Paper Hukum Pidana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Dalam tugas paper hukum pidana ini kami akan meringkas buku hukum pidana yang berjudul “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” yang ditulis oleh Drs. Adami Chazawi, S.H. Dalam buku “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” tersebut materi yang dibahas adalah : BAB I.



Pengertian Hukum Pidana.



BAB II. Stelsel Pidana. BAB III. Tindak Pidana. BAB IV. Teori-teori Pemidanaan. BAB V. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Dalam materi tersebut kami juga akan meringkas sampai ke dalam sub-sub bab materi tersebut.



BAB I PENDAHULUAN



A. Pengertian Hukum Pidana Dilihat dalam garis-garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasinnya sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang : 1. Aturan umum hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (starf) bagi yang melanggar larangan tersebut. 2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya. 3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alatalat perlengkapan (misalnya polisi,jaksa, hakim), terhadap tersangka dan didakwakan sebagai pelanggaran hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan



dan



upaya-upaya



yang



boleh



dan



harus



dilakukan



oleh



tersangka/terdakwa. Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut dengan hukum pidana materiil yang juga disebut hukum pidana abstrak, yang sumber utamannya adalah Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP). Sedangkan hukum pidana yang berisi



aspek ke tiga tersebut disebut dengan hukum pidana formiil, yang sumber pokoknya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).



B. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA 1. Hukum Pidana Dalam Keadaan Diam dan Dalam Keadaan Bergerak. Atas dasar ini, hukum pidana dibedakan antara hukum pidana materiil dengan hukum pidana formill atau hukum acara pidana . 2. Hukum Pidana Dalam Arti Obyektif dan Dalam Arti Subyektif. Hukum pidana obyektif atau disebut dengan ius poenale, adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbut, larangan mana disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi sama artinya dengan hukum pidana materiil. Sedangkan hukum pidana subyektif atau disebut juga ius poeniendi sebagai aspek subyektifnya hukum pidana, dalam arti aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara. 3. Atas Dasar pada Siapa Belakunya Hukum Pidana. Bahwa atas dasar pada siapa hukum pidana berlaku, maka hukum pidana dibedakan atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. a. Hukum Pidana Umum adalah hukum pidana yang ditunjukan dan berlaku untuk semua warga penduduk negara (subyek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subyek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum.



b. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum tertentu saja. 4. Atas Dasar Sumbernya. Atas dasar sumber hukunya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum disini diartikan adalah semua ketentuan hukum pidana yang terdapat/bersumber pada kodifikasi (KUHP dan KUHAP), yang karenanya dapat juga disebut dengan hukum pidana kodifikasi. Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada perundang-undangan diluar kodifikasi. 5. Atas Dasar Wilayah Berlakunya Hukum. Dilihat dari wilayah berlakunya hukum pidana dibedakan menjadi (a) hukum Pidana Umum, (b) Hukum Pidana lokal. Hukum pidana umum dalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintah negara pusat yang berlaku bagi subyek hukum yang berada dan melanggar hukum pidana diseluruh wilayah negara. Hukum pidana local adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subyek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh pemerintah daerah tersebut. 6. Atas Dasar Bentuk/Wadahnya Atas dasar bentuk atau wadahnya hukum pidana dapat dibedakan menjadi: (a) hukum pidana tertulis, disebut juga hukum pidana Undang-undang, dan (b) hukum pidana tidak tertulis, atau disebut dengan hukum pidana adat.



Hukum pidana tertulis terdiri dari hukum pidana kodifikasi (bersumber pada kodifikasi, misalnya KUHP dan KUHAP), dan hukum pidana diluar kodifikasi, yang tersebar dipelbagai peraturan perundangundangan.



C. FUNGSI HUKUM PIDANA. 1.Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari Perbuatan yang Menyerang



Atau



Memperkosanya Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah berupa se a kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga, wajib dipertahankan agar tidak dilanggar/ diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia, yang semuanya ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban didalam segala bidang kehidupan.



2.Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara Dalam Rangka Negara Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi. Didalam mempertahankan kepentingan hukum yang ddindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan berhari-hari, sampai yang paling tajam berupa menjatuhkan sanksi pidana kepada petindaknya/si pelanggarnya, yang mana tindakan ini sebagaimana diatas sudah diterangkan



adalah berupa tindakan yang justru menyerang kepentingan hukum yang bersangkutan yang dilindungi. Dengan kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana, hak untuk menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa kekuasaan yang sangat besar, yang tidak dimiliki oleh siapa-siapa kecuali negara. Hak untuk menjatuhkan pidana ini adalah diatur dalam hukum pidana itu sendiri. Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni UU No. 8 Tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.



3.Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuaaan Negara Dalam Rangka Negara Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi Dalam menjalankan fungsi hukum pidana yang disebutkan kedua, hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar negara dapat menjalankan. Fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya kekuasaan yang sangat besar itu akan sangat berbahaya bagi penduduk negara apabila tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sebab akan menjadi bumerang bagi masyarakat dan pribadi manusia, perlakuan negara dapat



menjadi sewenang-wenang. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu adalah menjadi wajib.



D. ILMU HUKUM PIDANA. Pada dasarnya ilmu hukum pidana dapat dibedakan antara: ilmu hukum pidana dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, doktrin atau ilmu hukum pidana adalah bagian dad ilmu hukum yang pada dasarnya mempelajari dan menjelaskan perihal hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif dari suatu negara (ius constitutum), jadi bersifat dogmatis. Bahan kajian ilmu hukum pidana dalam anti sempit adalah hukum positif yang sedang berlaku. Dalam arti luas ilmu hukum pidana, tidak saja terbatas pada kajian dogmatis sebagaimana yang diterangkan diatas, ilmu hukum pidana tidak hanya mempelajari dan menjelaskan. Secara sistematis norma-norma hukum yang sedang berlaku saja akan tetapi juga meliputi: 1. Bidang-bidang mengapa norma yang berlaku itu dilanggar, kajiannya tidak terfokus pada normanya saja tapi pada sebabsebab mengapa norma itu dilanggar, dan kemudian bagaimana upaya agar norma itu tidak dilanggar. Kajian bidang ini kini telah merupakan ilmu tersendiri yang disebut dengan kriminologi.



2. Juga menjadi bahan kajian ilmu hukum pidana ialah tentang hukum yang akan dibentuk atau hukum yang dicita-citakan (ius consituendum).



BAB II STELSEL PIDANA



A. PENGERTIAN PIDANA Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang berisi tentang antara lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana



Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, ialah berupa penderitaan. Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (stafbaar feit).



B. JENIS-JENIS PIDANA. Mengenai stelsel pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke- 2 dari pasal 10 sampai pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan, yaitu: 1. Reglemen Penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan IN 1948 No. 77). 2



Ordonasi Pelepasan Bersyarat (Stb 1917 No. 749).



3



Reglemen Pendidikan Paksaan (Stb 1917 No. 741).



4



4 UU No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi 2 kelompok, pidana pokok



dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari:



1. Pidana mati. 2. Pidana penjara. 3. Pidana kurungan. 4. Pidana denda. 5. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946). Pidana tambahan terdiri dari: 1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu. 2. Pidana perampasan barang-barang tertentu. 3. Pidana pengumuman keputusan hakim.



Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP, mengelompokkan jenis-jenis pidana kedalam Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah: 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok 3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie).



C. PENJATUHAN PIDANA DENGAN BERSYARAT. Pidana dengan bersyarat yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan pidana percobaan adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syaratsyarat tertentu. Artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya. Adapun manfaat dari penjatuhan pidana dengan bersyarat ini adalah memperbaiki penjahat tanpa harus memasukkannya kedalam penjara, artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seseorang terpidana, terutama bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya, dalam arti bukan penjahat yang sesungguhnya, misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia mencuri sebungkus roti, karena butuh uang untuk mengobati istrinya yang luka parah akibat kecelakaan terpaksa la menggunakan uang kas kantor (penggelapan, 372 KUHP).



D. PELEPASAN DENGAN SYARAT. Lembaga pelepasan bersyarat (voorwaardelijke invrijheidstelling) ini telah ada sejak diberlakukannya KUHP kita (1918), yang berbeda dengan lembaga pidana bersyarat yang baru dimasukkan dalam KUHP kita pada tahun 1927. Lembaga pelepasan bersyarat



ini 12 tahun lebih dulu ada daripada pemidanaan bersyarat, latar belakangnya ialah karena pengawasan terhadap nara pidana yang dilepas dengan bersyarat relatif lebih mudah, karena ia telah dibina dalam dan ketika menjalani pidana penjara selama dua pertiga dari lama pidana yang telah dijatuhkan atau paling tidak 9 bulan. Sedangkan pada pidana bersyarat, seluruh pidananya belum atau tidak dijalani. Karena itu pengawasannya menjadi lebih sulit, yang memerlukan lembaga pengawasan yang lebih baik dan senmpurna. Sedangkan pengawasan narapidana yang dilepas dengan bersyarat, cukup pada lembaga yang masih sederhana yang ketika itu (1918) sudah ada di Hindia Belanda. Penetapan pelepasan bersyarat dapat diberikan (oleh Menkeh, 15 ayat 1) apabila terpidana telah menjalani pidana sepertiganya atau sekurang-kurangnya 9 bulan (15 ayat 1). Lamanya menjalani pidana yang dimaksud ini tidak termasuk lamanya masa penahanan sementara jika sebelum divonis bersalah ia ditahan sementara). Artinya masa lamanya penahanan sementara tidak dihitung dalam menentukan dua pertiga atau 9 bulan itu, walaupun dalam putusan hakim selalu ditetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan itu dipotong dengan masa tahanan sementara. Apabila seorang telah diberikan surat keputusan pelepasan bersyarat, maka diberikan masa percobaan yang lamanya lebih 1 tahun dari sisa masa pidana yang belum dijalaninya (15 ayat 3). Dalam masa percobaan ini narapidana diberikan syaratsyarat tentang kelakuannya seteiah ia dilepaskan. Syarat ini ada 2 macam, ialah syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah berisi keharusan bagi narapidana selama masa percobaan itu tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatanperbuatan tercela lainnya (15 ayat



1). Perbuatan tercela ini tidak harus berupa tindak pidana, artinya pengertiannya lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi bersenang-senang di tempat pelacuran atau di tempat hiburan malam seperti diskotik, atau bergaul dengan para penjahat, para preman dan lain sebagainya. Sedangkan syarat khusus adalah segala macam ketentuan perihal kelakuannya, asal saja syarat itu tidak membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah agamanya (15 ayat2).



BAB III TINDAK PIDANA



Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam.hukum pidana Belanda yaitu "stafbaar feit". Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundangundangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: 1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan UU No. 31 Th. 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini



seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. (lihat buku Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia). 2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R. Tresna dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana", Mr. Drs. H J van Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam buku beliau "Hukum Pidana". Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (baca pasal 14 ayat 1). 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafoaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana I". Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana. 4.



Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.



5. Perbuatan yang boleb dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana". Begitu juga Schravendijk dalam bukunya "Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia"



6



Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca pasal 3).



7.



Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.



Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada 7 istilah dalam bahasa Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, boar dan feit. Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukuni. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk kata "strap' artinya pidana, "baar" artinya dapat atau boleh dan "feit" adalah perbuatan. Dalam kaitanya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hat sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. Sedangkan untuk kata "peristiwa", menggambarkan pengertian yang lebih luas dari perkataan perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum pidana. Baru menjadi penting dalam hukum pidana, apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif).



Untuk istilah "tindak" memang telah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan kita, walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak_(pasal 406 KUHP). Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP). Sedangkan istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya dengan istilah strafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delictum (Latin), yang juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit. Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai oleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit (baca teks pidato beliau pada saat Upacara Dies Natalis ke VI, 1955 Universitas Gajahmada yang berjudul "Perbuatan pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana Dalam Hukum Pidana"), walaupun istilah delik pernah juga digunakan oleh beliau.



Istilah perbuatan pidana ini pernah juga digunakan oleh Pernbentuk UU dalam UU No. 1/Drt/1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kesatuan Acara Pengadilan Sipi!" (baca pasal 5). Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini Bering disebut pandangan dualisme, juga dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin. Kemampuan bertanggung. jawab melekat pada orangnya, dan tidak pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya memandang



tindak



pidana



itu



tanpa



menghubungkannya



dengan



(adanya)



pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan demikian, maka hal kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal yang lain dari tindak pidana dalarn artian abstrak, yakni mengenai syaraf untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang telah terbukti bahwa perbuatannya telah melanggar larangan berbuat (tindak pidana) tidak selalu dengan demikian dijatuhi pidana. Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dalam pasal 44 KUHP yang tidak boleh dijatuhi



pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti untuk mempidana seseorang pelaku tindak pidana disyaratkan bahwa orang itu hares mempunyai kemampuan pertanggungan jawab pidana. Bukan itu saja, bisa juga terjadi tidak dipidananya pelaku tindak pidana (disebut petindak) karena alasan bahwa perbuatannya itu kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan, seperti petinju yang memukul lawannya hingga luka-luka, bahkan bisa sampai mati. Demikian juga halnya pada syarat kedua, yakni bahwa perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Ketentuan hukum yang dimaksud adalah rumusan tindak pidana tertentu dalam peraturan perundangundangan. Perkataan perbuatan disitu adalah menunjuk pada kejadian kongkrit (oleh seseorang), yang tidak lain maksudnya adalah agar perbuatan itu dapat dipidana hares mencocokkannya terlebih dulu pada rumusan (tentunya tentang tindak pidana) dalam UU, yang jika ada persesuaian dengan unsur-unsur yang ada dalam rumusan UU, maka perbuatan oran.R itu dapat dipidana, clan bukan berupa tindak pidana. Kemampuan bertanggung jawab menjadi hal yang sangat penting adalah dalam hal penjatuhan pidana, dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana (kongkrit). Untuk terjadinya/terwujudnya tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal yang lain, yakni hal untuk menjatuhkan pidananya. Persoalan kemampuan bertanggung jawab ini barulah menjadi hal yang penting yakni ketika pidana hendak dijatuhkan.



Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti dengan pidana tertentu. Perihal kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal syarat penjatuhan pidana, bukan syarat untuk terwujudnya tindak pidana. Berdasarkan hal ini, maka tidak terdapat unsur tertentu dalam tindak pidana tertentu dengan tidak terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pada kasus tertentu, adalah hal yang berbeda dan mempunyai akibat hukum yang berbeda pula. Jika hakim mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya salah satu unsur tindak pidana, artinya tidak terwujudnya tindak pidana tertentu yang didakwakan, maka putusan hakim berisi pembebasan clad segala dakwaan (vrijspraak). Tetapi jika hakim mempertimbangkan



bahwa



pada



diri



terdakwa



terdapat



ketidakmampuan



bertanggung jawab (pasal 44 KUHP), maka amar putusan akan berisi "pelepasan dari tuntutan hukum" (ontslag van rechtsvervolging). B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidaktidaknya dari dua sudut pandang, yakni: (1) dari sudut teoritis dan (2) dari sudut Undang-undang. Maksud teoritis ialah ber dasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut UU adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. 1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi Dimuka telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang disusun oleh para ahli hukum baik penganut paham dualisme maupun paham monisme. Unsur-unsur apa yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang



dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan dari batasan tindak pidana oleh teoritisi yang telah dibicarakan dimuka, yakni: Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers dan Schravendijk. Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana. 2. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam UU Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:



a. unsur tingkah laku. b. unsur melawan hukum. C. unsur kesalahan. d. unsur akibat konstitutif. e. unsur keadaan yang menyertai. f. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana. g. unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana. h. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. Dari 8 unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan melawan hukum adalah termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya adalah berupa unsur obyektif. Mengenai unsur melawan hukum, adakalanya bersifat obyektif, misalnya melawan hukumnya perbuatan mengambit pads pencurian (362) adalah terletak bahwa dalam mengambil itu diluar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum obyektif). Atau pada 251 pada kalimat "tanpa izin pemerintah", juga pada pasal 253 pada kalimat "menggunakan cap asli secara melawan hukum" adalah berupa melawan hukum obyektif. Tetapi ada juga melawan hukum subyektif misalnya melawan hukum dalam penipuan (oplichting, 378), pemerasan (afpersing, 368), pengancaman (afdreiging, 369) di mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan (372) yang bersifat subyektif, artinya bahwa terdapatnya kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu adalah merupakan celaan masyarakat.



Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum obyektif atau subyektif, bergantung dad bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada diluar keadaan batin manusia/si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek tindak pidana. Sedangkan unsur yang bersifat subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. a. Unsur Tingkah Laku Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil (materieel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya mengambil (362) atau memalsu dan membuat secara palsu (268). Sebagian besar (hampir semua) tindak pidana tentang unsur tingkah lakunya dirumuskan dengan perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan pasif. Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten), suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Contoh perbuatan: tidak



memberikan pertolongan (531), membiarkan (304), meninggalkan (308), tidak segera memberitahukan (164), tidak datang (522).



b. Unsur Sifat Melawan Hukum Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnva dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil/formelle wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materiil/ materieel wederrechtelijk). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (338), adalah dilarang baik dalam UU maupun menurut masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat ada-lah tercela pula menurut Undang-undang, walaupun kadangkala ada perbuatan yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut Undang-undang, misalnya perbuatan mengemis (504), bergelandang (505). Sebaliknya ada perbuatan yang tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-undang, contohnya perbuatan bersetubuh senang sama suka antara bujang dan gadis yang berpacaran. Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundangundangan.



Dalam hal yang terakhir, bagaimana mengenai kenyataan bahwa tidak semua orang akan mengetahui tentang begitu banyak dan luasnya tindak pidana dalam UP Hal kenyataan itu tidak perlu menjadi kendala, karena dalam hal berlakunya hukum pidana didasarkan pada adagium yakni "setiap orang dianggap mengetahui hukum". Jadi dengan terpenuhinya perbuatan mengambil beserta unsur-unsur lainnya, sudah dengan demikian dianggap seseorang itu mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang UU. c. Unsur Kesalahan Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungan jawab dapat dibebankan pada orang itu (Wirjono Prodjodikoro, 1981:55). Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Unsur kesalahan (balk kesengajaan maupun kelalaian) dalam tindak pidana pelanggaran tidak pernah dicantumkan dalam rumusan. Apakah dengan demikian tidak berlaku azas geen straf zonder schuld pada pelanggaran? Sesuai dengan keterangan dalam MvT WvS Belanda yang menyatakan bahwa pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya



kesengajaan atau kelalaian dan tidak diperlukan memberikan putusan tentang hal itu (Masruchin R,1986:87), maka praktik hukum sebelum 1916, mengenai pelanggaran ini dianut ajaran perbuatan jasmani (perbuatan materiil), artinya jika perbuatan jasmani telah terwujud, maka terwujudlah pelanggaran, tanpa harus mempersoalkan kesalahan pada petindaknya. Tetapi sejak tahun 1916, pendirian perbuatan jasmani itu ditinggalkan, sebagaimana Hoge Raad dalam arrest Pengusaha Susu (14-2-1916) menyatakan bahwa bagi pelanggaran diperlukan kesalahan walaupun tidak dinyatakan dengan tegas sebagai unsur oleh Undang-undang (Satochid Kartanegara,I:359). Disisi lain mengenai kesalahan dalam pelanggaran ini, yang kenyataannya tidak dibedakan antara bentuk kesengajaan dan bentuk kelalaian sebagaimana pada kejahatan. Namun melihat dari rumusan beberapa pelanggaran misalnya 490 (1), 504, 525, 545, mustahil dapat diwujudkan tanpa ada kesengajaan didalamnya. 1) Kesengajaan Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang menyatakan "Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens)" (Moeljatno, 1983:171). Dengan singkat dapat disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidaktidaknya kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak, dan kesengajaan berupa pengetahuan (yang diketahui). Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah



dikehendaki sebelum seseorang itu sungguhsungguh berbuat. Jika dihubungkan pada rumusan tindak pidana yang mengandung unsur perbuatan di mana akibat sebagai syarat penyelesaian tindak pidana (tindak pidana materiil), maka selain ditujukan pada perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada timbulnya akibat itu. Hal ini tampak secara jelas pada kejahatan pembunuhan (338), di mana perbuatan, misalnya mengampak (wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa) memang ia kehendaki, dan kematian korban dari perbuatan itu juga ia kehendaki. Antara perbuatan dan akibat dalam hubungannya dengan kehendak, adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana materiil. Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia ketahui tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya. Jika dihubungkan dengan tindak pidana, kesengajaan itu adalah mengenai segala sesuatu yang ia ketahui dan bayangkan sebelum seseorang melakukan perbuatan beserta segala sesuatu sekitar perbuatan yang akan dilakukannya sebagaimana yang dirumuskan dalam UU. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada 3 bentuk kesengajaan, yaitu: a) kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) b) kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) c) kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbe wustzijn) disebut juga dengan dolus eventualis. Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan meng hendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) clan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil). Itulah



bentuk yang paling sederhana dari pengertian kesengajaan sebagai maksud. Misalnya untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau ditikamnya korban sampai mati. Disini perbuatan menikam itu dikehendaki, demikian juga kematian akibat tikaman itu juga ia kehendaki. Dalam rumusan tindak pidana, kesengajaan sebagai maksud dengan mudah dapat diketahui, karena secara tegas dirumuskan, misalnva pada pasal 362, 368, 369, 378. 2). Kelalaian (Culpa) Kelalaian yang sering juga disebut dengan tidak sengaja, lawan dari kesengajaan (opzettelijk atau dolus) dalam rumusan tindak pidana sering disebut dengan schuld, yang dapat saja membingungkan, karena schuld dapat juga berarti kesalahan yang terdiri dari kesengajaan dan tidak sengaja (culpa) itu sendiri. Contohnya, perhatikanlah rumusan tindak pidana dalam pasal: 114, 188, 359, 360, 409, yang mengandung unsur culpa tersebut, yang berbunyi "Hij aan wiens schuld to wijten is" yang diterjemahkan dengan "Barangsiapa karena salahnya..." atau "Barangsiapa karena kesalahannya...", yang anti salahnya atau kesalahannya tiada lain adalah suatu kelalaian. Tapi ada istilah schuld yang artinya lebih luas sebagaimana terdapat dalam alas tiada pidana tanpa kesalah-an (geen straf zonder schuld), yang perkataan schuld disitu adalah mengandung pengertian opzettelijk dan culpa. Dalam doktrin perkataan schuld itu memang terdiri dari dolus dan culpa. Untuk mengurangi kebingungan itu, lebih baik menggunakan istilah schuld dalam arti luas ialah terdiri dari dolus dan culpa, sedangkan schuld dalam arti sempit ialah culpa saja. Dalam hal ini pembentuk Undang-undang dengan menggunakan kata schuld adalah dalam arti sempit.



Untuk menggambarkan adanya suatu kelalaian, selain dengan menggunakan istilah aan wiens schuld, juga digunakan istilah lain, misalnya: a. onacbtzaamheid seperti pada pasal 231 (4), 232 (3), yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, juga dengan: karena kealpaan (BPHN,1983:96-97), atau kelalaian



(R.Soesilo:



1980,



1540),



atau



kurang



berhati-hati



(Martiman



Prodjohamidjojo, 1996:53) b. wist of moest verwachten pada pasal 483 (butir 2), 484 (2), diterjemahkan dengan patut menduga atau seharusnya menduga (BPHN,1983:188, Moeljatno,1959: 154, Andi Hamzah,2000:191). c. redelijkerwijs moet vermoeden atau patut dapat menduga (PAF Iamintang,1979:373), atau sepatutnya harus diduga (BPHN, 1983: 187) pada pasal 480 (1). Hal yang sama terdapat juga dalam pasal: 287, 288, 290, 292, 293, 418. d. ernstige reden heeft om to vermoeden, atau ada alasan kuat untuk menduga (Martiman Prodjohamidjojo, 1996:53) Kesengajaan dan culpa adalah berupa unsur batin (subyektif). Sesuatu mengenai alam batin ini, bisa berupa: kehendak, pengetahuan, perasaan, pikiran dan kata lainnya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Manusia normal memiliki semua itu, dan dalam keadaan normal is mempunyai kemampuan menggunakan/merefleksikan keadaan batin itu kedalam wujud tingkah laku. Apabila kemampuan menggunakan sesuatu alam batin itu ditujukan kedalam wujud-wujud perbuatan tertentu yang dilarang, hal itu disebut sebagai kesengajaan. Sedangkan apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak dia gunakan sebagaimana



mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang, maka disebut sebagai kelalaian.



d. Unsur Akibat Konstitutif Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada: (1) tindak pidana materiil (materieel delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, (2) tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, dan (3) tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat. Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana materiil (yang pertama), timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungan jawab pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya. Sedangkan unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya pada pasal 288 jika akibat luka berat (ayat 2) tidak timbul, maka yang terjadi adalah berupa kejahatan yang selesai yakni bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini dan menimbulkan luka (bukan luka berat, ayat 1), dan bukan percobaan berse tubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat. Persamaannya ialah, bahwa dalam kedua unsur itu, timbulnya akibat ialah setelah perbuatan dilakukan.



Sedangkan unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya pembuat, ialah tanpa timbulnya akibat itu perbuatan yang dirumuskan dalam UU itu tidak dipidana. Baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Contohnya pasal 288, perbuatan persetubuhan dengan istrinya itu tidak dapat dipidana, dan barn dipidana jika dari persetubuhan itu mendatangkan akibat luka dan atau kematian istrinya yang belum waktunya dikawini itu telah timbal. Kembali pada tindak pidana materiil, ialah berupa tindak pidana yang berisi larangan menimbulkan akibat tertentu (akibat terlarang). Dengan rumusan lain, tindak pidana materiil adalah suatu tindak pidana yang menurut bunyi redaksi rumusannya mengandung unsur akibat dari perbuatan sebagai syarat selesainya tindak pidana. Unsur akibat ini disebut juga dengan akibat konstitutif (constitutief gevolg) Tindak pidana materiil di mana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pemberat pidana atau tindak pidana yang dikualifiser oleh akibatnya (door bet gevolg gequalificeerde delicten). Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materiil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaannya. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana di mana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan tindak pidana tersebut, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain. Contohnya pada pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang lain (365 ayat 3), jika kematian tidak timbul, maka tidak terjadi percobaan pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang lain (365 ayat 3 Jo 53), tetapi pencurian dengan



kekerasan yang menimbulkan luka berat selesai (jika ada luka, 365 ayat 2 sub 4) dan pencurian kekerasan selesai (365 ayat 1, jika tidak ada akibat luka atau kematian). Luka dan matinya orang lain adalah unsur pemberat pidana pada pencurian dengan kekerasan (365 ayat 1).



e. Unsur Keadaan yang Menyertai Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan di lakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat: 1) mengenai cara melakukan perbuatan; 2) mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan; 3) mengenai obyek tindak pidana; 4) mengenai subyek tindak pidana; 5) mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan 6) mengenai waktu dilakukannya tindak pidana. 1) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Cara Melakukan Perbuatan Unsur keadaan yang menyertai yang berupa cara melakukan perbuatan, artinya cara itu melekat pada perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Ada tindak pidana tertentu yang disamping penyebutan unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, juga menyebutkan caranya melakukan tingkah lakunya itu. Dengan disebutkan unsur cara melakukan disamping penyebutan tingkah lakunya, lalu dengan demikian menjadi terbatas sifat dan wujud tingkah laku itu dalam pelaksanaannya. Dengan mencantumkan unsur cara melakukan perbuatan maka wujud tingkah laku itu



menjadi terbatas. Cara berbuat dapat juga disebut sebagai wujud kongkrit dari tingkah laku. Penyebutan unsur cars dalam mewujudkan tingkah laku hanyalah terdapat pada tindak pidana yang unsur tingkah lakunya itu bersifat abstrak. Misalnya kekerasan dan ancaman kekerasan menurut pasal 285, 289, 368 adalah wujud kongkrit dari perbuatan memaksa (dwingen), atau dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, menggunakan nama palsu atau kedudukan palsu dapat disebut sebagai wujud dari perbuatan menggerakkan (bewegen) pada penipuan (378). 2) Unsur Cara Untuk Dapat Dilakukannya Perbuatan Unsur ini agak berbeda dengan yang disebutkan yang pertama. Unsur cara untuk dapat dilakukannya perbuatan adalah bukan berupa cara berbuat, melainkan untuk dapat melakukan ferbuatan yang menjadi larangan dalam tindak pidana, terlebih dulu hares dipenuhinya cara-cars tertentu agar perbuatan yang menjadi larangan itu dapat diwujudkan. Jadi berupa syarat (incasu cars berbuat) untuk dapat dilakukannya perbuatan yang menjadi larangan, dan bukan cara melakukan perbuatan yang menjadi larangan. 3) Unsur Keadaan Menyertai Mengenai Obyek Tindak Pidana Keadaan yang menyertai mengenai obyek tindak pidana adalah berupa semua keadaan yang melekat pada atau mengenai obyek tindak pidana, misalnya unsur "milik orang lain" yang melekat pada benda yang menjadi obyek pencurian (362), penggelapan (372), perusakan (406), atau ternak (363 ayat 1 ke-1), belum waktunya dikawin (288), seorang yang belum dewasa yang baik tingkah lakunya (293). 4) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Subyek Tindak Pidana



Unsur ini adalah segala keadaan mengenai diri subyek tindak pidana, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif. Bersifat obyektif adalah segala keadaan diluar keadaan batin pelakunya, misalnya seorang ibu (342), seorang pejabat (414, 415, 415), seorang nakhoda (449), seorang warga negara RI (451), dua atau lebih dengan bersekutu (363 ayat 1 ke-4). Sedangkan yang bersifat subyektif adalah keadaan me ngenai batin subyek hukum, misalnya dengan rencana lebih dulu (340, 353). 5) Keadaan yang Menyertai Mengenai Tempat Dilakukannya Tindak Pidana Unsur ini adalah mengenai segala keadaan mengenai tempat dilakukannya tindak pidana, misalnya sebuah kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada tempat kediaman (363 ayat 1 ke-3), dimuka umum (160, 207, 532), berada dijalan umum (536 ayat 1), di tempat lalu lintas umum (533). 6) Keadaan yang Menyertai Mengenai Waktu Dilakukannya Tindak Pidana Unsur ini adalah mengenai waktu dilakukannya tindak pidana, yang dapat berupa syarat memperberat pidana maupun yang menjadi unsur pokok tindak pidana. Berupa syarat diperberatnya pidana, misalnya waktu malam (363 ayat 1 ke-3), kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, gempa laut, gunung meletus, kapal karam dst. (363 ayat 1 ke2). Sedangkan waktu yang menjadi unsur pokok tindak pidana, misalnya dalam masa perang (124, 127), pejabat yang sedang (waktu) menjalankan tugasnya yang sah (212, 217). f. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari



yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor Kejaksaan Negeri setempat. Perbedaan pengaduan dengan laporan, ialah pada pengaduan hanya: (1) dapat dilakukan oleh yang berhak mengadu saja, yakni korban kejahatan, atau ,arakilnya yang sah (lihat pasal 72), dan (2) pengaduan diperlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja. Pada laporan kedua syarat itu tidak diperlukan. Untuk dapatnya dituntut pidana pada tindak pidana aduan diper1tkan syarat adanya pengaduan dari yang berhak tersebut. Sprat pengaduan bagi tindak pidana aduan inilah yang dimaksud dengan unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. Syarat ini ada yang disebutkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan misalnya pada perzinaan (284 ayat 2), pada penghinaan (310-318 jo 319), path pencurian dalam kalangan keluarga (362-365 jo 367), tetapi ada yang sekedar menunjuk pada ketentuan syarat pengaduan pada pasal yang lain, misalnya pada penggelapan (376 menunjuk 367), atau pengancaman (370 menunjuk 367). g. Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif dimuka. Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil.



Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayaan berat (354), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana. h. Unsur syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaankeadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutaya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan. Walaupun unsur ini sama dengan unsur akibat konstitutif dalam hal timbulnya setelah dilakukan perbuatan. Tetapi berbeda secara prinsip. Pada unsur akibat konstitutif harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang menjadi larangan dengan akibatnya, seperti perbuatan memukul dengan kayu dengan akibat patah tangannya korban. Sedangkan pada unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana tidak memerlukan hubungan kausal yang demikian. Misalnya unsur "pecah perang" tidak ada hubungan kausal atau bukan berupa akibat dari masuknya seseorang warga negara RI menjadi anggota tentara asing dari pasal 123.



Perbedaan yang lain ialah, apabila akibat konstitutif tidak timbul setelah dilakukannya perbuatan, maka tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya. Misalnya niat membunuh dengan telah melakukan perbuatan membacok batang leher korban, tetapi tidak menimbulkan akibat kematian, maka pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan pembunuhan (338 jo 53). Tetapi jika unsur syarat tambahan tidak timbul setelah dilakukan perbuatan (aktif maupun pasif), maka tindak pidana itu tidak terjadi, demikian juga percobaannya tidak terjadi. Misalnya bila tidak terjadi "kejahatan yang direncanakan", maka tindak pidana tidak melapor sebagaimana dirumuskan pada pasal 164 tidak terjadi, demikian juga tidak terjadi percobaannya.



C. CARA MERUMUSKAN TINDAK PIDANA Buku II dan Buku III KUHP berisi tentang rumusan tindak pidanatindak pidana tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk Undangundang dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya memang tidak seragam. Dalam hal ini akan dilihat dari 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP kita. 1. Cara Pencantuman Unsur-unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah: a. Cara pertama, dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana.



b. Cara kedua, dengan mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana. c. Cara ketiga, sekedar mencantumkan kualifikasinya saja, tanpa unsur-unsur dan mencantumkan ancaman pidana. Tampaklah yang sebenarnya, bahwa dari ketiga cara tersebut, ada tindak pidana yang dirumuskan tanpa menyebut unsur-unsur dan banyak yang tidak menyebut kualifikasi. Selalu disebut dalam rumusan adalah ancaman pidana. Ancaman pidana dan kualifikasi memang bukan unsur tindak pidana. Kualifikasi dicantumkan sekedar untuk menggampangkan penyebutan terhadap pengertian tindak pidana yang dimaksudkan. Sedangkan mengenai selalu dicantumkannya ancaman pidana dalam rumusan, disebabkan karena ancaman pidana ini adalah ciri mutlak dari suatu larangan perbuatan sebagai tindak pidana dan yang membedakan dengan larangan perbuatan yang bukan tindak pidana atau diluar hukum pidana. a. Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana Cara yang pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan



terutama



dalam



hal



merumuskan



tindak



pidana



dalam



bentuk



pokok/standard, dengan mencantumkan unsurunsur obyektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipunan), 406 (perusakan). Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu itu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak



pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan. b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencantumkan Ancaman Pidana. Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsurunsur pokok tanpa menyebut kualifikasi, dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu, stellionaat (385), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negeri (415)



c. Mencantumkan Kualifikasi dan Ancaman Pidana Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan `b i dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh suatu ratio urtentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirupwskan dengan sangat singkat yakni: "Penganiayaan (mishandeling) diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan dan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". 2. Dan Sudut Titik Beratnya Larangan Disamping itu dari sudut titik beratnya larangan maka dapat dibedakan pula antara merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana materiil).



a. Dengan Cara Formil Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu ialah melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. b. Dengan Cara Materiil Perumusan dengan cara materiil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan tindak pidana yang dirumuskan itu adalah pada menimhulkan akihat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tinclak pidana materiil (materieel delict). 3. Darii Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk yang



Lebih



Berat dan yang Lebib Ringan a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan tindak



pidana



antara



bentuk



standard



(bentuk



pokok)



dengan



bentuk



g diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara mei rumuskannya dapat dibedakan



antara



merumuskan



tindak



pidana



dalam



pokok dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan.



bentuk



b. Perumusan Dalam Bentuk yang Diperingan dan yang Diperberat Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari tidak pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya tindak pidana itu. D. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: 1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III. 2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten) 3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana seng tja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten). 4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis). 5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.



6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. 7. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu). 8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten). 9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvotidige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten). 10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya. 11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten). E. WAKTU DAN TEMPAT TINDAK PIDANA



Dari apa yang telah dibicarakan tentang tindak pidana dimuka, mengenai tempat dan waktu tindak pidana tidak disebut-sebut sebagai unsur tindak pidana, walaupun pada kenyataannya ada juga disebagian kecil rumusan tindak pidana tertentu di mana mengenai hal waktu dan tempat itu menjadi unsur, baik sebagai unsur yang memberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman (363 ayat 2 sub 3), atau pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi dan sebagainya (363 ayat 1 sub 2), atau sebagai unsur pokok, misalnya: waktu perang (127), dimuka umum (281, 282, 532), di tempat lalu lintas umum (533), berada dijalan umum (536), dijalan umum (544 (1). 1. Mengenai Waktu Tindak Pidana a. Mengenai hubungannya dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, b. Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan (maatregelen) terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana sebelum umur 16 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46 dan 47 KUHP. c. Mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuan kadaluwarsa bagi hak negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78, 79 KUHP. d. Mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana dilakukan



e. Mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika melakukan tindak pidana



f. Mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive) 2 . Mengenai Ternpat Tindak Pidana Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana penting dalam beberapa hal, yaitu: a. Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif. b. Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 2 KUHP yang mernuat azas teritorialitet tentang berlakunya hukum pidana Indonesia. 3. Teori Tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana Undang-undang ternyata telah tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini menjadi sangat penting dalam praktik hukum, karena teori-teori itulah yang dapat menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat tindak pidana ini. Dari sudut faktual atau kenyataannya, maka ada benarnya jika kita berpendapat bahwa pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana adalah seluruh waktu dan tempat di mana tindak pidana itu dilakukan. Mengenai waktu dan tempat tindak pidana pasif (omissi) berupa tindak pidana pelanggaran terhadap kewajiban hukum untuk berbuat, misalnya mengabaikan panggilan hakim untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa dipersidangan pengadilan (522), adalah waktu dan tempat di mana ia seharusnya memenuhi kewajiban hukum itu dilakukan.