiki, asisten Meta yang merupakan adik tingkatnya saat di UKM Fotografi dulu. Ia menyerahkan tas kuning besar milik Meta kepada pemiliknya, kemudian melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Masih ada waktu satu jam kalau misal tepat waktu sesuai jadwal." Dengan suara tertahan, Meta memakai tasnya di punggung kemudian menatap Fiki dengan tatapan mata penuh rasa terima kasih. "Ada kamar?" Fiki meringis. "Gue sempet tanya ke resepsionis, yang paling murah masihavailable.Budgetmasih masuk kalau kita pesan kamar sekitar... lima belas menit lagi. Lagian kita tetap harus pesan kamar karena pesawat kita balik jam 7 pagi."



Walkles 21



Meta langsung mengiyakan sambil memberikan puja-puji betapa pintar dan pekanya Fiki ini. Fiki memang satu-satunya orang yang selalu bisa ia andalkan. Tubuhnya yang seperti mau rontok ini sepertinya sudah tidak bisa diajak kompromi. Walaupun sudah tidur di mobil, rasanya masih tidak tertolong lelahnya. Dua puluh menit kemudian, Meta sudah kehilangan kesadaran. Dengkuran halus sudah menggema di kamar hotel. Kemeja yang Meta gunakan juga mencuat keluar dari ban pinggang. Setelah memastikan telah menyetel alarm, Fiki segera meninggalkan Meta untuk mengurus keperluan pemotretan hari ini. Setelah mengurus alat sewaan yang mereka sewa dari salah satu rental alat-alat pemotretan di malang, Fiki menggotongtripoddansoftbox ke salah satu kamar hotel yang akan digunakan untuk mengambil foto. Kamar itu ternyata lumayan ramai karena Evelyn, model pemotretan kali ini, ternyata sudah datang dan sedang di rias. Fiki memutuskan untuk menyapa orang-orang yang ada di sana sebelum menginstal alat-alatnya.



Walkles 22



Begitu tiba di dekat Evelyn, Fiki merasa napasnya sedang tersedot entah ke mana. Evelyn terlihat amat sangat bersinar walaupun bibirnya belum selesai dipoles dengan lipstik. Dengan suara bergetarâ ”iya, tak perlu ragu untuk mengatakan Fiki benar-benar memalukanâ ”ia menyapa Evelyn, "Selamat siang, Mbak Evelyn..." "Ev aja," potong Evelyn sambil menyunggingkan senyum ramah yang membuat Fiki serasa mati berdiri di situ juga. Demi Tuhan dan dewa dewa Yunani di mana pun mereka berada, seorang model dan aktris kebanggan indonesia yang sedang naik daun ini balas menyapanya dan memintanya untuk memanggilnya 'Ev' saja! "Eh, oh, oke." Fiki tergagap. Ia kemudian berdeham untuk menenangkan dirinya sendiri, walaupun tak menolong karena mukanya sudah memerah. "Saya asisten fotografer untuk hari ini. Apa kamu udah liat konsep dari majalah?" Evelyn mengangguk pelan, membuat salah satumake up artistyang mendandaninya menghentikan tangan di udara, tak jadi mengoleskanconcealer. "Iya, udah. Tapi katanya model prianya belum datang, ya?"



Walkles 23



Fiki mengangkat alisnya, ia tidak tahu apa-apa mengenai ini. "Nanti coba saya konfirmasi lagi. Saya malah belum dengar kabar apa-apa." "Ee... nama kamu siapa?" tanya menghentikan Fiki yang hendak berbalik pergi.



Evelyn



Di telinga Fiki, rasanya pertanyaan Evelyn terdengar merdu sekali. Bisa-bisanya Evelyn menanyakan namanya, hari ini, detik ini, adalah detik terindah yang pernah Fiki rasakan seumur hidupnya. Boleh tidak sih Fiki lari keluar dulu dan menjerit seperti gadis ABG ketemu idola, kemudian baru kembali ke sini? "F... Fiki. Nama saya Fiki." Fiki mendapati ia ingin menampar diri sendiri karena telah gagap di hadapan aktris paling populer se-Indonesia. Oh,this is so uncool! "Oh... F..." "Halo, semuanya!" Fiki hampir mengumpat ketika mendapat interupsi itu. Demi Tuhan, namanya baru saja akan disebut oleh Maha Dewi. Ketika ia menoleh dan mendapati Meta sedang nyengir ke arahnya dan Evelyn, Fiki



Walkles 24



memejamkan matanya rapat-rapat. Ia hanya bisa diam dan menelan umpatannya. "Saya Meta, fotografer hari memperkenalkan diri di hadapan Evelyn.



ini."



Meta



"Saya Evelyn," balas Evelyn dengan suara selembut beludru kualitas terbaik. "Oh,who doesn't know." Meta terkekeh, ia menyerahkan sebuah kartu nama pada Evelyn. "Mohon kerjasamanya." Evelyn mengangguk, menerima kartu itu, membacanya dalam lima detik dan menyerahkan kartu nama itu pada seseorang di dekatnya untuk disimpan. "Gue duluan, sampai ketemu di..." Meta melirik Fiki, menanyakan lokasi pemotretan hari ini yang ternyata hanya berada di kamar sebelah. "Kamar sebelah." Setelah mendapat anggukan persetujuan dari Evelyn, Meta berjalan menuju sebuah kamar yang menjadi salah satu tempat pemotretan hari ini. Meta membuka kembali lembaran konsep yang dibawa oleh Fiki. Sesi pertama ini temanyaWake up look. Salah satu



Walkles 25



konsep fotografi fashion yang selamanya tidak akan pernah Meta mengerti karena seumur hidupnya, ia tidak pernah bangun dalam keadaan se-gorgeousitu. Mata merah,check. Kulit pucat,check. Bekas bantal di pipi,check. Bahkan kalau beruntung, mungkin akan mendapat bekas air liur yang mengering di sudut bibir. "Model prianya belum datang, Mbak," ucap Fiki menyadarkan Meta dari lamunannya. Ia mengangkat kepalanya dari lembaran konsep itu dan menatap Fiki dengan tatapan bertanda tanya. "Udah dihubungin? Macet kali?" tanya Meta. Fiki hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. "Coba elo tanya anak buahnya Melly, deh. Kalo belom dateng, kita fokus ke pemotretan yang Evelyn sendiri dulu aja." Fiki mengangguk, niatnya menuruti apa yang dikatakan oleh Meta. Tapi, agaknya itu tidak perlu karena Sarah, anak buah editor Cosmolite yang tadi dimaksud oleh Meta sudah datang dengan muka hendak menangis. Ia datang dengan ponsel dalam genggaman dan mengarahkan ponsel itu pada Meta. Dengan tatapan bingung, Meta mengambil ponsel



Walkles 26



yang diacungkan kepadanya. "Mbak Melly mau ngomong," ucap Sarah dengan suara sedikit bergetar. Meta melirik ngeri ponsel itu dan mau tak mau menerimanya. "Halo?" "Kita punya masalah." Buka Melly di ujung sambungan. Ia kemudian menarik napas dan melanjutkan bicara, "Model pria yang seharusnya datang pemotretan hari ini nggak bisa datang. Dia sama orang dari agensinya barusan kecelakaan waktu menuju ke sana. Mobilnya menabrak rumah orang karenaâ ”oke,it sounds silly, but it happens! ”Mobilnya ngehindarin orang gila yang nyebrang tiba-tiba!" Suara Melly terdengar frustrasi. "Oh,c'mon. Gue nggak percaya ini terjadi. Gue udah dicekikdeadline, ketimpa tangga pula!" Sekarang Meta bisa menyimpulkan kenapa air muka Sarah kini sama keruhnya dengan air lumpur yang diubek-ubek oleh ikan lele.



Walkles 27



"Oke, oke. Lo napas dulu.Breath!Inhale, exhale..." ucap Meta sambil mengangkat tangannya, berusaha menenangkan Melly. "Apa yang bisa gue bantu?" Melly mendesah. "Sebentar lagi gue akan minta agensi lokal buat ngirim portofolio modelnya, bantu gue untuk milih model yang cocok dipasangin sama Ev." "Apa nggak bisa Ev foto solo aja?" "NOO!!! Gue punya kontrak sama salah satu brand fashion pria, gue nggak mau kena penalti! Abis ketimpa tangga, masa gue masih harus jatuh ke lubang buaya?" Tanpa menunggu Meta menjawab, Melly kembali bersuara. "Gue akan berusaha dapetin daftar model dan kirim ke Sarah secepatnya. Kalian berdua pilih yang paling cocok, lalu segera lapor ke gue. Gue urus perintilan administrasinya dari sini. Oke? Gue benerbener butuh ekstra cepet." ***



Walkles 28



-3- Problem "Agak ke atas sedikit, Fik," pinta Meta pada Fiki yang saat ini fokus memegangi reflektor. Begitu Fiki mengarahkan reflektor di tempat yang pas, Meta kembali memposisikan diri di balikviewfinderdan mengambil gambar beberapa kali. Meta menurunkan kameranya dan melihat hasil foto pada layar laptop. Ia hampir berdecak. Memang beda kalau bekerja dengan model profesional. Hanya beberapa kali jepretan, foto-foto itu sudah terlihat luar biasa. Evelyn terlihat menawan dengan rambut berantakan danmake upbangun tidurnya. "Itu bagus," komentar Evelyn yang tiba-tiba berada di sebelahnya.Sarah yang memang berada di sana mengangguk setuju. "Gue rasa cukup, Ev bisa persiapan untuk pemotretan selanjutnya." "Model prianya udah dateng?" tanya Evelyn. "Sebenernya kita dapet kabar kalo dia kecelakaan, kita lagi nyari pengganti," jujur Meta. Ia menyerahkan kameranya pada Fiki. "Lo ada kenalan?"



Walkles 29



Evelyn membelalak, terkejut. Ia kemudian menggeleng. "Di Malang nggak ada, adanya Surabaya." Meta mengangguk. Setelah kepergian Evelyn untukre-touchmake up-nya, ia dan Sarah juga pergi menujurooftophotel untuk persiapan pemotretan selanjutnya, juga mengecek daftar model pengganti yang baru saja dikirim oleh Melly. "Gue ke atas duluan, lo bisa beresin?" tanya Meta pada Fiki yang sedang menggulung kabel ekstensi USB. Fiki mengangguk. "No worries." Meta meraih laptop dan kameranya, kemudian berjalan beriringan dengan Sarah menujurooftop. Meta mengedarkan pandangan ke sekelilingrooftop. Ada sedikit aroma kaporit khas kolam renang yang tertangkap hidungnya ketika menjejakkan kaki di areaoutdoor, tapi tak terlalu menyengat. "Di situ, gimana?" Sarah menunjuk dua kursi malas berlapis spons putih dengan payung terbuka. Meta mengangguk setuju. Sekarang jam empat sore, sudah tak terlalu panas untuk duduk-duduk di



Walkles 30



luar. Belum ada sepuluh menit keduanya duduk tenang di sana, bunyi 'TAK!' keras mengalihkan perhatian Meta dari layar laptop. Di pintu masuk, Fiki terlihat panik menurunkan tripod, softbox, dan reflektor yang dibawanya. "Maaf, Mas. Saya nggak sengaja," ucap Fiki terdengar khawatir. Dari kejauhan, Meta berusaha melihat dari balik kaca. Ia mengernyit ketika malah menemukan dua pria terlihat berpelukan dengan mesra. Meta memutar matanya, demi Tuhan, matahari masih nampak di luar sana. Walaupun tempatnya sedikit tertutup di balik kaca, tapi Meta masih bisa melihatnya dengan jelas. Tidak bisakah mereka melakukannya di tempat yang lebih privat? Detik berikutnya, Meta kembali mendengar bunyi gedebuk keras. Fiki terlihat meringis ketika melihat salah satu dari pria itu sudah tergeletak di lantai. Meta benar-benar tidak habis pikir, sebenarnya apa yang dilakukan oleh kedua orang itu?



Walkles 31



Meta hampir berdiri menghampiri Fiki ketika dilihatnya pria yang terjatuh itu kembali berdiri dan Fiki berbalik untuk meninggalkan mereka setelah meminta maaf berkali-kali. "Kenapa?" tanya Meta ketika Fiki mendekat. Fiki menggeleng. "Emang gue yang salah. Tripodnya nggak bener-bener gue pendekin, makanya waktu belok kena masnya yang itu." Ia meletakkan barang-barang yang ia bawa di lantairooftop. "Terus dia nggak papa?" "Kayaknya nggak, sih." Meta mengangguk lega. "Ini portofolio yang dikirim Mbak Melly." Sarah menunjuk monitor yang berisi biodata singkat dan fotofoto model pria.Meta mendekat pada Sarah, menggulirtouchpad-nya dengan muka serius. Dengan jeli ia memperhatikan foto-foto itu. Tapi, begitu tiba di halaman terakhir, ia mengerutkan dahinya dan memencet keyboard untuk menggulir gambarnya.



Walkles 32



"Ini doang?" tanya Meta tidak percaya, ia belum menemukan model yang sekiranya akan terlihat cocok berdampingan dengan Evelyn. Seharusnya masih ada lagi yang lain! Sarah hanya meringis pasrah, ia juga merasa belum menemukan kandidat yang cocok. Terlalu kurus. Terlalu pendek. Terlalu putih. Ada juga yang sepertinya terlalu ngondek. Dengan panik, Meta meminta Sarah untuk segera menelepon Melly. "Gimana?" jawab Melly di seberang sambungan. Suaranya terdengar ragu. "Lo pilih yang mana?" "Yang bener aja, yang kayak gitu jadi pasangan Evelyn? Ini EvelynlhoMel, bukan artis ftv ecek-ecek. Yang elo kirimin semuanya ala-ala artis ftv, bukan model." "Nah, gue juga sebenernya mikir gitu, Ta. Tapi mau gimana lagi?" Terdengar suara desahan Melly yang sepertinya memilih menyerah. "Lo pilih yang paling mendingan, deh! Udah mentok banget gue."



Walkles 33



Meta mendengus, memutar posisi duduknya, kemudian memijit pelipis dengan siku yang bertumpu pada meja. Ia melihat Evelyn keluar dari lift dan berjalan menggunakan kimono handuk. Rambutnya berkibar tertiup angin, membuatnya malah terkesan dramatis. Meta kemudian terdiam menyadari sesuatu saat melihat salah satu pria homo tadi dalam satu bidang pandang dengan Evelyn. Bukan, bukan yang terjatuh. Yang satunya. Yang saat ini tetap fokus membersihkan pintu kaca ketika ada makhluk secantik Evelyn lewat di hadapan matanya. Meta berdecak. Dirinya ini memang luar biasa. Bakat alaminya itu belum benar-benar mati rupanya. Entah bagaimana, ia selalu bisa melihat sesuatu yang tak biasa dari diri orang-orang disekitarnya. Dulu ia pernah merasakan keanehan yang sama ketika melihat salah satu temannya saat SMA yangnerdy, hingga beberapa bulan kemudian ia mengetahui bahwa temannya itu merupakan modelulzzangyang sudah punya nama di internet. Pernah juga ia melihat teman kakak tingkatnya di kampus, yang ternyata adalah modelrunwaydi New York. Dan pria itu! Perasaan aneh itu muncul lagi ketika melihat pria itu.



Walkles 34



Pria itu lebih tinggi dari Evelyn, badannya tegap dengan perut rata. Tak terlalu berisi, juga tak terlalu kurus. Apa dia punya pekerjaan lain selain jadi pegawai hotel, karena postur tubuhnya bagus. Hanya rambutnya saja yang berantakan dan rambut di muka yang tidak terlalu rapi. Warna kulitnya juga terlihat kecoklatan dan itu sempurna! "Meta!" Entah sudah berapa kali Melly memanggil nama Meta. "Mel, kalo sekarang gue bilang udah nemu model yang tepat, lo percaya nggak?" "Iya, yang mana? Yang namanya siapa biar gue bisa cepet," balas Melly tak sabar. "Bukan, bukan dari portofolio yang elo kirim. Nggak usah pakai model-model itu, gue nemu yang lebih cocok." "Bentar, perasaan gue jadi nggak enak. Lo nggak usah macem-macem, Ta." "Gue serius. Lo siapin aja honornya, gue untuk detailnya bakal dijelasin sama Sarah sepuluh menit lagi.



Walkles 35



Oke?" Melly terdiam, kemudian menggeram. Ia benarbenar sedang terpojok, berusaha memutar otaknya di menit-menit terakhir. "Beneranperfect?" "Ninety eight percent!" "Dua persennya?" "Dua persennya baru akan keliatan kalo fotonya udah gue kirim dan lo liat sendiri." Melly kembali berdecak. "Kalo ada apa-apa, elo yang tanggung jawab ya pokoknya? Gue rekam nih, teleponnya!" "Deal!" Ketika Melly masih terdiam ragu, Meta kembali mengatakan, "Udah, percaya sama gue!" Telepon itu pun terputus dengan senyuman puas di bibir Meta. Bagaimana pun juga ia harus berhasil mendapatkannya.



Walkles 36



Meta berbalik, dilihatnya Fiki dan Sarah yang menatapnya dengan tatapan bertanya secara bergantian. Tatapan serius yang tiba-tiba Meta layangkan kepada Fiki rasanya membuat Fiki berkeringat dingin. "Fik, gue butuh bantuan elo," ucap Meta. Fiki hanya menelan ludahnya dalam diam. "Coba lo minta pegawai hotel yang lagi bersihin kaca itu untuk jadi model pengganti." Bah, nada itu. Nada tak bisa dibantah itu selalu membuat Fiki deg-degan setengah mati. Dan meminta pegawai hotel untuk jadi partner pemotretan Evelyn?! Yang benar saja? Bosnya ini kadang memang benarbenar layak untuk disebut... "Mbak, lo gila?!"Tepat. "Kenapa nggak?" Meta menaikkan nada bicaranya. Ia kemudian menunjuk pria itu, meminta Fiki dan Sarah untuk memperhatikan objek yang ia tunjuk. "Coba lo liat, badan tegap danobviouslylebih tinggi dari Evelyn. Dia nggak kerempeng, kulitnya keliatan alami, perutnya nggak buncitâ ”bahkan gue yakin dia cukup berotot.He's perfect!"



Walkles 37



"Tapi Mbak..." "Oke, dia keliatan kotor dan berantakan, tapi tim MUA majalah lo kan juga nggak kaleng-kaleng. Dia kandidat sempurna!" potong Meta, tidak memberikan kesempatan Sarah untuk mengelak. "Lagian Melly udah setuju." Fiki memandangi bosnya dengan raut tidak habis pikir. "Mbak, kalo elo se-desperateitu untuk nyari model, gue ikhlas kalo lo nggak ada pilihan dan minta gue yang gantiin. Lo nggak takut diamuk sama fansnya Evelyn yang terkenal bar-bar itu apa?" Meta memutar mata jengah. "Jangan bikin gue jadi terdengarbody shaming, deh. Elo sama Eve aja lebih tinggi Eve, apalagi elo kering kerontang begini." Kalau mengatai kotor bos adalah perbuatan yang etis dilakukan, sepertinya Fiki sudah melakukannya puluhan kali sejak tadi. Sial sekali. Dengan langkah yang sengaja dilambat-lambatkan, Fiki akhirnya tetap menuruti titahmaklampir satu itu. ***



Walkles 38



Fiki berdeham kecil sebelum benar-benar penepuk pundak mas-mas pembersih kaca yang dimaksud Metaâ ”ya, ia tetap mengonfirmasinya dari kejauhan karena tak yakin pria itu orang yang tepat yang dimaksud oleh Meta. Dan bahkan potongan rambutnya saja terlihat kampungan, ya ampun. Apa mungkin mata bosnya itu sudah rabun karena terlalu banyak mengintip orang dari lubang kamera? Pria di depannya itu berbalik menatap Fiki bingung. "Maaf, Mas," ucap Fiki gugup. Oh, tidak tahukah Meta bahwa jantungnya ini seperti sedang menendangnendang tulang rusuk? Ia lagi-lagi hanya bisa menelan ludah. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Rafka dengan suara yang diramah-ramahkan, kemudian memberi penilaian pada Fiki dengan menatapnya dari atas ke bawah. "Iya, kami bener-bener butuh bantuan Mas," Fiki melirikname tagyang dikenakan oleh pria di depannya itu, "Rafka." Rafka diam menunggu Fiki melanjutkan ucapannya.



Walkles 39



"Kami butuh bantuan Mas untuk menggantikan model pria kami yang hari ini kecelakaan. Apa Mas bersedia?" "Apa?" tanya Rafka takut telinganya ini ternyata salah dengar. Pemotretan majalah? Kegilaan macam apa sih ini? "Saya minta bantuan Mas untuk jadi model pemotretan kami hari ini," ulang Fiki. "Pemotretan apa?" "Pemotretan untuk majalah Cosmolite Indonesia," jelas Fiki tak yakin Rafka mengerti majalah yang dijelaskan oleh Fiki, pasalnya target pasar majalah itu memang pelanggan kalangan atas saja. Rafka terdiam, tapi dalam hati mengumpat kencang-kencang. Demi alat pel dan pembersih kaca yang saat ini ia pegang, ia tahu itu majalah terkenal. Majalah itu berserakan di rumahnya dalam berbagai edisi karena Tante Risma berlangganan dan bahkan menjadi member tetap selama bertahun-tahun. Rafka menggeleng. "Nggak. Maaf, saya nggak bisa."



Walkles 40



-4- Constraint Mendengar aroma penolakan, Fiki mengumpat dalam hati. "Tapi kami saat ini benar-benar butuh bantuan Mas Rafka. Atau mungkin karena terbentur aturan hotel? Pihak kami harus izin atasan Mas dulu?" Rafka mengencangkan otot-otot rahangnya, berusaha untuk tidak menggeram. Bagaimana bisa ia muncul di majalah seterkenal Cosmolite Indonesia sedangkan saat ini ia sedang berpura-pura jadi pegawai hotel seperti ini? Masih ada dua cabang lagi yang harus ia kunjungi, kalau identitasnya terbuka, bisa buyar semua rencananya dan ia akan gagal mendapat posisigeneral managercabang Yogyakarta yang saat ini menjadi prioritas utamanya. Sial. Rafka terdiam, berusaha memutar otaknya. Kirakira jawaban apa yang sekiranya bisa ia berikan tanpa menimbulkan keributan atau komplain ke pihak hotel? Semakin jarum jam berputar, Fiki semakin ragu mendapatkan jawaban positif sesuai dengan keinginan bosnya satu itu. Dengan cepat ia menoleh ke arah Meta, mengirimkan sinyal SOS karena tak yakin ini akan berhasil.



Walkles 41



Dengan langkah tegas dan pasti, Meta berjalan ke arah Fiki. Ia berharap bunyi gemeletukhigh heelsyang ia kenakan bisa memberikan kesan dramatis untuk mengintimidasi pria itu. Ia menatap Rafka dengan tatapan penuh percaya diri. Dan Rafka membenci pemandangan itu. Dalam satu detik, Rafka bisa menyimpulkan kalau wanita itu adalah makhluk paling menyebalkan yang ada di muka bumi. Terlihat sombong, angkuh, dan semaunya sendiri. Perasaan Rafka berangsur tidak enak ketika Pak Priyo dan Ucup melihatnya dari kejauhan. Craaapp. Kenapa dari kemarin ia selalu ketiban sial? "Gimana? Masnya mau?" tanya Meta terdengar palsu. Rafka yakin Meta tidak benar-benar peduli apakah dirinya mau atau tidak. Meta menatap Fiki, bertanya. Fiki hanya menjawabnya dengan gelengan. Masih dengan raut muka yang sama, Meta berganti menatap Rafka dan mengulurkan tangan.



Walkles 42



"Halo, nama saya Meta. Saya fotografer pemotretan hari ini untuk majalah Cosmolite Indonesia. Kenapa nggak mau, Mas? Gampang kok, nanti tinggal pose-pose aja, saya akan ngarahin Mas," Meta melirikname tag, "Rafka gimana harus berpose. Atau masnya harus izin atasan dan takut gimana mau izin? Mau saya aja yang ngomong sama atasannya?" Sungguh, tangan Rafka terasa gatal ingin membekap mulut wanita di depannya ini dengan lap yang saat ini tergantung di pinggangnya. Kata-katanya meluncur mulus sekali dari mulutnya tanpa kira-kira. Gampang kepala lo peyang, pikir Rafka penuh emosi. "Saya nggak bisa," ucap Rafka dengan menyimpan rasa geramnya dalam-dalam. "Kita akan sediakan honor yang sama dengan model lain kok kalau itu yang Mas khawatirin." Meta berusaha terdengar untuk lebih persuasif. Siapa yang tidak mau uang? Bahkan yang sekarang ia lakukan ini saja demi uang.



Walkles 43



Tanpa Rafka sadari, ternyata Pak Priyo dan Ucup telah mendekat. Mereka pasti mengira dirinya sedang berada dalam masalah. Rafka menelan ludahnya dengan susah payah. Tangannya mencengkeram semprotan dan pembersih kaca dengan erat di sisi-sisi tubuhnya. "Mohon maaf, apa saya boleh tahu ini ada apa?" Pak Priyo yang baru saja datang menyela. Ucup yang berada di belakangnya melongok ingin tahu. Meta melirikname tagPak Priyo, seketika menyunggingkan senyum senang yang jelas sekali dibuat-buat, kemudian mengulurkan tangannya. "Selamat siang, Pak Priyo. Saya Meta, fotografer yang bertugas untuk pemotretan majalah Cosmolite Indonesia kali ini." Pak Priyo menerima jabatan tangannya, masih dengan tatapan bertanya. "Jadi begini, kami ini sedang membutuhkan orang untuk menggantikan model kami yang tidak bisa datang karena kecelakaan saat perjalanan ke sini, sedangkan pemotretan ini sama sekali tidak bisa ditunda. Karena tidak ada pilihan lain, kami harus mencari model



Walkles 44



pengganti untuk melakukan pemotretan dan saya kira Mas Rafka ini postur tubuhnya cocok untuk menggantikan model kami." Pak Priyo kemudian terdiam melirik Rafka yang hanya diam. Namun, dalam diamnya, Rafka berharap Pak Priyo ini bisa lebih peka dan menolakkan hal ini untuknya. "Mas Rafka ini cocok sekali untuk jadi kandidat pengganti, Pak. Yang jelas dia lebih tinggi dari model wanita kami, badannya juga lumayan proporsional," cerocos Meta tanpa henti. "Kami benar-benar butuh bantuan, Pak. Kalau tidak, kami bisa dapat penalti karena telah melanggar perjanjian. Apalagi di sini pihak majalah juga telah menyewapresidential suite, apa pihak hotel tidak bisa membantu kami?" Raut wajah Pak Priyo terlihat tidak enak, terlebih raut wajah Rafka yang sudah merah padam. Fiki diamdiam sudah mundur di belakang Meta. "Kalau Pak Priyo mengkhawatirkan honor, tenang, tentu semuanya tidak gratis. Mas Rafka akan kami beri honor yang sepadan untuk pekerjaan ini."



Walkles 45



Fiki merinding ketika melirik Meta. Bosnya itu kadang terlihat mengerikan kalau sedang licik begini. Mulutnya tak kalah persuasif dengan iklan-iklan di TV dan itu mengerikan. Lagi-lagi Rafka mengumpat dalam hati. Ia bersumpah bisa melihat kedutan di sudut bibir wanita yang di matanya lebih mirip medusa daripada manusia itu. Dan kini apa yang dilihatnya benar-benar membuatnya tidak percaya, Pak Priyo menatapnya dengan tatapan 'terima-saja-ya?' sedangkan Ucup sudah bolak-balik menyenggol sikunya. "Lumayan,entuduit,cuk!" bisik Ucup sambil agak berjinjit karena tingginya hanya sampai telinga Rafka. "Isok gae bayar utang nde ayas." Rafka menatap Ucup kesal. Kemarin-kemarin ia boleh tidak membayar, sekarang Ucup malah menagih. Cup, andaikan lo tahu, gue juga bisa bayar utang gue sebunga-bunganya sekarang kalo lo mau, geram Rafka dalam hati. "Bagaimana, Raf?" Pak Priyo bertanya sambil tetap



Walkles 46



melihatnya dengan tatapan sudah-nggak-papadaripada-dikomplain-dan-dapat-teguran-dari-atas, membuat Rafka merasa seperti tikus yang sedang terpojok di got buntu. Holy bloody shit. Namun, tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepala Rafka. Ide yang paling tidak bisa melindungi dirinya apabila ia benar-benar harus melakukan semuanya ini. Rafka menegakkan diri, ganti menatap Meta, detik ini ia berharap matanya bisa memancarkan sinar laser yang akan membuat Meta terbakar hangus. "Saya mau bantu kalau kamu bisa memenuhi syarat dari saja." Meta hampir tersedak ketika mendengar Rafka bicara. Syarat? Syarat! Bahkan ia telah menawari seseorang yang aslinya bukan siapa-siapa ini pekerjaan dengan honor yang lumayan besar, tapi dia masih berani memberikan syarat? Astaga, kalau tidak karena benar-benar butuh, Meta sudah pergi meninggalkan pria ini dan mencari yang lain. Namun, demi keberhasilan menangkap umpannya, Meta hanya bisa menahan diri untuk tidak meledak saat itu dan



Walkles 47



mengangguk untuk memenuhi permintaan Rafka. "Jangan expose muka saya." Meta mengernyit, takut salah dengar. Sejujurnya Meta agak terkejut mendengar pengucapan Bahasa Inggris yang sempurna keluar dari bibir Rafka. Tapi exposedalam artian memperlihatkan? Ia tidak boleh memperlihatkan wajah Rafka-Rafka ini? Lalu bagaimana? Di blur? Sialan. Melihat Meta mengernyit bingung, Rafka mengulangi ucapannya, "Jangan perlihatkan muka saya, saya tidak peduli bagaimana caranya." Meta berdecih. Menatap Rafka tidak percaya sampai tidak bisa berkata-kata. "Pokoknya muka saya nggak keliatan." Karena mulai emosi, Meta merespon Rafka tanpa berpikir, "Jadi muka lo nggak boleh keliatan, 'itu' lo boleh?" tanyanya sambil menunjuk area bawah pusar Rafka dengan matanya. Darah Rafka terasa mendidih hingga ke ubun-ubun,



Walkles 48



terlebih ketika mendengar suara tawa tertahan dari Ucup dan pria di sebelah medusa itu, ketika medusa itu selesai bicara. Ia serasa ingin berteriak tepat di depan muka medusa itu, "Are you sexually harass me?!" karena ia merasa sedang dilecehkan di depan umum. Rafka hanya bisa menggigit pipi bagian dalamnya, mengencangkan otot-otot rahangnya untuk menyimpan amarah. "Kecuali muka dan daerah privat saya," ucap Rafka penuh dengan penekanan di setiap katanya. "Dan jangan muat identitas saya di majalah." Meta menyunggingkan senyum mengejek pada Rafka. Ia hendak melontarkan ucapan lain untuk mengejek Rafka, tapi ia memilih untuk menahan diri karena risiko Rafka membatalkan persetujuannya akan sangat besar kalau ia masih mengonfrontasi pria itu. Lagi pula siapa juga yang akan menampilkan identitasnya di majalah? Memangnya dia siapa? Memberitahu bahwa Evelyn telah melakukan pemotretan dengan pegawai hotel karena modelnya tidak datang sama saja dengan menggali lubang kubur sendiri. Ia bisa saja dibunuh oleh fans bar-bar Evelyn. Sudut-sudut bibir Meta turun, membiarkan dirinya



Walkles 49



beradu tatapan dengan Rafka sebelum mengulurkan tangan, membuat persetujuan. Dengan sedikit ragu, Rafka membalas jabat tangan itu dan meremas tangan Meta kuat. Ketika tautan tangan mereka terlepas, Meta langsung berbalik hendak meninggalkan tempat. Namun, sebelum benar-benar pergi ia berhenti sebentar untuk memberi perintah pada Fiki. "Fik, lo bawa dia ke Sarah." Fiki yang mendengar namanya tiba-tiba disebut, terperanjat. Kemudian mengangguk, menuruti perintah bosnya yang hari ini amat sangat membuatnya terkesima. *** "Ya,that's great!Awesome!" teriak Meta mengakhiri sesi pemotretan kedua yang mereka lakukan di salah satu kursi malas pinggir kolam renang. Ia bertukar pandang dengan Evelyn dengan senyum puas sebelum mengajaknya mendekat menuju monitor untuk melihat hasil foto.



Walkles 50



"Modelnya jadi yang tadi?" tanya Evelyn. Tadi Sarah berbicara padanya tentang penggantian model pria dan siapa yang akan menggantikannya. Meta mengangguk. "Pegawai hotel. Lo keberatan?" Evelyn menggeleng. "Gue nggak masalah sama siapa aja." "Model profesional sih harusnya gitu," ejek Meta yang disambut tawa oleh Evelyn. Untuk model dan aktris papan atas, Evelyn ini ternyata cukuphumble. Ia tidak banyak tingkah dan tidak banyak tuntutan. Kinerjanya juga profesional. Sepertinya ia akan menobatkan Evelyn sebagai partner kerja terbaiknya hingga detik ini."Gue berharapchemistry-nya bakal tetep dapet walaupun dia bukan model, karena menurut gue dia udah cocok banget satuframesama elo. Gue minta tolong untuk bantu dia menyesuaikan diri, ya?" Evelyn mengangguk. Tak masalah baginya. Dulu ia juga tak sengaja ikut pemotretan majalah fashion, jadi ia cukup tahu betapa kaku dan gugupnya saat itu. Evelyn kemudian pamit untuk kembali ke kamar. Ia



Walkles 51



harus bersiap untuk pemotretan selanjutnya. "Wait, Ev. Gue mau ikut," pinta Meta. Ia harus ikut kembali ke kamar agar ia bisa melihat Rafka. Daripada ia harus berjalan sendiri, lebih baik ia ikut bersama Evelyn dan kroninya. Dalam diam, jantung Meta serasa ingin melompat keluar. Ia sedikit takut kalau Rafka ternyata tidak seperti yang ia harapkan. Setengah mati ia berusaha menepis pikiran itu dan berpikir lebih positif untuk ketenangan batinnya. Ketika sampai di kamar, Meta mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Kursi rias merupakan titik pertama yang ia tuju, tapi ternyata kursi itu kosong. Make upartis yang tadinya sedang melakukan apa, langsung bersiap untuk kembali memoles Evelyn. Ketika menoleh ke sudut, Meta baru menyadari ada seseorang yang duduk di sana. Bola matanya hampir saja jatuh kalau ia tidak bisa menahan diri. Pria itu Rafka!



Walkles 52



Berbagai macam umpatan rasanya hanya bisa terhenti sampai ujung mulut. Meta meneliti pria itu dengan tatapannya. Perfect! Ini benar-benar sempurna! Tidak ada yang lebih sempurna dari ini kecuali racikan mie instan buatan Gale! Kumis dan jenggot yang tadinya agak berantakan telah tercukur, juga rambut yang terlihat lebih rapi. Rafka yang duduk di pojok sambil memberengut hanya memakukan tatapan pada ponselnya. Ia duduk dengan mengenakan kimono handuk berwarna putih. Meta sampai mengedipkan matanya berkali-kali saking tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. Rasa bangga langsung membuncah. Oh, ya, ya, bahkan sekarang kepalanya terasa membesar. Penilaiannya memang tak pernah salah. "You look really great!" pekik Meta dalam kekaguman berlebihan terhadap dirinya sendiri. Rafka sendiri hanya meliriknya datar dan melengos. Tak peduli dengan itu, Meta menoleh pada Evelyn,



Walkles 53



memanggilnya untuk mendekat. "Kenalin, Ev, ini Rafka. Rafka, ini Evelyn," ucap Meta berusaha memperkenalkan keduanya sesingkat mungkin. "Hope you two get along really well," tambahnya ketika keduanya selesai berjabat tangan. Evelyn menyunggingkan senyum senilai tiga ratus jutanya. Jujur saja, ia memang sedikit terkejut. Oke, tidak sedikit, tapi sangat terkejut. Ia tidak mengira pria yang duduk di sini adalah pria yang sama dengan yang tadi dilihatnya dari kejauhan. Dan Rafka sendiri hanya terdiam menatap Evelyn. Menurutnya, kecantikan Evelyn memang menyilaukan. Walaupun ia tidak pernah menonton televisi, tapi siapa yang tidak mengenal Evelyn Fransiska? Namanya dieluelukan di mana-mana, juga fotonya sering berlalu lalang di media sosial. "Nggak perlu grogi, saya akan bantu kamu. Yang penting kamu rileks, karena kalau kamu gugup akan keliatan banget di kamera." Evelyn menyimpulkan sikap diam Rafka sebagai usaha Rafka menutupi rasa groginya karena pemotretan nanti.



Walkles 54



"Thanks..." Ucapan terima kasih Rafka tiba-tiba saja terpotong dengan bunyi ponsel Meta. Meta mengangkat jari telunjuknya, meminta maaf, kemudian pergi untuk mengangkat panggilan ponselnya. Rafka kemudian hanya mendengus. Evelyn menaikkan alisnya. Cara Rafka mengucapkan terima kasih agak janggal untuknya, tapi entahlah. Evelyn tidak ingin berpikir macam-macam, mungkin bisa saja dirinya yang salah dengar. "Saya juga harus pergi, mohon bantuannya, ya?" Rafka mengangguk, kemudian membiarkan Evelyn pergi, mengikutinya dengan sudut mata saja, kemudian menunduk. Majalah ternama, model terkenal... Apa iya dirinya akan baik-baik saja? Apakah keputusannya ini sudah benar? Bagaimana kalau semuanya terbongkar? Bagaimana kalau proyek ini berhenti? Bagaimana kalau ia gagal mendapatkan posisi yang ia idam-idamkan itu? Kepalanya serasa ingin meledak memikirkan semuanya.



Walkles 55



-5- Flutter Rafka baru saja selesai di-briefinguntuk konsep pemotretan yang akan ia lakukan dengan Evelyn ketika dari kejauhan ia melihat Mardi dan Ucup berjalan mendekatinya dengan bibir terbuka lebar dari ujung ke ujung. Hal itu tiba-tiba saja membuatnya merinding. Apakah dua kunyuk itu akan menontonnya melakukan semua ini? Mending kalau foto yang akan ia lakukan ini formal seperti foto ijazah atau foto keluarga di studio foto. Masalahnya Fiki baru saja menjelaskan konsep pemotretan paling menggelikan yang pernah Rafka dengar dan akan ia lakukan. Fuuuuuck. Membayangkan dirinya akan diguyur air untuk menciptakan efek basah dengan kaos putih melekat transparan di tubuhnya membuatnya bergidik. Terlebih dengan terpaan angin sore bulan Juli di Batu? Kenapa juga mereka harus melakukan ini semua soresore, sih? Kenapa tidak siang hari saat Batu masih panas? "Jancik, kok malih ganteng?" tanya Ucup sambil cekikikan. Tangannya menepuk pundak Rafka yang saat



Walkles 56



ini berbalut kimono handuk. "Kok ra do kerjo to" Rafka balas bertanya walaupun ia tahu jam kerja mereka sebenarnya sudah habis. "Yo kate ndelok awakmu tah, cuk. Pengen eruh, ayas gak tahu nduwe konco foto model ngene." Mardi menimpali. Mendengarnya, Rafka hanya bisa memutar matanya. Rafka yakin mereka bukan hanya ingin tahu, tapi akan menjadikan dirinya bahan olok-olokan selama sebulan penuh, akan habis ia dipermalukan. Syiiit, sekarang.



Rafka



benar-benar



ingin



mengumpat



"Ngguanteng awakmu, cuk. Temenan. Pantes mau pas tak demek, dodomu atos ngono. Olah raga opo awakmu?Tak melu-melu aku," ujar Ucup sambil mengulurkan tangannya, hendak memegang dada bidang Rafka, membuat pemiliknya berangsur-angsur mundur. Dipukulnya tangan Ucup keras-keras. "Aduh!" "Angkat pasir!" jawab Rafka asal saking kesalnya, tapi Ucup ternyata malah menganggapnya serius.



Walkles 57



Belum sempat Ucup menanggapi, Fiki sudah memanggilnya dari kejauhan, memintanya untuk mendekat. Mau tak mau Rafka beranjak berdiri dari kursi malas yang ia duduki. Dari kejauhan, Rafka juga melihat Evelyn berjalan mendekat. Rambutnya sengaja ditata klimis ke belakang, seperti habis menggunakan gel rambut tiga botol saking basahnya. Ia juga masih mengenakan kimono handuk berwarna putih seperti yang ia kenakan. "Tolong lepas kimono elo," pinta Fiki yang tiba-tiba saja berada di sebelah Rafka. Evelyn juga melakukan hal yang sama. Tubuhnya hanya berbalut baju renang one piece warna hitam yang kelihatan sempurna untuknya. Bukan baju renang seksi seperti penggoda, tapi seperti atlet renang dengan aura mengerikan yang akan membuat lawannya terintimidasi. Rafka tidak tahu pakaian yang dikenakan seseorang dapat memiliki dampak yang begitu kuat untuk menggambarkanpersonality. Fiki yang tadi menjauh, kini mendekat membawa selang air yang tengah menyala. Melihat ada kepulan uap tipis, Rafka mendesah lega. Setidaknya Fiki tidak



Walkles 58



akan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. "Maaf, ya." Tak ada sedetik setelah Fiki mengatakannya, Rafka bisa merasakan aliran air merambat di pundak dan punggungnya. Bahkan Fiki tak repot-repot menunggu jawabannya, mengonfirmasi ia sudah siap atau belum. Sialan. "Relax, bayangin aja kalian adalah temen lama, jadi nggak perlu canggung satu sama lain, nggak perlu tegang," ucap Meta saat ia mendekati Rafka dan Evelyn. Ketika melirik pundak Rafka yang tadinya tegang kini terlihat lebih santai, ia menepuk pundaknya dua kali. "Good," ucapnya. Meta baru saja hendak melangkah menjauh ketika tatapan matanya bersirobok dengan tatapan mata Rafka. Rafka menatapnya tepat di manik mata, kalau saja rasa kesal dan bencinya terhadap Meta ini bisa disalurkan oleh tatapannya, mungkin kepala Meta saat ini sudah bolong seperti terkena sinar laser. Salah satu sudut bibir Meta terangkat. "Lo bisa percayain muka elo sama gue. Pasti nggak akan



Walkles 59



keliatan.Trust me." Meta kemudian melenggang pergi dengan langkah yang begitu percaya diri, kemudian mengambil kamera dan mengatur pengaturannya. Dosa tidak sih kalau Rafka berharap sepatu hak tinggi yang Meta kenakan akan membuatnya tergelincir dan tercebur ke kolam renang? Ia ingin Meta juga merasakan dinginnya semilir angin di Kota Batu yang ia rasakan... sekarang. Sial, air hangat ini tidak banyak efeknya. Badan basah dan tiupan angin ini membuatnya hampir menggigil. "Tes dulu ya. Ev, tangannya peluk dikit!" teriak Meta dari seberang kolam renang disusul beberapa kilatan lampublitz. Ia kemudian mengatur beberapa pengaturan di kameranya lagi sebelum mencoba mengambil gambar kembali. "Ev, peluk dari depan. Yak, gitu." Evelyn tertawa tanpa suara ketika ia merasakan kegugupan Rafka di ujung jemarinya. Ia berbicara setengah berbisik, "Santai, rileks. Apa yang Meta bilang tadi bener, kita harus santai biar keliatan natural. Kamu bisa pegang pinggang saya biar nggak keliatan



Walkles 60



canggung." Evelyn mengarahkan kedua tangan Rafka di pinggangnya sebelum melarikan tangannya untuk memeluk Rafka. Berpose untuk beberapa kilatan lampublitz, kemudian menoleh ke arah kamera untuk mendapatkan pose yang lain. Beberapa kali ia menertawai Rafka dan menepuk punggungnya agar tidak terlalu kaku. "Lima belas menit lagi mungkin kamu udah terbiasa.You're not that bad," bisiknya di telinga Rafka. Meta beberapa kali berdecak ketika sekilas melihat hasilnya. Ia tidak terlalu puas hanya melihat punggung lebar Rafka, membuatnya harus menyuruh Rafka dan Evelyn untuk mencoba beberapa pose yang lain. Meta yakin telah membidik ratusan gambar, tapi ia masih belum berani meneriakkan kata 'oke'. Ia mendesah, kemudian mencoba untuk sedikit berkompromi dengan Rafka, "Kalau kuping kamu kelihatan, nggak papa, kan?" Belum juga Rafka mengizinkan, Meta sudah menyuruhnya untuk sedikit miring. Menyebalkan. Evelyn memeluk satu lengannya dan menyandarkan sisi dagunya di pundak sebelum lampublitzkembali



Walkles 61



menyala. "Raf, tangan kiri elo masukin ke saku, eh, tunggu, jempolnya aja. Ev, tangan kiri lo gandeng tangan Rafka coba!" Meta kembali menyeru untuk mengarahkan gaya. "Raf, tolong agak nunduk dan kamu purapuraslightly kiss, nggak usah sampe nempel, kepala Evelyn." Rafka memutar bola matanya, tapi ia tidak berani mengatakan apa-apa. "Yak! Bener gitu, agak kebelakang dikit. Nah!" Kali ini lampu blitzberkilat-kilat lebih lama. Meta sudah menemukan posisi yang pas untuk fotonya, tapi di satu sisi, Evelyn malah kehilangan fokusnya. Ia bisa merasakan hembusan napas pendek-pendek Rafka di belakang kepalanya. Beberapa kali genggaman tangan Rafka mengerat dan merenggang di tangannya. Hal itu membuat Evelyn terdiam. Ketika biasanya berpasangan dengan model-model yang sama profesionalnya, pemotretan tak pernah selama sekarang. Keamatiran Rafka entah kenapa malah membuatnya merasa punya tanggung jawab untuk



Walkles 62



membuatnya bisa santai dan membuat tangan dinginnya sedikit lebih hangat. Ia tak bisa memungkiri hadirnya rasa senang ketika seseorang bergantung kepadanya. "Oke!" teriak Meta memecah pikiran Evelyn. Dengan berat hati, Evelyn menjauhkan tubuhnya dari Rafka. *** Sesi terakhir pemotretan dimulai setelah matahari tenggelam. Meta bertekad menyelesaikan pemotretan ini lebih dulu, baru mereka bisa ke area restoran di bawah untuk makan malam. Semua peralatan telah siap di bar milik hotel yang masih berada di area kolam renang. Bar itu sebenarnya biasa saja, hanya sebagai tempat untuk melayani tamu yang ingin sekedar duduk-duduk sambil makan camilan dan minum maupun yang sedang berenang. Namun, Meta menambahkan sentuhan set lampu dengan filter warna merah. Hanya dengan begitu dan tambahan asap, bar itu tiba-tiba saja jadi lebih mirip bar remangremang yang sensual. Terlebih jas warna hitam yang ia kenakan sekarang jadi terlihat seperti warna marun.



Walkles 63



Mardi dan Ucup masih berdiri di luar pintu kaca. Kenapa dua cecunguk itu tidak pulang-pulang, sih? Geram Rafka dalam hati. Rafka berani bertaruh mereka tidak akan pulang kalau tidak berhasil membuatnya memintakan tanda tangan Evelyn. Atau malah membuat mereka foto bareng? Oh, astaga... Rafka saat ini hanya bisa menundukkan wajahnya, pura-pura tak melihat mereka. "Lo punya nomor rekening?" Suara Meta yang tiba-tiba terdengar dari sisi kirinya membuat Rafka berjengit. Rafka menoleh, mendapati Meta menaikkan alis ke arahnya, menunggu jawaban. Rafka menelan ludahnya, bingung bagaimana harus menjawab. "Gue... saya masih belum pekerja tetap, jadi nggak punya rekening," bohongnya. "Oke, kalau gitu nanti gue kasihcash. Jadi, jangan pulang sebelum ketemu gue lagi karena besok pagi gue udah cabut." Nggak lo kasih juga gue nggak papa, batin Rafka. Kalau bisa memilih, ia lebih memilih untuk tidak lamalama bertemu dengan medusa di depannya ini.



Walkles 64



Beruntung besok saat ia bekerja, ia tidak akan bertemu. Rafka milih untuk mengangguk. Puas dengan anggukan Rafka, Meta ikut mengangguk. Tatapannya kemudian teralihkan ketika melihat Evelyn datang dari pintu masuk bar. "Yuk, kita langsung mulai aja," ucap Meta yang kemudian bersiap dengan mengambil kameranya. Meta mengarahkan kedua modelnya itu untuk duduk di kursi tinggi di sebelah meja bar. "Coba kalian ngobrol aja, anggep gue nggak ada." Setelah beberapa kaliblitzmenyala, Meta kembali menurunkan kameranya. "Raf, tolong elo berdiri. Nyandar nggak papa, yang penting lo santai aja.Enjoykayak lagiparty." Rafka lagi-lagi hanya memutar matanya dengan kesal. Evelyn yang melihatnya tertawa lirih. "Kamu pasti kesel banget sama Meta, ya?" tebak Evelyn yang hanya dijawab dengan Rafka dengan tatapan nggak-perlu-nanya. "Ini pertama kali aku kerja



Walkles 65



sama Meta, tapi menurutku dia orangnya asyik." "Asyik dari mana?" tanya Rafka sangsi. Ia sama sekali belum menemukan emosi yang lain selain jengkel dan marah saat berbicara dengan Meta. "Well, dia selalu ngarahin semuanya kalau ada yang nggak pas, bisa liat mana yang bakal bagus, tahu apa yang dia mau, itu keistimewaan dia. Kayak milih kamu jadi pengganti misalnya." Rafka mengangkat alisnya bingung, benar-benar tidak mengerti maksud Evelyn. Baginya, Meta hanya satu. Pengacau. Titik. Evelyn kemudian melanjutkan, "Kalau fotografer lain, aku yakin mereka akango with the flowdengan milih model lain walaupun nggak cocok sama aku. Yang penting foto mereka jadi karena posisinya kepepet, nggak peduli model mereka punyachemistryatau enggak. Tapi Meta, menurut aku dia beda. Dia peritungan sama komposisi fotonya. Kalau bukan karena keistimewaan Meta itu, dia nggak mungkin minta kamu buat jadi model. Kamu pasti punya sesuatu yang nggak cuma pegawai hotel punya."



Walkles 66



Ketika mendengar kalimat terakhir Evelyn, jujur saja Rafka agak terkejut. Ia hampir saja mengira kalau Meta sebenarnya mengetahui identitasnya. Tapi tidak, itu tidak mungkin. "Kamu mau jadi model?" tanya Evelyn. Ia pikir ini adalah sebuah ide brilian. Dengan memberikan kesempatan emas ini, Rafka pasti akan mengiakan karena nantinya Rafka akan memiliki kehidupan yang lebih baik daripada hanya menjadi seoranghouseman. Namun, Rafka justru tertawa dan menggeleng. Evelyn menatapnya dengan tanda tanya besar di kepalanya, bingung dengan jawaban Rafka yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. "Saya nggak mau hidup dengan dibatasi orang lain," jawab Rafka, membuat Evelyn menaikkan alisnya. "Maksudnya?" "Meta mengatur pose kamu, baju kamu sudah diatur oleh sponsor,make upkamu udah ditata sedemikian rupa." Rafka mengatakannya dengan santai. "Saya nggak bisa hidup dengan diatur orang seperti itu."



Walkles 67



Namun, nada santai itu ternyata malah menimbulkan Efek yang lain bagi Evelyn. Bendungan emosi di dalam dadanya seperti baru saja dicungkil dan mulai retak. Ucapan Rafka... adalah fakta. Fakta yang menjadi luka yang ia pendam dalam-dalam. Membuatnya ingat bahwa menjadi model sebenarnya bukan pekerjaan yang Evelyn inginkan. Dunia modeling adalah mimpi mamanya. Dunia yang secara tidak langsung diatur mamanya untuknya. Dalam hati, Evelyn tersenyum pahit. Namun, di hadapan Rafka, ia tak ingin membuatnya terlihat jelas. "Lalu kamu mau jadi apa?" tanya Evelyn mencoba menelan emosi yang mulai merambat keluar. "Yang jelas saya hanya mau jauh dari orang-orang yang suka mengatur hidup saya. Saya yang harus mengatur diri saya sendiri," ucap Rafka dengan pandangan berapi-api ke sebuah titik imajiner di mana ia bisa memandang bayangan papa dan kakeknya. Ia benar-benar tidak sabar untuk segera mengelola cabang hotel baru di Yogyakarta dan berpisah dari papa dan kakek.



Walkles 68



Evelyn mengembangkan sedikit senyum remeh. "Dengan jadi pegawai hotel?" Rafka menatap Evelyn dengan penuh arti. "Yah, kalo itu yang harus saya lakukan, kenapa enggak?" Evelyn tertawa ketika mendengar nada penuh kesombongan pada ucapan Rafka. "Jangan mau terus-terusan diatur orang lain. Walaupun kamu model, bukan berarti kamu bisa seterusnya diatur," tambah Rafka seperti sedang memberikan pupuk untuk menumbuhkan keegoisan Evelyn. Dengan begitu retakan bendungan di dadanya bertambah semakin parah, membuat Evelyn tiba-tiba saja merasa mual mengingat bagaimana ia bisa berdiri di titik ini. Evelyn hendak menyangkal, berusaha menahan bendungan di dadanya untuk tak pecah. Berusaha memberikan pembenaran atas semua keputusankeputusan yang akhirnya ia lakukan walaupun dengan sedikit rasa terpaksa. Tapi semua itu gagal karena Meta telah meneriakan kata 'Oke' andalannya untuk mengakhiri sesi pemotretan hari ini.



Walkles 69



Evelyn kemudian hanya bisa menelan mentahmentah semua pembelaan yang sudah berada di ujung bibirnya, memandang Rafka yang berjalan menjauh dengan sudut matanya.



Walkles 70



-6- Rumor "Di film ini kalian romantis banget. Apa nggak ada kemungkinan buat cinlok?" tanya seorang wartawan yang duduk paling depan sambil tersenyum di acara konferensi pers film terbaru Evelyn. Hari ini adalahpremieredari salah satu film yang Evelyn bintangi. Proses syutingnya sendiri sudah rampung empat bulan yang lalu, sehingga saat ini ia harus kembali disibukkan dengan promosi film di berbagai kota di Indonesia. Evelyn dan Satria, lawan mainnya di film terbarunya ini, hanya saling melirik penuh maksud. Kemudian keduanya sama-sama tertawa. Hal itu kembali memancing wartawan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih heboh. "Nggaklah. Kita emang romantis satu sama lain untuk membangunchemistryperan yang kita mainin aja," ucap Satria berusaha diplomatis, disambut anggukan persetujuan oleh Evelyn. "Kenapa? Apa karena salah satu dari kalian udah punya pasangan? Ev mungkin?" tanya wartawan lain



Walkles 71



penuh selidik" Evelyn tertawa. "Hmm... gimana, ya?" tanyanya dengan nada sok misterius untuk menggoda para wartawan. "No commentaja, deh. Iya kan, sat?" Koor kecewa wartawan kembali membuat keduanya tertawa dan menyerah untuk menanyakan perihal asmara mereka. Namun, ternyata ada satu orang yang menyadari ambigu pada jawabannya adalah ambigu yang punya maksud. Manajernya, Mbak Titi, sedah kebakaran rambutâ ”dia perempuan sih, jadi nggak punya jenggotâ ”dan menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan ketika mereka berada di dalam mobil saat perjalanan pulang. Sudah dua kali ia mengulangi jawabannya pada Mbak Titi, tapi manajernya itu tetap saja tidak percaya. Sekali lagi ia menjawab, mungkin ia bisa mendapatkandoorprizedari Mbak Titi. "Pokoknya Mbak nggak mau ya kalo kamu nyembunyiin sesuatu yang krusial seperti masalah percintaan dari Mbak," omel Mbak Titi. Evelyn yang mendengarnya hanya mengangguk



Walkles 72



patuh dengan tatapan mata yang melekat pada ponsel. Ia baru saja mendapatkan hasil fotonya untuk majalah Cosmolite. Majalah bergambar dirinya itu baru terbit kemarin, lengkap dengan artikel hasil interview-nya tentang kehidupannya sehari-hari dan bagaimana caranya bersenang-senang di tengah kesibukannya sebagai seorang artis. Digulirnya gambar itu satu persatu dengan memperhatikan setiap detailnya. Dari semua gambar yang diambil Meta, memeluk tangan Rafka dengan rambut klimis yang biasa ia benci itu malah menjadi salah satu favoritnya. Bukannya narsis, tapi ekspresi di wajahnya sedang bagus, juga bahasa tubuh Rafka yang tak terlihat wajahnya kelihatan sangat alami. Meta benar-benar fotografer yang handal rupanya. Tanpa pikir panjang, Evelyn mengunggah foto itu di akun Instagram miliknya. Dalam hitungan detik ratusan like mampir di foto terbarunya, juga komentarkomentar tentang betapa cantik dan seksinya Evelyn memakai pakaian renang berwarna hitam yang sejujurnya sangat biasa itu. Ketika membaca sebuah komentar yang mengatakan bahwa punggung Rafka sandar-able, Evelyn terkikik geli.



Walkles 73



"Ngapain, sih?" tanya Mbak Titi yang memang dasarnya suka kepo. "Nggak papa, komennya netizen lucu aja." Evelyn masih menggulir kolom komentarnya yang sedang banjir. Komentar-komentar semacam 'cantik banget' dengan emotikon hati dan cium-cium itu tak digubrisnya karena tidak terlalu menarik, apalagi iklan-iklanonline shopyang asal promosi di akunnya. Ia malah tertawa karena beberapa orang mendebatkan pakaiannyaâ ”padahal mereka sama sekali tidak memiliki urusan perihal baju ituâ ”dan sangat menikmati komentar tentang Rafka. Punggung lebar Rafka yang bikin pengen bersandarlah, pantat seksinya yang berisilah, beberapa malah bertanya dengan me-mention Evelyn, menanyakan siapa pria yang menjadi modelnya. Evelyn mengulum senyum. Mereka pasti tidak percaya bahwa Rafka hanyalah pegawai hotel, bukan model seperti yang mereka harapkan. Seharusnya Rafka bisa menjadi seseorang yang lebih dari itu, sayang sekali ia menolak tawarannya untuk menjadi model.



Walkles 74



*** Hiruk pikuk keramaian bandara hari ini tak bisa menahan Rafka dari rasa bosan. Padahal banyak sekali yang bisa dilihat kalau dia ingin. Mulai dari mbak-mbak berpakaianstylishsampai tacik-tacik dengan baju yang lebih mirip baju tidur, dari bapak-bapak yang tidak terlihat membawa apa-apa sampai ibu-ibu sosialita yang entah pulang dari mana hingga semua barang dan kopernya harus dibawakan saking banyaknya, semuanya sudah Rafka lihat. Tak terhitung berapa kali Rafka melirik jam di tangannya untuk menghitung berapa menit yang sudah sia-sia terlewati karena menunggu Bian yang tak kunjung datang. Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik ia pulang saja menggunakan taksi. Kemarin Bian menelepon Rafka untuk memberitahukan bahwa kakeknya sedang jatuh sakit. Setiap saat-saat seperti ini, keluarga mereka harus berkumpul mengingat usia kakeknya sudah tidak tua lagiâ ”tapi sangat tua. Bukan untuk berebut warisanâ ”untungnya keluarga Rafka tidak ada yang terlalu gila harta hingga harus berebut warisanâ ”tapi keluarga mereka berpikir mereka semua harus hadir



Walkles 75



ketika kakeknya mengalami masa sulit. Walaupun lebih sering disembunyikan, semua orang tahu bahwa semenjak ditinggal Mbah Putri, kakeknya kesepian. Dia masih kehilangan walaupun tahun demi tahun sudah berganti. "Oy!" Rafka merasakan tepukan di pundaknya. Tanpa harus menoleh, ia bisa mengenali suara yang memanggilnya 'oy' tersebut. Seketika rasa kesalnya kembali menguar melalui setiap pori kulitnya. Rafka melihat Apple Watch yang melingkar di tangan kanannya. "138 menit." "Yaelah Raf, lo lupa kalo di sini tuh ke mana-mana macet?" protes Bian yang tidak mendapatkan toleransi dari Rafka. Ia kemudian melirik ke samping kanan dan kiri, kemudian ke sekelilingnya. "Lo nggak bawa koper? Barang-barang lo nggak lo bawa sekalian?" "Ngapain bawa koper kalau gue masih harus balik ke sana?" Rafka berdecak. "Lo masih balik lagi?!" Bian membelalak tidak



Walkles 76



percaya. "Ngapaiiin?" "Masih ada dua minggu lagi," balas Rafka seolah itu bukan hal penting. "Cih, kalo gue sih ogah." "Ya emang lo ogah. Kalo lo mau, gue yang bakal jemput elo sekarang, tapi nggak pake telat 138 menit." Bian memutar matanya. Ya ampun, susah sekali punya sepupu pendendam seperti ini. Untung sayang. Rafka melihat ke sekelilingnya. Sebenarnya sudah setahun yang lalu ketika terakhir ia pulang. Namun, rasanya satu tahun itu tidak begitu lama. Tak ada perubahan berarti yang terjadi dalam hidupnya. Masih monoton itu-itu saja, tapi Rafka mensyukuri hal itu. Rencana dan perhitungannya hampir sempurna, meleset pun mungkin tak jauh. Begitu sampai mobil, Rafka duduk di kursi penumpang sementara Bian mengemudi. Dipasangnya sabuk pengaman di sisi kirinya setelah mobil mulai berjalan dan mengambil ponsel seperti biasa. Ponselnya yang masih dalam mode pesawat ia aktifkan kembali.



Walkles 77



Ketika jaringan internetnya tersambung, ponsel Rafka berkali-kali bergetar. Hampir ia mengira ponselnya diserang virus saking banyaknya. "Paan tuh?" Bian mengerutkan dahinya, tapi tak menghilangkan fokusnya menyetir. Rafka hanya mengangkat bahu dan membuka ratusan notifikasi yang muncul di ponselnya. Ratusanlikes, puluhanfollowers, beberapadirect messages, semuanya membuat Rafka kebingungan. Ia memutuskan untuk membuka salah satu postingan yang me-mention dirinya. -------â ¤ 2.816 suka IDENTITAS PRIA YANG BERFOTO DENGAN EVELYN TERUNGKAP Akun @lambe_tumpah berhasil menemukan identitas pria misterius yang berfoto dengan sang modelmultitalent, Evelyn Fransiska! Beberapa hari lalu, Evelyn telah melakukan



Walkles 78



pemotretan untuk majalah CI dengan seorang pria misterius yang membuat fansnya penasaran. Bahkan beberapa sumber menyatakan pria inilah yang saat ini menjalin hubungan dengan Evelyn karena beberapa hari lalu ia mengunggah salah satu hasil pemotretan mereka berdua di akun instagram pribadinya @eve_fransiska dengancaptioncinta. Dalam postingan terbarunya, @lambe_tumpah berhasil mengungkapkan identitas pria yang ternyata adalah keturunan seorang pengusaha kaya. Rupanya Rafka Pramoedya (@Rafkapramoe) adalah generasi ketiga dari pemilik salah satu perusahaan perhotelan di Indonesia. Gimana? Menurut kalian cocok nggak sama Evelyn? Lihat semua 1293 komentar -------Untuk ketiga kalinya Rafka membacacaptiondi akun berita itu dengan tidak percaya. Dengan gerakanslow motion, ia membuka akun 'lambe_tumpah' itu. Ketika sudah terbuka, ia bisa melihat foto liburannya di Singapura beberapa bulan lalu terpajang di sana,



Walkles 79



dengan beberapa foto lain yang memperlihatkan wajahnya dengan sangat jelas. --------â ¤ 34.757 suka Yeu, ini yang semalem bikin gempar. Diem-diem Mbak Evelyn ternyata deket sama pengusaha kaya, toh. Minceu mau juga dong kenalan, siapa tahu bisa nginep gretongan di hotelnya. Ulalaaa~ Lihat semua 7942 komentar -------Mulut Rafka hanya terbuka tanpa suara. Ia tidak bisa berkata-kata saking kagetnya, juga bingung, malah jangan-jangan kerja otaknya yang sedang konslet. Rafka menjatuhkan tangannya yang masih menggenggam ponsel dengan lemas di atas paha. Ia hanya bisa tertawa tanpa arti. "Kenapa, sih?" tanya Bian sambil sesekali menoleh ke arah Rafka. Setelah memindahkan mobilnya ke jalur lambat, Bian merebut ponsel Rafka dari tangannya dan



Walkles 80



melihat layar ponselnya. "Ini bukannya elo?Wait, Lambe tumpah?" Menyadari ini terlalu janggal dan akan membutuhkan fokus penuh untuk memahaminya, Bian memutar kemudinya dan menginjak gas dalam-dalam. Ia harus mencari tempat parkir secepatnya. Begitu melihat plang nama salah satu pusat perbelanjaan, Bian menepikan mobilnya dan berhenti di tempat parkir. Dilihatnya kembali ponsel Rafka yang masih berada di genggamannya. Tanpa melewatkan satu kata pun, Bian membaca berita tentang Rafka. "Anjir, lo sama Evelyn? Kok elo bisa sama artis?" tanya Bian tidak percaya. Ia membuka akun Instagram pribadi milik Evelyn. Foto teratas yang diunggah olehnya memang foto bersama seorang pria yang walaupun tidak terlihat wajahnya, Bian langsung tahu bahwa itu Rafka. "Mau diliat dari kahyangan juga gue tahu kalo itu elo! Sejak kapan elo jadi model gini? Sialan, posenya gitu lagi, pake baju renang. Anjir... kok elo bisa-bisanya, sih?" Bian terus mengumpat ketika melihat foto itu. Ia mengembalikan ponsel itu pada Rafka dan membuka ponselnya sendiri. Namun, karena Rafka masih diam, Bian jadi gemas. "Eh, monyet ragunan, gue nanya!"



Walkles 81



"Ya mana gue tahu. Yang jelas gue dijebak!" "Maksud lo di jebak? Siapa yang berani ngejebak elo coba? Tapi ngejebak foto sama artis? Itu namanya ketimpa durian runtuh, bukan kejebak. Bego banget jadi orang, bukannya seneng..." "Sialan tuh cewek." "Evelyn?" Orang pertama yang muncul di kepala Rafka untuk disalahkan hanya satu. Medusa berambut pendek yang ingin tinggi tapi nggak sampai itu, bayangannya yang berada di kepala Rafka membuat Rafka semakin berang. Ia merasa sudah ditipu habis-habisan. Menjaga identitas apanya, sekarang satu Indonesia bisa tahu siapa dirinya. Penyamaran dalam bentuk apa pun pasti sia-sia, padahal proyek dari kakeknya belum selesai. Sial, Rafka mengumpat lagi dalam hati. Bagaimana bisa ia termakan bujuk rayu medusa itu? Bagaimana bisa ia terjebak dalam seluruh kekacauan ini? "Medusa."



Walkles 82



"Medusa?" Bian membeo, tidak mengerti maksud Rafka. "Medusa siapa?" Dengan geram, Rafka memprivat akun Instagram miliknya dan mematikan ponsel. Ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, sengaja tidak menjawab pertanyaan Bian. Karena ketika mengingat Meta, hanya sumpah serapah yang akan keluar dari mulutnya. "Gue bakal tuntut tuh cewek!"



Walkles 83



-7- Bombshell Pintu gerbang rumah kakek Rafka terbuka ketika Bian berhenti tepat di depannya. Setelah mengatasi keterkejutannya tentang berita mengenai Rafka, Bian kembali menginjak pedal gas untuk segera pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, keduanya berpikir keras, berusaha mencari jalan keluar agar posisigeneral manager yang Rafka incar akan tetap jatuh ke tangannya. Dengan perasaan tidak karuan, begitu Bian memarkirkan mobilnya, Rafka masih terduduk beberapa lama. Merasa enggan untuk masuk kemudian bertemu kakeknya. Bagaimana kalau kakeknya sudah tahu tentang berita ini? "Raf, turun, bengong di situ gak bakal bikin masalah lo kelar." Ucapan Bian membuat Rafka mendesah dan akhirnya memilih untuk turun dari mobil. "Rafka! Akhirnya kamu nyampe juga..." Tante Rismaâ ”maminya Bianâ ”membuka pintu depan untuk menyambut Rafka dengan suara melengkingnya yang khas.



Walkles 84



Begitu Rafka muncul di depannya, Tante Risma langsung memeluknya dan memberikan ciuman segitiga bermudaâ ”dua pipi dan dahiâ ”yang memang selalu ia lakukan sejak Rafka kecil. Rafka dan Bian pernah menolak ciuman itu habis-habisan ketika keduanya mulai beranjak masa puber, tapi tak ada yang bisa mengelak. Kalau Tante Risma belum memberikan ciuman itu, ia bisa mengejar hingga ke depan sekolah kalau ia mau. Bian pernah membuktikannya dan membuat seantero sekolah harus melihatnya mendapatkan ciuman dari Tante Risma. Semenjak saat itu, Rafka dan Bian berhenti kabur dan memilih untuk menerima nasib mereka. "Gimana perjalanannya? Capek, ya?" tanya Tante Risma setelah melepaskan ciumannya. Ia kemudian menggenggam tangan Rafka dan mengelus permukaannya. "Ya ampun, ini tangan kamu sampai jadi kasar begini. Kakek kamu tuh bener-bener, deh!" Rafka hanya menyunggingkan senyum terpaksa. Kalau yang dimaksud tantenya dengan perjalanan panjang adalah menunggu Bian di bandara selama lebih dari dua jam dan mengetahui identitasnya telah tersebar di ruang publik, maka Rafka akan langsung menjawab bahwa itu melelahkan.



Walkles 85



"Mi, biasa ajalah. Rafka tuh cuma perjalanan Jakarta-Surabaya, bukan Jakarta-Hongkong," protes Bian dari balik punggung Rafka sambil menutup pintu depan. "Apa sih, kamu? Orang Mami ini lagi kangen udah lama banget nggak ketemu Rafka. Dateng ke sana nggak boleh,video calljuga nggak boleh sering-sering," gerutu Tante Risma. "Soalnya Mami tuh rempong!" Marina menyusul dari belakang ibunya. Ia menghampiri Rafka dan memeluknya sekilas. "Apa kabar, Bang?" Rafka menaikkan alisnya ketika melihat Marina yang agaknya berbeda. Selain bertambah tinggi dan rambutnya jadi lebih pendek dari yang diingatnya, Rafka menyadari sesuatu. "Sejak kapan lo pakemake up?" Ditanya begitu, Marina tersipu dengan mengulum senyum malu-malunya. "Jadi tambah cantik ya, Bang?" "WUUUUHH! Cantik apanya? Kayak bencong, iya!" balas Bian sambil meraup muka adiknya. Ia kemudian menyelonong masuk menuju ruang makan karena



Walkles 86



mencium bau sedap. Marina hanya menatap abangnya itu penuh rasa kesal. "Udah yuk, makan siang dulu. Tante udah masak menu wajib kalau kamu pulang." Tante Risma mendorong tubuh Rafka ke ruang makan. "Kamu cuci tangan dulu." Rafka menuruti kemauan tantenya itu dan pergi ke kamar mandi. Sekembalinya dari sana, ia melihat papanya, Om Eri, dan kakeknya sudah duduk di tempat duduk masing-masing di balik meja makan. Alis Rafka terangkat hingga dahinya berkerut. "Lho? katanya Kakek sakit?" tanyanya bingung, langkahnya sampai terhenti. "Emangnya orang sakitgak bolehmakan siang? Baru dateng bukannyasalimsama orang tua. Bocah kokrasopan," gerutu kakeknya sambil menatap Rafka tajam. Yang mendapat teguran cepat-cepat melangkah ke kakeknya untuk mencium tangan ketiga pria yang dituakan itu sebelum duduk di tempatnya. "Sehat, Raf?" tanya Om Eri setelah Rafka meletakkan pantatnya di kursi yang berada di sebelah



Walkles 87



papanya. "Sehat, Om." Rafka menjawab sambil memperhatikan menu makannya siang ini di meja makan. Gurame asam manis, tahu tempe goreng, terong goreng tepung, sambal, dan sayur asem, semuanya membuat lambungnya bersiap untuk melar. "Emang Kakek sakit apa?" tanya Rafka sambil menunggu sang kakek yang masih dilayani oleh Tante Risma sebelum ia bisa menunggu giliran untuk mengambil makanannya. "Demam kemarin, ditambah flu sedikit," jawab Tante Risma tanpa beban, seolah-olah itu hal biasa. Rafka hanya bisa membuka mulutnya untuk merespon. Jadi, ia jauh-jauh disuruh pulang dari Batu hanya untuk menjenguk orang 'demam dan flu sedikit' yang bahkan hari ini terlihat lebih sehat dari Rafka? Menyadari raut tidak terima di wajah Rafka, kakeknya angkat bicara dengan nada tersinggung, "Memang demam bukan sakit?" Rafka bisa merasakan tulang keringnya ditendang



Walkles 88



oleh seseorang. Marina dan Bian menatapnya dengan tatapan memaksa udah-iyain-aja-daripada-buntutnyapanjang-dan-kita-nggak-jadi-makan, jadi Rafka hanya menutup mulutnya rapat-rapat. *** Tepat ketika Rafka meletakkan sendoknya setelah menyuapkan makanan terakhir di piringnya, suara gerbang depan terbuka, disusul dengan gesekan ban mobil dan lantaicarport. Tak lama, suara langkah kaki menyusul, menandakan bahwa penumpangnya tengah berjalan memasuki rumah. Semua penghuni meja makan menoleh ke arah si tamu tak diundang itu. "Eh, maaf mengganggu makan siangnya. Saya tunggu di dalem saja, Pak." Pak Kamal meringis sungkan mendapati semua orang memandanginya. "Makan, dulu Pak Kamal," tawar Tante Risma. "Sudah, saya sudah makan. Saya langsung ke ruangan Bapak aja," ucap Pak Kamal sebelum benarbenar menghilang ke ruang kerja Pak Pramoe. Setelah meminum airnya, Pak Pramoe menyusul



Walkles 89



masuk ke dalam ruang kerjanya bersama papa Rafka. "Ada masalah, ya?" tanya Tante Risma pada Om Eri. "Mungkin. Papi juga nggak tahu. Mungkin lebih baik aku nyusul aja ke sana." Om Eri berdiri dari kursinya dan menyusul kedua ayah dan kakaknya itu ke ruang kerja. Rafka dan Bian hanya saling melirik dalam diam, khawatir dugaan mereka berdua benar. Rafka benarbenar harus menyiapkan hati untuk kehilangan posisigeneral manageritu dari tangannya sebagai kemungkinan terburuk. Sial, ia sudah mendambakan posisi ini sejak lama, Rafka tidak rela jika posisi ini melayang begitu saja. Beberapa menit kemudian, Pak Kamal keluar dari ruang kerja. Ia celingukan mencari Rafka. "Raf, bisa gabung sebentar?" Mau tak mau, Rafka berjalan masuk ke ruang kerja, menyusul Pak Kamal. Ketiga orang itu duduk di sofa, mengikuti setiap langkah mata dengan tatapannya. "Duduk," ucap Pak Pramoe.



Walkles 90



Gani memajukan posisi duduknya seraya menatap Rafka tidak mengerti. "Kamu pacaran sama artis?" tanyanya. "Biar dia yang cerita dulu," potong Pak Pramoe dengan gestur menunggu. Rafka menelan ludahnya. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup menembus tulang-tulang dadanya. Jujur saja ia bingung harus memulai dari mana. "Apa ini tentang gosip tentang Evelyn Fransiska?" tanya Rafka walau ia yakin jawabannya adalah iya. "Saya ditelepon orang PR, nama kamu sedang trending di mesin pencarian dan sosial media," jelas Pak Kamal. Ia kemudian melanjutkan dengan agak perlahan, "Dan seperti yang kamu bilang, itu berkaitan dengan nama Evelyn. Saya ke sini cuma mau konfirmasi berita itu ke kamu, Raf. Kalau memang berita itu bener..." "Berita itu nggak bener," jawab Rafka. "Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Evelyn." "Lalu gimana kamu bisa jelasin foto-foto itu?" tanya



Walkles 91



Gani berang. "Bagaimana foto-foto kamu bisa tercetak di majalah itu? Dan sekarang wartawan nyari-nyari identitas kamu, kamu jadi bahan gunjingan orang-orang, apa yang kamu mau lakukan?" Om Eri menghentikan papa Rafka dengan menepuk lengannya. "Tenang, Mas. Biar Rafka jelasin dulu." Gani berdecih, memejamkan matanya dan mengendalikan napasnya untuk memendam emosi. "Pertama, aku nggak ada hubungan dengan Evelyn," ulang Rafka. "Kedua, aku terpaksa untuk gantiin model yang nggak bisa dateng hari itu..." "Gantiin model?!" potong Gani. Suaranya meninggi hingga menggema di seluruh ruangan. Ia berdiri tak sabar. "Kamu tahu kan kamu siapa? Kamu sedang apa? Kamu tahu sendiri gimana buruknya pemberitaan media tentang keluarga..." Gani tak melanjutkan ucapannya, ia mondar-mandir melampiaskan kekhawatirannya pada langkah-langkah kakinya. Rafka menelan ludahnya untuk kesekian kali.



Walkles 92



Dadanya mulai berdebar. Ucapan papanya membuka kembali kotak yang ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya. Rafka memejamkan mata, berusaha mengatur napasnya. "Aku terpojok waktu itu. Pilihanku cuma dua, gantiin model atau identitasku akan terbongkar karena aku harus ngasih alasan kenapa aku nolak permintaan tamu VIP. Jelas aku nggak bisa biarin identitasku terbongkar gitu aja di sana, apalagi mereka ngasih iming-iming identitasku nggak akan dimuat di majalah dan wajah aku nggak akan keliatan di foto. Setidaknya itu keputusan dengan risiko terkecil yang bisa aku ambil." "Tapi identitas kamu tetap tersebar, semua orang sekarang tahu siapa kamu. Rencana kita terpaksa harus dihentikan." Pak Pramoe mengucapkannya dengan nada datar. Rafka menggigit pipi bagian dalamnya, tidak bisa menyanggah, tapi juga tidak sanggup mengiakan. "Tugas kamu selesai. Posisigeneral managerdi Yogyakarta akan dirapatkan lagi..."



Walkles 93



Rafka membelalak, ia menggeleng dengan tatapan memohon pada kakeknya. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Ia telah menunggu momen kepindahannya ke Jogja sejak lama. "Nggak, Kek. Tunggu." Rafka berusaha mengulur waktu. Ia berharap otaknya dapat memikirkan sesuatu untuk menghentikan keputusan kakeknya. Paling tidak satu solusi masuk akal yang bisa membuat kakeknya berubah pikiran, tapi... nihil. Sial. "Kasih aku waktu untuk nyelesaiin semuanya." Pak Pramoe menurunkan kacamatanya, memandang Rafka sembari menyipit. "Seminggu. Dalam waktu seminggu kamu harus ngasih solusi atau posisi GM akan jatuh ke tangan orang lain." Mau tidak mau, Rafka mengangguk kemudian keluar dari ruangan itu dengan tangan terkepal. *** Dering telepon di kantor Majalah Cosmolite Indonesia baru mulai menurun intensitasnya sejak setengah jam yang lalu. Telepon-telepon itu kebanyakan berisi sama, mengonfirmasi identitas model pria yang



Walkles 94



berfoto dengan Evelyn di majalah mereka yang baru saja diterbitkan, mengonfirmasi apakah benar pria itu adalah Rafka Pramoedya. Melly benar-benar bingung dibuatnya. Telinganya ingin meledak ketika mendengar dering telepon sehingga ia terpaksa mencabut kabel telepon ruangannya. Ia ingin berteriak di telinga-telinga wartawan itu bahwa ia tidak tahu! Keputusan mendadak masalah model itu bukan ia yang memutuskan, tapi fotografer yang kemarin ia puji-puji karena hasil foto Evelyn yang super dewa! Yang membuat Melly lebih pusing lagi, si fotografer itu belum mengangkat telepon sejak tadi pagi hingga... Sekarang! "HALOO?!" teriak Melly begitu Meta mengangkat teleponnya, membuat orang-orang satu timnya menoleh. Ia kemudian bertanya dengan gemas, "Lo ke mana ajaaaa?" "Apaan sih, mel? Gue abis begadang ngejardeadline, baru tidur juga tiga jam yang lalu," jawab Meta dengan suara serak karena mengantuk. "Jadi dari tadi negara api menyerang, elo masih enak-enakan tidur?" tanya Melly tidak habis pikir. "Elo



Walkles 95



udah buka sosmed?" "Ya belom, orang gue sibuk." "Cepetan liat sekarang!" "Mel, gue ngantuk banget," erang Meta dari balik sambungan teleponnya. "Pokoknya sekarang juga elo liat apa yang di posting akunnya lambe tumpah, kalo elo udah nyadar apa yang ada di depan mata elo sekarang, itu tanggung jawab yang elo janjiin ke gue. Sekalian gue kirimin rekaman telepon elo yang waktu itu." Tanpa babibu lagi, Melly mematikan ponselnya, kemudian menghitung-hitung berapa menit lagi yang dibutuhkan Meta agar ia menyadari masalah apa yang ada di depan matanya kali ini. Tapi Melly benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa Meta mendapatkan orang penting seperti itu, padahal dari apa yang ia dengar dari Sarah, model prianya diganti oleh pegawai hotel yang aslinya biasabiasa saja. Bukan pengusaha seperti yang dilaporkan oleh lambe tumpah. Lalu siapa yang benar? Siapa yang harus ia percaya? Ia hanya bisa menatap anggota



Walkles 96



timnya yang terlihat lelah hari ini dengan tatapan kosong.



Walkles 97



-8- Ingenuity Telepon dari Melly sudah terputus dua menit lalu, tapi Meta masih butuh untuk mengumpulkan nyawa. Ia melihat langit-langit ruang istirahat studio yang sudah menjelma menjadi kamarnya ini dengan tatapan kosong. Bermodalkan ingatan yang cuma separuh tentang isi teleponnya dengan Melly, Meta membuka Instagramnya. Ia ingat Melly sempat menyebutkan untuk membuka akun instagram Lambe Tumpah.Karena tidak tahu gambar yang mana, Meta mengurutkannya dari yang paling atas dan membacacaption-nya satu per satu. Dua postingan terbaru, Meta sama sekali tidak kenal siapa. Beranjak ke postingan ketiga, tiba-tiba ia merasa kenal. Wajahnya familier, yang bagi Meta sungguh mengherankan karena biasanya ia tidak mengenali artis pendatang baru. Kali pertama membacacaption, Meta masih santai saja. Mungkin otaknya memang sudah melambat karena terlalu banyak begadang, butuh dua kali membaca untuk Meta memahami maksud postingan si admin Lambe Tumpah itu. "Wait..." Meta bangun dari posisi tidurnya,



Walkles 98



kemudian menggosok matanya, berharap apa yang dibacanya adalah sebuah kesalahan. Namun, ketika membaca untuk ketiga kalinya, tulisan itu masih sama. "What?Syiiiiiiittt!" teriaknya. Segala sumpah serapah yang bisa diucapkan, meluncur lolos dari bibirnya. Meta berdiri dan berlari. Hampir-hampir ia terjerembab karena terjerat selimutnya sendiri. Ia memanggil Fiki yang ia yakin sedang berada di lantai dua dengan suara melengking karena panik. "Fiiiiiikkk! Fikiiiii?!" Dituruninya tangga dengan setengah berlari. "Kenapa Mbak?" tanya Fiki ikut panik. Ia yang masih mengatur jadwal pemotretan Meta langsung melompat berdiri. "Tolong bilang ke gue kalo ini Cumahoax!" ucap Meta sambil menyerahkan ponselnya pada Fiki, menatapnya sungguh-sungguh dengan tatapan memohon. Dengan dahi berkerut bingung, Fiki menerima ponsel Meta dan melihatnya. Ia ingin tahu apa yang telah membuat Meta tiba-tibafreak outsetelah tadi terlihat tidur dengan pulasnya. Bahkan ia sempat berpikir Meta kesurupan hantu penunggu studio karena



Walkles 99



berteriak seperti orang kesetanan. Namun, setelah membaca, mata Fiki membelalak, memandang Meta dan ponsel yang ia pegang bergantian. Ia kemudian mencari berita lainnya menggunakanhashtagEvelyn. "Gila! Jadi yang kita foto itu yang punya hotel? Terus ngapain dia bersih-bersih hotel kalo dia bosnya?" Meta menjentikkan tangannya setuju, kemudian menunjuk Fiki. "Makanya itu, Fik!" "Tapi bukannya elo kan udah terlanjur janji buat nggak ngeliatin muka, juga nggak muat identitas dia di majalah, Mbak?" "MAKANYAAAA!!!" teriak Meta panik, kemudian memekik dengan sedikit tertahan, "gue udah ngelakuin semuanya, kan?" "Terus ini akun tahu dari mana?" "Ya mana gue tahu?!" Meta sudah ingin mengantuk-antukkan kepalanya ke dinding saking gemasnya. "Plis plis bilang ke gue kalo semua bakal baik-baik aja." "Elo udah ngelakuin semua yang lo janjiin kok, jadi



Walkles 100



secara teknis elo nggak salah Mbak," hibur Fiki. Padahal dalam hati dirinya sendiri agak ketar-ketir mengingat lawan main bosnya itu ternyata bos juga. Bos dari jaringan hotel ternama pula. "Tenang. Tenang." "Oke. Gue nggak salah," ucap Meta sambil mengangguk kecil dan memejamkan mata, berusaha menanamkan sugesti di kepalanya kuat-kuat. "Gue nggak salah." Tiba-tiba sebuah pesan suara dari Melly terkirim ke ponselnya. Ketika Meta mendengarnya, Meta merasa dirinya baru saja ditampar di pipi bolak balik. "Bukan, bukan dari portofolio yang elo kirim. Nggak usah pakai model-model itu, gue nemu yang lebih cocok." "Bentar, perasaan gue jadi nggak enak. Lo nggak usah macem-macem, Ta." "Gue serius. Lo siapin aja honornya, gue untuk detailnya bakal dijelasin sama Sarah sepuluh menit lagi. Oke?" "Beneran perfect?"



Walkles 101



"Ninety eight percent!" "Dua persennya?" "Dua persennya baru akan keliatan kalo fotonya udah gue kirim dan lo liat sendiri." "Kalo ada apa-apa, elo yang tanggung jawab ya pokoknya? Gue rekam nih, teleponnya!" "Deal! Udah, percaya sama gue!" Suara rekaman itu sangat jelas. Kenapa juga saat mereka menelepon, tak ada gangguan sama sekali? Meta berharap kemarin ia menjawab 'Tidak' saja kalau tahu buntutnya akan seperti ini. Lagi pula bos mana yang bersih-bersih hotelnya sendiri? Pakai seragam pegawai hotel pula. Mana Meta tahu kalau pria bernama Rafka-Rafka itu pemiliknya. Yah, milik keluarganya berarti miliknya juga, kan? Kalau benar dia bos besar, orang-orang seperti itu biasanya hanya memiliki dua kemungkinan kalauâ ”yah, rencana apa pun yang mereka miliki itu diusik. Yang pertama hanya menganggap semua ini angin lalu, dan yang keduaâ ”yang paling Meta takutiâ ”membalaskan



Walkles 102



dendam mereka tanpa ampun. Bisa saja mereka akan menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh Meta karena Meta telah mengusik ketenangan mereka. "Ngapain sih teriak-teriak lo berdua?" tanya Gale pada Fiki. Ia yang baru saja datang ke studio mendadak bingung ketika mendengar teriakan heboh Fiki dan Meta. "Bukan gue Mas, tapi..." adu Fiki sambil diam-diam tangannya menunjuk Meta, membuat Gale mengalihkan perhatiannya dari Fiki ke Meta. "Ngapain lo?" tanya Gale ingin tahu. "Le, gue mau dibunuh. Bisa jadi mereka nyewa pembunuh bayaran buat ngebunuh gue!" Gale menaikkan satu alisnya ketika mendengar jawaban ngawur Meta. "Apaan sih lo, Met. Ngebunuh elo nggak ada untungnya. Daging lo udah pait, alot pula." "Le, gue serius?!" "Kenapa sih bos lo, Fik?"



Walkles 103



"Ehm... Jadi gini Mas..." Fiki menceritakan kejadian sesungguhnya yang terjadi saat mereka di Batu, dari awal hingga akhir, tanpa kecuali. Mungkin sedikit ditambah bumbu agar lebih heboh. Begitu mendengarnya, mata Gale membelalak tak percaya. "Hah? Yang bener?" "Bener, Mas. Itu yang di akun Lambe Tumpah. Waktu gue buka akun dia, udah diprivat," adu Fiki lagi. "Tapi kayaknya sih bener, gue masih inget banget gimana mukanya." "Tapi menurut gue, seharusnya nggak masalah sih, Met. Lo bayangin, lebih heboh mana kalau ketahuan Evelyn foto samacleaning servicehotel sama yang punya hotel. Gue yakin fansnya nggak bakal rela lo sandingin dia sama mas-mascleaning service." Ucapan Gale kali ini setidaknya bisa diterima oleh akal sehat Meta. Ada benarnya juga, dan hal itu memberikan sedikit ketenangan untuknya. "Paling-paling bentar lagi beritanya juga ilang." Meta benar-benar berharap kalau apa yang Gale ucapkan itu benar. Seiring berjalannya waktu, pasti berita ini akan menghilang begitu saja.



Walkles 104



"Pokoknya kalo gue yang ilang, lo harus cari mayat gue sampe ketemu." *** Beberapa hari ini Rafka benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari ponselnya. Ia telah mencoba berbagai cara untuk bisa terhubung dengan kedua orang penghancur rencananya itu. Pak Kamal diamdiam membantunya mencarikan kontak agar ia dapat menghubungi Evelyn, sedangkan ia sendiri mencari informasi tentang si medusa sialan itu. "Gimana? Elo jadi ngelakuin rencana lo kemarin?" Rafka mengalihkan pandangannya dari ponsel ke Bian yang sedang telentang di atas kasurnya kemudian mengangguk. "Cuma itu yang bisa gue pikirin. Menurut gue itu satu-satunya cara agar mereka mau mempertanggungjawabkan perbuatan mereka tanpa kita harus rugi ataupun ngeluarin duit buat sewa pengacara." "Gimana kalo mereka malah milih buat bawa ini ke jalur hukum aja?" tanya Bian.



Walkles 105



"Ya, mau gimana lagi. Gue kan juga menuntut keadilan. Di sini yang dapet ketidakadilan adalah gue, gue yang jadi korban di sini atas perbuatanrecklessmereka." Rafka kemudian menatap titik imajiner di dinding kamarnya dengan pandangan menerawang. "Yang jelas gue tahu fotografer itu nggak mungkin mau bawa masalah ini ke pengadilan." "Kenapa?" "Karena gue udah tahu kalau si fotografer itu ternyata bukan bagian dari Cosmolite Indonesia. Dia cuma freelancer di sana sehingga Cosmolite angkat tangan tentang masalah ini. Kerjaan utamanya sebenernya di salah satu studio foto di daerah Kemang, namanya Imagen Studio. Cosmolite udah nyerahin semua tanggung jawab ke dia, jadi mereka nggak mau ikut campur. Kemarin gue nyari Imagen Studio itu di mana dan ketemu. Studionya belum sepenuhnya jadi kalo gue liat. Masih banyak pasir sama semen di luarnya. Gue nggak yakin mereka mau keluarin duit ekstra untuk nyewa pengacara dan tetek-bengeknya." Bian menyipit melihat Rafka. "Sampe segitunya lo?" "Gue kan harus pelajari karakteristik lawan kalo



Walkles 106



mau semuanya berjalan sesuai rencana gue," balas Rafka dengan nada songong. Harusnya Bian tidak melupakan trik lawas seperti ini. Bian hanya berdecih. "Terus kapan elo mau ketemu mereka?" "Nunggu Master. Kalo dia ngomong iya, gue baru jalan." Ketukan pintu kamar Rafka tiba-tiba terdengar, membuat keduanya menoleh. Ketika pintu terbuka, menampilkan kepala Bu Ginah yang melongok. "Kenapa, Bu?" "Mas Rafka dipanggil Pak Pramoe, Mas," ucapnya dengan logat ngapak yang tidak bisa hilang walaupun sudah bertahun-tahun di sini. "Oke, makasih, Bu. Sebentar lagi saya ke sana," balas Rafka. Bu Ginah mengangguk dan menghilang dari balik pintu. Rafka beranjak dari kursi santai di kamarnya, kemudian berjalan meninggalkan Bian sendirian di kamar.



Walkles 107



Ketika sampai di ruangan kakeknya, Rafka mendapati ruangan itu kosong. Ia melompat ke dalam ketika mendengar suara deheman di balik punggungnya. Dengan melepaskan nafas dan memegang dadanya, Rafka menggerutu, "Ngagetin aja." "Ngapain kamu berdiri di situ?" tanya kakeknya sambil menunjuk tempat Rafka berdiri dengan dagu. Keriput di bawah dagunya sampai terlihat. "Lah Kakek katanya manggil?" "Ya, memang. Tapi kan Kakek harus minum obat dulu. Nggak boleh minum obat?" Pak Pramoe melangkahi Rafka dengan tongkatnya, memasuki ruang kerjanya. Rafka lagi-lagi hanya memutar matanya. Seandainya saja ngelawan orang tua itu nggak dosa, sudah ia ajak adu mulut kakeknya itu dari dulu-dulu. Sudah sepuh, tapi masih aja ngeselin. Pak Pramoe duduk di kursi kebesarannya sambil menatap Rafka yang masih berdiri di ambang pintu. "Ngapain lagi?Yo cepet mlebu."



Walkles 108



Sambil memberengut, Rafka menutup pintu kemudian duduk di kursi yang berlawanan dengan kakeknya. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terintimidasi di bawah tatapan mata kakeknya. "Ceritakan sejak awal," pinta Pak Pramoe dengan suara rendah. "Tanpa kecuali." Rafka menelan ludahnya. Secara perlahan ia menceritakan seluruh kejadian yang ada di hotel waktu itu. Bagaimana paksaan Meta, kemudian bagaimana identitasnya bisa diketahui oleh banyak orang. Selain dari berita dan asumsinya sendiri, Rafka masih gagal mencari tahu dari mana Lambe Tumpah itu mendapatkan identitasnya. "Maka dari itu, aku mau minta mereka tanggung jawab dengan memaksa mereka membantu promosi hotel kita secara cumacuma, yah atau dengandealyang ditentukan oleh pihak kita. Daripada tuntutan ke pengadilan, aku rasa itu lebih menguntungkan. Evelyn bisa menjadi ikon atau model yang bisa kita pasang di papan iklan dan mengendorsehotel kita di akun Instagram-nya karena diapublic figureyang lumayan punya pengaruh. Dan Meta, dia yang akan membantu divisi pemasaran kita dengan foto, membuatkan video dan foto-foto untuk iklan videotron di Jogja nanti. Dengan begitu, Rafka



Walkles 109



pastikan akan kita akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada kerugian kita sekarang ini." "Hmm..." Pak Pramoe bergumam. Mata kakek Rafka itu terpejam, seperti sedang berpikir untuk beberapa saat. "Yo wes." Sudut-sudut bibir Rafka terangkat mendengar dua kata itu terucap dari bibir kakeknya. Namun, belum sampai bibirnya mengembang sempurna menjadi senyuman, kakeknya sudah kembali bersuara. "Tapi..." ucap Pak Pramoe dengan nada sengaja digantung. "Pastikan mereka bener-benergelem. Kalau perlu, buat kontrak untuk mengikat mereka. Jangan sampai hal ini akan menimbulkan masalah yang lebihgedhelagi nanti." "GM di Jogja? Bagaimana?" "Dua minggu lagi kamu berangkat ke Jogja. Pak Kamal akan temani kamu. Kamu punya usulan untuk format tim hotel di Jogja?" Mendengar kata-kata yang diucapkan kakeknya barusan, rasanya seperti lagu yang mendayu-dayu di



Walkles 110



telinganya. Rafka meminjam iPad milik kakeknya, melakukan presentasi singkat profil pegawai-pegawai yang ia sukai untuk diajukan.



Walkles 111



-9- Lion and Cheetah Setelah berita itu berlalu, Meta menghitungi hari demi hari yang terlewat dengan was-was. Ia baru bisa bernapas lega ketika sudah lebih dari tiga hari telah berhasil ia lalui dengan sehat dan selamat hingga saat ini hari ketujuh. Namun, ketenangan itu hanya bisa bertahan di Imagen Studio sampai terdengarnya suara dering ponselnya pada detik ini. Telepon dari nomor asing, batin Meta. Dalam hati, ia berdoa bahwa kali ini si penelepon adalah tukang tipu yang akan bilang padanya 'kakak Anda sedang ada di kantor polisi karena terjerat kasus narkoba, tapi katanya dia difitnah'. Ia pikir, hal itu tentu akan jauh lebih mudah. Entah kenapa firasatnya tidak enak ketika mengangkat telepon itu, Tapi kemudian ia menggeleng. Tidak, ini pasti hanya perasaan khawatir yang muncul dari hasil energi negatif yang mengelilinginya akhir-akhir ini. Apalagi berita tentang Evelyn juga sudah mulai surut.



Walkles 112



Ketika mendengar suara 'halo' yang dikeluarkan oleh seseorang di balik sambungan teleponnya, Meta rasanya sudah mau berhenti bernapas. Sungguh, ia menyesal telah mengangkat panggilan telepon ini. "Apa benar ini Meta dari Imagen studio?" suara yang Meta tahu adalah suara sicleaning servicegadungan. Meta mengangguk, tapi ia kemudian tersadar bahwa Rafka tidak bisa melihatnya.Tolol. "Iya." "Fotografer Cosmolite Indonesia?" tanya Rafka lagi, memastikan. "Iya," jawab Meta sedikit jengkel. Ia yakin Rafka sedang tersenyum karena ia mendengar pria itu mendengus. "Gue Rafka, semoga elo masih inget." Jujur saja, Meta ingin pura-pura lupa kejadian kemarin, juga siapa Rafka. Ya ampun, bahkan ia juga ingin lupa siapa dirinya. "Gue tahu." "Wow. Gue pikir lo udah lupa," ujar Rafka dengan



Walkles 113



suara mengejek. Meta memutar matanya kesal, sengaja tidak menjawab. "Ada masalah penting yang harus gue bicarain. Bisa kita ketemu?" Seketika Meta menaikkan alisnya, waspada. Ini dia yang ia khawatirkan sejak kemarin, ternyata hari ini benar-benar tiba. Meta berani bersumpah kalau ia benar-benar tidak menyukai posisinya saat ini. "Masalah apa?" "Lo akan tahu nanti waktu kita ketemu." "Gue nggak akan dateng kalo gue nggak tahu masalahnya apa dan seberapa penting masalah itu buat gue." "Oh, tentu penting." Meta sengaja diam untuk membuat Rafka tahu kalau dia sedang menunggu jawabannya. "Gue mau minta pertanggungjawaban elo atas masalah ini," lanjut Rafka dengan suara yang tak lagi mengejek setengah bercanda seperti tadi.



Walkles 114



"Lah ngapain gue harus bertanggung jawab kalo gue nggak punya salah apa-apa ke elo," balas Meta tak kalah ketus. Ia hampir mendengar Rafka menggeram. "Gue udah ngelakuin apa yang bisa gue lakuin. Nggak mengexposemuka elo, di majalah juga nggak tercantum satu pun nama lo." "Dengan nyuruh gue untuk gantiin model itu aja udah sebuah kesalahan. Lo maksa gue untuk melakukan sesuatu yang bukanjobdeskgue." "Oh, gue baru tahu kalo salah satu'jobdesk' owneritu ngebersihin kaca," jawab Meta sarkas. Ia bisa mendengar Rafka mengumpat walaupun lirih dan tertahan. "Itu bukan urusan lo," geram Rafka. Entah bagaimana caranya sedetik kemudian Rafka menstabilkan emosinya. "Kalo elo nggak mau, ya tinggal pilih aja sih. Lo mau nyelesaiin ini semua baik-baik atau mau ngabisin duit dengan ngebawa masalah ini ke pengadilan." Ia memberi jeda sedikit. Namun, karena Meta sepertinya tidak bereaksi, ia melanjutkan, "Pikirin aja baik-baik. Gue tunggu besok di restoran Hotel Pramoedya. Jam 8 malam."



Walkles 115



Kemudian, sambungan itu terputus tanpa repotrepot menunggu Meta untuk menjawab. Meta mendengus sambil memandangi ponselnya. Dengan erat ponselnya itu ia genggam agar tidak benar-benar terlempar karena emosi. Disatukannya kedua tangan dan meletakkannya di atas meja agar kepalanya bisa ia bentur-benturkan. Apa yang harus ia lakukan? Ia dan Gale banting tulang bukan untuk membayar orang-orang yang bekerja di balik meja hijau. Tapi kalau berurusan dengan Rafka lagi, Meta juga tidak mau. Dibukanya kalender yang ada di meja kerjanya, mengecek agenda besok yang sayangnya sedang tidak adaschedulemaupundeadlineyang harus dikejar. Ia hanya bisa menghela napas panjang. "Siapa, Mbak?" tanya Fiki yang entah sejak kapan berada di pintu ruangannya. Meta menaikkan satu sudut bibirnya. "Nggak penting. Lo besok jadi mau cuti?" "Iya."



Walkles 116



"Jadi dua hari?" tanya Meta lagi. "Lusa siang gue bisa masuk kok." "Abisin aja, Fik. Nggak usah masuk. Bokap nyokap lo juga pasti masih pengen ngumpul. Lagiandeadlinekita masih lama." Fiki menaikkan alisnya. Tumben sekali Meta agak tidak seperti biasanya. Walaupun hatinya baik, mulutnya tidak pernah seadem ini. " Deadlinekan hari Sabtu, Mbak." "Nggak papa, gue masih biashandle. Hari Sabtu lo bisa masuk biar Minggu pagi kita bisa berangkat." Fiki pun akhirnya mengangguk. "Siap, bos." Namun, sebelum benar-benar pergi, ia sempat berhenti dan berbalik untuk bertanya pada Meta, "lo yakin nggak papa, Mbak?" Meta mengangguk sambil pura-pura mengambil kalender, membiarkan Fiki pergi setelah mengedikkan bahunya.



Walkles 117



*** Rafka mendengus keras saat meletakkan ponselnya di meja teh teras belakang. Emosinya serasa mendidih karena baru saja berbicara dengan Meta. Baru kali ini ia menemukan wanita semenjengkelkan ini, padahal sebelumnya terasa sangat mudah saat menelepon manajer Evelyn, tidak bertele-tele, juga terdengar menjanjikan. "Raf?" Rafka menoleh ke belakang, mendapati Pak Kamal berjalan ke arahnya tanpa melepaskan iPad miliknya. "Siang, Pak Kamal," jawab Rafka sambil kembali memandangi riak air di kolam yang tertiup angin. "Kamu nggak butuh bantuan apa-apa?" tawar Pak Kamal. Ia menghempaskan pantatnya di kursi kosong yang ada di sebelah Rafka. Cucu bosnya itu akhir-akhir ini menyelesaikan masalahnya sendiri dan malah membuatnya jadi sedikit cemas. "Habis Kakek bilang nggak boleh ada yang bantuin, ada yang berani ngelawan?" Rafka setengah tertawa seolah Pak Kamal ini menanyakan hal yang sungguh



Walkles 118



konyol. "Oh, iya, masalahresigndi Batu udah beres?" Pak Kamal mengangguk. "Udah. Kayaknya mereka agakshocksetelah tahu siapa kamu sebenarnya." "Masalah auditnya udah beres?" "Timnya baru berangkat besok, jadi harusnya persiapan semuanya udah beres." Rafka mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menoleh pada Pak Kamal. "Masalah Trawangan gimana? Kakek ngomong sesuatu?" "Audit juga, mungkin bulan depan atau bulan depannya lagi. Liat-liat keadaan dululah." "Terus Pak Kamal ngapain ke sini?" "Biasa, kakek kamu mintaupdate laporan sama ngomongin revisi formasi tim di Jogja. Kamu ngusulin beberapa nama, kan?" Lagi-lagi anggukan.



Rafka



hanya



menjawabnya



dengan



Walkles 119



"Masalah kamu udah beres?" Rafka mendesah berat, teringat rasa kesal yang tadi ia rasakan. "Besok baru mau ketemu mereka buat tanda tangan kontrak." "Kakek kamu tahu?" tanya Pak Kamal memastikan. Ia sudah pernah melihat Pak Pramoe naik pitam ketika ada sesuatu tidak diketahuinya terjadi dan menimbulkan masalah. Tidak perlu diyakinkan, Pak Kamal yakin ia tidak pernah ingin melihatnya lagi. "Udahlah. Orang dia sendiri yang nyuruh bikin kontrak." Rafka membalasnya dengan suara yang agak malas. "Kalau butuh apa-apa, bilang aja, Raf. Pak Kamal yakin kakek kamu nggak bakal tahu." Rafka terkekeh, kemudian menggeleng. "Makasih, tapi saya udahbook private roombuat ketemu mereka." "Di hotel?" Rafka mengangguk. "Restoran hotel yang VVIP tepatnya."



Walkles 120



"Ngapainbooking? Tinggal bilang kan beres?" Mendengar ucapan Pak Kamal, Rafka memutar mata. "Mana bisa?" Pak Kamal tertawa terbahak. "Bisa kalau kakek kamu nggak tahu." Ucapannya kemudian terputus oleh dering teleponnya sendiri. Ia memandangi layar ponsel sambil mengerutkan dahi. "Saya pergi." Rafka mengikuti Pak Kamal dengan pandangannya hingga tubuh Pak Kamal menghilang di balik pintu. Ia hanya geleng-geleng kepala. Pak Kamal sudah lama sekali kerja dengan kakeknya, kemudian menjadi asisten papanya, dan sekarang beliau juga membantunya. Rafka sampai heran kenapa Pak Kamal bisa-bisanya bertahan. Walaupun sekarang Pak Kamal adalah asisten yang memiliki dua asisten yang membantunya bekerja, tapi tetap saja. Kalau ia jadi Pak Kamal, Rafka sudah mengundurkan diri di hari pertama. Rafka kembali menyalakan laptop yang saat ini sedang dalam modesleepdi atas meja teh. Ia harus mengirimemailpada Bian dan beberapa rekan satu timnya saat di Jogja nanti. Tapi belum saja mulai, Rafka sudah mendesah berat membayangkan hari esok.



Walkles 121



*** Pukul delapan lebih lima belas menit, Rafka sepertinya sengaja untuk datang terlambat, sedangkan Meta yang sudah datang tepat waktu ini dibiarkan duduk sendiri dengan segelas air putih begitu saja. Memang Meta sengaja tak pesan air minum sih, tapi kalau dibiarkan begini saja lama-lama ia juga ingin memesan sesuatu. Lagi-lagi Meta melirik jam di ponselnya, angkanya belum berubah, kemudian berdecak kesal. Ia telah terlatih datang tepat waktu semenjak pernah mendapatkan komplain dari klien saat awal-awal jadi fotografer dulu. Sekarang ia jadi ikut benci dengan orang-orang yang datang terlambat. Meta baru saja akan kembali menyalakan ponsel ketika pintu tiba-tiba terbuka. Ia seketika menoleh, mendapati Evelyn melenggang masuk sambil melepas kacamata hitamnya. Ia tersenyum manis dan menyalami Meta yang sejujurnya sedikit terpesona dengan penampilan Evelyn malam ini. "Apa kabar?" tanya Evelyn dengan suara merdu yang membuat Meta lebih ingin memejamkan mata saja



Walkles 122



untuk mendengarnya. Kalau tidak ingat kelakuan fans-fans Evelyn dan akun lambe tumpah yang menjadi sumber masalah karena terlalu kepo dengan foto itu, mungkin Meta sudah melakukannya. Atau membalas senyum cerah Evelyn dengan senyum pas-pasannya. Namun, sayang yang keluar hanyalah kedutan di ujung bibir karena Meta memaksakan senyumnya. "Baik," jawab Meta. "Belum mulai, ya? Aku kira udah telat." Lo nggak liat gue sendirian di sini? Masih pake nanya? Kalimat itu sebenarnya sudah berada di ujung lidah Meta, tapi ia menahannya dengan anggukan. Di antara enam kursi yang ada, Evelyn mengambil duduk di sebelahnya. Tepat saat itu juga, pintu kembali terbuka. Bukan seorang Rafka seperti yang keduanya harapkan, tapi beberapa pramusaji masuk ke ruangan itu untuk membawakan makanan. Satu per satu piring di turunkan di hadapan Meta dan Evelyn. Salad dengan



Walkles 123



dressing yang sepertinya sudah menggoda untuk segera disiramkan, kemudian steik yang Meta yakin itu adalah Wagyu kualitas premium, ditilik dari penampilannya. Meta menelan ludah. Makanan itu menggoda, tapi entah kenapa ia bisa mencium kebusukan di baliknya. Firasatnya buruk. Tapi tuntutan dari dalam perut membuatnya bimbang. "Elo yang pesan, Met?" tanya Evelyn dengan tatapan bertanya. "Bukan gue," jawab Meta sambil mengedikkan bahunya. "Ini jamuan makan malam yang sudah dipesankan oleh Pak Rafka." Salah satu pelayan menimpali. Ia mengucapkan salam untuk menikmati makanan, kemudian beranjak undur diri setelah semua makanan tersaji di meja. "Well, selamat makan," putus Meta akhirnya, mengakhiri kebimbangan dalam dirinya sendiri. Nikmatilah kenikmatan ini selagi bisa, kalaupun firasatnya benar, masalah nanti akan dihadapi nanti, rapal Meta dalam hati.



Walkles 124



"Waktu itu, apa kamu bener-bener nggak tahu siapa dia?" tanya Evelyn untuk membuka percakapan. Ia sebenarnya agak terkejut ketika mendapati Meta berada di sini. Ia pikir ia hanya akan bertemu dengan Rafka karena masalah ini berawal dari postingannya. Tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui dia yang dimaksud oleh Evelyn adalah Rafka. Meta menunggu dirinya selesai menelan sebelum menjawab, "Kalo gue tahu, gue nggak bakal minta dia gantiin," bohong Meta, karena ia sendiri tahu kenyataannya tidak akan seperti itu. Ia akan tetap memaksa Rafka bagaimanapun caranya untuk kepentingan komposisi foto kalau memang tidak ada orang lain lagi. Evelyn mengangguk dan menyuapkan salad ke mulutnya. "Jujur, aku agak kaget waktu tahu. Pantesan dia nolak tawaran aku untuk jadi model profesional." "Lo nawarin dia jadi model?" Meta membeo. "Iya. Nggak taunya..." Evelyn sengaja membuat ucapannya menggantung. Ia yakin Meta paham akan maksudnya. "Kamu pikir, kenapa dia kerja di sana kalau dia sebenernya bener-benerowner?"



Walkles 125



Lo kira gue bosnya?!jawab Meta tak santai. Hanya di dalam kepala. Ia kemudian berdeham. "Gue juga heran." Entah berapa menit kemudian setelah makanannya hampir amblas, tiba-tiba pintu kembali terbuka, membawa hawa dingin yang membuat Meta tiba-tiba menggigil. Rafka masuk dengan membawa sebuah map. Penampilannya jauh berbeda dengan yang terakhir mereka lihat. Dengan kemeja biru tua tanpa dasi, juga celana hitam, ia terlihat sangat berbeda. Brewok yang menutupi dagunya juga telah menghilang, membuat Meta dan Evelyn akhirnya bisa benar-benar percaya kalau Rafka bukan sekedarhousemandi hotel. Mengetahui hal itu, seketika rasanya Meta tidak nafsu makan. Diletakkannya garpu dan pisaunya di sisisisi piring walaupun dagingnya masih tersisa tiga potong. Evelyn melakukan hal yang sama dan menyesap air putih. "Lanjutin aja makannya, kita bisa ngobrol sambil makan," ucap Rafka saat menarik kursi untuk ia duduki. Bahkan logatnya beda.Meta membatin.



Walkles 126



"Langsung aja, gue sibuk," cegah Meta untuk beramah tamah. "Fine." Rafka mengedikkan bahunya. Ia kemudian menaruh mapnya di meja menyatukan jari-jari tangannya. "Seperti yang kalian tahu, identitas gue kebongkar di depan publik. Hal itu ternyata bikin proyek gue yang seharusnya menguntungkan jadi mandek." "Aku..." potong Evelyn. Ia kemudian menemukan ada yang tidak pas dengan nada bicaranya. "Saya benerbener minta maaf atas semuanya. Juga tentang gosip yang beredar tentang hubungan saya dan kamu." Rafka mengangguk. "Seperti yang gue bilang di awal, gue mengundang kalian ke sini karena gue mau meminta pertanggungjawaban kalian atas kerugian yang gue terima. Gue cuma bisa ngasih kalian dua opsi, setuju untuk bertanggung jawab secara kesepakatan seperti apa yang akan kita lakukan sekarang atau kalian mau ngasih pertanggungjawaban kalian di meja hijau. Tapi, besar harapan gue untuk bisa menyelesaikan masalah ini dengan mencapai kesepakatan bersama, karena mikirin reputasi kalian di dunia kerja sebagai artis maupun fotografer daripada bawa-bawa



Walkles 127



pengacara." "Saya sama sekali nggak keberatan kalau kamu mau kita pura-pura pacaran seperti yang udah digosipin. Kamu bisa pakai nama saya buat naikin reputasi kamu dan hotel-hotel kamu di masyarakat dan menggali keuntungan dari itu."



Walkles 128



-10- Encounter "Saya sama sekali nggak keberatan kalau kamu mau kita pura-pura pacaran seperti yang udah digosipin. Kamu bisa pakai nama saya buat naikin reputasi kamu dan hotel-hotel kamu di masyarakat dan menggali keuntungan dari itu." Evelyn mungkin setelah ini akan mendapati dirinya sendiri gila karena memberikan umpan pada Rafka. Namun, entah kenapa ia merasa tidak keberatan akan hal itu. Sejak pertama bertemu hingga sekarang, Evelyn selalu gagal menghilangkan bayang-bayang Rafka di kepalanya. Ia bahkan masih mengingat hembusan napas Rafka di balik telinganya, juga genggaman tangannya yang terasa kaku. Ia sama sekali tidak menyesal karena memaksa Mbak Titi mengosongkan jadwalnya dan mengatakan 'ya' saat Rafka meneleponnya kemarin. Ia malah bersyukur tidak melewatkan pertemuannya dengan Rafka malam ini. Saat Rafka berjalan masuk, Evelyn mendapati dirinya menahan napas selama Rafka berjalan. Ia merasa tak lagi bisa mengunyah karena dadanya terasa penuh sesak oleh debaran jantungnya sendiri. "Atau gue punya penawaran yang lain..." lanjut



Walkles 129



Rafka. "Apa tawaran lo?" tembak Meta langsung. Sejak tadi ia risih memperhatikan jemari Rafka yang entah sejak kapan bermain di pinggiran map yang dibawanya. Hal itu membuat Rafka tersenyum culas. Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dan memberikannya pada Meta dan Evelyn. Didorongnya dua buah pulpen mahal ke tengah meja. Meta dan Evelyn menerima kertas itu dengan alis berkerut dan membacanya. Ekspresi Evelyn tidak terbaca, sedangkan Meta jelas terkejutnya. Wajahnya kemudian memerah karena emosinya ikut merangkak naik seiring dengan kata demi kata yang berhasil ia baca dan Rafka menikmati itu. "For Free? Gratis? Nggak dibayar?" tanya Meta dengan nada yang menyiratkan ketidaksetujuannya. "Kalau kalian dibayar, namanya ngasih kalian kerjaan. Sama sekali nggak ngasih keuntungan ke gue.Not solely for free,sih. Ada pengecualian kalau proyek yang kalian kerjakan terbukti menghasilkan keuntungan pada perusahaan, ya kalian bisa aja kecipratan keuntungannya. Hanya saja besaran royalti



Walkles 130



yang akan kalian dapatkan nggak akan ditulis di kontrak dan hanya bergantung pada kesepakatan yang disetujui oleh pihak Hotel Pramoedya." Meta terdiam. Pemotretan maupun pembuatan video untuk promosi sebenarnya tidak terlalu sulit kalau Fiki ikut bersamanya. Tapi masalahnya Rafka tidak akan membayarnya dengan sepeser pun uang kalau belum terbukti keuntungannya meningkat dan ia tidak tahu apakah peningkatan keuntungan itu akan terjadi atau tidak. Kalau ia mengotot untuk membawa Fiki, ia harus membayar Fiki dengan uang siapa? Sedangkan cicilan pinjaman untuk membangun studio saja masih belum berhasil ia dan Gale lunasi? Meta mengusap dahinya, kemudian berlanjut pada rambut dan mengistirahatkan tangannya di tengkuk. "Ambassadoruntuk iklan Hotel Pramoedya secarageneral?" Evelyn ganti bertanya. Sesekali ia menikmati ekspresi Rafka yang sedikit berubah-ubah. "Meta akan bekerja secara khusus dengan tim pemasaran dari hotel yang baru akan buka di Jogja. Sedangkan lo akan jadiambassadoruntuk Hotel Pramoedya secara umum. Foto lo akan digunakan di berbagai iklan dari Hotel Pramoedya,



Walkles 131



termasukbillboard, beberapaneon boxdi wilayah bandara, juga iklan digital. Atau kalo elo mau endorsedi Instagram lo, gue sama sekali nggak keberatan. Semuanya akan diurus oleh perusahaanadvertisingyang udah lama kerjasama sama Hotel Pramoedya. Gue akan hubungi lo atau manajer lo lebih lanjut buat ngomongin hal itu." "Jadi gue harus ke Jogja?" Meta kembali memastikan, walaupun ia yakin pemahamannya tidak salah.Oh, my, dia tidak ingin pergi ke Jogja. "Yah, kalo elo biasshootingdan ngambil gambar dari sini, gue nggak ngewajibin elo untuk berangkat," jawab Rafka penuh nada sarkas. "Gue nggak bisa kalo nggak ada transport dan akomodasi," tawar Meta untuk yang terakhir kali. Sebenarnya ia bisa saja meminjam uang terlebih dahulu pada Dani dan mencicilnya dari bonus bulan depan, tapi tidak ada salahnya mencoba. Rafka menelengkan kepalanya, melihat Meta lebih jelas. Hal itu membuatnya teringat pada tumpukan pasir dan semen di depan studio Meta. Ia tidak menyangka, ternyata ia masih punya hati. "Gue bisa ngasih elo uang



Walkles 132



transport, tapi gue nggak bisa ngasih lo akomodasi buat tinggal di hotel. Gue akan cek asrama pegawai dulu." Evelyn mengulurkan tangannya untuk mengambil salah satu pulpen yang ada di atas meja. Melihatnya, Rafka tersenyum dalam hati sambil mempertahankan air mukanya untuk tetap datar. Terlebih saat ia melihat Evelyn menggoreskan tinta di atas materai yang telah tertempel di sana. Hal itu membuat Meta mendesah panik, juga dalam hati tentunya. Ia tidak bisa memperlihatkan emosinya begitu saja pada Rafka. Meta berusaha memikirkan alternatif lain yang bisa ia jalani. Tapi dari tadi otaknya buntu. Ia tidak mungkin membayar pengacara, juga tidak mungkin membayar Fiki untuk ikut dengannya. Kalau Gale ikut dengannya, operasional studio bisa lebih kacau karena tidak ada fotografer yang akanstandby. Dia pasti juga sudah punya jadwal. Meta memejamkan mata. Demi Imagen Studio, gue nggak bisa nyusahin orang lain karena perbuatan gue, batin Meta sambil menggerakkan tangannya mengambil pulpen. Dengan cepat ia membubuhkan tanda tangan di atas materai. Napasnya tanpa terasa tertahan saat melakukan semua itu. Rafka menerima surat kontrak itu kembali dengan



Walkles 133



puas. Ternyata tidak sesulit yang ia kira. Dimasukkannya kertas itu kembali ke map dan menutupnya rapat. Ia kemudian memandang Meta. "Gue akan ke Jogja minggu depan. Gue harap lo akan siap di hari-hari itu, sesuaiin aja jadwal-jadwal elo." Meta tidak menjawab. Tidak ada gunanya karena itu terdengar seperti sebuah keharusan. Ia hanya bisa berharap, semoga ia tidak salah langkah. "Salinan surat kontrak ini akan gue kirim ke tempat kalian besok. Gue harap, kalian nggak akan menghiraukan wartawan dan menjaga hal ini dari mereka. Mohon kerjasamanya." Rafka berdiri. Memberikan gestur untuk memberitahu bahwa ia telah selesai dan mempersilahkan kedua wanita itu untuk pergi. Ia mengajak Evelyn dan Meta bersalaman. Beruntung tangannya masih disambut oleh keduanya. Rupanya taktik untuk mengendalikan emosi lawan dengan membuat mereka kenyang terlebih dahulu merupakan pilihan tepat. *** Evelyn berjalan keluar dari hotel sendiri, menuju ke mobilnya yang menunggu di tempat parkir yang agak



Walkles 134



tersembunyi dan dekat dengan pintu belakang. Mbak Titi dan sopirnya masih menunggu di dalam karena setelah ini ia harus pergi ke lokasi syuting untuk sinetron stripping-nya. Dengan berlari-lari kecil, Evelyn mempercepat langkahnya dan melompat memasuki mobil. "Gimana?" tanya Mbak Titi begitu Evelyn duduk di kursi penumpang di belakang sopir. Ia langsung meletakkan ponselnya begitu mendengar suara pintu terbuka. "Nggak gimana-gimana. Surat kontraknya bisa Mbak baca sendiri besok kok," jawab Evelyn seraya meletakkan tas tangannya di samping kursinya. "Kok pake acara kontrak segala?" tanya Mbak Titi lagi dengan nada, yang seperti biasa, ingin tahu. Matanya sampai terlihat berkilat-kilat melihat Evelyn. "Dia minta aku jadi model untuk Hotel Pramoedya, tapi nggak tahu bakal dibayar atau enggak." "HAH?!" potong Mbak Titi. "Kok bisa nggak tahu dibayar atau enggak? Dan kamu mau-mau aja?"



Walkles 135



"Bentar dong, kan aku belum selesai ngomong," protes Evelyn. Mbak Titi langsung mengatupkan bibirnya. "Ini kan emang aku yang salah. Ya aku harus tanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan aku, dong?" Evelyn kemudian melanjutkan, "Menurut aku ini adil-adil aja kok, walaupun nggak dibayar. Karena dia udah rugi, mana mau dia kalau kita jadi untung." Evelyn berusaha memberikan pencerahan pada Mbak Titi. Ia melakukan hal ini bukan dengan paksaan. Ia bebas memilih apa yang ia inginkan. "Tapi Ev, please, kamu model terkenal. Apa kata orang kalo kamu ketahuan nggak dibayar buat hal ini?" "Ya sebisa mungkin, hal ini nggak akan bocor ke pihak mana pun," ucap Evelyn sambil melepaskan anting perak yang ia kenakan. "Terus kamu pikir kamu masih bisa selamat dari agensi? Mbak yakin mereka akan marah-marah ketika mereka tahu kalo kamu tanda tangan kontrak tanpa campur tangan mereka." "Aku yang bakal ngomong sendiri ke mereka. Toh,



Walkles 136



ini berarti urusan pribadi aku. Jadi, Mbak Titi, cinta aku, Mbak bisa duduk tenang dan nggak perlu mikirin tentang hal ini lagi." Evelyn menyandarkan punggungnya seiring dengan desahan berat Mbak Titi. Ia mulai memejamkan mata untuk mencuri-curi waktu istirahat yang ia jarang sekali punya. ---------------



Walkles 137



-11- Friendship Evelyn masih beristirahat di lokasi syuting ketika beberapa wartawan menyatroni tempat istirahatnya dan meminta izin untuk wawancara. Apa lagi kalau bukan karena foto baru yang diunggah oleh akun Lambe Tumpah itu. Ia tidak menyangka ada orang yang memotretnya di tempat parkir hotel yang seharusnya sepi itu. "Ev, kamu temuin dulu deh bentar." Mbak Titi mendatanginya sambil membawakan segelas kopi dingin. "Ngomong apa gitu kek, nyelimur aja kalo ditanyain soal foto." Evelyn berdecak lirik. Ia kemudian bangkit dari kursi santainya. Ini adalah bagian dari risiko yang harus ia bayar untuk menjadi seperti sekarang, rapalnya dalam hati. Ketika keluar, wartawan langsung menatapnya seperti singa sedang melihat rusa. Lapar. Evelyn mengembuskan napas kuat-kuat untuk menguatkan diri. "Sore, Ev," sapa salah satu dari sembilan wartawan yang menunggunya. Enam di antaranya dari acara gosip televisi swasta, sisanya dari majalah gosip wanita.



Walkles 138



Evelyn menyunggingkan senyum manisnya. "Sore semua." "Maaf ganggu waktunya istirahat nih." Evelyn hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum santai. "Kalau boleh tahu, sekarang lagi sibuk apa?" tanya wartawan yang sama, masih pemanasan. Evelyn terkekeh sambil menutupi mulutnya. "Yah, seperti yang temen-temen liat, jadwal syuting padet, juga promosi film bareng Satria." "Apa dateng malem-malem di Hotel Pramoedya juga bagian dari promosi film?" Evelyn kembali tertawa saat mendengar pertanyaan licin dari salah satu wartawan itu. "Bukan bagian dari promosi film, saya cuma menghadiri undangan makan malem aja sekaligus membicarakan masalah pekerjaan. Nggak ada yang spesial kok." "Undangan dari siapa Ev?" celetuk salah satunya, yang lain langsung tertular senyum licik seperti domino.



Walkles 139



"Rekan kerja," jawab Evelyn seketika menuai tatapan tidak percaya, tapi ia tidak peduli. Terlebih Rafka sudah melarangnya untuk mengatakan apa pun mengenai segala sesuatu yang mereka bicarakan kemarin. "Apa kamu udah lihat foto yang di-uploadsama akun Lambe Tumpah semalem? Tanggapan kamu gimana soal itu?" Anggukan Evelyn mengundang tatapan ingin tahu yang lebih. "Saya udah liat, dan kaget pastinya. Netizen terlalu cepet mengambil kesimpulan." "Maksudnya gimana, Ev?" Evelyn hanya tersenyum, membiarkan wartawanwartawan itu menyimpulkan sendiri. "Saya harus siapsiap lagi." Ia mengangguk ramah pada semua wartawan dan beranjak dari kerumunan itu. Masih separuh jalan, Mbak Titi sudah mencegatnya kembali di jalan dan mengikutinya berjalan. "Kamu bikin mereka bingung lagi deh." Evelyn mengangkat bahu. "Ya udah mau gimana



Walkles 140



lagi? Lagian aku kan juga nggak bohong. Rafka emang cuma rekan kerja dan aku ke sana karena diundang, makan malem juga bertiga sama Meta." Mbak Titi mendesah. "Terserah kamu aja deh." Ia mengekori Evelyn kembali ke tempat istirahatnya, kemudian ia teringat sesuatu. "Kemaren orang dari agensi nelpon Mbak, abis Mbak kena semprot." "Padahal aku udah ngomong kalo semua ini keputusan aku, masalah aku. Mereka udah ngeiyain kok." "Ngeiyain sih ngeiyain, tapi tetep aja Mbak ikut andil, tetep aja Mbak yang kena getahnya." Evelyn memeluk lengan Mbak Titi yang mukanya super masam. Ia merajuk, sedikit merasa bersalah pada Mbak Titi. "Sorrydeh Mbak Titi, aku traktir pasta sebagai permintaan maaf mau nggak?" Ia menaik turunkan alisnya sambil tersenyum jahil, lalu senyumnya semakin melebar ketika mendapati Mbak Titi menjawab, "Jadiin dua kali." "Siap bos!"



Walkles 141



-12- Surprise Meta duduk di kursi pesawatnya sambil memandangi pemandangan dari jendela yang cuma separuh karena pengaturan posisi kursi yang tidak sesuai jendela. Pesawat baru saja terbang stabil setelah beberapa kali terasangeden, naik berkilo-kilo meter. Di sebelahnya terdapat pasangan suami istri yang membawa bayi, yang untung saja tidak berisik. Bukan Fiki. Sekali lagi, bukan asisten satu-satunya itu. Ya Tuhan, dia rindu sekali pada Fiki bahkan ia baru berpisah beberapa menit lalu didrop zonebandara. Mata Meta terpejam teringat hari Minggu lalu setelah survey lokasi pemotretan, ia baru menyempatkan diri untuk berbicara dengan Fiki mengenai permintaanâ ”yang lebih mirip paksaanâ ”Rafka. Awalnya Fiki tidak terima, tapi karena terkendaladeadlineyang harus mereka kejar minggu ini, Fiki terpaksa harus tinggal di studio. Kemarin setelah mengonfirmasi tanggal keberangkatan, Rafka langsung membalasnya dengan kodebookingpesawat ke Jogja tanpa banyak omong. Padahal Meta kira, ia harus pergi mengklaim sendiri biaya tiketnya. Gale yang dipamitinya melalui telepon juga hanya



Walkles 142



bisa mencak-mencak. Kalau ada jasa cekikonline, ia yakin tanpa ragu akan mencekik Meta. Ada masalah sekrusial ini saja, Meta berani menyembunyikan hal itu darinya. Masalah Meta berarti masalah Imagen Studio, dan masalah Imagen Studio berarti masalahnya juga. Sudah masuk hitungan tahun mereka sama-sama membangun studio, menjadi partner kerja, tidak seharusnya Meta membuat Gale merasa dikhianati dan tidak berharga. Telepon hari itu ditutup dengan ultimatum Gale kepadanya. "Kalo ada apa-apa, jangan telat telepon gue. Telat aja nggak boleh, apalagi sampe lupa. Inget itu, Nyet!" Desahan lelah Meta terlalu banyak mendominasi daripada obrolan basa-basi dengan penumpang di sampingnya. Sudah lebih dari satu jam Meta melayanglayang di udara. Masih juga ia berusaha menelan bulatbulat perasaan tidak enak yang masih betah bercokol di dalam hatinya seiring dengan pengumuman bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat. Ia bertekad akan segera menyelesaikan pengambilan gambar dan segera kembali, tak ingin berlama-lama. Dalam hati ia berdoa agar ia tidak akan bertemu dengan Rafka. Bukankah saat-saat menjelang pembukaan seperti ini, Rafka pasti akan sangat sibuk? Hal itu mungkin saja terjadi.



Walkles 143



Ketika turun, hiruk pikuk bandara Adi Sucipto yang sempit dan ramai langsung menyergapnya. Meta mengedarkan pandangan sambil sesekali melihat ponselnya. Rafka tak mengiriminya alamat walaupun Meta sudah tiga kali mengirim chat. Namun, dari tempatnya berdiri, tiba-tiba Meta melihat seseorang pria yang mengenakan dasi dan kemeja yang sedikit kusut mengacungkan iPad dengan layar bertuliskan namanya. Ia hampir berteriak dan sujud syukur ketika mengetahui bahwa pria itu bukan Rafka. "Meta Mariska?" tanya sang pria paruh baya ketika Meta mendekat. Ia menjawabnya dengan anggukan ramah, kemudian pria itu melanjutkan sambil mengulurkan tangan. "Rafka sedang sibuk, jadi dia nggak bisa jemput. Saya Kamal, asisten keluarga Pramoedya." Meta bersorak-sorak dalam hati, kemudian berdeham, takut sorak-sorainya itu terlepas dari bibirnya. "Saya Meta." Ia membalas jabat tangan Pak Kamal yang terasa lebih bersahabat. Tak ada aura mencekam seperti bosnya. Pak Kamal terkekeh. "Saya tahu. Maaf saya nggak pakai jas, Jogja lagi panas-panasnya."



Walkles 144



"Nggak papa, Pak." Apalah arti pakai jas di bandara yang penuh sesak ini. Pak Kamal melarikan matanya pada tas yang dibawa Meta. "Barangnya masih harus nunggu bagasi?" "Oh, nggak. Saya cuma bawa ini aja," ujar Meta sambil menunjuk ransel besar merah-kuning yang sekarang ia bawa. Kelihatannya saja tidak terlalu besar, padahal berat karena isinya sudah muat baju ganti, laptop, dan kamera beserta lensa cadangannya. Pak Kamal menaikkan sebelah alisnya memandangi tas itu, kemudian mengangguk abai. Ia menggiring Meta menuju pelataran parkir. "Biasanya perempuan bawaannya banyak, saya kok aneh lihat kamu bawa barang segitu," ujarnya sambil terus berjalan. Meta yang tidak mengira Pak Kamal akan mengajaknya ngobrol, menoleh bingung, dengan cepat memikirkan jawaban. "Eh... kalau banyak-banyak saya yang repot. Kerjaan saya kan pindah-pindah terus." Pak Kamal menoleh pada Meta sambil mengerutkan dahi. "Kamu beneran fotografer? Yang ambil fotofotonya Rafka sama artis itu kamu?"



Walkles 145



"Ya iya, Pak." Meta menelan ludahnya yang serasa berduri. "Saya minta maaf, saya nggak tahu kalau Rafka itu sebenernyaownerhotel." Namun, Pak Kamal malah tertawa terpingkalpingkal mendengar permintaan maaf Meta. "Saya itu sebenernya mau muji kamu karena foto-foto kamu bagus. Saya kira yang ngefoto cowok, nggak taunya cewek model begini. Biasanya kan fotografer itu cowok." Meta memegangi rambut pendeknya salah tingkah. "Jaman sekarang kan nggak ada kerjaan untuk cewek atau cowok, Pak. Semua pekerjaan bebas dilakukan siapa aja tanpa pandang gender." "Hmm... iya, itu bener. Tapi ada yang harus saya koreksi dari ucapan kamu. Rafka belumownerhotel.Ownerhotel ya kakeknya. Dia masih kerja di bawah kakeknya." Ucapan Pak Kamal kali itu membuat Meta memutar matanya. "Ya kan sama aja..." "Kalau kamu kenal Pak Pramoe, kamu nggak akan bilang sama aja," potong Pak Kamal sambil terkekeh. Ia



Walkles 146



membukakan pintu belakang SUV berwarna hitam yang ada di depan mereka. Meta pun masuk ke dalamnya melalui pintu penumpang bagian belakang. Pak Kamal masuk ke pintu kursi penumpang di depan. Rupanya seorang sopir berkemeja batik sudah menunggu sejak tadi. Bukan Rafka. Meta mengucap syukur sambil tertawa-tawa dalam hati. "Ini Pak Jo, dulu sopir neneknya Rafka. Kalau mau ke mana-mana dan Pak Jo lagi nggak ngapa-ngapain, kamu boleh minta tolong dianter ke mana-mana sama Pak Jo. Ya kan, Pak?" "Siap," sahut Pak Jo dengan suara medhok yang lebih terdengar seperti 'siyap'. Ia melajukan mobilnya membelah jalanan kota Jogja. Meta tersenyum sopan, sementara Pak Kamal terus melanjutkan bicaranya. "Capek ya habis perjalanan?" "Ah, nggak juga. Nggak ada dua jam ini." Meta melepas ranselnya dan menyandarkannya di sisi kiri.



Walkles 147



"Iya juga, kan naik pesawat. Disamain sama saya yang kemarin naik mobil." Mendengar Pak Kamal, mata Meta membelalak tak percaya. "Lho? Pak Kamal ke sini naik mobil? Kenapa?" "Rafka mau bawa mobil ini ke sini, jadi dia harus nyetir. Daripada saya sama dia berangkat sendirisendiri, ya mending saya nebeng mobil dia aja." Kekehan Pak Kamal kemudian memenuhi seantero mobil. "Ngomong-ngomong, Kapan kamu mau mulai ambil gambar?" "Secepatnya, Pak," jawab Meta. "Kalau gitu saya kasih gambaran hotelnya dulu ya. Ini modelnya hotel semiresortkarena lokasinya yang agak di tepi pantai. Lokasinya di Kulon Progo, sekitar satu jam dari Jogja karena mengikuti pembangunan bandara internasional baru yang rencananya akan dibangun di sana. Awal-awal saya yakin masih sepi, tapi nanti kalau bandara sudah beroperasi, target kita bisa tercapai. Video kamu nantinya akan diputar di TV plasma yang akan dipasang di tiap sudut hotel, juga kalau disetujui akan kita tayangkan di videotron bandara atau di Jogja." Pak Kamal kemudian berhenti



Walkles 148



sejenak, lalu merendahkan suaranya. "Tenang, nanti kalau di-acc, saya usahakan persenannya bakal sampai di rekening kamu." Meta membelalak. Ada sepercik rasa senang, tapi dirinya merasa sungkan. "Pak Kamal nggak perlu ngelakuin itu." "Ah, kamu jangan gitu. Orang kerja ya harusnya digaji. Saya dulu orang susah, jadi saya tahu gimana sulitnya cari duit. Kalau dulu nggak ketemu Pak Pramoe, dan Pak Pramoe nggak nyekolahin saya sampai sarjana, mungkin saya sekarang masih jadi tukang kebun di rumah-rumah orang." Pak Kamal tertawa-tawa karena ucapannya sendiri. Ia menerawang mengingat masa lalunya dengan keluarga Pramoedya. "Kamufreelancer?" "Dulufreelance, sekarang masih proses bikin studio sama temen saya, baru setengah jadi." "Bagus itu. Terus kamu di sini sampai kapan?" "Paling lama dua hari, Pak. Saya nggak bisa lamalama."



Walkles 149



"Lho? Kenapa? Di Jogja itu harusnya paling enggak lima hari. Belum ngopi atau ngewedang ronde tengah malem di Malioboro, terus main ke keraton, habis itu ke Gumuk Pasir, belum ke Gunung Kidul. Sayang kalau nggak ke sana. Kamu nggak tergoda sama spot-spot foto unik di Jogja? Di Kulon Progo aja banyak yang belum terjamah," ujar Pak Kamal miriptour guidepribadi yang entah sejak kapan Meta sewa. "Saya dikejardeadline, kasihan kalau asisten saya harus kerja sendiri." "Nama studio kamu apa?" tanya Pak Kamal tiba-tiba sambil membuka iPad-nya. "Imagen Studio. Kenapa, Pak?" "Nggak papa, saya catet aja buat jaga-jaga. Siapa tahu saya butuh." "Pak Kamal udah lama kerja di Hotel Pramoedya?" tanya Meta. Dari tadi ditanya-tanya, rasanya Meta sedang mengikuti wawancara kerja. "Saya dulu sempet jadi tukang kebun di tempatnya Pak Pramoe waktu lulus SMP, sampai jadi asisten gini ya



Walkles 150



bisa dibilang udah lama. Ya kan, Pak Jo?" Pak Kamal menoleh ke arah Pak Jo, meminta persetujuan. Setelah pertanyaannya disambut anggukan, ia baru tersenyum puas. "Pak Jo ini udah jadi saksi mata perjalanan hidup saya, karena waktu kuliah di Jogja, saya ikut numpang tinggal di tempat Pak Jo." Meta mengangguk-angguk saja mendengar kisah hidup Pak Kamal ini. Bahkan dalam beberapa menit berada satu mobil saja, Meta sudah bisa tahu kalau Pak Kamal memiliki istri cantik dengan tiga orang anak. Awalnya hanya ingin punya dua, tapi yang terakhir ternyata kebobolan dengan jarak dua belas tahun, masih kelas 6 SD. Benar-benar informasi yang sangat penting sampai-sampai Meta tidak tahu harus bagaimana. Tak lama, mobil tak lama berbelok ke sebuah rumah. Halaman depannya tak terlalu luas, dimakan pohon mangga, rerumputan, tanaman hias yang agak kurang terawat dan lampu taman. Meta kira, mobil akan berhenti dicarportsaja, tapi ternyatacarport itu terhubung ke halaman belakang yang lebih luas. Sebelah kanannya rumah utama yang berukuran besar, sedangkan di sebelah kiri tampak paviliun yang lebih



Walkles 151



kecil. "Ayo, turun!" teriak Pak Kamal yang ternyata sudah berada di luar mobil. "Kita udah nyampe, Pak?" tanya Meta bingung. Seingatnya, tadi Pak Kamal menyebutkan bahwa hotelnya ada di Kulon Progo, satu jam lebih dari Jogja. Tapi kenapa baru tiga puluh menit, sudah disuruh turun? Meta bertanya-tanya dalam hati. "Iya, sudah. Itu Pak Jo juga mau keluar, kamu mau dikunci di mobil?" tanya Pak Kamal lagi. Cepat-cepat Meta turun dari mobil sambil menyeret keluar tas merah-kuningnya. Ia melayangkan tatapan tanya pada Pak Kamal. "Kenapa kamu liat saya kayak gitu? Ayo, masuk," ajak Pak Kamal. Meta memilih untuk pasrah mengekor di belakangnya. "Ini rumah siapa, Pak?" "Ini rumah Neneknya Rafka. Oh, iya, saya sampai lupa bilang. Nanti selama kamu kerja, kamu akan tinggal



Walkles 152



di sini karena asrama karyawan belum seluruhnya jadi, dan yang jadi sudah pada diisi. Katanya kamu minta akomodasi ke Rafka? Kalau kamu nggak mau, nanti bisa koordinasi lagi sama Rafka. Mungkin dia baru pulang jam lima..." Meta yakin sekarang Gunung Merapi sedang meletus bersamaan dengan Tsunami di Parangtritis. Ucapan Pak Kamal sudah tidak bisa ia dengar karena gemuruh di kepalanya sendiri. Otaknya baru memproses informasi kalau ia akan tinggal satu atap bersama seorang manusia yang paling tidak ingin ia temui saat ini. Astaga. Apa Pak Kamal sudah lapor RT?



Walkles 153



-13- Warfare



Langkah demi langkah semakin terasa berat. Aroma bangunan lama masih tercium, berpadu dengan aroma tanah basah karena baru disiram. Meta melepaskan high heels-nya, mengikuti Pak Kamal yang meletakkan sepatunya di rak. Ketika berada di dalam, Meta disambut oleh seorang ibu-ibu yang rambutnya digelung. Dengan baju ungu kecoklatan dan rok hijau lumut gelap, ia menghampiri Meta dengan raut bahagia dan senyum lebar. "Meta, perkenalkan ini Bu Tiyem, istrinya Pak Jo. Beliau berdua yang ngurus rumah ini di sini," ujar Pak Kamal. Meta mencium tangan Bu Tiyem dan balas tersenyum. Ia sedikit merasa lega, setidaknya selain Rafka, tidak ada lagi orang yang mungkin akan berbuat buruk kepadanya. Sampai sekarang tidak ada tandatanda Meta akan disekap dan diculik kalau itu kemungkinan terburuk. "Kalau ada apa-apa, minta Bu Tiyem aja," lanjut Pak Kamal. Ia kemudian mengalihkan pandangan dari Meta ke Bu Tiyem. "Bu, tolong dianter ke kamarnya, ya?"



Walkles 154



"Injih, Pak," jawab Bu Tiyem patuh sambil mengangguk. Ia memberi kode pada Meta untuk mengikutinya. Bu Tiyem berjalan meninggalkan Pak Kamal menuju salah satu pintu dan membukanya. Wangi pelembut pakaian menguar dari sprei yang terlihat baru dipasang. "Ini kamarnya Mbak Meta. Kamarnya udah lama ndak ditempati, tapi jendelanya sudah Ibu buka. Insya Allah sudah bersih." Meta mengangguk. "Terima kasih, Bu." "Ditaruh dulu tasnya, kita muter-muter biar Mbak Meta nggak bingung," ajak Bu Tiyem. Namun, sedetik kemudian wajahnya menyiratkan seakan kelupaan sesuatu. "Atau Mbak Meta mau istirahat dulu? Pasti capek habis perjalanan." Meta tertawa. "Nggak kok, saya belum secapek itu. Kita muter dulu aja." Bu Tiyem melepaskan kelegaan melalui raut wajahnya, kemudian membawa Meta untuk melihat kamar mandi yang bisa ia gunakan, ruang makan yang sebenarnya sejak ia masuk sudah kelihatan, dan dapur. "Kalau Ibu nggak ada di dapur atau di ruang cuci di belakang, nanti bisa cari Ibu di rumah sebelah. Sekarang



Walkles 155



mau makan dulu? Tapi Ibu cuma masak ikan asin sama sambal. Sayurnya belum selesai Ibu masak. Ndak papa?" Demi Gunung Merapi dan pantai selatan, mimpi apa dirinya bisa makan makanan rumahan seperti ini. Sudah lama sejak terakhir Ibu Fiki berkunjung ke studio dan membawakannya makanan. Pekerjaan dan kemalasan lebih sering membuatnya untuk beli daripada masak sendiri. Kalaupun masak sendiri, ia lebih sering memasak spaghetti dan lasagna daripada sayur asem atau bayam. Bukannya tidak pernah membuat sendiri, tapi mengingat rasa sayur asem dan bayam buatannya yang seperti air kobokan dicampur oralit membuatnya trauma. "Saya makan apa aja kok, Bu." Meta memberikan senyum polosnya, memberikan kode kalau ia lapar setengah mati setelah mendengar menu yang ditawarkan Bu Tiyem. Ia kemudian dipersilahkan duduk sementara Bu Tiyem membawa makanannya ke meja makan. Beberapa menit kemudian, Meta sudah tenggelam dalam kenikmatan sambal yang berpadu dengan gurihnya ikan asin buatan Bu Tiyem. Untung saja tingkat kepedasan sambal buatan Bu Tiyem masih bisa ditoleransi oleh lidahnya. Kalau tidak, ia pasti sudah



Walkles 156



merem melek kebanyakan minum air. Sedangkan Bu Tiyem sendiri sedang berkutat di dapur untuk mematangkan sayur asemnya. Pak Jo dan Pak Kamal malah tidak terlihat batang hidungnya. Kata Bu Tiyem, mungkin sudah berangkat lagi ke hotel. "Ibu itu seneng kalo rumahnya rame begini," jelas Bu Tiyem, sedikit mengeraskan suaranya agar terdengar oleh Meta. "Memangnya biasanya ke mana, Bu?" Meta melanjutkan suapan demi suapannya. "Semenjak Bu Pramoe, mbah putrinya Mas Rafka ninggal, rumah ini kan jadi lebih sering kosong. Kalau bukan hari libur, ndak ada yang main ke sini. Itu pun ndak mesti setahun sekali. Cuma Ibu sama Pak Jo." Bu Tiyem berkata sedih. "Ibu bersyukur Pak Pramoe bangun hotel di Jogja, apalagi Mas Rafka yang ditugasin di sini. Rumahnya ndak bakal sepi lagi. Mbak Meta sampai kapan di sini?" "Lusa saya udah pulang, Bu," jawab Meta, entah kenapa ia merasa bersalah. "Lho, kok cepet banget? Ibu kira Mbak Meta juga kerja di hotel. Kenapa cepet-cepet gitu? Ibu kebanjur



Walkles 157



(*terlanjur) seneng ada temennya, podo-podo wadone ngono lho (*sama-sama perempuannya gitu lho)." "Ah Bu Tiyem mah, pasti aslinya mau diajakin gosip. Ya, kan?" tebak Meta asal agar ia terhindar dari atmosfer rasa bersalah yang menyergapnya. Bu Tiyem yang baru saja meletakkan semangkuk besar sayur asem malah memukul lengannya dulu sebelum kembali ke dapur lagi. Meta melongok ke arah Bu Tiyem dan bertanya dengan nada malu-malu, "Bu, saya boleh nambah nggak? Masakan ibu enak banget!" "Gustiii, ya ambil waee!" pekik Bu Tiyem. "Nasinya ambil sendiri di magic com." Setelah dua porsi berhasil Meta habiskan, ia beranjak dari meja makan dan mencuci piringnya dengan perut kekenyangan. "Ngapain dicuci? Ditaruh aja, biar Ibu yang cuci nanti," ucap Bu Tiyem menghampiri Meta di wastafel. "Lho, katanya pengen ada temen perempuan, kalo bukan gosip, pasti disuruh bantu-bantu Bu Tiyem, kan?" goda Meta lagi. Entah kenapa, Bu Tiyem asik sekali sehingga bisa mudah akrab dengan orang lain. Rasa sungkan Meta sudah menguap entah ke mana.



Walkles 158



Bu Tiyem tertawa sambil lagi-lagi memukul lengan Meta. "Ngawur! Ya ndak gitu, Mbak Meta kan tamu di rumah ini, ya tamu harus dimuliakan. Masa tamunya cuci piring?" "Bu Tiyem ada teh nggak?" tanya Meta tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. "Ada, mau dibikinin?" "Bu Tiyem capek nggak? Mau temenin saya ngeteh? Katanya teh di Jogja enak, ya?" Meta meletakkan piring basahnya dan mengelap tangannya dengan serbet. "Nggak boleh capek dulu, nanti kalo penghuni rumah pada dateng Ibu masih tidur, wah, bisa gawat," jawab Bu Tiyem sambil mengambil gelas dan teh yang ada di kabinet dapur. Meta terus membuntuti dengan ekor matanya. "Lagi pula, Ibu juga udah lama nggak ngeteh sambil ngobrol ngalor ngidul." *** Rafka memilih untuk tidur di dalam mobil selama perjalanan pulangnya dari hotel. Hari ini jadwal tes rekrutmen pegawai membuat tenaganya terasa tersedot tanpa sisa. Menguap dibawa angin pantai selatan. Untung pada saat pergi dan pulang, jalanan tidak pernah macet ataupun ramai. Kebanyakan orang



Walkles 159



pergi ke arah sebaliknya, kalau pagi sebagian besar berkendara ke Jogja untuk bekerja atau sekolah, sedangkan kalau sore begini, mereka kembali ke Kulon Progo. Jadi, tidak perlu ia menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak penting seperti macet di jalan. Merasakan putaran ban mobil melambat, Rafka terbangun dari tidurnya. Ia ingin segera mandi dan istirahat sebentar sebelum nanti makan malam dengan masakan Bu Tiyem yang selalu tiada duanya. Namun, ketika menjejakkan kakinya di tangga selasar bagian belakang rumah, ia mendengar suara tawa yang menurutnya ganjil. Suara tawa Bu Tiyem yang kadang hanya terdengar saat ia nonton acara lawak malammalam dan suara seorang wanita yang lain. Astaga. Bagaimana dia bisa lupa kalau Meta sudah tiba, padahal tadi siang ia sengaja tidak membalas pesannya? Rafka kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Ketika melepas sepatunya dan berdiri di pintu, ia bisa melihat medusa itu duduk membelakanginya. Bu Tiyem yang lebih dulu sadar akan kehadirannya langsung berdiri.



Walkles 160



"Lho? Ibu sampe ndak denger suara mobilnya. Jam berapa ini kok Mas Rafka sudah pulang? Ibu belum nyalain air panas, keasyikan ngobrol. Ditunggu sebentar..." "Nggak usah, Bu. Saya pake air dingin aja." "Nggak papa tetep Ibu nyalain, siapa tahu Mbak Meta sama Pak Kamal minta air anget," ujar Bu Tiyem sambil berjalan tergopoh-gopoh ke belakang. Meta yang masih membelakangi Rafka berdiri dari tempatnya, mengangkat dua buah gelas kosong untuk dibawa ke tempat cuci piring. Ia dalam kebimbangan untuk menyapa Rafka atau tidak. Hatinya menyuruhnya untuk menyapa karena dialah tuan rumah di sini, tapi ia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Rafka di saat seperti ini. Meta berbalik sambil memaksakan sebuah senyum untuk terbit. "Err... Rumah lo bagus." Meta merasa ingin menghantamkan kedua gelas itu di kepalanya ketika melihat dahi Rafka sedikit berkerut ketika mendengar ucapannya. Rumah bagus. Ya ampun. Di antara semua kata-kata yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kenapa juga ia memilih kata itu? "Ini bukan rumah gue, bilang aja ke nenek gue di kuburan. Kalo niat lo sebenernya pengen ngomong



Walkles 161



terima kasih, bilang aja ke Pak Kamal," ucap Rafka datar sebelum berlalu menuju kamarnya—yang entah demi apa berada di sebelah kamar untuk Meta tempati. Syiiiittt, pekik Meta kencang-kencang dalam hati. Ia menyesal sudah menyapa Rafka lebih dulu kalau begini caranya. "Kenapa sebut-sebut nama saya?" Pak Kamal yang baru saja masuk bertanya pada Meta. Meta hanya menggeleng sebelum berlalu mencuci gelasnya dan Bu Tiyem tadi. Mendapati semua orang masuk ke kamar masing-masing setelah selesai mencuci gelas, Meta memilih untuk melakukan hal yang sama. Sepertinya punggungnya butuh untuk direbahkan barang sebentar. Meta memutar lagu untuk menemaninya rebahan. Ia butuh lagu yang sedikit hype untuk mengembalikan mood-nya yang tiba-tiba terjun bebas hari ini. Sambil memejamkan mata, Meta mengangguk-angguk kecil mengikuti tempo lagu. Namun, belum sampai lagu kedua selesai, pintu kamar Meta diketuk berkali-kali. Ia seketika membuka matanya, menyeret kakinya untuk membuka pintu.



Walkles 162



Rafka berdiri di depan pintunya dengan raut wajah murka. Pakaiannya belum diganti, tapi sudah terlihat kusut di sana sini dan super berantakan. Bahkan rambutnya juga. "Bisa nggak, nggak muter lagu nggak jelas kayak gitu?" ucapnya dengan penuh tekanan. "Maksud lo?" Meta balas bertanya, sedikit tersinggung dengan kata-kata Rafka. "Lo bilang lagu Korea nggak jelas? Gitu?" "Emang nggak jelas, kan?" "Gue nggak ngerti kalo seorang bos kayak elo rasis gini." "Dan gue nggak tahu kalo fotografer kayak elo alay dan nggak tahu diri karena bikin berisik di rumah orang." "Selama ini gue nggak pernah speak up ke orang lain untuk repot-repot ngejelasin kalo nggak semua penyuka lagu-lagu Korea seperti stereotype yang lo sebutin. Sebagian dari fans emang alay karena mereka masih ABG dan beberapa terlalu fanatik, indeed, gue akuin itu. Lo ngomong seolah-olah One Direction, Taylor Swift, Westlife, Backstreet Boys, John Mayer, Panic at the Disco nggak punya fans fanatik alay." Meta menatap



Walkles 163



Rafka tepat di manik mata dengan pandangan berapiapi. Ia menelan ludahnya ketika air muka Rafka seperti tidak bisa diartikan. "Headset gue nggak tahu di mana. Tapi menurut gue, gue udah ngatur volume yang rendah buat dengerin..." "Dengan jendela lo kebuka lebar kayak gitu," tunjuk Rafka ke belakang badan Meta kemudian menunjuk ke pintu kamarnya, "dan posisi kamar lo yang tepat di sebelah kamar gue, gimana bisa gue nggak denger?" "Kalo emang itu masalah lo, lo kan bisa buat minta gue ngecilin volume baik-baik daripada ngajakin gue ribut," balas Meta tak mau kalah. "Kecilin volumenya!" putus Rafka sebelum menghilang lagi di balik pintu kamarnya sendiri. Meta mendesah sambil menyugar rambut pendeknya. Sepertinya, hari-harinya di sini akan terasa berat. Ketika ia mendongak, ia mendapati Pak Kamal mengintip di sela-sela pintu kamarnya dan Bu Tiyem bersembunyi di dapur bersama Pak Jo. 'Dia-kalo-capek-emang-agak-sensi,' ucap Pak Kamal tanpa suara, masih dari balik pintu kamarnya. Meta hanya membalas dengan senyum hampa dan menutup kembali pintu kamarnya.



Walkles 164



-14- Disaster Angin dingin serasa berembus, padahal pintu belakang tidak dibuka. Memang hawa dingin itu berasal dari kecanggungan antara Meta dan Rafka pasca perang dingin yang tiba-tiba meletus tadi sore. Hanya ada dentingan suara piring dan sendok yang mengisi keheningan. Semenjak masuk ke kamarnya tadi, mood Rafka yang sudah jongkok langsung menggelepar ke tanah. Hancur sehancur-hancurnya. Menyesal ia memutuskan untuk menyediakan tempat tinggal buat Meta di sini. Kalau tahu akan sebegini menyebalkannya, lebih baik ia membayar untuk penginapan-penginapan murah di Malioboro sana daripada harus menggadaikan ketenangannya di rumah ini. Kalau di pikir-pikir lagi, sebenarnya Rafka hanya mendengar sayup-sayup suara melalui jendelanya, tapi baginya tiba-tiba hal itu terasa mengganggu sekali. Entah apa yang merasukinya sampai menggedor pintu kamar Meta, yang jelas ia merasa hanya ingin istirahat dengan tenang. Mendengar suara lain membuatnya



Walkles 165



sadar bahwa medusa itu berada di sekitarnya dan ia merasa tak tenang mengetahui fakta itu. Dan seperti yang bisa diduga, Rafka tetap tak bisa tidur walaupun suara-suara medusa itu sama sekali tak terdengar. Alhasil suasana hatinya pun tetap tak membaik sampai di meja makan. Pak Kamal yang sedang menyuapkan nasi beserta sayur asem ke dalam mulutnya berusaha memutar otak. Ia ingin memecah kecanggungan di meja makan ini, setidaknya untuk kenikmatan dirinya sendiri, bukan siapa pun. Pak Jo dan Bu Tiyem yang ikut bergabung pun hanya diam, tak ada tanda-tanda ingin merubah keadaan. Pak Kamal berdeham. "Besok rencana kamu gimana, Meta?" Meta yang sejak tadi fokus untuk menelan makanannya mendongak, menghadap Pak Kamal. "Saya mau langsung ambil foto saja. Kira-kira besok saya harus muter sendiri atau ada pegawai yang nemenin saya?" "Kemarin Rafka sudah instruksikan dari bagian publikasi dan marketing untuk bicara sama kamu tentang masalah ini. Mungkin mereka akan sekalian nemenin kamu," jawab Pak Kamal.



Walkles 166



Meta melirik Rafka yang terlihat abai, kemudian menghadap Pak Kamal lagu. "Begitu juga nggak papa, Pak." "Besok kamu berangkatnya bareng kita aja. Jam 6 pagi kita berangkat," usul Pak Kamal tanpa merasa perlu meminta izin Rafka. "Yah, kalau nggak ada yang keberatan, saya oke-oke aja." Meta bermaksud menyindir Rafka. "Atau saya dikasih alamatnya aja juga nggak papa, biar nanti saya sewa kendaraan untuk ke sana." "Gimana Pak Jo?" tanya Pak Kamal tiba-tiba, membuat Pak Jo hampir tersedak. "Kula manut kemawon. (*saya nurut aja)" jawab Pak Jo hati-hati. "Kamu gimana, Raf?" Mendengar namanya dipanggil, Rafka mengeraskan rahangnya sebentar, tapi langsung menghilang dalam sekedipan mata. "Terserah Pak Kamal aja." "Nah, kalau gitu bareng aja besok," putus Pak Kamal. Meta hanya menyambutnya dengan anggukan, sedangkan Rafka meletakkan sendoknya, kemudian berlalu setelah meminum segelas air.



Walkles 167



Entah ada angin apa, kompak seluruh penghuni meja makan melihat ke arah piring Rafka. Memang sudah kosong. "Maaf ya, Meta. Dia hari ini emang agak kecapekan. Bu Tiyem sama Pak Jo pasti udah hafal sama kelakuannya Rafka." Bu Tiyem mengangguk-angguk menyetujui ucapan Pak Kamal. "Nggak papa, saya juga udah biasa ngadepin klien," ujar Meta menenangkan ketiganya. Padahal dalam hati ia sudah merutuk dengan penuh umpatan, emang harus ya moody di depan tamu? Dasar, umur doang keliatan dewasa, kelakuan tetep minus kayak anak TK. Nggak punya sopan santun! *** Begitu malam menjelang, Meta sebenarnya beberapa kali terjaga dari tidurnya. Ia merasa karena mungkin masih asing di tempat baru, ia memutuskan untuk tidur lagi. Ia juga merasakan sakit pada perutnya, mungkin karena terlalu banyak makan sambal Bu Tiyem. Bukan sakit yang membuatmu ingin pergi ke kamar mandi untuk melakukan 'nomor dua', jadi Meta terlalu malas untuk bangun dan beranjak ke kamar mandi. Ia merasa semuanya masih under-control.



Walkles 168



Namun, tolol tetaplah tolol. Dugaannya salah besar ketika tiba-tiba ia merasakan basah pada bagian bawah pusat tubuhnya. Meta seketika terduduk, melihat ke bawah, mengumpat, mengecek sprei, mengumpat, mengecek selimut, mengumpat, kemudian mengecek bantal dan guling. Ia tidak tahu harus senang atau sedih ketika mendapati hanya selimut yang memang menggelibet di sekitar kakinya terkena darah menstruasi. Sebanyak itu. SEBANYAK ITU! Meta rasanya ingin berteriak. Dari 28 hari siklus bulanannya yang tak menentu itu, kenapa harus hari ini? Di sini? Di tempat ini? Ia mengacak rambutnya frustasi. Dipaksanya tubuhnya untuk bangun. Ia mengambil baju ganti dan pembalut cadangannya, kemudian berlari ke kamar mandi sebelum penghuni lain terbangun dan melihat lingkaran besar berwarna merah di pantatnya. Ketika Meta keluar dari kamar mandi, Pak Kamal baru keluar dari kamarnya dengan wajah mengantuk, memandangi Meta heran. "Ternyata kamu, Met. Jam berapa ini? Kamu udah mandi?" tanya Pak Kamal sambil membenarkan rambutnya yang sudah seperti sarang burung.



Walkles 169



Meta mengangguk. Ia hampir berjalan meninggalkan Pak Kamal ketika teringat sesuatu. "Eh, Pak Kamal?" Yang dipanggil langsung berhenti dan menoleh. "Nanti saya nggak jadi bareng, Pak Kamal duluan aja." "Kenapa?" "Ternyata saya masih ada urusan, jadi berangkat agak siang." Setelah mendapat persetujuan dari Pak Kamal, Meta berlalu menuju kamarnya. Ia kemudian melipat selimut yang lumayan tebal itu asal dan membawanya ke ruang cuci yang kemarin ditunjukkan Bu Tiyem. Ia meletakkan ember besar yang ditengkurapkan di pojok ruangan dan mengisinya dengan air dingin dari keran. "Mbak Meta lagi ngopo?" tanya Bu Tiyem tiba-tiba, membuat Meta berjengit kaget. Meta mengelus dadanya. "Ini, Bu... saya dapet terus tembus ke selimut banyak banget." Ia menunjukkan bulatan-bulatan besar di selimutnya pada Bu Tiyem. "Sebanyak itu?" tanya Bu Tiyem.



Walkles 170



"Iya, kayaknya dari semalem, tapi sayanya nggak kerasa," ucap Meta sedih. "Pasti nodanya susah ilang kalau udah setengah kering gini." "Ya udah, direndem dulu aja nanti biar Ibu yang cuci." "Eh, nggak, Bu. Saya yang cuci. Yang ngotorin saya kok Ibu yang nyuci. Lagian saya udah bilang ke Pak Kamal kalau saya jadinya berangkat agak siangan," jelas Meta. "Ibu tahu minimarket 24 jam deket sini?" "Adanya di ujung jalan sana, terus ke kiri sedikit." Bu Tiyem menggerak-gerakkan tangannya di udara mengikuti arahannya sendiri. "Kalau gitu saya ke minimarket dulu ya, Bu. Jangan dicuci lho! Lagian Bu Tiyem waktunya masak," pamit Meta. Ia segera mengambil ponsel dan dompetnya sebelum pergi. Disapanya Pak Jo yang sedang menyapu di depan, sekalian memberitahu lagi kalau ia tidak jadi berangkat bersama. *** Rafka mengerjapkan matanya ketika mendengar bunyi denting-denting piring dari ruang makan. Sedetik kemudian, ia menyadari kalau dirinya bangun terlalu siang hari ini. Dengan menyambar handuk, ia berjalan



Walkles 171



cepat menuju kamar mandi dan mendesah lega ketika mendapati kamar mandi dalam keadaan kosong. "Tumben kesiangan," celetuk Pak Kamal yang sudah duduk manis sambil menyeruput kopi panasnya. Rafka mendengarnya, tapi ia tetap melengos begitu saja. Secepat kilat, Rafka mandi dan berpakaian. Kalau saja rambutnya tidak basah dan bau sabun tidak menguar dari tubuhnya, Pak Kamal pasti akan mengira kalau Rafka mandi hanya dengan membasuh bulu mata dan sudut bibirnya saja. Ia kemudian keluar dari kamar dengan setelan jas lengkap bernuansa biru. "Bu Tiyem, sarapanku dibawa aja deh. Nggak keburu, udah jam enam nih," pinta Rafka pada Bu Tiyem yang masih membuat jus di dapur. Setelah mendapatkan kotak bekalnya, Rafka berbalik ke meja makan. "Tumben bangun kesiangan?" tanya Pak Kamal lagi ketika Rafka sudah duduk di depannya dan mengambil nasi goreng dan telur gulung untuk diwadahi, juga beberapa sendok ayam suwir. "Nggak tahu. Kebawa aura negatif dari medusa kali," jawab Rafka asal. "Pak Kamal udah sarapan?"



Walkles 172



"Udah, duluan tadi. Nunggu kamu kelamaan. Keburu pingsan nanti." Rafka kemudian menoleh ke kanan, ke kiri, lalu mencari-cari ke sekeliling ruangan. "Tuh anak ke mana lagi? Udah telat gini juga." "Dia berangkat agak siangan katanya, ada urusan," ucap Pak Kamal setelah meneguk seruputan kopi terakhirnya. Rafka mengerutkan alis. "Urusan apaan? Emang punya kenalan di sini?" tanyanya pada Pak Kamal. Yang ditanya hanya mengangkat bahu. "Seharusnya tuh dia di sini buat kerja. Gimana, sih? Nggak profesional banget jadi orang," gerutunya. "Ya udahlah, Raf. Kamu ini dari kemarin kok nggak jelas gini." "Bukan nggak jelas, tapi dia ke sini buat kerja. Seenaknya aja berangkat agak siang-agak siang, kayak orang nggak punya etika aja. Lagian kan kemarin udah dijanjiin sama bagian Publikasi dan Pemasaran. Malah ganti-ganti jadwal sendiri. Ngerepotin." Bu Tiyem mendekat sambil membawa jus apel yang sudah tersimpan rapat dalam botol air minum. "Anu, Mas, Mbak Metanya sebenernya..."



Walkles 173



"Dia pamit sama Ibu ada urusan di mana?" "Mbak Meta ada kok. Tadi memang sempat pergi sebentar ke minimarket, tapi sudah kembali," jelas Bu Tiyem. Namun, lagak Bu Tiyem malah semakin membuat Rafka mengerutkan alis. "Terus dia di mana?" tanya Rafka sambil menutup kotak bekal dan menyisihkannya. "Disuruh berangkat sekalian aja." "Anu, Mbak Metanya tadi bilang disuruh ninggal aja karena urusannya masih lama." "Dia di mana, sih?" "Ee... di belakang Mas," jawab Bu Tiyem ragu. Ketika Rafka melangkah ke arah sana, Bu Tiyem cepatcepat memanggil Rafka untuk melarangnya ke sana, tapi Rafka sama sekali tidak menggubris. "Bu Tiyem punya baking sod..." Meta yang mendongak seiring ia berbicara, langsung terhenti ketika mendapati Rafka berdiri selangkah dari pintu, melihatnya menuangkan cuka ke atas noda-noda darah di selimut. Rafka mematung, bergantian matanya melihat bulatan-bulatan noda darah dan wajah Meta yang



Walkles 174



semakin lama semakin bersemu. Ia kemudian menelan ludahnya dan berkedip beberapa kali untuk mengembalikan pikirannya yang sudah terbang ke mana-mana. "Ngapain lo?" Ditanya seperti itu, raut wajah Meta langsung berubah. "Lagi bikin acar! Lo nggak bisa liat?" "Itu darah? Lo kenapa? Jatoh?" Seketika Meta merasa bahwa Rafka adalah orang paling goblok sedunia. Ia memutar matanya kesal. "Iya! Jatoh dari bulan!" Mendengar jawaban sewot Meta, seketika Rafka sadar bahwa itu bukan darah seperti yang ia pikirkan semula. Itu darah... darah yang biasa. Ia bisa merasakan panas mulai merayap pada wajah dan telinganya, sekaligus ngeri membayangkan darah sebanyak itu keluar dari tubuh wanita setiap bulan. Dehaman terdengar, Rafka membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba saja mengering untuk mengembalikan nada suaranya."Jam 9 tepat lo harus dateng ke hotel. Jangan sampai telat karena gue nggak mau kerjaan pegawai hotel ikut kacau cuma gara-gara elo bikin ulah."



Walkles 175



"Lo ngomong seolah-olah gue sengaja bikin ulah," ucap Meta menekankan kata 'sengaja'. "Padahal lo tahu, gue bukan peramal yang tahu persis kapan jadwal gue mens!" "Terserah, gue nggak mau tahu," putus Rafka final dan berlalu begitu saja dari hadapan Meta, meninggalkan Meta dengan kekesalan yang sudah mencapai ubun-ubun. Meta sampai terheran-heran, dirinya yang sedang datang bulan, tapi kenapa juga malah seperti Rafka yang PMS? Level crankiness-nya melebihi batas toleransi umat manusia. Membuat Meta makan hati saja. Beberapa menit sepeninggal Rafka, Bu Tiyem mendatangi Meta yang masih sibuk menghilangkan noda. Dengan segenap hati ia menyalurkan emosinya pada sikat gigi murahan yang ia beli untuk menggosok noda di selimut. "Maafin Mas Rafka ya, Mbak Meta. Orangnya emang agak lebih 'sulit' dibanding Mas Bian atau Mbak Marina," ucap Bu Tiyem dengan rasa bersalah yang tersirat keluar. Ia kemudian menambahi penjelasannya ketika Meta memandangnya seolah tanda tanya di atas kepala. "Itu sepupunya Mas Rafka."



Walkles 176



Meta mengangguk paham. "Bu Tiyem nggak perlu minta maaf kok." "Kalau lagi ndak bisa diatur gitu, biasanya cuma mbah putrinya yang bisa ngeredam. Kalau sama mbah putrinya Mas Rafka mesti nurut, manut, ndak pernah mbangkang. Mas Rafka kan mamanya sudah ndak ada sejak dia kecil, jadi apa-apa ikut Mbah Putri. Sekarang mbah putrinya udah nggak ada, kalau Mas Rafka lagi gitu, nggak ada yang berani negur. Kayak semua sudah maklum." Meta terdiam, bingung bagaimana harus menanggapi. Dalam hati yang terdalam, ia tidak siap diberitahu hal-hal yang terlalu pribadi seperti ini. Khawatir kalau nantinya ia jatuh iba, kemudian jadi tidak tega. "Tapi sebenarnya Mas Rafka itu baik hatinya. Buktinya Ibu sama Pak Jo selalu diajak makan samasama di meja makan. Dulu waktu Pak Pramoe masih tinggal di sini, Ibu mana berani satu meja sama majikan?" Meta hanya mengangguk saja. Toh ia tidak ingin dan tidak butuh mengenal Rafka lebih baik lagi.



Walkles 177



-15- Human Meta menyerahkan beberapa lembar uang lima puluhannya pada sopir taksi online yang ia sewa. Iya, Meta menyewanya. Awalnya Meta ingin diantar pada salah satu agen bus untuk bisa ke Kulon Progo, tapi bapak-bapak sopir taksol ini malah menawarkan untuk mengantarnya dengan biaya seikhlas Meta karena anaknya juga sedang tes wawancara untuk Hotel Pramoedya. Ketika Meta turun, Pak Kamal sudah menunggunya di lobi hotel dengan seorang pria yang sepertinya lebih muda sedikit dari Meta. "Gimana? Udah selesai urusannya?" tanya Pak Kamal menyambut Meta dengan sumringah. Meta mengangguk sambil tersenyum pasrah. "Nanti saya harus beli sesuatu buat Bu Tiyem." Pak Kamal tertawa terbahak. "Gampanglah itu. Oh, iya, kenalin ini Dira, calon manajer pemasaran kita." Meta menjabat tangan Dira yang terulur kepadanya, kemudian menyebutkan nama masingmasing. "Calon?" tanya Meta bingung.



Walkles 178



"Iya. Tiap-tiap divisi belum ada yang sepenuhnya aktif. Jadi posisi-posisi jabatan belum ada yang pasti, belum resmi dilantik," terang Pak Kamal. "Tapi 45% pegawai sudah mulai karena perekrutan dari dalam instansi sendiri, mutasi pegawai-pegawai dari cabang hotel lain." Meta hanya mengangguk-angguk sok paham. Padahal tidak peduli. "Kamu langsung jalan sama Dira aja, ya? Saya masih ada urusan lain. Kalau ada apa-apa, telepon saya," pamit Pak Kamal. Ia kemudian pergi meninggalkan Meta dan Dira di lobi. Dira memberikan kode pada Meta untuk segera meninggalkan lobi dengan tangannya. Keduanya berjalan beriringan menuju lift. "Saya sudah pelajari draft proposal yang dikirimkan kemarin, tapi kami baru siap satu kamar per masing-masing tipe. Untuk presidential suite, kami masih nunggu kedatangan guci dan beberapa ornamen yang rencananya akan datang siang ini. Yang lain sudah siap," terang Dira pada Meta. Ia menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai atas.



Walkles 179



Meta mengangguk hingga rambut pendeknya bergoyang-goyang. "Nggak papa, kita bisa mulai dari yang udah siap dulu." Ia menggerakkan bahunya sedikit untuk mengganti posisi tasnya yang lumayan berat.+ "Butuh bantuan?" tanya Dira dengan raut khawatir yang keliatan tidak dibuat-buat. Meta terkekeh. "Nggak papa. Udah biasa bawa barang-barang berat." Ia kembali membenarkan letak tasnya. "Beneran berat banget, ya? Boleh saya cobain bawa?" Kini Meta tertawa, hampir terbahak-bahak. "Alus banget, ya? Yah, dibayangin aja beratnya kamera, dua lensa, tripod, additional flash, additional battery, sama laptop." Dira ikut terkekeh. Lift terbuka setelah terdengar bunyi dentingan halus. Keduanya masuk dan terdiam setelah pintu tertutup. Tak lama, lift kembali berdenting dan berhenti ketika berada di lantai kedua. Dira memandu Meta untuk memasuki salah satu kamar di bagian kanan. "Ini kamar single kami," ucap Dira ketika berhasil membuka pintu kamar dengan Master Card-nya.



Walkles 180



"Karena hotel ini soon-to-be airport hotel, kelas kamar paling rendah pun sudah dilengkapi lapisan kedap suara." Meta meletakkan tasnya dan mengeluarkan kamera dengan lensa wide angle yang sudah menempel. Ia mengetes hasil gambarnya beberapa kali dengan dahi berkerut. Masih kurang terang. Ia memasang flash kamera tambahan yang sudah ia beri filter agar cahayanya tidak terlalu tajam. Diambilnya beberapa gambar dari berbagai sudut, foto kamar mandi, dan mengabadikannya sekali lagi dalam bentuk video. Begitu seterusnya hingga sampai pada presidential suite kebanggaan hotel. "Bisa istirahat di sini dulu kalau kamu mau," tawar Dira. Meta melepaskan senyum terima kasihnya yang paling manis. "Tau aja saya capek," balas Meta malu-malu. "Dari perusahaan advertising biasanya kerjanya tim. Ini kamu lakuin sendiri, pake sepatu tinggi pula. Saya aja ngeri liatnya." Dira bergidik saat melihat sepatu yang Meta kenakan. "Well, beauty i.."



Walkles 181



"is pain. Ya, ya, itu hal paling konyol yang pernah saya denger dari wanita," potong Dira cepat. Tapi saya yakinkan kamu kalau capeknya bukan karena sepatu." Meta mengedikkan bahunya sambil tertawa-tawa. Andai Dira tahu rasanya bekerja dengan sendi-sendi linu karena datang bulan hari pertama. "So, setelah ini apa lagi?" "Ada resto and bar yang ada di bagian terpisah dari hotel. Letaknya di tengah-tengah buat memfasilitasi hotel, juga bagian resort." Dira membuka-buka buku catatan kecil yang sejak tadi di pegangnya. Ia bingung karena Meta menatapnya dengan pandangan bertanya. "Well, resto di hotel juga ada, tapi kecil. "Resort?" "Pak Kamal belum bilang kalau ini resort dan hotel?" "Apa gue lupa, ya?" gumam Meta pada dirinya sendiri. "Kalau di bagian resort, yang ditawarkan adalah privasi karena letaknya saling berjauhan satu sama lain," jelas Dira. "Nanti kamu bisa liat sendiri." "Yang di sini udah nggak ada lagi?"



Walkles 182



"Ada bagian ballroom A dan B, beberapa tipe ruang rapat, sama lobi. Tapi belum bisa kita pakai karena masih ada recruitment pegawai di sana." "Masih ada recruitment hari ini?" tanya Meta mencium tanda bahaya. Masa iya ia kena damprat lagi dua malam berturut-turut. "Hari ini terakhir kok. Besok bisa kamu foto," balas Dira menenangkan "Kalau saya mau request bisa?" tanya Meta pada Dira. "Saya mau ada pegawai di bagian front office yang berjaga untuk kepentingan videonya. Akting sedikit, terus semuanya beres. Dira mengangguk. "Bisa diatur. Nanti saya minta kerja sama beberapa orang dari mereka." Meta ikut mengangguk. Ia kemudian beranjak dari duduknya. "Oke. Kita bisa lanjut lagi sekarang." *** Meta menemui Pak Kamal yang sudah menunggunya di lobi sambil mengotak-atik iPad-nya. Sesi foto-fotonya bersama Dira sudah selesai untuk hari ini. Hotel Pramoedya benar-benar luar biasa luas, bahkan lebih luas berkali-kali lipat dari cabang batu.



Walkles 183



Kata Dira tadi karena izin pembangunan hotel di wilayah ini sulit, terlebih dengan adanya larangan mendirikan bangunan yang memiliki tinggi lebih dari 32 meter. Makanya Hotel Pramoedya dibangun seluas-luasnya, bukan setinggi-tingginya. Bahkan Meta dan Dira harus berkeliling dengan boogie cart yang biasa dipakai di lapangan golf. "Sudah selesai?" tanya Pak Kamal saat menyadari Meta duduk di sofa kosong di dekatnya. "Sudah untuk hari ini. Besok bisa dilanjut lagi," jawab Meta. "Gimana menurut kamu tentang hotel ini?" Meta mengerutkan alisnya mendengar pertanyaan Pak Kamal. "Pak Kamal yakin tanya saya?" "Kenapa enggak? Kami butuh pendapat siapa pun tentang hotel ini. Mau orang awam, atau fotografer kayak kamu," ujar Pak Kamal santai. "Well then. Menurut aku ini terlalu luas. Hotel dan resort sekaligus? Apa operasionalnya nggak terlalu berat? Apalagi pembangunan airport masih belum selesai."



Walkles 184



"Saya nggak nyangka kamu kasih komentar tentang operasional. Tapi tenang, semua keputusan tentang pembangunan ini bukan datang tanpa rencana. Lalu? Yang lain?" "Tapi modelnya saya suka. Siapa pun arsitek hotel ini, saya akui dia jenius. Aplikasi unsur Jawa dengan kemewahan dan modernitasnya juga akan saya acungi jempol. Bagian favorit saya ada di wedding chapel dan restoran joglo. Jawa tapi seperti bukan Jawa. Pak Kamal harus kasih saya diskon kalau saya mau ngadain pemotretan di sini." Pak Kamal tertawa terbahak-bahak. "Kamu minta ke Rafka aja, atau sekalian kamu ngelobi kakeknya biar dapet free pass sekalian." "Yah, Pak Kamal. Masa iya saya godain kakekkakek," ucap Meta sedikit kecewa. "Ngomongngomong, ini kita nggak pulang?" "Nunggu Rafka dulu, bentar lagi dia nyampe." "Emang dia ke mana?" "Lagi jemput temennya di stasiun sih tadi bilangnya." Tapi belum sampai Meta menanggapi, mobil Rafka sudah terlihat di pelataran lobi. Pak Kamal



Walkles 185



menunjuk mobil Rafka dengan dagunya. "Tuh, panjang umur." Meta mematrikan pandangannya pada setiap gerakan di mobil. Pintu kanan dan kiri bagian belakangnya terbuka sebelum kemudian memperlihatkan kaki-kaki yang turun dari mobil. Meta menyipitkan mata melihat dua orang yang turun dari mobil. Ia hampir tersedak ludahnya sendiri ketika ia tahu Rafka bersama siapa. Pasangan homonya di Batu kemarin. Seorang pegawai yang entah muncul dari mana berlari-lari kecil melintasi lobi dan menghampiri Rafka. Setelah berbicara sebentar, ia berjalan masuk dengan Ucup di sampingnya, membawa satu koper besar yang entah isinya apa. "Ayo pulang? Kamu ngapain diem di situ?" tanya Pak Kamal yang ternyata sudah sampai di pintu lobi. Mau tidak mau, Meta harus berjalan cepat menyusulnya karena Rafka sudah duduk manis di jok belakang. Ia harus menahan Pak Kamal untuk duduk di samping sopir.



Walkles 186



"Pak Kamal, saya duduk situ!" pekik Meta tertahan, tapi Pak Kamal hanya melirik ke arah kursi penumpang di belakang dan tersenyum ke arah Meta. "Kamu di belakang aja. Dia lagi nggak 'panas' kok." Dan tanpa babibu, Pak Kamal langsung masuk begitu saja, meninggalkan Meta yang berdiam diri dengan tampang dikhianati. Meta hanya bisa mencebikkan bibirnya dan masuk ke mobil. Ia sedikit bersyukur ketika Rafka sepertinya tak peduli. Rafka malah terlihat lebih peduli pada pemandangan di luar selama mobil berjalan. Pikirannya mengembara selama bertemu dengan Ucup tadi siang. "Jancik temen awakmu. Isok-isok e ngapusi. Goblok e aku kok gak nyadar lak awakmu asline wes koyok anak e wong sugih, isok dadi foto model barang, (*Bisabisanya kamu nipu. Bodohnya juga kok aku nggak nyadar kalau kamu sebenernya udah kayak anak orang kaya, bisa jadi model juga)" gerutu Ucup begitu ia memasuki mobil Rafka begitu ia keluar dari stasiun. "Gue nggak maksud gitu, Cup," potong Rafka. "Sakjane aku awal e mangkel, tapi eruh desas-desus kasus wong nduwuran sing arep diprikso, gelem gak gelem kene yo kudu matur suwun ambek awakmu. Cok,



Walkles 187



jancok. Makane Pak Priyo ngongkon aku budal mrene, (*Sebenernya di awal aku kesel, tapi waktu tahu ada desas-desus atasan mau diperiksa, mau nggak mau kami harus berterima kasih sama kamu. Makanya Pak Priyo nyuruh aku untuk berangkat ke sini)" tambah Ucup. Walaupun kesal, ia masih menyempatkan diri melihat-lihat interior mobil mahal Rafka. Semuanya terasa seperti mimpi. Seperti ia sedang syuting sinetron yang biasa ia lihat di TV. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada Rafka. "Maksudmu opo njaluk aku mutasi rene? (*maksud kamu apa minta aku mutasi ke sini)" "Gue tahu elo orang yang bertanggung jawab. Pekerja keras, Cup. Gue butuh orang-orang kayak lo buat ngebantu gue di hotel ini," ucap Rafka sepersuasif mungkin, tapi melihat Ucup masih diam dan terlihat gusar dengan ucapannya, Rafka cepat-cepat melanjutkan, "gue yakin lo bisa jadi orang yang lebih kalo elo pindah ke sini, tentunya dengan jabatan yang lebih tinggi juga dari semula." Setelah terdiam cukup lama, Ucup mengalihkan pandangannya. "Ncene arek setres! Gendeng koen. Longor!"



Walkles 188



Mendengar Ucup misuh-misuh, Rafka malah tertawa. Ia tahu Ucup bukan marah, tapi itu bentuk penerimaan Ucup terhadap keputusannya. Meta melirik ngeri Rafka yang tiba-tiba menahan senyum sambil melihat ke luar jendela. Ia berani bertaruh Rafka sedang memikirkan kebersamaannya dengan Ucup. Bukannya Meta takut atau jijik atau apa, ia bukan orang kolot yang menganggap orientasi seksual adalah hal yang tabu, tapi kalau melihat langsung dan bentukannya seperti ini, Meta jadi... sungkan, bukan... kasihan, bukan juga... jujur saja ia tidak bisa menentukan perasaan yang pas. Meta jadi kepikiran tentang siapa saja yang tahu tentang ini. Apakah semua keluarganya tahu? Apakah Bu Tiyem dan Pak Jo tahu? Apakah Pak Kamal tahu? Bagaimana perasaan mereka? Berbagai skenario berputar di kepala Meta seperti adegan sinetron yang memiliki ribuan episode, kemudian cepat-cepat ia mengenyahkan hal itu dari kepalanya. Masa bodoh dengan itu semua. Seiring dengannya, Meta mulai memejamkan mata. Kesadarannya menghilang dalam hitungan ketiga karena terlalu lelah.



Walkles 189



16- Offense Setengah sadar, Meta merasakan lututnya sedang di goyang-goyang oleh seseorang. Ia ingin mengangkat kepalanya, tapi entah kenapa terasa berat. Terakhir kali, seingatnya ia menyandarkan kepalanya di atas tas. Namun, sekarang rasanya seperti tas yang menimpa kepalanya. "Raf, bangun! Kasihan itu anak orang," ucap Pak Kamal sambil menahan tawa. Meta sayup-sayup mendengarnya, kemudian beban berat yang menimpa kepalanya menghilang begitu saja. Rafka mengusap lehernya yang terasa sakit karena posisi tidur yang tidak baik. Beberapa kali ia berkedip sambil melihat sekelilingnya. Pak Kamal yang tertawatawa tak jelas sambil mengacungkan ponsel dan Meta baru bangun dari tidurnya sambil merintih-rintih. Dengan mata menyipit, Rafka melihat gambar di ponsel Pak Kamal. Rupanya ia tertidur dengan badan serong ke kanan dengan bertumpu pada kepala Meta, membuat lehernya terasa tertarik dan sekarang jadi sakit. Dan Rafka yakin, Meta juga karena wanita itu masih memijat-mijat lehernya sambil melirik Rafka kesal.



Walkles 190



"Gue nggak sengaja. Sorry," ucap Rafka cepat. Ia segera membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah. "Sora sori, your ass!" desis Meta kesal. Kalau bukan karena melihat foto dirinya dan Rafka dengan pose kepala Rafka yang bersandar di kepalanya di ponsel Pak Kamal, Meta hampir yakin ia ketindihan setan. Nggak taunya rajanya. Pak Kamal tertawa lagi sampai terbahak-bahak. "Aduh, ya ampun. Saya jadi pengen balik muda lagi. Udah ah, ayo masuk," ucapnya sambil membuka pintu, meninggalkan Meta di mobil. Mau tak mau, Meta ikut turun dan menarik tasnya keluar, menentengnya sepanjang beranda belakang. Ketika masuk ke dalam, dilihatnya Bu Tiyem sudah mulai meletakkan piring lauk di meja makan. Ia tersenyum lebar melihat Meta, mau tak mau Meta membalasnya walaupun sedikit terpaksa. "Saya masuk dulu buk, mau mandi," pamit Meta. "Kamar mandinya masih dipake Mas Rafka. Mbak Meta mau mandi di tempat ibu aja? Di rumah belakang?"



Walkles 191



Meta memutuskan untuk mengangguk. Ia ingin mandi untuk mengembalikan mood sorenya yang berada di level jongkok karena Rafka, tapi ketika masuk kamarnya melihat kasur Meta tergoda untuk berbaring di atasnya barang sebentar. Mungkin lima menit. Ia melepas kaitan bra-nya dan mendesah lega sebelum merebahkan punggungnya di kasur. Namun, tak sampai sepuluh detik, Meta langsung bangun. Ia harus mandi kalau tidak ingin kejadian yang sama seperti tadi pagi terulang kembali. *** Makan malam rasanya masih seperti kemarin. Suara Pak Kamal masih mendominasi, ditambah celetukan Pak Jo dan Bu Tiyem. Meta kadang ikut-ikut tertawa dan menanggapi kalau bisa, sedangkan Rafka hanya menjawab sesekali kalau dia ingin saja. Rafka meraih air minumnya. Makanan dipiringnya sudah tandas, bersih tanpa sisa. Setelah menghabiskan segelas air putih, ia mendongak melihat jam dinding. Belum ada jam tujuh. Ia berpaling pada Meta dan menunggu celah untuk berbicara, "Gue mau liat kerjaan lo. Gue tunggu di teras depan habis elo selesai makan."



Walkles 192



"Bahkan belum gue pindah ke laptop?" tanya Meta. Ia sebenarnya sedikit terkejut ketika Rafka mengajaknya bicara. "Gue percaya, mindah foto ke laptop nggak akan selama nunggu elo nyuci selimut," ucap Rafka seringan menerbangkan bulu. Kalau tidak ada orang lain di meja ini, Meta bisa-bisa sudah berdiri dan meraupkan sambal terasi Bu Tiyem ke mulut Rafka. "Gue rasa fotografer pro kayak elo juga nggak akan keberatan buat ngasih contoh editan kasar ke gue." Meta hampir menggeram karena menahan kesal. "Gue udah pernah ngerasain beratnya kepala dan badan lo di kep..." Ucapan Meta terpotong oleh suara tawa Pak Kamal. Pria itu tertawa terbahak-bahak sampai hampir menyemprotkan daging ikan dan nasi ke meja makan. Padahal Pak Kamal sejak tadi sudah menahan-nahan tawanya agar tidak menyembur keluar, tapi tetap saja ia tidak tahan. Rafka mendelik marah menghadap Pak Kamal, begitu juga dengan Meta. Menurut Meta, juga Rafka, tidak ada yang lucu sama sekali tentang obrolan



Walkles 193



mereka. Pak Kamal akhirnya hanya kedua mengangkat tangannya dan mengalah ketika tawanya reda. Seperti kemarin, Rafka meninggalkan meja makan terlebih dahulu dan masuk ke kamarnya. Ia kemudian keluar lagi sambil membawa tumpukan kertas dan jilidan untuk dibaca di teras sambil menunggu Meta. Meminta Meta memperlihatkan hasil kerjanya bukan tanpa alasan. Meta tidak dibayar saat bekerja dengannya. Besar kemungkinan Meta tidak sungguhsungguh dan membuat karya yang nggak ada kerenkerennya untuk balas dendam. Rafka tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Meta harus tetap berada di bawah kontrolnya. Ketika Rafka menutup bendel ketiganya, konsentrasinya sedikit terganggu saat ia melihat bayangan Meta dari sudut matanya. Tanpa menoleh, Rafka mengawasi Meta yang berjalan sambil menyeret kabel, kemudian duduk di sebelahnya. Ia membuka laptop dan memasukkan memory card setelah laptopnya sudah sepenuhnya menyala. Ketika semua itu terjadi, yang terdengar adalah gerakan Meta dan suara jangkrik yang saling menyahut di taman depan. "Kasih gue waktu paling nggak tiga puluh menit buat ngedit," ujar Meta memecahkan keheningan di



Walkles 194



antara mereka berdua. "Satu jam atau lebih kalo elo minta video juga." "Lo nggak punya storyboard atau apa gitu yang bisa gue liat?" "Storyboard ada, tapi nggak akan mudah karena nggak terlalu detail." "Gue bisa liat itu." "Jangan salahin gue kalo elo nggak ngerti. Lo sendiri yang minta," ucap Meta memberi ultimatum pada Rafka. "Udah cepet, nggak usah bawel," tangkis Rafka membuat Meta berdecak. Meta terpaksa mengambil buku sketsa dan membukanya di halaman ia menggambar storyboard tentang video promosi Hotel Pramoedya. Diserahkannya buku itu ke Rafka sebelum kemudian mengerjakan pekerjaannya sendiri. Rafka mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Hampir ia mengumpat ketika melihat tulisan Meta yang seperti ceker ayam, tapi urung ketika melihat gambargambarnya sedikit lebih bagus. Sejauh ini, Rafka melihat video tentang hotelnya kira-kira akan sama saja dengan



Walkles 195



video iklan-iklan hotel pada umumnya. Ia menggosok dagunya sambil berpikir untuk memberikan inovasi tambahan. "Mbak Meta," panggil Bu Tiyem tiba-tiba, membuat Rafka dan Meta menoleh ke arah pintu. Bu Tiyem berjalan mendekat sambil membawa segelas minuman berwarna coklat. "Kenapa, Bu?" tanya Meta bingung. "Ibu tadi beliin jamu buat Mbak Meta, sudah dikasih es batu sama madu biar nggak terlalu getir." Bu Tiyem meletakkan segelas jamu di depan Meta, lengkap dengan permen Kurang Asem di sampingnya. Rafka mengerutkan alisnya. Sejak kapan Bu Tiyem jadi terlalu perhatian pada Medusa ini? Sejak Meta pertama datang, Rafka bisa melihat bahwa Bu Tiyem lebih sering ketawa-ketawa. Tapi masa iya gara-gara kedatangan Meta yang padahal lebih banyak kurang ajarnya ini? Ia saja lebih banyak emosi, bahkan sejak pertama kali bertemu dengan Meta. "Buat saya mana?" tanya Rafka pada Bu Tiyem. Yang ditanyai malah agak salah tingkah. "Kok Ibu cuma bikin satu?"



Walkles 196



"Anu, Mas Rafka, ini perempuan," jelas Bu Tiyem.



jamu



wanito.



Buat



"Emang jamu buat laki-laki nggak ada?" "Ya ada jamu pria. Tapi kan, anu, Mas Rafka kan kerjanya gak nganggo otot kayak orang-orang di pasar, mereka buat tambah-tambah stamina. Nanti Ibu malah salah kalau Mas Rafka kelebihan stamina..." Bu Tiyem tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena malu sendiri. Ia tidak pernah membicarakan hal-hal vulgar pada Rafka. Rafka pun tidak membalas ucapannya. "Mas Rafka mau minuman yang lain? Ibu bikinin jus aja, ya?" "Iya." Rafka menjawab lirih sambil mengangguk. Bu Tiyem mengalihkan pandangannya pada Meta. "Mbak Meta, harus diminum sampai habis." Ia kemudian menambahkan sedikit bisikan, "biar nanti lancar, nggak sakit." Bu Tiyem kemudian meninggalkan keduanya. Meta diam sambil memandangi segelas jamu di depannya. Ia tidak yakin doyan meminum jamu yang terlihat pekat seperti itu. Seumur hidupnya ia hanya minum jamu beras kencur dua kali, tapi enak sih.



Walkles 197



"Lo mau jamu?" tanya Meta pada Rafka. "Lo aja yang minum deh." "Kenapa gue?" “Kan tadi elo minta. Masa Bu Tiyem?" "Kan buat lo?" tanya Rafka sambil memandang Meta aneh. "Kalo gue besok berubah jadi bencong lo mau tanggung jawab?" "Lo kira ini polyjuice-nya Harry Potter? Ini cuma jamu." "Ya udah cepetan minum, kan cuma jamu." Meta menatap Rafka tidak percaya. Benar-benar orang yang nggak pernah bisa diharapkan. Ragu-ragu ia mengulurkan tangan kanannya menyentuh gelas jamu itu dan menutup hidungnya dengan tangan kiri. Dengan gerakan perlahan Meta mendekatkan gelas itu pada bibirnya. Satu teguk, dua teguk, Meta merasakan rasa asam diikuti rasa getir dan sedikit pahit mengalir di lidahnya. Ia masih bisa mencium aroma kunir pada setiap tegukan. Masih setengah, Meta merasa ingin menyerah. Cepat-cepat ia menyobek bungkus permen dan memasukkan buturannya ke mulut. Ia tidak sanggup menghabiskan separo gelas itu dan menatap Rafka dengan tatapan memohon.



Walkles 198



Rafka mengerutkan alis, memahami tatapan Meta. "Nggak, makasih."



maksud



"Bu Tiyem keburu dateng, cepet!" Meta membimbing tangan Rafka untuk mengambil gelas yang ada di tangannya. "Nggak bisa!" pekik Rafka tertahan. "Ini enak," bujuk Meta. "Kalo enak ya elo aja yang minum!" "Please!" "Nggak!" Ketika mendengar langkah kaki mendekat, Meta semakin panik. Ia sampai berdiri dari tempat duduknya dan mendorong gelas itu ke bibir Rafka. Semakin panik, Rafka kira kekuatan Meta semakin bertambah. Kepalanya ditahan dengan tangan kanan, sedangkan tangannya yang memegang gelas didorong dengan tangan kiri. Rafka tak punya pilihan selain meneguk isi gelas hingga tetes terakhir. Ini kekerasan! "Fuck!" umpat Rafka tertahan. Ia menjulurkan lidahnya, meminimalisir rasa getir dan sedikit pahit yang tersisa. Dia kira yang pahit hanya jamu brotowali milik



Walkles 199



Mbah Putrinya. Ternyata yang mengerikan. "Permennya mana?"



ini



tidak



kalah



Meta menunjuk mulutnya. "Cuma satu. Lo mau?" "Shit!" umpat Rafka lagi ketika sadar Meta mengerjainya. Ia memejamkan mata menahan kesal. Tak lama, suara Bu Tiyem terdengar dari ruang tamu dan semakin mendekat. "Adanya jus apel, Mas." Setelah mengucapkan terima kasih super singkat, Rafka mengambil jus apelnya yang bahkan masih berada di atas nampan dan menenggaknya. "Lho, lho, pelan-pelan Mas, kenapa to?" tanya Bu Tiyem bingung sekaligus khawatir karena Rafka tidak biasa menyambar gelas seperti itu. "Cuma haus, Bu. Tadi kebanyakan ngomong," jawab Meta mewakili Rafka. Ia mengembalikan gelas kosong bekas jamu yang tadi sudah diambilnya dari tangan Rafka pada Bu Tiyem. "Makasih jamunya." "Waduh, alhamdulillah, Ibu kira Mbak Meta nggak doyan." Meta mencebik. "Emang nggak doyan. Harus pakai kekuatan seribu bulan tadi." Ia kemudian menyeringai penuh arti.



Walkles 200



Bu Tiyem tertawa mendengar ucapan Meta, tapi Rafka memberikan pelototan dengan sorot penuh amarah. Meta memberinya kode dengan kedipan mata agar Rafka tetap diam. Ia kemudian mendorong Bu Tiyem agar kembali masuk. "Udah, Ibu masuk lagi aja. Istirahat. Kan udah malem, jam segini Bedah Rumah udah mulai. Nggak nonton?" Bu Tiyem tertawa malu, kemudian mengangguk. "Mas, saya ke rumah belakang, ya? Kalo mau apa-apa Ibu dipanggil lewat telepon aja." Melihat anggukan Rafka, Bu Tiyem langsung melangkah pergi meninggalkan keduanya. "Lo tahu dari mana Bu Tiyem suka nonton Bedah Rumah jam segini?" tanya Rafka. Seingatnya, Bu Tiyem lebih suka melihat acara lawak-lawak di televisi. Bukan acara yang mengharu biru. Meta mengedikkan bahu. "Bu Tiyem sendiri yang cerita." "Kapan?" Mendengar pertanyaan Rafka, Meta memutar matanya jengah. "Sebulan yang lalu," jawabnya sarkas. "Gue baru nyampe kemarin, hari ini kerja, ya lo kira-kira sendirilah!"



Walkles 201



Rafka menutup mulutnya rapat-rapat, sudah malas bicara dengan Meta. Ia kembali mengalihkan tatapannya ke buku sketsa Meta. "Storyboard lo nggak ada yang istimewa. Standar." "Emang lo pikir iklan hotel yang istimewa tuh gimana?" tanya Meta berusaha tidak tersinggung. Storyboard-nya memang seperti iklan-iklan hotel pada umumnya yang kemarin ia lihat di Youtube. Melihat Rafka masih belum berniat menjawab, Meta menambahkan, "Gue kerjain di filternya, sama penataan detail-detail kecil setiap bangunan yang jadi keistimewaan hotel lo." Rafka masih bergeming. Sejujurnya ia tidak bisa membayangkan apa yang dimaksud oleh Meta. Demi Leonardo da Vinci, lebih baik ia mengobrolkan perkembangan hotel bersama kakeknya daripada membayangkan sisi estetik dari sebuah video. Walaupun keindahan hotel itu penting, tapi yang membuat keindahan kan bukan dirinya. Nilai pelajaran seni budayanya tak pernah lebih dari angka tujuh. Tapi kalau disuruh menilai, taste Rafka tak pernah pernah buruk.



Walkles 202



"Udah." Meta menggeser laptopnya sedikit agar Rafka bisa melihatnya. "Gue bingung antara dua macem filter, yang ini atau yang ini." Rafka melihat gambar yang ditunjukkan oleh Meta. Sepertinya, untuk pertama kalinya, Rafka harus mengakui kalau Meta seorang profesional. Ia bisa melihat sebuah karakter pada setiap foto yang Meta tunjukkan. Untuk pertama kalinya juga, keduanya bisa mengobrol secara normal dalam waktu yang lama.



Walkles 203



17- Calamity "Kamu jadi pulang hari ini, Met?" tanya Pak Kamal sambil sesekali melirik Meta. Ia kemudian menyuap potongan telur dan nugget ke dalam mulutnya secara bersamaan. Meta mengangguk. Dear God, mengingat hal ini sejak bangun tidur membuat mood-nya melambung tinggi. Dua hari terakhir seperti dua hari terlama dalam hidupnya, rasanya sebelas dua belas dengan menunggu skip ad lima detik di Youtube. "Iya, penerbangan malem jam setengah sepuluh." "Lho, Mbak Meta cepet banget. Ibu jadi sedih," ucap Bu Tiyem sambil mengantarkan jus berwarna putih kehijauan. Wajahnya terlihat sedih tak dibuat-buat. "Nanti kalo ke Jogja lagi mampir ke sini, ya? Bilang ke Prawirotaman, gitu. Kalo masih nggak tahu, tanya ke orang sekitar alamat rumahnya Pak Pramoe yang punya hotel. Pasti pada tahu semua." Pak Kamal melambaikan tangan. "Sekarang nggak perlu gitu, Bu. Pakai GPS di ponsel, bisa langsung tahu alamatnya. Nanti saya share alamatnya ke Meta. Ya nggak, Met?"



Walkles 204



Meta mengangguk sambil tertawa. Kemudian ia meneguk jus yang kalau ditebak dari rasanya berisi apel, timun, dan jeruk nipis. Sebenarnya, di luar perilaku Rafka terhadapnya, berada di sini cukup menyenangkan. Bu Tiyem yang selalu perhatian padanya, bahkan lebih perhatian dari mamanya sendiri yang jarang telepon. Pak Kamal dan Pak Jo juga selalu baik padanya. "Yang bayar tiketnya Rafka, kan?" tanya Pak Kamal lagi dengan setengah berbisik. Ingin memastikan, tapi takut ketahuan Rafka. "Aku bukan orang yang suka lari dari tanggung jawab, Pak." Rafka mendekat dengan setelan kemejanya. Jasnya yang berpotongan lumayan santai ia letakkan di salah satu kursi makan yang tidak diduduki. Pak Kamal meringis malu. "Iya, Raf. Pak Kamal juga tahu." "Trus ngapain nanya?" "Yah..." Pak Kamal sengaja memberi jeda untuk mengulur waktu sambil berpikir. "Siapa tahu Meta ternyata ngembaliin uang kamu gitu." Rafka memutar matanya. Meta yang minta, mimpi apa tiba-tiba mengembalikan uang begitu saja.



Walkles 205



Kalaupun uangnya dikembalikan, Rafka lebih yakin kalau ada udang yang lebih besar di baliknya. "Saya orangnya nggak gampang nolak rejeki kok, Pak," balas Meta jujur. Tangannya sedang sering berada di bawah kalau bersama orang-orang semacam Rafka atau Melly, apalagi Sita. Namun, Pak Kamal sepertinya malah menganggapnya sedang bercanda karena sekarang sudah tertawa-tawa. Rafka menunduk dan melahap makanannya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa orang yang tidak tahu malu seperti Meta bisa bertahan di kehidupan sosial. Kenapa mereka tidak dikucilkan atau dibasmi sekalian karena jelas-jelas tidak memberikan keuntungan. Kalau bisa dibasmi, Rafka ingin menjadi barisan terdepan saking risihnya dengan Meta. *** Setibanya Meta di Hotel, Dira sudah menantinya di lobi. Ia sedang mengobrol dengan dua orang pegawai wanita di balik meja resepsionis, membelakangi Meta. Pak Kamal sudah pamit untuk langsung ke ruangan bersama Rafka yang melenggang begitu saja tanpa berkata-kata.



Walkles 206



"Pagi," sapa Meta. Dira seketika berbalik dan dua orang pegawai tadi melihat ke arahnya. "Eh, pagi." Dira kemudian memperkenalkan Meta dengan dua pegawai itu. "Ini pegawai resepsionis yang kamu request kemarin." Meta mengangguk. "So, bisa kita mulai sekarang aja?" Dira mengangguk, mempersilahkan Meta memberikan briefing singkat ke kedua rekannya dari bagian front office. Meta menyuruh kedua rekannya untuk tersenyum dan memberi salam khas hotel yang harus mereka berikan kepada tamu sesuai SOP ketika Meta memberikan kode nanti. Ketika kedua temannya mengangguk-angguk mengerti, Dira menyingkir dari tempatnya berdiri. Empat kali pengambilan video yang dilakukan Meta ternyata hanya memakan waktu tak sampai seperempat jam. Setelah mengambil beberapa foto lobi dan desk resepsionis, Meta melanjutkan perjalanannya sesuai dengan arahan Dira, menuju ruang rapat dan ballroom. Lagi-lagi Meta hanya bisa dibuat berdecak dengan desainnya. Biasanya hotel-hotel berbintang hanya menunjukkan kemewahannya, tapi hotel ini sangat



Walkles 207



kental dengan aksen jawa tanpa mengurangi kemewahannya sama sekali. Meta sampai berlamalama menikmati setiap detiknya dari balik lensa. "Habis ini kita ke mana?" tanya Meta sambil melipat tripod yang tadi ia gunakan untuk mengambil gambar dari posisi yang lebih tinggi. Ruang rapat terakhir sudah selesai ia eksplor tuntas. Namun, melihat muka Dira yang agaknya bosan, Meta meringis. "Lama banget ya sayanya?" "It's okay. Kamu menikmati banget. Saya nggak mau ganggu," jawab Dira sambil lalu. Meta hanya tertawa menyambutnya. Keduanya kemudian berjalan beriringan keluar gedung menuju resort. Dira mengambil sebuah kunci boogie car berwarna putih yang kemarin mereka gunakan. Dengan sigap Meta naik ke atasnya, membiarkan Dira menyetir ke arah resort menuju pantai yang berada pada bagian selatan. "Harus gue akui, di luar GM-nya yang super duper nyebelin, hotel ini keren banget," gumam Meta sambil merasakan terpaan angin yang mengenai wajahnya. Dira tertawa terbahak-bahak. Beberapa kali bertemu dengan Rafka, mau tidak mau ia harus setuju



Walkles 208



dengan Meta karena bosnya itu sama sekali bukan orang yang fleksibel untuk masalah pekerjaan. Tapi di luar itu, sebenarnya menurutnya Rafka masih oke-oke saja. Bahkan menjadi anak buah Rafka menjadi salah satu pertimbangannya untuk setuju mutasi ke Jogja. "Pak Rafka sebenernya baik kok. Daripada atasanatasan waktu saya masih di Lampung, menurut saya dia masih tergolong baik," ucap Dira sambil fokus menyetir. Seketika mata Meta melebar, tak terima. "Cuih, baik apanya. Omongannya bikin darah tinggi. Nggak sangguplah kalau disuruh kerja sama dia terus." Dira lagi-lagi tertawa, membuat Meta yakin kalau tidak berhenti giginya bisa kering karena terpaan angin. "Jangan gitu, atau jangan-jangan nanti kamu malah terjebak sama Pak Rafka seumur hidup?" Meta balas tertawa. "Oh, nggak bisa, tiket pesawat udah kebeli buat nanti malem," pamernya. "Jadi, ini hari terakhir?" "Iya dong, kan udah selesai semua. Tinggal ke pantai ini. Sisanya kita bisa kontak lewat email atau Whatsapp aja. Kontak Imagen masih ada, kan?" Dira mengangguk. "Masih kok."



Walkles 209



Tak lama, Dira menghentikan boogie car-nya di dekat sebuah bar. Meta melompat turun dengan bahagia saat melihat gulungan ombak yang berkilaukilau diterpa matahari, seolah ada berlian yang mengapung di atasnya. Memang pasirnya hitam akibat hasil gerusan batu-batu yang dimuntahkan Merapi, dan lautnya pun tak biru seperti di Lombok. Tapi pantai tetaplah pantai. Suaranya, anginnya, pekatnya udara, percikan ombaknya. "Panas!" pekik Meta sambil tertawa-tawa. "Kalau dingin ya di kutub, bukan di Kulon Progo!" jawab Dira sambil menyusul Meta. Ia duduk di salah satu kursi santai milik hotel yang berjajar. "Di sini yang paling bagus sunset. Kalau sunrise, kehalang batu cadas di sebelah timur, jadi nggak terlalu kelihatan." "Kalau gitu kita nunggu agak sorean dikit. Biar momennya dapet," ucap Meta. Ia melepaskan sepatunya yang sejak tadi menancap di pasir. Diletakkannya tas merah kuning dan kamera yang ia kalungkan ke salah satu kursi kosong di dekat Dira. "Bodo amat abis ini kulit gue item! Aaaaaaa!!" Meta berteriak, seorang diri bermain ombak seperti orang gila. Dira yang melihatnya hanya tertawa-tawa saja.



Walkles 210



Sudah lebih dari tiga puluh menit Meta menyusuri bibir pantai, menjauhi area resort dan kembali lagi ke tempat Dira masih duduk santai. Ponselnya ia letakkan di depan wajahnya, terlihat sedang asyik video call dengan seseorang. "Tuh, fotografernya udah balik." Dira membalik ponselnya menghadap Meta. Meta melihat seorang wanita di layar ponsel Dira sambil tersenyum. 'Siapa?' tanya Meta tanpa suara. "Istri," jawab Dira. Ia kemudian mengalihkan mukanya pada ponsel lagi. "Tutup dulu. Bye, Sayang." "Istri? Gila. Saya kira kamu masih bujang," ucap Meta saat posisinya sudah lebih dekat pada Dira. Ia membelalakkan mata tak percaya.6 "Udah dua tahun nikah. Dia lagi hamil tua makanya agak manja," ucap Dira sambil memandangi ponselnya seolah istrinya ada di dalam sana. Gila, gila, gila... nyali kamu besar juga." Meta menggeleng-gelengkan kepalanya. Dira mengerutkan dahi melihat Meta. "Kenapa? Ini nikah, bukan uji nyali."



Walkles 211



Meta tertawa sejenak. "Well, then. Tapi bagi gue— gue pake 'gue', ya?" tanya Meta yang sudah tidak betah menggunakan panggilan formal, Dira hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Bagi gue, nikah adalah hal terakhir di muka bumi yang ingin gue capai. Gue belum berani nyerahin hidup gue ke seseorang di luar sana yang entah siapa. Masih banyak hal yang harus gue lakukan sebelum ngehabisin seumur hidup gue sama seseorang." "Kenapa menurut kamu, kamu nggak bisa ngelakuin hal-hal yang kamu inginkan kalau kamu menikah? Kan enak, malah ada temen untuk mencapai itu semua," bantah Dira. "Gue dibesarin di lingkungan, di mana istri harus sepenuhnya mengabdi ke suami. Bangun pagi, nyiapin air, masak, belum nanti batasan yang mau nggak mau akan ada kalau gue punya anak," jawab Meta sambil menerawangi ombak, mengingat mamanya yang selalu mengabdi pada papa ke mana pun papa pergi dan apa pun yang papa lakukan. "Gue belum siap, gue masih mau bebas. Setidaknya sampai Imagen Studio berdiri dengan tegaknya, mungkin gue baru bisa lega dan settle down." "Keburu jadi perawan tua, loh!"



Walkles 212



Meta mengumpat lirih mendengar ledekan Dira. "Gue malah mikir kalo gue nggak bakal nikah," ucap Meta sambil tertawa. "Lo nggak pernah nyesel karena udah nikah? Temen-temen gue banyak yang nyesel setelah mereka nikah." Dira mengembuskan napas panjang. "Menurut saya, dua-duanya sama-sama aja. Ada kalanya kamu akan nyesel karena udah nikah, tapi kalau kamu nggak nikah, saya yakin kamu juga akan nyesel. Jadi, karena dua-duanya ada penyesalan, kenapa kamu nggak nikah aja?" Meta menaikkan alisnya sambil membelalakkan mata. "Wow, good point." Ia mengangguk-angguk. "Lama-lama lo bisa bikin gue berubah dan ngebet pengen nikah." Dira ikut tertawa bersama Meta. Setelah tawa keduanya reda, Dira bertanya pada Meta, "Kamu ada rencana ke Jogja lagi?" Meta mengangkat bahu. "Belum tahu, kenapa?" "Photoshoot buat Maternity di kamu mahal nggak?" Pertanyaan Dira membuat Meta kembali tertawa. "Karena gue yang punya, yah diskon 50% bisalah. Tapi khusus buat elo ya, jangan bilang-bilang ke orang lain.



Walkles 213



Karena kayaknya gue mau open slot buat foto di hotel ini walaupun belom tahu kapan." "Deal!" Dira mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Meta sambil tertawa-tawa lagi. "Kalo gitu, lo minggir dulu. Gue mau mulai ambil gambar sekarang." Meta mengusir Dira dari tempat duduknya dan meraih kameranya kembali. Ia mengganti wide lens-nya dengan lensa fix dan mulai memotret. Meta kembali asyik dengan dunianya bermenit-menit kemudian, sedangkan Dira kembali menunggu di atas boogie car. Setelah puas, Meta kembali melompat naik di samping Dira. Keduanya kemudian sepakat untuk kembali ke hotel karena sebentar lagi jam pulang pegawai akan tiba. Pemandangan bangunan hotel yang diterpa sinar matahari dari barat menggoda Meta untuk mengabadikannya. Ia mengeluarkan lensa wide anglenya, untuk mengganti lensa fix yang tadi ia gunakan saat berada di pantai. Namun, entah karena cart yang sedang bergerak atau karena memang tangannya licin, lensa fix-nya terlepas dari genggaman. Lensa fix kesayangannya.



Walkles 214



Lensa fix hasil jerih payahnya mengumpulkan uang jutaan rupiah agar bisa terbeli. Terlepas. Dari. Genggaman. Jantung Meta rasanya baru saja terhenti. Meta refleks mengulurkan tangannya, berusaha meraih lensanya yang terjatuh sedangkan tangan lainnya memeluk kamera erat-erat di dada agar benda itu tidak terbentur. Sebagian dari diri Meta merasa lega ketika tangannya berhasil meraih lensa kesayangannya itu, tapi sebagiannya lagi memaksanya untuk sadar kalau dirinya sudah mengulurkan tubuh terlalu jauh dengan boogie car. Sudah terlalu terlambat untuk bisa menemukan pegangan agar tubuhnya bisa kembali seimbang. Teriakan kaget Dira menyadarkan Meta bahwa sebentar lagi dirinya akan terjatuh. Ia berharap saat ini punya tiga tangan karena kedua tangannya sibuk melindungi kamera dan lensanya. Karena jelas itu harapan tak masuk akal, Meta akhirnya hanya bisa pasrah dan memejamkan mata. Ia bisa merasakan bahunya terbentur aspal hingga mendengar bunyi 'kluk' dari dalam dirinya sendiri. Ia juga merasakan sesuatu terjadi pada kakinya, tapi Meta tak yakin itu apa.



Walkles 215



Ketika ia membuka matanya perlahan, sayup-sayup terdengar derap langkah kaki menuju ke arahnya. Namun, hanya sesaat karena kemudian kesadarannya diambil alih oleh rasa nyeri luar biasa dari bahu, kepala, dan kakinya, kemudian semuanya menghilang.



Walkles 216



18- Disadvantage Rafka sedang mengistirahatkan tubuhnya, meminum kopi sambil memandangi pemandangan dari jendela kantornya ketika melihat Meta dari arah resort, menaiki golf-cart bersama Dira. Namun, pada kedipan kedua Rafka hanya bisa terkejut ketika melihat Meta seolah melemparkan dirinya sendiri keluar dari cart yang ia naiki dan terjatuh. Rafka bisa melihat kepala Meta terantuk pinggiran jalan dan tak ada sedetik kemudian kakinya terlindas ban belakang boogie car yang masih berjalan. Bagai kilat, semuanya terjadi begitu cepat sehingga Rafka sendiri seperti tak sadar dengan apa yang sedang terjadi. Susah payah ia menelan kopinya yang berakhir membuatnya tersedak. Sambil terbatuk-batuk, Rafka meletakkan gelas kopinya di meja dan berlari sekuat tenaga. Sayangnya pintu lift tak kunjung terbuka walaupun ia sudah memencetnya berkali-kali sehingga ia memutuskan untuk turun melalui tangga darurat. Rafka merasa dirinya sudah mirip Thunder Bolt saking cepatnya ia berlari. Ketika tiba di bawah, ia mendapati Meta sudah dikerumuni oleh tiga orang



Walkles 217



pegawainya dan Dira. Rafka mengerahkan tenaga menggerakkan kakinya untuk kembali berlari. Sesaat ia merutuki kenapa hotelnya terlalu luas sehingga membuatnya harus berlari sejauh ini. Ketika jarak Meta semakin dekat, Rafka menurunkan kecepatannya, mengerem kakinya sendiri agar larinya terhenti. Thanks to treadmill sehingga Rafka tidak terlalu ngos-ngosan ketika ia berhenti. Dengan muka sedikit pias, Rafka bersimpuh di dekat Meta sambil mengatur napas. Tak banyak darah, hanya di kepalanya. Ketika dari sudut matanya ia bisa melihat tangan Dira bergetar dengan wajah kalut, Rafa terdiam. "Tolong bawa Dira masuk," titah Rafka beberapa saat kemudian pada dua pegawainya yang berada di sana. Dengan cepat Rafka melepas dasinya dan melipatnya seukuran sapu tangan. "Kamu, tolong beritahu Pak Kamal dan minta sopir saya untuk siap di depan." Rafka menarik sedikit kepala Meta dan menempelkan dasinya pada luka robek di kepala gadis itu. Ketika melihatnya langsung dengan matanya sendiri, ia hanya bisa meringis. Ditelitinya bagian tubuh Meta yang lain. Melihat kakinya yang sempat terlindas tadi mulai membiru dan tangannya masih memeluk



Walkles 218



kameranya erat, Rafka tidak habis pikir. Bagaimana bisa Meta sebodoh dan seceroboh ini. Dengan perlahan Rafka mengambil kamera di pelukan Meta dan menyuruh pegawainya yang sudah berdatangan untuk memasukkan kamera itu ke tas merah kuning yang selalu Meta bawa. "Bantu saya bawa ke mobil, pelan-pelan aja," ucap Rafka pada salah satu pegawainya yang ikut berkerumun. Dalam hitungan berirama, Rafka dan dua orang pegawainya membopong Meta memasuki hotel. Pak Kamal yang baru keluar dari lift menoleh bingung ketika mendapati seseorang dibopong oleh Rafka dan dua orang pegawainya. Sebenarnya ia sedikit sangsi kalau itu Meta, tapi ketika melihat tas merah kuning yang dibawa salah satu pegawai hotel mau tak mau hal itu membuatnya yakin. Dengan langkah sedikit lebar, ia mengikuti orang-orang itu menuju mobil Rafka yang sudah siap di depan lobi. "Kamu masuk dulu, Raf," ucap Pak Kamal ketika ia juga sampai di pintu mobil. Rafka yang sepertinya sedikit terkejut dengan kedatangan Pak Kamal hanya menurut dan masuk lebih dulu. Begitu ia duduk di sudut, dua pegawainya



Walkles 219



membantu Meta masuk. Sambil duduk agak menyamping, mau tak mau Rafka harus merelakan tubuhnya digunakan sebagai sandaran. Tangan kanannya menyangga tubuh Meta, sedangkan tangan kirinya masih memegangi luka di kepala Meta agar berhenti mengeluarkan darah. "Kamu urus Meta, biar saya yang urus sisa kerjaan kamu di sini," ucap Pak Kamal dari jendela mobil. Rafka mendelik tak terima. Tadi ia menyuruh pegawainya memanggil Pak Kamal, tentu karena Pak Kamal yang harusnya ia minta untuk mengurus Meta di rumah sakit. "Pak Kamal ikut aja," pinta Rafka dari dalam mobil. "Pekerjaan hari ini masih ada yang belum selesai, Raf. Lagi pula kamu yang bawa Meta ke sini, jadi Meta tanggung jawab kamu." Ucapan Pak Kamal serasa meninju lengan Rafka. Kena, tapi tak telak. Ia sempat lupa kalau Meta datang ke sini karena dirinya. Sekarang, mengingat apa yang sudah terjadi benar-benar membuatnya menyesal karena telah membawa Meta. Saking merepotkannya, Rafka sampai mengira kalau ini senjata makan tuan,



Walkles 220



bukan ajang penggantian kerugian karena buktinya Meta membawa lebih banyak kerugian untuknya.+ Mau tidak mau, Rafka hanya tetap bergeming saat mobil akhirnya melaju menuju rumah sakit terdekat. Di tengah perjalanan, Rafka mendengar Meta mulai merintih. "Sakit..." tangannya bergerak berusaha memegang bahunya. "Tahan dikit, bentar lagi kita nyampe," ucap Rafka lirih. Namun, melihat Meta tetap berusaha memegang pundaknya, Rafka jadi berpikir kalau bahu Meta juga terluka. Dengan perlahan ia menyingsingkan lengan baju 3/4 Meta yang untung saja longgar. Ia berusaha untuk tidak menyenggolnya barang sedikit. Rafka kembali meringis ketika mendapati lengan atas Meta membiru dengan bentuk yang sedikit aneh. "Lepas..." rintih Meta lagi sambil berusaha melepas choker yang selalu ia gunakan. "Lepasin..." Ditariknya tangan Meta agar tetap diam, kemudian berusaha membantunya. Ini gimana ngelepasnya, batin Rafka frustasi. Dengan perlahan Rafka berusaha mencari pengait di bagian belakang, tapi posisi duduknya membuatnya kesulitan untuk menemukannya. Lagian



Walkles 221



ngapain sih setiap hari Meta selalu menggunakan kalung seperti ini? Rafka jadi kesal sendiri. Tanpa pikir panjang, Rafka menarik kalung itu secara paksa. Materialnya yang kali itu terbuat dari renda kecil lembut memudahkan Rafka untuk segera merobeknya. Tak lama, laju mobil melambat kemudian berhenti di depan UGD sebuah rumah sakit. Pak Jo yang leluasa untuk turun langsung membukakan pintu belakang mobil. Seorang satpam mengintipnya. Melihat kondisi Meta, ia masuk kembali untuk memberi tahu perawat agar membawa brankar, bukan kursi roda. Tak ada hitungan menit, Meta sudah berpindah dari tubuhnya ke atas brankar UGD yang sepertinya lumayan keras. "Mas, mereka minta administrasinya diurus," ujar Pak Jo. "Saya juga disuruh mindah mobil." Rafka mendesah. "Kalau gitu Pak Jo parkirin mobilnya aja, biar saya yang urus administrasi." Ia keluar dari mobil sambil membawa tas merah kuning milik Meta yang membuat Rafka ingin mengumpat. Ia tidak menduga tas Meta akan seberat itu. Ketika membukanya di kursi tunggu untuk mencari dompet, Rafka malah menemukan banyak kabel, laptop, hardisk eksternal, dan alat-alat perang Meta. Tidak ada dompet yang biasanya wanita punya. Ia hanya menemukan dua



Walkles 222



kantong serut yang masing-masing berisi alat make up dan gumpalan uang beserta buku kartu. Rafka berdecak. Separah-parahnya wanita yang pernah ia temui, Meta adalah yang paling parah. "Mas ini siapanya pasien, ya?" tanya seorang pegawai di balik meja administrasi. "Saya atasannya," jawab Rafka, mengundang lirikan si Mbak pegawai itu "Sebelumnya pasien sudah pernah ke sini?" "Belum," jawab Rafka lagi, tapi kali ini si Mbak pegawai menatapnya tak yakin. "Kami bukan orang sini," imbuh Rafka. "Saya pinjam KTP pasien." Dibukanya buku kartu milik Meta, mencari KTP dan menyerahkannya. Sekilas ia melihat foto Meta masih memiliki rambut panjang, seperti bukan Meta. Foto dengan model rambut yang hampir sama kembali iatemukan di SIM A dan SIM C, membuatnya penasaran kenapa Meta memangkas rambutnya hingga pendek, sedikit di bawah telinga. "Ada BPJS atau asuransi lain?"



Walkles 223



Rafka menggeleng. Ia tidak menemukan satu pun kartu asuransi milik Meta di buku kartunya "Pendidikan terakhir pasien apa, ya?" Dahi Rafka berkerut kemudian menggeleng. "Saya nggak tahu." "Baik, ini kartu berobat yang harus dibawa setiap pasien datang ke sini ya. Saya kembalikan KTP-nya," ucap pegawai itu, lalu mempersilahkannya pergi. Rafka duduk kembali di ruang tunggu, menunggu Pak Jo yang tak kunjung datang. Namun, baru saja meletakkan pantat, ia sudah dipanggil kembali oleh seorang perawat. "Benar wali saudari Meta?" tanya perawat itu memastikan. Rafka mengangguk, sedikit malas untuk menjawab. "Kami harus kirim ke radiologi terlebih dahulu buat memastikan kondisi tulangnya. Sementara pasien dibawa ke sana, mohon tanda tangani berkas dulu." "Rawat inap?" tanya Rafka sangsi. "Itu masih nunggu hasil rontgen. Nanti kalau diagnosa udah keluar, baru kami putuskan. Tapi kalau lihat kondisi bahu sama kakinya, kemungkinan iya," jelas



Walkles 224



perawat itu sambil membuka-buka berkas yang harus Rafka tanda tangani. Rafka bergeming memikirkan kemungkinan Meta dirawat. "Kalau dirawat, saya minta dirujuk ke Jogja aja." Memikirkan Meta dirawat di sini, Rafka yakin hal ini akan lebih menyulitkannya karena letaknya yang jauh dari rumah. Ia menerima uluran pulpen dari perawat dan menandatangani lembar-lembar yang ditunjukkan. *** Di tengah raungan ambulans yang membawanya dan Meta menuju Jogja, Rafka mendengus kesal. Pak Jo yang tadi seharusnya hanya memarkir mobil, ternyata malah menjemput Pak Kamal tanpa bilang terlebih dahulu kepadanya, membuatnya mengurus administrasi rumah sakit dan membawa tas Meta yang super berat itu sendirian. Pak Kamal juga tidak kalah menyebalkan dengan membuatnya naik ambulans dengan alasan kasihan pada Meta, sedangkan Pak Kamal dan Pak Jo mengikutinya di belakang. Sesekali Rafka melirik ke arah mereka di belakang ambulans, lalu melirik Meta yang berbaring dengan mata terpejam di brankar.



Walkles 225



"Raf," panggil Meta dengan suara sedikit serak. Ia membuka matanya perlahan dan menatap Rafka kemudian. "Kamera gue rusak nggak?" Mendengar pertanyaan bodoh Meta, emosi yang tadi hanya seperti air panas yang beruap, kini mulai mendidih dan berbuih. Ia tidak habis pikir dengan Meta yang masih sempat-sempatnya bertanya tentang kamera. "Udah kayak gini masih nanyain kamera lo gimana?" desis Rafka tertahan. "Ya gue kepikiran. Tas gue di mana?" Mata Meta mencari-cari di sekeliling Rafka. "Di mobil." "Sama Pak Kamal?" "Emang menurut lo sama siapa?" balas Rafka kesal. "Lo liat aja nanti sendiri." Meta kemudian terdiam, melihat langit-langit ambulans sebelum kemudian kembali bertanya, "Gue nggak mungkin pulang hari ini, ya?" Rafka yang tadinya mengalihkan pandangan pada jendela, kini menatap Meta lagi. "Menurut lo aja deh gimana."



Walkles 226



Meta kembali diam. Dalam hati ingin ia mendebat Rafka, tapi mulutnya malas mengeluarkan tenaga ekstra. Selain karena setengah mengantuk karena obat penghilang rasa sakit, ucapan Rafka yang bikin orang lain ikut emosi itu kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, walaupun sedikit. "Lo mau balik kayak gini?" tanya Rafka lagi. "Gue ada kerjaan besok." Alis Rafka seketika berkerut. Kepala Meta terbentur, membuatnya jadi bodoh atau bagaimana? "Terus tangan lo nanti malem bisa sembuh setelah naik pesawat," ucap Rafka datar. Ia bisa melihat dari sudut mata kalau ujung bibir seorang perawat pria yang sejak tadi duduk diam di ujung sana berkedut-kedut menahan tawa. Meta sendiri memilih diam, ikut membungkam pikirannya yang carut marut tentang kamera dan schedule-nya yang ia bisa pastikan akan berantakan. Setelah menelan kedongkolannya pada Rafka, Meta memejamkan matanya hingga sirine ambulans yang menyusup samar-samar ke dalam mobil menghilang begitu saja dari pendengarannya.



Walkles 227



-19- Deliberate Tidak seperti biasa, jendela kamar masih tertutup ketika Rafka memilih untuk merebahkan diri di atas kasur selepas pulang dari rumah sakit. Baju kerjanya yang kusut masih melekat dengan bau parfum pagi tadi yang sudah bercampur keringat hasil berlarian mengurus Meta. Sore ini, hasratnya untuk tidur lebih besar daripada sekedar mandi atau membuka jendela. Tidak dihiraukannya suara ribut Bu Tiyem yang baru tahu kalau Meta masuk rumah sakit. Rafka mendesah panjang. Badannya lelah, tapi bayangan saat Meta jatuh, serta bentuk aneh bahu Meta dan luka memar di kakinya terlalu sering muncul saat ia terpejam. Otaknya belum bisa diajak kompromi. Tidur-tidur ayamnya juga tak membuahkan hasil, terlebih karena tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Awalnya Rafka ingin mengabaikannya, tapi sampai kali ketiga, telepon masih belum berhenti. "Ya?" jawab Rafka agak malas. Ia menyerah, tak tahan sendiri karena ponselnya terlalu berisik. "Apa kabar, Rafka?" sapa seorang wanita di ujung sambungan.



Walkles 228



Rafka mengerutkan dahinya. "Siapa?" "Ini Evelyn." Evelyn memberikan jeda sebentar, berjaga kalau Rafka hendak menjawab. Namun, ketika hanya ada hening, ia melanjutkan, "Aku denger kamu udah di Jogja sekarang?" Rafka mengerjapkan matanya, jujur saja ia tidak terlalu menyangka akan ditelepon oleh seorang artis sore-sore begini. "Yap, emang di Jogja. Ada yang bisa dibantu?" Evelyn mengulum senyumnya. "Nggak sih, besok aku ada Meet and Greet di Jogja City Mall, tapi udah nyampe dari tadi sore. Ada yang harus aku omongin ke kamu. Malem ini ada waktu?" Rafka menggaruk bagian atas alisnya yang tidak gatal dengan mata terpejam. "Besok?" "Besok aku harus terbang ke Surabaya." Rafka mengembuskan napas panjang melalui hidungnya agar tidak terdengar di telepon. Ia kemudian melirik jam yang melingkar di tangannya. "Jam delapan?" "Fine. Di Hotel Ambarukmo?" "Kirim aja location-nya."



Walkles 229



Setelah mengucap salam untuk memutus telepon, Rafka kembali meletakkan ponselnya. Ia memejamkan mata dan kali ini, akhirnya ia bisa terlelap. Rafka merasa belum lama tertidur ketika kesadarannya dikembalikan oleh suara ketukan. Bu Tiyem terus memanggil namanya tanpa berani membuka pintu, membuat Rafka harus bangkit agar Bu Tiyem bisa tahu bahwa dirinya sudah terbangun. "Mas Rafka," panggil Bu Tiyem untuk kesekian kalinya dari balik pintu, kemudian diikuti ketukan tiga kali. Rafka membuka pintu dengan wajah mengantuk. "Kenapa, Bu?" "Lha kok belom ganti baju. Mas Rafka sakit, Mas?" "Nggak, saya ngantuk aja." "Ibu cuma mau ngingetin, Mas Rafka belum makan." Rafka mengangguk. Ia melirik jam dinding yang tergantung di ruang makan. Masih jam tujuh. Hampir saja ia lupa kalau ia memiliki janji dengan Evelyn. "Saya mandi dulu. Tolong bilangin ke Pak Jo untuk jangan kunci pagar dulu. Saya mau keluar."



Walkles 230



"Ke rumah sakit, Mas? Tadi Ibu mau nyuruh Bapak buat ke rumah sakit untuk nganter bajunya Mbak Meta, tapi kalau Mas Rafka mau ke sana, Ibu ndak titipke Mas Rafka wae." Rafka berdecak kecil, kemudian mengangguk. "Siapin aja, saya mandi dulu," ucap Rafka sambil berlalu. Tak ada lima belas menit, Rafka sudah siap kembali. Tubuhnya terasa lebih segar dan pastinya wangi. Bajunya juga sudah berganti dengan kaos Balenciaga warna keabuan, oleh-oleh dari Tante Risma saat pulang dari Paris beberapa waktu lalu. Kembar dengan Bian, kalau ada yang ingin tahu. "Mau makan dulu, Mas?" tanya Bu Tiyem ketika mendapati Rafka keluar kamar dan melirik meja makan. Rafka melihat jam, kemudian melirik lagi ayam goreng tepung dan uleg yang masih di atas meja makan. Ayam geprek kesukaannya. Setelah beberapa detik berpikir, Rafka mendudukkan pantatnya di kursi makan dan bersiap membalik piring. Makan sebentar mungkin tidak akan membuatnya terlambat. ** Sebuah kaleng soda masih tertutup rapat di genggaman tangan Evelyn. Bukannya diminum, ia masih



Walkles 231



menumpukan dagunya di kaleng itu dengan siku tersangga pada kedua lututnya. Sepuluh menit yang lalu sebenarnya ia sudah selesai mandi. Bukannya segera berpakaian, tapi yang dilakukannya hanyalah memelototi tiga pasang baju santai yang menggantung di lemarinya, di depan matanya. Entah kenapa, rasanya hari ini ia ingin tampil tak mengecewakan. Ia tidak ingin memperburuk impresi Rafka terhadapnya. Ia ingin memperlihatkan kepuasannya terhadap kehidupannya sebagai seorang model. Tiga baju di depannya ini bukan baju pilihan stylist-nya, melainkan pilihannya sendiri. Namun, bukannya merasa percaya diri, Evelyn malah semakin ragu dengan pilihannya. Lelah dengan isi kepalanya, Evelyn segera berdiri dengan tekad membara. Diletakkannya kaleng soda itu di atas meja dengan bunyi gemeletak dan melangkah dengan mata terpejam. Diambilnya satu set baju yang ia gantung dengan asal dan memakainya dengan cepat. Dengan cekatan ia menyapukan riasan tipis agar tidak terlihat seperti belum mandi dan mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Ketika melirik jam yang sudah menunjukkan angka delapan, Evelyn segera bangkit dan keluar menuju restoran hotel.



Walkles 232



Evelyn merasakan beberapa orang melirik penasaran ke arahnya, tapi tak terlalu lama. Orangorang yang terlatih dengan kehidupan kelas atas seperti ini tak akan bisa mengusik kehidupan pribadinya. Berbeda dengan orang-orang udik yang akan memotretnya dan berbisik-bisik tak jelas hanya karena Evelyn bernapas dalam satu ruang dengan mereka. Ketika Evelyn selesai memilih sedikit tersembunyi, Rafka belum sudah berpesan pada pelayan seorang pria bernama Rafka menemuinya.



tempat duduk yang juga datang. Tadi ia agar mengarahkan Pramoedya untuk



Tepat pada menit keenam belas, Evelyn mendapati sebuah bayangan menutupi sinar lampu yang mengarah padanya. Rafka berdiri menjulang di dekat mejanya dan duduk sebelum Evelyn persilakan. Dengan senyum tertahan, Evelyn memperhatikan semuanya. Bahkan ia juga mencium campuran wangi sabun dan parfum menguar dari tubuh Rafka. Sepertinya ia akan mengingat wangi ini selama yang ia bisa. "Sorry, telat," ucap Rafka. "Nggak papa, nggak lama juga."



Walkles 233



Seorang pelayan menginterupsinya dengan membawakan sebuah buku menu. Setelah dengan khidmat membaca menu, keduanya menyebutkan pesanan yang mereka inginkan. "Kamu nggak makan?" tanya Evelyn mendapati Rafka hanya memesan minum.



ketika



"Kebetulan tadi udah makan. Lagi pula, saya nggak bisa lama-lama." Rafka bergerak membetulkan posisi duduknya. "Apa yang perlu kamu omongin?" Evelyn mengembangkan senyumnya. "Nggak, aku cuma mau ngomong tentang progres kerjaan. Kemarin aku udah ketemu sama perwakilan perusahaan periklanan yang kamu tunjuk. Nanti kita baru bisa mulai setelah tour buat film aku selesai. Nggak papa?" "Saya nggak masalah. Yang penting target saya tercapai aja udah cukup. Masalah waktu, saya percaya kamu profesional." Gigi-gigi Evelyn yang berjajar rapi terlihat ketika senyumnya semakin merekah. "Aku pegang kepercayaan kamu," ucapnya. Rafka menaikkan alis dan bahunya bersamaan. Bibirnya bahkan sedikit mencebik lucu. Lucu? Oh, please Ev! "Sama ada satu hal lagi." "Apa?"



Walkles 234



"Tentang omongan kamu waktu itu, pandangan kamu tentang profesi aku sebagai model." Evelyn sengaja memberi jeda. "Kamu... bikin aku menyadari satu hal." Rafka masih menatapnya dengan pandangan bertanya. Pandangan yang sepertinya menyampaikan sesuatu ke dalam diri Evelyn. Beruntung pelayan cepatcepat datang membawakan pesanan mereka, sehingga Evelyn bisa terbebas dari keanehan dirinya. Selepas pelayan itu pergi, Evelyn kembali menetralkan dirinya dan melanjutkan ucapannya. "Aku punya mimpi yang dulu pernah aku lupain karena ngejar karir modelling. Kamu bikin aku pengen ngewujudin hal itu sekali lagi. Dulu aku pernah mati-matian belajar buat jadi jewelry designer." Rafka tertawa sinis. "Saya nggak nyangka seorang Evelyn punya tujuan hidup lain selain jadi model." "Maka dari itu aku harus berterima kasih sama kamu karena kamu bikin aku bisa menyadari itu." Rafka menggeleng. "Nggak, keinginan itu saya yakin tumbuh dari dalam diri kamu sendiri. Kalaupun saya ikut andil saya pasti cuma perantara," ucapnya. Ia kemudian



Walkles 235



melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Maaf, kayaknya saya harus pergi. "Buru-buru, ya? Maaf aku ganggu waktu kamu," kata Evelyn cepat dengan nada tidak enak.2 "Nggak, saya cuma harus ke rumah sakit." "Siapa yang sakit?" "Meta," ucap Rafka seolah Evelyn juga mengenal orang itu. Setelah terdiam beberapa detik, Evelyn kemudian memekik, "Meta fotografer hari itu?" Rafka mengangguk mengetahui 'hari itu' yang Evelyn maksud. "Kok bisa?" tanya Evelyn penasaran. Ia tidak menyangka kalau Meta juga berada di sini. Atau sebenarnya menyangka Meta juga akan berada di Jogja, tapi yang jelas bukan sekarang. "Kecelakaan siang tadi," jelas Rafka. "Boleh aku ikut jenguk Meta?" *** Meta membuka matanya dan melirik ke sekeliling dengan posisi telentang. Ia tidak sadar telah tertidur,



Walkles 236



sedangkan sekarang kamar rawatnya dalam keadaan kosong melompong. Mungkin Pak Kamal dan Rafka sudah pulang setelah sesorean menemaninya. Ia mendesah panjang. Betapa satu detik kecerobohan benar-benar merusak segala rencananya. Saat ini kakinya di gips karena tulang keringnya retak dan bahunya harus disangga karena dislokasi. Meta melihat langit-langit kamar rawatnya dan memejamkan mata kembali untuk merutuki kecerobohannya. Ketika bayangan Fiki dan Gale melintas, Meta teringat bahwa ia belum menghubungi mereka sejak tadi. Ia melirik ke nakas. Tadi ia sempat melihat Pak Kamal meletakkan barang-barangnya di kabinet dan meletakkan ponselnya di laci nakas. Dengan sedikit usaha lebih, Meta menggunakan tangan kirinya yang bebas untuk mengambil dan menghubungi Fiki. "Ya, Mbak?" Tak sampai nada sambung kedua, Fiki sudah menjawab panggilannya. "Gimana sekarang? Lo nggak papa?" "Lo tahu?" tanya Meta terkejut. Ia pikir Fiki belum tahu karena ia sama sekali belum memberikan kabar.



Walkles 237



"Tadi sore ada telepon ke kantor yang ngabarin kalo elo jatoh. Paniklah kita sesorean ini. Tapi problem solved kok, lo tenang aja, Mbak," ucap Fiki tenang. Hal itu malah membuat Meta mengernyit heran. "Gale tahu?" "Tahu, Mbak, tadi dia dateng ke studio soalnya ada klien yang separo sesi fotonya gagal outdoor karena hujan deres." Fiki diam sebentar. Suaranya kemudian menjauh, terdengar mengobrol dengan seseorang. "Nih, Mas Gale mau ngomong." "Nyet? Lo gimana?" suara Gale ganti terdengar. Ada sedikit nada khawatir di baliknya, walaupun agaknya Meta tak yakin. "Nggak oke. Kalo nggak ngobat, gue yakin masih sakit. Kaki gue di gips, gue susah gerak karena bahu gue abis dibenerin sama dokter," curhat Meta tidak menutupi nada kesal dalam suaranya. "Anak-anak gimana? Schedule gue berantakan, klien pada mau direschedule?" "Schedule lo gue yang handle semua. Lo fokus istirahat dulu aja," ujar Gale kalem. "Le, schedule gue nggak dikit ya!" protes Meta tidak habis pikir. Ia berencana meminta klien-klien mereka



Walkles 238



memberikan belas kasih untuk mengubah schedule pemotretan yang seharusnya ia kerjakan. "Tapi orang-orang yang mau nikah itu juga punya schedule sendiri, Met." Meta mendesah. Apa yang Gale ucapkan memang ada benarnya. Ia tidak bisa merusak jadwal klien mereka. "Tapi gue nggak mau diem aja di sini. Paling nggak gue bisa pulang ngerjain apa gitu." Meta mengucapkannya dengan nada memohon. "Lo bilang tangan sama kaki lo cedera, emang lo bisa naik sendiri ke kamar lo di lantai tiga? Kalo bisa ntar gue jemput." Meta mencebik, lagi-lagi tahu bahwa Gale benar. Kenapa juga kamarnya terletak di lantai tiga studio? Kenapa bukan lantai satu saja? Kalaupun memakai kruk, pasti masih menunggu waktu untuk bahunya sembuh dan latihan dulu. Tidak bisa seinstan membuat Marimas ataupun Milo sachet. Sepintas ide tiba-tiba saja melintas di kepala Meta bagai bintang jatuh. "Tuker tempat aja sih, lo tinggal di kamar atas, biarin gue tinggal di kosan lo."



Walkles 239



"Nyet, nggak usah kumat gilanya. Kosan gue koskosan cowok yang murah, kamar mandi luar pula. Daripada elo marah-marahin orang kos gue masalah kebersihan kos gue atau gara-gara lo digodain cowokcowok gak jelas di kos, mending nggak usah." "Kok jadi gue, sih?" "Ya emang elo yang lebih ngeri." "Sialan lo," umpat Meta kesal. "Atau Fiki deh, kasih teleponnya ke Fiki." Dengan pasrah, ponsel kembali berpindah tangan. Fiki yang sejak tadi berada di dekat Gale sebenarnya mendengar semua percakapan Gale dengan Meta. "Fik, tadi lo denger, kan? Gimana?" "Anu, Mbak, kosan gue kan khusus cowok. Nggak boleh bawa-bawa cewek, Mbak. Lagian gue kan di lantai dua." Fiki menjawab dengan nada sungkan. Meta mendesah berat. "Terus gue harus gimana dong?" Setelah keheningan melanda selama beberapa menit, Gale kembali menjawab, "Ya udah sih lo istirahat aja di sana dulu. Gue handle pemotretannya, Fiki kerja ikut gue, hasil pemotretan biar langsung di upload di



Walkles 240



cloud-nya Imagen, terus elo yang kerjain editing-nya semampu elo." Meta terdiam, membuat skenario kehidupannya sendiri dalam beberapa hari ke depan. Ia kemudian mendesah, menyerah dengan usul Gale. "Gimana?" "Lo kepikiran nggak sih kalo di sini gue ngerepotin banyak orang juga? Gue nggak enak sama mereka." Nada bicara Meta menjadi lebih lunak. "Lo pikir kalo elo pulang ke Imagen, lo nggak bakal ngerepotin orang?" "Lo nggak mau gue repotin? Sialan lo ya!" "Atau lo mau pulang ke tempat orang tua lo aja?" "Pulang ke orang tua... Lo gila?!" teriak Meta lebih kencang. "Setidaknya di sana lo bisa lebih terurus. Nggak kayak di sini," ucap Gale berusaha memberikan alasan yang logis. "Gue nggak yakin gue bakal diurus walaupun gue pulang ke sana," desis Meta sambil memejamkan mata, menahan kesal. "Kenapa semuanya jadi serba salah gini, sih?"



Walkles 241



"Ya udah sih, Nyet. Mending lo telan rasa nggak enak lo, terima aja kebaikan mereka di sana." "Iya kalo baik. Kalo yang ada tukang marah, sombong, angkuh, egois? Gimana?" "Elo kan juga tukang marah, sombong, egois. Ngapain bingung?" Baru saja Meta hendak memuntahkan sumpah serapahnya yang sudah berada di ujung bibir ketika pintu kamar rawatnya tiba-tiba terbuka. Rafka berdiri di baliknya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. Emosi, tapi tidak emosi. Datar, tapi tidak datar. Santai, tapi juga tidak santai. Ia melangkah memasuki kamar dengan membawa sebuah tas di tangan kirinya. "Siapa yang tukang marah, sombong, angkuh, egois?"



Walkles 242



20 – Oasis "Siapa yang tukang marah, sombong, angkuh, egois?" tanya Rafka tenang, pura-pura ingin tahu apa yang Meta bicarakan. Ia meletakkan tasnya dengan perlahan di kabinet, tapi hal itu malah membuat Meta terintimidasi. Ia bisa melihat Meta dengan gugup mematikan percakapannya dengan seseorang di telepon. Ingin rasanya Meta menjawab 'Elo!' langsung di depan muka Rafka, kemudian menunjuknya tepat di tengah hidung hingga membuat kedua matanya juling. Sayang nyali Meta ikut luntur seiring dengan langkah kaki Rafka saat mendekati kabinet di sebelahnya tadi. Meta hanya bisa menelan ludahnya yang terasa bagai duri bercampur getah daun pepaya. Sakit. Pait! Rafka melangkah menjauh tanpa sedikitpun melirik Meta yang tengah mengawasinya. "Baju lo udah dicuci sama Bu Tiyem," ucap Rafka lagi sambil meletakkan pantatnya di sofa tidur ruang VIP. "Bi—bilangin makasih ke Bu Tiyem," gagapnya. "Lo nggak makasih bajunya udah gue anter ke sini?"



Walkles 243



Meta memutar matanya malas. Yang begini masa tersinggung kalau dibilang angkuh dan egois? Seharusnya dia bisa mengira-ngira yang tadi itu sifat siapa. "Makasih." Namun, rupanya kedatangan Rafka kali itu tidak sendiri. Seorang wanita semampai ikut masuk ke ruang rawatnya, mengenakan kacamata hitam, dengan bingkisan buah berukuran besar di tangannya. Rasa bingung yang berputar di dalam kepalanya sirna tepat ketika wanita itu membuka kacamata, sadar bahwa dia Evelyn Fransiska. Meta mengerjapkan mata berkali-kali, takut salah lihat. "Loh? Evelyn?" tanya Meta ragu. Siapa tahu benturan kepalanya membuat pengelihatannya jadi rabun. Evelyn tersenyum lebar. Ia mendekat dan meletakkan buah-buahan yang ia bawa disebelah tas baju Meta. "Rafka ngasih tahu aku kalau kamu kecelakaan dan lagi dirawat di sini. Sekarang keadaan kamu gimana?" "Bentar, kok elo bisa di sini? Eh, maksud gue, lo lagi di Jogja?"



Walkles 244



"Aku ada jadwal Meet and Greet di sini besok, makanya telepon Rafka buat ketemu. Eh, nggak taunya kamu di sini juga. Kok bisa jatuh, sih? Gimana ceritanya?" Meta akhirnya menceritakan peristiwa versinya, yang kemudian hilang kesadaran dan bangun-bangun berada di rumah sakit. "Ya ampun, segitunya kamu sama lensa aja." "Mahal tahu! Belahan jiwa gue itu. Nggak kayak lo yang mewek seepisode aja bisa ratusan juta." "Dasar!" Evelyn tertawa mendengar pembelaan Meta. Sudut matanya menangkap Rafka yang tengah melihat-lihat ponselnya dengan tatapan kosong, membuatnya menoleh. "Kamu tadi ke mana dulu, Raf? Katanya langsung naik?" tanya Evelyn pada Rafka, yang ditanya malah gelagapan walau sepintas. Dalam sekedipan mata, langsung terlihat biasa saja. Rafka memberi jeda sebelum menjawab, "Memang langsung naik." "Kok masuk ke kamar hampir barengan, sih? Padahal aku di bawah lama banget."



Walkles 245



"Saya juga punya urusan lain," jawab Rafka sedikit keki. Ngapain juga Evelyn tanya-tanya. Ia kemudian tak memandang apa pun lagi selain ponselnya, mengabaikan Meta dan Evelyn yang selanjutnya memandang dirinya aneh karena baru saja mengatakan sesuatu yang berlawanan. "Udahlah, nggak penting juga dia ngapain," putus Meta malas. Mood dan pikiran Rafka itu hanya Rafka sendiri dan Tuhan yang tahu. Mau ke sini nganter baju aja udah syukur. Mau tak mau Evelyn mengangguk dan tersenyum tipis. Ikut mengabaikan Rafka walaupun matanya sesekali tetap melirik. Ia melanjutkan obrolannya dengan Meta yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar basa-basi. Sayang keadaan itu tak bisa bertahan lama. Sudah lebih dari empat kali Rafka melirik Apple Watch di pergelangan tangannya dalam tiga puluh menit sejak ia duduk di sofa tidur. Tidak sekalipun ia memperhatikan obrolan Meta dan Evelyn. Isi kepalanya sudah sibuk sendiri tanpa diperintah karena tidak sengaja mendengar obrolan Meta di telepon dengan entah siapa.



Walkles 246



Jujur saja, sepertinya ia mendengar terlalu banyak dari yang seharusnya ia ketahui. Ia kesal karena terlalu banyak asumsi yang ikut muncul di kepalanya tanpa diminta, sehingga nalarnya berusaha berjalan-jalan tak tentu arah untuk mencari kebenaran. "Gue mau pulang. Lo mau di sini atau ikut gue?" tanya Rafka tiba-tiba sambil menunjuk Evelyn dengan dagu. Ditembak pertanyaan begitu secara tiba-tiba, Evelyn jadi gelagapan. Matanya berkedip bingung. "Eh..." "Nggak-nggak, jangan pulang dulu. Gue mau ngomong sama lo," cegah Meta. Ia harus bicara pada Rafka agar Rafka mau membantunya pulang. Bagaimanapun juga, Meta harus pergi dari Jogja. "Besok aja," putus Rafka datar sambil berjalan keluar, membuat Meta hanya bisa menganga mendengar balasannya. "Dasar raja setan!" maki Meta pada Rafka. Evelyn yang merasa tidak punya pilihan lain buruburu berpamitan. "Gue ikut balik ya, Ta. Semoga cepet sembuh." Setelah cipika-cipiki sebisanya, Evelyn pergi menjauh. Ia menyempatkan diri untuk menoleh dan



Walkles 247



mengucap maaf tanpa suara sebelum menghilang dari pintu. Pasca kepergian Rafka dan Evelyn, hening kembali menyergap. Meta hanya terdiam menatap langit-langit kamar. Setelah mengembuskan napasnya perlahan melalui mulut, Meta meraih ponselnya. Dengan bimbang diperhatikannya nama kontak yang ada di ponselnya itu. Ia ingin menekan tombol telepon, tapi nyalinya terlalu ciut. Meta kembali mendesah, menghilangkan rasa sesak yang bercokol di hatinya saat sedang seperti ini.2 *** Matahari masih mengintip dari balik garis horizon ketika Meta terjaga untuk kesekian kalinya. Malam jadi terasa lama karena tidurnya tidak nyenyak. Badannya terasa lengket karena belum mandi sejak kemarin. Walaupun Meta tidak keringatan karena hanya memakai selembar kain baju pasien dan selimut, tetap saja kalau tidak mandi terasa tidak enak. Mau bangun untuk pipis saja sulit, apalagi mau mandi. Baru saja ia hendak meraih botol minum di atas kabinet, handle pintu bergerak turun. Bu Tiyem muncul di baliknya dengan raut lega karena ia tak salah kamar.



Walkles 248



Langkahnya tergopoh-gopoh untuk segera mendekat. Di belakangnya Pak Jo mengikuti dengan membawa rantang dan tas besar yang entah apa isinya. "Ya Gusti... di bebat-bebat akeh tenan. Aduh biyung, Mbak Meta kok iso nganti kayak gini," ucap Bu Tiyem sambil menyentuh kaki dan pundak Meta secara perlahan, seolah-olah kalau salah pegang akan pecah. "Cuma dua, Bu." Meta berusaha menenangkan Bu Tiyem yang tidak bisa menyembunyikan raut khawatirnya. "Kok jam segini udah bangun to, Mbak. Kebribenan Ibu opo piye?" "Sayanya aja yang nggak bisa tidur kok. Bu Tiyem pagi-pagi kok udah ke sini? Nggak masak?" "Sudah Mbak, Ibu sudah masak. Tadi minta diantar ke sini dulu sebelum orang-orang berangkat kerja. Coba kalau mobil satunya sudah keluar dari bengkel, ya bapak saya suruh berangkat nanti biar bisa antar Ibu dulu." "Bapak langsung pamit saja ya, Mbak? Takut Mas Rafka nungguin nanti. Tadi belum bangun waktu saya berangkat ke sini," pamit Pak Jo seraya meletakkan tas besar dan rantang di sebelah kabinet.



Walkles 249



Meta hanya mengangguk, mengikuti kepergian Pak Jo dengan ekor matanya. Setelah pintu tertutup rapat, Bu Tiyem langsung sibuk membuka tas yang dibawanya. Kotak-kotak yang Meta yakin berisi makanan karena baunya dipindahkan ke atas kabinet dan ke kulkas. "Bu Tiyem bawa apa? Kenapa repot-repot gitu, sih?" "Lha Mbak Meta dirawat di sini, makanannya kan ndak enak. Nanti makannya nggak bisa banyak, nggak sembuh-sembuh." Meta terkekeh mendengar jawaban Bu Tiyem. Diam-diam hatinya ikut menghangat karena menerima curahan perhatian seperti ini. Namun, kekehannya tak bertahan lama. "Bu Tiyem, boleh bantu saya ke kamar mandi? Saya kebelet pipis." Sambil mengulurkan tangannya membantu Meta untuk bangun, Bu Tiyem bertanya, "Oalaah, dari kemarin ndak ada yang nunggu, yang bantuin siapa?" Meta meringis menahan sakit-sakit pada sekujur tubuhnya. "Saya bolak-balik panggil perawat." "Ibu ini malih nelongso to yo dengernya," ucap Bu Tiyem prihatin. "Maaf Ibu baru bisa ke sini ya, Mbak."



Walkles 250



"Nggak papa, Bu. Saya juga nggak mau ngerepotin Bu Tiyem sama Pak Jo." "Nggak ngerepotin, Mbak. Namanya manusia ya harus saling bantu kalau ada kesulitan. Masa Ibu mau marah marah terus ngusir Mbak Meta kan ya ndak mungkin."+ Meta mencebik mendengar perkataan Bu Tiyem. "Yang marah-marah dan nggak peduli kalau saya lagi susah, ada tuh, Bu." Begitu paham dengan siapa yang Meta maksud, Bu Tiyem langsung tertawa terbahak-bahak. "Mas Rafka itu baik lho sebenarnya, Mbak. Mung kalo punya karep, kadang-kadang Ibu juga bingung karep e piye." "Bu Tiyem aja bingung, apalagi saya," ucap Meta sambil sebisa mungkin menjaga keseimbangan tubuhnya. Begitu mendekati kloset, ia melepaskan pegangan tangannya dari pundak Bu Tiyem, tapi Bu Tiyem tidak melepaskannya. "Saya bisa dari sini, Bu." "Ndak, ndak, saya temenin sampe duduk," ucap Bu Tiyem terdengar seperti tidak bisa dibantah. "Nanti bau, saya nggak enak sama Bu Tiyem."



Walkles 251



"Anak-anak ibu kalo pipis juga bau, Mbak. Ndak papa," jawab Bu Tiyem. Ia kemudian membantu Meta untuk duduk dan menungguinya hingga selesai. "Badannya Ibu lap pakai handuk basah mau?" Meta mengangguk dan Bu Tiyem menyambutnya dengan senyum hangat. Badannya memang terasa lengket. Ia ingin mandi sejak kemarin, tapi tidak bisa. Sementara menunggu Bu Tiyem mengambil kursi untuk menyangga kakinya, Meta menggigit pipi bagian dalamnya. Pangkal hidungnya terasa menyengat dan matanya memanas. Sudah lama Meta tidak merasakan perhatian yang melimpah seperti ini, bahkan hampirhampir ia lupa bagaimana rasanya diperhatikan. "Ndak perlu sungkan, Mbak. Ibu ndak pernah keberatan kalau Mbak Meta minta apa-apa. Asal ndak minta gendong aja, soalnya Ibu ra kuat," ucap Bu Tiyem sambil terkekeh-kekeh mendengar candaannya sendiri. Bukannya ikut tertawa, air mata malah tak berhenti menetes dari mata Meta. Meta kira, ia tidak akan pernah merindukan sosok wanita yang melahirkannya itu. Ternyata ia salah besar. Ketidakberdayaannya hari



Walkles 252



ini dan segala perhatian Bu Tiyem membuatnya merasa butuh sosok mamanya kembali. "Lho lho lha kok nangis iki piye iki?" pekik Bu Tiyem panik. Buru-buru ia memeluk dan mengelus-elus kepala Meta. Tapi bukannya menenangkan Meta, Bu Tiyem malah ikut menangis sambil memeluknya. "Oalah gusti, paringono kuat anak wedokku iki, adoh saka sanak kaluargo..." isaknya. "Aduh!" rintih Meta tak sengaja karena Bu Tiyem tak sengaja menekan pundaknya yang sakit. "Eh, Ibu lupa, ora sengaja!" ucap Bu Tiyem sambil cepat-cepat melepaskan pelukannya. Keduanya kemudian hanya diam dan bertatap muka hingga akhirnya malah terpecahkan dengan tawa. "Bu Tiyem kenapa ikut nangis, deh!" kata Meta di sela tawanya. "Lha Mbak Meta nangis duluan yo Ibu ndak tega," balas Bu Tiyem sambil melepaskan baju Meta perlahan, takut menyenggol pundaknya lagi. Dengan perlahan, Bu Tiyem mengusap tubuh Meta dengan handuk basah yang diberi sedikit sabun. Dalam hati Meta bersyukur telah dipertemukan dengan Bu Tiyem, yah, walaupun harus melalui perantara titisan



Walkles 253



iblis dahulu. Setidaknya hari-hari terakhirnya di sini sebelum kembali tidak akan terasa seperti neraka. *** ❤ 45608 suka Lambe_Tumpah HOT! HOT! Hadeh, ini si sesembak kalo ditanya nggak pernaaah jawab... Dengan kekuatan hengpong jadul, ternyata semalem ketauan keluar dari rumah sakit sama babang tamvaaaann!!! Ada apakah gerangan??? Lihat 5712 komentar... 2 jam yang lalu.



Walkles 254



- 21 - Leakage Rafka melirik ponselnya. Layarnya berkedip-kedip, tapi tak keluar nada dering karena telah dia ubah ke mode diam. Sudah 37 kali ponsel itu terus menerima panggilan masuk dan Rafka masih sengaja mengabaikannya. Demi seluruh tumpukan kertas yang ada di depannya, apa Bian nggak punya kerjaan jam segini sudah telepon berkali-kali? Kalau nggak punya kerjaan, mending Rafka minta Om Eri saja untuk sekalian memutasinya ke sini. Seperti tidak tahu saja betapa sibuknya Rafka menjelang pembukaan hotel seperti ini. Pintu yang diketuk dari luar membuat Rafka mendongak. Sekretarisnya muncul dari balik pintu dengan muka ketakutan. "Pak Bian titip pesan lagi untuk segera terima telepon, Pak. Katanya penting. Gawat darurat," ucap Ruli dengan suara agak bergetar. Pasalnya sudah kali keempat ia melakukan hal ini. Lagi pula, kenapa sih bosnya itu? Tinggal angkat telepon apa susahnya? Iya kalo sambil mesem, lha ini tiap kali masuk, yang ada mukanya makin masam.



Walkles 255



Rafka mengangguk dan menyuruhnya untuk pergi lagi. Karena ponselnya masih berdering, Rafka akhirnya menyerah karena ingin tahu ada apa di balik 'gawat darurat' yang Bian maksud. Kalau sampai hanya karena Master sakit flu, Rafka yakin akan menuntut Bian ke kantor polisi karena sudah mengganggu ketenangannya. "Lo udah bosen idup?" tanya Rafka begitu ia menggulir tombol 'Answer'. "Lo yang udah bosen idup!" balas Bian tak kalah berapi-api. Dahi Rafka mengerut. "Kenapa gue?" "Lo ngapain sama Evelyn ke rumah sakit?! Lo beneran ke sana buat cek kandungan? Yang bener aja lo! Mampus lo kalo Master sampe denger! Mampus!" Kerutan di dahi Rafka semakin dalam. "Lo mabok apa gimana, sih? Ini masih siang! Nggak ada kerjaan lo? Mau gue mutasi ke sini?" "Eh, badak, elo kali yang mabok! Gue tanya, ngapain lo ke rumah sakit sama Evelyn?" Rafka memutar kursinya menghadap jendela. "Tahu dari mana lo?"



Walkles 256



"JADI BENERAN?" tanya Bian tak santai. Sepertinya ia sudah berdiri dari kursinya dan berjalan mondarmandir. "Daki dugooong, ceroboh banget lo jadi orang!" "Ya emang semalem nyatanya gue abis dari rumah sakit," jawab Rafka santai, tak ingin terpicu oleh kehebohan tak jelas ini. "Beneran Evelyn hamil? Semalem lo nganterin dia cek kandungan?" "Cek kandungan? Cek kandungan!" balas Rafka semakin tidak mengerti. "Lo dapet berita dari mana, sih? Dukun beranak?" "Heh, Homo Sapiens, sekarang jaman udah canggih. Apa susahnya sih mantau berita? Lewat televisi bisa, lewat smartphone lo bisa. Berita lo udah nyebar ke mana-mana!" "Ya gue sibuk, mana peduli sama berita nggak penting kayak gitu." "Masih nggak peduli?! Ya lo ke sini deh, biar tahu sibuknya orang-orang ngangkat telepon dari wartawan gosip. Nambah-nambahin kerjaan aja. Iya kalo elo bayar mereka," ujar Bian masih bersungut-sungut.



Walkles 257



Rafka menghela nafas. "Jadi kali ini beritanya gue ke rumah sakit karena nganter Evelyn cek kandungan? Gitu? Buktinya apa?" "Foto-foto lo keluar dari rumah sakit udah kesebar di Instagram..." Belum selesai Bian bicara, Rafka sudah memotong, "Itu nggak bener. Evelyn cuma ikut gue nganter baju ke rumah sakit." "Nganter baju? Nganter baju siapa?" Nada suara Bian langsung berubah. "Siapa yang sakit?" "Meta." "Meta?" tanya Bian tidak mengerti, membuat Rafka memutar matanya kesal. "Fotografer yang waktu itu." "Yang lo minta buat bikin video ads hotel lo?" "Iya." "Kok dia masuk rumah saki..." Suara Bian tidak berlanjut. Rafka memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Tidak perlu ilmu cenayang, Rafka sudah tahu kalau Bian sekarang sedang mengumpatnya dengan segala macam umpatan yang ada di dunia. Kalau perlu meninju meja dari kayu jati



Walkles 258



khusus di ruangannya. Rafka menyalakan televisi di ruangannya. Untuk pertama kalinya setelah ia pindah ke sini, televisi itu digunakan sebagai mana mestinya. Rafka belum sempat mengganti channel, tapi begitu TV menyala, Evelyn terlihat sedang berjalan masuk ke sebuah pusat perbelanjaan di Jogja. Ia tengah menghindari wartawan dengan berjalan cepat memasuki salah satu restoran di mall tersebut. Terdengar beberapa pertanyaan berusaha dilontarkan oleh wartawan, tapi Evelyn hanya menjawabnya dengan senyuman. Perhatian Rafka dari televisi teralihkan ketika ponselnya kembali berkedip. Kali ini bukan Bian, tapi papanya. Jika papanya sampai sudah tahu seperti ini, beritanya pasti sudah sampai di telinga seluruh petinggi hotel. Rafka hanya bisa menghela napas untuk kesekian kalinya. "Iya, Pa," jawab Rafka. "Bisa jelasin ke Papa apa maksud ini semua?" tanya Gani dengan suara dingin. Ia terdengar menahan amarahnya yang seakan hendak meledak. "Ini cuma salah paham. Berita-berita itu nggak bener, Papa bisa percaya sama aku."



Walkles 259



"Tapi gimana bisa berita kayak gitu muncul kalau nggak ada apa-apa? Nggak bakal ada asap tanpa api." "Papa bisa tanya ke Pak Kamal kalau Papa masih nggak percaya." "Segera bereskan semuanya. Hati-hati kamu Raf, jangan sampai nama baik keluarga kita kembali tercemar. Kamu lupa apa yang dulu sudah terjadi sampai... sampai..." "Iya, Rafka tahu," mengeraskan rahangnya.



potong



Rafka



sambil



"Jangan dekat-dekat dengan media. Jangan sampai terjadi lagi," ucap Gani tajam sebelum menutup teleponnya, meninggalkan Rafka yang terdiam memandangi televisi dengan tatapan yang menjauh. *** Evelyn memandangi Mbak Titi yang sudah kesekian kali mondar-mandir di depannya. Mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kalori terbakar akibat hal itu. Di langkah yang mungkin ke 119, Mbak Titi tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menurunkan ponsel yang sejak tadi menempel di telinganya. Ia kemudian berbalik, memandang Evelyn murka.



Walkles 260



"Kamu serius kan nggak ada apa-apa sama bos hotel itu? Gue mohon Ev, nggak usah bohong-bohong ke gue karena itu nggak guna." Mbak Titi berbicara dengan nada putus asa. "Ya, aku pengennya ada apa-apa, tapi kan nyatanya enggak. Kayak sebelum-sebelumnya, kalo emang ada apa-apa, Mbak Titi bakal jadi orang yang tahu pertama kali tentang masalah itu." "Bentar-bentar, kamu bilang, kamu pengen ada apa-apa?" ulang Mbak Titi merasa ada yang janggal. "Ini Mbak nggak salah denger?" Evelyn hanya tertawa kecil. Ia memandangi gelas sambil memainkan sedotan di gelasnya. "Dia bukan pria biasa, Mbak. Rafka itu spesial. Aku kagum sama dia." Mbak Titi cepat-cepat mengambil duduk di depan Evelyn dan mendekat. Ia bertanya dengan nada lirih, dan tak berusaha menyembunyikan keterkejutannya. "Ya ampun Ev, kamu suka sama dia?" Evelyn tertawa. Ia kemudian menggeleng. "Belum sedalam itu. Aku pikir itu mungkin aja terjadi, tapi belum. Masih sebatas kagum aja." "Beneran?"



Walkles 261



"Iyaaa! Mbak Titi nggak percayaan banget sih." "Evelyn, bisa ke sana sekarang?" panggil salah seorang perwakilan dari promotor. "Pokoknya kamu jangan ngomong yang aneh-aneh dulu, ya. Jangan mention nama Rafka dan apa pun yang menyertainya. Cuma promosi film." Evelyn mengangkat tangan dan membuat gerakan menarik resleting di mulutnya. "Cuma promosi film," ucapnya menirukan Mbak Titi. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan Mbak Titi, mengikuti perwakilan promotor yang memanggilnya tadi. Mbak Titi masih memandangi punggung Evelyn yang menjauh, kemudian meneguk minuman miliknya yang belum tersentuh dengan cepat. Ia sudah terlalu lama bersama Evelyn. Mau Evelyn berbicara belum menyukai Rafka, nyatanya Mbak Titi tahu bahwa hal yang terjadi adalah sebaliknya. Evelyn menyukai Rafka. Titik. Bahkan mungkin sudah cinta. Ini pertama kalinya Mbak Titi pendapati Evelyn jatuh cinta pada orang lain. Dulu, Evelyn-lah yang selalu dikejar-kejar oleh pria. Ia selalu mendapat lebih banyak cinta tanpa perlu repotrepot membalas lebih banyak lagi. Evelyn akan



Walkles 262



menerima pernyataan cinta dan ajakan berkencan mereka hanya karena ia merasa tidak enak. Lalu hubungan mereka akan selalu kandas di tengah jalan karena Evelyn terlalu pasif. Mbak Titi ingin mendukung apa yang Evelyn inginkan. Namun, ingatan tentang telepon yang kemarin ia terima beberapa hari yang lalu membuat dirinya menjadi bimbang. Mbak Titi meremas gelasnya memaksa pikirannya untuk memikirkan jalan keluar yang lebih aman. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Nggak, semuanya pasti akan berjalan mulus. Pasti. *** "Anak Bu Tiyem sekarang di mana?" tanya Meta sembari menunggu suapan makan siangnya. Bu Tiyem memaksa menyuapi walaupun ia berkali-kali mengatakan kalau ia masih bisa makan dengan tangan kiri. Ndak elok, kata Bu Tiyem. Bu Tiyem menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke mulut Meta sambil bercerita, "Yang pertama perempuan, sudah menikah. Dia ikut suaminya yang jadi pegawai negeri di Brebes. Yang kedua laki-laki..." "Heumuhan hama haya hak?" potong Meta.



Walkles 263



"Apa?" tanya Bu Tiyem tak mengerti. "Seumuran sama saya nggak?" ucap Meta setelah mengunyah dan menelan makanannya dengan cepat. Bu Tiyem tertawa mendengar pertanyaan Meta. "Masih kuliah, Mbak. Dikuliahkan Pak Pramoe di Malaysia." "Yaaah..." "Lha kok 'yah' to Mbak?" "Saya pengen punya mertua yang kayak Bu Tiyem aja. Coba anak ibu lebih tua sedikit dari saya, pasti langsung saya pepet duluan. Walaupun saya belum mau nikah sekarang, sih." Bu Tiyem masih terkekeh-kekeh. "Mas Rafka sepertinya masih belum punya pacar, Mbak." Mendengar nama Rafka disebut, Meta langsung mengerutkan alis. "Ibu nggak liat gimana anti-patinya dia sama saya? Masalahnya saya juga, Bu. Kalo ada grup haters-nya Rafka, saya mau deh daftar jadi ketuanya." Lagi-lagi Bu Tiyem tertawa terpingkal-pingkal. "Mbak Meta ini kok lucu banget, belajar teko ngendi to jane?"



Walkles 264



"Saya serius, Bu. Nggak ngelucu," ucap Meta tidak mengerti bagian mana dari kata-katanya yang lucu. "Mas Rafka itu baik, Mbak. Pinter juga. Mungkin Mbak Meta bilang gitu karena Mbak Meta belum kenal aja. Di antara cucu-cucu Pak Pramoe, Mas Rafka memang paling pendiam. Dia ndak banyak tingkah seperti Mas Bian atau Mbak Marina, tapi Mas Rafka tetep sing paling bisa ngayomi. Kayak kang mas karo adhine ngono lho." "Lho Rafka punya adik?" "Ndak, Mas Rafka itu anak tunggal. Mas Bian sama Mbak Marina itu misanan. Sepupu." "Oh, pantesan bisa egois dan seenaknya gitu," ucap Meta lirih sampai-sampai Bu Tiyem tidak mendengar. Entah ia mendapat teori cocokologi itu dari mana. "Dulu waktu masih sekolah, semuanya pasti liburan ke Jogja. Rumahnya rame. Saya masak banyak tiap hari sama Bu Pramoe karena mereka dikit-dikit luwe. Minta makan. Ndak boleh jajan di luar. Tapi sekarang jarang. Apalagi semenjak lulus kuliah, Mas Rafka ikut Pak Pramoe ke Jakarta. Semuanya jadi jarang ke sini. Sudah berapa tahun terakhir ini rumahnya sepi. Tinggal saya



Walkles 265



sama Pak Jo. Untung sekarang Mas Rafka tinggal di sini lagi." "Oh, Rafka dulu sejak kuliah udah di sini?" "Mas Rafka tinggal di sini sejak mau masuk SMP, Mbak. Setelah mamanya Mas Rafka ndak ada, Mas Rafka dibawa ke sini sama Bu Pramoe karena takut ndak ada yang ngurus karena papanya masuk penjara. Mas Rafka juga waktu itu sempat berhenti sekolah satu tahun karena harus terapi di rumah sakit. Dulu katanya... apa, ya? Ibu kok lupa namanya. Pokoknya waktu-waktu itu, keluarga lagi kacau banget Mbak. Wes, pokoknya Ibu bersyukur banget sekarang semua sudah baik-baik aja." Meta berhenti mengunyah dan menelan makanannya dengan susah payah. Ia tidak bermaksud mengetahui sedalam ini, tapi lagi-lagi Bu Tiyem bercerita sesuatu yang ia merasa tidak berhak untuk ia ketahui dengan gamblangnya. Ia tidak suka dikasihani, makanya ia tidak ingin kasihan pada Rafka walaupun sepertinya masa lalunya tidak begitu baik. "Apalagi sekarang kenal dengan Mbak Meta. Ibu itu kangen punya anak wedok. Sekarang udah nggak punya anak wedok yang diurusi, jadi Ibu udah nganggep Mbak



Walkles 266



Meta kayak anaknya Ibu sendiri. Mbak Meta nggak usah sungkan-sungkan lagi ke ibu." Meta melepaskan senyumnya. "Kalo gini terus kan saya jadi enak, Bu." "Halah! Mbak Meta ini!" Bu Tiyem kembali tertawatawa. "Nanti kalau Pak Jo datang, Ibu pulang dulu ya, Mbak. Kasihan nanti Mas Rafka sama Pak Kamal belum makan malam. Habis minum obat, Mbak Meta tidur saja." Meta hanya mengangguk, membiarkan Bu Tiyem beristirahat di sofa barang sejenak. Setelah dengan patuh meminum obat, Meta menyalakan ponselnya. Tak ada notifikasi yang berarti. Bahkan manusiamanusia di studio tidak ada yang menanyakan keadaannya. Meta menghela napasnya panjang. Apa mereka semua sibuk? Ia memutuskan untuk meninggalkan pesan di grup chat. Meta Mariska : Ada yang bisa gue bantu buat kerjain? Satu menit. Dua menit. Bahkan yang membaca pun tidak ada.



Walkles 267



Meta Mariska : Halo? Tangan gue masih bisa buat kerja Guys? Tapi pengaruh obat sepertinya lebih besar daripada keinginannya menunggu balasan. Tak lama Meta sudah tertidur pulas di kasurnya dan tak terbangun ketika notifikasi mulai bermunculan di ponselnya. G. Bimasatya : Berisik lo nyet, kita lagi meeting. Nggak usah sok-sokan workaholic gitu deh. Bunga : Istirahat aja, Mbak. Semua oke. Fiki A.: Ah, nggak usah bohong lo Mas Gale. Kita semua lagi makan di luar. Mas Gale



Walkles 268



abis dapet bonusan gede. Fiki A. send a picture G. Bimasatya : Ah gausah jujur-jujur lo Fik sama Meta. Ntar tahu di sini kita baik-baik aja,dia makin betah disana.



Walkles 269



22 - Responsibility Rafka sengaja pulang dari hotel lebih cepat dari biasanya. Hari ini pikirannya bercabang ke mana-mana. Belum selesai kepikiran dengan pembicaraan Meta di telepon kemarin yang membuatnya kepo setengah mati, sekarang Evelyn malah muncul dengan gosipnya. Ia hanya bisa berdecak kesal, pusing memikirkan jalan keluar. Entah kenapa Rafka selalu terngiang-ngiang ucapan Pak Kamal bahwa ialah yang membawa Meta ke sini. Kecelakaan Meta di tempat kerja harusnya menjadi tanggung jawabnya. Membiarkan Meta kembali dalam keadaan seperti itu akan membuatnya terlihat seperti orang yang tidak bertanggung jawab. Terlebih dengan media yang saat ini menyorotinya. Beberapa saat yang lalu, ia telah menelepon Imagen Studio untuk membicarakan Meta. Ia merasa berbicara pada Meta tidak akan berbuah banyak selain marah dan lelah. Oleh karena itu ia merasa harus mengobrol dengan seseorang dari Imagen dan mereka menyambungkannya dengan seseorang bernama Gale.



Walkles 270



"Apa memungkinkan kalau Meta balik ke sana?" tanya Rafka setelah sedikit berbasa-basi. Saat itu ia tengah menyeruput kopinya yang telah dingin di meja kerja. "Gimana kondisi dia sekarang?" Gale balas bertanya. Terdengar suara angin berembus dengan kencang, membuatnya sedikit berisik. "Seperti yang udah gue bilang kemarin, bahu kanan dan kaki kiri masih butuh penanganan. Mobilitas cuma bisa pakai kursi roda karena bahunya belum pulih untuk bisa pakai crutch." "Gue sebenernya nggak masalah kalau Meta mau balik ke sini, tapi takutnya gue nggak bisa ngurusin karena load kerjaan dia gue yang pegang. Studio juga nggak friendly buat penyandang disabilitas. Kamar dia di lantai tiga dan kami nggak bangun lift. Itu yang agak berat." Rafka hampir saja mengiakan. Iya, Meta memang berat. Kemarin ia sudah membuktikannya. "Keluarganya?" tanya Rafka. Kenapa ia tidak kepikiran bahwa seharusnya Meta punya keluarga yang mungkin bisa mengurusnya?



Walkles 271



"Keluarganya di Kalimantan. Bokapnya kerja di pertambangan batu bara. Tapi nggak mungkin Meta mau ke sana." Mendengar hal itu, Rafka menaikkan alisnya. "Kenapa nggak mungkin?" Gale terdengar ragu ketika hendak berbicara, tapi kemudian ia terdengar pasrah. "Gue bingung gimana ngomongnya. Intinya Meta udah lama nggak berhubungan lagi sama keluarganya, jadi keluarga kayaknya nggak bisa dijadikan pilihan." Gale diam sejenak sebelum melanjutkan, "apa nggak memungkinkan kalau gue nitip Meta dulu di sana?" Rafka terdiam, berpikir. Si Gale-Gale ini, dia bicara seolah-olah ia hanya menitipkan barang. Padahal nyatanya yang dititipkan sejenis makhluk buas yang harus diberi makan. Di satu sisi ia keberatan karena tidak ingin berurusan lagi dengan Meta, tapi di sisi yang lain ia mempertanyakan tanggung jawabnya. Rafka mendesah dalam hati, kenapa akhirnya yang repot tetep gue? "Kalo lo nggak keberatan, biar gue yang ngomong sama Meta nanti," ucap Gale lagi.



Walkles 272



"Yah... nggak ada pilihan lain yang bisa dia pilih," putus Rafka akhirnya. "Gue titip Meta, kalo ada apa-apa, lo bisa hubungi gue." Anggukan tak ketara itu mengakhiri sambungan teleponnya dengan Gale. Meta adalah tanggung jawabnya. Akhir-akhir ini ia ingin mengumpat saat mendengar kalimat itu. Bahkan ketika kalimat itu bersumber dari kepalanya sendiri. Rafka berdecak, kemudian memutar kemudinya untuk berbelok di parkiran rumah sakit. Setelah memastikan mobilnya terkunci, ia memasuki pelataran rumah sakit dan menaiki lift menuju ruang rawat Meta. "Wali nona Meta!" panggil seorang perawat ketika melihat Rafka melintas. Rafka menoleh, tapi tidak merasa terpanggil. Baru ketika perawat itu memanggilnya untuk yang kedua kali, Rafka baru sadar bahwa yang dimaksud adalah dirinya. "Mohon maaf, ada formulir yang harus ditandatangani, Pak," ujar perawat itu sambil menunjukkan lembaran yang harus ia tanda tangani. Rafka hanya menurut dan melakukan yang perawat itu



Walkles 273



perintahkan. "Kalau tidak ada halangan, kemungkinan besok Mbak Meta bisa pulang. Hasil CT Scan normal. Benturan di kepala cuma menyebabkan luka luar saja. Tinggal penyembuhan bahu dan kaki saja. Satu minggu lagi kontrol ke sini, di klinik Orthopaedi. Obat dan Surat Kontrol untuk rawat jalan, saya berikan besok, ya?" Rafka hanya mengangguk, mengiyakan. Jujur, ia sedikit merasa lega ketika mengetahui kondisi Meta tidak terlalu serius. Yah, setidaknya tidak terlalu banyak uang yang ia keluarkan untuk Meta. "Terima kasih," ucapnya sebelum berjalan kembali ke kamar Meta. Rafka membuka pintu kamar Meta perlahan. Sengaja berhenti sejenak, siapa tahu ia bisa mencuri dengar pembicaraan Meta seperti kemarin. Namun, sepi. Tidak terdengar apa-apa. Ketika pintu sepenuhnya terbuka, ia mendapati Meta sedang tertidur. Mau tak mau, Rafka harus menutup pintu secara perlahan dan menyimpan argumennya untuk beberapa jam ke depan atau menit. Dengan tanpa suara, Rafka berjalan mendekati tempat tidur Meta, mengecek jarum dan selang infus. Ada bekas darah di selang infusnya. Kakinya yang digips ditutup dengan selimut dan lengan kanannya di sangga. Kata orang, biasanya orang yang tidur terlihat tenang



Walkles 274



seperti malaikat. Namun, sepertinya ini tidak berlaku pada Meta. Ia masih terlihat seperti Medusa daripada malaikat atau makhluk-makhluk indah lainnya. Rafka mengayun-ayunkan tangannya di depan muka Meta, memastikan bahwa Meta benar-benar tertidur. Ketika tiba-tiba Meta membuka matanya yang memerah, Rafka berjengit ke belakang saking terkejutnya. Ia memegangi dadanya yang seolah baru saja berhenti berdegup dan memandang Meta jengkel karena membuatnya kaget. "Ngapain lo? Mau bunuh gue?" tanya Meta dengan suara serak khas bangun tidur. "Ada untungnya gue ngebunuh orang kayak lo? Kapan lo bangun?" balas Rafka sangsi kalau Meta sedang tidur. Pasti sebenarnya Meta sudah bangun sejak tadi. "Ya barusan!" Meta mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Ngapain lo di sini? Bu Tiyem mana?" "Ya mana gue tahu! Ngapain lo tanya gue!" "Ngapain lo di sini?" ulang Meta lagi.



Walkles 275



"Ya karena seinget gue, kemarin ada yang mohonmohon mau ngomong sama gue. Jadi nggak ada nih? Oke, bagus. Gue nggak perlu lagi repot-repot ke sini," ujar Rafka bersiap untuk pergi. "Eh, tunggu!" panggilan Meta membuat salah satu sudut bibir Rafka naik. Rafka berbalik, sok-sokan membuat gestur menunggu. Ia kemudian memutuskan untuk duduk di kursi penunggu di dekat tempat tidur Meta. Hampir dua menit berlalu dalam diam. "Masih lama nggak nih?" "Gue... gue mau nanya, mmmhh, biaya rumah sakit gue gimana?" Rafka hampir memutar matanya mendengar pertanyaan Meta. "Lo kecelakaan di tempat kerja, jadi lo pikir sendiri aja deh siapa yang nanggung. Tapi kalo elo mau bayar sendiri, gue juga nggak keberatan." "Ya kali aja gue tetep harus bayar sendiri. Kalo gue bayar sendiri, gue mau minta pindah ruangan, turun kelas sekarang juga." "Nggak perlu, besok juga lo pindah."



Walkles 276



"Pindah ke mana?" "Ke rumah." "Maksudnya gue boleh pulang? Besok?" Rafka mengangguk jengah. Meta menelan ludah. Ia seperti ragu hendak berbicara, tapi keraguan itu tibatiba hilang sekejapan mata. "Raf," panggil Meta, berusaha merendahkan dirinya untuk meminta bantuan Rafka. "Bisa nggak lo bantuin gue pulang?" "Pulang ke mana?" Tanya Rafka sebenarnya berusaha untuk memancing informasi lebih jauh tentang hubungan Meta dan keluarganya. "Ke studio. Banyak banget kerjaan yang harus gue handle. Gue nggak bisa ngelepasin temen-temen gue buat kerja sendirian." "Kita udah pernah bahas ini di ambulans, Meta. Lo balik ke sana juga lo nggak bisa kerja. Useless," ucap Rafka sambil melipat tangannya di dada. "Gue bisa kerja pakai tangan kiri."



Walkles 277



"Tapi belum lagi lo harus beli kursi roda. Belum juga lo ngerepotin temen-temen lo buat ngangkat lo ke lantai tiga..." "Tahu dari mana kamar gue ada di lantai tiga?" Rafka berusaha agar tak terlihat kaget. "Gue udah telepon ke studio lo. Mereka aja nggak mau lo balik ke sana karena mereka yakin lo bakal ngerepotin, ngapain lo maksa buat balik?" Sial. Meta mengumpat-umpat dalam hati. Temantemannya itu memang seperti ular. Musuh dalam selimut. Habis manis sepah dibuang. Mereka hanya ingin enaknya saja, tapi ketika ia sedang dalam masa sulit seperti ini, mereka tidak bisa diandalkan. Melihat Meta menahan rasa kesalnya dalam diam, Rafka melanjutkan, "Yang jelas, kalo elo mau balik, kasih gue kepastian kalo di tempat itu lo ada yang bantu. Gue nggak mau nama baik gue tercemar gara-gara gue menelantarkan pegawai gue yang kecelakaan di tempat kerja. At least gue bertanggung jawab sampe lo bisa dipastiin pulih, dan lo nggak bisa ngomong hal jelek tentang gue di luar sana."



Walkles 278



Meta berakhir hanya bisa mencebik. Ia menggerutu dengan lirih, "Pede banget sih bakal diomongin. Lagian siapa juga yang tertarik ngomongin orang kayak lo." "Apa?" "Gue pengen pipis!" Rafka hanya menaikkan satu alisnya. Tidak mungkin menggerutu sepanjang tadi tapi intinya cuma ingin pipis. Ia memperhatikan Meta yang berusaha bangun sambil meringis kesakitan. "Apa sisi kemanusiaan lo nggak tergugah ngeliat orang kesakitan?" tanya Meta kesal. "Nggak pernah diajarin ngomong kata 'tolong'?" Rafka balas bertanya. Mau tak mau ia mendekat dan membantu Meta bangun dari tidurnya dan berdiri. Ia mengernyit, memperhatikan baju tidur kedodoran yang Meta kenakan. "Lo dapet baju dari mana, sih?" Meta melirik Rafka. "Bu Tiyem yang beliin. Gue cuma bawa baju dikit. Udah syukur gue bisa ganti baju, daripada pake baju rumah sakit yang selembar doang." Rafka tak menanggapinya. Ia memilih diam, membawakan botol infus sambil membantu Meta yang tertatih-tatih ke kamar mandi.



Walkles 279



"Jangan ngintip." "Nggak ada yang bisa diintip." Meta hanya menaikkan alis, kenapa juga ia bisa lupa kalau Rafka itu seorang gay? Namun, walaupun begitu, ia baru menunaikan hajatnya ketika Rafka keluar sambil memegangi pintu kamar mandi. "Udah!" teriak Meta dari dalam. Rafka pun membuka pintu dan masuk untuk membantunya berjalan. "Pegang sendiri." Rafka menyerahkan botol infus pada Meta. Ia memposisikan tangannya di lutut dan punggung Meta, kemudian mengangkatnya. "Eh, eh, gue masih bisa jalan! Turunin!" protes Meta yang tiba-tiba merasakan tubuhnya melayang. "Nggak. Satu menit tiga belas detik gue terbuang sia-sia cuma karena nungguin elo jalan." "Cih..." Meta tidak bisa membalas, ia tidak habis pikir dengan Rafka. Rafka berhenti ketika didengarnya pintu terbuka. Keduanya menoleh ke arah pintu untuk melihat orang yang datang. Sesosok perempuan berjilbab yang tengah hamil tiba-tiba masuk. Meta kira perempuan itu salah



Walkles 280



ruangan, tapi ternyata ada Dira yang berjalan di belakangnya. Sesaat ia tersenyum, tapi dua detik berikutnya senyumnya berubah kaku. "Eh, selamat sore, Pak. Saya nggak tahu kalau Bapak juga di sini," ujar Dira setelah yakin bahwa dirinya bisa mengendalikan diri. Pasalnya ia sama sekali tidak berpikir kalau bosnya juga sedang menjenguk Meta saat ini. Terlebih dengan menggendong Meta seperti itu. Rafka berjalan kembali dan menurunkan Meta di tempat tidurnya. Setelah itu ia baru menyalami Dira dan mengangguk. "Sore." "Duduk, duduk." Meta mempersilakan istri Dira untuk duduk di kursi yang tadi Rafka tempati. Yang dipersilakan pun menurut. "Gimana keadaannya, Mbak?" tanya Tiwi, istri Dira, sambil menyentuh lengan Meta. "Yah, udah jauh lebih baik dari kemarin. Makasih udah dateng ke sini." Meta kemudian beralih menatap Dira yang berdiri canggung di dekat Rafka, masih sambil membawa bingkisan di tangannya. "Maaf ya, kemarin lo pasti kaget banget karena guenya ceroboh." "Saya yang harusnya minta maaf karena nggak segera ngerem. Kaki kamu gimana?" tanya Dira.



Walkles 281



"Patah sih, tapi kata dokter cuma perlu di gips aja. Nggak perlu operasi karena nggak sampai yang pecah gitu. Cuma kayak retak," jelas Meta ringan agar Dira tidak perlu merasa bersalah. Ia kemudian melirik Rafka yang sejak tadi hanya diam. Bukannya peka membawakan bingkisan yang Dira bawa. Dengan segenap hati Meta memberikan kode agar Rafka segera melakukannya. Melihat Meta melotot ke arahnya dan melirik ke arah Dira, Rafka hanya mengerutkan dahi. Meta terlihat frustasi terhadapnya. Apa lagi salahnya? Ketika Rafka mengikuti arah pandang Meta ke arah bingkisan yang dibawa oleh Dira, Rafka baru mengerti. Dengan pasrah ia berjalan mendekati kabinet yang penuh barang, memberikan tempat agar ia bisa meletakkan bingkisan yang dibawa oleh Dira. "Biar gue taruh di sana," tawar Rafka saat mendekati Dira untuk mengambil bingkisan. "Oh, nggak, Pak. Biar saya taruh sendiri saja," ucap Dira sopan. Masa iya dirinya membiarkan GM hotel meletakkan bingkisan untuknya. Keduanya kemudian kembali berdiri canggung sambil memperhatikan Meta dan Tiwi yang mengobrol.



Walkles 282



"Saya nggak tahu kalau Pak Rafka juga di sini. Pak Rafka sudah lama?" tanya Dira, memberanikan diri membuka obrolan agar tidak terlalu canggung. "Yah, lumayan," balas Rafka. "Progres marketing gimana? Udah beres?" "Sudah 80%. Tinggal menunggu advertising agency untuk..." "Dir, kalo Rafka nanyain kerjaan di luar jam kerja, nggak usah dijawab," potong Meta ketika mencuri dengar pembicaraan dua orang yang super membosankan itu. "Ah, wajar kok. Saya nggak keberatan," jawab Dira yang mengundang senyum puas dari Rafka. "Lagi pula saya memang belum melaporkan progresnya ke Pak Rafka." 'See?' batin Rafka. Meta yang melihatnya hanya menatapnya datar dan mengalihkan obrolannya kembali dengan Tiwi.



Walkles 283



23 - Invention "Ev, gimana nih tanggapannya tentang berita yang beredar?" "Ev, apa bener pria itu Rafka Pramoedya?" "Gimana hubungan kalian sekarang?" "Apa dia benar pacar kamu sekarang, Ev?" Evelyn hanya tersenyum ketika wartawan gosip kembali menyerbunya. "Ev, gimana Pramoedya?"



hubungan



kamu



"Di mana kalian ketemu?" "Apa rumor kamu hamil itu benar?" "Siapa ayah bayinya?"



dengan



Rafka



Walkles 284



Geram, Evelyn akhirnya menghentikan langkahnya. Setelah memejamkan mata rapat-rapat seperti memberi kekuatan pada dirinya sendiri untuk menghadapi segala macam pertanyaan wartawan yang kadang melewati batas itu. Evelyn mendongak menatap seluruh wartawan yang seketika diam menanti jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Melihat pandangan selidik dari wartawan-wartawan itu, Evelyn kemudian melepaskan tawa palsu yang tentu saja terlihat alami. "Temen-temen semua, tolong beritanya disaring mana yang cuma rumor, gosip, hoax, dan mana yang fakta." Setelah mengucapkannya, ia kemudian kembali berjalan membelah kerumunan wartawan. Ia masih mendengar beberapa wartawan berceletuk di belakangnya, 'ya kan ini bertanya biar tahu mana yang hoax dan mana yang fakta', tapi Evelyn mengabaikannya dan terus berjalan. Ketika ia berhasil masuk ke dalam mobil, Mbak Titi yang sejak tadi berada di belakang Evelyn mendesah. "Dari mana sih sumber berita wartawan-wartawan jaman sekarang? Berita ngawur yang belum



Walkles 285



dikonfirmasi aja langsung bisa jadi berita gede kayak gini." "Mereka juga butuh makan, Mbak," ucap Evelyn dengan suara tenang sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobil. "Kamu tuh terlalu baik sih. Makanya mereka nyarinyari celah buat nyari kelemahan kamu. Hamil, hamil, hamil bayi kingkong! Ngawur banget!" gerutu Mbak Titi. "Mana kamu tadi pake ketawa ke mereka lagi." "Ketawa di depan wartawan kan emang kerjaan aku." Dari lubuk hati, sejujurnya itu adalah curahan hati Evelyn. Ia sebenarnya mulai lelah dengan semua tipu daya yang berhubungan erat dengan pekerjaannya. "Atau Mbak Titi mau aku berhenti aja?" "Eh, jangan ngawur kamu. Terus Mbak ini makan apa?" Evelyn terkekeh di luar, tapi dalam hati ia tersenyum miris. Benar. Kalau ia berhenti, bagaimana nasib orang-orang yang saat ini bergantung padanya? Memikirkan hal ini ia kembali teringat pada Rafka. Menjadi perancang perhiasan dan meninggalkan karir



Walkles 286



modelling? Mungkin ini bisa menjadi mudah untuknya, tapi bagaimana dengan yang lain? Malam itu juga, Evelyn tidak bisa tertidur. Pikirannya penuh dengan angan-angan dan mimpinya yang menyeruak, padahal sudah ia kubur dalam-dalam. Sebagian besar dirinya menyalahkan Rafka sampai hal ini bisa terjadi. Ia hanya bisa menatap langit-langit kamarnya dalam remang. Apa pebisnis seperti Rafka juga mengorbankan banyak hal di masa lalunya? "Halo?" Terdengar suara jawaban dari ponsel Evelyn. Ia bahkan sempat melempar ponselnya sendiri ke ujung tempat tidur sebelum merangkak memungutnya. Bodoh, ternyata jemarinya tanpa sengaja menekan tombol 'call' saat hendak mengirim pesan pada Rafka. Setelah mengembuskan nafas untuk menenangkan dirinya sendiri, Evelyn menjawab panggilan itu, "Ya... halo." "Evelyn?" "Ya... ya... ini aku. Sorry ganggu kamu malammalam," ucap Evelyn ragu. "Ada masalah?"



Walkles 287



"Eee... no. Not at all. Cuma..." Evelyn meremas selimut dengan jari-jarinya, memaksa otaknya untuk memikirkan jawaban yang tepat. "Aku mau minta maaf, atas gosip-gosip nggak jelas itu. Apa kamu dapet masalah gara-gara itu? "Ya, emang dapet masalah. Tapi seperti yang kemarin, pasti bakal berlalu. Nggak usah dipikirin." "I'm sorry." "It's okay." "Boleh tanya sesuatu?" "Tentang?" "Bisnis?" "Bisnis?" "Kamu dulu pernah bilang tentang pekerjaanku yang terlalu diatur..." Evelyn sengaja memberi jeda, tapi Rafka hanya menunggu. "Bukannya aku membenarkan ucapan kamu waktu itu, menjadi model nggak seburuk itu. Ini menyenangkan. Tapi... aku ingin sesuatu yang lain." "Mau bisnis?"



Walkles 288



"Ya, tapi kayaknya bakal berat." "Semuanya emang berat, apalagi kalau elo belum mulai." "Tapi kalau aku mulai, gimana dengan orang-orang yang bergantung untuk kerja sama aku? Gimana mereka mau cari uang kalau aku nggak kerja? Aku nggak bisa korbanin mereka hanya demi keputusan egois aku." "Ev, bisnis bukan sulap. Itu butuh proses yang lama untuk bener-bener mempersiapkan semuanya. Dan lo juga bukan satu-satunya artis di Indonesia. Banyak artis pendatang baru yang akan datang di tengah proses itu. Atau lo bisa membiarkan mereka ikut terlibat dalam bisnis yang lo buat." Evelyn terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. "Gimana memulainya?" "Bisnis apa? Kue artis?"



Walkles 289



Evelyn memutar mata mendengar pertanyaan tebakan ngawur Rafka. "Jewelry shop. Aku dulu sekolah desain perhiasan. Aku mau mulai lagi." "Udah punya produk?" "I have my old jewelry design, juga beberapa desain yang baru aku buat." Rafka terdengar mendesah. "Ini terlalu serius, nggak bisa dibicarain lewat telepon tengah malam." Evelyn tertawa. "Sorry, aku nggak bermaksud ganggu kamu tengah malam gini. Kapan kamu ada waktu? Bisa kita ketemu?" "Mungkin nanti sebelum gue sibuk sama pembukaan. Kalo gue punya waktu, gue akan kasih tahu seminggu sebelumnya. Jadi lo bisa bersiap untuk ngosongin jadwal." Senyum Evelyn kembali merekah. "Sure. Thanks."



Walkles 290



Setelah telepon benar-benar terputus, Evelyn mendekap gulingnya senang. Oh, ya ampun, bagaimana dirinya bisa sereceh ini? Hanya begini saja ia bisa tersenyum seperti orang tolol. Terakhir kali ia melakukan hal kekanakan seperti ini adalah ketika ia menyukai kakak kelasnya saat SMA. Lalu, apa berarti sekarang ini ia menyukai Rafka? Oh, ya ampun. Ini terlalu menggelikan. *** Saat ini Meta sedang bingung setengah mati dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia merasa senang seperti akan pulang ke rumahnya sendiri setelah sekian lama, padahal tujuannya hari ini adalah rumah nenek Rafka yang notabene adalah rumah orang asing? Tolong jelaskan, bagaimana bisa ia merasa senang? Rumah sakit benar-benar membuat dirinya menjadi benar-benar aneh. Pak Jo yang menjemputnya hari ini dari rumah sakit menuruti keinginannya untuk berputar-putar sebentar sebelum pulang. Ia membawanya berputar memasuki UGM, kemudian berputar melewati Tugu Jogja yang terkenal itu. Dan saat ini ia melewati jalan Malioboro



Walkles 291



yang sedikit lebih sepi dari biasanya karena matahari terlalu menyengat. Sebenarnya Meta ingin turun, dan berjalan-jalan. Melihat pilar-pilar gedung di UGM yang tadi ia lewati dengan lebih dekat, menyusuri trotoar baru Malioboro, dan menyisir gang-gang kecil di sekitarnya. Tapi dengan kaki seperti ini? Tidak mungkin ia meminta Pak Jo mendorongnya dengan kursi roda sepanjang Malioboro. Bisa-bisa ganti Pak Jo yang masuk rumah sakit karena kelelahan. Rumah dalam keadaan kosong ketika Meta tiba. Rafka sepertinya belum pulang, begitu juga dengan Pak Kamal. "Pak Jo masih harus jemput Rafka ke hotel?" Pak Jo menoleh ke belakang sedikit sebelum kembali fokus memarkir mobil. "Ndak, Mbak. Kan mobilnya yang ini sudah keluar dari bengkel, jadi Mas Rafka nyetir sendiri pakai mobilnya." Meta mengangguk-angguk sok mengerti. Yah paling tidak, selama beberapa jam ke depan ia bisa dengan tenang berada di rumah ini tanpa ada gangguan dari Rafka. Tidak melihat wajah Rafka seharian menurut Meta adalah anugerah. Namun, tak ada lima menit,



Walkles 292



harapan Meta pupus seiring dengan bunyi gesekan kerikil dengan ban mobil Rafka yang baru saja berbelok masuk ke pekarangan rumah. Dengan panik ia melongok melalui jendela mobil, melihat Pak Kamal turun dengan senyum lebar dan membawa banyak kantong plastik di tangannya. "Akhirnya kamu pulang juga, Met," ucap Pak Kamal ketika pintu mobil di sebelah Meta dibukakan oleh Pak Jo. Bu Tiyem tergopoh-gopoh mendorong kursi roda dari dalam rumah dan mendekatkannya ke pintu mobil. Pak Jo hendak membantu Meta keluar mobil, tapi tangan Rafka menahannya. "Saya aja, Pak. Dia berat. Nanti Pak Jo nggak kuat," ucap Rafka. Meta bersumpah melihat sekilas senyum mengejek yang sekilas muncul di wajah Rafka, ia hanya melayangkan tatapan datar pada Rafka. Namun, Rafka membalas dengan tatapan yang sama datarnya. "Gue ngomong fakta, Pak Jo lagi sakit pinggang."+ "Nggak ada yang menyangsikan statement lo." "Tapi muka lo nggak terima." "Apa lo bisa ngeliat tulisan 'nggak terima' di dahi gue?"



Walkles 293



"Haduh, mulai lagi. Sudah-sudah, yang penting sekarang masuk dulu. Berantemnya nanti aja," potong Pak Kamal. Ia mengayunkan plastik-plastik di tangannya dengan pelan. "Kita masih harus makan-makan." Meta berdecak kecil. Ia mengeluarkan kedua kakinya dari mobil dan berusaha berdiri dengan satu kaki. Rafka membantunya dengan menarik tangannya yang sehat dan mendudukkannya di kursi roda yang sudah diposisikan sedekat mungkin. Begitu Meta berhasil menghempaskan pantatnya dengan selamat di kursi roda, Rafka mendorongnya menaiki beranda belakang yang memang memiliki lajur untuk kursi roda di antara anak tangga. "Ini kursi roda dari mana, Bu Tiyem?" tanya Meta pada Bu Tiyem yang sedang berjalan di sisi Rafka sambil membawa tas berisi baju kotor dari rumah sakit. "Ini punya Mbah Putri gue, jangan sampe elo pakenya sembrono," jawab Rafka mendahului Bu Tiyem. "Lo kira gue pake kursi roda karena mau atraksi," gumam Meta kesal. "Siapa tahu?" ucap Rafka yang ternyata mendengar gumaman lirih Meta.



Walkles 294



Malas membalas, Meta hanya bisa berdecak kesal. Saat melewati rak sepatu, tak sengaja ia melihat high heels hitamnya teronggok di sana, dengan salah satu tali terlepas dari solnya. Ia mendesah, memejamkan mata sambil menyangga kepalanya dengan tangan kiri. Pasalnya sepatu itu baru ia beli dua bulan yang lalu menggunakan tabungan selama sembilan bulannya. "Mbak, kenapa? Pusing lagi?" tanya Bu Tiyem khawatir. Meta langsung mengangkat kepalanya dan menoleh pada Bu Tiyem. "Nggak kok, Bu. Nggak papa. Itu miris aja liat sepatu saya." "Kalo kenapa-kenapa, kerasa sakit. Bilang yo, Mbak. Jangan sungkan," ucap Bu Tiyem. Meta mengiakan sambil tersenyum. Saya nggak pusing kok kalau cari uang gampang dan bisa langsung beli sepatu, tangan sama kaki bisa gerak seperti biasa, bisa kerja lagi, pikir Meta. Rafka berdecih, kemudian menggumam, "Sepatu doang." Meta hanya diam saja mendengarnya, menahan keinginannya untuk menonjok bibir Rafka yang nyinyirnya sebelas dua belas dengan ibu-ibu komplek.



Walkles 295



Ketika memasuki rumah, Pak Kamal yang tadi masuk lebih dulu kini sudah berdiri di dekat meja makan dengan lengan kemeja tergulung. Kantong plastik yang tadi ia bawa sudah tersisih sedangkan isinya sudah tertata rapi di meja makan. Cake kecil dengan lilin yang belum menyala diletakkan di salah satu sisi tanpa kursi. Rafka pun berhenti mendorong ketika Meta ia tempatkan tepat di sisi itu. Meta tersenyum melihat pemandangan di depannya. Bu Tiyem dan Pak Jo duduk di sebelah kanannya, sedangkan Pak Kamal dan Rafka di sebelah kirinya. "Selamat keluar dari rumah sakit!" ucap Pak Kamal setelah menyalakan lilin, yang disambut tepuk tangan antusias oleh semua orang kecuali Rafka. Ia hanya bertepuk tangan malas tanpa suara, bahkan Meta yakin bahwa telapak tangannya tidak saling menempel saking tidak ikhlasnya—tak ada bunyinya sama sekali! Bu Tiyem menepuk lengan Meta pelan, memintanya untuk segera meniup lilin. Meta mengangguk dan lilin padam hanya dengan sekali tiup. Semua orang tersenyum ke arahnya. Candaan Pak Kamal dan Pak Jo sore itu membuat meja makan begitu hidup.



Walkles 296



Meta terdiam merasakan hidungnya perih. Namun, ia dengan cepat mengerjapkan mata dan ikut tertawa agar air mata yang mendesak ingin keluar ini tidak jadi keluar. Ia tidak ingin mempermalukan diri sendiri dengan menangis tanpa alasan di depan orang-orang asing ini. Orang-orang asing yang entah bagaimana bisa membuat hatinya menghangat, yang bahkan baru dikenalnya beberapa hari. Untuk kedua kalinya, Meta mengerjapkan mata. Tak sengaja matanya menangkap Rafka sedang menatapnya dengan tatapan yang Meta tidak mengerti. Meta membalasnya bingung. Namun, pada detik kedua, Rafka mengalihkan tatapannya pada pada sate kambing favorit Zaskia Adya Mecca—Pak Kamal yang memberi tahunya—yang ada di piringnya.



Walkles 297



- 24 - First Pandora Meta melirik ke arah jam dinding, melihat arah jarum pendek mendekati angka satu. Ia kemudian mengerjap. Sejak terbangun setengah jam yang lalu, ia mendapati matanya tak mau diajak terpejam. Ia haus. Dan lapar. Mungkin karena tadi makan malam diadakan terlalu sore, makanya sekarang perutnya kembali keroncongan. Meta ingat kue untuknya masih tersisa seperempat di kulkas. Paling tidak kue itu bisa mengganjal isi perutnya untuk sementara waktu. Sebelum benar-benar beranjak, Meta menundukkan kepalanya. Baju tidur yang ia kenakan ini sedikit tipis, sedangkan ia tidak bisa memakai bra hanya untuk keluar dan makan kue tengah malam. Meta menggembung-gembungkan sedikit baju bagian depannya agar puting-puting dadanya tidak terlalu kentara, tapi kemudian ia menghentikannya. Siapa juga yang akan melihatnya tengah malam begini? Dengan susah payah, Meta bangun dari tempat tidur. Tangannya terulur menggapai kursi roda di sisi tempat tidurnya, kemudian memindahkan pantatnya ke kursi roda. Ia mencebik. Sejak tadi didorong orang lain



Walkles 298



membuatnya tidak sadar kalau memutar roda dengan satu tangan hampir mustahil dilakukan. Kalau tidak berpegangan pada benda-benda di sekitarnya dan sesekali menggunakan salah satu kakinya yang sehat, ia hanya akan berakhir berputar di satu tempat saja. Meta membuka pintunya perlahan, kemudian mengintip suasana di luar kamarnya. Sepi dan hening. Tepat seperti yang ia perkirakan. Meta memberanikan diri untuk membuka pintu lebih lebar dan memutar kursi rodanya menuju dapur. Dibukanya lemari es. Masih ada separuh kue di dalam kotaknya. Meta mengambilnya dan menaruhnya ke pangkuan. Namun, saat pintu kulkas tertutup, Meta merasakan ada bayangan yang menutupi cahaya lampu di belakangnya. Seketika bulu kuduknya meremang. Dengan kecepatan penuh, benaknya harus memutuskan untuk melihat atau pura-pura tidak tahu kalau ada lelembut di belakangnya. "Ngap..." Mendengar suaranya, Meta refleks menoleh dan berteriak. "AAAAPPPFFT..." teriakannya tertahan oleh tangan besar yang kini menutup mulutnya. Mata Meta juga ikut tertutup karena terlalu takut untuk melihat.



Walkles 299



"Lo ngapain, sih?!" tanya makhluk itu juga dengan suara tertahan. Namun, sepertinya Meta familier dengan suara ini. Ia membuka satu matanya untuk mengintip. Rafka, dengan dahi berkerut dan muka yang tidak santai, berada di sampingnya sambil mengulurkan tangan untuk menutup mulutnya. Meta membuka kedua matanya dan mendorong tangan Rafka dengan kesal. "Ngapain sih, ngagetin aja deh!" "Seharusnya gue yang bilang gitu!" "Lo nggak punya mata? Nggak liat gue ngapain?" tanya Meta menunjukkan kotak kue di pangkuannya. Rafka melihat kotak kue yang Meta maksud, tapi sayang matanya menangkap sesuatu yang lain, yang membuatnya hampir mengumpat dan menyesal telah keluar dari kamar. Menyadari ke mana arah pandang Rafka, Meta sontak bersedekap. Ia memandang ke arah lain dengan salah tingkah sambil sesantai mungkin menutupi dirinya sendiri. Rafka berdeham, kemudian melirik kulkas yang sama sekali tidak menarik. Mukanya sudah merah



Walkles 300



padam hingga ke telinga. "Ya kalo gue tahu, gue nggak bakal nanya. Lagian lo juga ngendap-ngendap kayak maling, siapa yang nggak curiga?" "Gue laper! Masa iya gue gedombrangan bikin berisik tengah malam di rumah orang?" balas Meta tak santai. Buru-buru ia mengoreksi bajunya agar dadanya tak terlalu terlihat seperti tadi. Rafka berdecak, kemudian menarik kursi roda Meta dan mendorongnya ke meja makan. "Eh, stop. Gue lupa ambil sendok." Dengan tangan panjangnya, Rafka meraih sendok makan dan memberikannya pada Meta. "Thanks," gumam Meta. "Lo mau mie instan?" Meta mengernyit mendengar perkataan itu keluar dari mulut seorang Rafka. "Lo mau bikinin mie instan?" tanya Meta tak percaya. "Ya sebenernya gue mau nyuruh lo buat bikin sendiri," jawab Rafka. "Nggak usah nawarin kalo gitu," gerutu Meta kesal karena sudah terlanjur akan merasa senang malah dihempas begitu saja. Padahal belum sampai senang



Walkles 301



beneran. Dorong kursi roda aja sulit, bagaimana bisa bikin mie sendiri. "Ya udah, gue mau bikin buat gue sendiri." Meta membelalak. "Jadiin dua porsi..." ucapnya sambil menatap Rafka dengan tatapan memohon, "tolong." Rafka hanya melengos ke dapur, membuat Meta mencebik. "Kalo nggak mau bikinin, jangan nawarin dong," gumam Meta dengan suara lirih. "Gue denger," respon Rafka dari dapur sambil menunggu air panas. Tak sedikitpun melirik Meta, tapi sebagai gantinya telinganya ia buka lebar-lebar. Suara detak jam saja bisa terdengar keras saat tengah malam begini, apalagi keluhan Meta tentangnya. Beberapa menit kemudian, Rafka kembali ke hadapan Meta dengan membawa dua mangkuk mie goreng. Meta terlihat sumringah ketika salah satu mangkuk itu disodorkan kepadanya. "Ini satu setengah?" Meta masih memandangi mangkuk sambil mengaduknya dengan tangan kiri. Karena tak mendapat jawaban, ia akhirnya mendongak dan mendapati Rafka menghilang. Tidak sedang duduk di hadapannya.



Walkles 302



"Gimana lo bisa tahu?" Meta sedikit berjengit ketika tiba-tiba mendengar suara Rafka di belakangnya. Di tangannya sudah ada sarung pantai yang entah datang dari mana. Ia melebarkan sarung pantai itu dan menutupkannya pada tubuh bagian depan Meta. "Apaan nih?" tanya Meta bingung, tapi kemudian ia paham ketika Rafka mengikatkan sarung pantai itu di lehernya. Seperti Superman, tapi bukan di punggung. Meta jadi membayangkan, mungkin kalau ia terbang, ia akan terbang telentang karena kain itu terpasang di bagian depan tubuhnya.34 "Udah diem aja," ucap Rafka. Ia berjalan dan duduk di sisi kanan Meta untuk menyantap mie bagiannya. "Gimana lo bisa tahu mienya satu setengah?" "Gue tahu persis dunia per-mie-instan-an." Meta terkekeh, kemudian menyuap mie buatan Rafka. "Lumayan juga." "Mie rasanya kan sama aja." "Kalo lo expertise di dunia per-mie-an kayak gue, lo bisa tahu dengan mudah kalo beda orang beda rasa mienya," ucap Meta jumawa.



Walkles 303



"Nggak sehat kebanyakan mie." "Well, nggak ada pilihan lain ketika lo terlalu mager buat beli makan atau terlalu miskin buat order makanan pake ojek online." Meta membela dirinya sendiri, kemudian menambahkan, "gue bisa ngerti kalo lo nggak bisa relate." Rafka menatap Meta, tak terima. "Gue bisa relate!" Meta menaikkan alisnya tak percaya, membalas tatapan Rafka dengan pandangan mengejek. Meta berpikir, orang seperti Rafka yang sudah terlahir dengan sendok emas di tangan tidak pernah merasakan sulitnya mencari uang sepertinya. Please, bisnis hotel-hotel Pramoedya sudah mengular sejak puluhan tahun yang lalu. "Gue pernah kabur dari rumah berhari-hari, tanpa duit sepeser pun." Meta membelalak tidak percaya. Bahkan ia sampai berhenti mengunyah mie karena terkejut. "Gue numpang mandi dan tidur di sekre-sekre organisasi kampus. Nggak ikut kelas selama seminggu lebih dan bikin mbah putri gue nangis tiap hari. Nggak punya duit, nggak punya tempat tinggal."



Walkles 304



"Serius?!" pekik Meta masih tidak percaya. "Biasa, anak muda," ucap Rafka datar seolah itu hal yang benar-benar lumrah. Namun, mengaca pada dirinya sendiri, Meta juga pernah melakukan hal yang sama. Bahkan lebih lama karena berlangsung dalam hitungan bulan. Ia kemudian mengangguk-angguk sambil menerawang ke arah meja makan. "Iya, anak muda." Rafka mengerutkan dahinya ketika menyadari perubahan ekspresi di muka Meta. Ia jadi kepikiran tentang teleponnya dengan Gale yang mengatakan bahwa hubungan Meta dengan orang tuanya tidak baik. Apa ini ada hubungannya? "Kenapa? Lo juga?" pancing Rafka. Meta mengangguk, kemudian fokus pada mie gorengnya lagi. "Gue juga pernah muda." "Berarti lo sekarang udah tua?" Meta berdecak tidak terima. "At least gue lebih muda daripada elo." "Gimana lo bisa tahu gue lebih tua?" "Jaman sekarang dunia per-lambe-an semakin mudah diakses. Ada internet." Meta memutar matanya.



Walkles 305



Rafka menyipitkan matanya curiga. "Lo stalking gue?" "Gimana nggak stalking kalo lo awalnya ngaku jadi kacung di depan muka gue dengan begitu meyakinkan, tapi ternyata lo cucu yang punya hotel? Gimana gue bisa meyakinkan diri gue kalo apa yang gue liat waktu itu salah?" tanya Meta tak terima, kesal mengingat asalmuasal kejadian bagaimana ia bisa berakhir di sini. "Sinting." Rafka mengangkat bahu. "Gue punya proyek sendiri. Proyek yang lo hancurin lebih tepatnya." Meta menggeleng. "Apa? Proyek sama James Bond apa gimana nih?" sindirnya sinis. "Nggak mau gabung sama BIN sekalian?" "Makasih," tolak Rafka. "Hidup lo kayak FTV, ya?" "Terus hidup lo kayak apa? Film dokumenter? Atau tayangan NatGeo?" "Lo kira gue hewan!" Meta melempar gumpalan kecil tisu bekas krim kue pada Rafka.



Walkles 306



Rafka terkekeh. Ia kemudian menyuap mie terakhirnya dari mangkuk. "Apa Pak Jo beneran lagi sakit pinggang?" Meta juga menyuap mie terakhirnya. "Kenapa?" Rafka malah balas bertanya. Meta mendengus karena tidak mendapat jawaban. "Gue mau minta tolong buat nganter gue. Tapi kalo Pak Jo sakit, apa mungkin gue bisa naik taksi aja, ya?" "Nganter ke mana?" Meta berdecak, bukannya menawarkan solusi, Rafka malah terus bertanya. "Beli baju. Gue nggak bawa banyak baju ke sini. Lo tahu sendiri baju sama celana gue digunting perawat. " "Terus kalo lo naik taksi, lo bisa pake kursi roda sendiri?" tanya Rafka masih dengan nada datar. Ia bersandar di kursi sambil menatap Meta. "Tadi aja ke dapur lo kesusahan." "Lo ngeliat orang kesusahan, tapi lo diem aja?!" Untuk kesekian kalinya Meta memekik tak terima. Jadi, sejak tadi Rafka melihatnya? Kenapa dia bisa tidak melihat Rafka?



Walkles 307



Rafka mengangkat bahu. "Lo nggak minta tolong." Meta hanya bisa menggerutu tak jelas. "Besok pagi gue jogging di GSP..." "GSP apaan?" potong Meta. Rafka memutar matanya. "Grha Sabha Pramana, nama gedung di UGM. Gue berangkat jam lima, kalo mau ikut lo harus siap jam segitu. Lebih dari itu gue tinggal," ucap Rafka seraya berdiri. Ia mengambil mangkuknya dan mangkuk milik Meta, serta kotak kue yang sudah Meta tandaskan isinya. "Thanks. Mie buatan lo enak," puji Meta sungguhsungguh. Rafka hanya mengangguk samar.



Walkles 308



- 25 - Jogja Tepat jam lima kurang sepuluh menit, Meta sudah siap di ruang makan. Sejak setengah lima tadi, Bu Tiyem yang sebenarnya mau menyiapkan sarapan, ia monopoli untuk membantunya mandi dan siap-siap. Untung Bu Tiyem mau-mau saja. Baru sekarang Bu Tiyem bisa berkutat dengan buah dan blender untuk membuatkan jus. "Mau olahraga di mana, Mbak?" tanya Bu Tiyem di antara suara blender yang berdengung. "Di situ, Bu... apa namanya, PGS?" jawab Meta tak yakin. "Yang gedung di UGM katanya." "GSP!" sambung Rafka yang baru keluar dari kamarnya. Meta berdecak. "Ya kan gue lupa." "Udah belom?" "Tapi mampir ATM, ya?" bujuk Meta. "Nanti lo bisa ambil ATM sendiri di UGM."



Walkles 309



"Mas Rafka ini, mbok ya Mbak Meta dibantuin," ucap Bu Tiyem sambil menyerahkan botolan jus pada Meta dan Rafka. Suara pintu terbuka membuat Rafka menoleh ke sumber suara. Pak Kamal keluar kamar dengan muka bantal sambil menggaruk kepalanya. "Eh, pada mau ke mana nih pagi-pagi?" "Jogging," jawab Rafka singkat. Ia langsung berjalan keluar untuk memanaskan mobil. "Kamu jogging juga Met?" tanya Pak Kamal saat melihat Meta membawa jus dan tas kecil. "Bisa? Nanti kalo kamu jadinya wheeling, bukan jogging." Pak Kamal kemudian tertawa-tawa atas jokes receh yang ia buat sendiri sambil masuk ke kamar mandi. Meta hanya memutar mata. "Pak Kamal nggak ikut?" tanyanya setengah berteriak. "Nggak, kalian aja. Weekend gini saya lebih suka di kasur," jawab Pak Kamal sebelum terdengar suara sikat yang beradu dengan gigi.



Walkles 310



Meta hanya mengedikkan bahu. Ia berusaha mengendalikan roda kursinya untuk bergerak ke teras belakang. Baru saja keluar dari pintu, Rafka sudah berdiri di depannya dan mengambil alih kendali kursi rodanya. Katanya Meta sudah membuatnya terlambat satu menit tujuh belas detik, sampai-sampai Meta curiga di kepala Rafka sebenarnya ditanam jam kecil di dalam otaknya dan suaranya menggema di seluruh rongga kepalanya. Jalanan masih sedikit sepi dan diselimuti kabut tipis ketika mobil melaju. Beberapa orang mengayuh sepeda, membawa barang belanjaan. "Jogja bagus, ya?" gumam Meta tiba-tiba, membuat Rafka yang sedang fokus menyetir itu melirik. "Biasa aja." Meta hanya merengut mendengar jawaban dari Rafka. EQ-nya mungkin berada di level terjongkok, atau tiarap? Atau malah menembus inti bumi? Tidak peduli, Meta tidak mengalihkan pandangannya dari jendela, mengamati setiap jengkal kota Jogja yang kata orang istimewa. Beberapa menit kemudian, Rafka memasuki gerbang universitas dan menghentikan mobilnya. Sabuk



Walkles 311



pengaman ia lepaskan, kemudian menatap Meta yang melihatnya dengan tatapan bertanya. "Lo tunggu di sini, gue lari dua putaran dulu." "Eh, tapi gue mau liat-liat. Gue..." "Liat nanti," potong Rafka sambil keluar dari mobil. Siyaaall, pekik Meta dalam hati. Coba dia bisa untuk tidak bergantung pada Rafka. Coba kalau dia tidak dalam keadaan tidak berdaya seperti ini. Dengan kekesalan yang sudah mencapai ujung-ujung rambut— sudah lebih dari ubun-ubun, Meta mengeluarkan ponselnya dan memilih untuk men-dial nomor Gale. "Kenapa?" Gale menjawab pada dering kelima. Suaranya terdengar serak seperti baru bangun tidur. "Kerjaan gimana?" "Nyet, lo yakin minta gue update kerjaan jam setengah enam pagi? Jam tujuh ada pemotretan dan gue baru tidur sekitar... sejam!" protes Gale. "Gue gabut banget, nggak ada kerjaan, nggak ada yang bisa gue telepon. Lo bukannya bersyukur ya gue udah perhatian."



Walkles 312



"Telepon nyokap lo aja sana! Sekalian sungkem online. Dan satu yang harus lo tahu, gue akan lebih bersyukur kalo lo tutup teleponnya sekarang." "Dasar temen nggak tahu diuntung," umpat Meta sebelum menutup teleponnya. Dengan kesal ia menggulir nomor telepon di kontaknya. Namun, Meta hanya bisa menggulir saja, tak ada yang bisa ia pilih untuk dihubungi. Ia baru sadar kalau selama beberapa tahun ini hidupnya hanya berkutat pada studio. Banting tulang untuk membangun studio, bangun tidur lagi di studio, bertemu klien, pemotretan, dan bertapa di studio, bertemu klien, pemotretan, dan bertapa di studio. Tidak ada yang lain. Rest in peace, kehidupan sosial. Meta akhirnya memilih untuk membuka pintu mobil, menikmati angin sepoi-sepoi yang berembus tipis. Tempat ini lumayan ramai juga. Banyak orang selain Rafka yang juga sedang berolahraga. Beberapa bergerombol di teras gedung atau di bawah pohonpohon besar. Dari kejauhan, dilihatnya Rafka berlari-lari kecil. Meta mulai melambai-lambaikan tangannya untuk mencari perhatian.



Walkles 313



"Raf, tolong keluarin kursi rodanya. Gue bisa keliling sendiri!" pekik Meta ketika Rafka sudah semakin dekat. Awalnya Rafka pura-pura tidak mendengar, tapi karena Meta tetap berteriak untuk ketiga kalinya, ia akhirnya berbalik menghampiri Meta. "Ngerepotin banget sih jadi orang?" Meta berdecak. "Gue balik ke studio nggak boleh, tapi di sini dibilang ngerepotin. Nolong tuh jangan setengah-setengah deh." Rafka mendengar, tapi tidak membalasnya. Ia lebih memilih untuk menurunkan kursi roda dari bagasi belakang, kemudian membentangkannya dan membawanya ke hadapan Meta. Meta kemudian tersenyum puas. Ia membuka pintu mobil dan berusaha menggerakkan kakinya. Setelah memastikan dirinya sudah menghempaskan pantatnya dengan selamat di kursi roda, ia merasakan kursi roda itu bergerak. Dengan bingung, ia melihat ke belakang. Rupanya Rafka sudah mendorongnya setelah memastikan pintu mobil tertutup. "Ngapain lo dorong? Gue kan bilang gue bisa?" tanya Meta tidak mengerti.



Walkles 314



"Nggak usah sok kuat deh," balas Rafka jengah. Ia malas melihat seseorang yang memaksakan diri padahal dirinya tidak mampu, persis seperti Meta saat ini. "Gue emang bisa, bukan sok kuat." "Jalan di sini belum semuanya difabel friendly. Lagian lo juga nggak tahu jalan." Meta hanya berdecak dan duduk diam. "Kayak dia lebih tahu aja." "Jelas gue lebih tahu, hampir lima tahun gue ngampus di sini." Meta membelalak. Salah langkah. Dia mengira Rafka sama awamnya dengannya. Kenapa Bu Tiyem nggak cerita apa-apa tentang ini sih. Kalau begini kan jadi Meta yang salah. "Pengen ke mana lo?" Tanya Rafka sambil tetap mendorong Meta. "Kemarin gue liat gedung yang banyak tiangnya. Deket nggak?" "Gedung pusat?" Meta memutar mata. "Mana gue tahu namanya apa."



Walkles 315



"Yang itu?" Rafka kembali bertanya setelah beberapa saat berjalan. Ia menunjuk sebuah gedung berwarna kecoklatan yang Meta maksud. Meta mengangguk senang. Ia lantas mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang sejak tadi ia bawa. "Gue pengen liat-liat, siapa tahu ada yang cocok buat spot foto. Di sini foto wisuda harusnya jadi tren juga dong? Apa perlu gue buka cabang studio di Jogja? Menurut lo gimana? Prospek bisnis jalan nggak?" "Tergantung analisis pasar lo." Meta kembali memutar mata. "Kalo itu gue juga tahu." "Terus ngapain nanya?" "Ini gue lagi analisis pasar. Lo sebagai warga sini kan harusnya lebih tahu. Eh, stop. Ke kiri dikit." Meta mengarahkan kamera ponselnya ke arah gedung. Ia kemudian memajukan dan memundurkan kursi rodanya untuk mencari angle yang pas, sedangkan Rafka hanya diam menunggu sebelum mendorong lagi ke berbagai tempat. Ketika tiba di sebuah jalur untuk kursi roda, Meta kembali meminta Rafka untuk berhenti. Ia kemudian



Walkles 316



kembali mengarahkan lensa ponselnya dan berdecak, merasa gambarnya sejak tadi ada yang kurang. "Raf, lo berdiri di sana coba." "Ngapain?" "Gambar gue butuh sentuhan makhluk hidup. Ayolah!" Meta menarik lengan Rafka agar menuruti kemauannya. "Nggak!" tolak Rafka mentah-mentah. "Ayolah, lo bisa bikin ini jadi foto profil lo nanti. Gratis. Bahkan lo nggak perlu berterima kasih karena gue orangnya emang baik." Rafka memutar matanya. Siapa juga yang membutuhkan foto profil. Foto profilnya sudah memuaskan sampai-sampai belum ia ganti sejak... kapan? Mungkin hampir setahun yang lalu saat ia menghadiri konferensi di Maladewa. "Terakhir kali lo ngefoto gue, itu jadi tragedi. Jadi, nggak, makasih." "Nggak ada orang lagi di sekitar sini selain elo..." ucap Meta sambil memandangi keadaan di sekitar mereka. "Bahkan terakhir kali gue ngefoto elo, gue udah ngabulin permintaan lo buat ngefoto hotel. See? Nggak



Walkles 317



ada ruginya sama sekali buat lo. Kita sama-sama untung. Simbiosis mutualisme." Kadang kala, Meta sebenarnya ingin berbangga diri ketika mulutnya dibekali dengan kemampuan persuasi yang lumayan. Namun, terkadang mulutnya juga yang bisa membawanya ke lubang kehancurannya sendiri. Seperti sekarang... Rafka terlihat berpikir. "Jadi, satu foto satu permintaan?" Meta menelan ludahnya. Ia ingin menekan tombol undo hidupnya. "Satu sesi, satu permintaan." Meta berusaha mengoreksi ucapannya sendiri.1 "Jadi rencana lo ada berapa sesi?" Meta mengedikkan bahu. "Tergantung nanti." Mungkin satu saja cukup, ucap Meta dalam hati. Rafka mengangguk. Mungkin ini akan mudah. Ia mengacungkan tangannya untuk menyalami tangan Meta, membuat persetujuan tentang MoU tidak tertulis mereka. Dan mau tidak mau, Meta menyambut uluran tangannya. ***



Walkles 318



Puas berkeliling, Rafka mendorong Meta di jalan beraspal sambil berlari kecil. Alasannya karena tadi ia belum menyelesaikan dua putaran yang menjadi targetnya pagi ini. Tapi terserah saja, toh Meta senangsenang saja didorong dengan kecepatan tinggi seperti ini. Mereka berdua persis seperti anak-anak yang sedang memainkan kursi roda milik neneknya. Yah, setidaknya Meta bisa menghibur diri karena tidak bisa menahan hasrat berfotonya, ia jadi memberikan Rafka tiga permintaan. Tapi tidak apa-apa, bahkan jin juga sama baiknya dengan memberi jumlah permintaan yang sama. Dan Meta sedang menyamakan dirinya sendiri dengan jin. Bagus. Raja setan sedang mendorong jin di kursi roda. Judul yang indah untuk buku cerita horror anak-anak. Namun, tiba-tiba Rafka memelankan langkahnya. Dahinya berkerut bingung. "Kenapa sunmor udah nggak ada?" "Hah?" sahut Meta tidak mengerti. "Biasanya di sini ada pasar minggu. Lo bisa beli apa aja di situ."



Walkles 319



Ketika ada seorang satpam kampus sedang berpatroli, Rafka cepat-cepat menghentikan untuk bertanya mengapa tidak ada Pasar Minggu pagi ini. "Waduh, Mas. Udah lama pindah lokasi. Sekarang sunmor-nya di jalan lingkar timur. Sebelah sana. Masih jauh kalau jalan kaki, mending naik kendaraan lalu parkir di sana," jelas bapak-bapak itu sambil menunjuknunjuk angin. Rafka mendesah. Setelah bapak-bapak itu pergi, Meta tertawa. "Yang lima tahun di sini masih bisa keliru juga," sindir Meta. Rafka sebenarnya mendengar, tapi ia malas menjawab. Sudah untung Rafka mau mengantarnya untuk beli barang-barang yang ia butuhkan. Ketika sampai di mobil, Rafka menenggak jus yang tadi ia tinggal di mobil. Napasnya terengah-engah setelah mendorong Meta sejauh... total sekitar dua kilometer. Jarak yang tidak terlalu jauh, tapi dengan beban seberat Meta untuk didorong, rupanya hal itu menguras tenaga juga. "Laper. Gue mau sarapan dulu aja," ucap Rafka sambil mengistirahatkan kakinya di trotoar sebelah mobilnya.



Walkles 320



"Gue juga." "Permintaan gue yang pertama gue pake sekarang, menu sarapan gue yang tentuin, dan elo nggak boleh protes." "Terserah, yang penting gue juga sarapan." "Gue pengen makan nasi balap khas Lombok." Rafka menaikkan alisnya, meminta persetujuan. Meta mengedikkan bahunya. Permintaan yang cukup mudah untuk diwujudkan. "Easy." Setelah mendengar jawaban Meta, Rafka segera beranjak dan memacu mobilnya membelah jalanan. Tak sampai lima belas menit, mobilnya sudah kembali terparkir apik di pinggir jalan. "Nggak usah turun, makan di mobil aja. Lo mau pakai telur atau kacang kedelai?" Sebenarnya Meta tidak tahu seperti apa bentuk nasi balap itu, tapi terserah. Meta termasuk pemakan segala, jadi ia mengiyakan saja. "Minum?" "Masih ada." Meta mengacungkan jus apelnya yang masih separuh.



Walkles 321



Rafka mengangguk dan menutup pintu mobil. Ia mengantri bersama belasan orang lain yang berkumpul di emperan toko. Beberapa di antaranya duduk di tikar yang disediakan sambil membawa piring-piring dari keratan bambu, sarapan sambil tertawa-tawa. Cukup menarik hingga Rafka membawakan makanan itu di hadapannya. "Sedikit pedes, tapi gue yakin lo bakal ketagihan," ucap Rafka sebelum mencampur nasinya menjadi satu. "Lo pasti tim bubur diaduk?" tanya Meta ketika memperhatikan Rafka. Rafka mengerutkan dahinya, tapi ia mengangguk. "Iya, tapi nasi balap emang lebih enak kalau dicampur gini." "Gue nggak percaya sebelum lo campurin punya gue juga." Rafka berdecak mendengar ucapan Meta yang ia yakin hanya gimmick. "Lo bener-bener nggak pernah diajarin buat minta tolong, ya?" tanya Rafka sambil menukar piringnya dengan piring yang dibawa oleh Meta. Suapan pertama, lalu kedua, kemudian ketiga. Meta bisa mengerti kenapa tempat makan ini ramai sekali.



Walkles 322



Memang enak, tapi suapan selanjutnya Meta mulai merasakan lidahnya terasa terbakar. Meta tidak suka pedas, tapi nasi balap ini tidak bisa dilewatkan begitu saja. "Raf, ini pedes banget. Bukan sedikit pedes," protes Meta pada Rafka. Rafka menyeruput teh yang ia pesan karena kepedasan. Tapi diam-diam ia menertawai Meta yang membersit ingus di hidungnya. "Waaah..." desah Meta kepedasan. Ia melirik Rafka yang menahan senyumnya, kemudian sekelebat kecurigaan melintas di kepalanya. "Lo tahu gue nggak doyan pedes, terus lo sengaja bawa gue ke sini?" "Gue emang lagi pengen makan pedes, nggak ada hubungannya sama lo." "Huaaahh... pedeeesss..." desah Meta lagi sambil menenggak jus apelnya. "Nggak-nggak, gue tahu lo sengaja. Lo pasti dendam karena gue suruh bikin mie semalem? Atau lo dendam karena gue minta lo buat jadi objek foto?"



Walkles 323



Rafka menoleh menatap Meta yang masih memandangnya curiga. Mukanya berkeringat, membuat anak-anak rambut menempel di wajahnya yang merah karena kepedasan. "Eh, jangan samain gue sama elo. Gue bukan pendendam kayak lo. Lagian mulut lo ceplasceplos, orang lebih percaya kalo elo tiap hari makan cabe," ucap Rafka sambil menunjuk bibir Meta yang sepertinya sedikit bengkak dan memerah dengan dagunya. Tapi seperti benda luar angkasa tersedot black hole, atau bahkan seperti ilmuwan yang tenggelam dalam pasir penghisap, perhatian Rafka tidak bisa teralih dari sana. Kombinasi hidung yang memerah karena terlalu banyak dipencet dengan tisu, keringat, dan bibir Meta hari itu seperti menunjukkan sisi Meta yang... sedikit berbeda dari biasanya. Rafka menghentikan Meta yang terus saja melancarkan aksi protesnya. Ia baru diam ketika tangan kiri Rafka meraih tengkuknya dengan perlahan. Mata Meta awalnya membelalak karena terkejut dengan suasana yang tiba-tiba berubah, kemudian ikut terpejam saat merasakan hembusan nafas mereka beradu. Perlahan, Rafka memangkas jarak di antara



Walkles 324



mereka. Ia memejamkan mata ketika bibirnya dan bibir Meta bersentuhan, hingga kemudian saling memagut, bercampur dengan sensasi gurih dan pedas dari nasi balap.



Walkles 325



- 26 - Second Pandora "Gila, pedes banget! Lo mau bunuh gue Raf? Please, pesenin gue es teh..." Pekikan Meta membuyarkan adegan super ngawur yang muncul pada pikiran Rafka. Bagaimana dirinya bisa membayangkan hal yang aneh seperti itu? Mencium Meta? Kata 'cium' dan 'Meta' sama sekali tidak pantas bersanding dalam satu kalimat. Rafka menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengenyahkan suara-suara aneh yang berdebat dalam kepalanya. Meta membelalak melihat Rafka menolak memesankan es teh untuknya. "Kalo lo nggak mau pesenin, abangnya gue teriakin langsung dari sini, ya?" "Nggak-nggak, gue aja," ucap Rafka cepat ketika menyadari Meta salah mengartikan gelengannya sebagai sebuah penolakan. Setidaknya ia butuh keluar dari mobil ini beberapa saat untuk menyegarkan pikirannya.



Walkles 326



"Gimana, sih," gumam Meta dari dalam mobil. "Plin-plan banget jadi orang." Tak lama Rafka kembali dengan dua gelas es teh yang ia letakkan di cup holder mobil. "Gila nih orang-orang, antriannya udah kayak beli barang diskonan. Padahal pedes gini." Meta hanya menggelengkan kepala saat memperhatikan orangorang yang datang silih berganti. "Pedes, tapi gue yakin lo ntar bakal pengen makan ini lagi." Meta mengangguk. "Not bad-lah, even buat gue yang nggak suka pedes." "Gue heran, orang dengan mulut kayak elo bisa nggak doyan pedes." "Mulut gue kenapa?" Saat ditanya mulut kenapa, bayangan yang tadi kembali melintas di benaknya. Ia berdeham sebelum



Walkles 327



melanjutkan ucapannya, "Kata-kata lo pedes, omongan lo nyelekit. Terlalu banyak manipulasi..." "Bukan manipulasi, ya," potong Meta. "Itu seni persuasi. Lagian omongan lo lebih nyelekit daripada gue. Sadar diri dong." "Nggak pernah pegawai gue protes tentang omongan gue. Mereka selalu bilang kalo mereka oke sama gue." "Ya mereka ngomongin bos di belakanglah, mana ada ngomongin bos di depan orangnya langsung." Rafka mengangkat bahunya. "At least cocok karena gue doyan pedes." Meta hanya memutar mata mendengarnya. Ia menyuap suapan terakhir nasi balapnya. Memang benar kata Rafka, ayamnya yang gurih dicampur dengan potongan kacang panjang dan serutan kentang goreng ini memang enak—di luar rasa pedasnya yang membuat hidung Meta meler dan bibirnya terasa seperti kesemutan. Tapi tidak, Meta tidak mau mengakuinya di



Walkles 328



depan Rafka. Kata 'not bad' saja sudah cukup. Bisa besar kepala pria itu kalau ia mengatakan 'enak banget'. Ia tidak ingin membuat Rafka merasa menang. *** "Gue berharap gue bawa kamera sekarang," ucap Meta setelah sekian lama mereka duduk di salah satu kursi di pinggiran Malioboro. Rafka yang sedang duduk bersandar karena kelelahan tidak menyahut. Ia masih memejamkan matanya, malas. Bagaimana tidak, ia seharian ini sudah mendorong Meta ke sana kemari, mulai dari memutari Sunday Morning untuk memburu bungkusan-bungkusan kantong plastik berisi jajanan hingga belanja baju dan dalaman di salah satu mall di Jogja. Bukannya mengajak pulang untuk membiarkannya beristirahat, Meta malah membujuknya untuk pergi ke Malioboro. Malioboro di hari Minggu, yang benar saja! "Raf, pinjem ponsel lo dong. Punya gue lowbatt." Namun, Rafka masih bergeming.



Walkles 329



"Raf," Meta berusaha mencolek paha Rafka yang masih berbalut celana training tadi pagi. "Raf!" "Berisik!" balas Rafka kesal. "Yah, lo jangan marah gitu dong. Elo sih enak bisa ke sini tiap hari, tapi gue kan belum pernah." "Nggak ada juga yang mau ke sini tiap hari!" Meta hanya mencebik. Ia kembali terdiam, menikmati pemandangan lalu lalang manusia di depannya. Mulai dari kulit putih hingga hitam, rambut pendek hingga panjang, bahkan dari yang menggunakan terlalu banyak perhiasan hingga yang mengenakan baju lusuh. Berbagai macam manusia ada di hadapan mata, tapi Meta tidak bisa mengabadikannya. Ini adalah siksaan terberat. "Raf, pinjemin gue bentar doang deh. Lima belas menit." "Nggak."



Walkles 330



"Kenapa, sih? Nggak ada yang nge-chat juga." Rafka membuka matanya, melirik Meta kesal. Mau tak mau ia menyerahkan ponselnya. Ia lebih memilih untuk merelakan ponselnya daripada terus-terusan mendengar suara Meta menghantui telinganya. Dengan senyum puas, Meta pun menerima. "Password?" tanya Meta sambil menyodorkan ponsel itu kembali. "Dua belas dua belas." Meta mengerutkan dahinya, agak terkejut karena Rafka dengan gamblangnya memberi tahu. "Kok lo ngasih tahu gue?" "Ya kan lo nanya, ya gue jawab." Iya juga, sih. Terserah sajalah. Yang penting ponsel ini sekarang ada di tangannya. Meta mengarahkan lensa ponsel itu ke mana saja. Berusaha mencari gambar yang bagus walaupun angle-nya terbatas. Ketika melihat hasil



Walkles 331



gambar, secara tak sengaja Meta menggeser foto terakhir yang dilihatnya. Ia mengira masih ada foto yang tersisa, tapi yang terpampang di layar malah foto candid pegawai hotel di Malang yang dekat dengan Rafka. Yang waktu itu berpelukan dengannya. Meta hampir lupa kalau Rafka tidak straight. Cepat-cepat Meta mengembalikan ponselnya ke tampilan semula. "Nanti fotonya lo share ke gue, ya?" tanya Meta sambil kembali menyodorkan ponsel itu pada Rafka. Namun, Rafka hanya menerimanya dan tidak menjawab. Ia membuka hasil foto Meta di ponselnya, melihatnya satu per satu. Hanya foto lanskap berisi lalu lalang manusia. Ia melirik Meta yang sedang terdiam memandangi satu titik. "Gue tadi berusaha ngefoto mereka." Meta tibatiba bergumam, tapi Rafka masih bisa dengan jelas mendengarnya. Rafka mengikuti arah pandang Meta, mengerti apa yang Meta maksud dengan 'mereka'. Rafka memang sempat melihat foto keluarga yang saat ini mereka lihat. Tadi mereka sedang memilih-milih baju di seberang



Walkles 332



jalan sana, tapi kini ketiganya berjalan pergi sambil tertawa bahagia membawa kantong belanjaan dan saling menggoda sepanjang jalan. "Gue udah lupa kalau gue sempet seseneng itu waktu gue seumuran dia." Meta mengalihkan pandangannya ketika keluarga itu sudah menghilang ditelan kerumunan. "Kenapa?" tanya Rafka. Ucapan Meta membuatnya teringat pada pembicaraannya dengan Gale di telepon waktu itu. "Banyak yang harus gue bayar untuk jadi fotografer seperti sekarang." Meta memberikan jeda sejenak, "Yah, walaupun sekarang pun gue belum banyak job, tapi seenggaknya gue bisa menikmati apa yang gue kerjain sekarang." "Apa hubungannya sama keluarga tadi?" Meta kemudian terkekeh, ternyata tidak mudah mengalihkan perhatian dan membelokkan pembicaraan dengan Rafka. "Itu yang harus gue bayar, keluarga. Gue



Walkles 333



adalah definisi Keluarga'."



sebenarnya



'dicoret



dari



Kartu



Meta tersenyum, melirik Rafka yang memandangnya dengan tatapan bertanya, tapi tak mengucapkan sepatah kata pun. Meta mendesah, kemudian melanjutkan, "Papa kerja di perusahaan batu bara. Posisinya lumayan tinggi sebenernya, cukup untuk membuat lulusan Teknik Kimia yang biasa aja kayak gue bisa magang dan kerja di sana. Tapi kata orang, gue menyia-nyiakan kesempatan itu karena lebih memilih untuk berdiri di balik kamera. "Kalau lo kabur ke sekretariat organisasi kampus, gue pernah hampir drop out dari kampus karena kelamaan gabung di UKM fotografi dan berlanjut magang di perusahaan fotografi. Papa ngamuk waktu tahu." Rafka mengangguk pelan. "Kalo gue jadi bokap lo, gue juga ngamuk. Lo ngawur. Perbuatan lo nggak bertanggung jawab."



Walkles 334



Meta kembali terkekeh. "I know. I knew. Seharusnya gue menyelesaikan kuliah gue dengan baik, dan menyelesaikan semua dengan bilang baik-baik tentang keinginan gue ke Papa. Tapi udah terlanjur, Raf. Negosiasinya alot waktu itu. Gue baru bersedia ngerjain skripsi waktu Papa mau kasih suntikan dana buat bangun studio, tapi Papa baru bersedia kasih suntikan dana kalau setelah itu gue berjanji untuk nggak akan pernah minta uang lagi ke Papa sepeser pun. Lalu udah," Meta mengedikkan salah satu bahunya yang tidak sakit, "sampai sekarang kami nggak pernah berhubungan lagi." "Lo nggak pernah berusaha ngehubungin mereka?" Meta menggeleng. "Gue anggep uang Papa adalah investasi, tapi modal usaha gue belum balik sampai sekarang. Kalau modal itu belum balik, gue nggak berani ketemu Papa walaupun sebenarnya uang papa hanya separuh modal. Sisanya suntikan dari investor lain." "Gale?" "Lo tahu Gale?"



Walkles 335



"Dia yang gue hubungi waktu lo kecelakaan." "Oh, iya." Meta mengangguk-angguk. "Tapi dia bukan investor. Masih ada satu teman lagi yang dulu nge-handle manajemen studio, tapi lo nggak tahu karena sekarang dia hanya bisa kontrol kerjaan dari jauh karena harus kerja di perusahaan lain. Kami bertiga yang bangun studio dari nol. Sekarang tinggal gue sama Gale. "Lo tahu, ketika kata orang gue menyia-nyiakan kesempatan, gue pikir ini semua bukan sebuah bentuk kesia-siaan. Ini memang jalan yang udah gue pilih untuk gue jalani. Memang gue harus hidup susah dan harus putar otak supaya gue sama temen-temen bisa tetap makan setiap harinya, tapi gue menikmati apa yang gue pilih dan gue tahu kalo gue harus bertanggung jawab atas keputusan itu. Emang keliatannya gambling banget, tapi bukannya sejak awal pilihan-pilihan hidup yang kita buat itu gambling juga?" Rafka tidak ingat sejak kapan ia mulai memperhatikan Meta berbicara. Ia dengan bodohnya malah melihat bagaimana dengan santai bibir Meta bergerak ketika berucap. Ia baru tersadar saat Meta



Walkles 336



berhenti berbicara dan menatapnya, menunggu jawaban. Hal itu membuatnya sedikit terkejut sehingga harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Rafka kemudian menggeleng. "Di dunia perjudian ada yang namanya peluang, entah itu peluang untuk berhasil atau untuk gagal. Penjudi sekalipun berani mengambil keputusan ketika dia melihat peluang. Gue yakin elo bisa ngambil keputusan kayak gitu karena elo ngerasa lo punya peluang, bukan asal gambling." Meta menaikkan alisnya, sedikit terkejut dengan jawaban Rafka. Detik ini juga, tiba-tiba Meta ingin diberi kekuatan untuk membaca pikiran orang lain. Ia ingin tahu apa yang Rafka pikirkan tentangnya setelah sore yang menjelang malam ini ia bicara tanpa henti seperti keran bocor. Untuk pertama kalinya—sepanjang pertemuan mereka, dan Meta benci mengakuinya— Meta sedikit merasa inferior di depan Rafka. Hanya sedikit. Keduanya kemudian terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meta memutuskan kontak matanya terlebih dahulu dari Rafka. Tak tahan sendiri karena Rafka seolah-olah bisa membaca apa yang ia pikirkan. Sedangkan Rafka sendiri hanya bisa menggaruk



Walkles 337



alisnya dengan ujung telunjuk dan ikut mengalihkan perhatian ke depan. "Hubungi bokap nyokap lo, sebelum terlambat," ucap Rafka lirih di tengah riuh rendah Malioboro. Namun, saat mendengarnya, Meta malah tertawa geli. "Lo barusan terdengar kayak bapak-bapak motivator waktu gue SD." Rafka hanya memutar matanya. Ia kemudian melanjutkan, "Waktu keluarga gue masih kayak keluarga yang lo liat tadi, gue juga mengira hal yang sama. Keluarga gue sempurna. Nyatanya papa ternyata pengisap ganja dan mama gue sakit." Meta kembali menoleh untuk melihat raut wajah Rafka. "Kenapa lo kayak orang kaget?" "Nah, lo cerita kayak gitu, siapa yang nggak kaget?" "Bu Tiyem nggak pernah cerita?" "Ya nggaklah, ngapain?!" Rafka mengedikkan bahunya. "Gue kira Bu Tiyem udah nyeritain semua masa lalu gue."



Walkles 338



Meta hanya menggeleng. "Dulu hubungan gue sama papa juga nggak bagus. Stereotip gue tentang mantan napi sama sekali nggak ada baik-baiknya. Gue sempet takut dan dendam sama papa karena papa udah bikin mama... sakit." "Gara-gara itu lo kabur dari rumah?" Rafka memicingkan matanya, menatap Meta curiga. "Untuk orang yang ngakunya nggak tahu apa-apa kayak lo, tebakan lo lumayan juga..." "Gue pinter main menyombongkan diri.



puzzle,"



gumam



Meta



"Walaupun jawaban lo sebenernya sedikit meleset. Gue kabur karena papa pulang dan gue denger kalo semua bakal ikut pindah ke Jakarta. Sedangkan gue nggak sudi tinggal seatap sama papa." "Terus?" Ya karena bujuk rayu Mbah Uti, gue luluh juga. Sampe dua hari sebelum meninggal aja, dia masih bilang ke gue, 'Maafin papa kamu, Raf. Kamu memang cucu Uti, tapi papa kamu juga anak Uti. Mungkin papa pernah bersalah, tapi kamu udah liat sendiri gimana papa kamu berusaha buat memperbaiki semuanya.' sambil megang



Walkles 339



tangan gue sama papa. Kalo bukan karena Mbah Uti, kayaknya gue nggak bakal mau." Rafka menunduk. Raut mukanya berubah menjadi sedikit sendu, membuat Meta merasa bersalah sudah mengungkit-ungkit masa lalu Rafka. Ia tidak pernah melihat muka Rafka sesendu itu. Melihat Rafka seperti itu jadi membuatnya tidak tega. Apa selama ini ia terlalu kasar pada Rafka? "Gue nggak maksud buat bikin lo sedih," ucap Meta tulus. "Cih, nggak maksud tapi 'terus-terus'," cibir Rafka membuat Meta mencebik. "Ya siapa yang tahu kalo ceritanya bakal sedih gitu? Lagian gue cuma bilang 'terus' sekali doang." "Udah deh, gue capek. Lo tadi bilang pengen liat lampu-lampu di Malioboro, kan? Tuh, lampunya udah nyala. Yok, pulang!" "Yah, Raf, lampunya emang udah nyala, tapi langitnya belum gelap." "Kalo lo tetep nggak mau pulang sekarang, lo gue tinggal," ujarnya sambil berdiri. Ia meregangkan ototototnya yang terasa kaku.



Walkles 340



Meta hanya bisa berdecak. Ia menyesal sudah kasihan pada Rafka, sama sekali tidak pantas dikasihani. *** Sepanjang perjalanan pulang dari Malioboro, Rafka hanya bisa berdecak kesal. Dalam hati sudah tak terhitung berapa kali ia mengumpat. Saat berjalan menuju tempat parkir mobil Malioboro Mall, Meta dengan panik menarik tangannya untuk memaksanya menunduk. Dengan pasrah, Rafka mendekatkan tubuhnya. "Raf, gue mules. Cari kamar mandi, cepet!" bisiknya. Rafka membelalakkan matanya, ia tidak habis pikir. Kenapa sih Meta selalu saja punya cara untuk membuatnya kesal? "Gara-gara nasi balap lo nih!" dumelnya ketika Rafka mendorongnya mencari toilet khusus di dalam mall. Namun, saat sudah masuk ke dalam toilet, Meta malah kembali memanggil-manggil namanya. Sesaat, Rafka sudah panik mengira Meta terpeleset atau apa,



Walkles 341



tapi ketika membuka pintu, ia mendapati Meta berdiri dengan satu kakinya. Tangan kirinya memegang sabuk dan mendongak menatap Rafka minta tolong. "Masuk sini bentar, gue nggak bisa lepas ikat pinggang," ucap Meta. "Bantu gue lepasin."



Walkles 342



- 27 - Annoyance Demi Nyi Roro Kidul di pantai selatan, Rafka merasa seperti di hempas ombak ketika mendengarnya. Dengan mudahnya Meta meminta untuk melepaskan sabuk? Yang benar saja! Sungguh Rafka ingin menobatkan Meta menjadi manusia yang paling merepotkan di seluruh dunia. "Lo nggak nyadar gue cowok?" tanya Rafka yang masih bergeming di depan pintu. "Duh, kelamaan. Ini tuh misi penting atas dasar rasa kemanusiaan, nggak penting lo cowok atau cewek." Seperti itu Meta menjawab, membuat Rafka lagilagi hanya bisa pasrah berjongkok dan melepaskan ikat pinggang dan kancing di celana Meta. Ia langsung keluar secepat kilat begitu selesai melakukannya. Saat selesai, Rafka masih harus mengancingkan celana dan mengeratkan lagi ikat pinggangnya. Bagaimana Rafka bisa tidak mengumpat sepanjang jalan? Ketika ia berbelok memasuki pekarangan rumah, sebuah mobil yang tak asing telah terparkir di carport. Rush merah itu tentu tidak asing bagi Rafka, tapi tidak lazim bila ia lihat terparkir di rumah ini. Menilik plat



Walkles 343



mobilnya, perkiraan Rafka sama sekali tidak salah. Tapi bagaimana bisa mobil kesayangan Tante Risma itu bisa berada di sini? Dengan agak buru-buru, Rafka menarik tuas rem tangannya ketika mobilnya telah terparkir sempurna. "Ada tamu, ya?" tanya Meta bingung. Kalau saja Meta tidak bersuara, Rafka hampir lupa kalau ia masih harus mengeluarkan kursi roda dari dalam bagasi. Terpaksa ia menekan rasa penasarannya dan mengurus Meta terlebih dahulu "Hello, cousin, lo kangen gue nggak?" Tak perlu menahan rasa penasarannya terlalu lama, Bian berdiri di teras dengan rambut basah dan sebuah handuk tersampir di pundaknya. Wajahnya terlihat segar seperti habis mandi. "Ngapain lo di sini?" tanya Rafka dengan tampang masam. Didorongnya Meta untuk naik ke teras. "Weits, siapa nih?" Bian mengusapkan tangannya pada baju yang ia kenakan dan mengulurkannya pada Meta. "Gue Bian, chief HRD Pramoedya."



Walkles 344



Meta menyambut uluran tangan Bian sambil tersenyum ramah. Ia teringat Bu Tiyem pernah menyebutkan nama Bian sebagai sepupu Rafka. "Meta." "Nggak usah sok keren lo!" Rafka mendorong kursi roda Meta yang sempat terhenti, melepaskan kaitan tangan Bian dan Meta. Bisa-bisanya manusia busuk ini flirting di depan matanya. "Meta? Kayaknya gue pernah denger?" "Nggak usah sok ngeluarin jurus rayuan basi lo deh!" Tapi seperti orang budeg, Bian terus saja melenggang berjalan bersisian dengan Meta. "Lo siapanya Rafka nih kalo boleh tahu?" "Bisa nggak sih lo nggak norak?" tanya Rafka, ingin menendang Bian menjauh. Ia kemudian beralih pada Meta. "Lo mau ke kamar atau ke mana?" Mendengar hal itu, sontak Bian membelalakkan matanya. "Hah? Kamar? Kamar apa nih? Lo nginep di sini? Wah, lo udah berubah banget, ya? Lo pindah ke Jogja bukannya jadi pria baik-baik lo, parah. Nggak nyangka gue." "Berisik."



Walkles 345



"Mbak Meta udah dateng, Mbak? Mau mandi? Ibu bantuin, ya?" tawar Bu Tiyem begitu masuk rumah. Ia baru saja kembali dari rumah belakang, segera tergopoh-gopoh keluar untuk menyambut Meta dan Rafka begitu mendengar suara mobil. "Lha jare lari-lari kok sampe wengi ki le lari-lari mubeng ngendi wae to Mas?" "Dari Sabang sampai Merauke," jawab Rafka kesal. Ia membiarkan Meta pergi dengan Bu Tiyem yang sepertinya tidak mendengar jawabannya dan berjalan memasuki kamarnya sendiri. Tepat ketika hendak menutup pintu kamar, Bian dengan gesit menahan pintu agar tidak tertutup. Ia kemudian tersenyum jumawa ketika Rafka terpaksa membiarkannya masuk. "Jadi?" tanya Bian menggantung, tapi Rafka memilih untuk melepas kaosnya dan mengganti celana trainingnya dengan celana santai selutut. Malas menanggapi Bian dengan pertanyaan tidak pentingnya. Tapi sayangnya Bian seperti tidak ada niatan untuk berhenti bertanya. Ia tetap ngotot menuntut penjelasan, "Siapa cewek tadi?"



Walkles 346



"Gue rasa lo udah denger kalo fotografer itu bakal gue inepin di sini selama dia kerja." Rafka menyerah, kemudian memilih untuk merebahkan diri di kasur. "Hah? Jadi dia fotografer yang lo maksud?" tanya Bian lagi. Ia duduk di kursi yang ada di kamar Rafka dan menyilangkan kakinya di atas. "Bentar, bentar, pertama dulu lo bilang fotografer itu cuma di sini dua hari? Dan yang kedua, fotografernya cewek? Cantik lagi. Menang banyak lo!" "Menang banyak jidat lo! Dia kecelakaan di hari kedua. Lo liat sendiri kakinya di gips. Bukannya untung, malah jadi gue yang repot sendiri." "Terus bukannya dipulangin, tapi malah Lo kekep di sini?" Rafka berdecak. "Panjang ceritanya." "Waktu gue masih banyak, gue bakal di sini sampe pembukaan hotel." Mendengar kalimat terakhir Bian, Rafka langsung mengangkat kepalanya dan menoleh pada Bian. "Dua Minggu? Heh, sableng, lo nggak kerja?" Bian hanya mengedikkan bahu. "Kakek gue yang punya hotel sih."



Walkles 347



"Sialan." "Ya gue kan bakal bantuin elo di sini, menjelang pembukaan pasti banyak yang harus dikebut. Kurang baik apa lagi gue jadi sodara?" "Jadi?" lanjut Bian setelah hening beberapa saat. "Jadi apa lagi?" "Gimana ceritanya?" "Lo pikir aja sendiri deh, gue capek." "Dia punya pacar nggak?" "Lo tanya aja sendiri, jangan tanya gue." Bian melemparkan handuk basahnya pada Rafka. "Nggak asik banget sih lo, Raf?" Rafka menangkapnya dengan sigap dan melemparnya kembali pada Bian. "Ya gue emang nggak tahu, nggak pengen tahu juga." Ia melanjutkan dengan gumaman, "Yah, walaupun gue yakin nggak ada yang mau sama Medusa kayak Meta."



Walkles 348



Namun, Bian sepertinya masih bisa mendengar gumaman itu. "Wah, awas aja kalo Meta ada yang punya ya! Dari pertama gue liat, gue aja nyadar kalo dia hot banget. Tipe gue banget. Lo buta apa gimana nih?" Mendengar Bian menyebutkan kata 'hot', pikiran Rafka langsung melayang pada ciumannya dengan Meta di mobil tadi. Maksudnya bayangan ciumannya dengan Meta. Menyadari itu, Rafka benar-benar ingin menggebrakkan kursi yang Bian duduki di kepalanya.2 "Ngapain muka lo merah?" tanya Bian sambil mengernyit. Kemudian di detik berikutnya, ia menatap Rafka malas. "Wah, mikir jorok lo. Yakin gue." "Mikir jorok," Rafka pura-pura berdecih, menolak mengakui bahwa ia memang melakukannya. "Apa kabar sama ratusan file di folder 'semester 10' kalo gitu?" "Apa yang salah dengan folder materi kuliah gue?" "Kuliah selesai di semester 9, masih bisa ada folder semester 10."



Walkles 349



"Ya emang itu isinya materi kuliah, kuliah kehidupan." "Kuliah kehidupan pala lo! Terserah deh, gue mau mandi aja." Rafka bangkit dari tempatnya tidur dan berjalan keluar dari kamarnya berbekal pakaian ganti. *** "Iyaa, bawel banget sih," ucap Meta sambil memutar matanya. "Gue tahu kalian jadi banyak kerjaan gara-gara gue. Jadi cepet, upload raw-nya. Biar gue yang kerjain editing-nya." "Mbak, jangan gitu dong. Ntar gue yang kena semprot Mas Gale. Dia udah ngewanti-wanti buat nggak ngasih kerjaan ke Mbak Meta. Udah Mbak Meta fokus istirahat aja." "Nggak, gue nggak bisa makan gaji buta." "Kapan lagi sih bisa istirahat kayak gini Mbak, udah nikmatin dulu aja."



Walkles 350



"Nggak," elak Meta, tetap kekeuh pada pendiriannya. "Pokoknya kalo sampai besok pagi nggak lo upload juga, gue bakal telepon Dani biar bonus lo nggak turun." "Yah, jangan gitu dong Mbak," melas Fiki walaupun sebenarnya dia tahu ancaman Meta hanyalah omong kosong belaka. Walaupun dari luar terlihat seperti Mak Lampir, tapi Fiki tahu Meta sebenarnya lebih mirip Snow White yang gampang luluh melihat orang susah. Perlu waktu lama untuk bisa mengenal dan tahan bekerja dengan Meta. Bunga saja yang seharusnya menggantikannya selama delapan hari karena saat itu dirinya terkena demam berdarah sudah angkat tangan pada hari kelima. "Elo juga jangan gitu, Fik. Lo sebenernya asisten siapa, sih? Gue atau Gale?" "Sekarang sih Mas Gale." "Sialan, bener juga," gumam Meta. Cukup keras untuk bisa samar-samar terdengar oleh Fiki. "Ya pokoknya gue nggak mau tahu, besok file harus udah diupload." Tiba-tiba Meta merasa tidak sendiri di teras. Cepatcepat ia menggulir tombol merah di ponselnya dan



Walkles 351



menoleh. Ia mendapati Bian sedang bersandar sambil tersenyum ke arahnya. Di tangannya ada dua gelas teh yang salah satunya ia seruput. "Sejak kapan lo di situ?" Dalam hati Meta berharap Bian baru saja datang dan tidak mendengar pembicaraannya di telepon. "Sejak 'gue nggak bisa makan gaji buta'," ucap Bian sambil menirukan suara Meta. Ia kemudian beranjak dari kusen pintu dan duduk di kursi teras, meletakkan cangkir satunya yang sepertinya masih utuh di sebelah laptop Meta yang terbuka. Meta hanya berdecak ketika tahu harapannya dibawa pergi oleh angin malam, membuat Bian tertawa geli. "Gue bisa-bisa aja tuh makan gaji buta." Meta merapatkan bibirnya, tak terima dengan jawaban Bian. "Masalahnya kalo musim-musim nikahan, workload lagi banyak-banyaknya. Ada gue aja kadang mereka overwork, apalagi nggak ada gue. Mana bisa gue ngebiarin anak buah gue pontang-panting, sedangkan gue duduk-duduk cantik di sini." Bian mengangguk-angguk sambil menyesap tehnya.



Walkles 352



"Ini buat gue, kan?" tanya Meta tanpa menunggu jawaban langsung menyeruput teh itu. "Sebenernya itu punya Rafka," ucap Bian membuat Meta seketika terbatuk-batuk. Beberapa titik air sempat muncrat ke layar laptopnya. Sebelum Meta melayangkan protesnya, Bian cepat-cepat menjawab sambil tertawa. "Nggak, gue cuma bercanda. Kaget banget sih lo?" "Iseng banget, sih!" gerutu Meta sambil menepuknepuk dadanya, menenangkan batuknya sendiri. Ia kemudian mengelap titik-titik air yang muncrat tadi dengan jari-jari tangannya. "Kenapa? Lo takut sama Rafka?" "Ya nggak, tapi kalo gara-gara teh gue diamuk lagi, makasih deh. Mending gue bikin teh sendiri." Bian tertawa terbahak-bahak, entah di bagian mana ia menemukan sesuatu yang lucu. "Maaf, gue nggak lagi ngelucu." "Menurut lo, Rafka orangnya gimana?" tanya Bian setelah tawanya reda. Ia memandang Meta penuh ingin tahu.



Walkles 353



"Kenapa lo tanya gue?" "Karena gue pengen tahu." Meta memutar matanya jengah, tapi kemudian ia tetap menjawab, "Yaaaa... dia baik." Satu detik kemudian, yang terdengar hanyalah suara batuk berlebihan karena Bian ganti tersedak. "Rafka? Baik?" Bian terbelalak tidak percaya. Seumur hidupnya, ia hanya mendengar komentar negatif ketika bertanya tentang pendapat orang lain saat awal-awal mereka bertemu dengan Rafka. "Ya walaupun gitu, dia sebenernya emang baik." "Itu seharusnya kata-kata gue!" Bian mengacungkan jari telunjuknya pada Meta, sedangkan yang ditunjuk hanya bisa mengerutkan dahi "Apa?" "Seharusnya lo ngomong kalo Rafka jahat, judes, sombong, galak, angkuh, jelek, apalah itu. Terus baru gue yang ngomong kalo sebenernya Rafka itu baik." Mendengar hal itu, Meta jadi tertawa. Ia baru paham apa yang Bian maksud. "Gue udah didorong ke sana kemari, masa iya gue tetep ngomong jelek. Gak tahu diuntung banget gue."



Walkles 354



Bian hanya bisa mengedipkan matanya beberapa kali. Mulutnya terbuka dan tertutup, bingung ingin berkata apa. Hal itu hanya berakhir dengan desahan dan beberapa teguk teh. Setelah beberapa lama terdiam, akhirnya Bian kembali bersuara. "Gue yakin udah banyak yang bilang, tapi lo cantik banget kalo lagi ketawa... AW!" Ketika Meta menoleh, Rafka sudah berdiri di belakang Bian. Dengan tanpa rasa bersalah telah menggeplak kepala Bian, ia duduk di kursi teras yang masih kosong. "Ngapain sih lo, Raf?" "Udah berapa kali gue bilang buat jangan flirting di depan gue? Gaya flirting lo tuh udah ketinggalan jaman." "Kayak lo pernah flirting aja." Tanpa menghiraukan balasan Bian, Rafka kemudian terdiam memandangi gelas yang Meta dan Bian pegang. "Teh buat gue mana?" "Bikin aja sendiri."



Walkles 355



"Itu teh kampul, kan? Gue tahu cuma elo yang bisa bikin teh kampul enak di sini," "Tangan gue cuma bisa bawa dua, udah buat gue sama Meta." "Tapi kaki lo bisa buat jalan lagi ke dapur dan bikinin buat gue juga." Dengan decakan sebal, Bian memutuskan berdiri. Ia melangkah menuju dapur, meninggalkan Meta dan Rafka di teras. "Untung sodara!" Rafka hanya tersenyum tipis, tapi dengan cepat senyum itu menghilang dari wajahnya digantikan oleh raut tegang. Kakinya bergerak-gerak. Ketika Meta meliriknya heran, Rafka menghentikannya. Ayolah Raf, berhenti bersikap lembek. You're being so sissy right now, protes Rafka pada dirinya sendiri. Ia mengetukngetuk arm-rest kursi teras yang ia duduki dengan ujung jari. "Lo nggak papa, Raf?" tanya Meta membuat Rafka langsung menoleh. "Gimana progres video gue?" "Ini lagi gue kerjain. Kayaknya, lusa lo udah bisa liat. Kalau lo oke, bisa langsung gue render."



Walkles 356



Rafka mengangguk-angguk. Setelah terdiam sejenak, ia mengulurkan tangannya dari saku. Diletakkannya benda yang sejak tadi ia genggam di atas meja. "Nih, buat ganti kalung lo yang udah gue rusakin." Meta hanya bisa melongo melihat choker yang diletakkan oleh Rafka, sel-sel otaknya terasa seperti belum tersambung. Gagal mencerna ucapan Rafka yang baru saja ia dengar dengan apa yang ia lihat. "Raf!" panggil Bian, seketika membuat Rafka berdiri. "Gue mau bicara penting sama elo," ucap Rafka sambil setengah menyeret Bian untuk masuk ke dalam kamarnya. "Eh? Apa nih? Nggak! Gue masih mau ngobrol sama Meta." Suara bian terdengar semakin menjauh. Meta mengulurkan tangannya mengambil choker itu. Kapan Rafka membeli benda itu untuknya?



Walkles 357



- 28 - Confusion Rafka mengulurkan tangannya, mengambil gagang telepon. Ketika teleponnya tersambung pada sekretarisnya, ia mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya menuju ke udara. "Ruli, bisa panggilkan Bian untuk ke sini?" "Baik, Pak," jawab sekretaris Rafka. Setelah beberapa saat, telepon kembali berdering. Rafka memastikan sekretarisnya sedang meneleponnya dengan melirik ke pembatas kaca. "Kata Pak Kamal, Pak Bian sudah meninggalkan ruangan sejak dua jam yang lalu, Pak. Ada urusan di luar." Dahi Rafka mengerut ketika mendengarnya. Bian sama sekali tidak berpamitan padanya kalau ia akan pergi hari ini. "Urusan apa?" "Pak Kamal tidak memberi tahu, tapi tadi menitipkan pesan untuk mengingatkan Pak Rafka. Hari ini Mbak Meta harus kontrol ke dokter Yudha." Rafka menarik kalender meja dengan tangannya yang bebas. Ia hampir lupa kalau hari ini hari Selasa, dan



Walkles 358



Meta memiliki janji dengan salah satu dokter di rumah sakit untuk kontrol "Kalau begitu, saya nggak akan kembali setelah makan siang." "Baik, Pak." Setelah memastikan seluruh pekerjaan yang akan ia bawa pulang sudah lengkap, Rafka melangkah pergi menuju mobilnya. Tak perlu waktu lama untuk mengendarai mobilnya membelah jalanan panas Kulonprogo. Ketika sampai pada jalan utama, ia menginjak pedal gasnya lebih dalam. Pasalnya, satu jam lagi jam praktek sang dokter akan habis. Kalau sampai terlambat, bisa-bisa ia habis terkena omelan Meta. Bunyi gemeletuk kerikil terdengar ketika Rafka memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Ia segera masuk ke dalam, bertemu dengan Bu Tiyem yang berlari-lari kecil hendak membukakan pintu untuknya. "Lho? Mas Rafka? Jam segini kok sudah pulang?" tanya Bu Tiyem heran saat masih siang sudah melihat Rafka di rumah. "Meta mana?"



Walkles 359



Mata Bu Tiyem berkedip, bingung. "Lha kan Mbak Meta waktunya kontrol?" "Iya, makanya saya pulang." "Lho? Kan sudah berangkat dari tadi, Mas? Tadi diantar sama Mas Bian, katanya Mas Rafka sibuk di hotel. Nggak bisa diganggu," jelas Bu Tiyem, menggabungkan potongan-potongan alasan kepergian Bian dari hotel di kepala Rafka. Ketika benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi, rasanya seperti habis disiram air tepat di muka. Triple sialan, umpat Rafka dalam hati. Sudah terpaksa meninggalkan pekerjaannya yang maha penting dan mempertaruhkan nyawa karena mengendarai mobil seperti orang kesetanan, tapi ketika sampai yang ia dapatkan hanya kekosongan belaka. Quadruple sialan, umpatnya lagi tak tahan. Ia jadi teringat kemarin ketika pulang bekerja pada malam hari karena harus lembur mengerjakan sesuatu, ia mendapati Bian dan Meta kembali duduk berdua di teras. Keduanya tertawa-tawa seolah ada sesuatu yang lucu sedang mereka lihat bersama. Kemudian ia juga teringat ucapan Bian yang mengatakan bahwa Meta terlihat cantik saat tertawa. Cuih. Rafka yakin mata Bian



Walkles 360



saat itu sedang ada air mata yang membuat pandangannya jadi blur. Tidak jelas. Membuatnya separuh berhalusinasi. Tapi kalau di ingat-ingat, Meta memang tidak pernah tertawa ketika bersamanya. Ia pernah melihatnya bercanda sok akrab dengan Bu Tiyem, Pak Jo, Bahkan Pak Kamal. Dan kali ini Bian. Tapi tidak dengannya. Decuple sialan. Kenapa Rafka malah meributkan hal tidak penting ini di kepalanya? Meta mau tertawa dengan siapa, seharusnya sama sekali bukan urusannya. Emosi benar-benar membuat dirinya tak waras. "Mas Rafka?" panggil Bu Tiyem untuk ketiga kalinya. Rafka menoleh cepat, tapi tidak menjawab. "Mas Rafka mau makan siang aja? Biar Ibu siapin. Ibu bikin ayam sayur bayam sama dadar jagung." Rafka mendesah, kemudian mengangguk.Ia melepaskan dasinya dan berlalu menuju kamar tidur. Saat ini seharusnya Rafka merasa lega karena kewajibannya mengantar Meta sudah gugur. Juga karena akhirnya ia bisa melanjutkan pekerjaan yang masih harus ia kerjakan. Tapi kenapa dirinya tetap emosi? Menyebalkan. Kenapa juga Bian tidak



Walkles 361



menghubunginya? Kalau tahu lebih dulu, kan ia jadi tidak emosi seperti ini. Rafka berdecak sembari mengganti pakaiannya dengan baju santai di rumah. Lima menit menghadap ke layar laptopnya, pikiran Rafka malah melanglang buana. Ia teringat bagaimana Meta bisa sangat merepotkan ketika harus bepergian. Dan playboy cap cicak seperti Bian itu tukang rayu! Bagaimana kalau Meta memintanya melakukan hal aneh—meminta melepaskan sabuk lagi misalnya, atau malah saat ini tidak pakai bra!—dan Bian mengambil kesempatan dalam kesempitan? Membayangkannya saja sudah membuat Rafka bisa mencium aroma-aroma kekacauan. 2 ***



"Ta, lo laper? Mau ke angkringan, nggak?" tanya Bian sambil membawa kruk dan memasukkan ke pintu tengah. "Angkringan kopi joss?" Antusiasme membuat Meta melepaskan pertanyaannya dengan nada tinggi. Matanya berbinar-binar senang.



Walkles 362



"Udah buka belum ya jam segini?" gumam Bian pada dirinya sendiri. Ia menutup pintu dan berputar mengelilingi mobil. "Kalau belum buka, tunggu di sana aja atau sambil jalan ke Malioboro." Bian tertawa melihat Meta kini seperti anak kecil yang dijanjikan akan dibelikan mainan. "Emang hari Minggu elo sama Rafka nggak ke sana? Katanya ke Malioboro?" Meta mendesah malas. "Ke Malioboro sih, tapi Rafka udah kecapekan waktu itu. Dia langsung ngajak pulang begitu lampu jalanan nyala. Gelo banget. Lo tahu sendiri dia gimana kalo lagi capek." Bian mengangguk-angguk sambil kembali terkekeh. Ketika membuka ponselnya, Meta menaikkan alisnya ketika menemukan chat Rafka muncul di antara keramaian chat grupnya. Pasalnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, chat-chat yang Meta kirimkan hanya berujung 'read'. Tak lebih. Rafka Pramoedya : Pss



Walkles 363



Pss? Hanya itu? Lagi pula apa itu pss? 'Pak Slamet Santoso'? 'Permainan Saling Silang'? Walaupun dia menanyakan lokasinya saat ini, kan bisa pakai 'di mana'. Bukan posisi. Memang jawaban apa yang Rafka harapkan? Dia mau kalau Meta menjawab posisi jongkok, atau malah nungging? Menyebalkan sekali. Meta mengembuskan napas panjang sebelum mengetik balasan pada Rafka. Meta Mariska : jln Sengaja Meta membalas tak kalah pendek. Sedangkan yang di seberang sana menahan untuk tidak balas mengumpat saat membaca balasan dari Meta. "Kenapa?" tanya Bian sambil sesekali melirik Meta. Meta menoleh pada Bian sebentar sebelum kembali memfokuskan pandangannya kembali pada ponsel. "Nggak, Rafka cuma nanya gue di mana." "Rafka?" Bian mengerutkan alisnya. Sedetik kemudian bibirnya ditipiskan karena harus menahan senyum. "Terus lo bales?" "Gue bilang gue di jalan. Emang di jalan, kan?"



Walkles 364



Bian kemudian hanya terkekeh. "Lo seneng di sini, Ta?" Meta terdiam sejenak sebelum menjawab, "Yah, terlepas dari seluruh kejadian yang bikin gue kayak gini, gue cukup seneng di sini. Bu Tiyem menyenangkan, Pak Jo dan Pak Kamal juga baik." "Tapi kayaknya lo harus bersyukur karena dengan elo sakit, lo jadi bisa lebih lama di sini." "Ya nggak dalam kondisi ngerepotin banyak orang juga. Udah ngerepotin mereka, ngerepotin orang studio gue juga. Apalagi kayak yang lo bilang tadi, Rafka lagi sibuk banget karena hotel bentar lagi soft opening. Pak Kamal yang bantuin dia juga pasti nggak kalah sibuk. Gue kan nggak enak." "Jangan dipikirin," ucap Bian sambil tetap menyetir. "Gue sih nggak papa selama yang ngerepotin elo." Meta hanya tertawa mendengar ucapan Bian. Ketika ponselnya kembali bergetar, ia mengalihkan pandangannya kembali ke ponsel. Rafka Pramoedya : jgn ngerepotin orang lain Meta memutar mata ketika membacanya. Baru saja dibahas, bagaimana bisa Rafka mengirimkan pesan



Walkles 365



seperti ini? Dia memasang kamera di mobil ini? Meta melirik benda-benda mencurigakan yang mungkin terpasang di mobil ini sebelum membalas pesan Rafka. Meta Mariska : yg direpotin aja seneng klo gw repotin Sedangkan di seberang sana Rafka membacanya dengan mata terbelalak. Gimana Bian tidak senang diberikan kesempatan yang jelas-jelas... jelas-jelas membuat Bian senang! Benar-benar. Ia berdecih karena tidak habis pikir. Meta pasti benar-benar jelmaan Medusa, Rafka yakin. Rafka Pramoedya : Bu Tiyem mungkin, tapi jangan Bian. Meta mengerutkan alisnya. Ada apa dengan Rafka? Kenapa mendadak dia berubah menjadi aneh? "Rafka masih chat lagi?" tanya Bian. "Udah, biarin aja nggak usah dibales." "Kenapa?" Bian berdiam sejenak, berpikir untuk mencari alasan. "Ntar kalo penting juga dia telepon."



Walkles 366



Meta hanya mengangguk kecil, memilih untuk setuju. Kemudian dimasukkannya ponsel itu ke dalam tas kecil yang ia bawa. "Lo kayaknya tahu banget soal Rafka." Meta sendiri bingung ucapannya ini pernyataan atau pertanyaan. "Gue aja nggak deket sama sepupu gue." "Gue sama remember?"



Rafka



dari



kecil



bareng-bareng,



"Sampe sekarang juga saling tahu satu sama lain?" Bian mengangguk, sedikit bingung kenapa Meta menanyakan sesuatu yang sudah sangat jelas seperti ini. "Elo mau tanya apa pun soal Rafka ya gue tahu. Riwayat kerjaan, ukuran celana dalem, kaos, topi, love life bahkan sex life dia juga gue tahu. Rafka juga tahu semuanya tentang gue..." Meta tidak berkedip mendengarnya. Perkataan Bian selanjutnya lewat begitu saja tanpa melalui telinganya. Entahlah, mungkin karena Meta saja yang terlalu kolot atau bagaimana. Atau mungkin kehidupan Crazy Rich zaman sekarang sudah lebih maju sehingga mereka memiliki pemikiran yang lebih terbuka dengan orientasi penyuka sesama jenis. Bukannya Meta anti pada orientasi hubungan seperti itu, bahkan ia punya banyak



Walkles 367



sekali teman penyuka sesama. Walaupun Meta bukan penyuka sesama, ia tetap menghormati keputusan mereka. Namun, baru kali ini Meta menemukan keluarga mereka menerima semuanya dengan biasa saja. "Style baju yang gue suka, love life gue, yah, walaupun kehidupan percintaan gue nggak mulus-mulus amat. Kenapa lo keliatan kaget gitu, sih?" Meta menggeleng. "Nggak, nggak papa. Keluarga elo terbuka banget," ucap Meta meninggalkan kernyit di dahi Bian. Tak lama, Bian memarkirkan mobilnya dan menarik tuas rem. Tempat parkirnya memang agak jauh dari lokasi angkringan, sehingga Bian harus mendorong Meta terlebih dahulu dengan kursi rodanya. "Gue kira tempatnya deket. Maaf, ya," ucap Meta sedikit merasa bersalah. Untung matahari sudah hampir tenggelam di bagian barat, sehingga udara sudah tak terlalu panas di pinggir jalan seperti ini. "Nggak papa, soalnya di sana nggak ada parkiran buat mobil," balas Bian dengan muka sedikit merah. Beruntung ketika sampai, angkringan itu belum begitu ramai sehingga mereka masih mendapatkan



Walkles 368



bangku untuk duduk. Begitu selesai memilih sate dan berbagai macam gorengan, Bian membantu Meta untuk duduk dan melipat kursi rodanya yang memakan tempat. "Thanks ya, Bian." Meta tersenyum pada Bian. "Gue suka lo nyebut nama gue," jawab Bian cengengesan. Ia menumpukan sikunya di meja dan menyatukan jari-jari tangannya. Meta hanya tertawa menanggapinya. "Lo tahu, yang gue lebih nggak ngerti, lo sama Rafka dari kecil sama-sama tapi sifat kalian beda banget." "Harusnya gue yang heran. Elo baru semingguan di sini, kayak udah kenal banget sama Rafka. Elo... suka sama Rafka?" Meta terbelalak mendengar pertanyaan super aneh yang Bian lontarkan. "Hah?! Nggaklah! Yang bener aja!" "Yah, santai dong. Kalo elo ngegas gitu, gue malah makin curiga. Yakin lo nggak suka? Lo bilang kemaren Rafka baik." Ya gue bilang baik, bukan berarti gue suka. Masa kalo gue bilang Pak Kamal baik, lo langsung nyimpulin



Walkles 369



kalau gue suka sama Pak Kamal? Lagian, Rafka nggak mungkin juga suka sama gue." "Kenapa nggak mungkin?" Bian mengangkat alisnya. Pembicaraan mereka terhenti sesaat ketika kopi pesanan mereka datang. Meta mengambil kesempatan itu untuk balas bertanya. "Kenapa mungkin?" "Ya mungkin aja. Lo keren, gue pikir lo juga smart, lo cantik. Siapa yang nggak suka sama lo?" "Rafka?" Bian tertawa terbahak-bahak. "Kalo ternyata Rafka suka sama elo, gimana?" "Kenapa lo ngotot banget kalo Rafka suka sama gue, sih?" "Yaa... kan gue bilang 'kalau', yang artinya seandainya, seumpama." "Yaaa... udah." Meta sengaja menirukan sesuai nada yang Bian ucapkan. Ia mengedikkan bahunya. "Kan hak dia buat suka sama siapa aja." "Lo nggak bakal bales perasaan dia?"



Walkles 370



"Kenapa kita ngobrolin hal yang nggak jelas gini, sih? Lo tahu sendiri kan kalau itu nggak mungkin." Bian menatap Meta dengan tatapan tanya di balik kopi yang dia sesap. "Bukannya elo tahu kalo Rafka udah punya pacar? Eh, gue juga nggak tahu sih mereka udah pacaran atau belum, tapi gue pernah liat Rafka pelukan sama cowok waktu gue di Malang..." Belum selesai Meta bicara, ucapannya langsung terhenti karena Bian tersedak. Menyemburkan kopinya tepat di muka Meta. Walaupun tidak banyak dan hanya berupa titik-titik kecil, tapi tetap saja cairan itu berasal dari mulut Bian. "Oh, shit!" umpat Bian panik. Dengan cepat ia menggulung tisu di tangannya dan menepuknepukkannya pada wajah Meta. "Ta, sorry, gue nggak sengaja. Gue cuma... kaget." "Katanya lo tahu tentang love life Rafka," protes Meta kesal. Ia kemudian mengambil gulungan tisu dari tangan Bian dan mengelap mukanya sendiri. "Gue tahu..." ucap Bian terdengar tak yakin. "Tapi, lo tahu Rafka pelukan sama cowok? Maksudnya, lo tahu kalau Rafka suka sama..."



Walkles 371



Meta mengangguk, membenarkan pernyataan Bian yang belum sepenuhnya selesai karena tak bisa melanjutkan kata-katanya. Bibirnya sudah berkedut karena karena sibuk menahan tawa. Ia sampai harus menolehkan wajahnya ke arah lain saking gelinya.



Walkles 372



- 29 - Cognition Begitu terdengar suara mobil memasuki pelataran rumah, Rafka mengalihkan tatapan dari layar laptopnya menuju mobil. Ia sedang duduk di teras bertemankan dua gelas jus mangga yang salah satunya sudah kosong. Diliriknya jam di laptopnya yang menunjukkan bahwa sudah hampir jam sepuluh malam. Bian keluar dari mobil, melihatnya duduk di teras dengan senyum dari ujung telinga kanan ke telinga kiri saking lebarnya dan dengan wajah merah. Alarm langsung muncul di kepala Rafka. Bian terlihat mencurigakan. "Kenapa lo?" tanya Rafka. Bian ngeloyor begitu saja untuk membuka bagasi dan mengambil kursi roda. Dibantunya Meta untuk turun dari mobil. "Belum tidur lo, Raf?" sapa Meta ketika Bian mendorongnya menaiki teras. Rafka hanya diam. Matanya menyipit semakin curiga ketika Bian melihatnya dengan tatapan ingin tertawa seolah-olah Rafka sedang memakai baju dalam wanita plus dasternya. Sedangkan Meta ya terlihat seperti Meta biasanya. Rambutnya lumayan rapi walau



Walkles 373



beberapa sudah mencuat ke sana-kemari, tidak terlihat seperti perempuan yang baru saja make out. Lipstiknya sudah hilang di bagian tengah bibir, tapi masih bagus— Thank God! Tidak ada bercak-bercak aneh di leher. Dan hari ini ia menggunakan kemeja seperti biasa—dengan bra! Rafka berdeham. Ia baru saja terlihat seperti omom mesum, dang it. "Dari mana aja lo?" tanya Rafka ketika Bian menghentikan Meta di teras dan kembali ke mobil untuk mengambil ponsel dan kruk milik Meta yang baru saja mereka beli. "Kontrol ke dokter yang waktu itu, antrinya lama banget..." "Antrinya sampe malem gini?" potong Rafka. Ia sendiri sedikit terkejut dengan nada ketus yang dikeluarkan oleh bibirnya. Ia baru saja terdengar seperti bocah lima tahun yang marah tidak diajak main. Atau, sebenarnya memang begitu? Meta memutar matanya. "Ya nggaklah, tapi dua jam kayaknya lebih, deh. Gila. Belum lagi ke bagian Rehabilitasi Medisnya."



Walkles 374



Rafka memilih untuk menahan mulutnya agar tetap diam. Ia mengarahkan perhatiannya pada Bian yang berjalan mendekat dengan membawa sepasang kruk. "Gue mau kencing!" ucap Bian cepat sambil menyerahkan kruk itu begitu saja pada Rafka, tidak peduli Rafka kelimpungan menangkapnya karena Bian menyerahkannya dengan setengah melempar. Meta hanya mengikuti Bian yang berjalan cepat menuju kamar mandi dengan pandangannya. Kemudian mengalihkannya kembali pada Rafka ketika Rafka mengajaknya bicara. "Udah boleh pakai kruk?" Meta mengangguk. "Tapi harus nunggu pundak gue nggak sakit lagi. Kata dokternya, untung dislokasinya nggak sampai benar-benar lepas, cuma kegeser dikit. Jadi pemulihannya bisa lebih cepet. Katanya karena ada hematom-nya, makanya keliatan parah. Nggak tahu deh hematom apaan. Gue belum browsing." Rafka masih terdiam, mendengarkan. Ia terlihat berpikir sejenak sebelum membalas, "Kontrol lagi kapan?"



Walkles 375



"Hmm... harusnya sih minggu depan, tapi tadi gue minta alih rawat ke Jakarta. Terus dibuatin surat rujukan." Hening kembali melanda. Rafka sempat menahan napas saat mendengar Meta menyebut 'Jakarta'. Ia kemudian melihat luka pada pundak Meta, juga kakinya yang saat ini di gips. "Raf?" panggil Meta ketika Rafka masih bertahan untuk tidak berbicara. Masih belum mendapat respon, Meta kembali melanjutkan. "Raf, bantuin gue balik dong." "Kalo gue udah bisa pake kruk, mobilitas gue jauh lebih gampang kok. Gue bisa naik turun tangga..." Meta lanjut membujuk Rafka. "Lo udah telepon Gale juga?" Mendengar nama Gale, Meta mengacungkan telunjuknya. "Nah, maka dari itu, tolong bilang ke Gale kalo gue udah nggak papa, ya? Please? Gue nggak akan minta tolong apa-apa lagi ke elo deh." "Karena Bian udah bantuin elo?" Nada ketus yang tiba-tiba keluar kembali membuat Rafka terkejut. Bahkan Meta menaikkan alisnya bingung. Rafka



Walkles 376



berdeham untuk membersihkan tenggorokannya yang terasa tersumbat. "Maksud lo?" tanya Meta. Rafka menyambutnya dengan gelengan. "Nggak, lupain aja." "Lo bakal telepon Gale, kan?" "Besok pagi." "Nice!" ucap Meta sambil tersenyum lega. Ia kemudian teringat akan choker yang saat ini ia kenakan. Sambil menyentuhnya, Meta memanggil Rafka, "Ah, Raf. Gue hampir lupa, thanks kalungnya. Lo tahu dari mana gue suka choker yang bahannya kayak gini?" Rafka baru menyadari Meta mengenakan kalung yang ia berikan. Kemarin-kemarin, Meta tanpa kalung choker-nya seperti tahu goreng tanpa garam. Masih enak, tapi terasa ada yang kurang. Atau gorengan tanpa cabai hijau. Enak, tapi kurang hot. Memikirkan hal ini, rasanya Rafka seperti ingin menampar diri sendiri, kemudian memukul kepalanya dengan kruk yang saat ini ia pegang. Rafka membasahi bibirnya, sedikit salah tingkah. Kemudian ia mengangkat bahu, "Gue cuma nyari bahan yang sama dengan yang gue rusak waktu itu."



Walkles 377



Suara derap kaki Bian yang mendekat kemudian terdengar. Ia datang masih dengan senyum sumringah yang sama. Pandangan Rafka mengikuti Bian yang kini menduduki kursi kosong di seberangnya. "Kenapa elo ngeliatin gue kayak gitu?" tanya Bian tanpa merasa berdosa. "Seharusnya gue yang tanya itu ke elo!" balas Rafka penuh emosi. "Eh, santai dong. Ngegas amat." Meta ikut terkekeh mendengarnya. "Lo berdua dari mana aja? Kenapa baru balik?" tanya Rafka pada Bian. Kalau hanya pergi ke Rumah Sakit seperti yang Meta katakan, tidak mungkin mereka pulang semalam ini. "Oh, jelas kencan dulu. Makan berdua di angkringan, ngopi, minum jahe anget. Jalan-jalan di tengah suasana romantis Malioboro..." "Malioboro lagi?" potong Rafka. Ia menatap Meta, menuntut jawaban.



Walkles 378



"Ya kan kita kemaren cuma sebentar, belum nyampe malem banget," jawab Meta tanpa merasa bersalah, sedangkan Rafka masih menatapnya tidak mengerti. Keheningan saat itu tiba-tiba terpecah oleh suara tawa Bian, membuat Rafka dan Meta kompak menoleh ke arahnya. "Kenapa sih Raf? Elo cemburu?" tanya Bian di sela-sela tawanya. Mendengar pertanyaan Bian membuat mukanya semakin nyureng. Bahkan saat ini Meta melihatnya dengan pandangan menelisik. "Kenapa elo semua pada nggak nyambung, sih?" tanya Rafka kesal. "Udahlah, gue balik duluan ke kamar," lanjutnya. Ia kemudian membereskan kerjaannya yang berserakan di meja dan membawanya masuk ke dalam kamar. "Gitu aja ngambek!" teriak Bian ketika Rafka beranjak pergi, tapi sama sekali tidak digubris. Bian terkekeh geli melihatnya. "Jadi, Met, pertanyaan gue," ucap Bian untuk kembali mendapatkan perhatian Meta yang sedang memperhatikan Rafka menghilang di balik tembok. "Gimana kalo Rafka beneran cemburu?"



Walkles 379



*** "Raf, kalo lo sampe jadi sama Meta. Gue dukung!" ucap Bian, bahkan saat belum selesai menutup pintu kamar Rafka. Rafka yang sedang duduk di sisi meja belajarnya hanya menoleh, melihat Bian yang berjalan santai menuju kasurnya tanpa merasa bersalah. "Mulut lo kenapa sampah doang hari ini?" "Alah, pake ngatain gue sampah. Nanti juga lo bakal bilang mulut gue wangi, terus berterima kasih sampe cium tangan gue," ucap Bian santai sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur. Namun, karena tidak kunjung mendapat jawaban, ia mengangkat kepalanya dan menoleh pada Rafka. "Raf, gue serius. Pepet aja tuh si Meta." "Ini cuma masalah waktu aja lo bakal mengakui kalo elo suka sama dia," pancing Bian lagi. Rafka menoleh ke belakang dan menumpukan sikunya pada sandaran kursi. "Oh, sekarang lo bisa nyambi jadi dukun?"



Walkles 380



"Analisis Fabian Pramoedya error margin-nya cuma lima persen," pamernya, seketika mendapat tatapan jijik dari Rafka. "Pertama, lo bukan tipe orang yang nge-chat cewek duluan, lo tipe yang langsung telepon kalo butuh. Tapi tadi, bisa-bisanya elo ngebelain nge-chat Meta duluan. Dua, gue rasa cuma dia yang bisa ngimbangin... semua sifat-sifat buruk elo. Tiga, man, lo inget waktu kita liburan di Bandung, gue sempet nyumpahin kalo sampe ada cewek yang bilang elo orangnya baik, gue bakal kawinin elo sama tuh cewek? Meta orangnya Raf! Meta! Gue harus wujudin sumpah gue!" Rafka mengernyit. Ia ingat sumpah konyol Bian yang waktu itu langsung ditertawakan oleh Marina, tapi jelas itu tidak ada hubungannya dengan Meta. "Meta bilang gue baik?" "Exactly!" "Kapan?" "Cie, kepo juga kan lo? Apa gue bilang!" Rafka menggeleng. "Nggak usah halu deh malemmalem." "Dia pinter, mandiri, dia tahu apa yang dia lakuin, apa lagi yang kurang dari Meta?"



Walkles 381



Rafka tetap menahan mulutnya untuk tidak balas menghujat Bian yang mulai mengada-ada. "Kenapa sih, Raf? Lo juga jomblo ini. Atau janganjangan elo beneran lagi deket sama orang lain?" tanya Bian. Di kepalanya melintas ucapan Meta saat mereka di angkringan tadi. Atau jangan-jangan dugaan Meta tadi benar? Rafka saat ini duduk membelakanginya, membuatnya tidak bisa menilai ekspresinya. Tidak kunjung mendapat balasan, Bian mulai panik kalau dugaan Meta sampai benar. "Raf? Beneran lo lagi deket sama orang lain?" "Menurut lo?" "Gue seriuuus!" teriak Bian gemas. "Maksud lo, karena gue deket sama Evelyn?" "Ya bisa jadi Evelyn, atau orang lain yang gue nggak tahu misalnya?" Rafka berdecak kesal. "Nggak ada." "Gue orangnya terbuka kok, Raf. Mau lo deket sama siapa aja, gue gak masalah." Rafka yang mendengar Bian semakin melantur tak jelas langsung senewen. "Lo bilang ga masalah, tapi nyuruh gue ngedeketin Meta."



Walkles 382



"Yaaa..." Bian kehabisan alasan. Kenapa ia yang harus beralasan ketika semua yang ia ucapkan adalah fakta dan benar adanya? Sialan. "Nggak bisa bales kan lo?" tanya Rafka sambil tersenyum jumawa. Bian mendesah lelah. "Terserah lo deh. Tapi barang kali kalo elo berubah pikiran, gue kasih tahu, kalo elo nggak mulai pepet Meta dari sekarang, bakal susah Raf." "Kenapa?" "Karena dia ngira kalo elo... elo... Lo cari tahu sendiri deh. Males gue." Bian beranjak dari tempat tidur Rafka. Ia kemudian berjalan keluar tanpa melihat Rafka yang sedari tadi menatapnya. Sepeninggal Bian, Rafka berdiri dengan cepat. Ia berjalan menuju kasur dan meremas jari-jarinya dengan panik. Apakah sejelas itu? Ia tidak pernah menunjukkan sesuatu apa pun pada orang lain, pun melakukan sesuatu yang istimewa. Bahkan kalung hitam yang mencekik leher itu ia beli atas dasar rasa bersalah karena sudah merusak kalung yang sebelumnya. "Meta ngira kalo gue apaaaa?" teriak Rafka tanpa suara, kesal pada Bian karena tidak melanjutkan apa



Walkles 383



yang ia ucapkan. Rafka melempar punggungnya ke atas kasur dan mengacak rambutnya. Ditatapnya langit-langit kamar. Kata-kata 'Metamenganggap-dirinya-baik' terus berputar di kepalanya, yang kalau tidak segera dihentikan, Rafka yakin dia bisa gila. Kenapa Meta menganggap ia baik? Seingat Rafka, setiap detik pertemuan mereka hanya akan menghasilkan rasa kesal, yah selain menimbulkan gelenyar aneh yang semakin hari semakin membuatnya merasa semakin tidak waras. Gelenyar aneh bodoh yang membuatnya terlihat tolol. "AAARRGH!" pekik Rafka tertahan sambil meremas rambutnya lagi. Ia mulai menyesal telah mengirim pesan pada Meta. Padahal ia hanya khawatir Meta terkena bujuk rayu Raja Gombal. Playboy cap kacang tengik. Namun, tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Mungkin mengembalikan Meta ke Jakarta adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini. Meta jauh dari Bian, dan yang terpenting juga jauh darinya. Dengan begitu, ketenangan hidupnya akan ia dapatkan kembali. ***



Walkles 384



Sementara di balik tembok kamar Rafka, Meta terdiam di atas kasurnya. Selimut ia tarik tinggi-tinggi hingga menutupi dagu. Pertanyaan Bian yang tidak bersambut jawaban tadi masih terngiang di kepalanya, lengkap dengan Bian yang tersenyum mengejek sambil memainkan alis. Bagaimana kalau Rafka suka padanya? "Nggak mungkin," ucap Meta pada dirinya sendiri. "Lo tahu sendiri itu semua nggak mungkin." "Rafka udah punya pacar." Meta meyakinkan dirinya, tapi kemudian ia panik ketika memikirkan bahwa hal itu bisa saja berubah. Rafka bisa saja berubah menyukai wanita kalau dia mau. Ada jutaan wanita di dunia ini yang bisa ia pilih, dan Meta sama sekali tidak punya hak untuk mengatur perasaan Rafka. "Yaaa... udah. Terserah Rafka suka pada siapa. Belum tentu juga perasaan Rafka bakal gue sambut," gumamnya sambil mencari posisi yang lebih nyaman dan mengeratkan selimutnya.



Walkles 385



- 30 - Helpless Sore itu ketika jam kerja usai, Rafka berjalan cepat menuju mobilnya. Setelah memastikan bahwa beberapa file telah diterima oleh Bian pada sekretarisnya, Rafka berpamitan dan melenggang pergi begitu saja. Ia hanya mengulum senyum ketika mengingat Bian akan melembur pekerjaan yang kemarin ia tinggalkan seenaknya. Ditundukkannya kepala beberapa kali ketika berpapasan dengan pegawai-pegawainya yang pulang tepat waktu hari ini. Tak sampai satu jam, Rafka telah membelokkan mobilnya ke halaman rumah. Dilihatnya Meta terpincang-pincang di teras rumah sambil mengulurkan tangannya. "Stoooppp!" dengar Rafka samar-samar dari dalam mobil. Rafka kemudian menurunkan kaca jendela dan menatap Meta dengan pandangan bertanya. Baju tidur warna krem kebesaran yang dibelikan Bu Tiyem saat di rumah sakit itu ia kenakan lagi. Lipatannya sudah turun karena kebanyakan melompat kecil dengan satu kruk, membuat Meta malah terlihat seperti hantu. Atau



Walkles 386



malah pasien rumah sakit jiwa yang sedang kabur, sepertinya itu lebih pas. "Ngapain lo?" tanya Rafka sambil memperhatikan Meta dari ujung kepala ke ujung kaki. "Anterin gue ke minimarket ujung jalan," pinta Meta yang kini bimbang ketika melihat turunan dari teras ke tanah agak curam. Dengan hati-hati ia mencoba menurunkan kruknya dan melompat ke bawah menggunakan satu kaki. Walaupun sudah dilakukan dengan hati-hati, sepertinya keputusan bodoh adalah keputusan bodoh. Meta malah kehilangan keseimbangan dan berakhir gedubrakan di atas batu batu kerikil. Yang benar saja, bahkan batu kerikil jauh lebih menyakitkan daripada apa pun! "AW!" pekik Meta sambil meringis kesakitan. Rafka yang melihatnya langsung turun dari mobil dengan panik dan menghampiri Meta. "Elo bego atau gimana, sih? Kebentur bikin otak lo ilang separo?" Meta yang masih terduduk langsung melihat Rafka kesal. "Elo yang bego! Orang sakit bukannya dibantuin, malah diliatin doang!"



Walkles 387



"Padahal gue udah punya niat bantuin elo berdiri, masih disalahin juga?" Meta hanya bisa mencebik. Yah, daripada dia harus berdiri sendiri, ia memutuskan untuk diam. "Lagian udah tahu kaki begitu, main asal lompat. Aneh," gerutu Rafka sambil membantu Meta berdiri. Ia kemudian memutuskan untuk menggendong Meta masuk ke mobil. "Eh! Eh! Ngapain pake gendong, gue udah bisa jalan!" "Lo lompat, bukan jalan. Dan nungguin elo lompat di atas kerikil—yah walaupun elo pake sandal—untuk masuk ke mobil? Nggak, makasih. Setiap detik yang gue lalui terlalu berharga kalo cuma buat nungguin elo nyampe di pintu mobil, belum lagi naiknya. Buka pintunya." Rafka berhenti sejenak di depan pintu, meminta Meta membukakan pintu mobil. Ia melanjutkan membuka pintu dengan punggung dan lengannya, kemudian meletakkan Meta di jok penumpang. "Nah, gini kan cepet." Lagi-lagi Meta hanya bisa mencebik kesal sambil menirukan 'setiap detik gue terlalu berharga' dengan lirih.



Walkles 388



Rafka memundurkan mobilnya dalam diam, sedangkan Meta mengulurkan tangan untuk mengatur frekuensi radio. "Lo udah telepon Gale?" tanya Meta harap-harap cemas. Kalau sampai Gale menolak kepulangannya, Meta akan memastikan Dani akan memecat Gale dan membuang semua peralatan fotografinya di Ciliwung. Ha! Se-Gale-nya juga kalau perlu. "Belum." "Kalo elo telepon, tolong bilang kalo gue udah sehat. Gue bisa naik tangga sendiri. Yah walaupun setelah setengah jam baru nyampe lantai tiga, yang penting kan gue nggak ngerepotin orang lain." "Ini elo ngerepotin gue." "Yaaa..." Meta berpikir sambil mengumpat dalam hati, Rafka ada benarnya juga. "Kan gue nggak ngerepotinnya nanti waktu udah balik." Rafka hanya berdecak kecil. "Pokoknya elo bilang aja gitu. Kecuali elo masih pengen gue di sini karena lo takut kangen sama gue." Meta tersenyum puas mengatakannya. Rafka pasti tidak punya pilihan lain selain membantunya pulang.



Walkles 389



Setelah menghentikan mobilnya di depan minimarket, Rafka menatap Meta tidak percaya sambil setengah jijik dengan kepercayaan diri yang baru saja Meta ucapkan dengan santai. "Lo nggak denger tadi gue bilang ngerepotin?" Mendengar Rafka bertanya padanya dengan emosi, Meta tertawa terbahak-bahak. Dan hal itu membuat Rafka menyesal setengah mati. Pemandangan Meta tertawa dari samping malah membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Sial. Di antara ribuan wanita di dunia ini, kenapa harus Meta? Rafka hanya bisa berharap suara detak jantungnya tidak terlalu kencang hingga membuat Meta menyadarinya. Bohong saat Rafka bilang kalau Meta mirip pocong, nyatanya dari sini Rafka malah gemas dengan Meta yang mengenakan baju itu. Rambutnya yang diikat seadanya membuat Rafka ingin mengikatnya ulang agar tak mencuat ke sana-kemari. Astaga! "Lo marah, Raf? Muka lo merah." Meta benar-benar tidak habis pikir dengan manusia bersumbu pendek ini. Padahal tadi Meta hanya bercanda. Sialaaaaan, umpat Rafka dalam hati. Ia berharap saat ini mukanya terbuat dari kulit badak saja.



Walkles 390



"Terus, lo masih nanya?" Meta memutar mata mendengar pertanyaan Rafka. "Gue cuma bercanda, nggak asik banget, sih? Udah deh, bantuin turun dulu." Rafka kemudian turun dalam diam, membanting pintu mobil sedikit lebih keras karena kesal dengan pesta kembang api yang sedang diadakan entah oleh siapa di dalam dadanya. Dengan gerutuan yang tidak didengar oleh Rafka, Meta mempersiapkan dirinya untuk turun. Ia mengambil kruk yang tadi ia letakkan di jok belakang. Ketika Rafka membuka pintu mobil dan menurunkannya dari mobil, Meta menghentikan Rafka yang hendak membantunya berjalan. "Nggak-nggak, jangan dibantuin jalan. Gue bisa sendiri. Kemampuan gue pakai kruk udah jauh lebih baik," ucap Meta meyakinkan Rafka. Rafka hanya berdecak kesal dan mengikutinya dari belakang. Padahal Rafka sangat membenci orang-orang sok kuat seperti Meta. Apalagi lipatan keliman celananya yang turun hingga terinjak telapak kaki, benar-benar membuatnya risih. Kenapa tadi Meta tak melipatnya dulu sebelum turun?



Walkles 391



Sejak kapan gue peduli dengan semua iniiii? tanya Rafka sebal pada dirinya sendiri. Ia berharap ada samsak yang bisa ia tinju sekarang. "Raf!" Panggil Meta yang entah keberapa kali. "Gue nggak tahu kalo selain tukang marah, elo sekarang juga budek." Rafka hanya diam, menaikkan satu alis dan menatapnya dengan tatapan bertanya. Namun, sebelum Meta mengucapkan kalau dia tidak kuat membuka pintu, seorang pramuniaga telah membukakan pintu untuknya sehingga ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk menyuruh Rafka. "Dasar bego. Nggak peka lagi. Gue prihatin sama siapa pun yang jadi pasangan dia nanti," gerutunya lirih. Begitu masuk ke minimarket, Meta langsung berbelok ke kotak es krim. Sejak tadi siang, Jogja terasa sangat panas. Walaupun tidak pengap seperti Jakarta, tapi tetap saja panasnya menyengat hingga membuatnya haus. Sebenernya Bu Tiyem sudah membuatkan jus jambu dingin, tapi sayang Meta masih tetap menginginkan es krim. Setelah mendapat apa yang ia inginkan, ia langsung berbalik ke kasir.



Walkles 392



"Udah?" tanya Rafka. Ia kira ia harus mengantar Meta untuk membeli sesuatu yang maha penting. "Udah." "Nggak ada yang lain? Pembalut?" tanya Rafka memastikan. "Atau garam?" Meta menggeleng dan menyerahkan tiga kotak es krim besar pada kasir. "Barang yang lebih urgent gitu?" tanya Rafka lagi, lebih ngotot. Meta mengacungkan kantong plastik berisi es krim pada Rafka, kemudian mengangkat bahu. "Ini urgent." Astaga, kalau Rafka boleh menendang Meta, ia ingin menendangnya ke pulau terpencil yang membuatnya tidak bisa ke mana-mana selain pulau itu. Ke Azkaban mungkin? Rafka hanya bisa mendesah lelah sambil tetap mengikuti Meta dari belakang. *** Rafka menempelkan ponselnya di telinga, menunggu nada sambung itu berhenti sambil menepuknepuk kasur dengan tangannya. Sekembalinya dari mini



Walkles 393



market, ia langsung bergegas untuk mandi, kemudian ia akan mengurung diri di kamar sampai makan malam nanti. Ia harus menstabilkan emosinya yang tidak karuan karena terlalu lama terpapar radiasi Meta. "Halo?" "Gue Rafka." Rafka bangun dari posisi telentangnya, sambil tetap menempelkan ponsel di telinga. "Ya, halo, Raf. Meta gimana? Ada apa?" tanya Gale dari seberang sambungan. "Apa nggak papa kalo hari Sabtu Meta balik? Lo bisa jemput di bandara?" "Keadaan dia gimana? Dia ngabarin gue, katanya udah bisa jalan." Rafka berdecak mendengarnya. "Dia baru belajar pakai kruk kemarin. Yah, dikit-dikit bisalah. Tapi bukan bisa jalan juga." Gale tertawa di seberang. Tipikal Meta memang. "Ya udah kalo dia ngotot mau balik ke sini, balikin aja deh. Tapi Sabtu gue nggak bisa jemput dan asisten pergi sama gue semua karena jadwal padet dan dobel-dobel. Coba nanti gue kontak anak studio."



Walkles 394



"Kalo gitu nggak usah dijemput. Dia balik sama gue karena gue ada janji di Jakarta. Ntar biar sopir yang nganter ke studio." "Oke. Thanks banget udah ngurusin Meta, Raf. Gue nggak ngerti gimana jadinya kalo elo nggak nolongin Meta." Rafka mengangkat bahu dengan tololnya, lupa kalau Gale tak bisa melihatnya. "Yah, gimana lagi. Nggak ada pilihan lain." Gale terkekeh. "Keliatan banget kalo elo nggak ikhlas." "Makasih kalo elo nyadar." Rafka kemudian terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan. Ia benar-benar tidak yakin, tapi sepertinya rasa penasaran lebih berkuasa kali ini. "Apa gue boleh tanya sesuatu tentang orang tua Meta?" Rafka teringat beberapa kali ia sempat memergoki Meta melihat ponselnya seakan sesuatu akan keluar dari sana. Saat di rumah sakit, di teras, juga di beranda belakang. Raut mukanya jelas bukan senang, tapi juga bukan sedih. Entah bagaimana Rafka tidak bisa menggambarkannya. Beberapa hari lalu saat Meta



Walkles 395



termenung di beranda belakang, Rafka tak sengaja melihat layar ponselnya yang menampilkan kontak nomor telepon 'Mama'. Pembicaraannya dengan Gale di telepon waktu itu, juga pembicaraan mereka di Malioboro hari Minggu lalu juga membuat Rafka ikut kepikiran. "Kenapa?" tanya Gale yang sedikit bingung dengan arah pembicaraan Rafka yang tiba-tiba berubah. "Apa semenjak lulus kuliah Meta bener-bener nggak pernah ketemu sama orang tuanya?" Gale mendesah. "Sebenernya gue nggak tahu pasti tentang hal ini. Meta memang keliatannya asal ngomong, tapi untuk masalah yang satu itu, Meta nggak pernah terbuka. Gue juga merasa nggak punya cukup hak buat nanya. Tapi sepengetahuan gue, gue sih belum pernah ketemu bokap-nyokapnya." "Lo tahu mereka di mana?" "Gue cuma tahu bokapnya kerja di salah satu pertambangan batu bara di Kalimantan. Tepatnya mana, gue nggak tahu." Rafka hanya mengembuskan napas lelah. Ia kemudian mengakhiri sambungan teleponnya dengan Gale.



Walkles 396



Kenapa juga dirinya harus ikut campur pada sesuatu yang bukan urusannya? Ketika mendengar suara mobil memasuki halaman, Rafka tersenyum. Bian, Pak Kamal, dan Pak Jo pasti baru saja datang. Tak lama ia mendengar langkah-langkah kaki berjalan masuk ke rumah. Tinggal menunggu hitungan detik untuk... "Udah, gue udah attach file-nya ke email lo!" ucap Bian sewot, tanpa salam atau ketukan ia langsung membuka pintu dan menutupnya kembali. "Thanks." Rafka menjawab tanpa benar-benar merasa berterima kasih. Saat itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Fransiska Evelyn : Sorry, tadi aku ada syuting, jd g bisa angkat telepon. Ok, sampai ketemu hari Sabtu.



Walkles 397



- 31 - Truth or Bomb Ketika jam makan malam tiba dan suara dentingan piring sudah mulai terdengar, Rafka baru keluar dari kamar. Dilihatnya Meta sedang asyik menonton film bersama Bian di sampingnya, sedangkan Pak Kamal sudah duduk-duduk di sekitar meja makan. Rafka mendesah. Tidak ingin mendekati Meta, ia memilih untuk ikut duduk di depan Pak Kamal. "Jadi nambah satu orang, Raf?" tanya Pak Kamal yang menyadari kehadiran Rafka. Ia mematikan iPadnya dan melipat kacamata baca yang ia kenakan. Rafka yang sedari tadi duduk sambil melirik ke arah sofa ruang tengah agak sedikit terkejut. Ia baru ingat tadi menyuruh Ucup untuk mampir ke sini setelah kelas mengemudinya selesai. Selama dua minggu, Rafka menyuruh Ucup untuk ikut kursus mengemudi agar ketika Pak Jo sibuk, ia bisa mengandalkan Ucup. "Eh, iya Pak," Rafka tergeragap. "Tadi udah ngasih tahu Ucup kan tempatnya?" "Kamu ngeliatin ap... ooh..." Pak Kamal mengikuti arah pandang Rafka sebelum diajaknya bicara. "Santai, Raf. Mereka nggak ngapa-ngapain kok dari tadi."



Walkles 398



Rafka mendengus mendengar ke-soktau-an Pak Kamal walaupun memang benar. "Yang bilang mereka ngapa-ngapain juga siapa?" gerutunya. Pak Kamal hanya tergelak menanggapi hal itu. "Ucup..." Suara ketukan pintu memotong pertanyaan Rafka. "Permisi, assalamualaikum!" Pak Kamal hanya menunjuk dengan dagunya, menunjukkan bahwa orang yang ditanyakan Rafka sudah datang. Rafka berjalan ke depan untuk mempersilakan Ucup untuk masuk. "Masuk, Cup." "Jasik, lak ketok sugih kok tambah suwe tambah ganteng," bisik Ucup pada dirinya sendiri. Padahal ya hampir setiap hari ia melihat Rafka, tapi aura bosnya itu semakin hari terlihat semakin bersinar. Sangat berbeda dengan Rafka culun yang bekerja bersamanya saat itu. "Masuk, kita langsung ke ruang makan aja. Kita bicarain nanti setelah makan." "Oke, bos." Kedatangan orang baru membuat Bian dan Meta melongok bersamaan dari balik sofa. Keduanya



Walkles 399



memperhatikan Ucup yang baru masuk dan kini duduk di dekat Pak Kamal. Tepukan keras Meta di paha Bian, membuat Bian mengaduh. "Ituuuuu!" ucap Meta gemas dengan setengah berbisik. "Itu apa?" tanya Bian masih sambil meringis dan mengusap pahanya. Karena Meta berbisik, Bian jadi ikut berbisik. "Itu orangnya," pekik Meta lirih dengan suara tertahan. Namun, karena Bian masih tidak nyambung, ia memutar matanya kesal. "Itu pacarnya Rafka!" ulang Meta membuat Bian terdiam sejenak sebelum tertawa dengan kencangnya.8 "Hush! Kenapa elo malah ketawa, sih?!" Meta menepuk Bian panik, sedangkan yang ditertawai menoleh. Rafka tidak bisa melihat dengan jelas apa yang Bian dan Meta lakukan di balik sofa, dan itu tiba-tiba membuatnya kesal. Rasanya ia ingin menyulap sofa itu jadi transparan sekarang juga. Ia juga ingin memasang alat penyadap suara juga kalau bisa. Apa yang Meta lakukan hingga membuat Bian bisa tertawa sampai seperti itu?



Walkles 400



"Mereka nggak makan?" tanpa Rafka sadari, suaranya terdengar ketus. Pak Kamal terkekeh. "Bentar lagi juga ke sini, Raf." Seperti apa yang dikatakan Pak Kamal, tak lama Bian dan Meta berjalan ke meja makan. Bian yang membantu Meta berjalan ikut melangkah kecil-kecil sambil menawarkan lengannya pada Meta. Rafka tidak bisa mengendalikan rasa kesal yang muncul karena saat ini keduanya begitu dekat. Padahal seharusnya dia tidak peduli. "Kalo mau bantu, kan kamu tinggal samperin." Rafka sebenarnya mendengar, tapi ia pura-pura tidak tahu dengan apa yang dikatakan oleh Pak Kamal. Sampai Meta duduk di kepala meja dan Bian duduk di sebelah kanannya, Rafka masih tetap bergeming. Makan malam berjalan seperti biasa, penuh dengan celotehan Pak Kamal, Bian, dan sesekali tawa Pak Jo dan Bu Tiyem. Tapi dengan kehadiran Ucup saat itu, Rafka menyadari Meta kerap kali memandangi Ucup. Beberapa kali Rafka juga mendapati muka Meta tibatiba memerah tanpa alasan yang jelas. Namun, beberapa menit kemudian, Meta balik memandangnya dengan tatapan bertanya.



Walkles 401



"Raf!" panggil Bian tak sabar. Pasalnya ia telah memanggil Rafka beberapa kali, tapi tak disahuti. "Telinga lo cuma hiasan atau gimana, sih? Pak Kamal tertawa. Ia menimpali, "Tertutup kabut cinta kali." Pak Kamal malah semakin tertawa ketika menerima pelototan dari Rafka. Namun, di sisi lain, ucapan Pak Kamal membuat Meta terkejut. Apa Pak Kamal juga sudah tahu tentang orientasi seksual Rafka? Karena hari ini Ucup makan malam bersama mereka, makanya Pak Kamal berkomentar seperti itu? Entah kenapa Meta merasa lega mengetahui Rafka masih diterima dengan baik dan menerima banyak cinta dari orang-orang terdekatnya.2 "Apa sih!" gerutu Rafka kesal. Meta terkekeh. "Bener kata Pak Kamal, mungkin aja Rafka lagi seneng karena Ucup bisa ikut makan di sini." Bian membelalakkan matanya, hampir tersedak oleh makanan yang baru ia telan. Met, jangan sekarang. Jangan sekarang! pekik Bian dalam hati. Ia berusaha menggeleng, melotot, memberikan ekspresi terbaik yang bisa ia gunakan untuk menghentikan Meta. Tapi



Walkles 402



sayang, Meta sama sekali tak melihatnya dan dirinya hanya berakhir terlihat seperti orang ayan. "Lha? Lapo dadi aku, Mbak?" tanya Ucup sedikit terkejut karena namanya tiba-tiba disebut. "Emang elo kan, Cup? Tenang, gue udah tahu semuanya kok. Pak Kamal tahu, Bian tahu, berarti Pak Jo sama Bu Tiyem juga udah tahu, kan?" Meta mengucapkannya dengan suara yang semakin mengecil ketika menyadari orang-orang menatapnya dengan pandangan bertanya, bingung dengan apa yang Meta ucapkan. "Lo ngomong apa, sih?" tanya Rafka. Ia menduga benturan tempo hari baru berefek hari ini, hal itu membuatnya khawatir. Meta mengerutkan dahi. "Ya hubungan lo sama Ucup!" Di telinga Bian, rasanya ucapan Meta barusan seperti diiringi oleh suara petir menggelegar sebelum dilanda keheningan mendadak. Hening itu kemudian terpecah dengan suara tawa geli Ucup.



Walkles 403



"Hubungan yak opo? Aku ambek Bos Rafka iki yo mek bos ambek kacung ta!" Hampir Ucup melanjutkannya dengan umpatan, tapi ia menahannya karena hal itu levelnya amat sangat tidak sopan di Jogja. Sudah pernah ia mencobanya dengan teman sesama houseman. Hasilnya? Ucup yakin dia akan membuat rakyat Batu dan se-Malang Raya akan meneriakinya: taek a koen! Meta menggeleng kuat, berusaha membuat Rafka dan Ucup mengerti bahwa mereka tidak perlu menutupi apa-apa lagi darinya. "Gue udah pernah ngeliat kalian pelukan kok di Malang, jadi gue udah tahu semuanya. Pikiran gue cukup terbuka, banyak juga temen-temen gue yang gay and they're proud of it! Gue sama sekali nggak keberatan selama mereka tetep profesional nggak PDA di depan gue." Mulut Rafka menganga mendengar setiap kata yang Meta ucapkan. Dengan seluruh fantasi gila yang pernah ada bersama perempuan ini, satu-satunya perempuan yang ada di kepalanya ini mengira bahwa dia homo. Astaga... Astaga!



Walkles 404



Rafka hanya bisa megap-megap tidak tahu harus berkata apa. Rasanya ia ingin mencekik Meta sampai kehabisan napas, kemudian menjungkirkan untuk mengeluarkan segala pikiran buruk tentangnya di kepalanya Meta. Isi kepalanya jungkir balik memikirkan perasaan yang seharusnya tidak berada di sana setiap hari, tapi Meta malah berpikir bahwa Rafka tidak menyukai wanita. Dan sekarang Pak Jo, Bu Tiyem, dan Pak Kamal memandangnya dan Ucup bergantian. Bagus. Rafka benar-benar akan mencekik Meta malam ini! "Who! Who! Sik, sebentar, sebentar. Koyoke Mbak Meta iki salah paham. Aku iling lapo Mbak Meta ngomong gitu. Waktu kejadian ndek kolam renang a?" tebak Ucup bersambut anggukan antusias Meta. "Wah, ayahab temen iki! (*Bahaya banget ini!) Masio jomblo gini yo aku masih seneng wedok, Mbak!" Meta yang dari tadi tersenyum untuk meyakinkan Ucup dan Rafka menurunkan ujung-ujungnya bibirnya seiring dengan lunturnya sesuatu yang tadi ia yakini. Ia hendak menanggapi Ucup, tapi yang keluar dari mulut hanya, "Hah?"



Walkles 405



"Sik. Sik." Ucup mengangkat dan mengayunkan kedua tangannya, menenangkan Bu Tiyem, Pak Jo, dan Pak Kamal yang terlihat kaget dan bingung. "Sabar sabar! Ini cuma salah paham. Aku iki masih seneng wedok. Tak kasih tahu a chat PDKT-ku ambek arek front office? Gina iku lo, Pak Kamal lak ngerti a orangnya yang mana?" Pak Kamal tanpa sadar mengembuskan napas lega, kemudian mengangguk. Ia memang sering bertemu dengan Ucup yang masih berdiri di front office ketika jam kerja sudah usai. "Nah!" Ucup menepuk tangannya, lega dapat meyakinkan Pak Kamal. Namun, ia langsung melanjutkan kembali ketika melihat muka Bu Tiyem masih tak yakin. "Lagian Bos Rafka iki yo malah koyoke seneng Mbak Meta. Dikit-dikit Mbak Meta, dikit-dikit Mbak Meta. Njenengan lihat sendiri kan, Bu?" Bian yang baru menyesap air putih langsung menyemprotkan airnya keluar. Pak Kamal juga menunduk, kemudian mengalihkan mukanya ke arah selain Meta dan Rafka karena ia menahan tawa. Bu



Walkles 406



Tiyem hanya tersenyum menyadari hal itu.



lega,



sepertinya



baru



Rafka hanya bisa memelototi si Ucup Kampret ini. Ia berganti target. Saat ini ia berharap tatapan matanya dapat meremas Ucup dan membuatnya jadi butiran debu. Apa yang harus ia lakukan dengan harga dirinya yang terinjak-injak malam ini? Sial. "Jadi... bukan, ya?" Meta takut-takut melirik Rafka yang terlihat seperti gunung yang akan meletus. Kemudian beralih ke Ucup lagi. "Tapi kali ini elo yang salah paham, tiap hari gue berantem sama Rafka. Jadi yang elo omongin itu kayaknya nggak mungkin." Meta hendak meminta persetujuan Rafka, tapi urung karena pertanyaannya pasti hanya berakhir menggantung tanpa jawaban. Cepat-cepat Rafka menandaskan makan malamnya yang serasa seperti sedang menelan batu kerikil. Yah, Mbah Uti selalu mengajarkan Rafka untuk menghabiskan isi piringnya apa pun yang terjadi. Ketika piringnya kosong, Rafka cepat-cepat berdiri. Daripada mendengar yang tidak-tidak, lebih baik ia pergi saja. "Gue tunggu elo di teras, Cup." "Siap, bos!"



Walkles 407



Sepeninggal Rafka, Bian mendesah. Ia seperti baru saja diminta untuk berjalan di atas beling. Sedangkan Meta meringis, merasa bersalah telah membuat suasana makan malam ini jadi mencekam. "Sepertinya saya salah ngomong, ya? Maaf," ucap Meta tidak enak. Pak Kamal mendesah. "Saya sampai kaget. Karena Rafka beberapa kali memang makan siang dengan Ucup." "Ndak papa, yang penting sekarang sudah ndak ada salah paham." Bu Tiyem berusaha menengahi. "Tinggal Mbak Meta minta maaf ke Mas Rafka aja." "Lo kenapa nggak berhentiin gue sih, Bi?" protes Meta pada Bian. Bian memandang Meta tidak habis pikir. "Udah! Lo aja yang nggak ngeliat gue sama sekali." Meta mendesah putus asa. Sepertinya urusannya akan panjang. Mana kepulangannya ke studio bergantung pada Rafka pula. Menatap Pak Kamal hendak meminta tolong, tapi malah didului dengan senyum tipis yang membuat Meta sungkan. Mungkin hari ini riwayatnya akan tamat.



Walkles 408



-32- Bomb Hingga keesokan paginya, suasana tidak menjadi lebih baik. Sia-sia Meta menyiapkan mental semalaman untuk minta maaf. Pagi ini Rafka meminta untuk dibuatkan bekal dan berangkat ke hotel lebih pagi sendirian, meninggalkan Pak Jo, Pak Kamal, dan Bian. Meta yang saat itu tengah membuka piring dan mengambil nasi langsung tersenyum kecut ketika Bian dan Pak Kamal menatapnya kasihan. "Semarah itu, ya?" Tanya Meta ketika Bian yang baru saja duduk di depannya dan mulai menyendokkan makanan ke piringnya. "Kayaknya." Bian melempar senyum prihatin. Meta mendesah bingung, bagaimana ia harus minta maaf pada Rafka. "Rafka nggak pernah marah sama elo?" "Ya pernah, sih." "Lo apain biar dia marahnya udahan?" "Ya gue sama Rafka otomatis baikan karena gue mainnya bareng sama dia terus. Nggak ada cara khusus." Bian menggeleng kecil.



Walkles 409



"Masa gue juga ajak main? Main apa nih? Dakon?" Bian terkekeh di antara kunyahannya. "Udah nggak papa, diemin aja dulu. Nanti kalo dia capek marah juga balik lagi. Lo coba ngomong sama Rafka lagi kalo dia pulang nanti." Dalam diam, mau tidak mau Meta harus menyetujuinya. Yah, paling tidak masih ada waktu untuk menyusun pidato permintaan maafnya. *** "Raf, lo nggak pulang?" tanya Bian ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi Rafka terlihat masih anteng di tempat kerjanya. Bahkan meja sekretarisnya saja sudah kosong. Rafka hanya mengalihkan perhatiannya sekilas sebelum kembali melihat komputernya lagi. "Lo balik dulu aja." "Serius lo masih marah soal tadi malem? Dia cuma salah paham, Raf, lo mau marah sampai kapan?" bujuk Bian, karena tak tega melihat Meta merasa bersalah. Sebenarnya salahnya juga tidak membenarkan kesalahpahaman itu kemarin. "Lo nggak biasanya marah selama ini. Paling lama semaleman terus udah."



Walkles 410



Rafka terlihat tetap bergeming beberapa detik, tapi detik berikutnya ia berganti menatap Bian kesal. Ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. "Gue nggak terima, ini sama sekali nggak adil." Bian mengerutkan dahinya, menebak ke mana Rafka akan membawa pembicaraan kali ini. "Bagian mana yang nggak adil?" "Pertama, gue jelas-jelas tertarik sama dia sampai rasanya mau gila, tapi Medusa itu malah nganggep gue homo. Kedua, kenapa gue harus suka sama cewek yang nganggep gue homo sedangkan di luar sana mungkin banyak yang tertarik sama gue? Ini nggak adil." Bian benar-benar ingin menyemburkan tawanya saat ini, tapi tidak boleh. Ia harus menjaga suasana serius seperti sekarang ini dan tidak merubah genrenya menjadi komedi. Bisa-bisa Rafka akan lebih marah kalau itu terjadi. Ia beberapa kali mengedipkan mata untuk menjaga ekspresinya. Tunggu, siapa kemarin yang matimatian mengelak ketika ia menyarankan untuk mendekati Meta? "Raf, lo denger gue baik-baik. Pertama, hapus kata 'jelas-jelas' dari kalimat elo karena elo nggak pernah



Walkles 411



melakukan sesuatu yang 'jelas-jelas' menunjukkan kalo elo 'tertarik' sama Meta. Lo nggak pernah melakukan apa pun, yah mungkin hal-hal kecil pernah, tapi Meta bukan dukun! Jadi jangan mengharap kalo Meta bakal tahu tentang perasaan lo sebelum elo emang menunjukkan kejelasan itu. Lo nggak bisa nyalahin Meta karena dia nggak balas 'tertarik' sama elo." Rafka terlihat akan membantahnya, tapi Bian sudah menghentikan sebelum Rafka sempat mengucapkan sepatah kata pun. "Kedua, kalo emang Meta orangnya, kenapa elo harus denial? Cinta emang gitu, Raf. Sebelas dua belas sama jelangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar. Tiba-tiba ada. Tiba-tiba bisa aja lo jadi cinta orang yang elo benci. Daripada lo terus-terusan denial, kenapa nggak lo menerima perasaan itu, lalu mengusahakan gimana caranya biar Meta juga tertarik sama elo?" Ketika Bian menyelesaikan ucapannya, Rafka hanya bisa terdiam di tempat duduknya sambil menatap Bian. Kemarahan terlihat sudah luruh dari matanya, yang terlihat kini malah kalah. Bian hanya berharap itu bukan



Walkles 412



kekalahan, tapi mengalah. Mengalah pada harga dirinya dan menerima perasaan kalau ia memang menyukai Meta. Lagi pula, Meta tidak seburuk itu! Kalau saja sepupunya itu tidak terlihat menyukai Meta, ia akan merebut Meta untuk dirinya sendiri. Cantik, pintar, humoris, seseksi itu! Pria mana pun akan menoleh dua kali kalau Meta berjalan di depannya, apalagi mengobrol dengannya. Apa lagi melihat tawanya! "Kalian nggak pulang?" Tanya Pak Kamal yang tibatiba saja datang ke ruangan Rafka. Bian kemudian berbalik. "Rafka masih mau mikir, Pak. Kita pulang duluan aja," ujarnya sambil melangkah pergi dari ruangan Rafka. Pak Kamal hanya tertawa kecil dan menggeleng. Ia mengikuti Bian, meninggalkan Rafka yang melihat kepergian mereka dengan sudut mata. *** Meta memandangi lampu taman yang berpendar kekuningan. Angin malam berembus lumayan dingin, tapi Meta masih bertahan di teras. Bian yang beberapa kali menguap mengalihkan perhatian Meta. Beberapa menit lalu mereka berhenti mengobrol karena merasa



Walkles 413



sudah tidak ada lagi yang bisa diobrolkan, di samping Bian sudah tidak nyambung diajak ngobrol karena mengantuk. Padahal jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam. "Lo masuk aja, gue bisa nunggu Rafka sendiri." Meta berusaha meyakinkan Bian untuk yang kesekian kali. Bian tetap saja menggeleng. "Gue tungguin sampe Rafka dateng deh." Tak lama, silau lampu mobil menyorot, berbelok memasuki pekarangan rumah dan berhenti di carport. Melihat mobil Rafka tiba, Bian baru berdiri dan meninggalkan Meta di teras. "Good luck, Ta," ucap Bian sambil menepuk pundak Meta, kemudian menghilang ke kamarnya. Meta hanya meresponnya dengan anggukan terima kasih. Dari dalam mobil, Rafka berdecih ketika melihat Bian dan Meta duduk berdua di teras. Rafka heran, padahal seharusnya hal itu nampak biasa saja, tapi entah kenapa hatinya kebat-kebit. Sejak kapan sih



Walkles 414



perasaan itu tumbuh sebesar ini? Dan sejak kapan juga Meta duduk di situ? Apa Meta duduk disitu untuk menunggunya? Tapi dengan Bian? Sepertinya tidak mungkin. Yang lebih mungkin adalah kencan yang lain Meta berusaha berdiri ketika Rafka keluar dari mobil. Ketika Rafka mendekat, Meta ikut berjalan mendekat. "Raf, gue mau ngomong," cicit Meta, membuat Rafka mencelos. Astaga, apakah kemarahannya begitu berpengaruh hingga membuat wanita yang biasanya terlalu percaya diri sampai membuatnya emosi ini jadi terdengar seperti tikus begini? Ingin rasanya ia menarik Meta ke dalam dekapannya agar ia dapat mendengarkan detak jantungnya yang saat ini seperti ditabuh. Tapi sebelum bertindak lebih jauh, sepertinya akan lebih baik kalau Rafka pergi. Melihat Rafka tak ucapannya, Meta panik.



terlihat



tertarik



dengan



"Raf, tunggu. Maafin gue." Meta berjalan di belakang Rafka dengan kruknya. "Udah gue maafin," ucap Rafka cepat dan dingin.



Walkles 415



Hal itu membuat Meta meringis mendengarnya. Ia tahu kalau Rafka tidak sungguh-sungguh memaafkannya. Hanya tidak ingin repot saja. Namun, saat melihat Rafka masuk ke kamar, Meta merasa lebih panik lagi. Ia tidak mau merasa bersalah lebih lama lagi. Ia tidak suka jika masalah terus berlarut-larut, padahal bisa diselesaikan dengan segera. "Raf, serius, gue minta maaf," ulang Meta sambil mengikuti Rafka ke kamarnya. Ketika melihatnya membuka pintu dan ikut masuk tanpa seizinnya, Rafka melirik Meta marah. Ia melepaskan dasi dan menaruh kemejanya di sisi tempat tidur dengan asal. Untuk pertama kalinya, Meta memasuki kamar Rafka yang cukup berbeda dengan yang Meta bayangkan. Meta kira Rafka adalah seorang perfeksionis yang semua barangnya rapi dan bersih tanpa cela. Ternyata tidak juga. Tentu kamar Rafka lebih rapi daripada kamarnya, tapi masih ada beberapa barang yang tidak pada tempatnya. Seperti tumpukan rapi beberapa dokumen di nakas atau buku dengan pembatas warna hitam di kasur.



Walkles 416



"Lo ke sini cuma mau ngeliatin kamar gue?" tanya Rafka yang mendapati Meta terdiam di tengah kamarnya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kecuali dirinya. Meta menoleh kaget, tiba-tiba teringat kalau ia harus minta maaf pada Rafka. "Gue... gue nggak bermaksud buat bikin elo malu. Waktu itu di Malang, gue tiba-tiba ngeliat elo ngobrol berdua sama Ucup. Di dekat kolam renang kan emang sepi sebelum tim gue dateng, apalagi waktu itu tempat lo berdiri agak gelap. Jadi..." Meta tidak berani melanjutkan narasinya ketika Rafka masih diam dengan ekspresi yang terlihat semakin kesal. Cepat-cepat Meta mengganti kalimatnya. "Gue minta maaf atas kesalahpahaman gue yang nggak berdasar. Nggak seharusnya gue percaya dengan asumsi gue, tanpa konfirmasi kebenarannya, nuduh elo seenaknya. Maafin gue, Raf." Meta hanya bisa berpegang erat pada kedua kruk yang ia gunakan ketika Rafka balik menatapnya dengan tajam. Ia belum pernah mencoba berjalan mundur dengan kruk, jadi ia hanya bisa terdiam, menerima mentah-mentah tatapan mata Rafka yang menghunus



Walkles 417



kepadanya. Dengan susah payah, Meta menelan ludah yang rasanya sudah seperti racun. Rafka berjalan mendekatinya. Ketika Rafka mengangkat tangannya, Meta cepatcepat menutup mata. Ia sudah siap mental ketika Rafka memang benar akan menempeleng kepalanya, atau menamparnya, atau bahkan menonjok pipinya. Namun, tanpa Meta sangka, Rafka malah melingkarkan lengannya ke tubuh Meta. Memeluknya. Memeluknya! Meta membuka mata, melihat pundak Rafka tepat di bawah hidungnya, membuatnya bisa mencium wangi parfum bercampur bau keringat Rafka. Pelukan itu lembut dan hangat, bukan pelukan erat yang membuatnya sesak napas. Meta sampai berdebar dibuatnya, mungkin karena terlalu kaget. "Apa lantas kalo lo sama gue gini, berarti lo sama gue saling suka?" Meta terdiam sejenak, mengumpulkan nyawanya yang sepertinya sedang tercerai-berai karena pelukan tiba-tiba dari Rafka, kemudian menggeleng. Sebenarnya Rafka sedikit kecewa merasakan Meta menggeleng, artinya Meta tak suka padanya, tapi



Walkles 418



menuntut Meta mengangguk juga akan membenarkan kalau dia punya hubungan dengan Ucup. Ia melonggarkan pelukannya untuk menatap Meta. "Gue nggak ngerti kenapa dengan begini sama pria aja lo udah berpikir gue homo. Padahal gue nggak pernah mikir cewek-cewek lesbian karena pelukan dengan sesama cewek," bisik Rafka tajam. Ia yakin dalam jarak sedekat ini, Meta pasti mendengar apa yang ia katakan. "Gue..." Hembusan napas Rafka di wajahnya tibatiba saja membuat Meta sulit untuk berpikir. Ia bahkan melupakan rentetan panjang permintaan maafnya seketika. Rasa malu merayapinya seperti tanaman merambat. "Kalo gue gini..." bisik Rafka masih dengan nada yang sama. Ia mendekatkan bibirnya pada bibir Meta, kemudian secara perlahan menempelkannya. Meta membelalak ketika dia bisa merasakan bibir Rafka di bibirnya. Ia tahu ia harus menolak, yah, paling tidak memukulkan kruk ke selakangan Rafka, tapi yang ia lakukan saat ini hanya diam. Ketika Meta hendak ikut memejamkan mata, Rafka malah menarik bibirnya. Ia menatap Rafka tidak mengerti.



Walkles 419



"Atau gini..." Rafka menarik salah satu tangannya, memindahkannya ke tengkuk Meta. Ditutupnya mata Meta dengan ibu jari, kemudian kembali mencium bibir Meta. Sejenak Rafka merasa dirinya adalah manusia paling kurang ajar sedunia karena Meta sama sekali tak membalas ciumannya. Ia memaksa Meta! Apakah sebentar lagi ia akan dituntut karena melakukan sexual harassment pada pegawai wanitanya. Rafka menunggu, paling tidak sampai Mata benarbenar akan menamparnya setelah ini. Tapi detik berikutnya, ia malah merasakan Meta membalas ciumannya perlahan. Hal itu malah membuat Rafka terasa seperti terpercik sesuatu. Dengan sadar bukannya melepas, malah semakin menekan tengkuk Meta dan menelusupkan tangan ke dalam rambut pendeknya. Bayangan Rafka tentang ciuman Meta tak ada apaapanya dengan saat ini. Sebut ia gila, tapi bibir Meta terasa manis, terasa sangat pas di bibirnya. Kalau boleh, Rafka ingin melakukan ini sepanjang malam hingga bertemu malam lagi. Tapi sepertinya ia harus menyelamatkan nyawa mereka berdua terlebih dahulu sebelum mati kehabisan napas di dalam kamar.



Walkles 420



Rafka melepaskan tautan bibirnya, membiarkan hidungnya kembang kempis mencari udara disekitar. Begitu juga dengan Meta. Tatapannya terlihat tak fokus ketika ia membuka mata. Rafka memilih untuk menempelkan dahinya pada dahi Meta, membiarkan kesadaran memasuki diri mereka perlahan. "Gue nggak akan bisa begini kalau sama Ucup..." gumam Rafka di antara deru napasnya. Ketika mendengarnya, Meta seperti terlempar kembali ke dunia. Refleks ia menjauhkan dahinya dari Rafka. Menelan ludahnya dengan susah payah ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Ia mengelap bibirnya yang basah terkena bekas air liurnya dan air liur Rafka. Ketika menyadari sepenuhnya, ia membelalak menatap Rafka. What the hell am I doing?! Cepat-cepat ia berbalik dan pergi. Tautan tangan Rafka di tubuhnya terlepas dengan pasrah, tanpa perlawanan. Ia berusaha pergi secepat mungkin untuk kembali ke kamarnya. Sedangkan Rafka masih mematung di tempatnya berdiri, menatap tembok di hadapannya dengan nanar. Sebelum benar-benar keluar, Meta mendengar Rafka berbicara padanya.



Walkles 421



"Lo balik pakai penerbangan besok jam sembilan malem.



Walkles 422



- 33 - Panic Setelah dengan susah payah kembali ke kamarnya, Meta langsung menjatuhkan pantatnya pada kasur. Dengan kedua tangan yang masih berpegang pada kruk, pikiran Meta kembali melayang ke kamar Rafka. Rafka menciumnya. Di bibir. Bukan sekedar ciuman kecupkecup sehingga Meta tidak bisa beralasan bahwa ciuman itu hanya kecelakaan. Dan ia memperparah keadaan dengan membalas ciuman itu padahal belum tentu Rafka benar-benar berniat untuk menciumnya dan mungkin hanya untuk menjelaskan hubungannya dengan Ucup. Tapi, demi Tuhan, Meta malah membalas ciumannya! Astaga! ASTAGA! Bagaimana ini bisa terjadi? Bahkan bekas lumatan bibirnya masih terasa sampai sekarang. Berapa lama mereka melakukannya? Apakah besok sangkakala akan ditiup? Ini Rafka, orang paling sering memicunya untuk tarik urat setiap hari. Yah, kecuali malam mie instan itu. Dan waktu jalan-jalan itu. Tapi ciuman?! Astaga, Meta tidak habis pikir.



Walkles 423



Meta menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengenyahkan bayangan yang ada di kepalanya. Disandarkannya kruk yang ia pegang pada nakas, kemudian segera beranjak untuk tidur. Ia belum cuci kaki dan cuci muka, tapi terserah. Ia terlalu takut untuk keluar. Ia tidak tahan berada dalam suasana canggung yang pasti akan ia rasakan. Sial. Sial. Sudah. Tidur saja. Tidur. Tidur. TIDUR?! Meta tidak bisa tidur. Tidak ketika ia memejamkan mata, yang teringat adalah wajah Rafka yang berjarak beberapa milimeter dari wajahnya. Padahal Meta yakin, Rafka sekarang sudah tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membalas dengan membuatnya malu. Setelah entah berapa jam Meta tidak bisa memejamkan mata, ia akhirnya memutuskan untuk pasrah. Yaudahlah, toh itu hanya ciuman biasa. Yang letaknya di bibir. Tidak lebih. Bukan sesuatu yang istimewa. Kenapa Meta harus memikirkannya seperti ABG ingusan yang baru kenal cinta? Ia sudah dewasa, satu ciuman harusnya bukan sesuatu berarti.



Walkles 424



*** "Raf? Tumben lo jam segini udah mandi?" tanya Bian saat mendapati Rafka mengeringkan rambutnya di dekat dapur. Ia kemudian mengerling jahil. "Mimpi lo, ya? Aktrisnya siapa nih?" Rafka mendengus. "Mimpi kepala lo! Tidur aja enggak." Bian tergelak. Bu Tiyem yang mendengarnya hanya ikut senyam-senyum. "Ngapain gak tidur? Ada kerjaan yang harus selesai?" "Ada," jawab Rafka bohong. Padahal ia hanya bekerja mungkin kalau di akumulasi hanya satu jam, sisanya sibuk frustasi dengan dirinya sendiri. Ia tidak menyesal melakukannya, kemudian menyesal, kemudian tidak lagi, sedetik kemudian menyesal lagi. Sudah cukup ia mendengar cercaan dari dirinya sendiri semalam. Daripada mendengar cercaan Bian, Rafka memilih berpaling pada Bu Tiyem yang sedang menggoreng tempe. "Bu, sarapanku buat bekal aja." "Lo mau berangkat pagi lagi?" Bian yang sebenarnya hendak melangkah ke kamar mandi jadi mengerem mendadak. "Belum kelar masalah lo sama Meta?"



Walkles 425



Bukannya menjawab, Rafka malah merasakan panas mulai menjalar di mukanya. Sebelum Bian menyadari, Rafka sepertinya harus segera pergi dari sana. "Lo ngapain aja semalem? Bukannya gunain kesempatan baik-baik," cerocos Bian. "Udah selesai semua," jawab Rafka singkat. "Nggak usah ngurusin hal nggak penting deh, yang penting nanti malem jangan lupa lo anter Meta, Ucup, sama gue ke bandara." "Lo pergi juga?!" "Perasaan kemarin gue udah bilang kalo gue ada urusan di sana." "Terus elo ninggalin gue?" Rafka memutar matanya jengah. "Minggu malem gue udah di sini lagi. Lagian Pak Kamal juga di sini. Nggak usah manja." Bian berjalan mendekat, kemudian berbisik, "Lo ikhlas Meta balik? Nggak mau usaha dulu gitu?" Mendengarnya, Rafka memalingkan muka. "Bukan urusan lo," ucapnya sebelum berjalan masuk ke kamarnya dengan wajah yang kembali terasa panas.



Walkles 426



Di saat yang bersamaan, ketika Rafka hendak membuka pintu kamarnya, Meta juga melakukan hal yang sama. Tatapan mereka bertemu sepersekian detik sebelum Rafka masuk dan menutup pintunya. Namun, hal itu cukup memantik rasa malu Meta hidup kembali dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Rasanya Meta benarbenar butuh mesin waktu untuk menghilangkan memorinya kemarin. "Meta? Lo sakit?" tanya Bian ketika melihat wajah pucat Meta dan bayangan yang lumayan menghitam di bawah matanya. Meta hanya mengerjapkan matanya yang mengantuk, kemudian menggeleng. Ketika Bian hendak mengecek suhu tubuhnya, Meta meyakinkan Bian. "Gue cuma kurang tidur." "Kenapa?" "Nggak tahu, mungkin gue di antara seneng dan sedih karena nanti malem udah pulang." Meta terkekeh. "Masalah sama Rafka gimana? Udah selesai?" Iya juga. Gara-gara sentuhan bibir—Meta rasanya tidak mau menyebutnya sebagai ciuman—kemarin ia langsung pergi begitu saja dari kamar Rafka tanpa mengatakan apa-apa. Apa yang Rafka katakan kemarin?



Walkles 427



Rafka tidak bisa bersentuhan bibir dengan Ucup? Dan ia membuktikannya kepada Meta dan Meta membalasnya? Ha! Bodoh, tidak ada konklusi yang ia dapatkan. Jadi, sebenarnya Rafka sudah memaafkannya atau belum? "Belum?" jawab Meta tak yakin. Tapi Bian malah menaikkan salah satu alisnya. "Rafka bilang udah selesai semua?" Meta kemudian menggumam, kemudian meringis tak yakin. "Kalo gitu mungkin udah." Mendengarnya, Bian hanya memutar mata. "Nggak tahulah, gue mandi aja. Kalian berdua yang ribet, kenapa gue yang harus repot dah," ucap Bian seraya melangkah ke kamar mandi. Sepeninggal Bian, Meta memutuskan untuk duduk di kursi meja makan, memperhatikan Bu Tiyem yang sibuk menyiapkan sarapan untuk semua orang sambil mengantri untuk mandi. "Mbak, Ibu minta tolong isi kotak makannya Mas Rafka itu yang di meja. Takut ikannya gosong kalau Ibu tinggal," pinta Bu Tiyem dengan suara memohon.



Walkles 428



Kalau Rafka membawa bekal, berarti Rafka mau berangkat pagi lagi? tanya Meta dari dalam hati. Syukurlah. Tanpa sadar Meta telah mengembuskan napas lega. Membayangkan Rafka duduk satu meja dengannya, rasanya ia belum siap. Ia bingung bagaimana harus bersikap saat mereka bertemu. Tapi sepertinya kelegaan tak berlangsung lama. Setelah selesai mengisi kotak bekal dengan nasi, sayur, dan sambal, suara pintu di sisi kanan Meta yang terbuka membuat Meta menegang tiba-tiba. Pagi-pagi jantungnya sudah dibuat senam karena ketakutan mendengar langkah kaki Rafka mendekat ke arahnya. "Bentar, Mas. Tunggu ikannya mateng, sedilit wae," teriak Bu Tiyem yang setengah panik karena masakannya belum matang, sedangkan Rafka sudah siap akan berangkat. Mau tak mau Rafka menyampirkan jasnya di sandaran kursi dan menghempaskan pantatnya di sana. Sebenarnya Rafka menyesali keputusannya untuk keluar dari kamar. Kalau tahu akan duduk dengan Meta di sini, semua orang boleh mengatainya pengecut, tapi ia lebih memilih untuk menunggu di kamar saja daripada melihat Meta duduk kaku sambil memandangi sayur seperti tiga detik lagi akan ada ikan terbang yang



Walkles 429



muncul dari sana. Sama sekali tidak menganggapnya ada. "Apa lo lagi telepati sama sayur bayam?" tapi Rafka setengah menyindir. Eh, tidak setengah, tapi memang. Mulutnya sudah gatal untuk memancing emosi Meta.5 Refleks, Meta menoleh pada Rafka. Namun, penyesalan langsung datang bagaikan petir. Meta melihat bibir itu, sial. Sedangkan bibirnya hanya mampu mengeluarkan 'hah' daripada kata-kata yang lebih berkualitas. Bodoh. "Ada yang lucu sama sayur bayam?" "Nggak. Gue cuma nggak mau ngomong sama elo aja." "Bisa lebih jujur lagi nggak ngomongnya?" tanya Rafka bermaksud sarkas. "Lo nggak pernah diajarin basa-basi?" Meta mengangkat bahu, tak ingin menatap Rafka. "Tergantung siapa yang harus diajak basa-basi, kan?" "Elo marah?" "Kalopun iya, gue berhak marah setelah apa yang terjadi kemarin, kan?" Dalam hati Meta berteriak, benar! Ia seharusnya marah atas kejadian kemarin.



Walkles 430



Bukannya malah nervous seperti ini. Dari sudut matanya, Meta malah melihat Rafka mengangguk. Ia menoleh pada Rafka untuk benar-benar memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Rafka mengakui kesalahannya? Tapi kenapa Rafka menatapnya seperti itu lagi? Jujur saja Meta sudah beberapa kali memergoki Rafka melihatnya seperti itu. Bukan sebal—yah, walaupun Rafka lebih sering menatapnya seperti itu, tapi tatapannya yang ini lebih ke heran, bingung, dan tidak mengerti. Meta hanya memutuskan untuk tidak memikirkannya saat Rafka membuatnya ikut bingung, tapi tidak ketika saat ini ketika Rafka melakukannya dengan jelas di depan hidungnya. Rafka mengembuskan napas dalam-dalam dan memutus kontak matanya dengan Meta. Dengan nada yang pelan dan dalam, ia mengatakan, "Elo boleh marah karena gue juga marah kemarin, tapi gue harap lo bisa nangkep apa yang gue maksud." "Gue tahu elo cuma jebak gue." Ucapan Meta membuat alis Rafka mengerut. Jebakan apa lagi?



Walkles 431



Ketika Rafka beranjak dari kursinya, Meta pikir pembicaraan mereka telah usai. Namun, ternyata Rafka malah berhenti di belakangnya dan merunduk. "Isi kepala elo bahaya, gue nggak bisa nebak. Gue nggak ngerti apa yang elo pikirin tentang semalem. Tapi yang jelas, gue sama sekali nggak nyesel tentang itu. It was a good kiss," ucap Rafka sambil menarik kotak bekalnya yang ada di depan Meta. Namun, ia terhenti, "Kurang bakwan jagung." Setelah dibuat merinding dan was-was level akut karena posisi mereka terlalu dekat, Meta lagi-lagi serasa diguyur air es. Sedangkan Rafka sendiri tak beranjak dari sebelah kirinya, menunggu bakwan jagungnya dimasukkan ke dalam kotak. Mau tak mau Meta mengulurkan tangannya untuk mengambil tiga buah bakwan jagung dan memasukkannya ke kotak. "Hati-hati..." sama isi kepala lo, ucap Rafka sebelum beranjak dan mengetukkan telunjuknya dua kali di kepala Meta. Ditinggalkannya Meta yang saat ini masih melihat sayur dengan muka merah padam. Setelah mendapatkan ikan yang baru saja diangkat dari penggorengan dan sebotol jus buah, cepat-cepat Rafka memasuki mobilnya.



Walkles 432



Jujur saja, ia tidak tahan mengobrol dengan Meta seperti itu. Ia mendapati dirinya merasa bersalah karena Meta menatapnya bingung dan marah bergantian. Rasanya menyebalkan ketika Meta tak paham juga, membuatnya ingin menarik Meta dan memeluknya erat hingga ia kehabisan napas. "Gue suka, bego!" Sedangkan di meja makan, Meta panik. Mukanya masih sama padamnya karena terus terngiang 'It was a good kiss' dengan suara Rafka, bergantian dengan bayangan ciuman mereka semalam. Di luar penyesalannya, Meta akui itu memang a good kiss. Tapi... tapi... apakah sebentar lagi Meta akan gila?



Walkles 433



- 34 - Avoidance Meta rasanya seperti habis dibodohi habis-habisan setelah mendapati Rafka keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah koper kecil. Bukan hanya tas ransel beratnya yang beranak—ya, barang bawaannya bertambah karena tinggal beberapa hari lebih lama membuatnya harus beli baju yang tak mungkin dibuang setelahnya—yang dimasukkan ke dalam bagasi mobil, tapi juga koper yang dibawa Rafka dan tas jinjing milik Ucup yang saat ini sudah duduk di kursi pengemudi. "Lo ngapain bawa koper?" tanya Meta tidak bisa menyembunyikan kengeriannya membayangkan ia masih harus satu pesawat dengan Rafka. Satu ruangan saja rasanya tak sanggup. "Emang elo doang yang boleh balik ke Jakarta?" jawab Rafka datar. "Elo ke Jakarta?" Rafka mengangguk. "Duduk di sebelah kursi pesawat lo." Rasanya Meta ingin keluar dari mobil yang sedang melaju ini ketika teringat. Lebih baik ia beli tiket sendiri



Walkles 434



dan pulang tadi pagi, daripada tiket gratis malam ini tapi ternyata bersama setan satu itu. Dan kenapa juga ia harus ngotot untuk duduk di kursi penumpang belakang mobil? Di sebelahnya, for God sake. "Ini kita bakal diem-dieman sampe bandara, nih? Nggak ada yang pengen ngajak gue ngobrol?" tanya Bian jengah. "Tau gini gue bakal milih duduk belakang aja sama Meta." Mendengarnya, Rafka memicing. "Ngapain ngobrol di mobil aja harus duduk sebelahan?" "Eits, jangan ngegas masnya," ucap Bian mengundang tawa tertahan dari Ucup. "Lah daripada kalian berdua kaku banget di belakang kayak lagi perang dingin? AC udah dingin nih, nggak kuat gue." Meta dan Rafka tak sengaja saling melirik, berujung menghasilkan umpatan-umpatan yang hanya sanggup ditahan di ujung lidah. Rasanya Meta masih belum imun ketika melihat Rafka. Hatinya masih kebat-kebit melihat bibirnya. Ketika melihatnya, ingatannya pasti akan terlempar pada kejadian semalam. Setengah jam kemudian, laju mobil mulai memelan sebelum akhirnya berhenti di drop off point. Ketika Rafka membantunya untuk keluar dari mobil, Meta



Walkles 435



sedikit terkejut, refleks menarik dirinya. Alis Rafka menyatu mendapati hal itu, tatapan matanya tak yakin. "Elo... takut sama gue?" tanya Rafka setengah berbisik, tak ingin Bian dan Ucup mendengar pembicaraannya. Ada campuran nada khawatir dan terkejut pada suara Rafka sehingga Meta tertegun menatapnya. "Yah, malah liat-liatan. Pesawat keburu boarding, nih!" teriak Bian, membuat Meta mau tak mau menerima uluran tangan Rafka untuk membantunya berdiri, keluar dari mobil. Tak lama Ucup datang dengan kursi roda dan troli dorong untuk membawa barang bawaan mereka. "Kenapa kursi roda lagi, deh?" "Karena lo kelamaan. Kalo cuma nungguin elo lompat-lompat, pesawatnya keburu take off duluan." Meta mencebik. Ia kemudian membiarkan Rafka mendorongnya sepanjang berjalan menuju ruang tunggu dengan kursi roda. Sebelum benar-benar berpisah, ia menyempatkan bersalaman dan melambaikan tangan pada Bian. Adegan tangis-



Walkles 436



menangis sudah ia lakukan tadi di rumah ketika berpamitan dengan Pak Jo dan Bu Tiyem. Sungguh Meta sudah menyayangi mereka karena mereka mengisi kekosongan pada diri Meta karena sudah tak lagi bersama orangtuanya. "Pisah sama Bian nggak nangis?" sindir Rafka sambil mendorong Meta. "Salty banget, sih?" gerutu Meta jengkel. "Abis elo pisah sama Bu Tiyem kayak nggak bakal ketemu selamanya aja." "Ya kan emang bakal lama nggak ketemu, kapan lagi gue bisa main ke sini? Emang gue masih boleh ke sana buat ketemu Bu Tiyem?" "Emang lo nggak bakal dateng ke Grand Opening hotel?" "Emang gue dapet undangan?" Rafka mendesah kesal. "Ya udah kalo nggak mau dateng." "Kenapa sih elo suka ngambek, Raf? Kalo diundang aja enggak, kenapa gue harus dateng coba?"



Walkles 437



Karena Rafka tak terdengar seperti akan melanjutkan argumennya, Meta juga memutuskan untuk ikut diam. Sebenarnya sejak tadi pagi Meta pusing karena memikirkan perkataan Bian. Saat Rafka meninggalkannya bekerja, Bian keluar dari kamar mandi mendapati Meta duduk dengan muka merah seperti kepiting rebus setelah mengobrol dengan Rafka.+ "Kenapa muka lo sampe merah gitu, Met?" tanya Bian sebenarnya hanya ingin tahu. Tapi begitu mendengar suara mesin mobil menyala dan keluar perlahan dari carport, Bian langsung menebak sambil setengah tertawa. "Rafka, nih?" Meta hanya membelalak marah. Bagaimana Bian bisa tahu? "Apa gue bilang? Elo sih nggak percaya sama gue," ucap Bian sambil menyelepet Meta dengan handuk basah. "Lo inget-inget apa yang gue bilang waktu kita di angkringan. Sekarang gimana? Lo udah bisa jawab pertanyaan gue? Gimana kalo seandainya Rafka beneran suka elo?" "Ya hak dia..." cicit Meta tak yakin. Tak yakin karena menurutnya hal itu memang tak mungkin. Mana ada orang suka, tapi sikapnya hanya membuat emosi satu



Walkles 438



sama lain saja? Bagaimana Meta bisa percaya kalau sikap angkuh, sombong, jutek, dan menyebalkan itu selalu melekat pada Rafka kalau berhadapan dengan Meta? Ini terlalu gila untuk dipikirkan. Selama menunggu untuk masuk pesawat, Meta selalu memperhatikan gerak-gerik Rafka. Tak ada yang berbeda. Namun, semenjak melihat wajahnya dari jarak yang paling dekat, Meta tak pernah bisa melihat Rafka dengan cara yang sama. Ia jadi mengetahui Rafka memiliki bintik kecoklatan kecil di bawah matanya, juga bulu matanya yang tak lentik. Dan bibir itu, astaga. Meta menundukkan kepalanya dan menyangga dengan kedua tangannya, frustasi. Dan semuanya sama sekali tak menggambarkan indikasi Rafka menyukai seseorang. "Kenapa? Lo pusing?" tanya Rafka terdengar khawatir. "Mbak mau tak beliin minum dulu?" Ucup ikut khawatir ketika bosnya terlihat serius seperti itu. Meta hanya tersenyum pasrah dan menggeleng. "Gue nggak papa." "Lo yakin? Kalo elo nggak bisa pulang hari ini, kita bisa telepon Bian buat jemput kita lagi," tawar Rafka



Walkles 439



sungguh-sungguh, membuat Meta tersenyum lebih miris. Kalo gue maunya elo doang yang di jemput Bian bisa nggak, Raf? Biarin gue balik sendiri. Meta hanya mampu mengucapkannya dalam hati. "Gimana, Mbak?" tanya Ucup memastikan. "Gue nggak papa, beneran. Cuma ngantuk." *** Sepanjang perjalanan di dalam pesawat, Meta memejamkan matanya. Awalnya karena menghindari kenyataan bahwa Rafka berada di sebelahnya, tapi lama kelamaan ia benar-benar tertidur. Mungkin karena semalam ia tak bisa tidur, sehingga sekarang ia bisa tidur dengan mudahnya. Rafka memperhatikan Meta dari samping. Sejak tadi ia ingin menarik kepala Meta agar bisa bersandar di pundaknya, takut kalau Meta serong ke kanan dan malah terjatuh di aisle pesawat. Tapi bagaimana caranya untuk melakukannya tanpa terlihat mencurigakan? Terlebih tanpa membangunkan Meta? Namun, sepertinya keberuntungan masih berpihak kepadanya. Rafka mendengus, tersenyum pada dirinya



Walkles 440



sendiri ketika merasakan tubuh Meta memberat kemudian bersandar kepadanya. Ia mempersiapkan pundaknya senyaman mungkin untuk disadari dengan menurunkan lengannya dari arm-rest. "Mbak Meta tidur temenan, Raf?" tanya Ucup sambil mengintip Meta. "Iya," bisik Rafka. "Opo semalem dia melekan* (*begadang) sampai jam segini udah tidur? Masih jam sembilan," gumam Ucup tak bermaksud untuk mendapatkan jawaban. Rafka hanya diam. Ia bisa rasa panas mulai menjalari wajahnya. Iya, bisa jadi Meta tidak bisa tidur karena kejadian semalam. Seperti dirinya. Rafka benarbenar jadi terlihat seperti pecundang sekarang. Untung saja Ucup lebih fokus melihat pemandangan gelap di jendela daripada wajah Rafka yang terlihat memalukan sekarang. Rafka mendesah. Ia memutuskan untuk bersandar pada sandaran kursi dan memejamkan matanya. Betapa beberapa hari terakhir pikirannya bercabang ke manamana gara-gara perempuan satu ini. Rafka hanya bisa berharap dengan Meta kembali, maka hidupnya bisa



Walkles 441



lebih tenang. Ia tidak perlu mengkhawatirkan Bian juga tidak perlu mengkhawatirkan dirinya sendiri. "Holyshit..." Rafka mendengar Meta berbisik, tapi kepalanya belum bergerak. Sepertinya Meta sudah bangun dan terkejut mendapati dirinya sendiri bersandar pada Rafka. Ketika Meta bangun perlahan dan menegakkan kepalanya, Rafka pura-pura terpejam. Thank God, mau ditaruh mana muka gue?" gumam Meta penuh rasa syukur ketika mendapati Rafka terlihat tertidur.+ "Emang muka lo kenapa?" tanya Rafka sambil membuka mata. Dilihatnya Meta tengah menatapnya ngeri, membuatnya ingin tertawa. "Sejak kapan elo bangun?" Rafka mengangkat bahunya. "Gue belum tidur." Meta hendak membalas tapi ucapannya terpotong dengan adanya pengumuman pesawat akan segera mendarat. Ia akhirnya hanya memasang sabuk pengamannya dalam diam dan mengabaikan Rafka sepanjang sisa waktu perjalanan mereka. Tadi Meta tidak ngiler atau mangap, kan? Merasakan dari



Walkles 442



rahangnya yang tidak terasa pegal, Meta mengasumsikan bahwa tidurnya masih ada dalam batas toleransi. Sejak tadi berusaha menghindari Rafka, tubuhnya malah berkehendak di luar rencananya. Sial.



Walkles 443



- 35 - Confession "Rafkaaa! Bangun, Sayang. Waktunya sarapan!" teriak Tante Risma dari balik pintu kamar Rafka. Sebenarnya Rafka sudah bangun, tapi ia merasa malas sekali membuka mata. Untuk beberapa detik, tadi ia sempat melupakan fakta bahwa hari ini ia berada di rumah kakeknya. Setelah meregangkan tubuh, ia menyeret kakinya ke kamar mandi. "Rafkaaa!" Rafka mendesah. Teriakan melengking itu tidak akan pernah berhenti hingga batang hidungnya terlihat di depan mata Tante Risma. Mau tak mau ia harus membuka pintu terlebih dahulu. "Morning, Tante. Aku mandi dulu, ya?" ujar Rafka setelah membuka pintu kamarnya dan mendapati Tante Risma hendak meninggalkan kamarnya untuk membangunkan Marina. Tante Risma berbalik ketika mendengar suaranya dan tersenyum senang. Dibelainya pipi Rafka dengan sayang. "Morning, Sayang! Oh, kamu keliatan capek. Cepetan ya, kita sarapan sama-sama."



Walkles 444



Puas menerima anggukan Rafka, Tante Risma menjauh meninggalkan kamar. Rafka menutup pintunya dan berjalan menuju kamar mandi sambil meregangkan otot pundak dan punggungnya yang kaku karena semalam menggendong Meta dari lantai satu ke lantai tiga. Hampir tengah malam, studio sudah sepi ketika Rafka dan Meta tiba. Gerbang hitam setinggi dada tertutup rapat. Begitu juga dengan lampu-lampu di dalamnya yang sudah dimatikan. Hanya lampu penerangan luar dan papan jalan bertuliskan 'Imagen Studio' saja yang menyala. "Nggak ada orang?" tanya Rafka memastikan. Ia melirik Meta yang tak menampakkan ekspresi senang maupun sedih. Meta mengangguk, mengeluarkan segepok kunci dari resleting kecil di tasnya. "Gue bisa sendiri. Lo boleh pulang." Rafka hampir mendesah keras, tapi ia menahannya. "Ini udah malem ya, jangan ngajakin berantem. Gue harus pastiin lo masuk dan bisa naik ke atas," ucap Rafka datar.



Walkles 445



"Gue bisa sendiri, Raf. Lagian kalo elo ikut naik sama aja gue harus turun lagi buat ngunci pintu. Lebih repot mana?" Rafka terdiam, benar juga ucapan Meta. Namun, ia tidak ingin pergi begitu saja. "Ya udah, biar gue yang kunci nanti. Lo ada kunci cadangan, kan? Besok gue kembaliin lagi kuncinya." Meta menyipitkan matanya, menatap Rafka curiga. Kenapa pria di depannya ini ngotot sekali? Apa janganjangan ia akan dijebak sekarang? "Lo nggak percaya sama gue?" tanya Rafka tak habis pikir kenapa Meta menatapnya curiga. Mau tak mau, akhirnya Meta mendesah pasrah. Ia menyerahkan kunci-kunci di tangannya pada Rafka. Toh dia akan kesulitan berjongkok untuk membuka pintu kaca. "Jangan sampai hilang." Dengan patuh Rafka membuka pintu gerbang sesuai dengan arahan yang Meta berikan. Ia juga membuka pintu depan dan pintu tengah dengan baik walaupun menurut Meta, pintu tengah memang agak sulit untuk dibuka. Harus menggunakan perasaan. Meta hanya bisa mencebik ketika Rafka dengan sangat mudah melakukannya.



Walkles 446



Dari belakang, Ucup menyusul masuk dengan membawakan barang-barang Meta, sedangkan Rafka yang tidak sabaran melihat Meta menaiki tangga satu per satu hanya bisa mendengus kesal. Menaikkan kruk. Kemudian kakinya. Begitu seterusnya. Rafka kemudian berdecak dan memposisikan punggungnya menghadap Meta. "Naik ke punggung gue aja. Semakin cepet lo naik, gue akan semakin cepet pulang," ucapnya sama sekali tak menyembunyikan nada kesal. Meta memutar matanya, tertular rasa kesal juga. "Nggak ada yang minta elo buat nungguin gue naik, Raf." "Tapi nggak ada yang mastiin elo sampai di atas dengan selamat, Meta. Kalo elo di ujung anak tangga jatoh gegulingan, nggak ada yang tahu, nggak ada yang nolongin gimana?" "Lo doain gue yang jelek-jelek?" tanya Meta sangsi. Atau Ucup yang tadi melewati mereka sebenarnya sudah diperintahkan untuk memasang jebakan di lantai? Menuang air sabun misalnya? Meta sedang di rumah sendiri sekarang. Haruskah seri Home Alone diputar lagi di sini sekarang?



Walkles 447



"Gue cuma waspada, oke? Sekarang naik ke punggung gue dan kita selesaikan semuanya," ucap Rafka sambil menoleh sedikit untuk melirik Meta di belakangnya. Meta berdecih sambil memutar mata. Tapi mau tak mau ia mengangkat kruknya dan naik ke punggung Rafka yang ternyata lumayan lebar dan tegap—astaga, apa yang ia pikirkan. "Apa nggak pernah ada yang bilang kalo elo berat?" "Apa lo nggak mikir kepala lo bisa bocor karena gue pukul kruk?" tanya Meta semakin kesal. Bisa-bisanya Rafka mengomentari berat badannya. "Lagian elo sendiri yang minta buat gendong gue. Nggak konsisten." Rafka mengeluarkan tawa tertahan saat mendengarnya. Ia kemudian berhenti sebentar untuk membenahi posisi Meta yang sedikit melorot. "Sepanjang gue ketemu elo, gue denger elo ketawa kayaknya bisa dihitung jari," gumam Meta tak sadar telah menyuarakan isi kepalanya. Ia baru menyadari saat Rafka menjawab pertanyaannya. "Kenapa elo merhatiin kapan gue ketawa?"



Walkles 448



Meta menggumam salah tingkah. Ia bergerak tak nyaman di punggung Rafka. "Nggak merhatiin..." "Tapi?" "Yaa... nggak ada tapi. Emang nggak merhatiin. Cuma bikin gondok aja, bukannya ramah tamah sama orang yang baru kenal." "Kenapa gue harus ramah tamah kalo elo bikin planning gue nggak jalan?" Meta berdecih. "Gue udah tahu semuanya dari Bian. Planning elo yang itu emang nggak jalan. Tapi tujuan kalian kan nggak meleset dan elo tetep dapet semua yang lo mau." "Belum semua," jawab Rafka setelah memberikan jeda beberapa saat. "Masih ada lagi?" pekik Meta tak percaya. "Elo orang paling serakah yang pernah gue temui." Ketika Rafka menyelesaikan tangga terakhir, ia menurunkan Meta dengan suara tertahan dan berbalik menatap Meta. "Masih ada lagi rekor di hidup lo yang udah gue pecahin selain serakah dan jarang ketawa?" Dengan



Walkles 449



tenang ia berbicara dengan nada sombongnya dan menelengkan kepala. Meta berdecak. Malas meladeni Rafka yang sepertinya memang benar satu gen dengan Bian. Sombong-sombongnya sudah mendarah daging. Memang kalau diperhatikan, mereka masih berbagi bentuk dagu dan rahang yang mirip. Namun, Rafka memiliki mata yang sedikit lebih kecil dan wajah yang lebih kaku. Berbeda dengan Bian yang sepertinya sudah memiliki wajah menyenangkan dari bayi. "Mbak Meta, ini mau ditaruh mana?" tanya Ucup membuat keduanya menoleh. "Langsung kamar gue aja di sini, tolong," ucap Meta seraya meninggalkan Rafka sendiri dan berjalan menuju kamarnya. Rafka berdecih mengingat kejadian semalam. Ia segera mengguyur kepalanya dengan air hangat yang mengalir dari shower. Awalnya Rafka tidak terlalu memperhatikan sekeliling ketika menaiki tangga dengan Meta di punggungnya. Ia terlalu fokus untuk memastikan ia masih selamat hingga lantai tiga. Namun, ketika ia berhasil memperhatikan isi bangunan itu



Walkles 450



dengan lebih cermat, Rafka jadi teringat tentang cerita bagaimana Meta membangun studio ini. Lantai tiga sama sekali belum di cat. Masih tembok dan lantai. Belum ada secuilpun perabot. Pasir dan material bangunan yang ia lihat di bawah saat pertama kali menyelidiki Meta memang sudah hilang, mungkin pembangunan apa pun itu sudah selesai. Tapi tetap saja secara keseluruhan, masih banyak yang harus dikerjakan. Rafka sudah mengetahui ini sejak awal dan mengancam Meta karena ia tahu Meta tidak akan mengeluarkan uang untuk menyewa pengacara dan segala biaya untuk melalui proses hukum karena studionya masih membutuhkan banyak biaya. Namun, entah kenapa, sekarang Rafka tidak merasa senang karena telah berhasil melakukannya. Rafka baru pulang dari hotel untuk berdiskusi dengan papanya dan beberapa orang manajerial. Ada banyak hal yang harus ia konsultasikan sehingga beberapa orang harus rela mengorbankan waktu luang mereka untuk Rafka. Digulungnya lengan kemeja yang ia kenakan dan langsung beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.



Walkles 451



"Rafka?" panggil Tante Risma yang sedang duduk di halaman belakang sambil membaca buku. "Kamu udah pulang? Laper? Mau Tante panasin makanan?" Setelah menghabiskan segelas air, Rafka menyusul tantenya yang tidak melepaskan pandangan dari buku yang ia pegang. "Nggak usah, Rafka udah makan siang tadi." Dalam hitungan detik, Tante Risma menutup bukunya kemudian tersenyum menatap Rafka. "Sini, duduk. Ada es markisa kalau kamu mau. Tante mau ngobrol sama kamu." Rafka menaikkan alisnya, tak berusaha menyembunyikan kesan bingung. Ia merasa seperti anak kecil yang akan dimarahi karena membuat ruangan tengah berantakan. Mau tak mau Rafka duduk di salah satu kursi santai yang masih kosong, gugup tanpa alasan yang jelas. "Yang sakit di rumah Mbah Uti udah sembuh?" Rafka seharusnya tidak terkejut. Semua orang pasti tahu tentang Meta, tapi ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya karena tiba-tiba tantenya membicarakan medusa satu itu.



Walkles 452



"Semua orang tahu, Raf. Pak Kamal kan selalu lapor semuanya. Kenapa kamu kaget gitu?" tanya Tante Risma cukup menikmati respon yang diberikan Rafka. "Aku cuma kaget kenapa nggak ada yang komentar," jawab Rafka jujur. Ia memandang lurus deretan pepohonan dan tanaman yang ditanam Tante Risma di belakang rumah. "Kenapa harus komentar kalau nggak ada yang salah? Memang kamu ngapain?" Tante Risma sedikit terkekeh. "Kecuali kemarin yang dibilang Bian bener." Mendengar nama Bian disebut, Rafka langsung menoleh. Mendapati Tante Risma benar-benar menikmati keterkejutannya, firasat buruk segera saja menghampiri Rafka. Bian memang sialan. "Anaknya gimana sih, Raf? Kamu beneran udah nggak jomblo, nih? Padahal mau Tante jodohin sama anak temen tante." "Kakek tahu?" tanya Rafka khawatir, sama sekali tak menjawab pertanyaan Tante Risma. "Tante bisa jaga rahasia kok, Raf." Tantenya itu kemudian terkikik. "Tapi kalo kamu beneran sama dia, ya Tante pikir itu nggak perlu jadi rahasia lagi."



Walkles 453



Rafka dapat merasakan darahnya merambat hingga wajah. Ia mengalihkan mukanya dari Tante Risma yang Rafka yakin tawanya semakin lebar. Tapi mengingat Meta masih belum menjadi siapa-siapanya, Rafka hanya bisa tersenyum kecut dan menggumam, "Belum." "Apa?" tanya Tante Risma, tak begitu mendengar apa yang Rafka katakan. "Ya sekarang masih jomblo." "Apa? Kenapa? Dia nolak kamu?" Tante Risma malah terdengar tak terima, padahal kalaupun benarbenar ditolak, yang mendapat penolakan adalah Rafka. Bukan Tante Risma. "Tante, bisa nggak sih nggak ngomongin ini?" Rafka tidak biasa merasa malu di hadapan keluarganya seperti ini. Ia bahkan bisa merasakan wajahnya perlahan mulai terasa panas. "Raf, kamu nggak tahu berapa lama Tante pengen ngobrol tentang hal-hal seperti ini sama kamu." Tante Risma meraih tangan Rafka dan meremasnya. Ia memaksa Rafka untuk memandangnya. "Mama sama Mbah Uti memang udah nggak ada, tapi di sini masih ada Tante. Tante juga ibu. Ibu kamu."



Walkles 454



Rafka terdiam mendengarnya. Entahlah. Mungkin Rafka dapat merasakan kesungguhan dari tatapan mata Tante Risma. Yang jelas, saat ini ia merasakan ada yang menghangat di sudut hatinya. Rafka mengangguk. Ia membalas remasan tangan Tante Risma dan mencium tangannya. Tante Risma masih menatapnya dengan senyum keibuan dan mengusap punggung tangan Rafka dengan ibu jari. Tak lama, tatapan keibuan itu langsung sirna, berganti dengan senyum jahil. Rafka berani bersumpah tatapan keibuan tadi mungkin hanya fatamorgana. Hanya halusinasi belaka. "Jadi? Kamu ditolak? Perempuan mana yang berani nolak kamu?" "Belum, Rafka masih pendekatan," jawab Rafka tak yakin. Apakah ini semua bisa disebut sebagai pendekatan? "Jangan lama-lama dong, Raf. Nanti kamu biar ada yang nemenin di Jogja." Rafka melepaskan dengus. "Kalo dia mau sama aku, aku tetep nggak yakin dia bisa aku boyong ke Jogja." Tante Risma hanya menatapnya dengan pandangan



Walkles 455



bertanya. "Seluruh hidupnya di sini, tante. Studionya, teman-temannya, keringat dan darahnya di sini. "Aku nggak tahu apa kakek dan papa akan suka Meta. She's so passionate about her job. Dia cinta fotografi lebih dari dirinya sendiri. Orang bodoh mana yang terluka parah hanya karena kamera? Dia nggak mirip Mama, juga nggak mirip Tante. Dia nggak kayak pacar-pacar Rafka yang dulu. Dia semaunya sendiri, nggak bisa dikontrol. Dia ngelawan ucapanku. Dia segalanya yang Rafka benci. "Tapi di sisi lain kadang-kadang wajahnya kelihatan sedih, Bu Tiyem cerita kalau Meta nangis. Rafka juga pernah ngeliat dia menahan tangis di meja makan waktu makan sate klatak. Lalu Rafka tahu dia pisah dengan orang tuanya karena orang tuanya nggak suka kerjaannya. Dia nggak suka teman-temannya kesulitan. Dia nggak suka Bu Tiyem kecapekan. "Dia juga ketawa sama semua orang kecuali Rafka, dia dekat dengan Bian, akrab dengan Bu Tiyem, selalu dibela Pak Kamal. Aku nggak tahu harus merasa sedih atau senang dia kayak gitu. Dia rapuh juga menyebalkan di saat yang sama. Dia bikin aku bingung gimana perasaanku sebenernya."



Walkles 456



Rafka baru menyadari, Tante Risma melihatnya seperti sedang melihat guci antik ratusan juta di Roma. Sedangkan dirinya bingung kenapa Tante Risma menatapnya seperti itu, bahkan ketika dia sedang frustasi membicarakannya Meta. "Ini pertama kalinya kamu ngomong sepanjang ini ke Tante," ucap tantenya pelan. "Kalau kamu udah siap, kenalin ke Tante ya, Sayang?" Mau tidak mau, Rafka mengangguk. Namun, suara dentang jam besar di ruang tengah mengalihkan perhatiannya. Ia harus segera bersiap karena setelah ini ia ada janji untuk bertemu dengan Evelyn setelah ini. Ditinggalkannya Tante Risma yang memandanginya hingga ia menghilang menaiki tangga.



Walkles 457



- 36 - Irony Evelyn menghela napasnya lelah. Dituangnya sedikit air dingin dari botol ke gelas dan meminumnya cepat. Lehernya terasa kaku setelah seharian ini membuat business plan untuk 'The Eve'. Ya, toko perhiasan yang akan ia dirikan bernama 'The Eve'. Eve yang diambil dari namanya, juga dari 'kegelapan malam' yang ia inginkan. Jauh dari kehidupan gemerlap dan cahaya kamera yang selalu menyertainya selama beberapa tahun terakhir. Mbak Titi baru saja selesai menghubunginya untuk mengingatkan jadwalnya hari ini. Ia harus bertemu dengan konsultan desain interior yang akan mendesain 'The Eve'. Yah, sekarang Mbak Titi sudah tahu tentang semuanya. Setelah Evelyn meyakinkan bahwa ia benarbenar ingin melakukan hal ini, bukan sekedar anginanginan saja, Mbak Titi akhirnya malah bersedia membantunya. Bahkan Mbak Titi juga yang membelanya di depan orang-orang agensi tentang keputusannya. Sampai sekarang, mungkin orang-orang atasan di agensi masih berunding. Tapi Mbak Titi bilang, ia akan memastikan keputusan mereka tidak akan menghambat rencana Evelyn. Betapa rasanya Evelyn



Walkles 458



ingin membahagiakan caranya.+



Mbak



Titi,



bagaimanapun



Setelah beristirahat sejenak, tak perlu waktu lama bagi Evelyn untuk segera berangkat ke salon langganannya untuk mendapatkan sentuhan make up no make up look. Ia tidak ingin terlihat terlalu mencolok dan memutuskan untuk memakai rok sebawah lutut dan kemeja dengan potongan leher yang agak terbuka. Ketika berjalan keluar apartemen, ia merasakan getaran ponsel diikuti dengan deringan halus suara Rihanna. Saat mendapati nama Rafka tertera di layar ponselnya, Evelyn dapat merasakan sudut-sudut bibirnya terangkat. Oh, stupid, Ev. Dia cuma telepon. Bagaimana bisa ia berdebar-debar seperti ini hanya karena ditelepon oleh pria yang bahkan Evelyn baru bertemu dalam hitungan jari? "Halo, Raf? Aku baru aja mau kasih kamu kabar." "Oh, oke. Jadi, mau ketemu di mana?" "Aku masih harus ketemu orang, mungkin sampai jam dua. Apa kamu oke kita ketemu jam segitu?" "No problem."



Walkles 459



"Mau sekalian liat toko aku di mall atau mau ketemu di tempat yang lebih privat?" "Toko is fine. Sekalian gue pengen liat." "Well then, see ya around two." Oh, Ev. Ini benar-benar stupid. Kenapa mau bertemu saja rasanya jantungnya sudah tak karuan? Evelyn sendiri tidak habis pikir karenanya. Rasanya, ia baru pertama kali benar-benar merasakan ketertarikan pada seseorang. Ia awalnya memang kagum pada Rafka, tapi rasa kagum itu tak lantas berhenti begitu saja. Bahkan ketika ia mengetahui bahwa Rafka membuktikan ambisinya menjadi orang yang dapat membuat keputusan, rasa kagum Evelyn malah berkembang semakin besar. Rafka menumbuhkan harapan dalam dirinya. Rafka berbeda dengan pria-pria lain yang selama ini ia temui. Ia menyukainya. Evelyn menyukai Rafka. *** Evelyn tidak tahu ternyata ia begitu menikmati apa yang saat ini ia kerjakan. Ia bisa mengatur setiap detail dari 'The Eve' sesuai dengan keinginannya. Pantas saja Rafka begitu ketagihan mengatur hotel. Panjang umur, Rafka benar-benar datang ke toko yang masih kosong



Walkles 460



ini. Evelyn hanya meletakkan meja dan kursi kalau-kalau ia butuh melakukan diskusi singkat dengan rekan kerja di sana. Evelyn berdiri, menggiring Rafka untuk mendekat dan berkenalan dengan tiga orang dari kantor konsultan interior design. "Aku minta maaf, tapi tolong tunggu sebentar. Setelah ini, semuanya akan selesai," ucap Evelyn pada Rafka. "Silakan duduk." Rafka hanya menurut. Ia kemudian ikut mendengarkan diskusi Evelyn dengan tiga orang itu. Beberapa kali ia mengedarkan pandangan pada keseluruhan toko. Luas. Banyak yang bisa di-explore. Rafka kira pembicaraan mereka masih akan berlangsung lama, tapi ternyata Evelyn benar-benar melakukannya dalam waktu singkat. Ia tidak membiarkan Rafka menunggu terlalu lama. "Gimana kabar kamu, Raf?" Tanya Evelyn sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. "Baik." Rafka menjawab dengan anggukan. "Lokasinya lumayan strategis, dan lo sewa dua toko?"



Walkles 461



Evelyn hanya terkekeh. "Butuh umpan besar untuk tangkapan yang lebih besar." Rafka lagi-lagi mengangguk setuju. "Gue curi dengar obrolan elo, konsep lo bagus." "Yang mana? Kamu cuma dengar diskusi interior bagian belakang." "Yah, nggak hanya memberikan pelayanan VIP buat pelanggan, elo juga memperlakukan karyawan yang nantinya akan kerja sama elo juga dengan fasilitas VIP untuk mereka. Lo bener-bener harus seleksi orang yang bagus." "Apa yang barusan itu pujian?" "Hm? You can take it as it." "Aku hanya memanusiakan manusia, nggak lebih. Karyawan aku berhak mendapatkan fasilitas seperti fasilitas yang aku dapetin." Rafka mengangguk. "So, kita mau discuss di sini atau keluar?" "Ngopi gimana? Ini masih terlalu sore buat makan." "Oke," setelah semua kertasnya beres dan berada pada urutan yang pas, Evelyn beranjak dari kursi dan



Walkles 462



membawa kertasnya dalam sebuah map. "Kamu duluan aja, aku masih harus matiin lampu." Rafka pun menurut tanpa banyak bicara dan memilih untuk menunggu di luar. Namun, tak lama setelah ia berdiri di depan pintu, Rafka malah mendengar Evelyn menjerit tertahan. Kepalanya melongok ke pintu, mencari-cari Evelyn dalam kegelapan. "Ev? Lo nggak apa-apa?" "Oke. Aku nggak papa. Tunggu sebentar," ucap Evelyn masih bersimpuh di lantai. Kakinya baru saja tersandung lantai semen tidak rata yang tak terlihat karena gelap, membuatnya kehilangan keseimbangan karena heels yang ia kenakan hari ini lumayan tinggi. Sepertinya pergelangan kakinya terkilir. Sial sekali hari ini. Dengan susah payah, Evelyn menahan rasa nyeri di kakinya dan kembali berdiri. "Lo beneran nggak apa-apa?" tanya Rafka tak yakin setelah melihat Evelyn berjalan tertatih dalam kegelapan. "Aku jatuh, gelap tadi. Tapi nggak papa, agak keseleo dikit," ucap Evelyn meyakinkan Rafka. Namun, Rafka mendekat dan menawarkan lengannya untuk dijadikan pegangan.



Walkles 463



"Kalo sakit nggak usah bilang 'nggak papa'." "Yah, agak sakit. Sorry." Evelyn meringis menahan nyeri di kakinya. "Gue heran, sama perempuan. Kenapa sih suka menyiksa diri sendiri? Elo begitu, Meta juga begitu." "Ini nyaman, kok. Gue nggak tersiksa pakainya. Gue yakin Meta juga begitu," ungkap Evelyn sambil menggembok pintu triplek yang dilapisi oleh banner bertuliskan 'The Eve'. "Cuma lagi sial aja, makanya kan sakit." Rafka hanya menggeleng tak paham. Keduanya kemudian berjalan ke salah satu tempat ngopi di mall itu yang untungnya tidak terlalu ramai walau sekarang hari Sabtu. Setelah duduk di tempat yang sedikit terhalang pandangan orang lain dan memesan minuman, keduanya langsung tenggelam dalam pembicaraan serius mengenai 'The Eve'. "Konsep elo bagus, menurut gue. Tapi lebih juga harus ngobrolin semuanya dengan penasihat hukum. Termasuk masalah hak paten. Lo udah ngurus sampai situ?"



Walkles 464



Evelyn menggeleng. "Belum. Mbak Titi baru bantu aku untuk izin pendirian usaha dan izin-izin lainnya yang bikin gue pusing." "Masalah keuangan juga. Jangan sampai ada yang luput sedikitpun." Rafka kemudian menceritakan perusahaan sepatu yang gulung tikar karena problematika keuangan. Evelyn mendengarkan sambil menyesap kopinya yang baru saja datang. "Apa aku juga harus nyari konsultan keuangan karena aku bener-bener nol dalam hal ini?" "Ya nggak apa-apa kalo elo bisa. Nggak ada salahnya menurut gue." Rafka sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi saat tak sengaja melihat pergelangan kaki Evelyn yang sudah membengkak dan agak biru. "Lo mau gue beliin sandal?" ucap Rafka masih melihat kaki Evelyn dengan ngeri. Ia jadi teringat luka di badan Meta waktu itu. "Nggak, nggak usah," tolak Evelyn sungkan. "Daripada lo pakai sepatu itu? Lagian gue juga harus nyari sesuatu buat Meta." "Meta? Sesuatu apa?"



Walkles 465



"Gue nggak sengaja liat gaun malam yang menurut gue bagus tadi," ujar Rafka sambil mengedikkan bahu. "Oh, iya, gue mau ngasih tahu kalo elo diundang ke grand opening Hotel Pramoedya di Jogja. Gue belum bisa ngasih undangan resminya sekarang, nanti gue susulin ke manajer elo." "Okay, but apa kamu sama Meta..." Evelyn rasanya tidak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri. Ia berharap Rafka akan mengelak dan mengatakan kalau dirinya hanya salah paham. Rafka berusaha untuk tak lagi terkejut walaupun dalam hati sebenarnya kebingungan, kenapa orangorang lebih cepat menyadari ada sesuatu di antara dirinya dan Meta dibandingkan dia sendiri? "Sort of..." jawab Rafka menggantung. Setelah memberikan beberapa jeda untuk membuat otaknya memikirkan jawaban yang tepat, Rafka kemudian hanya berakhir pada, "It's complicated, actually." Evelyn hendak memberikan tanggapan, tapi mulutnya hanya berakhir terbuka dan tertutup tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Jujur saja, ia terkejut mendengarnya. Ia tidak siap akan mendengarnya hari ini, sore ini, detik ini, di saat ia



Walkles 466



menganggap Rafka satu-satunya laki-laki gentle yang pernah ia temui sepanjang hidupnya dan memutuskan untuk jatuh cinta. Adakah yang lebih ironi dibanding patah hati disaat yang sama dengan jatuh cinta? Jadi begini rasanya ditolak cintanya? Apakah ini bisa disebut ditolak ketika bahkan Evelyn belum menyatakan cinta? "Ev?" Panggil Rafka untuk yang kedua kali. "Lo nggak papa? Mau gue beliin sandal aja nggak? Berapa ukurannya?" Evelyn tersenyum ramah, kemudian mengangguk. "Empat puluh satu." Produser film pasti tidak berbohong saat memuji aktingnya luar biasa alami. Buktinya Rafka percayapercaya saja dengan senyumnya. Sepeninggal Rafka, Evelyn hanya bisa menertawai dirinya sendiri yang saat ini terlihat bodoh. Kalau Mbak Titi sampai tahu rasa sukanya kali ini bertepuk sebelah tangan, kira-kira bagaimana reaksinya? Evelyn tertawa lirih. Orang yang melihatnya tertawa sendiri saat ini pasti mengira kalau ia sudah gila. Patah hati ternyata lumayan menyakitkan, ya? Selama ini ia hanya pernah dicintai, bukan jadi orang yang mencintai.



Walkles 467



Tidak adakah yang ingin menominasikan Evelyn sebagai aktris terbaik tahun ini? Sampai Rafka datang kembali dengan tiga tas belanja, Evelyn masih mempertahankan senyumnya dengan baik. Bahkan hingga dua jam setelahnya ketika obrolan mereka benar-benar berakhir. "Pasti bukan selera lo banget sandalnya, gue minta maaf," ucap Rafka untuk yang kedua kalinya ketika Evelyn akhirnya benar-benar menggunakan sandal yang Rafka beli. Evelyn menggeleng. Sandal itu berwarna hitam empuk dengan bulu-bulu putih di bagian atasnya, yang Evelyn tahu tidak cukup seratus ribu untuk membelinya. Cukup lucu untuk ia kenakan. "Gue nyari yang empuk dikit buat kaki lo." Rafka membantunya berdiri dan berjalan menuju tempat parkir. "It's okay. Ini lucu kok." Alis Rafka sedikit mengerut. "As if 'lucu' di badut?"



Walkles 468



Evelyn terkekeh, astaga menggemaskan sekali. Apakah ini sudah saatnya untuk mengatakan bahwa Meta beruntung telah mendapatkan Rafka? "Lucu karena gemas," jelas Evelyn yang hanya menerima anggukan kecil dari Rafka. "Apa nggak lebih baik lo pulang naik taksi?" tanya Rafka ketika melihat deretan mobil di tempat parkir. Hampir tidak ada tempat kosong. "Aku udah hubungi Mbak Titi untuk ngirim sopir. Aku tunggu sopirnya di mobil aja." Evelyn berusaha meyakinkan Rafka bahwa dia akan baik-baik saja walaupun sebenarnya ia ingin berteriak dengan ganasnya karena sakit hati. "Apa elo mau gue tungguin?" Cepat-cepat Evelyn menggeleng. Ia melambailambaikan tangan sebatas dada. "Nggak, aku nggak papa. Kamu bisa pulang." Rafka mengedikkan bahu. "Ya udah kalo itu yang lo mau. Tapi gue pastiin lo aman dulu sampai mobil." Evelyn mengangguk pasrah. Ia berjalan tertatih menuju mobilnya. Rasanya malah semakin pedih ketika Rafka berbuat baik kepadanya. Bahkan Evelyn diantar



Walkles 469



sampai benar-benar duduk di jok penumpang. Rafka juga membantu menghidupkan mesin mobil agar ACnya menyala. "Thanks banget, Raf," ucap Evelyn tulus. "Aku juga minta maaf kalau-kalau hari ini ada beberapa orang yang ngefoto." Rafka mengangguk. "Itu sesuatu yang udah lo bayar untuk jadi public figure. Kalau gue menyanggupi buat ketemu elo di tempat publik, ya itu udah risiko. Evelyn mengangguk, berterima kasih pada Rafka. "Kalau 'The Eve' udah buka, gue pastiin gue adalah pelanggan pertama lo." Evelyn terkekeh. "Thanks." Karena merasa tak ada lagi yang harus dibicarakan, Rafka pamit setelah memberikan tas berisi sepatu yang tadi Evelyn kenakan. Sedangkan Evelyn hanya bisa memandangi punggung Rafka yang semakin menjauh dengan perasaan sesak karena perasaan yang mungkin tidak sanggup untuk ia ungkapkan. Sepertinya ia benarbenar akan menyimpan sandal ini sebagai kenangkenangan terakhir dari Rafka.



Walkles 470



- 37 - Third Pandora ❤ Disukai oleh diandrakim dan 35765 lainnya Lambe_tumpah Aduh, Princess Ev makin lengket aja sama Babang Tamvaann. Mimin kan jadi iri liatnyah. Ke mana-mana gandengan. Emang gitu sih cyynn kalo lagi hot hotnyaaahh. Dunia milik berdua, yang lain ngontrak! 3488 komentar ... "Kamu harus banget ke Jogja siang ini juga, Rafka?" tanya Tante Risma yang kini memperhatikan Rafka membereskan beberapa barangnya. Ia duduk di atas kasur sambil menatap Rafka sedih. "Anak tante udah mencak-mencak karena Rafka tinggal." "Abang! Bang Rafka!" terdengar suara Marina yang sepertinya tengah berlari dari kamarnya ke kamar Rafka. "Marina, please. Yang sopan," ucap Tante Risma membuat Marina melangkah mundur karena terkejut



Walkles 471



mendapati maminya berada di kamar Rafka. Ia kemudian berjalan masuk dengan langkah pelan sambil menyunggingkan cengiran. "Maaf, mi. Ini urgent. Apa mami masih lama di sini?" "Kenapa memangnya? Mami juga mau tahu apa yang kamu maksud dengan sesuatu yang urgent itu." Tante Risma mengucapkannya dengan nada tidak terima. Ia hanya memutar matanya jengah ketika melihat raut ragu pada wajah putrinya itu. "Oh, come on. Mami juga pernah muda." Marina menatap Rafka, meminta persetujuan. Rafka hanya mengangguk karena tak ada pilihan lain. Lagi pula, ia yakin urgent versi Marina biasanya tidak sama dengan urgent versinya. "Bang, grup aku sekarang rame banget karena ngomongin Abang," ujar Marina seolah-olah berita yang akan diucapkannya ini mengenai bangkitnya Nyi Roro Kidul dari pantai selatan itu nyata. "Grup apa?" Marina memutar matanya karena Rafka mengucapkannya kelewat santai, dan Rafka masih bertanya grup apa? Dear God. "Grup aku main!"



Walkles 472



Rafka mengerti apa yang dimaksud Marina dengan grup main adalah grup berisi teman-temannya sesama anak-anak sosialita. Rafka juga pernah masuk grup semacam itu, tapi ia selalu apatis. Lagi pula sekarang teman-teman Rafka selalu membahas bisnis dan hal-hal membosankan lainnya. "Ehm... Abang beneran pacaran sama Evelyn?" "Kenapa pada masih ngobrolin ini, sih?" gerutu Rafka bosan. Lagi-lagi Evelyn. Seharusnya ia tidak terkejut lagi. "Ya abisnya foto elo nge-date sama Evelyn kemarin bikin social media heboh." "Gue cuma ngobrolin bisnis, nggak lebih. Kamu lupa media emang cuma bisa nyari sensasi?" "Dia bukan perempuan yang tadi kamu bilang, Rafka?" tanya Tante Risma bingung, berusaha menghubungkan dengan cerita Rafka tadi siang di halaman belakang. Rafka menggeleng. "Kalo bisnis kok pake gandeng-gandeng tangan sih, Bang?"



Walkles 473



"Kakinya terkilir. Kalo fotonya full, lo bisa liat dia pake sandal dengan kaki bengkak. Masa iya gue nggak bantuin jalan?" "Sini mami liat fotonya." Tante Risma mengulurkan tangannya, meminta Marina menyerahkan ponselnya. Ia melihat gambar yang tunjukkan Marina dengan saksama, kemudian memandang Rafka khawatir. Tante Risma mengucapkan pertanyaannya dengan sangat hati-hati, "Kamu... nggak mau ngejelasin apa-apa ke wartawan, Raf?" Rafka merasa tubuhnya seketika mematung selama beberapa detik. "Semua berita juga akan menghilang kalau orang-orang udah bosan, Tante. Biarin aja."+ "Tapi kamu tentu inget dengan apa yang wartawan lakukan ke kita dulu, Raf. Ke kakek, ke papa kamu, ke mama..." "Karena itu Rafka nggak peduli, Tante. Wartawan tuh semuanya bullshit. Cuma jual sensasi. Kalaupun kita ngasih fakta, mereka bakal puter faktanya biar orang tertarik," ucap Rafka tak berusaha menyembunyikan nada marah pada suaranya. Ia tidak suka membicarakan hal ini. Juga membicarakan masa lalunya.



Walkles 474



"Tapi gimana dengan perasaan perempuan yang kamu suka itu, Raf?" Rafka menatap Tante Risma nanar. Kemudian menggeleng dan mengalihkannya. "Dia bukan perempuan yang kayak gitu, Tante. Rafka tahu dia kuat. Dia bukan Mama." "Tapi kamu nggak pernah tahu, Raf..." "Please..." potong Rafka, memohon untuk menghentikan pembicaraan ini. Ia hampir melupakan fakta itu. Marina menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal. Sepertinya membicarakan hal ini adalah kesalahan. Harusnya ia diam saja. "I think, I better go," cicit Marina sambil meringis dan berjingkat keluar dari kamar Rafka. Tante Risma memandang Rafka semakin sedih. Ia akhirnya memilih untuk mengalah. Setelah sedikit terbuka seperti tadi, ia tidak ingin Rafka kembali jadi Rafka yang pendiam dan tertutup seperti dulu. "Tante tidak bermaksud mengungkit masa lalu, Raf. Tante tahu semuanya terlalu menyakitkan untuk diingat, tapi masa lalu akan membuat kita belajar..."



Walkles 475



Rafka bergeming. Bayangan-bayangan masa lalu mulai berkelebat di kepalanya. Fakta bahwa mamanya bukan meninggal karena sakit, fakta mengapa waktu kecil Rafka pernah menghabiskan waktunya ke psikiater, fakta mengapa Rafka sampai dibawa ke Jogja, semuanya menyeruak silih berganti. Dihelanya napas yang terasa sesak. "Sebelum berangkat aku akan ke sana." Rafka menutup kopernya, kemudian menatap Tante Risma. "Untuk menjelaskan apa yang perlu diperjelas, seandainya dia salah paham." Tante Risma kemudian mengangguk. Ia beranjak dari kasur dan memeluk Rafka sebelum keluar dari kamar. "Maafin Tante," bisiknya. Ia meninggalkan Rafka yang berdiri menatap punggung Tante Risma dengan perasaan bimbang. Rafka menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tahu Tante Risma ada benarnya. Ia tidak akan tahu bagaimana wartawan akan memutar balikkan fakta. Ia juga tidak tahu pasti respon Meta terhadap semua hal itu. Rafka mungkin tidak peduli, tapi bagaimana kalau Meta juga seperti Mamanya yang depresi dan bunuh



Walkles 476



diri karena dicecar media atas kasus narkoba Papa dan menjadi penyebab kehancuran Pramoedya? Fakta yang selalu ditutupi ini hampir membuatnya lupa. Rafka bergidik ngeri. Tangannya terasa berkeringat. Tiba-tiba ia takut kejadian serupa akan kembali terjadi. *** Meta memfokuskan pandangannya pada layar monitor sambil tersenyum. Lega sekali bisa kembali ke studio. Bahkan pagi ini Fiki sengaja datang jauh-jauh dari rumahnya, membawakan masakan ibunya dari rumah untuk menyambut Meta. Tadi mereka merayakannya dengan sarapan bersama. Yah, walaupun telat sehari. "Mbak, jangan diforsir. Kerja sebisanya aja," ucap Fiki saat sarapan, yang langsung disambut anggukan setuju dari kru imagen yang lain. Sepanjang Sabtu, bukannya beristirahat, Meta malah sibuk menghadap monitor untuk melihat laporan Imagen yang ia tinggalkan. Hari Minggu ini, Fiki berharap Meta tidak lagi memaksakan diri. Gale bisa mendampratnya kalau itu masih terjadi.



Walkles 477



Masalahnya gue udah nggak kerja dua minggu lebih, masa iya gue tetep santai-santai aja?" tanya Meta bebal, tidak terima dirinya dianggap 'anak bawang' hanya karena masalah kecil begini. "Kita cuma pengen elo cepet pulih, biar bisa kerja lagi kayak biasa." Fiki masih mempertahankan pendapatnya. Ia kemudian tersenyum ketika Meta mendengus pasrah, terlihat mengalah walau wajahnya terlihat tidak ikhlas. "Gale ke mana, sih?" "Kemarin pemotretan di Bandung, katanya sekalian pulang ke rumah. Hari ini pasti udah balik, karena nanti sore ada schedule foto studio," jawab Bunga sebelum menyuapkan nasi dan ayam suwir ke mulutnya. "Mbak, orang yang nolongin elo, bukannya Rafka Pramoedya, ya?" Sinta, anak front office yang sejak tadi sibuk menggulir ponselnya tiba-tiba bersuara. Meta menaikkan alisnya. "Emang kenapa?" "Namanya trending lagi, nih. Situs berita pada ngomongin Evelyn yang nge-date sama Rafka Pramoedya di mall," ucap Sinta sambil masih menggulir ponselnya. "Foto-fotonya di-upload sama akun Lambe. Emang Evelyn sama Rafka Pramoedya jadian beneran?"



Walkles 478



"Apa?" tanya Meta meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar. "Ini, nih!" Sinta menyodorkan ponselnya pada Meta, kemudian menyuapkan nasi terakhirnya. Meta menerima ponsel itu dan melihatnya. Dari fotonya, memang itu seperti Rafka dan Evelyn. Semua fotonya diambil dari jauh sehingga beberapa buram dan beberapa lagi diambil dari belakang. Keduanya terlihat berjalan bersisian dengan Evelyn menggandeng tangan Rafka. Cih. Jadi karena ini Rafka sampai ikut ke Jakarta? Paling mengantar Ucup hanya alasan saja, alasan sebenarnya karena ia ingin menemui Evelyn. "Mereka jadian beneran, Mbak?" ulang Sinta ingin tahu. "Kan elo akhir-akhir ini sama Rafka Pramoedya?" Meta mendengus sambil mengembalikan ponsel yang ia pegang ke pemiliknya. "Ya terus masa gue harus kepoin kehidupan pribadinya?"



Walkles 479



"Kalo gue sih iya, Mbak," tambah Fiki. Ia langsung mendapatkan lirikan tajam dari Meta karena memperkeruh suasana. Meta berdecak. "Tapi waktu gue sakit, mereka dateng ke rumah sakit berdua, sih." "Oh, yang waktu gosip Evelyn hamil terus periksa kandungan di rumah sakit, ya?" "Hah?" tanya Meta terkejut. Ia tidak tahu ada gosip semacam itu menyebar ke seantero Indonesia. Jadi kemarin dia hidup di mana? Sinta memutar mata. "Nggak kaget sih kalo elo nggak tahu." "Ta... tapi hamil beneran, nggak?" "Nggak sih kayaknya, walaupun klarifikasinya ambigu. Kayaknya cuma akun-akun gosip aja yang netizennya berspekulasi." Meta baru menyadari dirinya telah mengembuskan napas lega. Tunggu... mengapa ia harus lega?! Meta bertanya histeris pada dirinya sendiri. Kalau Rafka benar-benar memiliki hubungan dengan Evelyn, mengetahui ia telah berciuman dengan pacar orang sama sekali tidak lebih melegakan dibanding berciuman



Walkles 480



dengan calon bapak. Dua-duanya sama-sama kenyataan buruk kalau itu terjadi. Dumbass. Suara pintu terbuka yang tiba-tiba terdengar menyadarkan Meta dari lamunannya. Ia menoleh. Dilihatnya kepala Fiki muncul di ambang pintu. "Sorry, gue udah ngetok, tapi kayaknya elo nggak denger, Mbak." Fiki membuka pintunya sedikit lebih lebar dan menegakkan tubuhnya. "Kenapa?" tanya Meta tetap tak bergerak dari tempat duduknya. "Ada tamu di bawah. Apa elo mau ketemu?" "Siapa?" "Si bos yang itu. Rafka Pramoedya." Alis Meta naik ketika mendengar. "Rafka?" ulangnya tak yakin. Tapi ia kemudian ingat Rafka belum mengembalikan kunci studio. Fiki mengangguk. "Oh, dia cuma mau balikin kunci kali. Terima aja kuncinya, sampaikan ucapan terima kasih dari gue."



Walkles 481



"Apa nggak sebaiknya elo temuin dulu, Mbak? Keliatannya dia ke sini karena ada perlu sama lo." Meta menghela napasnya. "Ya udah, suruh naik ke sini aja." Tak lama, Rafka sudah berdiri di ambang pintunya dengan tas belanja di tangan kiri. Tak senyum, tak apa, ia bergeming di sana sambil memperhatikan Meta. Sebenernya elo bisa ngasih kunci studio ke Fiki, jadi elo nggak perlu repot-repot ke sini," ucap Meta sambil menggeser kursi putarnya. "Masuk." Rafka mengangkat bahu. Ia berjalan masuk dan menutup pintu ruangan itu. "Se-nggak suka itu kalo gue dateng?" Meta menaikkan salah satu alisnya. Rafka memperhatikan ruangan putih yang menjadi tempat kerja Meta. Standar. Hanya bernuansa coklat kayu, hitam, dan putih. Dan hijau dari dua tanaman di pojok ruangan. Ada dua kursi duduk, mungkin untuk klien, tapi Rafka memilih untuk tidak duduk. "Gue mau dengan proper ngundang elo ke grand opening hotel." Rafka meletakkan tas berisi gaun yang ia bawa di atas meja kerja Meta.



Walkles 482



Meta menyipitkan matanya curiga. Mau tak mau ia berdiri dan berjalan memutari meja dengan bantuan kruknya. Diraihnya tas itu dan mengintip isinya. "Ini apa?" "Take a look," gumam Rafka acuh. "Gaun?!" Meta membelalak melihat isinya. Gaun berwarna biru gelap dan krem. Tulle-nya terasa lembut di tangan. Meta tidak akan memikirkan harga gaun itu karena ia tahu tidak cukup lima lembar ratusan ribu untuk membelinya. "Kenapa elo beli barang kayak gini, sih?" Lagi-lagi Rafka hanya mengedikkan bahu. "Ya karena gue mau ngundang elo." "Apa semua undangan dapet barang kayak gini?" Rafka menghela napasnya dan menatap Meta, kemudian menggeleng. "Cuma elo." Meta balas menatapnya berani, walaupun sebenarnya hatinya sudah kebat-kebit tak karuan. "Kenapa?" Rafka melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan Meta tanpa memutus kontak matanya. Membiarkan Meta mencari jawabannya sendiri karena



Walkles 483



Rafka juga tidak tahu kenapa. Ia juga tidak bisa menjawab pertanyaan Meta. Meta membiarkan sensasi debaran jantungnya yang menggila. Tatapan itu, sebenarnya ia tidak terkejut lagi. Tapi bukan berarti Meta sudah terbiasa karenanya. Dulu Meta tidak mengerti maksud tatapan itu. Namun, sejak di teras malam saat Rafka menunggunya pulang, Meta baru menyadari kalau ucapan Bian mungkin ada benarnya. "Kenapa tiba-tiba?" ucap Meta nyaris berbisik karena Rafka terlalu dekat. Bukannya mundur untuk menetralkan jarak, lagi-lagi ia hanya bisa terpaku di tempatnya. "Lo tahu ini nggak tiba-tiba." Rafka balas berbisik tajam. Keduanya terdiam cukup lama sebelum Meta berpegangan pada kruknya, berjinjit dengan kakinya yang sehat. Sedangkan Rafka menurunkan kepalanya, membuat bibir keduanya melekat tanpa jarak. Rafka melarikan tangannya ke pinggang Meta, mengangkatnya untuk menduduki meja kerja dan melepaskan kruk. Ia membuka kaki Meta agar ia bisa berdiri di tengahnya. Ia menumpukan satu tangannya



Walkles 484



pada meja, sedangkan satunya masih dalam posisi yang sama. Meta telah mengangkat tangannya yang bebas dan mendaratkannya sekitar telinga Rafka, menekan kepala Rafka ke arahnya, melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Ia tidak tahu apa yang sekarang ia rasakan terhadap Rafka, tapi ia juga tidak ingin Rafka menyudahinya. Rafka melepaskan tautan bibirnya dan mengistirahatkan keningnya pada kening Meta. Keduanya terengah mencari udara untuk mengisi rongga dadanya yang serasa akan meledak. "What are we, Raf?" bisik Meta tidak mengerti. Ia mengalungkan tangannya pada leher Rafka. "I don't know," jawab Rafka di tengah deru napasnya. Jujur saja ia juga bingung apa yang terjadi di antara dirinya dan Meta. Ia memberikan jeda sebelum berbisik, "What do you want us to be?" Apa yang Meta inginkan? Pertanyaan itu terasa menggema di kepalanya. Apa yang ia inginkan dari Rafka? Percikan itu memang ada, Meta tak bisa mengingkarinya. Tapi ini semua terasa terlalu cepat.



Walkles 485



Terlalu bertubi-tubi. Meta menggeleng pelan. "I don't know." "But you're not gonna deny this physical attraction, aren't you?" tanya Rafka dengan nada sedikit tidak terima. Ia terdiam menunggu, khawatir Meta tidak mengakuinya. Kalau sampai Meta tidak mengakuinya setelah melakukan semua ini, ia akan menggoyangkan kepala Meta hingga seluruh ingatannya rontok dan menariknya ke atas studio ini, kemudian mengancam akan menjatuhkannya hingga Meta mengaku. "I'm not aku Meta. "I'll kiss you more if you do." Meta tertawa lirih. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka, memunculkan Gale yang memanggil Meta dengan wajah penuh antusias. Meta dan Rafka reflek menoleh ke arahnya. Wajah penuh antusias itu langsung berubah seolah ia baru saja melihat hantu. "Oh, shit," umpat Gale. "Shit, sori, lanjutin aja," tak ada satu detik, pintu kembali tertutup.



Walkles 486



"Oh, no..." Meta mendesah. Kenapa Gale harus masuk saat posisinya seperti ini. "Siapa?" "Gale." "Oh. Itu Gale." Rafka mengangguk kecil. "Lumayan juga." Meta mendenguskan tawa. Tapi, tawa itu kemudian surut. "Evelyn gimana?" "Evelyn kenapa?" Rafka kemudian menyadari tentang gosip yang membuat Tante Risma khawatir. "Kamu liat gosip pagi ini?" Meta mengangguk. "Evelyn mau buka bisnis, dan dia butuh bantuan. Gue cuma bantu dia. Nothing special. Wartawan cuma salah paham," jelas Rafka sesingkat mungkin. Ia kemudian menarik kepala Meta untuk benar-benar menatapnya. "Satu hal yang mau aku bilang tentang ini, trust me." Meta terdiam. Percaya pada Rafka? Kenapa? Apa bisa ia melakukannya? Tapi apa yang bisa ia lakukan selain itu?



Walkles 487



Meta hanya mengangguk. Menutup kebimbangannya dengan mengecup kembali bibir Rafka. Rafka pun membalasnya, memberikan kecupan yang lebih lembut dan menenangkan. "Sebenernya, gue harus ngejar pesawat sekarang." Meta seketika melepaskan rangkulannya pada Rafka. "Ya udah, ngapain elo masih di sini?" "Ya gara-gara elo gue jadi nggak pengen pergi." "Kenapa jadi nyalahin gue?" "Give me one more kiss, and I'll go." Meta berdecih tidak percaya melihat Rafka begitu clingy dan menyebalkan, tapi ia melakukannya. Bahkan kali ini berlangsung lebih lama.



Walkles 488



- 38 - Ambiguity "Elo bilang tadi tamunya siapa?" tanya Gale pada Fiki yang entah kenapa kali ini sedang duduk santai di front office. Ia berdiri di samping front desk sambil menumpukan siku, mulai memikirkan dua kemungkinan. Antara matanya memang siwer atau kupingnya yang sudah tidak berfungsi. "Kayak mau nagih utang aja sih muka lo, Mas. Tamunya si bos besar itu, Rafka Pramoedya," jawab Fiki gemas. Pasalnya ia sudah mengatakan pada Gale dua kali, masa harus mengulanginya untuk yang ketiga kali? "Lo yakin?" Gale masih menatapnya penuh curiga. Jadi mata dan telinganya masih normal, kan? Fiki memutar matanya. Bosnya yang satu ini kenapa jadi ikut menyebalkan seperti Meta? "Masa iya gue lupa mukanya, Mas? Tanya aja sama yang lain kalo nggak percaya." Hari ini Gale datang dengan mood bagus, hendak bertemu Meta setelah berminggu-minggu belum bertemu, tapi kemudian turun dengan wajah bingung, kemudian marah, kemudian geli. Apa jangan-jangan



Walkles 489



Gale kesambet setan dari Bandung sana? Fiki benarbenar bingung dibuatnya. "Sialan Meta," umpat Gale tiba-tiba sambil menggebuk front desk, membuat semua orang berjengit terkejut. Untung sedang tidak ada klien yang datang. "Kenapa sih Mas?" Tapi kemudian Gale menggeleng dan mengayunkan telunjuknya. "Nanti elo juga bakal tahu gue kenapa." Tak lama, Rafka keluar dari pintu penghubung antara front office dan studio, bertemu pandang dengan Gale yang masih berdiri di sana. Dengan penuh arti, Gale menatap Rafka dari ujung kaki ke ujung kepala. Ia menunggu Rafka mendekat sebelum mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Demi planetplanet di galaksi yang Gale tidak tahu namanya, Gale benar-benar ingin menonjok Rafka ketika memperhatikan bibirnya terlihat lembab dan sedikit kemerahan. "Lo bener-bener fuckin arsehole." Rafka membalas uluran tangan Gale. Ia terkekeh tanpa suara, kemudian mengangguk untuk berpamitan dengan kru Imagen yang sedang berada di front office.



Walkles 490



Rafka sepertinya tak berniat berhenti untuk sekedar berbincang, membuat Gale mau tak mau mengikutinya keluar. "Man, seinget gue, dan gue yakin sampai sekarang ingatan gue masih sebagus kayak gue waktu masih sekolah, elo sama Meta saling benci. Tapi apa yang gue liat? Kalian bohongin gue?" protes Gale dengan suara tertahan, tidak mengerti dengan Rafka. "Gue emang nggak suka. Dia selalu ngerepotin dan bikin gue capek," jawab Rafka tenang. "Tapi apa yang gue liat, apa yang di muka elo, dan apa yang lo omongin kali ini nggak sejalan." Rafka mengangguk definitely goes wrong."



setuju.



"Iya,



something



Gale memperhatikan raut wajah Rafka sambil menggelengkan kepalanya tak mengerti. Mana ada orang bilang sesuatu 'goes wrong', tapi mukanya tak ada raut sedih, kesal, atau marah seperti itu? Ia kemudian melepas kepergian Rafka setelah kembali bersalaman dan saling menubrukkan bahu. Dengan langkah santai, Gale masuk ke studio. Tanpa basa-basi lagi dengan anak-anak yang ada di front office, ia menaiki tangga, mencari Meta di ruangannya.



Walkles 491



Tangannya ia masukkan ke saku dan bersandar di kusen pintu ketika mendapati Meta telah kembali berada di balik layar monitornya. "Jadi?" pancing Gale. Meta hanya meliriknya sekilas, tak terlihat punya niat untuk merespon Gale. "Jadi?" Gale mengulanginya lagi karena tak mendapat jawaban. "Jadi?" Meta malah balik bertanya. "Apa?" "Apa yang terjadi dengan orang sombong, angkuh, ngeselin yang selama ini lo maksud? Apa gue salah orang?" Gale duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja kerja Meta. Ia menumpukan sikunya, menunggu. "Dia masih sombong, angkuh, dan ngeselin! Gue nggak bohong." Meta memutar kursinya untuk menghadap Gale. Tapi kemudian pandangannya terlihat menerawang seperti mengingat sesuatu. "Tapi ya emang baik juga." Gale membelalak tak percaya. "Lo jatuh cinta, Nyet? Seorang Meta Mariska jatuh cinta? Seriously?" "Noo! Gue nggak jatuh cinta!" Setidaknya itu yang memang Meta benar rasakan. The physical attraction is



Walkles 492



there, Rafka memang menarik. And a good kisser, Meta sudah pernah mengakuinya. Tapi 'rasa' yang seperti itu sepertinya belum hadir. "Tapi elo make out di tempat kerja!" "Fuck a duck, shut that mouth!" Pekik Meta dengan suara tertahan, panik ketika Gale mengucapkan kalimat itu dengan suara yang lumayan kencang dan pintu ruang kerjanya terbuka. Iya, Meta mengerti ini membingungkan bagi Gale. Tapi bukan hanya Gale yang bingung, dirinya juga bingung. Meta kemudian mencicit pasrah, "Yah, belum" Gale hanya diam, menunggu penjelasan lebih lanjut mengalir dari mulutnya. Tapi hal itu tidak akan terjadi, karena Meta tidak menemukan alasan yang bisa menjelaskan semua ini. "Ya dia baik," ucap Meta dengan nada menggantung, tapi kemudian tak dilanjutkan. Sedangkan Gale masih menunggu. "Ya udah, gitu aja." "He likes you?" "Maybe..." Meta sebenarnya tidak yakin, tapi apa lagi alasan yang tepat hingga Rafka membelikan gaun agar ia datang ke grand opening Hotel Pramoedya? Dan



Walkles 493



hanya dirinya? Bukannya ge-er, tapi setelah ciuman ini, siapa yang tidak berpikir seperti itu? "Apa, sih? Nggak jelas," gerutu Gale. Ia mulai kesal dengan Meta. "Ya emang nggak jelas." "Ya kenapa nggak diperjelas?" "Karena perasaan gue sendiri belum jelas," aku Meta. Gale menyipit curiga. "You said, you hate him." "I do! For several reasons, yes I do," ungkap Meta. Meta benar-benar membenci Rafka pada awalnya. Namun, entahlah, mungkin ia termakan sugesti Bu Tiyem. Dulu ia mungkin akan memotong lidahnya karena mengakui hal ini, tapi Rafka tidak seburuk itu. "But for another reason, dia sebenernya baik dan lumayan buat diajak ngobrol." Gale menyandarkan punggungnya pada kursi. "Tauk deh, nggak ngerti gue." "Elo tahu persis kalo cinta itu complicated, Le," sindir Meta kesal. Ia tahu persis kalau Gale sendiri telah didiagnosis gagal move on kronis.



Walkles 494



"Anjir, kenapa jadi gue yang kena?" umpat Gale tak terima. Meta hanya terkekeh menjawabnya. "Tapi Rafka, Met? Serius? Gimana dengan Evelyn?" "Katanya dia cuma ada bisnis sama Evelyn. Netizen aja yang salah paham." Meta mengangkat bahunya. Tak yakin juga dengan jawabannya. Ia kini menyadari bahwa yang ia ketahui tentang Rafka hanyalah seujung kuku. Bagaimana kalau Rafka sebenarnya pembohong? Atau diam-diam dia playboy dan dia memang memiliki hubungan dengan Evelyn? "Dan elo nggak papa dengan itu?" "Yah, gue sama Rafka juga nggak punya hubungan resmi." Meta dapat mendengar suaranya sendiri terdengar mengambang. "Gue tanya sekali lagi," tanya Gale tak menyerah. "Even after make out kayak tadi?" "Gue nggak make out!" Gale menatapnya dengan raut menantang, seolah tatapan matanya terlihat seperti berbicara terus-apanamanya?



Walkles 495



"Okay! We sort of... kissing each other lips?" Meta menyerah. Tapi itu jelas bukan make out baginya. "Tapi nggak serta merta berarti gue cinta sama dia gitu aja." Gale menggeleng. "Nggak ngerti gue, beneran." "Punya hubungan spesial sama orang itu nggak gampang. Masih banyak yang harus gue prioritaskan daripada sekedar hubungan menye-menye. Gue juga baru kenal Rafka. Gue nggak pengen buru-buru ngasih judgement atas apa yang gue rasain. You know, ini bisa aja cuma sementara, short fling because we often meet—no, practically living together..." ucapan Meta terpotong oleh dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi. Ia mendesah, "Wait, Rafka telepon." Dia baru keluar sepuluh menit yang lalu dan sekarang udah telepon? Dan kayak gitu elo masih bilang kalo kalian nggak ada apa-apa?" "Don't be so shallow, do you?" "Halah, dulu aja ngemis-ngemis minta bantuin pulang. Sekarang udah pulang ngatain shallow," gerutu Gale. Ia beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruang kerja Meta sambil geleng-geleng kepala.



Walkles 496



"Apanya yang shallow?" Rafka sedikit mendengar Meta berbicara, meyakinkan yang dikatai shallow bukan dirinya. "Nggak, gue cuma ngobrol sama Gale." "Tentang apa? Meta mencebik, melirik ponselnya. "Lo yakin pengen tahu?" "Well, gue lebih yakin kalo kalian ngomongin gue." "Hey! Gue nggak tahu seorang Rafka Pramoedya bisa kepedean kayak gini!" "Tapi tetep aja, yang gue bilang pasti fakta, kan?" Rafka benar-benar tak menyembunyikan nada sombong dalam ucapannya, membuat Meta kesal hingga tak ingin mengiakan dan membuat Rafka besar kepala. "Meta," panggil Rafka kali ini terdengar khawatir, "apa lo nyesel?" "Nyesel apa?" tanya Meta pura-pura tak tahu maksud Rafka. "Nyesel tentang apa yang kita lakuin hari ini? Soalnya gue nggak."



Walkles 497



Sebenarnya Meta masih ingin menggoda dan bertanya 'memangnya apa yang hari ini kita lakukan?', tapi sepertinya suasananya tidak tepat. Ia memutuskan untuk mengakuinya. "Mmm... nggak." "Thank God, gue akan nyemplungin diri di kali kalo elo bilang elo nyesel." "Apa menurut lo penting gue nyesel atau nggak?" tanya Meta ingin tahu. Setengah mati ia berusaha mengucapkannya dengan tenang. "Gue nggak mau elo nyesel. Buat gue, semuanya harus simbiosis mutualisme. Lo imbang, gue juga imbang. Lo suka, gue juga suka." "Tapi, Raf, we're not in such relationship, are we?" tanya Meta takut-takut. "Karena kalo iya, gue nggak bisa. I mean, kita baru kenal. Gue punya Imagen buat diurus, elo juga punya hotel yang butuh perhatian lo sepenuhnya. I don't know you, you don't really know me..." "Ya, belum," Rafka mengangguk membenarkan Meta. Ia seperti mendengar Meta mengembuskan napasnya lega, dan tanpa sadar Rafka juga. "Gue juga butuh waktu buat ngerti perasaan gue sendiri, juga



Walkles 498



waktu untuk mengenal elo lebih jauh. Just go with the flow." "Go with the flow..." Ya, mungkin membiarkannya mengalir dengan waktu adalah pilihan terbaik yang bisa Meta lakukan saat ini. "Satu syaratnya untuk elo bener-bener tahu apa yang lo mau," Meta menaikkan alis, "Apa?" "Jujur sama diri elo sendiri. Gue ngomong gini bukan hanya tentang gue, tapi tentang semuanya. Ngomong sebel kalo elo sebel, seneng kalo elo seneng, kangen kalo elo kangen. Termasuk jangan terlalu memercayai asumsi yang elo bangun sendiri." Meta meringis, teringat hal apa yang terjadi saat Meta membiarkan asumsi menguasai kepalanya. "Fine..." "Ini tentang semua hal," ulang Rafka benar-benar mengucapkannya dengan penekanan. "Termasuk tentang orang tua lo juga." Hal itu membuat Meta terhenyak. "What?"



Walkles 499



Orang tuanya? Perasaan Meta tidak pernah menceritakan bagaimana perasaannya tentang orang tuanya waktu di Malioboro. "Lo emang nggak pernah bilang," lanjut Rafka seolah ia bisa membaca pertanyaan dalam kepala Meta sekarang. "But, I know that you miss them, longing for their presence. Gue berharap elo bisa lebih jujur sama perasaan lo sendiri." "I... don't know that you know me that much," ucap Meta tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rafka tak menjawab, samar Meta dapat mendengarkan napasnya di sambungan telepon. "Sejauh mana lo tahu? Lo pasti benci banget sama gue sampe elo tahu hal-hal paling kecil yang bahkan gue nggak nyadar." "Iya," jujur Rafka. Dulu ia memang ingin mengetahui segala hal tentang Meta, sekecil apa pun itu, demi mengetahui kelemahannya. "I hate that you know," ucap Meta lirih. Ia membenci fakta bahwa Rafka mengetahui hal yang berusaha ia sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri. Masalah orang tuanya adalah masalah yang sangat



Walkles 500



sensitif bagi Meta, dan ia tidak ingin Rafka mengetahui hal itu. "I hate you." Meta mematikan sambungan ketika mengatakannya dengan sepenuh hati. Ia merasa seperti di telanjangi.



Walkles 501



- 39 - Chat Dua minggu ini, satu-satunya hal yang membuat Meta senang hanyalah ucapan dokter kalau kondisi kakinya sudah mulai membaik. Sudah. Yang lainnya menyebalkan semua. Orang-orang Imagen tak memberikan dirinya pekerjaan dan malah mempekerjakan mahasiswa sebagai fotografer magang untuk handle foto studio. Yah, Meta akui Gale telah memilih orang yang pas, mahasiswa magang bernama Beni itu nggak terlalu amatir. Bahkan lebih bagus dari Meta, sialan. Tapi tetap saja, hanya diberi empat sampai lima foto untuk di edit itu tidak manusiawi. Yah, memang sih jadwal pemotretan Imagen sedang tidak terlalu full, tapi... rasanya seperti kamu cinta pada seseorang, tapi hanya bisa bertemu empat sampai lima kali setahun. Sama persis. Ia rasanya seperti sedang LDR dengan dunia fotografi. Tidak, Meta bukan sedang membahas hubungan tidak jelasnya dengan Rafka. Kalau teringat Rafka, entah kenapa bawaannya selalu menyebalkan. Setelah telepon hari itu, Rafka tidak langsung menghubunginya lagi. Berhari-hari berlalu dan tentu saja Meta juga gengsi untuk menghubunginya. Lagi pula apa yang mau



Walkles 502



dibicarakan? Bahwa Meta malu karena Rafka mengetahui masalah terdalamnya dan memergokinya merindukan orang tuanya padahal orang lain hanya tahu bahwa Meta sudah chill dengan masalah itu? Ia menyesal pernah membicarakan orang tuanya dengan Rafka. Ia tidak tahu kalau rasanya seperti dikuliti oleh Rafka seperti ini. Apa Rafka melihatnya sebagai orang yang lemah makanya selama ini Rafka membantunya dan bersikap baik kepada beberapa kali kemarin? Apa Rafka kasihan padanya? Setelah kemarin membiarkan Meta kegeeran dengan ciumannya? Oh, ya ampun. Meta merasa ia akan gila memikirkannya. Ia juga harus menemukan kekurangan Rafka. Rafka memegang kartunya, maka ia juga harus memegang kartu Rafka agar kalau Rafka merugikannya, Meta masih bisa membalas dendam. Senin malam sehari setelah Rafka pulang, Meta mendapati dirinya duduk di meja kerjanya. Pekerjaannya yang sudah selesai sejak tadi sepertinya membuat pikirannya kelayapan ke mana-mana. Ia menghadap layar monitor yang menampilkan berbagai macam artikel tentang seorang Rafka Pramoedya. Mulai dari foto sialan milik majalah Cosmolite Indonesia yang Meta ambil, yang mengungkap bahwa pria di foto itu



Walkles 503



adalah Rafka, hingga artikel berisi foto-foto Rafka dan Evelyn di mall seperti yang kemarin ia lihat. Bahkan Meta menemukan blog fans Evelyn yang membeberkan bukti bahwa Rafka dan Evelyn benar-benar berpacaran, tapi Evelyn menyembunyikannya hubungannya dengan Rafka. Selain gosip-gosip tidak penting, tidak ada lagi yang berguna. Paling tidak, Meta berharap bisa menemukan akun laman Facebook yang berisi foto alay Rafka zaman remaja, tapi nihil. Hanya profil LinkedIn yang benar-benar profesional dan Instagram yang diprivat. Bukannya kelemahan Rafka, Meta malah menemukan fakta-fakta bahwa Rafka memang kuliah di Jogja dan bekerja di Hotel Pramoedya sebagai staf Business Development, kemudian Business Development Chief sebentar. Sepertinya hal itu ia jabat sebelum proyek CIA gagal yang dilakukannya. Rafka juga jadi peserta beberapa conference tentang bisnis perhotelan di dalam dan luar negeri. Dan bagian yang paling mengejutkan adalah... ternyata nama Rafka Pramoedya ada di Top 50 Indonesian Eligible Bachelor versi GLAM, majalah sosialita saingan Cosmolite Indonesia, edisi Desember tahun lalu. Ranking 42.



Walkles 504



Bian juga, di ranking 29.6 What. The. Hell. Kenapa tidak ada minus-minusnya seperti dagangan agan-agan Kaskus? Di hari berikutnya, hasil pencariannya masih tak membuahkan hasil. Begitu juga hari kedua dan ketiga. Hari keempat, dengan terpaksa Meta mem-follow akun Instagram Rafka yang masih digembok. Itu satu-satunya jalan terakhir yang mungkin bisa ia lakukan. Ia memang sudah saling follow dengan Bian sejak lama, tapi tak ada hal tentang Rafka yang bisa dikorek dari sana. Oh, ia akan menyalahkan Imagen karena telah membiarkan dirinya segabut ini sehingga menghabiskan waktunya untuk menjadi stalker dari Rafka Pramoedya. Rafka baru menyetujui request-nya pada malam hari, kemudian berbalik mengikuti Meta. Sedetik kemudian, sebuah panggilan masuk ke ponsel itu. Refleks Meta melemparkannya karena terkejut mendapati nama Rafka di layar ponselnya. Meta memandangi ponselnya yang teronggok kurang lebih satu meter darinya, di ujung meja. Rasanya ia masih tidak ingin berbicara pada Rafka. Bagaimana kalau Rafka



Walkles 505



mengetahui sesuatu yang lain? Bagaimana kalau Rafka sebenarnya menyewa seorang detektif untuk menyelidiki kehidupannya seperti di film-film? Setelah dua kali berdering tanpa diangkat, terdengar suara sebuah pesan masuk.2 --Rafka P. Knp gak angkat teleponnya? --Meta mendesah panjang, mau tak mau ia menarik kembali ponselnya dan membuka pesannya. Tak kunjung menjawab, sebuah pesan muncul kembali. --Rafka P. Still hate me? Meta itu tahu, knp msh tanya? Rafka P.



Walkles 506



Tapi gw ngomong yg sebenarnya Meta kenapa menurut lo gw kangen mereka? Rafka P. Pertama di Malioboro lo bilang sendiri, kedua, I saw you. Longing for them, longing for family. --Meta ingin mengumpat membacanya. Bisakah Rafka tidak sepeka itu? --Rafka P. Gw telepon ya? Gw ga suka chat kayak gini Meta NO



Walkles 507



Rafka P. Why? Gw udah mencoba jujur dengan diri gw sendiri, lo jg bs melakukan hal yang sama. Mungkin dengan bilang lo mau gw jadi keluarga lo? Meta Get lost! --Bah! Menyebalkan sekali. Ingin rasanya Meta mencekik leher Rafka dan membuang isi kepalanya ke sungai. Yang barusan itu dia menggombal atau mengatakannya karena kasihan dirinya tidak punya keluarga? Sialan, ia tidak selemah itu! Buktinya Meta selama ini sudah berdiri dengan baik dengan kedua kakinya sendiri, tanpa harus ada sokongan dari siapa pun. Ah, ya. Ia hampir melupakan sokongan dana ayahnya. Lagi-lagi Meta hanya bisa mengumpat dalam hati.



Walkles 508



Balasan dari Rafka muncul kembali, sebenarnya Meta tidak berniat membalas. Tapi kalau jawabannya begitu, ia tidak bisa! --Rafka P. Not in a flirty way! Hey Maksud gw lo bisa nganggep gw keluarga kayak Bu Tiyem nganggep lo anaknya



Meta jadi maksudnya lo mau gue angkat jadi anak? Rafka P. YA GAK GITU JUGA! Meta lol



Walkles 509



Rafka P. r u laughing? we good rn? Meta maybe will be better gradually --Chat Rafka yang lain baru datang beberapa hari berikutnya. Meta yakin Rafka sekarang pasti sedang sibuk-sibuknya karena sebentar lagi pembukaan hotel akan dilaksanakan. --Rafka P. Gw dah blh telp? Meta mau apa? Rafka P.



Walkles 510



Mau nanyain apa undangan grand opening udah sampai? Meta Udah Rafka P. Dateng ya? Gw mau lo jadi date gw malem itu, jgn pernah angkat telepon Bian Meta Kalo gue emang pengen telepon Bian? Rafka P. Nggak, lo gak akan pengen Dateng sama gw Meta



Walkles 511



Kaki gue kan sakit? Rafka P. Skrg masih sakit? Udah ke dokter lagi? Meta Raf, jangan sok perhatian. Gue geli. Rafka P. Sebenernya itu gw nanya serius, tapi kalo lo bacanya pake nada kayak gw perhatian, gw ga keberatan Kalo kayak gini, kayaknya gw mulai suka chat Meta Dear God.. --Di malam yang lain, Meta benar-benar tidak tahan menghubungi Rafka setelah Bunga memergokinya sedang mengecek gaun yang Rafka berikan. Ia belum



Walkles 512



pernah menyentuhnya lagi sejak Rafka memberikannya. Bahkan ia tidak pernah mengeluarkan gaun itu dari dalam tas kalau saja Bunga tidak menariknya keluar. "Waaaaa!" pekik Bunga yang mengundang perhatian seluruh penghuni Imagen yang seharusnya sedang bersiap untuk pulang. Mereka malah berduyunduyun memenuhi ruang kerja Meta. "Cantik banget!" "Gila, lembut. Berapa, nih? "Wah, gila gila gila," decak Fiki. Ia memperhatikan semuanya sambil bersandar pada kusen pintu. Ia ingat persis tas jinjing yang ada di meja Meta adalah tas yang sama dengan yang dibawa si bos, Rafka Pramoedya. "Lo ada apa sama dia, Mbak?" "Heh, dia siapa, fik?" Krisna, akuntan Imagen yang biasanya apatis ini tak biasanya ikut-ikutan. "Jangan bilang ini yang dibawa si bos waktu itu?" tanya Shinta tak percaya. "Bos siapa?" tanya Krisna lagi, merasa ketinggalan terlalu banyak berita. "Bosnya Hotel Pramoedya, yang bikin Mbak Meta kemarin ke Jogja," jawab Bunga sebal.



Walkles 513



"Gue nggak nyangka lo bakal pake baju kayak gitu, Mbak," ujar Fiki mengundang persetujuan dari berbagai pihak. "Ck, lo aja nggak nyangka, apalagi gue!" Meta berdecak kesal karena telah menjadi objek dari keramaian Imagen malam ini. "Wah, gue jadi ngerasa bersalah ngomongin Rafka sama Evelyn kemarin. Gue nggak tahu kalo si bos ternyata sama elo, Mbak." Shinta meringis. Harus berapa kali Meta menjelaskan bahwa ia tidak memiliki hubungan dengan Rafka, ya Tuhan? Meta mengembuskan napas panjang, mengatur emosinya. "Gue nggak ada apa-apa sama Rafka. Oke?" tanya Meta dengan pandangan menuntut kepada setiap orang yang membuat keributan hari ini. "Dia cuma ngundang gue ke grand opening hotel, makanya kalian liat gaun itu hari ini. Udah, bubar! kalian pulang sana!" "Oh, undangan mewah yang kemarin?" Oh, ya ampun. Ia mulai berpikir untuk memberikan pelatihan psikologi atau hipnoterapi atau pelatihan apa pun yang akan membuat para pegawainya ini berhenti menggosip dan membicarakan dirinya. Ini benar-benar tidak beres.



Walkles 514



Cobain, Mbak! Siapa tahu ada yang nggak pas, biar gue bawa ke penjahit." Ucapan Bunga langsung mendapatkan anggukan persetujuan dari yang lain dan pastinya pelototan kaget dari Meta. "Nggak!" "Nggak papa, gue bantuin pakenya," ucap Bunga penuh antusias, sedangkan yang lain menggiring Fiki dan Krisna untuk keluar dari ruang kerja Meta. Sepuluh menit kemudian, foto Meta telah mengenakan gaun itu sudah menyebar di grup Imagen. Bahkan Dani yang biasanya tidak banyak komentar malah ikut menghabisinya di grup, duet maut dengan Gale. Sialan memang partner-partner kerjanya itu. Dan yang Meta tidak habis pikir, mereka semua telah mengambil kesimpulan bahwa Meta sudah off limit, meninggalkan Gale yang masih berada di pasar bebas perjombloan. Padahal Meta merasa masih berhak untuk mengencani siapa saja yang ia inginkan. --Meta Jangan pernah beliin gue gaun ---



Walkles 515



Balasan dari Rafka baru muncul 20 menit kemudian. --Rafka P. Kenapa? Gak cocok? Mau beli yang lain? Meta Pertama, gue tahu itu mahal Kedua, gue nggak pernah pakai gaun! Gue nggak ngerti lo mikir apa waktu beli gaun itu. Rafka P. Mikir kalo lo bakal cantik dan matching sama gue? Meta Ketiga, gaun gak bagus kalau gue gak pake high heels dan gue g bisa pake ---



Walkles 516



Oh, Meta merasa ia kebanyakan bergaul dengan Bian dan Rafka karena menjelaskan sesuatu dengan hitung-hitungan. Biasanya ia tidak seperti ini. --Rafka P. Lo boleh pake apa aja. *** Bian dan Pak Kamal saling pandang ketika sejak tadi melihat Rafka memperhatikan ponselnya kelewat serius. Bahkan Bian yakin Rafka sudah tidak mendengarkan pembicaraannya dengan Pak Kamal sejak lima menit yang lalu. Dengan penuh ingin tahu, Bian melirik isi ponsel Rafka. 'Pake baby doll coklat kedodoran juga lo cantik' Bian ingin menyemburkan tawa ketika membaca tulisan yang dari tadi tidak jadi Rafka kirim. Penerimanya bertuliskan 'Medusa'. Oh, ya ampun, demi langit bumi dan seluruh isinya, ini sangat menggelikan. Setengah mati Bian menahan tawa, sedangkan Pak Kamal menatapnya ingin tahu. 'Meta!' Bian mengucapkannya tanpa suara. 'Nulis pesan, gak dikirim-kirim.'



Walkles 517



Pak Kamal langsung mengangguk, paham. Ia kemudian memberikan kode pada Bian untuk pura-pura melanjutkan pembicaraan, sedangkan tangan kirinya menyuruh Bian pura-pura menyenggol tangan Rafka untuk membuat pesan itu terkirim. Dalam diam, Bian langsung menurut. Ia menggerakkan tangannya dengan cepat untuk menekan jempol Rafka, pura-pura menyenggol untuk memanggilnya. "Raf!" "Apa si... craaaaappp!!!" Rafka membelalak melihat pesan yang sejak tadi berada di kolom ketiknya, kini sudah menjadi bulatan percakapan berdentang dua. "Lo ngapain, sih?!" tanya Rafka emosi. Dipelototinya Fabian yang malah melihatnya tanpa rasa bersalah. "Elo yang ngapain, orang dipanggil dari tadi." Bian balas bersungut-sungut. "Lagian kamu mikir apa sih, Raf? Kedistrak sampe segitunya? Ada berita penting? Ada masalah?" tanya Pak Kamal dengan nada tenang.



Walkles 518



Rafka melirik ponselnya kembali, dua centang telah berganti warna menjadi biru. Apa yang akan Meta pikirkan tentangnya? 'Baby doll kedodoran', Raf? Dari seluruh kalimat yang bisa diciptakan oleh otak, Rafka memilih 'Baby doll kedodoran'? Hapus? Tidak? Hapus? Tapi Meta sudah terlanjur membaca. Ya udahlah, udah terlanjur, hibur Rafka pada dirinya sendiri. Ia menjauhkan ponselnya dan kembali pada obrolannya dengan Bian dan Pak Kamal yang masih saja membahas tentang persiapan operasional hotel. Membosankan. Tapi penting. Rafka ingin mengumpat saja. Ketika rapat kecil itu bubar satu jam kemudian, Pak Kamal berdiri sambil menepuk pundaknya. "Kamu harus lebih percaya diri, Raf." Bian mengangguk setuju. Sebelum pergi, ia juga mengacungkan telunjuknya pada Rafka. "Lo bisa belajar sama gue biar tahu gimana caranya gombalan elo nggak terdengar lame kayak tadi." Awalnya Rafka menatap keduanya bingung, tapi kemudian ia menyadari bahwa Bian dan Pak Kamal sama sekali tidak merujuk pada hotel. Yang dimaksud adalah Meta. Lebih tepatnya, chat-nya untuk Meta.



Walkles 519



What the fuuuuuuuuuckk



Walkles 520



- 40 - Distraction Sejak pesan bertuliskan 'baby doll coklat kedodoran' yang ia terima, Meta tidak pernah lagi chatting dengan Rafka. Hal itu terlalu menggelikan sampai ke tulang, ya ampun. Bahkan Meta sampai melempar ponsel ke kasur saking kagetnya membaca pesan seperti itu dari Rafka. Tapi, toh mungkin akhirakhir ini Rafka juga semakin sibuk dengan persiapan pembukaan hotelnya sehingga tak sempat menghubunginya. Keputusan yang bagus, menurut Meta. Malam ini Meta memandangi langit-langit kamar. Beberapa kali ia melirik layar ponselnya yang menampilkan jadwal penerbangan pulang pergi ke Jogja yang hendak ia beli. Berangkat Sabtu siang, Sabtu malam acara, Minggu pagi ia akan langsung kembali ke sini. Setidaknya itulah rencananya, tapi sejak tadi hanya untuk menyentuh tombol pesan saja rasanya berat. Tapi kenapa juga ia menurut untuk menghadiri acara itu? Dengan kaki yang masih seperti ini? Bukankah ini akan membuatnya merepotkan diri sendiri?



Walkles 521



Memang kemarin-kemarin dokter mengatakan kalau kakinya sudah jauh lebih baik, tapi bukan berarti ia sudah bisa berjalan tanpa alat bantu. Bahkan gips yang semakin hari semakin terasa gatal itu masih terpasang di kakinya. Hasil rontgen terbaru, kata dokternya, memperlihatkan bahwa tulang betisnya sudah menyambung dengan baik, tapi masih belum bisa digunakan untuk berjalan. Sambungannya belum terlalu kuat untuk menumpu berat badannya. Salah-salah kalau ia memaksakan, tulangnya bisa kembali retak. Entah dokternya mengucapkan itu untuk menakut-nakuti atau memang bisa terjadi. Memang kadang masih terasa linu, sih. Tapi kalau tidak datang... ia tidak enak karena Rafka sampai membelikan gaun untuknya. Sialan. Kenapa juga Meta harus merasa tidak enak? Meta berniat meminta Gale untuk menemaninya, tapi ternyata Gale ada jadwal pemotretan prewedding di daerah Ancol. Padahal hanya satu klien saja hari itu. Seandainya saja klien bukan raja yang membuat pundipundi keuangan studio mereka tetap mengalir, mungkin Meta akan menyeret Gale untuk meninggalkan mereka dan ikut dengannya ke grand opening Hotel Pramoedya.



Walkles 522



Dan tugas itu sepertinya akan jatuh ke tangan Fiki dalam kurang lebih tiga menit lagi. "Fik, ikut gue," ucap Meta tepat ketika sambungan teleponnya dijawab oleh Fiki. "Hah?" tanya Fiki bingung. "Gue baru sampe kos, elo udah telepon bikin firasat gue nggak enak." "Temenin gue ke Jogja hari Sabtu. Tiket gue yang nanggung, deh. Gue makan mie aja tiga hari," bujuk Meta. Ia menggigit bibirnya sembari menunggu Fiki yang tak kunjung menjawab. Cepat-cepat ia menambahkan, "Gue nggak mungkin nggak berangkat nih, Fik. Dan lebih nggak mungkin lagi gue berangkat sendiri. Gue nggak mau ngerepotin mereka. Kan mereka yang punya acara." "Apa gue punya pilihan buat nolak?" "Mmm... kalo gue pikir-pikir lagi, nggak ada sih." Meta menggaruk pelipisnya yang tidak terasa gatal. "Lah terus ngapain elo nanya, Mbak?" tanya Fiki gemas. Biasanya juga langsung suruh ini itu. Mau tidak mau senyum Meta mengembang. "Nice! elo yang pesen tiketnya, gue yang bayar. Cari tiket yang paling murah."



Walkles 523



"Jam berapa elo mau berangkat? Bukannya acaranya Sabtu? Lo nggak mau berangkat Jumat?" "Nggak, deh. Acaranya sore. Kita berangkat pagi aja. Pesen hotel buat istirahat sama nginep, yang di deketdeket bandara biar nggak ribet." "Yakin?" tanya Fiki lagi untuk meyakinkan Meta. "Yakin," jawab Meta mantap. "Hmm... ada lagi?" Meta terdiam berpikir. "Jangan lupa pinjam kursi roda ke maskapai." "Udah?" Meta mengiakan. Ia tersenyum puas ketika mengakhiri panggilan teleponnya dengan Fiki. Memang dari dulu harusnya begini, mengajak Fiki ke mana-mana walaupun budget mepet. Bukan sok-sokan pergi sendiri kemudian tak berdaya ketika ada musibah dan merepotkan lebih banyak orang. Hah, Meta menyesal sekali. Belum sampai Meta meletakkan ponselnya di nakas, ponselnya sudah berdering lagi. Kali ini nama



Walkles 524



Rafka muncul kembali di layarnya berupa panggilan telepon. "Tumben dijawab?" tanya Rafka heran begitu Meta menggulir tombol hijau pada layar ponselnya. "Hmm... yaudah gue matiin." Tanpa mendengar lagi suara Rafka, Meta langsung menggulir tombol merah di ponselnya untuk memutus sambungan telepon. Tak ada tiga detik, ponselnya kembali berbunyi. "Jangan dimatiin!" ucap Rafka tepat ketika Meta menempelkan ponselnya ke telinga. "Giliran beneran gue angkat, lo malah nanya 'tumben diangkat'. Ya udah chat aja, biasanya juga chat doang." "Jangan, gue rasanya udah nggak sanggup ngetik di HP. Kita ngobrol gini aja," ucap Rafka sembari mendesah samar. Meta mendengus, sebenarnya ia agak kasihan mendengar Rafka kelelahan seperti ini. "Kalo udah capek, ngapain elo masih telepon? Tidur, bego!" Bukannya menjawab, Rafka malah mengalihkan pembicaraan. "Udah beli tiket pesawat?"



Walkles 525



"Tadi udah minta Fiki buat booking tiket buat Sabtu siang." "Kok Sabtu? Kenapa nggak Jumat?" tanya Rafka dengan nada suara yang sedikit meningkat. Benar-benar hanya sedikit, tapi Meta menyadarinya. "Jangan ngegas, dong. Lagian elo juga bakal sibuk, kan?" Rafka terdiam sesaat. Ia seperti memikirkan sesuatu sebelum melanjutkan,"Terus baliknya?" "Minggu pagi." "Kok cepet?" "Gue sibuk, Fiki juga pasti sibuk. Lagi banyak jadwal," jawab Meta bohong. Padahal Imagen sedang sepi job. Satu-satunya jadwal adalah pemotretan prewedding Gale di Ancol tadi. Belum ada jadwal booking selama minggu depan, tapi Meta rasanya tidak ingin berlama-lama di sana. "Nggak ada waktu buat gue?" tanya Rafka datar, sama sekali tak terdengar seperti ia sedang merajuk. "Elo siapa?" Meta balas bertanya dengan tak kalah datarnya.



Walkles 526



"Cih, kalo gini caranya, pengen gue jadiin pacar aja," ucap Rafka masih dengan santainya. Meta tentu terkejut mendengarnya, tapi ia lebih memilih untuk balas melempar bola daripada membiarkan Rafka senang kalau dia sampai memamerkan keterkejutannya dan salah tingkah. "Emang kalo jadi pacar, ngaruh?" "Siapa tahu elo bisa jadi lebih perhatian ke gue." "Titel pacar tuh cuma status, Raf. Nggak serta merta sikap langsung berubah. Lo ngarep banget gue perhatiin?" "Iya." "Whaaat?" Meta tak menyangka Rafka akan dengan mudahnya berkata 'iya'. Ia berharap Rafka akan balas melempar umpannya, tapi umpannya memantul pun tidak. Sudah seperti bola yang tercebur di lumpur. "Apa?" "Kenapa elo sekarang nggak pernah debat gue lagi, sih? Main iya-iya aja." "Oh... gue lagi ngasih elo mempraktekkan omongan gue sendiri."



contoh



dan



Walkles 527



Begitu menyadari maksud Rafka, Meta sudah tidak bisa menahan diri. Ia tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Elo beneran suka gue ya, Raf?" tanya Meta begitu tawanya mereda. "Menurut lo aja deh." "Sejak kapan?" "Menurut lo sejak kapan?" Bah, sisa tawa Meta sudah hilang sehilanghilangnya berganti dengan rasa kesal familier memang yang biasa muncul ketika berbicara dengan Rafka. "Mana gue tahu! Sampai gue balik ke sini, elo tetep ngeselin. Bikin gue keki. Bahkan sampai detik ini." "Masalahnya gue juga nggak tahu sejak kapan. Yang jelas gue beneran marah waktu elo kontrol ke dokter sama Bian, padahal elo janji pergi kontrol sama gue." "Whaaatt?" pekik Meta tak percaya. "Iya, mulai saat itu kalo elo lagi duduk sama Bian, apalagi bisik-bisik berdua, di belakang gue kayak ada yang bikin api unggun. Bikin gerah!" Meta kembali tertawa, bahkan sampai memegangi perutnya yang terasa kaku.



Walkles 528



"Gue udah berkali-kali mergokin elo nahan air mata. Di rumah sakit, di teras, waktu makan sate kambing, di Malioboro. Mulut judes lo sama air mata sama sekali nggak cocok. Kadang elo juga asik diajak ngobrol tapi kemudian bisa bikin gue lebih sering narik urat. Jujur, elo selalu bikin gue bingung. Bahkan sampe sekarang gue masih bingung," lanjut Rafka setelah menunggu tawa Meta mereda. Meta terdiam mendengar pengakuan Rafka. Guratgurat senyumnya kembali menghilang. "Bingung kenapa?" "Gue bingung, sebenernya elo orang yang seperti apa? Mana Meta yang sebenernya? Elo keliatan kayak bawang merah. Lapisan-lapisan lo banyak banget. Ngupasnya sulit, tapi setelah berhasil dikupas masih ada kulitnya lagi." Rafka kemudian terdiam, begitu juga dengan Meta. selama beberapa detik yang terdengar hanyalah napas samar keduanya di masing-masing sambungan telepon. "Kalau sekarang, tahu nggak yang paling gue bingungin apa?" lanjut Rafka. Ia tak menunggu jawaban Meta untuk kembali berbicara, "Kenapa waktu elo nggak ada, gue merasa kehilangan. Padahal sebelumnya nggak ada elo, hidup gue baik-baik aja. Gue juga



Walkles 529



semakin bingung mikir perasaan gue sekarang emang gue suka atau karena sekadar penasaran aja elo Meta atau beneran Medusa. "Gue nggak suka bingung. Gue ngelakuin apa aja buat nyari sebab akibat, bahkan jadi houseman berbulan-bulan juga gue jabanin waktu gue nggak tahu lagi alasan kenapa keuangan hotel bisa bocor alus. "Bahkan, elo selalu berhasil distract gue dari kerjaan. Lo bikin fokus gue kebagi-bagi." "Is it good or bad?" tanya Meta akhirnya, begitu Rafka tidak terdengar seperti melanjutkan ucapannya. "Awalnya gue kira semuanya itu bad, tapi lamalama jadi biasa. Terus waktu gue udah biasa, elo-nya pergi," jawab Rafka mengambang. Ia kemudian mengembuskan napasnya panjang. "Tapi baguslah, lo jadi nggak deket-deket Bian lagi sekarang." "Lo tahu nggak, Raf?" "Apa?" "Gue nggak tahu elo bisa ngomong panjang kali lebar gini." Rafka berdecih. "Bahkan gue juga nggak tahu. Sekarang gue baru kerasa capek banget abis ngomong."



Walkles 530



Meta terkekeh. "Apa gue bilang? Udah bener kalo capek ya langsung tidur. Ngapain elo masih telepon gue?" "Gue butuh distraksi." "Lo butuh istirahat, bukan distraksi." "Gue capek mikir kerjaan, gue mau mikir yang lain aja." "Yang bener, elo capek mikir. Mendingan sekarang tidur biar nggak mikir." Meta mendengus kesal mendengar omongan Rafka. Dari nada suaranya saja Meta yakin Rafka sebenarnya sudah mengantuk sejak tadi. "Orang suaranya juga udah kayak orang ngelantur." "Hmm..." jawab Rafka dengan gumaman. Meta masih menunggu Rafka untuk kembali berbicara ketika tiba-tiba terdengar suara dengkuran halus. Meta berdecih mendengarnya. Distraksi distraksi, tinggal tidur saja masih ngeles bilang distraksi. "Nggak cuma elo yang bingung sekarang, Raf," ucap Meta sebelum menutup sambungan teleponnya. Ucapan Rafka malam ini, yang entah kenapa Rafka tiba-tiba menumpahkan semua isi kepalanya, semua



Walkles 531



kefrustasiannya, tiba-tiba saja membuatnya merasa maklum. Ia tidak setersinggung saat Rafka mengatakan untuk jujur terhadap orang tuanya. Hatinya hanya menyimpulkan bahwa Rafka memang berusaha berkata jujur padanya. Tapi... tidak tahu. Meta tidak tahu apa yang seharusnya ia rasakan terhadap pengakuan Rafka.



Walkles 532



- 41 - Nervousness Suara gesekan kursi roda dan lantai bandara beradu. Fiki beberapa kali mengumpat karena kesulitan mengendalikan kursi roda yang ia dorong dan tas berisi sepatu yang ia bawa. Padahal di depannya, Meta duduk sambil memegangi koper 18 inchi agar bisa sekalian didorong bersamaan. Yah, memegangi kruk juga tentunya. "Kenapa harus delay segala, sih? Sialan, jadi buruburu kayak gini," gerutu Fiki sebal. Pesawat pilihan Meta yang katanya 'ini aja paling murah' mungkin menyelamatkan kantong sesaat, tapi delay satu setengah jam benar-benar membuat semua rencananya kacau. "Mana MUA-nya udah nungguin di hotel." "Hah? Elo booking MUA? Ngapain?" "Ya elo pikir, elo pake baju begitu di acara peresmian yang begitu, elo mau pake lipstik doang, Mbak?" Fiki dua kali melirik langit ketika menekankan ucapan kata 'begitu'. "Lo kebanyakan gaul sama Gale ya, udah berani banget nggak pake izin-izin segala?"



Walkles 533



"Masalahnya harga diri gue sebagai asisten dipertaruhkan di sini. Masa bos gue buluk di acara orang penting?" tanya Fiki tak terima mendengar Meta menaikkan nada suaranya. Ia kemudian pergi menghampiri booth pemesanan taksi untuk memesan taksi menuju hotel. "Untung Bunga ngingetin." "Hotelnya Pramoedya jauh nggak sih dari sini, Mbak?" tanya Fiki sekembalinya ia dari memesan taksi. "Sejam." "Hah?! Yang bener?" tanya Fiki kaget. Dia pikir hotelnya berada di daerah kota yang tidak jauh dari bandara. "Ya bener. Cek aja di Google kalo nggak percaya." Dengan panik, ia melihat jam. Otaknya mulai berhitung untuk memperkirakan waktu sampai mereka di Hotel Pramoedya nanti. "Nggak yakin gue kita bisa dateng tepat waktu." "Nggak perlu tepat waktu, yang penting setor muka aja terus pulang. " "Kenapa suara elo gitu, Mbak? Ada yang salah?" tanya Fiki bingung mendengar suara malas dari Meta.



Walkles 534



Padahal Meta sendiri yang mengajaknya untuk datang ke sini. "Hah? Suara gue kenapa?" Meta malah balik bertanya, pasalnya ia tak sadar telah menunjukkan keraguannya untuk datang di acara peresmian. "Nggak ada semangat-semangatnya, padahal mau makan enak." "Iya, ya?" "Elo mikir apa, sih?" "Mmmh..." Meta melirik Fiki tak yakin. "Apa kita nggak usah dateng?" "Wah..." Fiki serasa ingin membalik kursi roda yang dinaiki oleh bosnya ini. Untung walaupun didera keterlambatan menyebalkan ini, stok sabarnya masih sisa banyak, jadi tak benar-benar ia lakukan di tengah keramaian bandara seperti ini. "Lo tanyanya nggak kurang nanti, Mbak? Seharusnya tanyanya nanti pas di depan hotel aja sekalian." Meta terkekeh geli mendengar Fiki tak repot-repot menyembunyikan nada kesal pada suaranya. "Ngeselin ya gue?"



Walkles 535



"Masih nanya lagi," balas Fiki tak mengerti. "Elo kenapa sih, Mbak? Nggak mau ketemu Rafka? Malu? Katanya nggak ada hubungan apa-apa?" Meta membelalak, tawanya langsung surut. "Kata siapa gue malu!" "Ya kalo enggak santai dong, jangan ngegas." Fiki malah terkekeh. Begitu taksi datang, keduanya langsung pergi meninggalkan bandara. MUA yang sudah di-booking oleh Fiki benar sudah duduk manis di lobi hotel tempat mereka menginap sambil memainkan ponselnya. Ia membawa satu koper make up berukuran sebesar koper yang Meta bawa. Ia juga membawa tas hitam berisi lampu bulat yang biasa digunakan oleh make up artis kekinian. Fiki mendatangi pria botak itu dan menyalaminya. "Saya check in dulu, setelah itu bisa langsung eksekusi. Fiki." "No probs. Saya Oka," ujar pria botak yang menurut Meta lebih cocok jadi trainer di fitness center selebriti saja daripada menjadi MUA saking sekal dan padat lengannya.



Walkles 536



Begitu proses check in beres, Fiki mengangkat semua barang yang mereka bawa menuju kamar. Pria botak itu mengikutinya, sedangkan Meta melangkah di belakang keduanya menggunakan kruk. Sementara Oka menyiapkan alat perangnya, Meta memilih untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu. Pasalnya panas udara Jogja membuatnya berkeringat dalam waktu cepat. Begitu ia keluar mengenakan kimono handuk, Fiki sudah menggantung gaunnya dan Oka sudah menyiapkan campuran berwarna kecoklatan yang entah apa di sebuah palet. "Ini berlebihan banget sih, Fik?" keluh Meta, tapi mau tak mau ia duduk juga di depan Oka. "Jangan menor-menor, ya?" "Tenang, Mbak Meta bakal keliatan cantik alami. Pokoknya natural, tapi masih elegan," ucap Oka tenang dengan sedikit nada cengkok, tapi ia sama sekali tak menggunakan bahasa banci seperti yey, ney, cucok, dan sebagainya seperti MUA pria yang biasa ia temui. Meta mendesah pasrah ketika tangan Oka yang besar itu dengan lembut dan cekatan mengoleskan sesuatu di mukanya. ***



Walkles 537



"Bos, udah dateng tuh," bisik Ucup ketika ia baru saja turun dari boogie car yang mengantarkan para stakeholder dan para petinggi lainnya untuk mengelilingi hotel dan resort Hotel Pramoedya. Alis Rafka naik, langsung paham siapa yang dimaksud Ucup. "Udah dari tadi?" "Baru masuk, nunggu antrian mobil tamu ndek lobi depan." Rafka menoleh pada Bian, meminta tolong untuk mem-back-up-nya sebentar sementara dirinya pergi menemui Meta. Ketika Bian mengangguk, ia langsung melesat pergi begitu saja. Dari kejauhan, Rafka dapat melihat sebuah mobil berhenti. Fiki, kalau tidak salah baca name tag-nya waktu itu, turun memutari mobil. Ia mengeluarkan kruk dan membuka pintu mobil yang ada di sisi Meta. Pemandangan Meta yang sedang turun dari mobil terasa seperti slow motion di mata Rafka. Ia bahkan sempat berhenti berjalan ketika Meta keluar dari mobil. Sudut-sudut bibir Rafka terangkat ketika melihat Meta berdiri di sana, mengenakan gaun yang ia beli di mall waktu itu yang menjuntai hingga menutupi kakinya, kali ini ditambah dengan choker berwarna biru tua di



Walkles 538



lehernya. Rambut selehernya dibiarkan turun dan dijepit dengan jepit rambut mutiara di atas telinga kiri. Dengan mengapit kedua kruknya, perlahan Meta melangkah melintasi red carpet yang digelar di depan lobi bersama Fiki di sisinya. Awalnya Meta tidak terlalu memperhatikan, tapi kemudian matanya menangkap sosok Rafka yang berjalan mendekat. Fiki yang menyenggol lengannya membuatnya menoleh. Meta berkedip mengisyaratkan pada Fiki agar Fiki tetap menutup rapat mulutnya. "Hai..." sapa Rafka yang terdengar begitu canggung. Meta sebenarnya sudah biasa melihat Rafka dengan setelan jas setiap harinya, tapi hari ini... entahlah. Sepertinya ada sesuatu yang berbeda yang membuat Rafka, ee... jujur saja terlihat lebih charming. Apa mungkin karena gel rambut? "Pak Rafka, mohon tamunya dipersilakan untuk berfoto," bisik seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam dengan earphone di telinganya. Ia mengarahkan Meta pada sebuah backdrop hitam bergambar logo Hotel Pramoedya, Pramoedya Gemilang Group, dan logo kabupaten Kulonprogo.



Walkles 539



Rafka mengangguk, kemudian mempersilakan Meta untuk berjalan mendahuluinya menuju backdrop. "Harus foto banget, Raf?" tanya Meta ragu. Ia mendadak merasa menjadi artis karena beberapa wartawan sudah duduk di depan backdrop sambil memegangi kamera, mengambil foto para tamu penting yang hadir hari itu. "Yang diundang ke sini orang penting semua. Selain hotel harus punya dokumentasi, wartawan juga butuh bahan untuk diberitakan," jawab Rafka santai. "Lagian cuma foto ini." Begitu Rafka dan Meta berada di depan backdrop, beberapa lampu blitz menyala. Dengan sigap, Fiki menghampiri Meta dan mengambil paksa kruk yang Meta pegang. "Biar elo nggak nyesel karena foto pakai kruk," bisik Fiki saat mengambilnya. Mau tak mau Meta berdiri menggunakan satu kakinya selama sesi foto ini berlangsung. Ia berpegangan pada lengan Rafka untuk menjaga keseimbangannya.



Walkles 540



"Lo oke?" tanya Rafka sedikit prihatin karena Meta tak mengeluarkan suara sama sekali sejak tadi. "Gue... nggak biasa pake baju begini. Aneh banget nggak, sih?" "Gue sebenernya nggak mau ngomong karena gue tahu lo bakal gede kepala kalo gue ngomong, tapi elo cantik." Kalau tidak sedang berada di depan orang banyak, Meta yakin ia akan menepuk mulut Rafka keras karena mengatakannya. "Tolong menghadap kamera," pinta salah satu wartawan. "Rafka, kenalin dong ini siapa..." "Evelyn ke mana, Rafka?" "Kenapa Evelyn nggak datang?" Beberapa pertanyaan terlontar dari wartawan yang lain, tapi Rafka memilih untuk tidak menggubris. Fiki dengan langkah cepat menghampiri Meta dan memberikan kruknya kembali. "Pakai kursi roda aja. Udah disiapin sama Ucup." "Gue masih bisa jalan."



Walkles 541



"Sekali-kali langsung nurut kenapa, sih?" "Lo nggak pernah belajar kewarganegaraan bab undang-undang hak asasi manusia tentang kebebasan berpendapat?" balas Meta kesal. "Tapi repot kalau pake kruk. Tempat duduk lo di depan, yang belakang pasti nggak mau ketutupan kruk." Meta menelan ludahnya. Tempat duduknya... di depan? Jantung Meta berdetak dengan kencangnya ketika perlahan sepertinya kekhawatirannya akan terbukti. Ia hanya bisa pasrah ketika Rafka berhasil memaksanya duduk di kursi roda dan Ucup membawa kruknya pergi. Rafka membawanya memasuki sebuah ballroom besar yang waktu itu Meta foto. Ballroom mewah yang luas itu kini dihias dengan berbagai dekorasi dan lampu hingga terlihat meriah. Meja-meja bulat besar ditata sedemikian rupa dan tiap mejanya berisi delapan orang yang hampir semuanya menatapnya bingung, juga ingin tahu. Di setiap sisinya bermacam-macam makanan berjajar, dari western hingga masakan Indonesia. Meta berdeham, membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Ketika Rafka mengatakan yang datang orang penting, sepertinya ia tidak main-



Walkles 542



main. Ia melihat beberapa orang penting yang sepertinya sering ia lihat di situs berita atau di televisi, bupati dan pejabat daerah Kulonprogo, perwakilan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan jajarannya, direktur rumah sakit dan pengusaha setempat, hingga petinggi angkatan udara dan angkatan darat. Semuanya tertulis di tiap-tiap meja dan kursi, membuat Meta merinding. Hasil riasan wajah Oka yang tadinya menurut Meta terlihat berlebihan, ternyata bukan apa-apa jika dibandingkan dengan riasan para ibu-ibu pejabat itu. Detak jantung Meta semakin menjadi ketika Rafka membawanya ke meja paling depan, mendekat pada seorang kakek-kakek dan bapak-bapak yang mengenakan jas berwarna serupa. Okay, here we come! You'll be okay, batin Meta berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia melirik ke belakang, memastikan Fiki berada di sekitarnya kalau-kalau nanti Meta pingsan ketakutan. "Kek, Papa, kenalin ini Meta, dia bikin video yang sekarang lagi ditayangin di depan," ucap Rafka pada kakek dan papanya yang menatapnya seolah matahari baru saja terbit dari barat. Rafka menahan diri untuk tidak menggigit pipi bagian dalamnya karena



Walkles 543



sebenarnya ia terlalu nervous untuk melakukan semua ini. "Meta, ini papa sama kakek gue." Meta mengusap tangannya yang ternyata sejak tadi berkeringat. Tatapan ingin tahu dari kakek dan papa Rafka membuatnya serasa ingin menghilang detik ini juga. Dengan terpaksa, Meta mencoba mengulas senyum dan mengulurkan tangannya. "Saya Meta Mariska dari Imagen Studio. Semoga karya saya memuaskan." Kakek Rafka balas menjabat tangannya kuat. Ia menurunkan kacamatanya untuk melihat Meta lebih jelas, bahkan melihatnya dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. Tak ada sekilas senyum pun yang muncul di sudut bibirnya. Bah, kalau bukan kakek Rafka yang melakukannya, Meta pasti sudah murka karena tak terima diperlakukan seperti itu. "Dia yang kakinya patah," ucap Rafka ketika kakeknya ganti menatapnya dengan salah satu alis yang meninggi. "Ah, saya jatuh saat membuat video di sini. Terima kasih sudah membantu saya selama saya sakit."



Walkles 544



Meta kemudian mengulurkan tangannya untuk menyalami papa Rafka yang, entahlah, ekspresinya tak bisa dibaca oleh Meta. Sebenarnya Pak Pramoe dan Gani sudah pernah mendengar kalau Rafka membantu fotografer yang kecelakaan itu, tapi mereka hanya menganggapnya angin lalu. Jujur saja, tadi pagi Gani terkejut saat Risma mengatakan Rafka sedang dekat dengan seseorang. Bahkan sampai mewanti-wanti Pak Pramoe untuk tidak menunjukkan ketidaksukaannya kalau nanti Pak Pramoe tidak menyukai gadis itu. Gani menduga kalau gadis itu adalah Evelyn Fransiska, mengira kalau gosip-gosip murah di televisi kemarin mungkin saja benar-benar terjadi. Tapi ternyata dugaannya salah. Sebenarnya, Gani sudah menyiapkan diri untuk merestui hubungan Rafka dengan Evelyn. Gani kira, ia akan cocok dengan Rafka. Bisa jadi akan banyak sisi positif yang akan Rafka dapatkan. Pekerjaan Evelyn yang seorang model pasti lebih baik dan lebih tangguh dalam menghadapi reaksi kejam dari media. Dengan begitu ia tidak khawatir kondisi psikis Rafka akan terpicu dengan hal-hal buruk yang tidak ia inginkan. Gani tidak pernah merasa lebih hancur lagi dalam hidupnya ketika mendapati istrinya bunuh diri dan satu-



Walkles 545



satunya anak yang ia miliki menderita trauma mendalam, sedangkan ia hanya bisa diam mendekam di rumah tahanan. Seandainya hari itu ia tidak tergoda untuk mencicipi berbagai barang haram itu, mungkin keluarganya tidak akan berakhir seperti ini. Keluarganya akan hidup bahagia, ia dan istrinya akan merestui wanita mana saja yang Rafka bawa untuk dikenalkan kepadanya. "Pa," panggil Rafka ketika tangan Meta masih juga digantungkan oleh papanya. Berusaha menutupi kekagetannya, Gani berdeham. Ia menyalami Meta dan mengangguk canggung. "Evelyn nggak ke sini?" Rafka menggeleng. "Nggak tahu. Aku sudah ngasih undangan." Tak menunggu lebih lanjut, Rafka memundurkan kursi roda Meta dan mendorongnya mendekati Om Eri dan Tante Risma. Rafka menyadari dirinya mendesah lega ketika Om Eri dan Tante Risma memiliki respon yang lebih hangat terhadap Meta. "Oh, ya ampun. Tante nggak tahu kalau yang ditolong Rafka ternyata secantik ini. Pantes nggak dilewatin gitu aja ya, Raf?" ucap Tante Risma sambil



Walkles 546



mengerling jahil, sedangkan yang digoda menahan diri untuk tidak tersenyum walaupun mukanya terlihat merah hingga ke telinga. Daripada digoda lebih lama lagi, Rafka mendorong Meta untuk menuju meja di sebelah. Bian sudah duduk di sana bersama Marina dan dua orang pria lainnya, teman... yah, setidaknya mereka yang lebih dekat dibandingkan yang lain selain Bian. "Fik," panggil Rafka pada Fiki yang sejak tadi mengikutinya. "Elo bisa duduk di sebelah Bian, di sini." Fiki yang gelagapan karena tiba-tiba dianggap eksistensinya di dunia ini menurut saja dan duduk di kursi yang ditunjuk. Rafka menghentikan Meta di celah yang sudah ia atur di antara Marina dan Fiki, kemudian mengunci kursi rodanya. "Wah, brengsek lo, Raf!" desis Bian ketika menyadari Rafka sengaja memberikan jarak kursinya dengan Meta. Rafka hanya mengangkat bahu tidak peduli. Ia kemudian kembali ke kursi sialannya yang berada di sebelah papanya malam ini. Seandainya ia cukup tega untuk membiarkan Meta satu meja dengan para tetua



Walkles 547



itu, ia pasti akan memberikan tempat duduk di sebelahnya. Sayang Rafka tak tega. Setelah menepuk pundak terbuka Meta dua kali—yang setengah mati ia sesali karena Rafka jadi tahu pundak Meta terasa lembut di tangannya—Rafka kembali ke kursi miliknya, yang sayangnya jauh dari Meta. ***



Walkles 548



- 42 - Thought Fiki menatap Meta prihatin. Ia duduk di sebelah Meta yang saat ini terdiam setelah ditinggalkan Rafka. Kalau ia ada di posisi Meta, mungkin Fiki akan lebih memilih untuk kabur saja seperti Cinderella. Kalau perlu, lengkap meninggalkan sepatunya karena sayang, nilai boyfriend material Rafka kalau Fiki hitung-hitung sepertinya di atas rata-rata. Jadi, sepatunya harus tetap ditinggalkan agar Rafka masih bisa mencari keberadaannya. "Mbak," senggol Fiki kemudian. Meta menoleh menatapnya dengan pandangan bertanya. "Mau gue ambilin makan?" Meta mengangguk. "Yang ringan aja, sama minum. Thanks, ya?" Fiki mengangguk dan berdiri meninggalkan meja, pergi ke sisi-sisi meja penuh makanan yang dikerubuti seperti semut. Marina menatap Meta ingin tahu dan mendekatkan kursinya pada Meta. Ia mengulurkan tangannya. "Marina."



Walkles 549



Meta yang masih mengikuti Fiki dengan sudut matanya langsung menoleh kaget. Ia tersenyum dan menyambut uluran tangan Marina. "Jadi, kamu yang namanya Marina? Saya Meta." "Pacarnya Bang Rafka, ya?" tanya Marina penuh selidik. Ia menyunggingkan senyum miring menggoda, ditambah dengan alis yang dinaik-turunkan. Meta tertawa. "Bukan." "Ah, nggak mungkin. Pantesan waktu aku tanyain tentang Evelyn, Bang Rafka selalu sewot. Ternyata emang udah punya yang lain." "Lo sama Rafka udah jadian?" tanya Bian yang kini menempati kursi yang ditinggalkan oleh Fiki. "Pada dapet berita dari mana, sih?" tanya Meta heran. "Rafka aneh banget sejak pulang dari Jakarta kemarin." "Aneh gimana, Bang?" sahut Marina ingin tahu. "Lo tahu Rafka nggak pernah chatting-chatting basi, kan?" tanya Bian yang memancing Marina untuk mengangguk-angguk bersemangat. "Dia tiba-tiba suka chatting, padahal lagi ngobrol sama orang penting."



Walkles 550



"Orang penting siapa, Bang?" "Gue." "Apa sih elo, Bang?" Marina melempar gulungan tisunya ke muka Bian. Kapan Bian sadar kalau jokes-nya terlalu basi? "Lah gue juga orang penting di sini, lo nggak liat sekarang posisi gue apa?" "Alah... udah nggak penting, balik ke yang tadi." "Pokoknya Rafka akhir-akhir ini jadi suka chatting sampe hidungnya kembang-kempis—nggak jelas lagi marah atau nahan ketawa, terus suka telepon malemmalem." "Eh, telepon cuma sekali, ya!" sahut Meta tidak terima, sedetik kemudian ia menyadari pembelaan dirinya saat ini malah terdengar tolol. Bian meliriknya dengan senyum mengejek. "Jadi?" "Sialan..." desis Meta kesal. "Nggak ada jadi." Bian hendak melanjutkan untuk meledek Meta, tapi Fiki telah kembali datang dengan dua piring di tangannya, menatapnya dengan pandangan tidak enak. "Maaf, tapi kayaknya lebih baik Anda pindah daripada



Walkles 551



saya pulang tidak selamat," ucap Fiki sambil sesekali melirik Rafka yang sedang asik mengobrol dengan direktur hotel lainnya. Bian berdecak, ia pindah kembali ke tempat duduknya. Dua temannya yang tadinya hanya mengobrol dengan satu sama lain kini mengalihkan perhatian Bian, menanyakan identitas wanita di hadapan mereka yang dibawa oleh Rafka ini. "Beneran ceweknya Rafka?" "Lo nggak pengen ngenalin kita?" Bian mendesah malas. "Tapi kalian nggak usah macem-macem, ya? Nggak usah bikin gosip ke yang lain. Lo tahu sendiri Rafka orangnya gimana." "Yaelah, kayak lo baru kenal kita aja, sih." Benar juga, batin Bian. Selama sebelas tahun ini hanya mereka yang bertahan untuk berteman baik dengan dirinya dan Rafka. Yang lain sudah hilang terkena seleksi alam. "Met," panggil Bian akhirnya. "Kenalin, mereka temen-temen gue dan Rafka."



Walkles 552



Karena meja bundar mereka terlalu lebar, Meta hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Ini Cakra, dari Trias Jaya Group," ujar Bian sambil menunjuk pria berjas biru dengan rambut pelontos. Kemudian ia menunjuk pria di sebelahnya yang Meta akui kalau dia tampan. "Sakti, Rakabumi Energi." Telinga Meta serasa berdesing mendengar nama perusahan itu setelah sekian lama. Rakabumi Energi adalah perusahaan pertambangan yang memiliki banyak sektor, baik batu bara, emas, maupun minyak bumi. Papa Meta bekerja di sektor batu bara, entah sekarang sudah menjabat sebagai apa, Meta tidak pernah mendengar. Terakhir Meta mendengar ayahnya sudah menjabat menjadi kepala departemen, tapi itu sudah bertahun-tahun lalu. Meta menelan ludahnya. Dengan susah payah ia menahan diri untuk tidak menanyakan apakah Sakti mengenal papanya atau tidak? Sekarang bagaimana kabarnya? Apakah papanya baik-baik saja?3 "Ini Meta, yang punya Imagen Studio. Studio foto di daerah Kemang." "Wow. Lo fotografer?" sahut Cakra mengumbarkan decak kagumnya pada Meta.



Walkles 553



"Video yang elo liat di depan itu dia yang bikin," jelas Bian jumawa, padahal yang dipamerkan hanya Meta seorang dan yang dipamerkan sendirinya hanya tersenyum kaku. Beberapa saat kemudian, lampu hall meremang. Bian tak jadi melanjutkan pembicaraannya memamerkan Meta karena pembawa acara malam ini mengambil alih acara pembukaan. Lampu sorot mengarah ke arahnya. Tamu-tamu yang memenuhi ruangan juga telah duduk di tempat mereka masingmasing. Hampir satu jam dilalui dengan sambutansambutan membosankan tipikal acara resmi, mulai dari perwakilan Pemda DIY hingga kakek Rafka. Tepat pada pukul tujuh, Rafka memberikan sambutan di podium. Sebenarnya biasa saja kalau-kalau Rafka tidak menyebutkan namanya, tapi sepertinya pria itu benarbenar ingin ditimpuk dengan high heels. "Tanpa kerja keras semua teman-teman karyawan Hotel Pramoedya Yogyakarta, kita tidak akan sampai pada titik ini. Terima kasih, kalian semua adalah tim terbaik saya. Juga atas videografi hotel yang luar biasa, saya ucapkan terima kasih kepada Meta Mariska. Tolong tepuk tangannya..."



Walkles 554



Ekspresi Rafka sebenarnya biasa saja, datar tanpa terlihat ada unsur menggoda kalau tidak benar-benar mengenal Rafka. Tapi Meta tahu, Rafka menatapnya geli karena melihatnya mengerut di kursi karena menerima perhatian dari beberapa orang di belakang sana sambil memamerkan senyum palsu. Rafka sengaja! Entah apa motifnya. "Cie..." goda Marina sambil mengerling jahil. "Katanya nggak ada apa-apa?" Meta meringis, tak sanggup untuk menjawab. Ia memilih untuk mengambil gelas dan meminum isinya sedikit, menenangkan ketegangan yang ia rasakan semenjak memasuki hotel ini. Begitu Rafka menyelesaikan sambutannya, hotel pun secara resmi dibuka dengan simbolis. Para pejabat dan petinggi negara naik ke atas podium untuk menabuh gong besar yang sejak tadi berdiri megah di sisi kanan dan kiri panggung. Begitu gong itu ditabuh tiga kali, suara riuh tepuk tangan membahana. Dari balik panggung, muncul penyanyi perempuan papan atas keluar memeriahkan acara. Meta berdecak, memandang Fiki yang menatap panggung penuh antusias. Bergumam mengikuti lagu



Walkles 555



yang dulu memang sempat menjuarai tangga lagu musik Indonesia. "Fik," panggil Meta. Fiki menatapnya dengan pandangan bertanya. Meta memintanya untuk mendekatkan kepala dan berbisik, "Gue bingung kenapa tiba-tiba kita ada di acara kayak gini." Fiki memutar matanya. "Lo aja bingung, apalagi gue. Dari tadi gue bertanya-tanya, apa kita sekarang lagi syuting Crazy Rich Yogyakartans?" Meta terkekeh. "Seharusnya kita emang nggak ke sini." "Ah, sekali-kali nggak papa, Mbak. Kapan lagi kita bisa pura-pura jadi OKB?" Meta mengangguk setuju. "Tapi gue merasa miris kalo inget besok masih harus hemat makan mie instan." Fiki tertawa. "Bener juga." "Kak," panggil Marina pada Meta, membuat leher Meta sakit karena terlalu cepat menoleh ke kiri. "Kak Meta di Jakarta, kan?" Meta mengangguk. "Iya. Kenapa?" "Balik kapan?" "Penerbangan besok pagi."



Walkles 556



"Yah, padahal besok gue mau ngajak pergi. Gue pengen ikut tur AADC, tapi abang-abang gue brengsek semua," keluh Marina. Meta terkekeh. "Maaf ya, studio lagi sibuk banget. Makanya besok pagi-pagi harus cabut." Suara deham seorang perempuan di belakang membuat keduanya menoleh, "Geser, Marina." Risma berdiri menatap Marina dengan senyum penuh maksud agar Marina menuruti perintahnya. Mau tidak mau, Marina bergeser ke kursi yang memang masih kosong di sebelahnya. Risma menduduki kursi Marina dan menghadap Meta dengan senyum lebar, menunjukkan gigi menawan hasil perawatan jutaan rupiah. Cantik sih, tapi hal itu membuat Meta seketika merinding. "Jadi kamu yang orangnya ngeselin? Ngeselin dari mana sih, orang lucu begini?" "Rafka cerita apa ke Tante?" cicit Meta, suaranya seperti sudah teredam oleh detak jantungnya sendiri. Ia terlalu deg-degan. Rafka belum menjadi siapa-siapanya, tapi hari ini berjalan seolah-olah ia dan Rafka sudah lama berpacaran dan Rafka akan segera... membawa



Walkles 557



keluarganya untuk melamar! Ini gila! Ini gila! Bukan seperti ini yang seharusnya terjadi. "Katanya kamu bikin dia bingung," kata Tante Risma disusul dengan tawa yang masih terdengar merdu di tengah suara penyanyi yang sedang melengkingkan nada tinggi. "Waktu dia bilang gitu, Tante bener-bener pengen ketemu sama kamu. Tapi terpaksa Tante tahan-tahan, karena Rafka larang." Ketika Tante Risma menarik tangan Meta dan menggenggamnya, senyum terpaksa Meta yang sejak tadi tersungging sirna. Tante Risma menatapnya dengan tatapan penuh permohonan. "Itu pertama kalinya Rafka mau terbuka sama Tante. Dia ngomong panjang lebar nyeritain kamu. Reaksi pertama yang bisa Tante simpulkan setelah itu, he's in love. Setelah semua yang telah keluarga ini lalui, he's in love with you." Meta terdiam. Iringan musik tak lagi terdengar di telinganya. Tante Risma yang menatapnya dalam membuatnya terpaku. Satu detik pertama terdengar begitu lucu, tapi di detik berikutnya, Meta tahu di balik senyuman itu Tante Risma tidak sedang main-main.



Walkles 558



Meta merasakan tangannya dingin, tubuhnya terasa menggigil. Ia perlahan menyadari bahwa yang dikatakan Tante Risma kali ini bisa saja mengubah seluruh rencana hidupnya. "Betapa Tante seneng banget akhirnya Rafka bisa ketemu sama kamu. Tante bener-bener berharap kamu bisa jaga hati dia baik-baik..." Perlahan Meta melepas tangan Tante Risma. Ia menepuk paha Fiki, menoleh, menatapnya minta tolong sebelum kemudian kembali menghadap Tante Risma. "Anu... Tante, saya... Anu..." shit shit shit this shitty head, kenapa Meta tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan saat ini? Otaknya benar-benar kosong melompong karena perasaannya terlalu semrawut. "Saya saya sedang tidak enak badan. Izinkan saya untuk pamit terlebih dahulu." Fiki yang untung saja malam ini kelewat peka langsung berdiri, memohon pamit kepada semua penghuni meja. Ia menarik Meta untuk menjauh. Diedarkannya pandangan mencari keberadaan Rafka, bermaksud untuk berpamitan, tapi nihil. "Mami, Mami ngapain, sih? Kalo Bang Rafka tahu..." samar, Meta mendengar suara Marina berbicara pada



Walkles 559



Tante Risma. Meta memejamkan matanya berusaha tidak peduli. "Pak, saya tunggu di lobi." Fiki menelepon sopir mobil yang tadi mereka sewa, memintanya untuk bersiap mengantar mereka pulang. Meta tidak peduli lagi apa pun yang terjadi di sekitarnya. Yang jelas ia ingin pulang saja sekarang dan tidak ingin bertemu Rafka. Di menit kesembilan, mereka akhirnya bisa meninggalkan hotel. Meta menghela napas lega sambil memandangi jendela. "Aduh! Kruknya ketinggalan, Mbak," teriak Fiki saat teringat. Ia menepuk dahinya panik. "Balik lagi nih?" Meta melirik Fiki ngeri, kemudian menggeleng. "Biarin aja deh," putusnya pasrah. "Mbalik ra, Mas?" tanya si sopir yang ternyata mendengar pekikan Fiki. "Nggak, Pak." Sopir itu pun mengangguk. Fiki memposisikan dirinya menghadap Meta yang masih menatap jendela sambil menyandarkan



Walkles 560



kepalanya di sandaran kursi. Ia menelan ludahnya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya pada Meta. "Mbak, lo kenapa sih hari ini?" Meta melirik Fiki, kemudian kembali menatap jalanan lagi. Ia menghela napasnya panjang. "Dari kemaren gue ngeliat elo kayak bukan elo. Ragu, takut, mana banyak diem, kan gue jadi takut. Ke mana Meta yang selalu berani dan percaya diri, Mbak? "Kenapa sih, Mbak? Lo nggak suka sama Rafka?" lanjut Fiki ketika Meta tak kunjung menjawabnya. "Kalo elo nggak suka, ya udah sih, Mbak. Perasaan kan emang nggak bisa dipaksain..." "Gue... nggak ngerti. Kalo suka nggak suka, yeah, gue merasa physically attracted sama dia. Gue nggak merasa risih kalo pun itu bisa disebut PDKT. Tapi bayangan buat punya 'hubungan' bikin gue freak out," ucap Meta akhirnya. Ia mendesis pasrah "Gue nggak bisa Fik..." "Kenapa?"



Walkles 561



"Gue masih punya banyak tujuan yang belum gue capai. Gue masih butuh Imagen, Imagen juga butuh gue." "Lah? Rafka sama Imagen dua hal yang berbeda, Mbak. Rafka juga pasti nggak bakal ambil Imagen dari elo. Kenapa elo harus milih salah satu kalau elo bisa dapet dua-duanya?" "Ya mungkin Rafka-nya sendiri enggak, tapi lo nggak liat lingkungannya gimana? Belum lagi tuntutan dari keluarganya?" Meta menggelengkan kepalanya ngeri. "Dari sebelum gue berangkat, gue mikir, di acara itu keluarganya pasti ada di sana semua. Ngebayangin tentang apa yang Rafka bilang tentang gue di depan keluarganya, respon keluarganya atas gue, gimana kalau mereka menerima gue dan ngedesak Rafka buat ngesahin hubungannya sama gue, atau malah gimana kalau mereka semua nolak gue..." Fiki terdiam, pertanyaan mengapa bosnya bisa menjadi pendiam akhir-akhir ini terjawab sudah. "Gimana kalau mereka tahu gue ini anak pembangkang yang maunya hidup semaunya sendiri, gimana kalo mereka tahu nama gue mungkin udah dicoret dari KK papa gue, dan elo tahu? Papa gue kerja



Walkles 562



di perusahaannya si Sakti. Apa yang akan terjadi kalau Sakti tahu papa gue punya anak pembangkang kayak gue? Gimana citra papa gue nanti? "Mbak..." "Pencitraan tuh penting banget di lingkungan mereka, Fik. Apalagi jadi perempuan di tengah lingkungan yang patriarkis abis?" Meta menggeleng. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela, menyusutkan kembali air matanya yang menggenang di pelupuk kemudian menggumam, "Gue nggak bisa kayak gitu. Gue nggak mau cuma ikut arisan terus ngopi-ngopi cantik sama ibu-ibu sosialita lain." "Mbak..." panggil Fiki sekali lagi ketika sudah memastikan Meta tidak meneruskan ucapannya. "Lo udah mikir sejauh itu, bikin gue yakin elo sebenernya udah mempertimbangkan Rafka." Meta melirik Fiki tajam, kesimpulan macam apa itu? "Kayaknya elo butuh ngomongin itu semua ke Rafka, deh. Sebelum semua ketakutan elo itu bikin lo salah langkah. Elo nggak bisa mikirin ini dari sisi lo aja, bisa aja Rafka juga punya pemikiran lain yang bikin ketakutan-ketakutan lo nggak akan terwujud."



Walkles 563



Meta masih menatap Fiki. Bocah ingusan satu ini kesambet setan dari mana? Kenapa dia jadi mendadak sok bijak? Fiki tiba-tiba saja menunjukkan layar ponselnya yang terlihat sedang menyambung dengan seseorang pemilik nomor tak dikenal sejak dua menit yang lalu. Meta mengerutkan alisnya bingung. Namun, satu kata yang diucapkan oleh Fiki berikutnya membuat kepala Meta serasa ingin meledak saat ini juga. "Rafka."



Walkles 564



- 43 - Ask Meta membelalak. Ia menatap Fiki tidak percaya. "Lo telepon Rafka?" desisnya tak habis pikir. "Kayaknya dia telepon lo dari tadi, tapi elo-nya nggak denger. Terus telepon gue." Meta mengambil ponsel Fiki dan mendekatkannya pada telinga. Ia mengecek apakah Rafka benar-benar ada di sana atau hanya bualan Fiki untuk menakutnakutinya. Sesungguhnya Meta berharap jawabannya adalah opsi kedua, tentu saja. Seseorang harus mengingatkannya untuk membuang Fiki di Kali Progo saat melintasi jembatan nanti. "Halo?" bisik Meta takut-takut. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, ia memanggilnya. Pasti bohong. Bohong. Bohong... "Raf?" "Hei..." Meta menunduk lesu. Benar-benar suara Rafka. Ia memijit pelipisnya yang sekarang terasa berdenyut. Mau mengatakan apa? Meta bingung karena apa yang ia katakan tadi memang benar. Ia tidak butuh membela diri dan Rafka memang berhak untuk mengetahuinya.



Walkles 565



"Lo udah denger semuanya, kan?" tanya Meta akhirnya. Ia menghela napas panjang. "Udah, kita selesai aja sampe di sini, nggak usah dilanjutin lagi." "What? Nggak, nggak, kita ketemu dulu..." "Tapi gue nggak mau ketemu elo sekarang," potong Meta. Mungkin ia terlihat amat sangat kekanakan sekarang, tapi ia tidak ingin mendengar suara Rafka saat ini. Diputusnya sambungan telepon secara sepihak, dan dikembalikannya ponsel itu pada Fiki. "Mbak, asli ini bukan elo banget." "Gue nggak ngerti harus gimana." "Elo sebenernya ngerti Mbak, tapi lo nggak mau." Meta tak menjawab, lelah berargumentasi dengan ke-sok-tahuan Fiki. Meta memilih untuk menyandarkan kepalanya pada sandaran jok dan memejamkan mata. Keduanya tak berbicara lagi hingga kembali sampai di hotel tempat mereka menginap. *** Karena merasa tidurnya telah terusik oleh bunyi entah apa itu, Meta membuka mata. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan mata menyipit. Fiki sudah tidak ada di tempat tidurnya. Mungkin ia



Walkles 566



keluar mencari sarapan seperti biasa, karena mereka sering menyewa hotel non-breakfast. Ia mengecek ponselnya, satu jam lagi ia harus berangkat ke bandara. Yah, memang sudah waktunya untuk bangun dan beberes. Suara pintu diketuk terdengar. Sepertinya itu suara yang tadi membuatnya terbangun. Dengan susah payah, Meta duduk di kasur. Ia meringis ketika merasakan kakinya tiba-tiba terasa ngilu. Diraihnya meja nakas dan dinding untuk berpegangan, berjalan merambat menuju pintu untuk membukanya. "Hai." Meta mengerjapkan matanya. Ia terdiam mendapati Rafka sepagi ini sudah berada di depan pintu kamarnya, tidak menjawab sapaan Rafka. Dilihatnya wajah lelah dan area yang menggelap di bawah matanya, berdiri memegangi kruk yang kemarin ia tinggalkan di hotel. Walaupun Rafka telah mengenakan baju santai dan aroma sabun mandi menguar dari tubuhnya, raut lelah karena kurang tidur masih tak bisa ia sembunyikan. Tidak ingin berdebat maupun peduli untuk bertanya dari mana Rafka tahu di mana ia menginap, Meta melebarkan pintu. Ia mempersilakan Rafka untuk masuk dan menerima uluran kruk miliknya.



Walkles 567



"Kalian sekamar?" desis Rafka ketika melihat dua kasur twin yang ada di kamar ini. Kasur satunya terlihat berantakan sedangkan satu lagi sudah terlihat lebih rapi walaupun jelas terlihat bekas ditempati. "Lo sekamar sama Fiki?" Udah biasa," jawab Meta tenang, tak mengindahkan kepala Rafka yang pagi-pagi terlihat sudah siap mengepulkan asap. "Astaga..." ucap Rafka berusaha meredam kemarahannya sendiri. Ia ke sini bukan untuk meributkan hal kecil seperti ini.8 Rafka memutuskan untuk duduk di sebuah kursi di dekat televisi, memperhatikan Meta yang mulai membereskan barang-barangnya dan mengumpulkannya di atas kasur. "Lo marah?" tanya Meta ragu sambil melirik Rafka. "Elo emang udah ngeselin dari sananya, sih. Gue bisa apa?" Meta berdecak. "Kalo kesel ngapain ke sini? Mendingan lo tidur, muka lo kacau abis. Ngapain ngabisin waktu buat emosi. Muka lo cepet tua!"



Walkles 568



Rafka mengulum senyumnya dan mendengus. "Gue nggak mau cepet tua sendiri. Gue tahu lo juga cepet emosi kalo deket-deket gue, jadi harusnya impas. Lo juga bakal cepet tua." Meta memutar matanya jengah. Keduanya kemudian terdiam ditelan keheningan. Meta sibuk menggulung headset dan kabel chargernya, sedangkan Rafka hanya diam memperhatikannya melipat dan memasukkan barang-barangnya ke koper. "Tante Risma minta maaf, dia nggak bermaksud bikin lo marah," ucap Rafka berusaha mengawali. Ia mengalihkan tatapannya dari tangan Meta untuk memperhatikan raut mukanya. "Gue juga minta maaf udah nggak sopan." Meta menelan ludahnya. "Gue... panik." "Gue ngerti." Meta menelengkan kepalanya, memperhatikan Rafka yang masih duduk manis menatapnya. 'Gue ngerti'-nya itu sekedar angin lalu bujuk rayu atau dia benar-benar mengerti?



Walkles 569



Meta menghela napasnya. "Semalem... elo denger semuanya?" Rafka sok-sokan terlihat berpikir panjang. Ia memandang langit-langit kamar sebelum mengucapkan, "Mungkin sekitar tujuh puluh persen? Waktu gue telepon, abis gue ngomong kalo itu gue, kayaknya Fiki sengaja ngarahin microphone-nya ke arah elo. Tiba-tiba aja suara lo kedengeran." "Mmmh..." Meta menggigit bibirnya bingung bagaimana ia harus berbicara di depan Rafka langsung. Tatapan Rafka yang melekat padanya membuat jantungnya terasa seperti ada tentara-tentara kecil yang menabuh, saking terlalu gugup. "Gue nggak bermaksud untuk kegeeran tentang hubungan gue sama elo. Gue cuma... nggak mau orang berharap lebih ke gue. "Gue pengen hidup dengan jalan yang gue pilih sendiri, Raf. Keluarga gue tipikal keluarga patriarkis, dan sepertinya keluarga elo juga," lanjut Meta. "Gak maksud buat nge-judge keluarga lo, tapi itu yang gue liat di lingkungan keluarga gue, juga tamu-tamu elo semalem. Gue cuma... gue..." "Gue ngerti," ulang Rafka.



Walkles 570



"Apa yang elo ngerti?" geram Meta dengan suara tertahan. "Gue tahu apa yang elo khawatirkan. Well, penilaian gue nggak meleset jauh. Tante Risma udah tahu semuanya, termasuk karakter lo gimana—yah, at least dari sudut pandang gue. Gue udah cerita. Tapi dia cuma pengen kenal elo secara pribadi, bukan sekadar cerita-cerita gue doang." Meta terdiam menggigit bibirnya. Rasa bersalah, malu, dan sungkan berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Rasanya ingin tenggelam saja ke inti bumi, ikut melebur bersama partikel atom. Sepertinya kepanikan membuatnya berpikir yang tidak-tidak. "Bisa tolong sampaikan kalo gue minta maaf?" "Apa elo mau ngomong langsung? Nanti gue kasih nomor Tante Risma." "Well, if only it makes her feel better," jawab Meta pasrah. Lagi pula memang salahnya juga bertindak berlebihan. Keheningan asing ini kembali melanda. Meta memilih untuk menyibukkan diri menata kopernya daripada mencari topik pembicaraan baru.



Walkles 571



"Lo nggak mau nyoba pacaran?" Meta yang takut salah dengar mengerutkan dahinya bingung. Pasalnya Rafka mengatakannya dengan ekspresi yang sama dengan menanyai 'apakah warna selimut itu kuning atau putih'. Terlalu santai seolah-olah itu hal yang sudah lumrah diucapkan ketika dua orang sedang mengobrol di kamar hotel. "Hah?" "Lo nggak mau nyoba pacaran sama gue?" tanya Rafka masih dengan nada yang sama, tapi mungkin dengan artikulasi yang lebih jelas. "Lo beneran ngerti nggak sih waktu bilang 'ngerti'?" Meta sama sekali tak paham kenapa Rafka masih menanyakan pertanyaan seperti itu setelah semua yang Meta ucapkan, baik kemarin atau hari ini. Rafka mengangguk. "Lo nggak salah ngomong?" tanya meyakinkan. Namun, Rafka menggeleng.



Meta



"Lo udah nggak bingung?" tanya Meta lagi. Rafka bergeming, berusaha memikirkan jawaban yang pas untuk dikatakan. "Bukan nggak bingung, tapi omongan lo di telepon kemarin bikin gue mikir banyak hal."



Walkles 572



Meta menunggu Rafka melanjutkan dengan tatapan bertanya. "Apa yang lo mau, tujuan hidup lo, apa yang gue mau, tujuan hidup gue, sepertinya nggak jauh berbeda. Lo mau Imagen, gue juga mau ngelola hotel keluarga gue. Lo mau hidup sesuai keinginan lo sendiri, gue mau lepas dari kakek sama papa, yah gue tahu nggak akan bisa lepas sepenuhnya, tapi setidaknya ada jarak yang harus ditempuh karena gue di Jogja. Lo lagi buktiin ke papa lo kalo elo mampu, gue pun sedang melakukan hal yang sama seumur hidup gue." Rafka menatap Meta tepat di manik mata, berusaha membuat Meta mengerti kalau apa yang ia ucapkan kali ini tidak bercanda. Ia sekuat tenaga bertahan untuk tidak menggigit pipinya ketika ia tak bisa mengartikan tatapan yang Meta berikan kepadanya. Apakah Meta melihatnya sebagai pria kurang ajar atau pria tolol? Rafka menelan ludahnya. Tapi setidaknya itulah yang ia rasakan. Mungkin ia terlalu berpikir positif saat bertekad bahwa mungkin saja Meta mau bertahan dengan masa lalunya karena mereka memiliki banyak kesamaan. Tapi bukankah tidak ada salahnya mencoba? Sebelum Meta bisa menolaknya mentah-mentah, ia melanjutkan, "Well, maybe I'm not a perfect person, I



Walkles 573



believe you'll figure my dark past in no time. But, I want you to try it with me." "Oh! Gue inget lo masih punya hutang ngabulin dua permintaan gue! Gue bakal minta elo buat jawab 'iya'. Gue nggak akan maksa elo buat ngejawab 'iya' sekarang juga, lo boleh mikir sampai kapan pun lo bisa jawab 'iya'." Meta mengerutkan alis memikirkan maksud ucapan Rafka. "Lo cuma terima jawaban 'iya'?" Rafka hanya menjawab pertanyaan Meta dengan mengedikkan bahunya. Ia menaikkan satu sudut bibirnya, tipis sekali hampir-hampir Meta tidak melihat. "Jadi gini cara lo bisnis selama ini?" Rafka mengangguk. "I'm so glad you figure it out." Meta hanya bisa membuka mulutnya ketika Rafka mengakuinya. Ia kemudian tertawa terbahak-bahak mendapati apa yang mereka bicarakan tiba-tiba saja terasa lucu. Oh, ya. Tawa itu, ucap Rafka dalam hati. Diam-diam ternyata ia merindukannya juga. Rafka menoleh pada pintu ketika tiba-tiba terbuka, Fiki datang membawa bungkusan plastik hitam.



Walkles 574



"Mbak... eh? Kenapa elo udah di sini? Katanya cuma nganter ke bandara, gue kira bakal setengah jam lagi?" tanya Fiki terkejut mendapati Rafka sudah duduk manis di kamar hotelnya dan Meta. Ia kemudian menaikkan alis melihat sisa tawa terpampang di wajah Meta, kemudian mengibas-ngibaskan tangannya. "Gue mencium aroma-aroma perdamaian. Lo juga, Mbak?" "Sampah, lo!" Meta melempar botol handbody-nya, tapi Fiki menangkapnya dengan sigap. "Jadi udah baikan, nih?" "Oh, jadi elo yang ngasih tahu gue nginep di mana? Setelah berminggu-minggu jadi asisten Gale, lo jadi sering main di belakang gue, ya?" "Gue belajar banyak. Mas Gale ngajarin gue untuk selalu punya inisiatif." Fiki melenggang menuju kasurnya setelah memberikan bungkusan berisi bakpao panas itu pada Meta. Meta berdecak. Setelah ini ia akan benar-benar membuat perhitungan dengan Gale. ***



Walkles 575



"Kapan gue dapet jawabannya?" tanya Rafka pada Meta yang sedang melihat Fiki berjalan menjauh untuk mencari kursi roda. Meta menoleh, menaikkan salah satu alisnya. "Katanya gue boleh mikir sampai kapanpun?" Benar juga. Kenapa juga ia harus mengatakannya tadi? Untuk sepersekian detik, Rafka mulai berpikir untuk menyesali perkataannya. "Any argument?" tanya Meta begitu melihat Rafka diam saja, tak berusaha melawan. "Give me the last argument so I can start to think about it." "Baru mau mulai mikir?" "Kenapa? Gue nggak menyalahi aturan apa pun." "Fine." Rafka mengucapkannya.



terdengar



pasrah



saat



So?" Rafka lagi-lagi menaikkan satu sudut bibirnya, tipis—Kenapa Meta baru menyadari kalau Rafka sering melakukannya? Ia mendekatkan kepalanya untuk berbisik di telinga Meta. "Kalo elo nggak nyoba, lo nggak akan pernah tahu gimana akhirnya."



Walkles 576



Meta tertawa kecil mendengarnya. Sebenarnya Meta hanya iseng saja untuk memancing Rafka. Ditahannya kepala Rafka sebelum menjauh dengan tangan kanannya, kemudian mendekatkan bibirnya untuk mengecup pipi Rafka. Ketika berhasil menjauhkan kepalanya, Rafka memandang Meta dengan pandangan terkejut, bertanya, bercampur dengan rasa senang. What's with this woman actually? Rafka tidak habis pikir. Mungkin sampai mati ia tidak akan bisa menebak apa yang ada di kepala Meta. "I'll take my time," jawab Meta. Ia mengerling jahil. Rafka mendengus tidak percaya. Dengan lembut ditariknya kepala Meta untuk ikut mendekat bersamanya. Ia bisa merasakan bibir Meta tersenyum di bibirnya kemudian terbuka dan melumat bibir bawahnya, sebelum mengecupnya singkat dan mengakhiri ciuman mereka. Meta sedang mengulurkan tangannya untuk membersihkan noda lipstik yang terlihat tertinggal di sudut bibir Rafka ketika Fiki berdeham dan membuat Meta berjengit kaget.



Walkles 577



"Ngagetin aja, sih?" protes Meta ketika Fiki kembali dengan kursi roda. "Kenapa harus kaget, kan emang gue bakal nyamperin elo," ucap Fiki santai. Padahal dalam hati ia dongkol habis-habisan karena sudah susah-susah membantu Meta, bosnya itu malah asyik mesramesraan. Rafka berpamitan untuk segera meninggalkan keduanya di bandara. Ia sempat menerima telepon untuk segera kembali karena harus bertemu oleh entah siapa. Meta mengangguk dan membiarkannya pergi. "Ya munculnya jangan mendadak juga." Meta mengeluarkan suara tertahan saat berhasil mengempaskan pantatnya pada kursi roda. "Kenapa? Takut ketahuan ngelakuin hal yang anehaneh di tempat umum?" Meta membelalak mendengar ucapan Fiki. Ia menoleh ke belakang dan memberinya ultimatum. "Awas sampe elo bilang ke Gale..." "Telat, Mbak." "Hah? Kenapa?" "Udah gue kirim fotonya di grup."



Walkles 578



Meta membelalak. Fiki benar-benar membuat kesabarannya habis seketika. Pulang dari sini, ia akan segera menghabisi Gale saat itu juga. "Nggak usah naik pesawat. Gue tinggal lo di sini." Atau malah dirinya duluan yang akan dihabisi oleh seluruh pegawai Imagen? Oh, habislah sudah. *** �34.892 suka Lambe_tumpah Mimin dapet kabar semalem princess Ev dibawa ke rumah sakit. Ada apa gerangan???? Doa yang baik-baik untuk incess, semoga cepat sembuh... --------------------Lihat semua 18937 komentar 7 jam yang lalu ____________________________________ �538 suka Lambe_tumpah GEMPARRR GEMPAARRR!!!



Walkles 579



Princess Ev di rumah sakit, tapi babang tamvan mesra-mesraan sama perempuan lain. . . #HOTNEWS ---------------------makoto456 cowok!!1!1!



anj*ng,



brengsek



banget



jadi



Evelovers_id Eve pasti kuat sayang. Emg dasar pelakor, gue udah curiga dari dulu! Eve4354 dia siapa sih? Berani-beraninya nyakitin Ev Wahyooeniy jangan2 Evelyn masuk rmh skt krn tw pacarx selingkuh?????? Lihat 308 komentar lainnya 5 detik yang lalu



Walkles 580



- 44 - Judgment "Bu Tiyem, jusnya tolong dituang sekalian, ya," ucap Tante Risma sebelum membawa dua piring berisi tempe bacem dan ayam goreng bumbu kuning. Ia membawanya ke halaman belakang, di mana Marina sedang sibuk menata lampu dan bunga-bunga berwarna merah. Entah bunga apa, yang jelas bukan Mawar. Hari ini, keduanya tiba-tiba saja mempunyai ide absurd untuk merayakan pembukaan hotel secara privat dengan mengadakan pesta kebun di halaman belakang. Rafka dan Bian hanya saling pandang ketika Marina mengungkapkannya dengan penuh suka cita. Pasalnya, dua perempuan itu tidak mungkin mengerjakan semuanya sendiri. Setelah sesiangan menghilang bersama Pak Jo, Tante Risma dan Marina kembali dengan tiga kantong besar berisi entah apa. Dan yang lebih mengejutkan, tiba-tiba saja sebuah truk datang membawa dua buah meja taman beserta kursinya. "Bang, nggak bisa nyala nih." Marina menghampiri Rafka dengan membawa sebuah terminal listrik yang ia bawa dari gudang.



Walkles 581



"Pake yang lain ajalah," jawab Rafka. Ia dan Bian sedang sibuk memperbaiki kompor portable yang entah kenapa tidak mau menyala ini. "Di kamar gue ada, di rak buku. Cari aja." Marina mengedikkan bahunya, kemudian melesat ke dalam rumah. Mencari terminal listrik yang dimaksud oleh Rafka. "Nah!" pekik Bian ketika kompor yang diperbaikinya menyala. "Bisa?" tanya Tante Risma ketika melintasi keduanya. "Kalo udah, panggil semuanya buat kumpul di sini. Kita mulai makan. Mami keburu laper." Bian mencibir, "Siapa suruh mau makan aja milih ribet kayak gini." "Fabian, Mami denger, ya!" Tanpa banyak bicara lagi, keduanya masuk ke rumah. Bian berjalan ke teras untuk memanggil papinya dan papa Rafka yang sedang mengobrolkan entah apa, sedangkan Rafka berbelok ke kamarnya. Pintunya terbuka, dari luar ia bisa melihat Marina sedang berdiri di dekat meja belajarnya.



Walkles 582



"Ketemu, nggak?" tanya Rafka sambil bersandar pada kusen pintu. Marina berbalik. Ia menatap Rafka dengan mata berbinar. Di tangannya menggantung sebuah kalung berbandul berlian berwarna kebiruan, kemudian di tangan lainnya memegang sebuah kertas putih. "Bang, gue nggak sengaja liat." Rafka membelalak, merasa goblok segoblokgobloknya. Ia lupa kalau paket yang dikirimkan Evelyn masih ia letakkan di meja. Dan menyuruh Marina masuk ke dalam kamarnya tentu sama saja dengan memasukkan dirinya sendiri ke kandang macan. Bah, bahkan macan saja tidak menyebarkan gosip! Ia mengumpat pelan dan berjalan dengan langkah lebar mendekati Marina. Diambilnya kertas putih itu dari tangan Marina dan melipatnya. "Bang, elo seserius itu?" "Serius apa?" Marina dan Rafka menoleh ke arah pintu. Kakeknya berdiri di depan pintu, memperhatikan kalung yang masih dipegang oleh Marina. Cepat-cepat Marina mengembalikannya ke dalam kotak dan meringis, kemudian menggeleng.



Walkles 583



"Kalung siapa itu?" "Kalung? Kalung apa, Pa?" Tante Risma muncul dari balik punggung Pak Pramoe. Namun, mendengar nada suara papa mertuanya yang tidak terlalu bersahabat dan kedua anaknya berdiri dengan raut wajah seperti baru saja ketahuan mencuri mangga, ia langsung berkata, "Oooh... nanti aku jelasin, Pa. Sekarang kita makan dulu. Papa nggak laper?" Begitu Tante Risma berhasil menggiring kakeknya pergi, Marina mengembuskan napas lega. Ia menatap Rafka yang masih berdiri seperti patung di depannya. "Sorry..." lagi-lagi Marina hanya meringis, membuat Rafka serasa ingin mencekiknya dengan kabel terminal listrik. "Semangat, Bang. Walaupun gue sempet berharap elo sama Eve, tapi gue dukung elo sama Kak Meta. Tapi please, gue mohon lo pikir-pikir lagi. Surat lo cheesy abis," ujarnya sebelum berlari keluar membawa terminal listrik. *** Selama makan malam, Tante Risma sepertinya cukup peka untuk tidak mengungkit kembali tentang kalung walaupun Rafka yakin, tantenya itu juga setengah mati menahan rasa ingin tahunya. Kakeknya



Walkles 584



segera saja tenggelam dalam obrolan bertemakan pujapuji orang-orang terhadap Hotel Pramoedya dan acara pembukaan kemarin. Beberapa koran lokal hari ini juga memuat kesuksesan pembukaan hotel di artikel-artikel bisnisnya. Cukup untuk membuat seorang Pramoedya senyam-senyum dengan hati melambung. "Kamu harus menjaga citra positifnya, Raf," ucap Pak Pramoe sambil menunjuk Rafka dengan ujung garpunya. "Iya." Rafka hanya menjawab sekenanya. Lagi pula tak ada hal lain yang ingin ia bahas dengan kakeknya. "Besok kamu langsung ikut ke Jakarta kan, Fabian?" tanya Om Eri. "Hm... aku bareng Pak Kamal aja. Masih ada yang belum selesai aku kerjain. Nanti biar sekalian bisa bawa dokumen-dokumen hotel sini ke Jakarta." "Alah, paling alasan doang," celetuk Marina sambil mencebikkan bibirnya. "Nggak usah bawel, bilang aja elo juga pengen di sini." "Suka-suka guelah!"



Walkles 585



"Nggak usah mulai berantem, ya..." Tante Risma memperingatkan. "Mbak Risma, ini masih mending. Rafka sama Meta malah lebih parah dari ini," ucap Pak Kamal di antara suapan ayam gorengnya. "Kalo mereka berantem, seakan-akan aku udah siap kalo tiba-tiba meja makan kebalik. Bu Tiyem sama Pak Jo tuh, jadi saksinya." Rafka sampai menahan napas ketika nama Meta disebut-sebut oleh Pak Kamal. Terlalu fokus pada Marina dan Tante Risma, Rafka melupakan Pak Kamal yang tentu saja bisa jadi sumber utama munculnya pembahasan tentang Meta. Demi Gunung Merapi dan Pantai Selatan, Rafka belum ingin membicarakan hal ini. Tidak ketika hubungannya dengan Meta masih di situsitu saja. Kenapa juga Meta tak kunjung menjawab pertanyaannya, sih? "Meta? Yang kemarin kamu kenalin, Raf?" Extra-double-shit, kail Pak Kamal tersangkut juga. Ayam yang tadi berusaha ia telan terasa tersangkut di tenggorokan. "Iya, Om. Meta yang sanggup berantem sama Rafka dan bikin Rafka kicep ya cuma Meta yang itu. Berantem-



Walkles 586



berantem, nggak taunya suka," ledek Bian yang disambut tawa Pak Kamal. "Jadi yang kamu maksud serius tadi itu? Kalung itu punya dia?" tanya Pak Pramoe yang mulai mengurutkan benang merah topik yang menjadi obrolan cucunya.+ "Kamu pacaran sama Meta?" tanya Gani sambil memandang Rafka, menuntut untuk diberikan penjelasan. "Terus, Evelyn?" "Aku sama Evelyn deket karena Evelyn buka usaha baru. Kami dekat karena bisnis," jawab Rafka. Sudah berapa kali ia mengulang pernyataan ini? Disesapnya air putih untuk mendorong makanannya tertelan. Ia mulai kehilangan nafsu makan karena terlalu nervous membicarakan hal ini. "Kalung yang tadi Kakek lihat, itu produk pertamanya Evelyn. Sengaja Rafka pesen untuk hadiah... buat Meta." Setelah Rafka mengucapkannya, suasana berubah hening. Bahkan suara denting piring dan sendok pun tak terdengar. Hanya sayup angin yang lumayan sejuk seolah berusaha mencairkan suasana. "Background-nya gimana? Orang tuanya?" tanya Pak Pramoe dengan suara rendah. Rafka menelan ludahnya, ia merasa seperti sedang disidang.



Walkles 587



"Dia pemilik studio foto di daerah Kemang, baru berdiri dua tahun yang lalu," jelas Rafka. "Setau Rafka, orang tuanya di Kalimantan. Orang Rakabumi Energi." "Rakabumi Energi?" tanya Bian. Ia baru mengetahui fakta ini. Kakek Rafka mengernyit tak suka. "Dia kerja? Yakin mau lepas kerjaannya buat nemenin kamu di sini?" "Aku yang nggak mau dia lepas kerjaannya cuma demi aku. Dia bisa kerja semau dia." Pak Pramoe mengerutkan alisnya tidak setuju. Ia meletakkan sendok dan mengelap mulutnya. "Memang bisa? Jadi istri itu ya ngurus suami. Memang duitmu kurang sampai dia harus kerja?" "Aku belum mau nikah cepet-cepet, Meta juga." "Kamu bilang serius-serius, kalo serius yo nikah." "Maksudnya, aku nanti kalo udah beneran pacaran sama dia, niatnya serius. Bukan cuma pacar main-main doang." "Lho? Belum pacaran?" tanya Om Eri terkejut. Ia pikir Rafka dan Mea sudah punya hubungan jauh sebelum sebelum dikenalkan ke keluarga.



Walkles 588



Rafka hanya menyunggingkan senyum memaksa, kemudian menggelengkan kepalanya. Kalau sampai sejauh ini Meta sampai menolaknya, Rafka tidak akan diam. Ia akan memancangnya di Gunung Merapi, kemudian menghanyutkannya dari hulu ke muara di pantai selatan. "Memang kamu kurang apa sampai-sampai dia nggak mau pacaran sama kamu? Mbah Uti-mu bisa bangkit dari kubur kalau tahu kamu nggak laku." "Ya makanya restuin Bang Rafka jadi sama yang ini, biar laku, Kek!" celetuk Marina, membuat Rafka ingin menciumnya saking sayangnya. "Ck, cah gemblung." "Pa, jaman sekarang anak muda emang gitu. Saling mengenal dulu, biar tahu karakter masing-masing. Kalau udah kenal kan ngejalaninnya jadi mudah." Tante Risma berusaha menengahi. "Terus arep kenalan sampai kapan? Tiga tahun? Lima tahun? Sampai mereka hamil duluan?" "Hush! Kenapa Papa ngomong gitu, sih!" "Lha itu di berita-berita kan banyak yang begitu. Aku dulu, sama Mbah Uti-mu, habis dikenalin langsung



Walkles 589



nikah, langgeng hubungannya. Mbah Uti-mu telaten ngurusin Kakek, telaten urusi keluarga. Cari istri yang telaten ngurusin kamu." "Pa, Papa kan belum kenal sama Meta. Nanti kalau Papa masih nggak sreg setelah kenal, baru Papa bilang ke Rafka..." Ucapan Tante Risma terpotong oleh suara ponsel Pak Kamal. Pak Kamal memberikan isyarat permohonan maaf dan merunduk untuk mengangkat panggilan teleponnya. Setelah terdengar terkejut, Pak Kamal segera memberikan instruksi pada bawahannya untuk tetap tutup mulut. "Ono opo?" tanya Pak Pramoe terdengar menuntut. "Ini..." Pak Kamal menggaruk lehernya yang sebenarnya tidak gatal. "Ada gosip yang beredar kalau Evelyn masuk rumah sakit, diduga karena Rafka selingkuh." Kakek Rafka membelalak dan berseru, "Apa?" Ia menatap Rafka nyalang. "Grup aku mulai rame ngobrolin Abang." Marina mengangkat ponselnya yang bergetar-getar tanpa suara.



Walkles 590



"Selingkuh? Kamu selingkuh, Raf?" Gani juga ikut menatap Rafka. "Rafka nggak pernah pacaran sama Evelyn, wartawan aja yang selalu seenaknya sendiri," ujar Rafka membela diri. "Urung-urung wis koyo ngene. Kakek nggak mau tahu, bersihkan nama Pramoedya dari gosip-gosip nggak penting ini." "Rafka, kamu nggak mau bikin konferensi pers untuk jelasin semuanya ke wartawan?" "Yang public figure itu Evelyn. Aku nggak mau ikut campur." "Tapi Raf..." "Biar anak buahku yang ngurus, Mbak," putus Pak Kamal. Ia tahu, Rafka tak mungkin mau berurusan dengan wartawan untuk masalah-masalah seperti ini. *** Senin pagi memang menjadi momok bagi orangorang yang baru saja menikmati hari libur mereka. Tidak dengan Imagen yang hampir setiap hari buka. Pintu ruang kerja Meta diketuk dua kali sebelum kemudian



Walkles 591



Gale berjalan masuk ke ruangannya dengan muka serius, sudah seperti orang yang terkena Monday Syndrome. Meta yang sedang berdiskusi dengan Krisna mendongak, menaikkan alisnya bingung. Tidak biasanya Gale masuk ke ruangannya dengan wajah seperti itu. "Ada apa?" Suara Meta terdengar sedikit terkejut. "Kayaknya kita punya masalah." Masih dengan raut muka serius, Gale menyodorkan ponselnya pada Meta. "Ada beberapa telepon masuk dari wartawan, dan di bawah udah ada dua orang yang dateng buat ketemu langsung sama elo." "Kenapa gue?" tanya Meta bingung. Namun, saat mulai membaca berita di ponsel Gale, pertanyaanpertanyaan di kepalanya seketika terjawab. "Holyshit! Kenapa jadi gini, nih?" pekik Meta tak habis pikir. "Rafka nggak ngasih tahu elo?" Meta menggeleng. Dengan panik ia menggeser kursinya menghadap layar komputer yang masih menyala. Ia mulai mengetikkan namanya di mesin pencarian dan tak ada satu detik, laman-laman yang memberitakan dirinya langsung muncul.



Walkles 592



Jujur saja, ia pernah membayangkan namanya dapat dengan mudah dicari di mesin pencarian, semua orang tahu siapa dirinya. Tapi tidak seperti ini! Tidak dengan Meta Mariska yang dikaitkan dengan kata perebut pacar orang ataupun selingkuhan. Seharusnya Meta Mariska yang dikaitkan dengan fotografer profesional Indonesia, bersanding dengan Darwis Triadi atau Jimmy Iskandar. Yah, muluk sekali, tapi namanya juga impian.+ Sinta, yang juga memegang posisi sebagai admin media sosial Imagen takut-takut berdiri di depan pintu. Ia meringis ketika Gale menoleh ke arahnya, menyadari kehadirannya. "Anu, Mas Gale. Instagram kayaknya mulai rame sama fans-fans Evelyn." Ia menyerahkan ponsel milik studio pada Gale. "Apa sebaiknya kita privat aja?"



Walkles 593



Gale terdiam membaca komentar-komentar yang ditinggalkan oleh fans Evelyn di akun Instagram Imagen. Tak sedikit yang mengungkapkan kekecewaannya dengan kata-kata kasar. Gale menoleh ke arah Meta. "Instagram pribadi elo udah diprivat, kan?" Meta mengangguk. Ia menelan ludahnya yang saat ini lebih mirip seperti rebusan daun pepaya. Pahit seperti nasibnya. Semenjak bertemu Rafka, jalan hidupnya seperti tak ada yang benar. "Gue harus gimana, dong?" Gale menghela napasnya. Matanya berkedip-kedip dengan pandangan menerawang, mencoba memikirkan jalan keluar. Masalahnya ia tidak pernah sampai dikejarkejar wartawan begini. "Lo coba telepon Rafka, deh. Yang punya gosip kan seharusnya dia." Benar juga kata Gale. Meta meraih ponselnya, mencari nomor Rafka di kontaknya dan mencoba menghubungi Rafka, tetapi yang menjawab hanyalah suara operator yang mengatakan kalau sambungan telepon Rafka sedang sibuk.



Walkles 594



"Sibuk." "Nggak tahu, deh. Diem aja. Belom pernah jadi orang terkenal gue." Gale menggelengkan kepalanya menyerah dan berlalu keluar dari ruangan Meta. Sayup-sayup Meta mendengar bahwa Gale meminta yang lain untuk menutup studio saja dan menyuruh anak front office untuk mengusir wartawan yang menunggu Meta di lantai bawah. "Kita pending dulu bahasan kita hari ini, nggak yakin gue bisa konsen," ucap Meta mempersilakan Krisna untuk pergi. Krisna hanya mengangguk dan berjalan keluar dengan laporan keuangan Imagen di tangannya. Sepeninggal Krisna, Meta menghela napas panjang dan memijit pelipisnya. Ia mencoba untuk menghubungi Rafka lagi, tapi masih sibuk. Sebenarnya berita macam apa yang sebelumnya telah beredar di luar sana? Meta kira orang-orang tahu kalau berita Evelyn berpacaran dengan Rafka hanyalah gosip tak bermutu. Atau sebenarnya mereka memang sempat berpacaran sebelum Rafka bilang suka padanya?



Walkles 595



Di Twitter, namanya juga tengah menjadi trending topik. Oh, ya ampun. Sejauh mana hal ini akan berimbas? Hampir lima belas menit menunggu, nama Rafka akhirnya muncul juga di ponselnya. Tak sampai satu detik, Meta menggulir tombol hijau dan menempelkannya pada telinga. "Halo, Raf ?" "Lo udah dengar beritanya?" "Nggak cuma denger, wartawan ada di depan Imagen sekarang," pekik Meta sedikit panik. "Kenapa ada yang tahu kalo itu elo sih, Raf? Kamu bukan public figure gitu..." Rafka berdecak. Sepertinya ia sedang bersama orang lain karena Meta mendengar Rafka mengulangi apa yang Meta ucapkan. "Lo nggak ada tempat nginap yang lain? Di rumah temen?" "Nggak ada." Rafka mendesah, kemudian terdiam cukup lama. "Kalo gitu, untuk sementara nggak usah keluar rumah, ya? Bisa? Nggak usah ditanggepin perkataannya



Walkles 596



wartawan. Besok juga paling udah reda, seminggu juga beritanya udah ilang." "Hmm..." Meta mengiakan. "Nanti gue juga bilang ke anak-anak buat tutup mulut." "Oke," ucap Rafka sedikit menggantung. "So, everything's good?" Ditanya begitu, Meta terdiam. Apanya yang 'good' kalau semuanya jadi kacau begini? "Apa elo beneran pacaran sama Evelyn?" "Meta, jangan bilang elo juga percaya gosip murahan kayak gitu? Mereka kerjaannya cuma cari sensasi." Nada suara Rafka terdengar meninggi. Meta menggigit bibirnya. "So, it's not?" "Of course not!" ucap Rafka tak sabar. "Ya kan cuma nanya." Keduanya terdiam dalam kecanggungan yang sebenarnya tidak menyenangkan. Rafka kemudian berdeham untuk membersihkan tenggorokannya.+ "Still not gonna give me your answer?" "I'm using my time wisely. All of these things make me swayed," ucap Meta jujur. Bagaimana tidak?



Walkles 597



Keapesan menimpanya secara bertubi-tubi sejak ia bertemu Rafka. "SWAYED?!" Rafka terdengar tidak habis pikir. "What're that swayed things for? di waktu-waktu kayak gini, our bond should be stronger!" Dari sudut ruang di mana Rafka sekarang berada, terdengar erangan jijik, ucapan 'omongan lo dangdut abis', dan umpatan Bian. Meta bisa mendengarnya samar. Meta mengikik geli. "Who knows? Elo bisa aja bohongin gue or something." "Percaya sama gue. Jangan pernah percaya sama wartawan." Rafka tiba-tiba terdengar seratus kali lebih serius saat mengatakannya. Hal itu membuat Meta tertegun. Karena Meta tak kunjung menjawab, Rafka kembali berbicara. Meta bisa mendengar suaranya sedikit bergetar saat mengatakan, "Please..." "Iya..." "Raf," panggil Meta setelah keheningan yang cukup lama.



Walkles 598



"Ya?" "Apa gue bisa minta tolong untuk lakuin sesuatu biar identitas keluarga gue nggak terkuak ke khalayak?" tanya Meta terdengar tak terlalu yakin. "Gue nggak mau nama papa jadi jelek di mata koleganya." "Gue usahain..." jawab Rafka. Hatinya terasa seperti diremas ketika mendengar sarat ketakutan berada di balik suara Meta. Sambungan teleponnya dengan Rafka ditutup. Meta hanya duduk diam di balik mejanya sambil berharap ketakutannya tidak akan terjadi. Ia tidak ingin melihat raut kecewa kembali terukir di wajah papa dan mamanya.



Walkles 599



- 45 - Trauma Meta membuka matanya. Ia melirik jam beker kotak putih miliknya yang berada di atas nakas. Masih jam setengah enam, tapi ia sudah mendengar suara berisik di bawah. Demi Tuhan ia baru bisa tidur pada jam tiga pagi, apa yang mereka lakukan di bawah sana hingga seberisik ini? Kemarin, beberapa wartawan bertahan hingga tengah malam sebelum kemudian menyerah dan membubarkan diri. Gale sebenarnya berniat untuk menemaninya, tapi akhirnya Meta mengusir Gale pulang setelah wartawan-wartawan itu pergi. Walaupun garang di luar, Meta sebenarnya tak tega merepotkan pria itu. Dengan paksa, Meta bangkit dari tidurnya. Ia meraih kruk dan turun ke lantai bawah, berniat mengintip apa yang terjadi di bawah. Yah, walaupun mungkin saja Meta tetap tidak akan berani keluar kalau mereka bawa-bawa mic dan kamera. Apalagi dengan menggunakan kaos oblong dan celana pendek sebatas paha seperti ini? Tidak, terima kasih.



Walkles 600



Selepas tangga terakhir, Meta mengendap menuju ruang depan. Ia menyingkap roller blind di sisi yang paling pinggir agar orang-orang di luar itu tidak melihat pergerakannya. Ketika Meta berhasil melakukannya, petir seolah langsung menyambarnya di pagi buta. Mereka bukan wartawan. Tak ada kamera, mic, apalagi mobil berantena milik stasiun televisi. Hanya sekumpulan pria dan wanita—yah, kebanyakan wanita. Beberapa berdiri di luar pagar setinggi dada dan beberapa yang lain entah bagaimana bisa membuka pagar dan masuk ke halaman studio. Meta mencoba mengerjapkan matanya, berharap apa yang dilihatnya ini hanya halusinasi. Namun, sayangnya pemandangan mengerikan ini tak kunjung menghilang. Orang-orang itu masih saja dengan tertawa-tawa mencoret tembok, kaca, pintu gerbang belakang, maupun lantai halamannya menggunakan cat semprot. Kertas-kertas manila bertuliskan entah apa, ditempel di pagar. Rasa takut yang sejak semalam bercokol di hatinya, kini berganti dengan rasa marah. Melihat Imagen seenaknya dicoret-coret, Meta merasa harga dirinya juga ikut dicoret. Banting tulang Meta membangun



Walkles 601



studio ini dengan darah dan keringat, dan mereka merusak semua tanpa beban ataupun rasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, Meta mengambil kunci pintu. Ia menarik roller blind yang terpasang di atas pintu. Begitu roller blind tergulung sempurna, Meta dapat melihat pintunya ditutup dengan beberapa pita pembatas dan selembar kertas kardus, seolah-olah Imagen adalah tempat berbahaya yang harus mereka hindari. Begitu pintu terbuka, Meta melepas pita-pita itu dalam sekali sentak dan mengambil kertas kardus yang terjatuh. "Dilarang masuk, rumah pelakor..." gumam Meta membaca tulisan di kertas itu. Ia hanya bisa tertawa lirih, tidak habis pikir. "HENTIKAN!" Meta berteriak. Mau pita suaranya robek juga ia tidak peduli, yang jelas ia harus menghentikan mereka. Mereka bisa menyakiti Meta, tapi kalau Imagen yang jadi pelampiasan, Meta tidak rela. "Hentikan semuanya!"



Walkles 602



Ada setitik rasa lega saat tangan-tangan itu menurunkan catnya, mengubah fokusnya pada Meta yang berdiri di depan pintu. "Oh, jadi ini yang merebut Rafka dari Evelyn..." Salah seorang dari mereka mengucap dengan senyum remeh. "Nggak cantik, lebih cantik Evelyn." "Mbak, kalau saya lebih cantik dari Evelyn, saya yang akan jadi artis. Bukan dia!" balas Meta tak terima. "Ya kalo begitu elu tahu dirilah, kagak usah rebutrebut laki orang! Brengsek ye lu!" sahut yang lain, yang berdiri di luar pagar. "Saya bukan pelakor!" teriak Meta lagi. Ia benarbenar tak habis pikir dari mana mereka bisa membuat kesimpulan super ngawur seperti itu. "Saya nggak pernah rebut Rafka dari Evelyn! Bagian mana yang kurang jelas dari ucapan saya?" "Nggak usah bohong lo! Najis!" "Banyak omong ye lu!" "Maling gak bakal ngaku maling!" "Dasar pelakor nggak tahu diri!" "Sampah!"



Walkles 603



"Nggak rela gue orang kayak elo hidup di dunia!" "Nggak punya hati lo sebagai sesama perempuan!" "Hati aja nggak punya, otak apalagi!" Semua suara saling bersahutan. Dari seruan olokolok, hingga segala sumpah serapah bercampur hingga tak jelas apa yang mereka ucapkan. Dalam sekedipan mata, Meta merasakan sesuatu dilempar ke arahnya. Refleks, ia menutup mata dan menunduk. Kepalanya terasa sakit terkena lemparan, kemudian cairan mengalir dari atas kepalanya beserta bau amis menyengat. Silih berganti di bahu, perut, dan pipinya. Tak lama, ia merasakan cairan dingin dan bau mengguyur tubuhnya. Bukannya berlari menyelamatkan diri, kaki Meta terasa seperti terpaku di bumi. Bahkan melangkah pun rasanya tak bisa. Tenggorokannya tercekat, tak sanggup walaupun sekadar berteriak atau mengaduh. Entah berapa kali mereka melakukannya, Meta berhenti menghitung setelah lemparan telur ketiga dan guyuran air kedua, hingga samar ia mendengar seseorang datang. "BRENGSEK! PERGI LO SEMUA?!"



Walkles 604



Gale dengan tubuhnya yang tinggi tegap datang menghambur ke kerumunan. Ia berhasil memegang salah satu pria di antara kumpulan orang itu dan melayangkan tinjunya. Beberapa wanita berusaha meraih dan mencakar wajahnya, tapi Gale tidak peduli. "Oh, nggak usah pergi, deh. Gue udah telepon polisi!" katanya setengah terengah-engah. Beberapa orang yang menyadari ucapan Gale langsung memilih untuk berlari menjauh. Ketika tibatiba mendengar suara sirine dari kejauhan, semuanya berlarian meninggalkan tempat. Padahal sebenarnya Gale hanya membual, dan sirine yang berbunyi itu bahkan lebih mirip sirine ambulans daripada sirine polisi. Ketika orang-orang yang tadi mengerumuninya telah pergi, Gale menoleh. Ia dengan susah payah menelan ludahnya mendapati Meta mematung di depan studio, berlumuran telur dan cairan kehitaman yang Gale yakin itu adalah air comberan di depan Imagen. Gale berlari mengambil selang air dekat tempat parkir motor Imagen dan menyalakannya.



Walkles 605



"Cuci tangan, Ta." Gale meraih tangan Meta dan membasuhnya dengan air setelah berhasil menyeret selang mendekat. Ia meringis ketika mendapati tangan itu bergetar. "Nggak papa, gue udah di sini." "Tahan napas," ucap Gale ketika mengarahkan selang air ke wajah Meta dan rambutnya. Gale kembali mengernyit ketika mendapati sebaris luka di pipi Meta masih mengeluarkan darah. "Perih..." "Iya, pipi lo luka." Dengan tangan kiri, Gale menelepon rumah sakit terdekat untuk meminta dikirimkan ambulans. Ia masih punya cukup hati untuk tidak membawa Meta ke rumah sakit dengan motor matic-nya dan mengambil risiko membuat Meta masuk angin. "Lo pegang sendiri dulu, gue ambil handuk." Gale menarik tangan Meta dan menyerahkan selang air yang masih mengucur, kemudian berlari dengan langkah lebar untuk mencari handuk di dalam studio. Ia mencarinya sambil mengontak Bunga agar asistennya itu bisa segera datang.



Walkles 606



"Cari temen kalau ke sini. Atau kamu hubungi Fiki," ucap Gale setelah menceritakan keadaan hari ini pada Bunga. Gale hanya menemukan selimut putih yang biasa digunakan sebagai properti foto. Tanpa ambil pusing, Gale langsung mengambilnya dan kembali berlari ke depan. "Gue bantu bersihin punggung lo." Gale mengambil alih selang air yang dibawa Meta. Bagian depannya sudah lumayan bersih, tapi bagian belakangnya... dipandang saja tak layak. "Shit, gips gue bau comberan." Meta menunduk melihat gipsnya berwarna kehitaman. Dalam hati Gale bersyukur, sepertinya Meta tidak tenggelam dalam kekagetannya terlalu lama. Meta mengumpat saja merupakan anugerah yang luar biasa. Padahal kalau Meta masih berbicara sepotongsepotong, Gale bertekad untuk segera membawanya ke psikolog. "Nggak cuma gips elo, Nyet. Dari ujung rambut lo sampe ujung kaki juga bau comberan."



Walkles 607



Setelah terlihat lebih manusiawi, Gale melingkupi Meta dengan selimut yang tadi dibawanya. Tepat pada saat itu, ambulans datang. "Lo mau bawa gue ke rumah sakit segala?" Gale mengangguk. "Lo gila? Ini bisa jadi kasus kalo dilaporin ke polisi dengan bukti hasil visum elo. Lagi pula elo mau pake gips bau itu sampe kapan? Nggak mau diganti?" Seorang perawat yang turun dari ambulans mengernyit kemudian menutup hidung dengan maskernya. Ia memapah Meta memasuki ambulans. "Eh, elo mau ke mana?" tanya Meta panik ketika Gale malah menjauh. "Tanggung jawab lo! Udah nyuruh gue ke rumah sakit, berarti lo juga yang harus nemenin!" "Gue cuma ambil tas elo di atas. Lo kira tangan lo punya barcode identitas?" tanya Gale kesal. Lagi pula pintu masih harus dikunci juga. *** Sassy Girl (19) Angelina Wongso Yang gw liat di twitter fans



Walkles 608



Eve kemarin dilakuin beneran anjir Diandra Kim Yang bener lo? Jane May Hah? Serius? Jay Emang jadinya dia pelakor beneran? Bukannya Marina bilang abangnya ga pacaran sama eve? Angelina Wongso Gw ga tahu. Marina ke mana sih? Mar muncul dong Ada yang upload videonya



Walkles 609



Wait, gw lg download Angelina Wongso send a video Jay Gila Jane May Barbar banget anjir Fenny Hutomo Gila gila gila *** 498 suka Lambe_tumpah . Sabar sabaaaaarrrr .



Walkles 610



Fans princess Ev marrraaaaahhh karena katanyaaa si babang tamvaan selingkooong!!!! . . Mince ga ikutan yeeessss9 #hotnews Lihat semua komentar... Evelovers1978 rasain tuh pelakor! gak tahu diri! Siti_mub kasihan bgt sampe begitu ->wahyooeniy yg namax pelakor, g blh dikasihanin!! Pritaaamays kenapa sih kalau selingkuh yang disalahin selalu pihak wanitanya? Yang laki juga salah karena mau-mau aja selingkuh. Dan ini fansnya kenapa bar-bar banget deh? 5 menit yang lalu *** Rafka menyesap minumannya sambil mengedarkan pandangannya, memperhatikan para pegawainya yang



Walkles 611



tertawa-tawa mengobrol dengan Bian dan Pak Kamal. Tadinya Rafka mau pulang tenggo setelah terlalu sering lembur saat sebelum pembukaan, tapi ternyata pegawai-pegawai hotel telah mempersiapkan pesta perpisahan dengan Bian dan Pak Kamal yang hari ini resmi selesai membantunya. Rafka sebenarnya cukup kepikiran, bagaimana nasibnya akan ditinggal oleh Pak Kamal. Ketakutan kalau ia tidak mampu menjalankan posisi sebagai general manager hotel ini kadang-kadang terbayang. "Kenapa kamu diem aja? Sakit gigi?" senggol Pak Kamal. Rupanya ia telah melipir dari kerumunan orang yang tadi bersamanya. "Nggak." "Terus?" "Ya nggak ada terus." Pak Kamal terkekeh mendengar nada ketus yang Rafka lontarkan. Perhatiannya kemudian teralih pada ponsel kantor miliknya yang tiba-tiba berbunyi. Pak Kamal mengernyit melihat caller id-nya. "Ada masalah apa lagi?" tanya Pak Kamal dengan nada bosan. Ia terlihat mendengar suara lawan



Walkles 612



bicaranya dengan alis berkerut, kemudian melangkah menjauh untuk mencari tempat yang lebih sepi. Rafka memperhatikan Pak Kamal dengan sudut matanya. Kira-kira masalah apa lagi yang membuat Pak Kamal menunduk dengan muka keruh seperti itu? Terlalu sibuk memperhatikan Pak Kamal, Rafka tidak menyadari Bian sudah berdiri di sebelahnya. Ia sampai berjengit kaget ketika Bian menepuk pundaknya. "Kita pulang sekarang aja, gue udah selesai pamit sama yang lain. Pak Kamal mana?" tanya Bian. Rafka menunjuk Pak Kamal dengan dagunya. Keduanya kemudian menghampiri Pak Kamal, kemudian menunggu Pak Jo yang baru akan menghampiri mereka di lobi hotel. "Ada masalah apa lagi? Gosip-gosip itu masih beredar?" tanya Rafka ketika mereka sudah meluncur di jalan. Gelagat Bian dan Pak Kamal sama anehnya. Dalam diam, ia memutuskan untuk mencari namanya sendiri di mesin pencarian. Berita-berita yang keluar kurang lebih masih sama seperti kemarin.



Walkles 613



"Nanti aja, Raf. Nggak enak ngobrolin di mobil gini," jawab Pak Kamal. Ia melirik Bian yang memandangnya, kemudian mengangguk samar. Karena tak menemukan apa-apa, Rafka membuka akun Instagramnya. Ratusan permintaan following serta tag komentar membanjiri notifikasinya. Tanpa membuka satu pun, dibukanya akun Lambe_tumpah di mesin pencarian. Postingan terakhirnya sekitar empat jam yang lalu, sebuah video yang tidak terlalu jelas. Namun, ketika membaca caption di bawahnya, ia merasa seperti ada palu godam yang menghantam dadanya. 'Hentikan!' Suara dalam video amatir itu serasa menyerap semua oksigen yang ada di dalam mobil. Rafka melihat gambar dalam video itu silih berganti. Teriakan dan umpatan itu memenuhi telinganya, kemudian tiba-tiba bercampur dengan suara yang familier. Suara-suara yang sudah lebih dari sepuluh tahun tak pernah ia dengar lagi.+ "Katanya emang dulu nikah demi harta, udah kayak lintah di keluarganya..." "Nggak tahu malu..."



Walkles 614



"Amit-amit, ih..." Suara umpatan dan hinaan orang-orang kepada mamanya. Kilat-kilat cahaya kemudian menyala silih berganti. Wartawan-wartawan itu berusaha memotret mama layaknya ia adalah hewan yang paling menakjubkan di kebun binatang. Kedua tangan yang terasa rapuh itu bergetar ketika berusaha mendekap kepalanya, melindungi Rafka dari para pemburu berita itu. Tangan itu juga yang berusaha menutupi telinganya dari suara hinaan orang-orang pada keluarga Pramoedya. Ia bisa melihat mamanya menyunggingkan senyum terpaksa, hingga seiring berjalannya waktu senyuman itu benarbenar menghilang tanpa bekas. Dingin. Sedingin tangan mamanya yang tergeletak di kamar dengan lilitan tali di leher dengan wajah yang membiru. Wajah itu kemudian memburam, berganti dengan wajah seseorang yang familiar. Wajah Meta. Tidak. Ini tidak nyata. Rafka memejamkan matanya erat, berusaha mengendalikan tubuhnya sendiri. "RAF!" teriak Bian seraya menyentak ponsel yang Rafka genggam erat di tangannya.



Walkles 615



Entah sudah teriakan ke berapa Rafka baru menyadari bahwa Bian berkali-kali memanggil namanya. Oksigen seperti serasa berebut untuk masuk ke dalam rongga dadanya. Rafka berusaha menarik lepas dasinya yang tiba-tiba terasa mencekik. Ia mengalihkan pandangannya pada jendela di luar sana, menyandarkan tubuh, kembali menggali memorinya untuk menenangkan tubuhnya sendiri seperti yang telah ia lakukan bersama terapis selama bertahun-tahun lalu. "Raf!" Rafka bisa kembali mendengar Bian berteriak, tepat di depan wajahnya. Pak Kamal juga menjulurkan badannya ke bagian belakang mobil sambil menempelkan ponselnya ke telinga. Ketika kesadaran menyeruak kembali, amarah tiba-tiba saja ganti menggelegak hingga bagian terkecil pembuluh darahnya. Bisa-bisanya Pak Kamal dan Bian berusaha menyembunyikan masalah sepenting ini. "Anterin saya ke bandara sekarang juga, Pak Jo," desis Rafka tajam. "Raf, lo nggak bisa..." "Bisa," ucap Rafka final sambil menatap Bian nyalang.



Walkles 616



Bian hanya menelan ludahnya, tak repot untuk balas mendebat ucapan Rafka. Ia memundurkan badannya, kemudian melirik tangan Rafka yang terkepal erat. Pak Kamal mengangguk, menginstruksikan pada Pak Jo untuk menuruti apa yang Rafka inginkan.



Walkles 617



- 46 - Completion Sepanjang perjalanan ke bandara hingga menunggu pesawat, entah berapa kali Rafka berusaha menelepon Meta. Kefrustrasiannya meningkat seiring dengan suara operator yang mengatakan bahwa sambungan akan dialihkan. Ketakutannya juga semakin meningkat ketika saat itu bayangan Meta yang terbujur kaku seperti mamanya kembali muncul di kepalanya. Pramugari sampai mengingatkannya untuk segera mematikan ponsel karena pesawat akan lepas landas. Satu jam perjalanan tanpa ponsel terasa sangat mencekik saking lamanya. Entah berapa kali ia menarik dan mengembuskan napas untuk menenangkannya diri. Pramugari yang lewat meliriknya dengan raut khawatir, tapi tak menanyakan apa pun. Bagus, Rafka memang sedang tak butuh ditanya. Ia tidak bisa berpikir tentang apa pun. Dan Meta. Astaga, bahkan menyebut namanya saja Rafka tidak sanggup. "Lo nggak bawa obat?" tanya Bian yang akhirnya ikut terbang menemani Rafka. Ia tidak bisa meninggalkan Rafka sendiri dengan keadaan seperti ini.



Walkles 618



Rafka berusaha mengembuskan napasnya dengan baik sebelum menjawab. "Gue udah lama nggak minum obat," aku Rafka. "Sekarang gimana?" "Gue masih bisa handle." Bian mengangguk, memilih untuk percaya. Sebenarnya inilah yang keluarganya khawatirkan ketika gosip dengan Evelyn mencuat ke publik. Semua orang dituntut untuk menutup mulut tentang apa yang terjadi di masa lalu dan menghindarkan Rafka dari segala sesuatu yang dapat memicu trauma itu kembali. Karena itu ia dan keluarganya tidak pernah memaksa Rafka untuk memberikan penjelasan kepada para wartawan. Dan Bian tahu Pak Kamal telah melakukan yang terbaik untuk membuat wartawan-wartawan itu tidak mendesak Rafka, entah bagaimana caranya. Namun, ternyata apa yang mereka lakukan tetap saja punya celah. PTSD itu tetap muncul layaknya ranjau yang menjebak setiap langkah mereka. Memang tidak seharusnya keluarganya lengah walaupun gejalanya sudah lama tidak pernah muncul. Sekarang ia hanya bisa berharap, Rafka benar-benar dapat mengendalikan diri seperti apa yang dikatakannya.



Walkles 619



** Pak Kamal ternyata telah menelepon orang rumah untuk memberitahukan apa yang terjadi. Mobil telah dikirim untuk menjemput keduanya. Maminya tidak berhenti menelepon sejak ponsel Bian aktif kembali setelah turun dari pesawat, tapi Bian tidak mengangkatnya. Ia hanya meninggalkan pesan kalau akan segera menelepon maminya nanti. Pak Tomo, sopir pribadi papa Bian telah menunggu mereka di luar pintu kedatangan. Rafka seperti orang kesetanan berlari menuju mobil, mau tidak mau Bian juga harus ikut berlari kalau tidak mau ditinggal di Bandara. Tak ada lima menit, mobil telah melaju membelah jalanan. Untung saja jalanan yang mereka lewati tidak terlalu macet. Ketika mereka tiba, Rafka membuka pintu mobil bahkan sebelum mobil yang dinaikinya belum benarbenar berhenti. Ia keluar dari mobil, tapi kemudian langkah kakinya terhenti. Rafka berkedip tiga kali untuk memastikan apa yang dilihatnya itu bukan halusinasi. Meta di sana. Masih hidup dan berdiri memperhatikan karyawan-karyawannya membersihan



Walkles 620



sisa keonaran hari ini, sebelum menoleh ke arahnya dengan raut wajah seperti baru saja melihat hantu. Dengan langkah lebar karena tak sabar, Rafka mendekat. Ia meraih Meta dalam dekapannya erat, seerat yang ia bisa. Ini akan terdengar menggelikan, tapi Rafka saat ini menyadari bahwa mungkin inilah rasanya menganggap kehadiran seseorang terasa sangat penting, bahkan lebih penting dari oksigen sekalipun. Bayangan Meta akan seperti Mamanya membuatnya tak bisa bernapas. Sejak kapan ia merasa seperti ini? Sejak kapan hidupnya terasa bergantung pada seorang manusia licik berambut pendek di dalam dekapannya ini? Rafka merasa... ia tidak akan bisa melanjutkan hidup tanpa Meta di dalamnya. Perlahan, beban berat yang menghimpit dadanya terasa terangkat. Serpihan dadanya yang pecah karena dipukul palu godam serasa kembali ke tempatnya semula. Nyawanya yang tadi berada entah di mana, kini kembali utuh di dalam raganya. Ia bisa merasakan rasa lega yang luar biasa membanjiri seluruh sel dalam tubuhnya.+ Rafka bisa merasakan matanya memanas. Ia tidak akan membiarkan Meta melepaskan pelukannya sampai Rafka bisa mengendalikan ekskresi air matanya atau



Walkles 621



Meta akan bisa melihatnya menangis seperti bayi dan hal ini akan menjadi bahan ejekan hingga ia tua. Tidak, terima kasih. Ia bisa merasakan Meta menyerah untuk berusaha melepaskan diri dan balas mendekapnya, kemudian mengusap dan menepuk punggungnya pelan. Rafka menolehkan wajahnya ke samping, mencium kepala Meta dan menenggelamkan hidungnya pada helaian rambut wangi yang menenangkan. Oh, tentu saja. Siapa yang tidak keramas setelah dilempari telur amis dan baunya air comberan? Rafka melepaskan pelukannya, merangkum kepala Meta di dalam kedua tangan besarnya, meneliti apakah wajah itu baik-baik saja. Ia mengusapkan ibu jarinya perlahan pada pinggiran plester yang ditempel di pipi kiri Meta, seolah takut jempolnya akan membuat Meta kesakitan. Meta ikut terdiam menatap Rafka. Wajah pucat yang dari dilihatnya saat Rafka tiba, kini sudah memerah. Matanya basah. Sesuatu dalam dada Meta semakin terasa diremas ketika merasakan tangan Rafka dingin dan bergetar. Pria di depannya ini, yang biasa berdiri dengan angkuhnya, untuk pertama kalinya terlihat rapuh di hadapannya.



Walkles 622



"You okay?" bisik Rafka tak bisa menyembunyikan ketakutan di balik tatapannya. Meta menyunggingkan sudut bibirnya dan mengusap pipi Rafka untuk menenangkannya, "Telur doang nggak akan bikin gue patah tulang." Rafka mendengus. "Elo nggak bisa bercandain gue sekarang." Ia menyisipkan rambut-rambut Meta di balik telinga. Meta menatap Rafka, bertanya-tanya dalam hati kenapa pria ini bisa amat sangat berubah. "Khawatir banget, Raf?" Rafka mengangguk singkat. "Sampai mau mati." Ia tak tersenyum ketika Meta berdecih karena itulah yang benar-benar ia rasakan. "I don't wanna lose you. Rasanya aku udah mau gila karena kamu nggak ngangkat telepon. Aku kira kamu... kamu... kenapanapa." "Kamu telepon? Ponsel aku di dalem, sedangkan aku di luar. Bantuin yang lain ngebersihin semua kekacauan ini."



Walkles 623



Ketika Meta menunjuk ke sekelilingnya, Rafka baru menyadari halaman parkir studio ini berubah. Ia melepaskan tangannya dari kepala Meta dan mengedarkan pandangannya. Sejak tadi tiba, ia baru memperhatikan coretan-coretan di dinding kanan dan kiri, juga kaca depan yang sudah separuh bersih. Jejakjejak basah di lantai conblock yang saat ini diinjaknya juga telah mengering. Satu lagi yang benar-benar Rafka baru sadari, ternyata sejak tadi ia dan Meta telah menjadi bahan tontonan yang menarik untuk sejumlah orang. Tapi peduli setanlah, Rafka mengalihkan kembali tatapannya pada Meta. "Aku minta maaf. Nggak seharusnya kamu mengalami ini semua." Meta tersenyum kecut. "Udah kejadian, Raf." Sebenarnya Meta tidak tahu bagaimana ia harus bereaksi atas masalah ini. Kalaupun Meta ingin marah, yah ini semua bukan sepenuhnya salah Rafka. Ingin marah pada Evelyn juga ia tidak tahu bagaimana caranya. Lagi pula ini hanya kesalahpahaman orangorang yang sama sekali tidak mengenal mereka, bukan kesalahpahaman di antara mereka bertiga.



Walkles 624



Tangan Meta terulur untuk merapikan rambut Rafka yang mencuat ke sana kemari. Ia baru menyadari Rafka masih mengenakan pakaian kerjanya. Apa dia langsung ke sini dari hotel? "Bukan salah kamu juga," putus Meta. Tak lama, sebuah taksi melambat kemudian berhenti di belakang mobil Rafka. Rafka menoleh, memperhatikannya dari kejauhan. Meta terpaksa menurunkan tangannya dan mengikuti arah pandang Rafka. Pintu-pintu penumpang baru terbuka setelah beberapa saat setelah taksi berhenti. Seorang pria bersetelan jas turun dari taksi, berdiri melihat sekelilingnya sebelum terpaku pada Meta. Seluruh tubuh Meta terasa membeku karenanya. Pria itu... sejak kapan Meta terakhir kali melihatnya? Dua tahun? Tiga tahun? Meta tidak tahu sebagian rambutnya telah memutih. Tingginya masih sama, tapi terlihat lebih gemuk daripada yang terakhir ia lihat. Juga garis mata yang telah muncul di wajahnya terlihat semakin jelas ketika pria itu berjalan mendekat. Meta memutar tubuhnya. Ia menggerakkan kruknya mendekati pria itu. Dadanya bergemuruh serasa ingin



Walkles 625



meledak. Hidungnya sampai terasa sakit karena perubahan emosi yang terlalu tiba-tiba. Bibirnya bergetar menahan tangis. Entah sejak kapan air mata meleleh di pipinya, Meta tak sadar. Begitu papanya berjarak hanya satu langkah, Meta tidak peduli. Ia melepaskan kruk dan menghambur pada pelukan papanya. Terserah apa yang akan papanya nanti pikirkan. Tidak, selama ini Meta tidak pernah menangis. Bahkan ketika papanya menyuruhnya untuk hidup sendiri dan menyuruhnya pergi, ia tidak menangis. Namun, saat ini, entah kenapa ia malah menangis tersedu sambil memeluk papanya seperti anak TK. Semua amarah, sedih, kecewa, dan segala emosi tidak jelas yang ia rasakan akhir-akhir ini seperti melebur bersama air mata. Juga ingusnya. Meta merasakan seseorang mendekat dan mengelus punggungnya. Mamanya berdiri disana sambil menutup mulutnya dengan tisu dengan bahu naik turun menangis. Entah berapa lama mereka berada dalam posisi seperti itu. Ketika tangisnya lebih reda, Meta menegakkan dirinya, tentu dengan satu kaki dan berpegang pada tangan papanya. Mamanya mengusap muka Meta



Walkles 626



dengan tisu dan menekan hidung Meta untuk mengelap ingus. Meta sebenarnya hendak protes karena telah diperlakukan seperti bayi, tapi ia tidak punya tenaga untuk melakukannya. Papanya masih diam dan mengusap air matanya dengan sapu tangan. Seseorang menjawil lengannya, membuat Meta menoleh. Meta berkedip berkali-kali, kemudian menoleh ke belakang papanya. Kenapa tidak ada bocah ingusan yang ikut bersama kedua orang tuanya? kenapa yang ada malah seorang ABG yang tingginya hampir bersaing dengan Rafka dan kini menyerahkan kruk yang ia jatuhkan? "Egi?" panggil Meta tak yakin. "Hm," jawab Egi. Meta menerima uluran kruk yang diberikan Egi. Adiknya yang dulu cuma bisa menangis karena kalah main kelereng itu, entah keajaiban apa yang adiknya dapatkan, kini sudah berubah jadi seperti ini, tampan, menggemaskan, bahkan lebih tinggi darinya. Meta berusaha mengingat, terakhir ia bertemu dengan Egi adalah saat pulang liburan semester pada tahun



Walkles 627



pertamanya kuliah, sebelum ia kemudian disibukkan oleh kegiatan UKM Fotografi yang membuatnya tak pernah pulang. "Ta," panggil Gale dari depan pintu studio. Meta menoleh, Gale mengisyaratkan untuk membawa orang tuanya masuk ke dalam studio karena hari sudah gelap. Sudut mata Meta menangkap Rafka masih berdiri di tempatnya dengan Bian. Meta sampai lupa akan keberadaan keduanya. Oh, bahkan Meta tidak tahu bahwa Bian juga berada di sini. Rafka melemparkan senyum tipis ke arahnya, Meta membalasnya dengan anggukan. "Ayo masuk, Papa mau minum apa? Biar dibuatin teh hangat, ya? Mama juga?" tawar Meta dengan suara serak dan sedikit canggung. Ia tidak menyangka akan mengucapkan apa yang saat ini ia katakan di Imagen. Meta kira hal itu tidak akan pernah terjadi. Gale mempersilakan mama dan papa Meta untuk masuk. Ia menggiring rombongan itu untuk masuk ke ruang rapat—yah, tidak ada ruang yang lebih besar dan memiliki banyak kursi selain ruang rapat—di lantai dua. "Saya Gale, Om, Tante. Fotografer juga, sama seperti Meta," ucap Gale memperkenalkan dirinya.



Walkles 628



Bunga masuk ke dalam menyajikan secangkir teh panas dan beberapa camilan untuk tamu-tamu istimewa bosnya itu. "Terima kasih," ucap mama Meta. Gale mengangguk dan undur diri bersama Bunga saat melihat Meta masuk ruangan itu. Setelah ini apa? tanya Meta dalam hati. Kecanggungan tiba-tiba menyerangnya saat ia masuk dan duduk di depan papa dan mamanya, juga Egi. Meta meremas tangannya, gugup. "Studio... studionya belum sepenuhnya jadi. Papa seharusnya ke sini tahun depan, ketika Meta udah bisa melunasi hutang Meta." Meta bahkan tak berani untuk menaruh tangan di atas meja saking gugupnya. Papanya berdeham, kemudian terdiam dan memandangi sebuah titik tak nyata di meja. "Papa berharap waktu itu kamu menyesal dan nggak bisa hidup tanpa Papa. Kamu yang merengek meminta untuk kembali ke Papa setelah uang itu habis, akan lebih mudah untuk Papa terima. Papa nggak ngasih kamu uang itu untuk jadi hutang." "Papa nggak ngebesarin aku untuk jadi anak manja..."



Walkles 629



"Tapi Papa ngebesarin kamu jadi orang yang egonya setinggi langit, sama kayak Papa." Mama Meta menyahut. "Kalian berdua sama aja, nggak ada yang mau ngalah. Mama nggak punya akses apa-apa ke kamu karena kamu langsung ganti nomor telepon, Mana benar-benar menyayangkan keputusan kamu untuk mau-maunya pergi hanya karena diancam Papa." "Ma..." panggil Egi untuk menenangkan mamanya. "Biarin, Gi. Mereka berdua selalu aja cuma peduli sama ego masing-masing. Sekarang ganti Mama yang ngomong, Mama mau egois sekali ini aja." Ruangan itu terasa hening, hanya terdengar napas mamanya yang sedang menahan emosi. "Papa nggak pernah peduli sama perasaan Mama yang khawatir sama kamu. Kamu tahu betapa kagetnya Mama, setelah bertahun-tahun nggak dengar kabar kamu, lalu Egi kasih tahu Mama kalau tiba-tiba kamu muncul di internet karena jadi pelakor, ngerusak hubungan orang lain, diperlakukan kayak gitu sama orang-orang, di lempar-lempar telur, disiram entah apa—nggak Mama lanjutin karena Mama nggak tega? Kamu tahu gimana perasaan Mama? Jantung Mama rasanya kayak lepas dari tempatnya. Kamu tahu, Meta Mariska, apa yang Mama pikirin? Bagaimana sebenarnya kamu selama ini hidup tanpa



Walkles 630



papa-mama? Apa kamu merebut pacar orang untuk cari uang? Mama sampai kepikiran kalau kamu ini hidup melacur..." "Astaga! Mama!" potong Meta. Air mata kembali mengalir di pipinya, hatinya ikut hancur ketika melihat mamanya menunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. "Meta bukan orang yang kayak gitu." "Untung... untung Egi bisa nyari lokasi studio kamu..." ucap mamanya sambil terisak. "Untung... untung..." melanjutkan ucapannya.



Mama



Meta



tak



bisa



Meta menghapus air matanya dan membersit hidungnya dengan tisu yang ada di atas meja. "Meta nggak kayak gitu. Ini semua hasil kerja Meta motret. Memang belum besar, tapi ini usaha Meta sama temanteman yang tadi Papa sama Mama ketemu." "Terus kenapa kamu mau-mau aja jadi selingkuhan pacarnya Evelyn?" "Astaga mama, aku bukan selingkuhan. Ini cuma salah paham. Berita itu nggak bener, nggak sesuai sama kejadian aslinya. Kebetulan Rafka sama Evelyn memang



Walkles 631



dekat karena ada kerja sama jadi Brand Ambassador Hotel Pramoedya. Sama dengan Meta yang waktu itu juga ada kerja sama bikin video untuk iklan Hotel Pramoedya di Yogyakarta yang baru aja dibuka," jelas Meta. Tatapan menyelidik mamanya membuat Meta mendesah. "Berita itu hanya hasil spekulasi orang-orang yang nggak ngerti kenyataannya gimana." Ketika memandang mamanya, Meta bisa merasakan rasa curiga itu masih memenuhi kepala mamanya. Meta menyugar rambutnya dengan kesal. "Kalau nggak percaya, Mama bisa tanya orangnya langsung." Meta berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruang rapat. Ia berjalan ke ruangannya, di mana Rafka sedang menunggunya dengan Bian... dan Gale, juga Fiki. Kenapa orang-orang ini berada di sini? Mereka berkumpul untuk membicarakan dirinya?



Walkles 632



- 47 - Closure "Elo ngapain di sini?" tanya Meta pada Gale saat ia menemukan Gale sedang bersantai dengan Rafka dan Bian di ruang kerjanya. Ia juga melirik Fiki yang menatapnya ingin tahu. "Elo yang ngapain ke sini? Bukannya temu kangen sama keluarga..." gerutu Gale yang tengah menyandarkan pantat pada meja kerjanya. Meta berdecak, memilih untuk tidak memedulikan keberadaan Gale dan Fiki. "Raf," panggil Meta. Ia mengayunkan tangannya meminta Rafka untuk mengikutinya ke ruang rapat. "Uluuh... mau ngapain, Mbak?" goda Fiki sambil menaikturunkan alisnya. Berani-beraninya dia. Belum tahu gimana rasanya dipecat ya, sepertinya? "Gak usah ngegosip ya lo pada!" ancam Meta sebelum meninggalkan mereka. Tatapan galak Meta dengan mata sembab dan hidung merah sama sekali tak terlihat menakutkan, gertakannya malah membuat lawan bicaranya hanya tertawa kecil.



Walkles 633



Menahan dongkol, Meta berbalik dan melangkah kembali ke ruang rapat dengan Rafka yang mengekor di belakangnya. Di belakang Meta, jantung Rafka serasa menghantam tulang rusuknya karena terlalu deg-degan. Kenapa Rafka harus diminta menemui mereka? Apa yang mereka pikirkan tentang dirinya? Sial, ini semua membuat Rafka mual. Ketika masuk ke dalam ruangan itu, Rafka memberanikan diri menegakkan kepala. Dilihatnya papa Meta menatapnya dengan... entahlah. Datar. Sedangkan mamanya masih mengalihkan muka, menyembunyikan wajahnya yang tidak kalah sembab dengan muka Meta. Kain kerudung yang ia kenakan sudah melorot, seperti hanya diselempangkan di pundak. Hanya Egi yang menatapnya ingin tahu dan Rafka membalasnya dengan seulas senyum. "Kenalin, ini Rafka," ujar Meta menghempaskan pantatnya pada kursi.



setelah



Karena meja itu terlalu lebar, Rafka terpaksa harus berjalan memutari meja untuk dapat bersalaman



Walkles 634



dengan keluarga Meta, sebelum kemudian duduk di sebelah wanita itu. "Saya Rafka..." "Dia saksinya kalau semua yang dibilang wartawan itu nggak bener. Dia nggak pacaran sama Evelyn." potong Meta dengan nada kesal. Oh, dalam hati Rafka mengangguk paham. Ia mulai bisa menebak apa yang Meta sebelumnya bicarakan dengan keluarganya. Apalagi kalau bukan gosip-gosip itu? Yah, paling tidak ia sudah berkali-kali memberikan penjelasan yang sama pada keluarganya. Anggap saja ia sudah terlatih untuk kembali memberikan penjelasan yang sama. "Lho? Jadi dia yang...?" Rafka meringis mendengar mama Meta mengatakannya dengan nada terkejut, kemudian mengangguk. Karena seperti tak ada niat untuk berbicara, Meta menyenggol kakinya, memintanya untuk bicara tentang gosip itu. "Saya memang digosipkan punya hubungan dengan Evelyn karena tertangkap kamera sedang bertemu. Yah, kami memang bertemu, tetapi hanya sebatas



Walkles 635



membicarakan pekerjaan, juga karena Evelyn ingin menjenguk Meta yang dirawat di rumah sakit..." "Kamu dirawat?" tanya mama Meta sambil membelalak menatap Meta. "Dan kamu diem aja... astaga..." "Tapi kondisi Meta baik-baik aja kok, Tante." Rafka mencoba menengahi. "Waktu itu posisinya sedang di Jogja untuk persiapan pembukaan hotel, karena tulang kaki retak dan nggak bisa ke mana-mana. Mau diantarkan pulang ke sini, mobilitas untuk naik turun keatas tidak memungkinkan. Dia jadi tinggal di Jogja sama saya. Bu..." "Kalian tinggal bareng?" potong papa Meta. Ia melirik Rafka curiga dengan menaikkan salah satu alisnya. Meta hampir saja memutar matanya, tidak habis pikir. Papanya ini bukannya berterima kasih. "Ya iya, tapi kan sama keluarga dia juga. Keluarga dia udah baik banget ngurusin aku sakit." Rafka menggaruk pelipisnya yang sebenarnya tidak gatal. Ia bahkan sempat melirik AC, apakah menyala atau tidak karena merasa mulai berkeringat, sebelum melanjutkan penjelasannya, "Nggak ada pilihan lain



Walkles 636



waktu itu, om. Itu satu-satunya jalan terbaik yang bisa kami pilih. "Kemudian karena itu juga saya sama Meta jadi lumayan dekat, sehingga media salah paham mengira saya selingkuh dengan Meta. Padahal saya sama Evelyn..." "Padahal yang pacaran aku sama dia, bukan sama Evelyn," potong Meta. Rafka seketika menoleh ke samping, melihat Meta yang saat ini menatap papa dan mamanya dengan wajah raut kesal. Sebentar-sebentar, bagaimana? Apa yang tadi Meta bilang? Apa telinganya rusak karena penerbangan Jogja-Jakarta tadi sore? Rafka bertanyatanya dalam hati. "Jadi kita udah pacaran?" Pertanyaan di kepala Rafka ini rasanya sudah tidak bisa ditahan-tahan. Daripada jadi bisul, kan? "Sejak kapan?" "Lho? Kok Rafka masih tanya?" Mama bertanya dengan alis berkerut, memandangi kedua manusia di depannya itu dengan bingung.



Walkles 637



"Udah dari tadi. Nggak mau? Kalo nggak mau gue tolak." Rafka membelalak. Perasaan Meta tidak bilang apaapa padanya sejak tadi. "Eh? Nggak! Jangan! Siapa yang bilang nggak mau?" "Lo nggak lagi pacaran pura-pura kayak di film-film, kan?" Egi menyipitkan matanya curiga. "Atau aja elo yang halu?" "Enak aja!" Adiknya ini apa belum pernah dilempar kursi sampai mengatainya halu? pikir Meta kesal. "Jangan berani-berani bohongin Papa, ya! Papa nggak bisa kamu bohongin." "Papa..." desah Meta tak habis pikir. Ia jadi bingung harus bagaimana agar keluarganya ini percaya tentang apa yang ia katakan. "Sebenarnya ini nggak sepenuhnya bohong, Om. Saya memang sudah minta Meta untuk mau jadi pacar saya beberapa hari lalu, tapi beberapa hari itu juga saya digantung. Baru kali ini dia ngakuin saya... pacar," jelas Rafka. Mukanya sudah memerah hingga ke telinga. Bisa-



Walkles 638



bisanya Meta membuatnya terlihat tolol di depan orang tuanya. Sialan memang Medusa satu itu. Tapi ia terlanjur jatuh hati. Apa karena tergigit salah satu ularnya?5 Mungkin saja. Atau salah dua. Atau salah tiga. Oh, semuanya saja juga sepertinya Rafka rela. *** Semilir angin malam membelai wajah Rafka. Rambutnya ikut bergoyang-goyang ketika diterpa. Saat ini ia sedang duduk sendiri di ruang terbuka sky lounge Hotel Pramoedya. Sudah sejak berjam-jam lalu sudutsudut bibirnya seperti tak mau turun. Malam ini hatinya terasa seperti sedang musim semi, hangat dan penuh bunga yang bermekaran. Fuck, Bian pasti akan menonjoknya ketika tahu kata apa yang Rafka gunakan untuk mendeskripsikan perasaannya. Sambil memandangi kerlap-kerlip lampu yang menyala di kejauhan, pikirannya kembali mengembara pada kejadian hari ini. Rafka mendesah. Mungkin seumur hidupnya ia tidak akan melupakannya. Mood-nya berubah sangat ekstrim hanya dalam hitungan jam. Sudut-sudut



Walkles 639



bibirnya terus saja tertarik dan ia tidak merasa lelah. Bagaimana seseorang bisa sebahagia ini? Ia sudah lupa kapan terakhir ia merasa sebahagia ini dalam hidupnya. Rafka kembali terkekeh tanpa suara, geli sendiri saat menyadari betapa dangdutnya, betapa cheesy-nya, betapa cringey-nya ia sekarang, sambil memandangi kegelapan malam yang bintangnya kalah terang dengan lampu-lampu kota di bawah. Ia menggoyangkan botol bir yang isinya tinggal seperempat, kemudian meneguknya. Ketika mendengar suara langkah kaki dan ketukan kruk mendekat, ia berbalik. Meta berjalan mendekatinya dengan senyum lelah. Rafka berdiri kemudian memutari meja untuk memundurkan kursi. "Thanks," ucap Meta setelah berhasil duduk dengan mulus di kursi itu. "Mau minum apa?" tawar Rafka. "Samain aja." Sementara Rafka pergi ke bar untuk mengambil minum untuknya, Meta memandangi pemandangan malam Jakarta dalam diam. Lumayan juga, batinnya. Lumayan pemandangannya, juga lumayan kelelahan yang ia rasakan. Bukan lelah fisik, tapi lebih ke lelah



Walkles 640



batin karena dadanya yang terasa penuh tiba-tiba saja luruh dalam sekejap. Hari ini banyak sekali hal yang terjadi. Dalam satu hari ini juga emosinya terasa dibolak-balik, dikocok dalam sebotol gelas shaker yang dipegang bartender, kemudian semua dituang ke dalam gelas. "Keluarga elo udah pada istirahat?" tanya Rafka begitu ia kembali dan meletakkan sebotol bir dingin di depan Meta. Tadi ia memutuskan untuk membawa orang tua Meta ke Hotel Pramoedya karena tidak mungkin mereka menginap di studio. Yah, sebenarnya Bian mengurus hal itu untuknya. Meta mengangguk saat mengambil bir dan meneguknya. "Thanks, udah nyiapin tempat di sini." "Gimana? Mereka bisa dateng makan malam besok?" tanya Rafka. Sepanjang ia berada di ruang rapat tadi, Tante Risma tidak berhenti menelepon Bian dan mengirimkan chat untuknya tentang perkembangan masalah Rafka malam ini, termasuk perkembangan kisah cintanya tentu saja. Bahkan Bian juga dibombardir untuk menyuruh Rafka agar mengundang keluarga Meta menghadiri makan malam di rumah.



Walkles 641



"Bisa. Papa udah reschedule jadwal dan akan balik ke Samarinda besoknya lagi." "Lo nggak ikut?" Meta menggeleng. Ia kembali meneguk birnya dari botol. "Kalau libur panjang aja. Gue nggak mau anakanak Imagen ngeberesin getahnya, sedangkan gue kabur, lepas tangan gitu aja." Rafka menipiskan bibirnya, ia berharap Meta mau untuk beristirahat saja di rumah sampai semua masalah ini berlalu. Tapi Meta adalah Meta, dengan segala rasa tanggung jawabnya, dengan rasa sayang terhadap Imagen di hatinya. Rafka tak berhak mengatur hal itu. Meta kembali menggoyangkan botol bir dingin itu, memperhatikan tetesan embun-embun yang menempel di botol mengalir ke bawah. Ia teringat pertanyaan mamanya di kamar tadi tentang Rafka. "Rafka... beneran pacar kamu? Kamu beneran nggak lagi bohongin Mama, kan?" tanya Mamanya ketika mereka sedang duduk berdua di atas kasur hotel. Meta menjawabnya malas, "Beneran, Ma. Perlu berapa kali lagi Meta jelasin ke Mama biar mama percaya?"



Walkles 642



"Kamu cinta sama dia?" Meta menoleh, menatap mamanya yang melihatnya dengan raut khawatir. Ia kemudian tenggelam pada pertanyaan di kepalanya sendiri. Apa yang ia rasakan ini cinta? Kalaupun iya, apakah Meta siap untuk menjalin hubungan dengan pria seperti Rafka? Meta mengedikkan bahu, "yang jelas Meta belum bisa bayangin Meta melakukan hal yang sama ke orang lain selain Rafka." "Kamu nggak lagi mainin perasaan orang, kan?" "Astaga, Mama. Jangan berprasangka buruk terus dong. Ya nggak lah, aku juga tau kapan harus serius dan kapan harus bercanda." "Dia punya rencana nikah sama kamu? Lagi-lagi pertanyaan Mamanya membuat Meta termenung, bingung bagaimana ia bisa menjawab. "Kalaupun ada, Meta nggak akan melakukan dalam waktu dekat. Masih ada banyak hal yang ingin Meta lakukan selama Meta bisa. Tapi, kalo keputusan itu



Walkles 643



nanti ada, Mama akan jadi orang pertama yang tau. Meta janji." Ketika akhirnya ia melihat anggukan pasrah Mamanya, Meta baru bisa mengembuskan napas lega. Namun, ketika menghadap Rafka seperti sekarang ini, ternyata ia tidak selega yang ia kira. "Raf, lo nggak mau buru-buru nikah, kan?" tanya Meta dengan nada ragu.



Walkles 644



- 48 - New Step Rafka yang tadinya memandangi refleksi lampu di botolnya menoleh ketika Meta tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu. Ia mengembuskan napas, berusaha fokus untuk memberikan jawaban yang diplomatis. "Pernikahan itu bagi gue, kalau dua belah pihak samasama siap. Kalo elo belum siap, gue bisa nunggu." "Lo udah siap?" "Gue juga nggak tahu, tapi gue jelas nggak keberatan tiap hari bangun pagi dengan elo di samping gue, sarapan bareng, makan malam bareng..." "Stop! Gue geli!" pekik Meta sambil memejamkan matanya rapat dan menutup telinganya dengan kedua tangan. Rafka hanya terkekeh melihatnya. Setelah beberapa saat, perlahan Meta melanjutkan, "Tapi Raf," gantungnya untuk memancing perhatian Rafka. "Gue masih punya Imagen, elo masih punya hotel lo..." "Kalo elo belum siap, gue akan nunggu sampai kapan pun lo siap. Lagi pula gue nggak akan minta elo



Walkles 645



buat milih antara gue atau Imagen. Gue tahu Imagen penting banget buat elo, sama pentingnya Hotel di Yogyakarta itu buat gue. Sama seperti gue juga nggak akan milih antara elo atau hotel." Meta terdiam. Ia teringat ucapan Fiki yang mengatakan bahwa Meta tidak harus memilih. Meta bisa mendapatkan semua kalau ia mau, walaupun pastinya harus dicapai dengan banyak kompromi, termasuk hubungannya dengan Rafka. "LDR?" "If you wish for it, why not?" tanya Rafka ringan, seolah itu bukan masalah besar baginya. "Perjalanan Jakarta-Jogja cuma sejam dengan pesawat dengan jadwal penerbangan yang selalu ada hampir setiap jam, ada jalur kereta api, sebentar lagi juga akan ada tol. Kalo gue yang nggak bisa ke sini, elo bisa ngatur untuk buka slot foto di Jogja. Apa yang jadi masalah?" Namun, Meta masih menatapnya ragu. Rafka mengulurkan tangannya, berusaha meyakinkan Meta melalui genggaman tangannya. "Yah, pasti ada masalah, nggak mungkin nggak ada. Tapi gue merasa kita akan selalu bisa cari solusinya sama-sama."



Walkles 646



Ketika Meta kemudian mengangguk, rasa lega rasanya mengaliri tubuh Rafka seperti air saat pintu damnya dibuka. Ia tersenyum menenangkan Meta. Keduanya kembali terdiam sambil kembali memandangi langit malam. "Apa keluarga lo nggak berharap lo punya pasangan yang mau standby di samping elo, ngurusin elo, atau berharap pasangan lo bakal jadi ibu rumah tangga yang baik? I mean, gue nggak bermaksud degrading ibu rumah tangga, tapi gue nggak yakin..." "Meta, menurut lo kenapa gue milih untuk nggak tinggal di sini?" potong Rafka dengan pertanyaan yang disambut gelengan oleh Meta. "Karena gue nggak mau diatur sama kakek gue, nggak mau diatur oleh papa, yah walaupun masih dalam pengawasan mereka, jarak ini akan gue gunakan sebaik-baiknya untuk ngelakuin apa aja yang gue mau. Gue nggak suka diatur, dan gue yakin elo pasti juga gitu. Gue sebisa mungkin nggak akan ngatur elo, begitu juga mereka. "Masa-masa galau dan denial gue kayaknya udah lewat. Saat ini gue udah sesiap itu buat menerima elo dengan segala kenyentrikan elo, kejudesan elo, ke-outof-the-box-an jalan pikiran elo, gue udah pasrah..."



Walkles 647



"Pasrah! Emang gue seaneh itu sampe elo kesannya terpaksa banget?" tanya Meta dengan dahi berkerutkerut, tak terima. Rafka tersenyum tipis. "Itu karena gue pikir gue nggak bakal suka tipe orang kayak elo. Mau gue denial kayak apa, nyatanya gue kayaknya nggak bisa kalau nggak sama elo." Sudut-sudut Rafka kemudian turun setelah mengucapkannya, senyumnya menghilang. Tatapannya berangsur-angsur meragu, membuat Meta menegakkan tubuhnya. "Gue... hanya berharap elo juga akan menerima semua kekurangan gue. Termasuk gue yang sebenernya punya PTSD." PTSD? Meta terpekik, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Saat mencari-cari celah kelemahan Rafka dulu, Meta tidak mengira ketika mendapatkan celah itu ia akan merasa terkejut, sedih, dan tidak menyangka. Dia pikir dia akan seperti berada di atas awan ketika mendapatkannya seperti mendapat kartu As di saat-saat terakhir memainkan kartu. "Karena..." Rafka menelan ludahnya, berusaha mengatur napasnya dengan baik. "Karena... ngeliat



Walkles 648



mama bunuh diri waktu papa terkena kasus narkoba, atau entah ada kasus apa lagi yang berhubungan sama mama, gue nggak terlalu inget. Yang jelas mama selalu dikerubungi wartawan dan dihujat di sana-sini. Gue..."+ "Jadi... karena itu?" Meta bertanya dengan nada seolah pertanyaannya belum selesai. Rafka mengangguk. "Gue nggak bisa desak-desakan sama wartawan. Kalau mereka di jarak yang cukup, gue nggak masalah, tapi tetep aja gue nggak terlalu mau berurusan sama mereka." Rafka mengalihkan tatapannya pada gedung-gedung itu sebelum kembali pada Meta. "Lo nggak perlu khawatir, karena PTSD gue udah nggak pernah kambuh selain tadi sore. Gue udah bertahun-tahun terapi sampai dokter udah bener-bener memutuskan kalau level PTSD gue udah di level yang rendah. Itu... juga jadi alasan kenapa Mbah Uti bawa gue untuk tinggal di Jogja, buat menjauhkan gue dari segala hal yang bisa bikin gue inget tentang kematian mama. Sampai saat ini, kasusnya disembunyikan demi gue bisa pulih dari trauma." Keduanya kemudian terdiam. Meta memperhatikan Rafka yang mengalihkan tatapannya dari dirinya.



Walkles 649



"Raf... I'm so sorry..." ucap Meta benar-benar tulus dan Rafka menyambutnya dengan gelengan dan senyum yang agak dipaksakan. Ia tidak tahu bahwa Rafka memiliki masalah sepelik itu, semenyakitkan itu, dan ia berhasil melaluinya sampai saat ini. Meta merasa beberapa keping tanda tanya yang ada di benaknya kini perlahan menghilang. Belum lengkap sepenuhnya, tapi ia rasanya juga akan sanggup mengumpulkan kepingan puzzle tentang Rafka sampai kapan pun. Rafka versi manusia yang rapuh ini, malah membuat Meta ingin bisa menguatkannya. Kalaupun Rafka adalah guci antik jaman peninggalan prasejarah yang retak, Meta rasanya mau untuk menjadi lemnya agar guci itu tetap utuh dan bernilai. "Ta," panggil Rafka dengan nada menggantung. Meta hanya menatapnya dengan pandangan bertanya dan alis terangkat. "Kenapa akhirnya mau sama guenya hari ini?" Ditanya seperti itu tiba-tiba saja membuat dada Meta berdegup kencang. Wajahnya memerah. Sebelum benar-benar menjawab, ia menarik napas panjang dan mengembuskannya untuk menenangkan diri. "Gue... nggak tahu. Waktu elo dateng tadi, liat muka lo pucet banget kayak mayat, tangan lo gemeter, bikin sesuatu di



Walkles 650



dalem sini," Meta menunjuk dadanya, "jadi... hangat. Bukannya gue mau bersenang-senang di atas penderitaan orang, tapi jujur, rasanya bahagia. Gue seneng. Gue merasa dianggap. Gue merasa kehadiran gue di dunia ini masih ada artinya. Gue merasa elo menganggap gue berharga. "Gue tahu gue bukan orang yang sempurna, elo tahu semuanya tentang gue. Tapi..." Meta menatap Rafka pada manik matanya, kemudian mengulurkan tangan untuk balas menggenggam tangan Rafka yang berada di atas meja. "Saat itu juga gue ngerasa, kayaknya gue betah dikhawatirin kayak gitu seumur hidup gue, kayaknya gue betah lo peluk sampai kapan pun juga," ucap Meta tak sanggup lagi mengira-ngira seberapa merah mukanya saat ini. Meta menarik tangan Rafka dan mencium bukubuku jari, serta punggung tangannya. Rafka menurunkan kepalanya, mendekat pada Meta, diraihnya kepala Meta dengan tangannya yang bebas. Dikecupnya kening Meta, kedua pipinya, kemudian bibirnya dengan lembut. Ketika ia menjauh,



Walkles 651



Meta membuka matanya dan menatapnya dengan senyum di bibir. Oh, ya ampun. Rafka serasa akan melayang ke langit ketujuh saat ini juga karena tahu pandangan memuja itu ditujukan untuknya seorang diri. "You know what? Maybe the imperfect match will make it perfect," bisik Meta. Rafka terkekeh mendengarnya, tapi kemudian mengangguk setuju. Ia kembali mendaratkan bibirnya di sudut bibir Meta. Meta terkekeh. Ia meraih pipi Rafka, membawa bibir Rafka untuk menemukan bibirnya sebelum melumatnya perlahan. *** Seharian penuh, suara berisik yang berasal dari dapur menggema di seluruh penjuru rumah. Tante Risma sibuk bekerja keras membuat makan malam— tentu dengan bala bantuan dari orang-orang hotel— untuk menyambut calon besan pertamanya. Segala momen 'pertama' ini selalu membuatnya heboh karena deg-degan dan senang bercampur menjadi satu. Ia sudah bertekad untuk membuat acara malam ini sukses besar. Ibu mertuanya dan mama Rafka pasti bangga sekali padanya.



Walkles 652



"Raf, kalo mereka udah jalan ke sini, kasih tau tante, ya?" teriak Tante Risma saat Rafka baru saja melintas, entah dari mana. "Paling lima belas menit lagi, kan tante bilang acaranya jam setengah lima?" jawab Rafka pasrah sembari melihat jam antik besar di dekat ruang makan. Ia lelah sendiri melihat Tante Risma yang masih berkutat di dapur dari tadi pagi, padahal Rafka sudah menyarankan untuk makan malam di restoran hotel saja. "Kok kamu jam segini masih belum berangkat jemput?" "Om Eri bilang, udah ada mobil hotel yang siap buat nganter ke sini, jadi Rafka nggak jemput." Tante Risma hanya ber-'oh' ria, kemudian berlalu kembali ke dapur. Merasa tak lagi dibutuhkan, Rafka pun meneruskan langkah menuju kamarnya. Jujur saja ia agak gugup dengan pertemuan ini. Ia agak khawatir mengingat percakapan tempo hari dengan kakeknya tentang Meta tidak begitu positif. Kakeknya masih menginginkan seseorang yang seperti Mbah Uti atau Tante Risma sebagai istrinya, yang mengayomi, lemah lembut. Bukan tipe-tipe



Walkles 653



pembangkang seperti Meta. Rafka sempat berharap bahwa pertemuan ini tidak terjadi secepat ini. Setidaknya sampai kakeknya yang super kolot itu benarbenar menerima Meta. Tapi tak ada lagi yang bisa dilakukan. Satu-satunya cara yang dapat ia lakukan hanyalah menghadapinya. Ketukan pintu yang lumayan keras di pintu kamarnya membuat Rafka berjengit. Marina muncul dari balik pintu ketika pintu itu terbuka. "Bang? Kok elo belum ganti baju, sih? Udah dateng, tuh!" pekik Marina yang masih melihat Rafka menggunakan kaos yang ia kenakan tadi siang. Menyadari bahwa Marina benar, Rafka mengumpat lirih. Kebanyakan melamun sih! Untung dia sudah sempat mandi. "Cepetan, ditunggu di bawah!" ujar Marina sebelum menutup pintu dengan suara berdebum kencang. Secepat kilat, Rafka mengganti bajunya dengan kemeja yang sudah ia gantung di pintu lemari dan menuruni tangga dengan buru-buru. Begitu melihat Om



Walkles 654



Eri dan Papa telah lebih dulu menyambut keluarga Meta di teras, ia mengerem langkahnya. "Selamat datang," ucap Om Eri sambil menyalami keluarga Meta satu per satu. Gani memperkenalkan dirinya sebagai papa Rafka sebelum mempersilakan semua orang untuk masuk. Rafka tersenyum canggung, mencium tangan kedua orang tua Meta dan menepuk pundak Egi. Meta sendiri berjalan paling belakang, baru saja selesai menaiki tiga anak tangga di teras sambil mengutuk Egi dalam hati karena malah meninggalkannya. "Hei..." ucap Rafka canggung. Ia memerhatikan Meta yang hari ini mengenakan blus warna krem dan celana kain warna hitam, khas Meta. Bibir Meta berkedut menahan tawa. Ia selalu merasa aneh ketika Rafka mengatakannya, persis seperti saat mereka bertemu di acara pembukaan hotel. "Kenapa ekspresi lo gitu?" Meta menggeleng. "Nggak," bohong Meta. Ia tidak ingin Rafka berhenti menyapanya seperti itu.



Walkles 655



Ketika Meta menggeleng, Rafka menangkap sesuatu yang berkilau menempel di rambut Meta. Jepit mutiara yang sama dengan yang wanita itu kenakan saat menghadiri grand opening. Apa jepit rambut itu punya kekuatan magis? Setiap melihat Meta mengenakan jepit itu, Rafka jadi lemah akan pesona Meta. "Nggak punya jepit rambut yang lain, ya?" Meta tertawa tertahan mendengar pertanyaan itu, berusaha keras untuk tidak terbahak ketika mendengar komentar Rafka. "Nggak punya. Ini aja punya MUA yang dandanin gue waktu itu, belum gue kembaliin sampai sekarang. Kenapa?" "Cantik banget, nggak kuat gue liatnya." "Lo udah pernah gue pukul pake kruk belum?" tanya Meta galak, jijik dengan gombalan Rafka yang semakin hari rasanya semakin menjadi. "Bang, udah ditungguin tuh." Lagi-lagi Marina muncul, kali ini dengan raut kesal karena ia yang selalu dikorbankan untuk memanggil Rafka. "Malah pacaran di sini, lagi."



Walkles 656



Namun, tak ada sedetik, raut kesalnya berganti dengan senyum manis ketika memandang Meta. Ia kemudian berjalan mendekat dan memberikan Meta cipika-cipiki. "Halo, Kak Meta. Seneng banget ketemu lagi." "Halo Marina..." Ketiganya kemudian berjalan beriringan menuju meja makan. Marina tak bohong ketika mengatakan bahwa semuanya sudah menunggu. Semua orang memang sudah duduk di tempat duduk masing-masing. Bahkan Bian sudah duduk di sana sambil memandanginya dengan cengengesan. Ia melambaikan tangannya pada Meta.



Walkles 657



- 49 - Relationship Makan malam itu dimulai dengan obrolan basa-basi antar tetua, sedangkan Rafka sendiri sibuk memperhatikan ekspresi dan segala hal yang dilakukan kakeknya. Takut kakeknya akan mengatakan hal-hal aneh yang berpotensi menimbulkan masalah. "Berarti seharusnya kita pernah bertemu?" tanya Pak Pramoe kepada Hantoro—papa Meta. Hantoro mengangguk. "Saya ingat Anda menghadiri di perayaan ulang tahun Rakabumi Energi tahun lalu." "Halah, dunia ini sempit sekali," komentar Pak Pramoe yang disambut anggukan setuju dari Hantoro. Pak Pramoe kemudian menoleh pada Rafka, "apa kamu nggak tau ini sebelumnya, Raf?" Sebelum menjawab, Rafka melirik Meta, memastikan bahwa Meta tidak memberikan kode apaapa. Tentu Rafka tidak bodoh-bodoh amat untuk memperkeruh suasana dengan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara Meta dan orangtuanya. Ia kemudian menjawab pendek, "tau." "Lha kok kamu nggak pernah cerita?"



Walkles 658



"Ya nggak ada yang nanya ke Rafka." Pak Pramoe berdeham, "terus piye rencana kalian selanjutnya?" Okay, here we come, batin Rafka dalam hati. Tentu saja prediksinya benar. "Rencana apa?" tanya Rafka pura-pura tidak tau apa yang kakeknya bicarakan. "Ya kelanjutan hubungan kalian berdua ini, kapan kalian mau menjalin hubungan yang lebih resmi?" "Pa..." ucap Tante Risma lirih, berusaha menahan papa mertuanya itu untuk tidak membahas hal itu dulu. "Aku cuma pengen tau rencana mereka, opo salah?" "Kami berdua masih dalam tahap ingin mengenal satu sama lain. Lagian kami berdua juga masih sibuk. Rafka sibuk sama hotel, Meta masih sibuk sama studio fotonya." "Ngapain kamu masih mau ngurusin studio foto? Opo sing kurang dari Rafka? Langsung ikut Rafka ke Jogja aja, nggak perlu kerja juga kebutuhan kamu pasti dicukupi."



Walkles 659



"Ada yang nggak bisa Rafka cukupi..." jawab Meta dengan agak lirih. Jujur saja sejak pertemuan pertama mereka, kakek Rafka ini selalu punya aura mengintimidasi yang membuat Meta tercekik. Terlebih saat kakek Rafka menatapnya dengan tatapan bertanya yang seperti sedang menagih hutang. Meta berdeham, berusaha memberanikan dirinya. "Kebutuhan untuk memenuhi passion saya di dunia fotografi." "Kamu kan tetap bisa melakukan semua itu sebagai hobi? Selebihnya kamu tinggal mengurus rumah tangga, jadi istri yang baik?" "Kek..." tahan Rafka, tapi ucapannya terpotong oleh suara Meta. "Menghadapi klien dan memenuhi permintaan mereka, melihat wajah puas akan hasil kerja saya, sebagai orang yang berkecimpung di dunia pekerjaan yang menawarkan jasa, kakek pasti mengerti dengan apa yang saya maksud." "Anak saya bukan orang yang sembrono, Pak." Mama Meta tiba-tiba saja angkat suara. Meta menoleh dengan sedikit terkejut, tetapi mamanya membalasnya dengan senyum menenangkan. "Dia selalu bertanggung jawab atas segala keputusan yang dia pilih. Dan Rafka,



Walkles 660



sepertinya juga cucu yang luar biasa. Saya pikir, mereka berhak menentukan masa depan mereka sendiri tanpa kita harus ikut campur terlalu banyak." "Bener apa yang Mama Meta bilang, Pa. Zaman kita sudah berbeda dengan zaman mereka sekarang ini. Lagipula mereka berdua juga udah sama-sama dewasa. Tugas kita hanya support apapun keputusan mereka, ya kan?" Tante Risma melirik dan berkedip pada suaminya, meminta persetujuan. "Papa nggak perlu khawatir," tenang Om Eri sambil memegang tangan papanya. "Iya kan, Raf?" Mendengar namanya tiba-tiba dipanggil, Rafka refleks menoleh. Ia kemudian mengangguk. "Saya dengar saham Rakabumi Energi sedang naik terus," ucap Gani untuk memecah kecanggungan di meja itu. Sepanjang sisa malam itu akhirnya dihabiskan dengan obrolan seputar perusahaan. Meta menelan suapan terakhirnya dengan sedikit susah payah. Apa yang ia takutkan mengenai harapan keluarga ini terhadap dirinya ternyata benar-benar terjadi. Dalam hati dirinya bimbang apakah ia bisa bertahan dalam 'hubungan' seperti ini. Kakek Rafka jelas-jelas tidak setuju dengannya, dan papa Rafka...



Walkles 661



sejak awal ia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan tentang dirinya. Neither cold nor warm. Dalam diam, diliriknya Rafka. Ia ingin menyerah dan mundur perlahan, tapi ketika melihat pria itu membalas tatapannya, Meta tahu bahwa ia belum sanggup untuk melepaskannya. *** Acara makan malam telah selesai setengah jam yang lalu. Rafka pergi untuk mengantarkan Meta dan keluarganya kembali ke hotel sedangkan anggota keluarga yang lain kembali sibuk dengan urusan masingmasing. Saat ini, Gani memilih untuk menikmati angin malam di halaman belakang, memperhatikan riak-riak kecil air kolam yang memancarkan cahaya lampu dari dalam rumah. Seandainya istrinya masih hidup, bagaimana reaksinya saat menghadapi semua ini? Akankah ia akan mencarikan Rafka pilihan wanita lain yang sesuai dengan keluarga ini, atau membiarkan Rafka memilih pilihannya sendiri? "Teh, mas?"



Walkles 662



Pertanyaan Eri membuyarkan lamunan Gani. Pria itu datang dengan membawa nampan berisi teko kecil berisi teh hijau dan dua cangkir kosong. "Makasih," ucap Gani ketika Eri duduk di kursi kosong di dekatnya. "Mas mikir apa?" "Rafka?" tanya Eri lagi ketika kakaknya itu tidak menjawab. "Memang ada lagi yang lain?" Eri terkekeh mendengarnya. "Apa lagi yang dikhawatirin? He's happy, orang tua Meta juga keliatannya nerima Rafka. Yang seharusnya khawatir sekarang ini seharusnya orang tuanya Meta." "Kamu tau Rafka sempat kambuh kemarin." Gani kemudian terdiam, memberi jeda. "Aku sempat berharap Rafka akan berakhir dengan Evelyn." "Kenapa?" "Kupikir kehidupan artis yang udah biasa diserang oleh media punya mental yang lebih baik. Kamu tau sendiri kenapa. Dia cocok untuk bisa melengkapi kelemahan Rafka."



Walkles 663



Mendengar hal itu, Eri menggeleng. "Biasanya aku akan setuju dengan pendapat Mas Gani, tapi kali ini sepertinya Mas Gani yang harus setuju dengan pendapatku." Gani menatapnya dengan tatapan bertanya. "Justru Meta yang mentalnya lebih kuat." Melihat wajah bingung masih menghiasi wajah Gani, Eri melanjutkan, "Mas tau sendiri apa yang dilakukan fansnya Evelyn ke Meta. Diberitakan yang tidak-tidak, diteriaki, dilempar telur, disiram air comberan, dan dia masih mampu muncul di sini, apa semua itu menurut mas Gani gampang? Kamal udah menawarkan buat nuntut fans-fans Evelyn dengan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Meta juga udah punya hasil visum, tapi dia memilih untuk diam lebih dulu. Dia bukan orang yang gegabah. Bagiku itu nilai plus besar." Gani mengalihkan tatapannya kembali ke air kolam, berusaha mencerna apa yang Eri katakan. Benarkah? "Menurutku Rafka yang beruntung mendapatkan Meta. Kontra dengan papa, kalau mama masih ada, menurutku mama bakal sangat menyukai Meta." "Menurutmu Rafka bisa bahagia?"



Walkles 664



"Hmmm..." Eri mengikuti arah pandang kakaknya itu, memberikan jeda untuk dirinya memikirkan jawaban yang paling tepat atas pertanyaan ini. "Aku juga nggak tahu. Kita baru akan tahu kalau mereka sudah menjalani. Kalau pun tidak berhasil, tentu Rafka selalu bisa kembali pada kita. Nggak usah terlalu cemas. He's grown man, dia lebih kuat dari yang kita kira." Gani menuang tehnya pada cangkir, kemudian menghirup dan menyesapnya perlahan. "Jadi gimana? Direstui?" tanya Eri ingin tahu. Setelah beberapa saat, Gani akhirnya mengangguk. "Selama Rafka bahagia atas keputusannya." *** "Please, fokus ke gue, jangan ambil hati ucapan kakek." Ucapan Rafka dengan ekspresi putus asa sebelum berpisah dengannya itu Meta ulang-ulang di kepalanya. Meta hanya membalasnya dengan senyum tipis dan anggukan kecil. Ia tahu itu tidak cukup memuaskan bagi Rafka, tapi pria itu diam saja dan memilih untuk menerimanya.



Walkles 665



"Masih kepikiran yang tadi?" Meta menoleh, melihat Mamanya berjalan keluar kamar sambil memperhatikannya. Ia kemudian bergabung dengan Meta untuk duduk di sofa yang menghadap ke kaca besar dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit di kejauhan. Jujur, Meta mengangguk. "Ma," panggil Meta dengan nada menggantung. "Setelah dua kali ketemu, menurut mama Rafka gimana?" "Yang jelas, mama nggak menemukan ada yang aneh dari dia." "Mama nggak ada perasaan nggak enak apa gitu? Biasanya perasaan ibu-ibu lebih peka?" tanya Meta sambil menatap mamanya antusias. Mama Meta tertawa mendengar pertanyaan anaknya. "Kamu kira mama ini siapa? Dukun? Mama cuma manusia biasa, nggak bisa prediksi hal-hal yang belum kejadian. Kalau mama bisa prediksi kamu bakal dijahatin orang seperti kemarin, mama akan hentikan lebih dulu."



Walkles 666



Meta mendesah, kemudian mengalihkan pandangannya. Ia merasakan mamanya mengelus kepalanya, dalam diam Meta menikmati ketenangan yang dihasilkan oleh gestur kecil itu. "Apa yang kamu pikirin?" tanya mamanya penuh perhatian. "Aku nggak tahu apa yang kulakukan ini benar atau salah." Mama Meta memutar tubuhnya, menarik Meta untuk menghadapnya. "Dengerin mama," ucapnya dengan nada serius. "Kamu tahu keputusan kamu kabur, menurut mama adalah keputusan yang salah dan bodoh, tapi bagi kamu itu adalah keputusan terbaik yang menurut kamu paling benar untuk dilakukan. Lihat sekarang, saat ini kita di sini, dipertemukan kembali, apa sekarang kamu masih mikir benar dan salah tentang keputusan kamu itu? Jujur, Mama udah nggak mikir. Kamu di sini, selamat, bahagia, semuanya cukup untuk membuat Mama menoleh lagi ke belakang. Benar salah jadi nggak penting." Meta terdiam, mencerna apa yang mamanya itu ucapkan dalam pikirannya.



Walkles 667



"Kadang garis benar dan salah sangat tipis, hanya dibatasi oleh perspektif. Lagipula, masih terlalu awal untuk menilai benar salah, kan?" Meta menggerakkan tangannya melewati pinggang mamanya dan memeluk wanita itu, menghirup wanginya dalam-dalam. "Ikuti apa yang kamu ingin kamu lakukan. Usahakan apa yang kamu mau. Masa kamu mau nyerah gitu aja?" Mendapati Meta masih tak mau menjawab pertanyaannya, mamanya melanjutkan, "kamu beneran nggak mau sama Rafka? Ego kamu nggak merasa tertantang untuk membuktikan pendirian kamu ke kakeknya seperti apa yang kamu lakukan ke MamaPapa?" Meta tertawa mendengar pertanyaan itu, semakin mengeratkan pelukan ke mamanya. "I'm sorry for everything I did..." "Mama juga minta maaf, ya?" Meta mengangguk. "Terus kamu nggak mau ikut pulang?"



Walkles 668



Meta melepaskan pelukannya dan menatap mamanya, "nanti setelah semuanya kembali normal ya, Ma? aku masih harus kontrol ke dokter, studio juga lagi kacau-kacaunya gara-gara Meta." "Tapi janji pulang, ya?" "Iyaa..."



Walkles 669



- 50 - Acceptance Hampir dua bulan berlalu sejak semua kejadian itu. Gips di kaki Meta juga sudah dilepas. Ia bisa berjalan dan bekerja seperti biasa. Hal itu merupakan berkah yang luar biasa, terlebih dengan semakin sibuknya Imagen Studio menghadapi jumlah klien yang semakin meningkat. Akibat kasus perselingkuhan dan video penyiraman air comberan yang viral di media sosial, Imagen Studio malah semakin dikenal oleh orang. Walaupun predikat selingkuhan itu masih melekat pada diri Meta, anehnya hal itu tidak membuat Imagen lantas merugi. Nama Imagen malah melejit seperti mendapat exposure gratis. Beruntung gosip-gosip perselingkuhan itu cepat mereda dengan sendirinya karena digantikan oleh skandal suami artis yang terjerat korupsi sehingga keadaan cepat kembali seperti semula. Well, sebenarnya tidak terlalu seperti semula karena setelahnya Meta dan Gale mulai sibuk karena kebanjiran job. Meta sampai harus merencanakan libur dari jauh-jauh hari. Yah, tidak sepenuhnya libur karena pagi ini ia baru saja merampungkan pemotretan



Walkles 670



prewedding salah satu anak pejabat pemerintahan yang untungnya berada di studio. Meta menghentikan mobilnya di depan rumah keluarga Rafka. Pegawai di rumah ini telah mengenali mobil Meta sehingga pintu gerbang setinggi hampir tiga meter itu langsung dibuka. Seperti biasa, Meta memarkirkan mobilnya di dalam. Ia telah beberapa kali ke sini, entah karena permintaan Tante Risma yang hendak memberinya makanan atau Marina yang sekadar mengajaknya untuk hang out. Kali ini Tante Risma memintanya untuk datang. Ia meminta Meta untuk memfoto dirinya, katanya untuk di-upload di Instagram pribadi miliknya, tidak mau kalah eksis dengan ibu-ibu sosialita lain yang aktif mengunggah foto di Instagram. Meta keluar dari mobil dan mengambil tasnya di kursi penumpang. Ketika Pak Tono yang tadi membukakan pintunya lewat, Meta jadi sedikit waswas. Biasanya kalau Pak Tono di rumah, kakek Rafka juga sedang berada di rumah. "Pak, yang di rumah siapa aja?" "Baru Pak Pramoe aja mbak."



Walkles 671



Mendengar jawaban itu, Meta serasa dirinya baru saja disiram air es. "Tante Risma? Marina?" "Ibu masih belum pulang, Mbak Marina masih kuliah, sisanya sedang di Hotel. Nanti saya baru jemput Mas Rafka jam enam." Oh, tidak. Membayangkan dirinya berada di satu tempat yang sama dengan kakek Rafka seorang diri merupakan mimpi buruk bagi Meta. Apa ia keluar lagi saja dan kembali satu jam lagi? "Pak Pramoe sedang tidur di kamar kok, mbak. Tunggu di dalam saja," ujar Pak Tono sepertinya menyadari perubahan air muka Meta. Dengan langkah ragu, ia memasuki rumah. Mbak Ratna, salah satu asisten rumah tangga di rumah ini yang menyadari kedatangan Meta langsung meminta Meta untuk menunggu di meja makan. Ia membawakan teh dan sepiring scone coklat yang katanya dibuat oleh Tante Risma kemarin sore. Meta kemudian meletakkan barang-barangnya di salah satu kursi dan memutuskan untuk mengeluarkan laptopnya, mencicil retouching foto untuk salah satu majalah.



Walkles 672



Untuk beberapa menit, Meta mengerjakannya dengan tenang. Namun, ketika ia mendengar suara deham familiar itu, ia seketika berjengit. Bulu kuduknya merinding menyadari Pak Pramoe sudah berdiri di ujung ruangan, di depan pintu kamarnya. Cepat-cepat ia berdiri dari kursinya. Kata Pak Tono beliau tiduuurr? pekik Meta dalam hati. "Selamat siang, kek," sapa Meta dengan senyum terpaksa. Pak Pramoe menjawabnya dengan anggukan, kemudian berjalan mendekat ke meja makan. "Sedang apa kamu di sini?" tanya Pak Pramoe dengan suaranya yang dalam. "Saya ada janji sama Tante Risma, tapi ternyata Tante belum pulang." Mbak Ratna kembali muncul entah dari mana, membawa nampan berisi air putih dan tiga butir obat untuk diminum Pak Pramoe. Ketika Pak Pramoe duduk di kepala meja, Meta memutuskan untuk ikut duduk kembali di kursinya.



Walkles 673



"Terima kasih," ucap Pak Pramoe pada Mbak Ratna setelah pria itu berhasil menelan obatnya, Mbak Ratna pun membawa nampan itu kembali. Pak Pramoe kembali menoleh pada Meta, "ke mana Risma?" "Saya juga kurang tau, Tante cuma bilang 'oke' waktu saya buat janji temu jam dua dan minta saya untuk langsung ke rumah. Saya kira Tante ada di rumah." "Acara apa?" Meta merasa dirinya baru saja mengalami deja-vu. Mendengar suara berat dan pertanyaan pendek-pendek dari Pak Pramoe mengingatkan Meta pada Rafka. Sekarang ia tahu dari mana Rafka mendapatkan sikap menyebalkan saat awal-awal mereka bertemu. "Hanya foto-foto biasa saja, untuk dicetak, diupload di Instagram," ucap Meta, bingung bagaimana ia menjelaskan. Ia kemudian memberanikan diri memutar laptopnya untuk bisa menunjukkan foto-foto yang ia



Walkles 674



maksud ke Pak Pramoe. Meta menunjuk portofolionya dengan mouse, membukanya satu per satu, "seperti ini." Melihat Pak Pramoe memakai kacamatanya di ujung hidung, Meta hampir terbelalak, tidak percaya ketika pria itu benar-benar memperhatikan apa yang Meta tunjukkan. "Apa nggak ada yang laki-laki?" ucap Pak Pramoe dengan suara menggeram. Meta memang menunjukkan foto konsep untuk Tante Risma, jadi semua foto yang ia tunjukkan memang gambar wanita. "Ada, dong," jawab Meta jumawa, kembali membuka folder-folder portofolionya yang lain. "Ini bagus ini," komentar Pak Pramoe ketika layar laptop Meta memperlihatkan foto hitam putih seorang pria yang sedang duduk dengan latar lemari berisi buku, kalau tidak salah itu adalah salah satu penulis untuk foto interview dengan sebuah majalah yang ia ambil akhir tahun lalu.



Walkles 675



"Kakek mau di foto sebenernya iseng saja.



begini?"



tawar



Meta,



"Memang kamu bisa..." "Bisa, kok!" potong Meta. "Asal kakek pakai jas warna gelap dan kemeja putih." "Kamu pilih sendiri mana yang harus saya pakai." Pak Pramoe berdiri dari kursi dan berjalan menuju kamarnya. Menyadari Meta masih duduk dengan tampang melongo dan bukan mengikutinya, Pak Pramoe berdecak, "ayo!" Seketika Meta berlari mendekat, mengekori Pak Pramoe untuk masuk ke walk-in closet di kamarnya. Begitu masuk, Meta bisa mencium bau parfum khas Pak Pramoe yang memenuhi kamar. Dalam hati Meta bertanya-tanya, bagaimana ini semua bisa tiba-tiba terjadi? Bagaimana bisa Pak Pramoe yang biasanya bersikap dingin kepadanya mengizinkannya untuk masuk ke kamarnya, membuka-buka lemarinya, bahkan memilihkan baju untuk pria itu? Ini belum kiamat, kan?



Walkles 676



Setelah memilihkan satu stel jas warna biru gelap, kemeja putih, sapu tangan merah, dasi warna senada, hingga jam tangan, Meta meninggalkan Pak Pramoe di kamarnya untuk berganti baju. Mereka sepakat untuk mengambil foto di ruang kerja Pak Pramoe yang katanya juga memiliki banyak buku. Sembari menunggu Pak Pramoe untuk ganti baju, Meta menyiapkan seluruh perlengkapannya di ruang kerja yang dimaksud Pak Pramoe. Tentu Meta mengetahuinya dengan bantuan Mbak Ratna. Ketika masuk, Meta sedikit terkesima. Ternyata ruang kerja yang dimaksud Pak Pramoe bukan ruang kerja kotak sempit, tetapi lumayan luas dengan rak berisi buku menutupi salah satu dinding, pintu kaca geser yang menghubungkan ruangan itu dengan taman samping, tiga meja kerja besar, dan satu set sofa berukuran besar dari kulit.+ "Rak buku itu sama aja, kan?" Suara Pak Pramoe yang tiba-tiba saja muncul dari belakangnya membuat Meta melonjak kaget. Belum sempat Meta menjawab, Pak Pramoe kembali bertanya sembari menyentuh kerah dan membenarkan letak dasinya. Meta bahkan sedikit terkesima ketika Pak



Walkles 677



Pramoe bahkan menggunakan gel rambut untuk membuat rambutnya terlihat klimis dan rapi. "Bagaimana? Sudah bagus?" "Boleh saya benerin sedikit?" tanya Meta ketika mendapati dasi itu malah semakin miring ketika Pak Pramoe membenarkannya. Pak Pramoe menurunkan tangannya dan mendongak, mempersilakan Meta untuk membenarkan posisi dasinya. "Perfect. Nggak kalah ganteng kok sama Rafka." "Kalau sama Rafka ya jelas ganteng saya waktu masih muda. Bandingin kok sama Rafka," gerutunya sambil berlalu mendekati rak buku. Mendengarnya, Meta sampai bingung bagaimana ia harus bereaksi. Ia sebenarnya tidak menduga Pak Pramoe akan berkata seperti itu. Begitu pulih dari kekagetannya, Meta langsung bersiap, menyambungkan kabel USB dari kamera ke laptop, dan melakukan tes untuk menyesuaikan pengaturan yang cocok untuk kameranya. "Kakek santai aja, jangan sadar kamera biar hasilnya natural. Coba liat ke samping."



Walkles 678



"Sekarang lihat kamera." "Badannya serong ke kanan sedikit." Beberapa kali Meta membenarkan posisi Pak Pramoe, sedikit sulit, tapi foto-fotonya bagus. Wajah mengerikan Pak Pramoe malah membuatnya terlihat berwibawa di kamera. "Bagus," decak Pak Pramoe saat melihat foto dirinya sendiri di laptop, membuat Meta tersenyum puas ketika mendengarnya. Lebih dari satu jam acara foto-foto itu berjalan dengan berbagai pose, membaca buku, membaca koran di sofa, pura-pura bekerja di balik meja kerja, sampai minum teh hangat--yang memang sampai dibuatkan oleh Mbak Ratna atas permintaan Pak Pramoe--di balik pintu kaca. "Papa?" Suara Tante Risma yang saat ini berada di ambang pintu membuat Pak Pramoe dan Meta mengalihkan pandangan dari layar laptop. "Kok Meta-nya dimonopoli?" tanya Tante Risma sambil berjalan mendekat, kemudian ikut nimbrung melihat foto-foto Pak Pramoe yang kini terpampang.



Walkles 679



"Kok jadi papa yang foto? Kan yang minta Meta untuk ke sini kan Risma?" "Salah siapa nggak datang-datang?" "Kan ke salon dulu biar keliatan cantik," ucap Tante Risma sambil mengulum senyum. Tante Risma kemudian bertanya dengan nada menggoda, "Papa ganteng banget. Meta keren ya, Pa?" Dengan gerutuan, Pak Pramoe berjalan meninggalkan Meta dan Tante Risma di ruangan itu. Tante Risma terkekeh, menggoda Papa mertuanya adalah hiburan menyenangkan yang bisa ia lakukan di rumah ini. "Udah lama, sayang? Maaf ya kamu jadi nunggu lama." Tante Risma memeluk Meta, memberikan cipikacipiki sambil membisikkan 'muah' di setiap ciumannya seperti biasa. Meta hanya menggeleng maklum sambil tertawa. Agak mengejutkan, tetapi ternyata ia lumayan menikmati hari ini. Bersama Pak Pramoe ternyata tidak semenakutkan yang ia kira. Baru menjelang malam Meta akhirnya bisa duduk manis di ruang keluarga. Belum selesai memotret Tante Risma, Om Eri dan Papa Rafka yang baru datang dari



Walkles 680



hotel tidak mau kalah--yah, tepatnya Om Eri yang antusias kemudian menyeret Papa Rafka untuk ikut serta. Rencana awal yang hanya foto individu, langsung berubah jadi foto keluarga ketika Marina dan Bian pulang. Kini mereka memutuskan untuk melihat hasil foto-foto itu di televisi ruang keluarga sambil menunggu makan malam untuk disiapkan. Melihat semua orang tertawa-tawa melihat hasil fotonya, Meta ikut tersenyum senang. Puas ketika mereka semua puas dengan apa yang Meta kerjakan, membuat hati Meta menghangat. Perasaan ini lah yang selalu Meta nantikan setiap kali ia bekerja. Tak sengaja Meta mendapati Pak Pramoe menatapnya dalam diam. Sudut-sudut bibir Meta perlahan turun ketika mengetahui hal itu, berbagai macam pertanyaan kembali berkecamuk memenuhi kepalanya. Apakah Kakek Rafka tidak menyukai hasil fotonya? Apakah pria itu kembali tak suka padanya? dan apakah-apakah lainnya kembali bermunculan. Namun, semuanya sirna ketika pria itu memberikan anggukan kecil yang menyiratkan penerimaan. Pak Pramoe kini bisa melihat apa yang dimaksud dengan passion itu benar-benar hidup dalam diri Meta. Ia kini tau melepaskan fotografi dari dunia Meta seperti



Walkles 681



melepaskan siput dari cangkangnya. Siput tanpa cangkang menjadi lemah dan cangkang saja terasa kosong. Kembang api dan sorakan kemenangan fana rasanya memenuhi hati Meta. Ia belum pernah merasa sesenang dan sepuas ini mendapatkan pengakuan dari orang lain. Ketika melihat Rafka memasuki rumah beberapa saat kemudian, Meta benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Ia langsung berdiri dan menghambur ke pelukan Rafka, membuat pria itu bertanya-tanya. *** Seneng banget?" tanya Rafka setelah Meta menceritakan semua yang terjadi hari ini tanpa terkecuali.+ Beberapa kali Rafka melemparkan tatapan bertanya ketika kakeknya itu tak lagi bersikap sengit ketika bersama dengan Meta. Kini saat mereka hanya berdua dalam perjalanan pulang menuju studio, Meta baru bisa bebas menceritakan segalanya. "Iya, lah! Gila apa?" balas Meta sambil pura-pura tak terima.



Walkles 682



Rafka hanya tertawa dan mengusap rambut Meta dengan bangga "Nggak ada yang bisa ngalahin pesona kamu waktu ngelakuin hal yang kamu suka. Kamu emang keliatan paling bersinar kalau lagi di balik kamera," ucap Rafka sungguh-sungguh. "Dan kamu, Raf, sekarang aku nggak heran kenapa kamu bisa nggak suka sama kakek kamu." "Kenapa?" "Kalian berdua mirip abis, cara ngomongnya, sewotnya, emosiannya. Ibaratnya kamu sama kakek kamu itu dua kutub yang sama, makanya nggak cocok." "Nggak ah, aku lebih baik. Nggak heartless." "Nggak heartless?!" pekik Meta tak terima. "Sebelum kamu ngomong gitu, kayaknya kamu harus ngaca. Kalau kamu nggak heartless, kamu nggak mungkin nyuruh aku ke Jogja, nggak mungkin Evelyn jadi BA Hotel Pramoedya." Benar juga, jawab Rafka dalam hati. Ia gengsi kalau harus mengakuinya di depan Meta. "Tapi sekarang kan heartless-nya udah beda." "Beda apanya?"



Walkles 683



"Ya sekarang heartless soalnya heart-ku kan udah di kamu." Meta baru bisa mencerna apa yang Rafka ucapkan beberapa saat kemudian. Bulu kuduknya sampai berdiri dan jari-jarinya serasa keriting mendengar gombalan Rafka. "Raf..." Meta meringis jijik. "Turunin gue nggak? naik taksi aja gue." Suara gelegak tawa Rafka memenuhi seisi mobil. Ia mengulurkan tangannya untuk menarik Meta yang menempelkan dirinya di pintu mobil untuk kembali mendekat. Digenggamnya jemari tangan Meta dan menciumnya singkat sambil tertawa-tawa. "I miss you," bisik Rafka sambil melirik Meta sekilas. Meta membalasnya dengan senyum simpul. Tak lama, Rafka menepikan mobilnya ketika telah tiba di studio. Ia kemudian melepas genggaman tangannya dan membuka kompartemen kecil yang ada di antara tempat duduk mereka. Rafka mengeluarkan kotak beludru warna coklat muda.



Walkles 684



"Let me properly ask you to be my girlfriend. Di awal kita ketemu, gue akui gue emang ngeselin, I'm sorry for that. Gue sering bikin elo marah, kesel, dan capek ngadepin gue. Yah, sebenernya elo juga sering ngeselin dan bikin gue marah, apalagi waktu elo ngira gue homo..." Meta memotong ucapan Rafka dengan tawanya, "Ssst... please, sorry. Itu salah paham, jangan diingatingat." Rafka ikut terkekeh. "Gue nggak tau kapan tepatnya elo mulai keliatan berbeda. Your pain, your hardwork, your love, your kindness, your dream, have made me fall in love. Walaupun kekurangan gue, karena gue chicken abis kalo ngadepin wartawan, sempat bikin elo terluka..." "Trauma bukan chicken," potong Meta lagi dengan suara seperti tikus terjepit. Rafka mengangguk, "Gue berharap elo masih mau memperjuangkan gue sampai nanti, entah kapan, karena gue juga akan nunggu elo sampai elo siap buat sama-sama gue. So..." Meta mengangguk. Walaupun Rafka tidak menyelesaikan pertanyaannya, Meta akan mengiyakan.



Walkles 685



Ia memaksakan seulas senyum untuk terbit walaupun bibirnya bergetar menahan emosi yang rasanya begitu meluap. Ia melihat bayangan Rafka mulai kabur di matanya. "I'm so glad that I've met you. I'm so glad for every little things that happened," cicit Meta dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipi. Namun, ia tertawa, karena ia sungguh-sungguh mensyukuri semua yang terjadi. Walaupun semua terasa pahit di awal, tapi saat ini ia mendapatkan hampir semua yang ia impi-impikan. Rafka membuka kotak beludru itu dan menarik seuntai kalung di dalamnya. Ia membuka pengait kalung itu dan memakaikannya di leher Meta. Setelah terpakai sempurna, Meta memeluk Rafka erat. Oh, Meta sangat merindukan pria ini. Lo tau nggak, sebenernya gue mau kirim kalung ini dan bilang semua yang gue bilang tadi pakai surat. Tapi suratnya ketahuan Marina dan katanya gue lame banget." Meta tergelak mendengarnya. Ia menyusut air matanya dan membersit hidungnya dengan tisu. "She has good taste." **



Walkles 686



EPILOG Meta tersenyum sambil memandangi kalungnya di layar hitam laptopnya. Ia baru saja tiba setelah mengantar Rafka ke bandara untuk kembali ke Jogja dan memberikan janji bahwa ia akan menemui pria itu bulan depan karena telah membuka slot pemotretan di Jogja. Tiba-tiba saja, dering telepon di meja Meta berbunyi. Meta mengangkatnya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Mbak, apa elo masih mau terima tamu?" tanya Shinta. Meta menaikkan alisnya dan melihat jam di dinding, klien macam apa yang datang saat jam tutup studio seperti ini? "Bilang aja kita udah tutup," balas Meta malas.



Walkles 687



"Tapi kayaknya dia bukan klien, Mbak." Shinta mengucapkannya dengan suara berbisik. "Ini Evelyn." Evelyn? Meta hampir melupakan nama itu dua bulan ini. Evelyn seperti menghilang ditelan bumi. Ia tak pernah lagi terlihat muncul di hadapan publik, tidak juga menemuinya ataupun Rafka. Hanya muncul di balihobaliho iklan Hotel Pramoedya saja, karena kontrak iklannya dengan Rafka. "Mbak? Gimana?" tanya Shinta lagi karena Meta tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Anterin ke ruangan gue aja." Meta menutup sambungan teleponnya setelah Shinta mengiyakan. Tak ada lima menit, Evelyn sudah berada di depan pintu ruangannya. Ia berdiri dengan anggunnya, mengenakan baju kerja formal berwarna krem dan sepatu hak tinggi berwarna putih. Tas coklat terang



Walkles 688



berukuran besar dibawanya di genggaman, sedangkan tangan yang satu lagi memegang kaca mata hitam yang entah nilainya berapa juta. Meta berdiri dan mempersilakannya duduk di sofa ruangannya. Ia berjalan memutari mejanya, mengikuti Evelyn untuk duduk di sofa. Shinta masuk ke dalam membawa dua teh botol dingin, kemudian pergi meninggalkan Meta dan Evelyn untuk memberikan privasi yang tentu dibutuhkan oleh bosnya itu. "Apa kabar?" tanya Evelyn. "Kaki kamu udah nggak papa?" Meta memperhatikan wajah Evelyn. Wajahnya juga terlihat lelah seperti Meta karena adanya bayangan menghitam di bawah matanya yang tertutup concealer, tapi tetap terlihat cantik setengah mati. Bagaimana Evelyn bisa melakukannya? "Yah, lumayan. Udah sembuh." Meta kemudian balas bertanya, "Elo sendiri?"



Walkles 689



"Udah sembuh juga." Evelyn terkekeh. Ia kemudian menatap Meta, mimik wajahnya berubah menjadi serius setelah beberapa detik terdiam. "Aku... mau minta maaf atas segala yang terjadi beberapa bulan lalu. Termasuk tindakan fans-fans yang keterlaluan. Juga agensi aku yang nggak bisa bertindak cepat atas kejadian itu. Gue minta maaf sedalam-dalamnya ke kamu dan Rafka atas semua kerugian yang udah kutimbulkan. Ada beberapa kondisi yang membuat aku nggak bisa bertindak banyak." Meta melihat raut wajah lelah Evelyn. Ia terlihat sungguh-sungguh mengatakannya, sehingga Meta memutuskan untuk mengangguk. "Nggak papa. Toh, karena hal itu studio gue jadi semakin dikenal banyak orang. Sepertinya gue yang harus berterima kasih sama elo." Evelyn menyunggingkan senyum tipis. "Besok akan ada berita lagi. Aku ke sini untuk ngasih tahu, semoga kamu dan Rafka nggak kaget karena pengumuman yang akan aku buat besok."



Walkles 690



"Pengumuman apa?" "Aku akan pensiun dari dunia hiburan untuk fokus ke The Eve." "Hah?" tanya Meta terkejut. Evelyn sedang naik daun. Ia seorang aktris dan model paling berbakat yang pernah bekerja sama dengan Meta. Jujur saja Meta menyayangkan keputusan Evelyn kali ini. "Lo yakin?" "Kontrak-kontrak beberapa udah batal, udah abis uang banyak buat ganti rugi karena terminasi kontrak sepihak. Jadi, ya, mau nggak mau aku yakin." Evelyn terkekeh. "Tapi, kenapa?" Meta merasa masih tidak mengerti. Otaknya seperti melambat dan tidak bisa mencerna ucapan Evelyn dengan baik. Evelyn merogoh tasnya dan mengambil sebuah kartu berwarna biru dan putih, kemudian



Walkles 691



menyerahkannya pada Meta. Meta mengulurkan tangan dan mengambilnya. Undangan pernikahan. Dengan nama Evelyn dan seseorang bernama Wira, ditujukan untuknya dan Rafka. Apa? Ini bagaimana maksudnya? Pikir Meta tidak mengerti. Wanita di depannya ini mungkin adalah wanita yang Meta paling tidak bisa ia mengerti sepanjang hidupnya.+ "Itu privat, dan lokasinya bakal jauh banget dari sini. Kalo elo dan Rafka bisa dateng, please RSVP ke nomor itu karena gue harus nyiapin transportasi dan akomodasi." Meta membolak-balik undangan sederhana yang hanya berbentuk kartu itu.



Walkles 692



"Di mana?" tanya Meta ketika ia tidak menemukan alamat lokasi pernikahan di kartu itu. "Nggak kurang jauh? Laki lo bukan orang Jakarta?" Evelyn tertawa, "orang Jakarta. Nanti lokasinya akan diberi tahu waktu RSVP." "Terus, elo nggak mau ke Sorong atau Merauke sekalian?" Meta tak tahan untuk mengucapkan katakata sarkas, tapi Evelyn lagi-lagi hanya menanggapinya dengan tawa. Meta hanya mendesah pasrah. "Gue usahain." Keduanya kemudian terdiam. Entah apa yang ia lewatkan tentang Evelyn selama dua bulan ini, yang jelas ia tidak menyangka waktu akan merubah Evelyn sebanyak itu. Meta mengacungkan undangan di tangannya. "Karena ini elo pensiun?"



Walkles 693



Evelyn mengalihkan tatapannya, kemudian tertawa lagi. Ia menggeleng. "Gue pengen fokus ke The Eve. Tapi, yah, mungkin itu jadi salah satu pertimbangannya." Sepuluh menit kemudian, Evelyn pamit untuk pergi setelah menanyakan kabar Rafka dan beberapa masalah basa-basi. Meninggalkan Meta yang duduk termenung sendiri, heran dengan kabar yang ia terima malam ini. *** Keesokan harinya, ternyata Evelyn tidak berbohong. Jagat dunia maya dan berita-berita infotainment kembali heboh dengan namanya. Nama Rafka dan Meta kembali disangkut pautkan dengan kabar itu. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Malam harinya, gambar undangan berwarna biru-putih seperti yang kemarin Meta lihat telah viral. Tak berapa lama, foto Evelyn berada di mobil bersama seorang pria kembali membuat publik kebingungan.



Walkles 694



Berbagai spekulasi kembali berputar di kalangan warganet, termasuk nama Meta Mariska yang kembali trending di media sosial. Namanya dielu-elukan karena ia tidak menuntut fans-fans Evelyn dan membawa masalahnya ke meja hijau, padahal fans Evelyn berada pada sisi yang salah karena main hakim sendiri. Kebaikannya menjadi tema obrolan menyenangkan yang membuat kepalanya besar kepala pada malam itu. Melihatnya, Meta hanya tertawa. Padahal ia tidak menuntut karena tidak punya uang dan cukup waktu untuk meladeni semua itu. Mengecat ulang temboktembok Imagen masih menjadi prioritasnya. Tapi biarlah itu menjadi rahasianya, Imagen, dan Rafka. Biarlah mereka berasumsi menurut kepercayaan mereka sendiri, toh mereka pasti hanya percaya apa yang akan mereka ingin percayai. Biarlah Meta dan Rafka menyimpan rahasia di kotak Pandora miliknya, seperti Evelyn menyimpan rahasianya di kotak Pandora miliknya sendiri. ________________________________



Walkles 695



17.902 suka Lambe_tumpah PRINCESS EV PENSIUUUNNN???? . . Dunia hiburan akan sepi tanpamu princess......... . . #BREAKINGNEWS Evelove whaaaatttt!!!!! kenapa ini kenapa? For.eve.r13 hoax deh pastiiii Lihat 3456 komentar lainnya 11 jam yang lalu __________________________________________ _



Walkles 696



1.245 suka Lambe_tumpah Jadi karena ini Princess hengkang dari dunia hiburaaannnn?????? Doa bahagiaku untukmu #EVEDANWIRA #WEDDINGANNOUNCEMENT Kennyars wah, gila sih. Jadinya sama yang lain? Evelovers234 kami akan selalu mendukungmuu Lihat 553 komentar lainnya 2 jam yang lalu ___________________________________________ 165 suka



Walkles 697



Lambe_tumpah Foto ini tanggalnya sama dengan foto waktu princess sama babang tamvaan si bos hotel Rafka,, dan princess pulang dari mall dengan babang tamvan yg laiiiiinnnn........ Apaaakaaahhhh ini semua hanya konspirasiiii??? . . #EVEDANWIRA #WEDDINGANNOUNCEMENT Pritaamays anjirlah, plot twist banget! Nairuuuuu jadi selama ini gosip sama Rafka itu cuma buat nutupin hubungannya sama Wira? ------>Illinoys1998 ha? jgn2 gitu? di publik jalan sama Rafka, biar g ada yang curiga dia jln sm wira?



Walkles 698



Lihat 34 komentar lainnya 10 detik yang lalu *** Tiga tahun kemudian... Meta menyeret koper kecilnya keluar dari pintu kedatangan New Yogyakarta International Airport. Dengan landasan pacu langsung menghadap laut, bandara baru itu terlihat indah dan megah walaupun banyak sudut-sudut yang masih terasa kosong. Di beberapa tempat bahkan Meta dapat mencium bau bangunan baru. Ia mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto. Namun, hal itu tampaknya harus terhenti karena Rafka tiba-tiba meneleponnya. "Kamu di mana?" tanya Rafka begitu Meta mengucapkan kata 'halo'.



Walkles 699



"Masih di mau keluar pintu kedatangan. Jangan dijemput dulu, aku masih mau foto-foto. Kamu selesaikan kerjaan kamu dulu aja," Sudah hafal kebiasaan Meta, Rafka hanya menurut dan baru menjemput Meta ketika ia pulang kerja. Membiarkan Meta berkelana sesuka hatinya, menikmati bandara baru yang masih cukup sepi itu. Ketika akhirnya mereka bertemu di drop off point bandara, keduanya saling menyapa dengan tawa dan kecupan singkat di bibir. "Enak banget jemputnya deket," komentar Rafka. Ini memang pertama kalinya Meta tiba di bandara ini karena memang bandara baru beroperasi. Meta mengangguk setuju. "Besok kamu foto di mana?" tanya Rafka. Biasanya Meta datang ke Jogja karena urusan pekerjaan yang mengharuskannya mengambil foto di Jogja. "Besok mau nemenin?"



Walkles 700



"Iya kan biasanya juga nemenin, jadi asisten dadakan." "Besok agendanya cuma mau liat-liat ruko." "Ruko? Buat spot foto?" "Buat rencana buka cabang Imagen Studio yang baru." Rafka menaikkan alisnya tak percaya. Ia kemudian menepikan mobilnya, untuk benar-benar memfokuskan pikirannya pada Meta. "Hah?" "Imagen di Jakarta mulai ngebosenin, jadwal full dan ya cuma gitu-gitu aja. Aku merasa butuh tantangan baru dan yang lain setuju dengan ide untuk buka cabang baru di Jogja. Imagen di Jakarta sekarang full dipegang Gale dan aku mau mulai dari awal lagi di Jogja. Do you like the idea?"



Walkles 701



"Suka, lah! Gila apa?!" "Prosesnya bakal lamban karena banyak yang harus disiapin." "Take your time, I'll be waiting forever. Paling nggak nyampe setahun. Apalah artinya setahun setelah tiga tahun LDR?" ucap Rafka sombong. Ia menarik Meta ke dalam pelukannya, memeluk wanita itu erat-erat, bersyukur dalam setiap tarikan napasnya. "Thanks for everything. I love you." "Aku juga."



Selesai