Panduan Manajmen Nyeri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PANDUAN MANAJEMEN NYERI BAB I DEFINISI Manusia merupakan makhluk unik, yang memiliki perilaku dan kepribadian yang berbeda-beda dalam kehidupannya. Perilaku dan kepribadian tersebut didasarkan dari berbagai macam faktor penyebab,



salah



satunya



faktor



lingkungan,



dimana



manusia



berusaha beradaptasi untuk bertahan dalam kehidupannya. Begitu pula fisik manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar. Manusia perlu beradaptasi dan menjaga kestabilan serta keseimbangan tubuh dengan cara memberikan respon saat tubuh terkena



hal



yang



negatif.



Manusia



akan



berusaha



menyeimbangkannya kembali sehingga dapat bertahan atas hal negatif tersebut, misalnya mata terkena debu maka mata akan berusaha mengeluarkan air mata. Keseimbangan juga terjadi dalam budaya daerah dimana manusia itu tinggal. Di Indonesia sangat beragam budaya dengan berbagai corak dan gaya bahasa yang digunakan, cara berpakaian, perilaku, keyakinan dalam beragama, maupun merespon suatu kejadian dalam kehidupannya sehari-hari, seperti halnya dalam menangani rasa nyeri akibat terjadi luka atau cedera dalam tubuh dengan direspon oleh manusia dengan berbagai macam adaptasi, mulai dari suara meraung-raung, ataupun dengan mengeluarkan air mata atau menangis dan kadang dengan gelisah. Keluhan nyeri merupakan keluhan yang paling umum kita temukan atau dapatkan ketika kita sedang melakukan tugas kita sebagai bagian tim kesehatan, baik itu di tataran pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Karena seringnya keluhan itu kita temukan, kadang kala kita sering menganggap hal itu sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup memberikan hasil yang memuaskan di mata pasien. Nyeri



adalah



pengalaman



sensorik



dan



emosional



yang



diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan 1



2



terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan (interational association for the study of pain). Nyeri meliputi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik yang terus menerus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti. Nyeri sesungguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi dan perilaku sehingga dalam penanganannya pun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan. Untuk itu, pemahaman tentang nyeri dan penanganannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan yang dalam rentang waktu 24 jam sehari berinteraksi. Atas dasar tersebut maka sebagai pemberi terapi medis harus mengetahui berbagai perilaku dan budaya yang ada di Indonesia sehingga dalam penanganan terhadap nyeri yang dirasakan oleh setiap orang dapat melakukan pengkajian dan tindakan pemberian terapi secara obyektif. Maka untuk itu, Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Kota Bandung menyusun panduan dalam penanganan nyeri.



3



BAB II RUANG LINGKUP 1. Lingkup pelayanan nyeri meliputi pelayanan di Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Rawat Jalan. 2. Assesmen dan manajemen nyeri dilakukan untuk semua pasien di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Kota Bandung. 3. Assesmen dan manajemen nyeri dilakukan oleh dokter dan perawat/perawat



gigi



yang kompeten, sebelum dan setelah



melakukan tindakan kepada pasien. 4. Asesmen ulang nyeri dilakukan pada saat pasien berkunjung kembali ke Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Kota Bandung.



4



BAB III KEBIJAKAN Panduan ini berdasarkan keputususan Direktur Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Nomor: / RSKGM tentang Kebijakan Pemberlakuan Panduan Manajmen Nyeri Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Kota Bandung.



5



BAB IV TATA LAKSANA A. Assesmen Nyeri 1. Anamnesis a. Keluhan Utama Keluhan utama nyeri, sertakan data lamanya keluhan nyeri tersebut b. Riwayat Penyakit Sekarang 1) Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau nontraumatik. 2) Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia. 3) Pola penjalaran/penyebaran nyeri. 4) Durasi dan lokasi nyeri. 5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,



mual/muntah,



atau



gangguan



keseimbangan/ kontrol motorik. 6) Faktor yang memperberat dan memperingan. 7) Kronisitas. 8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon terapi. 9) Gangguan/kehilangan fungsi akibat nyeri/luka. 10) Penggunaan alat bantu. 11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar (activity of daily living). 12) Singkirkan



kemungkinan



potensi



emergensi



pembedahan, seperti adanya faktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuina. c. Riwayat Penyakit Dahulu 1) Riwayat penyakit dahulu. 2) Riwayat pembedahan/operasi.



6



d. Riwayat Psikologis, Sosial, Ekonomi, Budaya 1) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika. 2) Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien. 3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan eksaserbasi nyeri. 4) Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan program penanganan/manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan



masalah



psikiatri,



diperlukan



dukungan



psikoterapi/ psikofarmatika. 5) Tidak



dapat



bekerjanya



pasien



akibat



nyeri



dapat



menimbulkan stres bagi pasien/keluarga. e. Riwayat Pekerjaan Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung. f. Riwayat Penyakit Keluarga Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik. g. Riwayat Alergi Riwayat alergi makanan, obat dan alergen yang lain jika ada. h. Riwayat Pengobatan 1) Daftar obat-obatan yang pernah dan sedang dikonsumsi pasien



untuk



menunjukkan



mengurangi bahwa



mengkonsumsi



14%



nyeri populasi



suplemen/herbal,



(suatu di dan



studi



Indonesia 36%



mengkonsumsi vitamin). 2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi efektifitas, dan efek samping. 3) Direkomendasikan memberhentikan kognitif dan fisik.



untuk obat-obatan



mengurangi denga



efek



atau samping



7



i. Assesmen Sistem Organ yang Komprehensif 1) Evaluasi



gejala



kardiovaskular,



psikiatri,



pulmoner,



gastrointestinal, neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal. 2) Gejala kontitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam, dan sebagainya. 2. Skala Nyeri Indikator tunggal yang paling penting untuk mengetahui intensitas



nyeri adalah keluhan pasien. Intensitas nyeri



merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh pasien. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif, maka pendekatan objektif yang paling mungkin adalah dengan menggunakan skala nyeri. Skala nyeri yang digunakan di Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Kota Bandung adalah sebagai berikut: a. Asesmen nyeri menggunakan Numeric Rating Scale 1) Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 3 tahun yang dapat menggunakan angka untuk



melambangkan



intensitas



nyeri



yang



dirasakannya. 2) Instruksi pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 - 10. a) 0 = tidak nyeri b) 1 - 3 =



nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat



berkomunikasi dengan baik) c) 4



-



6



=



nyeri



sedang



(secara



obyektif



pasien



menyeringai, dapat menunjukan lokasi nyeri atau mendeskripsikan, dapat mengikuti perintah dengan baik) d) 7 - 9 = nyeri berat (secara objektif pesien terkadang tidak mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan dan menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikan dan tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas)



8



e) 10 = nyeri sangat hebat (pasien sudah tidak dapat mendiskripsikan



lokasi



nyeri,



tidak



dapat



berkomunikasi) Gambar 3.1 Numeric Ratting Scale



b. Assesmen nyeri menggunakan Wong Baker Faces Pain Scale 1) Indikasi : pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen 2) Instruksi : pasien diminta untuk menunjuk/memilih gambar mana



yang paling sesuai dengan yang ia



rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri a) 0-1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali b) 2-3 = sedikit rasa nyeri c) 4-5 = nyeri ringan d) 6-7 = nyeri sedang e) 8-9 = nyeri berat f) 10



= nyeri sangat berat



Gambar 3.2Wong Baker Faces Pain Ratting Scale



c. Pada



pasien



penanganan



pengaruh nyeri



obat



dilakukan



anastesi, dengan



asesmen cara



dan



pasien



menunjukan respon berbagai ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri. d. Assesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukan adanya rasa nyeri, sebagai berikut: 1) Lakukan assesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik pada pasien.



9



2) Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri 1 jam setelah tata laksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur kedokteran yang



menyakitkan, sebelum tranfer pasien



dan sebelum pasien pulang dari Rumah Sakit. 3) Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit - 1 jam setelah pemberian obat nyeri. e. Derajat



nyeri yang meningkat hebat



secara tiba-tiba,



terutama bila sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru



(misalnya



komplikasi



pasca-pembedahan,



nyeri



neuropatik). 3. Pemeriksaan fisik (screening awal) a. Pemeriksaan umum 1) Tanda vital tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh. 2) Ukuran berat badan dan tinggi badan pasien. 3) Perhatikan



juga



adanya



ketidaksegarisan



tulang



(malalignment) atrofi otot, fasikulasi, disklororasi, dan edema. b. Status mental 1) Nilai orientasi pasien. 2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera. 3) Nilai kemampuan kognitif. 4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi tidak ada harapan, atau cemas. c. Pemeriksaan sendi 1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan. 2) Nilai dan cacat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya



keterbatasan



gerak,



diskinesis,



raut



wajah



meringis, atau asimetris. 3) Nilai dan cacat pergerakan pasif dari sendi yang terlibat abnormal/dikeluhkan



oleh



pasien



(saat



menilai



10



pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris. 4) Palpasi sendi untuk menilai adanya nyeri. 5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen. d. Pemeriksaan motorik Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan kriteria dibawah ini. Tabel 3.2 Derajat Kekuatan Motorik Derajat



Definisi



5



Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat



4



Mampu melawan tahanan ringan



3



Mampu bergerak melawan gravitasi



2



Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu melawan gravitasi



1



Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi), tidak menghasilkan pergerakan



0



Tidak terdapat kontraksi otot



e. Pemeriksaan sensorik Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum, pin prick), gerakan, dan suhu. f. Pemeriksaan khusus 1) Terdapat 5 (lima) tanda non organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 (lima) tanda ini ditemukan



mengalami



hipokondriasis,



histeria,



dan



depresi. 2) Kelima tanda ini adalah : a) Distribusi nyeri superfisial atau non anatomik. b) Gangguan sensorik atau motorik non anatomik. c) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over reaktif). d) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes pemeriksaan nyeri.



11



e) Keluhan



akan



nyeri



(berpindahan-pindah)



yang



saat



tidak



gerakan



konsisten yang



sama



dilakukan pada posisi yang distraksi. 4. Pemeriksaan sensorik kuantitatif a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri); getaran. b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri); tusukan jarum, tekanan. c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas). d. Pemeriksaan sensasi persepsi. 5. Pemeriksaan Radiologi a. Indikasi 1) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular. 2) Pasien dengan defisit neorologis motorik, colon, kandung kemih, atau ereksi. 3) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang. 4) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu. b. Pemilihan pemeriksaan radiologi, bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri : 1) Foto dental. 2) Foto panoramic. B. Farmakologi Obat Analgetik 1. Lidokain tempel (lidocaine patch) 5% a. Berisi lidokain 5% (700 mg). b. Mekanisme kerja memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal. c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya efek anestesi (baal), bekerja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik. d. Indikasi : sangat baik untuk nyeri neuropatik (misal : herpetik,



neuropati,



diabetik,



neuralgia



pasca-



pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri miofasial. 1) Efek



samping



iritasi



menempelkan lidokain.



kulit



ringan



pada



tempat



12



2) Dosis dan cara penggunaan : dapat menekan hingga 3 (tiga) patches di lokasi yang paling nyeri (kulit harus bersih tidak boleh ada luka terbuka dan dipakai selama < 12 jam dalam periode 24 jam). 2. Parasetamol a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan antipiretik. Dapat dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesik yang lebih besar. b. Dosis : 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari. 3. Obat Anti- Inflamasi Non-Steroid (OAINS) a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti-piretik. b. Kontraindikasi : pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid. c. Efek



samping



:



gastrointestinal



(erosi/ulkus



gaster),



disfungsi venal, penigkatan enzim hari. 4. Ketorolak : a. Merupakan



satu-satunya



OAINS



yang



tersedia



untuk



parenteral, efektif untuk nyeri sedang-berat. b. Bermanfaat



jika



dikombinasikan sinergistik



terdapat dengan



dan



kontraindikasi



opiod



untuk



meminimalisasi



efek



opioid



atau



mendapat



efek



samping



opioid



(despresi pernapasan, sedasi, statis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik. 5. Antagonis kanalnatrium a. Indikasi : nyeri neuropatik dan pasca-operasi. b. Lidokain



:



dosis



2mg/kgBB



selama



20



menit,



lalu



dilanjutkan dengan 1-3 mg/kgBB/jam titrasi. c. Prokain : 4-6,5 mg/kgBB/hari. 6. Anatagonis kanal kalsium a. Ziconotide : merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek



13



samping : pusing, mual, nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, kontipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan. b. Nimodipin, Verapamil : megobat migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin. 7. Tramadol a. Merupakan analgesik yang lebih poten dari pada OAINS oral, dengan efek samping yang lebih sedikit/ringan. Bersifat sinergistik dengan medikasi OAINS. b. Indikasi : efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri) kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawah



neuropati



DM,



fibromyalgia,



neuralgia



pasca-



herpetik, nyeri pasca-operasi. c. Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi. d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal dan per oral. e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam 24 jam. f. Titrasi terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh. Tabel 3.4 Jadwal Titrasi Tramadol Protokol



Dosis



Titrasi



Inisial



Jadwal Titrasi



Direkomendasikan untuk



Titrasi



4 x 50 mg  2x50 mg selama



 Lanjut usia



10 hari



selama 3



 Risiko jatuh



hari



3 hari  Naikkan



 Sensivitas



menjadi 3x50mg selama 3 hari  Lanjutkan dengan 4 x50mg  Dapat



dinaikan



sampai mencapai



efek



medikasi



14



analgesik



yang



diinginkan Titrasi



4 x 25mg  2 x 25mg selama



 Lanjut usia



16 hari



selama 3



 Risiko jatuh



hari



3 hari  Naikkan



 Sensivitas



menjadi 3x25mg



medikasi



selama 3 hari  Naikkan menjadi 4x25mg selama 3 hari  Naikkan menjadi 2x50mg dan



2x25mg



selama 3 hari  Naikkan menjadi 4x50mg  Dapat dinaikkan sampia tercapai efek



analgesik



yang diinginkan C. Manajemen Nyeri Akut 1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu. 2. Lakukan asesmen nyeri : mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang. 3. Tentukan mekanisme nyeri: a. Nyeri somatik 1) Diakibatkan



adanya



kerusakan



jaringan



yang



menyebabkan pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit. 2) Karakter onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam, menusuk atau seperti ditikam. Contoh : nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.



15



b. Nyeri Visceral (TMJ) 1) Nosiseptor visceral lebih sedikit dibandingkan somatic sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus tumpul, seperti ditekan benda berat. 2) Penyebab : iskemi/ nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasm otot polos, distensi orgam berongga/ lumen. 3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual. Muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat. 4. Tata laksana sesuai mekanisme nyerinya a. Farmakologi : gunakan Step-Ladder WHO 1) OAINS efekif untuk nyeri ringan-sedang. 2) Mulailah



dengan



pemberian



OAINS/opioid



lemah



(langkah 1 dan 2) dengan pemberian intermiten (pro renata) opioid yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. 3) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif/nyeri menjadi sedang-berat,



dapat



ditingkatkan



dengan opioid kuat dan



menjadi



3



(ganti



analgesik dalam kurun waktu



24 jam setelah langkah 1). 4) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah morfin, kodein. 5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan. 6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewat, lakukan pengurangan dosis secara bertahap. a) Intravena : antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid. b) Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytie,



kortikosteroid,



anestesi



lokal,



OAINS,



opioid, tramadol. c) Rektal (supositoria) : parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin. d) Topical : lidokain patch, EMLA. e) Subkutan : opioid, anestesi lokal



16



Gambar 3.3 WHO Analgesic Ladder



Gambar 3.4 Algoritma Pemberian Opioid Intermitten Apakah pasien nyeri sedang/berat? Observasi rutin tidak



ya Apakah diresepkan opioid IV? Saat dosis telah diberikan, lakukan monitor setiap 5 menit selama minimal 20 menit. Tunggu hingga 30 menit dari pemberian dosis terakhir sebelum mengulangi siklus. Dokter mungkin perlu untuk meresepkan dosis ulangan Siapkan NaCl



ya



Minta untuk diresepkan tidak Gunakan spuit 10ml Ambil 10mg morfin sulfat dan campur dengan NaCl 0,9% hingga 10ml (1mg/ml) Berikan label pada sp



ATAU Gunakan spuit 10ml Ambil 100mg petidin dan campur dengan NaCl 0,9% hingga 10ml (10mg/ml) Berikan label pada



Observasi rutin ya



tidak



ya Skor sedasi 0 atau 1?



Nyeri



ya



tidak



Kecepatan pernapasan > 8



Minta saran ke dokter senior Tunda dosis hingga skor sedasi



8 kali/menit. Pertimbangkan nalokson IV



ya Tunggu selama 5 menit



Tekanan darah sistolik ≥ 100



tidak



Minta Saran



ya tidak Usia pasien < 70 tahun?



Jika skor nyeri 7-10: berikan 2ml Jika skor nyeri 4-6: berikan 1



ya



Jika skor nyeri 7-10: berikan 3ml Jika skor nyeri 4-6: berikan 2



Algoritma di atas berlaku dengan syarat :



17



(1). Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat intruksi (2). Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa (3). Efek samping dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua pasien harus diobservasi ketat selama fase ini 7) Manajemen efek samping: a) Opioid (1). Mual dan muntah : antiemetic. (2). Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif



yang mengandung serat karena



dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut. (3). Gatal : pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan antihistamin. (4). Mioklonus: opioid,



pertimbangkan



atau



berikan



untuk



mengganti



benzodiazepine



untuk



mengatasi mioklonus. (5). Depresi



pernapasan



akibat



opioid:



berikan



nalokson (campur 0,4 mg nalakson dengan NaCl 0,95% sehingga total volume mencapi 10 ml). Berikan kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang. b) OAINS: (1). Gangguan gastrointestinal : berikan PPI (proton pump inhibitor.) (2). Pendarahan



akibat



disfungsi



platelet:



pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet. b. Pembedahan



:



injeksi



epidural,



anestesi lokal di tempat nyeri. c. Non-farmakologi:



supraspinal,



infiltrasi



18



1) Olahraga 2) Imobilisasi 3) Pijat 4) Relaksasi 5) Stimulasi saraf transkutan elektrik 5. Follow-up (asesmen ulang) a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur. b. Panduan umum : 1) Pemberian parenteral : 30 menit. 2) Pemberian oral : 60 menit. 3) Intervensi non- farmakologi : 30-60 menit. 6. Pencegahan a. Edukasi pasien : 1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tata laksananya. 2) Diskusikan tujuan manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien. 3) Beritahukan bahwa pasien dapat menghubungi tim medis



jika



memiliki



pertanyan/ingin



berkonsultasi



mengenai kondisinya. 4) Pasien dan kelurga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen



nyeri



(termasuk



penjadwalan



medikasi,



pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol). b. Kepatuhan



pasien



dalam



menjalani



manajemen



nyeri



dengan baik.



Manajemen Asesmen Nyeri Akut



7. Medikasi Saat Pasien Pulang Pasien Mengeluh Nyeri a. Pasien dipulangkan segera setalah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti biasa/normal. Anamnesa dan pemeriksaan fisik b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada pasien. Asesmen nyeri



Apakah etiologi nyeri bersifat reversible? Tidak Apakah nyeri berlangsung > 6 minggu?



Ya



Prioritas utama : identifikasi dan atasi etiologi nyeri · ·



Lihat manajemen nyeri kronik Pertimbangkan untuk merujuk ke spesialis yang sesua



Gambar 3.5 Manajemen Asesmen Nyeri Akut Tidak



Tentukan mekanisme nyeri (pasien dapat mengalami > 1 jenis nyeri)



Nyeri somastic Nyeri bersifat umum, menusuk, ( )



Nyeri viseral Nyeri bersifat difus, seperti ditekan benda bera, nyeri tumpul



Nyeri neuropati Nyeri bersifat bersifat, rasa terbakar, kesemutan, tidak spesifik



19



Gambar 3.6 Algoritma Manajemen Nyeri Akut Algoritma Manajemen Nyeri Akut7



· · · · · · ·



Parasetamol Cold pack Kortokosteroid Anestesi lokal (topical/infiltrasi) OAINS Opioid Stimulasi taktil



Pilih alternatif terapi yang lainnya Tidak



Ya



· Lihat manajemen nyeri kronik · Pertimbangkan untuk merujuk ke spesialis yang sesuai



Ya



· · · · · ·



Nyeri viseral · Kortikosteroid · Anestesi lokal intraspinal · OAINS · Opioid



Nyeri Somatic



Nyeri neuropatik Antikonvulsan Kortikasteroid Blok neuron OAINS Opioid Antidepresan trisiklik (antriptilin)



Pencegahan · · · · ·



Edukasi pasien Terapi farmakologi Konsultasi (jika perlu) Prosedur pembedahan Non-farmakologi



Apakah nyeri > 6 minggu?



Alagesik adekuat?



Kembali ke kontak Mekanisme Tidak “tentukan nyeri mekanisme nyerri” Tidak sesuai?



Efek samping pengobatan? Tidak



Follow-up/ nilai ulang



3. Tentukan mekanisme nyeri



Ya



Manajemen efek samping



20



a. Manajemen bergantung pada jenis/klasifikasi nyerinya. b. Pasien sering mengalami >1 jenis nyeri. c. Terbagi menjadi 4 jenis: 1) Nyeri neuropatik : a) Disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem somatosensorik. Contoh



:



neuropati



DM,



neuralgia



trigeminal,



neuralgia pasca-herpetik. b) Karakteristik : nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai dengan persyarafannya, baal, kesemutan, alodinia. c) Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada muskuloskeletal



(bahu,



ekstremitas),



nyeri



berlangsung selama > 3 bulan. 2) Nyeri otot: tersering adalah nyeri myofasial a) Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul dan ekstremitas bawah. b) Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat kelemahan, keterbatasan gerak. c) Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitif. d) Tatalaksana : mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat



(postur,



gerakan



repetitif,



faktor



pekerjaan). 3) Nyeri



inflamasi



(dikenal



juga



dengan



istilah



nyeri



nosiseptif) : a) Contoh : artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca operasi. b) Karakteristik : pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera/luka. c) Tatalaksana : manajemen proses inflamasi dengan antibiotik/antirematik, OAINS, kortikosteroid. 4) Nyeri mekanis/kompresi :



21



a) Diperberat



dengan aktivitas, dan nyeri berkurang



dengan istirahat. b) Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/spain



ligament/otot),



degenerasi



diskus,



osteoporosis dengan faktur kompresi, faktur. c) Merupakan nyeri nosiseptif. d) Tata laksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi. 4. Asesmen lainnya a. Asesmen



psikologi



:



nilai



apakah



pasien



mempunyai



masalah psikiatri (depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik, verbal, gangguan tidur). b. Masalah pekerjaan dan disabilitas. c. Faktor yang mempengaruhi : 1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk. 2) Penyakit lain yang memperburuk/memicu nyeri kronik. d. Hambatan terhadap tata laksana : 1) Hambatan komunikasi/bahasa. 2) Faktor finansial. 3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan. 4) Kepatuhan pasien yang buruk. 5) Kurangnya dukungan keluarga dan teman. 5. Manajemen Nyeri Kronik berdasarkan Level a. LEVEL I Prinsip level I 1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres). 2) Pasien harus berpatisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fungsi. 3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.



22



4) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup



manajemen



stres,



latihan



fisik,



terapi



relaksasi, dan sebagainya. 5) Beritahu kepada pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyeri. 6) Ajaklah untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri. 7) Jadwalkan kontrol pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk kontrol dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien. 8) Bekerja



sama



dengan



keluarga



untuk



memberikan



dukungan kepada pasien. 9) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap. 10) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri. 11) Manajemen



psikososial



(atasi



depresi,



kecemasan,



ketakutan pasien). b. Manajemen level I Menggunakan penatalaksanaan intervensi,



pendekatan



nyeri



kronik



non-farmakologi,



standar



termasuk



dan



terapi



dalam



farmakologi, pelengkap/



tambahan. Terapi berdasarkan jenis nyeri: 1) Nyeri neuropatik a) Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri : (1). Kontrol gula darah pada pasien DM. (2). Pembedahan, kemoterapi, radoterapi untuk pasien tumor dengan kompresi saraf. (3). Kontrol infeksi (antibiotik). b) Terapi simptomatik : (1). Antidepresan trisiklik (amitriptilin). (2). Antikonvulsan : gabapentin, karbamazepin (3). Obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi). (4). OAINS, kortikosteroid, opioid.



23



(5). Anestesi regional : blok simpatik, blok epidural / intraketal, infus epidural/intratekal. (6). Terapi berbasis- stimulasi : akupuntur, stimulasi spinal, pijat. (7). Rehabilitasi fisik : bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis. (8). Prosedur ablasi : kormiotomi, ablasi saraf dengan radio frekuensi. (9). Terapi



lainnya



:



hypnosis,



terapi



relaksasi



(mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri),



tetapi



perilaku



kognitif



(mengurangi



perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis). 2) Nyeri otot a) Lakukan skrining tehadap patologi medis yang serius, faktor



psikososial



yang



dapat



menghambat



pemulihan. b) Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar/awal dan ditingkatkan secara bertahap. c) Rehabilitasi fisik : (1). Fitnes : angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan. (2). Mekanik. (3). Pijat, terapi akuatik. d) Manajemen perilaku : (1). Stress/depresi (2). Teknik relaksasi (3). Perilaku kognitif (4). Ketergantungan obat (5). Manajemen amarah e) Terapi obat : (1). Analgesik dan sedasi (2). Antidepresan (3). Opioid jarang dibutuhkan 3) Nyeri inflamasi



24



a) Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya b) Obat anti-inflamasi utama OAINS kortikosteroid 4) Nyeri mekanis kompresi a) Penyebab



yang



seiring



tumor/kista



yang



menimbulkan kompresi pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi dan faktur. b) Penanganan efektif dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat bantu. c) Medikamentosa



kurang



efektif.



Opioid



dapat



digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan. c. Manajemen level 1 lainnya 1) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri non-neurotik. 2) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik nonkanker. 3) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi epidural. 4) Terapi pelengkap/tambahan : akupuntur, herbal. Tabel 3.5 Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) Faktor Diagnosis



Penjelasan 1 = kondisi kronik ringan dengan temuan obyektif minimal atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya migraine, nyeri punggung tidak spesifik. 2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri sedang



menetap



dengan temuan objektif medium. Misalnya nyeri punggung dengan perubahan degeneratif medium, nyeri neurotopik. 3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata. Misalnya: penyakit iskemik vascular berat, neuropatik lanjut, ....



25



spinal berat. Intracability



1 = pemberian terapi minimal dan pasien



(keterlibatan)



terlibat secara minimal dalam manajemen nyeri. 2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien



tidak



sepenuhnya



terlibat



dalam



manajemen nyeri, atau terdapat hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis) 3



=



pasien



terlibat



sepenuhnya



dalam



manajemen nyeri tetapi respon terapi tidak adekuat. Resiko (R)



R = jumlah skor P+K+R+D



Psikologi



1 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang mempengaruhi terapi. Misalnya



gangguan kepribadian,



gangguan



efek berat. 2



=



gangguan



jiwa/kepribadian



medium/



sedang. Misalnya depresi, gangguan, cemas. 3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau gangguan yang signifikan. Kesehatan



1 = penggunaan obat akhir-akhir ini. alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat. 2 = medikasi untuk mengatasi stres, atau riwayat remisi psikofarmaka 3 = tidak ada riwayat penggunaan obatobatan.



Rehabilitas



1 = banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja/jadwal kontrol. 2 = terkadang mengalami



kesulitan dalam



komplians, tetapi secara keseluruhan dapat diandalkan. 3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal kontrol dan terapi) Dukungan sosial



1 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat, peran dalam kehidupan



26



normal 2 = kurangnya hubungan dengan orang dan kurang berperan dalam sosial 3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah ada isolasi sosial Efikasi



1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan penggunaan dosis obat sedang- tinggi 2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisiensi (tidak menggunakan opioid sedang-tinggi) 3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai ...yang stabil.



Skor total



=D+I+R+E



Keterangan: Skor 7 + 13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang Skor 14 + 21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang g. LEVEL II Manajemen level 2 1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:



Algoritma Asesmen Nyeri Kronik stimulator spinal atau infus intratekal) 9



2) Indikasi pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif/ Pasien mengeluh nyeri manajemen level 1. Asesmen nyeri



3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada · Anemnesis ·



Pemeriksaan fisik



· Pemeriksaan fungsi perbaikan dengan manajemen level 1.



Tentukan mekanisme nyeri



Nyeri otot Nyeri miofasial



Nyeri neuropatik ·



·



Pasien dapat mengalami jenis nyeri dan faktor yang mempengaruhi yang beragam



Nyeri mekanis/ kompresi



Nyeri inflamasi



· Artropati inflamasi Gambar 3.7 Algoritma Assesmen Nyeri · Kronik Nyeri punggung (rematoid artritis)



Perifer (sindrom nyeri regional kompleks, neuropati HIV, gangguan metabolik) Sentral (Parkinson, multiple selerosis, mielopati, nyeri pasca-



· · ·



Infeksi Nyeri pasca-operasi Cedera jaringan



Apakah nyeri kronik? Ya Apakah etiologinya dapat dikoreksi / diatasi? Tidak · · ·



Asesmen lainnya Masalah pekerjaan dan disabilitas Asesmen psikologi dan spiritual Faktor yang mempengaruhi dan hambatan Algoritma Manajemen Nyeri Kronik



· ·



bawah Nyeri leher Nyeri musculoskeletal (bahu, siku)



Pantau dan observasi



Atasi etiologi nyeri sesuai indikasi



27



D. Manajemen Nyeri pada Pediatrik 1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma, sakit perut dan faktor psikologi. 2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda



terhadap



kerusakan



jaringan



yang



sama



atau



sederajat. 3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri. 4. Pemberian analgesik : a. “By The Ladder” pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat). 1) Awalnya, berikan analgesik ringan – sedang (level 1). 2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naikkan ke level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten). 3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol. 4) Analgesik adjuvant. a) Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.



28



b) Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant sebagai level 1. c) Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik. d) Kategori : (1). Analgesik multi-tujuan : antidepressant, agonis adremergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topikal. (2). Analgesik untuk nyeri neuropatik : antidepressant , antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal. (3). Analgesik untuk nyeri muskuloskeletal : relaksasi otot,



benzodiazepine,



inhibitor



osteoklas,



radiofarmaka. b. “By The Clock” mengacu pada waktu pemberian analgesik. Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri



pasien



benar-benar intermiten



dan tidak



dapat



diprediksi. c. “By The Child” mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masing-masing individu. 1) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur. 2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu. d. “By The Mouth” mengacu pada jalur pemberian oral. 1) Obat



harus



diberikan



melalui



jalur



yang



paling



sederhana, tidak invasif dan efektif, biasanya per oral. 2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan. 3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien. 4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral. 5) Sebisa



mungkin



jangan



memberikan



obat



via



intramuskular karena nyeri dan absorsi obat tidak dapat diandalkan.



29



6) Infus



kontinu



memiliki



keuntungan



yang



lebih



dibandingkan IM, IV, dan subkutan intermiten, yaitu: tidak



nyeri,



mencegah



keterlambatan pemberian



terjadinya



penundaan/



obat, memberikan



kontrol



nyeri yang kontinu pada anak. Indikasi: pasien nyeri dimana



pemberian



per



oral



dan



opioid



parenteral



intermitten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral). e. Analgetik dan anetesi regional: epidural atau spinal 1) Sangat



berguna



stadium



lanjut



untuk yang



anak sulit



dengan diatasi



nyeri dengan



kanker terapi



konservatif. 2) Harus dipantau dengan baik. 3) Beriakan



edukasi



ketersediaan



dan



segera



pelatihan



obat-obatan



kepada dan



staf,



peralatan



resusitasi, dan pencatatan yang akurat mengenai tanda vital/skor nyeri. f. Manajemen nyeri



kronik:



biasanya



memiliki



penyebab



multipel, dapat melibatkan komponen nosiseptif



dan



neuropatik. 1) Lakukan anamnesis dan fisik menyeluruh. 2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai. 3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi. 4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik dan perilaku). 5) Lakukan pendekatan multidisiplin. g. Panduan penggunaan opioid pada anak : 1) Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilih jalur oral. 2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus per jam kontinu prn. 3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah



30



total dosis opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24.



Alternatif



lainnya



adalah



dengan



menaikkan



kecepatan infus sebesar 50%. 4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya. 5) Jika efek analgeseik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas tingkatkan dosis sebesar 50%. 6) Saat tapering-off



atau penghentian obat : pada semua



pasien yang menerima dilakukan



opioid



tapering-off



> 1 minggu,



harus



menghindari



gejala



(untuk



withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari lalu kurangi sebesar 25 % setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/ kgBB/hari ), opioid dapat dihentikan. 7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus dan hiperrefleks. Tabel 3.6 Obat Non-Opioid yang sering digunakan pada Pediatrik Obat



Dosis



Parasetamol 10-15mg/kgBB



Keterangan Efek anti inflamasi kecil, efek



oral, setiap 4-6 gastrointestinal Ibuprofen



dan



jam



hematologi minimal



5-10mgkgBB



Efek antiinflamasi. Hati-hati



oral, setiap 6-8 pada jam



pasien



gangguan



dengan



hepar/renal,



riwayat



perdarahan



gastrointestinal



atau



hipertensi. Naproksen



10-20mg/ kgBB/hari oral, terbagi dalam 2 dosis



Diklofenak



Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien disfungsi renal. Dosis maksimal 1gr / hari.



1mg/kgBB oral, Efek setiap 8-12 jam



antiinflamasi.



samping



sama



ibuprofen



dan



Efek dengan



naproksen.



31



Dosis maksimal 50mg/kali. h. Terapi alternatif / tambahan 1) Konseling 2) Manipulasi chiropractic 3) Herbal 5. Terapi Non-Obat a. Terapi kognitif : merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non obat untuk anak. b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain



seperti



musik,



cahaya,



warna,



mainan,



permen,



komputer, permainan, film dan sebagainya. c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri. d. Terapi



relaksasi:



dapat



berupa



mengepalkan



dan



mengendurkan jari tangan, menggerakan kaki sesuai irama, menarik napas dalam. Tabel 3.7 Terapi Non-Obat Kognitif



Perilaku



Fisik



 Informasi



 Latihan



 Pijat



 Pilihan dan



 Terapi relaksasi



 Fisioterapi



kontrol



 Umpan



 Stimulasi



 Distraksi



positif



dan atensi  Hypnosis  Psikoterapi



 Modifikasi



balik



termal gaya



hidup / perilaku



 Stimulasi sensorik  Akupuntur  TENS



Gambar 3.8 Algoritma Manajemen Nyeri pada Pediatrik



32



Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik10 1. asesmen nyeri pada anak · · · ·



Nilai katarekteristik nyeri Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai Evaluasi kemungkinan adanya ketelibatan mekanisme nosiseptik dan neuropatik Kajian faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak



2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder · Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini · Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada · Pikirkan faktor emosinal, kognitif, dan perilaku



3. Pilih terapi yang sesuai Obat



Non-obat



· Analgesik · Analgesik adjuvani · Anestesi



· Kognitif · Fisik · Perilaku



4. Implementasi rencana menejemen nyeri



· Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepala orang tua (dan anak) · Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi · Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin · Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri · Revisi rencana jika diperlukan



E. Manajemen Nyeri pada Kelompok Usia Lanjut 1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia ≥ 65 tahun. 2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga 2 kali lipatnya dibandingkan dewasa muda. 3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia trigeminal neuralgia pasca-herpetik, polimialgia, dan penyakit degeneratif. 4. Lokasi yang sering mengalami nyeri, sendi utama/ penyangga tubuh, punggung, tungkai bawah, dan kaki.



33



5. Alasan seringgnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah : a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatri. b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid 6. Assesmen nyeri pada geriartri yang valid, reliable dan dapat diaplikasikan



menggunakan



Function



Pain



Scale



seperti



dibawah ini: Tabel 3.8 Function Pain Scale Skala Nyeri 0 1 2



Keterangan Tidak nyeri Dapat



(aktivitas



tidak



terpengaruh ) Dapat



ditoleransi



(beberapa



aktivitas



sedikit terganggu) Tidak



3



ditoleransi



dapat



ditoleransi



(tetapi



dapat



menggunakan telepon menonton TV, atau membaca) Tidak



4



dapat



ditoleransi



(tidak



dapat



menggunakan telepon, menonton TV, atau membaca )



5



Tidak dapat ditolerasi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)



*skor normal / yang diinginkan : 0-2 7. Intervensi a. Terapi termal : pemberian pendinginan atau pemanasan di area nyeri untuk menginduksi pelepasan opioid endogen. b. Stimulasi



listrik



pada



saraf



transkutan:



perkutan,



akupuntur. c. Blok saraf dan radiasi area tumor. d. Intervensi



medis



pelengkap/tambahan



atau



alternatif



relaksasi umpan balik positif, hipnosis. e. Fisioterapi dan terapi okupasi. 8. Intervensi farmakologi (tekanan pada keamanan pasien)



34



a. Non-opiod:



OAINS,



parasetamol,



COX-2



Inhibitor,



antidepressant trisiklik, amitriptilin, ansiolitik. b. Opioid : 1) Risiko adiksi rendah jika digunakan nyeri akut (jangka pendek). 2) Hindari yang cukup dan konsumsi serat/talking agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna, serbital) 3) Berikan opioid jangka pendek 4) Dosis rutin dan teratur memberikan analgesik yang lebih baik daripada pemberian intermiten. 5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan 6) Jika



efek



analgesik



masih



kurang



adekuat,



dapat



menaikkan opioid sebesar 50-100% dari dosis semula. c. Analgesik adjuvant 1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan opioid dan resolusi nyeri 2) Nortriptilin, klonazepam,



karbamazepine, gabapentin,



tramadol, mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik 3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigennital Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari 9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada



perdarahan



gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 6,5 tahun. 10. Semua



fase



farmakokinetik



dipengaruhi



oleh



termasuk



absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi. 11. Pasien



lansia



analgesik.



cenderung



Absorbsi



sering



memerlukan tidak



pengarahan



teratur



karena



dosis adanya



pemindahan waktu sindrom malabsorbsi. 12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia. 13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat. 14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.



35



15. Efek



samping



penggunaan



opioid



paling



sering



dialami



konstipasi. 16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat : polifarmasi (misalnya pasien mengkonsumsi analgesik, antideprasan, dan sedasi secara rutin harian). 17. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan



perlahan hingga tercapai dosis yang



diinginkan. 18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan : a. Penurunan/keterbatasan



mobilisasi,



pada



mengarah ke depresi karena pasien frustasi



akhirnya dengan



keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan fungsional. b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkakn imunitas tubuh. c. Kontrol nyreri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah. d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium. 19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia : a. OAINS : indometasin dan piroksikam



(waktu paruh yang



panjang dan efek samping gastrointestinal lebih besar). b. Opioid : pentazocine, butorphano (merupakan campuran antagonis



dan



agonis,



cenderung



memproduksi



efek



psikotomimetik pada lansia): metadon, levorphanol (waktu paruh panjang). c. Propoxyphene : neurotoksik. d. Antidepresan : tertiary amine tricyclisc (efek samping antikolinergik ). 20. Analgesik : menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnaya harus diberikan kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).



36



21. Pemilihan manajemen pada nyeri akut). a. Nyeri ringan-sedang : analgesik non-opioid. b. Nyeri sedang : opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS analgesik adjuvant. c. Nyeri berat : opioid poten . 22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.



BAB V



37



DOKUMENTASI A. SPO assesment nyeri. B. SPO manajemen nyeri. C. Formulir assesmen keperawatan. D. Cap/stempel assesmen ulang nyeri di Catatan Perkembangan Pasien Terintergrasi (CPPT) pada rekam medis pasien.