Pembangunan Tanaman Non Pangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMBANGUNAN TANAMAN NON PANGAN Pembahasan sampai sejauh ini terfokus pada kebijaksanaan tanaman pangan, sehingga memberikan kesan bahwa sektor pertanian di Indonesia adalah pangan saja. Sudah pasti hal yang demikian ini merupakan tidak tepat. Pada tanaman pangan pun tidak hanya padi, melainkan juga meliputi tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan tanaman pangan lainnya. Tanaman pangan jenis inipun sesungguhnya mendapat perhatian pengembangannya. Misalnya saja pemerintah mengenalkan bibit unggul untuk kedelai, jagung dan sebagainya. Teknologi pengembangannya juga dikenalkan namun tidak dengan paket kredit seperti halnya pada Bimnas padi. Perkembangan Subsektor Perkebunan Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan ini sering juga disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon dan tanaman kas (cash crops). Perkembangan tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan kepada perusahaan besar perkebunan milik swasta Belanda, dan untuk perkebunan rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini tumbuh di ladang (lahan kering) dan oleh karena kurangnya perhatian pemerintah, pada jaman penjajahan Belanda sampai dengan akhir pemerintahan Sukarno dan awal pemerintahan Suharto, banyak ladang milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami. Setelah kira-kira pertengahan 1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah barulah tanaman non pangan tersebut diperhatikan pemerintah. Kalau di departemen Pertanian terdapat Direktorat Pangan dan Direktorat Tanaman Perkebunan (non Pangan), sementara Direktorat Pangannya sangat sibuk mengurus perkebunan Bimas-Inmas, maka Direktorat Tanaman



Perkebunan pun tidak bisa



berpangku tangan saja. Mereka juga mengembangkat bibit unggul dan tanaman perkebuna baru di antaranya, tanaman kakao, panili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dan sebagainya. Bibit unggul ini juga disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit, sehingga dikenal dengan adannya RPTE (Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk di daerah Bali dan daerah lainnya, tanaman perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan panili. Petani berlomba-lomba menanamnya. Pendekatannya hamper sama dengan di bidang beras yakni induced technology, dengan dan tanpa kredit, yakni pendekatan produksi.



Kalau dalam hal padi dibentuk lembaga pemasarannya (seperti gudang, transportasi, lembaga keuangan, dan lain-lain) oleh pemerintah, tidak demikian halnya dengan pemasaran untuk tanaman pohon. Setelah produksi berhasil ditingkatkan dengan sangat dramatis, masalah pemasarannya terserah kepada rakyat. Jadi panen yang berlimpah itu ternyata agak terlantar. Timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok baru agar cengkeh rakyat tertampung , juga gagasan mendirikan badan penyangga harga untuk komoditas tertentu seperti halnya Bulog untuk padi. Yang telah terbentuk atas inisiatif swasta adalah BPPC (badan penyangga pemasaran cengkeh). Namun oleh karena masalah keuangan dan teknis lainnya, BPPC tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk menangani masalah pemasaran cengkeh. Akhirya kepada para petani disarankan untuk menebang pohon cengkehnya dengan biaya sendiri untuk menjaga agar harga tetap stabil. Mengenai kebijakan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan cara yang dilakukan di Negara lain. Misalnya di Brazilia pada saat panen kopi raya, produksi kopi melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi rakyat dan dibuang ke laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan di Negara maju Eropa dan Amerika Serikat, dimana pada saat kelebihan produksi pemerintah membeli hasil produksi rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada pembeli potensial maka disumbangkan ke luar negeri. Itulah sebabnya kita mengenal dan melihat adanya konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah dasar, yang tidak lain merupakan sumbangan Negara maju karena kelebihan produksi. Jadi di Negara maju, stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik dengan cara membuang ke laut (Brazilia), ataupun disumbangkan ke Negara miskin (Amerika Serikat), namun di Indonesia karena kesulitan dana maka diserahkan kepada petani sendiri. Dengan laju pertumbuhan sekitar 4-5% per tahun subsector perkebunan adalah salah satu subsector yang mengalami pertumbunan yang konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan areal perkebunan meningkat dengan laju 2,6% per tahun. pada periode 2000-2003, misalnya total areal pada tahun 2003 mencapai 16.3 juta ha. Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kako, teh, dan tebu), kelapa sawit, karet kakao malah tumbuh lebih pesat dibandingkan tanaman perkebunan lainnya, yakni dengan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5% per tahun (tabel 5.3). Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah



untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut. CPO dari kelapa sawit dan karet merupakan dua komoditas yang mempunyai kontribusi yang dominan. Pertumbuhan produksi komoditas kakao dan kopi juga relatif pesat pada periode tersebut. Meningkatnya harga-harga produk perkebunan sejak 2003 merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan produk tersebut. Baik pada situasi ekonomi normal maupun krisis, subsector perkebunan merupakan subsector yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Peran penting tersebut menyangkut penyediaan lapangan kerja, devisa, pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan dan pelestarian lingkungan. Peran Subsektor Perkebunan dalam Pembangunan Nasional Sebagai salah satu subsector penting dalam sector pertanian, subsector perkebunan secara tradisional mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai Negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsector perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Sampai dengan tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh subsector ini sekitar 17 jutaa jiwa. Jumlah lapangan kerja tersebut belum termasuk yang bekerja pada industry hilir perkebunan. Kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah tersendiri, karena subsector perkebunan menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan daerah terpencil. Subsektor ini mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dari segi nilai absolut berdasarkan harga yang berlaku, PDB terus meningkat dari tahun 2000 sampai tahun 2003 dari sekitar Rp 33,7 triliun menjadi Rp 47,0 triliun, atau dengan laju sekitar 11,7% per tahun. Dengan peningkatan tersebut, kontribusi PDB subsektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian adalah sekitar 16%. Terhadap PDB secara nasional tanpa migas, kontribusi subsektor ini adalah sekitar 2,9% atau sekitar 2,6% PDB total. Sejalan dengan pertumbuhan PDB, subsektor perkebunan mempunyai peran srategis terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali menujukkan peran strategisnya. Pada saat itu, kebanyakan sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan dimana ekonomi Indonesia mengalami krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut,



subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%6% per tahun. Ketika ekonomi Indonesia mulai membaik, kontribusi dalam hal pertumbuhan, terus menunjukkan kinerja yang konsisten. Selama periode 2000-2003, laju pertumbuhan subsektor perkebunan selalu diatas laju pertumbuhan ekonomi secara nasional. Sebagai contoh, pada tahun 2001, ketika laju pertumbuhan ekonomi secara nasional adalah sekitar 3.4%, subsektor perkebunan tumbuh dengan laju sekitar 5.6%. Subsektor perkebunan memiliki posisi yang tidak dapat diremehkan. Perkebunan merupakan salah satu subsektor andalan dalam menyumbang devisa untuk negara melalui orientasi pasar ekspor. Produk karet, kopi, kakao, teh dan minyak sawit adalah produk-produk yang lebih dari 50% dari total produksi adalah untuk ekspor. Hingga tahun 2004, subsektor perkebunan secara konsisten menyumbang devisa dengan dengan rata-rata nilai ekspor produk primernya mencapai US$ 4 miliar per tahun. Nilai tersebut belum termasuk nilai ekspor produk olahan perkebunan, karena ekspor olahan perkebunan dimasukkan pada sektor perindustrian. Peran Subsektor Perkebunan dalam Isu Global Terhadap isu global yang kini menjadi sorotan internasional seperti kemiskinan, ketahanan pangan, dan isu lingkungan/pembangunan berkelanjutan, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang juga tidak dapat diabaikan. Terlepas kegagalan dalam beberapa proyek PIR, pengembangan berbagai program perkebunan juga telah terbukti mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Seperti diketahui, pengurangan jumlah orang miskin adalah tujuan pertama dari Millenium Development Goals (MDGs). Pengembangan perkebunan, khususnya yang berbasis kelapa sawit, dari berbagai studi telah menunjukkan terjadinya pengurangan jumalah penduduk miskin. Suatu studi tahun 2002 menunjukan bahwa jumlah orang miskin di wilayah perkebunan kelapa sawit secara umum kurang dari 6%, sedangkan secara nasional jumlah penduduk miskin adalah sekitar 17%. Peran strategis lain dari subsektor perkebunan dalam isu global yang perlu mendapat perhatian adalah kontribusinya dalam ketahanan pangan. Minyak goreng dan gula merupakan produk perkebunan yang mempunyai peran penting dalam memelihara ketahanan pangan. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa, berusaha memaksimalkan tingkat produksi pangannya dalam upaya mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui, ketahanan pangan merupakan salah satu syarat penting dalam ketahanan nasional.



Akhirnya, subsektor perkebunan juga berperan penting dalam hal isu lingkungan yang merupakan isu global yang secara konsisten gaungnya semakin menguat. Pengembangan komoditas perkebunan di areal yang marginal merupakan wujud kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan/konservasi. Sebagai contoh. pengembangan tanaman teh di daerah pegunungan dengan kemiringan yang tajam dengan kondisi lahan yang kritis, berperan penting dalam konservasi lingkungan. Pengembangan komoditas karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan memperbaiki lingkungan. Pengembangan komoditas kelapa sawit di lahan rawa juga merupakan wujud kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan.