Pengalaman Menjadi Pembina [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGALAMAN MENJADI PEMBINA DI GUGUS DEPAN Disusun Oleh; Rosidin (NTA. 09.27.04.013)



TERKADANG pengalaman itu kejam. Ada pula yang menyenangkan bila dikenang. Tidak sedikit yang menjadi pelajaran. Pengalaman berarti-tidaknya, amat bergantung pada konteks kondisi sosiologis yang terlewati dan daya cerna kita. Semua kejadian hendaknya disikapi secara arif, agar kita mampu menangkap “hikmah” berharga dalam lintasan sejarah hidup ini. Dinamika hidup kepramukaan di tiap-tiap Gudep tentu saja berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman, tantangan, harapan dan kondisi serta situasi setempat. Namun, bukan berarti tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Antara pelbagai perbedaan itu sesungguhnya ada hukum dan pola universalitas yang memiliki nilai dan gerak persamaan. Salah satunya, kebutuhan untuk menentukan pola gerak ke depan menjadikan Gerakan Pramuka sebagai sebuah lembaga yang memiliki kesamaan visi antar anggotanya. Kali ini, saya akan memaparkan sebuah pengalaman pembinaan yang dilakukan di sebuah Gudep. Hal ini barangkali bisa menjadi setitik embun penyejuk, atau mutiara hikmah yang dapat memberi kecerahan bagi proses pembinaan di tempat dan waktu yang berbeda, tapi konteksnya sama. Deskripsi ini boleh jadi adalah sebuah ungkapan rasa, dongeng atau kisah semata yang terjadi pada seorang pembina. Tapi setidaknya memberi gambaran kepada para pembaca untuk menjadi bahan pertimbangan terutama dalam proses pembinaan. Mungkin juga untuk hal-hal lain, siapa tahu. Ini tidak dimaksudkan untuk mencorengkan Gugus depan saya. Juga tidak dimaksudkan untuk menjelekkan pelbagai tarekah sendiri: upaya pembina, usaha dan cara pengelolaan pembinaan. Apalagi mencerca pangkalan, tidak dimaksudkan untuk itu. Lebih menjadi sebuah upaya komunikasi untuk mencari tahu dan sharing pengalaman dengan para pembina atau praktisi pembinaan organisasi pendidikan lain. Gudep kami ada di pinggiran Kabupaten Pangandaran. Tepatnya, kecamatan perbatasan dengan wilayah kabupaten. Anak didiknya terdiri dari pramuka Siaga yang paling mendominasi dan dilengkapi oleh Pramuka Penggalang dua pasukan, putra dan putri. Anak didik secara umum mereka bertempat tinggal di kompleks perumahan. Sebagian kecilnya, 25% berada di pemukiman umum, atau anak-anak yang bertempat tinggal di pemukiman perumahan biasa. Latihan dilaksanakan seminggu sekali mengambil waktu hari Kamis, sehabis jam pelajaran di sekolah. Namun kadang-kadang, pembina mengadakan pemusatan latihan atau latihan tambahan hari-hari biasa. Memilih inisiatif hari Minggu untuk latihan tambahan. Latihan tambahan itu dimaksudkan dalam rangka memperdalam, memusatkan perhatian dan menggembleng keterampilan serta pengujian kecakapan tertentu. Partisipasi komponen lain Guru (pendidik mata pelajaran), langsung maupun tidak langsung, tentu memberi support baik, manakala latihan dilaksanakan Hari Kamis. Begitu juga



mabigus, pegawai dan pengajar lain. Tapi belakangan ini ada sejumlah tenaga pendidik sekolah yang meminta latihan digeser ke hari lain, yakni hari Sabtu. Sedangkan pembinanya sendiri agak keberatan untuk mengambil hari itu. Maka disepakati latihan menjadi hari Minggu untuk beberapa saat, sambil menunggu penetapan waktu tetap untuk latihan mingguan. Dari keseluruhan tenaga pengajar, sebagian besar mendukung proses pembinaan. Namun, ada kelompok tertentu yang kurang simpatik terhadap praktik-praktik pembinaan kepramukaan. Tapi tentu saja tidak menampakkan secara jelas-jelas ketidaksimpatikannya itu. Keadaan ini cukup mengganggu terhadap konsentrasi pembinaan yang dilakukan oleh pembina pramuka. Mengenai daya dukung orang tua/wali anak didik terhadap program kepramukaan sesungguhnya saya tidak memiliki data yang akurat. Tapi, secara kasar data ini dapat diperkirakan ada 35% orang tua murid sangat mendukung acara pembinaan ala pramuka itu dilaksanakan. Bahkan responsi mereka cukup positif untuk memberi dukungan pembinaan kepramukaan kepada anaknya. Nyatanya mereka amat memberi dukungan terhadap setiap aktivitas kepramukaan anak didik. Salah satu indikator dukungan itu, partisipasi mereka pada setiap kegiatan yang digelar. Termasuk, kepercayaan orang tua bahwa pembina pramuka akan bertanggung jawab dalam proses pembinaan yang dilakukannya. Tapi, sekali lagi kondisi ini terjadi sewaktu latihan di hari Kamis, hari latihan yang semi wajib bagi anak didik. Hasil pembinaan yang dirasakan ada beberapa kecenderungan anak didik dari mekanisme latihan yang telah dilakukan itu di antaranya, dapat diungkapkan berikut ini. Sasaran pembinaan watak dan keterampilan secara umum dipelajari terlebih dahulu potensi anak didik. Bila sudah diketahui gambaran umum kelebihan dan kekurangan anak didik itu, maka baru dibuat rumusan yang diarahkan pada pemenuhan kekurangan anak didik dan atau penyempurnaan kelebihannya. Adapun pengalaman mekanisme pembinaan di Gudep itu adalah membina di hari-hari latihan biasa, dengan menggunakan sistem semi diwajibkan. Responsi anak didik secara umum baik dan bersemangat. Kendati sebagian kecil, sekitar 4%, anak didik merasa terpaksa. Hingga terkesan hanya ikut-ikutan semata. Di samping itu, latihan secara khusus di hari lain dengan tidak diwajibkan, alias hanya anak-anak yang terpilih saja, untuk memperdalam, menguji dan memberi keterampilan khusus, 99% pesertanya dapat memperlihatkan responsi yang cukup baik. Keadaan ini terkadang cukup mengusik angan pembina untuk mengubah pola semi wajib menjadi seadanya, alias sukarela saja. Karena hal itupun akan merasa wajar untuk sebuah satuan paling depan pramuka (Gudep). Latihan lainnya bila ditawarkan kepada anak didik pada hari libur dengan maksud menyelamatkan prinsip–prinsip kepramukaan terutama “kesukarelaan” (Prinsip-prinsip Dasar Metodik Pendidikan Kepramukaan, PDMPK dulu) dan nilai-nilai Prinsip Dasar Kepramukaan – Metode Kepramukaan (PKD-MK yang baru), dengan tidak ada keterpaksaan anak didik, anak didik ternyata masih juga tidak memahami gerak pramuka sebagai sebuah latihan pramuka. Didukung oleh pengalaman pembina ketika mencoba terobosan latihan secara khusus, ternyata, mereka (anak didik) masih kurang meminati tawaran dalam sebuah latihan. Buktinya, hanya 10% saja yang mengikuti latihan kepramukaan. Itupun berguguran sepanjang perjalanan latihan alam pendekatan “kesukarelaan” itu. Padahal latihan disajikan dengan segala upaya



yang benar-benar divariasikan. Dan sesuai dengan prosedur minimal sebuah latihan kepramukaan. Apakah dukungan guru, sekolah, mabigus, orang tua menjadi faktor dominan yang menghilangkan motivasi anak didik untuk mengikuti kepramukaan: belum jelas asumsi ini. Namun jelas-jelas, keadaan ini telah menghilangkan peran aktif mereka untuk mengikuti, paling tidak latihan rutin kepramukaan. Agaknya, kebiasaan semi wajib yang ditongkrongi pendidik lain (guru), mabigus dan beberapa pegawai lain, telah memberi daya tawar tertentu bagi psikologis anak didik. Anak mau latihan kendati dalam “ketertekanan”. Dan seolah itulah praktik yang mungkin (?) menurut mereka paling pas dan dibenarkan. Perlu kerja bareng semua komponen pangkalan Pengalaman yang dirasakan oleh pembina ditinggalkan oleh para anak didik pada latihan rutin adalah pengalaman pahit. Tapi pengalaman berharga ini tentu disebabkan beberapa hal. Yang utama mungkin cara dan gaya pembina memberi tawaran kepada mereka. Sebab lain, salah satunya adalah peranserta para guru dan pegawai lain. Termasuk di antaranya orang tua wali anak didik. Ada baiknya untuk menggelindingkan mekanisme pembinaan yang sesuai dengan harapan bersama, antara pihak Gerakan Pramuka (gudep, pangkalan, kwartir) dengan pihak orang tua —pembinaan yang sesuai dengan konsepsi sesungguhnya Gerakan Pramuka— semua komponen mengadakan temu wicara untuk bagi-bagi keinginan dan informasi. Agar tidak muncul rasa saling mencurigai pada akhirnya. Sementara itu, sikap-sikap khusus sebagai pernyataan terhadap pembinaan pramuka juga perlu dibangun oleh masing-masing komponen dapat kita tuangkan secara singkat berikut ini. Mabigus, umpama, tidak seharusnya memaksakan diri untuk menetapkan Gudep wajib bagi anak didik. Karena akibat negatif tadi. Karena pada Gudep yang tidak menetapkan sejak semula “semi wajib” tidak mengalami kejadian tragis seperti ini. Kendati demikian, ada baiknya pula bila dikembangkan sikap balance. Bagi yang tidak mengikuti kegiatan, secara moral tidak diberi nilai plus. Paling tidak, atas alasan dari sisi aktivitas mereka sudah ketinggalan. Sesekali, guru atau pendidik lain, ada baiknya untuk mengikuti pembinaan. Pengalaman khusus yang terjadi, biasanya guru/pendidik mata pelajaran, merasa terbebaskan dari proses mendidik bila sudah waktu memasuki saat dipegangi oleh kepramukaan. Padahal, sesungguhnya, kedua praktik –sekolah dan kepramukaan— saling menunjang. Untuk itu, layak kalau mengadakan komunikasi dan pengamatan bersama untuk memformulasikan gerak pendidikan dan pengajaran yang lebih selaras, sejalan dan saling menunjang antara kepramukaan yang nota bene kegiatan ekstra, dengan intra dan kokurikuler. Beberapa pola kecenderungan dari pengalaman pembinaan yang dilakukan di Gudep kami, ada beberapa kecenderungan yang terjadi. Pertama, bila pembinaan dan latihan kepramukaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang diwajibkan, anak didik secara kasat mata mengikuti pembinaan. Namun mereka mengalami keterpaksaan psikologis. Dan akhirnya kalau tiba saatnya melakukan pemberontakan, mereka akan melakukan itu, seperti penolakan terhadap upaya pembinaan yang tidak sewarna dengan diwajibkan. Menolak dan meninggalkannya. Kejadian ini percis euforia yang terjadi pada masyarakat negeri ini, pada sekian waktu lamanya, kita berada dalam



ketertekanan, pada saatnya merasa bebas, kebebasan itu menjadi menjadi-jadi. Ini berbahaya dan sudah kebablasan. Kedua, dorongan dan dukungan pembina, orang tua, guru dan mabigus masih menempati peran yang cukup mendukung. Diwajibkan atau tidak proses pembinaan yang ada, baiknya tetap dijaga konsisitensinya oleh semua komponen yang terlibat. Letak peran mereka –mabigus dan pendidik– adalah pada pemberian perhatian yang pada gilirannya menyemangati pramuka. Ketiga, tawaran, mekanisme, pola dan perilaku pembina hendaknya selalu mengadakan up grade, agar apa yang ditangkap dan ditemukan anak di arena latihan menjadi sesuatu yang baru, unik, dan berbeda dengan yang lain yang sudah mereka rasakan dan saksikan selama ini. Dengan demikian, anak merasa dituntut untuk selalu menemukan dan mengikutinya.