Pembentukan Lahan Marginal Dipengaruhi Oleh Proses Internal Dan Proses Eksternal [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Dani
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMBENTUKAN LAHAN MARGINAL DIPENGARUHI OLEH PROSES INTERNAL DAN PROSES EKSTERNAL



Disusun Oleh : Dani Amar Setiawan 20180210022



BAB 1



Pendahuluan A. LATAR BELAKANG Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus sesuai dengan kemampuannya agar tidak menurunkan produktivitas lahan dengan salah satu jalan perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya. Dalam penggunaan lahan sering tidak memperhatikan kelestarian lahan terutama pada lahan – lahan yang mempunyai keterbatasan-keterbatasaan baik keterbatasan fisik maupun kimia. Lahan tidak terlindung dari pukulan air hujan secara langsung, berkurangnya bahan organik, aliran permukaan lebih besar daripada yang meresap ke dalam tanah dan sebagainya. Dengan adanya kondisi ini apabila berlangsung terus menerus sangat dikhawatirkan akan terjadi lahan kritis yang akan mengakibatkan penurunan kesuburan tanah dan produktivitas tanah. Tanah marginal merupakan tanah yang memiliki mutu rendah karena adanya beberapa faktor pembatas seperti topografi yang miring, dominasi bahan induk, kandungan unsur hara dan bahan organik yang sedikit, kadar lengas yang rendah, ph yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, bahkan terdapat akumulasi unsur logam yang bersifat meracun bagi tanaman (Handayani dan Prawito, 2006). Apabila dilakukan upaya budidaya tanaman pada tanah tersebut hasilnya akan kurang menguntungkan sebab hanya jenis-jenis tertentu saja yang mampu beradaptasi di atas tanah tersebut. Sebagai akibatnya, diperlukan biaya yang lebih besar dalam pengelolaan tanah marginal agar dapat memberikan keuntungan.  Indonesia memiliki banyak lahan produktif tetapi perilaku manusia yang menyebabkan berkurangnya lahan produktif menjadi tempat pemukiman dan industri. Hal ini memaksa penggunaan lahan yang kurang produktif sebagai lahan pertanian yaitu lahan marjinal . Menurut balai penelitian tanah, balitbang kementrian pertanian tahun 2015 lahan marjinal diindonesia saat ini mencapai 157.246.565 hektar tetapi sampai saat ini pemanfaat lahan marjinal masih kurang dimanfaatkan.



Saat ini terdapat berbagai macam lahan marginal diindonesia salah satu conthnya yaitu lahan gambut dan lahan salin. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya. Lahan gambut merupakan lahan hasil akumulasi timbunan bahan organik yang berasal dari pelapukan vegetasi yang tumbuh disekitarnya dan terbentuk secara alami dalam jangka waktu yang lama. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Indonesia diklaim sebagai salah satu negara penyumbang cadangan karbon terbesar didunia. Hal ini dibuktikan dengan 10.8% dari total keseluruhan luas dataran di Indonesia atau sekitar 20.6 juta ha terdiri atas lahan gambut. Penyumbang luas lahan gambut terbesar di Indonesia adalah pulau Sumatra dan pulau Kalimantan, yaitu sekitar 7.2 juta ha atau 35% terdapat di Pulau Sumatra dan 5.76 juta ha atau 27.8% terdapat di Kalimantan (Wetlands International, 2005). Lahan gambut di Indonesia saat ini masih belum banyak di manfaatkan sebagai lahan pertanian karena pH yang tidak sesuai, lahan selalu terendam oleh air dan rendahnya daya tumpu tanah. menurut Masganti 2003a, Tingkat kemasaman tanah menjadi faktor pembatas dalam pengembangan gambut untuk tujuan pertanian. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasaman tanah gambut tergolong sangat masam (Masganti 2003a, Subagyo 2006, Wiratmoko et al. 2008). Kemasaman tanah gambut disebabkan adanya hidrolisis asam-asam organik dan kondisi drainase yang jelek. Sebagai media tumbuh tanaman, lahan gambut telah lama dimanfaatkan petani untuk menghasilkan bahan pangan dan komoditas perkebunan (Rina danNoorginayuwati 2007, Masganti dan Yuliani 2009, Masganti 2013). Semakin bertambahnya alih fungsi lahan pertanian subur di Pulau Jawa yang selama ini memasok 60% kebutuhan pangan Indonesia, sehingga lahan pertanian subur menjadi terbatas semakin menyadarkan betapa pentingnya lahan gambut bagi



pembangunan pertanian, bahkan tidak berlebihan jika lahan gambut dikatakan sebagai lumbung pangan masa depan Indonesia (Haryono 2013, Masganti 2013). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008). Tanah salin disebut juga tanah garaman yaitu tanah yang mempunyai kadar garam netral larut dalam air, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan kebanyakan tanaman. Tanah salin biasanya ditemukan di dua tipe daerah, yakni daerah sekitar pantai yang memiliki cekaman salinitas yang disebabkan oleh intrusi air laut serta daerah air dan semi air yakni salinitas yang disebabkan oleh evaporasi air tanah atau air permukaan (Adi, 1997). Daerah produksi padi yang terletak di pinggir laut seperti di Pulau Jawa, Sulawesi Selatan, dan daerah lainnya sangat rentan menghadapi masalah salinitas, sehingga tidak sedikit petani yang merubah lahan sawahnya menjadi tambak atau lahan untuk membuat garam atau bahkan meninggalkannya (Thohiron dan Prasetyo, 2012). Lahan sawah yang ada di seputar wilayah Jawa sebenarnya sangat strategis untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. Luas lahan sawah di Indonesia sendiri mencapai 7,75 juta Ha, sekitar 42,8% yaitu 3,32 juta Ha berada di Pulau Jawa yang tersebar terutama di daerah Pantai Utara (Pantura). Menurut Jawa Tengah dalam Angka, 43.977 Ha diantaranya terdapat di Kabupaten Kendal (BPS, 2017) Beberapa tahun terakhir terjadi penurunan produktivitas lahan sawah intensif di Kawasan Pantura akibat cekaman salinitas, khususnya di Kabupaten Kendal (Moenadi, 2016). Hal ini dapat terjadi karena banyak lahan sawah di Kabupaten Kendal yang terletak di sekitar pantai. Cekaman salinitas lahan sawah yang berada di sekitar pantai 2 biasanya disebabkan oleh intrusi air laut yang menyebabkan tanah mengalami akumulasi garam-garam yang didominasi oleh Natrium klorida (NaCl) yang mampu menghambat produksi tanaman padi, sehingga dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah dan mengganggu pertumbuhan serta produksi tanaman padi (Hendrayana, 2002). Permasalahan ini sangat perlu diperhatikan, mengingat lahan sawah tersebut merupakan salah satu lumbung padi nasional (van Asten, et al., 2004)



B. Tujuan Untuk mengetahui proses pebentukan lahan salin secara internal Untuk mengetahui proses pembentukan lahan gambut secara eksternal



BAB II PEMBAHASAN INTERNAL



Tanah salin adalah tanah dengan kandungan garam mudah larut (NaCl, Na2CO3, Na2SO4) yang tinggi, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Baik dan buruknya pengaruh salinitas dapat disebabkan oleh (1) setiap spesies tanaman mempunyai tingkat kerentanan tertentu terhadap salinitas tanah, (2) karakteristik tanah (khususnya tekstur tanah) dapat mempengaruhi , (3) kandungan air tanah, dan (4) komposisi garamnya (Djukri, 2009). Berdasarkan definisi yang dipakai oleh US Salinity Laboratory dalam Djukri (2009), tanah tergolong salin apabila ekstrak jenuh dari tanah salin mempunyai nilai DHL (daya hantar listrik) atau EC (electrical conductivity) lebih besar dari 4 deci Siemens/m (ekivalen dengan 40 m M NaCl) dan persentase natrium yang dapat ditukar (ESP= exchangeable sodium percentage). Faktor internal dalam pembentukan lahan salin. dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu : 1. Tingginya input atau masukan air yang mengandung garam, misalnya akibat terjadinya intrusi air laut (baik yang terjadi secara berkala atau secara sekaligus seperti akibat tsunami) atau masuknya aliran air dengan kadar garam tinggi ke saluran irigasi misalnya akibat pencemaran limbah cair pabrik, 2. Lebih tingginya evaporasi dan evapotranspirasi dibandingkan presipitasi (curah hujan), 3. Bahan induk tanah yang mengandung deposit garam. Dilihat dari faktor faktor ini dapat dilihat proses terbentuknya lahan salin awalnya bahan induk yang mengandung deposit garam. Kemudian evaporai dan evapotranspirasi membuat keluarnya air dari tanah dan meninggalkan garam di tanah tersebut serta tinggnya input atau masukan air yang mengandung garam salah satu contohnya adalah intrusi air laut yaitu masuknya air laut kedalam air tanah yang membuat suplay air tanah tercampur oleh air laut sehingga kadar garam pada tanah akan meningkat atau masuknya air dengan garam tinggi ke saluran irigasi yang disebabkkan oleh limbah pabrik.



Peningkatan konsentrasi garam dalam tanah merupakan faktor cekaman lingkungan yang banyak diderita lahan sawah khususnya yang berdekatan dengan pantai, seperti lahan sawah di Daerah Pantura (Pantai Utara Jawa), padahal wilayah ini merupakan sentra produksi utama padi di Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan salinitas merupakan ancaman bagi ketahanan pangan, sehingga penanggulangan atau rehabilitasi lahan sawah salin harus menjadi prioritas dalam usaha mempertahankan swasembada pangan. Oleh karena itu, tanah dengan salinitas tinggi bukan hanya ditemui di daerah yang berdekatan dengan pantai. Dapat juga terjadi pada lahan yang berjauhan dengan pantai misal lahan kering dengan curah hujan yang sangat rendah atau lahan sawah yang air irigasinya tercemar limbah pabrik berkadar garam tinggi. Tumbuhan yang hidup di lahan salin menghadapi dua masalah utama, yaitu (1) dalam hal memperoleh air tanah yang potensial Lahan Sawah Salin|19 airnya lebih negatif, potensial air tanah yang lebih negatif akan memacu air keluar dari jaringan sehingga tumbuhan kehilangan tekanan turgor; dan (2) dalam mengatasi konsentrasi tinggi ion natrium (Na+) dan klorida (Cl-) yang kemungkinan beracun. Berlimpahnya Na+ dan Cl- juga dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ion sehingga aktivitas metabolisme dalam tubuh tumbuhan menjadi terganggu. (Djukri, 2009). Berdasarkan kemampuan untuk tumbuh pada keadaan salin, tanaman digolongkan menjadi glikofita dan halofita. Tanaman yang digolongkan sebagai halofita adalah tanaman yang tahan terhadap konsentrasi NaCl yang tinggi. Tanaman glikofita adalah tanaman yang tidak dapat mentolerir salinitas yang tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian digolongkan sebagai tanaman glikofita (Haryadi dan Yahya dalam Kusmiati et al. 2004), termasuk kebanyakan varietas padi tidak toleran terhadap salinitas. FAO (2005) memperkirakan penurunan hasil tanaman padi pada berbagai tingkat salinitas (Tabel 9). Untuk tanaman lain yang sensitif seperti pepaya, mangga dan pisang akan terpengaruh pada nilai EC(e) sekitar 2 mS/cm, sedangkan tanaman yang toleran misalnya kelapa dan asam hanya akan terpengaruh pada nilai 8-10 mS/cm atau lebih.



Faktor External Lahan gambut merupakan suatu bentang lahan yang tersusun dari hasil dekomposisi bahan organik yang tidak sempurna dari vegetasi pepohonan yang tergenang air sehingga kondisinya anaerob. Peran gambut terhadap lingkungan sangat penting, salah satunya sebagai lahan yang mampu menyimpan karbon dalam jangka waktu yang lama. Indonesia diklaim sebagai salah satu negara penyumbang cadangan karbon terbesar didunia. Hal ini dibuktikan dengan 10.8% dari total keseluruhan luas dataran di Indonesia atau sekitar 20.6 juta ha terdiri atas lahan gambut. Penyumbang luas lahan gambut terbesar di Indonesia adalah pulau Sumatra dan pulau Kalimantan, yaitu sekitar 7.2 juta ha atau 35% terdapat di Pulau Sumatra dan 5.76 juta ha atau 27.8% terdapat di Kalimantan (Wetlands International, 2005). Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik, yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986). Pembentukan gambut di wilayah tropika bermula dari adanya genangan di daerah rawa, danau maupun cekungan yang didukung oleh curah hujan yang tinggi sehingga proses pencucian basa-basa dan pemasaman tanah berlangsung intensif diikuti dengan penurunan aktivitas jasad renik perombak bahan organik (Rieley et al. 1996). Gambut yang terbentuk di daerah rawa belakang sungai terisi oleh limpasan air sungai yang membawa bahan erosi dari hulunya, sehingga timbunan gambut bercampur dengan bahan mineral disebut gambut topogen yang biasanya relatif subur. pembentukan tanah gambut merupakan proses transformasi dan translokasi. Proses transformasi merupakan proses pembentukan biomassa dengan dukungan nutrisi terlarut, air, udara, dan radiasi matahari. Proses translokasi merupakan pemindahan bahan oleh gerakan air dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah dan oleh gerakan angin (udara) akibat



perbedaan tekanan. Akibat proses pembentukan biomasa dari sisa tumbuhan setempat lebih cepat dari proses perombakannya, maka terbentuklah lapisan bahan organik dari waktu ke waktu



Tanah gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan lapisan-lapisan yang jelas. Hal ini berkaitan dengan faktor alam yang ada di sekelilingnya. Lapisan-lapisan tersebut berupa perbedaan tingkat dekomposisi, jenis tanaman yang diendapkan atau lapisan tanah mineral secara berselang-seling. Lapisan-lapisan mineral tersebut menunjukkan gejala alam banjir dan sedimentasi dari waktu ke waktu pada lahan rawa. Kebakaran hutan yang kemudian diikuti oleh suksesi hutan menyebabkan bahan yang diendapkan menjadi berbeda-beda yang akhirnya menyebabkan terjadinya lapisan-lapisan bahan gambut dalam profil tanah. Proses pembentukan tanah gambut secara umum memerlukan waktu yang sangat panjang, Menurut Andriesse (1988) tanah gambut di Indonesia terbentuk antara 6.800- 4.200 tahun yang lalu. Sementara itu Siefermann et al.1988, melaporkan bahwa berdasarkan carbondating (penelusuran umur tanah gambut menggunakan teknik radio isotop), umur tanah gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi, yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Proses pembentukan tanah gambut secara rinci dikemukakan oleh Agus dan Subiksa (2008), dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan tanah gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan membentuk lapisan tanah gambut sehingga danau menjadi penuh. Berdasarkan lingkungan pembentukannya, tanah gambut dibedakan menjadi: a. Tanah gambut ombrogen, terbentuk pada lingkungan yang hanya bergantung pada air hujan, tidak terkena pengaruh air pasang, membentuk suatu kubah (dome) dan umumnya tebal, dan b. Tanah gambut topogen, terbentuk pada bagian pedalaman dari dataran pantai/sungai yang dipengaruhi oleh limpasan air pasang/banjir yang banyak mengandung mineral, sehingga relatif lebih subur, dan tidak terlalu tebal. Tanah gambut topogen dikenal



sebagai gambut eutropik, sedangkan tanah gambut ombrogen dikenal sebagai tanah gambut oligotrofik dan mesotrofik. Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut dibagi menjadi: a.



Tanah gambut pantai yang terbentuk dekat pantai dan mendapat pengkayaan mineral dari air laut,



b. Ttanah gambut pedalaman yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi dipengaruhi oleh air hujan, c. Tanah gambut transisi yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.



BAB III Penutup Kesimpulan Secara internal proses bentukan lahan salin di awali oleh bahan induk yang mendung deposit garam, intrusi air laut dan tingginya evaporasi dan evapotranspirasi dibandingkan presipitasi (curah hujan). Secara eksternal proses pembentukan lahan gambut disebabkan oleh kumpulan bahan organic yang menumpuk dan terrendam air dan tidak dapat terdekomposisi secara sempurna yang disebabkan oleh keadaan anaerob karena terendam air.



Adi. 1997. Penentuan Zonasi Tataguna Air Tanah di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.



Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam vol. 7 No. 4.



Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian Dan Aspek Lingkungan. Balai



Penelitian Tanah Dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.



Indonesia. 36 hal Andriesse J.P. 1988. Natural And Management Of Tropical Peat Soil. Bulletin Fao Soil Vol: 59 Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils Bulletin 59. Food and



Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 165p.



Hardjowigeno, S. 1986. Genesis dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB: Bogor Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian IPB. Hal 86-94. Haryono. 2013. Strategi dan Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan Sub optimal



Mendukung



Pengembangan Pertanian



Ketahanan



Pangan



Nasional.



Badan



Penelitian



dan



Jakarta. 11 halaman.



Masganti. 2003a. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut Oligotrofik.



Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 355 halaman.



Rieley, J.O. dan B. Setiadi. 1997. Role of tropical peatlands in global carbon balance: preliminary finding from the peats of Central Kalimantan, Indonesia. Alami 2(1): 52-56. Rina, Y. dan Noorginayuwati. 2007. Persepsi petani tentang lahan gambut dan pengelolaannya. Hlm 95



107. Dalam Muhlis et al. (Eds.). Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa.



Balai Besar Penelitian dan



Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.