Pembudayaan Keterampilan Berpikir Kritis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMBUDAYAAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DI PERGURUAN TINGGI MELALUI COGNITIVE COACHING (Sebuah Pendekatan Pemutakhiran Metode Pengajaran MKDU Bahasa Inggris dan Pemanduan Keterampilan Berpikir Kritis di PT)



Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Pemilihan Mahasiswa Berprestasi 2002



Oleh



Eri Kurniawan NIM: 993845



DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL



UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2002



LEMBAR PENGESAHAN



PEMBUDAYAAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DI PERGURUAN TINGGI MELALUI COGNITIVE COACHING (Sebuah Pendekatan Pemutakhiran Metode Pengajaran MKDU Bahasa Inggris dan Pemanduan Keterampilan Berpikir Kritis di PT)



Bandung, 16 Juli 2002 Dosen Pembimbing,



Dr. Bachrudin Musthafa, M.A. NIP 131664374



Eri Kurniawan NIM 993845



Mengetahui, Pembantu Rektor III Universitas Pendidikan Indonesia,



Drs. H. I. Shofjan Taftazani NIP 13026656



KATA PENGANTAR Beberapa waktu silam media massa melaporkan bahwa sistem pendidikan nasional kita terbukti paling jelek di Asia dan Pasifik, bahkan berada di bawah Vietnam. Sementara itu, universitas-universitas yang katanya terhebat di Indonesia menduduki peringkat yang tidak membanggakan bila dibandingkan dengan universitas sejenis di kawasan Asia. Kedua fenomena di atas menunjukkan bahwa sumber daya manusia Indonesia kurang cerdas, kritis, dan kurang kompetitif. Namun yang lebih menyedihkan adalah dunia pendidikan kita belumlah mencurahkan perhatian yang signifikan untuk menjawab tantangan di atas. Keterampilan berpikir kritis, sebagai kemampuan kognitif yang harus dikuasai untuk ikut andil dalam persaingan global, belum dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Pengajaran bahasa, misalnya, sebagai pengajaran alat berpikir kritis masih menitikberatkan pada penguasaan materi melalui hapalan (rote learning). Mencermati kondisi di atas, penulis merasa tertantang untuk mencoba mengembangkan konsep yang pernah dieksperimentasikan dosen perkuliahan membaca di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI berupa pemanduan keterampilan berpikir kritis atau cognitive coaching. Penulis berupaya untuk memetakan konsep cognitive coaching dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris di perguruan tinggi. Melalui cognitive coaching ini, diharapkan keterampilan berpikir kritis dapat diintegrasikan dengan pengajaran MKDU bahasa Inggris di PT sehingga mahasiswa tidak hanya mampu menguasai pelbagai kaidah bahasa dan menerapkannya dalam komunikasi melainkan juga mampu mengasah kompetensi kognitif (berpikir) secara optimal. Penulis memulai mengkaji hasil penelitian Musthafa (2000) ihwal uji eksperimentasi cognitive coaching dalam peningkatan berpikir kritis mahasiswa yang mengontrak mata kuliah Extensive Reading 1. Kemudian penulis mencoba menelusuri dunia internet untuk mencari konsep, data, dan informasi yang



mendukung metode cognitive coaching tadi. Alhasil, usailah penyusunan karya tulis ini. Dalam proses penyelesaian karya tulis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Bachrudin Mushtafa, M.A., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI, yang telah membuka cakrawala penulis mengenai konsep yang disajikan dalam karya tulis ini. 2. Drs. Wachyu Sundayana, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI, yang telah memfasilitasi penulis dalam penyelesaian karya tulis ini. 3. Kedua orang tua yang tercinta yang senantiasa memanjatkan do’a demi keberhasilan setiap aktivitas yang penulis lakukan. 4. Seluruh mahasiswa bahasa Inggris UPI dan warga ASPA I Sangkuriang yang telah memberikan dorongan baik berupa materi maupun non-materi kepada penulis. Akhirul Kalam, penulis sadar bahwa karya tulis ini masih belum layak dikatakan sempurna sehingga saran dan kritik konstruktif akan senantiasa diharapkan demi perbaikan dan peningkatan penyusunan karya tulis lainnya di masa mendatang. Semoga karya tulis ini mampu memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan pengajaran MKDU bahasa Inggris dan pengajaran keterampilan berpikir kritis di perguruan tinggi.



Bandung, 17 Juli 2002 Penulis, Eri Kurniawan



ABSTRACT Previous research has blatantly shown us that critical thinking is of importance to be taught in Indonesian context. Also, it has revealed that critical thinking is urgently needed to be taught in early years of schooling and its teaching can be integrated in writing or reading through cognitive coaching. Critical thinking is of value as our future is greatly dependant on the quality of our thinking. It can help us sort out dozens perceived information in this globalized world. And cognitive coaching is one of instruction method that can enhance one’s intellectual power by providing personal insights into one’s own thinking; build flexible, confident problem solving; and encourages self-efficacy and pride. Another point is that cognitive coaching can foster independence in learning. The focal point of this paper is Developing Critical Thinking Skills in Higher Education through Cognitive Coaching (The Latest Approach to Teaching English for non-English Students and Critical Thinking Instruction in Higher Education). The issue is raised since the writer observed the phenomena of English instruction for non-English students in higher education, which tends to simply focus on specialized students’ course. Meanwhile, the method of its instruction has not got sufficient attention especially in enhancing students’ critical thinking. Therefore, this study is undertaken to explore ways to develop a method of instructing critical thinking through cognitive coaching in teaching English subject for nonEnglish students in higher education. The result of the present study yields two main points: 1) Critical thinking is of importance for all students to encounter globalized world, and 2) Cognitive coaching can be systematically integrated in teaching English for non-English students in higher education to enhance their critical thinking.



DAFTAR ISI



Halaman LEMBARAN PENGESAHAN ………………………………………….. KATA PENGANTAR …………………………………………………… ABSTRACT ……………………………………………………………… DAFTAR ISI …………………………………………………………….. BAB I PENDAHULUAN



i ii iii iv



1.1 Latar Belakang ………………………….. 1.2 Pembatasan Masalah ……………………. 1.3 Perumusan Masalah …………………….. BAB II BAB III BAB IV



1.4 Tujuan Penulisan ……………………….. TELAAH PUSTAKA ………………………. METODE PENULISAN ……………………. PEMBAHASAN 4.1 Sekilas Potret Pengajaran MKDU Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi ………………… 4.2 Sekilas Potret Pengajaran Berpikir Kritis .. 4.3 Konsep Pemanduan Berpikir Kritis (Cognitive Coaching) …….…………………. 4.4 Desain Pengajaran Cognitive Coaching … 4.5 Prosedur Pengajaran Cognitive Coaching . 4.6



Prospek



dan



Kendala



Implementasi



Cognitive



Coaching …………………………. 4.7 Simpulan ………………………………… 4.8 Rekomendasi ……………………………. 4.9 Penutup …………………………………. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………...



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Signifikansi Keterampilan Berpikir Kritis di Era Global Gerbang abad ke-21 yang juga disebut milenium ketiga sudah nyata-nyata berada di hadapan kita. Telah datang suatu periodeyang akan banyak dihiasi oleh sistem komunikasi yang canggih dan meluas ke seluruh penjuru dunia, menipisnya batas-



batas kenegaraan suatu bangsa dan akan tercipta suatu sistem interaksi antar manusia dalam jagat raya yang lebih intensif dalam dimensi yang lebih luas. Perluasan interaksi antar manusia bukan hanya dalam bentuk jaringan kerja sama yang akan semakin luas, tetapi juga dalam bentuk persaingan yang akan semakin ketat dan berat. Dengan adanya kesepakatan AFTA yang mulai diberlakukan pada tahun 2003 dan adanya kesepakatan APEC untuk berbaur dalam perdagangan bebas dunia pada 2020. Kesepakatan-kesepakatan, menurut Ekawahyu Kasih (1999), yang dibuat ini paling tidak akan mendatangkan dan memperkuat tiga dimensi, yaitu: 1. meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global; 2. persaingan sumber daya manusia yang ketat; dan 3. semakin besarnya kemungkinan terjadinya ekploitasi negara yang lebih maju dan lebih siap bersaing terhadap negara-negara yang tidak mampu atau belum siap bersaing. Di sisi lain, proses globalisasi mengakibatkan restrukrisasi dunia disertai banjir informasi. Banjir informasi yang melanda dunia berdampak pada kehidupan nyata. Kita menjadi bagian dari masyarakat informasi (information based society) yang artinya mau tidak mau kita akan terkena luapan informasi dimana kita harus mempunyai keterampilan tertentu dalam memilih dan memilahnya. Dari deskripsi di atas, kita bisa melihat bahwa satu-satunya cara untuk mengantisipasi luapan informasi hanyalah penguasaan keterampilan berpikir kritis. Karena hanya dengan penguasaan keterampilan tersebutlah kita mampu menyeleksi mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah serta bisa menentukan sikap apakah yang sesuai untuk menyikapi luapan informasi itu. Hal ini didukung oleh Bachrudin Mushtafa (2000) yang menyebutkan bahwa perubahan yang cepat, kompleksitas tinggi serta interdependensi yang kian meningkat dalam dunia yang global menjadikan keterampilan berpikir kritis salah satu prasyarat bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi dan sosial suatu bangsa. Berpikir kritis ini memang sebuah keniscayaan yang mutlak dikuasai oleh setiap warga negara karena hanya dengan keterampilan berpikir kritis inilah bangsa yang adil dan beradab bisa terwujud. Masyarakat yang mampu dengan sehat dan cerdas



bersikap kritis terhadap lingkungannya tidak akan mudah terpengaruh oleh gelombang ketidakpastian ataupun provokasi dari pihak-pihak yang saling berebut kepentingan. Realitas negara kita hari ini mengindikasikan kecenderungan mudahnya timbul konflik antar individu, kelompok atau golongan, suku, ras, atau bahakn agama yang tersulut hanya karena masalah-masalah sepele. Saat ini, dalam kerangka reformasi nasional dalam berbagai segi termasuk pendidikan, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat substansial jika kita mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi akar permasalahan yang tengah kita hadapi dan mencari serta mengembangkan alternatif pemecahan bagi permasalahan tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan suatu bangsa untuk bertahan dalam persaingan global, seperti yang ditegaskan oleh oleh de Bono (2000), “…the quality of our thinking will depend directly, and solely, on the quality of our thinking.” Karena itu, upaya strategis dan taktis untuk membudayakan keterampilan berpikir kritis akan membuahkan perubahan yang mendasar. Nampaknya sudah bisa diterima bahwa keterampilan berpikir kritis tidak ada dengan sendirinya. Memang potensi berpikir dimiliki oleh setiap manusia dan merupakan anugerah Tuhan namun potensi ini akan mandul dan bahkan hildang manakal tidak diasah atau digunakan dengan optimal. Dengan demikian, keterampilan berpikir kritis harus ditransformasikan melalui proses pendidikan. Dengan keterampilan seperti ini, masyarakat akan terbina untuk bersikap selektif dalam menerima dan memahami setiap persoalan serta bersikap lebih berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku. 1.2 Peran Perguruan Tinggi di Era Globalisasi Paradigma baru dalam pendidikan tinggi seperti akuntabilitas, kualitas pendidikan, otonomi, evaluasi diri, dan akreditasi pendidikan tinggi yang berkenaan dengan kondisi yang dipersyaratkan untuk masa depan, menuntut aktualisasi keunggulan kemampuan manusia secara optimal, yang kini masih tersembunyi dalam diri (hidden excellennce in personhood, Norton, 1976, Semiawan, 1996) keluaran pendidikan tinggi. Peradaban baru yang dijanjikan oleh abad baru ke-21 ini menuntut kemampuan lulusan perguruan tinggi untuk bertahan dan berkembang mencapai aktualisasi



keunggulan kemampuan optimal. Sehingga, perguruan tinggi dalam hal ini harus mampu menciptakan strategi pendidikan baru yang mampu mengoptimalisasikan keunggulan kemampuan manusia tersebut. Salah satu keunggulan kemampuan manusia adalah kompetensi kognitif (quality thinking skills). Sejauh ini, kemampuan ini belum dibina dengan baik. Pernyataan ini didukung oleh Conny R. Seniawan (1999) yang menyebutkan bahwa persekolahan saat ini termasuk perguruan tinggi belum mampu mengembangkan alat pikir. Di sini jelas terlihat peran dan fungsi perguruan tinggi dalam pengembangan dan pembinaan kualitas sumber daya manusia yang salah satu kompetensinya adalah kompetensi kognitif (kemampuan berpikir). Sehingga, perguruan tinggi harus meredefinisi dan mereorientasi fungsi pendidikan dalam rangka pengembangan kualitas nalar mahasiswanya. Peran ini dinilai strategis untuk membantu pemerintah dalam uapayanya mencerdaskan kehidupan bangsa yang dijadikan salah satu tujuan mulya pendidikan nasional kita. 1.3 Signifikansi Pengajaran Bahasa dalam Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis Tujuan pengajaran keterampilan berpikir kritis (critical thinking) adalah pembentukan anak didik yang mampu berpikir netral, objentif, beralasan atau logis, dan haus akan kejelasan dan ketepatan. Keterampilan ini tidak tumbuh sendiri dan karenanya mesti diajarkan. Siswa dilatih membuat keputusan dan memberikan alasan mengenai kebenaran, nilai, pernyataan, tindakan, kondisi, dan kebijaksanaan. Melalui latihan, dapat ditanamkan pada siswa kecenderungan berpikir kritis atau dispositions of critical thinking, yakni: 1. mencari kejelasan tesis atau masalah dan alasan serta alternatif; 2. ingin tahu dan menyebutkan sumber handal serta berpikiran terbuka; 3. melihat persoalan secara keseluruhan tanpa menyimpang dari inti persoalan; 4. mengambil dan mengubah sikap karena bukti dan alasan; dan



5. sadar akan perasaan, tingkat pengetahuan, dan derajat kecanggihan orang lain (Alwasilah, 1992). Untuk saat ini, penerapan cognitive coaching di perguruan tinggi dispesifikasikan dalam konteks pembelajaran bahasa khususnya bahasa Inggris karena menurut Alwasilah (2002), bahasa merupakan media mata pelajaran lain di sekolah. Bahasa merupakan alat berpikir dan instrumen peradaban secara general. Ini berarti bahwa pengajaran bahasa yang didesain dengan profesional akan membantu bahkan meningkatkan pengajaran mata pelajaran lain, mempertinggi kualitas intelektual siswa, dan membentuk peradaban manusia. 1.2 Pembatasan Masalah Permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ini akan mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Latar belakang diperlukannya penerapan metode pemanduan berpikir kritis (cognitive coaching) di perguruan tinggi dalam pembelajaran MKDU bahasa Inggris. 2. Desain pengajaran cognitive coaching. 3. Prosedur pengajaran cognitive coaching dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris di PT 4. Prospek dan kendala penerapan cognitive coaching. 5. Perintisan cognitive coaching dalam pembelajaran mata kuliah Reading Comprehension di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia. 1.3 Rumusan Permasalahan Dari permasalahan di atas, penulis merumuskan permasalahan pokok sebagai berikut: 1. Mengapa cognitive coaching diperlukan dalam pembudayaan keterampilan berpikir kritis di perguruan tinggi di Indonesia, khususnya dalam pembelajaran MKDU bahasa Inggris? 2. Bagaimana



membuat



desain



pengajaran



pembelajaran MKDU bahasa Inggris?



cognitive



coaching



dalam



3. Bagaimana prosedur pengajaran cognitive coaching dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris? 4. Prospek dan kendala apa saja yang dapat menghambat implementasi cognitive coaching dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris? 5. Sejauh mana perintisan cognitive coaching di perguruan tinggi di Indonesia? 1.4 Tujuan Penulisan Melalui karya tulis ini, diharapkan pembudayaan keterampilan berpikir kritis melalui metoda pemanduan berpikir kritis (cognitive coaching) dapat segera diterapkan dalam dunia pendidikan kita, khususnya di perguruan tinggi sehingga cita-cita pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencetak masyarakat yang cerdas dapat terwujud.



BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Konsep Berpikir Membiasnya batas antar negara menyadarkan kita bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan sebuah keniscayaan yang dapat menjadi penyaring awal banjirnya informasi yang keabsahannya masih perlu dipertanyakan. Proses



penyaringan (filterisasi) informasi ini hanya bisa dilakukan dengan aktivitas berpikir kritis. Berpikir itu sendiri adalah manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan



menggunakan



lambang-lambang



sehingga



tidak



perlu



langsung



melakukan kegiatan yang tampak (Ruch, 1996). Menurut Paul Mursen dan Mark R. Rosenzweig, “The term ‘thinking’ refers to many kind of activities that involve the manipulation of concepts and symbols, representations of objects and events” (1993). Jadi, berpikir merujuk pada pelbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan lambang dan konsep, sebagai pengganti objek dan peristiwa. Berpikir kita lakukan untuk menghadapi dan memahami realitas dengan menarik kesimpulan dan meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sehingga, mengenai hal ini, Taylor (1977) mendefiniskan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan. 2.2 Konsep Berpikir Kritis Secara etimologis, kata ‘kritis’ berasal dari bahasa Yunani yakni “kritikos (yang berarti mencerna penilaian) dan “kriterion” (yang berarti standar). Sehingga, kritis berarti mencerna penilaian berdasarkan standar. Jika dipadukan dengan kata ‘berpikir’, maka kita dapat mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir yang secara eksplisit dilatari oleh penilaian yang beralasan dan berdasarkan standar yang sesuai dalam rangka mencari kebenaran, keuntungan, dan nilai sesuatu (Paul, et al, 1995). Berpikir kritis ini memiliki karakter antara lain, seperti dikemukakan Moore dan Parker (1994), sikap berhati-hati dan bersengaja ketika memutuskan untuk menerima, menolak atau menangguhkan sikap (judgement). Secara lebih terperinci, Halpern (1994) menegaskan, Critical thinking is the use of those cognitive skills or strategies that increase the probability of a desirable outcome. It is used to describe thinking that is purposeful, reasoned, and goal directed—the kind os thinking that involved in solving problems, formulating inferences, calculating likelihoods, and making decisions when the thinker is using skills that are thoughtful and effective for the particular context and type of thinking task. Critical thinking also involves evaluating



the thinking process—the reasoning that went into the conlusion we have arrived at the kinds of factors considered in making a decision. Definisi



Halpern



ini



mengindikasikan



dibutuhkannya



beberapa



tingkat



keterampilan untuk sampai pada keterampilan berpikir kritis yang memadai, yakni, untuk berpikir kritis, seseorang harus reflektif, efektif, dan sensitif terhadap berbagai faktor yang mungkin berpengaruh pada saat pembuatan keputusan yaitu keputusan untuk menerima, menolak, ataupun memodifikasi proposisi. Menurut Alwasilah (1992) berpikir kritis artinya mampu melihat bias, mengenal dan menganalisa propaganda, mengindentifikasi kekeliruan logika, memahami agenda terselubung, membuat perbandingan, menyimpulkan asumsi dasar, dan memecahkan masalah. Tujuan pembelajaran keterampilan berpikir kritis adalah terbentuknya anak didik yang mampu berpikir netral, objektif, beralasan ataupun logis, dan hasu akan kejelasan dan ketepatan. Berpikir baru dikatakan kritis manakala si pemikir berusaha menganalisis argumentasi secara cermat, mencari bukti yang sah, dan menghasilkan kesimpulan yang mantap untuk mempercayai dan melakukan sesuatu. Seorang pemikir kritis mempunyai kecenderungan batin untuk: 1. Mencari kejelasan tesis atau masalah. 2. Mencari alasan. 3. Berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin. 4. Menggunakan dan menyebutkan sumber yang handal. 5. Memperhatikan situasi keseluruhan. 6. Berusaha konsisten dengan pokok permasalahan. 7. Berpegang teguh akan dasar permasalahan. 8. Mencari alternatif. 9. Berpikiran terbuka. 10. Mengambil atau berganti posisi karena bukti dan alasan yang cukup. 11. Mencari ketepatan secermat mungkin. 12. Memecahkan persoalan secara teratur pada bagian-bagian keseluruhan. 13. Menggunakan keterampilan berpikir kritis. 14. Sensitif terhadap perasaan, tahap pengetahuan, dan derajat kecanggihan pihak lain (Marzano, et al, 1988).



Pembudayaan keterampilan berpikir kritis dapat menggali cara-cara pemahaman pikiran dan pengasahan intelektualitas sehingga kesalahan dan distorsi berpikir dapat diminimalisasi. Keterampilan berpikir kritis pun dapat melejitkan kemampuan kita dalam memecahkan permasalahan yang sangat penting dengan membantu menjauhkan kita dari ketimpangan berpikir dan menuntun kita berpikir sangat logis dan rasional. Orang yang berpikir kritis, misalnya, sering kali melakukan kerja-kerja intelektual yakni memilah, memonitor, mengulas, dan menilai hal-hal seperti: 1. maksud dan tujuan; 2. cara perumusan masalah dan isu; 3. penerimaan informasi, data, dan bukti; 4. interpretasi informasi, data, dan bukti; 5. kualitas pemikiran atau alasan yang dikembangkan; 6. gagasan atau konsep dasar yang inheren dalam pemikiran; 7. asumsi yang dibuat; 8. implikasi dan konsekuensi; dan 9. sudut pandang dan kerangka rujukan (Paul, et al, 1995). Selanjutnya, Paul, et al, (1995) menyebutkan sejumlah keterampilan dasar pikiran, diantaranya kemampuan untuk menjelaskan pertanyaan, memperoleh data yang sesuai, mengambil kesimpulan yang absah dan logis, mengidentifikasi asumsi pokok, menelusuri maksud yang signifikan, dan mengambil alternatif pandangan tanpa distorsi. Sedangkan ciri intelektual pikiran antara lain responsibilitas inteletual, ketekunan intelektual, dan kesabaran intelektual. 2.3 Tahap Perkembangan Kognitif Mahasiswa Apabila ditilik dari kacamata Psikologi Perkembangan, secara kuantitatif masamasa mahasiswa ini merupakan masa puncak atau klimaks perkembangan fungsifungsi kognitif (Loree, 1970). Sementara, secara kualitatif, usia mahasiswa sedang memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut formal operational period. Periode ini ditandai dengan perilaku kognitif yang antara lain: -



kemampuan berpikir hipotesis-deduktif (hypothetico-deductive thinking);



-



kemampuan



mengembangkan



suatu



kemungkinan



kemungkinan atau lebih (a combinational analysis);



berdasarkan



dua



-



kemampuan mengembangkan suatu proposisi atas dasar proposisi-proposisi yang diketahui (propotional thinking); dan



-



kemampuan menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai kategori objek yang beragam (Makmun, 1990).



BAB III METODE PENULISAN Sebuah karya tulis baru dianggap ilmiah ketika paparan yang dituangkan didukung oleh data atau informasi yang absah dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, penulis mencoba untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data atau informasi untuk memperkuat gagasan yang ditawarkan. Adapaun metode pengumpulan data dalam penulisan karya tulis ini adalah:



1. Studi Literatur (Library Research) Penulis membaca dan mengkaji buku, artikel, jurnal, dan hasil penelitian sebagai referensi. Studi Literatur ini memang merupakan penelitian berdasarkan rujukan atau hasil penelitian terdahulu (Brown, 1988). 2. Penjelajahan Dunia Internet Untuk memperoleh data yang relevan dengan cepat, praktis, efektif, dan efisien, penulis menggunakan fasilitas search engine dalam dunia internet. 3. Observasi dan Wawancara Pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara penulis lakukan untuk memperoleh deskripsi objektif dan data lain yang diperlukan. Dalam menganalisa data dan informasi tersebut, digunakan pendekatan deskriptif. Pendekatan ini bersifat eksploratif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan status fenomena (Arikunto, 1997). Data yang diperoleh dibedakan ke dalam data kualitattif dan kuantitatif. Data kualitatif penulis oleh dengan menggunakan standar atau kriteria tertentu yang telah dibuat oleh penulis. Maka kesimpulan ditarik berdasar kriteria yang telah ditentukan tersebut. Oleh karena simpulan ditarik berdasarkan data yang diperoleh, maka penarikan kesimpulan dilakukan sejalan dengan proses pengolahan data.



BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sekilas Potret Pengajaran MKDU Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi Sebagaimana disuratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989, bahasa Inggris adalah bahasa asing terpenting di Indonesia untuk diajarkan pada jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kebijakan pemerintah ini menantang kita untuk bersikap dan bertindak profesional dalam



merealisasikan kebijakan tersebut. Makna profesionalisme antara lain dijabarkan sebagai keharusan untuk memilih dan menyajikan bahan ajar sesuai dengan kebutuhan pembelajar sebagaimana tergali dari hasil penelitian empirik. Akan tetapi sangat disayangkan, penyelenggaraan perkuliahan MKDU bahasa Inggris di perguruan tinggi sangat mengkhawatirkan. Dari penelitian terdahulu (Alwasilah, 1994) yang melibatkan 111 responden lulusan berbagai PT di Bandung dan sekitarnya, misalnya, diketahui sejumlah temuan seperti nampak pada tabel berikut. NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Persepsi Responden Tidak memenuhi harapan responden Sebaiknya diberikan di semester 1 dan 2 Tidak mendapat silabus perkuliahan Membaca mendapat porsi 25-50% dalam kurikikulum Materi sesuai dengan bidang studi Ditugaskan untuk menerjemahkan Dosen Berijazah S-1 Tidak mendapat pre-test



Persentase Responden 65, 80% 57, 40% 56, 80% 60, 40% 70, 30% 70,30% 72, 30% 63, 10%



Dari tabel di atas, bisa dilihat bahwa penyelenggararan perkuliahan MKDU bahasa Inggris di PT belumlah profesional dan keberadaan MKDU tersebut belum begitu dirasakan manfaatnya oleh mahasiswa. Kegagalan perkuliahan MKDU bahasa Inggris dengan orientasi kemampuan membaca selama ini disebabkan oleh: 1. teks bacaan tidak menarik (menantang) bagi mahasiswa; 2. tidak jelasnya manfaat yang diperoleh dari membaca teks yang dipilih dosen; dan 3. Kegiatan membaca tidak integratif dengan kegiatan lain yang lebih makro dalam konteks penyelesaian studi (Alwasilah, 2000). Karena itu, perlu ada reorientasi fungsi dan pemutakhiran metode agar mahasiswa bisa menguasai bahasa Inggris (menguasai kaidah dan mengaplikasikannya dalam dunia komunikasi nyata). Untuk menyikapi fenomena di atas, sejumlah pakar dan praktisi pendidikan telah menguras keringat untuk memikirkan cara pengajaran MKDU bahasa Inggris yang lebih efektif. Salah satu diantaranya, Sundayana (1996) telah berupaya dengan kolega-koleganya untuk membuat metode dan



modul pengajaran MKDU bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau menyatakan bahwa, seyogianya MKDU itu didesain sebagai kelanjutan bahasa Inggris di SMP dan SMU, dengan karakteristik sebagai berikut: 1. materi perkuliahan diberikan dalam kurang lebih 14 pertemuan. 2. materi ajar berorientasi pada bidang studi mahasiswa, yakni mengikuti English for Specific Purpose-based approach; 3. perkuliahan dimaksudkan untuk membantu mahasiswa menguasai keterampilan akademik (study skills), khususnya kemampuan membaca dna menulis untuk mengembangkan profesionalisme; dan 4. dalam materi perkuliahan, komponen kosakata jauh lebih penting untuk disajikan daripada komponen tata bahasa dan ejaan. Pengajaran bahasa Inggris dengan pendekatan di atas pun ternyata belum membuahkan hasil maksimal karena kemampuan nalar kritis mahasiswa belum diberdayakan dengan baik. Pendekatan tersebut belum mampu mencetak lulusan dengan kompetensi kognitif yang amat diperlukan untuk bertahan hidup dalam peradaban global. Menyangkut hal ini, Serniawan (1999) menggambarkan bahwa sekolah kita termasuk di dalamnya perguruan tinggi sering kali kurang memanfaatkan alat pikir (tool-less thought), padahal pekerjaan luas sekolah mengandalkan peralatan kognitif (Levinger, 1996). Karena itu, perkuliahan MKDU bahasa Inggris bisa dijadikan media untuk pengembangan dan pemanfaatan alat pikir. Sehingga, nantinya lulusan-lulusan perguruan tinggi mempunyai kualitas kognitif yang tinggi dengan dibekali keterampilan berpikir kritis sebagai tiket masuk peradaban global. Tantangan ini bisa segera dijawab dengan meramu pengajaran MKDU bahasa Inggris dengan pengajaran keterampilan berpikir kritis. Pengajaran bahasa nantinya diupayakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis selain tentunya penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan berbahasa. 4.2 Sekilas Potret Pengajaran Berpikir Kritis dalam Dunia Pendidikan Kita Pengajaran bahasa secara makro pada saat ini masih diwarnai dengan pendekatanpendekatan yang menitikberakan pada hapalan (rote learning). Siswa atau peserta didik dijejali dengan berjubel materi berkaitan dengan kaidah tata bahasa yang



harus dihapal. Alhasil, siswa terdidik untuk mengetahui dan menguasai kaidah tata bahasa tanpa pernah tahu cara pengaplikasiannya. Padahal, dalam kerangka persaingan global pengajaran bahasa semestinya diorientasikan untuk menguasai keterampilan berpikir kritis. Karenanya, pengajaran bahasa (dalam hal ini bahasa Inggris) seharusnya ditujukan untuk pengasahan kemampuan berpikir kritis. Sudah tiba waktunya kita meyakinkan para pengajar dan perumus kurikulum bahasa bahwa bahasa merupakan alat berpikir sehingga pengajaran bahasa harus diorientasikan dalam framework berpikir yang memuat keterampilan berpikir kritis



yakni



kemampuan menghasilkan



alternatif



kemungkinan,



analisa,



perbandingan, mengambil kesimpulan dan interpretasi, evaluasi dan metakognisi (Alwasilah, 2002). Sekarang ini, banyak sekali metoda maupun teknik pengajaran bahasa yang mengasah keterampilanberpikir kritis diantaranya berbicara di hadapan publik, berdebat, bermain peran, mempresentasikan makalah, menulis esei, dan lain sebagainya. Namun, belum ada suatu metode pengajaran tertentu yang khusus didesain untuk pemanduan berpikir kritis sekaligus mengefektifkan pengajaran bahasa khususnya bahasa Inggris. 4.3 Konsep Pemanduan Berpikir Kritis (Cognitive Coaching) Deskripsi di atas merupakan fenomena nyata yang menantang para pakar dan praktisi pendidikan untuk sesegera mungkin menemukan sebuah metode pengajaran bahasa termutakhir yang mampu menciptakan suasana pembelajaran bahasa yang kondusif dan efektif serta bisa memandu pengembangan kemampuan berpikir kritis. Belakangan telah ditemukan sebuah metode pemanduan berpikir kritis (cognitive coaching) yang dirintis oleh Art Costa dan Bob Garmston yang menitikberatkan peningkatan kapasitas kognitif (berpikir). Costa dan Garmston menjabarkan kapasitas kognitif ini sebagai cara berpikir yang merangsang diri seseorang atau orang lain untuk mempola pemikiran mereka dan kemampuan-kemampuan memecahkan masalah. Dengan kata lain, cognitive coaching membantu setiap orang untuk mengubah kemampuan dalam rangka mengubah diri.



Cognitive Coaching dilatari oleh empat asumsi pokok, yakni: 1. pikiran dan persepsi menghasilkan seluruh perilaku; 2. Mmngajar adalah proses pembuatan keputusan secara konstan; 3. untuk belajar sesuatu yang baru membutuhkan keterlibatan dan perubahan dalam pemikiran; dan 4. manusia terus tumbuh berkembang secara kognitif. Jantungnya cognitive coaching adalah konsep yang menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai sumber daya atau potensi yang membantu kita untuk tumbu berkembang dan berubah dari dalam. Costa dan Garmston mengistilahkannya “keadaan pikiran” (States of Mind). Adalah keadaaan pikiran ini yang membantu setiap orang untuk memberdayakan setiap potensi dalam dirinya dengan efektif. Keadaan pikiran ini terdiri atas lima sumber energi, yakni: 1. Efektivitas Mereka yakin dapat membuat perbedaan, kreatif, mampu mengubah dirinya, mempunyai kontrol internal dan penuh percaya diri. 2. Fleksibilitas Mereka lebih bersifat empatik, melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, meyakini intuisi, toleran terhadap orang lain, dan kreatif dalam memecahkan masalah. 3. Keterampilan Mereka selalu bangga dengan hasil kerjanya, selalu berusaha untuk maju, terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan keterampilannnya, dan berusaha untuk mencapai ketepatan (presisi). 4. Kesadaran Mereka sadar akan kejadian internal dan eksternal, mempunyai kemampuan metakognitif (mempunyai kesadaran akan proses berpikir), mampu memonitor dan menyesuaikan pemikiran, perilaku dan prinsipnya, dan menggunakan kriteria internal dalam membuat keputusan. 5. Interdependensi Mereka senantiasa mencari persahabatan, ikut andil untuk kebaikan bersama, membutuhkan potensi dari yang lain, dan mampu mengenyampinkan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok.



Titik berat cognitive coaching ini adalah pada keterampilan berpikir, kemampuan memecahkan masalah, membuat keputusan, dan memberdayakan potensi diri. Melalui pemanduan yang intensif dari guru, siswa dibimbing untuk melakukan penilaian (judgement) terhadap proposisi-proposisi yang problematik dan kontroversi atau mengandung kesalahan berpikir (fallacy). Sejauh ini, data atau hasil riset termutakhir yang tersedia menyarankan bahwa cognitive coaching ini dapat diintegrasikan dalam pengajaran bahasa. Dalam hal ini, penulis mencoba mengkaji penerapan cognitive coaching dalam pembelajaran bahasa Inggris secara umum terutama bahasa Inggris untuk mahasiswa nonbahasa Inggris. 4.4 Desain Pengajaran Cognitive Coaching 4.4.1 Tujuan Tujuan dari penerapan cognitive coaching ini secara umum adalah untuk mencetak pembelajar mandiri (independent learners) yang memiliki kemampuan nalar kritis yang tinggi, mempunyai fleksibilitas dan kepercayaan diri dalam memecahkan segala persoalan, dan mempunyai kecerdasan dan kebanggan diri. Pun, mereka menemukan sendiri strategi-strategi pemecahan masalah sehingga mereka tidak lagi perlu disuapi penjelasan-penjelasan rinci mengenai materi pelajaran. Dengan kata lain, mereka dibentuk menjadi pembelajar strategis (strategic learners). 4.4.2 Silabus Sebagai pemandu guru dalam menjalankan aktivitas belajar mengajar, silabus menjadi suatu hal yang sangat esensial. Silabus secara sederhana bisa diartikan deskripsi atau daftar pelajaran beserta rincian lain yang diperlukan, misalnya tujuan pengajaran secara umum, prosedur penilaian, jadwal per pertemuan disertai tema atau materi, dan lain-lain. Dalam metode cognitive coaching ini, tidak ada silabus tertentu yang diperuntukkan khusus untuk pengajaran bahasa Inggris karena metode ini hanyalah memandu guru dan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran dan memperoleh hasilnya secara maksimal disertai dengan penguasaan keterampilan



berpikir kritis. Jadi, pada intinya guru atau pengajar bisa menggunakan silabus model manapun atau bahkan silabus karya pribadi yang disesuaikan dengan kurikulum yang ada. Namun, belakangan ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa sebaiknya konsep silabus yang ada pada saat ini dihapuskan. Berdasarkan kenyataan bahwa hanya pembelajarlah yang benar-benar menyadari kebutuhannya, sumber-sumber komunikasinya, dan langkah-langkah yang dikehendakinya. Setiap pembelajar harus menciptakan silabus pribadi sebagai bagian dari pembelajar mereka (Azies, 1996). 4.4.3 Aktivitas Belajar Mengajar Cakupan ragam aktivitas yang sesuai dengan metode cognitive coaching sangatlah luas, asalkan dapat membantu pembelajar menggunakan kemampuan atau kapasitas kognitifnya (berpikir) secara maksimal. Secara umum, aktivitas ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian: aktivitas lisan dan aktivitas tulisan. 1. Aktivitas Lisan Ihwal aktivitas lisan ini, dalam metode cognitive coaching mencakup beberapa aktivitas yang antara lain: a. Mencapai Kesepakatan (Reaching a Consencus) Dalam aktivitas ini, siswa harus mencapai suatu kesepakatan setelah melalui diskusi tertentu. Tugas belum dianggap selesai sampai mereka membuat kesepakatan bersama. b. Diskusi (Discussion) Dalam aktivitas ini, guru meminta siswa untuk mengemukakan gagasannya secara lancar tentang suatu topik atau permasalahan sulit yang sedang dibahas. Kemudian siswa lain ikut bergabung dengan menanggapi atau menambahkan gagasan, kemudian seluruh siswa terlibat dalam diskusi yang hidup. c. Topik Kontroversial (Controversial Topics) Pernyataan-pernyataan kontroversial sangatlah baik untuk merangsang adanya diskusi. Siswa diberi artikel atau pernyataan yang bertolak



belakang dengan prinsip mereka atau mereka diminta menentukan sikap atas suatu permasalahan. d. Permainan Komunikasi Permainan ini didasarkan pada prinsip information gap. Siswa dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka menggunakan bahasa untuk melakukan tugas tertentu seperti mencari perbedaan, menggambarkan dan menjelaskan, dan merekonstruksi cerita. e. Penyelesaiaan Masalah (Problem Solving) Aktivitas ini mendorong siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan secara bersama-sama. Misalnya, siswa dihadapkan pada suatu situasi sulit dimana mereka harus memikirkan benda-benda yang tersedia untuk bertahan hidup ketika mereka terdampat di daerah yang sangat terpencil. f. Simulasi dan Main Peran (Simulation and Role Play) Simulasi di sini berarti menciptakan pretensi situasi kehidupan nyata dalam ruang kelas. Kita bisa meminta mereka untuk berpura-pura berada di bandara. Slain itu, kita bisa meminta siswa untuk bermain peran dengan memerankan suatu karakter. Setelah semua aktivitas selesai, guru dan siswa membahas simulasi dan bermain peran yang telah dilakukan. 2. Aktivitas Tulis Dalam aktivitas ini, siswa diharuskan memberikan istruksi tertulis pada siswa lain. Aktivitas yang terlibat diantaranya mengarahkan (giving directions), menulis perintanh (writing commands), menulis laporan dan iklan (writing reports and advertisements), menulis kelompok (cooperative writing), rekonstruksi cerita (story reconstruction), bertukar surat (exchanging letter), dan menulis jurnal (writing journals). 4.4.4 Peranan Guru dan Pembelajar Dalam sebuah kelas, pembelajar berperan aktif dalam pembelajaran. Guru dan pembelajar bekerja sama dalam suatu kemitraan (partnership). Strategi untuk mewujudkan itu semua adalah melalui negosiasi. Negosiasi antara guru dan pembelajar akan membuahkan pengalaman belajar yang akan mengakamodasi kebutuhan, minat, dan kemampuan tertentu si pembelajar.



Peran pembelajar adalah sebagai negosiator antara diri, proses belajar, dan objek pembelajaran. Ia pun harus berinteraksi dengan peran negosiator bersama dalam kelompok. Ia sendirilah yang nantinya akan menentukan keberhasilan dan kegagalan proses belajarnya. Dalam metode cognitive coaching, guru berperan sebagai mediator. Ia menggunakan demonstrasi thinking aloud untuk membantu mendampingi siswa dalam internalisasi dan eksternalisasi berpikir, memecahkan masalah, dan membantu siswa sadar akan pandangan dan pembelajaran mereka sendiri. 4.4.5 Peran Bahan Ajar Bahan ajar merupakan suatu hal yang substansial dalam mempengaruhi kualitas interaksi kelas dan penggunaan bahasa. Bahan ajar ini akan membantu guru dan pembelajar dalam mengoptimalkan penggunaan bahasa di dalam kelas. Bahan ajar yang biasanya terlibat dalam proses pembelajaran adalah bahan ajar tekstual (seperti buku, jurnal, laporan penelitian, dan sebagainya) bahan ajar tugas (seperti bermain peran, simulasi, dan aktivitas lainnya yang berupa tugas), dan realia (bahan-bahan otentik dari kehidupan nyata seperti majalah, iklan, peta, bagan, dan lain-lain).



4.5 Prosedur Pengajaran Cognitive Coaching Prosedur Umum Menjabarkan prosedur pengajaran berdasarkan metoda cognitive coaching tentunya tidak semudah membalikkan tangan karena metode ini bisa diaplikasikan untukpengajaran seluruh disiplin ilmu baik sifatnya teknik, sosial, ataupun eksakta. Penyebab lainnya adalah terdapat keragaman yang cukup luas dalam aktivitas dan teknik pengajaran cognitive coaching di dalam kelas. Walaupun demikian, secara umum prosedur pengajaran cognitive coaching bisa dijabarkan sebagai berikut: -



guru memberikan penjelasan mengenai tujuan pengajaran dan isu yang akan diangkat;



-



guru menspesifikasikan salah satu strategi misalnya menghilangkan alternatif, mencari gagasan pokok, membedakan fakta dan opini, dan sebagainya;



-



guru mengulas kembali strategi berpikir dan mengulas hasil kesimpulan bersama.



Prosedur Operasional Mengacu pada prosedur umum yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya, maka perlu dijabarkan prosedur operasional yang berkaitan dengan langkahlangkah teknis pengajaran cognitive coaching di kelas. MKDU bahasa Inggris di perguruan tinggi umumnya menggunakan kurikulum integratif dalam pengertian bahwa keempat keterampilan berbahasa (listening, speaking, reading, writing) disajikan secara bersamaan dalam satu kesatuan yang utuh. Namun tetap ada penekanan pada salah satu keterampilan bahasa. Dan dalam hal ini, pengajaran MKDU bahasa Inggris di PT menekankan pada pengajaran membaca untuk menulis (Alwasilah, 2000) untuk mengembangkan profesionalisme dan mengasah keterampilan berpikir kritis. Ada sejumlah kategori yang dikemukakan oleh Richard Paul (1994) untuk menimbang respon kritis pembelajar (mahasiswa) dalam pelaksanaan aktivitas pembelajaran yakni: 1. kemampuan memahami secara akurat inti proposisi seperti yang dikemukakan oleh pengarang (AU = Accurate Understanding of Core Propositions); 2. kemampuan mempertanyakan asumsi (CA = Challenging Assumptions); 3. kemampuan mempertimbangkan peran konteks (SC = Sensitivity to Context); 4. kemampuan mempertanyakan keberlakuan satu proposisi bagi konteks yang lain (QC = Questioning Contextual Validity); dan 5. kemampuan memunculkan dan mengeksplorasi alternatif (GA = Generating Alternative Solutions). Adapun untuk memperjelas proses implementasi, penulis mengambil salah satu sampel prosedur operasional cognitive coaching yang dikembangkan oleh



Bachrudin Musthafa (2000) dengan penekanan pada aktivitas membaca adalah sebagai berikut: 1. Aktivitas pembelajaran dimulai dengan adanya negosiasi teks bacaan yang akan dijadikan sebagai bahan ajar utama. Pemilihan ini hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan bidang studi masing-masing. 2. Pembelajar (dalam hal ini mahasiswa) diwajibkan untuk membaca teks sebelum masuk kelas dan membuat respon tertulis dalam jurnal mereka. Respon ini dibuat berdasarkan pertanyaan panduan (guiding questions) yang dipersiapkan guru. 3. Mahasiswa dipajankan dengan berbagai contoh kongkret praktik berpikir keliru (faulty reasoning) melalui dua tahap aktivitas: a. Deskripsi proses berpikir dalam kasus faulty reasoning dan bagaimana implikasi dari kesalahan tersebut. b. Demonstrasi proses berpikir dengan thinking aloud (demonstrasi strategi berpikir dengan disertai penjelasan) termasuk juga proses verifikasi argumentasinya. 5. Mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan sendiri proses pemikiran kritis yang tengah diajarkan, melalui pernyataan-pernyataan problematik dan kontroversial yang diberian. Untuk itu, mahasiswa diberi pertanyaan panduan untuk mengamati ada tidaknya permasalahan dalam proposisiproposisi yang diajukan dan melokalisasi permasalahan yang ditemukan. 6. Mahasiswa diminta mengutarakan proposisi-proposisi yang bermasakah dan direspon atau dikritisi oleh mahasiswa lain. Dalam proses ini, aktivitas diskusi mulai berlangsung. 7. Mahasiswa diminta mengkoreksi atau memodifikasi proposisi tersebut. 8. Mahasiswa melakukan evaluasi secara kolektif melalui proses thinking aloud terhadap proposisi-proposisi problematis yang tengah dijadikan pokok pembahasan. 9. Setelah proses diskusi selesai dan disimpulkan, maka selanjutnya guru akan mengulas strategi yang telah diterapkan dan menyimpulkan pembahasan. 10. Mahasiswa diharuskan membuat respon kedua berdasarkan hasil diskusi kelas sebagai bahan evaluasi akhir bagi guru. GURU/DOSEN



MAHASISWA



Sensing Locating problematic areas



Correcting propositions



Prosedur Operasional Implementasi Cognitive Coaching 4.6 Prospek dan Kendala Implementasi Cognitive Coaching Prospek implementasi metode pemanduan keterampilan berpikir kritis atau cognitive coaching untuk pengajaran MKDU bahasa Inggris di Perguruan Tinggi di Indonesia cukup gemilang. Hal ini dikarenakan adanya keleluasaan yang diberikan kepada guru dalam mengembangkan metode dan teknik pengajaran di kelas, selama tidak menyimpang dari kurikulum yang telah digariskan. Di samping itu, diskursus yang tengah bergulir pada saat ini berkenaan dengan kurikulum berbasis kompetensi yang tentu saja penekanan pada penguasaan sejumlah kompetensi oleh pembelajar. Cognitive coaching dalam hal ini mampu membantu guru dalam mengembangkan kompetensi kognitif pembelajar karena melalui metode ini mahasiswa dipandu untuk melewati berbagai proses penerapan proses berpikir kritis. Nantinya, mahasiswa diharapkan dapat mempunyai kompetensi kognitif yang berkualifikasi dengan penguasaan keterampilan berpikir kritis sehingga ia bisa ikut bersaing dalam percaturan peradaban global. Prospek ini pun ditopang oleh beberapa keunggulan cognitive coaching yang antara lain: -



adanya internalisasi dan eksternalisasi pemahaman mahasiswa terhadap materi atau konsep yang dipelajari;



-



adanya peningkatan ketajaman mahasiswa dalam merespon atau mengkritisi proposisi atau pernyataan yang bermasalah;



-



pembelajar lebih termotivasi untuk belajar karena teks yang akan mereka pelajari telah disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan bidang studi mereka memalui proses negosiasi dengan guru;



-



adanya kesamaan tujuan yang dipegang oleh guru dan pembelajar;



-



adanya evaluasi performansi yang sinambung; dan



-



adanya hubungan simbiosme mutualistis, dimana guru mempelajari kesalahan konsep berpikir mahasiswa dan pengamatan siswa mengenai



strategi yang diterapkan sementara siswa mempelajari pengalaman guru dalam menerapkan strategi-strategi tersebut. Akan tetapi, di samping prospek dan keunggulan cognitive coaching dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris sekaligus pengajaran berpikir kritis, ada sejumlah kendala yang sedikitnya menghambat kelancaran implementasi metode ini. Adapun kendala tersebut diantaranya: kurangnya katerampilan akademis yang diperlukan untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi dan tidak adanya pengajran berpikir kritis di SMU (Pierce, 1988); pengajaran berpikir kritis belum ditangani secara serius oleh pemerintah sehingga orientasi pendidikan pun otomatis belum diarahkan kesana; mahasiswa akan mengalami sedikit hambatan dalam mengemukakan gagasan atau memberikan respon dalam bahasa Inggris karena kurangnya kemampuan berbahasa baik lisan maupun tulisan; kurangnya pemahaman guru atau dosen mengenai signifikansi penguasaan berpikir kritis dan pemutakhiran metode pengajaran bahasa. Selain itu, kendala yang ada diwarnai dengan sejumlah kelemahan cognitive coaching yang diantaranya: - metode ini hanya menitikberatkan pada pengajaran dan pemenuhan potensi kognitif siswa sementara potensi afektif, psikomotorik, dan kreatifnya kurang begitu diberdayakan; - pengulangan metode ini secara sinambung sebagai langkah pembiasaan berpikir kritis membuat proses pembelajaran menjadi monoton sehingga diperlukan alternatif strategi untuk membangkitkan kembali semangat belajar siswa.



Language Skills Problem MKDU BHS INGGRIS



Solving Independent Learner



MAHASISWA Strategic Learner



COGNITIVE COACHING Critical Thinking Skills



Decision Making



Visualisasi Implementasi Cognitive Coaching dalam Pengajaran MKDU Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi 4.7



Perintisan Metoda Cognitive Coaching dalam Pengajaran Membaca di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI



Metode pemanduan keterampilan berpikir kritis atau cognitive coaching ini telah berhasil dirintis oleh sejumlah dosen perkuliahan membaca atau Extensive Reading 1. Dengan bobot dua SKS, kedua mata kuliah tersebut menjadi muara mata kuliah membaca lainnya dengan tujuan akhir membina minat membaca. Dalam metode ini, dipergunakan serangkaian bacaan kontroversial sebagai basis untuk memperkenalkan pertanyaan panduan atau guiding questions. Perkuliahan dimulai dengan negosiasi ragam bacaan yang akan dibahas. Bacaan bertalian dengan permasalahan sosial yang mengundang pro kontra setiap mahasiswa. Setiap mahasiswa harus membaca teks sebelum perkuliahan dan membuat respon tertulis dalam bentuk jurnal. Di dalam kelas, mahasiswa dikelompokkan untuk membahas permasalahan yang telah mereka temukan dalam bacaan. Kemudian perwakilan setiap kelompok mengutarakan hasil pembahasan sambil direspon atau dikritisi oleh kelompok lainnya. Proses diskusi pun berjalan dengan menggunakan sebagain nas yang terdapat dalam teks ditambah dengan pendapat pribadi mereka. Pada akhir perkuliahan, dosen mengulas kembali permasalahan yang telah dibahas dan meminta setiap mahasiswa untuk membuat jurnal kedua yang memuat hasil pembahasan. 4.7 Simpulan 1. Globalisasi yang ditandai dengan restrukturisasi dunia disertai meluapnya informasi mensyaratkan adanya penguasaan keterampilan berbahasa Inggris sebagai alat komunikasi global dan penguasaan keterampilan berpikir kritis. 2. Keterampilan berpikir kritis sangat perlu diimplementasikan dalam konteks pendidikan di Indonesia



3. Pemanduan keterampilan berpikir kritis atau cognitive coaching merupakan salah satu alternatif metode pengajaran berpikir kritis yang dapat diintegrasikan dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris di perguruan tinggi. 4. Keterampilan berpikir kritis mendorong terciptanya kelas yang lebih demokratis. 4.8 Rekomendasi 1. Pembudayaan keterampilan berpikir kritis harus mulai ditangani secara serius dan sistematis oleh pemerintah dengan memasukkan critical thinking dalam muatan kurikulum pengajaran bahasa. 2. Harus mulai dirintis pengembangan pemanduan keterampilan berpikir kritis atau cognitive coaching untuk pengajaran MKDU bahasa Inggris di perguruan tinggi. 3. Akan lebih baik bila cognitive coaching ini mulai dikembangkan sejak dini dalam persekolahan misalnya mulai dari jenjang pendidikan SMU. 4. Pengajar dan perumus kurikulum bahasa harus mulai meredefinisi dan mereorientasi kurikulum bahasa agar lebih ditekankan pada penguasaan berpikir kritis. 5. Untuk menakar efektivitas metode cognitive coaching dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris di perguruan tinggi, sebaiknya eksplorasi gagasan dalam karya tulis ini ditindaklanjuti dengan penelitian eksperimental. 4.9 Penutup Dalam memasuki abad ke-21 dimana dunia sudah mengglobal dan banjir informasi sudah mulai melanda seluruh kawasan dunia mengharuskan setiap negara untuk menyiapkan diri dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Perguruan tinggi mengemban amanah yang besar dalam peningkatan sumber daya manusia ini dengan berusaha menyediakan proses pembelajaran yang mampu mencetak lulusan-lulusan yang bernalar kritis. Bahasa yang memegang peran strategis dalam percaturan komunikasi global harus mulai diintegrasikan dengan pengajaran keterampilan berpikir kritis. Sehingga, pembelajar dapat menguasai kaidah bahasa, menerapkannya dalam komunikasi,



dan sekaligus mampu menguasai dan mengaplikasikan kaidah-kaidah berpikir kritis. Cognitive Coaching yang dipadukan dalam pengajaran MKDU bahasa Inggris di perguruan tinggi bisa dijadikan salah satu alternatif solusi untuk menjawab semua tantangan di atas. Upaya pengintegrasian ini harus mulai dirintis bukan hanya untuk pengajaran bahasa melainkan untuk pengajaran disiplin ilmu lain yang ada di perguruan tinggi.



DAFTAR PUSTAKA Alwasilah A. Chaedar. 2002. Critical Thinking Crucial to Global Success. Jakarta: Harian Umum The Jakarta Post. Alwasilah, A. Chaedar. 1994. Dari Cicalengka sampai Chicago: Bunga Rampai Pendidikan Bahasa. Bandung: Angkasa. Alwasilah, A. Chaedar. 2001. Language, Culture, and Education: a Portrait of Contemporarry Indonesia. Bandung: Indira. Alwasilah A. Chaedar. 2001. Pemutakhiran Metode Pembelajaran Bahasa. Bandung: Harian Umum Pikiran Rakyat. Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: Indira. Azies, Furqanul dan Chaedar A. 2000. Pengajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Costa, Art dan Robert Garmston. 1994. Cognitive Coaching. A Foundation for Renaissance Schools. Norwood, MA., Christopher-Cordon Publishers, Inc.



Available



on-line



at



http://emissary.ots.uteyas.edu/wings/cognitivecoaching.html. Dildy, Donna. Action Research: Cognitive Coaching as a Vehicle to Improve Teacher Efficacy. Available on-line at http://www.cognitivecoaching.com. Gokhale, Anuradha. 1995. Collaborative Learning Enhances Critical Thinking. Available



on-line



at



http://www.scholar.lib.vt.edu/ejournals/jte/jte-



v7n1/gokhale.jte-v7n1.html. Key,



Sylvia.



Cognitive



Coaching.



Available



on-line



at



http://www.smcoe.k12.ca.us/cyfs/cognitive.html. Kasih, Ekawahyu et al. 1999. Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru: Sebuah Konsep Upaya Praktis Peningkatan Pemerataan dan Kualitas. Jakarta: Grasindo. Makmun, Abin S. 1990. Pedoman Studi Psikologi Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung Press. Marquez,



Blessie.



Cognitive



Coaching.



Available



on-line



at



http://www.funderstanding.com/cognitivecoach.htm. Paul, Richard et al. 1995. Study of 38 Public Universities and 28 Private Universities to Determine Faculty Emphasis on Critical Thinking in Instruction.



Available



on-line



at



http://www.criticalthinking.org/schoolstudy.htm. Rachmat, Jalaludin. 1996. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Semiawan, Conny R. 1999. Pendidikan Tinggi: Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Grasindo. Sundayana, Wahyu. 1996. English for Social Science and Education. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. ---



2001. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Vol. 1, No. 1.Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI.



---



2000.



Overview



of



Cognitive



Coaching.



http://www.cogniticoaching.com/overview.htm.



Available



on-line



at