PBL Rheumatoid Arthritis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Skenario A, 40 years old female, has been diagnosed as having rheumatoid arthritis for 1 year. Now, her metacarpophalangeal joints II and III and proximal interphalangeal joints II and III on both hands, are swollen. Subcutaneous nodules are found in both elbows and hands. Laboratory investigation shows that hemoglobin was 12 gr/dL, white blood count 6000/μL, rheumatoid factor (+), CRP and ESR are increased. Radiologic finding shows bonny erosions in interphalangeal joints and wrists. Latar Belakang Di dalam tubuh manusia terdapat sekitar 250 sendi. Karena jumlahnya yang banyak, dapat dipahami bahwa nyeri sendi merupakan keluhan yang cukup sering dirasakan oleh hampir semua orang selama masa hidupnya. Sebagian besar masyarakat memiliki anggapan yang salah bahwa semua nyeri sendi diakibatkan oleh penyakit rematik, asam urat, dan sebagainya. Sebenarnya tidak semua nyeri sendi disebabkan oleh penyakit rematik atau asam urat. Keduanya memiliki perjalanan penyakit yang berbeda, walaupun sama-sama memiliki manifestasi klinis seperti nyeri sendi (arthralgia). Anggapan yang salah seperti itu dapat menyebabkan kesalahan diagnosis dan kesalahan pengobatan. Maka dari itu, sudah seharusnya kita sebagai calon dokter mengetahui hal yang benar mengenai penyebab arthralgia. Pada kesempatan kali ini, akan dibahas secara lebih spesifik mengenai penyakit Rheumatoid Arthritis yang dapat menimbulkan arthralgia, dan manifestasi klinis lainnya. Tujuan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Mengetahui definisi Rheumatoid Arthritis Mengetahui etiologi dan epidemiologi Rheumatoid Arthritis Mengetahui patogenesis Rheumatoid Arthritis Mengetahui manifestasi klinis Rheumatoid Arthritis Mengetahui diagnosis banding Rheumatoid Arthritis Mengetahui diagnosis kerja dan pemeriksaan Rheumatoid Arthritis Mengetahui pengobatan dan penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis Mengetahui prognosis Rheumatoid Arthritis



BAB II HASIL DISKUSI 1. Definisi Rheumatoid Arthritis, yaitu:



1



Suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik, simetris, progresif, erosif, dan destruktif, dimana sendi merupakan target utama (terutama sendi-sendi yang kecil), dan biasanya terjadi pada usia produktif. 2. Etiologi Rheumatoid Arthritis, yaitu: o Penyebabnya belum diketahui secara pasti o 90% masalah genetik (HLA-DR4 / HLA-DRβ1) o Kembar monozigot lebih beresiko, karena mempunyai HLA-DR4 o Hormon sex Pada masa kehamilan, placental corticotropin-releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). Pada RA, respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan RA. o Faktor infeksi Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab RA, dengan cara menginfeksi sel host dan mengubah reaktivitas atau respon sel T. Namun, belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab RA. Contoh agen infeksi yang diduga menyebabkan RA adalah Epstein-Barr Virus (EBV), Mycobacteria, Mycoplasma, Parvovirus, Retrovirus, Rubella, dsb. o Protein heat shock (HSP) HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stress. Protein ini mengandung sequence asam amino homolog. HSP pada manusia dan HSP pada mycobacterium tuberculosis mempunyai 65% sequence yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang (cross reaction) limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan respon imun. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry). o Faktor predisposisi  Merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya RA  3 dari 4 wanita dengan RA mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan terulang kembali setelah melahirkan  Penggunaan kontrasepsi oral dapat mencegah perkembangan RA



2



Epidemiologi Rheumatoid Arthritis, yaitu: o o o o o



Onset: usia 40-50 / usia produktif 80% berkembang penyakitnya pada usia 35-50 Sebagian besar kasus RA terjadi pada orang kulit putih Wanita usia 60-64 lebih beresiko Prevalensi pada wanita > pria (3:1)



3. Patogenesis Rheumatoid Arthritis, yaitu: Suatu antigen penyebab RA yang berada pada membran sinovial akan diproses oleh APC (Antigen Presenting Cells) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan IL-1 yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+. Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaanya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, TNF-β, IL-3, IL-4, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan



kompleks



imun



akan



mengaktivasi



sistem



komplemen



yang



membebaskan komponen komplemen C5a. Komponen komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Terjadi peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi oleh sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.



3



Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang oleh osteoklas dengan bantuan IL-1 dan TNF-β. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan berhenti apabila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi antigen tersebut umumnya akan terus menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi akan berlangsung terus menerus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada RA kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor rheumatoid. Faktor rheumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70 – 90% AR. Faktor rheumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat. Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya jaringan pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Jaringan pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan. Jaringan pannus dapat menginvasi jaringan kollagen dan proteoglikan tulang rawan sendi serta tulang, sehingga dapat menghancurkan struktur persendian. Bila tidak ditangani atau terjadi remisi spontan, proses ini dapat menyebabkan ankylosis. Pembentukan jaringan pannus juga mengakibatkan terjadinya ekspresi ICAM-1, yang merupakan tempat perlekatan mononukleus pada sel endotel mikrovaskuler. antigen diikat oleh APC 4



ekspresi HLA-DR4 aktivasi sel T CD4+ IL-2 proliferasi sel T CD4+



TNF-β, IL-3, IL-4, GM-CSF aktivasi + proliferasi sel B



rangsang makrofag



antibodi kompleks imun ruang sendi mengendap di membran sinovial aktivasi sistem komplemen + bebaskan C5a



sel T masuk



inflamasi + kerusakan jaringan



jaringan pannus



antigen kondrosit, fibrosit, osteoklas



sel T CD4+



sel B



IFN-α



metaloproteinase



makrofag



sel plasma



jaringan pannus



TNF-α, IL-1, IL-6



faktor rheumatoid



destruksi tulang,



permeabilitas sel endotel 



IgG



jaringan ikat inflamasi



lisis 5



makrofag TNF + IL-1



+ IL-6



stimulasi sel pannus



Pg-E2



aktivasi osteoklas + demineralisasi tulang



kolagenase + protease



hambat IL-2



resorpsi tulang lokal



aktivasi kondrosit



hambat infamasi



EROSI TULANG



produksi enzim proteolitik degradasi kartilago + hambat sintesis molekul matriks Keterangan: Pg-E2 = Prostaglandin E2 Erosi tulang terjadi setelah proses yang lama 4. Manifestasi klinis Rheumatoid Arthritis, yaitu: Kelainan pada sinovial Kelainan RA dimulai pada sinovial berupa sinovitis. Pada tahap awal terjadi hiperemia dan pembengkakan pada sel-sel yang meliputi sinovial disertai dengan infiltrasi limfosit dan sel-sel plasma. Selanjutnya terjadi pembentukan vilus yang berkembangan ke arah ruang sendi dan terjadi nekrosis serta kerusakan dalam ruang sendi. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan daerah nekrosis fibrinoid yang diliputi oleh jaringan fibroblas membentuk garis radial ke arah bagian yang nekrosis. Kelainan pada tendo Pada tendo terjadi tendosinovitis disertai dengan invasi kolagen yang dapat menyebabkan ruptur tendo secara parsial atau total. Kelainan pada tulang / artikuler Kelainan yang terjadi pada daerah artikuler dibagi dalam tiga stadium, yaitu: 1. Stadium I (stadium sinovitis) – Pada tahap awal terjadi kongesti vaskuler, proliferasi sinovial disertai infiltrasi lapisan sub-sinovial oleh sel-sel polimorf 6



limfosit dan sel plasma. Selanjutnya terjadi penebalan struktur kapsul sendi disertai pembentukan vili pada sinovium dan efusi pada sendi/ pembungkus tendo. 2. Stadium II (stadium destruksi) – Pada stadium ini inflamasi berlanjut menjadi kronik serta terjadi destruksi sendi dan tendo. Kerusakan pada tulang rawan sendi disebabkan oleh enzim proteolitik dan oleh jaringan vaskuler pada lipatan sinovial serta oleh jaringan granulasi yang terbentuk pada permukaan sendi (pannus). Erosi tulang terjadi pada bagian tepi akibat invasi jaringan granulasi dan akibat resorpsi osteoklas. Pada tendo terjadi tenosinovitis disertai invasi kolagen yang dapat menyebabkan ruptur tendo baik parsial maupun total. 3. Stadium III (stadium deformitas) – Pada stadium ini kombinasi antara destruksi sendi, ketegangan selaput sendi dan ruptur tendo akan menyebabkan instabilitas dan deformitas sendi. Kelainan yang mungkin ditemukan pada stadium ini adalah ankilosis jaringan yang selanjutnya dapat menjadi ankilosis tulang. Inflamasi yang terjadi mungkin sudah berkurang dan kelainan yang timbul terutama oleh karena gangguan mekanik dan fungsional pada sendi. Kelainan pada Jaringan Ekstra-Artikuler Perubahan patologis yang dapat terjadi pda jaringan ekstra-artikuler adalah: o Otot: Pada otot terjadi miopati yang pada elektromiografi menunjukkan adanya degenerasi serabut otot. Degenerasi ini berhubungan dengan fragmentasi serabut otot serta gangguan retikulum sarkoplasma dan partikel glikogen. Selain itu umumnya pada RA terjadi pengecilan / atrofi otot yang disebabkan oleh kurangnya penggunaan otot (disuse atrophy) akibat inflamasi sendi yang ada. o Nodul Subkutan: Nodul subkutan terdiri atas unit jaringan yang nekrotik di bagian sentral dan dikelilingi oleh lapisan sel mononuklear yang tersusun secara radier dengan jaringan ikat yang padat dan diinfiltrasi oleh sel-sel bulat. Nodul subkutan hanya ditemukan pada 25% dari seluruh penderita RA. o Pembuluh darah perifer: Pada pembuluh darah perifer terjadi proliferasi tunika intima, lesi pada pembuluh darah arteriol dan venosa. Terjadi perubahan pda pembuluh darah sedang dan kecil berupa artritis nekrotik. Akibatnya terjadi gangguan respon arteriol terhadap temperatur. o Paru: penyakit paru interstisialis (interstitial lung disease), efusi pleura (secara karakteristik terjadi penurunan hebat glukosa) o Jantung: perikarditis, efusi perikardium, aortitis o Fenomena Raynaud, infark lipatan kuku kecil, purpura yang dapat dipalpasi, vaskulitis leukositoklastik o Amiloidisis sekunder (AA) dengan RA aktif yang berjalan lama o Sindrom Felty: RA aktif, splenomegali, dan neutropenia 7



o Malaise, demam, penurunan berat badan 5. Diagnosis banding Rheumatoid Arthritis, yaitu: o Osteoarthritis  Penipisan tulang rawan pada sendi  Biasanya mengenai sendi-sendi besar (terutama sendi penopang berat badan)  Tidak simetris  Hanya mengenai 1 sendi  Dibedakan dengan melakukan pemeriksaan X-ray dan tes darah o Gout arthtritis  Penumpukan asam urat pada sendi  Manifestasi klinis: erosi tulang yang membentuk overhanging sign  Dibedakan dengan melakukan pungsi cairan sinovial dan pemeriksaan X-Ray o Systemic Lupus Erythematosus  Dibedakan dengan gejala klinis yang spesifik dan tes darah (antibodi terhadap dsDNA) 6. Diagnosis kerja Rheumatoid Arthritis, yaitu: Kriteria diagnosis RA adalah terdapat poli-artritis yang simetris yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen. Kriteria diagnosis RA menurut American Reumatism Association (ARA) adalah: o Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (morning stiffness). o Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi. o Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada salah o o o o o o o o



satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain. Pembengkakan sendi yang bersifat simetris. Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor. Gambaran foto rontgen yang khas pada RA. Uji aglutinasi faktor rheumatoid. Pengendapan cairan musin yang jelek. Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovial. Gambaran histologik yang khas pada nodul.



Berdasarkan kriteria tersebut, maka disebut : Klasik, bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu.



8



Definitif, bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu. Kemungkinan reumatoid, bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurangkurangnya selama 4 minggu. Kriteria diagnosis RA berdasarkan American College of Rheumatology, yaitu:



Diagnosing Rheumatoid Arthritis* Any 4 criteria must be present to classify patients as having RA: Arthritis of ≥ 3 joints† Arthritis of hand joints (wrist, metacarpophalangeal, or proximal interphalangeal joints) † Morning stiffness for ≥ 1 h† Rheumatoid nodules Serum rheumatoid factor (positive in < 5% of normal control subjects) Symmetric arthritis† Imaging changes (hand x-ray changes typical of RA must include erosions or unequivocal bony decalcification)



*Based on criteria from the American Rheumatism Association (now the American College of Rheumatology). †



Must be present for ≥ 6 wk.



Pemeriksaan Rheumatoid Arthritis, yaitu: o Pemeriksaan laboratorium Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis RA. Sekitar 85% penderita RA mempunyai autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor rheumatoid. Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgG. Titer yang tinggi, lebih besar dari 1:160, biasanya dikaitkan dengan nodul rheumatoid, penyakit yang berat, vaskulitis, dan prognosis yang buruk. Faktor rheumatoid adalah suatu indikator diagnosis yang membantu, tetapi uji untuk menemukan faktor ini bukanlah suatu uji untuk menyingkirkan diagnosis RA. Hasil yang positif dapat juga menyatakan adanya penyakit jaringan penyambung seperti lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik progresif, dan dermatomiositis. Selain itu, sekitar 5% orang normal memiliki faktor rheumatoid 9



yang positif dalam serumnya. Insidens ini meningkat dengan bertambahnya usia. Sebanyak 20% orang normal yang berusia diatas 60 tahun dapat memiliki faktor rheumatoid dalam titer yang rendah. Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik. Pada RA nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa laju endap darah dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit. RA dapat menyebabkan anemia normositik normokromik melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespons terhadap pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat penderita cepat lelah. Seringkali juga terdapat anemia kekurangan besi sebagai akibat pemberian obat untuk mengobati penyakit ini. Anemia semacam ini dapat berespons terhadap pemberian besi. Pemeriksaan lain adalah dengan melakukan pungsi cairan sinovial. Cairan sinovial yang normal bersifat jernih, berwarna kuning muda, dan terdapat sel darah putih kurang dari 200/mm3. Pada RA, cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan jumlah sel darah putih meningkat mencapai 15.000-20.000/mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah. Pemeriksaan laboratorium khusus untuk membantu menegakkan diagnosis lainnya, misalnya: gambaran immunoelectrophoresis HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta Rose-Wahler test. o Pemeriksaan Gambaran Radiologik Pada awal penyakit tidak ditemukan kelainan pada gambaran radiologik, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi. Terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan ini sifatnya irreversibel. Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena. o Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur aktivitas penyakit RA, antara lain: Disease Activity Index including an 28-joint count (DAS28), Simplified Disease Activity Index (SDAI), European League Against Rheumatism Response Criteria (EULARC), Modified Health Assessment Questionnaire (M-HAQ), dan Clinical Disease Activity Index (CDAI). Parameter-parameter yang diukur dalam instrumen tersebut antara lain:  Tender Joint Count (TJC): penilaian adanya nyeri tekan pada 28 sendi  Swollen Joint Count (SJC): penilaian pembengkakan pada 28 sendi 10



 Visual Analogue Scale (VAS, skala 0-10 cm): penilaian derajat nyeri  Patient global assessment of disease activity (PGA): penilaian umum oleh pasien terhadap aktivitas penyakit, diukur dengan VAS  Physician global assessment of disease activity (MDGA): penilaian umum oleh dokter terhadap aktivitas penyakit, diukur dengan VAS  Health Assessement Questionnaire (HAQ) atau Modified Health Assessment Questonnaire (M-HAQ): penilaian fungsi fisik oleh pasien  Nilai acute-phase reactants yaitu kadar C-reactive protein (CRP) atau nilai laju endap darah (LED) DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek sehari-hari. Perhitungan DAS28 (DAS28-LED) menghasilkan skala 0 - 9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang penderita RA pada saat tertentu. Nilai ambang batas aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED dan DAS28-CRP, yaitu: Aktivitas penyakit Remisi Rendah Sedang Tinggi



Nilai DAS28-LED < 2,6 < 3,2 > 3,2 sampai < 5,1 > 5,1



Nilai DAS28-CRP < 2,3 < 2,7 > 2,7 sampai < 4,1 > 4,1



Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam praktek sehari-hari, juga bermanfaat untuk melakukan titrasi pengobatan. Keputusan pengobatan dapat diambil berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai DAS28 dibandingkan dengan nilai sebelum pengobatan dimulai. Terdapat korelasi yang jelas antara nilai rata-rata DAS28 dengan jumalh kerusakan radiologis yang terjadi selama periode waktu tertentu. DAS28 dan penilaian aktivitas penyakit (tinggi atau rendah) telah divalidasi. Dalam praktek sehari-hari pengukuran DAS28 dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:



DAS28 = (0,56 x



√ tender 28



) + (0,28 x



√ swollen 28



) + (0,70 x ln ESR) + (0,014



x GH) Keterangan: Tender 28 = nyeri tekan pada 28 sendi Swollen 28 = pembengkakan pada 28 sendi ESR = laju endap darah dalam 1 jam pertama GH = Patient global assessment of general health (PGA) diukur



dengan VAS 11



7. Pengobatan Rheumatoid Arthritis, yaitu: o ACRSRA merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan RA harus dirujuk dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease Modifying Anti Rheumatoid Drugs). o Dulu terapi untuk RA menggunakan pendekatan piramida, namun sekarang lebih digunakan pendekatan piramida terbalik, yaitu pemberian DMARDs sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. o Tujuan terapi pada penderita RA adalah:  Mengurangi nyeri  Mempertahankan status fungsional  Mengurangi inflamasi  Mengendalikan keterlibatan sistemik  Proteksi sendi dan struktur ekstra-artikular  Mengendalikan progresivitas penyakit  Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi o Terapi Non Farmakologik, yaitu:  Puasa  Konsumsi asam lemak esensial  Spa dan olahraga (senam + berenang)  Konsumsi suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents  Pemberian edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita o Terapi Farmakologik, yaitu:  Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)  untuk mengendalikan nyeri  tidak mengubah perjalanan penyakit, maka tidak boleh digunakan secara tunggal  harus diberikan dengan dosis rendah dan diturunkan setelah pemberian DMARDs mencapai respon yang baik  perlu pemantauan ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal  Contoh: ibuprofen, meloksikam, selekoksib  Glukokortikoid (steroid)  untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi  harus diberikan dalam dosis minimal dan periode yang pendek, karena beresiko tinggi mengalami efek samping  Gejala mungkin akan kambuh kembali apabila pemakaian steroid dihentikan, terutama bila pemakaian dosis tinggi 12



 Contoh: prednison (memperingan erosi tulang), metilprenisolon  DMARDs  Pemilihan jenis DMARDs harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter, dan adanya penyakit lain pada penderita  Pemberian kombinasi DMARDs lebih efektif daripada terapi tunggal  Wanita usia subur harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi DMARDs, karena dapat membahayakan fetus  Metotreksat (MTX), efek sampingnya yaitu dapat terbentuk scar pada paru-paru  Klorokuin, merupakan obat anti malaria yang murah, tapi tidak terlalu efektif untuk RA  Leflunomid, memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun  Sulfasalazin, sering digunakan untuk terapi awal  Antagonis TNF-α  Menurunkan konsentrasi TNF-α pada cairan sinovial penderia RA  Harganya mahal  Etanercept, efek jangka panjangnya sama dengan MTX tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala  Infliximab, bila penderita RA memiliki respon yang buruk terhadap MTX o Terapi Operasi, yaitu:  Sinevektomi, adalah operasi yang dilakukan untuk membuang membran sinovial yang mengalami inflamasi akibat RA. Operasi ini dilakukan pada sendi yang sudah mengalami pembengkakan yang hebat dan tidak dapat diredakan dengan terapi farmakologik  Rekonstruksi jaringan lunak (otot dan ligamen) di sekitar sendi yang mengalami kerusakan  Operasi penggantian sendi, untuk mengganti sendi yang rusak 8. Prognosis Rheumatoid Arthritis, yaitu: Pada umumnya pasien RA akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode RA dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar pasien yang telah terkena RA akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita RA yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.



13



Menurut American College of Rheumatology (ACR), penderita dikatakan mengalami remisi apabila memenuhi > 5 kriteria di bawah ini dan berlangsung minimal selama 2 bulan berturut-turut. Kriterianya adalah: o o o o o o



Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit Tidak ada kelelahan / fatigue Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis) Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi Tidak ada pembengkakan jaringan lunak LED < 30 mm/jam untuk perempuan, atau < 20 mm/jam untuk laki-laki



BAB III KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun yang sistemik kronik dan progresif, sehingga harus mendapat penanganan sedini mungkin 2. Rheumatoid Arthritis lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, dengan perbandingan 3:1 3. Rheumatoid Arthritis memiliki banyak manifestasi klinis, baik artikular maupun ekstra-artikular, sehingga perlu dilakukan anamnesa dan pemeriksaan yang teliti dalam melakukan diagnosa 4. Terapi untuk penderita Rheumatoid Arthritis biasanya tidak memberikan pemulihan secara permanen, dan hanya mengurangi perburukan manifestasi klinis yang terjadi dan mencegah terjadinya manifestasi klinis yang belum terjadi Saran 1. Pasien Rheumatoid Arthritis harus diberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam proses perawatan, supaya terapi dapat berjalan dengan lancar 14



2. Dokter harus melakukan anamnesa yang teliti dan pemeriksaan yang spesifik dalam melakukan diagnosa Rheumatoid Arthritis



BAB IV DAFTAR PUSTAKA 1. Noer, H.M. Sjaifoellah, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I. Balai Penerbit FKUI. 1996:12-75, 212-223 2. Braunwald E., Fauci A.S., Kasper D.L. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. McGrawHill. New York. 2005:1968-1976 3. http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview



15