Paradigma Baru Perkembangan Keilmuan Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PARADIGMA BARU PERKEMBANGAN KEILMUAN



MAKALAH Untuk memenuhi tugas mata kuliah etika keilmuan yang diampu oleh Prof. Dr. Andi Mappiare, M.Pd. dan Dr. Blasius Boli Lasan, M.Pd. Disusun oleh Aisyah Ummu Hamidah



(200111842005)



Amalia Zakia Ekasari



(200111842024)



Daris Maramis



(200111850433)



Nauval Bachtiar



(200111842013)



Shafna Utami Nur Fairuz



(200111842019)



UNIVERSITAS NEGERI MALANG PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING NOPEMBER 2020



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan makalah. Makalah disusun berdasarkan materi pembelajaran pada mata kuliah etika keilmuan dengan judul “Paradigma Baru Perkembangan Keilmuan”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim yang terlibat dalam pembuatan makalah ini, khususnya kepada Prof. Dr. Andi Mappiare, M.Pd. dan Dr. Blasius Boli Lasan, M.Pd. selaku dosen mata kuliah etika keilmuan dalam BK yang senantiasa membimbing penulis. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam menyusun makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita, serta penulis berharap, makalah sederhana yang disajikan ini dapat memberi manfaat dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan kita, baik itu bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Aamiin. Malang, 25 Nopember 2020



Penulis,



i



DAFTAR ISI DAFTAR ISI............................................................................................................1 BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................2 A. Latar Belakang..............................................................................................2 B. Rumusan Masalah.........................................................................................3 C. Tujuan penelitian...........................................................................................3 BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4 A. Perkembangan dan Pergeseran Paradigma Ilmu Pengetahuan.....................4 B. Paradigma Fungsionalis................................................................................6 C. Paradigma Interpretitif..................................................................................7 D. Paradigma Kritis.........................................................................................10 E. Paradigma Postmodern...............................................................................15 BAB III PENUTUP..............................................................................................17 A. Kesimpulan.................................................................................................17 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung secara evolutive dalam kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh dinamika kemunitas keilmuan dan berbagai persoalan yang muncul pada kehidupan manusia. Hal tersebut pengaruh kegiatan diskusi, seminar, workshop, penulisan karya ilmiah, penelitian dan berbagai kegiatan ilmiah lain. Masalah hidup dalam kehidupan sehari-hari ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan keilmuan. Hal ini disebabkan oleh sifat manusia dan tidak pernah dapat memenuhi kebutuhan apa pun dia telah membuat prestasi dalam kehidupan dan perubahan lingkungan hidup tidak menguntungkan. Perubahan yang kecil pada diri sendiri akan dapat mengubah perilaku kita, sedangkan perubahan yang besar dan bersifat radikal serta revolusioner akan dapat menggeser suatu paradigma. Semua ini tentunya harus bermula dari hal yang kecil, diri sendiri, saat ini dan kita sebagai individu adalah katalisator dalam setiap perubahan besar yang akan nampak sebagai sebuah pergeseran paradigma. Tanpa sadar, kita sudah berada pada paradigma yang berbeda dengan pendahulu kita atau mungkin nenek moyang kita. Padangan tentang paradigma ilmu pengetahuan nampak akan selalu berubah antar waktu. Hal itu tidak dapat dipungkiri lagi karena memang itu adalah kenyataan yang terjadi saat ini. Demikian pula dengan ilmu pengetahuan yang juga tidak luput dari pergeseran paradigma. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia pada hakikatnya bertujuan untuk menemukan kebenaran atas gejala atau fenomena lama atau baru. Suatu kelahiran paradigma yang baru tidak akan pernah terlepas dari paradigma sebelumnya.



2



B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, berikut ini rumusan masalah: 1. Bagaimana persgeran dan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana paradigma fungsionalis? 3. Bagiamana paradigma interpretif? 4. Bagaimana paradigma kritis? 5. Bagaimana paradigma postmodern?



C. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah: 1. Menjelaskan pergeseran dan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan 2. Menjelaskan paradigma fungsionalis 3. Menjelaskan paradigma interpretif 4. Menjelaskan paradigma kritis 5. Menjelaskan paradigma postmodern



3



BAB II PEMBAHASAN A. Perkembangan dan Pergeseran Paradigma Ilmu Pengetahuan Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung pada sudut pandang yang menggunakannya. Jika dari sudut pandang penulis, maka paradigma adalah cara pandang seseorang mengenai suatu pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan dasar yang menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Capra (1991) dalam bukunya Tao of Physics menyatakan bahwa paradigma adalah asumsi dasar yang membutuhkan bukti pendukung untuk asumsi-asumsi yang ditegakkannya, dalam menggambarkan dan mewarnai interpretasinya terhadap realita sejarah sains. Sedangkan Kuhn (1962) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution menyatakan bahwa paradigma adalah gabungan hasil kajian yang terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teknik dll yang digunakan secara bersama dalam suatu komunitas untuk menentukan keabsahan suatu masalah berserta solusinya. Padangan tentang paradigma ilmu pengetahuan nampak akan selalu berubah antar waktu. Suatu kelahiran paradigma yang baru tidak akan pernah terlepas dari paradigma sebelumnya. Atau mungkin paradigma yang muncul setelah paradigma sebelumnya sebagai paradigma yang selalu berusaha untuk memperbaiki kekurangan-kekurang yang ada pada paradigma sebelumnya. Pergeseran paradigma akan selalu muncul untuk mendapatkan realitas yang sebenarnya sesuai dengan masa atau waktu yang selalu berganti sesuai dengan jaman dan peradaban yang ada di muka bumi ini. Contoh apakah paradigma positivis lebih baik atau buruk dari paradigma yang lainnya, menurut penulis tergantung pada para penganutnya yang bisa memahami dan mengerti paradigma tersebut. Istilah paradigma menjadi terkenal setelah diungkapkan olah Thomas Kuhn melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution. 1 Di dalam buku ini paradigma menjadi konsep yang sangat sentral. Dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan. Setelah itu memperoleh 1



4



pengakuan dan berkembang menjadi paradigma. Pada tahap ini sebuah teori ilmu pengetahuan diakui sebagai kebenaran dan dijadikan acuan oleh masyarakat. Pada tahap berikutnya akan menjadi normal science yang diindikasikan dengan terjadinya



akumulasi



ilmu



pengetahuan.



Selanjutnya



akan



mengalami



kegoncangan hingga kekacauan yang disebut anomali. Hal ini terjadi karena asumsi-asumsi paradigma lama tidak dapat lagi menjawab persoalan yang terjadi. Maka muncullah crisis. Dan berikutnya terjadi revolusi ilmu pengetahuan. Kalau revolusi sudah terjadi maka timbullah paradigma baru. Proses perjalanan paradigma tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Paradigma I--Normal Science-Anomalies-Crisis-Revolution--Paradigma II Konsep tentang paradigma yang dikembangkan oleh Thomas S. Kuhn tersebut lebih diarahkan pada ilmu-ilmu alam. Paradigma dalam ilmu alam adalah tungal. Artinya, pada waktu tertentu ilmu pengetahuan didominasi oleh paradigma tertentu. Jika paradigma yang pertama ini menjadi lemah maka terjadilah revolusi untuk mengantarkan munculnya paradigma yang baru. Dan begitu seterusnya proses yang terjadi. Berbeda dengan ilmu alam, ilmu sosial memiliki banyak paradigma. George Ritzer menunjukkan adanya tiga paradigma yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Masing-masing dari ketiga paradigma ini memiliki asumsi, teori, dan metode yang berbeda-beda. Rumusan Ritzer tentang paradigma ilmu sosial ini juga telah berkembang dalam membahas model pengembangan pendidikan. Model pengembangan pendidikan tertentu akan mempunyai implikasi pada pengembangan kurikulum, silaby, kepemimpinan, manajemen sumber daya, pengelolaan kelas dan strategi pembelajaran. Paradigma perilaku sosial akan melahirkan model (paradigma) behavioristik. Paradigma definisi sosial akan melahirkan model konstruktivistik. Faktor Pengembangan Paradigma: 1. gugatan para ilmuwan perihal daya eksploratori pendekatan kuantitatifpositivistik terhadap objek kajian 2. laju perubahan social yang begitu cepat memerlukan pendekatan dan model studi yang lebih kontekstual dan handal”. 3. Pergeseran drastis paradigma pendidikan yang sedang terjadi



5



4. munculnya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat 5. teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. 6. kehidupan modern saat ini. D. Paradigma Fungsionalis Paradigma fungsionalis (positivisme) adalah paradigma yang muncul paling awal dalam dunia ilmu pengetahuan. Kepercayaan dalam pandangan ini berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam. Penelitiannya berusaha untuk mengungkap kebenaran dari realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan sesuai dengan kenyataannya. Dalam paradigma ini mempunyai prespektif yang didasarkan pada sosiologi regulasi dengan pendekatan obyektif dan cenderung mengasumsikan dunia sosial sebagai produk empiris yang sangat nyata serta mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya (sebab-akibat) (Diamastuti, E., t.t). Schultz, M., & Hatch, M. J. (1996) menyebutkan bahwa paradigma fungsionalis diturunkan dari teori sistem dalam sosiologi dan antropologi, seperti yang diwakili oleh karya Durkheim (1949/1893), Radcliffe-Brown (1952), Parsons (1951), dan Merton (1957). Paradigma fungsionalis didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat memiliki wujud yang kongkrit, nyata, dan bersifat sistemik yang berorientasi untuk menghasilkan keadaan yang tertib dan teratur. Ini mendorong pendekatan teori sosial yang berfokus pada pemahaman peran manusia dalam masyarakat. Perilaku selalu dilihat sebagai hal yang terikat secara kontekstual dalam dunia nyata dari hubungan sosial yang konkret dan nyata. Asumsi ontologis mendorong kepercayaan pada kemungkinan ilmu sosial yang obyektif dan bebas nilai di mana ilmuwan berada jauh dari adegan yang dianalisis melalui ketelitian dan teknik metode ilmiah. Perspektif fungsionalis terutama bersifat regulatif dan pragmatis dalam orientasi dasarnya, berkaitan dengan pemahaman masyarakat dengan cara yang menghasilkan pengetahuan empiris yang berguna (Morgan, G., 1980). Paradigma fungsionalis berusaha memberikan penjelasan yang pada dasarnya rasional tentang urusan sosial. Hal ini adalah perspektif yang sangat



6



berorientasi pragmatis, berkepentingan untuk memahami masyarakat dengan cara menghasilkan



pengetahuan



yang



dapat



dimanfaatkan. Fungsionalis



berkepentingan untuk memberikan solusi praktis untuk masalah praktis. Biasanya berkomitmen kuat pada filosofi rekayasa sosial sebagai dasar perubahan sosial dan menekankan pentingnya memahami keteraturan, keseimbangan, dan stabilitas dalam masyarakat dan cara mempertahankannya. Ini berkaitan dengan 'regulasi' yang efektif dan kontrol urusan sosial (Burrell, G., & Morgan, G., 1979). Kerlinger, 1973 dikutip dalam Diamastuti, E., t.t menyebutkan bahwa paradigma fungsionalis ini telah ratusan tahun menjadi pedoman bagi ilmuwan dalam mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran tersebut tidak merupakan kebenaran yang mutlak karena harus diuji terlebih dahulu berdasarkan beberapa faktor empiris untuk menjustifikasi kebenaran realitas yang ada pada saat itu. Dalam paradigma fungsionalis, obyek ilmu pengetahuan dan pernyataan pengetahuan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu; harus dapat diamati (observable), dapat diulang (repeatable), dapat diukur (measurable), dapat diuji (testable) dan dapat diramalkan (predictable). E. Paradigma Interpretitif Paradigma interpretif muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap pandangan yang dikemukakan oleh paradigma fungsionalist/positivist khususnya mengenai realitas, karena menurut intrepretivist, realitas adalah yang dapat dikonstruksi oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian, sehingga paradigma ini menolak 3 prinsip yang didengung-dengungkan oleh penganut paradigma fungsionalis/positivist yaitu 1) ilmu merupakan usaha untuk mengungkap realitas 2) hubungan subyek dan obyek harus dapat digambarkan dan 3) hasil temuan harus dapat digeneralisasi. Atau dapat dikatakan bahwa fenomena yang akan diteliti adalah harus dapat diobservasi, dapat diukur dan dapat dijelaskan melalui karakter yang ada dalam penelitian tersebut. Paradigma Interpretif adalah salah satu paradigma non positivisme. Pendekatan alternatif ini berasal dari beberapa filsuf jerman yang memfokuskan penelitian pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Cara pandang yang digunakan milik kaum nominalis ini yang melihat realitas 7



sosial adalah sesuatu yang hanya merupakan label dan konsep yang digunakan untuk membangun realitas serta tidak ada sesuatu yang nyata. Hakikat interpretif ini menganggap individu melihat dan membangun realitas sosial secara aktif dan sadar, sehingga setiap individu pasti memiliki pemaknaan yang berbeda pada suatu peristiwa, dengan kata lain realitas sosial adalah hasil bentukan dari serangkaian interaksi antar pelaku sosial dalam sebuah lingkungan. Di dalam pardigma interpretif, ilmu pengetahuan dianggap sebagai cara untuk memahami (to understand) suatu peristiwa. Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretatif diadopsi dari orientasi praktis. menurut Patton (1990) paradigma interpretif juga disebut paradigma fenomenologi atau naturalistik, walau diakui ini sering membingungkan. Sedangkan paradigma refleksif disepadankan dengan pendekatan kritik (critical approach), yang lazim digunakan dalam kajian budaya, media, komunikasi, feminisme, wacana, dan sastra, dan politik. Sajian pendek ini secara khusus akan membahas paradigma interpretif yang menjadi payung utama penelitian kualitatif. Paradigma interpretif memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik, tidak terpisah-pisah satu dengan lainnya, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar gejala bersifat timbal balik (reciprocal), bukan kausalitas. Paradigma interpretif juga memandang realitas sosial itu sesuatu yang dinamis, berproses dan penuh makna subjektif. Realitas sosial tidak lain adalah konstruksi sosial. Terkait posisi manusia, paradigma interpretif memandang manusia sebagai makhluk yang berkesadaran dan bersifat intensional dalam bertindak (intentional human being). Manusia adalah makhluk pencipta dunia, memberikan arti pada dunia, tidak dibatasi hukum di luar diri, dan pencipta rangkaian makna Dalam paradigma intrepretif, secara ontology melihat realitas bersifat sosial, karena itu selalu menghasilkan realitas majemuk di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa realitas tidak dapat diungkapkan secara jelas dengan satu kali pengamatan dan pengukuran oleh sebuah ilmu pengetahuan. Keberadaan realitas



8



merupakan seperangkat bangunan yang kokoh dan menyeluruh serta mempunyai makna yang bersifat kontekstual dan dialektis. Paradigma ini memandang suatu fenomena alam atau social dengan prinsip relativitas, sehingga penciptaan ilmu yang diekspresikan dalam teori bersifat sementara, local dan spesifik. Dalam sisi epistemology hubungan peneliti dengan obyek bersifat interaktif melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah agar dapat memahami dan menfsirkan bagaimana aktor sosial tersebut menciptakan dunia sosial dan memeliharanya. Peneliti bebas melakukan segala tindakannya tanpa harus takut pada hukum, standart, norma yang ada asalkan apa yang dimaknai sesuai dengan realitas yang ada pada saat itu. Fenomena yang ada dapat dirumuskan dalam ilmu pengetahuan dengan memperhatikan gejala atau hubungan yang ada di antara keduanya yang hasilnya akan sangat subyektif oleh sebab itu tidak bersifat bebas nilai (Not Value Free) Secara umum pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi. (Newman, 2000). Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Fakta-fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang beragantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak dan dapat dinterpretasikan dengan berbagai cara. (Newman, 2000). Paradigma ini menekankan pada ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku;, setiap gejala atau peristiwa bisa jadi memiliki makna yang berbeda; ilmu bersifat induktif, berjalan dari yang sepesifik menuju ke yang umum dan abstrak. Ilmu bersifat idiografis, artinya ilmu mengungkap realitas melalui simbol-simbol dalam bentuk deskriptif. Pendekatan interpretif pada akhirnya melahirkan pendekatan kualitatif. Dikaitkan dengan peran ilmu sosial, menurut Hendrarti (2010), paradigma interpretif memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas ‘socially meaningful action’ melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam latar alamiah agar dapat 9



memahami dan menafsirkan bagaimana para aktor sosial menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka. F. Paradigma Kritis Paradigma kritis lahir tidak lepas dari Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme). Paradigma kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Paradigma ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus



sastra),



Herbert



Marcuse



(murid



Heidegger



yang



mencoba



menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika). Ciri khas paradigma Kritis adalah bahwa paradigma ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan paradigma kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa iningn membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada. pandangan paradigma ini menekankan pada ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku, tetapi untuk membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada dalam pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan. Paradigma kritis (critical paradigm) adalah semua teori sosial yang mempunyai maksud dan implikassi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan 10



sosial. Paradigma ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu paradigma untuk mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil. Meskipun terdapat beberapa variasi teori sosial kritis seperti; feminisme, cultural studies, posmodernisme -aliran ini tidak mau dikategorikan pada golongan kritis- tetapi kesemuanya aliran tersebut memiliki tiga asumsi dasar yang sama. 1. Pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Ilmuan kritis harus memahami pengalaman manusia dalam konteksnya.



Secara



khusus



paradigma



kritis



bertujuan



untuk



menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. 2. Kedua, paradigma ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usaha untuk mengungkap struktur-struktur yang sering kali tersembunyi. Kebanyakan teori-teori kritis mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami



bagaimana



seseorang



ditindas



sehingga



orang



dapat



mengambil tindakan untuk mengubah kekuatan penindas. 3. Ketiga, paradigma kritis secara sadar berupaya untuk menggabungakn teori dan tindakan (praksis). “Praksis” adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis ini. Menurut Habermas (dalam Hardiman, 1993: xix) praksis bukanlah tingkah-laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Asumsi dasar yang ketiga ini bertolak dari persoalan bagaimana pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah bukan hanya sekedar teori, melainkan mendorong praksis menuju pada perubahan sosial yang humanis dan mencerdaskan. Asumsi yang ketiga ini diperkuat oleh Jurgen Habermas (1983) dengan memunculkan teori tindakan komunikatif (The Theory of Communication Action). Bagi paradigma kritis tugas ilmu sosial adalah justru melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial yang cenderung “mendehumanisasi” atau membunuh nilai-nilai kemanusiaan (Fakih, 2001: 7). Gramsci menyebut proses penyadaran ini sebagai counter hegemony. Dominasi 11



suatu paradigma harus dikonter dengan paradigma alternatif lainnya yang bisa memecahkan permasalahan dalam realitas sosial kemasyarakatan yang tidak terselesaikan oleh paradigam yang mendominasi. Proses dehumanisasi sering melalui mekanisme kekerasan, baik fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara yang halus, di mana keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dalam bentuk dehumanisasi tidak selalu jelas dan mudah dikenali karena ia cendrung sulit dilihat secara kasat mata dan dirasakan bahkan umumnya yang mendapatkan perlakuan kekerasan cendrung tidak menyadarinya. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah bentuk kekerasan yang memerlukan suatu analisis yang lebih kritis untuk menyadarinya. Tegasnya, sebagian besar kekerasan terselenggara melalui proses hegemoni, yakni yaitu dalam bentuk mendoktrin dan memanipulasi cara pandang, cara berpikir, ideology, kebudayaan seseorang atau sekelompok orang, dimana semuanya sangat ditentukan oleh orang yang mendominasi. Kekuatan dominasi ini biasa dilanggengkan dengan kekuatan ekonomi maupun kekuatan politik, bahkan dengan ilmu pengetahuan. Seperti diungkapkan oleh Micheal Faucoult knowledge is power, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan ialah yang menguasai dunia ini. Bagi paradigma atau aliran kritis, dunia positivisme dan empirisme dalam ilmu sosial, struktural memang tidak adil. Karena ilmu sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif serta harus mempunyai jarak, merupakan suatu sikap ketidakadilan tersendiri, atau bisa dikatakan melanggengkan ketidakadilan (status quo). Oleh karena itu, paradigma ini menolak bentuk objektivitas dan netralitas dari ilmu sosial. Jadi paradigma mengharuskan adanya bentuk subjektifitas, keberpihakan pada nilai-nilai kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu –terutama kaum lemah, golongan yang tertindas dan kelompok minoritas- dimana keberpihakan ini merupakan naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi dari gagasan-gagasan ideal tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis. Untuk memahami



12



pendekatan teori kritis, tidak bisa tidak, harus menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan. Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian. Zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains”. Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi



13



refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ideide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman dalam arti luas dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi- diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis, dalam arti tradisional yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.



14



G. Paradigma Postmodern Postmodernisme adalah sudut pandang, kerangka kerja, pemikiran filosofis, atau sikap dan cara penanganan ide yang muncul dari para pemikir dunia. Pada abad ke-20 keberadaannya tentunya akan sangat mempengaruhi perkembangan dan budaya manusia. Penerapan postmodernisme juga telah diterapkan di berbagai bidang, seperti: seni, arsitektur, musik, film dan teater. Tujuan dari aliran ini adalah jawab dan kritik pandangan yang ada saya biasa mencari solusi untuk berbagai masalah menghadapi krisis kemanusiaan dan sosial budaya saat ini tidak pernah berakhir. Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme (Maksum, 2014). Menurut beberapa para ahli yang lainnya, seperti Louis Leahy, postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ideide zaman modern (Leahy, 1985). Menurut Emanuel, postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi kembali paradigma modern (Emanuel, 2006). Sedangkan menurut Ghazali dan Effendi, postmodernisme mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya (Ghazali & Effendi, 2009). Kesimpulan dari pengertian beberapa ahli bahwa postmodern adalah gagasan atau ide yang merupakan kritikan terhadap ide sebelumnya yaitu paham modernisme yang dianggap gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran manusia. Postmodern merupakan perrgeseran ilmu perngetahuan dari ide ide modern menuju pada suatu ide baru yang dibawa oleh postmodern itu sendiri. Gejala Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut yang didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh adanya rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains



15



menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia (Kalean, 2002) Modernisme memandang ilmu-ilmu positif empiris atau ilmu pengetahuan mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Artinya pandangan modernisme yang objektif dan positivis. Mengakibatkan nilai moral dan religious kehilangan wibawa. Maka timbul disorientasi moral-religius menuju suatu kekerasan, keterasingan, dan disorientasi hidup (Norris, 2003). Penganut postmodernisme mengakui adanya suatu pendekatan dalam ilmu pengetahuan yaitu secara pendekatan metodologis antara lain interpretasi anti obyektifitas dan dekonstruksi. Postmodernisme dipahami sebagai interpretasi tak terbatas (Soetriono & Hanafie, 2007: 31). Dengan demikian dalam pandangan postmodernisme bahwa ilmu pengetahuan bersifat subjektif. Implikasinya adalah bahwa tidak ada apa yang dinamakan ilmu bebas nilai. Sedangkan modernisme menganggap ilmu pengetahuan yang objektif maka bebas dari nilai (Jalaluddin, 2013). Penganut postmodern tidak mengakui akan adanya rasionalitas universal, mereka memahami hanyalah relativitas dari eksistensi plural. Dengan demikian, perlu dirubah dari berfikit totalizing menjadi pluralistic and open democracy dalam semua sendi kehidupan. Pandangan postmodern menekankan pada pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya local/etnis dan pengalaman hidup sehari hari. Jadi, postmodernisme memandang bahwa ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh modernisme akan membawa pada kehancuran. Modernisme tidak membawa kita pada kehidupan yang lebih layak dan bisa mengangkat harkat martabat manusia seperti apa yang telah dijanjikannya, namun malah sebaliknya. Postmodernisme berpandangan, harus dilakukan perombakan terhadap apa yang ditawarkan oleh modernisme dan juga harus dikaji ulang terlebih dahulu.



16



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas, maka simpulan yang bisa diambil dari pergeseran paradigma ilmu pengetahuan memunculkan suatu fakta bahwa adanya sejumlah paradigma yang lahir sebagai paradigma alternative (interpretif, kritis, fungsional dan postmodern) untuk mencari kebenaran realitas yang memberi sejumlah implikasi baik secara konseptual, praktis dan implikasi kebijaksanaan. Paradigma alternative diharapkan dapat menghindarkan adanya suatu pandangan atau keyakinan bahwa satu paradigma adalah mencukupi dan tepat untuk mengatasi semua



masalah



yang



ada



17



di



muka



bumi



ini.



DAFTAR PUSTAKA Burrell, G., & Morgan, G. (1979). Sociological Paradigms and Organisational AIlalysis. USA: Ashgale Publishing Company Diamastuti, E. (t.t). Paradigma Ilmu Pengetahuan Sebuah Telaah Kritis Diamastuti, Erlina. 2013. Paradigma Ilmu Pengetahuan Sebuah Telaah Kritis. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. GHAZALI, Abd Moqsith; EFFENDI, Djohan. Merayakan kebebasan beragama:bunga rampai menyambut 70 tahun Djohan Effendi. Penerbit Buku Kompas, 2009. Gibson Burrel dan Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis.London : Heinemann Educational Book Ltd Heath, Robert L dan Jannings Bryant. 2000. Human Communication Theory and Research, Concepts, Contexts, and Challenges. Mahwah, New Jersey – London: Lawrence Erlbaum Associate Publisher. Hendrarti, Dwi Windyastuti Budi. 2010. “Konsep Dasar dan Isu Penelitian Kualitatif”, Makalah pada Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif (Teori & Praktek), oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Kamaruddin. 2013. Paradigma Kritis Ilmu Sosial Dan Komunikas. Kusmanto, Thohir Yuli.2014. Rekonstruksi Paradigma Ilmu Pengetahuan Untuk Keberlanjutan Ekologis. Sosiologi Reflektif, Volume 9, N0. 1, Oktober 2014. UIN Walisongo Semarang. Mackenzie, N. & Knipe, S. 2006. “Research dilemmas: Paradigms, Methods and Methodology.” Issues In Educational Research, 16(2), 193-205. Maksum, A. "Pengantar Filsafat, Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Aziz Safa." AR-RUZZ MEDIA (2014).



18



Morgan, G. (1980). Paradigms, Metaphors, and Puzzle Solving in Organization Theory Author(s): Gareth Morgan Source: Administrative Science Quarterly, 25 (4), 605-622 https://doi.org/10.2307/2392283 Muslim. 2016. Varian-Varian Paradigma, Pendekatan, Metode, Dan Jenis Penelitian Dalam Ilmu Komunikasi. Staf Pengajar pada Progam Ilmu Komunikasi, FISIB, Universitas Pakuan. Neuman, W Laurence. 2000. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. 4th editions. Needham Heights. Patton, Michael Quinn. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. Newbury Park, London, New Delhi: Sage Publications. Sanaky, Hujair AH.2003. Paradigma Baru Pendidikan Islam Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan. JPI FfAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003. FIAI WI Yogyakarta Schultz, M., & Hatch, M. J. (1996). Living with multiple paradigms: The case of paradigm interplay in organizational culture studies. Academy of Management Review, 21(2), 529–557. https://doi.org/10.5465/AMR.1996.9605060221 Soetriono dan SRDm Rita Hanafie.2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta : CVAndi Offset. Taufiq, Ahmad. 2018. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi dan Makna Kuliah Bagi Mahasiswa. Jurnal MADANI Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 10 No. 1 2018 (34-52) ISSN 2085-143X



19