5 0 656 KB
PEMERINTAH KOTA MAGELANG
RUMAH S AKI T UMUM DAE RAH T I DAR Alamat : Jl. Tidar No. 30 A Magelang Telp. (0293) 362260, 362463 Fax. 368354 Website : rsudtidar.magelangkota.go.id Email : [email protected]
KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR NOMOR : TENTANG PEDOMAN PELAYANAN INSTALASI FARMASI
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG, Menimbang
: a.
b.
Mengingat
bahwa pelayanan kefarmasian adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota Magelang, maka diperlukan pedoman pelayanan farmasi; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a, perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur RSUD Tidar Kota Magelang.
: 1.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1441 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
2.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5072);
3.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 tahun 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan;
4.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit;
5.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien;
6.
Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Tidar;
7.
Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor ……………………tentang Pedoman Pengorganisasian Instalasi Farmasi;
8. Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor ……………….. tentang Kebijakan Pelayanan Farmasi Rumah Sakit. MEMUTUSKAN : Menetapka n KESATU
:
KEDUA
: Pedoman Pelayanan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu sebagaimana terlampir dalam lampiran keputusan ini
KETIGA
: Pedoman Pelayanan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan tanggung jawab oleh seluruh pegawai di lingkungan Instalasi Farmasi RSUD Tidar : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
KEEMPAT
: Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Tentang Pedoman Pelayanan Farmasi
Ditetapkan di Tidar pada tanggal DIREKTUR RSUD TIDAR KOTA MAGELANG,
SRI HARSO
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN................................................................1 A. Latar Belakang.....................................................................1 B. Tujuan.................................................................................2 C. Ruang Lingkup....................................................................3 D. Batasan Operasional............................................................3 E. Landasan Hukum................................................................3 BAB II STANDAR KETENAGAAN..................................................5 A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia.......................................5 B. Distribusi Ketenagaan..........................................................7 C. Pengaturan Jaga..................................................................9 BAB III STANDAR FASILITAS....................................................11 A. Denah Ruang.....................................................................11 B. Standar Fasilitas................................................................12 BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN ........................................23 A. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP. 23 B. Manajemen Risiko Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai..............................68 C. Pelayanan Farmasi Klinik...................................................70 D. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik.....................93 BAB V LOGISTIK.......................................................................95 BAB VI KESELAMATAN PASIEN..............................................100 BAB VII KESELAMATAN KERJA……………………………………..127 BAB VIII PENGENDALIAN MUTU.............................................131 A. MONITORING MUTU........................................................136 B. PENGENDALIAN MUTU....................................................136
BAB IX PENUTUP....................................................................140 DAFTAR PUSTAKA..................................................................141
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR RSUD TIDAR NOMOR TENTANG PEDOMAN PELAYANAN INSTALASI FARMASI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care). Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian, para Apoteker Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara sendiri. 1 Perkembangan di
atas
dapat
menjadi
peluang
sekaligus
merupakan tantangan bagi Apoteker untuk maju meningkatkan
kompetensinya sehingga dapat memberikan Pelayanan Kefarmasian secara komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial maupun farmasi klinik. Strategi
optimalisasi
harus
ditegakkan
dengan
cara
memanfaatkan Sistem Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada fungsi manajemen kefarmasian, sehingga diharapkan dengan model ini akan terjadi efisiensi tenaga dan waktu. Efisiensi yang diperoleh kemudian dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan farmasi klinik secara intensif. Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan
peralatan.
Persyaratan
kefarmasian
harus
menjamin
ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau. Selanjutnya dinyatakan bahwa pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan
Standar
Pelayanan
Kefarmasian
yang
diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
tersebut dan perkembangan konsep Pelayanan Kefarmasian, perlu ditetapkan suatu Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit Umum Daerah Tidar. B. Tujuan Penggunaan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di RSUD Tidar, bertujuan untuk : 1.
Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian,
2.
Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian,
3.
Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang
4.
tidak rasional dalam 2 rangka keselamatan pasien (patient safety), Menjamin sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety).
C. Ruang Lingkup Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan. Apoteker dalam melaksanakan kegiatan Pelayanan Kefarmasian tersebut juga mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang disebut dengan manajemen risiko D. Batasan Operasional Hal-hal yang diatur dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar ini meliputi : 1. Pedoman Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan Pelayananan Farmasi Klinik, 2. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pelayanan Kefarmasian di RSUD Tidar. E. LANDASAN HUKUM Beberapa dasar hukum yang melandasi status Rumah Sakit Umum Daerah Tidar dan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar sebagai berikut : 1. Undang Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 2. Undang Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 3. Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien; 6. Peraturan Kepala Badan POM Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian 7. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 3 Tahun 2011 tentang 3 Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Tidar; 8. Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor …………..tentang Kebijakan Pelayanan Farmasi Rumah Sakit.
9. Keputusan Direktur RSUD Tidar Nomor ………………….tentang Pedoman Pengorganisasian Instalasi Farmasi;
4
BAB II STANDAR KETENAGAAN
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Tidar memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi dan dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Berdasarkan
pekerjaan
yang
dilakukan,
kualifikasi
SDM
Instalasi Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut: a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari: 1) Apoteker 2) Tenaga Teknis Kefarmasian b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari 1) Tenaga Administrasi 2) Pekarya/Pembantu pelaksana Pelayanan Kefarmasian dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pelayanan Kefarmasian di bawah supervisi Apoteker. 1). Apoteker a. Apoteker memenuhi persyaratan administrasi: 1) Memiliki ljazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi 2) Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker 3) Memiliki Sertifikat Kompetensi yang masih berlaku 4) Memiliki Surat lzin Praktik Apoteker 5) Memiliki Surat Penugasan Klinik (SPK) dengan Rincian 5 Kewenangan Klinik (RKK). b. Memiliki kesehatan fisik dan mental c. Berpenampilan profesional, sehat, bersih, rapih
d. Menggunakan atribut praktik/ tanda pengenal Instalasi Farmasi Rumah Sakit dikepalai oleh seorang Apoteker yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Kompetensi Apoteker dijabarkan di bawah ini. Sebagai Pimpinan : a. Mempunyai kemampuan untuk memimpin b. Mempunyai
kemampuan
dan
kemauan
mengelola
dan
mengembangkan pelayanan farmasi c. Mempunyai kemampuan mengembangkan diri d. Mempunyai kemampuan bekerjasama dengan pihak lain e. Mempunyai kemampuan untuk melihat masalah, menganalisa dan memecahkan masalah f. Mempunyai pengalaman bekerja di instalasi farmasi minimal 3 (tiga) tahun Sebagai Tenaga Fungsional : a. Mampu memberikan pelayanan kefarmasian, baik klinik dan non klinik b. Mampu mengelola sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. c. Mampu berkomunikasi tentang kefarmasian d. Mampu melaksanakan diklat dan pengembangan pelayanan farmasi e. Mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan farmasi klinik 2). Tenaga Teknis Kefarmasian Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker; 6
Kualifikasi
pendidikan
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah
Republik Indonesia nomor 51 Tahun 2009 dikelompokan sebagai berikut : a. Diploma III Farmasi : Lulusan Akademi Farmasi b. Diploma III Analisa Farmasi dan Makanan : Lulusan Akademi Analisa Farmasi dan Makanan c. Sarjana Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian. B. Distribusi Ketenagaan a. Beban Kerja Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu: 1) Kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR); 2) Jumlah
dan
jenis
kegiatan
farmasi
yang
dilakukan
(manajemen, klinik dan produksi); 3) Jumlah Resep atau formulir permintaan Obat (floor stock) per hari; dan 4) Volume Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. b. Penghitungan Beban Kerja Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan
aktivitas
pengkajian
resep,
penelusuran
riwayat
penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pemberian
informasi
Obat,
konseling,
edukasi
dan
visite,
idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien. 7 Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi
pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep, penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien. Pendistribusian Tenaga Apoteker di Instalasi Farmasi sebagai berikut : 1) Instalasi farmasi di kepalai oleh Seorang Apoteker yang telah memiliki Surat Ijin Praktik Apoteker. 2) Pada unit perbekalan farmasi/distribusi ditunjuk seorang apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh sejumlah tenaga teknis kefarmasian dan tenaga non kefarmasian. 3) Pada Satelit Farmasi Rawat Inap ditunjuk seorang apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh apoteker dan sejumlah
tenaga
teknis
kefarmasian
dan
tenaga
non
kefarmasian. 4) Pada Farmasi Rawat Jalan ditunjuk seorang apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh apoteker dan sejumlah tenaga teknis kefarmasian dan tenaga non kefarmasian. 5) Pada Satelit Farmasi Instalasi Gawat Darurat ditunjuk seorang apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh apoteker dan sejumlah tenaga teknis kefarmasian. 6) Pada Satelit Farmasi Instalasi Bedah Sentral ditunjuk seorang apoteker sebagai ketua tim dan dapat dibantu oleh apoteker atau tenaga teknis kefarmasian. c. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan Setiap staf di Rumah Sakit harus diberi kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Peran Kepala Instalasi Farmasi dalam pengembangan staf dan program pendidikan meliputi: 1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan pelatihan
berdasarkan
kebutuhan
pengembangan
kompetensi SDM. 2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi 8 pekerjaan (tugas dan tanggung jawabnya) untuk meningkatkan kompetensi yang diperlukan.
3) Menentukan staf sebagai narasumber/ pelatih/ fasilitator sesuai dengan kompetensinya. d. Penelitian dan Pengembangan Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker yang terlibat dalam penelitian harus mentaati prinsip dan prosedur yang ditetapkan dan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian yang berlaku. Instalasi Farmasi harus melakukan pengembangan Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan situasi perkembangan kefarmasian terkini. Apoteker juga dapat berperan dalam Uji Klinik Obat yang dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola Obat-Obat yang diteliti
sampai
dipergunakan
oleh
subyek
penelitian
dan
mencatat Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) yang terjadi selama penelitian. C. Pengaturan Jaga Pengaturan jaga (shift) di instalasi farmasi diatur berdasarkan unit pelayanan maupun satelit. Instalasi farmasi RSUD Tidar tidak mengenal pelayanan farmasi tutup. Staf
di
gudang
farmasi
terdiri
dari
apoteker
pengelola
perbekalan farmasi, tenaga teknis kefarmasian (TTK), dan tenaga penunjang/non kefarmasian,
masuk pagi (jam 07.00-14.00 WIB).
Unit pelayanan, yang terdiri dari 4 (empat) unit pendistribusian, yaitu satelit farmasi rawat jalan, satelit farmasi rawat inap , satelit farmasi IGD, satelit farmasi aster dan satelit farmasi IBS. Farmasi rawat jalan dan satelit farmasi IBS hanya melayani untuk shift pagi, satelit farmasi rawat inap melayani kebutuhan obat selama 24 jam, sedangkan satelit farmasi IGD melayani kebutuhan obat selama 24 jam yang terbagi dalam 3 shift. Shift pagi (jam 07.00-14.00 WIB), shift siang (jam 14.00-20.00 WIB) dan shift malam (jam 20.00-07.00 WIB). Jenis ketenagaan di unit pelayanan adalah apoteker, TTK dan tenaga penunjang/non kefarmasian. 9
Unit farmasi klinik, yang semuanya adalah tenaga apoteker sebagai ward pharmacist, masuk pagi (jam 07.00-14.00 WIB). Unit Pelayanan Informasi Obat (PIO) masuk pagi (jam 07.00-14.00 WIB).
10
BAB III STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruang Denah ruang instalasi farmasi terdiri dari beberapa unit. Yaitu gudang farmasi, farmasi rawat jalan dan satelit farmasi rawat inap, satelit farmasi IGD, dan satelit farmasi IBS. Denah instalasi farmasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Denah Gudang Farmasi
11
Gambar 2. Denah Pelayanan Farmasi B. Standar Fasilitas Fasilitas bangunan, ruangan dan peralatan harus memenuhi ketentuan dan perundangan-undangan kefarmasian yang berlaku : a) Lokasi harus menyatu dengan sistem pelayanan rumah sakit. b) Terpenuhinya luas yang cukup untuk penyelenggaraan asuhan kefarmasian di rumah sakit. c) Dipisahkan antara fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen, pelayanan langsung pada pasien, dispensing serta ada penanganan limbah. d) Dipisahkan juga antara jalur steril, bersih dan daerah abu-abu, bebas kontaminasi e) Persyaratan ruang tentang suhu, pencahayaan, kelembaban, tekanan dan keamanan baik dari pencuri maupun binatang pengerat. Fasilitas peralatan memenuhi persyaratan yang ditetapkan terutama untuk perlengkapan dispensing baik untuk sediaan steril, non steril maupun cair untuk obat luar atau dalam. Harus tersedia ruangan, peralatan dan fasilitas yang dapat mendukung
administrasi,
profesionalisme
dan
fungsi
teknik
pelayanan farmasi, sehingga menjamin terselenggaranya pelayanan farmasi yang fungsional, profesional dan etis. -
Tersedianya fasilitas penyimpanan barang farmasi yang menjamin semua barang farmasi tetap dalam kondisi yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan spesifikasi masing-masing barang farmasi dan sesuai dengan peraturan.
-
Tersedianya fasilitas produksi obat yang memenuhi standar.
-
Tersedianya fasilitas untuk pendistribusian obat.
-
Tersedianya fasilitas pemberian informasi dan edukasi.
-
Tersedianya fasilitas untuk penyimpanan arsip resep.
-
Ruangan perawatan harus memiliki tempat penyimpanan obat yang baik sesuai dengan peraturan dan tata cara penyimpanan yang baik.
-
Obat yang bersifat adiksi disimpan sedemikian rupa demi menjamin
keamanan setiap staf. 12 1. Bangunan
Sarana bangunan gedung yang digunakan untuk pelayanan kefarmasian di RSUD Tidar adalah sebagai berikut :
Gudang Farmasi
Satelit Farmasi Rawat Jalan
Satelit Farmasi Rawat Inap
Satelit Farmasi Aster
Satelit Farmasi IGD
Satelit Farmasi IBS
Ruang PIO
Ruang Tunggu Pasien
2. Pembagian Ruangan -
Ruang kantor : o Ruang pimpinan o Ruang staf o Ruang administrasi
-
Ruang produksi non steril : Ruang
produksi
harus
bersih,
rapi,
tertib,
efisien
untuk
meminimalkan terjadinya kontaminasi sediaan. -
Ruang produksi steril : Ruangan digunakan untuk kegiatan aseptic dispesing, yaitu penanganan sediaan repacking dan iv-admixture.
-
Ruang penyimpanan : Ruang
penyimpanan/gudang
harus
memperhatikan
kondisi,
sanitasi, suhu, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. -
Ruang pelayanan/distribusi : Ruang pelayanan yang cukup untuk seluruh kegiatan kefarmasian di rumah sakit : o Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan (farmasi rawat 13 jalan). Terdapat ruang terpisah untuk penerimaan resep dan persiapan obat.
o Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap (satelit farmasi rawat inap). o Ruang distribusi untuk pelayanan IGD (satelit farmasi IGD) o Ruang distribusi untuk pelayanan IGD kamar operasi (satelit farmasi IBS). -
Ruang konsultasi/konseling : Terdapat ruang khusus untuk apoteker dalam memberikan konsultasi pada pasien dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien akan terapinya (farmasi rawat jalan).
-
Ruang pelayanan informasi obat (PIO) : Tersedia ruangan sumber informasi dan teknologi komunikasi yang memadai untuk mempermudah PIO.
-
Ruang arsip-dokumen : Harus ada ruangan khusus yang memadai dan aman untuk memelihara
dan
menyimpan
dokumen/resep
dalam
rangka
menjamin agar penyimpanan sesuai hukum, aturan, persyaratan yang baik. 3. Sarana Dan Peralatan Pelayanan Kefarmasian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus didukung oleh sarana dan peralatan yang memenuhi ketentuan dan perundang-undangan
kefarmasian
yang
berlaku.
Lokasi
harus
menyatu dengan sistem pelayanan Rumah Sakit, dipisahkan antara fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen, pelayanan langsung kepada pasien, peracikan, produksi dan laboratorium mutu yang dilengkapi penanganan limbah. Peralatan
yang
memerlukan
ketepatan
pengukuran
harus
dilakukan kalibrasi alat dan peneraan secara berkala oleh balai pengujian kesehatan dan/atau institusi yang berwenang. Peralatan harus dilakukan pemeliharaan, didokumentasi, serta dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan. 3.1. Sarana Pelayanan Kefarmasian Fasilitas ruang harus memadai dalam hal kualitas dan 14 kuantitas agar dapat menunjang fungsi dan proses Pelayanan
Kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang aman untuk petugas, dan memudahkan sistem komunikasi Rumah Sakit. a. Fasilitas utama dalam kegiatan pelayanan di Instalasi Farmasi, terdiri dari: 1) Ruang Kantor/Administrasi. Ruang Kantor/Administrasi terdiri dari : ruang pimpinan, ruang staf, ruang kerja/administrasi tata usaha, ruang pertemuan. 2) Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Rumah Sakit
harus mempunyai ruang penyimpanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan, serta harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, sinar/cahaya, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas, terdiri dari : -
Kondisi umum untuk ruang penyimpanan : Obat jadi, Obat produksi, bahan baku Obat, Alat Kesehatan.
-
Kondisi khusus untuk ruang penyimpanan : Obat termolabil, bahan laboratorium dan reagensia, sediaan farmasi yang mudah terbakar, obat high alert, atau bahan beracun berbahaya (B3).
3) Ruang distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai terdiri dari distribusi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai rawat jalan (farmasi rawat jalan) dan rawat inap (satelit farmasi). Ruang distribusi harus cukup untuk melayani seluruh kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai Rumah Sakit. Ruang distribusi terdiri dari : -
Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan, di mana ada ruang khusus/terpisah untuk penerimaan resep dan peracikan. 15
-
Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap, dapat secara sentralisasi maupun desentralisasi di masingmasing ruang rawat inap.
4) Ruang konsultasi / konseling Obat Ruang
konsultasi/konseling
Obat
harus
ada
sebagai
sarana untuk Apoteker memberikan konsultasi/konseling pada pasien dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien. Ruang konsultasi/konseling harus jauh dari hiruk pikuk kebisingan lingkungan Rumah Sakit dan nyaman
sehingga
pasien
maupun
konselor
dapat
berinteraksi dengan baik. Ruang konsultasi atau konseling dapat berada di Instalasi Farmasi rawat jalan maupun rawat inap. 5) Ruang Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat dilakukan di ruang tersendiri dengan
dilengkapi
sumber
informasi
dan
teknologi
komunikasi, berupa bahan pustaka dan telepon. 6) Ruang produksi Persyaratan bangunan untuk ruangan produksi memenuhi kriteria : -
Lokasi : Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan (udara, tanah dan air tanah). Konstruksi :
-
Terdapat sarana perlindungan terhadap : cuaca, banjir rembesan air, binatang/serangga. -
Rancang
bangun dan
penataan
gedung
di
ruang
produksi, harus memenuhi kriteria : o Disesuaikan dengan alur barang, alur kerja/proses, alur orang/pekerja. o Pengendalian permukaan
lingkungan langit-langit,
terhadap dinding,
: lantai
udara, dan
peralatan/sarana lain; barang masuk; petugas yang di dalam. 16
o Luas ruangan minimal 2 (dua) kali daerah kerja + peralatan, dengan jarak setiap peralatan minimal 2,5 m. o Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk lalu lintas petugas dan barang.
-
Pembagian ruangan :
o
Ruang terpisah antara Obat jadi dan bahan baku;
o
Ruang terpisah untuk setiap proses produksi;
o
Ruang terpisah untuk produksi Obat luar dan Obat dalam;
o
Gudang terpisah untuk produksi antibiotik (bila ada);
o
Tersedia saringan udara, efisiensi minimal 98%; o Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu harus : kedap air; tidak terdapat sambungan; tidak merupakan media pertumbuhan untuk mikroba; mudah dibersihkan dan tahan terhadap bahan pembersih/desinfektan. -
Daerah pengolahan dan pengemasan : o Hindari
bahan
dari
kayu,
kecuali
dilapisi
cat
epoxy/enamel; o Persyaratan ruangan steril dan nonsteril harus memenuhi kriteria Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk: ventilasi ruangan; suhu; kelembaban; intensitas cahaya. o Pemasangan instalasi harus sesuai kriteria CPOB untuk : pipa saluran udara; lampu; kabel dan peralatan listrik. 7) Ruang Aseptic Dispensing Ruang aseptic dispensing harus memenuhi persyaratan: -
Ruang bersih : kelas 10.000 (dalam Laminar Air Flow = kelas 100)
-
Ruang/tempat penyiapan : kelas 100.000
-
Ruang antara : kelas 100.000
-
Ruang17 ganti pakaian : kelas 100.000 Ruang/tempat penyimpanan untuk
-
disiapkan:
sediaan
telah
Tata ruang harus menciptakan alur kerja yang baik sedangkan luas ruangan disesuaikan dengan macam dan volume kegiatan. Ruang aseptic dispensing harus memenuhi spesifikasi: -
Lantai Permukaan datar dan halus, tanpa sambungan, keras, resisten terhadap zat kimia dan fungi, serta tidak mudah rusak.
-
Dinding o Permukaan rata dan halus, terbuat dari bahan yang keras, tanpa sambungan, resisten terhadap zat kimia dan fungi, serta tidak mudah rusak. o Sudut-sudut pertemuan lantai dengan dinding dan langit-langit
dengan dinding
dibuat
melengkung
dengan radius 20 – 30 mm. o Colokan listrik datar dengan permukaan dan kedap air dan dapat dibersihkan -
Plafon Penerangan, saluran dan kabel dibuat di atas plafon, dan lampu rata dengan langit-langit/plafon dan diberi lapisan untuk mencegah kebocoran udara.
-
Pintu Rangka terbuat dari stainles steel. Pintu membuka ke arah ruangan yang bertekanan lebih tinggi.
-
Aliran udara Aliran udara menuju ruang bersih, ruang penyiapan, ruang ganti pakaian dan ruang antara harus melalui HEPA filter dan memenuhi persyaratan kelas 10.000. Pertukaran udara minimal 120 kali per jam.
-
Tekanan udara Tekanan udara di dalam ruang bersih adalah 15 Pascal lebih rendah dari ruang lainnya sedangkan tekanan udara dalam ruang penyiapan, ganti pakaian dan antara harus 45 Pascal lebih tinggi dari tekanan udara
-
luar. 18 Temperatur
Suhu udara diruang bersih dan ruang steril, dipelihara pada suhu 16 – 25° C. -
Kelembaban o Kelembaban relatif 45 – 55%. o Ruang bersih, ruang penyangga, ruang ganti pakaian steril dan ruang ganti pakaian kerja hendaknya mempunyai perbedaan tekanan udara 10-15 pascal. o Tekanan udara dalam ruangan yang mengandung risiko lebih tinggi terhadap produk hendaknya selalu lebih
tinggi
dibandingkan
ruang
sekitarnya.
Sedangkan ruang bersih penanganan sitostatika harus bertekanan lebih rendah dibandingkan ruang sekitarnya. 8) Ruang penyimpanan produk nutrisi b. Fasilitas penunjang dalam kegiatan pelayanan di IFRS, terdiri dari : 1) Ruang tunggu pasien; 2) Ruang penyimpanan dokumen/arsip Resep dan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang rusak; 3) Tempat penyimpanan Obat di ruang perawatan; 4) Fasilitas toilet, kamar mandi untuk staf. 5) Tempat beribadah
3.2. Fasilitas Peralatan Pelayanan Kefarmasian Fasilitas peralatan harus memenuhi syarat terutama untuk perlengkapan peracikan dan penyiapan baik untuk sediaan steril, non steril, maupun cair untuk obat luar atau dalam. Fasilitas peralatan harus dijamin sensitif pada pengukuran dan memenuhi persyaratan, peneraan dan kalibrasi untuk peralatan tertentu setiap tahun. Peralatan pelayanan kefarmasian yang paling sedikit harus tersedia : a. Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan 19 obat baik steril dan nonsteril maupun aseptik/steril; b. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip;
c. Kepustakaan yang memadai untuk Pelayanan Informasi Obat; d. Lemari
penyimpanan
khusus
untuk
narkotika
dan
psikotropika; e. Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk obat yang termolabil; f. Penerangan, sarana air, ventilasi sistem pembuangan limbah baik; g. Alarm. Macam-macam Peralatan : a. Peralatan Kantor : -
Mebeulair (meja, kursi, lemari buku/rak, filling cabinet dan lain-lain);
-
Komputer dan printer;
-
Alat tulis kantor;
-
Telepon dan faksimili.
b. Peralatan sistem komputerisasi Sistem komputerisasi harus diadakan dan difungsikan secara optimal untuk kegiatan sekretariat, pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Sistem informasi farmasi ini harus terintegrasi dengan sistem informasi Rumah Sakit untuk meningkatkan efisiensi fungsi manajerial dan agar data klinik pasien mudah diperoleh untuk monitoring terapi pengobatan dan fungsi klinik lainnya. Sistem komputerisasi meliputi : Jaringan, Perangkat keras, Perangkat lunak (program aplikasi). c. Peralatan Produksi -
Peralatan
farmasi
untuk
persediaan,
peracikan
dan
pembuatan Obat, baik nonsteril maupun steril/aseptik. -
Peralatan harus dapat menunjang persyaratan keamanan cara pembuatan Obat yang baik.
d. Peralatan Aseptic Dispensing : -
Bio safety cabinet;
-
Pass-box dengan pintu berganda (air-lock);
-
Barometer; 20 Termometer;
-
Wireless intercom.
e. Peralatan Penyimpanan -
Peralatan Penyimpanan Kondisi Umum o lemari/rak
yang
rapi
dan
terlindung
dari
debu,
kelembaban dan cahaya yang berlebihan; o lantai dilengkapi dengan palet. -
Peralatan Penyimpanan Kondisi Khusus : o Lemari pendingin dan AC untuk Obat yang termolabil; o Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi secara berkala; o Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan Obat psikotropika; o Peralatan untuk penyimpanan Obat, penanganan dan pembuangan limbah sitotoksik dan Obat berbahaya harus
dibuat
secara
khusus
untuk
menjamin
keamanan petugas, pasien dan pengunjung. -
Peralatan Pendistribusian/Pelayanan : pelayanan rawat jalan,
pelayanan
rawat
inap
(satelit
farmasi);
dan
kebutuhan ruang perawatan/unit lain. -
Peralatan Konsultasi o Buku kepustakaan bahan-bahan leaflet,dan brosur dan lain-lain; o Meja, kursi untuk Apoteker dan 2 orang pelanggan, lemari untuk menyimpan profil pengobatan pasien; o Komputer; o Telpon; o Lemari arsip; o Kartu arsip.
-
Peralatan Ruang Informasi Obat o Kepustakaan yang memadai untuk Pelayanan Informasi Obat; o Peralatan meja, kursi, rak buku, kotak; o Komputer; o Telpon; o Lemari arsip; 21 o Kartu arsip;
-
Peralatan Ruang Arsip
o Kartu Arsip; o Lemari/Rak Arsip
22
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN
A. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP Biaya
yang
diserap
untuk
penyediaan
obat
merupakan
komponen terbesar dari pengeluaran rumah sakit. Pada banyak negara berkembang, belanja obat di rumah sakit dapat menyerap sekitar 4050% biaya keseluruhan rumah sakit. Belanja sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang besar, tentunya harus dikelola dengan efektif dan efisien, karena hal tersebut diperlukan mengingat dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai kebutuhan. Perbekalan farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, alat kesehatan, reagensia bahan kimia, kosmetik dan bahan gas medis, serta semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Pengelolaan
perbekalan
farmasi
atau
sistem
manajemen
perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan sampai evaluasi yang saling terkait antara satu dengan yang
lain.
Kegiatannya
mencakup
perencanaan,
pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan, penghapusan, monitoring dan evaluasi. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang bertanggungjawab sedangkan
terhadap
Panitia
Farmasi
pengelolaan dan
Terapi
perbekalan adalah
farmasi,
bagian
yang
bertanggungjawab dalam penetapan formularium. Agar pengelolaan perbekalan farmasi dan penyusunan formularium di rumah sakit dapat sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan tenaga-tenaga profesional di bidang tersebut. Untuk menyiapkan ketenagaan tersebut, diperlukan berbagai masukan diantaranya adalah tersedianya pedoman yang digunakan dalam pengelolaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi RSUD Tidar. Tujuan :
23 1) Terlaksananya pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang bermutu, efektif dan efisien
2) Terlaksananya
penerapan
farmakoekonomi
dalam
pelayanan
farmasi 3) Terwujudnya sistem informasi pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP, yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebutuhan 4) Terlaksananya pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP sistem satu pintu 5) Terlaksananya pengendalian mutu sediaan farmasi, alkes dan BMHP Fungsi :
1) Memilih sediaan farmasi, alkes dan BMHP sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit 2) Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alkes dan BMHP secara optimal 3) Mengadakan sediaan farmasi, alkes dan BMHP berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku 4) Memproduksi
sediaan
farmasi
untuk
memenuhi
kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit 5) Menerima sediaan farmasi, alkes dan BMHP sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku 6) Menyimpan sediaan farmasi, alkes dan BMHP sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian 7) Mendistribusikan sediaan farmasi, alkes dan BMHP ke unit-unit pelayanan di rumah sakit 1. Pemilihan/Seleksi Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai ini berdasarkan : a. formularium dan standar pengobatan atau panduan praktik klinik (PPK), b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang telah 24 ditetapkan, c. pola penyakit/epidemiologi, d. efektifitas (efficacy) dan keamanan (safety),
e. pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine), f. mutu, g. harga (e-catalogue), h. ketersediaan di pasaran. Formularium
Rumah
Sakit
disusun
mengacu
kepada
Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep, pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap
Formularium
Rumah
Sakit
harus
secara
rutin
dan
dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit. Penyusunan
dan
revisi
Formularium
Rumah
Sakit
dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional. Kriteria pemilihan obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit : a. termasuk dalam rencana/tata laksana terapi pada Panduan Praktik Klinik (PPK); b. termasuk dalam kelas terapi formularium nasional (fornas); c. mengutamakan penggunaan obat generik; d. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita; e. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas; f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien; g. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung; dan h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence
based
medicines)
yang
paling
dibutuhkan
untuk
pelayanan dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap formularium 25 Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan atau pengurangan Obat dalam Formularium
Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi penggunaaan, efektivitas, risiko, dan biaya. Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Tujuan : a. Menerbitkan
kebijakan-kebijakan
mengenai
pemilihan
obat,
penggunaan obat serta evaluasinya b. Melengkapi
staf
pengetahuan
profesional
terbaru
yang
di
bidang
berhubungan
kesehatan dengan
dengan
obat
dan
penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan. Organisasi dan Kegiatan : Susunan keanggotaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat : -
Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua kelompok staf medis yang ada.
-
Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam panitia dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakologi. Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.
-
Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 3 (tiga) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT
26
-
Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT (Panitia Farmasi dan Terapi) diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.
-
Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat.
Fungsi dan Ruang Lingkup : a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya. Pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara obyektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama. b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis. c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus. d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional. e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji rekam medik dibandingkan dengan standar diagnosa
dan
terapi.
Tinjauan
ini
dimaksudkan
untuk
meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara rasional. f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat. g. Menyebarluaskan
ilmu
pengetahuan
yang
menyangkut
obat
kepada staf medis dan perawat. Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi : a. Memberikan rekomendasi pada Pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional b. Mengkoordinir pembuatan panduan praktik klinik, formularium 27 rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika (bersama Panitia PPRA) dan lain-lain
c. Melaksanakan
pendidikan
dalam
bidang
pengelolaan
dan
penggunaan obat terhadap pihak-pihak yang terkait d. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut Formularium Rumah Sakit : Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Formularium didasarkan atas misi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan yang diberikan. Komposisi Formularium : -
Halaman judul
-
Surat Keputusan Formularium
-
Daftar Isi
-
Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat
-
Produk obat yang diterima untuk digunakan
-
Lampiran Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya
tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara Formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Tahapan Proses Penyusunan Formularium : a. Panitia Farmasi Dan Terapi mengadakan pertemuan dengan Panitia Medis membahas rencana adanya formularium baru, yang harus
di
update
berdasarkan
perkembangan
terkini
dan
kebutuhan pengadaan obat b. Proses
penyusunan
Kelompok
Staf
obat/alkes
Medis
(KSM),
dimulai berupa
dari form
usulan lembar
setiap Usulan
Formularium KSM atau berdasarkan kesepakatan setiap KSM c. Usulan setiap KSM diserahkan kepada PFT d. Usulan usulan KSM oleh PFT, dibuatkan rekapitulasi berdasarkan 28 form penyusunan yang sudah disetujui oleh PFT
e. Sekretaris PFT bertugas menyusun usulan setiap KSM sesuai format f. Hasil rekapitulasi dibahas dan dievaluasi oleh seluruh anggota PFT, dengan memperhatikan masukan dari Instalasi farmasi g. Dilakukan evaluasi lagi bila dipandang perlu oleh PFT h. PFT melakukan sosialisasi formularium kepada Komite Medis. i. Jika terdapat masukan atau saran dari Komite Medis, maka dilakukan finalisasi formularium oleh PFT sebelum diusulkan kepada Direktur untuk diberlakukan j. Direktur
membuat
Surat
Keputusan
tentang
pemberlakuan
formularium yang baru di lingkungan RSUD Tidar Proses penyusunan dan evaluasi formularium, disertai kriteria yang jelas: a.
Merupakan
proses
kolaboratif
diantara
staf
medis,
staf
keperawatan, instalasi farmasi dan manajemen. b.
Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Kinerja Efektifitas Pengelolaan Pelayanan Farmasi
c.
Mengutamakan penggunaan obat generik
d.
Menggunakan perbandingan = obat generik : original = 1 : 1 , sehingga terdapat pembatasan sediaan farmasi
e.
Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita.
f.
Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung.
g.
Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based medicines)
yang
paling
dibutuhkan
untuk
pelayanan. h. Mempertimbangkan kebutuhan dan keselamatan pasien (patient safety) serta kondisi ekonomisnya. Kriteria Penambahan/Penggantian Formularium : a. Obat-obat yang jarang digunakan (slow moving) akan dievaluasi. b.
Obat-obat yang tidak digunakan (death stock) setelah waktu 3 (tiga) bulan maka akan diberikan informasi kepada dokter-dokter
c.
terkait yang menggunakan obat tersebut oleh Instalasi Farmasi. Apabila pada 29 3 (tiga) bulan berikutnya tetap tidak dan/atau kurang digunakan, maka obat tersebut diusulkan dikeluarkan dari buku formularium.
d.
Obat-obat yang dalam proses penarikan oleh Pemerintah atau BPOM atau dari pabrikan.
Proses Usulan Penggantian/Penambahan Formularium : a.
Proses usulan penambahan atau penggantian formularium dipandu dengan kriteria seperti diatas
b.
Review
pengawasan
dan
evaluasi
terhadap
penggunaan/penyerapan obat yang telah lalu, dilakukan setiap bulan pada waktu stock opname c.
Parameter yang digunakan adalah TOR, yang berakibat dapat diketahuinya jenis obat tersebut termasuk kategori fast, slow atau death moving.
d.
Secara periodik, IFRS melaporkan kegiatan review penggunaan obat kepada PFT dan bidang pelayanan penunjang
e. PFT akan menindak lanjuti laporan tersebut, bila dipandang perlu dan mendesak penanganannya, termasuk melakukan usulan pengeluaran obat yang dimaksud dalam formularium. Pedoman Penggunaan Formularium : Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada dokter, apoteker, perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam menerapkan sistem formularium. Meliputi : a.
Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan Panitia Farmasi dan Terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan ruang lingkup.
b.
Staf medis harus mendukung Sistem Formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi.
c.
Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi.
d.
Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk menguasai sistem Formularium yang dikembangkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi.
e.
Nama obat yang tercantum dalam Formularium adalah nama
f.
generik dan/paten 30 Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi Farmasi.
g.
Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama, seperti : o Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi. o Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta. o Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien.
h.
Terdapat aturan pelaksanaan formularium RSUD Tidar yang berupa SK Direktur, yang memuat jika terdapat penulisan resep diluar formularium, maka petugas IFRS dapat mengganti obat yang sepadan dalam formularium, dengan sepengetahuan dokter.
2. Perencanaan Pengadaan Perencanaan
pengadaan
merupakan
kegiatan
untuk
menentukan jumlah dan periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan oleh gudang instalasi farmasi untuk menyusun kebutuhan obat yang tepat dan sesuai kebutuhan untuk mencegah terjadinya kekurangan atau kelebihan persediaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan serta meningkatkan penggunaan secara efektif dan efisien serta menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasardasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan : -
anggaran yang tersedia;
-
penetapan prioritas; 31
-
sisa persediaan;
-
data pemakaian periode yang lalu;
-
waktu tunggu pemesanan sampai pengiriman; dan
-
rencana pengembangan.
Kompilasi Penggunaan Kompilasi penggunaan perbekalan farmasi berfungsi untuk mengetahui penggunaan bulanan masing-masing jenis perbekalan farmasi di unit pelayanan selama 1 (satu) tahun dan sebagai data pembanding
bagi
stok
optimum.
Informasi
yang
didapat
dari
kompilasi penggunaan perbekalan farmasi adalah : -
Jumlah penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi pada masingmasing unit pelayanan
-
Prosentase penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi terhadap penggunaan 1 (satu) tahun seluruh unit pelayanan
-
Penggunaan rata-rata untuk tiap jenis perbekalan farmasi.
Perhitungan Kebutuhan. Menentukan kebutuhan perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan tantangan bagi tenaga farmasi. Seringkali masalah kekosongan obat ataupun kelebihan perbekalan farmasi menjadi masalah tersendiri bagi kelangsungan pelayanan kefarmasian. Oleh karena itu perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi menjadi pekerjaan penting. Pelaksanaan perencanaan secara terpadu dan terkoordinasi, diharapkan perencanaan pengadaan menjadi tepat jenis, jumlah dan waktu serta tersedia pada saat dibutuhkan. Prinsip perencanaan ada 2 (dua) cara yang digunakan dalam menetapkan kebutuhan yaitu, berdasarkan : -
Data statistik kebutuhan dan penggunaan obat, dari data statistik berbagai kasus penderita dengan dasar formularium rumah sakit, kebutuhan disusun menurut data tersebut
-
Data kebutuhan obat disusun berdasarkan data pengelolaan sistem
administrasi
atau
akuntansi
IFRS.
Data
kebutuhan
tersebut kemudian dituangkan dalam rencana operasional yang digunakan dalam anggaran setelah berkonsultasi dengan Panitia Farmasi dan Terapi. Tahap perencanaan kebutuhan sediaan farmasi dan perbekalan 32 kesehatan meliputi : a. Tahap Persiapan
Perencanaan dan pengadaan obat merupakan suatu kegiatan dalam rangka menetapkan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan
sesuai
dengan
pola
penyakit
serta
kebutuhan pelayanan kesehatan, hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim perencanaan pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana obat melalui kerja sama antar instansi yang terkait dengan masalah perbekalan farmasi. b. Tahap Perencanaan 1) Tahap pemilihan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan Tahap ini untuk menentukan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang sangat diperlukan sesuai dengan kebutuhan, dengan prinsip dasar menentukan jenis sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang akan digunakan atau dibeli. 2) Tahap perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi Tahap ini untuk menghindari masalah kekosongan obat atau kelebihan obat. Dengan koordinasi dari proses perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan diharapkan perbekalan farmasi yang dapat tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu. Metode yang biasa digunakan dalam perhitungan kebutuhan obat, yaitu: a) Metode konsumsi Secara umum metode konsumsi menggunakan konsumsi sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan individual dalam memproyeksikan kebutuhan yang akan datang berdasarkan analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Pendekatan yang dilakukan sebelum merencanakan dengan metode konsumsi adalah: a. Lakukan evaluasi -
Evaluasi rasionalitas pola pengobatan periode lalu.
-
Evaluasi suplai perbekalan farmasi periode lalu.
-
Evaluasi data stock, distribusi dan 33 perbekalan farmasi periode lalu.
penggunaan Pengamatan
kecelakaan dan kehilangan perbekalan farmasi
b. Estimasi jumlah kebutuhan perbekalan farmasi periode mendatang dengan memperhatikan: -
Perubahan populasi cakupan pelayanan.
-
Perubahan pola morbiditas.
-
Perubahan fasilitas pelayanan.
c. Penerapan perhitungan -
Penetapan periode konsumsi.
-
Perhitungan penggunaan tiap jenis sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan periode lalu.
-
Lakukan koreksi terhadap kecelakaan dan kehilangan.
-
Lakukan koreksi terhadap stock-out.
-
Hitung lead time untuk menentukan safety stock.
Keunggulan metode konsumsi: Data yang dihasilkan akurat, tidak memerlukan data penyakit
dan
standar
pengobatan,
kekurangan
dan
kelebihan obat kecil. Kelemahan metode konsumsi: Tidak dapat diandalkan sebagai dasar penggunaan obat dan perbaikan
preskripsi,
tidak
memberikan
gambaran
morbiditas. b) Metode ABC ( Analisis ABC (Always, Better, Control)/Pareto Analysis) Untuk menentukan jumlah item obat dari yang akan direncanakan pengadaannya berdasarkan prioritas. Metode tersebut sangat erat kaitannya dengan biaya dan pemakaian perbekalan farmasi dalam setahun, sehingga diperlukan tingkatan prioritas dengan asumsi berapa jumlah pesanan dan kapan dipesan. Analisis ABC mengelompokkan item barang dalam 3 jenis klasifikasi berdasarkan volume tahunan
dalam
jumlah
persediaan
uang.
Untuk
menentukan nilai dari suatu volume item tertentu, maka analisis ABC dilakukan dengan cara mengukur permintaan (Deman) dari 34 setiap butir persediaan dikalikan dengan biaya perunit.
Cara pengelompokkannya adalah : -
Kelompok
A:
Persediaan
yang
jumlah
unit
uang
pertahunnya tinggi (60-90%), tetapi biasanya volumenya (5-10%) -
Kelompok
B : Persediaan yang jumlah nilai uang
pertahunnya sedang (20-30%), tetapi biasanya volumenya sedang (20-30%) -
Kelompok
C:
Persediaan
yang
jumlah
nilai
uang
pertahunnya rendah (10-20%), tetapi biasanya volumenya besar (60-70%). c) Metode VEN (Vital, Essensial, Non Essensial) Analisis perencanaan menggunakan semua jenis perbekalan farmasi yang tercantum dalam daftar yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian sebagai berikut. -
Kelompok Vital adalah kelompok obat yang sangat utama (pokok/vital) antara lain : obat penyelamat jiwa, obat untuk pelayanan kesehatan pokok, obat untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar, dibutuhkan sangat cepat, tidak dapat digantikan obat lain.
-
Kelompok Essensial, adalah kelompok obat yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit,
tidak
untuk
mencegah
kematian
secara
langsung/kecacatan. -
Kelompok Non Essensial, merupakan obat penunjang yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasa digunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan.
Penggolongan
obat
sistem
VEN
dapat
digunakan:
penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang tersedia. Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok vital agar diusahakan tidak terjadi kekosongan obat. Untuk menyusun daftar VEN perlu ditentukan terlebih dahulu kriteria penentuan VEN. Dalam penentuan35kriteria perlu mempertimbangkan kebutuhan masing-masing spesialisasi. Kriteria yang disusun dapat
mencakup berbagai aspek antara lain: Klinis, konsumsi, target kondisi dan biaya. Langkah-langkah menentukan VEN : o Menyusun kriteria menentukan VEN. o Menyediakan data pola penyakit. o Standar pengobatan. d) Metode morbiditas (epidemiologi) Memperkirakan
kebutuhan
obat
berdasarkan
jumlah
kehadiran pasien, kejadian penyakit yang umum, dan pola perawatan standar dari penyakit yang ada. Pendekatan yang dilakukan sebelum merencanakan adalah : -
Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
-
Menentukan jumlah kunjungan berdasarkan frekuensi penyakit.
-
Penyiapan standar pengobatan yang diperlukan.
-
Menghitung perkiraan kebutuhan.
Perhitungan kebutuhan menggunakan metode Reorder Point, yaitu suatu titik atau batas dari jumlah persediaan yang ada pada suatu saat, dimana pemesanan harus diadakan kembali. Dalam
menentukan
titik
ini,
diperhatikan
besarnya
penggunaan selama perbekalan farmasi yang dipesan belum datang dan persediaan minimal. Besarnya penggunaan selama perbekalan farmasi yang dipesan belum diterima ditentukan oleh lead time (P ) dan tingkat penggunaan rata-rata (F ) serta mempertimbangkan safety stock (W ). Reorder Point = ( P x F ) + W 3.
Pengadaan Perbekalan Farmasi Teknis
pengadaaan
merupakan
penentu
utama
dari
ketersediaan obat dan total biaya kesehatan. Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui, melalui : -
Pembelian secara elektronik (e-purchasing) dengan harga e36 catalogue
-
Pembelian konvensional ke PBF resmi dan utama
-
Produksi/pembuatan sediaan farmasi
-
Sumbangan/hibah/droping. Sedangkan tujuan pengadaan di RSUD Tidar adalah untuk
mendapatkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, dan proses berjalan lancar. Pengadaan perbekalan farmasi dilaksanakan setiap 1 (satu) bulan sekali sesuai kebutuhan. Jenis pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP) di rumah sakit, dibagi menjadi : a. Berdasarkan dari pengadaan barang, yaitu : -
Pengadaan perbekalan farmasi umum
-
Pengadaan perbekalan farmasi BPJS
b. Berdasarkan sifat penggunaannya : -
Bahan baku, misalnya bahan pembuatan salep
-
Bahan pembantu, misalnya laktosa untuk pembuatan racikan puyer
-
Komponen jadi, misalnya kapsul gelatin
-
Bahan jadi, misalnya cairan infus, injeksi, alkohol, povidon iodine
c. Berdasarkan waktu pengadaan, yaitu : -
Pembelian tahunan (annual purchasing) Merupakan pembelian dengan selang waktu 1 tahun
-
Pembelian terjadwal (schedule purchasing) Merupakan pembelian dengan selang waktu tertentu, misalnya 1 bulan, 3 bulan, ataupun tiap 6 bulan
-
Pembelian tiap bulan
-
Pembelian setiap waktu tertentu (just in time) Merupakan pembelian setiap saat dimana pada saat obat mengalami kekurangan persediaan di penyimpanan.
d. Berdasarkan sistem pengadaan secara elektronik, yaitu : -
Pengadaan e- purchasing Merupakan
pengadaan
secara
elektronik
(e-procurement)
dengan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, berdasarkan sistem 37 katalog elektronik (e-catalogue). -
Pengadaan manual purchasing
Merupakan pengadaan obat ketika tidak tersedia dalam ecatalogue
dan
ketika
e-purchasing
mengalami
kendala
operasional (offline), yaitu dilakukan secara manual, e-mail, surat langsung kepada industri farmasi penyedia. Pada proses pengadaan perbekalan farmasi terdapat 3 (tiga) elemen penting yang harus diperhatikan : a) Pengadaan yang dipilih harus diteliti untuk menghindari biaya tinggi b) Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja untuk menjaga pelaksanaan pengadaan terjamin mutunya, yaitu : -
Bahan baku obat harus disertai Sertifikat Analisa
-
Mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan beracun dan berbahaya/B3
-
Mempunyai nomor ijin edar untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
-
Waktu dan kelancaran pengiriman barang
-
Waktu kadaluarsa minimal 2 tahun kecuali untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tententu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan.
c) Order pemesanan agar barang sesuai jumlah, jenis, waktu dan tempat. Sistem pengadaan perbekalan farmasi adalah penentu utama ketersediaan obat dan biaya total kesehatan. Proses pengadaan yang efektif seharusnya : -
Membeli obat-obatan yang tepat dengan jumlah yang tepat
-
Memperoleh harga pembelian serendah mungkin
-
Mempunyai standar kualitas obat yang sudah diketahui
-
Mengatur pengiriman obat dari PBF secara berkala (dalam waktu tertentu), untuk menghindari kelebihan persediaan maupun kekurangan persediaan
-
Memilih PBF yang kredibel dalam penyaluran dan dapat menjaga kualitas barang
-
Mengatur jadwal 38 pembelian obat dan tingkat penyimpanan yang aman.
Teknik
pengadaan
ketersediaan dalam
yang
efektif
harus
jenis dan jumlah yang tepat
menjamin
dengan harga
yang ekonomis dan memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Teknis pengadaan dapat melalui pembelian, pembuatan dan sumbangan. Teknis berkesinambungan
pengadaaan yang
merupakan
kegiatan
yang
dimulai dari pengkajian seleksi obat,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode teknis pengadaan, pemilihan waktu pengadaan, pemilihan pemasok yang baik, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan dan pembayaran. Pelaksana pengadaan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP) di RSUD Tidar tidak dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit, tetapi dilaksanakan oleh Tim Pengadaan Rumah Sakit (TPRS). 1) Pembelian Pembelian
adalah
rangkaian
proses
pengadaan
untuk
mendapatkan perbekalan farmasi. Proses pembelian mempunyai beberapa langkah yang baku dan merupakan siklus yang berjalan terus menerus sesuai dengan kegiatan RSUD Tidar. Langkah proses pengadaan : -
Mereview daftar sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang akan diadakan,
-
Menentukan jumlah masing-masing item yang akan dibeli,
-
Menyesuaikan dengan situasi keuangan,
-
Memilih metode pengadaan, yakni e purchasing, pengadaan langsung, atau pembelian langsung,
-
Memilih pedagang besar farmasi resmi untuk pembelian langsung,
-
Membuat syarat kontrak kerja,
-
Memantau pengiriman barang,
-
Menerima barang sesuai surat pesanan,
-
Melakukan pembayaran tagihan (dilakukan oleh bagian keuangan)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah: 39 -
Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat.
-
Persyaratan pemasok. a)
Akte
pendirian
perusahaan
dan
pengesahan
dari
Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia; b)
Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP);
c)
NPWP;
d)
Izin Pedagang Besar Farmasi–Penyalur Alat Kesehatan (PBF– PAK);
e)
Perjanjian Kerja Sama antara distributor dan prinsipal serta rumah sakit;
f)
Nama
dan
Surat
izin
Kerja
Apoteker
untuk
apoteker
penanggung jawab PBF; g)
Alamat dan denah kantor PBF;
h)
Surat garansi jaminan keaslian produk yang didistribusikan (dari prinsipal).
-
Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
-
Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
-
Pemasok harus menjamin bahwa sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, serta berkhasiat sesuai dengan peraturan peraturan perundangundangan.
-
Pemasok harus dapat memastikan bahwa mutu produk dan integri tas rantai penyaluran dan distribusi harus dipertahankan selama proses penyaluran atau distribusi, prinsip-prinsip Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) berlaku untuk aspek pengadaan, penyimp anan, penyaluran dan termasuk penarikan kembali produk.
2) Produksi Produksi perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi non steril dan steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan 40di rumah sakit.
Produksi dilakukan oleh IFRS jika memenuhi kriteria : obat lebih murah jika diproduksi sendiri, obat tidak terdapat di pasaran atau formula khusus rumah sakit. Jenis sediaan farmasi yang di produksi : -
Produksi
steril
(pencampuran
obat
suntik/iv-admixture,
pengemasan kembali/repacking). Pelayanan dispensing steril elektrolit konsentrat dilakukan oleh apoteker dan TTK yang terlatih dan dilengkapi oleh laminar air flow cabinet (LAF). -
Produksi non steril (pengemasan kembali dan pengenceran). Contoh : pengemasan kembali (aquadest), pengenceran (formalin). Sediaan
persyaratan
yang dibuat mutu
dan
di
Rumah
terbatas
Sakit
hanya
harus memenuhi
memenuhi
kebutuhan
pelayanan di Rumah Sakit. 3) Sumbangan/Hibah/Droping Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan
Kesehatan,
dan
dan
penggunaan
Bahan
Sediaan
Medis
Farmasi,
Habis
Alat Pakai
sumbangan/dropping/hibah. Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan
Medis
Habis
Pakai
dengan
cara
sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan
Bahan
Medis
Habis
Pakai
dapat
membantu
pelayanan kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan
Rumah
Sakit
untuk
mengembalikan/menolak
sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan pasien Rumah Sakit. Obat sumbangan/dropping/hibah yang ada di RSUD Tidar adalah obat Antiretroviral, obat Tuberkulosis, Obat 41 Malaria, dan vaksin hepatitis bayi. Prinsip Praktik Pengadaan:
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan yang baik dan merupakan standar universal mencakup aspek : a) Pengadaan obat merujuk kepada obat generik b) Pengadaan obat mengacu kepada formularium nasional (fornas) atau formularium rumah sakit c) Pengadaan obat secara terpusat dan dengan jenis terbatas akan menurunkan harga d) Pengadaan dilakukan secara kompetitif e) Adanya komitmen pengadaan. PBF harus menjamin pasokan obat yang kontraknya telah ditandatangani f) Jumlah obat yang diadakan harus sesuai dengan perkiraan kebutuhan pasien. o Gunakan penghitungan berdasarkan konsumsi kebutuhan, cross cek dengan pola penyakit dan jumlah kunjungan o Lakukan penyesuaian terhadap stock over, stock out, obat expired o Lakukan penyesuaian dan perhitungan terhadap kebutuhan program dan perubahan pola penyakit g) Lakukan manajemen keuangan yang baik dan pembayaran yang pasti o Kembangkan kepastian pembayaran o Mekanisme pembayaran yang pasti akan dapat menurunkan harga h) Prosedur tertulis dan transparan i) Pembagian fungsi o Memerlukan keahlian tertentu o Melibatkan
beberapa
tim,
unit
perencanaan kebutuhan, pemilihan
individu
dalam
aspek
jenis obat, ataupun
pemilihan PBF j) Program jaminan mutu produk o Pastikan ada keharusan melakukan jaminan mutu produk dalam setiap dokumen o Jaminan mutu produk, meliputi sertifikasi, test lab, mekanisme 42 laporan terhadap obat yang diduga tidak memenuhi syarat k) Melakukan audit tahunan
o Untuk menguji kepatuhan terhadap prosedur pengadaan, kepastian pembayaran dan faktor lain yang berhubungan o Sampaikan hasilnya kepada pengawas internal atau eksternal l) Buat laporan periodik terhadap kinerja pengadaan o Buat laporan untuk indikator kinerja dibandingkan dengan target setidaknya setahun sekali o Gunakan indikator kunci seperti rasio harga terhadap harga di pasar, rencana pengadaan dan realisasi m) Terdapat proses yang disusun untuk menghadapi bilamana obat tidak tersedia, pemberitahuan kepada pembuat resep serta saran substitusinya. n) Menggunakan harga e-catalog dalam pengadaan obat generik (sebagai HPS) o) Untuk obat-obatan yang kosong dan tidak ada penggantinya dapat dilakukan peminjaman obat ke Apotek dan Rumah Sakit lain yang sudah kerjasama, yaitu Apotek Kawatan, RST dan Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Magelang. 4. Penerimaan Perbekalan Farmasi Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan aturan pembelian
langsung,
kefarmasian,
tender, konsinyasi
atau
melalui
sumbangan.
Penerimaan adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
Semua
dokumen
terkait
penerimaan
barang
harus
tersimpan dengan baik. Penerimaan obat sebaiknya dilakukan dengan teliti hal ini disebabkan kerusakan
karena pada
pengantaran
sediaan
farmasi
obat
dapat
mengakibatkan
dan
perbekalan
kesehatan.
Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan, dokumentasi sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk yang berisi antara lain :
-
kebenaran jumlah kemasan; 43 kebenaran kondisi kemasan seperti yang disyaratkan
-
kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
-
-
kebenaran jenis produk yang diterima;
-
tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
-
kebenaran identitas produk;
-
penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan brosur;
-
tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi produk,
-
jangka waktu kadaluarsa yang memadai
-
Waktu penyerahan dan harga
-
Nomor BPOM untuk obat dan Ijin edar untuk alat kesehatan Penerimaan barang farmasi dilakukan oleh Tim Teknis Panitia
Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) RSUD Tidar, yang disertai dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan. Penerimaan perbekalan farmasi harus dilakukan oleh petugas yang bertanggungjawab dan terlatih serta mengerti sifat penting dari sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP. Dalam tim teknis PPHP harus ada tenaga kefarmasian. Jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang diterima akan dientry di SIM RS. Dilakukan juga pengadministrasian faktur barang sesuai PBF. Setelah diterima berikut pengadministrasiannya, barang dan faktur diserahterimakan dan disimpan di gudang farmasi.
5. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP Penyimpanan
adalah
suatu
kegiatan
menyimpan
dan
memelihara dengan cara menempatkan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang diterima pada tempat yang sesuai persyaratan sehingga dapat menjamin mutu obat. Tujuan penyimpanan adalah : -
Memelihara mutu sediaan farmasi
-
Menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab
-
Menjaga ketersediaan
-
Memudahkan pencarian dan pengawasan. Metode penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai yang dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Tidar adalah : 1) Alur penyimpanan barang dengan sistem first in first out ( FIFO ) 44 dan fisrt expired first out ( FEFO).
2) Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di kelompokan antara obat jadi , bahan baku obat, sediaan nutrisi parenteral dan enteral, alat kesehatan dan regensia, B3, dan obat high alert. 3) Untuk obat jadi dikelompokan kembali menjadi sediaan padat (tablet/kaplet/kapsul), sediaan salep, sediaan tetes, sediaan injeksi (serbuk/cairan ) dan sediaan infus (cairan besar) dan disusun secara alfabetis. 4) Untuk sediaan farmasi yang termolabil di simpan dalam lemari pendingin dengan suhu antara
2 - 8º
C, dan suhu selalu
dipantau setiap hari. 5) Untuk sediaan farmasi yang termostabil disimpan dalam suhu ruangan ( suhu< 25º C ) dan suhu selalu dipantau setiap hari. 6) Kelembaban ruangan penyimpanan sediaan farmasi berkisar antara 50 - 60 % dan kelembaban selalu dipantau setiap hari. 7) Untuk sediian farmasi yang mudah terbakar di simpan dalam ruaangan B3 8) Untuk sedian nutrisi penyimpanan ditempat tersendiri dan diberi tanda
produk
nutrisi
dan
disesuaikan
dengan
ketentuan
penyimpanan yang tertera dalam produk. 9) Labelisasi untuk mengetahui batas masa kadaluarsa.
Sedangkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan sediaan farmasi, alkes dan BMHP antara lain : -
Sesuai untuk stabilitas produk
-
Bahan yang terkontrol (controlled substances) dilaporkan secara akurat sesuai undang undang dan peraturan yang berlaku
-
Obat-obatan
dan
bahan
kimia
yang
digunakan
untuk
mempersiapkan obat diberi label secara akurat, menyebutkan isi, tanggal kadaluarsa dan peringatan -
Elektrolit pekat tidak disimpan di unit asuhan (rawat inap)
-
Seluruh tempat penyimpanan obat diinspeksi secara periodik 45 Kebijakan rumah sakit menjabarkan cara identifikasi
-
dan
penyimpanan obat yang dibawa pasien (medication reconciliation).
a. Penyimpanan High Alert Medication : -
Obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert medication) yang dapat menimbulkan cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, disimpan di tempat khusus.
-
Obat high alert (termasuk narkotika, elektrolit pekat) disimpan di gudang farmasi, pelayanan farmasi rawat jalan, satelit farmasi rawat inap, satelit farmasi Instalasi Bedah Sentral, satelit farmasi Instalasi Gawat Darurat.
-
Obat
high
alert
diberi
stiker
dengan
warna
dasar
merah
bertuliskan high alert, obat dengan nama obat rupa ucapan mirip (NORUM) diberi stiker LASA dengan warna dasar kuning, dan elektrolit pekat diberi stiker warna merah. Setiap unit pelayanan mempunyai daftar obat high alert (termasuk obat LASA dan elektrolit pekat) serta SPO penatalaksanaan high alert medications. -
Pemberian obat high alert kepada pasien, dilakukan dengan double check.
Contoh obat-obatan yang termasuk dalam high alert medication dan labelnya adalah : o Obat risiko tinggi, seperti heparin, warfarin, insulin, narkotik injeksi (fentanil, morfin, dan pethidin), neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik. Labelnya adalah segidelapan warna dasar merah, dengan tulisan “high alert”, untuk insulin ditambah tulisan “Perhatian!obat mengandung INSULIN”. o Elektrolit pekat tidak boleh disimpan di ruang perawatan : KCl ≥2mEq/ml, MgSO4 20% dan 40%, sodium bikarbonat 8,4%, NaCl 3%. Labelnya adalah segidelapan warna dasar merah, dengan tulisan high alert dan diberi stiker tambahan berwarna dasar kuning yang bertuliskan “elektrolit pekat harus diencerkan” o LASA (look alike sound alike) atau NORUM (nama obat rupa ucapan mirip), yaitu obat-obatan yang terlihat dan kedengarannya mirip.
46 Labelnya adalah warna dasar kuning, dengan tulisan “LASA periksa kembali”.
b. Penyimpanan narkotika dan psikotropika : -
Tujuan penyimpanan untuk menjamin mutu, keamanan dan memudahkan pelayanan serta pengawasan.
-
Penyimpanan
narkotika
dan
psikotropika,
pada
lemari
penyimpanan di farmasi rawat jalan dan satelit farmasi, yang aman dan terkunci. -
Tata cara penyimpanan : o penyimpanan atas dasar FIFO dan FEFO o dilengkapi dengan kartu stok, o disimpan di tempat khusus sesuai persyaratan o Tempat penyimpanan tidak terlihat umum o ruang penyimpanan mempunyai sirkulasi udara yang baik, sehingga suhu dan kelembaban sesuai o kunci lemari penyimpanan terdiri dari 2 kunci yang berbeda (double locked), satu kunci dipegang oleh Apoteker Penanggung Jawab dan satu kunci lainnya dipegang oleh pegawai lain yang dikuasakan. o pada
pergantian
shift,
kunci
lemari
penyimpanan
akan
diserahkan kepada TTK yang bertugas dengan mengisi buku serah terima narkotika psikotropika. -
Persyaratan tempat menyimpan narkotika : o Dibuat dari kayu atau bahan lain yang kuat o Harus mempunyai kunci yang kuat o Lemari penyimpanan terdiri dari 2 kunci yang berbeda (double locked) o Bila tempat khusus berupa almari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka harus dibaut pada tembok atau lantai agar tak mudah dipindahkan
-
Persyaratan tempat menyimpan psikotropika di lemari terkunci 2 pintu dan kunci tidak boleh dibiarkan tergantung di lemari.
c. Penyimpanan cold chain (rantai dingin) : -
Penempatan lemari es o jarak minimal antara lemari es dengan dinding belakang adalah 47 ± 10 - 15 cm atau sampai pintu lemari es dapat dibuka o jarak minimal antara lemari es lainnya adalah ± 15 cm
o lemari es tidak terkena matahari langsung o ruangan mempunyai sirkulasi udara
yang cukup
(dapat
menggunakan exchaust fan) o setiap 1 unit lemari es/freezer menggunakan hanya 1 stop kontak listrik -
Penempatan vaksin di lemari es o suhu dalam antara 20 – 80 C o semua vaksin disimpan pada suhu 20 – 80 C o bagian bawah lemari es diletakkan cool pack sebagai penahan dingin dan kestabilan suhu o tata letak dus vaksin mempunyai jarak minimal 1-2 cm atau satu jari tangan
-
Alat pemantau suhu o setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer o sebuah fridge tag atau freeze tag atau log tag o sebuah lembar grafik pencatatan suhu dan kelembaban o bila suhu sudah stabil, vaccine carrier thermostat jangan dirubah-rubah o beri selotip pada thermostat o pencatatan suhu dua kali dalam sehari, ada grafik suhu
d. Penyimpanan bahan radioaktif dan obat sampel : -
Bahan radioaktif dan obat sampel tidak ada dalam penyimpanan di RSUD Tidar
e. Penyimpanan Film di Radiologi (Ketentuan penyimpanan film yang belum diexpose adalah sebagai berikut (Depkes, 1999): -
Temperatur : 20 - 25°C (Pakai AC selama 24 jam).
-
Kelembaban : 50 - 60 %
-
Ventilasi : Sirkulasi udara harus baik.
-
Jarak antara rak atas dengan rak dibawahnya cukup lapang.
-
Tata letak kotak film tidak ditumpuk satu sama lain (berdiri tegak dan berjejer kesamping). 48
-
Tidak terkena cahaya matahari.
-
Tidak bercampur dengan penyimpanan bahan kimia.
-
Aman dari radiasi sinar-X.
-
Pemakaian didahulukan pada
film yang mempunyai waktu
kadaluarsa yang hampir habis. f. Penyimpanan produk nutrisi susu : -
Simpan dalam tempat yang sejuk, kering, bersih dan jauhkan dari cahaya
matahari
langsung,
jangan
disimpan
dalam
lemari
pendingin -
Jika
dibuka,
segera
tutup
atau
lipat
kembali
wadah
(kaleng/sachet) dengan rapat, supaya tidak ada udara masuk ke dalam kemasan. g. Penyimpanan nutrisi parenteral : -
Tidak boleh disimpan di freezer
-
Penyimpanan nutrisi parenteral dilakukan di dalam tempat sejuk (suhu < 25°C), dilindungi dari cahaya matahari langsung
-
Jangan digunakan jika tidak bersih atau segel rusak.
-
Hanya dapat digunakan sekali saja, jangan menyimpan sebagian isinya dan buang sisanya setelah digunakan.
h. Penyimpanan reagensia : -
Tutuplah botol waktu penyimpanan
-
Tidak boleh terkena sinar matahari langsung
-
Reagen yang mudah rusak bila terkena paparan sinar matahari langsung harus disimpan dalam botol berwarna gelap
-
Bahan-bahan yang berbahaya diletakkan dibagian bawah dengan label tanda bahaya
-
Buat kartu stock yang memuat tanggal penerimaan, tanggal kadaluarsa, tanggal wadah reagen dibuka, jumlah reagen yang diambil dan jumlah reagen sisa serta paraf tenaga pemeriksa yang menggunakan.
-
Pemantauan
penyimpanan
reagensia
dan
rekapitulasi
penyimpanan reagensia (bulanan atau tahunan) serta penerapan 49 SPO penyimpanan reagensia. i. Penyimpanan bahan beracun dan berbahaya (B3):
-
Simpan dalam tempat terpisah
-
Tersedia apar/pemadam api
-
Diberi label dan disesuaikan dengan klasifikasi B3
-
Ada eyewash
-
Tempat penyimpanan tidak untuk aktifitas
-
Dekat dengan hydrant
-
Ruangan cukup luas dapat melindungi mutu produk
-
Menjamin keamanan produk
-
Menjamin keamanan petugas
-
Terdapat rambu/tanda, denah lokasi atau jalur evakuasi
-
Bahan tidak diletakkan di lantai (letakkan diatas pallet, rak, lemari)
-
Jauh dari sumber listrik
-
Terdapat alat pengukur suhu dan kelembaban
-
Terdapat apar/alat pemadam kebakaran
-
Terdapat APD
-
Bahan mudah terbakar (alkohol 70% dan alkohol 96%) dan bahan bersifat korosif dan oksidator (formalin 37% dan H2O2 3%) harus disimpan dalam ruangan khusus, dan sebaiknya disimpan di bangunan khusus terpisah dari gudang induk.
j. Penyimpanan gas medis : -
Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis.
-
Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya.
-
Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
k. Penyimpanan obat emergency : -
Rumah Sakit menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan.
-
Tempat
penyimpanan mudah 50 penyalahgunaan dan pencurian.
diakses
dan
terhindar
dari
-
Penyimpanan obat emergensi harus dapat menjamin kualitas dan keamanan sesuai dengan persyaratan kefarmasiaan.
-
Stok obat emergency disimpan disemua ruang perawatan/bangsal dengan isi sesuai standar yang telah disepakati oleh masing– masing unit.
-
Tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain.
-
Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti maksimal dalam 24 jam.
-
Dicek
secara
berkala
apakah
ada
yang
kadaluwarsa,
jika
ditemukan akan kadaluarsa dalam 3 bulan kedepan maka Obat harus segera diganti dengan kadaluarsa yang lebih panjang. -
Stock emergensi dilarang dipinjam untuk kebutuhan lain.
-
Lokasi penyimpanan troli/boks mudah di akses secara cepat untuk
kondisi
kegawatdaruratan
dan
terhindar
dari
penyalahgunaan dan pencurian. -
Monitoring obat emergensi
dilakukan minimal setiap 1 bulan
sekali guna memastikan kesesuaian sediaan farmasi dengan daftar, ketepatan penyimpanan dan tanggal kadaluarsa dan atau rusak. l. Obat yang dibawa pasien dari rumah -
Obat yang dibawa pasien dari rumah harus dicatat dalam formulir rekonsiliasi obat.
-
Obat disimpan di box rekonsiliasi obat pasien di bangsal.
-
Obat diserahkan kembali ke pasien saat pasien pulang.
m. Obat program atau bantuan pemerintah -
Obat Program Kesehatan adalah obat yang disediakan untuk keperluan program kesehatan baik yang berskala nasional dan global.
-
Obat dimaksud digunakan untuk keperluan program kesehatan tertentu
seperti
program
penanggulangan
:
HIV/AIDS,
TB,
Hepatitis, dan Malaria. -
Rumah sakit dapat mengakses obat program kesehatan yang ada 51 di dinas kesehatan, dengan cara mengajukan permohonan kepada dinas kesehatan dan selanjutnya membuat laporan penggunaan
obat tersebut secara periodik kepada dinas kesehatan dimana obat tersebut diperoleh. -
Syarat lain yang harus dipenuhi adalah obat tersebut hanya dipergunakan bagi pasien tertentu yang sesuai dengan kriteria, target dan sasaran program tersebut. Selain itu obat tersebut tidak boleh diperjualbelikan kepada penderita.
-
Obat program disimpan terpisah dari obat lain dan dilakukan kontrol penggunaannya.
Pelabelan pada tempat penyimpanan : Tempat penyimpanan perbekalan farmasi (di gudang maupun di satelit farmasi) harus diberi label atau tanda untuk mempermudah pengambilan dan pencatatan Indikator penyimpanan obat : a. Kesesuaian jumlah antara barang dan kartu stock Indikator ini digunakan untuk mengetahui ketelitian petugas gudang dan mempermudah dalam pengecekan obat, membantu dalam
perencanaan
dan
pengadaan
obat,
sehingga
tidak
menyebabkan terjadinya akumulasi dan kekosongan obat. b. Turn Over Ratio (TOR) Indikator ini digunakan untuk mengetahui kecepatan perputaran obat, yaitu seberapa cepat obat dibeli, didistribusi, sampai dipesan kembali. Nilai TOR akan berpengaruh pada ketersediaan obat. TOR yang tinggi berarti mempunyai pengendalian persediaan yang baik, demikian pula sebaliknya, sehingga beaya penyimpanan akan menjadi minimal. c. Days Sales Order (DSO) Indikator untuk mengetahui berapa lama persediaan berada di gudang sebelum dilakukan pemesanan kembali. Perhituingan DSO = jumlah hari dalam 1 tahun : TOR Misal, jika DSO X adalah 27 hari, artinya rata-rata persediaan X berada
di
gudang
selama
27
hari,
sebelum
akhirnya
didistribusikan dan dilakukan pemesanan kembali. 52 sampai kadaluarsa dan/rusak d. Prosentase obat yang Indikator ini digunakan untuk menilai kerugian rumah sakit
e. Sistem penataan gudang Indikator ini digunakan untuk menilai sistem penataan gudang standar adalah FIFO dan FEFO f. Prosentase death stock Indikator ini digunakan untuk menunjukkan item persediaan obat di gudang yang tidak mengalami transaksi dalam waktu minimal 3 bulan g. Prosentase nilai stok akhir Indikator
ini
digunakan
untuk
menunjukkan
berapa
besar
prosentase jumlah barang yang tersisa pada periode tertentu, nilai prosentase stok akhir berbanding terbalik dengan nilai TOR Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan pengawasan perbekalan farmasi, diperlukan tata ruang gudang dengan baik. Faktor-faktor
yang
perlu
dipertimbangkan
dalam
merancang
bangunan gudang adalah sebagai berikut : a.
Kemudahan bergerak Untuk kemudahan bergerak, gudang perlu ditata sebagai berikut : -
Gudang menggunakan satu lantai, jangan menggunakan sekatsekat
karena
membatasi
pengaturan
ruangan
(jika
menggunakan sekat diperhatikan posisi dinding dan pintu untuk mempermudah gerakan) -
Berdasarkan
arah
arus
penerimaan
dan
pengeluaran
perbekalan farmasi, ruang gudang dapat ditata berdasarkan sistem arus garis lurus, arus U atau arus L. b.
Sirkulasi udara yang baik Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan kondisi dari perbekalan farmasi
sekaligus
bermanfaat
dalam
memperpanjang
dan
memperbaiki kondisi kerja. Idealnya dalam gudang dan semua tempat penyimpanan obat terdapat AC. c. Rak dan pallet Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat meningkatkan sirkulasi udara dan perputaran stok perbekalan 53 farmasi. Keuntungan penggunaan pallet :
-
Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir
-
Peningkatan efisiensi penanganan stok
-
Dapat menampung perbekalan farmasi lebih banyak
d.
Kondisi penyimpanan khusus -
Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu terkunci
-
Bahan mudah terbakar (alkohol 70% dan alkohol 96%) dan bahan bersifat korosif dan oksidator (formalin 37% dan H 2O2 3%) harus disimpan dalam ruangan khusus, dan sebaiknya disimpan di bangunan khusus terpisah dari gudang induk.
e. Pencegahan kebakaran Dihindari penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti dus, karton. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah cukup. Tabung pemadam kebakaran diperiksa secara berkala untuk memastikan masih berfungsi atau tidak f.
Penyusunan Stok Perbekalan Farmasi Perbekalan
farmasi
disusun
menurut
bentuk
sediaan
dan
alfabetis. Untuk memudahkan pengendalian stok, IFRS Tidar melakukan langkah-langkah : -
Menggunakan prinsip FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First Out)
-
Menggunakan lemari khusus menyimpan narkotika
-
Menyusun perbekalan farmasi dalam kemasan besar (infusinfus) di atas pallet secara rapi dan teratur
-
Menyimpan perbekalan farmasi yang dipengaruhi oleh suhu, udara, cahaya pada tempat yang sesuai (vaksin/albumin pada lemari es)
-
Menyimpan perbekalan farmasi dengan rapi sesuai bentuk sediaan dan ditempatkan kartu stok. Bila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, dibiarkan tetap pada boks masing-masing, tidak perlu dibuka untuk dikeluarkan.
-
54 Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu dilakukan rotasi stok agar perbekalan farmasi tidak
selalu berada di belakang, sehingga dapat dilihat masa kadaluarsanya. -
Jenis perbekalan farmasi yang sama ditempatkan sesuai sumber anggaran yang berbeda.
g.
Persyaratan
Ruang
Penyimpanan -
Memenuhi syarat utilities Ruang penyimpanan memiliki sumber listrik, air, AC dsb
-
Memenuhi syarat communication Ruang penyimpanan harus memiliki alat komunikasi, misalnya telepon
-
Memenuhi syarat drainage Ruang penyimpanan harus berada di lingkungan yang baik dengan sistem sirkulasi yang baik
-
Memenuhi syarat size Ruang penyimpanan harus memiliki ukuran yang cukup untuk menampung barang yang ada
-
Memenuhi syarat accessibility Ruang penyimpanan harus mudah dan cepat diakses
-
Memenuhi syarat suhu o Suhu kamar (15°C – 25°C) Sebagian perbekalan farmasi disimpan pada suhu kamar (cairan, tablet, kapsul, injeksi, alkes, dsb) o Untuk mencapai suhu dan diatas diperlukan AC, sebagai alat monitoring suhu diperlukan termometer dan blanko monitoring suhu o Suhu dingin pada perbekalan farmasi seperti supositoria, vaksin, serum, albumin dan obat-obatan injeksi tertentu harus disimpan dalam lemari pendingin (2°C – 8°C). Sebagai alat monitoring diperlukan termometer dan kartu atau form monitoring suhu.
-
Memenuhi syarat kelembaban Ruang penyimpanan harus cukup kering dengan tingkat kelembaban
-
50-60%,
disertai
pencatatan monitoring kelembaban 55 Memenuhi syarat pencahayaan
higrometer
dan
blanko
Ruang penyimpanan harus cukup oleh pencahayaan lampu dan harus terhindar dari cahaya matahari langsung. -
Memenuhi syarat keamanan (security) Ruang penyimpanan harus aman dari resiko pencurian dan penyalahgunaan serta hewan pengganggu
6. Sistem Distribusi Perbekalan Farmasi Distribusi adalah kegiatan menyalurkan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta menunjang pelayanan medis. Tujuan pendistribusian adalah tersedianya perbekalan farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis dan tepat jumlah. a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi Untuk Pasien Rawat Inap. Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di RSUD Tidar, diselenggarakan secara sentralisasi dengan sistem
unit
dose dispensing (UDD), melalui Resep di satelit farmasi rawat inap, IGD, dan ICU. b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi Untuk Pasien Rawat Jalan. Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di RSUD Tidar, diselenggarakan secara sentralisasi di farmasi rawat jalan dengan sistem resep perorangan. c. Pendistribusian Perbekalan Farmasi di IBS Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan di kamar operasi melalui Permintaan Obat berupa paket operasi. d. Pendistribusian Perbekalan Farmasi Di Luar Jam Kerja. Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja diselenggarakan oleh satelit farmasi IGD dan satelit farmasi rawat inap Sistem pelayanan distribusi perbekalan farmasi di RSUD Tidar: a. Sistem persediaan terbatas di ruangan (minimal floor stock) -
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang 56 rawat merupakan tanggungjawab manajer ruangan.
-
Perbekalan farmasi yang masuk kategori ini adalah bahan medis habis pakai dengan jenis dan jumlah terbatas.
-
Pada
sistem
tersebut,
pada
setiap
ruang
rawat
harus
mempunyai penanggungjawab bahan medis habis pakai. -
Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar & dikontrol rutin oleh petugas farmasi.
b. Sistem resep perorangan (individual prescription). Sistem pendistribusian resep perorangan bagi pasien rawat jalan c. Sistem UDD (unit dose dispensing) Sistem ini dikembangkan terus oleh IFRS dan disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. Yaitu sistem distribusi dosis unit sentralisasi, yang dilakukan oleh satelit farmasi rawat inap. Keuntungan sistem distribusi dosis unit : -
Pasien hanya membayar perbekalan farmasi yang dikonsumsi saja
-
Semua dosis yang diperlukan oleh unit keperawatan telah disiapkan oleh IFRS
-
Menghindari duplikasi order perbekalan farmasi
-
Mengurangi resiko kesalahan pemberian perbekalan farmasi
-
Memperkuat cakupan dan pengendalian dan pemantauan penggunaan
perbekalan
farmasi
oleh
IFRS,
sejak
dokter
menulis resep/order sampai pasien menerima dosis unit -
Sistem komunikasi pengorderan dan distribusi perbekalan farmasi bertambah baik
-
Apoteker dapat memberikan konsultasi perbekalan farmasi kepada tim sebagai upaya perawatan pasien yang lebih baik
-
Memberikan peluang untuk prosedur komputerisasi
Kerugian sistem distribusi dosis unit : -
Membutuhkan tenaga farmasi yang lebih banyak
-
Meningkatnya biaya operasional
7. Permintaan Obat Resep yang memenuhi syarat 57 Resep adalah permintaan tertulis seorang dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat-obatan bagi penderita. Sesuai
dengan
menyebutkan Sedangkan
Permenkes
resep
sesuai
menyebutkan
harus
RI ditulis
Kepmenkes
bahwa
pada
No.
26/Menkes/Per/I/1984
dengan
RI
No.
resep
jelas
dan
lengkap.
280/Menkes/SK/V/1984
(secara
administratif)
harus
dicantumkan : a. Nama dan alamat penulis resep, serta nomor izin praktek b. Tanggal penulisan resep c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep d. Dibelakang
lambang
R/
harus
dituilis
nama
setiap
obat
/komposisi obat e. Tanda tangan atau paraf penulis resep f. Nama pasien, jenis kelamin, alamat dan umur/BB Sedangkan secara farmasetik dan secara klinik, resep juga harus memenuhi persyaratan sebelum ditindaklanjuti oleh apoteker. Secara farmasetik, resep dinyatakan memenuhi syarat jika tidak ada permasalahan dalam : bentuk dan kekuatan/potensi sediaan, dosis dan jumlah obat, potensi, stabilitas, ketersediaan, aturan pakai-cara penggunaan dan lama pemberian. Persyaratan secara klinik antara lain memuat : ketepatan indikasi, dosis
dan
waktu
penggunaan,
ada
atau
tidaknya
duplikasi
pengobatan, ada atau tidaknya riwayat alergi-interaksi-efek samping obat, adanya kontra indikasi, ada atau tidaknya interaksi obat, dan ada atau tidaknya efek adiktif. Singkatan yang dilarang digunakan (do not use) Singkatan yang dilarang digunakan dalam penulisan resep dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Singkatan yang dilarang digunakan Do Not Use
Use Instead
U, u (unit)
Ditulis “unit”
IU (international unit)
Ditulis
“international
unit”
58 Q.D., QD, q.d., qd (daily)
Ditulis “daily”
Q.O.D., QOD, q.o.d, qod (every other day)
Ditulis “every other day”
Trailing zero (X.0 mg)
Ditulis “X mg”
Lack of leading zero (.X mg)
Ditulis “0,X mg”
MS
Ditulis “morfin sulfat”
MSO4 dan MgSO4
Ditulis
“magnesium
sulfat”
Penulisan resep yang jelas (illegible hand writing) Persyaratan atau elemen kelengkapan resep atau permintaan obat dan instruksi pengobatan, paling sedikit meliputi : a. data identitas pasien secara akurat (dengan stiker); b. elemen pokok di semua resep atau permintaan obat atau instruksi pengobatan; c. kapan diharuskan menggunakan nama dagang atau generik; d. kapan diperlukan penggunaan indikasi seperti pada PRN (pro re nata atau “jika perlu”) atau instruksi pengobatan lain; e. jenis instruksi pengobatan yang berdasar atas berat badan seperti untuk anak-anak, lansia yang rapuh, dan populasi khusus sejenis lainnya; f. kecepatan pemberian (jika berupa infus); g. instruksi khusus, sebagai contoh: titrasi, tapering, rentang dosis. Ketentuan penulisan resep dan instruksi pengobatan : -
Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap
-
Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker
wajib
menanyakan
kepada
penulis
resep
secara
langsung, atau dengan menggunakan mekanisme read back pada resep. -
Apabila
apoteker
menganggap
bahwa
dalam resep
terdapat
kekeliruan atau penulisan resep yang tidak benar (dari prinsip 5 Benar), apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep -
Apabila
dokter
penulis
resep
tetap
pada
pendiriannya,
tanggungjawab sepenuhnya dipikul oleh dokter yang bersangkutan (dokter wajib menyatakan secara tertulis atau membutuhkan tanda tangan yang 59lazim diatas resep)
-
Apabila apoteker menganggap pada resep terdapat kekeliruan yang berbahaya dan tidak dapat menghubungi dokter penulis resep, penyerahan obat dapat ditunda
-
Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera, dokter dapat
memberikan
tanda
“Cito/statim/urgent
(segera),
PIM
(periculum in mora) = berbahaya bila ditunda” pada bagian kanan resep, dan harus didahulukan dalam pelayanannya. -
Untuk permintaan obat emergency di unit red zone IGD, harus segera didahulukan pelayanannya dan tidak dilakukan pengkajian resep dan pengkajian obat.
-
Pada resep asli diberi tanda “n.i/ne iteratur” (tidak boleh diulang), maka apotek tidak boleh mengulangi penyerahan obat atas resep yang sama.
-
Jika terdapat instruksi pengobatan secara lisan atau melalui telepon, atau PPA melakukan konsultasi pengobatan dengan DPJP, maka dilakukan mekanisme read back (tulis lengkap, baca ulang, dan konfirmasi/TBK) pada resep.
-
Resep yang mengandung narkotika : o Harus ditulis tersendiri o Tidak boleh ada iterasi (ulangan) o Dituliskan nama pasien, tidak boleh m.i/mihi ipsi atau u.p/usus propius (untuk pemakaian sendiri) o Alamat pasien ditulis dengan lengkap dan jelas o Aturan pakai (signa) ditulis dengan jelas, tidak boleh ditulis s.u.c/signa usus cognitus (sudah tahu aturan pakai)
Pengkajian resep -
Sebelum
obat
diracik,
harus
dilakukan
pemeriksaan
dan
identifikasi atau skrining terhadap kesesuaian antara obat-alkes yang ditulis dalam resep dengan obat-alkes yang akan disiapkan. -
Proses skrining resep atau pengkajian resep, dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
-
Pengkajian
resep
meliputi
:
pengkajian
administratif
(oleh
apoteker/tenaga teknis kefarmasian), secara farmasetis (oleh apoteker/tenaga teknis kefarmasian), dan secara klinis (oleh apoteker). -
60
Pengkajian resep menggunakan Prinsip 5 (lima) Benar.
Meliputi :
prinsip benar identitas pasien, obat, dosis, waktu
pemberian, dan cara pemberian. Pengkajian Obat -
Pengkajian obat dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian jika apoteker tidak ditempat.
-
Pengkajian obat meliputi : o kesesuaian identitas pasien, o kesesuaian obat dengan pesanan, o jumlah atau dosis dengan pesanan, o rute pemberian dengan pesanan, o kesesuaian waktu/frekuensi pemberian dengan pesanan.
8. Penyiapan Obat Untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat, dan khasiat obat disiapkan dan diserahkan pada lingkungan yang aman bagi pasien, petugas, dan lingkungan serta untuk mencegah kontaminasi tempat penyiapan obat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan praktik profesi, yaitu : -
Pencampuran obat intravena, epidural, dan nutrisi parenteral serta pengemasan kembali obat suntik dilakukan dalam ruang bersih (clean room) yang dilengkapi dengan laminary airflow cabinet
-
Pencampuran obat suntik dilakukan dengan teknik aseptik serta menggunakan alat pelindung diri yang sesuai
-
Pencampuran obat suntik yang termasuk elektrolit konsentrat pekat dan nutrisi parenteral dilakukan oleh apoteker atau tenaga teknis kefarmasian
-
Pencampuran obat intravena dan epidural didelegasikan kepada perawat yang berkompeten dan telah memiliki sertifikat pelatihan penyiapan obat dengan teknik aseptik. Kegiatan dilaksanakan di ruang obat di ruang rawat inap, pada meja bersih
Pemantauan Dispensing/CPOB. -
Dispensing obat adalah proses yang mencakup berbagai kegiatan yang dilakukan apoteker, mulai : penerimaan dan validasi resep, 61 menginterpretasi maksud dokter penulis resep, menyediakan/ meracik dengan teliti, memastikan penyerahan obat yang tepat
bagi pasien, serta memastikan pasien mengkonsumsi sendiri obat dengan baik. -
Praktek dispensing yang baik adalah suatu proses praktek yang memastikan bahwa suatu bentuk yang efektif dari obat dengan, menggunakan prinsip 5 (lima) Benar.
Penyiapan identitas pasien. -
Penyiapan identitas pasien dalam konteks penyiapan obat dapat dilaksanakan
jika
tidak
ada
lagi
permasalahan
dalam
hal
identifikasi pasien di catatan rekam medis pasien bersangkutan. Dalam rekam medis pasien, identifikasi pasien dilakukan dengan cara : memuat nama pasien, tanggal lahir dan nomor rekam medis. -
Penyiapan
identitas
pasien
dilaksanakan
juga
pada
waktu
memberi etiket/labelling sediaan farmasi secara jelas, sebelum diserahkan kepada pasien. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru oleh pasien, dan merupakan pemicu medication error. Etiket antara lain memuat nama pasien, aturan pakai, nomor resep, tanggal resep, nama obat, peruntukan obat luar atau tidak. 9. Pemberian Obat -
Sebelum
obat
diserahkan
pada
pasien
harus
dilakukan
pemeriksaan akhir dan identifikasi terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. -
Pemberian obat rawat jalan, pasien pulang, pasien IGD, dan IBS dilakukan oleh Apoteker atau tenaga teknis kefarmasian jika apoteker tidak ditempat.
-
Pemberian obat oral dan suppositoria pada pasien rawat inap dilakukan oleh perawat.
-
Pemberian obat intravena, intramuskular, subkutan dan nutrisi parenteral pasien rawat inap dilakukan oleh perawat PK II dan PK III, jika dilakukan oleh perawat PK I harus dengan supervisi.
-
Pemberian obat khusus narkotika, psikotropika, dan elektrolit konsentrat pada pasien rawat inap dilakukan oleh perawat minimal PK II.
-
62 Pemberian obat anestesi, intra lumbal/spinal dan epidural oleh dokter Spesialis Anestesi.
-
Pemberian obat intraartikular oleh dokter Spesialis Orthopedi.
-
Sebelum obat diserahkan pada pasien dilakukan pemeriksaan akhir dengan menggunakan prinsip 5 benar : 1. Benar pasien 2. Benar Obat 3. Benar Dosis 4. Benar rute pemberian 5. Benar waktu pemberian
-
Pemberian obat high alert dilakukan pengecekan ganda (double check).
-
Informasi yang diberikan pada saat pemberian obat sekurangkurangnya cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari.
-
Pemberian obat kepada pasien disertai waktu pemberian obat.
-
Obat yang dibawa pasien dari rumah dapat digunakan sendiri sesuai petunjuk dokter, meliputi obat tetes atau salep mata, tetes telinga,
inhaler/turbuhaler,
salep,
krim,
semprot
hidung,
suppositoria dan sirup. Penggunaan obat sendiri oleh pasien harus dilakukan monitoring oleh Apoteker. -
Jadwal pemberian obat untuk pasien rawat inap Pemberian obat peroral
Aturan pakai
waktu pemberian obat (Jam, WIB)
Pagi (1x1)
07.00
Malam(1x1)
21.00
2x1
07.00
19.00
3x1
07.00
14.00
21.00
4x1
07.00
13.00
19.00
01.00
5x1
07.00
12.00
17.00
22.00
03.00
Pemberian obat injeksi Aturan pakai
waktu pemberian obat (jam,WIB)
Pagi (1x1)
08.00-09.00
Sore (1x1)
16.00-17.00 63 22.00-23.00
Malam (1x1) 2x1
04.00-05.00
16.00-17.00
3x1
08.00-09.00
16.00-17.00
24.00-01.00
4x1
04.00-05.00
10. Pemusnahan
dan
10.00-11.00
Penarikan
16.00-17.00 22.00-23.00
(Recall)
Sediaan
Farmasi,
Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai Pemusnahan dan penarikan (recall) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku.
Recall
dilakukan
3
bulan
sebelum habis masa kadaluarsanya. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bila : a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu; b. telah kadaluarsa; c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan d. dicabut izin edarnya. Tahapan pemusnahan obat terdiri dari: a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang akan dimusnahkan; b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan; c. mengoordinasikan
jadwal,
metode
dan
tempat
pemusnahan
kepada pihak terkait; d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan yang berlaku. Penarikan (recall)
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan oleh BPOM atau pabrikan asal. Rumah Sakit harus mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan penarikan. 11. Pengendalian Persediaan Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan 64 penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pengendalian
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi bersama dengan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) di Rumah Sakit. Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk : a. penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit; b. penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; c. memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Yang dimaksud dengan persediaan perbekalan farmasi (stok) kosong adalah
ketidaktersedianya
perbekalan
farmasi
yang
sesuai
formularium rumah sakit di unit pelayanan, yang disebabkan ketiadaan persediaan di unit logistik, ketiadaan persediaan antar depo farmasi,
ketiadaan stok di PBF (stock out) atau disebabkan
permintaan ke PBF dalam kondisi terkunci (locked atau top off payment) Perbekalan farmasi dapat dikembalikan/diretur, apabila obat/alkes masih dalam kemasan asli, bisa menunjukkan kwitansi pembelian dan/
nota
pembelian
(untuk
pembelian
tunai),
obat
racikan/syrup/obat luar/alat medis yang sudah dibuka, tidak bisa diretur, dan tidak dikenakan potongan tagihan. Cara
untuk
mengendalikan
persediaan
Sediaan
Farmasi,
Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah : a. melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving); b. melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan berturut-turut (death stock); c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang hampir kadaluarsa : a.
Sistem penarikan/recal untuk obat kadaluarsa setiap satelit 65 melaporkan obat obat yang akan kadaluarsa untuk 6 bulan yang
akan datang. Petugas gudang akan menginformasikan obat tersebut kepada dokter untuk diresepkan terlebih dahulu. b.
Jika memungkinkan diretur ke distributor maka dilakukan retur distributor.
c.
Obat yang kadaluarsa dikarantina ditempat khusus, dilakukan pencatatan yang kemudian untuk dimusnahkan.
12. Administrasi Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Proses pengadministrasian pelayanan kefarmasian di rumah sakit dilakukan
dengan
menggunakan
aplikasi
SIM
rumah
sakit
terintegrasi dan secara manual. Kegiatan administrasi terdiri dari : a. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi
perencanaan
pendistribusian,
kebutuhan,
pengendalian
pengadaan,
persediaan,
penerimaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan
Instalasi
Farmasi
dalam
periode
waktu
tertentu
(bulanan, triwulanan, semester atau pertahun). Jenis-jenis pelaporan dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. 1) Laporan Pelayanan Kefarmasian bulanan 2) Laporan Penggunaan Obat Generik bulanan 3) Laporan Obat Narkotika dan Psikotropika bulanan 4) Laporan Stock Opname Obat dan BMHP bulanan, triwulan, dan tahunan Pencatatan dilakukan untuk:
persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM;
dasar akreditasi Rumah Sakit;
dasar audit Rumah Sakit; dan 66 dokumentasi farmasi.
Pencatatan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk monitoring transaksi
perbekalan
farmasi
yang
keluar
dan
masuk
di
lingkungan instalasi farmasi RSUD Tidar. Adanya pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila terjadi adanya mutu obat yang sub standar dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan manual dan komputerisasi.
Fungsi pencatatan perbekalan farmasi : -
Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi perbekalan farmasi (penerimaan, pengeluaran, rusak atau kadaluarsa)
-
Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 jenis perbekalan farmasi yang berasal dari 1 sumber anggaran
-
Data
kartu
stok
digunakan
untuk
menyusun
laporan,
perencanaan pengadaan dan pembanding terhadap keadaan fisik dalam tempat penyimpanannya Hal-hal yang diperhatikan dalam pencatatan perbekalan farmasi adalah: -
Kartu
stok
diletakkan
bersamaan/berdekatan
dengan
perbekalan farmasi bersangkutan -
Pencatatan dilakukan secara rutin tiap hari
-
Setiap
terjadi
mutasi
perbekalan
farmasi
(penerimaan,
pengeluaran, rusak/kadaluarsa) langsung dicatat dalam kartu stok Informasi yang di dapat adalah : -
Jumlah perbekalan farmasi yang tersedia/sisa stok
-
Jumlah perbekalan farmasi yang diterima
-
Jumlah perbekalan farmasi yang keluar
-
Jumlah perbekalan farmasi yang hilang/rusak/kadaluarsa
-
Jangka waktu kekosongan perbekalan farmasi
Manfaat informasi yang didapat adalah : -
67 Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan perbekalan farmasi
-
Penyusunan laporan
-
Perencanaan pengadaan dan distribusi
-
Pengendalian persediaan
-
Untuk
pertanggungjawaban
petugas
penyimpanan
dan
pendistribusian -
Sebagai alat bantu kontrol bagi Kepala Instalasi Farmasi
Pelaporan dilakukan sebagai : -
komunikasi antara level manajemen;
-
penyiapan laporan tahunan yang komprehensif kegiatan IFRS
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi
perbekalan
farmasi,
tenaga
dan
perlengkapan
kesehatan yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan. Tujuan pelaporan adalah tersedianya data yang akurat sebagai bahan evaluasi dan membuat perencanaan, tersedianya informasi yang akurat dan arsip untuk laporan. b. Administrasi Penghapusan Administrasi
penghapusan
merupakan
kegiatan
penyelesaian
terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak
memenuhi
standar
dengan
cara
membuat
usulan
penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP kepada pihak terkait sesuai prosedur yang berlaku.
B. Manajemen Risiko Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai Manajemen risiko merupakan aktivitas Pelayanan Kefarmasian yang dilakukan untuk identifikasi, evaluasi, dan menurunkan risiko terjadinya kecelakaan pada pasien, tenaga kesehatan dan keluarga pasien, serta risiko kehilangan dalam suatu organisasi. Manajemen risiko pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: 1)
Menentukan konteks manajemen risiko pada proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2) Mengidentifikasi68 Risiko
Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai antara lain: a.
Ketidaktepatan perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai selama periode tertentu;
b.
Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tidak melalui jalur resmi;
c.
Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang belum/tidak teregistrasi;
d.
Keterlambatan pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
e.
Kesalahan pemesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai seperti spesifikasi (merek, dosis, bentuk sediaan) dan kuantitas;
f.
Ketidaktepatan pengalokasian dana yang berdampak terhadap pemenuhan/ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
g.
Ketidaktepatan penyimpanan yang berpotensi terjadinya kerusakan dan kesalahan dalam pemberian;
h. Kehilangan fisik yang tidak mampu telusur; i.
Pemberian label yang tidak jelas atau tidak lengkap; dan
j.
Kesalahan dalam pendistribusian.
3) Menganalisa Risiko Analisa
risiko
dilakukan
kualitatif,
semi
kuantitatif,
dan
kuantitatif.Pendekatan kualitatif dilakukan dengan memberikan deskripsi
dari
memberikan
risiko
paparan
yang secara
terjadi.Pendekatan statistik
kuantitatif
berdasarkan
data
sesungguhnya. 4) Mengevaluasi Risiko Membandingkan risiko yang telah dianalisis dengan kebijakan 69 pimpinan Rumah Sakit serta menentukan prioritas masalah yang
harus segera diatasi. Evaluasi dilakukan dengan pengukuran berdasarkan target yang telah disepakati. 5) Mengatasi Risiko Mengatasi risiko dilakukan dengan cara: a.
Melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah Sakit;
b.
Mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
c.
Menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d.
Menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
e.
Mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko, dan mengendalikan risiko.
C. Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Tujuan
pelayanan
kefarmasian
dalam
penggunaan
obat
dan
alkes/farmasi klinik adalah : a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi b. Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi penggunaan obat c. Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lainnya yang terkait dalam pelayanan farmasi d. Melaksanakan
kebijakan
obat
di
rumah
sakit
dalam
meningkatkan penggunaan obat secara rasional Pelayanan farmasi klinik di rumah sakit yang dilakukan meliputi : 1. Pengkajian dan pelayanan Resep; 2. Penelusuran riwayat penggunaan Obat; 3. Rekonsiliasi Obat; 4. Pelayanan Informasi70 Obat (PIO); 5. Konseling; 6. Visite;
rangka
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO); 8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO); 9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); 10.Dispensing sediaan steril; dan 11.Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); Pelayanan farmasi klinik di rawat inap, membutuhkan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian, yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas : pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pelayanan informasi Obat, konseling edukasi, dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien. Atau dengan kata lain, untuk pemenuhan paling tidak 7 jenis kegiatan pelayanan farmasi klinik seperti tersebut diatas, untuk 1 ruang rawat inap (berisi 30 tempat tidur), akan membutuhkan 1 orang apoteker pelaksana. 1. Pengkajian Dan Pelayanan Resep Pelayanan
Resep
dimulai
dari
penerimaan,
pemeriksaan
ketersediaan, pengkajian Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error). Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep sesuai
persyaratan
administrasi,
persyaratan
farmasetik,
dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi : o nama, umur, jenis kelamin, berat badan pasien; o nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter; o tanggal Resep; dan o ruangan/unit asal Resep. Persyaratan farmasetik meliputi : 71 o nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan; o dosis dan Jumlah Obat;
o stabilitas; dan o aturan dan cara penggunaan. Persyaratan klinis meliputi : o ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat; o duplikasi pengobatan; o alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); o kontraindikasi; dan o interaksi Obat. Apoteker
dapat
berperan
nyata
dalam
pencegahan
terjadinya
medication error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien. -
Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama, tanggal lahir dan nomor rekam medik
-
Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter penulis resep.
-
Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan pemberian obat, seperti : o Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang menerima
obat-obat
dengan
indeks
terapi
sempit
untuk
keperluan perhitungan dosis. o Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang penting, terutama obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti pada penurunan fungsi ginjal). -
Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
-
Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penghentian otomatis (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien.
-
Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan 72harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama obat
serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi (Prinsip : tulis lengkap, baca ulang dan konsirmasi). Dispensing Dispensing merupakan tindakan atau proses yang memastikan ketepatan order/resep obat, ketepatan seleksi zat aktif yang memadai dan memastikan bahwa pasien atau perawat mengerti penggunaan dan pemberian yang tepat. Atau dengan definisi yang lain merupakan kegiatan pelayanan di IFRS yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi, meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan disertai pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi yang baik. Tujuan dilakukan dispensing adalah : -
Mendapatkan dosis yang aman dan tepat
-
Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan secara oral atau parenteral
-
Menyediakan sediaan farmasi sesuai permintaan dokter
-
Menurunkan total beaya obat
Prinsip Dispensing dalam upaya medication safety : o Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SPO o Pemberian etiket yang tepat (nama obat, dosis, tanggal penyiapan, tanggal kadaluarsa dan peringatan). o Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda. o Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket. 2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan 73 sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh
dari
wawancara
penggunaan Obat pasien.
atau
data
rekam
medik/pencatatan
Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat : a. membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat; b. melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan; c. mendokumentasikan adanya alergi danReaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); d. mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat; e. melakukan
penilaian
terhadap
kepatuhan
pasien
dalam
menggunakan Obat; f. melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan; g. melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat yang digunakan; h. melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat; i. melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat; j. memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat k. mendokumentasikan Obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan dokter; dan l. mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien. Kegiatan : a. penelusuran
riwayat
penggunaan
Obat
kepada
pasien/keluarganya; dan b. melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat pasien. Informasi yang harus didapatkan : o nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat; o reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan o kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat (jumlah Obat yang tersisa). 3. Rekonsiliasi Obat 74 Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan daftar obat yang dipergunakan oleh pasien sebelum dirawat inap dengan
peresepan/permintaan obat dan instruksi pengobatan yang dibuat pertama kali sejak pasien masuk, saat pemindahan pasien antar unit pelayanan
(transfer),
dan sebelum
pasien
pulang.
Rekonsiliasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah: o memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien; o mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter; dan o mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter. Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu : a. Pengumpulan data Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan digunakan pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping Obat yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal kejadian, Obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan. Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication chart. Data Obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi. b. Komparasi Petugas kesehatan 75 membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara
data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep. c. Melakukan
konfirmasi
kepada
dokter
jika
menemukan
ketidaksesuaian dokumentasi. Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah : -
menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;
-
mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti;
-
memberikan tanda tangan, tanggal, waktu rekonsilliasi obat.
d. Komunikasi. Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap informasi Obat yang diberikan. Perbekalan Farmasi Yang Dibawa Pasien Penggunaan obat milik pasien yang dibawa dari rumah ke dalam rumah sakit (medication reconcialition) dapat dipergunakan jika : -
Disetujui dokter yang merawat penderita tersebut di rumah sakit
-
Tidak
mempengaruhi
keamanan
dan
efektifitas
obat
yang
diberikan dokter di rumah sakit -
Obat tidak dapat diperoleh di instalasi farmasi
Jika boleh digunakan, dokter harus menulis suatu resep yang sesuai dan dicatat dalam rekam medis. Obat yang dibawa pasien disimpan di bangsal, sedangkan pasien diberikan obat dengan kandungan yang sama yang diambilkan dari stok instalasi farmasi. Proses pelaksanaan rekonsiliasi obat dilakukan oleh apoteker atau proses kolaboratif dengan dokter atau perawat dan dicatat pada rekam medis.
76
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker yang dilatih khusus (farmasi klinik) untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. PIO bertujuan untuk : a. menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit; b. menyediakan
informasi
untuk
membuat
kebijakan
yang
berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Habis Pakai, terutama bagi Panitia Farmasi dan Terapi; c. Menunjang penggunaan Obat yang rasional. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah : -
Memberikan, menyebarkan informasi ke konsumen secara aktif dan pasif
-
Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka
-
Membuat leaflet atau buletin
-
Menyediakan informasi bagi PFT sehubungan dengan penyusunan formularium RSUD Tidar
-
Bersama dengan tim PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat inap/jalan
-
Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lainnya
-
Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian
-
Memberikan pendidikan kepada mahasiswa
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO adalah : a. Tempat Tidak ada suatu ketentuan untuk menentukan tempat. Hal ini tergantung pada keadaan rumah sakit yang bersangkutan. b. Ketenagaan Ketenagaan dalam 77 pelayanan informasi obat (PIO) di RSUD Tidar dengan melihat jumlah apoteker yang ada di IFRS sebanyak 13 orang. Metode yang dipakai untuk menentukan tenaga pelaksana
adalah “terdapat 1 orang apoteker koordinator (masuk ke dalam koordinator rawat jalan), tidak ada apoteker khusus PIO, dan dapat dilayani oleh semua apoteker IFRS pada jam kerja dan tidak ada PIO di luar jam kerja”. c. Perlengkapan Jenis dan jumlah perlengkapan bervariasi tergantung ketersediaan dan
perkiraan
kebutuhan
akan
perlengkapan
tersebut.
Perlengkapan yang disarankan sebagai berikut : -
Rak buku, majalah, dokumen
-
Lemari arsip
-
Meja dan kursi
-
Komputer dan printer
-
Telepon
5. Konseling Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif
Apoteker,
keluarganya.
rujukan
Pemberian
dokter,
konseling
keinginan yang
pasien
efektif
atau
memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety). Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk : a. meningkatkan
hubungan
kepercayaan
antara
Apoteker
dan
pasien; b. menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien; c. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat; d. membantu
pasien
untuk
mengatur
dan
menyesuaikan
penggunaan Obat dengan penyakitnya; 78 e. meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; f. mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat;
g. meningkatkan
kemampuan
pasien
memecahkan
masalahnya
dalam hal terapi; h. mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan i. membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien. Kegiatan dalam konseling Obat meliputi : -
membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;
-
mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions; 1) Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda? 2) Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini? 3) Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah anda minum obat ini?
-
menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat;
-
memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah pengunaan Obat;
-
melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien; dan
-
dokumentasi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling Obat: a. Kriteria Pasien: -
pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui);
-
pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-lain);
-
pasien
yang
menggunakan
obat-obatan
dengan
instruksi
khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off); -
pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin);
-
pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi); dan
-
pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
b. Sarana dan Peralatan: -
ruangan atau tempat konseling; dan 79 alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).
6. Visite Ronde/Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat, memantau kemungkinan munculnya efek samping obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien, serta profesional kesehatan lainnya untuk memastikan bahwa pengobatan berlangsung sesuai dengan perencanaan terapi dan menjamin keselamatan pasien. Sebelum
melakukan
mempersiapkan
diri
kegiatan
visite
apoteker
harus
dengan mengumpulkan informasi mengenai
kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medis atau sumber lain. Ruang lingkup visite oleh apoteker berupa kunjungan apoteker ke pasien rawat inap, meliputi : -
Identifikasi masalah terkait penggunaan obat
-
Rekomendasi
penyelesaian/pencegahan
masalah
terkait
penggunaan obat dan/atau informasi obat -
Pemantauan implementasi rekomendasi dan hasil terapi pasien
Tujuan kegiatan ronde/visite pasien ini adalah : -
Untuk pemilihan obat pasien
-
Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
-
Menilai kemajuan pasien
-
Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya
Pelaksanaan Visite a. Visite Mandiri -
Memperkenalkan diri kepada pasien
-
Melakukan pengecekan sisa obat pasien sekaligus mengetahui potensi permasalahan dalam penggunaan obat
-
Mendengarkan respons yang disampaikan oleh pasien dan
-
identifikasi masalah 80 Melakukan pemantauan penggunaan obat
b. Visite Tim
efektivitas,
keamanan
terkait
-
Memperkenalkan diri kepada pasien dan/atau tim
-
Mengikuti dengan seksama presentasi kasus yang disampaikan
-
Memberikan rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan masalah terkait penggunaan obat
-
Melakukan pemantauan implementasi rekomendasi
-
Melakukan
pemantauan
efektivitas,
keamanan
terkait
penggunaan obat Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam ronde/visite antara lain : -
Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan tersebut kepada pasien
-
Untuk pasien baru dirawat, apoteker harus menanyakan terapi obat terdahulu dan memperkirakan masalah yang mungkin terjadi
-
Apoteker
memberi
keterangan
pada
formulir
resep
untuk
menjamin penggunaan obat dengan benar -
Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat yang akan berguna untuk pemberian obat
-
Setelah kunjungan, membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian masalah dalam satu buku dan buku ini digunakan oleh setiap apoteker yang berkunjung ke ruang pasien untuk menghindari pengulangan kunjungan
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah : -
Pengetahuan cara berkomunikasi
-
Memahami teknik edukasi
-
Mencatat perkembangan pasien
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO) Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan
PTO
adalah
meningkatkan
efektivitas
terapi
dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi : a. pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons 81 terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); b. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan
c. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat. Tahapan PTO : -
seleksi pasien;
-
pengumpulan data pasien;
-
identifikasi masalah terkait Obat;
-
rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
-
pemantauan; dan
-
tindak lanjut. Pasien
yang
mengalami
mendapatkan
masalah
terkait
terapi
obat.
obat
mempunyai
Kompleksitas
risiko
penyakit
dan
penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan
munculnya
masalah
terkait
obat.
Hal
tersebut
menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. 1. Seleksi Pasien Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh
pasien.
Mengingat
terbatasnya
jumlah
apoteker
dibandingkan dengan jumlah pasien, maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan: a. Kondisi Pasien. -
Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima polifarmasi.
-
Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
-
Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
-
Pasien geriatri dan pediatri.
-
Pasien hamil dan menyusui.
-
Pasien dengan perawatan intensif.
b. Obat. -
Jenis Obat Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti : o obat
82 dengan
digoksin,fenitoin),
indeks
terapi
sempit
(contoh
:
o obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik (contoh : OAT), o sitostatika (contoh: metotreksat), o antikoagulan (contoh: warfarin, heparin), o obat
yang
sering
menimbulkan
ROTD
(contoh:
metoklopramid, AINS), o obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin). -
Kompleksitas regimen, o Polifarmasi o Variasi rute pemberian o Variasi aturan pakai o Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)
2. Pengumpulan Data Pasien. Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data tersebut dapat diperoleh dari : -
rekam medik,
-
profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat
-
wawancara dengan pasien, anggota keluarga dan tenaga kesehatan lain. Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien
mengenai pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga,
riwayat
sosial,
pemeriksaan
fisik,
laboratorium,
diagnostik, diagnosis dan terapi. Data tersebut di pelayanan komunitas dapat diperoleh melalui wawancara dengan pasien, meskipun data yang diperoleh terbatas. Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan
pemberian
obat
oleh
perawat
dan
kartu/formulir
penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh: insulin). 83 Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan dan kemudian dikaji. Data yang berhubungan dengan PTO diringkas dan
diorganisasikan ke dalam suatu format yang sesuai (contoh pada lampiran 1). Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan pasien belum cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain. 3. Identifikasi Masalah Terkait Obat. Setelah
data
terkumpul,
perlu
dilakukan
analisis
untuk
identifikasi adanya masalah terkait obat. Masalah
terkait
obat
menurut
Hepler
dan
Strand
dapat
dikategorikan sebagai berikut : a. Ada indikasi tetapi tidak di terapi. Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat. b. Pemberian obat tanpa indikasi. Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan. c. Pemilihan obat yang tidak tepat. Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra indikasi) d. Dosis terlalu tinggi e. Dosis terlalu rendah f. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) g. Interaksi obat h. Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab. Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain: masalah ekonomi, obat tidak tersedia, ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas. Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi. Masalah yang perlu penyelesaian segera harus diprioritaskan 84 4. Rekomendasi Terapi Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
-
Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
-
Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
-
Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
-
Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi antara lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis). Pilihan terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi.
5. Rencana Pemantauan Setelah
ditetapkan
pilihan
terapi
maka
selanjutnya
perlu
dilakukan perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah: 1) Menetapkan parameter farmakoterapi. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter pemantauan, antara lain: -
Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol, aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin)
-
Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
-
Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatri mencapai 40%)
-
Efisiensi pemeriksaan laboratorium o Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam darah untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan o Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia),
o Biaya pemantauan. 85 2) Menetapkan sasaran terapi (end point)
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : -
Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan diderita pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma)
-
Karakteristik obat Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian akan mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan (contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah pada pemberian insulin dan anti diabetes oral)
-
Efikasi dan toksisitas
3) Menetapkan frekuensi pemantauan Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien yang menerima obat kanker harus dipantau lebih sering dan berkala dibanding pasien yang menerima aspirin. Pasien
dengan
kondisi
relatif
stabil
tidak
memerlukan
pemantauan yang sering. Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara lain: -
Kebutuhan khusus dari pasien Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi ginjal.
-
Karakteristik obat pasien Contoh: pasien yang menerima warfarin
-
Biaya dan kepraktisan pemantauan
-
Permintaan tenaga kesehatan lain 86 yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO, Data pasien
tetapi pada kenyataannya data penting terukur sering tidak ditemukan sehingga PTO tidak dapat dilakukan dengan baik.
Hal tersebut menyebabkan penggunaan data subyektif sebagai dasar PTO. Jika parameter pemantauan tidak dapat digantikan dengan data subyektif maka harus diupayakan adanya data tambahan. Proses
selanjutnya
adalah
menilai
keberhasilan
atau
kegagalan mencapai sasaran terapi. Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis sesuai dengan sasaran terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak tercapai,
maka
dapat
dikatakan
mengalami
kegagalan
mencapai sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara lain: kegagalan menerima terapi, perubahan fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal terapi. Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah Subjective Objective Assessment Planning (SOAP). S =
Subjective Data subyektif adalah data yang bersumber dari pasien atau keluarga pasien yang tidak dapat dikonfirmasi secara independen Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
O = Objective Data obyektif adalah data yang bersumber dari hasil observasi, pengukuran dilakukan oleh profesi kesehatan lain (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan pernafasan),
hasil
pemeriksaan
laboratorium
dan
diagnostik. A = Assessment Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis
untuk
meminimalkan
efek
menilai yang
keberhasilan tidak
dikehendaki
terapi, dan
kemungkinan adanya masalah baru terkait obat (Drug Related Problem/DRP) P = Plan
87
Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun
rencana
yang
dapat
dilakukan
untuk
menyelesaikan masalah. Plan memuat hal-hal berikut : 1. Rekomendasi terapi obat untuk setiap DRP lengkap dengan dosisnya 2. Rencana monitoring terapi obat 3. Rencana konseling 6. Tindak Lanjut Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan
untuk
menetapkan
target
terapi
yang
optimal.
Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu
dilakukan
untuk
mencegah
kemungkinan
timbulnya
masalah baru. Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dan kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat sebaiknya: -
tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain
-
tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,
-
dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat Faktor yang harus diperhatikan dalam Pemantauan Terapi
Obat (PTO): -
kemampuan
penelusuran
informasi
dan
penilaian
kritis
terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine); -
kerahasiaan informasi; dan
-
kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat). 88 Monitoring efektivitas terapi dinilai berdasarkan tercapai
tidaknya tujuan terapi. Parameter monitoring dipengaruhi oleh
tujuan
terapi.
Cara
yang
dilakukan
dalam
melaksanakan
monitoring terapi obat adalah : -
Pengamatan kondisi klinik pasien, seperti keadaan umum, penampilan pasien, kondisi luka, tingkat kesadaran pasien, kemampuan pasien untuk komunikasi, disesuaikan dengan obat yang digunakan dalam terapi.
-
Pengamatan tanda-tanda vital terkait efektivitas obat maupun ESO seperti temperatur, nadi, tekanan darah, BB, volumen urin.
-
Pengamatan hasil pemeriksaan laboratorium.
-
Pengamatan kadar obat dalam plasma.
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. MESO bertujuan: a. menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang; b. menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan; c. mengenal
semua
faktor
yang
mungkin
dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO; d. meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki; dan e. mencegah
terulangnya
kejadian
reaksi
Obat
yang
tidak
dikehendaki. Kegiatan pemantauan dan pelaporan Efek Samping Obat : a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO); b. kolaborasi
antara 89
dokter,
perawat,
apoteker
dalam
mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami ESO;
c. mengevaluasi mendiskusikan
laporan dan
ESO
dengan
mendokumentasikan
algoritme ESO
di
Naranjo, PFT,
dan
melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional serta memberikan umpan balik di RS. d. Hasil evaluasi laporan efek samping obat dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengeluarkan obat dari formularium e. memantau obat prioritas yaitu obat baru atau obat yang baru masuk formularium RS atau obat yang terbukti dalam literatur menimbulkan efek samping serius. Faktor yang perlu diperhatikan: -
kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) dan ruang rawat; dan
-
ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) Evaluasi
Penggunaan
Obat
merupakan
program
evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) yaitu : a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat; b. membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu; c. memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan d. menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat. Kegiatan praktek EPO (dapat dilakukan oleh unit PIO dan PKMRS) : -
mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
-
mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan, yaitu indikator peresepan, indikator pelayanan, dan indikator fasilitas.
10. Dispensing Sediaan Steril Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas, stabilitas produk 90 dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan : a. menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk; c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan d. menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi : a. Pencampuran Obat Suntik (iv-admxture) Melakukan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan. Kegiatan: 1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus; 2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai; dan 3) mengemas menjadi sediaan siap pakai. Faktor yang perlu diperhatikan: -
ruangan khusus;
-
lemari pencampuran Biological Safety Cabinet atau Laminary Airflow; dan
-
HEPA Filter.
b. Penyiapan Nutrisi Parenteral Merupakan dilakukan
kegiatan oleh
pencampuran
tenaga
yang
nutrisi
terlatih
secara
parenteral aseptis
yang sesuai
kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai. Kegiatan dalam dispensing sediaan khusus: 1) Mencampur
sediaan
karbohidrat,
protein,
lipid,
mineral untuk kebutuhan perorangan; dan 2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi. Faktor yang perlu diperhatikan: -
91dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi; tim yang terdiri
-
sarana dan peralatan;
-
ruangan khusus;
vitamin,
-
lemari pencampuran Biological Safety Cabinet atau Laminary Airflow; dan
-
kantong khusus untuk nutrisi parenteral.
c. Penanganan Sediaan Sitostatik Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat kanker
secara
aseptis
dalam
kemasan
siap
pakai
sesuai
kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai. Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi: 1) melakukan perhitungan dosis secara akurat; 2) melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai; 3) mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan; 4) mengemas dalam kemasan tertentu; dan 5) membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku. Faktor yang perlu diperhatikan : -
ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai;
-
lemari pencampuran Biological Safety Cabinet;
-
HEPA filter;
-
Alat Pelindung Diri (APD);
-
sumber daya manusia yang terlatih; dan
-
cara pemberian Obat kanker.
Sitostatika termasuk dalam golongan obat berbahaya, karena sifatnya yang karsinogenik, teratogenik dan mutagenik, sehingga obat ini memerlukan penanganan khusus. 11. Pemantauan Kadar92 Obat Dalam Darah (PKOD) Pemantauan
Kadar
Obat
dalam
Darah
(PKOD)
merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan
dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan : a. mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan b. memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat. Kegiatan PKOD meliputi : a. melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); b. mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan c. menganalisis hasil Pemeriksaan Faktor-faktor yang perlu diperhatikan : -
Alat atau instrumen untuk mengukur kadar obat (Therapeutic Drug Monitoring)
-
Reagen sesuai obat yang diperiksa.
D. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik adalah: 1. Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien akan berakibat terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi. Faktor risiko tersebut adalah umur, gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun, fungsi ginjal, fungsi hati. 2. Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien Faktor risiko yang terkait penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu: tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan, tingkat cidera yang ditimbulkan oleh keparahan penyakit. 3. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien meliputi: toksisitas, profil reaksi Obat tidak dikehendaki, rute dan teknik pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas, rute dan teknik 93 pemberian, dan ketepatan terapi.
Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik, Apoteker mampu melakukan: 1. Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif dan semi kuantitatif. 2. Melakukan evaluasi risiko; dan 3. Mengatasi risiko melalui: a. Melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah Sakit; b. Mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko; c. Menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis); d. Menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan e. Mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko, dan mengendalikan risiko. Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam setiap tahap manajemen risiko menjadi salah satu prioritas perhatian. Semakin besar risiko dalam suatu pemberian layanan dibutuhkan SDM yang semakin kompeten dan kerjasama tim (baik antar tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lain/multidisiplin) yang solid. Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang memiliki risiko tinggi, antara lain Intensive Care Unit (ICU), Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan Instalasi Bedah Sentral ( IBS ).
94
BAB V LOGISTIK
Manajemen logistik rumah sakit merupakan salah satu aspek penting di rumah sakit. Ketersediaan obat saat ini menjadi tuntutan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian. Manajemen logistik obat di rumah sakit yang meliputi tahap-tahap yaitu: perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, penghapusan, evaluasi dan monitoring yang saling terkait satu sama lain, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai obat yang ada. Akibatnya memberikan dampat negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun ekonomis. Pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit dalam mencapai pelayanan kesehatan yang optimal, maka proses pengelolaan perlu diawasi untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dalam pelaksanaan operasionalnya, sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan dengan segera. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), pengelolaan obat yang efektif dan efisien diharapkan dapat menjamin : 1. Tersedianya rencana kebutuhan jenis dan jumlah obat sesuai dengan kebutuhan pasien, 2. Tersedianya anggaran pengadaan obat yang dibutuhkan sesuai dengan waktunya, 3. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien, 95 4. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik,
5. Terjaminnya pendistribusian obat efektif dengan waktu tunggu (lead time) yang pendek, 6. Terpenuhinya kebutuhan obat sesuai dengan jenis, jumlah
dan
waktu, 7. Tersedianya SDM dengan jumlah dan kualifikasi yang dibutuhkan, 8. Penggunaan obat secara rasional sesuai pedoman, 9. Terdapatnya sumber informasi pengelolaan dan penggunaan obat yang akurat. Manajemen logistik, mengutamakan pengelolaan, termasuk arus sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP dalam rumah sakit. Orientasi manajemen logistik adalah pada perencanaan dan kerangka kerja yang menghasilkan rencana tunggal arus barang dan informasi di rumah sakit. Sedangkan
manajemen
management/SCM),
rantai
mengutamakan
pengadaan arus
(supply
barang
dan
chain
mekanisme
informasi berlangsung secara transparan antar perusahaan/instansi, mulai dari awal kegiatan sampai akhir. Sedangkan orientasinya atas dasar kerja sama dan mengusahakan hubungan serta koordinasi antar proses dari perusahaan dan mitra, guna menunjang kegiatan proses awal sampai proses akhir ke tangan konsumen/pasien. Supply chain management merupakan suatu konsep menyangkut pola pendistribusian produk secara optimal, dan menyangkut aktivitas pendistribusian, jadwal produksi dan logistik. Syarat utama penerapan supply chain management adalah dukungan manajemen rumah sakit dan komitmen internal yang tinggi. Manajemen semua level dari strategis/struktural sampai operasional/fungsional harus
memberikan
dukungan,
mulai
dari
proses
perencanaan,
pengorganisasian, koordinasi, pelaksanaan sampai pengendalian. Selain dukungan manajemen, syarat lain merupakan syarat eksternal yaitu pemasok (industri farmasi) dan distributor (PBF) harus diperhatikan. Kunci
penting
dalam
mengelola
saluran
distribusi
adalah
menentukan berapa banyak saluran distribusi yang dikembangkan serta membentuk pola kemitraan yang menunjang distribusi barang tersebut. Penggunaan
96 distributor
yang
terlalu
sedikit
dapat
membatasi
penyebaran jenis sediaan farmasi, sedangkan penggunaan distributor yang terlalu banyak dapat mengganggu brand image berkompetisi.
Pemberian
akses
informasi
yang
transparan
dari
sistem
ini,
memungkinkan rumah sakit untuk memiliki akses meninjau proses penyimpanan dan transportasi sediaan farmasi, alkes dan BMHP kepada pihak eksternal, yaitu industri farmasi dan distributor. Hal ini, bertujuan untuk memberikan kepastian informasi kepada pihak rumah sakit, tentang kepastian penyimpanan dan distribusinya apakah sesuai standar CDOB atau tidak. Setelah dilakukan proses pengadaan sediaan farmasi, alkes, dan BMHP yang aman, bermutu, bermanfaat, dan berkhasiat, melalui prosedur dan sesuai regulasi yang ada, barang diterima oleh tim teknis Panitia
Penerima
Hasil
Pekerjaan
(PPHP).
Setelah
proses
pengadministrasian selesai, barang dikirimkan ke gudang farmasi, untuk dilakukan penyimpanan sesuai syarat penyimpanan yang baik sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan
stabilitas
dan
keamanan,
sanitasi,
cahaya,
kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Komponen yang harus diperhatikan antara lain: a) Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus; b) Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan; c) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi. Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu: a. bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan 97 diberi tanda khusus bahan berbahaya,
b. gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan. Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan dan jenis sediaan farmasi, alkes dan BMHP dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat. Ada beberapa jenis obat yang karena risikonya tinggi (obat-obatan radioaktif),
lingkungan
yang
tidak
biasa
(dibawa
oleh
pasien),
kemungkinan untuk penyalahgunaan (abuse, misuse), misal obat sampel dan obat emergency atau sifat yang khusus (produk nutrisi), perlu didukung oleh kebijakan sebagai pedoman untuk penyimpanan dan pengendalian
dalam
penggunaannya.
Kebijakan
mengatur
proses
penerimaan, identifikasi pengobatan bila perlu, cara penyimpanan dan setiap distribusi. Obat-obatan emergensi tersedia, dimonitor dan aman bilamana disimpan di luar farmasi. Bila terjadi kegawatdaruratan pasien, akses cepat terhadap obat emergensi yang tepat adalah sangat penting/ kritis. Setiap rumah sakit merencanakan lokasi obat emergensi dan obat yang harus disuplai ke lokasi tersebut. Contoh, bahan untuk pemulihan anestesi berada di kamar operasi. Lemari, meja troli, tas atau kotak emergensi dapat digunakan untuk keperluan ini. Untuk memastikan akses ke obat emergensi bilamana diperlukan, rumah
sakIt
menyusun
suatu
prosedur
untuk
mencegah
penyalahgunaan, pencurian atau kehilangan terhadap obat dimaksud. Prosedur ini memastikan bahwa obat diganti bilamana digunakan, rusak atau kadaluwarsa. Jadi rumah sakit memahami keseimbangan antara akses
kesiapan
emergensi.
dan 98keamanan
dari
tempat
penyimpanan
obat
Rumah sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian. Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin :
jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah ditetapkan;
tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain Rumah sakit mempunyai proses untuk mengidentifikasi, menarik
kembali (recall) dan mengembalikan atau memusnahkan dengan cara yang aman dan benar obat-obatan yang ditarik kembali oleh pabrik atau supplier.
Ada
kebijakan
atau
prosedur
yang
mengatur
setiap
penggunaan atau pemusnahan dari obat yang diketahui kadaluwarsa atau ketinggalan jaman (outdated). Obat bisa disimpan dalam tempat penyimpanan, di dalam pelayanan farmasi atau kefarmasian, atau di unit asuhan pasien pada unit-unit farmasi atau di nurse station dalam unit klinis. Berikut ini adalah mekanisme pengawasan bagi semua lokasi dimana obat disimpan dengan jelas : a) Obat disimpan dalam kondisi yang sesuai untuk stabilitas produk; b) Bahan yang terkontrol (controlled substances) dilaporkan secara akurat sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku c) Obat-obatan dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label secara akurat menyebutkan isi, tanggal kadaluwarsa dan peringatan; d) Elektrolit pekat konsentrat tidak disimpan di unit asuhan kecuali merupakan kebutuhan klinis yang penting, merupakan resep atau permintaan dokter, dan bila disimpan dalam unit asuhan dilengkapi dengan pengaman untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati
99 e) Seluruh tempat penyimpanan obat diinspeksi secara periodik sesuai kebijakan rumah sakit untuk memastikan obat disimpan secara benar
f) Kebijakan
rumah
sakit
penyimpanan obat
100
menjabarkan
cara
identifikasi
dan
BAB VI KESELAMATAN PASIEN
A. PENGERTIAN 1. Konsep Umum Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi,
menganalisis,
mengendalikan,
memantau,
mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang ada pada suatu kegiatan. Untuk mengetahui gambaran kegiatan pada suatu unit kerja
(misalnya
pada
pelayanan
kefarmasian),
terlebih
dahulu
dilakukan inventarisasi kegiatan di unit kerja tersebut. Inventarisasi dapat dilakukan dengan cara : -
mempelajari diagram kegiatan yang ada
-
melakukan inspeksi dengan menggunakan daftar tilik (checklist)
-
melakukan konsultasi dengan petugas Inventarisasi kegiatan diarahkan kepada perolehan informasi
untuk menentukan potensi bahaya (hazard) yang ada. Bahaya (hazard) adalah sesuatu atau kondisi pada suatu tempat kerja yang dapat berpotensi menyebabkan kematian, cedera atau kerugian lain. Pengendalian risiko melalui sistem manajemen dapat dilakukan oleh pihak manajemen pembuat komitmen dan kebijakan, organisasi, program pengendalian, prosedur pengendalian, tanggung jawab, pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu dapat mendukung terlaksananya pengendalian secara teknis. Manajemen
risiko
dalam
pelayanan
kefarmasian
medication error meliputi kegiatan : o koreksi bila ada kesalahan sesegera mungkin o pelaporan medication error o dokumentasi medication error o pelaporan medication error yang berdampak cedera o supervisi setelah 101terjadinya laporan medication error o sistem pencegahan o pemantauan kesalahan secara periodik
terutama
o tindakan preventif o pelaporan ke tim keselamatan pasien tingkat nasional Keselamatan
pasien
(Patient
safety)
secara
sederhana
di
definisikan sebagai suatu upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Konsep keselamatan
pasien
harus
dijalankan
secara
menyeluruh
dan
terpadu. Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien : -
Menggunakan obat dan peralatan yang aman
-
Melakukan praktek klinik yang aman dalam lingkungan aman
-
Melaksanakan manajemen risiko, contoh : pengendalian infeksi
-
Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi kepada pasien.
-
Meningkatkan keselamatan pasien dengan : -
mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse event)
-
membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event
-
mengurangi efek akibat adverse event
Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan suatu resolusi
untuk
membentuk
program
manajemen
risiko
untuk
keselamatan pasien yang terdiri dari 4 aspek utama: a. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk definisi, pengukuran dan pelaporan dalam mengambil tindakan pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk mengurangi resiko b. Penyusunan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam standar global yang akan meningkatkan pelayanan kepada pasien dengan
penekanan
tertentu
pada
beberapa
aspek
seperti
keamanan produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan pedoman, penggunaan produk obat dan alat kesehatan yang aman 102 dan menciptakan suatu budaya keselamatan pada petugas kesehatan dan institusi pendidikan.
c. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali karakteristik penyedia pelayanan kesehatan dalam keselamatan pasien secara internasional d. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien 2. Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Penerapan Keselamatan Pasien Dalam penerapannya, keselamatan pasien harus dikelola dengan pendekatan sistemik. Sistem ini dapat dilihat sebagai suatu sistem terbuka dimana sistem terkecil akan dipengaruhi, bahkan tergantung pada sistem yang lebih besar. Sistem terkecil disebut Mikrosistem, terdiri dari petugas kesehatan dan pasien itu sendiri, serta prosesproses pemberian pelayanan di ujung tombak, termasuk elemenelemen
pelayanan
di
dalamnya.
Mikrosistem
dipengaruhi
oleh
Makrosistem, yang merupakan unit yang lebih besar, misalnya rumah sakit dan apotek. Mikrosistem dan Makrosistem dipengaruhi oleh system yang lebih besar lagi yang disebut Megasistem. Seorang Apoteker yang berperan di dalam mikrosistem (instalasi farmasi rumah sakit dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi. Teori kesalahan manusia dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.
103
Kegagalan tersembunyi (Latent failures): -
Penyebabnya jauh dari insiden,
-
Merupakan refleksi dari kegagalan manajemen,
-
Terjadi bila dikombinasikan dengan faktor lain,
-
Kegagalan tersembunyi dapat dikelola dengan memperbaiki proses pelayanan (redesign). Contoh: peninjauan kembali beban kerja, jumlah SDM, dan lainlain.
Kegagalan aktif (Active failures) : -
Terjadi oleh pelaku yang berhubungan langsung dengan pasien,
-
Beberapa bentuk active failures adalah: kurang perhatian (slips), kegagalan memori, lupa (lapses), serta pelanggaran prosedur (mistake and violation ),
-
Kegagalan aktif dapat dikelola dengan memperbaiki alur kerja, SPO, deskripsi kerja yang jelas, training, pengawasan terhadap pelanggaran SPO, mengurangi interupsi dan stress, dan membina 104 komunikasi yang lebih baik antar staf dan dengan pasien.
Makrosistem menyediakan
merupakan
sumber
sistem
daya,
proses
di
atas
Mikrosistem
pendukung,
yang
struktur
dan
kebijakan-kebijakan yang berlaku di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pelaksanaan
program-program
yang
menyangkut
keselamatan
pasien. Kebijakan-kebijakan itu antara lain sistem penulisan resep, standarisasi bahan medis habis pakai (BMHP), rekam medis dan lain sebagainya. Selain itu, kultur atau budaya yang dibangun dan diterapkan
di
lingkungan
rumah
sakit
juga
akan
sangat
mempengaruhi kinerja unit-unit yang bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien. Budaya tidak saling menyalahkan (no blame culture), sistem informasi manajemen/information technology (SIM/IT) rumah sakit, kerjasama tim, kepemimpinan, alur koordinasi, Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) RS, Formularium RS, dan Panitia panitia serta Program Rumah Sakit lainnya, merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan keselamatan pasien yang berasal dari makrosistem. Di atas mikrosistem dan makrosistem, ada satu sistem yang akan mempengaruhi
keselamatan
pasien,
yaitu
megasistem.
Yang
dimaksud Megasistem adalah kebijakan kesehatan nasional yang berlaku,
misalnya
kebijakan-kebijakan
menyangkut
obat
dan
kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan (Kebijakan tentang akreditasi, Obat Rasional, Infeksi Nosokomial, dan lain sebagainya), termasuk juga sistem pendidikan dan pendidikan berkelanjutan yang berlaku. Hal lain yang juga mempengaruhi keselamatan pasien yang memerlukan intervensi dari megasistem adalah pembenahan fenomena kemiripan Look a like (obat-obat dengan rupa atau kemasan mirip) atau Look a like Sound a like – LASA (obat-obat dengan rupa dan nama mirip), misalnya : -
Ephedrin dengan epinefrin
-
Cefotaxim dengan ceftriaxon Dalam mengelola keselamatan pasien di level Mikrosistem, seorang
Apoteker harus melakukannya dengan pendekatan sistemik. Masalah Keselamatan pasien105 merupakan kesalahan manusia (human error) yang terutama terjadi karena kesalahan pada level manajemen atau organisasi yang lebih tinggi.
B. KESELAMATAN PASIEN DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah yang perlu difahami dan disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah: -
Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)
-
Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near Miss)
-
Kejadan Sentinel
-
Adverse Drug Event
-
Adverse Drug Reaction
-
Medication Error
-
Efek samping obat Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug
Events: A Clinician’s Guide to terminology, Documentation, and Reporting, serta dari Glossary AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) dapat disimpulkan definisi beberapa istilah yang berhubungan dengan cedera akibat obat sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Ringkasan definisi yang berhubungan dengan cedera akibat obat Istilah Terjadi cedera Kejadian yang tidak diharapkan (Adverse Event)
Definisi
Kejadian cedera pada pasien selama proses terapi/penatalaksanaan medis. Penatalaksanaan medis mencakup seluruh aspek pelayanan, termasuk diagnosa, terapi, kegagalan diagnosa/terapi, sistem, peralatan untuk pelayanan. Adverse event dapat dicegah atau tidak dapat dicegah. Reaksi obat yang Kejadian cedera pada pasien tidak diharapkan selama proses terapi akibat (Adverse penggunaan obat. Drug Reaction) Kejadian tentang Respons yang tidak diharapkan obat yang tidak terhadap terapi obat dan diharapkan mengganggu atau menimbulkan (Adverse Drug cedera pada penggunaan obat Event) dosis normal. Reaksi Obat Yang Tidak Diharapkan (ROTD) ada yang berkaitan dengan efek 106 farmakologi/mekanisme kerja (efek samping) ada yang tidak berkaitan dengan efek farmakologi (reaksi
Contoh Iritasi pada kulit karenapenggunaan perban. Jatuh dari tempat tidur.
Steven-Johnson Syndrom : Sulfa, Obat epilepsi dll Shok anafilaksis pada penggunaan antbiotik golonganpenisilin Mengantuk pada penggunaan CTM
Efek obat yang tidak diharapkan (Adverse drug effect)
hipersensitivitas). `
Cedera dapat terjadi / tidak terjadi Medication Error Kejadian yang dapat dicegah akibat penggunaan obat, yang menyebabkan cedera.
Efek Samping
Efek yang dapat diprediksi, tergantung pada dosis, yang bukan efek tujuan obat. Efek samping dapat dikehendaki, tidak dikehendaki, atau tidak ada kaitannya.
Shok anafilaksis pada penggunaan antbiotik golongan penisilin. Mengantuk pada penggunaan CTM
Peresepan obat yang tidak rasional. Kesalahan perhitungan dosis pada peracikan. Ketidakpatuhan pasien sehingga terjadi dosis berlebih. (sebaiknya istilah ini dihindarkan)
Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah di atas beserta contohnya sehingga dapat membedakan dan mengidentifikasi kejadiankejadian yang berkaitan dengan cedera akibat penggunaan obat dalam melaksanakan program Keselamatan pasien. Berdasarkan laporan IOM (Institute of Medicine) tentang adverse event yang dialami pasien, disebutkan bahwa insiden berhubungan dengan pengobatan menempati urutan utama. Disimak dari aspek biaya, kejadian 459 adverse drug event dari 14732 bernilai sebesar $348 juta, senilai $159 juta yang dapat dicegah (265 dari 459 kejadian). Sebagian besar tidak menimbulkan cedera namun tetap menimbulkan konsekuensi biaya. Atas kejadian tersebut, IOM merekomendasikan untuk : a. Menetapkan suatu fokus nasional terhadap isu tersebut b. Mengembangkan suatu sistem pelaporan kesalahan secara nasional c. Meningkatkan standar organisasi d. Menciptakan sistem keselamatan dalam organisasi kesehatan. Penelitian terbaru (Allin Hospital) menunjukkan 2% dari pasien 107 masuk rumah sakit mengalami adverse drug event yang berdampak meningkatnya Length Of Stay (LOS) 4.6 hari dan meningkatkan biaya kesehatan $ 4.7000 dari setiap pasien yang masuk rumah sakit. Temuan
ini merubah tujuan pelayanan farmasi rumah sakit tersebut : a fail-safe system that is free of errors. Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM) antara 2001-2003 menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97% pasien Intensive Care Unit (ICU) antara lain dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru dan cara pemberian yang tidak tepat. Lingkup perpindahan/perjalanan obat (meliputi obat, alat kesehatan, obat untuk diagnostik, gas medis, anastesi) : obat dibawa pasien di komunitas, di rumah sakit, pindah antar ruang, antar rumah sakit, rujukan, pulang, apotek, praktek dokter. Multidisiplin problem, dipetakan dalam proses penggunaan obat : pasien/care giver, dokter, apoteker, perawat, tenaga asisten apoteker, mahasiswa, teknik, administrasi, pabrik obat. Kejadian medication error dimungkinkan tidak mudah untuk dikenali, diperlukan kompetensi dan pengalaman, kerjasama-tahap proses. Tujuan utama farmakoterapi adalah mencapai kepastian keluaran klinik sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan risiko baik yang tampak maupun yang potensial meliputi obat (bebas maupun dengan resep), alat kesehatan pendukung proses pengobatan (drug administration devices). Timbulnya kejadian yang tidak sesuai dengan
tujuan
(incidence/hazard)
dikatakan
sebagai
drug
mis-
adventuring, terdiri dari medication errors dan adverse drug reaction. Ada beberapa pengelompokan dalam medication error sesuai dengan dampak dan proses (tabel 2 dan 3). Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai dasar analisa dan intervensi yang tepat. Tabel 2. Indeks medication errors untuk kategorisasi errors (berdasarkan dampak) Errors No error
Error, no harm
Kategori A
Kejadian atau yang berpotensi untuk terjadinya kesalahan
B
Terjadi kesalahan sebelum obat mencapai pasien
C D
Error, harm
Hasil
E
Terjadi kesalahan dan obat sudah diminum/digunakan pasien tetapi tidak membahayakan pasien Terjadinya kesalahan, sehingga monitoring ketat harus dilakukan tetapi tidak membahayakan 108pasien Terjadi kesalahan, hingga terapi dan intervensi lanjut diperlukan dan kesalahan ini memberikan efek
F G H Error, death
I
yang buruk yang sifatnya sementara Terjadi kesalahan dan mengakibatkan pasien harus dirawat lebih lama di rumah sakit serta memberikan efek buruk yang sifatnya sementara Terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek buruk yang bersifat permanen Terjadi kesalahan dan hampir merenggut nyawa pasien, contoh syok anafilaktik Terjadi kesalahan dan pasien meninggal dunia
Tabel 3. Jenis-jenis medication errors (berdasarkan alur proses pengobatan) Tipe medication errors Unauthorized drug Improper dose/quantity Wrong dose preparation method Wrong dose form Wrong patient Omission error
Extra dose Prescribing error Wrong administration technique Wrong time
Keterangan Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien padahal diresepkan oleh bukan dokter yang berwenang Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam resep Penyiapan/ formulasi atau pencampuran obat yang tidak sesuai Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara pemberian yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan di dalam resep Obat diserahkan atau diberikan pada pasien yang keliru yang tidak sesuai dengan yang tertera di resep Gagal dalam memberikan dosis sesuai permintaan, mengabaikan penolakan pasien atau keputusan klinik yang mengisyaratkan untuk tidak diberikan obat yang bersangkutan Memberikan duplikasi obat pada waktu yang berbeda Obat diresepkan secara keliru atau perintah diberikan secara lisan atau diresepkan oleh dokter yang tidak berkompeten Menggunakan cara pemberian yang keliru termasuk misalnya menyiapkan obat dengan teknik yang tidak dibenarkan (misalkan obat im diberikan iv) Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal 109 pemberian atau diluar jadwal yang ditetapkan
JCAHO (2007) menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis dalam proses manajemen obat : sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage, distribution), sistem permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering and transcribing), sistem penyiapan, labelisasi/etiket, peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi (preparing dan dispensing), teknik penggunaan
obat
pasien
(administration),
pemantauan
efektifitas
penggunaan (monitoring). Di dalamnya termasuk sistem kerjasama dengan
tenaga
kewenangannya,
kesehatan, sistem
terkait
pelaporan
baik
kompetensi
masalah
obat
maupun
dengan
upaya
perbaikan, informasi obat yang selalu tersedia, keberadaan apoteker dalam pelayanan, adanya prosedur khusus obat dan alat yang memerlukan perhatian khusus karena dampak yang membahayakan. WHO dalam developing pharmacy practice-a focus on patient care membedakan tentang praktek farmasi (berhubungan dengan pasien langsung) dan pelayanan farmasi (berhubungan dengan kualitas obat dan sistem proses pelayanan farmasi)
Praktek pekerjaan kefarmasian meliputi obat-obatan, pengadaan produk farmasi dan pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan.
Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan oleh tenaga farmasi dalam mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar
suplai
pendidikan
obat-obatan, dan
jasa
komunikasi
kefarmasian
untuk
meliputi
informasi,
mempromosikan
kesehatan
masyarakat, pemberian informasi obat dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf.
Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan pelayanan lain untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan manfaat yang terbaik. Klasifikasi
aktivitas
apoteker
(American
Association/APha) a) Memastikan terapi dan hasil yang sesuai 110 o Memastikan farmakoterapi yang sesuai
Pharmacists
o Memastikan kepahaman atau kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatannya o Monitoring dan pelaporan hasil b) Dispensing obat dan alat kesehatan o Memproses resep atau pesanan obat o Menyiapkan produk farmasi o Mengantarkan obat atau alat kesehatan c) Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit o Pengantaran jasa penanggulangan klinis o Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat o Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat d) Manajemen sistem kesehatan o Pengelolaan praktek o Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan o Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan o Partisipasi dalam aktivitas penelitian o Kerjasama antardisiplin Pada tahun 1998, FIP menerbitkan suatu statemen tentang Standard
profesional
mengenai
kesalahan
pengobatan
yang
berhubungan dengan peresepan obat dengan tujuan mendefinisikan istilah "kesalahan pengobatan" dan untuk menyarankan suatu tatanama standard untuk mengkategorikan hal-hal seperti kesalahan dan disain sistemnya untuk meningkatkan keselamatan dalam pabrikasi,
pemesanan,
pelabelan,
penyiapan,
administrasi
dan
penggunaan obat. Dalam relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagi penyedia obat (pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan berubahnya situasi secara cepat di sistem kesehatan, praktek asuhan kefarmasian diasumsikan 111 apoteker bertanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak hanya
menerima
asumsi
tersebut.
Dengan
demikian
apoteker
bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya, kualitas, hasil pelayanan kefarmasian. Dalam aplikasi praktek pelayanan kefarmasian untuk keselamatan pasien terutama medication error adalah : menurunkan risiko dan promosi penggunaan obat yang aman. Berbagai
metode
pendekatan
organisasi
sebagai
upaya
menurunkan medication error yang jika dipaparkan menurut urutan dampak efektifitas terbesar adalah : a. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function & constraints) suatu
upaya
mendesain
sistem
yang
mendorong
seseorang
melakukan hal yang baik, contoh : sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% NaCl 0.9%, karena sediaan di pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi) b. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry) : membuat statis /robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti dengan ”/tanda peringatan” jika di luar standar (ada penanda otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g) c. Standard dan protokol, standarisasi prosedur : menetapkan standar berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan penting. d. Sistem daftar tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini diperlukan pemetaan analisis titik kritis dalam sistem. e. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien. contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker f. Pendidikan dan 112 Informasi : penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang
prosedur
untuk
meningkatkan
kompetensi
dan
mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi g. Lebih hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif untuk mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan. C. PERAN APOTEKER DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN PASIEN Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di perhatikan. Dari data-data yang termuat dalam bab terdahulu disebutkan sejumlah pasien mengalami cedera
atau
mengalami
insiden
pada
saat
memperoleh
layanan
kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih. Saat ini di negara-negara maju sudah ada apoteker dengan spesialisasi khusus menangani medication safety. Peran Apoteker pada Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi : 1) Mengelola laporan medication error -
Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
-
Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2) Mengidentifikasi
pelaksanaan
praktek
profesi
terbaik
untuk
menjamin medication safety -
Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
-
Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
-
Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering terjadi atau berulangnya insiden sejenis
3) Mendidik staf dan edukasi sosialisasi terhadap klinisi terkait, untuk 113 menggalakkan praktek pengobatan yang aman
-
Mengembangkan
program
pendidikan
untuk
meningkatkan
medication safety dan kepatuhan terhadap aturan/SPO yang ada 4) Berpartisipasi dalam komite yang berhubungan dengan medication safety -
Komite Keselamatan Pasien RS
-
Dan komite terkait lainnya
5) Terlibat dalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat 6) Monitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan keselamatan pasien yang ada Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi
pemilihan
perbekalan
farmasi,
pengadaan,
penerimaan,
penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian (misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya
melalui
kegiatan
farmasi
klinik
terbukti
memiliki
konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan. Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi : 1) Pemilihan Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan dengan pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai formularium. 2) Pengadaan Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai peraturan114 yang berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.
3) Penyimpanan Hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
dalam
penyimpanan
untuk
menurunkan kesalahan pengambilan obat dan menjamin mutu obat : -
Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names) secara terpisah dengan penandaan LASA
-
Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus dengan penandaan. Misalnya : o menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik. o kelompok obat antidiabetes jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah
-
Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4) Skrining Resep Apoteker
dapat
berperan
nyata
dalam
pencegahan
terjadinya
medication error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien. -
Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan tanggal lahir/nomor rekam medik/ nomor resep,
-
Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter penulis resep.
-
Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan pemberian obat, seperti : o Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang menerima
115 obat-obat
dengan
keperluan perhitungan dosis.
indeks
terapi
sempit
untuk
o Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti pada penurunan fungsi ginjal). -
Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
-
Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penghentian otomatis (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
-
Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
5) Dispensing -
Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SPO.
-
Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat mengembalikan obat ke rak.
-
Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda (assembly line process)
-
Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
6) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai halhal yang penting tentang obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien 116 adalah :
-
Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan obat dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan kembali ke dokter
-
Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
-
Potensi kejadian Tidak Diharapkan (KTD), interaksi obat dengan obat lain dan makanan harus dijelaskan kepada pasien
-
Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang mengakibatkan cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi
mengenai
bagaimana
cara
mengatasi
kemungkinan
terjadinya ADR tersebut -
Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah rusak atau kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang terlewatkan pada proses sebelumnya.
7) Penggunaan Obat Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang perlu diperhatikan adalah prinsip 5 (Lima) Benar :
Benar pasien Benar obat Benar dosis Benar waktu pemberian Benar cara (rute) pemberian 8) Monitoring dan Evaluasi Apoteker
harus
melakukan
monitoring
dan
evaluasi
untuk
mengetahui efek terapi, mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan kesalahan. 117 ada di tempat pelayanan kefarmasian harus Seluruh personel yang terlibat didalam program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara terus menerus mengidentifikasi masalah dan
mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien. Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara lain : a) Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi) Kegagalan
dalam
berkomunikasi
terjadinya
kesalahan.
Institusi
merupakan pelayanan
sumber
utama
kesehatan
harus
menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan
membuat
SOP
bagaimana
resep/permintaan
obat
dan
informasi obat lainnya dikomunikasikan. Komunikasi kesehatan
baik lainnya
antar perlu
apoteker
maupun
dilakukan
dengan
dengan
jelas
petugas untuk
menghindari penafsiran ganda atau ketidak lengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai b) Kondisi lingkungan Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah. -
Gangguan/interupsi pada saat bekerja Gangguan/interupsi harus diminimalisir seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
-
Beban kerja 118 Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
-
Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan 7 (Tujuh) Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety): 1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. -
Adanya
kebijakan
Instalasi
Farmasi
RS/Sarana
Pelayanan
Kesehatan lainnya tentang Keselamatan Pasien yang meliputi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC),
Kejadian
Sentinel,
dan
langkah-langkah
yang
harus
dilakukan oleh apoteker dan tenaga farmasi, pasien dan keluarga jika terjadi insiden. -
Buat, sosialisasikan dan terapkan SPO sebagai tindak lanjut setiap kebijakan
-
Buat buku catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel kemudian laporkan ke atasan langsung
2. Pimpin dan Dukung Staf Anda Bangun
komitmen
dan
fokus
yang
kuat
dan
jelas
tentang
keselamatan pasien di tempat pelayanan (depo farmasi, unit logistik, unit farmasi klinik dan PIO) -
Adanya suatu tim di Instalasi Farmasi/Apotek yang bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien
-
Tunjuk staf Instalasi Farmasi yang bisa menjadi penggerak dan mampu mensosialisasikan program (leader)
-
Adakan pelatihan untuk staf dan pastikan pelatihan ini diikuti oleh seluruh staf dan tempatkan staf sesuai kompetensi. Staf 119 farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SPO yang berkaitan dengan proses dispensing yang akurat, mengenai nama
dan
bentuk
obat-obat
formularium/non
yang
formularium,
asuransi/non-asuransi,
membingungkan, obat-obat
obat-obat
baru
yang
dan
obat-obat ditanggung
obat-obat
yang
memerlukan perhatian khusus. Disamping itu petugas farmasi harus mewaspadai dan mencegah medication error
yang dapat
terjadi. -
Tumbuhkan budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar staf berani melaporkan setiap insiden yang terjadi
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang bisa menyebabkan masalah. -
Buat kajian setiap adanya laporan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel
-
Buat solusi dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan mengevaluasi SPO yang ada atau mengembangkan SPO jika perlu
4. Kembangkan Sistem Pelaporan -
Pastikan semua staf Instalasi Farmasi dengan mudah dapat melaporkan insiden kepada atasan langsung tanpa rasa takut
-
Beri penghargaan pada staf yang melaporkan
5. Libatkan dan Komunikasi Dengan Pasien Kembangkan cara komunikasi yang terbuka dan mendengarkan pasien -
Pastikan
setiap
penyerahan
obat
diikuti
dengan
pemberian
Informasi yang jelas dan tepat -
Dorong pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan apoteker tentang obat yang diterima
-
Lakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga bila ada insiden serta berikan solusi tentang insiden yang dilaporkan
6. Belajar dan Berbagi 120 Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien Dorong staf untuk melakukan analisis penyebab masalah
-
Lakukan kajian insiden dan sampaikan kepada staf lainnya untuk menghindari berulangnya insiden
7. Cegah KTD, KNC dan Kejadian Sentinel dengan cara : -
Gunakan informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden dan audit serta analisis untuk menentukan solusi
-
Buat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design system), penyesuaian SPO yang menjamin keselamatan pasien
-
Sosialisasikan solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi.
D. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN 1. Pelaporan Insiden Dan Prosedur Pelaporan Insiden Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan Kejadian Sentinel masih sangat langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian baik di rumah sakit maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan pelaporan
semua
kejadian
terkait
dengan
keselamatan
pasien
meliputi KTD, KNC, dan Kejadian Sentinel. Pelaporan di rumah sakit dilakukan sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) dan Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang dikeluarkan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Kejadian
pelayanan
farmasi
terkait
dengan
komunitas
di
keselamatan Indonesia
pasien
belum
dalam
mempunyai
panduan pelaporan, sehingga kegiatan yang dilakukan adalah pencatatan
untuk
monitoring
dan
evaluasi.
Tujuan
dilakukan
pelaporan Insiden Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan Insiden Keselamatan Pasien yang terkait dengan KTD, KNC dan Kejadian
Sentinel
serta
meningkatkan
mutu
pelayanan
dan
keselamatan pasien. Sistem pelaporan mengharuskan semua orang dalam organisasi untuk peduli terhadap bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi 121 pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan
menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Setiap kejadian dilaporkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan formulir yang sudah disediakan di rumah sakit untuk diinvestigasi. Prosedur pelaporan insiden, sebagai berikut : -
Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi.
-
Laporan insiden dapat dibuat oleh siapa saja atau staf farmasi yang pertama kali menemukan kejadian atau terlibat dalam kejadian.
-
Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir Laporan Insiden” yang bersifat rahasia
2. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di RS (Internal) a) Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan
pelayanan
kefarmasian,
wajib
segera
ditindaklanjuti
(dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/ akibat yang tidak diharapkan. b) Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab, jangan menunda laporan (paling lambat 2 x 24 jam) c) Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab d) Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap insiden yang dilaporkan. e) Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan : -
Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 1 minggu
-
Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 2 minggu
-
Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis 122 (RCA) oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari
-
Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari
f) Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS. g) Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA) dengan melakukan Regrading Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA) h) Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk/Safety alert untuk mencegah kejadian yang sama terulang. i) Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi j) Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada instalasi farmasi. k) Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan kerjanya l) Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.Analisa Matriks Grading Risiko Penilaian matriks risiko bertujuan untuk menentukan derajat risiko suatu insiden berdasarkan dampak dan probabilitasnya. a. Dampak Penilaian dampak adalah seberapa berat akibat yang dialami pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal, seperti tabel berikut. Tabel 4. Penilaian Dampak Klinis/Konsekuensi/Severity Tingkat resiko 1
Deskripsi
2
Tidak signifikan Minor
3
Moderat
123
Dampak Tidak ada cedera - Cedera ringan mis. Luka lecet - Dapat diatasi dengan pertolongan pertama - Cedera sedang mis. Luka robek - Berkurangnya fungsi motorik/sensorik/ psikologis atau intelektual (reversibel), tak berhubungan dengan penyakit
4
Mayor
5
Katastropik
- Setiap kasus yang memperpanjang waktu perawatan - Cedera luas/berat mis. cacat, lumpuh - Kehilangan fungsi motorik / sensorik/ psikologis atau intelektual (irreversibel), tidak berhubungan dengan penyakit Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)
b. Probabilitas Penilaian tingkat probabilitas adalah seberapa seringnya insiden tersebut terjadi, seperti tabel berikut. Tabel 5. Penilaian Probabilitas/Frekuensi Tingkat Resiko 1 2 3 4 5
Deskripsi Sangat jarang / Rare (>5 thn/kali) Jarang / Unlikely (2-5 thn/kali) Mungkin / Possible (1-2 thn/kali) Sering / Likely (beberapa kali/thn) Sangat sering / Almost certain (tiap minggu/bulan)
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)
Setelah nilai dampak dan probabilitas diketahui, masukkan dalam Tabel Matriks Grading Risiko untuk menghitung skor risiko dan mencari warna bands risiko. 2.1. Skor Risiko Untuk menentukan skor risiko, digunakan matriks grading risiko seperti tabel berikut. -
Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
-
Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan
-
Tetapkan warna bands, berdasarkan pertemuan frekuensi dan dampak Tabel 6. Matriks Grading Risiko Probabilitas Sangat sering terjadi (tiap minggu/bulan) 5 Sering terjadi (beberapa kali/thn) 4 Mungkin terjadi (1-2 thn/kali)
Tidak signifikan 1
Minor 2
Moderat 3
Mayor 4
Katastropik 5
Moderat
Moderat
Tinggi
Ekstrem
Ekstrem
Moderat 124
Moderat
Tinggi
Ekstrem
Ekstrem
Rendah
Moderat
Tinggi
Ekstrem
Ekstrem
3 Jarang terjadi (2-5 thn/kali) 2 Sangat jarang terjadi (> 5 thn/kali) 1
Rendah
Rendah
Moderat
Tinggi
Ekstrem
Rendah
Rendah
Moderat
Tinggi
Ekstrem
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)
Skor risiko akan menentukan prioritas risiko. Jika pada penilaian risiko ditemukan dua insiden dengan hasil skor risiko yang nilainya
sama,
maka
untuk
memilih
prioritasnya,
dapat
menggunakan warna bands risiko. Skala prioritas bands risiko adalah : o Bands Biru : Rendah / Low o Bands Hijau : Sedang / Moderat o Bands Kuning : Tinggi / High o Bands Merah : Sangat Tinggi / Ekstreme 2.2. Bands Risiko Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat warna yaitu : Biru, Hijau, Kuning dan Merah, dimana warna akan menentukan investigasi yang akan dilakukan. -
Bands Biru dan Hijau : Investigasi sederhana
-
Bands Kuning dan Merah : Investigasi Komprehensif / RCA Tabel 7. Tindakan sesuai Tingkat dan Bands risiko Levels/Bands Ekstrim (sangat tinggi) High (tinggi)
Moderat (sedang)
Low (rendah)
125
Tindakan Risiko ekstrim, dilakukan RCA paling lama 45 hari Membutuhkan tindakan segera, perhatian sampai ke Direktur Risiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari Kaji dengan detil & perlu tindakan segera serta membutuhkan perhatian top manajemen Risiko sedang, dilakukan investigasi sederhana paling lama 2 minggu. Manajer/Pimpinan klinis sebaiknya menilai dampak terhadap biaya dan kelola risiko Risiko rendah, dilakukan investigasi sederhana, paling lama 1 minggu, diselesaikan dengan prosedur rutin.
(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)
3. Peran Apoteker Dalam Penyusunan Laporan Idealnya setiap KTD/KNC/Kejadian Sentinel yang terkait dengan penggunaan obat harus dikaji terlebih dahulu oleh apoteker yang berpengalaman sebelum diserahkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Tujuan pengkajian untuk memastikan bahwa laporan tersebut sudah sesuai, nama obat yang dilaporkan benar, dan memasukkan dalam kategori insiden yang benar. Kategori kesalahan dalam pemberian obat adalah : -
Pasien mengalami reaksi alergi
-
Kontraindikasi
-
Obat kadaluwarsa
-
Bentuk sediaan yang salah
-
Frekuensi pemberian yang salah
-
Label obat salah / tidak ada / tidak jelas
-
Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak jelas
-
Obat diberikan pada pasien yang salah
-
Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah
-
Jumlah obat yang tidak sesuai ADR ( jika digunakan berulang )
-
Rute pemberian yang salah
-
Cara penyimpanan yang salah
-
Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah
5.
Permasalahan Dalam Pencatatan dan Pelaporan Yang bertangggungjawab dalam pencatatan laporan adalah : -
Staf IFRS/Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang pertama menemukan kejadian atau supervisornya
-
Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang terlibat dengan kejadian atau supervisornya
-
Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang perlu 126 melaporkan kejadian
Masalah yang dihadapi dalam pencatatan dan pelaporan kejadian :
-
Laporan dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”
-
Laporan
sering
tidak
diuraikan
secara
rinci
karena
takut
disalahkan -
Laporan terlambat
-
Laporan kurang lengkap
(cara mengisi form salah, data kurang
lengkap) Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan : a. JANGAN melaporkan insiden lebih dari 24 jam b. JANGAN
menunda
laporan
insiden
dengan
alasan
belum
ditindaklanjuti atau ditandatangani c. JANGAN menambah catatan medis pasien bila telah tercatat dalam laporan insiden d. JANGAN meletakan laporan insiden sebagai bagian dari rekam medik e. JANGAN membuat salinan laporan insiden untuk alasan apapun f. CATATLAH keadaan yang tidak diantisipasi Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan : -
Pandangan
bahwa
kesalahan
adalah
suatu
kegagalan
dan
kesalahan dibebankan pada satu orang saja. -
Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan Kejadian sentinel akan membeberkan keburukan dari personal atau
tim
yang
ada
dalam
rumah
sakit/sarana
pelayanan
kesehatan lain.
6.
-
Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.
-
Laporan disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan
-
Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor
-
Kurangnya sumber daya manusia
-
Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat
-
Sulitnya membuat laporan dan menghabiskan waktu 127
Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat, didokumentasikan di Instalasi Farmasi/ sarana pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut. 1. Monitoring dan Evaluasi Sebagai
tindak
lanjut
terhadap
Program
Keselamatan
Pasien,
Apoteker perlu melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi di unit kerjanya
secara
berkala.
Monitoring
merupakan
kegiatan
pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait Program Keselamatan Pasien. Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian terkait Program Keselamatan Pasien. Tujuan
dilakukan
monitoring
dan
evaluasi
agar
pelayanan
kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan kaidah keselamatan pasien dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan berulang dimasa yang akan datang. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap : -
Sumber daya manusia (SDM)
-
Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi/penggunaan)
-
Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian informasi obat, konseling obat, rekonstitusi obat kanker, iv.admixture, total parenteral nutrition, therapeutic drug monitoring)
-
Laporan yang didokumentasikan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa rekomendasi dan tindak lanjut terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki seperti perbaikan kebijakan, prosedur, peningkatan kinerja SDM, sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi dan tindak lanjut ini harus diumpan balikkan ke semua pihak yang terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit. Untuk mengukur keberhasilan program kegiatan yang telah ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang 128 menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap prosedur yang telah ditetapkan.
Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari : a) Menurunnya angka kejadian tidak diinginkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) dan kejadian sentinel. b) Menurunnya KTD, KNC dan Kejadian Sentinel yang berulang.
BAB VII KESELAMATAN KERJA
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menekan dan mengurangi resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan antara keselamatan dan kesehatan. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya serta cara melakukan pekerjaan. Resiko keselamatan kerja adalah besarnya kemungkinan yang dimiliki oleh suatu bahan, proses atau kondisi untuk menimbulkan terjadinya insiden, injury, 129 terhentinya proses dan kerusakan alat.
Tujuan umum kesehatan keselamatan kerja adalah meningkatnya kemampuan hidup sehat masyarakat pekerja di rumah sakit guna mencapai derajat kesehatan yang optimal dalam rangka meningkatkan SDM untuk meningkatkan produktivitas kerja. Tujuan khusus kesehatan keselamatan kerja adalah : a. Terbentuk dan terbukanya unit organisasi pembina dan pelaksana K3 di rumah sakit melalui kerja sama lintas program dan lintas unit atau instansi. b. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kerja paripurna untuk masyarakat pekerja rumah sakit. c. Terpenuhinya syarat-syarat K3 di berbagai jenis pekerjaan di rumah sakit. d. Meningkatnya kemampuan masyarakat pekerja di rumah sakit dalam menolong diri sendiri dari ancaman gangguan dan resiko K3 e. Meningkatnya profesionalisme di bidang K3 bagi para pembina, pelaksana, penggerak, dan pendukung program K3 dirumah sakit f. Terlaksananya sistem informasi K3 dan jaringan pelayanan kesehatan kerja di rumah sakit. Keselamatan kerja sangat dipengaruhi oleh : a. Karakteristik pekerjaan o kompleksitas pekerjaan o lamanya kegiatan dilakukan o level kegiatan b. Pengorganisasian dan managemen perusahaan c. Bahan dan alat yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan d. Karakteristik manusia yang melaksanakan kegiatan Upaya keselamatan kerja : a. Kontak dengan bahan korosif harus ditiadakan atau ditukar sekecil mungkin b. Semua wadah, pipa, peralatan, instalasi, dan bangunan yang dipergunakan harus tahan terhadap korosi dengan suatu pelapis bahan yang tahan kotor. Pemberian label dan tanda harus dilakukan kebersihannya dan data 130 kerja yang baik harus diselenggarakan. c. Ventilasi umum dan setempat harus memadai
d. Bahan korosif, apabila bersentuhan dengan bahan organik akan menimbulkan kebakaran dan penanggulangan kebakaran harus diadakan dengan sebaik baiknya e. Setiap proses produksi baru yang menghasilkan produk yang bersifat korosif agar dilakukan pencegahan yang tepat f. Pencegahan kontak dengan bahan korosif, tenaga kerja dapat menggunakan alat proteksi diri secara lengkap terdiri dari pakaian keseluruhan pelindung kaki, tangan, dan lengan, kepala, mata, dan muka. g. Kontak ringan dengan krim pelindung h. Keseluruhan tenaga kerja harus memperoleh perjalanan yang cukup dan terlatih dalam menghadapi resiko. i. Untuk pertolongan pertama, air untuk mandi, cuci, dan air untuk membersihkan mata perlu disediakan, dan penggunaan air untuk penetral sebaiknya tidak digunakan.
131
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU
Pengendalian Mutu adalah mekanisme kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu serta
menyediakan
mekanisme
tindakan
yang
diambil.
Melalui
pengendalian mutu diharapkan dapat terbentuk proses peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian yang berkesinambungan. Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang dapat dilakukan terhadap kegiatan yang sedang berjalan maupun yang sudah berlalu.Kegiatan ini dapat dilakukan melalui monitoring dan evaluasi. Tujuan kegiatan ini untuk menjamin Pelayanan Kefarmasian yang sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan upaya perbaikan kegiatan yang akan datang. Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian harus terintegrasi dengan program pengendalian mutu pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi: a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan. b. Pelaksanaan, yaitu: 1.
Monitoring
dan
evaluasi
capaian
pelaksanaan
rencana
kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); 2. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian. c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu: 1. Melakukan
perbaikan
kualitas
pelayanan
sesuai
target
yang
ditetapkan; 2. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Tahapan program pengendalian mutu: 132 a. Mendefinisikan kualitas Pelayanan Kefarmasian yang diinginkan dalam bentuk kriteria;
b.
Penilaian
kualitas
Pelayanan
Kefarmasian
yang
sedang
berjalan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan; c. Pendidikan
personel
dan
peningkatan
fasilitas
pelayanan
bila
diperlukan; d. Penilaian ulang kualitas Pelayanan Kefarmasian; e. Up date kriteria. Langkah–langkah dalam aplikasi program pengendalian mutu, meliputi: a. Memilih subyek dari program; b. Tentukan jenis Pelayanan Kefarmasian yang akan dipilih berdasarkan prioritas; c. Mendefinisikan kriteria suatu Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan kualitas pelayanan yang diinginkan; d. Mensosialisasikan kriteria Pelayanan Kefarmasian yang dikehendaki; e. Dilakukan sebelum program dimulai dan disosialisasikan pada semua personil serta menjalin konsensus dan komitmen bersama untuk mencapainya; f.
Melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang sedang berjalan menggunakan kriteria;
g. Apabila ditemukan kekurangan memastikan penyebab dari kekurangan tersebut; h. Merencanakan formula untuk menghilangkan kekurangan; i.
Mengimplementasikan formula yang telah direncanakan;
j.
Reevaluasi dari mutu pelayanan. Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan
indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Indikator dibedakan menjadi: a. Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan untuk mengukur
terpenuhi
tidaknya
lingkungan. 133
standar
masukan,
proses,
dan
b. Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan untuk mengukur tercapai tidaknya standar penampilan minimal pelayanan yang diselenggarakan. Indikator atau kriteria yang baik sebagai berikut: a. Sesuai dengan tujuan; b. Informasinya mudah didapat; c. Singkat, jelas, lengkap dan tak menimbulkan berbagai interpretasi; d. Rasional. Dalam
pelaksanaan
pengendalian
mutu
Pelayanan
Kefarmasian
dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang harus dapat dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi sendiri atau dilakukan oleh tim audit internal. Monitoring dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian secara
terencana,
sistematis
dan
terorganisir
sebagai
umpan
balik
perbaikan sistem dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan terhadap seluruh proses tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, dibagi menjadi 3 (tiga) jenis program evaluasi, yaitu: a. Prospektif adalah program dijalankan sebelum pelayanan dilaksanakan, contoh: standar prosedur operasional, dan pedoman. b. Konkuren adalah program dijalankan bersamaan dengan pelayanan dilaksanakan,
contoh:
memantau
kegiatan
konseling
Apoteker,
peracikan Resep oleh Asisten Apoteker. c. Retrospektif adalah program pengendalian yang dijalankan setelah pelayanan dilaksanakan, contoh: survei konsumen, laporan mutasi barang, audit internal. Evaluasi Mutu Pelayanan merupakan proses pengukuran, penilaian atas semua kegiatan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit secara berkala. Kualitas pelayanan meliputi: teknis pelayanan, proses pelayanan, tata cara/standar prosedur operasional, waktu tunggu untuk mendapatkan 134 pelayanan.
Metoda evaluasi yang digunakan, terdiri dari: a. Audit (pengawasan) Dilakukan terhadap proses hasil kegiatan apakah sudah sesuai standar. b. Review (penilaian) Terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber daya, penulisan Resep. c. Survei Untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket atau wawancara langsung. d. Observasi Terhadap kecepatan pelayanan misalnya lama antrian, ketepatan penyerahan Obat.
Pengendalian Mutu adalah mekanisme kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil. Melalui pengendalian mutu diharapkan dapat terbentuk proses peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian yang berkesinambungan. Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang dapat dilakukan terhadap kegiatan yang sedang berjalan maupun yang sudah berlalu. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui monitoring dan evaluasi. Tujuan kegiatan ini untuk menjamin Pelayanan Kefarmasian yang sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan upaya perbaikan kegiatan yang akan datang. Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian harus terintegrasi dengan program pengendalian mutu pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi : a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan. b. Pelaksanaan, yaitu : 135 - melaksanakan monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja (membandingkan antara capaian dengan rencana kerja);
-
memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu : -
melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai target yang ditetapkan;
-
meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Tahapan program pengendalian mutu a. Mendefinisikan
kualitas
Pelayanan
Kefarmasian
dalam
bentuk
kriteria; b. Penilaian kualitas Pelayanan Kefarmasian yang sedang berjalan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan; c. Pendidikan
personel
dan
peningkatan
fasilitas
pelayanan
bila
diperlukan; d. Penilaian ulang kualitas Pelayanan Kefarmasian; e. Up date kriteria. Langkah–langkah dalam aplikasi program pengendalian mutu, meliputi : a. memilih subyek dari program b. tentukan jenis Pelayanan Kefarmasian yang akan dipilih berdasarkan prioritas; c. mendefinisikan kriteria suatu Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan kualitas pelayanan yang diinginkan; d. mensosialisasikan kriteria Pelayanan Kefarmasian yang dikehendaki; e. dilakukan sebelum program dimulai dan disosialisasikan pada semua personil serta menjalin konsensus dan komitmen bersama untuk mencapainya; f. melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang sedang berjalan menggunakan kriteria; g. apabila
ditemukan
kekurangan
memastikan
penyebab
dari
kekurangan tersebut; h. merencanakan formula untuk menghilangkan kekurangan; i. mengimplementasikan formula yang telah direncanakan; j. re-evaluasi dari mutu pelayanan Untuk
mengukur
pencapaian
standar
yang
telah
ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap 136 standar yang telah ditetapkan.
Dalam pelaksanaan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang harus dapat dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi sendiri atau dilakukan oleh tim audit internal. Monitoring dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian secara terencana, sistematis dan terorganisir sebagai umpan balik perbaikan
sistem
dalam
rangka
meningkatkan
mutu
pelayanan.
Monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan terhadap seluruh proses tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai ketentuan yang berlaku.
A. MONITORING MUTU Salah
satu
upaya
untuk
mempertahankan
mutu
pengelolaan
perbekalan farmasi di RSUD Tidar adalah melakukan monitoring dan evaluasi (monev) mutu. Kegiatan ini bermanfaat sebagai masukan penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan. Monitoring mutu berupa pengukuran indikator mutu instalasi farmasi yang sudah ditetapkan.
B. PENGENDALIAN MUTU Mutu perbekalan farmasi yang rendah dapat mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan, diantaranya dapat menyebabkan rendahnya efek terapi/ efek terapi sub standar dan dapat menimbulkan efek samping maupun efek toksik obat. Kedua hal tersebut dapat berpengaruh terhadap keselamatan penderita serta pemborosan sumber daya. Pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang efisien di RSUD Tidar akan dapat meningkatkan ketersediaan obat dengan mutu yang memadai sebagai bentuk penghematan. Apoteker di IFRS mempunyai peran penting dalam menjamin mutu obat yang baik serta pengelolaan perbekalan farmasi yang efektif. Tujuan dalam pengendalian mutu perbekalan farmasi adalah untuk menjamin mutu obat yang ada di rumah sakit sesuai dengan standar yang berlaku.
137
Ada beberapa kegiatan pengendalian mutu yang dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi RSUD Tidar antara lain :
a. Pengendalian Secara Organoleptis Mutu obat yang disimpan di gudang dapat mengalami perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi. Perubahan mutu obat dapat diamati secara visual dan jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara organoleptis, maka harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium. Program
pengendalian
mutu
obat
secara
organoleptis
tidak
membutuhkan beaya dan dapat dilakukan secara periodik oleh IFRS. 1. Tanda-tanda perubahan mutu obat : a. Tablet -
Terjadinya perubahan warna, bau dan rasa
-
Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, berlubang, pecah, retak, terdapat benda asing, jadi bubuk atau lembab
-
Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
b. Kapsul -
Perubahan warna kapsul
-
Kapsul terbuka, kosong rusak atau cangkang kapsul melekat
c. Tablet salut -
Pecah-pecah, terjadi perubahan warna
-
Basah dan lengket satu sama lain
-
Kaleng/botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
d. Cairan -
Menjadi keruh dan terjadi endapan
-
Konsistensi berubah
-
Warna atau rasa berubah
-
Botol-botol plastik rusak atau bocor
e. Salep -
138 Warna berubah
-
Konsistensi berubah
-
Pot atau tube rusak
-
Bau berubah
f. Injeksi -
Kebocoran wadah (ampul, vial)
-
Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi
-
Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan
-
Warna larutan berubah
Tindak lanjut terhadap obat yang terbukti rusak adalah : o Dikumpulkan dan disimpan terpisah o Dikembalikan/diklaim sesuai aturan yang berlaku o Dihapuskan sesuai aturan yang berlaku 2. Pengamatan mutu untuk alat-alat kesehatan : Beberapa aspek yang dapat dijadikan dasar pengamatan mutu alat kesehatan antara lain : -
Masa kadaluarsa, diperhatikan apakah masa kadaluarsanya sudah
terlampaui
atau
belum.
Jika
sudah
lewat
masa
kadaluarsa jangan mengambil resiko untuk menggunakannya. -
Waktu produksi, dicermati kapan produksi alkes tersebut apakah melebihi waktu kadaluarsa atau belum.
-
Kemasan, jika kemasan rusak sekalipun masa kadaluarsanya belum terlampaui sebaiknya jangan digunakan.
-
Penampilan fisik, kondisi penampilan fisik yang nampak masih sama dengan produk alkes baru dapat dijadikan pertimbangan apakah produk alkes masih dapat digunakan.
-
Dapat dilakukan konsultasi dengan user.
b. Pengendalian Secara Laboratoris Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari pengendalian mutu obat dengan cara organoleptis. Terdapat 2 (dua) hal yang perlu mendapat 139 perhatian dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah :
-
kriteria perbekalan farmasi yang perlu diuji merupakan sediaan farmasi steril yang diproduksi di rumah sakit, atau produk yang diragukan mutunya.
-
mekanisme
pengujian
dapat
dilakukan
oleh
laboratorium
kesehatan, Balai Besar POM, Sucofindo, Fakultas Farmasi, dan laboratorium yang telah terakreditasi, jika hasil pengujian masih meragukan. -
hal-hal yang perlu diuji secara : kualitatif, kuantitatif, sterilitas, efektifitas.
Pengendalian mutu obat secara laboratoris ini belum dilakukan oleh IFRS Tidar karena belum adanya sarana, prasarana, fasilitas dan anggaran pengujian untuk itu.
140
BAB IX PENUTUP
Adanya penetapan Pedoman Pelayanan Instalasi Farmasi di RSUD Tidar ini, diharapkan sistem pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kefarmasian di rumah sakit akan menjadi lebih baik dan dapat menjamin keselamatan pasien (patient safety). Apoteker yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Sehingga dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit diperlukan komunikasi efektif, komitmen, kerjasama dan koordinasi yang lebih baik antara tenaga kefarmasian dengan profesional pemberi asuhan (PPA), manajemen, dan pihak terkait dalam rangka pelayanan kesehatan paripurna di rumah sakit. Dengan demikian, diharapkan pada akhirnya pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat di RSUD Tidar akan dirasakan langsung manfaatnya
oleh
pasien/masyarakat
yang
pada
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan RSUD Tidar.
141
gilirannya
dapat
DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang Undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
11
Tahun
2017
tentang
Keselamatan Pasien; Peraturan Kepala Badan POM Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian.
142