PAPDI Real II PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM Edisi Kelima Jilid I1



Aru W. Sudoyo



Marcellus Simadibrata K.



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Gastroenterologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta



Bambang Setiyohadi



Siti Setiati



Konsdtan Reumatologi Divisi Reurnatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta



I h s Alwi Konsultan Kardiologi Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalarn Diponegoro 7 1 Jakarta Pusat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Editor: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati



Editor Topik: Ari Fahrial Syam, Arif Mansjoer, Arina Widya Murni, C. Rinaldi Lesmana, Ceva W. Pitoyo, Dante Saksono Harbuwono, Dyah Purnamasari, Erni J. Nelwan, Esthika Dewiasty, Hamzah Shatri, Ika Prasetya Wijaya, Ikhwan Rinaldi, Imam Effendi, M. Begawan Bestari, Nafrialdi, PN. Haryanto, Parlindungan Siregar, Purwita W. Laksmi, Rudy Hidayat, Ryan Ranitya, Sally A.Nasution, Teguh Harjono Karjadi, Tri Juli Edy Tarigan



Redaktur Pelaksana: Setting dan Layout: Design Cover:



Nia Kurniasih Edy Supardi, Nia Kurniasih, Sudiariandini S., Harry Haryanto, Zikri Anwar, Sandi Saputra Harry Sugianto



210mmx275 mm 30 + 928 halaman ISBN : 978-979-9Y55-95-b(Ji1id L e n g k a p ) ISBN : 97B-979-9455-97-O(Ji1id 1 1 )



Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Sanksi Pelanggaran Pasal44 Undang -undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Nomor 7 Tahun 1987. 1.



2.



Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.00,(seratus juta rupiah) barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (I),dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah)



Diterbitkan pertama kali oleh: InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam J1. Diponegoro 71 Jakarta Pusat 10430 Telp. : 021-3193775 Faks. : 021-31903776 Email : [email protected] Cetakan Pertama November 2009 Cetakan Kedua Agustus 2010



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat menerbitkan revisi Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-V. Buku ini merupakan penyempunaan buku edisi sebelumnya. Revisi selalu kami upayakan karena kami meyadari begitu cepatnya perkembangan tatalaksana di bidang ilmu Penyakit Dalam. Hal inilah yang membuat kami beke rja keras agar dapat menerbitkan buku yang dapat dijadikan andalan. Kami berhararap buku ini dapat dijadikan pintu masuk untuk mengembangkan diri menelusuri sumber-sumber ilmu pengetahuan kedokteran lebih lanjut. Buku ajar edisi ini mengalami perubahan hampir di semua bab. Perkembangan terbaru dalam 4 tahun terakhir telah menjadi bagian dalam buku ini. Pada proses revisi, dari 450 naskah terdapat 81 naskah yang direvisi. Seperti buku sebelumnya, buku ini juga berisi bab dasar-dasar ilmu penyakit dalam serta pendekatan holistiknya, ditambah pula kedokteran kegawatdaruratan (emergency medicine), genetika, biologi molekular, dan ilmu kedokteran adolesen dan kami menambahkan satu bab baru khusus untuk penatalaksanaan Nutrisi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Kami tim editor amat sadar karena keterbatasan yang kami miliki saat buku ini terbit, pasti telah terjadi penambahan informasi maupun pengetahuan yang tidak sempat dimuat. Untuk itu, para pembaca dipersilakan menelusuri kepustakaan yang telah dicantumkan sebagai bacaan anjuran di akhir setiap topik, dengan memegang asas medicine is a life-long study. Tim editor mengucapkan terima kasih kepada Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis



Penyakit Dalam Indonesia (PB. PAPDI) yang tetap percaya memberikan tugas terhormat hi, Juga kepada tim editor buku ajar sebelumnya yang telah bekerja keras merevisi buku ajar ini sehingga kita dapat memiliki Buku Ajar yang menjadi acuan di bidang ilmu kedokteran di seluruh Indonesia. Tim editor juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, para penulis dari seluruh negeri, sekretariat Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta, tim editor dan semua pihak yang telah rela meluangkan waktu menulis dan mengedit buku ini Kami sangat menyadari buku ini pasti tidak luput dari kesalahan-kesalahan, baik itu berupa salah ketik, kesalahan dalam bahasa maupun tata letak. Pada kesempatan ini tim editor memohon maaf kepada para penulis maupun pembaca. Masukan, kritik dan saran akan kami jadikan cambuk supaya kami dapat menerbitkan buku ajar ini kearah yang lebih baik. Insya Allah.. ... Sebagai kata akhir, perkenankan kami juga mengucapkan penghargaan kami kepada semua mahasiswa fakultas kedokteran di Indonesia yang dengan kepercayaan merupakan motivator serta pendorong semangat bagi kami untuk menyelesaikan buku ajar ini sebaik mungkin. Tanpa kalian, mahasiswa di seluruh Indonesia, buku ini tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Semoga persembahan para anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia bagi masyarakat kedokteran dapat lebih menerangi dunia ilmu kedokteran di negara ini untuk Indonesia yang lebih maju lagi.



Jakarta, Nopember 2009 Tim Editor



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Assalamu'alaikum wr. wb. Sejawat Yang Terhormat. Kita bersama mengucapkan syukur pada Tuhan YME bahwa Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ini telah mencapai cetakan yang kelima, sehingga buku yang telah banyak dibaca ini senantiasa diremajakan dan tetap populer. Ada beberapa makna dari keberadaan buku ini yang saya ingin garis bawahi', yaitu 1)Ilmu Penyakit Dalam masih tetap utuh dengan semua subdisiplin yang bernaung di bawahnya, yaitu Alergi dan Imunologi, Gastroenterologi, Geriatri, Ginjal dan Hipertensi, Hematologi dan Onkologi, Hepatobilier, Kardiologi, Metabolik dan Endokrin, Pulmonologi, Psikosomatik, Reumatologi dan Penyakit Tropik dan Infeksi. Pendekatan holistik yang menjadi falsafah dasar cabang utama dan tertua Ilmu Kedokteran ini menjadi landasan bagi semua cabang-caban g ilmu kedokteran lainnya, dan untuk Indonesia ha1 ini menjadi lebih penting karena luasnya wilayah serta besarnya populasi yang harus dijangkau. Hal lain adalah 2) keterlibatan dan partisipasi begitu banyaknya anggota Perhimpunan Dokter Spersialis Penyakit Dalam (PAPDI) dalam penulisan buku ini, sesuatu yang membahagiakan bagi setiap pengurusnya, karena menunjukkan tidak hanya kebersamaan tetapi juga suatu tekad besar untuk berjalan bersama.



Para penulis Buku Ajar Penyakit Dalam ini adalah para anggota PAPDI dari seluruh Indonesia yang ditunjuk tim editor dan telah meluangkan waktunya di samping kesibukan masing-masing. Tidaklah mudah untuk menyusun suatu makalah yang akan digunakan sebagai referensi oleh calon-calon dokter dan spesialis, dan tidak ringan bagi para editor untuk mengirim kritik serta saran dalam perjalanan merealsisasikan buku ajar ini. Untuk itu saya sebagai Ketua Umum menyampaikan apresiasi serta terima kasih yang sebesar-besarnya. Saya yakin buku ini dapat menjadi referensi yang baik bagi para dokter, baik mahasiswa kedokteran, dokter umum, calon Dokter Spesialis Penyakit Dalam maupun dokter dari keahlian lainnya. Dengan membaca buku ajar ini diharapkan kemampuan sejawat meningkat baik dalam teori maupun keterampilan sehingga pelayanan pada pasien pun akan meningkat kualitasnya. Sekali lagi saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ajar cetakan kelima ini, semoga Allah SWT meberikan rahmatNya pada kita semua. Amin.



Jakarta, Nopember 2009 Ketua DR. dr. Aru W Sudoyo, SpPD-KHOM, FACP



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Prof. DR. Dr. A Harryanto Reksodiputro, Sp.PD



Dr. Agus S.Waspodo, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Dr. A. Madjid, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RS. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.



Konsultan Kardiovaskular, Bagian Fisiologi, FK. USU/RSUP. Dr. Pringadi Medan



Prof. Dr. Agus Tessy, Sp.PD



Dr. A. Muin Rachman, Sp.PD



Konsultan Kardivaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. H. Ahmad A Asdie, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. A. Sanusi Tarnbunan, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Ahmad Fauzi, Sp.PD



Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. H. A.Aziz Rani, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Ahrnad Rasyid, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP, Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Aida Lydia, Sp.PD



Dr. A. Nurman, Ph.D, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSAL Mintoharjo, Jakarta



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilrnu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. H. Akmal Sya'roni, Sp.PD



Prof. Dr. A.R.Nasution, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Prof. Dr. Abdulmuthalib, Sp.PD



Dr. Ali Djurnhana, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung



Dr. Adiwiyono, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh.Hoesin Palembang



.



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Dr. Agus P. Sarnbo, Sp.PD



Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Hasmuddin/ RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar



Prof. Dr. Ali Ghani, Sp.PD



Prof. Dr. H. AIi Sulaiman, Ph.D, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Alwi Shihab, Sp.PD



Prof. DR. Dr. Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Alwinsyah, Sp.PD



Prof. Dr. Asrnan Manaf,Sp.PD



Divisi Pulmonologi dan Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RS Dr. M. qamil, Padang



Dr. Arnaylia Oehadian, Sp.PD



Dr. Asril Bahar, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Konsultan Pulmonologi-Konsultan Geriatri Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Dr. AMC Karena-Kaparang, Sp.PD



Dr. Asrul Harsal, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Arni Ashariati,Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Andi Fachruddin Benyarnin,Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar



Prof. Dr. Azhar Tandjung, Sp.PD



Konsultan Alergi Imunologi-Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. B. Fanani Lubis, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi



Dr. Andri Sanityoso, Sp.PD



Dr. B.J. Waleleng, Sp.PD



Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado



Dr. Ari Baskoro, Sp.PD



Divisi Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Ari Fahrial Syarn, Sp.PD, MMB



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Arif Mansjoer, Sp.PD, KIC



Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Arnadi Taslirn, Sp.PD



RS. Krakatau Steel Cilegon, Jawa Barat DR. Dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi hledik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. B. P. Putra Suryana, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Seksi Reumatologi, Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RS Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Barnbang lrawan M, Sp.PD



SMF Penyakit Dalam FK. UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Barnbang Karsono, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Barnbang Setiyohadi, Sp.PD



Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Boedhi Darrnojo, Sp.PD



Dr. Arya Govinda, Sp.PD



Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Aryanto Suwondo, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalani FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Barnbang Sigit Riyanto, Sp.PD



Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Prof. Dr. Barwani Hisyam, Sp.PD



Dr. Chairul Effendi, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta



Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Candra Wibowo, Sp.PD



Dr. Blondina Marpaung, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD. Dr. kingadi-SUF. H. Adam Malik, Medan



Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang



Prof. DR. Dr. Asman Boedisantoso R, Sp.PD



Konsultan Penyakit ~ r o ~ dan i k Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNMUL/RSUD A. Wahab Sjahranie, Samarinda



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Boediwarsono, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK. UNAIR/RS. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Budi Darmawan Machsoos, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Budi Muljono, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Budi Setiawan, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Budiman, Sp.PD



Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Budiono, Sp.PD



Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



ana ado



Dr. Carts A. Gunawan,Sp.PD



Dr. Chudahman Manan, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Cleopas Martin Rumende, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD, MEpid



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Dadang Makmun, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Daldiyono Hardjodisastro, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Dante Saksono Harbuwono, PhD, SpPD



Dr. C. Singgih Wahono,Sp.PD



Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang



Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Catharina Suharti, Sp.PD



Prof. Dr. Dasnan Ismail, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Daulat Manurung, Sp.PD



Dr. Chairul Bahri, Sp.PD



Dr. Dewa Putu, Sp.PD



Bagian Ilmu Penyakit Dalam , FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan



Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Dharrneizar, Sp.PD



Dr. Edy Mart Salim, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Alergi Imunologi, Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH, Palembang



Dr. Dharrnika Djojoningrat, Sp.PD



Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen I h u Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Dina Jani Mahdi, Sp.PD



Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Djoko Wahono, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang



Dr. Eko Budiono, Sp.PD



Dr. Elias Pardjono, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. Endang Susalit, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Djoko Widodo, Sp.PD



Prof. Dr. Enday Sukandar, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Lnfeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung



Dr. Djoni Djunaedi, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Dody Ranuhardy, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Erwanto Budi W., Sp.PD



Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Evy Yunihastuti, Sp.PD



Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. F. Surnanto Padrnornartono, Sp.PD



Dr. Dono Antono, Sp.PD



Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Doni Priarnbodo Witjaksono, Sp.PD



Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. Dwi Sutanegara, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar, Bali Dr. E.N. Keliat, Sp.PD



Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD.Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. Eddy Soewandojo Soewondo, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr.Sutomo, Surabaya Prof. Dr. Edu Tehupeiory, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi, Bagian llmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP. Dr. Wahidin S. Makassar



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Faridin, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Hasanuddin, Makasar Dr. Gatoet Isrnanoe, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RS Dr. Sjaiful Anwar Malang Dr. Gatot Soegianto, Sp.PD



Subbagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo. Surabaya Dr. Ginova Nainggolan, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. DR. Dr. Guntur Hermawan, Sp.PD



Prof. Dr. Hanafi B. Trisnohadi, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Surakarta/RSUD Dr. Moewardi, Solo



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. H. Soemarsono, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Bagian Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Brawaijaya, Malang



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Meksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof.Dr. H.A. Fuad Bakry F, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang Prof. Dr. H.A.M.AkiI, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S. Makassar Dr. H.E. Mudjaddid, Sp.PD



Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. H. Hanum Nasution, Sp.PD



Kansultan Psikosomatik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. Dr. H.M.S. Markum, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Hadi Halim, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Hadi Martono, Sp.PD



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Sernarang



Prof. Dr. Handono Kalim, Sp.PD



Dr. Hans Salonder, Sp.PD



Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado Prof. Dr. Hariono Achmad, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD. Dr. Sjaiful Anwar, Malang Dr. Harlinda Haroen, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/ RSUP Malalayang, Manado Prof. DR. Dr. Harry Isbagio, Sp.PD



Konsultan Reumatologi-Konsultan Geriatri Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. DR. Dr. Hendromartono, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Prof. Dr. Herdiman T. Pohan, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Hermasyah, Sp.PD



Dr. Hadi Yusuf, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS. Hasan Sadikin, Bandung



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSU Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Prof. DR. Dr. Abdul Halim Mubin, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr.Wahidin S, Makassar



Prof. Dr. Hernomo Kusumobroto, Sp.PD



Dr. HamzahShatri, Sp.PD, MEpid



Prof. DR. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD



Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD



Prof. Dr. lman Supandiman, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin, Bandung



Dr. Hirlan, Sp.PD



DR. Dr. Iris Rengganis, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUD Dr. Kariadi, Semarang



Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. IGde RakaWidiana, Sp.PD



Dr. lrsan Hasan; Sp.PD



Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Bali



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUIJN-CM, Jakarta



Dr. IKetut Suega, Sp.PD



Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/ SMF Penyakit Dalam FK UDAYANA/RS Sanglah ~en~asar3ali



Dr. l n a Wahid,Sp.PD



Subagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RS Dr. M. Djamil, Padang



Prof. DR. Dr. IMade Bakta, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK uNUD/RSL.JP Sanglah Denpasar, Bali Dr. Ian Effendi N. Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Ddam FK UNSRI/RS. Moh. Hoesin, Palembang



Prof. Dr. lskandar Zulkamaen, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. lswan A. Nusi, Sp.PD



Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNAIR/EL.JP Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. lbnu Punvanto, Sp.PD



Subbagian Hematologi-OnkoIog Medik SMF IImu Penyakit Dalam FK UGM/RSL.JP Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. ldrus Alwi, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. lwang Gurniwang, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Jodi Sidharta Loekman, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali



Dr. Ika PrasetyaWijaya, Sp.PD



Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. lkhwan Rinaldi, Sp.PD



Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departernen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. lmam Effendi, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



DR. Dr. Johan Kurnianda, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin, Bandung Dr. Johanes Purwoto,Sp.PD



Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Dr. lmam Subekti, Sp.PD



Prof. Dr. John M.F. Adam, *PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Endokrin dan Metabolik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Hasanuddin/RS Dr. Wahidin S, Makasar



ONLY SCANNED FORxii dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI DR. Dr. Joewono Soeroso, MSc, Sp.PD



Dr. Kuntjoro Harimurti, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Lab. UPF Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo, Surabaya



Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Jose Roesma, PhD, Sp.PD



Konsultan Patologi Klinik Bagian Patologi Klinik FK Univ. Brawijaya, Malang



DR. Dr. Kusworini Handono, Sp.PK



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Laurentius A. Lesmana, PhD, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Yuliasih, Sp.PD



Konsultan Reumatologi, Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Leonard Nainggolan, Sp.PD



Konsultan Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Julius, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSL.JPDr. M. Djamil, Padang



Dr. Lestariningsih, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang



DR. Dr. Karel Pandelaki, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP, Manado



Dr. Linda K. Wijaya, Sp.PD



Konsultan Reumatologi RS. Pantai Indah Kapuk -Jakarta



Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Linda W.A. Rotty, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado



Prof. DR. Dr. Karnen G. Bratawijaya, Sp.PD



Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Lucky Aziza Bawazier, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Kartika Widayati, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, Sp.PD



Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Ketut Suega, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali



Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali



Dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan



Dr. Khie Chen, Sp.PD



Konsultan Tropik Infeksi, Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Dr. M. Tantoro Harmono, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta



Dr. Kris Pranarka, Sp.PD



Dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP. Dr. Kariadi, Semarang



Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNLAM/RSUD. Ulin, Banjarmasin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



xiii



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Dr. Muhammad Diah, Sp.PD



Dr. Nafrialdi, Ph.D,Sp.PD



Divisi Kardiologi, Bagian Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Departemen Farmakologi FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. M.Yusuf Nasution, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang



Dr. Najirman, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Instalasi Hemodialisa SMF Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan



Dr. Nanang Sukmana, Sp.PD



Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Made Putra Sedana, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Nasronudin,Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Marcellus Simadibrata K, Ph.D, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Nasrul Jubir, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Qarnil, Padang



Dr. Marulam M. Panggabean, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Nelly Tendean Wenas, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi ~ a ~ i Ilmu a * Penyakit ~ a l a k FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado



Dr. Meddy Setiawan, Sp.PD



Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Brawijaya, Malang Dr. Mediarty Syahrir, Sp.PD



Dr. Nina Kemala Sari, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Niniek Burhan, Sp.PD



Prof. Dr. Mochammad Sja'bani, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang



Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Prof. Dr. Nizam Oesman, Sp.PD



Dr. Moefrodi Wirjoatmodjo, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta



DR. Dr. Noorwati Sutandyo, Sp.PD



Prof. DR. Dr. Mohammad Yogiantoro, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Airlangga/RS Dr. Sutomo Surabaya Dr. Muhamad Yamin, Sp.JP



Dr. Nugroho Prayogo, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular, Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



DR. Dr. Murdani Abdullah, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Nurhay Abdurachman, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Nurul Akbar, Sp.PD



Dr. H. Murnizal Dahlan, Sp.B



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Bedah Vaskular, Divisi Bedah Vaskular Departemen Bedah FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



xiv



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. Dr. Nuzirwan Acang, Sp.PD



Dr. PN. Harryanto, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi RSU Bethesda, Tomohon, Sulawesi Utara



Dr. Nyoman Astika, Sp.PD



Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah Denpasar - Bali Drs. Nyoman Gde Suryadhana



Dr. Poernomo Budi Setiawan, Sp.PD



Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Pradana Soewondo, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Bagian Gigi Mulut, FKG Univ. Indonesia, Jakarta Dr. Nyoman Kertia, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. OK Moehad Syah, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan Prof. Dr. PangarapenTarigan, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan Dr. Pangestu Adi, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Panji lrani Fianza, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung DR. Dr. Parlindungan Siregar, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Pasiyan Rahmatullah, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi, Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Prof. DR. Dr. Paulus Wiyono, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. Pranawa, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal HipertensiLab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Probosuseno, Sp.PD



Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. F.X. Pridady, Sp.PD



Unit Penyakit Dalam, RSAB. Harapan Kita, Jakarta Dr. Primal Sudjana, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Putut Banyupurnama, Sp.PD



Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalarn FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD



Konsultan Geriatri Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS. Sanglah Denpasar - Bali Prof. DR. Dr. RR. Djokomoeljanto, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. R. Soertadi, Sp.PD Prof. Dr. R.H.H. Nelwan, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Rachmat Soelaeman, Sp.PD



Dr. Pernodjo Dahlan, Sp.PD



Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. PG Konthen, Sp.PD



Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo,Surabaya



Konsultan Ginjal Hipertensi Unit Penelitian Kesehatan FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. H. Rahmat Sumantri, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Rawan Broto, Sp.PD



Prof. Dr. S.A. Abdurachman, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam F K UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Dr. Rejeki Andayani Rahayu, Sp.PD



Prof. Dr. Saharman Leman, Sp.PD



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang



Konsultan Kardiovaskular SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Pandang Dr. Sally Aman Nasution, Sp.PD



Dr. Restu Pasaribu, Sp.PD



Divisi Ginjal Hipertansi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Moh. Hoesin, Palembang



Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Riardy Pramudyo, Sp.PD



Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD



Konsulatan Reumatologi Sub Unit Reumatologi Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. DR. Dr. Rifai Amirudin, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S, Makasar



Prof. DR. Dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD



Dr. Shofa Chasani, Sp.PD



Dr. Rino A.Gani, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi, Semarang Dr. Shufrie Effendy, Sp.PD



Dr. Ririn H, Sp.Gk



Instalasi Gizi RS. Kanker Dharmais, Jakarta Dr. Rizasyah Daud, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rizka Humardewayanti Asdie, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Ronald A. Hukom, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rudi Putranto, Sp.PD



Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Rully M.A. Roesli, PhD, Sp.PD



Konsultan Ginial Hivertensi Bagian Ilmu pbnyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Rose Dinda, SpPD



SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. pamil, Pandang



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Siti Nurdjanah, Sp.PD, M.Kes.



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. Siti Setiati, MEpid, Sp.PD



Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Sjaharuddin Harun, Sp.PD



Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Slamet Suyono, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Divisi Metabolik ~ n d o k ; i n Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR xvidr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Soebagyo Loehoeri, Sp.PD



Dr. Sumardi, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta



Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Prof. Dr. Soebandiri, Sp.PD



Dr. Sumariyono, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. DR. Dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik DiabetesKonsultan Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Supartondo,Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang Prof. Dr. Soenarto, Sp.PD



Dr. Suradi Maryono, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta



Prof. DR. Dr. Soewignjo Soemohardjo, Sp.PD



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS. Dr. Kariadi, Semarang



Dr. Suyono, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSU. Mataram Dr. Stephanus Gunawan, Sp.PD



Dr. Syadra Bardiman Rasyad, Sp.PD



Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU. Mataram



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Dr. Sugianto, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Syafii Piliang, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan



Dr. Sugiyono Somoastro, Sp.PD



Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Syafril Syahbuddin, Sp.PD



Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RSUP Dr. M. Djamil, Padang



Dr. Suhardi Darmo A. Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta



DR. Dr. Syakib Bakri, Sp.PD



Konsultan Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RSU Dr. Wahidin S, Makasar



Prof. DR. Dr. Suhardjono, Sp.PD Prof. DR. Dr. T.Santoso, Sp.PD, FACC, FESC



Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Konsultan Kardiovaskular,Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



DR. Dr. Suhendro, Sp.PD



Dr. Taufik Indrajaya, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Sub Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Prof. DR. Dr. Sujono Hadi, Sp.PD



Dr. Teguh H. Karjadi, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Sukamto, Sp.PD



Dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, Sp.PD



Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



xvii



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dr. Tjokorda Rakaputra, Sp.PD



Prof. Dr. Wiguno Prodjosudjadi, PhD, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali



Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Trinugroho Heri Fadjari, Sp.PD



Sub Bagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Dr. Yenny DianAndayani, Sp.PD



Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalarn FK UNSRI/RSU Dr. Moh.Hoesien Palembang



Dr. Triwibowo, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. Yoga I.Kasjmir, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



DR. Dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali



Dr. Yosia Ginting, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan



Dr. UjainahZaini Nasir, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Umar Zain, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan Dr. Unggul Budihusodo, Sp.PD



Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Usman Hadi, Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Dr. Purwita W. Laksrni, Sp.PD



Dr. Zakifman Jack, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD



Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta DR. Dr.Zul Dahlan, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Prof. DR. Dr. Zuljasri Albar, Sp.PD



Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Zulkarnain Arsyad, Sp.PD



Prof. Dr. Wasilah Rochmah, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang



Konsultan Geriatri Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Widayat Djoko S., Sp.PD



Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



DR. Dr. Zulkifli Amin, Sp.PD



Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENGANTAR TIM EDITOR



iii



SAMBUTAN KETUA UMUM PB. PAPDI KONTRIBUTOR



v vii



11. Pemeriksaan Fisis Jantung



JILID I



Lukrnan H. Makrnun, Nurhay Abddurachrnan



12. Pemeriksaan Abdomen, Urogenital dan Anorektal



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM 1. Pengembangan Ilmu dan Profesi Penyakit Dalam



13. Catatan Medik Berdasarkan Masalah (CMBM)



77



Lukrnan H. Makrnun



1



Sarnsuridjal Djauzi



14. Psikoneuro Imunoendokrinologi



80



E.Mudjaddid, Hamzah Shatri, R. Putranto



2. Perkembangan Ilmu Penyakit Dalam sebagai Suatu Disiplin Ilmu



4



Nurhay Abdurachrnan



15. Masalah Kesehatan Akibat Alkohol dan Merokok



83



Budirnan



3. Pendekatan Holistik di Bidang Ilmu Penyakit Dalam



7



H.M.S.Markurn. E.Mudiaddid



4. Empati dalam Komunikasi Dokter-Pasien



10



Sarnsuridjal Supartondo . Diauzi, .



5. Praktik Ilmu Penyakit Dalam Rantai Kokoh Cost-effectiveness



16. Kesehatan Remaja Barnbang Setiyohadi



17. Kesehatan Perempuan Siti Setiati, Purwita W. Laksrni



18. Kesehatan Keluarga 12



6. Masa Depan Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam



113



Barnbang Setiyohadi



19. Dasar-dasar Penyakit Akibat Kerja



Supartondo



130



Teguh H. Karjadi, Sarnsuridjal Djauzi



14



Slarnet Suyono



20. Dasar-dasar Farmakologi Klinik



133



Nafrialdi



21



7. Evidence Based Medicine



21. Genetika Medik dan Biologi Molekular Barnbang Setiyohadi, Nyornan Gde Suryadhana



Zubairi Djoerban



8. Anamnesis



25



Supartondo, Barnbang Setiyohadi



9. Pemeriksaan Fisis urnurn



29



KEGAWATDARURATAN MEDIK



54



22. Terapi Oksigen



Barnbang Setiyohadi, Imam Subekti



10. Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru Cleopas Martin Rurnende



69



Marcellus Sirnadibrata K.



Anna Uyainah Z. N



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



140



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 23. Dukungan Ventilator Mekanik



166



Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Arnin



44. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus 297 Hernorno Kusurnobroto



24. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



175



45 Ileus Paralitik



Parlindungan Siregar



46 Trombosis Arterial Tungkai Akut



25 Gangguan Keseimbangan Asarn Basa Metabolii 190 Parlindungan Siregar



26. Rehidrasi



197



Rizka Humardewayanti Asdie, Doni Priambodo Witjaksono, Soebagjo Loehoeri



27. Penatalaksanaan Umum Koma



307



Ali Djumhana, Ari F. Syam



309



Murnizal Dahlan



47 Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor



311



Zakifman Jack



205



Budiman



48. Kegawatan Onkologi dan Sindrom Paraneoplastik



313



Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro



28. Sinkop



210



Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution



29. Gaga1 Napas Akut



218



Zulkifli Amin, Johanes Purwoto



30. Resusitasi Jantung Paru



227



Arif Mansjoer



NUTRISI 49. Dasar-dasar Nutrisi Klinik pada Proses Penyembuhan Penyakit Daldiyono, Ari Fahrial Syarn



31. Acute Respirato y Distress Syndrome (ARDS) 234 Zulkifli Amin



50. Nutrisi Enteral Marcellus Sirnadibrata



32. Syok Hipovolemik



242



Ika Prasetya Wijaya



33. Syok Kardiogenik



245



ldrus Alwi, Sally Aman Nasution



34. Penatalaksanaan Syok Septik



252



Arif Mansjoer, Marcellus Simadibrata K



53. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker



257



lris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, Dina Mahdi



36. Kegagalan Multi Organ (Disfungsi Organ Multipel)



Imam Subekti



52. Dukungan Nutrisi pada Penyakit Kritis



Khie Chen, Herdiman T. Pohan



35. Renjatan Anafilaktik



51. Nutrisi Parenteral: Cara Pemillihan Kapan dan Bagaimana



Noorwati Sutandyo



54. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut Nina Kernala Sari



55. Malnutrisi



262



Aryanto Suwondo



Ari Fahrial Syam



56 Malnutrisi di Rumah Sakit



37. Sindrom Termal dan Sengatan Listrik



270



Siti Setiati, Rose Dinda



Budiman



38. Sengatan Serangga



275



Budiman



ALERGI IMUNOLOGI KLINIK



39. Penatalaksanaan Keracunan Bisa Kalaj engking



278



Djoni Djunaedi



280



Djoni Djunaedi



58. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi



377



Azhar Tanjung, Evy Yunihastuti



41. Intoksikasi Narkotika (Opiat)



284



Nanang Sukmana



59. Alergi Makanan



382



Iris Rengganis, Evy Yunihastuti



42. Keracunan Bahan Kimia, Obat dan Makanan



60. Alergi Obat



289



Widayat Djoko, Djoko Widodo



Ceva W. Pitoyo



367



Karnen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis



40. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa



43. Hemoptisis



57. Imunologi Dasar



294



387



Samsuridjal Djauzi, Heru Sundaru, Dina Mahdi, Nanang Sukmana



61. Rinosinusitis Alergi Heru Sundaru, Erwanto Budi Winulyo



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



392



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 62. Urtikaria dan Angiodema



395



63. Asma Bronkial



81. Tukak Gaster Pengarapen Tarigan



Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul Effendi, P.G.Konthen



82. Tukak Doudenum 404



Heru Sundaru, Sukarnto



H.A.M. Akil



83. Dispepsia Fungsional



64. Penyakit kompleks Imun



415



Edy Mart Salirn, Nanang Sukrnana



65. Respons Imun Infeksi HIV



84. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik 421



Tuti Parwati Merati, Sarnsuridjal Djauzi



66. Imunisasi Dewasa



Marcellus Sirnad~brataK.



85. Diare Akut 429



Erwanto Budi, Samsuridjal Djauzi



67. Vaskulitis



Dharrnika Djojoningrat



Marcellus Sirnadibrata K., Daldiyono



86. Polip Kolon



435



Nanang Sukrnana



557



H.A. Fuad Bakry F



87. Kolitis Infeksi



560



Nizarn Oesman



88. Tumor Kolorektal



GASTROENTEROLOGI



Murdani Abdullah



68. Pendekatan Klirris Penyakit Gastrointestinal 441 Dharrnika Djojoningrat



69. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Baeian Atas "



Julius



90. Kolitis Radiasi 447



Dadang Makrnun



91. Irritable Bowel Syndrome (IBS)



Pangestu Adi



70. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah (Hematokezia) dan Perdarahan Samar (Occult)



92. Hemoroid 453



7l. Gangguan Motilitas Saluran Cerna Bsgian 460



Bawah



583



Chudahrnan Manan, Ary Fahrial Syarn



Murdani Abdullah



587



Marcellus Sirnadibrata K.



93. Inflammato y Bowel Disease Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia"



591



Dharrnika Djojoningrat



Marcellus Sirnadibrata K.



72. Pemeriksaan Endoskopi Saluran Cerna



467



94. Pankreatitis Kronik Marcellus Sirnadibrata K



Marcellus Sirnadibrata K.



73. Nyeri Abdomen Akut



474



74. Malabsorpsi



95. Penyakit Divertikular H.A.M.Akil



Daldiyono, Ari Fahrial Syarn



477



96. Penyakit Vaskular Mesentrika Syadra Bardirnan Rasyad



Ari Fahrial Syarn



75. Penyakit Refluks Gastrmofageal



480



97. Penyakit Tropik Infeksi GasYroimZestinal



621



Marcellus Sirnadibrata K., Ahrnad Fauzi



Dadang Makrnun



76. Akalasia



488



HA. Fuad Bakry F.



77. Striktur/Stenosis Esofagus



493



Marcellus Simadibrata K.



HEPATOBILIEIR: 98. Fisiologi dan Biokimia Hati



78. Tumor Esofagus



497



A. Abdurachman



Rifai Amirudin



99. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus



79. Infeksi Helico6acter Pybri d'an Penyakit Gastro-Duodenal A.Azir Rani, Achmad Falwj



801 Gastritis Hirlan



89. Tumor Gaster



634



Ali Sulairnan



501



100. Kelainan Enzim pada Penyakit Hati Nurul Akbar



509



101. Hepatitis Viral Akut Andri Sanityoso



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



640



102. Hepatitis B Kronik



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 653



Soewignjo Soernohardjo, Stephanus Gunawan



103. Hepatitis C



Czeresna Heriawan Soejono



662



124. Pedoman Memberi Obat Pada Pasien Geriatri Serta Mengatasi Masalah Polifarmasi



668



Supartondo, Arya Govinda Roosheroe



Rino A.Gani



104. 'Sirosis Hati



674



125. Pelayanan Kesehatan Sosial dan Kesejahteraan Usia Lanjut



677



126. Regulasi Suhu pada Usia Lanjut



Siti Nurdjanah



105. 'Asites Hirlan



106. 'Koma Hepatik Nasrul Jubir



107. 'Sindrom Hepatorenal



123. Pengkajian Paripurna Pada Pasien Geriatri 768



681



Purnorno Budi Setiawan, Hernorno Kusurnobroto



685



779



Hadi Martono, I Dewa Putu Prarnantana S.



789



Siti Setiati, Nina Kernala Sari



127. Dehidrasi dan Gangguan Elektrolit



797



R A.Tuty Kuswardhani, Nina Kernala Sari



128. Gangguan Tidur pada Usia Lanjut



108. Karsinoma Hati



776



802



Rejeki Andayani



129. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur 812



Unggul Budihusodo



109. Abses Hati Piogenik



692



130. Dizzines pada Lanjut Usia



Nelly Tendean V!enas, B.J. Waleleng



110. Perlemakan Hati Non Alkoholik



695



lrsan Hasan



111. Penyakit Hati pada Kehamilan



702



Hariono Achrnad



112. Hepatotoksisitas Imbas Obat



Siti Setiati, Purwita W. Laksrni



708



Putut Bayupurnarna



113. Hiperbilirubinemia Non Hemolitik Familial 714 A. Fuad Bakry F.



826



Probosuseno, Niko Adhi Husni, Wasilah Rochrnah



131. Demensia



837



Wasilah Rochrnah, Kuntjoro Hari Murti



132. Depresi pada pasien Usia Lanjut



845



Czeresna H. Soejono, Probosuseno, Nina Kernala Sari



133. Penyakit Parkinson



851



Rejeki Andayani Rahayu



114. Kolesistitis



718



F.X. Pridady



134. Imobilisasi pada Usia Lanjut



859



Siti Setiati, Arya Govinda Roosheroe



115. Penyakit Batu Empedu



721



Laurentius A. Lesrnana



116. Tuberkulosis Peritoneal



727



Lukrnan Hakirn Zain



135. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif 136. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi



117. Pankreatitis Akut



731



A. Nurrnan



118. Tumor Pankreas



739



F. Soernanto Padrnornartono



865



Siti Setiati, I Dewa Putu Prarnantara



876



Kris Pranarka, Rejeki Andayani



137. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut Secara Menyeluruh



884



Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar



119. Tindakan Intervensi pada Penyakit Hati



747



Agus Sudiro Waspodo



138. Strok dan Penatalaksanaannya oleh Internis



892



Hadi Martono, R.A.Tuty Kuswardhani



120. Biopsi Hati



750



139. Hipertensi pada Usia lanjut



899



Suhardjono



Agus Sudiro Waspodo



121. Transplantasi Hati



753



140. Kegawatdaruratan pada Pasien Geriatri



904



Lukrnan Hakirn Makrnun



lswan A. Nusi



141. Sindrom Delirium (Acute Confusional State) 907 Czeresna H.Soejono, Dewa Putu P.



142. Iatrogenesis



GERIATRI



913



R.A.Tuty Kuswardhani, Nyornan Astika



122. Proses Menua dan Implikasi Klinis Siti Setiati, Kuntjoro Hari Murti, Arya Govinda R



757



143. Asuhan pada Kondisi Terminal Supartondo



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



916



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 144. Elderly mistreatment (Salah Perlakuan Terhadap Orang Tua)



163. Penyakit Ginjal Kronik



919



Ketut Suwitra



Supartondo, Nina Kemala Sari



145. Gerontologi dan Geriatri di Indonesia



164. Gangguan Ginjal Akut



924



H.M.S. Markum



R. Boedhi Darmojo



165. Hemodialisis



1050



J. Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono



166. Dialisis Peritoneal



JILID I1



1053



lmam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A Roesli



167. Terapi Pengganti Ginjal Berkesinambungan (CRRT)



GINJAL HIPERTENSI 146. Pemeriksaaan Penunjang pada Penyakit Ginjal



R U I I ~M.A. Roesli



168. Transplantasi Ginjal Endang Susalit



935



169. Hipertensi Esensial



lmam Effendi, H.M.S. Markum



147. Edema Patofisiologi dan Penanganan



Mohammad Yogiantoro



946



170. Hipertensi pada Penyakit Ginjal



Ian Effendi, Restu Pasaribu



Agus Tessy



952



148. Hematuria



171. Hipertensi Renovaskular



Lestariningsih



Syakib Bakri



956



149. Proteinuria



172. Hiperaldosteronisme Primer



Lucky Aziza Bawazier



Ginova Nainggolan



962



150. Sindrom Poliuria



173. Feokromositoma



Shofa Chasani



lmam Effendi



969



151. Glomerulonefritis



174. Hipertensi pada Kehamilan



Wiguno Prodjosudjadi



Suhardjono



975



152. Amiloidosis Ginjal



175. Krisis Hipertensi



M. Rachmat Soelaeman



153. Penyakit Ginjal Diabetik



Jose Roesma



979



Harun Rasyid Lubis



154. Nefritis Lupus



983



HEMATOLOGI



~ u c k yAziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum



155. Nefropati IgA Idiopatik



992



176. Hemopoiesis



1105



177. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia



1109



Soebandiri



Enday Sukandar, Parlindungan Siregar



997



156. Nefritis Herediter



I Made Bhakta



Jodi Sidharta Loekman



178. Anemia Aplastik



999



157. Sindrom Nefrotik Wiguno Prodjosudjadi



158. Vaskulitis Renal



loo4



Aida Lydia



159. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa



179. Anemia Defisiensi Besi I Made Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda



1008



Enday Sukandar



180. Anemia pada Penyakit Kronis



160. Penyakit TubulointerstisiaI



1116



Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder



1016



1138



lman Supandiman, Heri Fadjari,



I Gde Raka Widiana



Lugyanti Sukrisman



161. Batu Saluran Kemih



1025



181. Anemia Megaloblastik



Mochammad Sja'bani



Soenarto



162. Penyakit Ginjal dan Kehamilan



1033



182. Anemia Hemolitik Autoimun



Jose Roesma



1152



Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno Hariadi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



xxiii



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



183. Anemia Hemolitik Non lmun



1157



184. Purpura Trombositopenia Imun



204 Dasar-dasar Hemostasis



1293



C Suharti



lkhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo



1165



205. Patogenesis Trombosis



1301



Karmel L. Tambunan



lbnu Purwanto



185. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)



206. Hemofilia A dan B 1174



Made Putra Sedana



207. Penyakit Von Willebrand



186. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik



1307



Linda W.A. Rotty



1313



Sug~anto



1177



Zubairi Djoerban



208. Koagulasi Intravaskular Diseminata



1319



Lugyanti Sukrisman



187. Hipersplenisme



1183



Bud1 Muljono



209. Fibrinolisis Primer



1323



Boediwarsono



188. Dasar-Dasar Transfusi Darah



1185



Zubair~Djoerban



210. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati



1327



Karmel L. Tambunan



189. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi dan Cara Pemberian Harlinda Haroen



1190



211. Gangguan Hemostasis pada Diabetes Melitus 1334 Andi Fachruddin Benyamin



212. Kondisi Hiperkoagulabilitas



190. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Transfusi Darah M. Tantoro Harmono



191. Aferesis Donor dan Terapeutik Ronald A. Hukom



1336



Hilman Tadjoedin



213. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan 1345 Shufrie Effendy



214, Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru 1354



192. Leukemia Granulositik Kronis Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman



193. Polisitemia Vera M. Darwin Prenggono



Lugyanti Sukrisman



215. Pemakaian dan Pemantauan Obat-obatan Antitrombosis Nusirwan Acang



194. Trombositosis Esensial



216. Trombositopenia pada Wanita Hamil



lrza Wahid'



1364



Yenny Dian Andayani



195. Mielofibrosis



217. Trombosis pada Kanker



Suradi Maryono



1369



Cosphiadi lrawan



196. Leukemia Mieloblastik Akut Johan Kurnianda



218. Sitogenetika



1374



Aru W. Sudoyo



197. Sindrom Dismielopoetik



219. Dasar-dasar Talasemia: Salah Satu Jenis Hemoglobinopati



Ami Ashariati



198. Dasar-dasar Biologis Limfoproliferatif Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari



199. Limfoma Non Hodgkin (LNH)



1379



Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih



220. Thalassemia: Manifestasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan Thalassemia Intermedia 1387 Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih



A Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi lrawan



221. Transplantasi Sel Puncabnduk Darah



1394



A. Harryanto Reksodiputro



200. Penyakit Hodgkin Rachmat Sumantri



222. Sel Punca (Stem Cell) dan Potensi Klinisnya



201. Leukemia Limfoblastik Akut



1401



Cosphiadi lrawan



Panji lrani Fianza



202. Leukemia Limfositik Kronik



ONKOLOGI MEDIK



Linda W. A. Rotty



203. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain Mediarty Syahrir



223. Pendekatan Diagnostik Tumor Padat Budi Darmawan Machsoos



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1407



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 224. Aspek Selular dan Molekular Kanker



1413



243. Pengantar Diagnosis Ekokardiografi Ali Ghanie



Bambang Karsono



225. Teknik-teknik Biologi Molekular dan Selular pada Kanker



244. Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE)



1417



Bambang Karsono



Lukman H. Makmun



245. Pemeriksaan Kardiologi Nuklir



226. Penanda Tumor dan Aplikasi Klinik



1422



Ketut Suega, I Made Bakta



227. Penggunaan Obat-obatan Antikoagulan Antitrombotik, Trombolitik dan Fibrinolitik 1434 Soenarto



Ika Prasetya Wijaya



246. Penyadapan Jantung (Cardiac Catheterization) Hanafi B.Trisnohadi



247. Intervensi Koroner Perkutan



228. Peran Flow Cytometric Immunophenotyping di Bidang Keganasan Hematologi dan Onkologi 1440 Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban



T. Santoso



248. Gagal Jantung Marulam M. Panggabean



249. Gagal Jantung Akut



229. Prinsip Dasar Terapi Sistemik pada Kanker 1446 Abdulmuthalib



Daulat Manurung



250. Gagal Jantung Kronik



230. Teknik-teknik Pemberian Kemoterapi



1454



Adiwijono



231. Terapi Hormonal Pada Kanker



1471



Noorwati Sutandyo



232. Terapi Biologi pada Kanker



1478



Johan Kurnianda



233. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker 1482 A. Harryanto Reksodiputro



234. Neutropeni Febril pada Kanker



1498



Dody Ranuhardy



235. Penatalaksanaan MetastasisKanker ke Tulang



251. Mekanisme dan Klasifikasi Aritmia A. Muin Rachman



252. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik Hanafi B. Trisnohadi



253. Fibrilasi Atrial Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya



254. Aritmia Supra Ventrikular Lukman H. Makrnun



255. Aritmia Ventrikel M. Yamin, Sjaharuddin Harun



1506



Nugroho Prayogo



236. Penanggulangan Nyeri pada Kanker



Ali Ghanie



1512



Asrul Harsal



256. Bradikardia M. Yamin, A. Muin Rachman



257. Kardioversi M. Yamin, A. Muin Rachman



2378. Sindrom Paraneoplastik



1516



Sugiyono Somoastro, Abdulmuthalib



258. Pacu Jantung Sementara A. Muin Rachman



238. Penatalaksanaan Pasien Kanker Terminal 1519 dan Perawatan di Rumah Hospis Asrul Harsal



259. Elektrofisiologi M. Yarnin, Sjaharuddin Harun, Lukman H. Makmun



260. Pacu Jantung Menetap (Permanen)



KARDIOLOGI



M. Yamin



239. Elektrokardiografi



1523



Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun



240. Radiologi Jantung



261. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik Saharman Leman



1539



ldrus Alwi



262. Stenosis Mitral Taufik Indrajaya, Ali Ghanie



241. Elektrokardiografi Pada Uji Latih Jantung 1544 Ika Prasetya Wijaya



263. Regurgitasi Mitral Daulat Manurung



242. Pemantauan Irama Jantung (Holter Monitoring) M. Yamin, Daulat Manurung



1548



264. Stenosis Aorta Marulam M. Panggabean



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 265. Regurgitasi Aorta



1689



Saharman Lernan



287. Kor Pulmonal Kronik



1842



Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wijaya



266. Kelainan Katup Pulmonal



1693



Barnbang lrawan M



288. Hipertensi Pulmonar Primer



1845



Muhammad Diah, Ali Ghanie



267. Penyakit Katup Trikuspid



1698



Ali Ghanie



289. Penyakit Jantung dan Operasi non Jantung 1853 Sjaharuddin Harun, Abdul Majid



268. Endokarditis



1702



ldrus Alwi



JILID I11



269. Miokarditis ldrus Alwi, Lukrnan H. Makrnun



270. Kardiomiopati



1720



Sally Arnan Nasution



271. Perikarditis



1725



Marularn M. Panggabean



METABOLIK ENDOKRIN 290. Sindrom Metabolik



1865



Sidartawan Soegondo, Dyah Purnarnasari



272. Angina Pektronis Tak Stabil



1728



Hanafi B.Trisnohadi



291. Diabetes Melitus di Indonesia



1877



Slarnet Suyono



273. Angina Pektoris Stabil



1735



292 Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Dyah Purnamasari 1880



1741



293. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2



A. Muin Rachrnan



274. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST ldrus Alwi



275. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST



1757



Sjaharuddin Harun, ldrus Alwi



276. Antitrombotik dan Trombolitik pada Penyakit Jantung Koroner



294. Terapi Non Farmakologi pada Diabetes Melitus



1767



lwang Gurniwang, Ika Prasetya W, Dasnan lsrnail



277. Edema Paru Akut



1772



1891



M. Yunir, Suharko Soebardi



295. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme



1896



Asrnan Manaf



Sjaharuddin Harun, Sally Arnan Nasution



278. Penyakit Jantung Hipertknsi



1884



Sidartawan Soegondo



1777



296. Hipoglikemia Iatrogenik



1900



Djoko Wahono Soernadji



Marularn M. Panggabean



279. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa 1779 Ali Ghanie



297. Ketoasidosis Diabetik Pradana Soewondo



280. Penyakit Jantung pada Usia Lanjut



1790



298. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik



non Ketotik



Lukrnan H. Makrnun



281. Manifestasi Klinis Jantung pada Penyakit Sistemik 1792



1912



Pradana Soewondo



299. Asidosis Laktat Pradana Soewondo, Hari Hendarto



ldrus Alwi



282. Penyakit Jantung Tiroid



1798



Dono Antono, Yahya Kisvanto



283. Penyakit Jantung pada Penyakit Jaringan Ikat '



1804



ldrus Alwi



300. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan Sarwono Waspadji



301. Retinopati Diabetik Karel Pandelaki



284. Tumor Jantung



1818



ldrus Alwi



285. Kehamilan pada Penyakit Jantung



1822



Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya



286. Penyakit Arteri Perifer



1831



302. Komplikasi Kronik DM: Penyakit Jantung Koroner 1947 Alwi Shahab



303 Nefropati Diabetik Hendrornartono



Dono Antono, Dasnan lsrnail



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1943



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 304. Neuropati Diabetik



PSIKOSOMATIK



Imam Subekti



305. Diabetes Melitus Gestasional John MF Adam



306. Diabetes Melitus dalam Pembedahan Supartondo



325. Kedokteran Psikosomatik: Pandangan dari Sudut Ilmu Penyakit Dalam 326. Gangguan Psikomatik : Gambaran Umum dan Patofisiologi



307. Kaki Diabetes



2089



S.Budihalim, E. Mudjaddid



2093



E.Mudjaddid, Harnzah Shatri



Sarwono Waspadji



308. Diabetes Melitus pada Usia Lanjut



327. Ketidakseimbangan Vegetatif



2098



S. Budihalim, D. Sukatman, E.Mudjaddid



Wasilah Rochrnah



328. Psikofarmaka dan Psikosomatik



309. Obesitas



2102



E.Mudjaddid, S.Budihalim, D. Sukatman



Sidartawan Sugondo



310. Dislipidemia John MF Adam



311. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme R. Djoko Moeljanto



329. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik Gangguan Ansietas dan Depresi: di Bidang 2105 Ilmu Penyakit Dalam E.Mudjaddid



330. Dispepsia Fungsional



2109



E.Mudjaddid



312. Gangguan Akibat Kurang Iodium R. Djoko Moeljanto



313. Tiroiditis



331. Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah 2111 Sujono Hadi



Paulus Wiyono



332. Sindrom Kolon Iritabel



314. Nodul Tiroid



E.Mudjaddid



Johan S. Masjhur



333. Aspek Psikosomatik Hipertensi



315. Karsinoma Tiroid



2119



S. Budihalirn, D. Sukatman, Hamzah Shatri



Imam Subekti



334. Gangguan Jantung Fungsional



316. Tumor Hipofisis



2122



Hamzah Shatri



Pradana Soewondo



335. Aspek psikosomatik pada Gangguan Irama Jantung



317. Gangguan Pertumbuhan Syafril Syahbuddin



2127



S. Budihalirn, D.Sukatman, Harnzah Shatri



318. Diabetes Insipidus



336. Sindrom Hiperventilasi



Asman Boedi Santoso Ranakusuma, Imam Subekti



2130



E. Mudjaddid, Rudi Putranto, Hamzah Shatri



337. Aspek Psikosomatik pada Asma Bronkial 2133



319. Hormon Steroid



E.Mudjaddid



Sjafii Piliang, Chairul Bahri



338. Gangguan Psikosomatik pada Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal



320. Hiperkortisolisme Sjafii Piliang, Chairul Bahri



321. Penyakit Korteks Adrenal Lainnya



339. Fibromialgia



Sjafii Piliang



2136



D. Sukatman, S. Budihalim, Rudi Putranto, Hamzah Shatri



2140



E.Mudjaddid



322. Metabolisme Kalsium Agus P. Sambo, John MF Adam



323. Menopause, Andropause, dan Somatopause Perubahan Hormonal pada Proses Menua



340. Nyeri Psikogenik



2143



Harnzah Shatri, Bambang Setiyohadi



341. Sindrom Lelah Kronik



2148



Hamzah Shatri, E.Mudjaddid



Pradana Soewondo



342. Migren dan Sakit Kepala



324. Pre Diabetes Dante Saksono Harbuwono



Ahmad H. Asdie, Pernodjo Dahlan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI xxvii



2152



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 343. Psikosomatik Pada Kelainan Tiroid



2156



R. Djokornoeljanto



363. Fibrosis Kistik (Cystic Fibrosis) Alwinsyah A., E.N.Keliat, Azhar Tandjung



344. Aspek Psikosomatik Pasien Diabetes Melitus 2159 E. Mudjaddid, Rudi Putranto



345. Gangguan Psikosomatik Obesitas Harnzah Shatri, Rudi Putranto, Z. Arsyad, S. Syahbuddin



346. Gangguan Makan Pasien Psikosomatik



2163 .



Pasiyan Rahrnatullah



2167 2171



368. Abses Paru



2177



Hadi Halirn



370. Hipertensi Pulmonal Primer (HPP)



2182



Sarnsuridjal Djauzi, Rudi Putranto, E. Mudjaddid



351. Masalah Psikosomatik Pasien Kanker



Ahrnad Rasyid



369. Penyakit-penyakit Pleura



2180



S. Budihalirn, D. Sukatrnan, E. Mudjaddid



350. Aspek Psikososial AIDS



367. Penyakit Paru Interstisial Ceva Wicaksono Pitoyo



Hanum Nasution, H.E.Mudjaddid



349. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih



366. Tromboemboli Paru Pasiyan Rahmatullah



R. Sutadi, Rudi Putranto, Hamzah Shatri, E. Mudjaddid



348. Gangguan Tidur Pasien Psikosomatik



Pasiyan Rahmatullah



365. Bronkiektasis



Harnzah Shatri, Hanurn Nasution



347. Gangguan Seksual Psikosomatik



364. Pneumonitis dan Penyakit Paru Lingkungan



Zulkarnain Arsyad



371. Pneumotoraks Spontan



2184



Barrnawi Hisyarn, Eko Budiono



Zoebairi Djoerban, Harnzah Shatri



372. Sleep Apnea (Gangguan Bernapas Saat Tidur) Sumardi, Barwani Hisjam, Barnbang Sigit Ryanto, Eko Budiono



PULMONOLOGI 352. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan 2189 Zulkifli Amin



353. Pneumonia



2196



Zul Dahlan



354. Pneumonia Bentuk Khusus



2207



Zul Dahlan



REUMATOLOGI 373. Introduksi Reumatologi A.R.Nasution, Surnariyono



374. Penerapan Evidence Based Medicine Dalam Bidang Reumatologi



2360



Joewono Soeroso



355. Transplantasi Paru



2211



Zulkifli Amin



375. Metrologi Dalam Bidang Reumatologi



2365



Rizasyah Daud



356. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut



2216



376. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel Vaskular



Barnbang Sigit Riyanto, Barwani Hisyam



357. Tuberkulosis Paru



2230



Zulkifli Arnin, Asril Bahar



377. Strukhu dan Biokimia Tulang Rawan Sendi



358. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir



2240



378. Struktur dan Metabolisme Tulang



2249



Zulkifli Arnin



2254



2385



Barnbang Setiyohadi



379. Inflamasi



360. Kanker Paru



2382



Harry lsbagio



Zulkifli Arnin, Asril Bahar



359. Penyakit Mediastinum



2370



Surnariyono, Linda K. Wijaya



2402



Soenarto



Zulkifli Arnin



380. Apoptosis



361. Penyakit Paru karena Mikobakterium Atipik



Linda Kurniaty Wijaya



2263



Azhar Tandjung, E.N. Keliat



362. Penyakit Paru karena Jamur



2267



381. Peran Protease, Derivat Asam Arakidonat dan Oksida Nitrit pada Patogenesis Penyakit Reumatik 2422 B.P. Putra Suryana



Azhar Tandjung, E.N. Keliat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



xxviii



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ILL



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL Imam Effendi, H.M.S. Markum



PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibicarakan tentang urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan serologis, pemeriksaan radiologis ginjal dan biopsi ginjal. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mendapatkan diagnosis yang akurat sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.



Parameter Fisik Urin Warna. Normal pucat-kuning tua dan amber tergantung kadar urokrom. Keadaan patologis, obat dan makanan dapat mengubah warna. Urin merah disebabkan Hb, miogobin, atau pengaruh obat rifampisin. Warna hijau dapat karena zat klinis eksogen (biru metilen) atau infeksi Pseudomonas; warna oranyetjingga menandakan pigmen empedu. Bila urin keruh dapat karena fosfat (biasanya normal) atau leukosituria dan bakteri (abnormal). Turbiditas. Normal transparan, urin keruh karena hematuria, infeksi dan kontaminasi Bau. Beberapa penyakit mempunyai bau urin yang khas, misal bau keton, maple syrup disease, isojloric acidemia, dsb. Densitas relatif. Metode pemeriksaan ada beberapa macam: 1. Berat jenis: diukur memakai urinometer, mudah dilakukan, butuh urin 25 cc, BJ dipengaruhi oleh suhu urin, protein, glukosa dan kontras media. BJ mencerminkan konsentrasi yang larut dalam urin dan nilai normal 1010-1030.Pada orangtua BJ bisa di bawah atau di atas normal karena kehilangan daya



mengencerkan atau memekatkan urin. 2. Refraktometri: mudah dilakukan dan hanya butuh 1 cc urin, faktor yang mempengaruhi BJ, juga akan mempengaruhi pengukuran ini. 3. Osmolalitas: berbeda dengan BJ, temperatur dan protein tidak mempengaruhi, tetapi kadar glukosa meningkatkan osmolalitas.Osmolalitas urin, normal 501200 mOsmL walau penting menandakan konsentrasi urin, tetapi tidak rutin diperiksa. Pada kasus batu ginjal atau kelainan elektrolit (hipo atau hipernateremia) perlu diperiksa untuk diagnosis. 4. Dipstik: memakai indikator perubahan warna pada dipstik dan sudah luas dipakai. Parameter Kimia pH: tes memakai dipstik, pada pH 7,5 akurasinya kurang, dan harus memakai pH meter. pH hasilnya dipengaruhi oleh asam-basa sistemik Hb: dalam kondisi normal tidak dijumpai dalam urin. Bila positif hams dicurigai hemolisis atau mioglobinuria Glukosa: dengan dipstik untuk menilai reabsorbsi glukosa dan bahan lain. Tes ini sangat sensitif dan dapat dilanjutkan dengan kadar glukosa urin secara kuantitatif dengan metode enzirnatik. Protein: normal proteinuria tidak lebih dari 150 mglhari untuk dewasa. Pada kondisi patologis proteinuria dapat dibedakan: 1. Proteinuria glomerulus: ini terjadi pada penyakit glomerulus karena gangguan permeabilitas protein (misal: albumin, globulin) 2. Proteinuria tubular: ini terjadi pada penyakit tubulus dan interstisium dan disebabkan gangguan reabsorbsi protein berat molekul (BM) ringan (a. 1. mikroglobulin,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI b2 mikroglobulin, retinol binding protein) 3. Proteinuria overload: ini disebabkan peningkatan protein BM rendah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus (Bence-Jones protein, lisosom, mioglobin) 4. Proteinuria benigna: protein ini termasuk proteinuria karena demam, ortostatik atau kerja fisik. Proteinuria biasanya dites memakai dipstik, dan cukup sensitif terhadap albumin. Untuk protein Bence Jones hams memakai metode lain yaitu teknik presipitasi dengan asam sulfa salisil, asam triklorasetik atau dengan pemanasan dan bufer acetic acid sodium acetat. Metode Dipstik adalah semikuantitatif dengan nilai O4 (+). Untuk lebih teliti menilai protein kuantitatif digunakan metode lain seperti turbidimetri. Jumlah protein kuantitatif 24 jam diekspresikan sebagai g/L atau gl24jam per 1,73 m2. akan tetapi perhitungan dengan urin 24 jam ini memakan waktu, sering keliru clan tidak praktis. Cara lain yaitu dengan menghitung rasio protein kreatinin. Dengan cara ini dipakai urin random dan single. Sebagai contoh: Urin sesaat mengandung protein 100 mg% dan kreatin urin 50 mg%. Jadi jumlah protein dalam urin 100150 = 2 gramharill ,73 m2. Harus diingat bahwa ekskresi protein mempunyai sirkadian (tertinggi pada siang dan terendah pada malam hari) sedangkan ekskresi kreatinin relatif stabil24jam oleh karena itu contoh urin hams diambil pada saat yang sama. Analisis kualitatif proteinuria dilakukan secara elektroforesa asetat selulos atau agarose atau memakai SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide). Dengan metode elektroforesa ini dapat diketahui selektifitas proteinuria, karena dapat membedakan jenis protein: P2 mikroglobulin, albumin, IgG dsb. Kadangkadang selektifitas dapat mengetahui beratnya lesi dan dapat mengetahui respons terapi dan prognosis.



Metode dipsti k Samar = 10-30 mg% I + = 30 mg% 2+=1M)mg% 3+ = 500 mg% 4+= > 2000mg%



Metode asam sulfosalisil Samar: = 20 mg% (slight tuhidm) I+ = 50 mg% (print visble through specs) 2+ = 200 mg% (print invisible) 3+ = 500 mg% (flocculation) 4 + = > 1000 mg% (denseprecipitate)



Dipstik lebih sensitif untuk albumin, sedangkan tes asam sulfosalisil untuk semua jenis protein. Imunoglobulin rantai ringan dapat dideteksi dengan asam sulfosalisil, tetapi tidak untuk dipstik. Jadi multipel mieloma hanya dapat diketahui dengan tes asam sulfosalisil. False positif pada dipstik urin yang sangat basa atau terlalu encer False positif asam sulfosalisil didapatkan akibat radio kontras dan obat-obat tolbutamid, penisilin, sefalosporin. Leukosit Esterase. Tes dipstik ini berdasarkan aktivitas



enzim esterase indoksil yang dihasilkan oleh neutrofil, granulosit dan makrofag dan akan memberi nilai positif bila ada paling sedikit 4 (empat) 1eukositILPB. Nitrit. Dasar tes ini adalah adanya bakteri yang dapat mengubah nitrat menjadi nitrit melalui enzim reduktase nitrat. Enzim ini banyak pada bakteri gram negatif dan tidak ada pada bakteri jenis Pseudomonas, Staphylococcus albus dan Enterococcus. Tes ini membutuhkan persiapan dengan diet kaya nitrat (sayuran) dan membutuhkan waktu reaksi yang cukup di kandung kencing. Tes ini mempunyai sensitivitas rendah (20-80%) dan spesifisitas + 90%. Keton. Tes dengan metode dipstik menunjukkan adanya asam asetoasetat dan aseton. Positif di urin pada penyakit asidosis diabetik, puasa, muntah ataupun olahraga yang berlebihan. Tes ini berdasarkan reaksi keton dengan nitroprusid. Mikroskopik Urin Pemeriksaan mikroskopik ini akan melengkapi pemeriksaan win secara kimiawi. Metode. Urin pertama atau kedua pada pagi hari, dan untuk cegah kerusakan sel harus segera diperiksa. Setelah disentrifugasi memakai alat hitung khusus, urin diperiksa dengan mikroskop biasa atau fase kontras. Sel Sel pada sedimen urin dapat berasal dari sirkulasi (eritrosit dan lekosit) dan dari traktus urinarius (sel tubulus, epitel). Eritrosit. Eritrosit dalam urin ada 2 macam, yaitu: isomorfik, dismorfik. Eritrosit isomorfik berasal dari traktus urinarius. Sedangkan dismorfik berasal dari glomerulus. Bila eritrosit dominan dismorfik (>go%) dari total eritrosit disebut hematuria glomerulus. Beberapa ahli mengatakan bila terjadi "hematuria campuran" 50% isomorfik dan 50% dismorfik, sudah dapat dikategorikan hematuria glomerulus. Selain itu bila paling sedikit 5% terjadi akantositosis juga dapat disebut hematuria glomerulus. Bagaimana terbentuknya dismorfik, rnasih terus diselidiki, namun disebutkan bahwa adanya injuri 2 tempat, yaitu waktu eritrosit melewati membran basalis dan efek fisikokimia selama melewati tubulus. Dalam kondisi normal eritrosit dapat dijumpai 40 tahun



w



Evaluasi penyakit ginjal primer



gangguan pengosongan kandung kemih (iritatif) lnfeksi saluran kemih berulang



1



pzEGq Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik



lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirkumsisi atau tidak.



Vaskular Gangguan koagulasi Kelebihan obat anti koagulan Trombosis atau emboli arterial Malformasi arteri-vena Fistula a r t e r i - v e n a Nutcracker syndrome Trombosis vena renalis Glomerular Nefropati IgA Alport sindrom Glomerulonefritis primer dan s e k ~ lnterstisial lnterstisial nefritis alergi Nefropati analgesik Penyakit ginjal polikistik Pielonefritis akut Tuberkulosis Rejeksi ginjal alograf Uroepitelium Keganasan ginjal dan saluran k e ~ Latihan yang berlebihan Trauma Nekrosis papillaris Sistitis/uretritis/prostatitis (biasan Penyakit parasit (misalnya skisto: Nefrolitiasis atau batu vesika urin Penyebab Lainnya Hiperkalsiuria Hiperurikosuria Sickle cell diseasdpenyakit sel s;



Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara lain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematuria juga merupakan variasi dari glomerulonefiitis. Pada kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin untuk deteksi dini. Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi. Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma sel transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks, ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi, I W , CT scan atau MRI.



Apabila ditemukan proteinuria yang bermakna, hematuria, silinder eritrosit, insufisiensi ginjal atau ditemukan sel darah merah yang predominan adalah bentuk dismorfik, segera dilakukan evaluasi kelainan parenkim g i n j a l l penyakit ginjal primer. Eritrosit



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Predominant urinalysis abnormality RBC



RBC casts*



WBC



WBC Casts



Tubular Cells



Cellular Casts



Granular Casts



Total Protein to Creatinin



Fat**



Associated kidney disease



Ratio'



200-1.000 mglg < 200 mglg



'1'000 mglg



+



200-1.000 mglg



Proliferative glomerulonephritis or hereditary nephritis Hereditary nephritis, or disease of small vessels (microangiopathy) Cystic kidney disease, kidney neoplasms or urinary tract leddions other than kidney disease Tubulointerstitial nephritis Urinary tract lesions other than kidney disease May be present in all types of kidney disease, but most abundant in acute tubular necrosis (the most common kidney disease causing acute kidney failure) Diabetic kidney disease and noninflammatory glomerular disease Non-inflammatory glomerular disease, non-inflammatory tubulonterstitial disease, or disease affecting medium-sized arteries



Modified with permissions (KDOQI CKD guideline, 2002) Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated examination of sediment from freshly obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in patients with proliferative glomerulonephritis. ** Oval fat bodies, fatty casts, free fat + Cut-off values are not precise Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells, WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnormality not present; abnormality may or may not be present



+,



Evaluasl urologl paslen dengan hernaturla asirnptornatlk Paslen tldak dltemukanadanya tanda-tanda sugestlf penyaklt glnjal plmer



+ +



I



+



I Pasten dengan ns~korendah



Paslen dengan rls~kot~nggl I



Ueln4Otahun Tldak ada nwayat ~Masi lidak ada riwayat gmss hemeluria Tldak jelas adanya gangguan umlogl Pemer~ksaanIVU I urografi lntravenous )



I



I Pemenksaan lerlgkap IVU. sltologl



F==EEiT



r-



* L



urlnallsls tekanan darah, s~tolog~ ulang pada 6 12.24 36 bulan



1a



ta



+



I



I



,nfeks,



h p" , ;ut ;eH Prote,nur,a Hlpertens, 'Gross' hematuna. sltolog~. abnormal lrltasl kandung kemlh dan glomerulus Evaluasl en aklt Injal pnmer



lidak ada Evaluasl urolog~



Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



evaluasl lenokao



1



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. HarrisonWs principles of internal medicine. 10th edition. New York: McGraw Hill; 1983. p. 21 1-8. Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition.Mosby.p.35-40. Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am Fam Physi. 2001. KIDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease. evaluation, classification, and stratification. Part 5. Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of kidney disease, 2002. Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment of renal disease: clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney. 2nd edition.2004.p. 1107-12. Sukandar E. Masalah umum glomerulopati. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. 3"' edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 325.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PROTEINURIA Lucky Aziza Bawazier



PENDAHULUAN Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2), tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari. Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan munglun suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak prowif. -pula protein dikeluarkan urindalarnjumlah yang bervariasi sedikit dan secara langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebii lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya. Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mglhari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mglhari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein



plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu: 1. Filtrasi glomerulus 2. Reabsorbsi protein tubulus PATOFlSlOLOGl PROTEINURIA Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 jalan di bawah ini: 1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin. 2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi. 3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. 4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA (ImunoglobulinA) dalam respons untuk inflamasi. Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (I00 kDal) sementara foot processes dari epitellpodosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asarn silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal change menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau proteinuria bermakna. Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5 gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain. PROTEINURIA FlSlOLOGlS Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainadpenyakit ginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gaga1 jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan transfusi darahtplasma atau pasien yang kedinginan, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik (ortostatik proteinuria).



PROTEINURIA PATOLOGIS Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian, proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan, protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24 jam, tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah 200 mghari. Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, temtama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalam urin yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa atau 40 mglm21jampada anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5 grand24jam. Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya: mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria tubular; 3). Overflow proteinuria. PROTElNURlA GLOMERULUS Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja. Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomerulus/fraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang me~iingkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GINJAL HIPERTENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan > lglhari.



PROTElNURlA TUBULAR Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.



OVERFLOW PROTElNURlA Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel ) berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000 dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa, tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal. Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gaga1 ginjal dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai pendek.



Pada keadaan normal albumin win tidak melebihi 30 mgl hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 rngl hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis proliferatif mesangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik.Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi



juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan. Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh proteksilperlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu dokter dalam memutuskan bagaimana mengukur albumin urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan berapa. kadar terendah yang hams dicapai. Peningkatan ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa dipengaruhi faktor-faktor risiko lain kardiovaskular. Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan 11, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau tanpa diabetes melitus tipe-11. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular.



PROTElNURlA TERlSOLASl Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yangjelas pada berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%. Proteinuria terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak, termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PROTEINURIA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PROTEINURIA TERlSOLASl JlNAK



Proteinuria Fungsional Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif, sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma. Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien ini. Proteinuria Transien ldiopatik Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenarnya, jika contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi lebih lanjut. Proteinuria lntermiten Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria. Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor pada glomerulus/interstitium, tidak ditemukan kelainan pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien adalah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada populasi umum. Keadaan ini biasanya tidak berbahaya pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan fungsi ginjalnya.



Proteinuria Ortostatik (Postural) Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif, proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini merujuk pada posisi tegawortostatik proteinuria. Ekskresi protein per hari hampir selalu di bawah 2 gram (walaupun lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selama fase penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik menunjukkan kondisi yang baik. Pada 80% kasus, kondisi transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi minimal glomerulus dan tidak adanya deposit imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat bagus sebagai proteinuria transien non ortostatik dan tekanan darah yang masih normal. Pada 20% pasien, proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15% kasus, hilang selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang 10 tahun dan lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun, insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi umurn. Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat. Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan dinding kapiler yang minimal sampai dengan moderat atau hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elektron menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal dengan matriks mesangial yang meningkat dan penggabungan foot process dan pewarnaan imunodifusi untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaklah diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang. Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GINJAL HIPERTENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pasien secara teratur (tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginjal serius.



PROTElNURlA TERlSOLASl YANG MENETAPI PERSISTEN Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjallpenyakit sistemik yang menjadi penyebabnya. a Jika ditemukantanda-tandalgejala, lakukan pemeriksaan darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari kausa. b Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria dualtiga kali, 1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional. Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes ulang. 2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin clan klirens kreatinin, ukur ekskresi protein urin 24 jam, USG ginjal dan tes protein ortostatik/postural. Jika fungsi ginjal I hasil USG tidak normal, kembali ke Ia. Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya. Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali: a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman Ipenuntun proteinuria (IV B) b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti follow up berikutnya. Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein urin 24 jam 2-3x untuk menyingkirkan proteinuria intermiten. a. Jika proteinuria intermiten. Pasien dewasa muda urnur kurang dari 30 tahun, harus di-follow up tiap 1-2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun) di-follow up tiap 6 bulan. b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria. 1. Jika proteinuria 45 tahun, pemeriksaan elektroforesis urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel mieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap 6 bulan. 2. Jika proteinuria lebih dari 3 gram124jam, lanjutkan ke-I A.



Cara Mengukur Protein di Dalam Urin Metode yang dipakai untuk mengrrkur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini terutama sangat penting untuk menentukan protein Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar seperti pada presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mg/ hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.



p G z q (Deteks~dengan d~pstlck)



dan m~kroskoplsurln



+



Bukt~penyak~tg~n]aI/s~stem~k



& TlDAK ADA I



+ Fungs~glnjal dan USG Normal



Protelnurla ortostat~klpostural



1



Test latn (-) Follow up tlap 1-2 thn



Fungs~glnjal dan USG abnormal



Protelnurla non ortostat~k



Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1



Ulang urln kwantltatlf 2-3x



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Keterangan gambar: Pendekatanpasien dengan proteinuria. Pemeriksaan proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan dipstik yang positif pada pemeriksaan urinalisis rutin. Dipstik konvensional mendeteksi mayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300 mglhari. Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein pagilkreatinin (mglg). Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal protein urin. Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang abnormal seperti rantai ringanlpendek kappallambda telah siap disaring karena ukurannya yang kecil. FSGS



: Fokal Segmental Glomerulosklerosis



MPGN



: Membrano proliferatif Glomerulonefritis



Gambar 2. Skema evaluasi proteinuria



REFERENSI Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (suppl. 92):Sll-S5. Becker GJ. Which albumin should we measure? Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S16-S7. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of internal medicine.15th edition. New York: The McGraw-Hill; 2001. p. 266-8. Brenner BM. The kidney. 5th edition. Boston: WB. Saunders Co; 1996, 1981, 2003, 1864. De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascularlrenal risk marker, but also a target for treatment? Kidney Int. 2004:66:suppl 92:S2-S6. Hoy W,McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S25-S31. Jacobson HR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice of nephrology. USA: Mosby; 1995. p. 114-1056. Johnson RJ, Feehally J.Comprehensive clinical nephrology. London: Mosby; 2000. Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managihg patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S97-S8.



Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an ominous biomarker of progressive kidney disease? Kidney Int. 2004:66 (supp1.92): S76-S89. Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting outcome in renal disease: nod diabetic nephropathies (REIN). Kidney Int. 2004:66 (supp1,92):S90-S6. Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic transition in the developing world: role of albuminuria in the early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular disease. Kidrley Int. 2004: 66(supp1.92):S32-S7. Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria associated with cardiovascular disease and kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(suppl.92):S67-S78. Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997. Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion predicts de novo development of renal function impairment in the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1,92):Sl8S21. Warnock D G Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines: guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92): S 1214 3 .



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



SINDROM POLIURIA Shofa Chasani



PENDAHULUAN



REGULASI CAIRAN TUBUH



Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih dalam 24jam meningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih. Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter/ hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih antara lain rasa haus, dehidrasi dan lain-lain. Menurut Brenner poliuri dibagi 2 macam: 1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literlhari. 2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan dengan volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan. Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun diabetes insipidus merupakan penyebab yang sering terjadi. Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis, hiperkalsemia, hipokalemi dll.



Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran air diatur dengan mempertahankan osmolalitas cairan tubuh. Osmolalitas serum normal dipertahankan pada rentang yang sempit yaitu 285-295 mOsm /kg. Rentang osmolalitas urin antara 100-200 mOsm/kg, tergantung adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan air bebas. Bila kemampuan ginjal untuk memekatkan air kemih terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain: 1. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior 2. Kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan air kemih yang maksimal, tidak peduli berapa banyak ADH yang tersedia dalam tubuh; 3. Ketidak mampuan tubulus distal dan tubulus koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor ADH yaitu vasopressin 1 (VI) memiliki aktivitas vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin 2 (V2) memiliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang aktif maka akan terjadi peningkatan permeabilitas terhadap air sehingga air kemih berkurang, sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih meningkat. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH dapat dilihat pada Gambar 1.



Tujuan 1. Mampu menerangkan definisi poliuria 2. Marnpu menerangkantentang regulasi cairan tubuh oleh ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus ginjal. 3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik karena faktor osmotik maupun faktor hormonal. 4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya. 5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan poliuria.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



963



SINDROM POL~URIA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI DIABETES INSIPIDUS



BOsmolalitas ekstraselular



BSekresi ADH oleh hipofisis Posterior



E4ADH plasma



BPerrneabilitas H20 Tubulus distal dan tubulus koligenitas



Gambar 1. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH



Cortex



Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas serum yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan osmolalitas air kemih yang rendah. Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADWAVP) atau tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan air bila mendapatkan tambahan cairan. Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efek AVP dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi) sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bila mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hipernatremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik dan ha1 ini berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik. Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi menjadi: 1. CDl (diabetes insipidus sentral) 2. Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDI) 3. Gestasional diabetes insipidus 4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik) 5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogenikl psychgenic polydipsi)



ETlOLOGl CDI Outer 400 medula



400 -b



600 Inner medula 800



I



800



Water reabsotptw, (Passive)



+



1. Kongenital (Congenital malformations, Autosomal dominant,AVP-Neurophysin gene mutation. 2. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake venom) 3. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 4. Neoplastik (craniopharyngioma, germinoma,lymfoma, leukemia, meningioma, tumor pituitari, metastasis). 5. infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis) 6. Trauma (neurosurge.ry, deceleration injury) 7. Vaskular (cerebral hemorrhage or infarction, brain death)



ETlOLOGl OSMORECEPTOR DYSFUNCTION Pepilla



I



Gambar 2. Mekanisme pemekatan dan pengencaran air kemih (Brenner 2007)



1. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 2. Neoplastik (kraniofaringioma, pinealoma, meningioma, metastasis) 3. Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/ ligation, intrahypothulamic hemorrhage)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GINJAL HIPERTENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. Other (hydrocephalus, ventricular/supersellar cyst, trauma, degenerative deseases). 5. Idiofatik



ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISM"



2. Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial (trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi (tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari keadaan dimana ADH meningkat di luar batas fisiologis karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).



PREGNANCY PATOFlSlOLOGl OSMORECEPTORDYSFUNCTION ETIOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations). Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin, mrthoxyflurane) Hypercalcemia. Hypokalemia. Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis). Vascular (sickle cell anemia). Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral ureteral obstruction) Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium, radiocontrast dyes) Idiophatic.



ETIOLOGI PRIMARY POLYDIPSIA Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive behaviors) Dipsogenic (downward restting of thirst threshold, idiophatic or similar lesions as with central diabetes insipidus).



PATOFlSlOLOGl CDI Pada umumnya basal AVP hams turun h a n g dari 10 -20% dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang dari 300mOsmlkg H 2 0 dan aliran urin naik ke level simptomatik (>50 ml/KgBW/day).Hasil dari hilangnya air akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang rasa haus, sehingga terjadi polidipsi. Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan suplementasiAVP. Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak disekresi (complete Dl) pasien akan tergantung seluruhnya pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh. Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu: 1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan familial) diduga karena autoimun.



Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus. Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP juga terganggu, walau respons hormonal terhadap rangsangan nonosmotik tetap utuh, ada 4 macam disfungsi osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan 1 atau respon sekresi AVP : Upward resetting osmostat untuk rasa haus dan latau respons sekresi AVP Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP yang kurang dan rasa haus) Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP dan rasa haus) Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan sekresi AVP yang utuh) Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai osmolalitas antara 300 - 340 mOsm/Kg H20.



GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS Defisiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut Gestational Dl. Hal ini dapat juga karena aktivitas enzyme "cystine aminopeptidase" (oxytocinaseatau vasopressinase) yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah kontraksi uterus prematur. Pada pasien ini umunya kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy. Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian AVP, sebab secara cepat akan didegradasi. DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP V2 receptor agonist karena resisten terhadap degradasi oleh oxytosinase atau vasopressinase.



NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDI) NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika AVP. Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



SINDROM POLIURIA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat, resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada karier pada wanita, 90% kasus kongenital NDI disebabkan mutasi reseptorAVPV2. Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang membentuk kana1 air di tubulus kolektivus di medulla dan penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI). NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang terjadi pada diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh segmen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk berespons terhadap ADH. Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam: 1. IdiopatiWfamiliallgenetik:ada 2 macam gen yaitu AVP V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2 (autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang paling sering diturunkan secara x-linked (90%). NDI yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan autosomal dominan (1%). 2. Didapat: Akibat obat (litium, demeklosiklin, metoksifluran), Metabolik (hipokalemia, hiperkalsiuria biasanya dengan hiperkalemia). Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati, pielonefiitis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gaga1ginjal kro& mielomamultipel, penyakit sjogren, nefropati analgetik).



Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi "dilute"urin, penurunan air dalam tubuh dan kenaikan osmolalitas plasma, ha1 ini akan merangsang rasa haus untuk mengkompensasi meningkatkan intake air. Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda "setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.



encer (dilutes urine). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum. Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polidipsi dan poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada psychogenic polydipsi intake air dan output urine cenderung fluktuatif, kadang bisa sangat besar. Kadang dengan intake air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponatremia".



DIAGNOSIS KLlNlK Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih dari 15 literhari Secara mum NDI mempunyai gejala klinis sering haus akan air dingin,,nokturia, osmolaritas serum mendekati 300 mOsm1Kg dan berat jenis urin 20 uglmenit, disebutjuga sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria/proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albuminlkreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albuminlprotein dalam urin selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam Tabel 1.



Kategori



Kumpulan urin 24 jam (mg124hr)



Kumpulan urin sewaktu (~glrnin)



Urin sewaktu (pglrng creat)



300



-=20 20-199 ->200



300



Normal Mikroalbuminuria Albuminuria klinis



Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)



Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai berikut: Tahap I. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat biasanya kelainan h g s i maupun struktur ginjal akan normal kembali. Tahap 11. Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG masih tetap meningkat. Alburninuriahanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage). , ... : Tahap 111. Ini adalah tahap awal nefropati (incipientdiabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun diagnosis diabetes tegak. Secara histopatologis juga telah jelas penebalan membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun tahun dan progresivitas masih munglun dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darab yang ketat.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



A



I



7



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tahap IV.Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah. Tahap V. Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mangalami mikro- dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40% dari pasien ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20% dari pada mereka yang berlanjut menjadi (penyakit ginjal tahap akhir) PGTA. Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM tipe 1 dan tipe 2. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe 2 lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat pasien tak sampai mencapai PGTA. Tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik maka banyak pula pasien DM yang hidupnya cukup lama untuk sampai mengalami gagal ginjal.



TERAPI DAN PENCEGAHAN Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular.



Pengendalian Kadar Gula Darah Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dm mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbA 1c 2.0x 5x nilai dasar atau penurunan GFR 250% Failure



Kenaikan kreatinin serum 2 3 . 0 ~5x nilai dasar atau penurunan GFR 275% or an Nilai absolut kreatinin serum > 4 mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mg



Oliguria



1



Kenaikan biaya total



Kriteria UO



(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria) Risk Kenaikan kreatinin serum I .5x nilai dasar atau for 2 61jam penurunan GFR 225% Injury



Non-ologuria



ESRD



200% 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari kenaikan nilai dasar kreatinin serum 200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari nilai dasar



Kurang dari 0.5 mllkg per jam lebih dari 12 jam



3



Kenaikan kreatinin serum > 300% (> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or serum creatinine of more than or equal to 4.0 mgldl 354 pmolll]) with an acute increase of at least 0.5 mgldl [44 pmolll])



Kurang dari 0.3 mllkg per jam lebih dari 24 jam atau anuria 12 jam



Kriteria produksi urin



Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh kelompok perhimpunan



nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian bersama memakai kaidah -kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang luas diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian. Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.



Definisi GGA Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum >0.3 mg/dl(> 26.4 pmolll), presentasi kenaikan kreatinin serum >SO% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat < 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai persentasi dari perubahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas hams memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan GGA dapat : 1. Sembuh sempuma



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 2. Pmurunan fwl ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKDtahap 1 - 4) 3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1 - 4 4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) ha1 ini dapat dilihat di gambar berikut.



OambPr 2. Natural history of M I . Patients who develop AKI may exoefience ( 1 ) c o m ~ l e t erecaverv of renal function, (2) debeloprnent bipmgrissive &runic kidney disease (CKD), (3) execerbatian of the rate of prouression of preexisting CKD; or (4) irreversible koss of kine; fuwtion and evolve I ~ Z ~ E S R D .



DIAGNOSIS



Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut



perlu diperiksa: 1). Anamnesis yang baik, serta p e m e r k m jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu. 2). Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjuRkan gaga1 ginjal kronis. 3). Untuk mendiagnosis GGA diperlukari pemeriksaan berulang h g s i ginjal yaitu kadar w e m , kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiha asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal h t yang berat dengan be-rkurangnya fbngsi ginjal ekskresi air dan garam berkwang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya. 4). Penilaian pasien GGA: a). Kadar kreatinin serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serutn kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. b). Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator gangguan yifijal akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya, c). Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat tnerupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal akut, yang dapat terjadi sebelurn perubahaan nilai-nilai biokirnia darah. Walaupun demikian volume urin pada GGA bisa bermacam-macam. GOA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (c400 mllhari), walaupun kadang-



I Tabel 4. Temuan kelainan urin pada pada GGA Etiologi Pn)reml



Sedimen Tomk hidin



Iskernla



Sel epltel, muddy-brawn cats, pigmented granular east8 Lekosit (WBC),Torak lekcsit, easinophilis, Eritrosit /REG), sel epitel Dysmorphic REGS. RBC cast Beberapa torak hialin, eritmit Kristal asam urat



Nefritis interstitial akut



Ghl Akuf P~iena! Lysis tumor Arterial Ivenous Urnambosis Ethylene glycol



Fw+ Fe-urea 41



c35 r2 350



41



Proteinuria Tidak ada ataw -mar Samar ringan



-



>1



Ringan - sedang



early



Sedang - baik



c l early



Eritrosit



Tidak ada atau s m r Tidak a& atau samar Ringan - &ang



KPistal kalsium oksalat



Samar - Ringan



a1 late



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1044



GINJAL HIPERTENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria. d). Kelainan analisis urin (Tabel 4). e). Petanda biologis (Biomarkers).Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaanya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLEtAKJN maka perlu dicari petanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin. Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan. Gamhr berikut menunjukkan beberapa petanda biologis yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA. Petanda biologis ini adalah zat - zat yang dikeluarkan oleh hlbulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-bglucosamidase, alanine aminopeptidase, kindey injuty molecule I. Dalam satu penelitian pada anak-anak pasea bedah jantung terbuka gelatinaseassociated Iipoccrlin (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jan setelah pembedahaan, 24 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan diperlukan kombinasi dari petanda biologis.



Prosedui



Anamnesis dan perneriksaan fisik



Mikroskopik urin



Pemeriksaan biokimia darah Pmeriksaan biokimia urin Darah ferifer lengkap USG Ginjal



Jnformasi yang dicari Tanda-tanda untuk menyebabkan gangguan ginjal akut. lndikasi beratnya gangguan metabolik. Perkiraan status volume (hidrast) Petanda inflamasi glomerulus atau tubulus. lnfeksi saluran kemih atau uropati kristal Mengukur pengurangan laju Wltrasi glomerulus dan gangguan metabolik ymg diakibatkanya Membedakan gagal ginjal pra-renal dan renal Menentukan ada tidaknya anemia, leukositosis, dan kekurangan trmb4t akibat pemakaian. Menentukan ukwan ginjal, ada tidaknya obst~ksitekstur, parenkim ginjal yang abnormal



Bila diperlukan : CT Scan abdomen Pemindaian radionuklir



Mengetahui struktur abnonnal dari ginjal dan traktus urinarus Mengetahui perfusi ginjel yang abnorml



Pielogram



Evaluasi perbaikan dari obstntksi traktus Llrinarius Msnentukan berdasarkan pemerilrsaan patdogi penyabit ginjal.



Biops~ginjal



Gambar 3. Acute kidney injury and its btomarkers



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANGGUAN GINJAL AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GAMBARAN KLlNlS GANGGUAN GINJAL AKUT GGA dapat dibagi rnenjadi 3 bagian besar, antara lain: GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre-renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA renal berupa Nekrosis TubularAkut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini fimgsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti pada pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensinserta merangsang pelepasaan vasopresin dan endothelin- 1 (ET- I), yang merupakan mekanismes tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostagladin dan nitric oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutarna dipengaruhi oleh angiotensinI1 (A-11) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankanhomeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi,terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi beberapa obat seperti ACEIARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaanyang merupakan risiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis internal.



GGA Renal. GGA renal yang disebabkan oleh kelainan vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropik, gigitan ular, trauma (crushing injurylbencana alam, peperangan), toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35 - 50% di ICU) NTA terutama disebabkan oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTApada 20 - 25% ha1 ini disebabkan adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut, jenis operasi yang berat seperti transplantasi hati, transplantasijantung. Dari golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti jamur, anti virus dan anti neoplastik. Meluasnya pemakian NARKOBAjuga meningkatkan kemungkinan NTA. Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskuler dan tubuler, misalnya :



Kelainan vaskular. PadaNTAterjadi : 1).Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansisubstansi vasokontriktor dan gangguan otoregulasi. 2). Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan endotel vaskuler ginjal, yang mengakibatkan pengikatan A-I1 dan Et-I serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial NO systhase (eNOS). 3). Peningkatan mediator inflarnasi seperti tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-18 (IL 19, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intercellular adhesion rnolecule-1 (ICAM-I) dan P-selectin dari sel endotel, sehingga terjadi peningkatan perlengketan dari sel-sel radang, terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama - sama menyebabkan vasokonstriksi intra-sel yang akan menyebabkan penurunan LFG. Kelainan tubuler. Pada NTA terjadi: 1). Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan peningkatan calpain, cystolic phospholipase A2, serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan cystoskeleton. Keadaan ini akann menyebabkan penurunan basolateral Na+/K-ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na+ di tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut mengakibatkan umpan balik tubuloglomeruler. 2). Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO systhase (iNOS), caspase dan mettaloproteinase serta defisiensi heat shockprotein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel. 3). Obstruksi tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus. Di tubulus, dalam ha1 ini pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yang disekresikan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ke dalam tubulus ke dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi bentuk polimer yang yang akan memberntuk materi berupa gel dengan adanya Na+ yang konsentasinyameningkat pada tubulus distal. Gel polimerik THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang apoptotik, microvilli dan matrix ekstraseluler seperti fibronektiin akan membentuk silinder - silinder (cast) yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal. 4). Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan prosesproses tersebut diatas secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan LFG. Di dugajuga proses iskemia dan paparan bahanlobat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan glomemlus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahaptahap nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari tahap inisasi ke tahap kerusakan yang berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomeduler (cortiocomedularyjunction). Proses inflamasi memegang peranan penting pada pasofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, lekosit dan sel-T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion injury). GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra renal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristral (urat, oxalat, sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retoperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi / keganasan prostat) dan urethra (striktura). GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obtruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana ha1 ini disebabkan oleh prosta glandin-E2. Pada fase kedua setelah 1.5 - 2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh thromboxane-A2 (TxA2) dan A-11. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai meningkat. Fase ke tiga atau fase kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliaran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan febriosis interstitial ginjal.



Kerusakan vaskuler



Kerusakan tubular



Vasokontriksi renal



Kerusakan reperfusi



Obstruksi tubuler



Regerensi tubuler



Dopamin dosis rendah



Anti ICAM-1 rnAb



Furosernid



Reseptor anatognist endotelin



Anti-CD18 mAb



Manitol



Faktor pertumbuhan epidermal dan hepatosit Faktor pertambahan hepatosit insulin-like growth factor



Peptide natriuretik atrial



Pengikat radikal bebas



Doparnin dosis rendah



Antagonis kalsium



Penghambat prostease aMSH Membran biokompatibel



Antagonis reseptor leukotrien



PENGELOLAAN Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.



PENCEGAHAN GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria dan demam berdarah. Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.



TERAPI KHUSUS GGA Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkup perawatan intensif sebab



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANGGUAN GINJAL AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia, asidosis, hiperfosfatemia,edema paru) Asupan nutrisi adekuat sejak dini Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis) Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ainial



-



-



Oliguria : produksi urin < 2000 mL in 12 h Anuria : produksi urin < 50 mL in 12 h Hiperkalemia : kadar potasium > 6.5 mmollL Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0 Azotemia : kadar urea > 30 mmol1L Esefalopati uremikum Neuropati Imiopati uremikum Perikarditis uremikum Natrium abnorrnalitas plasma : konsentrasi > 155 mmollL atau < 120 mmollL Hipertemia Keracunan obat



Komplikasi



beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan usia lanjut, dianjurkan untuk inisiasi dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat metabolik dari GGA. Dengan dialisis dapat diberikan cairanl nutrisi dan obat-obat lain yang diperlukan seperti antibiotik. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat. Belum ada bukti yang nyata keunggulan antara terapi pengganti intensif dan terapi pengganti intermiten.



Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA kebutuhan nutrisi sisesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasanpembatasan. Pada tabel di bawah ini diperlihatkan kebutuhan nutrisi pada berbagai keadaan GGA. GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asam basa, elektrolit, tetap juga asam amino / protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks. Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat menjadi normal kembali.



FASE PERBAIKAN



Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan



Kelebihan volume intravaskular Hipobatremia Hiperkalemia



Asidosis metabolik Hiperfosfatemia



Hipokalemia Nutrisi



Pengobatan Batas garam (1-2 glhari) dan air (< 1 Llhari), Furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis Batas asupan air (< 1 Llhari) : hindari infus larutan hipotonik Batasi asupan diet K (< 40 mmollhari) ; hindari diuretik hemat K, Potassiumbinding ion exchange resins, Glukosa (50 ml dextrosa 50%) dan insulin (10 unit), Natrium bikarbonat (50 - 100 mmol), Agonis p2 (salbutamol, 10 - 20 mdg di inhalasi atau 0.5 1 mg IV), kalsium glukonat ( I 0 ml larutan 10% dalam 2 - 5 menit) Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmolIL, pH > 7.2) Batasi asupan diet fosfat (800 mglhari), obat pengikat fosfat (kalsium asetat; kalsium karbonat) Kalsium karbonat ; kalsium glukonat (10 20 ml larutan 10%) Batasi asupan protein diet (0.8 - 1 glkg BBlhari) jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100 glhari), nutrisi enternal atau parenteraljika perjalanan klinik lama tau katabolik.



pengganti diusulkan sekitar 65 - 75% dari jumlah cairan yang keluar. Pad atahap ini pengamatan faal ginjal hams tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh sempurna (bisa sampai 3 minggu atau lebih)



KESIMPULAN



Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut1ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria RIFLEIAKIN. Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1048



GINJAL HIPERTENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hemodialsis intermitten



-



Continous renal replacment therapy



Keuntungan



Resiko rendah untuk perdarahan - Lebih banyak waktu untuk rnencari diagnosis dan intervensi I terapi. - Lebih cocok untuk hiperkalemia berat - Biaya murah



Hernodinarnik lebi stabil Aritrnia lebih jarang Perbaikan nutrisi Pertukaran gas di paru lebih baik Kontrol cairan lebih baik Kontrol biokimia darah lebih baik Waktu rawat inap ICU lebih singkat



Kerugian



-



Masalah akses vaskuler Risiko tinggi terjadinya perdarahan lrnobilisasi lebih lama Lebih banyak masalah pada filter (ruptur, penyumbatan oleh bekuan darah) Biaya mahal



Ketersediaan perawat HD Lebih sulit kontrol hernodinarnik Dosis dialisis tidak rnencukupi Kurang kontrol cairan Nutrisi kurang Tidak cocok untuk pasien dengan hipertensi intrakranial Tidak ada pembuangan sitokin Potensial terjadi aktivasi komplemen oleh membrane yang non kornpatibel (tidak sesuai)



Jenis dan cara dialisis Hernodialisis Konvensional Slow lona extended daily diilysis (SLED) Sequential ultrafiltration & clearance Continuous arteriovenous hemodialysis (CAVHD) Continuous venovenous hemodialysis (CWHD)



Dialiser Hernodialiser Hernodialiser Hernodialiser



Dialisis peritoneal Berkesinarnbungan lnterrniten



Klirens difusi dan ultrafiltrasi bersarnaan, intermiten Klirens difusi dan ultrafiltrasi denaan aliran darah dan dialisat yang pelan, intermiten Ultrafiltrasi diikuti klirens difusi, intermiten



-



Hemodialiser



Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan tanpa pompa darah



Hemofilter



Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan dengan pornpa darah



Hernodialisis dan hemofiltrasi Continuous Hernofilter arterivenous hernodialysis plus hernofiltration (CAVHDF) Hernofilter Continuous venovenous hernodialysis plus hernofiltration (CWHDF) Ultrafiltrasi Isolated ultrafiltration Hernodialiser Slow continuos ultrafiltration (SCUF)



Prinsi~ keria



Hemofilter



Peritoneum Peritoneum



Klirens konvektif berkesinambungan tanpa pornpa darah



Klirens konvektif berkesinarnbungan dengan pompa darah



Klirens konvektif dan difusi berkesinambungantanpa pompa darah Klirens konvektif dan difusi berkesinambungan dengan pompa darah Klirens dan ultrafiltrasi berkesinarnbungan ; ganti cairan selang beberapa jam Klirens dan ultrafiltrasi intermiten; ganti cairan tiap jam selarna 12 jam setiap 2-3 hari



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANGGUAN GINJAL AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tahap katabolisme Keadaan klinis Mortalitas Dialisis I hemofiltrasi Pemberian makanan Rekomendasi Energi (kkallkgBBlh) Subtrat energi Glukosa glkg Lemak glkg Asam amino I protein Nutrien oral I enteral Parenteral



Ringan



Sedang



Toksik karena obat 20% Jarang



Pembedahan + infeksi 60% Apabila perlu



Injuri berat I sepsis > 80% Sering



Oral



Enterall parenteral



Enterall parenteral



Glukosa



Glukosa + lemak 3-5 0.8- 1.5 0.8-1.2EAA + NEAA Formula



Glukosa + lemak



3-5 0.5 - 1 0.6 - 0.8 EAA (+NEAA) Makanan



Berat



3 - 5 (maks 7)



1.0-1.5 E M + NEAA Formula



Glukosa 50 Glukosa 50 70% 70% + emulsi lemak 10 - 20% EAA + NEAA (biasa atau khusus untuk ginjal) + multivitamin + multitrace element



Dan Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of Acute Renal Failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in Nephmlogy and Hypertension. Philadelphia :WB Saunders Company ;1999.



mendeskripsikanGGA.Keseragaman ini akan mendorong upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang seragam. Hasil akhir yang diharapakan adalah tatalaksana atau penanganan GGA yang lebih baik.



REFERENSI Bellomo R, Bagshaw S, Langenberg C, Ronco C. Pre-Renal Azotemia: A Flawed Paradigm in Critically ill Septic Patients? (eds.): Acute Kidney Injury. Contrib 1Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 1 - 9. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C,. The Concept of Acute Kidney Injury and the RIFLE Criteria. (eds.) : Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 10 - 16. Vincent Louis J. Critical Care Nephrology : A Multidisciplinary Approach. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 24 - 31.



Leverve MX, Cano JM Noel. Nutritional Management in Acute Illness and Acute Kidney Insufficiency. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 112 - 118. Devarajan P. Emerging Biomarkers of Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 203 - 212. Bonventre V. Joseph. Diagnosis of Acute Kidney Injury : From Classic Parameters to New Biomarkers. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 213 - 219. A. Davenport. Renal Replacement Therapy for the Patient with Acute Traumatic Brain Injury and Severe Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 333 - 339. Cerda J, Lameire N, Eggres P. et all. Epidemiology of Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3 : 881 - 886 ; 2008. Bonventre V Joseph. Dialysis in Acute Kidney Injury - More Is Not Better. N Engl J Med 359 : July 3 ; 2008. Metha L. Ravindra, Kellum A. John, Shah V Sudhir. et all. Acute Kidney Injury Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care, Vol.ll No.2 : 1 - 8; 2007. Bagshaw M.S, George C and Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1569-1574. Himmelfarb J and Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology Kidney International (2007) 71, 971-976. Molitoris AB, Yaqub SM Current Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. Acute Kidney Injury. Section I1 Acute Renal Failure. A LANCE Medical Book : 2009; (9) : 89 - 98. Field M,Pollok C,Harris D.Glomerulus filtration and acute renal failure.The renal system. 2001;5:65-73. Lameire N, Wim Van Biesen, Vanholder R. Acute renal fai1ure.t. 2005;365:417-30 Robert W. Schrier. Manual of nephrology. 6tthedition. New York London; 2005. Suhardjono, Sukahatya M, Parsoedi I. Gagal Ginjal akut. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I1 Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 417-22. Susalit E. Penanganan gagal ginjal akut di ICU. Nskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginjal, sistemik ginjal dan system kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p. 18-22. Syakib B. Patogenesis gagal ginjal akut. Naskah lengkap gagal ginjal akut, penyakit ginja1,sistemik ginjal dansistem kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p.1-7 The VA 1 NIH Acute Renal Failure Trial Network. Intensity of Renal Support in Critically I11 Patients with Acute Kidney Injury. N. Eng J. Med. 2008 ; 35 - : 7 - 20. Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of acute renal failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia. WB Saunders Comp. 1999.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



HEMODIALISIS Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono



PENDAHULUAN



.'



Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus y a n g disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP). Setelah menetapkan bahwa TP dibutuhkan, perlu pemantauan y a n g ketat sehingga dapat ditentukan dengan tepat kapan TP tersebut dapat dimulai.



TERAPI PENGGANTI Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional. TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1 tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya dilakukan dalam keadaan yang sangat khusus atau pada penelitian.



I



II



Dialisis A. Dialisis Peritoneal (DP) - DP intermiten (DP) - DP mandiri berkesinambungan (DPMB) - DP dialirkan berkesinambungan (DPDB) - DP nokturnal (DPN) B. Hemodialisis (HD) Transplantasi Ginjal (TG) TG donor hidup (TGDH) TG donor jenazah (TGDJ)



Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi (Gambar 1). Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Selaput Semipermeabel



I



Kompartemen 1



Gambar I.Proses



Kompartemen 2



(



dialisis



konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, d m (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen. Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.



Darah kembali ke badan



Dialisat dialirkan pompa Gambar 2.



Bagan hemodialisis



Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0.8 m2 sampai 2,l m'. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi. Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dia!isat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osnlosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil



sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni1mL dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meqIL. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi. Diuliser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di Ameriia Serikat dilakukan daur ulang sedangkan di Eropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser: Dilakukan pengukuran volume diull~eruntuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai d m dilihat apakah terdapat cacat jasmminya. Umumnya dipakai kembal i bila volume diuliser 80%. Setelah itu dicrliser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiscr dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan ha1 ini dapat menimbulkan gangguan pada pasien. Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selaina hernodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik danjuga tidak menimbulkan vasodilatasi. Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan contit7ou.c infir.\ion. Pada keadaan di



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GINJAL HIPERTENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan. Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, hams memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula dengan arteria radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tak ada. Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, clan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser; aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien hemodialisis hams mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting urifuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1.2 gkgBBhari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meqlhari. Pembatasan kalium sangat diperlukan. karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-urnbian tidak dianjurkan dikonsurnsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40- 120 meqhari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar. Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR)dan (KT/



V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80% Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitun KT/N Terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/ N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sarna dengan 1,8. Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mllmenit. yang di dalalT praktek dianggap demikian bila (TICK) < 5 mL menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari ha1 tersebut di bawah : Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata K serum > 6 mEqL Ureum darah > 200 mg/dL pH darah < 7,l Anuria berkepanjangan ( > 5 hari) Fluid overloaded Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak mmah sakit rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan! kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollowfibre kidney) Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.



REFERENSI Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68. Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company: 1994.92-120. Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley & Belfus; 1986. Kartono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabu~arAP, Suhardjono (ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



DIALISIS PERITONEAL Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli



PENDAHULUAN Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah Ganter (1923). Perkembangan selanjutnya memakan waktu cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan dialisat komersial. Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit besar dan modem.



PRlNSlP DASAR DIALISIS PERITONEAL Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam



pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam keadaan normal dikeIuarkan melalui ginial, pada gangguan faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalarn cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru.



Cairan Dialisat Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 33-4,5 mEq/ liter cairan dialisat.



Elektrolit



MEqlL



Tek. Osmosis ImOsmlL)



Na+ Ca++ Mg++ CILaktatGlukosa



140,O 4,O 1,5 102,o 43,5



140,O 2,O 0,8 102,o 83,3 15,O grIL



291,O rnEqlL



371,6 rnOsrnlL



Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCI, 0294 gram CaCI,, 0,153 gram MgCI,, 4.880 gram NaIaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GINJAL HIPERTENS1



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan dialisat hipertonik (2,s; 3 3 ; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan. lndikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien : 1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut) 2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa. 3. Intoksikasi obat atau bahan lain 4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik) 5. Keadaan klinis larn di mana DP telah terbukti manfaatnya. Kontraindikasi Dialisais Peritoneal 1. Kontraindikasi absolut : tidak ada 2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat.Salah satu cara yang sering digunakan untuk menilai efisiensi DP adalah dengan menentukan peritoneal clearance (klirefls peritoneal) dengan rumus:



Cp : U : p : V :



cp=uxv P Peritoneal Clearance Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar d k i kavurn peritoneum (mg%). Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%) Volume cairan dialisat tiap menit (mL)



a. Komplikasi mekanis Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati). Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter . Gangguan drainase (aliran cairan dialisat) Bocornya cairan dialisat Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut. b. Komplikasi metabolik Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan asam basa. Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis. Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat. Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil penurunan ureum dalam otak dan cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori lain: teori hipoglikemia, perubahan pC02 dan pH. pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan WCa serum. c. Komplikasi radang Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta. Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis. Peritonitis. D



Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, permeabilitas peritoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum. KOMPLIKASI DIALISIS PERITONEAL



Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan komplikasi radang.



INDIKASI DP PADA GAGAL GINJAL AKUT



Pasien GGA dapat dilakukan DP atas dasar : 1. DP pencegahan : DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan. 2. DP dilakukan atas indikasi : a. Indikasi klinis :keadaan m u m jelek dan gejala klinis nyata. b. Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mg%, Kalium 50.000/pL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan AT < 30.000/pL, AT < 50.000lpL setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap > 50.000lpL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan trombositopenia berat (AT < 10.000lpL) setelah mendapat terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi. Irnunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgIV) dosis 1 glkglhari selama 2 - 3 hari berturut-tumt digunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT < 5.0001pL meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang perogresif. Hampir 80% penderita berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gaga1 ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang mempunyai defisiensi IgA kongenital. Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak diketahui, namun meliputi blokade fc reseptor, antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.



Splenektomi. Splenektomi untukterapi PTI telah digunakan sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an. Splenektomi pada PTI dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menerus. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat memsak dan menghilangkanproduksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi sebagai berikut: a. Bila AT < 50.000lyL setelah 4 minggu (satu studi menyatakan b a h k semua pasien yang mengalami remisi komplit mempunyaiAT > 50.000lyL dalam 4 minggu). b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 - 8 minggu (karena problem efek samping). c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan (tapering on. Respon post splenektomi didefinisikan sebagai: Tak ada respons bila gagal mempertahankan AT >50.000lpL beberapa waktu setelah splenektomi, Relaps bila AT turun < 50.000 /pL. Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini, penderita tidak diberi terapi. Respons splenektomi bervariasi antara 50% sampai dengan 80%.



Penanganan Relaps pertama Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid, immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D. Dari gambar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT < 30.000IpL sebagai ambang batas untuk memulai terapi pada PTI daripada AT > 30.000lpL. Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi penderita yang mempunyai AT 30.000lpL sampai 50.000lpL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/yL perlu diberi IgIV sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Padapenderita PTI kronik dan AT < 30.000/pL IgIV atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT dengan segera sebelurn splenektomi. Daftar medikasi untuk terapi PTI kronikpadapasien yang mempunyai AT < 30.0001 pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazol atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis. IgIV dan anti-D imunoglobulinumumnya sebagai cadangan untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi, kemudian terapi medis ditemskan atau dosis ditumnkan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1171



PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTI kronik dengan AT 30.000/mL atau lebih, bergantung pada intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping, risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan penderita.



morbiditas yang signifikan terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%.PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a. PTI menetap lebih dari 3 bulan b. Penderita gaga1 berespon dengan splenektomi. c. AT < 30.000/yL.



Terapi PTI Kronik Refrakter Pasien refrakter (+ 25% - 30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai



Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg dosis tinggi; (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)



Dfagram Trombosit 30.000-50.0001mm3



Trombosit 50.000/mm3



1



1



Prednison atau trdak diterapi



Prednison (1-1.5 mglkglhan) lmunoglobulinAnti-0 (75 pglkg)



Tidak diterapi



I



I



I



Tmmbosit 30.000-50.0001mm3



Trombosit ~30.0001mm3



1



Pradnisonatau tidak &terapl



Perdarahan



Tidak ada danazol(l0-15 mglkglhari) dapson (75-100 mglhari)



lmunoglobulin intravena Metilprednisolon Splenektomi



medrs



TrombositO!
30.0@()/mm3 Trombosit 100.000/pL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. Metilprednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mgtkg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mgl kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI Minis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvesional. Penderita yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 53%). Respon steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekwat. IgIV dosis tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi lmglkglhari selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping, terutarna sakit kepala, namunjika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena. Anti-D intravena Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50 - 75 pgkg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. *. Alkaloid vinka Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan, meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya Vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, Vinblastin 5-10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu Danazol Dosis danazol200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver hams



diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mglhari setiap 4 bulan. Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan azathioprin (2 mglkg maksimal 150 mglhari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian siklofosfamid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif dugunakan seperti pada limfoma . Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mglivl bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50-100 mg p.0, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil . Dapsone Dapson dosis 75 mg p.0. per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien hams diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.



Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya mengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20, (iii) Campath-lH, (iv) mycophenolate mofetil, (v) proteinA columns, dan (vi) terapi lainnya.



REKOMENDASI TERAPl PTI YANG GAGAL TERAPl LlNl PERTAMA DAN KEDUA Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya perdarahan aktif). Mycophenolate mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam ha1 risiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns, plasmapheresis dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan. Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD 20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1173



PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada beberapa penelitian pendahuluan dengan respon berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan awal diberikan. Relapsjarang terjadi setelah 2,5 tahun dan sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi 375 mgrlrn2 tiap minggu selama 4 minggu didapatkan angka respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100 mg per minggu selarna 4 minggu menunjukkan rituximab dosis rendah dapat menghasilkan respon yang signifikan dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.



PELUANG PEMAKAIANAGEN TERKlNl Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pertama melalui Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated Comsurnption of Platelet.



PROGNOSIS Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial yang berakibaf fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.



REFERENSI Braendstrup P, B j e m m OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen NT, Hansen PB, Andersen I, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC. Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic purpura. Am J of Hematol. 2005 ;78 : 275-280. Cheng Y, S.M. Raymond, MB. Wong. Initial Treatment Idiopathic Thromocytopenic Purpura with High Dose Dexamethason. N Engl J Med. 2003; 349: 831-6.



Cines DB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med. 2002; 346 (13): 995-1006. Emilia G, Morcelli M, Luppi M, Longo G, Marasca R, Gandini G, Ferrara L. Long-term Salvage Therapy with Cyclosporin A in Refractory Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Blood. 2002;99(4): 1482-5. George JN, Rizvi MA. Clinical Manifestations and Diagnosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura 1-11 in: Up ToDate, Rose B.D. editor. Up ToDate, Wellesley, MA, 2004. George, JN. Treatment and prognosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B.D. (Ed). Up ToDate, Wellesley, MA, editors. 2004. Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher, E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper editors. Harrison's Principles of Internal Medicine, 1 Sthed. 2001. Levine SP. Thrombocytopenia Caused by lmmunologic Platelet Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP.Greer, GM. Rodgers editors. Wintrobe's Clinical Hematology. loth edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William & Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-611. McMillan R. Therapy for Adults with Refractory Chronic Immune Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med.1997; 126; 307-314. Provan D, Newland A. Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults. British J Hematol. 2002; 118: 933-944. Provan D, Norfolk D, Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP, Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults, Children and in Pregnancy. British J Hematol. 2003; 120:574596. Provan, D., Butler, T., Activity and safety profile of Low-dose Rituximab for the Treatment of Autoimmune Cytopenia in Adults. Haematologica. 2007; 92(12): 1695-98 Psaila, B., Podolanczuk, AJ., Bussel, J., 2007. Recent Advances in the Treatment of immune Thrombocytopenic Purpura. ww.medscape.com. Schwartz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A, Eldor A, Bussel JB. Long Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am J Hematol. 2003; 72: 94-98. Stasi R, Pagano A, Stipa E, Amadori S. Rituximab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment for Adult with Chronic Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001;98:952957 Vesely S, Buchanan GR, Cohen A, Raskop George J. Self-reported diagnostic and management strategies in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing, pediatric hematology/oncology specis1ists.J Pediatric Hematol Oncol. 2000; 22: 55-61.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH) Made Putra Sedana



PENDAHULUAN Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen, ha1 ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia dan kegawatan akibat trombosis vena. Gambaran kelainan ini pertama kali dipublikasikan oleh Strubbing pada tahun 1882, sedangkan karateristik klinisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Nazari pada tahun 1911 serta Micheli ditahun 1931, karena itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak d m orang tua. Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang dan sitogenetik.



Penderita dengan kelainan PNH pertama kali dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi gambaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden PNH sangat bervariasi pada berbagai populasi dan lebih



sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian PNH hampir sama dengan Anemia Aplastik. PNH biasanya terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua. Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut, dengan " Median Survival " 8 - 10 tahun, umumnya sebagai penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.



Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stem cell. Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi pembentukan glycosylphosphatidylinositol anchored (GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating factor (DAE CD55), membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL,CD59), FcgammaRIIIb , c8 binding protein, lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dan urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur protein permukaan sel haematopoetik serta mengatur kadar complement-mediated lysis. Juga mengalami defesiensi absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara. Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI anchored akan menimbulkan kegagalan dalam menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1175



PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ment-mediated hemolytic .Sebagai akibatnya, sel eritrosit PNH akan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap complement-mediated lysis semakin berat derajat dari hemolisisnya. Kedua : terjadinya defisiensi dari proteinprotein anchored akan menyebabkan terganggunya struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses Lysis dari komplemen. Berdasar sensitivitasnya terhadap komplemen, secara invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu : PNH I,II,III. PNH I : adalah sel eritrosit PNH yang memiliki sensitivitas normal terhadap komplemen. PNH I1 dan III secaraberturutturut memiliki sensitivitas 3 -4 kali serta 15 - 25 kali dari sensitivitas normal. Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis. Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anemia aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.



TANDA DAN GEJALA KLlNlS



Anemia, ikterus, splenomegali. Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas, walaupun terjadi hemolisis kronis. Adanya anemia hemolitik kronik. Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat b e s ~ melalui urine. Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia. Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa : vena hepatica, sindroma Budd-Chiari, vena serebral, vena lienalis, vena subkutis , vena mesenterika Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan dengan aborsi dan trombosis vena. Manifestasi pada ginjal : hypostenuria ,kelainan fungsi tubulus, gaga1 ginjal akut dan kronik.



Gambaran anemia hemolitik. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik. Retikulositosis Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia.



Leukosit Alkalin Fosfatase rendah. Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test : Positif. Pada pemeriksaah Urine didapatkan : Hemoglobinuria, Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu bangun tidur dan makin siang warna'urine makin terang, seperti tampak pada garnbar berikut:



Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH



DIAGNOSIS



Gejala :anemia, hemoglobinuria. Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat juga menyerupai anemia aplasrik. Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau hypoplasi. Flowsitometri : pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD 55 atau CD 59 pada granulosit. Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif. Manifestasi trombosis Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.



DIAGNOSIS BANDING



Anemia Hemolitik Lain. Anemia Defesiensi besi Anemia aplastik Black water fever: Paroxysmal cold hemoglobinuria.



PENGOBATAN



Bila anemia transfusi darah dengan Washed Erythrocyte.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI.*,



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Asam folat 1 mghari. Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus 3 X 1 tab. Prednison 20 - 60 mghari, tetapi tidak untuk pemberian jangka panjang.. Hormon androgen : Fluoxymesteron : 5 - 30 mghari; Oxymetholon 10 - 50 mghari diberikan selama 6 - 8 minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan. Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk mencegah terjadinya trombosis. Streptokinase; urokinase : bila ada trombosis. Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi defenitifkemudiandilanjutkan dengan imunosupresan. Perkembanganpengobatan PNH dengan obat antibody monoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5, antibodi ini dapat mengontrol terjadinya hemolisis pada PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian International "Multicenter Placebo Controlled Trial" pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan transfbse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg IV tiap minggu selama 4 minggu, 1 minggu kemudian 900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai minggu ke 26. Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat diberikan pengobatan imunosupresif dengan Antilimfosit Globulin (ALG atau ATG) dan Cyclosporin.



PROGNOSIS Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi: trombosis; pansitopenia. Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi: Leukemia akut; Sindroma Mielodisplasia; Mielofibrosis;



Leukemia Limfositik Kronik; Leukemia Mielositik Kronk, PolisitemiaVera dan Eritroleukemia. Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau leukemia akut



REFERENSI Hillmen P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement Inhibitor Eculizumab in Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J.Med. 355:1233. Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ, Williams WJ (2003). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Williams Manual of Hematology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ, Williams WJ. Mc Graw Hill, Toronto, p 233. Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Hematology 1996. Education Programme of the 26 th Congress of International Society of Haematology. Ed : Mc Arthur JR, Sinagapore August, 25-26. Parker CJ, Lee GR (1999). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Wintrobes Clinical Hematology, 10 th edition. Eds : Lee GR, Foerster J, Rodger GM. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, p. 1264. Parker C, Omine M, Richards S et a1 (2005). Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 : 3699. Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition . Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jarneson JL, Loscalzo J. Mc Graw Hill Publishing Co, New York, p. 660. Socie G, Mary JY, de Gramont A, Rio B, Lepporier M, Rose C, Heudier, Rochant H, Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic Factors. Lancet, 348 : 573.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KELAINAN HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Zubairi Djoerban



PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik (systemiclupus erythematosus, SLE) dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan spektrum yang luas. Kelainan hematologi seringkali ditemukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia, kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, hampir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Kriteria Diagnosis SLE dari ACR pada 1971 menyatakan bahwa leukopenia, trombositopenia,dan anemia hernolitik inerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1) anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia (10 gr/dl, platelet > 100 x 109/Ldan tidak ada hepatomegali. Pasien lebih muda mempunyai kemampuan survival lebih baik, seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam sirkulasi. Adanya abnormalitas sitogenetik termasuk single clone dengan translokasi kromosom 1,Sq-, trisomy 8, 13qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlarut mempunyai survival lebih jelek. Reilly, Snowden dan Spearing et a1 (1997) membuat beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb, simptom konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terjadi splenomegali yang semakin memberat sehingga timbul rasa sakit dan nyeri tulang. Sebagian pasien terjadi hipertensi portal dengan varises esofagus, akibat dari: Kenaikan aliran darah splenoportal, trombosis vena hepatika, trombosis vena portal, hemokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal. Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau defisiensi faktor pembekuan. Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi, perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents, gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi sitostatika, kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa dengan leukemia mieloid akut.



PENATALAKSANAAN MMM munglun dapat disembuhkan dengan hematopoietic stem cells Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk pasien muda d m merupakan risiko kematian yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk memperpanjang survival atau mencegah progresi mielofibrosis. Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptomatis dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat darah tetap normal, untuk menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout. Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa terapi gagal memperbaiki hematopoiesis, transfusi diperlukan untuk mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya kejadian hemolisis. ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL Transplantation (AHSCT) Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum tulang dan splenomegali rupanya bukan hambatan untuk HSCT. Dilaporkan oleh Guardiole et a1 (1999) d m Jurado et al. (2001) &.Clark dan William (2005) kelompok International cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur muda, umur rerata 42 tahun, dengan HLA-identical



related donor. Pada seri Seatle, 8 dari 19 pasien donor HLA-matched tetapi unrelated, 2 dari 19 donor adalah one-antigen mismatches. Survival keseluruhan dalam 5 tahun sebanyak 50%. Adanya kariotipe abnormal, anemia dan umur tua diikuti outcome yang jelek. MMM dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun sebanyak 14%. Semakin menjadi jelas, bahwa pada pasien lebih muda dengan 2 faktor risiko, dengan prediksi survival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak. Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai faktor risiko muncul, walaupun data tentang ha1 ini belum banyak dilaporkan. Terapi Androgen dan Kortikosteroid Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat MMM. Dengan respon rate 29-57%. Perbaikan spontan mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga respon terhadap terapi perlu dianalisa secara cermat. Perempuan dengan splenomegaliminimal dan pasien dengan kariotipe normal memberikan prognosis lebih baik. Sebelum terapi dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisis maupun dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek virilisasi. Selama terapi dengan androgen perlu dimonitor faal hati. Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron, dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah 3-6 bulan terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa pasien yang tidak berespon terhadap androgen, kemungkinan memberikan respon preparat lain, karena daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkinan kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan dosis: lmgkg. berat badan sehari, memberikan respon pada 25-50% pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat pada pasien perempuan. Pasien dengan hemolisis perlu diberikan suplemen asam folat. Androgen dan kortikosteroid kadang dapat dikombinasikan. Dosis dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari, bila terdapat respons setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan secara tapering off, sedangkan fluoksimesteron dilanjutkan. Kemoterapi Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak memberikan perubahan secara umum pada MMM, tetapi mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala. Kemoterapi dapat mengurangi hepatomegali dan splenomegali serta memperbaiki penurunan berat badan,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HEMATOLOGI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



demam dan keringat malam sampai 70% pasien, serta mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia. Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian kemoterapi hams lebih hati-hati karena cendemng terjadi toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya pemberian Busulfan 2-4 mglhari sudah mempakan dosis maksimum yang dapat diberikan dengan derajat keselamatan pada MMM. Pasien hams dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia. Hidroksiurea dapat diberikan dosis terreduksi 500- 1000 mg selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung respons klinis dan hitung darah.



lradiasi Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami perbaikan keluhan nyeri dan > 50% terjadi pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per minggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara bam dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor hematopoiesis ekstramedular simptomatisjuga memberikan respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan saraf pusat. Splenektomi Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal, anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan. Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised pasien. Adanya DIC(K1D) ringan yang ditandai kenaikan kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan risiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif. Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada perawatan rumah sakit yang lebih modern turun 100.000/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi. Sangat penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses untuk transhsi darah yang lengkap serta ruang sterillsemi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi. Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif hams dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik d m memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang. Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan



strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainyajumlah sel-sel blast 18



LNH folikular deraiat 3



'



Bone Marrow



R of refractair



PIR



EORTC 209811 HOVON 39'" R-CHOP vs CHOP, +I- rituximab "maintenance" Lihat LNH difus



R-CHOP = CHOP + rituximab ' hanya bila CD 20 + ** bila residif Irefrakter pada berbagai .pengobatan S dalam waktu dekat 7 setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin W & S Wait and see



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



IF-RT W & S, chloorambucil, CVP, RT W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine



W & S, chloorambucil, CVP, fludarabine, RT CVP, chloorambucil, fludarabine, RT, CHOP; p.m. non-myeloablative allo SCT**



1259



LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-40% pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan menengah dan tinggi LNH intermediate/high grade yang refrakterl relaps: pasien refrakter yang gaga1 mencapai complete respons diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi stem cell autologusPBSCT Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti CEPPB, EVA, miniBEAM, VAPEC B clan infb EPOCH. Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT Allogenic BMT MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini. Pasien 4500/pL Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1) Rituximab 375mg/m2iv inhs hari 1 Metotreksat 200 mg/m2iv bolus hari 1, diikuti 800mg/ m2 inhs IV selam 24 jam; berikan larutan IV alkalin Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah inhs metotreksat selesai diikuti 15mgPO setiap 6 jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum metotreksat) Sitarabin 3000mg/m2iv selama 1jam setiap 12jam total 4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi 1000mglm2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)



WHO



LNH sel B sel besar difus



Stadium



Umur



Premier1 Residif



I II



< 66



PIR P



IIIIIV



< 66



P



Il-IV



>65



P



Il-IV



18-65



R



> 65



R



Mediastinal LNH sel B besar LNH mantel sel



Trial



HOVON 26 : LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs i-CHOP HOVON 26 : (LDH < 1.5 x ULN) HOVON 46* : (aa-IPI** ? LI) CHOP - 14 +Irituximab HOVON 44* : DHAP-VIM-DHAP +I- rituximab, diikuti SCT auto



3 x CHVmPIBV + RT 8 x CHVmPIBV



8 x CHVmPIBV 8 x CHVmPlBV HOVON 44, tanpa rituximab p.m. non-myeloablatieve allo SCT DHAP, (CHOP), RT; p.m. nonmyeloablatieve allo SCT 6 x CHVmPIBV + IF-RT



I



P



II - IV I IV Il-IV



10 % dalam waktu 6 bulan sebelumnya) X Bulky disease (pembesaran mediastiurn >1/3, adanya massa kelenjar dengan diameter maksimal10 cm) E Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal terhadap regio kelenjar getak bening CS Clinical stage PS Pathologic stage (misalnya ditentukan pada laparotomi)



Karakteristik



Limfoma Hodgkin



Ternpat asal



Nodal



Distribusi nodal



Sentripetal (aksial)



Penyebaran nodal Keterlibatan susunan saraf pusat Keterlibatan hepar Keterlibatan surnsurn tulang Keterlibatan surnsurn tulang rnernpengaruhi buruknya prognosis Sernbuh dengan kernoterapi



Contiguous



Limfoma non Hodgkin Low grade



IntermediaV high grade



Ekstranodal (10%) Sentrifugal



Ekstranodal (35%) Sentrifugal



Noncontiguous Noncontiguous



Jarang (50 %)



Jarang



Jarang (< 10%) Ya



Ya



Tidak



Jarang (< 20 %) Ya



Tidak



Ya



KLASlFlKASl LIMFOMA HODGKIN



Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil gambaran histopatologis lebihjelas dari biopsi cucuk jarurn (Fine Needle Biopsy); Klasifikasi Rye: Lymphocyte Predominant Nodular sclerosis Mixed cellularity Lymphocyte depletion



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Jacksonand Parker



Lukes and Butler



Rye Conference



WHO classification



REAL classification



Paragranuloma



Lymphocytic or histiocyiic, nodular Lymphocytic or histiocytic, diffuse



Lymphocytepredominant



Nodular lymphocyte-predominant classic HD Lymphocyte -rich classic HD



Lymphocyte predominant,nodular HD Lymphocyte-rich classic HD



Granuloma



Nodular sclerosis Mixed cellurarity



Nodular sclerosis Mixed cellularity



Nodular sclerosis Mixed cellularity



Nodular sclerosis Mixed cellularity



Sarcoma



Diffuse fibrosis Reticular



Lymphocyte -depleted Unclassifiable classic HD



Klasifikasi WHO: Nodular lymphocyte predominance Hodgkin Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan gambaran sel Reed-Stenberg. Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.



Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical stage = CS) dan faktor risiko. Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi ( R T ) pada Limfoma Residual atau Bulky Disease. Faktor risiko untuk terapi menurut German llodgkin's 1.ymphoma Studv Group (GHS(;) meliputi: Massa mediastinal yang besar Ekstranodal Peningkatan laju endap darah, > 50 untuk tanpa gejala atau > 30 untuk dengan gejala (B) Tiga atau lebih regio yang terkena Menurut EORTCIGELA (European Organization for Research and Treatment of Carcinoma/Groupe dJEtude des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu: Massa mediastinal yang besar Usia 50 tahun atau lebih Peningkatan laju endap darah 4 regio atau lebih Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai kemoterapi terpilih. Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,



imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi C D 16/CD 30 bispesifik antibodi dan radio immunoconjugates.



PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMllAN Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan, beberapa ha1 penting yang perlu diketahui: Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai melahirkan kecuali pada "Bulky Disease" dan diberikan dengan pelindung. Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat dipertimbangkan abortus terapeutik. Malfonnasi fetus terjadi pada 15% kasus bila kemoterapi diberikan pada semester pertama, tidak terjadi pada semester berikutnya. Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebeluni melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.



A



Kelompok



Stadium



Rekomendasi



Stadium dini (favorable)



CS I-IIA I6 tanpa faktor risiko



EFRT (30-36 Gy) atau 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy



Stadium dini (unfavorable)



CS 1-11 AIB + RF



4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy



Stadium lanjut



CS llB +RF;CS IIIAIB CS IV AIB



6-8 siklus kemoterapi + RT 20-36 Gy pada limfoma residual dan bulky disease



PROGNOSIS Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFR (Freedom From Progression), yaitu : 1). Jenis Kelamin, 2). Usia >45 tahun; 3). Stadium IV; 4). Hb 100.000/mm3)terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%.Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsurn tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi. Sitokimia Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewamaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewamaan periodic acid Schiff(PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase ataujow cytometry. lmunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometryl Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap: Untuk sel prekursor B: CDlO (common ALL antigen),CD 19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT



Untuk sel T: CDl a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7 ,CD8 dan TdT Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22 Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, danCD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk. Sitogenetik Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik (tabel 1). Translokasi t(8; 14), t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom Philadelphia, t(9;22)(q34;qll) yang khas untuk leukemia mielositik kronik dapat juga ditemukan pada 30%



limfosit). Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi dalam 4 gambaran yaitu interstisial(33%), nodular (lo%), campuran interstisial dan nodular (25%) serta infiltrasi difus (25%). Meskipun telah didapatkan limfositosis dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK. LLK dapat didiagnosis jika ditemukan peningkatan absolut limfosit di dalam darah (>5000/uL) dan morfologi serta imunofenotipnya menunjukkan gambaran khas. Klasifikasi France-America-British(FAB) membagi tiga tipe morfologi berdasarkan perbandingan limfosit atipikal di dalam darah, yaitu: LLK tipikal terdiri dari lebih 90% limfosit kecil LLK tipe prolimfositik (sel prolimfositik 11-54%) LLK atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari 10%. Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK atipikal, gangguan limfoproliferatif lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK atipikal; oleh karena itu analisis imunofenotip sel B neoplastik, data sitogenetik dan molekular dapat bermanfaat.



Jenis kelarnin Stadium Klinik Morfologi lirnfosit Garnbaran dari infiltrasi surnsum tulang Waktu penggandaan lirnfosit Penanda serum Ekspresi CD 38 Abnorrnalitas gen Status gen lgVH



Risiko rendah



Risiko Tinggi



Wanita Binet A RAI 0 , I Tipikal Non diffuse > 12 bulan Normal



Pria Binet B IC RAI 11, Ill, IV Atipikal Diffuse < 12 bulan Meningkat



< 20 - 30%



> 20 - 30% Delesi 11q23 Loss/ mutation p 53 Mutasi (-)



Tidak ada Mutasi



STADIUM



Stadium



Gejala klinis dan laboratorium



0



Lirnfositosis darah tepi dan surnsum tulang Lirnfositosis + Pernbesaran Lirnfonodi Lirnfositosis + Splenornegali I Hepatomegali Lirnfositosis + anemia (Hb < IIgrldl)



I II Ill IV



Lirnfositosis + trombositopenia (trornbosit < 100.0001uL)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Median survival (bulan) > 150



101 > 71 19 19



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Stadium



Gejala klinis dan laboratorium



A



Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + < 3 daerah limfoid yang membesar Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + > 3 daerah limfoid yang mebesar ~ G d i u mB + anemia (Hb < 11 gldl pd pria dan < 10 grldl pada perempuan atau trombositopenia (7 55%), hepatosplenomegali, wasting syndrome dan meningkatnya resistensi terhadap terapi. Transformasi LLK yang lain meliputi LLA, leukemia sel plasma, mieloma multipel dan limfoma Hodglan. Komplikasi Akibat Penyakit Autoimun meliputi tes anti globulin direct yang positif (Coomb's test), anemia hemolitik, trombositopenia, neutropenia dan aplasia sel darah merah murni (aplasia p u r e red cell) atau agranulositosis. Tes antiglobulin direct positif hingga 20% pasien LLK selama perjalanan penyakitnya. Hemolisis klinis dijumpai pada 50% kasus. Trombositopeniaautoimun terjadi pada 2% pasien LLK. Keganasan sekunder. Lokasi tersering meliputi kulit (melanoma dan karsinoma), paru dan saluran cerna. Hal ini dianggap sebagai konsekuensi terapi imunosupresi yang poten. Gangguan atau keganasan hematologi lainnya juga dilaporkan mempunyai hubungan dengan LLK.



PENATALAKSANAN Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan. Saat ini tidak terdapat terapi kuratif untuk LLK. Tujuan terapi pada kebanyakan pasien LLK adalah meredakan gejala dan memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan faktor risiko buruk, pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih. Indikasi terapi adalah: Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia. Limfadenopati yang progresif (>10 cm) Splenomegali masif (>6 cm) atau nyeri pada limpa Limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat 50%) Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan >lo% dalam 6 bulan, suhu badan >38OC selama >2 minggu, fatigue, keringat malam Sitopenia autoimun Kemungkinan terapi terkini menurut faktor prognostik dan variabel lainnya sebagai berikut:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



LEUKEMIA LlMFOSITlK KRONIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI LLK STADIUM DIN1YANG STABIL Pada pasien ini tidak diperlukan terapi kecuali timbul gejala atau penyakitnya berlanjut. Hal ini didasarkan pada: Pasien LLK stadium dini yang stabil bertahan hidup sebagai mana subyek normal dengan usia yang sama. Pengobatan pada pasien dengan stadium dini (Binet stadium A atau Rai stadium 0) dengan klorarnbusil, baik kontinu maupun intermiten memperlambat rasio progresivitas penyakit tetapi tidak memperbaiki kelangsungan hidup. Selain itu dalarn satu penelitian terapi kontinu dengan klorambusil berhubungan dengan kelangsungan hidup yang lebih pendek karena tingginya insidens kanker epitel.



LLK STADIUM LANJUT DENGAN BATAS TUMOR LUAS DAN GAGAL SUMSUM TULANG Kemoterapi Tunggal Klorambusil. Mula-mula 2-4 mg kemudian dinaikkan 6-8 mg per oral setiap hari atau pemberian intermiten setiap 2-4 minggu dengan dosis 0,4-0,7 mglkg BB per oral. Pengobatan diberikan sepanjang terdapat respons, biasanya tidak lebih dari 8-12 bulan. Angka respons berkisar 40-70%, tetapi respons komplit jarang terjadi. Pada penelitian-penelitianterakhir, kombinasi klorambusil dengan prednison tidak lebih baik dibandingkan dengan klorambusil saja. Meskipun pasien diobati dengan regimen kemoterapi kombinasi memiliki respons lebih tinggi namun angka kelangsungan hidup tidak lebih panjang. Siklofosfamid. Pasien yang tidak dapat mentoleransi klorambusil, dapat diberikan siklofosfamid dengan dosis per oral 200 mglm2hari selama 5 hari atau pemberian intermiten setiap 3-4 minggu dengan dosis 500-750 mg/m2 intravena pada hari I. Asupan cairan 2-3 liter per hari. Efek samping berupa mual, muntah, rambut rontok, supresi sumsum tulang dan sistitis. Aturan terapi pemeliharaan LLK tidak pernah diteliti lebih lanjut. Biasanya, pengelolaan terhenti sekali terjadi respons, dan dimulai lagi saat penyakit berkembang ke arah progresivitas. Respons pengobatan kedua biasanya buruk daripada pengobatan pertama, kemungkinan ha1 ini terjadi akibat overekspresi gen mdr dan mutasi gen p53. Bagi pasien yang tidak berespons terhadap terapi baku atau relaps setelah diberi terapi, dianjurkan menggunakan analog purin khususnya fludarabin. Bersamaan dengan pemakaian obat ini, juga diberikan profilaksis asam urat yaitu allopurinol (dosis 300 mg hari selama 7 hari setiap siklus) dan bila diperlukan transfusi PRC.



Kemoterapi kombinasi yang diberikan adalah kemoterapi yang biasanya diberikan pada pasien limfoma non Hodgkin atau mieloma multipel . Diindikasikan pada pasien LLK yang gaga1 terhadap terapi tunggal klorambusil atau siklofosfamid dengan atau tanpa prednison. Kemoterapi yang direkomendasikan adalah: Siklofosfamid, vinkristin dan prednison (COP) Dosis: - Siklofosfamid300 mg/m2peroralhari 1-5 atau 750 mg/ m21Vhari I. - Vinkristin 2 mg IV hari I - Prednison 40 mg/m2per oral hari 1-5 COP dan doksombisin Dosis: - Doksorubisin 25-50 mg/m2IV hari I.



SlTOPENlA AKIBAT MEKANISME IMUN ATAU HIPERSPLENISME Pasien dengan sitopenia akibat respons imun sebaiknya diobati kortikosteroid dengan dosis 1 mgkgBB per hari dan ditappering-off., Preparat imunosupresan hanya diberikan pada pasien yang tidak respons setelah 4-6 minggu terapi, meliputi imunoglobulin dosis tinggi, siklosporin, splenektomi dan radiasi limpa dengan dosis rendah. Dua pendekatan terapi terakhir berguna pada kasus dengan hipersplenisme. Hasil pengobatan terbaik dilaporkan dengan siklosporin.



PENGOBATAN SlSTEMlK



TERHADAP



KOMPLlKASl



Hipogamaglobulinemia. Pada penelitian acak, imunoglobulin dosis tinggi (400 mgkg BB intravena setiap 3 minggu) akan mencegah infeksi tetapi tidak meningkatkan kelangsungan hidup pasien LLK Pertimbangan biaya dengan lamanya survival pada pemberian rutin imunoglobulin menjadi perdebatan para ahli. Pada dosis yang lebih rendah (250 mglkg BB setiap 4 minggu atau 10 g setiap 3 minggu) mempunyai efektivitas yang setara dengan dosis tinggi. Kejadian infeksi hams diobati dengan antibiotika spektrum luas dan klinisi hams memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik. Pemberian vaksinasi mungkin memberikan respons imun suboptimal mengingat regulasi sistem imun yang terganggu. Neutropenia yang diperberat dengan kemoterapi sering dijumpai. Jurnlah neutrofil yang rendah dapat disebabkan karena lamanya dan kombinasi dari terapi pada pasien dengan penyakit refrakter stadium lanjut. Pemberian filgrastim atau pegfilgrastim setelah kemoterapi dapat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mengurangi risiko neutropenia. Sebuah penelitian menunjukkan berkurangnya frekuensi infeksi paru yang serius pada pasien LLK risiko tinggi yang mendapat filgrastim dan terapi berbasis fludarabin bila dibandingkan kontrol. Anemia adalah temuan laboratorium yang sering dijumpai pada LLK dan bertambah berat sesuai perjalanan penyakit. Terapi LLK dapat menimbulkan eksaserbasi anemia yang sudah ada, khususnya pada pasien usia lanjut. Konsekuensinya adalah kelelahan dan dispneu yang sangat mengurangi kualitas hidup pasien. Penelitian acak double blind menunjukkan bahwa eritropoietin rekombinan dapat mengatasi anemia yang tidak berespons terhadap kemoterapi dan gejala yang diakibatkannya.



Radioterapi pada pasien LLK hanya bersifat paliatif. Dapat berupa: Radiasi limpa. 50-90% pasien akan menunjukkan penurunan ukuran limpa, berkurangnya nyeri perut serta rasa tidak enak pada perut. Catovsky pada tahun 199 1 melaporkan 3 8% pasien mengalami remisi hematologik yang komplit. Diberikan dosis rendah 0,s1 Gy 1-3 kalilminggu. Efek samping adalah fatique, mual, trombositopenia transien dan netropenia. Radioterapi terapi eksternal untuk lesi-lesi yang besar (bulky nodal masses). Dosis 30-40 Gy dalam 2 fraksi.



SPLENEKTOMI Indikasi: Splenomegali masif yang simptomatik Sitopenia yang refrakter : Sitopenia autoimun dan hipersplenisme PENGOBATAN LlNl KE 2 (SECOND LINE THERAPY Analog Purin Analog purin (pentostatin, fludarabin dan 2klorodeoksiadenosin) merupakan preparat yang baik untuk LLK. Fludarabin atau analog purin lainnya mungkin akan menggantikan klorambusil sebagai terapi baku LLK.Sedangkan pemberian analog purin dalam kombinasi dengan agen sitotoksik lainnya (siklofosfamid) atau biologic-response modzjers (interferon) sedang diteliti. Mekanisme kerja dari analog purin kompleks, tetapi meliputi induksi apoptosis. Pada pasien-pasien tanpa respons terhadap pengobatan inisial, fludarabin (25 mg/ m2 permukaan tubuh intravena selama 5 hari setiap 4 minggu) merupakan obat pilihan, dengan keberhasilan



respons 17-74% (respons komplit 0-20%). Angka kejadian respons lebih tinggi pada pasien yang memberikan respons pada pengobatan sebelumnya dan yang tidak menerima pengobatan secara ekstensif. Hasil awal pada penelitian yang sedang berlangsung membandingkan fludarabin dengan kombinasi siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin dan prednison serta siklofosfamid, doksorubisin dan prednison menunjukkan respons yang lebih tinggi dibandingkan fludarabin; meskipun belum diketahui pada jangka panjangnya. Efek toksik utama analog purin adalah mielosupresi, sindroma lisis tumor akut ,anemia hemolitik autoimun dan ITP. Infeksi oportunistik (cytomegalovirus, toxoplasma, Pneumocystis carinii, legionella dun listeria) terjadi karena penurunan sel CD4+ yang diakibatkan oleh preparat ini. Akibatnya pasien yang diterapi dengan analog purin dan prednison mengalami infeksi oportunistik lebih sering dibandingkan dengan pemberian analog purin saja, oleh karena itu prednison sebaiknya tidak diberikan. Meskipun belum terbukti secara klinis, pemberian antibiotika dapat dipakai sebagai profilaksis. PENGOBATAN BARU Antibodi Monoklonal Diakuinya antibodi monoklonal anti CD20 chimeric (rituximab) dan antibodi monoklonal anti CD52 humanized (alentuzumab) membuka cakrawala baru pengobatan LLK. Rituximab adalah antibodi anti CD20 chimeric yang dipelajari secara luas pada limfoma derajat rendah (low grade) dimana dijumpai respon pada 50% pasien. Respons terhadap rituximab padapasien LLK yang diberi dosis sama dengan pada limfoma bersifat marginal, kemungkinan karena perbedaan farmakokinetik rituximab pada penyakit tersebut atau kurangnya ekspresi target CD20 pada sel LLK. Tetapi penambahan antibodi monoklonal untuk menunjang terapi LLK meningkatkan frekuensi pencapaian CR. Penelitian terbaru kombinasi rituximab dengan terapi berbasis fludarabin pada LLK yang sebelumnya tidak diterapi, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penelitian oleh MD Andersson Cancer Center pada pasien LLK yang sebelumnya tidak diterapi, memberikankan rituximab untuk menunjang dosis fludarabin dan siklofosfamidselama 6 siklus. Laporan awal dari 134 pasien yang mendapat pengobatan komplit, 66% mencapai respon komplit dan secara keseluruhan dijumpai rasio respon 95%. Beberapa CR (melalui PCR) ditunjukkan oleh penelitian ini. Alentuzumab adalah antibodi monoklonal humanized yang ditujukan langsung untuk antigen CD52. FDA menyetujui alentuzumab untuk pengobatan pasien LLK yang sebelumnya diobati dengan agen alkil dan mengalami



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1281



LEUKEMIA LIMFOSITIKKRONIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI penyakit refrakter terhadap fludarabin. Antigen CD52 diekspresikan pada hampir semua sel LLK seperti halnya limfosit T, B normal, sel NK dan monosit. Pada penelitian yang menghasilkan pengakuan terhadap alentuzumab didapatkan rasio respons 33% dan kelangsungsan hidup rerata 16 bulan pada pasien LLK yang mengalami penyakit refrakter fludarabin. Di antara pasien yang berespon terhadap alentuzumab kelangsungan hidup lebih 32 bulan. Pasien dengan nodul yang besarnya >5 cm dan status ECOG yang buruk (> 2) mempunyai respon terhadap alentuzumab yang rendah secara bermakna. Pengobatan dengan antibodi ini dapat menimbulkan eksaserbasi neutropenia yang telah ada sebelumnya dan berhubungan baik dengan infeksi bakterial maupun oportunistik.



Autologous transplantation. Terdapat sejumlah laporan penelitian tentang autotransplantasi pada LLK. Sekitar 40 pasien telah dilaporkan, dan semuanya mempunyai penyakit yang lanjut sebelum transplantasi, serta semua menerima siklofosfamid dan iradiasi total tubuh sebagai regimen. Sekitar separuh pasien transplantasi sumsum tulang disterilkan dengan antibodi monoklonal terhadap sel B (CD 19, CD20, CD 10 dan CD5). Namun follow upnya terlalu singkat untuk ditarik suatu kesimpulan. Meskipun hasilnya menjanjikan, transplantasi sebaiknya masih dipertimbangkan sebagai terapi eksperimental. Infeksi oportunistik (toksoplasmosis) merupakan ha1 yang perlu diperhatikan. Transplantasi, sebaiknya dipertimbangkan pada pasien muda dengan risiko tinggi LLK.



TRANSPLANTASI HEMATOPOIETIC PROGENITORS Allogeneic Transplantation. Data pada seri alotransplantasi, melibatkan 54 pasien, telah dikumpulkan oleh European and International Bone Marrow Transplant Registries. Usia rerata pasien transplantasi 41 tahun, dengan kisaran 2 1-57 tahun. Sebelum transplantasi sebagian besar pasien mendapatkan siklofosfamid dan iradiasi total tubuh demikian pula siklosporin dan metotreksat dipakai sebagai preparat mencegah graftversus host disease. Dari 54 pasien, 38 (70%) mengalami remisi dan 24 (44%) hidup dengan usia median 27 tahun (kisaran 5-80 tahun) setelah transplantasi. Probabilitas kelangsungan hidup 3 tahun adalah 46% (95% CI, 32-60%). Lima pasien (9%) meninggal akibat leukemia progresif, dan 25 (46%) pasien mengalami komplikasi pengobatan. Hasil akhir didapatkan lebih baik pada pasien dengan penyakit stabil yang respons terhadap terapi dibandingkan yang progresif Relaps kadang terjadi selambat-lambatnya 4 tahun setelah transplantasi.



CR



Kriteria Gejala Ltmfonodi



Interferon alfa memberikan respons meskipun bukan respons komplit, pada pasien-pasien dengan penyakit stadium dini yang tidak menerima terapi sebelumnya. Merupakan agen yang potensial untuk mencapai respons terhadap kemoterapi. Efektivitas antibodi monoklonal, baik sendiri (CAMPATH I -H) atau dikombinasi dengan toksin (B4-blocked ricin), agen sitotoksik atau radioisotop (II3') sedang diteliti; respons diperoleh biasanya parsial atau sementara. Antibodi monoklonal mungkin bermanfaat pada penyakit residual yang minimal. IL-2, IL-4 dan IL-6 sedang dalam penelitian. IL-2 telah terbukti membatasi aktivitas secara klinis, namun pada dosis tinggi menimbulkan toksisitas. Penelitian sebelumnya pada tikus mendukung bahwa antisense oligonukleotida spesifik pada IL-10 merupakan stimulator poten pertumbuhan limfosit B neoplastik yang dapat digunakan secara klinis.



Tidak ada Tidak membesar



PR Mengecillhilang > 50%



Hepar ILirnpa Hb



Tidak teraba > IIgrldl



Netrofil



> 1,5x 1 0 ~ 1 ~



Limfosit Trombosit



< 4,O x 1 0 ~ 1 ~ > 100 x lo91L



Aspirasi sumsum tulang Biopsi sumsum tulang



< 30 %



Mengecil > 50% > 11 grldl atau membaik > 50% > 1,5 x 1 0 ~ atau 1~ meningkat > 50% Menurun > 50% > 100 x 1 0 ~ atau 1~ Meningkat > 50%



PD Membesar > 50% atau nodus baru Membesar > 50%



Meningkat > 50%



Tidak ada infiltrasi Residu lymphoid interstisial atau nodul nodul Keterangan: CR=complete respons (remisi lengkap), PR=partial respons (remisi parsial), PD=persistent disease (penyakit menetap ?)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



REFERENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Bynd J.C, Stilgenbauer S, Flinn IW. Chronic lymphocytic leukemia. Hematology 2004: 163-83. Chiorazzi N, Kanti R, Ferrarini M. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Med 2005;352(8):804-15. Chronic Lymphocytic Leukemia Trialist's Collaboration Group. Chemotherapeutic options in CLL : a meta-analysis of the randomized trials. Journal of National Cancer Institute 1999;91(10):861-8. Dyer Martin J.S.. Risk stratification in the treatment of chronic lymphocytic leukemia. Business briefing : North American Pharmacotherapy 2004;2: 1-4. Erlich RB, Ghayee HK, Noga SJ. Chronic lymphocytic leukemia: Will recent major advances lead t o cure ? Oncology 2004:12(12):41-9. Goldin LR, Ishibe N, Sgaenbati M et al. A genome scan of 18 families with CLL. British Journal of Hematology 2003;121:866-73



Guidelines on the diagnosis and management of CLL. British Journal of Hematology 2004; 125:294-3 17. Hyde C, Wake B, Bryan S et al. Fludarabine as second-line therapy for B-CLL : a technology assessment. Health Technology Assesment 2002;6(2). Kalil N, Cheson BD. Chronic lymphocytic leukemia. The oncologist 1994;4:352-69. London Cancer New Drug Group. APCDTC Briefing. Alemtuzumab for the treatment of relaps CLL. March 2004. Mavromatis BH, Cheson BD. Novel therapies for Chronic Lymphocytic Leukemia. Blood (Reviews) 2004: 18;137-48. Rai KR, Kalra J. Chronic lymphocytic leukemia. In : Brain C, Carbone PP. Current Therapy in Hematology-Oncology. Fifth edition. Mosby Co 1995.p.251-4. Recent advances of Clinical aspects and treatment of CLL.2004. Rozman C, Montserrat E. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J Med 1995;333(16):1052-57.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MIELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN Mediarty Syahrir



PENDAHULUAN Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplasma monoklonal yang berkembang dari lini sel B; terdiri dari nlieloma multipel (MM), makroglobulinemia Waldemstrom's, amiloidosis primer dan penyakit rantai berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak nama antara lain adalah gamopatia monoklonal, paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan disproteinemia. Penyakit ini biasanya disertai produksi imunoglobulin atau fragmen-fragmennya dengan satu penanda idiotipik, yang ditentukan oleh regio variabel identik dalam rantai ringan dan berat. Istilah paraprotein, protein monoklonal atu komponen M, menunjukkan adanya komponen yang elektroforetik homogen ini dalarn serum dan urin. Paraprotein dapat merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya tipe IgG atau ZgA, jarang juga tipe IgD atau IgE. Dalam kira-kira 20% kasus oleh sel plasma neoplastik hanya diproduksi rantai ringan lambda atau kappa. Rantai ringan ini oleh ginjal cepat disekresi dan karena itu terutama dapat ditunjukkan dalam urin (Protein Bence Jones). Klasifikasi penyakit yang disertai adanya paraprotein dalam serum atau urin terdapat pada tabel 1. Penyebab terbanyak para protein serum adalah gamopatia monoklonal esensial: ditemukannya secara kebetulan para protein serum pada orang yang betapapun sehat . Gamopatia monoklonal esensial disebut juga gamopatia monoklonal benigna, MGUS (monoclonal gammopathy of undetermined signzjicance). Ekspansi tidak terkontrol atau maligna klon sel yang memproduksi para protein, seperti mieloma multipel, berakibat kenaikan konsentrasi paraprotein, terjadinya tumor-tumor limfoplasmaseluler, destruksi tulang, insufisiensi sumsum tulang dan lain-lain gejala penyakit.



Penyakit Mieloma multipel adalah keganasan sel B dari sel plasma neoplastik yang memproduksi protein immunoglobulin monoklonal. Walaupun masih kontroversial dikatakan bahwa semua kasus Mieloma multipel berkembang dari gammopatia monoklonal esensial atau MGUS. Prognosis sangat bergantung pada kadar serum b2-mikroglobulin dan C-reaktif protein, serta sel plasma labelling indeks.



Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu proses multi langkah. Faktor genetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri. Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1,13(13q-) dan 14 (14q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasipada kromosom ini telah terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q dan cmyc-gen dan bcl- 1-gen, yang berhubungan dengan t(l1; 14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit' ini. Pertumbuhan dan diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Tabel 1).



Ras Afrika-Amerika Laki-laki Usia tua Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS) Rangsangan imun kronik Paparan radiasi Paparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida, industri cat, metal, kayu, kulit, tekstil, asbestos, bensin dan pelarut Predisposisi qenetik



Mieloma multipel ditandai oleh lesi litik tulang, penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang, dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urin. Manifestasi klinis dari MM heterogen oleh karena adanya masa tumor, produksi immunoglobulin monoklonal, penurunan sekresi immunoglobulin oleh sel plasma normal yang mengakibatkan terjadinya hipogammaglobulinemia, gangguan hematopoisis dan penyakit osteolitik pada tulang, hiperkalsemia dan d i s h g s i ginjal. Simptom terjadi akibat dari tekanan masa tumor, pelepasan sitokin secara langsung dari tumor atau secara tidak langsung dari sel host (stroma sumsum tulang dan sel-sel tulang) sebagai respon pada adesi sel-sel tumor, dan terakhir oleh karena penyakit-penyakit akibat depososisi protein MM (AL Amiloidosis dan penyakit rantai berat) atau oleh karena kelainan autoimun (Contoh : koagulopati). Epidemiologi Mieloma Multipel Mieloma multipel merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari tumor hematologik. MM merupakan keganasan hematologi tersering yang kedua di Amerika Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun, meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade



ke dua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata 12.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Di Inggris terdapat angka kematian tahunan rata - rata 9 orang perjuta penduduk. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi pada laki-laki orang kulit hitam dibandingkan dengan wanita, dengan kejadian yang lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki pada setiap populasi di Amerika Serikat. Di Poli Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta rata-rata berumur 52 tahun, berkisar dari 15 tahun sampai usia 72 tahun, laki-laki lebih sering dari pada wanita.A Patofisiologi Mieloma Multipel Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan sel plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin. Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating factor/OAF). Pada waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir . loll atau 1012. Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena pengendapan rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung. Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL1-P, limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan netropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya deposit mieloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan: Sedangkamanemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B 12 dan asam folat.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



MIELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAlN



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gambaran Klinis Mieloma Multipel MM hams difikirkan pada pasien di atas 40 tahun dengan anemia yang sulit diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal atau adanya lesi tulang (hanya < 2% penderita MM berusia < 40 tahun. Penderita MM biasanya dengan gejala anemia, nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan ini akibat dari tekanan masa tumor atau sekresi protein atau sitokin oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan spesifik. Kadang-kadang terdapat nyeri lokal bagian-bagian tulang. Panjang tobuh pederita MM yang lanjut dapat banyak menurun karena infraksi vertebra. (i) Nyeri : terutama nyeri tulang tulang karena fraktur kompresi pada tempat osteopenia atau karena lesi litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL-1 P, TNF-P dan atau LI-6. Faktor-faktor inijuga menghambat aktivitas osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga di'sebabkan oleh tekanan tumor pada medulla spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari medulla spinalis. Gejala anemia : letargi, kelemahan, dispnea, pucat, (ii) takhikardia, dst. (iii) Infeksi berulang : ini berkaitan dengan kekurangan produksi antibodi, dan pada penyakit lanjut, karena netropenia (iv) Nefropati : Fungsi ginjal terganggu bila kapasitas absorpsi dari rantai berat haus (lelah) yang akan menyebabkan nefritis interstisiil dengan rantai berat.. Penyebab kedua nefropati adalah hiperkalsemia dengan hiperkalsiuria, yang menyebabkan prerenal azotemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan penimbunan di tubulus renal, yang juga menyebabkan nefritis interstisiil. Penyebab lain gaga1 ginjal pada MM adalah seringnya menggunakan antiinflamasi nonsteroid untuk mengatasi nyeri pada MM (v) Kecenderungan perdarahan abnormal : protein mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan :trombositopenia terdapat pada penyakit lanjut. (vi) Kadang - kadang terdapat makroglossia, "carpal turnel syndrome" dan diare yang disebabkan penyakit amiloid. (vii) "Sindroma hiperviskositas" terjadi pada kurang lebih 10% pasien MM di mana viskositas plasma sudah 4 kali viskositas plasma normal yang menyebabkan kelainan pada sirkulasi sehingga mengakibatkan disfungsi organ serebral, paru, ginjal, mata dan organ-organ lain, biasanya berupa trombosis dengan purpura, perdarahan, kelainan penglihatan, gejala SSP dan neuropati, dan payah jantung. Ini diakibatkan polimerisasi imunoglobin abnormal dan agak khusus terjadi bila ini IgA, IgM atau IgD.



(viii) Neuropati : umumnya disebabkan oleh kompresi pada medulla spinalais atau saraf kepala. Polineuropati dapat terjadi oleh karena adanya endapan amiloid pada perineuronal atau perivaskuler (vasa nervorum), tetapi dapat juga karena osteosklerotik myeloma. Kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom POEM {polineuropati, organomegali, endokrinopati, monoklonal gammopati dan perubahan kulit} Diagnosis Mieloma Multipel Diagnosis MM ditegakkan mulai dari trias diagnostik klasik ( sel plasma, biasanya > 10% + M protein + lesi litik). Pada 98% pasien protein monoklonal ditemukan dalam serum atau urin atau keduanya. Para protein serum adalah IgM pada dua-pertiga, IgA pada satu pertiga, dengan jarang IgM atau IgD atau kasus campuran. Sebab - sebab paraprotein serum lain dimuat pada Tabel 2. Pada kasus yang ragu - rdgu, penyelidikan "follow up" akan menunjukkan kenaikan progresif dalam konsentrasi paraprotein pada mieloma yang tidak diobati. Imunoglobin serum normal (IgG, IgA, dan IgM) ditekan. Urin mengandung protein Bence-Jones pada dua pertiga kasus. Ini terdiri atas rantai ringan bebas, baik kappa atau lambda, dari jenis yang sama dengan paraprotein serum. Akan tetapi, pada 15% kasus proteinuria Bence-Jones ada tanpa paraprotein serum.



-



Gammopati monoclonal benigna Mieloma multipel Makroglobulinemia Limfoma malignum atau leukemia limfositik kronis Penyakit haemaglutinin dingin kronis Jarang dengan karsinoma



Sumsum tulang memperlihatkan sel plasma meningkat (> 10% dan biasanya lebih dari 30%), sering dengan bentuk



abnormal - "sel mieloma". Pengujian imunologis menunjukkan sel - sel ini bersifat monoklonal serum. Penelitian tulang rangka (skeletal survey) memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (20%). Fraktur patologis biasa terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 20% pasien. Biasanya paling sedikit dua atau tiga sifat diagnostik yang tersebut diatas ditemukan, seperti pada Tabel 3. Laboratorium Mieloma Multipel (i) Biasanya ada anemia normokrom normositik atau makrositik. Pembentukan "rouleaux" menonjol pada sebagian besar kasus (gambar 4). Neutropenia dan trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal narnpak dalam filem darah pada 15%



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI a. Serum protein electrophoresis



I b. Lesi multipel Iitii pada tengkorak I



Gambar 1. Serum protein elektroforese (a) dan l e s ~multipel litik (punch out) pada tengkorak pada Multipel Mieloma (b)



I Tabel 3. Kriteria Diagnostik Kelainan Sel Plasma M~eloma Mult~pel(MM)



Monoclonal gammopathy of unndetermrned srgnlficance (MGUS)



Kriteria Mayor : I Plasmas~tomapada blopsl janngan II Sel Plasma sumsum tulang >30% Ill M proteln lgG > 35g/dl, IgA >20g/dl, kappa atau lambda ranta~ rlngan pada elektroforese unn Kriteria Minor A Sel Plasma sumsum tulang 10% 30% B. M proteln pada serum dan urln (kadar leb~hkeal dan Ill) C Les~Ilt~kpada tulang D Normal res~duallgG < 500mglL, IgA c IgIL, atau IgG



Ca ++



roteinKomplek reseptor- Ca ++



Gambar 3. Reaksi biokimiawi di dalam sel trombosit, Bick RL,



2002



Peranan P r o s t a g l a n d i n dan D e r i f a t Prostaglandin Membran fosfolipid trombosit maupun sel endotel diubah menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipaseA2(PLA2) yang diaktifkan oleh trombin maupun kolagen. Asam arakidonat diubah menjadi prostaglandin G2(PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim siklo-oksigenase. Pada membran trombosit, tromboksan sintetase mengubah PGH2 menjadi tromboksan A2, suatu agen agregasi yang poten. Selain itu, tromboksan A2 juga berfungsi sebagai



vasokonstriktor yang poten. Pada sel endotel dan jaringan subendotel, prostasiklin sintetase mengubah PGH2 menjadi prostasiklin, suatu inhibitor agregasi dan vasodilator yang poten. Aspirin dan sulfinpirazon, merupakan antitrombosit yang berfungsi menghambat enzim siklooksigenase. Kedua antitrombosit ini bersifat selektif, dimana 70% aktivitas diarahkan ke trombosit, dan hanya sekitar 30% diarahkan ke sel endotel. Hal ini yang memungkinan sel endotel mampu melanjutkan sintesa prostaglandin, sedangkan trombosit tidak. Adenilat siklase adalah enzim yang mengubah ATP menjadi AMP siklik. Tromboksan A2 merupakan inhibitor adenilat siklase yang poten, dan sebaliknya, prostasiklin merupakan stimulator adenilat siklase yang poten. Predisposisi terjadinya trombosis atau perdarahan tergantung konsentrasi relatif ke dua senyawa tersebut. Interaksi trombosit dengan pembuluh darah (adhesi), atau dengan trombosit yang lain (agregasi), serta dengan protein plasma terjadi pada permukaan membran trombosit dengan mediator glikoprotein yang terdapat pada membran trombosit. Glikoprotein IaIIIa merupakan salah satu reseptor adhesi dari trombosit (integrin). Peranan GPIahIa untuk adhesi trombosit kurang dominan, terbukti bahwa kelainan kongenital, dimana tidak didapatkan GPIaAIa, tidak mengakibatkan timbulnya perdarahan yang berarti. GPTbhX-Vdan GPIIbAIIamempunyai peranan yangjauh lebih penting. GPIbLX-V merupakan faktor adhesi yang utama, sedangkan GPIIbIIIIa merupakan mediator agregasi yang sangat penting. Pada sindrom Bernard-Soulier, tidak ditemukan GPIb dan GPIX. GPIb mempunyai beberapa fungsi: (i) kompleks GPIbJIX berfungsi sebagai reseptor untuk faktor vW (pada respon terhadap injuri, terjadi adhesi trombosit pada subendotel melalui ikatan GPIbJIX dan faktor vW); (ii) sebagai reseptor untuk antibodi yang tergantung kinin dan kinidin, seperti yang terjadi pada trombositopeniaakibat kinin atau kinidin; (iii) berfungsi sebagai bagian dari komplek reseptor-trombin dari trombosit. GPV sangat penting dalam pengaktifan trombosit oleh trombin. Komplek GP IIbAIIa terdapat pada granula a maupun pada membran trombosit. Keduanya merupakan subunit dari suatu glikoprotein tunggal. GPIIb merupakan protein yang dalam fungsinya sangat tergantung ion kalsiurn. Pada trombastenia Glanzman, GP IIbAIIa tidak ada atau dalam keadaan menurun. GP IIbAIIa merupakan reseptor fibrinogen, dan juga berfungsi sebagai tempat ikatan antibodi PLAI. Ikatan fibrinogen pada IIbIIIIa diperlukan untuk agregasi trombosit yang optimal yang diinduksi oleh ADP. GPIIbIIIIa juga terikat pada faktor vW dan fibronektin.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR HEMOSTASIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI FUNGSI PROTEIN PLASMA



Membran Fosfolipid FosfolipaseA, Asam arakidonat



'



Asa ~ulfinirazon



Prostasiklin sintetase



-A 4



Prostasiklin



/x ' Hambatan agregasl



/



Peroksidase -Tromboksan sintetase TromboksanA,



/



>gregasi A2 Vasokonstriksi



Vasodilatasi



Gambar 4. Prostaglandin dalam fungsi trombosit dan sel endotel (Bick RL, 2002)



Glikoprotein la



Ib Ila Ilb



Fungsi Reseptor untuk subendotel yang tidak tergantung F.vW Reseptor F.vW Reseptor vW dan fibrinogen



llla



Reseptor vW dan fibrinogen



V



Reseptor untuk trombin Reseptor trornbin



IX



Karakteristik



Pada sindrorn BernardSoulier, GP Ib tidak terdapat Pada trombastenia Glanzrnann, GP Ilb tidak terdapat Pada trornbastenia Glanzrnann, GP llla tidak terdapat Pada sindrorn BernardSoulier, GPV tidak terdapat Pada sindrom BernardSoulier, GPlX tidak terdapat



(7)



Nomor faktor I II Ill



v



VII VlllC IX X XI XI I Xlll Fitzgerald Fletcher



Nama



Bentuk aktif



Fibrinogen Protrombin Faktor jaringan Proaselerin Prokonvertin Faktor antihemofili Faktor Christmas Faktor Stuart-Prower Plasma thromboplastin antecedent Faktor Hageman Faktor yang rnenstabilkan fibrin Kininogen berat molekul tinggi Prekalikrein



Fibrin Protease serin Reseptorlkofaktor Kofaktor Protease serin Kofaktor Protease serin Protease serin Protease serin Protease serin Transglutarninase Kofaktor Protease serin



Fungsi protein plasma dalam hemostasis meliputi berbagai sistem: protein koagulasi enzim fibrinolisis inhibitor komplemen kinin Pembentukan kinin dan pengaktifan komplemen dianggap tidak penting dalam kelainan trombohemoragik.



Protein Koagulasi Protein koagulan, lebih sering ditulis dalam huruf Romawi, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai angka Romawi. Pembentukan fibrin, bisa digambarkan terdiri atas empat reaksi kunci yakni: pembentukan F.IXa (pengaktifan lewat sistem kontak) pembentukan F.Xa pembentukan trombin (F.IIa) pembentukan fibrin Konsep ini sangat membantu dalam memahami sistem koagulasi. Pembentukan faktor IXa, Pengaktifan lewat kontak dari jalur intrinsik diawali dengan pengaktifan faktor XI1 (faktor Hageman). Fosfolipid, kolagen, kolagen subendotel, dan kalikrein mampu mengubah EX11 menjadi F.XIIa (a:aktif). F.XIIa, merupakan serin protease, yang kemudian mengubah F.XI menjadi F.XIa. Reaksi ini akan terjadi cepat bila terdapat kininogen dengan berat molekul tinggi (highmolecular-weight kininogen), namun bila tidak ada akan terjadi lambat. F.XIa, bersama ion kalsium mengubah F.IX menjadi F.IXa. F.Ma merupakan enzim yang berfimgsi untuk pembentukan F.Xa. Perlu ditambahkan bahwa F.XIIa sendiri dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga dapat mengubah lebih banyak F.XII menjadi F.XIIa. Pembentukan faktor Xa. Pembentukan F.Xa melibatkan dua jalur utama, intrinsik dan ekstrinsik. Jalur ekstrinsik melibatkan tromboplastin (faktorjaringan, tissuefactor, TF), F.VII, dan ion kalsium. Faktor jaringan terdiri atas protein yang terikat pada membran lipoprotein, berada dalam kondisi terproteksi pada membran sel endotel. Bila terjadi injuri, faktorjaringan dilepas dalam sirkulasi,bersama ion kalsium membentuk kompleks dengan F.W menjadi TFIF.W a . F.VIIa ini kemudian mengaktifkan FIX maupun FX. Pengaktifan FX (menjadi F.Xa) mengakibatkan pembentukan trombin dalam jumlah kecil. Trombin yang terbentuk ini akan meningkatkan proses koagulasi dengan mengaktifkan kofaktor V dan VIII. Jalur amplifikasi yang melibatkan faktor VIII dan faktor IX dapat dianggap sebagai suatu peranan yang dominan dalam meningkatkan produksi faktor Xa. Trombin juga dapat mengaktifkan faktor XI, yang dapat meningkatkan produksi faktor IXa.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



-............... --................-. ~



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Peran kofaktor dalarn ha1 ini untuk menjamin bahwa hanya enzim dan substrat yang tepat yang akan m a s k dalam komplek pembentukan. Sebagai contoh, adanya faktor V memungkinkan F.Xa bereaksi dengan F.11. Pembentukan F.Xa dan trombin tergantung pada beberapa faktor yang tergantung vitamin K (faktor 11, VII, IX, dan X). Faktorfaktor ini disintesis dalam parenkim sel hepar.



~



Sistem kontak XII, PK, HK



i



XI



....Xlla



Sistem F. Jaringan IXa + Vill



Protrombin



4



Va-"e Trombin c..........



Fibrinogen



\+ Fibrin -h



D-dimer



Gambar 5. Kaskade koagulasi.Van Gorp ECM, 1999 (dengan rnodifikasi). PK, prekalikrein; HK, kininogen berat rnolekul tinggi; TF, faktor jaringan; TFPI, inhibitor jalur faktor jaringan; AT, anti trombin; TAT, kornplek trombin-anti trornbin; PCa, protein C aktif; F1+2, fragrnen protrombin 1+2; D-dimer, produk pemecahan fibrin; FPA, fibrinopeptid A;



Pembentukan F.Xa lewat jalur intrinsik membutuhkan lima komponen: substrat (EX), enzim (F.IXa), kofaktor (F.VIII:C), permukaan (faktor trombosit 3), ion kalsium. Faktor jaringan dan inhibitor jalur faktor jaringan (tissuefactorpathway inhibitor, TFPI). Pembentukan F.Xa lewatjalur ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, EVII, ion kalsium, dan TFPI. Faktorjaringan bisa berasal sel endotel, sistem monositlmakrofag, maupun sel ganas. Faktor jaringan akan terbentuk bila terjadi suatu injuri atau rangsangan, misalnya: induksi sitokin (IL-la, TNF a), pengaktifan komplemen, terutarna C5a, lipopolisakarida,dan komplek imun dalam sirkulasi. Faktor jaringan diaktifkan atau dilepas untuk mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa, membentuk komplek dengn F.VII bersama ion kalsium. Komplek TF/F.VIIa mampu mengaktifkanbaik F.X maupun F.IX menjadi F.Xa dan F.IXa. Sebagai tambahan, F.Xa dapat mengubah kompleks TF/F.VII menjadi kompleks TFNIIa, sehingga meningkatkan potensi dalam mengaktifkan F.IX dan F.X. Proses aktivasi yang dimediasi injuri ini dihambat oleh TFPI. Terdapat beberapa sel sebagai sumber TFPI: sel endotel (sumber utama), hepatosit, par-, ginjal, monosit, dan kandung kencing. Pembentukan trombin. Dalam reaksi ini dibutuhkan: substrat (F.119, enzim (F.Xa), kofaktor (F.V), faktor trombosit 3 atau fosfolipid lain, ion kalsium Semua faktor ini membentuk kompleks pada permukaan fosfolipid untuk membentuk trombin, suatu enzim baru.



Pembentukan Fibrin. Trombin melepaskan dua peptida kecil dari fibrinogen, yaitu fibrinopeptid A dan B, dan terbentuklah fibrin monomer. Fibrin monomer berpolimerisasi dengan membentuk agregasi "end to end" dun "side to side ", yang bersifat larut (soluble fibrin), yang larut dalam 5Murea atau asam monoklorasetik 1%. Pembentukan fibrin monomer yang larut disebut polimerisasi 1. Fungsi lain dari trombin yang penting ialah mengaktifkan faktor XI11 menjadi faktor XIIIa. Faktor XIIIa mengubah fibrin yang larut menjadi tidak larut. Peristiwa ini disebut polimerisasi 11. Sistem Fibrinolisis Sistem fibrinolisis berfungsi menghancurkan bekuan fibrin. Plasmin mempunyai afinitas yang sama terhadap fibrin maupun fibrinogen, memecah keduanya menjadi produk degradasi fibridfibrinogen Cfibrin/Jibrinogendegradationproducts,FDP). Plasmin juga memecah F.V, VIII, IX dan XI, hormon adenokortikotropik (ACTH), hormon perturnbuhan, insulin dan masih banyak lagi protein yang lain. Dalam sistem fibrinolisisterdapat dua jalur pengaktifan fisiologik: (i) melibatkan aktivator plasminogen (tissue plasminogen activator, t-PA); (ii) melibatkan F.XIIa (Hageman).F.XIIa mengubah prekalikreinmenjadi kalikrein, selanjutnya kalikrein mengubah plasminogen menjadi palsmin. Di dalam klinik, terdapat beberapa aktivator farmakologik yang sering digunakan untuk trombolisis, misalnya streptokinase, urokinase, t-PA, dan acylplasminogen-streptokinaseactivator complex (APSAC). Urokinase secara langsung mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin, tetapi streptokinase membentuk kompleks streptokinase-plasminogen, selanjutnya komplek ini kemudian mengubah plasminogen menjadi plasmin. Sistem fibrinolisis dimodulasi oleh sejumlah inhibitor: (i) a2-antiplasmin (a2-AP), yang menghambat kerja plasmin; (ii) a2-makroglobulin; (iii) inhibitor aktivator plasminogen, (plasminogen activator inhibitor type 1, PAI- 1 ). PAI- 1 merupakan modulator yang menghambat tPA dan aktivator plasminogen urokinase. Fibrinogen terdiri atas beberapa bagian, A-a dan B-b serta rantai g dengan peptida A dan peptida B. Pada awalnya fibrin dan fibrinogen dipecah menjadi fragmen X. Pemecahan berikutnya menghasilkan fragmen Y dan fragmen D, dan pemecahan terakhir menghasilkan fragmen D (lain) dan fragmen E. Fragmen X, Y, D, dan E secara klinik merupakan FDP yang dapat diukur. Adanya FDP



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR HEMOSTASIS



Faktor Xll



-



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Faktor Xlla



1 /'



PAI-I



a-2Antiplasmin A-ZMakmglobulin



t



Biodegradasi (Faktor V, VII, IX, dll)



i



..



.-..



Fibrino (geno) h i s



Pembentukan FDP . . .



...-..--.



Gambar 6. Fisiologi dari sistern fibrinolisis. Bick RL, 2002. t-PA, tissue plasrninogen activator; PAI-1, plasrninogen activator inhibitor-1



menunjukkan suatu kondisi klinik yang serius, di mana terdapat gangguan polimerisasi fibrin monomer dan fungsi trombosit. Sistem Inhibitor Sistem koagulasi diatur oleh sejumlah inhibitor.Inhibitor ini b e h g s i membatasi reaksi koagulasi yang berlebihan, agar pembentukan fibrin terbatas disekitar daerah yang mengalami injuri saja, untuk mencegah terjadinya kondisi patologi. Beberapa inhibitorpenting dalam sistem koagulasi: antitrombin 111(ATIII),protein C (PC), protein S (PS). ATIII merupakan inhibitor koagulasi fisiologik yang kuat, terdiri atas glikoprotein yang disintesa oleh hepar. ATIII menghambat aktivitas trombin (IIa), F.Xa, dan dalam tingkatan yang lebih rendah juga menghambat ma, XIa, XIIa, dan kalikrein. Fungsi inhibitor ini menjadi semakin kuat dengan adanya heparin. Protein C merupakan zimogen (praenzim), disintesa di hepar, tergantung vitamin K. Protein C diaktifkan oleh trombin bersama dengan ion kalsium dan trombomodulin yang terletak di permukaan sel endotel. PCa selanjutnya akan menghambat F.Va dan F.VIII:C. Aktivitas ini memerlukan permukaan fosfolipid, ion kalsium, dan sangat ditingkatkan oleh protein S. PCa juga bekerja aktif selama terjadi proses fibrinolisis dengan jalan menghambat inhibitor aktivator plasminogen (PAI- I). Protein S, juga disintesa di hepar, tergantung vitamin K. Protein S dalam sirkulasi berfungsi sebagai kofaktor protein C. Hubungan Pengaktifan Komplemen dan Hemostasis Meskipun pengaktifan sistem komplemen tidak termasuk bagian integral dari fisiologi hemostasis, namun



mempunyai peranan penting dalam penyakit trombohemoragik. Sistem komplemen dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mengakibatkan hipotensi dan syok, suatu kejadian yang sering terjadi pada koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation,DIC) dan kelainan trombohemoragik yang lain. Pengaktifan komplemen C8-9 (fase "attack") dapat mengakibatkan lisis osmotik dari eritrosit dan trombosit. Kondisi seperti ini dapat meningkatkan materi prokoagulan, yang akhirnya akan meningkatkan proses koagulasi. Sebagai contoh, lisis eritrosit yang diinduksi komplemen, akan melepas membran fosfolipoprotein maupun ADP, dimana keduanya berfbgsi sebagai prokoagulan. Lisis trombosit akan mengakibatkan pelepasan ADP, yang juga meningkatkan aktivitas koagulasi. Sistem komplemen terdiri atas suatu reaksi seri yang terjadi secara berurutan seperti pada reaksi koagulasi. PengaktifanC 1 sampai C5 disebut fase aktivasi; sedangkan pengaktifan C5 sampai C9 disebut fase "attack". F.XIIa dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein, yang selanjutnya mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin dapat mengaktifkan C 1 atau C3. Aktivasi komplemen yang diinduksi oleh plasmin ini dapat mengakibatkan kondisi klinik yang serius. Hubungan Pengaktifan Kinin dan Koagulasi Kinin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah, syok, serta kerusakan organ. Seperti halnya aktivasi komplemen, pembentukan kinin berpusat pada faktor XII. F.XIIa mengubah prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein mengubah kininogen menjadi kinin. F.XIIa juga diubah menjadi fragmen F.XIIa oleh plasmin. Fragrnen ini juga mengaktikm prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga makin meningkatkan pembentukan kinin.



PEMERIKSAAN PENYARING UNTUK FUNGSI HEMOSTASIS



Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat merupakan: Kelainan pembuluh darah, Trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit, Kelainan koagulasi Sejumlahpemeriksaan sederhanadapat dikerjakan untuk menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen koagulasi dalam hemostasis. Pemeriksaan penyaring ini me1iputi:pemeriksaandarah lengkap (complete blood count, CBC), evaluasi darah apus, waktu perdarahan, waktu protrombin (prothrombin time, PT), activatedpartial thromboplastin time (aPTT), agregasi trombosit. Pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi darah apus.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Trombositopenia sering mempakan penyebab perdarahan abnormal, oleh karena itu pada pasien yang diduga menderita kelainan perdarahan, pertama kali hams dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan apusan darah perifer. Selain untuk memastikan adanya trombositopenia, dari pemeriksaan darah apus dapat menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti misalnya leukemia.



Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Pemeriksaan penyaring meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik dari sistem koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin. Waktu protrombin (PT) mengukur faktor VII, X, V, protrombin dan fibrinogen.Nilai normal 10-14 detik. Nilai PT sering diekspresikan sebagai INR (international normalized ratio). aPTT mengukur faktor VIII, IX, XI, dan XII, selain faktor V, X, protrombin dan fibrinogen. Nilai normal aPTT antara 30-40 detik, Perpanjangan dari PT dan aPTT yang disebabkan karena defisiensi faktor koagulasi dapat dikoreksi dengan penambahan plasma normal kedalam plasma yang diperiksa. Apabila tidak dapat dikoreksi atau hanya sebagian terkoreksi, dicurigai kemungkinan adanya inhibitor koagulan. Waktu trombin (thrombin time, TT) cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau adanya hambatan terhadap trombin. Nilai normal antara 14-16 detik. Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Termasuk disini misalnya fibrinogen, faktor vW, dan faktorVIII. Pemeriksaan bisa secara kuantitatif atau dengan cara membandingkan efek koreksi dari plasma yang mengandung kekurangan substrat tertentu yang mempunyai perpanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT), dengan efek koreksi terhadap plasma normal, yang hasilnya dinyatakan dengan persentase aktivitas normal. Waktu perdarahan. Waktu perdarahan berguna untuk pemeriksaan fungsi trombosit abnormal misalnya pada defisiensi faktor vW. Pada trombositopenia, waktu perdarahan juga akan memanjang, namun pada perdarahan abnormal yang disebabkan kelainan pembuluh darah, waktu perdarahan biasanya normal. Pemeriksaan dilakukan dengan cara memberi tekanan pada lengan atas dengan memasang manset tekanan darah. Setelah itu, dibuat insisi kecil pada daerah fleksor lengan bawah. Pada keadaan normal, perdarahan akan berhenti dalam waktu 3-8menit. Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai penting. Tes ini mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma kaya trombosit sebagai agregat trombosit. Agregasi primer berasal dari rangsangan agen eksternal, sedangkan respon sekunder berasal dari agen yang dilepas dari dalam trombosit sendiri. Agen agregasi yang sering digunakan misalnya: ADP, kolagen, ristosetin, asam arakidonat dan



adrenalin. Pemeriksaan Fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan memendeknya euglobulin clot lysis tinze. Beberapa tehnik imunologik digunakan untuk mendeteksi produk degradasi dari fibrin maupun fibrinogen (D-dimer).



Pemeriksaan penyaring Waktu trombin (TT)



Waktu protrornbin (PT) Actifated partial thromboplastin time (aPTT atau PTTK)



Abnormalitas yang ditunjukkan dengan perpanjangan Defisiensi atau abnormal dari fibrinogen Hambatan trombin oleh heparin atau FDP Defisiensi atau harnbatan dari salah satu atau lebih dari faktor koagulasi: VII, X, II, fibrinogen Defisiensi atau hambatan dari salah satu faktor koagulasi: XII, XI, IX, Vlll, X, V, 11, fibrinogen



Penyebab kelainan yang paling sering Koagulasi intravaskular diseminata Terapi heparin Penyakit hepar Terapi warfarin



Hemofilia, Christmas disease



REFERENSI Catalano PM. Coagulation physiology and hemorrhagic disorders. In: Besa EC, Catalano PM, Kant JA, Jefferies LC. Hematology. Baltimore, Williams & Wilkins, 1992.p.223-35. Colman RW, Clowes AW, George JN, Hirsh J, Marder VJ. Overview iof hemostasis. 1n:Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Hemostasis and thrombosis. 4Ih Ed.Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001.p.3-16. Bick RL, Murano G. Physiology of thrombosis. In: Bick RL. Disorders of thrombosis & hemostasis. 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002.p.1-29. Griffin J. Immunology and Haemat0logy.2"~Ed. London: Elsevier Science, 2003.p. 1 15-29. Hillman RS, Ault KA. Hematology in clinical practice. 3rd Ed. New York. McGraw-Hill. 2002.p.301-15. Hoffbrand AV, Pettitt JE, Moss PAH. Hematology. 4Ih Ed. London. Blackwell, 2001 :236-49. Martinez J, Garcia-Manero G. Principles of Hemostasis and thrombosis. In: Spandorfer J, Konkle B, Merli GJ. Management and prevention of thrombosis in primary care. New York. Oxford University Press, 2001 .p. 1-13, ' van Gorp ECM, Suharti C, ten Cate H, Dolmans WMV, van der Meer JWM, ten Cate JW,et al. Infectious disease and coagulation disorders. JID 1999; 180: 176-86. Van Gorp ECM, Minnema MC, Suharti C, Mairuhu ATA, Brandjes DPM, ten Cate H, Hack CE, Meijers JCM. Activation of coagulation factor XI, without detectable contact activation in dengue hemorrhagic fever. BJ Haematol 200 1 ;113:94-9.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PATOGENESIS TROMBOSIS Karmel L. Tambunan



PENDAHULUAN



menghubungkan trombosit yang berdekatan satu lain dan kemudian terjadi agregasi trombosit dan membentuk plak trombosit yang menutup 1ukdtrauma.Sumbatan bersifat sementara (temporer). Proses ini kemudian diikuti proses hemostasis sekunder (Gambar 1 dan Gambar 2).



Untuk dapat memahami trombosis, pengetahuan mengenai dasar-dasar hemostasis sangat diperlukan. Dalam keadaan normal, darah berada dalam sistim pembuluh darah, dan berbentuk cair. Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor hemostasis yang terdiri dari hemostasis primer, hemostasis sekunder.dan hemostasis tersier. Hemostasis primer terdiri dari trombosit dan pembuluh darah. Disebut hemostasis primer karena yang pertama terlibat dalam proses penghentian perdarahan bila terjadi luka atau trauma.Hemostasis primer dimulai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan pembentukan trombosit plak menutup luka dan menghentikan perdarahan. Vasokonstriksi menyebabkan aliran darah menjadi lebih lambat pada daerah yang luka atau trauma. Keadaan ini akan mempermudah trombosis pada reseptor trombosis Gp I b menempel pada subendotel pembuluh darah (adhesi) dengan perantaraan faktor von Willebrand. Trombosit yang teraktivasi ini menyebabkan reseptor trombosit Gp IIb/IIIa siap menerima ligan fibrinogen dan fibrinogen



Gambar 1. Hernostasis sepintas



FII



Agrsgasl Trombostt



Trornbomodulln



-



k l a k iismostat~k



-+



1-



F~bnnollsls Anttplasmln Mtgrasldan prol~ferastsel



Rekanal~sas~



Sembuh



Gambar 2. Hemostasis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1301



1302



HEMATOLOCI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hemostasis sekunder terdiri dari faktor pembekuan dan anti pembekuan. Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik.Jalur ekstrinsik yaitu jaringan yang terlepas terikat pada FVII dan menyebabkan FVII menjadi aktif .F.VIla. mengaktifkan F.X menjadi F.xa. dan besama F.V dan PF3 membentuk kompleks protrombinase Selain mengaktifkan FX, FVIIa juga mengaktifkan F.IX menjadi F.IXa dalani jalur intrinsik. Kompleks protrombinase akan mengaktifkan protrombin menjadi trombin dan trombin akan memecahkan fibrinogen menjadi fibrin.Fibrin akan menggantikan sumbat trombosit sampai terjadi penyembuhan luka. Migrasi dan proliferasi sel terjadi pada jaringan yang rusak untuk penyembuhan luka. Hemostasis tersier yaitu sistem fibrinolisis akan diaktifkan dan menyebabkan lisis dari fibrin dan endotel menjadi utuh. Pada umumnya proses penyembuhan berlangsung dalam waktu 14 hari. Kelainan hemostasis menyebabkan perdarahan atau trombosis (Gambar 3). Pada uraian berikutnya yang akan dibahas adalah trombosis. Trornbosis yaitu proses pembentukan trombus atau adanya trombus dalam pembuluh darah atau ruang jantung .Trombosis dapat terjadi pada arteri dan vena Trombosis pada arteri disebut trombus putih karena . komposisinya selain fibrin didominasi oleh trombosit. Berbeda dengan trombus pada vena disebut trombus merah karena komposisinya selain fibrin didominasi oleh sel darah merah.



Hemostasis



L



PATOGENESIS TROMBOSIS



Patogenesis trombosis arteri dan vena berbcda. Selain dari fakbr aliran darah,faktor risiko dan pembuluh darah sendiri turut berperanan. Oleh karenanya patogenesis masing masing akan dibisarakan tersendiri. Misalnya akibat perbedaan aliran darah, pada pembentukan trombus vena tidak dibutuhkan faktor von Willebrand sebaliknya pada trombus arteri. Trornbosis terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara yang merangsang trombosis dan yang mencegah trombosis.



Patogenesis Trornbosis



Mekanisme Proteksi Stirnulasi Trombogenik



Gambar 4. Patogenesis trornbosis



Trombosis



1r



%:y+-l!



yang berlebihan Trombogenik



Mekanisme protekst



k



Normal Trornbosit teqadi



i



I I



proteksi



Gambar 5. Keseimbangan stimulasi dan proteksi trombosis Trombosis Arteri Faktor merangsang atau faktor risiko trombosis, yaitu: Endotel pembuluh darah yang tidak utuh. Endotel pembuluh darah yang utuh akan rnencegah trombosit menempel pada endotel pembuluh darah. Sebaliknya pembuluh darah yang terganggu atau tidak utuli merupakan faktor risiko trombosis. Sel endotel akan kehilangan kernampuan rnencegah trombosis bila distimulasi oleh enzim seperti trombin,hipoksia, sllear stres, oksidan, sitokin seperti interleukin-1 (1L- I), faktor nekrosis tumor (TNF), dan interferon gamma, hormon sintetik seperti desrnopresin asetat, dan endotoksin. lnduksi sintesis plu.\niit~ogen ~ktivutorinhibitor-I (PAI- 1 ) akan menghambat aktivator plasminogen mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin sehingga fibrinolisis berkurang. Trombomodulin yang terikat pada pennukaan endotel juga akan berkurang oleh sitokin dan endotoksin yang menyebabkan aktivrlsi protein C terganggu. Semuanya ini akan tnenyebabkan kecenderungan untuk terjadi trombosis (Gambar 6 ) . Trombosit yang teraktivasi. Trombosit yang aktif rnenyebabkan reseptor G p Ilb/IIIa menerima ligan fibrinogen dan fibrinogen akan menghubungkan trornbosit yang berdekatan satu sama lain dan terjadi agregasi trornbosit. Defisiensi antipembekuan. Terdapat antipembekuan alamiah di dalam tubuh yaitu Antitrornbin 111 (ATIII),



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1303



PATOGENESIS TROMBOSIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI -



Stres Bakteri Endotoksin hemodinamik dan



Sitokin



Kolesterol



Gambar 6. Faktor yang merusak endotel



Protein C, Protein S dan makroglobulin alfa 2. Defisiensi antipembekuan akan menyebabkan darah cendrung mengalami trombosis yang disebut trombofilia.Bedakan dengan hemofilia yang cenderung mengalami perdarahan. Klirens faktor pembekuan aktif berkurang. Faktor pembekuan aktif dibersihkan di dalam tubuh sehingga jumlahnya berkurang dan proses aktavasi koagulasi akan berkurang. Sistem fibrinolisis berkurang. Fibrinolisis yang berkurang akan menyebabkan fibrin yang dibentuk akan terus bertambah dan menyebabkan trombosis. Stagnasi.Aliran darah yang lambat merupakan faktor risiko trombosis.Mekanisme ini dapat dilihat pada trombosis vena. Umurnnya faktor yang mencegah trombosis merupakan kebalikan dari yang menstimulasi trombosis, antara lain: Endotel yang Utuh. Sebagaimana sudah disebut sebelumnya, endotel yang utuh merupakan faktor yang mencegah melengketnya trombosit pada subendotel.



liblllla tidak aktif



Endotel yang utuh mensekresi berbagai zat yang berperan menghambat trombosis. Endotel mensekresi prostasikilin, nitrit oxide (NO), trombomodulin, enzim adenosin difosfat (ADP), heparan dan tissueplasminogen activator (t-PA) dan urokinase plasminogen aktivator (u-PA). Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan menghambat. agregasi trombosit. NO juga menyebabkan vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. Enzim ADP akan mengubah ADP menjadi adenosin monofosfat (AMP) sehingga menghambat aktivasi trombosit. Trombomodulin bersama trombosit akan mengaktifkan Protein C menjadi Protein C aktif .Protein C aktif bersama kofaktor Protein S akan menghambat F.V aktif dan F.VIII aktif. Heparan bersama AT 111 akan menghambat faktor Xa dan trombin. t-PA akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan plasmin akan melisis fibrin. Endotel juga mensintesis endotelin yang mengatur tonus pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi (Gambar 8). Trombosit normal. Trombosit tidak akan menempel pada sel endotel yang normal; Anti pembekuan yank cukup. Antikoagulan yang cukup akan menghambat proses koagulasi sehingga tidak terjadi pembentukan fibrin. Klirens faktor pembekuan aktif yang adekuat. Klirens faktor koagulasi aktif akan mengurangi terjadinya pembentukan fibrin Fibrinolisis yang adekuat. Fibrinolisis yang adekuat akan menghancurkan fibrin yang sudah ada sehinggatidak terjadi pembentukan trombus. Aliran darah yang baik. Aliran darahyang baik akan mudah bercampurnya antikoagulasi dan faktor koagulasi aktif sehingga proses koagulasi akan terhambat.



GPllb/llla aktif beragregas~GP liblllla ditempati fibrinogen yang rnenjembatani trombosit yang berdekatan



Gambar 7. Agregasi trombosit



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Menghancurkan Va



( Trornbin Epmefrin



llT'Ty



Protein S\



1(



1I



Trornbornolud~n



Heparan



Aktivator plasrninogen (tPA) (@A)



Gambar 8. Endotel dan proteksi trombosis



Faktor lain yang berperanan terhadap trombosis arteri yaitu: aterotrombosis. Faktor risiko aterotrombosis dapat digolongkan sebagai: Umum yaitu umur dan obesitas Genetik,jenis kelamin, dan PA1 Gaya hidup, rokok, diet d m kurang olahraga Inflarnasi,CRP dan ligan CD 40, IL-6 meningkat, faktor protrombotik dan fibrinogen meningkat Kondisi sistemik, hipertensi, hiperlipidemia, Lpa meningkat, homosisteinemia, estrogen, diabetes, trombofilia, sidrom hiperviskositas, sindrom leukositosis dan polisitemia Faktor lokal, pola aliran darah, shear stress, diameter pembuluh darah, struktur dinding arteri dan persentase. stenosis arteri. Gejala trombosis termasuk trombosis tergantung dari lokasi dan besarnya trombus.Trombosis pada arteri serebral akan mengakibatkan Transient ischemic attack (TIA) atau strok iskemik.Trombosis pada arteri koroner mengakibatkan angina pektoris atau infark miokard. Trombosis pada arteri perifer akan menyebabkan klaudikasio intermiten atau nekrosislgangren. Trom bosis Vena Trombus vena biasanya dimulai di vena betis yang kemudian meluas sampai vena proksimal.Trombus biasanya dibentuk pada daerah aliran darah yang lambat atau yang terganggu.Sering dimulai sebagai deposit kecil pada sinus vena besar di betis pada puncak kantong vena baik di vena dalam betis maupun di paha atau pada vena yang langsung terkena trauma. Pembentukan, perluasan d m pelarutan trombus vena dan emboli paru mencerminkan suatu keseimbangan antara yang menstimulasi trombosis dan yang mencegah trombosis. Virchow lebih dari satu abad yang lalu telah mengemukakan faktor yang berperan pada trombosis vena yang terkenal dengan Triad Erchow yaitu, koagulasi darah, stagnasi dan kerusakan pembuluh darah.



Aktivasi koagulasi melalui jalur instrinsik dapat terjadi karena kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium pembuluh darah yang rusak. Aktivasi melalui jalur intrinsik jaringan yang rusak masuk aliran darah mengaktifkan F.VII. Baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik akhirnya akan membentuk fibrin. Pada penyakit kanker F.X dapat langsung diaktifkan oleh sistein yang dikeluarkan sel kanker. Beberapa kelainan herediter dan kondisi tertentu disertai dengan meningkatnya faktbr koagulasi dan menjadi predisposisi trombosis. Kehamilan disertai dengan meningkatnya F.11, F.VII dan F.X. Golongan darah bukan 0 pada sebagian populasi disertai dengan meningkatnya F.VII1. Mutasi gen protrombin menyebabkan meningkatnya kadar protrombin. Mutasi gen protrombin ini terjadi 1-4% pada populasi kaukasian normal dan ditemukan 4- 18% pasien dengan Tromboemboli Vena. Tetapi ha1 serupa jarang ditemukan pada populasi Asia dan Afrika. Stasis merupakan predisposisi trombosis karena: mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah yang tidak aktif, mencegah klirens faktor kpagulasi aktif mencegah bercampumya faktor koagulasi aktif dengan penghambatnya Stasis dapat diakibatkan oleh imobilitas, obstruksi vena dilatasi vena d m meningkatnya viskositas darah. Imobilitas dapat diakibatkan strok, atau berbaring lama. Obstruksi dapat karena kompresi dari luar atau sekunder karena trombosis vena sebelumnya. Viskositas darah meningkat karena polisitemia, disproteinemia dan fibrinogen yang meningkat. Vasodilatasi vena terjadi pada pasien vena varikosa, orang tua terutama kalau berbaring lama, kehamilan dan estrogen. Pembuluh Darah Rusak Trauma pada pasien merupakan faktor risiko tromboemboli vena. Trauma pada pembuluh darah menyebabkan kerusakan endotel sebagai respon terhadap trauma dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PATOGENESISTROMBOSIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



inflamasi akan diproduksi sitokin. Sitokin akan menstimulasi sintesis PAI-1 dan menyebabkan sistem fibrinolisis. berkurang. Aktivasi koagulasi dapat terjadi melalui jalur instrinsik yaitu terjadi kontak EX11 dengan kolagen pada subendotelium, atau melalui jalur ekstrinsik yaitu tromboplastin masuk dalam darah akibat kerusakan sel. Aktivasi koagulasi baik melalui jalur instrinsik maupun melalui ekstrinsikkeduanya akan mengaktifkan EX menjadi F.X aktif dan selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya fibrin. Kerusakan endotel vena juga menyebabkan trombosit menempel pada subendotelial dan trombosit beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit. Kolagen akan mengaktifkan F.XII, sedang trombosit mengaktifkan EX11 dan F.XI.



FAKTOR RlSlKO TROMBOSIS



Berdasarkan data-data yang ditemukan faktor risiko trombosis: operasi besar, operasi ortopedi, trauma, kehamilan dan nifas, penyakit jantung, penyakit saraf, kanker dan kemoterapi pada penyakit kanker, umur, obesitas, jenis kelamin, varicose vena, riwayat tromboemboli vena, imobilisasi yang lama, golongan darah, terapi hormon, lainlain. Operasi Operasi disertai dengan faktor risiko yang multipel untuk tromboemboli vena (VTE), prevalens meningkat dengan meningkatnya umur. Pemakaian profilaksis untuk risiko VTE menurunkan angka kejadian VTE pada pasien yang mengalami operasi. Pada operasi ortopedi rata-rata trombosis vena dalam (DVT) terjadi pada 50% pasien. Kehamilan Keharnilan juga dilaporkan menyebabkan meningkatnya risiko trombosis karena meningkatnya faktor-faktor koagulasi, F 11, F VII dan F X. karena menurunnya kadar Protein S dan terhambatnya sistim fibrinolisis.



mengalami trombosis vena dalam. Pada 2 studi strok internasional, dari 4859 pasien ditemukan 0,9% dengan gejala emboli paru dalam 14 hari dari mulai terjadinya strok iskemik dan hampir separuhnya fatal. Pada studi strok akut di Cina dari 10320 pasien, 0,2% di diagnosis dengan gejala emboli paru dalam waktu empat minggu sesudah kejadian strok iskemik dan separuhnya fatal.



KeganasanlKan ker Dilaporkan bahwa keganasan merupakan faktor risiko untuk tromboemboli vena (VTE) yang menjalani operasi. Tetapi ternyata pada pasien yang tidak menjalani operasi ditemukan VTE dan ada hubungannya dengan keganasan tadi. Pasien dengan keganasan mempunyai risiko 3kali terjadinya VTE. Hal ini karena sel kanker dapat mengeluarkan prokoagulan yang mengaktifkan koagulasi. Kanker sendiri dapat menyebabkan penekanan pembuluh darah vena. Bahkan pasien kanker yang mendapat kemoterapi akan meningkatkan terjadinya VTE. Umur Umur lanjut disertai dengan peningkatan insiden dari tromboemboli vena (VTE). Berdasarkan hasil autopsi di satu rumah sakit ditemukan insidens emboli paru rendah lebih pada pasien lebih mudah dari 40 tahun, tetapi kemudian insidens meningkat secara tajam dengan kenaikan umur. Survei lain autopsi dilakukan pada orang yang mati karena terbakar dan luka, ditemukan pada trombosis vena pada 47% pasien yang lebih muda dari 45 tahun, 62% pada pasien umur 46-75 tahun dan 74 % pada umur di atas lebih 75 tahun. Penelitian pada pasien pascaoperasi di rumah sakit dilakukan scanning kaki untuk mendiagnosis DVT tanpa gejala menunjukkan meningkatnya umur menjadi faktor risiko yang utama. Umur juga menunjukkan meningkatnya DVT yang tanpa gejala yang diagnosis ditegakkan dengan venografi pada pasien sesudah mengalami hip replacement. Apabila dilakukan analisis multivariat sesudah disesuaikan dengan faktor risiko yang menyertai seperti obesitas, ada atau tidak ada keganasan, lama anestesi, jenis operasi, dan sebelumnya ada trombosis menunjukkan tetap ada asosiasi dengan umur.



Penyakit Jantung Infark miokard dilaporkan meningkatkan kejadian DVT 2040% selama 10- 14 hari sesudah infark miokard. Penyakit gagal jantung kongestif pada otopsi ditemukan insiden emboli paru meningkat. Pada 150 pasien dengan gagal jantung kongestif 10 dari 20 pasien yang meninggal dan diotopsi 5 diantaranya ditemukan emboli paru. Gagal jantung kongestif ditemukan menjadi faktor risiko independen untuk VTE.



Obesitas Obesitas dilaporkanjuga merupakan faktor risiko terjadinya trombosis. Obesitas dengan indeks masa tubuh >20,9 kg/ mm2ditemukan menjadi faktor risiko independen (RR 3,O untuk pulmonari yang bergejala dalam suatu kesehatan perawatan)



Penyakit Neurologi Dari 8 studi strok secara keseluruhan ditemukan 53 % pasien



Jenis Kelamin Tiga studi melaporkan bahwa jenis kelamin perempuan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUKREFERENSI dr. PRIYO PANJI



dapat menjadi faktor risiko independen yang lemah. Di Amerika insidens tromboemboli vena bergejala umumnya diturunkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Di Swedia, insidens trombosis vena dalam pada laki-laki dan perempuan hampir sama. Namun demikian di inggris, kematian akibat emboli paru 50% lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dan insiden VTE yang bergejala umumnya ditemukan lebih tinggi lakilaki daripada perempuan di Amerika Utara.



Riwayat VTE Riwayat pernah tromboeboli vena (VTE) menunjukkan hubungan yang sangat kuat dengan meningkatnya trombosis vena dalam (DVT) pascaoperasi. Dari 3 studi dan analisis multvariat ditemukan riwayat positif DVT merupakan faktor risiko independen. lmobilisasi Studi percobaan menunjukkan stasis vena merupakan faktor penting dalam pembentukan trombus vena .Gibbs melaporkan dari hasil autopsi 253 pasien ditemukan adanya hubungan antara lamanya berbaring dan kejadian trombosis vena . Kejadian trombosis vena pada pasien yang berbaring kurang dari satu minggu, ditemukan hanya 15%, sedangkan pada pasien yang berbaring lebih dari satu minggu kejadian lebih dari 80%. Sindrom klas ekonomi pada mereka yang naik pesawat terbang lebih dari 6 jam juga disebut sebagai faktor risiko trombosis vena. Gol Darah Ditemukan hubungan negatif antara golongan darah 0 dan VTE. Golongan darah 0 menunjukkan kejadian DVT kurang dibandingkan dengan populasi normal, Swedia 3 1% vs 39%, Belgia 29% vs 46%. Golongan darah bukan 0 disertai dengan meningkatnya kadar F.VIII dan faktor von Willebrand, mungkin sebagai faktor penyebab meningkatnya kejadian VTE. HormonlKontrasepsi oral Estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral potensial menyebabkan trombosis karena menurunkan kadar protein S meningkatkan faktor VII, dan meningkatkan protein C resisten. Meningkatnya faktor risiko VTE dengan kontrasepsi oral ini berhubungan dengan pasien yang mempunyai faktor risiko tambahan misalnya faktor V Leiden.



Brandjes DPM, ten Cate JW, et al. Pre-surgical identification of the patient at risk for developing venous thromboembolism postoperatively. Acta Chir Scand. 1990;556(Suppl): 18-21. Clarke-Pearson DL, DeLong ER et al. Variables associated with postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of 41 1 gynecology patients and creation of a prognostic model. Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50. Clarke-Pearson DL, DeLong ER, et al. Variables associated with postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of 41 1 gynecolog patients and creation of prognostic model. Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50. Colman RW. Clowes AW, George JN. Overview of hemostasis in hemostasis thrombosis. Lippincott Williams Wilkins. 2001. p. 3-16. Eriksson Bl, Ekman S, et al. Prevention of deep vein thrombosis after total hip replacement direct thrombin inhibition with recombinant hirudin, CGP 39393. Lancet. 1996;347;635-9. Eriksson BI, Wille-Jorgensen P, et al. A comparison of recombinant hirudin with a low molecular weight heparin to prevent thromboembolic complications after total hip replacement. N Engl J Med. 1997;337:1329-35. Flordal PA, Bergqvist D, et al. Clinical relevance of the fibrinogen uptake test in patients having general abdominal surgery: relation to major thromboembolism and mortality. Thromb Res. 1995;80:491-7. Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, et al. Overview of thrombosis and treatment in hemostasis thrombosis. Lippincott Williams Wilkins; 2001. p. 1071-84. Kakkar VV, Howe CT, et al. Deep Vein Thrombosis of the leg: Is there a "high risk" group ? Am J Surg. 1970;120:527-30. Kearon C, Salzman EW, Hirsh J. Epidemilogy, pathogenesis and natural history of venous thrombosis Hemostasis Thrombosis. Lippincott Williams Wilkins; 2001. p. 1153-1177. Lefkovits, et al. NEJM. 1995;332:1553. Morrel MT, Dunnil MS. The postmortem incidence of pulmonary embolism in a hospital population. Br J Surg. 1968;55:347. Sevitt S, Gallagher N. Venous thrombosis and pulmonary embolism; a clinico-pathological study in injured and burned patients. Br J Surg. 1961;48:475-89. Veth (3, Meuwissen OJ et al. Prevention of postoperative deep vein thrombosis by a combination of subcutaneous heparin with subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb Haemost. 1985;54:570-3. Veth G, Meuwissen OJ, et al. Prevention of postoperative deep vein thrombosis by a combination of subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb Haemost. 1985;54:5703. Wille-Jorgensen P, Ott P. Predicting failure of low-dose prophylactic heparin in general surgical procedures. Surg Gynecol Obstet. 1990:171:126-30.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



HEMOFILIA A DAN B Linda W.A. Rotty



PENDAHULUAN Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter)secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 2030% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dkngan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun eksogen. Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked recessive yaitu : Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi atau disfimgsi faktor pembekuan VIII (F VIIIc). Hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau dishngsi F IX (faktor Christmas). Sedangkanhemofilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor XI yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35. Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X serta bersifat resesif, maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki (pasienXhY);dapat bermanifestasi klinis pada perempuan bila kedua kromosom X pada perempuan terdapat kelainan (XhXh), Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah yaitu sekitar abad kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19 sejarah modern hemofilia baru dimulai dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan Inggris mengenai penyakit ini oleh Otto (tahun 1803). Sejak itu hemofilia dikenal sebagai kelainan pembekuan darah yang diturunkan secara X-linked recessive, sekitar setengah abad sebelum hukum Mendel diperkenalkan. Selanjutnya Legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan gejala klinis; yaitu berupa kelainan yang diturunkan



dengan kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang berlangsung seumur hidup. Pada permulaan abad 20, hemofilia masih didiagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan gangguan pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950 para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII dan F IX pada hemofilia A dan hemofilia B. Pada tahun 1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya di plasma, yaitu faktor von Willebrand (F vW), sehingga sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan akibat hemofilia A dengan penyakit von Willebrand. Memasuki abad 2 1, pendekatan diagnostik dengan teknologi yang maju serta pemberian faktor koagulasi yang diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan aktivitas seperti orang sehat lainnya tanpa hambatan.



Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofiliaA sekitar 1: 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1: 25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 1015% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga.



Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan (F VIII atau F IX) dalam plasma. Kadar faktor pembekuan normal sekitar 0,5- 1,5 Uldl(50-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



150%); sedangkan pada hemofilia berat bila kadar faktor pembekuan 0,05 (>5)



70



0,Ol-0,05 (1-5) 15



50



30



20



-< 1 tahun



1-2 tahun sering PCB jarang ICB



> 2 tahun tak pernah PCB jarang sekali ICB trauma cukup kuat jarang



sering PCB



Perdarahan ototl sendi Perdarahan SSP



kejadian ICH tanpa trauma risiko tinggi



Perdarahan post operasi



sering dan fatal



trauma ringan risiko sedang butuh bebat



Perdarahan oral (trauma, cabut gigi)



sering terjadi



dapat terjadi



15



pada operasi besar kadang terjadi



Keterangan: PCB = Post circumcisional bleeding; ICH = Intracranial hemorrhage



GEJALA DAN TANDA KLlNlS Perdarahan mempakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktivitas faktor pembekuan). Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutanlintramuskular, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis dan hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi). Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pengelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibandingkan dengan sendi peluru, karena



ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban tersebut karena fungsinya. Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan kontraktur otot. Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian, dapat terjadi spontan atau sesudah trauma. Perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal yang membahayakan jalan napas dapat mengancam kehidupan. Hematuria masif sering ditemukan dan dapat menyebabkan kolik ginjal tetapi tidak mengancam kehidupan. Perdarahan pascaoperasi sering berlanjut selama beberapa jam sampai beberapa hari, yang berhubungan dengan penyembuhan luka yang buruk.



DIAGNOSIS Sampai saat ini riwayat keluarga masih mempakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyandi F VIII / F IX. Seorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan penunjang lainnya. Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostasis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT) dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT), abnormalitas uji thromboplastin generation, dengan masa perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normal. Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya aktivitas F VIIIIF IX, dan jika sarana pemeriksaan sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen F VIIIE IX. Aktivitas F VIII 1F IX dinyatakan dalam U/ ml dengan arti aktivitas faktor pembekuan dalam 1 ml plasma normal adalah 100%.Nilai normal aktivitas F VIIIE IX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150%. Harus diingat adalah membedakan hemofilia A dengan penyakit von Willebrand, dengan melihat rasio F VIIIc: F VIIIag dan aktivitas F vW (uji ristosetin) rendah. (Tabel 2) Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko. Pemeriksaan aktivitas F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester kedua



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HEMOFILIA A DAN B



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Pewarisan



Hemofilia A



Hemofilia B



Penyakit von Willebrand



X-linked recessive Sendi, otot, pascatrauml operasi



Autosomal dominant Mukosa, kulit post trauma operasi



Jumlah trombosit



Normal



X-linked recessive Sendi, otot, post trauma1 operasi Normal



Waktu perdarahan



Normal



Normal



Memanjang



PPT aPTT



Normal Memanjang



Normal Memanjang



F VIII C F VIII AG F IX Tes ristosetin



Rendah Normal Normal Normal



Normal Normal Rendah Normal



Normal Memanjangl normal Rendah Rendah Normal Terganggu



Lokasi perdarahan utama



Normal



Keterangan: PPT: plasma protrombin time, aPTT: activated parfial tromboplastin time



dapat membantu menentukan status janin terhadap kerentanan hemofilia A. Identifikasi gen F VIII dan petanda gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan. Seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat hemofilia (karier)jika dia memiliki lebih dari satu anak lelaki pasien hemofilia atau mempunyai seorang atau lebih saudara laki-laki dan seorang anak lelaki pasien hemofiia atau ayahnya pasien hemofilia (Gambar 1). Deteksi pada hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung rasio aktivitas F VIIIc dengan antigen FVIIIvW. Jika nilai kurang dari 1 memiliki ketepatan dalam menentukan hemofilia karier sekitar 90%; namun hati-hati pada keadaan hamil, memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya penyakit hati karena dapat meningkatkan aktivitas F VIIIc. Aktivitas F VIII rata-rata pada karier 50%, tetapi kadangkadang I 0 if risk factor persistent I0 > I0 >I0



Indefinite Indefinite Indefinite



~



Major transient risk factor Minor risk factor; no thrornbophilia Idiopathic event; no thrornbophilia or low-risk thrornbophilia Idiopathic event; high-risk thrornbophilia More than one idiopathic event Cancer; other ongoing risk factor



Data are from Hirsh and Hoak, Hyers et al., and Kearon.



t Examples of major transient risk factors are major surgery, a major medical illness, and leg casting. Examples of minor transient risk factors are the use of an oral contraceptive and hormone-replacementtherapy. Examples of low-risk thrombophiliasare heterozygosityfor the factor V Leiden and G20210A prothrombin-genemutations. Examples of highrisk thrombophilia are antithrombin, protein C, and protein S deficiencies; homozygosityfor the factor V Leiden or prothrombin-gene mutation or heterozygosityfor both; and the presence of antiphospholipid antibodies. $ Therapy may be prolonged if the patient prefers to prolong it or if the risk of bleeding is low.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Risk Factor t Antithrombin deficiency Protein C deficiency Protein S deficiency Factor V Leiden mutation Heterozygous Homozygous Dysfibrinogenemia Factor V Leiden and G20210A prothrombin-gene mutations Antiphospholipid antibodies Elevated factor Vlll levels Elevated factor IX levels Hv~erhomocvsteinemia



Estimated Prevalence (%)$ 1 3 3



Estimated Relative Risk of Recurrence 1,5-3 13-3 1,5-3 1-4 About 4 NA 2-5



Data are from Kearon, Christiansen et al., Baglin et al., Margaglinone et al., and Kyrle et al. Relative risk are for patients with the risk factor in question, as compared with those without the risk factor. t The definition of deficiency of antithrombin, protein C, or protein S varies; it is usually defined as a functional or immunologic value that is less than the 5thpercentile of values in the control population. $ Prevalence and relative risk depend on the definitions of hyperhomocysteinemia and elevations in levels of factor Vlll and factor IX and on the reference group.



Preparat terbaru, Fondaparinux merupakan pentapeptida yang menghambat faktor Xa. Argatroban dan Lepirudin menghambat langsung fungsi trombin. Preparat-preparat di atas ditujukan kepada pasien dengan masalah heparininduced thrombocytopenia. Pada umumnya, antikoagulan yang digunakan untuk pasien rawat inap, dimulai dengan heparin dan selanjutnya menggunakan warfarin untuk pemeliharaan (tumpang tindih 3 hari dengan heparin). Lama penggunaan tergantung pada penyakit yang mendasarinya, misalnya trombosis vena dalam daerah tungkai, diberikan selama 6 minggu sampai 3 bulan; dan seterusnya. Antifibrinolisis Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase), streptokinase dan urokinase menyebabkan lisisnya bekuan dengan cara mengaktifkan plasmin, yang kemudian mendegradasi fibrin. Indikasi tPA adalah trombosis vena dalam, emboli paru masif, emboli arteri pada ekstremitas, infark miokard akut, dan unstable angina pectoris.



Dosis yang biasa digunakan: t-PA-untuk emboli paru masif (kasus dewasa dengan berat badan > 65 kg) 10 mg, i.v bolus, selama 1-2 menit, dilanjutkan dengan 50 mg, i.v selama 1jam dan 40 mg, i.v duajam berikut (dosis total: 100 mg). Streptokinase-untuk emboli paru, trombosis arteri atau vena dalam: 250.000 IU, iv selama 30 menit, selanjutnya 100.000IU1ja.m selama24jam (untukkasus emboli paru); atau selama 72 jam (untuk kasus trombosis arterilvena dalam). Urokinase-untuk emboli paru 4400 IUkg BB, i.v selama



10 menit, dilanjutkan dengan 4400 IUIkg BBIjam, intravena selama 12jam. Umumnya, terapi antifibrinolisis diikuti dengan antikoagulan heparin. Kontraindikasi terapi ini adalah perdarahan aktif, cerebrovascular accident baru (kurang dari 3 bulan), neoplasma intrakranial, aneurisma serta cedera kepala baru.



An tisg regaol Tram booi Preparat yang biasa digunakan aspirin 60-325 mg,hari) disertai dengan klopidogrel (dosis awal 400 mg, selanjutnya 75 mghari); akan menurunkan angka kejadian trombosis arteri (strok, infark miokard) pada pasien risiko tinggi.



Faktor risiko didapat Trom bosis arteri



Trombosis vena



merokok hipertensi diabetes melitus hiperlipidemia



imobilisasi operasi keganasan sindrom nefritik



kontrasepsioral polisitemia



kontrasepsi oral gagal jantung kongestif sindrom obesitas



hipewiskositas



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Faktor risiko kongenital defisiensi protein C defisiensi protein S defisiensi protein AT Ill resistensi protein C teraktivasi (Faktor V Leiden) Alel protrombin 20210 aktivator plasminogen polirnotfisme inhibitor-1 Peningkatan factor Vlll defek faktor XI1 disfibrinogenemia homosisteinemia



1343



KONDISI HIPERKOAGULABILITAS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Clinical manifestations



Hypercoagulable State



Percentage (%)



-



Livedo retikularis Trombosis vena arterial Keterlibatan SSP Trom bositopenia Aborsi berulang (>2) Anemia hemolitik Ulkus tungkai



49



Risiko relatif dari VTE tunggal sepanjang hidup



Faktor V Leiden Protrombin G20210A Faktor V Leiden dan protrombin G20210A (heterozigot-ganda) Defisiensi protein C Defisiensi protein S Defisiensi antitrombin Hiperhornosisteinemia Lupus anticoagulant Antibodi antikardiolipin



43 5 44 41 26 23 8



2-10 2-6 20.0



11 32



* Risiko relatif variabilitasnya tinggi, tergantung, tergantung Hypercoagulable States



Pasien dengan Populasi Tromboemboli Vena Tunggal



Uzm:



\'-,



Factor V Le~den Prothrornbin G20210A Antithrombin def~ciency Prote~nC deficiency Protein S deficiency



3-7



20



1-3 0.02



6 1



0,244 tidak diketahui Hiperhornosisteinemia 5-10 Antibodi antifosfolipid 0-7 N/A=notreadilv available or unknown



Presentasi tromboemboli vena (VTE) Trombosis vena serebral



Trombosis vena serebral Pada perempuan pengguna pi1 kontrasepsi oral Trombosis vena kava, vena renal, vena mesenterika, dan vena hepatik Tromboflebitis superfisial migratori (Trousseau's syndrome) Tromboflebitis superfisial rekuren Nekrosis kulit warfarin Purpura neonatal fulminal Kehilangan fetal yang tidak dapat dijelaskan (tiga atau lebih abortus trimester pertama atau kematian pada trimester kedua atau ketiga yang tidak dapat dijelaskan pada fetus normal secara morfologi)



Keluarga Trombofilik (%I ,. -, 50 18



pada apakah mereka diturunkan dari studi-studi berbasis keluarga atau populasi. Perbedaan risiko dapat dijelaskan pada kesulitan lebih besar dalam mendapatkan reliabilitas perkiraan berbasis populasi karena secara keseluruhan prevalensi kelainan ini rendah. Mungkin angka kejadian ini overestimated pada studi-studi familial awal..



4-8



3



1-2 10-25 5-15



tidak diketahui tidak diketahui Risiko Relatif



Kondisi Hypercoagulable Protrombin G20210A, antibodi antifosfolipid, defisiensi antitrombin, trombositemia esential, PNH Protrombin G20210A Antibodi antifosfolipid, kanker, defisiensi antitrombin, sindrom mieloproliferatif, PNH Kanker (terutama adenokarsinoma saluran gastrointestinal) Faktor V leiden, polisitemia Vera, defisien antikoagulan alamiah Defisiensi protein C dan S Defisiensi protein C dan S homozigot Antibodi antifosfolipid



Risiko. Absolut*



Perempuan nonkarrier 1 0,8110000 Perempuan nonkarrier pengguna 4 3,211 0000 pi1 kontrasepsi oral Faktor V Leiden heterozigositas 7 5.711 0000 35 28.5110000 Heterozigositas faktor V Leiden perempuan pengguna pi1 kontrasepsi oral 'Perkiraan jurnlah kasus VTE per 10.000 orang per tahun.



Pemeriksaan Skrining Resistensi protein C teraktivasi Pemeriksaan rnutasi protrombin G20210A dengan PCR Tingkat aktivitas antitrombin, protein C, dan protein S Tingkat aktivitas faktor Vlll Lupus antikoagulans (aPTT sensitif, aPTT mixing, dilute Russell viper venom time) Antibodi antikardiolipindengan ELSA Kadar hornosistein plasma total



Pemeriksaan Konfirmasi PCR Faktor V Leiden Pemeriksaan antigenik untuk antitrombin, protein C, danlatau protein S Pemeriksaan konfirmasi untuk lupus anticoagulants*



* Include at least one of the following: platelent neutralization



procedure, hexagonal phase phospholipids, TextarinIEcarin test, platelet vesicles, D W Confirm. PCR=polyrnerasechain reaction; aPTT=activated partial thromboplastin time; ELISA=enzyme-linkedimmunosorbent assay.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bertina RM. Hypercoagulable States. In : Semin in Hematol 1997;34(3):167-70. Bates SM, Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism during pregnancy. Blood 2002;100(10):3470-8. Cobb ME, Hollensead SC. Molecular Testing for Inherited Thrombotic Disease. Available from : http://www.uoflhealthcare.org. Cattaneo M, Martinelli I, Mannucci PM. Hyperhomocysteinemia as a risk factor for Deep Vein Thrombosis. NEJM 1996;335:974-6. Chadha P. Thrombotic Disorders : Hypercoagulable State. In : Kasper DL, Braunwald D, Fauci AS, et al. Harrison's Manual of Medicine 16theds. McGraw-Hill 2005, 277-280. DeLoughery T. Hypercoagulable States - 2004.



Girolami A, Sartori h?T, Patrassi GM et al. Hypercoagulability : An Updated Review. Available from : http://haem.nus.edu.sg/ishapdl 1996119961087.pdf. Kyrle P, Minar E,Bialonczyk C et al. The Risk of Recurrent Venous Thromboembolism in Men and Woman. NEJM 2004;350:255863. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The Antiphospholipid Syndrome. NEJM 2002;346(10):752-63. Nema SK. Thrombosis-The Newer Dimensions. MJAFI 2004;60:218-9. Solymoss S. Factor V Leiden : Who should be tested ?. CMAJ 1996;155:296-8. Setiabudy RD,Trombosis pada keganasan. Dalam : Kongres Nasional dan Temu Ilmiah - Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah (PHTDI); 2005.hlm. 40.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID: ASPEK HEMATOLOGIK DAN PENATALAKSANAAN Shufrie Effendy



Sindroma antibodi antifosfolipid (antibody antiphospholipid syndrome, APS) didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan adanya I) antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin dadatau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2) kejadian berulang trombosis venalarteri, keguguran, atau trombositopenia. Sindrom ini pertama kali diusulkan oleh Hughes dan Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu sindrom ini dikenal juga sebagai sindrom Hughes.



ANTlBODl ANTIFOSFOLIPID



Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody, aPLA) didefinisikan sebagai immunoglobulin yang bereaksi dengan dinding biologis sel bagian luar yang komponen utamanya adalah fosfolipid. Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai antifosfolipid (antiphospholipid, aPL), yang secara struktural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah (fisiologis), aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah P2 glikoprotein I (P2GPI), berfungsi sebagai pengontrol aktivitas fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipase A, (phospholipase A,, PLA,). P2GPI merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (ApoH) sebagai penghambat enzim PLA2. Selain dari P2GP1, secara alamiah tubuh juga membentuk annexin V atau 'placental anticoagulant protein 1" yang disebut juga sebagai "placental aPL", yang sangat kuat menghambat



enzim PLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis). Penghambat PLA2 yang secara patologis terbentuk diketahui sebagai inhibitor Lupus yang lebih dikenal sebagai Antikoagulan Lupus (Lupus Anticoagulant, LA) yang terdiri dari 2 subgrup, yaitu: a). LA sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIa, 111, PL, dan Ca", mengakibatkan pemanjangan masa protrombin (PT), khususnya pada pemeriksaan dengan "diluted PT'; b). LA non-sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIIa, IXa, PL, Ca" mengakibatkan pemanjangan masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT) dadatau yang menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca" mengakibatkan pemanjangan dRWT- 1 pada dRWT-2 normal. Berbagai jenis aPLA dapat dibangun oleh berbagai antigen yang terikat pada epitope fosfolipid pada bagian luar dinding biologis sel yang terpapar. Sebagai contoh, aPLA dependen protrombin dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein, pengikat LA atau protrombin; aPLA dependen P2-GPI dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat Apo-H pengikat P2-GPI; dan aPLA dependen anneksin V dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat annexin V; sedangkan aPLA dependen LDL teroksidasi dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat LDL teroksidasi. Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi langsung terhadap kofaktor plasma protein (apolipoprotein) yang terikat kardiolipin (difosfatidilgliserol) yang dapat dideteksi secara ELISA atau radioimmunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi antikardiolipin (anticardioplipin antibody, ACA).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HEMATOLOGI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Antibodi antifosfolipid dijumpai sejak usia muda, prevalensi ACA dan LA pada subyek kontrol sehat adalah 1-5%. Sebagaimana autoantibodi lainnya, prevalensi antibodi antifosfolipid meningkat seiring deng,an bertambahnya umur, khususnya di antara pasien asia lanjut dengan penyakit kronis penyerta. Di antara pasien dengan SLE, prevalensi ACA positif sekitar 12-30%,dan sekitar 15-34% dengan antibodi LA positif. Banyak pasien yang menunjukkan bukti laboratorium adanya antibodi antifosfolipid, tidak menunjukkan gejala klinis. Data yang ada untuk subyek kontrol sehat, tidak cukup untuk memperhitungkan persentase mereka yang memiliki antibodi antifosfolipid dan akan menunjukkan gejala trombosis atau komplikasi kehamilan yang sesuai dengan APS. Sebaliknya, APS



dapat berkembang dalam 20 tahun pada 50-70% pasien baik dengan lupus eritematosus sistemik maupun antibodi antifosfolipid. Meskipun demikian, hampir 30% pasien lupus eritematosus sistemik dan dengan antibodi antikardiolipin, sedikit sekali menunjukkan bukti klinis APS pada pemantauan sekitar 7 tahun. Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan episode pertama dari trombosis vena dan infark miokard, serta strok berulang. Oleh karena itu, ha1 yang menjadi penting adalah identifikasi pasien dengan antibodi antifosfolipid yang risikonya terhadap kejadian trombotik meningkat. Faktor risiko penting adalah riwayat trombosis, adanya antibodi antikoagulan lupus, dan peningkatan kadar antibodi antikardiolipin IgG. Masing-masingmeningkatkanrisiko trombosis sampai lima kali lipat, meskipun tidak semua studi melaporkan hasil yang sama. Namun, kecuali riwayat kejadian trombotik, faktor risiko yang lain tidak cukup untuk digunakan sebagai faktor prediktif dilakukannya terapi.



KRlTERlA DlAGNOSTlK



Diagnosis APS ditegakkan dengan 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium, sesuai dengan konsensus pada simposium internasional mengenai antibodi antifosfolipid di Sapporo pada 1998. Ekor hldrofobik



KRlTERlA KLlNlS



Gambar 1. Antigen fosfolipid pada permukaan dinding sel, protein spesifik antigenik, protein kofaktor plasma (apolipoprotein), dan fosfolipid



Trombosis Pembuluh Darah Satu atau lebih episode klinis dari trombosis arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada jaringan atau organ yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan pencitraanl Doppler atau histopatologis (tanpa inflamasi dinding pembuluh darah) Morbiditas Kehamilan Satu atau lebih kematian janin berusia 10 minggu atau kurang, yang tidak dapat dijelaskan-diketahui dengan ultrasonografi atau pemeriksaan langsung, atau Satu atau lebih kelahiran prematur dari neonatus normal berusia 34 minggu atau kurang, akibat eklampsia atau insufisiensi plasenta berat, atau Tiga atau lebih aborsi spontan konsekutif sebelum usia kehamilan 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan dimana kelainan anatomi, genetika, atau hormonal telah disingkirkan.



Pmleln kofakbr plasma



PL tergantung W-GPlh 8 antil2glikopmbn I Ps Ianti phosphatidilserene



Gambar 2. Antibodi Antifosfolipid (PLA2=fosfolipase A2, p2GPI= p2 glikoprotein I, LA = antikoagulan lupus, Apo-H=apolipoprotein H, aPs=antifosfatidil serin)



Kriteria Lgboratorium IgGAntibodi Antikardiolipin,danlatau isotipe IgM pada titer sedang atau tinggi pada 2 atau lebih pemeriksaan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1347



SINDROMANTIBODI ANTIFOSFOLIPID



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ldiopatik



.Antiger,. Trauma, infeksi, binding apolipoprotein bind phospholipids dan lain-lain



1



Trombosit



4



I



Endotella I pertubat~on



Antibodi antifosfolipidl



I



I



Antikoagulan fosfolipid I



TrombomodulinO Protein CO Protein SO



Keadaan hiperkoagulabilitas I



I



j



trombosit, defisiensi fibrinolitik, statis, hiperviskositas,



!



Gambar 3. Patogenesis trombosis akibat adanya antibodi antifosfolipid



Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi protein C mengakibatkan aktivitas FV dan FVIII berlebihan mengakibatkan hiperkoagulasi. Antibodi antifosfolipid secara langsung berinterferensi dengan autoantibodi kompleks heparan-antitrombin, mengaktifkan reseptor Fc sel imunoefektor mengekspresikan tromboplastin jaringan yang akan mengaktivasi koagulasi.



dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, diukur dengan ELISA terstandarisasi untuk antibodi dependen P2GPI. Adanya Antikoagulan Lupus dalam plasma pada 2 atau lebih pemeriksaan dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, dideteksi menurut panduan dari The International Society on Thrombosis and Hemostasis (Scientijk Subcommitte on Lupus Anticoagulants/ Phospholipids-Dependent Antibodies).



KLASlFlKASl APS PATOFlSlOLOGl Asosiasi klinik trombosis dari anti-P2GPI dan anti-anneksin V berupa trombosis vena danlatau arteri; antioksidan LDL berupa trombosis arteri; sedangkan LA (aPL dependen protrombin) dapat berupa perdarahan atau trombosis, tetapi trombosis vena danlatau arteri lebih sering dijumpai daripada perdarahan.



Pada "The I l l h International Congress on Antiphospholipid Antibodies " di Sydney, 2004, telah diusulkan klasifikasi sebagai berikut: APS sebagai penyakit tunggal APS yang berhubungan dengan penyakit lain termasuk



SLE APS katastrofa



TROMBOGENESIS Protein



Trombosis dapat terjadi melahi beberapa mekanisme berikut ini: Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis P2GPI mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2 Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis Anneksin V mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2 Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis trombomodulin, sehingga secara tidak langsung antibodi antifosfolipid menghambat aktivasi protein C. Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi protein S sebagai kofaktor protein C.



Sel



+



Fosfolipid anionik Glikoprotein I-p2 Anneks~nv



Trofoblas 9 Apoptosis penurunan ekspresi HCG Endotel Apoptosis pelepasan EMP VCAM- 1, ECAM- 1. E-selectin, Faktor Jaringan



Trombomodulin Protein c Protein S



Trombosit+ pelepasan PAF & ekspresi berlebihan GPllblllla Apoptosis pelepasan cPLA2. PMP Trombositopenia Eritrosit 9 Anemia hemolitik



Protrombin E ",,.", lCtnr Ylr IL-3 & GM-CSF 8



+ +



+



+



+



+



,I,"



Ekspresi IL-3 & GM-CSF J,



+ Leukopenia



EMP = endothelial microparticle, PMP = platelet microparticle, PAF = platelet activating factors, cPLA2 = cytosol phospholipase A2



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Klasifikasi ini memenuhi untuk stratifikasi risiko dan pilihan terapi. Sebelumnya, pada "The 81hInternational Congress on Antiphospholipid Antibodies " di Sapporo, 1998, APS diklasifikasikanmenjadi: 1). APS Primer, jika tidak ada SLE atau kelainan autoimun lain. 2). APS Sekunder,jika dijumpai SLE.



SPEKTRUM GAMBARAN KLlNlS APS Asimptomatik pada LA dadatau ACA positif Simptomatik pada LA dadatau ACA positif: - Perempuan dengan: - Riwayat infertilitas primer tanpa kelainan ginekologis dan kesuburan. - Riwayat keguguran. - Riwayat toksemia kehamilan - Adanya trombosis - Arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada jaringan atau organ. - Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa. Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa adalah kegagalan organ multisistem, sekunder terhadap trombosisl infark dan menunjukkan gambaran mikroangiopati pada pemeriksaan histologi.



MANlFESTASl KLlNlS Aspek klinis pada sindrom antifosfolipid dapat berupa aspek klinis seluler dan sistem. Aspek klinis selular adalah sebagai berikut: Anemia hemolitik Apoptosis trofoblastik, sehingga terjadi penurunan hormon hCG Leukopenia Aspek klinis sistem dapat berupa perdarahan dan trombosis. Perdarahan disebabkan oleh 1). trombositopenia, 2). PT memanjang (tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), 3). aPTT memanjang (Defisiensi FXIc dadatau tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), dan 4). hipoprotrombinemia didapat. Sementara trombosis disebabkan oleh: 1)apoptosis endotelial, sehingga terjadi pelepasan mikropartikel endotelial dan material adhesi, 2)trombosit teraktivasi, sehingga terjadi sticky platelet syndrome, 3)keadaan hiperkoagulabilitas, dan 4)keadaan trombofilik. Gejala dan Tanda Kejadian vasospastik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada setiap sistem organ, maka pada anamnesis sangat penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan



kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik. Penyakit ini memiliki spektrurn klinis yang luas, mulai dari yang asimptomatik secara klinis dan indolen sampai yang perjalanan penyakitnya progresif secara cepat. Mata. Penglihatan kabur atau ganda, gangguan penglihatan (melihat kilatan cahaya), kehilangan penglihatan (sebagian lapang pandang, total) Kardiorespirasi. Nyeri dada, menjalar ke lengan; napas pendek Gastrointestinal. Nyeri perut, kembung, muntah. Pembuluh darah perifer. Nyeri atau pembengkakan tungkai, klaudikasio, ulserasi jarittungkai, nyeri jari tangantkaki yang dicetuskan oleh dingin. Muskuloskeletal. Nyeri tulang, nyeri sendi Kulit. Purpura dadatau petekie, ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-jari tanganfkaki kehitamhitaman atau terlihat pucat. Neurologi dan psikiatri. Pingsan, kejang, nyeri kepala (migrain), parestesi, paralisis, ascending weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah dalam pendidikan (sulit berkonsentrasi, mengerti yang dibaca dan berhitung). Endokrin. Rasa lemah, fatigue, artralgia, nyeri abdomen (gambaran Penyakit Addison) Urogenital. Hematuri, edema perifer Riwayat kehamilan. Keguguran berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat Riwayat keluarga. Risiko APS meningkat pada pasien yang memiliki anggota keluarga dengan: - Keguguran berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, khorea gravidarum, infark plasenta, preeklampsi, toksemia keharnilan, tromboembolisme neonatorum. - Infark miokard atau strok pada anggota keluarga yang berusia kurang dari 50 tahun - Trombosisvena dalam, flebitis atau emboli pulmoner - Migrain, penyakit Raynaud, atau TIA Riwayat pengobatan. Menggunakan kontrasepsi oral Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda yang sesuai dengan organ yang terkena dan dapat melibatkan sistem organ apapun. Pembuluh darah perifer - Palpasi tulang atau sendi :nyeri tekan (infark tulang) - Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular) - Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam) - Penurunan pengisian kapiler, denyut nadi, dan perhsi (trombosis arterial/vasospasm) - Gangren (trombosis arteri atau infark) Paru: Respiratory distress, takipnea (emboli pulmoner, hipertensi pulmoner) Ginjal



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1349



SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLlPlD



-



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI - Pemeriksaan darah perifer lengkap



~ i ~ e r t e n(trombosis si arteri renalis, lesi pembuluh darah intrarenal) - Hematuria (trombosis vena renalis) Jantung: - Murmur pada katup aorta atau mitral (endokarditis) - Nyeri dada, diaforesis (infark miokard) Gastrointestinal: - Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas, hepatomegali (sindrom Budd-Chiari, trombosis pembuluh darah kecil hati, infark hati) - Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika) - Endokrin: kelemahan otot, kekakuan progresif pada otot-otot pelvis dan paha dengan kontraktur fleksi yang berhubungan dengan insufisiensi adrenal (infarwperdarahan adrenal). Mata - Oklusi arteri retina - Trombosis vena retina Manifestasi kulit: - Livedo retikularis - Lesi purpura - Tromboflebitissuperfisial - Vasospasme (fenomena Raynaud) - Splinter hemorrhages (perdarahan di bawah kuku) periungual atau subungual - Infark perifer (digital pitting) - Ulserasi - Memar (berhubungan dengan trombositopenia) Kelainan sistem saraf pusat atau perifer - Strok - TIA - Parestesia, polineuritis atau mononeuritis multipleks (iskemialinfark vasovorurn) - Paralisis, hiperrefleksi, rasa lemah (transverse myelitis, sindrom Guillain-Barre) - Kelainan pergerakan-tremor khoreiform (infark serebral, serebelum, basal ganglia) - Kelainan yang menyerupai sklerosis multipel - Kehilangan memorijangka pendek



PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan antibodi antifosfolipid Identifikasi trombosis intrarenal, arteri renalis atau vena renalis: - Analisis urin dipstik untuk hemoglobin atau protein - Pemeriksaan urin: adanya sel darah merah - Urin 24 jam untuk pemeriksaan protein dan klirens kreatinin Identifikasi trombositopenia persisten atau anemia hemolitik:



- LDH, bilirubin, haptoglobin - Tes Coombs direklindirek



-



Analisis urin dipstik untuk hemoglobin



- Antibodi antiplatelet (untuk mengevaluasi adanya hubungan dengan purpura trombositopenik autoimun) Defisiensi sistem koagulasi: Protein C Protein S - Antitrombin I11 - Antibodi protein koagulasi, seperti antibodi antifaktor I1 (protrombin) Polimorfismegenetik: - Mutasi Faktor V Leiden - Mutasi gen protrombin 202 10A - Mutasi Methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) (mengarah ke hiperhomosisteinemia)



Pemeriksaan Radiologis Untuk kejadian trombotik (mis. TrombosisVena Dalarn) - Ultrasonografi (USG) Doppler - Venografi - Ventilation/perhsion scan (untuk emboli pulmoner) Untuk kejadian trombotik arterial (mis. oklusi/iskemia pembuluh darah serebral,jantung, perifer): - Computerized tomography (CT) - Magnetic resonance imagint (MRI) - Arteriografi - USGDoppler Untuk kelainan jantung: - Ekokardiografi dua dimensi - Ekokardiografitransesofageal - Angiografi dengan kateterisasi Patologi Biopsi dari organ yang terkena, seperti kulit atau ginjal, mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis vaskulopati/mikroangiopati pada APS. Pemeriksaan histologi pada mikroangiopati trombotik menunjukkan adanya vaskulopati non-inflamasi tanpa vaskulitis. Fibrin thrombi dihubungkan dengan obstruksi dan hiperplasia intima fibrosa dengan rekanalisasi jaringan penyambung intima. Lesi ginjal, terutama, ditandai dengan oklusi vaskular yang fibrotik dengan trombosis akut dan lesi vasooklusif pada pembuluh-pembuluh darah intrarenal. Juga dapat ditemukan fibrosis interstisial dan atrofi tubuler. DIAGNOSIS BANDING Sindrom antifosfolipid adalah satu dari beberapa keadaan protrombotik dimana trombosis terjadi baik pada vena atau arteri. Meskipun kondisi lain yang dapat menjadi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HEMATOLOCI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



predisposisi terjadinya trombosis arteri dan vena (misal. trombositopenia diinduksi heparin, homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin, adanya antibodi antifosfolipid mungkin menjadi satu-satunya kelainan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid primer. Penting untuk dicatat bahwa karena waktu tromboplastin parsial teraktivasi yang normal tidak menyingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus, seorang pasien yang menunjukkan kejadian trombotik pertama kali harus diskrining terhadap antibodi antikardiolipin dan pemeriksaan lain yang sensitif dengan antibodi antikoagulan lupus. Diagnosis dapat tidak diperkirakan pada pasien yang sindrom antifosfolipid-nya menunjukkan proses yang kronik dan lebih indolen, mengakibatkan terjadinya iskemia dan hilangnya fungsi organ yang lambat dan progresif. Faktor risiko sekunder yang meningkatkan kecenderungan trombosis harus dicari. Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinding vena dan arteri, termasuk stasis, cedera vaskular, obat-obatan seperti kontrasepsi oral, dan faktor risiko tradisional untuk aterosklerosis. Sangat penting untuk menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor ini, karena kehadiran antibodi antifosfolipid saja tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya trombosis; "serangan kedua" dikombinasikan dengan dengan antibodi antifosfolipid diperlukan untuk terjadinya trombosis. Akhirnya, bahkan pada pasien yang terbukti menderita sindrom antifosfolipid, menguraikan penyebab dan efeknya dapat sangat sulit. Sebagai contoh, sindrom antifosfolipid dikaitkan dengan sindrom nefritis, yang juga merupakan faktor risiko tromboemboli. Penyakit lain yang berhubungan dengan APS adalah seperti berikut: ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura), Anemia hemolitik autoimun Kelainan autoimun sekunder: - SLE, dan penyakit kolagen lainnya (artritis rematoid dan Behqet's) - Induksi obat-obatan (drug induced), oleh prokainamid, hidralazin, kuinidin, fenotiazin, penisilin. Penyakit kanker: - Kanker hematologi (mis.leukemia, penyakit limfoproliferatif dan sel plasma, dll) - Kanker padat Penyakit infeksi: - Viral (misalnya CMV, Hepatitis C, HIV, HTLV- 1, dll) - Bakterial (misalnya S. hemolyticus, H. pylori, Rickettsia spp, dll.) - Parasit (misalnya malaria) Penyakit hati kronis/sirosis hati: Alkoholik, Hepatitis C Sindrom hemolitik



- Inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA) - Talasemia



PENGOBATAN Pengobatan digolongkan dalam 4 kelompok: 1). Profilaksis, trombosis pembuluh darah kecil; 2). Pencegahan trombosis lanjutan pada pembuluh darah sedang dan besar; 3). Pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan 4). Penanganan kehamilan yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid. Uraian berikut akan membahas mengenai pengobatan dua kelompok pertama. Jenis-jenis obat yang digunakan dalam terapi medikamentosa APS dapat dilihat pada Tabel 2.



Nama



Dosis



Aspirin Tiklopidin Dipiridamol



1-2 mglkglhari 250 mg, 2 kali sehari 75-400 rnglhari, 3 atau 4 kali sehari Dosis inisial: 40-170 Ulkg IV lnfus pemeliharaan: 18 Ulkgljam IV atau: Dosis inisial: 50 Ulkgljam IV, diikuti dengan infus 15-25 Ulkgljam, dosis ditingkatkan 5 Ulkgljam q4h prn berdasarkan hasil PTT Profilaksis (dosis rata-rata): 30 mg subkutan, setiap 12 jam Terapi : 1 mglkg, subkutan setiap 12 jam



Heparin



Enoksaparin



Warfarin



5-15 mglhari, dosis dinaikkan berdasarkan INR yang ingin dicapai (2.5-3.5)



ad 1 Pasien asimptomatik tanpa faktor risiko dan riwayat keluarga dengan trombosis arterilvena atau keguguran tidak diberikan terapi yang spesifik. Pasien asimptomatik dan terdapat anggota keluarga yang menderita trombosis venalarteri atau keguguran dapat diberikan profilaksis dengan aspirin, Namun sebagian klinisi tidak menganjurkan pengobatan ini jika tidak terdapat faktor risiko yang lain. Sebuah studi potong lintang pada the Physicians' Health Study meneliti peranan aspirin 325 mg per hari sebagai obat profilaksis. Aspirin tidak menimbulkan proteksi terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru pada pria dengan antibodi antikardiolipin. Sebaliknya, aspririn dapat menimbulkan proteksi terhadap trombosis pada perempuan dengan sindrom antifosfolipid dan riwayat keguguran. Hidroksiklorokuin dapat memproteksi pasien lupus eritematosus sistemik dan sindrom antifosfolipid sekunder terhadap terjadinya trombosis. Tentunya, faktor-faktor lain yang menjadi predisposisi trombosis harus disingkirkan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Modifikasi faktor risiko sekunder untuk aterosklerosis sebaiknya dilakukan, sehubungan dengan peranan cedera vaskular dalam pembentukan trombosis yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, dan hubungannya dengan antibodi antifosfolipid dan LDL teroksidasi.



ad 2 Peranan antikoagulan dalam menurunkan angka kejadian trombosis berulang telah ditunjukkan melalui tiga penelitian retrospektif. Studi pada 19 pasien dengan sindrom antifosfolipid menunjukkan angka rekurensi pada 8 tahun sebesar 0% pada pasien yang mendapat antikoagulan oral. Pada pasien yang pengobatan antikoagulannya dihentikan, angka rekurensinya adalah 50% setelah 2 tahun dan 78% setelah 8 tahun. Dua seri studi lain yang lebih besar menunjukkan tingkat proteksi terhadap trombosis vena dan arteri berhubungan langsung dengan tingkat antikoagulasinya. Pada 70 pasien sindrom antifosfolipid, pengobatan dengan warfarin intensitas menengah (untuk mencapai International Normalized Ratio (INR) 2,O-2,9) dan intensitas tinggi (INR 3,O atau lebih) mengurangi angka trombosis rekurens secara bermakna, dimana pengobatan intensitas rendah (INR 1,9 atau kurang) tidak memberikan proteksi yang bermakna. Hasil yang serupa dilaporkan oleh studi pada 147 pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pada kedua studi tersebut, aspirin saja tidak efektif dalam menurunkan angka trombosis rekurens. Pasien APS primer dengan trombosis vena dapat diobati dengan terapi inisial yang terdiri dari heparin diikuti dengan warfarin atau heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin, LMWH). Risiko kekambuhan tertinggi terjadi dalam 6-12 minggu pertama setelah trombosis, namun biasanya pengobatan diteruskan setidaknya sampai 6 bulan pada pasien tanpa faktor risiko lain. Pasien APS primer dengan trombosis arterilinfark tanpa faktor risiko lain dapat diobati dengan aspirin, sementara pemberian antikoagulan masih kontroversial. Sebagian menganjurkan pemberian antikoagulan jangka panjang, namun Antiphospholipid Antibodies in Stroke Study (APASS) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam rekurensi stroke antara kelompok yang diobati dengan aspirin saja dibandingkan dengan kelompok yang diobati dengan aspirin dan warfarin. Pasien APS sekunder dengan trombosis arteri atau vena diindikasikan untuk pemberian terapi antiplatelet (seringkali merupakan kombinasi antar asipirin, hidroksiklorokuin dan pentoksifilin) ditambah antikoagulan (warfarin atau LMWH). Pasa pasien dengan LA positif dan memiliki faktor risiko lain (seperti mutasi faktor V Leiden, gen protrombin, atau MTHFR) pemberian antikoagulan seumur hidup mungkin diperlukan.



Beberapa ha1 penting harus diperhatikan. Pertama, penghentian warfarin tampaknya berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis dan bahkan kematian, khususnya pada enam bulan pertama setelah terapi antikoagulan dihentikan. Karena angka rekurensi pada pasien yang telah mendapat antikoagulan optimal dapat mencapai 70%, pengobatan dengan warfarin seharusnya dilakukan jangka panjang, jika tidak seumur hidup. Kedua, masih belum jelas apakah pasien dengan sindrom antifosfolipid dapat diobati dengan aman menggunakan warfarin intensitas menengah atau apakah dibutuhkan pengobatan intensitas tinggi. Hal ini merupakan ha1 penting yang belum terpecahkan, karena warfarin intensitas tinggi menyebabkan risiko lebih tinggi untuk terjadinya komplikasi perdarahan. Pada beberapa studi, warfarin intensitas menengah telah menunjukkan efek penekanan koagulasi yang sepenuhnya efektif, sebagaimana dinilai menurut kadar fragmen protrombin dan pencegahan trombosis rekurens. Akhirnya, pemantauan tingkat antikoagulasi pada pasien sindrom antifosfolipid dipersulit oleh kurangnya reagen terstandarisasi untuk penentuan INR dan kemungkinan potensial adanya interferensi oleh antibodi antifosfolipid pada pengukurannya.



PENGOBATAN PADA IBU HAMlL Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif dan riwayat dua atau lebih kehilangan kehamilan dini atau satu atau lebih kehilangan kehamilan akhir, preeklampsi, pertumbuhan janin terhambat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin antepartum ditambah profilaksis heparin (unfiactioned heparin,UFH, atau LMWH) dosis kecil atau sedang (Grade 2B). Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif tanpa riwayat tromboemboli vena atau kehilangan kehamilan hams dipertimbangkan mempunyai peningkatan risiko timbulnya trombosis vena dan, barangkali, kehilangan kehamilan. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah observasi, pemberian heparin dosis kecil, profilaksis LMWH, danlatau aspirin dosis rendah, 75-162 mg sehari (semua Grade 2C). Pasien dengan APLA dan riwayat trombosis vena, pada umumnya mendapat antikoagulan oral jangka panjang oleh karena risiko kambuh yang tinggi. Selama dalam masa kehamilan, di samping pemberian aspirin dosis mini direkomendasikan dosis terapi LMWH atau UFH. Saat pascapartum, terapi antikoagulan oral jangka panjang dilanjutkan (Grade 1C). Perempuan homozygous MTHFR varian termolabil (C677T), disarankan pemberian suplemen asam folat sebelum konsepsi atau, jika telah hamil, secepat mungkin, dan selama kehamilan (Grade 2C). Perempuan dengan suatu trombofilia kongenital dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



keguguran berulang pada trimester kedua atau setelahnya, preeklampsi berulang atau berat, atau abrupsio, disarankan pemberian aspirin dosis mini di samping profilaksis UFH atau LMWH kecil (Grade 2C)' Saat pascaparturn' juga disarankan pemberian antikoagulan pada perempuan ini (Grade 2C).



REFERENSI Alarcon-Segovia D, Delezi M, Oria CV, et al. Antiphospholipid antibodies and the antiphospholipid syndrome in systemic lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive patients. Medicine (Baltimore). 1989;68:353-65. Alarcbn-Segovia D, Ptrez-Vazquez ME, Villa AR, Drenkard C, Cabiedes J. Preliminary classification criteria for the antiphospholipid syndrome within systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum. 1992; 21 :275-86. Alarcon-Segovia D, Sanchez-Guerrero J. Primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1989;16:482-8. Ames PRJ. Antiphosyholipid antibodies, thrombosis and atherosclerosis in slstemic lupus erythematosus: a unifying 'membrane stress syndrome' hypothesis. Lupus. 1994;3:371-7. Arnout J. The pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: a hypothesis based on parallelisms with heparin-induced thrombocytopenia. Thromb Haemost. 1996;75:536-41. Arvieux J, Roussel B, Jacob MC, Colomb MG. Measurement of antiphospholipid antibodies by ELlSA using beta 2-glycoprotein I as an antigen. J Immunol Methods. 1991;143:223-9. Asherson RA, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. The "primary" antiphospholipid syndrome: major clinical and serological features. Medicine. 1989;68:366-74. Asherson RA. Antiphospholipid antibodies and syndromes. In: Lahita RG, editor. Systemic lupus erythematosus. 2nd edition. New York: Churchill Livingstone; 1992. p. 587-635. Bajaj SP, Rapaport SI, Barclay S, Herbst KD. Acquired hypoprothrombinemia due to non-neutralizing antibodies to prothrombin: mechanism and management. Blood. 1985;65:1538-43. Bernini JC, Buchanan GR, Ashcraft J. Hypoprothrombinemia and severe hemorrhage associated with a lupus anticoagulant. J Pediatr. 1993; 123:937-9. Bevers EM, Galli M, Barbui T, Comfurius P, Zwaal RFA. Lupus anticoagulant IgG's (LA) are not directed to phospholipids only, but to a complex of lipid-bound human prothrombin. Thromb Haemost. 1991 ;66:629-32. Brandt JT. Triplett DA, Alving B, Scharrer I. Criteria for the diagnosis of lupus anticoagulants: an update. Thromb Haemost. 1995;74: 1 185-90. Cabral AR, Amigo MC, Cabiedes J, Alarc6n-Segovia D. The antiphospholipid Icofactor syndromes: a primary variant with antibodies to b2-glycoprotein-I but no antibodies detectable in standard antiphospholipid assays. Am J Med. 1996;101:47281. Carreras LO, Forastiero RR, Martinuzzo ME. Which are the best biological biological markers of the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun. 2000;15:163-72. Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression in a cohort of 1,000 patients. Medicine. 1993;72:11324.



de Groot PG, Derksen RHWM. Specificity and clinical relevance of lupus anticoagulant. Vessels. 1995;1:22-6. Erkan D, Lockshin MD. What is antiphospholipid syndrome? Curr Rhem Reports. 2004;6:45 1-7. Esmon NL, Safa 0 , Smirnov MD, Esmon CT. Antiphospholipid antibodies and the protein C pathway. J Autoimmun. 2000;15:221-5. Galli M, Comfurius P, Barbui T, Zwaal RFA, Bevers EM. Anticoagulant activity of b2-glycoprotein I is potentiated by a distinct subgroup of anticardiolipin antibodies. Thromb Haemost. 1992;68:297-300. Galli M, Comfurius P, Maassen C, et al. Anticardiolipin antibodies (ACA) directed not to cardiolipin but to a plasma protein cofactor. Lancet. 1990;335: 1544-7. Galli M. Should we include anti-prothrombin antibodies in the screening for the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun. 2000;15:101-5. Gruel Y. Antiphospholipid syndrome and heparin-induced thrombocytopenia: update on similarities and differences. J Autoimmun. 2000;15:265-8. Harris EN, Gharavi AE, Boey ML, et al. Anticardiolipin antibodies: detection by radioimmunoassay and association with thrombosis in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1983;2:1211-4. Hift RJ, Bird AR, Sarembock BD. Acquired hypoprothrombinaemia and lupus anti-coagulant: response to steroid therapy. Br J Rheumatol. 1991 ;30:308-10. Htirkko S, Miller E, Dudl E, et al. Antiphospholipid antibodies are directed against epitopes of oxidized phospholipids: recognition of cardiolipin by monoclonal antibodies to epitopes of oxidized low density lipoprotein. J CIin Invest. 1996;98:8 1525. Hughes GRV, Harris EN, Gharavi AE. The anticardiolipin syndrome. J Rheumatol. 1986; 13:486-9. Hughson MD, McCarty GA, Brumback RA. Spectrum of vascular pathology affecting patients with the antiphospholipid syndrome. Hum Pathol. 1995;26:716-24. Kandiah DA, Krilis SA. Beta2-glycoprotein I. Lupus. 1994;3:20712. Levine JS, Subang R, Koh JS, Rauch J. Induction of anti-phospholipid autoantibodies by b2-glycoprotein I bound to apoptotic thymocytes. J Autoimmun. 1998;11:413-24. Lie JT. Pathology of the antiphospholipid syndrome. In: Asherson RA, Cervera R, Piette J-C, Shoenfeld Y, editors. The antiphospholipid syndrome. Boca Raton, Fla.: CRC Press; 1996. p. 89-104. Lotz BP, Schutte C-M, Colin PF, Biermann LD. Sneddon's syndrome with anticardiolipin antibodies - complications and treatment. S Afr Med J. 1993;83:663-4. Mclntyre JA, Wagenknecht DR. Anti-phosphatidylethanolamine (aPE) antibodies: a survey. J Autoimmun. 2000; 15: 185-93. McNeil HP, Chesterman CN, Krilis SA. Immunology and clinical importance of antiphospholipid antibodies. Adv Immunol. 1991;49:193-280. McNeil HP, Simpson RJ, Chesterman CN, Krilis SA. Anti-phospholipid antibodies are directed against a complex antigen that includes a lipid-binding inhibitor of coagulation: b2-glycoprotein 1 (apolipoprotein H). Proc Natl Acad Sci, 87:4120-4.Hunt JE, McNeil HP, Morgan GJ, Crameri RM, Krilis SA. 1992. A phospholipids beta 2-glycoprotein I complex is an antigen for anticardiolipin antibodies occurring in autoimmune disease but not with infection. Lupus. 1990;1:75-81. Merkel PA, Chang YC, Pierangeli SS, Convery K, Harris EN, Polisson



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1353



SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI RP. The prevalence and clinical associations of anticardiolipin antibodies in a large inception cohort of patients with connective tissue diseases. Am J Med. 1996;101:576-83. Meroni PL, Del Papa N, Raschi E, et al. b2-Glycoprotein I as a 'cofactor' for anti-phospholipid reactivity with endothelial cells. Lupus. 1998;7(Suppl 2):S44-S7. Meroni PL, Raschi E, Camera M, et al. Endothelial activation by aPL: a potential pathogenetic mechanism for the clinical manifestations of the syndrome. J Autoimmun. 2000;15:237-40. Mulloz-Rodriguez FJ, Reverter JC, Font J, et al. Prevalence and clinical significance of antiprothrombin antibodies in patients with systemic lupus erythematosus or with primary antiphospholipid syndrome. Haematologica. 2000;85:632-7. Ohlson S, Zetterstrand K. Detection of circulating immune complexes by PEG precipitation combined with ELISA. J Immunol Methods. 1985;77:87-93. Oosting JD, Derksen RHWM, Bobbink IWG, Hackeng TM, Bouma BN, de Groot PG. Antiphospholipid antibodies directed against a combination of phospholipids with prothrombin, protein C or protein S: an explanation for their pathogenic mechanism? Blood. 1993;81:2618-25. Permpikul P, Rao LV, Rapaport SI. Functional and binding studies of the roles of prothrombin and i2-glycoprotein I in the expression of lupus anticoagulant activity. Blood. 1994;83:287892. Pernod G, Awieux J, Carpentier PH, Mossuz P, Bosson JL, Polack B. Successful treatment of lupus anticoagulant hypoprothrombinemia syndrome using intravenous immunoglobulins. Thromb Haemost. 1997;78:969-70. Petri M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome. J Autoimmun. 2000;15:145-5 1. Piette J-C, Wechsler B, Frances C, Papo T, Godeau P. Exclusion criteria for primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol. 1993;20: 1802-4. Price BE, Rauch J, Shia MA, et al. Anti-phospholipid autoantibodies bind to apopiotic, but not viable, thymocytes in a b2-glycoprotein Idependent manner. J Immunol. 1996;157:2201-8.



Rand JH, Wu X-X, Andree HAM, et al. Pregnancy loss in the antiphospholipid- antibody syndrome - a possible thrombogenic mechanism. N Engl J Med. 1997;337:154-60. Roubey RAS. Tissue factor pathway and the antiphospholipid syndrome. J Autoimmun. 2000;15:217-20. Roubey RAS. Immunology of the antiphospholipid antibody syndrome. Arthritis Rheum. 1996;39:1444-54. Shi W, Chong BH, Chesterman CN. b2-Glycoprotein I is a requirement for anticardiolipin antibodies binding to activated platelets: differences with lupus anticoagulants. Blood. 1993;81:1255-62. Tincani A, Balestrieri G, Allegri F, et al. Overview on anticardiolipin ELISA standardization. J Autoimmun. 2000;15:195-7. Vaarala 0 , Alfthan G, Jauhiainen M, Leirisalo-Repo M, Aho K, Palosuo T. Crossreaction between antibodies to oxidised low-density lipoprotein and to cardiolipin in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1993;341:923-5. Vianna JL, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. Comparison of the primary and secondary antiphospholipid syndrome: a European multicenter study of 114 patients. Am J Med. 1994;96:3-9. Viard J-P, Amoura 2, Bach J-F. Association of anti-b2 glycoprotein I antibodies with lupus-type circulating anticoagulant and thrombosis in systemic lupus erythematosus. Am J Med. 1992;93:181-6. Williams S, Linardic C, Wilson 0 , Comp P, Gralnick HR. Acquired hypoprothrombinemia: effects of danazol treatment. Am J Hematol. 1996;53:272-6. Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International consensus statement on preliminary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome: report of an international workshop. Arthritis Rheum. 1999;42:1309-11. Wurm H. b2-Glycoprotein-I (apolipoprotein H) interactions with phospholipid vesicles. Int J Biochem. 1984;16:5 11-5.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU ~ugyantiSukrisman



PENDAHULUAN



Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah. Trombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung atau mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli. Di Amerika Serikat, trombosis merupakanpenyebab utama kematian dengan angka kematian sekitar 2 juta penduduk setiap tahun akibat trombosis arteri, vena atau komplikasinya. Angka kejadian trombosis vena dalam (deep venous thvombosislDVT) yang baru berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per 100.000 penduduk. Trombosis vena dan emboli paru berkaitan dengan berbagai kondisi medis atau progedur bedah tertentu. Risiko tromboemboli pada pasien dengan defisiensi antitrombin I11 dapat mencapai SO%, 70% pada gagal jantung kongestif dan 40% pada infark miokard akut. Pada pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT berkisar 30% di Eropa dan 16% di Amerika Serikat. Pada pasien yang menjalani operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar 45-70% sedangkan kejadian emboli paru dapat mencapai 20%; 1-3% di antaranya fatal. Pada operasi ginekologi dan obstetri, risiko DVT berkisar 7-45% sedangkan pada operasi saraf antara 9-50%. Tabel berikut menggambarkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan trombosis. PATOGENESIS



Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan



Gangguan pada Arteri



Gangguan pada Vena



Aterosklerosis Merokok



Operasi (urnum) Operasi ortopedi



Hipertensi Diabetes melitus Kolesterol LDL Hipertrigliserida Riwayat trombosis pada keluarga Gagal jantung kiri



Artroskopi Trauma Keganasan lmobilisasi Sepsis



Kontrasepsi oral Estrogen Lipoprotein (a) Polisiternia Sindrom hiperviskositas Sindrom leukostasis



Gagal jantung kongestif Sindrorn nefrotik Obesitas Varicose vein Sindrom pascatlebitis Kontrasepsi oral



Gangguan pada Darahl Trombosit Sindrom anti fosfolipid Resistensi protein C (Faktor V Leiden) Sticky platelet syndrome Gangguan protein C Gangguan protein S Gangguan antitrombin Gangguan heparin kofaktor II Gangguan plasminogen Gangguan plasminogen activator inhibitor Gangguan faktor XI1 Disfibrinogenemia Homosisteinemia



Estrogen



dasar terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari: 1). gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis, 2). gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3). gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan. Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi: gangguan sel endotel terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von Willebrand. aktivasi koagulasi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terganggunya fibrinolisis stasis Mekanisme protektif terdiri dari: faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor pemecahan faktor pembekuan oleh protease pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit. DIAGNOSIS Trombosis Vena Dalam Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan ha1 yang sangat penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan DVT adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan ha1 penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan ha1 penting. Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif. Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dinier merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93%, spesivisitas 77% dan nilai prediksi negatif 98% pada DVT proksimal, sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnya 70%. Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi dapat membantu menentukan faktor risiko. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis trombosis. Pada DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografil flebografi, ultrasonografi (USG) doppler (duplex scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Ketepatan pemeriksaan ultrasonografi doppler pada



pasien dengan DVT proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan dengan venografi, sedangkan pada pasien dengan DVT pada betis dan asimtomatik, ketepatannya rendah. Ultrasonografi kompresi (Real-Time B- mode compressiorz ultrasound) mempunyai sensitivitas 89% dan spesivisitas 97% pada DVT proksimal yang simtomatik, sedangkan pada DVT di daerah betis, hasil negatif palsu dapat mencapai 50%. Pemeriksaan duplex scanning mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis DVT proksimal. Venografi atau flebografi merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis DVT, baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral. Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan risiko alergi terhadap bahan radiokontras atau yodium. MRI umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka dan vena kava di mana duplex scanning pada ekstremitas bawah menunjukkan hasil negatif. Emboli Paru Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak (seperti nyeri pleuritik), sesak napas, hemoptisis, banyak berkeringat dan gelisah. Keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis dan evaluasi yang lebih cermat. Gejala klasik emboli paru berupa sesak (dengan atau tanpa disertai nyeri dada pleuritik atau hemoptisis), takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini sering tidak spesifik, sehingga harus dipikirkan diagnosis banding atau kemungkinan lain. Pemeriksaan foto dada (toraks) tidak spesifik tetapi dapat membantu mendiagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran normal hingga 40% kasus. Elektrokardiogram dapat menunjukkan gambaran normal atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperti gelombang S,-T,, gelombang T yang terbalik di sandapan prekordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle branch block (RBBB) lengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tetapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan analisis gas darah dapat menunjukkan penurunan tekanan PO, dan pCO, yang disertai alkalosis, meskipun nilai analisis gas darah yang normal tidak menyingkirkan adanya emboli paru. Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung Scanning merupakan prosedur baku untuk mendiagnosis emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah VIQ yang 'mismatch', yaitu tidak terdapatnya gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi tampak normal atau tersebar merata. Hasil yang diperoleh dibagi menjadi: sangat mungkin (highprobability), kemungkinan sedang (intermediate probability), rendah (low probability), sangat rendah (very low probability) atau normal. Angiografi pulmonal juga merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



invasif dengan risiko morbiditas 0,2% dan mortalitas 1,9% karena reaksi alergi terhadap bahan kontras, perforasi jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil VIQ scanning menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah dan ultrasonografi ekstremitas normal sedangkan kemungkinan klinis sedang atau tinggi. Spiral CTangiography merupakan prosedur yang tidak invasif dengan sensitivitas 953% dan spesifisitas 97,6%, kecuali pada emboli paru subsegmental yang menunjukkan hasil yang lebih rendah. PENATALAKSANAAN



Trom bosis Vena Dalam Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah: Menghentikan bertambahnya trombus Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis @ost thrombotic syndrome) di kemudian hari Mencegah emboli Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah lama digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja utama heparin adalah: 1). meningkatkan kerja antitrombin 111sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan 2). melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IUI kg berat badan (BB) intravena dilanjutkan dengan i n h s 18 IUkgBBIjam dengan pemantauan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protrombin (prothrombin time1 PT) dan jumlah trombosit hams diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati atau ginjal. Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparinlLMWH) dapat diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang lebih kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat gemuk. Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah warfarin atau coumarinlderivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama saat awal terapi heparin dengan pemantauan (International Normalized Ratio) INR. Heparin diberikan selama minimal 5 hari dan dapat dihentikan bila



antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2,O-3,O selama dua hari berturut-turut. Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi pada umumnya bergantung pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT hams mendapat antikoagulan selama 6 minggu hingga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko yang reversibel, atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik). Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko molekular yang diturunkan seperti defisiensi antitrombin 111, protein C atau S, activatedprotein C resistance atau dengan lupus anticoagulantlantibodi antikardiolipin, antikoagulan oral diberikan lebih lama, bahkan dapat seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup ini juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker yang aktif. Terapi trombolitik. Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara mengaktiflan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnya hanya efektif pada fase awal dan penggunaannya harus benar-benar dipertimbangkan secara baik karena mempunyai risiko perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral. Trombektomi. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun. Filter vena kava inferior. Filter ini digunakan pada trombosis di atas lutut pada kasus di mana antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang. Emboli Paru Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi hams hati-hati jika akan memberikan opiat pada pasien yang hipotensi. Jika terjadi hipoksemia refrakter meskipun sudah diberikan oksigen, tindakan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan, meskipun dapat memperburuk hemodinamik karena gangguan aliran darah balik ke jantung (venous return). Pada pasien yang mengalami renjatan, pemasangan kateter vena sentral perlu dipertimbangkan. Antikoagulan, Seperti halnya DVT, UFH merupakan terapi standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Karena efikasi heparin sangat bergantung pada konsentrasi yang harus dicapai dalam beberapa jam pasca terapi, pemberian secara subkutan tidak dapat mencapai respon yang adekuat kecuali jika dosis awal UFH sedikitnya 17.500 IU (atau 250 IUkgBB) setiap 12jam. Selain UFH, LMWH dapat diberikan dengan efikasi yang sama, meskipun masih belum direkomendasikan pada emboli paru masif yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1357



TROMBOSISVENA DALAM DAN EMBOLI PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



disertai gangguan hemodinamik.Antikoagulan oral dimulai bersamaan dengan terapi heparin. Kedua obat ini diberikan selama minimal 5 hari dan heparin dihentikan jika sudah mencapai target INR di atas 2,O selama dua hari berturutturut. Penghambat langsung trombin (direct thrombin inhibitor) seperti hirudin atau lepirudin merupakan antikoagulan yang digunakan pada pasien yang mengalami trombositopenia akibat pemakaian heparin (HeparinInduced ThrombocytopenialHIT). Obat ini bekerja dengan menghambat trombin secara langsung tanpa melalui antitrombin 111. Hasil penelitian ximelagatran, obat penghambat langsung trombin yang terbaru, menunjukkan bahwa efikasi obat ini tidak lebih rendah dibandingkan dengan enoksaparinlwarfarindan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada efek samping perdarahan mayor ataupun mortalitas dibandingkan dengan terapi standar. Terapi trombolitik, Terapi ini dicadangkan untuk pasien dengan gangguan sirkulasi berat seperti hipotensi, oliguria dan hipoksemia berat. Risiko perdarahan mayor berkisar 10%.Risiko perdarahan serebral berkisar 0,5- 1,5%, terutama pada pasien usia lanjut dengan hipertensi yang tidak terkontrol, pasien yang baru menjalani operasi kraniotomi atau strok.



PENCEGAHAN Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimtomatik atau tidak disertai gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan risiko kematian



Derajat Risiko Risiko rendah Operasi minor pada pasien usia 40tahun atau dengan faktor risiko tambahan Risiko sangat tinggi Operasi mayor pada pasien >40tahun + riwayat tromboemboli vena, kanker atau hypercoagulable state molekular, artroplasti panggul atau lutut, operasi frraktur panggul, trauma mayor, cedera tulang belakang (spinal



akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasuskasus yang mempunyai risiko terjadinya tromboemboli vena. Tabel berikut menggambarkan risiko tromboemboli pada pasien yang menjalani operasi tanpa tomboprofilaksis. Untuk mencegah tromboemboli vena, seperti tercantum pada tabel di atas, dapat diberikan Low Dose Unfractionated Heparin (LDUH), yaitu UFH 5.000 IU subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai 1-2 jam sebelum operasi; ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai sekitar 3.500 IU sk dan disesuaikan4 500 IU dengan target nilai aPTT normal tinggi, atau LMWHIheparinoid yang dapat diberi sesuai dengan jenis operasi dan risiko tromboemboli prosedur tersebut.



Bick RL, Kaplan H. Syndromes of trombosis and hypercoagulability. Congenital and acquired causes of thrombosis. In: Bick R1,. Guest editor. The medical clinics of north America. Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3:409-58. Bandolier. Evidence based thinking about health care. DVTs and all that, April 2003; 110-2. Disitasi dari http:llwww.jr2.ox.ac.ukl bandolierlbandl lOIblI0-2.html tanggal 29 Mei 2005. Baker WF. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary embolism. In: Bick RL. Guest editor. The medical clinics of north America. Current concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and management 1998;82:3:459-76. Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of hemostasis and thrombosis. In: Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical



DVT Betis



DVT Proksimal



lolo)



(%I



0



2



04



0,2



0,002



10-20



2-4



1-2



0,l-0,4 LDUH 112 jam, LMWH,



EP (klinis)



EP fatal



Pencegahan



(")



,



Tidak ada terapi khusus, mobilisasi agresif



ES atau IPC



20-40



4-8



2-4



0,4-1,O LDUH I8 jam, LMWH atau IPC



40-80



10-20



4-10



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



0,2-5



LMWH, antikoagulan oral, IPCIES+ LDUHILMWH, atau ADH



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI guide, 2nd ed. New York: The McGraw-Hill companies 2001:319. Geerts WH, Heit JA, Clagett GP, Pineo GF, Colwell CW, Anderson FA et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest. 2001;119:132S-175s. Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, George JN, Clowes AW. Overview of thrombosis and its treatment. In: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds. Hemostasis and thrombosis. Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins 2001;65:1071-84. Health services/technology assessement text. What is the level of risk of venous thrombosis and embolism in various patient groups? Disitasi dari file://E:DVTincidence.htm tanggal 26 Mei 2005. Haas SK. Treatment of deepvenous thrombosis and pulmonaryembolism. In: Bick RL. Guest editor. The medical clinics ofnorth America. Current conceptsof thrombosis. Prevalent trendsfor diagnosis and management1998;82:3:495-510.



Hyers TM, Agnelli G, Hull RD,Morris TA, Samama M, Tapson Vet al. Antithrombotic therapy forvenous thromboembolic disease.Chest. 2001;l 19:176S-1938. New drugs, old drugs. The directthrombin inhibitor melagatran ximelagatran. MJA. 2004;181:8:432-7. Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in malignancy. In: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds. Hemostasis and thrombosis. Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins 2001;69:1131-52. Riedel M. Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary embolism 1: pathophysiology, clinical presentation and diagnosis. Heart.2001;85:229-40. Riedel M. Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary embolism 2. Treatment. Heart. 2001;85:35160. Wells PS, Anderson DR, Ginsberg J. Assessment of deep vein thrombosis or pulmonary embolism by the combined use of clinical model and noninvasive diagnostic tests. Semin Thromb Hemost. 2000;26:6:643-56.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN OBATdBATAN ANTITROMBOSIS Nusirwan Acang



PENDAHULUAN Dalam keadaan normal, darah mengalir di dalam lumen pembuluh darah dan berbentuk cair. Pada keadaan patologis, dapat terjadi keadaan dimana darah keluar dari pembuluh darah, yang disebut perdarahan, atau darah membeku di dalam lumen pembuluh darah, yang disebut trombosis. Sejak dikemukakannya teori trombogenesis oleh Rudolf Virchow pada pertengahan abad ke- 19, pengetahuan mengenai trombosis telah berkembang dengan pesat. Pada saat sekarang, trombosis merupakan suatu keadaan yang menimbulkan masalah kesehatan terutama di negara negara barat, baik dalam ha1 morbiditas maupun mortalitasnya, yang terjadi di dalam atau di luar rumah sakit. Di Amerika Serikat, trombosis merupakan penyebab kematian yang utama, di mana setiap tahunnya sekitar 2 juta orang menderita trombosis arteri maupun vena, dan 60.000 kasus di antaranya meninggal karena emboli paru. Di Swedia dilaporkan, 160 kasus baru trombosis vena dalam (TVD) diantara 100.000 penduduk. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada data epidemiologi yang lengkap mengenai trombosis, baik yang didasarkan atas data komunitas maupun data rumah sakit. Data rumah sakit yang ada adalah, laporan dari R.S Jantung Harapan Kita yang telah merawat 533 kasus trombosis di ICCU selama tahun 1997, dan laporan dari ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo yang telah merawat sebanyak 137 kasus trombosis pada tahun yang sama. Adanya trombosis pada arteri atau vena, akan mengakibatkan terganggu atau tersumbatnya aliran darah dari atau ke jaringan organ-organ yang dikenai, dan akan menimbulkan kelainan yang serius apabila mengenai organ vital seperti paru, jantung dan otak.Untuk mengatasil



mengobati keadaan ini diperlukan pemberian obat-obat yang dapat mencegah terbentuknya dan melarutkan trombus. Obat-obat antitrombosis yang banyak dipakai saat ini adalah golongan antikoagulan, antiplatelet, dan trombolitik. Pada dekade terakhir ini, telah banyak diteliti dan di pasarkan obat-obat antikoagulan, antiplatelet dan trombolitik yang baru.



OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS Proses pembekuan darah terjadi melalui jalur yang sangat kompleks. Menurut teori klasik (fourfactor theory), proses pembekuan ini, dimulai dengan aktifnya tromboplastin, dilanjutkan dengan terbentuknya trombin dari protrombin, dan hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya fibrin (bekuan darah) dari fibrinogen. Tujuan pengobatan trombosis adalah: a).mencegah perluasan ekstensi trombus, b). mengurangi terjadinya rekurensi trombus, c). mencegah pembentukan emboli, d). mencegah terjadinya sindrom post-trombotik Obat-obat antitrombosis dapat dibagi atas 3 golongan, yaitu:a). antikoagulan, b). antiplatelet agregasi, c). trombolitik/fibrinolitik Antikoagulan Antikoagulan adalah golongan obat-obat yang kerjanya menghambat pembekuan darah. Menurut cara kerjanya dikenal dua golongan antikoagulan, yaitu: Bekerja langsung (direk) pada pembekuan darah yaitu, berfungsi langsung sebagai antitrombin 111. Obat yang termasuk golongan ini adalah heparin.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Bekerja secara tidak langsung (indirek) yaitu, yang mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah dengan memutuskan hubungan antara faktor-faktor pembekuan yang dibentuk di hati, yaitu faktor pembekuan 11, VII, IX dan X. Obat yang tergolong kelompok ini adalah antikoagulan oral. Indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah sebagai berikut: a). trombosis vena dalam, b).infark miokard, c).angina pektoris tidak stabil, d).trombosis yang berulang (rekurens), e).terapi profilaksis trombosis pada tindakan operasi besarlmayor seperti neurosurgery dan total hip replacement Kontra indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah: Absolut: a). perdarahan aktif, b). perdarahan serebrospinal, c).riwayat hipersensitivitas terhadap heparin, d).riwayat adanya trombositopenia terinduksi heparin, e). diatesis haemoragik. Relatif: a). ulkus peptikum, b). pasca operasi mayor yang kurang dari 5 hari, c).trauma mayor yang baru terjadi Efek samping pemberian obat-obat antikoagulan adalah: a). perdarahan, b). trombositopenia, c). rambut rontok, biasanya reversibel, c). osteoporosis, dalam keadaan berat bisa sampai fraktur Untuk mengurangi timbulnya efek samping ini. diperlukan monitor waktu pembekuan darah dan jumlah trombosit secara teratur



HEPARIN Heparin merupakan mukopolisakarida (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam glukuronat. Penelitian mengenai efektifitas heparin dan anti koagulan oral, telah dimulai sejak tahun 1960. Kemudian, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian untuk menentukan dosis dan lama pemberian antikoagulan pada pengobatan dan pencegahan timbulnya trombosis. Trombosis berulang dapat terjadi 20% pada kelompok yang tidak mendapat heparin, dan hanya 6,7% pada kelompok yang mendapat heparin pada masa follow up selama 6 bulan. Secara farmakologis, heparin berfungsi sebagai antikoagulan yang mempunyai efek langsung sebagai antitrombin 111, akan tetapi juga dapat melepaskan plasminogen aktifator jaringan dan tissue factor pathway inhibitor (TPFI) dari endotel. TPFI ini dapat menekanl menetralisir pembentukan faktor pembekuan Xa, sehingga tidak terjadi pembekuan. Heparin mempunyai berat molekul yang cukup besar sehingga tidak bisa melewati membran, tidak bisa diserap usus, dan tidak dapat meliwati plasenta. Dengan demikian heparin hanya dapat diberikan secara intra vena atau subkutan.



Dosis dan Lama Pemberian Heparin. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mendapatkan cara pemberian, dosis optimal dan lamanya pemberian heparin yang efektif untuk pengobatan dan pencegahan trombosis. Studi terakhir mendapatkan bahwa lama pemberian heparin dapat dikurangi dari 10 hari menjadi 5 hari, apabila pemberiannya dikombinasikan dengan anti koagulan oral. Heparin dibagi atas 2 golongan, yaitu: (Unfractionated heparin-UH), dan (Low moleculer weight heparin/ heparin biasa dan heparin berat molekul rendahLMWH)



Nilai aPTT



Dosis H e ~ a r i n



aPTT < 35" (< I,2 x kontrol) aPTT 35-45"(1,2 - 1,5 x kontrol)



Tingkatkan infus 4 UIkgBBljam Tingkatkan infus 2 UIkgBBljam



aPTT 46-70" (1,5 - 2,5 x kontrol) aPTT 71-90" (2,5 - 3 x kontrol) aPTT > 90" (> 3 x kontrol)



Tidak ada perubahan Kurangi kecepatan infus Stop infus, ditunda pernberian selama 4 iam



Heparin BiasalTidak Terfraksionasi (UF) Cara pemberian.Heparin dapat diberikan secara intra vena atau subkutan, tidak boleh diberikan intramuskuler.



Dosis pemberian. Unfractionated heparin diberikan dengan dosis inisial5000 U bolus IV, kemudian dilanjutkan dengan drip 1000 Uljam, dosis ini hams selalu di evaluasi dan disesuaikan untuk mendapatkan nilai aPTT 1,5-2,5 kontrol(46-70 detik), aPTT ini diperiksa setiap 4-6 jam. Salah satu pedoman untuk pemberian UH dapat dilihat pada tabel. 1. Alternatif lain pemberian UH adalah, diberikan 5.000 unit secara subkutan setiap 4-6 jam, dengan catatan besarnya dosis yang diberikan hams disesuaikan dengan hasil pemeriksaan aPTT, nilai aPTT tetap dipertahankan 1,5-2,5 kontrol. Cara ini terutama diberikan pada pencegahan terjadinya trombosis vena dalam pada penyakit paru berat dan payah jantung yang lanjut. Pemberian UH secara kontinu, mempunyai keterbatasanl kekurangan sebagai berikut: Tidak bisa diprediksi respon antikoagulannya, oleh karena UH bisa di inaktifkan oleh protein plasma dan faktor trombosit 4. Membutuhkan monitor yang ketat fungsi pembekuan darah Adanya "rebound" gejala klinis pada penghentian pemberian UH secara tiba-tiba. Bisa mengaktifasi fungsi trombosit Mempunyai risiko Heparin induced thrombocytopeni Lama pemberian. Lamapemberian heparin adalah selama 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan oral.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



.



Heparin Berat Molekul Rendah (Low molecular weight heparinlLMWH) LMWH berasal dari degradasi unfractionated heparin, Dibandingkan dengan UH, LMWH mempunyai beberapa keunggulan. yaitu: LMWH merupakan polisakarida dengan berat molekul (BM) yang lebih rendah yaitu 4.000 6.000 dalton, dibandingkan dengan UH yang mempunyai BM 12.000 14.000 dalton. Ukuran yang kecil ini memiliki aktivitas anti-IIa dan Xa yang lebih tinggi. LMWH diabsorpsi secara konsisten melalui pemberian subkutan dengan bioavailabilitas 85%, dibandingkan 15% pada UH, dan terutama dieksresi melalui ginjal dengan waktu paruh berkisar 3,5 4,5 jam dibandingkan 1,5 jam pada UH. Tingginya bioavailabilitas dan lamanya masa paruh, maka LMWH, memungkinkan diberikan 1 2 kali per hari. Pada pemberian LMWH, Partial thromboplastin time (PTT) tidak akan memanjang, sehingga tidak perlu dievaluasi secara berkala. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa LMWH lebih aman, efektif, dan cukup murah untuk tatalaksana trombosis vena dalam dan emboli paru non masif. Efektivitas.LMWH lebih baik terhadap regresi trombus dibandingkan dengan UH. Pemberian UH menghasilkan regresi trombus pada 40,2% kasus, sedangkan pada pemberian LMWH dua kali sehari adalah 53,4% kasus dan pada terapi LMWH sekali sehari adalah 53,5%. Akan tetapi dengan pengontrolan yang ketat, pemberian UH tidak akan memberikan efek samping yang banyak berbeda dengan pemberian LMWH. Oleh karena LMWH merupakan anti koagulan yang efektif, aman dan tidak perlu monitoring yang ketat untuk tatalaksana trombosis vena dalam, maka dikembangkan pemakaian LMWH secara mandiri bagi pasien rawat jalan, tanpa perlu dirawat inap di rumah sakit. Dosis dan Cara Pemberian LMWH. LMWH diberikan secara subkutan, 1 atau 2 kali sehari selama 5 hari, dengan dosis sebagai berikut: . Enoksaparin (Lovenox): 100 UIKgBB, sekali sehari subkutan atau 40 mg subkutan tiap 12 jam, dosis pertama dapat didahului 30 mg IV bolus. Nadroparine (Fraxiparin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap 12jam Dalteparin (Fragrnin): 120 IUKgBB subkutan diberikan setiap 12jam. Maksimum 10.000IU, 2 kalihari. Reviparin (Clivarin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap 12jam Adreparin (Nurmilo): 120 IUtKgBB subkutan, diberikan tiap 12jam.



tidak langsung (indirek) yaitu, bekerja secara kompetitif dengan vitamin K, sehingga akan mengganggu pembentukan faktor-faktor pembekuan 11, VII, IX, dan X. Obat-obat yang termasuk kepada golongan antikoagulan oral yang banyak dipakai adalah warfarin dan coumarin (Sintrom).Antikoagulan oral biasanya diberikan mengikuti pemberian heparin.



ANTIKOAGULAN ORAL



Trombosit merupakan faktor penting yang memulai dan yang mempropagasi terjadinya suatu pembentukan trombus. Oleh karena itu antiaggregasi trombosit



Golongan obat-obat antikoagulan oral ini berhngsi secara



WARFARIN Pemberian warfarin secara tunggal untuk pengobatan proses tromboemboli kurang bermanfaat, akan tetapi memberikan hasil yang memuaskan apabila diberikan mengikuti terapi heparin. Beberapa peneliti telah mendapatkan bahwa, terapi warfarin pada proses tromboemboli vena yang pertama kali terjadi, memiliki angka kekambuhan 22% dalam masa 'tfollow up" 3 bulan, dibandingkan 7% bila diterapi hanya dengan heparin atau LMWH. Pemberian warfarin selama 3 bulan pada pasien trombosis vena dalam yang telah diberi heparin selama 57 hari, akan mendapatkan insiden-trombosis berulang lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi lanjutan dengan warfarin dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian warfarin.



Dosis dan Cara Pemberian Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah pemberian heparin, dengan dosis 5- 10 mg peroral, kemudian dosis disesuaikan dengan nilai INR. Setelah tercapai target INR: 2-3 selama 2 hari berturut turut (biasanya memerlukan waktu 4-5 hari), heparin dapat dihentikan, pemberian warfarin diteruskan sesuai dengan protokol yang dipakai. Salah satu protokol/pedoman pemberian warfarin adalah seperti Tabel 2. Lama Pemberian Warfarin: Pada trombosis vena asimtomatik, untuk vena distal: 4 minggu, dan vena proksimal: 3 bulan. Padatrombosis vena disertai faktor risiko yang berlanjut, diberikan minimal selama 6 bulan. Apabila faktor risiko tersebut tidak dapat dihilangkan, terapi diteruskan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Pada trombosis vena dengan faktor risiko yang bersifat sementara (operasi, immobilisasi), terapi antikoagulan diberikan selama 4 minggu.



ANTIAGREGASI TROMBOSIT



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI INR



1 1 -4 1,5- 1,9 2,O-3,O 3,O-4,9 4,O-5,O > 5,O



Penyesuaian Dosis



Naikkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu Naikkan dosis 5 -10%. Kontrol 2 minggu Dosis tetap. Kontrol 1 minggu Turunkan dosis 5 -10%. Kontrol2 minggu Turunkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu Stop pemberian. Dipantau sld INR turun menjadi 3



merupakan suatu golongan obat pilihan untuk pengobatan dan pencegahan serangan iskemia yang disebabkan oleh adanya proses trombosis arterial. Peran antiaggregasi trombosit, berbeda dengan obat-obat golongan antikoagulan yang lebih bermanfaat pada trombosis vena. Golongan obat anti aggregasi trombosit pertama yang masih banyak dipakai sampai saat ini adalah asam salisilat (aspirin). Asam salisilat berfungsi menghambatlinhibisi pembentukan prostasiklin dan tromboksan A2 yang berperan pada jalur pengaktifan aggregasi trombosit.Akan tetapi, karena efek samping aspirin yang diberikan dalam jangka waktu yang cukup lama berupa iritasi lambung yang cukup mengganggu pasien, maka dikembangkan obat-obat barn golongan antiaggregasi trombosit. Salah satu obat antiaggregasi trombosit baru adalah "ADP Receptor Antagonist, yang juga berperan menghambat aktifasi trombosit, contohnya klopidogrel.Obat-obat lain yang juga diteliti bermanfaat untuk mencegah aggregasi trombosit adalah ticlopidin, dipiridamol dan sulfin pirazon. Telah diteliti perbandingan efek tiklopidin dan klopidogrel pada pengobatan penyakit arteri koroner, dan didapatkan hasil yang hampir sama. Indikasi pemberian obat-obat antiaggregasi trombosit adalah untuk pencegahan terjadinya serangan iskemia akut seperti iskemia strok, "transient ischaemic attack", angina pektoris, penyakit vaskular perifer.



Dosis dan Cara ~ e m b e r i a nAnti-aggregasi Trom bosit: Aspirin: 150-325mg, diberikan peroral. Untuk maintenen dilanjutkan dengan dosis 75- 150 mglhari. Klopidrogel: 75 mg/hari, diberikan per oral. Bisa diberikan dosis awal 300-600 mg apabila dibutuhkan mula kerja (onset of action) yang cepat. Tiklopidin: 2 x 250 mglhari, diberikan peroral. Bisa diberikan dosis awal500 mg apabila dibutuhkan mula kerja (onset of action) yang cepat. Dipiridamol2-3x 25 mghari, diberikan per oral.



OBAT TROMBOLlTlK Pengobatan dengan obat trombolitik seperti streptokinase, urokinase, recombinant tissue plasminogen activator (tPA) diberikan pada keadaan terjadinya emboli di arteri



dan untuk mengurangi besarnya bekuan darah pada trombosis vena dalam. Beberapa penelitian melaporkan, pada pasien trombosis vena dalam (DVT) yang mendapat obat trombolitik, angka kejadian sindroma pasca trombotik (Post Thrombosis Syndrome) berkurang. Indikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: infark miokard akut emboli paru trombosis vena dalam penyakit arteri oklusif kronis Kontraindikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah: Hipertensi berat, endokarditis bakterialis subakut, hamil trimester pertama, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, dan usia lanjut dengan kecendrungan degenerasi arteriosklerotik



Preparat Streptokinase, Obat ini berfungsi dan bertujuan untuk mengaktifkan pembentukan plasmin dari plasminogen. Dosis awa1250.000 IU, diberikan perinfus selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan dosis 100.000 I.U./jam, dengan pengontrolan waktu protrombin yang ketat. Lama pemberian adalah 24-72 jam, dan dilanjutkan dengan pemberian heparin dan antikoagulan oral sesuai protokol yang sudah dibahas sebelum ini. Urokinase, Dosis awal diberikan 4.000 unitKgBB, dan dilanjutkan dengan infk 4.000 unitKgBBIjam. Pemberian obat ini tidak memerlukan kontrol waktu protrombin. Tissue Plasrninogen Activator (rTPA) Pada pasien dengan BB >65, dosis awal 15mg, diberikan bollus 1.Vpelan-pelan, kemudian 50 mg perinfus selama 30 menit pertama, diikuti 35 mg selama 60 menit, sampai dengan dosis maksimal 100 mg dalam waktu 3 jam pemberian. Pada pasien dengan BB 300 mgI24 jam) dan berkembang sesudah 20 miggu kehamilan. Angka kejadian trombositopenia pada perempuan dengan preeklampsia 15%. Sedangkan penelitian lain menyatakan lebih berat yaitu 50%. Angka Kejadian preklampsia lebih tinggi pada negara berkembang. Faktor genetik diduga memainkan peranan penting namun belum jelas. Preeklampsia pada kehamilan sering dihubungkan karena jarak kehamilan yang panjang. Faktor keturunan perlu dipertimbangkan walaupun tidak dapat dijadikan patokan, sementara studi lain menyebutkan faktorpaternal dan genetik maternal juga mempengaruhi. Walaupun kondisi klinis baru tampak pada triwulan ke tiga kehamilan namun gejala telah muncul sejak awal kehamilan yang terlihat dari remodeling pada vaskularisasi uterus si ibu oleh sel trofoblas.



Penatalaksanaan Penanganan yang diberikan pada pasien dengan preeklampsi adalah terapi suportif dengan memperbaiki



kondisi klinis pasien untuk persiapan persalinan. Penanganan konservatif disarankan untuk preeklampsi ringan yang terjadi pada usia kehamilan sebelum 34 minggu dengan mempertimbangkankematanganjanin. Pemberian trombosit dilakukan bila akan dilakukan tindakan sesaria. Umumnya kondisi klinis pasien dengan preeklampsi membaik setelah beberapa hari paska persalinan.



HEMOLYSIS, ELEVATED LIVER ENZYMES, LOW PLATELET (HELLP) SYDROME Sindrom HELLP merupakan variasi bentuk preeklampsi berat. Angka kejadian adalah 7- 10% pada semua kehamilan. Sindrom HELLP kira-kira terdapat pada 21% trornbositopenia pada kehamilan. Patofisiogi Sindrom HELLP merupakan proses mikroangiopati dimana kerusakan endotel dapat menggangu adhesi trombosit.



Diagnosis dan Klasifikasi Sindrom HELLP Hemolisis (H): Gambaran abnormal darah tepi (adanya schistocite),Bilirubin total >1,2 mgldl, LDH >600 U IL Peningkatan enzim hati (EL): SGOT >70 UL, LDH >600



u/L



Jumlah trombosit menurun (LP): Trombosit < 100.000/ md



Kira-kira 50 % pasien mengalami gejala sindrom HELLP yang lengkap sedangkan 50% nya lagi dengan sindrom HELLP yang tidak lengkap gejalanya misalnya hanya EL, HEL, ELLP atau hanya LP. Beberapa Penulis membuat klasifikasi HELLP berdasarkan beratnya trombositopenia Kelas 1: Bilajumlah trombosit 20.000/mm3, sedangkan untuk persalinan dengan sesaria jumlah trombosit >50.000/ mm3.Bila persalinan dengan sesaria jurnlah trombosit 50.000/mm3dan tidak ada gejala maka tidak perlu diobati sedangkan bila trombosit CATHi" atau p.Asp99His), ditemukan secara sporadik dengan klinis berupa polisitemia. 3. Hemoglobin tidak stabil (unstable): Contohnya Hb atau p.Val98Met). Terjadi Kbln (P Cd98 GTGVa'>ATGMe' akibat mutasi gen yang mengubah rangkaian asam amino pada daerah yang penting untuk solubilitas atau pengikatan heme. Hb varian ini dijurnpai secara sporadik.



Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun rantai globin lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin tersebut. Akibatnya, terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai dengan rantai globin yang terganggu produksinya, seperti ditunjukkan di bawah ini. 1. Thalassemia-a, terjadi akibatberkurangnya (defisiensi parsial) (thalassemia-a') atau tidak diproduksi sama sekali (defisiensi total) (thalassemia-ao)produksi rantai globin-a 2. Thalassemia-P, terjadi akibat berkurangnya rantai globin-b (thalassemia- P+)atau tidak diproduksi sama sekali rantai globin-P (thalassemia- P ') 3. Thalassemia-GP terjadi akibat berkurangnya atau tidak diproduksinya kedua rantai-6 dan rantai-p. Hal yang sama terjadi pada thalassemia-y6P, dan thalassemia-



aP



4. Heterozigot ganda thalassemia a atau P dengan varian hemoglobin thalassemik: - Contohnya, thalassemia-PlHbE: diwarisi dari salah satu orang tua yang pembawa sifat thalassemia P, dan yang lainnya adalah pembawa sifat HbE.



BENTUK HEMOGLOBINOPATILAlNNYA Di samping hernoglobinopati struktural dan thalassemia, termasuk ke dalam kelompok kelainan hernoglobinopati adalah varian hemoglobin thalassemik, hemoglobin persisten herediter dan hemoglobinopati didapat.



1. Varian hemoglobin thalassemik : Hemoglobin yang abnormal secara struktur (hemoglobin struktural), dikaitkan dengan fenotip thalassemia. yang diwariskan bersama-sama (coinherited): a. Varian rantai globin P yang dikaitkan dengan fenotip thalassemia-p: - HbC, Asam amino glutamat digantikanoleh asam



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1381



DASAR-DASAR THALASSEMIA : SALAH SATU JENlS HEMOGLOBINOPATI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI amino lysin pada posisi 6 rantai globin P (Cd 6 GAGG1">AAGLY;atau p.Glu6Lys). Mutasi ini dijumpai di Afrika. - HbD-Punjab, Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino glisin pada posisi 121 rantai atau globin P (Cd 121 GAAGiU>GGAG'", p.Glul2 1Gly). - HbE,Asam amino glutamat digantikan oleh asam amino lysin pada posisi 26 rantai globin P (Cd 26 GAGG1">AAGLY;atau p.Glu26Lys). Mutasi ini banyak dijumpai di Asia Tenggara - H b Lepore (FP)O, Varian hemoglobin yang diproduksi oleh gen fusi ah, akibat delesi bagian 3' gen 6 dan bagian 5' gen P. Gen fusi ini mengkode rantai h s i 6P varian yang jauh lebih sedikit diproduksi dibandingkan dengan rantai p normal. Dijumpai dengan frekuensi rendah pada populasi Italia, Yunani dan Afro-amerikan dan Afro-Inggris. b. Varian rantai globin a yang dikaitkan dengan fenotip thalassemia a+ - Hb Constant Spring. Disebabkan oleh mutasi pada codon stop gen a, yang selanjutnya menyebabkan penambahan 32 asam amino pada rantai a 2 (a2 Cd142; TAAS'0p>CAAG1n+30aa atau p.Xl42GlnextX33) Frekuensi di Thailand 1 - 8 %. 2. Hemoglobin persisten herediter (Hereditarypersistent of fetal hemoglobin = HPFH): kadar HbF tetap tinggi sampai dengan dewasa 3. Hemoglobinopati didapat (acquired): Methemoglobin akibat terpajan bahan toksik, sulfhemoglobin akibat terpajan bahan toksik, karboksihemoglobin, HbH pada eritroleukemia,HbF yang meningkat pada keadaan stress eritroid dan displasia sumsum tulang.



EPlDEMlOLOGl THALASSEMIA Sebaran thalassemia terentang lebar dari Eropa SelatanMediteranian, Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara. Tabel 2 menunjukkan sebaran populasi thalassemia di dunia.



GENOTIP DAN FENOTIP THALASSEMIA-p Lebih dari dua ratus bentuk mutasi gen dijumpai pada thalassemia-a, namun beratnya defek bervariasi. Individu normal memiliki dua ale1gen globin-P, sehingga genotip thalassemia-P dapat muncul dalam bentuk heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotip ini dapat melahirkan berbagai bentuk fenotip thalassemia-P. Heterozigositas thalassemia-P disebut juga sebagai



Jenis thalassemia



Peta sebaran



Thalassemia-P



Populasi Mediteranian, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan, Cina Jarang di: Afrika, kecuali Liberia, dan di beberapa bagian Afrika Utara Sporadik: pada semua ras



Thalassemia-a



Terentang dari Afrika ke Mediteranian, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara Hb Bart's hydrops syndrome dan HbH disease sebagian besar terbatas di populasi Asia Tenggara dan Mediteranian



thalassemia-P trait. Sedangkan homozigositas atau heterozigositas ganda disebut juga sebagai thalassemiap mayor. Tabel 3 menunjukkan genotip dan fenotip



Bentuk thalassemia-8



Genotip



Fenotip



-



~halassemia-p" (p-zerothalassemia)



Thalassemia homozigot (popo)



Bervariasi (ringan sld berat)



~halassemia-p' (p-plusthalassemia)



Mutasi gen bervariasi heterozigot



Bervariasi (ringan sld berat)



~halassemia-po dan Thalassemia-p'



Heterozigot ganda: - 2 p0 berbeda atau 2 p' berbeda - atau podan B'



1. Thalassemia-Po, Thalassemia-p', Thalassemia homozigot dan heterozigot Thalassemia-Po (p-zerothalassemia) Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau terjadi delesi gen (jarang).Pada thalassemia homozigot (POPo)rantai-p tidak diproduksi sama sekali dan hemoglobin A tidak dapat diproduksi. Pada thalassemia-F(P-plus-thalassemia) ekspresi gen p normal menurun, namun tidak menghilang sama sekali, sehingga hemoglobin A masih diproduksi. Hingga saat ini telah ditemukan banyak jenis mutasi thalassemia-P' dengan berat defek sintesis rantai-p yang bervariasi, dari yang ringan sampai yang berat. Genotip homozigot thalassemia-fJmenunjukkan fenotip yang juga bervariasi, dari yang ringan sampai yang sangat berat. Sementara itu, heterozigot ganda dapat memiliki dua gen thalassemia-Poyang berbeda, atau dua gen thalassemia-P' yang berbeda, atau kombinasi gen thalassemia Po dan p. 2. Thalassemia-p trait Thalassemia-P trait mempunyai genotip berupa heterozigot thalassemia-P, seringkali disebut juga



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sebagai thalassemia-P minor. Fenotip kelainan ini secara klinis tidak memberikan gejala (asimtomatik). 3. Thalassemia-P mayor



Thalassemia-P mayor, dengan genotip homozigot atau heterozigot ganda thalassemia-P,menunjukkan fenotip klinis berupa kelainan yang berat karena penderita bergantung pada transfusi darah untuk memperpanjang usia. 4. Thalassemia-P intermedia



Thalassemia-(3intermedia menunjukkan fenotip klinis di antara thalassemia-P mayor dan thalassemia-P minor. Penderita thalassemia-P intermedia secara klinis dapat berupa asimtomatik, namun kadang kadang memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup. Thalassemia-Pintermedia merupakan kelompok kelainan yang heterogen dengan derajat beratnya kelainan bervariasi, mencakup: - homozigot dan heterozigot ganda thalassemia-e+ minor, atau heterozigot thalassemia-fiyang diperberat dengan faktor pemberat genetik berupa triplikasi alfa baik dalam bentuk heterozigot maupun homosigot. 5. Thalassemia-P dominan Mutasi thalassemia yang dikaitkan dengan fenotip kinis yang abnormal dari bentuk heterozigot disebut juga sebagai thalassemia-P dominan



-



GENOTlP DAN FENOTIP SINDROM THALASSEMIA-a



Thalassemia-a dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip klasik dengan fenotip yang berbeda, seperti tertera pada Tabel 4.



Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda (an asymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini ditemukan pada 15 - 20 % populasi keturunan Afrika.



2. Thalassemia-1-a trait (-a I-a atau aa I- -)



Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat berbentuk thala~semia-2~-a homozigot (-a/-a) atau thalassemia-la-a heterozigot (aal- -). Fenotip thalassemia-I-a trait menyerupai fenotip thalassemia-a minor.



3. Hemoglobin H disease (- -1- a) Pada penderita ditemukan delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda untuk thalassemia-2-a dan thalas. Pada fetus terjadi akumulasi semia-1-a (--/-a) beberapa rantai -P yang tidak ada pasangannya (unpaired pchains). Sedangkan pada orang dewasa akumulasi unpaired-P chains yang mudah larut ini membentuk tetramer P,, yang disebut HbH. HbH membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast, tetapi tidak berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar. Delesi tiga loki ini memberikan fenotip yang lebih berat. Bentuk kelainan ini disebut HbH disease. Fenotip HbH disease berupa thalassemia intermedia, ditandai dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan inefektivitas eritropoiesis yang lebih ringan.



4. Hydrops fetalis dengan Hb Bart's (- - 1- - ) Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Pada keadaan embrional ini sama sekali tidak diproduksi rantai globin a. Akibatnya, produksi rantai globin-8 berlebihan dan membentuk tetramer globin-8, yang disebut Hb Barts (84).8,ini memiliki afinitas oksigen yang sangat tinggi. Akibatnya, oksigen tidak ada yang mencapai jaringan fetus, sehingga terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gaga1 jantung kongestif, dan meninggaldalam uterus. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan jenis jenis thalassemia-a didasarkan atas lesi genetik.



Bentuk thalassemia-a



Genotip



Thalassemia-2-a trait Thalassemia-I-a trait: Thala~semia-2~-a homozigot Thalassemia-la-a heterozigot Hemoglobin H disease



(-a Iaa)



asimtomatik



-



(- a I- a)



-



(aa I--)



menyerupai thalassemia-f3 minor



Hydrops fetalis dengan Hb Barts



( 4- a) (- - I - - )



Fenotip



PATOGENESISTHALASSEMIA



thalassemia intermedia hydrops fetalis meninggal in utero



+



1. Thalassemia-2-a trait (-a 1aa):



Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai a (-a), yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-a lainnya yang lengkap (aa), diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai-a normal.



Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada thalassemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai globin a atau P, berupa perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters gen a atau p berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen thalassemia yang telah diidentifikasi, tidak jarang pada analisis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1383



DASAR-DASAR THALASSEMIA :SALAH SATU JENIS HEMOCLOBINOPATI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 1. Jenis jenis thalassemia-a yang berbeda. Kotak hitarn rnenunjukkan gen normal, sedangkan kotak putih menggambarkan delesi gen atau gen yang tidak aktif sebagian (parsial) atau seluruhnya (kornplit)



DNA thalassemia belum dapat ditentukan jenis mutasi gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen pada thalassemia. Clusters Gen Globin 1. Cluster gen-a terletak pada kromosom 16: - terdiri atas satu gen-c fungsional dan dua gen-a (a, dan a , ) - exon kedua gen globin-a memiliki sekuens yang identikal - produksi mRNA a, melebihi produksi mRNA a , , oleh faktor 1,5 ke 3



2. Cluster gen P terletak pada kromosom 11: - terdiri atas satu gen E fungsional, gen G%, gen *%, gen 6, dan gen p - flanking regions mengandung conserved sequences, penting untuk ekspresi gen 3. Pengaturan cluster gen globin - Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang besar, dengan kedua sekuens intron dan exon, yang secara ekstensif diproses di dalam nukleus untuk menghasilkan mRNA akhir. - Ekspresi gen globin diatur oleh mekanisme kontrol yang kompleks. 4. Perubahan dan perkembangan ekspresi gen globin - Globin-P yang diproduksi dalam konsentrasi rendah mulai minggu ke 8 sampai ke 10 masa fetus.dan sangat meningkat pada gestasi 36 minggu. - Globin-%yang diproduksi dalam konsentrasi pada awalnya, mulai menurun pada gestasi 36 minggu - Pada saat kelahiran globin-P dan globin-2 diproduksi secara seimbang - Pada usia 1 tahun, produksi globin-%kurang dari 1 persen dari produski globin non-a total - Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin



-



melibatkan "a time clock" dalam sel asal (stem cells) hemopoiesis Sintesis hemoglobin fetal dapat direaktivasi pada orang deasa bila terjadi stress hemopoiesis



DASAR MOLUKELAR THALASSEMIA-P Thalassemia-P merupakan kelainan hemoglobin yang memiliki banyak bentuk mutasi gen. Hampir dari dua ratus bentuk mutasi gen yang terjadi pada thalassemia P. Setiap kelompok populasi memiliki satu set mutasi thalasemia P yang berbeda, umumnya terdiri atas dua atau tiga jenis mutasi yang membentuk bulk, dikombinasikan dengan sejumlah besar bentuk mutasi yang jarang. Begitu luas pola distribusi, hanya 20 allel yang dicakup untuk sebagian besar determinan thalassemia-P. Secara garis besar mutasi gen pada thalasssemia -P dibagi menjadi dua kelompok bentuk mutasi gen, yakni bentuk delesi dan non delesi. 1. Delesi gen g1obin-P: Paling sedikit 17 delesi yang berbeda yang hanya dijumpai pada thalassemia-P, namun jarang dan tampaknya terisolasi, berupa kejadian tunggal (single event), kecuali delesi 619-bp pada ujung akhir 3' gen -P lebih sering ditemukan, walaupun terbatas pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Delesi ini mencakup lebih kurang 50 % allel thalassemia-P. Bentuk homozigot delesi ini menghasilkan thalassemia-Po. Heterozigot delesi ini menghasilkan peningkatan HbA, dan HbF, sama yang dijumpai pada bentuk mutasi lainnya thalassemia-P



2. Mutasi non delesi globin-P: Mutasi non delelesi globinp mencakup proses transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik (point mutations): - region promotor (promotor regions),



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mutasi transkripsional pada lokasi CAP (CAPsites, 5'-untranslated region) mutasi prosesing RNA: intron-exon boundaries, polyadenilation signal (Poly A signal), splice site consensus sequences, cryptic sites in exons, cyptic sites in introns. mutasi yang menyebabkan translasi abnormal RNA messenger: inisiasi (initiation), nonsense, dan mutasifiameshift. 3. Bentuk mutasi lainnya: Di samping kedua bentuk mutasi di atas dapat dijumpaijuga bentuk bentuk mutasi lainnya yang khas pada thalassemia P diwariskan secara dominan (dominantly inherited P thalassemias), varian globin P tidak stabil (unstable P-globin variants), thalassemia P tersembunyi (silent P-thalassemia), mutasi thalassemia P yang tidak terkait kluster gen globin P (Pthalassemia mutations unlinked to the Pglobin gene cluster), dan bentuk bentuk bervariasi thalassemia P (variantforms of @thalassemia) .



DASAR MOLEKULAR THALASSEMIA-a Haplotip gen globin-a dapat ditulis sebagai a a , yang menunjukkan gen-a, dan gen-a,. Individu normal memiliki genotip a a l a a . Pada thalassemia-a dapat terjadi mutasi gen yang berbentuk delesi dan non-delesi gen-a. Delesi Gen-a Delesi pada thalassemia-a yang mencakup satu (-a) atau kedua (- -) gen -a dapat diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, ditulis di atas (superscript). Contohnya (-a3') menunjukkan delesi 3,7 kb pada satu gen-a. Bila ukuran delesi belurn dapat ditentukan, maka ditulis sebagai (- - MED) yang artinya delesi kedua gen-a yang pertama kali diidentifikasipada individu yang berasal dari Mediteranian. Pada thalassemia-aO,terdapat 14 delesi yang mengenai kedua gen-a, sehingga produksi rantai-a hilang sama sekali dari kormosom yang abnormal. Bentuk thalassemia-a+ yang paling umum (dana4,2)mencakup delesi satu atau duplikasi lainnya gen globin-a



Kelas Mutasi Gen pada Thalassemia-a Tabel 5 di bawah menunjukkan jenis jenis mutasi gen-a yang menyebabkan thalassemia-a.



Jenis thalasserniaa



Bentuk rnutasi gen



~halassemia-a'



Delesi mencakup cluster gen globinTruncations of telomeric region of 16p Delesi HS40 region



Thalassemia-a'



Delesi mencakup gen-anatau -a, Point mutations mencakup gen-a2 atau -al: - prosesing mRNA: IVS 1 donor * IVS 1 acceptor * Poly (A) signal - translation mRNA: * initiation codon * Exon 1 atau l * Termination codon - post translation codon:* unstable a-globin



Thalassemia-a retardasi mental



ATR-16: - delesi atau telomeric truncations of 16p translokasi ATR-X: Mutasi KH2: * delesi * missense ' nonsense ' splice site



-



PATOFlSlOLOGl THALASSEMIA Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin satu atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis rantai globin (rantai-a atau rantai-p) menyebabkan sinstesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai a dan rantai p, yakni berupa a#,, maka pada thalassemia-Po,di mana tidak disintesis sama sekali rantai p, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai a yang berlebihan (a,). Sedangkan pada thalassemia-aO,di mana tidak disintesis sama sekali rantai a , maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai P yang berlebihan (P,).



a 3 3 '



Non-delesi Gen- a Pada lesi non-delesi kedua haplotip gen-a utuh (aa), sehingga diberikannomenklatur (aTa),di mana superscript T menunjukkan bahwa gen tersebut thalassemik. Narnun bila defek molekular diketahui, seperti pada hemoglobin Constant Spring, nomenklatur (aTa)dapat diubah menjadi (acsa). Ekspresi gen-a, lebih kuat dua sampai tiga kali dari ekspresi gen- a , , sehingga sebagian besar mutasi nondelesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen-a,



Patofisiologi thalassemia-P Pada thalassemia-a, di mana terdapat penurunan produksi rantai p, terjadi produksi berlebihan rantai a . Produksi rantai globin 3, di mana pasca kelahiran masih tetap diproduksirantai globin a,%(HbF), tidak mencukupi untuk mengkompensasi defisiensi a,P, (HbA). Hal ini menunjukkan behwwa produksi rantai globin P dan rantai globin % tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat rantai a yang berlebihan. Rantai a yang berlebihan ini merupakan ciri khas pada patogenesisi thalassemia-P. Rantai a yang belebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai gobin lainnya, akan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1385



DASAR-DASARTHALASSEMIA : SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif (inefektif), sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong (drive) profiferasi eritroid yang terus menerus (intens) dalam sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi (exacerbated) dengan adanya hemodilusi akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya splenomegali. Pada lirnpa yang membesar makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian akan dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi dan muatan besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan kematian. bila besi ini tidak segera dikeluarkan. Tabel 6 memperlihatkan patofisiologi thalassemia-P. Patofisiologi thalassemia-a Patofisiologi thalassemia-a umumnya sama dengan yang dijumpai pada thalassemia-P kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin-a. Hilangnya gen gl0bin-a tunggal (-ataa atau aTa/aa) berdampak pads fenotip. Sedangkan thalassemia-2a-a homozigot (-a/-a) atau thalassemia- la-a heterozigot ( a a



I- -) memberi fenotip seperti thalassemia-P carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-a memberikan fenotip tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan thalassemiaa0homozigot (-I-) tidak dapat bertahan hidup, disebut sebagai Hb-Bart's hydrops syndrome. Kelainan dasar thalssemia-a sama dengan thalassemiap, yakni ketidak seimbangan sintesis rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam ha1 patofisiologi kedua jenis thalassemia ini. Pertama, karena rantai-a dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperti pada thalassemia-p), maka thalassemia-a bermanifestasi pada masa fetus. Kedua, sifat-sifat yang ditimbulkan akibat produksi secara berlebihan rantai globin- dan -P yang disebabkan oleh defek produksi rantai globin-a sangat berbeda dibandingkan dengan akibat produksi berlebihan rantai-a pada thalassemia-P. Bila kelebihan rantai-a tersebut menyebabkan presipitasi pada prekursel eritrosit, maka thalassemia-a menimbulkan tetramer yang larut (soluble), yakni $, Hb Bart's dan p,, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 dan Tabel 7.



BEBERAPA PERBEDAAN PENTING ANTARA TH ALASSEMIA-a DAN THALASEMIA-P



Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan beberapa perbedaan penting antara thalassemia-a dan thalassemia-P, mencakup kelainan gen sampai dengan manifestasi klinik.



Hal yang Terjadi



AkibatnyalManifestasinya



Mutasi primer terhadap produksi globin:



Sintesis globin yang tidak seimbang



Rantai globin yang berlebihan terhadap metabolisme dan ketahanan hidup (survival) eritrosit



Anemia



Eritrosit abnormal terhadap fungsi organ



Anemia, splenomegali, hepatomegali, dan kondisi hiperkoagulabilitas



Anemia terhadap fungsi organ



Produksi eritropoietin dan ekspansi sumsum tulang, deformitas skeletal, gangguan metabolisme, dan perubahan adaptif fungsi kardiovaskular



Metabolisme besi yang abnormal



Muatan besi berlebih miokardium, kulit



+ kerusakan jaringan hati, endokrin,



Rentan terhadap infeksi spesifik Peningkatan kadar HbF; Heterogenitas populasi sel darah merah



Sel seleksi Modifiers genetik sekunder



Variasi fenotip: khususnya melalui respons HbF Variasi metabolisme bilirubin, besi, dan tulang



Pengobatan



Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi yang ditularkan lewat darah, toksisitas obat



Riwayat evolusioner



Variasi dari latar belakang genetik: respon terhadap infeksi



Faktor ekologi dan etnologi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dewasa



Fetus



Berlebihan



Berlebihan P4



Yd



Hb Bart's



HbH Afinitas oksigen t~nggiI HlPOKSlA lnstab~litashomotetramer Inclus~onbodies. Kerusakan membran. Umur eritros~tpendek I HEMOLlSlS Splenomegal~I HIPERSPLENISME



1



Gambar 2. Garis besar patofisiologi talasemia-a



Thalassemia-a Mutasi Sifat-sifat globin yang berlebihan



Sel darah merah



Anemia Perubahan tulang Besi berlebih



Delesi gen umum terjadi Tetramer y4atau P4yanglarut Pembentukan hemikrom lambat Band 4.l.tidak teroksidasi Terikat kepada band 3 Hidrasi berlebihan (overhydrated) Kaku (rigid) Membra hiperstabil p50 menurun Terutama hemolitik Jarang



Delesi gen umum jarang terjadi Agregat rantai-u yang tidak larut Pembentukan hemikrom cepat Band 4.1 teroksidasi lnteraksi kurang dengan band 3



Jarang



Umum



REFERENSI Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology o f the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg IIB, editors. The Thalassemia Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2001,p. 65284. 2. Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. 1st ed. Mald6en,MA: Blackwell Science: 2001, 1 186. 3. McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications. 2nd ed, Philadelphia, PA: Saundcrs: 2002, p 319 - 358. 1.



-



Thalassemia-P



Dehidrasi Kaku Membran tidak stabil p50 menurun Terutama diseritropoietik Umum



4. Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins: General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all, editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th ed, Philadelphia,PA: Lippincott Williams & Wilkins: 2004, p 1247 - 1262. 5. Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles o f Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593 - 601. 6. Weatherall DJ, Clegg JB. The Ihalassemia Syndromes. 4th ed. Malden, MA: Blackwell Science: 2001, p 3 - 82 7. Konsensu? Naasional Penatalaksanaan Thalassemia



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA Djumhana Atmakusuma



MANlFESTASl KLlNlS THALASSEMIA Kelainan genotip thalassemia memberikan fenotip yang khusus, bemariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan.



MANlFESTASl KLlNlS THALASSEMIA-/3 Thalassemia-P dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni: Thalassemia-P minor (trait) l beterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom Thalassemia-P mayor 1 homozigot: Anemia berat yang bergantung pada transfusi darah Thalasssemia-P intermedia: Gejala di antara thalssemiap mayor dan minor Pembawa sifat tersembunyi thalassemia-P (silent carrier)



PEMBAWA SlFAT TERSEMBUNYITHALASSEMIAp (SILENT CARRIER) a. Kelainan Genotip Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalassemia dengan variasi mutasi P yang heterogen, di mana hanya sedikit terjadi gangguan produksi rantai-p, sehingga dihasilkan rasio yang hampir normal antara rantai globin P dan a, tanpa menyebabkan kelainan hematologis



b. Gambaran Fenotip Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobin normal, kadar HbA2 normal dan kemungkinan adanya mikrositosis yang sangat ringan. Adanya pembawa sifat tersembunyi diketahui saat dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga dekat) pada anak dengan sindroma thalassemia-P yang lebih berat daripada kedua orangtuanya yang menunjukkan thalassemia-P trait.



THALASSEMIA-P MINOR (TRAIT) a. Gambaran Klinis Tampilan klinis normal. Hepatomegali dan splenomegali ditemukan pada sedikit penderita. b. Gambaran Laboratoris Pada penderita thalassemia-P minor biasanya ditemukan anemia hemolitik ringan yang tidak bergejala (asimtomatik). Kadar hemboglobin terentang antara 10 - 13 g% dengan jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, poikilositosis, sel target dan eliptosit, termasuk kemungkinan ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai sedang dengan eritropoiesis yang sedikit tidak efektif. Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3,5 - 8 %). Kadar HbF biasanya terentang antara 1 - 5 %. Pada bentuk varian lainnya yang jarang, ditemukan HbF berkisar antara 5-20%.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



THALASSEMIA-P MAYOR



yang sangat bergantung transfusi darah dan thalassemia trait yang asimtomatik



a. Gambaran Klinis Thalassemia-P mayor.biasanya ditemukan pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis anemia berat, Bila anak tersebut tidak diobati dengan hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai kadar Hb tinggi) akan terjadi peningkatan hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat hiperplasia eritroid yang ekstrim. b. Gambaran Radiologis Radiologi menunjukkan gambaran khas "hair on end". Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah menjadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan fisik dan perkembangannya terhambat. c. Gambaran Laboratoris Kadar Hb rendah mencapai 3 atau 4 g%. Eritrosit hipokrom, sangat poikilositosis, termasuk sel target, sel teardrop, dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit terjadi akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada darah tepi ditemukan eritrosit stippled dan banyak sel eritrosit bernukleus. MCV terentang antara 50 - 60 fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis, biasanya wrinkled dan folded dan mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1 % - 8 %, di mana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia eritroid dan hemolisis yang terjadi. Rantai globin-a yang berlebihan dan merusak membran sel merupakan penyebab kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga menimbulkan eritopoiesis inefektif. Elektroforesis Hb menunjukkan terutama HbF, dengan sedikit peningkatan HbA,. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun. sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dengan rasio eritroid dan mieloid kurang lebih 20:l. Besi serum sangat meningkat, tetapi total iron binding capacity (TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transfenin 80 % atau lebih. Fenitin serum biasanya meningkat.



a. Pengertian Tentang Thalassemia Intermedia Thalassemia-P intermedia adalah penderita thalassemia yang dapat mempertahankan hemoglobin minimum k 7 g% atau lebih tinggi tanpa mendapat transfusi. Ketidak seimbangan sintesis ranta-a dan -P berada di antara thalasemia trait dan mayor, sehingga fenotip klinik menyerupai gambaran di antara fenotip thalassemia mayor



b. Kelainan Genotip Penderita thalassemia-P intermedia dapat menunjukkan kelainan kelainan genotip yang berbentuk: homozigot untuk mutasi yang menyebabkan penurunan ringan ekspresi globin-P heterozigot ganda untuk untuk mutasi ringan atau mutasi yang menyebabkan pengurangan yang lebih nyata ekspresi globin-P pewarisan bersama (co-inheritance) dengan thalassemia-a, yang menyebabkan bentuk homozigot mutasi thalassemia-P yang lebih berat, namun dapat tetap berbentuk thalassemia yang tidak bergantung pada transfusi, karena rasio antara rantai-alrantai-p lebih seimbang. peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai globin-%dari mekanisme non-delesi ke bentuk delesi dengan hasil meningkatnya produksi HbF bentuk bentuk mutasi gen lainnya, seperti delesi thalassemia-6P,bentuk homozigot untuk bentuk mutasi tersebut, atau bentuk heterozigot ganda antara thalassemia-6P dan mutasi thalassemia-P pewarisan bersama antara thalassemia lokus-a triple ( a a a ) dan thalassemia-P heterozigot.



c. Gambaran Laboratoris Morfologi eritrositpada thalassemia intermediamenyerupai thalassemia mayor. Elektroforesis Hb dapat menunjukkan HbF 2 - 100 % ,HbA2 sampai dengan 7 %, dan HbA 0 - 80 %, bergantung pada fenotip penderita. HbF didistrubusikan secara heterogen dalarn peredaran darah. d. Gambaran Ktinis Gambaran klinik bervariasi dari bentuk ringan, walaupun dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang tidak dapat mentoleransi aktivitas berat dm fi.akturpatologik. Muatan besi berlebih dijumpai , walaupun tidak mendapat transfusi darah. Eritropoiesis nyata meningkat, namun tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang penyerapan besi via saluran cerna. Komplikasijantung dan endokrin muncul 10 - 20 tahun kemudian pada penderita thalassemia intermedia yang tidak mendapat transhsi darah.



THALASSEMIA-BIHEMOGLOBIN-E Kelainan Genotip dan Gambaran Fenotip Thalassemia-PMemoglobin-E(HbE) umumnya dijumpai di Asia Tenggara, di mana prevalensi kedua mutasi genetik ini cukup tinggi. Karena HbE kurang diproduksi, sama



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



THALASSEMIA: MANlFESTASl KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA



1389



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI halnya dengan pada thalassemia-P, maka bila kedua mutasi gen ini diwariskan bersama, terjadi defisiensi yang nyata produksi rantai g1obin-P. Gambaran klinik bervariasi di antara thalassemia intermedia sampai dengan thalassemia yang bergantung transf~isidarah dan tidak dapat dibedakan dengan thalassemia-P homozigot.



SINDROM KLlNlS THALASSEMIA-a Empat sindrom klinik thalassemia-a terjadi pada thalassemia-a, bergantung pada nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-a yang diproduksi. Ke empat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi thalassemia-a (silent carrier), thalassemia-a trait (thalassemia-a minor), HbH diseases dan thalassemia-a homozigot (l~yu'r-ops.fetulis)



7 - 10 g% dan retikulosit antara 5 - 10 %. Limpa biasanya membesar. Sumsuin tulang menunjukkan hiperplasia eritroid. Retardasi mental yang terakait dengan thalassemia-a dapat terjadi bila lokus atau loki dekat cluster gen-a pada kromosom 16, bermutasi atau ko-delesi dengan cluster gen-a. Krisis hemolitik terjadi bila penderita mengalami infeksi, hamil atau terpapar dengan obat-obat oksidatif. Krisis hemolitik dapat menjadi penyebab terdeteksinya kelainan ini, karena penderita HhH disease ini biasanya menunjukkan gambaran klinik normal. Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokromik dengan poikilositosis yang nyata, termasuk sel target dan gambaran beraneka-ragam. HbH mudah teroksidasi dan in vivo secara perlahan berubah ke bentuk Heinz-lika bodies dari hemoglobin yang terdenaturasi. Incltlsion bodies mengubah bentuk dan sifat viskoelastik eritrosit, menyebabkan umur eritrosit menurun. Splenektomi sering memberikan perbaikan.



PEMBAWASIFAT TERSEMBUNYI THALASSEMlAa HYDROPS FETALIS Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium Delesi satu gen globin-a menyisakan tiga gen globin-a fungsional ( - a l a a a ) , menyebabkan sindrom silent carrier. Rasio rantai globin-a/-P hampir normal. Gambaran klinis normal. Tidak ditemukan kelainan hematologis. Saat dilahirkan, Hb Bart's ($) dalam rentangan 1-2 %. Tidak ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier dengan kriteria hematologis. Bila diperlukan, dapat dilakukan studi gen.



THALASSEMIA-a TRAIT (MINOR) Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium Thalassemia-a trait dapat berupa bentuk homozigot-a+ ( - a / - a ) atau heterozigot-a0 (- -1aa). Sindrom ini lnenunjukkan tampilan klinis normal, anemia ringan dengan peningkatan eritrosit yang mikrositik hipokrom. Pada saat dilahirkan, Hb Bart's dalaln rentangan 2 - 10 %. Biasanya pada penderita dewasa tidak ditemukan HbH (P,).



HBH DISEASE Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan Laboratorium HbHdisease biasanya disebabkan oleh hanya adanya satu gen yang memproduksi rantai globin-a (- -1- a )atau dapat juga disebabkan oleh kombinasi andengan Hb Constant Spring (- -1 aCS a). Penderita mengalami anemia hemolitik kronik ringan sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara



K e l a i n a n Genotip, Gambaran Fenotip, Laboratorium dan Tindak Lanjut Thalassemia-a homozigot (- -1- -) tidak dapat bertahan hidup karena sintesis rantai globin-a tidak terjadi. Bayi lahir dengan hydrops fetalis, yakni edema disebabkan penumpukan cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia berat. Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart's (a,), bersama dengan Hb Portland 5-20 %, dan sedikit HbH. Hb Bart's mempunyai afinitas oksigen yang tinggi, sehingga tidak dapat membawa oksigen ke jaringan . Fetus dapat bertahan hidup karena adanya Hb Portland, tetapi Hb jenis ini tidak dapat mendukung tahap berikutnya pertumbuhan fetus, dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia. Bayi dilahirkan prematur, dapat lahir hidup lalu meninggal beberapa saat kemudian. Fetus menunjukkan anemia, edema, asites, hepatosplenomegali berat dan kardiomegali. Pada saat lahir bayi ~nenurijukkananemia mikrositik hipokrom. Rongga sumsum tulang melebar dengan hiperplasia eritroid yang nyata. Hal ini menunjukkan eritropoiesis ekstramedular. Kehamilan dengan I~ydropsfetalis berbahaya bagi si ibu, kal-eila dapat menyebabkan toksemia dan perdarahan berat pasca partus. Adanya hydrop.5 fetalis ini dapat diketahui pada pertengahan umur kehamilan dengan ultrasonografi. Terminasi awal dapat menghindarkan kejadian berbahaya ini pada si ibu.



PENDEKATANDIAGNOSIS THALASSEMIA Untuk menegakkan diagnosis thalassemia diperlukan langkah langkah sebagai berikut, seperti yang digambarkan pada algoritma di bawah ini:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Riwayat penyakit (Ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan)



1



Pemeriksaan fisik (Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi)



1 Laboratorium darah dan sediaan apus (Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepiltermasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH



1



Elektrofosresis hemoglobin (Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan H Barts)



1 Penentuan HbA2 dan HbF (Untuk memastikan thalassemia-P)



P



Distribusi HbF intraselular



Sintesis rantai globin Analisis struktural Hb varian (misal:Hb Lepore)



Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia



Riwayat penderita dan keluarga sangat penting dalam mendiagnosis thalassemia, karena pada populasi dengan ras dan etnik tertentu terdapat frekuensi yang tinggi jenis gen abnormal thalassemia yang spesifik. Pemeriksaan fisik mengarahkan ke diagnosis thalassemia, bila dijumpai gejala dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus yang menunjukkan hemolitik, splenomegali yang menunjukkan adanya penumpukan ( p o o l i n g ) sel abnormal, dan deformitas skeletal, terutama pada thalassemia-P, yang menunjukkan ekpansi rongga sumsum tulang, pada thalassemia mayor.. Penderita sindrom talassemia urnumnya menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan hematokrit menurun, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia, yang menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. Pada thalassemia mayor yang tidak diobati, relative distribution width (RDW) meningkat karena anisosotosis yang nyata. Namun, pada thalassemia minor RDW biasanya normal; ha1 ini membedakannya dengan anemia defisiensi besi. Pada pewarnaan Wright eritorsit khas mikrositik dan hipokrom, kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada thalassemia-P heterozigot dan HbH disease, eritrosit



mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai dengan menengah. Pada thalassemia-aO heterozigot terdapat mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi kurang poikilositosis. Pada thalassemia-P homzigot dan heterozigot berganda, dapat ditemukan poikilosotpsis yang ekstrim, termasuk sel target dan eliptosit, dan juga polikromasia, basophillic stippling, dan nRBCs. Hitung retikulosit meningkat, menunjukkan sumsum tulang merespon proses hemolitik. Pada HbH Disease, hitung reikulosit dapat mencapai 10%. Pada thalassemia-P homozigot hitung retikulosit kurang lebih 5%; ha1 ini secara tidak proporsional relatif rendah terhadap derajat anemia. Penyebabnya paling munglcin akibat eritropoiesis inefektif. Sumsum tulang penderita thalassemia-P yang tidak diobati menunjukkan hiperselularitas yang nyata dengan hiperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis ekstramedula terlihat menonjol. Namun HbH disease kurang menunjukkan hiperplasia eritroid. Sementara itu, thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hiperplasia eritroid ringan. Eritrosit thalassemia yang mikrositik hipokrom memiliki fragilitas osmotik yang menurun. Hal ini digunakan sebagai dasar dari variasi one-tube tes fragilitas osmotik sebagai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



THALASSEMIA: MANIFESTAS1 KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA



1391



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI uji tapis pembawa sifat thalassemia pada populasi di mana thalassemia sering dijumpai. Namun, tes ini tidak dapat membedakannya dengan anemia defisiensi besi, karena pada pada anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas osmotik yang menurun. Pada thalassemia-a minor (trait), HbH disease, dan thalassemia-a pembawa sifat tersembunyi (silent) tes pewarnaan brilliant cresyl blue untuk HbH inclusions dapat digunakan untuk merangsang presipitasi HbH yang secara intrinsik tidak stabil. HbH inclusions (rantai globin-P yang terdenaturasi) mempunyai ciri khas berupa materi (bodies) yang kecil, multipel, berbentuk iregular, berwarna biru kehijauan, yang mirip bola golf atau buah raspberry. Materi ini biasanya tersebar merata dalam eritrsoit. Pada HbH disease. Hampir seluruh eritrosit mengandung inclusions, sedangkan pada thalassemiaa minor hanya sedikit eritrosit yang mengandung inclusions, sementara itu pada thalassemia-a pembawa sifat tersembunyi inclusions ini jarang sekali ditemukan. Inclusions ini berbeda dengan Heinz bodies, di mana materi ini menunjukkan ukuran yang lebih besar, jumlahnya sedikit, dan sering letaknya eksentrik di sepanjang membran eritrosit. Bila tidak ditempkan HbH inclusions tidak berarti menghilangkan kemungkinan diagnosis thalassemia-a minor atau pembawa sifat tersembunyi. Untuk itu diperlukan matoda pemeriksaan khusus. Elektroforesis dengan selulosa asetat pada pH basa penting untuk menapis diagnosis hemoglobin H, Bart's, Constrant Spring, Lepore, dan variasi lainnya. HbH dan Bart's cepat bergerak pada selulosa asetat pada pH basa tetapi pada pH asam hanya mereka merupakan hemoglobin yang bermigrasi anodally. Peningkatan HbA, dengan elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji tapis thalassemia-P minor, yang diukur dengan menggunakan mikrohematografi. Nilai HbA, Peningkatan HbF yang ditemukan pada thalassemia-bp, HPFH dan varian thalassemia-p lainnya dapat dideteksi juga dengan elektroforesis. Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan analisis DNA dikerjakan untuk mengidentifikasi genotip spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, untuk membedakan thalassemia-a carrier dari thalassemiaa p carrier, untuk mengidentifikasi gen pembawa sifat tersembunyi, atau melihat pola pewarisan keluarga dengan gen yang banyak. Harus ditentukan apakah keuntungan uji lengkap ini melebihi biayanya



THALASSEMIA INTERMEDIA Sebelum kita mendiagnosis thalassemia intermedia, seyogyanya kita mengetahui komplikasi akibat penyakit thalasemia itu sendiri, karena dengan mengetahui komplikasi tersebut, bila kita temukan gejala dan tanda tersebut kita harm berfikir kemunglunan orang ini penderita



thalassemia intermedia.



a. Komplikasi Thalassemia lntermedia Komplikasi yang terjadi pada thalassemia intermedia dapat diakibatkan oleh proses penyakitnya atau oleh pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit thalassemia, mencakup: Kardiomiopati Ekstramedullary hematopoiesis Kolelitiasis Splenomegali Hemokromatosis Kejadian trombosis (hiperkoagulasi, risiko aterogenesis, lesi iskemik cerebral asimtomatis) Ulkus maleolar Deformitas dan kelainan tulang (osteoporosis) b. Diagnosis Thalassemia lntermedia Diagnosis thalassemia intermedia mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, seperti diuraikan di bawah ini, yang dikutip dari Panduan Penatalakasanaan Thalassemia Intermedia Perhimpunan Hematologi & Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) Juli 2008. b.1. Anamnesis Usia tersering >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2 18 tahun) bAdanya tanda dan gejala anemia dengan atau tanpa riwayat Splenomegali Batu empedu Trombosis (DVT, stroke,fetal loss syndrome, APS) Kardiomiopati Hemopoiesis ekstramedular . Penyakit hati kronik Ulkus maleolar Kelainan endokrin /diabetes melitus b.2. Pemeriksaan Fisik Facies Thalassemia Pucat, Ikterik+/Hepatosplenomegali sedang-berat Gangguan pertumbuhan tulang +/b.3. Laboratorium Darah tepi lengkap - Hemoglobin - Hematokrit - Retikulosit - Sediaan apus darah tepi : anemia mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda (normoblast), fiagmentosit, sel target.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



- Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC, RDW) bila



tidak ada cell counter, lakukan uji resistensi osmotik 1 tabung (fragilitas) Analisis hemoglobin: 1. Elektroforesis Hemoglobin - Hb varian kualitatif (elektroforesis cellulose acetaet membrane) - HbA2 kuantitatif (metoda mikrokolom) - HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit) - HbH inclusion bodies (pewarnaan supravitall retikulosit) Atau 2. Metoda HPLC (Beta short variant Biorad): analisis kualitatif dan kuantitatif



b.4. Radio imajing (tentative) MRI : untuk melihat hematopoisis ekstramedular MRI T2* : untuk melihat iron overload pada jantung b.5. Pemeriksaan Komplikasi PenyakitThalssemia Splenomegali Pemeriksaan fisik atau USG Kolelitiasis: USG I CT scan Hemopoiesis ekstramedular: Foto rontgrn (X ray) Kelainan tulang: X ray IMRI Trombosis (DVT, Stroke, APS): USG duplex, angiografi, hemostasis Kelainan jantung : Eko kardiografi atau T2* MRI Kelainan hati: LICILiver Iron Concentration (biopsi atau T2* MRI) c. Penatalaksanaan Penderita Thalassemia lntermedia Penderita thalassemia dewasa diawali dengan penentuan kadar hemoglobin dan adanya pansitopenia (penurunan Hb progresif < 7 g/dl, leukopeni < 30001ul trombositopeni < 80.0001 ul) yang menunjukkan adanya hipersplenisme. Berdasarkan kadar hemoglobin (7 - 9 gr), ditentukan langkah penatalaksanaan selanjutnya. c.1. Hb < 7 grldl Disertai dengan splenomegali Masif: Pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan. Imunoprofilaksis pra splenektomi merupakan keharusan, mencakup: vaksinasi anti meningococus vaksinasi anti hemophilus influensa Pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis antibiotik (penisilin oral) c.2. Hipersplenisme Pads keadaan ini 'plenektomi m e r u ~ a k a npilihan



pengobatan.



c.3. Pasca splenektomi bila Hb :7 gr %: Pada keadaan ini penangan komplikasi merupakan keharusan, mencakup: batu empedu: kolesistektomi infeksi: antibiotika hiperurikemia /Gout: allopurinol aterogenesis: pemantauan lanjut sesuai tatalaksana aterogenesis ulkus tungkai: perawayan luka diabetes melitus: sesuai dengan tatalaksana diabetes melitus hiperkoagulasi dan trombosis: aniagregasi trombosit dan antikoagulan oral osteoporosis:bisfosfonat, dl1 kelainan hat: obat antivirus iskemia serebral: terapi sesuai dengan tatalaksana baku eritropiesis heterotropik:hidroksiurea hemokromatosis: terapi kelasi besi c.4. Pasca splenektomi bila Hb > 7 gr % Pada kondisi ini transfusi darah merah pekat . d. Hb < 7grldl tanpa splenomegali Pemantauan klinis dan hematologi e. Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia diberikan atas indikasi, sebagai berikut : Gangguan pertumbuhan Kondisi stres sementara : kehamilan, infeksi Manifestasi klinis anemia Gagal jantung kongestif Ulkus tungkai f. Pemantauan besi pada penderita thalassemia intermadia: Setiap transfusi: rata rata asupan besi Setiap 3 bulan: dosis kelasi dan frekuensi, fungsi hati, feritin serial Setiap 6 bulan (pada anak): pertumbuhan dan perkembangan seksual Setiap tahun: inuatan besi hati, fungsi jantung (ekokardiografi), MRl jantung T2*, fungsi hati, ferritin serial g. Pengobatan muatan berlebih besi Ada beberapa pilihan obat yang direkomendasikan untuk untukterapi kejasi, sepefii tertera pada Tabel 1 di bawah ini.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



THALASSEMIA:MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA



1393



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terapi



Rekomendasi



Deferasirox



Dosis awal 20 mglkglhari pada pasien yang cukup sering mengalami transfusi



(Exjade@)



30 mglkglhari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang tinggi 10-15 mglkglhari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang rendah



DFO



20-40 mglkg (anak-anak), = 50-60 mglkg (dewasa)



(Desferala)



Pada pasien anak < 3 tahun, direkomendasikan untuk mengurangi dosis dan melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tulang



Deferiprone



75 mglkglhari



(Ferriproa)



Dapat dikombinasikan dengan DFO bila DFO sebagai tidak efektif



PROGRAM PENCEGAHAN Program pencegahan berdasarkan penapisan pembawa sifat thalassemia dan diagnosis pranatal telah dapat m e n d a n secara bermakna kejadian thalassemia mayor pada anak-anak di Yunani, Siprus, Italia daratan dan Sardinia. Penapisan pembawa sifat thalassemia-P lebih berdaya guna bila dikerjakan dengan penilaian indeks sel darah merah. Individu dengan MCV dan MCH yang rendah dinilai konsentrasi HbA,-nya. Masalahnya timbul pada penapisan individu dengan pembawa sifat thalassemia-a bersamaan (co-existent) dengan thalassemia-a. Di Indonesia program pencegahan thalassemia-P mayor telah dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui program health technology assesrnent (HTA), di mana beberapa butir rekomendasi, sebagai hasil kajian, diusulkan dalam program prevensi thalassemia, termasuk teknik dan metoda uji saring laboratorium, strategi pelaksanaan dan aspek medikolegal, psikososial, dan agama



DIAGNOSIS PRANATAL Mutasi thalassemia-a, biasanya dapat dideteksi dengan analisis DNA langsung yang diperoleh dari fetus dengan biopsi villus korionik atau cairan amniosentesis. DNA dianalisis dengan metoda polymerase chain reaction (PCR) dan metoda hibridisasi molekular untuk menentukan adanya mutasi thalassemia. Bila ke dua pasangan orang tua membawa sifat gen thalassemia minor, diagnosis pra natal thalassemia-a homozigot pada bayi yang dikandung dapat dibuat dengan analisisis endonuklease restriksi DNA, yang diperoleh dari villus korionik atau cairaan aminiosentesis.



Tidak adanya gen-a memastikan diagnosis. Terminasi awal akan dapat mencegah akibat berbahaya bagi si ibu, yakni toksemia dan perdarahan hebat pasca partus.



REFERENSI 1. Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology of the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg JB, editors. The Thalassemia Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2 0 0 1 , ~ .65284. 2 . Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. 1st ed. Malden,MA: Blackwell Science: 2001, 1 - 186. 3. McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications. 2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358. 4 . Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins: General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all, editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th ed, Philadelphia,PA: Lippincott Williams & Wilkins: 2004, p 1247 - 1262. 5 . Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593 - 601. 6 . Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. 4th ed. Malden, MA: Blackwell Science: 2001, p 3 - 826. 7. Fucharoen S, Winichagon P. Clinical and hematologic aspect of hemoglobin E L thalassemia. Current Opinion in Hematology: 2000,7,2, p 106 - 112. 8. Olivieri,MD. Management of the Beta-Thalassemias. Education Program Book. International Society of Hematology: 2000, p 8 - 11 9. Cohen AR, Galanello R, Pennel DJ, et al. Thalassemia.Education Program Book. American Society of Hematology: 2004, p 14 - 34 10. Guidelines for the Clinical Management of Thalassemia. Thalassemia International Federation. 2 nd ed. Thalassemia International Federation,.Cyprus, 2007: p 6 - 189.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TRANSPLANTASI SEL PUNCA/INDUK DARAH A. Harryanto Reksodiputro



PENDAHULUAN Rekayasa jaringan mempakan terobosan baru dalam bidang kedokteran karena menggabungkan ilmu biologi dan rekayasa untuk menciptakan meteode biologik yang dapat menggantikan atau memulihkan jaringan-jaringan yang rusak. Sel-sel sumsum tulang atau darah tepi telah dikultur di laboratorium dan subpopulasi terpilih kemudian dipakai untuk mengobati jaringadorgan yang rusak. Sel punca (stem cell) adalah sel-sel yang berasal dari embrio, janin, atau individu, yang belum berdiferensiasi dengan kemampuan memperbaharui diri yang tak terbatas atau terus-menerus dan dengan dengan induksi yang spesifik, dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang spesifik. Sel induk (progenitor cell) adalah sel-sel yang berasal dari janin atau individu yang berdiferensiasi parsial yang kemudian dapat membelah dan membentuk sel yang spesifik. Sel punca dan sel induk dibedakan berdasarkan kemampuannya bereplikasi setelah membelah. Ketika membelah, satu dari dua sel yang baru tersebut biasanya adalah sel punca yang mempunyai kemampuan memperbaharui dirinya sendiri kembali. Sedangkan ketika sel progenitor membelah, akan terbentuk sel progenitor kembali atau sel yang terdierensiasi, dimana keduanya tidak mempunyai kemampuan memperbaharui dirinya sendiri. Sel punca atau induk dapat menjadi sel-sel saraf, jantung, pankreas, dan lain-lain. Sel-sel ini berpotensi mengganti sel jaringan yang rusak atau hancur karena penyakit berat. Sel punca dapat berasal dari embrio yang sedang membelah (embryonal stem cells),janin (embryonicgerm cell), atau dari sel-sel yang telah mengalami derajat maturasi tertentu tanpa memandang usia individu (adult stem cells). Sel asal embrio diperoleh dengan menghancurkan embrio atau janin tersebut sehingga



banyak mengundang konflik etik dan moral. Dalam bab ini yang dimaksudkan untuk transplantasi adalah sel punca non-embrionik. Transplantasi sel punca (haemopoietic stem cell transplantation) merupakan prosedur pencangkokan sel punca (stem cell) atau sel induk (progenitor cell) darah dari satu individu ke individu lain, atau dari individu itu sendiri yang disimpan terlebih dahulu sebelum pemberian kemoterapi dan kemudian dicangkokkan ke dalam dirinya sendiri pasca pemberian kemoterapi tersebut. Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel puncd sel induk darah dari penerimanya (resipien), transplantasi dikelompokkanmenjadi: Singenik. Sel puncdsel induk darah donor berasal dari spesies yang sama, identik secara genetik, misalnya pada saudara kembar Allogenik. Sel puncalsel induk darah berasal dari donor saudara kandung, orangtua, atau dari orang lain yang cocok sistem HLA-nya. Autologus. Sel puncdsel induk darah berasal dari pasien sendiri. Pada tahun 1950 Jacobson dan Lorenz melaporkan kematian seekor hewan pengerat yang menjalani irradiasi seluruh tubuh (total body irradiation/TBI) dapat dicegah dengan pemberian intravena sel limpa atau sel sumsurn tulang. Untuk beberapa saat, timbul beda pendapat, efek proteksi yang didapat apakah akibat hormonal atau sel yang diberikan intravena. Cole serta Alpen dan Baum menyokong cellreplacement theory dengan menggunakan mencit dan anjing. Pada tahun 1956,Ford mengemukakan teori radiasi chimaera, yaitu hematopoiesis hewan yang mendapat radiasi dapat diganti dengan injeksi sumsum hewan lainnya. Chimaera diartikan sebagai didapatkannya populasi sel yang berasal dari individu berbeda, diberikan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1395



TRANSPLANTAS1 SEL PUNCAIINDUK DARAH



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kepada satu resipien. Kemudian diketahui bahwa hematopoiesis chimaera hanya dapat berhasil setelah pemberian terapi imunosupresif intensif, yaitu TBI. Saat ini, transplantasi sel puncalinduk darah sering dilakukan dengan tujuan untuk: Memperbaiki sindrom gaga1 sumsum tulang (misalnya leukemia, anemia aplastik, kelainan herediter, dan sebagainya). Melindungi sumsum tulang dari dampak mieloblasi radiasi atau kemoterapi sitostatika dosis tinggi (misalnya pada limfoma non-Hodgkin). Memasukkan sel punca darah, sel genetika normal1 direkayasa menjadi normal (terapi gen).



Kanker: Leukemia akutkonik Praleukemidsindrom mielodisplasia (MDS) Kelainan limfoproliferatif (misalnya limfoma nonHodglun, mieloma multipel) Tumor padat (neuroblastoma, kanker payudara, kanker paru sel kecil, sarkoma Ewing, dan lain-lain). Bukan Kanker: Kegagalan sumsum tulang (misalnya anemia aplastik) lmunodefisiensi Kelainan darah (talassemia, anemia sel sabit) Kelainan genetik nondarah



SUMBERSEL PUNCNINDUK DARAH Sel puncalsel induk darah saat ini diperoleh dari tiga suinber yang kemudian dipakai sebagai nama jenis transplantasi sel asallsel induk, yaitu 1). Sumsum tulang: transplantasi sumsum tulang atau bone marrow transplantation (BMT), 2). Sel darah tepi: transplantasi sel induk darah tepi atau peripheral blood stem cell transplantation (PBSCT), 3). Tali pusat bayi baru lahir: transplantasi sel induk darah tali pusat bayi baru lahir atau umbilical cord blood transplantation (UBCT).



LANGKAH-LANGKAH MEMPEROLEH DAN MENYEDIAKAN SEL PUNCNINDUK DARAH Perolehan dan penyediaan sel puncalinduk darah merupakan salah satu kegiatan terpenting dari rangkaian BMT atau PBSCT. Jumlah, kualitas, dan viabilitas sel puncalinduk darah yang baik dan optimal merupakan syarat mutlak keberhasilan transplantasi. Langkah-langkah tersebut adalah: 1). Memperoleh sel puncalinduk darah dari sumsum tulang, darah tepi, atau darah tali pusat bayi baru lahir, 2). Pemisahan sel puncalinduk darah, diikuti



dengan pemrosesan kedua, yang mencakup pemekatan (mengkonsentrasikan sel puncdinduk darah), deplesi sel limfosit T, pembersihan sel puncalinduk darah dari sel tumor (tumor purging), seleksi sel CD34+, dan lain-lain, 3). Penilaianlpengendalian kualitas dan viabilitas sel puncal induk darah yang didapat, 4)Kriopreservasi dan penyimpanan sel puncalinduk darah, 5)Pencairan sel puncatinduk darah yang disimpan beku, 6)Transplantasi sel puncalinduk darah.



KEGIATAN MEMPEROLEH SEL PUNCAIINDUK DARAH Sebelum sel punca dari donor diambil, dilakukan pemeriksaan lebih dahulu terhadap donor. Salah satunya, pemeriksaan terhadap infeksi, dilakukan bersamaan dengan atau sebelum prosedur pengambilan sel (dalam waktu 4 minggu) pada donor produk sel aferesis/sumsum. Sementara untuk donor darah tali pusat, pemeriksaan terhadap ibu dilakukan dalam waktu 1 minggu sebelum atau sesudah melahirkan. Tindakan untuk memperoleh sel puncdinduk darah dari tiga jenis sumber sangat berbeda. Pada BMT, sel puncal induk darah diambil dengan melakukan aspirasi sumsum tulang pada spina iliaka posteriorlanterior donor sehat (BMT alogenik) atau dari pasien sendiri (autologus) yang sudah dinyatakan remisi lengkap pasca kemoterapi sitostatika, misalnya pasien limfoma non-Hodgkin. 'Tindakan ini dilakukan di kamar bedah steril di bawah anestesi umum dan memerlukan penggantian volume sumsum tulang yang dikumpulkan dengan transfusi darah autologus. Pada PBSCT, sel induk darah dalam sumsum tulang dimobilisasi ke darah tepi dengan rangsangan factor pertumbuhan hemopoietik (G-CSF, GM-CSF), atau dengan sitostatika tunggal dosis tinggi (siklofosfamida), atau kombinasi keduanya. Untuk donor allogenik, digunakan G-CSFIGM-CSF, sedangkan untuk pasien transplantasi autologus dapat digunakan kombinasi keduanya. Pada donor alogenik, hari ke-5 atau ke-6 atau lebih pascastimulasi G-CSFIGM-CSF , sel puncalinduk darah dapat dipanen (harvesting) dengan media aferesis. Tindakan ini dilakukan pada pasien dalm keadaan sadar dan tidak memerlukan transfusi darah. Sel puncalinduk darah tali pusat dan plasenta dapat diambil secara ex zzltero maupun in zdtero. Sel puncdinduk diambil dari bayi baru lahir dengan mengaspirasi darah langsung dari tali pusat, dalam keadaan steril, dan kemudian ditampung dalam kantung darah steril. Pengarnbilan darah tali pusat in utero dapat dilakukan dengan syarat hanya pada kehamilan tunggal, pada persalinan yang diperkirakan tidak ada komplikasi, dan usia janin minimal 34 minggu.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1396



HEMATOLOGI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Agar transplantasi berhasil, jumlah sel puncalinduk darah hams memenuhi syaratjumlah minimal dan optimal yang diperoleh dari satu kali atau beberapa kali panen, baik pada BMT, PBSCT, maupun UCBT



PEMISAHAN SEL PUNCAllNDUK DARAH DAN PEMROSESANSEKUNDER Sel puncdinduk darah yang diperoleh dengan ketiga cara di atas dipisah-pisahkan dengan alat pemisah komponen darah (bloodseparator). Kemudian dilakukan pemrosesan sekunder pada sel punca/induk darah yang didapat, yang meliputi: Pemekatanlkonsenstrasi sel puncdinduk darah. Deplesi sel limfosit T (sel T), pada transplantasi alogenik Pembersihan sel asallinduk darah dari sel tumor (tumor purging) Pemilihadseleksi sel induk darah (sel CD34+) Sel punca ditandai dengan adanya ekspresi CD34 dan Thy 1 dan absennya CD38, CD33, dan HLA-DR. CD34 adalah penanda untuk sel punca dan induk pada manusia . Pemekatan sel induk darah bertujuan memudahkan pemrosesan selanjutnya dan kriopreservasi. Agar tidak hancur pada suhu di bawah OvC, ke dalam konsentrat tersebut dimasukkan dimetilsulfoksida (DMSO) 10% dan untuk pertumbuhannya diberikan plasma autologus. Deplesi sel T dilakukan pada transplantasi alogenik untuk mengurangi terjadinya dan beratnya graft-versu,~-



host disease (GVHD), karena kejadian GVHD berkaitan erat dengan dosis sel limfosit T yang diinfuskan. Salah satu teknik deplesi sel T adalah dengan antibodi monoklonal (Campath) in vitro dan in vivo. Pembersihan sel puncdinduk darah dari kontaminasi sel tumor (tumorpurging) masih bersifat spekulatif, karena belum ada teknik purging yang menunjukkan masa bebas penyakit. Teknik-teknik tersebut mencakup teknik fisika, kimia, dan imunologik. Seleksi positif sel CD34+ telah terbukti bermanfaat untuk transplantasi sumsum tulang autologus. Teknik ini mungkin berguna untuk deplesi limfosit T atau sel tumor dari inokulum PBSC, atau sebagai proses awal insersi gen, atau ekspansi in vitro sel induk darah.



KEGIATAN PENlLAlANlKONTROL SEL PUNCAI INDUK DARAH YANG DIPANEN Di samping harus memenuhi syarat kuantitas, sel puncal induk darah yang dipanen juga hams mempunyai kualitas dan viabilitas yang optimal. Penilaian kuantitas dan kualitas selalu dilakukan terhadap sel puncalinduk darah yang dipanen, pada pemrosesan sekunder, dan pada sel yang disimpan dalam nitrogen cair. Kuantitas sel puncalinduk darah dinilai dengan menghitung sel CD34+ (sel induk darah) dengan alat sitometri arus fi~lcytomctry). Teknik ini cepat dan akurat. Jumlah koloni sel yang tumbuh dengan teknik kultur colony fbrming tinit-granulocyte mucrophuge (CFU-GM) dapat



D0I.d r:tP



Sum sum Tu bng



Darab T a Darah Tab Pwat



v



-----h 6-CSF



+



S t l pmca dpis&Clan



S t l plntcsyang mash bcrcanpur KI-nl daah



dan dihkubasl dtngm



Ian



antibodi



/



d



ScI punca rang terikat ant~bodr dlprsahkn



Rml



Sel Fun ca



/-*\



I



Pellcalrai



ST b:.)mg!



e



Gambar 2. Alur transplantasi sel punca darah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



%



;ohme caran dikurangl



3



b rl~~rescrvasi



TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK DARAH



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI juga digunakan untuk menentukan jumlah sel induk darah, namun hasilnya lama (10-14 hari). Teknik ini dapat digunakan untuk menilai viabilitas sel induk darah. Teknik lain adalah dengan pewamaan trypan blue. Di samping tes kuantitas dan viabilitas, hams dipastikan tes mikrobiologi bahwa sel puncalinduk darah yang dipanen tidak terinfeksi mikroorganisme aerob atau anaerob. Juga virus hepatitis B, hepatitis C, HIV, virus sitomegalo, VDRL, dan malaria.



KEGIATAN KRIOPRESERVASIDAN PENYIMPANAN SEL PUNCNINDUK DARAH Setelah menjalani pemrosesan sekunder, sel puncdinduk darah harus disimpan dalam nitrogen cair (bersuhu 197°C) agar dapat tetap hidup dalam jangka waktu lama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun asalkan menjalani proses kriopreservasi dengan DMSO 10%. Namun sebelumnya suhu sel induk darah diturunkan bertahap sampai mencapai suhu - 120°C, kemudian disimpan dalam nitrogen cair. Selain kantung sel puncal induk darah yang telah dikonsentrasikan, ke dalam tangki nitrogen juga dimasukkan beberapa tabung kecil berisi sampel sel puncalinduk darah, untuk penilaian kualitas secara periodik atau pemeriksaan lainnya bila diperlukan. Selama penyimpanan, hams dilakukan pemantauan rutin kerja tanki dan pengisian periodik nitrogen cair selama konsentrat sel puncalinduk darah berada dalam tanki tersebut.



KEGIATAN PENCAIRAN KONSENTRAT SEL PUNCNINDUK DARAH (THAWING) Bila ingin digunakan, sel induk darah harus dicairkan terlebih dahulu (thawing) sesuai prosedur baku.



KEGIATAN TRANSPLANTASI SEL PUNCNINDUK DARAH Pada BMTIPBSCT alogenik, sel puncalinduk darah yang telah dicairkan kemudian diinfuskan kepada pasien. Pada BMTIPBSCT autologus, sel puncdinduk darah diinfuskan kembali kepada pasien itu sendiri. Transplantasi dilakukan satu hari pasca conditioning. ~ e b e l u mtransplantasi, resipien perlu mendapat premedikasi untuk mencegah timbulnya reaksi toksisitas. Conditioning. Conditioning merupakan tindakan pemberian sitostatika dosis tinggi (high dose chemotherapy) dengadtanpa kombinasi iradiasi tubuh total (TBI). Sebagai contoh adalah pemberian siklofosfamida dosis tinggi dua hari berturut-turut, pada hari minus 6 dan 5



sebelum transplantasi, dan TBI pada hari minus 1. Transplantasi dilakukan pada hari ke-0. Tujuan conditioning adalah untuk mengosongkan sumsum tulang dari sel asallinduk darah resipien (mieloablasi), sehingga sel puncalinduk darah yang ditransplantasikan dapat tumbuh. Dosis tinggi kemoterapi sitostatika yang diberikan bersifat mieloablasi, begitu pula dengan dosis TBI. Conditioning juga dapat dilakukan tanpa mieloablasi. Premedikasi sebelum transplantasi. Karena asal sel puncalinduk darah disimpan pada suhu beku dengan DMSO l o % , perlu tindakan pencegahan untuk mengurangi toksisitas akibat DMSO dengan pemberian antihistamin. Salah satu toksisitas DMSO adalah renjatan akibat pelepasan histamine yang diinduksi DMSO. Toksisitas lainnya merupakan darnpak langsung terhadap system kardiovaskuler, yaitu hipertensi, bradikardia, dan blok jantung. Efek samping lain transplantasi sel puncd induk darah yang mengalami kriopreservasi adalah hematuria, nausea, muntah, dan diare. Hemoglobinuria dapat terjadi akibat lisisnya eritrosit setelah pencairan. Sesak napas, kram perut, mual, muntah, dan diare dapat disebabkan oleh histamin yang dilepaskan akibat DMSO. Premedikasi sebelum tindakan transplantasi mencakup langkah-langkah sebagai berikut: Hidrasi, agar dicapaijumlah urin 2,5 mlkg berat badanl jam Alkalinisasi win, dengan menambahkan bikarbonat ke dalam cairan rehidrasi. Antihistamin: difenhidramin atau yang ekuivalen Kortikosteroid : hidrokortison Diuretik :manitol



PASCA TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK DARAH Pasca transplantasi, pasien dirawat di kamar isolasi sarnpai keadaan neutropenia berat yang mengancam jiwa (50% waktunya; tapi tidak irnobilisasi 100% irnobilisasi



Skala Zubrod



Skala Karnofsky



0 1 2



100 % 85 % 65 % 40 % 15 %



3 4



Ampi R. Penanda tumor: prinsip umum dan aplikasi klinis. Informasi Laboratorium. 2005;2:3-5. AJCC staging systems [on line]. Available at: http://www.training.seer.



cancer.gov/moduIe~staging~cancer/unitO3~secO3~ part00-ajcc.html. Akses: tanggal 21 Nopember 2005. Bakornas HOMPEDIN. Kanker payudara. Panduan tata laksana kanker tumor padat dalam ha1 kemoterapi. Jakarta; 2005. p. 422. Bresalier RS. Malignant & premalignant lesions o f the colon. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current diagnosis & treatment i n gastro-enterology. 2nd edition. Boston: McGrawHill; 1996. p. 422-8. Jardine L, Haffty BG, Doroshow JH, et al. Breast cancer overview risk factors, screening, genetic testing, and prevention. In: Pazdur RP, Coia LR, et al, editors. Cancer management: a multidisiplinary approach medical, surgical, and radiation oncology. 8th edition. New York: United Business Media; 2004. p. 165-88. Skeel RT. Systemic assessment o f the patient with cancer and long-term medical complications o f treatment. In: Skeel RT, editor. Handbook o f cancer chemotherapy. 6th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 26-9. Sukardja IDG. Onkologi klinik. 2nd edition. Surabaya: Airlangga University Press; 2000. p.133-208. Sturgeon C. Practice guidelines for tumor markers in the clinic. Clinical Chemistry. 2000;48: 1 1 5 1-9.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ASPEK SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER Bambang Karsono



PENDAHULUAN Kanker adalah penyakit di mana sel-sel ganas "beranakpinak" berupa keturunan yang bersifat ganas pula. Pewarisan bakat ganas ini, atau yang biasa disebut dengan istilah fenotip, memberi petunjuk kuat pada kita bahwa kelainan mendasar sifat ganas ini berada pada gen sel kanker tersebut. Pelbagai kajian petanda genetik, seperti translokasi 9;22 yang menghasilkan kromosom Philadelphia pada leukemia granulositik/mieloid kronik, menunjukan bahwa sel-sel kanker ini berasal dari satu sel yang kemudian membentuk satu kelompok sel yang homogen, yang disebut sebagai klon (clone). Di samping sifat ganas yang berasal dari translokasi kromosom, sifat ganas juga dapat berasal dari gen yang secara normal terdapat di dalam sel. Gen-gen semacam ini disebut sebagai proto-onkogen, yang kemudian oleh karena mutasi somatik berubah menjadi onkogen. Onkogen inilah yang kemudian mengubah perangai sel dari normal menjadi sel kanker. Contoh dari proto-onkogen ini adalah H-ras (rat sarcoma- associated sequence, Harvey) yang pertama kali ditemukan pada gen virus penyebab sarkoma pada tikus oleh Harvey. Proses onkogenesis juga dapat terjadi oleh virus melalui beberapa cara, tergantung jenis virusnya, transforming retroviruses, nontransforming retroviruses dan virus DNA. Transforming retroviruses menginsersi provirus pada sisi hulu suatu proto-onkogen sel pejamu. Dalam proses replikasi virus berikutnya terjadi penggabungan proto-onkogen sel pejamu ke dalam genom virus. Selanjutnya ekspresi proto-onkogen dikendalikan sepenuhnya oleh virus yang infeksinya bersifat menetap ini. Mekanisme onkogenesis non-transforming retroviruses terjadi oleh karena virus-virus dalam kelompok ini menginsersi provirus berdekatan dengan protoonkogen sel pejamu dan provirus ini berperan sebagai



promoter atau enhancer yang kuat. Sebagaimana kita ketahui bersamapromoter dan enhancer berperan penting dalam proses transkripsi suatu gen. Onkogen pada virus DNA memang berasal dari virus itu sendiri, onkogen pada virus ini memang dibutuhkan secara hakiki oleh virus ini untuk replikasi dan mentransformasisel pejamu. Virus DNA menghasilkan protein-protein yang dapat memaksa sel pejamu memasuki fase S siklus sel.



BlOLOGl SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER Menurut Hanahan dan Weinberg terdapat enam perubahan fisiologik mendasar yang secara bersama-sama memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sel-sel ganas, perubahan-perubahan sebagai berikut: Mandiri dalam ha1 sinyal-sinyal pertumbuhan Tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal penghambat pertumbuhan (anti pertumbuhan) Mampu menghindar dari apoptosis (programmed cell death) Berkemampuan replikasi yang tak terbatas Kemampuan angiogenesis yang berkesinambungan Mampu menyusup ke jaringan lain dan bermetastasis Setiap perubahan fisiologik di atas tidak terdapat pada sel-sel asal sel-sel ganas dan didapat selama perubahan bertahap dari sel-sel normal menjadi sel-sel ganas.



M A N D l R l D A L A M H A L SINYAL-SINYAL PERTUMBUHAN Murphy dan Adrian mengkultur galur sel kanker pankreas dalam media tanpa serum. Mereka mendapatkan bahwa tingkat proliferasi sel lebih tinggi bila media tidak sering diganti dibandingkan bila media sering diganti atau dikultur



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



bersama-sama dengan penghambat tyrosine kinase reseptor EGF(epiderrna1 growth factor) atau penghambat MEK (MAPKIERK kinase). Selain itu aktivitas ERK (extracelular regulatedprotein kinase) 1 dan 2 dan kadar mRNA dari c-jun dan c-fos meningkat bermakna bila dikultur berkesinambungan dalam media bebas serum. Serum pada media kultur sel binatang, termasuk sel manusia tertentu, berfungsi sebagai penyedia pelbagai senyawa polipeptida faktor pertumbuhan. Faktor-faktor pertumbuhan ini berperan sebagai pengatur, yang tak tergantikan, pertumbuhan dan diferensiasi sel dan sebagai sarana komunikasi antar sel. Mitogen activated protein kinase (MAPK) adalah sekelompok protein yang diaktifkan oleh berbagai rangsang ekstraselular dan berfungsi menyampaikan sinyal rangsang tersebut ke inti sel. Salah satu keluarga dari MAPK ini adalah extracelular regulated protein kinase (ERK) 1 dan 2+, kedua protein ini diaktifkan secara kuat oleh EGF dan PDGF (platelet derivedgrowth factor) melaluijalur R a s K a f M P K . Kelompok protein kedua pada MAPK adalah kelompok yang salah satu anggotanya c-Jun-N-terminal Kinase (JNK), protein ini suatu enzim yang mampu mengaktifkan AP- 1 (activator protein- I) yaitu suatu faktor transkripsi. Sinyal yang diterima reseptor akan diteruskan ke inti sel melalaui kaskade Ras+Erkl/ 2+ c-Fos atau Rac+ JNK+ c-Jun dan selanjutnya heterodimer c-Junlc-Fos bertindak sebagai faktor transkripsi. Faktor transkripsi AP-1 sebenarnya suatu kelompok protein yang terdiri atas 2 keluarga yaitu keluarga c J u n yang terdiri atas c-Jun, JunB dan JunD. Sedangkan keluarga yang lain adalah c-Fos yang terdiri dari c-Fos, FosB, Fra-1 dan Fra-2. Stimulasi EGF akan menyebabkan transkripsi gen c-fos. MAPK juga dapat mengakibatkan transkripsi gen c-jun. Dengan demikian Murphy dan Adrian membuktikan bahwa galur sel kanker pankreas dapat hidup dan tumbuh dalam media kultur tanpa dukungan faktor pertumbuhan dari serum. Faktor pertumbuhan yang berperan di sini EGF karena dapat dihambat oleh penghambat tyrosine kinase EGF. Kemudian sinyal EGF ini melalui jalur Ras+ MAPKjAp-I .sampai ke inti sel, oleh karena terdapat peningkatan kadar ERKl dan ERK2 di samping peningkatan kadar mRNA c-jun dan c-fos. Kesimpulan galur sel kanker pankreas dapat memsintesis sendiri EGF yang dibutuhkannya. Secara in vivo ketidaktergantungan sel kanker terhadap faktor pertumbuhan dari sel lain dapat dilihat pada mieloma multipel (MM). Interleukin-6 (11-6) merupakan faktor pertumbuhan utama yang terlibat dalam kelangsungan hidup sel-sel MM manusia. Namun demikian temyata dapat dibuat galur sel mieloma manusia (human myeloma cell line = HMCL) dari setiap pasien MM tahap akhir dan galur sel ini tidak membutuhkan 11-6 untuk kelangsungan hidupnya, dengan perkataan lain sel-sel mieloma pada pasien MM tahap akhir dapat membuat sendiri 11-6 untuk



kelangsungan hidupnya". Frassanito dan kawan-kawan meneliti sel mieloma denganflow cytometvy, sel mieloma didefinisikan sebagai sel mononuklear sumsum tulang yang positif untuk CD38 dan positif untuk syndecan-1 (CD138). Ternyata pada sel-sel CD38+ dan syndecan-l+ ini ditemukan 11-6 intrasitoplasmik. Gejala ini membuktikan bahwa sel-sel mieloma menghasilkan sendiri 11-6 atau biasa disebut gejala autokrin.



TlDAK SENSITIF TERHADAP SINYAL-SINYAL PENGHAMBAT PERTUMBUHAN



Sinyal-sinyal penghambat pertumbuhan bekerja melalui siklus sel, oleh karena pada siklus sel inilah sel diatur kapan berproliferasi, berdiferensiasi atau masuk ke fase diam (quiescent atau Go). Siklus sel adalah suatu proses yang tertata amat teratur untuk menggandakan dan menebarkan informasi genetik dari satu generasi sel ke generasi yang berikutnya. Selama proses ini berjalan, DNA hams digandakan secara tepat dan salinan kromosom harus dibagikan tepat sama jumlah pada kedua sel anak yang terbentuk. Siklus sel dapat dibedakan menjadi beberapa tahap yang terpisah jelas yaitu: GI (gap 1) suatu interval atau celah antara mitosis (fase M) dan sintesis DNA (fase S). Selama fase G, ini sel dapat mengalami stimulasi dari berbagai mitogen dan faktor pertumbuhan (growth factor) ekstraselular Selanjutnya sel memasuki fase S, pada fase ini DNA digandakan dengan cara membuat salinan komplemennya (complementary copy) G, (gap 2) adalah interval atau celah antara penyempumaan sintesis DNA (fase S) dan mitosis (fase M) Fase M ditandai dengan - Pembentukan benang-benang mitotik yang terpisah pada kedua kutub sel - Pemisahan khromatid menjadi dua bagian yang sama persis dalam kualitas dan kuantitas (two sister chromatids) - Pembelahan sel Dalam pengaturan proliferasi sel tahap G,/S memegang peranan terpenting. Pada lebih kurang sepertiga akhir fase G , terdapat suatu periode yang disebut restriction point. Restriction point sebenamya hanya merupakan salah satu dari pos pemeriksaan (checkpoint) yang terdapat dalam siklus sel. Peraturan siklus sel menetapkan bahwa hams dapat dipastikan semua langkah dalam setiap fase sudah benar-benar sempurna selesai pada waktu memasuki fase berikutnya. Untuk itu beberapa pos pemeriksaan (checkpoint) pemantau keutuhan DNA ditempatkan secara strategis di akhir fase G, dan pada ambang peralihan fase G,/M guna mencegah gerak maju atau perambatan siklus



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ASPEK SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada sel yang mengalami mutasi atau kerusakan. Restriction point ini dikawal oleh protein RJ3 (pRB, retinoblastoma), pRB bertindak memantau keutuhan DNA. Dalam keadaan tidak terfosforilasi pRB mengikat protein lain yaitu E2F. E2F adalah suatu faktor transkripsi. Bila DNA dalam keadaan utuh maka terjadi fosforilasi pRB oleh CDK4lCDK6 (cyclin dependent kinase), akibat fosforilasi pRB, maka pRB tidak dapat lagi mengikat E2F. E2F yang terlepas akan menyebabkan transkripsi beberapa gen termasuk di antaranya gen untuk cyclin E, cyclin E ini dibutuhkan sel untuk menembus restriction point. Beberapa protein dapat menghambat fosforilasi pRB, protein-protein itu antara lain p53, p16'NK4a, plgARFdan p2 1. p53 bekerja mengaktifkan p2 1 dan pada gilirannya p2 1 menghambat CDK416. p 19AK' bekerja dengan cara menginaktivasi MDM2, inaktif MDM2 tidak dapat menghambat p53 sehingga p53 dapat mengaktifkan p2 1. p 16INK"bekerja langsung menginaktivasi CDK416 sehingga tidak dapat memfosforilasi pRB. Apabila terjadi kerusakan DNA maka siklus sel akan dihambat terutama di GI,bila kerusakan DNA tak mungkin diperbaiki maka sel akan melakukan apoptosis. Kerusakan DNA akan mengaktifkan ATM (ataxiatelangiectasia mutated), suatu phosphoinositide-3-kinase yang dapat memfosforilasi asam amino serine pada p53, sehingga terjadi aktifasi p53. Ke hilir aktifasi p53 ini menghambat fosforilasi pRB sehingga E2F tetap terikat pada pRB yang berarti siklus sel ditahan pada fase G,. Aktivasi ATM akibat kerusakan DNA juga dapat mengaktifkan protein yang disebut HuCdsl. Pada gilirannya aktifasi HuCds 1 akan menghambat CDKl ,protein yang mendorong siklus sel dari G, ke M, sehingga siklus sel ditahan pada fase G, dan itu berarti mitosis dihambat. Sinyal-sinyal yang berasal dari TGF-P (transforming growth factor P) mengendalikan berbagai proses selular seperti proliferasi, identifikasi, differensiasi, apoptosis dan pembentukan dalam embriogenesis. Umumnya sinyalsinyal dari TGF-P ini mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan sel, oleh karena itulah tidak mengherankan bila inaktifasi jalur sinyal TGF-P berperan dalam tumor genesis. Ikatan TGF-P sebagai ligand terhadap reseptornya akan mengakibatkan hetero-dimerisasi reseptor TGF-P. Selanjutnya reseptor ini akan memfosforilasi Smad4, Smad4 terfosfosforilasi akan membentuk dimer dengan Smad4 inaktif dan tertranslokasi ke inti sel. Di dalam inti sel dimer Smad4 akan bekerja menghambat ekspresi c-myc dan meningkatkan ekspresi protein-protein inhibitor siklus sel baik dari keluarga INK maupun dari keluarga KIP. TGF-P mampu menghambat proliferasi sel-sel epitel, endotel, hematopoietik dan beberapa jeins sel-sel mesenkhim. Hambatan proliferasi ini dapat langsung yaitu terhadap CDK fase GI, yaitu CDK416 dan juga CDK2. Hambatan terhadap CDK416 terjadi melalui pengaktifan penghambat CDK baik dari keluarga INK4 (inhibitor CDK4 yang terdiri dari p15, p16, p18 dan p19) maupun dari



keluarga KIP (kinase inhibitory protein yang terdiri dari p2 I , p27 dan p57). Ke hilir hambatan terhadap CDK416 berarti menghambat fosforilasi pRB, lanjut ke hilir lagi berarti tidak mampu melepaskan E2F yang diperlukan untuk mentranskripsi gen-gen yang dibutuhkan untuk menembus restriction point. Hambatan secara tidak langsung berupa mengurangi fungsi gen c-myc, yaitu dengan cara menghambat transkripsinya, padahal protein c-Myc (hasil dari gen c-myc) berperan menghambat p 15INKh. p 151NKh ini sendiri berhngsi menghambat aktifasi CDK416 yang berarti menghambat laju siklus sel di fase G,. Jadi stimulasi TGFp akan mengakibatkan peningkatan kadar p 1SNKh sehingga aktivitas CDK416 berkurang yang berarti pRB tidak terfosforilasi dan ke hilir ini berarti restriction point G I tidak dapat ditembus. Sinyal-sinyal dari TGF-P juga berperan dalam gerak maju siklus sel dari G, ke M. Peranan TGF-P pada pertumbuhan kankir dapat dilihat pada pengaruh ekspresi reseptor TGF-P pada patogenesis KSS atau SCC (karsinoma sel skuamosa atau squamous cell carcinoma) leher dan kepala. Tingkat diferensiasi KSS dan kecenderungan infiltrasi KSS ternyata dipengaruhi oleh tingkat ekspresi reseptor TGF-P Makin buruk tingkat diferensiasi dan makin cenderung untuk berinfiltrasi maka makin sedikit pula ekspresi reseptor TGF-P dipermukaan sel. Pada kanker buli-buli berkurangnya ekspresi gen TGFDl berkaitan erat dengan derajat keganasan tinggi kanker buli-buli dan tingkat penyakit lanjut. Sedangkan kehilangan ekspresi reseptor TGF-P berdampak pada derajat penyakit (grade) yang lebih tinggi, tingkat penyakit (stage) yang lebih tinggi, metastasis kelenjar getah bening, progresi penyakit dan tingkat kelanjutan hidup yang lebih rendah.



MAMPU MENGHINDAR DARl APOPTOSIS Berbagai sinyal kematian fisiologik, sebagaimana juga berbagai cedera sel yang patologik, dapat memicu proses apoptosis yang terprogram secara genetik. Sedangkan wujud pelaksanaan sinyal kematian ini ke hilir terbagi menjadi 2 jalur utama yaitu jalur Caspase dan jalur kerusakan organel selular, dan organel selular yang paling banyak diketahui dalam kaitan dengan apoptosis ini adalah mitokondria. Oleh karena anggota keluarga protein Bcl-2 berada pada posisi hulu dalam peristiwa kerusakan sel yang irreversibel dan oleh karena sebagian besar peranannya dalam peristiwa tersebut terpusat pada mitokondria, maka anggota keluarga protein Bcl-2 ini berperan menentukan dalam membuat keputusan apakah suatu sel akan mati atau tetap terus hidup. Proto-onkogen bcl-2 semula ditemukan pada limfoma sel B (B cell lymphoma) dengan t(14; 18).Anggota keluarga protein Bcl-2 ini ternyata ada yang bersifat pro-apoptotik seperti Bax, Bak dan Bcl-X,, dan sebaliknya ada pula yang bersifat anti-apoptotik atau pro-survival seperti Bcl-2 dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Bcl-X,. Protein keluarga Bcl-2 ini mempunyai 4 buah domain pada setiap anggotanya, keempat domain itu BH I (Bcl-2 homology),BH2, BH3 dan BH4. Setiap anggota keluarga Bcl-2 anti-apoptotik selalu mempunyai domain BH4 sebaliknya anggota keluarga Bcl-2 pro-apoptotik justru tak mempunyai domain BH4 ini. Domain BH3 diyakini berperan penting sebagai domain kematian pada anggota keluarga pro-apoptotik. Anggapan ini dibenarkan oleh ditemukannya anggota keluarga protein Bcl-2 yang hanya memiliki domain BH3 saja seperti Bad dan Bid yang keduanya temyata bersifat pro-apoptotik. Semua anggota keluarga protein ini mampu berdimerisasi baik homo maupun heterodimer sehingga diyakini bahwa proses dimerisasi ini akan dapat mengakibatkan netralisasi efek masing-masing. Terbukti memang rasio antara pro-apoptotik dan anti-apoptotik dapat menentukan apakah akan terjadi apoptosis atau tidak. Anggota keluarga protein Bcl-2 antiapoptotik terdapat sebagai bagian yang terpisahkan (bagian integral) dari membran mitochondria, sedangkan anggota keluarga pro-apoptotik terdapat di dalam sitosol atau sitoskelet. Sinyal kematian mengakibatkan Bax atau Bak (pro-apoptotik) berubah bentuk stereometriknya sehingga memaparkan amino terminusnya dan melepaskan sebagian dari asam-asam amino pada sisi amino terminus ini. Perubahan ini mengakibatkan Bax atau Bak dapat bergabung dengan membran mitokondria dan menjadi bagian integralnya serta dapat mengalami dimerisasi. Rasio antara Bax, Bak dan Bcl-Xs (pro-apoptotik), yang telah terintegrasi di membran mitochondria, di satu sisi dengan Bcl-2 dan Bcl-X, (anti-apoptotik), yang memang bagian integral membran mitokondria, di sisi lain inilah yang &an menentukan nasib suatu sel untuk mengalami apoptosis atau tidak.



REFERENSI Butel JS. Viral carcinogenesis: revelation of molecular mechanism and etiology of human disease. Carcinogenesis; 2000;21: 405 426 Banin S. Moyal L, Shieh S-Y, Taya Y, Anderson CW, Chessa L. Smorodinsky NI. Prives C, Reiss Y, Shiloh Y, Ziv Y. Enhanced phosphorylation of p53 by ATM in response to DNA damage. Science, 1998; 281 : 1674-77 Brown AL, Lee C-H, Schwarz JK, Mitiku N, Piwnica-Worms H, Chung JH. A human Cds-l related kinase that function downstream of ATM protein in cellular response to DNA damage. Proc Natl Acad Sci, 1999; 96: 3745-50 Bryan RT, Hussain SA, James ND, Jankowski JA, Wallace DMA. Molecular pathway in bladder cancer: partl. Brit J Urol Intern, 2005; 95: 485-90.



Cooper GM, Hausman RE. Growth of animal cells in culture. In: The cell. A molecular approach. 3rd edition. Washington, ASM Press;2004.p.29-33 Canman CE, Lim D-S, Cimprich KA, Taya Y, Tamai K, Sakaguchi K, Appella E, Kastan MB, Siliciano JD. Activation of the ATM kinase by ionizing radiation and phosphorylation of p53. Science, 1998; 281: 1677-1979 De Cesare D, Jacquot S, Hanauer A, Sassoni-Corsi P. Rsk-2 activity is necessary for epidermal growth factor-induced phosphorylation of CREB protein and transcription of c-fos gene. Proc Natl Acad Sci; 1998, 95: 12202-7 Donovan J, Slingerland J. Transforming growth factor-ll and breast cancer . Cell cycle arrest by transforming growth factor-ll and its disruption in cancer. Breast Cancer Res, 2000; 2: 116-24 Frassanito MA, Cusmai A, lodice G, Dammacco F. Autocrine interleukin-6 production and highly malignant multiple myeloma: relation with resistance to drug-induced apoptosis. Blood, 2001; 97: 483-89 Gross A, McDonnell JM, Korsmeyer SJ. BCL-2 family members and the mitochondria in apoptosis. Gen Develop; 1999, 13: 1899 191 1 Hill RP, Tannock IF. Introduction to cancer biology. In: Tannock IF, Hill RP. The basic science of oncology. 3rd edition, 1998, McGraw-Hill, New York: 1 - 5 Hanahan D, Weinberg RA. The hallmark of cancer. Cell; 2000, 100: 57 - 70 lsraels ED, lsraels LG. The cell cycle.Oncologist 2000; 5: 510-13 Murphy LO, Cluck MW, Lovas S, Otvos F, Murphy RF, Schally AV, Permert J, Larsson J, Knezetic JA, Adrian TE. Pancreatic cancer cells require an EGF receptor-mediated autocrine pathway for proliferation in serum free condition. Brit J Cancer; 2001, 84: 926 - 935. Manson MM, Holloway KA, Howells LM, Hudson EA, Plummer SM, Squires MS, Prigent SA. Modulation of signal-transduction pathways by chemopreventive agents. Biochem Soc Transc; 2000, 28: 7 - 12 Murakami M, Ui M, Iba H. Fra-2-positive autoregulatory loop triggered by mitogen-activated protein kinase (MAPK) and Fra-2 phosphorylation sites by MAPK. Cell Growth Differ;1999, 10: 333-42. Muro-Cacho CA, Anderson M, Cordero J, Muoos-Antonia T. Expression of transforming growth factor I type I1 receptor in head and neck squarnous cell carcinoma. Clin Cancer Res, 1999; 5: 1243-48 Shi Y, Massagud J. Mechanism of TGF-I signalling from cell membrane to the nucleus. Cell, 2003; 685 - 700 Warner BJ. Blain SW. Seoane J, Massagud J. Myc downregulation by transforming growth factor I required for activation of the pl4lNKb GI arrest pathway. Mol Cel Biol, 1999; 19: 5913-22. Weinberger RA. Oncogenes and the molecular biology of cancer. J Cell Biol, 1983; 97: 1661 - 1662 Zhang X-G, Gu J-J, Lu Z-L, Yasukawa K, Yancopoulos GD, Turner K, Shoyab M, Taga T, Kishimoto T, Bataille R, Klein B. Ciliary Neurotropic Factor, Interleukin 11, Leukemia Inhibitory Factor, and Oncostatin M are growth factors for human myeloma cell lines using the Interleukin 6 signal transducer gp130. J Exp Med;1994, 177: 1337-42.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TEKNIK-TEKNIK BIOLOGI MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER Bambang Karsono



PENDAHULUAN Berkembangnya kemampuan teknik pemeriksaan di bidang biologi molekular telah mendorong perubahan yang cepat dalam kemampuan membuat diagnosis kelainan genetik. Di masa yang lampau kelainan genetik didiagnosis secara deduktif dari manifestasi fenotipnya., yaitu dengan kriteria klinis dan pemeriksaan biokimiawi. Kriteria klinis seringkali meragukan, di samping itu kelainan genetik kadang-kadang butuh waktu lama baru bermanifestasi. Pemeriksaan biokimiawi juga sering membingungkan dan kadang perlu tindakan invasif. Kriteria klinis dan uji biokimiawi jelas tak mungkin untuk medeteksi carrier kelainan genetik dan membuat diagnosis kelainan genetik secara antenatal. Keterbatasan yang penting dari metoda diagnostik molekular adalah perubahan genetik yang melatarbelakangi penyakit keturunan seringkali amat heterogen. Kita tahu bahwa mutasi pada gen ini dapat berupa, delesi suatu wilayah (region) kromosom, delesi gen, delesi exon, duplikasi rangkaian nukleotida, insersi suatu rangkaian nukleotida dan mutasi titik (point mutation). Apapun bentuk mutasi genetiknya yang pasti mutasi ini menyebabkan hilangnya f h g s i gen tersebut. Dalam taraf molekular kadang-kadang kelainan gen ini seragam seperti misalnya pada penyakit sel bulan sabit (sickle cell), namun dapat juga amat heterogen seperti misalnya pada fibrosis kistik.



BEBERAPA ISTILAH BlOLOGl MOLEKULAR Untuk dapat memahami metoda pemeriksaan biologi molekular, maka dalarn paragraf ini akan dijelaskan beberapa pengertian yang lazim digunakan dalarn biologi molekular.



Enzim endonuklease restriksi adalah enzim yang dihasilkan oleh sel prokaryote yang dapat mengenali rangkaian basa tertentu dalam DNA heliks ganda, contoh EcoRI yang berasal dari E. coli serotipe RI dapat mengenali rangkaian basa GAATTC dan memotong DNA heliks ganda di antara G dan A pada rangkaian tersebut. DNA polymerase adalah enzim yang dapat menggunakan dan merubah deoksinukleotida-S'trifosfat menjadi deoksinukleotida-5'monofosfat dan merangkaikannya ke ujung terminal -OH 3' dari primer DNA. Nukleotida adalah suatu senyawa yang terdiri dari gula, dapat berupa ribosa pada RNA atau deoksiribosa pada DNA, basa yang dapat berupa basa purin yaitu adenin dan guanin dan basa pirimidin yaitu sitosin dan timin (uridin sebagai ganti timin pada RNA) serta fosfat. dNTP, merupakan kependekan dari deoksi nukleotida trifosfat. Nukleotida di sini dapat berarti adenin, guanin, sitosin atau timin. Oleh enzim DNA polimerase akan dirubah menjadi deoksimonofosfat dan dirangkaikan menjadi untaian DNA. Oligonukleotida adalah segmen rantai tunggal DNA yang seringkali berasal dari DNA synthesizer. Primer, suatu oligonukleotida yang merupakan pasangan komplemen dari segmen kecil DNA rantai tunggal atau RNA. Primer digunakan dalam reaksi PCRuntuk mensintesis kopi pasangan komplemen dari template DNA atau template RNA. Upstream primer adalah primer yang berpasangan dengan segmen DNA pada ujung 5' dari template strand DNA. Sedangkan downstream primer berpasangan dengan ujung 5' dari coding strand DNA atau jika dilihat dari template strand, pada ujung 3 '.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Probe atau Pelacak DNA adalah potongan DNA yang berlabel dan digunakan untuk mengidentifikasi rangkaian urutan basa yang merupakan pasangan komplemennya di dalam genom, kromosom atau sel.



BEBERAPA PENYAKITAKIBAT KELAINAN GEN Mutasi titik terjadi pada kodon ke- 6 gen P globin, yaitu adenin digantikan oleh timin, sehingga terjadi penggantian asam amino asam glutamat oleh valin pada protein P globin. Kelainan pada protein P globin ini berakibat pada terbentuknya sel bulan sabit. Penggantian basa guanin oleh adenin pada basa ke 1691 gen faktor V mengakibatkan penukaran asam amino ke 506 pada protein faktor V dari arginin menjadi glutamin. Protein faktor V dengan kelainan ini menjadi resisten terhadap pemecahan oleh protein C dan protein S. Resistensi faktor V ini secara klinis menimbulkan trombosis vena dan emboli paru-paru. Pada leukemia granulositik kronik dikenal kelainan yang disebut khoromosom Ph. Pada kromosom Ph' ini sebenamya terjadi perpindahan yang bersifat resiprokal antara sebagian dari gen abl di kromosom 9 dan sebagian gen bcr di kromosom 22 sehingga terbentuk gen chimera yaitu gen BCR-ABL. Sedikitnya ada dua varian gen BCRABL ini yaitu varian yang membentuk protein p2 10 dan varian yang membentuk protein p190. Ketiga penyakit di atas menggambarkan 2 jenis mutasi genetik yang berbeda ekstrim namun maknanya secara klinis sama saja. Substitusi basa pada suatu gen tentu saja tidak akan merubah ukuran gen tersebut, namun demikian dapat merubah bentuk stereoskopis dari segmen DNA rantai tunggal gen tersebut. Selain itu perubahan dalam susunan basa menyebabkan perubahan pula pada titik potong enzim restriksi endonuklease terhadap segmen DNA rantai tunggal dari gen tersebut. Kedua perubahan ini dapat dimanfaatkan untuk mendeteksinya. Pada gen BCR-ABL jelas terdapat perbedaan ukuran gen chimera dengan gen yang asli. Perbedaan ukuran inilah yang digunakan untuk menemukan mutasi tersebut. Sel-sel limfosit B dalam proses maturasinya dari limfoblas menjadi prolimfosit dan limfosit mengalami proses rearrangment pada gen yang membentuk imunoglobulin baik pada heavy chain maupun pada light chain. Proses rearrangment ini bersifat unik dalam proses maturasi setiap sel B, sehingga susunan gen imunoglobulin ini pada setiap sel Bpun unik. Gen imunoglobulin untuk heavy chain berasal dari 50 gen kelompok variabel (VH gene), 30 gen kelompok diversity gene (DH gene) dan 6 gen dari kelompok joining gene (JH gene). Oleh karena demikian banyak gen yang mengalami rearrangment dalam gen imunglobulin heavy chain (IgH) ini, maka wajar bila variasi hasil rearrangment inipun sangat besar, sehingga



kemungkinan untuk 2 sel B memiliki hasil rearrangment yang sama sangat kecil. Dengan perkataan lain IgH dapat menjadi sidik jari bagi setiap sel limfosit B. Apabila sebuah sel limfosit B kemudian tumbuh menjadi satu klon yang besar, entah oleh karena keganasan atau oleh karena respon terhadap antigen, maka dengan sendirinya setiap sel B dalam klon tersebut mempunyai sidik jari gen IgH yang sama. Dan oleh karena jumlahnya besar maka klon ini tentu lebih mudah terdeteksi dibandingkan dengan sel B yang tidak tumbuh menjadi klon. Keadaan inilah yang digunakan untuk mendeteksi adanya pertumbuhan sel B monoklonal secara molekular.



TEKNIK PEMERIKSAAN DALAM BlOLOGl MOLEKULAR Elektroforesis adalah suatu cara untuk memisahkan molekul bermuatan listrik berdasarkan perbedaan massa dan muatan listriknya di dalam suatu medan listrik. Makin basar massanya maka makin lambat molekul ini bergerak, sebaliknya makin besar muatan listriknya makin cepat molekul ini bergerak. Agar pemisahan ini dapat terlihat jelas maka molekul yang akan dipisahkan ini harus diletakkan dalam suatu zona tertentu dan mulai bergerak dari satu titik yang sama. Sebagai zona pemisahan dipakai 2 macam media yaitu gel agar atau gel poliakrilamid, sedangkan molekul yang diperiksa dapat berupa protein atau asam nukleat (DNA atau RNA). Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metoda in vitro untuk mensintesis suatu rangkaian DNA spesifik secara enzimatis dengan menggunakan sepasang primer oligonukleotida yang berhibridisasi dengan rantai DNA yang berhadapan dan mengapit suatu wilayah tertentu di DNA sasaran. Teknik ini pertama kali ditemukan oleh Mullis pada tahun 1985. PCR pada saat ini umumnya dilakukan di blok pemanas dari thermal cycler, alat ini berfungsi untuk merubah-rubah suhu sesuai dengan langkah dan siklus PCR. Langkah-langkah dalam PCR dimulai dengan denaturasi pada suhu 94°C selanjutnya langkah annealing pada suhu 55°C dan terakhir ekstensi pada suhu 72"C, ketiga langkah ini disebut satu siklus, selanjutnya siklus ini diulang-ulang sampai 25-40 kali. Pada langkah denaturasi DNA rantai ganda dipisahkan menjadi rantai tunggal, selanjutnya pada langkah annealing primer berhibridisasi dengan DNA rantai tunggal dan akhimya pada saat ekstensi primer mengalami polimerisasi dengan bantuan enzim DNA polimerase. DNA polimerase yang dipakai dalam reaksi ini bersifat tahan terhadap suhu tinggi sehingga tidak kehilangan aktivitasnya walaupun terkena suhu tinggi pada langkah denaturasi. DNA polimerase yang tahan panas ini berasal dari suatu bakteri termoasidofilus yaitu Thermus aquaticus yang diasingkan dari mata air panas di Yellowstone National Park.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



TEKNIK-TEKNIK BIOLOCI MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER



1419



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PCR juga dapat dilaksanakan dengan bahan pemeriksaan RNA, teknik ini disebut RT-PCR (Reverse transcriptase-PCR). Mula-mula dilakukan yang disebut first strand synthesis yaitu membuat kopi pasangan komplemen DNA dengan RNA sebagai cetakan (template). DNA rantai tunggal pertama ini kemudian menjadi cetakan untuk proses PCR biasa. First strand synthesis dilaksanakan dengan mengunakan enzim reverse transcriptase yang berasal dari Avian Myeloblastosis virus (AMV) atau dari Moloney murin leukemia virus (MuLV). Teknik Southern blot mula-mula diperkenalkan oleh E.M. Southern pada tahun 1975, pada saat itu ia memindahkan fiagmen DNA yang telah dipisahkan secara elektroforesis ke membran nitroselulosa lalu divisualisasi dengan pelacak DNA radioaktif. Secara prinsip teknik Southern blot meliputi 3 pekerjaan yaitu: pertama, elektroforesis terhadap DNA untuk memisahkan fiagrnenfragmen DNA berdasarkan ukurannya. Kedua, fragmen DNA yang telah terpisahkan tadi ditransfer ke suatu penyangga padat dalam ha1 ini membran baik nitroselulosa maupun nilon, dengan tetap mempertahankan keterpisahannya tersebut. Terakhir, fiagmen DNA yang sudah berada dalam fase padat ini kemudian divisualisasi dengan pelacak DNA. Teknik ini kemudian dikembangkan untuk RNA dan disebut Northern blot dan untuk protein disebut sebagai Western blot. Teknik single strand conformation polymorphism (SSCP)pertamakali diemukan oleh Orita dan kawan-kawan pada tahun 1989untuk menguji saring polimorfisme DNA. Mutasi titik, insersi dan delesi pada suatu fragmen DNA cukup mampu untuk merubah bentuk stereoskopis (=konformasi) fragmen DNA rantai tunggal sehingga merubah juga kecepatan migrasinya dalam elektroforesis. Kecepatan migrasi DNA yang akan diuji dibandingkan dengan kecepatan migrasi DNA yang telah diketahui tidak mengalami mutasi (wild type), bila ternyata ditemukan perbedaan jauh migrasi dalam elektroforesis,maka itu berarti DNA yang diuji telah mengalami mutasi. Untuk mengetahui jenis mutasi memang tidak dapat dengan memakai teknik SSCP, untuk itu diperlukan sekuensing.



BEBERAPA CONTOH PEMERIKSAAN BlOLOGl MOLEKULAR DALAM KLlNlK



Untuk menemukan translokasi t(9q;22q) pada leukemia granulositik kronik atau leukemia limfoblastik akut selain dengan cara karyotyping dapat juga dilakukan dengan teknik biologi molekular. Translokasi gen bcr (breakpoint cluster region) pada kromosom 22 ke gen abl (Abelson) pada kromosom 9 menyebabkan terbentuknya gen baru yaitu gen BCR-ABL yang tentu saja memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik masing-masing gen asalnya. Ada dua cara untuk mendeteksi translokasi ini



secara biologi molekular. Cara pertama adalah dengan memanfaatkan perbedaan titik potong pada untaian DNA yang terdapat di gen chimera dan yang terdapat pada masing-masing gen asalnya oleh enzim endonuklease restriksi. Setelah DNA dipotong dengan enzim tersebut lalu dilakukan elektroforesis, selanjutnya dilakukan transfer Southern ke membran nilon atau nitroselulosa. Pelacak DNA yang dapat dibeli secara komersial hanya akan berhibridisasi dengan potonganan DNA yang berasal dari gen BCR-ABL dan tidak akan berhibridisasi dengan potongan DNA yang berasal masing-masing gen asal. Jadi bila ditemukan hibridisasi pelacak DNA maka itu berarti terjadi translokasi, demikian pula sebaliknya. Dengan teknik in dapat dibuktikan bahwa titik pisah yang terdapat pada gen bcr sedikitnya ada 2 tempat, yang diduga berhubungan dengan jenis krisis blastik yang terjadi pada pasien LGK. Cara kedua adalah dengan teknik RT-PCR. Teknik ini memanfaatkan perbedaan yang terjadi pada transkripsi DNA gen menjadi mRNA, mRNA yang barasal dari fusi gen BCR-ABL tentu berbeda urutan basanya dengan urutan basa mRNA yang berasal dari transkripsi masingmasing gen asal. Dengan menggunakan primer yang hanya dapat beranneal dengan gen fusi, maka tentu saja bila fusi tak terjadi tak ada produk RT-PCR. Dengan menggunakan 2 pasang primer yang berbeda ternyata dapat ditemukan 2 jenis fusi gen BCR-ABL yang tergantung dari letak titik pisah pada gen bcr. Kedua jenis gen fusi tersebut menghasilkan produk RT-PCR yang berbeda ukurannya yaitu masing-masing berukuran 456 bp dan 385 bp. Pemeriksaan molekular untuk gen BCRABL ini bermanfaat untuk melihat sisa penyakit minimal (minimal residual disease=mrd) pada pasien LGK yang mendapat transplantasi sumsum tulang, di samping itu juga untuk memantau terjadinya relaps atau kegagalan tumbuh transplant. Salah satu penyebab trombosis vena dalam adalah faktor V yang resisten terhadap protein C yang teraktifasi (APC resistant Faktor V, APC = activatedprotein C) atau yang disebutjuga faktor V Leiden. Penyakit ini relatif baru ditemukan yaitu pada tahun 1993. Prevalensinya di kalangan donor darah di Canada cukup tinggi yaitu 5.3%, sedangkan di kalangan orang Indonesia diduga tidak ada. Diagnosis pasti penyakit ini hanyalah dengan pemeriksaan molekular. Dengan teknik PCR gen faktor V ini diamplifikasi, produk amplifikasinyakemudian diinkubasi dengan enzim endonukleaserestriksi. Hasil digesti dengan enzim tersebut kemudian dielektroforesis. Gen faktor V normal (wild type) memberikan hasil3 buah pita dengan ukuran 163 bp, 49 bp dan 37 bp. Mutasi homozigot pada gen ini akan menampakkan pita elektroforesis berukuran 200bp dan 49 bp, sedangkan mutasi heterozigot akan menampakkan keempat pita kombinasi dari wild type dan mutant yaitu 200 bp, 163 bp, 49 bp dan 37 bp. Seorang pasien trombosis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



vena yang ditemukan mengalami mutasi gen faktor V ini mungkin perlu mendapat terapi antikoagulan seumur hidup oleh karena risiko untuk meggalami rekurensi lebih tinggi daripada pasien tanpa mutasi gen. Rearrangement gen IgH yang bersifat unik untuk setiap sel limfosit B ini juga bersifat monoklonal baik pada sel normal maupun pada penyakit-penyakit limfoproliferatif. Pemeriksaan rearrangement ini dilakukan terhadap segmen gen IgH yang diapit oleh primer untuk wilayah V dan wilayah J. dengan sepasang primer ini didapatkan produk PCR yang berukuran 100-1 20 bp. Pemeriksaan diawali dengan proses PCR, kemudian hasil PCR dielektroforesis di gel agarose untuk mencari pita yang berukuran 100- 120



I-



all



Gambar 1. Gen baru (BCR-ABL) sebagai akibat fusi 2 gen (ABL dan BCR)



bp tersebut di atas. Bila pemeriksaan ini dilakukan terhadap pasien keganasan limfosit B seperti limfoma malignum sel B, LLA dan MM sebelum dilakukan pengobatan, maka pemeriksaan ulang sesudah pengobatan dapat digunakan sebagai cara untuk mendeteksi mrd. Gen BRCA- 1 pertama kali ditemukan pada tahun 1994 oleh Miki dan kawan-kawan. Mereka menemukan gen ini terletak pada kromosom 17q (lengan panjang kromosom 17) dan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap kanker payudara dan indung telur. Sejak penemuannya ini telah banyak dilakukan penelitian tentang dampak mutasi gen ini pada pembawanya. Prevalensinya dikalangan pasien kenker payudara dan kanker indung telur bervariasi, dikalangan pasien kanker payudara tanpa riwayat penyakit kanker payudara namun terdiagnosis kanker ini pada usia kurang dari 35 tahun, prevalensinya sekitar lo%, namun demikian prevalensi mutasi gen ini pada pasien dengan riwayat keluarga kanker payudara dan indung telur mencapai 40%. Seseorang dengan mutasi gen BRCA-I mempunyai risiko sampai usia 70 tahun untuk terkena kanker payudara sebesar 87% dan untuk terkena kanker indung telur sebesar 44%. Selain itu mutasi ini juga meningkatkan risiko seseorang untuk terkena kanker kolon dan prostat. Pemeriksaan mutasi gen BRCA-I diawali dengan amplifikasi exon-exon tertentu dari gen BRCA- I ini dengan teknik PCR. Hasil PCR diteliti mutunya dengan pemeriksaan elektroforesis agarose. Bila hasil PCR baik maka, hasil PCR ini didenaturasi lalu dielektroforsis kembali dalam suasana ternaturasi dan dala~nsuhu tertentu di gel poliakrilamid, teknik ini disebut SSCP (single strand cortfi)rnzution polymorphrsrn). Mutasi akan merubah



Gambar 2. Prinsip mplifikasi DNA dmgan prosedur PCR (polymerase chain



reaction)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1421



TEKNIK-TEKNIKBlOLOCl MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUKLeedr. PRIYO PANJI DH, Henderson PA, Blajchman MA. Prevalence of factor V



konformasi bentuk DNA rantai tunggal (dalam keadaan terdenaturasi) sehingga berbeda dengan konformasi wild type, dan ini berakibat perbedaan migrasi pada elektroforesis. Pemeriksaan SSCP ini digunakan sebagai uji wring untuk menemukan mutasi gen, untuk penentuan tipe mutasi hams dilakukan sekuensing.



Anonymous. Southwestern medical genetics and dysmorphology glossary. http://lwaber.swmwd.edu/glossarl.htm Anonymous. The source for discovery. Protocols and applications guide. 3rd edition,Promega corporation, 1996. Cross NCP. Detection of BCR-ABL in hematological malignancies by rt-PCR. In Cotter FE.(ed). Methods in molecular medicine, molecular diagnosis of cancer. Hurnana Press Inc. Totowa NJ. 1966, pp 25 - 36. Davis L, Kuehl M, Battey J. Basic methods in molecular biology. Second edition. Appleton and Lange 1994. Erlich HA (ed). PCR technology. Principal and applications for DNA amplification. M Stockton press 1989, pp 1 - 5. Evans H, Sillibourne J. Detection of the BCR-ABL gene in CML/ ALL patients. Promega Notes Mag 57, 1996: 21 - 23. Ford D, Easton DF, Bishop DT, Narod SA, Goldgar DE, Breast Cancer Linkage. Risks of cancer in BRCA 1 mutation carriers. Lancet 343, 1994: 692 - 5. Friedman LS, Ostermeyer EA, Szabo CI, Dowd P, Lynch ED, Rowell SE, King M-C. Confirmation of BRCAl by analysis of germline mutations linked to breast and ovarian cancer in ten families. Nature Genetics 8: 399 - 404, 1994. Hames BD. One dimensional polyacrylamidegel electrophoresis. 1n:Hames BD, Rickwood D. Gel electrophoresis of protein. A practical approach 2"d edition, IRL Press Oxfor d, 1990, pp 1 147. Korf B. Molecular diagnosis (first of two parts). Molecular Medicine. N Engl J Med 332, 1995: 1218 - 20. Koster T, Rosendaal FR, de Ronde H, Briet E, Vandenbroucke JP, Bertina RM. Venous thrombosis due to poor anticoagulant responsto activated protein C: Leiden Thrombophilia Study. Lancet 342, 1993: 1503 - 6. Lodish H, Baltimore D, Berk A, Zipursky SL, Matsudaira P, Darnell J. Mole-cular Cell Biology. Sientific American Books. W.H. Freeman and Coy, New York, 1995. Langston AA, Malone KE, Thompson JD, Daling JR, Ostrander EA. BRCA 1 mutation in population-based sample of young women with breast cancer. N Eng J Med. 334, 1996: 137 - 42.



Leiden in Canadian blood donor population. Can Med Assoc J 155, 1996: 285 - 91. Maniatis T, Fritsch EF, Sambrook J. Molecular cloning. A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory 1982. Morris SW, Daniel L, Ahmed CMI, Elias A, Lebowitz P. Relationship of bcr breakpoint to chronic phase duration, survival, and blast crisis lineage in chronic myelogenous leukemia patients presenting in early chronic phase. Blood 75, 1990: 2035 - 41. Malourn K, Pritsch 0 , Dighiero G. Minimal residual disease detection in B-cell malignancies by assesing IgH rearrangement. Hematol Cell Ther 39, 1997:119 - 24. Miki Y, Swensen J, Shattuck-Eidens D, Futreal PA, et al. A strong candidate for the breast and ovarian cancer susceptibility gene BRCA 1. Science, 266, 1994: 66 -71. ,Ridker PM, Hannekens CH, Lindpaintner K, Stampfer MJ. Eisenberg PR, Miletich JP. Mutation in gene coding for coagulation factor V and the risk of myocardial infarction, stroke, and venous thrombosis in apperently healthy men. N Engl J Med 332. 1995: 912 - 7. Rees DC, Cox M, Clegg JB. World distribution of factor V Leiden. Lancet 346, 1995: 1 133 - 4. Ruteshouser EC, Huff V. Blotting assays. Cancer Bull 47, 1995: 268 - 71. Schmid M, Schalasta G A rapid and reliable PCR based method for detecting the blood coagulation factor V Leiden mutation. Biochemica 1997 (3): 12 - 5. Schwartz RS. Jumping genes and the immunoglobulin V gene system. N Engl J Med 333, 1995: Saiki RK. The design and optimization of the PCR. In: Erlich HA (ed). PCR technology. Principal and applications for DNA amplification. M Stockton press 1989, pp 7 - 16. Simioni P, Prandoni P, Lensing AWA, Scudeller A, Sardella C, Prins MH, Villalta S, Dazzi F, Girolami A. The risk of recurrent venous thromboembolism in patients with an Arg506-to-Gln mutation in gene for factor V (factor V Leiden). N Engl J Med 336, 1997: 399 - 403. Simard J, Tonin P, Durocher F, Rommens J, et al. Common origins of BRCA 1 mutations in Canadian breast and ovarian cancer families. Nature Genetics 8, 1994: 392 - 8. Taylor GR. Polymerase chain raection: basic principles and automation. In McPherson MJ, Quirke P, Taylor GR (eds), PCR 1 Practical Approach. Oxford University Press 7Ih reprint 1996, pp 1 - 14. Trainor KJ, Brisco MJ, Wan JH, Neoh S, Grist S, Morley AA. Gene rearrangement in B- and T- Lymphoproliferative Disease Detected by the Polymerase Chain Reaction. Blood 78, no. 1, 1991: 192 6.



-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK Ketut Suega, Imade Bakta



PENDAHULUAN Karsinogenesis adalah suatu proses multi langkah yang berlangsung lama melibatkan akumulasi gen yang mengalami kelainan sampai timbulnya lesi kanker pada tubuh. Deteksi tumor fase awal merupakan masalah yang penting bagi para onkologist oleh karena pada fase inilah terapi diharapkan memberikan hasil maksimal. Seperti diketahui penyebab primer dan faktor yang mengawali proses karsinogenesis adalah adanya defek pada protoonkogen, gen supresor dan beberapa gen esensial lainnya. Defek tersebut tidak saja dianggap sebagai faktor patogenetik tapi juga sebagai penanda tumor oleh karena mutasi DNA (defek genetik) yang terdeteksi pada cairan biologis tubuh merupakan petunjuk adanya pertumbuhan tumor. Penanda tumor (PT) adalah suatu molekul atau proses ataupun suatu substansi yang dapat diukur dengan suatu pemeriksaan (assay) baik secara kualitatif maupun kuantitatif pada kondisi prakanker dan kanker. Perubahan kadar tersebut dapat diakibatkan oleh tumor maupun oleh jaringan normal sebagai respon terhadap tumor. Definisi yang lebih umum dari PT adalah suatu alat yang dapat membantu para klinisi untuk menjawab pertanyaan sekitar masalah kanker dan istilah PT sering digunakan secara umum sekali. Terlepas dari definisi mana yang dipakai, PT sendiri dapat berupa DNA, mRNA, protein, atau bagian dari protein (seperti proses dari proliferasi, angiogenesis, apoptosis, d m lainnya). PT dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak dalam darah atau urin pasien dengan kanker dan dapat juga dijumpai dalam darah dan urin pasien yang tidak menderita kanker. Di samping itu jaringan, air liur, cairan tubuh dan sel sendiri dapat dipakai sebagai bahan untuk pemeriksaan PT. PT banyak digunakan dalam klinik dalam rangka menambahkan informasi yang diperlukan sehingga dapat



membantu dalam pengambilan keputusan klinik suatu penyakit. Ada banyak jenis PT, beberapa diantaranya hanya diproduksi oleh satu jenis tumor sedang ada PT yang sama dibuat oleh beberapa jenis tumor. Pemeriksaan PT dapat dilakukan dengan melibatkan model binatang atau dengan menggunakan tes imunohistokimia. Perkembangan di bidang pemeriksaan PT sangat pesat dan beberapa pemeriksaan yang canggih dan baru seperti microarrays, serial analysis of gene expression (SAGE) dan mass spectrometry, studi proteomics untuk mengetahui proteom dari setiap sel, terus dikembangkan walupun beberapa diantaranya hanya digunakan untuk keperluan riset saja.



IDENTlFlKASl PENANDA TUMOR Sejarah perkembangan PT dimulai sejak ditemukannya pertama kali oleh Henry Bence-Jones pada tahun 1846 endapan protein dalam kencing yang diasamkan dari seorang pasien mieloma multipel dan sampai saat ini masih digunakan sebagai salah satu tanda adanya imunoglobulin rantai ringan, dan sejak saat itu telah ditemukan makin banyak PT yang potensial. PT yang pertarna kali digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya kanker adalah Human Chorionic Gonadotropin (HCG). HCG digunakan untuk mengetahui adanya kanker dari jaringan plasenta yang disebut gestational trophoblastic neoplasia (GTN). Beberapa tumor testis d m ovariurn juga memproduksi HCG oleh karena berasal dari sel germinal. Dalam perkembangan selanjutnya banyak sarjana dalam melakukan risetnya berusaha menemukan suatu PT yang dapat mendeteksi semua kanker hanya dengan satu jenis tes. Pada tahun 1965 Dr. Joseph Gold menemukan suatu substansi dalam darah pada pasien dengan kanker kolon yang disebut carcino embryonic antigen (CEA). Sejak tahun



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1423



PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Protein merupakan target yang digunakan



1970 tes darah telah makin berkembang untuk mendeteksi adanya PT, diberikan label numerik seperti misalnya CA 199 untuk kanker kolorektal dan kanker pankreas, CA 15-3 untuk kanker payudara, dan CA 125 untuk kanker ovariurn. Dan banyak lagi yang ditemukan akan tetapi penyelidikannya tidak dilanjutkan oleh karena tidak memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan PT yang sudah ada. Namun demikian sampai saat ini belum ditemukan target utama dari penelitian tentang PT ini yaitu menemukan PT yang dapat mendeteksi adanya lesi prakanker. Tidak saja PT ini tidak cukup sensitif akan tetapi juga tidak spesifik untuk satu jenis tumor saja. Seperti misalnya pasien dengan kanker paru atau payudara akan mempunyai kadar CEA yang tinggi, walaupun CEA merupakan penanda adanya tumor kolon. Tidak seperti penemuan obat-obat baru sampai pada pengesahannya sebagai obat standar, prosedur untuk pemeriksaan PT mulai dari penelitian laboratorium sampai aplikasi klinik belum ditentukan dengan jelas. Khususnya apabila pemeriksaannya menggunakan bahan jaringan dan dengan tujuan untuk menentukan PT yang bersifat prediktif. Untuk mengatasi ha1 ini setelah melalui beberapa kali pertemuan dan konsensus mengenai karakteristik dan aplikasi klinik dari PT maka National Cancer Institute merekomendasikan suatu strategi untuk menentukan suatu PT. Penanda biologis dengan potensi diagnostik dan prediktiftersebut mula-mula akan diperiksapada fase I yang terdiri dari pilot study. Pada fase ini metode yang dipakai tersebut akan dites menggunakan material baik yang berasal dari jaringan normal maupun jaringan tumor untuk mengetahui perubahan kadar molekul yang bersangkutan. Apabila pemeriksaan cukup meyakinkan baik secara kualitatif maupun kuantitatif,kemudian dilakukan studi fase I1 yang merupakan studi retrospektif dengan menggunakan sampel klinik yang sudah ditentukan untuk mendapatkan nilai klinik PT yang potensial. Setelahitu akan diikuti dengan fase I11 dengan studi komfirmasi menggunakan sekelompok pasien dan fase IV yang merupakan fase validasi kadar PT dengan melakukan studi terbuka pada banyak institusi seperti pada trial klinik. PT dan tumor antigen mempunyai peran yang menjanjikan di dalam aplikasi klinik akan tetapi dengan teknologi yang terdahulu belum dapat menentukan lokasi dari protein tersebut sehingga belum dapat dengan tegas menggambarkan asal dari tumornya. Dahulu penemuan suatu PT merupakan suatu produk sampingan dari suatu studi, bukan suatu tujuan utama dari riset. Pada perkembangan terakhir ini ditemukan 2 jenis teknologi untuk mengidentifikasi PT yaitu serial analysis of gene expression ( SAGE ) dan microarray analysis. Akan tetapi kedua cara ini mempunyai keterbatasannyadalam mengenal PT. Yang utama adalah adanya kenyataan bahwa perbedaan kadar pada level mRNA tidak sepenuhnya mencerminkan adanya perbedaan pada kadar proteinnya.



baik sebagai diagnosis maupun target terapi sehingga diperlukan suatu konfirmasi dari masing kandidat PT di tingkat ekspresi proteinnya. Salah satu studi dengan menggunakan SAGE pada kanker kolorektal telah berhasil menghitung ekspresi gen yang bertanggung jawab. Buckhaulst et al., berhasil mengidentifikasikan penanda dini dari kanker kolorektal melalui perbandingan ekspresi gen pada adenoma, kanker kolon dan epitel kolon normal yang berasal dari pasien dengan familial adenomatosis polyposis. Pada studi ini didapatkan 20 transkrip protein dengan peningkatan kadar hampir 20 kali pada adenoma dan kanker kolon dibandingkan dengan epitel normal. Enam diantaranya dapat dipergunakan sebagai PT oleh karena dia dapat mengkode protein permukaan. Studi lain dengan SAGE dapat membedakan antara adenocarcinoma dan squamous cell carcinoma pada kanker paru. Namun demikian diperlukan studi lanjutan untuk dapat menggunakan PT yang baru sebagai alat untuk menegakkan diagnosis penyakit. PT yang ideal adalah PT yang sangat spesifik artinya dia hanya ada pada tumor tersebut dan juga perlu sensitifitas yang tinggi artinya dapat mendeteksi tumor pada kondisi prakanker. Akan tetapi sampai saat ini belum ada satupun PT yang ideal dan pemeriksaan hanya satu jenis PT tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis suatu tumor oleh karena: 1. kadar PT dapat meningkat pada pasien tanpa kanker; 2. kadar PT tidak meningkat pada setiap pasien kanker, lebih-lebih pada kanker stadium dini; 3. banyak PT meningkat kadarnya pada berbagaijenis tumor. Akan tetapi kadar PT akan sangat berguna apabila digunakan bersama-sama dengan pemeriksaan rontgen dan tes darah lainnya untuk menegakkan diagnosis kanker pada individu yang diketahui mempunyai risiko tinggi untuk kanker.



KLASlFlKASl PENANDA TUMOR Banyak macam penggolongan yang dapat ditemukan mengenai PT. Berdasarkan aspek kliniknya maka PT dapat dibedakan menjadi: screening, prognosis, predictive dan monitoring markers. Screening Markers Penanda ini merupakan bagian dari penanda diagnosis. Hal yang penting diperhatikan pada penanda ini adalah sensitivitas dan spesifisitas dari PT dalam menunjang diagnosis. Untuk dapat berfungsi sebagai penanda yang dapat mengenal tumor pada fase awal maka PT yang bersangkutan harus mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Namun demikian, tergantung dari jenis tumor tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya dapat bervariasi. Sebagai contoh skrining untuk tumor kolon



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI karena SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI memerlukan spesifisitas yang tinggi oleh semua risk-group nya khususnya pada payudara berdasarkan pasien dengan tes positif akan menjalani pemeriksaan kasus yang node-negative. Penanda lainnya yang juga kolonoskopi suatu prosedur invasif dan mahal. Sebaliknya mendapat validasi dan evaluasi yang konsisten sebagai pada kanker payudara walaupun dengan spesifisitas yang penanda prognosis adalah proliferation marker thymitidak terlalu tinggi asalkan di sertai dengan sensitivitas dine labelling index juga untuk kanker payudara. tinggi tetap dapat diterima karena akan dilanjutkan dengan Beberapa ha1 yang perlu untuk diperhatikan sebelum pemeriksaan mammography yang dianggap murah dan menetapkan suatu PT sebagai penanda prognosis adalah lebih mudah. Hal ini akan mengurangi jurnlah pasien yang PT ini sebaiknya hanya dievaluasi pada pasien yang tidak menjalani pemeriksaan sekaligus memastikan mereka yang menerima terapi sistemik setelah pemberian terapi lokodengan tes positif (sensitivitas) harus menjalani regional, oleh karena pemberian terapi sistemik akan pemeriksaan lanjutan.Di samping ha1 itu, prevalensi kanker mempengaruhi perjalanan penyakit secara signifikan. Hal yang kedua adalah PT yang berkaitan langsung dengan yang bersangkutan juga dapat menyebabkan tingkat spesifisitas suatu tes dapat diterima sebagai tes skrining. perjalanan dari suatu tumor tidak akan memberi manfaat klinik. Manfaat dari penanda prognosis dan juga lainnya Seperti misalnya penelitian pada kelompok pasien dengan tergantung dari apakah hasilnya akan mempengaruhi risiko tinggi maka hasil nilai prediksi positif akan tinggi, penatalaksanaan selanjutnya. Misalnya pada pasien oleh karena hasil positif palsu lebih banyak pada populasi dengan kemampuan yang sangat terbatas tentunya yang tidak diteliti. Akan tetapi perlu diingat bahwa disini penentuan prognosis tidak akan memberikan manfaat sensitivitas tidak mempunyai pengaruh yang besar dan maksimal. ha1 ini dapat diatasi misalnya dengan melakukan pemeriksaan PT lain yang tidak ada hubungannya dengan PT yang pertama. Predictive Markers Sampai saat ini hanya ada 2 jenis PT yang diterima Predictive markers memprediksi respon terapi sedangkan sebagai tes skrining yaitu PSA, yaitu suatu PT untuk prognostic markers memprediksi terjadinya kekambuhan mendiagnosis kanker prostat dan pemeriksaan hemogloatau progresi dari penyakitnya. Akan tetapi banyak bin pada feses untuk skrining kanker kolon. PSA penanda mempunyai kedua sifat tersebut. Pada kanker mempunyai sensitivitas yang tinggi tapi spesifisitas yang payudara, penanda yang banyak diteliti sebagai predickurang. Hal ini dapat diterima karena pemeriksaan biopsi tive marker adalah reseptor hormon steroid. ER (estrogen prostat dianggap prosedur yang relatif mudah. Namun receptor) dan PgR (progesterone receptor) dapat demikian banyak usaha baru yang dilakukan dalam rangka memprediksi respons terapi hormonal. Pasien yang menemukan suatu bahan lain yang dapat dikombinasikan berespons dengan dengan terapi hormonal mempunyai dengan PSA untuk meningktkan spesifisitas. Suatu kit korelasi positif dengan kadar ER pada tumor primer dan pemeriksaan darah tersamar pada feses dengan spesifisitas pada kasus yang lanjut, keberhasilan terapi lebih banyak yang tinggi telah dipasarkan walaupun sensitivitasnya dijumpai pada kasus dengan tumor dengan kadar ER dan masih belurn maksimal. PgR yang tinggi. Salah satu kesulitan tes skrining ini adalah tingkat Selama hampir 20 tahun keberadaan dari ER dan PgR kepatuhan pasien. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada tumor primer merupakan petunjuk utama bagi para syarat tes skrining haruslah tidak terlalu invasif dan klinisi untuk mengobati kanker yang recurrent dengan terapi prosedur yang tidak rumit sehingga bisa mudah dikerjakan. hormonal. Akan tetapi status reseptor hormonal ini tidak Di samping tentu saja hasil pemeriksaan PT yang sepenuhnya dapat memprediksi mana pasien yang akan bersangkutan akan membawa keuntungan yang lebih pada memberi respons ataukah resisten dengan terapi pasien yaitu tingkat kesembuhan yang tinggi. hormonal. Pada pemberian terapi hormonal adjuvant pada kanker payudara dengan ER positif hanya memberi respons sekitar 20-25% saja. Oleh karena itu banyak para saljana Prognostic Markers masih meneliti biological predictive marker yang lainya Penanda ini akan memberikan informasi mengenai hasil sebagai target potensial di masa depan seiring dengan pengobatan dan juga tentang tingkat keganasan dari berkembangnya teknologi pemeriksaan yang makin canggih. tumornya. Umumnya penanda ini dievaluasi pada saat pemberian terapi pertama pada masing individu. Salah satu Monitoring Markers contoh PT yang dapat memberikan informasi prognosis Penanda ini dapat digunakan pada beberapa keadaan. yang banyak digunakan di klinik adalah uPA (urokinasePertama, PT yang sudah baku dapat dipakai untuk type plasminogen activator) dan PAI- 1 ( plasminogen memonitor manfaat atau respons terapi yang diberikan. activator inhibitor type-I) pada kanker payudara. PT ini Artinya perubahan dari status penyakitnya juga diikuti merupakan yang pertama dilakukan validasi dengan level dengan perubahan dari kadar PT. Juga dapat digunakan of evidence yang tinggi. Kombinasi kedua PT ini dapat sebagai alat follow-up setelah pemberian terapi awal menggambarkan prognosis pasien dengan kanker ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1425



PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan tujuan melihat awitan timbulnya dan beratnya recurrent disease. Pengukuran kadar PT untuk evaluasi terapi sering dipakai sebagai surrogate end point dari manfaat terapi tersebut. PT jenis ini jelas sangat bermanfaat untuk pergantian dan pemilihan terapi lainnya apabila tidak dijumpai adanya respons terhadap terapi yang diberikan atau adanya toksisitas obat sehingga pasien terhindar dari paparan obat terlalu lama. Pada pasien kanker sel germinal, alfa fetoprotein dan HCG dipakai sebagai alat monitor dari keberhasilan terapi. Sedang pada pasien dengan kanker saluran cerna, CEA dan CA 19-9 digunakan sebagai alat untuk mengetahui kekambuhan penyakit setelah terapi awal. Hal yang sama pada kanker ovarium, CA 125 umumnya dipakai untuk mengetahui adanya proses kekambuhan. Namun perlu untuk diingat, agar PT klas ini mempunyai manfaat klinik yang jelas, harus dapat dibuktikan bahwa dengan dilakukannya deteksi dini akan meningkatkan kemampuan hidup pasien. Pada kanker payudara ternyata tidak didapatkan manfaat dengan mengukur kadar PT secara reguler pada follow-up setelah terapi primer sehingga pemeriksaan PT pada fase ini tidak direkomendasikan walaupun hasil yang didapatkan dapat merupakan alat monitor yang berguna selama terapi sistemik pada kanker payudara yang mengalami kekambuhan. Berdasarkan spesifitasnya maka PT dapat dibedakan menjadi: tumor speczfic proteins, non-specific dun cell specific protein overexpressed in malignant cell.



Tumor Specific Proteins PT spesifik hanya diekspresikan oleh sel tumor tertentu. Sebagai contoh adalah apa yang dikenal sebagai fusion proteins yang merupakan penggabungan antara onkogen yang bertanggung jawab pada proses malignansi dengan gen promotor yang lain. Sebagai akibatnya adalah produksi protein yang aktif yang merupakan klon yang malignan. Kromosom Philadelphia adalah salah satu contoh fusion protein yang merupakan penanda yang cukup spesifik untuk lekemia mieloid kronik. Dengan melakukan DNA sekuensing dapat direkombinasikanfusion genes sehingga dapat diciptakan atau bahkan dirusaknya gen yang bertanggung jawab pada suatu proses keganasan. Non Specific Proteins Protein onkofetal adalah salah satu contoh PT yang walaupun tidak terlalu spesifik akan tetapi cukup berguna. Protein ini diekspresikan selama pertumbuhan embriologis dan juga pada sel kanker. Protein oncofetal yang paling sering digunakan sebagai PT adalah CEA yang diekspresikan oleh semua sel kanker saluran cerna dan sel kanker lainnya. Protein lainnya adalah alfa fetoprotein yang dijumpai pada sel kanker hati dan juga pada kanker testis dan ovarium.



C e l l S p e c i f i c Protein O v e r e x p r e s s e d i n Malignant Cells Beberapa jenis protein diekspresikan secara berlebihan oleh sel kanker tertentu yang sebenarnya merupakan ekspresi dari sel yang mengalami diferensiasi normal sehingga kadarnya dalam serum relatif lebih tinggi pada pasien dengan kanker. Hal ini dapat dilihat pada kasus kanker prostat dimana didapatkan peningkatan konsentrasi dari PSA (prostate speszfic antigen). Berdasarkan struktur biologis PT dapat dibedakan antara protein markers dan DNA markers; Protein marker sudah lebih dahulu dikenal dan banyak digunakan dalam klinik. Walaupun jumlahnya akan makin meningkat dengan ditemukannya teknologi proteonomik, tapi hanya sedikit yang masih akan digunakan. Protein yang pertama kali dikenal dan digunakan dalam praktek klinik adalah alfa fetoprotein, yang kemudian diikuti oleh CEA, CA 125, PSA, dan lainnya. Sedang DNA markers adalah defek genetik yang bertanggung jawab atas terjadinya proses karsinogenesis. Seperti diketahui proses karsinogenesis adalah proses multi langkah yang berlangsung lama akibat adanya akumulasi dari gen yang mengalami defek pada saat terjadinya proses pembelahan sel, perbaikan DNA maupun proses apoptosis. Dengan kemajuan pengetahuan mengenai mekanisme karsinogenesis, diketahui bahwa beberapa kelainan gen tadi dapat dipakai sebagai petunjuk adanya proses malignansi sehingga digunakan sebagai PT untuk diagnosis kanker., Defek genetik sebagai PT merupakan klas terbaru dan mempunyai potensi diagnostik yang baik.



Penanda rotei in



Pro~erti



Karakter universal Onko spesifitas Spesifitas jaringan



Penanda DNA



Tidak ada



Absolut



Relatif Tinggi



Absolut Tidak ada secara virtual



Stadium deteksi



Tumor yang berkembang



Sel-sel yang terinisial



Asal



SeCsel hidup



Sel-sel yang mati



Materi klinis



Darah (kebanvakan) urin



Tumor, alami



Secara umum kedua jenis PT ini dapat saling melengkapi dalam rangka menegakkan diagnosis adanya tumor. Beberapa karakteristik dari DNA markers ini adalah dia adalah universal artinya ditemukan pada hampir semua sel kanker yang bersangkutan, berbeda dengan penanda protein yang tidak didapatkan pada semua tumor. Penanda DNA bersifat sangat oncospeszfic artinya dia merupakan produk dari proses karsinogenesis (direct cause and effect relationship in carcinogenesis), sedang penanda protein dapat merupakan penanda dari proses diferensiasi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI normal dari sel yang mengalami maturasi, sehingga protein mungkin dapat dideteksi pada kondisi patologis lainnya. Namun demikian penanda DNA tidak dapat menggambarkan asal jaringan (lokasi), tidak seperti ha1 penanda protein. Penanda DNA sangat potensial dalam memprediksi fase awal dari proses pembentukan kanker, tapi ha1 ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Penanda protein akan makin meningkat kadarnya dengan berkembangnya sel kanker tersebut akan tetapi pada penanda DNA justru konsentrasinya akan makin meningkat dengan makin banyak proses apotosis atau nekrosis yang terjadi pada sel kanker tersebut, yang akan melepaskan DNA dari sel ke ruang ekstra seluler.



tumor sel islet, kanker usus kecil dan besar, hepatoma, lambung, paru, ovarium, payudara dan kanker ginjal. Untuk pemeriksaan penanda tumor biasanya diperiksakan HCG intak dan beta subunit HCG karena ada jenis tumor yang hanya memproduksi subunit beta saja. Beberapa peneliti mendapatkan hubungan antara kadar HCG dengan ukuran tumor dan prognosisnya. Peningkatan HCG juga ditemukan pada laki-laki dengan tumor mediastinum (mediastinal germ cell neoplasm). Hormon ini dapat dideteksi di darah dan urin. Karena HCG tak dapat menembus sawar darah otak maka rasio kadar HCG antara cairan sebrospinal dan serum >1:60 menunjukkan kemungkinan adanya metastase ke serebral.



PENANDA TUMOR



Carcino Embryonic Antigen (CEA) CEA diproduksi selama perkembangan bayi dan setelah lahir produksi CEA akan berhenti dan tak terdeteksi pada orang dewasa normal. CEA ditemukan pertama kali pada adenokarsinoma kolon pada tahun 1965. CEA dimetabolisme di hepar dengan waktu paruh sekitar 1-8 hari. Beberapa penyakit hati dan obstruksi biliaris akan menghambat klirens nya sehingga akan terjadi peningkatan kadar CEA. CEA adalah PT yang digunakan untuk pasien dengan kanker kolorektal. Kadar di atas 5 ulml sudah dianggap abnormal. Kadar yang tinggi juga dijumpai pada kanker paru, payudara, pankreas, tiroid, hati, serviks dan kandung kemih. Dalam kondisi normal kadar CEA meningkat pada perokok. Kadar CEA akan meningkat setelah kankemya sendiri terdeteksi sehingga CEA tidak digunakan sebagai alat diagnostik. CEA adalah satu-satunya penanda yang sudah digunakan sebagai alat monitoring kanker kolorektal selama >20 tahun, dan pemeriksaan serial lebih direkomendasikan untuk mendeteksi rekurensi kanker kolorektal pasca tindakan bedah. Peningkatan kadar CEA setelah tindakan dihubungkan dengan adanya kekambuhan dari tumornya.



Banyak jenis PT yang tersedia secara komersial akan tetapi tidak semuanya bermanfaat secara klinik. Ada juga PT yang hanya digunakan oleh para peneliti di dalam riset sehingga tidak tersedia di laboratoriurn komersial dan hanya apabila diketahui mempunyai nilai klinik maka PT yang bersangkutan akan dapat diperiksakan pada laboratorium klinik. Berikut beberapa PT yang sering digunakan di klinik. Alfa Fetoprotein (AFP) AFP biasanya didapatkan pada fetus yang sedang tumbuh, bayi baru lahir dan perempuan hamil, mempunyai kadar tertinggi sekitar 15 ugll setelah tahun pertama dari kehidupan dan akan meningkat pada kelainan hati dan keganasan lainnya. Protein ini diproduksi oleh hati bayi dan yolk sac.Peningkatan kadar AFP lebih dari 100 nglml paling sering dijumpai pada kanker sel germinal dan kanker hati primer, akan tetapi juga meningkat pada kanker lambung, kolon, pankreas dan paru yaitu sekitar 20%. Kadar AFP dijumpai lebih tinggi pada 213 pasien kanker hepatoselular. Kadar normal AFP tidak lebih dari 20 nglml, kadamya meningkat sesuai dengan peningkatan ukuran tumor. Dalam sirkulasi waktu paruh AFP adalah 3,5- 6 hari. Pada tumor kecil kadamya bisa lebih kecil dari 20 nglml. AFP juga meningkat pada hepatitis akut dan kronis tapi kadamya tidak lebih dari 100 nglml, tapi tidak meningkat pada penyakit kolestasis. Human Chorionic Gonadotropin (HCG) HCG dalam keadaan normal disekresikan oleh jaringan plasenta dan mencapai kadar tertinggi pada umur kehamilan 60 hari. Hormon ini terdiri dari 2 subunit yaitu alpha subunit dan beta subunit, dengan waktu paruh sekitar 12-24 jam. Kadar normal HCG adalah 1-5 nglml dan sedikit meningkat pada perempuan pasca menopause (sampai 10 nglml). Kadar yang tinggi dari HCG dapat ditemukan pada kehamilan mola, korio karsinoma. Peningkatan kadar HCG dapat juga dijumpai pada adenokarsinoma pankreas,



Cancer Antigen 15-3 (CA 15-3) CA 15-3 pertama kali digunakan pada kanker payudara. Kadamya hanya meningkat kurang lebih 10% pada kasus yang dini tapi akan meningkat sampai 75% pada kanker yang sudah lanjut. Kadar normal CA 15-3 adalah sekitar 25 d m l , dan kadar setinggi 100 u/ml bisa dideteksi pada perempuan yang tidak menderita kanker. CA 15-3 juga meningkat pada kanker lainnya seperti kanker pankreas, paru, ovarium dan hati. Pada hepatitis dan sirosis juga ditemukan kadar CA 15-3 yang meningkat. Sampai saat ini ada beberapa PT yang dapat digunakan untuk kanker payudara, seperti : CEA< MCA, CA 549, BR 27-29 dan BRMA. Penanda lainnya seperti CYFRA2 1.1, TPA, TPS dan c-erbB atau HER-21 neu.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Cancer Antigen 125 (CA 125) CA 125 adalah PT standar untuk kanker epitelial ovariurn. Kadarreferensi yang banyak dianut adalah 0-35 kuL, narnun hampir 99% perempuan normal pascamenopause mempunyai kadar 30 Ulml tidak didapatkan dengan kanker ovarium. Kadar yang tinggi juga ditemukan pada perempuan dengan endometriosis, pada kanker paru dan individu yang mempunyai kanker sebelumnya. Kadar CA 125 yang meningkat juga ditemukan pada kondisi nonmalignan seperti penyakit hati, fibroid, kista ovarium, dan peritonitis. Cancer Antigen 19-9 (CA 19-9) CA 19-9 dijurnpai pada epitel lambung bayi, saluran usus halus dan hati serta pankreas bayi serta pada serum pasien dengan keganasan. Walaupun CA 19-9 pertama kali dilakukan untuk kanker kolorektal, akan tetapi saat ini diketahui penanda ini lebih sensitif untuk kanker pankreas. Dan saat ini dianggap sebagai PT yang terbaik untuk kanker pankreas. Dia tidak bisa untuk mendeteksi kasus awal karena kadar CA 19-9 yang meningkat menandakan kasus tersebut sudah lanjut. Kadar abnormal CA 19-9 adalah di atas 37 uJ ml. CA 19-9juga dapat meningkat pada kanker saluran cerna jenis lainnya seperti kanker duktus biliaris. Kadar yang meningkat juga dapat dilihat pada hepatitis, sirosis, pankreatitis dan kelainan saluran cerna lainnya. Keadaan ikterus akan mempengaruhi spesifisitas' CA 19-9, karena pada kondisi dengan ikterus didapatkan kadar CA 19-9 yang meningkat sehingga CA 19-9 kurang sensitif dalam mendeteksi kanker pankreas fase awal dan hanya 55% pasien kanker pankreas dengan kadar CA 19-9 yang tinggi apabila masa tumor 3 nglml akan mempunyai prognosis yang lebih jelek. Bladder Tumor Antigen (BTA) BTA dijumpai pada urin pasien dengan kanker kandung kemih. Dan bersama dengan NMP 22 digunakan sebagai tes untuk memonitor rekurensi kanker. Hal ini belum banyak digunakan ,masih dilakukan studi lanjutan. Akan tetapi banyak ahli masih menganggap sitoskopi lebih baik dari pada penanda ini. CancerAntigen 27.29 (CA 27.29) CA ini juga dipakai untuk kanker payudara, akan tetapi dia tidak lebih baik dari pada CA 15-3. Akan tetapi dia lebih



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI jarang positif pada individu yang sehat. Kadar normal biasanya kurang dari 38-40 dml. Penanda ini temyata juga dapat meningkat pada kanker yang lain. HER-2/neu (c-erbB-2) HER-2/neu merupakan penanda yang ditemukan pertama kali pada sel kanker payudara dan dapat dilepaskan ke sirkulasi darah. Protein ini dijumpai pada permukaan sel epitel dan berfungsi sebagai reseptor untuk faktor pertumbuhan sel. Pada sel kanker protein ini akan kehilangan respon normalnya untuk faktor regulator lainnya sehingga akan menyebabkan kontrol regulasi terhadap suatu sel hilang dan timbulah kanker. HER-2/neu juga dapat dijumpai pada kanker lain. Dia hanya digunakan untuk meramalkan prognosis. Perempuan dengan kanker payudara dengan penanda ini tidak akan memberikan respons baik dengan kemoterapi dan mempunyai prognosis yang jelek. Umumnya penanda ini tidak diperiksa melalui darah tapi memeriksa sel kankemya dengan menggunakan immz~nohistochemistryatau pewarnaan khusus pada jaringan kankernya. Pemeriksaan lainya yaitu dengan ELISA untuk menghitur kadarnya dalam darahlserum. Kadar normal dalam darah adalah di bawah 450 fmol/ml. Lipid Associated Sialic Acid in Plasma (LASA-P) LASA-P telah diteliti sebagai penanda pada kanker ovarium dan kanker lainnya. Namun belum menunjukkan mafaat yang besar sehingga penggunaannya sudah mulai ditinggalkan. NMP22 NMP22 merupakan protein yang ditemukan pada urin pasien kanker kandung kemih. Awalnya digunakan untuk follow-up pasien dengan kanker kandung kemih untuk menghindari pemeriksaan sistoskopi yang berulang. Pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan karena tidak sensitif. Neuron Spesific Enolase (NSE) NSE disekresi oleh sel saraf dan sel neuroendokrin susunan saraf pusat dan tepi. Peningkatan kadar NSE > 12 nglml biasanya dianggap abnormal. NSE kadang dipakai untuk kanker paru khususnya pada kanker sel kecil. Protein ini didapatkan lebih baik dari pada CEA untuk follow-up pasien kanker sel kecil. Penanda ini juga ditemukan pada beberapa tumor neuroendokrin yaitu karsinoid, neuroblastoma, kanker medula tiroid, tumor Wilm's dan pheochromocytoma. Thyroglobulin (hTG) Thyroglobulin diproduksi oleh kelenjar tiroid dan kadamya meningkat pada kelainan tiroid. Apabila kanker



tiroid telah diangkat dan kadar thyroglobulin meningkat di atas 10 nglml maka dapat diduga terjadi kekambuhan. Kadar ini juga dapat diikuti untuk mengevaluasi hasil terapi pada kanker tiroid yang metastase. Kadar hTG yang meningkat juga dapat dijumpai pada tumor Wilm's. S-100 S-100 berhubungan dengan melanoma malignan. Pada studi awal diketahui tejadi peningkatan pada hampir semua pasien dengan melanoma malignan. Hal ini sedang diteliti dan tes pemeriksaan S-100 masih pelajari. Cancer Antigen 72-4 (CA 72-4) CA 72-4 merupakan tes yang relatif baru untuk kanker ovarium dan kanker yang berasal dari saluran cerna. Tidak lebih baik dari CA 125 tapi dapat menambahkan nilai diagnosis dan ha1 ini masih dalam penelitian lanjutan. Squamous Cell Carcinoma Antigen (SCC) SCC pertama kali di identifikasi pada kanker serviks. Ini merupakan penanda dari kanker sel squmous yang dapat terjadi pada serviks, kepala dan leher, paru dan kulit. Kadar dari SCC dapat dipakai membantu menetapkan stadium dari karsinoma dan menentukan respon terapi (4,19) Beberapa pemeriksaan penanda lainnya dapat digunakan sebagai petunjuk adanya lesi kanker, seperti misalnya pemeriksaan metabolit katekolamin pada kasus neuroblastoma, hormon adrenokortikotropik dan antidiuretik hormon pada kasus kanker paru sel kecil. Alpha 2 macroglobulin dapat berikatan dengan PSA dan kompleks ini dapat digunakan pada kanker prostat. Kadar feritin yang tinggi juga dihubungkan dengan beberapa jenis kanker seperti kanker testis, neuroblastoma, limfoma Burkitt's, leukemia dan kanker laring. Pada kanker nasofaring didapatkan bahwa DNA EBV ( Epstein Burr firus ) dalam plasma dapat digunakan sebagai PT baik sebelum, selama maupun sesudah terapi diberikan.



APLlKASl KLlNlK PENANDA TUMOR Penggunaan PT di klinik ditujukan terutama untuk mendapat informasi tambahan yang dapat mempengaruhi penatalaksanaan suatu penyakit. Namun ditegaskan bahwa tidak dapat dijamin bahwa suatu metode pemeriksaan PT dalam darah ataujaringan akan memberikan hasil yang sama dengan metode yang berbeda. Demikian pula hasil dari suatu pemeriksaan akan sangat ditentukan oleh komposisi spesimen, prosesing dari jaringan yang akan diperiksa, spesifisitas'dan desain dari alat ukur yang dipakai, jenis antibodi pada assay immunometric dan yang penting juga adalah evaluasi statistik terhadap data yang didapat (preanalytical, analytical dun post analytical aspect).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PT akan sangat berguna dalam evaluasi dan penatalaksanaan beberapa kondisi klinik seperti penzntuan risiko suatu tumor, skrining tumor, diferensial diagnosis, menentukan prognosis dan monitoring perjalanan suatu tumor. Strategi skrining akan sangat efisien apabila dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi terhadap munculnya suatu tumor yang diperkirakan, dan dengan makin majunya pengetahuan dimana beberapa gen yang diduga sudah dapat diidentifikasikan maka estimasi risiko timbulnya kanker akan makin tepat. Skrining PT akan makin bermanfaat apabila tersedia pilihan terapi yang dapat menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas dari kanker yang bersangkutan. Pada situasi dimana hasil dari pemeriksaan histopatologis meragukan, PT mungkin dapat membantu membedakan antara jaringan yang jinak dengan ganas, antara keganasan hematologi dengan keganasan yang berasal dari epitel atau jaringan mesensimal dan bahkan dapat membedakan tipe jaringan dengan jenis lainnya. Walaupun awalnya PT dipelajari untuk dapat mendeteksi tumor pada fase dini, namun sampai saat ini hanya PSA yang diterima sebagai penanda dini dari suatu kanker ( kanker prostat ). Pada pasien dengan kadar CA 125 tinggi diduga mempunyai kanker ovarium walaupun massa ovariumnya tidak terlalu jelas bisa di identifikasi. Banyak para peneliti meragukan manfaat pemeriksaan PT sebagai alat skrining tumor fase dini oleh karena tidak spesifiknya PT yang bersangkutan. Akan tetapi ha1 ini nampakya dapat diatasi dengan melakukan pemeriksaan kombinasi antara beberapa PT sekaligus sehingga meningkatkan daya spesifisitas. Peneliti Jepang mendapatkan hasil yang dapat menilai dengan adekuat risiko timbulnya kanker pada sekelompok orang yang sebelumnya normal. Dengan mengkombinasikan 3 macam klas PT yaitu tumor- speczfic tumor markers, tumor-associated tumor markers dan growth-related tumor markers assays. Prognosis pada pasien dengan tumor primer ataupun metastase adalah suatu prediksi suatu kondisi tumor di kemudian hari baik dengan pengobatan maupun tanpa pengobatan. Menurut McGuire dan Clark faktor prognosis dibagi menjadi 2 katagori yaitu faktor prognostik yang meramalkan adanya kekambuhan atau progresi dari penyakitnya dan faktor prediktif yang meramalkan adanya respons atau resisten terhadap terapi yang diberikan. Suatu PT bisa bersifat keduanya yaitu prognostik (kemungkinan kekambuhan dan atau progresi) dan prediktif (kemungkinan bermanfaat terhadap terapi yang diberikan). Sebagai contoh adalah pada pasien kanker payudara dengan ER- negative yang tidak mendapat terapi akan mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan ER-positive, diduga disebabkan oleh ER berhubungan dengan metastase atau potensi overgrowth. Pada kasus ini ER adalah faktor prognostik. Pada kasus lain pemberian tamoksifen (anti



estrogen) lebih efektif dalam mencegah rekurensi dari kanker payudara yang ER-positive dibandingkan dengan ER-negative. Disini PT ER adalah faktor prediktif terhadap efek tamoksifen. Selama dalam terapi dan fase follow-up selanjutnya pemeriksaan PT dapat dipakai sebagai alat untuk memonitor pasien. Baik untuk mendeteksi kekambuhan tumor primer setelah mendapat terapi maupun untuk melihat efektifitas hasil pengobatan. Banyak perempuan dengan kanker payudara diperiksakan setiap tahun CA 15-3 untuk mendeteksi rekurensi kankernya sebelum gejalanya timbul, namun ha1 ini masih banyak dipertanyakan manfaatnya. Umumnya peningkatan kadar CA 15-3 terjadi bersamaan dengan munculnya gejala. Demikian pula halnya dengan pemeriksaan CEA pada kanker kolon sehingga ASCO tak merekomendasikan penggunaan PT ini untuk monitor kasus dengan kanker kolon, kecuali untuk melihat respons terapi pada kanker kolon stadium lanjut. Kebanyakan para klinisi berpendapat manfaat PT terbesar adalah untuk memonitor pasien kanker stadium lanjut yang sedang mendapat terapi. Dimana akan lebih mudah untuk memeriksa PT dibandingkan melakukan pemeriksaan lainnya seperti scaning, X-ray dan pemeriksaan invasif lainnya. Kalau kadar PT menurun umumnya merupakan tanda dari keberhasilan terapi, demikian sebaliknya apabila kadarnya meningkat maka terapi hams diganti. Namun perlu diingat kadang terjadi peningkatan kadar PT pada saat terjadinya kematian dari sel kanker terutama pada kanker yang sensitif terhadap kemoterapi. Akhirnya pemeriksaan PT hanya akan menjadi efektif apabila hasilnya dapat mempengaruhi penatalaksanaan pasien sehingga menghasilkan perbaikan klinik yang nyata. Sebaliknya apabila PT yang bersangkutan tidak dapat memberikan manfaat baik dalam lama hidup, kualitas hidup pasien ataupun aspek ekonominya tentunya PT yang bersangkutan tidak layak untuk diteruskan. Akan tetapi walaupun belum tersedianya modalitas terapi untuk suatu tumor tertentu, pemeriksaan PT tetap akan memberi manfaat dikemudian hari seiring dengan perkembangan terapi dimasa depan. Karena pengetahuan tentang PT akan membuka peluang dikembangkannya suatu pendekatan baru berdasar atas pengenalan molekul protein dari PT tersebut. Demikian pula PT akan memberi nilai klinik yang tinggi apabila dia dapat mengambarkan suatu proses bilogis dari berkembangan suatu tumor.



Panduan untuk Penanda Tumor Perlu untuk diketahui bahwa panduan atau guideline tidak selalu bisa memenuhi setiap perubahan yang terjadi pada setiap pasien. Dia tidak dimaksudkan untuk memaksakan seorang klinisi pada suatu kondisi individu tertentu tapi lebih merupakan suatu petunjuk secara lebih umum. Dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDlK



DI semua SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI juga dia tidak seutuhnyaHANYA inclusive pada metode PROSPEK PENANDA TUMOR penanganan pasien yang ada, sebaliknya tidak juga Banyak PT barn yang sedang diteliti dan dikembangkan mentabukan terapi lainnya yang jelas memberikan hasil sebagai suatu penanda tumor yang potensial di masa yang yang sama. ASCO menganggap kepatuhan pada akan datang. Dengan perkembangan tehnologi pemeriksaan guideline tertentu hanyalah bersifat sukarela (voluntary). dengan menggunakan antibodi monoklonal makin banyak Keputusan akhir mengenai penggunaan guideline saja penemuan tentang molekul yang berkaitan dengan tergantung dari penilaian klinik dari seorang dokter proses karsinogenesis pada tahap awal, baik pada darah berdasarkan kebutuhan dari pasiennya. Di samping itu maupun pada sel kankemya sendiri. Perubahan.kromosom, perlu diperhatikan guideline biasanya dibuat atas dasar baik delesi, duplikasi maupun lainnya telah diketahui dan pemberian pengobatan di dalam konteks praktis klinik mungkin akan menjadi penanda yang potensial. Di samping sehingga tidak dimaksudkan pada konteks penelitian yang itu banyak laboratorium yang mencari kelainan genetik umumnya dilakukan untuk mengetahui suatu terapi untuk mendeteksi adanya kanker. Kita ketahui semua inovatif dan baru. kanker akan mempunyai kelainan DNA, suatu molekul yang Clinical guideline bukanlah suatu magic bullet bagi mengatur setiap fungsi sel tubuh. Dengan mengetahui para klinisi akan tetapi hanya memberikan salah satu kelainan DNA dalam darah, urin, atau sel tubuh maka para pilihan tambahan untuk memperbaiki kualitas hidup ilmuwan akan dapat mengenal proses perkembangan pasien. Petunjuk penggunaan PT ini dibuat melalui kanker pada stadium awal sekali. Saat ini telah berkembang penilaian kritis dan sistematik dari literatur ilmiah oleh suatu studi yang baru yang disebut sebagai proteomics para ahli dari banyak disiplin ilmu, nasional maupun yaitu studi tentang protein complement yag komplit atau intemasional. Rekomendasi penggunaan PT merupakan suatuproteom dari sel. Dengan teknologiproteomic akan bagian dari penatalaksanaan menyeluruh dari seorang memungkinkan kita untuk mengenal perubahan protein pasien kanker karena kontribusi dari pemeriksaan PT tidak akibat suatu proses penyakit dengan akurasi yang tinggi. dapat diintepretasikan tersendiri. Dan keuntungan lainproteomic study ini adalah identifikasi Berikut disajikan salah satu guideline praktis dari protein yang merupakan produk akhir yang bertanggung penanda tumor dengan indikasinya pada jenis tumor yang jawab terhadap keseluruhan proses tersebut (biological bersangkutan yang direkomendasikan oleh group panelis endproducts). dari beberapa negara. (dikutip :34) A.Tumor Sel Germinativum ACBl



AJCC



EAU



EGPT



ESMO



NACB



SIGN



ACJJ



ASCO



EGPT



ESMO



NACB



SIGN



SOR



ACBl



AJCC



ASCO



EGPT



NACB



SOR



AFP dan hCg untuk Skrining Diagnosis Ideteksi Pentahapanlprognosis Mendeteksi rekurensi Memantau terapi AFP untuk diagnosis yang berbeda dari NSGCT LDH untuk Diagnosisldeteksi Pentahapanlprognosis Mendeteksi rekurensi Memantau terapi



B. Kanker Kolorektal ACBI CEA untuk Skrining Diagnosisldeteksi Pentahapanlprognosis Mendeteksi rekurensi Memantau terapi Skrining untuk metastase hepatik



C. Kanker Payudara Pengukuran ER dan PR Pada semua lesi primer Untuk memilah terapi endokrin Ekspresi lebih HER-21neu (c-erbB-2) Untuk memilah pasien terpi herceptin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1431



PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



CA15-3 or BR27.29 for Skrining Diagnosisldeteksi Prognosislprediksi Follow-uplpemantauan treaPTent CEA untuk Skrining Diagnosisldeteksi Prognosislprediksi Follow up/pemantauan teaPTent D. Kanker Ovarium



AJCC



EGPT



ESMO



NACB



SOR



ACBI



ACS



AJCC



AUA



EAU



EGPT



BTA



EGPT Y



NACB



ACBI



CAI25 untuk Skrining Diagnosisldeteksi Pentahapanlprognosis Deteksi rekurensi Memantau terapi CEA atau CA19.9 jika CAI25 tidak meningkat pada Diagnosis AFP dan hCG untuk menyingkirkan diagnosis tumor sel germinal pada wanita muda



N N' Y Y



Y



E. Kanker Prostat NACB



PSA untuk Skrining (dengan DRE) Sebagai alat bantu diagnosis (dengan DRE) Prognosis Memantau pasien setelah diagnosis % bebas: Total PSA sebagai diagnosis pembantu ketika PSA 4-10 pg/L and DRE negatif Pemeriksaan kanker prostat Kisaran rujukan spesifik umur F. Paru, Neuroendokrin, dan Kanker Tiroid Kanker paru NSE pada diagnosis yang berbeda CYFRA 21-1, CEA, danlatau NSE sebagai follow-up and pemantauan terapi Tumor-tumor neuroendokrin Katekolamin urin, asam vanililmandalat, danlatau asam homovanilat sebagai petunjuk feokromositoma and neuroblastom Kalsitonin untuk mendiagnosis dan memantau Tiroid medulari karsinoma Kanker tiroid Tiroglobulin



Y



Y



N. not recommended; Y, recommended. Ruang kosong menunjukkan bahwa aplikasi tidak dipertimbangkan danlatau rekomendasi dijanjikan. bACBI, Association of Clinical Biochemists in Ireland: ESMO, European Society of Medical Oncologv: NSGCT, nonseminomatous germ cell tumor: LDH, lactate dehydrogenase: ER, estrogen receptor: PR, progesterone receptor: ACS, America Cancer Socienty: AUA, American Urological Association: BTA, British Thyroid Association. 'Manfaat pemeriksaan CEA meragukan. dPemeriksaan laboratorium dibatasi pada pasien dengan sangkaan gejala. 'Manfaat pemeriksaan CEA meragukan karena tidak menunjukkan manfaat kelangsungan hidup. 'Hanya jika metastasis hati diindikasikan secara klinis. 8Jika penyakit tidak dapat diukur segera, peningkatan Ca15-3 atau BR 27.29 bisa digunakan untuk menduga kegagalan terapi. hMungkin berguna untuk diagnosis dini metastasis jauh. 'Hanya jika CEA meningkat, dan CA 15-3 tidak meningkat. JJika penyakit tidak dapat diukur segera, peningkatan CEA mungkin bisa digunakan untuk menduga kegagalan terapi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kUntuk deteksi dini pada pasien karsinoma stadium 11 atau 111 yang telah diterapi sebelumnya yang secara klinis bebas penyakit. 'Pada perempuan pasca menopause, membantu dalam diagnosis diferensial masa pelvis jinak dan ganas. "Jika dikombinasi dengan sonografi transvagina, CA125 bisa menjadi prosedur untuk deteksi dini kanker ovarium pada perempuan dengan sindrom kanker ovarium herediter. "Pemeriksaan setiap tahun dimulai pada laki-laki usia 50 tahun dengan harapan hidup paling sedikit 10 tahun. "Berdasarkan permintaan, keputusan skrining populasi harus menunggu hasil studi acak prospektif yang menunjukkan pengaruh skrining pada hasil. psistem penentuan stadium TNM diperbaiki dengan penambahan skor PSA dan gleason, tetapi inklusi menunggu hasil studi. PSA telah berperan dalam penentuan stadium pada pasien menunjukkan stadium Tk setelan biopsi prostat yang asimtomatik dan selalu ditelusuri hanya jika PSA meningkat. qTerapi tambahan ditawarkan jika PSA meningkat.



Potensi dari diagnostik gen yang dipakai sebagai alat skrining pada tumor ataupun pada keseluruhan sel yang mengandung gen yang rusak bukanlah suatu yang mudah dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Perlu dibedakan kerusakan sel yang terjadi pada ketuaan, mengingat proses ketuaan sendiri merupakan akumulasi dari kerusakan gen yang sangat berpotensi untuk muncul dimasa yang akan datang sebagai suatu tumor yang manifes. Namun kenyataannya ha1 tersebut memang tidak mudah dikenali. Oleh karena itu perlu ditingkatkan sensitivitas dari penanda DNA dan dikembangkan suatu teknik untuk menghitung penanda DNA tersebut. Hanya dengan penghitungan penanda DNA (suatu panel dari penanda awal dan penanda lanjut lebih baik dari hanya penanda tunggal) dalam darah akan memungkinkan untuk mendeteksi fase awal dari tumor. Demikian pula dengan data kuantitatif dapat dilakukan perbandingan dengan data dari klinik lainya, untuk memonitor progresi penyakit pada individu tertentu, dan mendeteksi adanya progresi dari tumor dengan menghitung panel PT tersebut.



RINGKASAN PT adalah alat yang penting bagi para klinisi untuk membantu memberikan informasi mengenai deteksi awal suatu tumor, estimasi prognosis pasien, memprediksi respons terapi dan monitoring penyakit. Namun sebuah PT sebelum diakui bermanfaat secara klinik hams melalui suatu studi validasi dan penilaian kualitas pada beberapa tingkatan. Suatu penanda hams terbukti memberi manfaat lebih pada pasien, meningkatkan kualitas dan menurunkan biaya perawatan pasien sebelum diaplikasikan dalam praktek klinik sehari-hari. Ada banyak jenis penanda dan manfaatnya akan lebih baik apabila dilakukan pemeriksaan serial dan kombinasi dibandingkan hanya dengan pemeriksaan tunggal. Yang perlu juga diperhatikan adalah kualitas dan prosedur dari pemeriksaan, karena pemeriksaan dengan metode yang lain akan mendapatkan



hasil yang beda sehingga perlu dilakukan standarisasi. Dengan perkembangan teknologi kedokteran yang pesat diharapkan di masa depan suatu penanda yang ideal bisa ditemukan yaitu penanda yang dengan sensitivitas dan spesifitas tinggi, mudah dan murah pemeriksaannya.



REFERENSI American Cancer Society. Tumor Markers. Available at: http:// www.google.com. Accessed 15101/05. Anonim. Current Cancer Marker. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05. Buckhaults P, Rago C, StCroix B. Secreted and Cell Surface Genes Expressed in Benign and Malignant Colorectal Tumors. Cancer Res. 2001; 61: 6996-01 Bidart JM, Thuillier F, Augereau C, Chalas J, Daver A, Jacob N, et al. Kinetic of Serum Tumor Marker Concentrations and Usefulness in Clinical Monitoring. Clin Chem 1999;45:1695-707. Bast RC, Ravdin P, Hayes DF, Bates S, Frische H, Jessup JM, et al. 2000 Update of Recommendation for the Use of Tumor Markers in Breast and Colorectal Cancer: Clinical Practice Guidelines of the American Society of Clinical Oncology. Asco Special Article. J Clin Oncol 2001;19:1865-78. Baselga J. Is Circulating HER-2 More Than Just a Tumor Marker? Editorial. Clin Cancer Res 2001;7:2605-7. Cordon-Cordo C. p53 and RB: Simple Interesting Correlates or Tumor Markers of Critical Predictive Nature? J Clin Oncol 2004;22:975-7. Cancer Center Staff. Tumor Marker Tests. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05 European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Germ Cell Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05. European Group on Tumor Markers. Tumour Markers in Breast Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http:ll www.google.com. Accessed 04/02/05. European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Lung Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http:// www.google.com. Accessed 04/02/05 Fritsche HA. Serum Tumor Markers for Patient Monitoring: A Case-Oriented Approach Illustrated with Carcinoembryonic Antigen. Clin Chem 1993;39:243 1-4.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1433



PENANDA TUMOR DAN APLlKASl KLlNlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hayes DF, Bast RC, Desch CE, Fritsche H, Kemeny NE, Jessup JM, et al. Tumor Marker Utility Grading System: a Framework to Evaluate Clinical Utility of Tumor Markers. Special Article. J Natl Cancer Inst 1996;88:1456-66. Harbech N, Kates RE, Schmit HM. Clinical relevance invasion factors Urokinase type Plasminogen Activator and Plaminogen Activator Inhibitor type-1 for individualized therapy decision in primary breast cancer is greatest when used in combination. J Clin.Onco1.2002; 19: 1000-07. Kobayashi T, Kawakubo T. Prospective Investigation of Tumor markers and Risk Assessment in Early Cancer Screening. Available at: http://www.google.com. Accessed 04/02/05. Hermeking H. Serial Analysis of Gene Expression and Cancer. Current Opinion in Oncology 2003;15:44-9. Lichtenstein AV, Potapova GI. Genetic Defects as Tumor Markers. Moleculer Biology 2003;37:159-69. Lindblom A, Liljegren A. Tumour Markers in Malignancies. Clinical Review. BMJ 2000;320:424-7. Loging WT, Lal A, Siu IM, Loney TL, Wikstrand CJ, Marra MA, Prange C. lndentifying Potential Tumor Markers and antigens by Database Mining and Rapid Expression Screening. Letter. Genome Research 2000;lO: 1393-1 402. Norderson NJ. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com. Accessed 04/02/05. Phillips L. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com. Accessed 3 1/01/05. Perkins GL, Slater ED, Sanders GK, Prichard JG. Serum Tumor Markers. Am Fam Physician 2003;68:1075-82. European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Gastrointestinal Cancers-EGTM Recommendations. Available at: http://www.google.com. Accessed 04/02/05.



Riley RD, Heney D, Jones DR, Sutton AJ, Lambert PC, Abrams KR, et al. A Systemic Review of Molecular and Biological Tumor Marker in Neuroblastoma. Review. Clin Cancer Res 2004;10:412. Srinivas PR, Verma M, Zhao Y, Srivastava. Proteomics for Cancer Biomarker Discovery. Clin Chem 2002;48:1160-9. Smith JF. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com. Accessed 15101/05. Smith RA, Cokkinides V, Eschenbach AC, Levin B, Cohen C, Runowich CD, et al. American Cancer Society Guidelines 'for the Early Detection of Cancer. Ca Cancer J Clin 2002;52:8-22. Schrohl AS, Holten-Andersen M, Sweep F, Schmitt M, Harbeck N, Foekens J, et al. Tumor Markers from Laboratory to Clinical Utility. Review. Molecular & cellular proteomics 2.6 2003: 37887. Sidransky D. Emerging molekuklar markers of cancer. Nature Rev. Cancer 2002; 2: 210-19 Sturgeon C. Practice Guidelines for Tumor Marker Use in the Clinic. Cancer Diagnostic: Review. Clin Chem 2002;48: 115 1-9. Shoterlersuk K, Khorpraset C, Sakdikul S, Pornthanakasem W, Voravud N, Mutirangura A. Epstein-Barr Virus DNA in Serum1 Plasma as a Tumor Marker for Nasopharyngeal Cancer. Clin Cancer Res 2000;6: 1046-5 1. Sturgeon C. Practice Guidelines for Tumor Marker Use in the Clinic. Clin Chem.2002; 48: 1151-9 Torosian MH. The Clinical Usefulness and Limitations of Tumor Markers. Surg Gynnecol Obstet 1988; 166:567-79. Varsney D, Zhou YY, Giller SA, Alsabel R. Determination of HER2 status and Chromosome 17 Polysomy in Breast Carcinoma Comparing Hercep test and Pathvysion. Am.J Clin Pathol. 2004; 121: 70-77.



.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENGGUNAAN OBA'LOBATAN ANTIKOAGULAN ANTITROMBOLITIK, TROMBOLITIK DAN FIBRINOLITIK Soenarto



PENDAHULUAN Penghentian perdarahan spontan yang disebabkan robeknya pembuluh darah disebut hemostasis. Peristiwa ini sangat kompleks, dan melibatkan banyak faktor dimulai dari pembuluh darah, trombosit dan faktor-faktor pembekuan yang ada dalam plasma darah. Hasil akhir peristiwa ini ialah terbentuknya fibrin. Tahap pembekuan darah dalam garis besarnya melalui: (1) pembentukan tromboplastin, (2) pembentukan trombin dari protrombin, (3) pembentukan fibrin dari fibrinogen. Peristiwa terjadinya bekuan guna menutup bagian pembuluh darah yang rusak adalah suatu peristiwa fisiologik normal, namun bila bekuan yang timbul mengakibatkan aliran darah ke jaringan terganggu atau tersumbat, akan terjadi suatu penyakit (trombosis). Dalam ha1 ini diperlukan obat yang dapat mencegah atau melarutkan trombus. Obat yang dimaksud, tergolong: antikoagulan, antitrombotik, trombolitik dan fibrinolitik.



OBAT ANTIKOAGULAN Obat antikoagulan ialah obat atau golongan obat yang kerjanya menghalangi pembekuan darah. Menurut cara kerjanya dikenal dua macam antikoagulan yaitu: a). langsung (direk) pada pembekuan darah dan antitrombin 111 baik in vivo maupun in Vitro dan contoh untuk ini adalah heparin dan, b). yang tak langsung (indirek) mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah dengan memutuskan hubungan antara faktor pembekuan yang



dibentuk di hati yang memerlukan adanya vitamin K. Faktor pembekuan tersebut ialah faktor 11, VII, IX dan X. Obat yang tergolong kelompok ini hanya bekerja in vivo, termasuk di sini ialah golongan antikoagulan oral.



HEPARIN Heparin untuk pertama kali diisolasi dari hati anjing. Zat tersebut terdiri dari banyak asam glukuronat (26%) dan glukosamin (23%). Sekarang heparin dapat diisolasi dari sel maupun jaringan yaitu: mast cell dan mukosa usus, paru dan dinding pembuluh darah. Tentang banyaknya zat tersebut dalarn jaringan berbeda dari spesies satu dengan yang lain. Pada manusia jumlahnya sedikit. Beberapa pabrik farmasi telah memproduksi zat tersebut dari paru lembdsapi atau dari mukosa usus babi. Seperti diterangkan di atas heparin merupakan mukopolisakarid (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam glukuronat atau iduronat. la membentuk suatu ikatan asam organik dengan muatan listrik negatif. Fungsi fisiologi heparin belum jelas, diperkirakan berkaitan dengan fungsi mast cell, metabolisme lemak, dan pemeliharaan sifat nontrombogenik sel endotel permukaan pembuluh darah. Heparin bersifat antikoagulan langsung. Aksi untuk mengadakan gangguan terhadap perkembangan aktivitas tromboplastin ini tampak terjadi baik invivo maupun in vitro. Secara tak langsung heparin bekerja sebagai kofaktor plasma. Kofaktor heparin atau antitrombin 111 adalah suatu alfa 2 globulin dan suatu inhibitor protease yang dapat menetralisir beberapa faktor



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENGCUNAAN OBAT-OBATAN ANTIKOAGULAN ANTITROMBOI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pembekuan yang telah diaktifkan yaitu XIIa, kalikrein, IXa, Xa, Ila dan XIIIa. Pengaruh ini lebih dipercepat dengan adanya heparin. Meskipun antitrombin I11 diperkirakan menginaktifkan trombin, namun plasma protein lain juga ikut terpengaruh. Ada petunjuk bahwa antitrombin I11 berperan dalam menghambat pengaktifan faktor XI dan heparin mempercepat reaksi ini. Jadi heparin dapat menurunkan aktivitas antitrombin 111, ha1 demikian akan tampak pada pasien yang mendapatkan pengobatan baik secara terus menerus maupun terputus-putus. Karenanya pengobatan standar untuk penyakit-penyakit tromboemboli memerlukan suatu modifikasi guna mencegah seminimal mungkin akan kekurangan antitrombin I11 selama pengobatan berlangsung. Perlu diingat bahwa selain heparin, terdapat pula obat lain yang mempunyai pengaruh terhadap penurunan kadar antitrombin 111. Obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dapat juga menurunkan kadar antitrombin 111. Selama terjadi penjendalan, trombosit akan menghasilkan faktor trombosit 4. Zat ini dapat menetralisir pengaruh heparin. Fungsi fisiologisnya belum diketahui. Ikatan antara faktor trombosit 4 dengan heparin memudahkan penumpukan trombin dan pembentukan jendalan. Pengaruh lain suntikan heparin ialah dapat membersihkan plasma lipid pada pasien dengan plasma keruh (lipemia). Hasil reaksi ini adalah, pengeluaran darah dari ikatanjaringan enzim-enzim lipid hidrolisis. Salah satu enzim yaitu lipoprotein lipase, menghidrolisasi trigliserid dari kilomikron-kilomikron dan very low density lipoprotein yang terikat pada sel sel endotel kapiler menjadi asam lemak dan bagian bagian gliserid.



Nasib, Penyerapan dan Pengeluaran Heparin kurang mempunyai kemampuan menembus membran karena molekulnya besar. Juga tidak diserap oleh usus dan tidak dapat menembus plasenta. Demikian pula bila heparin diberikan pada ibu yang menyusui bayi, heparin tak ditemukan dalam air susu. Bila heparin disuntikkan intravena, pengaruh antikoagulannya mudah lenyap dari darah, karena waktu paruh tergantung dari dosis yang diberikan. Dari percobaan pemberian heparin dengan dosis 100,400, dan 800 unitlkg berat badan yang diberikan intravena, tampak bahwa waktu pamh aktivitas antikoagulasi kurang lebih berturut-turut sekitar 1,2, dan 3 jam. Heparin di dalam tubuh akan dimetabolisasi dalam hati oleh enzim heparinase, dan hasil metabolit yang inaktif dikeluarkan bersama urin. Heparin sendiri dapat pula ditemukan dalam urin setelah pemberian dosis besar intravena. Waktu paruh aktivitas antikoagulan heparin dapat memanjang lebih dari normal pada pasien dengan gangguan faal ginjal dan sirosis hati. Untuk pasien dengan



emboli paru diperlukan dosis heparin besar karena obat ini cepat dibersihkan dari darah.



Cara Pemberian dan Dosis Heparin dapat disuntikkan intravena maupun subkutan, dan jangan diberikan intramuskular. Obat yang tersedia biasanya berbentuk sebagai heparin sodium injection USP. Penggumpalan darah in vitro dapat dicegah dengan kadar 1 unitlml darah dalam badan. Pemberian 10.000 unit bolus heparin intravena pada pasien seberat 70 kg akan menghasilkan kadar awal heparin kurang lebih 3 unitlml darah, dan aktivitas . antikoagulan lenyap dengan waktu paruh 1,5 jam. Pengobatan intravena secara berulang adalah baik. Dosis awal 10.000unit diikuti dosis ulang 5.000 unit sarnpai 10.000 unit tiap 4 atau 6 jam. Indikasi penggunaan heparin akan dibahas kemudian. Efek Samping, Toksisitas Efek samping biasanya jarang terjadi. Bila hendak memberi heparin pada pasien, perlu diketahui obat apa yang diminum. Dernikian pula mengenai riwayat alergi terhadap jaringan hewan. Sebaiknya dicoba dulu dengan 1.000 unit. Reaksi hipersensitif dapat berupa: menggigil, demam, urtikaria, dan renjatan anafilaktik. Efek samping yang mungkin timbul ialah: Terjadinya rambut rontok sampai botak yang sifatnya reversibel. Osteoporosis sampai patah tulang pernah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan heparin 15.000 unit tiap hari selama 6 bulan. Perdarahan merupakan komplikasi utama pemberian heparin. Perdarahan dapat dikurangi dengan kontrol yang cermat pada dosis yang diberikan. Efek antikoagulan perlu dimonitor dengan tes waktu pembekuan. Trombositopenia dapat terjadi setelah pemberian heparin, karena itu penghitungan trombosit hams sering dilakukan. Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap heparin, pasien dengan perdarahan aktif, hemofilia, purpura trombositopenik, perdarahan intrakranial,endokarditis bakterial, tuberkulosis aktif, meningkatkan permeabilitas kapiler, ulkus traktus gastrointestinalis, hipertensi berati kemungkinan abortus dan karsinoma alat dalam. Heparin harus ditunda pada dan sesudah operasi mata, otak atau medula spinalis. Antidotum Kerja heparin dapat dinetralisir oleh protamin sulfat. Pemberiannya intravena secara pelan pelan. Diberikan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOCI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sebagai larutan satu persen dan diperhitungkan 1 sampai 1,25 mg protamin per mg heparin, dan jangan melebihi 100 mg dalam waktu 24 jam. Kelebihan dosis protamin memberikan efek antikoagulan.



Yang meningkatkan respons: aspirin, fenilbutason, oksifenbutason, metronidazol, moral hidrat, d-tiroksin, steroid anabolik, kinidin dan glukagon. Yang mengurangi respons : barbiturat, griseohlvin, vitamin K, vitamin C dosis tinggi dan adrenokortikosteroid.



ANTIKOAGULAN ORAL Yang termasuk dalam kelompok obat ini ialah kelas kumarin (bishidroksikumarin) dan Indandion (Fenindion). Sejumlah obat golongan kumarin ini telah dapat disintesis. Strukturnya mirip vitamin K yang sintetik. Diperkirakan kerja golongan antikoagulan ini kompetitif terhadap vitamin K, sehingga faktor-faktor pembekuan yang membutuhkan vitamin K dalam pembentukannya akan terganggu. Faktor-faktor tersebut ialah: faktor 11, faktor VII, faktor IX dan faktor X. Jadi obat antikoagulan oral tidak bakerja secara langsung. Mereka tidak mempengaruhi pembekuan in vitro, tapi in vivo. Gangguan pembekuan ini tidak berlangsung segera setelah meminum obat, melainkan tergantung dari penyusutan atau hilangnya faktor-faktor pembekuan yang bersangkutan, dimana masing masing mempunyai waktu paruh yang berbeda. Yang hilang pertama adalah faktor VII karena waktu paruhnya terpendek kemudian diikuti berturut turut oleh IX, X dan akhirnya 11. Dengan demikian efek antikoagulan baru nyata setelah masa laten antara 12-24 jam. Sebaliknya demikian pula bila terjadi perdarahan akibat dosis antikoagulan berlebihan, make pemberian vitamin K tidak dapat segera mengatasinya dan perlu diberikan transfusi plasma atau darah segar.



Faktor-faktor yang Mempengaruhl Aktivitas Terdapat beberapa faktor baik fisiologis maupun patologis yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan respons terhadap obat antikoagulan oral. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap efek biologis obat. Beberapa faktor yang mempengaruhi obat antikoagulan oral adalah: Faktor yang meningkatkan respons hipoprotrombinemia. - Faktor yang mengakibatkan defisiensi vitamin K (diet yang kurang, penyakit usus halus). - Penyakit hati dengan berbagai etiologi. Keadaan hipermetabolik seperti: demarn, hipertiroidisme Faktor yang menurunkan respons hipoprotrombinemia: kehamilan sindrom nefiotik, uremia. lnteraksi Obat Terdapat beberapa macam obat yang dapat mengadakan interaksi dengan obat antikoagulan. Pengaruhnya dapat meningkatkan atau menurunkan respons antikoagulan oral.



Penyerapan, Nasib dan Pengeluaran Obat antikoagulan oral diserap di usus. Kecepatan penyerapan tergantung jenis obat. Warfarin lebih cepat diserap dibandingkan dengan dikumarol. Di antara jenis warfarin sendiri terdapat juga perbedaan. Bioavailability kalium warfarin pada manusia lebih rendah dari pada natium warfarin. Obat golongan ini akan mengalami konjugasi di dalam hati dan dikeluarkan dengan urin serta tinja. Penanganan Pengaruh Toksik Perdarahan merupakan ha1 yang tidak diinginkan pada pemberian obat antikoagulan oral. Pengobatan perdarahan karena pengaruh obat ini ialah segera menghentikan obat dan memberikan vitamin K, (fitonadion). Cara ini akan menghentikan perdarahan ringanlkecil, dan waktu protrombin akan menjadi normal dalam waktu 24 jam. Vitamin K3 dalam ha1 ini tidak efektif. Bila perdarahan berat, diberi vitamin K intravena paling sedikit 50 mg. Bila dengan cara ini tidak menolong setelah beberapa jam, perlu segera transfusi darah segar atau, fresh frozen plasma dan penambahan vitamin K, Bila pasien dengan antikoagulan oral akan menjalani operasi, obat dapat dilanjutkan dengan penambahan vitamin K, 2,s mg tiap hari, dua hari menjelang operasi atau 5 mg pada hari menjelang operasi. Alternatif lain bila pasien dengan warfarin akan menjalani operasi, warfarin dapat dihentikan. Selanjutnya diberi substitusi heparin dosis rendah menjelang operasi sarnpai 5-7 hari setelah operasi. Kemudian kembali ke obat semula. Kontraindikasi sama dengan heparin, termasuk panyakit hati, ginjal, dan defisiensi vitamin K. Preparat dan Cara Pemberian Warfarin sodium U.S.P. (Koumadin, Panwarfarin) dapat diperoleh dalam bentuk tablet 2,2,5,5,7,5, 10 dan 25 mg. Meskipun dianjurkan dosis awal antara 40-60 mg sebaiknya hati-hati dengan dosis yang besar. Terapi dapat dimulai dengan 10-15 mg; sedang dosis pemeliharaan antara 2-1 5 mg tiap hari. Dicumarol U.S.P. (Bishidroksikumarin). Pada manusia obat ini lambat dan tak sempurna diserap. Waktu paruh tergantung dari dosis yang diberikan. Sering memberikan gangguan gastrointestinal (mual, kembung, nyeri den



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1437



PENCCUNAAN OBAT-OBATANANTIKOACULAN ANTITROMBOLITIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI diare). Dosis yang dianjurkan pada had pertame 300 mg, hari kedua 200 mg den dosis pemeliharaan antara 25-1 50 mg disesuaikan dengan respons pengobatan yang diukur dengan one stage prothrombin time. Kemasan berupa tablet 25,50 dan 100 mg serta kapsul 25 dan 60 Mg. Ansenokoumarol. Waktu paruh pada manusia sekitar 8jam. Dosis yang dianjurkan pada hari pertama 28 mg, hari kedua 16 mg, selanjutnya dosis pemeliharaan tergantung pada one stage prothrombin activity. Efek samping yang pernah dilaporkan ialah iritasi gastrointestinal, dermatitis, urtikaria dan alopesia. Fenindion, U.S.P. (Hedulin). Obat ini banyak efek sampingnya, dan toksis. Karenanya pemakaiannya tak dianjurkan. Difenadion, U.S.P. (Dipaksin). Efek samping berupa gangguan gastrointestinal yang ringan. Dosis awal pada hari pertama 20-30 mg, hari kedua 10-15 mg, dan dosis pemeliharaan 2,5-5 mg setiap hari. Sediaan berupa tablet 5 mg. Fenprokoumon, U.S.P. (Likuamar). Waktu paruh dalam plasma adalah panjang yaitu 6 hari. Efek samping yang dilaporkan ialah : nausea, diare dan dermatitis. Dosis hari pertama 2 1 mg, hari kedua 9 mg dan dosis pemeliharaan antara 0,5 6 mg tergantung one stage prothrombin time. Tersedia dalam bentuk tablet 3 mg. Anisindion. Penggunaan sangat terbatas. Hari pertama diberikan 300 mg, hari kedua 200 mg, hari ketiga 100 mg, dan dosis pemeliharaan 2 10 mg setiap hari.



OBAT ANTITROMBOTIK Cara kerja obat antitrombotik berbeda dengan obat antikoagulan. Golongan yang pertama bekerjanya menekan fungsi trombosit, sedangkan golongan kedua menekan pembentukan atau fungsi faktor-faktor pembekuan. Yang pertama digunakan terutama pada penyakit trombotik arterial, sedang yang kedua. guna mengontrol gangguan tromboembolik vena. Kemanjuran obat antitrombotik dari pada obat yang mencegah penggumpalan trombosit dapat diperlihatkan dalarn: Tes fungsi trombosit in vitro eks vivo (yaitu trombosit yang berasal dari orang yang telah mendapat obat). Percobaan binatang. Yang tergolong obat antitrombotik yaitu aspirin, sulfinpirazon,dipiridarnol, dekstran 70 dan 75, dan klofibrat.



ASPIRIN Obat ini mampu menghambat pengeluaran ADP dari trombosit dan menghambat pembentukan prostasiklin dan tromboksan AT Akibatnya trombosit tidak cepat



menggerombol dan waktu perdarahan memanjang. Dosis antara 325-1300 mg memberikan pengaruh antitrombotik dan waktu protrombin pun akan memanjang dengan pemberian dosis tinggi ini. Sebaliknya dosis 100-300 mg tidak mempunyai pengaruh. Faktor faktor koagulasi (11, VII, IXdan X) menunjukkan penurunan aktivitas pembekuan dengan dosis aspirin antara 1.300-2.000 mg yang dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K.



Obat ini berkhasiat vasodilator, yang dalam kombinasi dengan warfarin menghambat terjadinya emboli pada pasien dengan katup prostetik. Dipiridamol sendiri secara klinis tidak mempunyai efek menghambat ADP. Cara kerja obat ini menekan fungsi trombosit dengan merangsang aktivitas prostasiklin atau menghambat aktivitas siklik nukleotid fosfodiesterase, dengan hasil meningkatkan kadar AMP siklik. Dosis dipiridamol pada pasien dengan katup jantung buatan ialah 400 mg setiap hari.



Obat ini digunakan untuk tujuan urikosuria, dan di sampingnya dapat menghambat fungsi trombosit dalam ha1 kemampuannya melekat pada sel subendotel dan sintesis prostaglandin. Pengaruh menghambat agregasi trombosit baru tampak 18jam setelah pemberian obat tersebut.



Merupakan obat hipolipidernik yang juga dapat mengurangi perlekatan trombosit in vitro.



DEKSTRAN 70 DAN DEKSTRAN 75 Dekstran in vitro tidak mempunyai pengaruh terhadap hngsi trombosit dalam darah, namun waktu pembekuan, polimerasi fibrin dan fungsi trombosit dapat terganggu in vivo. Infbs dekstran harus hati-hati pada pasien dengan edema paru, payah jantung dan fungsi ginjal yang menurun. Hal ini disebabkan karena.dekstran dapat meningkatkan tekanan osmotik koloidal. Ada kontraindikasi untuk pasien anemia berat, trombositopenia berat dan kadar fibrinogen yang menurun. Efek samping yang mungkin timbul ialah urtikaria, sesak napas dan hipotensi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



OBAT TROMBOLlTlK DAN FlBRlNOLlTlK



Streptokinase dan urokinase adalah protein yang telah menunjukkan kemanjurannya guna pengobatan penyakit tromboemboli akut. Mereka meningkatkan pemecahan trombi dengan memacu perubahan plasminogen endogen menjadi plasmin (fibrinolisin), suatu enzim proteolitik yang menghidrolisasi fibrin. Penggunaan obat ini harus oleh tangan dokter yang berpengalaman banyak dalam mengelola penyakit tromboemboli. Obat tersebut diindikasikan pada emboli paru yang luas dan tromboflebitis iliofemoralis yang berat. Streptokinase (Streptase) Dihasilkan dari Streptococcus betahemolyticus. Ia bekerja dengan cara interaksi dengan proaktivator plasminogen hingga terbentuk kompleks yang mempunyai aktivitas protease dan mempercepat perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin ini mampu menghancurkan fibrin yang terjadi pada bekuan darah dan menurunkan fibrinogen dan faktor V dan VII. Streptokinase dapat melarutkan bekuan darah yang telah timbul. Bila zat tersebut diberikan pada luka yang sudah menutup, akan terjadi perdarahan lagi. Karena itu harus dicegah pemberian obat antikoagulan dan obat yang mencegah aglutinasi trombosit bersamaan dengan streptokinase atau urokinase. Efek yang tidak diinginkan dengan pemberian streptokinase ialah reaksi panas, reaksi alergi sampai anafilaksis. Hal ini disebabkan karena terbentuknya antibodi terhadap obat tersebut. Obat ini telah digunakan dengan hasil baik untuk pengobatan emboli paru akut dan trombosis vena yang letaknya dalam. Biasanya dosis awal streptokinase adalah 250.000 U. Diberikan intravena pelan pelan selama 30 menit, kemudian dilanjutkan dengan 100. 000 I.U. setiap jam, disesuaikan dengan waktu trombin. Pengobatan diteruskan untuk 24 sampai 72 jam dan selalu dimonitor dengan waktu trombin. Waktu trombin ini sebaiknya berkisar antara 2 sampai 5 kali harga normal. Penggunaan lain yaitu pada infark miokard akut. Urokinase (Abbokinass) Obat ini pertama kali diisolasi dari kencing manusia. Dibuat dari kultur sel ginjal manusia. Zat ini adalah enzim proteolitik dan merupakan substrat alamiah yang mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Penggunaannya serupa dengan streptokinase. Kontraindikasi pemakaian urokinase ialah : pada anak, pasien yang baru sembuh dari luka trauma yang baru, keganasan di viseral dan intrakranial, cerebrovasculer accident yang baru, serta kehamilan. Dosis awal urokinase sebanyak 4.400 l.U./kg, diberikan intravena selama 10 menit, kemudian diteruskan dengan i n b s 4.400 l.U/Kg. setiap jam selama 12 jam dan selanjutnya diberi heparin



atau antikoagulan oral. Selama pengobatan dengan urokinase, tidak perlu memonitor dengan waktu trombin.



ANTIDOTUM UNTUK OBAT FlBRlNOLlTlK Antidotum yang spesifik untuk menanggulangi kelebihan dosis obat fibrinolitik (streptokinase, urokinase) ialah asam aminokaproat. Asam aminokaproat (Amicar) dapat diperoleh dalam bentuk suntikan, sirup atau tablet. Dosis awal adalah 5 g (oral atau iv) dilanjutkan dengan 1,25 g tiap jam sampai perdarahan dapat dikendalikan. Dosis tidak boleh melebihi 30 g dalam waktu 24 jam. Penyuntikan intravena hams dilakukan pelan-pelan guna menghindari kemungkinan timbulnya hipotensi, bradikardia dan disritmia.



PEMAKAIAN OBAT ANTIKOAGULAN, ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK Obat obat tersebut digunakan untuk mencegah penyakit tromboemboli. Telah digunakan untuk pengobatan maupun pencegahan pada infark miokard, katup jantung buatan, emboli jantung, emboli paru, tromboemboli serebral, trombosis vena dalam pada waktu dan setelah pembedahan. Untuk penggunaan obat obat tersebut hams tersedia sarana laboratorium yang baik serta tenaga yang berpengalaman. Monitoring harus dilakukan guna menghindari timbulnya bahaya perdarahan.



PEMERIKSAAN LABORATORIUM GUNA PENGAWASAN PEMAKAIAN OBAT ANTIKOAGULAN Tujuan pemeriksaan laboratorium sebelum dan selama pemakaian obat antikoagulan ialah menilai serta mencegah dan sebaik mungkin mengurangi efek yang tidak diinginkan atau guna mengetahui efektivitas pemberian. Pemeriksaan sebelum menggunakan obat dimaksudkan untuk menemukan kemungkinan kelainan hemostasis. Pemeriksaan yang diperlukan: penentuan hemoglobin, trombosit pemeriksaan hapusan darah perifer pemeriksaan urin waktu pembekuan darah (Lee White) waktu tromboplastin parsial (PTT) one stage prothrombin time tes protrombin dan prokonvertin tes trombo (thrombo Test) Guna memonitor pemakaian heparin disarankan pemeriksaan PTT, karena ini lebih peka dibandingkan waktu pembekuan darah. Untuk pasien dengan antikoagulan oral dimonitor



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1439



PENCCUNAAN OBAT-OBATANANT~KOACULANANTITROMBOLITIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan: tes one stage prothrombin time, tes protrombin dan prokonvertin (Tes P dan P) dan tes trombo.



PENGENDALIAN EFEK PENGOBATAN (THERAPEUTIC RANGE) Pengendalian dosis pemeliharaan perlu memperhatikan hasil laboratoriurn. Waktu pembekuan hasilnya antara 2-2,5 normal. Kompleks protrombin hasilnya antara 20-25 Tes trombo hasilnya antara 5-1 5%. Tes protrombin dan prokonvertin = 20



Buckler P, Douglas AS. Antithrombotic treatment. Brit Med J. 1983; 287: 196. Leavel BS, Thorup OA. Anticoagulants in fundamental. Hematology. Fourth edition. 1976. p. 600. O'Reilly RA. Anticoagulant, antithrombotic and thrombolytic drugs, in Goodman & Gilman's. The pharmacological basic of therapeutics. 6th edition. New York: Mac Milian Pubi Go; 1980. p. 1347. Schoder R, Biamino G Enz Rudiger VIL, et al. Intravenous short term infusion of Streptokinase in acute myocardial infarction. Circulation. 1983:67:536. Sharma CVRK, Gella G Parisi AF, et al. Thrombolytic therapy. New Eng J Med. 1982;306: 1268.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PERAN FLOW CYTOMETRIC IMMUNOPHENOTYPINC DI BIDANG KEGANASAN HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban



PENDAHULUAN



APA ITU FLOW CYTOMETRY?



Ketepatan diagnosis keganasan darah sangat tergantung dari tiga parameter yang saling mendukung, yaitu: morfologi, imunofenotip dan sitogenetika (sesuai dengan rekomendasi WHO dan klasifikasi FABIFrench American British). Beberapa kasus mungkin telah sangat jelas diagnosanya berdasarkan morfologi selnya (sitologi) atau jaringan (histologi) yang didukung pewarnaan imunositokimia/histokimia; namun tidak sedikit pula yang memerlukan kajian sitogenetik dan biologi molekular terlebih bila akan mengkaji subklasifikasi, prognosis, hasil pengobatan dan kemungkinansisa minimal sel ganas (minimal residual diseaselMRD); tulisan ini selanjutnya akan menitik beratkan pada pembahasan penerapan flow cytometric immunophenotyping (FCI) pada keganasan darah dan tumor padat. Imunophenotyping sendiri berarti: mengenali (identiJication) dan menghitung (quantification) antigen sel melalui fluorochrome yang dilekatkan (labeled) pada antibodi monoklonal yang spesifik terhadap antigen dipermukaan atau sitoplasma (intra selular) dari sel tertentu. Teknik ini dapat dikerjakan secara manual dengan menggunakan mikroskop fluoresens atau dengan alatflow-cytometry (FAC-scan atau Coulter) yang dapat menilai dan menghitung sel sel satu persatu serta menganalisa berbagai parameter karakteristik sel yang kompleks secara simultan, obyektif dengan akurasi yang tinggi. Untuk dapat memahami bidang imunophenotyping dengan baik, maka pembahasannya tak dapat dilepaskan dengan pengertianjlow-cytometri dan ha1 ha1 yang terkait dengannya.



Flow-cytometry adalah teknologi yang memungkinkan pengukuran berbagai karakter fisik dari satu sel (singlejle cell) secara simultan/bersamaan .Pengukuran ini dilakukan pada saat satu sellpartikel, bersama aliran air (fluid stream) dengan kecepatan 500 sampai 4000 sel per detik melewati sistem analisa optik (apparatus) yang mampu melaporkan: secara relatif ukuran (jbrward scatter), granularitad kompleksitas internal (side scatter) dan intensitas flurosens dari sel tersebut pada saat berinteraksi dengan sinar laser. Alat ini urnumnya menggunakan sumber sinar LASER (light amplzfication by stimulated emission of radiation) dari argon dengan panjang gelombang 488 nm yang akan dieksitasi (menyerap energi) oleh flurokrom tertentu (misalnya: PerCPPerkloroferidin ,FITC 1fluoroisotiosianat, PEIfikoeritrin ) yang kemudian melepaskan energi (emitting photon) yang diserapnya melalui: getaran (vibration), pelepasan panas (heat dissipation) dan dengan panjang gelombang yang berbeda yang disebut fluoresens (FL1, FL2 atau FL3) yang direkam oleh detektor optik berupa energi sinyal yang akan diubah menjadi sinyal elektronik serta dilaporkan berupa gambaran distribusi sel dan enurnerasi.(Gambar 1) Hal ini menjadikan imunofenotip dengan flowcytometry merupakan fase yang penting dalam menilai dan menentukan diagnosis awal dan klasifikasi pasien dengan leukemia akut; yang dalam perkembangannya berperan pula untuk menentukan prognosis, rencana pengobatan dan membantu mendeteksi adanya residu minimal penyakit (MRD: minimal residual disease). Teknik ini dipergunakan pula untuk melakukan enumerasi CD4 (sel T helper) ,CD8



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1441



PERAN n o w CYTOMETRIC IMMUNOPHENOTYPING



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 1.Terllhat suspensi "single" sel yang terfokus oleh tekanan hidrodinarnik dalarn aliran cairan dan di"interseksi" oleh laser ion argon, dirnana sinyal yang dikeluarkan akan di tangkap oleh detektor "fonvard /side scatter" ( 1 ) dan detektor multi ernisi flurosens (2-4). Sinyal ini akan dikonversi dan diarnplifikasi rnenjadi data digital dan ditayangkan dalarn layar computer. Sumber: Brown M. Clin Chern 2000.



(sel T supresor), CD56(-)INK sel, CD34 (sel induk), retikulosit; dan pada tumor padat digunakan untuk menganalisa siklus sel, tingkat proliferasi, DNA ploidy, apoptosis dan monitor resistensi sel terhadap kemoterapi, serta banyak lainnya. FCI dalam perkembangannya merupakan alat yang berguna untuk menentukan diagnosa berdasarkan fenotip baik secara selular dan juga hematopatologi Berbagai spesimen yang dapat dipakai dapat berasal dari darah tepi, aspirasi sumsum tulang, core biopsy, aspirasi jarum halus, sampel segar biopsi jaringan, dan juga berbagai sampel dari cairan tubuh.



POPULASI SEL SUMSUM TULANG NORMAL Sumsum tulang normal didominasi elemen matang dari mielopoesis. Sel ini umumnya berukuran besar dan sangat bervariasi dari kompleksitas sitoplasma dan inti sel, sehingga dapat dibedakan dengan komponen lainnya berdasarkan penyebaran cahayanya (light scatter). Informasi yang lebih rinci didapat dengan dual parameter RALS (right angle light scatter) dan CD45 (antigen yang dijumpai pada leukosit) dengan intensitas berbeda-beda tergantung dari jenis selnya. Masing masing sel akan menempati posisi tertentu dalam penampilan digitalnya (Gambar 2), proses selanjutnya dengan melakukan gating (penilaian dan penghitungan kelompok sel tertentu) berdasarkan koekspresi dari antibodi monoklonal tertentu dapat diketahui jumlah dan jenis sel tersebut. Dengan memahami prinsip diatas dan proses hematopoeisis normal maupun yang patologis teknologi ini mampu memberikan asupan yang sangat bermanfaat bagi seorang klinisi dalam menentukan terapi, prognosis, monitor hasil pengobatan dan banyak lainnya.



KEGANASAN HEMATOLOGI DAN IMUNOFENOTIP Pada dasamya semua jenis sel darah berasal dari sel induk (stem cell), yang kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi baik pada jalur mieloid atau limfoid; di bawah kontrol sitokin seperti CFS (colony stimulatingfactors). Sel-sel pendahulu (precursor) dari jalur dan fase yang berbeda akan mengekspresikan subset molekul yang berbeda pada permukaanlmembran selnya dan mungkin juga sitoplasmik (intrasel) yang dapat merupakan penanda khusus dari sel tersebut. Konsep inilah yang kemudian didefinisikanldikenal sebagai antigen CDlcluster of differentiation. CD antigen ini berhubungan dengan membran-plasma leukosit yang secara molekular mungkin berhubungan dengan berbagai fungsi sel, seperti misalnya: interaksi sel, reseptor sitokin, sinyal transduksi, ion channels, transportasi, enzim, Ig, atau molekul adhesif. Sejalan dengan diferensiasi sel pada jalurnya, maka CD antigen ini akan berubah. Sebagai contoh sel induk mieloid mengekspresikan CD34+ (merupakan penanda sel induk), yang kemudian akan mengalami penurunan/menghilang (down regulation) pada saat berdiferensiasi ke bawah menjadi granulosit; dan mulai mengekspresikan CD 13, dan CD33. Neutrofil matang akan memperlihatkan CDl lb, CD13, dan CD15, namun CD33 menghilang. Pada keganasan limfoid atau mieloid, analisa flow-cytometry menggunakan panel antibodi monoklonal dapat mendeteksi secara spesifik dengan ketepatan mencapai 98% untuk membedakan asal sel tersebut, selanjutnya karena perannya yang penting pada leukemia akut, maka FCI akan dibahas lebih mendalam dibanding jenis keganasan lainnya. Sistim panel antibodi monoklonal yang digunakan dari satu pusat kesehatan dengan yang lainnya, biasanya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1442



ONKOLOCI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Garnbar 2 . Dual parameter CD45/"s1de scatter" memperllhatkan beberapa populasl , regio (r) A Sesual SSTL normal dengan beberapa populasl normal, B Llrnfoblast pada ALL C CML dengan translsl krlsrs blas I mleloblas menlngkat dan reaktlf precursor erithrold d Keganasan rendah Irrnfoprol~feratif, sesual dengan CLL



akan berbeda dalam tingkat spesifitasnya. Nalnun secara diagnostik, panel tersebut harus terdiri dari minimal kombinasi yang dapat membedakan kelompok sel dan jenis keganasannya (limfoid/mieloid ,akut atau kronik, limfotna sel BIT, sel plasma/mieloma multipel). Tentu saja ha1 ini memerlukan seorang ahli penyakit darah dan kanker serta patologi klinik yang berpengalaman; serta tergantung pula dari dana yang tersedia, kemampuan pasien dan kebutuhan penelitian.



KEGANASAN HEMATOLOGI Sampai dengan saat ini telah diketahui setidaknya 247 CD subset antigen yang mewakili perkembangan sel pendahulu sampai dengan matang baik dari mieloid atau limfoid. Dengan tetap mengacu pada kemampuan diagnostik dari sudut morfologi, imunosito/histokimia dan kariotip; beberapa acuan CD berikut akan disampaikan pada masing masing keganasannya. Namun tetap harus dicamkan, mengingat kesulitan untuk menyusun kriteria



baku yang kaku, kembali penulis mengutip perte~nuanpanel Amerika dan Canada tahun 1997 yang merekomendasikan pada semua kasus, interpretasi akhir FfC harus berkaitan dengan keadaan klinis, morfologi, hasil laboratorium dan studi lain yang clianggap sesuai.



Akut Mielablas LeukernialAML MO Sel blast MO, secara irnunohistokimia bereaksi negatif, dan menempati podsi yang rendah pada CD45+ dan RALS (side scatter) dan berhimpitan dengan daerah limfoblas. Namun setidaknya akan bereaksi positif dengan minimal satu penanda spesifik mieloid seperti: CD13+, CD33+ dan CD 1 1b+. Bila dite~nuireaksi dengan mieloproksidase (MPO) maka reaksi ini akan lebih seneitif dari pada kombinasi CD 13+ ataupun CD33+. Meskipun bereaksi negatif terhadap penanda lirnfoid , namun dapat ditemui pula koebpresi CD7+ ddn CM+. MO hampir selalu bereaksi positif terhadap HLA-DR dan CD34. Beberapa peneliti melaporkan koekspsesi CD7-k dan CD34+, memiliki prognosis yang buruk karena berhubungan dengan fenotip kebal terhadap pengobatan; MO juga dilaporkan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI memperlihatkan kekerapan yang tinggi abnormalitas sitogenetik, yang diantaranya berhubungan dengan kromosom 5 dan 7.



AML M1 M1 mempunyai gambaranflow digital yang mirip dengan MO, dan mungkin sulit dipisahkan, kecuali adanya penambahan side scatter karena adanya peningkatan granularitas. (namun ini tidak definitif). M1 biasanya selalu menampilkan CD13+, CD33+ dan HLA DR+; narnun CD34+ yang lebih rendah dari MO. Sebagian juga dapat ditemui CD15+ dan CD4+, namun lebih jarang dari MO AML M2 Perbedaan yang menonjol antara M1 dan M2, adalah pada M2 telah ditemui adanya pematangan dan menurunnya persentase blast. CD45+ dan side scatter memperlihatkan gambaran yang tak terputus (kontinu) dari regional mieloblas ke mieloid matang. Umumnya M2 memperlihatkan HLA DR+; adanya ekspresi CD 19+ dan CD 56+ pada M2 mungkin berhubungan dengan t (8;21) yang merupakan prognosis yang baik pada pasien dewasa. Pasien dengan morfologi M2 dan t (8;2 l), jarang ditemui CD13-, CD14- dan CD33- dan MPO+. Sedang pada M3 akan ditemui penurunan CD45+ dan juga menurun serta hilangnya HLA-DR pada kebanyakan kasus. Pada M4 dan M5, keduanya memiliki kemiripan dari segi fenotip, kecuali pada M4 CD34+ lebih banyak ditemui dari pada M5. Fenotip yang penting pada keduanya adalah CD13+, CD33+, HLA-DR, CD14+ dan CD15+. Pada beberapa kasus M5 dapat ditemui CD56+. AML M6 jarang ditemui dan belum teridentifikasi dengan baik; CD34+,CD13, dan CD33 biasanya dapat ditemui, sedangkan ekspresi CD45 dan side scatter dominan menonjol pada daerah eritroid. AML M7 (megakarioblastik leukemia) merupakan kurang dari 1% kasus AML dimana diagnosa ditegakkan bila lebih dari 30% sel noneritroid adalah megakarioblas (ini kadang sulit dikenali).Secara imunofenotip dapat dikenali bila mengekspresikan CD6 1 (Gp IIIA) danlatau CD4 1 (Gp IIb-IIIA). Secara keseluruhan berdasarkan kriteria WHOIFAB, AML dibagi atas delapan subtipe berdasarkan: morfologi, bereaksi positif terhadap pewarnaan Sudan black B dan peroksidase; minimal secara bervariasi mengekspresikan CD 13, CD 14, CD33, CD4 1 ,CD61 dan glikoforin A. Beberapa senter menggunakan CD45, CD34 dan CD7 sebagai penapis MRD. Beberapa abnormalitas sitogenetik seperti t (8;2 1 atau 15;17), inversi kromosom 16, abnormalitas 11q23 dapat digunakan untuk menetapkan respon terapi dan prognosis. Leukemia Limfoblastik: ALL (Akut lekemia limfoblastik) Klasifikasi WHO menetapkan bahwa klasifikasi ALL hams



dilakukan dengan panel antibodi monoklonal dan bila mungkin abnormalitas genetik ALL precursor B: biasanya menunjukkan CD19+, CD79a+ dan CD 1O+; negatif atau dim CD20; CD22 + pada permukaan atau sitoplasma sel serta CD45 (-) atau dim (intensitas antara bright dan negatif). sIg biasanya (-) dan CD34 sering positif meskipun dianggap tak spesifik. Hal yang membantu membedakan dengan limfoma adalah ekspresi TdT, CD 13 dan atau CD33. Beberapa patokan diagnosa adalah bila dijumpai ekspresi kuat CD19 dan CDlO dengan TdT atau CD34 positif atau densitas rendah CD45; ekspresi CD lainnya dapat diabaikan. Bila CDlO(-), namun ditemui ekspresi kuat CD 19 dan CD22,inipun dapat dipertimbangkan diagnostik (dengan koekspresi TdT dan CD34). Belakangan CD79a sebagai reseptor sel B (protein permukaan sel) mulai muncul sebagai reagen diagnostik. Untuk membedakan dengan sel B yang dapat meningkat pada beberapa kasus (terutama pasien anak) digunakan gambaran variatif ekspresi dari berbagai penanda di atas dengan menggunakan analisa multi parameter. ALL precursor T: memiliki karakter CD7+, CD5a+, dan CD2+, namun CD3(-) atau dim untuk sitoplasma(cytCD3+). Adanya CD4 dan CD8 dapat dijumpai dalam berbagai kombinasi (namun umumnya keduanya negatif atau keduanya positif) dianggap parameter diagnostik. Demikian pula dengan kombinasi CD3+ danTdT dan CD34+; untuk yang terakhir hati hati bila sampel berasal dari mediastinal anterior, karena timosit juga memberikan ekspresi yang sama. Lekemia sel rambut (Hairy cell leukemia), dikenali denga sIg+; pada jenis rantai ringan sel B, penanda sel B akan ditemui positifkuat (umumnya lebih dari sel B normal dan sudah pasti lebih dari kelainan limfoproliferatif lainnya) CLL sel B: merniliki karakter CD19+, CD5+, CD20 dim, CD22 dim dan sIg dim terbatas pada rantai ringan.



Bilineage Leukemia Akut Keadaan dimana ditemui sel blast berasal dari dua lineage Ialur yang berbeda, yang dapat berupa kombinasi mieloid dan limfosit B atau T; atau berasal dari sel limfosit B dan T dan bukan mieloid sama sekali. Cara termudah menentukan adalah dengan FIC ,dimana alur mieloid akan bereaksi terhadap MPO minimal 3% dari sel blast. Untuk sel T, cytCD3 (sitoplasma CD3) merupakan parameter diagnostik dan cytCD79a atau cytCD22 positif untuk sel B Leukemia Akut Bifenotif Suatu kedaan dimana sel blast memiliki reaksi positif untuk dua penanda spesifik dua alur yang berbeda; keadaan yang lebih jarang adalah positif dengan tiga penanda spesifik. Diagnosis dengan FIC diperlukan minimal flow cytometry analisa dua warna. Sel blast dapat menunjukkan reaksi positif dengan MPO y-untuk mieloid-y dan cytCD3



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



0NKOUX;I MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (limfosit T) atau dengan cytCD79a (limfosit B). Variasi lain adalah sel blast mengekspresikan cytCD3 dan cytCD79a atau CD221cytCD22 untuk sel limfosit TIB yang nature. Reaksi CD3 positif tidak bemakna cytCD3 positif. Keadaan yang jarang sekali ditemui namun pemah dilaporkan adalah sel blast menunjukkkan reaksi positif terhadap tiga penanda spesifik mieloid, limfosit T dan B yaitu: MPO, cytCD3 dan cytCD79alcytCD22. Untuk keganasan sel plasma (misal: mieloma multipel) selalu menunjukkan bright CD38+ dengan ekspresi cytIg, CD45 juga kadang terekspresi lemah. Sedangkan untuk sindrom mielodisplasia, meskipun terjadi peningkatan sel blast (CD45 dan RALS, CD34 dan penanda pan mieloid lainnya) dapat dideteksi dengan FCI, namun diagnosis MDS tak dapat hanya beranjak dari FCI saja.



Limfoma Maligna Kemampuan FCI hampir menyamai teknik imunohistokimia, namun dalam beberapa segi dapat lebih sensitif, subjektifitas yang rendah dan hasil yang lebih cepat. Namun sampai saat ini FCI belum menjadi patokan baku diagnostik penyakit Hodgkin dan non Hodgkin (NHL), dikarenakan beberapa kontroversi apakah klasifikasinya cukup hanya dengan imofenotip saja. NHL umumnya menunjukkan gambaran populasi sel B dengan ekspresi Ig rantai ringan dan (sel B normal atau jinak menunjukkan rasio: 60%:40%). Untuk sel T ha1 ini lebih sulit karena belum disepakati penanda yang spesifik; namun pada umumnya sel T maligna menunjukkan gambaran yang homogen d a d atau ekspresi antigen asinkron, sementara sel T normal lebih heterogen. Beberapa gambaran abnormal antigen TCR (Tcell receptor), CD3+ atau TCR 4.3 dan TCR d dapat dijumpai. MRD Kemampuan mikroskop cahaya mendeteksi adanya MRD berkisar 11100 sel, sedangkan FIC meskipun kemampuannya di bawah PCR (polymerase. chain reaction) namun telah mampu mendeteksi sampai kisaran 1 per 1000- 100.000 sel , terutama dengan teknik analisa multiparametrik. Kelebihan lain dari PCR adalah lebih cepat dan sederhana dikerjakannya, data kuantitatif, adekuat untuk kasus leukemia, serta biayanya lebih murah. Sebagai contoh Ito et al, dengan menggunakan dual parameter CD45 dan SSC daripada FSC dan SSC telah mampu meningkatkan sensitivitas sampai 1 perlOO.OOO se1:Weir et a1 menggunakan kombinasi dua analisa empat warna untuk melihat gambaran ekspresi antigen SSTL normal; yang bila kemudian dilakukan pada sampel ALL sel precursor B, mampu mendeteksi 8 1 dari 82 kasus (99%) yang berada diluar gambaran regional normal, dan ini ajeg dengan MRD



FCI Dl BIDANG ONKOLOGI Perkembangan teknologiflow cytometry dibidang onkologi dilaporkan mencakup monitoring regulasi siklus sel, apoptosis, berbagai mekanisme resistensi terhadap obat sitotoksik1MDR dan respon kemoterapi. Beberapa mekanisme ektraselular seperti farmakokinetik obat (distribusi, metabolisme dan ekstrasi), adanya sel tumor pada daerah sanctuaries (daerah dimana obat tak terdistribusi) dan beberapa mekanisme biokimiawi dipercaya memegang peranan terhadap kegagalan kemoterapi. Beberapa mekanisme spesifik MDR dilaporkan terhadap doksorubisin, vinkristin dan taksol. Berapa fluorokrom seperti kalsium probes, Kalsein, Quin2 dapat memonitor efflux obat oleh pompa MDR. Deteksi beberapa protein yang berhubungan dengan resistensi obat (MRPlmulti drugs resistance associated protein) telah dilaporkan pada beberapa keganasan seperti: karsinoma paru (LRP) dan payudara (BRCP). Untuk mempelajari gambaran siklus sel (G011- S-G2 M), dipergunakan distribusi bivariat terhadap DNA content dan ekspresi siklins D 1, E, A dan B 1. Pada fase GO11 DNA sel sesuai dengan set satu unit, meningkat pada fase S dan dua kali lipat fase GO11 pada fase G2lM (dua unit). Demikian pula terjadi perubahan ekspresi siklins pada masing masing fase. Distribusi sel tehadap parameter ini akan menempatkan sel pada subkompartemen GO11-S-atau G2lM. Penilaian terhadap apoptosis sel dapat dilakukan secara analisa bivarian dengan melihat DNA strand breaks (FITC-deoksinukletida) dan DNA content (propidium iodida) atau secara analisa multivariat mengunakan LSC (laser scanningflow cytometric).



Flowcytometry merupakan pemeriksaan yang sangat berguna untuk menetapkan diagnosis dan memantau hasil pengobatan dan deteksi minimal sel ganas terutama pada keganasan hematologi, sedang perannya dibidang onkologi banyak dilaporkan tentang analisa siklus sel, apoptosis dan MDR. Analisa data dan interpretasi FCI merupakan proses dua langkah, yang bersandar pertama pada analisa multi parameter panel antibodi monoklonal untuk membedakan sel normal dengan abnormal. Langkah kedua adalah fenotip sel abnormal ini kemudian dijabarkan (gating) berdasarkan adanya reaksi disertai intensitas ekspresi berbagai antigen (permukaan/sitoplasma sel) dan juga distribusi light scatter. Gambaran hasil keseluruhan fenotip ini kemudian diinterpretasi mungkin berupa diagnosis penyakit tertentu, atau mungkin mempersempit diferensial diagnosa. Analisa dan sintesis ini harus dimasukkan dalam pelaporannya.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1445



PERAN FLOW CYTOMETRICIMMUNOPHENOTYPING



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Marti GE, Stevenson MS, Bleesing JJH. Introduction to flow cytometry. Seminin Hem.2001; 38(2):93 -8 Dunphy CH. Application of flow cytometry and immunohistochemistry to diagnostic hematopathology. Arch Pathol Lab Med. 2004;128 :I0004 -1022 Chovath B, Sedlak J. Hematopoietic cell differentiation antigen (CD system 1997). cancer research relevance. Neoplasma. 1998;45,5: 273-6 McCoy JP. Basic principles of flow cytometry. HematolOncol Clin N Am. 2002;16:229-43 Riley RS, Massey D, Cook CJ, et al. lmmunophenotypic analysis of acute lymphocytic leukemia. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16 :245- 89 Jennings D, Foon KA. Recents advances in flow cytometry: application to the diagnostic of hematology malignancy. Blood ,1997: 90(8): 2863 - 92 Todd WM. Acute myeloid leukemia and related condition. Hematol Oncol Clin N ,4111.2002; 16:301 - 317 Dazynkiewicz Z, Smolewski P, Bedner E. Use of flow and laser cytometry to study mechanism regulating cell cycle and controlling cell death. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16: 339 -54



Orfao A, Schimitz G, Brando, et al. Clinically usefull information provided by the flow cytometry immunophenotyping of hematology malignancies: current status and future directions. Clinical Chemistry. 1999; 45(10): 1708 -1 7 Krishan A, Arya P. Monitoring of cellular resistance to cancer chemotherapy. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16: 357 - 68 Borowitz MJ. Bray R, Gascoyne R, et al. US-Canadian consensus recommendation on the immunophenotypic of hematologic neoplasia by flow cytometry: data analysis and interpretation. Cytometri ,1997; 30 : 236 -44 Stewart CC, Behm FG, Carey JL. US-Canadian consensus recommendation on the immunophenotypic of hematologic neoplasia by flow cytometry: selection of antibody combinations. Cytometry. 1997; 30: 231 - 5 Stetler M, Stevenson, Braylan RC. Flow cytometric analysis of lymphoma and lymphoproliferative disoders. Seminars in Hem. 2001;38: 11 1 - 21 Weir EG, Borowitz MJ. Flow cytometry in diagnosis of acute leukemia. Seminars in Hem. 2001: 38 : 124136



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PRINSIP DASAR TERAPI SISTEMIK PADA KANKER Abdulmuthalib



PENDAHULUAN



Modalitas pengobatan pada kanker secara umum terbagi dua, yaitu terapi lokal, berupa pembedahan dan radiasi, dan terapi sistemik. Jenis terapi sistemik pada kanker adalah kemoterapi dengan obat sitotoksik, terapi hormonal, dan terapi biologi, atau target molekular. Pengetahuan dan penerapan kemoterapi saat ini telah berkembang dengan pesat, semenjak pertama kali digunakannya mustar nitrogen untuk pasien dengan keganasan hematologi pada tahun 1943. Perkembangan pengetahuan dan aplikasi teknik-teknik baru di bidang biologi molekular, sangat mendukung penemuan obatobat baru yang lebih efektif membunuh sel kanker dengan efek samping yang makin minimal serta dapat membunuh sel kanker yang resisten dengan obat kemoterapi konvensional. KlNETlKA SEL DAN TRANSFORMASI KEGANASAN



S m u a sel, baik yang normal maupun sel kanker, membelah dalam diri dalam suatu siklus sel. Namun, sel-sel yang normal di dalam tubuh berada pada keseimbangan antara kecepatan sel-sel tersebut untuk membelah dan membentuk sel-sel baru dengan kecepatan kematian sel. Secara mum, set-sel di dalarn tubuh terbagi menjadi 3 kelompok (Gambar 1): kelompok sel yang aktif berproliferasi kelompok sel yang berdiferensiasi kelompak sel yang tidak aktif berproliferasi (G,,) yang dapat masuk ke dalam siklus sel dengan srimulasi Eertentu. Setiap sel mernulai pertumbuhannya selama fase pascamitotik (GI) dimana enzim-enzim yang penting untuk



Gamhar 1. Kelompok &eldi dalam tubuh



produksi DNA, RNA, dan protein lain diproduksi. Fase ini diikuti oleh fase sintesis DNA (S). Setelah sintesis DNA lengkap, sel memasuki fase pra-mitotik ((3,) dimana terjadi sintesis protein dan RNA lebih lanjut. Fase ini diikuti oleh fase mitosis (M) dimana pembelahan sel terjadi, satu sel akan membelah menjadi dua sel. Sel kemudian memasuki fase G , kembali. Sel yang berada pacta fase G, dapat mernasuki fase istirahat (6,). Kanker muncul dari lesi genetik yang menyebabkan pertumbuhan atau pembelahan sel yang berlebihan yang tidak diiringi dengan kematian sel yang adekuat. Kegagalan diferensiasi selular menyebabkan perubahan posisi selulat dan kapasitas untuk berproliferasi. Secara normal, sel-se1 &an dirangsang untuk memasuki siklus sel dari Goatau tetap berada dalarn siklus sel di b w a h pengaruh sinyalsinyal tertentu seperti oleh fakror pertumbuhan, sitokin dan ho-rmon.Sel kemudian mernasuki G Idan fase S setelah melalui 'titik pemeriksaan' untuk memastikan bahwa gen-nya siap melakukan replikasi. Enzim-enzim kinwse tergantung siklin (cyclin-depe~adgnt kinuxes, CDKs) adalah enzim yang berperan mengam perjalanan sel memasuki setiap fase dalam siklus sel. Salah satu titik perneriksaan yang penting agar sel dapat memasuki fase S adalah yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PRINSIP DASAR TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



diatur oleh produk dari gen pensupresi tumor p53. Produk gen ini merupakan inhibitor dari CDK 4 dan 6. Enzim CDK 4 dan 6 yang teraktivasi akan memfosforilasi produk gen retinoblastoma (pRb). pRb yang terfosforilasi akan melepaskan E2FS yang berperan dalam menyelesaikan replikasi DNA selama fase S. Selama fase G,, CDK2 bersama-sama dengan siklin A dan E memastikan bahwa sintesis DNA yang benar telah lengkap. Sel selanjutnya memasuki fase M di bawah pengaruh CDKl dan siklin B. Proliferasi sel kanker juga diatur oleh proto-onkogen yang dalam keadaan aktif akan menyebabkan perturnbuhan sel. Proto-onkogen merupakan produk dari onkogen. Onkogen dapat dibagi menjadi 2 kelompok, 1) onkogen yang bekerja di sitoplasma untuk mengganggu sinyal faktor pertumbuhan normal, seperti ras, raf; dan enzim tirosin kinase dari src, erbB atau sis; 2) onkogen inti, yang mengubah kontrol transkripsi gen, seperti jum, fos, myc, dan myb. Gen pensupresi tumor, seperti p53 dan pRb, bekerja menghambat atau mencegah terjadinya pertumbuhan sel yang tidak teratur akibat aktivitas proto-onkogen tersebut. Selanjutnya, kapasitas sel untuk membelah diatur oleh aktivitas telomerase yang mengatur replikasi kromosom. Kapasitas invasi dan metastasis dipengaruhi oleh kerjasama antara metaloprotease matriks dan aktivator plasminogen serta kapasitas untuk menarik sel stroma pejamu pada tempat invasi melalui tumor-induced angiogenesis.



DASAR BlOLOGl TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER Obat sitotoksik mempunyai efek primer pada sintesis atau fungsi makromolekul, yaitu mempengaruhi DNA, RNA, atau protein yang berperan dalam pertumbuhan sel kanker, sehingga sel kanker menjadi mati. Oleh karena itu sebagian besar obat sitotoksik tidak efektif terhadap sel-sel pada Go,oleh karena sel-sel tersebut relatif inaktif, artinya tidak ada sintesis makromolekul. Kematian sel tidak terjadi pada saat sel terpapar dengan obat. Seringkali, suatu sel hams melalui beberapa tahap pembelahan sebelum kemudian mati. Oleh karena hanya sebagian sel yang mati akibat obat yang diberikan, dosis kemoterapi yang berulang hams tems diberikan untuk mengurangi jumlah sel kanker. Terdapat hubungan terbalik antara jumlah sel dan kurabilitas obat kemoterapi. Berdasarkan model pada tikus, efek sitotoksik dari obat antikanker bersifat logaritmik. Secara umum, suatu obat diperkirakan membunuh sel tumor dalam fraksi yang konstan bukan dalam jumlah yang konstan. Artinya, jika suatu obat membunuh sel kanker sebanyak log 3, berarti akan mengurangi tumor dari 101° menjadi lo7 sel. Dosis yang sama juga akan mengurangi los sel tumor menjadi 1O2 sel.



Jika terapi gaga1 membunuh galur sel yang sensitif, ha1 ini disebabkan karena pada awalnya jumlah sel tumor asal terlalu tinggi untuk dosis kuratif potensial dari obat tersebut. Sel-sel kanker dapat terdeteksi secara klinis setelah berjumlah lo9 sel dan tidak akan menunjukkan respons terhadap terapi setelah berjumlah 1012sel. Kemoterapi membunuh sel-sel yang aktif membelah. Model Gompertzian menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor tidak konstan, mula-mula akan tumbuh secara eksponensial kemudian pertumbuhannya melambat secara eksponensial. Fraksi pertumbuhan puncak terjadi kira-kira saat ukuran tumor 37% dari ukuran maksimum. Berdasarkan model ini, maka jika kemoterapi diberikan pada stadium lanjut dimana fraksi pertumbuhannya rendah maka fraksi sel yang terbunuh menjadi kecil Jadi, kemoterapi akan lebih efektif bila dimulai sedini mungkin. Model ini juga penting dalam pemberian terapi ajuvan. Angka ketahanan hidup dan masa bebas penyakit tidak dipengaruhi oleh jumlah residu sel kanker, apakah populasinya 1 sel atau 1 juta sel, karena pertumbuhan kembali populasi residu sel akan lebih cepat pada volum yang kecil dibandingkan yang lebih besar.



OBAT SlTOTOKSlK DAN SIKLUS SEL Sebagian besar obat menunjukkan variasi toksisitas letal pada sepanjang siklus sel. Sebagian besar antimetabolit menimbulkan toksisitas letal hanya pada sel-sel yang mensintesis DNA, di mana metotreksat dan doksorubisin mempunyai toksisitas maksimum untuk fase S. Banyak obat dari golongan ini juga menghambat onset atau kelanjutan sintesis DNA dari sel yang 1010s dari terapi. Toksisitas letal pada suatu fase siklus sel tidak selalu sinkron dengan mekanisme kerja suatu obat. Vinkristin dan vinblastin diketahui menganggu pembentukan mitotic spindle, menyebabkan terhentinya sel pada fase mitosis. Namun, penelitian menunjukkan bahwa efek letal dari obat ini terjadi ketika sel berada pada fase S, yaitu ketika pembentukan mitotic spindle dimulai. Docetaxel dan paclitaxel yang bekerja dengan distabilisasi tubulin mempunyai efek letal pada siklus sel yang berbeda. Docetaxel memberikan efek toksik maksimal pada fase S, sedangkanpaclitaxel menunjukkan peningkatan toksisitas pada sel-sel yang meninggalkan fase S melalui G2, masuk ke fase M. Obat sitotoksik dapat dikategorikan menjadi 1). obat yang efektif pada fase tertentu dari siklus sel (phasespecific drugs), 2). obat yang efektif pada sel yang berada pada siklus sel, namun tidak tergantung pada fase-nya (cell cycle-speczJic drugs), dan 3). obat yang efektif baik saat sel berada pada siklus sel ataupun istirahat (cell cyclenon speczjic drugs). Obat kategori pertama yang bekerja pada fase S contohnya adalah antimetabolit (sitarabin, fluorourasil,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



'



ONKOLOGIMEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI gemsitabin, metotreksat, tioguanin, fludarabin) yang mengganggu sintesis DNA atau inhibitor topoisomerase I (topotecan) yang mengganggu struktur DNA. Obat yang bekerja pada fase G2 adalah antibiotik (bleomisin), inhibitor topoisomerase I1 (etoposid), serta stabilisatorl polimerisator mikrotubulus (paclitaxel). Obat yang bekerja pada fase M dengan mengganggu segregasi kromosom adalah golongan alkaloid vinka (vinblastin, vinkristin, vindesin, vinorelbin). Obat yang efektifitasnya tidak bergantung pada sel berada di fase manapun adalah sebagian besar obat alkilator (klorambusil, siklofosfamid, melfalan, busulfan, dakarbazin, sisplatin, karboplatin) dan antibiotika (daktinomisin, daunorubisin, doksorubisin, idarubisin). Sebenarnya obat-obatan ini tidak benar-benar nonspesifik karena mereka tetap menunjukkan efektivitas yang lebih besar pada suatu fase dibanding fase yang lain, namun derajatnya tidak sama dengan obat yang fase-spesifik. Pemberian obat kategori ketiga serupa dengan pemberian iradiasi foton, sehingga tidak tergantung apakah sel berada pada siklus sel atau tidak. Contohnya mustard nitrogen (mekloretamin) dan nitrosourea (karmustin, lomustin).



KEMOTERAPI KOMBlNASl Pemberian obat sitotoksik tunggal dengan dosis yang masih dapat ditoleransi secara klinis tidak dapat digunakan untuk mengobati kanker, dengan beberapa kekecualian seperti pada koriokarsinoma dan limfoma Burkit. Kemoterapi kombinasi memberi beberapa keuntungan sebagai berikut, 1) pemusnahan sel-sel kanker dapat terjadi secara maksimal dengan kisaran toksisitas yang masih dapat ditoleransi oleh tubuh pasien, 2) lebih luasnya kisaran interaksi antara obat dan sel tumor dengan abnormalitas genetik yang berbeda pada populasi tumor yang heterogen, dan 3) kemoterapi kombinasi dapat mencegah atau memperlambat tumbulnya resistensi obat selular. Pemeriksaan obat-obat sitotoksik sebagai kombinasi mengikuti panduan sebagai berikut: Pertama, pilihan hanya pada obat yang terbukti memberikan respons parsial sebagai obat tunggal. Obat yang dapat menimbulkan respons komplit lebih disukai dibandingkan yang hanya menimbulkan respons parsial. Kedua, toksisitasnya tidak tumpang tindih dengan toksisitas obat lain dalam kombinasi, sehingga dapat minimalisasi efek letal serta dapat memaksimumkan intensitas dosis.



TOLAK UKUR PENGOBATAN Terapi sistemik yang diberikan kepada pasien dapat



diberikan dengan tujuan kuratif maupun paliatif. Pemberiannya saat ini dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu: 1). terapi induksi primer untuk kanker di mana kemoterapi merupakan satu-satunya cara pengobatan yang efektif (misalnya limfoma, tumor Wilm, rabdomiosarkoma embrional, kanker paru sel kecil) atau kanker stadium lanjut; 2). terapi neoajuvan, untuk pasien dengan kanker terlokalisir namun ukurannya terlalu besar untuk dilakukan pembedahan atau radiasi dengan optimal; 3). terapi ajuvan, sebagai tambahan terapi lokal, baik pembedahan atau radiasi, yang bertujuan menghilangkan mikrometastasis; dan 4). pemberian langsung pada lokasi tumor. Terapi induksi primer untuk kanker stadium lanjut dan metastatik diberikan sebagai terapi paliatif, untuk memperbaiki kualitas hidup, menghilangkan gejaldsindrom akibat tumor, serta memperpanjang masa progresifitas tumor dan masa harapan hidup. Terapi neoajuvan saat ini umumnya diberikan pada pengobatan kanker anal, kandung kemih, payudara, esofagus, larings, kanker paru non-sel kecil lokal lanjut, dan sarkoma osteogenik. Untuk beberapa penyakit, seperti kanker anal, gastroesofageal, larings dan kanker paru nonsel kecil, manfaat klinis yang optimal akan terjadi bila kemoterapi diberikan bersama dengan radioterapi, baik bersama-sama atau berurutan. Respons pengobatan dapat diukur dengan perubahan obyektif dari ukuran tumor atau produk tumor, masa ketahanan hidup dan respons subyektif. Tidak semua tolok ukur ini dapat diukur untuk menilai respons pengobatan. Pada pengobatan ajuvan, misalnya, tumor primer telah diangkat, sehingga indikator utama keberhasilan pengobatan, yaitu pengurangan ukuran tumor, tidak dapat menjadi tolok ukur. Jadi pada kemoterapi ajuvan, masa bebas kekambuhan (relaps-free survival) dan masa ketahanan hidup keseluruhan (overall survival) menjadi tolok ukur akhir yang utama. Yang dimaksud dengan relapsfree survival pada kemoterapi ajuvan adalah waktu yang dibutuhkan untuk tumbuhnya kembali sel-sel kanker yang dapat terdeteksi secara klinis. Regresi tumor secara obyektif dapat diukur dengan pengurangan ukuran tumor atau produk tumor seperti imunoglobulin pada limfoma. Lesi tumor awal dikategorikan sebagai 'dapat diukur' (diameter terpanjang lebih dari 20 mm dengan teknik konvensional atau lebih dari 10 mm dengan spiral CT scan) atau 'tidak dapat diukur' (lesi lebih kecil atau benar-benar tidak terukur). Respons Komplir didefinisikan sebagai tidak ditemukannya kembali tandatanda tumor baik secara radiologis maupun biologis. Respons Parsial adalah penurunan ukuran diameter tumor sekurang-kurangnya 50%. Penyakit Progresif adalah peningkatan diameter tumor sekurang-kurangnya 25%. Kriteria lain adalah Penyakit Stabil di mana pengurangan ukuran tumor tidak memenuhi syarat untuk respons parsial atau peningkatan ukuran tumor tidak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PRINSIP DASAR TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI memenuhi syarat untuk kriteria penyakit progresif. Indikator yang paling penting dari kualitas remisi komplit adalah masa bebas kekambuhan (relaps-free survival).



ECOG Derajat



POLA SENSlTlVlTAS KANKER TERHADAP KEMOTERAPI Kelompok I Kanker dengan sitostatika mutakhir menghasilkan efek sitoreduktif yang cepat dan kesembuhan umumnya terjadi pada kanker yang secara intrinsik sensitif terhadap kemoterapi sitostatika (contohnya: leukemia limfoblastik akut pada anak-anak, penyakit Hodgkin, beberapa jenis limfoma non-Hodgkin, kanker testis). Kelompok II Kanker yang biasanya berespons baik pada saat permulaan diberikan sitostatika namun kemudian sering berubah menjadi refrakter terhadap sitostika berikutnya (contohnya: kanker payudara, kanker paru sel kecil, kanker ovarium yang kambuh).



Kriteria (disederhanakan)



Karnofsky



%



Status Fungsional



0



Aktivitas normal



100



Dapat melakukan aktivitas normal, tidak memerlukan perawatan khusus (tidak ada gejala) Aktifitas normal dengan gejala minimal



1



Ada gejala, cukup rawat jalan



80



Aktifitas normal dengan usaha ekstra, ada gejala penyakit Tidak dapat bekerja, dapat dirawat di rumah, perlu bantuan untuk beberapa aktivitas



2



~50% waktu harus berbaring



60



Kadang-kadang perlu bantuan Perlu bantuan dan seringkali perawatan medis



50



3



>50% waktu harus berbaring



40



Tidak dapat merawat diri sendiri, memerlukan perawatan di rumah sakit, perjalanan penyakit dapat sangat cepat Tidak dapat beraktifitas sama sekali, indikasi dirawat di rumah sakit



4



Harus berbaring terus-menerus



20



5



Meninggal



Sangat sakit, perlu dirawat di RS untuk pengobatan suportif Sekarat Meninggal



Kelompok Ill Tumor yang secara intrinsik resisten terhadap hampir semua kemoterapi sitostatika (contohnya: melanoma maligna)



FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MELAKUKAN KEMOTERAPI Faktor yang harus diperhatikan dalam merencanakan kemoterapi adalah pilihan rejimen pengobatan, dosis, cara pemberian dan jadwal pemberian. Faktor yang harus diperhatikan pada pasien adalah usia, jenis kelamin, status sosioekonomi, status gizi, status penampilan (Tabel I), cadangan sumsum tulang, serta fbngsi paru, ginjal, hati, jantung dan adanya penyakit penyerta. Faktor yang berhubungan dengan tumor adalah jenis dan derajat histologi, tumor primer atau metastasis, lokasi metastasis, ukuran tumor, serta adanya efusi.



Kontraindikasi absolut adalah penyakit terminal (harapan hidup sangat pendek), kehamilan trimester pertama, septikemia, dan koma. Kontraindikasi relatif adalah bayi di bawah 3 bulan, usia tua, terutama pada pasien dengan tumor yang tumbuh lambat dan kurang sensitif terhadap kemoterapi; status penampilan buruk (kurang dari 40), terdapat gaga1 organ



10 0



yang parah, metastasis otak (jika tidak dapat diobati dengan radioterapi), demensia, pasien tidak dapat datang secara reguler, pasien tidak kooperatif, serta jenis tumornya resisten terhadap obat antikanker.



OBAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER Obat yang digunakan untuk terapi sistemik kanker terdiri dari beberapa macam golongan. penggolongan ini dapat didasarkan pada cara kerjanya atau sumber obat tersebut berasal. Beberapa contoh obat dan golongannya dapat dilihat pada Tabel 2. Obat Alkilator Obat alkilator adalah obat yang membentuk ikatan dengan asam nukleat, protein, dan banyak molekul dengan berat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI molekul rendah. Obat ini merupakan senyawa elektrofil atau menjadi elektrofil di dalam tubuh untuk menghasilkan molekul terpolarisasi dengan daerah bermuatan positif. Molekul yang terpolarisasi ini kemudian dapat berinteraksi dengan daerah yang kaya dengan elektron pada banyak molekul selular. Mekanisme utama golongan obat ini adalah interaksi antara molekul elektrofil dengan DNA. Interaksi ini menyebabkan terjadinya reaksi substitusi, ikatan silang (cross-linking), atau pemutusan untai DNA. Obat alkilator berinteraksi dengan DNA, RNA, atau protein yang telah terbentuk, sehingga obat golongan ini merupakan obat yang tergolong tidak spesifik pada fase tertentu, bahkan beberapa juga dapat aktif pada sel yang tidak berada di siklus sel (cell cycle-nonspecific).



Obat Antimetabolit Obat golongan ini adalah kelompok senyawa dengan berat molekul rendah yang mempunyai efek antineoplasma karena struktur atau fungsinya mirip dengan metabolit yang secara alami terlibat dalam sintesis asam nukleat. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim-enzim penting yang terlibat dalam sintesis asam nukleat atau terinkorporasi ke dalam asam nukleat dan menghasilkan kode genetik yang salah. Kedua mekanisme ini menyebabkan penghambatan sintesis DNA dan akhirnya kematian sel. Oleh karena efeknya terutama pada sintesis DNA, maka obat ini paling aktif pada sel yang aktif turnbuh dan sebagian besar termasuk kategori fase-spesifik. Produk Natural Obat-obat ini dimasukkan ke dalam satu golongan bukan berdasarkan cara kerjanya namun karena sumbernya yang berasal dari produk natural. Golongan obat ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu a) Inhibitor mitotik (vinkristin, vinblastin, vindesin,vinorelbin), aktivitasnya terutama disebabkan karena efeknya terhadap protein mikrotubular sehingga terjadi penghentian metafase dan inhibisi mitosis. Jadi, berdasarkan cara kerjanya obat ini digolongkan sebagai antimikrotubul; b) Derivat Podophyllum (etoposide, teniposide), podofilotoksin semisintetik ini dapat membentuk kompleks dengan enzim DNA topoisomerase 11, yaitu enzim yang penting untuk menyelesaikan replikasi DNA. Interaksi ini menyebabkan untai DNA terputus dan siklus sel terhenti pada fase S akhir dan G , awal; c). Camptothecin (irinotecan, topotecan), target primernya adalah DNA topoisomerase I; d) Antibiotik, merupakan senyawa antimikroba yang diproduksi oleh Streptomyces sp., bekerja dengan mempengaruhi fungsi dan sintesis asam nukleat; e) Enzim, contohnya adalah asparaginase yang mengkatalisis hidrolisis asparaginase menjadi asam aspartat dan amonia sehingga sel ganas menjadi kekurangan asam amino esensial yang penting bagi kehidupannya. Produk natural yang merupakan antibiotik terbukti



sangat bermanfaat dalam pengobatan kanker dan efektif pada berbagai jenis kanker. Obat golongan antibiotika berdasarkan mekanisme kerjanya terbagi menjadi beberapa jenis, 1) obat yang menyebabkan pembelahan DNA yang tergantung topoisomerase I1 dan berinterkalasi dengan untai ganda DNA, contohnya: daktinomisin, antrasiklin (doksorubisin, daunorubisin, epirubisin, dan idarubisin), mitoksantron; 2)obat yang menyebabkan fragmentasi untai DNA, contohnya; bleomisin; 3)obat yang menyebabkan reaksi ikatan silang antara untai komplementer DNA yang mengganggu proses replikasi, contohnya mitomisin. Produk natural, selain alkaloid vinka yang telah disebutkan, yang termasuk golongan obat antimikrotubul adalah taksan. Paklitaksel merupakan senyawa yang mulamula ditemukan, disusul oleh analognya yaitu dosetaksel. Obat ini memiliki spektrum aktivitas antikanker yang luas dan mempunyai mekanisme sitotoksisitas yang unik. Paklitaksel berinteraksi dengan mikrotubul, tetapi tidak seperti alkaloid vinka yang mengharnbat pembentukannya, paklitaksel menstabilkan mikrotubul dan menghambat pengrusakannya. Paklitaksel menciptakan keseimbangan dinamis antara pembentukan dan pengrusakan mikrotubul. Proses yang paling dipengaruhi oleh obat ini adalah mitosis.



TERAPI HORMONAL Sejak dilaporkan pada tahun 1895 bahwa ooforektomi dapat memperlambat progresifitas kanker payudara, telah diketahui peranan hormon dalam perkembangan kanker. Estrogen, progestin, dan androgen diketahui berperan dalam perkembanan kanker payudara dan endometrium. Molekul yang terkait dengan famili reseptor steroid saat ini merupakan target yang tepat untuk molekul kecil dalam pengobatan kanker. Jika terikat dengan ligannya, reseptor ini dapat mengubah transkripsi gen dan, pada beberapa jaringan, dapat menginduksi apoptosis. Glukokortikoid diberikan dengan dosis tinggi pada leukemia dan limfoma, sehingga diharapkan terjadi apoptosis pada sel tumor. Contoh lain adalah pengobatan kanker prostat dengan dietilstilbesterol (DES). DES bekerja seperti estrogen pada tingkat hipotalamus untuk menurunkan produksi luteinizing hormone (LH), sehingga akan terjadi penurunan produksi testosteron oleh testis. Untuk mendapatkan efek supresi androgen testikuler tersebut dapat pula diberikan obat agonis luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) seperti leuprolide dan goserelin. Obat lain adalah antagonis androgen yang bekerja pada reseptor androgen, seperti j7utamide atau bicalutamide. Terapi hormonal telah memberikan hasil yang memuaskan pada pasien kanker payudara dengan reseptor estrogen/progesteron positif. Sejak awal 1960-an, sewaktu reseptor estrogen pertama kali ditemukan, diketahui bahwa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1451



PRINSlP DASAR TERAPI SISTEMIK PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Golongan Alkilator



Sub-Golongan Mustar Nitrogen



Aziridin dan Epoksida Alkil sulfonat Nitrosurea



Hidrazin dan Turunan Triazin



Antimetabolit



Antifolat



Analog pirimidin Analog cytidine



Analog purin



Inhibitor Topoisomerase



Analog Camptothecin



Epipodofilotoksin Antrasiklin



Lain-lain Antimikrotubul



Alkaloid vinka



Taksan



Obat Siklofosfamid lfosfamid Melfalan Klorarnbusil Tiotepa Mitomisin C Dianhidrogalaktitol Busulfan Karrnustin (BCNU) Lomustin (CCNU) Semustin (rnetil CCNU) Prokarbazin Dakarbazin Ternozolomid Metotreksat Raltitreksed Pernetreksed 5-fluorourasil (5-FU) Capecitabin Sitarabin (cytosine arabinoside, ara-C) Gemcitabine 6-merkaptopurin (6MP) Azatioprin 6-tioguanin (6-TG) lrinotecan Topotecan



Etoposide Teniposide Doksorubisin, Daunorubisin Epirubisin ldarubisin Mitoksantron Aktinomisin D Vinblastin Vinkristin Vindesin Vinorelbin Paklitaksel Dosetaksel



Contoh Dosis Obat 400-200 rnglm2 IV; 100 mglrn2 PO qd 8 rng/m2qd x 5, PO 1-3 rnglm qd PO 6-10 mg/rn2q6 rninggu



200 mglrn2 IV; 150 mglm2 PO 100-300 mglm2 PO



100 rng/rn2per hari X 14 375 mg/rn2 IV hari 1 & 15 150-200 rng/rn2qd X 5 q28; atau 75 rng/m2qd X 6-7 rngg 15-30 mg/rn2 PO atau IM qd X3-5



375 mglrn2 IV qd X5; 600 rnglrn2 IV hr 1&8 1250 mg/m2 PO bid 2 mgg, 1 rninggu stop 100 rnglm2per hr qd X 7 dengan infus kontinyu; 103 g/lm2 IV bolus 1000 mg/rn2 IV per rninggu X 7 75 rnglm2PO atau s.d 500 rnglrn2 PO (dosis tinggi) 1-5 rnglkg per hari 2-3 mglkg per hr sarnpai 3-4 mgg 100-150 rnglm2 IV > 90 rnnt q3-4 mgg atau 30 rnglrn2 per hari > 120 jam 20 rng/m2 IV q3-4 rngg >30 mnt atau 1,5-3 mglrn2q 3-4 rngg > 24 jam atau 0,5 mg/m2 per hari > 21 hari 100-150 mg/rn2IV qd X3-5 hr 150-200 mglm2 IV 2X serninggu, 4 rngg 45-60 mg/m2q3-4 rngg;10-30 mg/rn2per rngg; atau regimen infus kontinyu 150 mg/m2 IV q3 rngg 10-15 rng/m2q3mgg; 10 rnglm2 IV qd X3 12 mg/m2qd X3 10-15 ~ g l k gper hr qd X 5 IV bolus 6-8 mg/rn2 per rngg 1-1,4 mglrn2per rngg (maks 2 mg) 15-30 mglm2 per mgg 175 rng/m2 per infus 3 jarn;135-175 mg/m2 per infus 24 jam; 140 mg/rn2 per infus 96 jam; 250 mg/m2per infus 24 jam + G-CSF 60-75 rnglrn2per infus 1 jam, q3 mgg 75-100 rnq/m2 per dosis IV q3-4 rngg 365 mglrn IV q3-4 rngg 130 mg/m2q3 mgg > 2 jam atau 85 mg/rn2q2 rngg



Platinum



Sisplatin Karboplatin (Paraplatin) Oksaliplatin (Eloksatin)



Lain-lain



L-Asparaginase Bleomisin



~ rngg 25.000 l ~ l qm3-4



Terapi target



lmatinib mesilat Gefitinib Trastuzumab



400 mglhr 250 mglhr Inisial: 4 mglkg, infuse 90'. Dosis pemeliharaan: 2 molka, infus 30'



BCNU: bischloroethylnitrosourea; CCNU: cyclohexylchloroethyInitrosourea;qd : setiap hari; PO: per oral; IV: intravena; q: setiap; bid: dua kali sehari; rng: miligrarn; mgg:rninggu



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kanker payudara yang mempunyai reseptor estrogen atau reseptor progesteron memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Tanpa reseptor, hasil pengobatan hormonal kurang dari 5%, sedangkan yang reseptomya positif, 3040%, bahkan hasil pengobatan 60-70% bila tumornya mempunyai kombinasi reseptor estrogen dan progesteron. Obat antiestrogen, seperti tamoksifen, telah terbukti dapat memperbaiki outcome pada setiap stadium kanker payudara dengan reseptor hormonal positif. Obat inhibitor aromatase seperti anastrozol, letrozol, atau eksemestan juga telah dilaporkan memberikan hasil yang baik dan merupakan obat pilihan pada pasien pascamenopause,baik yang alamiah maupun menopause buatan (pasca ablasi ovarium).



Trombositopenia, anemia, dan leukopenia adalah efek samping yang terjadi akibat kemoterapi. Sebagian besar program pengobatan standar dirancang sesuai dengan kinetika pemulihan sumsum tulang setelah paparan kemoterapi. Beberapa tahun terakhir mulai diberikan faktor perangsang koloni seperti faktor perangsang kolonimakrofag (macrophage-colony stimulating factor, MCSF), faktor perangsang koloni-granulosit (granulocytecolony stimulating factor, G-CSF). Faktor pertumbuhan ini mempunyai peran penting dalam pemberian dosis intensif kemoterapi dengan mencegah leukopenia sehingga mengurangi insidens infeksi dan lamanya rawat inap.



TERAPI DENGAN TARGET MOLEKULAR



Mukositis Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glossitis), tenggorok (esofagitis), usus (enteritis), dan rektum (proktitis). Umumnya mukositis terjadi pada hari ke-5-7 setelah kemoterapi. Satu kali mukositis muncul, siklus berikutnya akan terjadi mukositis kembali, kecuali jika obat diganti atau dosis diturunkan. Mukositis dapat menyebabkan infeksi sekunder, asupan nutrisi yang buruk, dehidrasi, penambahan lama waktu perawatan, dan peningkatan biaya perawatan. Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat mukositis, maka kebersihan mulut hams dijaga. Pasien juga harus diingatkan untuk berhati-hati dengan gigi palsunya dan memilih sikat gigi yang bulunya halus. Setiap kali habis makan, mulut harus dibersihkan dan berkumur dengan obat antiseptik. Jika telah terjadi infeksi sekunder, apakah disebabkan oleh jamur, herpes, atau bakteri, maka infeksi harus diobati dengan obat yang sesuai.



Terapi dengan target molekular pada pengobatan kanker adalah strategi pengobatan yang dirancang untuk menghambat molekul spesifik yang terlibat dalam proses transformasi keganasan atau mempengaruhi metastasis sel-sel kanker. Terapi ini dapat ditujukan pada produk onkogen yang terlibat secara langsung pada insiasi transformasi keganasan, contohnya adalah imatinib untuk pengobatan leukemia mielositik kronik. Selain itu dapat ditujukan pada produk onkogen yang terlibat pada stadium selanjutnya dari proses transformasi keganasan (berperan dalam progresifitas tumor, tidak pada awal pembentukan tumor), contohnya adalah trastuzumab untuk pengobatan kanker payudara. Obat yang digunakan untuk terapi ini terbagi atas beberapa jenis. Molekul berukuran kecil dapat menghambat enzim atau reseptor pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Contohnya adalah imatinib dan gefitinib. Obat penginduksi apoptosis bekerja melalui interaksinya dengan protein yang terlibat proses apoptosis. Contoh obat jenis ini adalah bortezomib yang digunakan pada pengobatan mieloma multipel. Jenis lain adalah antibodi monoklonal, vaksin kanker, inhibitor angiogenesis, dan terapi gen.



EFEK SAMPING KEMOTERAPI Obat sitotoksik menyerang sel-sel kanker yang sifatnya cepat membelah. Namun, terkadang obat ini juga memiliki efek pada sel-sel tubuh normal yang juga mempunyai sifat cepat membelah seperti rambut, mukosa (selaput lendir), sumsum tulang, kulit, dan sperma. Obat ini juga dapat bersifat toksik pada beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal, dan sistem saraf. Berikut akan dibahas beberapa efek samping yang sering ditemui pada pasien.



SUPRESI SUMSUM TULANG



Mual dan Muntah Mual dan muntah terjadi karena peradangan dari sel-sel mukosa (mukositis) yang melapisi saluran cerna. Muntah dapat terjadi secara akut, dalam 0-24jam setelah kemoterapi, atau tertunda, 24-96 jam setelah kemoterapi. Setiap obat tidak sama derajatnya dalam menimbulkan muallmuntah. Obat yang dapat sangat sering (>90%) menyebabkan muntah contohnya sisplatin, dakarbazin, mekloretamin, dan melfalan/arabinosa-C dosis tinggi. Obat yang sering (60-90%) menimbulkan muntah contohnya siklofosfamid, prokarbazin, etoposid, metotreksat, sisplatin. Obat yang insidensnya sedang (30-60%) dalam menimbulkan muntah misalnya doksorubisin, 5fluorourasil,karboplatin, ifosfamid, sitarabin, mitoksantron. Obat yang sedikit menimbulkan muntah adalah alkaloid vinka, 5-fluorourasil, bleomisin, etoposid. Obat yang sangat jarang (900 mg/m2. Sistitis hemoragik pada pemakaian siklofosfamiddosis tinggi. Tetapi pada regimen ini dosisnya tidak tinggi, sehingga tak perlu penggunaan mesna dan hidrasi. KEMOTRAPI INTRATEKALINTRAVENTRIKULAR lndikasi Terapi untuk meningitis neoplastik, akibat tumor solid, limfoma atau leukemia. Terapi profilaksis untuk pasien dengan risiko tinggi pada limfoma atau leukemia.



Obat yang Digunakan Metotreksat Tiotepa Sitarabin Cara Pemberian Intraventrikular Dengan pemasangan reservoar sub Q secara operatif dan dengan kateter ventrikular (SRVC). Keuntungannya - Pemberian obat mudah - Dijamin bahwa obat yang dimasukkan dapat mencapai Cairan serebrol spinal (CSS). - Obat dapat diberikan pada pasien dengan trombositopenia - Kemungkinan respons dan survival lebih baik dari pada melalui lumbal. Kekurangannya - Biaya dan komplikasi yang berkaitan dengan pemasangan SRVC (infeksi, perdarahan, malfungsi, pemasangan pada tempat yang h a n g tepat. - Komplikasi yang diakibatkan oleh pemasangan SRVC yang berulang. - CSS dikeluarkan dulu sedikit, baru obat dimasukkan pelan-pelan (metotreksat >sitarabin Potensial menimbulkan ensefalopati yang fatal. - Kombinasi kemoterapi intratekal >metotreksat >sitarabin >tiotepa. - Insidensi meningkat setelah lebih dari 6 bulan dari permulaan terapi. - Mula-mula sering diketahui pada MRI, diikuti gangguan neurologik yang tak dapat disembuhkan. - Meningitis stafilokokus epidermidis muncul subakut pada pasien SRVC. METOTREKSAT (MTX) INTRAVENTRIKULAR Mekanisme Kerja Antimetabolit Target dihidrofolat reduktase Mengurangi donor karbon yang diperlukan untuk sintesis purin dan pirimidin. Meningkatkan dihidrofolat poliglutamat, yang selanjutnya menghambat sintesis purin. Farmakologi klinik: - Umumnya aktif terhadap pembelahan sel jaringan yang cepat. - Umumnya efektif bila kadar obat tetap tinggi untuk jangka waktu yang lama. Penentuan Dosis 10 mg dalam 5- 10 ml larutan elliot B dua kali dalam satu minggu melalui ruang intratekal di daerah lumbal atau di ventrikel. Teruskan sampai sitologi CSS menjadi bersih (negatif). Lalu teruskan dengan terapi pemeliharaan, dua pengobatan setiap minggu (satu minggu tiap bulan).



Farmakokinetik 10 MTX IT dapat menghasilkan kadar lebih dari 10 iM dalam CSS sampai 48 jam. MTX intratekal dibersihkan dari CSS sebagian besar melalui aliran lewat granulosisaraknoid dan sirkulasi vena. Kelainan aliran CSS dapat mengakibatkan kadar tinggi dari MTX yang masuk jaringan otak menjadi lama yang dapat mengakibatkan leuko ensefalopati. Kira-kira 90% MTX dalam sirkulasi sistemik dibersihkan oleh ginjal. MTX dapat tertahan dalam cairan ehsi atau asites yang mengakibatkan pembersihan yang tertunda dan toksisitas. Toksisitas Toksisitas primer yang dini adalah pada mukosa GI dan sumsum tulang. Jika toksisitas ini menjadi problema klinis, ha1 ini dapat dicegah dengan menggunakan kalsium leukovorin oral, yang melindungijaringan sistemik, tetapi tak menembus keadaan CSS. Toksisitas utama yang timbulnya terlambat, adalah nekrosis tersebar yang menyebabkan leukoensefalopati. Faktor risiko utama meliputi: - MTX intratekal - Radiasi kranial(1.u. bila didahului MTX intratekal) - MTX sistemik Terapi Suportif Obat antiemetik biasanya tidak diperlukan Perawatan yang Penting CSS dikeluarkan sebanyak volume obat yang akan dimasukkan (5- 15 cc), obat dimasukkan pelan-pelan (< 1 mllmenit) untuk menghindari aliran (pergeseran) yang cepat dari CSS di dalam otak. Hindari kontaminasi, gunakan teknik aseptik yang ketat. Obat dapat dimasukkan bila ada aliran yang mudah dari CSS yang tak mengandung darah. Intoksikasi berat dapat terjadi pada orang tua atau pasien dengan lesi meningeal yang berat. Penilaian - Status dasar neurologik - Untuk araknoiditis akut (kebanyakan reaksi toksik): sakit kepala, nyeri punggung, kaku kuduk, dan demam. - Mielopati subakut: paraplegilparaparesis pada satu atau lebih radiks saraf. - Leukoensefalopati kronik: iritabel, ataksia dan meningkatnya tekanan CSS. - Neurotoksisitas yang ditandai oleh: rasa panas, mati rasa di kaki, stupor, agitasi, kejang-kejang dan sesak napas.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



- Menentukan tempat-tempat yang mudah terkena



infeksi. Edukasi pasien - Jelaskan caranya: pasien diminta tidur telentang selama prosedur berlangsung. - Komplikasi akut yang dapat meliputi: nausea, vomitus, demam, sakit kepala, kaku kuduk, biasanya akan mereda dalam 72 jam. - Catat gejala-gejala yang tak biasa.



Toksisitas utama adalah terjadinya leukemia non limfositik akut seperti obat-obat alkylating yang lain. Neurotoksisitas nampaknya lebih rendah daripada metotreksat intratekal. Perawatan Suportif Biasanya tak perlu obat antiemetik. Segi Farmasi Larutan Elliott B (CSS buatan) atau salin normal merupakan pelarut yang cocok.



Mekanisme Kerja Alkylating agent fungsional Secara farmakologis sama dengan nitrogen mustard. Dapat dimasukkan ke dalam ruang-ruang dalam badan ( b o 4 cavities) Farmakologi Klinik Tak spesifik untuk siklus sel. Metabolit primer trietilen-fosforamid (TEPA) bertanggungjawabuntuk semua aktivitas obat terhadap tuinor solid. Dosis 10 mg dalam 5-10 ml larutan Eliot B atau salin normal dua kali dalam seminggu, masukkan dalam ruang intratekal dari daerah lumbal atau ventrikel. Teruskan sampai sitologi CSS bersih. Lalu teruskan dengan terapi pemeliharaan dua kali dalam seminggu (satu minggu setiap bulan). Farmakokinetik Halflife terminal dari tiotepa intraventrikular 8 jam. Bersihan ventrikular kira-kira 4% dari bersihan total Kadar tiotepa lumbal hanya 5% dari kadar ventrikular, tetapi masih cukup tinggi untuk aktif. Toksisitas Efek samping dari tiotepa adalah mielosupresi. Dosis yang dimasukkan lewat CSS (10 mg dua kali seminggu) mendekati dosis yang diberikan secara sistemik. Mielosupresi dapat terjadi pada pasien-pasien yang: - Sebelumnya sudah sering mendapat kemoterapi atau radiasi. - Pasien yang menderita kanker yang sudah lanjut dan menginfiltrasi sumsum tulang. - Sering mendapat terapi radiasi pada kolumna ventebralis atau pelvis sebagai bagian dari pengobatan metastasis leptomeningeal.



Segi Perawatan Pemeriksaan darah rutin dilakukan setiap seminggu. CSS dikeluarkan dan obat dimasukkan pelan-pelan (60 Tidak diketahui Jumlah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1 1 4 5 9 2 2 35



28,6 2,86 11,43 14,29 25,72 5,72 5,72 100,O



PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



membran sel akan terganggu dan berbagai saluran ion mengalami perubahan sehingga fungsinya lepas kontrol. Akibatnya terjadi gangguan gradien konsentrasi ion di kedua sisi membran sel diikuti berbagai reaksi biokimia dalam sel. Ada beberapa obat antikanker yang memerlukan pemeriksaan tes fungsi hati sebelum dan selama pemakaiannya seperti golongan alkilator (siklofosfamid, busulfan), golongan antrasiklin (doksorubisin, daunorubisin, farmorubisin, epirubisin); antimetabolit (metotreksat, fluorourasil, merkaptopurin), alkaloid vinka (vinkristin, vinblastin), dan enzim (L-aspariginase). Obat golongan alkilator bekerja dengan pembentukan ion karbonium atau kompleks lain yang sangat reaktif. Obat ini membentuk ikatan kovalen (alkilasi) dengan DNA sehingga terjadi cross linking pada rantai DNA sehingga fungsinya terganggu. Efek sitotoksik maupun efek sampingnya berhubungan langsung dengan proses alkilasi ini. Khusus untuk efek hepatotoksik tidak diketahui secara spesifik gugus mana yang mengalami alkilasi. Namun, karena hati merupakan organ yang sangat kaya akan berbagai enzim, sangat mungkin bahwa alkilasi ini terjadi pada gugus amino atau karboksil dari berbagai enzim dalam hati. Antrasiklin bekerja dengan berinteraksi di antara basabasa DNA sehingga menggangu fungsi DNA sebagai template. Antrasiklin juga bereaksi dengan sitokrom p,,, reduktase yang dengan NADPH membentuk zat antara yang bersifat reaktif dan selanjutnya bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal bebas. Efek ini dikaitkan dengan efek samping antrasiklin seperti efek kardiotoksik dan mungkin juga efek hepatotoksik. Seperti diterangkan di atas, molekul radikal bebas ini akan menimbulkan reaksi berantai dengan komponen membran sel sehingga integritas membran akan terganggu. Kekacauan gradien ion di kedua sisi membran menyebabkan gangguan fungsi sel berupa gangguan kontraktilitas sel otot jantung yang dalam bentuk ekstrim bermanifestasi sebagai gagal jantung. Pada hati terjadi gangguan hngsi metabolisme dan kebocoran enzim-enzim sitosol dan mikrosom yang dapat dideteksi sebagai peningkatan enzim transaminase. Kerusakan ginjal akibat kemoterapi dapat langsung (direk) maupun tidak langsung (indirek). Efek langsung dapat terjadi akibat blokade mekanik nefron (misalnya metrotreksat dan metabolitnya yang cenderung berpresiptasi pada tubulus dan duktus kolektikus pada pemberian dosis tinggi dan pH urin rendah). Kemungkinan lain adalah karena kerusakan jaringan ginjal langsung akibat obat atau metabolitnya, paling sering pada pemberian sisplatin dan nitrosurea. Sisplatin menyebabkan kerusakan dan nekrosis sel tubulus distal dan proksimal dengan cara menurunkan aktivitas metabolik mitokondria, mengharnbat peroksidase glutation, dan merangsang lipoperoksidase. Sisplatin juga



menyebabkan gangguan elektrolit, terutama hipomagnesemia dan hipokalsemia. Streptozotosin, lomustin, dan karmustin mengganggu fungsi tubulus ginjal sehinga menyebabkan proteinuria, aminoasiduria dan hipokalemia. Mitomisin C sering dilaporkan dengan kejadian gagal ginjal dan anemia hemolitik mikroangiopatik. Ifosfamid dan siklofosfamid dosis tinggi dapat merusak tubulus distal menyebabkan hiponatremia dan SIADH. Efek tidak langsung dapat terjadi karena pemberian kemoterapi pada tumor yang sangat sensitif menyebabkan katabolisme asam nukleat interseluler hebat yang berakhir dengan nefropati asam urat. Asam nukleat purin dikatabolisme menjadi hipoksantin, kemudian xantin, dan terakhir dioksidasi oleh xantin oksidase menjadi asam urat. Asam urat meningkatkan keasaman urin dan terpresipitasi di tubulus distal dan duktus kolektikus hingga terjadi anuria. Hiperurisemia ini dapat merupakan bagian dari sindrom tumor lisis. Untuk pencegahan efek nefrotoksik diperlukan hidrasi yang adekuat (2500-3000 ml/m2/24jam) yang dimulai 24 jam sebelum pemberian kemoterapi. Alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat penting untuk ekskresi asam urat. Profilaksis dengan alupurinol300-400 mg/m2/hari.Jika terjadi nefropati asam urat pengobatannya dengan memperbaiki hidrasi, dan jika fungsi ginjal memburuk dapat dilakukan hemodialisis. Khusus untuk sisplatin, hanya diberikan pada pasien dengan jumlah urin minimal 100 mL/jam, sebelum, selama, dan sesudah kemoterapi. Obat proteksi yang dapat digunakan adalah amifostin diberikan 30 menit sebelum pemberian sisplatin. Toksisitas sisplatin juga dapat dikurangi dengan pemberian natrium tiosulfat pada pemberian sisplatin intraperitoneal, dietiltiokarbamat, kaptopril, dan verapamil.



Organ yang Ter~enaaruh "



.



Sumsum tulang Gastrointestinal Jantung Paru Hati Ginjal Kulit



Saraf Pankreas Uterus Kandung kemih



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Obat Penyebab Kecuali steroid, Bleomisin, L-Asparaginase Adriamisin, Bleomisin, Metotreksat. 5-FU, Aktinomisin D, Kortikosteroid, Alkilating agent, Vinkristin Adriamisin, Daunorubisin, Kortikosteroid Bleomisin, Metotreksat, Siklofosfamid, Busulfan Metotreksat, Sisplatin, Arabinosa-C, LAsparaginase, Mithramycin Metroteksat, Sisplatin, Mithramycin Bleomisin, Busulfan, Adriamisin, Siklofosfamid, Aktinomisin D, Vinblastin, Vinerelbin Vinkristin, Vinblastin, Vindesin, Sisplatin L-Asparaginase Estrogen Siklofosfamid, lsofin



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MASALAH INFEKSI PADA PASIEN KANKER



Pasien kanker acapkali memiliki penurunan daya tahan tubuh. Hal ini disebabkan oleh penyakit kanker itu sendiri atau akibat berbagai pengobatan baik bedah, radiasi maupun kemoterapi. Di samping itu berbagai prosedur tindakan yang dilakukan pada pasien kanker baik dalam rangka diagnosis (bronkoskopi, gastroskopi), maupun untuk terapi (infus makanan, cairan) juga berperan dalam terjadinya infeksi. Beberapa jenis kanker disertai oleh penurunan respons imun spesifik. Pasien penyakit limfoma malignum baik Hodgkin atau non-Hodgkin disertai defisiensi imunitas seluler yang mengakibatkan pasien menjadi rentan terhadap infeksi virus (herpes simpleks, varisela zoster dll) dan infeksi jamur (kriptokokus, dll). Berbeda dengan pasien limfoma malignum, pasien leukemia akut amat rentan terhadap infeksi bakteri gram negatif sebagai akibat adanya leukopenia danlatau gangguan fungsi (fagositas) granulosit. Pasien leukemia limfositik menahun dan pasien mieloma multipel amat sensitifterhadap infeksi bakteri yang invasif dari golongan stafilokokus, streptokokus dan pneumokokus. Granulosit neutrofilik adalah sel yang paling berperan dalam respons imun terhadap bakteri maupun jamur. Perlu diketahui bahwa waktu paruh umur sel granulosit dalam darah adalah 6-7 jam, setelah itu sel-sel ini akan bermigrasi ke daerah sepanjang endotel atau masuk ke dalam jaringan ekstravaskular. Pada keadaan di mana terjadi depresi sumsum tulang, maka neutropenia akan terjadi dalam 5-7 jam. Infeksi merupakan penyebab kematian paling utama pada pasien kanker di samping perdarahan. Sekitar 90% pasien kanker meninggal akibat infeksi, perdarahan, atau infeksi bersama-sama dengan perdarahan. Dengan makin mantapnya kemampuan untuk mengatasi trombositopenia, infeksi merupakan masalah yang makin penting. Radiasi maupun penggunaan sitostatika dapat menyebabkan terjadinya granulositopenia akibat penekanan fungsi sumsum tulang. Banyak laporan yang dapat membuktikan hubungan antara beratnya granulositopenia dan infeksi. Penelitian Body dapat menunjukkan bahwa pada pasien kanker, penurunan kadar granulosit di bawah 1000/mm3,di bawah 500/mm3dan di bawah 100/mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi berat, masing-masing sebesar lo%, 19% dan 28%. Angka kematian pasien meningkat sampai dengan 80% pada pasien yang kadar granulositnya menetap di bawah 100/mm3selama tujuh hari pertama infeksi. Oleh karena itu tindakan pencegahan, diagnosis dini, dan pengobatan yang cepat dan tepat mutlak mendapat perhatian dari mereka yang mengelola pasien kanker. Kelambatan diagnosis danlatau pemilihan antibiotika yang tidak tepat dapat cepat menyebabkan terjadinya sepsis dan kematian pasien.



Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya frekuensi infeksi pada pasien kanker antara lain adalah: (1) erosi pada tumor yang menyebabkan terbukanya kulit atau lapisan mukosa yang merupakan barrier yang melindungi tubuh dari dunia luar. Hal ini terutama terjadi pada kanker kulit, kepala dan leher, saluran cerna, mulut rahim dan vagina, (2) terjadi sumbatan akibat tekanan atau pertumbuhan kanker, misalnya kanker paru, saluran cerna, dan prostat; (3) penurunan daya tahan tubuh, baik penurunan imunitas humoral (mieloma multipel, leukemia limfositik menahun), maupun imunitas selular (limfoma Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, kanker paru, payudara, lambung); (4) berbagai prosedur diagnostik yang menyebabkan erosi pada mukosa maupun pada kulit (endoskopi, arteriografi); (5) tindakan pembedahan dalam ha1 ini tingginya kemungkinan infeksi tergantung kepada tempat dan besarnya tumor; jenis operasi dan daya tahan tubuh si sakit; (6) pengobatan suportif, misalnya pemberian makanan parenteral dan transfusi komponen darah (virus hepatitis, virus sitomegalo, toksoplasmosis); (7) radioterapi dan sitostatika.



MEKANISME PENURUNAN IMUNITAS PADA KANKER Infeksi sistemis selalu merupakan masalah yang besar bagi seorang pasien kanker. Hal ini hanya dapat terjadi setelah mikroorganisme dapat melampaui berbagai lapisan pertahanan sistem imunitas tubuh manusia. Kejadian serius ini sering terjadi pada pasien kanker, terutama berkaitan dengan kemajuan dunia kedokteran. Hal-ha1 yang dapat berperan terhadap terjadinya infeksi sistemis, antara lain penggunaan antibiotika spektrum luas, infus, berbagai kateter, dialisis, radioterapi, kemoterapi, kortikosteroid, dll. Barrier paling luar manusia terhadap infeksi adalah suhu badan, pergantian kulit dan mukosa yang cepat, peristaltik usus, lapisan lemak, asam lambung, saliva, keringat, dll. Semuanya berperan penting dalam upaya melindungi tubuh terhadap infeksi. Flora yang normal pada kulit, nasal, oral, kolon, juga berperan dalam upaya menghalangi pertumbuhan mikroorganisme patogen. Dalam keadaan neutropenia, terutama neutropenia sekunder pada pasien kanker maka hampir seluruh respons imun nonspesifik ini akan lumpuh, sehingga mikroorganisme dapat masuk ke sirkulasi darah ke jaringan atau ke dalam kelenjar getah bening. Respons imun nonspesifik, seperti granulosit, memegang peran amat penting dalam upaya tubuh mencegah infeksi. Interleukin merupakan salah satu sitokin yang merangsang sel granulosit untuk berfungsi. Karena itu ganguan respons imun spesifik akan menurunkan pula fungsi granulosit. Di samping itu berbagai obat, terutama sitostatika dan radiasi juga dapat mengakibatkan granulopenia.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1487



PENCOBATAN SUPORTlF PADA PASIEN KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Nama Sitostatika - .--



Efek Lambat



Efek Segera



Siklofosfamid



mual,muntah,reaksi hipersensitivitas tipe I, rasa terbakar pada muka,penglihatan kabur



depresi sumsum tulang, kebotakan, sistitis hemoragik, sterilitas (sementara), fibrosis paru, hiponatremia, leukemia,kanker kandung kemih, sekresi ADH terganggu, teratogenesis



Doksorubisin



mual,muntah,urin kemerahan, nekrosis, kerusakan jaringan setempat yang berat pada ekstravasasi, diare, demam, perubahan EKG,sementara, aritmia,ventrikel, reaksi anafilaksis



depresi sumsum tulang, kardiotoksisitas, kebotakan, stomatitis, anoreksia, konjungtivitis, pigmentasi akral



Daunorubisin



mual,muntah,diare,urin kemerahan, nekrosis, dan kerusakan jaringan yang berat



depresi sumsum tulang, kardiotoksisitas, kebotakan, stomatitis, anoreksia, diare, demam, menggigil, dermatitis pada daerah yang sebelumnya diradiasi



Metotreksat



mual, muntah, diare, demam, anafilaksis



ulserasi oral dan gastrointestinal, depresi sumsum tulang, toksisitas hati, infiltrat, fibrosis paru, osteoporosis, konjungtivitis, kebotakan, depigmentasi, disfungsi haid, ensefalopati



Vinkristin



reaksi lokal pada ekstravasasi



neuropati perifer, kebotakan, depresi sumsum tulang ringan, konstipasi ,ileus paralitik,nyeri rahang,gangguan sekresi ADH



Fluorourasil



mual,muntah,diare,reaksi hipersensitivitas



ulkus oral dan gastrointestinal, depresi sumsum tulang, diare,kerusakan saraf (otak kecil),aritmia jantung, angina pektoris, kebotakan, hiperpigmentasi, eritrodisplasia konjungtivitis, gagal jantung



muntah, mual, reaksi anafilaksis



kerusakan ginjal,ototoksisitas,depresisumsum tulang, hemolisis, hipomagnesemia, neuropati perifer, hipokalsemia, hipokalemia, penyakit Raynaud, sterilitas, teratogenesis



mual, muntah, nekrosis jaringan, demam



depresi sumsum tulang (kumulatif), stomatitis, kebotakan,toksisitas paru akut, fibrosisparu, toksisitas hati, toksisitas ginjal, amenorea, sterilitas sindrom hemolitik-uremia, kalsifikasi kandung kemih



Sitarabin



mual, muntah, diare, reaksi anafilaktik



depresi sumsum tulang, konjungtivitis, megaloblastosis, ulserasi ora1,kerusakan hati,demam, edema paru, neurotoksisitas sentral, perifer pada dosis tinggi,rabdomiolisis, pankreatitis (bila digunakan bersama asparaginase)



Etoposid



mual, muntah, diare, demam, hipotensi, reaksi alergi



depresi sumsum tulang, kebotakan, neuropati perifer, mukositis, kerusakan hati pada dosis tinggi



Sisplatin



Mitomisin



Perlu ditekankan bahwa netropenia pada kanker tidak sama dengan netropenia pads keadaan lain seperti demam tifoid, malnutrisi dan anemia aplastik. Pada kanker terjadi produksi sitokin berlebihan yang menekan respons imun tubuh. Infeksi yang acapkali terdapat pada granulopenia amat luas mulai dari ginggivitis, faringitis, esofagitis, pneumonia, furunkulosis, karbunkel, infeksi perianal dll. Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur, atau protozoa.



Gangguan respons imun telah terjadi sejak amat dini pada pasien kanker. Gangguan respons imun pada pasienpasien ini dapat terjadi pada berbagai lapisan respons imun mulai dari sistem imun yang non spesifik (kulit, muka) sampai dengan yang paling spesifik (limfosit T dan limfosit B). Respons imun spesifik yang berperan dalam upaya mencegah infeksi adalah respons imun selular dan humoral. Di samping berperan dalam eradikasi mikroorganisme, limfosit T juga turut berperan dalam



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



fagositosis oleh makrofag. Penekanan respons imun tubuh yang terjadi akibat sitokin yang dikeluarkan sel kanker sejak awal pertumbuhannya antara lain sebagai berikut, (1) merusak reseptor CD3 limfosit T, (2) menutup reseptor sel T (menghambat interaksi sel T dengan.antigen presenting cells), (3) mengikat FAP (produk sel T sitotoksik) dan menyebabkan kematian sel T. Gangguan respons imun telah terjadi sejak amat dini pada pasien kanker. Gangguan respons imun pada pasienpasien ini dapat terjadi pada berbagai lapisan respons imun mulai dari sistem imun yang nonspesifik (kulit, muka) sampai dengan yang paling spesifik (lirqfosit T dan limfosit B). Infeksi yang terjadi akibat gangguan respons imun selular (spesifik) tidak sama dengan granulopenia. Gangguan limfosit T dapat diakibatkan infeksi bakteri (misalnya: salmonela, mikobakterium), virus (herpes, sitomegalo, varisella), jamur (histoplasma, coccidoides), atau protozoa (toksoplasma, pneumosistis).



lnfeksi oleh Bakteri Gram Negatif Walaupun hanya 30% sepsis pada pasien neutropenia disebabkan oleh bakteri gram negatif namun karena infeksi bakteri gram negatif ini berisiko tinggi menjadi hlminan (terutama bila disebabkan oleh P.aeroginosa) maka pengobatan febris netropenia secara empiris memerlukan antibiotika yang dapat mencakup bakteri gram negatif Bila netropenia berat danlatau diperkirakan akan berlangsung lama maka lebih disarankan memakai kombinasi obat betalaktam dengan aminoglikosid daripada monoterapi. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan pengobatan dengan antibiotika tunggal yaitu dengan seftasidim, sefepim, sefrom, imipenem, meropenem dapat memberi hasil yang setara dengan pemberian antibiotika secara kombinasi. lnfeksi oleh Bakteri Gram Positif Akhir-akhir ini banyak tulisan melaporakan makin menurunnya frekuensi infeksi gram negatif dan sebaliknya main meningkatnya frekuensi oleh bakteri gram positif pada pasien netropenia terutama Staphylococcus epidermidis dan berbagai jenis Streptokokus. Karena Staphylococcus epidermidis acapkali resisten pada bermacam antibiotika, umumnya diperlukan vankomisin dan teikoplanin. Walaupun demikian karena infeksi oleh S.epidermidis biasanya indolen dan mortalitasnya rendah, pemberian antibiotika dapat ditunda sampai ada hasil pemeriksaan mikrobiologis. Lain halnya dengan infeksi oleh streptokokus, dimana mortalitasnya tinggi sehingga kebanyakan penulis menganjurkan penggunaan antibiotika empiris secara profilaksis apabila risiko infeksi streptokokus tinggi.



lnfeksi Jamur Penyebab infeksi pada 5% febris neutropenia adalah jamur. Infeksijamur ini bisa dijumpai bersarna-sama dengan infeksi bakteri. Dalam keadaan demam terjadi infeksi ganda, jamur dan bakteri, sehingga gejala-gejala akibat infeksi jamur acapkali menjadi sulit dideteksi. Infeksijamur akan menunjukkan demam berkepanjangan setelah infeksi bakteri tereradikasi. Atas dasar itu banyak pusat menyarankan pemberian amfoterisin-B (amp-B) pada pasien neutropenia yang demamnya tidak hilang setelah pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari tanpa adanya bakterimia. Perlu diingat makin lama demam bertahan pada pasien neutropenia makin tinggi kemungkinan terjadinya infeksi jamur. lnfeksi Virus Infeksi virus banyak terjadi pada keadaan di mana terdapat imunosupresi di samping netropenia, misalnya pada transplantasi sumsum tulang di mana pasca kemoterapi amat agresif diberikan lagi obat imunosupresi. Walaupun demikian, ha1 ini berbeda dengan infeksi virus herpes simpleks, dimana infeksi sering timbul pada keadaan neutropenia tanpa imunosupresi. Oleh karena itu beberapa pusat memberikan asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama. Infeksi dengan virus sitomegalo dan pneumonitis pada pasien kanker paling sering bermanifestasi sebagai pneumonitis interstisial difus. Infeksi dengan virus sitomegalo ini biasanya timbul setelah pasien tidak lagi berada pada keadaan netropenia namun masih berada pada keadaan imunosupresi berat.



Dikemoterapi Terinfeksi jamur* (%)



RS Cipto Mangunkusumo (1989 - 1991)



RS Kanker Dharmais (1993 1994)



-



RS Kanker Dharmais (1996 - 1997)



34 11 (32.35%)



45 11 (25%)



35 8 (23%)



'Terutama kandida albikans netropenia berat (tingkat 4): leukosit < 1000/mm3



Jenis lnfeksi Jamur Kandidiasis Aspergillosis Lain-lain



Persentase 44 - 80 % 20 - 30 % Jarang



Demam yang disertai gejala panas setelah pasien tidak lagi berada dalam keadaan neutropenia merupakan indikasi untuk melakukan lavase bronkus (bronchoalveolar lavage) dan pemerikaan terhadap Pneumocystis carinii dan virus sitomegalo.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bila ditemukan infeksi paru dihs pada pasien defisiensi imun maka virus sitomegalo dan Pcarinii hams dieradikasi dengan menggunakan gansiklovir bersama-sama dengan kotrimoksasol.



DEMAM PADA KANKER Pada beberapa jenis kanker, demam dapat disebabkan oleh kanker itu sendiri. Kanker yang acapkali disertai demam yang disebabkan oleh metabolisme kanker itu sendiri (noninfeksi) antara lain limfoma (69%), leukemia (17%), dan kanker payudara (+50%). Pada kanker lain keadaan semacam ini relatifjarang terjadi. Kanker yang jarang disertai demam akibat metabolisme sel kankemya sendiri antara lain kanker paru dan melanoma maligna. Demam kanker biasanya dijumpai pada stadium lanjut dan pada kanker yang agresif. Beberapa penelitian memperkirakan sitokin, antara lain interleukin 1 (IL- I), sebagai penyebab demam. Kadang-kadang sukar untuk membedakan apakah demam disebabkan oleh sel kanker itu sendiri atau oleh infeksi. Beberapa gejala dapat digunakan untuk membedakan kedua jenis demam ini. Demam akibat infeksi pada pasien kanker umumnya toksis, menggigil, takikardi, kadang-kadang hipotensi sampai dengan syok. Pasien dengan demam kanker biasanya tidak disertai menggigil maupun takikardi, bahkan acapkali pasien tidak merasa sakit bahkan tidak sadar akan adanya demam. Demam kanker biasanya bersifat intermiten sebaliknya sementara infeksi biasanya tidak. Karena acapkali sulit untuk membedakan demam infeksi dengan demam kanker maka disarankan untuk memberikan obat anti inflamasi untuk membedakan kedua keadaan ini. Dalam keadaan ini dapat diberikan indometasin atau naproksen yang biasanya dapat menurunkan suhu pada demam kanker dalam 12jam, sedang demam infeksi tidak akan turun dengan obat ini.



Demam Berkepanjangan pada Kanker Di samping demam kanker dan demam infeksi, kadangkadang dijumpai demam berkepanjangan setelah neutropenia diatasi dan tidak hilang dengan antibiotika. Keadaan semacam ini biasanya disebabkan oleh infeksi jamur. Infeksi jamur dapat terjadi pada hati, ginjal, organ intraabdomen, maupun dalam paru. Pemeriksaan CT scan akan amat bermanfaat. Biasanya akan terlihat abses kecil pada hati hingga infiltrat pada paru-paru. Hal lain yang dapat menyebabkan demam dalam keadaaan lekosit telah normal adalah infeksi oleh virus (CMV) atau protozoa. Dalam ha1 seperti ini, terutama bila dijumpai gambar infiltrat pada paru dapat diberikan gansiklovir bersama dengan kotrimoksazol.



MASALAH NUTRlSl PADA PASIEN KANKER



Malnutrisi adalah ha1 yang hampir selalu ditemukan pada pasien kanker, bahkan acapkali dipandang sebagai salah satu tanda penting kanker. Setiap ada penurunan berat yang mencolok penyakit yang perlu diingat antara lain kanker. Defisiensi gizi yang paling sering ditemukan pada pasien kanker adalah defisiensi protein dan kalori dengan manifestasi mengecilnya massa otot. Literatur menunjukkan bahwa malnutrisi mempunyai dampak b u d terhadap fungsi imunitas tubuh serta menurunkan toleransi pasien terhadap sitostatika, radiasi dan bedah. Adanya bukti yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara gizi yang buruk dengan respons terhadap pengobatan dan harapan hidup menyebabkan dilakukannya berbagai upaya agresif untuk memperbaiki gizi pasien. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan energi dan nitrogen dari tumor pasien jauh lebih kecil dan ha1 tersebut tidak sesuai dengan penurunan berat badan pasien. Kakeksia yang terjadi tidak dapat diterangkan oleh penggunaan energi untuk metabolisme tumor. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya berbagai zat dalam darah pasien yang berperan dalam penurunan berat si sakit. Sindrom kakeksia kanker adalah suatu keadaan yang ditandai gejala penurunan berat badan, anoreksia, dan mengecilnya massa otot. Berbagai laporan menunjukkan bahwa tak ada hubungan yang konsisten antara berat ringannya sindrom kakeksia kanker dengan stadium penyakit, lamanya sakit maupun jenis histologi. Penyebab kakeksia pada kanker masih belurn jelas benar namun pasti multifaktorial. Penyebab kakeksia pada kanker dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (a)anoreksia karena keganasan, (b) anoreksia karena pengobatan, dan (c)gangguan metabolisme tubuh. Selain mempengaruhi hasil pengobatan, malnutrisi dan kaheksia tidak jarang menyebabkan kematian pasien kanker. Penurunan berat badan sebelum pengobatan dimulai terjadi pada 31-40% pasien kanker payudara, leukemia akut nonlimfoblastik, sarkoma, dan penyakit Hodgkin; 48-61% pada pasien kanker kolon, prostat, dan paru; dan 83-89% pada pasien kanker pankreas dan lambung. Karena pengobatan dengan sitostatika dan radioterapi akan mengurangi nafsu makan, bila tidak ditanggulangi dengan baik, gizi pasien akan menjadi lebih buruk lagi selama pengobatan. Penyebab kurang gizi pada pasien kanker dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu: (1)rendahnya nutrisi yang dikonsumsi pasien, (2) konsumsi bahan nutrisi oleh sel kanker, dan (3) gangguan metabolisme akibat kanker. Gangguan metabolisme yang diakibatkan oleh kanker tidak sama dengan akibat kelaparan seperti terlihat pada tabel 8.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ANOREKSIA KANKER



Kelaparan



Kanker Laniut -



Metabolisme basal Mediator Ureagenesis hati Balans nitrogen negatif Glukoneogenesis Proteolisis otot Sintesis protein hati



normal atau 1



normal atau 1



+ + + +



+++



+++



+++ +++ +++



+



+++



Gizi yang kurang antara lain disebabkan oleh anoreksia, gangguan fungsi traktus gastrointestinal dan kebutuhan yang meningkat. Anoreksia dapat disebabkan oleh gangguan fungsi mengecap dan mencium maupun gangguan fungsi susunan saraf pusat. Tumor dapat mempengaruhi metabolisme tubuh. Beberapa jenis tumor memproduksi hormon yang menyebabkan hipoglikemia. Pasien kanker kurang mampu untuk menggunakan lemak sebagai sumber energi. Tabel 9 menunjukkan bahwa tumor yang beratnya lebih dari 1 kg mengkonsumsi kira-kira 34% dari seluruh asupan makanan. Walaupun etiologi kakeksia kanker belum diketahui benar namun banyak data menunjukkan peranan berbagai sitokin terhadap terjadinya kakeksia kanker. Penemuanpenemuan ini mambantu upaya mencari jawaban mengapa begitu sulit menaikkan berat badan pasien dengan kaheksia kanker walaupun dengan pemberian nutrisi yang agresif sekalipun. Penelitian membuktikan bahwa pasien tanpa penurunan berat badan memiliki harapan hidup lebih baik daripada pasien dengan penurunan berat badan yang diobati dengan pengobatan yang sama. Seperti telah dikemukakan, berbagai laporan menunjukkan bahwa pemberian nutrisi agresif paling banyak hanya meningkatkan kadar air dan lemak pada tubuh pasien kanker. Hebatnya penurunan berat badan yang dapat disebabkan oleh sel kanker yang nota bene beratnya amat jarang melebihi 1-2% dari berat badan pasien menunjukkan adanya peran berbagai senyawa dalam plasma yang berperan terhadap terjadinya kaheksia tersebut.



Ukuran Tumor



% Berat Badan*



100 g 500 g 1 kg 1 3 kg BB = 60 kg A. 1200 kalorilhari B. 2800 kalorilhari



0.1 % 0.8 % 1.6 % 2,5 %



% Asupan MakananlHari A B 3,4 17,O 34,O 51 ,O



1,45 7,3 14,5 21,9



Walaupun anoreksia hampir selalu dijumpai pada kanker stadium lanjut, namun keadaan anoreksia juga acapkali ditemukan pada stadium dini. Anoreksia kanker tidak hanya ditemukan pada kanker saluran cerna namun juga pada kanker dari organ yang jauh letaknya dari saluran cerna. Mekanisme terjadinya belum jelas benar. Beberapa kemungkinan yang dipikirkan sebagai penyebabnya, antara lain (1)efek lokal dari tumor, (2)gangguan pada cita rasa, (3)gangguan fungsi hipotalamus, dan (4)efek dari pengobatan



ANOREKSIAAKIBAT PENGOBATAN Anoreksia akibat sitostatika telah lama dikenal. Selain anoreksia, sitostatika juga menyebabkan muntah stomatitis dan gangguan fungsi saluran cerna, yang antara lain disebabkan atrofi mukosa saluran cerna. Radiasi menyebabkan atrofi mukosa mulut yang kemudian menyebabkan hilangnya fungsi pengecap mulut. Demam pada paslen kanker non-netropenla



Obat dan transfusi Kultur darah + bahan lainnya += evaluasi penyebab demam. Bila sepsis antibiotik spektrum luas. Bila tidak sepsis "waif & see" + obat kanker



* FUO : Febris of unknown origin



CT scan bila perlu beri obat anti jamur + gansiklovir + kotrimoksasd



BAL : Bmncho- alveolar lavage



Gambar 1. Algoritrne penatalaksanaan dernam pada pasien kanker



KAKEKSIA AKlBAT GANGGUAN METABOLISME TUBUH Kaheksia kanker memiliki tanda-tanda khusus (Tabel 8). Penelitian pada 200 pasien kanker dengan malnutrisi melaporkan bahwa metabolisme tubuh yang normal, menurun, dan meningkat didapat pada masing-masing 4 1 %, 33%, dan 25% pasien. Peneliti tersebut menemukan bahwa penurunan berat badan tetap terjadi walaupun metabolisme basalnya normal. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa metabolisme protein meningkat 50% pada pasien kanker walaupun tak ada perubahan pada pemakaian energi basal.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Metabolisme glukosa pada pasien kanker abnormal. Beberapa peneliti dapat menunjukkan bahwa glukoneogenesis meningkat pada pasien dengan kanker. Pasien dengan tumor yang besar bahkan tidak mampu menekan glukoneogenesis pada pasien kanker yang mendapat infus glukosa; keadaan seperti yang biasa terlihat pada pasien dengan resistensi insulin. Mungkin reseptor P-pankreas menjadi kurang sensitif terhadap rangsangan ringan untuk memproduksi insulin. Karena insulin berperan penting dalam anabolisme jaringan maka keadaan yang dikemukakan tersebut memegang peranan paling penting dalam proses terjadinya pengecilan massa otot pasien. Berbagai laporan menunjukkan berbagai sitokin dan polipeptida yang terbentuk dalam tubuh pasien kanker berperan penting terhadap berbagai gangguan metabolisme yang terjadi, yaitu (1) anoreksia, (2) stimulasi metabolisme basal, (3) stimulasi konsumsi glukosa, (4) mobilisasi cadangan lemak dan cadangan protein, (5) penurunan aktivitas enzim adipocyte lipoprotein, (6) meningkatkan pelepasan asam amino otot, dan (7)meningkatkan aktivitas transportasi asam amino hati. Sitokin yang berperan dalam terjadinya gangguan metabolisme pasien kanker adalah antara lain Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL). Penelitian menunjukkan bahwa berbagai sitokin tersebut tidak hanya diproduksi oleh sel-sel yang berperan dalam respons imunitas tubuh namun juga oleh sel-sel kanker tersebut (autokrin). Percobaan binatang yang disuntik dengan TNF menunjukkan bahwa TNF dapat menimbulkan hiperglikemia dalam waktu satu jam setelah penyuntikan. Kenaikan glukosa darah ini ternyata disertai dengan kenaikan kadar glukagon, ACTH, kortikosteron dan epinefrin. Percobaan lain yaitu dengan cara inkubasi sel adenokortikol dengan TNF ternyata dapat merangsang sekresi kortisol seperti ACTH. Berbagai percobaan telah membuktikan bahwa IL-1 dapat menyebabkan hiperglikemia seperti TNE Peneliti lain dapat menunjukkan bahwa bersama dengan keadaan hiperglikemia tersebut terjadi konsumsi glukosa berlebihan oleh otot. Penyuntikan IL-lb merangsang sekresi insulin oleh sel-sel Langerhans. Penyuntikan TNF pada binatang percobaan yang terpapar dengan 2-deoksiglukosa mengakibatkan uptake glukosa meningkat 80-100% pada hati, limpa dan ginjal. Uptake di kulit meningkat 60%, paru-paru 30-40 %, ileus 30-40%, dan diafragma 150% (tertinggi). Sedangkan pada otot dan kulit tak ada kenaikan uptake glukosa.



GANGGUAN METABOLISME PROTEIN Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari efek sitokin terhadap metabolisme protein otot pada pasien



Substrat Air



Lemak



Karbohidrat Protein



Parameter Klinis Cairan tubuh Balans energi Energi cadangan Massa lemak tubuh Aktivitas LPL Penghancuran lemak Kadar lipid serum Glokuneogenesis Resistensi terhadap insulin Konsumsi glukosa Massa otot Proteolisis otot Pelepasan asam amino otot Sintesis protein hati Transportasi asam amino hepat Balans nitrogen



meningkat negatif berkurang berkurang meningkat meningkat meningkat meningkat ada meningkat mengecil meningkat meningkat meningkat meningkat negatif



kanker dan menunjukkan bahwa penyuntikan TNF dan IL1 pada binatang percobaan akan menyebabkan degradasi protein otot. Sungguhpun demikian penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan antibodi untuk menghambat kerja IL- 1 tidak menghambat degradasi protein otot. Hal tersebut menimbulkan pemikiran adanya mediator lain yang berperan dalam cara kerja sitokin. TNF tidakl kurang mempengaruhi metabolisme, TNF hanya meningkatkan degradasi oleh kortikosteroid, yang dirangsang produksinya oleh TNF. Para peneliti telah menunjukkan bahwa TNF meningkatkan transportasi asam amino hati. Para peneliti telah dapat pula menunjukkan bahwa antibodi anti TNF dapat mengurangi transportasi asam amino hati. Interleukin-b bersama-sama glukokortikoid juga dapat menghambat transportasi asam amino hati. Glutamin adalah asam amino yang paling banyak diselidiki pada pasien kanker. Hal ini disebabkan oleh karena (a) glutamin adalah sumber energi utama pada berbagai kanker, (b) glutamin adalah asam amino manusia yang paling banyak jumlahnya dan bentuk cadangannya amat labil, (c) glutamin adalah asam amino yang paling banyak digunakan pada mitokondria sel kanker. Konsumsi glutamin oleh jaringan kanker dapat mencapai 50% atau lebih. Jumlah ini lebih besar dari konsumsi organ tubuh yang manapun. Kadar glutamin yang rendah dapat merupakan mediator poliolisis dalam tubuh. Kadar glutamin terus menurun walaupun sebaliknya pelepasan glutamin oleh otot makin meningkat. Penelitian pada binatang percobaan yang menderita sarkoma methylcholantherene menunjukkan (a) penggunaan glutamin oleh jaringan yang melebihi pelepasan glutamin oleh otot (b) adanya peningkatan penggunaan glutamin oleh hati (c) di samping penggunaan oleh sel tumor



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



GANGGUAN METABOLISME LEMAK



Berbagai penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya cadangan lemak pada pasien kanker diakibatkan oleh kemampuan TNF dan IL- 1 memobilisasi cadangan lemak. Penyuntikan TNF pada binatang percobaan mengakibatkan kenaikan lemak trigliserid dalam waktu 2 jam. Penyuntikan IL-b dan TNF menurunkan aktivitas enzim lipoprotein lipase jaringan adiposa. Berbagai percobaan juga menunjukkan kenaikan kadar trigliserid setelah injeksi TNF disebabkan oleh stimulasi sekresi lipid oleh jaringan lemak.



PEMBERIAN NUTRlSl SUPORTIF PADA PASIEN KANKER Ada beberapa kriteria yang dipakai sebagai landasan pengobatan nutrisi suportif pada pasien kanker, antara lain: bila pasien tidak marnpu untuk mengkonsumsi 1000 kalori sehari, bila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan pasien sebelum sakit, kadar albumin serum kurang dari 3,5 g%, kadar transferin serum menurun, ada tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh. Kebutuhan kalori pada seorang pasien dapat dihitung sebagaimana akan diterangkan kemudian. Nutrisi suportif ini dapat diberikan secara enteral atau parenteral bergantung pada keadaan pasien. Kebutuhan kalori seorang pasien kanker adalah kebutuhan kalori basal ditambah 30-60% kalori basal. Kalori basal : Laki-laki 27-30 kaVkg BB idealkari *. Perempuan 23-26 kalkg BB idealhari Kalori tarnbahan : Aktivitas sehari-hari: 10%-30% kalori basal Keadaan hiperkatabolik: - ukuran tumor; 0-7% kalori basal - infeksi, sepsis; 10-15% kalori basal Kebutuhan protein adalah 0,6-0,s grkg berat badan ideal per hari. Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan 0,5 per kg berat badan ideal per hari. Pengobatan nutrisi suportif dapat diberikan dengan dua cara, yaitu: enteral melalui saluran cerna parenteral melalui pembuluh darah balik Apabila tidak terdapat gangguan faal absorpsi makanan dalam saluran cerna, maka disarankan untuk memberikan bahan nutrisi melalui saluran cerna. Bila tidak mungkin memberikan bahan makanan langsung melalui mulut, maka dapat digunakan pipa gastrostomi atau jejunostomi.



Pada pasien kanker acapkali terdapat gangguan absorpsi bahan nucrisi sehingga harus diberikan nutrisi parenteral. Bahan makanan langsung dimasukkan ke aliran pembuluh darah balik melalui kateter. Karena bahan nutrisi dapat menyebabkan iritasi pada dinding pembuluh darah vena, maka apabila diperlukan pemberian nutrisi parenteral untuk jangka panjang atau berulang-ulang, cairan nutrisi hams dimasukkan ke dalam pembuluh vena yang cukup besar. Pada umurnnya dipilih vena subklavia sebagai tempat masuknya kateter. Berbagai penelitian menganjurkan untuk tetap berusaha memberikan makanan melalui saluran cerna. Dengan kata lain pemberian makan melalui saluran cerna tetap merupakan prioritas utama pada pasien kanker. Hal ini disebabkan alasan sebagai berikut : (1). memelihara saluran cerna, (2).memelihara aktivitas fisik dan enzim saluran cerna, (3).mempertahankan peranan sistim imunitas saluran cerna, (4). mempertahankan fungsi mukosa sebagai barier, (5). memelihara keutuhan keseimbangan flora usus, (6). meningkatkan hasil pengobatan kemoterapi dan radioterapi



Nyeri Kanker umumnya merupakan nyeri kronik. Penatalaksanaan nyeri kanker agak berbeda dengan nyeri lain, memerlukan pengetahuan yang perlu dipelajari dengan baik, yang meliputi penilaian patofisiologi nyeri, pemakaian obat yang sesuai dengan tingkatan nyeri serta antisipasi efek samping obat nyeri.



Patofisiologi Nyeri Secara garis besar dan berhubungan dengan pengobatan nyeri, nyeri dibagi atas 3 kelompok: nyeri somatik, termasuk disini nyeri tulang nyeri viseral, nyeri pada organ dalam seperti hepatoma, kanker pankreas nyeri neurogenik, yang berhubungan dengan kerusakan saraf Pada kenyataan sehari-hari, sering ditemukan nyeri tersebut merupakan gabungan dari ketiga ha1 di atas. Tingkatan Nyeri Untuk memudahkan dalam penilaian nyeri, maka dibuat alat bantu untuk menilai nyeri yang sering dipakai adalah Visual Analog Scale (VAS). VAS merupakan derajat tingkatan angka dari 1 sampai 10, dibagi 3 kelompok besar yaitu: Nyeri ringan, VAS 1-3 Nyeri sedang, VAS 4-6 Nyeri berat, VAS 7- 10 Pembagian ini dibuat, agar memudahkan dalam menentukan pengobatan nyeri.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1493



PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 10 C M VISUAL ANALOG SCALE (VAS)



1



~ i d a ada k nveri



Nye" Maksimal



(



Garnbar 2. Skala penilaian derajat nyeri



Pedoman Pengobatan Nyeri Pedolnan pengobatan nyeri kanker 4 ang sering digunakan dan mudah pemakaiannya adalah Step Ladder f i r Puin. Pedoman ini sangat praktis dan mudah dimengerti, sehingga Badan Kesehatan Dunia, WHO, menganjurkan agar pedoman ini dipakai dalam penatalaksanan nyeri kanker.



Gambar 3. Tiga langkah pengobatan nyeri kanker



membuat pedotnan yank! bisa dipakai untuk mengobati pasien kanker dengan nyeri. Pedoman ini antara lain, sebagai berikut. Oral. Sebaiknya obat yang diberikan secara oral, karena sangat rnemudahkan dan tidak tergantung kepada orang lain. Step ladder grridunce Pemberian obat nyeri berdasarkan pedoman tinggi rendahnya rasa nycri Aroundtheclock. Pemberian obat nyeri hams tepat waktu, misalnya setiap 12 jam, tnaka jika pasien tidur pada jam makan obat, pasien harus dibangunkan, sehingga pengaturan jam makan obat harus diperhitungkan dengan jarn tidur pasien. Individualistik. Pengobatan nyeri disesuaikan dengan keadaan pasien. Walaupun ada pedo~nanumum, namun setiap pasien diberlakukan secara individual artinya satu



pasien dengan pasien yang lainnya belum tentu mendapat cara pengobatan yang sama, setiap pasien mempunyai kekhasan masing-masing. Attention to detail. Harus selalu mempertahankan hal-ha1 kecil yang akan mempengaruhi nyeri dan hasil pengobatan. Penilaian nyeri merupakan dasar utama pengobatan nyeri kanker. Penilaian ini dilakukan berulang kali sesuai kondisi saat i tit. Sesuai dengan pedonian WHO, jika derajat nyeri yang ringan dengan nilai VAS 1-3 maka dapat diberikan obat golongan asetominofen, dengan dosis maksimal 3 gram per hari. OAINS. Hal yang sangat menarik akhir-akhir ini adalah OAINS golongan COX-2 seperti c,elrco.rih di samping dipakai untuk anti nyeri terutalna nyeri tulang. Obat ini juga bernianfaat sebagai pencegahanianti kanker yang bekerja sebagai anti angiogenesis yang sudah dilaporkan pada kanker pay udara. Jika lnasih dirasabn nyeri dengan obat di atas atau dari a%al sudah diketahui derajat nyeri sedang (VAS 4-6), maka selain obat di atas dapat ditambahkan opioid ringan sepel-ti kodein. Dosis maksimal yang diberikan 6 kali 30 mg. Akhir-akhir ini sering juga dipakai tramadol namun laporan untuk pemakaian jangka lama belu~nada, khusus untuk kanker dosis maksimal600 mglhari. Jika masih nyeri atau dari awal sudah termasuk nyeri berat (VAS 7-10), maka diberikan opiod, golongan mortin, dan seharusnya dalam 24 jam nyeri sudah harus terkendali dengan baik. Pemberian morfin dapat diberikan dengan inisial bolus dilanjutkan derigan infils drip dengan dosis yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dosis maksimal morfin tidak ada, artinya selarna tidak ada efek samping yang mengganggu, dosis morfin bisa dinaikkan. Walaupun tidak ada dosis maksimal morfin, namun beberapa ha1 yang perlu diperhatikan adalali, setiap pemberian mortin hari~sdiikuti oleh peniberian laksan, jangan rnenunggu sampai tilnbul konstipasi, karena akan menyulitkan dalam penatalaksanaan konstipasi tersebut. Efek ketergantungan boleh dikatakan tidak ada jika diberikan sesuai pedoman. Efek rnengantuk sangat individual. Morfin yang tersedia di pasaran di Indonesia adalah: Morfin anipul. Obat ini dberikan untuk nyeri hebat dan beker-ja cepat, dapat diberikan bol~ispelan (biasanya 2,5 mg) Morfin rnrn~c~clrtrtc~. Obat ini diberikan 4-6 kali per hari, dosis disesuaikan keperluan, biasanya dipakai pada awal pengobatan rnortin atau setelah infils morfin. Agar mudah i~ntukpen~aturantitrasi dosis, obat ini bisa diger~lsatau dibelah. Rclemcd Tuhlet). Obat ini MST (hlotphint. Slot~~iiled bekerja selarna 12 jam, sehingga biasanya diberikan 2 kali per hari, obat ini tidak boleh dibelah atau digerus karena efek lepas lambatnya akan hilang sementara harganya relatif inahal.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Fentanil (Transdermal Patch). Obat ini agak berbeda dengan golongan opioid lain dalam bentuk kemasan, ia dipakai ditempel pada kulit (patch) clan lama kerja efektif 72 jam. Obat ini dilepaskan secara lambat dan mulai bekerja setelah 12-17 jam, sehingga dipakai sebagai terapi pemeliharaan setelah nyeri terkontrol dengan morfin yang lain. Obat ini biasanya ditempel pada dinding dada.



berupa ansietas dan depresi. Gangguan ini sering terabaikan dan perhatian terhadap ha1 ini sering baru dibicarakan jika sudah ada gejala psikis yang sangat berat untuk menerima kondisi ini. Sesuai dengan prinsip umum bahwa pengobatan kanker adalahn multidisiplin, sebaiknya penatalaksanaan masalah ini bekerja sama dengan psikiater atau ahli psikosomatik.



MASALAH NEUROLOGIK MASALAH PERDARAHAN DAN KOAGULASI Masalah perdarahan merupakan masalah yang cukup merepotkan pada kanker, selain karena pertumbuhan sel kanker yang berupa ulseratif atau eksfoliatif yang mudah berdarah pada permukaan, juga sering didapatkan perdarahan di saluran cerna dan keganasan lain yang memerlukan transhsi darah. Kanker yang banyak disertai trombosis adalah antara lain pankreas, lambung, usus, ovarium, payudara, dan paru. Masalah koagulasi akhir-akhir ini berkembang pesat sekali, hubungan kanker stadium lanjut dengan kanker terutama yang berhubungan dengan hormop seperti kanker payudara mempunyai hubungan yang erat, dan tidak jarang ditemukan gambaran hiperkoagulasi pada pemeriksaan hemostasis dan sebagian kecil juga dilaporkan trombosis vena dalam pada beberapa pasien. Koagulasi intravaskulardiseminata (KID) tidak j arang ditemukan pada penyakit keganasan dan memerlukan suatu pemeriksaan yang lebih baik. Samuel dkk., melaporkan bahwa hiperkoagulasi yang disertai trombosis banyak ditemukan pada pasien kanker. Hiperkoagulasi pada pasien kanker merupakan akibat polah sel kanker maupun sebagai akibat pemberian kemoterapi. Para peneliti beranggapan bahwa fibrin yang terbentuk pada keadaan hiperkoagulasi dapat meliputi sel kanker agar tidak dikenal oleh sistem imun tubuh kita. Di samping itu penelitian menunjukkan bahwa fibrin dapat merangsang sel kanker untuk angiogenesis yang diperlukan pada metastasis. Karena itu pemeriksaan hemostasis harus dilakukan pada pasien kanker dan pasien yang menderita hiperkoagulasi perlu mendapat antikoagulan baik oral (warfarin) atau injeksi (heparin atau heparin berberat molekul rendah). Mousa, melaporkan bahwa heparin menghambat angiogenesis dengan mengikat promotor angiogenesis yaitu Fibroblast Growth Factors dan Vascular Endothelial Growth Factors.



GANGGUAN PSlKlATRlK Pada umumnya penyakit kronik yang tidak sembuh akan mempengaruhi kondisi psikis seseorang, yang dapat



Ada beberapa gangguan neurologik yang cukup mengganggu seperti plegia, tic facialis, dll. yang memerlukan penanganan oleh neurolog.



MASALAH ANEMIA DAN DEPRESI SUMSUM TULANG Fatigue yang dihubungkan dengan anemia, merupakan masalah yang mengganggu kualitas hidup pasien. Pemberian eritropoietin akhir-akhir ini menjadi pilihan untuk mengatasi ha1 ini. Obat ini tergolong mahal sehingga pemakaian obat ini hams dipertimbangkan sesuai asas manfaat. Anemia amat berpengaruh terhadap hasil pengobatan pasien kanker. Caro dkk., melaporkan bahwa anemia meningkatkan risiko kematian pada pasien kanker dengan peningkatan sebesar 65%. Dampak langsung sel kanker terhadap terjadinya anemia adalah melalui produksi TNFa dan IL-1 oleh sel kanker. Kedua sitokin tersebut menyebabkan sumsum tulang menjadi kurang sensitif terhadap eritropoeitin, sedangkan eritrosit yang terbentuk mempunyai umur (lifespan) lebih pendek daripada eritrosit orang normal, ha1 mana menambah risiko anemia pada pasien kanker. Di samping itu gangguan metabolisme (metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak) menambah risiko terjadinya anemia pada pasien kanker. Dunst dkk., telah melaporkan hubungan anemia pada pasien kanker dengan kadar VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). Diperkirakan bahwa hipoksia akibat anemia dapat merangsang produksi VEGF oleh sel endotel. Sebaliknya VEGF amat diperlukan oleh sel kanker untuk angiogenesis saat metastasis Oleh karena itu kadar VEGF acapkali digunakan sebagai tanda agresifitas sel kanker pasien. Di samping hal-ha1 di atas, leukopenia dan trombopenia akibat kanker itu sendiri atau akibat pengobatan dapat mengakibatkan infeksi fatal dan perdarahan yang dapat berpengaruh buruk terhadap prognosis dan hasil pengobatan pasien. Dampak lain dari anemia yaitu fatigue, nafas pendek, gangguan keseimbangan, depresi, semuanya amat berpengaruh terhadap hasil pengobatan. Perlu diingat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENCOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bahwa anemia gravis dapat menyebabkan gaga1 jantung yang dapat fatal.



MEMPERTAHANKAN INTEGRITAS TULANG



Beberapa jenis kanker misalnya prostat dan payudara mudah bermetastasis ke tulang. Metastasis ke tulang akan menyebabkan rasa sakit dan risiko patah tulang. Sel kanker mengeluarkan berbagai sitokin antara lain IL-6 yang dapat menyebabkan osteoporosis. Sebaliknya osteoporosis akan menyebabkan tulang memproduksi TGF-a yang dapat merangsang pertumbuhan sel tumor, suatu lingkaran setan. Obat-obat golongan bifosfonat seperti Bonefos, Aredia, Zometa, Actonel dapat menghambat lingkaran setan ini. Obat-obat ini perlu disertai bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan tulang seperti Ca, Mg, vitamin D. Integritas tulang perlu dievaluasi secara periodik dengan quantitative computerized tomography bone mineral bone density stud' (QCT). Disarankan pemeriksaan ini dilakukan sekali setahun.



MENCEGAH DAN MENGHAMBAT ENZlM SIKLOOKSIGENASE (COX-2)



Makanan yang kita makan memegang peranan penting dalam terjadinya maupun progesivitas penyakit kanker. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah lemak jenuh dan tidak jenuh jamak yang dikonsumsi dan lemak "berbahaya" yang diproduksi dalam tubuh. Yang berperan penting adalah jalur metabolisme asam lemak omega-6 menuju salah satu jalur, di homo gamma linoleic acid (DGLA) atau asam arakidonik. Jalur asam arakidonik adalah jalur yang merugikan tubuh. Enzim yang berperan penting dalam jalur ini adalah enzim siklooksigenase (COX-2) yang menghasilkan pembentukan prostaglandin E2 (PGE-2). Dalam keadaan normal COX-2 dibutuhkan untuk berbagai metabolisme di otak, ginjal dan respons iman. Bila terdapat dalam jumlah berlebihan maka COX-2 akan berperan penting dalam berbagai jalur metabolisme yang menguntungkan sel kanker yaitu jalur angiogenesis, jalur proliferasi sel kanker dan pembentukan prostaglandin berlebihan. Sheeban dkk., melaporkan bahwa hasil penelitian epidemiologi selama 9,4 tahun menunjukkan pasien kanker kolon yang disertai kadar enzim COX-2 tinggi berada dalam stadium yang lebih lanjut, ukuran tumor yang lebih besar dan harapan hidup yang lebih pendek. Knorr, menunjukkan bahwa konsumsi aspirin (inhibitor COX-2) dapat menurunkan risiko terjadinya kanker kolon. Karena itu penggunaan obat anti enzim COX-2 perlu diupayakan, tentu saja secara tepat guna dan aman.



UPAYA MENEKAN AKTlVlTAS GEN RAS



Protein gen ras memegang peranan penting dalam regulasi proliferasi sel. Protein gen ras memegang peranan kunci dalam ha1 integritas penerusan sinyal-sinyal intra sel yang mengatur siklus sel dan proliferasi sel. Mutasi dari salah satu dari tiga kelompok gen Ras (HRas, N-Ras, K-Ras) akan mengakibatkan peningkatan tingkat proliferasi sel. Hal semacam ini ditemukan pada 3040% kanker pada manusia antara lain pankreas, kolon, tiroid, paru, hati, melanoma, dan leukemia mielositik akut. Protein Ras berperan sebagai protein yang meneruskan sinyal-sinyal intra sel dalam alur sinyal yang memerintahkan sel untuk membelah diri. Apabila ada rangsangan dari luar pada dinding sel, untuk membelah diri, maka alur penerusan sinyal ini akan menjadi aktif. Sebaliknya apabila tidak ada rangsangan maka protein Ras akan berada pada keadaan non-aktif. Apabila ada mutasi gen Ras maka protein ekspresi gen abnormal ini akan tetap berada dalam keadaan aktif. Akibatnya terjadi aktivasi alur yang abnormal yang memberikan instruksi bermitosis terus menerus. Agar dapat mengkode protein Ras yang gen Ras harus mengalami proses maturasi. Proses maturasi ini terjadi melalui beberapa tahap, yang terpenting adalah tahap farnesilasi. Enzim yang berperan dalam proses dalam proses farnesilasi adalah farnesyl transferase. Penelitian menunjukkan bahwa minyak ikan dan obat penurun kolesterol (lovastatin, simvastatin, pravastatin) menurunkan kadar 'yarnesyfated Ras protein".



MASALAH GANGGUAN FAAL GINJAL, HATI DAN JANTUNG



Pencegahan, deteksi dini, dan, jika ada, penatalaksanaan terhadap masalah ini dilakukan sebelum setiap kali pemberian, selama pemberian dan pasca pemberian tiap siklus kemoterapi dengan cara pemeriksaan laboratorium, menghindari obat yang toksik terhadap organ tersebut, serta mengatasi kelainan secepat mungkin bila terjadi.



REFERENSI Abramowicz M. 1991.Drugs of choice for cancer chemotherapy. The Medical Letter on Drugs and theurapeutics 33: 21-8. Adachi 0,Kawsai T, Takeda, et al. 1998. Targeted disruption of the MyD88 gene results in loss of IL-l and IL-18-medicated function. Immnunity; 9:143-50. Bakemeir RF, Qazi R. 1993. Basic concepts of cancer chemotherapy and principles of medical oncology. In: P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A multidisciplinary approach for physicians and students. 71h ed. Philadelphia: WB Saunders; 105-16. Balducci L. Estabilshment of guidelines for managing older cancer patients [online]. Available: http://www.medscape.com/ viewarticle/416482-15 [21 S.021.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGIMEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Body JJ, Lossignol D, Ronson A. 1997. The concept of rehabilitation of cancer patients. Curr Opin Oncol; 9: 332-40. Body JJ. 1999. The syndrome of anorexia-cachexia. Curr Opin Oncol; l I: 255-60. Broaddus VC, Boylan AM, Hoeffel JM, et al. 1994. Neutralization of 11-8 inhibits neutrophill influx in a rabbit model of endotoxin-induced pleurisy. J Immunol; 152: 2960-7. Brody JE. 1991. Aspirin linked to aid in colon cancer fight. New York Times Dec 12, 141(48,812), A12. Bruera E, Fainsinger RL. 1993. Clinical management of cachexia and anorexia. In: Doyle D, Hanke G, McDonald N, eds. Oxford textbook of palliative medicine. Oxford: Oxford University Press; 330-6. Cafagna D, Ponte E. 1997. Pulmonary embolism of paraneoplastic origin. Minerva Med; 88(12): 523-30. Caro JJ, et al. 2001. Anemia as an independent prognostic factor for survival in patients with cancer: a systemic, quantitative review. Cancer; 91(12):2214-21. Caroline NL. 1996. Nutrition and hydration. In: Waller A, Caroline NL. Handbook of palliative care in cancer. Boston: ButtenvorthHeinemann; 45-57. Cazzola M. 2000. Mechanisms of anaemia in patients with malignancy: implications for the clinical use of recombinant human erythropoietin. Med Oncol; 17( Suppl. I): S 1 1-S 16. Cleton FJ. 1995. Chemotherapy : general aspects. In: Peckham M, Pinedo H, Veronesi U, eds. Oxford Texbook of Oncology. Oxford: Oxford University Press; 445-53. DeVita VT Jr. 1993. Principles of chemotherapy. In: DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA. Cancer : Principles and Practice of Oncology. 41h ed. Philadelphia: JB Lippincot; 276-92. Dunst J, et al. 1999. Low hemoglobin is associated with increased serum levels of vascular endothelial growth factor (VEGF) in cancer patients. Does anemia stimulate angiogenesis? Strahlenther Onkol; 175(3): 93-6. Dworzak F, Ferrari P, Gavazzi C, Malorana C, Bozetti F. 1998. Effects if cachexias due to cancer on whole body and skeletal muscle protein turnover. Cancer; 82: 42-7. Eisenberg E, Borsook D, Le Bel AA. 1996. Pain in the terminally ill. In: Borsook D, Le Bel AA, Mc Peek B, eds. The Massachussens General Hospital Handbook of pain management. Boston: Little Brown and Co; 310-25. Ewer MS, Benjamin RS. 1993. Cardial toxicity of antineoplatic therapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 447-52. Foley KM. 1993. Management of cancer pain, supportive care and the quality of life of the cancer patient. In: De Vita V, Hellman S, Rosenberg S, eds. Cancer principle and practice of oncology. 4Ih ed, vol 2. Philadelphia: Lippincott; 2417-37. Freireich EJ. 1993. Principle of combination therapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 69-72. Gibbs JB, Kohl NE, Koblan KS, et al. 1996. Farnesyltransferase inhibitors and anti-ras therapy. Breast Cancer Res Treat; 38(1):75-83. Greco M. 1995. Achievements and obstacles to progress in cancer surgery. In: Peckham M, Pinedo H, Veronesi U, eds. Oxford Texbook of Oncology. Oxford: Oxford University Press; 865I .



Heber D. 1999. Cancer cachexia and anorexia, In: Heber D, ed. Nutritional Oncology. 1" ed, San Diego : Academic Press; 53746.



Henshaw EC, Schloerb P. 1993. Nutrition and the cancer patient, In: Rubin P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A multidisciplinary approach for physicians and students. 7thed. Philadelphia: WB Saunders;; 691-9. Jatoi A, Kumar S, Sloan JA, Nguyen PL. 2000. On appetite and its loss. J Clin Oncol;l8: 2930-2. Kramer ZB, Keller JW, Rubin P. 1993. Oncologic emergencies. In: Rubin P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A multidisciplinary approach for physicians and ~tudents.7'~ ed. Philadelphia: WB Saunders; 147-58. Klastersky J. 1993. Prevention and treatment of infections related to chemotherapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 477-81. Leonard WJ, Depper JM, Grabutree GR, et al, 1984. Molecular cloning and expression of cDNAs for the human interleukin-2 receptor. Nature;3 11: 626-3 1. Lichtman SM. Age-related renal changes [online]. Available: http:/ /www.medscape.com/viewarticle/4 16482-2 [2 1.5.021. Lichtman SM. Age-related toxicity of chemotherapy [online]. Available: http://www.medscape.com/viewarticle/416482-3 [2 1.5.021. Lichtman SM. Age-related toxicity of chemotherapy in women with breast cancer [online]. Available: http://www.medscape.com/ viewarticle/416482-7 [21.5.02]. Lichtman SM. Managing cardiotoxicity related to chemotherapy [online]. Available: http:llwww.medscape.com/viewarticle/ 416482-6 [21.5.02]. Lichtman SM. Managing mucositis related to chemotherapy [online]. Available: http://www.medscape.corn/viewarticle/416482~5 [21.5.02]. Lichtman SM. Managing neutropenia related to chemotherapy [online]. Available: http:llwww.medscape.com/viewarticle/ 41 6482-4 [21.5.02]. Lichtman SM. Prevention of age-related toxicity [online]. Available: http://www.medscape.com/viewarticle/4164825 [21.5.02]. Marks DL, Ling N, Cone RD. 2001. Role of the central melanocortin system in cachexia. Cancer Res; 61: 1432-8. Mosmann TR, Sad S. 1996. The expanding universe of T-cell subsets: T h l , Th2 and more. lmmunol Today;I 7: 138-46. Mousa SA, 2002. Anticoagulants in thrombosis and cancer: the missing link. Semin Thromb Hemost; 28(1):45-52. Muegge K, Williams TM, Kant J, et al. 1989. Interleukin-l costimulatory activity on the interleukin-2 promoter via AP1. Science; 246:249-5 1. Murphy PM, Tiffany HL. 1991. Cloning of complementary DNA encoding a functional human interleukin-8 receptor. Science; 253:1280-3. Noonvati S, Reskodiputro AH. 2003. Peran nutrisi pada keganasan. Simposium HUT RS Kanker Dharmais. Jakarta Prema P, Peethambaran, Charles L. 1997. Management of cancer anorexia and cachexia in supportive care. In: Klastersky J. Cancer-A handbook for oncologist, 2" ed, New York: Marcel Dekker Inc; 297-304. Puccio M, Nathanson L. 1997. The cancer cachexia syndrome. Semin Oncol; 24(3): 277-87. Reksodiputro AH, Atmakusuma D, Prayogo N, Susilowati I, Dunda G 1999. Pengobatan suportif pada pasien kanker. Seminar Upaya Penanggulangan Penyakit Tidak Menular dalam Menyongsong Milenium Ketiga, Jakarta. 4 November. Reksodiputro AH, Prayogo N, Susilowati I, Dunda G, Atmakusuma D. 1999. Pengobatan suportif pada pasien kanker. Seminar Tim Penanggulangan Kanker RS Pelni. Jakarta. 20 November.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1497



PENGOBATAN SUPORTIFPADA PASIEN KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Reksodiputro AH, Sutandio N, Nafrialdi, Yunihastuti E. 2001. Beberapa aspek pengobatan suportif pada pasien kanker. Prosiding Pertemuan llmiah Tahunan 2001 IPD FKUI. Jakarta. Richard A, Jeffrey N. Pathophysiology of cancer cachexia. In: Doyle D, Hanke G, McDonald N, eds. Oxford textbook of palliative medicine. Oxford: Oxford University Press; 316-27. Rosenbaum EH, Rosenbaum I, Andrews A, Spiegel D. 2005. Fifth dimension cancer supportive care [online]. Available: http:/l www.cancersupportivecare.com/5index.html [accessed 16.3.051. Rosenberg SA. 1993. Principles of surgical oncology. In: DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA. Cancer : Principles and Practice of Oncology. 4Ih ed. Philadelphia: JB Lippincot: 238-47. Rougier. 1993. Regional and intracavitary chemotherapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 140-82. Rufie P. 1993. Pulmonary toxicity of antineoplatic agents. Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 453-9. Schmid J, Weismann C. 1987. Induction of mRNA for a serine protease and a beta-thromboglobulin-like protein in mitogenstimulated human leukocytes. J Immunol; 139:250-6. Schroder JM, Mrowietz U, Morita E, Christophers E. 1987. Purification and partial biochemical characterization of human monocyte-derived, neutrophil-activating peptide that lacks interleukin-l activity. J Immunol; 139: 3474-83. Sears B. 1995. The zone: a dietary road map. New York: Harper Collins. Sekido N, Mukaida N, Harada A, et al. 1993. Prevention of luna reperfusion injury in rabbits by a monoclonal antibody against interleukin-8. Nature; 365: 654-7. Sheehan K, Sheahan K, O'Donoghue DP, et al. 1999. The relationship between cyclooxygenase-2-expression and colorectal cancer. JAMA;282(13): 1254-7.



Shornick LP, De Togni P, Mariathasan S, et al. 1993. Mice deficient in IL-l beta manifest impaired contact hypersensitivity to trinitrochlorobenzene. J Exp Med; 183: 1427-36. Smith JW, Longo DL, Alvord WG, et al. 1993. The effects of treatment with interleukin-l alpha on platelet recovery after high-dose carboplatin. N Engl J Med; 328: 756-61. Souba WW. 1997. Nutritional Support. In: DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, eds. Cancer principles & practice of oncology. 5Ih ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 2841-57. Taniguchi T, Matsui H, Fujita T, et al. 1983. Structure and expression of a cloned cDNA for human interleukin-2. Nature;302-5 Tayek JA, 1999. Nutritional and biochemical aspects of the cancer patient. In: Heber D, Blackbum GL, Go VLW, eds. Nutritional Oncology. 1" ed, San Diego: Academic Press; 519-36. Tisdale MJ.1997. Biology of cachexia. J Natl Cancer Inst; 89: 17631773. Vincent P, Schonwetter RS. 2001. Assessment and management of pain in palliative care patients. Cancer Control, JMCC8 (1):1524. Moffit Cancer Center & Research Institute). Von Hoff DD, Hanauskel AR. 1993. Medical Oncology. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 89-90. Walz A, Paveri P, Aschauer H, Baggiolini M. 1987. Purification and amino acid sequencing of NAF, a novel neutrophil-activating factor produced by monocytes. Biochem Biophys Res Commun; 149: 755-61 Wang JM, Su S, Gong W, Oppenheim JJ. 1998. Chemokines, receptors, and their role in cardiovascular pathology. Int J Clin Lab Res; 28:83-90. World Health Organization (WHO). 1998. Cancer pain relief and palliative care. In:. Manual on the prevention and control of common cancers. Manila: WHO Regional Pub; 125-75.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER Dody Ranuhardy



PENDAHULUAN Neutropeni Febril atau demam neutropeni merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan kemoterapi dan dapat memberikan dampak kematian yang sangat besar bagi pasien apabila tidak tertatalaksana dengan baik. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan pasien jatuh ke dalam sepsis, syok septik, dan akhirnya meninggal. Tahun 1969National Cancer Institute USA melaporkan kematian 50% pasien yang mengalami bakteremia Pseudomonas aeruginosa karena keterlambatan pengobatan, fokal infeksi yang tidak terdeteksi, maupun antibiotik yang tidak akurat. Konsep yang dianut pada saat itu adalah tidak memberikan antibiotik sarnpai terbukti bahwa infeksi benarbenar terjadi, demam saja tidaklah cukup. Tetapi dengan adanya laporan di atas menjadi jelas bahwa sebenarnya tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi untuk segera memulai pengobatan secara cepat dan akurat yakni dengan memberikan pengobatan empirik. Pada penelitian 33 pasien kanker yang mengalami sepsis di RSCM dan RS Kanker Dharmais didapatkan 54% meninggal, sebagian besar karena infeksi bakteri gram negatif (55,26%), gram positif (39,47%) dan jamur (5,26%). Kemajuan tatalaksana demam neutropeni akan sangat berpengaruh terhadap kematian yang ditimbulkannya. Pada penelitian 3080 pasien Neutropeni Febril yang dilakukan oleh EORTC (European Organization for Research and Treatment of Cancer) dan IATCG (International Antimicrobial Therapy Cooperative Group) tahun 1997 didapatkan angka mortalitas sebesar 8,7%. Di Indonesia, belum ada data nasional besarnya angka kematian demam neutropeni sementara di RS Kanker Dharmais antara tahun 1999/2000/2002 bervariasi antara 12,5%-38,8 %.



Perbedaan angka kematian tersebut dimungkinkan oleh karena belum tersosialisasikannya strategi baku diagnosis dan tatalaksana demam neutropeni di Indonesia. Selain itu kondisi lingkungan, pola infeksi, keterbatasan fasilitas laboratorium dan dana merupakan kendala yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan angka kematian tersebut.



-



Meninggal Hidup



-



-



Jan Mar 1999



Mei Juli 2000



Jan Des 2002



N 1 7



N 2 7



N 7 11



% 12,5



87,5



% 22,2 77,8



% 38,8 61,2



Catatan : : 37 pasien Jumlah Pasien RllM 2002 Dapat dievaluasi : 18 pasien Tak Dapat dievaluasi : 19 pasien (bukan netropeni, data tak lengkap, dsb)



DEFlNlSl DEMAM NEUTROPENI Demam adalah suhu oral >38"C dua kali pengukuran yang berlangsung lebih dari 1jam atau pada dua kali pengukuran dalam waktu 12jam, atau suhu oral >38,3"C dalam satu kali pengukuran dan tidak didapatkan tanda-tanda non infeksi. Neutropeni adalahjumlah neutrofil (batang dan segmen) kurang dari 500 sel/mm3 dengan kecenderungan turun menuju 500 sel/mm3dalam 2 hari berikutnya. Demam tak dapat diterangkan yakni demam yang tidak disertai tanda klinis infeksi atau tidak ditemukannya infeksi secara mikrobiologis. Demam klinis terbukti infeksi yakni demam dan didapatkan tanda klinis infeksi seperti pneumonia, infeksi kulit atau jaringan lunak, tetapi secara mikrobiologis tidak ditemukan patogen.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1499



NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Infeksi terbukti secara mikrobiologi dengan atau tanpa bakteremia, yakni ditemukannya bakteri pathogen pada tempat infeksi atau ditemukannya bakteri patogen pada kultur darah walaupun pada lokasi infeksi tidak ditemukan. Pengambilan kultur haruslah dapat diyakini dan dipercaya korelasinya.



Pasien dengan kanker akan lebih mudah mendapatkan infeksi dibandingkan dengan non-kanker. Demikian halnya dengan pasien kanker darah akan lebih mudah dan lebih sering mengalami infeksi dibandingkan dengan pasien kanker solid. Pada pasien kanker terutama kanker darah, anemia aplastik dan pasien yang mendapatkan imunosupresan setelah transplantasi sumsum tulang akan mengalami neutropeni yang berkepanjangan, defek pada fagositosis, gangguan sistim imun seluler dan atau humoral. Semua ini akan berdampak pada lebih tingginya kejadian infeksi dan lebih luasnya spektrum infeksi yang terjadi, serta terhadap hasil pengobatan secara keseluruhan. Pada kanker padat, penekanan terhadap sistim imun tidaklah terlalu bermakna tetapi lebih ditekankan pada kerusakan barier anatomik seperti kulit, permukaan mukosa, fenomena obstruksi (misalnya kanker paru-paru, kanker traktus bilier), tindakan operasi, radiasi, penggunaan kateter, prostesis. Walaupun neutropeni akibat kemoterapi terjadi pula kepada pasien kanker padat, biasanya hanya berlangsung singkat dan tidak seperti pada kanker darah sehingga risiko dan kejadian infeksi lebih sedikit dibandingkan dengan kanker darah. Beberapa faktor predisposisi terjadinya infeksi pada pasien kanker adalah sebagai berikut: Neutropenia.Berhubungan dengan pemberian kemoterapi, radiasi, infiltrasi sumsum tulang serta obat-obatan (misalnya ganciclovir). Tidak seperti pada kanker darah, pada kanker solid biasanya fungsi-fungsi netrofil masih normal dan pemberian kemoterapi konvensional jarang mengakibatkan neutropeni yang berat, dan berlangsung kurang dari 1 minggu, oleh karena itu biasanya digolongkan dalam low risk. Kerusakan barier anatomis. Barier anatomis termasuk di antaranya kulit yang intaklutuh, mukosa orofaring, saluran nafas, gastrointesinal dan traktus genitourinarius mempunyai mekanisme pertahanan badan terhadap masuknya mikroorganisme. Pemberian Kemoterapi seringkali menyebabkan kerusakan mukosa, kemudian timbul kolonisasi kuman pada permukaan mukosa tersebut clan akhimya menirnbulkanrisiko kejadian infeksi. Beberapa jenis kemoterapi cenderung menyebabkan mukositis termasuk di antaranya adalah klorambusil, sisplatin, sitarabin (sitosin arabinoside, Ara C), doksorubisin, 5



fluorourasil dan metotreksat. Kerusakan barier mukosa ini juga dapat disebabkan oleh pengobatan radiasi, prosedur operasi, penggunaan kateter, sten, prostesis dan lain lain. Obstruksi. Fenomena obstruksi sering terjadi pada kanker primer maupun kanker metastatis. Pada kanker paru bronkogenik atau juga lesi metastasis paru seringkali menyebabkan obstruksi parsial saluran nafas kemudian terjadinya pneumonia post obstructive. Obstruksi traktus bilier pada pasien kanker hepatobilier dan pankreas seringkali menyebabkan kolangitis. Pada kanker serviks seringkali terjadi obstruksi uretra yang kemudian diikuti oleh infeksi traktus urinarius sedangkan pada kanker prostat dapat terjadi prostatitis. Pada keadaan ini infeksi disebabkan oleh bakteri yang mengadakan kolonisasi pada tempat obstruksi yang biasanya bersifat campuran atau polimikrobial. Tindakan medis. Beberapa tindakan medis seperti operasi, prosedur medis, pengobatan radiasi dan penggunaan kateter termasuk shunt, stents dan prostesis seringkali menyebabkan infeksi. Penggunaan multilumen kateter untuk pemberian transfusi darah atau komponen darah, pemberian kemoterapi, antibiotik dan suportif lain seperti nutrisi juga dapat meningkatkan kejadian infeksi. Kateter urin yang sering dipergunakan pada obstruksi atau inkontinensia urin berisiko untuk terjadinya infeksi traktus urinarius. Pada berbagai kasus kanker otak, seringkali dipergunakan shunt cerebrospinal. Pada saat terjadi infeksi pada pangkalnya akan menimbulkan gejala pusing, perubahan status mental dan meningisimus, sedangkan infeksi pada bagian ujung yakni rongga pleura atau rongga peritoneum dapat menyebabkan pleuritis atau peritonitis. Demikian juga pemasangan prostesis pada pasien-pasien osteosarkoma atau kanker tulang lainnya melalui tindakan operasi, tidak jarang menimbulkan infeksi yang terutama disebabkan oleh kolonisasi bakteri pada kulit. Faktor lain. Banyak kanker solid terjadi pada usia lanjut di mana defisiensi sistim imun terjadi akibat proses penuaan, malnutrisi, dan kakeksia kanker yang akan sangat berpengaruh terhadap kejadian dan beratnya infeksi serta respons pengobatan yang maksimal.



DERAJAT FAKTOR RlSlKO Derajat faktor risiko adalah risiko perburukan keadaan sampai terjadinya ancaman kematian pada pasien didasarkan pada jenis tumor solid atau hematologik, tipe kemoterapi konvensionallagressive, komorbiditas, lamanya neutropeni, ada tidaknya infeksi klinis, dan ada tidaknya tanda-tanda syok. Panduan tatalaksana pemberian antimikroba pada pasien neutropeni febril Jerman tahun 2003 membagi faktor risiko atas 3 kelompok, yakni risiko rendah, risiko menengah, dan risiko tinggi yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



didasarkan atas definisi kelompok risiko dari AGIHO dan MASCC (Multinational Association of Supportive Care in Cancer). Pembagian faktor risiko dari Bakornas Hompedin (Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia) tahun 2004 didasarkan pada jenis tumor solidlhematologi, tipe kemoterapi konvensional intensivelaggresive, komorbiditas, lamanya neutropeni, adanya tanda-tanda klinis infeksi dan adanya tanda-tanda syok sebagai berikut: Risiko rendah - Tumor solid - Kemoterapi konvensional - Tak ada komorbiditas - Neutropeni berlangsung singkat 7 hari - Didapatkan atau tidak didapatkan infeksi klinis - Ada atau tidak didapatkannya tanda-tanda syok Regimen kemoterapi konvensional umumnya tidak menyebabkan neutropeni yang berat walaupun memang pemberian kemoterapi pada kanker solid tergantung pada intensitas dosis yang diberikan. Oleh karena itu kejadian neutropeni febril tidaklah terlalu sering. Angka kejadian demam pada pasien kanker paru jenis sel kecil biasanya tak lebih dari 50%. Kejadian demam pada kanker ovarium yang mendapatkan kemoterapi paclitaxel dengan atau tanpa platinum berkisar 33%),dan pada kanker testis kurang dari 20%. Kemoterapi intensivelaggresive pada pasien kanker hematologi akan memberikan dampak neutropeni yang berat



Rata-Rata Jenis Ca masuk RllM -



-



1. Leukemia akut 2. Lirnforna 3. Ca Ovarium 4. PTG 5. Ca Testis



Hari rawat



dan lama sehingga kejadian neutropeni febril pun akan lebih sering. Pada suatu penelitian retrospektif di University Hospital of Zurich, insidens neutropeni febril pada pasien leukemia akut didapatkan sebesar 86%. Demikian pula halnya denganjenis leukemia, pada AML, rata-rata kejadian neutropeni febril lebih tinggi dibandingkan dengan pada ALL, yakni 6040% berbanding 40-60%. Dalam ha1 larnanya neutropenia, rata-rata pada AML berkisar antara 17-20 hari sedangkan pada ALL berkisar 13- 14 hari.



GAMBARAN KLlNlS NEUTROPENI FEBRIL



DAN



DIAGNOSIS



Hal yang penting dalam diagnosis neutropeni febril adalah adanya demam dan neutropeni sesuai dengan definisi di atas. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pengertian tentang demam tak dapat diterangkan, demam klinis terbukti infeksi, demam terbukti secara mikrobiologis. Pada pasien neutropeni febril, 40-60% demam tak dapat diterangkan, 25-40% demam terbukti secara klinis ataupun mikrobiologis. Sedangkan demarn neoplastik karena tumor lisis berkisar 4 4 % . Pengamatan pasien neutropeni di Ruang Isolasi Imunitas Menurun (RIIM) RS Kanker Dharmais Januari 2002 Sampai Desember 2002 memperlihatkan bahwa hanya 28% (5118) pasien neutropeni febril yang terbukti secara mikrobiologis. Gambaran pasien neutropeni di RIIM RSKD dapat dilihat pada Tabel 2. Pada pasien neutropeni, infeksi dapat teqadi mulai dari saluran cerna atas atau bawah yakni berupa stomatitis, periodontitis, esofagitis, kolitis dan lesi perianal, infeksi saluran pernapasan atas atau bawah berupa pharyngitis, sinusitis, pneumonia, atau bronkopneumonia, serta infeksi kulit oleh karena trauma lokal ataupun kateter vena. Gambaran tempat-tempat terjadinya infeksi pada pasienpasien di RSKD dapat dilihat pada Tabel 3. Selain gambaran klinis tersebut di atas, diperlukan juga pemeriksaan penunjang lain dalam mendiagnosis dan menentukan pengobatan yang akan diberikan antara lain: pemeriksaan radiologis berupa foto toraks, pemeriksaan laboratorium rutin darah tepi, kimia darah, hngsi hati, fungsi ginjal, CRP kuantitatif, laboratorium khusus mikrobiologi yakni kultur darah, urin, faeces, dan swab



Leukosit Nadir



Dengan Febris



Tanpa Febris



299 240 200 300 600



6 4 2 0 0



5 1 0 1 1



Kultur darah



Rasio rneninggallhidup



4 1 ? ? 0



615=1.2 1/3=0.3 012=0 011=O 011=O



-



9,64 11,2 10,5 11,O 8,O



69 42 50 3,O



7,O



Keterangan HKT : Hari Kemoterapi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Fokal lnfeksi



Januari-Maret 1999



MeiJuli 2000



4 1 2 0 0 1 2



1 1 1 1 2 0 5



URTl Bronkopneumonia Stomatitis Gastrointestinal Ulkus pada kulit Flebitis Tidak ditemukan



tenggorok. Ketentuan-ketentuan pengambilan sampel kultur darah sebagai berikut: CNS (Coagulase Negative Staphilococcus) dan corynebacteriumhams 2 kali positif pada sampel darah kultur yang terpisah. Bila hanya sekali positif berarti kontaminasi. Infeksi paru, sampel hams dari BAL (Bronchoalveolar Lavage) atau darah. Sampel dari swab tenggorok, sputum, saliva atau mouth rinse hanya bermakna bila positif pada waktu yang bersamaan dengan terjadinya infiltrat paru. Feses kultur bermakna bila terdapat gejala infeksi abdomen dan 2 kali positif. Pada infeksi berhubungan dengan kateter infus, perlu positif pada 2 tempat yakni kultur darah dan kultur tempat masuknya infeksi. Bakteremia merupakan komplikasi yang paling sering pada pasien neutropenia. Secara klasik, infeksi yang paling sering ditemukan adalah bakteri gram negatif batang. Tetapi kemudian terjadi pergeseran pola kuman ke arah dominasi dari gram positif sebagai akibat dari luasnya pemakaian kateter vena sentral, pemakaian profilaksis antibiotik dengan Kuinolon dan pemberian kemoterapi dosis tinggi yang mencetuskan terjadinya mukositis.



Bakteria Tungal Uji Klinis I II Ill IV V Vlll IX XI XI1 (low risk) XIV (highrisk)



Periode



Jumlah Pasien



% Gram (+)



% Gram



1973-1976 1977-1980 1980-1983 1983-1985 1986-1988 1989-1991 1991-1994 1994-1996 1995-1997 1997-2000



145 111



71 67 59 59 37 31 33 31 59 47



29 23



141



219 213 151 161 199 39 186



(-1



41



41 63 69 67 69 41 53



Di RSCMRSKD sampai dengan tahun 1996 bakteri gram negatif pada pasien sepsis neutropeni febril masih lebih dominan dibandingkan dengan bakteri gram positif yakni 55,26% berbanding 39,47%. Bakteri gram negatif



terbanyak adalah sebagai berikut Esch, coli 15,8% Pseudomonas sp. 15,8% Klabsiella sp. 14,5% Acinetobacter sp. 3,9% Sedangkan bakteri gram positif adalah sebagai berikut: Stvept. viridans 19,7% Staph. epidermis 7,9% Staph. aureus 53% Strept. anhemolyticus 3,9% Pada periode 1990-2000 di seluruh dunia mulai muncul kembali bakteri gram positif yang menakutkan yakni Methycilin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) bahkan strain terakhir yakni GISA (Glicopeptide Intermediate Staphylococcus aureus) di USA dan VRE (Vancomycin Resistant Enterococcus) di Swedia pada tahun 1997. Selain infeksi bakteri gram negatif dan gram positif, infeksijamur juga merupakan masalah penting pada pasien neutropeni febril, bahkan dapat menimbulkan kematian. Bodey dkk. pada tahun 1992 melaporkan ditemukannya infeksi jamur pada 25% pasien leukemi akut yang menjalani otopsi. Permasalahannya adalah sulitnya mendiagnosis dan mengobati infeksi jamur, oleh karena itu diperlukan pengenalan faktor-faktorrisiko, pemberian anti jamur profilaksis dan pengobatan empirik infeksi jamur. Untuk mendiagnosis infeksi jamur gejala dan tandanya seringkali tidak spesifik bahkan tidak ada. Biasanya manifestasi Kandidiasis dapat berupa mukositis, esofagitis, bahkan kadang-kadang berupa opthalmitis dan gastritis walaupun jarang. Manifestasi aspergillosis sering berupa IPA (Invasive Pulmonary Aspergillosis), penyakit Rhinocerebral atau tracheobronchitis obstructive. Sedangkan kriptokokosis manifestasinya dapat berupa meningitis atau pneumonia dan lesi kulit. Beberapa faktor risiko terjadinya infeksi jamur antara lain: neutropeni yang lama dan berat, pemakaian antibiotik spektrum luas, pemakaian kateter vena sentral, penggunaan steroid, gangguan pada sistem imun selular dan penurunan imunoglobulin. Pemeriksaan kultur darah terhadap infeksi jamur jarang sekali berhasil, deteksi antibodi pun sulit unuk diinterpretasi karena serokonversi sering terjadi lambat. Teknik terbaru yang digunakan saat ini adalah deteksi antigenemia untuk aspergillus dengan circulating galactomanan dan manitol/arabinitol untuk kandidosis. Sedangkan teknik lain seperti PCR masih dalam pengembangan. Infeksi virus walaupun jarang dapat terjadi pada pasien leukemia terutama yang menjalani transplantasi. Infeksi dapat disebabkan oleh HSV (Herpes Simplex Virus), VZV (Varicella Zoster Virus), CMV (Cytomegalovirus). Pemeriksaan virus sulit dilakukan walaupun demikian beberapa teknik seperti shell-vial cultures, antigen detection dan PCR dikerjakan pula di negara-negara maju.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1502



ONKOLOCIMEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN PENGOBATAN ANTlMlKROBA



Sebelum dilakukan pemberian kemoterapi, terutama pada pasien dengan intermediate dan high risk, beberapa pusat pengobatan termasuk Indonesia, terlebih dahulu memberikan PAD (Partial Antibiotic Decontamination) dengan tujuan sterilisasi usus atau saluran cerna. Regimen PAD dapat berupa kolistin, neomisin, pipemedik acid ditambah dengan anti jamur profilaksis seperti flukonazol, itrakonazol atau amfoterisin B, atau dapat juga regimen lain seperti kuinolon-siprofloksasin,bahkan yang sederhana dengan dengan kotrimoksazol. Kelemahan dari siprofloksasin sebagai PAD adalah dapat diserap secara sistemik sehingga sering menimbulkan resistensi, sedangkan kelemahan Kotrimoksazol adalah spektrumnya lemah dan sudah banyak dilaporkan resisten. Pada pasien neutropeni febril sangat diperlukan pengobatan empirik sebelum diperoleh hasil kultur mikrobiologi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Adapun beberapa prinsip pengobatan empirik pada neutropeni febril adalah sebagai berikut: Prompt atau secepatnya, karena cepat dan tingginya angka kematian



/



Empirik, yang didasarkan pada surveillance, kondisi pasien dan kondisi setempat. Bakterisidal, lebih dipilih daripada antibiotic bacteriostatic pada keadaan netrofil rendah. Broad spectrum, untuk mencakup semua bakteri potensial patogen. Dalam ha1 pemilihanjenis antibiotik yang akan diberikan terdapat beberapa konsep pengobatan yang hendaknya perlu diperhatikan antara lain adalah: Pemberian monoterapi atau antibiotik kombinasi Antibiotik yang dipilih hams sudah diteliti dan terbukti efektif, terutama untuk spektrum kuman patogen Monoterapi hanya boleh diberikan oleh tim yang berpengalaman, pasien diperiksa secara reguler dan monitoring ketat untuk deteksi dini kegagalan pengobatan, infeksi tambahan, efek samping obat dan resistensi patogen Pola kuman dan pola resistensi kuman terhadap antibiotik di setiap rurnah sakit atau ruang perawatan hams sudah ada sebelum menentukan pilihan antibiotik Protokol pengobatan yang diberikan dapat menggunakan acuan dari IDSA (Infectious Disease Society ofAmerica) 2002 Guidelinesyang membagi pasien



Demam yanp tidal dapat dijelaskan pada pasien dengan risiko rendah



I



piperasilin tazobaktarn karbapenern



Gambar 1. Protokol terapi risiko rendah, rencana pengobatan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



I/



1503



NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ke dalam kategori low risk dan high risk atau German Guidelines yang membagi pasien atas low risk, intermediate risk dan high risk sebagai berikut: Pengobatan Antijamur Pengobatan standar sampai saat ini masih menggunakan flukonazol, itrakonazol, amfoterisin B atau liposomal Amfo B. Antimikotik yang baru seperti vorikonazol, kaspofungin dikatakan juga efektif terhadap blastomises. Kelebihan amfoterisin B adalah spektrumnya yang lebih luas terhadap kandida dan juga aspergilus dibandingkan dengan flukonazol yang spektrumnya terbatas terhadap Candida albicans. Selain itu juga bermanfaat terhadap histoplasma kapsulatum, koksidioides, kriptokokkus neoformans dan blastomices. Pemberian anti jamur untuk pasien risiko ringan atau sedang dapat dimulai pada hari ke 6-8 sedangkan untuk risiko tinggi pada 72-96 jam. Dosis amfotericin B 0.5- lmgkgBB/hari, diberikan dalam 250 cc Dekstrose 5% dalam waktu 2-6 jam. Maximal cumulative dose adalah tidak melebihi 3,6 gram. Untuk



menghindari reaksi anafilaksis sebaiknya terlebih dahulu diadakan test dose 1 mg dalam 20 cc Dekstrose 5% selama 30 menit. Dalam ha1 terdapat gangguan fungsi ginjal sebaiknya dipergunakan azol. Pengobatan Antivirus Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empirik. Obat antivirus hanya diindikasikan bila terdapat bukti klinis atau laboratoris adanya penyakit virus. Obat anti virus terbaru seperti valasiklovir dan famsiklovir mempunyai absorbsi yang lebih baik dari pada asiklovir. Infeksi sistemik sitomegalovirus jarang didapatkan pada pasien neutropeni febril, kecuali yang menjalani transplantasi sumsum tulang atau pada pasien retinitis AIDS. Pengobatan Lain Penggunaan growth factor tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien febril atau afebril neutropeni. Penggunaan imunomodulator juga tidak direkomendasikan secara rutin karena belum ad? bukti



Demam yang tidak dapat dijelaskan, pasien risiko menengah



1



1.Pengobatan tunggal: seflazidim, sefep~m,piperasilin-tazobaktam, karbapenem + aminogllkosld atau generasl ketlgakeempat 2.atau pengobatan dua obat: as~lam~nopenis~l~n kepalospor~n+am~noglikos~d Klinis memburuk



Tidak



72-96 jam ? Reevaluasi: pemeriksaan klinis, foto toraks, jika negatii HR-CT, kultur darah, antigen-kandida, antigen-asporgilus pemeriksa?n pilihan



Dilanjutkan 1): ditambah aminoglikosid: setelah carbapenem: quinolon + glikopeptid: mungkinjuga dilanjutkan 2): carbapenem



Lama pengobatan total: 7 hari tanpa demam setelah peningkatan granulosit >1000@J1 : 2 hari bebas demam Lama pengobatan total: 10 hari



Tidak lnfeksi ditemukan: terapi definitif setelah 72jam dengan demam dapat diganti dengan: AmB, ITRA, VOR atau CAS



Ditambah glukopeptida hana jika ada mukositis atau infeksi dari kateter



Gambar 2. Protokol pengobatan inisial untuk pasien risiko menengah adalah AMB: Amfoterisin B konvensional atau liposomal. ITR: itrakonazol, VOR: vorikonazol, CAS: kaspofungin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1504



ONKOLOGI MEDlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Demam yang tidak dapat dijelaskan, pasien risiko tinggi 1



1 -



I



1.Pengobatan tunggal : seftazidim, sefepim, piperasilin-tazobaktam, karbapenem 2.atau pengobatan dua obat : asilaminopenisilin+aminoglikosid atau qenerasi ketiaal keempat kepalosporin+aminoglikosid



I Klinis memburuk



I



I



Ya



1



Ya



I



Tidak



I



Tidak



Demam setelah 72-96jam ?



Jika negatif: HR-CT, kultur darah, antigen-kandida,



I Kondisi klinis stabil ?



I



Karbapenem + flukonazol, AmB, ITRA, VOR atau CAS setelah pengobatan s e b e l u m n ~ a dengankarbapenem: juga quinolon + glikopeptid + flukonazol, AMB, ITRA, VOR atau CAS



Tidak a d a modifikasi



Lama pengobatan total: 7 harl tanpa demam setelah peningkatan granulosit~100051 hari bebas demam



Lama pengobatan total: 1 0 days



Jika infeksi diternukan: pengobatan definitif 72 jam tetap demam, ganti dengan: AmB, ITRA,



Ditambah glikopeptida jika a d a mukositis atau infeksi dari kateter



G a m b a r 3. Pengobatan d a n strategi pada pasien risiko tinggi: AMB: Amfoterisin B konvensional atau liposornal. ITR: itrakonazol, VOR: vorikonazol. CAS: kaspofungin



nyata demikian juga empirikal imunoglobin, penggunaannya hanya terbatas pada pasien yang sudah terbukti terdapat defisiensi imunoglobin.



REFERENSI Schimpff Sc, Greene WH, Young VM, Wiernik DH. Significance of pseudomonas aeruginosa in the patient with leukemia or lymphoma. j infect dis, 1974; 130 (suppl.): S24-31. Suhendro dkk. Endotoksemia pada pasien sepsis dengan keganasan. 1996. A Harryanto R, Dody Ranuhardy, Johan Kurnianda dkk. Panduan tatalaksana febrile neutropeni pada pasien kanker. Bakornas Hompedin, 2004. Bodey GP. Infection in Cancer Patients: A continuing association. Am j med. 1986; 81 (suppl A-I): 11-26. Bow EJ. Infection risk and cancer chemotherapy: The impact of



the chemotherapy regimen in patients with lymphoma and solid tissue malignancies. J Antimicrob Chemother. 1998; 41 (suppl D): 1-5. Bodey G., Bueltmann, NB, Duguid W. et al. Fungal infections in cancer patients: an international autopsy survey. Eur. J. Clin. Microbial. 1992; 11 : 99-109. Carlson JW, Fowler JM, Mitchell SK et al. Chemoprophylaxis with ciprofloxacin in ovarian cancer patients receiving paclitaxel: a randomized trial. Gynaecol Oncol 1997: 65: 325-9. Counsell R, Pratt J, William MV. Chemotherapy for germ cell tumors: Prophylactic ciprofloxacin reduces the incidence of neutropenic fever. Clin Oncol R. Coll Radiol 1994; 6: 232-6. Dody Ranuhardy. Monoterapi antibiotik pada pasien keganasan dengan infeksi. Abstract Book 41h Jakarta Antimicrobial Update, April 2003; 25-6. Dody Ranuhardy. Pengobatan empirik infeksi jamur sistemik pada neutropeni febril. Simposium Perhimpunan Mikologi Klinik Indonesia. Jakarta, Juni 2002. Edward B Rubenstein, Keneth Vi Rolston. Risk adjusted manage-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



NEUTROPENI FEBRlL PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ment of the febrile neutropenic cancer patients. In textbook of febrile neutropeni. Martin Dunitz Ltd. London. 2001: 175. Erik Torell, Hans Fredlund, Eva Tomquist et al. Intra hospital spread of vancomycin resistant Enterococcus faecium in Sweden. Scan. J. Infect. Dis. 1997; 29: 259-63. H. Link, A. Bohme, O.A. Cornely et al. Antimicrobial therapy of unexplained fever in neutropenic patients. Guidelines of the infectious disease working party (AGIHO) of the German Society of Hematology and Oncology (DGHO), Studi Group lnterventional Therapy of Unexplained Fever, Arbeits Gemeinschaft Supportiv Masshahmen in der Onkologie (ASO) of the Deutsche Krebsgessel Schatl (DKG-German Cancer Society). Ann Hematol, 2003; 82 (suppl. 2): s105- s117. Jud B, Gmur J., Follath F. Art 2ndHaufigkeit Schener. Infekt komplikationan bei der behandlung akuter leukarnien. Schweiz Med. Wochenschr 1994; 124: 2060-3. Kiehn TE, Amstrong D. Changes in the spectrum of organisms causing bacteremia and fungemia in immunocompromised



patients due to venous access devices. Eur J Clin. Microbial. Infect. Dis. 1990; 9: 869-872. Poesmans M. Factors predicting mortality among febrile neutropenic cancer patients treated within a clinical trial: ten years experience by the EORTC International Antimicrobial Therapy Cooperative Group. In proceedings of 3rd International Symposium on Febrile Neutropeni. Brussels, Belgium, 1997; Abstr 97. Rolston, KVI. Infections in patients with solid tumors. In: Management of infections in immunocompromised patients (Pizzo P. Glauser MP eds). London: WB Saunders company Ltd. 2000: 1 17-40. Walter T Hughes, Donald Armstrong, Gerald P Bodey et al. 2002. Guidelines for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer. CID, 2002; 34: 730-51. Zinner SH. Changing epidemiology of infections in patients with neutropenia and cancer: emphasis on gram positive and resistant bacteria.Clin. Infect. Dis. 1999; 29: 490-4.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANG Nugroho Prayogo



PENDAHULUAN Penyakit kanker metastasis ke tulang (metastatic bone disease) pada dasarnya merupakan interaksi antara sel kanker dengan sel tulang (osteoklas). Hal ini akan mengganggu keseimbangan remodeling dan metabolisme tulang yang normal serta menyebabkan peningkatan aktivitas osteoklas, sehingga salah satu target terapi adalah mengurangi aktivitas osteoklas. Lesi di tulang ini dapat menyebabkan kesakitan (morbiditas) yang hebat; seperti nyeri tulang, fraktur patologis, kompresi medula spinalis atau penekanan saraf spinalis serta efek lesi tulang yang luas dimana menyebabkan hiperkalsemia. Semuanya sedikit banyak akan menyebabkan disabilitas dan menurunkan kualitas hidup. (Coleman RE,oncologist2000).



KEKERAPAN Pada prinsipnya semua kanker dapat menyebar ke tulang. (Twycross 82), namun yang lebih sering menurut kepustakaan luar negeri antara lain adalah: 1). mieloma multipel70-95 %; 2). kanker payudara 6575%; 3). prostat 65-75%; 4). tiroid; 5). paru 6). ginjal (Mundy, colorectal. Galasko 1981). (Tabel 1) Dan sebagai contoh di Jakarta, RS Kanker Dharmais tahun 2000-2001, dari 84 kasus kanker payudara stadium IV, 33 % mengalami metastasis ke tulang, (peringkat kedua sesudah metastasis ke paru 37%). (Tabel 2)



Jenis tumor



lnsidens metastasis



Median survival



70-95% 65-75% 65-75% 30-40% 20-25% 14-45% 60% 11%



20 bulan 24 bulan 40 bulan < 6 bulan



Myeloma Payudara Prostat Paru Ginjal Melanoma Tiroid Rektum



(Mundy GR, Coleman RE. Galasko 1981)



MASALAH METASTASIS TULANG Dari segi kesehatan masyarakat, problem metastasis adalah problem morbiditas. Perkiraan besarnya morbiditas tersebut tergantung dua hal. Pertama adalah angka kekerapan kanker yang menyukai tulang sebagai lokasi metastasis dan kedua, angka survival dari kanker tersebut (Tabel 1 dan tabel 3). Sebagai contoh, kekerapan metastasis kanker payudara ke tulang cukup sering, 70%-95 % (tabel 1). Dengan pengobatan yang baik dapat dicapai angka survival ratarata sekitar 2 tahun. Pada review suatu pusat kanker, metastasis hanya ke tulang saja mempunyai harapan hidup lebih baik, yaitu median survival 2,l tahun dibanding dengan kombinasi metastasis tulang ditambah organ lain, hanya 1,6 tahun (Tabel 2). Pada penelitian yang lebih besar, dimana didapati komplikasi ke tulang terjadi paling besar (go%), paling kecil metastasis diluar tulang (2 1%) dan 60% terjadi komplikasi tulang ditambah metastasis ditempat lain.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1507



PENATALAKSANAAN METASTASISKANKER KE TULANG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Umur (tahun)



Lokasi lesi



20-



30-



40-



50-



60-



70-



Jumlah



%



14 4



5 0



4 1



3 0



36 9



37% 9%



2 1 6 (6%) 14



1 0 8 (8%) 14 '



0 0 1 (1%) 4



15 5 32



15% 5% 33%



--



Paru Supra klavikula Hati Otak Tulang



0 1



10 3



0 0 0



7



5



Jumlah



1



2 5 (5%) 27



2 12 (13%) 37



97



Nugroho P. PHTDI 2005



Metastasis Kekerapan Median SUN.



Osseous



osseous Extra



0 s s . a extra oss



80% 2,l tahun



21 %



60% 1,6tahun



Dikutip dari Coleman ASCO 2001



Di samping itu di Jakarta, Rurnah Sak~tDharmais, kanker yang sering bermetastasis ke tulang menduduki 10 besar kanker tersering (Ronald H, Harryanto R). Gambaran tersebut menunjukkan metastasis ke tulang merupakan masalah yang cukup penting. PENATALAKSANAAN Diagnosis Diagnosis atau deteksi metastasis kanker ke tulang diperlukan, karena: (a). untuk mengetahui apakah pada nyeri tulang yang hebat, terdapat penyebaran kanker yang belum terdeteksi. (b) untuk penentuan stadium kanker. (CBS Galasko 1994). Namun demikian, sekali metastasis kanker ke tulang terdiagnosis, tidak cukup bila hanya mendeteksi adanya metastasis saja. Diperlukan keterangan yang adekuat mengenai: (a) lokasi metastasis secara tepat (b) derajat tulang yang terkena dan lokasi penyebaran (c) adakah komplikasi akibat metastasis, misalnya hiperkalsemia, fraktur yang mengancam, fraktur patologis, instabilitas spinal atau kompresi saraf spinal. (d) adakah jaringan lunak yang terkena dan (e) bagaimana vaskularisasi lesi. Semua data klinik tersebut berguna untuk pertimbangan terapi. Gejala Klinik Nyeri. Nyeri tulang, terutama yang sering terjadi pada usia setengah tua dan usia tua harus diwaspadai sebagai gejala metastasis ke tulang.



Nyeri bisa timbul di area mana saja, namun bila dijumpai pada tulang penyangga (tulang aksial) maka harus lebih waspada karena akibat yang ditimbulkan apabila terkena metastasis bisa fraktur kompresi bahkan bisa menimbulkan kelumpuhan. Nyeri bersifat tidak spesifik, bisa ringan ataupun nyeri hebat. Sekitar 30-50 persen kasus metastasis tulang tidak merasa nyeri (Mettler, Guiberteau 1983). Namun justru sering terjadi, suatu kanker (khususnya mieloma multipel) ditemukan secara tidak sengaja karena adanya nyeri tulang di daerah tulang belakang, dan pada waktu dilakukan pemeriksaan foto rontgen vertebra ditemukan tanda metastasis ke tulang. Bengkak. Pembengkakkan jaringan lunak jarang terjadi. Kadangkala sulit dibedakan dengan infeksi. Biasanya terjadi pada tulang di bawah kulit. Parameter Biokimiawi Pemeriksaan ini kurang spesifik dan nilai diagnosis rendah, tetapi berguna untuk evaluasi hasil terapi atau kekambuhan. Pemeriksaan yang se'ring dilakukan: (a) alkali fosfatase (Bischop 1985), (b) hidroksi prolin urin dan (c) rasio hidroksi prolin urinlkreatinin (Cuschieri 1978). Pemeriksaan Radiologi Foto Polos. Gambaran radiologis dari foto polos amat penting, karena tidak semua rumah sakit mepunyai CT scan ataupun scan tulang. Lesi metastasis ke tulang umumnya multipel. Terdapat 3 jenis lesi, (a) lesi osteolitikumumnya terjadi pada mieloma multipel atau kanker solid (b) lesi osteoblastik atau sklerotik, umumnya terdapat pada kanker prostat dan ( c ) lesi mixed, campuran lesi litik dan komponen osteoblastik, terdapat pada kanker payudara dan juga solid tumor lainnya. Khusus pada lesi litik, terdapat tiga tipe (Adams dan Isherwood 1983) yaitu: (a) lesi geografik, besar, tunggal, lesi litik jelas, besar lebih dari 1 cm dengan tepi berbatas tegas.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (b) Lesi moteaten, multipel, lebih kecil(2-5mm), pinggir biasanya tidak tegas. (c) Lesi permeatif, ukuran lesi sangat kecil, lmm atau kurang, terutama terjadi dalam korteks. Pada metastasis tulang bisa terjadi ratusan lesi permeatif. Geografik lesi menggambarkan perkembangan metastasis yang tumbuh lambat, sedang lesi permeatif biasanya terjadi dimana metastasis sangat agresif. Kebanyakan metastasis mulai muncul di medula dan setelah fase berikutnya baru melibatkan korteks. Hal ini menyebabkan foto polos kurang sensitif pada fase awal. Edelstyn, menyatakan, setelah ada kerusakan 50% medula, baru secara radiografik lesi dapat terdeteksi. Sebaliknya lesi di korteks yang kecil lebih gampang terdeteksi. Sebagai contoh, hilangnya pedikel pada foto vertebra merupakan tanda awal dari metastasis. Walupun foto polos kurang sensitif, namun pada nyeri tulang yang hebat foto polos hams dibuat untuk mengetahui seberapa besar kerusakan tulang terjadi. Jika 30% atau lebih tulang korteks rusak, risiko fraktur meningkat dan lesi harus diobati secara adekuat. Lesi yang sangat nyeri merupakan isyarat adanya fraktur patologis atau ketidakstabilan spinal. Bone scan. Bone scan atau sintigrafi tulang, lebih sensitif dibanding foto polos, dan masih merupakan metode optimum untuk mendeteksi lesi abnormal di tulang (Hartobagyi 1984). Sintigrafi tulang terdiri dari dua fase: (1) fase vaskular dimana bila terdapat matastasis akan terlihat vaskularisasi meningkat di tulang pada awal fase vaskular tersebut (2) fase skeletal, dimana radioisotop diserap oleh osteoblas. Sebetulnya setiap metastasis menimbulkan respon osteoblastik seperti yang terlihat yaitu adanya peningkatan ambilan pada daerah tersebut. Hot-spot merupakan daerah metastasis (Makoha, Britton 1980). Tidak semua metastasis dapat dideteksi dengan sintigrafi tulang. Seperti: (1) tumor dimana tidak menimbulkan respon osteoblastik, seperti mieloma multipel dan limfoma (2)lesi yang sangat kecil, kurang dari 2 milimeter. Pada metastasis yang sangat luas dan lesi simetris, akan terlitat peningkatan ambilan yang sangat merata dan simetris. Hal ini disebut superscan dan karena merata seakan tidak ada area peningkatan ambilan. Dalam ha1 ini kadangkala diperlukan CT scan atau MRI untuk melihat arsitektur osteolitik. Computed tomography scanning (CT Scan).Pemeriksaan CT Scan tidak digunakan untuk deteksi metastasis tulang, namun sangat berguna untuk konfirmasi lesi yang meragukan. Indikasi utama adalah konfirmasi daerah lesi yang dicurigai pada skintigrafi tulang. Bila terdapat lesi dicurigai, dilakukan pemeriksaan spot foto radiologi atau CT scan untuk konfirmasi ataupun melihat arsitektur kerusakan. Hal ini dilakukan karena meskipun sintigrafi tulang sensitif untuk mendeteksi adanya ambilan yang meningkat, namun



tidak spesifik untuk metastasis saja, juga bisa terjadi pada kasus jinak seperti radang ataupun reaksi osteoblastik yang lain. Dan CT scan dapat membedakan lebih jelas metastasis, degeneratif atau peradangan (Best dl& 1979). Kegunaan lain CT scan adalah untuk melihat keterlibatan jaringan lunak disekitarnya, misalnya infiltrasi tumor ke saraf spinal, bersama-sama dengan pemeriksaan mielografi. Magnetic resonance imaging (MRI). Penggunaan MRI, merupakan metode pilihan paling sesuai untuk memeriksa tulang vertebra, karena dapat memberi gambaran yang lebih detil tentang penyebab lesi tulang pada sintigrafi tulang. Dan lebih sensitif untuk mendeteksi metastasis kecil di medula. Demikian juga halnya CT scan, dapat memberi gambaran lebih jelas pada jaringan lunak, sehingga digunakan juga untuk melihat adakah penekanan pada korda spinalis. Pada rumah sakit dengan fasilitas MRI, sebaiknya digunakan sebagai pilihan pertama untuk mendeteksi adanya penekanan korda spinalis. Meskipun demikian peran skintigrafi tulang mendeteksi metastasis ke tulang secara keseluruhan belum tergantikan karena MRI tidak bisa digunakan menilai tulang panjang (Bonner dan Lichter 1990). Karena sensitif untuk menilai medula, MRI juga digunakan untuk memeriksa ulang suatu lesi nyeri di tulang, ketika hasil sintigrafi tulang negatif (Mechta 1989). Biopsi Biopsi diperlukan bila pada suatu kanker, pemeriksaan sintigrafi tulang memperlihatkan gambaran lesi kecil dan dengan pemeriksaan pencitraan yang lain seperti foto polos, CT scan dan MRI tidak dapat mendukung diagnosis metastasis, atau apabila tumor primer tidak diketahui jenisnya.



PENGOBATAN Pengobatan Metastasis Tulang Pengobatan metastasis tulang seperti juga pengobatan metastasis lainya adalah terapi sistemik (Hortobagyi 1997). Namun juga diperlukan terapi tambahan suportif paliatif. Hal ini karena lesi tulang yang mempunyai akibat yang memerlukan tindakan khusus. seperti nyeri hebat, fraktur patologis, fraktur kompresi, kompresi korda spinalis, dan hiperkalsemia. Penilaian Sebelum dan Sesudah Pengobatan Sebelum pengobatan diperlukan beberapa pemeriksaan sebagai data dasar untuk menentukan jenis pengobatan (modalitas) serta melihat hasil respon terapi. Data dasar tersebut antara lain: 1). Diagnosis klinis (tinjauan patologi,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANC



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI status fisik) dan organ yang terkena; 2). Luas lesi, lokasi lesi: tulang penyangga atau bukan tulang penyangga dan jumlah lesi: tunggal atau multipel; 3). Jenis lesi, osteolitik atau osteoblastik; 4). Deformitas ancaman fraktur, fraktur kompresi; 5). Penilaian nyeri: ringan, sedang atau berat, gunakan skala visual analog; 6). Biomarker tulang: deoksipiridinolin, piridinolin osteokalsin, dan alkali fosfatase spesifik petanda pembentukan dan resorpsi tulang) Untuk menilai respons pengobatan metastasis ke tulang dipergunakan beberapa parameter, antara lain: Kriteria UICC, berdasarkan gambaran radiografik (Hayward dkk.1977)yaitu: - Respons komplit: menghilangnya semua lesi pada pemeriksaan radiografik untu paling sedikit beberapa minggu. - Respons parsial: ukuran lesi berkurang sebagian (parsial), atau terdapat rekalsifikasi lesi atau berkurangnya densitas lesi pada lesi blastik (prostat) atau tidak terdapat lesi baru. - Tidak ada perubahan: tidak terdapat perubahan pada lesi litik paling sedikit 8 minggu (2 bulan). *. Penilaian klinis dan petanda biokimiawi: - kemajuan klinis: rasa nyeri, perbaikan fungsi serta mobilitas. - Petanda biokimiawi. pembentukan tulang: alkali fosfatase dan osteokalsin resorpsi tulang (destruksi): kalsium serum, fosfatase alkali resisten tartrat, kalsium urin dan urin hidroksiprolin. Secara garis besar manajemen metastasis ke tulang dapat digolongkan sebagai berikut: Pengobatan sitemik (kemoterapi, hormonal dan inhibitor osteoklas inhibitor). Terapi radiasi dan radiofarmaka Terapi hiperkalsemia . Operasi . Kompresi korda spinalis. Terapi suportif paliatif. Pengobatan Sistemik Metastasis tumor ke tulang akan menghasilkan proliferasi sel tumor serta menimbulkan interaksi antara sel tumor dan sel jaringan tulang baik osteoklas atau osteoblas, yang disebabkan oleh mediator berupa faktor pertumbuhan dan sitokin. Oleh karena itu pengobatan sistemik dapat dibagi menjadi pengobatan langsung, ditujukan kepada sel tumor untuk mengurangi proliferasi dan mediatornya serta obat penghambat efek mediator ke tulang. Termasuk penghambat proliferasi tumor adalah kemoterapi, terapi endokrin dan radiofarmaka isotop. Sedang bisfosfonat, kalsitonin, mitramisin dan galium nitrat, menghambat efek mediator ke sel tulang(osteok1as).



Dengan demikian pengobatan sistemik bersifat langsung serta tidak langsung. Terdiri dari (a) sistemik anti tumor (b) inhibitor efek tumor ke osteoklas. ASCO 200 1). Anti tumor sistemik, dapat berupa kemoterapi yang sensitif terhadap tumor tersebut, misalnya protokol FAC, taksan, pada kanker payudara. Dilaporkan kemoterapi dapat mengurangi nyeri sampai 11% (Eagen dkk. 1978) sampai 54% (Scott dkk.1087)dan regimen kombinasi lebih baik dari kemoterapi tunggal (Muss dkk.1981). Dapat juga berupa terapi endokrin, bila tumor tersebut sensitif terhadap hormon, seperti tamoksifen atau inhibitor aromatase pada kanker payudara (Lerner 1976, Coleman 200 1), atau pada kanker prostat digunakan kastrasi, leuteinising hormon releasing hormone (LHRH), dan flutamid. Respons bervariasi namun dapat mencapai angka hingga 84% (Solowat 1984, Belanger dkk.1984) Inhibitor osteoklas: (1) mitramisin. Obat ini mempunyai khasiat anti osteoklas, dulu digunakan mengobati hiperkalsemia maligna dan penyakit Paget. Sekarang jarang digunakan karena toksisitasnya tidak dapat diprediksi terhadap sumsum tulang dan liver. (2) kalsitonin, secara signifikan dapat mengurangi nyeri akibat metastasis tulang (Roth dan Kolaric ,1986), namun sering mengalami resistensi (3) bisfosfonat, dapat menghambat resorpsi tulang, namun dapat juga menghambat mineralisasi tulang (khusus pada etidronat dan tidak pada lainnya). Digunakan untuk mengatasi rasa nyeri, hiperkalsemia dan mencegah fraktur. Obat yang sering digunakan klodronat, pamidronat dan terbaru asam zoledronat (Coleman 200 1). Radiasi dan Radiofarmaka Pada lesi lokal, radiasi eksternal merupakan terapi paliatif yang memberi hasil yang baik. Terapi bisa diberikan jangka pendek atau jangka panjang tergantung penilaian radioterapis. Indikasi radiasi eksternal: I). paliatif (a) nyeri tulang (b) kompresi saraf spinal (c) fraktur patologik. 2). profilaksis : (a) kompresi saraf spinal (b) fraktur patologik. Pada lesi luas atau nyeri di tempat tersebar, dapat dilakukan radiasi hemibodi eksternal, tetapi jarang dilakukan. Dewasa ini radiofarmaka atau radiasi internal digunakan untuk terapi radiasi pada lesi yang lebih luas. Terdapat duajenis: (1) Strontium, terutama digunakan pada kanker prostat karena banyak diserap di daerah tulang yang baru dibentuk, bermanfaat untuk metastasis tipe sklerotik, namun juga bermanfaat untuk kanker payudara. (2) Samarium, cocok untuk pasien rawat jalan, dapat mengurangi nyeri dan konsumsi analgetik. Yang dalam penelitian adalah kombinasi radiasi internal dengan bisfosfonat. Hiperkalsemia Hiperkalsemia merupakan kondisi kegawatan onkologi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Pasien mengalami dehidrasi, gangguan fungsi ginja1,penurunan kesadaran sampai koma, bahkan sampai pada kematian. Nilai kalsium normal sekitar 8-10,5 mgldl. Di lapangan pemah ditemukan kadar kalsium 24 mgldl bahkan ada yang melaporkan di atas 30 mgldl.



Pencernaan Anoreksia Mual Muntah Konstipasi



Ginjal



Saraf Pusat



Poliuria Polidipsi Mulut kering



Confuse Depresi Korna Arnbang nyeri turun



Gejala umum Fatique Malaise



SH. Ralston: pathogenesis of CancerAssosiated Hypercalcaemia, 1991



Apabila pada pasien kanker dijumpai gejala seperti tersebut di atas, segera periksa kadar kalium dan bila di atas normal segera diobati. Pengobatan adalah: (1) Hidrasi dengan salin normal; (2) diuretik furosemid; (2) pemberian penghambat resorpsi tulang (antara lain: glukokortikoid, kalsitonin, mitramisin, bisfosfonat) Hidrasi denganNaCl0,9% 150-250 mujam, bahkan dapat mencapai 4-6 liter per hari (Hosking dkk. 1981). Sesudah itu hidrasi tetap diberikan ditambah diuretik natrium (furosemid). Kalsium dan natrium akan membentuk garam kompleks dan diuretik natrium akan membawa natrium dan kalsiurn keluar dari tubuh lewat urin. Di samping itu secara kompetitif menghambat resorbsi kalsium, sehingga kalsium dibuang lewat urin. Berikan steroid deksametason , berguna menghambat penyerapan kalsium dari usus, mencegah pelepasan OAF (osteoclast activating factor) dan menyebabkan lisis tumor (limfolisis). Suplemen kalium bila diperlukan dan tetap di monitor balans cairan, kadar kalsium dan kalium. Apabila dengan cara di atas kadar kalsium belum turun, artinya pelepasan kalsium sangat banyak karena pelepasan tulang, atau gangguan di ginjal disebut hiperkalsemia maligna . Dalam kasus ini kalsitonin merupakan indikasi. Kalsitonin mempakan inhibitor kuat osteoklas dalam pelepasan tulang, efek sudah dapat terlihat sesudah 2 jam, namun sering terjadi sesudah 2 hari khasiat tidak efektif lagi. Dosis kalsitonin 4 UIkgBB setiap 12jam, dapat ditingkatkan sesudah 2 hari sampai 8 UIlkgBB. Kalsitonin bisa dikombinasi dengan bisfosfonat. Hal ini untuk antisipasi bila kalsitonin menjadi tidak efektif lagi sesudah 1-2 hari. Pengobatan suportif lain ditujukan pada ginjal, otak atau yang lain, atas dasar indikasi. Hiperkalsemia juga merupakan kegawatan onkologi dengan angka mortalitas tinggi sehingga penanganan yang cermat diperlukan.



Operasi. Peran bedah ortopedi pada metastasis tulang adalah: Profilaksis pada ancaman fraktur. Tingginya risiko fraktur berhubungan dengan beratnya derajat kerusakan di korteks. Jika kerusakan kurang dari 25% risiko fraktur rendah, jika kerusakan 25-50% risiko fraktur 3,7%, jika kerusakan 50-75% risiko fraktur meningkat menjadi 6 1 %. Dan jika kerusakan di korteks mencapai lebih dari 75%, maka risiko fraktur akan menjadi 79%.(Fidler 1971). Berikut ini indikasi fiksasi profilaksis, yaitu (a) bila destruksi korteks lebih atau sama dengan 50% (b) lesi lebih dari atau sama dengan 2,5 cm di daerah proksimal femur atau humerus (c) tetap nyeri walaupun sudah dilakukan radiasi.



Fraktur Patologis. Kasus terbanyak adalah kanker payudara. Lokasi terbanyak adalah daerah femur. Pengobatan adalah tindakan ortopedik, baik operasi maupun tidak (Tabel 5,6).



Jenis Kanker -



Jumlah Pasien



- -



Jumlah Lokasi Fraktur



---



Payudara Paru-paru Prostat Mielorna



102 24 21 24



Role of the orthophaedic suregeon in the treatment of skeletal metastases (CSB Galasko 1981)



Lokasi



Jumlah



Pelvi Femur Transewikal lntertrokanter Subtrokanter Proksirnal Distal Humerus Proksirnal Shaft Distal Tibia Radius Ulna Role of the orthophaedic surgeon i n the treatment of skeletal metastases (CSB Galasko 1981)



Fraktur patologis merupakan kegawatan medis akut karena melibatkan saraf spinal dan bila mengalami kerusakan permanen bisa mengakibatkan kelumpuhan. Distribusi kejadian: vertebra sewikalis lo%, vertebra torakalis 70% dan vertebra lumbosakral20% Gejala: Nyeri dapat lokal maupun radikular. Kelemahan, kehilangan fungsi motorik dan sensorik atau disebut paraparesisdan akhirnya akan mengalami disfungsi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



autonomik yaitu kehilangan kontrol urinasi, defekasil konstipasi. Bila sudah demikian biasanya ireversibel. Pengobatan: Awalnya diberikan steroid dosis sedang atau dosis tinggi. Bila sudah terjadi paresis dan menjadi paralisis, maka dalam 48 jam sudah hams jelas diagnosis dan penekanan ke saraf (dekompresi) hams sudah dilepas. Bila tidak, kelainan dapat menjadi ireversibel. Pilihan pengobatan dapat radiasi, kemoterapi dan operasi, atau kombinasi ketiga ha1 tersebut. Pengobatan sedini mungkin akan mengurangi defisit neurologi sebanyak mungkin (Joseph F.0 Donne11 1992).



SUPORTIF DAN PALlATlF Di samping pengobatan di atas pengobatan rasa nyeri untuk mengurangi simptom sangat diperlukan. Pengobatan ini dapat diberikan dengan bermacam bahan dan cara. Medikamentosa: analgetik sederhana parasetamol, NSAID, tramadol, sampai pada narkotik dapat diberikan. Di samping itu blokade saraf kadangkala juga diberikan. Radiasi dan operasi dapat juga mengurangi rasa nyeri. Analgetik dapat diberikan oleh semua petugas medis sebagai pertolongan pertama, namun jangan dilupakan mengobati penyebabnya. Di samping itu perlu dilibatkan disiplin rehabilitasi medik atas dasar indikasi.



REFERENSI



ASCO (American Society of Cinical Oncology) Educational Book 200 1



ASCO (American Society of Clinical Oncology) Educational Book 1999



Arjono, dkk. Onkologi, ter,jemahan dari OncologieICJH. Van de Velde, FT. Bosman. Colemann RE. Skeletal complication of Malignancy. Cancer 1997, 80 ( supll. 8) p. 1588-94 DeVita VT, Cancer; Principles & Practice of Oncology, 4Ih. Edition Vol. 2.2, J.B. Lippincott Company, Philadelphia. 1993 Gregory R Mundy. ,Bone Remoddeling and Its Disorder,, Martin Dunitz 1999. Gregory R Mundy. ,Bone Remodeling and Its Disorders, second edition Martin Dunitz. 1.J.Diel . M.Kaufmann. G.Bastert. Metastatic Bone Disease, Fundamental and Clinical Aspects. Springer Verlag 1994. Joseph F.O.Donnell :ONCOLOGY for the House Officer, William & wilkins 1992. Pazdur R, Coia LR, Hoskins WJ, Wagman LD, Cancer Management: A Multidisciplinary Approach, 5Ih. Edition. PRR Melville, NY. 2001 R.D. Ruben and I fogelman , Bone Metastases , diagnosis and treatment, Springer-Verlag 1991. Wood ME, Hematology/Oncology Secrets, 2nd. Edition. Hanley&Belfus, 1NC.lPhiladelphia. 1999 p. 56 - 60 Website: Beth Israel Medical Center, Boston MA. Zometa, speaker slide preview, Novartis, December 2001.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENANGGULANGAN NYERI PADA KANKER Asrul Harsal



PENDAHULUAN Nyeri kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Pada pasien yang pertama kali datang berobat, sekitar 30% pasien kanker disertai dengan keluhan nyeri dan hampir 70% pasien kanker stadium lanjut yang menjalani pengobatan disertai dengan keluhan nyeri dalam berbagai tingkatan. Nyeri kanker merupakan nyeri kronik yang membutuhkan penatalaksanaan yang berbeda dengan nyeri kronik lainnya, membutuhkan penilaian (assessment) dengan tingkatan akurasi yang tepat, evaluasi secara komprehensif dan waktu yang ketat terutama untuk nyeri berat, serta pengobatannya berlangsung lama. Pada kasus lanjut dan perawatan paliatif, tidak jarang pasien mendapat pengobatan nyeri sampai akhir hidupnya. Untuk mempermudah dan untuk keseragaman dalam penilaian nyeri, sering dipakai alat bantu penilaian nyeri. Ada beberapa alat bantu yang dipakai, dan satu di antaranya adalah VAS ( Visual Analog Scale/skala analog visual), yaitu penilaian nyeri dengan angka dari 0 sampai 10. No1 artinya tidak ada nyeri dan nilai 10 sangat nyeri sekali. Nyeri kanker dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu, nyeri ringan, sedang dan berat, masing-masing tingkatan ada sedikit perbedaan dalam memulai pengobatan. Berdasarkan patofisiologik yang dihubungkan dengan kepentingan klinis, nyeri dibagi 3 kelompok: nyeri somatik, viseral dan neurogenik. Yang sering ditemukan adalah gabungan dari kelompok tersebut di atas. Nyeri kanker sebagian besar (90%) dapat diatasi dengan obat-obatan, hanya sebagian kecil yang memerlukan pengobatan lain, seperti: radiasi, pemotongan saraf, operasi, dan sebagainya. Pasien kanker seharusnya diusahakan bebas dari rasa nyeri, dan ha1 ini dapat diatasi dengan obat-obatan yang



ada saat ini, mulai dari parasetamol sampai pemberian opioid yang kuat seperti morfin. Pemberian morfin yang benar dan tepat akan memberikan hasil yang baik pasien bebas nyeri dengan efek samping minimal, sehingga kwalitas hidup akan lebih baik.



Nyeri adalah sensasi yang tidak enak dan pengalaman emosi yang terutama berhubungan dengan kerusakan jaringan. Dari definisi ini tersirat laporan nyeri ini adalah kombinasi dari respons sensoris, afektif (kejiwaan) dan kognitif, sehingga hubungan nyeri dengan kerusakan jaringan tidak sama dan tidak konstan. Akibatnya rasa nyeri itu subyektif, sehingga laporanlkeluhan dari pasien merupakan penilaian yang paling mempunyai arti (gold standardhaku emas), dalam menegakkan diagnosis nyeri kanker.



JENlS NYERI Secara patofisiologik nyeri dibagi kepada 4 kategori: nosiseptif, neuropatik, psikogenik dan idiopatik, namun untuk mempermudah dalam penatalaksanaan dan pengobatan secara klinis, maka nyeri kanker dibagi menjadi 3 kelompok: Nyeri Somatik: yaitu nyeri yang timbul akibat kerusakan jaringan misalnya metastasis tulang. Nyeri Viseral: yaitu nyeri yang timbul akibat kerusakan organ atau alat dalam tubuh seperti nyeri perut karena pembesaran hati karena kanker hati atau kanker lain yang bermetastasis ke hati, atau nyeri dada karena mengenai selaput paru dan sebagainya.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1513



PENANGGULANGAN NYERl PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Nyeri neurogenik: yaitu nyeri yang berhubungan dengan kerusakanlgangguan saraf.



ALAT BANTU Untuk mempermudah dalam penilaian nyeri karena penilaiannya sangat subyektif, di mana faktor manusia sangat dominan maka penilaian ini memakai alat bantu yang berguna. Untuk membantu penilaian dan alasan keseragaman, ada beberapa alat bantu yang dipaka. Yang sederhana dan sering dipakai adalah VAS (Visual Analog Scalelskala analog visual). Skala ini dimulai dari angka 0 sampai 10, dengan pengertian 0 artinya tidak ada nyeri sama sekali dan 10 artinya sangat nyeri sekali. Pasien diminta menunjuk titik tertentu. Penilaian ini akan diulang setelah mendapat pengobatan.



1 10 cm Visual Analog Scale (VAS)



!



Pain as Bad as it Could Possibly be



Pain



Gambar 1. Skala analog visual (VAS)



DERAJAT NYERl Berdasarkan alat bantu yang dipakai, maka nyeri kanker dapat dibagi 3 kelompok; yaitu: Nyeri ringan yaitu nyeri dengan nilai VAS 1-4. Nyeri sedang yaitu nyeri dengan nilai VAS 5-6. Nyeri berat yaitu nyeri dengan nilai VAS 7- 10. Hasil pemeriksaan ini akan menentukan jenis obat yang diberikan.



TATA LAKSANA NYERl KANKER Tatalaksana nyeri kanker rnembutuhkan pengkajian (~is.ve.v~sn?etit)yang tepat, terus-menerus dan berkesinambungan. Pengkajian nyeri itu sendiri memerlukan pengetahuan dasar yang harus dipelajari dengan baik agar lebih berani dalam pemberian obat morfin. Dokter sering takut memberikan morfin karena ketidaktahuan dokter mengenai morfin, efek samping yang mungkin timbul, dan cara mengatasinya. Tahapan dalam tata laksana nyeri kanker. Pengkajian/a,s.se.ssmer?t. Pengobatan dan Evaluasilreassessment.



Pengkajian (Assessment) Penilaian nyeri yang tepat merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Keluhan pasien merupakan arti sangat penting dalam pengobatan nyeri, keluhan ini harus diuraikan dengan jelas. Ada beberapa pedoman untuk menilai nyeri seperti: Kapan timbulnya nyeri. Di mana lokasi nyeri . Bagaimana kemungkinan mekanisme nyeri tersebut muncul. Bagaimana intensitas nyeri itu. Faktor apakah yang mengurangi atau menambah nyeri tersebut. Dari anamnesis yang baik, dapat diketahui jenis nyeri yang dikeluhkan oleh pasien. Dengan bantuan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto, zrltrasonogarfi, skintigrafi tulang, CT scanning, MRI dan lainnya, akan dapat diketahui dengan jelas jenis nyeri pasien ini, apakah nyeri neuropatik, viseral atau somatik atau gabungan dari dua atau tiga jenis nyeri ini. Pengobatan dan Evaluasi Pengobatan nyeri kanker harus bersifat multidisiplin, melibatkan banyak keahlian seperti onkologi medik, psikatrik, saraf, bedah, rehabilitasi medik, radioterapi, perawat onkologi, pengasuh rawat (caregivers), dan lain lain. Selain itu juga melibatkan anggota keluarga selain pasien itu sendiri. Pengobatan nyeri kanker terdiri dari 2 bagian, non farmakologik yaitu pengobatan bukan dengan obat seperti tindakan operasi, radiasi, tindakan oleh rehabilitasi medik dan sebagainya. Pengobatan cara ini tidak banyak dilakukan. Sedangkan farmakologik adalah pengobatan dengan memakai obat, dan dilaporkan sekitar 90% kasus nyeri kanker dapat diatasi dengan obat-obatan. Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat suatu pedoman penilaian nyeri yang sangat dikenal dan dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu Step Ladder/tangga nyeri WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah untuk menatalaksana nyeri kanker. Tangga nyeri (Step Ladder) yang merupakan pedoman umurn untuk pengobatan nyeri kanker, ini sangat membantu pengobatan nyeri ini dan mudah untuk dimengerti. Sehingga sangat dianjurkan untuk digunakan. Obat nyeri kanker. Berdasarkan kepada kekuatan obat anti nyeri kanker, maka dikenal3 tingkatan obat yaitu: Nyeri ringan (VAS 1-4), obat yang dianjurkan; Asetaminofen, OAINS (obat anti-inflamasi non-steroid) Nyeri sedang (VAS 5-6). Obat kelompok pertama dan ditambah kelompok opioid ringan seperti kodein, tramadol. Nyeri berat (VAS 7-10). Obat yang dianjurkan adalah kelompok opioid kuat seperti morfin, fentanil dan sebagainya.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1514



ONKOLOGIMEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Obat Ajuvan. Selain obat nyeri di atas ada lagi obat yang bersifat ajuvan, yaitu obat yang membantu mengurangi nyeri. Obat ini dapat diberikan pada semua derajat nyeri sebagai tambahan. Obat yang termasuk kelompok ini antara 'lain : a). Kortikosteroid; b). Gabapentin; c). Amitriptilin; d). Bisfosfonat. Juga terdapat beberapa obat lain yang bisa bennanfaat. Opioid Kuat. Pengobatan untuk nyeri kanker terutama nyeri sedang dan berat sering di bawah standar. Ini terjadi bisa karena penilaian nyeri yang kurang baik atau karena ketakutan akan pemakaian morfin. Ketakutan pemakaian morfin ini disebabkan banyak hal, bisa karena faktor pasien dan keluarga yang takut akan ketergantungan obat, atau faktor tenaga dokter karena kurang mengetahui efek sarnping dan cara mengatasinya atau tidak mau repot karena adanya aturan khusus dalam pemakaian obat opioid.



1



-



Garnbar 2. Tangga nyeri (Step Ladder WHO)



Opioid kuat yang ada di Indonesia seperti morfin tersedia dalam bentuk: 1). Ampul yang diberikan untuk injeksi (suntikan); 2). Kemasan oral (tablet) dalam 2 bentuk: (2 a).Tablet kerja cepat, efektif selama 4-6 jam sehingga diberikan 4-6 kali sehari. Tablet ini bisa digerus dan dibagi. (2 b). Tablet kerja lambat, efektif selama 8-12 jam sehingga diberikan 2 kali sehari. Tablet ini tidak bermanfaat sebagai lepas lambat bila dibagildigerus; 3). Opioid kuat bentuk lain adalah Transdermal Patchlobat tempel transdermal fentanyl, yaitu golongan opioid kuat yang bekerja selama 72 jam dan cara pemberian ditempel di kulit. Obat ini sangat bermanfaat untuk orang yang sulit menelan, kegagalan fungsi saluran cerna, tidak patuhlsulit minum obat sesuai ketenkan (non compliance) dan lain sebagainya.



WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri kanker seperti berikut: Obat dimakan melalui mulut. Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal , tiap 6 jam atau 12jam, bila sedang tidur dibangunkan untuk minurn obat nyeri. Sesuai dengan pedoman tangga nyeri WHO. Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan lain, setiap pasien punya reaksi dan respons yang mungkin tidak sama, sehingga perlakuannya bersifat individual. -. Penuh perhatian terhadap hal-ha1 kecil. Efek samping yang agak mengganggu adalah susah buang besarkonstipasi, mual, mengantuk, ha1 ini dapat ditanggulangi dengan baik, sedangkan yang agak berat adalah frekuensi napas menjadi lambat, meskipun kasus seperti ini jarang terjadi. Konstipasi harus dicegah se.jak awal, sehingga setiap membuat resep morfin maka resep laksansia juga harus dibuat. Jika konstipasi sudah timbul maka agak sulit untuk mengatasi ha1 ini. Nausea kadang kadang timbul dan dapat diberikan anti muntah. Pemberian dosis maksimal morfin lebih ditentukan oleh toleransi terhadap efek samping ini. Satu ha1 yang penting diketahui morfin tidak mempunyai dosis maksimal sehingga aman sekali dipakai dan tidak menimbulkan ketergantungan jika dipakai dengan benar. Pemberian obat ajuvan diberikan sesuai pengkajian. Jika diduga penyebabnya neuropatik maka selain obat di atas dapat ditambahkan GABAIGabapentin. Jika nyeri somatik disebabkan oleh karena metastasis tulang yang sedikit maka diberikan OAlNS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) dan dapat ditambahkan bisfosfonat. Jika metastasis relatif luas atau multipel maka pengobatan utamanya adalah radioterapi dan ditambah bisfosfonat. Tata laksana nyeri merupakan bagian dari pengobatan kanker. Jika pengobatan kausal terhadap kanker responsif, maka keb~~tuhan anti nyeri bisa berkurang dan adakalanya pemakaian morfin bisa dihentikan secara bertahap tanpa menimbulkan ketergantungan (adiksi). Jika pengobatan kausal tidak diberikan lagi maka pengobatan anti nyeri akan terus diberikan sampai pasien meninggal. Sepanjang cara pemberian morfin sesuai prosedur maka tidak terjadi addiksi dan nyeri dapat dikontrol dengan baik. Pemakaian morfin tidak ada batasan maksimal sepanjang efek samping obat tersebut tidak muncul. Bila muncul efek samping yang serius maka pengobatan dengan morfin hams ditukar dengan obat lain. Pengobatan psikiatrik seharusnya sudah dimulai sejak pasien mulai mendapat pengobatan nyeri, karena nyeri kanker biasanya nyeri kronik dan berdampak kepada psikis. Ada beberapa cara yang dikembangkan dalam bidang psikiatrik.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1515



PENANGGULANGAN NYERl PADA KANKER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TAHAPAN SEDERHANA PENATALAKSANAAN NYERl KANKER Tentukan jenis nyeri Tentukan tingkatan nyeri Berikan anti nyeri sesuai tingkatan Pengkajian ulang dan dosis morfin dinaikkan % sampai !h dosis awal. *. Fikirkan obat tambahan,bila kurang responsif.



KESIMPULAN Penanggulangan nyeri kanker m'erupakan bagian dari pengobatan kanker dan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Penanggulangan nyeri kanker hams secara interdisiplin. Untuk mencapai bebas nyeri diperlukan pengkajian yang tepat, komprehensif dan berkesinambungan. Pemberian obat morfin cukup aman asal dikerjakan dengan baik dan tidak menimbulkan ketergantungan.



REFERENSI Dinwoodie WR, La Pierre JA, Rodriquez C, Brune M. Pain management. Decision making in oncology, evidence based management. In: Djulbegovic B, Sullivan DM, editors. Philadelphia: Churchill Livicgstone; 1997. p. 385-97. Elon Eisenberg, David Borsook, Alyssa A Le Bel. Pain in the terminally ill. Massachussetts General Hospital handbook of pain Management. In: David Borsook, Alyssa A LeBel, Bucknam Mc Peek, editors. Boston: Little, Brown and Company; 1996. p. 310-25. Foley KM. Management of cancer pain, supportive care and the quality of life of the cancer patient. Cancer principle and practice of oncology. In: De Vita Vincent, Hellman Samuell, A Rosenberg S, editors. 4th edition. Philadelphia: Lippincott; 1993. p. 2417-37. Kittelberger KP,LeBel AA, Borsook D. Assessment of pain. In: Boorsok D, LeBel AA, Mc Peek B, editors. Massachusetts General hospital handbook of pain management. Boston: Little, Brown and Company; 1996. p. 26-44. NCCN. Adult cancer pain. Clinical practice guideline in oncology. Volume 1. 2005. p. 1- 27. Payne R. Opioid pharmacotherapy. Principles and practice of palliative care and supportive oncology. In: Berger AN, Portenoy RK, Weissman DE, editors. 2nd edition. Philadelphia: Lippincitt Williams and Wilkins; 2002. p. 68-83.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



SINDRO-M PARANEOPLASTIK Sugiyono Somoastro, Abdulmuthalib



DEFlNlSl DAN INSIDENS Sindrom paraneoplastik adalah gangguan klinik dengan tanda dan gejala yang mengenai jauh dari tempat tumor primer dan metastasis (remote effect). Sindrom paraneoplastik paling sering berhubungan dengan kanker paru, lambung dan payudara atau dengan keganasan darah terutama limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Beberapa sindrom paraneoplastik seperti cancer-related anemia dan anorexia-cachexia sering terjadi pada berbagai jenis keganasan. Insidens terjadi sindrom paraneoplastik adalah sekitar 50%. Sangat penting mengenali manifestasi klinik sindrom paraneoplastik karena sering sekali merupakan petunjuk awal adanya kanker dan pengenalan segera akan mengarah diagnosis yang lebih awal dan pada stadium yang lebih bisa ditangani. Protein yang disekresi oleh sindrom paraneoplastik mungkin bisa digunakan sebagai tumor marker. Keberhasilan penanganan tumor yang mendasari akan menghilangkan sindrom paraneoplastik. Pada beberapa keadaan tumor tidak bisa diobati tapi gejala dan komplikasi sindrom paraneoplastik bisa ditangani.



Penyebab terbanyak sindrom paraneoplastik tidak diketahui. Tapi secara umum ada 4 mekanisme, yaitu: 1). Sekresi hormon yang tidak wajar; 2). Konversi metabolik hormon steroid; 3). Produksi dan sekresi sitokin; 4). Stimulasi produksi antibodi autoimun Sindrom endokrin seperti hiperkalsemia dan SIADH (syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone) umumnya disebabkan oleh produksi peptida



hormon yang tidak wajar oleh sel tumor. Banyak sel normal dan nonendokrin maligna produksi sejumlah protein hormon yang berfungsi autokrin atau parakrin. Beberapa kanker produksi dalam jumlah banyak hormon atau mempunyai kemampuan mengubah suatu molekul menjadi bentuk aktif yang mengakibatkan timbul manifestasi klinik sistemik. sarkoma dan hepatoma dapat mengekspresikan peningkatan aktivitas aromatase yang mengubah androgen menjadi estradiol, sehingga terjadi ginekomastia. Beberapa keganasan hematologi mengekspresi peningkatan vitamin D hidrolase sehingga terjadi peningkatan kalsitriol dan hiperkalsemia. Produksi dan sekresi sitokin bertanggung jawab terhadap beberapa sindrom paraneoplastik seperti lekositosis, demam, anoreksia-kakeksia. Beberapa sindrom paraneoplastik terutama dengan manifestasi neurologi umumnya akibat terbentuknya autoantibodi.



PENEMUAN KLlNlS Tanda dan gejala sindrom paraneoplastik dapat mendahului diagnosis kanker berbulan-bulan atau bertahun-tahun atau dapat timbul kapan saja dalam perjalanan kanker. Sindrom paraneoplastik umumnya berhubungan dengan gejala yang timbul cepat. Setiap sistem organ dapat terkena sindrom paraneoplastik. SIADH dan hiperkalsemia adalah contoh sindrom paraneoplastik yang berakibat fataltkematian bila tidak ditangani dengan tepat. Anemia adalah faktor utama yang berperan dalam cancer-related fatigue dan morbiditas cardio-pulmonary. Fenomena tromboemboli tidak jarang penyebab kematian pada kanker lanjut.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



SINDROM PARANEOPLASTIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Endokrin Sindom Cushing. Dengan gambaran klinis kelemahan, alkalosis, hipokalemia, hipertensi. Penyebabnya adanya produksi ACTH. Kanker yang berhubungan: kanker paru small-cell, karsinoid,timoma, tiroid medullary



SIADH. Dengan gambaran klinis hiponatremia, urin hipertonik, konfusi. Penyebabnya adalah arginin vasopresin, ANF (Atrial Natriuretic Factor). Kanker yang berhubungan : kanker gastrointestinal, esofagus, kanker paru small-cell. Hiperkalsemia. Dengan gambaran klinis hiperkalsemia, konfusi, poliuri/polidipsi. Penyebabnya adalah PTHrP (Parathyroid hormone-related peptide), Osteoclast activating factors, peningkatan hidroksilasi vitamin D. Kanker yang berhubungan: kanker paru nonsmall-cell, nasofaring, payudara, mieloma, limfoma, lekemia Hipoglikemia. Dengan gambaran klinis hipoglikemia, konfusi. Penyebabnya IGF-I1 (insulin growth factor). kanker yang berhubungan: sarkoma, hepatoma Onkogenik osteomalasia. Dengan gambaran klinis hipofosfatemia, penurunan vitamin D, osteopeni, nyeri tulang. Penyebabnya peningkatan ekskresi fosfat di ginjal. Kanker yang berhubungan: sarkoma, prostat, kanker paru small-cell. Akromegali. Dengan gambaran klinis raut muka kasar, peningkatan ukuran kakiltangan. Penyebabnya peningkatan hormon pertumbuhan, GHRH (growth hormone-releasing hormone). Kanker yang berhubungan: paru, lambung, payudara, karsinoid. Ginekomastia. Dengan gambaran klinis pembesara payudara pada laki. Penyebabnya peningkatan aktivitas aromatase. Kanker yang berhubungan: hepatoma, sarkoma. Hematologi Anemia. Dengan gambaran laboratorium penurunan hemoglobin, hematokrit, skistositosis, penurunan prekursor eritroid. Penyebabnya penurunan relatif eritropoietin, hemolisis autoimun, pure red cell aplasia. Kanker yang berhubungan semua kanker. Eritrositosis. Dengan gambaran laboratorium peningkatan hemoglobinlhematokrit. Penyebabnya peningkatan eritropoietin. Kanker yang berhubungan ginjal, hepatoma. Reaksi leukemoid. Dengan gambaran laboratorium lekositosis >20.000/mm3. Penyebabnya sitokin. Kanker yang berhubungan semua jenis kanker. Trombositopenia. Dengan gambaran laboratorium trombositopenia. Penyebabnya adanya antibodi terhadap trombosit. Kanker yang berhubungan limfoma Trombositosis. Dengan gambaran laboratorium



peningkatan jumlah trombosit. Penyebabnya mungkin produksi trombopoietin berlebihan atau dapat disebabkan oleh kelainan sekunder seperti inflamasi, perdarahan, anemia hemolitik. Kanker yang berhubungan limfoma, tumor padat. Tromboembolism. Dengan gambaran klinis migratory thrombosis, sterile valvular vegetations, emboli sistemik, CVA (Cerebrovascular accident). Penyebabnya terdapat ketidakseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis, peningkatan katabolisme fibrinogen dan trombosit, penurunan kadar AT 111, protein C dan protein S. Kanker yang berhubungan gastrointestinal, adenokarsinoma musinus. DIC (DisseminatedZntravascular Coagulopathy).Dengan gambaran klinis Peningkatan PT (protrombin time),PTT (parsial tromboplastin time), fibrinogen, trombositopenia, D-dimer. Penyebabnya peningkatan ikatan protein aneksin I1 dengan fosfolipid. Kanker yang berhubungan AML-M3, tumor padat. Neuromuskular Sindrom Guillain-Barre. Dengan gambaran ascending paralysis. Penyebabnya inflamasi, demielinisasi. kanker yang berhubungan limfoma Hodgkin. Miastenia gravis. Dengan gambaran klinis kelemahan, pandangan kabur. Penyebabnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Kanker yang berhubungan timoma. Eaton-Lambert sindrom. Dengan gambaran klinis kelemahan, disfungsi otonom. Penyebabnya antibodi terhadap voltage-gated calsium. Kanker yang berhubungan kanker paru jenis small-cell. Paraneoplastik periferal neuropati. Dengan gambaran klinis penurunan simetris kemampuan sensorik dan motorik, progresif dari distal dan terberat pada tungkai.Penyebabnya adanya antigen CV2. Kanker yang berhubungan paru, payudara. Dermatologi Eritroderma. Dengan gambaran klinis eritema makular difus. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan limfoma Pruritus. Dengan gambaran gatal menyeluruh. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan limfoma. Lesi bulosa. Manifestasi tersering adalah paraneoplastik pemphigus dengan gambaran klinis lesi bulosa pada kulit, stomatitis. Penyebabnya autoantibodi terhadap desmosom plakin, lektin, desmoglein 1 dan 3. Kanker yang berhubungan limfoma, lekemia limfositik kronik, timoma. Reumatologi Dermatomositis/polymyositis. Dengan gambaran klinis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kelemahan otot, inflamasi, ruam. Penyebabnya adanya antibodi antimiosin, antimioglobin. kanker yang berhubungan paru, ovarium, payudara, lambung. Vaskulitis. Dengan gambaran klinis vaskulitis. Penyebabnya endapan kompleks imun. Kanker yang berhubungan keganasan hematologi Pulmonary hypertrophic osteoarthropathy. Dengan gambaran klinis clubbing, nyeri tulang, sinovitis, periostitis. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan paru, mesotelioma, metastasis paru.



Ginjal Glomerulonefritis. Dengan gambaran klinis glomerulonefritis membranosa. Penyebabnya endapan kompleks imun. Kanker yang berhubungan paru, gastrointestinal, payudara, limfoma. Sindrom nefrotik. Dengan gambaran klinis glomerulonefritis minimal (lipoid nefrosis). Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan. limfoma Hodgkin. Hati Sindrom Stauffer. Dengan gambaran klinis gangguan fungsi hati, demam, penurunan berat badan. Penyebabnya antibodi antihepatosit (?). Kanker yang berhubungan kanker ginjal. SlSTEMlK Anoreksia-kakeksia. Dengan gambaran klinis penurunan berat badan. Penyebabnya TNF (tumor nekrosis faktor) alfa (kakeksin). Kanker yang berhubungan semua jenis kanker. Demam. Dengan gambaran demam tanpa adanya infeksi. Penyebabnya interleukin 1 dan TNF alfa, beta.



PENGOBATAN Penanganan yang tepat sindrom paraneoplastik tergantung pada jenis, tingkat beratnya, dan respons terapi kanker yang mendasari. Tujuan pengobatan mengontrol



gejala dan kanker yang mendasari. Pada pasien dengan gejala ringan dan tumor yang kemosensitif, dengan pemberian kemoterapi cukup menghilangkan gejala. Tapi, bila gejala berat dan tumor lanjut atau tumor yang kurang sensitif, perlu terapi spesifik. Sindrom paraneoplastik akibat dari overproduksi hormon atau sitokin umumnya berhasil ditangani dengan keberhasilan terapi antikanker dan akan timbul lagi bila residif. Terapi tambahan diperlukan seperti pada sindom Cushing dengan obat penghambat produksi kortisol (aminoglutetimid atau ketokonazol), hiperkalsemia dengan hidrasi dan bifosfonat, SIADH dengan pembatasan cairan dan demeklosiklin, oncogenic osteomalacia dengan fosfat dan vitamin D adalah sering bermanfaat untuk mengurangi gejala. Sebaliknya gejala-gejala yang berhubungan dengan sindrom neurologi autoimun selalu berhubungan dengan kerusakan neuron yang umumnya ireversibel saat diagnosis ditegakkan. Perbaikan peningkatan kualitas hidup, dengan perangsang nafsu makan seperti medroksiprogesteron asetat dapat meningkatkan berat badan pada 50% pasien dengan cancer-associated anorexia-cachexia.Eritropoietin dapat mengurangi fatigue pada pasien dengan cancer-related anemia.



REFERENSI Arnold SM, Lieberman FS, Foon KA. Paraneoplastic syndromes. In: de Vita VT, et al, editors. Cancer principles & practice in oncology, 7Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2005.' Jameson JL, Johnson BE. Paraneoplastic syndromes: endocrinologic/hematologic. In: Kasper DL, et al, editors. Harrison's principle of internal medicine. 16th edition. New York: McGraw-Hill; 2005. Kalemkerian GP. Paraneoplastic syndromes. In: Humes HD, editor. Kelley's. textbook of internal medicine. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000. Macaulay VM, Smith IE. Paraneoplastic syndromes. In: Peckham M, et al, editors.Oxford textbook of oncology. Oxford: Oxford University Press; 1995. Odell WD. Paraneoplastic syndromes. In: Holland JF, et al, editors. Cancer medicine. 41h edition. Baltimore: Williams&Wilkins; 1997.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN PASIEN KANKER TERMINAL DAN PERAWATAN DI RUMAH HOSPIS Asrul Harsal



PENDAHULUAN Pengobatan kanker lanjut dengan kondisi pasien yang kurang baik, sering ditujukan kepada perawatan paliatif. Dalam perawatan paliatif, klinisi dihadapkan kepada dua ha1 yaitu: 1). Pengenalan pelayanan perawatan paliatif itu sendiri; 2). Penjelasan mengenai perawatan paliatif yang menuju kepada kematian, yang cenderung menjadi topik yang menakutkan bagi keluarga dan pasien., dan klinisi perawatan paliatif biasanya juga menghindari pembicaraan keiatian pada awal wawancara. Deskripsi dari perawatan paliatif sering dipakai penyakit terminal, penyakit yang mengancam kehidupan, atau penyakit serius. Pengertian mengenai perawatan paliatif dan ruang lingkupnya bervariasi dalam komunitas perawatan paliatif menggambarkan bukanlah suatu lapangan yang baru, ruang lingkup itu masih diperdebatkan, mulai dari menghilangkan gejala, peningkatan kualitas hidup atau mengobati pasien yang tidak responsif terhadap penyembuhan, pertikaian ini tetap ada dan masing masing negara juga berbeda dan di Amerika ada perbedaan antara perawatan paliatif dan hospis.



PERAWATAN PALlATlFlHOSPlS Perawatan hospis adalah perawatan oleh tenaga terlatih yang dtujukan terhadap kebutuhan fisik, psikososial, dan spritual yang diperlukan oleh pasien dan keluarga, bentuk ini merupakan dasar program perawatan paliatif di seluruh dunia, program ini pertama kali diperkenalkan oleh Cicely



Saunders di St,s Christopher s hospice di London Istilah hospis tidak diterima di Perancis, sehingga dipolulerkan dengan nama perawatan paliatif. Dengan kegiatan yang sama. Perawatan paliatif dikenal juga dengan perawatan terakhir (Terwinal care) ,end oj'life care.



FlLOSOFl PALlATlFlHOSPlS Pedoman perawatan paliatif adalah: 1). Kematian adalah sesuatu yang alamiah yang merupakan bagian dari siklus kehidupan, perawatan paliatif tidak memperpanjang atau mempercepat kematian; 2). Mengatasi nyeri dan gejalat keluhan yang timbul merupakan tujuan dari perawatan; 3). Nyeri psikologis dan spritual merupakan ha1 yang nyata dari nyeri fisik dan memerlukan 3 keahlian, sehingga pendekatannya hams secara tim interdisiplin; 4). Pasien, keluarga dan seseorang yang disayangi, merupakan suatu unit dari perawatan; 5). Perawatan kesedihan suatu ha1 yang penting untuk mendukung ketahanan anggota keluarga dan teman; 6). Perawatan ini dikembangkan tanpa melihat kemampuan untuk dibayar. Tujuan utama perawatan paliatif adalah mempromosikan kesadaran, dignified dan bebas nyeri terhadap pasien sehingga dapat menghargai akan kebutuhan seseorang.



ORGANlSASl TIM HOSPIS Anggota inti dari tim perawatan paliatiflhospis adalah; Dokter yang mengunjungi pasien.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ONKOLOGI MEDlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Ketua tim hospis. Perawat yang sudah terlatih dengan keadaan pasien menjelang meninggal. Tenaga terlatih (pekerja sosial) terhadap kondisi menjelang meninggal. Rohaniawan yang terdidik dan berpengalaman. Koordinator sukarela yang terlatih dalam organisasi dan komunikasi. Tenaga sukarela yang terlatih. Selain yang di atas ditambahkan, tenaga profesional lain, seperti terapis, ahli diet, ahli farmasi dan asisten perawat, yang akan bergabung jika diperlukan.



EVALUASI PERAWATAN Evaluasi ini agak sulit karena menyangkut saksi dan orang yang mengevaluasi setelah proses perawatan lengkap Pendekatan yang sederhana adalah mengikuti perkembangan pasien ini mingguan pada tingkat rumah sakit atau perawatan rumah hospis sehingga akan memperbaiki kejadian sebelumnya. Tipe Program Perawatan Paliatif Ada dua tipe pelayanan: Hospis yang juga dikenal dengan perawatan paliatif. Program ini dapat dikembangkan sesuai dengan tempat dimana perawatan diberikan dan apakah staf ditempat tersebut mengetahui program paliatif atau bisa juga dikonsulkan kepada staf dari anggota tim paliatif. Sekarang program perawatan paliatif umumnya terdiri dari pasien rawat inap yang dikonsultasikan kepada tim, unit yang terdidik dengan berbagai ukuran perawatan akut atau fasilitas lain yang dikembangkan, klinik perawatan ambulatoir, program rawat rumah spesial termasuk disini pelayanan rumah sakit dengan"bridge" yang berafiliasi dengan perawatan paliatifhospis. Kebanyakan perawatan rawat paliatif dikembangkan sebagai konsultasi dengan atau di bawah pengaturan dokter primer, walaupun direktur medis paliatif atau dokter hospis dapat langsung merawat dalam beberapa program. Di dalam perawatan paliatifjuga ada pilihan lain dimana penatalaksanaan perawatan dipimpin oleh dokter primer. Rawat rawat rumah yang dikembangkan. Program ini adalah rawat rumah yang dikembangkan dengan perawatan rumah sakit pada kondisi akut. Rawat rurnah dikembangkan sesuai dengan fasilitas kediaman dan, rawat rumah seperti ini termasuk perawatan singkat yang terus menerus untuk memberikan pelayanan yang intensif. Perawatan di rumah sakit hanya karena kondisi akut, diberikan pada tempat tidur yang tersebar, pada unit yang sudah terdidik dan dengan fasilitas yang dikembangkan. atau kurang dari itu. Lama perawatan fase akut ini harusnya 5% dari jumlah hari



perawatan rawat rumah. Selama 20 tahun terakhir ini, ada banyak alasan yang menyebabkan adanya transisi perawatan di rumah sakit yang dipindahkan ke rumah, seperti; biaya perawatan yang mahal, pembatasan yang ketat dalam lama perawatan rumah sakit, keberhasilan perawatan rumah hospis dan perawatan rumah lebih murah dan lebih efektif. Beberapa perawatan rutin rumah sakit dapat dikerjakan di rumah dan hasilnya juga baik.



Elemen Perawatan Paliatif Perawatan paliatif ditandai oleh beberapa hal: Sasarannya pada Kondisi Khusus, perawatan pada kondisi sakit terminal atau menjelang akhir hayat. Tahapan ini tidak membutuhkan prognosis spesifik di dalam penjelasan terhadap perawatan pasien yang menjelang ajal, eufemisme hams dihindari,tetapi definisi tidak tumpul sehingga akan menakutkan pasien dan keluarga, seperti, tidak bisa sembuh, atau terminal dan juga tidak begitu halus seperti memberi harapan seperti pada penyakit lanjut. Sedangkan untuk petugas, istilah kondisi terminal, aktif progresif dan sebagainya jadi lebih nyata. Istilah penyakit yang mengancam kehidupan lebih tepat untuk keluarga dan pasien. Menggunakan metode yang tertentu. a). Komprehensif yaitu, ditujukan terhadap semua kondisi yang dihadapi. b). Interdisiplin atau bekerja sama dengan yang lain, Kebanyakan bidang klinis tidak mempunyai perawatan spesifik, tidak ada beda nyata, kecuali antara medikal dan bedah, sering dipakai istilah bedah invasif minimal, intervensi radiologik dan sebagainya.. Perawatan yang diarahkan terhadap pasien dan keluarga dan sampai masa berkabung. Fokus terhadap penatalaksanaan spesifik yaitu mempromosikan kualitas hidup. Masalah yang dihadapi pada perawatan paliatif: kurang energi, nyeri, mulut kering, napas pendek, susah tidur, merasa mengantuk, kecemasan, merasa gugup, batuk, berat badan turun, kurang nafsu makan, mudah tersinggung, gangguan seksual. Sebetulnya kita hams tahu apa yang diharapkan oleh pasien yang sudah divonis sebagai perawatan paliatif, berdasarkan kepada laporan penelitian Voogt E et al2005, menyatakan bahwa dari 122 pasien kasus terminal dengan umur rata rata 64 tahun dan 53 % diantaranya adalah perempuan. Disini dapat dikategorikan ada 3 bentuk keinginan pasien: Berusaha untuk peningkatan kualitas hidup. Pasien lebih tua, lebih lelah berobat, atau mempunyai perasaan yang kurang positif, lebih sering mempunyai insiatif untuk mempunyai rencana lebih meningkatkan kualitas hidup. Berusaha untuk memperpanjang kehidupan. Pasien



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN PASIEN KANKERTERMINAL DAN PERAWATAN DI RUMAH HOSPIS



1521



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan riwayat kanker yang kurang dari 6 bulan, cenderung lebih memilih usaha memperpanjang kehidupan dibandingkan terhadap pasien dengan riwayat kanker lebih lama, selamafollow up, tidak ada perubahan, kecuali pada pasien denga riwayat b a r - menderita kanker dan semangat untuk memperpanjang kehidupannya menurun. Tidak jelas, mana yang lebih diutamakan. Kelompok ini kurang jelas arah yang hendak dicapai. Perawatan Pasien Terminal Kematian adalah suatu perjalanan yang akan dilalui oleh semua orang, pada pasien kanker stadium lanjut, mungkin kematian itu sudah lebih dekat. Nilai dan kenyataan pada kOndisi terminal Yang dihadapi adalah penghargaan terhada~semua Perawatan Yang diberikan Yang d i c a ~ a i secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah integritas, bukan suatu kekecewaan. Sebagian tugas para klinisi adalah memfasilitasi keadaan emergensinya. Tugas klinisi adalah: Penjelasan tentang semakin dekatnya kematian. Sehingga berbicara mengenai ha1 yang nyata (realistic) Menilai kondisi pasien. Emosional pasien, dan lain lain. Mengobati gejala. Menyembuhkan gejala. - Nyeri. Pengobatan nyeri harus bisa diberikan dengan baik.Untuk nyeri sesuai dengan pedoman yang ada tahap 1, 2 dan 3 (lihat dalam bab penatalaksanaan nyeri kanker). - Gejala saluran cerna. Mual, muntah, ha1 ini bisa akibat penyakit kanker yang lebih dihubungkan dengan faktor mekanik, atau akibat lainnya seperti hiperkalsemia, atau akibat obat-obatan yang diminum seperti digoksin pada kelainan ginjal atau infeksi. Metastasis hati sering menyebabkan mual. - Sesak napas atau gangguan napas lainnya.. Sesak napas (dyspnea) dapat disebabkan banyak hal, dengan anamnesis, pemeriksaan fisis,dan jika disebabkan cairan pada pleura yang masif, maka dapat dilakukan penyedotan dan dilanjutkan dengan pleurodesis jika memungkinkan pada minggu-minggu terakhir kehidupan. Sesak napas karena ha1 lain diobati sesuai dengan penyebabnya, seperti infeksi diberikan antibiotika, sesak karena payah jantung diobati dengan obat untuk penyakit payah jantung. Morfin dosis rendah adakalanya akan memperbaiki sesak napas yang tidak terlalu berat. P e r a w a t a n P a s i e n pada H a r i l J a m - j a m Terakhir Kehidupan Penilaian kondisi pasien, termasuk di sini klarifikasi pencapaian tujuan pengobatan dan keadaan seseorang serta harapan yang ingin dicapai pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Jika kondisi pasien sudah



mendekati akhir kehidupan, maka prinsip dasar semua pengobatan adalah tertuju terhadap menuju ketenangan dan kenyamanan. Perawatan mulut menjadi ha1 penting, infus, makanan dan minuman tidak perlu jika pasien menolak, Jika perawatan mulut baik, sedikit dehidrasi tidak menimbulkan rasa tidak nyaman. Obat yang dipakai sebelumnya jika masih diperlukan dan tidak bisa diminum maka diberikan melalui suntikan, pemberian obat suntikan subkutan masih dapat diberikan. Obat yang tidak ada hubungan dengan perbaikan gejala saat itu, segera distop. Obat tidur dapat diberikan Cjangan morfin, karena efek sedasinya disebabkan efek samping). Obat yang bisa Midazolam 2-1 5 mg infus subkutan dapat diulang setelah 2-4 jam kemudian, klonazepam 1-2 mg subkutan atau sublingual. Perawatan Spiritual Perawatan spiritual mempunyai beberapa penjelasan, antara lain: Perawatan spiritual tidak selalu berhubungan dengan keagamaaan, tetapi lebih mengenai topik yang berhubungan dengan harapan, dan perkembangan pribadi, Kepercayaanlagama, adalah suatu pengertian manusia yang mendalam,dan dokter harus menghargai ha1 ini, yang berhubungan dengan sakit berat dan kematian. Menurut pengalaman yang dihadapi di Indonesia masalah agama menjadi sangat dominan pada kondisi terminal. Kondisi pasien pada akhir hayat diusahakan setenang mungkin dengan kualitas hidup yang relatif baik dan dalam pedoman agama dan mulia (dignity). REFERENSI Andre\\ Billings J. Definitions and models ot' palliati~e care. I'rinciples and practice of palliati\e care and supporti~concolog). In: Berger AN, Portenoy RK. Weissman DE. editors. 2"" edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins: Philadelphia; 2002. p. 635-46. Leland JY, Schonuetter RS. Hospice. Principles and practice of palliative care and supportive oncolog>. In: Berger AN, Porteno) RK, Weissman DE, editors. 2"hdition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2002. p. 647-52. Vinciguerra VD, Olimpio ST. Deliver!. of canccr care at home. Supportive care in cancer. In: Klatersk! J, Schitnpff SC. Jorg Senn H. editors. I " edition. New York: Marcel Dekker; 1998. p. 693-707. Lickiss JN. Care of the patient close to death. Supporti\e care in cancer. In: Klatersky J, Schimpft' SC. Jorg Senn H. editors. I " edition. New York: Marcel Dekker; 1998. p. 677-92. Voogt E, Heide A v d. Riet.jens SAC. Leeu\\en Af\. et al. Attitudes of patients with incurable cancer toward ~iiedicaltreatment in the last phase of life. J of Clin Oncolog). 3005;23:2012-9.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ELEKTROKARDIOGRAFI Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun



PENDAHULUAN Sejak Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung berkontraksi, pemeriksaan elektrokardiograrn (EKG) menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting. Saat ini pemeriksaan jantung tanpa pemeriksaan EKG dianggap kurang lengkap. Beberapa kelainan jantung sering hanya diketahui berdasarkan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga, jangan memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil pemeriksaan EKG dan mengabaikan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Keadaan pasien hams diperhatikan secara keseluruhan, misalnya umur, jenis kelamin, berat badan, tekanan darah, obat-obat yang diminum, dan sebagainya. EKG adalah pencatatan grafis potensial listrik yang ditimbulkan oleh jantung pada waktu berkontraksi.



KONSEP DASAR ELEKTROKARDIOGRAFI Sifat-sifat Listrik Sel Jantung Sel-sel otot jantung mempunyai susunan ion yang berbeda antara ruang dalam sel (intraselular) dan ruang luar sel (ekstraselular). Dari ion-ion ini, yang terpenting ialah ion Natrium (Na') dan ion Kalium (K'). Kadar K+intraselular sekitar 30 kali lebih tinggi dalam ruang ekstraselular daripada dalam ruang intraselular. Membran sel otot jantung ternyata lebih permeabel untuk ion negatif daripada untuk ion Na'. Dalam keadan istirahat, karena perbedaan kadar ion-ion, potensial membran bagian dalam dan bagian luar tidak sama. Membran sel otot jantung saat istirahat berada pada keadaan polarisasi,dengan bagian luar berpotensial lebih positif diban dingkan dengan bagian dalam. Selisih potensial ini disebut potensial membran, yang dalam keadaan istirahat berkisar -90 mV. Bila membran ototjantung



dirangsang, sifat permeabel membran berubah sehingga ion Na' masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial membran berubah dari -90 mV menjadi +20 mV (potensial diukur intraselular terhadap ekstraselular). Perubahan potensial membran karena stimulus ini disebut depolarisasi. Setelah proses depolarisasi selesai, maka potensial membran kembali mencapai keadaan semula, yang disebut proses repolarisasi.



Potensial Aksi Bila kita mengukur potensial listrik yang terjadi dalam sel otot jantung dibandingkan dengan potensial di luar sel, pada saat sel mendapat stimulus, maka perubahan potensial yang terjadi sebagai fungsi dari waktu, disebut potensial aksi. Kurva potensial aksi menunjukkan karakteristik yang khas dan dibagi menjadi 4 fase yaitu: Fase 0: awal potensial aksi yang berupa garis vertikal ke atas yang merupakan lonjakan potensial hingga mencapai +20 mV. Lonjakan potensial dalam daerah intraselular ini disebabkan oleh masuknya ion Na+ dari luar ke dalam sel. Fase 1: masa repolarisasi awal yang pendek, di mana potensial kembali dari +20 mV mendekati 0 mV. Fase 2: fase datar di mana potensial berkisar pada 0 mV. Dalam fase ini terjadi gerak masuk dari ion Ca" untuk mengimbangi gerak keluar dari ion K'. Fase 3: masa repolarisasi cepat dimana potensial kembali secara tajam pada tingkat awal yaitu fase 4. Sistem Konduksi Jantung Pada umumnya, sel otot jantung yang mendapat stimulus dari luar, akan menjawab dengan timbulnya potensial aksi, yang disertai dengan kontraksi, dan kemudian repolarisasi yang disertai dengan relaksasi. Potensial aksi dari satu sel otot jantung akan diteruskan ke arah sekitarnya, sehingga sel-sel otot jantung di sekitarnya akan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mengalami juga proses eksitasi, kontraksi, dan relaksasi. Penjalaran peristiwa listrik ini disebut konduksi. Berlainan dengan sel-sel jantung biasa, dalam jantung terdapat kulnpulan sel-set jantung kliusus yang rnempunyai sifat dapat menimbulkan potensial aksi sendiri tanpa adanya stimulus dari luar. Sifat sel-sel ini disebut sifat automatisitas. Sel-set ini terkumpul dalam suatu sistem yang disebut sistem konduksi jantung. Sistem konduksi jantung terdiri atas : Simpul Sinoatrial (sering disebut nodus sinus, disingkat sinus). Simpul ini terletak pada batas antara vena kava superior dan atrium kanan. Sirnpul ini mempunyai sifat automatisitas yang tertinggi dalam sistem konduksi jantung.



Gambar 3. Proses aktlvasi otot jantung Suatu stimulus lrstr~k menyebabkan aktivas~yang d~susuldengan repolar~sas~



Sistem konduksi intra atrial. Akhir-akhir ini dianggap bahwa dalam atrium terdapat jalur-jalilr khusus sistem kond~lksijantung yang terdiri dari -3 jalur internodal yang mengliubungkan simpul sino-atrial dan sirnpul atrioventrikular, dan jalur Bachnian yang menghubungkan atrium karian dan atrium kiri. Simpul ario-ventrikular (sering disebut nodus atrioventrikular disingkat nodus). Simpul ini terletak di bagian bawah atrium kanan, antara sinus koronarius dan daun katup trikuspid bagian septal. Berkas His. Berkas His adalah sebuah berkas pendek yang merupakan kelanijutan bagian bawah simpul atrioventrikular yang menembus anulus fibrosus dan septum bagian membran. Simpul atrioventrikular bersama berkas His disebut penghubung atrio-ventrikular. Cabang berkas. Ke arali distal, berkas His bercabang menjadi dua bagian, yaitu cabang berkas kiri dan cabang berkas kanan. Cabang berkas kiri rnernberikan cabangcabang ke ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas kanan bercabang-cabang ke arah ventrikel kanan. Fasikel. Cabang berkas kiri bercabang menjadi dua bagian, yaitu fasikel kiri anterior dan fasikel kiri posterior. Serabut purkinje. Bagian terakhir dari sisteln konduksi jantung ialah serabut-serabut Purkinje, yang nierupakan anyanian halus dan berhubungan erat dengan set-sel otot jantung. Pengendalian Siklus Jantung Pengendali utama siklus jantung ialah simpul sinus yang mengawali timbulnya potensial aksi yang diteruskan melalui atrium kanan dan kiri menuju simpul AV, terus ke berkas His, selanjutnya ke cabang berkas kanan dan kiri. dan akhirnya mencapai serabut-serabut Purkinje. ltnpuls listrik yang diteruskan rnelalui atrium tnenyebabkan depolarisasi atrium, sehingga terjadi sistol atrium. ltnpuls yang kemudian tnencapai simpul AV, mengalami perlambatan konduksi, sesuai dengan sifat tisiologis simpul AV. Selanjutnya, impuls yang mencapai serabut-serabut Purkinje akan menyebabkan kontraksi otot-otot ventrikel secara bersamaan sehingga terjadi sistol ventrikel. Karena merupakan pengendali iltama siklus jantung, sirnpul sinus disebut pemacu jantung utama. Gambaran Siklus Jantung pada Elektrokardiogram Elektrokardiograni (EKG) adalah rekaman potensial listrik yang tinibul sebagai akibat aktivitas jantung. Yang dapat direkam adalah aktivitas listrik yang timbul pada waktu otot-otot jantung berkontraksi. Sedangkan potensial aksi pada sisteln konduksi jantung tak terukur dari luar karena terlalu kecil.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang berjalan dengan kecepatan baku 25 mmldetik dan defleksi 10 mm sesuai dengan potensial 1 mV. Gambaran EKG yang normal menunjukkan bentuk dasar sbb: Gelombang P. Gelombang ini pada umurnnya berukuran kecil dan merupakan hasil depolarisasi atrium kanan dan kiri. Segmen PR. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan gelombang P dan gelombang QRS. Gelombang Kompleks QRS. Gelombang kompleks QRS ialah suatu kelompok gelombang yang merupakan hasil depolarisasi ventrikel kanan dan kiri. Gelombang kompleks QRS pada umumnya terdiri dari gelombang Q yang merupakan gelombang ke bawah yang pertama, gelombang R yang merupakan gelombang ke atas yang pertama, dan gelombang S yang merupakan gelombang ke bawah pertama setelah gelombang R. Segmen ST. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T. Gelombang T. Gelombang T merupakan potensial repolarisasi ventrikel kanan dan kiri. Gelombang U. Gelombang ini berukuran kecil dan sering tidak ada. Asal gelombang ini masih belum jelas. Gelombang yang merupakan hasil repolarisasi atrium sering tak dapat dikenali karena berukuran kecil dan biasanya terbenam dalam gelombang QRS. Kadang-kadang gelombang repolarisasi atrium ini bisa terlihat jelas pada segmen PR atau ST, dan disebut gelombang Ta.



Elektroda TKa selalu dihubungkan dengan bumi untuk menjamin potensial no1 yang stabil.



LKa



I



LKi



1



Gambar 6. Elektroda-elektroda ekstremitas



Elektroda-elektroda prekordial diberi nama-nama V 1 sampai V6, dengan lokalisasi sebagai berikut : V1 : garis parasternal kanan, pada interkostal IV W : garis parasternal kiri, pada interkostal IV, V3 : titik tengah antara V2 dan V4, V4 : garis klavikula tengah, pada interkostal V, V5 : garis aksila depan, sama tinggi dengan V4, V6 : garis aksila tengah, sama tinggi dengan V4 dan VS. Kadang-kadang diperlukan elektroda-elektroda prekordial sebelah kanan, yang disebut V3R, V4R, VSR dart V6R yang letaknya berseberangan dengan V3, V4, V5 dan V6.



Gambar 5. Bentuk dasar EKG dan nama-nama interval



Sandapan-sandapan pada Elektrokardiografi Untuk menibuat rekaman EKG, pada tubuh dilekatkan elektroda-elektroda yang dapat meneruskan potensial listrik dari tubuh ke sebuah alat pencatat potensial yang disebut elektrokardiograf. Pada rekaman EKG yang konvensional dipakai 10 buah elektroda, yaitu 4 buah elektroda ekstremitas dan 6 buah elektroda prekordial. Elektrodaelektroda ekstrernitas masing-masing dilekatkan pada: lengan kanan (LKa), lengan kiri (LKi), tungkai kanan (TKa), tungkai kiri (TKi).



Gambar 7. Elektroda-elektroda prekordial



Sandapan Standard Ekstremltas Dari elektroda-elektroda ekstremitas didapatkan 3 sandapan dengan rekaman potensial bipolar yaitu : I = Potensial LKi -Potensial LKa II = Potensial LKa -Potensial TKi Ill = Potensial TKi -Potensial LKi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Untuk lnendapatkan sandapan unipolar, gabungan dari sandapan I, 11 dan 111 disebut Terminal Sentral dan dianggap berpotensial nol. Bila potensial dari suatu elektroda dibandingkan dengan terminal sentral, lnaka didapatkan potensial mutlak elektroda tersebut dan sandapan yang diperoleh disebut sandapan unipolar. Sandapan-sandapan berikut ini semuanya adalah sandapan unipolar yaitu: Sandapan prekordial. Sesuai dengan nalna-nalna elektrodanya, sandapan prekordial disebut: V 1,V2,V3.V4,V5. dan V6. Sandapan ekstremitas unipolar. Sandapan ini men~tniukkan potensial mutlak dari masing-masing ekstremitas. yaitu : aVR = Potensial LKa aVL = Potensial LKi aVF = Potensial Tungkai



KONSEPVEKTOR PADA ELEKTROKARDiOGRAFl Karena gaya listrik mernpunyai besar dan arah. tilaka ia adalah sebuah vektor. Suatu vektor dapat diriyatakan dengan sebuali anak panah dengan arah anak panali menunjukkan arah vektor dan panjang anak panah lnenyatakan besarnya vektor. Dalanl satu siklus jantung, terjadi gaya listrik pada saat depolarisasi atrium. ventrikel. dan repolarisasi ventrikel. Pada rekaman disebut sebagai gelombang P,QRS dan T. Yang sebenarnya gelombang P, QRS, dan T ini adalah vektor-vektor ruang \.ang selalu berubah-ubah besar dan arahnya sehingga disebut vektor P, vektor QRS, dan vektor T. Untuk mempelajari vektor pada umumnya dipakai suatu sistem sumbu. Untuk vektor ruang. dipakai sistem sumbu ruang yang terdiri dari tiga buah bidang yang saling tegak IU~LIS. Untilk me~npelajarivektor-vektor listrik pada jantung, ketiga bidang berikut ini dipilih : bidang Horisontal. ( H ) , bidang Frontal (F) dan bidang Sagital (S). Untuk keperluan elektrokardiograti yang konvensional, cukup dipakai dua bidang saja yaitu bidang H dan bidang F . Selanjutnya vektor-vektor yang proyeksinya pada bidang F dan H dapat diproyeksikan lagi pada garis-garis sumbu yang dibuat pada bidang F dan bidang H. Dari sandapan-sandapan konvensional, ternyata sandapan-sandapan yang diperoleh itu terletak dalaln bidang frontal dan bidang horizontal sebagai berikut : I. Pada bidang frontal: I, 11,111, aVR, aVL,, aVF 11. Pada bidang horisontal : V 1, V2.V3,V4, V5, V6



Sistem Sumbu pada Bidang Frontal Sesuai dengan nama sandapan, Inaka sumbu-sumbu pada bidang frontal disebut sumbu 1, 11, Ill, aVR, aVL. dan aVF.



Gambar 8. Vektor V dengan proyekslnya pada bidang F (VF) dan pada bldang H (VH) Selanjutnya VH dan VF dapat dlproyeksikan lag1 pada sumbu-sumbu yang dlbuat pada bidan H dan F



Penelitian menunjukkan bahwa letak sumbu-sumbu itu ialah sebagai berikut : 0 = pusat jantung I = garis mendatar 00 n = lnelnbuat sudut 60" dengan I, searah jarurn jam, yaitu +60° 111 =+120" aVR = -150" aVL = -30" aVF = +90°



Gambar 9. Sistem sumbu pada bidang frontal



Sistem Sumbu pada Bidang Horisontal Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu- sumbu pada bidang horisontal disebut sebagai berikut : V6 = garis mendatar 0" V5 =+22" v3=+47" V3 =+58" V2 =t94' V1 =+I 15"



Gambar 10. Slstern sumbu pada tdang horisontal



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bila selama siklusjantung kita tinjau vekltor-vektor listrik yang timbul, maka selama depolarisasi atrium, terjadi vektor P dalam ruang yang dimulai dari nol, muncul dengan besar dan arah yang berubah-ubah dan akhimya menjadi no1 lagi. Bila vektor P ini diproyeksikan pada bidang H dan bidang F, maka terdapat garis tertutup yang mulai dari titik awal 0 dan kembali lagi pada titik 0. Garis tertutup yang menggambarkan perjalanan dari vektor P ini disebut bulatan P. Jadi depolarisasi atrium menghasilkan bulatan P pada bidang F dan juga pada bidang H. Demikian juga selama depolarisasi ventrikel, timbul bulatan QRS pada bidang F dan bidang H. Pada repolarisasi dari ventrikel titnbul juga bulatan T. Dari ketiga bulatan vektor itu, bulatan vektor QRS ialah yang terpenting dan terbesar ukurannya. Suatu vektor yang menjalani bulatan vektor, besar dan arahnya selalu berubah-ubah. Tetapi selama perubahan itu, dapat ditentukan satu vektor yang merupakan ratarata atau sumbu listrik. Secara pendekatan, sumbu listrik ialah vektor yang membagi bulatan vektor menjadi dua yang sama. Sumbu listrik merupakan sifat penting dari masing-masing ruang jantung.



Gambar 11. Bulatan vektor QRS pada b~dangF. 1, 2, 3, dan 4 adalah beberapa kedudukan vektor dalam perjalanannya membentuk bulatan QRS M adalah vektor rata-rata atau surnbu listrik



SUMBU LlSTRlK VEKTOR QRS Surnbu listrik vektor QRS dapat disingkat dengan sumbu QRS saja. Sunibu QRS dapat ditentukan dari hasil rekaman EKG konvensional.



Menentukan Sumbu QRS pada Bidang Frontal Dari 6 sandapan yang ada pada bidang F, 2 sandapan sudah cukup untuk menentukan sumbu QRS. Untuk praktisnya penentuan sumbu QRS dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1). Pilih 2 sandapan yang termudah yaitu saling tegak lurus inisalnya I dan aVF. Tentukan jumlah aljabar defleksi pada masing-masing sandapan dan gambarkan sebagai vektor pada masingmasing sumbu. Dari kedua vektor ini dapat dibuat resultante yang menggambarkan sumbu QRS; 2). Pilihlah



(bila ada) satu sandapan yang mempunyai jumlah aljabar defleksi no1 (defleksi positif sama dengan defleksi negatif). Maka sumbu QRS adalah tegak lurus pada sandapan ini. Dalam menentukan arah sumbu QRS, dapat ditinjau salah satu dari sandapan lainnya, untuk memilih satu dari dua arah.



Gambar 12. Menentukan sumbu l~strikQRS pada bidang frontal dengan menggunakan sandapan I dan aVF. V adalah surnbu QRS



Untuk lebih tepatnya, yang diukur bukan tingginya defleksin, tetapi dari luas area yang berada di bawah defleksi itu.



Kelainan Sumbu QRS pada Bidang Frontal Sumbu QRS pada bidang frontal yang dianggap normal bervariasi antara -300 hingga +90". 1. Sumbu QRS antara -30" hingga -90" disebut deviasi suinbu ke kiri (DSKi) 2. Sumbu QRS antara +90° hingga - 180" disebut deviasi sumbu ke kanan (DSKa) 3. Sumbu QRS antara +180" hingga -90" disebut sumbu superior. M e n e n t u k a n S u m b u QRS pada B l d a n g Horisontal Pada dasarnya menentukan sumbu QRS pada bidang horisontal adalah sama dengan sumbu QRS pada bidang frontal. Yang umum dipakai ialah cara 11, yaitu mencari sandapan yang jumlah aljabar defleksinya nol. Dari sini didapatkan arah vektor yaitu tegak lurus pada sadapan ini. Suatu kebiasaan, bahwa sumbu QRS pada bidang horisontal tidak dinyatakan dalam derajat, tetapi cukup ditentukan sadapan yang tegak lurus pada sumbu itu. Jadi cukup ditentukan sadapan yang mempunyai jumlah aljabar defleksi nol. Sadapan ini disebut daerah transisi pada bidang prekordial. Dianggap bahwa daerah transisi yang normal ialah V3 dan V4. Bila daerah transisi berpindah ke arah jaruln jam (dilihat dari arah tungkai), misalnya di V5 atau V6, maka dikatakan bahwa sutnbu QRS mengalami rotasi searah jarum jam. Bila daerah transisi berpindah ke arah V2, maka dikatakan terjadi rotasi lawan arahjarurn jam.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI -



R = +4 mm. lebar 1 mm luas ('lr)x4xl=+4 S = -4 mm. lebar 2mm Luas (K)x4x2 = -8



-



80omlah= d



-



R = +7 mm, lebar 1 mm luas ('X)x7xl= -7 S = -3 mm, lebar lmm Luas (%)x3x2= -3



-



~Umlah= +4



Gambar 13. Seperti pada gambar 12, tetapi lebar defleksi tidak sama, yaitu di sandapan I. Di sini dipakai perhitungan luas Karena bentuk segitiga, maka luas defleksi ialah 112 x tinggi x lebar. Faktor 112 dapat dihilangkan karena yang dipakai adalah perbandingan



Gambar 17. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontal. Daerah transisi di V5, yang menunjukkan rotasi searah jarum jam



SUMBU LlSTRlK VEKTOR P



Cara menentukan sumbu P pada dasarnya sama dengan penentuan surnbu QRS. Karena defleksi gelombang P kecil, rnaka cara menentukan sumbu P sering tak bisa terlalu tepat, dan biasanya dipakai cara 11.



Gambar Menentukan sumbu l~strikQRS pada bidang frontal dengn n arl sandapan yang jumlah defleksinya nol, dalam contoh in1 aVL. Maka sumbu listrik ialah tegak lurus pada aVL. Selanjutnya untuk menentukan arah ke atas atau ke bawah, diperhatikan jumlah defleksi pada I; karena defleks~nyapositif, maka arah sumbu ialah ke kanan



Sumbu P pada Bidang Frontal Gelombang P yang berasal dari simpul sinus mempunyai sumbu yang bervariasi antara 0 hingga +75O. Gelombang P yang berasal dari penghubung AV mempunyai sumbu antara 180' dan -90%. Dikatakan sumbu P ini mempunyai arah lawan-arus. Gelombang P yang berasal dari atrium, arahnya tergantung dari letak pemacu ektopik di atrium. Sering sumbunya mempunyai arah antara +90° dan 180". Sumbu P pada Bidang Horisontal Gelombang P yang berasal dari sirnpul sinus mempunyai sumbu yang arahnya sekitar di tengah-tengah antara V1 dan V6. Sumbu P yang bukan berasal dari simpul sinus mempunyai arah yang tergantung dari letak pemacu ektopik dari gelombang P.



Gambar 15. Kelainan sumbu QRS pada bidang frontal. Sumbu listrik yang mendekati O0 sering disebut "jantung horisontal" yang mendekati 90°disebut 'Tantung vertikal" Gambar 18. Menentukan vektor P pada bidang frontal. Karena total defleksi no1terdapat pada sandapan Ill, maka vektor P harus tegak lurus pada sandapan Ill dan arahnya ke kanan, karena total defleksi di sandapan I iaalah positif



Gambar 16. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontal yang normal. Dari sandapan-sandapan prekordial ditentukan sandapan yang jumlah defleksinya nol, dalam ha1 ini didapatkan V3. Maka sumbu listrik QRS ialah tegak lurus pada V3. V3 disebut daerah transisi (T)



Gambar 19. Menentukan vektor P pada bidang horisontal. Karena total defleksi no1 terdapat pada V2, maka vektor P harus tegak lurus pada V2 dan arahnya searah dengan V6, karena defleksi P pada V6 positif



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 20. Vektor P slnus Pada b~dangfrontal. antara 0°-75O Pada b~danghor~sontalantara V1 dan V6 Gambar 23. Kal~braslstandard: Defleks~10 mm = 1 rnV, kecepatan kertas 25 mmldetlk 1 mrn = 0,04 detik, 5 mm = 0,20 detik, 10 mm =0,40 det~k



Gelombang P Gelombang P ialah defleksi pertama siklus jantung yang menunjukkan aktivasi atrium. Gelombang P bisa positif, negatif, bifasik, atau bentuk lain yang khas. Gambar 21. Sumbu P bukan dari sinus, pada bidang frontal. Sumbu P dari penghubungAV (Pp), mempunyai arah lawan arus, yaitu berlawanan dengan arah sumbu P dari sinus. Sumbu P dari atrium (Pa), sering mempunyai arah antara 90°-180°



Gambar 24. Gelombang P sinus, dengan sumbu +30°



Gambar 22. Sumbu T yang normal mempunyai arah yang hampir sama dengan sumbu QRS. Bila ada gangguan konduksi ~ntraventrikular,maka sumbu T juga berubah, yang disebut perubahan T yang sekunder. Dalam ha1 ini sumbu T dan sumbu QRS berlawanan arah



Sumbu Listrik Gelombang T Pada umumnya sumbu vektor T jarang diperhatikan karena morfologi gelombang T mempunyai ciri-ciri khas di luar sumbu vektornya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sumbu T yang normal lebih kurang mempunyai arah yang sama dengan sutnbu QRS. Bila ada kelainan depolarisasi ventrikel, gelombang T mengalami kelainan juga, yang disebut kelainangelombang T yang sekunder. Dalam ha1 ini T adalah terbalik dibanding defleksi QRS, atau vektor T dan vektor QRS berlawanan arah.



INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAM Bila kita membuat rekaman sebuah elektrokardiogram, pada awal rekaman kita hams metnbuat kalibrasi, yaitu satu atau lebih detleksi yang sesuai dengan 1 milivolt (mV). Secara baku, detleksi 10 mm sesuai dengan 1 mV. Kecepatan kertas perekam secara baku adalah 25 mmldt. Garis rekaman mendatar tanpa ada potensi listrik disebut garis isoelektrik. Detleksi yang arahnya ke atas disebut defleksi positifdan yang ke bawah disebut defleksi negatif.



Gambar 25. Gelombang P dari penghubung AV, dengan sumbu -10o0



Gambar 26. Gelombang P dri atrium dengan sumbu +150°



Gelombang Kompleks QRS Kompleks ini menunjukkan depolarisasi ventrikel. Istilahistilah tentang bagian-bagian kompleks QRS ialah : 1). Gelombang Q yaitu defleksi negatifpertama; 2). Gelombang R yaitu defleksi positif pertama. Defleksi berikutnya disebut gelombang R', R" dan seterusnya; 3). Gelombang S yaitu defleksi negatif pertama setelah R. Gelombang S berikutnya disebut S', S" dan seterusnya.



Gambar 27. Istilah-istilah untuk berbagai bentuk gelombang kompleks QRS



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



QRS yang monofasik terdiri dari satu defleksi saja yaitu R atau defleksi tunggal negatif yang disebut QS. Untuk defleksi yang lebih dari 5 mm, dipakai huruf-huruf besar Q, R dan S. Sedangkan untuk defleksi yang kurang dari 5 mm dipakai huruf kecil q,r, dan s.



Gelombang T Gelombang ini menunjukkan repolarisasi ventrikel. Gelombang T bisa positif, negatif atau bifasik. Gelombang U Gelombang U adalah gelombang kecil yang mengikuti gelombang T yang asalnya tidak jelas. Pengukuran Waktu Penentuan frekuensi. Frekuensi jantung (atrial atau ventrikular) dapat dihitung berdasarkan kecepatan kertas. Karena kecepatan kertas ialah 25 mmldetik, maka kertas menempuh 60 x 25 mm = 1500 mm dalam 1 menit. Jadi frekuensi jantung adalah1500 yaitu sama dengan jarak siklus dalam mm (yaitujarak R-R atau P-P). Penentuan interval-interval. Untuk pengukuran suatu interval, maka dengan kecepatan baku 25 mmldetik terdapat 1 mm = 1125 detik = 0,04 detik, atau 5 mm = 0,20 detik. Interval PR : interval PR diukur dari awal gelombang P hingga awal kompleks QRS. Interval QRS : interval ini diukur dari awal kompleks QRS hingga akhir dari kompleks QRS. Interval QT : Interval ini diukur dari awal QRS hingga akhir dari gelombang T.



ELEKTROKARDIOGRAMNORMAL Gelombang P Bentuk gelombang P pada sandapan konvensional dapat diperoleh dengan 1,II dan aVF dan negatif di aVR. Sedangkan di aVL dan 111bisa positif, negatif, atau bifasik. Pada bidang horisontal biasanya bifasik atau negatif di V 1 dan V2, dan positif di V3 hingga V6. Gelombang P dari sinus yang normal tidak lebih lebar dari 0 , l l detik dan tingginya tak melebihi 2,5 mm. Kompleks QRS Impuls listrik yang datang dari simpul AVmelanjutkan diri melalui berkas His. Dari berkas His ini keluar cabang awal yang mengaktivasi septum dari kiri ke kanan. Ini mengawali vektor QRS yang menimbulkan gelombang Q di I, 11,111, aVL, V5 dan V6, tergantung dari arah vektor awal tersebut. Selanjutnya impuls berlanjut melalui cabang berkas kiri (CBKi), cabang berkas kanan (CBKa), dan mengaktivasi ventrikel kiri dan kanan. Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis daripada ventrikel kiri, maka gaya listrik



yang ditimbulkan ventrikel kiri jauh lebih kuat dari pada ventrikel kanan. Gambaran kompleks QRS pada bidang horisontal yang normal mempunyai corak khas. Sandapan VI dan V2 terletak paling dekat dengan ventrikel kanan sehingga disebut kompleks ventrikel kanan. Di sini gaya listrik dari ventrikel kanan menimbulkan gelombang R yang selanjutnya diikuti gelombang S yang menggambarkan gaya listrik dari ventrikel kiri. Sebaliknya, sandapan V5 dan V6 paling dekat dengan ventrikel kiri sehingga sandapan ini disebut kompleks ventrikel kiri. Di sini gelombang Q menggambarkan aktivasi ventrikel kanan atau septum, sedangkan gelombang R menggambarkan aktivasi ventrikel kiri. Dengan demikian gambaran kompleks QRS pada bidang horisontal ialah gelombang R meningkat dari VI ke V6, sedangkan gelombang S mengecil dari V 1 ke V6.



Gelombang T Pada orang dewasa, biasanya gelombang T adalah tegak di semua sandapan kecuali di aVR dan V1. Gelombang U Gelombang U biasanya tegak dan paling besar terdapat di V2 dan V3. Sering gelombang U tak jelas karena bersatu dengan gelombang T. Nilai Normal untuk Interval-Interval Interval PR (durasi) : kurang dari 0,12 detik Interval PA : 0, 12 -0,20 detik Interval QRS (durasi) : 0,07 -0, I0 detik Interval QT Interval ini tergantung dari frekuensi jantung, yang dapat ditentukan dengan suatu rumus atau tabel. Untuk praktisnya, diberikan 3 nilai sebagai berikut: frekuensi 601 menit : 0,33-0,43 detik, 80 kalilmenit: 0.29-0,38 detik, dan 100 kalilmenit :0,27-0,35 detik.



ABNORMALITAS ATRIUM Akhir-akhir ini dianggap bahwa konduksi impuls dari simpul sinus ke arah simpul AV melibatkan jalur-jalur khusus yaitu jalur-jalur intemodal. Sedangkan atrium kiri dicapai melalui jalur Bachman. Bila terjadi gangguan konduksi intra-atrial, maka bentuk gelombang P mengalami kelainan yang disebut abnormalitas gelombang P. Abnormalitas gelombang P tidak selalu disebabkan pembesaran atau hipertrofi atrium seperti yang dianggap di masa lalu. Aktivasi atrium kanan terjadi lebih dulu daripada atrium kiri sehingga suatu abnormalitas gelombang P dapat menunjukkan suatu abnor- malitas atrium kiri atau abnormalitas atrium kanan. Dalam ha1 ini "abnormalitas"



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI merupakan kelainan konduksi dengan atau tanpa pembesaran atau hipertrofi. Abnormalitas Atrium Kanan (AAKa) Tijauan vektor : 1. Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kanan 2. Pada bidang horisontal :sumbu P bergeser ke arah lawan jarumjam. Kriteria EKG untukAAKa : 1. P tinggi dan lancip di 11,111 dan aVF : tinggi > 2,5 mm dan interval >,O,l l detik 2. Defleksi awal di VI >I ,5 mm. Bentuk gelombang P pada AAKa sering disebut P pulmonal



Gambar 28. Abnormalitas atrium kanan



Abnormalltas Atrium Kiri (AAKi) Tinjauan vektor : I. Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kiri 2. Pada bidang horisontal : sumbu P bergeser ke arah jarum jam. Kriteria EKG untukAAKi : Interval P di 11melebar (> 0, 12 detik). Sering gelombang P berlekuk, karena mempunyai 2 puncak. Defleksi terminal V 1 negatif dengan lebar > 0,04 detik dan dalam > 1 mm. Kriteria ini disebut kriteria Morris. Bentuk Ppada AAKi sering disebut p mitral.



Gambar 29. Abnormalitas atrium kiri



dalam di I,II,III, aVL, V5 dan V6, dan gelombang R yang lebih besar di V 1. Pada sumbu QRS tejadi pergeseran sebagai berikut : 1). Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke arah kiri; 2). Pada bidang horisontal: sumbu QRS bergeser ke arah lawan janun jam. Waktu Aktivasi Ventrikel Waktu yang berlangsung antara awal QRS hingga puncak gelombang R disebut Waktu Aktivasi Ventrikel (WAV). Defleksi tajam ke bawah yang mulai dari puncak R disebut defleksi intrinsikoid. WAV menggambarkan waktu yang diperlukan untuk depolarisasi masa otot jantung yang ada di bawah elektroda prekordial. Jadi makin tebal otot jantung (ventrikel), makin panjang waktu yang diperlukan untuk depolarisasi. Dengan demikian WAV memanjang pada M i . Kriteria EKG untuk HVKi 1. Kriteria Voltase :Voltase ventrikel kiri meninggi Ada macam-macam criteria dan dapat dipilih salah satu yaitu : 1. R atau S di sandapan ekstremitas > 20 mm, atau S di kompleks VKa > 25 mm. atau R di kompleks VKi > 25 mm, atau S di VKa+ R di VKi > 35 rnm. 2. Depresi ST dan inversi T di kompleks VKi Ini sering disebut strain pattern 3. AAKi 4. Sumbu QRS pada bidang frontal > - 15" 5. Interval QRS atau WAV di kompleks VKi memanjang: * Interval QRS > 0,09 detik * WAV > 0,04 detik ' 1 Beberapa catatan tentang HVKi antara lain : 1). Gambaran HVKi pada EKG terutama berkorelasi dengan masa otot ventrikel kiri, dan kurang berkorelasi dengan tebal otot atau volumenya; 2). Pada HVKi yang disebabkan karena beban volume, gambaran EKG terutama menunjukkan aktivasi septa1 awal yang menonjol, yaitu adanya gelombang Q di 1, aVL,V5 dan V6, dan gelombang R yang menonjol di V1 dan V2; 3). Pada HVKi yang



HlPERTROFl VENTRIKEL Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVKi) Hipertrofi ventrikel kiri memberikan tanda-tanda yang cukup jelas pada EKG Meskipun demikian, akurasinya tak dapat dianggap mutlak. Berbagai kriteria telah disusun untuk mempertinggi sensitivitas dan spesifisitas diagnosis HVKi pada EKG. Tinjauan vektor pada HVKi : Pada umumnya vektor QRS membesar dalam ukurannya. Penebalan septum menyebabkan vektor QRS awal membesar, sehingga terlihat gelombang Q yang lebih



Gambar 30. Hipertrofi ventrikel kiri, beberapa kriteria:



A. Kriteria votase, S di V1, V2, yang dalam dan R di V5, V6 yang tinggi B. Depresi ST dan invers~T di V6 (V5) C. Waktu aktivasi ventrikel memanjang di V6 (V5)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



disebabkan karena beban tekanan, gambaran EKG terutama menunjukkan R yang tinggi disertai depresi ST dan inversi T pada sandapan ventrikel kiri (V5 dan V6).



Hipertrofi Ventrikel Kanan (HVKa) Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis dari pada dinding ventrikel kiri, niaka HVKa barn nampak pada EKG bila HVKa sudah cukup menonjol untuk dapat mempengaruhi gaya-gaya listrik ventrikel kiri yang besar. Tinjauan vektor : 1. Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke kanan 2. Pada bidang horisontal : sumbu QRS bergeser searah jarum jam. Kriteria EKG untuk HVKa : 1. Rasio R/S yang terbalik : WSdiV1>1 R/SdiV6 0,035 detik, depresi ST dan inversi Tdi V1, S,di I,II,dan 111. Beberapa catatan tentang HVKa : 1. Diagnosis HVKa pada EKG mempunyai sensitivitas yang rendah tapi spesifisitas yang tinggi. 2. Kriteria EKG untuk HVKa yang paling kuat ialali rasio R/S di VI. Berdasarkan konfigurasi QRS di V 1, maka HVKa dibagi menjadi 3 tipe: 1). Tipe A: di sini terdapat R yang tinggi. Sering disertai depresi ST dan inversi T di V1 dan V2. Tipe ini menunjukkan beban tekanan yang tinggi; 2). Tipe B: di sini terdapat bentuk RS, yang menunjukkan HVKa yang sedang; 3). Tipe C: di sini terdapat bentuk rsR', yang merupakan blok cabang berkas kanan yang inkomplit. Bentuk ini biasanya menunji~kkanadanya hipertrofi jalur keluar dari ventrikel kanan.



Garnbar 31. Hlpertrofi ventrlkel kanan. Krlterra terpentlng raslo RIS terballk dl V1 (V2) dan V6 (V5)



DEFEK KONDUKSI INTRAVENTRIKULAR Gangguan penghantaran impuls rnelalui suatu jalur disebut blok. Yang dimaksudkan dengan konduksi intraventrikular ialah konduksi melalui cabang berkas kanan (CBKa), cabang berkas kiri (CBKi), fasikel-fasikel dan serabutserabut Purkinje.



Menurut tempatnya, blok intraventrikular dapat dibagi : Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa) Blok Cabang Berkas Kiri (BCBKi) Blok Intraventrikular Nonspesifik Blok Fasikular : I). Blok fasikular kiri anterior; 2). Blok fasikular kiri posterior.



Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa) Bila CBKa mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel karian mengalanii kelambatan, dan septum mengalami depolarisasi disusul oleh ventrikel kiri lebih dulu. Pada fase yang terakhir, vektor berasal dari ventrikel kanan, yang mengarah ke depan (pada bidang H) dan ke kanan (pada bidang F). Dari sini didapatkan ganibaran EKG pada BCBKa : 1 ). Interval QRS memanjang > 0, I0 detik; 2). S yang lebar di I dan V6; 3). R' yang lebar di V1. Bila interval QRS 0, 10-0,12 detik, maka disebut BCBKa inkomplit. Bila interval QRS > 0,12 detik, maka disebut BCBKa komplit.



Garnbar 32. Blok cabang berkas kanan QRS melebar, S yang lebar dan dalam di I dan V6 (V5),dan berbentuk RR' dl V1 (V2)



Blok Cabang Berkas Kirl (BCBKi) Bila CBKi niengalami blok, maka depolarisasi ventrikel kiri mengalanii kelambatan. Pada awal depolarisasi ventrikel, QRS inisial liienggarnbarkan depolarisasi ventrikel kanan dan septum, kemudian menyusul depolarisasi ventrikel kiri. Jadi pada BCBKi vektor terminal berasal dari ventrikel kiri yang kuat, yang bergeser ke arah kiri (pada bidang F) dan ke arah belakang (pada bidang H). Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKi : I. Interval QRS melebar > 0, I0 detik 2. Gelombang R yang lebar, sering berlekuk di I, V5 dan V6, dengan WAV > 0,08 detik 3. rS atau QS di Vl, disertai rotasi searah jarum jam. Bila interval QRS 0,lO-0,12 detik, maka disebut BCBKi inkornplit Bila interval QRS > 0,12 detik, rnaka disebut BCBKi komplit. Blok lntraventrikular Nonspesifik Istilah ini dipakai bila interval QRS melebar (> 0,10 detik) , tetapi tidak khas untuk BCBKa atau BCBKi. Blok Fasikular Blok Fasikular sering disebut juga hemiblok.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI qR di 11, I11 dan aVF. Blok Fasikular Kiri Posteriorjauh lebih jarang dari pada blok fasikular kiri anterior.



Garnbar 33. Blok cabang berkas k ~ QRS r ~ yang melebar, bentuk R dl I dan V6 (V5), dan S yang dalam dl V1 (V2, V3)



Blok fasikular kiri anterior. Fasikel kiri anterior menghantarkan impuls dari puncak septum ke muskulus papilaris anterior. Bila terjadi blok padajalur ini, maka bagian posterior-inferior mengalami depolarisasi lebih dulu dari pada bagian anterior-superior. Vektor QRS awal selama 0.02 detik mengarah ke bawah dan ke kanan, sehingga terbentuk r kecil di 11,111, dan aVF, dan q kecil di 1, aVL dan kadang-kadang di V5 dan V6. Vektor QRS awal selama 0,04 detik mengarah ke kin dan ke atas, sehingga terbentuk R tinggi menyusul q di 1, dan aVL, dan S dalam menyusul r di 11,111, dan aVF (bentuk QISIII). Surnbu QRS mengalami deviasi ke kiri hingga > -45' Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada 8 1ok Fasikular Kiri anterior ialah : 1 ).Interval QRS sedikit memanjang 0,090,l 1 detik; 2). Sumbu QRS deviasi ke kiri > -45". Ini disebut kriteria yang paling kuat; 3). Di I danaVL terdapat R tinggi, dengan atau tanpa q; 4). Di 11,111 dan aVF terdapat rS, dengan S yang dalam.



Gambar 35. Blok fasikular kiri posterior. Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kanan lebih dari +110°, tanpa adanya penyebab lain dari deviasi sumbu ke kanan



Sindrom Pre-eksitasi Sindrom pre-eksitasi ialah suatu sindrom EKG di mana ventrikel mengalami depolarisasi lebih awal dari biasa. Hal ini disebabkan karena adanya jalur-jalur lain di samping jalur-jalur pada sistem konduksi jantung. Jalur-jalur ini disebut jalur-jalur aksesori. Ada 3 macam jalur aksesori, yaitu : 1). Jalur Kent. Jalur ini ialah yang terpenting di antara jalur-jalur aksesori. Jalur ini menghubungkan atrium langsung dengan ventrikel, tanpa melalui simpul -AV. Jalur ini menembus cincin AV di tempat-tempat yang berbeda. 2). Jalur James. Jalur ini berawal dari atrium dan berakhir di berkas His. 3). Jalur Mahaim. Jalur ini berawal di berkas His dan berakhir di ventrikel. Jalur-jalur aksesori dianggap sebagai kelainan kongenital dan terdapat pada 1-2 permil dari populasi umum. Jalur aksesori bisa bersifat non fungsional pada waktu lahir dan manifes pada masa kanak atau dewasa.



Gambar 34. Blok fasikular kiri anterior. Tanda terpenting ialah sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kiri lebih dari -45O



GAMBARAN EKG PADA SlNDROM PRE-EKSITASI



Blok fasikular kiri posterior. Fasikel kiri posterior menghantarkan impuls dan CBKi ke muskulus papilaris posterior dari ventrikel kiri. Suatu blok pada jalur ini mengakibatkan bagian anterior-superior dari ventrikel kiri mengalami depolarisasi lebih dahulu dari pada bagian posterior-inferior. Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke kiri dan superior, sehingga terbentuk r kecil di I dan aVL, dan 1 kecil di 11,111, dan aVF. Vektor QRS awal selama 0,06 detik mengarah ke bawah, sehingga terbentuk R tinggi di 11,111, dan aVF dan S di I dan aVL.Sumbu QRS bergeser ke kanan >+1 10". Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada blok fasikular kiri posterior ialah : Interval QRS memanjang 0,09 -0,ll detik Sumbu QRS bergeser ke kanan > + 1 10" rS di 1 dan aVL



Pre-eksitasi pada Jalur Kent Pre-eksitasi pada jalur Kent disebut juga sindrom Wolf Purkinson White (WPW). Gambaran EKG pada sindrom WPW menggambarkan kompleks fusi antara aktivasi ventrikel melalui jalur normal dan melalui jalur aksesori. Impuls dari atrium yang melalui jalur Kent lebih cepat sampai di ventrikel karena tidak melewati simpul AV yang mempunyai sifat memperlambat impuls. Impuls yang melalui jalur Kent ini mengawali depolarisasi ventrikel di suatu tempat di ventrikel, yang menyebabkan timbulnya suatu gelombang khas pada awal kompleks QRS, yang disebut gelombang delta. Gelombang delta merupakan bagian landai pada awal kompleks QRS. Adanya gelombang delta ini menyebabkan kompleks QRS melebar. Waktu konduksi atrio-ventrikular yang memendek menyebabkan interval PR yang memendek. Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom W-P-W



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ialah: 1). Interval PR memendek < 0,12 detik; 2). Adanya gelombang delta; 3). Kompleks QRS melebar (karena gelombang delta).



Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom L-G-L ialah 1). Interval PR memendek (0, I2 det); 2). Tak ada gelombang delta, kompleks QRS normal.



Pre-eksitasi pada Jalur Mahaim Karenajalur Mahaim dimulai dari berkas His, maka interval PR tidak terpengaruh. Jalur Mahaim mengawali aktivasi pada sebagian ventrikel, sehingga terjadi gelombang delta. Dengan demikian garnbaran EKG pada sindrom preeksitasi melalui ialur Mahaim ialah: 1 ). Interval PR normal; 2). Terdapat gelombang delta, kompleks QRS rnelebar. Gambar 36. Jalur-jalur aksesori



- interval PR memendek - tak ada gelombang delta,



Gambar 37. Pre-eks~tas~ pada jalur Kent s~ndromWPW lmpuls dar~slnus menempuh dua jalur jalur 1 ~alahjalur normal, jalur 2 melalu~jalur Kent lmpuls yang melalu~jalur 2 mencapal ventr~kel leb~hawal dan mengakt~vasrsuatu daerah D dl ventr~kel,yang ventr~kel pada EKG menggambarkan gelombang delta (D) Akt~vas~ melalur jalur 2 menyusul seh~nggabentuk akhlr EKG ~alahfus~ antara akt~vas~ melalu~jalur 1 dan jalur 2



Meskipun letak jalur Kent sangat bervariasi, pada garis besarnya dapat dibedakan 2 tipe, yaitu : SindromW-P-W tipe A. Di sinijalur Kent terletak di sebelah kiri, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kiri. Gambaran EKG menyerupai bentuk BCBKa, dengan R yang tinggi di Vl danV2. Sindrom WPW tipe B. Di sinijalur Kent terletak di sebelah kanan, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kanan. Gambaran EKG menyerupai bentuk BCB& dengan def-leksi QRS yang negatif di V1 dan V2. Pre-eksitasl pada Jalur James Pre-eksitasi pada jalur James disebut juga sindrom Lo~zrnGunong-Levine(L-G-L). Gambaran EKG pada sindrom LG-L menggambarkan interval PR yang memendek karena impuls yang melalui jalur ini mencapai ventrikel lebih cepat karena tidak diperlambat oleh simpul-AV. Tetapi aktivasi ventrikel ini berpangkal dari berkas His sehingga jalur aktivasi ini tidak berbeda dari aktivasi normal. Ini menghasilkan kompleks QRS yang normal, tanpa gelombang delta.



Gambar 38. Pre-eks~tas~ jalur James S~ndromLown Ganong Lev~nelmpuls dar~sinus menempuh dua jalur jalur 1 ~alahjalur normal, jalur 2 melaluljalur James lmpuls melalul jalur 2 rnencapal berkas HIS leb~hawal karena t~dakmengalam1 perlarnbatan dl s~mpulAV, seh~nggaInterval PR memendek, sedangkan bentuk kompleks QRS normal Akt~vas~ melalu~ jalur 2 tak mempunyalefek karena ventr~keldalam perlode refakter mutlak



jalur Maha~mlmpuls dar~slnus h~ngga Gambar 39. Pre-eks~tas~ s~rnpulAV beqalan b~asa,seh~nggatak ada pengaruh terhadap Interval PR lmpuls mela11jalur 2 yang berawal darr berkas HIS, leb~hawal dar~ mencapal suatu daerah D dl ventr~kel(sed~k~t) sehrngga pada EKG pada aktlvsl ventr~kelmelalu~jalur b~asa(I), terdapat gelombang delta Selanjutnya terjadl fus~dar~akt~vas~ melalu~kedua jalur tersebut



PENYAKIT JANTUNG KORONER



Elektrokardiografi ialah sarana diagnostik yang penting untuk penyakit jantung koroner.Yang dapat ditangkap oleh EKG ialah kelainan miokard yang disebabkan oleh terganggunya aliran koroner. Terganggunya aliran koroner menyebabkan kerusakan miokard yang dapat dibagi menjadi 3 tingkat : 1). Iskemia,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kelainan yang paling riigan dan masih reversibel; 2). Injuri, yaitu kelailian yang lebih berat, tetapi masih reversibel; 3). Nekrosis, yaitu kelainan yang sudah ireversibel, karena kerusakan sel-sel miokard sudah pennanen.



kiri, maka adalah penting untuk menentukan lokalisasi bagian-bagian dinding ventrikel kiri pada EKG. Pada umumnya dipakai istilah-istilah sebagai berikut : 1. Daerah anteroseptal : V 1 -V4 2. Daerah anterior ekstensif : V 1-V6, I dan aVL 3. Daerah anterolateral: V4-V6, I dan aVL 4. Daerah anterior terbatas :V3-V5 5. Daerah inferior: 11,111dan aVF 6. Daerah lateral tinggi : I dan aVL 7. Daerah posterior murni memberikan bayangan cermin dari V1, V2 dan V3 terhadap garis horisontal. Proyeksi dinding-dinding ventrikel kanan pada umumnya terlihat pada V4R-V6R. Sering bersamaan dengan 11,111, dan aVF.



Garnbar 40. Berbagai derajat iskernia pada infark miokard



Masing-masing kelainan ini mempunyai ciri-ciri yang khas pada EKG. Pada umumnya iskemia dan injuri menunjukkan kelainan pada proses repolarisasi miokard, yaitu segmen ST dan gelombang T. Nekrosis miokard menyebabkan gangguan pada proses depolarisasi, yaitu gelombang QRS. lskemia Depresi ST. Ini ialah ciri dasar iskemia miokard. Ada 3 macam jenis depresi ST, yaitu : a). Horisontal, b). Landai ke bawah, c). Landai ke atas Yang dianggap spesifik ialah a dan b. Depresi ST dianggap bermakna bila lebih dari 1 rnrn,makin dalam makin spesifik. Inversi T. Gelombang T yang negatif (vektor T berlawanan arah dengan vektor QRS) bisa terdapat pada iskemia miokard, tetapi tanda ini tidak terlalu spesifik. Yang lebih spesitik ialah bila gelombang T ini simetris dan berujung lancip. Inversi U. Gelombang U yang negatif (terhadap I ) cukup spesifik untuk iskemia miokard.



Garnbar 41. Depresi ST pada iskemia miokard



a. Depresi ST horisontal, spesifik untuk iskemia b. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia c. Depresi ST landai ke atas. kurang spesifik unt~lkiskemia



'i



I]



I'



Garnbar 42. Depresi T pada rskernia rniokard



lnjuri Ciri dasar injuri ialah elevasi ST dan yang khas ialah konveks ke atas. Pada umumnya dianggap bahwa elevasi ST menunjukkan injuri di daerah subepikardial, sedangkan i n j ~ ~dir i daerah subendokordial menunjukkan depresi ST yang dalam.



a



b



untuk ~skernla lnvers~T pada urnurnnya kurang spes~f~k lnvers~T yang berujung lancip dan s~metrls(sepertl ujung anak panah), spes~fikuntuk



iskemia



Nekrosis Ciri dasar nekrosis miokard ialah adanya gelombang Q patologis yaitu Q yang lebar dan daJam, dengan syaratsyarat: lebar > 0,04 detik dalarn >4 mm atau > 25% tinggi R Lokalisasi Dinding Ventrikel pada EKG Karena iske~niamiokard sebagian besar mengenai ventrikel



Garnbar 43. lnversi U, cukup spesifik untuk iskernia



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 44, lnjuri rniokard a. Elevasi ST cernbung ke atas, spesifik untuk injur~(epikard) b. Elevasi ST cekung ke atas, tidak spesifik c. Depresi ST yang dalarn, rnenunjukkan injuri subendokardial



Gambar 45. Nekros~srn~okard Pada umurnnya d~anggap Q rnenunjukkantebalnya nekrosrs, R menunjukkan slsa rn~okardyang rnas~hhidup a Bentuk qR nekros~sdengan slsa rnlokard sehat yang cukup b Bentuk Qr nekros~stebal dengan slsa rn~okardsehat yang t~pls c Bentuk QS nekros~sseluruh tebal rn~okard,yaltu transmural



Anterior ek?.tenstf



4ntemr teroalas



I.-



-



fase sebagai berikut: Fase awal atau fase hiperakut: 1). Elevasi ST yang nonspesifik, 2).T yang tinggi dan melebar. Fase evolusi lengkap : 1 ). Elevasi ST yang spesifik,konveks ke atas, 2). T yang negatif dan simetris, 3). Q patologis. Fase infark lama: 1). Q patologis, bisa QS atau Qr. 2). ST yang kembali iso-elektrik, 3). T bisa normal atau negatif Beberapa catatan tentang EKG pada infark miokard : 1 ). Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada infark miokard akut bisa terlambat, sehingga untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut, diperlukan rekarnan EKG serial; 2). Fase evolusi berlangsung sangat bervariasi, bisa beberapa jam hingga 2 minggu. Bila elevasi ST bertahan hingga 3 bulan, maka dianggap telah terjadi aneurisma ventrikel; 3). Selama evolusi atau sesudahnya, gelombang Q bisa hilang sehingga disebut infark miokard non-Q. Ini terjadi 20-30% kasus infark miokard; 4). Gambaran infark miokard subendokardial pada EKG tidak begitu jelas dan memerlukan konfirmasi klinis dan laboratoris. Pada umumnya terdapat depresi ST yang disertai inversi T yang dalam yang bertahan beberapa hari; 5). Pada infark miokard pada urnumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis rniokard. sedangkan R menunjukkan miokard yang masih hidup, sehingga bentuk Qr menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R ~nenunjukkannekrosis miokard; 6). Pada infark miokard dinding posterior murni, gambaran EKG menunjukkan bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal terhadap garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di VI, V2, V3 dan disertai T yang simetris.



-



Gambar 46. Lokalisas~u~lidingverltll~elpada EKG



Gambar 47. Garnbaran EKG pada lnfark rniokard akut evolusi



Gambar 48. Contoh lokas~lnfark rn~okard



a Fase h~perakut b. Fase ovulasi lengkap c Fase infark lama



a lnfark akut anteroseptal b lnfark akut posterlor rnurnl



GAMBARAN EKG PADA INFARK MIOKARDAKUT Umumnya pada infark miokard akut terdapat gambaran iskemia, injuri dan nekrosis yang timbul menurut urutan tertentu sesuai dengan perubahan-perubahan pada miokard yang disebut evolusi EKG Evolusi terdiri dari fase-



ANEKA KELAINAN ELEKTROKARDIOGRAFI Hiperkalemia Bila kadar kalium darah meningkat, berturut-turut akan nampak kelainan: 1).T menjadi tinggi dan lancip, 2). R menjadi lebih pendek, 3). QRS menjadi lebar, 4). QRS bersatu



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan T, sehingga segmen ST hilang, 5). P mengecil dan akhirnya menghilang. Hipokalemia Bila kadar kalium darah menurun, berturut-turut akan tampak kelainan-kelainan: 1). U menjadi prominen, 2).T makin mendatar dan akhirnya terbalik, 3). Depresi ST, 4). Interval PR memanjang. Sering U yang prominen dikira T sehingga seolah-olah interval QT memanjang.



LlAl Hipokalsemia



Hiperkalsernia



Garnbar 51. Gambaran EKG pada hip0 dan hiperkalsemia Hipokalsemia : QT memanjang terutama karena perpanjangan ST Hiperkalsemia : QT memendek,terutama karena pemendekan ST



Hiperkalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah interval QT yang memendek. Hipokalsemia Kelainan EKG yang terpenting ialah perpanjangan segmen ST, sehingga interval QT memanjang.



Gambar 52. Efek digitalis. QT yang memendek, depresi ST yang menurun landai dan kemudian naik dengan curam dan T yang rendah



Digitalis Digitalis dapat mempengaruhi bentuk QRS-T, yang disebut efek digitalis: I ). Memperpendek interval QT, 2). Depresi ST, mulai dengan menurun landai disusul bagian akhir yang naik dengan curam. 3). Sering menjadi rendah. Selain itu bisa'terjadi gangguan pembentukan dan penghantar impuls. Garnbar 53. Perikarditisakut. Elevasi ST kurang dari 5 mm, bentuk cekung ke atas, tidak timbul Q



I



K+ normal



b K+ mentngkat



I



Gambar 49. Gambaran EKG pada hiperkalemia. Bila kadar K' makin meningkat: a. T meninggi dan lancip, R menjadi pendek b. QRS melebar dan bersatu dengan T c. P merendah dan hilang



I



K+ menurun



K* normal



Gambar 50. Gambaran EKG pada hipokalemia. Bila K' makin menurun: a. U prorninen, T mendatar b. Depresi ST, T terbalik, PR memanjang



Perikarditis Pada perikarditis, biasanya teriadi peradangan pada epikard, sehingga gambaran EKG menyerupai gambaran iniuri pada epikard berupa elevasi ST. Pada perikarditis yang hanya sedikit menimbulkan peradangan pada epikard maka EKG bisa normal. Kelainan EKG yang khas untuk perikarditis ialah sebagai berikut: 1. Elevasi segmen ST : a). Biasanya luas kecuali Vl dan aVR, b).Bentuk konkaf ke atas, c). Kurang dari 5 mm 2. T menjadi terbalik, terutama setelah segmen ST kembali ke garis isoelektrik. 3. Tidak timbul Q. Pada efusi perikardial, tanpa adanya peradangan epikardial,tidak terdapat elevasi ST. Dalam ha1 ini gambaran EKG hanya menunjukkan voltase yang rendah pada QRS dan T. Mengenai gambaran EKG pada kelainan irama jantung (aritmia) dibahas khusus pada topik khusus di bagian lain buku ini.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



REFERENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Arrhytmia -a Guide to Clinical Electrocardiology. Erik Sandoe, Bjarne Sigurd. Publishing Partners Verlags GmbH., 1991. Arrhytmia. Diagnosis and Management. Erit Sandoe, Bjarne Sigurd Fachmed AG-Verlag fur Fach-medien, 1984. Castellanos A, Kessler KM, Meyerburg RJ. The resting electrocardiogram. In: Hurst, The Heart, Eight Edition, McGrawHill1 nc. 1994, 321-52, Fish C. Electrocardiography and vectocardiog- raphy. In: Braunwald, Heart Disease, Fourth Edition, WB Saunders Company. 1992: 1 16-60. Hein J.J. Wellens, Mary B. Conover. The ECG in Emergency Dedsion Making WB. Saunders Com- pany.1992.



Mark Silverman E. Myerburg RJ. Willis HurstJW. Electrocardiography, Basic Concepts and Clinical Application. McGraw-Hill Book Company, 1983. Thomas Bigger, J.Jr. The electrical activity of the heart. In :Hunt .The Heart, , Eight Edition, 1994: 645-57. Waldo AL, Wit AL. Mechanism of cardiac arrhythmias and conduction disturbances. In: Hurst, The Heart, Eight Edition, McGrawHilllnc. 1994: 656-97. WHO ISFC Task Force. Classification of cardiac arrhytmias and conduction disturbances. Am Heart J, 1979; 98(2): 263-7. WHOIISFCTaskForce. Definition of terms related to cardiac rhytm. Am Heart J, 1978; 95(6): 796-806.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



RADIOLOGI JANTUNG Idrus Alwi



RADlOLOGl DADA NORMAL



Pada pembacaan foto rontgen dada, pendekatan secara sistematis adalah penting, berdasarkan penilaian pertama pada anatomi dan selanjutnya fisiologi. Pendekatan ini tentu saja didasarkan pada pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan normal. Pada pemeriksaan rontgen dada PA standar, diameter keseluruhan jantung yang normal adalah kurang dari setengah diameter tranversal toraks. Jantung pada daerah toraks kisarannya tiga perempat ke kiri dan seperempat ke kanan dari tulang belakang. Mediastinum lebih sempit, dan biasanya aorta descendens dapat didefinisikan dari arkus ke kubah diafragma di sisi kiri. Di bawah arkus aorta, dapat dilihat hilus pulmonal, sedikit lebih tinggi pada bagian kiri dibandingkan dengan bagian kanan. Pada foto lateral, arteri pulmonalis utama kiri dapat terlihat superior dan posterior dibandingkan dengan yang kanan. Pada penampakan frontal sekaligus lateral, aorta asendens (akar aorta) biasanya terhalang oleh arteri pulmonalis utama dan kedua atrium. Lokasi pulmonary outj7ow tract biasanya jelas pada foto lateral.



RUANG JANTUNG DAN AORTA



Pada pandangan PA, kontur bagian kanan mediastinum berisi atrium kanan, aorta asendens dan vena kava. Ventrikel kanan, setengahnya menutupi ventrikel kiri pada penampakan frontal sekaligus lateral. Atrium kiri terdapat inferior dari hilus pulmonal kiri. Pada kondisi normal, terdapat cekungan pada tingkat ini, yaitu pada left atrial appendage. Atrium membentuk sebagian atas kontur posterior jantung pada foto lateral namun tak dapat dipisahkan dari ventrikel kiri. Ventrikel kiri membentuk apeks jantung pada pandangan frontal seperti halnya



sloping bagian inferior mediastinum pada foto lateral. Jantung mudah dibedakan dari paru-paru karena jantung lebih mengandung darah dengan densitas air lebih besar dibandingkan dengan udara. Karena darah melemahkan x-ray lebih h a t dibandingkan dengan udara, jantung relatiftampak benvarna putih (namun h a n g putih dibandingkan dengan tulang) dan paru-paru relatif hitam (kurang hitam dibandingkan dengan ujung-ujung film di mana tidak adajaringan yang menghalangi). Bantalan lemak dengan ketebalan yang berbeda mengelilingi apeks jantung. Lemak memiliki kepadatan yang lebih besar dibandingkan dengan udara dan sedikit lebih kecil dibandingkan dengan darah. Kantong perikardium tidak dapat didefinisikan secara normal. Pinggiran dari siluet jantung biasanya cukup tajarn namun konturnya tidak tajam secara keseluruhan. Meskipun waktu pajanan terhadap sinar x sangat singkat (kurang dari 100milidetik), biasanya terdapat gerakan jantung yang cukup mengakibatkan agak buramnya siluet tersebut. Jika sebagian pinggiran jantung tidak bergerak, seperti dalam kasus aneurisma ventrikel kiri, pinggirannya nampak tajam. Arkus aorta biasanya terlihat, karena aorta mengalirkan darah secara posterior dan dikelilingi oleh udara. Sebagian besar aorta desendens juga dapat terlihat. Posisi dan ukuran masing-masing dapat dievaluasi dengan mudah dengan pandangan frontal dan lateral.



PARU DAN VASKULARISASI PARU



Ukuran paru-paru bervariasi sebagai fbngsi inspirasi, usia, bentuk tubuh, kandungan air, dan proses-proses patologis intrinsik. Dengan adanya peningkatan disfbngsi ventrikular kiri, cairan interstisial dalam paru-paru meningkat dan ekspansi paru-paru menurun. Di sisi lain, paru-paru nampak lebih besar dan lebih gelap jika disertai penyakit paru



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



obstruktif kronis dengan pembentukan bula. Jika ekspansi paru-paru menurun, jantung nampak sedikit lebih besar meskipun jantung sebenarnya tidak berubah ukurannya. Namun, jantung tersebut tidak melebihi setengah diameter transversal dada pada foto PA yang berkualitas baik kecuali jika benar-benar ada kardiomegali. Penting untuk diingat bahwa pembesaran yang nyata kemungkinan disebabkan oleh pembesaran jantung secara keseluruhan, pelebaran satu ruang jantung atau lebih, atau cairan perikardial. Pada pasien-pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis, jantung seringkali nampak berukuran kecil atau normal pada kondisi disfungsi jantung. Pada subyek normal, arteri pulmonalis biasanya dapat terlihat dengan mudah pada hilus dan secara bertahap berkurang lebih perifer. Arteri-arteri pulmonalis kanan dan kiri utama biasanya tak dapat diidentifikasi secara terpisah, karena mereka terletak dengan mediastinum. Jika paru-paru diandaikan terbagi menjadi tiga bagian, arteri utama adalah sentral, arteri-arteri kecil yang mudah dibedakan dengan jelas di zona tengah, dan arteri-arteri kecil dan arteriol yang biasanya di bawah batas resolusi pada zona luar. Dalam keadaan standar, pandangan frontal berdiri, arteri-arteri pada zona yang lebih rendah lebih besar dibandingkan dengan yang berada di zona yang lebih tinggi, pada jarak yang sama dari hilus. Penampakan tersebut sehubungan efek gravitasi pada sirkulasi paru-paru bertekanan rendah yang normal. Hal tersebut terjadi demikian, jika gravitasi mengarah pada volum intravaskular yang sedikit lebih besar pada dasar-dasar paru-paru dibandingkan dengan pada zona-zona yang lebih tinggi. Sudut yang dibuat oleh paru-paru dengan diafragma biasanya sangat tajam dan dapat ditandai dari dua sisi pada penampakan frontal dan lateral. Kontur yang dibentuk oleh vena kava inferior dengan jantung terlihat jelas pada foto lateral. Jika pasien diletakkan pada sisinya dengan sisi kiri menghadap film, bagian kanan relatif sedikit diperbesar dibandingkan dengan yang kiri.



jantung yang menyempit, meningkatkan diameter transversal, sehingga jantung mungkin nampak membesar pada penampakan frontal namun diameter AP yang sempit yang terlihat pada penampakan lateral dapat menjelaskan ha1 ini. Kifosis atau skoliosisjuga dapat menyebabkan jantung atau mediastinum nampak abnormal. Oleh karena itu penting halnya untuk memeriksa tulang belakang dan struktur tulang lainnya secara sistematis saat memperhatikan radiografi dada.



EVALUASI FOTO RONTGEN DADA PADA PENYAKIT JANTUNG Penyakit kardiovaskular menyebabkan perubahanperubahan yang beragam dan kompleks dalam gambaran foto rontgen dada. Kardiomegali secara keseluruhan dapat ditentukan dengan akurat pada penampakan frontal dengan mencatat apakah diameter jantung melebihi setengah diameter toraks atau tidak. Kardiomegali paling sering terlihat karena kardiomiopati iskemia yang mengikuti infark miokard. Dalam penilaian foto rontgen dada secara sistematis, langkah pertama adalah untuk menetapkan tipe film apa yang akan dievaluasi-PA dan lateral, PA saja, atau AP (entah portabel atau satu diambil dalam pandangan AP karena pasien tidak mampu berdiri). Langkah berikutnya adalah menentukan apakah foto-foto sebelumnya tersedia untuk perbandingan.



VARlASl NORMAL Variabel anatomis dan penuaan merupakan tantangan dalam evaluasi foto rontgen dada karena penurunan compliance paru. Aorta dan pembuluh darah besar biasanya menyempit dan menjadi lebih berliku (tourtuous) dan lebih jelas seiring bertambahnya usia, mengarah pada pelebaran mediastinum superior. Jantung nampak lebih besar karena penurunan komplaiens paru kecuali jika memang ada penyakit jantung, jantung ukurannya kurang dari setengah diameter transversal dada pada pandangan PA. Pasien yang obes lebih mungkin memiliki derajat hambatan ekspansi paru-paru maksimal, sehingga mungkin akan membuat jantung normal nampak sedikit lebih besar. Pasien dengan pektus ekskavatum memiliki diameter AP



Gambar 1. A). Proyeksi frontal jantung dan pembuluh darah; 0 ) . Gambar garis pada proyeksi frontal menunjukkan hubungan katup jantung, cincin, dan sulci ke garis rnediastinal. A= ascending aorta; AA= aortic arch; Az= azygous vein; LA= left atrial appendage; LB= left lower border of pulmonary artery; LV= left ventricle; PA= main pulmonary artery; RA= right atrium; S= superior vena cava; SC= subclavian artery



PARU DAN VASKULARISASI PARU Pemeriksaan terhadap pola vaskularisasi paru merupakan ha1 yang sulit namun sangat penting. Pemeriksaan tersebut



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



RADIOLOGIJANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bervariasi tergantung posisi pasien (berdiri versus berbaring) dan berubah secara mendasar oleh penyakit paru yang mendasarinya. Cara terbaik untuk menilai vaskularisasi paru adalah dengan memperhatikan zona tengah paru-paru (misalnya sepertiga dari paru-paru di antara daerah hilus dan daerah perifer lateral) dan membandingkan daerah pada lapangan paru atas dengan daerah pada daerah yang lebih rendah pada jarak yang sebanding dari hilus. Pembuluh darah harus lebih besar pada paru-paru bagian bawah namun berbeda dengan jelas pada zona-zona atas dan bawah. Pada kondisi normal, pembuluh-pembuluh menyempit dan bercabangcabang dan sulit ditemukan pada sepertiga luar dari paru-paru. Dalam kondisi normal tak terlihat di dekat pleura. Pada pasien dengan high-output state (misalnya kehamilan, anemia berat seperti pada penyakit sickle cell, hipertiroidisme) atau shunt kiri ke kanan, karena aliran arteri pulmonalis meningkat, pembuluh-pembuluh pulmonalis dapat terlihat lebih jelas dibandingkan dengan biasanya pada paru-paru perifer. Pada keadaan tekanan arteri pulmonalis yang meningkat, batas-batas pembuluh menjadi tidak jelas, pembuluh-pembuluh pada zona rendah menyempit dan yang berada pada zona lebih tinggi membesar, dan pembuluh-pembuluh menjadi lebih jelas ke arah pleura, pada sepertiga luar paru-paru. Dengan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (left ventricular end-diastolic pressure =LVEDP) atau left atrial pressure yang meningkat, edema interstisial meningkat dan akhirnya muncul edema paru. Biasanya terdapat korelasi pola vaskular paru dan pulmonary capillavy wedge pressure (PCWP). Pada PCWP yang lebih kecil dari 8 mm Hg, pola vaskular adalah normal. Sementara PCWP meningkat menjadi 10 sampai 12 mm Hg, diameter pembuluh-pembuluh pada zona lebih rendah nampak sebanding atau lebih kecil dari pembuluhpembuluh pada zona yang lebih tinggi. Pada tekanan 12 sampai 18 mm Hg batasan-batasan pembuluh menjadi lebih buram secara bertahap karena meningkatnya ekstravasasi cairan ke dalam interstisium. Efek ini terkadang mudah dikenali sebagai Kerley B lines, yang horizontal, basis pada pleura, densitas linier perifer. Bersamaan dengan meningkatnya PCWP melebihi 18 sampai 20 mm Hg, muncul edema paru dengan adanya cairan interstisial dalam jumlah cukup untuk mengakibatkan gambaran bat wing perihilar. Gambaran khas tersebut dapat berubah untuk beberapa hal. Pada pasien fibrosis paru luas atau bula multipel, terdapat pola vaskular abnormal pada baseline dan jika terdapat peningkatan PCWP, tak ada perubahan yang dapat diprediksi. Pada pasien gaga1 jantung kronis, terdapat perubahan-perubahan kronis pada pola vaskular paru yang tidak berhubungan dengan perubahan yang muncul pada pasien dengan tekanan ventrikel kiri yang normal pada baseline.



RUANG-RUANGJANTUNG DAN PEMBULUHBESAR Evaluasi terhadapjantung harus dilakukan secara sistematis. Setelah menilai ukuran keseluruhan dan pola vaskular paru sebagai refleksi status fisiologisjantung bagian kiri-ruang jantung harus diperiksa. Seperti telah disebutkan, tidak mungkin untuk menunjukkan ruang jantung dengan jelas pada sebuah foto rontgen dada normal. Pada penyakit valvular yang didapat dan pada banyak jenis penyakit jantung kongenital, ditemukan pembesaran ruang jantung.



ATRIUM KANAN Perbesaran atrium kanan biasanya tak pernah terbatas (isolated) kecuali dengan adanya atresia trikuspid kongenital atau kelainan Ebstein, keduanya jarang terjadi meskipun pada kelompok usia anak. Atrium kanan dapat melebar dengan adanya hipertensi pulmonal atau regurgitasi trikuspid, namun pelebaran ventrikel kanan biasanya melebihi atau menghalangi atrium. Kontur atrium kanan bergabung dengan vena kava superior, arteri pulmonalis utama kanan dan ventrikel kiri.



VENTRIKEL KANAN Tanda klasik pembesaran ventrikel kanan adalah jantung "boot-shaped' dan pemenuhan (filling in) ruang udara retrosternal. Pemenuhan tersebut disebabkan oleh pergeseran letak tranversal apeks ventrikel kanan saat ventrikel kanan melebar. Karena pada orang dewasa ventrikel kanan jarang melebar tanpa pelebaran ventrikel kin secara bersamaan, bentuk boot ini seringkali tidak jelas. Bentuk tersebut paling sering terlihat pada penyakit jantung kongenital, biasanya pada tetralogi Fallot. Bersamaan dengan melebarnya ventrikel kanan, ventrikel tersebut meluas secara superior juga secara lateral dan posterior, memenuhi ruang udara retrosternal.Ajaran yang klasik adalah pada foto rontgen dada lateral, pada pasien normal densitas jaringan lunak terbatas pada kurang dari sepertiga jarak dari suprasternal notch sampai ke ujung xyphoid. Jikajaringan lunak tersebut memenuhi lebih dari setengah jarak ini, ha1 tersebut merupakan indikasi pembesaran bilik kanan yang dapat dipercaya. Pembesaran ventrikel kanan paling sering ditemukan pada penyakit katup mitral, setelah terjadi hipertensi pulmonal. Yang lebih jarang adalah karena hipertensi pulmonal primer.



ATRIUM KlRl Terdapat beberapa tanda klasik yang menunjukkan pembesaran atrium kiri. Yang pertama adalah pelebaran



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kanan. Ventrikel kiri tetap berukuran normal. Pada regurgitasi mitral, atrium dan ventrikel kiri keduanya bertambah besar karena meningkatnya aliran. Redistribusi vaskular paru lebih bervariasi pada regurgitasi mitral dibandingkan dengan stenosis mitral, seperti halnya pelebaran ventrikel kanan.



VENTRIKEL KlRl



-*r& rl



w*



+-



Gambar 2. A). Radiografi dada lateral; B). Gambaran anatomis ruang jantung dan pembuluh darah; C). Diagram proyeks~lateral pada ruang jantung, clncln katup dan sulci



lej? atrial appendage di mana biasanya tampak sebagai cembungan fokal dalam keadaan normal terdapat cekungan di antara arteri pulmonalis utama kiri dan batas kiri ventrikel kiri pada penampakan frontal. Yang kedua, dikarenakan lokasinya, bersamaan dengan membesamya atrium kiri, ha1 tersebut akan mengangkat left main stem bronchus sehingga akan melebarkan sudut karina. Yang ketiga bersamaan dengan membesarnya atrium kiri secara posterior, ha1 tersebut mungkin menyebabkan membengkoknya aorta torakalis tengah sampai yang rendah ke arah kiri. Pembengkokan ini dapat dibedakan dari liku (tourtuous) yang terlihat pada aterosklerosis, yang melibatkan aorta torasik desendens pada bagian atasnya atau keseluruhan. Selanjutnya, dengan pembesaran atrium kiri yang khas, densitas ganda dapat dilihat pada penampakan frontal, karena atrium kiri memberikan proyeksi secara lateral ke arah kanan juga secara posterior dan dikelilingi oleh paru-paru. Yang terakhir, pada foto lateral, pembesaran atrium kiri nampak sebagai tonjolan khas yang mengarah ke posterior. Pembesaran atrium kiri yang terbatas pada orang dewasa paling sering terlihat pada stenosis mitral, dan pembesaran atrium kiri merupakan ciri penyakit katup mitral. Pada stenosis mitral, atrium kiri membesar, terdapat bukti redistribusi vaskular paru (seringkali dengan Kerley B lines), dan pada akhimya terdapat pembesaran ventrikel



Pembesaran ventrikel kiri dicirikan dengan kontur apeks yang jelas dan mengarah ke bawah, yang dibedakan dari pergeseran letak transversal seperti yang terlihat pada pembesaran ventrikel kanan. Kontur keseluruhan jantung biasanya juga membesar, meskipun ha1 ini tidak spesifik. Juga penting mengevaluasi ventrikel kiri pada posisi lateral, di mana tampak sebagai tonjolan posterior, di bawah tingkatan anulus mitral. Pembesaran ventrikel kiri fokal pada orang dewasa paling sering terlihat pada insufisiensi aorta atau regurgitasi mitral (dengan pelebaran atrium kiri). Pelebaran ventrikel kiri lebih jarang pada stenosis aorta, meskipun ha1 tersebut dapat terjadi, bersamaan dengan gaga1 jantung kongestif.



ARTERI PULMONALIS Arteri pulmonalis utama dapat terlihat abnormal pada banyak keadaan. Pada stenosis pulmonal, arteri pulmonalis utama dan arteri pulmonalis kiri melebar. Pelebaran ini dianggap disebabkan oleh efek jet melalui katup stenotik. Pembesaran ini dapat terlihat dengan hilus kiri yang jelas pada penampakan frontal dan prominent pulmonary outflow tract pada penampakan lateral. Penting halnya untuk mengingat bahwa katup pulmonal berada lebih tinggi dan perifer dari outflow tract dibandingkan dengan katup aorta. Katup tersebut juga terletak di depan katup aorta pada penampakan lateral.



AORTA Pada foto dada frontal, pelebaran aorta terlihat sebagai tonjolan mediastinum tengah ke arah kanan. Juga terdapat sebuah tonjolan pada anterior mediastinum pada penampakan lateral, di belakang dan superior terhadap pulmonary outflow tract. Pelebaran aortic root paling sering terlihat pada hipertensi sistemik lama yang tak terkontrol. Pembesaran aortic root juga ditemukan pada penyakit katup aorta. Pada stenosis aorta, biasanya terdapat pelebaran fokal aortic root yang seringkali jelas, dan seringkali tanpa disertai pembesaran ventrikel kiri. Ventrikel kiri biasanya menjadi hipertrofi sebagai respons terhadap peningkatan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



RADIOLOG1 JANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI resistensi terhadap outflow dibandingkan dengan melebar seperti yang terjadi sebagai respons terhadap peningkatan volume aliran yang terjadi karena insufisiensi aorta. Penebalan dinding ventrikel pada hipertrofi dapat dilihat dengan pemeriksaan ekokardiografi, CT atau MRI, namun ventrikel mungkin tampak normal pada pemeriksaan foto rontgen dada walaupun terdapat stenosis katup aorta berat. Pada keadaan di mana sudah terjadi dekompensasi ventrikel kiri, terdapat pembesaran aortic root dan ventrikel kiri. Pada regurgitasi aorta, keterlibatan aorta biasanya lebih difus dibandingkan dengan stenosis aorta dan lebih mudah terlihat. Pada regurgitasi aorta mumi, atrium kiri biasanya tidak membesar. Namun, seiring dengan waktu, mungkin muncul pelebaran anulus mitral sekunder terhadap pelebaran ventrikel kiri dengan hasil regurgitasi mitral dan pelebaran atrium kiri. Meskipun regurgitasi aorta secara klasik muncul pada demam reumatik (dengan penyakit katup mitral yang terkait), defek kongenital, atau penyakit katup degeneratif, mungkin juga disebabkan oleh penyakit pada aortic root, termasuk cystic medial necrosis, dengan atau tanpa sindrom Marfan. Pada cystic medial necrosis, keterlibatannya difus, dan biasanya terdapat pelebaran aorta pada tingkatan katup setidaknya melalui arkus. Pada sifilis tersier, sekarang jarang terlihat, penemuan khasnya adalah pelebaran khas aorta dari akar sampai ke arkusnya, namun mendadak menjadi normal diameternya pada tingkatan ini. Pelebaran aneurisma aorta asendens juga terjadi pada cystic medial necrosis. Kelainan aorta lainnya, seperti diseksi akut atau kronis dan ruptur traumatik atau pseudoaneurisma, lebih baik dilihat dengan CT.



PLEURA DAN PERIKARDIUM



dapat dilihat. Pada efusi berat, perikardium viseral dan parietal akan terpisah. Karena terdapat bantalan lemak yang berhubungan dengan masing-masing, terkadang mungkin untuk membedakan dua garis lucent yang paralel pada foto lateral, biasanya pada daerah puncak (apeks) jantung, dengan kepadatan (cairan) di antaranya. Biasanya, siluet jantung tersebut memiliki bentuk "water bottle" jika terdapat efusi perikard berat, namun bentuk seperti itu sendiri tidak memastikan diagnostik. Kalsifikasi pleura sekaligus perikard dapat muncul, namun seringkali tidak jelas. Kalsifikasi perikardial berhubungan dengan riwayat perikarditis dan paling sering berhubungan dengan tuberkulosis dan juga karena etiologi lainnya, seperti infeksi viral, biasanya tipis dan linear dan mengikuti kontur perikardium. Karena kalsifikasi tersebut tipis, ha1 tersebut seringkali hanya terlihat pada satu sisi.



REFERENSI Bettmann MA. The chest radiograph in cardiovascular disease. In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders;2005.p.271-86. Boxt LM. Radiology of the right ventricle. Radiol Clin North Am. 1999;37:379 Lipton MJ, Coulden R. Valvular heart disease. Radiol Clin North Am. 1999;37:3 1. Murray JG, Brown AL, Anagnostou EA, et al. Widening of the tracheal bifurcation of chest radiographs:value as a sign of left atrial enlargement.AJR 1995; 164: 1089. Thomas JT, Kelly RF, Thomas SJ et al: Utility of history, physical examination, electrocardiogram, and chest radiograph for differentiating normal from decreased systolic function in patients with heart failure. Am J Med 2002;112:437.



Perikardium jarang dapat dibedakan pada pemeriksaan foto rontgen dada. Terdapat dua keadaan di mana perikardium



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATIH JANTUNG Ika Prasetya Wijaya



PENDAHULUAN Uji latih jantung dengan menggunakan treadmil sering dikenal dengan tes treadmil. Uji latih ini sudah sering dilakukan sebagai cara untuk mengetahui adanya gangguan pada pembuluh darah koroner, gangguan irama serta menjadi bahan referensi untuk pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui adanya kelainan jantung. Ada dua cara yang dikenal sebagai uji latih yakni dengan treadmil atau dengan sepeda ergometri. Sebelurn pelaksanaan tes semua alat dan perlengkapan guna tindakan kedaruratan hams tersedia dalam jangkauan tenaga pelaksana. Defibrilator, oksigen dan obat-obat untuk mengatasi terjadinya gangguan pada jantung merupakan ha1 yang wajib tersedia. Tenaga yang melaksanakan harus mengerti tatalaksana tindakan kedaruratan kardiak dan sudah menjalani pelatihan sebelumnya. Alat treadmil sebaiknya mempunyai jalur aman di sisinya untuk menjaga keamanan pasien. Lengan pasien juga harus bebas dari alat agar mudah dilakukan pemeriksaan tekanan darah oleh pemeriksa.



PERSIAPAN SEBELUM TES Pasien disarankan untuk tidak makan, minum dan merokok dua jam sebelum tes. Lakukan anamnesis tentang riwayat penyakit pasien dan kemampuan aktivitas fisik pasien terakhir untuk melengkapi status. Laksanakan pemeriksaan awal dalam keadaan istirahat pada pasien dalam posisi yang nyaman. Semua ini untuk mengetahui apakah pasien memiliki gejala yang menjadi kontnaindikasi mutlakmaupun relatiftes ini. (Tabel 1)



Mutlak lnfark miokard akut dalam 2 hari Angina tak stabil yang risiko tinggi Aritmia jantung tak terkontrol dengan gejala dan gangguan hernodinamik Stenosis aorta berat dengan gejala lnfark paru atau emboli paru akut Perikarditis atau miokarditis akut Diseksi aorta akut Relatif Stenosis di pembuluh koroner left main Penyakit jantung katup stenosis yang sedang Gangguan elektrolit Hipertensi berat Takiaritmia dan bradiaritmia Kardiomiopati hipertrofi dan bentuk lain harnbatan aliran ke luar jantung Gangguan fisik dan mental yang mengganggu jalannya perneriksaan Blok atrioventrikular derajat tinggi



Pelaksana tes wajib pula mengetahui obat-obat yang dikonsumsi pasien sebelum melaksanankan tes. Penggunaan obat penghambat D sebaiknya tidak dihentikan bila memang sangat diperlukan pasien walau dapat mempengaruhi hasil tes. Persiapan juga dilakukan terhadap kebersihan kulit agar tidak menimbulkan banyak artefak pada rekaman EKG Pemeriksaan EKG 12 lead wajib dilakukan sebelum tes baik pada posisi berbaring dan berdiri. Pemasangan elektroda sebaiknya menghindari daerah lengan agar tidak menimbulkan gangguan rekaman. Jadi elektrode l e n g a ~sebaiknya diletakkan di bahu, elektroda hijau (ground) di spina pinggang dan untuk kaki kanan di bawah umbilikus, atau modifikasi lainnya.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATIH JANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PELAKSANAANTES Komplikasi dapat diketahui segera bila kita tetap melakukan pengawasan pada tekanan darah, mengawasi hasil rekaman EKG, bertanya pada pasien tentang gejala yang dialami dan gejala keletihan dan melakukan penilaian terhadap semua gejala atau tanda yang muncul saat tes. Selama tes berlangsung sebaiknya lengan pasien tidak memegang dengan kencang pada tempat pegangan agar tidak menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan kemampuan pasien. Target frekuensi nadi sebaiknya tidak terlalu bergantung pada umur agar tidak mengacaukan kemampuan yang dimiliki pasien, karena kemampuan yang ada bersifat individual. Walau demikian sebagai patokan pencapaian kerja fisik dapat digunakan. Kapan kita melakukan penghentian tes dapat dilihat di Tabel 2.



Mutlak Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil pemeriksan sebelum uji latih disertai bukti lain adanya gejala iskemia Angina sedang ke berat Gejala sistem saraf meningkat (seperti ataksia, mengantuk dan gejala sinkop) Tanda rendahnya perfusi (sianosis dan pucat) Sulit untuk evaluasi EKG dan tekanan darah Pasien meminta berhenti Takikardia ventrikel menetap Elevasi ST (>1.0 mm) tanpa ada diagnosis gelombang Q (selain lead Vlatau aV) Relatif Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil pemeriksaan sebelumnya namun tanpa disertai gejala iskemia Perubahan ST dan QRS seperti menurunnya ST (>3 mm penurunan segmen ST baik horisontal maupun downsloping) atau perubahan aksis tetap Aritmia selain aritmia ventrikel sustained Lemas, sesak napas, timbul mengi, kram kaki atau gejala klaudikasio Terjadi bundle branch block pada konduksi intraventrikular yang tidak dapat dibedakan dengan takikardia ventrikel Nyeri dada yang meningkat Hi~ertensiyanq rneninqkat



Untuk mengetahui kemampuan pasien sesungguhnya, dapat digunakan skala Borg.



mengurangi terjadinya perubahan gambaran EKG. Setelah dianggap cukup, pasien duduk atau dapat pula berbaring sambil tetap dilakukan pengawasan dan rekaman 10 detik pertama setelah kaki berhenti. Pengawasan pasca tes dilakukan selama 5 menit walau terkadang dilakukan lebih lama sampai gejala atau gambaran perubahan EKG berkurang atau hilang .



PROTOKOLYANG DIGUNAKAN Ada beberapa macam protokol. Yang sering digunakan adalah protokol Bruce dan Naughton. Pada metode Bruce, selama menjalani uji latih, pasien akan mendapatkan beban dari alat dengan menaikkan ban berjalan beberapa derajat disertai penambahan kecepatan setiap peningkatan stage. Metode Naughton hanya ada peningkatan kecepatan perlahan saja.



15-Grade Scale Very, very light Very light Faidy light



1.11-Grade Scale 0 0.5 1 2 3 4 5



Somewhat hard



6 7



Hard



8 9 10



Very, very hard



Nothing Very, very weak oust .. Very weak Weak (light) Somewhat strong Strong (..) Very strong Very, very strong (hampir maksimum) Maksimum



* From berg GA. Med Sport. 1982;14:377-381. Reproduced with permission



FREKUENSI NADl Target denyut jantung yang akan dicapai sebaiknya bukan menjadi masalah untuk tidak memastkan bahwa hasil tes tidak dapat diolah. Semua hasil tes disimpulkan sesuai dengan gejala atau garnbaran rekaman yang terjadi selama pelaksanaan tes.



PEMULIHAN DENYUT JANTUNG FASE PEMULIHAN SETELAH TES Setelah mencapai kemampuan maksimal, maka pasien diminta untuk berhenti secara teratur. Setelah alat teadmil berhenti sempurna, pasien tetap menggerakkan kakinya seperti jalan di tempat dengan santai. Hal ini untuk



Denyut Jantung atau frekuensi nadi akan berkurang dengan cepat setelah tes dihentikan. Apabila berkurangnya denyut jantung kurang dari 20 kalilmenit pada menit pertama dan kedua, maka ini menjadi prediktor meningkatnya risiko kematian.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1546



KARDIOLOGI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TEKANAN DARAH



Tekanan darah sistolik seharusnya naik saat tes berlangsung. Bila terjadi penurunan tekanan darah di bawah tekanan darah sebelum tes, bisa menjadi kriteria yang diwaspadai. Bila terjadi aktivitas yang menyebabkan terjadinya hipotensi, maka dianggap terjadi disfungsi ventrikel kiri, iskemia atau obstruksi aliran keluar. Peningkatan tekanan darah yang cepat saat tes berlangsung menjadi penilaian adanya kemungkinan timbulnya iskemia.



I



r rolnt



'



'



1



Exercise Induced ST depresslo or at PQ level !.It.



A.resting ST elevation+



I(



, I 1



-



I



Measured ST demsston



-



Standing pro- exerclse Exerclse response



A B. When the ST level begins below the isoelectric line:



I



1



~ta~din~~exercise] Exerase response



KAPASITAS FUNGSIONAL



Kemampuan mencapai kapasitas maksimal saat aktivitas menjadi salah satu penilaian. Untuk mengetahui dapat disesuaikan dengan skala MET. (Tabel 4)



'



- +A - --A- --.



- lsoelektnc lhne -------[W Polnt' J-Junct'on



Maximum Exercise



10 METs 13 METs 18 METs 20 METs



'



Measured ST depress~on Kestlng ST depression wlth Exerctse ~nducedSt deoressim



Resting ST depresbn mspasmorI n d u d ST devaHon



Tabel 4. Cl~nicallySignificant Metabolic Equivalent for



1 MET 2 METs 4 METs



.



1



.;.,,,,p-



-a



Gambar 34. Eko dopler warna pada pasien regurgitasi trikuspid, menunjukkan velositas 5 rnlsec dengan gradient 123 rnmHg, dengan asurnsi tek ventrikel kanan 10 mrnHg, maka diperkirakan tekanan pulmonal 133 rnHg (hipertensi pulmonal). (Sumber : A. Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PULSED WAVE DOPLER ( PW )



Dengan PW transmisi sinyal gelombang suara dikirim dalam bentuk pulsasi ('pulse'). Oleh karena itu dapat dilakukan pemeriksaan pada area tertentu dari suatu area aliran dengan menggunakan yang disebut 'sample volume', yang merupakan marka dari daerah yang diinginkan, pada alat ekokardiografi ditandai dengan dua garis sejajar. Informasi yang dapat diperoleh berupa: Pengukuran fungsi diastolik Pengukuran area mitral atau orifisium aorta Pengukuran isi sekuncup dan curah jantung Mengukur besarnya shunt. Dalam prakteknya pengukuran-pengukuran itu dapat dilakukan oleh alat eko secara otomatis hanya dengan meletakkan marka-marka pada gambar yang dibuat.



Gambar 35. Ekokardiografi warna pada orang normal, wema merah menunjukkan arah altran darl atrium k~rike ventrikel klri pada saat diastol (mengarah ke transduser), sementara warna biru rnenunjukkan altran dari ventrikel k ~ ke n aorta pada saaf sistol (menjauhi transduser) (Sumber A.GhanEe, D n Cardiology, Dept mt Med Faculfy of Medmne, Snwr~ayaUnrvers~ty Palembang)



CONTINUOUS WAVE DOPLER (CW)



Tidak seperti pulsed wave dopler di sini transmisi gelombang suara berlangsung kontinu, sehingga spektrum lebih luas dari semua area yang dilewati gelombang suara. Karena tidak mempunyai 'samplevolume', tidak bisa melokalisir sinyal aliran sehingga tidak spesifi, dan sering terjadi kontaminasi aliran dari area yang tidak kita kehendaki. Narnun karena gelombang kontinyu dapat menangkap aliran darah kecepatan tinggi dengan baik tanpa terjadi 'uliasing', yaitu suatu keadaan gambar dopler terputus akibat terlampauinya batas maksimal kecepatan yang dapat diukur dengan dopler. (Gambar.29) Karena sifatnya, maka CW sangat bermanfaat untuk menangkap sinyal dari aliran frekwensi tinggi seperti stenosis katup, dan pengukuran semi kuantitatif dari regurgitasi.



Gambar 36. Ekokardiografi warna pada paoien regurgitasi m~tral,teriihat gangguan koaptasi katup mftral (pada gambar kiri, a), dan adanya garnbaran aliran balik dengan warna biru mosaik (menjauhi transduser, b) melalui katup mitral pada saat s~stol. (Sumber A.Ghanle, DV I Card~ology,Dapt lnt Med Faculty of Medicme, Sriwfaya Unrversrty Palernbang)



EKO DOPLER WARNA



Prinsip eko dopler warna adalah sama dengan 'pulsed dopler' tetapi menangkap sinyal pada beberapa beberapa titik sepanjang garis penyitraan. Dengan kesepakatan diberikan warna merah untuk aliran darah yang mendekati transduser, dan warna biru untuk aliran yang menjauhi transduser. (Gambar 35 ) Pada keadaan tertentu di mana aliran bersifat turbulen terjadi campuran warna merah dan biru atau mosaik. (Gambar 36 dan 37) lnformasi yang diperoleh: Menentukan arah dan waktu aliran Menentukan sifat aliran laminar atau turbulen



Gambar 37 Ekokardiografi dopler warna pasien regurgitasi trikuspid berat, menunjukkan gambaran aliran mozaik melalui tricuspid pada saat sistol. (Sumber: A.Ghanle, Div Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Snwljaya University Palernbang)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Garnbar. 38 Ekokardrografr 2-D dengan warna pada pasren &%nosis rnitral, aliran turhulen rnernberikan warna rnosaik (kiri) melalui katup rnitral yang sempft (kanan) (Sumber :A Ghanie, Drv Cardtology, Depf int.Med. Faculty of Medrcine, Sriwijaya Unrvefsil'y Palembang)



Gambar 40. Ekokardiograf transesofageal pasien dengan endokarditis, terlihat vegetasi yang jelas melekat pada katup rnitral anterior. (Surnber : A Ghanie, Diw CanlMagy, Dept.fntMed. Faculty of Medrc~ne,Sriwbaya UnivgrsTy Pelembang)



TISSUE DOPPLER Dengan majunya tehologi dapat dilakukan pengukuran kecepam dopier darijaringan miokardim, bukan sel darah merah seperti pada dopler biasa. Dengan madalitas ini dapat diperoleh informasi mengenai relaksasi abnormal, pseudonormal, dan kondisi restriktif dari miokardium.



EKOKARDIOGRAFITRANS ESOFAGEAL (ETE)



Dengan ETE, trarrsdmer dilengkapi dengan hkuensi yang relatif lebih tinggi, karena jarak bukan masaiahmaka kualitas gambar lebih baik dan jendela eka lebih luas. Oleh karena itu beberapa informasi dapat diperoleh sebagai tambahan terhadap inforrnasi yang tic%& bisa didapat dengan TTE. Bebelapa contoh pencitraan dengan ETE yang sulit didapat dengan ETTdapat dilihat pada Gambar 39,40,41.



Gambar 41 Ekokard~ografitransesofageal paslen klrnts dengan regurgitasi rnitral, terlihat ruptur daun katup rnitral anterior (panah tunggal, koaptasi rnitral due panah). (Sumbe: A.Ghanie, Div. GerdioEogy, Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya Univwsity Palembang)



REFERENSI



Gambar 39. Ekokardiografi transesofageal pasien stenosis rnitral dengan strok, terlihat trornbus di daerah apendik atrium kiri yang tidak terlihat dengan eko trastorakal (TH, panah besar) (Sumber: A.Ghanie, Div Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palernbang)



Anderson, B. Echocardiopmphy: the normal examination and Echocardigraphic measurements. MGA Graphics, Manly, Queensland, Australia. First edition. 2000 Chambers, J. Echocardiography in clinical practice. The parthenon publishing group, Spain. 2002. Feigenboum. H. Echocardiography. Lea & Febiger, Malvern, Pennsylbania, LISA. FiRb edition. 1994. Feigenbaum, H. Echocardiography. Lea L Febiger, Malvem, Pennsylvania, USA. Sixth edition. 2005. C3hanie.A. arsip ekokardlogafi, Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalarn Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 1 KS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006. Ghrtnie, A. Parameter ekokardiografi normal. Unpublished. 2005.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE) Lukman H. Makmun



TEKNIK PEMERIKSAAN



PENDAHULUAN Pemeriksaan Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE) merupakan pemeriksaan lanjutan Ekokardiografi Trans Torakal (ETT). Letak perbedaan antara kedua cara pemeriksaan ini adalah pada ETE dengan meletakkan transduser dibelakang organ jantung dengan cara memasukkannya melalui esofagus seperti melakukan pemeriksaan esofago-gastroskopi. Hasil yang didapat adalah gambaran (imaging) struktur jintung lebih jelas dibandingkan dengan hasil ekokardiografi trans torakal dengan transduser berukuran 5 MHz. Transduser terletak pada ujung pipa fiber yang dapat diputar-putar dengan modus biplane atau multiplane. Biplane berarti transduser hanya dapat digerakkan untuk mendapatkan horizontal dan vertikal view saja yang berbeda 90". Sedangkan pada multiplane dapat digerakkan secara bebas dalam perubahan setiap derajat sehingga didapat gambaran yang diinginkan oleh pemeriksa artinya dapat melihat view semua arah. Dengan ETE ini sesuai dengan standar pemeriksaan ekokardiografi, dapat dilakukan Eko color dan Dopler untuk melihat dan mengukurflow.



Gambar 1 Gambar alat probe transduser



Persiapan Alat Alat transduser Trans Esofageal (probe) sebelumnya dibersihkan lebih dahulu dengan air kemudian disterilkan dalam cairan kimia (misa1:Cidex) selama 20 menit. Seterusnya dibilas dengan air (biasanya dengan cairan infus dekstrosa) dan dikeringkan. Disiapkan Jelly xylocain dan dengan kain kasa dioleskan padaprobe mulai dari ujung sampai sepanjang 30-40 cm. Atau kalau memungkinkan dibuatkan sarung karet (seperti kondom panjang) untuk menyarungi probe; jelly dimasukkan ke dalam ujung sarung karet supaya terdapat kontak yang baik antara transduser dengan sarung karet dan pada bagian luar sarung karet diolesi juga jelly tadi untuk memudahkan masuknya probe ke dalam esofagus. Elektroda EKG dipasang untuk melihat EKG di monitor mesin eko. Probe dihubungkan dengan mesin eko dan di set untuk pemeriksaan ETE. Persiapan pasien: Dilakukan pemeriksaan HBsAg bila alat TEE hanya ada satu, k a ~ e n a takut ' bahaya penularan. Kalau memungkinkan untuk pasien HBsAg dipergunakan sarung karet untuk probe. Pasien dipuasakan terlebih dahulu selama 6 jam supaya tidak muntah. Cara kerja Pasien dibaringkan dengan posisi miring ke kiri, bagian atas badan agak tinggi, tanpa bantal dan leher diganjal dengan pengganjal. Gigi palsu dilepas dahulu. Faring disemprot dengan Xylocain spray beberapa kali. Bila pasien agak takut dapat disuntikkan midazolam (DormicumR) 0.07 - 0.1 mgkgBB iv. Hati-hati pada pasien



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI usia lanjut karena dapat terjadi depresi napas. Mouth piece disuruh gigit. Badan pasien bagian distal agak melengkung ke dalarn dan kepala agak menekuk dan melihat kakinya sendiri. Probe diatur sehingga ujungnya agak fleksi (melekuk ke dalam) sesuai dengan bentuk faring dan ditahan. Gerakan menyamping probe supaya dikunci. Probe dimasukkan secara perlahan ke dalam mulut, lidah pasien di dalam dan kalau perlu ditekan. Sesampainya probe di faring, kondisi fleksi probe yang tadi ditahan dengan tangan supaya dilepaskan sehingga probe tadi bebas dan menyesuaikan diri dengan bentuk keadaan esofagus. Pasien disuruh mengambil napas dalam supaya tenang dan disuruh menelan. Sambil pasien menelan, probe didorongkan perlahan dengan lembut ke dalam. Bila ada tahanan jangan dipaksakan, tetapi cabut sedikit, kemudian arah disesuaikan lagi. Biasanya kalau sudah melewati laring, probe dengan mudah dapat didorongkan ke distal esofagus. Kemudian dilihat melalui monitor posisi transduser. Biasanya setelah melewati 30 cm, transduser sudah berada di belakang jantung. Bila lebih dalam lagi akan masuk ke dalam lambung dan akan terlihat ventrikel kanan dan kiri. Kemudianprobe ditarik lagi sampai terlihat semua ruang jantung. Dengan memanipulasi tomb01 pengarah, pemeriksa dapat mengamati bagian-bagian strukturjantung termasuk LAA (Left Atrial Appendage). Setelah selesai pemeriksaan,probe ditarik pelan-pelan sambil melihat kembali struktur aorta. Kemudian pasien dipuasakan tidak makan dan minum selama 3 jam, karena efek xylocain spray tadi.



Mitral valve prolaps (MVP) Gambaran vegetasi pada katup. Fungsi protese katup Kelainan katup mitral, aorta, trikuspid Penonjolan foramen ovale pada strok non hemoragik Kelainan pada aorta torakalis, misal plak atau aneurysma. Pada pasien obesitas, emfisema paru dan deformitas dada kadang-kadang sulit untuk mendapatkan gambaran s t b jantung dengan TTE biasa, karena itu diperlukan pemeriksaan dengan ETE ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Kontra indikasi: Kontra indikasi pemeriksaan ETE ini adalah sebagai berikut: kelainan esofagus aritmia berat trombo tes yang sangat rendah, takut bahaya pendarahan hipertensi maligna.



Gambar 3. Garnbaran ETE dengan strukturjantung yang normal, di mana dimensi ruang-ruang jantungnya normal.



Gambar 2. Cara rnemasukkan alat probe



Indikasi: Indikasi pemeriksaan ETE ini adalah untuk melihat struktur jantung dengan lebih jelas, yaitu: dugaan trombus di LAA misal pada kasus strok non hemoragik dugaan trombus di ventrikel. ASD dan VSD dengan melihat aliran shunt. Foramen ovale persistent



Gambar 4. Garnbaran trombus di LAA, di mana di lokasi ini tidak bisa di deteksi dengan pemeriksaan TTE biasa. Keadaan patologis ini merupakan penyebab utama strok non hemoragik.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 5. Gambaran septum inter atrial, tampak intak dengan tidak ada defek.



Gambar 8. Tampak vegetasi pada daun katup trikuspid dan septum ventrikel.



Perlu diperhatikan kemungkinan terjadin)a refleks vagal, sehingga perlu disiapkan juga sulfas atropin ampul. Pemeriksaan ETE ini kurang mengenakkan pasien karena hams menelan probe, meskipun sudah diberikan anestesi lokal.



GAMBARAN ETE PADA KEADAAN NORMAL DAN DENGAN KELAINAN KLlNlS Tampak disini gambarannya lebih jelas daripada hanya bila dilakukan dengan TTE biasa.



REFERENSI



Gambar 6. VSD. Tampak celah pada septum ventrikel. Kondisi seperti ini saat ini dapat dilakukan penutupan dengan teknik kateterisasi.



Hatle L, Angelsen B.Doppler Ultrasound in Cardiology. Philadelphia : Lea & Fabiger. 2nd ed.1985. Oka Y., Konstadt SN.Clinical Transesophageal Ekokardiografi cardio graphy. Philadelphia Lippincott-Raven. 1996. Siglow V.,Schofer J, Mathey D. Transoesophageale Ekocardiographie. Thieme Verlag Stuttgart.1993.



Gambar 7. MVP (Mitral valve prolaps) Di sini terlihat dengan jelas katup mitral tidak menutup dengan rapat.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN KARDIOLOGI NUKLIR Ika Prasetya Wijaya



PENDAHULUAN



PENlLAlAN FUNGSI VENTRIKEL



Pemeriksaan pencitraan jantung dengan radionuklir invasif bermula di tahun 1970-an, dengan pemeriksaan aliran darah miokardial. Seiring dengan perkembanganjaman maka saat ini pencitraan dengan radionuklir sudah mampu menganalisis fisiologi dan patofisiologi kerja jantung. Pemeriksaan dimaksud adalah aliran darah miokard, metabolisme miokard serta fungsi ventrikel.



Angiografi radionuklir dalam kesetimbangan atau multiplegated bloodpool imaging sangat sering digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai fungsi ventrikel yang bersifat tak invasif. Teknik yang digunakan adalah dengan memberi label 99mTcpada albumin atau sel darah merah yang secara seragam akan didistribusikan ke seluruh pembuluh darah. Untuk mendapatkan hasil optimal pada pemeriksaan saat istirahat maka sebaiknya tidak ada gangguan irarna jantung. Pemeriksaan ini sangat akurat. Hasil lain dari pemeriksaan ini adalah dengan didapatkannya ukuran dan fungsi ventrikel kanan, ukuran ruang atrium dan pembuluh darah besar, parameter pengisian diastolik, dan tingkatan berat ringannya regurgitasi katup. First-pass radionuclide angiography adalah metode lain yang juga dapat digunakan untuk menilai fungsi ventrikel di dalamnya terdapat rekaman perjalanan bolus radionuklir dalam darah dari saat pemberian hingga mencapai pembuluh darah pusat. Metode ini tidak memerlukan sela darah merah yang dilabel dengan. Penggunaan 99mTcpada pemeriksaan ini karena biaya murah dan waktu paruh yang pendek. Selama pemeriksaan, perjalanan radioisotop melalui atrium kanan, ventrikel kanan, pembuluh paru kemudian atrium kiri, ventrikel kiri dan aorta direkam dengan kamera khusus (high-count cumera). Kelemahan pemeriksaan ini dibandingkan dengan pemeriksaan dalam kesetimbangan adalah rendahnya resolusi dari -pergerakan otot ventrikel. Gated single-photon emission computed tomography (SPECT) dapat digunakan untuk menilai fraksi ejeksi dan pergerakan otot ventrikel regional dengan mengambil manfaat dari pemeriksaan perfusi miokard SPECT. Pemeriksaan ini bisa menggunakan 20'T1,tetapi yang sering digunakan adalah karena bersifat higher count rate adalah 99mTc sestamibi. Aritrniajuga menjadi faktor yang dihindari pada pemeriksaan ini.



PRlNSlP DASAR KARDIOLOGI NUKLIR Pemeriksaan kardiologi nuklir bergantung kepada penyuntikan isotop yang mengandung foton ke dalam darah pasien. Hasil dari adanya foton tadi akan keluar sinar gamma yang kemudian ditangkap oleh kamera khusus, dinamakan kamera gamma. Kelemahan dari pemeriksaan ini adalah foton yang disuntik dapat memancar ke segala penjuru, menyebar, melemahkan serta dapat diserap. Semakin tinggi energi dari isotop, semakin rendah kemungkinan untuk menyebar dan penyerapan. Ada dua isotop yang sering digunakan saat ini, talium 201 (201T1) dan teknetium 99m (99mTc), teknetium 99m sendiri terbagi atas beberapa bahan: sestamibi, tetrofosmin dan teboroksim.



Thallium 201



Technetium 99m sestamibi



Waktu paruh fisik 73 jam Biaya radiofarmasi rendah Digunakan untuk mengukur ambilan paru Baik pada pemeriksaan iskemia saat istirahat



Waktu paruh fisik 6 jam Hasil pencitraan yang lebih baik Untuk menilai fungsi ventrikel Waktu pencitraan yang pendek Protokol pencitraan yang cepat Dapat dilakukan pada IMA dan angina pektoris tak stabil Kuantifikasi baik terutama untuk mengukur luas iskemia saat istirahat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan pencitmn radionuklir dengan metode SPECT myocurdialperfusior~banyak digunakan penyakit jantung iskemia. Penyuntikan radioisotop pada saat istirahat dan saat aktivitas dilakukan untuk menghasilkm gambaran eitra dari hasil dar aliran darah setempat. Terkadang untuk mendapatkan keadaan dengan abivitas dapat diberikan dipiridamol dan adenosin Bila terdapat kontra indikasi pada kelainan paru terutama bronkospasme maka dapat diganti dengan menggunakan dobutamin.



TOMOGRAFI EMlSl POSITRON (POSITRON EMISSION TOMOGRAFI)



Pemeriksaan ini berbeda dengan dua pemeriksaan terdahulu di atas. Dengan menghirup positron, maka elnisi yang dihasilkan sangat tinggi. Berguna untuk memeriksa aliran darah di miokard dan lain-lain. Bahan yang dapat digunakan saat ini adalah: amonia nitrogen- 13, air oksigen15, dan rubidium. Aplikasi klinis pemeriksaan PET adalah untuk menilai kehidupan dari otot-otot ventrikel jantung (n~vocardiial viability). Selanjutnya dapat diketahui manfaat dari tindakan PTCA atau CABG dengan membandingkan hasil sebelum dan sesudah tindakan. Dengan adanya hasil ini maka diketahui apakah CABG ataupun PTCA yang sudah atau akan dikerjakan dapat memberikan hasil optimal.



REKOMENDASIPEMERIKSAAN



Perneriksaan kardiologi nuklir ini direkomendasikan dikerjakan pada: Angina pektoris tak stabil dan infark miokard tanpa peningkatan segmen ST untuk menilai beratnya iskemia dan menilai fungsi ventrikel. Penyakit iskemiajantung kronis untuk menilai perluasan dan beratnya gangguan arteri koroner pada pasien. Pada pasien yang tidak mampu melakukan aktivitas tisik dengan baik maka dapat dibantu dengan menggunakan adenosin atau dipiridamol. Walau demikian uji latih jantung dengan EKG lebih diutamakan. Pada gagal jantung digunakan untuk mengetahui fungsi ventrikel. Pada pasien penyakit jantung koroner lama yang menderita gagal jantung namun tanpa nyeri dapat dilakukan pemeriksaan kardiologi nuklir untuk persiapan revaskularisasi. Pasca tindakan revaskularisasi yang menunjukkan gejala adanya iskemia berulang.



iambar I.



Pemeriksaan tidak direkomendasikan pada lnfark miokard akut dengan peningkatan segrnen ST apalagi digunakan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk mengukur luasnya daerah infark. Sebagai pemeriksaan utama tetap uj i latih jantung dengan EKG. Pasien yang diduga menderita sakit jantung tanpa gejala, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis penyakit jantung. Tetapi dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dari hasil uji latih jantung yang positif. Persiapan menjalani pembedahan rutin yang bukan berkenaan dengan pembedahan vaskular karena risikonya rendah, Tetapi pada pasien penyakit jantung iskemia kronis sebaiknya dilakukan untuk rnenilai h g s i vcntrikel maupun viabilitas otot ventrikel. Pasien passa tindakan revaskularisasi yang tidak bergejala.



Nishimura RA et a]. Non-invasif. Cardial imaging: ekohrdiografi. Dalam Kasper. Dalam Harrison's principle 6f internal medicine. New York. McGraw-Hill. 2005. Sabharwal NK et al. role of myocardial perfusion imaging for risk stratification in suspected or known coronary artery disease. Heart, 2003; 89: 1291-7. Udeison JE et al. Nuclear cardiologq. Dalam Btaunwald's editor. Heart disesase a textbook of cardiovascular medicine. Philadelphia. Elsevier saunders. 2005.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYADAPAN JANTUNG (CARDIAC CATHE TERIZATION) Hanafi B. Trisnohadi



PENDAHULUAN Walaupun banyak kemajuan dalam teknik pemeriksaan jantung dengan cara non-invasif seperti dengan pemeriksaan ekokardiografi, multislice CTscan, kardiologi nuklir dan sebagainya, penyadapan jantung masih memegang peranan penting untuk mengevaluasi anatomi dan fisiologi jantung dan pembuluh darah. Penyadapan jantung ialah suatu tindakan invasif, di mana kateter dimasukkan ke dalam vena atau arteri perifer dan kemudian didorong sampai ke berbagai tempat di jantung atau pembuluh darah. Melalui kateter tersebut dapat diukur tekanan darah baik di arteri, vena, serambi jantung (atrium) baik kiri atau kanan, bilik jantung (ventrikel) kiri atau kanan maupun pembuluh darah besar seperti aorta, arteri pulmonalis, tergantung apa yang mau diperiksa. Melalui kateter tersebut dapat diperiksa saturasi oksigen di ruangan jantung maupun pembuluh darah tadi. Melalui kateter tersebut juga dapat disuntikkan bahan kontras yang radio opak, sehingga pembuluh darah besar dan ruanganjantung dapat di visualisasi secara radiologis. Dengan penyadapan jantung dapat diperoleh data hemodinamik maupun data radiologis (angiografi) untuk tujuan diagnostik. Ada dua macam cara untuk memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah, yaitu dengan cara Seldinger di mana kateter dimasukkan secara perkutan ke dalam pembuluh arteri atau vena baik di daerah femoral (arteri femoralis atau vena femoralis). Kateter juga dapat dimasukkan melalui arteri brakialis dan vena cubiti; akhirakhir ini mulai banyak dipakai arteri radialis untuk kateterisasi jantung kiri. Yang kedua dengan insisi terutama untuk pembuluh darah lengan, tapi akhir-akhir ini cara insisi pembuluh darah hampir tidak pernah dipakai. Hampir



semua pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan kateter secara perkutan. Untuk penyadapan jantung dibutuhkan alat image intensiJier dan cine angiography, kateter, transduser untuk mengukur tekanan jantung dan oksimeter untuk mengukur saturasi oksigen. Tindakan penyadapan dilakukan dengan anestesi lokal dan sedikit obat penenang, tetapi pada anak seringkali dibutuhkan anestesi umurn.



INDlKASl PENYADAPAN JANTUNG



'



Untuk memastikan dan menentukan beratnya penyempitan, lokasi penyempitan dan banyaknya penyempitan pembuluh koroner pada penyakitjantung koroner yang membutuhkan tindakan operasi bypass atau tindakan intervensi. Untuk menentukan beratnya kelainan katupjantung, baik beratnya stenosis ataupun beratnya insufisiensi katup jantung, sebelum dilakukan pembedahan jantung, sehingga bisa ditentukan sebelumnya apakah pasien membutuhkan penggantian katup atau perbaikan katup saja. Untuk menentukan faal ventrikel kiri. Untuk menentukkan perubahan anatomi jantung pada penyakit jantung kongenital yang akan dilakukan tindakan operasi.



KOMPLlKASl PENYADAPAN JANTUNG Komplikasi yang dapat terjadi misalnya perdarahan atau hematoma pada tempat masuknya kateter, infeksi, reaksi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pirogen, hipotensi, reaksi vagal, hipertensi, trombosis, emboli, perforasi pembuluh darah, perforasi miokardium, alergi terhadap kontras, mual sampai muntah tapi dengan kontras non-ionik yang banyak dipakai sekarang, komplikasi makin berkurang. Bahkan akhir-akhir ini dari pengalaman kami komplikasi dapat dikatakan sangat minimal. Gangguan irama jantung juga dapat terjadi seperti takikardia sinus ,bradikardia sinus , ekstrasistol ventrikel, takikardia ventrikel , fibrilasi ventrikel ,ekstrasistol atrial dan fibrilasi atrial. Komplikasi urnumnya ringan dan tidak membahayakan; dikatakan angka kematian bervariasi dari 0,07% sampai 0,14%.



PENYADAPAN JANTUNG KANAN Kateter dimasukkan melalui vena femoralis ataupun melalui vena di lengan secara per kutan (metoda Seldinger), dan dengan kontrol fluoroskopi kateter dapat didorong ke vena kava inferior superior, atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis, sampai ke posisi wedge. Tekanan darah dan saturasi oksigen tiap ruangan dapat diperiksa. Kateter dari atrium kanan dapat masuk ke atrium kiri melalui foramen oval atau bila ada defek septal atrial. Melalui kateter juga dapat disuntikkan bahan kontras radio-opaque untuk melihat ruangan jantung kanan dan pembuluh darah paru.



PENYADAPANJANTUNG KlRl Pada penyadapan jantung kiri kateter dapat dimasukkan ke dalam pembuluh arteri melalui arteri femoralis atau arteri brakialis secara per kutan. Kateter dengan kontrol fluoroskopi dapat didorong ke aorta lalu ke dalam ventrikel kiri melalui katup aorta. Melalui kateter dapat diukur tekanan dan saturasi oksigen di aorta dan ventrikel kiri. Melalui kateter dapat disuntikkan kontras radio-opaque dan dilakukan pemotretan aorta dan ventrikel kiri secara radiologis. Pernotretan aorta atau aortografi digunakan untuk melihat apakah ada kelainan aorta atau katup aorta.misalnya apakah ada insufisiensi aorta, dilatasi aorta, aneurisma aorta dan koarktasio aorta. Sedangkan pemotretan ventrikel kin atau lefi ventriculography (ventrikulografi kiri)dilakukan dengan menyuntikkan kontras radiologi di ventrikel kiri dan pemotretan dalam projeksi right anterior oblique (RAO) dapat dipakai untuk mengevaluasi faal ventrikel kiri. (Gambar 5,7) Dalam keadaan normal 50% sampai 80% darah dalam ventrikel kiri dapat dipompa keluar, fraksi ejeksi (ejection ji-action) antara 50% sampai 80%. Dari left ventriculograj dalam posisi RAO juga dapat dilihat adanya aneurisma ventrikel kiri, trombus di ventrikel kin, biasanya terletak didaerah apeks, dan adanya insufisiensi mitral di mana tampak aliran darah dari ventrikel ke atrium pada masa sistol.



(Gambar5). Ventrikulografi kiri dalam projeksi left anterior oblique (LAO) untuk melihat adanya defek septal ventrikel. (Gambar 6) ARTERIOGRAFI KORONER: (GAMBAR 2,3)



Pemeriksaan arteriografi koroner untuk menentukkan letak dan beratnya stenosis dari pembuluh darah koroner. Kateter didorong sampai di muara arteri koroner, dan secara selektif disuntikkan bahan kontras radio-graphic ke dalam pembuluh koroner dan dilakukan pemotretan dengan alat cine-angiografi, sehingga pembuluh koroner sampai ke cabang-cabangnya dapat divisualisasi. Setiap pembuluh koroner dilihat dari berbagai projeksi untuk mengurangi overlapping dan lebih akurat dalam menentukan beratnya penyempitan. Projeksi yang lazim dipakai left anterior oblique (LAO), right anterior oblique cranial (RAO kranial), posteroanterior caudal (PA caudal) untuk pembuluh darah koroner kiri sedangkan urituk pembuluh darah koroner kanan dipakai projeksi LAO, RAO dan PA kranial. Ada 2 macam cara melakukan arteriografi koroner yaitu metode Sones dengan memakai kateter Sones biasa dilakukan melalui arteri brakialis sedangkan metode Judkins dengan kateter Judkins melalui arteri femoralis. Belakangan melalui arteri brakialis juga dipakai kateter Judkins maupun kateter multipurpose. Akhir-akhir ini banyak juga dipakai arteri radialis. Dengan arteriografi koroner, lokasi, beratnya dan morfologi tempat penyempitan dapat dianalisis dengan baik, dan hasilnya penting untuk menentukan apakah pasien membutuhkan bedah pintas koroner atau tindakan intervensi dengan memakai dasar kateter. (Gambar 2 dan 3)



INDlKASl ARTERlOGRAFl KORONER lndikasi arteriografi koroner di unit karni: Pasien dengan angina pektoris stabil ataupun tak stabil Pasien dengan exercise test yang positif Pasien dengan infark jantung akut maupun infark lama



PENGUKURANCURAH JANTUNG (CARDIAC OUTPUT) Curah jantung secara rutin dapat diukur pada waktu penyadapan jantung kiri. Pengukuran curah jantung tidak saja penting untuk menentukan faal ventrikel kiri, tapi juga penting untuk menghitung luas katup jantung. Tetapi akhirakhir ini dengan kemajuan pemeriksaan ekokardiogarfi, tindakan untuk mengukur curah jantung secara non invasif cukup dapat diandalkan. Cara memeriksa curah jantung pada waktu penyadapan jantung adalah sebagai berikut:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYADAPANJANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Metoda Fick: Curah jantung diperoleh dengan memeriksa konsumsi oksigen dibagi dengan perbedaan oksigen (oksigen content) di arteri dan vena. Curah jantung normal sampai 4.8 L/min/m2. Metoda dengan termodilusi maupun dengan indocyanide green sudah jarang dipakai Angiografi Paling banyak dipakai karena dapat dilakukan pada waktu melakukan penyadapan jantung kiri. Pada waktu membuat ventrikulografi kiri dapat diukur aksis yang panjang dan pendek dari ventrikel kiri pada masa sistol dan diastol, sehingga volume ventrikel kiri pada masa sistol atau diastol dapat dihitung sehingga curah jantung juga dapat diketahui.



LUAS KATUP Luas katup dapat dihitung dengan menggunakan rumus dari Gorlin: Untuk menggunakan rumus Gorlin perlu diketahui: Cardiac output Perbedaan tekanan (pressure gradient) pada katup yang mau dihitung luasnya. S~stolicejection period atau diastolic Jilling period tergantung dari katup yang mau diukur luasnya. Rumus untuk menghitung luas katup:



Luas katup (atrioventrikular)= Cardiac output DiastolicJillingperiod x heart rate K ( 3 1 ) x mean diastolic gradient



I Luas katup semilunar) = Cardiac ouput Systolic ejection period x heart rate K(44.5) x mean systolic Gradient.



I



SHUNT Pada penyakit jantung kongenital, dilakukan pemeriksaan oksigen saturasi di vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, dan arteri pulmonalis sedangkan untuk sistem jantung kiri juga diperiksa saturasi di aorta dan ventrikel kiri. Akan ada kenaikan saturasi oksigen pada tempat yang ada shunt dari kiri ke kanan, makin besar kenaikan saturasi menunjukkan shunt juga makin besar. Misalnya adanya kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan sebesar 4% atau lebih menunjukkan adanya shunt dari kin ke kanan di tingkat atrium karena defek septal atrial, sedangkan adanya kenaikan saturasi di ventrikel kanan sebesar 3% atau lebih menunjukkan adanya shunt dari kiri ke kanan di tingkat ventrikel seperti pada defek septal ventrikel. Adanya



kanaikan saturasi oksigen sebesar 2% di arteri pulmonalis menunjukkan ada shunt dari aorta ke arteri pulmonalis seperti padapatent duktus arteriosus. Sedangkan bila ada penurunan saturasi oksigen di sistem jantung kiri maka ada shunt dari kanan ke kiri. Besarnya shunt biasanya didasarkan atas perhitungan: Pulmcnary flmv = Systemic antery 0 2 sahnasi - Systanic venous 0 2 sahnasi



Systemicflow Pu!m~ciliayOZsatumi-PubncmyvemtsOZs&nasi i . .. ..--- ----.--. --.. .-.... .. -.-... ..- ..-.J



Contoh data yang diperoleh dari penyadapan jantung pada pelbagai macam kelainan jantung Stenosis mitral. Pada stenosis mitral tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari ventrikel kiri pada masa diastol, sehingga ada perbedaan tekanan di atrium kiri dan ventrikel kiri yang disebut "gradient katup mitral". (lihat gambar 1)Makin tinggi perbedaan tekanan tersebut makin berat stenosis katup mitral. Luas katup mitral dapat dihitung dengan rurnus Gorlin. Dari ventrikulografi kiri dapat dilihat pergerakan katup mitral, adanya kalsifikasi pada katup mitral dan apakah ada kebocoran pada katup mitral. Faal ventrikel kiri juga dapat dinilai dan kadang dapat dinilai apakah ada trombus di atrium kiri. Adanya hipertensi pulmonal juga dapat dinilai dengan mengukur tekanan di arteri pulmonalis. Insufisiensi mitral (Gambar 10). Adanya insufisiensi mitral dapat diduga bila dari pemeriksaan grafik rekaman tekanan di posisi wedge dari arteri pulmonalis yang menggambarkan tekanan di atrium kiri menunjukkan adanya gelombang v yang besar. Kebocoran dari katup mitral dapat dengan mudah dilihat dari pemeriksaan ventrikulografi kiri, di mana akan tampak aliran kontras dari ventrikel kiri ke atrium kiri pada waktu sistol. Dari ventrikulografi juga dapat dinilai besamya dan faal ventrikel kiri. Stenosis aorta (Gambar 4). Diagnosis stenosis aorta ditegakkan bila ada perbedaan tekanan sistolik di ventrikel kiri dibandingkan dengan tekanan sistolik di aorta (tekanan sistolik di ventrikel kiri lebih tinggi dari tekanan sistolik di aorta, dalam keadaan normal tekanan sistolik di ventrikel kiri dan aorta sama) Makin tinggi perbedaan tekanannya makin besar stenosisnya. Luas katup aorta dapat dihitung dengan rumus Gorlin. Dari pemeriksaan aortografi dapat dilihat bentuk katup aorta, pergerakannya, adanya kalsifikasi dan apakah ada insufisiensi aorta. Insufisiensi aorta: (Gambar 8,9). Pada insufisiensi aorta adanya kebocoran katup aorta dapat dilihat dari pemeriksaan aortografi. Bentuknya katup aorta, dan beratnya insufisiensi juga dapat ditentukan. Faal ventrikel kiri juga dengan mudah dapat dilihat. Defek septal ventrikel: (Gambar 6). Adanya defek septal ventrikel (VSD) dapat diketahui karena adanya kenaikan saturasi oksigen di ventrikel kanan dibandingkan dengan atrium kanan. Dari pemeriksaan ventrikulografi kiri tampak adanya aliran kontras dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



melallai septum intementrikularis (posisi JefJ anterior oblique). (Gambar 6) Lokasi VSD juga dapat ditentukan. Ftow ratio dapat dinilai dan tekanan di arteri pulrnonalis dapat diukur apakah sudah ada hipertensi pulmonal. Biasanya dianjurkan tindakan operasi penutupm VSD bila flow ratio lebih dari 1.5.



I



-



Tabel 1. Nilai Normal Tekanan (mm Hg) dan Parameter m , ,.i



Atr~urnkanan Mean (rerata) Gelombang a Gelombang v Ventrikel kanan Sistolik Diastolik akhir A. pulmonalis Sistolik Diastolik Rerata Atrium kiri Sistolik Diastolik akhir Cardiac index Stroke volume Systemic vascular resistance Stroke volume index Total pulmonary vascular resistanc



Gambar 2 Left coronary anglogram menunjukkan penyempiian 90% 61pembuluh CAD (LeR antenor descend~ng)



= 100- 140 =3-12 = 2.6 - 4.2 11minlrn = 30 - 65 m1/m2 = 700 - 1600 dynes sec m5 = 30 - 65 ml/m2 = 100 - 300 dynes sec m5



Gambar 3. Gambar menunjukkan angiogram pmbuluh koroner kanan (RCA=rrgllf coronary artery), menudukkan 100% blok. Angiografi dilakukan pada pasien infark akut bagian inferior kurang dari 6 jam. Pasirn juga mendapat pacujantung sementara karena ada AV blok



Gambar 1. Pada gambar dl atas dapat dlllhat kurva tekanan dl posls~wedge (PCWP= pulmonary cap~llarywedge pressure) dan kurva tekanan dl ventr~kelk l r ~yang dlrekam bersama-sama Tampak tekanan dl posls~wedge leb~htlnggl dar~ventr~kelklr~ pada masa d~astol,dengan perbedaan tekanan pada akhlr d~astol ( gradlent katup m~tral) sebesar 20 mmHg Tekanan dl posls~ wedge ( PCWP ) menggambarkantekanan dl atr~umklr~Adanya perbedaan tekanan antara PCWP dan ventr~kelklr~menunjukkan adanya stenos~skatup m~tral,makln tlngg~perbedaannya makln berat derajat stenos~skatup m~tral



Oambr 4. Gambar menunjukkan kuwa tekanan di ventfikel kiri dan di aorta, dj mana tekanan sistolik di ventrikei tinggi jauh lebih tinggi dari tekanan sistolik di aorta, didapatkan perbedaan tekanan sarbesar 130 mmHg (tekanan sistolik di ventrikel k n 140 mmHg dan di @orb110 mmHg). Kurva tekanan diatas menunjukkanaorta stenos~sbewt. Perbedaan tekanan di katup aorta menunjukkn adanya aorta stenesis, makin besar beda tekanan makin berat stenosisnya.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYADAPAN JANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 5. Ventrikulografi kiri menunjukkan adanya hlpokinetik didaerah anteroapical Gambar 9. Aortografi dalam posisi LAO menunjukkan aorta asendens yang melebar dan tampak adanya kontras yang mengalir dari aorta ke ventrikel kiri pada masa diastol, menunjukkan adanya insufisiensi aorta.



Gambar 6. Ventrikulografi kiri pada pos~siLAO menunjukkan kontras yang disuntikkan di ventr~kelklri ada yang mengalir ke ventrikel kanan melalu~defek septa1 ventrikel Gambar 10. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO menunjukkan ventrikel kiri agak membesar dan faal sistolik masih baik, dan didapatkan insufisiensi mitral, dapat dilihat kontras mengalir dari ventrikel kiri ke atrium kir~pada masa sistol.



REFERENSI



Gambar 7. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO pada pasien dengan faal ventr~kelyang normal



Bairn 1)s. (irocvnail W: 5 - 5.5 c mmol.~.',kurangi dosis sampai 50%, dan hentikan bila serum potassium ;5.5 mmol.l-'. 6. Jika setelah 1 bulan keluhan menetap tanpa kenaikan serum potasium, naikkan dosis sarnpai 50 rng perhari. Ulangi perneriksaan serum potassiumlkreatinin sesudah 1 minggu



Glikosida Jantung (Digitalis) Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung, terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab.(I,B) Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa kombinasi.



Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka kekerapan rawat inap. (Ha, A) Vasodilator Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gaga1 jantung kronik (111, A) Hidralazin-isosorbid Dinitrat Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan di mana pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin I1 (1,B). Dosis besar hidralazin (300 mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim konversi angiotensin dikatakan dapat menurunkan mortalitas. Pada kelompok pasien AfrikaAmerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg dan hidralazin 37.5 mg, tiga kali sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan memperbaiki kualitas hidup.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat Terbukti rnenurunkan rnortalitas dan rnorbiditas Candesartan Valsartan Lain - lain Eprosartan Losartan lrbesartan Telrnisarlan



Dosis (mg)



4 - 32 80 - 320



400 - 800 50 - 100 150 - 300 40 - 80



Nitrat Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak (Ila, C), jangka panjang tidak terbukti memperbaiki simtom gagal jantung. Dengan pemakaian dosis yang sering, dapat terjadi toleran (takipilaksis), ole11 karena itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam, atau kombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin Obat Penyekat Kalsium Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasi, dan dikontraindikasikan pemakaiaan kombinasi dengan penyekat beta (111, C) Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival bila digabung dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik. (II1,A) Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta. Nesiritid Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretik peptida tipe B. Obat ini identik dengan hormon endogen dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan menurunkan pre dun afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik. Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong pemakaian obat ini. lnotropik Positif Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena meningkatkan mortalitas (111, A) Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada bukti manfaat, justru komplikasi lebih sering muncul. (I1 b, C) Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon efektif bila digabung dengan penyekat beta, dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner. Namun disertai juga dengan efek takiaritmia amal dan



ventrikel, dan vasodilatasi berlebihan dapat menimbulkan hipotensi Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang baru, mempunyai efek vasodilatasi namun tidak seperti penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi. Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin. Anti Trombotik Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan (1, A) Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan pemakaian antiplatelet. (IIa, B) Aspirin hams dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang memburuk.



Anti Aritmia Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik, kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi Obat aritmia klas I tidak dianjurkan Obat anti aritmia klas I1 (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati mendadak (1,A) dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron (IIa, C) Anti aritmia klas 111, amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel aritmia (1,A) amiodaron rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan. Suatu data survei di Eropa menunjukkan bahwa pemakaian obat-obat pada gagaljantung kronik masih belum maksimal, demikian juga yang terjadi dalam praktek seharihari di Indonesia. Sebagai acuan praktis dari ESCguidelnes 2005, strategi pemilihan kombinasi obat pada berbagai keadaan gagal jantung secara sistematis dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.



Telah dibahas suatu tatalaksana gagal jantung terkini yang mengacu pada ESC guidelines, di mana terlihat bahwa penanganan pasien gagal jantung kronik mengalami perkembangan yang signifikan. Tatalaksana gagal jantung kronik harus disesuaikan bagi setiap individu dan daerah, karena perbedaan sosial ekonomi, sarana dan modalitas kesehatan yang berbeda. Terlihat perlunya pelayanan holistik terpadu mulai dari pusat pelayanan primer, dokter umum di daerah, dokter spesialis di pusat-pusat pelayanan sekunder dan pusat rujukan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1601



GACAL JANTUNG KRONIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Inhibitor



~;ce~tor Blocker



~ldoseron



Jantung



Disfungsi LV asimtomatik dysfunction GJ simtomatik (NYHA II)



lndikasi



If ACE intolerant



Not indicated



Pasca lnfark



lnfark baru



Dengan fibrilasi atrial



lndikasi



lndikasi dengan atau tanpa ACEinhibitor



Indicated if fluid retention



lndikasi



lnfark baru



GJ memburuk (NYHA Ill-IV)



lndikasi



lndikasi dengan atau tanpa ACE inhibitor



Indicated, combination of diuretics



lndikasi



GJ tahap akhir (NYHA IV)



indikasi



lndikasi dengan atau tanpa ACE-inhibitor



Indicated, combination of diuretics



lndikasi (di bawah pengawasan spesialis) lndikasi (di bawah pengawasan spesialis)



a.when atrial fibrillation b.when improved from more severe HF in sinus rhythm lndikasi



lndikasi



lndikasi



Untuk suwivallmorbiditas



Untuk gejala



- -



NYHA I



Lanjutkan ACE inhibitor IARB jika intoleran ACE inhibitor, lanjutkan antagonis aldosteron jika pasca-MI Tarnbah penyekat beta jika pasca MI.



Pengurangan I



NYHA I1



Ace inhibitor sebagai terapi lini pertarna ARB jika intoleran ACE inhibitor tarnbah penyekat beta dan antagonis aldosteron jika pasca MI



+I- diuretik tergantung pada retensi cairan



NYHA Ill



ACE inhibitor + ARB atau ARB Jika intoleran ACE sendiri Penyekat beta Tambah aldosteron Antagonis



+ diuretik + digitalis jika rnasih simtornatik



NYHA IV



Lanjutkan ACE inhibitor I ARB Penyekat beta Antagonis aldosteron



+ diuretik + digitalis + consider suport inotropis sernentara



REFERENSI Chodilawati,R., Ghanie,A. Pola etiologi gagal jantung di RSMH Palembang. Kopapdi Menado 2003. Francis, GS, Gassler, JP, Sonnenblick, EH. Pathophysiology and diagnosis of heart failure. In The Heart. Fuster V, Alexander, RW., O'Rourke, AR. 10Ih edition. Volume 1 . Mc. Graw Hill. p.655. Gibbsons, RJ., Antman, EA., Alpert, J.S., et al. Guidelines for the evaluation and management of chronic heart failure in the adult. ACCIAHA Practice guidelines-Full text. American College of Cardiology and the American Heart Association, Inc. 2001.



Remme, W.J., Swedberg, K. Guidelines for the diagnosis and treatment of chronic heart failure : Task force for the diagnosis and treatment of chronic heart failure. Euro Heart J. 200 1 ;22: 1527-55 Swedberg, K., Chairperson. Guidelines for the diagnosis and treatment of chronic heart failure: full text (update 2005). The European Society of Cardiology 2005.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MEKANISME DAN KLASIFIKASI ARITMIA A. Muin Rahman



PENDAHULUAN Bila yang dimaksud dengan irama jantung normal adalah irama yang berasal dari nodus SA, yang datang secara teratur dengan frekuensi antara 60- 100 lmenit, dan dengan hantaran tak mengalami hambatan pada tingkat manapun, maka irarnajantung lainnya dapat dikatakan sebagai aritmia. Jadi yang dapat didefinisikan sebagai aritmia adalah: Irama yang berasal bukan dari nodus SA. Irama yang tidak teratur, sekalipun ia berasal dari nodus SA, misalnya sinus aritnlia. Frekuensi kurang dari 60ximenit (sinus bradikardia) atau lebih dari 1OOxImenit (sinus takikardia). Terdapatnya hambatan impuls supra atau intra ventrikular. Jelaslah bahwa untuk membaca irama jantung, disamping frekuensi dan teratur atau tidaknya, hams dilihat juga tempat asal (fokus) irama tersebut. Nodus SA merupakan fokus irama jantung yang paling dominan, sehingga pada umumnya irama jantung adalah irama sinus. Bila nodus SA tidak dapat lagi mendominasi fokus lainnya, maka irama jantung akan ditentukan oleh fokus lainnya itu. Fokus irama jantung ini menjadi dasar dari klasifikasi aritmia. Klasifikasi aritmia masih bisa ditentukan pula oleh kecepatan hantaran impuls melalui berkas penghantar seperti berkas His dan percabangannya (Bundle Branch), yang bisa mendapat berbagai bentuk hambatan dari parsial sampai total (komplit).



MEKANISME TERJADINYAARITMIA Dalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai, automatisitas, artinya dapat dengan sendirinya secara teratur melepaskan rangsang (impuls). Sel-sel ini'setelah



repolarisasi fase 1, 2 dan 3, akan rnasuk ke fase 4 yang secara spontan perlahan-perlahan akan mengalami depolarisasi, dan apabila telah meliwati ambang batasnya akan timbullah impuls. Impuls in; kemudian akan merangsang sel-sel sekitarnya, selanjutnya disebarkan keseluruh jantung sehingga menghasilkan denyut jantung spontan. Kelompok-kelompok sel yang ~nempunyaiautomtisitas, misalnya terdapat pada nodus SA ,kelompok sel-sel yang terdapat di atrium dan ventrikel, AVjzmction, sepanjang berkas (bundle) His dan lain-lain. Pada keadaan normal yang paling dominan adalah yang berada di nodus SA. Bila ia mengalami depresi dan tak tak dapat mengeluarkan impuls pada waktunya, maka fokus yang berada di tempat lain akan mengambil alih pembentukan impuls sehingga terjadilah irama jantung yang baru yang kita katakan sebagai aritmia. Kadang-kadang fokus lainnya secara aktif mengambil alih dominasi nodus SA dan menentukan irama jantung tersebut, dengan frekuensi yang lebih cepat, misalnya pada ventrikular atau supraventrikular takikardia. Selain dari itu, sudah diutarakan di atas, bahwa kecepatan perjalanan impuls menuju keseluruh jantung juga dapat menimbulkan aritmia. Maka dapat disimpulkan bahwa aritmia bisa timbul melalui mekanisme berikut: *. Pengaruh persarafan autonom (simpatis dan para simpatis) yang mempengaruhi HR. Nodus SA mengalami depresi sehingga fokus irama jantung diambil alih yg lain. Fokus yang lain lebih aktif dari nodus SA dan mengontrol irama jantung. Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat keluar (Sinus arrest) atau mengalami hambatan dalam perjalanannya keluar nodus SA (SA block). Terjadi hambatan perjalanan impuls sesudah keluar nodus SA, misalnya di daerah atrium, berkas His,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1603



MEKANISME DAN KLASlFlKASl ARITMllA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ventrikel dan lain-lain. Hambatan yang terjadi dapat unit bi direksional atau dapat pula parsial s/d komplit, sehingga terjadi blok AV dari derajat 1, derajat 2 tipe 1 atau 2, derajat 3 atau komplit. Namun dapat pula menjadi dasar terjadinya aritmia lain, terutama takiaritmia, yaitu melalui mekanisme reentry. Fokus lain dapat mendominasi nodus SA dan mengambil alih irama jantung selain karena nodus SA tertekan, juga dapat karena fokus lainnya itu lebih aktif dengan frekuensi yang lebih tinggi. Terjadinya peningkatan frekuensi fokus lainnya dapat timbul dengan berbagai cara: - Pengaruh persarafan yang menekan nodus SA seperti telah dijelaskan di atas atau mengaktifkan kelompok-kelompok sel automatisitas di dalamldi luar nodus SA. - Timbulnya reentry takikardia di salah satu tempat penghantar baik supra atau ventrikular karena timbulnya hambatan parsial ataupun komplit, uni atau bi direksional, maupun hambatan masuknya impuls (entrance block) setempat. - Selain reentry tachycardia dan berbagai derajat blok AV seperti telah disebutkan pada 2 di atas, hambatan yang timbul pada penghantar dapat menjadi dasar terjadinya berbagai aritmia, seperti bundle branch block (BBB), rate dependent BBB/aberrant conduction, extra systole baik single, consequtive hingga Salvo/run, bahkan parosismal takikardia, parasistol,, fusion beat, dan lain-lain.



D



B



Gb. Unidirectional block pd ACB, tapi tidak pada ADB. lmpi~lsdari A ke B ~nelaluiD, kemudian dari B diteruskan ke distal, tapi ada yang kembali ke BCA ( block hanya arall ACB ), yang diteruskan lagi ke ADB dst, berputar tcrus. sehingga timbul takikardia melalui B. sampai ada impuls dari A y a y dapat memadarnkannya atau unidireksional block pulih kembali. Gambar blok parsial dari A ke B sehingga impuls dari A ke B me ngalami perlambatan tiba di B (AVB derajat I). sedangkan impuls berikutnya dari A dapat mengalaini hambatan yang lebih lama (interval PR lebih panjang). dan akhirnya impuls berikutnya dari .4 mengalami harnbatan total (AVB 2 tipe I). Bila impuls dari A mengalami hambatan total timbullah AVB3. Dapat pula impuls 1 dan 2 dari A tak mengalami hambatan. tapi impuls berikutnya mengalami hambatan total (AVB 2 tipe 2). Sebetulnya ilnpu Is 1 dan 2 telah men gal am^ harnbatan yang barn terlihat pada impuls berikutnya (concealed hlock). Bila impuls di Adatang dengan frekuensi lebih cepat, maka ia tiba di B, lalu mengalami barnbatan parsial dengan manifestasi QRS yg lebih lebar (aberantia). Bila impuls dari atas A (SV) dan dari samping A (ventrikel) masuk ke A pada saat yang hampir bersamaan ~nakaQRS yang dikeluarkan A bentuknya merupakan gabungan kedua impulstersebut Viision). Bila kedua impuls tsb tak dapat masuk ke A (entrance hlock), sedangkan A matnpu mengeluarkan impuls sendiri tiap? 1000 ms misalnya, maka impuls ini akan tetap keluar tanpa dipengarubi impuls lain (parasistol).



Gambar 1.



ETlOLOGl ARlTMlA Seperti telah dijelaskan di atas, Aritmia dapat tejadi karena hal-ha1 yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang mempunyai automatisitas dan sistem penghantamya: Persarafan autonom dan obat-obatan yang mempengaruhinya. Lingkungan sekitamya seperti beratnya iskemia, pH dan berbagai elektrolit dalam serum, obat-obatan. Kelainanjantung seperti fibrotis dan sikatriks, inflamasi, metabolit-metabolit dan jaringan-jaringan abnormal1 degeneratif dalarnjantung seperti amiloidosis, kalsifikasi dan lain-lain. Rangsangan dari luar jantung seperti pace maker. Berbagai etiologi ini dapat saling memberatkan, artinya bila telah ada hipertrofi otot jantung misalnya, kemudian timbul pula iskemia dan gangguan balans elektrolit maka aritmia akan lebih mudah timbul, sedangkan mengontrolnyapun lebih sulit pula. Karena itu sebaiknya sudah ada data struktur jantung pasien waktu ia dirawat, sehingga sudah dapat diantisipasi atau bahkan sudah dapat mulai diberikan pencegahan timbulnya aritmia.



KLASlFlKASlARlTMlA Dari mekanisme terjadinya irama jantung dan aritmia maka dapatlah kita buat klasifikasi irarnajantung sebagai berikut: Irama berasal dari nodus SA. - Irama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada umumnya. - Sinus aritmia, baik yang disebabkan pemapasan ("respiratory") ataupun tidak. - Sinus takikardia, peningkatan aktivitas node SA 100 kalitmenit atau lebih. Aritmia Atrial. - Fibrilasi atrial (AFi) dengan respons ventrikel cepat, normal atau lambat. - Fluter atrial (AFi). - Atrial takikardia, biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial Tachycardia). Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya, dan disebut sebagai PAT dengan blok (PAT dengan blok). -. Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial tersebut hanya datang satu per-satu, mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fokal). Aritmia AV Jungsional. Ada yang timbul pasif, yaitu karena nodus SA kurang aktif sehingga diambil alih: - Irama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa tinggi, sedang atau rendah. - AV Jungsional takikardia non paroksismal, yaitu irama ad 1 dg HR yang cepat (70- 130lmenit). Tapi ada pula yang secara aktif mendominasi nodus SA dan fokus-fokus lainnya:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



,



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



- AV Jungsional ekstrasistol (uni-multi focal). - AV Jungsional takikardia paroksismal, seperti PAT.



Seringkali sukar membedakan antara irama yang berasal dari Atrial atau AV Jungsional, sehingga disebut saja sebagai irama supra ventikular, karena memang keduanya berasal dari atas ventrikel dan penatalaksanaannyapun tak jauh berbeda. Tetapi AFI dan AFi tidak mungkin dari AV Jungsional, sebagaimana irama AV Junctional pasif (non paroksismal) dapat dikenali bukan Atrial. Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya. - Aritmia SV multifokallwanderingpacemaker. - Multifokal SV takikardia. - Multifokal SV takikardia dengan blok. - SV ekstrasistol "non conducted'. Aritmia Ventrikular. - Irama Idio Ventrikular, biasanya non paroksismal, dan idio ventrikular takikardialnon paroksismal ventrikular takikardia (non PVT). - Paroksismal ventrikular takikardia (PVT). - Fluter ventrikular (VFl) serta Fibrilasi ventrikular mi). - Parasistol ventrikular . Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan percabangannya (Bundle Branch). - Blok AV (AVB) derajat l , 2 (tipe 1 Wenkebach serta tipe2) dan 3 (total). - Bundle Branch Block (BBB), mungkin kanan (RBBB) atau kiri (LBBB), bisa parsial (incomplete) atau total (complete) dan bisa juga tergantung pada HR sehingga disebut sebagai "rate dependent Bundle Branch Block". Dalam suatu rekaman dari seorang pasien bisa ditemukan irama jantung sinus dengan ekstrasistol ventrikel (VES) atau SVES unifokal atau multifokal, multi fokal SVES dengan aberantia, atau irama jantung yang berganti-ganti ke aritmiaAVjungsional



atau atrial atau ventrikular, tergantung kondisi dan faktor etiologi yang ada. Tidakjarang kita mengalami kesukaran dalam mengenali irama ventrikular atau supraventrikular yang umumnya terapinya sangat berbeda. Kunci dari pembedaan ini adalah menemukan ada tidaknya gelombang P dan menentukan posisinyalhubungannya terhadap QRS. Irama ventrikular tidak didahului P atau tak ada hubungan antara P dan QRS. REFERENSI Damato AN, Lau SH, Helfant R, et al. A study of heart block in man using His bundle recordings. Circulation. 1969;39:297-305. Goldreyer BN, Damato AN. The essential role of atrioventricular conduction delay in the initiation of paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation. 1971;43:679-87 Horowitz LN, Josephson ME, Farshidi A, et al. Recurrent sustained ventricular tachycardia, 3: role of the electrophysiologic study in selection of antiarrhythmic regimens. Circulation. 1978;58:986-97. Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM. Bundle branch block and acute myocardial infarction. In: Wellens HJJ, Lie KI, Janse MD,editors. The Conduction System of the Heart: Structure. Functionand Clinical Implications. Philadelphia (PA): Lea & Febiger, 1976:662-72. Josephson ME, Horowitz LN, Farshidi A, et al. Recurrent sustained ventriculartachycardia,l :mechanisms.Circulation. 1978;57:43 I-40. Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM. Bundle branch block and acute myocardial infarction. In: Wellens HJJ, Lie KI, Janse MD,editors. The Conduction System of the Heart: Structure, Functionand Clinical Implications. Philadelphia (PA): Lea & Febiger, 1976:662-72. Mandel W, Hayakawa H, Danzig R, et al. Evaluation of sino-atrial node function in man by overdrive suppression. Circulation. 197 1;44:59-66. Narula OS, Scherlag BJ, Samet P, et al. triov ventricular block: localization and classification by His bundle recordings. Am J Med. 1971;50:146-65.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK Hanafi B. Trisnohadi



PENDAHULUAN Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia) tidak hanya terbatas pada denyut jantung yang tidak teratur, tetapi juga termasuk kecepatan denyut jantung yang abnormal dan gangguan konduksi. GANGGUAN PADA NODUS SINUS Sinus Bradikardia Sinus bradikardia ialah irama sinus yang kurang dari 60 kali per menit. (Gambar 1) Hal ini sering diketemukan pada olahragawan yang terlatih. Pada pasien usia Ianjut bradikardia sinus dapat disebabkan oleh gangguan faal nodus sinus. Bradikardia sinus dapat juga disebabkan karena miksedema (hipotiroidisme), hipotermia, vagotonia dan tekanan intrakranial yang meninggi. Umumnya bradikardia sinus tidak perlu diobati bila tidak ada keluhan. Tetapi bila denyut kurang dari 40 kali per menit dan pasien merasa gelap (black oz~t),mendapat serangan sinkop, lelah, hipotensi karena curah jantung yang sangat menurun, maka sebaiknya diobati dengan sulfas atropin, yang dapat diberikan secara intravena. Bila tidak berhasil dengan terapi medikamentosa, kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung.



I



1



Gambar 1. EKG menunjukkan brad~kard~a slnus dl mana tampak gelombang P normal dan t~apgelombang P dl~kut~ kompleks QRS yang normal, Interval PR juga normal ( 0.16 det~k) tap1 frekuenst gelombang P sangat lambat hanya 38 k a l ~per men~t



Blok Sinoatrial Blok sinoatrial ialah keadaan di mana pembentukan impuls di nodus sinus masih normal tapi impuls dari nodus sinus tidak dapat mencapai atrium secara lengkap sehingga pada gelombang P pada EKG tidak muncul pada waktunya dan jarak interval P-P menjadi dua kali jarak interval PP yang normal. Keadaan ini dapat disebabkan oleh stimulasi vagus yang berlebihan, miokarditis, penyakit jantung koroner, terutama infark jantung bagian inferior, keracunan digitalis atau obat anti aritmia yang lain. Blok sinoatrial dapat menimbulkan serangan sinkop pada pasien. Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya disertai pemberian sulfas atropin, atau perangsang beta adrenergik, seperti efedrin, isoproterenol, alupen. Pasien yang resisten terhadap pengobatan perlu dilakukan pemasangan pacu jantung Sinus Aritmia Sinus aritmia ialah kelainan irama jantung di mana irama sinus menjadi lebih cepat pada waktu inspirasi dan menjadi lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini menjadi lebih nyata ketika pasien disuruh menarik napas dalam. Aritmia ini hilang kalau timbul takikardia pada pasien karena melakukan kegiatan olahraga atau pasien menderita demam. Keadaan ini dapat ditemukan pada individu sehat dan tidak membutuhkan pengobatan. Sinus Takikardia Sinus takikardia ialah irama sinus yang lebih cepat dari 100 kali per menit (Gambar 2) Keadaan ini biasa ditemukan pada bayi dan anak kecil dan takikardia sinus juga sering ditemukan pada beberapa keadaan stres fisiologis maupun patologis seperti kegiatan fisik (olahraga), demam, hipertiroidisme, anemia, infeksi,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sepsis, hipovolemia, penyakit paru kronik. Obat-obatan seperti atropin, katekolamin, kafein, horlnon tiroid dapat menimbulkan takikardia sinus. Takikardia sinus dapatjuga disebabkan karena gagal jantung. 'Terapi ditujukan pada kelainan dasarnya. Pemberian digitalis lianya pada gagal jantung. Pada hipertiroidisme kadang-kadang p e r l ~ ~ diberikan pengharnbat beta.



pada bola lnata ( q . r h~rI1/~t.r\.szit-e)atau mav.sugc~sinus karotikus. Bila tak berhasil dapat diberikan verapaniil secara intravena. Obat lain yang dapat dipakai adenosin, diltiazem, digitalis dan penyekat beta secara intravena. Bila obatobatan tidak berhasil menghentikan takikardia perlu dipertimbangkan tindakan defibrilasi dengan DC ((lit-vcat t r~rrcnt)corrntcJr shock.



KELAINAN IRAMA JANTUNG YANG BERASAL DARI ATRIUM



Ekstrasistol Atrial Ekstrasistol atrial disebut juga prc~mutlrretrtrlcrl h a t \ . Hal ini terjadi karena adanya impuls yang berasal dari atrium yang tirnbul secara prematur. Keadaan ini biasanya tidak mempunyai arti klinis qang penting, tetapi kadang-kadang dapat menjadi pencetus tilnbulnya takikardia supraventrikular dan fibrilasi atrial. Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya gelombang P yang tilnbul prematur diikuti komplek QRS yang normal. Ekstrasistol atrial tidak membutuhkan pengobatan (Gambar 2).



Gambar 2. EKG menunjukkan taklkardra slnus dengan kecepatan 104 kali per menlt, tampak adanya ekstraslstol atr~al(SVES=



supraventncular extrasystole atau premature atrral beat)



-



Takikardia Atrial Paroksismal Tak~hard~a atrial paroks~smaldisebut juga takihard~a wpraventrikular parokslsmal. Takikardra alrial paroksismal ~ a l a h suatu takikardia yang berasal dari atrium atau nodus AV, Bia\anya karena adanya t.r-entt:~baik di atrium atau nodus AV. Pasien dengan takikardia atrial merasa jantung berdebar cepat sekali, dapat disertai keringat dingin dan pasien akan lnerasa lemah. Kadang-kadang timbul sesak napas dan hipotensi. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner bila mendapat serangan takikardia akan tilnbul serangan angina. Pada pemeriksaan EKG akan terlihat gambaran seperti ekstrasistol atrial yang berturut-turut lebih dari enam. Pada EKG kadang-kadang sukar dibedakan antara takikardia atrial dan takikardia ventrikel terutama bila gelombang P tidak jelas dan ada aberansi kompleks QRS. Takikardia atrial dapat berlangsung sebentar atau lnenetap saliipai beberapa hari . Penatalaksanaan takikardia atrial paroksismal harus dilakukan segera, yaitu dengan rnemberikan penekanan



Post isoptin. 5 mg i.v



Gambar di atas menunjukkan tak~kardlasupraventrikular paroks~smal,dengan kecepatan 160 kal~per rnenlt dan kompieks Q R S t~dakmelebar. Gambar dl bawahnya menunjukkan lrama a n u s stelah d~benobat ~soptlnsecara lntravena Gambar 3



Fibrilasi Atrial Pada fibrilasi atrial terjadi eksitasi dan recover?, yang sangat tidak teratur dari atriurn. Oleh karena itu ilnpuls listrik yang tilnbul dari atrium juga sangat cepat dan sama sekali tidak teratur. Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya gelombang fibrilasi (fihrillatioti ultrve) yang berupa gelombang yang sangat tidak teratur dan sangat cepat dengan frekuensi dari 300 salnpai 500 kali per menit. Bentuk gelombang fibrilasi dapat kasar (tatr~vr trtrirrl fibrillutiotz) (gambar 5) dengan amplitude lebih 1 mm, atau halus (fine trtt-iul .fibrillation) sehingga gelombangnya tidak begitu nyata. (ganibar 4). Biasanya I~anyasebagian kecil dari impuls tersebut yang salnpai di ventrikel karcna dihanibat oleh nodus AV untuk melindungi ventrikel, supaya denyut ventrikel tidak terlalu cepat, sehingga akan menimbulkan d e n y ~ventrikel ~t antara 80- 150 per menit. (Gambar 4 dan 5) Pada pemeriksaan klinis ditemukan iralna jantung yang sama sekali tidak teratur dengan buriqi jantung yang intensitasnya tidak sama. Seringkali didapatkan adanya defisit pulsus. Diagnosis dapat dengan mudah dilakukan dengall pemeriksaan EKG. Fibrilasi atrial dapat berlangsung sebentar (paroksismal) atau menetap. Fibrilasi atrial dapat disebabkan karena penyakit katup mitral, seperti stenosis mitral atau insufisiensi mitral, penyakit jantung iskemia. infark miokard akut, tirotoksikosis, dan infeksi akut pada jantung.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1607



GANGGUAN IRAMAJANTUNG YANG SPESIFIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 4. EKG menunjukkan fibrilasi atrial yang halus, di mana tampak gelombang fibrilasi yang cepat dan sarna sekali tidak teratur, kompleks QRS juga tidak teratur.



Gambar 5. EKG rnenunjukkan fibrilasi atrial yang kasar, dengan gelombang f~brllasileb~hdari 1 rnrn, juga cepat dan tidak teratur dengan kecepatan leblh dari 300 per menit, drikut~kompleks QRS juga tidak teratur dengan kecepatan sekitar 100 kali per men~t



Pengobatan tergantung pada cepatnya denyut jantung, penyebab dan keadaan pasien. Bila denyut jantung cepat sekali, lebih dari 150 per menit dan pasien dalam keadaan .shock, mungkin perlu segera dilakukan kardioversi dengan direct currer~tcounter shock (DC shock). Bila denyut jantung cepat sekali dan pasien dengan gagal jantung, dapat diberikan digoksin secara intravena bersama-sama dengan pelnberian furosemid dan amiodaron secara intravena. Bila denyut jantung tidak terlalu cepat dapat diberikan digoksin secara oral untuk mengontrol denyut jantung, kadang-kadang perlu diberikan bersama penyekat beta ~ n i s a l n y apada tirotoksikosis atau dapat diberikan verapamil kalau ada kontraindikasi pemberian penyekat beta. Untuk mengkonversi fibrilasi menjadi irama sinus dapat diberikan amiodaron secara intravena, i-l~.vthnzonom propafenon per oral atau disopiramid secara oral. Akhirakhir ini ada obat baru yang lebih efektif untuk konversi fibrilasi atrial seperti dofetilid dan ibutilid.



ARITMIAYANG DISEBABKANOLEH PEMBENTUKAN RANGSANG EKTOPIK Dl NODUSAV Ekstrasistol Nodal Irarna ektopik dapat berasal dari nodus AV. Seperti ekstrasistol atrial biasanya bersifat jinak. Secara klinis ekstrasistol nodal tidak dapat dibedakan dengan ekstrasistol ventrikular atau atrial. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan EKG, yang menunjukkan gambaran seperti ekstrasistol atrial, kecuali gelombang P dari ekstrasistol berbent~~k negatif di hantaran 11 atau gelombang P tak nampak, atau gelombang P muncul setelah kotnpleks QRS. lrama Nodal (nodal rhythm) Pada irama nodal (izrnctionrrl 117~~hrn atau AV noriul



escape rliytl~ni),maka nodus atrioventrikularis bertindak sebagai pusat ektopik yang memacu jantung dan pada gambaran EKG tampak irama jantung dengan gelombang P berasal dari nodus AV diikuti kompleks QRS biasa dengan kecepatan 50-60 per menit. Keadaan ini dapat terjadi karena iskemia jantung atau intoksikasi digitalis. Kelainan ini belum tentu memerlukan pengobatan khusus, kecuali bila frekuensi jantung menjadi sangat lambat, kurang dari 40 kali per menit atau meniinbulkan gangguan hemodinamik, maka perlu terapi dengan atropin sulfat secara intravena, kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung sementara.



Taki kardia Nodal (AV junctional tachycardia atau nodal tachycardia) Ada dua macam takikardia nodal yaitu jirnctionnl tucl!~.curoiiu dengan kecepatan 100-140 per menit dan e.utru~.\rolic AV junctiorlul t u c l ~ j ~ . ( ~ rdengan diu deny ut ventrikel 140-200 per menit. Pada yang pertama terdapat percepatan jzinctionul rl7j~thni.yang menjadi nyata bila kecepatannya melebihi kecepatan nodus sinus. Hal ini dapat disebabkan oleh intoksikasi digitalis, infark miokard akut atau demani reumatik akut. Pada intoksikasi digitalis harus diobati secepatnya karena dapat berkembang menjadi takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel. Digitalis harus dihentikan dan diberikan difenilhidantoin. Takikardia AViur~ctionulsangat mirip dengan takikardia atrial, baik dalani diagnosis, gambaran klinis mailpun pengobatannya.



Gambar 6. EKG menunjukkan tiap kompleks QRS diikuti dengan dengan gelombang P, sesuai untuk irama nodal, disini frekwensi kompleks QRS 70 per menit jadi lebih cepat dari irama nodal biasa, dan disebut takikardia idionodal.



ARITMlAYANG DISEBABKANOLEH PEMBENTUKAN RANGSANG EKTOPIK Dl NODUS AV Ekstrasistol Ventrikel Ekstrasistol ventrikel ialah gangguan iralna di mana timbul denyut jantung prelnatur yang berasal dari fokus yang terletak di ventrikel. Ekstrasistol ventrikel dapat berasal dari satu fokus atau lebih (multifokal). Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung yang paling sering ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal. Biasanya frekuensinya bertambah dengan bertambahnya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI usia, terlebih bila banyak minwn kopi, merokok, atau emosi (Gambar7). Ekstrasistol ventrikel dapat disebabkan oleh iskemia miokard, infark miokard akut, gagal jantung, sindrom QT yang memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovascular accident, keracunan digitalis, hipokalemia, miokarditis, kardiomiopati. Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya atau pengobatan perlu diberikan pada ventrikel ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang lebih berbahaya, seperti takikardia ventrikel. Pada pasien dengan infark jantung akut terapi perlu diberikan bila ekstrasistol dianggap maligna, karena dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya seperti takikadia atau fibrilasi ventrikel. Ekstrasistol yang maligna yaitu yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit, ekstrasistol ventrikel yang timbul secara berturut-turut (consecut~ve),ekstrasistol ventrikel yang multifokal. ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T). Obat yang paling sering dipakai pada ekstrasistol ventrikel yang maligna pada infark jantung akut ialah xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis bolus 1-2 mg per kg berat badan, dilanjutkan dengan infus 1-2 mg per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg per menit. Obat lain yang dapat dipakai amiodaron, meksiletin, dilantin. Pada pasien yang tak ada kelainan jantung organik lain maka pengobatan ekstrasistol ditujukan pada terapi non farmakologi seperti menghentikan kebiasaan minum kopi, merokok, menghindari obat-obat simpatomimetik seperti adrenalin, efedrin dan lain-lain. Kadang-kadang perlu pemberian trunquilizer pada pasien yang banyak ketegangan.



Garnbar 7. EKG rnenunjukkan irarna dasar rnasrh lrarna srnus, tapi tarnpak ada beberapa ekstraslstol ventrlkel, yaltu kornpleks QRS ke 2,4 dan 9 yang tirnbulnya prernatur, bentuknya lebar dan brzarre dan t~dakd~dahulurgelornbang P.



Takikardia Ventrikel Takikardia ventrikel ialah ekstrasistol ventrikel yang timbul berturut-turut 4 kali atau lebih. Kelainan iratna ini berbahaya dan membutuhkan pengobatan segera. Takikardia ventrikel mudah berkembang menjadi fibrilasi ventrikel dan dapat menyebabkan henti jantung (curdiuc urrrst). Penyebab takikardia ventrikel antara lain penyakit jantung koroner, infark miokard akut, gagal jantung, keracunan digitalis. Takikardia ventrikel umumnya



menunjukkan adanya penyakit jantung yang berat. Diagnosis takikardia ventrikel ditegakkan bila ditemukan takikardia dengan kecepatan 150-2 10 per menit, umumnya teratur tapi kadang-kadang sedikit tak teratur. Biasanya timbul tiba-tiba dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Penekanan pada bola mata atau penekanan pada arteri karotis tidak ada efek apa-apa. Intensitas bunyi jantung kadang-kadang berubah-ubah karena adanya disosiasi AV (Gambar8).



I



Gambar 8. EKG rnenunjukkan taklkardra ventrlkel, tampak kornpleks QRS lebar, bizarre sepertl ekstrasrstol ventrlkel, yang tirnbul berturut-turut dan terus rnenerus, dengan kecepatan lebrh dar~150 per rnenit.



Kepastian diagnosis dengan melakukan pemeriksaan EKG di mana didapatkan adanya takikardia dengan kornpleks QRS yang lebar, lebih dari 0.12 detik dan tak ada hubungan dengan gelombang P. Kadang-kadang sukar dibedakan dengan takikardia atrial paroksismal disertai konduksi aberan. Sehingga kadang-kadang diperlukan t~~ pemeriksaan His htrndle e l t . c r r o c a r d i o ~ r ~ i~lntuk menegakkan diagnosis yang pasti. Pengobatan dengan memakai qlocuin 1-2mg per kg berat badan dilanjutkan dengan pemberian infus 1-2 mg per menit seperti pada pengobatan ekstrasistol ventrikel yang maligna. lnfus diberikan paling sedikit selama 24 jam, selanjutnya dapat diberikan amiodaron, meksiletin atau sotalol secara oral. Dalam keadaan akut selain .qdoctriw juga dapat diberikan amiodaron per infus. Bila pasien dalam keadaan distres, gagal jantilng atau syok harus segera dilakukan defibrilasi dengan direct czirrerit coztiitc~r~l~oc~k dengan dosis 50- 100 Joules.



Fibrilasi Ventrikel Fibrilasi ventrikel ialah iratna ventrikel yang chuo~dan sama sekali tidak teratur. (Gambar 9) Hal ini menyebabkan ventrikel tak dapat berkontraksi dengan cukup sehingga curah jantung sangat menurun, bahkan sama sekali tidak ada, sehingga tekanan darah dan nadi tak bisa diukur, pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering karena penyakit jantung koroner, terutama iiifark iniokard akut, penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan resusitasi jantung paru, yaitu pemapasan buatan dan pijat jantung dan secepatnya dilakukan direct current eozrntevshock dengan dosis 400 Joules. Pasien juya diberikan rilocuin atau amiodaron secara intravena. Pertolongan harus diberikan dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1609



GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari 5 lnenit dapat terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung kembali normal, inungkin kesadaran pasien tidak dapat kembali.



Gambar 9. EKG rnenunjukkan f~brrlasrventrrkel , dapat drlrhat gelombang yang sarna sekalr trdak teratur dan chaos



Takikardia ldioventrikular Pada takikardia idioventrikular, galnbaran EKG tnelnperlihatkan adanya kolnpleks QRS yang berasal dari ventrikel (lebar dan hizuue) berturut-turut 3 atau lebih dengan kecepatan 60-100 kali per menit. Keadaan ini disebut juga .\lo\z ~,rntriculur.~ N C ~ ? ~ ~ Natau I Y /uccelrrILI LI~CLI ~dioventricul~~r. rhj-thm. (Gambar 10) Kelainan ini paling sering disebabkan oleh infark iniokard akut. Takikardia idioventrikular biasanya tidak berbahaya dan tidak rnemerlukan pengobatan. Bila terjadi terus-menerus dan ditemukan tanda hipoperfusi jaringan. tnaka perlu diberi terapi dengan atropin sulfat 0.5-1 mg secara intrak ena.



Gambar 10. EKG menunjukkan sernula rrama srnus dengan kecepatan sekrtar 100 per rnenrt dan drarnbrl alrh oleh rrama ~d~oventrrkular (rnular kornpleks QRS ke 5) dengan kecepatan sekrtar 100 kalr per menlt, kompleks QRS rnenjadr lebrh lebar karena berasal darr ventrrkel, kernungkrnan karena lrama slnus menjadr larnbat



Gangguan Konduksi Heart block (blok jantung). lstilah blok jantung menunjukkan suatu keadaan di mana terjadi gangguan kotiduksi di nodus AV. Interval PR ialah waktu yang dibutulikan oleh irnpuls listrik untuk lnenjalar dari atrium ke nodus AV dan His hutidle serta cabang-cabangnya salnpai ke ventrikel. lntewal PR yang normal berkisar antara 0.12-0.20 detik. Berdasarkan petneriksaan EKG blok AV dibagi 3 yaitu: Blok AV tingkat I: Pada blok AV tingkat I interval PR memanjang lebih dari 0.20 detik. Blok AVtingkat 11: Terjadi kegagalan ilnpuls dari atrium untuk tnencapai ventrikel secara intenniten, sehingga denyut ventrikel berkurang. Blok AV tingkat 111: (blokjantung yang komplit = complcte heor/ block)



Terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari atrium sama sekali tidak dapat sampai ke ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena stitnulasi impuls yang berasal dari ventrikel sendiri.



Blok AV Tingkat I Blok AV tingkat I umumnya disebabkan karena gatigguan konduksi di proksilnal His bundle. (Gambar 11) Hal ini disebabkan karena intoksikasi digitalis, peradangan. proses degenerasi atau variasi normal. Biasanya tidak membutuhkan terapi apa-apa dan prognosisnya baik.



Gambar 11. EKG menunjukkan rrarna srnus dan rnterval PR rnernanjang rnenjad10.30detrk karena ada blok AV t~ngkat1, pada EKG diatas juga tarnpak QRS rnelebar karena nght bundle branch block(RBBB)



Blok AV Tingkat II Dibagi 2, yaitu Mobitz tipe I (Wenckebach block) dan Mobitz tipe 11. Pada Mobitz tipe I interval PR secara progresif bertambali panjang satnpai suatu ketika impuls dari atrium tidak dapat sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel (kompleks QRS ) tidak tatnpak atau gelombang P tidak diikuti oleh kompleks QRS (Gambar 12). Pada petneriksaan His bl117tlleelectroc~rrc/iogru~~i (elektrokardiogram bundel His) biasanya lokasi dar blok proksilnal dari bundel His. Mobitz tipe I dapat disebabkan karena tonus vagus yang meningkat, keracunan digitalis atau iskernia. Bila tidak tnenimbulkan kelulian dan tidak ada gangguan hemodinamik tidak ~nemerlukanpengobatan. Pada Mobitz tipe 11, interval PR tetap sama tetapi didapatkan denyut ventrikel yang berkurang (d~.opl)~'d beat) (Gambar 13). Kekurangan denyut ventrikel dapat teratur atau tidak seperti 2:1, 4:1, 4:3 dan sebagainya. Penieriksaan elektrokardiograln bundel His tnenunjukkan gangguan konduksi distal dari bundel His. Etiologinya ialah infark miokard akut, rniokarditis, proses degenerasi (penyekat Lev's atau Lenegre). Kelainan dapat titnbul sementara dan kenlbali normal, tnenetap, atau berkembang jadi blok yang kotnplit. Pasien dengan Mobitz tipe I1 dapat tilnbul serangan sinkop dan sebaiknya dilakukan peinasangan pacu jantung.



r-



Gambar 12. EKG menunjukkan blok AV tingkat II tipe Wenckebach (atau Mobitz tipel), di mana tarnpak interval PR makin mernanjang, dan pada P ke 5 tidak diikuti kompleks QRS



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 13. EKG rnenunjukkan blok AV tlngkat II tlpe Mob~tzII dl mana Interval PR t~dakrnernanjang tapi pada gelornbang P ke 3 tidak drlkut~kompleks QRS. j a d ~ada dropped beat tanpa pernanjangan Interval PR



Blok AV Tingkat Ill Blok AVtingkat Ill disebutjuga blok jantung komplit. Pada blok AV tingkat I l l impuls dari atrium tidak bisa sampai di ventri kel. Kontraksi ventrikel karena rangsangan oleh fokus di nodus AV atau fokus di ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri tidak ada hubungan dengan denyut atrium (Cambar 14). Gambaran EKG memperlihatkan adanya gelombang P teratur denpan kecepatan 60-90 kali per menit, sedangkan kecepatan kompleks QRS hanya 4060 kali per menit. Blok AV tingkat 111 disebabkan oleh proses degenerasi. peradangan, intoksikasi digitalis. infark miokard akut. Blok AV tingkat 111 pada inhrk biasanya hanya sementara dan akan kernbali normal setelah infark sudah tenang, walaupun ada yang menetap. Bila blok AV tingkat 111 nienetap sebaiknya dilakukan pemasangan pacu jantung. Blok AV tingkat 111 biasanya meninibulkan gangguan hemodinalnik dan menimbulkan keluhan lelah. sinkop. seslk dan angina pada usia lanjut.



Pasien dengan LBBB seringkali tak ada keluhan dan tidak membutuhkan pacu jantung. Kalau ada sinkop atau timbul gangguan konduksi lebih berat seperti blok AV tingkat 11 atau 111, niaka seringkali perlu dilakukan pemasangan pacu jantung. Bila cabang kanan yang terganggu disebut right hzinclle bl~117ch block(RBBB). Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya kompleks QRS yang melebar lebih dari 0, I2 detik dan akan tampak gambaran rsR' atau RSR' di V I, V2, seliientara itu di I, aVL, V5 dan V6 didapatkan S yang melebar karena depolarisasi ventrikel kanan yang terlambat (Gambar 16). RBBB dapat diketemukan pada jantung yang normal, dapat juga pada kelainan kongenital seperti utriul ~ ~ ~ p r u l defect (ASD), pada infark miokard maupun iskemia miokard atau pada penyakit degenerasi sistem konduksi (penyakit Lenegre atau Lev) Pasien dengan RBBB seringkali tak ada keluhan dan memb~ltuhkanterapi. Tapi bila terjadi sinkop dan ada tanda gangguan konduksi yang lain seperti blok AV tingkat 11 atau 111, maka perlu dipertimbangkan pemasangan pacu jantung. Sindrom Brugada ialah kelainan EKG berupa RBBB dengan elevasi ST di V1-V3 dan biasanya tak ada gelombang S yang lebar. Pasien dengan sindrom ini terancam kematian mendadak. Sindrom ini diterapi dengan Quinidin dosis tinggi atau amiodaron. Akliir-akhir dianjurkan pemasangan ICD (iniplm~tuhlec.ur.tlio~'er.tcrcI~~fibr.ill~toi~).



Gambar 14. EKG pada blok AV tlngkat Ill dl mana dapat dlllhat gelombang P tak ada hubungan dengan kornpleks QRS, gelombang P kecepatan 60 kal~per rnen~tsedangkan kornpleks QRS hanya 42 kal~per.menlt



Bundle Branch Block (BBB): Btindle branch block menunjukkan adanya gangguan konduksi di cabang kanan atau kiri sistem konduksi, atail divisi anterior atau posterior cabang kiri. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan EKG di niana diteniukan kompleks QRS yang melebar lebih dari 0.1 1 detik disertai perubahan bentuk kompleks QRS dan aksis QRS. Bila cabang kiri yang terganggu disebut left bundle brancll block (LBBB). Pada pemeriksaan EKG akan talnpak bentuk rsR' atau R yang lebar di I, aVL, V5 dan V6. (Gambar 15) Gangguan konduksi yang terjadi pada divisi anterior cabang kiri akan menyebabkan perubahan aksis menjadi deviasi ke kiri yang ekstrim dan disebut left anterior herniblock, sedangkan bila divisi posterior cabang kiri terganggu akan menimbulkan aksis yang deviasi ke kanan yang ekstrim dan dinamakan left posterior hemiblock.



Gambar 15. EKG rnenunjukkan lrama slnus dan LBBB, dl rnana dapat dillhat kompleks QRS rnelebar sampal 0 20 det~k,dengan R yang lebar dl I, aVL, V5 dan V6 DI V1-V3 gelombang r kecll dengan S yang dalarn dan lebar EKG d a r ~paslen dengan kardlorn~opatrdllatasl tanpa lnfark jantung



Sindrom Praeksitasi Sindrom ini ditandai dengan adanya depolarisasi ventrikel yang prematur. Termasuk dalam golongan ini ialah sindrom Wolff Parkirrso~iWlzite (WPW)dan sindrom Lawn G~ri7ong Levinc (LGL). Pada WPW gambaran EKG menunjukkan adanya gelonibang P pang normal, interval PR yang memendek, kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS melebar karena adanya gelombang delta (adanya defleksi permulaan kompleks QRS yang dini dan ~1ui.r.etl). Perubalian kompleks QRS disertai perubahan gelombang T pang sekunder. (Gambar 17) Gambaran EKG ini



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1611



GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



G a m b a r 16. EKG menunjukkan RBBB (right bundle branch block), di mana dapat dilihat kompleks QRS lebar lebih dari 0,12 (mungkin 0,18) detik dengan gambaran rsR' di V1 dan S lebar di I aVL. V5 dan V6.



Disosiasi AV Pada disosiasi AV, atrium dikontrol oleh fokus di atrium, seringkali oleh nodus AV sedangkan ventrikel dikontrol oleh pacemaker di ventrikel sendiri. Disosiasi AV dapat disebabkan karena aktivitas nodus sinus berkurang atau nodus AV menjadi lebih cepat sehingga mendominasi ventrikel atau kombinasi keduanya. Disosiasi AV dapat karena keracunan digitalis atau komplikasi infark miokard akut atau karena peradangan seperti penyakit demam reumatik yang aktif. Keadaan ini hams dibedakan dengan blok AV tingkat 111 karena disosiasi AV mempunyai prognosis lebih baik dan seringkali tidak membutuhkan obat aritmia dan juga tidak membutuhkan pacu jantung. Pengobatan terutama untuk penyakit dasamya.



REFERENSI disebabkan karena adanyajalur asesori atau jalur anomalus yang menghubungkan atrium dengan ventrikel, sehingga sebagian ventrikel akan diaktivasi sangat dini. WPW lebih sering ditemukan pada pria dan dapat ditemukan pada pasien tanpa kelainan jantung lain. WPW umumnya jinak tapi dapat menimbulkan takiaritmia seperti reciprocating tuchycardia atau paroxysmal flutter atau fibrilasi. Pengobatan diberikan bila ada takiaritmia dengan digitalis, propanolol atau amiodaron. Kadang-kadang perlu dilakukan tindakan ablasi jalur anomalus. Pada LGL garnbaran EKG menunjukkan gelombang P normal, interval PR memendek kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS normal. Pada LGL dapat terjadi serangan takikardia supraventrikular. Keadaan ini karena adanya jalur asesori yang menghubungkan atrium dengan bundel His. Kelainan ini lebih sering pada perempuan; aritmia yang sering terjadi selain takikardia supraventrikular juga fibrillasi dan.jlutter atrium. Pengobatan dengan propanolol, amiodaron, verapamil. Bila hasil kurang memuaskan perlu dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan dilakukan tindakan ablasi jalur yang abnormal tadi.



Atrial Fibrillation: Current understanding and research imperatives: The National Heart, Lung and Blood Institute Working Group of atrial fibrillation. 3 Am Coll Cardiol 1993: 22: 1830-4 Akhtar M, Shenasa M, Jazayeri M et al. Wide QRS complex tachycardia: Reappraisal of a common clinical problem. Ann Intern Med 1988; 109: 905-12. Boriani C i Capucci A, Lenzi T, et al. Propafenon for Copversion of Recent Onset Atrial Fibrllation. A Controlled Comparison Between Oral Loading Dose and Intravenous Administration. Chest 1995; 108: 355-8 Bar FW, Den Duik K, Wellens HJJ. Atrioventricular dissociation. In Comprehensive Electrocardiography; Theory and Practice in Health and Disease, MacFarlane PW, Lawrie TDV, Pergamon Press, New York 1989, page 933. Chung EK. WolE Parkinson White syndrome: Current views. Am J Med 1977;62:252-66. Decdwania PC, Singh BN, Ellenbogen K et al. Spontaneous Conversion and Maintenance of Sinus Rhythm by Amiodarone in Patients With Heart Failure and Atrial Fibrillation: Observations From Veteran Affairs Congestive Heart Failure Survival Trial of Antiarrhythmic therapy ( CHF-STAT). The Department of Veterans Affairs CHF-STAT Investigators. Circulation 1998; 98: 2574-9. Denes P, Levy L, Pick A et al : The incidence of typical and atypical A-V Wenckebach periodicity. Am Heart J 1975; 89: 26-31 Knight BP. Michaud GF, Strickberger SA, Morady F: Electrocardiographic differentiation of atrial flutter from atrial fibrillation by physicians. J Electrocardiol 1999;32:3 15-9. Rotman M. Triebwasser JH.. A Clinical and follow up study of right and left bundle branch block . Circulation 1975; 51: 447. Rosenbaum M. Elizari MV. Lazzari JO. The hemiblocks. Tampa Tracings, Tampa 1970. Spodick DH. Normal sinus heart rate: Sinus tachycardia and sinus bradycardia redefined. Am Heart J 1992; 124: 1 1 19.



G a m b a r 17. EKG menunjukkan WPW (Wolff Parkinson White syndrome) ditandai adanya gelombang delta (delta wave) sehingga kompleks QRS melebar dan interval PR memendek



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



FIBRILASI ATRIAL Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya



PENDAHULUAN Fibrilasi atrial (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang hams menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi FA berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 2,2 juta pasien FA dan setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru. Pada populasi umum prevalensi FA terdapat k 1-2% dan meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur di bawah 50 tahun prevalensi FA kurang dari 1% dan meningkat menjadi lebih dari 9% pada usia 80 tahun. Lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita, walaupun terdapat kepustakaan yang mengatakan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. FA merupakan faktor risiko independen yang kuat terhadap kejadian strok emboli. Kejadian strok iskemik pada pasien FAnon valvular ditemukan sebanyak 5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak dibandingkan pasien tanpa FA. Pada studi Framingham risiko terjadinya strok emboli 5,6 kali lebih banyak pada FA non valvular dan 17,6 kali lebih banyak pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol.



PENYEBAB FA FA mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien FA juga menderita penyakit jantung koroner. Walaupun hanya 10% dari seluruh kejadian infark miokard akut yang mengalami FA, tetapi kejadian tersebut akan meningkatkan angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien yang menjalani operasi pintas koroner, sepertiganya mengalami episode FA terutama pada tiga hari pasca



operasi. Walaupun seringkali menghilang secara spontan, FA pasca operatif tersebut akan memperpanjang lama tinggal di rumah sakit. Sedangkan hubungan antara FA dengan penyakit katup jantung telah lama diketahui. Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya FA dan mempunyai risiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian FA ditemukan pada satu di antara lima pasien. FAjuga dapat merupakan tampilan awal dari perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung seperti miksoma atrial. Aritmia jantung lain seperti sindroma Wolff-Parkinson-White dapat berhubungan dengan FA. Hal yang menguntungkan adalah apabila dilakukan tindakan ablasi pada jalur aksesori ekstranodal yang menjadi penyebab sindroma ini, akan mengeliminasi FA pada 90% kasus. Aritmia lain yang berhubungan dengan FA misalnya takikardia atrial, AVNRT (AtrioVentricular Nodal Reentrant Tachycardia) dan bradiaritmia seperti sick sinus syndrome dan gangguan fungsi sinus node lainnya. FA juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non-kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik ditemukan 45% dan diabetes melitus 10% dari pasien FA. Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti penyakit paru obstruktif kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3% pasien FA tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone FA. Lone FA ini dikatakan tidak berhubungan dengan risiko tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut risiko ini tetap akan meningkat. Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan kejadian FA tersebut hams dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung maupun kelainan.di'luar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan kejadian FA dibagi berdasarkan:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



FIBRILAS1 ATRIAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan FA: Penyakit Jantung Koroner Kardiomiopati Dilatasi Kardiomiopati Hipertrofik Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun nonreumatik Aritmia jantung :takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome. Perikarditis Penyakit di luar Jantung yang Brhubungan dengan FA: Hipertensi sistemik Diabetes melitus Hipertiroidisme Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan FA pada pasien yang sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik.



FA paroksismal bila FA berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% FA paroksismal akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. FA yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut FA paroksismal. FA persisten bila FAmenetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada FA persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus. FA kronik atau permanen bila FA berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit sekali untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).



Aktivasi fokal: Fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis Multiple Wavelet Reentry: timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat.



FA dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejalagejala FA sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat beraktivitas, sesak napas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. FA dapat mencetuskan gejala iskemik



pada FA dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada FA akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.



EVALUASI KLlNlK FA Evaluasi klinik pada pasien FA meliputi : Anamnesis : - Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama timbulnya (episode pertama, paroksismal, persisten, permanen) - Menentukan beratnya gejala yang menyertai: berdebar-debar, lemah, sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif - Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari FA misalnya hipertiroid. Pemeriksaan Fisis: - Tanda vital: denyut nadi berupa kecepatan dan regularitasnya, tekanan darah - Tekanan vena jugularis - Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif - Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapatnya bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup j antung - Hepatomegali :kemungkinan terdapat gagal jantung kanan - Edema perifer :kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif Laboratorium: hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung. Pemeriksaan EKG: dapat diketahui antara lain irama (verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri, pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma WPW), identifikasi adanya iskemia Foto rontgen toraks Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium clan ventrikel, hipertrofi ventrikel kin, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE (Trans Esophago Echocardiography) untuk melihat trombus di atrium kiri. Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada FA episode pertama bila laju irama ventrikel sulit dikontrol. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama jantung Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring, studi elektrofisiologi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI FA dapat mengakibatkan terjadi beberapa komplikasi yang dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien dengan sindroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai preeksitasi ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak. Pada keadaan seperti ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. FA yang disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta berhubungan dengan keadaan obstruksi jalur keluar dari ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis. Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang cepat ini bila tidak dapat terkontrol dapat menyebabkan kardiomiopati akibat takikardia persisten. Di antara komplikasi yang paling sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama strok.



PENATALAKSANAANFA Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. . Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada FA permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.



7 hari setelah terjadinya FA. Klasifikasi obat anti aritmia dan obat-obat yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam pemberian obat anti aritmia efek samping obatobat tersebut harus diperhatikan. Salah satu efek samping obat anti aritmia adalah pro-aritmia. Untuk mengurangi timbulnya pro-aritmia maka dalam memilih obat perlu diperhatikan keadaan pasien.



Kardioversi Elektrik Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 Joule. Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.



MEMPERTAHANKAN IRAMASINUS FA adalah penyakit kronis dan rekurensi sering terjadi baik pada FAparoksismal maupun pada FApersisten. Bila telah terjadi konversi ke irama sinus maka ha1 ini perlu dipertahankan dengan pengobatan profilaktik.



PENGOBATAN PROFlLAKTlK DENGAN OBAT ANTlARlTMlA UNTUK MENCEGAH REKURENSI FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan merupakan salah satu prediktor terjadinya rekurensi. Obat antiaritmia yang sering dipergunakan untuk mempertahankan irama sinus dapat dilihat pada Tabel 1.



PEMlLlHAN OBAT-OBAT ANTlARlTMlA PADA PASIEN DENGAN KELAINANJANTUNG ,



Pengembalian ke irama sinus pada FA akan mengurangi gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah komplikasi tromboemboli, mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki hngsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan kardioversi elektrik. Risiko tromboemboli atau strok emboli tidak berbeda antara kardioversi elektrik dan farmakologi sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan sama pada keduanya.



Kardioversi Farrnakologis Kardioversi farmakologis paling efektifbila dilakukan dalam



Pemilihan obat-obat antiaritmia disesuaikan dengan keadaan penyakit jantung yang diderita untuk mencegah timbulnya pro aritmia. Pada sindrom WPW digoksin tidak boleh diberikan oleh karena dapat menimbulkankenaikan paradoksal laju ventrikel selama FA. Penyekat beta tidak menurunkan hantaran pada jalur aksesori selama periode pre-eksitasi dari FA.



PENGONTROLAN LAJU IRAMAVENTRIKEL Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium (verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama yang dianggap terkontrol adalah di antara 60-80 kalilmenit pada saat istirahat dan 90-1 15 kalilmenit pada saat aktivitas.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



FIBRlLASl ATRIAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat Amiodaron



Disopyramide Dofetilide Flecainide



Procainamide Propafenon



Quinidine Sotalol



Dosis Harian



Efek Samping Fotosentivitas, toksisitas paru, polineuropati, kel GI, bradikardia, torsade de pointes (jarang), hepatotoksis, disfungsi tiroid Torsade de pointes, gagal jantung, glaukoma, retensi urin, mulut kering Torsade de pointes Takikardia ventrikular, gagal jantung kongestif, konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial) Torsade de pointes, lupus like syndrome, gejala GI Takikardia ventrikular, gagal jantung kongestif, konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial) Torsade de pointes, keluhan sal cerna, konduksi nodal AV berubah Torsade de pointes, gagal jantung kongestif, bradikardia, penyakit paru bronkospastik yang merupakan eksaserbasi dari obstruksi kronik, bradikardia



PENCEGAHANTROMBOEMBOLI Pencegahan komplikasi tromboemboli merupakan salah satu tujuan yang penting dalam pengobatan FA. Risiko tromboemboli 7 kali lebih tinggi pada FA. Menurut studi Framingham risiko terjadinya emboli 5,6 kali lebih tinggi pada FA non valvular dan 17,6 kali pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol. Risiko terjadinya strok emboli pada FA meningkat pada orang usia lanjut. Pada golongan umur antara 50-59 tahun kejadian strok emboli 6,7% dan 36,2% pada golongan umur antara 80-89 tahun. Tidak ada perbedaan risiko terjadinya strok antara pasien dengan FA paroksismal dan FA kronik. Kopeky melaporkan risiko strok emboli pada Lone AF 2,7%. Lone AF pada umur kurang dari 60 tahun bukan merupakan faktor risiko strok emboli. Risiko relatif terhadap strok iskemik pada beberapa keadaan dapat dilihat pada tabel 1. CHADs (Cardiacfailure, Hypertension, Age, Diabetes, Stroke) untuk pasien tanpa kelainan katup jantung. Ekokardiografi sangat bermanfaat untuk evaluasi penyebab FA yaitu pad paien dengan penyakit jantung rematik dimana terdapat kelainan katup jantung seperti stenosis mitral. Gambaran ekokardiografi tranesofageal (TEE) yang mempunyai risiko tromboemboli yang tinggi yaitu adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri, tromus,



Kriteria risiko CHADs



skor



Riwayat strok atau TIA 2 Usia > 75 tahun 1 Hipertensi 1 Diabetes Melitus 1 Gagal jantung 1 Keterangan: TIA = transien ischemic attack (adaptasi dari ACC/AHA/ESC 2006 Guideline for the management of patients with atrial fibrillation, Circulation 2006; 114: 700-52)



gambaran spontaneous echo contrast, kecepatan aliran darah yang menurun < 20 cmtdetik dan plak aterom kompleks pada aorta torakalis.



PATOFlSlOLOGlPEMBENTUKAN TROMBUS PADA FA Pada FA aktivitas sistolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrialflow velocities yang menyebabkan stasis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien FA dengan strok emboli dibandingkan dengan FA tanpa strok emboli. Dua pertiga sampai tiga perempat strok iskemik yang terjadi pada pasien dengan FA non valvular karena strok emboli. Beberapa penelitian menghubungkan FA dengan gangguan hemostasis dan trombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari stasis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada FA. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand (faktor VII), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan FA akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan ha1 ini dipengaruhi oleh lamanya FA.



PENGOBATAN ANTITROMBOTIK UNTUK MENCEGAH KOMPLlKASl STROK EMBOLI Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombotik dalam pencegahan komplikasi tromboemboli pada FA. Pada Atrial Fibrillation Investigator (AFI), didapatkan bahwa warfarin secara bermakna menurunkan risiko strok dari 4 3 % per tahun menjadi 1,45%. Terdapat penurunan risikosebesar 68%. Warfarin menurunkan risiko strok ada wanita 89% dan pada laki-laki 60%. Pada studi AFASAK pemberian aspirin 75 mg akan menurunkan risiko 18% (95% CI 60-58%) sedangkan pada SPAF, pemberian aspirin 325 mg menurunkan risiko 44% (95% CI 7-66%). Kombinasi dari kedua studi tersebut menurunkan risiko 36% (95% CI 4-57%). Pada metaanalisis warfarin menurunkan kejadian



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



strok 62% (95% CI 48-72%) penurunan risiko absolut 2.7% per tahun pada pencegahan primer dan 8,4% per tahun pada pencegahan sekunder. Warfarin lebih baik dari pada aspirin dengan penurunan risiko relatif 36% (CI 14-52%). Warfarin dan aspirin menurunkan kejadian strok pada pasien dengan FA dan warfarin jauh lebih efektif dibandingkan aspirin. Dosis optimal yang efektif dan aman untuk pencegahan komplikasi tromboemboli pada FAadalah INR 2,5 dengan rentang antara 2-3. Pada pasien dengan usia lebih dari 75 tahun target INR 2 dengan rentang antara 1,6-2. Ada beberapa faktor risiko pada pasien fibrilasi atrial yang direkomendasikan untuk mendapatkan terapi antitrombotik aspirin atau warfarin untuk pencegahan emboli. Tabel berikut merukan rekomendasi antitronibotik pada pasien dengan FA.



Faktor risiko rendah Gender wan~ta Usla 65 -74 tahun PJK T~rotoksikos~s



risiko moderat



usla 7 75 tahun



risiko tinggi r~wayatstrok,TIA Atau emboll stenosis m~tral katup protese



warfarin akan mempercepat proses organisasi trombus, penempelan pada dinding atrium dan resolusi trombus. Pada pasien FA yang timbul lebih dari 48jam atau tidak diketahui lamanya dianjurkan pemberian warfarin dengan target INR 2-3 diberikan 3 minggu sebelum kardioversi dan dilanjutkan 4 minggu pasca kardioversi. Manning tnenganjurkan pemeriksaan TEE sebelum kardioversi. Pasien diberikan heparin bila tidak ditemukan trombus, dilakukan kardioversi dan diberikan antikogulan sainpai 4 lninggu pasca kardioversi. Pada studi multisenter Asse.s,smcnt of C'urdiover~ion U,$ing firmseLso/7/~ugeul Echocardiogruph\, ( A C U T E ) kejadian tromboemboli 0,8% pada strategi dengan pemeriksaan TEE, sedangkan pada strategi konvensional 0.5% tidak ada perbedaan yang bermakna. W a k t ~yang ~ diperlukan untuk kardioversi lebih pendek dengan pemeriksaanTEE. Pada FA yang berlangsung kurang dari 48 jam kemungkinan terjadinya tromboetnboli pasca kardioversi sangat rendah (0,8%). Pada beberapa kasus pembentukan trombus dapat terjadi pada FA yang kurang dari 48jam dianjurkan pemberian antikoagulan selama periode peri kardioversi.



hlpertensl gagal jantung EF 7 35% Diabetes Melttus Keterangan PJK = penyak~tjantung koroner, EF = fraks~ejeksl (adaptas1dar~ACC/AHA/ESC 2006 Guideline for the management of patients with atr~alfibrillation, C~rculat~on 2006, 114 700-52 )



KARDIOVERSIDAN TROMBOEMBOLI Tromboemboli merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah kardioversi baik kardioversi elektrik, farmakologis, maupun kardioversi spontan. Kejadian tromboemboli setelah kardioversi pada pasien FA tanpa pemberian antikoagulan antara 1,s-3%. Byerkeland dan Orning melaporkan insiden tromboemboli pasca kardioversi tanpa pemberian antikoagulan 5,3% sedangkan yang mendapatkan antikoagulan 0,8%. Setelah kardioversi kontraksi mekanik atrium kiri masih belum pulih (utriul .vtzinnin,q) sanipai 2-4 minggu setelah kardioversi sehingga ada kemungkinan terbentuknya trombus baru yang dapat lepas pada periode pasca kardioversi. Oleh karena itu antikoagulan diberikan sampai empat minggu pasca kardioversi untuk mencegah pembentukan trombus baru selama periode clrriul .vtzlnnirtg dan mencegah pembent~lkantrombus apabila setelah kardioversi, FA tirnbul kembali. Trombus yarig terbentuk di atrium kiri memerlukan waktu kurang lebih 2 minggu untuk mengalami organisasi dan melekat erat pada dinding atrium sehingga tidak mudah lepas bila atrium berkontraksi setelah kembali ke irama sinus. Pemberian



ICV Gambar 1. Algorltma tatalaksana paslen dengan f~brilas~ atr~al yang baru terd~agnos~s



ALGORITME PENATALAKSANAAN FA Dalam penatalaksanaan FA perlu diketahui apakah FA tersebut paroksismal, persisten atau permanen. Hal tersebut penting untuk penatalaksanaan selanjutnya apakah perlu dilakukan kardioversi atau cukup dengan pengendalian laju irama ventrikel. FAyang b a n ditemukan atau episodepertama FA. Kadangkadang sulit menentukan apakah FA yarig baru pertama ditemukan merupakan episode pertama FA. Apalagi bila gejala minimal atau asimptomatik. Pada FA paroksismal yang secara spontan kembali ke irama sinus tidak perlu pemberian



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1617



FIBRILAS] ATRIAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Antikoagulan dan kontrol sesuai rlsiko tro~nboemboli



Antikoagulan dan kontrol laju sesuai ris~kotromboemboli



Gambar 2. Algoritma tatalaksana pasien dengan FA paroksismal berulang



>'



obat antiaritmia untuk pencegahan rekurensi, kecuali bila FA dengan gejala-gejala hipotensi, iskemia miokard atau gagal jantung. Pemberian antikoagulan tergantung dari adanya faktor risiko tromboemboli. Pada FA persisten ada 2 pilihan dalam penatalaksanaannya. Pilihan pertama pada pasien tersebut tidak dilakukan kardioversi dan membiarkan progresivitas FA tersebut ke arah FA permanen. Pada pasien tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian obat antikoagulan. Dasar pemikiran pilihan tersebut karena pemberian obat-obat antiaritmia pada pasien tersebut lebih banyak ruginya. Pilihan kedua adalah dilakukan kardioversi dan mempertahankan ke irama sinus. Sebelum dilakukan kardioversi, diberikan antikoagulan dan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan biasanya timbul rekurensi awal setelah kardioversi maka perlu pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi (setelah dapat obat antikoagulan) dan diberikan selama 1 bulan. FA paroksismal rekuren. Pada FA paroksismal yang mengalami rekurensi bila gejala-gejala minimal dan berlangsung singkat tidak perlu diberikan obat-obat antiaritmia, tetapi bila gejala-gejala tersebut mengganggu maka perlu diberikan obat-obat antiaritmia. Pada pasien tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian obat antikoagulansia. FA persisten rekuen. Pasien dengan gejala minimal dan paling sedikit pernah dicoba untuk mengembalikan ke irama sinus tetapi kembali ke FA maka dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan pemberian antikoagulan. Sebaliknya bila gejala mengganggu maka dilakukan kardioversi dengan pemberian obat antiaritmia (di samping obat untuk mengontrol laju irama ventrikel dan antikoagulansia) sebelum kardioversi.



REFERENSI Fuster V, Ryden LE, Asinger RW, et al. ACCIAHAIESC Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation : execu-



tive summar Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines and Policy Conferences (Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation). A report of the American College of Cardiology/American Heart Association. Circulation 2006; 114: 700-52. ' ' Hart RG, Halperin JL. Atrial fibrillation and thromboembolism : a decade of progress in stroke prevention. Ann Intern Med 1999; 131: 688-95. Haissaguerre M, Jais P, Shah DC et al. Spontaneous initiation of atrial fibillation by ectopic beats originating in the pulmonary veins. N Engl J Med 1998; 339: 659-66. Julian DG, Prescott RJ, Jackson FS et al. Controlled trial of sotalol for one year after myocardial infarction. Lancet 1982; 1: 11427. Kopecky SL, Gersh BJ, McGoon MD et al. The natural history of lone atrial fibrillation. A population-based study over three decades. N Engl J Med 1987; 3 17: 669-74. Kannels WB, Abbott RD, Savage DD, Mc Namara PM. Coronary heart disease and atrial fibrillation : the Framingham Study. Am Heart J 1983; 106: 389-96. Kannel WB, Wolf PA, Benjamin EJ et al. Prevalence, incidence, prognosis, and predisposing conditions for atrial fibrillation : Population based estimates. Am J Cardiol 1998;81: 40D-46D. Krahn AD, Manfreda J, Tate RB, Mathewson FA, Cuddy TE. The natural history of atrial fibrillation : incidence, risk factors, and prognosis in the Manitoba Follow-up Study. Am J Med 1995; 98: 476-84. Lanzarotti CJ. Thromboembolism in chronis atrial fibrillation : is the risk underestimated ? J Am Coll Cardiol 1997; 30: 1506-1 1. Lee SH, Chen SA, Tai CT et al. Comparisons of quality of life and cardiac performance after complete atrioventricular junction ablation and atrioventricular junction modification in patients with medically refractory atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol 1998; 31 : 637-44. Manning WJ, Silverman Dl, Gordon SP et al. Cardioversion from atrial fibrillation without prolonged anticoagulation with use of transesophageal achocardiography to exclude the presence of atrial thrombi. N Engl J Med 1993; 328: 750-55. Prystowsky EN, Katz AM. Atrial Fibrillation. In : Topol ES, ed. Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: LippincottRaven, 1998: 1827-61. Psaty BM, Manolio TA, Kuller LH et al. Incidence of and risk factors for atrial fibrillation in older adults. Circulation 1997; 96: 2455-61. Page RL, Wilkinson WE, Clair WK et al. Asymptomatic arrhythmias in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation 1994; 89: 224-7 Peterson P, Boysen G, Godtfredsen J et al. Placebo controlled, randomised trial of warfarin and aspirin for prevention of thromboembolic complication in chronic atrial fibrillation. The Copenhagen AFASAK study. Lancet 1989; 1 : 175-9. Singer DE, Hughes RA, Gress DR et al. The effect of aspirin on the risk of stroke in patientswith nonrheumatic atrial fibrillation : the BAATAF Study. Am Heart J 1992; 124: 1567-73. Sakata K, Kurihara H, lwamori K et al. Clinical and prognostic significance of atrial fibrillation in acute myocardial infarction. Am J Cardiol 1997;80: 1522-7 Vaziri SM, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Echocardiographic predictors of nonrheumatic atrial fibrillation. Circulation'l994; 89: 724-30.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ARITMIA SUPRA VENTRIKULAR Lukman H. Makmun



PENDAHULUAN Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau ekstra kardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien usia muda ataupun usia lanjut. Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu apakah di atrial termasuk AV node dan berkas His ataukah di ventrikel mulai dari infra his 1~4ndle.Selain itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar antara 60-00Jmenit. Tergantung dari letak fokus, selain menyebabkan VES (Ventriczilar E.rtra Svstole), dapat terjadi Supra Ventricular Extra s>.stole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycar~(~~ (SVT) di mana fokusnya berasal dari berkas Hls ke atas. AVNRT ( A VNoclrrl Reentry Tacl?,rardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry mechuni,sm di sekitar nodus AV. Pada bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus di supra ventrikel yang bersifat takikardia.



Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh premature hear. Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium, kalium, kalsium, khususnya mengenai fungsi kana1 ion, sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan juga konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi gangguan fungsi pembentukan impuls (rangsang) dan gangguan perbanyakan (propagatzon) impuls. Pembentukan rangsang bertambah (enhanced



impulsed formation) yang dapat disebabkan oleh peningkatan otomatisitas (enhanced automaticity) dan aktivitas pemicu (triggered uctivig).



Peningkatan automatisitas: Aktivitas pacemaker otomatis selain pada nodus SA, juga didapat pada serabut atrial khusus, serabut AV junction dan serabut Purkinje. Sel miokard pada keadaan normal tidak mempunyai aktivitas sebagai pacemaker. Peningkatan automatisitas serabut pacemaker laten karena terjadi depolarisasi parsial pada resting membrane. Terjadi perubahan kecepatan depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan fase 4 sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang rangsang, akan terjadi aksi potensial baru sehingga dengan demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung. Keadaan ini didapat pada:(l) peningkatan katekolamin endogen dan eksogen, (2) gangguan elektrolit (misal hipokalimia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek mekanis dan (5) obat-obatan (misal digitalis).



\



Perrumnan otomatisasi (perlambatanfast



Garnbar 1. Pada fase 4 potensial aksi dapat terjadi kenaikan potensial membran sehingga terjadi pemendekan atau percepatan fase 4 (fase repolarisasi diastolic) karena lebih mendekati ambang rangsang dengan akibat mudah terjadi rangsangan baru (enhanced automaticity= accelerated). Dapat juga terjadi pelambatan fase 4, sehingga irama melambat (decreased automaticity = depressed).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR



-



-



1619



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 2. Pada gambar atas Ambang rangsang A normal (TP= Threshold potentrale) Sedangkan pada B potential membrane mendekatl ambang rangsang sehrngga mudah drrangsang Pada gambar bawah A = normal Pada B Ambang rangsang menurun sehrngga mendekatr potensral drastolrc Keduanya In1memudahkan ttmbul perangsangan baru



Aktivitas pemicu (triggered activity): Dapat disebabkan oleh eur(13 uficr tie~~oltrrizcrtior7, yang terjadi pada fase 2 dan fase 3 potensial aksi atau pada after depolarisasi terlambat (clelu13ed). Karena itu nlekanisme ini teyjadi tidak secara spontan, tetapi sudah ada gangguan elektris jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (lcrtc), Na dan Ca yang masuk ke dalatn sel meningkat, sehingga terjadi gelombang sesudah (c!ftcr) depolarisasi dan bila mencapai ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol. Mekanisn~eini telah diobservasi terjadi di atrial, ventrikel dan jaringan His-Purkirqe di mana kadar katekolamin meningkat, hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada bradikardia, hipokalimia. Se~nuakeadaan ini menghasilkan akumulasi Cb intrusellrlor.



Gambar 3. Pada A Potensral aksr yang terjadr drrkuti oleh hrperpolarrsasr yang terlambat (delayed hyperpolamatlon) atau rdentrk dengan early after depolanzabon (panah 1) dan pasca depolar~sasiterlambat (delayed affer depolar~zahon)(panah 2) B Potens~alaksr yang terjadr drrkutr pasca depolarrsasr terlambat (delayed after depolarrza tlon) yang mencapal ambang rangsang dan nondr~venpotensral aks~(panah 3) yang muncul darr puncak pasca depolar~sasr(after depolarrzatron) menyebabkan terjad~ ekstra s~stolbaru



Mekanisme reentry. Teori ini banyak dipakai untuk menerangkan terjadinya takiaritmia paroksismal menetap (.\zrst~~itl). Persyaratan terjadinya inekanisme ini adalah: ( 1 ) adanya h l o k ~ r n i c l i r . e c t i o n a l pada salah satu jalan



konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3) Konduksi perangsangan cukup lambat, sehingga pada saat rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada dalam fase rqfrtrktcr r r l u t i v e kembali, (4) ada extra beur sebagai pemicu terjadinya mekanistne reentri. Secara matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x masa refrakter. Perjalanan ber~~lang dari impuls tersebut mengakibatkan timbulnya takiaritmia menetap. Contoh yang jelas mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (Wotff Pcirkin.\on Whit?) di mana terdapat jalan tambahan lnisal dari atrium ke ventrikel, di samping jalan normal nodus AVHis-P~lrkitje.



Perlambatan konduksi terjadi, jika terjadi fibrosis patologis karena jaringan parut (SL'LI~)akibat infark miokard. Blok unidirektional terjadi karena perubahan arsitektur jaringan sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan refrakter yang inhomogen tnisal karena infark miokard. Sinus takikardia Frekuensi nadi melebihi 100Imenit dan biasanya bukan merupakan kelainan jantung primer, tetapi akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam, kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis, hipoksemia, hipotensi atau gagal jantung konyestif. Pada gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih diikuti oleh gelombang kompleks QRS. Masase sinus karotis bisa memperlambat takikardia.



Gambar 4. skematrk mekanrsme reentry A= jalan normal B = jalan ekstra Rangsang mengal~rdarr atas melalul tangan A dan B Pada waktu sampal dr B terdapat blok satu arah sehrngga rangsang tersebut trdak dapat lewat Kemud~anrangsang awal tadr, ketrka sampal dl zona blok, area tersebut trdak lagr dalam keadaan terblokade (refrakter absolute) tetapr sudah dalam keadaan refrakter relatrve, sehrngga dapat melrwat~nya Beg~tu seterusnya, rangsang melalur c~rcuittersebut



Pengobatan: ditujukanpada penyakit primer. Lain halnya bila terdapat pada kasus gagal jantung kongestif, yaitu pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan inllihitor ACE atau Angiotctrsirr Rec,t>,t>tor.Blocker.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 5. Mathematical Reentry Mechanism(LH Makmun,1982)



Jika suatu massa mengelilingi suatu circuit, akan membentuk suatu bentuk gelombang. Misal: panjang jalan = panjang lingkaran = 1atau AB cm. Waktu tempuh = T sek atau = AD sek. Kecepatan (V) vcmfsek. I = V x T (la = anatomis). Syarat untuk reentry: Minimal T = PR (Period Refrakter). la= V x PR (la= 1,)



Contoh: Panjang AB = 5 cm V = 50 cmlsek -+T atau AD = 0.1 sek. A, = 50 x 0.1 =5 cm Syarat untuk terjadi reentry: ' min.T = RP. A, = 50x 0.1=5 crn



1



--



A L



j_ : A



;



, I



:



jm



Gambar 6. Cara penghitungan matematik untuk terjadinya mekanisme reentiy. (Makmun LH,1982)



- Rangsang dari bawah ti&



p d a area dalsm fa= refralitw rebatrf, sehmgga dapat latan t m s 0 Reentty



Gambar 7. Bagan terrjad~mekanisme reentiy setelah dip~cuoleh aksi ekstra



Fibrilasi Atrial: (FA) Kelainan ini sering didapat dan dibagi menjadi paroksismal, persisten dan permanen tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan. Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam waktu 2 x 24 jam. disebut paroksisn~al.Bila terus lnenerus menetap nlenjadi kronik disebut permanen. Sedangkan persisten adalah bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi pada manusia normal terutama karena stres emosional atau sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau karena peningkatan tonus vagal. Dapat juga terjadi pada pasien jantung atau paru dengan hipoksia. hiperkapnia atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik. FA persisten sering terdapat pada pasien jantung. yaitu reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit hipertensi kardiovaskular. penyakit paru kronik, defek septa1 atrial, juga pada tirutok.\ikosi.s. Sedangkan lone FA bila pasien tidak mengidap penyakit jantung. Fibrilasi atrial dapat menin~bulkanko~nplikasiyang berkaitan dengan ( I ) frekuensi veritrikel yang sangat cepat sehingga terjadi hipotensi. edema paru, angina pektoris dan dapat juga men) ebabkan kardiomiopati yang disebabkan oleh takikardia (trrc~l~~~~c.ur.ciiu-n1e~iiuted. (2) Bila terlalu lambat dapat meniinbi~lkansinkop. (3) emboli sistemik yang biasanya terjadi pada pasien dengan demarn reuma jantung dan sebagai penyebab tersering stroh no11 hemoragik. (4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga mengurangi curah jantung olrtpzit dengan akibat ter-jadi furi,qzic (5) rasa khawatir (ansietas) dengan palpitasi. Pada gambaran EKG gelombang P tidak terlihat dengan jelas. Respons aksi ventrikel (gelombang kompleks QRS) tidak teratur (iregularj. Hal ini tejadi karena dari sekian banyak ahsi atrial, tetapi hanya sebagian impuls yang dapat meliwati nodus AV, sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih lambat daripada aksi atrial. Pengobatan: penyakit primer harus diobati, seperti tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila keadaan klinis buruk. misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi. Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat penyekat beta atau antagonis kalsium, di mana keduanya memblokade di nodus AV yaitu pada .slow conductiorr porhwuv, dengan memperpanjang masa refrakternya. Pemberian antikoagulan sainpai I N R minimal 1,8 untuk mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan pengobatan adalah untuk kontrol rwtr yaitu dengan penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis. Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama sinus dapat diberikan obat-obatan golongan IC, sotalol, amiodaron untqk ~empertahankaniramanya, yaitu sebagai kontrol ritme. Penatalaksanaan Farmakologis Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga di samping penatalaksanaan terhadap aritmianya sendiri, seperti gaga1 .jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ARITMlA SUPRA VENTRIKULAR



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek samping, berkenaan dengan sudah menurunnya fungsi hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan tubuh. Selain itu dilihat juga interaksi obat-obat dan juga dihindari polifamaka. Obat-obatan antia aritmia yang digunakan pada pengobatan AF adalah: (A). (1) kelompok kontrol rate untuk mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta (class 11), (2) golongan antagonis kalsium yaitu verapamil, diltiazem (kelas IV). Di samping itu dapat dipergunakan juga digitalis. (B) adalah kelompok rythme control untuk mengkonversi dari AF ke irama sinus dan juga untuk mempertahankannya bila telah kembali ke irama sinus, yaitu : (1). Golongan yang memblokade kanal ionNa (kelas IA, IC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas I11 yang memperpanjang masa refrakter potensial aksi dengan menghambat kanal ion K, yaitu antara lain amiodaron, sotalol. Intewensi Invasif Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan defibrilator untuk mengatasi VT dan VF yang termasuk dalam resusitasi jantung paru. Ablasi biasanya dilakukan pada AF paroksismal. Biasanya tipe ini dipicu oleh fokus otomatis yang berlokasi di vena pulmonalis. Dengan menggunakan teknik kateterisasi sampai ke atrium kiri mencapai vena pulmonalis kemudian setelah didapat signal fokus, dilakukan ablasi. Selain itu adajuga teknik bedah MAZE dengan membentuk multipel scars di atria kanan dan kiri sehingga mencegah penjalaran gelombang fibrillasi. FluterAtrial (FIAT) Aritrnia ini biasanya berkaitan dengan penyakit jantung organik. Fluter ini dapat terjadi secara paroksismal dengan faktor presipitasi seperti perikarditis, gaga1 napas akut. Dapat juga terjadi dalam minggu pertama setelah operasi jantung terbuka. FlAT dapat berubah menjadi AF dan jarang menimbulkan emboli sistemik. FlAT mempunyai kekhasan berupa gambaran gelombang P seperti gigi gergaji (saw teeth), mempunyai frekuensi atrial sekitar 250-350lmenit. Sedangkan frekuensi ventrikel adalah setengahnya karena terjadi blok 2:l di nodus AV. Pengobatan. Yang paling efektif adalah dengan kardioversi dengan low energy (25-50Ws). Selain itu bila frekuensi ventrikel meningkat dapat diturunkan dengan antagonis kalsium atau penyekat beta atau digitalis yang memblokade di nodus AV. Kemudian setelah itu dapat diberikan anti aritmia golongan IA atau IC atau Amiodaron untuk merubah menjadi irama sinus. Untuk menjaga jangan sampai kembali ke FlAT dapat diberikan golongan IA, IC atau golongan 111. Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di lokasi sekitar katup trikuspidal yaitu pada daerah isthmus yang sempit. Keberhasilan cukup tinggi sampai 85%.



AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT) Termasuk Paroksismal supra takikardia ventrikular. Letak kelainan adalah di nodus AV dan lebih sering terjadi pada perempuan. Kompleks QRS langsing dengan frekuensi berkisar antara 120-250lmenit dan dipicu oleh atrial ekstra sistol dan berkaitan dengan PR memanjang karena terjadi keterlambatan konduksi di dalam AV node. Dalam AV node terdapat dua pathway yaitu fast dan slow pathway yang disebut dualpathway. Fastpathway memberikan konduksi yang cepat serta mempunyai periode refrakter panjang sedangkan slow pathway memberikan konduksi lambat dengan periode refrakter pendek. Pada irama sinus konduksi rangsang hanya melaluifastpathwaj~sehingga interval PR normal. Dengan adanya atrial ekstra sistol, terjadi blokade di fast pathway sehingga konduksi rangsang berikutnya dialirkan melalui slow pathway dan selain itu kecepatan rambat menurun, sehingga memenuhi persyaratan untuk terjadi reentyAVnoda1 dan terjadilah takikardia dan disebut AV nodal reentrant tachycardia. Aktivasi atrial retrograd dan ventrikel antegrad terjadi bersamaan sehingga gelombang P tak terlihat di EKG



Gambaran klinis berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop dengan hipotensi. Pengobatan Tindakan pijat sinus karotikus sebagai manipulasi vagal dapat dicoba untuk menghentikan aritrnia. Bila tak berhasil dapat diberikan Adenosin intravena. Selain itu dapat dilakukan dengan verapamil atau penyekat beta. Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih lambat sehingga tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat dilakukan dengan pacing di atrial atau ventrikel melalui intravena. Dalam keadaan hemodinamik jelek dengan hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk dilakukan kardioversi. Non reentrant tachycardia: Multifocal Atrial Tachycardia (MAT). Biasanya terjadi karena intoksikasi digitalis atau hipokalimia atau efek teofilin atau obat adrenergik Garnbaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang P consecutive dengan gambaran berbeda-beda. Interval R-R irreguler: Pengobatan dapat diberikan penyekat beta, antagonis kalsium, dan digitalis yang bekerja di nodus AV untuk menghentikan respons ventrikel.



OBAT ANTlARlTMlA Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu: Klas I. yang berfungsi memblokade kanal Na pada membran sel sehingga menurunkan kecepatan maksimal depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi potensial aksi baru yang berarti mencegah timbulnya ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya memblokade



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kanal Na tersebut, Klas I dibagi menjadi: Klas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang masa repolarisasi potensial aksi. Menurunkan Vmaks pada semua heart rate. Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid. Klas I B. kinetik kerjanya cepat dan memperpendek repolarisasi potensial aksi hanya ringan saja. Mempunyai efek yang ringan terhadap kasus dengan heart rate rendah, tetapi mempunyai efek lebih besar pada kasus dengan heart rate tinggi. Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid. Klas I C. kinetik kerjanya lambat dan mempunyai efek kecil terhadap repolarisasi potensial aksi. Contoh: Propafenon, flekainid, lorkainid. Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak menunjukkan penurunan angka kematian secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien usia lanjut dengan penyakit jantung sering terjadi proaritrnia. Klas 11. Obat anti simpatik: menurunkan otomatisasi nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AV, menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Golongan ini adalah penyekat beta, misal propranolol dan lainnya. Pemberian penyekat beta pada pasien pasca IMA menunjukkan penurunan angka mortalitas secara signifikan, dengan mencegah terjadinya suddent cardiac death dan IMA berulang. Golongan ini menurunkan kejadian terjadinya Entricular Activity (VA) complex termasuk VT. Klas 111. Golongan ini memblokade kanal kalium sehingga repolarisasi potensial aksi diperpanjang dan pada EKG dapat dilihat dengan perpanjangan QT. Obat ini menekan terjadinya VA kompleks, dengan memperlama periode refrakter. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol (sebetulnya termasuk golongan penyekat beta). Amiodaron sangat efektif dalam menurunkan kejadian VA kompleks yang berkaitan dengan penyakit jantung. Namun mesti diperhatikan efek sampingnya yang antara lain terhadap paru, saluran cema dan lain-lain.



Klas IV. Antagonis kalsium. Memperlambat kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter dari jaringan dengan potensial aksi yang slow respons misal di nodus AV. Contoh: verapamil, diltiazem. Golongan ini tidak bermanfaat pada Ventricular Arrhytmia (VA) kompleks. Pada pasien dengan VT bila diberikan verapamil intravena dapat menyebabkan kolaps hemodinamik. Angka kematian menunjukkan kenaikan tidak signifikan dibanding kontrol. Karena itu tidak diberikan pada pasien dengan VT. Digitalis dan Adenosin tidak termasuk golongan anti aritmia. Efek Digitalis: memperlambat ventrikular rate sehingga dapat dipakai pada FA, FlAT dan atrial takikardia lain. Adenosin: menterminasi SVT reentrant yaitu AVNRT dan bekerja di nodus AV.



ACE INHIBITOR Pada pasien dengan gaga1 jantung kongestif menurut beberapa penelitian golongan obat ini dapat menurunkan kejadian VA kompleks termasuk VT, sehingga angka suddent cardiac death juga akan menurun.



REFERENSI Josephson ME, Zimetbaum P. The Tachyarrhytmias. In: Harrison's Principle of Internal Medicine. Editor: Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. 16Ih. Ed. New York: McGraw Hi11;2005.p. 1342-9. Jossephson. Clinical Cardiac Electrophysiology. 2nd. Lea & Fabiger; 1993 Khan MIG. Cardiac Drug Therapy. 1" ed.London. Bailliere Tindall; 1984.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



,



ARITMIA VENTRIKEL M. Yamin, Sjaharuddin Harun



PENDAHULUAN



Aritmia ventrikel memiliki spektrum yang luas mulai dari premature ventricular contraction (PVC, dikenal juga sebagai ventricular extrasystole atau VES), takikardia ventrikel (selanjutnya disebut VT), fibrilasi ventrikel (selanjutnya disebut VF), sampai torsades de pointes (selanjutnya disebut TDP). Tantangan utama bagi klinisi adalah mengindentifikasi aritmia ventrikel yang berpotensi fatal pada kelompok pasien tertentu (misalnya PVC frekuen pada pasien pasca infark miokard dengan penurunan fungsi ventrikel kiri) karena dapat menimbulkan kematian mendadak. Dalam tulisan ini akan diulas etiologi, gambaran EKG, kepentingan klinis dan tatalaksana aritmia ventrikel yang sering dijumpai dalam praktek sehari hari yaitu PVC, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan torsades de pointes. Pembahasan lebih mendalam diberikan pada VT.



ETlOLOGl DAN MEKANISME ARlTMlA VENTRIKEL



Secara umum terdapat empat mekanisme terjadinya aritmia, termasuk artimia ventrikel, yaitu automaticity, reentrant, dan triggered activity. Automaticity terjadi karena adanya percepatan aktivitas fase 4 dari potensial aksi jantung. Aritmia ventrikel karena gangguan automaticity biasanya tercetus pada keadaan akut dan kritis seperti infark miokard akut, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan tonus adrenergik yang tinggi. Oleh karena itu bila berhadapan dengan aritmia ventrikel karena gangguan automaticity, perlu dikoreksi faktor penyebab yang mendasarinya. Aritrnia ventrikel yang terjadi pada keadaan akut tidaklah memiliki aspek prognostik jangka panjang yang penting. Mekanisme aritmia ventrikel yang tersering adalah



reentvy dan biasanya disebabkan oleh kelainan kronis seperti infark miokard lama atau kardiomiopati dilatasi (dilated cardiomyopathy ). Jaringan parut (scar tissue) yang terbentuk akibat infark miokard yang berbatasan dengan jaringan sehat menjadi keadaan yang ideal untuk terbentuknya sirkuit reentry. Bila sirkuit ini telah terbentuk maka aritmia ventrikel reentrant dapat timbul setiap saat dan menyebabkan kematian mendadak. Triggered activity memiliki gambaran campuran dari kedua mekanisme di atas. Mekanismenya adalah adanya kebocoran ion positif ke dalam sel sehingga terjadi lonjakan potensial pada akhir fase3 atau awal fase 4 dari aksi potensial jantung. Bila lonjakan ini cukup bermakna maka akan tercetus aksi potensial baru. Keadaan ini disebut afterdepolarization.



PREMATURE VENTRICULAR CONTRACTION (PVC)



PVC timbul bila karena adanya fokus ektopik pada ventrikel yang muncul lebih awal dari irama dasamya. Pada EKG akan terlihat kompleks QRS yang lebar, terdapat perubahan segmen ST-T sekunder, dan terdapat pause kompensasi penuh (fiully compensatovypause) seperti pada Gambar 1. Berdasarkan frekuensi dan bentuknya PVC dapat dibagi menjadi: PVC Jarang (infiepent): kurang dari lima kali per menit PVC Sering wequent): lebih dari lima kali per menit PVC Repetitif: bila muncul pada tiap denyutan (beat) kedua dari irama dasar disebut PVC bigemini (gambar 2), bila timbul pada denyutan ketiga dari irama dasar disebut PVC trigemini. PVC berkelompok: bila dua PVC muncul berkelompok disebut PVC salvo. Bila tiga atau lebih PVC disebut VT PVC Multifokal: Bila bentuk PVC dalam satu sandapan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



bentuknya berlainan. Ini menandakan fokus ektopik berasal lebih dari satu tempat Fenomena Ron T: PVC muncul pada periode repolarisasi ventrikel yang rentan untuk terjadinya VF yaitu pada lio~n-slopegelombang T Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan



-



TAKlKARDl VENTRIKEL (VT)



C~npencatoryVS Non Compencatory Pauses



.-' I



Premature



Ventricular '1



I



1



I



,,---



r'



Premature



1



TO



measure a full cornpnsetoty



kematian mendadak yang tinggi. Kelompok pasien ini sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan elektrofisiogi untuk menentukan apakah perlu dipasang ~ m p l u t ~ t t u b l e curdiol~erterdefibrillator. ( ICD ).



1



1 Tandai 3 siklus normal 2 Beri tanda gelombang P slklus EKG n m l yang berada tepat sebelum komplekskontraksl premalur 3 Tanda gelambang P ke-3 haNSjatuh tepat p%dagelombang P yang saharusnya seharusnya setelah kompleks prematur d~sebutwmpensatwy pause



Gambar 1. Rekaman EKG PVC dengan clrl kompleks QRS lebar dan adanya fully compensatory pause y a ~ t u~ntervalantara gelombang P lrama dasar sebelum PVC dengan sesudah PVC adalah dua k a l ~~ n t e r v a lP-P lrama dasar ( D ~ k u t ~dpa r ~ www ekglearnlng com)



Gambar 2. PVC bigemini.Tampak PVC muncul secara bergantian dengan denyut (beat) normal



jantung normal tidak memiliki faktor prognostik yang penting. Pada keadaan ini tidak diperlukan terapi. Bila pasien merasa tidak nyaman dapat diberikan nlinor truny~rilizerdan menghindarkan faktor yang memperberat seperti kopi dan rokok. Bila gejala tidak berkurang dapat diberikan obat penyekat beta. Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama PVC bigemini, multifokal, atau R on T, dapat diberikan lidokain, prokainamid, atau amiodaron. Bila PVC yang sering (fhequent) muncul pada pasien pasca infark dengan penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi 0,12 detik). Namun tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah VT karena takikardi supraventrikel (SVT)dengan kond~tksi aberan atau dengan konduksi melalui jaras tambahan (acce.\sor:v puthtc-trj.)juga akan memberikan gambaran takikardi dengan komplek QRS lebar. Oleh karena itu pengenalan VT menjadi penting dalam keadaan kegawatan karena pemberian obat untuk SVT dapat membahayakan pada pasien dengan VT. Pengenalan VT juga h a r ~ ~ s rnencakup identifikasi etiologi, sumber fokus, terapi, dan prognosisnya. VT idiopatik misalnya, dapat diterapi secara definitif dengan ablasi kateter, sangat jarang menyebabkan kematian mendadak, dan memiliki prognosis yang baik. Sebaliknya VT iskemia (VT akibat penyakit jantung koroner) memberikan risiko tinggi untuk terjadinya kematian tnendadak (.\zid~/en cal-dials clecrtl~) akibat aritmia fatal (VT yang berdegenerasi menjadi 1.~i7trrc'~lur. fibrillation ).



Klasifikasi Secara umum VT dapat dibagi menjadi lnonornortik dan polimorfik. VT monomorfik rnemiliki kompleks QRS yang sama pada tiap denyutan (heat) dan menandakan adanya depolarisasi yang berulang dari tempat yang sama. Umumya disebabkan oleh adanya fokus atau substrat aritn~iayang mudah dieliminasi dengan teknik ablasi kateter. Sedangkan VT polimorfik ditandai dengan adanya kompleks QRS yang bervariasi (berubah) dan rnen~mj~~kkan adanya urutan depolarisasi yang berubah dari beberapa tempat. Biasanya VT jenis ini berkaitan dengan jaringan parut (scar tissue) akibat infark miokard (ischemic VT). Bila VT berlangsung lebih dari 30 detik disebut s~~stuitzed dan sebaliknya bila kurang dari 30 detik disebut non.\ ~ ~ ~ t u r t z e d . Berdasarkan etiologi VT dikelornpokkan menjadi: VT Idiopatik (Idiopathic VT): - VT Idiopatik Alur Keluar Ventrikel Kanan (Rlght k~nhiculrrrOutflow Putt VT=R L'OT VT)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI -



VT Idiopatik Ventrikel Kiri (Idiopathic Lefi Ventricular VT) VT pada Kardiomiopati Dilatasi Non-Iskemia - Bundle Branch Reentrant VT - Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasiu (ARvD) *. VT iskemia (Ischemic Vi") Diagnosis Takikardia Ventrikel Diagnosis VT didasarkan pada gambaran berikut ini: Durasi dan morfologi kompleks QRS, pada VT urutan aktivasi tidak mengikuti arah konduksi normal (terganggu) sehingga bentuk kompleks QRS akan kacau dan durasi kompleks QRS menjadi panjang (biasanya lebih dari 0,12 detik). Pedoman umum yang berlaku adalah semakin lebar kompleks QRS semakin besar kemungkinannya suatu VT, khususnya bila lebih dari 0.16 detik. Pengecualian adalah VT yang berasal dari fasikel posterior berkas cabang kiri (i~/io/?athiclefl ~ ~ e n r i ( . ltuchycardia) ~l~~r yang memiliki kompleks QRS kurang dari 0,12 detik karena pada VT jenis ini lokasi reentv dekat dengan septum interventrikel seperti konduksi normal. Morfologi kornpleks QRS bergantung pada asal fokus VT. Bila berasal dari ventrikel kanan akan memberikan gambaran morfologi blok berkas cabang kiri (left bundle hrtrnch hlock rnor/~holoLqy) dan jika berasal dari ventrikel kiri akan menunjukkan gambaran blok berkas cabang kanan (right bundle branch block morphologp,). Kalau morfologi QRS adalah RBBB maka takikardi adalah VTjika morfologi kompleks QRS adalah monomorfik atau bitasik (QR atau RS). Jika morfologi QRS adalah LBBB maka akan menguatkan diagnosis VT jika adanya takik (notching) gelombang S atau nadir S yang lambat (>70 milidetik). Laju dan irama, laill (rcite)VT berkisar antara 120-300 kali per menit dengan irama yang teratur atau hampir teratur (variasi antar denyut adalah \ Sebelum rnemahami elektrofisiologi secara lebih baik diperlukan peniahaman dasar tentang sistem listrik dan konduksi jantung, dan inekanisrne terjadinya gangguan irama (aritmia) baik takiaritmia (gangguan irama dengan laju Janturig yang cepat) maupun bradiaritmia (gangguan irama dengan laju jantung lambat). Selanjutnya akan dibahas cara. prinsip, dan indikasi pemeriksaan elektrofisiologi. Pada akhir dari tulisan ini diulas pula secara ringkas peranan terapi ablasi radiofrekuensi untuh beberapa jenis aritmia yang kerap dijumpai dalam praktek sehari-hari.



Sistem kelistrikan jantung bersumber dan dimulai dari Nodus Sinoatrial (NSA) yang terletak di antara pertemuan vena kava superior dan atrium kanan seperti ang terlihat pada Gambar 1. Sinyal listrik ketnudian disebarkan ke seluruli atrium melalui nodus interatrial (anterior, media, dan posterior) dan ke atrium kiri melalui hzoi~lledari Bachman. Di antara atrium dan vcntrikel pada sulkus atrio~entrikularterdapat suatu stri~kturjaringan ikat ( c . ~ i r d [ ~\ikcc. l e t o n ) yang berfungsi sebagai teinpat melekatnya katup Jantung. Secara elektris, komponen ini bersifat sebagai penyekat (insulator) sehingga sinyal listrik tadi tidah dapat iewat ke ventrikel kecuali inelalui Nodus Atriok entrikular (NAV).NAV terletak di atrium kanaii pada bagian bawah septum interatrial Saat niernasuhi NAV, iiiipuls mengalami perlambatan yang tergannbar sebagai



Gambar 1. Anatornl ststern konduks~jantung Penjelasan ter~nci l~hatteks (D~kut~p dar~Huszan RJ Basic dysrhythrn~as.7thEd. Mosby 2002)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI interval PR pada EKG permukaan. Selanjutnya impuls masuk ke bundle His, yang merupakan bagian pangkal (proksimal) dari sistem His-Purkinje yang bersifat menghantarkan listrik dengan sangat cepat. Kemudian sinyal listrik ini diteruskan ke berkas cabang kanan dan kiri dan berakhir pada serabut Purkinje dan miokard untuk membuat otot jantung berkontraksi. NSA merupakan pembangkit listrik alamiah yang dominan (automatisasi dengan laju yang paling cepat) sehingga mengendalikan seluruh pacuan. Bagian lain dari jantung terutama jaringan konduksi, pada dasamya juga mampu membangkitkan impuls listrik. Bila NSA tidak dapat membangkitkan ilnpuls karena satu dan lain ha], maka akan diambil alih oleh bagian lain seperti atrium, NAV, atau bundk His. Demikian pula bila terjadi blok atrioventrikel (keadaan bila impuls dari NSA tidak dapat diteruskan ke ventrikel) maka NAV atau brmde His akan menjadi pembangkit listrik cadangan tentu,dengan laju yang lebih lambat dari NSA.



POTENSIAL AKSl JANTUNG (CARDIAC ACTION POTENTIAL) Semua sel hidup, termasuk sel jantung, pada saat istirahat memiliki muatan positif di luar sel dan muatan negatif di dalam sel dan perbedaan potensial yang timbul akibat ha1 ini disebut potensial transmembran istirahat. Besamya perbedaan potensial berkisar antara -90 sampai -60 mV. Bila sel tersebut dirangsang akan menimbulkan pergerakan ion dari luar sel ke dalam sel. Pergerakan ini akan menimbulkan potensial listrik dan bila digambarkan berdasarkan waktu akan terlihat sebagai sebuah grafik yang dikenal sebagai Potensial Aksi Jantung (PAJ). Jadi PAJ merupakan gambaran EKG dari satu sel jantung yang bisa direkam dengan meletakkan electrode tnikro di dalam sel. PAJ terdiri dari lima fase yaitu fase 0 (depolarisasi cepat), fase 1 (repolarisasi cepat dini), fase 2 (pluteu), fase 3 (repolarisasi akhir), dan fase 4 (potensial membran istirahat) seperti terliliat pada Gambar 2.



Pada fase 0 (depolarisasi cepat) terjadi pembukaan kanal natrium cepat (rapid sodium channel) sehingga terjadi pergerakan ion natrium dari luar sel ke dalam sel dan membuat potensial trans membran menjadi lebih positif. Hasil akhir (resultan) dari peningkatan puncak voltase ini yang dikenal sebagai depolarisasi. Setelah fase depolarisasi ini maka sel akan kembali ke dalam potensial membran istirahat yang dikenal dengan istilah repolarisasi. Pada fase 1 dan 2 sel tetap mengalami depolarisasi walaupun sudah mulai memasuki fase repolarisasi. Pada saat ini sel sama sekali tidak dapat dirangsang yang dikenal dengan periode rejrukter efektij (rjfective refructor2y perioclr). Peran kanal kalsium lambat amat menonjol pada fase ini yaitu dengan memompa kalsium masuk kembali ke dalam sel secara perlahan sehingga memperlambat fase repolarisasi. Selama fase 3 repolarisasi terus berlangsung dan sel mulai kembali ke keadaan istirahat dan pada saat ini sel sudah dapat dirangsang tetapi dengan energi yang lebih besar (periode refrakter relatit). Fase 4 adalah fase akhir saat sel kembali dalam keadaan istirahat penuh dan siap untuk menerima rangsangan kembali.



Gangguan irama jantung (dikenal sebagai aritmia) dapat dikelompokkan menjadi takiaritmia (gangguan irama dengan laju cepat) dan hradiuritmiu (gangguan irama dengan laju lambat). Terjadinya aritmia (uriyhthmo,qene.~~.\) disebabkan oleh tiga mekanisme utama yaitu gangguan pembentukan impuls, gangguan hantaran impuls, dan kombinasi kedua-duanya. Yang termasuk gangguan pembentukan impuls adalah otomatisasi yang tidak normal (ubnormal uutornuticity), aktivitas yang dicetuskan (triggered activity), dan setelah depolarisasi lambat (deluyed ufterdepolclrizution). Yang tergolong gangguan hantaran impuls adalah blok satu atau dua arah tanpa reentry (blok AV, blok SA, dan blok berkas cabang), blok satu arah dengan reentry (resiprokal takikardia pada sindrom Wolf-Parkinson-White), reentrv nodus AV, dan takikardia ventrikel karena reentry berkas cabang. Pada tulisan ini pembahasan akan disederhanakan pada penyebab yang paling sering yaitu gangguan pembentukan (inisiasi) impuls yang lebih dikenal dengan otomatisasi dan gangguan hantaran impuls yang lebih dikenal dengan reentry.



AUOTOMATISASI (AUTOMATICITY) Garnbar 2. Potenslal Aksl Jantung (PAJ) dlmulal b ~ l arangsangan yang d~ber~kan melampaui ambang batas (threshold) yaltu -60 mV (D~kut~p dart Huszan RJ Baslc dysrhythmlas 7Ih Ed, Mosby



2002)



Autoniatisasi yang meningkat (enkmzced azitomcrticity) disebabkan oleh percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan dapat terjadi di atrium, bundle His, dan ventrikel sehingga



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



muncul istilah takikardi atrial, junctional, dan ventrikel otomatis. Struktur lain yang dapat menjadi sumber fokus otomatisasi adalah vena pulmonal dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis yang normal adalah sinus takikardi. Ciri khas takiaritmia ini adalah adanya fenomena warm-up dan warm-down yaitu peningkatan laju nadi secara perlahan dan kemudian laju nadi berkurang secara perlahan sebelum akhimya takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena automatisasi sering berkaitan dengan gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis.



REENTRY Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Prasyarat mutlak untuk timbulnya t.eentt?3 adalah sebagai berikut: Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal Salah satu jalur tersebut hams memiliki periode refrakter yang lebih panjang dari yang lain *. Jalur dengan periode refrakter yang lebih pendek harus memiliki kecepatan konduksi yang lebih lambat dari yang lain Inisiasi reentry memerlukan adanya hanlbatan pada salah satu jalur tersebut (unidirectional block). Secara skematis mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar3.



Gambar 3. Mekanisme terjadinya reentry. Jalur A adalah jalur dengan periode refrakter pendek tapi kecepatan konduksi iambat sedangkan jalur B adalah jalur dengan kecepatan konduksi cepat tapi masa refrakter lebih panjang. Mekanisme terinci dapat dilihat pada teks.( Dikutip dari Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3" Ed, Blackwell Science, 1999)



Pada Gambar 3 jalur A adalah jalur dengan periode refrakter lebih pendek tapi melniliki kecepatan konduksi yang lambat sedangkan jalur B adalah jalur dengan periode refrakter panjang tapi kecepatan konduksi cepat. Kedua



jalur ini saling berhubungan baik di bagian distal lnaupun proksimal seperti yang disyaratkan di atas. Pada gambar 3 B, bila impuls prematur tiba di jalur B pada saatjalur tersebut masih refiakter karena stimulasi sebelumnya (ingat jalur B memiliki masa refrakter yang relatif lebih panjang), maka impuls tadi tidak bisa melewati jalur tersebut dan beralih ke jalurA. Pada saat impuls tadi beralih dari jalur B ke jalur A, saat itu jalur A sudah pulih dari masa refraktemya karena ia memiliki masa refrakter yang lebih pendek daripada jalur B. Oleh karena itu impuls tadi dapat turun ke distal melalui jalur A. Karena kecepatan konduksi di jalurA lebih lambat maka saat impuls tiba di bagian distal. jalur B telah pulih dari masa refrakternya sehingga impuls dapat melewati jalur B secara retrograd dan kembali ke jalur A dan demikian seterusnya dan timbullah sirkuit reentrv..



PELAKSANAANPEMERJKSAANELEKTROFlSlOLOGl



Pemeriksaan elektrofisiologi jantung merupakan suatu cabang spesialisasi kardiologi yang memerlukan fasilitas dan alat yang khusus, staf yang terampil, dan ekspertise yang akurat. Persiapan pemeriksaan elektrofisiologi meliputi persiapan alat, staf dan pasien. Peralatan yang paling utarna diperlukan adalah: Alat fluoroskopi (biasanya sudah tersedia di laboratorium kateterisasi) Alat khusus elektrofisiologi yang meliputi: - stimulator jantung (cardiac stimularor) - piranti lunak untul5 kg pada selama 1 bulan. Pasien tidak perlu kuatir akan pengaruh alat-alat elektronik di rumah. Yang perlu dihindari adalah alat generator besar di pabrik yang dapat menghasilkan gelombang elektro magnetik yang besar. Kemudian dilakukan tiga bulan berikutnya dengan tujuan utama untuk mengubah acute threshold (nilai amplitude yang diprogram pada saat pemasangan dan biasanya lebih tinggi untuk menjamin adanya capture karena masih adanya edema antara ujung lead dan endokardium) ke chronic threshold (nilai amplitude yang diprogram lebih rendah dari acute "



I.



Parameter implant akut (segera setelah implant sampai dengan 3 bulan): A. Threshold 1. Voltage: < 1 V, tapi lebih disukai -=0,5V 2. Current 5 mV 2. Gelombang P: s 2 mV



II. Parameter pada saat kronis A. Threshold 1. Voltage: mV . 2. Gelombang P:> 1,5 mV, sebaiknya 2,O-3,O mV



Bila kelainan nodus sinus disertai dengan blok AV maka diperlukan pacu jantung di ventrikel dan bila diperlukan keselarasan antara atrium dan venrikel maka dipilih pacu jantung kamar ganda. Berdasarkan uji klinik MOSD (Mode Selection in Sinus-node Dysfucntion) didapatkan bahwa pada pasien dengan disfungsi nodus sinus yang dipasang PJP kamar ganda dibandingkan kamar tungal, kelompok yang mendapatkan PJP kamar ganda mempunyai risiko kejadian fibrilasi atrial yang lebih rendah, gejala gaga1 jantung berkurang, dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Pemilihan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 12.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



a



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI threshold dan minimal dua kali threshold). Tindak lanjut rutin selanjutnya adalah tiap 6 bulan. Penilaian dan pemeriksaan rutin yang dikerjakan saat tindak lanjut adalah menilai sensing dan capture, memantau integritas sistem, memantau keadaan baterai generator, dan memodifikasi pemrograman sesuai kebutuhan pasien. Untuk itu setiap pasien datang dilakukan pengambilan riwayat penyakit, pemeriksaan EKG 12 sadapan, dan pemeriksaan dengan programmer untuk menilai parameter yang telah disebutkan di atas. Dalam memodifikasi semua parameter tersebut maka keselamatan pasien menjadi prioritas utama.



KEMAJUAN TERKlNl DALAM BIDANG PACU JANTUNG Beberapa tahun belakangan ini bidang pacu jantung mengalami kemajuan yang pesat dalam ha1 indikasi. PJP tidak hanya digunakan untuk indikasi yang konvensional seperti bradikardi tapi dikembangkan pula untuk pemakaian pada pasien gagal jantung ( c a d i a c resvnchroriizution therapy) dan untuk pencegahan FA. Cardiac Resvnchronization Therapy (CRT) adalah istilah yang dipakai untuk menyelaraskan (sinkronisasi) kontraksi antara dinding ventrikel kiri dengan septum interventrikel dalam usaha memperbaiki efisiensi ventrikel kiri dan selanjutnya berdampak kepada perbaikan klas fungsional. CRT memiliki 3 buah pacing lead yang masing-masing diletakkan di atrium kanan, ventrikel kanan, dan sinus koronarius untuk pemacuan pada dinding ventrikel kiri (Gambar 11). Dengan demikian pemacuan akan menyelaraskan kontraksi antara venrikel kiri dan kanan dan ini memberikan perbaikan hemodinamik berupa penurunan tekanan baji arteri pulmonal dan peningkatan curah jantung. Braun MU dan kawan-kawan mendapatkan adanya penurunan aktivasi neurohormonal, perbaikan klas fungsional, dan kapasitas latihan paru jantung pada pasien gagal jantung klas fungsional 111-IV, fraksi ejeksi I 50 ms yang mendapat CRT selama < 24 bulan. Bahkan Cleland dan kawan-kawan dalam Cardiac Resynchronization and Heart Failure (CARE-HF) Stzidy mendapatkan adanya perbaikan gejala dan kualitas hidup pada pasien gagal jantung yang diberikan CRT. Saat ini CRT kerap dil 130 ms fiaksi ejeksi < 35% dimensi akhir diastolik ventrikel kiri > 55 mm Pacu jantung telah dicoba untuk mencegah takiaritmia atrial termasuk FA. Alasannya berdasarkan pengamatan bahwa denyut atrial prematur atau takikardi atrial muncul pada saat sinus bradikardi, sinus pause, atau saat laju atrial menurun. Selanjutnya denyut atrial premature ini mencetuskan FA (focally-initiated AF). Oleh karena itu, dengan pacu jantung, sinus bradikardi dan pause dapat dicegah sehingga denyut atrial prematur sebagai pemicu dapat ditekan. Hasil uji klinis Atr-ial Dynamic Overdrive Pacing Trial (ADOPT) pemacuan pada atrium dapat mengurangi beban FA (AF burden). Jadi untuk pasien FA paroksismal dengan kecendrungan bradikardi dan FA yang dicetuskan oleh denyut atrial prematur maka PJP dengan kemampuan penekanan FA (AF suppression ability) ada tempatnya dalam pilihan terapi.



REFERENSI Berstein AD. Dauber1 JC, Fletcher ED. et al. The revised NASPEI BPEG generic code for antibradycardia. adapti~e-rate,and ~nultisitepacing. PACE 2002:25:260-4.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1661



PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Braun MU. Rauwolf T. Zerm T, et al. Long term biventricular resynchronization therapy in advanced heart failure: effect on neurohormones. Heart 2005;91:60 1-5. Cleland JG. Daubert JC, Erdman E, et al. The effect of cardiac resynchronization on morbidity and mortality in heart failure. N Eng J Med 2005;352:62. Cooper JM, Katcher MS. Orlov MV. lmplanttable devices for treatment of atrial fibrillation. N Eng J Med; 2002;346:2062-8. Ellenbogen KA. Cardiac pacing. Blackwell Scientific Publications, 1992 Gregoratos (3, Abraham J, Epstein AE et al. ACCIAHANASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002; 106:2 145-6 1. Hayes Dl, Zipes DP. Cardiac pacemakers and cardioverterdefibrilators. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart Disease: a textbook of cardiovascular medicine. 7th Ed. Elsevier Saunders, 2005. Jeffrey, K, Parsonnet, V. Cardiac pacing, 1960-1985, a quarter century of medical and industrial innovation. Circulation 1998;97:1978-91. Knight BP, Gesrh BJ, Carlson MD. et al. Role of permanent pacing to prevent atrial fibrillation. Circulation 2005;111:240-5 Lamas GA, Lee KL, Sweeney MO, Silverman R. Ventricular pacing or dual chamber pacing for sinus node dysfunction. N Eng J Med 2002:346: 1854-2.



Lekine PA. Guidelines to the routine evaluation. programming and follou-up of the patient with an implantted dual-chamber ratemodulated pacing system. St Jude Medical Inc. 2004 Linde C, Leclercq C, Rex S, et al. Long-term benefits of biventricular pacing in congestive heart failure. Results from the MUSTIC (multisite stimulation in cardiomyopathy) stud). J Am Coll Cardiol 2002;40: 1 1 1-1 8. Moses HW. Miller BD, Moulton KP, et al. Practical guide to cardiac pacing. 5'h Ed. Lippincott Williams, 2000. Reynods DW. Hernodynamics of cardiac pacing. In: Ellenbogen KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3rd Ed. Blackwell Science, 2002. Schoenfeld MH. Follow-up assessments of pacemaker patient. In: Ellenbogen KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3rd Ed. Blackwell Science, 2002. Sweeney MO. Hellkamp AS, Ellenbogen KA. Adverse effect of ventricular pacing on heart failure and atrial fibrillation among patients with normal QRS duration in a clinical trial of pacemaker therapy for sinus node dysfunction. Circulation 2003; 107:2932-7. Thambo JB, Bordachar P. Garrigue S. et al.Detrimenta1 ventricle remodeling in congenital complete heart block and chronic right ventricle apical pacing. Circulation 2004;l 10:3766-37. Turner MS. Bleasdale RA, Mumford CE. et al.Left ventricular pacing improves haemodynamics variables in patients with heart failure with a normal QRS duration. Heart 2004;90:502-5.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK Saharman Leman



PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan pola etiologi penyakit jantung yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Djami1Padang tahun 1973- 1977 didapatkan 3 1,4% pasien Demam Reumatikl Penyakit Jantung Reumatik (DR/PJR ) pada usia 10-40 tahun, dengan mortalitas 12,4% (Hanif, Saharman Leman, 1978). Diagnosis kerja terhadap seorang pasien DRIPJR menentukan sekali, apakah benar-benar kita akan membantu pasien meningkatkan kualitas hidup yang baik atau sebaliknya, yang membebani pasien yang berat, baik mental, fisik ataupun sosioekonomi untuk seumur hidup bagi pasien ataupun keluarganya. Batasan DR merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollerman, 1972). Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Manifestasi klinis penyakit DR ini akibat kuman Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik pada tonsilofaringitis dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead, 1965). Sedangkan yang dimaksud dengan PJR adalah kelainan jantung yang terjadi akibat DR, atau kelainan karditis reumatik (Taranta A dan Markowitz, 1981). DR akut adalah sinonim dari DR dengan penekanan saat akut, sedangkan yang dimaksud dengan DR inaktif adalah pasien-pasien dengan DR tanpa ditemui tandatanda radang, sinonim dengan riwayat DR (Taranta A dan



Spagnuolo, 1962).DR dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, tetapi manifestasi akut dapat timbul kembali berulang-ulang, yang disebut dengan kekambuhan (recurrent). Dan biasanya setelah peradangan kuman SGA, sehingga dapat menyebabkan DR tersebut berlangsung terus-menerus melebihi 6 bulan. DR yang demikian disebut DR menahun (TarantaA, 1981 ). Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling tersering dikenai, tetapi jantung merupakan organ dengan kerusakan yang terberat. Sedangkan keterlibatan organorgan lain bersifat jinak dan sementara.("Rheumatic fever lips the joints, but bites the hearts"). Kuman SGA adalah kuman yang terbanyak menimbulkan tonsilofaringitis, di mana juga yang menyebabkan demam reumatik. Hampir semua Streptokokus grup A (SGA) adalah beta hemolitik,.(Bisno, 1977 & Bravo 1979). Dikatakan bahwa DR dapat ditemukan diseluruh dunia, dan mengenai semua umur, tetapi 90% dari serangan pertama terdapat pada umur 5-1 5 tahun, sedangkan yang terjadi dibawah umur 5 tahun adalah jarang sekali (Taranta dun Markowitz, 1981, Stollerman. 1990.) Yang sangat penting dari penyakit demam reumatik akut ini adalah dalam ha1 kemampuannya menyebabkan katupkatup jantung menjadi fibrosis, yang akan menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan berat. Demam reumatik merupakan kelainan jantung yang biasanya bukan kelainan bawaan, tetapi yang diperdapat. Walaupun angka morbiditas menurun tajam pada negara yang berkembang tetapi pada negara yang sedang berkembang penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Kepastian sebab-sebab naik turunnya insidensi penyakit ini masih belum jelas. Meskipun demam reumatik ini telah diteliti secara luas



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNC REUMATIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (ekstensif) tetapi patogenesisnya masih belum jelas (Taranta, 1976). Penyakit Demam Reumatik dapat mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat ringannya karditis selama serangan akut demam reumatik. Dari beberapa penelitian tentang insidens karditis dan PJR yang menetap adalah akibat kekambuhan DR tanpa PJR sebelumnya adalah sebagai berikut:6-14% Kekambuhan yang terbanyak dan terpenting adalah akibat perjalanan penyakit demam reumatik itu sendiri. Cukup banyak dilaporkan insidens dari kekambuhan demam reumatik yang yang berlanjut dan mengakibatkan Penyakit Jantung Ruematik. Pencegahan primer DR dapat diatasi dengan antibiotika Penisilin - V atau benzatin penisilin parentral yang adekuat terhadap kuman SGA betahemolitikus. Atau dapat juga dengan makrolid lainnya, bila biakan hapusan tenggorok merupakan diagnostik untuk kuman SGA tersebut (Stollerman, 1955; Siegel, 1961 ). Dajani A. dan kawan-kawan 1995 melaporkan bahwa pasien DR adalah berisiko tinggi untuk terjadi kekambuhan kembali oleh kuman SGA, sehingga diperlukan pencegahan yang berkelanjutan dengan antibiotika sebagai pencegahan sekunder terhadap kekarnbuhan tersebut. "American Heart Asscosiation 1988" merekomendasikan perlunya dilakukan pencegahan sekunder yang berkelanjutan dengan protokol seperti yang dianjurkan oleh "Irvington House Group" ( U.K and U.S, 1965), tetapi yang sukar adalah menetapkan untuk berapa lama pencegahan sekunder ini dilakukan. Walaupun risiko kekambuhan berkurang dengan bertambahnya umur dan juga interval kekambuhan makin panjang tetapi kekambuhan ini bisa terjadi selama 5-1 0 tahun. Hanya akan berkurang atau menghilang bila dilakukan pengobatan pencegahan sekunder secara teratur untuk waktu yang cukup lama (Barrent, 1975). Maka dari itu disamping pencegahan primer perlu dilanjutkan dengan pencepallan sekunder untuk jangka waktu tertentu. Karena it11 eradikasi untuk pencegahan sekunder dengan "Benzatin Penisilin G yang long acting" sangat diperlukan dalatn mencegah terjadinya kelainan hemodinarnik pada sirkulasi darah jantung (Stollennan, 1955). Seperti diketahui bahwa pencegahan detnaln reumatik ada 2 cara: Pencegahan primer: yaitu ilpaya pencegahan infeksi St~.eptokokl~s hrtcr he1lio1itikz1.c gvl/p A sehingga tercegah dari penyakit denlam reumatik. Pencegahan sekunder: yaitu upaya mencegah menetapnya infeksi Stvq~tokokiisheta he~l~olitiku.\ p ~ l Ap pada bekas pasien demam reumatik. Program pencegahan primer sangat sukar dilaksanakan karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga adanya infeksi Stve/~okokii.s/lc/~iolitikg/*up A (SGA) yang



tidak memperlihatkan gejala-gejala yang khas (Wood dkk 1964, Krause 1975, Straser 1978), (Ramelikamp, 1958). (Krause 1975). Sedangkan kekambuhan demam reumatik + 30% bila terserang infeksi SGA (Spagnuolo dkk 1971) Majeed H.A dkk 1998, menganjurkan cara pengobatan pencegahan sekunder tersebut sbb: (Penicillin long acting) Bila DR dengan karditis dan atau PJR (kelainan katup) dilaksanakan pencegahan sekunder tersebut selama 10 tahun sesudah serangan akut salnpai umur 40 tahun dan kadang-kadang diperlukan selama hidup. DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan pencegahan sekunder selama 10 tahun. DR saja tanpa karditis dilakukan pengobatan pencegahan selama 5 tahun sampai umur 2 1 tahun. Secara umum Committee on Rhezrmatic Fever tahun 1995 menganjurkan pencegahan sekunder ini sampai umur 2 1 tahun dan 5 tahun lagi setelah terjadi serangan ulangan, yang dilakukan tiap 4 minggu. Tetapi Lue H.C dkk 1986 dan 1994 pada daerah dengan insidens DR yang tinggi atau pasien dengan gejala PJR menganjurkan pencegahan sekunder ini tiap 3 minggu. Majeed H.A (1992) melaporkan bahwa selama 12 tahun pencegahan sekunder ini didapatkan kekambuhan DR ini sebanyak 0.003% pasien pertahun dibandingkan tanpa melakukan pencegahan sekunder yaitu sebanyak 0.2% pasien pertahun, juga melaporkan bahwa kekambuhan yang dicegah dengan cara diatas ternyata 70% pasien dengan karditis menghilang bising jantungnya serta dengan irama jantung yang normal. Maka dari itu di Bagian Illnu Penyakit Dalam FKUnandlRSUP dr.M.D.jamil Padang dilaksanakan suatu program pencegahan sekunder yang dapat rnengurangil rnenghilangkan perjalanan penyakit Demanl Reumatik (DR) dan PJR yang cukup dahsyat ini. Protokol tetap yang dilaksanakan sejak tahun 1978 salnpai sekarang adalah sebagai berikut: Untuk pasien 20 tahun, harus mendapatkan suntikan Benzatin Penisilin G (long-~rcting)selama 5 tahun. Bila pasien telah selesai dengan protokol 1 dan 2 sedangkan terjadi kekambuhan lagi maka akan mendapatkan kembali suntikan Benzatin Penisilin G dengan dosis 1,2juta unit tiap 4 minggu.untuk selalna 5 tahun berikutnya. Bila kasus berat tiap 3 minggu Selarna 20 tahun, sejak Agustus 1978 sampai Agi~stus 1998 di bagian Penyakit Dalatn FK-UNANDIRSUP Dr M Jatnil Padang telah dilakukan analisis kesintasan dari hasil prograrnlprotokol tetap di atas, dengan hasil kekambuhan dapat dicegah sebanyak 80.2% dengan p2.5 em' 2. Ringan : bila area 1.4-2.5 cm' 3. Sedang :bila area 1-1.4 ~m' 4. Berat :bila area Cl .O cm2 5. Reaktif :bila area < 1 .O cm2 Keluhan dan gejala stenasis lnitral mulai akan muncul bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua normal ( 1,5 cm', gradien 50 mmHg 7



Tolerane latihan bumk



Perttmbangkan PMVB (smgklrkan bekuan atrlum klr?



--



Gambar 8. Algoritme pada pasien stenosis rnitral (from Bonow R, et al. ACCIAHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease MVR, penggantian katup mitral; LA atrium kiri,MR, regurgitasi rnitral; PMBV, percutaneous mitral ballon valvotomy. *Terdapat variabilitas pengukuran area katup mitral dan gradien rata-rata transrnitral, dan tekanan pulrnonar yang seharusnya menjadi pertimbangan. + Terdapat kontroversi tentang apakah pasien dengan stenosis mitral berat dan hipertensi pulrnonar berat harus menjalani penggantian katup mitral untuk mencegah gagal ventrikel kanan.



Pencegahan ernbolisasi sistemik. Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli. Valvotomi mitral perkutan dengan balon. Pertama kali



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



STENOSIS MITRAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 ditermia sebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur 1. balon.



Smptomalik kelas fungslonal II NYHA Stenos~snngan



StenoSiS berat sedang MVA < .5Icm'



I



I



II



Latihan



1



I PAP > 60 mmHg PAWP r 30 mmHg Grad~en> 15 mHg



Morfologt katup yang layak untuk PMBV 1



Pemerlksaan tahunan



(angk~rkanbekuan atnum kln.



Gambar 9. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klasifikasi II. (From Bonow R, et al. ACCIAHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.



MOlfol~gl katup yang layak untuk PMBV Gradlen mmHg



Pwbalkankawp meal atau penggantlan katup rnttral I



Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup. Konsep komisurotomi mitral pertama kali diajukan oleh Brunton pada tahun 1902, dan berhasil pertamakali pada tahun 1920. Sampai dengan tahun 1940prosedur yang dilakukan adalah komisurotomi bedah tertutup. Tahun 1950 sampai dengan 1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan melalui transatrial serta transventrikel. Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat dengan jelas, pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan protesa. Perlu diingat bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko antikoagulasi, trombosis pada katup, infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli.



Sesuai dengan petunjuk dari 'American College of Cardiology/American Heart Association (ACCJAHA) dipakai klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi, sebagai berikut: Klas I : keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan itu bermanfaat dan efektif. Klas 11: keadaan di mana terdapat konfliktperbedaan pendapat tentang manfaat atau efikasi dari suatu prosedur atau pengobatan. 1I.a. Bukti atau pendapat lebih kearah bermanfaat atau efektif 1I.b. Kurang / tidak terdapat bukti adanya manfaat atau efikasi Klas 111: keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus berbahaya.



regurgntasj mltral 3 4 1



I



Gambar 10. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan simtom klasifikasi Ill-IV. (From Bonow R, et al. ACCIAHA Task Force report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 1.



2.



3. 4.



5.



6.



7.



lndikasi



Klas



Diagnosis stenosis mitral, evaluasi berat ringannya (gradient rata-rata, area katup, tekanan arteri pulmonalis), serta ukuran dan fungsi ventrikel kanan Evaluasi morfologis katup, guna menentukan kelayakan tindakan balon katup Diagnosis dan evaluasi kelainan katup yang menyertai Re-evaluasi stenosis rnitral dengan perubahan gejala dan tanda Evaluasi respons hemodinamik dari gradient rata-rata pada latihan, bila terlihat perbedaan gambaran klinis dengan hemodinamik pada latihan Re-evaluasi pasien stenosis sedang-berat asimtomatik untuk menentukan tekanan arteri pulmonalis Evaluasi rutin stenosis ringan dan klinis stabil



I



lndikasi



1.



Untuk menentukan ada tidaknya trombus atrium kiri pada pasien dengan rencana balon valvotomi atau kardioversi 2. Evaluasi morfologis katup bila data transtorakal kurang optimal 3. Evaluasi rutin morfologis katup mitral bila data transtorakal cukup optimal



1. 2. 3. 4.



1. 2.



3.



4.



5.



1.



I I



2.



I Ila



lndikasi



Klas



Pasien simtomatik klasifikasi NYHA Il-IV, stenosis mitral sedang atau berat dengan area < 1.5 crn2, morfologis katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, tanpa adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat Pasien asimtomatik dengan gradasi sedangberat (area < 1.5 cm2), morfologis katup memenuhi syarat dengan hipertensi pulmonal (>50 mmHg pada istirahat, 60 mmHg dengan latihan), tanpa adanya trombus di atrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat



I



Il a



3.



Pasien dengan klasifikasi NYHA It-IV, gradasi sedang-berat (area 4 . 5 cm2), katup tidak pliable disertai kalsifikasi dengan risiko tinggi operasi, tanpa adanya trombus diatrium kiri atau regurgitasi mitral sedang dan berat



II a



111



4.



Pasien asirntomatik, gradasi sedang-berat (area < 1.5 cm2), rnorfologi katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, disertai onset atrial fibrilasi yang baru, tanpa adanya trombus diatriurn kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat



Il b



Klas



5.



Klasifikasi NYHA Ill-IV, gradasi sedang - berat (area 55 mm Seluruh pasien dengan stenosis mitral



I I 11 b



lndikasi



Klas



Pada pasien secara selektif Menentukan gradasi stenosis pada rencana balon valvotomi, dimana gambaran klinis dan eko tidak sesuai Evaluasi arteri pulmonal, atrium kiri, tekanan diastoliK ventrikel kiri jika simtom tidak sesuai dengan 2-D echo dan doppler Evaluasi respons hemodinamik arteri pulmonal dan tekanan artrium kiri terhadap stres bila simtom klinis dan hemodinamik pada istirahat tidak sesuai Evaluasi hemodinamik katup mitral bila data 2-0 dan doppler sesuai dengan temuan klinis



I II a



Ill



II a



II a



Bruce, C.J., Nishimura, R.A. Newer Advances in the Diagnosis and Treatment of Mitral Stenosis In Current Problems in Cardiology. Mosby 1nc.Vol. 23, Number 3, March 1998, p.125-96. Braunwald, E. Mitral Stenosis. In Valvular heart disease. In Horrison's Principles of Internal Medicine. Kasper, D.L., Braunwald, E.. Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. 16"' edition. Vol. 1I.McGraw-hill. 2005. p.1390-92. Dalen, J.E.. Fenster, P.E. Mitral Stenosis. In : Valvular heart disease. Alpert, J.S., Dalen, J.E., Rahimtoola, S.H. Third edition. Philadelphia Lippincott Williams & walkins, USA. 2000. p. 75-1 12. Bonow R, et al. ACCiAHA Task Force report on guidelines for valvular MV, mitral valve replacement Ghanie,A. Arsip ekokardiografikardiografi, Divisi Kardiologi Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwi,jaya/ RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006. Ghanie, A. Comparative study of transesophageal to transthoracal in detecting thrombus and spontaneous ekokardiografi contrast in mitral stenosis. Acta Medica Indonesiana. Vol. XXXIV. No. 2. edition April - June 2002. p. 52-4. Swain,2005. Mitral Stenosis. McNamara rt 01, eds. eMedicine. httpi iwww.eMedicine.com/emerg.topic.3 15.htm.



111



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



REGURGITASI MITRAL Daulat Manurung



PENDAHULUAN Regurgitasi mitral sama dengan mitral regurgitation (MR) adalah suatu keadaan di mana terdapat aliran darah balik dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada saat sistol, akibat tidak dapat menutupnya katup mitral secara sempurna. Dengan demikian aliran darah saat sistol akan terbagi dua, disamping ke aorta yang seterusnya k& aliran darah sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium kiri. Akan tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang asimtomatis sampai gaga1 jantung berat. Dari segi proses terjadinya mitral regurgitasi dapat dibagi menjadi mitral regurgitasi yang akut, transient atau bersifat sementara, dan kronik. ~edangkanetiologi regurgitasi mitral sangat banyak.



STRUKTUR DAN FUNGSI KOMPONEN KATUP MITRAL Katup mitral terdiri dari empat komponen utama yaitu: Anulus katup mitral. Terdiri dari bagian yang kaku ("fixed")yang berhubungan dengan annulus katup aorta. Terdiri dari jaringan fibrosa dan merupakan bagian dari pangkal katup mitral bagian anterior, Bagian annulus mitralis yang lain yaitu bagian yang dinamik, bagian yang terbesar dan tempat pangkal dari daun katup mitral bagian posterior. Kedua daun katup. Terdiri dari daun katup anterior dan posterior. Keduanya asimetris. Celah dari kedua katup ini disebut komisura, bagian antero medial dan poster0 lateral. Chordae tendinea.Terdiri dari dua berkas, berpangkal pada muskulus papilaris. Berkas chordae tendinea ini menempel



pada masing-masing daun katup, yang berfungsi untuk menopang daun katup mitral dalam berkoaptasi. Setiap berkas chovda terdiri dari beberapa serabut yang 'fflexible ". Muskulus papillaris. Terdiri dari dua buah, tempat berpangkalnya kedua chordae tendinea, dan berhubungan langsung dengan dinding ventrikel kiri. Berfungsi untuk menyanggah kedua chordae. "Muskulus papillaris ' adalah bagian dari endokardium yang menonjol, satu di medial, dan satu lagi di dinding lateral. Kelainan pada apparatus mitral ini pada keadaan regurgitasi bisa saja hanya satu dari keempat komponen tadi, misalnya pada anulus yang melebar, pada penyakit jantung degeneratif seperti penyakit jantung koroner, namun bisa saja mengenai dua atau lebih, seperti katup mitral memendek, mengapur dan kelainan pada chordae, fusi dan memendek seperti pada penyakit jantung rematik. Pada akut infark, dapat terjadi muskulus papilaris.



Etiologi regurgitasi mitral (MR) sangat banyak, erat hubungannya dengan klinisnya MR akut atau MR kronik. MR akut secara garis besar ada tiga bentuk: MR primer akut non iskemia yang terdiri dari: - ruptur korda spontan - endokarditisinfektif - degerasi miksomatous dari valvular - trauma - hipovolemia pada mitral valve prolapse (MVP) MR karena iskemia akut MR yang terjadi karena iskemia akut dapat dijelaskan sebagai berikut. Akibat adanya iskemia akut, maka akan terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri, annular geometri



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



atau gangguan fingsi muskulus papilaris. Pada infark akut, dapat terjadi ruptur dari muskulus papilaris, satu atau keduanya. Selanjutnya timbul edema paru, syok dan kematian. Namun apabila hanya satu muskulus papilaris yang ruptur, biasanya walau klinisnya berat, namun kemungkinan masih bisa diatasi. Ruptur muskulus papilaris pada infark akut biasanya timbul antara hari kedua sampai hari kelima, klinisnya berat, biasanya perlu tindakan operasi. MR juga bisa timbul sebagai kelanjutan dari infark akut, di mana terjadi remodeling miokard, gangguan fungsi muskulus papilaris, dan dilatasi annulus, gangguan koaptasi katup mitral, selanjutnya timbul MR. MR akut sekunder pada kardiomiopati. Pada kardiomiopati terdapat penebalan dari miokard yang tidak proporsional dan bisa asimetris, yang berakibat kedua muskulus papilaris berobah posisi, akibatnya tidak berfungsi dengan sempurna, selanjutnya penutupan katup mitral tidak sempuma.



ETlOLOGl DAN MEKANISME MR KRONIK Etiologi MR kronik sangat banyak. MR kronik dapat terjadi pada penyakit jantung valvular yang berlangsung secara



Etiologi Pascainflamasi Rematik Lupus eritematosus Sistemik Sindrom antikardiolipin Pasca radiasi Degeneratif Mitral valve prolapse ruptur korda idiopatik Sindrom Marfan's Sindrom Ehlers-Danios Traumatik MR Penyakit Miokardial lskemik (kronik) Kardiomiopati Penyakit lnfiltratif Penyakit arniloid Penyakit Hurler's Encasing disease Sindrorn hipereosinofilik Fibrosis endomiokardial Penyakit karsinoid Lesi egot Diet-drug lesions Endokarditis Kongenital



"slowly progressive", seperti pada penyakit jantung rematik. Dapat juga terjadi sebagai konsekuensi lesi akut seperti perforasi katup atau ruptur korda yang tidak pernah memperlihatkan gejala-gejala akut, namun dapat diadaptasi sampai timbul bentuk kronis dari MR. Beberapa jenis etiologi MR kronik terdiri dari hal-ha1 sebagai berikut (Tabel 1).



MR karena Reumatik Biasanya disertai juga dengan stenosis mitral berbagai tingkatan dan fusi dari "commisura", hanya sekitar 10% kasus rematik mitral murni MR tanpa ada stenosis. MR berat karena rheuma yang memerlukan tindakan operasi masih sering ditemukan pada negara-negara yang sedang berkembang, tetapi sudah jarang di negara-negara yang sudah maju. Biasanya lesi rematik dapat berupa retraksi fibrosis pada apparatus valvuler, yang mengakibatkan koaptasi dari katup mitral tidak berhngsi secara sempurna. Pada kasus-kasus MR yang mengalami koreksi operasi, terdapat 3-40% karena atas dasar reumatik. MR Degeratif Yang paling sering penyebabnya adalah mitral valve prolapse (MVP), di mana terjadi gerakan abnormal dari



Mekanisme



Gambaran Ekokardiografi



Retraksi Penebalan



Penebalan korda/leaflets Gerakan restriksi atau normal



Prolaps leaflets Ruptur korda



ProlapsVFlail leaflets Redundant tissue Ruptur korda



Dilatasi anulus Tenting of leaflets



Normal leafleats Penurunan gerakan leaflets



Penebalan leaflets Hilangnya koaptasi



Penebalan leaflets Penurunan gerakan



lmobilisasi leaflets Penebalan leaflets



Penebalan leaflets dan korda Gerakan restriksi



Destructive lesions Cleff leaflets Transposed valve



Perforasi Flail leaflets Cleft leaflets Tricuspid valve



MR = Mitral Regurgitation



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



daun katup mitral ke dalarn atrium kiri saat sistol, diakibatkan oleh tidak adekuatnya sokongan ("support") dari korda, memanjang atau ruptur, dan terdapat jaringan valvular yang berlebihan Di negara-negara maju, lesi MVP merupakan lesi yang terbanyak didapatkan, 20-70% dari kasus-kasus MR yang mendapat tindakan koreksi. dengan operasi.



MR karena Endocarditis Infective "Infective endocarditis" dapat menyebabkan destruksi dan perforasi dari daun katup. MR karena lskemia atau MR Fungsional Timbul sebagai akibat adanya dishngsi muskulus papilaris yang bersifat transient atau permanen akibat adanya iskemia kronis. Iskemia kronik dan MR fungsional dapat juga terjadi akibat dilatasi ventrikel kiri, aneurisms ventrikel, miokardiopati atau miokarditis. Penyebab Lain MR Kronik Masih sangat banyak, walau sangat jarang ditemukan, seperti penyakit jaringan ikat ("connective tissue disorders"), seperti sindrom Marfan, sindrom antikardiolipin, sindrom SLE dan lain-lain. PATOFlSlOLOGl MR AKUT Pada MR primer akut, atrium kiri dan ventrikel kiri yang sebelumnya normal-normal saja, tiba-tiba mendapat beban yang berlebihan ( "severe volume overload "). Pada saat sistol atrium kiri akan mengalami pengisian yang berlebihan, disamping aliran darah yang biasa dari venavena pulmonalis, juga mendapat aliran darah tambahan dari ventrikel kiri akibat regurgitasi tadi. Sebaliknya pada saat diastol, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri &an mengalami peningkatan yang berasal dari atrium kiri yang mengalami volume overload tadi. Dinding ventrikel kiri cukup tebal tidak akan sempat berdilatasi, narnun akan mengakibatkan mekanisme Frank-Starling akan berlangsung secara maksimal, yang selanjutnya pasien masuk dalam keadaan dekompensasi jantung kiri akut. Tekanan atau volume ventrikel kiri yang berlebih diteruskan ke atrium kiri, selanjutnya ke vena-vena pulmonalis dan timbullah edema paru yang akut. Pada saat yang bersamaan pada fase sistol di mana ventrikel kiri mengalami volume overload dan tekanan di ventrikel kiri meningkat, tekanan after load berkurang akibat regurgitasi ke atrium kiri yang bisa mencapai 50% dari strok volume ventrikel kiri. Aliran darah ke aorta (sistemik) akan berkurang karena berbagi ke atrium kiri. Akibatnya cardiac output akan berkurang walaupun fungsi ventrikel kiri sebelumnya masih normal atau bahkan diatas normal.



Pada keadaan seperti ini, pasien akan memperlihatkan gejala-gejala gaga1 jantung kiri akut, kongesti paru, dan penurunan cardiac output.



PATOFlSlOLOGl MR KRONIK Tidak sempumanya koaptasi dari kedua daun katup mitral pada fase sistol, menimbulkan ada pintulcelah terbuka ("regurgitantorifice") untuk aliran darah balik ke atrium kiri. Adanya "systolicpressuregradient " antara ventrikel kiri dan atrium kiri, akan mendorong darah balik ke atrium kiri. Volume darah yang balik ke atrium kiri disebut "volume regurgitant ",dan presentase regurgitan volume dibanding dari total ejection ventrikel kiri, disebut sebagai fraksi regurgitan. Dengan demikian pada fase sistole, akan terdapat beban pengisian atrium kiri yang meningkat, dan pada fase diastol, beban pengisian ventrikel kiri juga akan meningkat, yang lama kelamaan akan memperburuk performance ventrikel kiri ( "remodeling"). Pada MR kronis, terjadi dilatasi ventrikel kiri, walau lebih ringan ketimbang pada regurgitasi aorta (AR), pada tingkat regurgitasi yang sarna. Tekanan volume akhir diastol ( "enddiastolic volume ") dan regangan dinding ventrikel ( "wallstress ") akan meningkat. Volume akhir sistol akan meningkat pada MR kronik, meskipun demikian, regangan akhir sistole dinding ventrikel kiri biasanya masih normal. Selanjutnya massa ventrikel kiri pada MR akan meningkat sejajar dengan besamya dilatasi ventrikel kiri. Fungsi ventrikel kiri sulit dinilai karena ada perubahan pada preload dan after load. After load lebih sulit lagi dinilai karena ada aliran darah regurgitasi ke atrium kiri, yang sedikit banyak akan mengurangi tahanan pengeluaran darah dari ventrikel kiri, padahal pengukuran after load dan regangan akhir dinding ventrikel kiri masih dalam batas normal. Bagaimanapun juga, terdapat korelasi terbalik antara tekanan akhir dinding ventrikel dengan fraksi ejeksi pada MR. Petunjuk yang cukup komplek dengan memakai after load seperti regangan akhir sistolik dinding ventrikel kiri atau elastan maksimum yang disejajarkan dengan volume ventrikel kiri ,dapat dipakai sebagai pengukur perubahan fungsi ventrikel kiri yang cukup sensitif. Disfungsi ventrikel kiri akibat MR merupakan pertanda prognase yang tidak baik. Fungsi diastolik pada MR sangat sulit dianalisis akibat peningkatan volume pengisian. Relaksasi ventrikel kiri biasanya memanjang dan kekakuan ( "stzflness") ventrikel kiri juga biasanya berkurang akibat bertambahnya diameter rongga ventrikel kiri. Pada pasien MR fungsional akibat penyakit jantung koroner atau kardiomiopati, kelainan primer terdapat pada ventrikel kiri, di mana kontraktilitas dinding ventrikel sangat berkurang, padahal daun katup mitral itu sendiri



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



masih normal. MR kebanyakan tidak sejajar dengan derajat disfungsi ventrikel kiri, tetapi lebih berhubungan dengan remodeling ventrikel kiri secara regional. MR fungsional agak berbeda dengan MR organik ( "valvular "). Pada MR fungsional, volume regurgitasi biasanya sedikit dan dilatasi ventrikel kiri biasanya tidak proporsional dengan derajat MR. Tetapi MR fungsional punya arti klinis yang penting, berhubungan dengan peninggian volume dan tekanan di atrium kiri, dan suatu pertanda penyakit miokardium yang sudah lanjut. MR hngsional sangat efektif diobati dengan vasodilator.



MANlFESTASl KLlNlS Pasien MR berat akut hampir semuanya simtomatik. Pada beberapa kasus dapat diperberat oleh adanya ruptur chordae, umumnya ditandai oleh sesak napas dan rasa lemas yang berlebihan, yang timbul secara tiba-tiba. Kadang ruptur korda ditandai oleh adanya nyeri dada, orthopnea, paroxysmal nocturnal dispnea dan rasa capai kadang ditemukan pada MR akut. Dari anamnesis juga kemungkinan dapat diperoleh perkiraan etiologi dari MR akut. MR akut akibat iskemia berat, dapat diperkirakan pada kasus dengan syok atau gagal jantung kongestif pada pasien dengan infark akut, terutama bila didapatkan adanya murmur sistolik yang barn, walau kadang tidak ditemukan murmur sistolik pada MR akut akibat iskemia, karena dapat terjadi keseimbangan tekanan darah di dalam ventrikel kiri dan atrium kiri, yang dapat menimbulkan lamanya murmur memendek sehingga pada auskultasi sulit dideteksi (Tabel 2).



Akut Gejala Palpasi jantung



s1



Murmur Elektrokardiogram Foto toraks



Ekokardiografi Tera~i



Kronik



Hampir selalu ada, biasanya berat Unremarkable Soft Early systolic to holosystolic Normal Jantung normal silhouette; edema paru Normal LA and LV vasodilators



Mungkin tak ditemukan Displaced dynamic apical impulse Soft or normal Holosystolic LVH dan fibrilasi atrial sering Enlarged heart: normal lung fields Endlarged LA and Bedah



LA = atrium kiri, LV = ventrikel kiri, LVH = VHL = Hipstofi ventrikel kiri



MANlFESTASl KLlNlS Manefestasi klinis MR kronik, termasuk simtom, pemeriksaan fisis, perekaman EKG dan perubahan radiologi sangat tergantung dari derajat dan kausa dari MR, dan bagaimana performa atrium dan ventrikel kiri. (Tabel 3).



Pasien dengan MR ringan biasanya asimtomatik. MR berat dapat asimtomatik atau gejala minimal untuk bertahun-tahun. Rasa cepat capai karena cardiac output yang rendah dan sesak napas ringan pada saat beraktivitas, biasanya segera hilang apabila aktivitas segera dihentikan. Sesak napas berat saat beraktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea atau edema paru bahkan hemoptisis dapat juga terjadi. Gejala-gejala berat tersebut dapat dipicu oleh fibrilasi atrial yang. baru timbul atau karena peningkatan derajat regurgitasi, atau ruptur korda atau menurunnyaperformance ventrikel kiri. Sedangkan periode transisi dari akut menjadi kronik MR, dapat juga terjadi misalnya dari gejala akut seperti edema paru dan gagal jantung dapat mereda secara progresif akibat perbaikanperformance ventrikel kiri atau akibat pemberian diuretika.



Tekanan darah biasanya normal. Pada pemeriksaan palpasi, apeks biasanya terdorong ke laterallkiri sesuai dengan pembesaran ventrikel kiri. Thrill pada apeks pertanda terdapatnya MR berat. Juga bisa terdapat right ventricular heaving, bisa juga didapatkan pembesaran ventrikel kanan. Bunyi jantung pertama biasanya bergabung dengan murmur. Umumnya normal, namun dapat mengeras pada MR karena penyakit jantung rematik. Bunyi jantung kedua biasanya normal. Bunyi jantung ketiga terdengar terutama pada MR akibat kelainan organik, di mana terjadi peningkatan volume dan dilatasi ventrikel kiri. Murmur diastolik yang bersifat rumbling pada awal diastolik bisa juga terdengar akibat adanya peningkatan aliran darah pada fase diastol, walau tidak disertai oleh adanya stenosis mitral. Namun perlu diingat bahwa bunyi jantung ketiga dan murmur diastolik ini biasanya bunyinya bersifat "low pitch ",sulit dideteksi, perlu auskultasi yang hati-hati, lebih jelas terdengar pada posisi dekubitus lateral kiri, dan pada saat ekspirasi. Gallop atrial biasanya terdengar pada MR dengan awitan yang masih baru dan pada MR fungsional atau iskemia serta pada irama yang masih sinus. Pada MR karena MVP dapat terdengar mid systolic click yang merupakan petanda MVP, bersamaan dengan murmur sistolik. Hal ini terjadi sebagai akibat peregangan yang tiba-tiba dari chordae tendinea. Petanda utama dari MR adalah murmur sistolik, minimal derajat sedang, berupa murmur holosistolik yang meliputi bunyi jantung pertama sampai bunyi jantung kedua. Murmur biasanya bersifat blowing, tetapi bisa juga bersifat kasar ("harsh") terutama pada MVP. Pada MR karena penyakit jantung valvular dan MVP dari daun katup anterior, punctum maximum terdengar di apeks, menjalar ke aksila. Sedangkan pada MVP katup posterior arah 'yet " dari murmur menuju superior dan medial. Akibatnya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Sindrom MVP



MR Oraanik



MR Funasional



Gejala Pemeriksaan fisis



Nyeri dada Mid-systolic click, dan- murmur sistolik perubahan ST-T



Lelah Loud holosystolic murmur, S3 Fibrilasi atrial



EKG Foto dada



Pectus excavatum



Kardiomegali, LA enlargement



CHF Soft early systolic murmur S4, s3 Gelombang Q, LBBB Kardiomegali, Edema paru



MR, mitral regurgitation; MVP, mitral valve prolapse; CHF, congestive heart failure; ECG, electrocardiogram; LBBB, left bundle branch block; CXR, chest X-ray; LA, left atrium



murmur menjalar ke basis jantung dan sulit dibedakan dengan murmur karena stenosis aorta atau kardiomiopati obstruktif. Murmur juga bisa terdengar di punggung. Murmur biasanya paralel dengan derajat MR, narnun tidak demikian pada MR karena iskemia atau fiingsional.



ELEKTROKARDIOGRAFI Gambaran EKG pada MR tidak ada yang spesifik, namun fibrilasi atrial sering ditemukan pada MR karena kelainan organik. MR karena iskemia, Q patologis dan LBBB bisa terlihat sedangkan pada MVP bisa terlihat perubahan segmen ST-T yang tidak spesifik. Pada keadaan dengan irama sinus, tanda-tanda dilatasi atrium kiri (LAH) dan dilatasi atrium kanan (RAH) bisa ditemukan apabila sudah ada hipertensi pulmonal yang berat. Tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri (LVH) bisa juga ditemukan pada MR kronik.



FOTO TORAKS Bisa memperlihatkan tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri. Juga tanda-tanda hipertensi pulmonal atau edema paru bisa ditemukan pada MR kronik. Sedangkan pada MR akut, biasanya pembesaran jantung belum jelas, walaupun sudah ada tanda-tanda gaga1 jantung kiri.



Ekokardiografi Doppler saat ini merupakan alat diagnostik yang utama pada pemeriksaan pasien dengan MR. Dengan Eko Doppler, dapat diketahui morfologi lesi katup mitral, derajat atau beratnya MR. Juga mengetahui beratnya MR. Juga mengetahui fungsi ventrikel kiri dan atrium kiri. Dengan eko bisa diketahui etiologi dari MR. Color Flow Doppler imaging merupakan pemeriksaan



non-invasive yang sangat akurat dalam medeteksi dan estimasi dari MR. Atrium kiri biasanya dilatasi, sedangkan ventrikel kiri cenderung hiperdinamik. Dengan quided Mmode diameter, dapat diukur besarnya ventrikel kiri, massa ventrikel kiri dan tekanan dinding ventrikel, dan fraksi ejeksi dapat dikalkulasi atau diestimasi. Volume ventrikel juga dapat diukur dengan Ekokardiografi dua dimensi (2 D Ekokardiograjicardiography). PENATALAKSANAAN TERAPl Terapi Medikamentosa Terapi MR akut adalah secepatnya menurunkan volume regurgitan, yang seterusnya akan mengurangi hipertensi pulmonal dan tekanan atrial dan meningkatkan strok volume. Vasodilator arterial seperti sodium nitroprusid merupakan terapi utama untuk tujuan ini. Vasodilator arterial dapat mengurangi resistensi valvuler, meningkatkan aliran pengeluaran ( "jorward flow") dan bersamaan dengan ini akan terjadi juga pengurangan dari aliran regurgitasi. Pada saat bersamaan dengan berkurangnya volume ventrikel kiri dapat membantu perbaikan kompetensi katup mitral. Sodium nitroprusid diberikan secara intravena, sangat bermanfaat karena halflife sangat pendek, sehingga mudah dititrasi, apalagi bila diberikan dengan pemasangan SwanGanz catheter. Pada pasien MR berat dengan hipotensi, sebaiknya pemberian sodium Nitroprusid harus dihindari. Intra Aortic Balloon Counter Pulsation dapat dipergunakan untuk memperbaiki mean arterial bloodpressure, di mana diharapkan dapat mengurangi afterload dan meningkatkan forward output (pengeluaran darah dari ventrikel kiri). Pengantian katup mitral baru bisa dipertimbangkan sesudah hemodinamik stabil. Terapi Medikamentosa pada MR Kronik Prevensi terhadap endokarditis infektif pada MR sangat penting. Pasien usia muda dengan MR karena penyakit



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



jantung rematik harus mendapat profilaksis terhadap demam rematik. Untuk pasien dengan AF perlu diberikan digoksin dan atau beta blocker untuk kontrol frekuensi detak jantung ("rate control"). Antikoagulan oral harus diberikan pada pasien dengan AF. Penyekat beta merupakan obat pilihan utama pada sindrom MVP, di mana sering ditemukan keluhan berdebar dan nyeri dada. Diuretika sangat bermanfaat untuk kontrol gaga1 jantung, dan untuk kontrol keluhan terutama sesak napas. ACE inhibitor dilaporkan bermanfaat pada MR dengan disfungsi ventrikel kiri, memperbaiki survival dan memperbaiki simtom. Juga MR fungsional sangat bermanfaat dengan ACE inhibitor ini.



perlu penilaian aparatus mitral secara cermat, dan performance dari ventrikel kiri. Namun kadang saat direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka, temyata harus diganti atau di replacement. Penggantian katup mitral, dipastikan apabila dengan rekonstruksi tidak mungkin dilakukan. Apabila diputuskan untuk replacement, maka pilihan adalah apakah pakai katup mekanikal di mana ketahanan dari valve mechanical ini sudah terjamin, namun terdapat risiko tromboemboli dan harus minum antikoagulan seumur hidup atau katup bioprotese ("biologic valve ") di mana umur valve sulit diprediksi, namun tidak perlu pakai antikoagulan lama. Kapan tindakan penggantian katup diakukan masih banyak para ahli yang belum sepaham, namun ada kecenderungan semakin cepat semakin baik, sebelum terjadi disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri . biasanya irreversible, walau katupnya sudah diganti. Sebagai pegangan, AHA ( "AmericanHeart Association") dan ACC ("American College of Cardiology") telah menerbitkan guidelines (panduan) tentang management dari MR kronik (Gambar 1).



Terapi dengan Operasi Ada dua pilihan yaitu rekonstruksi dari katup mitral dan penggantian katup mitral ( "mitral valve replacement"). Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi valvular ini, tergantung dari morphologi lesi dan etiologi MR, dapat berupa valvular repair misalnya pada MVP, annuloplas@, memperpendek korda dan sebagainya. Sebelum rekonstruksi ataupun sebelum replacement



Regurgitasi mitral berat kronik



I ranpatelala



I



Giala



1



Ekokardiografi



I Fraksi ejekii ventrikular >0,60 dan dimensi sistolik akhir 4m/detik yang bertahan asimtomatik dalam 2 tahun.Sedangkan 85% pasien asimtomatik dengan kecepatan 10 mm atau ukuran vegetasi meningkat setelah terapi antimikroba 4 minggu. Regurgitasi aorta atau mitral akut dengan tanda-tanda gagal ventrikel Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis Perforasi atau ruptur katup Ekstensi perivalvular: abses besar atau ekstensi abses walaupun terapi antimikroba adekuat Bakteriemia menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat.



American Heart Association ( AHA ) (2005) Katup Asli ( Native Valve ) Ampicillin-sulbaktam 12 grl24 jam dalam 4 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mglkg124 jam IV dalam 3 dosis terbagi atau vankomisin 30 mglkg124jam IVllM dalam 2 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mglkg124jam IVIIM dalam 3 dosis terbagi + siprofloksasin 1000 mg124 jam per oral atau 800 mg124 jam IV dalam 2 dosis terbagi Katup Prostetik ( < I tahun ) Vankomisin 30 mglkg124 jam dalam 2 dosis terbagi + gentamisin sulfat 3 mglkg124 jam IVIIM dalam 3 dosis terbagi + sefepim 6 grl24 jam IV dalam 3 dosis terbagi + rifampisin 900 mgl24 jam peroralllv dalam 3 dosis terbagi



4-6 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu



6 minggu 2 minggu 6 minggu 6 minggu



European Society of Cardiology ( ESC ) (2004) Katup Asli ( Native Valve ) Vankomisin 15 mglkg IV tiap 12 jam + gentamisin 1 mglkg IV tiap 8 jam Katup Prostetik Vankomisin 15 mglkg IV tiap 12 jam + rifampisin 300-450 mg per oral tiap 8 jam + gentamisin 1 mglkg IV tiap 8 jam



4-6 minggu 2 minggu 4-6 minggu 4-6 minggu 2 minggu



Komplikasi EI dapat terjadi pada setiap organ, sesuai dengan patofisiologi terjadinya manifestasi klinis (lihat patofisiologi): Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung, abses Paru :emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empiema dan abses. Ginjal: glomerulonefritis Otak: perdarahan subaraknoid, strok emboli, infark serebral



PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF Beberapa kondisi jantung dikaitkan dengan risiko endokarditis lebih besar dari populasi normal. Kondisi ini dikelompokkan pada 3 kategori; risiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendahkanpa risiko (Tabel 8). Kondisi non kardiak yang meningkatkan risiko EI adalah penyalahguna narkoba intravena (PNIV) yang dikalkulasikan 12 x lebih tinggi daripada non PNIV. Kondisi lain yang menjadi predisposisi EI adalah hiperkoagulasi,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Regimen



Lama Minggu



Dosis dan Cara



Kekuatan Rekomendasi



Highly Penicillin-Susceptible Aqueous crystalline 12-18 juta Ul24 jam IV secara kontinyus Penicillin G sodium atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama Atau Ceftriaxone sodium 2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis Aqueous crystalline 12-18 juta Ul24 jam IV secara kontinyus Penicillin G sodium atau dalam 6 dosis terbagi sama Atau Ceftriaxone sodium 2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis Ditambah 3 mglkg per 24 jam IVIIM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama Gentamisin sulfat 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam Vankomisin Relatively Resistant to Penicillin 24 juta Ul24 jam IV secara kontinyus Aqueous crystalline atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama Penicillin G sodium Atau 2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis Ceftriaxone sodium Ditambah 3 mglkg per 24 jam lVllM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama Gentamisin sulfat 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam Vankomisin



Regimen



Dosis dan Cara



Oxacillin-susceptible strains Nafcillin atau 12 grl24 jam IV oxacillin dalam 4-6 dosis terbagi sama Ditambah Tambahan 3 mglkg per 24 opsional jam IVllM dalam Gentarnisin 2 atau 3 dosis sulfat terbagi sama Untuk pasien alergi penisilin Cefazolin 6 gr124 jam IV dalam 3 dosis terbagi sama Ditambah Tambahan 3 mglkg per 24 opsional jam lVllM dalam Gentamisin 2 atau 3 dosis sulfat terbagi sama Oxacilin-resistant strains Vankomisin 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi sama



Lama



6 minggu



Kekuatan Rekomendasi



IA



3-5 hari



6 minggu



3-5 hari



6 minggu



IB



penyakit kolon inflamasi, lupus eritematosus sistemik, pengobatan steroid, diabetes melitus, luka bakar, pemakaian respirator, status gizi buruk dan hemodialisis. Target primer pencegahan pada prosedur yang melibatkan rongga mulut, saluran pernapasan atau esofagus adalah Streptococcus viridans, yang merupakan penyebab sering katup asli dan katup jantung prostetik onset akhir. Prosedur yang melibatkan traktus genitourinari



Regimen



Dosis dan Cara



Oxacillin-susceptiblestrains Nafcillin 12 grl24 jam IV atau dalam 6 dosis oxacillin terbagi sama Ditambah Rifampin 900 mg per 24 jam IVIPer oral dalam 3 dosis terbagi sama Ditambah Gentamisin 3 mglkg per 24 jam lVllM dalam 2 atau 3 dosis terbagi sama Oxacilin-resistantstrains Vankomisin 30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi sama Ditambah Rifampin 900 mg per 24 jam IVIPeroral dalam 3 dosis terbagi sama Ditambah Gentamisin 3 mglkg per 24 jam IVIIM dalam 2 atau 3 dosis terbagi sama



->6



Kekuatan Rekomendasi



IB



>6



2



>6



2



dan gastrointestinal sering mendahului berkembangnya endokarditis enterokokkal sehingga target kumannya adalah enterokokkus. Jika dilakukan insisi dan drainage kulit dan jaringan lunak yang terifeksi, profilaksis difokuskan pada S.aureus.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Risiko Tinggi Relatif Katup jantung prostetik



Endokarditis infektif sebelumnya



Penyakit jantung kongenital sianotik Duktus arteriosus paten ( PDA ) Regurgitasi aorta Stenosis aorta



Regurgitasi mitral



Stenosis mitral dan regurgitasi



Defek septum ventrikular (VSD)



Koartasio aorta Lesi intakardiak yang sudah dioperasi dengan abnormalitas hemodinamik atau device prostetik Shunt pulmonal sistemik yang dio~erasi



Risiko Sedang Prolaps katup mitral dengan regurgitasi atau penebalan katup Stenosis mitral



Risiko Sangat Rendah atau Tak Ada Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi atau penebalan katup Regurgitasi katup trivial pada ekokardiografi tanpa abnormalitas struktural



Penyakit katup trikuspid



Defek septum atrial (sekundurn)



Stenosis pulmonal



Plak arterisklerotik



Hipertrofi septa1 asimetris Katup aorta bikuspid atau sklerosis aorta kalsifikasi dengan gangguan hemodinamik minimal Penyakit valvular generatif pada usia lanjut



Penyakit arteri koroner sebelumnya Pacu jantung, defibrilator implant



Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpa 1 minimal abnormalitas hemodinamik pasca operasi < 6 bulan



Lesi intrakardiak yang dioperasi dengan tanpal minimal abnormalitas hemodinamik, pasca operasi > 6 bulan (ASD, VSD, PDA, stenosis pulmonal ) Operasi graft pintas koroner sebelumya



Penyakit Kawasaki sebelumnya atau demam reumatik tanpa disfungsi valvular



Setting



Regimen



Arnoksisilin 3 gram per oral 1 jam sebelum prosedur, kemudian 1,5 gram 6 jam setelah dosis inisial Pasien allergi penisilin Eritromisisn etilsuksinat 800 mg, atau eritromisisn stearat 1 gram, 1amoksisilin peroral 2 jam sebelum prosedur, kemudian setengah dosis 6 jam setelah dosis inisial Ampisilin 2 gram IM atau IV 30 Pasien tak bisa menit sebelum prosedur, kemudian mendapat terapi oral arnpisilin 1 gram IM atau IV, atau amoksisilin 1,5 gram per oral 6 jam setelah dosis inisial Pasien alergi penisilin I Klindarnisin 300 mg IV 30 menit sebelum prosedur, kemudian 150 amoksisilin I mg 6 jam setelah dosis inisial Ampisilin tak bisa mendapat terapi oral Gunakan regimen standar untuk Pasien dianggap prosedur genitourinari dan sebagai risiko sangat gastrointestinal Tinggi dan bukan kandidat untuk regimen standar Pasien dianggap risiko Gunakan regimen untuk pasien alergi yang menjalani prosedur sangat tinggi genitourinari dan gastrointestinal Alergi penisilinlamoksilinl ampisilin Regimen standar



Settina



Antibiotik



Regimen



Pasien risiko tinggi



Ampisilin plus gentamisin



Ampisilin 2 gram IVllM plus gentamisin 1,5 mglkg dalam 30 menit prosedur, ulangi ampisilin 1 gram IVllM atau diberikan amoksisilin 1 gr peroral 6 jam kemudian



Pasien risiko tinggi, Allergi penislin



Vankomisin plus gentamisin



Pasien risiko sedang



Amoksisilin atau ampisilin



Pasien alergi penisilin, risiko sedang



Vankomisin



Vankomisin 1 gram IV diinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 menit prosedur plus gentamisin 1,5 mglkg IMIIV. Tidak direkomendasikan dosis kedua. Amoksisilin 2 gram peroral 1 jam sebelum prosedur atau ampisilin 2 gram IMIIV 30 menit sebelum prosedur Vankomisin 1 gram IV dinfus dalam 1-2 jam dan selesai dalam 30 menit ~rosedur



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUKDurack dr. DT. PRIYO PANJI Infective and non-infective



Prosedur di mana pencegahan endokarditis infektif direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 9,lO. Prosedur dianjurkan pada semua pasien dengan semua risiko yang menjalani prosedur gigi yang menyebabkan perdarahan, namun ekstraksi merupakan risiko yang paling kuat terjadinya EI. Profilaksistidak rutin direkomendasikan pada prosedur endoskopi dengan atau tanpa biopsi, karena kejadian EI jarang dilaporkan. Profilaksis tidak direkomendasikan secara rutin pada kateterisasi jantung atau TEE.



Alwi I, Rahman AM, Madjid A, Ismail D, Harun S, Suryadipradja RM. Endokarditis infeksi pada penyalahgunaan obat intravena: spektrum ekokardiografi pada 26 kasus. Makalah Bebas Oral KOPAPDI XI, Surabaya, 2000. Baddour LM, Wilson WR, Bayer AS, et al. Infective endocarditis. Diagnosis, antimicrobial therapy, and management of complications. A Statement for Healthcare Professionals From the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular Disease in the Young, and the Councils on Clinical Cardiology, Stroke and Cardiovascular Surgery and Anesthesia, American Heart Association. Circulation 2005;111 :e394-e433. Bayer AS, Bolger AN, Taubert KA, Wilson W, Steckelberg J, Karchmer AW et al. AHA Scientific Statement. Diagnosis and management of infective endocarditis and its complications. Circulation 1998;98:2936-48. Brown M, Griffin GE. Immune responses in endocarditis. Editorial. Heart 1998;79:1-2. Chambers HE, Korzenioski OM, Sande MA. Staphylococcus aureus endocarditis: clinical manifestations in addicts and nonaddicts. Medicine 1983;62:170-7. Cheitlein MD, Alpert JS, Armstrong WF, Aurigemma GP, Beller GA, Bierman FZ et al. ACCIAHA Guidelines for the Clinical Application of Ekokardiograficardiography. A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Clinical Application of Ekokardiograficardiography). Circulation 1997;95: 1686-744. Durack DT, Lukes AS, Bright DK. New criteria for diagnosis of infective endocarditis: utilization of spesific ekokardiograficardiographic findings. Am J Med 1994;96:200-9. Dworkin RJ, Lee BI, Sande MA, Chambers HF. Treatment of right sided Staphyloccus aureus endocarditis in intravenous drug users with ciprofloxacin and rifampicin. Lancet 1989:1071-3.



endocarditis. In : Schlant RC, Alexander RW, O'Rourke RA, Robert R, Sonnenblick EH. The Heart.8 th Eds. New York , Mc Graw Hill Inc. 1994 p.1681709. Francioli P, Etienne J, Hoigne R, Thys JP, Gerber A. Treatment of streptococcal endocarditis with a single daily dose of ceftriaxone and outpatient treatment feasibility. JAMA 1992;267:264-7. Horstkotte D, Follath F, Gutschik E, et al. Guidelines on prevention, diagnosis and treatment of infective endocarditis. The Task Force on Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2004;OO:l-37 , Heldman AW, Hartert TV, Ray SC, Daoud EG, Kowalski TE, Pompili EJ et al. Oral antibiotic treatment of right sided staphylococcal endocarditis in injection drug users : prospective randomized comparison with parenteral therapy. Am J Med 1996;101:6876. Heeht SR, Berger M. Right sided endocarditis in intravenous drug users. Ann Intern Med 1992;117:560-6. Habib G, Derumeaux G, Avierinos JF, Casalta JP, jamal F, Volot F et al. Value and limitations of the Duke criteria for the diagnosis of infective endocarditis. J Am Coll Cardiol 1999;33:2023-9. Karchmer AW. Infective endocarditis. In : Braunwald's. Heart Disease. A Textbook of Cardivascular Medicine. 7 th Eds. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2005.p.1633-58. Levine DP, Fromm BS, Reddy BR. Slow response to vancomycin or vancomycin plus rifampin in methicillin-resistant Staphylococcus aureus endocarditis. Ann Intern Med 199 1 ;1 15:674-80. Mathew J, Addai T, Anan A, Morrobel A, Maheshwari P, Freels S. Clinical features, site of involvement, bacteriologic findings, and outcome of infective endocarditis in intravenous drug users. Arch Intern Med 1995;155:1641-8. Nahass RG, Weinstein MP, Bartels J, Gocke DJ. Infective endocarditis in intravenous drug users : a comparison of human immunodeficiency virus tipe-l negative and positive patients. J Infect Dis 1990; 162:967-70. Ribera E, Miro JM, Cortes E, Cruceta A, Merce J, Marco F et al. Influence of human immunodeficiency virus-] infection and degree of immunosuppression in the clinical characteristics and outcome of infective endocarditis in intravenous drug users. Arch Intern Med 1998;158:2043-9. Roberts R, Slovis CM. Endocarditis in intravenous drug abusers. Emergency Med Clin North Am. 1990;8:665-81. Shanson DC. New guidelines for the antibiotic treatment of streptococcal, enterococcal and staphylococcal endocarditis. J Antimicrobial Chemotherapy 1998;42:292-6. Wilson WR, Karchmer AW, Dajani AS, Taubert KA, Bayer A, Kaye D et al. Antibiotic treatment of adult with infective endocarditis due to streptococci, enterococci, staphylococci, and HACEK microorganisms. JAMA 1995;274: 1706-13.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MIOKARDITIS Idrus Alwi, Lukrnan H. Makrnun



PENDAHULUAN Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi. Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti. Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau respons autoimun pasca infeksi viral. Miokarditis sekunder adalah inflamasi miokard yang disebabkan patogen spesifik. Patogen ini mencakup bakteri, spiroseta, riketsia, jamur, protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika dm penyakit inflamasi lain seperti lupus eritematosus sjstemik. Etiologi miokarditis karena infeksi yang terbanyak adalah infeksi viral, terutama enterovirus koksaki B. Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat diduga karena disfungsi jantung bersifat subklinis, asimtomatik dan sembuh sendiri (selflimited).Oleh karena miokarditis biasanya asimtomatik, maka data epidemiologi yang ada berasal dari penelitian pasca mortem. Pada pemeriksaan pasca mortem miokarditis ditemukan sekitar 1-9%, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab utama kematian mendadak.



MlOKARDlTlS VIRAL



Patogenesis Infeksi oleh virus kardiotropik merupakan hipotesis awal bahwa infeksi viral dapat menimbulkan kerusakan miokard. Beberapa peneliti melaporkan bahwa disfungsi miokard membaik setelah eradikasi penyebab infeksi dan menduga bahwa patogenesis miokarditis mungkin disebabkan 2 fase berbeda kerusakan sel miokard; pertama akibat infeksi virus langsung dan kedua akibat respons imun pejamu. Pengertian respons imun spesifik yang mengakibatkan kerusakan miokard sebagian besar berasal dari model



penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardiotropik. Garis waktu penelitian eksperimental miokarditis viral dapat dilihat pada gambar 1. Setelah masuk tubuh melalui saluran cerna (enterovirus) atau melalui saluran napas (adenovirus dan enterovirus), virus kadiotropik ini akan mengikat coxsackie adenoviral receptor ( C A R ) , untuk penggabungan genom virus ke dalam miosit. Pada fase akut miokarditis viral (hari 0-3), tikus yang diinjeksi dengan virus koksaki menunjukkan bukti sitotoksisitas virus langsung, dengan nekrosis miokard tanpa infiltrasi sel inflamasi. Makrofag yang teraktivasi mulai mengekspresikan interleukin (1L)- 1a , IL-2, TNF-a dan interferon gamma (IFN-a). Pada fase subakut (hari 4- 14) terdapat infiltrasi sel natural killer (sel NK) yang memproduksi neutralizing antibody dan sel patogen yang dimediasi imun. Gelombang pertama infiltrasi sel terutama terdiri dari sel NK yang mempunyai 2 peran penting yaitu menghambat replikasi virus (protektif) dan melepaskan perforin dan granzymes yang membentuk lesi inti sirkular pada permukaan membran sel yang terinfeksi virus (menimbulkan kerusakan miosit). Sitokin merupakan mediator utama aktivasi imun. Kadar IL- 1, IL-2 dan IL-6 meningkat pada pasien miokarditis akut, seperti juga TNF-a dan ekspresi protein. Nitrik oksida yang bermanfaat mempertahankan tonus vaskular, mungkin mempunyai efek buruk pada miokarditis akut dan berperan pada progresivitas kerusakan miosit. Pada fase kronik (hari 15-90)terjadi eliminasi virus dan kerusakan miokardial yang terus berlanjut. Jantung tikus yang terinfeksi mengalami hipertrofi dan fibrosis miokard menetap. Sel inflamasi tak tampak lagi. Mekanisme yang melibatkan transisi stadium ini menjadi kardiomiopati dilatasi belum sepenuhnya dipahami (Gambar 1). Apoptosis atau kematian sel terprogram, mungkin merupakan mekanisme patogenesis ketiga yang mengakibatkan miokarditis menjadi kardiomiopati dilatasi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lnfeksl vtrus



t



Nekrosts mloslt Aktlvs~ makrofag



'-""raw



Ekspresi s~tok~n - Interleukln-1 - Interleuktn-2 - Tumor necros~s factor - Interferon-P



L



&turd



F



Lirnfos~t T sitatoksik Limt B



Nltnt oksrda



NWtmlt~lng



r-I



-



J.



'Rbtosie hiatas1 jantung Eagal jantung



antlbodie -



teri Pembsnihan virus I



Gambar 1. Perjalanan waktu rn~okard~t~s vlral eksperlmental (Adaptasi d a r ~Kawar)



Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimptomatik (self-limited tli.sc~a\c~) sampai s > o k kardiogenik. Keterlibatan jantung biasanya muncul 7 sampai 10 hari setelah penyakit sisternik. Ge-jala paling jelas yang menunjukkan miokarditis adalah sindroni infeksi viral dengan demani, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise. Sebagian besar pasien tidak lnelnpunyai keluhan kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki kelainan segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan salnpai dengan 35 persen pasien dan mungkin berupa iskeniia yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri dada biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun terkadang dikarenakan adanya iskemia miokard. Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limtbsitik dapat menyebabkan gagal jantung ringan, sedanp, atau gagal jantung berat. Sebagian besar pasien dengan gejrtla ringan mengalami tahap penyembulian spontan fungsi ventrikular dan nonnalisasi pada ukuran jantung. Pasien dengan gagal jantung New York Hetrrr .4.\\oc.icrtio11 (NYHA) kelas 111 atau IV umumnya memiliki derajat pelebaran ventrikular dan disfungsi ventrikel yang lebih besar. Meskipun sebagian sembuh dengan spontan. diperkirakan bahwa separuh akan dihadapkan dengan gejala sisa disfungsi miokarditis dan seperempatnya akan meninggal atau membutuhkan transplantasi jantung. Pasien dengan miokarditis berat seringkali disertai dengan kolaps sirkulasi dan tanda-tanda disfungsi organ. Pasien seringkali mengalami demam, disf~mgsimiokard global berat, dan peningkatan minimal dimensi ventrikular kiri dan dimensi pada akhir diastolik. Dibutuhkan szcpyort sirkulasi mekanik sebagai jembatan untuk transplantasijantung atau penyembuhan.



Kadang-kadang pasien mengalami sindroni klinis yang serupa de,lgan infark miokard akut, dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi pada ventrikel kiri mungkin muncul pada kurang dari setengah pasien dan cenderung bersifat difiis. Pada autopsi, arteri koroner biasanya masih paten, meskipun arteritis koroner viral pernah dilaporkan. Vasopasme koroner juga pernah dihubungkan dengan miokarditis akut. Pasieri mungkiti mengalami sinkop atau palpitasi dengan blok atrioventrikular (AV) atau aritmia ventrikular. Blok AV lengkap unium dijumpai, dan sebagian pasien mengalami serangan Stokes-Adams. Blok jantung lengkap umumnya bersifat selnentara dan jarang membi~tuhkannlat bantu jantung pennanen. Pada evaluasi selama 20 tahun terhadap kenlatian mendadak pada anggota-anggota ,4ir Force baru, tercatat 30 persen yang mengalaini miokarditis saat diautopsi. Pada beberapa pasien dengan aritmia bentrikel refrakter. biopsi endomiokardial atau autopsi rnenuli.jukkan adanya miokarditis. Penyakit tromboeniboli sistemik juga terkait dengan miokarditis. Kecendelungan familial pada niiokarditis dapat terjadi. Pada beberapa laporan, terdeteksi adanya defek sel supresor, rnenjadi predisposisi perkembangan ke arah miokarditis aktif.. Pasien dengan kardioriiiopati peripartum memiliki frekuensi ~niokarditisyang lebili tingpi pada biopsi endomiokardial. Perubahan-perubahan imunoregulasi pada saat kehamilan dan setelahnya mungkin meningkatkan miokarditis viral, dan pa-janan terhadap antigen trofoblastik mungkin akan menyebabkan kerusakan miokard yang dimediasi imun.



Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya sindrom seperti flu atau mimgkin asimtomatik. Pemeriksaan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lnfeksi Virus Coxsackievirus, echovirus, HIV, virus Epstein-Barr, influenza, cytomegalovirus, adenovirus, hepatitis (A dan B), mumps, poliovirus, rabies, respiratory syncitial virus, rubella, vaccinia, varicella zoster, arbovirus Bakteri Corynebacterium diphteriae, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophiluspneumoniae, Salmonella spp., Neisseria gonorrhoeae, Leptospira. Borrelia burgdorferi, Treponema pallidum, Brucella, Myobacterium tubercolosis, Actinomyces, Chlamydia spp., Coxiella burnetti. Mycoplasma pneumoniae, Rickettsia spp. Jamur Candida spp., Aspergillus spp., Histoplasma, Blastomyces, Cryptococcus, Coccidioidiomyces Parasit Trypanosoma cruzii. Toxoplasma, Schistosoma, Trichina Noninfeksi Obat-obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas Antibiotik: sulfonamida, penisillin, kloramfenikol, amfoterisin B, tetrasiklin, streptomisin Antituberkulosis: isoniazid, para-aminosalicylic acid Antikonvulsan: ~enindion,fenitoin, karbamazepin Anti-inflamasi: indometasin, fenilbutazon Diuretik: asetazolamid, klortalidon, hidroklorotiazid, spironolakton Lain-lain: amitriptilin, metildopa, sulfonilurea Obat-obatan yang tidak rnenyebabkan reaksi hipersensitivitas Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha Penyebab selain obat-obatan Radiasi, giant- cells, myocarditis



laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, eosinofilia, laju endap darah yang meningkat atau peningkatan MB harid oj'creatine plzo.sphokinase (CKMB). Peningkatan CKMB ditemukan pada kurang lebih 10 persen pasien, namun pemeriksaan troponin lebih sensitif untuk mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis. Dapat dijumpai peningkatan titer virus kardiotrofik. Dibutulikan peningkatan empat kali lipat pada titer IgG setelah lebih dari 4-6 lninggu untuk mendokumentasikan infeksi akut. Peningkatan titer antibodi IgM mungkin menunjukkan infeksi akut secara lebih spesifik dibandingkan peningkatan pada titer antibodi IgG. Sayangnya, peningkatan pada titer antibodi hanya menangkap respons infeksi virus yang masih baru dan tidak menunjukkan keberadaan miokarditis aktif. Dilaporkan kelainan pada hitung limfosit T and B, namun tidak konsisten dan tidak dapat digunakan sebagai penentu diagnostik. Tiga ha1 klinis yaitu infeksi viral sebelumnya, perikarditis, dan kelainan laboratorium terkait yang digunakan untuk mendiagnosis miokarditis karena coxsackie B dijumpai pada kurang dari 10 persen kasus yang terbukti secara histologis.



Elektrokardiografi EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG paling sering menunjukkan sinus takikardia. Lebih khas adalah perubahan gelombang ST-T. Dapat ditemukan perlambatan interval QTc, voltase rendali ( l o ~voltuge), r dan bahkan pola infark miokard akut. Aritmia jantung seringkali ditemukan, termasuk blok jantung total, takikardia ventrikular dan aritmia supraventrikular terutama dengan adanya gaga1 jantung kongestif atau inflamasi perikard. Foto Rontgen Dada Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase awal penyakit sebelum terjadi kardiomiopati. Fungsi ventrikel kiri y a n g menurun progresif dapat mengakibatkan kardiomegali. Dapat ditemukan manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau edema paru. Ekokardiografi Ekokardiografi dapat menunjukkan disfi~ngsisistolik ventrikel kiri pada pasien dengan dimelrsi ventrikel kiri yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin ditemukan. Ketebalan dinding jantung mungkin bertambah, terutama saat permulaan penyakit, saat inflamasi sedang liebat. Trombus ventrikel terdeteksi sekitar 15 persen. Gambaran ekokardiografi pada miokarditis aktif dapat lneniru restriktif, hipertropik, atau kardioniiopati dilatasi. Biopsi Endomiokardial Karena tidak adekuatnya pemeriksaan non invasif dalarn menetapkan diagnosis miokarditis, diagnosis histologis dianggap perlu untuk memastikan diagnosis. Biopsi endomiokardial merupakan tes yang penting untuk membuktikan diagnosis tersebut. Spesimen miokard ventrikel kanan bisa didapatkan dengan mengakses vena jugularis interna kanan atau vena femoralis. Biopsi intravaskular dari ventrikel kiri jarang dilakukan dikarenakan arigka kematian yang lebih tinggi. Bioptom ventrikular kanan yang tepat diletakkan di bawah fluoroskopi atau ekokardiografi untuk mengambil salnpel septum interventrikel. Karena miokarditis dapat terjadi setempat, maka sampel diambil minimal empat salnpai enam fragmen. Dengan menggunakan bioptom Stanford, sampelsampel pada umurnnya memiliki diameter maksimal2 sampai 3 mm dan berat basah 5 mg. Sampel-sampel tersebut diproses, diternpel pada parafin, diletakkan dan diwarnai dengan hemutoc~~lin-eosin dan trichrome. Beberapa peneliti melakukan biopsi endomiokardial pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang tak jelas danlatau aritmia venrikular.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kriteria Histologis Miokarditis Persentase pasien dengan hasil biopsi yang diinterpretasi sebagai miokarditis bewariasi has. Hal ini pada dasamya karena adanya perbedaan kriteria diagnosis untuk miokarditis aktif yang digunakan oleh peneliti. Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini menyebabkan adanya pertemuan bagi patologi jantung untuk mencapai kesepakatan umum definisi patologis miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dallas. Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis, miokarditis borderline, atau tidak ada miokarditis. Miokarditis aktif didefinisikan sebagai infiltrat inflamasi pada miokard dengan nekrosis dan atau degenerasi miosit, tidak khas adanya kerusakan iskemia yang terkait dengan PJK. Miokarditis borderline digunakan jika infiltrat inflamasi terlalu ringan atau saat kerusakan miosit tidak tampak. Frekuensi miokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi dengan pengulangan biopsi pada pasien yang sampel histologis terdahulunya menunjukkan miokarditis borderline. Meskipun knteria Dallas menyamakan deskripsi sampel biopsi, gambaran histopatologis sendiri mungkin tidak cukup untuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif. Skema klasifikasi altematif sudah dianjurkan, termasuk satu yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis. Miokarditis terbagi menjadi empat sub-grup fulminan (hat), akut, kronik aktif, dan kronik persisten. Penggunaan petanda inflamasi imunohistologis, seperti histocompatibility leukoc,vte antigens (HLAs) pada miosit atau pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu diagnosis. Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resolusi miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalam waktu beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan saat biopsi serial dilakukan. Studi Noninvasif Meskipun skintigrafi technetium 99m-pyrophosphate telah terbukti berguna dalam mendeteksi miokarditis pada model murin, namun tidak efektif dalam mendiagnosis miokarditis pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67, radioisotop inflammation-avid, cukup menjanjikan sebagai metode shining untuk miokarditis aktif, dengan spesifisitas dan sensitivitas sebesar 83 persen dan nilai prediksi negatif sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan biopsi. Scan dengan Indium 111 - labeled antimyosin antibody dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen, dan nilai prediksi negatif scan normal sebesar 92 persen. Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan



Gambar 2. Gambaran Histopatologis Miokardium Normal (A,X100), Miokarditis Borderline (B,X100 ,C,X350), Miokarditis Aktif (D,XIOO,E,X300), Menurut Kriteria Dallas (Dikutipdari Feldman AM, et al. N Engl J Med 2000;1388-98).



biopsi negatif, kemungkinan tidak terdeteksinya inflamasi dapat terjadi. Proses penggambaran antimiosin dapat mendeteksi kerusakan miosit tanpa membutuhkan etiologi, dan penyebab kerusakan otot jantung non inflamasi. Pada pasien muda dapat terjadi scan positif palsu. Kegunaan skintigrafi dalam mendiagnosis miokarditis terbatas oleh rendahnya spesifisitas dan pajanan terhadap radiasi. Perubahan jaringan sehubungan dengan miokarditis mungkin bisa diidentifikasi dengan menggunakan magnetic resonance imaging ( M R I ) . Hasil-hasil awal menunjukkan inflamasi miokard mungkin menyebabkan intensitas sinyal dinding miokard abnormal. Penggunaan T2-weighted images untuk memvisualkan edema jaringan telah dilaporkan dalam beberapa laporan kasus pasien dengan miokarditis aktif. Baru-baru ini, contrast mediumenhanced MRI telah digunakan untuk mendeteksi perubahan miokardial pada miokarditis. Obat kontras dalam proses pencitraan MRI yaitu gadopentetate dimeglumine berkumpul pada lesi-lesi inflamasi. Bahan tersebut bersifat hidrofilik yang berkumpul pada ruang ekstraselularjaringan yang mengandung air. Gadolinium meningkatkan sinyal TI-weighted images. Pada sejumlah 19 pasien dengan dugaan miokarditis secara klinis dan 18 subyek normal melalui contrast-enhanced MRI, menunjukkan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kriteria Histologis Miokarditis Persentase pasien dengan hasil biopsi yang diinterpretasi sebagai miokarditis bervariasi luas. Hal ini pada dasarnya karena adanya perbedaan kriteria diagnosis untuk miokarditis aktif yang digunakan oleh peneliti. Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini menyebabkan adanya pertemuan bagi patologi jantung untuk mencapai kesepakatan umum definisi patologis miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dallas. Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis, miokarditis borderline, atau tidak ada miokarditis. Miokarditis aktif didefinisikan sebagai infiltrat inflamasi pada miokard dengan nekrosis dan atau degenerasi miosit, tidak khas adanya kerusakan iskemia yang terkait dengan PJK. Miokarditis borderline digunakan jika infiltrat inflamasi terlalu ringan atau saat kerusakan miosit tidak tarnpak. Frekuensi miokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi dengan pengulangan biopsi pada pasien yang sampel histologis terdahulunya menunjukkan miokarditis borderline. Meskipun kriteria Dallas menyamakan deskripsi sampel biopsi, gambaran histopatologis sendiri mungkin tidak cukup untuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif. Skema klasifikasi alternatif sudah dianjurkan, termasuk satu yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis. Miokarditis terbagi menjadi empat sub-grup fulminan (hat), akut, kronik aktif, dan kronik persisten. Penggunaan petanda inflamasi imunohistologis, seperti histocompatibility leukocyte antigens (HLAs) pada miosit atau pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu diagnosis. Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resolusi miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalam waktu beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan saat biopsi serial dilakukan.



@ambbr 2. ~m-i,wrwrHWg&@l@@aMioKardiarm 'Normal MXIOO), MiokPnHthr [email protected],~)' AM, ilpt al. N En# J Msd 20Ot&1388;98).



m-



b i q i neatif, kem ti& &pat terjadi. hoses penggmbmm



mendateksi kerusskan miasit t a p inbtmasi. Pada misn m a dapat t&&i swm pasitif palsa. Kegu k i n t i p f i dalarn mendiamadr i ~ l i a w t i st oieh mdakaya msifi9~iWdm pjanrul tmk* rdiasi. Peftsbshm j h g m sehdmgan den* mi-&



Studi Noninvasif Meskipun skintigrafi technetium 99m-pyrophosphatetelah terbukti berguna dalarn mendeteksi miokarditis pada model murin, narnun tidak efektif dalam mendiagnosis miokarditis pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67, radioisotop infammation-avid, cukup menjanjikan sebagai metode skrining untuk miokarditis aktif, dengan spesifisitas dan sensitivitas sebesar 83 persen dan nilai prediksi negatif sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan biopsi. Scan dengan Indium 111 - labeled antimyosin antibody dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen, dan nilai prediksi negatif scan normal sebesar 92 persen. Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI peningkatan global relatif lebih tinggi pada pasien dibandingkan dengan kontrol. MRI kontras dan pemrosesan gambar ekokardiografi digital dapat memvisualkan area inflamasi dan berapa besar inflamasi tersebut, dan juga terbukti berguna sebagai teknik dalam diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Meskipun teknik-teknik noninvasif cukup menjanjikan, biopsi endomiokardial tetap menjadi standar baku dalam diagnosis. Penatalaksanaan Perawatan suportif merupakan terapi lini pertama pada pasien miokarditis akut. Pada pasien dengan gejala gagal jantung, terapi mencakup diuretik untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel; inhibitor angiotensinconverting enzyme untuk menurunkan resistensi vaskular; penyekat beta jika kondisi klinis sudah stabil, dan antagonis aldosteron. Karena digoksin telah terbukti dapat meningkatkan ekspresi sitokin inflamasi dan mortalitas pada model murin miokarditis viral, maka obat tersebut harus digunakan secara hati-hati dan dalam dosis rendah. Pada pasien dengan keluhan hebat, seperti kolaps hemodinamik, perawatan suportif mencakup terapi inotropik intravena dan alat support sirkulasi mekanis yang dapat digunakan untuk menjembatani pasien yang akan dilakukan transplantasi jantung. Adanya aritmia atrial atau ventrikular dapat diberikan antiaritmia yang tepat atau mungkin implantasi defibrilator.



Antiinflamasi Diterimanya hipotesis immune-mediated injury telah mendorong penelitian untuk membuktikan apakah terapi anti-inflamasi dapat memberikan keuntungan klinis tambahan pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi inflamasi yang dirawat dengan regimen gagal jantung konvensional. Parillo mempelajari 102 pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan mengklasifikasikannya sebagai "reaktif", dengan bukti endomiokardial atau laboratorium inflamasi yang berlanjut, atau "nonreaktif." Titik akhir primer studi tersebut adalah peningkatan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri sebesar atau lebih besar dari 5 persen. Pada pemantauan setelah 3 bulan, 67 persen pasien reaktif yang menerima prednison mencapai titik akhir ini, dibandingkan dengan hanya 28 persen pada kelompok kontrol reaktif. Setelah 9 bulan pemantauan, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang disebabkan oleh prednison sudah tidak ditemukan. Pasien-pasien nonreaktif tidak mengalami peningkatan dengan prednison. Meskipun didapat hasilhasil negatif tersebut, para pengamat menyimpulkan bahwa terapi prednison dapat memberikan peningkatan yang cukup dalam titik akhir klinis, tapi hanya pada subpopulasi reaktif tertentu.



lmunosupresif Keberhasilan terapi imunosupresan pada miokarditis viral aktif mengarah ke Mvocarditis Treatment Trial yang besar. Dalam studi ini, 1 1 1 pasien dengan miokarditis yang terbukti dengan biopsi dan dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45% diacak untuk menerima terapi konvensional saja atau terapi imunosupresan dengan prednison yang dikombinasikan dengan azatioprin atau siklosporin. Titik akhir primer penelitian tersebut adalah perubahan pada fraksi ejeksi setelah 28 minggu. Untuk semua pasien, ratarata peningkatan fraksi ejeksi di atas keadaan awal adalah 9 persen. Studi yang lebih baru mengamati penggunaan terapi imunosupresif pada pasien-pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan bukti imunohistokimia inflamasi. Delapan puluh empat pasien dengan kardiomiopati dilatasi setidaknya 6 bulan yang telah mengalami peningkatan ekspresi HLA pada spesimen biopsi endomiokardial diacak untuk menerima terapi gagal jantung standar atau yang dikombinasikan dengan prednison dan azatioprin. Setelah pemantauan selama 2 tahun, tidak ada perbedaan pada titik akhir primer gabungan kematian, transplantasi, atau perawatan ulang di rumah sakit. Pasien yang dirawat dengan terapi imunosupresif mengalami peningkatan fraksi ejeksi bermakna pada bulan ke-3 dan ke-24. lmunoglobulin lntravena Intravenous imn~uneglobulin (IVIG) dosis tinggi memiliki sekaligus efek modulasi imun dan antivirus. Pemberian IVlG untuk anak-anak dengan kardiomiopati onset baru dan untuk perempuan dengan kardiomiopati peripartum terkait dengan peningkatan signifikan pada fungsi ventrikular. Sayangnya, saat IVIG diuji pada penelitian prospektif yang dikontrol dengan plasebo pada 62 pasien dengan kardiomiopati dilatasi onset baru dan fraksi ejeksi lOmg pada inspirasi). Pulsus paradoksus terjadi karena pembesaran ventrikel kanan akibat inspirasi, menekan septum dan rongga ventrikel kiri, hingga mengurangi volume ventrikel kiri dan menurunkan curah jantung sekuncup. Foto toraks menunjukkan paru yang relatif bersih kecuali bila penyebabnya tumor parulradang paru, bayangan jantung yang besar bentuk kendi (bila cairan >250ml) dengan pulsasi yang sangat minimal pada flouroskopi. EKG menunjukkan pengurangan voltase QRS (low



voltage) dan electrical alternans. Ekokardiografi menunjukkan efusi perikard moderat atau berat (echo free spase di ruang depan jantung di bawah sternum dan dinding belakang jantung), swinging heart dengan kompressi diastolik vena cava, atrium kanan atau ventrikel kanan. Kateterisasi menununjukkan peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang X yang prominen serta gelombang Y yang berkurang atau menghilang. Tanlpak pula kesamaan tekanan diastolik keempat ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri dan ventrikel kiri). Pulsus alternans tampak pula lebih jelas. Tamponad jantung merupakan keadaan darurat dan hams diatasi dengan pungsi perikard. Etiologi harus dicari seperti pada perikarditis lainnya dan diobati sesuai penyebabnya. Perikarditis Konstriktif Kronik Peradangan kronik perikard menyebabkan penebalan, fibrosis, fusi viseral dan parietal perikard yang mengurangi rongga perikard. Etiologi mulai dari idiopatik, pasca perikardiotomi, tuberkulosis, radiasi, keganasan, bekas perikarditis purulen,lain lain seperti uremia, reumatoid artritis, lupus eritematosus sistemik, dan obat. Penderita tampak seperti mengalami gagal jantung kronik. Keluhan disebabkan oleh penurunan curahjantung seperti lelah, takikardia dan bengkak. Pemeriksaan jasmani menunjukkan tanda gagal jantung kanan seperti tekanan vena jugularis meninggi dengan tanda kusmaule (peninggian tekanan V. jugularis saat inspirasi), pembesaran hati, asites, dan edema tungkai. Foto toraks menunjukkan perkapuran pada setengah pasien (terutama pada etiologi TBC). Elektrokrdiografi menunjukkan voltase rendah (low voltage) atau gelombang T yang datar (generalized T waveflatteing). Ekokardiografi menunjukkan penebalan perikard, ada tidaknya cairan perikard dan gerak septum interventrikel yang abnormal. Ekokardiografi Doppler menunjukkan variasi aliran darah yang besar saat diastolik melalui katup mitral dengan gambaran konstriktif. Bila tersedia CT scan/MRI akan tampak penebalan dan kalsifikasi perikardium. Bila dilakukan kateterisasi jantung maka akan ditemukan kesamaan tekanan akhir diastolik dari keempat ruang jantung dengan gelombang Y yang dominan Penatalaksaan dapat dimulai dengan diuretik untuk mengurangi gejala sesak dan retensi cairan. Reseksi perikard (perikardiektomi) merupakan terapi kausal dan umumnya akan memperbaiki keluhan dan memperbaiki prognosis. Bila penyebabnya radiasi atau miokard yang telah mengalami fibrosis atau atrofi, maka prognosisnya sangat buruk.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Grub NR and Newby DE. Pericardial Disease.Churchil's Pocketbook of Cardiology, London: Chuchil Livingstone; 2000.p. 172-77 Guidelines on Diagnosis and Management of Pericardial Diseases. Executive Summary. The Task Force of the European Society of Cardiology Eur Heart J 2004;25:585-610 Artom G,Koren-Morag N, Spodik DH et a1,Pretreatment with corticosteroids attenuates the efficacy of colchicines in preventing recurrent pericarditis:a multi-centre all-case analysis. Eur Heart J,2005;26:723-27 Braunwald E, Pericardial disease.ln Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et.al (editor), Harrison's Principles of Internal Medicine 16 ed.2003.p.1414-20



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ANGINA PEKTORIS TAK STABIL Hanafi 0. Trisnohadi



Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina pektoris tak stabil; di mana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan. Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: 1. pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari. 2. pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan. 3. pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat. Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik. Beratnya angina: Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada. Kelas 11. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir. Kelas 111. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48jam terakhir. Keadaan klinis: Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris. Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra kardiak. Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung. Intensitas pengobatan: Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal



Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar. Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium. Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI=non ST elevation myocardial infarction ) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12jam, maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.



Ruptur Plak Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik wbrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ANGINA PEKTORIS TAK STABIL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat loo%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.



Trombosis dan Agregasi Trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa @am cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus. Erosi pada Plak tanpa Ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat



menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.



GAMBARAN KLlNlSANGINA TAK STABIL



*



Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadangkadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaanjasmani seringkali tidak ada yang khas. PEMERIKSAAN PENUNJANG Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatifjuga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena ha1 lain. Pada angina tak stabil4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal. Uji Latih Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PC1 atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar. Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik. Ekokardiografi stresjuga dapat membantu menegakkan adanya iskemia miokardium. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI telah diterima sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti amioid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA. PENATALAKSANAAN Tindakan Umum Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed vest), diberi penenang dan oksigen; Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Terapi Medikamentosa



OBAT ANTI ISKEMIA Nitrat Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangipreload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral. Penyekat Beta Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan penyekat beta dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien dengan infark miokard, Meta analisis dari 4700 pasien dengan angina tak stabil menunjukkan penyekat



beta dapat menurunkan risiko infark sebesar 13%. (P 48 hours in unstable angina pectoris. Am J Cardiol 1997;79:259-63. Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J , et al. Heparin-induced thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med 1995;332:13305. Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, et al. A comparison of low



molecular-weight heparin with unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med 1997;337:447-52. Antman EM, McCabe CH, Gurfinkel EP, et al. Enoxaparin prevents death and cardiac ischemic events in unstable anginahon-Qwave myocardial infarction: results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) 11B trial. Circulation 1999;100:1593-601. Organisation to Assess Strategies for Ischemic Syndromes (OASIS2) Investigators. Effects of recombinant himdin (lepimdin) compared with heparin on death, myocardial infarction, refractory angina, and revascularisation procedures in patients with acute myocardial ischaemia without S'l' elevation: a randomised trial. Lancet 1999;353:429-38. Luchi RJ, Scott SM, Deupree RH, Principal Investigators and Their Associates of Veterans Administration Cooperative Study No. 28. Comparison of medical and surgical treatment for unstable angina pectoris: results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl J Med 1987;316:977-84. Braunwald E, Mark DB, Jones RH, et al. Unstable angina: diagnosis and management. Clinical practice guideline. No. 10. Rockville, Md.: Department of Health and Human Services, 1994. (AHCPR publication no.94-0602.) Braunwald E, Antman EM, Heasky JW, et al. ACCIAHA Guideline Update for the Management of Patients with Unstable Angina and Non ST segment Elevation Myocardial Infarction 2002. Summary Article: A report of the American College of Cardiology1 American Heart Association Task Force on Practice Guidelines ( Committee on the Management of Patients With Unstable Angina) Circulation 2002; 106:1893900 the stable to the unstable clinical state. Circulation 1993;88:2493-500.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ANGINA PEKTORIS STABIL



Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik tertentu: Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri sarnpai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggunglpundak kiri. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindihlberat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-tusukldiiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di dadanya. Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan istirahat; tapi tak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional. Kuantitas: Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka hams dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable anginapectoris = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam sindrom koroner akut = "acute coronary syndrome" = ACS, yang memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sarnpai beberapa menit. Nyeri tidak terusmenerus, tapi hilang timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol. Nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, bahkan sarnpai berhari-hari biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.



Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh "Canadian Cardiovascular Society" sebagi berikut: Klas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-bum waktu kerja atau bepergian. Klas 11. Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-bum, berjalan menanjak atau melawan angin dan lain-lain. Klas 111. Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa. Klas IV. AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan lain-lain. Nyeri dada ada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga tak meragukan lagi untuk diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal; sedangkan nyeri yang meragukan tidak mempunyai ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang hati-hati, disebut angina atipik. Nyeri dada lainnya yang sudah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri non kardiak. Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka baiknya anamnesis dilengkapi dengan mencoba menemukan adanya faktor risiko baik pada pasien atau keluarganya seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM, hipertensi, rokok, penyakit vaskular lain seperti strok dan penyakit vaskular perifer, obesitas, kurangnya latihan dan lain-lain. Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat, sekalipun tidak termasuk UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada bebanlstres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya). Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya iskemia tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan yang disebut sebagai "silent iskhemia" sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stres tes.



PEMERIKSAAN FlSlS Tak ada hal-ha1 yang khususlspesifik pada pemeriksaan fisik. Sering pemeriksaan fisis normal pada kebanyakan pasien. Mungkin pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronki basah dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah berhenti. Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis umumnya seperti sklerosis A. Carotis, aneurisma abdominal, nadi dorsum paedisltibialis posterior tidak teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya hipertensi, LVH, xantoma, kelainan fundus mata dan lainlain, tentu amat membantu.



PEMERIKSAAN LABORATORIUM Beberapa pemeriksaan lab diperlukan disini: hemoglobin, hematokrit, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada cukup berat dan lama, seperti enzim CKJCKMB, CRPIhs CRP, troponin. Bila nyeri dada tidak mirip suatu UAP maka tidak semuanya pemeriksaan-pemeriksaan ini diperlukan.



Pedoman yang disusun oleh AHA telah cukup lengkap untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang efektif dan efisien pasien PJK, sehingga ia dipakai sebagai dasar penyusunan pedoman-pedoman yang diusulkan berikut ini. Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium sebagai penyebab nyeri dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan: EKG Waktu lstirahat Dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiak. Bila angina tidak tipikal, maka EKG ini



hanya positif pada 50% pasien. Kelainan EKG 12 leads yang khas adalah perubahan ST-T yang sesuai dengan iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-perubahan lain ke'arah faktor risiko seperti LVH dan adanya Q abnormal amat berarti untuk diagnostik. Gambaran EKG lainnya tidak khas seperti aritmia, BBB, bi atau trifasikular blok, dan sebaginya. EKG istirahat waktu sedang nyeri dada dapat menambah kemungkinan ditemukannya kelainan yang sesuai dengan iskernia sampai 50% lagi, walaupun EKG istirahat lnasih normal. Depresi ST-T 1 mm atau lebih merupakan pertanda iskemia yang spesifik, sedangkan perubahan-perubahan lainnya seperti takikardia, BBB, blok fasikular dan lain-lain, apalagi yang kembali normal pada waktu nyeri hilang sesuai pula untuk iskemia. Foto Toraks Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi koroner ataupun katup jantung, tanda-tanda lain, misalnya pasien menderita juga gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, dan anurisma dissekan, serta pasienpasien yang cenderung nyeri dada karena kelainan paruparu. EKG Waktu AktivitaslLatihan Penting sekali dilakukan pada pasien-pasien yang amat dicurigai, termasuk kelainan EKG seperti BBB dan depresi ST ringan. Begitu pula pada pasien-pasien dengan angina vasospastik; sedangkan pada pasien-pasien dengan kemungkinan iskemianya rendah, LVH, minum obat digoksin, dengan depresi ST kurang dari 1 mm boleh saja dikerjakan, meskipun sebenarnya tak terlalu perlu. Kontra indikasi: IMA kurang dari 2 hari, aritmia berat dengan hemodinamik terganggu, gagal jantung manifes, emboli paru dan infark paru, perikarditis dan miokarditis akut, diseksi aorta. Kontra indikasi relatif: stenosis LM, stenosis aorta sedang atau obstruksi "outflow" lainnya, elektrolit abnormal, hipertensi sistolik >200 dan diastolik >lo0 mm Hg, bradi atau takiaritmia, kardiomiopatia hipertrofik, UAP (kecuali yang berisiko rendah dan sudah bebas nyeri), dan gangguan fisik yang menyulitkan melakukan tes ini. Treadmill exercise test memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 68% +/-I6 % dan 77% +/-17%. Tes ini ternyata sensitivitasnya lebih rendah dari stress test lainnya. Ekokardiografi Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien dengan murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta yang signifikan atau kardiomiopati hipertrofik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya iskemia bila dilakukan waktu nyeri dada sedang berlangsung. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menganalisis hngsi miokardium segmental bila ha1 ini telah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ANGINA PEKTORIS STABIL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terjadi pada pasien AP stabil kronik atau bila telah pernah infark jantung sebelumnya, walaupun ha1 ini tidak dapat memperlihatkan iskemia yang baru terjadi. Bila ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit dari serangan angina, mungkin sekali masih dapat memperlihatkan adanya segmen ~niokardiumyang mengalami disfungsi karena iskemia akut. Segmen ini akan pulih lagi setelah hilangnya iskemia akut. Kuantitas iskemia dapat diperlihatkan dengan sistem skor. Bila daerah disfungsi iskemik itu sukar terlihat, maka sensitivitas dapat ditambah dengan memakai alat eko yang menggunakan harmonic imaging atau dapat dipakai juga eko kontras memakai gelembung-gelembung mikro (micro bubbles) yang terjadi waktu injeksi 1V larutan kontras. Pada saat terjadi iskemia dapat timbul MR, yang dapat diperlihatkan pula dengan eko doppler. Stress Imaging, dengan Ekokardiografi atau Radionuklir Pemeriksaan stres ekokardiografi ini bermanfaat dikerjakan pada pasien yang dicurigai menderita APS sedangkan EKG istirahatnya menunjukkan ST depresi 1 mm atau lebih atau memperlihatkan adanya sindrom WPW. Kedua tes ini berguna juga pada pasien pre revaskularisasi atau pasienpasien dengan pacu jantung atau LBBB. Ekokardiografi stres dengan memakai obat-obatan bermanfaat sekali dilakukan pada pasien-pasien yang tak dapat melakukan stres dengan latihan ataupun yang akan dilakukan revaskularisasi (dengan PC1 atau CABG).Tes-tes ini kurang bermanfaat bila dikerjakan pada pasien-pasien yang sudah hampir pasti atau sama sekali belum jelas menderita iskemia miokardium. Pemeriksaan-pemeriksaan stres tes ini dapat diterapkan juga bagi pasien-pasien asimtomatik, terutama pada pasien-pasien asimtomatik yang berisiko tinggi. Sensitivitas d a n spesifisitas pemeriksaan stres ekokardiografi berkisar pada 60-85%, sedangkan pemeriksaan dengan radionuklir kira-kira berkisar antara 80-90%. Selain untuk diagnostik, tes-tes ini dapat dimanfaatkan juga untuk stratifikasi prognostik serta evaluasi pasien-pasien yang telah dilakukan revaskularisasi dengan PC1 atau CABG. Sampai dengan dilakukannya pemeriksaan noninvasif ini dapatlah digolongkan pasien-pasien ke dalam risiko ringan, sedang dan tinggi. Angiografi Koroner Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien-pasien yang tetap pada APS klas 111-IV meskipun telah mendapat terapi yang cukup, atau pasien-pasien dengan risiko tinggi tanpa mempertimbangkan beratnya angina, serta pasien-pasien yang pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi. Begitu pula perlunya pemeriksaan ini pada pasien-pasien yang mengalami gagal jantung dan pasien-pasien yang



karakteristik klinisnya tergolong risiko tinggi. Pemeriksaan ini diperlukan juga bagi pasien-pasien yang diketahui mernpunyai disfungsi ventrikel kiri (EF kurang dari 45%) walaupun dengan angina klas 1-11 dan pemeriksaan non invasif tidak menunjukkan risiko tinggi, serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status koronernya dengan pemeriksaan non invasif. Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah bahwa ia tak dapat menentukan perubahan fungsi miokardium berdasarkan stenosis koroner yang ada dan insensitif dalam menentukan adanya trombus. Lagipula ia juga tak dapat menunjukkan plak sklerosis yang akan menyebabkan berkembangnya menjadi UAP, yang tergantung pada isi dan kapsul plak tersebut. Tidak jarang plak yang demikian biasanya hanyalah menunjukkan stenosis 50%. Dengan tambahan beratnya disfungsi LV, angiografi koroner bermanfaat sekali untuk stratifikasi prognostik, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh darah yang mengalami stenosis, yaitu 1, 2, 3 pembuluh atau LM. Szn-viva112 th untuk pasien dg 0,1.2,3 pembuluh adalah masing-masing 9 1%, 74%, 59% dan 40%, sedangkan LV fungsi sistolis dengan EF 50- loo%, 35-49% dan 130mg/dI (target log



'25g



Petanda: Tn 8 CK-MB tdk terdeteksi EKG. ST L atau T 1 atau ST T sernentara atau normal



t



s



T, t +,CK.MB 8



R ~ s ~ kkernattan. o 5.8%



meningkat



ST T atau ST b atau inveni T dapat berkembang menladl glornbang Q 12.15%



++



Patologi: disrupsi plak. trombus tntrakomher mikmemboli Oklusi koroner sebagian Oklusi koroner lengkap



I



Fungsl ventnkel kin Disfungsi iwukur NT Pro BNP meningkal



Disfungsi sistolik, dilatasi LV



I



i Gambar 1. Rentang sindrom koroner akut mulai dari angina pektoris tak stabil tanpa nekrosis miokard yang terdeteksi sampai infark miokard ekstensif (Dikutip dari Fox Heart. 2004;90:698706).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Pada kondisi yang jarang, STEMl dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit intlamasi sistemik.



Garnbar 3. Pembentukan trombus dan ~ n t e ~ e n farmakolog~s s~ dalam kaskade koagulasr (Dikut~pdar~ Brouwer, et al Heart. 2004,90 581-8) Garnbar 2. Patogenesis Sindrom koroner akut (Dikutip dari Antman, et al) antara paslen dan Garnbar 2 menunjukkan kronolog~s~nteraks~ dokter sepanjang progresl pernbentukan plak, onset dan kompl~kas~ STEMl dengan relevansl tatalaksana pada maslngmastng tahap Potonganlongltudrnalarter~menggambarkant~mel~ne (2) Lesl ~ n ~ s ~dan asi proses aterogenes~sdar~arter~normal (I), akumulas~l ~ p ~ekstraselular d dalarn ~ntrma,(3) evolusr stad~um frbrofatty; (4) lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrous cap. Sindrom koroner akut berkembang j ~ k a plak vulnerabel dan risiko tinggi mengalamr disrups~pada fibrous cap (5) disrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis Resorps~trornbus d~lanjutkandengan akumulas~kolagen dan ~ pertumbuhan sel otot polos (6) Selanjutnya d ~ s r u p splak vulnerabel atau plak r ~ s ~tk~on g gmengak~batkan ~ paslen rnengalam~ nyerl rskemia ak~batpenurunan allran arterl koroner ep~kard~al yang terl~bat Reduks~allran dapat menyebabkan oklus~trombus total (bawah kanan) atau oklus~trombus subtotal (bawah k ~ r ~ ) Pas~endengan nyerl rskem~adapat berupa elevas~ST atau tanpa elevas~segrnen ST pada EKG Pas~endengan elevas~ST sebag~an besar berkembang menjadl ~nfarkm~okardgelombang Q, sebag~an kec~lberkembang rnenjad~rnfark m~okardgelombang nonQ Pasren tanpa elevas~segmen ST dapat mengalam1 angina pektor~stak stab11atau rnfark m~okardakut tanpa elevasr ST Sebaq~anbesar pasren dengan NSTEMI berkembang menjadr ~nfarkmGkard non Q, dan sebaqran kecrl menladl ~nfarkm~okardgelombang Q Dx = d~agnos~s, NQMI, non-Q-wave myocardial infarchon, Q ~ M =I Qwave myocardial ~nfarct~on, CK-MB = MB isoenzyme of creatine kinase



Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan risszte .fuctor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pernbentukan trombus pada kaskade koagulasi dapat dilihat pada Garnbar 3. Arteri koroner yang terlibat (czilpr'it)kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.



lnteraksr agregasl trornbos~t(fibr~nogen,gl~koprote~n Ilblllla) dan akt~vasrkaskade koagulasi menghasilkantrornb~nyang meng~nduksr pembentukanbekuan yang kaya fibrin F~brrnakan benkatan dengan faktor Xlll yang men~ngkatkankekuatan bekuan (clot) Antrkoagulan oral mengharnbat produks~faktor koagulas~,obat larn menghambat aks~faktor pembekuan yang teraktlvasl Target fibrlnolls~sadalah degradasr fibr~n,melalu~plasm~nFDP,s fibnn degradation products. LMWH, low molecular weight heparrn, OAC, oral anbcoagulans, PT, prothromb~n(II),,T, Thrombrn (Ila). UFH, unfractionated heparm, vWF, von Wrllebrand factor



Garnbar 4. Garnbar potong lintafig arteri koroner pada pasien dengan atemrna eksknsif (Dikut~pdari: Fox Heart. 2004;90:698786)



DIAGNOSIS Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2mm, minimal pada 2 sandapan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1743



INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI prekordial yang berdampingan atau >I mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.



Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.



ANAMNESIS Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.



Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia danlatau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia danlatau hipotensi) Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38OC dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.



NYERl DADA Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter hams mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: Lokasi: substernal, retrostemal, dan prekordial. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.



Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5- 10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan hams diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elebasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakanjika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural j ~ k aEKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T. namun ternyata tidah selalu ada horelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi inFark (mural/transmural) sehingga terrninologi IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA m~tral/nontransniural. Pada ganibar 5 dapat dilihat EKG yang menyebabkan STEMl anterior ekstensif



dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMl yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi repertusi diberikan segera tilungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas nonnal menunjukkan ada nekrosisjantung (intbrk miokard). CKMB: meningkat setelah 3jam bila ada inlarh miokard dan niencapai puncak dalam 10-24 jam dan kelnbali normal dalarn 2 3 hari. Operasijantung, miokarditis dan kardioversi elehtrik dapat meningkatkan CKMB. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cl'n I. E~izimini meningkat setelah 2 jam bila ada infarh miohard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan c7'n I' masill dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-1 0 liari.



Pemeriksaan laboratori~imharus dilakukan sebagai bagian dalaln tatalaksana pasien STEMI namiln tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.



Penieriksaan enziln jantung yang lain yaitu: Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. Cre~rtinillkitru.\c, (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jani dan kembali normal dalam 3-4 hari. L.trc tic.( / ~ I ~ ~ ~ ~ / (LDH): ~ . ~ ~ ~meningkat C ~ I I L setelall I ~ L ~ 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali nonnal dalaln 8- 14 hari. Ciarib horizo~ital~nenunjukkan~rppei.r.c1fc1rc1i7c~c~ /~i~irt (URL) biomarker jantung pada laboratorium kilnia klinis. U K L adalah nilai yang memprcsentasikan 9Ytli po-centilc. kelompok kontrol tanpa STEMI. Reaksi non spesifik terhadap iniuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalani beberapa jam setelah oi7\et nyeri dan menetap selalna 3-7 hari. 1-eukositdapat mencapai 12.000-15.000/ul.



PETANDA (BIOMARKER)KERUSAKAN JANTUNG



PENATALAKSANAAN



Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creutii~irirkinase i i i )T atau cTn I (CK)MB dan L ' L I I Y ~ ~\ pU (~~ ' i f i (t'~ ~ ) p o r z(cTn



Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari c,vtdence ho\cw' berdasarkan penelitian



Gambar 5. EKG menunlukkan STEMl antenor ekstensrf.



Berat Molekul, Da Sering Digunakan di Praktek Klinik CK-MB 86 000 cTnl 23 500 cTnT 33 000 Biornarker



Rentang waktu untuk rneninakat



Rerata Waktu Elevasi Puncak INon reoerfusi)



3-12 jam 3-12 jam 3-12 jam



24 jam 24 jam 12 jam-2 harr



48-72 jam 5-10 harr 5-14 harr



6-7 jam 18 jam 12 jam



24 hari Tak diketahui 38 jam



..



Jarang Digunakan di Praktek Klinik 1-4 jam 17 800 Myoglobin 2-6 jam CK-ME tissue isoform 86 000 CK-MM tissue isoform 1-6 jam 86 000



Waktu Kernbali ke Rentang



Da = Daltons; CK-MB = MB isoenzyme of creatine kinase; cTnl = cardiac troponin I;eTnT = cardiac troponin T; CK-MM = MM isoenzime of creatine kinase (Modifikasi dari Adams et al. Circulatron 1993;88:750)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1745



INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASl ST



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



50



-



-



Cardlactroponln -no repodmk-n ca&cetwponin-r~pifwm CKUB oortpeziuslon



2



-



rr



: m6 . 2



-



-



-



0



1



2



3



-



4



-



1upper reference llmlt



5



6



Days After Onset of STEM!



7



8



URL =99th % Ule of Reference Control Gmup



Garnbar 6. Biornarker jantung pada infark rniokard akut dengan elevasi ST (STEMI).



rmdomized clinical trtal yang tems berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline). Tujuan ulama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACCIAHA tahun 2009 d m ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesualkan dengan kondisi sarandfasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi intervensi).



TATALAKSANA AWAL Talaksana Pra Rumah Sakit Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelornpok komplikasi umum yaitu :komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik ( p l i n ~ pfililzire). Sebagian kematian d i luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak. sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset ytxjala. Dan lebih dari separuhnya te~jadipadajam pertama. Sehingga elemen utalna tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain: Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis Segera memanggil tim tiledis ernergensi qang dapat melakukan tindakan resusitasi Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mernpunyai iasilitas ICCUIICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. Melakukan terapi reperfusi



Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rurnah Sakit, namun karena lama waktu tnulai onsetnyeri dada sampai kepiitusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando lnedis onlirle yang bertanggungjawab pada pernberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian h-ombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.



Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil9-11: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PC1 primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan p e r h a a n nunah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan: I ) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS t i h . 2) Jika EMS tidak mampu memberkan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasjen dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door to needle rime hams dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik. 3) Jika EMS tidak mmnpu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah s k i t d m pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospiral door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit. Tatala ksana di Ruang Emergensi Tuluan tatalaksana di IGD pads pasien yang dicurigai STEM1mencakup: mengurangilmenghilangkan nyeri dad& identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi risiko rendah ke ruangan reperfusi segera, triase ndari pemulangan repat di rlllnah sakit dan pasien dellgan STEMI.



Zepat



TATALAKSANA UMUM



Oksigen Suplemen oksigen harm dikrikan pada pasien dengan sarurasi oksigen arteri l o 0 mmHg, interval PR 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas. 2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik hams diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru. Klas II a 1. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan



+



++ +



Dobel 10 U bolus, dua kali, interval 30 rnenit



Satu berdasarkan BB < 60 kg 30rng 60-69 kg 35 rng 70-79 kg 40 rng 80-89 kg 45 rng > 90 kg 50 rng



onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan infark miokard posterior. 2. Jika tidak terdapat kontraindikasi. dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEM mulai dari 50% dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graji vena, sehingga jika pasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah perczitaneolts coronary. intervention (PCI)



TATALAKSANA Dl RUMAH SAKlT ICCU



Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12jam pertama. Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien hams puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4- 12jam pertama. Diet mencakup lemak 110 mmHG) Riwayat strok iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia, atau diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi Resusitasijantung paru traumatik atau lama (> 10 menit) atau operasi besar (< 3 minggu) Perdarahan internal baru (dalam 2-4 minggu) Pungsi vaskular yang tak terkompresi Untuk streptaselanisreplase:riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini. Kehamilan Ulkus peptikum aktif Penggunaan antikoagulan baru: makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan



-



TDS = tekanan darah sistolik TDD = tekanan darah diastolik



TERAPI FARMAKOLOGIS Antitrorn botik Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada STEMI dapat dilihat pada Antiplatelets Trialists ' Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan penurunan relatif laju mortalitas sebesar 27%, dari 14,2% pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. Pada penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49%. Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PC1 dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak menjalani PC1 dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mglhari. Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang



menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent. Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfvactionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U k g (maksimum 4000 U) dilanjutkan inhs inisial 12 U k g perjam (maksimum 1000 Uljam). Activatedpartial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan hams mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenektepl'ase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gaga1 jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan. Pada penelitian OASIS-6, faondaparinux dosis rendah, suatu obat anti-Xa tak langsung, lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam mencegah kematian dan reinforce pada 5436 pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya trombosis kateter, sehingga perlu diberikan tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter Pada pasca STEMI dengan onset 12 jam aspirin, klopidogren dan obat anti trombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) hams diberikan sesegera mungkin. Penyekat Beta Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).



Inhibitor ACE Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, danlatau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >I00 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE hams diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE hams dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor ACE.



Disfungsi Ventrikular Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang



nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi 90%. Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5-1 0 menit sampai dosis total 20 mg. InhibitorACE, mulai dengan titrasi inhibitorACE jangka pendek dengan dosis awal rendah (6,25 mg captopril) diberikan pada pasien edema paru kecuali tekanan darah sistolik 30 mmHg di bawah baseline. Pasien dengan edema paru dan tekanan darah rendah sering membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan vasopressor danlatau intra-aortic balloon counterpulsation untuk menghilangkan edema pant dan mempertahankan perfusi adekuat. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan per oral 0,4-0,6 mg tiap 5- 10 menit, kemudian intravena 10-20ug/menit kecuali tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau >30 mmHg di bawah baseline. Pasien dengan edema paru dan tekanan darah rendah sering membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan vasopressor danlatau intra-aortic ballonon counterpulsation untuk menghilangkan edema paru dan mempertahankan perfusi adekuat. Diuretik: firosemid 40-80 mg bolus intravena, dapat diulang atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai mencapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam. Penyekat beta hams diberikan sebelum pulang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien yang tetap mengalami gagal jantung selama perawatan, dosis kecil dapat dimulai, dengan titrasi bertahap pada saat rawat jalan. Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan pada pasien STEMI tanpa disfungsi ginjal bermakna (kreatinin harus 24-36 jam.



Pada Pasien-pasien yang direncanakan untuk kateterisasi diagnostik dalam 24-36 jam presentasi, menjadi alasan untuk tidak memberikan klopidogrel sampai dengan temuan angiogram koroner meniadakan kebutuhan operasi bypass segera. Dosis awal klopidogrel dapat diberikan di laboratorium kateterisasi sebelum PC1 atau dimulai secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel (seperti aspirin) adalah inhibitor fungsi platelet yang ireversibel, maka direkomendasikan juga agar obat ini dihentikan selama 5 atau lebih disukai 7 hari sebelum operasi elektif, termasuk CABG Risiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada pasien yang belum dilakukan angiografi, dan dapat mencegah kejadian iskemia selama periode menunggu. Pandangan ini didukung oleh pengamatan pada penelitian CREDO bahwa terapi sebelumnya >6 hari sebelum PC1 cenderung memperkuat manfaat obatnya dan kombinasi klopidogrel dan inhibitor GP IIbAIIa tampaknya menarnbah manfaat tanpa meningkatkan risiko perdarahan.



Antagonis GP llblllla Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa antagonis GP IIaIIIIb mengurangi insidens kematian atau infark miokard pada pasien UANSTEMI yang menjalani PC1 dan penggunaannya pada keadaan ini diindikasikan secarajelas. Pada penelitian GUSTO IV-ACS yang didesain khusus untuk menguji manfaat abciximab pada pasien UANSTEMI di mana PC1 tidak dianjurkan, tidak didapat adanya manfaat, termasuk endpoint sekunder, misalnya kematian dalam 48 jam. Antagonis GP IIbIIIIa eptifibatid atau tirofiban manfaatnya masih kurangjelas. Suatu analisis retrospektif penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa tirofiban mengurangi insidens outcome yang buruk pada pasien risiko tinggi (skor risiko TIM1 > 4) yang tidak menjalani PCI. Meta-analisis terhadap antagonis GP IIbIIIIa dari 6 penelitian besar yang melibatkan 31.402 pasien UAI NSTEMI yang tidak dijadwalkan menjalani PC1 menunjukkan penurunan yang bermakna (-9% relatif, - 1% absolut), pada rasio odd untuk gabungan endpoint kematian atau infark miokard pada kelompok antagonis GP IIbIIIIa, sedangkan perdarahan meningkat secara bermakna dari 1,4 % pada kelompok plasebo menjadi 2,4 % pada kelompok antagonis GP IIbIIIIa. Dalam analisis tambahan ditemukan bahwa 5.847 dari 3 1.402 (19 %) pasien sebenarnya menjalani revaskularisasi dini (dalam waktu 5 hari) dan pengamatan manfaat antagonis GP IIbIIIIa misalnya, pengurangan kematian atau infark miokard sebagian besar terbatas ke dalam sub grup ini (-21%). Penemuan ini termasuk dan diperkuat oleh analisis terperinci penelitian PURSUIT di Amerika Serikat. Pada penelitian itu strategi invasif dini cukup sering digunakan. Guideline ACCIAHA menetapkan pasien-pasien risiko tinggi terutama pasien dengan troponin-positif yang menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan antagonis GP IIbIIIIa. Dua agen molekul kecil, eptifibatid dan tirofiban, mungkin dimulai "upstream" misalnya 1 atau 2 hari sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani prosedur. Salah satu dari 3 antagonis GP IIbIIIIa yang ada dapat dimulai secepatnya sebelum atau selama menjalani prosedur. Berdasarkan temuan GUSTO-IV ACS, abciximab tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang tidak direncanakan menjalani PCI. Tak ada satupun antagonis GP IIbIIIIa terlihat efektif atau diindikasikan secara rutin untuk penatalaksanaan pasien risiko rendah, pasien-pasien dengan troponin-negatif yang tidak menjalani angiografi dini. Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE dan CREDO, klopidogrel tidak terlihat menambah risiko perdarahan terhadap antagonis GP IIbIIIIa. Efikasi thienopyridine dan antagonis GP IIbIIIIa tampaknya perlu ditambahkan dan terapi platelet tripe1 (aspirin, klopidogrel dan antagonis GP IIbhIIa) diindikasikan pada pasien risiko tinggi yang direncanakan untuk menjalani PC1 dan tidak mempunyai risiko perdarahan berlebihan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TERAPI ANTIKOAGULAN



Holter selanjutnya menurun hampir separuhnya pada kelompok enoxaparin.



U F H (Unfaractionated Heparin) Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalarn tujuh penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan keuntungan klopidogrel dan inhibitor GP IIbIIIIa. Namun demikian terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di dalarnnya ikatan yang non spesifik dan menyebabkan inaktivasi platelet, endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan sejumlah protein sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin mungkin berhubungan dengan l~eparin-induced thromhocytopeniu. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tak menentu, memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinyu. LMWH (Low Molecular Weight Heparin) Akhir-akhir ini perhatian lebih difokuskan pada LMWH, dan kerugian-kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga pada faktor X a sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti faktor IIanya), seperti juga UFH, tapi juga mengurangi pembentukan trombin (efek anti faktor X a-nya). Keuntungan praktis LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat diprediksi setelah pemberian subkutan. Dua penelitian acak tersamar ganda, Efficacy and Safety of Subcutaneous Enoxaparin in Nun-Q- Wave Coronary Events (ESSENCE) dan TIM1 1 1B, yang melibatkan 7.08 1 pasien menunjukkan keuntungan enoxaparin di atas UFH secara bermakna, dan suatu meta-analisis menunjukkan pengurangan kematian atau infark miokard secara bermakna. Karena ditemukan kesulitan untuk menentukan level antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang sesuai untuk pasien-pasien yang menjalani PC1 dan keamanan LMWH pada pasien yang mendapat terapi inhibitor GP Ilb/IIla. Pada penelitian yang membandingkan enoxaparin dengan UFH pada 746 pasien UA/NSTEMI yang mendapat aspirin dan eptifibatid yaitu penelitian lntegrilin and Enoxaparin Randomized Assessment of Acute Coronary Syndrome Treatment (INTERACT), didapatkan outcome utama perdarahan mayor yang dikaitkan non CABG lebih rendah secara bermakna pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan kelompok UFH ( 1 3 % Vs 4,6 %), walaupun insiden relatif perdarahan minor adalah sebaliknya. Juga angka kematian atau infark miokard non fatal pada 30 hari dan iskemia pada monitor



STRATEGI INVASIF DIN1VS KONSERVATIF DIN1 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan sesuai temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini (kateterisasi dan jika diindikasikan revaskularisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi orallobatobatan). Lima penelitian besar telah dilakukan secara prospektif dan acak; dua di antaranya dilakukan sebelum stenting rutin digunakan. Penelitian TIM1 IlIB menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna outcome pada kedua strategi ini, walaupun analisis retrospektif mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi yang dapat digunakan untuk memprediksi kegagalan strategi konservatif dan superioritas strategi invasif. Penelitian dini lainnya, The VeteransAflairs Non Q- Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH), menunjukkan kematian lebih banyak sejalan dengan kematian atau infark miokard dengan strategi invasif.



Terapi Antiplatelet Dosis awal 160-325mg formula nonenterik Aspirin dilajutkan 75-160mglhari tormula enterik atau nonenterik. Dosis loading 300 mg dilajutkan 75 mglhari Klopidogrel (Plavix) Terapi Antiplatelet lntravena 0,25mglkg bolus dilanjutkan infus 0,1251kg Abciximab per menit (maksimum 10 uglmenit) untuk 12(Reopro) 24 jam 180 uglkg bolus dilanjutkan infus 2 uglkg Eptifibatid (Integrilin) permenit untuk 72-96jam Tirofiban 0,4uglkg permenit untuk 30 menit (Aggrastat) dilanjutkan infus 0,luglkg permenit untuk 48-96jam Heparin Dalteparin 120 IUIkg SC tiap 12 jam (maksimum 10.000 (Fragmin) IU 2 kali sehari ) Enoksaparin 1 mglkg SC tiap 12 jam; dosis awal boleh (Lovenox) didahului bolus 30 mg intravena Heparin Bolus 60-70Ulkg (maksimum 5000 U) IV dilanjutkan infus 12-15Ulkg perjam (UFH) (maksimum awal 1000 Uljam) dititrasi sampai aPTT 1,5-2,5 kali kontrol



Terdapat tiga penelitian sejalan dengan "era stenf', dan semua penelitian itu menunjukkan superioritas strategi invasif. Penelitian Fragmin and Fast Revascularization during Instability in Coronary Artery Disease (FRISC) I1 menunjukkan penurunan yang bermakna mortalitas total dan kematian atau infark miokard dalam I tahun pada pasien



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang mendapat strategi invasif. Pasien-pasien pada kelompok invasif (invasive arm) pada penelitian ini telah diterapi di RS dengan regimen intensif yang termasuk di dalamnya LMWH untuk rata-rata 6 hari sebelum kateterisasi. Pada penelitian TACTICS-TIM1 18, semua pasien mendapatkan tidak hanya aspirin dan UFH tapi juga "up-front" misalnya pemberian inhibitor tirofiban GP IIbl IIIa segera. Berlawanan dengan FRISC 11, kateterisasi jantung pada kelompok invasif dilakukan relatif dini, misalnya rata-rata 22 jam setelah randomisasi. Kematian atau infark pada 6 bulan menurun secara bermakna dari 23% menjadi 9 3 % pada kelompok konservatif dan menjadi 7,3% pada kelompok invasif. Keuntungan terbatas hanya untuk pasien dengan risiko tinggi dan sedang, yang didefinisikan sebagai skor risiko TIM1 3, semua peninggian troponin T (> 0,01 mglml) atau deviasi segment ST. Pada pasien tanpa gambaran risiko ini outcome dengan kedua strategi adalah sama. Lamanya perawatan di RS juga menurun dengan strategi invasif dan keseluruhan biaya penggunaan kedua strategi ini sama. Penelitian Randomized Intervention Trial of Unstable Angina (RITA)3 dilakukan pada pasien UANSTEMI, dan semua telah di terapi aspirin dan enoxaparin. Pada pasienpasien yang masuk untuk kelompok invasif, dilakukan angiografi koroner rata-rata 2 hari setelah randomisasi. Setelah 4 bulan, terdapat reduksi 34% end point primer kematian, (re) infark atau angina refrakter (dari 14,5% menjadi 9,6%) dengan strategi invasif, dan waktu 12 bulan terdapat perbedaan bermakna. Hard end point kematian atau (re) infark sebagaimana telah didefinisikan oleh European Society of Cardiologylkriteria ACC, juga menunjukkan penurunan bermakna sebesar 27% dalam 1 tahun dengan strategi invasif. Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik, strategi invasif saat ini direkomendasikan pada pasien UAI NSTEMI dengan risiko tinggilsedang. Pasien itu sebaiknya mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel sebaiknya dimulai segera, jika kateterisasi diundur >24 36 jam, dan angiogram awal menyingkirkan indikasi untuk CABG segera.



PERAWATAN UNTUK PASIEN RlSlKO RENDAH



Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tinggi sebaiknya segera menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.



jantung



Djkelualkan dari Prolokol



Koroner



1 or 2 vessel D~sease



2 Vessel Dfsease dengan



Disfungsi ventrikel k~rt atau Diabetes dalam terapi'



+



I



-



PC1 atau CABG



1



-



Terapt Medik PC1 atau CABG



PC1 atau CABG



Gambar 3. Strategi revaskularisasi pada NSTEMIIUAP



1



lndikasi Klas I(level of evidence : A) - Angina rekuren saat istirahaff aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat terapi - Peninggian troponin I atau T - Depresi segmen ST baru - Anginaliskemia rekuren baru dengan gejala gagal jantung kongestif, ronki, regurgitasi mitral - Tes stres positif - Fraksi ejeksi kurang dari 40% - Penurunan tekanan darah - Takikardia ventrikel sustained - PC1 < 6 bulan, CABG sebelumnya



TATAMSANA PREDISCHARGEDANPENCEGAHAN SEKUNDER



Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal, nasihat diet, menghentikan merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya. Terdapat satu penelitian besar double-blind, placebocontrolled, The Myoacrdial Ischemia Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering (MIRACL), yang menunjukkan manfaat penggunaan statin secara dini. Pasien-pasien UANSTEMI sebaiknya diterapi, sesuai National Cholesterol Education Program (NCEP 111), dan konsentrasi kolesterol LDL sebaiknya tereduksi hingga kurang dari 100mgIdl.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI of Patients with Unstable Angina). Obat antiiskemik dan Antitrombotikl Antiplatelet Aspirin Klopidogrel* atau tiklodipin Penyekat beta lnhibitor ACE



Antagonis kalsium (antagonis dihidropiridin kerja singkat harus dihindari)



Warfarin intensitas rendah dengan Atau tanpa aspirin Dipiridamol Obat lnhibitor HMG-CoA reduktase lnhibitor HMG-COA reduktase Gemfibrozil Niasin Niasin atau gemfibrozil Folat Antidepresan Terapi hipertensi HRT (inisiasi)t HRT (lanjutan)?



Kerja O b a t



Antiplatelet Antiplatelet Jika kontraindikasi Aspirin Anti-iskemik Fraksi ejeksi < 4 0 atau Gagal jantung kongestif Fraksi ejeksi > 4 0 Antianginal untuk gejala iskemik Antiangina



KlaslLevel o f Evidence



I Untuk gejala iskemik (harus dihindari) jika penyekat beta tidak berhasil (level of evidence: B) atau kontraindikasi atau menyebabkan efek samping yang tak dapat diterima (level of evidence: C) l l blB



Antitrombotik Antiplatelet Faktor Risiko



Klas I Level of Evidence



Kolesterol LDL > I 3 0 mg/dL Kolesterol LDL 100130 mgIdL Kolesterol HDL I 35/85 mm Hg Kondisi pascamenopause Kondisi pascamenopause



REFERENSI Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, et al. ACCIAHA guidelines for the management of patients with unstable angina non-ST segment elevation myocardial infarction: A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management



J Am Coll Cardiol. 2000;36:970-1062 Braunwald E. Antrnan EM. Beasley JW. et al. ACCIAHA guideline update for the management of patients with unstable angina and non-ST-segment elevation m)ocardial infarction-2002: Summary article. Circulation. 2002; 106: 1893-900. Bertrand ME, Simoons ML, Fox KAA. et al. Management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Task Force of the European Societ) of Cardiology. Eur Heart J. 2002; 23: 1809-40. Braunwald E. Application of current guidelines to the management ofunstable angina and non-ST elevation myocardial infarction. Circulation.2003;108(suppl lI1):111-28-111-37. Scirica BM, Cannon CP. McCabe CH, et al. Prognosis in the Thrombolysis in Myocardial Ischemia 111 Registry according to the Braunwald unstable angina pectoris classification. Am .I Cardiol. 2002; 90: 821-6. Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIMI I l l Registr! ECG Ancillary Study Investigators. The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: Results of the TIMI 111 Registry ECG Ancillary Study. J Am Coll Cardiol. 1997; 30: 133-40. Kaul P. Newby LK, Fu Y , et al. Troponin T and quantitative STsegment depression offer co~iiplementary prognostic information in the risk stratification of acute coronar) syndrome patients. J Am Coll Cardiol. 2003; 41: 371-80. Boersma E, Pieper KS, Steyerberg EW, et al. Predictors of outcome in patients with acute coronary s\.ndromes without persistent ST segment elevation: Results from an international trial of 9461 patients. The PURSUIT investigators. Circulation. 2000: 101: 2557-67. Antman EM, Cohen M, Bernink PJLM, et al. The TIMI risk score for unstable anginalnon-ST elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000: 284: 835-42. Morrow DA, Antman EM. Snapinn S, et al. An integrated clinical approach to predicting the benefit of tirofiban in non-ST elevation acute coronary syndromes: Application of the TIMI Risk Score for UAmSTEMI in PRISM-PLUS. Eur Heart J. 2002; 23: 223-9. Cannon CP, Weintraub WS, Demopoulos LA, et al. Comparison ot' early invasive and conservative strategies in patients with unstable coronary syndromes treated with the glycoprotein llbi llla inhibitor tirotiban. N Engl J Med. 2001; 344: 1879-87. Buda,i A, Yusuf S, Mehta SR. et al. Benefit of clopidogrel in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation in various risk groups. Circulation. 2002; 106: 1622-6. Scirica BM, Cannon CP. Antman EM. et al. Validation of the Thro~nbolysisin Myocardial Infarction (TIMI) Risk score tbr unstable angina and non-ST-elevation m!ocardial infarction in the TIMI 111 registry. Am J Cardiol. 2002; 90: 303-5. James SK, Lindahl B, Siegbahn A, et al. N-terminal pro-brain natriuretic peptide and other risk ~iiarkersfor the separate prediction of mortality and-subsequent myocardial infarction in patients with unstable coronary artery disease: A global utilization of strategies to open occluded arteries (GUSTO)-IV substudy. Circulation. 2003; 108: 275-81. Januzzi JL, Cannon CP, DiBattiste PM. et al. Effects of renal insutficiency on early invasive management in patients nith acute coronary syndromes (The TACTICS-TIM1 18 Trial). Aln J Cardiol. 2002; 90: 1246-9.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASl ST



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Aviles RJ, Askari AT, Lindahl B, et al. Troponin T levels in patients with acute coronary syndromes, with or without renal dysfunction. N Engl J Med. 2002; 346: 2047-52. Sabatine MS, Morrow DA, deLemos J, et al. Multimarker approach to risk stratification in non-ST elevation acute coronary syndromes: Simultaneous assessment of troponin 1, C-reactive protein, and B-type natriuretic peptide. Circulation. 2002; 105: 1760-3. Morrow DA, Braunwald E. Future of biomarkers in acute coronary syndromes: Moving toward a multimarker strategy. Circulation. 2003; 108: 250-2. Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis of randomised trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients. BMJ. 2002; 324: 71-86. Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N Engl J Med. 2001; 345: 494-502. Yusuf S, Mehta SR, Zhao F, et al. Early and late effects of clopidogrel in patients with acute coronary syndromes. Circulation. 2003; 107: 966-72. Hongo RH, Ley J, Dick SE, Yee RR. The effect of clopidogrel in combination with aspirin when given before coronary artery bypass grafting. J Am Coll Cardiol. 2002; 40: 231-7. Mehta SR, Yusuf S, Peters RJ, et al. Effects of pretreatment with clopidogrel and aspirin followed by long-term therapy in patients undergoing percutaneous coronary intervention: The PCI-CURE study. Lancet. 2001; 358: 527-33. Steinhubl SR, Berger PD, Mann JT 111, et al., for the CREDO Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy following percutaneous coronary intervention: A randomized controlled trial. JAMA. 2002; 288: 241 1-20. Simoons ML. Effect of glycoprotein IIb/IIIa receptor blocker abciximab on outcome in patients with acute coronary syndromes without early coronary revascularization: The GUSTO IV-ACS randomized trial. Lancet. 2001; 357: 1915-24. Boersma E, Harrington RA, Moliterno DJ, et al. Platelet glycoprotein Ilb/IlIa inhibitors in acute coronary syndromes: A meta-analysis of all major randomised clinical trials. Lancet. 2002; 359: 189-98. Lincoff AM, Harrington RA, Califf RM, et al. Management of patients with acute coronary syndromes in the United States by platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition: Insights from the Platelet Glycoprotein IIb/IIIa in Unstable Angina Receptor Suppression Using Integrilin (PURSUIT) trial. Circulation. 2000; 102: 1093-1 00. Wong GC, Giugliano RP,Antman EM. Use of low-molecular-weight heparins in the management of acute coronary artery syndromes and percutaneous coronary intervention. JAMA. 2003; 289: 331-42. Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, et al., for the Efficacy and Safety of Subcutaneous Enoxaparin in Non-Q-Wave Coronary Events Study Group. A comparison of low-molecular-weight heparin with unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med. 1997; 337: 447-52. Antman EM, McCabe CH, Gurfinkel EP, et al., for the TIM1 11B Investigators. Enoxaparin prevents death and cardiac ischemic events in unstable anginalnon-Q-wave myocardial infarction: Results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) 1 1 B Trial. Circulation. 1999; 100: 1593-601. Antman EM, Cohen M, Radley D, et al. Assessment of the treatment effect of enoxaparin for unstable anginahon-Q wave



myocatdial infarction: TlMI 1111 ESSENCE meta-analysis. Circulation. 1999; 100: 1602-8. Kereiakes bJ,Montalescot G, Antman EM, et al. Low-molecularweight heparin therapy for non-ST-elevation acute coronary syndromes and during percutaneous coronary intervention: An expert consensus. Am Heart J. 2002; 144: 615-24. Goodman SG, Fitchett D, Atmstrong PW, et al. Randomized evaluation of the safety and efficacy of enoxaparin versus unfractionated heparin in high-risk patients with noh-ST-segment elevation acute coronarysyndromes receiving the glycoprotein IlblIIla inhibitor eptifibatide. Circulation. 2003; 107: 238-44. The SYNERGY ExecCtiVe Committee. Superior yield of the new sttategy bf enoxaparid, revascu/arizat~~n and glycoprotein IIb/ IIIa inhibitots. Am Heart J. 2002; 143: 952-60. TIM1 111 'study Group. Effects of tissue plasminogen activator and a comparlsod of early invasive and conservative strategies in unstable angina atid non-Q-wave myocardial infarction: Results of the TIM1 IIIB trial. Circulation. 1994; 89: 1545-56. Solomon DH, Stone PH, Glynn w, et a). Use of risk stratification to identify patients with unstable angina likeliest to benefit from an invasive versus conservative management strategy. J Am Coll Cardiol. 2001; 38: 969-76. Boden WE, O'Roueke RA, Crawford MH, et el. Outcomes in patients with acute non-Q-wave myocardial infarction randomly assigned to an invasive as compared with a conservative management strategy. Veterans Affairs Non-Q-Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH) Trial Investigators. N Engl J Med. 1998; 338: 1785-92. Wallentin L, Lagerqvist B, Husted S, et al. Outcome at 1 year after an invasive compared with a non-invasive strategy in unstable coronary artery disease: The FRISC I1 invasive randomized trial. Lancet. 2000; 356: 9-16. Mahoney EM, Jurkovitz CT, Chu H, et al. Cost and cost-effectiveness of an early invasive vs conservative strategy for the treatment of unstable angina and non-ST-segment elevation myocardial infarction. JAMA. 2002; 288: 1905-7. Fox KAA, Poole-Wilson PA, Henderson RA, et al. Interventional versus conservative treatment for patients with unstable angina or non-ST-elevation myocardial infarction: The British Heart Foundation RITA 3 randomised trial. Lancet. 2002; 360: 7435 1. The Joint European Society of CardiologyIAmerican College of Cardiology Committee. Myocardial infarction redefined: A consensus document of the Joint European Society of CardiologyIAmerican College of Cardiology Committee for the Redefinition of Myocardial Infarction. Eur Heart J. 2000; 21: 1502-13. Stone PH, Thompson B, Anderson HV, et al., for the TIM1 111 Registry Study Group. Influence of race, sex and age on management of unstable angina and non-Q-wave myocardial infarction. The TIM1 I11 Registry. JAMA. 1996; 275: 110412. Hochman JS, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIM1 Investigators. Outcome and profile of women and men presenting with acute coronary syndromes: A report from TIM1 IIIB. J Am Coll Cardiol. 1997; 30: 141-8. The PURSUIT Trial Investigators. Inhibition of platelet glycoprotein IIb/IIIa with eptifibatide in patients with acute coronary syndrome. N Engl J Med. 1998; 339: 4 3 6 4 3 . Aronow HD, Topol EJ, Roe MT, et al. Effect of lipid-lowering therapy on early mortality after acute coronary syndromes: An



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI observational study. Lancet. 2001; 357: 1063-8. Newby LK, Kristinsson A, Bhapkar MV, et al. Early statin initiation and outcomes in patients with acute coronary syndromes. JAMA. 2002; 287; 3087-95. Schwartz G G Olsson AG Ezekowitz MD, et al. Effects of atorvastatin on early recurrent ischemic events in acute coronary syndromes: The MIRACL study, a randomized controlled trial. JAMA. 2001; 285: 171 1-8. Cannon CP, McCabe CH, Belder R, et al. Pravastatin or atorvastatin evaluation and infection therapy (PROVE IT) -.TIMI 22 trial: Rationale and design. Am J Cardiol. 2002; 89: 860-1. Executive summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel 111). JAMA. 2001; 285: 2486-97. Heart Protection Study Collaborative Group. MRClBHF Heart Protection Study of cholesterol lowering with simvastatin in 20,536 high-risk individuals: A randomized placebo-controlled trial. Lancet. 2002: 360: 7-22.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLITIK PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER Iwang Gumiwang, Ika Prasetya W, Dasnan Ismail



PENDAHULUAN Melalui bukti berbagai studi autopsi, pembedahan dan angiografi, konsep tromboemboli pada lesi stenotik (plak aterosklerotik) merupakan dasar pada mayoritas kejadian penyakit jantung koroner (PJK) dengan berbagai tingkatan klinis. Dalam rangka penanggulangan masalah lesi stenotik dan trombosis ini, upaya dapat dibedakan sebagai usaha preventif (primer atau sekunder) dan usaha terapeutik pada seluruh tingkatan klinis PJK. Sebagai contoh misalnya penanggulangan fase akut sindrom koroner, maka manajemen terapi yang logis adalah melisiskan trombus, "membereskan" vaskular yang stenotik, dan mencegah berulangnya kedua gangguan utama tersebut di masa datang. Obat antitrombus (=antitrombotik) berperan sangat penting. Obat antitrombotik terdiri atas golongan obat trombolitik (misalnya streptokinase, urokinase), golongan antikoagulan (misalnya heparin, low molecular weight heparin, kumarin, warfarin), antitrombin direk (misalnya hirudin, bivalirudin), dan golongan antiagregasi trombosit (selanjutnya disebut antiplatelet) misalnya aspirin, tiklopidin, klopidogrel, dan penghambat GPIIb/IIIa.



PERAN ANTITROMBOTIK PADA PJK Konsep patofisiologi trombosis arteri perlu selalu mempertimbangkan tiga faktor yaitu abnormalitas dinding vaskular termasuk endotel, masalah hemoreologi, dan masalah aliran yang melambat (trias Virchow) selain faktorfaktor lain yang belum diketahui pasti. Pada PJK patogenesis didahului oleh terbentuknya plak ateroskeloris. Plak yang semakin berkembang dan tumbuh menyebabkan diameter lumen arteri koronaria menyempit



(lesi stenotik). Karena terjadi suatu trauma (faktor pencetus) pada plak maka plak mengalarni erosilruptur dan menjadi tak stabil yang kemudian akan diikuti oleh respons koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (extrinsicpathway)dan aktivasi trombosit sehingga sebagai hasil akhir terbentuklah trombus. Hal tersebut di atas merupakan dasar dari patofisiologi sindrom koroner akut (SKA). Bentuk klinis SKA adalah serangan angina tak stabil (unstable angina), IMA gelombang non-Q, dan IMA gelombang Q. Paham yang dianut saat ini adalah bahwa ketiga bentuk SKA tersebut mempunyai patofisiologi yang sama dengan perbedaan terletak pada bentuk trombosis yang menyertainya. Angina tidak stabil ditandai oleh terbentuknya trombus mural, IMA gelombang non-Q oleh trombus inkomplet/nonoklusif sedangkan pada kasus IMA gelombang Q terjadi tromboemboli dengan trombus komplet/oklusif pada plak aterosklerotik yang mengalami erosilruptur tersebut. Terbentuknya trombus ini menyebabkan iskemia dan hipoksemia kardiak dengan segala konsekuensinya. Tugas antitrombotik trombolitik adalah sebagai aktivator plasminogen untuk menjadi plasmin yang akan melisiskan fibrin menjadifibrin degradation product. Antikoagulan mempunyai peran mencegah aktivasi koagulasi misalnya heparin membentuk kompleks dengan antitrombin I11 yang menghambat aktivasi faktor IIa, Xa, dan IXa. Antiplatelet mempunyai peran inaktivasi trombosit dengan berbagai cara, misalnya aspirin dosis rendah bekerja menghambat aktivitas siklooksigenase (COX-1) dalam siklus prostaglandin sehingga terbentuknya prostasiklin lebih tinggi yang bersifat menghambat agregasi dan bersifat vasodilator pula.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Dalam artikel ini akan dibahas ringkasan peran obat antikoagulan dan antiplatelet pada berbagai tingkat klinis PJK yaitu untuk upaya pencegahan primer terhadap morbiditas PJK (primary prevention), angina tak stabil, infark miokard akut (IMA), angioplasti koroner, dan pascabedah pintas. FARMAKOLOGI



Antikoagulan ~ e b e r a ' ~aspek a farmakologis antikoagulan telah diterangkan pada tulisan terdahulu. Secara ringkas obat antikoagulan dibedakan menjadi yang diberikan parenteral dan oral. Antikoagulan parenteral yang dianggap standar adalah heparin (unfractinated heparin) yang dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Heparin masih direkomendasikan untuk beberapa keadaan klinis PJK, meski perlu pemantauan ketat untuk menilai efektivitasnya Dalam lima tahun terakhir, telah dipasarkan heparin baru yang dikenal dengan Low Molecular Weight Heparin (LMWH) yang lebih superior karena lebih stabil, cara pemberian mudah (hanya subkutan), tidak memerlukan monitoring APTT, tetapi lebih mahal dibandingkan heparin standar. Antitrombin Direk Obat pada golongan ini yang telah banyak diteliti adalah bivalirudin selain Hirudin yang telah ada sebelumnya. Hirudin sendiri adalah polipeptida 65-asam amino yang berasal dari lendir pacet atau lintah namun saat ini di buat dari bahan rekombinan berasal dari ragi. Hirudin adalah penghambat spesifik pada trombin. Proses yang pengahambatan ini berlangsung perlahan namun terkadang ireversibel. Antitrombin direk lain adalah Argatroban dan Melagatran. Argatroban diberikan 2 mgkg per menit dalam continuous infusion. Evaluasi dengan memperhatikan aPTT dan tidak melebihi dosis 10 mglkg per menit. Melagatran sendiri dapat diberikan subkutan dan ada preparat oral namun hams mendapatkan prodrug yang memperbaiki bioavailabilitasnya dengan penambahan H376195 (ximelagatran). Obat ini dianjurkan pada DVT. Jenis lain' antitrombin yang bekerja langsung pada penghambat faktor Xa sehingga menghambat pembentukan trombin adalah Fondaparinux yang memiliki waktu paruh pendek. Hasil rekombinan pentasakarida heparin dan bukan berasal dari hewan ini baru direkomendasikan untuk mencegah DVT pasca operasi ortopedi.. Pemberian antitrombin direk ini dilakukan bila terjadi trombositopenia akibat penggunaan heparin.



Antikoagulan Oral Warfarin merupakan obat jenis ini yang paling banyak dipakai di Amerika. Obat ini terpilih karena mula kerja dan lama kerja yang mudah diprediksi. Obat ini bekerja mengganggu konversi siklik vitamin K sehingga akan menginaktivasi prokoagulan yang tergantung dengan vitamin K (faktor 11, VII, IX, dan X).



Antiplatelet Dalam proses trombogenesis ada tiga mekanisme yang berkaitan dengan agregasi trombosit yaitu pertama aktivasi trombosit menyebabkan dinding menjadi siap, kedua adalah produksi dan sekresi ADP dan serotonin, dan ketiga terbentuknya tromboksan A2. Obat antiplatelet saat ini ditujukan untuk mempengaruhi mekanisme tersebut agar trombosit tidak beragregasi satu sama lain. Sampai tulisan ini dibuat, obat antiplatelet yang telah dipasarkan dan dipertimbangkan untuk direkomendasikan adalah aspirin sebagai obat standar, kemudian tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol, sulfinpirazon, dan terbaru adalah golongan GPIIbIIIIa (abciksimab, tirofiban, eptifibatid). Aspirin menghambat pembentukan tromboksan A2. Tiklopidin dan klopidogrel mempunyai struktur yang mirip, berasal dari golongan tienopiridin dengan efek yang juga sama-sama menghambat reseptor ADP. Efek samping tiklopidin yang dilakporkan adalah terjadinya neutropenia. Penghambat GPIIaIIIIb menahan proses bridging yang merupakan jalur terakhir ('final p a t h w a y ) antar trombosit. Mekanisme kerja dipiridamol belum jelas benar, mungkin memblok ambilan adenosin. Sulfinpirazon mungkin bekerja mirip seperti aspirin. Trombolitik Trombolitik bekerja dengan merubah proenzim plasminogen menjadi enzim plamin aktif melalui pelepasan ikatan peptida arginin-valin. Plasmin dapat melisiskan bekuan fibrin dan merupakan suatu serum protease nonspesifik yang mampu merusak plasminogen dari faktor V dan VIII, juga dapat bertindak sebagai penghambat agregasi trombosit pada stenosis arterial. Aksi plasmin dapat dinetralisir oleh penghambat plasma dalam pembuluh seperti, a-antiplasmin. Pencarian obat antitrombotik baru masih terus dilakukan. Saat ini strategi pemikiran dalam rangka pencarian obat antitrombotik tersebut ditujukan sebagai berikut. Menghambat reaksi trombosit - Menghambat adhesi - Menghambat rekruitmen - Memblok agregasi Menghambat koagulasi '



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK PADA PJK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI - Mencegah terbentuknya trombin



-



Mencegah aktivasi trombin Meningkatkan aktivitas antikoagulan naturallsendiri - Modulasi alur protein C Meningkatkan fibrinolisis endogen - Memblok penghambat aktivator plasminogen tipe 1 (plasminogen activator inhibitor type 1) - Menghambat prokarboksipeptidase B REKOMENDASI APLlKASl KLlNlS ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK PADA PJK Pencegahan Primer (Primary Prevention) Pemberian rutin aspirin pada kasus usia < 50 tahun, tak pernah ada riwayat IMA, strok, TIA tidak direkomendasikan. Pada kasus seperti di atas tetapi mempunyai risiko yang meningkat terhadap coronary events misalnya memiliki satu faktor risiko utama (merokok, diabetes, hipertensi, dislipidemia) direkomendasikan aspirin 80-325 mghari. Bila tak bisa dengan aspirin, dapat diberikan warfarin untuk sasaran INR 1.5. Angina Stabil (Stable Angina) Direkomendasikan semua kasus ini, mendapat aspirin 160325 mglhari seumur hidup. Angina Tidak Stabil (Unstable Angina) Antiplatelet Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg. Bila tak tahan dengan aspirin dapat diberikan tiklopidin 2 x 250 mglhari atau klopidogrel 75 mglhari (50-100 mg). Pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadap aspirin, tiklopidin, dan klopidogrel dianjurkan sejak awal diberikan heparin dilanjutkan warfarin untuk beberapa bulan. Sulfinpirazon tidak dianjurkan. Antikoagulan Heparin direkomendasikan pada semua pasien dengan dosis bolus 75 UlkgBB n!dilanjutkanpemeliharaan1250 Uljam dengan sasaran APTT 1,s-2 x kontrol selama minimal 48jam atau sampai keadaan stabiVmendapat terapi definitif Altematif Lain LMWH (enoxiparin, dalteparin) dapat menggantikan heparin. Penghambat GIIbIIIIa direkomendasikan terutama pada UAP yang resisten dengan terapi standar atau pasien disiapkan untuk angioplasti



lnfark Miokard Akut Antikoagulan dan trombolitik Direkomendasikan pada seluruh pasien IMA mendapat terapi antikoagulan. Pada kasus yang mendapat terapi trombolitik: 1. RtPA atau alteplase harus mendapat heparin: Bolus 75U/KgBB iv lalu dosis pemeliharaan 1000- 1200 Uljam sampai 48 jam dengan sasaran APTT 1,5-2 x normal. Pada kasus dengan risiko tinggi trombus sistemik, dosis pemeliharaan diteruskan > 48 jam untuk selanjutnya dipertirnbangkan antikoagulan oral jangka panjang. 2. Streptokinase atau APSAC Heparin IV hanya diberikan pada kasus dengan risiko tinggi terhadap trombosis vena atau sistemik seperti IMA anterior, CHF,riwayat emboli sebelumnya, dan AF. Pemberian heparin bila APTT setelah < 2 x kontrol. Setelah lewat 48 jam diberikan subkutan 2 x sehari untuk sasaran APTT 1,5-2 x kontrol dan dilanjutkan antikoagulan oral. Bila terdapat trombositopenia disebabkan heparin pada penerima streptokinase atau alteplase, maka dapat diberikan hirudin IV (lepirudin 0,l mgkg bolus dilanjutkan dengan 0,15 mg/jam infus). Pemberian fibrinolisis direkomendasikan dengan gambaran: Gejala iskemiajelas IMA dengan segrnen ST meningkat atau LBBB pada EKG serta kurang dari 12jam kejadian diberikan terapi fibrinolisis intravena (perhatikan kontraindikasi pemberian). Gejala jelas IMA selama 12-24jam dengan segmen ST meningkat atau LBBB pada EKG dapat diberikan terapi fibrinolisis. Terdapat riwayat perdarahan intrakranial, strok setahun terakhir atau perdarahan aktif maka terapi fibrinolitik tidak boleh diberikan Setiap pasien yang mendapatkan terapi fibrinolisis sebaiknya diberikan pula aspirin 160-325 mg saat tiba di rumah sakit maupun pada perawatan selanjutnya. Semua pasien yang akan menerima terapi fibrinolisis seharusnya mendapatkan terapi tersebut paling lambat 30 menit setelah tiba di rumah sakit. Jenis obat fibrinolisis pilihan disesuaikan dengan waktu sebagai berikut: Gejala muncul kurang dari 12jam diberikan streptokinase (atau reteplase), anistreplase atau alteplase. Gejala muncul kurang dari 6 jam diberikan alteplase. Bila ada alergi terhadap streptokinase diberikan alteplase, tenekteplase atau reteplase. Pada kasus yang tidak mendapat terapi trombolitik: Heparin diberikan pada kasus yang berisiko tinggi. Diberikan bolus 75 UKgBB IV lalu dosis pemeliharaan 1000-1200Uljarn.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Antikoagulan oral hingga 3 bulan, kecuali pada AF diberikan selamanya. Di atas dari kasus-kasus tersebut pada semua IMA dianjurkan heparin low dose subkutan 2 x 7500 U per hari sampai berobat jalan.



~ntiplatelet Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg. Aspirin diteruskan meski pasien mendapat terapi trombolitik dan atau heparin. Bila pasien akan mendapat antikoagulan oral aspirin dihentikan sementara. Disarankan aspirin tidak diberikan bersamaan dengan warfarin kecuali pada kasus risiko emboli sangat tinggi atau kasus yang gagal bila hanya diberi salah satunya. Aspirin jangka panjang lebih diutamakan dibandingkan warfarin karena efektif, aman, dan murah. Pada kasus yang risiko trombosis dapat dipilih memberikan antikoagulan oral hingga 1-3 bulan yang selanjutnya disambung dengan aspirin. Pasien yang tak tahan dengan aspirin direkomendasikan dengan klopidogrel. Sulfinpirazon, tidak dianjurkan pada pasca-IMA. Dipiridamol secara sendiri atau bersama aspirin tidak dianjurkan pada pasca-IMA. Pasca-IMA Risiko Tinggi Pasca-IMA risiko tinggi, yaitu kasus dengan usia > 75 tahun, gagal jantung klinis, gangguan fungsi sistolik (LVEF < 40%), riwayat emboli kiri atau kanan, riwayat strok dan TIA, pasca-IMA anterior luas, dan atrial fibrilasi. Antikoagulan oral jangka panjang, menurunkan risk ratio 68% dibandingkan dengan kontrol)) dengan target INR 2,5 (rentang 2,O-3,O). Aspirin dosis rendah, menurunkan risk ratio 21% dibandingkan dengan kontrol. Pada kasus risiko tinggi ini antikoagulan oral lebih direkomendasikan dibandingkan dengan aspirin.



Penghambat GIIbIIIIa (abciximab, eptifibatid, atau tirofiban) direkornendasikan pada semua kandidat PTCA terutama yang berisiko tinggi. Tidak diberikan rutin karena alasan mahal. Pada kasus angioplasti primer, abciximab direkomendasikan. Heparin diberikan untuk target ACT (activated clotting time) 300- 350 detik. Dosis heparin diberikan bolus 70- 150 Ulkg dan sheath dicabut bila ACT < 150 detik. Bila penghambat GIIbIIIIa diberikan, dosis heparin diturunkan 70 UIKgBB. Heparin pascatindakan tidak diberikan secara rutin. Kasus yang dipasang stent Aspirin diteruskan pascatindakan 160-325mg. Dipiridamol tidak lagi direkornendasikan. klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari atau tiklopidin 2x 250 mglhari, mulai 24 jam sebelum PTCA atau tiklopidin 250-500 mghari diberikan paling tidak selarna 14 hari dan hingga 30 hari pada kasus risiko tinggi terhadap stent trombosis. LMWH dapat diberikan sebagai tambahan. Warfarh tak direkomendasikan. Penghambat GIIbAIIa direkomendasikan. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)



Pasca CABG Aspirin 325 rnghari, dimulai 6 jam pascaoperasi sampai selama setahun untuk menurunkan risiko terjadinya penutupan vena safena graft. Aspirin tidak direkomendasikan diberikan > 12 bulan untuk tujuan mempertahankan grafrpatency, meskipun aspirin disarankan tetap dipakai seumur hidup pada pasien CAD. Bila tak bisamenerima aspirin, dapat diberikan tiklopidin 2 x 250 mghari dimulai 48 jam pascaoperasi. Pada CABG dengan arteri mamaria intema, aspirin hanya optional.



REFERENSI Percutaneous Tranluminal Coronary Angioplasty (PTCA) Waktu tindakan dan pascatindakan: Sebelum tindakan aspirin 80-325 mg diberikan minimal 2 jam sebelumnya. Aspirin jangka panjang (long term aspirin) 160-325 mg per hari untuk selamanya kecuali ada penyulit. Dipiridamol tak diberikan rutin. Untuk pasien yang tak bisa mendapat aspirin, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari atau tiklopidin 2x 250 mghari, mulai 24 jam sebelum PTCA bila tidak ditemukan kontra indikasi



DeWood MA, Spores J, Notske R, et al. Prevalence of total coronary occlusion^ during the early hours of transmural myocardial infarction. N Engl J Med 1980; 303:897-902. Falk E. Unstable angina with fatal outcome: dynamic coronary thrombosis leading to infarction andlor sudden death: autopsy evidence of recurrent mural thrombosis with peripheral embolization culminating in total vascular occlusion. Circulation 1985; 71:699-708. Fifth ACCP consensus conference on antithrombotic therapy. Chest 1998; 1 14(suppl). Braunwald E. Unstable angina. An etiologic approach to management (editorial). Circulation 1998;98:2219-22. Ambrose JA, Dangas G. Unstable angina current concepts of pathogenesis and treat-ment. Arch Intern Med 2000;160:25-37.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ANTITROMBOTIKDAN TROMBOLITIKPADA PJK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gumiwang G. Antikoagulan pada penyakit jantung koroner. kapan diberikan dan bagaimana pemantauannya?. http:// www.interna.fk.ui.ac.id1 Antman EM, Fox KM for the international cardiology forum. Guidelines for the diagno-sis and management of unstable angina and non-Q-wave myocardial infarction: proposed revisions. Am Heart J 2000;139:461-75. Ryan TJ. 1999 Update ACCIAHA guidelines for the management of patients with acute myocardial infarction. A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Management of Acute Myocardial Infarction). Circulation 1999;lOO: 1016-30. Frishman WH et al. Antiplatelet and antithrombotic drugs. Dalam Frishman WH et al editor. Cardivascular pharmacotherapeutics manual. Edisi 2. New York. McGraw-Hi11.2004



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1771



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



277 EDEMA PARU AKUT Sjaharuddin Harun, Sally Aman Nasution



PENDAHULUAN Edema paru akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paruparu yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. EPA adalah keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi. Berikut ini akan dibahas mengenai mekanisme, klasifikasi dan aspek klinis EPA, sedangkan penatalaksanaan lebih difokuskan pada EPA kardiak.



Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru: Membran Kapiler Alveoli Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.



di mana; Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Pi" = T'ekanan hidrostatik intravaskular. Pint= Tekanan hidrostatik interstisial. lliY = Tekanan osmotik koloid intravaskular. llint= Tekanan osmotik koloid interstisial 6, = Koeffisien refleksi protein. K, = Konduktans hidraulik. Sistem Limfatik Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk menerima larutan, koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkial dan perivaskular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium nonalveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemarnpuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam ha1 jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 mll jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 mlljam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran napas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



EDEMA PARU AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus Ketidakseimbangan "Starling Force" Peningkatan tekanan vena pulmonalis. Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain : (1) Tanpa gagal ventrikel kiri (mis : stenosis mitral), (2) Sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi). Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial, sehingga cairan dapat berpindah dengan lebih mudah di antara sistem kapiler dan limfatik. Peningkatan negativitas dari tekanan interstisial. Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Keadaan yang sering menjadi etiologi adalah : (1). Perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumotoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut 'edema paru re-ekspansi'. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan 'edema paru re-ekspansi' ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2). Tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkial). Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler Alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome) Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force. Pneumonia (bakteri, virus, parasit) Terisap toksin (NO, asap). Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi Aspirasi asam lambung. Pneumonitis akut akibat radiasi Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin) Disseminated intravascular coagulation



Immunologi :pnemonitis hipersensitif Shock-lung pada trauma non toraks. Pankreatitis hemoragik akut. lnsufisiensi Sistem Limfe Pasca transplantasi paru. Karsinomatosis, limfangitis Limfangitis fibrotik (silikosis) Tidak Diketahui atau Belum Jelas Mekanisme nya High altitude pulmonary edema. Edema paru neurogenik. Over dosis obat narkotik Emboli paru. Eklampsia Pasca kardioversi. Pasca anastesi Pasca operasi pintas jantung paru



EDEMA PARU KARDIOGENIK Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik, dan disertai ronki inspirasi akibat terbukanya saluran pernafasan yang tertufup. Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, ha1 ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dari petanda vaskular paru, hilangnya demarkasi dari bayangan hilus paru dan penebalan septa interlobular (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI EPK Anamnesis Acute cardiac event Penemuan Klinis Perifer



S3 gallop I kardiomegali JVP Ronki Laboratoriurn EKG Foto toraks Enzim kardiak PCWP Shunt intra pulmoner Protein cairan edema



EPNK



(+)



Jarang Penyakit dasar I B-C, II, IV



Dingin (low flow state) (+I Meningkat Basah



Hangat (high flow state) Nadi kuat (-1 Tak meningkat Kering Tanda penyakit dasar



Iskernia I infark Distribusi perihiler Bisa meningkat > 18 rnmHg. Sedikit < 0.5



Biasanya normal Distribusi perifer Biasanya normal < 18 rnmHg. Hebat >0.7



JVP: jugular venous pressure PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure



semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnu. Pada proses yang terus berlanjut, atau meningkat menjadi stage 3 edema paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali bahkan menjadi hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonar akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi oleh cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam ha1 ini terapi morfin, yang diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, bila akan dipergunakan harus dengan pemantauan yang ketat. Diagnosis dan Etiologi Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang dramatik kejadian gaga1jantung kiri yang akut. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar di atrium kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolik atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada jalur keluar dari ventrikel kiri. Peningkatan tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali terjadinya edema paru kardiogenik tersebut. Akibat akhir



yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat. Bersamaan dengan ha1 tersebut terjadi juga rasa takut pada pasien karena kesulitan bemafas, yang berakibat peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa tidak nyaman dan usaha bernapas yang hams kuat akan menambah beban pada jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas edema paru akut kardiogenik masih tinggi. Manifestasi Klinis Anamnesis. Edema paru akut kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nokturnal dispnea, karena kejadiannya yang sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka merasakan ketakutan, batuk-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang benvama kemerahan (pinkJi.othy sputum). Pemeriksaan fisis. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



EDEMA PARU AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung I1 pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat. Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau alveolar. Laboratorium. Kelainan pemeriksaan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar. Uji diagnostik yang dapat dipergmakin untuk membedakan dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP (brain natriureticpeptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspneu lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik, hams dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi. EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infarks miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain : iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau katekolamin.



Penatalaksanaan Penatalaksanaan terutama untuk edema paru akut kardiogenik. Terapi EPA harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisis masih berlangsung. Pasien diletakkan pada posisi setengah duduk atau duduk, harus segera diberi oksigen, nitrogliserin, diuretik i.v., morfin sulfat, obat untuk menstabilkanhemodinamik, trombolitik dan revaskularisasi, intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan gangguan konduksi, serta koreksi definitif kelainan anatomi. Terapi oksigen. Oksigen (40-50%)diberikan sampai dengan 8 Llmenit, untuk mempertahankanPaO,, kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO, tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi 0, konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO,, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat,



maka perlu dilakukan intubasi endotrakheal, suction dan penggunaan ventilator. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan peroral 0,4 - 0,6 mg tiap 5 - 10 menit. Jika tekanan darah sistolik cukup baik (> 95 mmHg). Nitrogliserin intravena dapat diberikan dimulai dengan dosis 0.3 - 0.5 mglkg BB. Jika nitrogliserin tidak memberi hasil yang memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid. Morfin Sulfat. Diberikan 3 - 5 mg i.v., dapat diulangi tiap 15 menit. Sampai total dosis 15 mg biasa cukup efektif. Diuretik i.v. Diberikan furosemid 40-80 mg i.v. bolus, dapat diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai dicapai produksi urine 1mltkg BBljam. Obat untuk Menstabilkan Klinis Hemodinamik Nitroprusid i.v.: dimulai dosis 0,l mgkg BBlmenit. diberikan pada pasien yang tidak memperlihatkan respons yang baik dengan terapi nitrat atau pada pasien dengan regugitasi mitral, regurgitasi aorta, hipertensi berat. Dosis dinaikkan sampai didapat perbaikan klinis dan hemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah yang normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. Dopamin 2 - 5 pg /kg BBlmenit :atau dobutamin 2 - 10 mg k g BBImenit. osis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis, dan kedua obat ini bila diperlukan dapat diberikan bersama-sarna. Digitalisasi bila ada fibrilasi atrium (AF) atau kardiomegali. Obat trombolitik ; atau revaskularisasi (urgent PTCA, CABG) pada pasien infark miokard akut. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen. Terapi terhadap artirnia atau gangguan konduksi. Koreksi definitif misalnya penggantian katup atau repair pada regurgitasi mitral berat bila ada indikasi dan keadaan klinis mengizinkan.



PROGNOSIS



Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk yang disebabkan kelainan kardiak masih tinggi. Setelah mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat pasien dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan seperti sebelum serangan. Kebanyakan dari mereka yang selamat mengatakan sangat kelelahan pada saat serangan tersebut. Diantara beberapa gejala edema paru ini terdapat tanda dan gejala gagal jantung. Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



,



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sangat tergantung dari penyakit yang mendasarinya, misalnya infark miokard akut serta keadaan komorbiditas yang menyertai seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal terminal. Sedangkan prediktor dari kematian di rumah sakit antara lain adalah : diabetes, disfungsi ventrikel kiri, hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik.



REFERENSI ACCIAHA Task Force Report : Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure. Circulation 1995;92:2764-2784. Braundwauld E, Colucci WS and Grossman W : Clinical Aspect of Heart Failure : Pulmonary Edema in : Braundwauld E : Heart Disease, A Textbook of Cardiovascular Medicine, 7th ed. Philadelphia : WB Saunders Company; 2005.p. 539-68. Goldberger E, Wheat MV : Treatment of Cardiac Emergency: Cardiopulmonary Emergencies 5Ih ed, St Louis: The CV. Mosby Company; 1990.p. 194-21 0. Galloway JM, Fenster PE : Acute Pulmonary Edema in : Green HL, Johnson WP, Maricic MJ : Decision Making in Medicine. St Louis: Mosby Year Book Inc; 1993.p. 70-71.



-



Gandhi SK, Powers JC, Nomeir AM et al. The pathogenesis of acute pulmonary edema associated with hypertension. N Engl J Med 2001; 344: 17. Hunt SA, Baker DW, Chin MH et al. ACCIAHA guidelines for the evaluation and management of chronic heart failure in the adult: Executive Summary. A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation 2001 ; 104: 2996. Kawanishi DT, Rahimtoola S.H. Acute Pulmanary Edema in Hurst J.W. Current Therapy in : Cardiovascular Disease, 3rd ed. Philadelphia: B.C. Decker Inc; 1991.p. 3-7. Pitt B, Zannad F, Remme WJ et al. The effect of spironolactone on morbidity and mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med 1999; 341: 709-17. Schlant RC, Sonnenblick EH : Phatophysiology of Heart Failure in: Schlant RC, Alexander RW : The Heart Arteries and Veins 8Ih ed, New York: McGraw-Hill, Inc; 1994.p. 515-55. Schuller D, Lynch JP, Fine D. Protocol-guided diuretic management: Comparison of furosemide by continuous infusion and intermittent bolus. Critical Care Med 1997;25: 1969-75.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI Marutam M. Panggabean



PENDAHULUAN Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan tercatat pada tahun 1978proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gaga1 ginjal, atau gangguan retina mata.



PATOGENESISPENYAKITJANTUNG HlPERTENSl Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme FrankStarling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan lgangguan fungsi



sistolik) Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris,infark jantung dll) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis (lihat patogenesis aterosklerosis atau penyakit jantung koroner) dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia miokard dan gangguan hngsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi. Evaluasi pasien hipertensi atau penyakitjantung hipertensi ditujukan untuk: meneliti kemungkinan hipertensi sekunder, menetapkan keadaan pra pengobatan, menetapkan faktor faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor yang akan berubah karena pengobatan, menetapkan kerusakan organ target, dan menetapkan faktor risiko PJK lainnya.



KELUHAN DAN GEJAIA Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada keluhan. Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh 1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar debar,rasa melayang (dizzy) dan impoten 2. Penyakit jantunglhipertensi vasksular seperti cepat capek, sesak napas,sakit dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina, transient serebral ischemic. 3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsia, poliuria, dan kelemahan otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Trigliserida, HDL dan kolesterol LDL



yang labil pada sindrom Cushing. Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).



PEMERIKSAAN FlSlS Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai keadan umum: memperhatikan keadaan khusus seperti: Cushing, feokromasitoma, perkembangan tidak proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada pada koarktasio aorta.Pengukurantekanan darah di tangan kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arterikarotis untuk menilai stenosis atau oklusi. Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk menilai HVK dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks yang prominen. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop vetrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiri.Bila S3 dan S4 ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti ronki basah atau ronki keringlmengi. Pemeriksaan pemt ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilikus (renal artery stenosis). Arteri radialis, Arteri femoralis dan arteri dorsalis pedia hams diraba.Tekanan darah di betis hams diukur minimal sekali pada hipertensi umur muda (kurang dari 30 tahun).



Kalsium dan fosfor Foto toraks Ekokardiografi dilakukankarena dapat menemukan HVK lebih dini dan lebih spesifk (spesifisitas sekitar 95-100%). Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah: - Konfirmasi gangguan jantung atau murmur - Hipertensi dengan kelainan katup - Hipertensi pada anak atau remaja - Hipertensi saat aktivitas,tetapinormal saat istirahat - Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan fimgsi diastolik atau sistolik) Ekokardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik (gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal atau tipe restriktif).



PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntunan umum (JNC VII 2003, ESHIESC 2003). Pengelolaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat bermanfaat. Pasien hipertensi pasca infarkjantung sangat mendapat manfaat pengobatan dengan penyekat beta , penghambat ACE atau antialdosteron Pasien hipertensi dengan risiko PJK yang tinggi mendapat manfaat dengan pengobatan diuretik, penyekat beta dan pengharnbat kalsium. Pasietl hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik, penghambat, ACEIARB, penyekat beta dan antagonis aldosteron. Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip pengobatannya sama dengan pengobatan gagal jantung yang lain yaitu diuretik, penghambat ACEIARB, penghambat beta, dan penghambat aldosteron.



PEMERIKSAAN PENUNJANG REFERENSI Pemeriksaan laboratoriurn awal meliputi: Urinalisis:protein,leukosit,eritrosit,dan silinder Hemoglobin/hematokrit Elektrolit darah:Kalium Ureumkeatinin Gula darah puasa Kolesterol total Elektrokardiografi menunjukkan HVK pada sekitar 2050% (kurang sensitif) tetapi masih menjadi metode standar. Apabila keuangan tidak menjadi kendala,maka diperlukan pula pemeriksaan: TSH Leukosit darah



Boedi-Darmojo et a1,61hAsean Congress of Cardiology,Jakarta,l986 Chobanian AV,Bakris GL,Black HR et al.The seventh report of the joint national committee on prevention,detection ,evaluation and tratment of high blood pressure:the JNC 7 report.JAMA. 2003;289:2560-72. Fisher NDL, Williams GH.Hipertensive vascular disease.1n: Kasper DL,Braunwald E,Fauchi AS, et.al.editors.Harrison's principles of internal medicine. 16 ed.2003 :1463-81. Guidelines Committee.2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial hypertensi0n.J Hypertens. 2003;21 :I01 1. Panggabean MM.Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi. 1n:Bawazir LA, Alwi I, Fahrial Syarn A, et al.Prosiding simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular 23 Februari-25 Februari 2001.Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian 1.P.Dalam FKUI.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA Ali Ghanie



PENDAHULUAN Definisi Penyakit jantung kongenital merupakan kelainan struktur atau fungsi dari sistem kardiovaskular yang ditemukan pada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di kemudian hari. lnsiden Kejadian yang sebenarnya dari kelainan kardiovaskular sulit ditentukan secara akurat, oleh karena ada beberapa ha1 yang tidak terdeteksi pada saat kelahiran, misalnya stenosis aorta bikuspidalis dan prolaps katup mitral, padahal keduanya merupakan kelainan paling sering ditemukan. Demikian pula beberapa kelainan lain seperti sindrom Marfan dan anomali Ebstein. Frekuensi relatif kejadian malformasi jantung pada persalinan 30.5 % Defek septum ventrikel Defek septum atrium 9.8 % Duktus arteriosus persisten 9.7 % Stenosis pulmonal 6.9 % Koarktasio aorta 6.8% Stenosis aorta 6.1 % Tetralogi Fallot 5.8 % Transposisi pembuluh darah besar 4.2% Trunkus arteriosus persisten 2.2 % Atresia trikuspid 1.3 % Dalam 20-30 tahun terjadi kemajuan pesat dalam diagnosis dan pengobatan penyakit jantung kongenital pada anak-anak. Sebagai akibatnya anak-anak dengan penyakit jantung kongenital bertahan hidup sampai dewasa.



Di Amerika penyakit jantung kongenital baik yang dikoreksi maupun yang tidak diperkirakan meningkat 5 % pertahun. Insiden penyakit jantung kongenital diperkirakan sebesar 0.8 %, di mana 85 % di antaranya bertahan hidup sampai dewasa muda. Pada dasarnya kelainan jantung kongenital dikelompokkan atas dua kelompok besar yaitu kelompok tanpa sianosis, dan yang disertai sianosis. Kelompok sianosis secara rinci lebih banyak dibicarakan dalam kardiologi anak, sebagian di antaranya dilakukan tindakan reparasi, sebagian lagi hanya paliasi. Sedangkan sembuh pada beberapa kasus masih jauh dari memuaskan, sehingga tetap menjadi pasien sesudah suatu tindakan, karena sebagian tindakan bersifat bukan kuratif. Sementara itu kelainan kongenital yang mencakup katup dibicarakan pada bab penyakit jantung katup. Cakupan dalam buku ajar ini hanya kelompok nonsianosis sebelum tindakan intervensi yang bertahan sampai dewasa, antara lain defek septum atrium (DSA), defek septum ventrikel (DSV), duktus arteriosus persisten (DAP), koarktasio aorta (KA), tetralogi Fallot (TF), serta transposisi pembuluh darah besar (TPB) Etiologi Sulit ditentukan, terjadi akibat interaksi genetik yang multi faktorial dan sistem lingkungan, sehingga sulit untuk ditentukan satu penyebab yang spesifik.



DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA) Definisi dan Morfologi Defek septum atrium merupakan keadaan di mana terjadi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



defek pada bagian septum antar atrium sehingga tejadi komunikasi langsung antara atrium kiri dan kanan. Septum atrium yang sesungguhnya adalah dalam lingkaran fosa ovalis. Menurut lokasi defek DSA dikelompokkan menjadi : Defek septum atrium (DSA) sekundum, defek terjadi pada fosa ovalis, meskipun sesungguhnya fosa ovalis merupaka~iseptum primum. (Gambar 1)



Gambar 4. Defek septum primum



Gambar 1. Defek septum atrium sekundum



Gambar 2. Jantung normal



Pada keadaan tertentu di mana defek cukup besar dapat keluar dari lingkaran fosa ovalis. Umumnya defek bersifat tunggal tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi beberapa fenestrasi kecil, dan sering disertai dengan aneurisma fosa ovalis. Defek septum atrium dengan defek sinus venosus superior, defek terjadi dekat muara vena kava superior, sehingga terjadi koneksi biatrial. (Gambar 3) Sering vena pulmonalis dari paru-paru kanan juga mengalami anomali, di mana vena tersebut bermuara ke vena kava superior dekat muaranya di atrium. Dapat juga terjadi defek sinus venosus tipe vena kava inferior, dengan lokasi di bawah foramen ovale dan bergabung dengan dasar vena kava inferior.



-



w



Gambar 3. Defek septum atr~umsinus venasus



Defek septum atrium primurn, merupakan bagian dari defek septum atrioventrikular dan pada bagian atas berbatas dengan fosa ovalis sedangkan bagian bawah dengan katup atrioventrikular. (Gambar 4.)



FisiologilHemodinamik Akibat yang timbul karena adanya defek septum atrium sangat tergantung dari besar dan lamanya pirau serta resistensi vaskular paru. Ukuran defek sendiri tidak banyak berperan dalani menentukan besaran dan arah pirau. Sebagaimana diketahui tidak terdapat gradien antara atrium kiri dan kanan, aliran darah akan tergantung dengan besarnya resistensi. Oleh karena ventrikel kanan lebih tipis dan Iehih ukomod~rij.arah aliran dari atrium kiri dan atrium kanan akan menuju ventrikel kanan. Terjadi beban volume berlebihan pada atrium dan ~entrikelkanan. sementara volume di atrium dan ventrikel kiri tetap atau rnenurun. Trrjadi perubahan konfigurasi diastol di ventrikel kiri, karena septum ventrikel akan mencembung ke arah kiri Manifestasi dan Pemeriksaan Fisis Defek septum atrium sekundum lebih sering terjadi pada perempuan dengan rasio 2 : 1 aritara perempuan dan pria, sedangkan pada tipe sinus venosus rasio I : 1. Defek septum atrium (DSA) sering tidak terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimtomatik, dan tidak memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas. Lebih sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin foto toraks (gambar 7,8,9,10,1 1 ) atau ekokardiografi. Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti normal, cukup banyak yang bertahan hidup sampai usia lanjut. Oleh karena itu DSA tipe sekundum merupakan kelainan jant~mgkongenital yang paling sering ditemukan pada dewasa. Sesak napas dan rasa capek paling sering nierupakarl keluhan awal, deliiikian pula infeksi napas yang berulang. Pasien dapat sesak pada saat aktivitas. dan berdebardebar akibat takiaritmia atrium. Pada pemeriksaan tisis dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada daerah para sternal kanan, wi(r'~~,fixed splittirig bunyi jantung kedua walaupun tidak selalu ada, bising sistolik tipe ejeksi pada daerah pulmonal pada garis sternal kiri atas, bising mid diastolik pada daerah trikuspid, dapat menyebar ke apeks. Bunyi jantung kedua lnengeras di daerah pulmonal, oleh karena kenaikan tekanan pulmonal, dan perlu diingat bahwa bising-bising yang terjadi pada DSA lnerupakan bising fungsional akibat adanya beban vol~~lne yang besar



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada jantung kanan. Sianosis jarang ditemukan, kecuali bila defek besar atau common atrium, defek sinus koronarius, kelainan vaskular paru, stenosis pulmonal , atau bila disertai anomali Ebstein. Elektrokardiografi Elektrokardiografi menunjukkan aksis ke kanan, blok bundel kanan, hipertrofi ventrikel kanan, interval PK memanjang, aksis gelombang P abnormal, aksis ke kanan secara ekstrim biasanya akibat defek ostium primum. (Garnbar 5 dan 6) Gambar 8. Foto rontgen dada pada perneriksaan rutin, rasio jantung-toraks rnembesar, segrnen pulmonal menonjol, dan arteri pulrnonal kanan juga rnelebar dan tappered. P e m e r i k s a a n ekokardiografi rnenunjukkan suatu DSA sekundum



Gambar 5. Elektrokardiogram seorang perempuan 17 tahun, rnenderita DSA II yang menunjukan garnbaran incomplete RBBB



Gambar 6. Elektrokardiogram seorang perempuan 33 tahun, menderita DSA II yang rnenunjukan garnbaran complete RBBB



Foto Rontgen Dada Pada foto lateral terlihat daerah retrostemal terisi, akibat pembesaran ventrikel kanan. Dilatasi atrium kanan Segmen pulmonal menonjol, corakan vaskular paru prominen



Gambar 7. Pada foto rontgen dada secara kebetulan diternukan adanya pernbesaran segrnen pulrnonal, dan pada pemeriksaan ekokardiografi terbukii sebagai DSA sekundurn



Gambar 9. Foto rontgen dada atas indikasi kelainan paru , terlihat f~brosispada kedua lapangan paru, segmen pulrnonal terlihat rnernbesar, walaupun pinggang jantung juga terlihat rnenghilang, tetapi akibat tarikan fibrosis pada daerah hilus. Ekokardiografi rnenunjukkan DSA sekundum.



Gambar 10. Foto rontgen dada seseorang yang rnemang diketahui sebagai penderita DSA sekundurn berat tanpa tindakan, setelah 7 tahun terlihat kardiornegali dengan segrnen pulmonal dan arteri pulrnonalis kanan yang sangat rnenonjol.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 11. Foto rontgendada seorang laki-laki, 49 tahun, dengan keluhan sesak napas, splitting bunyi kedua, menunjukkan rasio jantung- thorak membesar dengan segmen pulmonal yang rnenonjol, terbukti sebagai DSA II pada perneriksaan ekokardiografi pulmonal rnenonjol dan pembesaran arteri pulmonalis kanan.



Ekokardiografi Dengan menggunakan ekokardiografi transtorakal (ETT) dan doppler benvarna dapat ditentukan lokasi defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan ventrikel kanan, keterlibatan katup mitral misalnya prolaps yang memang sering terjadi pada DSA (gambar 12 sld 18) Ekokardiografi transesofageal (ETE) sangat bermanfaat bila, dengan cara ini dapat dilakukan pengukuran besar defek secara presisi, sehingga dapat membantu dalam tindakan penutupan DSA perkutan, juga kelainan yang menyertai (garnbar. 15,16,17,18)



Gambar 14. Ekokardiografi 2-D transtorakal rnenunjukan adanya defek septum atrium dan ventrikel (slnus venosus, defek atrioventrikulo septum)



Gambar 15. Eko transesofageal rnenunjukkan defek septum primurn dan adanya defek septum ventrikel (tanda panah)



Gambar 12. Ekokardiografi 2-D seorang laki-laki 49 th menunjukkan defek atrium sekundum dengan pirau dari atrium kiri ke kanan.(secara kebetulan dicurigai dari foto rontgen dada pada garnbar 10 sebagai DSA).



Gambar 13. Ekokardiografi warna 2-D yang diambil pada tahun 1998 menunjukkan defek septum sekundum dengan pirau dari atrium kiri ke atrium kanan (warna merah). Foto terakhir pada tahun 2005 menunjukkan adanya hipertensi pulmonal yang berat (gambar 9)



Gambar 16. Seorang laki-laki 63 tahun diketahui menderita DSA sekundum, menolak tindakan penutupan defek. Setelah beberapa tahun terjadi kenaikan tekanan hipertensi pulmonal sedemikian (sindrom Eisenmenger). Pada perneriksaan ekokardiografi 2-D transtorakal, terlihat defek septum namun pada ekokardiografi warna tidak jelas terlihat arah pirau. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal terlihat defek cukup besar dengan pirau dua arah (warna biru berupa pirau dari atrium kanan ke atrium kiri dan merah berupa pirau dari atrium kiri kekanan, tanda panah).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1783



PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 17. Pemeriksaan eko transesofageal rnenunjukkan kelalnan berupa stenosis katup tr~kusp~d, dan stenosrs katup pulrnonal yang menyertai kelainan DSA sekundum



Gambar 18. Perneriksaan eko transesofageal menunjukkandefek septum atrium sekundum dan adanya stenos~stricuspid.



Kateterisasi Jantung Pemeriksaan ini diperlukan guna Melihat adanya peningkatan saturasi oksigen di atrium kanan Mengukur rasio besamya aliran pulrnonal dan sistemik (QpIQs) Menetapkan tekanan dan resistensi arteri pulmonalis Evaluasi anomali aliran vena pulnlonalis Angiografi koroner selektif pada kelompok umur yang lebih tua, sebelum tindakan operasi penutupan DSA. Mugnetic Resonance Imuging Sebagai tambahan dalam menentukan adanya dan lokasi DSA Evaluasi anomali aliran vena, bila belum bisa dibuktikan dengan modalitas lain Dapat juga dipakai untuk estimasi QpiQs



Penatalaksanaan Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tennasuk keluhan, Lrniur, irkuran dan anatomi defek, adanya kelainan yang menyertai, tekanan arteri pulmonal serta resistensi vaskular paru.



lndikasi penutupan DSA : Pembesaran jantung pada foto toraks, dilatasi ventrikel kanan, kenaikan tekanan arteri pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan keluhan. Prognosis penutupan DSA akan sangat baik dibanding dengan pengobatan medikamentosa. Pada kelompok umur 40 tahun ke atas hams dipertimbangkan terjadinya aritrnia atrial, apalagi bila sebelumnya telah ditemui adanya gangguan irarna. Padqkelompok ini perlu dipertimbangkan ablasi perkutan atau ablasi operatif pada saat penutupan DSA. Adanya riwayat iskemik fransienf atau strok pada DSA atau foramen ovale persisten Operasi merupakan kontraindikasi bila terjadi kenaikan resistensi vaskular paru 7-8 unit, atau ukuran defek kurang dari 8 mm tanpa adanya keluhan dan pembesaran jantung kanan. Tindakan penutupan dapat dilakukan dengan operasi terutama untuk defek yang sangat besar lebih dari 40 mm, atau tipe DSA selain tipe sekundum. Sedangkan untuk DSA sekundurn dengan ukuran defek lebih kecil dari 40 rnrn harus dipertimbangkan penutupan dengan kateter dengan menggunakan amplafzer septa1 occluder. Masih dibutuhkan evaluasi jangka panjang untuk menentukan kejadian aritmia dan komplikasi tromboemboli. Pemantauan Pasca Penutupan DSA Pada an&-an& tidak bermasalah, dan tidak memerlukan pernantauan Pada dewasa atau umur yang lebih lanjut perlu evaluasi periodik, terutama bila pada saat operasi telah ada kenaikan tekanan arteri pulrnonal, gangguan irama atau disfungsi ventrikel Profilaksis untuk endokarditis diperlukan pada DSA primum, regurgitasi katup, juga dianjurkan pemakaian antibiotik selama 6 bulan pada kelompok yang menjalani penutupan perkutan. C



DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV) Definisi dan Morfologi Merupakan kelainan jantung di mana terjadi defek sekat antarventrikel pada berbagai lokasi. (Gambar 18) Merupakan kelainan kongenital yang tersering sesudah kelainan aorta bikuspidalis, sekitar 20 % ( 1.5 - 2.5 dalam 1000 persalinan, tidak ada perbedaan kejadian antara laki-laki dan perempuan) Klasifikasi defek septum ventrikel ditentukan oleh lokasi defek relatif pada empat komponen lokasi septum. (ekokardiograti gambar 19.20) Perimembrano~ls.merupakan tipe yang paling sering



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



(80?4), menggatnbarkan def'isiensi dari membran septum langsung di bawah katup aorta (Gambar 19). Muskular, di mana defek dibatasi oleh daerah otot ( 5 20%). (gambar 20) Double comtnitted suhurteriul ventricular septul dqfect, sebagian dari batas defek dibentuk oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan pulmonal(6%).



Gambar 19. Defek septum ventrikel



Gambar 20. Eko transesofageal seorang perempuan 40 tahun dengan bising s~stoliktipe ejeksl menunjukkan t DSV besar permembran dengan arah plrau dar~apek ventr~kelk ~ (warna r~ merah) menuju ventrikel kanan (warna blru)



Ukuran dan besarnya aliran melalui defek merupakan faktor yang penting dalam menentukan akibat fisiologis serta tambahan klasifikasi DSV. Ekokardiografi dapat dipakai untuk rnengukur besarnya defek dan menghitung perbandingan besar defek terhadap ukuran annulus aorta. Pada DSV kecil ('maladie de Roger 7 , ukuran defek lebih kecil dari 113 anulus aorta, terjadi gradien yang signifikan antara ventrikel kiri dan kanan (>64 mmHg). Defek seperti ini disebut restriktif, dengan berbagai variasi aliran dari kiri ke kanan, tekarian sistol ventrikel kanan dan resistensi pulmonal normal.(gambar ekokardiografi 20) Defek septum ventrikel rnoderat dengan restriksi, gradien berkisar 36 mmHg, besar defek sekitar '/z anulus aorta. Awalnya derajat aliran dari kiri ke kanan bersifat sedang berat. Resistensi vaskular paru dapat meningkat, tekanan sistolik ventrikel kanan dapat meningkat walaupun tridak melampaui tekanan sistemik. Ukuran atrium dan ventrikel kiri dapat membesar akibat bertambahnya beban volume. Pada DSV besar non restriktif, tekanan sistol ventrikel kiri dan kanan sama. Sebagian besar pasien akan mengalami perubahan vaskular paru yang menetap dalam waktu satu atau dua tahun kehidupan. Dengah waktu terjadi penurunan aliran dari kiri ke kanan, bahkan terjadi aliran dari kanan ke kiri, yang kita kenal sebagai fisiologi Eisenmenger. (gambar ekokardiopati 19) Gambaran Klinis Tergantung ukuran defek dan urnur saat ditemukan, pada DSV kecil terdengar bising pansistolik. Defek kecil bersifat benigna, dan dapat menutup spontan tergantung tipenya, dan biasanya tidak mengganggu pertumbuhan. Pada DSV besar dapat disertai sesak napas dan gangguan pertumbuhan oleh karena meningkatnya aliran pulmonal Pemeriksaan fisis Oksimetri, saturasi oksigen normal, kecuali bila ada konipleks Eisenmenger.



Garnbar 21. Eko transesofageal penderita dengan DSV pada pars membranous



Fisiologi Pada DSV terjadi aliran darah dari ventrikel kiri menuju ventrikel kanan, terjadi percampuran darah arteri dan vena tanpa sianosis.



Elektrokardiografi Biasanya dapat ditemukan gelombang rnelebar P pada atrium kiri yang membesar, atau gelombang Q dalam dan R tinggi pada daerah lateral. Adanya gelombang R tinggi di V1 dan perubahan aksis kekanan menunjukkan hipertroti ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal. Foto Rontgen dada Bisa normal pada DSV kecil, bisa juga terjadi pembesarq segmen pulmonal dengan kardiomegali.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1785



PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ekokardiografi Dapat menentukan lokasi defek, ukuran defek, arah dan gradien aliran, perkiraan tekanan ventrikel kanan dan pulmonal, gambaran beban volume pada jantung kiri, keterlibatan katup aorta atau trikuspid serta kelainan lain (lihat Gambar 19,20) Magnetic Resonance Imaging Memberikan gambaran yang lebih baik terutama DSV dengan lokasi apikal yang sulit dilihat dengan ekokardiografi. Juga dapat dilakukan besarnya curah jantung, besaran pirau, dan evaluasi kelainan yang menyertai seperti pada aorta asendens dan arkus aorta. Kateterisasi Menentukan tekanan serta resistensi arteri pulmonalis, reversibilitas resistensi dengan menggunakan oksigen, nitric oksid, prostaglandin atau adenosin. Evaluasi aliran intrakardiak, kelainan yang menyertai seperti regurgitasi aorta, menyingkirkanDSV multipel, serta evaluasi koroner pada usia yang lebih lanjut. Penatalaksanaan Tujuannya untuk mencegah timbulnya kelainan vaskular paru yang permanen, mempertahankan hngsi atrium dan ventrikel kiri, serta mencegah kejadian endokarditis infektif. Defek kecil biasanya disertai thrill pada garis sternal kiri sela iga keempat. Bising bersifat holosistolik, tetapi dapat juga pendek. Perjalanan Penyakit Defek septum ventrikel dapat menutup dengan bertambahnya usia, kecuali defek sub aortik, sub pulmonik, atau defek tipe kanal. Defek septum ini dapat menutup secara spontan pada 25 - 40 % saat umur pasien 2 tahun, 90 % pada saat umur 10 tahun. Pada pasien yang tidak dioperasi, prognosis baik bila terjadi penutupan spontan DSV, demikian pula DSV kecil yang asimtomatik. Dengan angka kekerapan hidup 25 tahun sebesar 95.9 %. Sedangkan pada DSV non-restriktif apalagi disertai komplek Eisenmenger prognosis jelek, dengan angka kekerapan hidup 25 tahun 41.7 %. Pada pasien yang dioperasi tanpa hipertensi pulmonal mempunyai angka keker~psnhidup yang normal.



fetal, tetap paten sampai lahir, pertama kali ditemukan oleh Galen (13 1 AD) Lokasi muara duktus terletak lebih ke kiri percabangan arteri pulmonalis, sedangkan ujung aorta duktus terletak pada bagian bawah aorta setinggi arteri subklavia kiri. Bentuk duktus mengecil pada lokasi arteri pulmonal, sehingga berbentuk kerucut karena penutupan dimulai dari daerah pulmonal. (Gambar 21) Hemodinamik (akibat fisiologis) tergantung dari beberapa faktor, ukuran dari komunikasi tersebut, resistensi pembuluh darah paru, derajat prematuritas, dan kemampuan fungsional ventrikel kiri yang mengalami beban volume. Bila duktus kecil, resistensi vaskular paru normal. Terdapat gradien tekanan antara aorta dan arteri pulmonalis sepanjang siklus kardiak, dan bertanggung jawab terhadap aliran darah aorto-pulmonal. Aliran tidak besar dan gangguan hemodinamik tidak signifikan. Bila duktus besar tetapi restriktif, aliran pulmonal meningkat, sehingga terjadi beban volume pada ventrikel kiri, tetapi resistensi pulmonal tetap normal. Atrium kiri dan ventrikel kiri akan mernbesar, tetapi tanpa disertai hipertrofi ventrikel kanan. Bila duktus tidak restriktif, tekanan aorta akan diteruskan langsung ke trunkus pulmonal, sehingga terjadi hipertensi pulmonal dengan konsekuensi beban tekanan pada ventrikel kanan Gradasi dari DAP dapat dikelompokkan sebagai berikut : Silent, berupa DAP kecil yang biasanya ditemukan secara kebetulan pada saat ekokardiografi, tidak terdengar bising. Kecil, terdengar bising bersifat ejeksi panjang, atau kontinu, tidak ditemui perubahan hemodinamik, pulsasi perifer normal, tanpa perubahan ukuran atrium dan ventrikel kiri, juga tanpa disertai hipertensi pulmonal. Moderat, tekanan nadi besar seperti pada regurgitasi aorta, bising kontinu, ditemukanpembesaran atrium dm ventrikel kiri, dan hipertensi pulmonal yang biasanya # masih reversibel Besar, biasanya pada dewasa disertai dengan Eisenrnenger, bising kontinu tidak ditemukan. Akan terjadi sianosis setempat akibat saturasi oksigen dibagian bawah tubuh lebih rendah dibanding lengan kanan, dan pada kaki dapat terjadi jari tabuh.



DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN (DAP) Definisi dan Morfologi Merupakan suatu kelainan di mana vaskular yang menghubungkan arteri pulmonal dan aorta pada fase



Gambar 22. Duktus Arteriosus Persisten (DAP)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN PADA NATlF ATAU RESIDUAL DAP Pemeriksaan Fisis Tekanan nadi yang besar menunjukkan DAP yang signifikan Adanya hiperdinamik ventrikel kanan, terabanya suara kedua menunjukkan hipertensi pulmonal. Bising kontinu pada garis sternal kiri atas. rnenyebar ke belakang. Ada kalanya bising bersifat ejeksi panjang bukan kontinu. Pada DAP besar dan komplek Eisenmenger, tidak ditemukan bising kontinu, tetap tanda-tanda hipertensi pulmonal, sianosis tubuh bagian bawah dail jari tabuh pada tungkai Elektrokardiogram Dapat ditemukan gelombang P yang melebar, komplek QRS yang tinggi akibat beban tekanan pada atrium dan ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kanan dapat terlihat akibat hipertensi pulmonal. Foto Rontgen Adanya dilatasi arteri pulmonal, meningkatnya corakan vaskular, dilatasi atrium kiri, menunjukkan adanya aliran dari kiri ke kanan yang signifikan. Dapat terlihat adanya kalsifikasi pada posisi anteroposterior dan lateral pada pasien yang lebih tua.



Ekokardiografi (Gambar 23) Dapat diukur ukuran dari DAP, pada dewasa biasan) a sukar dan kurang tepat. Dapat ditentukan ukuran a t r i ~ ~ m dan ventrikel kiri sebagai petanda aliran dari kiri ke kanan yang signifikan. Juga dapat diukur tekanan arteri pulmonalis, adanya gradien lebih dari 64 mmHg pada daerah DAP menunjukkaan tidak adanya hipertensi pulrnonal Kateterisasi Dilakukan apabila ada keragu-raguan dalam penentuan tekanan pulmonal dan kernungkinan reversibilitas dari tekanan pulmonal, dengan menggunakan tes oklusi balon. Penatalaksanaan Penutupan DAP, dianjurkan dengan alasan hemodinamik, mencegah endarteritis, dan mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Intervensi dengan kateter, merupakan pilihan dalam penutupan DAP, terutama bila terdapat kalsifikasi pada duktus, karena akan meningkatkan risiko pada operasi. Operasi dianjurkan pada DAP yang besar, atau terdapat distorsi seperti aneurisma.



Garnbar 23. Foto (A) menunjukkan ekokardiografi 2-D tanpa warna dengan potongan sumbu pendek setinggi aorta, terlihat hubungan antara aorta dan a.pulmonalis kiri. Sedangkan foto (B) menunjukkan arah aliran (rnerah) dari aorta dengan velositi pada doppler yang kontinyu pada fase sistol dan diastol



KOARKTASIO AORTA (KA) Definisi dan Morfologi Merupakan stenosis atau penyempitan lokal atau segmen hipoplastib )any panjang. Pertama kali ditemukan oleh Morgagni pada tahun 1760 pada autopsi dari seorang rahib, kemudian di.jelaskan secara rinci patoanatominya oleh Jordan ( 1827) dan Reynaud (1 828). Pada dewasa lokasi tersering KA ditemukan pada pertemuan arkus aorta dan aorta desenden, segera sesudah rnuara dari arteri subklavia kiri. Pada keadaan tertentu, tetapi jarang dapat juga ditemukan pada aorta abdominalis. Koarktasio Aorta dapat berupa kelainan tersendiri (KA sin~ple),tanpa kelainan jantung lain. Dapat berupa KA kompleks yang disertai kelainan intra kardiak seperti katup aorta bukuspid, defek septum ventrikel, kelainan katup mitral, serta ekstra kardiak berupa aneurisma sirkulus dari Willisi atau sindrom Turner. Manifestasi Klinis Sangat tergantung pada derajat KA dan adanya kelainan kardiovaskular penyerta. Pada pasien yang tidak diobati, 60% KA berat tanpa penyerta dan 90% yang disertai kelainan jantung penyerta. akan meninggal pada tahuntahun pertama kehidupan. Walaupun ekspektasi umur rata-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNC KONCENITAL PADA DEWASA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI rata KA adalah 35 tahun, ada yang bertahan hidup sampai umur lanjut. Pasien yang bertahan hidup sampai dewasa tanpa diobati biasanya mempunyai kelainan KA pasca duktal yang ringan, umumnya asimtomatik dalam waktu lama. Sering tidak ditemukan tekanan darah yang tinggi , oleh karena itu diagnosis baru ditegakkan sesudah umur dewasa. Masalah yang mungkin timbul nantinya dapat berupa dan mungkin sebagai penyebab kematian adalah gaga1 jantung kiri (28%), perdarahan intrakranial (12%), endokarditis bakterialis (18 %), ruptur atau diseksi aorta (21%), dan penyakit jantung koroner yang lebih awal. Gejala Pasien dewasa biasanya hipertensi, dan dapat ditemukan bising, walaupun pada dewasa sering asimtomatik. Gejala yang khas akibat tekanan darah tinggi pada badan bagian atas dapat berupa sakit kepala, perdarahan hidung, melayang, tinitus, tungkai dingin, angina abdomen, kelelahan tungkai pada latihan bahkan perdarahan intrakranial. Klaudikasio tungkai dapat menggambarkan KA abdominalis. Pemeriksaan Fisis Tekanan darah sistolik lebih tinggi pada lengan dibanding tungkai, tetapi tekanan diastolik sama, oleh karena itu tekanan nadi di lengan akan besar. Pulsasi arteri fernoralis lemah dan terlambat dibanding arteri radialis. Dapat teraba thrill sistolik pada pada daerah suprasternal. Bila disertai aorta bikuspid, dapat terdengar bising sistolik tipe ejeksi, dan suara kedua mengeras. Bising sistolik kasar tipe ejeksi dapat terdengar sepanjang garis sternal kiri dan belakang, terutama didaerah koarktasio. Adanya kolateral dapat menimbulkan bising kontinyu.



Ekokardiografi Tidak terlalu mudah untuk mendeteksi isthmus aorta, pengambilan sudut dari supra sternal dapat membantu. Dengan ekokardiografikardiografi dapat dilihat kelainan akibat koarktasio atau adanya kelainan intra kradiak yang menyertai. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography Dapat memberikan gambaran seluruh aorta, dan merupakan pemeriksaan pilihan non invasif untuk KA. Dengan MRI dan CT dapat ditentukan lokasi dan derajat penyempitan aorta. Kateterisasi Merupakan baku emas untuk evaluasi anatomi KA serta pembuluh supraaortik, dapat ditentukan gradien tekanan yang menggambarkan derajat KA, fungsi ventrikel kiri, dan status arteri koroner. Penatalaksanaan Tindakan operatif, dengan tujuan menghilangkan stenosis dan regangan pada dinding aorta, serta mempertahankan patensi dari aorta. Reparasi segera sesudah diagnosis pada usia muda mempunyai risiko yang lebih kecil dibanding usia yang lebih lanjut. Sesudah 30 40 tahun mortalitas intra-operatif tinggi akibat akibat adanya proses degenerasi pada dinding aorta. Tindakan intervensi berupa angioplasti dengan atau tanpa implanttasi stent mempakan pengobatan alternatif baik pada anak-anak maupun dewasa. Pada kondisi rekoarktasio, terdapat kesepakan bahwa pilihan lebih kepada tindakan angioplasti baik dengan atau tanpa stent .



TETRALOG1 FALLOT (TF) Elektrokardiografi Dapat memberikan gambaran berbagai derajat beban tekanan pada atrium dan ventrikel kiri, secara fungsional akibat hipertensi, berupa hipertrofi atrium dan ventrikel kiri. Foto Rontgen Dada Ukuran jantung pada radiografi toraks bisa normal, dilatasi aorta asenden, kinking atau gambaran double contour di daerah aorta desenden, sehingga terlihat gambaran seperti angka tiga dibawah aortic knob ('figure 3' sign), serta pelebaran bayangan jaringan lunak arteri subklavia kiri. Rib notching dari daerah posteroinferior kosta ketiga dan keempat, terjadi akibat kolateral arteri sela iga, jarang terlihat sebelum umur 50 tahun.



DefinisilMorfologi Pertama kali dijelaskan oleh Nicholas Steno (1673), dan pada tahun 1888 Etienne-Louis Arthur Fallot menjelaskan hubungan klinis dengan perubahan patologis. Secara anatomis malformasi terdiri dari stenosis katup pulmonal (umumnya stenosis subinfundibular), defek septum ventrikel, deviasi katup aorta ke kanan sehingga kedua ventrikel bermuara ke aorta (overriding aorta), hipertrofi ventrikel kanan. Defek septum ventrikel, defek biasanya tunggal, besar dan bersifat non restriktif, 80% bersifat perimembran. Stenosis pulmonal, pada sebagian besar kasus stenosis subinfundibular, katup biasanya abnormal, walaupun biasanya bukan sebagai penyebab utama obstmksi. Dapat juga terjadi atresia dari infundibulum atau katup, serta hipoplasia dari arteri pulmonal. Aorta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI overriding, derajat override aorta terhadap ventrikel kanan bervariasi dari 5 - 95%. Oleh karena itu Tetralogi Fallot bisa sebagai double outlet ventrikel kanan bila lebih dari 50 % muara aorta berada di ventrikel kanan. Hal ini penting saat tindakan koreksi di mana diperlukan penutup yang lebih besar. Lesi yang menyertai, penting diketahui karena mempunyai nilai pada saat tindakan koreksi bedah. Dapat berupa DSA, DSV tipe muskular, defek septum atrioventrikular anomali arteri koroner.



Gambaran Klinis Perubahan fisiologis yang terjadi tergantung dua variabel, derajat obstruksi pulmonal, dan resistensi vaskular sistemik. Sebagian besar pasien dengan TF akan mengalami gangguan pertumbuhan, kadang terjadi sirkulasi kolateral ke paru sehingga dapat mempertahankan pertumbuhan. Sianosis yang terjadi simetris, akibat pirau dari ventrikel kanan ke kiri melalui defek besar yang non-restriktif. Hipertrofi ventrikel kanan biasanya tidak terlalu berat, lain halnya pada hipoplasi arteri pulmonal, sehingga tidak sampai terjadi obliterasi rongga ventrikel kanan. Sehingga masih dimungkinkan tindakan reparasi Bila obstruksi pulmonal tidak terlalu berat maka derajat sianosispun ringan, dikenal sebagai acyanotic Fallot atau pink tetralogy, dan kadang-kadang ditemui pada dewasa muda. Cepat Lelah Hypoxic spells, merupakan ha1 penting berupa paroksismal hiperpnea, hipoksia, anoksia, biru atau serangan sinkop. Riwayat jongkok pada keadaan tertentu, akan menurunkan aliran darah balik yang kurang kandungan oksigennya, meningkatkan resistensi sistemik sehingga aliran darah ke paru akan besar, saturasi oksigen akan meningkat. Adanya gelombang pada dinding dada pada bagian bawah sternum akibat gerakan hiperdinamik ventrikel kanan yang mengalami hipertrofi. Suara jantung I normal, bising sistolik akibat aliran darah melalui daerah stenosis bukan melalui defek septum, terdengar di sela iga 11, 111 garis sternal kiri. Bunyi jantung I1 keras dan tunggal bukan karena komponen pulmonal tetapi aorta yang biasanya melebar, pada keadaan ini dapat terdengar bising ejeksi sistolik . Dapat terdengar bising kontinu yang berasal dari kolateral aortopulmonal, merupakan tanda penting dari atresia pulmonal. Elektrokardiogram, menunjukkan gelombang P tajam dengan amplitudo yang normal, dapat disertai dengan hipertrofi ventrikel kanan. Foto Rontgen toraks menunjukkan ukuran jantung bisa normal, paru oligemik, aorta asenden prominen, segmen pulmonal cekung, apek terangkat keatas memberikan gambaran seperti sepatu bot.



Penatalaksanaan Operasi reparasi biasanya dilakukan pada masa anak-anak, namun dapat saja ditemukan TF pada dewasa muda tanpa tindakan operatif sebelurnnya. Bila ditemukan pada dewasa operasi masih dianjurkan karena hasilnya bila dibandingkan dengan operasi pada masa anak-anak sama baiknya. Bentuk operasi adalah penutupan DSV dan menghilangkan obstruksi pulmonal. Upaya menghilangkan obstruksi ini dapat melalui valvulotomi pulmorial, reseksi otot infimdibulum pada muara pulmonal, implanttasi katup pulmonal baik homogra8 atau bioprotese katup babi, atau operasi pintas ekstra kardiak antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dan dapat pula dilakukan angioplasti pada arteri pulmonalis sentral. Sedangkan terapi medikamentosa, mencakup pemakaian antibiotika untuk mencegah endokarditis, penghambat beta untuk menurunkah frekuensi denyut jantung sehingga dapat menghindari spell, dan bila diperlukan dapat dilakukan flebotomi. TRANSPOSISI PEMBULUH DARAH BESAR (TPB) Definisi Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Baillie pada tahun 1797, dan kemudian oleh Farre pada tahun 1814. Biasanya 50 % disertai oleh kelainan kongenital lain .Defek septum ventrikel paling sering menyertai TPB, disusul obstruksi muara aorta dan koartasio aorta. Anatomis Dikenal ada dua macam TPB, 1. Transposisi pembuluh darah besar lengkap Merupakan kondisi anatomi di mana aorta keluar dari ventrikel kanan, dan arteri pulmonal keluar dari ventrikel kiri, hubungan ini disebut sebagai ventriculo-arterial discordance. Sementara hubungan antara atrium dan ventrikel normal yang kita kenal sebagai atrioventricular concordance. Oleh karena itu transposisi ini dikenal sebagai transposisi lengkap dan secara fisiologis tak terkoreksi 2. Transposisi pembuluh darah besar terkoreksi, di sini terjadi atrio ventricular dan ventriculoarterial discordance. Posisi ventrikel terbalik, ventrikel yang secara morfologis ventrikel kanan berada dikiri, sebaliknya ventrikel yang morfologis ventrikel kiri berada di kanan. Gambaran Klinis I Diagnosis Transposisi pembuluh darah besar komplit jarang bertahan sampai dewasa kecuali bila disertai DSV atau DSA. Sedangkan TPB terkoreksi bisa bertahan sampai dewasa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



namun biasanya mengalami gaga1 jantung kiri akibat kegagalan ventrikel yang secara morfologis merupakan ventrikel kanan. Klinis ditemukan sianosis, gambaran radiologis berupa meningkatnya corakan vaskular paru, dan identifikasi ventriculoarterial discordance dengan ekokardiografi



Gatzoulis, MA. Tetralogy of fallot. In: Gatzoulis, MA., Webb, GD., Daubeney, PEF, editors. Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p.3 15. Hornung, T. Transposition of the great arteries. In: Gatzoulis, MA., Webb, GD., Daubeney, PEF. editors Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p.349. Prasad S. Ventricular septal defect. In: Gatzoulis, MA., Webb. GD.. Daubeney,PEF. editors. Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p. 17 1. Perloff, JK. The clinical recognition of congenital heart disease. Clinical recognition of congenital heart disease. 3Id edition. 1987. Shinebourne, WA., Ho, SY. Atrioventricular septal defect: complete and partial (ostium primum atrial septal defect). In: Gatzoulis, MA., Webb, GD., Daubeney, PEF, editors. Diagnosis and management of adult congenital heart disease. 2003; p.179.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1789



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG PADA USIA LANJUT Lukman H. Makmun



PENDAHULUAN Perubahan yang terjadi pada usia lanjut (usila) adalah terjadi proses menua, di mana secara struktur anatomi maupun fungsional terjadi kemunduran, yaitu terjadi proses degenerasi. Pada usila berusia 80-90 tahun terjadi penurunan fungsi pada banyak organ dan sistem, sehingga yang tersisa adalah sebagai berikut: kecepatan konduksi saraf tinggal 85%, Basal metabolic rate menjadi 80%, Volume cairan tubuh juga menjadi SO%, sehingga mudah terjadi dehidrasi bila ada infeksi, indeks kardiak menurun, tinggal 70%, sehingga mudah terjadi sesak bila beraktivitas kapasitas vital paru pun menurun, menjadi 68%, vital capacity maksimum menjadi 40%, glomerularfiltration rate turun menjadi 67%, renalplasmaflow tinggal: 40 - 47% Pada sistem kardiovaskular, proses menua menyebabkan: basal heart rate menurun, respons terhadap stres menurun, LV compliance menurun: karena terjadi hipertrofi, senile amyloidosis, pada katup terjadi sklerosis dan kalsifikasi yang menyebabkan disfungsi katup, A V node dan sistem konduksi fibrosis, komplains pembuluh darah perifer menurun, sehingga afterload meningkat, dan terjadi proses aterosklerotik. Pada penyakit jantung koroner (PJK) yaitu IMA (infark miokard akut) pada usila hanya 50% memberikan gejala nyeri dada. Perbedaan yang terjadi pada pasien usia lanjut ini adalah karena perubahan fisiologis, ataupun terkena suatu penyakit penyerta lain, sehingga akibat ataupun efeknya akan berbeda juga. Penyakit jantung yang sering terdapat pada usia lanjut adalah : penyakit jantung koroner, aritmia, gaga1jantung di samping hipertensi.



PENYAKITJANTUNG KORONER (PJK)



Natural history sama seperti dengan pasien muda. Dimulai



dari proses aterosklerosis awal, yang dipicu dengan adanya berbagai faktor risiko baik yang konvensional maupun yang novel (barn). Pada usia lanjut perempuan dengan menurunnya kadar estrogen, prevalensi PJK meningkat, menyamai prevalensi pada pria. PJK ini sangat sering didapatkan pada populasi usia lanjut, karena progresivitas proses aterosklerosis akibat proses menua. Di Indonesia, menurut WHO-Community study of the elderly di Jawa Tengah tahun 1990 angka morbiditas karena penyakit kardiovaskular pada usia lanjut menduduki tempat kedua setelah rematisme. Manifestasi klinis antara pasien PJK usia lanjut dan pasien usia dewasa muda berbeda, sehingga PJK pada usia lanjut kadang-kadang tidak atau salah terdiagnosis. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya penyakit penyerta (superimposed). Selain itu pada pasien usila, karena sudah menurunnya aktivitas fisik, keluhan sakit dada yang biasanya terpicu oleh aktivitas fisik, tidak akan terasa. Karena itu keluhan sesak napas (dyspnea) akan lebih banyak terasa daripada nyeri dada sebagai keluhan utama, baik pada kasus angina pektoris ataupun pada infark miokard. Hal ini mungkin karena sudah terjadi perubahan pada miokard dan kelenturan perikard (compliance) karena proses menua sehingga terjadi gangguan fungsi diastolik ventrikel. Di samping itu dengan adanya penyakit penyerta seperti emfisem paru akan lebih memperkuat timbulnya keluhan sesak napas dibanding nyeri dada sendiri. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan khusus. Kelainan seperti gallop S4 ataupun bising sistolik sering didapat juga pada pasien usila tidak dengan kalainan jantung akibat proses menua. Pemeriksaan penunjang test treadmill dapat dipergunakan pada pasien dengan dugaan PJK, tetapi perlu diperhatikan keterbatasannya, misal pengaruh obat antara lain digitalis ataupun kemampuan durasi latihan. Pemeriksaan cardiac imaging dengan thallium scanning dapat menolong, bila hasil tes treadmill negatif, sedangkan pasien tersebut



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1791



PENYAKIT JANTUNG PADA USIA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sangat dicurigai menderita PJK. Pemeriksaan angiografi koroner bukan merupakan kontra indikasi untuk dilakukan pada pasien usila, tetapi tetap dengan memperhitungkan cost and benefit setiap tindakan. Pengobatan pada iskemia kronik. Sebenarnya sarna seperti pada usia muda. Semua faktor risiko yang dapat dimodifikasi hams diatasi. Penyakit-penyakit seperti anemia, hipertensi dan gagal jantung sering didapat pada usila, sehingga hams diperhatikan, begitu juga dengan kepatuhan minum obat. Farmaka yang diberikan sama seperti pada pederita muda, tetapi hams diperhatikan adalah mencegah polifarmasi, interaksi obat, efek samping dan pengaturan dosis obat mengingat daya metabolisme dan daya sekresi obat sudah menurun untuk mencegah intoksikasi, yang kesemuanya ini karena sudah terjadi proses menua pada semua organ. Seandainya dengan pengobatan konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, PTCA (percutaneous trans coronary angioplasty) dapat dipertimbangkan. Lebih lanjut tindakan operasi By-pass arteri koroner (CABG) pada usila juga masih dapat dipertimbangkan dengan lebih hatihati mengingat angka mortalitas, morbiditas akan lebih tinggi. Pada infark miokard akut (IMA). Kemungkman komplikasi yang perlu diperhatikan adalah edema paru, gagal jantung kongestif, ruptur ventrikel . Meningkatnya insidens ini belum diketahui dengan pasti patofisiologinya, ada kemungkinan karena sudah berkurangnya fkngsi miokard yang masih sehat, kerusakan miokard sebelumnya,turunnya respons terhadap katekolamin, efek hipertensi atau luasnya infark. Perubahan karena proses menua terjadi perubahan pada tebal dinding ventrikel, impendans di perifer meningkat, muatan kolagen berkurang, ataupun sudah adanya proses inflamasi miokard yang kesemuanya ini mempengaruhikerja miokard sendiri. Pengobatanjuga tidak berbeda dengan pasien dewasa muda. Perlu diperhatikan efek samping dari obat tertentu, misal pemberian heparin



dapat lebih mudah menimbulkan pendarahan sehingga perlu lebih ketat pengawasannya dan juga efek lidokain terhadap susunan saraf pusat yang dapat menurunkan kesadaran.



Aritmia Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung. Perlu diperiksa faktor presipitasi seperti kadar elektrolit darah, efek digitalis, hipertiroidisme, anemia, emboli paru dan gagal jantung. Pengobatan dengan anti aritmia tergantung dari beratnya simtom dengan memperhatikan kekhususan pada usila seperti efek samping, dosis dan juga mengobati penyakit dasamya, serta mengatasi faktor presipitasinya. Bradiaritmia sering didapat pada usila, meskipun tak ada penyakit jantungnya. Hal ini berkaitan dengan perubahan pada sinus node, hipersensitif refleks sinus caroticus atau pengaruh obat seperti digitalis, penyekat beta, antagonis kalsium dan obat anti hipertensi lain. Pengobatan tergantung simtom yang timbul, dan dapat diberikan sulfas atropin, isoproterenol. Bila berat, dapat dipertimbangkan untuk pemasangan pace maker baik sementara maupun permanen.



REFERENSI Cardiovascular Disease in the Elderly. Editor: Aronou WS, Fleg JL.New York. Marcel Dekker Inc. Ed.3. 2004 Weisfeldt ML, Lakatta EG, Gerstenblith G. Aging and cardiac disease. In: Braunwald E, editor : Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. Philadelphia. WB Saunders co. 1998. Ed.3. p. 1650-60.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MANIFESTASI KLINIS JANTUNG PADA PENYAKIT SISTEMIK Idrus Alwi



DIABETES MELITUS Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pada DM, diperkirakan dua pertiga dari semua kematian. Tiga perempat dari penyebab kematian ini karena penyakit jantung koroner ( PJK ). Penelitian menunjukkan pasien DM tipe 2 tanpa riwayat infark miokard mempunyai risiko terjadinya infark sama dengan pasien non DM yang mempunyai infark miokard sebelumnya sehingga DM saat ini dianggap sebagai coronary risk equivalent.



PENYAKITJANTUNG KORONER Angka kejadian aterosklerosis pada pembuluh darah besar dan infark miokard meningkat pada pasien diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus juga merupakan faktor risiko independen untuk penyakit jantung koroner dan angka kejadian penyakit jantung koroner berhubungan dengan lama menderita diabetes. DM tipe 2 meningkatkan risiko terjadinya PJK sebanyak 2 kali lebih besar. Diabetes melitus dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian karena PJK pada pria maupun perempuan dan peningkatan mortalitas pasca infark miokard akut. Pada pasien diabetes melitus, infark miokard tidak hanya terjadi lebih sering namun juga cenderung lebih berat dan cenderung mengakibatkan komplikasi seperti gagal jantung, syok, dan kematian. Pada pasca infark miokard akut, fatalitas pasien DM lebih tinggi daripada pasien non DM. Pasien DM dengan angina pektoris tak stabil menunjukkan mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan kelompok non-DM. Pasien diabetes melitus mungkin tidak mempunyai respons nyeri terhadap adanya iskemia miokard,



kemungkinan karena disfungsi sistem saraf autonom menyeluruh. Pemantauan EKG holter menunjukkan sampai 90% episode iskemia tidak dikeluhkan (silent)pada pasien diabetes dengan penyakit jantung koroner; presentasi iskemia mungkin berupa sesak saat aktivitas atau episodik, edema paru, aritmia, blok jantung, atau sinkop. Karena penyakit jantung koroner lebih sering ditemukan pada pasien dengan diabetes melitus dan seringkali tidak berhubungan dengan gejala-gejala angina yang khas, maka threshold diagnosis harus rendah, terutama jika penyakit sudah berlangsung lama dan terdapat faktor risiko terkait untuk penyakit jantung koroner (misalnya hipertensi, merokok, hiperlipidemia).



Penelitian epidemiologi, autopsi, penelitian hewan dan klinis menduga adanya penyakit jantung diabetik atau kardiomiopati diabetik sebagai entity klinis yang berbeda yang tidak berhubungan dengan hipertensi dan penyakit jantung koroner. Pasien diabetes melitus mungkin mengalami difungsi miokardial berupa kardiomiopati restriktif tanpa adanya penyakit jantung koroner, dengan relaksasi abnormal miokard, dan dibuktikan secara klinis dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat. Mekanisme yang mendasari terjadinya kardiomiopati diabetik adalah multifaktorial antara lain gangguan metabolik berupa deplesi glucose transporter 4, peningkatan asam lemak bebas, perubahan metabolisme energi miokard, defisiensi karnitin dan perubahan homeostasis kalsium; fibrosis miokard dikaitkan dengan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



MANIFESTAS1 KLINIS JANTUNC PADA PENYAKIT SISTEMIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI peningkatan angiotensin 11, IGF-I, dan sitokin inflamasi; penyakit pembuluh kecil (mikroangiopati, penurunan cadangan aliran koroner dan disfungsi endotel), resistensi insulin (hiperinsulinemia dan penurunan sensitivitas insulin) dan neuropati autonom jantung (denervasi dan perubahan kadar katekolamin miokardial). Manifestasi klinis kardiomiopati diabetik awalnya berupa disfungsi diastolik, mulai dari disfungsi diastolik ringan sampai berat dan berlanjut menjadi disfungsi sistolik. Prevalensi disfungsi diastolik pada pasien DM tipe 2 dengan menggunakan ekokardiografi Doppler dilaporkan cukup tinggi. Prevalensi disfungsi diastolik pada pasien DM tipe2 yang terkendali sebesar 60%. Penelitian pada pasien DM tipe2 tanpa kelainan kardiovaskular (hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner dan penyakit jantung valvular) mendapatkan prevalensi disfungsi diastolik 73,3%. Penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara mikroalbuminuria dengan disfungsi sistolik dan diastolik. Penelitian lain dengan menyingkirkan penyakit kardiovaskular menunjukkan tidak ada hubungan antara mikroalbuminuria dengan difungsi diastolik. Secara histologis, pasien-pasien ini memiliki fibrosis interstisial dengan jumlah kolagen, glikoprotein, trigliserida, dan kolesterol yang meningkat pada interstisium miokard. Pada beberapa kasus ditemukan penebalan intima, deposisi hialin, dan perubahan inflamasi pada arteri-arteri intramural kecil. Insidens gagal jantung yang tinggi dan prognosis yang buruk pada pasien DM, selain karena faktor hipertensi dan penyakit jantung koroner, dikaitkan juga dengan adanya kardiomiopati diabetik. Gagal jantung dapat terjadi pada pasien DM tanpa adanya koeksistensi dengan hipertensi dan atau stenosis arteri koroner yang bermakna. Pasien diabetes melitus memiliki risiko lebih besar mengalami gagal jantung klinis, bahkan setelah koreksi penyakit jantung koroner, hipertensi, dan kegemukan, dan mungkin kardiomiopati diabetik memberi kontribusi pada angka kesakitan dan angka kematian kardiovaskular yang meningkat pada pasien DM. Ada beberapa bukti menunjukkan terapi insulin memperbaiki disfungsi miokardial. Mengingat prevalensi kardiomiopati diabetik diketahui cukup tinggi pada pasien DM tipe 2 yang asimtomatik, maka untuk mencegah progresivitas menjadi gagal jantung perlu ditegakkan diagnosis secara dini. Deteksi dini kardiomiopati diabetik dapat dilakukan dengan pemeriksaan ekokardiografi Doppler baik untuk melihat disfungsi diastolik dengan berbagai stadiumnya yaitu; abnormalitas relaksasi (disfungsi diastolik ringan), pseudonormal (disfungsi diastolik sedang), gangguan restriksi (disfungsi diastolik berat), maupun disfungsi sistolik. Penatalaksanaan kardiomiopati diabetik adalah dengan



pengendalian gula darah. Pengobatan lain yang mungkin efektif dalam mencegah atau menghambat kardiomiopati diabetik antara lain : inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE ) dan antagonis reseptor angiotensin. Obat lain yang menunjukkan manfaat pada penelitian hewan antara lain antagonis kalsium, terapi penurun lipid, antioksidan dan obat insulin sensitizer



Penelitian klinis dan epidemiologi menunjukkan obesitas mempunyai hubungan kuat dengan semua faktor risiko kardiovaskular. Obesitas berat, terutama jika terjadi pada distribusi tubuh bagian atas, berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian kardiovaskular. Meskipun obesitas itu sendiri tidak dianggap sebuah penyakit, namun jelas terdapat peningkatan prevalensi hipertensi, intoleransi glukosa, dan penyakitjantung koroner aterosklerotik pada pasien-pasien yang obes. Jaringan adiposa merupakan sumber beberapa molekul yang potensial patogenik seperti : kelebihan asam lemak nonesterifikasi, sitokin (tumor necrosisfactor-a), resistin, adiponektin, leptin dan PAI-1. Kadar CRP yang tinggi juga ditemukan pada obesitas yang menunjukkan kondisi proinflamasi. Mekanisme yang mendasari hubungan antara obesitas abdominal (sebagian obesitas viseral) dan sindrom metabolik belum sepenuhnya diketahui dan tampaknya kompleks. Diduga jaringan adiposa obes melepas kelebihan asam lemak dan sitokin yang menginduksi resistensi insulin. Pasien mempunyai abnormalitas sistem kardiovaskular yang berbeda, dengan ciri peningkatan volume darah total and sentral, curah jantung dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian ventrikel kiri seringkali berada di batas atas normal dan meningkat secara berlebihan dengan latihan. Sebagai hasil overload volume kronik, dapat terjadi hipertropi jantung eksentrik dengan dilatasi dan fungsi ventrikel yang abnormal. Secara patologis, terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan pada beberapa kasus, hipertrofi ventrikel kanan dan dilatasi jantung menyeluruh, yang bukan hanya karena infiltrasi lemak pada miokardium. Meskipun pasien-pasien ini mungkin mengalami kongesti paru, edema perifer dan intoleransi latihan, kesadaran terhadap temuan-temuan ini mungkin tidak dipikirkan pada sebagian besar pasien obes. Penurunan berat badan merupakan terapi yang paling efektif dan menghasilkan pengurangan volume darah dan kembalinya curah jantung menjadi normal. Namun, penurunan berat badan secara mendadak mungkin berbahaya, karena pernah dilaporkan aritmia jantung dan kematian mendadak dikarenakan ketidakseimbangan elektrolit.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Cirmbrr t. Mekanii~cWngsi jentung pad8 obesitas



#ALNUTRISI DAN DEFlSlENSl VITAMIN



Pada @en



di mana a s u p protein, kaiosi, atau keduatlya sangat k m g *jantmgnya rnungkh menjadi kecil, pucat, dm lemah d q m atrofi miofibril dan edema interstisial. Tekanan sistolik dan curah jantungnya rendah, dan tekanea Raai sempit. Edema genedisata sering dijumpai dan discbabkan karena kombinasi beberapa faktor, rnmasuk pentekanan onkotik serum $tm disfungsi miokardiol. Keadaan malnutrisi berat. pada kasus kekurangan kafori disebut marasnus dan pada kasus kekurangan protein yang relatif disebut kwashiorkor. sangat m i n g dijumpai di negara-negara yang kurang berkembang. Namun penyakit jantung nutrisioual yang bennakne mungkin juga terjadi di negara-negara maju, terutama pada pasien dengan penyakit kronis seperti AIDS, pa& pasien dengan anoreksia nervosa, d m pada pasien dengan gagal jantung berat di mana terdapat hipoperfusi gastrointestinal dan kongesti vena yang mungkin mengarah kepada anoreksia dan malabsorpsi. Opemi jantung terbuka mempunyai risiko ymg lebih hesar pada pasien kekurangan gizi, dan pasien mungkin bermanfaat dengan pemberian hipcralimentasi praoperatif. DEFlSlENSlTIAMIN ( BERI-BERI )



Pada banyak kasus, malnutrisi diikuti dengan kekurangan



tiamin, I-t~eskipun hipovitaminosis ini mungkinjuga muncul dengan keberadaan protein dan asupan kalori yang cukup, terutama di Timur, di mana nasi yang kekurangan tiamin menjadi komponen makanan utama. Di negara-negara Barat, penggunaan tepung yang luas yang diperkaya dengan tiamin menghambat adanya kekurangan tiamin terutama pada pecandu alkohol dan ,foocl,faddi,st. Pengukuran thiamine-pyrophusphareeffect (TPPE) secara biokilnia dapat menghitung cadangan tiamin. TPPE yang meninykst, merupakan indikasi kekurangan tiamin. ditemukan pada 20 sampai 90% pasien dengan gagal jantung kronis. Kekurangan tersebut nampaknya disebabkan oleh asupan rnakanan yang dikurangi dan peningkatan ekskresi tiamin urin qang dinduksi obat. Peinberian tiamin akut pada pasien-pasien ini akan meningkatkan fi-aksiejeksi ventrikel kiri dan pembuangan garam dan air. Secara klinis, biasanya terdapat bukti malnutrisi umum, neuropati perifer, glossitis, dan anemia. Sindrom kardiovaskular khas adalah gagal jantung dengan peningkatan curah jantung. takikardia, dan seringkali tekanan pengisian bagian kiri dan kanan jantung meninggi. Penyebab utama keadaan jantung high-ourput ini adalah depresi vasomotor, mekanisme yang tepat belum diketahui namun mengarah pada penurunan resistensi vaskular sistemik. Pemeriksaan jantung inenunjukkan trkanan nadi melebar, takikardia, bunyi jantung ketiga (gcrllop) dan, seringkali rerdengar murmur sistolik apikdl.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



MANIFESTAS1 KLlNlS JANTUNG PADA PENYAKIT SlSTEMlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI EKG mungkin menunjukkan voltase yang menurun, interval QT yang memanjang, dan kelainan-kelainan gelombang T. Pemeriksaan foto Rontgen dada umumnya menunjukkan jantung membesar dengan tanda-tanda gagal jantung kongestif. Respons pada tiarnin seringkali diamati, dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik., penurunan curah jantung, hilangnya kongesti paru, dan penurunan dimensi jantung yang sering terjadi dalaml2 sampai 48 jam. Meskipun respons pada pemberian digitalis dan diuretik mungkin buruk sebelurn terapi tiamin, obat tersebut mungkin penting setelah diberikan tiamin, karena ventrikel kiri mungkin tidak mampu mengatasi beban kerja yang meningkat yang dikarenakan kembalinya tonus vaskular.



DEFISIENSI VITAMIN B,, B,,, DAN FOLAT Vitamin-vitamin ini merupakan kofaktor pembantu dalam metabolisme homosistein yang mungkin memberikan kontribusi dalam sebagian besar kasus hiperhomosisteinemia pada populasi umum. Hiperhomosisteinemia dihubungkan dengan meningkatnya risiko aterosklerosis. Namun, keuntungan klinis menormalkan peninggian kadar homosistein masih belum terbukti.



Hormon tiroid memberikan pengaruh yang besar pada sistem kardiovaskular dengan sejumlah mekanisme langsung atau tidak langsung. Efek kardiovaskular penting pada hipo- dan hipertiroidisme. Hormon tiroid menyebabkan peningkatan pada metabolisme dan konsumsi oksigen seluruh tubuh yang secara tidak langsung memberikan beban kerja tambahan pada jantung. Selain itu, meskipun mekanisme yang jelas belum didefinisikan, hormon tiroid memberikan efek langsung inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan apa yang terlihat dengan stimulasi adrenergik (misalnya takikardia, peningkatan curah jantung). Hormon tiroid meningkatkan sintesis miosin dan Na+, K+-ATPase, seperti halnya dengan densitas reseptor miokardial a-adrenergik.



Manifestasi kardiovaskular hipertiroidisrne termasuk berdebar, hipertensi sistolik, lelah atau, pada pasien-pasien dengan penyakit jantung tersembunyi, angina atau gagal jantung. Takikardia sinus ditemukan pada sekitar 40% pasien dan fibrilasi atrial pada sekitar 15% pasien. Penemuan-penemuan lainnya termasuk prekordium



hiperdinamik, tekanan nadi melebar, peningkatan pada intensitas bunyi jantung pertama dan komponen pulmonik pada bunyi jantung kedua, dan bunyi jantung ketiga. Peningkatan angka kejadian prolaps katup mitral berhubungan dengan hipertiroidisme, dan pada beberapa kasus mungkin ada murmur mid sistolik yang terdengan paling jelas pada left sternal border dengan atau tanpa systolic ejection click. Means-Lerman scratch adalah suara sistolik yang kasar, terdengar pada ruang interkostal kedua kiri selama ekspirasi; karena pergesekan perikardium hiperdinamik pada pleura. Pasien lanjut dengan hipertiroidisme, yang disebut apathetic hyperthyroidism, mungkin muncul hanya berupa manifestasi kardiovaskular tirotoksikosis, seperti fibrilasi atrial, yang mungkin resisten terhadap terapi sampai hipertiroidisme dapat terkendali. Angina pektoris dan gagal jantung kongestif jarang terjadi kecuali ada penyakit jantung yang tersembunyi, dan pada banyak kasus gejalagejala akan hilang dengan pengobatan hipertiroidisrne.



Manifestasi kardiak hipotiroidisme termasuk penurunan curah jantung, volume sekuncup (stroke volume),frekuensi jantung, tekanan darah, dan tekanan nadi. Pada sekitar sepertiga pasien terdapat efusi perikardial yang jarang menimbulkan tamponad. Permeabelitas kapiler yang meningkat menyebabkan efusi perikard dan pleura. Tandatanda klinis lainnya mencakup kardiomegali, bradikardia, denyut nadi melemah dan bunyi jantung menjauh. Meskipun tanda-tanda dan gejala miksedema mungkin mengarah ke diagnosis gagal jantung kongestif, tanpa adanya penyakit jantung lainnya, kegagalan miokard jarang dijumpai. EKG umumnya menunjukkan sinus bradikardia dan voltase rendah dan mungkin menunjukkan interval QT memanjang, penurunan voltase gelombang P, waktu konduksi AV memanjang, gangguan-gangguan konduksi intraventrikular dan kelainan gelombang ST-T nonspesifik. Foto rontgen dada mungkin menunjukkan kardiomegali, seringkali dengan konfigurasi "water bottle", efusi pleura, dan, pada beberapa kasus, terdapat gagal jantung kongestif. Secara patologis, jantungnya pucat, dilatasi, dan flabby, seringkali dengan pembengkakan miofibril, hilangnya, dan fibrosis interstisial. Pasien hipotiroidisme seringkali mengalami peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, dan penyakit aterosklerosis arteri koroner berat. Sebelum pengobatan dengan hormon tiroid, pasien hipotiroidisme seringkali tidak mengalami angina pektoris, kemungkinan karena kebutuhan metabolik yang rendah. Angina dan infark miokard mungkin terjadi selama permulaan penggantian hormon tiroid, terutama pada pasien-pasien berusia lanjut dengan penyakit jantung yang tersembunyi. Oleh karena



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



itu, penggantian harus dilaksanakan dengan hati-hati, dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara berkala.



KARSlNOlD GANAS Tumor-tumor ini terdiri dari sejumlah amin vasoaktif (misalnya serotonin), kinin, indol, dan bahan-bahan lain yang dipercaya mengakibatkan diare,jlushing, dan tekanan darah yang labil. Lesi kardiak, karena karsinoid gastrointestinal, hampir hanya ditemukan pada sisi kanan jantung dan hanya muncul saat ada metastasis ke hati, menunjukkan bahwa substansi yang mengakibatkan lesi tersebut diinaktivasi oleh jalur yang melalui hati dan paruparu. Lesi-lesi yang serupa muncul pada sisi kiri jantung saat terdapat shunt kanan ke kiri atau ketika terdapat tumor pada paru-paru. Lesi-lesi ini berupaJibrousplaques pada endotelium ruang jantung, katup, dan pembuluh besar jantung. Plak-plak ini, yang mengakibatkan distorsi pada katup-katup jantung, terdiri dari sel-sel otot halus yang tertanam pada stroma dari mukopolisakarida asam dan kolagen dan kemungkinan disebabkan oleh penyembuhan luka endotel. Gejala klinisnya seringkali berupa regurgitasi trikuspid, stenosis pulmonal, atau keduanya. Pada beberapa kasus keadaan jantung high-output mungkin terjadi, kemungkinan akibat penurunan resistensi vaskular sistemik yang disebabkan oleh substansi vasoaktif yang dilepaskan oleh tumor. Progresi lesi-lesi kardiak tampaknya tidak terpengaruh oleh antagonis serotonin, dan, pada pasien yang memiliki gejala berat, diindikasikan penggantian katup. Spasme arteri koroner, kemungkinan disebabkan oleh substansi vasoaktif dalam sirkulasi, mungkin ditemukan pada pasien sindrom karsinoid.



FEOKROMOSITOMA Selain menyebabkan hipertensi labil atau menetap, kadar katekolamin dalam sirkulasi yang tinggi yang disebabkan oleh peokromositomajuga munglun menyebabkan kerusakan miokard langsung. Nekrosis miokard fokal dan infiltrasi sel inflamasi ditemukan pada sekitar 50% pasien yang meninggal karena peokromositoma dan mungkin berperan dalam gagal ventrikel kiri yang bermakna dan edema pam. Selain itu, hipertensi menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Fungsi ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif mungkin menghilang setelah pengangkatan tumor.



AKROMEGALI Efek hormon pertumbuhan yang berlebihan pada fungsi jantung mengakibatkan gagal jantung kongestif yang



mungkin disebabkan oleh curah jantung yang tinggi, disfungsi diastolik yang disebabkan oleh hipertrofi ventrikel (dengan peningkatan pada ukuran atau ketebalan dinding ruang ventrikel kiri), atau disfungsi sistolik global. Hipertensi muncul pada sampai sepertiga pasien dengan ciri supresi aksis renin aldosteron dan peningkatan pada jumlah sodium tubuh dan volume plasma. Penyakit jantung muncul pada sekitar sepertiga pasien akromegali, dan berhubungan dengan penggandaan risiko kematian karena penyakit jantung. Manifestasi kardiovaskular pada penyakit sistemik lain seperti penyakit kolagen akan dibahas dalam bab tersendiri.



REFERENSI Lee WL, Cheung AM, Cape D, Zinman B. Impact of diabetes on coronary artery disease in women and men. A meta-analysis of prospective studies. Diabetes Care 2000; 23:962-8. Goldberg RB. Cardiovascular disease in diabetic patients. Med Clin North Am 2000; 84:81-93. Colucci WS, Price DT. Cardiac tumors, cardiac manifestations of systemic diseases, and traumatic cardiac injury. In: Kasper et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th Ed.New York. McGraw Hi11.2005.p.1420-5. Haffner SM, Lehto S, Ronnemaa T, Pyorala K, Laakso M. Mortality from coronary heart disease in subjects with type 2 diabetes and nondiabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Engl J Med 1998; 339:229-34. James RW. Diabetes and other coronary heart disease risk equivalents. Curr Opin Lipidol 2001 ; 12:425-3 1. Haffner SM. Coronary heart disease in patients with diabetes. N Engl J Med 2000; 342:1040-2. Cho E, Rimm EB, Stampfer MJ, Willet WC, Hu FB. The impact of diabetes mellitus and prior myocardial infarction on mortality from all causes and from coronary heart disease in men. J Am Coll Cardiol 2002; 40:954-60. Hu FB, Stampfer MJ, Solomon CG, Liu S, Willet WC, Speizer FE, et al. The impact of diabetes mellitus on mortality from all causes and coronary heart disease in women. 20 years of follow up. Arch Intern Med 2001; 161:1717-23. Mukamal KJ, Nesto RW, Cohen MC, Muller JE, Maclure M, Shenvood JB, et al. Impact of diabetes on long-term survival after acute myocardial infarction. Diabetes Care 2001; 24:1422-7. Miettinen H, Lehto S, Salomaa V, et al. Impact of diabetes on mortality after the first myocardial infarction. Diabetes Care 1998; 21 :69-75. Fava S, Azzopardi J, Agius-Muscat H: Outcome of unstable angina in patients with diabetes mellitus. Diah Med 1997; 14:209-13. Nichols GA, Gullion CM, Koro CF, Ephross SA, Brown JB. The incidence of congestive heart failure in type diabetes. An update. Diabetes Care 2004;27: 1879-84. NHLBI Working Group on Cellular and Molecular Mechanism of Diabetic Cardiomyopathy. 1998 Bloomgarden ZT. Cardiovascular disease and diabetes. Diabetes Care 2003;26:230-7. Bell DSH. Heart failure. The frequent, forgotten, and often fatal complication of diabetes. Diabetes Care 2003;26:2433-41. Mizushige K, Yao L, Noma T, Kiyomoto H, Yu Y. Hosomi N,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



MANIFESTAS1 KLlNlS JANTUNC PADA PENYAKIT SISTEMlK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ohmori K, Matsuo H. Alteration in left ventricular diastolic filling and accumulation of myocardial collagen at insulinresistant prediabetic stage of type I1 diabetic rat model. Circulation 2000;101:899-907. Alwi I. Deteksi dini dan tatalaksana kardiomiopati diabetik. In: Alwi I, Widjaya IP, Nasution SA. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular IV. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI. 2005.p. 128-38. Bertoni AG, Tsai A, Kasper EK, Brancati FL. Diabetes and idiopathic cardiomiopathy. A nationwide case-control study. Diabetes Care 2003;26:2791-5. Bell DSH. Diabetic cardiomiopathy. Diabetes Care 2003;26:294951 Francis GS. Diabetic cardiomyopathy: fact or fiction? Heart 2001; 85:247-8. Fein FS, Sonnenblick EH. Diabetic cardiomyopathy. Cardiovasc Drugs Ther 1994; 8:65-73. Porier P, Bogaty P, Garneau C, Marois L, Dumesnil JG. Diastolic dysfunction in normotensive men with well-controlled type 2 diabetes. Diabetes Care 2001 ; 2 4 5 - 10. Nugroho BS, Rahman AM, Suryadipradja RM, Waspadji S. Diastolic dysfunction in type diabetes mellitus without cardiovascular abnormality. Acta Med lndones 2003; 35:131-5. Alwi I, Harun S, Soehardjono et al. Left ventricular diastolic dysfunction in type 2 diabetes mellitus patients without cardiovascular disease: the association with microalbuminuria. Med J Indones 2005;14: 169-72 Fang ZY, Prins JB, Marwick TH. Diabetic cardiomyopathy: evidence, mechanism, and therapeutic implications. Endocrine Reviews 2004; 25(4):543-67.



Gmndy SM, Howard B, Smith S, Eckek R, Redberg R, Bonow RO. Diabetes and cardiovascular disease. Executive summary. Conference Proceeding for Healhcare Professionals from a Special Writing Group of the American Heart Association. Circulation 2002; 105:223 1-9. Feuvray D. Diabetic cardiomyopathy. Arch Mal Coeur 2004; 97:2615. Young ME, McNulty P, Taegtmeyer H. Adaptation and maladaption of the heart in diabetes: Part 11. Potential mechanisms. Circulation 2002;105:1861-70. Diamant M, Lamb HJ, Groeneveld Y et al. Diastolic dysfunction is associated with altered myocardial metabolism in asymptomatic normotensive patients with well-controlled type 2 diabetes mellitus. J Am Coll Cardiol 2003; 42:328-35. Mottram PM, Manvick TH. Assesment of diastolic function: what the general cardiologist needs to know. Heart 2005; 91:681-95. Nesto RW. Diabetes and heart disease. Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th Eds. In: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald. Eds. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2005. p. 1355-66. The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Effects of an angiotensin-converting-enzyme inhibitor, ramipril on cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med 2000; 342: 145-60. Alwi I. Sindrom metabolik sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner. 1n:Setiati S, Alwi I, Simadibrata M et al Eds. Proceeding Simposium Curent Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2004. Jakarta; Pusat lnfoimasi dan Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKU1..2004.p.213-24 Grundy SM. Obesity, metabolic syndrome and cardiovascular disease. J Clin Endocrinol & Metab. 2004; 89(6):2595-600.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG TIROID Dono Antono, Yahya Kisyanto



PENDAHULUAN



Pmmgkatan termogmesls



Janngan



Hormon tiroid mempunyai banyak efek pada proses metabolik di semua jaringan, terutama di jantung yang paling sensitif terhadap perubahannya. Gangguan fungsi kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatik terhadap sistem kardiovaskular, sering kali menyerupai penyakit jantung primer. Pengaruh hormon tiroid pada jantung digolongkan menjadi 3 kategori, efek terhadap jantung langsung, efek hormon tiroid pada sistem saraf simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan hemodinamik.



-



Ptnurunan resistms~ vaskuler s~stemik



1



Penmum pengis~san Volume arten Efektlf



T



Penlngks Output



Peningkstnn lwtropik dnn kmnotropik kardiak



Gambar 1. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik kardiovaskular.



EFEK HORMON TlROlD TERHADAP SISTEM KARDIOVASKULAR Hormon tiroid sangat mempengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa mekanisme baik secara langsung ataupun tak langsung. Pada keadaan hipotiroid maupun hipertiroid sangat mempengaruhi kardiovaskular. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh total dan konsumsi oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum diketahui, hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik, yang mirip dengan efek stimulasi adrenergik (takikardia, peningkatan kardiak output). Hormon tiroid meningkatkan sintesis myosin dan Na', K+ATPase, mirip seperti pada reseptor P- adrenergik miokard. Efek hemodinamik hipotiroid berlawanan dengan hipertiroid, dengan manifestasi klinis yang lebih kurang jelas. Tiroid mensekresi 2 macam hormon biologis aktif yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Banyak penelitian yang mendukung hipotesis bahwa T3 adalah mediator akhir dan T4 adalah prohormonal, terutama karena reseptor



nukleus T3 dan bukan T4, pada jaringan berespons terhadap hormon tiroid, terutama jantung. Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear, terutama dijembatani melalui perubahan penampilan gen yang responsif. Proses ini dimulai dengan difusi dari T4 and T3 melintasi membran plasma karena mudah larut dalam lemak. Dalam sitoplasma, T4 dirubah menjadi T 3 oleh 5- monodelodinase, konsentrasinya bervariasi darijaringan ke jaringan, merupakan hubungan yang tidak langsung respons jaringan terhadap hormon tiroid. Kemudian T 3 sirkulasi dan T3 yang barn disintesis melalui membran nukleus untuk berikatan dengan reseptor hormon tiroid spesifik (THRs). THR merupakan bagian dari protein superfamili reseptor nuklear, termasuk protein yang bekerja seperti reseptor untuk steroid, vitamin D dan asam retinoik.



Hipertiroid merupakan keadaan klinis akibat dari produksi T, ,T, atau keduanya. Penyebab terbanyak adalah struma



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKITJANTUNG TIROID



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI difus toksik (penyakit Grave). Etiologinya belum diketahui , kelebihan produksi T, dan T, diduga karena IgG autoantibodi berikatan dengan reseptor tirotropin pada kelenjar tiroid. Penyebab terbanyak kedua hipertiroid adalah struma nodosa toxic, suatu keadaan di mana daerah yang terlokalisir pada kelenjar dan otonomi. Hipertiroid relatif lebih sering mengenai 4 - 8 kali pada perempuan dibanding pria, dengan insiden terbanyak pada dekade ke tiga atau ke empat. Gejala yang sering ditemukan adalah kelelahan, hiperaktif, insomnia, kepanasan, palpitasi, sesak napas, nafsu makan meningkat, berat badan turun, nokturia, diare, oligomenorrhoea, kelemahan otot, tremor, emosi labil, denyut jantung meningkat, hipertensi sistolik, hipertermia, kulit lembab dan hangat, kelopak mata turun, dan refleks halus. Serum T, meningkat dan serum TSH rendah. Manifestasi klinis kardiovaskular hipertiroidisme adalah palpitasi biasanya merupakan salah satu keluhan awal pasien untuk pergi berobat ke dokter. Di samping itu dapat berupa hipertensi sistolik, kelelahan, atau dengan dasar penyakit jantung yang sudah ada, angina atau gagal jantung. Sinus takikardi dijumpai pada 40 % pasien dan 15 % dengan fibrilasi atrial pada pasien hipertiroid. Dapat dijumpai gambaran hiperdinamik pada prekordial, peningkatan tekanan nadi, intenkitas suara jantung pertama, suara jantung ke dua komponen pulmonal, suara jantung ketiga meningkat. Hipertiroid meningkatkan insidensi prolaps katup mitral, dan beberapa kasus dapat didengar mid sistolik mur-mur yang baik terdengar pada batas sternal kiri dengan atau tanpa sistolik klik ejeksi. Means-Lerman scratch adalah suara gesekan sistolik yang terdengar pada sela iga ke dua kiri selama ekspirasi. Ini merupakan hasil dari gesekan perikardium dengan jantung yang hiperdinamik terhadap pleura. Index kardiak dan strok volume, rasio ejeksi.sistolik rata-rata, velositi dan extent of wall shortening , dan aliran darah koroner semuanya meningkat. Waktu ejeksi sistolik dan preejeksi singkat. Tekanan nadi meningkat dan resistensi vaskular sistemik menurun. Perubahan penampilan ventrikel kiri dirangsang oleh peningkatan hormon tiroid sekunder terjadi peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung akibat peningkatan metabolisme jaringan perifer. Pada pasien usia lanjut dengan hipertiroid, yang disebut hipertiroid apatetik, pada tirotoksikosis dapat hanya terlihat manifestasi kardiovaskularnya saja, antara lain atrial fibrilasi, mungkin resisten terhadap terapi sampai hipertiroidnya terkontrol. Angina pektoris dan gagal jantung kongesti jarang terjadi kecuali berhubungan dengan dasar penyakit jantungnya sendiri dan banyak kasus gejala berkurang setelah terapi hipertiroidnya teratasi. Garnbaran foto dada dan elektrokardiografi dapat terjadi perubahan ,walaupun tidak spesifik pada hipertiroid. Pada foto sinar X ventrikel kiri, aorta, arteri pulmonalis biasanya tidak berubah, hanya pada beberapa kasus dapat terjadi



Efek Langsung Hormon Tiroid



Efek Seperti Adrenergik Beta



Denyut jantung saat istirahat >90 x/ menit. (90%) Palpitasi (85%) Fibrilasi atrial (10%) Edema pedis (30%) Peningkatan konsumsi oksigen. (metabolisme basal) Penurunan berat badan Miopati otot skeletal Peningkatan bone turnover (pada keadaan steoporosis atau hiperkalsemia). Kulit pucat Rambut halus dan rapuh. Kuku keras dan rapuh. Oligimenorrhoea atau amenorrhea. Diarel sering BAB.



Denyut jantung saat istirahat > 90 x/ menit (90%) Palpitasi (85%) Dyspnea d'effod (80%). Peningkatan tekanan nadi. (hipertensi sistolik ) lmpuls apikal aktif. Suara jantung kesatu keras dan komponen suara jantung kedua. Murmur midsistolik, biasanya di basal. Suara jantung ketiga. (kadang-kadang) Means-Lerman scractch (jarang) Tremor. Refleks halus, Perspirasi meningkat. lntoleransi panas. Insomnia. Ansietas. Lid lag.



Peningkatan volume darah total Peningkatan LVEDV Peningkatan relaksasl diastolik



Peningkatan ~ ssekuncup i



Pen~ngkatan kontraktilitas



Peningkatan reslstensl vaskular sistemik



Peningkatan denyut jantung



Penurunan LVESV



Peningkatan curah jantung



1



Gambar 2. Efek hipertiroidisme pada sistem kardiovaskular.



Keterangan : LVESV =Left ventricle end systolic volume, LVEDV = Left ventricle end diastolic volume. pembesaran jantung. Pada pasien dengan sinus ritme, manifestasi klinis takikardi secaraumum sebanding dengan beratnya penyakit. Sinus takikardia terjadi pada 40 % pasien dengan hipertiroid dan lebih sering timbul pada kelompok usia muda dan sering timbul pada malam hari. Sepuluh sarnpai 15 % dapat terjadi fibrilasi atrial persisten. Terjadi pemendekan waktu konduksi AV dan periode refiakter fungsional yang menyebabkan peningkatan frekuensi pada sistem konduksi AV membangkitkan impuls atrial cepat. Kekacauan konduksi intraatrial, ditandai dengan pemanjangan atau pelebaran gelomblng P dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pemanjangan interval PR walaupun tanpa terapi dengan digitalis, terlihat 15 dan 5 % pada pasien dengan hipertiroid. Walaupun sangat jarang, dapat juga terjadi blok jantung derajat 2 atau 3. Penyebab gangguan konduksi AV belum diketahui. Tirotoksikosis terselubung dapat merupakan penyebab atrial fibrilasi kronik atau paroksismal. Pada suatu studi yang luas ditemukan bahwa kurang dari 1% kasus serangan baru fibrilasi atrial disebabkan oleh hipertiroid. Pada suatu studi didapatkan 13% dari pasien dengan fibrilasi atrium ditemukan bukti biokimia hipertiroid, walaupun gejala klinis tidak jelas. Pada suatu studi lain 6 10 pasien hipertiroid, fibrilasi atrial merupakan faktor resiko utama terjadinya emboli. Nakazawa melaporkan 11.345 pasien dengan hipertiroid 288 kasus disertai fibrilasi atrium, 6 kasus mengalami emboli sistemik, 4 diantaranya mengalami gagal jantung, 5 orang diantaranya berusia lebih dari 50 tahun. Hipertiroid subklinis ditandai dengan konsentrasi serum tirotropin yang rendah (< 0.1 mU/liter) dan konsentrasi hormon tiroid yang normal pada usia 60 tahun atau lebih, ada kemungkinan 3 kali lipat menjadi fibrilasi atrial dalam 10 tahun. Angina pektoris dan gagal jantung dapat timbul pada pasien dengan hipertiroid. Hal ini sejak lama diasumsikan karena penyakit jantung yang mendasarinya. Akhir-akhir ini dilaporkan gagal jantung kongesti dapat terjadi pada percobaan binatang yang diberikan T,. Gagal jantung kongesti dapat timbul pada anak dengan tirotoksikosis tanpa penyakit jantung yang mendasarinya. Angina pektoris pernah dilaporkan terjadi pada pasien hipertiroid dengan hasil corangiografi normal. Kemungkinan sekunder tiroid menyebabkan spasme arteri koroner. Ebisawa melaporkan kasus kardiomiopati pada pasien tirotoksikosis kemungkinan akan terus menetap. Empat kasus seperti ini terjadi peningkatan LVEDV (left ventricel end diastolic volume) dan penurunan fraksi ejeksi, walaupun telah diterapi hipertiroidnya selama 13 - 15 tahun. Biopsi miokard menunjukkan tidak ada kelainan mikroskopik yang spesifik. Pada sepertiga kasus hipertiroid ditemukan prolaps katup mitral.



Pasien hipertiroid dengan penyakit kardiovaskular biasanya resisten terhadap terapi. Telah banyak dilaporkan gagal jantung dan aritmia resisten terhadap dosis konvensional golongan glikosida. Terapi dasar efek hipertiroid berupa takikardi adalah obat golongan penghambat adrenergik beta, walaupun keadaan hipermetabolik belum teratasi. Bersama-sama dengan obatobat anti tiroid atau radioiodin sebelum tindakan operasi. Penyekat beta mengontrol takikardi, palpitasi, tremor, kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid.



Pada krisis tiroid, propanolol intravena dapat diberikan 1 mglmenit, dengan catatan fungsi sistolik ventrikel kiri normal. Diagnosis hipertiroid dipastikan dengan rendahnya kadar TSH dengan akibat peningkatan hormon tiroid darah. Pada usia lanjut dengan hipertiroid apathetik, manifestasi kardiovaskular lebih menonjol, khususnya fibrilasi atrium dan atau gagal jantung kongesti. Terapi terhadap hipertiroid adalah operasi pengangkatan kelenjar tiroid atau radiasi dengan yodium radioaktif. Pada penyakit jantung tirotoksik, tirotoksikosis dengan fibrilasi atrial, langkah pertama harus dibuat sedapat mungkin menjadi eutiroid, di mana secara umum masih dapat mengurangi fibrilasi atrial. Pada umumnya antikoagulan diperlukan untuk mencegah terjadinya tromboemboli, apalagi disertai dengan gagal jantung. Terapi hipertiroid kadang-kadang dapat mengembalikan ke ritme sinus. Hal ini dibuktikan dari suatu studi 62 % dari 163 pasien setelah 8 sampai 10 minggu dalam keadaan eutiroid kembali spontan ke irama sinus. Jika fibrilasi atrial belum teratasi, perlu dilakukan kardioversi setelah 16 minggu telah menjadi eutiroid. Perlindungan antikoagulan terus diberikan sampai 4 minggu setelah konversi.



Diagnosis hipotiroid ditandai dengan peningkatan serum TSH. Hipotiroid merupakan akibat dari penurunan sekresi T, dan T,, kasus tersering disebabkan karena destruksi dari kelenjar tiroid itu sendiri. Biasanya disebabkan karena proses inflamasi. Penyebab utama di Amerika adalah tiroiditis Hashimoto. Penyebab yang lebih jarang adalah sekunder karena penurunan sekresi TSH disebabkan karena penyakit kelenjar hipofise atau hipothalamus. Pada hipotiroid sekunder keluhan dan gejala klinis berhubungan dengan defisiensi hormon hipofise yang lain juga bisa muncul. Insiden hipotiroid puncaknya pada usia antara 30 - 60 tahun, dua kali lebih sering pada perempuan dari pada laki-laki. Keluhan dan gejala yang tersering adalah gangguan toleransi dingin, kulit kering, lemah, gangguan mengingat, perubahan kepribadian, sesak napas, konstipasi, suara parau, menorrhagia dan bentuk lain gangguan menstruasi, dan bisa terjadi gagal jantung. Manifestasi jantung hipotiroid adalah penurunan kardiak output, volume sekuncup, denyut jantung, tekanan darah dan tekanan nadi. Sepertiga pasien terjadi efusi perikard, tetapi jarang terjadi tamponad. Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan efusi pleura dan perikard. Gejala klinis yang lain adalah kardiomegali, dilatasi jantung, bradikardia, tekanan nadi arteri lemah, hipotensi, edema nonpitting pada wajah dan perifer, dan suara jantung jauh. Myxedema (edema non pitting) berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan karena kebocoran protein ke ruangan interstitial.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG TIROID



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kelainan ini menyebabkan efusi perikard. Efusi dapat menghilang dengan terapi pengganti tiroid. Dilaporkan myxedema dapat menyebabkan syok kardiogenik walaupun jarang terjadi, dan respons perbaikan setelah mendapat terapi pengganti tiroid. Walaupun tanda dan gejala myxedema disangka bagian dari diagnosis gagal jantung kongesti, dan tidak ada penyakit jantung lain, gagal jantung jarang terjadi. Tekanan pengisian jantung kiri dan kanan biasanya dalam batas normal, meningkat karena adanya e h s i perikard. Ventrikular isovolumetrik relaxation time memanjang dan normal setelah pemberian terapi T,. Pada percobaan yang dibuat keadaan hipotiroid pada otot jantung kucing, didapatkan hasil penurunan kontraktilitas yang ditandai dengan penurunan kurva velositi miokard paksa, penurunan kemampuan denyut jantung dan pemanjangan respons kontraktilitas.



Penurunan volume sskuncup Penutunan cardlac oulput



Penurunan Heart rate Penlngkatan reststens#slslerntk YBSCUI.~



pembuluh darah



, Pen8ngkatao tekanan darah



Efusl pericatd



Gambar 3. Efek hipotiroid pada sistem kardiovaskular



Gambaran elektrokardiografi umumnya berupa sinus bradikardia dan low voltage. Dapat terjadi pemanjangan interval QT, penurunan voltase gelombang P, pemanjangan waktu konduksi AV, gangguan konduksi intraventrikel dapat berupa aritmia ventricular reentrant, incomplete atau complete right bundle branch block dan abnormalitas gelombang S - ST tak spesifik. Foto dada dapat ditemukan kardiomegali, sering dengan bentuk botol air, efusi pleura, dan beberapa kasus dilaporkan gagal jantung kongesti dan kelainan primer miokard yang dicurigai kardiomiopati. Patologi dapat ditemukan jantung pucat ,dilatasi, lembek, sering ditemukan pembengkakkan miofibrilar, dan fibrosis interstisial. Pasien dengan hipotiroid sering ditemukan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, dan penyakit atherosklerotik arteri koroner yang berat. Sebelum diterapi dengan hormone tiroid, pasien dengan hipotiroid sering kali tidak ada gejala angina pektoris, kemungkinan karena kebutuhan metabolik rendah tergantung dari kondisi masing-masing. Angina dan infark miokard dapat timbul selama pemberian hormon tiroid , khususnya pada pasien usia lanjut dengan dasar penyakit jantugg. Untuk itu pemberian terapi hormon harus dilakukan dengan hati-



hati, dimulai dari dosis rendah biasanya hanya 25 % dari dosis yang dianjurkan dan ditingkatkan bertahap dengan interval 6 sampai 8 minggu. Kadar katekolamin tidak menurun pada hipotiroid. Demikian juga kepekaan kemampuan kerja jantung terhadap rangsangan saraf simpatis atau respons dari adenilsiklase jantung ke norepineprin. Jumlah total reseptor beta miokard menurun. Pada hipotiroid eksperimen kontraktilitas yang dirangsang oleh isoproterenol, akumulasi siklik adenosin monofosfat, kalsium pada partikel retikulum sarkoplasmik miokard menurun pada jantung tikus hipotiroid. Data klinis untuk kardiomiopati dilatasi idiopatik yang disebabkan hipotiroid sedikit, pada penelitian tersebut tidak ditemukan bukti klinis atau biokimia yang menandakan hipotiroid maupun hipertiroid. Pasien dengan hipotiroid mempunyai risiko peningkatan kejadian aterosklerosis karena terjadi perubahan metabolisme lipid hiperkoleterolemia dan hipertrigliserida. Hal ini berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner yang timbul dini. Pengobatan hipotiroid akan memperbaiki pola metabolisme lipid menjadi normal. Sebagai contoh Arem dan Patsch melaporkan penurunan kadar LDL (low density lipoprotein) sebanyak 22% setelah terapi tiroid selama 4 bulan. HDL (high density lipoproterin) tidak berubah. Data yang mendukung hubungan hipotiroid dengan aterosklerosis telah dilaporkan dari beberapa sumber, pasien dengan myxedema akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan yang berhubungan dengan kontrol umur dan jenis kelamin. Infark miokard dan angina pektoris relatifjarang terjadi pada pasien dengan hipotiroid. Hal ini disebabkan karena rendahnya metabolisme miokard pada hipotiroid. Terapi gagal jantung kongesti pada pasien myxedema biasanya sulit, karena ada efek lain akibat pemberian hormon tiroid dan glikosida jantung. Pasien dengan angina pektoris yang berat dan myxedema yang belum diterapi akan mendapat dilema dalam penatalaksanaannya. Hal ini disebabkan karena angina dapat dieksaserbasi oleh pemberian hormon tiroid itu sendiri. Penggunaan beta bloker untuk angina akan menyebabkan bradikardia yang berat. Angiografi koroner dapat ditemukan kelainan penyakit jantung koroner yang berat. Biasanya dosis hormon tiroid diberikan minimal sampai dengan dilakukan revaskularisasi. Setelah berhasil dilakukan revaskularisasi, pemberian dosis hormon tiroid dapat diberikan dosis maksimal tanpa disertai keluhan angina berulang.



AMIODARON DAN TlROlD



Penggunaan amiodaron secara luas untuk aritmia jantung, saat ini merupakan salah satu penyebab ufama kelainan tiroid pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Amiodaron mempunyai struktur yang mirip dengan T, dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



T, dan juga banyak mengandung yodium. Amiodaron menurunkan konversi perifer T, ke T, , jadi akan meningkatkan kadar T, sirkulasi dan menurunkan T, sirkulasi. Sejak ha1 ini terjadi kelenjar hipofise akan meningkatkan sementara kadar TSH pada awal terapi, dan biasanya akan kembali normal kembali setelah 3 bulan terapi. Perubahan tes laboratorium ini sering terjadi dan tidak selalu berhubungan dengan manifestasi klinis disfungsi tiroid. Di Amerika dan Inggris, hipotiroid merupakan manifestasi klinis tersering dari disfungsi tiroid akibat amiodaron. Insidennya mencapai 13% dari pasien. Mekanismenya belum jelas, diduga berhubungan dengan efek sejumlah besar yodium pada saat menghambat pelepasan hormon tiroid dan sintesisnya tumpang tindih dengan penyakit autoimun tiroid. Selain itu juga diduga amiodaron itu sendiri dapat menyebabkan gangguan autoimun tiroid dengan mempengaruhi fungsi sel T. Gejalanya sama dengan hipotiroidisme, diagnosisnya dipastikan dengan peningkatan kadrlt. TSH. Sekelompok pasien fungsi tiroid akan menjadi normal beberapa bulan setelah terapi amiodaron, kelompok lain akan menjadi hipotiroidisme permanen.



Pada daerah-daerah dengan defisiensi iodin sering terjadi hipertiroidisme yang dipengaruhi oleh amiodaron. Pasien-pasien memperlihatkan gejala-gejala khas hipettiroidisme seperti penurunan berat badan, gangguan tdleransi panas, dan tremor. Dapat juga timbul aritmia jantung yang berulang. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan tes fungsi tiroid dengan gambaran TSH yang rendah dan peningkatan kadar T, dapat terlihat pada saat fase awal terapi amiodaron, tanpa gejala. Pada fase awal terapi dengan amiodaron kadar T, menurun. Pada saat hipertiroidisme kadar T, meningkat. Ada 2 mekanisme amiodaron menyebabkan hipertiroidisme. Tipe I (hipervaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang tidak normal dan disebabkan karena iodin merangsang peningkatan sistesis hormon tiroid pada pasien dengan struma nodosa atau penyakit Graves yang lanjut. Tipe I1 (hipovaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang normal. Penyebabnya adalah sekunder karena proses destruksi tiroid oleh iodin atau oleh amiodaron itu sendiri. Pada kasus selanjutnya amiodaron dapat merangsang terbentuknya antibodi reseptor tirotropin. Untuk membedakan kedua tipe ini dapat menggunakan color



Skrining pdkieh dalam tetaoi amiodaron .-



TSH 0 35-4 3 mUlL (Ftrendah N.FT4 tlnaai Nltlnaal



TSH >4.3 mUlL



4



4



TSH 80 mUlL



TSH ~0.03 mUlL



Pendah N;



Uiang tiap 6



1 F f 4 tinggi Nltinggl



I



FT4 rendah Nlrendah I



I



Tidak ada antibodi



sick atau tirotoksikosis subkiinis



0 ulangi 6 minggu



Hipotitoldisme



Tanpa gejala



Ulang TSH tlap 6 mlnggu,dan t~ap3 bulan



G a m b a r 4. Algoritma untuk mengevaluasi status tiroid pada pasien yang memakai amiodaron



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



TSH >20 mUlL



Ada antibodi



PENYAKIT JANTUNG TIROID



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI flow doppler sonografi. Kadar serum interleukin-6 meningkat pada tipe 11. Pasien dengan tipe I1 responsnya sangat baik dengan pemberian glukokortikoid. Penghentian terapi dengan amiodaron dapat mengurangi keadaan hipertiroidisme, walaupun kembali normal dapat memakan waktu beberapa bulan. Bilamana terapi amiodaron tidak dapat dihentikan, modalitas pengobatan lain hams diberikan. Dua modalitas utama adalah pemberian obat thionamide dan operasi. Propiltihiourasil atau methrnazol mungkin dapat berhasil, tetapi tidak pada semua kasus. Jika medikamentosa gagal, mungkin tiroidektomi dapat menjadi pilihan. Terapi iodin radioaktif tidak dianjurkan. Karena sering terjadi gangguan fhgsi tiroid selama pemakaian terapi amiodaron, dianjurkan untuk pengawasan mtin tes fungsi tiroid.



Cooper DS. Subclinical Hypothyroidism. N Engl J Med. 2001;345;4: 260-5. Colucci WS, Prize DT. Cardiac Tumors, Cardiac Manifestastions of Systemic Diseases, and Traumatic Cardiac Injury. In Harrison et al (ed) : Principles of Internal Medicine, 161h ed . New York , McGraw-Hill, 2005. 1423. Fuster V et al. Guideline For The Management of Patient With Atrial Fibrilation. JACC. 2001; 38: 1266 I - ixx. Forfar JC, Feek CM, Miller HC, Toft AD. Atrial Fibrillation isolated suppression of the Pituitary-thyroid axis : respons to specific antithyroid therapy. Int J Cardiol 1981;1:43-8. Klein I, Ojamaa K. Thyroid Hormone and the Cardiovascular System. N Engl J Med. 2001;344;7: 501-1 1. Ladenson PW, Singer PA, Ain KB, et al. American Thyroid Association Guidelines for Detection of Thyroid Dysfunction. Arch Inter Med 2000;160: 1573-5. Seely EW, Williams GH. The Heart in Endocrine Disorder. In Braunwald (ed) : Heart Disease Textbook of Cardiovascular Disease. 61hed. Philadelphia, WB Saunders Company, 2001, 215460. Toft AD. Subclinical Hyperthyroidism. N Engl J Med. 2001;345;7: 512-16. Weetman AP. Graves Disease. N Engl J Med. 2000;343; 17: 1236 48.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT Idrus Alwi



LUPUS ERITEMATOSUS SlSTEMlK



diduga berperan penting pada patogenesis berbagai bentuk serositis (seperti pleuritis dan perikarditis), miokarditis dan endokarditis pada LES. Hal ini didukung berdasarkan pengamatan sebagai berikut: terdapat kompleks imun, ANA, antibodi anti dsDNA dan sel LES yang khas pada cairan perikard pasien LES. ditemukan deposit kompleks imun pada pembuluh darah perikard pada penelitian imunopatologijaringan jantung pada kasus LES fatal yang diautopsi serta IgG, IgM dan C3 pada arteriol perikard pasien LES yang mengalami perikarditis konstriktif. konsentrasi komplemen hemolitik cairan perikard pasien LES menurun dan ditemukan komplemen spesifik C 1q, C4, dan C3 pada cairan perikard. Terdapat aktivasi komplemen jalur klasik (melalui IgM) dan alternatif (melalui IgA) in vivo pada cairan perikard pasien LES. ditemukan deposit imunoglobulin granular dan komponen komplemen pada dinding pembuluh darah miokard. lesi endokarditis Libman-Sacks mengandung imunoglobulin dan komplemen.



Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Komplikasi pada jantung merupakan salah satu manifestasi klinis LES yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Mortalitas karena kelainan kardiovaskular menempati urutan ketiga setelah infeksi dan gagal ginjal. Salah satu laporan menunjukkan mortalitas karena perikarditislmiokarditis pada pasien LES sebesar 15%. Kelainan kardiovaskular sering dijumpai pada penelitian klinis dan post mortem pada pasien LES. Gambaran patologis adalah pankarditis yang melibatkan perikard, miokard, endokard, katup jantung, dan pembuluh darah. Perikarditis (efusi perikard) merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan yaitu 21-54%, kelainan valvular 28-44%, dan kelainan miokard 5-20%. Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup pasien LES dan teknik diagnostik, penyakit jantung pada LES menjadi lebih sering ditemukan. Dengan menggunakan ekokardiografi 2-D, Doppler, dan ekokardiografi transesofageal prevalensi kelainan jantung p a d a ~ ~ ~ Spektrum Kelainan Jantung pada LES cukup tinggi di mana sebagian besar kasus secara klinis Penelitian ekokardiografi pasien LES yang dilakukan di tidak tampak. Divisi Kardiologi Departemen Penyakit Dalam Faktor yang diduga berhubungan dengan kelainan menunjukkan efusi perikard ditemukan pada 13 pasien jantung pada pasien LES antara lain aktivitas penyakit, (36,l I%), masing-masing 3 pasien (8,33%) dengan efusi lama penyakit, lama penggunaan steroid dan antibodi perikard sedang dan berat dan 8 pasien (27,78%) dengan antikardiolipin. efusi perikard ringan. Hanya pasien dengan efusi perikard berat menunjukkan gambaran EKG low voltage tanpa gejala Patofisiologi klinis perikarditis. Spektrum kelainan jantung yang Patofisiologi komplikasi pada organ pada pasien LES belum didapatkanpada pemeriksaan ekokardiografi36 pasien LES jelas. Diduga terdapat deposit kompleks imun pada organ dapat dilihat pada Tabel 1. disertai dengan aktivasi komplemen. Faktor imunologis Penelitian mengenai hubungan aktivitas penyakit LES



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan kejadian efusi perikard menunjukkan e h s i perikard lebih sering ditemukan pada LES aktif dibandingkan LES yang tidak aktif. Pada gambar 1 dapat dilihat efusi perikard masif pada LES dengan pemeriksaan ekokardiografi.



Efusi perikard



- Ringan - Sedang - Berat



Angka kejadian tamponad jantung pada LES dilaporkan kurang dari 10%. Pada penelitian terhadap 395 pasien LES, ditemukan kejadian perikarditis pada 75 pasien (19%), dengan episode tamponad jantung pada 10 pasien (1 3% dari kasus perikarditis, 2,5% dari seluruh kasus LES). Laporan penelitian lain secara retrospektif terhadap 88 pasien LES selama enam tahun didapatkan kejadian perikarditis pada 29,5% pasien, di mana perikarditis merupakan manifestasi pertama pada 9 pasien (10,2%). Dua dari sembilan pasien perikarditis tersebut (2,3% dari seluruh kasus LES) mengalami tamponad sebagai manifestasi pertama penyakit. Manifestasi Klinis Gambaran klinis perikarditis lupus biasanya khas, dengan keluhan nyeri substernal atau perikardial yangdiperberat oleh gerakan napas dan batuk yang berkurang bila membongkok ke depan. Dapat terdengar suara gesekan perikard (pericardial friction rub). Terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan nyeri dada dengan pericardial friction rub dan efusi perikard. Suara friction rub yang khas ditemukan hanya pada 5% dari 520 kasus LES. Keluhan-keluhan ini bisa berat dan menetap atau hanya ringan dan sesaat. Keluhan dapat menghilang dalam beberapa jam atau minggu dan sering berulang dalam periode beberapa tahun. Namun demikian, perikarditis mungkin ditemukan dalam keadian tanpa nyeri dan secara klinis tanpa gejala. Pada keadaan tamponad dapat ditemukan pulsus paradoks, tekanan vena jugularis (JVP) meningkat, hipotensi dan pembesaran hati, selain gejala dan tanda perikarditis lain. Salah satu laporan menunjukkan nieri dada, sesak napas, dan pericardial rub ditemukan masing-masing pada 40% pasien tamponad. Sedangkan pulsus paradoks hanya ditemukan pada satu di antara empat kasus tamponad yang diperiksa.



Pembesaran ruang jantung - Dilatasi atrium kiri - Dilatasi ventrikel kiri Hipertrofi ventrikel kiri Disfungsi sistolik ventrikel kiri Disfungsi diastolik ventrikel kiri Hipokinetik global Hipokinetik segmental Kelainan valvular



- Prolaps katup mitral lsmail dkk.



Gambar 1. Efusi perikard berat pada pemeriksaan ekokardiografi (Parasternal Long Axis View)



Perikarditis dan Efusi Perikard pada LES Keterlibatan perikard pada LES pertama kali dilaporkan oleh Keefer dan Felty, pada 1924 dan merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan. Perikarditis yang tampak secara klinis dilaporkan berkisar antara 23-30%. Data dari beberapa penelitian mendapatkan keterlibatan perikard secara klinis, ekokardiografis, dan histopatologis masing-masing 29%, 37%, dan 66%. Pada beberapa penelitian baik dengan atau tanpa kontrol menunjukkan prevalensi efusi perikard berkisar antara 2 1-54%.



Elektrokardiografi (EKG) Perubahan elektrokardiografi (EKG) dapat mengkonfirmasi diagnosis klinis perikarditis akut pada pasien LES. Perubahan EKG pada perikarditis terjadi dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah awitan nyeri dada. Gambaran EKG yang khas pada fase akut yaitu ditemukannya gelombang T yang tinggi dan elevasi ST yang konkaf. Pada keadaan di mana terdapat efusi perikard dapat ditemukan penurunan voltage QRS (low voltage) dan gelombang T datar. Jika terdapat gambaran electrical alternans, mungkin ditemukan efusi perikard masif dan tamponad jantung. Foto Toraks Pada perikarditis akut yang disertai adanya efusi perikard dapat terlihat kardiomegali dan perubahan konfigurasi silhoutte jantung. Gambaran pembesaran silhoutte ini baru



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



terjadi jika cairan yang terkumpul dalam ruang perikard sekurang-kurangnya 250 ml.



Laboratorium Perikarditis umumnya terjadi selama periode aktifpenyakit sehingga biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit pada pemeriksaan darah antara lain kadar komplemen rendah, anti dsDNA meningkat, dapat ditemukan sel LE, dan kadar LED meningkat. Ekokardiografi Diagnosis efusi perikard ditegakkan berdasarkan adanya gambaran area bebas eko (ekokardiograJ free space) di antara gambaran eko epikard dan perikard posterior. Adanya efusi perikard dapat diperiksa pada parasternal long axis, short axis, dan apical four chamber view. Pemeriksaan dilakukan pada tingkat muskulus papilaris atau apeks ventrikel kiri. Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-D, perkiraan jumlah cairan lebih akurat, identifikasi struktur jantung lebih jelas, dan efusi berkantong (pocket) dapat dideteksi lebih baik.



Perikardiosentesis diagnostik hanya dilakukan pada keadaan di mana dipikirkan perikarditis purulenta. Analisis Cairan Perikard Cairan perikard pada LES benvarna kekuning-kuningan sampai kemerahan, eksudatif, danjumlah sel leukosit tinggi, dengan dominasi sel PMN. Sel LE yang khas mungkin ditemukan pada sedimen sel yang disentrifugasi, yang menyokong diagnosis LES sebagai penyebab perikarditis. Analisis cairan perikard pada 10 episode tamponad menunjukkan volume cairan bervariasi antara 300-1400 ml. Cairan efusi khas eksudat dengan kadar protein rata-rata 4,8 mg/dl(2,7-4,8). Secara keseluruhan, analisis cairan perikard menunjukkan leukositosis dengan neutrofil > 90%. Hasil analisis ini menyerupai gambaran analisis perikard perikarditis bakterial, yang dapat ditemukan juga pada pasien LES yang mendapat terapi steroid. Beberapa laporan lain menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dan ANA meningkat. Gambaran Histopatologi Gambaran patologi perikard pada pasien LES dipengaruhi oleh terapi steroid. Pada penelitian autopsi terhadap 28 pasien LES didapatkan bahwa sebelum masa terapi steroid, kasus-kasus autopsi menunjukkan perikarditis fibrinosa difus atau fokal. Dengan penggunaan steroid yang luas untuk pengobatan, perikarditis fibrosa lebih



sering ditemukan.



Diagnosis Diagnosis perikarditis akut ditentukan bila ditemukan nyeri dada yang khas danlatau suara gesekan perikard dan perubahan EKG yang khas. Diagnosis efusi perikard juga dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan ekokardiografi M mode ditemukan pemisahan epikard dan perikard, baik pada fase sistolik maupun diastolik. Selain itu, pada pemeriksaan ekokardiografi 2-D tampak gambaran daerah bebas eko posterior di antara dinding ventrikel kiri. Diagnosis tamponad ditentukan bila pada pemeriksaan ekokardiografi ditemukan kolaps atrium kanan dan kolaps diastolik ventrikel kanan, yang menunjukkan spesifisitas 100% pada pasien tamponad yang dikonfirmasi dengan kateterisasi. Ini merupakan teknik diagnostik non-invasif terbaik untuk diagnosis tamponad. Untuk menentukan etiologi efusi perikard pada pasien LES dilakukan analisis cairan perikard, pemeriksaan ANA anti dsDNA, komplemen, dan sel LE pada cairan perikard. Untuk menyingkirkan kemungkinan perikard septik, dilakukan pemeriksaan kultur cairan perikard. Karena risiko komplikasi pada tindakan perikardiosentesis cukup besar, diagnosis etiologi ditegakkan secara klinis. Bila pasien LES dalam keadaan aktif, maka efusi perikard pada LES secara klinis dianggap sebagai bagian dari serositis LE. Tetapi jika efusi perikard merupakan satu-satunya manifestasi aktivitas LES dan terdapat kecurigaan perikarditis septik dapat dilakukan perikardiosentesis diagnostik. Penatalaksanaan Penatalaksanaan perikarditis lupus terutama tergantung pada beratnya kondisi perikarditis dan memperhatikan aktivitas penyakit LES di luar jantung. Pasien perikarditis simtomatik akut harus dirawat di rumah sakit karena perkembangan efusi ke arah tamponad jantung tidak dapat diprediksi. Pasien perlu istirahat sampai nyeri dada dan demam hilang karena aktivitas akan memperburuk gejala. Pasien LES dengan gejala ringan dan dengan efusi perikard ringan atau tanpa efusi perikard dapat diterapi dengan salisilat 1 gram setiap 4 jam sampai tercapai kadar terapi 20-30 mglhari. Atau dapat juga diberikan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) lain seperti indometasin 100-150 mgl hari. Jika tidak ada respons, dapat ditambahkan antimalaria hidroksiklorokuin sulfat 200 mg sehari (5-7mgl kgBBIhari), klorokuin fosfat 250 mglhari, atau kuinakrin hidroklorida 100 mglhari. Bila perlu, dapat diberikan prednison 2,510 mglhari. Pada keadaan yang lebih berat, dapat diberikan prednison 20-40 mglhari. Efusi perikard masif diberikan terapi prednison dosis tinggi 60- 100 mgl hari. Pada pasien yang sangat kritis, steroid dosis tinggi (1 g metil prednisolon intravena) yang diberikan secara parenteral, dapat mengurangi gejala dengan cepat dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1807



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mengurangi tingkat efusi secara bertahap.



MlOKARDlTlS DAN ABNORMALITAS MIOKARD Pada evaluasi klinis pasien LES, prevalensi miokarditis dilaporkan berkisar antara 8-25%. Pada penelitian prospektif manifestasi kardiovaskular pada 100 pasien LES, kejadian miokarditis didapatkan 14%.



Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis pada LES sama dengan miokarditis yang berasal dari infeksi viral atau beberapa penyebab lain. Tanda paling awal adalah takikardia yang tak sesuai dengan demam. Pasien dapat mengalami sesak atau berdebar. Pada pemeriksaan fisis, sering ditandai titik impuls maksimal pada linea aksilaris anterior, dapat ditemukan juga murmur, irama gallop danlatau manifestasi gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan takikardia sinus atau aritmia ventrikular. Pemeriksaan foto toraks dapat terlihat jantung membesar secara difus. Enlei Per lkal ti Rirtgntt



- + klar ~kuin - Prodnlson 2 , s10 mgfhar~



Gambaran Histopatologi Abnormalitas patologis bervariasi sesuai beratnya miokarditis, biasanya terdiri atas fokus kecil sel plasma interstisial dan infiltrasi limfosit dan jarang terjadi inflamasi interstisial difus. Dapat ditemukan juga perubahan fibrinoid dan hematoxyllin bodies. Pada pasien yang mendapat terapi steroid sering ditemukan fibrosis miokard.



Diagnosis Diagnosis miokarditis LES sering sulit ditegakkan secara klinis karena faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif mungkin ditemukan seperti anemia, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi sistemik, penyakit valvular atau retensi garam dan air yang berasal dari penyakit ginjal atau penggunaan kortikosteroid sistemik. Diagnosis klinis miokarditis LES ditegakkan berdasarkan kombinasi keadaan sebagai berikut 1. Takikardia saat istirahat yang tak sesuai dengan suhu tubuh 2. Perubahan ST-'T nonspesifik pada pemeriksaan EKG 3. Satu atau lebih keadaan berikut: kardiomegali pada pemeriksaan rontgen dada tanpa adanya ehsi perikard, irama derap (gallop), gagal jantung kongestif, aritmia ventrikular dan peningkatan kadar enzim CKMB Penatalaksanaan Pasien LES dengan miokarditis akut diterapi dengan prednison sekurang-kurangnya 1 mg/kgBB/hari. Obat sitotoksik seperti azatioprin dan siklofosfamid juga pernah digunakan pada beberapa pasien.



ENDOKARDITIS DAN PENYAKIT JANTUNG VALVULAR



I



I



Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan efusi perikard pada LES



Biopsi Endomiokardial Biopsi endomiokardial telah digunakan untuk diagnosis miokarditis LES pada sejumlah kecil pasien LES. Tindakan ini tidak hanya menunjang diagnostik tetapi juga menentukan perluasan miokarditis pada LES.



Endokarditis pertama kali dilaporkan oleh Libman dan Sacks pada tahun 1924, jauh sebelum hubungannya dengan LES diketahui. Lesi endokarditis ini secara patologis berbeda dengan endokarditis karena etiologi lain, dan dipercayai karakteristik untuk LES, yaitu berupa vegetasi verrucous, non-bakterial, 3-4 mm pada katup d a d atau permukaan endokard mural. Vegetasi ini dapat tunggal atau berkelompok berupa kluster seperti mulberry. Katup yang sering terkena adalah katup mitral. Vegetasi Libman Sacks ditemukan 35-65% pada penelitian autopsi awal pasien LES, namun tidak ditemukan gejala secara klinis (silent) dan pengaruhnya terhadap hemodinamik kecil. Penelitian post mortenz selanjutnya menunjukkan kejadian dan ukuran vegetasi menjadi lebih kecil. Penyakit jantung valvular pada beberapa penelitian dilaporkan berhubungan dengan antibodi antiposfolipid.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK(morning dr. PRIYO PANJI stiffness), artralgia atau artritis terutama pada



Ekokardiografi Dengan pemeriksaan ekokardiografi, penebalan katup mitral yang diduga verrucae dilaporkan pada 3-4% kasus, namun vegetasi biasanya terlalu kecil untuk dideteksi. Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi transesofageal (TEE) pada 69 pasien LES yang dilakukan pemantauan selama 57 bulan menunjukkan abnormalitas valvular sering ditemukan, baik pada saat awal dan tindak lanjut masing-masing 61% dan 53%. Abnormalitas katup tersebut antara lain:



Fase awal Tindak lanjut Penebalan katup 51% 52% . Vegetasi 43% 34% Regurgitasi valvular 25% 28% Stenosis 4% 3% Pada penelitian tersebut, penyakitjantung valvular tidak berhubungan dengan lama penyakit, aktivitas penyakit, beratnya lupus atau pengobatan yang diberikan. Gambaran Hispatologi Secara mikroskopis vegetasi terdiri atas proliferasi dan degenerasi sel, fibrin, jaringan fibrosa, dan jarang hernatoxyllin bodies. Terdapat pula deposit imunoglobulin dan komplemen sepanjang dinding verrucae, yang menyokong dugaan adanya kompleks imun dalam sirkulasi yang berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi vegetasi verrucous Libman-Sacks. Diagnosis Sebelum ditemukan ekokardiografi, sulit menegakkan diagnosis klinis. Pemeriksaan fisis dan ekokardiografi dapat menduga adanya verrucae, tetapi tidak diagnostik. Murmur dapat disebabkan demam, takikardia, hipertensi atau anemia. Diagnosis endokarditis Libman-Sacks primer ditegakkan berdasarkan pemeriksaan autopsi. Penatalaksanaan Penatalaksanaan endokarditis dan abnormalitas valvular pada LES, tergantung pada aktivitas LES secara keseluruhan. Pada pasien lupus yang stabil, penyakit valvular yang baru didiagnosis, tidak merefleksikan peningkatan aktivitas atau beratnya penyakit, sehingga mungkin tidak memerlukan modifikasi terapi antiinflamasi. Pada keadaan di mana ditemukan stenosis berat atau regurgitasi berat yang biasanya mengenai katup mitral, dilakukan tindakan operatif penggatian katup.



REUMATOIDARTRlTlS Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronik yang dimediasi imun dengan ciri kekakuan pada pagi hari



metakarpopalangeal atau sendi interpalang proksimal, nodul reumatoid, faktor reumatoid IgM atau IgG serum dan erosi artikular pada pemeriksaan foto rontgen. Penyebab kematian tersering adalah komplikasi artikular dan ekstraartikular seperti subluksasi atlantoaksial, sinovitis krikoaritenoid, sepsis, komplikasi jantung paru dan vaskulitis difus. Penyakit kardiovaskular reurnatoid disebabkan karena inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis atau deposisi granulomatous pada perikardium, miokardium, katup jantung, arteri koroner, aorta atau sistem konduksi. Penyakit jantung reumatoid secara klinis ditemukan pada sepertiga pasien, dibandingkan sampai 80% pada pemeriksaan autopsi. Penyakit jantung reumatoid dapat berupa perikarditis, miokarditis, penyakit jantung valvular, gangguan konduksi, arteritis koroner, artitis atau kor pulmonal. Penelitian kohort prospektif yang membandingkan insidens infark miokard dan bencana serebrovaskular antara pasien RA dan non RA menunjukkan pasien RA mempunyai insiden bencana vaskular dan mortalitas lebih tinggi. Aterosklerosis juga menunjukkan laju akselerasi pada RA. Terdapat korelasi yang kuat antara adanya petanda biokimia inflamasi dan plak aterosklerosis karotis pada RA. Prediktor penyakit kardiovaskular secara klinis mencakup jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, awitan penyakit, hipertensi, terapi kortikosteroid dini, penyakit yang lama, manifestasi ekstraartikular yang aktif, poliartikular erosif dan penyakit nodular, vaskulitis sistemik dan kadar faktor reurnatoid serum yang tinggi. Pasien yang mengalami bencana kardiovaskular mempunyai LED yang tinggi, kadar haptoglobin, kadar faktor von Willebrand dan plasminogen activator inhibitor yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa penyakit kardiovaskular. Hal ini menunjukkan bahwa proses inflamasi dan protrombotik mengakibatkan penyakit kardiovaskular.



Keterlibatan jantung jarang pada RA, namun terjadi dalam berbagai bentuk. Perikarditis fibrofibrinous non spesifik difus terjadi pada sekitar 50 % pasien RA, biasanya secara klinis silent dan tertutupi oleh pleuritis atau nyeri sendi. Penyakit perikard cenderung benigna, namun efusi berat dapat terjadi dan memerlukan tindakan perikardiosentesis, dan konstriksi perikarditis konstriktif jarang memerlukan tindakan perikardiektomi. Perikarditis konstriktif terjadi pada 4 dari 47 pasien RA yang kasusnya dipantau selama periode 10 tahun. Prevalensi perikarditis ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan penyakit aktif yang dirawat. Terdapat hubungan kuat antara perikarditis dan faktor reumatoid



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



IgM atau Ig G yang positif, penyakit nodular reumatoid clan LED > 55 mrnljam. Perikarditis reumatoid terjadi melalui 3 mekanisme: proses inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis dan jarang penyakit nodular atau granulomatous.



Manifestasi Klinis Perikarditis reumatoid umumnya tanpa komplikasi dan sangat sering dengan tanda nyeri pleuritik, fibrilasi atrial atau fluter. Sepertiga pasien asimtomatik. Pada pemeriksaan fisis dapat didengar pericardial rub. Tamponad dan perikarditis konstriktif jarang dijumpai, biasanya pada pasien dewasa yang aktif dan berat yang lama dan pasien dengan keterlibatan ekstrartikular. Keluhan lain seperti dispnu, ortopnu, edema, distensi vena jugularis, ronki, pulsus paradoksus, tanda Kusmaull dan distensi vena hepatojugular sering dijumpai jika terjadi kompresi jantung. Pemeriksaan Penunjang EKG sering menunjukkan perubahan gelombang T dan segmen ST nonspesifik, demikian juga elevasi segmen ST difus yang klasik. Pada efusi perikard yang banyak dapat ditemukan low voltage atau electrical alternans. Pemeriksaan foto rontgen dada biasanya normal, Kardiomegali ditemukan pada pasien dengan ehsi perikard yang berat. Kalsifikasi perikard jarang dijumpai. Pemeriksaan ekokardiografi merupakan teknik diagnostik yang sangat penting yang kelainan tersering dijumpai adalah efusi perikard dan penebalan perikard. Kompresi diastolik ventrikel kanan dan atrium kanan dapat ditemukan pada efusi perikard berat yang menunjukkan adanya tamponad. Tidak dijumpai abnormalitas perikard pada pemeriksaan ekokardiografi tidak menyingkirkan adanya perikarditis pada pasien dengan gejala khas atau pericardial rub. Pemeriksaan laboratoriurn sering menunjukkan LED meningkat > 55 mmljam. Cairan perikard eksudatif dan serosanguineus dan kadar protein dan LDH yang tinggi, tapi kadar glukosa rendah dan dapat mengandung faktor reumatoid. Hitung jenis sel biasanya > 2000, dengan neutrofil predominan. Pada biopsi perikard dapat ditemukan deposit granular IgG, IgM, C3 dan C l q pada interstisium dan dinding pembuluh darah perikard. Penatalaksanaan Pada perikarditis reumatoid ringan tanpa komplikasi dianjurkan istirahat di tempat tidur dan pemberian antiinflamasi non steroid. Pada kasus yang berat dan tak respons dengan terapi OAINS dapat diberikan steroid. Pada efusi perikard masif atau tamponad dilakukan perikardiosentesis atau perikardiotomi. Pada perikarditis konstriktif dilakukan perikardiektomi. Penggunaan steroid intraperikard saat perikardiosentesis masih kontroversial.



PENYAKITJANTUNG VALVULAR REUMATOID



Penyakitjantung valvular reumatoid diakibatkan oleh proses inflamasi akut nonspesifik, kronik atau rekuren, vaskulitis atau deposisi granulomata pada katup. Proses inflamasi ini terdiri dari infiltrasi sel plasma, histiosit, limfosit dan eusinofil yang mengakibatkan fibrosis, penebalan dan retraksi katup. Granulomata katup yang merupakan nodul reumatoid, ditemukan pada katup, cincin katup, puncak musculus papilaris dan endokardium atrial atau ventrikular. Katup jantung yang sering terlibat adalah katup mitral dan aorta. Granulomata tersering dijumpai pada basal melekatnya katup, biasanya fokal dan biasanya tidak mengakibatkan d i s h g s i katup. Penyakit katup reumatoid terjadi pada pasien dengan penyakit reumatoid yang sudah lama dan berat dengan penyakit nodular dan poliartikular erosif, vaskulitis sistemik dan kadar faktor reumatoid yang tinggi. Penyakit katup mitral atau aorta reumatoid biasanya ringan dan asimtomatik, akut atau kronikjarang berkembang menjadi berat. Valvulitis akut dan berat atau ruptur ganulumata katup yang mengakibatkan regurgitasi berat dan gaga1 jantung jarang dijumpai. Aortitis yang menyebabkan dilatasi aorta (aortic root) dan regurgitasi aorta juga jarang ditemukan. Regurgitasi aorta reumatoid lebih berkembang cepat jika dibandingkan dengan penyebab lain. Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan fisis penyakit jantung reumatoid mungkin tak tampak kelainan karena sebagian besar kasus ringan. Pada kasus yang jarang berupa regurgitasi mitral atau aorta akut atau kronik, dapat ditemukan auskultasi yang klasik dan tanda-tanda yang berhubungan dengan kegagalan ventrikel dapat ditemukan. Diagnosis Pemeriksaan EKG dan foto rontgen dada mempunyai nilai diagnostik yang terbatas. Pada kasus penyakit katup berat dapat menunjukkan pembesaran ruang jantung. Ekokardiografi transtorakal dengan Dopler benvarna merupakan pemeriksaan tersering yang digunakan untuk mendeteksi dan menilai beratnya penyakit katup reumatoid. Katup mitral dan aorta yang tersering terlibat dapat menunjukkan penebalan nodular lokal atau difus, dengan atau tanpa kalsifikasi. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal, regurgitasi mitral atau aorta pada semua derajat ditemukan masing-masing pada 80 % dan 33 % pasien. Nodul katup reumatoid biasanya berukuran kecil < 0,5 cm2, berbentuk oval yang homogen, biasanya tunggal. Penatalaksanaan Tak ada terapi antiinflamasi khusus pada penyakit katup reumatoid. Penggunaan steroid dan imunosupresif lain



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA UNTUKjika dr.adaPRIYO pada beberapa kasus valvulitis berat DI akut SCAN ,menunjukkan keluhan PANJI dan pemantauan jantung sekurangperbaikan yang nyata. Penggantian katup mitral atau aorta kurangnya 48-72 jam. Pada beberapa kasus berat steroid berhasil dilakukan pada regurgitasi berat akut atau kronik. oral atau IV dosis tinggi menunjukkan manfaat. MlOKARDlTlS REUMATOID



PENYAKITJANTUNG KORONER REUMATOID



Miokarditis reumatoid ditemukan sebanyak 30% pada pasienpost mortem namun jarang pada laporan klinis dan ekokardiografi. Biasanya lebih sering dijumpai pada pasien RA aktif dan penyakit ekstraartikular, faktor reumatoid positif yang tinggi, ANA, dan vaskulitis sistemik. Miokarditis reumatoid dapat berasal dari proses autoimun, vaskulitis, atau deposisi granulomata, jarang karena infiltrasi amiloid. Kecuali granulomata, miokarditis reumatoid sukar dibedakan pada pemeriksaan histopatologi dari eosinofilik, toksik atau infeksi.



Prevalensi PJK pada pasien RA pada penelitian post mortem sekitar 20%. Terdapat 2 tipe etiologi: 1. Yang tersering adalah aterosklerosis koroner yang mungkin diakselerasi steroid dan episod arteritis koroner berulang. 2. Yang jarang karena arteritis koroner sendiri Pasien arteritis koroner biasanya mempunyai nodul reumatoid, vaskulitis, penyakit reumatoid progresif cepat, titer faktor reumatoid yang tinggi dan peningkatan mortalitas kardiovaskular.



Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miokarditis reumatoid adalah sama dengan miokarditis karena sebab lain. Yang sangat sering ringan, asimtomatik dan tak dikenali secara klinis. Jika simtomatik, gejala nonspesifik seperti lelah, sesak, palpitasi dan nyeri dada dapat ditemukan. Nyeri dada biasanya pleuritik, dan mungkin menggambarkan adanya mioperikarditis. Miokarditis akut berat dengan disfungsi ventrikel kiri dengan manifestasi gagal jantung kongestif atau aritmia atrial 1 ventrikular jarang dijumpai. Pada pemeriksaan fisis sering dijumpai demam dan takikardia sinus. Bunyi jantung I dan I1 normal, bunyi jantung I11 dan IV jarang terdengar. Murmur sistolik fungsional dapat terdengar. Jika terdapat mioperikarditis, dapat ditemukan pericardial rub.



Manifestasi Klinis Sebagian besar pasien artritis reumatoid dengan PJK asimtomatik. Penyakit koroner aterosklerotik dapat bergejala angina pektoris stabil kronik, angina pektoris tak stabil atau infark miokard akut, di mana arteritis koroner lebih sering muncul sebagai angina pektoris tak stabil dan jarang sebagai infark miokard akut. Pada pemeriksaan fisis selama sindrom iskemia akut dapat ditemukan takikardia, bunyi jantung ketiga atau keempat dan ronki basah pada paru jika terdapat gagal jantung kiri.



Diagnosis Pada pemeriksaan EKG biasanya menunjukkan abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik. Dapat ditemukan juga gangguan konduksi atrioventrikular dan ektopi atrial atau ventrikular. Ekokardiografi dapat menunjukkan abnormalitas gerakan dinding segmental atau disfungsi kontraksi ventrikel kiri difus dan dilatasi ruang jantung pada kasus miokarditis fokal berat atau difus. Namun pada sebagian besar pasien miokarditis ringan, pemeriksaan ekokardiografi tidak menunjukkan kelainan. Scanning radionuklid dengan indium 11 1, galium 67 atau technitium 99 dapat menunjukkan uptake miokardial fokal atau difus yang menunjukkan inflamasi miokard, nekrosis atau keduanya. Pemeriksaan laboratorium pada kasus berat, menunjukkan peningkatan ringan CKMB atau LDH. Penatalaksanaan Pasien perlu istihat di tempat tidur, diberikan analgesik



Diagnosis Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan gelombang Q yang menunjukkan infark miokard sebelumnya, elevasi atau depresi segmen ST menunjukkan kerusakan iskemia subendokard atau epikard, atau inversi gelombang T yang menunjukkan iskemia. Pemeriksaan ekokardiografi selama iskemia berat dapat menunjukkan abnormalitas gerakan dinding atau jariangan parut miokard jika terdapat infark miokard sebelumnya. Juga dapat ditentukan ada tidaknya serta beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pemeriksaan laboratorium CKMB, troponin, dan LDH dapat meningkat jika terjadi nekrosis miokard. Angiografi koroner dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan tinggi adanya PJK atau pemeriksaan treadmill yang dicurigai PJK. Diagnosis arteritis koroner dicurigai jika teradapat lesi stenosis multipel pada arteri koroner epikardial. Penatalaksanaan Jika terdapat kecurigaan arteritis koroner simtomatik dan berat dapat diberikan terapi steroid dosis tinggi dan siklofosfamid sebagai tambahan dengan heparin, aspirin, nitrat, penyekat beta atau antagonis kalsium. Tak ada data



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI penggunaan PC1 pada arteritis koroner reumatoid. Aterosklerosis koroner simtomatik dapat diberikan terapi medis atau revaskularisasi koroner. Gangguan Konduksi Prevalensi gangguan konduksi atrioventrikular atau intraventrikular pada pasien artritis reumatoid mungkin tak berbeda dengan populasi umum. Mekanismenya antara lain inflarnasi akut pada nodus AV atau berkas His, vaskulitis pada arteriol yang mensuplai jalur konduksi, deposisi granulomata pada sistem konduksi dan infiltrasi amiloid. Manifestasi Klinis Rerata usia pasien dengan gangguan konduksi biasanya > 60 tahun, dan sebagian besar mempunyai gambaran penyakit berat dengan penyakit nodular yang membutuhkan terapi steroid. Gangguan konduksi biasanya ringan dan asimtomatik dan didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaan EKG. Pada kasus yang jarang di mana terdapat blok AV derajat tinggi dapat ditemukan keluhan pusing, lelah, prasinkop atau sinkop. Walaupun jarang, blok AV total mungkin asimtomatik karenas penyakit sendi berat membatasi aktivitas pasien. Blok AV selintas dan kembali normal setelah terapi antiinflamasijarang dijumpai. Diagnosis Metode diagnosis terbaik adalah pemeriksaan EKG rutin, pemantauan EKG 24 jam (Holter) atau keduanya. Penatalaksanaan Penatalaksanaan blok AV derajat tinggi simtomatik atau blok intraventrikular terdiri dari pacu jantung sementara dan steroid dosis tinggi. Pasien yang tak responsif hams mendapatkan pacu jantung permanen.



HlPERTENSl PULMONAL REUMATOID Penyebab hipertensi pulmonal dengan tekanan vena pulmonal normal mencakup hiperviskositas serum, fibrosis interstisial, bronkiolitis obliteratif dan vaskulitis pulmonal. Prevalensinya masih belum jelas, tetapi rendah. Manifestasi Klinis Sesak merupakan manifestasi yang biasa dijumpai pada hipertensi pulmonal dan kor pulmonal. Hipertensi pulmonal sedang yang tak berhubungan dengan kor pulmonal dapat asimtomatik. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan heaving parastemal, bunyi jantung I1 split, regurgitasi trikuspid, gallop S3 sisi kanan dan jarang hepatomegali dan edema.



Diagnosis Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan dan blok cabang berkas. Pemeriksaan ekokardiografi dapat menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, hipertrofi atau disfungsi, regurgitasi trikuspid dan bukti tekanan sistolik arteri pulmonal yang tinggi. Biopsi paru terbuka dan lavage bronkoalveolar merupakan metoda yang dikerjakan jika vaskulitis paru berat atau bronkolitis obliterans dicurigai sebagai penyebab hipertensi pulmonal. Penatalaksanaan Penalatalaksanaan hipertensi pulmonal karena vaskulitis pulmonal adalah imunosupresan atau steroid, namun prognosis buruk dan sebagian besar pasien meninggal dalam satu tahun sejak diagnosis.



SKLERODERMA Skleroderma atau sklerosis sistemik adalah penyakit sistemik dengan ciri akurnulasi jaringan ikat berlebihan, fibrosis dan perubahan degeneratif pada kulit, otot skeletal, sinovium, pembuluh darah, saluran cerna, ginjal, paru dan jantung. Penyakit paru terutama hipertensi pulmonal dan penyakit ginjal merupakan penyebab utama mortalitas, diikuti penyakit jantung, dengan suwival kumulatif hanya 20 % dalam 7 tahun. Penyebab kematian karena jantung yang utama adalah penyakit jantung iskemia, kemudian gaga1 jantung refrakter, kematian mendadak dan perikarditis. Penyakit jantung skleroderma manifestasinya predominan sebagai PJK, miokarditis dan hipertensi pulmonal dengan atau tanpa kor pulmonal. Perikarditis, gangguan konduksi dan aritmia jarang dijumpai. Penyakit jantung skleroderma yang nyata secara klinis dilaporkan kurang dari seperempat pasien, kejadiannya meningkat sampai 80 % pada pemeriksaan autopsi. Penyakit jantung skleroderma umumnya kurang sering dan kurang berat pada tipe limited (terbatas) dibandingkan tipe difus.



PENYAKIT JANTUNG KORONER Walaupun arteri koroner epikardial biasanya normal, arteri koroner intramural dan arteriol sering menunjukkan penyempitan, fibrosis, nekrosis fibrinoid dan hipetrofi intima. Kerusakan endotel yang dimediasi imun, stimulasi fibroblas, deposisi kolagen dan peningkatan produksi platelet derived growth factor dapat menurunkan respons endotel terhadap trombosis, inflamasi dan vasodilatasi. Selanjutnya degranulasi sel mast melepas zat vasoaktif seperti histamin, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



D3 yang dapat menyebabkan vasospasme. Hampir semua pasien dengan bukti PJK intramiokardial mempunyai fenomena Raynaud's perifer.



Manifestasi Klinis Nyeri dadajarang ditemukan; jika ada, dikaitkan lebih sering dengan perikarditis atau refluks esofageal daripada iskemia miokard. Sebagian besar pasien, bahkan dengan defek pada pencitraan perhsi miokard yang dinduksi latihan atau istirahat adalah asimtomatik. Walaupun vasospasme koroner intramiokardial dapat ditemukan, vasospasme berat arteri koroner epikardial yang menyebabkan infark miokard transmural jarang dilaporkan. Diagnosis Pemeriksaan tes treadmill merupakan metode dengan sensitivitas terbatas karena prevalensi PJK epikardial pada pasien skleroderma rendah. Pada pemeriksaan radionuklid, abnormalitas perhsi multisegmental yang dinduksi latihan atau istirahat sering ditemukan. Keadaan ini sering kembali normal atau membaik dengan nifedipin atau dipiridamol yang menunjukkan episode vasospasme berulang yang meyebabkan iskemia miokard atau fibrosis. Pada pemeriksan ekokardiografi infark miokard transmural yang khas biasanya tidak ditemukan. Pasien biasanya menunjukkan disfungsi diastolik atau sistolik global. Jarang dijumpai infark miokard transmural karena vasospasme koroner epikardial. Angiografi koroner biasanya menunjukkan arteri koroner epikardial normal, aliran yang lambat menunjukkan resistensi koroner intramiokardial yang meninggi dan penurunan aliran darah sinus koronarius menunjukkan cadangan aliran koroner abnormal.



pasien skleroderma dengan penyakit kutaneus difus, antibodi antiScl70 dan usia > 60 tahun. Miokarditis secara klinis jarang dijumpai, namun pada penelitian post mortem menunjukkan prevalensi yang tinggi. Fibrosis miokardial difus atau fokal dan nekrosis pita kontraksi (contraction-band)sering ditemukan.



Manifestasi Klinis Penyakit fibrosis miokardial difus atau fokal dapat mengakibatkan dishngsi diastolik atau sistolik ventrikel kiri yang bermakna, aritmia dan gangguan konduksi. Pasien dengan miopati skletal dan dengan miokarditis lebih sering mengalami gagal jantung klinis yang sering intraktabel. Gejala yang muncul perlahan seperti dispnu, ortopnu dan edema perifer merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Gejala akut gagal jantung dan mati mendadak jarang dijumpai. Pada pemeriksaan fisis dapat menunjukkankardiomegali, gallop S3 atau S4, murmur sistolik, penurunan intensitas bunyi jantung, ronki paru dan edema perifer.



Penatalaksanaan Walaupun antagonis kalsium seperti nifedipin dan nikardipin jelas menunjukkan perbaikan jangka pendek dalam jumlah dan beratnya defek perfusi, manfaat jangka panjang belum diketahui. Kaptopril menunjukkan manfaat . yang sama.



Diagnosis Jika terdapat bukti miokarditis secara klinis atau laboratorium, penapisan diagnosis keterlibatan jantung yang asimtomatik hams dilakukan. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pola infark septal pada beberapa pasien, berhubungan dengan abnormalitas perfusi thalium anteroseptal atau septal, walaupun arteri koroner epikardial normal. Keadaan ini diduga menunjukkan fibrosis septal. Pada pemeriksaan ekokardiografi sebagian besar pasien menunjukkan fimgsi sistolik ventrikel kiri yang masih baik. Dapat dijumpai abnormalitas gerakan dinding ventrikel kiri regional atau global dan jarang abnormalitas gerakan dinding ventrikel kanan dan lebih sering tampak pada pasien dengan penyakit jantung secara klinis. Biopsi endomiokardial merupakan pemeriksaan pemeriksaan yang jarag, digunakan untuk diagnosis penyakit miokardial skleroderma, namun pola keterlibatan yang heterogen dan nonspesifik membatasi sensitivitas dan spesifisitas teknik ini.



Terdapat 2 tipe penyakit miokardial skleroderma. Yang tersering karena iskemia intramiokardial berulang yang mengakibatkan fibrosis; yang kedua jarang di mana patogenesisnya tak diketahui adalah miokarditis inflamasi akut. Pasien skleroderma dengan miopati skeletal aktif mempunyai prevalensi penyakit niokardial sampai 2 1 %, dibandingkan hanya 10 % pada pasien tanpa miopati perifer. Penyakit miokardialjuga lebih sering dan berat pada



Penatalaksanaan Jika ditemukan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimtomatik, terapi bersifat nonspesifik dan terdiri dari diuretik, digitalis dan vasodilator. Penggunaan metilprednisolon intravena pada miokarditis inflamasi akut masih kontroversial. Adanya gallop S3 menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri dan meningkatkan risiko kematian lebih dari 500%. Pasien dengan gagal jantung mempunyai laju mortalitas 100% dalam 7 tahun, dengan angka tertinggi (82 %) terjadi dalam tahun pertama diagnosis.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINCAN IKAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI GANGGUAN KONDUKSl DAN ARlTMlA Defek konduksi terjadi sampai 20% pasien skleroderma. Prevalensi tertinggi pada ditemukan pada pasien miokarditis atau defek perfusi miokardial. Penggantian fibrosa pada nodus SA dan AV, cabang berkas dan miokardium tampak pada pemeriksaanpost mortem pasien dengan gangguan konduksi.



Manifestasi Klinis Aritmia sering dijumpai dan dikaitkan dengan miokarditis aktif. Kontraksi ventrikel dan atrial prematur, takikardia supraventrikular dan takikardia ventrikular non sustained juga sering dijumpai. Aritmia ventrikular dan supraventrikular lebih sering terjadi pada pasien dengan penyakit kutaneus difus daripada pasien dengan tipe terbatas. Palpitasi terjadi pada 50 % pasien. Sinkop dapat terjadi dan dikaitkan dengan blok AV derajat tinggi atau aritmia ventrikular;jarang merupakan manifestasi pertama skleroderma. Sinkop dapat juga terjadi pada pasien hipertensi pulmonal berat. Sekitar40-70 % kematian jantung pada pasien skleroderma yang mempunyai miopati skeletal aktif dan miokarditis mungkin tiba-tiba dan terkait dengan aritmia ventrikular. Diagnosis Mayoritas pasien mempunyai EKG normal, yang mempunyai prediksi tinggi fungsi ventrikel kiri normal. Adanya blok cabang berkas kiri dan kanan atau bifasikular umumnya berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri saat istirahat atau yang diinduksi latihan. Terdapat peningkatan frekuensi aritrnia atrial dan vetrikular atau abnormalitas konduksi pada pemeriksaan EKG dan berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri. Penatalaksanaan Pacu jantung diindikasikan pada gangguan konduksi derajat tinggi yang simtomatik dan terapi antiaritmia diberikan pada aritmia simtomatik. Belurn diketahui apakah supresi aritmia menurunkan risiko mati mendadak pada pasien skleroderma.



Patogenesis penyakit perikardial skleroderma tak diketahui dan biasanya secara klinis silent. Perikarditis akut simtomatik jarang dijumpai, kontras dengan prevalensi penyakit perikard yang tinggi pada pemeriksaan post mortem. Perikarditis fibrinosa, perikarditis fibrosa kronik, adhesi perikardial dan efusi perikardial adalah tipe patologis yang dijumpai. Penyakit perikardial lebih sering terjadi pada pasien dengan bentuk kutaneus terbatas.



Manifestasi Klinis Bukti klinis pada penyakit perikard ditemukan 5- 15 % pasien dan lebih sering pada pasien dengan tipe kutaneus terbatas. Manifestasi klinis tersering adalah efusi perikard kronik dengan sesak, ortopnu dan edema; dan jarang tampak sebagai perikarditis akut dengan demam, nyeri dada pleuritik, dispnu dan pericardial rub. Tarnponad jantung atau perikarditis konstriktifkronik jarang dijumpai. Diagnosis Ekokardiografi sering menunjukkan efusi perikard ringan asimtomatik dan penebalan dan dapat mengkonfirmasi tamponad jantung yang dicurigai secara klinis. Penatalaksanaan Perikarditis simtomatikatau efusi perikard bermakna dapat diterapi dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Jika dicurigai tamponad, perikardiosentesis atau perikardiektomi biasanya bermanfaat. Steroid tidak efektif pada pasien efusi perikard kronik yang berat.



PENYAKIT JANTUNG VALVULAR Prevalensi sebenarnya tak diketahui, dan jarang dijumpai secara klinis. Prevalensi pada penelitian post mortem dilaporkan sampai 18 %. Pada pemeriksaan ekokardiografi, frekuensi regurgitasi mitral pada pasien skleroderma dilaporkan 67 % dibandingkanhanya 15 % pada kelompok kontrol. Dapat dijumpai penebalan nonspesifik pada katup mitral dan aorta tanpa disertai regurgitasi bermakna.



PENYAKITJANTUNG SKLERODERMASEKUNDER Penyebab sekunder penyakit jantung skleroderma dikaitkan dengan hipertensi sistemik dan pulmonal. Fibrosis paru dapat terjadi sampai 80 % dan hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal sampai 40-50% pasien. Hipertensi pulmonal sekunder karena vaskulopati inflamasi atau vasospasme pulmonal jarang terjadi dan lebih sering dikaitkan dengan tipe kutaneus terbatas (limited cutaneus) dan sindrom overlap. Hipertensi pulmonal dikaitkan dengan 50 % mortalitas dalam 8 tahun. Oksigen, antagonis kalsium dan inhibitor ACE menunjukkan manfaat jangka panjang. Hipertensi dan penyakit jantung hipertensi biasanya dikaitkan dengan penyakit renovaskular. Prognosis dikaitkan dengan beratnya penyakit jantung.



Spondilitis ankilosing merupakan penyakit inflamasi yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



asalnya tak diketahui yang melibatkan predominan pada vertebra dan sendi sakroiliaka. Manifestasinya sebagai nyeri pinggang bawah dan hambatan gerakan bagian belakang dan pengembangan dada. Jarang melibatkan sendi perifer dan organ ekstrartikular seperti jantung. Manifestasi kardiovaskular umumnya mengikuti sindrom artritis setelah 10-20 tahun, kadang-kadang mendahulai artritis. Manifestasi kardiovaskular terpenting adalah aortitis dengan atau tanpa regurgitasi aorta, gangguan konduksi, regurgitasi mitral, disfungsi miokardial dan penyakit perikard. Prevalensi penyakit kardiovaskular secara klinis bervariasi luas. Prevalensinya lebih tinggi pada pasien dengan lama penyakit >20 tahun, pasien dengan usia >50 tahun dan keterlibatan artikular perifer.



anterior. Regurgitasi katup yang tampak pada hampir 50 % pasien adalah sedang pada sepertiga kasus. Penyakit aorta dan katup dikaitkan dengan lama penyakit spondilitis ankilosing tapi tidak terhadap aktivitas penyakit, berat penyakit dan terapi.



Penatalaksanaan Belum ada data mengenai peran terapi medis dengan antii'nflamasi spesifik seperti kortikosteroid.Terapi dengan diuretik dan vasodilator dapat digunakan pada regurgitasi aorta yang bermakna. Profilaksis antibiotik pada endokarditis infektif diindikasikan pada penyakit katup aorta dengan regurgitasi.



GANGGUAN KONDUKSI AORTlTlS DAN REGURGITASIAORTA Patogenesis aortitis belum diketahui. Meningkatnya aktivitas agregasi trombosit dan platelet-derived growth factor dipercayai sebagai faktor yang berperan pada patogenesis. Proses inflamasi juga dimediasi oleh sel plasma dan limfosit.



Manifestasi Klinis Manifestasi penyakit jantung yang terkait spondilitis ankilosing tersering adalah aortitis proksimal dengan atau tanpa regurgitasi. Penyakit katup mitral yang terkait juga sering dijumpai. Aortitis dan regurgitasi aorta umumnya ringan sampai sedang, secara klinis silent dan kronik. Jarang terjadi regurgitasi aorta berat berasal dari aortitis kronik atau akut berat atau valvulitis atau komplikasi endokarditis infektif. Penyakit katup aorta silent secara klinis dengan atau tanpa regurgitasi aorta dapat terjadi pada sepertiga pasien sebelum manifestasi penyakit sendi. Walaupun penyakit aorta dan regurgitasi katup dapat ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi pada 60 % pasien, karena biasanya ringan sampai sedang, hanya sedikit yang terdeteksi secara klinis. Diagnosis Pada pemeriksaan foto rontgen dada siluet jantung dan pembuluh darah besar biasanya normal. Jika terdapat penyakit aorta berat atau regurgitasi aorta, aorta asenden dapat menunjukkan dilatasi atau elongasi dan pembesaran atrium dan ventrikel kiri dapat ditemukan. Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal, penebalan aorta, peningkatan kekakuan dan dilatasi didapatkan masing-masing 60 %, 60 % dan 25 % pasien. Penebalan katup aorta pada 40 % pasien,manifestasi predominan sebagai nodularitas katup aorta. Penebalan katup mitral yang tampak pada 30 % pasien, manifestasi predominan sebagai penebalan basal katup mitral



Gangguan konduksi merupakan penyakit jantung terkait spondilitis ankilosing kedua tersering ditemukan dan patogenesisnya belum diketahui. Gangguan konduksi dapat merupakan akibat proses fibrosis subaortik yang meluas ke septum basilar, mengakibatkan destruksi atau disfungsi nodus atrioventrikular, bagian proksimal berkas His, cabang berkas dan fasikel.



Manifestasi Klinis Prevalensi gangguan konduksi bervariasi sangat luas, sekurang-kurangnya 20 %. Blok atrioventrikular (derajat satu, derajat dua dan jarang derajat tiga) tersering ditemukan, diikuti disfungsi nodus sinus (aritmia sinus, blok sinoatrial, henti sinus, dan sick sinus syndrome) dan blok fasikular dan cabang berkas. Pasien dengan gangguan konduksi umumnya asimtomatik dan dapat dideteksi sebelum manifestasi secara klinis pada kurang dari seperlima pasien. Prevalensi penyakit aorta dan regurgitasi katup tinggi pada gangguan konduksi. Jarang terjadi, gangguan konduksi berat yang berhubungan dengan gejala pusing, prasinkop atau sinkop dan membutuhkan pacu jantung mendahului diagnosis spondilitis ankilosing. Pada pemeriksaan fisis bradiaritmia berat dapat secara klinis dideteksijika pasien simtomatik.Gangguan konduksi umumnya insidental dideteksi dengan EKG. Diagnosis EKG mencakup pemantauan ambulatori 24 jam, dapat secara mudah mendeteksi adanya gangguan konduksi. Penatalaksanaan Terapi antiinflamasi tidak menunjukkan manfaat pada pasien dengan gangguan konduksi. Pacu jantung dapat dilakukan dengan sukses dengan indikasi terbanyak adalah blok jantung total dan sick sinus syndrome.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT KATUP MITRAL



Prevalensi penyakit katup mitral sekitar 30%, namun secara umum tak bermakna dan sering tak diketahui. Penyakit katup mitral umumnya asimtomatik dan sering secara insidentil dideteksi dengan ekokardiografi.Patogenesisnya dikaitkan dengan perluasan fibrosis aorta sampai bagian basilar subaortik dari katup mitral anterior, mengaibatkan subaortic bump. Regurgitasi mitral berasal dari mobilitas katup anterior yang menurun yang disebabkan subaortic bump basilar atau jarang akibat dilatasi ventrikel karena regurgitasi aorta. Kecuali profilaksis antibiotik untuk pencegahan endokarditis infektif pada pasien dengan regurgitasi mitral, tak ada terapi lain yang direkomendasikan.



PENYAKIT MIOKARD, PENYAKIT PERIKARD DAN ENDOKARDITIS BAKTERlALlS



Penyakit miokard primer jarang dijumpai. Patogenesisnya belum diketahui, diduga karena peningkatan jaringan ikat interstisial miokardial yang difus dan serat retikulum. Manifestasinya dapat berupa disfimgsi sistolik dan dilatasi ventrikel kiri sampai seperlima pasien. Fungsi diastolik ventrikel kiri abnormal dengan pemerikasaan ekokardiografi Doppler dan ventrikulografi radionuklid dilaporkan sebanyak 50 % pasien. Disfungsi diastolik tidak terkait dengan usia, lama penyakit atau aktivitas penyakit. Disfungsi miokard sekunder terkait dengan overload volume kronik pada regurgitasi mitral dan aorta. Dapat didengar bunyi jantung ketiga dan keempat dan ronki paru jika terdapat disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri yang bermakna. Ekokardiografi merupakan metode diagnostik terbaik untuk melihat disfungsi ventrikel kiri primer atau sekunder. Tak ada terapi spesifik untuk penyakit miokardial primer. Prevalensi penyakit perikardial talc diketahui, danjarang ditemukan pada spondilitis ankilosing. Patogenesisnya belum diketahui dengan pasti. Umumnya asimtomatik dan tak ada gangguan hemodinamik bermakna. Biasanya secara insidental terdeteksi pada pemeriksaan ekokardiografi berupa penebalan perikard atau efusi perikard ringan. Tak ada terapi spesifik.



Polimiositis atau dermatomiositisadalah miopati inflamasi kronik, didapat yang penyebabnya tak diketahui dengan manifestasi klinis kelelahan otot proksimal yang simetri pada ekstremitas, tulang belakang dan leher. Dermatomiositis berbeda dengan polimiositis dengan adanya rash pada muka, leher, dada dan ekstremitas,



terbanyak pada permukaan ekstensor, terutama punggung tangan dan jari. Penyebab utama mortalitas adalah keganasan, sepsis dan penyakit kardiovaskular. Indikator .prognosis yang buruk mencakup usia >45 tahun, penyakit kardiopulmoner dan lesi nekrotik kutaneus. Manifestasi Klinis Penyakit jantung yang terkait polimiositis Idermatomiositis tidak jarang dijumpai dan manifestasinya predominan sebagai aritmia atau gangguan konduksi dan miokarditis. Kardiomiopati dilatasi, perikarditis, vaskulitis koroner, hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal, prolaps katup mitral dan sindrom jantung hiperkinetik pernah dilaporkan. Penyakit jantung yang nyata secara klinis jarang dibandingkan pada penemuan post mortem. Penyakit jantung klinis lebih sering ditemukan pada polimiositis dan sindrom overlap daripada dermatomiositis. Adanya penyakit jantung tidak berhubungan dengan usia, aktivitas ,berat atau lamanya penyakit dan tak berbeda antara pria dan perempuan.



ARlTMlA DAN GANGGUAN KONDUKSI



Abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik ditemukan pada separuh pasien. Gangguan lain mencakup blok cabang berkas kanan, blok fasikular anterior kiri, blok bifasikular, perlambatan konduksi intraventrikular nonspesifik, bok cabang berkas kiri, blok AV derajat satu dan blok AV derajat tinggi. Gangguan konduksi jarang berkembang menjadi lebih berat, meskipun pada beberapa kasus memerlukan pacu jantung permanen. Aritrnia yang tersering ditemukan adalah komplek atrial dan ventrikel prematur. Takiaritmia supraventrikular dan takikardia ventrikularjarang terjadi. Miokarditis aktif atau degenerasi miokardial dan fibrosis yang meluas ke sinoatrial, nodus AV dan cabang berkas menjelaskan adanya aritmia dan abnormalitas konduksi.



Pada penelitian, miokarditis ditemukan pada separuh pasien, dengan manifestasi sama sebagai miokarditis aktif atau fibrosis miokardial fokal. Sekitar 10-20% mengalami kardiomiopati dilatasi. Terdapat korelasi kuat antara miokarditis dan miositis aktif. Miokarditis dapat bermanifestasi secara klinis sebagai gaga1 jantung kongestif atau kardiomiopati dilatasi.



ARTERlTlS KORONER



Prevalensi klinis tak diketahui. Salah satu penelitianpost



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mortem menunjukkan adanya arteritis koroner pada 30 % pasien, manifestasi sebagai vaskulitis aktif dengan proliferasi intima atau nekrosis medial dengan kalsifikasi.



PENYAKIT JANTUNG VALVULAR Prevalensi prolaps katup mitral dilaporkan lebih dari separuh pasien. Tidak ada penyakit katup spesifik ditemukan. Penyebab prolaps katup mitral belum dapat ditentukan.



Perikarditis akut tanpa komplikasi dengan efusi perikard ringan sampai sedang pernah dilaporkan. Perikarditis akut dengan tarnponad dan perikarditis konstriktif kronis jarang dijumpai. Perikarditis melibatkan < 20% pasien dewasa dan sedikit lebih sering dari anak-anak. Ekokardiografi menunjukkan prevalensi efusi perikard biasanya sedikit pada 25% pasien dewasa dan sampai 50 % pada anak-anak.



HlPERTENSl PULMONAL, KOR PULMONAL DAN SINDROM JANTUNG HlPERKlNETlK Dapat ditemukan hipertensi pulmonal sekunder sampai penyakit paru interstisial dan vaskulopati paru primer yang memyebabkan kor pulmonal.



MIXED CONNECTIVE TISSUE DISEASE (MCTD) Pasien dengan MCTD adalah pasien dengan manifestasi klinis LES, artritis reumatoid, skleroderma dan polimiositis. Keterlibatan jantung primer pada MCTD jarang dijumpai dibandingkan penyakit jaringan ikat lain. Manifestasi Klinis Penyakit perikardial dengan manifestasi perikarditis, efusi perikard ringan atau penebalan perikard merupakan yang tersering ditemukan. Perikarditis lebih sering pada anakanak, melibatkan hampir separuh pasien. Pada kasus yang jarang, perikarditis dapat merupakan presentasi awal penyakit. Dapat ditemukan penebalan verrucous dan regurgitasi katup mitral dan tidak dapat dibedakan dengan LES. Aritmia supraventrikular dan ventrikular dan gangguan konduksi jarang ditemukan. Walaupun hiperplasia intima pada arteri koroner, perivaskular dan infiltrasi leukositik miokardial dilaporkanpada pemeriksaan postmortem, arteritis koroner klinis atau miokarditis jarang dijumpai.



Manifestasi klinis penyakit jantung primer, hipertensi pulmonal dan kor pulmonal yang terkait MCTD tidak berbeda dengan penyakit jaringan ikat lain.



Diagnosis Metode yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit jantung yang terkait MCTD sama dengan penyakit jaringan ikat lain. Penatalaksanaan Data yang ada masih sedikit dalam ha1 penatalaksanaan penyakit jantung yang terkait MCTD. Perikarditis umumnya memberikan respons baik dengan kortikosteroid. Nifedipin 30 mglhari menunjukkan penurunan resistensi vaskular pulmonal akut dan menetap pada pasien hipertensi pulmonal.



Abdurahman N, Alwi I, Hakim L, Ismail D, Soelistijo H. Association of disease activity and pericardial effusion on systemic lupus erythemathosus patients. Med J Univ Indones 1998;7:89-93. Alwi I, Hakim L, Abdurahman N. Perikarditis dan efusi perikard pada pasien lupus eritematosus sistemik. Medika 1998;6:38695. Ansari A, Larson PH, Bates HD. Cardiovascular manifestations of systemic lupus erythematosus. Prog Cardiovasc Dis 1985;27:421-34. Badui E, Garcia-Rubi D, Robles E. Cardiovascular manifestations in systemic lupus erythematosus. Prospestive study of 100 patients. Prog Cardiovasc Dis 1985;27:421-34. Bahl VK, Vasan RS, Aradhye, Malaviya AN. Prevalence of cardiac abnormalities early in the course of systemic lupus eryt hematosus. Am J Cardiol 1991;68: 1540-1. Boumpas DT, Austin I1 HA, Fessler BJ et al. Systemic lupus erythematosus: emerging concepts. Renal, neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary, and hematologic disease. Ann Intern Med 1995;122(Pt 1):940-50. Cervera R, Font J, Pare C, et al. Cardiac diseases in systemic lupus erythematosus: prospective study of 70 patients. Ann Rheum Dis 1992;51:156-9. Cohen MG, Li EK. Mortality in systemic lupus erythematosus: active disease is the most important factor. Aust NZ J Med 1992;22:5-8. Crozier IG, Li E, Milne MJ, Nicholls MG. Cardiac involvement in systemic lupus erythematosus detected by echocardiography Am J Cardiol 1990;65:1145-8. Cujec B, Sibley 3, Haga M. Cardiac abnormalities in patients with systemic lupus erythematosus. Can J Cardiol 1991;7(8):343-9. Doherty I11 NE, Feldman G, Maurer G, Siegel U. Ekokardiografi findings in systemic lupus erythematosus. Am J Cardiol 1988;61 :I 144. Doherty NE, Siegel RJ. Cardiovascular manifestations of systemic lupus erythematosus. Am Heart J 1985:1257-65. Ehrenfeld M, Asman A, Shpilberg 0.Pericarditis in SLE: a retrospective analysis [abstract]. Lupus Avis International Journal; Jerusalem, Israel; 1995 March 26-31; 1995.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1817



PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINCAN IKAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Enomoto K, Kaji Y, Mayumi T, et al. Frequency of valvular regurgitation by color Doppler echocardiography in systemic lupus erythematosus. Am J Cardiol 1991;67:209-11. Galve E, Candell-Riera J, Pigrau C, et al. Prevalence, morphologic types, and evolution of cardiac valvular disease in systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 1988;3 19:817-23. Gleason CB, Stoddard MF, Wagner SG, Longaker RA, Pierangeli, Harris EN. A comparison of cardiac valvular involvement in the primary antiphospholipid syndrome versus anticardiolipinnegative systemic lupus erythematosus. Am Heart J 1993;125:1123-9. Hojnik M, George J, Ziporen L, Shoenfeld Y. Heart valve involvement (Libman-Sacks endocarditis) in the antiphospholipid syndrome. Circulation 1996;93:1579-87. Ismail D, Alwi I, Hakim L, Soelistijo H, Abdurahman N. Gambaran ekokardiografi pasien lupus eritematosus sistemik. Maj Kedokt Indon 1999;49:350-3. Jouhikainen T, Pohjola SS, Stephanssou E. Lupus anticoagulant and cardiac manifestations in systemic erythematosus. Lupus 1994;3(3): 167-72. Kahl LE. The spectrum of pericardial tamponade in systemic lupus erythematosus. Report of ten patients. Arthritis-Rheum 1992;35:1343-9. Klinkhoff AV, Thompson CR, Reid GD, Tomlinson CW. M-mode and two dimensional echocardiography abnormalities in systemic lupus erythematosus. JAMA 1985;253:3273-7. Khamashta MA, Cervera R, Asherson RA, et al. Association of antibodies against phospholipids with heart valve disease in systemic lupus erythematosus. Lancet 1990;335: 1541-4. Leung WH, Wong KL, Lau CP, Wong CK, Cheng CH. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus: a prospective M-mode cross sectional and Doppler ekokardiografi study. Int J Cardiol 1990;27(3):267-75. Levine JS, Branch DW, Raugh J. The antiphospholipid syndrome. N Engl J Med 2002;346:752-63. Leung WH, Wong KL, Lau CP, Wong CK, Liu HW. Association between antiphospholipid antibodies and cardiac abnormalities in patients with systemic lupus erythematosus. Am J Med 1990;89:411-9.



Lolli C, Foscoli M, Giofre R, Tarquinii M, Pasquali S, Toschi GP. Cardiac anomalies in systemic lupus erythematosus: their , prevalence and relation to duration, disease activity and the presence of antiphospholipid antibodies. G ltal Cardiol 1993;23(11): 1 125-34. Lorell BH, Braunwald E. Pericardial disease. In: Braunwald, editor. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1992. p. 1465-1 5 16. Mandell BF. Cardiovascular involvement in systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum 1987; 17: 126-4 1 . Nihoyannopoulos P, Gomez PM, Jostn J, Loizou S, Walport MJ, Oakley CM. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. Circulation 1990;81:369-75. Ong ML, Veerapen K, Chambers JB, Lim MN, Manisavagar M, Wang F. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus: prevalence and relationship to disease activity. Int J Cardiol 1992;34(1):69-74. Qiusmorio FP. Systemic corticosteroid therapy in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, Qiusmorio FP, Klienberg JR, editors. Dubois' Lupus Erythematosus. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p.574-8. Quismorio Jr. FP cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' Lupus Erythematosus. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p.332-42. Roldan CA, Shively BK, Lau CC, Gurule Fr, Smith FA, Crawford MH. Systemic lupus erythematosus valve disease by transesophageal echocardiography and the role of antiphospholipid antibodies. J Am Coll Cardiol 1992;20:112734. Roldan CA, Shively BK, Crawford MH. An echocardiography study of valvular heart disease associated with systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 1996;335:1424-30 Steven MB. Systemic lupus erythematosus and the cardiovascular system: the heart. In: Lahita R G editor. Systemic lupus Erythematosus. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone; 1992. p.70717. Ward MM, Pyum E, Studenski S. Causes of death in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1995;38: 149-9.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TUMOR JANTUNG Idrus Alwi



TUMOR PRIMER



yang dapat disembuhkan dengan operasi, penting halnya diagnosis ditegakkan secara dini bila ada kecurigaan.



Tumor jantung primer jarang dijumpai. Insidennya antara 0,00 17-0,19 % pada pasien yang diautopsi. Kurang lebih tiga perempatnya jinak secara histologis, dan sisanya, yang hampir dalam seluruh kasus merupakan sarkoma, adalah tumor ganas. Hampir separuh tumor jantung jinak adalah miksoma dan mayoritas sisanya adalah lipoma, fibroelastoma papiler dan rabdomioma. Sebelum tahun 195 1, diagnosis tumor intrakardiak dibuat hanya saat pemeriksaanpost mortem. Pada saat itu diagnosis tumor atrium kiri dikonfirmasi dengan pemeriksaan angiokardiografi. Penemuan ekokardiografi memungkinkan diagnosis tumor jantung antemortem. Metode pencitraan diagnostik tambahan mencakup computed tomography (CT) dan nuclear magnetic resonance imaging (MRI). Karena seluruh tumor jantung memiliki potensi komplikasi yang mengancam jiwa, dan sekarang banyak



Tipe Jinak (Benigna) - Miksorna - Rabdorniorna - Fibroma - Hernangioma - Nodal atrioventrikular - Sel granular - Liporna - Paragangliorna - Harnartorna rniositik - Kardiorniopati histiositoid - Pseudoturnor inflarnasi - Tumor jinak lain Ganas (Maligna)



- Sarkorna - Lirnforna



Jumlah



Persen



Manifestasi Klinis Tumor jantung mungkin muncul dengan berbagai jenis manifestasi kardiak dan nonkardiak. Lokasi dan ukuran tumor merupakan penentu utama gejala-gejala dan tandatanda khusus. Sebagian besar muncul dalam manifestasi penyakit jantung yang lebih umum, seperti nyeri dada, sinkop, gaga1jantung, murmur, aritmia, gangguan konduksi, dan efusi perikard dengan atau tanpa tamponad.



Miksoma adalah tipe tumor jantung primer yang paling sering dijumpai pada seluruh kelompok usia, terhitung sepertiga sampai setengah kasus pada pemeriksaan postmortem dan sekitar tiga perempat tumor ditangani dengan operasi. Dapat muncul di segala usia, paling sering pada dekade ketiga sampai keenam, dengan predileksi pada perempuan. Miksoma biasanya muncul sporadis, namun sebagian berhubungan dengan transmisi dominan autosomal atau merupakan bagian dari sindrom yang melibatkan sekelompok kelainan termasuk lentigines ataupigmented nevi, penyakit korteks adrenal nodular primer dengan atau tanpa sindrom Cushing's, fibroadenoma mammae miksomatosa, tumor testikular, danlatau adenoma pituitari dengan gigantisme atau akromegali. Pasien-pasien dengan kompleks Carney memiliki pigmentasi kulit yang tidak merata, miksomas, overaktivitas endokrin, dan schwannomas yang disebabkan oleh mutasi gen encoding protein kinase A tipe I-a regulatory submit. Berbagai penemuan tertentu dirujuk sebagai sindrom NAME (nevi, atrial myxoma, myxoid neurojibroma, and



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



TUMOR JANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ephelides) atau sindrom LAMB (lentigines, atrial myxoma, and blue nevi). Kurang lebih 7% miksoma jantung berhubungan atau merupakan bagian dari sindrom miksoma dengan sekelompok kelainan yang digambarkan di atas. Secara patologis, miksoma adalah neoplasma yang berasal dari endokardial. Miksoma mempunyai struktur gelatin yang terdiri dari sel-sel miksoma yang terletak pada stroma yang kaya akan glikosaminoglikan. Umumnya polipoid, sering pedunculated pada jibrovascular stalk dan memiliki diameter berkisar antara 1- 15 cm, sebagian besar 5-6 cm. Sebagian besar soliter dan terletak pada atrium, khususnya bagian kiri, di mana mereka muncul dari septum interatrial kurang lebih darifossa ovalis. Kebalikan dari tumor-tumor sporadis, tumor familial atau tumor sindrom miksoma cendemng muncul pada individu yang lebih muda, multipel atau ventrikular, dan memiliki kekambuhan yang lebih sering pasca operatif, mungkin menunjukkan asal yang multisentrik. Miksoma jantung biasanya berkembang di atrium. Sekitar 75% berasal dari atrium kiri dan 15-20% di atrium kanan. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis miksoma ditentukan oleh lokasi, ukuran dan mobilitas. Miksoma umumnya muncul dengan tandatanda dan gejala yang obstruktif, embolik, atau konstitusional. Manifestasi klinis yang paling umum menunjukkan penyakit katup mitral seperti stenosis karena prolaps tumor ke dalam orifisium rnitral, atau regurgitasi karena trauma valvular yang disebabkan tumor. Miksoma ventrikular mungkin menyebabkan penyumbatan aliran ke luar (outflow) yang mirip dengan stenosis subaortik atau subpulmonik. Gejala-gejala dan tanda-tanda miksoma mungkin karena onset mendadak atau posisional yang pada dasamya, merefleksikan perubahan dalam posisi tumor karena gaya gravitasi. Penemuan auskultasi, disebut "tumor plop", merupakan suara rendah yang khusus yang mungkin terdengar selama diastol awal atau mid-diastol dan dianggap karena berhentinya tumor secara mendadak begitu tumor menabrak dinding ventrikular. Karena sebagian miksoma berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik sering ditemukan. Miksoma juga mungkin muncul sebagai emboli perifer atau emboli Pam. Gejala dan tanda-tanda konstitusional termasuk demam, turunnya berat badan, kakeksia, malaise, mialgia, artralgia, rash, hipergammaglobulinemia, Karena sebagian miksoma berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik sering ditemukan. Anemia umumnya normokrom atau hipokrom, namun anemia hemolitik mungkin juga ditemukan karena destruksi mekanik eritrosit oleh tumor. Tanda lain yang lebih jarang seperti leukositosis, trombositopenia, sianosis, clubbing dan fenomena Raynaud's. Miksoma seringkali salah didiagnosis sebagai endokarditis, penyakit vaskular kolagen, atau tumor nonkardiak.



Pemeriksaan Penunjang Ekokardiografi transtorakal atau transesofageal berguna dalam menentukan diagnosis.miksoma jantung dan memungkinkan penentuan tempat menempelnya tumor dan ukuran tumor, yang merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan eksisi bedah. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging ( M R I ) khusus mungkin memberikan informasi penting sehubungan dengan ukuran, bentuk, komposisi, dan karakteristik permukaan tumor. Karena miksoma mungkin familial, penapisan dengan ekokardiografi pada keturunan generasi pertama penting, khususnya jika pasien masih muda dan memiliki tumor berganda atau terdapat sindrom miksoma. Meskipun kateterisasi jantung dan angiografi sebelumnya telah dipraktekkan secara rutin sebelum operasi, kateterisasi ruang di mana tumor tersebut berasal membawa risiko emboli tumor. Kateterisasi tidak lagi dianggap penting jika ada informasi noninvasif yang cukup dan tidak difikirkan penyakit-penyakit jantung lain (misalnya penyakit jantung koroner). Penatalaksanaan Penatalaksanaan terpilih pada miksoma adalah operasi, dan biasanya kuratif. Jika diagnosis sudah ditegakkan, operasi hams segera dikerjakan, karena kemungkinan komplikasi emboli atau mati mendadak. Pada sebagian besar kasus, miksoma jantung dapat dibuang dengan mudah karena pedunculated.



R e y n e n N Engl J Mcd 1995.3331610-7



Gambar 1. Ekokardiografi mode M dan 2-D menunjukkan miksoma atrium kiri



TUMOR JlNAK LAINNYA Lipoma jantung meskipun relatif sering, biasanya merupakan penemuan insidental pada pemeriksaan postmartem. Tumor ini mungkin tumbuh sampai sebesar 15 cm dan mungkin muncul dengan gejala karena interferensi mekanik dengan fungsi jantung, aritmia, atau gangguan konduksi, atau sebagai abnormalitas siluet jantung pada periksaan foto rontgen dada.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Fibroelastoma papiler, relatif merupakan penemuan sering pada katup-katup jantung atau adjacent endothelium padapostmortem, namun jarang menyebabkan gejalagejala klinis. Terkadang, perkembangannya mungkin menyebabkan interferensi mekanik dengan fungsi katup. Rabdomioma dan fibroma, merupakan tumor-tumor yang paling sering muncul pada bayi dan anak-anak, paling sering muncul pada ventrikel dan karena itu menunjukkan tanda-tanda dan gejala obstruksi mekanik yang mungkin mirip dengan stenosis valvular, gagal jantung kongestif, kardiomiopati hipertrofik atau restriktif, dan konstriksi perikard. Rabdomioma mungkin merupakan pertumbuhan hamartomatous; multipel pada 90% kasus; dan mungkin berhubungan dengan tuberous sclerosis, adenoma sebaseum, dan tumor ginjal jinak pada kurang lebih 30% pasien. Adanya kalsifikasi tumor kardiak sangat menyokong adanya fibroma, meskipun miksoma dan sarkoma juga mungkin mengalami kalsifikasi. Hemangioma dan mesotelioma umumnya adalah tumor yang kecil, paling sering lokasinya intramiokardial, dan mungkin menyebabkan gangguan konduksi atrioventrikular dan bahkan kematian mendadak karena kecendemngan muncul pada regio nodus AV. Tumor jinak lain yang muncul dari jantung termasuk teratoma, chemodectoma, neurilemoma, mioblastoma sel granular, dan kista bronkogenik.



SARKOMA Hampir semua keganasan jantung primer adalah sarkoma, yang mungkin terdiri dari beberapa tipe histologis. Umumnya, tumor-tumor ini dicirikan dengan memburuknya keadaan dengan cepat yang mengarah ke kematian pasien dalam beberapa minggu atau bulan mulai dari presentasi awal karena gangguan hemodinamik, invasi lokal, atau metastasis jauh. Sarkoma umumnya melibatkan sisi kanan jantung, dan karena pertumbuhan yang sangat cepat, invasi ke mang perikardial dan penyumbatan jantung atau vena kava sering dijumpai. Sarkomajuga mungkin muncul pada bagian kiri jantung dan mungkin disalahartikan sebagai miksoma.



leukemia dan limfoma. Dalam jumlah yang absolut, lokasi asal utama yang paling sering pada metastasis jantung adalah karsinoma payudara dan paru-pam, merefleksikan angka kejadian kanker ini yang tinggi. Metastasis jantung hampir selalu muncul pada penyakit primer yang menyebar, dan seringkali penyakit primer atau penyakit metastasis muncul di suatu tempat di rongga dada. Metastasis jantung terkadang merupakan manifestasi awal tumor di suatu tempat dalam tubuh. Metastasis jantung mencapai jantung dari aliran darah, limfa, atau invasi langsung. Umurnnya metastasis ini adalah nodul-nodul kecil dan padat. Infiltrasi difus juga mungkin terjadi, terutama pada sarkoma atau neoplasma hematologis. Perikardium seringkali terlibat, diikuti dengan keterlibatan miokard dari ruang jantung, dan,jarang dengan keterlibatan endokardium atau katup-katup jantung. Metastasis jantung menyebabkan manifestasi klinis hanya sekitar 10% dan jarang merupakan penyebab kematian. Pada sebagian besar keadaan metastasis bukanlah penyebab gambaran klinis yang nampak namun muncul sebagai neoplasma ganas yang dikenal sebelumnya. Meskipun metastasis jantung mungkin muncul dengan sebagian besar tanda-tanda dan gejala non-spesifik, yang paling umum adalah sesak, tanda-tanda perikarditis akut, tamponad jantung, peningkatan siluet jantung mendadak pada pemeriksaan foto rontgen dada, takiaritmia ektopik atau blok AV yang baru, dan gagal jantung kongestif. Seperti tumor jantung primer lainnya, presentasi klinisnya terkait dengan lokasi dan ukuran tumor dibandingkan dengan tipe histologis. Banyak tandatanda dan gejala-gejala juga muncul bersama miokarditis, perikarditis, atau kardiomiopati yang diakibatkan radioterapi atau kemoterapi. Penemuan elektrokardiografi tidak spesifik. Pada foto rontgen dada siluet jantung paling sering normal namun mungkin menunjukkan efusi perikard atau kontur yang aneh. Ekokardiografiberguna untuk diagnosis efusi perikard dan visualisasi metastasis yang lebih besar. Computed tomography (CT), MRI, dan penggambaran radionuclide dengan galium atau talium mungkin memberikan informasi anatomis yang berguna. Angiografi dapat menggambarkan lesi-lesi yang jelas, dan perikardiosentesis memungkinkan diagnosis sitologis spesifik.



TUMOR METASTASIS PADA JANTUNG REFERENSI Tumor metastatis pada jantung jauh lebih sering dibandingkan dengan tumor primer, dan rata-rata kejadiannya kemungkinan meningkat karena harapan hidup pasien dengan berbagai bentuk neoplasma ganas diperpanjang dengan terapi yang lebih efektif. Meskipun metastasis jantung muncul pada 1 sampai 20% dari seluruh tipe tumor, rata-rata kejadiannya relatif tinggi terutama pada melanoma ganas dan, dalam skala yang lebih kecil, pada



Blondeau P. Primary cardiac tumors -French studies of 533 cases. Thorac Cardiovasc Surg 1990;38:Suppl 2: 192-5. Colucci WS, Price DT. Cardiac tumors, cardiac manifestations of systemic diseases, and traumatic cardiac injury. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al. Eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th Ed. 2005.p.1420-5. Di.0 T, Cantelmo NL, Haudenschild CC, Watkins MT. Atrial myxoma with remote metastasis: case report and review of the literature. Surgery 1992;l 1 1 :352-6.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1821



TUMORJANTUNC



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Lane GE, Kapples EJ, Thompson RC, Grinton SF, Finck SJ. Quiescent left atrial myxoma. Am Heart J 1994;127: 1629-3 1. Lie JT. The identity and histogenesis of cardiac myxamas: a controversy put to rest. Arch Pathol Lab Med 1989;113:7246. Pochis WT, Wingo MW, Cinquegrani MP, Sagar KB. Echocardiographic demonstration of rapid growth of a left atrial myxoma. Am Heart J 1991; 122:1781-4. Reynen K. Cardiac myxomas. N Engl J Med 1995;333:1610-7. Sharma SC, Kulkarni A, Bhargava V, Modak A, Lashkare DV. Myxoma of tricuspid valve. J Thorac Cardiovasc Surg 1991;101:938-40. Wada A, Kanda T, Hayashi R, Imai S, Suzuki T, Murata K. Cardiac myxoma metastasized to the brain: potential role of endogenous interleukin-6. Cardiology 1993;83:208-11. Wrisley D, Rosenberg J, Giambartolomei A, Levy I, Turiello C, Antonini T. Left ventricular myxoma discovered incidentally by echocardiography. Am Heart J 1991;121:1554-5.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya



PENDAHULUAN Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologis yang membutuhkan penyesuaian sistem kardiovaskular, karena perubahan ini merupakan kejadian yang dramatis dan reversibel pada hemodinamik kardiovaskular. Jantung yang normal akan dapat beradaptasi dengan perubahan yang mendadak ini, tetapi pada jantung yang sakit kehamilan dapat mengakibatkan perburukan pada kelainan atau gangguan yang ada. Masa kehamilan, persalinan, melahirkan maupun masa pasca melahirkan merupakan periode yang erat hubungannya dengan perubahan sirkulasi kardiovaskular. Perubahan hemodinamik yang perlu mendapat perhatian pada seorang perempuan hamil yang telah atau baru diketahui menderita masalah kardiovaskular adalah: denyut jantung, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, isi sekuncup, curah jantung, resistensi vaskular sistemik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri jantung. Cukup banyak perempuan dengan kelainan jantung bawaan maupun yang didapat, mampu melalui masa-masa reproduksi dengan baik. Para dokter yang mengetahui dan merawatnya mempunyai peran penting untuk mewaspadai kesulitan-kesulitan yang kemungkinan besar dapat mereka hadapi selama kehamilan tersebut. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit jantung merupakan komplikasi pada 1-4% perempuan hamil tanpa kelainan atau gangguan kardiovaskular sebelumnya.4 Bila memungkinkan perempuan yang diketahui memiliki kelainan atau gangguan kardiovaskular terlebih dahulu berkonsultasi kepada ahlinya mengenai segala ha1 termasuk risiko kehamilan terhadap diripya dan janin yang dikandungnya. Hal ini juga berhubungan dengan konsultasi perkawinan, kehamilan, persalinan, kontrasepsi dan bila diperlukan konsultasi genetika. Pengetahuan yang baik mengenai fisiologi normal pada



kehamilan sangat membantu penatalaksanaan pasien dengan penyakit jantung tersebut. Beberapa penyakit jantung yang sering ditemukan pada perempuan hamil baik yang sebelumnya telah diketahui menderita penyakit jantung maupun yang baru terdiagnosis saat hamil antara lain: penyakit jantung bawaan maupun yang didapat, penyakit jantung koroner, kardiomiopati, endokarditis infektif dan aritmia. Sedangkan ha1 lain yang tidak boleh dilupakan apabila menghadapi pasien hamil dengan penyakit jantung adalah pemilihan obat-obatan kardiovaskular termasuk antikoagulan.



PERUBAHANHEMODlNAMlKSELAMA KEHAMILAN Selama kehamilan sampai saat setelah melahirkan akan terjadi perubahan fisiologis hemodinamik. Perubahan ini akan dimulai pada awal minggu ke-5 sampai minggu ke-8 dan mencapai puncaknya pada akhir trimester kedua kehamilan. Pada masa-masa ini perubahan hemodinamik tersebut dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis pada jantung yang telah sakit sebelumnya. Atau dapat pula terjadi bahwa diagnosis kelainan atau penyakit jantung baru diketahui saat kehamilan terjadi.



VOLUME DARAH Perubahan hormonal saat kehamilan yaitu aktivasi estrogen oleh system renin aldosteron, di mana terjadi relaksasi otot polos yang diikuti pembentukan plasenta dan sirkulasi fetus, dan retensi air serta natrium akan meningkatkan volume darah 40% yang dimulai pada awal minggu kelima dari kehamilan tersebut. Peningkatan ini akan mencapai 50% sampai akhir masa kehamilan. Peningkatan volume darah tersebut akan lebih besar pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



*



KEHAMLLAN PADAPENlWaTJANNNC



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kehamilan ganda dibandingkan kehamilan dengan janin tunggal. Pada kehamilan normal peningkatan volume darah tersebut dapat mencapai 20-1 00% dengan rata-rata SO%, ha1 ini berarti terdapat 1200- 1600 mL volume darah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan tidak hamil. Peningkatan volume ini lebih besar dibandingkan peningkatan massa sel darah merah, sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme ini yang mendasari5e rjadinya anemia pada kehamilan.



Selama kehamilan curah jantung akan mengalami peningkatan 30-50% dibandingkan sebelumnya dan mencapai puncaknya pada minggu ke-24 kehamilan atau akhir trimester kedua, kemudian menetap atau bahkan mengalami penurunan sampai saat melahirkan. Beberapa penyebab perubahan pada curah jantung ini adalah: 1. Peningkatan preloud akibat bertambahnya volume darah 2. Penurunan afterload akibat menurunnya resistensi vaskular sistemik 3. Peningkatan denyut jantung ibu saat istirahat sampai 10-20 kali permenit. Peningkatan curah jantung ini terutama dicapai dengan peningkatan isi sekuncup. Apabila terjadi kegagalan untuk mencapai keadaan ini akan terlihat dengan terjadinya takikardia pada saat istirahat, ha1 ini menunjukkan rendahnya kemampuan dalam pengisian ventrikel kiri.



IS1SEKUNCUP Isi sekuncup akan meningkat 20-30% selama trimester pertama dan kedua di mana ha1 ini akan meningkatkan curah jantung. Kemudian akan menurun pada trimester ketiga akibat kompresi pada vena cava akibat uterus kehamilan. Efek langsung kehamilan pada kontraktilitas jantung masih kontroversial. EVALUASI KARDIOVASKULAR SELAMA KEHAMILAN Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Evaluasi kardiak pada pasien hamil seringkali sukar karena sulit membedakan antara proses fisiologis dengan patologis. Kebanyakan perempuan hamil mengalami gejala palpitasi, bengkak, sesak napas saat beraktivitas, atau lelah walaupun tanpa diketahui menderita penyakit jantung. Beberapa gejala seperti nyeri dada saat aktivitas atau



pingsan relatifjarang ditemukan pada kehamilan, sehingga hams dilakukan evaluasi kardiak. Pertambahan volume plasma total akan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan vena jugularis dan edema tungkai bawah pada > 80% perempuan dengan keharnilan normal. Perkembangan ukuran uterus sesuai bertambahnya masa kehamilan akan mengakibadcan pergerakan diatiagma lebih ke atas sehingga menwunkan volume paru. Elevasi diafragma dan volume darah yang bertambah juga menyebabkan bergesemya letak impuls ventrikel kearah lateral pada inspeksi dan palpasi prekordiurn. Peningkatan isi sekuncup menyebabkan mengerasnya suara saat penutupan katup di aorta dan pulmonal, sehingga akan terdengar murmur earlv systolic yang kngsional di daerah pulmonal. Secara umum, murmur diastolic dan irarna gallop tidak normal ditemukan selama kehamilan. Apabila ditemukan kelainan tersebut hams dipikirkan adanya abnormalitas kardiak secara struktur maupun fungsional yang mendasarinya. Pada sekitar 15% perempuan, murmur diastolik fisiologis seringditemukan di batas stemalis kiri. Murmur ini terjadi akibat meningkamya aliran darah melalui arteri mamaria interna, di mana aliran tersebut menuju payudara yang dipersiapkan selama kehamilan. Murmur akan menetap pada saat laktasi. Tekanan nadi yang meningkat sering ditemukan selama kehamilan, dapat pula menimbulkan Q ~ t i :c. nsign ~ pada dasar kuku perifer, dan sering membingungkan antara aliran mamaria dan regurgitasi aorta. Pemeriksaan penunjang seperti ekokardiografi kemungkinan dibutuhkan untuk meinbedakan proses fisiologis dengan patologis tersebut. Pemeriksaan Penunjang Elektrokardiografi : terdapat beberapa gambaran EKG pada perempuan dengan kehamilan normal, di antaranya: Deviasi axis QRS, gelombang Q, kecil dan inversi gelombang P pada lead 111 (menghilang saat inspirasi), perubahan pada segmen ST dan gelombang T, sinus takikardia yang terus menerus, insidensi yang tinggi terjadinya aritmia, peningkatan rasio R/S pada lead V2 dan V 1 Radiograti Dada: Beberapa perubahan yang dapat ditemukan selama kehamilan normal, di antaranya :Batas kiri atas jantung yang mendatar, posisi jantung lebih mendatar, corakan paru yang meningkat, efusi pleura minimal pada awal periode post partum Ekokardiograti Doppler: Gambaran ekokardiografi dan Doppler pada kehamilan normal, antara lain :Peningkatan minimal dari dimensi ventrikel kiri saat sistolik dan diastolik (bila pasien diperiksa dalam posisi lateral), fungsi sistolik ventrikel kiri yang tidak berubah atau sedikit mengalami perbaikan, peningkatan ukuran yang moderate dari atrium kanan, ventrikel kanan dan atrium kiri, dilatasi progresif dari annulus katup-katup



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pulmonar, trikuspid dan mitral, regurgitasi fungsional dari pulmonar, trikuspid dan mitral, efusi perikardial minimal Uji Latih Radiasi MRI Kateterisasi Arteri Pulmonal Kateterisasi Jantung



pada saat konseling sebelum terjadinya kehamilan. Pada studi kohort lain, di antara 64 perempuan dengan penyakit katup jantung, kebanyakan efek buruk pada ibu, seperti gagal jantung dan aritmia, terjadi pada pasien dengan klinis bermakna stenosis mitral atau stenosis aorta ( luas katup < 1,s cm2 ).



PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PENYAKITKATUPJANTUNG DENGAN KEHAMllAN Penyakit katup jantung pada perempuan usia muda paling banyak disebabkan oleh penyakit jantung reumatik, kelainan congenital atau riwayat endokarditis sebelumnya. Kelainan ini dapat meningkatkan risiko ibu dan janin sehubungan dengan kehamilan. Risiko ibu dan janin tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis dan berat kelainan katup jantung yang diderita si ibu, dan hasil akhir dari gangguan kapasitas fungsional, fungsi ventrikel kiri dan tekanan pulmonal. Beberapa lesi katup spesifik yang sering ditemukan adalah : stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis aorta, regurgitasi aorta dan katup jantung protesa. Walaupun prevalensi klinis kejadian penyakit jantung pada perempuan hamil cukup rendah (*< I%), tetapi ha1 ini dapat meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas pada ibu, janin dan neonatus yang akan dilahirkan. Hal-ha1 buruk terhadap ibu yang tidak diinginkan antara lain : edema paru, bradiaritmia yang menetap atau takiaritmia yang membutuhkan terapi, strok, henti jantung bahkan sampai kematian), dapat terjadi 13% di antara kehamilan aterm. Kejadian tersebut lebih sering mengenai perempuan dengan keadaan: fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun (Fraksi Ejeksi < 40%), obstruksi jantung kiri (stenosis aorta dengan luas area katup < 1,5 cm2 atau stenosis mitral dengan luas area katup < 2,O cm2), riwayat gangguan kardiovaskular (gagal jantung, transient ischemic attack, atau strok) atau penurunan kapasitas fungsional yang bermanifestasi NYHA klas I1 atau di atasnya. Prediktor komplikasi neonatus seperti kelahiran prematur, IUGR (intrauterine growth retardation), sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikular dan kematian. Petunjuk lain mengenai kemungkinan terdapatnya efek buruk pada neonatus adalah: penggunaan obat antikoagulan selama kehamilan, merokok saat hamil dan kehamilan ganda. Dikatakan bahwa mortalitas janin 4% di antara perempuan hamil dengan satu atau lebih factor risiko, dibandingkan dengan 2% di antara perempuan hamil tanpa factor risiko. Risiko pada janin ini juga lebih besar pada perempuan yang berusia lebih dari 35 tahun atau lebih muda dari 20 tahun, dibandingkan dengan perempuan pada usia tersebut tanpa faktor risiko. Perkiraan risiko ini dapat dipergunakan



Pasien dengan Risiko Tinggi Semua pasien yang mengalami gangguan kapasitas fungsional jantung sesuai NYHA klas 111 atau IV selama kehamilan merupakan risiko tinggi, tanpa tergantung apapun penyebabnya. Beberapa keadaan yang merupakan kehamilan dengan risiko tinggi adalah pasien dengan kelainan: Hipertensi Pulmonal : Penyakit vaskular pulmonal berat apakah dengan (sindrom Eisenmenger) atau tanpa defek septa1telah dikenal mempunyai risiko yang sangat tinggi terhadap kematian maternal (30-50%). Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan resistensi vascular paru akibat trombosis pulmonal atau nekrosis fibrinoid yang berkembang dengan cepat pada saat menjelang kelahiran dan setelah melahirkan, dan dapat mengakibatkan kematian walaupun pada pasien dengan keluhan minimal sebelumnya. Pada sindrom Eisenmenger, pintas dari kanan ke kiri yang meningkat selama kehamilan akibat vasodilatasi sistemik dan beban berlebih di ventrikel kanan dengan meningkatnya kejadian sianosis serta penurunan aliran darah di pulmonal. Obstruksi berat LVOT (left ventricular outflow tract) : resistensi pada jalur keluar dari jantung (terutama Aorta) tidak akan mampu mengakomodasi peningkatan curah jantung akibat meningkatnya volume plasma. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung, dengan peningkatan tekanan di ventrikel kiri dan pembuluh kapiler paru, curah jantung menurun dan bendungan di paru. Penyakit jantung sianotik : dari seluruh kematian maternal akibat penyakit jantung sianotik ini diperkirakank 2% dengan komplikasi risiko tinggi (30%) seperti endokarditis infektif, aritmia dan gagal jantung kongestif. Prognosis pada janin juga tidak terlalu baik dengan risiko tinggi terjadinya abortus spontan (50%), kelahiran premature (30-50%) dan bayi dengan berat badan kurang akibat hipoksemia pada ibu yang menghambat pertumbuhan dan perkembagan janinnya. Penatalaksanaan Pasien dengan Risiko Tinggi Pada pasien yang termasuk dalam risiko tinggi, tidak dianjurkan untuk hamil. Tetapi bila kehamilan telah terjadi,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1825



KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi mengingat risiko terhadap ibu yang masih tinggi (mortalitas 8-35%, morbiditas 50%). Dan perlu diingat tindakan terminasi kehamilan pun mengandung risiko tinggi terhadap ibu karena akan terjadi vasodilatasi dan depresi dari kontraktilitas miokard akibat tindakan pembiusan. Pembatasan aktivitas fisik dan tirah baring di tempat tidur sangat dianjurkan apabila timbul gejala-gejala. Pemberian oksigen apabila terjadi hipoksemia. Pasien dengan risiko tinggi tersebut dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit mulai dari akhir trimester kedua dan diberikan LMWH (low molecular weight heparin) subkutan sebagai pencegahan terjadinya tromboemboli terutama pada pasien sianotik. Pada kasus stenosis aorta, sangat penting untuk dilakukan pemantauan tekanan sistemik dan elektrokardiografi, dan apabila terjadi perubahan merupakan indikasi timbul atau memburuknya beban di ventrikel kiri. Tindakan valvotomi dengan balon dapat dipertimbangkan pada kasus yang berat bila keadaan katup masih dapat dimanipulasi, misalnya tidak terlalu kaku. Prosedur ini menjadi kontraindikasi apabila keadaan katup sudah mengalami kalsifikasi atau terjadi regurgitasi yang berat. Apabila memungkinkan tindakan ini paling baik dilakukan pada trimester kedua kehamilan di mana embriogenesis telah sempurna dan mencegah efek negatif dari kontras ionic terhadap kelenjar tiroid janin bila dilakukan pada akhir kehamilan. Penyakit jantung sianotik yang berat, membutuhkan pemantauan saturasi oksigen yang ketat. Kadar hematokrit dan hemoglobin tidak dapat menjadi indicator yang sesuai untuk keadaan hipoksemia oleh karena terjadi hemodilusi pada kehamilan. Bila terjadi hipoksemia berat pada ibu, dianjurkan untuk segera dilakukan terminasi kehamilan dan diharapkan dapat mengurangi beberapa pintas yang terjadi dan akan memperbaiki oksigenisasi. Pasien dengan Risiko Rendah Pasien dengan pintas yang kecil atau menengah tanpa hipertensi pulmonal atau regurgitasi katup ringan dan sedang biasanya akan mendapatkan keuntungan dari menurunnya resistensi vascular sistemik yang terjadi selama kehamilan. Pasien dengan obstruksi LVOT (left ventricular outflow tract) ringan atau sedang biasanya juga dapat mentoleransi kehamilan dengan baik. Pada beberapa kasus gradien tekanan akan meningkat sesuai dengan peningkatan isi sekuncup. Walaupun biasanya pada obstruksi RVOT (right ventricular out'ow tract) yang berat seperti stenosis pulmonal juga dapat mentoleransi kehamilan dengan baik dan sedikit sekali yang membutuhkan tindakan intervensi selama kehamilan. Evaluasi Fetus Pada setiap perempuan hamil dengan penyakit jantung



kongenital perlu dilakukan evaluasi kardiak terhadap janinnya. Evaluasi ini menjadi sangat penting karena pada janin tersebut mempunyai risiko 1-2% untuk menderita penyakit jantung congenital. Waktu dan Cara Melahirkan Pada sebagian besar pasien, diindikasikan untuk melahirkan secara spontan dengan mempergunakan pembiusan epidural sehingga dapat menghindari stres karena nyeri selama proses persalinan. Pasien dengan risiko tinggi, sebaiknya dilakukan operasi Caesar yang terencana, ha1 ini bertujuan agar keadaan hemodinamik dapat dijaga tetap stabil. Walaupun curah jantung meningkat baik pada pembiusan umum maupun epidural, tetapi peningkatannya masih di bawah (30%) kenaikan selama kelahiran spontan (50%). Apabila pasien harus dilakukan operasi jantung, maka tindakan operasi Caesar dapat dilakukan segera sebelumnya. Selama proses persalinan hams dilakukan pemantauan keadaan hemodinamik dan analisis gas darah. Pasien hamil dengan penyakit jantung congenital sebaiknya ditangani oleh tim dari berbagai disiplin ilmu, seperti ahli jantung, ahli bedah jantung, ahli anestesi, ahli kebidanan, ahli neonatology, untuk meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi pada ibu dan janin.



PENYAKIT KATUP JANTUNG YANG DIDAPAT



Penyakit katup jantung reurnatik merupakan masalah utama di masyarakat terutama di Negara berkembang. Walaupun di Negara Barat prevalensi demam reumatik sudah menurun, tetapi penyakit jantung reumatik masih dapat ditemukan, terutama di kalangan kaum imigran. Masalah lain yang sering menimbulkan kesulitan dalam penanganannya terutama apabila perempuan tersebut hamil adalah seseorang dengan protesa katup jantung, berkaitan dengan pemberian antikoagulan yang harus dikonsumsi seurnur hidup. Penyakit Katup Regurgitasi Regurgitasi mitral atau aorta berat pada perempuan usia muda biasanya disebabkan penyakit jantung reumatik. Perempuan dengan prolaps katup mitral mempunyai prognosis yang baik bila hamil, kecuali bila terdapat regurgitasi berat. Peningkatan volume darah dan curah jantung akan meningkatkan beban volume, demikian pula halnya pada katup yang mengalami regurgitasi. Tetapi penurunan resistensi vascular sistemik akan mengurangi fraksi regurgitasi tersebut sehingga akan terjadi mekanisme kom~ensasi. Pada regurgitasi katup aorta pemendekan diastolik akibat takikardia akan menurunkan volume regurgitan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa kehamilan seringkali dapat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pada kadar terapi mid-interval APTT atau anti faktor



ditoleransi dengan baik bahkan pada keadaan regurgitasi yang cukup berat. Gangguan toleransi hemodinamik kadangkala terjadi pada kasus regurgitasi akut tanpa disertai dilatasi ventrikel kiri. Gaga1jantung progresif pada pasien dengan regurgitasi dapat saja terjadi, terutama pada trimester ketiga. Bila tejadi gagal jantung, dibutuhkan diuretic dan vasodilator untuk menurunkan after load walaupun tekanan darah pasien tersebut rendah. Vasodilator yang dapat dipergunakan pada kehamilan seperti golongan nitrat dan calcium channel blocker dihidropiridin. Golongan angiotensin receptor antagonist dan ACE Inhibitor merupakan kontraindikasi untuk diberikan, sedangkan pada pemberian golongan hidralazine terutama pada trimester pertama dan kedua, sering terjadi efek withdrawal. Pembedahan sebaiknya dihindari selama kehamilan karena mengandung risiko terhadap janin dan tindakan ini hanya dipertimbangkan apabila terdapat gagal jantung yang refrakter, walaupun ha1 ini jarang ditemukan pada kelainan katup regurgitasi. Perbaikan katup mitral dapat dipertimbangkan apabila memungkinkan untuk dilakukan, tetapi perbaikan katup aorta jarang yang berhasil (kecuali pada Sindrom Marfan).



Penyakit Katup Stenotik Peningkatan jumlah curah jantung akan melalui katup yang mengalami stenotik, sehingga menimbulkan peningkatan tajam dari gradient transvalvular. Hal ini akan menyebabkan toleransi terhadap kehamilan menjadi buruk pada pasien dengan stenosis katup mitral maupun aorta yang berat. Kejadian perburukan fungsional seringkali terjadi selama trimester kedua kehamilan. Kehamilan pada Perempuan dengan Protese Katup Jantung Beberapa ha1 yang direkomendasikan harus dilakukan untuk evaluasi dan tatalaksana pada perempuan usia reproduksi dengan protesa katup jantung mekanik yang mendapatkan terapi antikoagulan adalah : Sebelum Konsepsi : Evaluasi klinis mengenai status hngsional jantung dan riwayat gangguan kardiak yang pernah dialami Pemeriksaan ekokardiografi untuk evaluasi fungsi ventrikel, katup dan tekanan pulmonal Diskusikan dengan pasien risiko yang berhubungan dengan kehamilan Diskusikan dengan pasien risiko dan manfaat yang berhubungan dengan terapi antikoagulan Rencana mengenai pernikahan dan kehamilan Masa Konsepsi Terapi antikoagulan oral diganti menjadi suntikan sejak saat diketahui telah terjadi kehamilan sampai minggu ke-12 (dosis heparin disesuaikan dengan titrasi sampai



Xa) Akhir Trimester Pertama Kehamilan : Terapi warfarin, minggu 12-36 kehamilan Minggu ke-36 Kehamilan : Warfarin dihentikan Ganti dengan heparin (titrasi dosis sampai kadar terapi APTT atau anti faktor Xa) Persalinan : Mulai kembali terapi heparin 4-6 jam setelah melahirkan bila tidak terdapat kontraindikasi Berikan terapi warfarin pada malam hari setelah melahirkan bila tidak terdapat kontraindikasi Apabila persalinan dimulai saat perempuan sedang mendapatkan terapi warfarin, antikoagulan ditunda sementara dan dianjurkan persalinan dilakukan melalui operasi sesar.



PENYAKITJANTUNG KORONER



Walaupun kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner pada perempuan hamil dapat meningkat karena semakin tinggi usia perempuan hamil dan fertilisasi, tetapi angka kejadian infark miokard masih dapat dikatakan jarang di antara perempuan usia reproduksi, bahkan kejadian pada periode peripartum. Dari beberapa factor-faktor risiko yang terdapat bersamaan, dikatakan bahwa kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL dan kadar trigliserida akan meningkat secara bermakna selama kehamilan. Dan sebagai prediktor paling kuat untuk terjadinya infark miokard dikatakan adalah kombinasi antara perokok berat atau hipertensi dengan penggunaan kontrasepsi oral. Demikian pula perempuan dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah atau kelahiran preterm dapat meningkatkan risiko penyakit arteri koroner. Infark miokard pada kehamilan dilaporkan terjadi pada usia antara 16-45 tahun. Insidens tertinggi terjadi pada trimester ketiga dan pada perempuan dengan usia lebih dari 33 tahun. Dikatakan pula bahwa kejadian infark miokard tersebut lebih sering terjadi pada multigravida dengan lokasi infark yang tersering di dinding anterolateral. Kebanyakan kematian maternal terjadi saat terjadinya infark atau dalam waktu 2 minggu. Penatalaksanaan infark miokard selama kehamilan sebaiknya mempertimbangkan keselamatan ibu dan janin. Beberapa obat-obatan seperti morfin sulfat sebagai antinyeri tidak menyebabkan defek kongenital. Tetapi karena obat tersebut melewati sawar plasenta, sehingga dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan pada neonatus bila diberikan sebelum persalinan. Sedangkan laporan pada pemberian trombolitik selama kehamilan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNC



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dikatakan tidak mempunyai efek teratogenik tetapi dari hasil terapi beberapa kasus ditemukan kejadian perdarahan pada ibu, terutama bila pemberian dilakukan pada saat persalinan. Sehingga dengan pertimbangan beberapa ha1 tersebut, pilihan terbaik pada saat kehamilan adalah dengan pemberian obat golongan penghambat beta. Sedangkan pemberian golongan aspirin dosis tinggi masih diperdebatkan karena dapat menyebabkan perdarahan pada neonatus dan ibu. Penggunaan aspirin dosis rendah dikatakan aman selama kehamilan. Untuk penatalaksanaan difokuskan untuk mengurangi stres kardiovaskular selama kehamilan dan periode peripartum. Terminasi kehamilan dianjurkan pada pasien yang mengalami iskemia berat atau gagal jantung pada awal kehamilan.



A. Kardiomiopati Peripartum Epidemiologi. Kejadian gagaljantung pada keharnilan telah dikenal sejak pertengahan abad ke-19, tetapi istilah kardiomiopati disebut-sebut mulai sekitar tahun 1930-an. Pada tahun 1971, Demakis dan kawan-kawan menemukan pada 27 pasien yang pada masa nifas menunjukkan gejala kardiomegali, gambaran elektrokardiografi yang abnormal dan gagal jantung kongestif, kemudian disebut sebagai kardiomiopati peripartum. Kesepakatan dari European Society of Cardiology menetapkan definisi dari kardiomiopati periparturn tersebut sebagai salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi dengan tanda-tanda gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan atau dalam 5 bulan pasca melahirkan. Pasien dengan kardiomiopati peripartum biasanya bermanifestasi gagal jantung dengan retensi cairan, aritmia atau tromboemboli. Pasien dengan gagal jantung ditatalaksana dengan terapi standar gagal jantung dan evaluasi berkala fungsi ventrikel. Terapi antikoagulan kadang-kadang diperlukan karena risiko tromboemboli tinggi. Biasanya kondisi jantung akan membaik dalam satu atau beberapa tahun tapi ada pula yang mengalami perburukan. Kardiomiopati peripartum ini relatifjarang tetapi dapat mengancam jiwa. Di Negara maju seperti Amerika Serikat saja, diketahui diperkirakan terdapat pada 1 dari setiap 2.289 kelahiran hidup. Dan keadaan ini lebih sering mengenai wanita Afiika Amerika. Angka kejadian pastinya sendiri sangat bervariasi, angka tertinggi dapat ditemukan di Haiti, dengan kejadian 1 dari 300 kelahiran hidup, yang mana 10 kali lebih tinggi dari Amerika Serikat. Etiologi. Kardiomiopati peripartum ini merupakan salah satu bentuk dari penyakit miokardial primer idiopatik yang berhubungan dengan kehamilan. Meskipun beberapa kemungkinan mekanisme etiologi dari penyakit tersebut



yang diperkirakan selama ini, tetapi tidak satupun yang dapat menjelaskan dengan pasti. Beberapa keadaan yang diperkirakan dapat menjadi penyebab ataupun mekanisme terjadinya kardiomiopati peripartum, adalah : 1. Miokarditis : Melvin dkk pernah membuktikan adanya miokarditis dari biopsy endomiokardial pada pasien dengan kardiomiopati peripartum. Dikatakan bahwa hipotesis menurunnya system imunitas selama hamil, dapat meningkatkan replikasi virus dan kemungkinan untuk terjadinya miokarditis akan meningkat. 2. Infeksi viral yang bersifat kardiotropik 3. Chimerism 4. Apoptosis dan inflamasi 5. Respon abnormal hemodinamik pada kehamilan : perubahan hemodinamik selama kehamilan dengan meningkatnya volume darah dan curah jantung serta menurunnya ajlerload ,sehingga respons dari ventrikel kiri untuk penyesuaian menyebabkan terjadinya hipertrofi sesaat . 6. Faktor-faktor penyebab lain: efek tokolisis yang lama, kardiomiopati dilatasi idiopatik, abnormalitas dari relaxine, defisiensi selenium dll. Wanita yang berisiko. Sedangkan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan seorang wanita mengalami kardiomiopati peripartum, di antaranya adalah: a. Multiparitas b. Usia maternal yang lanjut (walaupun penyakit ini dapat mengenai semua usia, insidensi akan meningkat pada wanita berusia > 30 tahun) c. Kehamilan multifetal d. Pre-eklampsia e. Hipertensi Gestasional f Ras Afiika Amerika Manifestasi klinis. Keadaan kardiomiopati peripartum melibatkan disfimgsi sistolik dari ventrikel kiri pada seorang wanita hamil yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Diagnosis ini hanya dapat dibuat apabila penyebab lain dari kardiomiopati tidak ditemukan. Kriteria diagnostik dari kardiomiopatiperipartum adalah (semua hams ditemukan) adalah: 1. Kriteria klasik : - Gagal jantung yang terjadi pada bulan terakhir kehamilan atau dalam 5 bulan setelah melahirkan - Tidak ditemukan penyebab lain dari gaga1 jantung - Tidak diketahui adanya penyakit jantung sebelum bulan terakhir kehamilan tersebut 2. Kriteria tambahan : - Gambaran ekokardiografi yang menunjukkan : disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan fraction shortening yang menurun atau nilai fraksi ejeksi yang juga menurun. Gejala dari gagal jantung seperti sesak nafas, sakit kepala, edema tungkai dan orthopnea dapat ditemukan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



bahkan pada kehamilan yang normal. Sehingga seringkali seorang wanita dengan kardiomiopati peripartum menganggap ha1 tersebut sebagai keadaan normal pada kehamilan. Keadaan lain yang seringkali ditemukan adalah : Edema pulmonal: dikatakan sebagian besar, bahkan ada yang mengatakan seluruh pasien menunjukkan gejala edema pulmonal. Gejala klinis sebenarnya menyerupai gagal jantung pada umumnya, tetapi lebih bemariasi. Pada periode antepartum didiagnosis sekitar 17% kasus, sedangkan pada periode post partum didiagnosis sekitar 83% kasus. Fungsi sistolik ventrikel kiri ratarata kembali normal pada sekitar 5 1% kasus yang hidup. Tromboembolisme: dapat ditemukan pada keadaan ini. Aritmia: pada beberapa kasus malah dapat menyebabkan terjadinya kematian mendadak. Pre-eklampsia: seharusnya dapat disingkirkan pada awal diagnosis, karena tatalaksana akan berbeda. Penegakan diagnosis yang terlambat akan menyebabkan tingkat morbiditas penyakit yang meningkat bahkan mengakibatkan kematian. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan ekokardiografi : sangat membantu dalam membuat diagnosis awal, dan sebaiknya selalu dilakukan pada kecurigaan kardiomiopati peripartum Cardiac MRI (Magnetic Resonance Imaging): merupakan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan dapat menjelaskan mekanisme terjadinya kardiomiopati peripartum tersebut. Pada pemeriksaan ini dapat dilakukan pengukuran kontraksi miokard secara global dan segmental. Penatalaksanaan Tatalaksana selama kehamilan: - dapat menyebabkan defek pada janin, walaupun obat-obat tersebut merupakan terapi standar pada gagaljantung umumnya. Efek teratogenik umumnya timbul pada trimester kedua dan ketiga. - Digoksin - Beta blockers - Loop diuretic - Hydralazine dan nitrat : obat-obatan yang dapat menurunkan aj?erload.Cukup aman untuk diberikan selama kehamilan Tatalaksana post partum - ACE dan ARB dapat diberikan post partum, dosis diberikan dengan target setengah dari dosis antihipertensi - Diuretika - Spironolakton atau digoksin - Beta blockers: direkomendasikan untuk kardiomiopati peripartum, dikatakan dapat memperbaiki gejala klinis, fraksi ejeksi dan angka kelangsungan hidup. Pilihan beta blockers yang dianjurkan: carvedilol dan metoprolol.



- Antikoagulan: karena kejadian tromboembolisme



akan meningkat pada kasus-kasus kardiomiopati peripartum akibat: a. dilatasi dimensi ruang-ruang jantung, b. gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan c. seringkali disertai fibrilasi atrial. Sehingga pemberian antikoagulan sangat dianjurkan, yang dilanjutkan sampai fungsi sistolik ventrikel kiri kembali normal. Transplantasi Jantung: pasien dengan gagal jantung yang berat bahkan terminal dan telah mendapatkan terapi medikamentosa yang maksimal, tetapi tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna, seharusnya dilakukan transplantasi jantung untuk kelangsungan hidupnya dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Ventricular assist device: dibutuhkan sebagai terapi antara sebelum dilakukan transplantasi kardiak Implantable Cardioverter Defibrillator (CD): dilakukan bila pada pasien ditemukan aritmia ventrikel yang simtomatik Obat-obat baru: - Pentoksifilin - Immunoglobulin Intravena - Terapi imunosupresif - Bromocriptine - Obat-obat lain yang dapat dipergunakan : Antagonis kalsium, monoclonal antibodies, interferon beta, terapi aferesis, statin Prognosis. Beberapa faktor yang diketahui mempunyai pengaruh terhadap prognosis pasien kardiomiopati peripartum adalah: Kadar Troponin T : kadar yang tinggi pada 2 minggu post parturn dapat menggambarkanfraksi ejeksi ventrikel kiri pada 6 bulan. Durasi kompleks QRS pada rekaman elektrokardiografi: dapat menjadi predictor kematian mendadak, yaitu pada durasi QRS yang memanjang > 120ms. Dimensi ruang jantung dan nilai fraksi ejeksi Risiko relaps. Pada beberapa studi terbukti bahwa, walaupun seorang wanita yang mengalami kardiomiopati peripartum, risiko untuk mengalami ha1 yang sama pada kehamilan berikutnya tetap ada walaupun terjadi pemulihan sempurna dari fungsi ventrikel kiri. Bahkan pada studi di Haiti yang melibatkan 99 pasien kardiomiopati peripartum, 15 dari mereka menjalani kehamilan berikutnya, 8 dari 15 tersebut kembali mengalami gagal jantung yang lebih berat daripada sebelurnnya, dan disfungsi sistolik yang menetap. B. Kardiomiopati Dilatasi Kardiomiopati dilatasi jarang ditemukan pada saat sebelumkehamilan. Pada kebanyakan kasus, gejala ditemukan pada trimester pertama atau kedua kehamilan. Pasien dengan kardiomiopati dilatasi hams dianjurkan untuk tidak hamil karena risiko tinggi. Bila kehamilan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



KEHAMILAN PADA PENYAKITJANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



berlangsung, disarankan terminasi bila pada pemeriksaan ekokardiografi fraksi ejeksi < 50 % dan dimensi ventrikel melebihi normal. Bila pasien menolak terminasi, harus dilakukan pengawasan ketat fungsi ventrikel. Disarankan untuk perawatan mmah sakit lebih dini karena obat-obatan gagal jantung seperti ACE inhibitor pada kehamilan tidak dapat diberikan sehingga pilihan terapi yang aman bagi janin sangat terbatas.



C. Kardiomiopati Hipertrofik Pasien dengan kardiomiopati hpertrofik biasanya mentoleransi kehamilan karena ventrikel jantung beradaptasi secara fisiologis.Kematian biasanya jarang terjadi. Terapi penyekat beta hams dilanjutkan dan dosis kecil dieretik dapat mengurangi gejala. Pasien tanpa riwayat keluarga kardiomiopati hipertrofik atau kematian mendadak biasanya mempunyai risiko rendah dan dapat melanjutkan kehamilan. Pasien dengan fungsi diastolik yang buruk disarankan untuk prawatan rumah sakit.Kongesti pulmonal biasanya muncul pada trimester 3 dan pasien sebaiknya direncanakan untuk dirawat sebelum persalinan.



D. Endokarditis lnfektif Endokarditis infektif biasanya jarang pada kehamilan tapi dapat menimbulkankesulitan dalam tatalaksanya.Pemilihan antibiotik hams hati-hati tanpa membahayakan janin tapi tetap bermanfaat bagi ibu. Antibiotik profilaksis haru diberikan untuk pencegahan bakteremia. Insidens bakteremia pada persalinan normal 0-5%. Pasien dengan katup protese atau riwayat endokarditis sebelumnya juga diindikasikanantibiotik profilaksis yang diberikan sebelum persalinan atau tindakan operatif. E. Aritmia Kecenderungan untuk terjadinya aritmia pada kehamilan sebagian disebabkan oleh aktivasi humoral neuroendokrin akibat gagal jantung. Irama ektopik atau aritmia menjadi lebih sering ditemukan pada kehamilan. Aritmia dapat merupakan manifestasi dari kardiomiopatiperipartum. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik dapat ditemukan berbagai macam gambaran aritmia seperti fibrilasi atrial, takikardia supraventrikular (SVT), atau bahkan takikardia ventrikel (VT). Obat antiaritmia bisanya dapat melewati sawar plasenta. Aritmia dengan gangguan hemodinamik hams dilakukan kardioversi elektrik. Pemberian penyekat beta adalah pilihan pertama untuk profilaksis. Amiodaron dapat menyebabkan hipotiroidism pada janin. Bila terapi farmakologis tetap gagal maka pemasangan ICD dapat dipertimbangkan. Pemasangan ICD bukan kontraindikasi untuk kehamilan berikutnya. Alat pacu jantung untuk bradikardia simtomatik dapat di pasang dengan tuntunan ekokardiografi pada usia kehamilan berapa pun.



Pada trimester ketiga dapat ditemukan peningkatan cairan perikard dan dilaporkan pada 40% wanita hamil. Biasanya ha1 ini tidak menimbulkan gejala dan disebabkan retensi cairan dan penambahan berat badan yang biasa terjadi pada kehamilan. Tidak diketahui hubungan yang jelas antara kehamilan dengan kelainan perikard. Penyakit autoimun seperti Lupus Eritematosus sistemik (SLE) lebih sering ditemukan sebagai penyebab efusi perikard pada kehamilan. Pada efusi perikard ringan dapat diatasi dengan diuretik sedangkan untuk efusi perikard yang lebih berat diperlukan pungsi atau bahkan perikardiektomi.



REFERENSI Avila WS, Grinberg M, Snitcowsky R, Faccioli R, Da Luz PL, Bellotti G, Pileggi F. Maternal and fetal outcomes in pPregnant women with Eisenmenger's syndrome. Eur Heart J 1995; 16 (4): 460-4. Baugman KL. The Heart and Pregnancy. In: Textbook of Cardiovascular Medicine. Topol EJ (ed). Lippincott Williams and Wilkins, 2nd ed, 2002 : 733-51. Bonow RO, Carabello B, De Leon AC Jr, Edmunds LH Jr, Fedderly BJ, Freed MD, Gaasch WH, McKay CR, Nishimura RA, O'Gara PT, O'Rourke RA, Rahimtoola SH. ACCIAHA guidelines for the management of patients with valvular heart disease : a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Management of Patients with Valvular Heart Disease). J Am Coll Cardiol 1998; 32: 1486-588. Cellarier G, Laurent P, Bonal J, Jego C, Talard P, Bouchiat C. Low molecular weight heparin : a guide to their optimum use in pregnancy. Drugs 2000; 62 (9): 463-77. Chan WS, Anand S, Ginsberg JS. Anticoagulation of pregnant women with mechanical heart valves : a systematic review of the literature. Arch Intern Med 2000; 160: 191-6. Elkayam U. Pregnancy and cardiovascular disease. In : Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E (eds). Elsevier Saunders, Philadelphia,7th ed, 2005 : 1965-71. Felker MG, Baughman KL. Approach to the pregnant patient with heart disease. In : Kelley's Textbook of Internal Medicine. Humes HD (ed). Lippincott Williams and Wilkins, 4th ed, 2000 : 40615. Elkayam UR. Pregnancy through a prosthetic heart valve. J Am Coll Cardiol 1999; 33: 1642-5. Elkayam UR. Anticoagulation in pregnant women with prosthetic heart valves : a double jeopardy. J Am Coll Cardiol 1996; 27: 1704-6. Elkayam UR, Tumala P, Rao K, Akhter MW, Karaalp IS, Wani OR, Hameed A, Gviazda I, Shotan A. Maternal and fetal outcomes of subsequent pregnancies in women with peripartum cardiomyopathy. N Engl J Med 2001; 344: 1567-71. Martinez-rios MA, Tovar S, Luna J, Eid-Lidt G. Percutaneous Mitral Commissurotomy. Cardiol Review 1997; 7: 108-16. Oakley C et al. Expert Consensus Document on Management of Cardiovascular Diseases During Pregnancy. Eur Heart J 2003; 24: 761-81.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Presbitero P, Somemile J, Stone S, Amta E, Spiegelhalter D, Rabajoli F. Pregnancy in cyanotic congenital heart disease : Outcome of mother and fetus. Circulation 1994; 89 (6): 2673-6. Siu SC et al. Prospective multicenter study of pregnancy outcomes in women with heart disease. Circulation 2001; 104: 5 15-21. Teerlink JR, Foster E. Valvular heart disease in pregnancy. Cardiol Clin 1998; 16: 573-95. Vitale W, De Feo M, De Santo LS, Pollice A, Tedesco N, Cotrufo M. Dose-dependent fetal complications of warfarin in pregnant women with mechanical heart valve prostheses. Heart 1999; 82: 23-6. Warnes CA. Congenital heart disease and pregnancy. In : Cardiac Problems in Pregnancy, Elkayam U, Gleicher N (eds). John Wiley and associates, New York, 1998. Oakley C. Peripartum cardiomyopathy, other heart muscle disorders and pericardial diseases. In: Oakley C, Warnes C (eds). Heart disease in Pregnancy. 2007. 2" edition. Blackwell Publishing company. 186-200.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT ARTERI PERIFER Dono Antono, Dasnan Ismail



KELAINAN PADAARTERI PERIFER Yang dimaksud dengan penyakit arteri perifer adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah ke luar dari jantung dan aortailiaka. Jadi penyakit arteri perifer meliputi ke empat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah ke luar dari aortoiliaka. Penyakit arteri perifer dapat mengenai arteri besar, sedang maupun kecil, antara lain tromboangitis obliterans, penyakit Buerger's, fibromuskular displasia, oklusi arteri akut, penyakit Raynaud, arteritis Takayasu, frostbite dan lain lain Penyebab terbanyak penyakit oklusi arteri pada usia di atas 40 tahun adalah aterosklerosis. Insiden tertinggi timbul pada dekade ke enam dan tujuh. Prevalensi penyakit aterosklerosis perifer meningkat pada kasus diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, hipertensi, hiper homo sisteinemia dan perokok.



Mekanisme terjadinya atherosklerosis sama seperti yang terjadi pada arteri koronaria. Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis di sana-sini, fragmentasi lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin. Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30% dari pasien yang simtomatik), arteri femoralis dan poplitea (80 - 90%), termasuk arteri tibialis dan peroneal (40 - 50%). Proses atherosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan



arteri, tempat yang turbulensinya meningkat, kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.



GEJALA KLlNlS Kurang dari 50 % pasien dengan penyakit arteri perifer bergejala, mulai dari cara berjalan yang lambat atau berat, bahkan sering kali tidak terdiagnosis karena gejala tidak khas. Gejala klinis tersering adalah klaudikasio intermiten pada tungkai yang ditandai dengan rasa pegal, nyeri, kram otot, atau rasa lelah otot. Biasanya timbul sewaktu melakukan aktivitas dan berkurang setelah istirahat beberapa saat. Lokasi klaudikasio terjadi pada distal dari tempat lesi penyempitan atau sumbatan. Pada penyakit aortoiliaka (sindrom Leriche) memberikan gejala rasa tak nyaman pada daerah bokong, pinggang, dan paha. Klaudikasio pada daerah betis timbul pada pasien dengan penyakit pada pembuluh darah daerah femoral dan poplitea. Keluhan lebih sering terjadi pada tungkai bawah dibandingkan tungkai atas. Insiden tertinggi penyakit arteri obstruktif sering terjadi pada tungkai bawah, sering kali menjadi berat sehingga timbul iskemia kritis tungkai bawah (critical limb ischemia). Dengan gejala klinis nyeri pada saat istirahat dan dingin pada kaki. Sering kali gejala tersebut muncul malam hari ketika sedang tidur dan membaik setelah posisi dirubah. Jika iskemia berat nyeri dapat menetap walaupun sedang istirahat. Kira-kira 25% kasus iskemia akut disebabkan oleh emboli. Sumber emboli biasanya dapat diketahui. Emboli paradoksikal merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat terlihat dengan cara angiografi disebabkan karena lesi ulseratif yang kecil atau karena defek septum atrial. Penyebab terbanyak kedua penyakit arteri iskemia akut adalah trombus.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan fisis yang terpenting pada penyakit arteri Emboli yang berasal dari jantung menyumbat perifer adalah penurunan atau hilangnya perabaan nadi percabangan arteri besar, sehingga diameter lumen di pada distal obstruksi, terdengar bruit pada daerah arteri bagian distal mengecil mendadak. Biasanya diameter arteri yang menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat dapat tersebut lebih dari 5 mm. Ateroemboli yang berasal dari terjadi bulu rontok, kuku menebal, kulit menjadi licin dan debris dari lesi ateromatous proksimal arteri, biasanya lebih mengkilap, suhu kulit menurun, pucat atau sianosis kecil dan menyumbat pembuluh darah diameter kurang dari merupakan penemuan fisik yang tersering. Kemudian 5 mm. Berdasarkan ukuran arteri yang tersu~nbatdapat dapat terjadi gangren dan ulkus. Jika tungkai diangkath T%. @etahui asal emboli, berasal dari jantung atau dari aorta -*,* '& 200 m. Nyeri istirahat dan nokturnal. Nekrosis, gangren.



merupakan tanda dari spasme dan dapat dilihat ada arteriola yang mengalir ke kulit. Sianosis pada kulit yang tidak berubah warna jika ditekan menandakan trombosis kapiler pada daerah subkutis dan terjadi nekrosis kulit.



Selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, untuk mendiagnosis PAD diperlukan pemeriksaan objektif.



Derajat



Kategori



0



0



Asimtomatik



1



klaudikasio ringan



2



klaudikasio sedang



3



klaudikasio berat



4



nyeri iskemik saat istirahat



5



kematian jaringan minor, ulkus tak sembuh, gangren dengan iskemi pedal difus. kematian jaringan menjalar ke atas transmetatarsal, fungsi kaki tak dapat diselamatkan



6



Klinis



Kriteria objektif treadmill/ stress test normal treadmill komplit, tekanan ankle setelahnya < 50 mrnHg Tapi > 25 mmHg lebih rendah dari brachial antara kategori 1 dan 3. Treadmill tak selesai dan tekanan engkel setelahnya < 50 mmHg tekanan engkel saat istirahat < 60 mmHg; nadi engkel dan metatarsal datar atau sangat lemah tekanan engkel saat istirahat < 40 mmHg; nadi engkel dan metatarsal datar atau sangat lemah



Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dengan menghitung ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer. Sering kali PAP tidak ada keluhan klasik klaudikasio. Hal tersebut bisa terjadi karena penyempitan terbentuk perlahan-lahan dan sudah terbentuk kolateral dan untuk mengetahuinya diperlukan pemeriksaan sistem vaskular perifer, pengukuran tekanan darah segmental (pada setiap ekstremitas), diperiksa ultrasonografi Doppler vaskular dan diperiksa ABI pada setiap pasien yang berisiko PAP. Selain itu juga dapat diperiksa rekaman volume nadi secara digital, oximetri transkutan, tes stres dengan mengguankan treadmill, dan tes hiperemia reaktif. Jika pada pemeriksaan tersebut ditemukan tanda PAD, aliran atau volume darah akan berkurang ke kaki, sehingga gambaran velocity Doppler menjadi mendatar, pada ultrasonografi duplex dapat ditemukan lesi penyempitan pada arteri atau graft bypass. Tekanan arteri dapat direkam di sepanjang tungkai dengan memakai manset spygmomanometrik dan menggumakan alat Doppler untuk auskultasi atau merekam aliran darah. Normal tekanan sistolik di semua ekstremitas sama. Tekanan pada pergelangan kaki sedikit lebih tinggi dibandingkan tangan. Jika terjadi stenosis yang signifikan,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1835



PENYAKIT ARTERI PERIFER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Takansn ankle kanan tertinggi =IKANAN Tekanan tangan terlmgg~



-



0.01 1.30 Nonnal 0,41 0.90 PAP Ringan



0.00 0,40 PAP berat



- sedang



Gambar 1. Pengukuran Ankle - Brachial Index (ABI). Tekanan darah sistolik diukur dengan manometer air raksa atau USG Doppler pada setiap lengan dan arteri dorsalis pedis (DP) dan posterior tibia1 (PT) pada setiap engkel.



,



tekanan darah sistolik di kaki akan menurun. Jika dibandingkan rasio tekanan arteri pergelangan kaki dan tangan, yang populer dengan nama ankle: brachial index (ABI), pada keadaan normal ABI > 1 ,dengan kelainan PAD ABI < 1, dan dengan iskemia berat ABI < 0,4. Tes treadmill dapat menilai kemampuan fungsional secara objektif . Penurunan rasio anklebrachial segera setelah latihan mendukung untuk diagnosis untuk PAD, tentunya disertai dengan keluhan klinis yang sebanding. Pemeriksaan laboratoriurn dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot. Diperiksa foto toraks untuk melihat kardiomegali, hematokrit untuk melihat polisitemia, analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin di urine. Kreatinin fosfokinase untuk menilai nekrosis otot. Elektrokardiografi untuk menilai aritmia atau kemungkinan infark lama. Ekokardiografi 2 dimensi untuk menilai ukuran ruang jantung, fraksi ejeksi, kelainan katup, evaluasi gerak dinding ventrikel, mencari trombus atau tumor, defek septum atrial. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan penyempitan.



bahan sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat menyebabkan aterosklerosis hams diberikan, berhenti merokok, merubah gaya hidup, mengontrol hipertensi tetapi jangan sampai terjadi hipotensi.



Latihan fisik (exersise), merupakan pengobatan yang paling efektif. Hal tersebut telah dibuktikan pada lebih dari 20 penelitian. Latihan fisik meningkatkan jarak tempuh sampai terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik berupa jalan kaki kira-kira selama 30 sampai 45 menit atau sampai terasa hampir mendekat nyeri maksimal. Program ini dilakukan selama 6 - 12 bulan. Hal ini disebabkan karena peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme mukuloskeletal dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan perbaikan viskositas darah.



Hematokrit, PT, APTT, trombosit. Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah Analisa urine, tes untuk mioglobin. CPK dengan isoenzim. Foto dada Elektrokardiografi 2 D ekokardiografi Duplex ultrasonografi Tes stres dengan treadmill Arter~ogram. Magnetic resonance angiography



TERAPI FARMAKOLOGIS Terapi farmakologis ,dapat diberikan aspirin, klopidogrel, pentoksifilin, cilostazol, dan tiklopidin. Obat-obat tersebut dalam penelitian dapat memperbaiki jarak berjalan dan mengurangi penyempitan. Mengelola faktor risiko, menghilangkan kebiasaan merokok, mengatasi diabetes melitus, hiperlipidemia, hipertensi, hiperhomosisteinemia dengan baik.



INSUFlSlENSl ARTERI AKUT TERAPI Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab. Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari



Obat terpilih adalah heparin, sebab bekerja cepat dan cepat dimetabolisme. Dosis 100 - 200 unit I kilogram berat badan bolus, diikuti 15 - 30 unit 1 kilogram berat badan /jam ,jika perlu 300 unit1 kilogram berat badan bolus, diikuti 60 - 70 unit I kilogram berat badan I jam dengan infus kontinu. Dengan pemantauan APTT 1,5 - 2,5 kontrol atau waktu pembekuan darah. Penggunaan dosis tinggi dengan tujuan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI supaya distal penyumbatan pada daerah iskemia dan kolateral tidak terjadi pembekuan darah yang meluas. Jika iskemia baru terjadi 4 sampai 6 jam dan masih vital yang ditandai dengan nyeri, paralisis atau parastesia, merupakan indikasi untuk tindakan intervensi revaskularisasi. Jika iskemi lebih dari 8 jam tidak dilakukan revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini tergantung dari kolateral arteri distal dari obstruksi. Intervensi revaskularisasi dapat dilakukan dengan cara: Operasi. Angioplasti translurninal perkutan. Trombolitik. Operasi dilakukan dengan teknik embolektomi dengan balon Fogarty dengan anestesi lokal atau regional. Untuk penyakit aortoiliaka dan femoral-poplitea ditentukan oleh lokasi dan lamanya sumbatan dan kondisi pasien. Operasi tersebut dengan bypass aortobifemoral bypass, axillofemoral bypass, femoral-femoral bypass clan aortoiliakendarterektomi. Keberhasilan operasi ditentukan dari yang diperoleh pada angiografi dan saat operasi. Paling sedikit 24 jam pertama setelah operasi hams dirawat di ruang rawat intensif agar sirkulasi distal, waspada terhadap gangguan paru, jantung dan ginjal dapat diawasi. Jika ditemukan tanda-tanda retrombosis dan emboli berulang hams dilakukan operasi segera. Heparin diberikan sampai 48 - 72 jam dengan dosis tinggi yang direkomendasikan, kemudian dosis diturunkan sesuai kondisi pasien selama 7 hari dan dilanjutkan dengan antikoagulan oral atau heparin dosis rendah suntik subkutan. Jika masih vital setelah lebih dari 48 jam sejak gejala timbul, diperlakukan sebagai penyakit obstruksi kronik berat. Hal ini karena ekstremitas survive karena terbentuk aliran kolateral. Diberikan antikoagulan oral warfarin atau heparin suntik subkutan jangka panjang. Alternatif lain selain operasi dan konservatif adalah terapi trombolitik dengan kateter arterial selektif perkutan pada trombus yang menyumbat. Ini akan mengurangi komplikasi perdarahan dibandingkan diberikan intra vena. Dapat diberikan tissueplasminogen activator dosis rendah atau streptokinase dosis rendah intra arteri 5000 - 10.000 IU/ jam selama 12 - 48jam dengan monitor efek terapi baik secara klinis atau serial arteriografi. Dapat juga diberikan urokinase 240.000 IUIjam selama 4 jam, diikuti 120.000IUI jam sampai maksimurn 48 jam, atau rekombinan tPA diinfus 1 mgljam atau 0,05 m g k g per jam. Dilanjutkan antikoagulan intravena heparin dan diikuti warfarin per oral. Terapi angioplasti transluminal perkutan segera mengikuti terapi trombolitik intra arterial, pemasangan stent dan aterektomi, memberikan hasil yang baik terhadap patensi arteri yang tersumbat.



Kelainan ini mengakibatkan hiperplasi pada arteri berukuran sedang dan kecil. Lebih sering terjadi pada



perempuan dan biasanya mengenai arteri renalis dan karotis, tetapi dapat juga terjadi pada arteri ekstremitas seperti arteri iliaka dan subklavia. Kelainan histologi terjadi displasia pada tunika intima, media dan periadventitia. Tipe yang terbanyak adalah tipe media displasia yang khas ditandai dengan atau tanpa fibrosis pada membran elastika. Secara angiografi ditandai dengan gambaran seperti benang karena penebalan lapisan fibromuskular. Jika mengenai arteri ekstremitas gejalanya dapat menyerupai seperti aterosklerosis, termasuk klaudikasio dan nyeri pada saat istirahat. Jika gejalanya berat dan iskemia tungkai mengancam, terapi dapat dengan perkutaneus transluminal angioplasti atau operasi.



Perdarahan Trombosis Emboli rekuren Emboli paru Mikroemboli acute respiratory distress syndrome. Edema ekstremitas Gagal ginjal akut Disfungsi jantung - infark miokard, aritmia. lnfark mesenterik.



Penyakit ini disebut juga penyakit Buerger's, yang merupakan kelainan vaskular berupa inflamasi dan penyumbatan. Yang mengenai pembuluh darah ukuran sedang dan kecil dan juga vena distal pada ekstremitas atas dan bawah. Dapat juga mengenai pembuluh darah otak, viseral dan koroner. Lebih sering terjadi pada lakilaki di bawah umur 40 tahun. Prevalensinya lebih tinggi pada orang asia dan eropa timur. Penyebabnya beluin diketahui ,tetapi ljerhubungan dengan kebiasaan merokok. Pada tahap awal lekosit polimorfonuklear menginfiltrasi dinding pembuluh darah arteri dan vena. Lapisan elastika interna terkena dan terbentuk trombus pada lumen pembuluh darah. Pada tahap lanjut neutrophil akan digantikan oleh sel mononuklir, fibroblast dan sel giant. Ditandai dengan adanya fibrosis perivaskular dan rekanalisasi



DIAGNOSIS Gambaran klinis tromboangitis obliterans sering kali berupa trias klaudikasiooo yang melibatkan ekstremitas, fenomena Raynaud, dan tromboplebitis vena superfisial yang berpindah-pindah. Klaudikasiooo biasanya terjadi pada betis dan kaki atau pada lengan bawah dan tangan, karena memang terutama mengenai pembuluh darah daerah distal. Kelainan yang ditemukan dapat berupa iskemi digital yang berat, perubahan kuku, ulkus yang nyeri dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT ARTERI PERIFER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat



Dosis



Aspirin



81 - 325 mglhari



Klopidogrel



75 mglhari PO



Pentoxifylline



1,2 grlhari PO 100 mg 2 xlhari



Cilostazol



Tiklopidin



500 mglhari



Terapi eksperimen



Dosis



Nafridrofuryl



600 mglhari



Propionyl levocarnitine Prostaglandin (beraprost, ilo~rost



2 grlhari



ekstrak ginko biloba Geneinduced Angiogenesis dengan Endothelial growth Factor Oksigen hiperbarik



120 mcglhari po atau 60 mcglhari parenteral



Direkomendasi oleh American College Of Chest Physicians untuk PAP Efek samping lebih ringan dibandingkan Aspirin pada CAPRIE trial, resiko TTP lebih sedikit dibanding tiklopidin Efek terhadap kemampuan berjalan lebih kecil Hati-hati pada pasien gagal jantung; dosis dikurangi 50 mg 2x1 hari jika minum obat calsium channel blockers; menyebabkan diare dan gangguan lambung Harus diawasi risiko TTP



Antagonis serotonin; meningkatkan jarak tempuh berjalan pada beberapa penelitian, pemakaian masih kontroversi; digunakan di Eropa bukti tidak signifikan Hasil tidak menetap pada penelitian terakhir



Efektif, tetapi metodologi penelitian dipertanyakan. Hasil menjanjikan



Tidak ada pengobatan yang spesifik, kecuali berhenti merokok. Prognosis memburukjika tidak berhenti merokok. Operasi pintas arteri dari pembuluh darah yang lebih besar mungkin ada gunanya pada keadaan tertentu. Demikian juga dengan debridemen lokal ,tergantung dari gejala dan beratnya iskemia. Antibiotika mungkin berguna, antikoagulan dan glukokortikoid tidak ada gunanya. Jika semua usaha gagal, pilihan terakhir adalah amputasi.



Vaskulitis adalah proses klinikopatologi yang ditandai dengan peradangan dan kerusakan pembuluh darah. Vakulitis dapat disebabkan karena kelainan primer dari suatu penyakit atau merupakan komponen sekunder dari penyakit primer. Vaskulitis dapat mengenai satu organ, seperti kulit atau dapat melibatkan beberapa sistem organ. Vaskulitis umumnya lebih sering terjadi pada penyakitpenyakit rematik yang kemudian mengenai sistem kardiovaskular. Gambaran utama sindrom vaskulitis dapat dibagi menjadi sindrom vaskukitis primer atau sekunder. Penyakit-penyakit yang dapat menyerupai vaskulitis sitemik adalah sepsis, khususnya endokarditis. Keracunan obat, koagulopatilangiopati trombotik (sindrom antibodi antifosfolipid dan thrombotic thrornbositopenicpurpura), keganasan, miksoma kardiak, sarkoidosis, sindrom Goodpasture, amiyloidosis, migren dan emboli multifokal dari aneurisma pembuluh darah besar. Diagnosis pasti tergantung dari lesi vaskulitis yang timbul dengan biopsi pada lokasi kulit yang abnormal. Jika kelainan vaskulitis mengenai organ-organ visceral atau pembuluh darah besar, yang terbaik adalah angiografi.



Mahal, hasil equivocal



ARTERlTlS TAKAYASU



gangren dapat timbul pada ujung jari atau tumit. Pada pemeriksaan klinis nadi arteri brakialis dan poplitea normal, tetapi nadi dapat berkurang atau hilang pada arteri radialis, ulnaris dan tibialis. Pemeriksaan ultrasonografi dulplex dan arteriografi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis. Gambaran perubahan lesi segmental pembuluh darah dari yang normal bertahap menjadi halus pada pembuluh darah distal merupakan gambaran yang khas, dan terdapat pembuluh darah kolateral disamping pembuluh darah yang tersumbat. Pada pembuluh darah proksimal biasanya tidak ditemukan arterosklerosis. Diagnosis pasti dapat ditentukan dengan biopsi eksisi dan pemeriksaan histopatologi.



Arteritis Takayasu (AT) adalah vaskulitis pada pembuluh darah besar yang penyebabnya idiopatik dan terjadi pada usia muda. Dapat mengenai aorta dan cabang-cabang utamanya. Secara histologis AT khas berupa infiltrasi lekosit mononuklir dan sel raksasa (Giant cell). Lebih sering mengenai perempuan , 10 kali dibanding laki-laki. Kematian biasanya karena stenosis arteri dan iskemi organ. Terjadi aneurisma khususnya pada pembuluh darah aorta yang dapat terjadi regurgitasi aorta. Penyebab kematian tersering karena hipertensi atau jantung, ginjal dan mengenai sistem pembuluh darah otak. Gejala dari abnormalnya pembuluh darah besar adalah hipertensi, khususnya bila dijumpai pada usia muda hams diperiksa secara teliti pada nadi dan tekanan darah seluruh ektremitas dan dicari apakah ada bruit pada pembuluh



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penatalaksanaan Penyakit Arteri Perifer.



4



I



4



Faktor risiko kardiovaskular



beratnya klaudikasi



1



Evaluasi : hemoglobin, serum kreatinin, Merokok, profil lipid, hipertensi, diabetes, Hemostasis, kadar homosistein, LDL



1



Modifikasi faktor risiko : Diabetes, ( Ac 56%).



VASODILATOR Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, inhibitor ACE, dan postaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan pemakaiannya secara



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut: (a) resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20%; (b) curah jantung meningkatkan atau tidak berubah; (c) tekanan arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah; (d) tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan. Kemudian hams dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk melebarkan pembuluh darah paru pada Primary Pulmonary Hypertension, sedang ditunggu hasil penelitian untuk kor pulmonal lengkap.



Terapi optimal kor pulmonal karena PPOK hams di mulai dengan terapi optimal PPOK untuk mencegah atau memperlambat timbulnya hipertensi pulmonal. Terapi tambahan baru diberikan bila timbul tanda-tanda gagal jantung kanan.



DIGITALIS



REFERENSI



Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Di samping itu pengobatan dengan digitalis menunjukkan peningkatkan terjadinya komplikasi aritmia.



Benisty Jacques I. Pulmonary hypertension. Circulation 2002; 106: 192-4 Braunwald E, Heart failure and cor pulmonale, dalam Kasper DL et al (editor) Harrison's Principles Internal Medicine, edisi 16, New York, McGraw-Hill, 2005.p.: 1377-89. Lenfant C, Khaltaev N, Global Strategy for the Dignosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease: NHLBI / WHO Workshop. National Institutes of Healt and National Heart, Lung and Blood Institute, Publication Number 2701 April 2001. Macnee. W, Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive pulmonary disease: bagian pertama ke Am J. Respir Crit Care med 1994; 833-52. Macnee. W, Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive pulmonary disease: part two. Am J. Respir Crit Care Med 1994; 150:I 158-68 Matthay RA, Niederman MS and Weiderman HP. Cardiovascularpulmonary disease with special reference to the pathogenesis and management of cor pulmonale. Med Clin North Am. 1990; 74: 571-618 MC Laughin VV, Rich S. cor pulmonale dalam Braunwald E., editor. Heart Disease: A text book of cardiovascular medicine, 6th ed Philadelphia; WB Saunders, 2001 .p. 1936-54. Restrepo Clara I, Tapson Victor F. Pulmonary hipertension and cor pulmonale in Topol Eric J, eds. Text book of Cardiovascular Medicine 2" ed Philadelphia: Lippincott William & Wilkins 2002: 649-65. Rich S et al, Pulmonary hypertension, dalam Braunwald E, Heart Disease: A Text book of Cardiovascular Medicine, edisi ke-7. Philadelphia, Elsevier Saunders, 2005. p. 1807-42. Weitzenblum E. Chronic cor pulmonale Heart 2003; 89:225-30.



Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.



FLEBOTOMI Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi untuk menurunkan hematokrit sampai dengan nilai 59% hanya merupakan terapi tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut.



Di samping terapi di atas pasien kor pulmonal pada PPOK harus mendapat terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta.



PENUTUP



Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan atas kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



HIPERTENSI PULMONAR PRIMER Muhammad Diah, Ali Ghanie



PENDAHULUAN Hipertensi pulmonal primer (HPP) atau idiopatik adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh karena peningkatan resistensi vaskular pulmonal, yang menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan a/terZoudventrikel kanan. HPP sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2 ; 1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean stirviva1 dari awitan penyakit sampai timbulnya gejala sekitar 2-3 tal~un. Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada Nutionul Institute o j Health (NIH); bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau meun tekanan arteri pulrnonalis lebih besar dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktivitas, dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan tidak adanya kelainan paru, penyakit jaringan ikat atau penyakit tromboemboli kronik, sehinga HPP juga disebut sebagai une.xplained pulrnonacv Izypertension.



Arteri pulmonal normal merupakan suatu struktur compluint dengan sedikit serat otot, yang memungkinkan fungsi pulmonary vasczrlar bed sebagai sirkuit yang low pressure dan high jlow. Gambaran patalogi vaskular pada HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini, karena menyerupai gambaran arteriopati pada hipertensi pulmonal dari berbagai macam sebab, kelainan vaskular di sini termasuk hiperplasia otot polos vaskular, hiperplasia intima, dan trombosis insitu. Kelainan yang terjadi pada HPP ini mengenai ateri-arteri pulmonalis kecil dengan



diameter antara 40 sampai 100 mm dan arteriol. Evolusi vaskular pada PPH ini tergantung progresivitas penipisan arteri pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan resistensi pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan strain dan gaga1 ventrikel kanan.



Gambar I.Karakteristik patologi pada hipertensi pulrnonal Kiri Muskulus arterl pulmonaris pada paslen HPP hipertrofi media (panah put~h)dan penyepitan lumen oleh karena prollferasl lntlma (panah h~tarn) dan proliferasl adventisla (X)



Kiri Lesi plex~formyang karakterlstik, obstruks~rnuskulus paplllar~s(panah)



Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis .menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan, dan terjadi trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombus insittl pada muscularis arteri dari vaskulatur pulmonal. Pada stadium lanjut, di mana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotelial pulmonal normal (Gambar 1 ). Secara patologis HPP dapat di kelompokkan secara 3 sub-tipe:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Primary Arteriopati Fleksogenik (30-80% dari HPP) Secara patologis lesi fleksogenik adalali disorganisasi kapiler pulmonal. Beberapa keadaan lesi mengandung proleferasi monoklonal sel-sel endotelial. Lesi tleksiform merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, dengan insiden I-2ljuta penduduk perbandingan pria dan perenipuan 1,7: 1 dan usia saat diagnostik tipe ini antara 20-50 tahun. Kelainan ini tampaknya inempunyai komponen genetik, di mana 7% kasus adalah familial.



Tromboembolik Arteriopati (45-50% dari HPP) Secara patologis subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima dan gambaran rekanalisasi trombosis insitu (jaringan dan septum dalam lumen arterial). Subtipe tromboembolik hipertensi pulmonal terdapat 2 bentuk: bentuk makrotromboembolik, yang biasanya didapatkan pada tipe hipertensi pulmonal skunder dan berisi gumpalan besar di tengah lumen, dan kedua bentuk mikrotromboembolik dengan trombus didistal yang menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil. Bentuk makro biasa biasanya respons terhadap tromboenarterektomi. Sementara bentuk mikro berhubungan dengan trombosis insitu dan secara klinis tumpang tindih dengan arteriopati fleksognik primer. Oklusif Vena Pulmonal Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena pulmonal HPP secara patologis dapat digradasikan dalam 6 poin berdasarkan severitas penyakit: dimulai dari hipertropi medial (grade I ) sampai dan di grade 6 nekrosis arteritis, namunftidak ada korelasi antara gradasi patologis dengan tekanan pulmonalis. Rasio ketebalan tunika media dan intima terhadap total cross-sectional area dihubungkan dengan respons terhadap vasodilator, semenara artropati fleksogenik dihubungkan dengan szrrvival time yang pendek. (Gambar 2)



Etiologi dan Patogenesis Penyebab HPP belum diketahui dengan pasti. Beberapa konsep patogenesis mempertimbangkan kepekaan inidividu dan rangsangan pemicu sebagai faktor pemula terhadap kerusakan dan perbaikan vaskular pulmonal. Hanya sebagian kecil kelompok dengan risiko tinggi (seperti obat penekan nafsu makan dan pasien HIV-1) yang menjadi hipertensi pulmonal. Kejadian HPP dalam satu keluarga menunjukkan kepekaan genetik. Bentuk kelainan bawanan adalah autosomal dominan dengan rasio perempuan dan pria 2 banding 1. Meskipun melibatkan gen dalam HPP familial belum dapat diidentifikasi, kemungkinan lokasi pada tangan panjang (long arm) dari kromosom 2 (q3 1 ). Lokasi ini mengandung 7 juta base dan suatu pendekatan telah dicoba untuk mengidentifikasi gen potensial dengan vasoaktif, proliferatif atau aktivitas trombotik, namun tidak didapatkan kandidat gen sampai saat ini. Stimulus yang dapat merangsang HPP adalah: bahanbahan yang dapat dicerna, seperti oabat penekan nafsu makan, ekstrak monokrotalie, bahan pelarut inhaler, metamfetamin, kokain, L-tryptophan; infeksi, terutama HIV1; and penyakit inflamasi (seperti HPP yang dihubungkan dengan penyakit tiroid autoimun dan antinuclear anti-Kzi antibody. Walaupun bentuk rangsangan berbeda, namun bentuk kerusakan dan perbaikannya sama. Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel endotelial, yang dapat menyebabkan berkurangnya produksi endotheliurn-derived vasodilator atau meningkatkan vasokonstriktor. (Gambar 3).



Kerusakan endotel paru lpelepasan



NO, Kerusakan sal K'



H~pertens~ pulmonal



tpelepasan PDGF, VEGF, TGF-1



Garnbar 3. Patogenesis hipertensi pulmonal



Campwan normal dun abnormal



-



,



,



Lesl flek



Garnbar 2. Les~vaskular pada h~pertensrpulmonal prlmer Lesl fleks~formmerupakan petanda hrstolog~h~pertensipulmonal prlmer



Pas~endengan pred~spos~s~ genet~k,kerusakan endotel dapat men~mbulkans~klusganas perkembangan h~pertensipulrnonal Pertama kerusakan endotel menyebabkan ~mbalansmed~atot vasoaktlf vasokonstr~ks~ Kemud~anterjad~pelepasan growth factoryang menyebabkan penrplsan d~dlngpembuluh darah (remodellng) Hal In1 merangsang f~brrnol~s~s dan gangguan koagulas~ yang mempres~pitas\trombos~s ~ n s ~ t u TB=tromboxan, PG=prostagland~n ET= endothel~n, N O = n ~ t r ~ oxlde c PDGF=platelet-denved growth factor VEGF=vascular endotheIra1 growth factor TGF=transformmg growth factor



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HlPERTENSl PULMONAR PRIMER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penelitian imunohistokimia, menunjukkan ekspresi etidotheliul NO s~*tithetuse (eNOS; NOS 111) menurun pada arteri pulmonalis pasien dengan HPP, dan sekesi metabolit prostakiklin melalui urin juga rendah. Kosentrasi endotelin 1 (suatu vasokonstriktor pulmonal poten) darah meningkat baik pada hipertensi pulmonal primer ataupun sekunder, j,ang pada pengecatan dengan imunohistokimia mernperlihatkan peningkatan ekspresi endotelin pada arteri pulmonalis pada pasien ini. Mediator vasoaktif sirkulasi lain juga berperan pada HPP. Kadar plasma serotonin meningkat pada pasien dengan HPP, dan tetap meningkat setelah transplantasi jantung. Obat penekan nafsu makan: fenfluramin dan deksfenfluramin yang menghambat reuptake seretonin, dapat mencetuskan HPP pada individu yang peka melalui peningkatan kosentrasi platelet-derived serotonin (suatu vasokonstriktor pulmonal, yang merangsang pertumbuhan vaskular). Kerusakan saluran ion pada sel otot polos arteri pulmonal juga dapat menambah vasokonstriksi. Kalsium intra selular berperan penting dalam regulator kontraksi dan dan proliferasi otot polos vaskular, dan kanal kalium yang menentukan konsentrasi kalsium bebas sitoplasma mungkin terganggu pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer. Vasokonstriksi diikuti oleh proliferasi dan fibrosis intima, trombosis insitu, dan perubahan plexogenik. Peningkatan ekspresi vascular endotheliul growtli factor (VEGF), suatu mitogen sel endothelial spesifik yang dihasilkan oleh makrofag dan otot polos vaskular, suatu mitogen spesifik sel endotelial yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot polos, berperan dalam remodeling vaskular.



Klasifikasi Klinik dan Fungsional Hipertensi Pulmonal Selama beberapa tahun hipertensi pulmonal diklasifikasikan sebagai hipertensi pulmonal primer (idiopatik) dan hipertensi pulmonal sekunder. Pada tahun 2003, pada Word Symposium 111 mengenai hipertensi pulmonal di Venice, dilakukan revisi klasifikasi klinik, di mana hipertensi pulmonal di kelompokkan dalam 5 kelompok, dan hipertensi pulmonal primer atau hipertensi pilllnonal idiopatik dimasukkan dalam kelompok hipertensi arteri pulmonal. (Tabel 1). WHO juga mengusulkan klasifikasi fungsional hipertensi pulmonal dengan memodifikasi klasifikasi fungsional dari New York Heurt Association (NYHA) .s!:c.retli (Tabel 2).



GAMBARAN KLlNlS Hipertensi pulmonal sering tidak menunjukkan gejala yang



Hipertensi arteri pulmonal ldiopatik atau primer Familial Hipertensi yang berhubungan dengan: Penyakit kolagen pada pembuluh darah Shunt kongenital sistemik ke pulmonal Hipertensi portal lnfeksi HlV Toksin dan obat-obatan Penyakit lain (kelainan tiroid, kelainan penyimpanan glikogen, penyakit Gaucher, hemoragik telangiektasis herediter, hemoglobinopati, kelainan mieloproliferatif, splenektomi Yang berhubungan dengan kerterlibatan vena atau kapiler Penyakit oklusi vena pulmonal Hemangiomatosis kapiler pulmonal = Hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung Penyakit katup jantung kiri Hipertensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit paru adan atau hipoksia Penyakit paru obstruksi kronik Penyakit jaringan paru Gangguan napas saat tidus Kelainan hipoventilasi alveolar Tinggal lama di tempat yang tinggi Perkembangan abnormal Hipertensi pulmonal oleh karena penyakit emboli dan trombotik kronik Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal Emboli pulmonal non trombotik (tumor, parasit, benda asing) Lain-lain Sarcoidosis, histiositosis-X, limfangiomatosis, penekanan pembuluh darah paru (adenopati, tumor, fibrosis mediastinitis)



Kelas I



Kelas II



Kelas Ill Kelas IV



Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam melakukan aktivitas seharihari Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan aktivitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilan bila istirahat Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu melakukan aktifitas apapun (aktivitas ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan qeiala qaqal iantunq kanan.



sepesifik. Gejala-gejala tersebut sering sulit dibedakan dengan HPP sekunder atau oleh karena kelainan jantung, kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling sering adalah : dispnu saat aktivitas,fatique dan sinkop, refleksi ketidak mampuan menaikkan curah jantung selama aktivitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal, tetapi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI nyeri dada disebabkan oleh karena stretching arteri pulmonal atau iskemia ventrikel kanan. Hemoptisis oleh karena pecahnya pembuluh darah parit yang tnengalami distensi jarang terjadi, namun hemoptisis pada pasien dengan HPP suatu keadaan yang berbahaya. Fenomena Raynaud's terjadi kira-kira 2% dari pasieri dengan HPP tetapi sering terjadi pada hipertensi pultnonal yang berhubungan dengan penyakit jaringan ikat. Gejalagejala yang lebih spesifik dapat oleh karena penyakit yang mendasari hipertensi pulmonal. Pada pemeriksaan fisik relatif tidak sensitif untuk menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal primer, nalnun dapat membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari hipertensi pulmonal (hipertensi pulmonal sekunder). Pemeriksaan auskultasi paru pasien HPP umwnnya bersih. Bila ditemukan wheezingdan ronki, kemungkinan kelainan oleh karena penyakit paru yang lain seperti: asma bronkial, bronkitis atau fibrosis. Ronki basah seperti pada gagal jantung kongestif menunjukkan penyakit jantung kiri, bukan hipertensi arteri pulmonal. Bunyi jantung I1 pada daerah pulrnonal kadang dapat ditemui pada hampir 90% pasien dengan hipertensi pulmonal, pada stadium lanjut di mana telali terjadi gagal jantung kanan, gejala dan tanda seperti gallop ventrikel kanan (S4 kanan), distensi vena jugularis, pembesaran hapar atau limpa, asites atau edema perifer dapat ditemui (Tabel3).



Gejala



Tanda



Dispnu saat aktivitas Fatique Sinkop Nyeri dada angina Hernoptisis Fenomena Raynaud's



Distensi vena jugularis lrnpuls ventrikel kanan dorninan Kornponen katup paru rnenguat (P2) S3 jantung kanan Murmur trikuspid Hepatornegali Edema perifer



tersebut terrnasuk pernbesaran atrium dan ventrikel kanan, dan septum yang cembung atau rata. Adanya efusi perikard nienunjukkan beratnya penyakit dan prognosis yang kurang baik. Elektrokardiografi Elektrokardiograni (EKG)juga harus dilakukan pada pasien yang dicurigai HPP, meskipun tidak spesifik untuk HPP. Gatnbaran tipikal pada EKG berupa .struin ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan dapat membantu nienegakkan diagnosis hipertensi pulmonal (Garnbar5)



Gambar 4. Foto toraks paslen dengan hlpertensl pulrnonal memperllhatkan pelebaran alter1 pulrnonal sentral bilateral



TES DIAGNOSIS E kokardiografi Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulnional, ~intukdiagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi tidak hanya membantu menetaphan diagnosis, namun juga dapat menilai etiologi dan prognosis. Ekokardiografi dapat mendeteksi kelaian katup. dishngsi ventrikel kiri, .shz1,7tjantung.Untuk menilai tekanan sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiografi hams ada regurgitasi trikuspid (TR). (Garnbar4) Bila pada pasien dengan hipertensi pulmonal tidak ada regurgitasi trikuspid untuk menilai tekanan ventrikel kanan secara kuantitatif, dapat dipakai nilai kualitatif pada pemeriksaan ekokardiografi dapat membantu menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal. Tanda-tanda kualitatif



Gambar 5. Gambaran EKG paslen h~pertenslpulmonal menunjukkan devlas~aksls ke kanan dan h~pertrofiventrlkel kanan



Radiologi Gambaran has parenkiln pant pada hipertensi pulmonal primer bersih. Foto toraks dapat metnbantu diagnosis, atau melnbantu tnenernukan penyakit paru lain yang nlendasari hipertensi pulmonal (membedakan hipertensi primer dengan hipertensi sekunder). Gambaran khas foto thoraks pada hipertensi pulmonal ditemukan pembesaran hilar.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI aktivitas yang berlebihan. Penggunaan digoksin saat ini masik kontroversial, k@enxbelum ada data terhadap I keuntungan atau zkerugian penggunaan digoksin pada hipertensi pulmonal. Penggunaarl diretika untuk Pemeriksaan Angioarafi mengurangi aesak clan edema pada pereifer, dapat Kateterisasi jantung merupakan baku enias untuk bermanfaat untuk mengurangi kelebihan cairan terutarna diagnosis hiperwipatq?jrp~lw~45b.::&qt$te~iqasj bila ada regurgitasi trikuspid. Saat ini banyak penelitian me'mbantu diagaosia d e n w rpengingkirkan etiologi lain untuk pengobatan hipertensi pulmonal telah dilakukan; seperti penyakit jantung kiri ,dan mnnberiEran i n f o m s i golongan vasodilator, prostanoid, nitric oxide, penghambat penting uqtuk. dugaan pragnostik pa& pasien dengan fosfodiesterase, anragonis reseptor endotelin dan hipfiensi pulmanali Tes vasodilator dengan obat keja antikoagulan. siagkat (sepertj: .i$denosi~,inttalasi nitric oxide qtau epoprosknd) &pat dilakulew wlam&.kateterisasi, respQns a. Terapi vasodilator vasodilati posifif bila didapatkan penwunaq ttakanm @eqi penggunaan penghambat kalsium telah banyak diteliti dan pulmonalis $an resistensi vaskulq ,paru sedikitnya 2Q% digunakan sebagai terapi pada hipertensi pulmonal, dari tekaapn,awal. , perbaikanterjadipada kira-kira 2530% kasus terntarha pada Konlsensus European Society of Cardiology, pasien yang tes'vasodilator akut positif, pada kelompok naendefi9nisikanrespopvasdlatasi akut positif bila terjadi ini dapat (lipertihbahgkdd dengguriaannya dalam jangka penurunan "mean" tekanan arteri pulmepalis paling s e m i t laha, dan penggutlaan golongan obat ini pada pasien 10 mmHg sampqi ,f40 mrflHgdewan peningkatan curah hipertensi pulmonal sebaiknya dibatasi terutama pada jantpng atau tjdak ada perubahan pada cwqh jjanhmg pasien dengan gaga1 jantung kanan. dibMmgkaq dengan nilai w f l i sebelum dilakukan ttes. Nifedipin 120-240mglhari atau diltiazem 540-900 mgl Pasien dengan hipestepi arteri pulmonal yang kresgons hari merupakan obat yang swing digunakan, sementara positif dengan vasodilator akut ,pada pemeriksaan verapa~riilmemperlihatkan efek inotropik negatif. Namun kateterisasi, sstrvivqclnya akan meningkat dengan obat-obat tersebut inenyebabkan efek samping yang pengobatan blokade saiuran kiflsiumjangka Iwna. Deagnn bettnaknd, sepeiti hipothsi yang mengantam hidu'p pasien katemisasi jantung jyga &pat memherikap infotrnasi dengan cnnfp'~ornisedfungsi 'ventrikel kanan yang berat, mmge;naisaturasj qk~igelzpada vena sentral, a n r i m $an untuk ini dipertukan monitoring ketat terhadap weatrjkel Lcanan,, dan at;ceri,pulf~~onal yang berguna W a m hemodinarnik pasien. manilai prognostik hipertensi,pulyqnal. Vasodilator lain yang telah dievaluasi adalah peranan angiotensin converting cwzyme pada patofisiologi hipertensi pulmonal, namun enzim ini tidak bermanfaat secara signifikan, di samping belum ada studi yang luas yang telah dilaknkan.



lapangan arteri pulmonalis dan pada foto taaks lateral . terdapat pembefiaran ventrikel kanan (Gambar4). I



8



8



>:



- .



kt. -E G



Garnbar 6. Garnbaran ekokqrd~ograf~ pasleo h~pertensrpulrnonal



b. ~ r o s t a n o i d Epoprostenol. Epoprostenol IV pertama kali disetujui oleh FDA mtuk terapai hipertensi pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epopostrenol jangka panjang mernperbaiki hemodiqamik, toleransi latihan, kIas fungsional NYHA, dpn s ~ m i v arafegenderia f hipertensi pulmonal. Namun karqya waktu paruh singkat.diperlqkan bentuk infus IV yang konstan melalui kateter dengan portable p u m p , penggunaannya rumit ~ehinggadiperlukan rujukan ke nwah sakjt atau klinik 3jang canggih. Karena m i t p y a pemakaian epqproitenal,, .dikembangkan produk prostasiklin yang lain, dan yang saat ini juga sudh diakui oleh FDA sebagai obat untuk hipertensi pulmonal adalah: treprostinil dan inhalasi iloprost. ,-, Treprostinil. Treprostinil memiliki waktu paruh,yanglebi'h lama dan dapat digdnakan subkutan. Pada penelitian povital dengan treprostinil dengan 470 pasien selama 12 rpinggu (randomized pluceho controlled trial), pada 58% 3 ,



Medikamentosa Resisten vaskular p4monol secarF &;upatis w m & a p d a saat lawan, @waktiyitas pada,pasien hiperterzsi, daat pasien sebikya h q s rnemperbat:hW wernb-i



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



hipertensi pulmonal primer, 27% hipertensi pulmonal dengan penyakit jaringan ikat, dan 25% hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kongenital, dan dengan keparahan penyakit: NYHA I1 (12%)NYHA I11 (81%)danNYHA IV (7%). Didapatkan perbaikan indek hemodinamik dan kapasitas latihan yang diukur dengan katetarisasi dan latihan berjalan 6 menit. Tidak ada pengaruh treprostinil pada kelompok penyakit jantung bawaan, mungkin kerena singkatnya penelitian. Treprostinil subkutan juga menyebabkan rasa nyeri pada tempat suntukan yang juga membatasi penggunan obat ini pada pasien t'ertentu. lloprost inhalasi. lloprost adalah prostasiklin dengan bentuk kimia stabil yang tersedia dalam bentuk intravena, oral, dan aerosol, dengan waktu paruh 20 sampai 25 menit. Bentuk inhalasi dalam pengobatan hipertensi pulmonal adalah konsep yang baik praktis dalam pengunaan klinik. Pada idiopatik hipertensi pulmonal iloprost inhalasi memberikan efek vasodilatasi yang lebih efektif dibandingkan dengan inhalasi NO . Untuk penggunaan jangka panjang karena waktu paruh pendek dapat digunakan 6 sampai 9 kali inhalasi per hari. Penelitian terbuka selama 3 bulan pada 19 pasien dengan berbagai bentuk hipertensi pulmonal, dengan inhalasi iloprost dengan dosis 50-200 pg 6 sampai 12 inhalasi per hari, memperbaiki klas fungsional, kapasitas latihan dan hemodinamik paru. Pada penelitian lain selama 1 tahun juga penelitian terbuka tanpa kelompok kontrol, pada 24 pasien dengan dosis 100 - 150 pg 6 sampai 8 kali inhalasi perhari memberikan hasil yang sama. Dan secara umum pengobatan ditoleransi dengan baik kecuali pada beberapa pasien mengalami batuk ringan, sakit kepala ringan dan nyeri rahang. Penelitian randomized, double-blind, placebo-controlled European multicenter, dengan dosis iloprost 2.5 pg atau 5 pg 6 sampai 9 kali perhari (dosis maksim 45 pg/ hari; dosis median, 30 pglhari). terhadap 203 pasien dengan hipertensi pulmonal primer (50,5%), hipertensi pulmonal dengan tromboemboli kronik (33%) dan hipertensi pulmonal dengan penyakit jaringan ikat (13%) dengan NHYA I1 59% dan NYHA IV 41 % ,didapatkan perbaikan kapasitas latihan (waktu berjalan 6 menit meningkat 36 m pada kelompok iloprost), perbaikan klas NYHA, perbaikan klinis dan kualitas hidup yang bermakna pada kelompok ilopros dibanding kelompok plasebo. Secara umum pengobatan dengan iloprost ditoleransi dengan baik kecuali pada beberapa pasien mengalami batuk ringan, flushing, sakit kepala dan nyeri rahang dan berlangsung singkat dan ringan. c. Nitrik Oksid Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara inhalasi dengan waktu paruh singkat, ha1 ini bermanfaat sebagai screening vasodilator pada pengobatan hipertensi pulmonal.



Efek inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal primer memperlihat perbaikan dalam parameter hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun beberapa pasien tampak menunjukkan manfaat dengan terapi tersebut untuk jangka lama.



d. Penghambat Fosfodiesterase Mekanisme yang memodulasi cyclic guunosine 3 '-5 ' nionophosphate (cGMP) didalam otot polos berperan dalam meregulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskular. Efek vasodilator N O tergantung pada kemampuannya meningkatkan isi cGMP di dalam otot polos vaskular. Sekali diproduksi NO langsung mengaktifkan soluble guat7j~late cyctase yang meningkatkan produksi cGMP, kemudian cGMP mengaktifkan cGMP kinase, membuka kanal potasium dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek cGMP intraselular bertahan singkat, menyebabkan degradasi cepat cGMP oleh fosfodiesterase. Fosfodiesterase merupakan famili enzim yang menghidrolisa cyclic nucleotide, cyclic adenosine nionophosphate (CAMP)dan cGMP, dan membatasi sifat sinyal intraselulermereka dengan menghasilkan produk inaktif (5 'adenosine monophosphate dati 5'-guanosine nronop11o.sphate). Sedangkan penghambatan CAMP spesijic phosphodiesterase (type 3) berperan dalam pengobatan asma (mis : teofilin) dan disfungsi miokardial (mis : milrinon dan amrinon), obat-obat yang secara spesifik menghambat cA MP-spesificphosphodiestera.~e memiliki efek yang lemah terhadap sirkulasi pulmonal. Sebaliknya obat-obat yang menghambat secara selektif cGMP-spesifik fosfodiesterase (phosphodiesterase type 5 inhibitor)meningkatkan respons vaskular terhadap NO inhalasi dan endogen pada hipertensi pulmonal. Fosfodiesterasetipe 5 mempengaruhi paru dengan kuat dan phosphodiesterase type 5 gene expression dan aktivitasnya meningkat pada hipertensi pulmonal kronik. Beberapa fosfodiesterase type 5 inhibitor, termasuk dipiridamol, zaprinast, dan lainnya, menyebabkan vasodilatasi pulmonal kuat pada paru hewan percobaan yang menderita hipertensi pulmonal akut dan kronik. Dipiridamol. Dipiridamol dapat menurunkan resistensi vaskular paru, vasokontriksi pulmonal hipoksik, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan hipertensi pulmonal. Beberapa pasien yang gaga1 merespons NO inhalasi membaik dengan terapi kombinasi NO inhalasi + dipiridamol. Ini menunjukkan bahwaphosphodiesterase type 5 inhibitor merupakan strategi klinis yang efektif dalam mengobati hipertensi arteri pulmonal, tetapi masih terbatas karena potensi dan selektivitasnya masih kurang dan efek samping sistemiknya besar. Sildenafil. Sildenafil merupakan phosphodiesterase type 5 inhibitor yang potensial dan sangat spesifik. Studi klinis yang meneliti efek hemodinamik akut sildenafil dan perannya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HIPERTENS1 PULMONAR PRIMER



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pada pengobatan jangka panjang pada pasien hipertensi arteri pulmonal oleh Michelakis dkk, pada 13 pasien didapatkan penurunan mean tekanan arteri pulmonal dan resistensi vaskular pulmonal, dengan peningkatan cardiac index. Dibandingkan dengan NO inhalasi, sildenafil memiliki efek yang sama dalam mereduksi mean tekanan arteri pulmonalis, berbeda dengan NO, sildenafil juga memiliki efek hemodinamik. Bila dikombinasikan dengan NO, sildenafil meningkatkan dan memperpanjang efek NO inhalasi. Sildenafil dengan NO inhalasi menurunkan tekanan arteri pulmonari dan meningkatkan cardiac index, dan menurunkan resistensi vaskular pulmonal lebih besar dari pada satu obat masing-masing. Sildenafil mencegah vasoconstriksi pulmonal yang berulang setelah gaga1 dengan inhalasi NO. Pada penelitian vasoreactivity,sildenafil dikombinasikan dengan inhalasi NO, efek terpisah dan kombinasi dari sildenafil dan iloprost dilaporkan penurunan lebih besar mean tekanan arteri pulmonari. Iloprost aerosol menyebabkan penurunan mencolok pada mean tekanan arteri pulmonal dan resistensi vaskular paru daripada sildenafil, tetapi terapi kombinasi menyebabkan penurunan lebih besar dan lebih lama dari pada preparat tunggal. Bharani dkk mengobati 10 pasien dengan sildenafil dan 10 pasien dengan plasebo selama 2 minggu. Setelah 2 minggu pengobatan, pasien mengalami perbaikan bermakna pada tes berjalan 6 menit dan indeks dispnea, dengan penurunan tekanan arteri pulmoanal sistolik secara ekokardiografik. Pada penelitian lain 29 pasien diterapi dengan sildenafil (25-100 mg) selama 5-20 bulan, didapatlkan perbaikan klas fungsional NYHA, tes berjalan 6 menit dan dispnea index dan menurunnya tekanan sistolik arteri pulmonalis. Banyak penelitian menunjukkan efektivitas terapi dengan sildenafil pada penatalaksanaan jangka panjang pasien dengan hipertensi arteri pulmonal kronik. Terapi sildenafil dilaporkan dapat menurunkan mean tekanan arteri pulmonalis 15% dan resistensi vaskular pulmonal 30% , meningkatkan kardiak index 17% dan meningkatkan jarak berjalan 6 menit. Tak ada efek samping yang berarti yang dilaporkan, hanya sakit kepala, kongesti nasal, nausea, dan gangguan penglihatan ringan



e. Antagonis Reseptor Endotelin Pada penelitian terakhir menunjukan antagonist reseptor endotelin (ERAs) efektif dalam mengobati hipertensi pulmonal. Antagonist reseptor endotelin (ERAs) tampaknya berperan dalam pengobatan karena meningkatnya bukti peranan endotelin-1 dalam patogenik pada hipertnsi pulmonal. Endotelin-1 adalah suatu vasokonstriktor poten dan mitogen otot polos yang berperan dalam meningkatkan tonus vaskular dan hipertrofi vaskular paru yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal. Pada pasien



.



dengan hipertensi arteri pulmonal didapatkan peningkatan endotelin-1 dan produknya dalam plasma, dan kadar ini berhubungan dengan severitas penyakit. Reseptor endotelin telah diidentifikasi mempunyai 2 bentuk isoform: ETA dan ET, Aktivasi reseptor ETA menyebabkan vasokonstriksi dan proliferasi otot polos vaskular, sebaliknya aktivasi reseptor ET, menyebabkan vasodilatasi dan pelepasan NO. Ini menimbulkan kontroversi apakah lebih baik diblok keduanya ETAdan ET, atau hanya terhadap ETAsaja. Namun bosentan oral suatu antagonis nonpeptida terhadap dua subtipe endotelin (ETA and ET,) aktif, dapat mencegah dan memperbaiki perkembangan hipertensi pulmonal, remodeling vaskular paru hipertrofi ventrikel kanan, yang tidak terikat dengan mekanisme yang mencetuskannya. Bosentan. Penelitian pertama ra;?domized, double-blind, placebo-controlled, multisenterdengan bosentan dosis 62,5 mg 2 kali sehari selama 4 minggu pertama, diiqiutkan sarnpai dosis 125 mg 2 kali sehari. Pasien pada penelitiari ini adalah hipertensi pulmonal berat idiopatik, atau hipertensi pui~nonal dengan sklerodermadengan NYHAklas I11 atau IV, meskipun telah diobati sebelumnya vasodilator, antikoagulan,diuretik, glikosida jantung, atau suplemen oksigen. Pada penelitian ini memperlihatkan bosentan memperbaiki cardiac index, hemodinamik kardiopulmonal dan klas fungsional, menurunkan resistensi vaskular pulmonal, mean tekanan arteri pulmonalis,pulmonary capillary wedgepressure, dan mean tekanan atrium kanan. Selama 12 minggu tidak didapatkan efek samping yang bermakna, namun didapatkan kenaikan arninotransferase hati yang asimtomatik pada 2 pasien dan normal kembali tanpa perubahan dosis. Jadi sebaiknya sebelum terapi dengan bosentan dimulai dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Banyak penelitia lain juga menunjukkan hasil yang sama. Sitaxentan. Penelitian dengan sitaxentan dengan dosis 100 mg - 300 mg oral 3 kali sehari pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonal fungsional klas NYHA 11,111, IV selama 12 minggu memperbaiki klas fungsional, kapasitas latihan (memperjarak jalan pada uji 6 menit jalan), menurunkan resistensi vaskular paru secara bermakna, memperbaiki cardiax index, dan memperbaiki hemodinamik. Insiden abnormalitas fungsi hati selama 12 minggu pengobatan hanya didapatkan 10% pada pengunaan dosis 300 mg di mana didapatkan peningkatan aminotransferase 3 kali lipat dari normal dan dilaporkan hepatitis fatal dapat terjadi pada pengunaan sitaxsentan dengan dosis yang lebih tinggi. Gangguan laboratorium lain yang sering terjadi adalah peningkatan INR atau waktu protrombin (dihubungkan dengan efek sitaxentanteehdapad inhibisi enzyme CYP2C9 P450, sustu enzim hepar yang berperan dalam metabolisme warfarin). Efek samping yang sering didapatakan pada pengobatan dengan sitaxentan adalah sakit kepala, edema perifer, nausea, kongesti nasal, dan dizziness



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Ambrisentan. Ambrisentan suatu antagonis endothelin ke tiga, saat ini masih dalam fase 111penelitian klinik dengan hipertensi arteri pulmonal. Antagonis ETA-selektifini sedikit berbeda secara biokimia. Antikoagulan. Pemakaian antikoagulan direkomendasikan pada pengobatan hipertensi pulmonal sehubungan dengan meningkatnya risiko trombosis insitu. Suatu uji klinik nonrandomisasi prospektif memperlihatkan peingkatan ketahanan hidup penederita hipertensi pulmonal yang mendapatkan terapi antikoagulan, obat antikoagulan yang dianjurkan pada hipertensi pulmonal adalah warfarin, meskipun heparin memperlihatkan efek inhibisi pada proleferasi otot polos vaskular pada binatang percobaan. TERAPI INTERVENSI (BEDAH) Atrial Septosotomi Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien dengan tekanan RV yang berat dan volume overload yang refrakter dengan terapai medikamentioasa yang maksimal. Tujuan atau goal prosedur ini adalah dekompresi overloadjantung kanan dan perbaikan output sistemik ventrikel kiri. Terdapat perbaikan fungsi latihan dan tanda disfungsi jantung kanan berat seperti asites dan sinkop. Septastomi atrial harus dilakukan di fasilitas yang memadai dan operator yang berpengalaman.



mempunyai suatu kapasitas yang besar dalam perbaikan keadaan disfungsi yang berat sekalipun, afterload membaik oleh karena membaiknya keadaan abnormal pembuluh darah paru. Transplantasi tunggal paru dilakukan pada pasien parenkim paru, kecuali mereka dengan penyakit suppuratif seperti fibrosis kistik, di mana pada kasus tersebut transplantasi bilateral lebih dianjurkan. Sebagian besar pusat-pusat pelayanan lebih menyukai melakukan tindakan transplantasi paru bilateral pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer karena hasilnya lebih baik. Terdapatnya penurunan fungsi ventrikel kanan yang sangat mencolok bukan suatu kontraindikasi untuk dilakukan transplantasi paru tunggal ataupun bilateral oleh karena fungsi ventrikel kanan akan segera membaik setelah dilakukan transplantasi. Bentuk ventrikel kanan juga terlihat menjadi normal setelah dilakukan transplantasi tunggal paru ataupun transplantasi bilateral. Kemampuan hidup tahun pertama bagi pasien rata-rata mendekati 80% pada pasien dengan transplantasi paru. Bronkiolitis obliterasi (kronik rejeksi) merupakan komplikasi jangka panjang bagi pasien yang mendapat transplantasi. Terdapat kekambuhan dari gangguan primer paru-paru pada pasien transplantasi dapat terjadi pada beberapa keadaan akan tetapi belum pernah dilaporkan pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer.



REFERENSI Thromboenarterectomy pulmonary Thromboendarterectomymenjadi pilihan pengobatan pada pasien hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit tromboembolik kronik. Pulmonary thromboendarterectomy dilakukan melalui median sternotomi pada cardiopulmonary bypass. Secara keselwuhan angka kematian terus membaik dan hingga kini kurang dari 5%. Respons terhadap terapi tersebut cukup mengesankan dengan perbaikan yang dramatis pada disfungsi ventrikel kanan. Transplantasi Paru Transplantasi paru dan transplantasi jantung-paru digunakan sebagai terapi bedah pada pasien dengan penyakit perenkim paru dan gangguan pembuluh darah paru. Pasien dipertimbangkan untuk transplantasi jika berada pada kelas NYHA I11 atau kelas IV. Pasien hipertensi pulmonal primer atau hipertensi arteri pulmonal yang disebabkan penyakit scleroderma hams menjalani terapi prostasiklin yang diberikan secara i n h s yang terus-menerus sebelum dilakukan tindakan transplantasi paru karena obat tersebut telah menunjukkan keberhasilan (efektivitas) pada keadaan tersebut. Baik transplantasi paru bilateral atau single, dan juga transplantasi jantung paru, pemilihan prosedur dilakukan dengan melihat kemampuan organ. Ventrikel kanan



Badesch DB, Abman SH, Ahearn, GS at al. Medical therapy for pulmonary arterial hypertension. ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines, Chest. 2004;126:35S-623 Fuster V, Alexander RW, O'Rourke RA. The Heart, lofhed, McGrawHill, New York. 2001: 1616- 21. Gaine SP, Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. Lancet 1998; 352: 719-25 Hofmann LV. Lee DS. Gupta A, Arepally A, Sood S. Safety and hemodynamic effects of pulmonary angiography in patients with pulmonary hypertension: 10-year single-center experience. Am J Roentgenol 2004; 183(3):779-85 Hofmann LV. Pulmonary angiography in patients with pulmonary hypertension. Am J Roentgenol 2004; 183(3):779-85 Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS. Harrison's principles of internal medicine, 16Ih ed, McGraw-Hill, New York. 2005: 1403-6. Kerstein D, Levy PS, Hsu DT, at al. Blade balloon atrial septostomy in patients with severe primary pulmonary hypertension. Circulation. 1995;91:2028-35. Kothari SS, Yusuf A, Juneja R, Yadav R, Naik N. Graded balloon atrial septostomy in severe pulmonary hypertension. Indian Heart J 2002; 54: 164-9 Lee SH, Channick RN. Endothelin antagonism in pulmonary arterial. Hypertension Semin Respir Crit Care Med. 2005;26(4):402-8 Rich S, MD, Rubin L, Walker AM, at al. Anorexigens and pulmonary hypertension in the United States, CHEST. 2000;117(3):870-4 Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. N Engl J Med 1997;336: 111-17.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENYAKIT JANTUNG DAN OPERAS1 NON JANTUNG Sjaharuddin Harun, Abdul Majid



PENDAHULUAN Tindakan operasi non jantung cukup sering dilakukan pada pasien yang menderita penyakit jantung ataupun pasien dengan risiko penyakit jantung. Komplikasi kardiovaskular dapat terjadi pada perioperatif, yaitu infark miokard non fatal, angina tidak stabil, iskemia miokard, gaga1jantung kongestif (congestive heart failure/CHF), disritmia, kematian mendadak karena jantung dan hipertensi. Pada pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular kejadian tersebut lebih tinggi dibandingkan orang sehat, misalnya insidens penyakit jantung koroner (PJK) meningkat lebih kurang tiga kali lipat dibandingkan orang sehat. Oleh karena itu penilaian risiko kardiovaskular penting dilakukan pada pasien yang menjalani operasi non jantung. Dalam melaksanakan evaluasi kardiologi prabedah perlu diperhatikan jenis penyakit jantung yang diderita pasien, kapasitas fungsional pasien, jenis operasi yang akan dilakukan, dan penyakit penyerta yang dapat memperberat risiko kardiovaskular.



HUBUNGAN PENYAKIT KARDIOVASKULAR DENGANANESTESI DAN PEMBEDAHAN Tindakan pembedahan maupun pascabedah dapat mengakibatkan beban iskemia dan dapat mengancam pasien, baik yang diduga ataupun yang tidak diduga mempunyai penyakit kardiovaskular. Pada pembedahan dapat terjadi perdarahan yang tidak terduga, asidosis, gangguan ventilasi, hiperkapnia, resistensi sistemik menurun, kontraksi dan konduktivitas jantung menurun, aritmia, dan hipotensi (dengan atau tanpa perdarahan). Hal itu akan mengganggu fungsi jantung.



Obat anestesi opiat pada dosis tinggi dihubungkan dengan ventilasi pasca-bedah, penurunan denyut jantung dan tekanan darah (TD). Suksinilkolin menyebabkan takikardia ataupun bradikardia, tetapi lebih sering timbul respons bradikardia (sinus bradikardia berat, ritme nodal dan bahkan asistol). Obat anestesi inhalasi (halotan, enfuran, isofluran) dapat menyebabkan depresi kontraksi miokard, mengurangi a-erload. Obat-obat baru seperti desfluramin dan sevofluran belum terbukti kearnanannyaterhadap sistem kardiovaskular. Anestesi spinallepidural dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardia. Belum ada satu pun teknik maupun obatobat anestesi yang benar-benar dapat melindungi jantung. Oleh karena itu pilihan anestesi dan pemantauan intraoperatif diserahkan pada tim anestesi.



EVALUASI KLlNlS PRABEDAH Dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai atau telah terbukti mempunyai kelainan kardiovaskular, perlu diperhatikan hal-ha1 berikut: Pada Tindakan Bedah Emergensi Pada tindakan bedah emergensi (pada kasus yang dapat menyebabkan kematian bila operasi ditunda), misal: aneurisma aorta robek, perforasi usus, pendarahan yang mengancam jiwa, ileus, dan lain-lain, dan dapat menyebabkan kematian bila operasi ditunda, evaluasi prabedah dilakukan secara cepat untuk menilai tanda-tanda vital kardiovaskular, status hidrasilvolume intravaskular dan EKG. Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan setelah pembedahan. Usaha yang hams dilakukan adalah untuk memperbaiki kondisi pasien semaksimal mungkin.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Pada Tindakan Bedah yang Non Emergensi Evaluasi prabedah hams dilakukan seoptimal mungkin, sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan apakah tindakan bedah dapat dilakukan, ditunda atau dibatalkan. Evaluasi prabedah meliputi: Jenis penyakit kardiovaskular, kapasitas fungsional, faktor yang mempengaruhi kemampuan jantung dan risiko operasi. - Anamnesis lengkap, pemeriksaan fisis, dan EKG (elektrokardiografi). - Pemeriksaan penunjang: laboratorium, foto dada, pemeriksaan noninvasif, dan invasif sesuai indikasi. (lihat 1V) - Tetapkan kapasitas fungsional pasien (dengan anamnesislexercise stress test). - Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan jantung dan risiko operasi, seperti : demam, hematokrit 10 METs Olahraga renang, tenis tunggal, bola kaki, bola basket atau main ski?



Risiko Pembedahan Spesifik Jenis operasi yang akan dilakukan dapat mempengaruhil menambah risiko bagi pasien yang menderita kelainan jantung. Operasi emergensi mempunyai risiko jantung 2-5 kali dibanding operasi elektif. Stratifikasi risiko dari berbagai jenis tindakan bedah non jantung dapat dilihat pada Tabel 4.



-



Tinggi (risiko kardiak > 5%) operasi emergensi, major terutama pada usia tua aorta dan vaskular major lainnya vaskular perifer tindakan bedah yang lama dan terjadi pergeseran cairan danlatau darah hilang yang banyak Sedang (risiko kardiak < 5%)



- carotid end arterectomy - kepala dan leher



-



intra peritoneal dan intratorak



- ortopedi -



-



prostat Rendah (risiko kardiak < 1%) prosedur endoskopi preosedur superficial katarak payudara



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ALGORITME EVALUASI KARDIOVASKULAR PRABEDAH



Algoritma evaluasi kardiovaskular yang akan dibicarakan di bawah ini, diambil dari The AHA/ACC joint task force on Guidelines for Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery 2002. Pada algoritma ini ditekankan pentingnya untuk mengidentifikasi prediktor klinis risiko perioperatif, terutama untuk pasien yang tampaknya mempunyai kelainan koroner yang lanjut ataupun kelainanan jantung lainnya. Tujuannya adalah untuk mengenal pasien dengan kelainan koroner tersembunyi ataupun yang jelas dan melakukan cara untuk mengurangi risiko jantung perioperatif maupun risiko jangka panjang. Dengan demikian pemeriksaanpemeriksaan yang dilakukan benar-benar rasional sehingga dapat menekan biaya. Pada gambar dapat dilihat pasien-pasien mana yang perlu dilakukan pemeriksaan kardiovaskular. Perlu dipertimbangkan berbagai interaksi variabel sehingga diberikan bobot yang sesuai. Algoritme I Langkah 1. Tentukan apakah tindakan bedah non jantung ini sifatnya elektif, urgensi atau emergensi. Pada operasi emergensi tidak dapat dilakukan evaluasi jantung prabedah mengingat waktu yang mendesak. Bagi pasien yang sebelumnya tidak pernah mengalami pemeriksaan kardiovaskular, dilakukan stratifikasi risiko pasca operasi. Langkah 2. Pada operasi elektif, pasien yang telah dilakukan revakularisasi koroner dalam 5 tahun yang lalu dan secara klinis tetap stabil tanpa serangan ulang keluhan maupun tanda iskemia, pemeriksaan lanjut biasanya tidak diperlukan. Langkah 3. Pasien yang telah dilakukan evaluasi koroner 2 tahun terakhir, dan penilaian risiko koroner hasilnya baik, biasanya tidak perlu tes ulang. Pemeriksaan ulang dilakukan bila ada keluhan iskemia koroner yang baru. Bila evaluasi koroner belum pernah dilakukan atau hasilnya buruk, maka evaluasi selanjutnya tergantung kepada prediktor klinis. Algoritma II Langkah 4. Pasien dengan prediktor klinis mayor (CHF dekompensasi, aritmia simtomatik danlatau penyakit katup jantung yang berat) maka biasanya operasi dapat ditunda atau dibatalkan sampai keadaan ini dapat diidentifikasi dan diobati. Bila tidak stabil, maka dapat dipertimbangkan revakularisasi koroner. Langkah 5. Untuk pasien dengan prediktor klinis intermediatedan minor, maka tentukan kapasitas fimgsional pasien. Pemeriksaan noninvasif lanjutan dilakukan dengan melihat kapasitas fimgsional dan risiko bedah spesifik.



Algoritme Ill Langkah 6. Pasien dengan risiko prediktor klinis intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang, kemungkinan terjadinya kematian atau infark miokard adalah kecil bila dilakukan operasi (risiko sedang). Sebaliknya pemeriksaan noninvasif dipertimbangkan pada pasien dengan kapasitas fungsional buruk atau sedang tetapi risiko operasi lebih tinggi dan terutama untuk pasien yang mempunyai dua atau lebih prediktor klinis intermediate. Algoritme IV Langkah 7. Operasi non jantung umupnya aman pada pasien tanpa risiko prediktor klinis mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang (4 METs atau lebih). Pemeriksaan lanjut dipertimbangkan pada pasien dengan kapasitas fimgsional buruk yang akan dilakukan tindakan operasi tinggi, terutama bila didapati beberapa risiko prediktor klinis minor dan pasien yang akan mengalami operasi vaskular. Langkah 8. Hasil pemeriksaan noninvasif akan menentukan penatalaksanaan prabedah selanjutnya. Penatalaksanan antara lain adalah pengobatan intensif atau pertimbangan kateterisasijantung (algoritma I11 dan IV).



PENGOBATAN RlSlKO KARDIOVASKULAR PRABEDAH Penyakit jantung koroner (PJK) Gaga1jantung kongestif (CHF) Aritmia dan gangguan konduksi Penyakit katup jantung Pasien dengan pacu jantung Pencegahantpengobatan tromboemboli vena Pencegahan endokarditis bakterial Hipertensi



RIWAYAT JANTUNG KORONER Menghadapi pasien dengan PJK (dengan diagnosis klinis angina, riwayat infark miokard, atau angiografi koroner positif) sikap yang diambil sebagai berikut: 1. PJK tidak diketahui, status fungsional jantung baik (kelas I atau awal kelas I1- dapat menaiki satu trap anak tangga membawa beban 15 sampai 30 kg tanpa simtom jantung). prosedur diagnosis khusus prabedah tidak dilakukan pengobatan khusus tidak diperlukan 2. Pasien PJK stabil, status fimgsional baik (kelas I atau kelas 11). Prosedur diagnosis khusus prabedah tidak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1857



PENYAKITJANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



I Araoritma I ..



I



Stratfikasl' pasca oper8si dan pengurangan faktor risiko



Bedah urgensilelektif Keluhan atau tanda kambuh kembali



koroner dalam 5 tahun?



Has11bark 8 Angiogram koroner keluhan (-) atau tes stress b terakhir



Mayor



t Intermediate



J



LI



Argoritma II



Predlktor klinisl



I



Predjktor kl~nismayor Prediktor klinis intermediate



3-(



t



3 .



Operas/'non-kardiak ditunda atau dibatalkan



1



I



(Tanap5)



+



+ a



+ Minor



+



Prediktor kllnls (-) I minor



1



Pertimblngan anglografi koroner



Lanjut algor~tma 111



1



Tatalaksana medis dan Pengawasan selanjutnya* modifikasi faktor risiko atas dhsar hasil temuan dan pengobatan



1



Lanjut algor~tma IV



Prediktor kllnls major: - Sindrom koroner kOroner 'Idakstabil - CHF dekompensasi - Aritmia signifikan - Penyakit katup jantung



Gambar 1. Algoriime tahaphn evaluasi kard~olog~ prabedah



dilakukan. Pengobatan kon diteruskan pada masa perioperatif. Rekomendasi: 'EKG hari pertama pascaoperatif dan pada saat keluar dari rumah sakit Teliti apakah terjadi IMA bila ,ada ha1 yang , mencurigakan. 3. Pasien PJK jelas, status fbngsional tidak jelas. Prosedur diagnosis khusus prabedah: monitor iskemia ambulatoar, ekokardiografi, stress echocardiography, exercise thallium testing, dan dypiridamol thulium, Rekomendasi: bila tes negatif: pengobatan konservatif bila tes positif: pengobatan medis agresif. Obat PJK prabedah diberikan, cari faktor risiko non PJK (antara lain usia 70 tahun, DM, CHF, aritmia ventrikular/ atrial yang penting, penyakit vaskular atau tindakan bedah abdomen dan



-



dada), dan pertirnbangan tes non irivasif ulang (bila tes negatif: pengobatan konservatif; bila tes positif: lanjut ke b dan c. Pemantauan intensif perioperatif untuk kontrol tekanan darah dan denyut jantung atau - Angiografi koroner dan revaskularisasi sesuai indikasi. 4. Pasfen IMA + tindakan operasi emergensi. Sikap : - Kerjasama tim dengan ah1i anestesi dan ahli bedah untuk meminimalkan risiko. Hindari hal-ha1 yang dapat meningkatkan kebutuhan 0, maupun masalah ritme jantung. - Monitor hemodinamik secara menyeluruh. Obat anti iskemia diteruskan baik sebelum, sewaktu atau sesudah operasi. - Pemantauan ritrne secara teliti dan segera obati bila ada aritmia. Pasien dengan gangguan sistem konduksi yang dapat berlanjut menjadi blok jantung



-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



komplit dilakukan pemasangan pacu jantung sementara (TPM). 5. Riwayat infark miokard atau gelombang Q patologis, termasuk prediktor intermediate. IMA barn (7 hari dan kurang dari 30 hari), termasuk prediktor mayor dan tindakan bedah ditunda. Pembagian interval infark miokard 3 atau 6 bulan tidak digunakan lagi. Pada IMA bila tes stres tidak menunjukkan risiko miokardium residu, kemungkinan untuk timbulnya reinfark pada pembedahan non jantung adalah rendah. Dianjurkan tindakan pembedahan dilakukan 4-6 minggu pasca IMA. 6. Indikasi revaskularisasi prabedah. Bedah pintas koroner (CABG) Pasien dengan operasi elektif yang mempunyai risiko tinggi dan akan dilakukan tindakan operasi non jantung risiko tinggi dan intermediate, maka CABG dilakukan sebelum tindakan bedah. Indikasi untuk CABG (sesuai rekomendasi ACC/ AHA task force) - left main stenosis dan miokard cukup baik - three vessel CAD dengan disfungsi ventrikel . kiri - two vessel disease termasuk obstruksi berat dari left arterial descending artery proximal - iskemia koroner intractable walaupun pengobatan medis sudah maksimal. Intervensi koroner perkutan (PCI) lndikasi PC1 pada prabedah sesuai dengan guidelines ACCI AHA untuk PCI. Kapan sebaiknya dilakukan tindakan bedah pasca- PCI? - Belum ada ketentuan berapa lama jarak antara pasca-PC1 dengan bedah nonkardiak. - Dianjurkan tindakan bedah ditunda sekurangkurangnya 1 minggu pasca angioplasti balon, untuk memungkinkan penyembuhan luka pembuluh darah. - Pasca pemasangan sten koroner, tindakan bedah ditunda sekurang-kurangnya 2 minggu dan sebaiknya 4-6 minggu agar pengobatan anti trombosit optimal dan terjadi reendotelisasi sten. - Bagi pasien pasca-PC16 bulan sampai 5 tahun dan asimtomatis dan aktif, diharapkan masih mendapat perlindungan terhadap komplikasi iskemia perioperatif, mengingat pasca-PC1 lebih dari 6 bulan jarang terjadi restenosis. 7. Penggunaan obat perioperatif Penyekat beta, antagonis kalsium tidak perlu dihentikan prabedah. Regimen pengobatan yang agresif yaitu penggunaan penyekat beta dan nitrat dapat mengurangi kejadian iskemia pada pasien dengan iskemia perioperatif asimtomatik.ACCIAHA merekomendasikan pengobatan perioperatif dengan penyekat beta sebagai berikut:



Kelas I: penyekat beta digunakan untuk kontrol keluhan angina ataupun pasien dengan aritmia simtomatik dan hipertensi. Kelas 11: pada penilaian prabedah diidentifikasi hipertensi yang tidak diobati, adanya PJK, atau faktor mayor PJK. Berbagai jenis penyekat beta seperti metoprolol, labetalol, atenolol, bermanfaat dalam mengurangi kejadian iskemia perioperatif. Pada satu studi,pemberian atenolol pada 200 pasien dapat mengurangi angka mortalitas dan komplikasi kardiovaskular perioperatif pada pasien dengan PJK ataupun mempunyai risiko untuk PJK (sekurang-kurangnya dua dari lima kriteria: usia > 65 tahun, hipertensi, perokok, serum kolesterol >240 mgldl dan DM) yang dilakukan operasi non jantung.



GAGAL JANTUNG KONGESTIF Pasien gagal jantung yang hams dilakukan operasi non jantung mempunyai prognosis yang buruk. Pasien dengan gagal jantung kongestif yang harus dilakukan operasi emergensi mempunyai risiko tinggi morbiditas dan mortalitas tanpa memandang etiologi gagal jantung. Risiko yang terjadi adalah gagal jantung, edema paru, aritmia dan kematian. Risiko komplikasi meningkat bila NYHA bertambah bumk. Pada CHF NYHA IV, kematian mencapai 70% Gaga1 jantung hams diobati secara adekuat sebelum dilakukan tindakan operasi, sebaiknya setelah kondisi pasien stabil paling sedikit satu minggu sebelum pembedahan dan diupayakan agar jangan terjadi intoksikasi digitalis dan hipokalemia akibat diuretika. Persiapan Prabedah cari penyebab gagal jantung atasi faktor predisposisi yang dapat mencetuskan gagal jantung seperti demam, anemia, gangguan elektrolit, gangguan asam-basa, hipoksia, hiperkarbia, hipovolemia, hipertensi dan aritmia jantung. Penggunaan obat-obatan - diuretik: pemberian diuretik yang agresif dapat menyebabkan hipovolemia dan pengaruh anestesi (general dan spinal) dapat mengakibatkan hipotensi intraoperatif. Dosis diuretik (hrosemid) disesuaikan berdasarkan status klinis dan fungsi ginjal. Diuretik biasanya tidak diberikan pada pagi hari operasi dan penilaian klinis dilakukan pascaoperasi. - Digitalis (digoksin) - Pasien gagal jantung yang telah mendapat digoksin diteruskan pemberiannya. Biasanya digoksin tidak diberikan pada pagi hari operasi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1859



PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI untuk mengurangi risiko toksisitas.



ARlTMlA DAN GANGGUAN KONDUKSI



jantung prabedah, diberikan digitalisasi beberapa hari sebelum operasi. Profilaksis digitalis tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan aritmia pasca operatif. Vasodilator: penggunaan ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor diteruskan sampai pada hari operasi dan selanjutnya. Bila diperlukan dapat diberi nitroprussid i.v., hidralazin i.v.



Aritmia dan gangguan konduksi jantung selalu dijumpai pada masa perioperatif terutama pada pasien usia tua. Adanya aritmia supraventrikular maupun ventrikular hams dicari penyakit yang mendasarinya yaitu penyakit kardiopulmonal, intoksikasi obat, ataupun kelainan metabolik. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik danlataupun aritmia simtomatik diperlukan pemantauan EKG ambulatoar ataupun studi elektrofisiologi jantung dengan penggunaan obat-obat yang munculnya kembali



- Bila digitalis diperlukan pada pasien gaga1



-



Argoritma Ill



Prediktor klinis



1 + (~ahap G)IPledlktw1~rediktorklin + Buruk Kapasitas fungsional



Sedang atau baik



(< 4 METs)



+



(-)



Risiko operasi Pemeriksaan noninvasif



Risiko operasi tinggi



I



+



v



Risiko operasi sedang



Risiko operasi rendah Stratifikasi risiko pascabedahdan mengurangi faktor risiko



Tes no



Pertimbangkan angiografi koroner



Prediktor klinis intermediate: -Angina pektoris ringan -Riwayat infark miokard -CHF kompensasi Pengawasan selanjutnya atas dasar temuan dan hasil pengobatan -DM



1



Argoritma IV



Sedang atau baik



+



(T.hap8)



+



Risiko operasi Risiko operasi tinggi sedang atau rendah



Pemeriksaan noninvasif Tes non-invasif



, Pertimbangkan angiografi koroner Pemeriksaan invasif



1



Pengawasan selanjutnya atas dasar temuan dan hasil pengobatan



Stratifikasi risiko pasca bedah dan mengurangi faktor risiko



Prediktor klinis minor:



- Usia lanjut - EKG abnormal - Ritme selain sinus - Kapasitas fungsional rendah - Riwayat strok - Hipertensi tak terkontrol



Gambar 2. Lanjutan tahapan evaluasi kardiologi prabedah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



aritmia. Pengobatan aritrnia sama dengan pasien yang tidak mengalami operasi non jantung.



Aritmia Supraventri kular Bila simtom (+)/gangguan hemodinamik, dilakukan kardioversi secara elektris atau farmakologis. Bila kardioversi tidak memungkinkan, beri obat oral atau digitalis intravena, penyekat beta, atau penghambat saluran kalsium. Pasien fibrilasi atrial disertai CHF pilihan adalah digitalis atau amiodaron. Bila pasien fibrilasi atrial memakai antikoagulan maka antikoagulan dihentikan beberapa hari sebelum operasi. Bila waktu mendesak dan pasien harusnya tidak memakai antikoagulan, maka efek warfarin dapat diatasi dengan vitamin K parenteral atau plasma beku segar e e s hfiozen plasma). Aritmia Ventrikular ekstrasistol ventrikular, VES kompleks, atau takikardi ventrikular (nonsustained)biasanya tidak memerlukan pengobatan, kecuali bila ditemukan iskemia miokard dan disfungsi ventrikel kin. Takikardia ventrikular simtomatik ataupun menetap harus mendapat terapi prabedah dengan lidokain i.v. atau amiodaron (terutamabila disertai CHF) atau prokainamid. Gangguan Konduksi Pasien dengan intraventricular conduction delay (IVCD) segera EKG dan jika tanpa simtom atau bukti blok jantung lanjut secara elektris, tampaknya tidak berisiko untuk berlanjut menjadi blok jantung yang komplit pada masa perioperatif. Pasien dengan IVCD, blok bifasikular (right bundle branch block dengan left anterior atauposterior hemiblock),atau left bundle branch block, dengan atau tanpa first degree antrioventricular block tidak memerlukan implantasi temporary pace maker bila tidak ada sinkop atau blok atrioventrikular lanjut. Bila timbul blok konduksi derajat tinggi, diatasi dengan pemasangan pacu jantung sementara.



pada masa perioperatif. Pasien regurgitasi aorta sensitif terhadap bradikardia (interval diastolik bertambah dan meningkatkan volume regurgitasi). Pengobatan : perlu pemantauan status volume pasien, obat untuk mengurangi after load seperti: penghambat ACE (ACE inhibitor),penghambat saluran kalsium atau nitrogliserin dan hidralazin.



Stenosis Mitral Pasien dengan stenosis mitral ringan atau sedang : Kontrol denyutjantung selama masa perioperatif karena peningkatan denyut jantung mengakibatkan masa diastol menjadi lebih singkat pada siklus jantung. Hal . ini mengakibatkan timbulnya kongesti pulmonal yang dipresipitasi oleh takikardia (kebalikan dari regurgitasi aorta yang sensitif terhadap bradikardia): Hindari obat yang meningkatkan denyut jantung. Pasien dengan stenosis mitral berat dan operasi non jantung risiko tinggi dilakukan percutaneous ballon mitral valvulotomy, surgical commisurotomy atau penggantian katup mitral. Regurgitasi Mitral Berbagai penyebab regurgitasi mitral (MR) antara lain disfungsi muskulus papilaris, prolaps katup mitral (MVP), penyakit jantung iskemia, penyakit jantung kongenital, endokarditis dan lain-lain. Pasien regurgitasi mitral dapat menyebabkan volume overload dan kongesti pulmonal secara signifikan. Pengobatan: Regurgitasi mitral: untuk mengurangi after load, diberikan diuretika sebelum operasi. Bila perlu pasien dirawat di unit intensif (ICU) untuk pemantauan tekanan arteri pulmonalis dengan menggunakan kateter. Pasien dengan katup prostesis, diperlukan profilaksis antibiotika (lihat lampiran 3) dan penyesuaian terapi antikoagulan. PASIEN DENGAN PACU JANTUNG



PENYAKIT KATUP JANTUNG Stenosis Aorta Stenosisaorta berat mempunyai risiko sangat tinggi sehingga tindakan bedah efektif haruslah ditunda atau dibatalkan. Pengobatan dilakukan dengan penggantian katup aorta atau percutaneous ballon aortic valvuloplasty. Regurgitasi Aorta Pasien-pasien dengan regurgitasi aorta signifikan mempunyai kecenderungan terjadi volume overload



Pacu Jantung Permanen Hal-ha1 yang perlu dievaluasi, yaitu: Pada prabedah diteliti apakah alat pacu berfungsi dengan baik. Bila pada pembedahan digunakan alat kauter elektris, alat kauter diletakkan sejauh mungkin dari alat pacu (untuk mengurangi gangguan elektromagnetik).Hams tersedia magnit di karnar bedah untuk merubah alat pacu dari demand menjadifuced rate. Kauterisasi juga dapat mengganggu monitor EKG Sebaiknya kauterisasi tidak dilakukan secara kontinu.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENYAKITJANTUNC DAN OPERAS1 NON JANTUNC



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pacu Jantung Sementara Indikasi pemasangan pacu jantung temporer profilaksis prabedah: Bradikardia simtomatik pada kondisi berikut : sick sinus syndrome, fibrilasi atau fluter atrial dengan blok AV derajat tinggi, dan blok AV total. Takikardia simtomatik: takikardiaventrikular intermiten dan fibrilasi ventrikular intermiten. Malfungsi pacu jantung permanen Sinkop sinus karotis



PENCEGAHAN TROMBOEMBOLI Tindakan operasi dapat merupakan predisposisi timbulnya deep vein thrombosis (DVT) pada ekstremitas bawah dan emboli paru (PE) sekunder. Dari berbagai hasil penelitian di Eropa dan USA, dilaporkan bahwa insiden DVT berkisar 7-25% pada pasien usia di atas 40 tahun yang dilakukan operasi abdomen mayor. Pencegahan DVT sesudah operasi dapat mengurangi angka kejadian sebesar 1946%. Prabedah direncanakan pada pasien-pasien yang kemungkinan dapat terjadi risiko tromboemboli pasca bedah, antara lain imobilitas lama, usia tua, paralisis, riwayat tromboemboli vena, proses keganasan, operasi mayor (terutama abdomen, pelvis, ekstremitas bawah), obesitas, vena varikosa, CHF, infark miokard, strok, fraktur pelvis, pinggul atau kaki, gangguan koagulasi dan penggunaan dosis tinggi estrogen. Pencegahan DVT didukung antara lain dengan kompresi stoking elastis, heparin subkutan dosis rendah, kompresi pneumatik intermiten, dan heparin berat molekul rendah.



PENCEGAHANENDOKARDlTlS INFEKTIF Pasien dengan kelainan katup ataupun katup jantung buatan perlu diberikan profilaksis antibiotika bila dilakukan tindakan operasi. Antibiotika yang dianjurkan: Standar:Amoksisilin 2,O gr oral 1jam sebelum tindakan Bila oral tidak bisa :Ampisilin 2,O gr IM atau IV Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg oral 1 jam sebelum tindakan. Sepaleksin atau sefadroksil atau 2,O gr oral 1 jam sebelum tindakan. Azitromisin atau klaritromisin 500 mg oral 1jam sebelum tindakan. Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg IV 30 menit sebelum tindakan dan tidak bisa oral : Sefazolin 1,O gr IM 30 menit sebelum tindakan



Hipertensi (HT) tanpa disertai penyakit koroner atau disfungsi miokard yang nyata, tidak menambah risiko kardiovaskular yang berarti pada bedah non jantung. Demikian juga HT tanpa komplikasi, walaupun disertai hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dapat mentolerir pembedahan tanpa meningkatkan mortalitas yang nyata bila tidak ada tanda-tanda PJK, CHF dan bila fungsi ginjal normal. Namun di sisi lain dilaporkan bahwa adanya riwayat hipertensi prabedah dapat meningkatkan mortalitas perioperatif dan pemberian obat anti HT dapat mengurangi risiko. Pasien hipertensi pada prabedah cenderung mempunyai fluktuasi tekanan darah yang signifikan pada intraoperatif dan mengalami iskemia miokard. Hal-ha1yang perlu diperhatikanpada pasien dengan riwayat hipertensi: Tindakan bedah tidak perli ditunda atau dibatalkan pada pasien dengan hipertensi ringan atau sedang tanpa komplikasi. Obat anti hipertensi yang digunakan pasien sebelumnya dapat diteruskan pada perioperatif. Tekanan darah dipertahankan mendekati nilai tekanan darah prabedah untuk mengurangi risiko iskemia miokard. Bedah elektifpada hipertensi berat (tekanan darah >I801 1 10): kontrol tekanan darah sebelum pembedahan (efektivitas regimen pengobatan dapat dicapai dalam beberapa hari s/d beberapa minggu). Bedah urgensi pada hipertensi berat: obati dengan anti hipertensi kerja cepat (dalam beberapa menit sampai beberapa jam, misalnya penyekat beta intravena. Perhatian khusus untuk pasien hipertensi dengan tindakan bedah vaskular karena pada keadaan ini selalu terjadi hipertensi pasca operasi. Hindari penghentian obat penyekat beta dan klonidin secara tiba-tiba (karena reboundphenomena). Pengobatan : pada umumnya sama dengan hipertensi pada nonbedah; pilihan pertama lebih diutamakan penyekat beta kardioselektif.



Risiko jantung perioperatif pada pasien jantung yang mengalami operasi nonjantung berhubungan dengan kelainan jantung, kapasitas fungsional pasien, penyakit penyerta, jenis operasi dan jenis anestesi. Dalam upaya mengurangi risiko jantung perioperatif ini diperlukan evaluasi yang tepat oleh dokter klinisi (spesialis penyakit dalamljantung)untuk menetapkan jenis kelainan jantung, kapasitas fungsional, prevensi dan pengobatan yang diperlukan prabedah. Informasi yang diberikan oleh dokter klinisi dapat digunakanldiperlukan oleh spesialis anestesi dan spesialis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Lampiran 1



Faktor Risiko Goldman dkk Usia > 70 tahun IMA dalam 6 bulan terakhir Gallop S3 atau distensi vena jugular Stenosis aorta lrama selain sinus atau kompleks atriol prematur pada EKG terakhir praoperatif Kompleks ventrikel prematur 5lmenit ditemukan pada setiap saat sebelum operasi PO2 < 60 atau Pa02 > 50 mmHg; K' < 3 atau HC03< 20 mEqlL; BUN > 50 atau CR > 3 mgldl; AST abnormal, tanda penyakit hati kronis, -atauOperasi intraperitoneal, intra toraks, atau aorta. Operasi darurat Detsky dkk IMA dalam 6 bulan terakhir Ima > 6 bulan Angina Canadian Cardiovaskular Society Klas Ill Klas IV Angina tidak stabil dalam 6 bulan terakhir Edema paru alveolar dalam 1 minggu Ever Dicurigai stenosis aorta kritis lrama selain sinus atau sinus dengan kompleks atrial premature pada EKG terakhir praoperatif Kompleks ventrikel premature pada saat sebelum operasi Status medis umum buruk Usia > 70 tahun Operasi darurat Larsen dkk Gagal jantung kongestif Kongesti paru persisten Riwayat edema paw Riwayat gagal jantung Penyakit jaritung iskemi IMA dala 3 bulan terakhir lnfark lama atau angina pektoris Diabetes melitus Kreatinin serum > 1,6 mg/dL Operasi darurat Prosedur bedah mayor Operasi aorta Operasi intraperitoneal atau intraleura lain



Poin 5 10 11 3 7 7



10 5



lnterorestasi Klas I : 0-5 poin = risiko rendah Klas 11 :6-12 poin = risiko sedang Klas Ill : 13-25 poin Risiko tinggi Klas lV : > 26 poin



< 15 poin = risiko rendah > 15 poin = risiko tinggi



5 5 10 12 8 4 11



< 15 poin = risiko rendah 5-8 poin = risiko sedang > 8 poin = risiko tinggi



Key : AST = aspartate aminotransferase; BUN = blood urea nitrogen; Cr = creatinine; ECG = electrocardioaram: - . K' = ootassium: MI = mvocardial infarction: PAC = premature atrial contracion; PVC = premahre ventricular contraction



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1863



PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bedah dalam melaksanakan tindakan operasi. Kerjasarna yang harmonis dan professional antara spesialis klinis dengan spesialis anestesi serta spesialis bedah sangat diperlukan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.



REFERENSI ACCIAHA Task Force On Practice Guidelines: Guidelines for perioperative cardiovaskular evaluation for non cardiac surgery. Circulation, 2002; 105: 1257. ACCIAHA task force report: guidelines for coronary angiography. Circulation 1999; 99: 2345-57. ACCIAHA task force report: guidelines for the clinical application of echocardiography, 2003. ACCIAHA task force report: guidelines for implantation of cardiac pacemakers and antianythmia devices. JACC 1991; 181: 1- 13. AHA Scientific statement: Prevention of bakterial endocarditis, recommendations by the American Heart Association, Circulation 1997; 96: 358-66. Bartels C, Bechtel M, Hossmann V, Horsch S: Cardiac ris stratification for high risk vaskular surgery. Circulation, 1997; 95: 247375. Clagett GP, Anderson FA, Levine MN, et al: Prevention of venous thromboembolism. Chest 1992; 102: 4, 391s-402s. Eagle KA, Rihal CS, Michel MC, et al: Cardiac risk of non cardiac surgery influence of coronary disease and type of surgery in 3368 operations. Circulation, 1997; 96: 1882-7. Falcone RA, Ziegelstein RC: Cardiovaskular disease and hypertension in: Richards JG, Gregory MC Eds Kammerer and Gross'



Medical Consultation. The internist on surgical, Obstetric and Psychiatric Services 31d ed. Williams & Wilkins, 1998; 149-70. Foxwell M, Meyerson M: Cardiovascular assessment and management. In: Wolfsthal'S a Lange Clinical Manual's Medical Perioperative Management 89/90, 1989: 84-90. Froehlich JB, Karavite D, Erdmm N, et al: Implementation of ACCI AHA guidelines for preoperative cardiac risk assessment before aortic surgery: Implications for resource utilization. J Am Coll Cardiol, 1997; 29: 392 (abstract). Goldman L: General anesthesia and non-cardiac surgery in patients with heart disease in Braunwald's Heart Disease. A textbook of cardiovaskular medicine, 71h ed, 2005; 2021-2038. Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. The sixth report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of high blood pressure (JNC VI). Arch Intern Med 1997; 157. Kaplan NM: Clinical Hypertension, 81h edition, 2002; 317. Magallanes M: Cardiac concerns. In : Perioperative pocket manual 2005, 31d edition. Mangano DT, Layug EL, Wallace A, Tareo I: Effects of atenolol on mortality and cardiovaskular morbidity after non-cardiac surgery. The multicenter study of perioperatif ischemic research group. N Engl J Med 1996; 335: 1713-20. Mangano DT: Perioperative cardiac morbidity. Anestesiology, 1990; 72: 153-84. Palda AV, Detsky AS: Clinical guidelines part 11, perioperative assessment and management of risk from coronary artery disease. Ann Intern Med, 1997; 127: 3 13-28. Smith WT, Kelly RA, Stevenson, Braunwald E: Management of heart failure in Braunwald's heart disease. A Teaxtbook of Cardiovascular Medicine, 7Ih edition, 2005.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



a salt and pepper appearance 2686 a l -antitrypsin, 545 A l c 1891 AA (sekunder atau amiloidosis reaktif) 975 Abciximab 1731, 1761. 1768 Abdomen 583 Aberasi



kromosotn 151. 152 tnosaik kromosom 153 Ablasi 1650 iodium radioaktif 13 1-1 2034 Ablasio retina 41 Abnormalitas Ileum 1 146 Abrasi 922 Abruptio plasenta 1 100 Abses



kripti, 594 paru 499, 2230, 2235, 2256, 2323 perineliik 1013 peritonsil 45 retrofaring 45 subfrenik, 500 submandibula 45 Absorpsi 776 kalsium fraksional 183 Acanthosis nigricans 2040 Accelerated idioventricular rhythm 1609 Accessory cholera exotoxin 2845 ACE inhibitor 540, 900, 901, 1087, 1583, 1684 Acetylcholine 460 Acid brake. 506 Acoustic windows 1555 Acquired irnrnunodefiency syndrome (AIDS). 549,2858 ACTH 2039 Actin 2375 Activator protein 269, 2750 Activities of daily living 921, 927 Acute



confusional state 907 fatty liver of pregnancy 702 injury lung. 234 mental status change 907 respirator) distress syndrome (AKDS) 2205, 2792 Acyanotic fallot 1788 Acylation stimulating protein (ASP) 1976 ADA 1880. 1883 Adalimumab 2762 Adam stokes attack 905 Addison 1902 Adenokarsinoma 576. 578 esofigus, 500 Adenoma 557, 573 adrenal 2066 fhlikuler 2023



heterotropik, 576 hiperplastik, 576 tffbular, 557, 573 villosa, 557 papiloma, 2254 Adenomektomi 2042 Adenosin deaminase activity 728 Adenosinetriphosphate (ATP) 19 17 Adenosquamous carcinoma. 2254 ADH 962 Adhesi 579 Adhesin 502, 524 Adiksi 2746 ADL 907. 910, 932 Admimy 155 Adrenarche 94, 2070 ' prematur 97 Adrenergik 776 Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) 1 IS, 2749 Adrenopause 2078 Adson test 2700 Adult



protective service 922 respiratory dystress syndrome 608, 1773 Advanced



gastric cancer 577 glycation end-products 979 glycosylation end products (AGES) 1938, 1939 Adverse drug reaction 776 Aferesis 1205 terapeutik 1206 AFP dan p-HCG 2252 Agamaglobulinemia 2297 Age related metabolic adaptation 1971 Agen 885 biologik 276 1 sekresi tubulus 943 AGES 2036 Aging 758 Agitasi 842 Agranulositosis 520 Agregasi



neuron, 205 platelet 1729 trombosit 1892 AHA tipe hangat 1 178 Ahli



farmasi, 769 gizi, 769 Air kemih 1027 Air-fl uid level. 499 Airway 253, 896 Akalasia



primer, 488



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUKAlzheimer dr. PRIYO PANJI 837



sekunder, 489 Akinesia 853 Akondroplasia 150, 2729 Akromegali 1796, 2040, 2348, 2687, 2701 Akromia kongenital 34 Akroosteolisis 2620, 2708, 2727 Akrosefali 36 Akrosefalosindaktili 36 Akrosenris 148 Aktivasi komplemen jalur alternatif. 1 152 komplemen jalur klasik 1 152 selular 1 152 sistem komplemen 1 152 trombosit 1741 Aktivitas jasmani I880 hidup sehari-hari (AHS) 780 kontrol elcktrik 461 Aktin 2374, 2375 Aktinomisetes (aktinomikosis. nokardiosis) 2267 Aktivator 896 Akupunktur Akut dan subakut 1702 Alarm symptom. 526 Albendazol 2953 Albert calmette 223 1 Albinisme 150 Albright's hereditary osteodystrophy 2692 Albumin 776, 1196 Aldolase 2630 reductase inhibitor 1950 Aldosteron 193. 2053 renin ratio=ARR 1094 Aldosteronisme, 2062 primer 1777 Alendronat 2683 Alergi 777 Alfa fetoprotein 1426 ALG 1075 Aliran plasma ginial 904 Alkali 493 Alkaline fosfatase 2681 spesifik tulang 268 1 Alkaloid vinka 1172 Alkalosis metabolik, 195 Alkohol 1892, 1908 Alkoholisme 2324 kronik 2066 Allergan humphrey 2041 Allergic bronchopulmonar) aspergillosis (ABPA) 2269, 2290 Aloantibodi 1 199 Alodinia 51 Aloimunisasi 1199 Alopesia areata 37 totalis 37 universalis 37 Alop~~rinol2559 Alpha Lipoic Acid 1950 subunit glycoprotein 2041 -I antitrypsin 2339 ALS 1075 Alteplase 1769 Altered mental status 907 Alternating da) therap) 2752 Alveolitis 2288



Ambeien 587 Ambulasi 814 Ambulatory Blood PressureMonitoring-ABPM Amebiasis 621 American rheumatisms association 983 AMES 2035 Amforik 63 Amilase 2330 Amilin 1938 A~nilnitrat 2746 Amiloidosis 2302, 2696, 2701 Aminoasciduria 2694 Aminofusin 495 Aminoglikosida 2902 Aminoglutetimid 2067 Aminoglycosida-modifying enzyme 2902 Aminoguanidin 1950 Aminosteril 495 Amiodaron 911, 1607, 1608, 1801, 2019 Induced Thyrotoxicosis (AIT) 2008 Amiparen 495 Amitriptilin 91 1 , 2746 Amoebiasis 594 Ampisilin 2860 Amplatzer septa1 occluder 1783 AMS 2081 Amuba 2325 ANA 2361 Anafilaksis 257 Anakinra 2763 Analgesia 51 Analgetik 524 Analisis semen 2277 gas darah 887, 909 kromosom 158 -meta 900 Analog somatostatin 2042 Anamnesis 44 1 Anaphase lag 144 Anatomi 884 ANCA 1005 Ancylostoma duodenale. 625 Androgen adrenal 2053 Andropause 124 Anemia 520, 1109, 1138, 1177, 2236 aplastik 1 1 16 aplastik herediter 1125 besi detisiensi, 499. 526, 1 127. 1 178 hemolisis didapat 1157 hemolisis herediter 1 157 hemolisis non imun 1 157 hemolisisis imun 1 157 hemolitik aloimun 1156 hemolitik autoimun 1152, 1178 hemolitik autoimun tipe hangat 1154 hemolitik imun diinduksi obat 1155 hemolitik imun tipe dingin 1155 megaloblastik yang refrakter 1148 pada penyakit kronik 1178 pernisiosa, 577 sel sabit 1 178 sel spur 1 164 Anestesi 1853 inhalasi 1853 spinallepidural 1853 dolorosa, 51



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1081



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Aneuploidi Instabilitas mikrosatelit 568 Aneurisms 893 aorta, 905, 914 sirkulus dari Willisi 1786 Angelman syndrome 154 Angina Ludovici 45 pektoris 904, 1735, 1940 angina pektoris tak stabil 1757, 1940 plaut vincent 44 Printzmetal 1729 tak stabil 1728 Angiodisplasia 454 Angiografi 1569, 1689 radionuklir 1565 terapeutik, 456 Perkutan 1092 Angiotensin converting enzyme 1087 converting enzyme inhibitors 972 1 1087 11 193, 1087 receptor blocker 979, 1087, 1585, 1945 Angka disabilitas, 897 Angka kematian 897, 2230 Anion gap 1919 Ankilosing spondilitis 2358, 2722 Ankle brachial index, 1964 Anomali Ebstein 1779 Anonikia 52 Anoreksia 498 Nervosa 99 Anorektoskop 587 Anoskopi 588 Ansietas 27 11 depresi 271 1 An tagonis aldosteron 949 GP IlbIlIla 1761 interleukin-1 2763 kalsium 900, 896, 901, 1730 antagonis reseptor H2lARH2 484, 519 Antalgik, 2447 Antasida 484, 519, 527, 2693 Anterior mediastinotomi, servikal mediastinoskopi, 2253 Scalene Syndrome 27 19 Anti aritmia., 905 depresan trisiklik 2746 DNA-histone-complex 2622 Dotum, 292 hipertensi, 905 inflamasi, 524 kolinergik, 905 konvulsi, 905 LAM 2236 mikroba, 887 Parkinson, 905 piretik, 524 PM-Scl 2622 rheumatoid drugs 2753 RNA polimerase 1 2622 SCI-70 2622 , topoisomerase 1 2622 Ul-RNP 2622 CD20 (rituksimab) 2763, 2765 D intravena 1 172



\



double-stranded DNA 984 GBM antibody disease 998 1L-l (anakinra) 2765 La (SS-B) 25 14 RO (SS-A) 2514 TNFa (etanercept, infliksimab dan adalimumab) 2765 TPO antibodi 2018 aggregasi trombosit 896, 1361 biotika 2896 depresi 848, 896, 905 gen 885 hipertensi 902 inflammatory 263 koagulan 896, 897, 1359, 1722, 1800 koagulan antitrombolitik 1434 . kolinergik 225, 585, 909, 911, 914 neutrophilic cytoplasmic anti bodies 2622 nuclear antibodies 2622 septik lemah, 589 spasmodik 585 tiroglobulin antibodi 2018 trombin 111 1360 trombosit antibodi 1366 trombotik 524, 1750, 1767 Antibodi 885 anti-kolagen 2622 antifosfolipid 1181, 1345 antimitokondrial 2622 antisentromer. 2622 humoral 2237 monoklonal OKT3 1073 selular 2237 anti trombosit 1168 Antraks 2966 Antrasiklin 2998 Antrum predominant gastritis 524 Anxietas 909 Aorta. 2053 Aortic click 68 knob 1787 root 1542 Aortitis 1814 Apathetic hyperthyroidism 1795 Apatite like crystal 2561 Apendisitis 604, 1908 Apnea 2347 hipopneu index, 806 Apo A, Apo B, Apo C, 1984 Apopleksi hipofisis 2040 Apoprotein C-I1 1975 Apoptosis 852, 1415, 2419 pada artritis reumatoid 2418 pada sle 2420, 2421 Apparatus jukstaglomerular 2056 AR 2354, 2365, 2366, 2367, 2368 Araknodaktili 2725 ARB 900 Ardiopulmonary bypass, 609 ARDS 236, 2204 Area katup mitral 1672 Argatroban dan Melagatran 1768 Arge-volume paracentesis (LVP) 747 Arginin vasopresin 2049 Ariboflavinosis 43 Aritmia 211, 1618, 1914 Atrial. 1603 AV jungsional 1603 ~



~



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Aset sosial, 769



supra ventrikular (SV) 1604, 1618 ventrikel 1623 ventrikular 161 8 Arteri phrenicus inferior 2053 renalis 1090, 2053 pulmonari 2249 Arteriografi 545, 1964 Arterioloklerosis Mockenberg 2727 Artralgia 2647 Artritis 593, 905, 1665, 2353, 2356, 2366, 2367, 2517 rematoid juvenile 2519 bakterialis 2639 baru 2367 gonoroika (disseminated gonococcal invent) 2640 gout akut 2558 gout 2354 idiopatik juvenil 2519 pirai (gout) 2556 psoriatik 2647, 2722 artritis reumatoid 23 15, 2440, 2354, 2333, 2355, 2365, 2709, 2710, 2719, 2741, 2764 septik akut 2639 sistemik 2521 terinfeksi., 886 tuberkulosis 2642, 2644 Artro-oftalmopati 2726 Artrokalasia 2727 Artropati kristal 2561 Arus puncak ekspirasi (APE) 2292 AS 2519 Asam 493 amino 198, 1896, 1902 asetat, 493 asetil salisilat 524 asetoasetat (AcAc) 1907 basal, 515 deoksiribonuleat 144 etakrinat 2686 fibrat, 1987 nikotinik 1987 folat 1142 folinat 2758 HCL, 493 hialuronat 2547 homovanilik 2253 laktat 1917 lambung, 523 lemak bebas 1907 lemak omega 3 1892, 1989 lemak tidak jenuh 1892 nalidiksik 2860 Nikotinik 1988 nukleat 144 para amino salisilik (PAS) 2231 ribo-nukleat 144 salisilat 2737 salisilat amino, 596 sitrat, 493 urat 1026, 2354, 2361 Asap 2287 rokok. 2294 Asbes 2287 Asbestos 2255, 2282 Ascaris lumbricoides, 622, 625 Ascenden 2926 ASD 1563 Aseptic necrosis 2696



Asetilkolin 840, 909, 2747 Aseton 1908 Asian esophageal cancer belt 498 Asidosis hiperglikemia dan ketosis 1906 laktat 1920 metabolik, 194, 906 tubular renal 2677, 2678 Asites 705, 2331 Asma 906, 2279 Aspergillus 2233 fumigatus 2267 Aspergiloma 2270 Aspergilosis 2269 Aspirasi 2207, 2323 Aspirin 1362, 1730, 1738, 1760, 1769, 2737 Assisted-Controlled, Volume Ventilation 169 Assisted-ventilation controlled mode 168 Asthmatic pulmonary eosinophilia 2298 Astigmatisme; 40 ASTO 1665 Astrogliosis 901 Asuhan paliatif, 91 6 Asupan yang Tak Memadai 1147 Asymmetric sensorineural hearing loss 829 asynchronous 1642 AT I11 1371 Atabrin 2953 Ataksia 905 Ataktiklserebelar 2447 Atelektasis 2235 Aterosklerosis 518, 892, 899, 906, 1790, 1792, 2355 Atetosis 50 ATG 1075 ATP 1896, 1907, 1920, 2633 Atresia pulmonal 1694, 1788 Atrial flutter paroxysmal 1639 natriuretic peptide 2059 septa1 defect 1610 Atrioventricular 1788 concordance 1788 Atrofi otot, 860 Attaque cerebrale, 892 Automatisasi 1645 Auranofin 2758 Auro sodium Tiomalat 2757 Auskultasi 2235 Autoantibodi 25 14 Autoimune expcrinopathy 25 14 Autoimunitas 1883 Automated axternal defibrillator 229 Autonomously Functioning Thyroid Nodule 2023 Autoregulasi 895, 901 Autosom dominan 150 2725 Autosom resesif 150, 2727 AV Nodal Reentry Tachycardia 1618 Ayunan postural, 81 3 Azatioprin 1074, 2584, 2631, 2756, 2758 Azitromisin 2265 Azoospermia 2274



B-IIIulceratif 5 17 B-IIIIinfiltratif, 5 17 B-IV plastikallinitis 5 17



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Babesiosis 1164 Bachman's bundle 1630 Bacillus 2966 anthracis 2966 Calmette Guerin 223 1 Bacterial overgrowth, 540, 545, 593 Bacteriophage 2902 Bagassosis 2288, 229 1 BAJAH 2024 Bakteriostatik 2240 Bakterisid 2240 BAL (broncho alveolar lavage) 2236 Balismus 50 ballotement 71, 74 Balon mitral valvuloplasty 1676 pneumatik, 495 sign 2448 Bangsal geriatri akut 783 kronis 784 Barbiturat 5 19 Bare metal stent 1574 Barium enema kontras ganda 544 follow through 544 meal kontras ganda 517 Barognosia 52 Barorefleks 902 Barotrauma 2340 Barret's esophagus (gastritis esofa Bartonellosis 1 164 Basal heart rate 906, 1790 metabolit, 904 Basaloid carcinoma, Lymphoe-pithelioma-like carcin 2254 Basic calcium phosphate 2561, 2564 Basil tahan asam (BTA) 2263 Hoffman 2956 Basiluria asimtomatik 1012 Batang otak, 894 Batas jantung atas 67 kanan 66 kiri 66 Batu kalsium oksalat 1026 saluran kemih 1025 urat 2550 Batuk 2251, 2299 berdarah 2337 kronik dan berdahak 2267 Darah 2234 r Bell's palsy 37 Bence Jones 960 Benda keton 1907, 1908, 1909 Bendungan Splenomegali 1 183 Benign Prostate Hypertrophy 905 recurrent cholestasis of pregnancy 703 Benzalkonium klorida, 493 Benzodiazepin 91 1 Berat jenis plasma 2847 Bercak koplik 43 Berg balance scale 821 Berkas His 1524, 1602 Berkontraksi 2376



Bermusuhan 929 Bersihan total 136 Berylliosis 2284 Bestialisme 121 B (Beta) amiloid. 838, 2632 endorphin 2059 glucuronidase 721 2 glikoprotein 1 2582 2-Microglobulin 1427 blockers, 102, 540, 1087 adrenergik 225 biakan 2236 sputum 2237 Bidang empat ruang ('apical four chamber') Bifosfonat 2727 Biguanid 1920 Bilasan lambung 2236 Bile acid breath 545 acid pool 540 acid sequestran, 1987 Bilharziasis 2986 Bilier 2677 Bio-psiko-sosial 769 -spiritual 778 Bio-transformasi 776 Bioavailab~litas 135 Biofeedback 871 Biokimiawi 2681 Biologik 769 limfoproliferatif 1245 Biomarker 1744 Biopsi aspirasi 1408 aspirasi jarum halus 752 eksisi 1408 ginjal 943 hati perkutan 751 insisi 1408 mukosa kolon 584 pleura 2331 truncut 1408 tularlg 2681 biopsy urease test (BUT ) 505 Bioptom 1713 Stanford 17 13 Bisfosfonat 2361, 2682 Bising austin flint 1690 jantung 68 sistolik tipe ejeksi 1780 Bitionol 2953 Bitot 39 Black Cohosh 2080 Black snakeroot 2080 Black-liver jaundice, 7 15 Bladder training, 871 tumor antigen 1427 bleb 2345, 2346 blefaritis 39 Blok AV 1609 AV derajat l 1549 AV derajat 2 1549, 1639 AV derajat 3 1549, 1639 AV tingkat 1 1609



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1556



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



AV tingkat ll 1609 AV tingkat Ill 1609 bifasikular 1639 jantung 1609 Sinoatrial 1605 unidirektional 1619 Body mass index (BMI) 1977 Bone age 2044 density 2079 Scanning. 2258 turnover 2035 Bormann 577 Borrela bugdorferi 2645 Boutonniere 245 1 Bovis M. 2232 Bowing legs, 2693 BPH 2080 Brachytherapy 1573 Bracing 2725 Bradikardia 1630 relatif 32 Bradikinesia 85 1 Bradikinin 2737 Brahyolmia 2731 Brain Natriuretic Peptide 1585 Brakidaktili 2692 Brakisefalus 36 Brakiterapi 1575 Breathing 896 Bridging therapy. 2752 Bromokriptin 2042 Bromsulphthalein 715 Bronchial washing 2236 Bronchiolitis obliterans 23 16 obliterans organizing pnemunia 2792 obliterans syndrome 23 16 obliterans with organizing pneumonia 2316 Bronchoalveolar Lavage (BAL) 2277 Bronkial 63 Bronkiektasis 2274, 2297, 2324 Bronkiolektasis 2274 Bronkiolitis 2288, 2289 obliterans 2315 Bronkitis kronik 2323 Bronkodilator 224, 2277 Bronkografi 2235 Bronkolitiasis 2300 Bronkopneumonia 897 Bronkoskopi 499, 2236, 2325, 2332, 2258 Bronkospasme 2691 Bronkovesikular 63 Brucella abortus 2970 melitensis 2970 suis 2970 Bmselosis 2970 Brushing 517 Buffalo hump 2063 Bulge sign 2448 Bulimia Nervosa 99 Bulla 35, 2323, 2345, 2346 Bullektomi. 2345 BUN 1056 Bundle branch block 1603, 1610 Bunyi Jantung Tambahan 67 Bursitis 2354, 2358, 2698



anserina 2702 llliopsoas (Illiopectinial) ischial 2702 olekranon 2700 Prepatelar (Housemaid's Trokanterik 2701 Busi Hurst, 495 karet air raksa (merkuri) Maloney, 495 Butterfly rash 37 Button hole 1672 By pass gastric (Roux-en Y) Byssinosis 2288, 2290



2702



knee) 2702



495



1981



C-20 Hidrosilase 2069 C-21 Hidroksilase 2069 C-3b-dehidrogenase 2069 C-reactive protein, 593, 1915 Ca 125, 777 prostat, 905 Cacing dewasa 2989 hati (liver fluke) 2943 Cadmium 2708 cag pathogenicity island 503 Cairan intraselular, 199 serebro spinal 2927 tubuh, 904 Calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP) 1948 Calcium Channel Blocker 1087 pyrophosphate dehidrogenase crystal 2561 Calicivims 510 CAM 911 Camille Guerin 2231 Campuran 908 Campylobacter 5 16, 621 Campylobacter jejuni, 543 Canadian cardiovascular society 1735 Cancer Antigen 125 1426, 1427, 1428 Candida albicans 2267 Canicola L. 2808 Capture 1654 beat 1625 Carbidopa 856 Carbonate subtituted apatite 2561 Carbonated dressing, alginate dressing 1964 Carbonic anhydrase inhibitor 949 Carcino embryonic antigen 1426 Carcinoid tumor 2254 Carcinoma medullere thyroid. 1994 Carcinomas of salicary gland type 2254 Cardiac cardiac arrest 1635 cardiac output 747, 1569, 1681, 1682 resynchronization therapy 1660 skeleton 1644 stimulator 1646 Cardiovascular Function, 896 Carter-Robbins test 2050 Catastrophic APS 261 3 CAVH 1059 CD 55 1175 CD 59 1175 CD4+ 2264



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-7



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI CEA 741, 2259 Cedera Paru Akut 1186 Cell surface marker 2763 T growth factor, IL-2 2058 mediated 1883 mediated immunity 969 Central and bilateral lateral node dissection. 2034 sleep apnea 805, 2347 Venous presiure 553 Cereal bran, 604 Cerebro vascular accident 905 Cervical collar 2718 syndrome 27 15 Chagas 1716 Chain of Survival 228 Charcot 893 Charcot-like arthropathy 275 1 Chemoprevention 2262 Cheyne Stokes 33, 60 CHF 905 Chinese liver fluke 2945 Chlamydia trachomatis 1012 Chlorpromazin 909 Cholera sec 2848 Cholestasis of pregnancy 702 Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) 1980, 1986 Chondrocalcinosis 2561 Chondroprotective agent 2538, 2547 Chorea 1665, 1671 Chorio Carcinoma (80%) 2260 Chorionic somato mammotrophic hormone 92 Chromatography, thin-layer urine 546 Chronic overuse syndrome 2706 Chronological age 2044 Churg-Strauss syndrome 1004 Cincin Kayser-Fleischer 39 Circulating immune complex 969, 2648 Cisapride 484 Citalopram 2747 CKMB 1713 Claudicatio intermitten. 2542 Clicking. 2449 Cloncking 2449 Clonorchiasis 2943, 2945 Clonorchis sinensis 2943, 2945 Clostridium diff~cile, 552, 565 Coal Workers' Pneumoconiosis, Black Lung 2283 Coarse facial features 2040 Coats disease 2636 Coherence 205 Colchicine 540 Cold nodule 2024 Colin McLeod 141 Collecting duct 2052 Colon in loop 476 Colony forming units 1008 Color flow doppler imaging 1558, 1683 Committee on rheumatic fever 1663 Community based geriatric service 782 based gerontologic 93 1 physician, 917 Comparative genomic hybridization (CGH) 159 Complete halo 2025 Complete heart block 1609



Compliance 906, 2281 Comprehension 205 Comprehensive geriatric assessment 769, 909 Computed Tomography Scanning (CT Scan) 830, 2281, 2235, 2927 Con-joint care, 782 Confusion 842, 905 assessment methode 908 Confusional state, 205 Congenital heart block 2583 Congestive Heart Failure 906 Conjugatif transposons 2903 Conjugation 2902 Continous ambulatory peritoneal dialysis 1055 Continuous wave dopler 1558 Continuum of care 772 Contour jantung 67 Contraction 195 Contraction-band 1812 Contrast-enhanced MRI 17 14 Control points 2712 Copper sulfate, 493 Coproporphyrin 716 Core set 2366 Coronary artery bypass grafts (CABG) 102 flow reserve (CFR) 1573 risk equivalent 1792 Corticotropin releasing factor 2056 (CRH) 118, 2062 Cortisol binding globulin (CBG), 2057 Corynebacterium diphtheriae 2955 xerosis. 2956 coryza 2791 Cost-effectiveness 773 Covert bacteriuria 1008 COX2 inhibitor 522 CPEO 155 Crack pot sign 36 Cracking 2449 Crescent sign 2697 CREST syndrome 2620, 2622, 2624, 2626 Creutzfetdt-Jakob Disease 2993 Crigler-najjar 7 15 Crohn duodenal, 5 13 Crohn's Disease Activity Index 593 Cross Bridges 2375 . resistance 2901 CRRT 1059 Crux mortis 31 Cryptic disseminate TB 2233 Cryptic tuberculosis 2238 Cryptococcus neoformans 2269 Cryptogenic fibrosing alveolitis (CFA) 2316 organizing pneumonia (COP) 23 16 Crystalline 2283 Crystals shedding 2557 C T Scan 594, 890, 895, 1098 abdomen 719, 906 toraks 499, 2249, 2252 helikal dan kontras 1029 Cumulative trauma disorders 2705, 2706 Curah jantung, 776 Curli adhesions 1010



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK insulin dr. PRIYO PANJI absolut 1906, 1907



Curling's ulcer, 522 Cut-off 504, 1866 Cutaneous anthrax 2967, 2969 Cute emergency referral 774 Cutting balloon 1575 CVD 907 Cycle 167 Cyfra 21-1 2259 C Y P l l A 2054 C Y P l l B l 2054 Cystic fibros~s, 2046 pulmonary fibrosis 2297 fibrosis transmembrane conductance regulato 2274 Cytokine independent 1226 primed neutrophil 1005 cytoplasmic antineutrophil perinuclear 543 cytotoxic necrotizing factor-1 1010



D-dimer 1355 D-penisilamin 2756, 2757 Dada emfisema (Barrel-shape) 59 Daerah Mc Burney 476 Dakriosistitis 39 Daktilitis tuberkulosis = spina ventosa 2643 Dalteparin 1769 DAMES 2036 Danazol 1172 Daniel's biopsi 2258 Darah 1190 perifer lengkap 909, 1 19 1 samar 454 tepi 1 1 19 Day care, 785, 931 Day-hospital 782, 783 DC (direct current) counter shock 1606, 1634 DCCT 1901 Debu anorganik 2285 organik 2285 Deconditioning, efek 769 Deep vein thrombosis 906, 1001 Defect Osmoreseptor 205 1 Reglo hypoth.l.miconeurohypophyse.1ls 205 1 Respons Tubular 205 1 Jalur 1158 Jalur Embden Meyerhof 1159 Septal Ventrikel 1569 septum atrium (DSA) 1779, 1780 septum atrium dengan defek sinus venosus sup 1780 septum atrium primum, 1780 septum ventrikel (DSV) 1783 Defekasi 534 Defensif 929 Definisi 2609, 2924, 2943 dan epidemiologi 2620 kasus 2790 Defisiensi AntiTrombin 111 1337 Asam Folat 1141, 1147, 1150 C-l l b-Hidroksilase 2070 G6PD 1159 GH didapat. 2044 GH kongenital. 2044 lmun 1120



Kobalamin 511, 1141, 1145 Miofosforilase (McArdle's disease) 2633 natrium, 862 Protein C 1337 Protein S 1337 Tiamin ( Beri-beri ) 1794 Vitamin 1794 Vitamin B6, B12,,danFolat 1795 Vitamin D 184, 2690, 2693 yodium (DY) 2009 Defisit cairan 177, 2847 neurologis, 892 Deformitas cauliflower 273 1 Degeneratif 768, 779 Degradasi kartilago 2422 Dehidrasi 177, 797, 906, 907, 1906, 1908 berat, 552 hipertonik 797 isotonik 797 ringan 552 sedang 552 Dehidroepiandrosteron (DHEA) 94, 2054 . Dehiscence 1704 Dekompensasi jantung, 893 Dekompresi 225 1 Dekontaminasi 291 Kulit 291 Mata, 291 Pulmonal, 291 Dekortikasi. 2335 Dekstrosa 198 Dekubitus 884, 894, 897 Delesi 1375 Delirium 822, 905, 914 Rating Scale 908 Symptom Interview 908 Delta sleep, 803 Delusi 842, 909 Demam 11 85, 2234, 2300 familial mediteranian. 2335 katayama 2989 reumatiklpenyakit jantung reumatik I662 Demensia 837, 838, 900, 905, 907, 908, 909, 910, 921 lobus frontalis 909 vaskular, 839 Denoma villosa, 558 Deoksitimidilat Monofosfat 1142 Dependensi 2746 Deposisi kristal 271 9 Deposit kalsium 2719 Depresi 842, 845, 908, 921, 2710, 271 1 Depressed mood, 909 type), 577 Derivat aktif 1143 asam Fibrat 1988 Dermatografia 35 Dermatom 27 17 Dermatomiositis 2630 idopatik 263 1 Desipramin 2746 Deteksi dini kanker paru 2257 Determinasi seks 148 Detrusor 866 Devertikula 602



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Deviasi mediastinum 2249 trake, 499 conjugee 38 Diabetes 916 insipidus 963, 964, 2039 insipidus nefrogenik. 2048 insipidus preoperatif 2039 insipidus sentral 2048 melitus 885, 892, 118, 1792, 1937, 2701 melitus dalam pembedahan 1957 melitus pada usia lanjut 1967 melitus Juvenil 263 1 autonomic neuropathy (DAN). 1949 Diaforesis 2292 Diagnosis 2517, 2559, 2625, 2644, 2680, 2794, 2846 and statistical manual 111 908 banding 2928 dan terapi 1162 Diagnostik 1880 Dialisat 1055 Dialiser 1052 Dialisis 916 dan Kehamilan 1034 peritoneal 1053, 233 1 Diare 443, 622 akut, 444 infeksi, 549 infektif, 548 inflamatorik, 444, 549 kronik, 444 organik, 548 osmotik, 444, 534 pasca vagotomi 522 persisten, 548 sekretorik, 444, 534, 549 Diastolic 893, 1891 rumble 1674 diastolik Dicalcium phosphate dihidrate (brushite) 2561 Dicrotic pulse 32 Die tollwut 2924 Diet 555, 585, 2256 Difenhidramin 91 1 Diferensiasi sel 1245 Diffusion limitation, 222 Difteri 2955 kulit 2958 Difusi 1060 balik ion H+ 5 13 Digitalis 1585 Digoksin 91 1 Dihidrotakisterol 2696 Diklorofen 2953 Dikromat 40 Dilatasi 491 arteri pulmonal 1786 per oral 495 pneumatik, 491 Dipiridamol 1362, 1768 Diploid 1375 Diplopia oftalmoplegia, 2040 Direct cost, 774 current counter shock (DC shock). 1607, 1608 Directly observed treatment short course strategy 2241 Dissinergia pelvis, 877 Disability 781



adjusted life-expectancy 925 Discomfort 5 17 Disease 781 activity index 593 modifying 2753 modifying anti osteoarthritis drugs 2547 modifying anti rheumatic drugs 2755, 2765 Disekresi 2409 Diseksi aorta 1691, 1777 Disekuilibrium 828 Disentri basiler 562, 2857 Shigella, 551 Disestesi 51 Disfagia 442, 494, 498, 621, 2207 Disfibrinogenemia 1330, 1337 Disfungsi anorektal, 877 diastolik berat 1793 diastolik ringan 1793 diastolik sedang 1793 ereksi, 121, 2040 Seksual, 11 1, 120 sistolik. 1793 Dishormonogenesis 2001 Diskesia Rektum, 877 Diskinesia 856, 909 Diskografi 271 7 Dislokasi 922 Dismenorrhoe. 27 11 Dismorfik 936 Disomi uniparental 153 Disopiramid 1607 Disorientasi 908, 1913 Disosiasi AV 1608, 1625 Dispareunia 2079 Dispepsia 441, 516 non ulkus 501 Displasia diastrofik 273 1 epifiseal multipel 2730 fibromuskular 1090 kniest 2730 metatrofik 273 1 spondiloepifiseal 2730 spondiloepifiseal kongenital 2730 spondiloepifisial onset lambat. 2730 tanatoforik 2729 ventrikel kanan 1721 Dispnea d'effort 1584 Dispneu 32 Disseminated gonococcal invention 2640 Disseminated intravascular coagulation 1319 Distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DP 1949 Distonia 293 Distorsi kripti, 594 Distribusi 776, 2924 Distrofi Becker 2635 Duchene 2635 Fasioskapulohumeral 2636 muskular Duchene 151 otot 2635 otot okulofaringeal 2636 Distrofia distal 2636 miotonika 2636 Distrofin 2635



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Diterapi 2678 Diuresis osmotik 1906 Diuretika 540, 900, 902, 1684 Tiazid 2052 diversitas genetik Hp 502 Divertikulitis 454, 465, 602, 1908 Dizziness 818, 826, 904 DLco 2315 DMARD 2354, 2365, 2366, 2523, 2755 DNA markers 1425 Polymerase 1417 topoisomerase 1 2622 DNR 916 dNTP 1417 Doksisiklin , 2968, 2972 Dolikosefalus 36 Dolikostenomelia 2725 Dolorimeter 271 1 Dominant autosom osteoarthritis 2730 Domperidon 484 Donor ginjal xenogenik 1068 hidup 1067 jenazah 1068 universal 157 Dopamin 2059, 2744 Dopler spectrum ('spectral dopler') 1558 Dormant 2232 Dosis obat 2244 Double committed subarterial ventricular septa1 de 1784 crush syndrome 2719 outlet 1788 Doubling time 2257 DR blood group 1010 Drop attacks, 818 Drop-arm sign 2450 Droperidol 909 Droplet nuclei 2232 Drowsiness 205 Drug 896 induced LE 2565 induced liver injury 702 induced lupus syndrome 2336 eluting stent (DES) 1573 DSM-IV 91 1 DTPA 2042 Dual chamber pacemaker 1658 Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) 1978 / Dubin-johnson, sindrom 715 Duktus arterios~rspersisten (DAP) 1785 Dukungan nutrisi, 240 Duodeni 513 Duodenitis 504 kronik aktif 524 Durasi 1895 DVT 1372 Dysergasticreaction 907 Dysmenorrhoe 2709 Dyssomnias 802



Early after depolarization 1619 defibrillation, 229 gastric cancer. 577 EBM 2360



Ecchymoses 2040 Edema 176, 177, 2235 anasarka 35 otak 1910 paru, 906 paru akut 1772, 2330 edema paru kardiogenik 1773 Eder Puestow, 495 Edrofonium (tendon) 2637 Efek massa, 895 rokok 2255 Samping 914, 2356, 2741, 2742, 2929 Efloresensi 35 Efusi pleura 2208, 2232, 2235, 2249, 2290 neoplasma 2334 /empiema) 2235 Ego-integrity 932 EI aktif 1702 Einthoven 1523 Eisenmenger 1784 Ejection fraction (EF) 216 EKG 887, 905, 909, 1104 Ekhodopler 1964 Eklampsia 1100 Eko transtorakal 1551 Ekokardiografi 214, 1551, 1726, 1729 stres 1729 ten cate 1723 trans esofageal (ETE) 1562 Eksantema, 36 Eksibisionisme 121 Ekskoriasi 35 Ekskresi 776 Eksokrin 739, 2514 Eksokrinopati 251 5 Eksostosis 2708 Eksotoksin Vac A 503 Ekspektoran 226 Eksteroseptif 813 Ekstrapiramidal 909 Ekstrasistol atrial 1606 nodal 1607 ventrikel 1607 Ektomorfik 92 Ektropion 39 Electrical alternans 1726, 1805 pacing rhythme 1739 Electro-hydraulic shock wave lithotripsy 724 Electrolyte 896 Elektro-okulografi 2348 Elektrodiagnostik 2717 Elektroensefalografi 2348 Elektrofisiologi 21 5 Elektroforesis 1418 Elektrokardiografi 2 14 Elektrokardiogram 229, 1523 Elektrokoagulasi 495 Elektrokonvulsi 849 Elektrolit 200, 887, 909, 1056 Elektromiografi 2701 Elevated Liver Enzyme 705 Elipsitosis Herediter 1162 ELlSA 504, 546, 552 Ellsworth-Howard, tes 2692 Elongasi 146



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-11



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI aorta 1691 Emboli 892 Emboli Paru 895, 906, 1356, 2305, 2334 Embolus Arteri Mesenterika akut 612 superior 606 Embryo Vaccine 2929 Emergency 895 hypertension 1103 Emfisema 2289 interstisialis 2340 mediastinum 225 1, 2340 subkutis 2340 Emisi positron tomography (PET) 2252 Empiema 499, 719, 2208, 2233, 2324 thoracis 2329 Empiris 51 8 Employment plan, 930 Encefalopati Spongioform 1204 Encephalopathy, metabolic 907 End-arterectomy 897 Endobronkial 2233 Endokarditis 1804 bakterial, 886 infektif (El) 1702 Endokrin 739 Endokrinopati 2686 Endometriosis 584 Endomorfik 92 Endoneurium sel-sel Schwan 2925 Endoscopic Retrograde Cholangi Pancreatography 467, 544, 719, 722 Endoskopi 442, 455, 561, 467 lentur, 467 dan radiografi 458 kapsul, 467 endoskopi saluran cerna 470 endoskopi saluran cerna bagian atas 469, 470 Endosonografi 545 Endotel 2379 vaskular 525, 2378 Endotoksin 1920 Enema barium, 456 kontras gand 573 Enoftalmus 38 Enoxiparin 1769 Ensefalitis 2927, 2928 akut 2925 Ensefalopati metabolik, 186 Enteric rotavirus, 510 Enteroinvasif E.coli 2859 Enterokolitis nekrotisasi neonatal 607, 619 Enterokromafin, sel 5 13 Enteroskopi 467 Enterotoksigenik 55 1 Enterotoxigenic Eschericia coli 2846 Enterovasif 55 1 Enterovirus 887 Entesopati 2699, 275 1 Enzim 1880 dehidrogenase 1917 dehidrorotat dehidrogenase 2759 endonuklease restriksi 1417 lipoksigenase 2737 lipoprotein lipase 1892 peptidase 1896 siklooksigenase 2737 sitokrom p-450 708



urease, 504 Eosinofil 2409 Kemoatraktan 241 0 Eosinofilik paru 22 10 Eosinofiluria 936 Epidemi HIV 2231 Epidemiologi 2514, 2556, 2561, 2680, 2843, 2943, 2949 dan etiologi 2520 Epikondilitis 2707 epikondilitis lateral 2698, 2699. 2700 epikondilitis medial 2699, 2700 Epilepsi 2747 Epinefrin 1901, 1907, 1908 Epiphyseal plate, 2693 Epitel 514 Epitrokleitis 2699 Epoprostenol (Folan) 2338 Eptifibatid 1731, 1768 Epworth 2348 Ergokalsiferol 2678 Ergonomi 2705, 2706, 2708 Eritema 34 marginatum 34, 1665 migrans 2645 multi forme, 2742 nodosum 34, 593, 2648 periungual 2630 Eritromisin 2959, 2968 Eritropoietin 1140 Erosi 35 Erythromycin 2901 Es pronasi-supinasi 50 Escape phenomenon 2059 Escherichia coli, 563 ESHESC 900 Esofagitis kronik refluks 500 Esofagografi dengan barium 482 Esofagogram 494 Esofagomiotomi 491 Esofagopulmonal 499 Esofagoskopi 467, 494 Esofagus Barrett, 486 Esomesoprazol 520 Esophagogastric junction, 497 Estrogen 1790, 1822, 2585 Etambutol 223 1, 2265 Etanercept 2762 Etanol 1921 Etat crible, 893 Ethacrynic acid 949 etidronat 2682 etinil estradiol 207 1 etio-patogenesis 592 Etiologi 2520, 2648, 2790, 2843, 2924, 2943 dan klasifikasi anemia 11 10 dan patogenesis 2709 disfagia, 442 dispepsia, 441 kanker paru 2255 Etionamid 2244 European Group for Study of Insulin Resistance (EG) 1866 Evaluasi pengobatan 2245 Evidence-based medicine (EBM) 227, 2360 Ex vacuo effusion 2331 Exocrinopathy 25 14 Extended family system 927 spectrum beta-IactamaseIESBL 2901, 2905



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI intermiten 3 1



Extracelular regulated protein kinase 1414 Extracorporeal shock wave lithotripsy 724 Extrasystolic AV junctional tachycardia 1607 Eye ball pressure 1606 Ezetimib 1989



FA



kronik atau permanen 1613 paroksismal 1613 persisten 1613 Faal hemostasis 1120 organ, 772 paru 2299 Facies plethora 2040 Factitious 542 Faeokromositoma b~lateral 2687 Fagositosis 2403 Failure to thrive 768 Faktor agresif, 523 defensif, 523 epitel, 525 genetik 568, 2622 hageman 2305 parakrin 2075 pertumbuhan, 5 14 preepitel, 525 risikolodds ratio 2705 faktor subepitel, 525 risiko 2541 False negative, 604 Familial Adenomatous Polyposis 568, 569, 574 Hypocalciuric Hypercalcemia 2687 juvenile gout 255 1 juvenile hyperuricaemic nephropa osteoarthritis 2730 Family living arrangement 927 Farmakodinamik 776, 2740 antimikroba 2898 Farmakokinetik 776, 2739 antimikroba 2898 Farmakoiogis 588 Farmakoterapi 585 Farmers' lung disease 2291 Fascia1 hair 2071 Fasciola hepatica 2943, 2946 Fascioliasis 2943, 2946 Fase gastrik, 5 15 imun. 2809 leptospiremia 2809 M 1414 S 1414 Fasies Hipocratic 37 Fasiitis Plantaris 2703 Fasikula 2629 Fast twitch glycolytic fibers 2629 oxydati-veglycolytic fibers 2629 Fatal Familial Insomnia 2993 Fatty 535 liver, 703 FDG-PET 2036 FDP (Fibrinlfibrinogen degradation product) 2309 Febris



--



kotinua 31 non reaksi transfusi hemolitik 1200 remiten 31 undulans 31 Fecal impaction, 905 Occult Blood Test 573 -oral 501 Felineus 0 . 2943 Female pseudo-hermaphroditism 2069 Fenilketonuria 150 Fenitoin 91 1 Fenomena Fenomena "On-Off', 856 fenomena Raynaud 1819, 2620, 2622, 2623, 2624, 2630, 2710 "wearing off' 856 Fenotip 142 Feokromositoma 1778, 1796, 2066, 2250, 2252 Feritin Serum 1132 Fermen glukosa 2956 Fertilitas 768 Feses 887 Fetishisme 121 Fever of unknown origin 890, 2238 Fiber supplement, 588 optic pleuroscopy 2332 Fibrilasi Atrial 893, 906, 1606, 1612, 1652, 1799 ventrikel 229, 1629 ventrikular, 228 Fibrinoid 1807 Fibrinolisis 1320, 1329 primer 1323, 1329 sekunder 1323 Fibrinolitik 1434 Fibrodisplasia ossifican progresif 2727 Fibroelastoma lipoma papiler 1818 Fibroma 577 Fibromialgia 2698, 2709 juvenile 2710 primer 2710 regional 2710 regional atau terlokalisasi 2710 sekunder 27 10 usia lanjut 2710 Fibromiositis 2709, 27 19 Fibrosis 2235, 2298 dinding esofagus 493 kistik 150, 2274 paru 2620 paru idiopatik (FPI), 2290, 2315 Fibrositis 2356, 2703 Fibrous cap 1757 Fiksasi kompleme, 504 Fimbriae 1010 Fimbrial adhesions 1010 Fine wrinkling 2040 Fi02 2205 First degree relatives 142 Fish mouth 1672 Fisiologis 925 Fisioterapi 896 Fistula anastomosis, 500 bronkopleura 2324, 2345



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI gastro kolik 518 Fistulasi 594 Five-years survival rate 499 Flagel H Pylori 502 Flat type, 577 Flocare 495 Flow cytometric immunophenotyping 1440 Flow ratio 1570 Fluid deprivation 2050 Flulike syndrome : sesak napas, batuk 2289 Fluoksetin 2747 Fluor 2708 Fluorescence bronchoscopy 2258 exchancing agent 2258 Fluorosis 43 Fluoroskopi 495, 2258 Flushing 34 Fluttering 1691 FNA 2253 Foetor ex ore 44 Folikel /Follicle de Graaf 95 primer 95 sekunder 95 teertier 95 stimulating hormone 94, 95 Follow through, 544 Fondaparinux 1768 Fonokardiografi 1689 Foot process 959 Foramen ovale persistent 1563 Foramina1 compression test 2454 Formula Cockcroft- Gault 939 Fosfaturia 2694 Fosfolipase 503, 524 Fosfolipid antikoagulan 1345 Fosfor 2677 Fosforilasi oksidatif 2633 Foto lateral 2235 polos abdomen 941 sinus 2277 toraks 887, 909, 2249, 2276, 2329 usus halus 478 kromogen 2263 Fractional flow reserve (FFR) 1573 Fragile X syndrome 153 Frailty 812 Fraksi ejeksi 1824 plasma 1190 protein plasma 1196 Fraktur 821, 902, 904, 922 femur, 771, 773 panggul, 921 Francis C r ~ c k 141 Free fatty acid (FFA) 1985 Free radical inhibitors 523 Frekuensi 1895 Fronto-temporal dementia, 839 Frottage 121 Frouzen shoulder syndrome 2699 Frozen section 2033 Fruktosa 198, 1892 Fructose-1-phosphate aldolase 2552, 2553 Functioning 2038 Funduskopi 41



Fungsi 2379, 2394 apoptosis dalam sistem imun 2418 utama anorektal 463 Fungsional 535 Furosemid 19 14, 2686 Fusion beat 1625



G-adhesions 10 10 G-banding 158 y-melanocyte-stimulating hormone 2059 GI 1414 G2 1414 GABA 2747 Gabapentin 2747 Gagal Gagal ginjal, 885 Gagal hati, 885 jantung 1583, 1586 jantung akut 1586 jantung diastolik 1583 jantung kanan 2235 Jantung kronik 1596 jantung sistolik 1583 napas, 234 napas hiperkapnia 218, 219, 223 napas hipoksemia 21 8 Gait 814 GAKI 201 1 Gallop 1682 atrial atau presistolik 1778 S3 1584 vetrikel atau protodiastolik 1778 Gama globulin 2236 Gambaran imunopatologis 2621 klinis 2515, 2521, 2639, 2677, 2680, 2710 klinis dan diagnosis 2648 laboratorium 2647, 2677 nonsiklik, 462 patologi 2620 radiografi 2543 radiologis 2681 ulkus, 594 Gametogenesis 143 Gamma interferon alfa 524 Gamma linoleic acid (GLA) 1950 Gangguan eliminasi, 465 fungsi ginjal 1892 fungsi sel darah putih 186 fungsi trombosit 186 ginjal akut 1033, 1041 ginjal kronik 1034 jantung, 894 klinis 1145 kognitif, 910, 921 kognitif global 91 1 konduksi 1609 konduksi dan aritmia 1813 kontinentia, 465 motilitas, 444, 583 motilitas usus halus primer 463 permeabilitas usus 549 respirasi, 894 toleransi glukosa 1969 Gangguan keseimbangan cairan 175



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI supresor tumor 157, 569



fosfor 185 kalium 181 kalsium 183 magnesium 187 natrium 178 Ganglioma 2707 Ganglioneuroma 2250 Gangliosides 1950 Garam emas 2756, 2757 Garis Ellis Damoiseau 63 isoelektrik 1525 Schuffner 70 Gas belerang 2285 Gastrektomi 2677 Gastric I gastrik 515 bleeding, 897 inhibitory polypeptide, 2063 outlet obstruction 5 17, 51 8 Gastrin 506 Gastrinoma 743 Gastritis 441, 509 akut, 524 atrofi, 577 erosi akut 606 kronik aktif 501, 524 Gastro esophageal reflux disease 5 17 Gastroduodeno-jejunoskopi 544 Gastroduodenografi, 741 Gastroesofageal., Sintigrafi 483 Gastrointestinal anthrax 2969 Gastroparesis 1908 Gastropati 509 hipertensi portal 459 kimiawi, 5 1 1 OAINS, 51 1 reaktif, 51 1 Gastroskopi 467 GATA-1 1226 Gated single-photon emission computed tomography 1565 Gatropati 5 11 Gay bowel syndrome 549 Gaya berjalan 2447 Gaya berjalan yang abnormal 2447 GCRP (good clinical research practice). 2898 Gejala klinis 2643, 2925 anemia 1131 furious 2926 gangguan otot skeletal 186 khas 11 11 khas defisiensi besi 1131 klinis dan diagnosis 2641 mayor 1666 minor 1666 penyakit dasar 1132 prodromal 2791, 2925 gejala psikologik, 773 umum 1111 umum anemia 1131 Gelombang delta 1533 lambat, 461 GenlGene polyposis adenomatous coli 569 ' caga, 502 cypl lb2 2054 erbbl 2256



supresor tumor vac a 502 resisten 2902 General check-up 1881 Genetika 1 168 kanker 157 mitokondria 154 genital ridge 2053 genito urinarius, 905 Genom 142 Genotip 142, 776, 1381 Genotyping 2276 Gentamisin 2972 Genu rekurvatum 2725 Genus Coronavirus 2790 Geographic tongue 44 GERD 481, 744 G e r i a t r i /Geriatric 758, 768, 770, 924 care, 931 Depression Scale 92 1 giants, 769, 780 home healths care 784 Germinal centers. 201 9 Geronto-seksualisme 121 Gerontologi 758, 770, 924 Gerstmann-Straussler Scheinker Syndrome 2993 GFR 776 GH 2039 Releasing Hormone 2044 GI tract, 905 Giant-cell myocarditis 1718 Gibbus 49, 2643 Gigantica F. 2943, 2946 Gigi Hutchinson 43 Gigitan coral snake 282 elapidae, 281 hydropiidae, 282 kutu, 277 laba-laba pertapa 275 rattlesnake, 282 ular berbisa 280 viperidae, 282 Ginekomastia 48 adolesen 97 Ginjal kronik 1008 Transplan dan Kehamilan 1034 Gizi pada usia lanjut 127 anak, 126 ibu hamil 126 ibu menyusui (laktasi) 127 Glibenklamid 1901, 1904 Glikogen 1907, 1913 Glikogenolisis 1898, 1901 dan proteolisis di otot 1901 Glikolisis 1907, 1917 Glikosaminoglikan 2547 Gliserol 1901, 2998 Glomerular Filtration Rate 1945 Glomerulonefritis lesi minimal 972 membranosa 972 proliferatif 972 Glomerulosklerosis fokal dan segmental 972 Glucosa 6-phosphatase 2552



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Glucose level, 896 transporter 979 transporter 2 (GLUT 2) 1896 transporter 4 1792 Glukagon 543, 1901, 1904, 1905, 1907, 1913 dan epinefrin 1902 Glukagonoma 743, 745 Glukoneogenesis 1898, 1901, 1902, 1907, 1908, 1913 di ginjal 1902 di hati 1901 Glukosa darah 1880, 1891 darah 2 jam setelah makan 1891 puasa 1891 Glukosuria 1912 GLUT-4 1898 Glycogen storage disease 2552, 2633 (Von Gierkee) 2552 tipe I 2552 tipe 111 2553 tipe 111, V dan VI 2552, 2553 Goldblatt 1091 Golfer's Elbow 2699, 2700 Golongan P-Laktam 2902 Golongan darah Bombay 156 Gonadotrophs 2040 releasing hormone (GnRH) 118, 2040 Gougerot's syndrome 25 14 Gout 2354, 2358, 2550, 2559 nefropati 2556 Gradien alveolar-arteri 23 15 Gradien transmitral 1672 Grafestesia 52 Graham Steel 1693 Granuloma 2233 eosinofilik 2290 Granulomatosis Wegener 1004 Granulosit Feresis 1194 Gravis 2956 Gregor Mendel 140 GRFoma 743 Group antigen darah Lewis B 502 Growth Chart 2044 factor-like, 503 hormone (GH) 92, 1 18, 1902, 2709 velocity 2044 Guided USG 2033 Gula darah 895, 909



H. Pylori menjadi persisten 503 H.capsulatum 2268 H2 bloker, 888 H2 breath:, 545 H2 Receptor Antagonist (H2RA) 527 Habit training, 871 Habituation 2745 Haemolytic uremic syndrome 2858 Haemophillus influenzae 2901 Hallux valgus 2728 Haloperidol 909, 1914 Halusinasi 842, 909 Hamartoma 557 Handicap 781 HAP 1898 Haploid 1375



HbAlc 1949 HDL 1984 Heart Failure 1586 Heat necrosis, 558 shock protein (HSP) 2430 stroke, 272, 792 Height age 2044 Height spurt 93 Helicobacter pylori, 481, 501, 509, 523, 621 HELLP 1101 Helminthiasis 621 Hemangioma kapilaris 36 Hematemesis 443, 526, 579 Hematogen 2232 Hematokezia 443, 453 Hematologi 1440 Hematotoksik 281 Hematoxyllin bodies 1807 Hematuria transien 952 Hemianopsia 41 Hemianopsia bitemporal 2039 Hemiparesis 1913, 2447 Hemisfer 893 Hemo-globinopati struktural 1379 Hemodia-filtrasi 1060 Hemodialisis 1052, 1060 Hemodialisis lntermiten 1063 Hemodinamik 608 hemodinamik tidak stabil 447 hemofilia a 1307 Hemofiltrasi 1060 Hemoglobin 593 Hemoglobinopati 1379 Hemokromatosis 150 Hemolisis mikroangiopatik 1 160 Hemolysis 705 Hemolytic Uremic Syndrome 1 161 Hemopatia klonal 1226 Hemoptisis 294, 906, 1673, 2256, 2300 Hemoptoe 2300 hemoragi sirkulasi saraf otak 892 Hemoroid 587, 604 eksterna, 587 interna 587 Hemorrhagic colitis, 563 Hemorrhoidalis, plexus 587 Hemostasis 1293, 1334 endoskopi, 45 1 primer. 1319 Hemostatik 895 Hemotoraks 2329 Henderson-Hasselbalch 191 Henoch-Schonlein purpura 992 Heparin 1340, 1360, 1731, 1768, 1826 Heparinoid 896 Hepatitis 887, 1201 B kronik 702 autoimun, 702 C kronik 702 E, 706 fulminan, 706 Iskemia, 606, 61 1 Non-A-B 1203 virus, 887 Hepatocyte Growth Factor 2689 Hepatomegali 499, 2235, 2337 Hepatotoksisitas



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



imbas obat 708 obat anti inflamasi non steroid 712 obat ant1 tuberkulosis 710 obat kemoterapi 71 0 HER-21neu 1428 Hereditary fructose intolerance 2553 nonpolyposis colorectal cancer 568 Hermafroditisme 150 Hernia diafragma ke mediastinum 225 1 femoralis 74 Herniasi transtentorial sentral 206 uncal. 206 Heterogen 784 Heterogenous RNA (hnRNA) 145 Heterozigos~tas 569 Hexoamine pathway 979 He) man nephritis I01 7 Hibridisasi asam nukleat 159 Hickey-Hare 2050 Hidralazine 540 Hidrasi 897 Hidroksiapatlt 2564, 2699 Hldroksiklorokuin 2756 Hidrosefalus 842, 85 1 Hidrosiklorokuin 2584 Hidroterapi 2681 Hidrotoraks 2329 higa-like toxins, 563 High Bone-turnover 2695 High out put HF 1583 High Resolution CT scan (HRCT) 2315 High Risk Foot 1962 High-output state 1541 Hiperaktif 908 Hiperaldobteronisme 2053 primer 1094 Hiperalgesia. 2710 Hiperamilasemia 61 0 Hiperekstensibilitas 2726 Hiperekstensibilitas sendi 2726 Hiperemesis 293 gravidarum, 703 Hiperfosfatemia 184, 187, 1040, 2696 Hiperglikemia 1907, 1913 Hiperhomosisteinemia 1338, 1795, 1940 H~perinsulinemia 1880 Hiperkalsemia 182, 184, 2685, 2689, 2690, 2693 Humoral 2688 Hiperkalsiuria 186, 1026, 2689, 2690, 2693, 2694 Hiperkapnia 169 Hiperkloremia 1910 Hiperkoagulasi 614, 1001, 1370 Hiperkolesterolemia 901, 2362 Hiperlipidemla dan Lipiduria 1001 Hlpermagnesemia 188, 5 19 Hipermobilitas. 2726 Hipernatremia 180, 797, 906 Hiperoksaluria 1027 Hipero~molar 198, 797, 1912, 1913 Hiperparatiroidisme 184, 525 primer 2686 sekunder 2688, 2691 tersier 2688 Hiperpasia 5 1 foveolar, 5 12



adrenal bilateral 2067 paratiroid 2687 Splenomegali 1 183 Hiperresonant 61 Hipersensltivitas viseral, 583 Hipersomnolen 2348 Hipersplenisme 1 162, 1368 Hipertensi 893, 1086 gestasional 1 101 kronik, 900 portal, 454, 705 pulmonal 1673, 1786 pulmonal primer (HPP) 2337 pulmonal reumatoid 18 1 1 . sekunder 1777 Hipertermia 27 1, 792 Hipertiroid 1799 Hipertiroidisme 185, 1795, I f 9 9 Hipertrikosis 37 Hipertrofi eksentrik 1777 konsentrik 1777 ventrikel 1786 ventrikel kanan 1786 ventrikel kiri (HVK) 1777 Hiperurikosuria 1027 Hiperurisemia 2550, 2559 miogenik 2552 Hiperventilasi 2337 Hiperviskositas 893 Hipervolemia 176, 177, 1095 Hipoaktif 908 Hipoalbuminemia 862, 1000, 1773, 2334 Hipoasiditas 5 16 Hipodiploid 1375 Hipoestesia 5 1 Hipofonia 853 Hipofosfatasia 2694, 2727 Hipofosfatemia 186, 2045, 2693, 2694 Hipoglikemia 907, 1894, 1910 Hipogonadisme 2040 Hipokalemia 1910 Hipokalsemia 184, 1910, 2691, 2696 Hipokondria 271 1 Hipokondroplasia 2729 Hipokortisolisme. 2053 Hipoksemia 169, 221 Hipoksia 221, 906, 907, 191 7 Hipomagnesemia 188, 2692 Hiponatremia 179, 797, 906, 907 akut., 179 kronik, 179 Hipoparatiroidisme 184, 2691, 2692, 2694 Hipoperfusi 607, 901 mesenterika, 607 Hipopituitarisme 2039 Hipoplasia odontoid 2730, 2731 Hipositraturia 1027 hipospadia 75 Hipotensi 2927 ortostatik, 210, 817, 899, 902 Postural, 776, 861, 905, 2709 Hipotermia 270, 1201 Hipotiroid 1800, 2701 Hipotiroidisme 1795, 2000, 2045 primer (HP) 2001 retrognathla, 2348 sentral (HS) 2000



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sepintas. 2001 subklinis (HSK) 2003 Hipoventilasi alveolar, 21 9 Hipovolemia 176, 177, 210, 892, 893, 1908 hipovolemik 797 Hippocrates succussion 64 Hirschsprung 273 1 Hirsutisme 2040, 2753 Simpleks 2070 Hirudin 1768 His bundle 1609, 1630 electrocardiogram 1609 Histamin 543, 2737 Histaminergik 5 15 Histerikallpsikogenik 2447 Histon 147 Histopatologi 502, 504, 505, 507, 582 Histoplasmosis 2267, 2268 Asimtomatik 2268 Diseminata 2268 HIV 2324, 2345 HLA haplotipe 2018 haplotype A2, B40 2339 kelas 1 2430 -DR3 2018 -kelas I1 2430 HMG-CoA reductase inhibitor 1987, 1988 Holosistolik 1785 Holter Monitoring (HM) 1548, 1631 Home care, 837, 91 7 help servic 786 Isolation 2795 nursing, 782, 786 Homeostasis 776, 896 Homeostenosis 758 Homoseksualisme 121 Homosistinuria 2726 Hormon l h o r m o n e 1907 caunter-regulatory 1903 gonadotropin korion 95 kontra regulator insulin 1907 lipase 1907 natriuretik peptida 1086 paratiroid 193, 1056, 2074, 2256, 2394, 2685 pertumbuhan 1907 steroid 2053 tiroid 1798 releasing, Growth hormone (GHRH) 118 replacemen. 205 1 Sensitive Lipase (HSL) 1976 related, Parathyroid protein (PTHrp) 3 16 Hospice care, 916, 917, 932 Hospital based, 931 Community Geriatric Service 782 Geriatric Service 782 Host 885 Hot flushes 2079 Hot nodule 2023, 2024 Housemaid's knee. 2702 HPRT 2552 HPRT pada sindrom Lesh-Nyhan 2552 hsCRP 1757 HST 900 Hubungan antara keganasan dengan kejadian APL; 261.6 Hubungan HLA kelas I dengan penyakit teumatik 2432 Human



d~ploid cell vaccine 2929 chorion~cgonadotropin 119, 1426, 2582 genom project 141 ~mmunodeficiency virus 2647 intravenous immunoglobulin 1950 leucocyte antigen (HLA) 2430 rabies immune globulin 2929 Humoral hypercalcemia of malignant) 2688 Hunger pain food relief = HPFR 5 17 Hyalinized fibrosis tissue 2021 Hydrophilic fiber dressing 1964 Hydroxyapatite 2682 Hhydroxyprogesterone caproate, 105 Hypercoagulable states 1336 Hypertension 897 Hypoactive sexual desire I I I Hypopnea 2347 Hypothalamic-pituitary dysfunction 2065 adrenal 82 hypoxanthine phosphoribosyltranferase 2550 Hypoxic spells 1788



I/polipoid, Boorman 5 1 7 IADL 910 latrogenesis 779 latrogenik 91 3 Ibandronat 2683 IBD 475, 569 IBS pattern alternating, 584 predominan diare 584 predominan konstipasi 584 predominan nyeri perut 584 Icterohaemorrhagica L 2808 lDDM 1883 Idiopathiclidiopatik 21 0 Hypopitutary Dwarfism 97 left venricular tachycardia 1625 pulmonary fibrosis (lPF) 23 16 thrombocytopenic purpura atau Autoimune 1366 IDL 1984 IFN-.I 2289 Igamentum Treitz, 447 IglV dosis tinggi 1 172 lkterus 34, 718. 721 IL-l TNF-a dan IL-2 2289 IL-I0 2289 IL-12 2289 IL-Ira (IL-l receptor antagonist) 973 lleoskopi 544 lleus paralitik, 307 Imipramin hidroklorid 2747 lmmunocompetent 887 Immunocompromised 887, 2323 Immunological dissonance, 263 lmmunosupresif 1 172 lmobilisas~ 812. 859, 2690 Imobilitas 581 Impairment 78 1 lmpaksi feses, 879 Implantable Cardiac Defibrillator 2 12 cardioverter defibrillator (ICD) 1548, 1660 IMT 900 lmunitas adaptif 2408



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



selular, 885 lmuno genetika 155 globulin intravena 2637 modulasi 1200 patogenesis GN 969 supresan 1 7 15 supresif 596 In office Hp test 504 lincipient diabetic nephropathy 980 Incomplete halo 2025 Indeks lndeks apnea hipopnea 2348 Indeks kardiak, 904) indeks massa tubuh (IMT) 29, 1973, 2348 independen 893 Indeterminate Colitis, 591 lndikasi kuat, 182 mutlak, 182 rawat. 2794 sedang, 182 Indonesia 1866 i n f a r k 587, 1906 infeksi, 1906 miokard, 892, 1940 miokard akut 1741, 1792 miokard akut dengan elevasi ST 1741 miokard akut tanpa elevasi ST 1757 . paru (Hampton's hump) 2309 Ventrikel Kanan 1752 Infected Foot 1962 Infectious thyroiditis 201 6 lnfeksi 884, 895, 1908 di Mediastinum 225 1 Helicobacter pylori 506 Hp dengan tukak peptik 501 human immunodeficiency virus 2647 kronik, 444, 493 Mikroorganisme 1 163 nosokomial, 884, 913 pada sendi prostetik 2642 saluran kemih 862, 885, 907, 91 1, 1008 saluran kencing (ISK) 905 sendi prostetik 2642 traktus urinarius 1033 usus, 584 yang disebarkan artropoda 1203 lnfektif 535 Infertilitas 108 lnfiltrasi sel mononukleus 594 lnfiltrat 23 15 Infiltratif Splenomegali 1184 Inflamasi 905 akut divertikulitis 604 pada syok 2414, 2402 Inflammatory Bowel Disease 591, 604 polyps, 558 lnfliksimab 2762 Influenza 887 lnfus Glukosa 1958 INH 519 Inhalation Antraks 2967 Inhibitor inhibitor ACE 1751 inhibitor glikoprotein IlbIIIIa 1731 inhibitor TNF-a 2761



inisiasi 146 initial case definition 2791 lnjeksi Toksin Botulinum 492 inkompatibilitas sistem Rhesus 156 inkontinensia 885, 894 akut, 869 alvi, 880 persisten, 869 urin, 905, 919 input visual, 813 insensible water loss 799, 1052 Insersi 1374 Insestus 121 insidens 907, 2709, 2924 insidentaloma 2038 insomnia 802 lnstabilitas kromosom 568, 569 mikrosatelit, 568, 569 instent restenosis 1574 insufisien saraf otonom 902 lnsufisiensi adrenal, 185 aorta 1569 mitral 1569 otonom, 210 vaskular 606 vitamin D 2690 insulin 1865, 1896, 1901, 1908 analog rapid-acting 1901 dependent 1883 like growth factor 2023, 2710 lnsulinoma 744 Intake 897 Intensitas 1895 In teraksi aksis brain-gut 583 dalam absorpsi 138 dalam distribusi 138 dalam eliminasi 138 dalam metabolisme 138 farmakodinamik 139 farmakokinetik 138 neuro-endokrin - imun 2440 neuroimunoendokrinologi 2435 Obat 138, 2743 Interdependent 78 1 lnterdisiplin 770, 781 Interferon alfa 2928 , interferon gamma (IFNy) 503, 728 interkritikal 2558 interleukin 2737 -1 2761 -Ip, 503 -2 503 -6 1414 -6 886, 1915 -8 503 Intermediary metabolism 2057 Intermediate 2956 density lipoprotein (IDL), very low d 1984 lntermitten 572 mandatory ventilation 168 International diabetes federation (IDF) 1866 society nephrologylrenal pathology s 985 lnternis geriatri, 771



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



lntersititial lung disease 25 16 lntervensi psikologi, 585 Intestinal 5 15 antraks 2967 lntoksikasi alumunium 2696 narkotika (OPIAT) 284 vitamin-A, 185 vitamin-D, 185 lntoleransi laktosa, 540 cnakanan, 583 lntraaortic Balloon Counter Pulsation 1683 intracardiac defibrilator 1583 intravascular ultrasound=IVUS 1551 intracellular/lntraselular 896 adhesion molecule-l 970 tight junction 514 lntrafusin 495 lntrahepatic cholestasis of pregnancy 703 lntralipid 495 lntramuskular 909, 1905 Intrauterine devices, 107 Intrauterine growth retardation 1824 lntravena 909 drug user 646 Immunoglobulin 1366 lntususepsi 454 lnversi 1374 lnvestigasi biokimiawi 1029 loderma gangrenosum, 593 Ion kalsium, 896, 1896 lradiasi hipotisi~ 2067 lrama jantung 68 nodal 1607 sinus 1614 sirkadian, 803 lridosiklitis 39 lritasi kronik, 513 Iron uptake system 1010 lrosis hati 2331 Irritable bladder 27 1 1 irritable bowel syndrome 542, 583, 604, 2709, 2710, 2711 Ischemic bone necrosis, avascular necrosis 2696 Ischemic vascular disease 905 ISK 905 Bawah 1012 Rekuren 1012 lskemia 584, 892, 905 mesenterika, 475 Mesenterika Kronis 619 mesenterika non-oklusif 607, 61 7 splanknik 606 usus. 1908 usus besar 606 usus halus 606 Islet cell 1904 Isolated gastric varices 305 lsoniazid 223 1 lsotop 504 Isotope bone scanning 2681



Jaccoud's arthropathy 25 17 Jalan napas, 224 Jalur Bachman 1524



Caspase 1415 James 1534 Kent 1533 Mahaim 1533. 1534 James Watson 141 Jamur 2345 jantung gagal kongestif 6 1 1 koroner, 885 paru, resusitasi 91 7 Jaras tambahan (accessor) pathwaq ) 1624 Jari tabuh 52, 2290 Jaringan nekrosis, 582 penumbra. 896 Jatuh 812. 885, 902 Jaundice 703 Je.junum 545 Jenis 1895 JNC 7 899. 1079 Joint drainage 2640 Jumper's knee 2702 junctional tachqcardia 1607 Juvenile onset 1883 polyp, 557



KIDOQI 1066 Kadar kui serurn 593 gula darah 894 hemoglobin dan indeks eritrosit 1132 Kali diabetes 1961 Ka ku kuduk 49 ser\ ikal 27 15 Kalazion 39 Kalba~nin 495 Kalikrein-Kinin 1087 kalium 1909 Kalsifediol 2696 Kalsitonin 543, 2074, 2395, 2683, 2690 Kalsitriol 1040, 2075, 2045, 2696 Kalsium 2392, 2677. 2685 asetat 2696 glukonat, 2692 hidroksiapatit 2562 karbonat 2696 sitrat, 2692 Kambuh 2246 Kanamisin 2244 Kandidosis kriptokokosis. 2267 Kandung kemih, 581 Kanker 916, 1413, 1446 esofagus, 498 gin,jal 2260 kolon, 567 lambung 2260 nasofaring 2260 paru 2324, 2254 paru sekunder 2260 pa) udara 2260 prostat 2260 tiroid 2260 Kanul naso-gastrik, 594 Kapasitas fungsional, 779. 1855



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



vital, 904, 2301 Kapsula 893 Karakter dominan 141 kodominan 14 1 resesif 141 semi-dominan 141 Karakteristik cairan sendi 2372 Karang wredha, 785 Karbamasepin 2747 Karbamazepln 2052 Karbohidrat 541. 1892 Karbon monoksida 2285 Kardiogenik 906 Kardiomiopati 17 14, 1720, 1792, 1801 diabetik 1721, 1792 dilatasi 1714 familial 1721 hipertrofik 1723 restriktif 1724, 1792, 1937 Kardiorespirasi 895, 896 Kardiovaskular 905, 1865 Kardioversi 1634 Elektrik 16 14 Karditis 1665 Karinatum 2725 Kariotip 1375 Karnitin 2634 Karnitin palrnitiltranferase 2634 karsinogen 2255 tipe l 501 Karsinogenesis 1422 Karsinoid Ganas 1796 karsinoma anaplastik, 203 1 bronkoalveolar. 2255 bronkogenik 2325 bronkus 2335 esofagus, 500 insitu 1410 lnedulare 203 1 rnikosis paru bronkus 2235 prostat, 581 sel skualnosa 493 serviks, 581 tiroid rneduler 2687 Katabolisme 862 Katapleksi 806 Katarak 40 hipermatur 40 imatur 40 matur 40 Katastrofal vaskular, 905 Katekolamin 2053 urin 2253 Kateter intermiten. 872 Kateterisasi jantung 1783 kardiak 1689 Katup prostesis 1 162 pul~nonal 1693 Kavitas 2235, 2256 pada paru-paru 2230 Kecebolan Russel-Sil~er 2046 Kecepatan aliran darah 1060 aliran dialisat 1061



Kegemukan 2541 Keha~nilan 1100, 1822, 1893, 2580 Ke.iang 1913 Kelainan dinding 1162 ebstein 1541 gastr~jintestinal 2625 ginjal 2625 hepato bilier 905 jantung 2625 kulit 2624 monogen 150 muskuloskeletal 2625 paru 2624 poligen 15 1 pubertas 96 Kelas 1 2430 Kelebihan bikarbonat, 196 Cairan 1201 Kelenjar adrenal 2053 hipofise 1802 tiroid 1993 Kelling Madlener, 521 Keluarga Berencana, 122 Kematangan mental, 925 Kematian janin. 261 1 maternal, 1 16 Ke~nonukleolisis 272 1 Kemoprevensi kanker kolorektal 524 Kemoprofilaksis 2247 Ke~noradioterapiKonkomitan 2261 kelnoreseptor 2744 Kemoterapi 579, 1454, 2261 Ajuvan 2261 kombinasi 1 172 Kenaikan tekanan darah 894 Kenakalan Rema,ja 100 Keperluan yang meningkat 1 147 Keracunan bisa kala,jengking 278 Keratoatokunjungtivitis sicca 25 15 Kerley B lines 1541 Kern-Sayre Syndrome 155 Kerusakan fungsi sel darah merah 186 Paru Akut karena Transfusi 1200 Kesehatan maternal, 1 16 Keseirnbangan 8 12 Kesintasan 774 Ketagihan 2746 Ketamin. 2928 Ketergantungan 92 1, 928, 2746 Keteter menetap. 872 Ketoasidosis diabetikum, 906 Ketogenesis 1913 Ketokonazol 2067 Keton 936. 1903 Ketosis prone 1883 Khorea 50 KID 1329 Kifosis 49, 59 torakal 2725 Kifoskoliosis 2726 . Kilotoraks 2329 Kimia korosif 2299 Kina 2998



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-21



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kinidin 519 Kista 1184, 2323, 2346 mediastinum 225 1 kista popliteal (kista baker) 2702 Klaritromisin 2265 Klasifikasi 11 16, 1728, 2263, 2626, 2739, 2957 forrester 1754 killip 1754 Truelove, 593 Klaudikasio neurogenik 2720 tungkai 1787 Klebsiella pneumonia 2323 Klindamisin 2326 Klinis 2642 Klirens 1945 Kloasma gravidarum 34 Klodronat 2683 Klofibrat 2052 Klon 1375 Kloning gen (DNA) 159 Klonus 51 Klopidogrel 1731, 1738, 1760, 1768 Kloramfenikol 2859, 2968 klorokuin 2756 fosfat 2757 Klorosis 34 Klorpromasin 2998 Klorpropamid 1901, 2052 Knee bracing 2702 chest position 72 KO-morbid 885 Koagulasi intravaskular diseminata 1162, 13 19 Koagulopati 893 Koarktasio aorta (KA) 1786 Kodein 91 1 Kognitif 837, 900, 2745 Koilonikia 52 Kokarsinogenik 2255 Koksidioi-domikosis blastomikosis dan parakoksidi 2267 Kolagen 2539, 2547 Kolagenosa 2539 Kolangitis 593, 721 akut, 724 Kolaps atrium kanan 1806 diastolik ventrikel kanan, 1806 Kolekalsiferol 2678 Kolera 563 kolesistektomi konvensional, 719 laparoskopik, 7 19, 723 Kolesistitis 1908 akalkulosa, 61 1 , akut, 718, 721, 722 kronik, 719 Kolesistografi 71 8 Kolestipol 2002 Kolestiramin 2002 Kolinesterase inhibitor, 842 Kolitis 454, 560 amebik, 560 infeksi, 560, 593 Iskemia, 454, 610, 604 mikroskopik, 584 non-infeksi, 560 radiasi, 581, 582 ulseratif, 591



ulserosa, 563 Kolkisin 978, 2559 Koloid bismuth, 519 Kolon sigmoid, 602 Kolonoskopi 544, 572, 573, 582, 588 Kolostomi 582 Koma 205, 884, 905 dan kematian. 2925 diabetikum, 906 epileptik, 206 farmakologis, 206 hepatikum, 905 Kombinasi AHA hangat dan dingin 1179 antimikroba 2898 Komisurotomi 1677, 1701 Komorbiditas 907 Kompartemen besi dalam tubuh 1127 lingkungan mikro hemopoetik 1106 Kompeten 773 Kompetensi 77 1 Kompleks Histokompatibilitas Mayor 1070 imun 2289 primer (Ranke) 2232 Komplemen pada kerusakan glomerulus 970 Komplikasi 456, 459, 914, 945, 2927, 2946 aferesis 1207 akut 1906, 1912 imunologi 1198 infeksi 1201 non imunologi 1198 transfusi 1198 Komponen 1107 darah 1190 hemopoesis 1105 Komprehensif 771 Kompresi kiasma 2041 medul spinalis 905 Komunikasi 909 Kondrodisplasia Puntata 2731 Metafiseal 273 1 risomelik 2731 terkait kromosom X 2731 Kondroitin sulfat 2547 Kondrokalsinosis 2563 Kondrosit 2538 Konduksi saraf, 904 Konfusio 884 Konjugasi 776 Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI 447 Konsentrasi Besi Serum 1132 Konsentrat Faktor IX 1195 VIII 1195 Konstipasi 444, 862, 876 fungsional, 877 idiopatik, 465 Konstruktif 928 Kontaminasi 1186 bakteri 1204 Kontraksi 2376 Kontraktur 861 miostatik 2716 Kontrasepsi 107



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Kontrol postural, 812 sukarela, 460 Konveksi 1060 Konvensional 773 konversi fibrilasi 1607 Konvulsi 2745 Kor Pulmonal 1816, 2235, 2290 Kornea 2925 Korosif 2299 korosif karena air abu 494 korosiflkaustik 493, 494 Korpus alienum 2298 atretikum 95 esofagus, 488 rubrum 95 Korpusitis 503 Korset lumbal 2708 korteks 893, 2053 adrenal 2749 sereberal, 205 Kortikosteroid 225, 595, 1074, 2243, 2284, 2749 reseptor 2750 Kortikotrofin releasing hormone 2749 Kortisol 862, 1902, 1907, 1908, 2053 bebas terikat protein, 2056 Kostokondritis 2703 Kranial neuropati 25 16 Kraniosinostosis 36 Kraniotabes 2693 Kreatin fosfokinase 2630 Kreatinin 887, 909, 1056, 1945 serum, 776 Krepitus 2448, 2449 Kretin Endemik 2013 Kriopresipitat 1194 kriptokokosis 2267 Kriptorkismus 97 Krisis adrenal 2072 Krisis tiroid 1800, 2006 krista 2633 Kristal 937 kalsium oksalat 1026 kalsium pirofosfat dihidrai 2699 monosodium urat 2354, 2557 Kriteria 1668, 1866, 2519, 2896 anemia 1109 Derajat Dehidrasi 2846 diagnosis 2609 Duke 1702 Framingham 1584 Jones 1668 Major 1584 Manning, 584 Minor 1584 Roma 11 441 Kromatid 148 Kromofilik 2039 Kromofobik 2039 Kromosom 147, 1120, 1883 Philadelphia 153, 157, 1413 Kronik juvenil 2519 Krusta 35 Kualitas hidup, 773 Kuinolon 2902 Kuku pso~iasis 52 Kultur 502, 2810



mikrobiologi, 504 Kumbah lambung, 449 Kuratif 773, 781, 782 Kuru 2993 Kussmaul 33, 1908, 2845 Kussmaul) 1908 KVP 2291 kwashiorkor 1794



L-high-density lipoprotein (HDL) 1984 La rabbia 2924 La rage hydrophobia, 2924 LAA (Left Atrial Appendage) 1563 Labirintitis 828 Laboratorium 442, 2644, 2927 mikrobiologi. 2639 Lactic Acidosis 155 Lagoftalmus 39 Laju Endap Darah 1120 Laju filtrasi glomerulus 904, 943,1052 Laktat. 1903 Lakuna Howship 2385, 2387, 2390 Laminektomi 2721 Langkah pelaksanaan EBM. 2361 Lansoprazol 520 Lapang pandang 40 Lapis kedua 2242 Large beefy hands and feet 2040 Large vessel vasculitis 1004 Laringitis 2238 Laringospasme 2691 Laryngeal mask airway 23 1 Laseque 2722 Laserasi 922 pleura 2330 Late onset adrenal hyperplasia 97 Latihan Inti 1895 jasmani 1894 Lavase bronkus 2290 Layar Byerrum 40 LCAT 1001 LDL 1984 LED 593 Leflunomid 2759 Left anterior hemiblock 1610 atrial appendage 1539 bundle branch block 1610 posterior hemiblock 1610 ventricle, 906 Legg-Calve-Perthes bilateral 2730 disease 2697 Leiomioma 577 Lekosit 593 Lekosituria 937 Lemak 541, 1892 tubuh 1880 Lengan Pendek Kromosom 1374 Leptin 1976 Leptospira interogans 2807 Leptospirosis 2807 LES 2355, 2580, 2709 Lesi 893 hemoragik, 895 Janeway 1704



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI striktur, 594 Letargi 1913 Leukemia 1245 granulositik kronik 1209, 1374 limfoblastik akut 1266 Limfositik Granular Besar 1121 limfositik kronik 1276 mieloblastik akut 157, 1234 Leukopenia 44, 1 180 Leukosit Esterase 936 Leukotrien 2737 Levodopa 854, 911 Levofloksasin 2973 Levotiroksin 2028 Lewy Body, 838, 909 LFG 1035 LHON 155 Libman-Sacks 1804 Lidah skrotum 44 Ligamentous snaps 2449 Ligamentum Cooper 46 treitz, 594 Ligasi varises endoskopi 301 Limadenopati. 2290 Limb-girdle dystrophy 2636 Limfadenitis 2232 Limfadenopati 499, 2232, 225 1 servikal dan supraklavikula 2256 Limfangioleiomio-matosis 23 15 Limfangitis 2232 lokal 2232 Limfatik 1772 Limfodenopati 499 Limfogen 2232 Limfoma 887, 2252 Maligna 2335 MALT., 510 non-hodgkin 1251 pankreas, 743 sel B 1245 Sel T 1245 B, 885 Limfosituria 937 Limit 167 Linea dentate, 587 Lingkungan asam 2241 Lingua bifida 44 Linkage disquilibrium 243 1 Linkosamide 2902 Lipase 524 Lipid adrenal hyperplasia. 2069 Associated Sialic Acid in Plasma 1428 Lipoarabinomannan 2236 Lipogenesis 1974 Lipolisis 1907, 1908 di jaringan lemak 1901 Lipoma 577, 2251 Lipooksogenase 2739 Lipoprotein lipase (LPL) 1975 Litium 2018 LMA 1376 Lobektomi 2327 Loeffler, 2956 Lone COP 2316 FA 1612



Long QT syndrome 212 Longevity 758 Loop diuretics 2686 Looser's zones, 2693 lordosis servikal 2719 Low Bone-turnover 2695 molecular Weight Heparin 1356, 1361, 1731, 1762, 1768 out put HF 1583 Platelet (HELLP syndrome) 705 power laser energy 2029 voltage 1713 density lipoprotein (LDL), 1984 Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa. 2236 Lower esophageal sphincter 497 motor neuron 2629, 2717 Lubricant 589 Luka bakar, 922 Luminal agents, 561 Lupus eritematosus sistemik 1180, 1804, 2315, 2354, 2565, 2764 like syndrome 984, 2757 nefritis 2581 Luteinizing Hormone (LH) 95, 118 LUTS 2080 LV compliance 1790 Lymphocyte function-associated antigen-1 970 Lymphoproliferative diseases 2254 Lymphotoxin-a 2761 Lyssa-virus 2924



M-adhesions 1010 M-mode 1551 M.kansasi 2232 M.tuberculosae 2232 M.fortuitum, M.chelonei dan M.abscessus. 2263 M.kansasii 2264 M.szulgai, M.xenopi, M.simiae dan M.melmoense 2264 MACIS 2036 Macrophage Inflammatory Protein-1 a 2689 MACTAR 2367, 2368 Macula densa 2056 Mad cow disease 2993 Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography 545, 722 Imaging (MRI) 830, 895, 2235, 2927 Major histocompatibility complex (MHC) 156, 2430 Makroadenoma 2038 Makrofag 885 Makroglosus 44 Makrolide 888, 2902 azithromisin 2860 Makrovaskular 1937 Malabsorbsi 477, 584, 622, 1147 asam empedu 534, 549 lemak, 478, 549 Maladie de Roger 1784 Malaise 905, 2234, 2289, 2292 Malaria 887, 1163 Maldigesti 477, 584 Male escutcheon 2071 hirsutism 2070 Malformasi vaskular, 457 Maligna 493



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Malignant circinoid tumor endocarditis 1693 Malnutrisi 499, 1794, 2324 Malonyl CoA 1907 Maltase Croses Lipid 937 Mamma aberans 46 Manifestasi pencernaan. 2792 atipik 2793 hati 2793 hematologis. 2792 kardiovaskular. 2793 klinis 2562, 2558, 2611, 2645, 2791, 2845, 2957 kulit 2516 neurologis 2793 pernapasan 2792 Manometri esofagus, 483 Manuver Epley, 827 hiperabduksi 2700 Valsalva 225 1 Marasmus 1794 Marker 1375 molekuler 2544 Maroon stools, 443 Masa hidup trombosit 1 168 inkubasi 2925 persiapan pensiun (MPP) 929 Masih operabel, 579 Masokisme 121 Mass screening 1881 Massa tulang pada menopause 2396 Massage sinus karotikus 1606 Mastoiditis 41 sistemik, 525 Mata emetropia 40 hipermetropia 40 miopia 40 presbiopia 40 Mati batang otak 31, 1068 Matrix metalloproteinase-1 (MMP- 1) 1939 Maturity onset 1883 Mc Lyn McCarty 141 MDR 2203 Meals on wheels 782, 785 Mean arterial blood pressure 1683 Means-Lerman scratch 1795, 1799 Media transport carry-blair 2846 Mediastinoskopi 499, 2252, 2258 Mediastinum 2252 lipomatosis 2249 Mediator sel mast 2404 MEDICAID 932 Medical Outcome Study 36-Item Short-Form General 773 Medikamentosa 456, 518, 526 Medium Fletcher's 2807 Medium-sized vessel vasculitis 1004 Medroxyprogesterone acetate, 105 Medulla 2053 spinalis, 894 Mekanisme abortus 261 1 kerja 2737, 2739 kontraksi 2375 kontraksi otot 2375 reentry 1619 regulasi absorbsi besi 1129



takiaritmia 161 8 Melanoma 2260 M e l a ~syndrome 155 Melasma 34 Melatonin 803 Melena 443, 526, 453 Memar 922 Mernbran/Membrane Bruch's, 2727 attack complex 1010 Memori 838, 909 MEN (multiple endocrine neoplasia) 2A 2032 tipe IIA (Sindrom Sipple) 2687 2B 2032 Menarche 95 prematur 97 Mengi 2256, 2280 Meningitis 887 Meningoceles 2250 Menopause 95, 124 andropause 2078 Menstruasi 104 Mental age 2044 Menua 924 MEOS: microsomal etanol oxidizing sistem 84 Meperidin 2745 Merokok 2292 MERRF syndrome 155 Mesalazin 582 Mesin Aferesis 1207 Mesomorfik 92 Mesotelioma 2255, 2334 maligna. 2282 Messenger RNA (mRNA) 144 Metabolic age remodeling 1969 Metabolisme 212, 776, 897, 914 besi 1127 lintas pertama 134 pintas awal. 776 Metabolit kortisol. 2056 Metafase 1375 Metallic's sound, 476 Metaloproteinase 604 Metaplasia Barret 2625 intestinal, 516 Metasentris 148 Metastasis kanker luar esofagu 493 kanker 1506 tulang osteoblastik 2689 Metformin 1920 Methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) 2901 Metildopa 91 1 Metilprednisolon 1172 Metionin 1143, 2726 Metiraponi 2067 Metoda Fick 1569 Metotreksat 2631, 2648, 2756, 2758 MHC kelas I 2430 kelas I1 2430 kelas I11 2430 MHR 1895 Miastenia gravis 2636 Mickulicz's disease 25 14 Micturating cystogram 1013



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Mid systolic click 1682 Midbrain 2925 Mielofibrosis 1225 Mielografi 1022, 1283, 2689, 2717, 2722. Migrating motor complex 460, 461, , Migration-inhibitory factor 2058, 2750 Migren 2709, 271 1 Mikobakterium atipik 2263 Mikosis paru 2267 Mikro-organisme 885, 887 Mikroadenoma 2038 mikroaerofilik 504 Mikroagregat 1201 Mikroalbuminuria 958, 1943 Mikroangiopati 1160 trombotik 1181 Mikrobiologi 562 Mikrofibril 2725 Mikroglosus 44 Mikrognathia 2348 Mikrografia 853 Mikroinfark 901 Mikroorganisme saluran kemih 1009 Mikroperforasi 603 Mikrosefalus 36 Mikroskop fluoresens 2236 Mikroskopik Urin 936 Miksedema 2335 Miksoma 1693, 1818 Miliaria 36 Milwaukee shoulder syndrome 2564 Mineral, 2285 Mineralisasi tulang 2391 Mini Mental State Evaluation 908, 921 Minimal inhibitory concentration (MIC) 2901 Miofilamen 2629 Miogelosis 2709 Mioglobulinuria 2633, 2635 Miokard. 1798 Miokarditis 171 1, 1812 Reumatoid 18 10 Miopati 2647 inflamasi 2622 metabolik 2712 mitokondria 2633 steroid 2634 Miosin 2374, 2375 aktin, 2629 Miositis badan inklusi 2632 infektif 2638 Mismatch repair 569 Misoprostol 512 Mitis 2956 Mitochondria1 Encephalomyopathy 155 Mitogen 885 activated protein kinase 1414 activated kinase 275 1 activated kinase phosphatase 2750 Mitokondria 1907 Mitotan 2067 Mitral valve valve area 1675 valve prolapse (MVP) 68, 1563, 1680 valve replacement 1684 Mitramisin 2683, 2686 Mixed connective tissue disease 18 16



ly'mphocyte culture 1071 sleep apnea/MSA 2347 MMAS 2080 MMC 155 MMSE 910 Mobilitas fungsional, 812, 814 Mobitz tipe 1 1609 tipe I1 1609 I 1632 I1 1632 Modification of Diet in Renal Disease 939 Modifikasi asia pasifik 1865 gaya hidup 483 Modulasi Respons lmun 2439 Mofetil mikofenolat 1074, 2585 Monitor holter 2348 Monitoring Markers 1424 Monokromat 40 Monosomi 152 Moon face 2063, 2753 Morbiditas 900 Morbiliformis 2757 Morfea 2626 Morfin 2745 Morning stiffness 1808, 27 10 Mortalitas 768, 774, 910 Motilitas kolon, 462 MPO 1005 MRI 890, 1098 Mual dan muntah 443 Mucin 514 mucoraceae 2324 Mucosal Associated Lymphoid Tissue (MALT) 502, 5 16 Mucus promotor 523 MUFA 1892 Mukormikosis 2271 Mukormikosis aspergillosis, 2267 Mukosa esofagus, 497 Mukus-bikarbonat 5 14 Multi organ failure 240 Multidimensi 769, 770, Multidisiplin 781, 897 Multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB 2243 Multifokal 1624 Multinucleated giant cells, 2028 Multiorgan 779 Multipatologi 768, 777, 846 Multipatologis 779 Multipel /Multiple mieloma, 887 endocrine neoplasia 744, 2026 sleep latency test 806 readmission, 774 Multislice CT scan 1567 Murmur Austin-Flint 1674 Muscle wasting 2040 Muscular rheumatism 2709 Musculoskeletal disorders 2705 Muskular, 1784 Mutagen 2255 MVP 1681 Myalgic encephalomyelitis 2709 Mycetoma 2233 Mycobacteria other than TB (MOTT) 2232 leprae 2263



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



tuberculosae complex 2232 tuberculosis 727, 2232 Mycophenolate mofetil 988 Myelodisplasia hiposelular 1120 Myelomeningoceles 2250 Myocardial depressant substance 253 viability 1566 Myosin 1798, 2375 Myxedema 1800



N-acetyl-cystein 2262 N-methyl-D-aspartate (NMDA) 1950 N.phrenicus 2249 N.vagus esofagus, 2249 Nailfold capilaroscopy 2620 Nalokson 2745 Napas berbunyi (Wheezing) 56 Narcolepsy 806 NARP 155 Nasal Type NK-cell Neoplasma 1246 National Cholesterol Education Program Adult Treat 1865, 1866 National Institute of Health Obesity Clinical Guid 1866 Natrium 1056 darah 2236 dioctyl sulfosuccinat 589 hidroksida, 493 hipoklorit, 493 karbonat, 493 Nausea 609, 904 NCEP-ATP 111 1990 Nearsinkop 828, 1653 Necator americanus, 625 Neck braces 2708 spraidstain 27 19 Necrotic Foot 1962 Necrotizing glomerulonephritis 1006 pneumonia 2323 vasculitis 2647 Nefrektomi 1090 Nefripati asam urat 1022 Nefritis herediter 997 interstital kronik 1021 interstitial akut 1018 radiasi. 1022 Nefropati abstruktif 1023 analgesik (NA) 1022 asimptomatik 986 cadmium 1023 diabetik 1942 gout 2354 hipokalemik 1023 Iga idiopatik 992 iskemik 1090 lead 1023 overt 981 urat 2550 nefrosis akut, 887 neglected 769 Nekrofilia 12 1 nekrosis 895 esofagus, 493 tubular yang akut 2846



tumor, 886 Neonatal Lupus Eritematosus 2583 Neoplasma 768, 1 184 endokrin 2686, 2687 kolon, 454 Nephrogenic diabetes insipidus 964 Nerve conduction velocity 27 17 growth factor 1947 growth factor-Brain-derived neurotrophic f 1950 tissue vaksin 2929 Nervus vagus, 5 15 Nesiritid 1600 NeuJerbB2 2256 Neuralgia 51 Neuritis jari-jari 2707 Neuroasthenia 2709 Neurocysticercosis 2949 Neuroendokrin 2709 Neurofibrillary tangles, 838 Neurofibroma neurilemmoma, Schwannoma dan ganglion 2250 Neurohypophyseal-renal reflex 2048 Neurologi Akut 2926 Neurologis 212, 905 fokal, 897 Neuromuscular junction 2925 Neuron motor 2629 Spesific Enolase 1428 Neuropati 2516 diabetik 1947 difus 1949 fokal 1949 optik 25 16 optik leber 141 perifer. 25 16 sensorik 25 16 trigeminal 25 16 Neuroprotektif 896 Neuroprotektor 892 Neurosecretoy granules 2049 Neurosis 27 12 Neurotoksik 28 1 Neurotransmiter asetilkolin, 907 Neutralizing antibody 2927 Neutropeni febril 1498 Neutropenia 520 Neutrophil-activating chemokine, 503 Nevus pigmentossu 36 NHNES 1079 Niclosamide 2953 NikotinlNicotine 481, 2294 replacement therapy 2295 NIDDM 1883 Nistagmus 38 Nitrat 491, 1600, 1730 Nitric Oxide 592, 1089 nitric oxide synthase 1080, 2540, 1948 Nitrit 936 Nitrogen 862 dioksida 2285 negatif 1057 Nitrogliserin 1746, 2746 Nitrous Oxide 1147 NMP22 1428 No ulcer, 523 Nocciception 2709 Nocturnal



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-27



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI oxygen therapy trial 161 pain 2701 Nodul reumatoid 2354 subkutanius 1665 tiroid 2022 tiroid soliter 2022 Nodus 35 AV 1609, 1630 SA 1602, 1630 Nokardia 2209 Nokardiosis 2271 NOMENKLATUR 243 1 Non functioning 2038 nerve tissue vaccine 2929 random eye movement sleep atau restorative sle 2710 REM, 802 selular 1190 ST elevation myocardial Infarction 1757 cardiac chest pain1NCCP 482 erosive reflux disease (NERD) 482 farmakologik 772 infektif 535 insulin dependent 1883 opioid 917 polyposis, Hereditary Colorectal Cancer 568 sustained 1624 weight bearing 1963 bacterial thrombotic endocardia1 (NBTE) 1703 disjunciion 143 farmakologis 588 fotokromogen 2263 Norepinefrin 2746 Normogram 9 14 Normokrom 2236 Normositer; 2236 Nortriptilin 2746 Nosisepsi 2744 NSAID 777 NSCLC (non small cell lung cancerlkarsinoma skuamo 2254 NSE 2259 Nuclear factor 503, 2750 Nuclear Magnetic Resonance Imaging 1120 Nukleonik 226 Nukleosida 144 Nukleosom 147 Nukleotida 144, 1417 Nursing homes, 782 Nyeri 917 abdomen, 585, 609, 621 abdomen akut, 474 alih 2715 dada 2234 diskogenik 271 6 fantom 51 gluteus, 2707 pinggang 2707 mediastinum 56 mielogenik 27 16 neurogenik 2716, 271 7 neuropati 2748, 2747 neuropati perifer pada diabetes 2748 pada kanker 1512 pasca herpes 2748 peritoneum parietal 445 perut, 445 phantom 2748



pinggang bawah 2715, 2720 pleura 56 pindah 51 punggung 2707 retrostemal 2252 sentral 51 servikal 27 15 servikal Non-spesifik 271 6 servikal Spesifik 2716 spinal 2715 tabetik 51 viseral, 445



OA 2354 OAT 2001 OAT cell carcinoma 2255 Obat 2240 anti inflamasi non steroid (OAINS) 51 1, 523, 574, 2356, 2559, 2563, 2737 digitalis, 519 intravena 2345 penghambat P 1904 penyekat kalsium 1600 pimtomatik, 589 lapis pertama 2242 obatan 1147 antikoagulan 1361 antitrombosis 1359 Obes 900 Obesitas 1793, 1880, 2348 sentral 1979 viseral 1793 Oblik 2235 Obstipasi 475 Obstructive Sleep ApneaJOSA 2347 Obstruksi 579, 905 berat LVOT 1824 gastric outlet 517 jalan napas atas 906 kolon, 905 mekanik, 499 strangulasi, 61 8 usus halus 905 Ocalized irradiation, 581 Occult blood, 542, 579 Occupational disease 2705 Octacalcium phosphate 2561 Octreotide 302 Ocular motor palsy 2067 Odynophagia 2252 Ofloksasin 2973 Oftalmopati Graves 2006 Oklusi 892 Oksalosis 1023 Oksida nitrit pada penyakit reumatik 2426 Oksidasi 776 Oksigen 224 Okskarbasepin 2747 Okupasi 896 Olanzapin 909 Oligoartritislpausi-artrikular.2522 Oligonukleotida 1417 Olive eder puestow, 495 Olpadronat 2683 Oomega-3 1987 Omeprazol 520 Onikauksis 52



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Overriding aorta 1787



Onikoatrofi 52 Onikogrifosis 52 Onikolisis 52 Onikomikosis 52 Onkogen 157, 1413 ABL (c-abl) 157 MOS (c-mos) 157 Onkogenesis 1413, 2256 Onkologi 1440 Opening snap 67, 1672, 1701 Operasi non jantung 1853 Opioid 777, 2744 kuat, 917 ringan, 917 Opistotonus 49 Oposthorchis 2943 Organic anion transporting polypeptide (OATP) 134 brain syndrome 907 Organisme Intestinal 1146 Orientasi 909 Orofarings 772 Oropharyngeal Anthrax 2967 Orthopedi 772 Orthopnea 1584 Ortopneu 33 Ortostatik 794 Osifikasi subkutan, 2692 Osler's node, 1704 Osmolaritas intraluminal, 549 plasma, 888 serum, 800 osteitis fibrosa 2695 cystica 2686 Osteo sarcoma 2260 Osteoartritis 2353, 2354, 2355, 2356, 2358, , 2538, 2719, 2730 osteoartrosis 2369 Osteoblas 2385, 2386, 2387, 2388, 2389, 2390, 2690, 2695 Osteodistrofi 2695 imperfects 2725 renal 1039, 2695 renal tipe campuran 2696 Osteogenesis imperfekta 2727 Osteoitis 2642 Osteoklas 2385, 2387, 2388, 2389, 2690, 2695 Osteokondritis disekan 2732 Osteokondrosis juvenil 2732 Osteomalasia 2677, 2693 Osteomielitis 2641, 2642, 2643 pelvik 2641 Osteonekrosis 2695 Osteoporosis 118, 824, 861, 2063, 2355, 2358, 2361, 2362, 2363, 2364, 2708, 2710, 2719 generalisata 2726 iuvenile idiopatik 2727 0st;osit 2385, 2390 Osteosklerosis 2695, 2697 Oswald avery 141 Otot skelet 2629 Outbreak SARS, 2792 Oval fat bodies 937 Overactive bladder, 865 Overdiagnosis 9 14 Overfilling 948 Overflow Proteinuria 958



Oversensing 1655 Ovum primordial 95 Oxygen Delivery., 223 Ozon 2285



P blood group 1010 P fimbriae 1010 P-450, sitokrom 708 P-glycoprotein (P-gp) 134 P. carinii 2209 P.aeruginosa resisten terhadap aztreonam. 2901 P.P.D. (Purified Protein Derivative) 2237 P2 2235 Pace maker 461, 1791 baik 1791 Packed red cell 302 Pacu Jantung 216, 1813, 1860 permanen 1652 Padam 2081 Paget 2680 Painful articular syndrome. 2647 Painless thyroiditis 2018 Pakionikia 52 Palmar erythem 34 Pamidronat 2682 Pan gastritis kronik 516 Panamin G, 495 Pancoast tumor 56 Pandisiplin 770 Pangastritis 503 Panhipopituitarisme) 1902 Pankarditis 1804 Pankreatitis 721, 731, 905, 1906, 2677 akut, 731 bilier, 724 iskemia 606 Pankreatitis kronik, 73 1 pansitopenia 520 Pantang berkala (ogino-knaus) 123 Panti werda, 784, 786, 885, 913, 914, 931 Pantoprazol 520 Paparan asap rokok. 2294 Papsmears 2079 Papul Gottron 2630 Papula 35 Paradisiplin 770 Paralisis periodik 2634 Parameter fisik urin 935 Kimia 935 Paraneoplastik. 2648 Paraparetik flaksid 2447 spastik 2447 Parasentesis 747 Parasomnias 802 Parathiroid hormon-related protein 316, 2075, 2395, 2688 Parestesi 51 paripurna 771, 773 Pariteal/oxyntic, Sel 515 Parkinson 85 1, 904, 905, 2447, 2712 ' Paroksetin 2747 Paromomisin 2953 Paronikia 52 Paroxysmal cold hemoglobinuri 1155



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-29



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI nocturnal dyspneu 33 nocturnal haemoglobinuria 1163, 1174 orthopnea nocturnal dispnea 1682 Pam obstmksi kronik 885 Parvovirus B 19 1203 Pasca gastrektomi 1146 skleroterapi endoskopi 493 strok, 916 terapi radiasi 493 bedah transeksi esofag 493 Pasien AR 2755 kanker terminal 1519 Patofisiologi 11 10, 2514, 2988 patofisiologi dan patogenesis 1117 patofisiologi edema 946 patofisiologi proteinuria 956 Patogen 555 Patogenesis 1160, 2538, 2520, 2557, 2562, 2610, 2622, 2646, 2648, 2925 dan imunitas 2844 dan patologi 2791 Patognomosis 281 0 Patologi 2556, 2643, 2925 Patrick 2722 Pauci - immune necrotizing glomerulonephritis 984 PC 594 PCR 728, 2246 PE 1372 PEA 229 Peak height velocity 93 Pearson Syndrome 155 Pectus carinatum 59 excavatum 59, 61, 2725 Pedofilia 121 Pedunculated polyp 557 PEEP 2205 Pelepasan gastrin, 5 15 Pelvis 905 Pemanasan 1895 Pemantauan pemantauan pH 24 jam 483 pemantauan progresivitas 2544 Pembedahan 451, 579 Pembelahan sel 143 Pemberian preparat besi 1134 Pembesaran kelenjar prostat. 905 limp 1183 Pemeriksaan darah rutin 214 darah seri anemia 1 11 1 defisiensi besi 458 endokopi, 467 fisik, 442 fisis jantung 65 hngsi ginjal 938 hemoglobin, 478 histopatologi 2258 invasif 505 laboratorium 11 19, 2522, 2544, 2563 penunjang 2554, 2793 penyaring 1111 radiologi 2523, 2235, 2563, 2640 radiologis dada 2235 sitologi 2258



sumsum tulang 1111 antimikroba 2896 Penanda tumor 1409, 1422 Penanganan 2681 Penanganan rabies 2928 relaps pertama 1170 Penapisan 569 Penatalaksanaan 2559, 2617, 2640, 2641, 2642, 2645, 2647, 2648, 2846 Pencampuran vena, 221 Pencegahan 1135, 2678, 2811, 2848, 2928 Pendekatan diagnosis 441, 1112 klinis 1112 paripurna pasien geriatri (P3G) 769 probablistik 1112 terapi 1113, 1171 tradisional 1112 Pendinginan 1895 Penebalan pleura (pleuritis) 2235 Pengaruh pengenceran 1201 Pengawasan perempuan hamil 117 Pengelolaan 2518, 2523, 2546, 2712 Pengendalian Infeksi 2795 Penghambat ACE 1950 beta, 902 GPIIIIIIa 1578 kalsineurin 1074 pompa proton (PPI) 506, 523 protein kinase C 1950 reseptor alfa 902 Pengobatan 1608, 2260, 2563 pembedahan 2247 suportif 1482 tuberkulosis 2240 Pengukuran beda potensial nasal 2277 Peningkatan otomatisitas 1618 Penisilin/Penicillin 2968 prokain 2959 binding protein (pbP) 2902 Pentamidine 2345 Pentasomi 152 penukaranlketergantungan, Teori 920 Penularan 2232, 2790 Penyakit 1186 Penurunan enzim glucosa 6-phosphatase 2552 Penyakit batu empedu 721 Addison 2053 Alzheimer, 101 Behcet 2648 Caisson 2708 Crohn 525, 591, 2046 Cushing. 1914 degeneratif 271 0 donor cangkok 1200 esofagus refluks (endogan) 493 fabry 998 freiberg 2732 gamopati 1283 gaucher 2696 ginjal kronik 1035, 1066 grave 1799 graves pada wanita hamil 2007 hodgkin 887, 1262 jantung hipertensi 1777



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



jantung koroner 768, 904, 1767, 1792, 181 1, 1937 jantung koroner reumatoid 18 10 jantung reumatik 1689 jantung sianotik 1824 jantung skleroderma sekunder 1813 kolagen-aortitis sifilitika - diseksi 1689 kolagen vaskular 2290 legg-calve-perthes 2732 lyme 2645 mediastinum 2249 meniere, 828 osgood-schlater 98, 2732 osteoporosis parkinson, 2710 paget 2680, 2721 pankreato bilier 51 7 parkinson 2710 paru eosinofilik 2210 paru interstisial (PPI) 23 15 paru kerja 2285 paru lingkungan 2285 paru lingkungan kerja 2279 paru obstruksi kronik 161 paru obstruktif kronik (PPOK) 2293 perianal, 454 periodontal 2323 radang panggul pelvic 604 refluks gastroesofageal 480 reumatik lainnya 2764 menular seksual 118 scheuermann 2732 tiroid 1795 tubulointerstisial 1016 usus inflamatorik 535 vascular, 5 17 von Willebrand 1313 Wilson 39 Penyalahguna NARKOBA intravena (PNIV) 1702 Penyaring 1880 Penyebab 451, 2550 Penyekat Beta 1730, 1738, 1750 Penyesuaian 2402 Penyuntikan steroid intralesi: 495 submukosa, 45 1 Pepsinogen 5 15 Peptida-C 1896 Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago 2540 Peranan fisiologik 2392 Perawat gerontik, 769 Percutaneous coronary intervention (PCI) 1572, 1748 Ethanol Injection 2028 mitral ballon valvotomy 1676 transluminal coronary angioplasty 102,1572 Endoscopic Gastronomy 495 Perdarahan berat, 453 intraserebral, 893 masif, 499 saluran cerna 443, 621 saluran cerna bagian atas 447 samar, 456 varises gastro-esofagus 297 Peregangan (stretching). 1895 Perforasi 905 esofagus 2252 usus 1908 Performance status 14 1 1



Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGEMI ) 924, 925 Peri-operatif 897 Periartritis kalsifik 2699 Pericardial friction rub 68, 1805 Perikardiosentesis 1806 Perikarditis 1808, 1813 akut 1725 konstriktif 1804, 2621 konstriktif kronik 1726 Perikolik 603 Perimembranous, 1783 Perimetri 40 Goldman 2041 periode refrakter efektif 1645 perioperatif 1853 Periprosthetic leaks 1704 Peristaltik 2745 Peristaltik usus, 885 Peritoneum viseral, 475 Peritonitis 517, 603, 905 feculen generalisata 604 Perjalanan Udara 2346 Perkarditis akut 1725 PERKENI 1880 Perkijuan 2233 Perkusi 2235 Perlambatan interval QTc 17 13 Perlemakan hati akut pada kehamilan 1366 Permanent pace maker 1636 Permissive hipercapnia, 237 Pernapasan Biot (Ataxic breathing) 60 Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB 2236 peroksinitrit 2540 peroxisome proliferator activated receptor-g. 1974 persisten 952 Personal strength limit 2708 pertumbuhan 1907 Perubahan fungsional non-anemia 1131 pada tulang rawan sendi OA 2382 tulang selama kehamilan 2397 tulang selama laktasi 2397 Perumahan khusus usia lanjut 786 usia lanjut yang terlindungi 786 Perusak eksogen, 514 endogen 514 Pes planum. 2725 PETICT 2026 Petanda tumor, 546 Peutz-Jeghers, Sindrom 557 pH-gated urea channel 502 phalen test 2701 Phallen's wrist flexion sign 2451 Phasing out, 930 Pphoribosylpyrophosphatase 2550 Phosphodiesterase inhibitor 949 Phthisis 2230 PHV 93 Piece meal, 558 Pielografi antegrad 941 intravena 941 retrograde 941 Pielonefritis akut 1008, 101 1 emfisematosa 1012



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kronis 1008 Pigeon-breeder's lung 2288 Piknodisostosis 2727 Piles 587 Pinggang jantung 67 Pinguekula 39 Pink tetralogy 1788 Piotoraks 2325, 2329 Pipa nasogastrik, 897 Pirai 2550 Pirau kanan ke kiri 222 Pirazinamid 223 1 Pirofosfat inorganik 2562 Pirogen endogen, 886 Piruvat 1917 Pituitary-dependent adrenal hyperplasia 2062 Plagiosefali 36 Planted-antigen 969 Plasma exchange 1006 expanders. 1914 segar beku 1 194 vena 1880 Plasmaferesis 1367, 2637 Plasmid 2903 Platelet-endothelial cell adhesion molecule-1, 970 Plegmon 603 Pleiotrofi 1107 Pleksus auerbac, 461 meissner, 461 Pleomorphic sarcomatoid 2254 Pletorik 2063 Pleura 2329 parietalis 2282, 2329 shock 2330 viseralis 2329 Pleural friction rub 64 plaques 2282 Pleuritis 1804, 2308, 2330 eksudativa 2329 fungi 2333 parasit 2333 sicca 2302 tuberkulosa 2332 Pleurodesis 2346 talk 2345 Plikamisin 2683, 2686 Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) 2209, 2345 Pneumokoniosis 2280, 2281 Pneumolisis 2344 Pneumomediastinum 2252 Pneumonia 499, 769, 862, 887, 894, 905, 906, 907, 911, 2324 aspirasi, 906, 2207 eosinofilik 2210 komunitas 2205 kronik 2209 nosokomial 2201, 2203 pada gangguan imun 2208 pneumokokus 2208 rekurens 2210 resolusi lambat 2210 Pneumonitis bakteril 2207 hipersensitif 2289 kimia 2207



Pneumoperikardium 499 Pneumotoraks 64, 906, 2235, 2249, 2329, 2339, 2345 artificial 2344 spontan primer (PSP) 2339 spontan sekunder 2339 PNH 1174 Podagra 2559 Point mutations, 569 Pola Pemberian Antimikroba 2899 Poliarthritis nodosa-like syndrome 2648 Poliartritis 2522 Polidipsi 1908 polifarmasi 777, 779, 846, 907, 914 Poliklinik geriatri 783 Polimialgia reumatika 2710 Polimiositis 1816, 2630, 2712 idiopatik 263 1 /dermatomiositis 1815, 2712 Polimorfisme 243 1 HLA 2431 Polimorfonuklear 594 Polip 594 epitelial., 557 Hiperplastik, 558 kolon, 557 non-epitelial, 557 Polipektomi 558 Polisitemia 2554 Vera 1214 Polisomnografi 2348 polisomnogram 806 Poliuria 1908 fisiologis 962 non fisiologis 962 Poloy pathway 979 Polusi udara 2255, 2284 Polymerase Chain Reaction (PCR) 159, 504, 506, 1418, 2236 Polysomnographic 803 Pomona L. 2808 Pompa balon intra-aortik 1752 Na-K-ATPase 1087 Poncet's arthropathy 2238 Porin 2633 Post epitellsub epitel 5 14 drips 44 operative cognitive dysfunction 909 mortem 609 Posterior 2252 Postulat Koch 2231 Postural dizzy 1778 Potassium-losing effect 2059 Potensial membran 1523 Pott's disease 2230 PPOK 906, 2256 Praksis 838 Pramuwerdha 837 Prazikuantel 2953, 2986 Pre epitel, 514 Pre menopause, 893 Pre-renal 1045 Predictive Markers 1424 Pprediktor 1855 Predisposisi 907 Predivertikular 602 Prednisolon 777, 2753 Preeklampsia 1 100, 1365, 2581



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUKnonhiston dr. PRIYO PANJI 148



Premature atrial beats 1606 atrial complex 1549 beat 1618 ventricular contraction (PVC) 1549 Preparat besi 1140 Preproinsulin 1896 Ppreretirement course, 930 Pressure gradient 1569 half time 1675 support ventilation 168 Prevalensi 907, 1130, 1177 anemia 1110 prevalensi gout 2550 hiperurisemia 2550 nasional terakhir TB 2231 obesitas 1865 sindrom metabolik 1865 primer, 569 Preventif 772, 781, 782 terhadap tuberkulosis 2247 Pria 1865 Primary PCI, 245 polydipsia 964 Primer 488, 1417 Prion 2993 Probe atau Pelacak DNA 1418 Procainamid 91 1 Produksi 2409 darah 1190 asam., 515 urease, 502 Profil lipid 1891, 1892 Progestogen 2586 Prognathism 2040 Prognosis 897, 9102523, 2627, 2713, 2929 dan perjalanan penyakit 1125 Prognostic Markers 1424 Programmed cell death 2256 Progresive systemic sclerosis 2620 Prokinetik 484 Proktitis radiasi, 581 Prolactin-inhibiting hormone, 1 18 Prolaktin 2709, 2710, 2750 Prolaktinoma 2039 Prolaps katup mitral 1779 Proliferasi sel, 5 14 Promotif 772, 782 Prompt endoskopi, 5 18 Prompted voiding, 871 Propositus (proband) 142 Propriosepsi 904, 8 13 Proses degenerasi., 904 keganasan, 184 Prostaglandin 519, 2737, 2740, 2741 Prostasiklin 2338 Prostate Specific Antigen 1427 Prostigmin 540 protease 5 1 1, 524, 2422 Protein 541, 1028, 1892 Bcl-2 1415 C d a n S 1371 C Teraktivasi 1337 Kinase C 979 markers 1425 membran luar 502



Proteinaceous hair-like projection from the bacter 1010 Proteinuria 1000, 1086 benigna 936 fisiologis 957 fungsional 959 glomerulus 935, 957 intermiten 959 ortostatik (postural) 959 overload 936 terisolasi 958 tubular 935 Proteksi emboli 1576 Proteoglikan 2383, 2384, 2539, 2547 Protese 886, 1826 Proto-onkogen 1413, 2256 Protokol CAP (siklofosfamid, doksorubisin, dan cis 2261 Proton pump inhibitor (PPI) 483, 485, 527 Protoporfirin 1 133 Protruded type, 577 Protrusio asetabulum 2725 PRPP synthetase 2552 Pseudo Cushing 2064 vitamin D deficiency 2693 akondroplasia. 2730 divertikular 602 fraktur 2693, 2708 gout 2561, 2562 hermafroditisme 150 hidrofobia 2928 hipertensi 899 hipoparatirodisme 184, 2045, 2692 ikterus 34 manas aeruginosa 290 1 membran 565 monas 2323 monas aeruginosa 2275 pterigium 39 ptosis 39 reumatoid 2563 santoma elastikum 2727, 2725 trombositopenia 1368 Psikiater geriatri, 771 Psikiatri 769 Psikiatris 826 Psikoanalitik/psikopatologi,Hipotesis 920 Psikologis 769, 779, 894, 896 Psikomotor 91 1 Psikoneuroendokrinologi 80 Psikoneuroimunologi 81 psikososial 2706 Psikoterapi 585 psikotropik 905, 907, 914, 2745 Psoriasis 2554, 2647 Psoriasis polisitemia, 2554 Psuedo-resistance 2901 PTCA 1572 Pterigium 39 PTI akut 1168 Kronik 1169 Ptosis 39, 2040 Pubertas Prekoks 97 Terlambat 96 Puddle sign 72 PUFA 1892



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pulau patogenesitas, 502 Pulmonary alveolar proteinosis 2283 capillary wedge 1541, 1752 hemorrhage 1006 outflow tract 1539 Pulse generator 1641 oxymeter 1635 steroid therapy 2752 Pulsed wave dopler' 1558 Pulseless 229 electrical activity 229, 232 Pulsus alternans 32 bigeminus 32 celer 32 defisit 32 magnus 32 paradoksus 32 parvus 32 tardus 32 Punctum maximum 1682 Pungsi perikard 1726 supra pubis 905 Pupil agyl Robeertson 40 . marcus-Gunn 40 Pure water diuresis 2050 Purified Vero Cell Rabies Vaccine 2929 Purin 1142, 2354 Purpura 35 pasca transfusi 1200 trombo-sitopenik trombotik 552 trombositopenik imun 1179 trombositopenik trombotik 1180, 1367 Pursed lips breathing 60 Pusat gravitasi, 8 13 Pusing 1904 Putrid abscesses 2324 PVC 1623 bigemini 1624



Q fever 1704 Q-banding 158 QpIQs 1783 Quadranopsia superior bitemporal 2041 Quartz 2283 R o n T 1624 RA 2368 Rabdomiolisis 293, 2633 Rabdomioma. 1818 Rabeprazol 520 Rabies 2924 Rachitic rosary 2677, 2693, 2045 Radiasi 579 intrakoroner. 1573 Radical neck dissection 2034 Radikal bebas, 5 11, 1948 Radikulopati 2719 Radiofrequency ablation 1644 Radiografis Sendi 2543 Radioiodine uptake 2023 Radiolabelled albumin, 545 Radiologi 442, 2644, 2681



Radionuclide Bone Marrow Imaging 1120 Radionuklida Scintigraphy 2252 Radiosensitif 500 Radioterapi 2260 Radon. 2287 Rakhitis 2045 Rangkai-X dominan 151 resesif, 151 Ranitidin 907, 91 1 Ranula 44 Rapid eye movement (REM) 802 fluorencent focus inhibition test 2928 Growers 2263 Rapidly progressive glomerulonephritis 986 Rasa diskriminasi, 52 Rash ikhtyosiformis 273 1 Rawat rumah 2260 Raynaud's phenomenon 2515, 2516, 2700 RBBB inkomplit 1629 Re-infeksi 1012 Reactive oxygen species (ROS) 503, 1948 Reaksi alergi 1185 anafilaktik, 257 hemolitik 1186 takahashi 2236 transfusi alergi 1200 transfusi hemolitik 1199 transfusi hemolitik segera 1199 Rebound 603 Receptor antagonists 972 Reciprocating tachycardia 1634 Recombinant human desoxyribonuclease I (rhDNase I) 2278 Rectal swab 2846 Recyncronizing cardiac teraphy 1583 Red clover 2080 Red-rimmed vacuoles 2632 Redundansi 1107 Reentry 1603, 1646 tachycardia 1638 Referred pain, 445, 474, 2720 Refleks achiles 50 babinsky 50 brakioradialis 50 chaddock 50 fisiologis 50 gordon 50 hoffmann-tromner 5 1 kornea 31 kremaster 50 leri 51 lutut 50 mayer 51 mendel-bechterew 5 1 okulosefalik 38 oppenheim 50 pupil 31 rossolimo 50 schaeffe 50 triseps 50 vagal 1564 Refleksi akustik, 807 Refluks 494 Regenerasi epitelial, 5 12 Regimen Essenl rekomendasi WHO 2929



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



I34



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Regurgitasi 1825 regurgitasi aorta 1689, 1814 regurgitasi mitral 1679 regurgitasi trikuspid 1698, 1796 Rehabilitasi 896 geriatri, 784 medik, 769, 771, 772 Rehabilitatif 772, 782 Rehidrasi 202, 197, 554, 1909 Oral, 799 parenteral, 799 Rehospitalisasi 773, 774 Rejeksi Ginjal Transplan 1073 Rektosigmoid 572 Rektosigmoidoskopi 572, 582 Rektum iritable, 584 Rekurensi strok, 894 Relaps 990, 1123 Relapsing infection 1012 Relatif 1906, 1907 Rematoid artritis 527, 2283 Remifentamil alfentamil, 2745 Remodeling tulang 2387, 2388, 2389 Renal. 1045 tubular acidosis 2046 tubular acidosis tipe distal 2516 Renin 1087, 2056 angiotensin 200 angiotensinogen-aldosteron 1086 Renogram 943 kaptopril 943 Renovaskular 1090 Repeated test of sustained wakefulnes 807 Reperfusi 1746 Repetitive stress injury 2706 Replikasi 885 DNA 145 Repolarisasi 1523 Reseksi 500 ileum, 477 kuratif, 579 usus halus 477 Reseptor 776, 2406 antagonis H2 523, 527 AT1 1089 AT2 1088 estrogen, 2690 kalsium 2687 N-metil-D-aspartat 2747 TNF 2761 TSH 2020 vitamin D 2688 Resesif autosomal 2693, 2727 Resin 2677 Resipien 1069 universal 157 Resistensi 2902 terhadap pengobatan 989 insulin 1865, 1899 Resorbsi tulang, 185 Respiratory bronchiolitis-associated interstitial 2316 distress syndrome 2794 Respite-care 786 Respons 2436 Bawaan (alami) dan penyesuaian 2402 imun alamitbawaan 2405



imun penyesuaian (adaptif) 2405, 2412 stres 2436 Restenosis 1574 Restless Legs Syndrome 807 Restriction fragment length polymorphism (RFLP) 159 Resusitasi 456 jantung paru 227 Retardasi mental 2726 Retensi urin, 905 Reteplase 1749 Retikulum endoplasma 1896 sarkoplasmik 2629 Retrieval forceps, 558 Return of investment 773 Reumatik ekstra artikular 2698 Reumatism psikogenik 27 12 Reumatoid artritis 1808 Revaskularisasi 1092, 1597 Reverse-transcriptase polymerase chain reaction 2928 Reversible dementia, 907 Rh immune globulin 1197 Rhabdoid phenotype. 2254 Rhabdoviridae 2924 Rhythmonom propafenon 1607 Rib notching 1787 Ribavirin 2928 Ribosomal RNA (rRNA) 144 Rice bodies 2643 Rifabutin 2265 Rifampin 2902, 2973 Rifampisin 2231, 2265, 2968 right bundle branch block 1610, 1801 right ventricular heaving 1682 Rigiditas 853, 2745 Rigidity 851 Riketsia 2677, 2678, 2693 nutrisional 2678 Risedronat 2682 Risiko 2642 Risperidon 909 Risus sardonikus 37 Rituksimab 2763 Rivello-Carvallo maneuver 1705 sign 1699 Robekan Rotator Cuff 2700 Robert Koch 2230 Rohaniwan 917 Ron ki basah 63, 2280 basah halus 2290 kering 2280 Rontgen dada 1539 Rose Bengal Staining 2517 Rotablasi 1576 Rotator cuff tendinitis (impingement syndrome) 2699 Roth spots 1704 Roux-en-Y 52 1 Ruam heliotrop 2630 malar 37 Ruang-bikarbonat 195 Rubenstein-Taybi Marfan, 44 Ruffled border 2076 Rumah hospis 1519 Rumus Brocca. 1892 Ruptur 905



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



limpa, 905 plak 1728



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



S-100 1428 S. dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei 2857 S. hematobium 2986 S. japonicum 2986 S. mansoni 2986 S. mekongki 2986 Sabershin 2045 Sadisme 121 SAHAD 2927 Sakit perut, 441 sakus perikardial 2249 Salah perlakuan, 919 Salisilat 519 Salisin 2737 Salmonelosis 563, 621 Salt and pepper 2695 loosing 2069 Saluran cema bagian bawah 460 Sample volume 1560 Sanatorium 2230 Saraf otonom, 905 Sarang (fokus) Ghon 2232 Sarcoma kaposi, 2345 Sarkoidosis 185, 1021, 2252, 2336, 2648, 2696 Sarkolema 2629 Sarkoma 1693, 1820, 2250 Sarkomer 2374, 2376 Sarkopenia 8 16 Sarkoplasma 2629 Savary-Guillard, Dilator 495 Sawar otak, 901 plasenta 1826 Scanning isotop 2332 Schuffner 74 schwarte 2235 Scintigraphy dan angiografi 455 Scissor gait 2447 Screening Markers 1423 Second degree relatives 142 messenger system 907 Secretory canalicular structure 509 Sedatif 2928 hipnotik, 905 Sefalik 515 Sefalometri 807 Segitiga Garland 63 Grocco 63 Segmentasi kolon, 603 Sekresi insulin 1865 Seksualitas abnormal, 121 Seksualoralisme 121 Sekunder 488 Sel asal darah tepi 1205 bakal terkait tugas 1106 beta 1883 beta pankreas 1865 darah merah pekat 1191 epitel permukaan 5 14 induk pluripoten 1105



parietal, 514 peptik, 515 punca (stem cell) 1401 T, 885 T-helper immatur (Th 0) 503 darah dewasa '1 106 Selang nasogastrik, 9 19 Selective Serotonin receptor inhibitor 2747 reuptake inhibitors (SSRIs) 2079, Selenium betakarotene dan vitamin A 2256 Self limited disease 555 Selman Waksman 2231 Selular 1190 Selulosa 602 Senescence 758 Sengatan hymenoptera, 276 kalajengking, 276 listrik, 272 Seranggga, 275 Senile amyloidosis 1790 Sensing 1654 Sensitivitas reseptor insulin 1891 Sepertiga atas, 497 tengah, 497 Sepsis 252, 268, 1920 berat, 268 emboli 2323 Septikemi 2323 Serabut AV junction 1618 serabut Purkinje 1524, 1618, 1630 Sereberal ataksia 2997 Serebrovaskular 1 100 Serkaria 2988 Seroepidemilogi 502 Serologi 502, 561, 2810 Serositis 1804 Serotonin 2059, 2710, 2746, 2747 selective reuptake inhibitor 848 Sesak Napas 56, 2234, 2300 Sessile polyp, 557 Severe abdominal cramp 563 acute respiratory syndrome (SARS) 2790 Sex hormone binding globulin (SHBG) 95, 2080 Sferositosis Herediter 1 162 Sfingter esofagus bagian atas 488 esofagus bagian bawah 488 uretra, 866 SGOT 909 SGPT 909 Shawl-sign rash 2630 Sheep liver fluke 2946 Shick test 2959 Shifting dullness 72 Shigellosis 2857 Shooting star 2846 Short stature 2044 wave diatermi 2699 Shunt 1563, 1569 Sialografi 25 17 Sialometri 25 17 Sianosis 2337. 2292



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr.geriatri., PRIYO 780 PANJI



Sianotik 1824 Sicca syndrome 2514 Sick sinus syndrome 1640 Sickle cell, 622 Sidik Indium 111 leukosit: 544 perut, 545 tiroid 2022 tulang 499, 2722 Sighing respiration 60 Sigmoidoskopi 544 fleksibel, 573 Significant bacteriuria 1008 Sikatriks 35 Siklofosfamid 2585 Siklooksigenase 2738 Siklosporin A 2585, 2758 Siklus berjalan, 812, 814 besi 1129 hidup 2944 Krebs 1907 reaksi seksual 119 tidur, 802 Silent iskhemia 1736 Silikosis 2283 Silinder (Cast) 937 Silver impregnated dressing 1964 Simetidin 907 Simfalangisme 273 1 Simpatoadrenal 1904 Simpatomimetik 225 Simpleks ensefalitis 2928 simtom prodromal, 904 Simtomatologi Opiat, 284 Sindrom kompresi arteri seliaka 616 abstinence 2746 adrenogenital 2069 afferent loop 521 antibodi antifosfolipid katastrofa 1348 antifosfolipid 1180, 1339, 1349 antikolinergik, 293 arteri vertebral 2719 bahu milwaukee 2564 bartter 2072 beckwith-wiedermann 153 biedl-bardet 2046 boerhaave 2252 brugada 1629 budd-chiari, 705 carpal tunnel 2698, 2701 charcot-marie-tooth 153 churg-strauss 22 10 conn 2071 cushing 1778, 2040, 2634, 2687, 2753 cushing iatrogenik 2066 delirium, 907, 91 1 diare, 563 disfungsi organ multipel 262, 615 dismielopoetik 1241 dressler 2336 dumping, 521 dwarfisme 2727 ehler-danlos 34, 44, 2725, 2726 fanconi 2678 fatique kronis. 2712 fibromialgia 2709



glomerulus progresif dan kronis 986 guillian-barre 2748 hadju-cheney 2727 hamman-rich. 23 16 sindrom hellp 1364 sindrom hemolitik uremik 1367 hiperparatiroid familial 2687 hiperplasia adrenal kongenital. 2053 holmes-ardy 40 horner 38, 58, 499, 2250 iusus ritabel 540 jantung hiperkinetik 1816 kartagener 2297 kelelahan pasca penyakit virus. 2710 kelley-seegmiller 2552 klinefelter 97, 152 klippel-feil 36 kolon iritabel 460 koroner akut 1940 korsakoff 85 laron 2044 laurence-moon-biedl 97, 2046 lesh-nyhan 2552 lofgren 2648 marfan 1691, 1779, 1826, 2725 marfan-mukopolisakaridosis 1689 meig 2331 mendelson 2207 metabolik. 1865 miastenik lambert-eaton 2637 milk-alkali, 185 miofasial 271 1 miofasial lokal 2710 miofasial regional 2698 nail-patella 998 neck torsion 2707 nefritik akut 986 nefrotik 986, 999, 2677, 2694 nefrotik kongenital 998 noonan 2046 nyeri generalisata 2698 nyeri neuropati campuran 2748 otak organik 2710 pancoast 2256 paraneoplastik 15 16, 2256 peutz-jeghers 43 prader-wili 97, 2046 pseudo-turner 97 rahang-hiperparatiroidisme 2687 reiter 2647, 2722 resistensi insulin 1865, 1937 rotor, 716 schogren 39 sendi temporomandibular 2698 sickle cell 1380 sinus sakit 1631, 1652 sjogren 2514, 2709 skapulokostal 27 19 stevens johnson 2742 stickler 2730 sticler 2726 terowongan karpal 2624, 2707 terowongan siku 2707 thoracic outlet 2698 tumor lisis, 3 11 turner 97, 152, 1786, 2046 uretra akut 1012



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



usus iritabel 465, 540, 541 vena cava superior 313, 499, 2251 virilisasi 2071 von recklinghausen's 2250 wandenburg 37 waterhouse-frederickson 2072 wermer 2687 wolf-parkinson-white 1651 x 1865 zollinger ellison. 513, 516, 2687 antibodi antifosfolipid 1345, 2609 guillain barre 2926, 2928 lynch, 569 osteogenesis imperfekta 2729 wemike's 85 lesh-nyhan 2552 Sine skleroderma 2624 Single s t r a n d binding-protein (SSB) 145 RNA 2924 Sinkop 210, 818, 905, 914, 1605, 2337 aritmia akibat, 213 ortostatik, 21 3 situasional, 213 vasovagal, 2 13 vasovagal berat 217 Sinovitis 2354 Sintasan 773 Sintesis androgen 2055 kortisol 2055 neurofisin 2048 Sinus aritmia 1605 arrest 1630 bradikardia 1602,1605 duktus tiroglosus 46 karotis, 215 paranasal 42 takikardia 1602, 1605 Siprofloksasin 907, 91 1, 2860, 2968 Siproteron asetat 2071 Sirolimus 1075 Sirosis bilier primer 707 SIRS 264 Sisplatin 500 Sistatin C serum 939 Sistationin beta-sintase 2726 Sistem imun bawaan 2402, 2408 koagulasi .darah. 1891 renin angiotensin 900 saraf enterik 460 saraf otonom 460 saraf parasimpatis 460 saraf pusat 905 simpatis, 900 t-tubule. 2629 Sistemik 892 Sistografi 941 sistolik 893 Sistosoma 2986 Sistosomiasis intestinalis 2986 vesikalis 2986 Sistosomula 2989 Sistostomi 919 Sitogenetika 1374



Sitokin 885, 907,2405, 2406, 2408 lokal, 506 Sitokrom c 2633 Sitotoksin 502 Situasional/isolasi, Teori 920 Situs inversus 2297 Sjogren's like syndrome 2648 Skafosefali 36 Skala koma Glasgow 30 tidur 2348 Skibala 862, 881 Skin tags 2040 Skintigrafi 25 17 Skintigrafi saluran empedu 719 Sklero Terapi Endoskopi 301 Sklerodaktil 2626 Skleroderma 181 1, 2283 en coup de sabre 2626 Linier 2626 Lokal 2626 proksimal: 2626 Sklerosis sistemik (skleroderma) 2620 Skleroterapi endoskopik, 45 1 Skoliosis 59, 98, 2725,2731 Skoptofilia 121 Skor APACHE I1 91 1 Daldiyono 2847 Gajah Mada 895 Mallampati 2348 Siriraj, 895 Skrining Donor 1202 Skuama 35 SLE 2354, 2355, 2356, 2361 Sleep apnea 805,2040, 2347 Slow Acting Anti acting anti osteoarthritis drugs 2547 acting anti rheumatic drugs 2755 continous ultrafiltration 1062 twitch oxydative fibers 2629 ventricular tachycardia 1609 Small cell lung cancer (SCLC) 2254 dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) 1938 nuclear ribonucleoprotein particles (snRNP). 146 nuklear RNA (smRNA) 145 Vessel Pauce-Immune Vasculitis 1004 vessel vasculitis 1004 Sodium channel blokers 949 chloride inhibitors 949 iodide symporter (NIS) 1994, 2020 salisilat 2737 potassium chloride inhibitors 949 Sodomi 121 Soft tissue rheumatism 2709 Soliter 2022 Soluble IL-I receptor 973 TNF receptors 2761 Solut 1059 Somatisasi 27 11 Somatomedin 271 0 Somatosensory evoked response 27 17 Somatostastin 118, 450, 5 15 Somatostatinoma 743, 745 Somatotrophs 2040



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK esofagus, dr. PRIYO PANJI 495



:



Somnofluoroskopi 807 Sonor 61 SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis) 2238 Sosial-ekonomi 779 Sosio-medik 771 Southern pole disease 587 Spasme 50 karpopedal spontan 2691 Spasmofilia 37 Species, nitrogen 503 SPECT myocardial perfusion 1566 SPECTICT 2026 Spectrometer, mass 504 Speed's test 2699 Spermatic cord 74 Spider naevi 36 Spina bifida 49 Spiral CT angiography 1356 Spirochaeta 2807 spironolakton 1096 Splenektomi 1 170, 1 179 Spondilitis 2641 ankilosa 1813, 2647, 2722, 2764 skleroderma ankilosa 23 15 spondiloartropati 2648 Spondilolisis/ Spondilolistesis 2723 spondilolistesis 2720 spondilosis 271 5, 2720 Squamous dysplasia/carcinoma in situ, atypical ade 2254 St Louis-ADAM 2081 Stable 1883 Stadium dekrementi 3 1 fastigium 31 inkrementi 3 1 koma 2926 lokal 1410 metastase jauh 1410 metastase regional 1410 prodromal 31 rekonvalesensi 3 1 Staging kanker paru 2259 Staining 2039 Stance phase, 814 Staphylococcus aureus 2323 Starling Force 1773 Statement, Genval 484 Status fungsional, 773, 910 mental, 921 Steatohepatitis 702 Steatorea 535, 545, 740 Steifung 2845 Stem cell 978 Steno Diabetes Centre 982 Stenosing tenosinovitisltrigger finger Cjari pelat) 2700 Stenosis 582 aorta 1569 aorta bikuspidalis 1779 arteri karotis 897 katup pulmonal 1693 mitral 1569, 1671 pulmonal 1694, 1796 spinal 2720 subinfundibular 1787 trikuspid 1700 Stenotik 1826 Stent 1572



Step down, 484 bridge 2755 Step up, 484 Stepwise 930 Stereognosia 52 Sterilisasi 2240 Steroid 1366, 1906, 2277 Dosis tinggi 1172 enema, 582 regulated genes, 2057 Steroidogenesis, hiperkortisolisme 2053 Steroidogenic acute regulatory protein (StAR) 2054 Still's disease 251 9 sTNFR (soluble TNF receptor) 973 Stokes-Adams 17 12 Stomatitis aftosa 43 Stool osmotic gap 542, 546 softener, 588 Strabismus 38 Straight leg raising 2722 Strain E. coli 1010 Strain ventrikel kanan 2309 Stratum basale 95 fungsionale 95 Strawberry tongue 44 Streptococcus pneumoniae 2901 Streptokinase 896, 1362, 1748, 1769 Streptokokus Grup-A (SGA) 1662 Streptomisin 223 1, 2859, 2973 Stres 895, 913 fracture, 2693 pain 2'448 ulcer, 267, 897 Striae 36 Striae 2753 Strictly distinct and isolated 771 Stridor 59 Striktur uretra, 905 Strikturlstenosis esophagus, 493 Strok 892, 905, 919 hemoragik, 892 like episodes 155 Stromelisin 2539 Struktur anatomi jantung 212 Struma nodosa 45 Studi ferokinetik 1133 Suara napas 63 serak (hoarseness) 59 subacute granulomatous thyroiditis 2016 lymphocytic painless thyroiditis 2016 painful thyroiditis 201 7 Subaortic bump 1815 Subaraknoid 893, 895 Subclavian steal syndrome 210 Subdural 893, 895 Subfebril 906 Subkortikal 901 Subluksasio lentis 2725 Submetasentris 148 Substansi algogenik 51 P 2710 Substernal 494 Successful aging, 932



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Succussion splash 72 Suckling Mouse Brain Vaccine 2929 Suckling mouse vaccine 2927 Suhu 31 Sukralfat 484, 519, 582 Sukrosa 1029, 1892 Sulfametoksazol. 2860 Sulfasalazin 582, 2756, 2757 Sulfinpirazon 1768 Sulfonamid 2859 Sulfonilurea 1904 Surnber vitamin D 2393 Sumbu panjang ('long axis') 1555 pendek ('short axis') 1555 Summation gallop 1778 Sumsum Tulang 1120, 1133 Super Oxide Dismutase (SOD) 1938 Superficial type, 577 Suplementasi enzim, 479 kalsium, 479 Supra ventricular extra systole (sves) 1618 tachycardy (svt) 1618 Supra-chiasmatic, nucleus (NSC) 803 Suprasternal notch 60, 1541 Surfaktan 239 Survival 773 Sustained 1624 sustained low efficient dialysis 1059, 1064 SVT reentrant 1622 Swan neck 2451 Swan-Ganz catheter 1683 Sweaty palms 2040 Swing phase, 814 Synchronized. 1634 Synchronous 1642 intermittent mandatory ventilation 169 Syncope 1653 syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIAD 2256 rapidly progressive glomerulonephritis 986 Synthetase 2550 Syok 242, 905, 1906, 1908 anafilaktik, 257 hipovolemik, 242 kardiogenik, 245 sepsis, 1906 Septik, 268 Systemic lupus erythematosus 1671 Systolic ejection click 1795 ejection period 1569 hypertension in europe 900 hypertension in the elderly program 900 T-Cytotoxi 885 T-helper 885 Tabel Jagge 40 Snellen 40 Tactile fremitus 61 Taenia saginata, 622, 2949 solium 2949 Taeniasis 2949



Tajam penglihatan 40 Takiaritrnia atrium 1780 Takikardia 2290, 2342 atrial 1648 atrial paroksisrnal 1606 idioventrikular 1609 nodal 1607 reentri atrioventrikuler 1648 reentri nodal atrioventrikuler 1648 supraventrikel 1647 ventrikel 1608 ventrikel idiopatik 1627 Takikinesia 853 Takipnea 2290, 2235 Takrolimus 1075 Talamus media, 205 Talasemia 1379 Tall stature 2044 Tamponade 1726 jantung, 315, 499 Tan Thiam Hok 2236 Tanda Bmdzinski I 33 Brudzinski I1 33 Chvostek, 37, 2691, 2692 Joffroy 38 kernig 33 lasegue 33 Moebius 38 Murphy, 476 Murphy, 718 Penberton 46 Rosenbach 38 Stellwag 38 tennis elbow 2448 tine1 2451 vital, 910 von Graefe 38 Gaga1 Sirkulasi 2845 VITAL 31 Tappering off. 2752 Tapping 772 Tar 2285 Tatalaksana 2794 TB 594 ekstra paru 2234 kronik. 2234 usia tua (elderly tuberculosis). 2233 TB usus 2233 TBG (thyroxin binding globulin) 1996 Tc-99m pertechnetate 2026 Tear film break up 25 17 Technetium pertechnetate 2033 Tekanan arteri pulmonal 2337 darah (TD) 31, 905, 1891 darah diastolik 899, 1090 darah sistolik 899, 1891 vena jugularis 46, 2235 vena sentral (CVP) 2847 Teknik gen 159 Teleangiektasis 36 Tellurite 2956 Telosentris 148 Telur 2989 Temporary pace maker 1636 Tender point 2709, 271 1 Tendinitis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Bisipital 2699 patellar 2702 pes anserinus 2699 Tendomiopati 2709 Tendonitis 2698 Achilles 2702 Tenekteplase 1749 Tenis elbow 2698, 2699, 2700 Tenosinovitis 2699 De Quervain 2699, 2701, 2707 ekstensor 2707 Tension headache 27 11 myositis 2716 pneumotoraks. 2340 Teofilin 225 Teori pembelajarn sosial 920 Terapi 2678 Terapi ajuvan, 574 angiografi, 45 1 bedah, 456, 486 besi oral 1134 besi parenteral 1 135 biologi 1478, 2261 edema 949 endoskopi, 451, 456 eradikasi, 506, 507 gen 2042, 2261 gizi medis 1891 henti merokok 2295 hormonal 147 1 imunosupresif 1122 kausal 1134 konservatif 1122 kuadripel, 521 laser, 495 medikamentosa 1 179 nefropati iga idiopatik 995 oksigen jangka panjang 162 oksigen jangka pendek 162 pengganti 1066 pengganti ginjal 1059 penyelamatan 1124 pti kronik 1171 sistemik 1446 sulih hormon (tsh) 102 suportif 1125 supresi 2028 tripel, 521 trombolitik 1357 Teratodermoid 2250 Terminasi 146, 147 Termogenesis 789 Termoregulasi 789 Termoresepsi 789 TesITest adson 2454, 271 7, 2719 antikolinesterase 2637 benzidin, 579 berbisik 41 bernstein, 483 cadangan glukokortikoid 2060 crossmatch 107 1 darah samar 458 disfagia 27 17 distraksi kepala 2717 ely 2722



fabere 2722 finkeilstein 245 1, 2701 frei 2648 hngsi ileum 545 ham 1120 ishihara 40 jari hidung 50 kompresi kepala 271 7 konfrontasi, kampimetri 40 koordinasi gerak 50 malabsorbsi asam empedu 545 mantoux 2648 mc-murray, 2453 napas, 545 oftalmologik 271 7 penala 41 permeabilitas usus 546 rinne 41 romberg 49 schillin, 545 schimer's 2517 schober 48 schwabach 41 serologi, 504 small and large bowel transit time 545 speed 2450 supresi 2060 supresi deksametason 2060 supresibilitas mineralokortikoid 2061 thomas, 2452 torniket 2701 trendelenburg 2452 tuberkulin 2237 tumit-lutut 50 urease, 504 valsava 2454 weber 41 yergasson 2450 and treat 5 18 serologic amebiasis 552 Tethering and rolling 970 Tetralogi Fallot 1541, 1694, 1788 Tetrasiklin 888, 2332, 2859, 2902, 2968, 2973 Tetrasomi 152 TGF-P 1415 TGS 2017 TGT 1899 Thai Red Cross Intradermal 2929 Thalassemia 1379 Intermedia 1387 -U 1380 -up 1380 -p 1380 -p mayor 1382 -p trait 1381 -p intermedia 1382 -Sp 1380 -7Sp 1380 Thallium scanning 1790 The american college of rheumatology 2366 The heart and estrogenlprogestin replacement study 102 The mental mini status examination 841 The national health dan medical research council 887 The study of cognition and prognosis in the elderly 901 The three big, 780 The timed up and go 820 Thelarche prematur 97 Theofilin 540



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Thermophilic actinomycetes sacchari 2291 vulgaris 2291 Thoracic outlet syndrome 2700, 2719 THR 1895 Thrill 1682, 1785 Thrombolysis in myocardial 1758 infarction 1748 Thrombotic trombocytopenia purpura 1160 Thumbprinting pattern, 564 Thyroglobulin 1428 Thyroid-binding protein 1002 Thyrotrophin-releasing hormone,(TRH) 118 Thyroxine-stimulating hormone 1002 Tiasetazon 2240 Tiazid, 1914 Tietze's Syndrome 2703 Tifoid 887 Tiklopidin 1339, 1362, 1731, 1768 Tilt-Table Testing 215 Tiludronat 2682 Timbal asap, 2285 Timektomi 2637 TIM1 risk score 1754 Timoma 2251 Tindakan minimal invasive 588 valsava 2717 Tindale agar 2956 Tingkat keganasan rendah 2032 Tinnel's sign 2701 Tionamid 2001 Tioridazin 91 1 Tipe campuran, 870 fairbank 2730 fungsional, 869 furious 2925 jansen 2731 mckusick 2731 osteomalasia. 2695 overflow, 869 paralitik. 2925 ribbing 2730 schmid 2731 stres, 869 urgensi, 869 Tipus inversus 31 Tirofiban 1731, 1768 Tiroglobulin (Tg) 1994 Tiroid 914, 2251 dan Kehamilan 1999 peroksidase (TPO) 201 7 substernal 2252 Tiroidektomi. 2005 unilateral (lobektomi) 2034 Tiroiditis 20 16 akut 2016 de quewain 2016 fibrosa (riedels thyroiditis). 2016 granulomatosa 2016 hashimoto 1800, 201 6 kronis 2016 limfositik subakut 2018 pascapartum 2001 sel raksasa 201 7 subakut 2001, 2016 supurativa, 20 16



TBC 2021 traumatika 201 6 Tiroksin (T4 1994 Tiroperoksidase (TPO) 1994 Tirostatika 2004 Tirotoksikosis akromegali, 1914 Tirotropin. 1802 Tissue dopler 1551, 1558 plasminogen activator 1362, 1749 Titik Mc Burney 70 TNF-u converting enzyme 2761 Tofi 2558 Toksemia gravidarum, 704 Toksik epidermal nekrolisis 2742 Toksin bakteri, 608 Toksoplasmosis 2345 Tolbutamide 715 Toleransi 777, 2746 Toll-like receptors 2404 Tomografi emisi positron 1566 Toni-Debre-Fanconi, De Syndrome 2694 Top lordotik 2235 Topognosia 52 Torakosentesis 2330 Torakoskopi 2258, 2344 Torakotomi 2345 Torsade de pointes 212, 909, 1623, 1629 Tortikolis 49 Toxic 907 Trakeal 63 tug, 46 Trakeoesofageal, fistula 499 Trans bronchial lung biopsy (TBLB) 2258 trans membran pressure 1059 Trans Torakal Biopsi (TTB). 2258 Trans bronchial Needle-Aspiration (TBNA) 2258 Transduction 2902 Transeksualisme 121 Transfer 814 RNA (tRNA) 144 Transferin 1133 Transformasi sel, 568 Transformation 2902 Transforming growth factor-p 1080 Transfusi 1140, 1179 darah 448, 1185 masif 1201 Transienltransient Idiopatik 959 ischemic attack 1824 Transit time, 540 Transkripsi 145 activator protein 1 503 Translasi 145, 146 Translokasi Robertson 153 Transmisi 2844, 2925 Transmissible spongioform encephalopathies 2993 Transmodulasi Reseptor 1107 Transplantasi 887, 2925 ginjal 1066 paru 2338 sumsum tulang 1124 Transposisi arteri besar 1694 pembuluh darah besar (TPB) 1788 Transudat 2330 Transverse myelitis 2928



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Transvestisme 12 1 Trapping ion hydrogen 5 11 Trauma uretra 905 Traveler's diarrhea 539, 555, 621, 622 Treadmill 1790 Trecher-Collins. 44 Tremor 50, 851 Trendelenburg 2447, 2452 TRH (thyrotrophin releasing hormone) 1999 Triad fibro-mialgia 27 11 Virchow 1354, 1370 Whipple 1901 Trial of nonpharmacologicic interventions in the 901 Charcot. 724 Trias Virchow 1767 Tricalcium phosphate (whitlockite) 2561 Tricuspid valve endocarditis 2323 Triggerltriggered 167 finger 2707 point 2710 thumb 2701 activity 1618 Triiodotironin (T3) 1994 Trikuriasis 625 Trimetoprim-sulfametoksazol 2860, 2972 Triofusin 495 Tripomastigotes 1717 Triptopan 2710 Trisiklik 848 Trisomi 152 Troilisme 121 Trombektomi 1356 Tromboemboli 1615 vena 1369 paru 2305 Trombolbdn 2737 Trombolisis 895, 1434, 1767 Trombosis 587, 892,, 1180, 1301, 1354, 1369 Vena Mesenterika (TVM) 614 akut 1757 Arteri Mesenterika Akut 614 arterial tungkai akut 309 vena dalam 860, 895, 1354 vena mesenterika 475 Trombosit 593 dengan sedikit leukosit 1193 Pekat 1193 Trombositopenia 520, 1179, 1330, 1364 Trombositosis esensial 1220 Trombus 1355 arteri 2306 vena 2306 Tropical sprue, 622 Tropoelastin 2725 Tropomiosin 2629 Troponin 2629 I 1758 T 1758 T atau 1 1730 Trousseau 2691, 2692 True leg-length discrepancy 2452 True precocious puberty 2070 Truncal obesity 2062 Tryptophan pyrrolase 2058 TSH 1994 like substances (TSI, TSAb) 2003



Tuberkuloma 2233, 2235 Tuberkulosis 1693, 2230, 2340 miliaris 2235, 2290 paru 2230, 2340 pasca primer (tuberkulosis sekunder) 2233 peritoneal, 727 primer 2232 usus, 593 vertebra (penyakit Pott) 2643 Tuberous sclerosus 23 15 Tubuler 1045 Tubulo-villosa., Adenoma 557 Tujuan Pengobatan Kanker 2260 Tukak duodenum, 523 gaster, 513 gaster akibat keganasan 5 17 lambung, 523 peptik, 523 refrakter, 521 stres, 522 Tulang 1506 adinamik 2695 pada usia lanjut 2398 Tumor endokrin pankreas 743 kistik pankreas 743 benigna 2257 dan neoplasma 457 endokrin pankreas non-fungsional 746 esofagus, 494 ganas, 184, 576 ganas gaster 577 gaster, 576 germ sel 2253 hipofisis 2038 tumor initiators 2285 jinak, 576 jinak epitel 576 jinak non epitel 576 karsinoid, 520 kolorektal, 567 marker 1409, 2259 mediastinum 2250 nekrosis factor 524 nekrosis faktor alfa 503 neurogenik, 577 padat 1407 padat ganas 1407 pankreas, 739 tumor paru 2254 primer 1818 promoter 2255 serotonin nekrosis faktor alfa 2737 suppressor genes 740 tiroid papiler 2023 Turbiditas 935 Turnover tulang 2680 Type I., 2693 Type 11, 2693



'



Ubikuinon 2633 UBTmpSA 507 UDP glucurony1 transferase 714 Uji faal paru 2276 fungsi kelenjar eksokrin 2277



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



keringat 2276 latih 1729 mycodot. 2236 nikotin 2050 phalen 2707 tinel 2707 treadmill 1739 vasopresin 205 1 UKPDS 1901 Ulcerated Foot 1962 Ulkus 582, 895 Curling, 608 Cushing, 608 , dekubitus 861, 921 duodeni, 441 Ultrafiltrasi 1060 Ultrasonografi 442, 718, 940, 1029, 2330 (USG) doppler 1355 abdomen, 476, 544 Ultrasound 2699 bronchoscopy 2258 Uncomplicated type 1008 Underdiagnosis 914 Underfilling 948 Undersensing 1655 Unfractionated heparin 1356, 1360, 1762 Unidisiplin 770 Unit motor 2629 Universal precaution 2928 Unsalvable Foot 1962 Update Sydney System. 509 Upstream Primer 1417 Ure-I 502 Urea 198 breath test (UBT) 504 reduction ratio 1052 Urease 524 Uremia 2335 Ureum 887, 909 Urgency hypertension 1103 Urikosurik 2559 Urin 910 lengka, 909 Urinalisis 887, 935 Urogram 1029 Urokinase 1362 Urtika 35 USG 1104 Ginjal 940 Usia 1880 kronologis 925 Usual interstitial pneumonia (UIP) 23 15, 23 16 Usus halus, 461 Uveitis 593



V-sign rash 2630 Vacuolating cytotoxin, 502, 503, 524 Vaksin 2969 antirabies 2928 vaksinasi 887 BCG 2247 Post-exposure 2928 pre- exposure. 2929 Vancomycin imipenem, 2968 resistant enterococcus faecium 2905 Varises lambung 304



VAS 2367 VaskularlVascular 1045, 2726 mesenterika 606 steal syndrome 2680 Vaskulitis 1809, 2307, 2516 renal 1004 Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) 543, 745 Vasodilator 904, 914 Vasokonstriktor 589, 896 Vasopressin 302, 449, 962 tannate 2051 Vasovagal ringan 2 17 VCAM-I (vascular cell adhesion molecule-I) 970 Vegetative state 205 Vena kava superior dan inferior 2249 kava superior 1646 pulmonalis inferior 497 Venlafaksin 2747 Venous hum 72 venouspressure 260 Ventilation-Perfusion 1355 Ventricular extrasystole 1623 Ventriculo-arterial discordance 1788 VEPl 2289 Verner-Morrison syndrome, 745 Verney.~omoreceptor cells 2048 Vertebrobasiler, Insufisiensi 819 Vertigo 827 VES (Ventricular Extra Systole) 1618 Vesikel 35 Vestibular 8 13 Vestibulopati perifer, 826 sentral, 826 Vibrasi 772 Vibrio cholerae 551, 2843 Video assisted thoracoscopy surgery = VATS 2344 endoscope, 467 Vinil klorida 2708 Mandelic Acid (VMA). 2250 Violaceous striae 2040 VIPoma 743, 745 Virilisasi prekoks 2069 Virilising tumor ovarium 2070 Virilisme adrenal 2062 Virulensi 885 Virus 1120 hepatitis A 1202 hepatitis C 1202 hepatitis D 1202 hepatitis E 1202 hepatits B 1202 human immunodeficiency 1203 human t lymphotropic 1203 RNA 2924 sitomegalo 1203 Viscosupplement 2547 Viskositas 896 Visual Analogue Scale (VAS) 2367 Visuospasial 838 Vitamin A, D, E, dan K 1892 B12 1142 C 2262 D 816, 2677



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Whole body



D-Dependent Rickets 2693 K 449, 777, 1327 VLDL 1975 Vogt-Koyanagi-Harada 39 Voltage-sensitive sodium chanel 2747 Volume assisted ventilation 168 distribusi 136 overload 1681 plasma, 900 Vox cholerica 2845 Voyeurisme 121 VSD 1563 VT 1624 Idiopatik 1624 Idiopatik alur keluar ventrikel kanan 1627 Idiopatik dari ventrikel kiri 1627 Iskemia 1625



Waddle gait 2447 Wagener's granulomatosis 2325 Waktu iskemik ginjal 1071 paruh eliminasi 136 Wandering pace maker 1604 Wanita 1865 Warfarin 777, 1339, 1361, 1768, 1826, 2338 Warm nodule 2024 Washer women hand 2845 Wasir 587 Wasting 816 Water scaled drainase (WSD) 2208 Watery 535 Weakness 905 Weaver's bottom 2702 Webbed neck 2046 Weil's disease. 2807 Wenckebach block) 1609 Westernblot 504 Wheezing 59, 2290 White matter, 901 WHO 1883, 1866, 2231



irradiation 581 scanning 2036 Wide fixed splitting 1780 Wild-type bakteri, 503 Withdrawal bleeding, 105 phenomenone 2752 Wolf-Parkinson-White 216, 1533, 1549, 1612, 1634 Women's Health Initiative (WHI) 102



X, sinar 581 X-ray abdomen, 552 Xanthoma 36 palpebrarum 36 planum 36 tendinosum 36 tuberosum 36 Xerostomia 25 15, 2625 xeroftalmia, 2648 Xerotrakea 25 15 Xylocain 1608



Yergason's sign 2699 yodium 1802 berlebihan (Iodide Excess) 201 1 radioaktif 1800, 2005



Z-line 497 Zidovudin 2647 Zigzag-Iine 497 Zoledronat 2683 Zollinger Elison, 525 Zona fasikulata 2053 glomerulosa 2053 retikularis 2053 Zonula occludens toxin 2845 Zoonosis 2807



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI