Pengantar Sosiologi Politik PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

http://facebook.com/indonesiapustaka



EDISI REVISI



http://facebook.com/indonesiapustaka



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997, bahwa: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menye-



http://facebook.com/indonesiapustaka



barkan suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).



EDISI REVISI



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



PROF. DR. DAMSAR



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK Edisi Revisi Copyright © 2010 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-9413-16-8 306.2 13.5 x 20.5 cm xviii, 284 hlm Cetakan ke-4, Maret 2015 Cetakan ke-3, Maret 2013 Cetakan ke-2, Februari 2012 Cetakan ke-1, Maret 2010 Kencana. 2010.0257 Penulis Prof. Dr. Damsar Desain Sampul Irfan Fahmi Penata Letak Jefry Percetakan Kharisma Putra Utama



http://facebook.com/indonesiapustaka



Divisi Penerbitan KENCANA



Penerbit PRENADAMEDIA GROUP Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220 Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134 e-mail: [email protected] www.prenadamedia.com INDONESIA



Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.



KATA PENGANTAR EDISI REVISI Cetakan Kedua



Alhamdulillah buku Pengantar Sosiologi Politik diminati oleh banyak kalangan (mahasiswa, dosen, pengamat, peneliti, dan politisi). Ini merupakan sebuah penghargaan bagi penu­ lis dan sekaligus tantangan untuk memberikan perspektif sosiologis, yang menjadi kompetensi penulis yang berlatar belakang pendidikan linear dari strata satu hingga strata tiga dalam sosiologi pada lembaga pendidikan sosiologi, kepada khalayak pembaca.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Apa beda buku revisi ini dengan edisi sebelumnya? Pada buku ini, ditambah satu bab tentang partai politik, menjadikan poliitik sebagai suatu yang fungsional dan/atau bermakna. Penulis sangat sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam buku ini. Oleh sebab itu, dimohon kepada pembaca jika ada kritik dan saran silakan sampaikan ke alamat email yang ada. Untuk itu diucapkan terima kasih kepada pembaca, penerbit, rektor Universitas Andalas, dan rekan seperjuangan yang tidak dapat disebutkan nama dan kedudukannya satu per satu yang telah memberikan motivasi dan dorongan un­ tuk berkarya. Padang, Mei 2011



http://facebook.com/indonesiapustaka



KATA PENGANTAR



http://facebook.com/indonesiapustaka



Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah, Tuhan semesta alam, yang telah membukakan pintu pikiran untuk menyelami beberapa ide, pemikiran, dan gagasan yang bersemayam dalam lautan ilmu pengetahuan, yang tiada di­ ketahui berapa dalam dan luasnya. Oleh karena izin Allah­ lah, pengetahuan yang setetes tersebut bisa dimengerti dan dipahami, walaupun sebatas perepektif diri, serta keberanian untuk dan menyampaikannya kepada khalayak pembaca. Ka­ runia dalam bentuk keberanian itu diperlukan sebab semakin dibaca apa yang telah ditulis semakin banyak saja kekurang­ annya. Oleh sebab itu, betapa indah dan nikmatnya kebera­ nian itu. Jika tidak maka buku ini tidak mungkin akan sam­ pai ke tangan pembaca. Setelah lebih kurang 10 tahun mengajar sebagai dosen luar biasa pada mata kuliah Sosiologi Politik pada Program Pascasarjana Pendidikan IPS di Universitas Negeri Padang, tanpa sepengetahuan penulis karena berhalangan datang pa­ da suatu rapat pembagian mata kuliah, diberi pula amanah untuk mengasuh mata kuliah Sosiologi Politik pada semester ganjil 2009­2010 di rumah sendiri, yaitu Jurusan Sosiologi Universitas Andalas. Amanah tersebut diberikan mungkin di­ karenakan penghargaan kepada penulis yang sering dimin­



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



takan pendapat tentang fenomena dan realitas politik yang terjadi pada tingkat lokal maupun nasional oleh media massa lokal dan nasional. Gayung bersambut, penghargaan tersebut diapresiasi dengan persembahan buku Pengantar Sosiologi Politik ini kepada dua lembaga yang telah memberikan kesem­ patan untuk mengajarkan sosiologi politik, Jurusan Sosiologi Universitas Andalas dan Program Pascasarjana Pendidikan IPS Konsentrasi Sosiologi­Antropologi Universitas Negeri Padang. Apa yang membedakan buku Pengantar Sosiologi Politik ini dengan buku (Pengantar) Sosiologi Politik, baik berupa terjemahan maupun karangan penulis Indonesia sendiri, yang telah beredar di Indonesia selama ini? Sebelum buku ini ditu­ lis, pertama kali yang terpikirkan adalah buku ini akan diper­ sembahkan kepada semua mahasiswa sosiologi, ilmu politik, administrasi negara, pendidikan IPS, ilmu ekonomi dan bis­ nis yang belajar sosiologi politik serta khalayak umum yang tertarik untuk memahami politik melalui kacamata sosiologi. Penulis mencoba menjembatani semua perminatan yang dimi­ liki oleh para mahasiswa dengan beragam latar belakang keil­ muan dan khalayak umum dalam buku Pengantar Sosiologi Politik tersebut. Oleh sebab itu, salah satu pembeda dengan beberapa buku yang telah beredar adalah pembahasan lebih dalam tentang kekuasaan, merupakan inti dari politik, dalam dua bab yang berbeda. Pembeda berikutnya adalah penjelas­ an dan contoh dari topik bahasan merujuk pada fenomena dan realitas yang terjadi di Indonesia. Terakhir dan dipan­ dang sangat penting adalah penggunaan teori­teori sosiologi politik kontemporer dalam mendiskusikan tema­tema klasik sosiologi politik seperti sosialisasi politik, partisipasi politik, dan komunikasi politik.



viii



KATA PENGANTAR



Buku ini hadir ke hadapan pembaca, karena adanya du­ kungan dari Drs. H. Zubaidi, Direktur Prenadamedia, penu­ lis dimotivasi untuk menulis apa yang diajarkan kepada ma­ hasiswa dan diberi kesempatan untuk menerbitkannya. Oleh karena itu, ucapan terima kasih yang tulus ditujukan pada beliau. Juga tidak lupa diucapkan terima kasih kepada A.K. Anwar, Jeffryandi, dan tim editor yang telah memproses nas­ kah menjadi buku.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Buku ini didedikasikan kepada semua guru penulis keti­ ka masih sekolah dahulu, yaitu di SD No. 6 Tanjung Tiram Batu Bara, SMP Negeri Labuhan Ruku Batu Bara, dan SMA Negeri 2 Bukittinggi. Buku ini juga didedikasikan kepada se­ mua dosen penulis ketika kuliah di S1 Sosiologi Universitas Andalas, S2 Sosiologi Universitas Indonesia, dan S3 Sosiologi Universitas Bielefeld Jerman, khususnya para pembimbing/ promotor penulis ketika menulis skripsi (almarhum Prof. Dr. Abdul Aziz Saleh dan Prof. Dr. Imran Manan), tesis (Prof. Dr. Kamanto Sunarto dan Dr. Samuel Hanneman), dan di­ sertasi (Prof. Dr. Hans­Dieter Evers dan Prof. Dr. Solvay Gerke). Terima kasih, wahai para guru dan dosenku. Terima kasih juga ditujukan kepada Drs. Rinaldi Eka Putra, M.Si., kolega yang saling pengertian dalam memba­ gi waktu perkuliahan, termasuk pada mata kuliah sosiologi politik. Juga tidak dipungkiri bahwa para mahasiswa Pro­ gram Pascasarjana Pendidikan IPS Universitas Negeri Pa­ dang dan Program S1 Sosiologi Universitas Andalas yang mengambil mata kuliah Sosiologi Politik, teristimewa maha­ siswa S2 UNP yang mengambil Sosiologi Politik pada ang­ katan 2008/2009, telah memotivasi penulis untuk berkarya. Di antara para mahasiswa tersebut perlu disebut Eka Asih Febriani, S.Pd. yang telah memasok beberapa literatur serta



ix



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Sisca Yulia Jafrita dan Farisa Volianda yang telah membantu menomori indeks, terima kasih atas bantuannya. Ucapan terima kasih perlu juga disampaikan kepada Prof. Dr. Gumilar Soemantri, yang selalu memberikan pencerahan semasa S3 di Bilefeld, Prof. Dr. Nasikun sebagai mitra pada saat menjadi asesor sekaligus guru “njawani”, serta kepada Prof. Dr. Musliar Kasim, Rektor Unand yang telah memberi­ kan banyak kesempatan kepada penulis. Suatu bersifat pribadi, namun memiliki makna yang mendalam bagi terciptanya buku ini, adalah ketulusan dan kasih sayang Mardaleni, istri yang selalu setia, sabar, dan ta­ wakal dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Juga Inas Tsabita Rahma, ananda yang selalu paham tentang ayahnya, mendorong semangat “harus bisa ayah, tidak boleh bilang tidak bisa”’ dan sangat jenaka bila bercanda. Terimakasih istri dan anakku, kalian adalah penyejuk hatiku. Juga kepa­ da kakaknya Inas, Selvi Rahayu Putri, S.Sos., telah banyak membantu Inas, bunda dan ayah, diucapkan terima kasih.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tak ada gading yang tak retak, begitu kata pepatah. Oleh karena itu, terima kasih kepada pembaca yang mau mengi­ ikuti alur pikir penulis. Jika ada yang kurang berkenan, kri­ tik dan saran, mohon dikirimkan ke alamat e­mail: damsar_ [email protected].



Padang, 2010 Penulis



x



DAFTAR ISI



Kata Pengantar Edisi Revisi Cetakan Kedua Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar & Tabel Bab 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Politik



v vii xi xvii



1



A. Pengertian Sosiologi ................................................... 1 1. David B. Brinkerhoft dan Lynn K. White.................. 1 2. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt ........................ 5 B. Pengertian Politik...................................................... 10 C. Pengertian Sosiologi Politik ...................................... 12 D. Politik sebagai Kajian Interdisiplin ............................ 19



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bab 2 Pendekatan Sosiologis tentang Politik



21



A. Peletak Fondasi Sosiologi Politik .............................. 21 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Sumbangan Karl Marx (1818-1883) .................... 21 Sumbangan Emile Durkheim (1858-1917) ........... 26 Sumbangan Max Weber (1864-1920) ................... 30 Sumbangan Vilfredo Pareto (1848-1923).............. 39 Sumbangan Gaetano Mosca (1858-1941) ............. 40 Sumbangan Alexis de Tocqueville (1803-1859) ..... 42 Sumbangan Gabriel Tarde (1843-1901) ............... 44



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



B. Teori Sosiologi sebagai Pendekatan .......................... 45 1. 2. 3. 4.



Teori Struktural Fungsional .................................. 46 Teori Struktural Konflik ........................................ 52 Teori Interaksionisme Simbolis .............................. 56 Teori Pertukaran ................................................... 60



Bab 3 Kekuasaan



65



A. Apa itu Kekuasaan?.................................................. 65 B. Pemikiran Sosiologi tentang Kekuasaan ................... 68 1. 2. 3. 4.



Max Weber ........................................................... 68 Bertrand Russel .................................................... 71 Charles F. Andrain ................................................ 72 Michel Foucault .................................................... 74



C. (Re)produksi Kekuasaan ........................................... 75 1. Analisis Pertukaran .............................................. 75 2. Analisis Konflik..................................................... 77 3. Analisis Fungsional ............................................... 81 D. Distribusi Kekuasaan ................................................. 83 1. Konsep Distribusi Kekuasaan................................. 83 2. Stratifikasi Sosial sebagai Suatu Fenomena Distribusi Kekuasaan ............................................ 84 3. Proses dalam Distribusi Kekuasaan ....................... 90



http://facebook.com/indonesiapustaka



E. Konsumsi Kekuasaan................................................. 93 1. Konsep Konsumsi Kekuasaan................................. 93 2. Tujuan Konsumsi Kekuasaan ................................. 95 3. Cara Konsumsi Kekuasaan .................................... 96



BAB 4 TIGA PILAR KEKUASAAN



99



A. Apa itu Pilar Kekuasaan? ......................................... 99 B. Negara ..................................................................... 99 1. Pengertian Negara ................................................ 99 2. Asal-Usul Negara ................................................ 102



xii



DAFTAR ISI



3. Kegagalan Negara............................................... 108 C. Pasar ...................................................................... 110 1. 2. 3. 4.



Pengertian Pasar................................................. 110 Asal Usul Pasar ................................................... 111 Pasar yang Mengatur Dirinya Sendiri ................. 113 Kegagalan Pasar ................................................. 118



D. Civil Society............................................................. 124 1. 2. 3. 4.



Pengertian Civil Society....................................... 124 Asal Usul Civil Society ......................................... 126 Bagaimana Fenomena Civil Society di Indonesia.. 128 Gerakan Sosial: Kekuatan Civil Society ............... 129



E. Hubungan Tiga Pilar Kekuasaan ............................. 137 1. Hubungan antara Negara dan Pasar .................... 137 2. Hubungan antara Negara dan Civil Society .......... 143 3. Hubungan antara Pasar dan Civil Society ............ 145 4. Sinergisitas Tiga Pilar Kekuasaan......................... 147



Bab 5 Sosialisasi Politik



151



A. Pengertian Sosialisasi............................................. 151 1. Paul B. Horton dan Chester. L. Hunt.................... 151 2. David. B Brinkerhoff dan Lynn. K. White ............ 151 3. James W. Vander Zanden .................................... 152



http://facebook.com/indonesiapustaka



B. Pengertian Sosialisasi Politik ................................... 152 1. M. Rush dan P. Althoff ........................................ 153 2. A. Thio ............................................................... 153 3. Gabriel A. Almond .............................................. 153 C. Agen Sosialisasi Politik ........................................... 154 1. 2. 3. 4.



Keluarga ............................................................. 154 Sekolah .............................................................. 156 Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) ................ 164 Media Massa ...................................................... 165



D. Mekanisme Sosialisasi Politik................................. 166



xiii



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



1. 2. 3. 4. 5.



Imitasi ................................................................ 166 Instruksi ............................................................. 168 Desiminasi ......................................................... 169 Motivasi ............................................................ 169 Penataran........................................................... 170



E. Perkembangan Sosialisasi Politik ........................... 171 1. Cermin Diri Politik ............................................. 172 2. Pengambilan Peran Politik .................................. 174



Bab 6 Partisipasi Politik A. Pengertian Partisipasi.............................................. 177 B. Pengertian Partisipasi Politik................................... 179 1. 2. 3. 4.



Keith Fauls.......................................................... 179 Herbert McClosky ............................................... 180 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson ......... 180 Michael Rush dan Philip Althoff .......................... 180



C. Tipologi Partisipasi Politik....................................... 183 1. 2. 3. 4. 5. 6.



David F. Roth dan Frank L. Wilson ..................... 183 Michael Rush dan Philip Althoff .......................... 185 Gabriel A. Almond .............................................. 186 Robert D. Putnam ............................................... 186 Samuel P. Huntington dan Juan M. Nelson.......... 188 Lester Milbrath ................................................... 189



D. Alasan Partisipasi Politik ......................................... 191



http://facebook.com/indonesiapustaka



E. Stratifikasi Sosial dan Partisipasi Politik ................. 199



Bab 7 Komunikasi Politik



205



A. Pengertian Komunikasi .......................................... 205 1. Alo Liliweri ......................................................... 205 2. Anwar Arifin ...................................................... 206 3. Azriel Winnet...................................................... 206 B. Pengertian Komunikasi Politik ................................ 207



xiv



DAFTAR ISI



1. Michael Rush dan Philip Althoff .......................... 207 2. Karl W. Deutsch .................................................. 208 3. Hafied Cangara .................................................. 208 4. Miriam Budiarjo. dkk ......................................... 208 C. Fungsi Komunikasi Politik ....................................... 209 1. 2. 3. 4. 5.



Fungsi Informasi ................................................ 210 Fungsi Pendidikan............................................... 211 Fungsi Instruksi .................................................. 212 Fungsi Persuasi ................................................... 214 Fungsi Hiburan ................................................... 215



D. Model Komunikasi Politik ....................................... 216 1. Model Linier ....................................................... 217 2. Model Interaksi ................................................... 218 3. Model Transaksional ........................................... 219 E. Komunikator Politik ................................................ 220 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Politisi ................................................................ 220 Profesional ......................................................... 221 Aktivis ............................................................... 222 Tokoh Masyarakat .............................................. 222 Elit Birokrasi ...................................................... 223 Penyambung Lidah ............................................. 224



F. Antara Komunikasi, Kampanye, dan Marketing Politik ..................................................................... 225



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Kampanye Politik ............................................... 225 2. Marketing Politik ................................................ 234



Bab 8 Partai Politik



245



A. Pengertian Partai .................................................... 245 B. Pengertian Partai Politik ......................................... 246 1. G. Satori............................................................. 246 2. Miriam Budiardjo ............................................... 246 C. Fungsi Partai Politik ................................................ 246



xv



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



1. Sebagai Wahana Representasi Politik .................. 247 2. Sebagai Sarana Komunikasi Politik..................... 247 3. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik ....................... 249 4. Sebagai Sarana Partisipasi Politik....................... 251 5. Sebagai Sarana Perekrutan Politik ...................... 252 6. Sebagai Sarana Persuasi dan Represi Politik........ 253 7. Sebagai Sarana Mobilisasi Politik ....................... 254 8. Sebagai Sarana Mobilitas Sosial ......................... 254 9. Sebagai Kendaraan Politik .................................. 256 10.Sebagai Bunker politik ........................................ 259 D. Tipologi Partai Politik ............................................. 257



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. 2. 3. 4. 5.



Atas Dasar Jumlah Partai Politik ........................ 258 Atas Dasar Dukungan Massa .............................. 260 Atas Dasar Basis Perolehan Suara ....................... 261 Atas Dasar Primordialisme.................................. 262 Atas Dasar Rujukan Agama ................................ 263



Referensi



265



Indeks



275



Tentang Penulis



283



xvi



DAFTAR GAMBAR & TABEL



Daftar Gambar 1.1 Hubungan antara Masyarakat dan Politik .............. 13 1.2 Cara Pandang Sosiologi Terhadap Fenomena Politik .................................................................... 18 13



Tumpang-tindih Fokus Perlakuan antara Ilmu Politik dan Sosiologi dalam Kajian tentang Politik . 20



3.1 Kekuasaan, Kewenangan, dan Paksaan Menurut Max Weber............................................................. 66 3.2 Stratifikasi Model Karl Marx ................................. 86 3.3 Stratifikasi Model Max Weber ................................ 88 3.4 Stratifikasi Sosial Model Gerhard Lenski .............. 89 4.1 Tipologi Gerakan Sosial Aberle dengan Penajaman Henselin .............................................................. 135



http://facebook.com/indonesiapustaka



4.2 Segitiga Sinergi Peran antara Negara, Pasar, dan Civil Society serta Arah Perubahannya dalam Kehidupan Umat Manusia ................................... 148 5.1 Hubungan antar Persyaratan Fungsional ............. 159 6.1 Piramida Partisipasi Politik .................................. 184 6.2 Hierarki Partisipasi Politik ................................... 185 6.3 Suatu Model Skematis Stratifikasi Politik ............ 188 7.1 Model Komunikasi Maswell ................................. 217 7.2 Model Komunikasi Massa Politik ........................ 218 7.3 Model Interaksi Komunikasi Politik ..................... 219



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Daftar Tabel 1.1 Fenomena Politik ................................................... 17 2.1 Perbandingan karakteristik antara Saidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik........................... 29 3.1 Tipe-tipe Sumber Daya Kekuasaan ........................ 73 5.1 Bentuk Sosialisasi Politik ..................................... 155 5.2 Sistem Tindakan dan Persyaratan Fungsional ...... 160 6.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik ......................... 186



http://facebook.com/indonesiapustaka



7.1 Perbandingan antara Kampanye Politik dan Kampanye Pemilu ................................................ 229



xviii



1 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI POLITIK



A. PENGERTIAN SOSIOLOGI



http://facebook.com/indonesiapustaka



Membuat batasan suatu kajian ilmu itu sangat diperlu­ kan untuk menentukan ruang kajian keilmuan, namun pe­ kerjaan tersebut tidaklah mudah, termasuk membuat ba­ tasan sosiologi. Dalam merumuskan batasan suatu kajian ilmu, biasanya para ilmuwan memberikan pengertian atau membuat definisi. Ketidakmudahan membuat batasan mun­ cul pada saat menelusuri pengertian atau definisi para ilmu­ wan tentang suatu ilmu, karena para ilmuwan berbeda­beda dalam memberikan pengertian atau definisi. Oleh sebab itu, perlu dijelaskan apa pengertian atau definisi sosiologi yang digunakan untuk memahami sosiologi politik ini. Sebelum dirumuskan batasan atau pengertian sosiologi yang dipakai dalam tulisan ini, ada baiknya ditelusuri ba­ gaimana pendapat para sosiolog tentang hal ini. Untuk me­ mahami pengertian sosiologi secara lebih luas dan dalam, berikut disajikan dua pandangan berbeda dari para sosio­ log.



1. David B. Brinkerhoft dan Lynn K. White Brinkerhoft dan White (1989: 4), mengemukakan pen­



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



dapat bahwa sosiologi merupakan studi sistematik tentang interaksi sosial manusia. Penekanannya pada hubung­an­ hubungan dan pola­pola interaksi, yaitu bagaimana pola­ pola tersebut tumbuh­kembang, bagaimana mereka diper­ tahankan, dan juga bagaimana mereka berubah. Agar dapat memahami batasan Brinkerhoft dan White tersebut, pertama kali perlu mengerti tentang definisi interak­ si sosial. Konsep interaksi sosial diartikan di sini sebagai suatu tindakan timbal balik antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi. Suatu tindakan timbal­balik, oleh karena itu, tidak mungkin terjadi apabila tidak dilaku­ kan oleh dua orang atau lebih. Kita ambil sebuah kasus beri­ kut. Tirto melempar batu ke sungai adalah suatu tindakan, namun hal itu belum dapat dikategorikan sebagai tindakan sosial, apalagi sabagai interaksi sosial. Namun apabila Tirto melempar batu ke sungai agar temannya, Hidayat, yang se­ dang di seberang sungai melihat dia. Maka aktifitas seperti itu dapat dipandang sebagai tindakan sosial, yaitu suatu tindakan individu yang memiliki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain. Tindakan sosial Tirto melempar batu ke sungai baru dapat dianggap sebagai interaksi sosial apabila Hidayat di seberang sungai sana melihat dan melambaikan tangan kepadanya. Dengan demikian, tindakan Tirto melempar ditanggapi de­ ngan tindakan Hidayat melihat dan melambaikan dilihat se­ bagai tindakan timbal­balik antara dua orang aktor. Tindakan timbal­balik antara Tirto dan Hidayat tersebut telah memenuhi dua unsur bagi terbentuknya suatu inter­ aksi sosial, yaitu kontak dan komunikasi. Kontak dipandang sebagai tahap permulaan untuk terjadinya interaksi sosial. Kontak merupakan kata serapan dari bahasa Latin, yaitu con



2



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



atau cum dan tango. Con diartikan sebagai bersama­sama, sedangkan tango bermakna menyentuh. Dengan demikian, secara harfiah makna dari kontak adalah bersama­sama me­ nyentuh. Kontak tidak selalu diikuti dengan hubungan tatap muka atau pertemuan fisik, seperti berjabat tangan, berte­ gur sapa, atau bertukar salam dalam suatu ruang yang sama. Kontak juga bisa dilakukan dengan tidak bersentuhan secara fisik dan dalam ruang yang berbeda, misalnya kontak dengan teman yang berada di kota yang berbeda dengan mengguna­ kan teknologi komunikasi informasi modern, seperti telepon dengan berbagai jenisnya, Internet, dan lainnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kembali pada kasus Tirto dan Hidayat di atas, setelah tin­ dakan Tirto melempar batu ke dalam sungai, dari seberang sungai Hidayat memandang si pelempar batu ke sungai, yang ternyata temannya Hidayat. Pada saat Hidayat meman­ dang Tirto, terjadi kontak antara mereka berdua, yaitu kon­ tak mata. Interaksi sosial belum terjadi apabila hanya ada kontak tanpa diiringi dengan komunikasi. Dalam kehidupan sehari­ hari, Anda telah banyak melakukan kontak dengan orang lain tanpa diikuti dengan komunikasi. Pada saat perjalanan menuju tempat kerja, misalnya, Anda mengalami banyak kon­ tak dengan orang lain seperti berpapasan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang seperti pedagang ason­ gan, pengamen, pengendara sepeda motor, dan lainnya. Pada saat berpapasan, Anda saling menatap dengan orang­orang tersebut, tetapi tidak selalu dilanjutkan dengan komunikasi. Sekarang mari kita coba pahami apa itu komunikasi? Kata komunikasi yang diserap dari bahasa Inggris, communication, berakar dari perkataan bahasa Latin, yaitu communico memiliki makna sebagai membagi, communis ber­



3



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



arti membuat kebersamaan, communicare yang maknanya berunding atau bermusyawarah, atau comminicatio yang me­ miliki arti sebagai pemberitahuan, penyampaian atau pem­ berian. Berdasarkan pengertian kata tersebut, maka komu­ nikasi dapat dijelaskan sebagai suatu proses penyampaian informasi timbal­balik antara dua orang atau lebih. Informasi yang disampaikan dapat berupa kata­kata, gerak tubuh, atau simbol lainnya yang memiliki makna. Makna­makna dari suatu kata, gerak tubuh atau simbol lainnya, menurut Herbert Blumer, berasal dari interaksi sosial seseorang de­ ngan orang lain. Dalam kaitan dengan kasus Tirto dan Hidayat, tindakan Tirto melempar batu ke dalam sungai memiliki arti, yaitu se­ bagai suatu sapaan kepada Hidayat yang sedang di seberang sungai. Sapaan seperti itu dilakukan Tirto karena pada saat itu dia punya masalah dengan tenggorokan, sehingga dia tidak bisa berteriak kencang memanggil Hidayat. Ketika Hidayat mendengar suara percikan air dari batu yang dilemparkan, dia mencari sumber, siapa gerangan si pelempar batu ke sun­ gai? Hidayat menemukan seseorang di seberang sungai sana, ternyata Tirto, teman sekantornya. Selanjutnya, Hidayat dan Tirto sekilas saling kontak mata. Kemudian Hidayat melam­ baikan tangan ke arah Tirto. Adegan interaksi tersebut telah bisa dikatakan sebagai komunikasi, yaitu pertukaran infor­ masi timbal­balik antara Tirto dan Hidayat—Tirto melem­ par batu ke dalam sungai dijawab oleh Hidayat dengan lam­ baian tangan. Pada adegan ini, informasi yang dipakai beru­ pa simbol lemparan batu ke dalam sungai oleh Tirto dan gerak tubuh oleh Hidayat. Informasi berupa kata­kata belum dipakai. Pada adegan interaksi berikutnya terbuka kemung­ kinan penggunaan kata­kata, misalnya sambil melambaikan



4



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



tangan ke arah Tirto, Hidayat meneriakkan, “apa kabar? Mau ke mana?”. Tirto menjawab dengan mengacungkan jempol beberapa kali dan selanjutnya mengarahkan telunjuk ke salah satu arah jalan. Apa yang dilakukan oleh Tirto terse­ but diinterpretasi Hidayat sebagai Tirto dalam keadaan sehat dan akan pergi ke arah sana. Makna tersebut berasal dari interpretasi Hidayat terhadap proses interaksi sosial yang se­ dang berlangsung. Definisi sosiologi dari Brinkerhoft dan White memosisi­ kan manusia sebagai manusia yang aktif­kreatif. Manusia di­ pandang sebagai pencipta terhadap dunianya sendiri. Proses penciptaan tersebut berlangsung dalam hubungan interper­ sonal. Oleh karena itu, sosiologi yang dikembangkan lewat definisi ini adalah sosiologi mikro.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt Berbeda dengan definisi sebelumnya, Horton dan Hunt (1987: 3), merumuskan definisi sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat. Untuk memahami definisi ini, pertama kali harus paham tentang batasan masyarakat. Banyak batasan tentang masyarakat yang telah dibuat oleh para sosiolog (Soekanto, 1997). Dari berbagai batasan yang ada tersebut, untuk kepentingan pe­ mahaman batasan sosiologi politik, menarik untuk dipahami dua batasan masyarakat yang dikemukakan oleh Horton dan Hunt (1987: 59) dan Peter L. Berger (1966). Horton dan Hunt (1987: 59), merumuskan batasan ma­ syarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama­sama cukup lama, yang men­ diami suatu wilayah mandiri, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam ke­



5



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



lompok tersebut. Batasan Horton dan Hunt ini relatif jelas tanpa perlu diberi penjelasan tambahan, kecuali konsep ke­ budayaan. Seperti halnya konsep masyarakat, konsep kebudayaan dirumuskan batasannya secara berbeda oleh berbagai ahli kebudayaan dan sosiologi. Berikut ini disajikan dua rumusan batasan tentang kebudayaan, yaitu batasan dari Sir Edward Tylor serta Horton dan Hunt. Tylor merumuskan batasan ke­ budayaan sebagai kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh se­ seorang sebagai anggota masyarakat. Rumusan batasan ten­ tang kebudayaan dari Tylor merupakan definisi kebudayaan yang klasik, seiring dengan perkembangan ilmu sosial pada masa itu. Dalam rumusan Tylor dipandang bahwa seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial. Pemikiran seperti ini memberi kesan bahwa manusia adalah makhluk yang pasif, karena ia hanya sebagai pewaris, bu­ kan pencipta kebudayaan. Pemikiran tersebut bisa dipahami karena semua unsur yang disebutkan oleh Tylor di atas su­ dah ada sebelum seseorang lahir dan ia hanya menggunakan apa yang diwarisinya tersebut. Ketika seorang anak manusia lahir di Indonesia dia sekadar mendapati bahwa cara men­ gupas mangga bermula dari sisi dalam menuju ke arah luar. Dia akan kaget karena ternyata ketika dia berada di Eropa orang mengupas mangga bermula dari sisi luar menuju ke arah dalam. Sedangkan Horton dan Hunt (1987: 58), merumuskan batasan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Rumusan batasan Horton dan Hunt tersebut



6



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



memosisikan manusia tidak hanya sebagai insan yang pasif yaitu mempelajari apa yang telah ada, tetapi juga sebagai in­ san yang aktif yaitu mengalami bersama secara sosial. Pada saat lahir ke dunia, manusia belajar tentang berbagai macam unsur budaya, seperti pengetahuan, keyakinan, moral, hu­ kum, adat istiadat dan sebagainya melalui, terutama, orang tua dan anggota dewasa keluarga batih lainnya. Selain itu, manusia mempunyai pengalaman baru bersama yang ber­ beda dari pengalaman yang mereka warisi sebelumnya. Melalui rumusan batasan budaya seperti di sebut di atas, menurut Horton dan Hunt (1987: 58), seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial, dan pada gi­ lirannya, bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenal­ kan perubahan­perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi yang berikutnya. Untuk memahami pandangan Horton dan Hunt tersebut, mari kita ambil suatu contoh. Dalam keluarga muslim, misalnya, anak­anak diajar­ kan berbagai macam tata kelakuan dan tata tertib kehidupan, seperti makan dilakukan dalam keadaan duduk, dilarang berdiri. Namun ketika dewasa, berbagai acara jamuan ma­ kan pesta dilakukan dalam keadaan berdiri. Budaya makan yang diwarisi dari orang tuanya tersebut dimungkinkan ter­ jadinya perubahan manakala dia menemukan berbagai pe­ ngalaman baru dan memandang pengalaman baru tersebut sebagai sesuatu yang lebih baik dari yang lama. Perubahan tersebut mengkristal dalam perilaku dan tindakan kesehari­ annya. Selanjutnya, sesuatu yang dipandang baik dalam ben­ tuk pengalaman baru tersebut ditransmisi atau diwariskan kepada generasinya atau berikutnya. Kembali kepada rumusan batasan masyarakat dari Horton dan Hunt, pengertian tersebut menempatkan sosiologi pa­



7



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



da tataran makro. Bisa pengertian kebudayaan dalam ma­ syarakat dipahami melalui perspektif Tylor, maka sosiologi diposisikan pada tataran makroobjektif, yaitu tataran makro yang berada di luar sana, bersifat eksternal. Sebaliknya, apa­ bila dipahami melalui pandangan Horton dan Hunt sendiri, maka sosiologi ditempatkan pada tataran makro objektif­ subjektif, yaitu makro yang berada di luar sana (eksternal), juga dapat makro yang berasal dari kesadaran individu (in­ ternal).



http://facebook.com/indonesiapustaka



Berbeda dengan Horton dan Hunt, menurut P. L. Berger, masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan kompleks hubungan yang luas sifatnya. Maksud keseluruhan kompleks hubungan adalah adanya bagian­bagian yang membentuk ke­ satuan. Misalnya, tubuh manusia terdiri dari berbagai macam organ seperti jantung, hati, limpa, pembuluh darah, jaringan otak, dan sebagainya. Keseluruhan bagian yang ada mem­ bentuk suatu sistem yang dikenal sebagai manusia. Analogi bagian­bagian dalam masyarakat adalah hubungan sosial, seperti hubungan antarjenis kelamin, hubungan antar­usia, hubungan antar dan inter keluarga, hubungan perkawinan, dan seterusnya. Keseluruhan hubungan sosial tersebut dike­ nal dengan masyarakat. Hubungan­hubungan tersebut tidak terbentuk secara ti­ dak beraturan atau sembarangan, tetapi sebaliknya hubung­ an tersebut memiliki semacam keteraturan atau pola. Se­ perti hubungan persahabatan dalam kehidupan keseharian memiliki pola yang berbeda dengan hubungan pertemanan. Hubungan persahabatan menuntun para sahabat untuk saling membantu, saling berbagi, dan saling mendukung. Tuntunan berperilaku saling secara positif tersebut dikenal sebagai re­ siprositas. Asas resiprositas merupakan dasar pembentuk po­



8



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



la hubungan. Apabila asas resiprositas dilanggar oleh salah satu aktor pembentuk suatu hubungan persahabatan, maka hubungan persahabatan bisa bubar. Keteraturan hubungan persahabatan ditandai oleh konsistensi dalam implementasi asas resiprositas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Oleh karena itu, masyarakat, berdasarkan definisi Berger, dilihat sebagai sesuatu yang menunjuk sistem interaksi. Sistem adalah sekumpulan dari bagian atau komponen­komponen yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Dari pengertian tersebut, maka sistem memiliki karakteristik se­ bagai berikut: a.



Terdiri dari berbagai/banyak bagian atau komponen.



b.



Bagian­bagian dari sistem berjalin­kelindan satu sama lain dalam hubungan saling ketergantungan.



c.



Suatu keseluruhan atau totalitas menunjuk pada kom­ pleksitas hubungan yang harus dipahami secara holis­ tis.



Sementara konsep interaksi, seperti telah dipahami sebe­ lumnya, sebagai tindakan yang terjadi paling kurang antara dua orang yang saling memengaruhi perilakunya. Dari defi­ nisi tersebut maka hubungan persahabatan seperti yang telah didiskusikan di atas dapat dipandang sebagai suatu bentuk masyarakat. Berbeda dengan definisi Horton dan Hunt yang lebih menekankan pada aspek ruang dan kuantitas, Berger lebih menekankan pada aspek kualitas dan konstruktif. Setelah dijelaskan tentang dua definisi yang berbeda tentang sosiologi, di mana posisi kita dalam melihat politik? Posisi kita di sini adalah menggabungkan dua definisi di atas. Dengan cara itu, kita melihat sosiologi sebagai studi ilmiah



9



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



tentang masyarakat yang di dalamnya terdapat proses inter­ aksi sosial. Dengan definisi seperti itu, kita dapat menga­ takan bahwa interaksi interpersonal seperti interaksi sosial antara Tirto dan Hidayat di atas; interaksi antara individu dan kelompok seperti antara ketua umum partai dan para kader, dan interaksi antarkelompok (masyarakat) seperti koa­ lisi antara partai mengusung suatu calon untuk pemilihan presiden atau kepala daerah sebagai kajian sosiologi. Dengan kalimat lain, posisi kita berada antara tataran sosiologi mikro dan makro serta antara realitas objektif (eksternal) dan rea­ litas subjektif (internal).



http://facebook.com/indonesiapustaka



B. PENGERTIAN POLITIK Politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang ber­ arti kota, negara kota. Dari polis berkembang konsep polites yang bermakna warga negara dan konsep politikos yang ber­ arti kewarga negaraan. Dari penjelasan etimologis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa Inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Kalau kita lanjutkan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari bahasa yang berbeda terse­ but, dari bahasa Inggris maupun Yunani, maka politik dapat dipahami sebagai suatu proses dan sistem penentuan dan pe­ laksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara da­ lam negara (kota). Sekarang mari kita telusuri pandangan dari berbagai ahli ilmu sosial dan politik tentang pengertian politik, yaitu antara lain: 1.



10



Harold D. Lasswell (1936), merumuskan batasan poli­



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



tik sebagai “siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”. 2.



Hans J. Morgenthau (1960), menjelaskan politik seba­ gai pertarungan untuk memperoleh kekuasaan.



3.



E. F. Schattschneider (1960), menemukan politik seba­ gai seni dan ilmu dari pemerintahan.



4.



David Easton (1981), menerangkan politik sebagai po­ la­pola kekuasaan, aturan dan kewenangan.



5.



Carl Schmitt (1976), mendefinisikan politik sebagai kon­ flik murni, antara sini melawan sana.



6.



Bernard Crick (1964) mengemukan politik sebagai pe­ nyelarasan kepentingan­kepentingan yang saling ber­ tentangan lewat kebijakan publik.



7.



Maurice Duverger (1082), melihat bahwa hakikat politik bersifat ambivalen. Di satu sisi politik merupakan kon­ flik untuk meraih kekuasaan, di mana individu atau ke­ lompok yang memegangnya cenderung untuk memper­ tahankan dominasinya terhadap masyarakat. Sedangkan individu atau kelompok yang berkuasa berusaha untuk menentang bahkan merebutnya. Di sisi lain politik seba­ gai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan kea­ dilan.



8.



James A. Caporaso dan David P. Levine (2008) memberi pengertian politik sebagai pemerintahan, publik, dan alo­ kasi nilai oleh pihak yang berwenang.



Dengan pengertian politik seperti yang dikemukakan oleh para ahli di atas maka politik dipahami sebagai kekua­ saan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebi­



11



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



jakan (policy), pengambilan keputusan (decisionmaking), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).



C. PENGERTIAN SOSIOLOGI POLITIK Sosiologi politik dapat dirumuskan batasannya dengan dua cara. Pertama, sosiologi politik dirumuskan batasan­ nya sebagai suatu kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial, dengan politik. Dalam hubungan tersebut, bisa dilihat bagaimana masyarakat memengaruhi politik. Juga sebaliknya, bagaima­ na politik memengaruhi masyarakat.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dengan pemahaman konsep masyarakat seperti di atas, maka sosiologi politik mengkaji masyarakat, yang di dalamnya terdapat proses dan pola interaksi sosial, dalam hubungannya dengan politik. Hubungan dilihat dalam sisi saling pengaruh memengaruhi. Masyarakat sebagai realitas eksternal­objektif akan menuntun individu dalam melakukan kegiatan politik seperti apa saja yang boleh dipolitikkan, bagaimana melaku­ kannya, dan di mana politik boleh dilakukan. Tuntunan ter­ sebut biasanya berasal dari norma, etika, adat, dan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya, bagaimana politik memengaruhi masyara­ kat, yang di dalamnya ada proses interaksi sosial? Ketika suatu keputusan politik telah ditetapkan dan disahkan men­ jadi undang­undang yang mempunyai kekuatan hukum, mi­ salnya Undang­Undang tentang Pemerintah Daerah, maka keputusan politik tersebut akan memengaruhi masyarakat, termasuk orang atau kelompok orang yang menciptakan ke­ putusan tersebut. Untuk memudahkan pemahaman, berikut disajikan Gam­



12



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



bar 1 yang menggambarkan hubungan antara masyarakat dan politik. Masyarakat



Interaksi sosial: proses dan pola



Hubungan imbal balik



Poliik (proses dan sistem): kebijakan, pengambilan keputusan, kekuasaan, negara, dan pembagian (distribuion) atau alokasi (allocaion), dan lain-lain.



Hubungan inklusif



Gambar 1.1 Hubungan antara Masyarakat dan Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dari figur di atas diperoleh pemahaman bahwa masya­ rakat merupakan suatu realitas yang di dalamnya terjadi proses interaksi sosial dan terdapat pola interaksi sosial. Hu­ bungan antara politik dan masyarakat, termasuk di dalam­ nya ada proses interaksi (seperti, sosialisasi politik, partisi­ pasi politik, perekrutan politik, dan komunikasi politik) dan pola interaksi (seperti, budaya politik dan ideologi politik), bersifat saling memengaruhi atau pengaruh timbal balik. Kedua, sosiologi politik didefinisikan sebagai pendekat­ an sosiologis yang diterapkan pada fenomena politik. Pen­ dekatan sosiologis terdiri dari konsep­konsep, variabel­va­ riabel, teori­teori, dan metodologi yang digunakan dalam sosiologi untuk memahami kenyataan sosial, termasuk di da­ lamnya kompleksitas aktivitas yang berkaitan dengan proses dan sistem politik, yang di dalamnya terdapat kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public



13



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



life), pemerintahan (governement), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decisionmaking), dan pem­ bagian (distribution) atau alokasi (allocation). Konsep merupakan pengertian yang menunjuk pada sesuatu. Apa yang membedakan antara orang kebanyak­ an dan sosiolog (ahli sosiologi) ketika berdiskusi tentang masyarakat? Perbedaannya adalah terletak pada konsep yang digunakan. Orang kebanyakan menggunakan konsep sosial sedangkan sosiolog memakai konsep sosiologis. Apa beda antara keduanya? Konsep sosial adalah konsep keseharian yang digunakan untuk menunjuk sesuatu dan yang dipaha­ mi secara umum dalam suatu masyarakat. Sedangkan kon­ sep sosiologis merupakan konsep yang digunakan sosiologi untuk menunjuk sesuatu dalam konteks akademik. Dalam dunia keseharian, orang kebanyakan mendiskusikan banyak hal tentang masyarakat di berbagai tempat, misalnya di kedai kopi, warung, tempat kerja, ataupun di rumah. Dalam dun­ ia keseharian, orang kebanyakan, misalnya, menggunakan konsep sosialisasi menunjuk pada pengertian sesuatu yang baru yang perlu diperkenalkan pada sekelompok orang yang belum tahu. Ketika ada suatu program baru tentang pengen­ tasan kemiskinan yang sedang diperkenalkan, maka orang kebanyakan mengatakan peristiwa tersebut sebagai sosial­ isasi program pengentasan kemiskinan. Sedangkan dalam dunia akademik, konsep sosialisasi, merupakan suatu proses mempelajari nilai, norma, peran dan semua persyaratan lain­ nya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam masyarakat, termasuk dalam aspek politik dari kehidupan. Dengan demikian, terdapat perbedaan yang sig­



14



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



nifikan tentang pengertian sosialisasi antara orang kebanyak­ an dan sosiolog.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Mari kita ambil contoh perbedaan pemakaian konsep yang lain. Dalam kehidupan keseharian, kita menemukan perbedaan posisi, peran, dan perlakuan antar­individu dan antarkelompok dalam suatu komunitas. Dalam masyarakat tradisional Minangkabau, misalnya, mengenal konsep ting­ katan kemenakan untuk membedakan posisi, peran dan per­ lakuan terhadap seseorang untuk diayomi, diasuh atau di­ kuasai. Ada tiga tingkatan kemenakan dalam masyarakat Minangkabau, yaitu kemenakan di bawah dagu, kemenakan di bawah pusat, dan kemenakan di bawah lutut. Kemenakan di bawah dagu merupakan kemenakan yang memiliki hubungan darah dengan pengayom. Kemanakan di bawah pusar menunjukkan kemenakan yang datang dari daerah lain, biasanya satu marga dengan pengayom. Sedangkan kemenakan di bawah pusar adalah kemenakan yang berasal dari budak. Semakin tinggi posisi kemenakan, semakin baik perlakuan pengayom. Konsep tingkatan kemenakan dalam masyarakat Minangkabau, oleh sosiolog dikenal dengan kon­ sep stratifikasi sosial, yaitu penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimilikinya. Perbedaan yang sering dipakai untuk menentukan stratifikasi sosial seseorang dalam kelompok didasarkan pada status sosial ekonomi yang meliputi pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Berdasarkan dua contoh perbedaan penggunaan konsep di atas, ternyata terdapat hal yang berbeda. Pertama, kon­ sep yang sama, dalam hal ini konsep sosialisasi, memiliki pe­ ngertian atau rumusan batasan yang berbeda antara orang kebanyakan dan sosiolog. Kedua, kenyataan atau peristiwa yang sama, dalam hal ini perbedaan kemenakan, digunakan



15



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



konsep yang berbeda, yaitu tingkatan kemenakan bagi orang Minangkabau dan stratifikasi sosial bagi sosiolog. Variabel merupakan konsep akademik, termasuk sebagai konsep sosiologis, bukan konsep sosial. Variabel dipandang sebagai konsep yang mempunyai variasi nilai. Stratifikasi so­ sial, misalnya, dapat disebut sebagai variabel, karena strati­ fikasi sosial memiliki variasi nilai, yaitu tinggi, menengah, dan bawah.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Teori merupakan abstraksi dari kenyataan yang menya­ takan hubungan sistematis antara fenomena sosial. Ketika seorang sosiolog, misalnya, melakukan penelitian tentang so­ sialisasi dalam keluarga petani, pedagang, dan guru ternyata ditemukan perbedaan pola sosialisasi antara ketiga keluarga. Melalui pengamatan (observasi) dan wawancara mendalam dengan berbagai macam orang tua ditemukan bahwa posisi dan status orang tua memengaruhi anak­anak mereka da­ lam bersosialisasi. Maka, sang sosiolog bisa mengabstrak­ sikan kenyataan tersebut dengan kalimat sebagai berikut: “stratifikasi sosial orang tua akan memengaruhi sosialisasi anak­anak mereka”. Kalimat tersebut bisa dipandang se­ bagai teori. Karena kalimat tersebut menjelaskan tentang hubungan antara fenomena stratifikasi sosial orang tua dan sosialisasi anak­anak mereka. Teori dalam sosiologi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali. Perkembangan teori dilihat dari teori yang dibangun oleh peneruka utama sosiologi, seperti Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan lainnya. Dari basis pandangan tokoh tersebut berkembang berbagai teori sosiologi modern, seperti struktural fungsional, struktural konflik, teori interaksionisme simbolis, teori dramaturgi, dan teori pertukaran. Selanjutnya, berkembang pula serta teori



16



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



post­modern dan teori kritis. Sedangkan metodologi sosiologi berkembang dalam pen­ dekatan kualitatif dan kuantitatif yang meliputi metode sur­ vei, studi kasus, observasi partisipasi, analisis sekunder, dokumen, eksperimen, grounded research, focus group discussion (diskusi kelompok terfokus/FGD), dan sebagainya. Metodologi penelitian merupakan alat yang penting dalam melakukan penelitian. Dalam melakukan penelitian sosiologi, termasuk ten­ tang politik, terdapat beberapa langkah penelitian ilmiah. Dalam penelitian ilmiah terdapat delapan langkah dasar, yaitu memilih suatu topik, mendefinisikan masalah, men­ injau bahan pustaka, merumuskan suatu hipotesis, memilih suatu metode penelitian, mengumpulkan data, menganalisis hasil, dan menuliskan laporan penelitian. Langkah dasar ini bisa diperpanjang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Adapun fenomena­fenomena yang termasuk dalam fe­ nomena politik adalah seperti yang disajikan dalam tabel di bawah ini.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tabel 1.1 Fenomena Poliik Kekuasaan (power) Kewenangan (authority) Kehidupan publik (public life) Pemerintahan (government) Negara (state) Konlik dan resolusi konlik (conlict dan conlict resoluion) Kebijakan (policy) Pengambilan keputusan (decision making) Pembagian (distribuion) atau alokasi (allocaion) Demokrasi Sosialisasi poliik Budaya poliik



17



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK Komunikasi poliik Parisipasi poliik Perekrutan poliik Perilaku poliik Partai poliik Ideologi poliik Produksi poliik Konsumsi poliik Perubahan dan pembangunan poliik Poliik dan mobilitas sosial dan lain-lain



Dari tabel di atas terlihat bahwa fenomena politik sa­ ngat banyak dan beragam. Fenomena tersebut di atas berada tidak hanya pada tataran mikro seperi perilaku politik tetapi juga ada pada tataran makro seperti ideologi politik. Selain itu, tidak hanya menyangkut sebagai realitas subjektif seperti partisipasi politik, tetapi juga realitas objektif seperti budaya politik. Untuk memahami secara visual tentang definisi kedua dari sosiologi politik, disajikan Gambar 1.2 berikut. konsep, variabel, & teori



metode



http://facebook.com/indonesiapustaka



interaksi sosial & masyarakat



SOSIOLOG



Gambar 1.2 Cara Pandang Sosiolog Terhadap Fenomena Poliik



18



BAB 1 Pengerian & Ruang Lingkup Sosiologi Poliik



Gambar 1.2 memperlihatkan bagaimana sosiolog meli­ hat fenomena dan kenyataan politik. Sosiolog mempunyai konsep, variabel, dan teori sosiologi dalam kerangka pikir. Sedangkan metode merupakan alat untuk mendapatkan atau memperoleh data. Melalui teori dan metode yang dimiliki, sosiolog mengkaji fenomena politik yang berkembang dalam proses interaksi sosial dan masyarakat.



D. POLITIK SEBAGAI KAJIAN INTERDISIPLIN



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk memahami topik ini, ada baiknya kita samakan terlebih dahulu pemahaman kita tentang konsep interdisip­ lin dan intradisiplin. Konsep disiplin dalam pembicaraan kita adalah ilmu pengetahuan (science), misalnya ilmu ekonomi, manajemen, sosiologi, antropologi, dan lainnya. Dengan de­ mikian, kajian interdisiplin dimaksudkan di sini adalah ka­ jian lintas ilmu yang berbeda atau antar­ilmu yang berbeda. Sedangkan kajian intradisiplin adalah kajian di dalam ilmu itu sendiri yang memiliki berbagai macam cabang, ilmu. Dalam sosiologi terdapat beberapa cabang misalnya sosi­ ologi industri, sosiologi hukum, sosiologi ekonomi, sosiologi pendidikan, dan sosiologi perilaku menyimpang. Jadi, berba­ gai cabang sosiologi digunakan untuk mendiskusikan suatu kenyataan atau fenomena sosial. Politik memang merupakan salah satu kajian utama da­ lam ilmu politik, namun sekarang politik telah menjadi ka­ jian interdisiplin. Politik tidak hanya dikaji oleh ilmu politik tetapi juga oleh ilmu­ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah. Dengan pandangan se­ perti ini, maka di antara berbagai sudut pandang ilmu ter­ dapat bahagian yang tumpang­tindih satu sama lain dalam



19



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



melihat politik. Itu berarti ada bagian yang sama­sama diper­ hatikan baik ilmu politik maupun sosiologi ketika mengkaji fenomena politik. (lihat Gambar 1.3) Fokus Ilmu Poliik



Fokus Sosiologi



daerah perbatasan



Fenomena Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gambar 1.3 Tumpang-Tindih Fokus Perhaian antara Ilmu Poliik dan Sosiologi dalam Kajian tentang Poliik



20



2 PENDEKATAN SOSIOLOGIS TENTANG POLITIK



A. PELETAK FONDASI SOSIOLOGI POLITIK Sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Rush dan Althoff (2003: 5), bahwa asal mula suatu disiplin ilmu, sub­ jek, atau bidang suatu studi sering tidak jelas, dan cenderung menonjolkan individu tertentu sebagai “bapak pendiri” dari suatu bentuk ilmu pengetahuan. Hal ini, menurut Rush dan Althoff, merupakan proses yang sangat berbahaya. Oleh se­ bab itu, untuk menghindari penonjolan tokoh tertentu, maka akan didiskusikan beberapa tokoh yang berjasa dalam mele­ takkan fondasi sosiologi politik, sehingga menjadi rujukan oleh penerus atau sebaliknya sebagai sanggahan oleh pemba­ ru dalam pemikiran sosiologi politik pada masa berikutnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Berikut beberapa tokoh yang dipandang berjasa dalam meletakkan fondasi sosiologi politik.



1. Sumbangan Karl Marx (1818-1883) Marx lahir dari keluarga Yahudi di Trier, Jerman, pada 1818. Ibunya berasal dari keluarga Rabi Yahudi, sedangkan ayahnya berpendidikan sekuler dan pengacara yang sukses. Ketika suasana politik tidak menguntungkan bagi pengac­ ara yahudi, ayah dan keluarganya pindah menjadi pemeluk



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



agama Protestan.Tahun 1841 Marx meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Berlin, universitas yang dipengaruhi oleh pemikiran Hegel dan pengikutnya yang kritis. Ia me­ nikah pada 1843 dan hijrah ke Paris. Di sana ia berkenalan dengan St. Simon dan Prou­ dhon, tokoh pemikir sosialis, dengan Engels, mitra menulis sekaligus sahabat penopang ekonomi, serta dengan berbagai pemikiran ekonomi politik Inggris seperti Adam Smith dan David Ricardo. Aktif dalam berbagai gerakan buruh dan komunis. Karl Marx memberikan banyak sumbangan teore­ tis dan metodologis bagi sosiologi politik, yaitu antara lain:



http://facebook.com/indonesiapustaka



a) Pendekatan Materialisme Historis



Istilah materialisme historis tidak pernah digunakan oleh Marx sebagai pendekatan yang digunakannya untuk men­ jelaskan realitas. Ada empat konsep sentral penting dalam me­ mahami pendekatan materialisme historis (Morisson, 1995). Pertama, Means of Production (cara produksi), yaitu sesuatu yang digunakan untuk memproduksi kebutuhan material dan untuk mempertahankan keberadaan. Kedua, Relations of Production (hubungan produksi), yaitu hubungan antara cara suatu masyarakat memproduksi dan peranan sosial yang terbagi kepada individu­individu dalam produksi. Misalnya, pemilik dan bukan pemilik alat­alat produksi. Ketiga, Mode of Production (mode produksi), yaitu elemen dasar dari suatu tahapan sejarah dengan memperlihatkan bagaimana basis ekonomi membentuk hubungan sosial, seperti masa kuno, feodal, atau kapitalis. Keempat, Force of Production (kekuatan produksi), yaitu kapasitas dalam bendabenda dan orang yang digunakan bagi tujuan produksi. Misalnya pada



22



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



masa feodal, kekuatan produksi bersumber pada tanah, alat­ alat pertanian, dan teknik penggarapan. Atau masa kapitalis, kekuatan produksi berasal dari teknik industri, ilmu, modal, dan teknologi mesin. Perubahan sosial dan budaya, termasuk juga perubahan dalam aspek politik dari kehidupan, bersumber pada perubah­ an yang terjadi pada cara produksi. Perubahan cara produksi meliputi perkembangan teknologi baru, penemuan sumber­ sumber baru, atau perkembangan baru lain apa pun dalam bidang kegiatan produktif (Johnson, 1986: 132). Karena cara produksi berubah, maka muncul kontradiksi antara cara produksi dan hubungan produksi. Ketika kontradiksi telah merusak parah keseimbangan, maka ia akan berdampak pada perubahan terhadap hubungan produksi, seperti pe­ rubahan pada pembagian kerja, dasar, dan bentuk struktur kelas. Pada gilirannya bisa mengubah mode produksi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b) Teori Alienasi



Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lain? Kata Marx, kerja! Hanya manusialah, makhluk yang mam­ pu melakukan kerja. Melalui kerja, oleh sebab itu, manusia sebagai produsen. Dengan demikian, produk dari kegiatan produktif (kerja) manusia merupakan hakikat manusia, yang menjadi pembeda dengan makhluk lain seperti binatang. Ka­ lau manusia itu produsen, bagaimana mungkin manusia ke­ hilangan kekuasaan atas produknya sendiri? atau lebih tegas lagi, bagaimana mungkin produk itu mendapat kekuasaan atas produsennya? Inilah masalah alienasi (keterasingan) (Layendecker, 1983: 248). Kapitalisme telah menyebabkan manusia mengalami alienasi karena hasil kreatifitas produsen menjadi terasing/di­



23



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



asingkan dari produsen itu sendiri. Alienasi ini bisa mengam­ bil bentuk: (1) produk di luar kontrol dari produsen seper­ ti jenis, kualitas, kuantitas, harga, dan pemasaran produk; (2) produsen, harus menyesuaikan diri dengannya seperti mengikuti kapasitas produksi mesin. c) Teori Perubahan Sosial



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pada The Communist Manifesto, Marx menyatakan “se­ jarah dari semua masyarakat hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.” Perjuangan kelas berakar dari adanya pem­ bagian kerja dan pemilikan pribadi. Keberadaan pembagian kerja dan pemilikan pribadi menghasilkan kontradiksi yang dalam dan luas pada masyarakat, yaitu antara kelompok yang memiliki (pemilik) dan kelompok yang tidak memiliki serta menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat yaitu kelas pemilik dan kelas bukan pemilik. Pada masa feodal, kontradiksi terjadi antara tuan tanah sebagai pemilik tanah pertanian dan hamba sahaya sebagai orang yang tidak memiliki alat produksi, yang bekerja bagi tuan tanah. Kontradiksi dialektis antara tuan tanah dan ham­ ba sahaya menghasilkan sintesis masyarakat kapitalis mela­ lui perubahan cara produksi dan kekuatan produksi meliputi perkembangan teknologi baru seperti ditemukan mesin uap, pemintal dan industri lainnya serta perubahan hubungan produksi seperti migrasi penduduk desa­pertanian ke daerah industri­perkotaan. Pada masyarakat kapitalis, juga ditemukan kontradiksi yang bersumber pada pemilikan dan pembagian kerja, yaitu antara kelas borjuis, sebagai pemilik alat produksi seperti mesin, gedung dan modal lainnya, dan kelas proletar, se­ bagai kelompok yang bekerja bagi kepentingan kapitalis.



24



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



Perbedaan kelas yang ada bisa tidak disadari, khususnya oleh kelas proletar. Kelas proletar tidak memiliki kesadaran kelas, yaitu satu kesadaran subjektif akan kepentingan kelas objektif yang mereka miliki bersama orang lain dalam posisi yang serupa dalam sistem produksi. Konsep “kepentingan” mengacu pada sumber­sumber material yang aktual yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan in­ dividu (Johnson, 1986: 150­151). Keadaan ini disebabkan oleh superstruktur sosial­budaya, seperti ideologi, agama, dan peraturan­perundangan­perundanggan dibangun di atas infrastruktur ekonomi, yang notabene dikuasai oleh kelas borjuis. Superstruktur budaya seperti itu menciptakan “ke­ sadaran palsu”. Bagaimana munculnya kesadaran kelas dan perjuangan kelas? Kata Marx, terpusatnya kelas proletar dalam suatu dae­ rah perkotaan tertentu akan terbentuknya jaringan komunika­ si. Sekali jaringan komunikasi itu dibentuk dan kepentingan bersama menjadi jelas maka dibentuklah organisasi kelas pro­ letar melawan musuh bersama (Johnson, 1986: 152). Ketika organisasi telah dibekembangkan maka perlu ideologi yang mengikatnya. Krisis ekonomi masyarakat kapitalis bisa di­ jadikan momen untuk melakukan revolusi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



d) Tentang Agama



Pandangan Marx yang amat mengejutkan umat beraga­ ma adalah “agama sebagai candu masyarakat.” Pernyataan tersebut dapat dipahami karena Marx melihat bahwa su­ perstruktur sosiobudaya—termasuk di dalamnya ideologi, politik dan agama—dibangun di atas infrastruktur ekonomi. Semua institusi sosial, termasuk agama, didirikan atas dasar infrastruktur ekonomi (yaitu, alat­alat produksi dan hubung­



25



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



an sosial dalam produksi) dan menyesuaikan diri dengan tun­ tutan­tuntutan dan persyaratan­persyaratan yang dimiliki oleh infrastruktur ekonomi tersebut. Pengalaman ayahnya yang berpindah agama dari Yahudi menjadi Protestan adalah contoh faktual dan aktual dari pengalamannya berkaitan de­ ngan agama dan ekonomi. Oleh karena infrastruktur dikuasai oleh orang/kelom­ pok yang memiliki, maka agama melayani kepentingan para pemilik melalui berbagai ide, ritual, dan praktik keagamaan. Dalam situasi seperti ini, berbagai ide, ritual, dan praktek ke­ agamaan menciptakan kesadaran palsu bagi para kaum yang tidak memiliki. Ketidaksadaran terhadap kepentingan kelas objektif para kaum yang tidak memiliki karena berbagai ide, ritual dan praktek keagamaan itulah yang menyebabkan Marx melihat agama sebagai candu, yang menciptakan masyarakat tidak sadar akan kepentingan objektif mereka.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Sumbangan Emile Durkheim (1858-1917) Durkheim dilahirkan di Epinal Prancis pada 1858 dari keluarga Yahudi, ayahnya rabi. Studi di Ecole Superieure di Paris. Dari 188­1902 menjadi guru besar dalam ilmu­ilmu sosial di Bordeaux. Pada masa tersebut ia ber­ hasil menulis buku yang monumental, yaitu tentang The Division of Labor in Society: The Rules of Sociological Method, dan Suicide. Setelah itu ia pindah ke Universitas Sorbonne di Paris. Pada masa ini, ia kembali mener­ bitkan buku The Elementary Forms of the Religious Life. Berbeda dengan Karl Marx, sumbangan Emile Durkheim menekankan sisi



26



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



yang berbeda dalam melihat realitas. Adapun sumbangan Durkheim bagi sosiologi politik: a) Pendekatan Fungsionalisme Sosiologis



Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat sosial dan me­ negaskan sosiologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang mandiri, maka Durkheim menulis The Rules of Sociological Methods untuk menegaskan bahwa objek sosio­ logi adalah fakta sosial. Fakta sosial merupakan semua cara bertindak, berpikir dan merasa yang ada di luar individu, ber­ sifat memaksa dan umum. Fakta sosial, oleh karena itu, me­ miliki tiga karakteristik: (1), eksternal, yaitu di luar individu. Fakta sosial ada sebelum individu ada dan akan tetap ada setelah individu tiada; (2), determined/coercive, yaitu fakta sosial memaksa individu agar selalu sesuai dengannya (fakta sosial); (3), general, yaitu tersebar luar dalam komunitas/ masyarakat, milik bersama, bukan milik individu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Adapun asumsi tentang fakta sosial meliputi: (1) gejala sosial itu riil dan memengaruhi kesadaran individu serta pe­ rilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologi, atau karakteristik individu lainnya; dan (2) oleh karena ge­ jala sosial adalah fakta yang riil, maka gejala­gejala tersebut dapat diamati/dipelajari dengan metode empirisk. Merujuk pada asumsi dan karakteristik fakta sosial di atas, maka fakta sosial harus dianggap sebagai suatu hal yang nyata: 1.



Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi seperti arsitektur dan norma hukum.



2.



Dalam bentuk nonmaterial, yaitu sesuatu yang dianggap nyata, muncul dalam kesadaran manusia, seperti rasa hi­ ba, kemarahan, dan lain­lain.



27



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Karena fakta sosial harus dianggap sebagai sesuatu yang nyata, maka fakta sosial dapat dikuantifikasikan, dijumlah­ kan, dan diukur. Sebab itu pula ia dapat dinyatakan sebagai suatu angka (rate) sosial, seperti angka bunuh diri, angka mobilitas, tingkat kepopuleran calon presiden, tingkat elek­ tabilitas calon kepala daerah, dan sebagainya. Selanjutnya, bagaimana strategi menjelaskan fakta so­ sial? Dasar utama dalam strategi menjelaskan fakta sosial adalah fakta sosial harus yang dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Seperti, bunuh diri dijelaskan dengan solidaritas. Strategi tersebut meliputi: (1) asal usul suatu gejala sosial (sebab­akibat); dan (2) fungsi­fungsi dari suatu gejala sosial. Misalnya, perayaan hari besar nasional 17 Agustus. Asal usul dari perayaan tersebut dapat ditelu­ suri dari pengalaman kolektif tatkala terjadi peristiwa pem­ bebasan. Sedangkan fungsi perayaan atau mengapa upacara itu tetap ada adalah karena adanya kelangsungan keyakinan kolektif mengenai kesatuan kolektif, yaitu mempertahankan masyarakat.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b) Tesis Solidaritas Sosial



Dalam bukunya The Division of Labor in Society, Dur­ kheim menjelaskan tentang dua tipe solidaritas sosial dalam masyarakat, yaitu masyarakat yang berlandaskan solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Pokok permasalahan dari gagasan atau ide buku tersebut adalah pertanyaan tentang apa yang mengikat dan mempersatukan orang? Apa yang mempersatukan orang, misalnya, antara di dalam majlis taklim dan dalam perusahaan bisnis? Jawabannya dalam majelis taklim orang disatukan karena adanya kesamaan kepercayaan, cita­cita, dan komitmen moral; sedangkan da­



28



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



lam perusahaan, orang disatukan karena adanya diferensiasi dan spesialisasi, ada ikatan seperti majelis taklim tetapi tidak tegas. Untuk tujuan penguatan pemahaman, perbandingan antara solidaritas mekanik dan solidaritas organik dapat di­ analogkan perbandingan antara kapur tulis dan tubuh ma­ nusia. Tabel 2.1 Perbandingan Karakterisik antara Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Solidaritas Mekanik



Solidaritas Organik



Pembagian kerja



Rendah



Tinggi



Kesadaran kolekif



Kuat



Lemah



Hukum dominan



Represif



Resituif



Individualitas



Rendah



Tinggi



Konsensus terpening



Pola normaif



Nilai abstrak dan umum



Penghukuman



Komunitas terlibat



Badan kontrol sosial



Saling ketergantungan



Rendah



Tinggi



Komunitas



Primiif/pedesaan



Industri perkotaan



Pengikat



Kesadaran kolekif



Pembagian kerja



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sumber: Johnson (1986: 188) yang dimodifikasi.



Perbedaan antara masyarakat yang berlandaskan soli­ daritas mekanik dan solidaritas organik memberi dampak pada perbedaan dalam orientasi politik, pengaruh elite ter­ hadap pilihan politik, perbedaan politik individual dengan komunal, dan seterusnya. Pada masyarakat berlandaskan so­ lidaritas mekanik, misalnya, cenderung pilihan politik dipe­ ngaruhi elite yang ada dalam masyarakat. Sedangkan pada masyarakat yang berlandaskan solidaritas organik, elite politik tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap pilihan politik masyarakat dibandingkan pada masyarakat yang berlandaskan solidaritas mekanik karena tersedianya berbagai pilihan infor­ masi dan rendahnya ketergantungan dalam masyarakat.



29



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



c) Teori Perubahan Sosial



Masih dalam bukunya The Division of Labor in Society, Durkheim menerangkan bahwa perubahan dari solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik dimulai dengan adanya pertambahan penduduk disertai oleh kepadatan moral, yaitu pertambahan penduduk disertai pertambahan komunikasi dan interaksi antara para anggota. Konsekuensinya perjuang­ an hidup menjadi tajam. Melalui pembagian kerja, setiap orang mengalami spesialisasi bidang keahlian dan pekerjaan sehingga konflik tidak muncul dan masyarakat dapat diper­ tahankan melaluinya. d) Teori Anomi



Durkheim mengembangkan gagasan tentang teori ano­ mi. Menurut Durkheim, anomi merupakan suatu kondisi di mana ketiadaan pengaturan kegiatan kehidupan manusia se­ cara normal yang ditunjukkan dengan adanya ketimpangan antara aspirasi dan alat. Situasi anomi akan menimbulkan berbagai distorsi atau penyimpangan dalam masyarakat se­ perti bunuh diri, apatisme politik, dan lain sebagainya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Sumbangan Max Weber (1864-1920) Weber dilahirkan di Erfurt 1864 sebagai anak tertua dari delapan orang bersaudara. Ayahnya seorang otoriter sedangkan ibunya adalah seorang saleh yang teraniaya. Oleh karena itu, terjadi cekcok hebat antara Max Weber dengan ayahnya, sehingga dia mengusir ayahnya. Ia lebih banyak dipengaruhi paman dan tantenya. Weber mengecap berbagai pendidikan, antara lain ekonomi, sejarah, hukum, filosofi, dan te­



30



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



ologi. Ia meraih gelar doktor dalam studi organisasi dagang Abad Pertengahan. Ia diangkat jadi guru besar dalam studi sejarah agraria Romawi di Berlin serta menjadi guru besar ekonomi di Freiburg 1894 dan 1896 di Heidelberg. Sumbangan pemikiran Max Weber dalam sosiologi poli­ tik dilihat tidak kalah pentingnya dengan dua tokoh terda­ hulu. Adapun sumbangan Weber meliputi: a) Analisis Tipe Ideal dan Metode Verstehen



Analisis tipe ideal merupakan desain kategori­kategori interaksi. Tipe ideal adalah jalan melingkar yang ditempuh untuk suatu penjelasan. Tipe ideal tidak punya hubungan atau sangkut paut dengan penilaian normatif. Tipe idel adalah bentuk abstrak dari elemen riil yang sengaja dibuat, memilih aspek­aspek suatu gejala yang kelihatan sama dengan kon­ sistensi logis dan mengkonstruksikan suatu keseluruhan dari aspek­aspek tersebut secara padu dan kompak.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tujuan pembentukan tipe ideal adalah untuk memudah­ kan analisis masalah konkret. Dengan demikian, tipe ideal adalah peranti untuk analisis dan kegunaannya hanya dapat dinilai dengan mengembalikannya kepada atau mengaitkan­ nya kembali dengan masalah konkret. Sedangkan metode verstehen atau juga dikenal dengan metode pemahaman interpretatif, yaitu suatu cara atau usaha untuk memahami suatu tindakan arti/makna subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain. Ada beberapa cara untuk memahami (verstehen/understanding) makna: 1.



Rasional, yaitu sesuatu yang dipahami secara masuk akal. Misalnya, jika air membasahi sedangkan api mem­ bakar. Atau, 1 + 1 = 2 bukan yang lain.



31



http://facebook.com/indonesiapustaka



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



2.



Empati, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri da­ lam kerangka berpikir orang lain. Di sini penelitei me­ libatkan diri secara emosional eksternal. Sering dalam kehidupan sehari­hari kita menggunakan ungkapan be­ rikut: “Jika saya Anda, saya akan melakukan hal yang sama”. Misalnya, kalau saya perempuan, sebenarnya saya berkelamin laki­laki, ingin tampil menarik maka saya juga menggunakan lipstik.



3.



Apresiatif, adalah cara pemahaman arti subjektif sen­ diri untuk memahami arti subjektif tindakan orang lain. Pemahaman tersebut juga sering dilakukan oleh ma­ syarakat Indonesia seperti jika kaki kita ter(di)injak te­ rasa sakit, maka demikian pula orang lain merasakan sakit jika kaki mereka ter(di)injak. Karena itu, kita ha­ rus berhati­hati agar kaki orang lain tidak ter(di)injak.



Pemahaman (understanding) dapat dibagi dua jenis, yai­ tu: (1) observational understanding/aktualles verstehen (pe­ mahaman observasional atau pemahaman aktual), pemaha­ man melalui observasi langsung atau ekspresi simbolis tanpa melihat konteks yang lebih luas. Misalnya, seseorang yang terserang kesedihan mendalam atau kemarahan besar ter­ lihat dari wajahnya. Seseorang yang dirundung kesedih­ an mendalam tampak dari kerutan atau mimik wajah yang sendu dan kelam. Sedangkan seseorang yang terserang ke­ marahan besar terlihat dari wajah yang memerah, menahan marah; dan (2) explanatory understanding/eklarandes verstehen (pemahaman penjelasan) merupakan pemahaman dengan menempatkan aksi ke dalam konteks makna yang lebih luas. Pemahaman ini mencari bentuk motif, yaitu: apa yang menyebabkan seseorang melakukan hal seperti itu da­ lam situasi itu. Misalnya, seseorang membeli gas tabung



32



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



karena persediaan gas di rumahnya telah habis. Seseorang harus memantik tombol pemantik kompor gas agar menyala apinya sehingga bisa memanaskan makanan. Kata karena dan agar menunjukkan suatu motif. Kaitan antara bagian yang disatukan oleh kata karena dan agar menunjukkan suatu motif. Apabila konteks pemaknaan peristiwa di atas diperluas, maka bisa dipahami sebagai berikut: seseorang membeli gas tabung karena persediaan gas di rumahnya telah habis sehingga dia tidak bisa memanaskan makanan. Agar menyala apinya dia harus memantik tombol pemantik kompor. Pemahaman penjelasan dapat dimengerti disebab­ kan oleh susunan keseluruhannya memperlihatkan konsis­ tensi logis, harmoni yang estetis, atau kecocokan antara tu­ juan dan cara.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Setiap interpretasi pemahaman tentunya diusahakan men­ capai tingkat kejelasan dan kepastian yang tinggi. Meskipun demikian, betapa pun jelasnya interpretasi itu, tidak dapat dikatakan “causally valid” (absah secara kausal), itu hanya di­ lihat sebagai “peculiarly plausible hypothesis” (sebagai hipo­ tesis saja). Hal tersebut disebabkan karena: 1.



Motif yang disadari, bahkan oleh aktornya sendiri, di­ mungkinkan menyelubungi motif lainnya yang merupa­ kan pendorong utama aksi itu.



2.



Dua proses aksi yang bagi pengamat kelihatan persis sama bentuknya, dapat saja didorong oleh dua motif yang sama sekali berbeda.



3.



Aktor dalam suatu situasi sering didorong oleh beberapa dorongan yang kontradiktif yang masing­masing dapat dipahami. Dalam keadaan, seperti sukar sekali mendu­ ga dengan pasti dorongan yang mana menyebabkan ter­ jadinya aksi itu.



33



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Oleh karena studi ilmiah memerlukan verifikasi (pem­ buktian), maka untuk menguji apakah hipotesis tersebut ti­ dak salah dilakukanlah uji probability yaitu tindakan tertentu sesungguhnya dari kaitan arti (motif) tertentu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b) Tesis Perkembangan Kapitalisme



Dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan bahwa keteliteian yang khusus, perhi­ tungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke­16 dan digerakkan oleh doktrin Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya keper­ cayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselama­ tan dan kecelakaan. Selain itu, doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui apakah dia termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti ini menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami “panik terhadap keselamatan.” Cara untuk menenangkan kepani­ kan tersebut adalah orang harus berpikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidup­ an, termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasi oleh disiplin dan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang­ senang, yang didorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme tentang takdir memberikan daya dorong psikolo­ gis bagi rasionalisasi dan sebagai perangsang yang kuat da­ lam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap­tahap pembentukannya.



34



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



Hubungan antara semangat kapitalisme dan etika Pro­ testan, oleh karena itu, memiliki kaitan konsistensi logis dan pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara timbal balik. Hubungan semacam itu disebut sebagai elective affinity. Hubungan tersebut menghantarkan kapitalisme mentransformasi diri dalam bentuk modern, yang berciri­ kan: tata buku/akuntansi rasional, hukum rasional, teknik rasional (mekanisasi), dan massa buruh menerima upah di pasar bebas karena mereka perlu untuk memperoleh peng­ hasilan. c) Tipologi Tindakan Sosial, Kewenangan, dan Birokrasi



Tindakan sosial, seperti telah didiskusikan pada Bab 1, merupakan suatu tindakan individu yang memiliki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya dan dikaitkan de­ ngan orang lain. Weber menemukan bahwa tindakan sosial tidak selalu memiliki dimensi rasional tetapi terdapat ber­ bagai tindakan nonrasional yang dilakukan oleh orang, ter­ masuk dalam tindakan orang dalam kaitannya dengan aspek politik dari kehidupan. Weber menemukan empat tipe dari tindakan sosial, yaitu:



http://facebook.com/indonesiapustaka



1.



Tindakan rasional instrumental (zweckrationalität/instrumentally rational action), yaitu suatu tindakan yang di­ lakukan berdasarkan pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam kaitannya dengan tujuan suatu tindakan dan alat yang dipakai untuk meraih tujuan yang ada. Misalnya, kenapa para pengusaha banyak menjadi calon anggota legislatif? Ternyata dari pengalaman hidup para pengusaha dalam dunia bisnis, kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari dunia politik. Oleh sebab itu, me­ ngombinasikan dua aspek kehidupan, yaitu bisnis dan politik, merupakan usaha yang strategis untuk meraih



35



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



kesempatan (di dalamnya terdapat keuntungan mate­ rial) yang lebih besar dibandingkan jika hanya berbisnis saja. Tindakan pengusaha tersebut dapat dipandang se­ bagai tindakan rasional instrumental. 2.



Tindakan rasional nilai (wertrationalität/value rational action), yaitu tindakan di mana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan nilai akhir bagi individu, yang dipertimbangkan secara sadar adalah alat mencapai tujuan. Memberi infak dan sadekah di kalan­ gan umat Islam, misalnya, dapat dilihat sebagai tinda­ kan rasional nilai. Menjadi hamba Allah yang diridai dan meraih surga di akhirat kelak merupakan tujuan yang berorientasi kepada nilai absolut dan nilai akhir. Pilihan memberi infak dan sedekah sebanyak mungkin sebagai alat untuk meraih tujuan yang berorientasi kepada nilai absolut dan nilai akhir tersebut tidak bisa dinilai apakah lebih efisien dan efektif dibandingkan mengerjakan sha­ lat sunat, misalnya.



3.



Tindakan afektif (affectual action), yaitu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektu­ al atau perencanaan yang sadar. Misalnya, tindakan­tin­ dakan yang dilakukan karena cinta, marah, takut, gem­ bira sering terjadi tanpa diikuti dengan pertimbangan rasional, logis, dan ideologis. Ketika dua anak manusia berlainan jenis sedang dilanda badai asmara, misalnya, yang menyebabkan mereka mengalami “mabuk cinta”, tidak jarang mereka melakukan suatu tindakan yang ti­ dak rasional dan logis, sehingga seolah­olah merasakan “tahi gigi jadi cokelat”.



4.



Tindakan tradisional (traditional action), yaitu tindakan karena kebiasaan atau tradisi. Tindakan tersebut dila­ kukan tanpa refleksi yang sadar dan perencanaan. Apa­



36



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



bila ditanyakan, kenapa hal tersebut dilakukan? Jawaban yang diberikan adalah karena nenek moyang mereka telah melakukannya semenjak dahulu kala. Oleh ka­ rena itu, tradisi ini harus dilanjutkan, kata pelaku tin­ dakan tradisional. Jika ditanyakan kepada para aktivis mahasiswa, sebagai suatu contoh, kenapa mereka masih melakukan plonco terhadap mahasiwa baru? Jawaban mereka adalah ini sudah jadi tradisi mahasiswa. Alasan untuk menciptakan keakraban yang dilontarkan maha­ siswa untuk menopang alasan tradisi sering dipatahkan oleh argumentasi bahwa secara sosiologis dan psikolo­ gis manusia cenderung untuk berteman. Oleh sebab itu, tidakpun ada plonco, mahasiswa junior akan berusaha berteman dengan seniornya. Lagi pula kenapa harus dengan pemaksaan jika tujuannya untuk menciptakan hubungan antara senior dan junior?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tindakan sosial dari berbagai individu mengkonstruk­ si suatu bangunan dasar bagi struktur­struktur sosial yang lebih besar, salah satunya adalah kewenangan (authority/ herrschaft). Konstruksi bangunan kewenangan, oleh karena itu, tidak bisa dilepaskan dari berbagai tipe tindakan sosial yang ada. Suatu tindakan sosial bisa mengkonstruksi suatu bentuk kewenangan tertentu. Tindakan sosial rasional in­ strumental, misalnya, bisa mengkonstruksi kewenangan yang bersifat legal­rasional. Berbeda dengan jumlah dari tipologi tindakan sosial de­ ngan empat tipe, Weber membangun tipologi kewenangan dengan tiga tipe, yaitu: kewenangan tradisional, kewenang­ an kharismatik, dan kewenangan legal­rasional. Tindakan tradisional mengkristalkan dan mempertahankan kewenang­ an tradisional. Tindakan rasional­instrumental dapat mela­



37



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



hirkan dan mempertahankan suatu kewenangan legal­ra­ sional. Bagaimana dengan tindakan rasional nilai? Tindakan rasional nilai bisa mengkonstruksi kewenangan legal­rasion­ al dan tindakan afektif. Sedangkan tindakan afektif mampu mengkonstruksi kewenangan. Hal ini akan dibahas lebih dalam pada Bab 3. Weber juga melihat bagaimana tipe tindakan sosial ter­ tentu memengaruhi suatu administrasi organisasi. Weber dalam The Theory of Social and Economic Organization me­ nemukan administrasi organisasi tradisional tidak efisien, boros dan tidak rasional. Oleh karena itu, Weber mengusul­ kan suatu tipe ideal untuk administrasi organisasi (birokrasi) agar mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas yang lebih tinggi yang dilandasi pada tindakan legal­rasional.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Adapun tipe ideal birokrasi modern yang diusulkan oleh Weber memiliki karakteristik sebagai berikut: 1.



Berbagai aktivitas reguler yang diperlukan untuk penca­ paian tujuan­tujuan organisasi yang didistribusikan de­ ngan suatu cara yang baku sebagai kewajiban­kewajiban resmi.



2.



Organisasi kantor­kantor mengikuti prinsip hierarki, yai­ tu setiap kantor yang lebih rendah berada di bawah kon­ trol dan pengawasan yang lebih tinggi.



3.



Operasi­operasi birokratis diselenggarakan “melalui sua­ tu sistem kaidah­kaidah abstrak yang konsisten ... (dan) terdiri atas penerapan kaidah­kaidah ini terhadap kasus­ kasus spesifik.”



4.



Pejabat yang ideal menjalankan kantornya ... berdasar­ kan impersonalitas formalistis, ‘sine ira et studio,’ tanpa kebencian atau kegairahan, dan karenanya tanpa antusi­ asme atau afeksi,



38



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



5.



Perekrutan dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi­kualifikasi teknis dan yang terhindar dari tin­ dakan pemecatan yang sewenang­wenang. Ada satu sis­ tem promosi berdasarkan senioritas atau prestasi atau menurut kedua­duanya.



6.



Tipe organisasi administrasi yang murni birokratis, dalam arti teknis murni, mampu mencapai tingkat efisiensi yang paling tinggi.



4. Sumbangan Vilfredo Pareto (1848-1923)



http://facebook.com/indonesiapustaka



Vilfredo Pareto lahir di Paris pada 1848 dari keluarga bangsawan Italia, terdidik dalam pen­ didikan klasik, ekonomi, dan ilmu pengetahu­ an. Pareto tidak hanya berkarier dalam bidang akademik, sebagai profesor ekonomi politik di Universitas Lausane, tetapi juga aktif dalam bi­ dang politik sehingga ia terpilih sebagai senator serta sebagai pebisnis. Teori sirkulasi elite (the circulation of the elites) merupakan sumbangan berharga Pareto ke­ pada sosiologi politik. Menurut Pareto bahwa revolusi ter­ jadi karena adanya heterogenitas sosial, yang ditandai de­ ngan berbagai perbedaan sosial dalam masyarakat. Dari se­ gi intelektual, moral, dan fisik, individu­individu tidak se­ mua sama. Konsekuensi logis perbedaan tersebut adalah masyarakat juga berbeda­beda. Perbedaan dalam masyarakat dapat dilihat pada perbedaan kelompok­kelompok yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, dalam masyarakat terdapat berbagai macam kelompok seperti kelompok keagamaan, profesi (ikatan profesi), ekonomi (perusahaan), budaya (ke­ lompok kesenian), politik (partai politik), dan lainnya. Pada



39



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



setiap kelompok selalu terdapat segelintir orang yang lebih cakap dan pengaruh daripada yang lainnya. Merekalah yang disebut sebagai elite, yaitu mereka yang tampil di depan se­ bagai pihak yang berpengaruh di dalam kelompok. Di bidang pemerintahan, elite mampu meraih kekuasaan dan keduduk­ an dengan dua cara, yaitu: (1) kekuasaan atau kekerasan fisik; dan (2) siasat dan strategi politik. Kaum elite yang merebut kekuasaan melalui kekerasan fisik dikenal sebagai the lions (singa). Ketika negara dalam situasi genting, ba­ haya, atau krisis, peluang the lions merebut kekuasaan lebih besar. Karena dalam situasi seperti ini, diperlukan elite kuat, biasanya berasal dari angkatan bersenjata dan kelompok keagamaan, untuk mengambil alih kekuasaan. Pada saat da­ mai, negara memerlukan pemimpin yang cerdik cendekia, ahli, mahir dan lihai, biasanya berasal dari kelompok politisi dan pebisnis, menggunakan siasat dan strategi. Elit seperti ini dikenal sebagai the foxes (rubah). Demikianlah sirkulasi elite terjadi, di mana the foxes menggantikan the lions untuk sementara waktu, sampai the lions mengambil alih kekua­ saan the foxes. Kata Pareto, “The ins become the outs and the out become the ins.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



5. Sumbangan Gaetano Mosca (1858-1941) Gaetano Mosca lahir pada 1858 di Palermo, Sicillia Italia. Mosca menjadi pengajar ilmu hukum konstitusional. Pe­ mikiran sosiologi politiknya dipengaruhi oleh suatu periode sejarah Italia yang cukup kacau, di mana terjadinya krisis legislatif dan naiknya Fasisme di pentas pemerintahan Italia. Mosca dipandang sebagai manomaniak, karena menulis ti­ ga versi dari buku yang sama, yaitu On the Theory of Governments and Parliamentary Governement: Historical and



40



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



Social Studies of 188: Elements of Political Science, dan The Rulling Class.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Teori kelas politik dipandang sebagai sum­ bangan utama Gaetano Mosca terhadap so­ siologi politik. Dalam pandangan Mosca, se­ tiap organisme politik mengandung dua kelas politik manusia yang berbeda, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah terdiri dari minoritas teror­ ganisasi yang akan memaksakan kehendaknya melalui “manipulasi maupun kekerasan”, bahkan dalam neg­ ara demokrasi sekalipun. Teori sirkulasi elite, menurut Mosca, terjadi bila per­ geseran dalam perimbangan kekuatan politik. Mosca, seperti yang dikutip Bellamy (1990: 65), sirkulasi elite berintikan pada gagasan bahwa, “jika sebuah sumber kekayaan baru terbentuk di dalam masyarakat, jika arti penting praktis pen­ getahuan meningkat, jika agama tua merosot atau lahir yang baru, jika sebuah aliran gagasan baru meluas, maka secara bersamaan, dislokasi hebat akan terjadi di dalam kelas pen­ guasa. Bahkan dapat dikatakan bahwa seluruh sejarah ma­ nusia yang beradab dapat disimpulkan sebagai konflik antara kecenderungan unsur­unsur dominan untuk memonopoli kekuasaan politik serta mengalihkan genggaman terhadap­ nya melalui pewarisan, dan kecenderungan ... menuju dislo­ kasi kekuatan­kekuatan lama serta timbulnya kekuatan baru, yang menghasilkan gejolak endosmosa dan eksosmosa tiada akhir, antara kelas­kelas atas dan bagian­bagian tertentu dari kelas bawah.”



41



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



6. Sumbangan Alexis de Tocqueville (1803-1859)



http://facebook.com/indonesiapustaka



Alexis de Tocqueville lahir di Paris pada 29 Juli 1803 dalam keluarga tuan tanah yang cukup terpandang. Tocqueville selain dididik di rumah juga memperoleh pen­ didikan tinggi di Metz. Pada 1827, dalam usia yang sangat belia, 21 tahun, ia diang­ kat sebagai hakim di Versailles. Pada 10 Mei 1831, Tocqueville tiba di New York untuk mempelajari sistem penghukuman di Amerika, sehingga ia mendapat cuti dari pekerjaannya. Alasan studi banding tersebut, dipandang sebagai suatu alasan agar bisa melaku­ kan ekspedisi tentang cara hidup dan kebiasaan masyarakat Amerika. Tesis demokrasi di Amerika merupakan sumbangan uta­ ma dari sosiologi politik Tocqueville. Bagaimana Tocqueville melihat demokrasi di Amerika? Apakah pemberian hak pilih kepada seluruh warga tanpa kecuali akankah menyebabkan demokrasi menjadi anarki? Menurut Tocqueville kesetaraan (equality), bermula dari proses industrialisasi dan komersiali­ sasi yang berlangsung dengan dahsyat di Amerika dan se­ bagian negara Eropa, sehingga mengubah struktur dan pola interaksi masyarakat dari masyarakat feodalis dan komu­ nalis, yang memberikan hak istimewa pada kaum aristokrat, menjadi masyarakat demokratis dan individualis dengan ke­ setaraan yang dimilikinya, melalui urbanisasi dan mobilitas sosial. Jadi, Tocqueville melihat bahwa pemberian hak pilih ke­ pada semua warga tanpa kecuali (majikan dan pelayan, tuan dan buruh) tidak menyebabkan terjadinya anarki. Sebab ter­ jadi pembagian kekuasaan secara seimbang antara legislatif,



42



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



eksekutif, dan yudikatif; di samping itu, berbeda dengan ba­ gian dunia lain, di Amerika terdapat partisipasi aktif warga negaranya pada dunia politik lokal, ikut ambil bagian dalam opini publik, dan sebagainya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tocqueville melihat demokrasi dan kesetaraan berupa pi­ sau bermata dua. Di satu sisi, karena kesetaraan individu dan tidak ada lagi yang berkuasa, seperti kaum aristokrat di masa lampau, maka kebutuhan akan kekuasaan negara akan men­ ingkat. Negara atau pemerintah cenderung menjadi sangat dominan dan menumbuhkan bentuk tirani baru, yaitu tirani mayoritas. Di sisi lain, kesetaraan individu dalam konteks masyarakat komersial akan mendorong individu untuk me­ nemukan kebahagiaan sesaat dan bersaing untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri; sehingga patriotisme, hero­ isme dan hasrat menegakkan kejayaan negara memudar. Namun perdamaian, kesejahteraan, serta situasi tenang dan bahagia pada masyarakat dalam bekerja semakin menguat. Kenapa di Amerika demokasi yang menghasilkan ke­ setaraan tidak menciptakan dampak negatif? Ada tiga alasan Tocqueville tentang hal ini. Satu, secara geografis, Amerika adalah benua baru yang memiliki lahan yang luas, sehingga tidak perlu memikirkan adanya ekspansi, baik negara sendiri maupun asing, yang berakibat perang besar. Dua, karena ke­ tiadaan perang, negara sentralis tidak dibutuhkan. Sebaliknya negara desentralis (federalisme) berkembang. Konsekuensi dari federalisme adalah keputusan penting dapat dibuat di tingkat lokal, tumbuhnya partisipasi publik yang terlihat dari berbagai aktivitas sosial, politik, dan keagamaan. Tiga, ke­ budayaan dan adat istiadat lokal menjadi sumber motivasi. Konsekuensi logis dari sejarah panjang migrasi ke Amerika yang berasal dari bahasa yang relatif sama, berimigrasi dari



43



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



negeri yang relatif sama dan dengan agama yang sama adalah mendorong individu untuk bekerja keras, disiplin membangun solidaritas, dan mandiri. Ketiga hal inilah me­ lemahkan dampak negatif dari kesetaraan yang dihasilkan oleh demokrasi.



7. Sumbangan Gabriel Tarde (1843-1901)



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gabriel Tarde lahir di Sarlat, terletak di sebelah tenggara Perancis, dan berasal dari penganut ordo Jesuit. Pada mulanya, Tarde belajar matematika namun kemudian diting­ galkannya dan beralih ke hukum serta melan­ jutkan pekerjaan ayahnya, sebagai hakim di kota asalnya. Karena keberhasilan dalam pe­ kerjaannya, maka ia diangkat menjadi Kepala Biro Statistik Pengadilan pada kementerian keadilan (1894). Ia menjadi dosen pada Ecoledes Sciences Politiques sampai memasuki masa pensiun tahun 1900, ketika ia menjadi profesor filsafat modern pada college de France. Teori imitasi merupakan sumbangan Tarde kepada sosi­ ologi politik. Menurut Tarde, pokok bahasan sosiologi adalah keyakinan dan hasrat. Bagaimana pola interpsikis mani­ festasi dan transmisi keyakinan dan hasrat? Pola tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu; imitasi, oposisi, dan adaptasi. Hubungan antara ketiga bagian tersebut bersifat dialektik. Imitasi menerangkan transmisi, konstansi dan penyebaran bentuk­bentuk sosial ketiga, yaitu adaptasi (invensi). Imitasi dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar terhadap masyarakat superior ataupun inferior. Invensi merupakan pemikiran dan aksi­aksi baru dalam capaian ekspresi, se­



44



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



hingga ia menjadi sumber akhir semua pengembangan dan kemajuan. Sambutan terhadap suatu invensi tergantung pada kesepakatan atau ketidaksepakatan terhadap invensi yang su­ dah ada sebelumnya. Dalam penyebaran invensi di kalangan masyarakat luas, peranan elite dapat memainkan peranan penting. Dalam kenyataannya tidak semua invensi diterima. Oleh karena itu, dimungkinkan terjadinya oposisi. Karena ketika melakukan imitasi terhadap suatu invensi, dapat saja setiap saat hadir keraguan atau pengalaman konflik. Keadaan seperti inilah dikatakan oposisi yang bisa ditemukan dalam beberapa bentuk, seperti perdebatan, persaingan, peperang­ an, dan lain sebagainya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



B. TEORI SOSIOLOGI SEBAGAI PENDEKATAN Pada Bab 1, “Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Politik”, telah disinggung sebelumnya, bahwa salah satu pen­ dekatan sosiologi adalah teori sosiologi itu sendiri. Teori merupakan alat untuk melakukan analisis. Oleh sebab itu, teori bukan merupakan tujuan suatu analisis, tetapi merupa­ kan alat untuk memahami kenyataan atau fenomena, dalam hal ini ekonomi. Sebagai alat untuk memahami kenyataan atau fenomena, suatu teori kadang kala tidak mampu se­ cara tuntas menganalisis sesuatu. Oleh karenanya, melalui suatu peneliteian, teori tersebut dipertajam, diperkuat, atau bahkan sebaliknya dibantah dengan suatu kenyataan atau fenomena. Dalam sosiologi, teori telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali. Dalam bab ini kita hanya mem­ batasi empat teori saja, yaitu dua pada tingkatan makro dan dua pada mikro. Perbedaan antara makro dan mikro berkisar



45



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



pada tingkatan mana suatu analisis itu dilakukan, apakah pada tingkatan individu/interaksi atau pada tataran struktur. Jika analisis dilakukan pada tataran individu/interaksi, maka dikenal sebagai teori mikro; sebaliknya jika pada tingkatan struktur, maka dikenal dengan teori makro. Pembahasan berkisar pada baik teori sosiologi makro maupun teori sosio­ logi mikro: yaitu teori struktural fungsional dan teori struk­ tural konflik sebagai teori sosiologi makro serta teori interak­ sionisme simbolis dan teori pertukaran sebagai teori sosiologi mikro.



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Teori Struktural Fungsional Teori struktural fungsional menjelaskan bagaimana ber­ fungsinya suatu struktur. Setiap struktur (mikro seperti per­ sahabatan, meso seperti organisasi dan makro seperti ma­ syarakat dalam arti luas seperti masyarakat Jawa) akan tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi. Oleh sebab itu, kemiski­ nan, misalnya akan tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi. Apa fungsi kemiskinan? Herbert Gans (1972), menemukan 15 fungsi kemiskinan bagi masyarakat Amerika, yaitu: (1) menyediakan tenaga untuk pekerjaan kotor bagi masyarakat; (2) memunculkan dana sosial (funds); (3) membuka lapang­ an kerja baru karena dikehendaki oleh orang miskin; (4) me­ manfaatkan barang bekas yang tidak digunakan oleh orang kaya; (5) menguatkan norma­norma sosial utama dalam masyarakat; (6) menimbulkan altruisme terutama terhadap orang­orang miskin yang sangat membutuhkan santunan; (7) orang kaya dapat merasakan kesusahan hidup miskin tanpa perlu mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidupan si miskin; (8) orang miskin memberikan standar penilaian kemajuan bagi kelas lain; (9) membantu kelompok



46



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



lain yang sedang berusaha sebagai anak tangganya; (10) kemiskinan menyediakan alasan bagi munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang miskin dengan berbagai badan amal; (11) menyediakan tenaga fisik bagi pemba­ ngunan monumen­monumen kebudayaan; (12) budaya orang miskin sering diterima pula oleh strata sosial yang ber­ ada di atas mereka; (13) orang miskin berjasa sebagai “ke­ lompok gelisah” atau menjadi musuh bagi kelompok politik tertentu; (14) pokok isu mengenai perubahan dan pertum­ buhan dalam masyarakat selalu diletakkan di atas masalah bagaimana membantu orang miskin; (15) kemiskinan me­ nyebabkan sistem politik menjadi lebih sentris dan lebih sta­ bil. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah fungsi kemiskin­ annya sama seperti Amerika? Coba Anda amati fenomena kemiskinan yang berada di sekitar Anda, bandingkan dengan apa yang telah dikatakan Gans tersebut.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Apakah korupsi merupakan suatu hal fungsional bagi masyarakat Indonesia? Kalau jawabannya ya, apa fungsi ko­ rupsi? Dengan mengikuti cara berpikir Gans tentang kemiskin­ an, kita temukan beberapa fungsi korupsi, yaitu: (1) katup penyelamat bagi orang yang mempunyai pendapatan rendah; (2) sarana bagi­bagi (redistribusi) pendapatan; (3) cara singkat menjadi kaya. Fungsi korupsi bisa Anda perpanjang sesuai dengan pengalaman Anda. Asumsi Teori Struktural Fungsional



Sampai bahasan ini, apakah Anda sudah paham tentang struktural fungsional? Jika belum, mari kita pahami mela­ lui pendapat Ralp Dahrendorf (1986: 196) tentang asumsi dasar yang dimiliki oleh teori struktural fungsional.



47



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



a. Seiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relaif mantap dan stabil



Ketika Anda bangun pagi, seperti biasa, Anda berwudhu untuk melaksanakan shalat Subuh. Setelah itu Anda bersiap untuk mandi, berpakaian, dan sarapan pagi. Selanjutnya, Anda meninggalkan rumah menuju tempat kerja. Pada saat di tempat kerja Anda melakukan tugas dan melaksanakan fungsi seperti yang telah digariskan oleh aturan tempat kerja Anda. Ketika menjelang siang, Anda bersiap­siap untuk ber­ istirahat, makan siang, dan shalat. Pada sore hari, Anda mu­ lai merapikan pekerjaan untuk dilanjutkan besok jika masih belum selesai atau menyerahkan hasil pekerjaan jika selesai. Menjelang petang, Anda bersama keluarga di rumah me­ nyambut datangnya malam. Setelah selesai shalat Magrib, Anda makan malam bersama keluarga. Kemudian sesudah shalat Isya, Anda bersiap istirahat tidur yang mungkin dis­ elingi dengan melakukan aktivitas waktu senggang, seperti membaca majalah, menonton televisi, atau membaca Al­ Qur’an. Orang lain juga melakukan hal yang sama dengan Anda, tentunya dengan beragam variasi yang ada. Kegiatan Anda dan orang lain dilakukan dalam suatu sistem interaksi antar­orang dan kelompok. Anda tidak bisa melakukannya sendiri, tetapi bersama orang lain, baik membantu mau­ pun dibantu orang lain. Setiap individu yang bersama Anda tersebut memiliki sumbangan tersendiri bagi berlangsung­ nya kebersamaan tersebut. Demikianlah aktivitas Anda da­ lam masyarakat, juga aktivitas orang lain dalam masyarakat. Kegiatan seperti itu anda lakukan secara mantap dan stabil: dari hari ke hari terus ke bulan terus ke tahun, Anda rasakan relatif sama, hampir tidak berubah. Berdasarkan pandangan teori struktural fungsional, Anda



48



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



dapat dipandang sebagai elemen dalam masyarakat; seperti juga orang lain sebagai elemen dari masyarakat. Jaringan hubungan antara Anda dan orang lain yang terpola dilihat se­ bagai masyarakat. Jaringan hubungan yang terpola tersebut mencerminkan struktur elemen­elemen yang relatif mantap dan stabil. Kenapa dilihat sebagai sesuatu relatif stabil dan mantap? Karena dari hari ke hari terus ke bulan terus ke ta­ hun, dirasakan relatif sama, hampir tidak berubah. Kalaupun berubah terjadi secara evolusi, berubah secara perlahan­la­ han. Perubahan tersebut tidak begitu terasa. Terasanya per­ ubahan tersebut pada saat memperbandingkannya dari suatu titik waktu dengan titik waktu lain yang sangat berjarak, mis­ alnya sepuluh tahun. Misalkan, menggunakan jangka waktu 10 tahun untuk memperbandingkan pola busana remaja. Andaikan Anda memperbandingkan pola busana remaja pa­ da tahun 1990­an dengan tahun 2000­an. Coba Anda perha­ tikan, perubahan apa yang Anda temukan?



http://facebook.com/indonesiapustaka



b. Elemen-elemen terstruktur tersebut terintegrasi dengan baik



Anda baru saja memahami bahwa jaringan hubungan anta­ ra Anda dan orang lain yang terpola dilihat sebagai masyarakat. Jaringan hubungan yang terpola tersebut mencerminkan struktur elemen­elemen yang terintegrasi dengan baik. Ar­ tinya, elemen­elemen yang membentuk struktur memiliki kaitan dan jalinan yang bersifat saling mendukung dan sa­ ling ketergantungan antara satu dengan lainnya. Anda perlu contoh, bukan? Anda, misalnya, sebagai pegawai negeri sipil di kelurahan adalah salah satu elemen dari masyarakat. Ada banyak elemen lain dari masyarakat di mana Anda berhubun­ gan secara timbal balik yang bersifat saling mendukung dan saling ketergantungan misalnya pak lurah sebagai atasan Anda, Mpok Atun si tukang cuci keluarga, Bang Togar si pe­



49



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



nambal ban motor Anda, Kang Asep si loper koran Anda, Uda Buyung si penjual nasi, Bang Abdi si penjual barang ha­ rian, dan lain sebagainya. Hubungan yang berjalin berkelin­ dan bersifat saling mendukung dan saling ketergantungan tersebut membuahkan struktur elemen­elemen terintegrasi dengan baik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



c. Seiap elemen dalam struktur memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur itu sebagai suatu sistem



Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi. Apa mak­ sudnya? Untuk menjawabnya mari kita kembali kepada con­ toh di atas. Anda adalah salah satu dari elemen dari struktur. Seperti telah dikemukakan di atas, Anda adalah PNS memi­ liki tugas dan fungsi sebagai aparat birokrasi. Anda adalah sekrup (mur) dari sebuah mesin birokrasi, yang bertugas dan berfungsi memberikan pelayanan publik bagi masyarakat. Se­ dangkan Mpok Atun si tukang cuci keluarga memberikan pelayanan rumah tangga, khususnya mencuci pakaian kelu­ arga Anda. Sehingga Anda dan keluarga bisa tampil rapih di hadapan publik. Bang Togar si penambal ban motor menye­ diakan jasa tambal ban sehingga kerja Anda lancar pada saat ban motor Anda bocor. Kang Asep si loper koran menjem­ batani Anda memperoleh informasi terkini tentang yang ter­ jadi hari ini akan datang, dan sebelumnya. Sementara Uda Buyung menyediakan masakan Padang yang Anda butuhkan pada saat lapar. Sedangkan Bang Abdi menjual barang ha­ rian yang dibutuhkan untuk keperluan sehari­hari. Semua sumbangan yang ada (dari Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Abdi) membedonan sum­ bangan bagi bertahannya struktur itu sebagai suatu sistem. Bisakah Anda bayangkan jika salah satu fungsi tersebut tidak



50



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



ada elemen yang mempunyainya? Akan terjadi kekacauan, bukan! Kehadiran Mpok Atun menyebabkan Anda tidak per­ lu mengalokasikan waktu dan tenaga kerja untuk mencuci. Begitu juga dengan Bang Togar. Apa jadinya jika tidak ada tukang tambal motor seperti Bang Togar. Tentu akan men­ jadi chaos. Jadi, semua elemen yang ada mempunyai fungsi. Fungsi tersebut memberikan sumbangan bagi bertahannya suatu struktur sebagai suatu sistem.



http://facebook.com/indonesiapustaka



d. Seiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus nilai di antara para anggotanya



Untuk memahami ini mari kita ambil sebuah contoh. Salah satu struktur yang sering memengaruhi hidup Anda adalah keluarga. Tentu anda tahu banyak hal tentang keluar­ ga Anda bukan! Apa fungsi bapak dalam keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu beserta anak­anaknya? Anda akan menjawab bahwa fungsi bapak dalam keluarga adalah pencari nafkah utama keluarga, pelindung keluarga, dan pendidik anak­anak. Kemudian, apa fungsi ibu dalam keluarga? Anda akan menjawab bahwa fungsi ibu adalah pendidik utama anak­anak, penjaga konsumsi keluarga, dan bendahara keluarga. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang me­ netapkan fungsi tersebut? Mungkin Anda ragu menjawab­ nya. Fungsi bapak dan ibu yang Anda katakan tadi sudah ada sebelum kedua orang tua Anda lahir. Maksudnya ide atau gagasan tentang fungsi kedua orang tua telah ada jauh sebelum orang tua Anda ada di muka bumi ini. Artinya, ide atau gagasan tersebut telah menjadi konsensus nilai dalam masyarakat berupa adat kebiasaan, tata kelakuan, atau lain­ nya.



51



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Mari kita lanjutkan dengan contoh lainnya, yaitu antara Anda bersama saudara Anda. Katakanlah Anda bersaudara tiga orang, di mana Anda punya seorang kakak dan adik. Anda bertiga ingin membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah tangga yang Ada. Oleh karena itu, Anda bersepakat melakukan pembagian kerja antara tiga orang bersaudara. Hasil kesepakatan tersebut menghasilkan anda mengerjakan pekerjaan dapur, kakak membersihkan rumah, sedangkan adik melakukan pekerjaan taman. Kesepakatan yang Anda buat bersama saudara Anda merupakan suatu konsensus antara tiga orang bersaudara. Kesepakatan tersebut dilan­ dasi oleh keinginan membantu orang tua. Dalam masyarakat Indonesia, ide tentang membantu orang tua merupakan ide yang berasal dari nilai budaya dan agama yang dianut. Berdasarkan dua contoh tersebut di atas, telah memper­ lihatkan bahwa fungsi dari elemen­elemen yang terstruktur dilandasi atau dibangun di atas konsensus nilai di antara para anggotanya. Konsensus nilai tersebut berasal baik dari kesepakatan yang telah ada dalam suatu masyarakat, seperti adat kebiasaan, tata perilaku, dan sebagainya maupun kese­ pakatan yang dibuat baru.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Teori Struktural Konflik Teori struktural konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Berbeda dengan teori struktural fungsional yang menekankan pada fungsi dari elemen­elemen pemben­ tuk struktur, teori struktural konflik melihat bahwa setiap struktur memiliki berbagai elemen yang berbeda. Elemen­ elemen yang berbeda tersebut memiliki motif, maksud, ke­ pentingan, atau tujuan yang berbeda­beda pula. Perbedaan tersebut memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi,



52



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



konflik, dan perpecahan. Konflik ada di mana­mana. Setiap struktur terbangun didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain. Melalui teori ini dipahami bah­ wa buta huruf terjadi karena adanya perbedaan akses antara berbagai orang terhadap sumber­sumber langka, seperti ba­ rang, jasa, informasi, dan kekuasaan. Perbedaan akses ini terjadi karena struktur tertentu yang tercipta atau diciptakan oleh kelompok tertentu dipakaikan terhadap kelompok lain. Seperti itulah inti dari teori struktural konflik. Asumsi Teori Struktural Konflik



Untuk menuju pada tingkatan pemahaman yang lebih men­ dalam, mari kita dalami pendapat Ralp Dahrendorf (1986: 197­198) tentang asumsi dasar yang dimiliki oleh teori struk­ tural konflik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



a. Seiap masyarakat, dalam seiap hal, tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial terdapat di mana-mana



Berbeda dengan teori struktural fungsional yang melihat masyarakat selalu dalam keadaan keseimbangan (ekuilibri­ um), teori struktural konflik melihat masyarakat pada proses perubahan. Hal tersebut terjadi karena elemen­elemen yang berbeda sebagai pembentuk masyarakat (struktur sosial) mem­ punyai perbedaan pula dalam motif, maksud, kepentingan, atau tujuan. Perbedaan yang ada tersebut menyebabkan se­ tiap elemen berusaha untuk mengusung motif atau tujuan yang dipunyai menjadi motif, atau tujuan dari struktur, Ke­ tika motif atau tujuan diri dari suatu elemen telah menjadi bagian dari struktur maka elemen tersebut cenderung un­ tuk mempertahankannya di satu sisi. Sedangkan pada sisi lain, elemen lain terus berjuang mengusung motif atau ke­ pentingan dirinya menjadi motif atau kepentingan struktur.



53



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah perubahan yang senantiasa diperjuangkan oleh setiap elemen terhadap motif, maksud, kepentingan, atau tujuan diri. Kita lanjutkan dengan contoh dsebelumnya. Anda se­ bagai pegawai negeri sipil, Mpok Atun si tukang cuci kelu­ arga, Bang Togar si penambal ban motor Anda, Kang Asep si loper koran Anda, Uda Buyung si penjual nasi, dan Bang Abdi si penjual barang harian adalah elemen­elemen dari struktur sosial yang memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang berbeda. Perjuangan Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Abdi dalam meraih motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang dimi­ liki merupakan penggerak terhadap perubahan dalam struk­ tur sosial di mana mereka berada. Sepanjang mereka tetap berjuang meraih motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang dipunyai, maka sepanjang itu pula perubahan dalam struktur terus bergerak.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b. Seiap masyarakat, dalam seiap hal, memperlihatkan perikaian dan konlik; konlik sosial terdapat di mana-mana



Kita telah diskusikan bahwa setiap struktur sosial terdiri dari beberapa elemen yang memiliki motif, maksud, kepen­ tingan, atau tujuan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut merupakan sumber terjadinya pertikaian dan kon­ flik diantara berbagai elemen dalam struktur sosial. Selama perbedaan tersebut masih terdapat di dalam struktur, maka selama itu pula pertikaian dan konflik dimungkinkan ada. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin elemen­elemen da­ lam struktur tidak memiliki perbedaan dalam motif, maksud, kepentingan, atau tujuan? Tidak, kata ahli teori struktural konflik. Untuk pemahaman lebih lanjut, kita masih tetap dengan



54



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



contoh yang disajikan sebelumnya. Perbedaan motif, mak­ sud, kepentingan, atau tujuan antara Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Abdi meru­ pakan sumber penyebab terjadinya konflik antar­elemen da­ lam struktur di mana mereka berada. Pertikaian dan konflik akan tetap ada sepanjang mereka memiliki motif, maksud, kepentingan, atau tujuan yang tidak sama. Namun seperti diingatkan sebelumnya, ketidaksamaan motif, maksud, ke­ pentingan, atau tujuan adalah realitas kehidupan sosial, me­ nurut teoretisi konflik. c. Seiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Perbedaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan dari berbagai elemen, seperti dijelaskan sebelumnya, merupa­ kan sumber pertikaian dan konflik. Selanjutnya, pertikaian dan konflik menyebabkan disintegrasi dan perubahan da­ lam struktur sosial. Ini berarti bahwa berbagai elemen yang membentuk struktur tersebut mempunyai sumbangan terha­ dap terjadinya disintegrasi dan perubahan dalam struktur tersebut. Kita masih menggunakan contoh sebelumnya sebagai ilustrasi bagi pemahaman yang lebih dalam. Karena adanya perbedaan motif, maksud, kepentingan, atau tujuan antara Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Abdi, maka dimungkinkan terjadinya perpecahan dan konflik antar mereka. Pada gilirannya, pertikaian dan konflik antara sesama mereka akan menghasilkan disinte­ grasi dan perubahan dalam masyarakat. Dengan demikian, Anda, Mpok Atun, Bang Togar, Kang Asep, Uda Buyung, dan Bang Abdi memiliki sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan dalam masyarakat.



55



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



d. Seiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain



Keteraturan, keharmonisan atau kenormalan yang terli­ hat dalam masyarakat, dipandang oleh teoretisi konflik, se­ bagai suatu hasil paksaan dari sebagian anggotanya terhadap sebagian anggota yang lainnya. Kemampuan memaksa dari sebagian anggota masyarakat berasal dari kemampuan me­ reka untuk memperoleh kebutuhan dasar yang bersifat lang­ ka seperti hak istimewa, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan, dan prestise lainnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sekarang kita masuk ke dalam contoh. Katakanlah bah­ wa keteraturan, keharmonisan, dan kenormalan yang Anda temui di provinsi di mana Anda tinggal berasal dari pelak­ sanaan aturan perundangan yang ada. Jika Anda sependa­ pat dengan itu, maka Anda tentu sependapat pula bahwa aturan perundang­undangan tersebut dibuat oleh sebagian dari anggota masyarakat yang memiliki kewenangan untuk merumuskan, memutuskan, dan menetapkan suatu aturan perundang­undangan seperti top eksekutif dan anggota leg­ islatif. Dalam kenyataannya, belum tentu semua anggota legislatif setuju dengan semua isi suatu aturan perundangi­ undangan. Demikian pula rakyat belum tentu setuju. Oleh karena aturan perundangan tersebut sudah ditetapkan dan berlaku, maka dengan terpaksa semua rakyat, tanpa terke­ cuali, harus patuh.



3. Teori Interaksionisme Simbolis Teori interaksionisme simbolis memahami realitas seba­ gai suatu interaksi yang dipenuhi berbagai simbol. Kenyataan merupakan interaksi interpersonal yang menggunakan sim­ bol­simbol. Penekanan pada struktur oleh dua teori makro



56



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



yang dibahas sebelumnya, yaitu struktural fungsional dan struktural konflik, telah mangabaikan proses interpretatif di mana individu secara aktif mengkonstruksikan tindakan­ tindakannya dan proses interaksi di mana individu menye­ suaikan diri dan mencocokkan berbagai macam tindakannya dengan mengambil peran dan komunikasi simbol. (Johnson, 1986: 37) Untuk memahami lebih jelas tentang teori interaksion­ isme simbolis, mari kita lihat apa asumsi yang ada dalam teori ini. Kemudian kita akan diskusikan bagaimana pandangan salah seorang teoretisi interaksionisme simbolis. Asumsi Teori Interaksionisme Simbolis



Dalam mendiskusikan asumsi teori interaksionisme sim­ bolis, kita menggunakan pendapat dari Turner (1978: 327­ 330). Menurut Turner, ada empat asumsi dari teori interak­ sionisme simbolis, yaitu:



http://facebook.com/indonesiapustaka



a. Manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol



Tindakan sosial dipahami suatu tindakan individu yang memiliki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain. Dalam proses melakukan tindakan sosial terdapat proses pemberian arti atau pemak­ naan. Proses pemberian arti atau pemaknaan menghasilkan simbol. Ketika tindakan sosial dilakukan oleh dua orang atau lebih, maka pada saat itu dua anak manusia atau lebih se­ dang menggunakan atau menciptakan simbol. Selanjutnya, kita masuk kepada sebuah contoh. Misalkan, Anda mempunyai seorang adik kecil atau keponakan yang masih anak­anak. Karena Anda belajar sosiologi, maka rasa ingin tahu Anda terhadap apa, kenapa, dan bagaimana orang



57



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



berpikir atau melakukan sesuatu itu tinggi. Ketika Anda da­ pati adik atau anak kecil sedang bermain dengan teman se­ bayanya, Anda menyapa mereka dengan bertanya, “Sedang ngapain, dik?” Mereka menjawab sedang mengendarai mo­ bil. Apa yang dimaknai sebagai mobil adalah sofa di ruangan tamu. Jadi, pada saat mereka bermain, mereka menciptakan simbol, yaitu dengan memaknai sofa di ruangan tamu seba­ gai simbol mobil. Pada saat yang sama, mereka juga meng­ gunakan simbol mobil, misalnya melalui mulut mereka dike­ luarkan bunyi suara mobil sedang melaju kencang.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kehidupan orang dewasa lebih kurang seperti anak kecil di atas: orang dewasa menggunakan dan menciptakan sim­ bol. Perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa terletak pada tingkat kerumitan atau kesederhanaan penciptaan dan penggunaan simbol. Dalam dunia orang dewasa, penciptaan dan penggunaan simbol berkaitan banyak aspek lain kehidup­ an seperti aspek kekuasaan, spritualitas, ekonomi, dan seba­ gainya. Sedangkan dalam dunia anak­anak, penciptaan dan penggunaan simbol terbatas sampai bagaimana mereka bisa saling berkomunikasi tanpa ada kaitannya dengan aspek lain dari kehidupan. Sarung dalam dunia orang dewasa, misal­ nya, bisa dimaknai dengan berbagai macam cara. Sarung bi­ sa diinterpretasikan sebagai simbol kekolotan, keterbelakang­ an, atau ketradisionalan. Tetapi juga bisa dimaknai sebagai simbol kesederhanaan atau kereligiusan. b. Manusia menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi



Untuk apa manusia menciptakan atau menggunakan sim­ bol? Jawabannya adalah untuk saling berkomunikasi. Manu­ sia menciptakan simbol melalui pemberian nilai atau pemak­ naan terhadap sesuatu (baik berupa bunyi, kata, gerak tubuh, benda, atau hal yang lainnya). Sesuatu yang telah diberi nilai



58



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



atau makna disebut dengan simbol. Melalui simbol tersebut manusia saling berkomunikasi. Kembali kepada contoh kita sebelumnya, pemaknaan sofa di ruang tamu sebagai simbol mobil. Pada saat bermain, termasuk bermain mobil­mobilan oleh anak­anak sebelumnya, mereka perlu saling berkomu­ nikasi. Bermain tidak akan bisa berlangsung atau terjadi jika tidak terjadi saling berkomunikasi. Oleh sebab itu, anak­ anak menggunakan sofa sebagai simbol mobil agar mereka bisa saling berkomunikasi untuk bisa saling bermain. Pasti contoh yang paling jelas dan tegas adalah baha­ sa. Seperti Anda ketahui, bahasa adalah simbol utama yang diperlukan dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, sukar di­ bayangkan seseorang dapat berkomunikasi jika tidak dapat menguasai satu pun bahasa, paling tidak bahasa isyarat. Se­ buah komunikasi akan berjalan lancar, apabila pihak­pihak yang terlibat komunikasi menggunakan simbol yang dapat dipahami secara bersama. Biasanya simbol yang dapat dipa­ hami bersama adalah bahasa pengantar yang dapat dipakai di mana saja seperti bahasa nasional atau bahasa interna­ sional (bahasa Ingris).



http://facebook.com/indonesiapustaka



c. Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran (role taking)



Untuk memahami asumsi ini, terlebih dahulu Anda ha­ rus paham dengan konsep pengambilan peran (role taking). Pengambilan peran (role taking) merupakan proses pengam­ bilan peran yang mengacu pada bagaimana kita melihat situasi sosial dari sisi orang lain di mana dari dia kita akan memperoleh respons. Dalam proses pengambilan peran, ses­ eorang menempatkan dirinya dalam kerangka berpikir orang lain. Jadi, seseorang mengambil peran polisi, misalnya, ada­ lah berusaha menempatkan diri dalam kerangka berpikir



59



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



polisi, atau melihat situasi atau perilaku seseorang seperti yang dilakukan oleh polisi. Atau contoh lain, Anda mengam­ bil peran gubernur adalah berupaya memosisikan diri dalam perspektif berpikir gubernur, atau melihat situasi atau peri­ laku seseorang seperti yang dilakukan oleh gubernur. Kita akan kembali ke topik ini ketika membicarakan pengambilan peran politik melalui perspektif George Herbert Mead pada bab selanjutnya. d. Masyarakat terbentuk, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir, untuk mendeinisikan, untuk melakukan releksi-diri dan untuk melakukan evaluasi



Masyarakat dibentuk, dipertahankan, dan diubah ber­ dasarkan kemampuan manusia yang dikembangkan melalui interaksi sosial. Kemampuan manusia dalam berpikir, mend­ efinisikan, refleksi­diri dan evaluasi berkembang melalui inter­ aksi sosial. Jadi, proses interaksi sosial adalah sangat pent­ ing dalam mengembangkan kemampuan manusia. Dengan kemampuan tersebut, melalui proses interaksi juga, manusia membentuk, mempertahankan, dan mengubah masyarakat. Misalnya, lembaga perkawinan dibentuk, dipertahankan dan diubah melalui kemampuan aktor­aktor, yang mem­ bentuknya, dalam berpikir, mendefinisikan, refleksi­diri, dan evaluasi melalui interaksi sosial.



http://facebook.com/indonesiapustaka



4. Teori Pertukaran Teori pertukaran melihat dunia ini sebagai arena per­ tukaran, tempat orang­orang saling bertukar ganjaran/ha­ diah. Apa pun bentuk perilaku sosial, seperti persahabatan, perkawinan, atau perceraian tidak lepas dari soal pertukaran. Semua berawal dari pertukaran, begitu kata tokoh teori per­ tukaran. Untuk memahami teori ini lebih dalam kita akan membahas asumsi yang dikandung dalam teori ini dan selan­



60



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



jutnya didiskusikan pandangan salah seorang tokoh tentang teori ini. Asumsi Teori Pertukaran



Apabila kita pahami dari berbagai pemikiran teori yang dikemukakan oleh George Caspar Homans, Peter M. Blau, Richard Emerson, John Thibout dan Harold H. Kelly maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa teori pertukaran me­ miliki asumsi dasar sebagai berikut: a. Manusia adalah makhluk yang rasional, dia memperhitungkan untung dan rugi



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pemikiran tentang manusia merupakan makhluk yang rasional telah didiskusikan sebelumnya. Teori pertukaran melihat bahwa manusia terus menerus terlibat dalam memi­ lih di antara perilaku­perilaku alternatif, dengan pilihan men­ cerminkan cost and reward (biaya dan ganjaran) yang di­ harapkan berhubungan dengan garis­garis perilaku alternatif itu. Tindakan sosial dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomis. Suatu tindakan adalah rasional berdasarkan per­ hitungan untung rugi. Dalam rangka interaksi sosial, aktor mempertimbang­ kan keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang dike­ luarkannya (cost benefit ratio). Oleh sebab itu, semakin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh makin besar kemungkinan suatu perilaku akan diulang. Sebaliknya, makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang akan diperoleh, maka makin kecil kemungkinan perilaku yang sama akan di­ ulang. Teori pertukaran dapat digunakan untuk memahami me­ ngapa kelompok berpendidikan rendah tidak memilih­milih pekerjaan dibandingkan dengan yang lebih tinggi. Pengalaman



61



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



masa lampau telah banyak memberikan pelajaran bahwa ti­ dak memilih­milih pekerjaan akan dapat bertahan hidup (survive). Atau kita bisa memahami, misalnya, mengapa orang menciptakan hubungan persahabatan? Melalui teori pertukaran, kita pahami bahwa persahabatan dibuat dan di­ pertahankan karena di sana diperoleh keuntungan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b. Perilaku pertukaran sosial terjadi apabila: (1) perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain; dan (2) perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut



Asumsi dari Blau ini, menurut Poloma (1984), juga sejalan dengan pemikiran Homans tentang pertukaran. Perilaku so­ sial terjadi melalui interaksi sosial yang mana para pelaku berorientasi pada tujuan. Untuk memperoleh kasih sayang, misalnya, seseorang harus berorientasi pada perolehan kasih sayang tersebut. Perolehan kasih sayang tersebut hanya mungkin dilakukan melalui interaksi dengan orang lain. Tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Perilaku untuk mendapatkan kasih sayang tersebut memerlukan sarana ba­ gi pencapaiannya, misalnya, hubungan persahabatan atau perkawinan. Dalam hubungan persahabatan atau perka­ winan, pihak terlibat (antara dua sahabat atau antara suami istri) melakukan interaksi dengan mengorientasikan peri­ lakunya untuk memperoleh kasih sayang. Dengan cara terse­ but pertukaran sosial bisa terjadi. c. Transaksi-transaksi pertukaran terjadi hanya apabila pihak yang terlibat memperoleh keuntungan dari pertukaran itu



Sebuah tindakan pertukaran tidak akan terjadi apabila dari pihak­pihak yang terlibat ada yang tidak mendapatkan keuntungan dari suatu transaksi pertukaran. Keuntungan



62



BAB 2 Pendekatan Sosiologis tentang Poliik



dari suatu pertukaran, tidak selalu berupa ganjaran ekstrin­ sik, seperti uang, barang­barang atau jasa, tetapi juga bisa ganjaran intrinsik seperti kasih sayang, kehormatan, kecan­ tikan, atau keperkasaan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tidak mung­ kin bertepuk sebelah tangan. Dalam kaitan dengan asum­ si ini, tidak mungkin suatu pertukaran sosial terjadi kalau satu pihak saja mendapat keuntungan, sedangkan yang lain tidak mendapat apa­apa, apalagi kalau pihak lain tersebut justru mendapatkan kerugian. Hubungan persahabatan atau hubungan perkawinan, seperti telah kita bahas sebelumnya, tidak mungkin terjadi kalau ada pihak yang tidak memper­ oleh keuntungan, apalagi ada pihak yang merugi karena hubungan tersebut. Jika ada pihak yang tidak mendapatkan apa­apa atau malah rugi, maka hubungan persahabatan atau perkawinan tersebut bisa bubar, menurut pandangan teori ini.



63



http://facebook.com/indonesiapustaka



3 KEKUASAAN



A. APA ITU KEKUASAAN?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Apakah antara seorang perampok yang menodongkan senjata api kepada seseorang untuk menyerahkan barang berharga yang dimiliki kepadanya dan seorang direktur yang meminta seorang bawahannya untuk melakukan suatu tugas bagi perusahannya memiliki persamaan? Jawabannya, antara perampok dan direktur memiliki persamaan, yaitu suatu ke­ mampuan untuk menguasai atau memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Namun antara perampok dan direktur memiliki pula per­ bedaan, yaitu perampok ditaati karena kekuasaan yang tidak sah berupa kekerasan. Kekuasaan yang tidak sah merupakan kekuasaan yang tidak dianggap orang sebagai suatu hal yang benar, dikenal juga dengan paksaan (coercion). Sedangkan direktur ditaati karena dia memiliki kepercayaan akan legiti­ masi haknya untuk memengaruhi. Dengan demikian, dalam konteks contoh di atas, perampok dan direktur sama­sama memiliki kekuasaan, namun direktur memiliki kewenangan (herrschaft/otoritas), sedangkan perampok menggunakan paksaan. Jadi, apa itu kekuasaan? Kekuasaan merupakan suatu



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



kemampuan untuk menguasai atau memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan, khusus­ nya untuk memengaruhi perilaku orang lain. Sementara pak­ saan adalah kemampuan untuk menguasai atau memengar­ uhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan melalui cara yang tidak sah atau tidak memiliki le­ gitimasi. Sedangkan otoritas (kewenangan) merupakan suatu legitimasi (hak) atas dasar suatu kepercayaan untuk memeng­ aruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Jadi, kewenangan merupakan suatu bentuk kekuasaan yang sah atau memiliki legitimasi. Pandangan tersebut merupakan gagasan Weber tentang konsep kekuasaan, otoritas, dan paksaan. Untuk me­ mudahkan pemahaman kita, ada baiknya dipahami melalui gambar 3.1.



KEKUASAAN



SAH: KEWENANGAN



TIDAK SAH: PAKSAAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gambar 3.1 Kekuasaan, Kewenangan, dan Paksaan Menurut Max Weber



Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan konsep kekuasaan, kewenangan, dan paksaan sangat erat. Kekuasaan itu sendiri bersifat netral. Sementara kewenang­ an merupakan dimensi positif dari kekuasaan, sebaliknya paksaan merupakan dimensi negatif dari kekuasaan. Berbeda dengan pandangan Max Weber, Stephen K.



66



BAB 3 Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sanderson (2003: 296­297), memahami konsep ini sebagai suatu mekanisme politik. Sanderson membagi mekanisme politik atas tiga, yaitu pengaruh, kekuasaan, dan kewenan­ gan. Pengaruh merupakan proses di mana perilaku, keputu­ san atau saran dari satu orang atau beberapa orang akan dii­ kuti atau ditiru oleh orang lain. Pengaruh merupakan proses informal dari kontrol sosial yang ketat yang muncul dari adanya interaksi sosial yang erat, konstan, dan teratur. Jenis kontrol ini lebih kuat pada masyarakat berskala kecil, ber­ struktur sederhana, dan bercirikan interaksi tatap muka se­ bagian besar anggotanya. Pengaruh merupakan mekanisme politik yang menonjol pada masyarakat sederhana. Seorang pemimpin yang memiliki pengaruh tidak menjamin saran dan nasihat yang diberikannya serta­merta dilaksanakan; ia hanya sekadar dapat menganjur, mengimbau, dan berharap agar dilaksanakan. Sedangkan konsep kekuasaan dipahami Sanderson, me­ lalui pengayaan batasan Weber, sebagai kemampuan untuk mengendalikan perilaku orang lain, atau bahkan memadam­ kan usaha menentangnya. Kemampuan untuk memadamkan perlawanan dan menjamin tercapainya keinginan dari peme­ gang kekuasaan itu merupakan pembeda dengan konsep pengaruh. Jadi, lanjut Sanderson, di balik konsep kekuasaan terkandung makna adanya ancaman paksaan atau kekuatan konstan jikalau ada perintah atau keputusan yang tidak di­ patuhi secara sukarela. Oleh karena itu, kekuatan kekuasaan didukung oleh kemampuan penggunaan kekerasan. Untuk itu, kekuasaan membutuhkan pengembangan suatu tingkat organisasi tertentu dengan mesin administrasi tertentu pula. Meskipun demikian, pemegang kekuasaan paham bahwa me­ reka dipatuhi sepanjang mereka mampu mempertahankan



67



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



konsistensi penggunaan kekerasan, kepatuhan berasal dari luar, bukan dari dalam yang bersifat psikologis. Oleh sebab itu pula, mereka berusaha mengembangkan suatu cara agar kekuasaan mereka dipatuhi dengan komitmen psikologis tertentu. Apabila para pemegang kekuasaan telah mampu mengembangkan kekuasaan menjadi suatu kepatuhan atau ketundukan yang berasal dari komitmen psikologis yang di­ landasi oleh rasionalitas dan legalitas tertentu, maka ia telah mengalami transformasi menjadi kewenangan (authority), seperti yang dikemukakan oleh Weber. Pemikiran tentang konsep kekuasaan yang dikembang­ kan oleh Sanderson tersebut tampaknya merupakan inovasi kreatif dari pemikiran Max Weber. Dalam kenyataannya ter­ dapat berbagai mekanisme politik yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang dalam berinteraksi dengan lainnya. Mekanisme tersebut meliputi pengaruh, kekuasaan, dan ke­ wenangan.



B. PEMIKIRAN SOSIOLOGI TENTANG KEKUASAAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kekuasaan merupakan salah satu topik kajian sosiologi yang banyak mendapat perhatian oleh para tokohnya, baik tokoh klasik maupun kontemporer. Berikut disajikan pemi­ kiran beberapa tokoh sosiologi klasik dan kontemporer ten­ tang kekuasaan.



1. Max Weber Pemikiran Max Weber telah dikupas dalam bagian sebe­ lumnya. Namun untuk mengingatkan lagi tidak ada salahnya untuk disinggung lagi. Weber menggunakan konsep herrschaft dalam menjelaskan kewenangan, yang dibedakan de­



68



BAB 3 Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



ngan kekuasaan, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya. Pada saat menjelaskan kewenangan, Weber membuat tipolo­ gi tentang konsep ini, yaitu: 1.



Kewenangan tradisional, yaitu kewenangan yang dida­ sarkan atas tradisi, kebiasaan, kekudusan aturan dan kekuatan zaman dulu. Pada masyarakat Minangkabau, misalnya, seorang penghulu memiliki kewenangan ka­ rena adanya tradisi, kebiasaan dan adat yang mengatur kepemimpinan dalam masyarakat Minangkabau. Seorang penghulu, secara adat, didahulukan selangkah dan diting ­ gikan seranting, sehingga jarak antara pemimpin (pen­ ghulu) dengan yang dipimpin (kemenakan) relatif dekat. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, ditemui kepercayaan “Ratu Adil” sebagai sang penyelamat dunia. Oleh sebab itu, titisannya akan dipandang sebagai pemimpin yang menjadi penyelamat dunia pula. Weber membedakan kewenangan tradisional ini atas: a) Gerontokrasi, pada tangan orang­orang tua dalam suatu kelompok; b) Patriarkalisme, pada suatu satuan kekerabatan yang di­ pegang oleh seorang individu tertentu yang memiliki oto­ ritas warisan; dan c) Patrimonial, pegawai pemerintah lahir di dalam administrasi rumah tangga si pemimpin. Para administrator sebenarnya pelayan­pelayan pribadi dan wakil­wakil si pemimpin.



2.



Kewenangan karismatik, yaitu kewenangan yang diper­ oleh seseorang karena dipandang memiliki kualitas ke­ pribadian individu yang extraordinary (luar biasa) dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi kekuatan­ kekuatan dan kualitas supernatural (adiduniawi), superhuman (adiinsani), dan exceptional (pengecualian). Kita mengenal Gandhi merupakan pemimpin yang karisma­ tik bagi bangsa India. Gandhi menganjur gerakan sosial,



69



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



swadesi, yaitu suatu gerakan berdiri di atas kaki sendiri dengan memproduksi dan mengonsumsi apa yang telah dihasilkan, untuk melawan penjajahan Inggris terhadap India.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3.



Kewenangan legal­rasional, yaitu kewenangan didasar­ kan atas komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal. Seseorang yang memiliki kedudukan sebagai bupati di­ turuti dan dihormati perintahnya, sebagai suatu contoh, oleh seluruh pegawai negeri sipil (PNS) di suatu peme­ rintahan daerah karena aturan perundangan­undangan. Apabila masa jabatannya berakhir maka berakhir pula kewenangan yang dimilikinya.



Ketiga tipe kewenangan tersebut bisa saling berkombi­ nasi antara satu sama lain. Para kepala daerah di Sumatera Barat, sebagai suatu contoh, seperti wali kota, bupati atau gubernur, sering diminta oleh kaum (kelompok kekeraba­ tan) mereka untuk menjadi penghulu, yaitu kepala kaum dan bergelar datuk. Dalam konteks ini, bagi kepala daerah yang menerima gelar penghulu tersebut, maka mereka mengom­ binasikan antara kewenangan legal­rasional dan kewenangan tradisional dalam diri mereka. Sultan Hamengkubuwono IX, misalnya, merupakan sultan Yogya yang memiliki karisma di kalangan orang Jawa. Gelar sultan tersebut merupakan suatu tradisi yang diwarisi secara turun­temurun. Di samping itu, beliau berdasarkan aturan perundangan­undangan yang ber­ laku adalah gubernur bagi Provinsi Yogyakarta. Dalam kasus ini, dengan demikian, Sultan Hamengkubuwono IX memili­ ki tiga tipe kewenangan sekaligus, yaitu kewenangan tradisi­ onal, karismatik, dan legal­rasional.



70



BAB 3 Kekuasaan



2. Bertrand Russel



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bertrand Russel (1988: 23), mendefinisikan kekuasa­ an sebagai hasil pengaruh yang diinginkan. Andaikan dua orang dengan keinginan yang sama, jika yang satu mencapai semua keinginan yang dicapai oleh yang lainnya, dan juga keinginan­keinginan lainnya, maka ia mempunyai lebih ba­ nyak kekuasaan daripada orang yang lainnya itu. Bagi Rus­ sel, dorongan atau motivasi bagi seorang manusia untuk berbuat sesuatu bukanlah dorongan seks, sebagaimana yang diungkapkan oleh Freud, akan tetapi dikarenakan dorongan untuk memperoleh atau memegang kekuasaan. Dorongan terhadap kekuasaan itu berbentuk eksplisit pada pimpinan yang ingin berkuasa, dan bersifat implisit pada manusia yang bersedia mengikuti sang pemimpin. Russel, seperti halnya Weber, juga mengelompokkan kekuasaan dalam beberapa tipe, yaitu: pertama, kekuasaan tradisional, yaitu kekuasaan yang berdasarkan atas tradisi, kepercayaan, atau kebiasaan. Kekuasaan tradisional mencak­ up kekuasaan religius dan kekuasaan raja. Kekuasaan religius berkait dengan kekuasaan para pemimpin agama. Sementara kekuasaan raja berhubungan dengan kedudukan seseorang sebagai raja atau sultan. Kedua, kekuasaan revolusioner, yaitu kekuasaan yang bertumpu pada suatu kelompok besar, yang dipersatukan oleh suatu kepercayaan, program, atau peras­ aan baru seperti Protestanisme, Komunisme, atau hasrat akan kemerdekaan nasional. Ketiga, kekuasaan tanpa persetujuan, yaitu kekuasaan yang bertumpu pada hanya dorongan dan hasrat akan kekuasaan individu atau kelompok­kelompok tertentu dan hanya dapat menundukkan pengikut­pengikut­ nya melalui rasa takut, bukan dengan kerja sama yang aktif. Jadi, kekuasaan jenis ini tidak memerlukan persetujuan dari



71



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



pihak yang diperintah. Apabila kepercayaan­kepercayaan dan kebiasaan­kebiasaan yang menopang kekuasaan tradision­ al mulai memudar kekuasaan itu secara berangsur­angsur digantikan oleh kekuasaan yang berdasarkan suatu keper­ cayaan baru, atau oleh kekuasaan tanpa persetujuan; artin­ ya, jenis kekuasaan yang tidak memerlukan persetujuan dari pihak yang diperintah. Contohnya, kekuasaan negara atas para warga yang setia adalah kekuasaan tradisional, tetapi kekuasaannya atas kaum pemberontak adalah kekuasaan tanpa persetujuan.



3. Charles F. Andrain



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bagi Charles F. Andrain (1992: 130­131), kekuasaan dimengerti sebagai penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain. Kekuasaan pada hakikatnya merupakan suatu hubungan, karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain. Pemegang ke­ kuasaan bisa jadi seorang individu atau sekelompok orang, misalnya pemimpin politik nasional. Demikian pula halnya dengan objek kekuasaan bisa satu atau lebih dari satu. Pada saat dihadapkan tuntutan­tuntutan dari pemegang kekuasaan, mulanya orang mungkin menen­ tang, menunjukkan apati, atau sebaliknya mendukung tun­ tutan tersebut. Dihadapkan dengan reaksi­reaksi tersebut, pemegang kekuasaan memiliki beberapa alternatif: mencoba mengatasi penolakan pertama, berusaha membangunkan me­ reka yang apatis dari keengganan mereka, atau mengambil langkah untuk mengoordinasikan kegiatan­kegiatan dari sa­ tu­per satu pendukung yang terpisah. Singkatnya, mobilisa­ si, koordinasi, dan penanggulangan atas penolakan merupa­



72



BAB 3 Kekuasaan



kan kegiatan­kegiatan organisasional yang termasuk dalam pelaksanaan kekuasaan. Charles F. Andrain menemukan lima tipe sumber daya kekuasaan, yaitu: fisik, ekonomi, normatif, personal, dan ahli (informasional). Untuk sederhananya dapat dilihat Tabel 3.1. Tabel 3. 1 Tipe-ipe Sumber Daya Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tipe Sumber Daya



Contoh Sumber Daya



Moivasi untuk Mematuhi



Fisik



Senjata: senapan, bom, rudal B berusaha menghindari cedera isik yang dapat disebabkan oleh A



Ekonomi



Kekayaan, pendapatan, kontrol atas barang dan jasa



B berusaha memperoleh kekayaan dari A



Normaif



Moralitas, kebenaran, tradisi, religius, legiimasi, wewenang



B mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur perilaku B



Personal



Karisma pribadi, daya tarik, persahabatan, kasih sayang, popularitas



B mengideniikasi diri (merasa tertarik) dengan A



Ahli



Informasi, pengetahuan, inteligensi, keahlian teknis



B merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih



Dari kelima sumber daya kekuasaan dapat berkembang lima tipe kekuasaan, yaitu: kekuasaan fisik, ekonomi, kekua­ saan normatif, personal, dan keahlian. Selanjutnya, Charles F. Andrain menemukan juga beberapa dimensi kekuasaan se­ perti: kekuasaan potensial dan aktual (analog energi), kekua­ saan dalam jabatan dan kekuasaan, dalam pribadi, kekuasaan paksaan dan konsensual, serta kekuasaan positif dan negatif (prakarsa vs penghalangan kebijakan).



73



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



4. Michel Foucault



http://facebook.com/indonesiapustaka



Diskusi Foucault (1980) tentang kekuasaan (power/ duvoir) tidak terlepas dari relasinya dengan pengetahuan (knowledge/savoir). Foucault (1980), melihat relasi pengeta­ huan dan kekuasaan sangat erat, di mana dia melihat penge­ tahuan adalah kekuasaan. Bagaimana relasi itu sebenarnya? Dalam The Archaeology of Knowledge, Foucault menjelas­ kan konsep discourse (diskursus) sebagai gambaran bagai­ mana pengetahuan bekerja sebagai kumpulan pernyataan. Diskursus merupakan gagasan penting dalam pemikiran Foucault, dijelaskan sebagai penjelasan, pendefinisian, peng­ klasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran. Diskursus tidak terlepas dari relasi kekuasaan, dan berkait dengan pengetahuan. Oleh sebab itu, Foucault berpandangan bahwa kekuasaan tersebar dan da­ tang dari mana­mana. Diskursus adalah berbicara tentang aturan­aturan dan praktek­praktek yang menghasilkan pernyataan­penyataan yang berarti pada satu rentang historis tertentu. Diskursus juga dipahami sebagai mekanisme pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan institusi, disiplin, dan profesionalisme. Diskursus mengisolasi, memberi arti dan memproduksi ob­ jek pengetahuan yang sekaligus merupakan sebuah undang­ undang sosial yang menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan ber­ tindak seputar topik tertentu. Penggunaan kekuasaan berlangsung dan bekerja dalam ruang pilihan­pilihan bagi mereka yang berada dalam po­ sisi untuk memilih. Kekuasaan memengaruhi pilihan­pilihan atas beberapa kemungkinan pilihan. Kekuasaan ditunjuk­



74



BAB 3 Kekuasaan



kan dengan adanya kebebasan untuk memilih dan dijalankan terhadap subjek­subjek bebas yang memiliki kebebasan un­ tuk memilih dan memengaruhi. Kekuasaan terwujud dalam pemunculan dan pelibatan “permainan­permainan strategis antara pemilik­pemilik kebebasan memilih (strategic games between liberties). Permainan­permainan strategis bekerja dalam segala tempat dan waktu hingga pada ruang bawah sadar yang selanjutnya sangat memengaruhi kecendrungan terhadap pilihan­pilihan. Permainan­permainan strategis me­ libatkan kekuasaan (power) menyebar di mana­mana, di­ jalankan oleh siapa pun dan tumbuh dalam segala level kua­ sa. Sehingga hampir tidak ditemukan ruang sosial yang be­ bas dari bekerjannya kekuasaan dan permainan­permainan strategisnya. (Foucault, 1980; Hindess, 1996)



C. (RE)PRODUKSI KEKUASAAN Bagaimana kekuasaan itu direproduksi? Dengan kata lain bagaimana kekuasaan tersebut muncul atau hadir dalam genggaman seseorang atau kelompok orang? Untuk men­ jelaskan hal tersebut, kita akan menelusuri beberapa analisis yang berkembang dalam sosiologi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Analisis Pertukaran Analisis pertukaran merupakan salah satu analisis yang secara serius dan tegas membicarakan bagaimana kekua­ saan bisa muncul dalam suatu proses hubungan pertukaran. Melalui salah seorang tokohnya, Peter Blau (1964), menje­ laskan munculnya struktur kekuasaan karena terjadinya suatu hubungan pertukaran tidak seimbang. Untuk memahami tesis Blau, mari kita pahami suatu si­



75



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



tuasi sosial berikut. Katakanlah Anu memerlukan suatu pe­ layanan atau memiliki suatu kebutuhan terhadap sesuatu, yang hanya dapat diraih melalui orang lain, sebutkanlah Badu. Apa yang dilakukan Anu, jika ia tidak memiliki sesuatu yang dapat dipertukarkan dengan Badu, sehingga Badu mau memenuhi kebutuhan atau memberikan suatu pelayanan ter­ hadap Anu? Suatu hal yang umum dilakukan orang adalah memohon bantuan atau meminta pertolongan dengan suatu rasa hormat tertentu. Cara unilateral (tanpa menerima im­ balan terhadap apa yang telah dilakukan) tidak bisa diper­ tahankan lama jika tidak ada sesuatu yang diperoleh dalam suatu transaksi. Apabila transaksi pertukaran ini ingin diper­ tahankan, maka pihak yang selalu menerima pertolongan atau bantuan sepihak ini, dalam hal ini Anu, maka ia harus menerima posisi subordinasi terhadap Badu. Penerimaan po­ sisi subordinasi merupakan suatu bentuk pengakuan “utang” dan ketergantungan terhadap orang lain. Konsekuensi logis dari keadaan ini adalah terjadinya perbedaan status antara Badu dan Anu. Ketika ucapan terima kasih sudah tidak di­ anggap lagi sesuatu yang berharga dalam transaksi, semen­ tara Anu masih tetap membutuhkan bantuan dan pertolon­ gan Badu, maka satu­satunya usaha yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan diri atau menerima saja apa yang di­ tuntut Badu. Di sinilah munculnya kekuasaan menurut teori pertukaran Blau. Menurut Blau (1964), dengan mengikuti Richard M. Emerson, ada empat kemungkinan yang logis di mana indi­ vidu dapat menjauhi kepatuhan: 1.



76



Ia dapat memperoleh pelayanan yang sama sehingga, de­ ngan demikian hubungan dengan yang lainnya masih merupakan hubungan timbal balik yang sama.



BAB 3 Kekuasaan



2.



Ia dapat memperoleh pelayanan yang sama di mana­ mana.



3.



Ia dapat menekan yang lain untuk memberikan pelayan­ an, hal ini merupakan hasil dari dominasinya terhadap yang lain.



4.



Ia bekerja tanpa mengharapkan pelayanan seperti itu atau ia menemukan beberapa penggantinya.



Dari pandangan Blau tersebut, maka dapat disimpul­ kan bahwa kekuasaan merupakan hasil hubungan pertukaran yang timpang. Kekuasaan muncul ketika seseorang atau ke­ lompok orang membutuhkan sesuatu dari seseorang atau kelompok orang lainnya, namun tidak mempunyai sesuatu yang sama nilainya sebagai penukar; sehingga barang dan jasa yang dibutuhkan tersebut hanya bisa dipenuhinya mela­ lui ketundukan atau kepatuhan terhadap kekuasaan mereka yang menguasai barang dan jasa tersebut.



2. Analisis Konflik Analisis konflik tentang asal kekuasaan tidak seragam. Paling tidak terdapat tiga sudut pandangan dalam analisis konf­ lik, yaitu pandangan Karl Marx, pandangan Ralf Dahrendorf, dan Gaetano Mosca. Berikut kita diskusikan ketiga perspektif tersebut secara berurutan. http://facebook.com/indonesiapustaka



a) Pandangan Karl Marx



Karl Marx melihat bahwa kekuasaan berasal dari relasi sosial dalam produksi. Menurut Marx dalam Preface to the Critique of Political Economy: Dalam kehidupan sosialnya, manusia memasuki suatu re­ lasi tertentu yang tidak dihindari dan berada di luar ke­ inginan mereka, yakni hubungan produksi yang berkaitan



77



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dengan tahap­tahap perkembangan tertentu kekuatan produksi kebendaan mereka. Keseluruhan hubungan pro­ duksi ini membentuk struktur ekonomi masyarakat, yang merupakan dasar yang sebenarnya, di atas mana super­ struktur hukum dan politik berdiri, dan dari sini muncul kesadaran sosial yang tertentu. Mode produksi (mode of production) dari kehidupan kebendaan menentukan proses kehidupan sosial, politik, dan cara berpikir secara umum.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam A Contribution to the Critique of Political Economy ([1859] 1970: 20­21), Marx juga menegaskan bahwa ekonomi merupakan fondasi dari masyarakat dan di atas fon­ dasi ini dibangun superstruktur politik dan hukum. Fondasi struktural dari masyarakat sering juga disebut dengan in­ frastruktur, merupakan keseluruhan dari kekuatan­kekuatan produksi (mesin, tenaga kerja, otoritas, dan pengetahuan teknis) dan kekuatan­kekuatan sosial (hak milik, otoritas, dan hubungan kelas). Dengan demikian maka seluruh ke­ hidupan sosial yang mencakup aspek sosial, politik, budaya, agama, dan lainnya dilihat sebagai hasil dari dan tergantung pada kehidupan ekonomi dalam masyarakat. Kekuasaan muncul ketika hubungan sosial dalam pro­ duksi ditandai dengan munculnya kepemilikan pribadi dan pembagian kerja. Masyarakat berburu dan meramu, dilihat Marx, sebagai masyarakat komunisme primitif di mana ke­ butuhan subsistensi diperolehnya, terutama, dari sumber daya alam yang dimiliki bersama secara komunal oleh se­ luruh komunitas. Dalam masyarakat ini tidak seorang pun dapat mendeprivasi dari hak penuh seseorang untuk me­ manfaatkan sumber daya yang ada. Pada masyarakat ini tidak terjadi stratifikasi. Perbedaan yang ada dilihat sebagai ketidaksamaan dalam usia, jenis kelamin, karakteristik per­



78



BAB 3 Kekuasaan



sonal seperti keberanian dan keterampilan berburu sedikit terjadi. Ketika masyarakat berburu dan meramu menemu­ kan cara domestifikasi (menjinakkan) tanaman dan binatang, seperti gandum, (gerst barley), padi, ubi rambat, kedelai, biri­biri, kambing, babi, dan lainnya, maka terbentuklah ma­ syarakat hortikultura sederhana. Domestifikasi tanaman dan binatang mengubah perilaku masyarakat dari kehidupan berpindah­pindah menjadi menetap. Seiring dengan peruba­ han tersebut,terjadi pula perubahan hubungan kepemilikan terhadap faktor produksi, yaitu dari kepemilikan bersama secara komunal seluruh komunitas menjadi kepemilikan ke­ luarga besar. Dalam masyarakat hortikultura sederhana ini, perbedaan yang ada seperti usia, jenis kelamin, prestise per­ sonal, dan kehormatan tidak menyebabkan terjadinya strati­ fikasi sosial. b) Pandangan Ralf Dahrendorf



http://facebook.com/indonesiapustaka



Berbeda dengan pandangan Karl Marx, Ralf Dahrendorf menggunakan konsep Max Weber tentang kewenangan (herrschaft/otoritas) dalam menjelaskan kekuasaan. Dahrendorf (1986: 203­204), mengemukakan beberapa pandangannya tentang kewenangan: 1.



Hubungan kewenangan adalah selalu berbentuk hubung­ an antar superordinat dan subordinat, hubungan atas­ bawah.



2.



Di mana terdapat hubungan kewenangan, di sana su­ perordinat secara sosial diperkirakan, melalui perintah dan komando, peringatan dan larangan, mengendalikan subordinat.



3.



Perkiraan demikian secara relatif lebih dilekatkan kepada posisi sosial daripada terhadap kepribadian individual.



79



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



4.



Berdasarkan pada kenyataan ini, hubungan kewenangan selalu meliputi spesifikasi orang­orang yang harus tun­ duk kepada pengendalian dan spesifikasi dalam bidang­ bidang yang mana saja pengendalian itu diperbolehkan. Oleh karena itu, kewenangan tidak pernah menjadi suatu hubungan pengendalian yang digeneralisasikan terhadap orang lain yang tidak termasuk ke dalam hubungan pe­ ngendalian itu.



5.



Kewenangan adalah sebuah hubungan yang sah; tidak tunduk kepada perintah orang yang berwenang dapat dikenai sanksi tertentu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dari batasan kewenangan yang dikemukakan Dahren­ dorf tersebut, maka dapat dipahami bahwa setiap posisi me­ lekat suatu kewenangan. Kewenangan, oleh karena itu, me­ lekat bukan pada pribadi individu, melainkan pada posisi sosial yang sah dan melembaga dalam “asosiasi yang dikoor­ dinasi secara imperatif”. Dalam setiap asosiasi, terdapat dua kelompok dikotomis, yaitu kelompok yang menggunakan otoritas (superordinat) dan kelompok yang patuh atasnya (subordinat). Kedua kelompok tersebut, oleh sebab itu, me­ miliki kepentingan yang saling bertentangan. Kelompok su­ perordinat cenderung mempertahankan status­quo, sedang­ kan kelompok subordinat akan menantangnya atau melaku­ kan perubahan. Keadaan inilah yang menimbulkan konflik. c) Pandangan Gaetano Mosca



Pemikiran Mosca telah kita pahami melalui Bab 2 sebe­ lumnya. Bagaimana kekuasaan itu muncul atau hadir da­ lam masyarakat? Hal itu bisa kita pahami secara pemikiran Mosca tersebut: 1.



80



Suatu masyarakat tidak akan ada bila tidak terorganisasi.



BAB 3 Kekuasaan



Diperlukan kepemimpinan tertentu untuk mengorgani­ sasikan atau mengoordinasikan tindakan orang­orang dan untuk menyelesaikan pekerjaan masyarakat. 2.



Kepemimpinan (atau organisasi politik) mencerminkan ketidaksamaan atau ketidaksetaraan kekuasaan. Sebagian orang menduduki posisi kepemimpinan, sedangkan orang lain mengikutinya.



3.



Secara alami manusia berpusat pada dirinya. Oleh sebab itu, mereka yang berkuasa akan menggunakan posisi mereka untuk meraih keuntungan lebih besar bagi diri mereka sendiri.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Analisis Fungsional Kalau kita mengingat kembali apa yang telah didiskusi­ kan tentang teori struktural fungsional pada Bab 2 sebe­ lumnya, dengan menggunakan asumsi teori struktural fung­ sional tersebut, maka dapat dipahami bahwa kekuasaan atau kewenangan merupakan produk dari masyarakat, yaitu me­ rupakan konsensus nilai dari para anggotanya. Apa maksud­ nya? Kekuasaan atau kewenangan lahir dari konsensus nilai dalam masyarakat. Bagaimana tipe atau bentuk kekuasaan, kepada siapa diberikan, dan bagaimana seseorang atau kel­ ompok orang memperoleh kekuasaan merefleksikan suatu konsensus nilai dalam masyarakat. Kekuasaan, oleh karena itu, dijalankan atau dimainkan sesuai dengan konsensus nilai yang terdapat dalam masyarakat. Kekuasaan atau kewenangan memiliki fungsi bagi ber­ tahannya suatu masyarakat atau bertahannya struktur sebagai suatu sistem sosial. Itu artinya bahwa kekuasaan diperlukan untuk mempersatukan atau mengintegrasikan masyarakat. Melalui kekuasaan, bagian­bagian atau unsur­unsur yang di



81



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dalam masyarakat, dipersatukan olehnya. Sebab kekuasaan, seperti yang dikatakan tadi, mencerminkan konsensus nilai dalam masyarakat.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk memahami analisis fungsional, mari kita pahami pandangan para sosiolog dari perspektif ini, yaitu Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945), bagaimana kekuasaan ha­ dir dalam masyarakat. Davis dan Moore berpendapat bahwa: 1.



Masyarakat terdiri dari berbagai macam posisi.



2.



Masyarakat harus memastikan bahwa setiap posisi ter­ isi.



3.



Beberapa posisi lebih penting dibandingkan dengan be­ berapa posisi yang lain.



4.



Posisi­posisi yang lebih penting harus diisi oleh orang yang memiliki kualifikasi yang lebih dibandingkan yang lain.



5.



Untuk memotivasi orang yang memiliki kualifikasi yang lebih, mesyarakat harus menawarkan kepada mereka im­ balan yang lebih besar misalnya kekuasaan.



Dari beberapa perspektif analisis yang disajikan di atas tampak bahwa setiap perspektif memberikan analisis yang berbeda terdapat (re)produksi kekuasaan. Mana perspektif yang lebih bagus? Jawabannya tergantung di sisi mana kita berdiri untuk melihat sesuatu. Setiap sudut pandang memili­ ki kelemahan dan kelebihan masing­masing. Apakah dengan demikian tidak bisa melihatnya secara komprehensif? Bisa, dengan melakukan pendekatan eklektik, yaitu meramu ber­ bagai sudut pandang yang ada sehingga muncul pemahaman yang holistis dan komprehensif.



82



BAB 3 Kekuasaan



D. DISTRIBUSI KEKUASAAN Dalam bagian ini terdapat beberapa topik yang didis­ kusikan antara lain konsep distribusi kekuasaan, stratifikasi sosial sebagai suatu fenomena distribusi kekuasaan, dan pro­ ses dalam distribusi kekuasaan.



1. Konsep Distribusi Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sebelum diskusi tentang distribusi kekuasaan, ada baik­ nya terlebih dahulu kita membicarakan konsep distribusi. Distribusi berakar dari bahasa Inggris distribution, yang ber­ arti penyaluran. Sedangkan kata dasarnya to distribute, ber­ dasarkan Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily, bermakna membagikan, menyalurkan, menyebarkan, mendistribusikan, dan mengageni. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, distribusi dimaksudkan seba­ gai penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat. Jadi, berdasarkan rujukan di atas, distribusi dapat dimengerti sebagai proses penyaluran barang atau jasa kepada pihak lain. Distribusi dapat dipahami sebagai suatu perangkat hu­ bungan sosial yang melaluinya orang mengalokasikan barang dan jasa yang dihasilkan. Distribusi juga menunjuk suatu proses alokasi dari produksi barang dan jasa sampai ke tang­ an konsumen atau proses konsumsi. Dengan demikian, dis­ tribusi, secara sosiologis, merupakan suatu perangkat hu­ bungan sosial yang melaluinya terjadi proses yang mengan­ tarai produksi barang dan jasa dengan proses konsumsinya. Bagaimana dengan batasan konsep distribusi kekuasaan? Secara sederhana, dengan demikian, konsep distribusi yang telah dirumuskan batasannya sebelumnya dapat digunakan



83



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dengan mempertukarkan atau menggantikan kata barang dan jasa dengan kekuasaan. Melalui cara seperti itu maka distri­ busi kekuasaan dipahami sebagai suatu perangkat hubungan sosial yang melaluinya terjadi proses yang mengantarai (re) produksi kekuasaan dengan proses konsumsinya.



2. Stratifikasi Sosial sebagai Suatu Fenomena Distribusi Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Distribusi kekuasaan dalam masyarakat dapat dilihat me­ lalui stratifikasi sosial (Lenski, 1966 dan Kartono, 2007). Untuk mendalami hal ini, maka ada baiknya kita bahas lagi apa yang dimaksudkan dengan stratifikasi sosial. Berikut be­ berapa pandangan ahli tentang konsep stratifikasi sosial: 1.



James M. Henslin (2007: 178): stratifikasi sosial merupa­ kan suatu sistem di mana kelompok manusia terbagi da­ lam lapisan­lapisan sesuai dengan kekuasaan, kepemi­ likan, dan prestise relatif mereka. Stratifikasi sosial me­ rupakan cara untuk menggolongkan sejumlah besar kel­ ompok manusia ke dalam suatu hirarki sesuai dengan hak­hak istimewa relatif mereka. Oleh sebab itu, strati­ fikasi sosial tidak merujuk pada individu.



2.



Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1989: 1): jika di­ gunakan sebagai kata benda, maka stratifikasi sosial ber­ arti sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat. Jika digunakan sebagai kata kerja, maka stratifikasi sosial adalah proses penyambungan dan pe­ rubahasn sistem perbedaan status.



3.



Kamanto Sunarto (2004: 83): pembedaan anggota ma­ syarakat berdasarkan status yang dimilikinya dinama­ kan stratifikasi sosial. Status yang dimiliki bisa berupa kekuasaan, kekayaan, penghasilan, prestise atau yang lain.



84



BAB 3 Kekuasaan



Dari ketiga definisi tersebut, maka stratifikasi sosial dapat kita rumuskan sebagai penggolongan individu secara berlapis berdasarkan status yang dimilikinya, mencakup ke­ kuasaan, kekayaan, prestise, dan sebagainya. Apa yang di­ stratifikasikan? Apakah sama pandangan para sosiolog ten­ tang hal ini? Dari rumusan definisi stratifikasi sosial, selan­ jutnya kita beranjak bagaimana para sosiolog berteori ten­ tang hal ini, yaitu antara lain:



http://facebook.com/indonesiapustaka



a) Karl Marx



Kehancuran feodalisme, yang ditandai dengan massa pe­ tani tergusur dari lahan dan pekerjaan tradisional mereka sehingga terpaksa bersaing di kota mencari pekerjaan yang tersedia sedikit, menumbuhkembangkan kapitalisme, dan in­ dustri modern. Situasi ini menghasilkan dua kelas yang kon­ tras, seperti telah disinggung di Bab 2, yaitu kaum borjuis, yaitu orang­orang yang memiliki alat produksi; dan kaum proletar, yaitu mereka yang bekerja untuk para pemilik alat produksi. Perbedaan antara dua kelas tersebut bukan ber­ dasarkan pembedaan yang dibuat secara dangkal oleh ma­ nusia di antara diri mereka sendiri, seperti pakaian, tutur bahasa, pandidikan, atau gaji; melainkan dibuat berdasarkan faktor tunggal mendasar, yaitu alat produksi (means of production), berupa peralatan, pabrik, lahan, dan modal yang digunakan untuk memproduksi kekayaan. Untuk memahami lebih sederhana bisa dilihat pada Gambar 3.2. b) Max Weber



Weber tidak setuju dengan Marx yang meletakkan dasar stratifikasi sosial atas landasan kepemilikan semata. Weber melihat bahwa kepemilikan hanyalah suatu bagian saja dari keseluruhan gambaran stratifikasi sosial dalam masyarakat.



85



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



KELAS BORJUIS



KELAS PROLETAR



INFRASTRUKTUR EKONOMI: PEMILIKAN ALAT PRODUKSI



Gambar 3.2 Staiikasi Model Karl Marx



http://facebook.com/indonesiapustaka



Oleh sebab itu, Weber mengusulkan kelas (class), kelompok status (status groups), dan partai (party) sebagai landasan bagi pembedaan tiga jenis stratifikasi sosial. Kelas dirumuskan oleh Weber sebagai semua orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances). Kepentingan ekonomi meliputi pengua­ saan atas barang dan kesempatan untuk mendapatkan penda­ patan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja, menurut Weber, merupakan penentu terhadap peluang untuk hidup orang. Persamaan peluang dalam penguasaan barang dan jasa untuk menghasilkan pendapatan tertentu mengakibat­ kan orang yang berada di kelas yang sama memiliki persa­ maan dalam situasi kelas (class situation), yaitu persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, cara hidup, atau pengalaman hidup pribadi. Jadi, kekayaan men­



86



BAB 3 Kekuasaan



jadi dasar sebagai pembeda kelas, sedangkan kepentingan ekonomi sebagai tujuan pembentukan kelas. Sedangkan kelompok status dipandang sebagai sejum­ lah orang yang berada dalam situasi status (status situation), yaitu kesamaan atas kehormatan dan prestise yang dimiliki. Persamaan dalam status dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life), yang ditandai dengan adanya hak istime­ wa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun materiil. Hal tersebut diperlihatkan melalui gaya konsumsi. Selanjutnya Weber juga melihat kekuasaan menjadi da­ sar pembeda dalam stratifikasi sosial. Oleh sebab itu, par­ tai merupakan sarana yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan dan tujuan politik, yaitu dipengaruhinya suatu aksi komunal untuk meraih tujuan yang terencana. Ketiga jenis stratifikasi sosial tersebut memperlihatkan bagaimana kelas sebagai dimensi kekuasaan dari aspek eko­ nomi, kelompok status adalah dimensi kekuasaan dari aspek budaya, dan partai merupakan dimensi kekuasaan dari aspek politik. Ketiga jenis stratifikasi, yaitu kelas, kelompok status dan partai, menurut Weber (2006), merupakan fenomena dari distribusi kekuasaan dalam suatu komunitas. Gambar 3.3 di halaman berikut dimaksud untuk menajamkan pema­ haman tentang pemikiran Weber. http://facebook.com/indonesiapustaka



c) Gerhard Lenski



Melalui bukunya Power and Privelege, Lenski mencoba menyempurnakan teori stratifikasi Max Weber. Seperti hal­ nya Weber, Lenski juga mengembangkan stratifikasi sosial atas tiga dimenasi, yaitu kekuasaan (power), hak istimewa (privilege), dan kehormatan (prestige).



87



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



YANG MEMILIKI



YANG TIDAK MEMILIKI



KELAS SOSIAL



KELOMPOK STATUS



PARTAI



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gambar 3.3 Straiikasi Model Max Weber



Definisi kekuasaan dari Lenski merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Weber, yaitu kemungkinan dari orang­orang atau sekelompok orang untuk mewujudkan kehendaknya da­ lam suatu tindakan komunal. Kekuasaan di sini lebih kepada dimensi politik. Kekuasaan yang dimiliki dapat memenga­ ruhi proses distribusi surplus produksi barang. Sementara, hak istimewa merupakan hak­hak khusus dimiliki seseorang atau kelompok orang dalam kaitannya dengan kekuasaan yang dimiliki. Hak tersebut berupa kepemilikan atau kon­ trol terhadap suatu bagian atau surplus yang dihasilkan oleh masyarakat. Sedangkan, kehormatan merupakan dampak langsung dari kepemilikan kekuasaan dan hak istimewa. Prestise dapat menjaga, memelihara, dan memapankan pro­ ses distribusi yang menguntungkan. Lenski menegaskan bahwa kekuasaan merupakan varia­ bel kunci dalam hubungan antara dua variabel lainnya, yai­ tu kehormatan dan prestise. Kekuasaan akan melahirkan



88



BAB 3 Kekuasaan



hak istimewa dan prestise tertentu bagi yang memilikinya. Selanjutnya, hak istimewa juga dapat memengaruhi pres­ tise seseorang atau kelompok orang. Pada gilirannya pres­ tise bersama dengan hak istimewa dapat pula memperkuat kekuasaan yang ada. Secara sederhana model stratifikasi so­ sial Lenski dapat dilihat dalam Gambar 3.4.



YANG MEMILIKI



YANG TIDAK MEMILIKI



KEKUASAAN



HAK ISTIMEWA



PRESTISE



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gambar 3.4 Straiikasi Sosial Model Gerhard Lenski



Bagaimana kita bisa memahami pemikiran Weber bahwa stratifikasi sosial merupakan fenomena dari distribusi kekua­ saan dalam suatu komunitas? Dari penjelasan berbagai ma­ cam sosiolog di atas tentang batasan dan teori stratifikasi sosial tampak bahwa stratifikasi sosial mengalokasikan dan mendistribusikan kekuasaan dengan berbagai dimensi yang ada (politik, ekonomi, dan budaya) di dalam masyarakat. Melalui stratifikasi sosial, orang dan kelompok orang didis­ tribusikan ke dalam pelapisan yang berbeda: yang memiliki dan yang tidak memiliki atau pelapisan vertikal seperti atas, menengah, dan bawah.



89



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



3. Proses dalam Distribusi Kekuasaan Bagaimana proses distribusi kekuasaan terjadi dalam suatu masyarakat atau komunitas? Secara umum proses dis­ tribusi kekuasaan terjadi dalam dua bentuk, yaitu distribusi melalui pemberian (distribution by ascription) dan distribusi melalui usaha (distribution by achievement). a) Distribusi Melalui Pemberian



http://facebook.com/indonesiapustaka



Distribusi melalui pemberian dapat terjadi dalam ber­ bagai bentuk, seperti pewarisan, pergiliran, penunjukan, dan undian. Distribusi melalui pewarisan dikenal di seluruh masyarakat di dunia ini. Pewarisan kekuasaan memiliki berb­ agai macam variasi, seperti pewarisan kepada anak, kepona­ kan, saudara, atau keluarga terdekat. Pada sistem monarki, takhta kerajaan pada umumnya diwariskan kepada anak ter­ tua seperti Kerajaan Inggris dan Belanda. Sedangkan pada masyarakat Minangkabau, gelar pusaka kaum seperti gelar datuk diwariskan kepada keponakan, yaitu anak saudara perempuan. Demikian pula dengan properti (kekayaan) di­ wariskan dalam berbagai pola, seperti halnya kekuasaan. Distribusi kekuasaan lewat pergiliran merupakan suatu bentuk pemberian kekuasaan kepada sesama teman seke­ lompok (in group) sehingga persaingan sesama teman dalam satu kelompok tidak tajam serta menghalangi orang atau kel­ ompok lain untuk mendapatkannya. Konsekuensinya kekua­ saan bisa dipertahankan dalam keadaan status quo. Sistem seperti ini masih berlangsung pada pengangkatan Yang Di­ pertuankan Agung Malaysia. Distribusi kekuasaan melalui penunjukan memperlihat­ kan suatu bentuk pemberian kekuasaan kepada orang atau kelompok orang tertentu yang ditunjuk. Penunjukan terse­



90



BAB 3 Kekuasaan



but dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang melakukan tugas dan fungsi untuk itu. Penunjukan tersebut dilakukan oleh, misalnya, dewan revolusi atau majelis syura menunjuk seseorang untuk mengangkat pejabat negara atau pengurus partai. Distribusi kekuasaan lewat undian adalah suatu bentuk pemberian kekuasaan kepada orang atau kelompok orang yang (dapat) memenangi undian. Distribusi kekuasaan mela­ lui undian merupakan bentuk populer pada zaman Yunani kuno. Distribusi kekuasaan jenis ini juga dapat meminimal­ kan konflik dan menghindari dominasi orang atau kelompok orang tertentu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b) Distribusi Melalui Usaha



Seperti distribusi melalui pemberian, distribusi melalui usaha juga memiliki bermacam bentuk, seperti ujian saring­ an dan latihan, pemilihan, dan perebutan. Tipe distribusi ke­ kuasaan melalui usaha yang umum dikenal dan dilaksana­ kan dalam masyarakat kontemporer adalah ujian saringan dan latihan. Kedua bentuk distribusi jenis ini bisa dilakukan berurutan, di mana seseorang atau kelompok orang disaring terlebih dahulu melalui suatu ujian tertentu, setelah itu diberi suatu pelatihan yang diperlukan atau dianggap cukup un­ tuk memegang kekuasaan tertentu. Pelatihan itu sendiri bisa sebagai suatu bentuk ujian saringan, sehingga apabila sese­ orang atau kelompok orang berhasil menyelesaikan pelatih­ an pada kualifikasi tertentu, maka seseorang atau kelompok orang tersebut dapat memperoleh suatu derajat kekuasaan tertentu. Tidak jarang melalui hanya dengan ujian saringan, seseorang atau kelompok orang diberi hal untuk mengelola suatu kekuasaan.



91



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pemilihan merupakan suatu bentuk yang lazim dilaku­ kan oleh masyarakat yang menganut paham demokrasi un­ tuk memilih seseorang atau sekelompok orang yang diberi hak untuk mengelola suatu kekuasaan. Di Indonesia, mis­ alnya, untuk menjadi anggota legislatif dilakukan suatu pe­ milihan umum legislatif melalui pemberian suara oleh selu­ ruh rakyat Indonesia yang berhak berdasarkan aturan pe­ rundang­undangan yang ada. Demikian juga untuk menjadi presiden dan wakil presiden, kepala daerah dan wakilnya, serta kepala desa dilakukan suatu pemilihan melalui pemun­ gutan suara. Keterpilihan seseorang untuk mendapatkan suatu kekuasaan berdasarkan perolehan suara yang diraih seseorang yang ditetapkan oleh suatu aturan perundangan. Menambang suara untuk merndapatkan raihan suara terbe­ sar dilakukan dengan berbagai cara kasar maupun halus: penggunaan uang, pengaruh sosial, kekuatan pidato, sugesti, gurauan canggung, menjegal dengan cara kasar dan halus di parlemen. Perebutan merupakan suatu bentuk distribusi yang di­ lakukan melalui suatu usaha oleh seseorang atau kelompok orang. Perebutan kekuasaan dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan berbagai cara, seperti kudeta, revolusi, pembunuhan, dan intervensi. Kudeta merupakan perebutan kekuasaan terhadap orang yang memiliki kekuasaan yang sah dengan menggunakan kekerasan atau damai. Kudeta dengan kekerasan biasanya dilakukan dengan menggunakan senjata bersama orang atau kelompok orang yang memang­ gul senjata seperti tentara atau para militer. Sedangkan ku­ deta secara damai biasanya dilakukan dengan menggunakan tangan parlemen atau keputusan mahkamah konstitusi.



92



BAB 3 Kekuasaan



Revolusi merupakan perebutan kekuasaan dengan meng­ gunakan kekerasan. Perbedaan antara kudeta dan revolusi adalah yang disebut pertama merobah fondasi ideologi dan sistem kekuasaan, sedangkan kudeta tidak. Perebutan kekua­ saan juga dilakukan melalui pembunuhan terhadap orang yang berkuasa atau orang yang potensial untuk berkua­ sa. Pembunuhan terhadap Rajiv Gandhi di India atau J.F. Kennedy di Amerika bentuk dari usaha ini. Demikian pula dengan intervensi kekuasaan adalah sua­ tu bentuk distribusi kekuasaan dengan menggunakan keke­ rasan yang dilakukan oleh pihak eksternal dari suatu lingkup kekuasaan. Pihak eksternal yang sering melakukan intervensi kekuasaan terhadap suatu pemerintahan adalah negara yang memiliki kekuatan bersenjata yang sangat besar seperti Uni Soviet dan Amerika pada masa Perang Dingin. Pada masa sekarang suatu negara seperti Amerika atau kelompok negara seperti sekutu Amerika melakukan intervensi kekuasaan apa­ bila suatu pemerintahan telah melanggar prinsip demokrasi. Dengan demikian, pada masa sekarang, intervensi dilaksan­ akan dengan mengatasnamakan demi demokrasi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



E. KONSUMSI KEKUASAAN Pembahasan dalam bagian ini meliputi diskusi tentang konsep konsumsi kekuasaan, tujuan konsumsi kekuasaan, dan cara konsumsi kekuasaan.



1. Konsep Konsumsi Kekuasaan Banyak rumusan batasan yang telah dibuat tentang kon­ sumsi oleh berbagai ahli dari berbagai disiplin seperti ekono­ mi, sosiologi, antropologi, dan lainnya. Dalam tulisan ini kita



93



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



merujuk pada pengertian yang dibuat oleh para ahli sosi­ ologi. Salah seorang sosiolog yang merumuskan pengertian konsumsi adalah Don Slater. Menurut Don Slater (1997), konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial den­ gan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan ses­ uatu (dalam hal ini material, barang simbolis, jasa, atau pe­ ngalaman) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat di­ lakukan dengan berbagai cara, seperti menikmati, menon­ ton, melihat, menghabiskan, mendengar, memerhatikan, dan lainnya. Jadi, pengertian konsumsi dari Slater tersebut, sesuai dengan istilah mengonsumsi, seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai meru­ sak (to destroy), memakai (to use up), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust). Dengan definisi seperti yang dikemukakan Slater terse­ but, maka konsumsi mengacu kepada seluruh aktivitas so­ sial yang orang lakukan sehingga bisa dipakai untuk men­ cirikan dan mengenali mereka di samping apa yang mereka “lakukan” untuk hidup (Chaney, 2004). Dengan demikian, tindakan konsumsi tidak hanya dipahami sebagai makan, minum, sandang dan papan saja tetapi juga harus dipahami dalam berbagai fenomena dan kenyataan berikut: menggu­ nakan waktu luang, mendengar radio, menonton televisi, bersolek atau berdandan, berwisata, menonton konser, meli­ hat pertandingan olahraga, menonton randai, membeli kom­ puter untuk mengetik tugas kuliah atau mencari informasi, mengendarai kendaraan, membangun rumah tempat tinggal, dan lain sebagainya. Dari definisi dan cakupan definisi tentang konsumsi yang telah diterangkan sebelumnya, maka konsumsi kekuasaan



94



BAB 3 Kekuasaan



dapat dipahami sebagai seluruh aktivitas sosial dan politik untuk merusak (to destroy), memakai (to use up), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust) kekuasaan.



2. Tujuan Konsumsi Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Setiap orang atau kelompok orang memiliki tujuan da­ lam mengonsumsi kekuasaan. Berikut ini diajukan beberapa alasan mengapa orang atau kelompok orang mengonsumsi kekuasaan: a.



Untuk menyejahterakan dan memakmurkan bangsa.



b.



Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.



c.



Untuk memberikan rasa adil dalam kehidupan berne­ gara dan bermasyarakat.



d.



Untuk menegakkan hak asasi manusia.



e.



Untuk menghadirkan rasa aman dan tenteram dalam masyarakat.



f.



Untuk menjaga kedaulatan negara, martabat, dan mu­ ruah bangsa.



g.



Untuk menciptakan perdamaian umat manusia



h.



Untuk melangggengkan kekuasaan.



i.



Untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, atau go­ longan.



Tujuan mengonsumsi kekuasaan dapat bersifat eksternal maupun internal dari diri pemegang kekuasaan. Dari sembilan tujuan yang diajukan terdapat tujuh yang bersifat eksternal dan dua yang bersifat internal bagi diri pemegang kekua­ saan.



95



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



3. Cara Konsumsi Kekuasaan Setiap orang atau kelompok orang memiliki cara dalam mengonsumsi kekuasaan. Cara tersebut berhubungan dengan konteks, baik ruang maupun waktu. Paling tidak terdapat tiga cara orang atau kelompok orang mengonsumsi kekua­ saan. a) Kerja Sama



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kerja sama merupakan interaksi dari orang­orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Pertukaran ba­ gaikan perdagangan: saya berikan sesuatu kepada Anda dan anda berikan pula sesuatu yang lain kepada saya. Sedangkan kerja sama ibarat suatu kelompok kerja (teamwork): kita be­ kerja sama karena kita tidak bisa melakukannya sendiri­ sendiri. Atau, suatu tujuan bisa dicapai lebih mudah, selamat dan cepat dibandingkan bekerja sendiri­sendiri. Kebanyakan hubungan yang sedang terjadi memiliki unsur kerja sama, termasuk hubungan politik. Kerjasama diperlukan sebagai mekanisme dalam aktivi­ tas politik, dalam hal ini kaitannya dengan kekuasaan, un­ tuk mencapai tujuan bersama secara maksimal. Proses (re) produksi, distribusi sampai konsumsi kekuasaan tidak bisa berjalan dengan mudah, selamat dan cepat kalau melaku­ kannya secara sendiri­sendiri. Oleh sebab itu, setiap proses aktivitas kekuasaan (dari produksi sampai konsumsi) me­ merlukan kerja sama dengan pihak lain. Dalam perspektif ini, kerja sama dapat dipandang juga sebagai berbagi risiko dengan tujuan berbagi kekuasaan. b) Persaingan



Tidak mungkin orang­orang selalu mencapai tujuan me­



96



BAB 3 Kekuasaan



reka melalui kerja sama. Ketika tujuan anda dan tujuan saya bersifat mutually exclusive, misalnya Anda ingin memberikan subsidi kepada orang miskin, sedangkan saya ingin diserahkan pada mekanisme pasar, maka kita tidak bisa mencapai kedua tujuan tersebut. Atau suatu jabatan tertentu tersedia terbatas, maka salah satu di antara kita, saya atau Anda memperoleh­ nya, maka di sana bisa muncul persaingan. Jadi dalam situasi kelangkaan, yaitu barang­barang, jasa, termasuk kekuasaan, yang diharapkan tidak tersedia cukup, maka hubungan sosial dan politik yang mungkin terjadi adalah kompetisi atau kon­ flik. (Brinkerhoff dan White 1989: 63)



http://facebook.com/indonesiapustaka



Perjuangan untuk memperoleh sumber­sumber langka yang diatur melalui aturan yang dimiliki secara bersama di­ kenal dengan kompetisi. Aturan main tersebut menegaskan kondisi seperti apa suatu kemenangan dipandang fair dan suatu kekalahan dapat diterima dengan keikhlasan. Apabila norma seperti di atas tidak jalan, maka kompetisi akan ber­ ubah menjadi konflik. Dalam aktivitas politik, termasuk kekuasaan, juga me­ merlukan persaingan sehat dan adil sehingga tidak dimung­ kinkan terjadinya “yang kuat memakan yang lemah, yang lemah mencurangi yang kuat”. Berbagai aturan yang ber­ hubungan dengan persaingan sehat dan adil serta penegakan­ nya harus menjadi perhatian utama bagi semua stakeholders, sebab persaingan sehat dan adil perlu bagi pembangunan politik. Dalam aktivitas politik terdapat berbagai macam aktivitas persaingan kekuasaan, yaitu antara lain pemilihan (legislatif, presiden, kepala daerah, atau desa), ujian saring­ an, penjagaan citra, dan lain sebagainya.



97



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



c) Konflik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Seperti telah disinggung sebelumnya, ketika perjuangan terhadap sumber­sumber langka tidak diatur dengan aturan bersama, maka konflik akan muncul. Konflik mencakup usa­ ha untuk menetralkan, merusak, dan mengalahkan lawan. Konflik menghasilkan perpecahan di satu sisi, tetapi juga dapat meningkatkan solidaritas atau integrasi di sisi lain, se­ perti telah dibahas pada Bab 2. Konflik dapat dalam bentuk peperangan, kudeta, revolusi, pembunuhan, pendudukan, dan sebagainya.



98



4 TIGA PILAR KEKUASAAN



A. APA ITU PILAR KEKUASAAN?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Apakah kehidupan kita ada yang mengatur? Jika ada, siapa yang memiliki kekuasaan yang mengatur kehidupan kita? Dari diskusi kita pada Bab 3 tentang distribusi kekua­ saan diperoleh pemahaman bahwa kekuasaan terdistribusi berdasarkan dimensinya, yaitu politik, ekonomi, dan sosial­ budaya. Dari ketiga dimensi distribusi kekuasaan, maka da­ pat pula dikembangkan suatu pemikiran tentang pilar dari setiap dimensi distribusi kekuasaan tersebut, yaitu dimensi politik dari distribusi kekuasaan dengan pilarnya negara (state), dimensi ekonomi dengan pilarnya pasar (market), dan dimensi sosial­budaya dengan pilarnya civil society, yang diterjemahkan dengan masyarakat madani, masyarakat sipil, atau masyarakat warga.



B. NEGARA 1. Pengertian Negara Pengertian tentang negara tidak dapat dipisahkan dari perspektif yang dimiliki oleh para ahli. Karena keragaman perspektif maka definisi tentang negara juga beragam. Untuk itu mari kita pahami berbagai keragaman definisi berikut.



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



a) Perspektif State Centered



Salah seorang ahli yang menganut perspektif state centered adalah Stephen Krasner. Menurut Krasner (1978: 10) merumuskan negara sebagai sejumlah peran dan institusi yang memiliki dorongan dan tujuan khusus yang berbeda dari kepentingan kelompok tertentu mana pun dalam masyarakat. Oleh sebab itu, Krasner tidak sependapat dengan ahli yang menyebut tujuan dari negara sebagai kumpulan dari keingin­ an­keinginan individu­individu atau kelompok­kelompok, se­ bab tujuan negara sebenarnya adalah merujuk pada kegunaan (utility) dari masyarakat dan dapat disebut sebagai kepenting­ an umum masyarakat atau kepentingan nasional. Dalam perspektif state centered juga tumbuh rumusan yang berbeda dari pendapat Stephen Krasner, yaitu Theda Skocpol. Adapun batasan tentang negara menurut Skocpol (1995: 28), adalah:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Di satu sisi, negara dapat dilihat sebagai organisasi melalui mana aparat kolektif mengejar tujuan tertentu dan secara efektif merealisasikannya dengan sedikit banyak menggu­ nakan sumber negara yang tersedia dalam hubungannya dengan setting sosial (kapasitas negara). Di sisi lain, nega­ ra dapat dilihat secara lebih makroskopis sebagai kon­ figurasi dari organisasi dan tindakan yang memengaruhi arti dan metode politik dari semua kelompok dan kelas dalam masyarakat (otonomi negara).



Meskipun definisi antara Krasner dan Skocpol berbe­ da secara formulatif, namun secara esensial mereka berdua memiliki pandangan yang sama tentang otonomi negara. Da­ lam pandangan mereka, otonomi negara dilihat sebagai agen­ da negara yang berbeda dari agenda kepentingan pribadi dan tidak bisa ditentukan berdasarkan kepentingan­kepentingan



100



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



pribadi dari individu dalam masyarakat. Dengan demikian, negaralah yang menjadi aktor tunggal dalam kehidupan poli­ tik, karena negaralah yang mempunyai dan membuat tujuan serta mencapai tujuan itu sendiri. b) Perspektif Society Centered



Berbeda dengan perspektif state centered, perspektif society centered melihat bahwa negara merupakan agenda ke­ pentingan pribadi, baik sebagai kepentingan individu mau­ pun kepentingan kelas. Perspektif society centered mempu­ nyai beberapa pemikiran berbeda, yaitu:



http://facebook.com/indonesiapustaka



1.



Pendekatan utilitarian melihat negara sebagai refleksi da­ ri kepentingan pribadi­pribadi. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang eksponen pendekatan ini, yaitu Eric Nordlinger dalam bukunya On the Autonomy of the Democratic State (1981: 11) melihat negara sebagai se­ mua individu yang memegang jabatan di mana jabatan tersebut memberikan kewenangan kepada individu­in­ dividu untuk membuat dan menjalankan keputusan­ keputusan yang dapat mengikat pada sebagian atau ke­ seluruhan dari segmen­segmen dalam masyarakat. Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa negara terdiri dari beberapa individu yang memegang jabatan, yang memiliki konstituen untuk dipertimbangkannya pilihan­ pilihan mereka dalam bentuk implementasi kebijakan publik. Otonomi negara, dalam pendekatan ini, meru­ pakan kemampuan dari pejabat negara untuk melaksan­ akan pilihan­pilihan mereka ke dalam kebijakan publik, yang dimungkinkan sejalan atau berlainan arah dengan pilihan­pilihan dari orang lain yang bukan pejabat nega­ ra. Dari versi pluralis, negara dipandang sebagai arena pertarungan sekaligus sebagai wasit.



101



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



2.



Pendekatan Marxian memandang negara pada awalnya sebagai bentuk dari kepentingan pribadi dari para kapi­ talis yang berfungsi sebagai instrumen untuk meraih tujuan tertentu. Dengan demikian, negara dipandang se­ bagai pelaksana dari kepentingan kelas tertentu.



2. Asal Usul Negara



http://facebook.com/indonesiapustaka



Asal usul negara ditelusuri oleh para ahli, seperti Mumford (1973), melalui negara kota (city state). Namun penelusuran tersebut berujung pada misteri yang tidak terpecahkan: “asal muasal kota tidak jelas, sebagian besar masa lalunya terkubur atau terhapus sehingga sulit dilihat lagi, dan proyek selanjutnya sulit untuk diukur.” Meskipun demikian, paling tidak ada beberapa ahli yang mencoba menjelaskan asal usul negara melalui telusuran negara kota, antara lain James M. Henslin, Ahmad Suhelmi (2007), dan lainnya. Dalam bukunya Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Henslin (2008: 87), menguraikan bahwa masyarakat pada mulanya berukuran kecil dan tidak membutuhkan sistem politik yang besar. Masyarakat seperti itu beroperasi ba­ gaikan suatu keluarga besar. Ketika surplus berkembang dan masyarakat menjadi lebih besar, berkembanglah kota, diperkirakan sekitar 3500 tahun SM. Negara kota kemudian muncul, seperti negara­negara kota di zaman Yunani kuno, dengan kekuasaan yang berkembang keluar laksana sebuah sarang laba­laba. Meskipun tiap­tiap kota mengendalikan wilayah di sekitarnya, wilayah­wilayah di antara kota­kota tersebut tetap menjadi masalah. Setiap negara kota memi­ liki kerajaan (monarchy) sendiri, seorang raja atau ratu yang memiliki hak memerintah yang diturunkan dalam keluarga. Negara kota sering bertikai, dan perang merupakan hal



102



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



yang lazim. Para pemenang memperluas pemerintahannya, dan akhirnya sebuah negara kota tunggal berhasil memegang kekuasaan atas suatu wilayah secara menyeluruh. Pada saat wilayah­wilayah ini berkembang, orang­orang secara berta­ hap mengidentifikasikan diri mereka dengan wilayah yang lebih luas. Dengan kata lain, mereka melihat penghuni yang tinggalnya jauh sebagai “kita”, bukan “mereka”. Yang kita kenal sebagai negara (state), yakni kesatuan politik yang me­ monopoli penggunaan kekerasan dalam suatu wilayah, kini muncul.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Berbeda dengan Henslin dan Suhelmi, Morton Fried (1967) dalam The Evolution of Political Society, menemu­ kan perbedaan asal usul negara berdasarkan tipe dari suatu negara. Menurut Fried, terdapat dua tipe asal usul negara, yaitu negara pristin (pristine state) dan negara sekunder (secondary state). Negara pristin merupakan suatu negara yang muncul ketika belum pernah ada negara sebelumnya. Sebaliknya negara sekunder adalah negara yang lahir seba­ gai akibat adanya satu atau lebih negara lain yang sudah ada sebelumnya. Negara pristin sepanjang sejarah umat manusia tidak banyak ditemukan. Menurut Sanderson, negara pristin hanya muncul di empat daerah di Dunia lama, yaitu Mesopotamia dan Mesir sekitar 6000­5000 SM serta Dinasti Shang di Cina dan India pada 4500­3750 SM. Sedangkan di Dunia Baru dinyatakan hanya terdapat di dua daerah yang muncul negara pristin, yaitu di daerah Mesoamaerika, di mana se­ bagian besar daerahnya sekarang terletak di Guatemala dan Meksiko serta di Peru. Pada daerah Mesoamaerika dan Peru telah muncul beberapa negara pristin, seperti negara Olmec, Maya, Aztec dengan Ibu Kota Tenochtitlan, dan Inca.



103



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Stratifikasi sosial, dipahami oleh Sanderson, merupakan dasar bagi munculnya negara pristin. Perkembangan ma­ syarakat melalui stratifikasi sosial telah menciptakan perbe­ daan dan sekaligus penjenjangan anggota masyarakat dalam berbagai kelompok yang berbeda, seperti keluarga bangsawan, prajurit, pedagang, dan budak. Pada puncak piramida strati­ fikasi sosial bertengger kelompok bangsawan yang mengua­ sai tanah beserta surplus yang menyertainya. Negara, lanjut Sanderson (2003: 308­309), pada awalnya dibangun atas landasan agama (teokratis) selanjutnya berevolusi menja­ di negara militer dan akhirnya menjadi negara penakluk. Penaklukan yang semakin meningkat atas tanah­tanah dan masyarakat­masyarakat tetangganya telah menimbulkan per­ mintaan akan upeti yang lebih besar, meningkatnya strati­ fikasi, dan intensifikasi ciri­ciri negara otokratis. Tidak sama dengan negara pristin, negara sekunder mun­ cul karena adanya kontak dari masyarakat yang bukan nega­ ra dengan satu atau beberapa masyarakat yang berbentuk negara. Kontak tersebut memunculkan kondisi di mana ma­ syarakat yang bukan negara berubah menjadi masyarakat yang berbentuk negara. Pendirian negara sekunder ditujukan untuk beberapa hal seperti mempertahankan diri terhadap masyarakat yang telah terorganisasi dalam bentuk negara, mengamankan rute­rute perdagangan yang strategis, dan un­ tuk mempertahankan kekayaan sumber daya alam di daerah perbatasan. Sanderson melihat bahwa negara primitif di Polinesia dan Afrika terbentuk karena proses seperti ini. Di samping itu, negara sekunder bisa juga terbentuk bilamana negara lama digantikan oleh negara baru, namun sistem so­ siokulturalnya masih sama dengan yang lama. Barusan kita menelusuri beberapa pandangan asal usul



104



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



dari suatu negara. Apakah ada teori yang menjelaskan asal usul negara? Ternyata Sanderson menemukan ada tiga teori yang menjelaskan tentang asal usul negara pristin pada Du­ nia Lama dan Dunia Baru, yaitu teori fungsionalis, teori Marxian, dan teori ekologis. Berikut kita mencoba mema­ hami apa yang dikatakan oleh teori tersebut. a) Teori Fungsionalis



http://facebook.com/indonesiapustaka



Evolusi politik jangka panjang, menurut Sanderson (2003: 298­315), menciptakan struktur politik yang beradaptasi se­ makin baik. Bermula dari kumpulan (band), yaitu suatu tingkat politik yang paling sederhana, di mana kepemimpinan berada pada pundak kepala dan didasarkan atas pengaruh yang dimi­ liki secara informal. Kepala tidak memiliki kemampuan untuk memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu. Kumpulan merupakan ciri pada masyarakat pemburu­peramu. Evolusi politik selanjutnya adalah suku (tribes), yaitu masyarakat di mana satu satuan yang lebih besar, yang di­ identifikasi dalam istilah kebudayaan dan linguistik, terbagi ke dalam sejumlah desa kecil yang relatif tidak terintegrasi. Pemimpin, dikenal sebagai kepala suku, memperoleh kepe­ mimpinan melalui perannya sebagai distributor ekonomi dan kekayaan, orang yang terampil berbicara, memiliki kekuatan magis, dan boleh jadi perkasa dalam peperangan. Meskipun pemimpin memiliki prestise yang tinggi, namun ia tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk memerintah orang lain. Suku diasosiasikan pada masyarakat hortikultura seder­ hana dan sebagian masyarakat peternak. Baik kumpulan dan suku belum memiliki stratifikasi sosial. Tahap evolusi politik selanjutnya adalah chiefdom, yaitu suatu masyarakat yang dimulai munculnya kekuasaan dan



105



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



kewenangan. Pada tahapan ini, desa­desa yang sebelumnya terpisah pada masyarakat suku, sekarang satu sama lain ter­ integrasi dan terkoordinasi secara sentral dan membentuk suatu keseluruhan yang diperintah dari atas ke bawah. Para kepala mempunyai kekuasaan mengawasi yang besar atas para pengikutnya, termasuk kemampuan untuk mengguna­ kan kekerasaan. Chiefdom ditemukan dalam masyarakat hor­ tikultura intensif dan peternak. Chiefdom, dipandang memiliki kemampuan memaksa yang terbatas, tidak cukup didukung oleh mesin administrasi dan birokrasi untuk mengatasi bentuk perlawanan yang paling keras. Ketika stratifikasi sosial semakin mengeras, mesin ad­ ministrasi dan birokrasi terbentuk, dan arti pentingnya ikat­ an kekerabatan semakin berkurang, maka negara muncul mengkristal dalam kehidupan masyarakat. Negara muncul dalam masyarakat agraris. Negara­negara masa dini, kata Sanderson (2003), berfungsi sebagai redistributor ekonomi yang penting, sebagai mesin perang yang superior, dan se­ bagai satuan administrasi yang diabdikan untuk membangun monumen­monumen publik yang penting.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b) Teori Marxian



Karl Marx, memandang negara sebagai “komite ekse­ kutif kelas penguasa.” Oleh karena itu, menurut Marx, mela­ lui pandangan Lenin seperti dikutip oleh Caporaso dan Levine (2008: 173), negara adalah sarana (organ) untuk menja­ lankan dominasi kelas, yaitu suatu sarana untuk melakukan penindasan terhadap kelas yang satu oleh kelas yang lain. Tujuan negara dalam menciptakan “ketertiban” adalah un­ tuk mengesahkan dan mempertahankan penindasan ini den­ gan cara mengurangi bentrokan antarkelas.



106



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



Salah seorang eksponen Marxian adalah Morton Fried (1967) yang merupakan pembela kontemporer asal usul negara dari sudut pandang Marx, mengatakan bahwa negara membentuk embrio dalam masyarakat yang berstratifika­ si yang dengan alasan ini, haruslah merupakan model or­ ganisasi yang sekurang­kurangnya stabil yang pernah ada. Masyarakat yang berstratifikasi ini terbagi di antara dua ke­ mungkinan: masyarakat berstratifikasi itu membangun di dalam dirinya tekanan­tekanan bagi pembubarannya sendiri, dan untuk kembali ke suatu jenis organisasi yang lebih seder­ hana. Biasanya penopangan itu meliputi munculnya agen­ agen yang fungsinya adalah untuk mempertahankan sistem ekonomi dan politik dan yang posisinya dalam sistem itu tidak mempunyai sangkut paut dengan kekerabatan. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki sistem stratifikasi yang intens dan cukup sempurna memang memiliki negara, dan di dalam masyarakat itu terdapat suatu hubungan yang sangat erat di antara kelas ekonomi yang berkuasa dan negara.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk memahami pandangan Marxian tentang teori asal usul negara ada baiknya kita coba telusuri kesimpulan Sanderson (2003: 173­174) tentang hal ini: 1.



Terdapat konflik yang tidak terdamaikan antara kelas­ kelas yang memiliki kepentingan ekonomi yang berbeda. konflik ini muncul dalam masyarakat dan terjadi karena posisi­posisi sosial yang sudah ada sebelumnya.



2.



Konflik yang tidak dapat didamaikan ini mengancam ta­ tanan sosial.



3.



Tatanan sosial merupakan organisasi sosial yang diran­ cang untuk memenuhi kepentingan dari kelas yang satu tetapi tidak untuk memenuhi kepentingan dari kelas yang lain.



107



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



4.



Karena terdapat konflik yang tidak terdamaikan dan ka­ rena tatanan sosial ini menindas kelas tertentu dalam ma­ syarakat, maka tatanan sosial hanya bisa dipertahankan dengan membela kepentingan kelas tertentu saja.



5.



Maka, negara sebagai sarana untuk mempertahankan tatanan itu adalah sarana penindasan kelas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



c) Teori Ekologis



Evolusi politik yang bermula dari kumpulan (band), ke­ mudian suku (tribes), selanjutnya chiefdom, dan sampai ter­ bentuknya negara merupakan proses yang muncul karena persoalan keterbatasan lingkungan (environmental circumsciption). Keadaan alam yang berlimpah pada suatu daerah yang ditandai dengan kesuburan dan kelimpahan produksi pertanian apabila dikelilingi oleh daerah yang gersang atau keadaan alam yang sukar ditaklukkan karena penuh dengan perbukitan atau pegunungan besar terjal, maka keadaan ling­ kungan ini berpotensi terbentuknya negara pristin. Ketika tekanan penduduk terhadap sumber daya alam terjadi kare­ na pertumbuhan penduduk, maka stratifikasi sosial berkem­ bang pesat serta perang dan penaklukkan politik merupakan suatu mekanisme untuk bertahan hidup. Masyarakat yang ditaklukkan menjadi subordinat dan taat dan patuh terhadap penakluk. Situasi seperti inilah yang memungkinkan lahirnya negara pristin seperti munculnya negara pristin di daerah Timur Tengah atau daerah Amazon.



3. Kegagalan Negara Negara, seperti telah disebut di atas, memiliki otonomi. Dengan demikian, negara memiliki tujuan sendiri yang ber­ beda dari tujuan individu atau kelompok masyarakat serta



108



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



memiliki caranya sendiri untuk mencapai tujuan yang dimili­ ki. Oleh sebab itu, negara dipandang mampu untuk mencip­ takan regulasi dan kebijakan, termasuk hal yang berhubungan dengan ekonomi, serta merealisasikannya untuk kesejahter­ aan, keamanan, dan kebaikan masyarakat. Negara dapat melakukan intervensi terhadap kehidup­ an umat manusia, termasuk intervensi terhadap ekonomi khususnya pasar, bilamana negara memandang perlu hal ter­ sebut dilakukan, untuk menyelamatkan umat manusia, pa­ ling tidak rakyat dari suatu negara. Ada beberapa instrumen yang bisa dipakai untuk melakukan intervensi seperti pen­ geluaran pemerintah dan kebijakan pajak, dikenal dengan kebijakan fiskal. Pada tataran ini, pemerintah yang menjadi pelaksana dari intervensi negara sebagai pejabat negara atau birokrat, pada hakikatnya, adalah aktor individual atau ke­ lompok yang memiliki kepentingan pribadi atau kelompok. Aktor individual atau kelompok bukanlah malaikat yang steril dari keinginan, kemauan, kehendak, dan kepentingan pribadi atau kelompok. Persoalan muncul dari ketidaksteri­ lan aktor individual atau kelompok yang mengatasnamakan pemerintah. Aktor individual atau kelompok, oleh karena itu, dapat saja berlaku tidak adil, curang, menipu, koruptif, dan sifat negatif lainnya dari sisi kemanusiaan atau kebijakan yang dikonstruksikan dengan menyisipkan kepentingan prib­ adi atau kelompok dalam regulasi dan kebijakan. Intervensi yang dilakukan atas nama negara, oleh sebab itu, sebenarnya bukan untuk kesejahteraan, keamanan dan kebaikan umat manusia dalam arti keseluruhan, paling tidak rakyat yang berada di bawah naungan kedaulatan suatu negara. Kalau benar bahwa negara merupakan pelaku yang bertindak demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, jelas bahwa



109



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



akan sukar bagi kita untuk mengharapkan bahwa negara bisa diberi tanggung jawab untuk meningkatkan kesadaran warga negaranya tentang tujuan­tujuan yang lebih luhur daripada sekadar mengejar kepentingan pribadi atau kel­ ompok. Kondisi seperti ini memunculkan pemikiran tentang kegagalan negara (state failure), yaitu ketidakmampuan neg­ ara dalam menggunakan otonomi negara melalui instrumen regulasi dan kebijakan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan kebaikan umat manusia dalam arti keselu­ ruhan. Apabila negara tidak mampu mengatur kehidupan, khu­ susnya aspek ekonomi dari kehidupan, maka tentu perlu dicari pilar lain yang mampu mengaturnya dengan baik, mungkin pasar atau civil society.



C. PASAR



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Pengertian Pasar Dalam bahasa Latin, pasar dapat ditelusuri melalui akar dari kata “mercatus”, yang bermakna berdagang atau tem­ pat berdagang. Terdapat tiga makna yang berbeda di dalam pengertian tersebut: satu, pasar dalam artian secara fisik; dua, dimaksudkan sebagai tempat mengumpulkan; dan ti­ ga, hak atau ketentuan yang legal tentang suatu pertemuan pada suatu market place. Pada abad ke­16, pengertian pasar, menurut Swedberg seperti yang dikutip Zusmelia (2007: 10), menemukan arti baru, yaitu “membeli dan menjual secara umum” dan “penjualan (interaksi pertukaran) yang dikontrol oleh demand dan supply.” Kelihatannya definisi yang disebut terakhir inilah yang dirujuk oleh ilmu ekonomi sampai saat sekarang ini.



110



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



Dalam bukunya, Penjaja dan Raja, Clifford Geertz (1973: 30­31) mencoba menelusuri pengertian pasar sebagai kata serapan dari bahasa Parsi, yaitu “bazar”, lewat bahasa Arab bermakna suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat, dan suatu dunia sosial­bu­ daya yang lengkap dalam sendirinya. Jadi, dalam pandangan Geertz, merupakan gejala alami dan gejala kebudayaan, di mana keseluruhan dari kehidupan masyarakat pendukung­ nya dibentuk oleh pasar. Dalam ekonomi klasik, seperti pandangan Adam Smith, melihat pasar sinonim dengan baik tempat jualan (market­ place) maupun sebagai suatu daerah geografis. Sedangkan ekonom yang datang kemudian, seperti Alfred Marshal, melihat pasar sebagai suatu mekanisme dalam penciptaan harga. Sedangkan, sosiologi memandang pasar sebagai fenome­ na sosial yang kompleks dengan berbagai macam perang­ katnya. Pasar dapat dipandang dari sudut yang beragam mi­ salnya pasar merupakan suatu struktur yang padat dengan jaringan sosial atau yang penuh dengan konflik dan per­ saingan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Asal Usul Pasar Dalam bukunya The Great Transformation pada Bab “Rise and Fall of Market Economy”, Karl Polanyi menjelas­ kan bagaimana muncul ekonomi pasar dalam masyarakat. Penjelasan Polanyi tentang munculnya ekonomi pasar be­ rangkat dari pendapat Thurnwald dari bukunya Economic in Primitive Communities, pasar tidak ditemukan di mana­ mana. Ketiadaannya, menunjukkan adanya isolasi tertentu



111



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



dan kecenderungan ke arah isolasi, tidak lagi dikaitkan de­ ngan suatu perkembangan khusus sebagaimana halnya yang dapat disimpulkan dari kehadirannya. Untuk menunjang ku­ tipan tersebut, Polanyi mengutip pendapat penulis lain, “fak­ ta bahwa suatu suku menggunakan uang, sedikit sekali mem­ bedakannya dari suku­suku lain yang secara ekonomis tidak menggunakannya pada tingkat budaya yang sama”. Ber­ dasarkan kutipan tersebut, Polanyi menegaskan bahwa ada atau tidaknya pasar atau uang tidak perlu memengaruhi sistem ekonomi suatu masyarakat primitif. Ini membuktikan ketidakbenaran mitos abad ke­19 bahwa uang adalah sebuah penemuan yang kemunculan mau tidak mau merubah suatu masyarakat dengan menciptakan pasar, mempercepat pem­ bagian kerja, dan menyalurkan kecenderungan alami manu­ sia untuk melakukan tukar­menukar. Karena pasar dalam masyarakat primitif cenderung ke arah isolasi. Ekonomi klasik berlandaskan pandangan yang berlebih­ an tentang pentingnya pasar. Mereka memandang bahwa ke­ cenderungan pribadi untuk melakukan barter akan menga­ rah perlunya pasar lokal dan pembagian kerja yang akhirnya memunculkan perdagangan. Lanjutan perkembangannya ada­ lah munculnya perdagangan luar negeri yang akhirnya akan meluas menjadi perdagangan jarak jauh. Argumen ekonomi klasik tersebut, menurut Polanyi, tidak bersua dalam ke­ nyataan. Oleh sebab itu, Polanyi (1957: 58), membalikkan rangkaian argumen tersebut: “titik tolak yang betul adalah perdagangan jarak jauh, suatu akibat logis dari lokasi ba­ rang­barang yang bersifat geografis, serta pembagian kerja yang diakibatkan oleh lokasi tersebut.” Perdagangan jarak jauh melahirkan pasar, yakni sebuah pranata yang melibat­ kan tindakan barter, serta pembelian dan penjualan, jika



112



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



uang digunakan, dan dengan demikian, akhirnya menjadi benar­benar diperlukan, untuk menawarkan kepada bebe­ rapa individu suatu kesempatan memenuhi kecenderungan mereka melakukan tawar­menawar. Di sini terlihat bahwa Polanyi menekankan asal muasal perdagangan dalam sebuah lingkungan eksternal yang tidak mempunyai kaitannya dengan ekonomi internal. Dengan kata lain perdagangan muncul dari usaha untuk mencari barang di luar batas wilayah, adanya suatu jarak. Jika suatu komuni­ tas manusia tidak pernah melakukan perdagangan eksternal sama sekali, maka tidak perlu (tidak muncul) pasar. Berdasarkan data sejarah, Polanyi melihat ketidakmung­ kinan pasar lokal berkembang dari tindakan barter yang ber­ sifat individual. Karena awal dari pasar lokal masih kabur. Polanyi melihat bahwa pranata ini diselimuti oleh penjagaan organisasi ekonomi masyarakat, misalnya melalui tabu, se­ hingga ia terlindung dari kegiatan pasar. Perdagangan in­ ternal juga dibaluti oleh lembaga sosial politik, seperti mo­ nopoli, yang menghambat munculnya pasar.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Pasar yang Mengatur Dirinya Sendiri Konsep pasar yang mengatur dirinya sendiri (self-regulating market) merupakan pemikiran ekonomi yang dipe­ ngaruhi oleh utilitarianisme dan ekonomi politik Inggris. Apa maksudnya? Utilitarianisme mengasumsikan bahwa individu adalah makhluk yang rasional, senantiasa menghitung dan membuat pilihan yang dapat memperbesar kesenangan pri­ badi atau keuntungan pribadi, dan mengurangi penderitaan atau menekan biaya. Sedangkan, ekonomi politik Inggris dibangun di atas prinsip “laissez faire, laissez passer”, yaitu “biarkan hal­hal sendiri, biarkan hal­hal yang baik masuk”.



113



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Artinya, biarkan individu mengatur dirinya, karena individu tahu yang dimauinya. Oleh sebab itu, jangan ada kontrol atau intervensi negara. Kalaupun ada kontrol atau intervensi negara, itu diperlukan agar kebebasan individu dengan ra­ sionalitasnya untuk mengejar keuntungan pribadinya tetap terjaga. Sebab kesejahteraan masyarakat umumnya dalam jangka panjang akan sangat terjamin apabila individu itu di­ biarkan atau malah didorong untuk mengejar kesenangan pribadi atau keuntungan pribadinya. Mari kita pahami dengan contoh. Untuk dapat bertahan hidup, setiap individu perlu bekerja. Individu sendirilah yang lebih mengetahui dibandingkan dengan orang lain, dia harus bekerja apa. Hal ini dikarenakan individu lebih mengetahui tentang dirinya sendiri dari sisi kemampuan, pengetahuan, keterampilan, jaringan, dan lainnya yang dimilikinya. Bagi Hasan, misalnya, lebih cocok bekerja sebagai pedagang emas dibandingkan jadi seorang pengacara. Meskipun dia tamat dari fakultas hukum dari suatu universitas ternama, namun berdasarkan berbagai pertimbangan rasionalnya seperti ke­ mampuan finansial, pengetahuan, keterampilan, jaringan, dan dukungan keluarga besarnya yang kebanyakan sebagai pedagang emas maka bekerja sebagai pedagang emas adalah pilihan rasional dan tepat. Lain lagi dengan Andi, dia me­ ninggalkan pekerjaan sebagai pegawai negeri karena dipan­ dang tidak punya masa depan yang baik dan pindah seba­ gai penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Andi berpandangan bahwa kalau dia bertahan sebagai pegawai negeri dengan pangkat IIIb pada suatu Pemerintahan Kota, maka dia perlu waktu yang lama untuk bisa beli rumah dan mobil. Oleh karena latar belakang yang cukup bagus, sep­ erti sebelum jadi pegawai negeri telah lama menjadi peng­



114



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



giat LSM sehingga dia punya banyak pengalaman, jaringan, dan kompetensi, maka pilihan tersebut rasional dan tepat. Pilihan Hasan, Andi, dan individu lainnya dalam mengejar kepentingan dan kesenangan pribadi mereka sebagai indi­ vidu diasumsikan menyumbangkan peningkatan kesejahter­ aan masyarakat umumnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Menurut Polanyi (1957: 68), ekonomi pasar adalah suatu sistem ekonomi yang dikontrol, diatur, dan diarahkan oleh pasar itu sendiri. Peraturan dalam produksi dan distribusi ba­ rang dipercayakan kepada mekanisme mengatur diri sendiri (self-regulating mechanism). Ekonomi jenis ini berasal dari suatu harapan bahwa umat manusia akan mengambil sikap sedemikian rupa untuk mendapat uang sebanyak­banyaknya. Sistem ekonomi ini menganggap pasar sebagai tempat pe­ nyediaan barang, termasuk jasa, dengan harga tertentu yang berdasarkan harga tadi akan memenuhi permintaan. Juga ini mengandaikan bahwa uang, berfungsi sebagai daya beli, be­ rada di tangan pemiliknya. Di sini produksi dikontrol oleh harga, karena keuntungan dari pihak yang menjalankan produksi akan tergantung padanya. Distribusi barang juga akan tergantung pada harga, karena membuat pendapatan dan, melalui bantuan inilah, barang yang diproduksi didis­ tribusikan di antara anggota masyarakat. Berlandaskan per­ misalan ini, peraturan dalam produksi dan distribusi barang hanya dijamin oleh harga. Pasar mengatur kehidupan sosial, termasuk ekonomi, se­ cara otomatis. Karena pencapaian kepentingan pribadi dan kesejahteraan individu akan membawa hasil yang terbaik, tidak hanya mereka sebagai pribadi tetapi juga kepada masyarakat sebagai keseluruhan (Thompson et al., 1991). Dengan kata lain, menurut Caporaso dan Levine (2008: 82), memenuhi



115



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



kebutuhan pribadi adalah sama dengan memenuhi kebutu­ han publik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sebuah pasar akan berjalan dengan baik jika individu­ individu di dalamnya bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual. Ketika penjual menjual komoditas, maka penjual men­ dapatkan uang yang bisa ia gunakan untuk membeli barang­ barang yang bisa memenuhi kebutuhannya. Ketika tiap­tiap pelaku dalam pasar bertindak sebagai pembeli dan penjual, kata Caporaso dan Levine (2008: 83­84), maka uang dan komoditas akan mengalami sirkulasi (perputaran) di dalam pasar. Pasar berfungsi sekadar untuk memfasilitasi pertu­ karan hak kepemilikan agar sesuai dengan keinginan dari pemilik properti yang menjadi pelaku pasar. Dengan kata lain, pasar adalah mekanisme sosial yang berfungsi untuk menjamin bahwa kebutuhan­kebutuhan pribadi dapat ter­ penuhi. Maka, pasar merupakan mekanisme yang pasif kare­ na tidak memengaruhi properti apa atau mana yang akan dipertukarkan dan kebutuhan yang hendak dipuaskan lewat pertukaran properti itu. Tiap orang bekerja sendiri­sendiri dengan membeli dan menjual sehingga sekaligus bekerja demi kelancaran pekerjaan orang lain. Mekanisme yang disebut di atas dipandang oleh Adam Smith sebagai “tangan­tangan tersembunyi” (invisible hand). “Tangan­tangan tersembunyi” dapat dipahami melalui ku­ tipan yang sering dipetik oleh para ahli dari bukunya The Wealth of Nations (1965: 14, 423) adalah sebagai berikut: “Kita mendapatkan makan malam kita bukan dari ke­ murahan hati tukang daging, pembuat bir, atau pembuat roti, tetapi dari penghargaan mereka terhadap kepen­ tingan diri mereka sendiri. Kita tidak memerhatikan ter­ hadap kemanusiaan mereka, tetapi cinta diri mereka ...



116



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Setiap individu (yang) ... menggunakan kapital ... dan ... tenaga kerja ... tidak bermaksud untuk mempromo­ sikan kepentingan publik, dan tidak tahu seberapa besar ia mempromosikannya ... dia ... dibimbing oleh tangan­ tangan tersembunyi untuk mempromosikan tujuan yang sebenarnya bukan dari kehendaknya. Dengan mengejar kepentingannya sendiri dia sering kali juga mempromo­ sikan kepentingan masyarakat [tanpa disadarinya].”



“Tangan­tangan tersembunyi”, dengan kata lain, seperti kata Levacic (1991), merupakan karakteristik yang penting dari pasar. Ia dipandang sebagai salah satu mekanisme yang bekerja dalam kehidupan sosial, adalah pertukaran bebas terhadap barang dan jasa antara dua partai pada suatu har­ ga yang disepakati. Melalui perangkat yang kompleks dari suatu pertukaran, aktivitas ekonomi dari orang­orang yang berjarak dan yang tidak menyadari keberadaan satu sama lain dapat diatur. Harga berfungsi sebagai kunci dalam me­ kanisme ini. Menurut Levacic, suatu harga yang relatif tinggi terhadap biaya produksi dari suatu barang berarti merupa­ kan suatu keuntungan yang besar. Namun jatuhnya per­ mintaan dari konsumen ditandai oleh jatuhnya harga secara relatif terhadap biaya produksi dan membuat kerugian bagi produser. Ini pada gilirannya akan membuat industri tutup dan orang kehilangan pekerjaan. Jadi, harga dipandang se­ bagai penyeimbang antara penawaran dan permintaan (selfadjusting mechanism of the market). Ketika permintaan naik harga cenderung meningkat. Ketika harga naik, maka terjadi peningkatan keuntungan yang gilirannya memberi insentif buat memproduksi lebih banyak.



117



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



4. Kegagalan Pasar Bagi penganut ekonomi klasik, seperti J. B. Say dan David Ricardo, memercayai bahwa kegagalan pasar meru­ pakan hal yang mustahil terjadi. Kenapa demikian? Jika me­ mang ada penderitaan yang ditimbulkan oleh pasar, maka penderitaan tersebut terjadi secara individual saja. Dengan kata lain, pendapatan dan kesejahteraan dari seorang pen­ jual tertentu dapat saja menurun oleh kondisi pasar, tetapi pendapatan dan kesejahteraan dari semua penjual seba­ gai satu kesatuan tidak mungkin bisa mengalami kerugian. David Ricardo (1951: 290), oleh karena itu, memberikan argumen: “orang memproduksi selalu dengan tujuan agar ia bisa menjual dan mengonsumsi dan begitu juga orang menjual selalu dengan tujuan agar bisa membeli komoditas lain, yang bisa berguna secara langsung baginya atau bisa berguna bagi kegiatan produksinya di masa depan. Maka, ketika seseorang melakukan produksi, ia dapat sekaligus menjadi konsumen bagi barangnya sendiri atau dapat men­ jadi pembeli dan konsumen dari barang orang lain. Bisa jadi dia tidak tahu apa komoditas yang paling menguntungkan untuk ia produksi, tetapi ketidaktahuan itu tidak mungkin berlangsung lama, sehingga ia pasti akan selalu bisa menca­ pai tujuannya, yaitu memiliki barang­barang lain. Karenanya dapat disimpulkan bahwa orang tidak mungkin akan terus­ menerus memproduksi sebuah komoditas yang tidak di­ inginkan orang lain.” Argumen tidak mungkin terjadi kegagalan pasar sebagai keseluruhan, yang mungkin hanyalah kegagalan individual yang tidak mampu menemukan pembeli, ditegaskan dalam penjelasannya sebagai berikut:



118



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



Bisa jadi ada satu komoditas tertentu yang diproduksi dalam jumlah yang terlalu banyak, sehingga pasar men­ jadi jenuh dan produsen dari barang itu tidak berhasil mendapatkan kembali kapital yang sudah ia keluarkan un­ tuk memproduksi barang­barang itu. Tetapi hal semacam itu tidak mungkin terjadi pada semua komoditas. Mi­ salnya, permintaan terhadap jagung akan dibatasi oleh jumlah orang yang mau mengonsumsinya, atau permint­ aan terhadap sepatu dan mantel akan dibatasi oleh jum­ lah orang yang mau mengenakannya. Tetapi biarpun ada masyarakat tertentu yang bisa memiliki jagung sebanyak mungkin sehingga ia bisa makan jagung sepuasnya, atau memiliki mantel dan sepatu sebanyak mungkin sehingga bisa mengenakannya sepuas­puasnya, hal semacam itu tidak mungkin terjadi pada semua komoditas dalam ma­ syarakat, baik untuk komoditas yang dibuat lewat ke­ mampuan manusia maupun komoditas yang disediakan alam (1951: 292).



http://facebook.com/indonesiapustaka



Jadi, jika pasar bertahan dan berkembang karena ada­ nya mekanisme pasar yang mengatur dirinya sendiri. Alferd Marshal dalam Principle of Economics menyatakan bahwa permintaan dan penawaran secara simultan akan mencip­ takan suatu harga. Dengan kata lain, baik sisi permintaan maupun sisi penawaran memiliki kontribusi dalam mencip­ takan harga, bagaikan sebuah gunting yang memiliki dua sisi yang berbeda yang memotong secarik kertas. Kertas bisa ter­ potong karena keseimbangan kedua sisi gunting dalam. Bagi penganut ekonomi klasik melihat bahwa apabila pa­ sar yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan hukum per­ mintaan dan penawaran berjalan dengan sempurna, maka tidak dimungkinkan terjadinya kegagalan pasar. Kalau demikian, apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar menurut penganut ekonomi klasik? Kegagalan pasar dari sudut pan­



119



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dang ekonomi klasik disebabkan karena faktor­faktor di luar pasar itu sendiri.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Berbeda dengan para penganut ekonomi klasik, menu­ rut Caporaso dan Levine (2008: 198), para penganut eko­ nomi neoklasik melihat bahwa pasar sebagai institusi yang memberikan kemungkinan terbentuknya peluang yang mem­ pertemukan orang yang memiliki permintaan dengan orang yang memiliki penawaran sedemikian rupa sehingga kebu­ tuhan semua orang akan terpenuhi sedapat mungkin sesuai dengan sumber daya yang ada. Pasar juga dilihat sebagai institusi yang memungkinkan terciptanya peluang yang se­ maksimal mungkin bagi pertukaran secara bebas sehingga memungkinkan terwujudnya efisiensi yang seluas­luasnya. Pasar memberikan kemungkinan bagi individu untuk meng­ ganti sumber daya atau komoditas yang hendak ia guna­ kan agar bisa memenuhi keinginannya. Jika dipandang dari perspektif konsumen, lanjut Caporaso dan Levine, situasi semacam ini tercipta jika ada banyak jenis barang kon­ sumen di pasar yang bisa ia pilih. Sedangkan dari perspek­ tif produsen, situasi tercipta ketika ada kesempatan untuk mengombinasikan faktor­faktor produksi dengan banyak cara yang berbeda. Tanah, tenaga kerja dan kapital yang se­ muanya mempunyai banyak lagi subkategori di dalamnya, bisa digabungkan dengan proporsi yang berbeda­beda untuk menghasilkan barang­barang yang dapat dijual di pasar. Apakah para penganut ekonomi neoklasik melihat ke­ mungkinan terjadinya kegagalan pasar? Menurut Caporaso dan Levine (2008: 203­227), terdapat tiga kegagalan pasar dalam pandangan para ekonomi neoklasik, yaitu kegagalan yang disebabkan karena adanya eksternalitas, kegagalan yang berkenaan dengan barang publik (public good), dan kegagal­ an yang dikarenakan terjadinya monopoli.



120



http://facebook.com/indonesiapustaka



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



Untuk memahami kegagalan pasar yang dikarenakan oleh eksternalitas tentu terlebih dahulu perlu mengerti ten­ tang apa yang dimaksudkan dengan konsep eksternalitas. Eksternalitas merupakan dampak dari suatu transaksi yang menimpa pihak yang bukan bagian dari transaksi tersebut. Ia merupakan dampak terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam transaksi yang tidak melewati sistem harga dan hadir sebagai efek samping yang tidak disengaja dari kegiatan orang lain atau perusahaan lain. Pada pasar yang berfungsi ideal, semua transaksi bersifat pribadi. Apabila suatu transaksi me­ libatkan pihak ketiga maka pihak ketiga, tersebut biasanya diberikan imbalan atau dikenakan biaya. Dengan demikian, biaya yang ditanggung semua produsen adalah sama dengan biaya yang dipikul oleh masyarakat. Sedangkan keuntungan yang diraih oleh masyarakat akan sama dengan keuntungan yang diperoleh oleh produsen. Namun dalam kenyataannya, perimbangan antara biaya dan keuntungan pribadi dengan biaya dan keuntungan sosial tidak selalu sama. Oleh karena itu, muncullah masalah eksternalitas, karena ada orang lain yang memperoleh keuntungan atau harus mengeluarkan bi­ aya untuk urusan­urusan yang muncul bukan atas kemauan mereka sendiri. Dengan kata lain, terdapat pihak ketiga yang tidak terlibat transaksi memperoleh keuntungan atau menda­ patkan kerugian karena alasan­alasan yang tidak ada kaitan­ nya dengan pilihan yang mereka ciptakan. Untuk memahami konsep ini coba kita pahami pepatah berikut “orang yang makan nangka, kita kena getahnya”. Pepatah ini sangat dike­ nal oleh masyarakat Indonesia, yang bermakna suatu akibat yang dikarenakan oleh perbuatan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan diri kita, misalnya polusi, banjir, atau asap yang ditimbulkan oleh kegiatan berbagai perusa­



121



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



haan sehingga membuat masyarakat menderita karenanya. Ini merupakan bentuk ekternalitas negatif. Apapun bentuk ekternalitas, positip atau negatip, merupakan sesuatu yang mengganggu aspek keadilan dan efisiensi dari operasi dalam perekonomian.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kegagalan pasar berikutnya adalah kegagalan yang berkenaan dengan barang publik (public good). Sebelum kita lanjutkan, ada baiknya kita pahami dahulu konsep barang publik (public good). Konsep barang publik merujuk pada barang­barang yang tidak dapat dibagi­bagi atau harus terse­ bar secara luas sehingga sulit untuk dimiliki oleh satu orang atau satu pihak saja. Ketika barang­barang tersebut selesai diproduksi, ia langsung masuk dalam wilayah publik. Oleh karena itu barang publik mengandung sifat non­eksklusif dan non­rival. Sifat non­eksklusif dari suatu barang menun­ jukkan ketiadaan cara untuk menyalurkan keuntungan dari barang itu hanya kepada mereka yang sudah membayar saja, sehingga dimungkinkan terjadinya pembonceng (free rider) yang menikmati barang publik meskipun tidak menanggung biaya untuk itu (Caporaso dan Levine, 2008: 220). Sedangkan sifat non­rival dari suatu barang memper­ lihatkan keadaan di mana ketika seseorang mengonsumsi suatu barang publik, orang lain tetap bisa sama­sama men­ gonsumsi barang publik yang sama. Barang­barang publik seperti udara bersih, keamanan berlalu lintas, pertahanan negara, atau pengendalian wabah penyakit merupakan ba­ rang publik yang dibutuhkan oleh individu. Bagi individu yang ingin memaksimalkan pemenuhan kebutuhan pribadi­ nya, namun dia tidak bisa memperolehnya melalui pasar. Jadi, keberadaan barang­barang publik mencerminkan kega­ galan pasar.



122



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Terakhir, kegagalan pasar yang bersumber dari keber­ adaan monopoli dan oligopoli. Monopoli dipahami sebagai hanya ada satu perusahaan mengendalikan sebagian besar dari pasar atau aset dalam pasar untuk suatu sektor tertentu. Sedangkan oligopoli ditunjukkan terdapat hanya segelintir perusahaan yang mengendalikan sebagian besar dari pasar atau aset dalam pasar untuk suatu sektor tertentu. Jika pasar mengalami monopolistik atau oligopolistik maka pasar de­ ngan persaingan sempurna tidak terjadi. Dengan kata lain, terdapat (beberapa) perusahaan yang mampu mengendali­ kan harga. Dengan demikian, pasar seperti itu tidak efisiensi dan adil sehingga tidak mampu mengoptimalkan pemenu­ han kebutuhan pribadi. Keadaan seperti ini menunjukkan kegagalan pasar. Kritik dari penganut Keynesian, menurut Caporaso dan Levine (2008: 237), mengatakan bahwa kegagalan untuk menemukan pembeli bisa jadi merupakan masalah sistemis yang tidak ada kaitannya dengan ketidakcocokan antara apa yang diproduksi dengan apa yang diperlukan, melain­ kan bisa disebabkan karena kegagalan mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik pembeli­pembeli yang memiliki daya beli yang cukup. Dengan kata lain, pasar gagal untuk mem­ pertemukan permintaan dengan pasokan, sehingga tidak berhasil memanfaatkan keseluruhan kapasitas produksi yang tersedia dalam masyarakat. Kegagalan pada permintaan ag­ gregat ini mempunyai perbedaan yang mendasar dengan kegagalan permintaan individu. Jika pasar secara sistematis gagal untuk menemukan permintaan agregat naka akan ber­ dampak pada kemampuan pasar sebagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan. Kritik lain tentang terjadinya kegagalan pasar yang sering



123



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dikemukakan adalah asumsi yang dimiliki dari pasar itu sendi­ ri yang dibangun oleh penganut ekonomi klasik dan ekonomi neoklasik. Zusmelia (2007: 17), merangkum beberapa kritik tersebut dengan baik. Kegagalan pasar, menurut Zusmelia, sebenarnya terjadi karena asumsi untuk terjadinya pasar per­ saingan sempuna, tidak dapat terpenuhi, yakni di antaranya masing­masing pihak (aktor) yang melakukan pertukaran harus mempunyai informasi yang sama (symmetric information) terhadap kualitas dan harga barang dan jasa yang akan ditransaksikan tersebut, sehingga di dalam pertukaran secara adil dapat dilakukan. Dengan kata lain, para aktor ekonomi akan menentukan harga yang wajar (just price), yaitu harga pasar mencerminkan tingkat kelangkaan sumber daya yang dipertukarkan, semakin langka sumber daya, dan semakin langka biaya untuk mengekstraksikan, semakin tinggi harga­ nya dalam pertukaran, demikian sebaliknya. Jika negara mengalami kegagalan negara dan pasar meng­ hadapi kegagalan pasar, apa kekuatan lain yang bisa mengger­ akkan kehidupan manusia? Jawabannya adalah civil society.



D. CIVIL SOCIETY



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Pengertian Civil Society Civil society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam tiga cara, yaitu masyarakat sipil, masyarakat warga/ kewargaan, dan masyarakat madani. Terjemahan civil society sebagai masyarakat sipil dirasakan oleh berbagai kalangan kurang pas. Karena dalam dunia keseharian dan akademik Indonesia, konsep sipil sering dikaitkan dengan konsep mi­ liter. Dengan kata lain, jika ada masyarakat sipil berarti juga ada masyarakat militer. Kandungan pemahaman konsep se­



124



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



perti ini akan mendistorsikan inti dan makna hakiki dari kon­ sep civil society. Masyarakat warga/kewargaan merupakan terjemahan yang merujuk pada kata civic. Terjemahan seperti ini meng­ ingatkan dengan pendidikan kewarga negaraan yang pernah diajarkan sebelum 1970­an. Akibatnya terkesan masyarakat warga adalah masyarakat yang menjadi warga negara yang baik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Masyarakat madani merupakan suatu terjemahan dari civil society yang diusulkan oleh Dato Anwar Ibrahim. Per­ tama kali diperkenalkan oleh beliau pada saat yang bersang­ kutan menyampaikan ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah Festival Istiqlal, 26 Desember 1995 (Aswab Mahasim, 1995). Kalangan akademisi Indonesia juga tidak bersepakat untuk menggunakan konsep masyarakat madani sebagai terjemahan dari konsep civil society. Karena masyarakat madani kalau dipahami secara kasar adalah masyarakat kota. Sedangkan rujukannya adalah masyarakat Madinah ketika Rasulullah dan Khilafah Rasyidin memimpin umat Islam dan tundukannya. Persoalan muncul karena kon­ sep civil society muncul dari masyarakat Barat, maka ruju­ kannya juga adalah Barat. Untuk menghindari perdebatan seperti ini, maka konsep civil society digunakan sebagaimana adanya. Civil society merupakan konsep yang lahir dari pandang­ an yang melihat adanya hubungan sedemikian rupa antara masyarakat dan negara. Pandangan tentang hubungan an­ tara masyarakat dan negara mengalami evolusi dari masa ke masa. Terakhir berkembang pemikiran bahwa ada tiga pilar kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia, yaitu state (negara), market (pasar), dan civil society.



125



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Civil society, dikonsepsikan secara teoretis dalam tulisan ini, merupakan masyarakat yang bebas dari ketergantungan terhadap negara dan pasar, self­reliance (percaya diri), selfsupporting (swasembada), voluntary (sukarela), dan taat akan nilai dan norma yang berlaku. Bebas dari ketergantungan negara dan pasar dimaksud sebagai suatu bentuk kebebasan dari masyarakat untuk melakukan aktivitas kemasyarakatan (sosial, budaya, politik, dan agama) tanpa adanya intervensi negara dan pasar. Intervensi negara terhadap masyarakat dibolehkan jika terjadi ketidakadilan dalam kehidupan ber­ masyarakat dan bernegara, aturan main dilanggar atau un­ dang­undang tidak ditegakkan. Dalam civil society, individu dan/atau kelompok individu memiliki self­reliance (percaya diri). Percaya diri merupakan suatu keadaan di mana potensi dan kapasitas yang dimiliki dipandang mampu menyelesaikan persoalan­persoalan yang dihadapi. Sedangkan self-supporting (swasembada) adalah kemampuan melakukan sesuatu tanpa ada ketergantungan. Aktivitas­aktivitas kemasyarakatan yang dilakukan oleh civil society dilakukan tidak terpaksa, tetapi sebaliknya secara voluntary (sukarela). Terakhir, ketaatan terhadap nilai dan norma yang berlaku merupakan ciri dari suatu komunitas yang telah menerapkan prinsip civil society.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Asal Usul Civil Society Adam Ferguson, seperti yang dijelaskan oleh Ernest Gellner (1994: 68­90), merupakan tokoh yang pertama kali menggunakan konsep civil society ketika ia menulis An Essay on the History of Civil Society. Revolusi Industri dan perkem­ bangan kapitalisme telah menyebabkan terjadinya perbedaan mencolok antara yang publik dan privat. Munculnya ekono­



126



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



mi pasar melunturkan tanggung jawab publik dari warga karena dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai pemuasan kepentingan pribadi. Adanya civil society diharapkan akan menghambat negara yang tiran. Asal usul civil society yang dipahami oleh Adam Ferguson tersebut diperkuat oleh para penganut ekonomi klasik. Me­ reka melihat bahwa civil society sebagai suatu bentuk perkem­ bangan dari sistem pemenuhan kebutuhan pribadi. Asal usul civil society dari perspektif ekonomi klasik, oleh sebab itu, mirip dengan penjelasannya dengan asal usul pasar. Menurut perspektif ekonomi klasik, sistem pemenuhan kebutuhan pribadi yang pertama dimiliki oleh umat manusia adalah sistem subsistensi, yaitu pemenuhan kebutuhan diproduksi dalam, dari, oleh, dan untuk keluarga atau dalam, dari, oleh, dan untuk sebuah kelompok kerabat (kinship). Produksi tersebut didasarkan pada pola pembagian kerja dalam kelu­ arga. Oleh sebab itu, kegiatan produksi tunduk pada tujuan­ tujuan dan hubungan­hubungan yang ada dalam keluarga itu, seperti fungsi reproduksi, pendidikan, kewenangan pa­ ternal, kebutuhan psikologis dan fisiologis, dan sebagainya. Kegiatan ekonomi melekat (embedded) dalam institusi­ins­ titusi nonekonomi, seperti kegiataan kerajaan, aktivitas ke­ agamaan, ritual adat, dan sebagainya. Kegiatan ekonomi di­ lakukan untuk mencapai tujuan­tujuan nonekonomi. Oleh karena itu, anggota keluarga melakukan kegiatan produksi dikarenakan untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai anggota keluarga untuk upacara ritual keagamaan, misalnya, bukan didorong oleh motif untuk memperoleh keuntungan atau akumulasi kapital. Ketika bidang ekonomi terlepas dari bidang nonekono­ mi dan mulai berdiri sendiri, maka kegiatan individu dalam



127



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



bidang ekonomi juga terlepas dari ikatannya dengan bidang nonekonomi. Individu melakukan kegiatan produksi bukan lagi didorong oleh alasan nonekonomi, melainkan oleh motif meraih keuntungan pribadi. Dalam kondisi seperti ini, ikatan individu dalam aktivitas ekonomi bersifat kontraktual dan melihat kepentingan dirinya sendiri sebagai fokus. Mereka melihat dirinya sendiri terpisah dari individu lainnya, inde­ penden, dan otonom. Pada kondisi inilah dipandang seba­ gai kemunculan masyarakat baru yang bernama civil society, yaitu masyarakat di mana sistem kebutuhan pribadi tidak lagi diatur oleh institusi keluarga atau negara, namun diatur dan dipacu oleh kepentingan pribadi, yaitu memperoleh ke­ untungan pribadi (profit seeking), maksimalisasi kegunaan (utility maximization), atau istilah lain yang artinya serupa.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Bagaimana Fenomena Civil Society di Indonesia Tidak mudah untuk mendeskripsikan fenomena civil society di Indonesia secara komprehensif karena, seperti dike­ mukakan di atas, konsep ini mencakup berbagai kegiatan yang luas sifatnya. Namun untuk memahami secara sederha­ na fenomena ini dapat kita telusuri melalui lembaga swadaya masyarakat. Pada awal Era Reformasi, ranah civil society di­ tandai dengan menjamurnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terlihat beberapa departemen memiliki kebijakan untuk mengikut­ sertakan LSM dalam proses pembangunan, misalnya Depar­ temen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, yang dipimpin oleh seorang penggiat LSM. Kebijakan tersebut memotivasi banyak orang untuk mendirikan dan menjadi penggiat LSM, mulai dari pusat sampai daerah. Sehingga berdirilah berba­



128



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



gai macam jenis LSM: pelat merah, pelat kuning, dan pelat hitam. LSM pelat merah ditujukan pada LSM yang dilahir­ kan oleh aparat birokrasi pemerintah sebagai salah satu cara untuk mendapatkan berbagai fasilitas dan dukungan keabsah­ an suatu program atau kegiatan pembangunan. LSM pelat kuning merupakan LSM yang didirikan oleh para pebisnis untuk memperoleh proyek atau pekerjaan dari pemerintah yang mengharuskan keikutsertaan LSM. Sedangkan LSM pelat hitam dipandang sebagai LSM yang didirikan oleh penggiat LSM karena idealisme yang dimiliki. Setelah Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari kursi kepresidenan, perlahan tapi pasti kebijakan keikutsertaan LSM dalam proses pembangunan pudar dan pada bebera­ pa bagian hilang. Seiring dengan itu, kuantitas LSM juga mengalami pertumbuhan negatif. Pada saat sekarang, LSM masih terdapat di beberapa kota dan kabupaten, namun de­ ngan kuantitas yang jauh berkurang. Pada umumnya, LSM yang bertahan adalah LSM yang memiliki jaringan nasional dan internasional. Sangat sedikit sekali LSM yang bertahan sampai sekarang memiliki kemampuan untuk mencari sum­ ber pendanaan yang berasal dari sumber­sumber lokal. Jika dipandang dari sisi ini, maka kemandirian dari LSM me­ mang patut dipertanyakan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



4. Gerakan Sosial: Kekuatan Civil Society Apa yang dimiliki oleh tiga pilar kekuasaan sehingga me­ reka bisa menggerakkan atau memengaruhi kehidupan kita? Negara memiliki political power (kekuatan politik) melalui intervensi, pasar memiliki economic power (kekuatan ekono­ mi) melalui tangan­tangan tersembunyai, sedangkan civil



129



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



society mempunyai social power (kekuatan sosial) melalui social movement (gerakan sosial). a) Pengertian Gerakan Sosial



Apa itu gerakan sosial (social movement)? Untuk me­ mahami konsep ini mari kita tinjau teks beberapa sosiologi yang mendiskusikannya. 1. James M. Henselin



Dalam bukunya, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Henselin (2008), merumuskan gerakan sosial sebagai sejum­ lah besar orang yang berorganisasi untuk mempromosikan atau menentang perubahan. 2. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt



Horton dan Hunt (1989), dalam bukunya, Sosiologi, mem­ berikan batasan gerakan sosial sebagai suatu usaha kolektif yang bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan. 3. Kamanto Sunarto



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kamanto Sunarto (2004), dalam bukunya sosiologi men­ jelaskan pengertian gerakan sosial sebagai perilaku kolektif yang memiliki tujuan jangka panjang untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di da­ lamnya. Dari ketiga pandangan tersebut dapat disimpulkan bah­ wa gerakan sosial merupakan suatu usaha bersama (kolektif) untuk melakukan atau menentang suatu perubahan dalam masyarakat. Dari definisi ini, maka gerakan sosial menca­ kup spektrum yang sangat luas dan melebar, seperti berba­ gai gerakan/aksi anti (rokok, narkoba, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pornografi, dan sebagainya), bermacam gerakan/aksi pro (hidup sehat, lingkungan bersih, demokra­



130



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



si, kemerdekaan, penegakan HAM, dan seterusnya), atau beragam gerakan pemberdayaan dan advokasi (petani, bu­ ruh, nelayan, pengamen, gender, anak, penyandang cacat/ dispabel, masyarakat miskin perdesaan atau perkotaan, dan lainya). b) Tipologi Gerakan Sosial



Terdapat banyak ahli yang membahas tentang tipologi gerakan sosial. Berikut didiskusikan beberapa pandangan sosiolog tentang hal ini. 1. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt



http://facebook.com/indonesiapustaka



Horton dan Hunt (1989: 198­201), menemukan ada enam bentuk dari gerakan sosial, yaitu: 1.



Gerakan perpindahan (migratory movement), yaitu arus perpindahan penduduk ke suatu tempat baru. Ketika penganut Islam tidak disukai dan dimusuhi oleh pen­ duduk Mekkah pada perkembangan awalnya, Rasulullah menganjurkan agar penganut orang Muslim yang ada di Mekkah hijrah (pindah) ke kota Madinah untuk meng­ hindari penganiayaan, diskriminasi, dan penekanan yang lebih besar. Hijrah tersebut dapat dipahami sebagai ger­ akan perpindahan. Atau, arus pengungsian besar­besa­ ran orang Vietnam Selatan ke Pulau Galang pada masa perang Vietnam juga merupakan bentuk dari gerakan perpindahan.



2.



Gerakan ekspresif (expressive movement), merupakan gerakan yang merubah ekspresi, sikap atau reaksi terha­ dap kenyataan, dan bukannya merubah kenyataan (ma­ syarakat) itu sendiri. Terdapat berbagai macam gerakan ekspresif, seperti musik, puisi, drama, lawakan, lelucon, aliran kepercayaan, keagamaan, dan lain sebagainya.



131



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Misalnya, berbagai lelucon tentang politik muncul da­ lam masyarakat Rusia ketika masa Uni Soviet. 3.



Gerakan utopia (utopian movement) adalah gerakan un­ tuk menciptakan suatu masyarakat sejahtera dalam ska­ la terbatas. Model tersebut dapat dicontoh dan dimung­ kinkan untuk dikonstruksi dalam skala yang lebih besar. Misalnya, gerakan Kibut Israel, gerakan Darul Arqam Malaysia, dan lainnya.



4.



Gerakan reformasi (reform movement), yaitu gerakan yang berusaha untuk memperbaiki beberapa kepincang­ an dalam masyarakat. Gerakan ini biasanya muncul di negara demokratis. Gerakan reformasi di Indonesia 1998 merupakan contoh bagaimana gerakan itu terjadi untuk memperbaiki kepincangan yang terjadi dalam kehidupan berekonomi, politik, dan sosia­budaya. Namun sayang­ nya, gerakan reformasi tersebut menemukan kegagalan sebelum mengkristal menjadi suatu gerakan yang kuat dan kukuh, meskipun demikian melalui gerakan ini te­ lah terjadi banyak perubahan seperti pemilihan presiden dan kepala daerah langsung.



5.



Gerakan revolusioner (revolutionary movement), yaitu gerakan yang dibangun untuk menggantikan sistem yang ada dengan sistem yang baru. Para penganut gerakan ini, menurut Horton dan Hunt, cenderung berseberan­ gan dengan penganut gerakan reformasi, karena mere­ ka berkeyakinan bahwa reformasi yang berarti tidak mungkin terjadi bilamana sistem yang ada tetap ber­ tahan. Mereka berpendapat bahwa perubahan radikal dan mendasar hanya dapat terlaksana apabila sistem so­ sial yang ada sekarang diganti dengan yang baru serta kelompok elite yang ada disingkirkan dan diputus mata



132



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



rantai sirkulasinya. Selanjutnya, persaingan antarkelom­ pok dalam perebutan kekuasaan terjadi. 6.



Gerakan perlawanan (resistance movement), yaitu gerak­ an yang bertujuan untuk menghambat atau menghalangi suatu perubahan sosial tertentu. Perubahan sosial yang terjadi selama ini tidak saja membahagiakan, tetapi juga menakutkan banyak orang. Perubahan pandangan ten­ tang nilai, norma, dan sikap sekelompok orang dalam masyarakat, seperti seks bebas, pornografi, feminisme, sekularisme, dan lainnya telah menimbulkan ketidaknya­ manan bahkan ketakutan yang dialami oleh kelompok lainnya. Kelompok orang yang disebut terakhir ini me­ lakukan suatu gerakan perlawanan dengan mengatasna­ makan agama, tradisi, sejarah, moralitas, adat, dan se­ bagainya sehingga lahirlah misalnya berbagai gerakan anti (pornografi, narkoba, seks bebas) atau gerakan pe­ murnian (kembali kepada ajaran agama, tradisi, morali­ tas).



2. David F. Aberle



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kebanyakan teks sosiologi cenderung membahas pan­ dangan Aberle bila mendiskusikan tipologi gerakan sosial. Berbeda dengan Horton dan Hunt, Aberle dalam bukunya The Peyote Religion among the Nevaho menemukan empat tipe dari gerakan sosial, yaitu: 1.



Gerakan sosial alternatif (alterative social movement), yaitu gerakan yang bertujuan mengubah perilaku ter­ tentu dalam diri individu. Dalam tipe ini mencakup ber­ bagai kegiatan seperti kampanye antinarkoba, antimiras (minuman keras), antiseks bebas, dan sebagainya.



2.



Gerakan sosial redemptif (redemptive social movement), merupakan gerakan yang bertujuan mengubah keseluru­



133



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



han perilaku individu. Jadi, gerakan ini memiliki sasaran yang sama dengan gerakan sosial alteratif (yaitu indi­ vidu), namun berbeda dalam cakupan. Gerakan sosial re­ demptif merubah perilaku lama menjadi perilaku baru, yang berbeda sama sekali dengan yang lama. Contoh yang diajukan biasanya gerakan keagamaan seperti gera­ kan fundamentalis keagamaan, seperti gerakan fundamen­ talis Kristen, Islam, Yahudi, atau Hindu. Dalam Islam, misalnya, konsep pertobatan, yaitu meninggalkan sama sekali suatu perilaku negatif menuju perilaku positif se­ cara keseluruhan; dan konsep hijrah yaitu gerakan per­ pindahan (fisik atau rohani/mental) yang lebih baik lagi merupakan konsep yang menunjuk pada “suatu gerakan redemptif”. Ketika konsep tersebut diaktualisasikan da­ lam usaha bersama (kolektif), maka ia menjadi gerakan sosial redemptif. 3.



Gerakan sosial reformatif (reformative social movement), adalah gerakan perubahan atau reformasi pada segi atau bagian tertentu dari masyarakat. Gerakan ini jelas ber­ beda dengan dua gerakan yang disebut lebih awal yang menekankan pada individu. Sedangkan apabila diban­ dingkan dengan pandangan Horton dan Hunt, terlihat ada persamaannya dengan konsep gerakan reformasi (reform movement).



4.



Gerakan sosial transformatif (transformative social movement), menunjuk pada gerakan untuk mentransfor­ masikan tatanan sosial itu sendiri. Para anggotanya me­ miliki keinginan hendak mengubah tatanan sosial ma­ syarakat menjadi tatanan yang lebih baik menurut versi mereka. Jika dibandingkan dengan tipologi Horton dan Hunt, maka akan tampak persamaannya dengan konsep gerakan revolusioner.



134



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



Tipologi Aberle tersebut dipertajam oleh Henselin (2008) dengan menambah dua tipe lainnya, yaitu gerakan sosial transnasional (transnational social movement) dan gerakan sosial metaformatif (metaformative social movement). Gerak­ an sosial transnasional merupakan gerakan yang ingin men­ gubah kondisi tertentu, yang tidak hanya ada dalam lingkun­ gan mereka, tetapi juga di seluruh dunia. Gerakan sosial ini sering ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup tertentu misalnya kaum buruh sedunia, kualitas lingkungan hidup, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya. Sedangkan gerakan sosial metaformatif menunjuk pada gerakan yang ingin mengubah tatanan sosial itu sendiri, yang tidak hanya pada skala lokal dan nasional, tetapi lebih luas lagi yaitu ta­ tanan sosial global. Gerakan komunisme dan fasisme meru­ pakan contoh dari gerakan sosial metaformatif ini. Selain itu, gerakan fundamentalisme keagamaan bisa menjadi suatu gerakan yang bersifat metaformatif bila cakupan telah global. Semua agama memiliki potensi untuk mengkonstruksi gera­ kan sosial metaformatif oleh para pemeluknya. Untuk me­ mahami secara sederhana Gambar 4.1 berikut dapat mem­ bantu. Besarnya Perubahan



Target Perubahan



http://facebook.com/indonesiapustaka



1



2



Alteraif



Redempif 3



4



Reformaif



Transformaif 5



Transnasional



6 Metaformaif



Gambar 4.1 Tipologi Gerakan Sosial Aberle dengan Penajaman Henselin Sumber: Henselin (2008: 230)



135



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



c) Cara Gerakan Sosial



Berbagai gerakan sosial memiliki beragam cara untuk merealisasikan tujuan yang dimilikinya. Berikut kita diskusi­ kan beberapa cara yang dapat digunakan oleh para aktifis pergerakan: 1.



Kekerasan, meliputi demonstrasi anarkis, pembajakan, penyanderaan, penculikan, pembunuhan, teror fisik, psi­ kis, dan budaya serta perang.



2.



Non­kekerasan, meliputi mogok, demonstrasi damai, pem­ berdayaan, advokasi, dan sebagainya.



d) Tahapan Gerakan Sosial



http://facebook.com/indonesiapustaka



Berdasarkan studi Henselin (2008: 231­232), dari ber­ bagai literatur ditemukan bahwa terdapat beberapa tahapan dari gerakan sosial: 1.



Tahap kerusuhan dan agitatif. Bermula dari sekelompok orang yang merasa terganggu oleh kondisi tertentu dan hendak mengubahnya. Muncul pemimpin yang mampu menerjemahkan perasaan orang­orang ke dalam bentuk wacana yang menyangkut sejumlah isu yang berhubung­ an dengan sebab ketergangguan tersebut. Kebanyakan gerakan gagal pada tahap ini, sebab gagal mendapatkan cukup dukungan. Setelah gejolak kegiatan yang singkat, gerakan mati secara perlahan.



2.



Tahap mobilisasi sumber daya. Tahapan pertama gerak­ an bisa dilalui jika mampu memobilisasi sumber saya se­ perti waktu, dana, keterampilan orang, dan untuk men­ dapatkan perhatian media massa. Dalam beberapa kasus, muncul kepemimpinan setempat yang mampu memobi­ lisasi sumber daya.



3.



Tahap pengorganisasian. Tahapan ini ditandai adanya



136



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



pembagian kerja. Pemimpin memutuskan suatu kebi­ jakan, sedangkan perangkat struktur yang ada melaksa­ nakan tugas sehari­hari yang diperlukan agar gerakan tetap berjalan. Dalam tahap ini masih banyak ditemui kegairahan kolektif terhadap isu yang menjadi pusat per­ hatian. 4.



Tahap institusionalisasi. Pada tahap ini gerakan telah mengembangkan suatu birokrasi. Kontrol berada di ta­ ngan para pejabat karier, yang mungkin lebih mement­ ingkan kepentingan atau posisi mereka sendiri ketim­ bang pencapaian tujuan pergerakan itu sendiri. Pada tahap ini kegairahan politik mulai berkurang.



5.



Tahapan kemunduran dan kemungkinan kebangkitan kem­ bali. Manajemen kegiatan sehari­hari mendominasi ke­ pemimpinan. Juga ditandai dengan perubahan sentimen politik, tidak ada lagi kelompok orang yang mempunyai komitmen kuat dan berbagi suatu tujuan bersama. Jika itu ditemukan, maka gerakan sosial berpeluang redup dan terus menghilang. Pada saat redup dimungkinkan juga muncul pemimpin yang lebih idealis dan berkomit­ men tinggi untuk menyegarkan gerakan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



E. HUBUNGAN TIGA PILAR KEKUASAAN Ketiga komponen ini bisa saling berhubungan satu sama lain: berkompetisi atau berkonflik, berkolusi atau bersinergi dalam menggerakkan kehidupan umat manusia.



1. Hubungan antara Negara dan Pasar Bagi pendekatan ekonomi klasik, seperti telah dibahas di atas, pasar dibiarkan mengatur dirinya sendiri melalui hukum permintaan dan penawaran. Negara tidak dibenarkan ikut



137



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



melakukan campur tangan terhadap jalannya suatu pasar. Kalaupun ada gejolak pasar, tidak perlu ada campurtangan negara sebab pasar memiliki mekanismenya sendiri men­ etralkan gejolak di dalam dirinya sehingga mencapai titik keseimbangan (ekuilibrium) baru. Negara diharapkan hadir minimal sebagai wasit yang adil dalam menegakkan kedaula­ tan pasar.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Belajar pada pengalaman negara­negara Eropa Barat, ekonomi pasar bebas (the free market economy), termasuk perdagangan bebas, dipandang oleh ekonomi klasik sebagai agen yang dapat melakukan perubahan yang lebih baik bagi masyarakat, membawa ke arah demokrasi, kesejahteraan, dan pembangunan ekonomi. Namun beberapa klaim dari tesis populer tersebut tidak dapat diterapkan pada konteks se­ jarah budaya dan sosial yang lain, misalnya negara­negara Asia Tengara. Oleh sebab itu, Evers (1994: 238­239), meng­ ingatkan: Tesis popular ini, bagaimana pun, bertolak belakang de­ ngan pandangan, yang menyatakan bahwa perdagang­ an secara potensial berbahaya dan merusak setiap ma­ syarakat jika ia tidak diawasi oleh otoritas politik yang kuat. Banyak contoh yang mendukung hal ini. Solidaritas dan jaminan sosial dari masyarakat suku dan petani se­ ring dirusak oleh masuknya ekonomi perdagangan hasil bumi dan menciptakan kesengsaraan dan disintegrasi dalam masyarakat. Impor yang tidak terbatas terhadap barang barang mematikan industri skala menengah dan kerajinan lokal, dan industrialisasi yang berorientasi eks­ por akan menciptakan polusi dan kerusakan terhadap lingkungan.



Dalam kenyataannya, kehidupan sosial, termasuk eko­ nomi, seperti telah didiskusikan sebelumnya, tidak hanya di­



138



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



atur oleh mekanisme pasar, tetapi juga oleh pengaturan neg­ ara. Pengaturan dapat bermakna intervensi, bila ia dipandang dari sudut pasar. Dari sudut pandang negara, intervensi di­ lakukan atas nama regulasi. Kadang­kadang “deregulasi” digunakan untuk menjelaskan perubahan atau penyesuaian dalam pengaturan negara terhadap pasar.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Telah terjadi diskusi mendalam dan panjang di antara para ekonom, apakah negara, dalam hal ini pemerintah ha­ rus melakukan intervensi dalam mefungsikan pasar atau ti­ dak. Jika ia harus, kemudian, di bawah kondisi bagaimana, untuk tujuan apa, dan seberapa luas? Intervensi negara da­ pat menghasilkan suatu distorsi atau suatu koreksi dalam berfungsinya mekanisme pasar. Hasil tersebut tergantung pada sifat pasar dan jenis dan derajat dari intervensi yang dilakukan. Pemerintah tertentu suka melakukan intervensi pada pasar dengan berbagai cara dan dengan beragam alasan. Sementara yang lain, khususnya negara industri maju (kec­ uali Jepang), menghindari intervensi seminimal mungkin. Konsep intervensi minimal pun juga bersifat relatif. In­ terpretasi terhadap intervensi minimal negara terhadap pasar tergantung rezim yang berkuasa dalam pemerintahan pada suatu negara. Amerika Serikat yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara kampiun demokrasi dan ekonomi pasar, ter­ nyata juga menggunakan instrumen intervensi dalam meng­ gerakkan ekonomi mereka, tidak membiarkan pasar menyem­ buhkan dirinya sendiri, seperti selama ini mereka Perjuangkan dalam berbagai kesempatan. Ketika krisis kredit perumahan pada masa akhir jabatan kedua Presiden George W. Bush dan masa awal jabatan presiden Barack Obama, kedua Presiden memiliki pola intervensi yang berbeda terhadap pasar. Barack Obama cenderung membuat rambu­rambu terhadap pasar,



139



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



sehingga pasar, terutama pasar uang, tidak sebebas masa se­ belumnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Perlu juga dicatat bahwa terdapat aspek lain dari inter­ vensi negara yang sering diabaikan oleh ekonom neoklasik, yaitu negara dapat melakukan intervensi secara efektif ter­ hadap pasar. Ini disebabkan karena, satu, pasar melekat da­ lam masyarakat, dalam struktur sosialnya. Kedua, suatu in­ tervensi dalam pasar mungkin lebih efektif bila ia dibarengi dengan penyesuaian yang diperlukan dalam masyarakat. Seseorang tidak perlu berprasangka negatif terhadap inter­ vensi ini. Sebagai ilustrasi yang baik mungkin bisa dilihat kasus Singapura yang berhasil melakukan perencanaan dan penerapan strategi makroekonomi bagi pasar internal dan eksternal. Atau Jerman dengan ekonomi pasar sosialnya (Soziale Marktwirtschaft) yang mengombinasikan secara har­ monis antara ekonomi pasar dan tugas negara sebagai wasit dalam persaingan dan sebagai penjaga kesejahteraan dan ja­ minan sosial masyarakat. Apakah pasar juga memengaruhi negara? Salah satu instrumen untuk melihat bagaimana pasar memengaruhi negara adalah berita media massa tentang bagaimana pan­ dangan pasar tentang partai politik peserta pemilu dan calon presiden dan wakil presiden peserta pilpres, dilihat melalui pandangan para pebisnis. Pandangan pasar direduksi mela­ lui para pemilik dan/atau pengelola kapital (kapitalis) se­ hingga antara pandangan pasar dengan pandangan pemilik/ pengelola kapital tidak bisa dibedakan. Konsekuensi logisnya adalah pandangan para pemilik/pengelola modal, yang memi­ liki kepentingan pribadi terhadap suatu rezim pemerintahan (penguasa), menyuarakan kepentingan pribadi mereka. Jika pasar memiliki pandangan positif terhadap partai politik atau



140



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



pasangan capres tertentu, maka berarti pasar melihat bahwa partai politik atau pasangan capres tersebut dianggap dapat menyalurkan kepentingan pribadi meraka. Sebaliknya jika pasar dikatakan mempunyai pandangan negatif terhadap par­ tai politik atau pasangan capres tertentu maka berarti kepen­ tingan pribadi mereka dilihat tidak terakomodasikan jika partai politik atau pasangan capres tersebut berkuasa, oleh sebab itu mereka menolak melalui corong media massa. Dalam tataran ini, sebenarnya, pasar tidaklah netral dalam relasinya dengan kekuasaan dan politik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pengaruh pasar terhadap negara juga dapat dilihat melalui bagaimana kegagalan pasar bisa menyebabkan tumbangnya suatu pemerintahan dari suatu negara. Ketika pemerintahan Indonesia di bawah rezim Soeharto tidak mampu mengelola utang sehingga menyebabkan krisis finansial, keuangan dan perbankan pada tahun 1997, krisis tersebut akhirnya mem­ beri dampak pada munculnya krisis politik, sosial, dan budaya yang bermuara pada tumbangnya pemerintahan rezim Orde Baru. Sejauh ini, kita telah mendiskusikan bagaimana hubung­ an negara dan pasar bersifat pengaruh memengaruhi, di ma­ na negara memengaruhi pasar dan sebaliknya bagaimana negara dipengaruhi oleh pasar. Apakah ada hubungan antara negara dan pasar selain bersifat pengaruh­memengaruhi? Ternyata terdapat hubungan kolaboratif antara negara dan pasar. Studi mengenai hal tersebut telah dilakukan oleh para ilmuan sosiologi dan politik tentang elite. Salah satu­ nya adalah studi elite yang dilakukan oleh C. Wright Mills. Dalam bukunya The Power Elite, Mills (1956) menjelaskan bahwa para pemimpin bisnis raksasa, pemimpin politik, dan pemimpin militer di Amerika merupakan elite kekuasaan



141



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



yang memengaruhi kebijakan nasional Amerika secara kese­ luruhan, yang dampaknya pada tatanan kehidupan (ekono­ mi, sosial dan politik) global. Ketiga elite (ekonomi, politik, dan militer) elite saling memerhatikan kepentingan dan ke­ bijaksanaan yang mereka miliki bahkan mereka secara aktif saling bekerja sama dalam menentukan kebijakan nasional. Mills (1956: 7), menerangkannya berikut ini: Karena masing­masing bidang ini menjadi besar dan ter­ sentralisasi, konsekuensi­konsekuensi dari tindakannya menjadi lebih besar dan terus hubungan satu sama lain menjadi semakin tinggi. Keputusan beberapa gelintir perusahaan berhubungan dengan perkembangan militer dan politik serta ekonomi di seluruh dunia. Keputusan lembaga militer sangat memengaruhi kehidupan politik dan derajat kegiatan ekonomi. Keputusan yang dibuat dalam bidang politik menentukan kegiatan kegiatan eko­ nomi dan program­program militer.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Jadi, apa yang dikemukakan oleh Mills tersebut meruntuh­ kan asumsi hubungan antara pasar dan negara yang mem­ berikan kepada pasar suatu derajat kebebasan dan tidak ada intervensi negara terhadap pasar. Bagaimana pula elite kekuasaan di Indonesia? Apakah ada hubungan antar­elite seperti yang terjadi di Amerika? Ada kecenderungan para pemimpin bisnis besar, pemimpin mili­ ter dan pemimpin politik di Indonesia saling berkomunikasi satu sama lain dengan derajat tertentu untuk menentukan suatu kebijakan yang saling menguntungkan di antara sesama mereka. Dalam konstelasi sosial politik ekonomi Indonesia, terjadinya KKN antara partai politik, pejabat pemerintah, dan pebisnis dalam membuat suatu kebijakan berupa undang­ undang, keputusan pemerintah, keputusan menteri, atau kebijakan lainnya merupakan indikator dari kecenderungan



142



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



yang disebutkan sebelumnya. Selain itu, studi tentang hal ini misalnya telah dilakukan oleh Ulf Sundhaussen (1988) dan Yahya A. Muhaimin (1990) memperlihatkan kecenderungan tersebut.



2. Hubungan antara Negara dan Civil Society



http://facebook.com/indonesiapustaka



Hubungan antara negara dan civil society, secara hipote­ tis teoretis, dikonstruksikan sebagai kekuatan penyeimbang terhadap yang disebut pertama. Oleh sebab itu, civil society diharapkan mampu mengatasi negara sehingga ia tidak memiliki kekuasaan mutlak dengan memperjuangkan hak­ hak asasi mereka yang meliputi hak kehidupan, kemerde­ kaan, dan kepemilikan serta memiliki self­reliance (percaya diri), self-supporting (swasembada), voluntary (sukarela), taat akan nilai dan norma yang berlaku, dan bebas dari keter­ gantungan terhadap negara. Karena itu, Tocqueville (2005), berdasarkan pengalamannya di Amerika, civil society memi­ liki kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan intervensionis negara. Keberadaan civil society tidak dapat dilepaskan dari de­ mokrasi dan ruang publik. Usaha untuk merobohkan de­ mokrasi hampir selalu berhubungan dengan usaha untuk me­ luluhlantakkan ruang lingkup masyarakat sipil. Selanjutnya, mustahil bila membicarakan demokrasi tanpa mengikutser­ takan ruang publik. Pelarangan dalam partisipasi menimbul­ kan kepincangan bentuk demokrasi. Oleh karenanya, menu­ rut Chandhoke (2007), demokrasi memiliki hubungan dua sisi dengan ruang publik. Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik, namun secara bersamaan, tidak akan ada demokrasi apabila ruang publik tersebut tidak luas dan representatif.



143



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kejatuhan rezim Soekarno dan Soeharto menggambar­ kan bagaimana kekuatan gerakan sosial yang dimiliki oleh civil society mempu mengontrol bahkan menjatuhkan suatu rezim penguasa di Indonesia. Gerakan sosial yang dilakukan oleh civil society untuk menumbangkan rezim Orde Lama ternyata belum mampu meletakkan fondasi demokrasi dalam negara. Civil society yang telah bersemi dalam masa awal, ternyata masa selanjutnya layu sebelum berkembang. Negara mampu mengooptasi dan menghegemonik eksponen dalam civil society ke dalam rentang kendali kekuasaannya. Pada masa Orde Baru berkembang berbagai asosiasi profesi, se­ perti Ikatan Sosiologi Indonesia, dan organisasi yang dikenal dengan LSM pelat merah seperti Karang Taruna. Asosiasi dan organisasi tersebut bergantung pada bantuan finansial dan akomodasi dari negara, sehingga mereka bisa disetir se­ suai dengan keinginan pemerintah atau menyetir diri sesuai dengan keinginan penguasa. Tidak berbeda gerakan sosial penumbangan rezim Orde Lama, gerakan sosial penumbangan rezim Orde Baru juga digerakkan oleh civil society yang berasal dari berbagai aso­ siasi dan organisasi di mana eksponen mahasiswa sebagai motornya. Namun hasilnya relatif berbeda di mana terjadi­ nya amendemen terhadap konstitusi sehingga demokrasi dan partisipasi publik lebih terbuka dibandingkan dengan era se­ belumnya. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara lang­ sung merupakan warna yang baru dalam sistem pemerintah­ an. Warna tersebut lebih demokratis dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dari fenomena hubungan antara negara dan civil society yang terjadi di Indonesia tersebut di atas, ternyata hubungan tersebut juga dapat mengambil bentuk lain, yaitu hubung­



144



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



an yang kooptatif dan hegemonik. Negara melalui kekuatan intervensionisnya memiliki kemampuan menciptakan hu­ bungan kooptatif dan hegemonik terhadap civil society. In­ tervensi negara dipahami sebagai hal yang lumrah ketika negara mempunyai hak semaunya untuk mendistribusikan sumber daya finansial dan akomodasi kepada asosiasi dan organisasi yang ada. Hak semaunya dipahami sebagai suatu kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa ada pertang­ gung jawaban publik dan pengontrolan dari pihak lain. Hak semaunya perlahan dihapus melalui perubahan konstitusi dan aturan perundang­undangan yang diciptakan kemudian yang berkait dengan penyelenggaraan negara yang bersih dan sehat.



3. Hubungan antara Pasar dan Civil Society



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam pandangan Karl Marx, civil society merupakan produk dunia modern di mana kapitalisme telah mencipta­ kan dunia yang subjek individualistis atomistis terikat dengan yang lain dalam ketergantungan. Dalam sudut pandang ini, pasar dipandang sebagai sisi pembangunan masyarakat sipil, sekaligus sebagai instrumen kekerasan dan pemaksaan. Hubungan antara pasar dan civil society bisa bersifat sa­ ling memengaruhi. Pasar dan civil society, dalam perspek­ tif liberal, memiliki karakteristik yang sama, yaitu otonom, bebas, dan mandiri. Oleh karena itu, hubungan antara civil society dan pasar saling menguatkan dan saling meneguh­ kan satu sama lain terhadap keberadaan mereka masing­ masing. Namun ketika pasar dipandang terlalu serakah dan menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan umat manusia, civil society dapat bersifat oposisi terhadap pasar. Gerakan lingkungan hidup seperti Green Peace, misalnya,



145



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



selalu berhadapan dengan perusahaan­perusahaan yang da­ pandang sebagai perusak lingkungan hidup. Ketika perusa­ haan minyak Shell dipandang merusak lingkungan hidup da­ lam mengeksplorasi minyak, maka Green Peace melakukan aksi damai sampai kekerasan terhadap pengabaian lingkung­ an hidup oleh Shell. Hubungan antara civil society dan pasar bisa juga dili­ hat dalam perspektif sosiologi ekonomi. Menurut perspektif ini civil society memiliki apa yang dinamakan sebagai “civic moral.” Dalam mekanisme ini, peranan civil society sangat aktif. Mekanisme ini sering diabaikan oleh ekonom dan teoretisi tentang negara lainnya (Suparb, 1990). Struktur sosial­budaya masyarakat memainkan peranan tidak kalah pentingnya dalam pembentukan keberhasilan atau kegaga­ lan suatu pembangunan. Orang dalam bertindak selalu meo­ rientasikan tindakannya terhadap tingkah laku orang lain, melalui makna yang dikonstruksi secara sosial. Orang meng­ interpretasikan (verstehen) adat, kebiasaan, norma, dan ke­ pentingan yang mereka miliki dalam hubungan sosial yang sedang berlangsung. Dalam The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism, Weber menjelaskan bahwa dalam setiap masyarakat, tindakan ekonomi adalah suatu produk person­ al, etika, dan pertimbangan sosial. Oleh sebab itu, perilaku ekonomi melekat dalam banyak aspek kehidupan sosial, bu­ daya, kepercayaan, dan seterusnya. Dalam studi Scott ten­ tang the Moral Economy of the Peasant menunjukkan bahwa terdapat etika tertentu yang harus diperhatikan oleh pen­ guasa dan pengusaha dalam menghadapi petani yang sedang mengalami krisis subsistensi, misalnya. Sedangkan Evers dan kawan­kawan dalam The Moral Economy of Trade, me­ nemukan bahwa kapital sosial (social capital), seperti men­



146



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



jadi orang saleh, akan menghindari seorang pedagang dari rumor sosial atau pengucilan sosial dari masyarakat.



4. Sinergisitas Tiga Pilar Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bagaimanakah sinergisitas hubungan antara negara, pa­ sar, dan civil society sehingga kesejahteraan, demokrasi, pem­ bangunan ekonomi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan bisa dicapai secara optimal? Agar kesejahteraan, demokrasi, pembangunan ekonomi, hak asa­ si manusia, dan lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan bisa dicapai secara optimal, maka prinsip sinergisitas yang dibangun adalah setiap pilar memberikan kontribusi optimal bagi pencapaian semua tujuan kemanusiaan di atas, baik se­ bagai individual maupun sebagai kolektivitas. Kontribusi op­ timal suatu pilar kekuasaan tidak menghambat pilar lain un­ tuk menyumbangkan secara optimal apa yang seharusnya ia bisa berikan. Oleh karena itu, setiap pilar kekuasaan tidak boleh memiliki kekuasaan mutlak dan kebebasan tanpa ba­ tas. Sebab, bila ada suatu pilar kekuasaan yang memiliki ke­ kuasaan mutlak dan kebebasan tanpa batas, maka ia akan menutup pilar yang lain untuk mencapai nilai optimum dari suatu pencapaian. Selanjutnya, setiap pilar harus memiliki kesadaran bahwa aktor yang berada di dalamnya, di samping sebagai makhluk individual juga sebagai makhluk sosial (kolektivitas), memi­ liki kemampuan untuk merealisasikan pencapaian optimal, atau sebaliknya menemukan titik nadir dari kesejahteraan, demokrasi, pembangunan ekonomi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan. Kesadaran terse­ but akan menemukan titik ekuilibrium antara kesadaran in­ dividual dan kesadaran kolektivitas dalam meraih kesejahte­



147



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK Negara (State)



Civil (Society)



Pasar (Market)



Gambar 4.2 Segiiga Sinergi Peran antara Negara, Pasar, dan Civil Society Serta Arah Perubahannya dalam Kehidupan Umat Manusia



http://facebook.com/indonesiapustaka



raan, demokrasi, pembangunan ekonomi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan secara optimal. Apakah pencapaian kesejahteraan, demokrasi, pemba­ ngunan ekonomi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan secara optimal oleh sinergisitas ne­ gara, pasar, dan civil society mengikuti jalan yang seragam atau berbeda­beda? Konteks ruang dan waktu dari sinergisi­ tas antara negara, pasar, dan civil society berbeda­beda, oleh sebab itu jalan yang ditempuh juga berbeda. Namun dalam menempuh suatu perjalanan, sekali lagi, perlu ada kesadaran dari ketiga pilar, yaitu negara, pasar, dan civil society untuk bersinergi dalam meraih kesejahteraan, demokrasi, pemba­ ngunan ekonomi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan secara optimal. Perjalanan yang ditempuh oleh Jerman, misalnya, dalam



148



BAB 4 Tiga Pilar Kekuasaan



http://facebook.com/indonesiapustaka



meraih kesejahteraan, demokrasi, pembangunan ekonomi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup sehat dan berkelan­ jutan secara optimal dilandasi prinsip sinergisitas, seperti yang dikemukakan sebelumnya. Mekanisme pasar sangat memainkan peranan penting dalam sistem ekonomi, namun juga terdapat mekanisme sosial­budaya (civil society) dan intervensi negara dalam kadar tertentu yang relatif rendah. Kembali pada ilustrasi masyarakat Jerman, ekonomi secara dominan dipengaruhi oleh mekanisme pasar. Namun negara bertindak sebagai “wasit yang adil” ketika terjadi monopo­ li atau terjadi eksploitasi terhadap buruh oleh pengusaha. Pemerintah Jerman berperan aktip sebagai penengah antara serikat buruh yang menghendaki peningkatan kesejahteraan dan pengusaha yang ingin mempertahankan atau menaikkan keuntungan perusahaan. Jadi, melalui ekonomi pasar sosial­ nya (Soziale Marktwirtschaft), Jerman mengombinasikan se­ cara harmonis antara ekonomi pasar dan tugas negara seba­ gai wasit dalam persaingan dan sebagai penjaga kesejahte­ raan dan jaminan sosial masyarakat. Di samping itu peran civil society juga tidak kalah pentingnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Jerman. Sinergisitas antara negara, pasar dan civil society dalam meraih kesejahteraan, demokrasi, pembangunan ekonomi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup sehat dan berkelan­ jutan secara optimal melalui Jalan Ketiga (The Third Way) dengan karakteristik pilar kekuasaan sebagai berikut: a) Negara



Negara memiliki ciri sebagai berikut: negara demokratis baru (negara tanpa musuh), devolusi, demokratisasi berla­ pis (lokal, nasional, dan kosmopolitan), devolusi kekuasaan,



149



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



pembaruan ruang publik yang transparan, administrasi yang efisien, mekanisme demokrasi langsung, dan pemerintah se­ bagai pengelola risiko. b) Pasar



Pasar yang menempuh jalan ketiga memperlihatkan ori­ entasi pada ekonomi campuran baru (new mixed economy), yaitu suatu sistem ekonomi yang berbasis kemitraan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan civil society. Semua institusi kesejahteraan harus dimodernisasikan secara menyeluruh. c) Civil Society



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pengembangan civil society yang aktif merupakan bagian yang mendasar dari politik jalan ketiga, yang memiliki ciri antara lain: kemitraan dengan pemerintah, pembaruan ko­ munitas dengan meningkatkan prakarsa lokal, keterlibatan sektor ketiga, perlindungan ruang publik lokal, pencegahan kejahatan berbasis lokal, dan keluarga demokratis. Nama perjalanan yang ditempuh dalam sinergisitas an­ tara negara, pasar, dan civil society tidak begitu penting. Apakah ia dinamakan jalan ketiga, ekonomi pasar sosial baru (Neue Soziale Marktwirtschaft), ekonomi Islam, atau ekono­ mi syariah tidaklah perlu diperdebatkan, yang terpenting ada­ lah bagaimana adanya kesadaran negara, pasar dan civil society dalam meraih kesejahteraan, demokrasi, pembangunan ekonomi, hak asasi, manusia dan lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan secara optimal melalui sinergisitas atau kemi­ traan.



150



5 SOSIALISASI POLITIK



A. PENGERTIAN SOSIALISASI Dalam kehidupan sehari­hari, seperti telah disinggung pada Bab 2, konsep sosialisasi sering disinonimkan dengan konsep diseminasi. Padahal kedua konsep tersebut berbeda secara signifikan maksud dan tujuannya. Oleh karena itu, untuk mempertegas pengertian dan mempertajam pemaham­ an tentang sosialisasi, maka konsep ini ada baiknya dibahas kembali pada bab ini. Para ahli sosiologi, antropologi dan psikologi telah banyak membahas pengertian atau merumus­ kan batasan sosialisasi. Berikut beberapa pengertian sosiali­ sasi yang dibuat oleh berbagai pakar:



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt Horton dan Hunt (1989: 100) memberi batasan sosiali­ sasi sebagai “suatu proses dengan mana seseorang mengha­ yati (mendarahdagingkan, internalize) norma­norma kelom­ pok di mana ia hidup sehingga timbullah ‘diri’ yang unik.”



2. David B. Brinkerhoff dan Lynn K. White Brinkerhoff dan White (1989: 90) memberikan penekan­ an yang berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Horton dan



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Hunt. Bagi Brinkerhoff dan White, sosialisasi diberi penger­ tian sebagai “suatu proses belajar peran, status dan nilai yang diperlukan untuk keikutsertaan (partisipasi) dalam institusi sosial.”



3. James W. Vander Zanden Berbeda dengan dua definisi di atas, Zanden (1986: 60) mendefinisikan sosialisasi sebagai “suatu proses interaksi sosial dengan mana orang memperoleh pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku esensial untuk keikutsertaan (partisipasi) efektif dalam masyarakat.” Dari tiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa terda­ pat dua hal yang penting dalam suatu proses sosialisasi, yaitu satu, tentang proses, yaitu suatu transmisi pengetahuan, sikap, nilai, norma, dan perilaku esensial. Kedua, tentang tu­ juan, yaitu sesuatu yang diperlukan agar mampu berpartisi­ pasi efektif dalam masyarakat.



http://facebook.com/indonesiapustaka



B. PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK Pengertian sosialisasi politik, secara sederhana, dapat dipahami melalui menambahkan atau mengaitkan definisi yang ada tentang sosialisasi dengan politik, misalnya definisi Brinkerhoff dan White. Bagi Brinkerhoff dan White sosiali­ sasi diberi pengertian sebagai “suatu proses belajar peran, status, dan nilai yang diperlukan untuk keikutsertaan (parti­ sipasi) efektif dalam institusi sosial.” Bagaimana memahami sosialisasi politik dalam kerangka definisi Brinkerhoff dan White? Dengan memasukkan konsep politik pada definisi mereka, maka definisi sosialisasi politik dengan mengguna­ kan pemikiran Brinkerhoff dan White adalah “suatu proses



152



BAB 5 Sosialisasi Poliik



belajar peran, status, dan nilai yang diperlukan untuk keikut­ sertaan (partisipasi) dalam institusi politik.” Sedangkan apabila definisi sosiologi politik dikonstruksi berdasarkan kesimpulan kita tentang sosialisasi di atas, maka sosialisasi politik adalah suatu transmisi pengetahuan, sikap, nilai, norma, dan perilaku esensial dalam kaitannya dengan politik, agar mampu berpartisipasi efektif dalam kehidupan politik. Namun untuk pemahaman yang lebih dalam ada baiknya untuk mendiskusikan beberapa pengertian ahli tentang so­ sialisasi politik, yaitu antara lain Michael Rush dan Phillip Althoff, A. Thio, dan Gabriel A. Almond.



1. M. Rush dan P. Althoff Dalam bukunya Sosiologi Politik (2003), Rush dan Althoff memberikan batasan sosialisasi politik sebagai “suatu proses memperkenalkan sistem politik pada seseorang, dan bagai­ mana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi­ reaksi terhadap gerak gejala politik.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. A. Thio Dalam bukunya Sociology: An Introduction, Thio (1989: 412) membuat batasan sosialisasi politik sebagai “proses de­ ngan mana individu­individu memperoleh pengetahuan, ke­ percayaan­kepercayaan, dan sikap politik.”



3. Gabriel A. Almond Dalam buku Perbandingan Sistem Politik, Muchtar Mas’oed dan Collin MacAndrews menyunting tulisan Gabriel A. Almond tentang “Sosialisasi, Kebudayaan, dan Partisipasi Politik.” Dalam tulisan tersebut Almond membuat batasan



153



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



tentang sosialisasi politik: “Sosialisasi politik adalah bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai­nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing­ masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem poli­ tiknya. Kebanyakan anak­anak, sejak masa kanak­kanaknya, belajar memahami sikap­sikap dan harapan­harapan politik yang hidup dalam masyarakatnya.” Apa yang dapat disimpulkan dari tiga definisi sosialisasi politik tersebut? Sama halnya dengan konsep sosialisasi, so­ sialisasi politik juga mengandung dua hal penting, yaitu se­ suatu yang berhubungan dengan proses dan tujuan. Hal yang berkaitan dengan proses meliputi transmisi nilai­nilai, pengetahuan, kepercayaan­kepercayaan, sikap politik, dan harapan politik. Sedangkan aspek tujuan menunjuk pada sesuatu yang diperlukan agar mampu berpartisipasi efektif dalam aspek politik dari kehidupan masyarakat.



C. AGEN SOSIALISASI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam sosialisasi politik, terdapat beberapa agen yang dipandang memegang peranan penting, yaitu antara lain ke­ luarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan media massa. Agen tersebutlah dipandang yang berperan dalam memben­ tuk pengetahuan, sikap, nilai, norma, perilaku esensial, dan harapan­harapan dalam kaitannya dengan politik.



1. Keluarga Bagaimana sosialisasi dilakukan? Pola sosialisasi poli­ tik dapat berlangsung dalam dua bentuk umum: pertama, sosialisasi represif, yaitu sosialisasi yang menekankan pada kepatuhan anak dan penghukuman terhadap perilaku yang



154



BAB 5 Sosialisasi Poliik



keliru. Kedua, sosialisasi partisipasif, yaitu sosialisasi yang menekankan pada otonomi anak dan memberikan imbalan terhadap perilaku anak yang baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut ini. Tabel 5.1 Bentuk Sosialisasi Poliik Sosialisasi Represif



Sosialisasi Parisipaif



menghukum perilaku yang keliru hukuman dan imbalan material kepatuhan anak komunikasi sebagai perintah komunikasi nonverbal sosialiasi yang berpusat pada orang tua - anak memerhaikan keinginan orang tua - keluarga merupakan signiicant other



- memberi imbalan bagi perilaku yang baik - hukuman dan imbalan simbolis - otonomi anak - komunikasi sebagai interaksi - komunikasi verbal - sosialisasi yang berpusat pada anak - orang tua memerhaikan keperluan anak - keluarga merupakan generalized other



-



Sumber: Sunarto, 1985



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pola sosialisasi politik yang berbeda ini akan memen­ garuhi anak dalam tingkat kemandirian, kepemimpinan, dan kemampuan dia untuk bekerja dengan orang lain. Sosialisasi partisipatif akan menghasilkan anak yang lebih mandiri, me­ miliki kemampuan memimpin dan bekerja sama yang lebih baik dibandingkan apabila diasuh dengan pola sosialisasi yang represif. Berbeda dengan Kamanto Sunarto, Bernstein mene­ mukan dua pola ideal keluarga, yaitu keluarga yang berori­ entasi kepada posisi dan yang berorientasi kepada pribadi. Keluarga posisional (position-centered family), seperti di­ kutip oleh Robinson (1986: 81­82), merupakan keluarga di mana terjadi pemisahan peran yang jelas di antara para ang­ gota­anggotanya, sebagai ibu, anak, atau pada usia tertentu



155



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



sebagai kakek atau nenek. Sosialisasi anak dalam keluarga seperti ini terjadi dalam suatu kerangka yang jelas. Dalam kaitannya dengan sosialisasi politik, anak yang mengalami sosialisasi akan sangat memerhatikan posisi mereka dalam hubungan dengan orang lain. Mereka akan sangat sadar dengan posisi mereka dalam kaitannya dengan kepemilikan kekuasaan. Mereka akan memperlakukan orang lain sesuai dengan status sosial ekonomi, termasuk jabatannya mereka. Ia akan memahami kedudukannya di antara seorang yang berkedudukan sebagai anggota dewan pengurus pusat suatu partai dengan hanya sebagai penggembira partai saja, mi­ salnya. Di samping itu, ia lebih bebas menentukan sikap dan perilaku politiknya sesuai dengan pikirannya yang relatif be­ bas, tidak tergantung pada (orientasi) keluarga. Sedangkan keluarga yang terpusat pada pribadi (personcentered family) merupakan keluarga di mana anak dipan­ dang dalam rangka karakteristik unik yang dimilikinya se­ bagai pribadi. Dalam keluarga yang bertipe ini, sejak si anak masih kecil, telah peka dan secara aktif dirangsang perkem­ bangan bahasanya, agar dapat dikontrol sesuai cara­cara mer­ eka sendiri. Mereka yang disosialisasikan melalui keluarga yang terpusat pada pribadi akan dididik, diuji, dan dikem­ bangkan sesuai dengan format keluarga. Dengan kata lain, bakat, potensi, dan kompetensi yang dimilikinya dikembang­ kan tidak jauh dari apa yang dimiliki oleh keluarga. Dalam hubungan dengan sosialisasi politik, keluarga menjadi patron dan rujukan dalam bertindak dan bersikap.



2. Sekolah Dalam mendiskusikan sekolah sebagai agen sosialisasi, berikut beberapa hal yang bisa diperhatikan, yaitu antara lain:



156



BAB 5 Sosialisasi Poliik



a) Sekolah sebagai Sistem Sosial



Sebelum diskusi tentang ruang kelas sebagai sistem so­ sial, ada baiknya dipahami dahulu tentang konsep sistem so­ sial. Berikut beberapa pendapat tokoh tentang hal ini. 1. Robert M. Z. Lawang



Dalam buku modul Universitas Terbuka, Pengantar Sosiologi, Robert M.Z. Lawang (1985a: 56) menjelaskan definisi sistem sosial. Adapun inti gagasan Lawang tentang sistem sosial sebagai berikut: “Sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang hubungan timbal baliknya kurang lebih bersifat konstan.” 2. Talcot Parsons



http://facebook.com/indonesiapustaka



Parsons merupakan salah seorang tokoh utama yang me­ mopularkan pendekatan sistem dalam sosiologi kontemporer. Suatu sistem hanya bisa fungsional apabila semua persyara­ tan terpenuhi. Apa saja persyaratan fungsional yang dibu­ tuhkan oleh suatu sistem? Ada empat persyaratan fungsio­ nal yang dibutuhkan oleh suatu sistem, yaitu: Adaptation/ adaptasi (A), Goal attainment/pencapaian tujuan (G), Integration/integrasi (I), dan Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten (L). Prasyarat fungsional Adaptation/adaptasi (A) merupa­ kan suatu kebutuhan sistem untuk menyesuaikan diri de­ ngan lingkungan yang dihadapinya. Lingkungan dapat beru­ pa sosial maupun nonsosial/fisik. Melalui adaptasi, sistem mampu menjamin apa yang dibutuhkan dari lingkungannya serta mendistribusikan sumber­sumber tersebut ke dalam se­ luruh sistem. Goal attainment/pencapaian tujuan (G) merupakan pra­



157



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



syarat fungsional yang menentukan tujuan dan skala pioritas dari tujuan­tujuan yang ada. Setiap orang bertindak selalu diarahkan oleh suatu pencapaian tujuan. Namun, perhatian utama bukan terfokus pada tujuan pribadi individual, me­ lainkan diarahkan pada tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Prasyarat fungsional Integration/integrasi (I) adalah suatu kebutuhan sistem yang dapat mengoordinasikan dan mencip­ takan kesesuaian antarbagian­bagian atau anggota­anggota dalam suatu sistem. Fungsi integrasi bisa terpenuhi apabila bagian­bagian atau anggota­anggota dalam suatu sistem berperan sesuai dengan fungsinya dalam satu keseluruhan. Agar sistem sosial berfungsi efektif sebagai satu kesatuan, harus terdapat paling kurang suatu tingkat solidaritas di antara bagian atau individu yang termasuk di dalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menja­ min bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan­ikatan emosional tersebut tidak boleh tegantung pada keuntungan yang diterima atau sum­ bangan yang diberikan untuk tercapainya tujuan individu atau kolektif. Jika tidak, solidaritas sosial dan kesediaan un­ tuk kerja sama akan jauh lebih goyah sifatnya, karena hanya didasarkan pada kepentingan diri pribadi semata (Johnson, 1986: 130). Latent pattern maintenance/pola pemeliharaan laten (L) adalah prasyarat fungsional yang dibutuhkan sistem untuk menjamin kesinambungan tindakan dalam sistem sesuai de­ ngan beberapa aturan atau norma­norma. Konsep laten me­ nunjuk pada sesuatu yang tersembunyi atau tidak kelihatan. Kenapa perlu prasyarat fungsional ini? Apabila sistem so­



158



BAB 5 Sosialisasi Poliik



sial menghadapi kemungkinan terjadinya disintegrasi atau perpecahan, maka ada pola pemeliharaan yang tersembunyi yang dapat memelihara agar sistem tetap terintegrasi atau te­ tap terpelihara. Bagaimana hubungan antar persyaratan fungsional ter­ sebut? Hubungan antar persyaratan fungsional bersifat sa­ ling pengaruh­memengaruhi secara timbal balik. Untuk lebih sederhananya lihat Gambar 5.1. Adaptaion



Goal atainment



Latent patern maintenance



Integraion



Gambar 5.1 Hubungan Antar Persyaratan Fungsional



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dari bagan di atas terlihat, di satu sisi, bahwa setiap per­ syaratan fungsional memiliki batas yang jelas dan tegas de­ ngan persyaratan fungsional lainnya. Namun, disi lain, suatu persyaratan fungsional dapat memberikan masukan (input) dan ouput bagi persyaratan fungsional lainnya. Sistem apa yang mengatur tindakan manusia? Parsons melihat bahwa sistem yang mengatur tindakan manusia ada­ lah sistem tindakan. Suatu sistem tindakan terdiri dari sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem orga­ nisme. Sistem budaya mengemban fungsi pemeliharaan pola la­ ten, karena sistem ini mengembangkan nilai dan norma bu­



159



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Tabel 5.2 Sistem Tindakan dan Pesyaratan Fungsional Sistem Tindakan



Persyaratan Fungsional



Sistem Budaya



Pemeliharaan pola laten



Sistem Sosial



Intergrasi



Sistem Kepribadian



Pencapaian tujuan



Sistem Perilaku



Adaptasi



http://facebook.com/indonesiapustaka



daya yang dilembagakan dalam sistem sosial. Sementara sis­ tem sosial menjaga fungsi integrasi, karena sistem ini men­ goordinasikan dan menciptakan kesesuaian antar bagian­ bagian atau anggota­anggotanya. Sedangkan sistem keprib­ adian menyandang fungsi pencapaian tujuan, karena sistem ini mengarahkan individu untuk meraih tujuan individu yang tidak berseberangan atau bertentangan dengan orientasi ber­ sama. Terakhir, sistem organisme memelihara fungsi adapta­ si, karena masalah adaptasi ditentukan sebagian besar oleh sifat­sifat biologis individu sebagai organisme yang berperi­ laku dengan persyaratan biologis dasar tertentu yang harus dipenuhi oleh mereka supaya tetap hidup. Sistem sosial, seperti halnya sistem yang lain, memiliki persyaratan fungsional AGIL. Dalam sistem sosial, kebutu­ han fungsional AGIL diemban beberapa subsistem seper­ ti sistem ekonomi, polity (sistem politik), societal (sistem masyarakat), dan fiduciary. Ekonomi merupakan subsistem yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan persyaratan fungsional adaptif (A) dalam suatu sistem sosial. Kegiatan produksi dalam subsistem ekonomi merupakan suatu usaha adaptif manusia agar dapat bertahan hidup (survive) dengan mengubah alam menjadi fasilitas yang dapat digunakan atau sesuatu yang sangat bermanfaat untuk bermacam tujuan in­



160



BAB 5 Sosialisasi Poliik



dividu dan kolekif, termasuk mencukupi kebutuhan dasar fisik­biologis manusia sebagai organisme.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sementara itu, dalam sistem sosial, polity (sistem poli­ tik) merupakan subsistem yang memikul tanggung jawab untuk memenuhi persyaratan fungsional pencapaian tujuan (G). Sistem politik, yang dilakoni oleh suatu pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), menentukan tujuan dan skala pioritas dari tujuan­tujuan yang ada. Setiap unsur atau bagian dari sistem politik bertindak selalu diarahkan oleh suatu pencapaian tujuan. Tujuan individual, secara teoretis, berbeda dengan tujuan societal (masyarakat). Tujuan indi­ vidual berkaitan dengan tujuan societal, manakala peran di­ mainkan seseorang berhubungan dengan perannya sebagai warga negara. Dalam sistem politik, partai politik dan ke­ lompok kepentingan memiliki pengaruh terhadap penentuan tujuan masyarakat. Sedangkan kebutuhan prasyarat fungsional integrasi da­ lam sistem sosial diemban oleh societal (sistem masyarakat). Seperti telah dikemukakan di atas bahwa integrasi menunjuk pada persyaratan untuk mengoordinasikan dan mencipta­ kan kesesuaian antarbagian­bagian atau anggota­anggota dalam suatu sistem. Yang diperlihatkan oleh suatu tingkat solidaritas minimal sehingga bagian­bagian atau anggota­ang­ gotanya akan bersedia untuk bekerja sama dan menghin­ dari terjadinya konflik yang akan merusak. Dalam societal (sistem masyarakat), Parsons menemukan bahwa sistem hu­ kum, kontrol sosial, kebiasaan dan norma antarpribadi serta agama sebagai suatu mekanisme utama yang berkaitan de­ ngan masalah integrasi dalam sistem sosial. Terakhir, prasyarat kebutuhan fungsional pemeliharaan pola laten dalam sistem sosial dipikulkan tanggung jawabnya



161



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



kepada sistem fiduciary. Konsep fiduciary menunjuk pada peranan­peranan sebagai wali yang dilakukan oleh para pengemban tradisi kultural maupun mereka yang memin­ dahkan tradisi tersebut pada anggota masyarakat. Dalam masyarakat Minangkabau, misalnya, peran fiduciary diem­ ban oleh lembaga “tigo tungku sajarangan”, yaitu ninik ma­ mak (penghulu/datuk), alim ulama, dan cerdik pandai. Se­ dangkan dalam sistem sosial, secara umum, peran tersebut dimainkan oleh lembaga keluarga, agama, dan pendidikan. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa sekolah merupa­ kan salah satu lembaga pendidikan yang terpenting dalam masyarakat modern mempunyai fungsi pemeliharaan pola laten dalam sistem sosial. b) Gaya Kepemimpinan Guru



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gaya kepemimpinan guru dapat memengaruhi produk­ tivitas anak­anak di ruang kelas. Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam 3 jenis, yaitu otokra­ tik, demokratik, dan laisser­faire. Gaya kepemimpinan demokratik diajukan sebagai suatu bentuk gaya yang perlu dikembangkan di sekolah. Walaupun produktivitas anak paling tinggi di bawah gaya kepemimpin­ an otokratik apabila ia hadir di ruang kelas. Namun bila ia tidak ada, produktivitasnya rendah, seperti halnya anak­anak di bawah pengasuhan guru yang berpola kepemimpinan yang laisser­faire. Anak­anak merasa puas dan senantiasa produk­ tif di bawah pengasuhan guru yang demokratis (Robinson, 1986: 129). Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat memenga­ ruhi cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak siswa di kemudian hari. Bagi siswa yang menganggap apa­apa yang



162



BAB 5 Sosialisasi Poliik



diterima, diperoleh, dan dipelajari di sekolah merupakan sua­ tu yang baik untuk dijadikan pedoman, referensi atau ruju­ kan di masa akan datang, maka sikap dan perilaku politik siswa tersebut, secara teoretis hipotetis akan, juga bias cer­ min gaya kepemimpinan gurunya ketika di masa sekolah da­ hulu. Seberapa jauh bias tersebut, tergantung pula konteks sosialisasi lainnya, baik primer maupun sekunder. c) Learner-Centered Versus Teacher-Centered



http://facebook.com/indonesiapustaka



Apakah guru diposisikan sebagai orang yang memberi­ kan petunjuk­petunjuk, menetapkan arahan­arahan, men­ geluarkan nasihat­nasihat, dan membenarkan otoritas atau sebagai orang yang menerima perasaan­perasaan, menghar­ gai gagasan­gagasan, memberikan dorongan kepada murid dan mengajukan pertanyaan­pertanyaan. Pola hubungan gu­ ru­murid yang disebut pertama dikenal sebagai teacher-centered. Sedangkan hubungan guru­murid yang disebut terka­ hir dikenal sebagai learner-centered. Semakin cenderung hubungan guru­murid ke arah teacher-centered, maka sema­ kin cenderung pula ketergantungan murid terhadap guru dan semakin kecil kemandirian murid. Sebaliknya, apabila hubungan guru­murid semakin cenderung ke arah learnercentered, maka semakin kurang ketergantungan terhadap guru dan semakin tinggi kemandirian murid. Pola hubungan antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar (PBM) dapat juga merupakan pedoman, referensi atau rujukan di masa akan datang dalam merasa, berpikir, bersikap, dan berperilaku yang berhubungan den­ gan aspek politik dari kehidupan. Seperti telah disebut di atas, seberapa besar sosialisasi di sekolah berpengaruh terha­ dap sikap dan perilaku politik seorang peserta didik di masa



163



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dewasanya tergantung pula pada konteks sosialisasi lainnya, baik primer maupun sekunder.



3. Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kelompok teman sebaya (peer group) merupakan suatu kelompok dari orang­orang yang seusia dan memiliki status yang sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul (Horton dan Hunt, 1987: 115). Dalam kehidup­ an seseorang, kelompok yang pertama kali sebagai kelompok rujukannya adalah keluarga. Keluarga seperti disebut di atas memberikan ciri­ciri dasar kepribadian seseorang, termasuk relasinya dengan politik. Kemudian seiring dengan perkembangan waktu, kelom­ pok teman sebaya (peer group) menjadi kelompok rujukan (reference group) dalam mengembangkan sikap dan perilaku, termasuk yang berkaitan dengan politik. Sosialisasi politik melalui kelompok teman sebaya bersifat informal dan lang­ sung. Oleh sebab itu, bisa dipahami mengapa ketika kampa­ nye pada suatu pemilihan umum (presiden, kepala daerah, dan kepala desa) berlangsung para kontestan atau peserta menggunakan kawula muda yang cantik dan gagah sebagai tim kampanye. Atau mengambil artis sebagai calon legislatif atau pasangan kepala daerah untuk mendongkrak raihan sua­ ra, karena artis tersebut dipandang menjadi kelompok rujuk­ an bagi para kawula muda. Kelompok teman sebaya yang menjadi kelompok rujuk­ an bisa beragam. Kelompok teman sebaya bisa terbentuk ka­ rena seprofesi, sehobi, sekantor, selingkungan tempat ting­ gal, dan sebagainya. Kelompok rujukan bisa pula beragam tergantung rujukan yang berkaitan dengan apa. Misalnya untuk motivasi dan kerja keras yang dirujuk adalah kelom­



164



BAB 5 Sosialisasi Poliik



pok seprofesi, sedangkan untuk berpolitik misalnya teman se­ pengajian atau teman sehobi.



4. Media Massa



http://facebook.com/indonesiapustaka



Media massa merupakan agen sosialisasi politik yang se­ makin menguat peranannya. Media massa, baik media cetak seperti surat kabar dan majalah maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan internet, semakin memegang pe­ ranan penting dalam memengaruhi cara pandang, cara pi­ kir, cara tindak, dan sikap politik seseorang. Pengaruh me­ dia massa cenderung bersifat masif, berskala besar, dan se­ gera. Penggunaan media massa secara intensif oleh partai politik sebagai media dan sekaligus agen sosialisasi politik di Indonesia terjadi pada pemilihan umum 1999, terutama masa kampanye. Ada kecenderungan terjadi peningkatan belanja iklan politik oleh partai politik atau pasangan calon (presiden atau kepala daerah) kepada media massa, teruta­ ma televisi, untuk menjadikan media sebagai agen sosialisasi politik mereka. Media massa yang disebut di atas pada umumnya be­ rupa korporasi, bukan individual. Di masa yang akan datang di Indonesia, penggunaan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi secara pribadi, yang dikenal dengan ICT, yaitu be­ rupa Internet dan telepon seluler dengan berbagai perangkat multimedianya, oleh para politisi atau partai politik dalam melakukan sosialisasi politik diperkirakan akan meningkat. Penggunaan media komunikasi personal seperti Blackberry dan pemanfaatan jaringan komunikasi untuk melakukan so­ sialisasi politik, seperti yang dilakukan oleh Barack Husein Obama dalam memenangkan pemilihan presiden Amerika, diperkirakan akan semakin meningkat di Indonesia.



165



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



D. MEKANISME SOSIALISASI POLITIK Transmisi nilai­nilai, pengetahuan, kepercayaan­keper­ cayaan, sikap politik, dan harapan politik kepada individu atau kelompok orang tertentu dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:



1. Imitasi



http://facebook.com/indonesiapustaka



Peniruan (imitasi) merupakan mekanisme sosialisasi yang paling dikenal oleh umat manusia. Apa yang dikenal dan dipahami pertama kali dalam hidup seorang anak manusia didapatkan melalui proses peniruan. Proses peniruan meru­ pakan suatu bentuk transmisi awal terhadap nilai­nilai, pengetahuan, kepercayaan­kepercayaan, sikap, dan harapan, termasuk dalam aspek politik dari kehidupan kepada anak­ anak oleh orang yang lebih dewasa, terutama orang tua da­ lam keluarga. Proses ini dikenal sebagai sosialisasi primer, yaitu proses pembentukan identitas seorang anak menjadi pribadi atau diri (self). Apa yang ditiru oleh anak­anak dalam keluarga? Hal yang pertama kali yang dapat ditangkap oleh anak adalah suara, setelah itu gerak. Oleh sebab itu, cara berbicara dan intonasi orang tua merupakan proyek pertama peniruan dari sang anak. Tidak saja cara berbicara tetapi isi pembicaraan juga menjadi proyek peniruan sang anak. Anak akan meng­ ingat apa saja yang diucapkan oleh orang tua serta dalam konteks ruang dan waktu seperti apa hal tersebut dikemu­ kakan. Anak akan selalu mengingat kosakata atau kalimat yang mengesankan yang dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu hal itu diungkapkan. Ketika orang tua mengu­ capkan terima kasih, misalnya, atas sesuatu yang diberikan, diminta tolong, dibantu atau hal lainnya, maka anak akan



166



BAB 5 Sosialisasi Poliik



selalu mengingat momen seperti apa seseorang selayaknya mengucapkan terimakasih. Kemudian gerak tubuh (gesture) seperti cara senyum, cara memandang, cara menanggapi, dan gerak lain menjadi objek peniruan berikutnya. Pandangan pertama adalah se­ suatu yang selalu dikenang. Oleh sebab itu, ketika suatu gerak tubuh dari orang tua menyimbolkan atau mengandung suatu makna tertentu maka sang anak akan meniru terhadap gerak yang menyimbolkan tentang sesuatu tersebut.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Imitasi terhadap suara dan gerak tubuh bisa juga dila­ kukan secara paralel. Dalam kenyataannya, antara suara dan gerak tubuh dalam suatu pembicaraan sering digunakan se­ cara bersamaan, oleh karena itu peniruan yang dilakukan juga bersifat paralel antara suara dan gerak tubuh. Ketika se­ orang anak, misalnya, mendengarkan orang tuanya mengu­ capkan terimakasih, pada saat yang bersamaan, dia melihat bagaimana mimik dari wajah orang tuanya yang memperli­ hatkan sikap senang, suka, dan bersahabat. Demikian seba­ liknya, ketika dia mendengar orang tua mengeluarkan suara marah, pada waktu yang sama, dia juga dapat melihat wajah orang tuanya berbeda pada saat mengucapkan terimakasih. Apakah peniruan juga dilakukan oleh orang dewasa? Pe­ niruan juga dilakukan oleh hampir semua orang, tanpa me­ mandang etnik, gender, dan usia. Peniruan dapat dilakukan baik secara aktif maupun pasif. Peniruan pasif dilakukan dengan meniru apa adanya secara utuh. Sedangkan peni­ ruan kreatif merupakan peniruan yang dilakukan dengan melakukan modifikasi dan inovasi terhadap apa yang ditiru, sehingga terdapat suatu hal yang beda dari apa yang ditiru. Dalam masyarakat Minangkabau melakukan peniruan me­ rupakan suatu pengajaran adat yang disarankan oleh fatwa



167



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



adat, “mancaliak ka nan sudah, mancontoh ka nan manang” (melihat kepada sesuatu yang pernah terjadi, mencontoh ke­ pada yang menang). Artinya jika ingin melakukan sesuatu lihatlah apa yang pernah terjadi dengan sesuatu itu sebelum­ nya. Oleh sebab itu, jika ingin berhasil contohlah para peme­ nang, bukan para pecundang. Dalam realitas dunia politik, strategi kampanye yang dilakukan oleh partai­partai politik yang ada tampak relatif sama, karena mereka saling meniru satu sama lain. Permainan makna warna melalui iklan televisi dan bendera yang dilaku­ kan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada kampanye pemilihan umum 2009, ditiru oleh tim kampanye pasangan SBY dan Boediono pada kampanye pemilihan presiden 2009. Penataan ruang, asesori, dan atribut kampanye pemilihan presiden oleh pasangan SBY dan Boediono meniru apa yang telah dilakukan oleh tim kampanye Barack Obama pada saat pemilihan presiden Amerika. Jadi, peniruan, tidak hanya da­ lam konteks lokal, bisa juga bersifat lintas negara.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Instruksi Perintah (instruksi) merupakan penyampaian sesuatu yang berisi amar atau keputusan oleh orang atau pihak yang memiliki kekuasaan (ordinat) kepada orang yang tunduk atau dipengaruhi orang yang memiliki kekuasaan (subordinat) untuk dilaksanakan. Instruksi politik biasanya berlangsung pada institusi yang berkait dengan aspek politik dari kehidu­ pan seperti negara dan partai politik. Negara, yang di da­ lamnya terdapat lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, memiliki kekuasaan untuk memberikan instruksi politik ter­ hadap orang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu.



168



BAB 5 Sosialisasi Poliik



Partai politik, melalui pengurus partai, juga memiliki ke­ wenangan untuk membuat instruksi politik kepada semua pe­ ngurus partai dalam berbagai level dan kader partai. Instruksi politik yang dikeluarkan oleh partai politik, pada kebanyakan kasus di Indonesia para Era Reformasi, kepada pengurus partai dan kadernya cenderung tidak diindahkan. Ketika de­ wan pengurus pusat (DPP) suatu partai politik memutuskan untuk berkoalisi mengusung salah satu pasangan presiden dan wakil presiden yang bukan berasal dari kader partai, mis­ alnya, sebagian pengurus partai dan kadernya berseberangan dengan instruksi politik DPP partai politik. Hal ini dikarena­ kan tidak adanya disiplin dan loyalitas kepada partai, kecuali pada Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat di masa SBY.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Desiminasi Desiminasi politik sering dilakukan oleh para anggo­ ta legislatif dan aparat birokrasi untuk memberi tahu atau menyebarluaskan informasi tentang suatu agenda politik. Aparatur birokrasi, misalnya, melakukan diseminasi pemilih­ an legislatif, presiden, dan kepala daerah melalui pertemuan tatap muka (seminar atau pelatihan), penyebaran pamflet, baliho, dan media massa seperti surat kabar, radio, dan tele­ visi. Sedangkan anggota legislatif, misalnya, mendiseminasi Undang­Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen ke berbagai unsur masyarakat di seluruh Indonesia. Desiminasi lebih bersifat penyebarluasan informasi politik, sehingga kel­ ompok sasaran memiliki pengetahuan tentang apa yang di­ diseminasi.



169



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



4. Motivasi Motivasi politik merupakan suatu mekanisme sosialisasi politik untuk membentuk sikap, kalau bisa pada tahap pe­ rilaku, seseorang atau kelompok orang tentang suatu nilai­ nilai, pengetahuan, kepercayaan­kepercayaan, sikap politik, dan harapan politik tertentu. Agen yang mampu melakukan motivasi adalah mereka yang memiliki suatu derajat ke­ percayaan tertentu terhadap orang atau kelompok orang yang dimotivasi seperti orang tua, pemimpin (formal dan infor­ mal), dan kelompok rujukan atau mereka yang memiliki keahlian dan kompetensi sebagai motivator seperti orator, konselor, konsultan, dan lainnya. Motivasi politik tidak han­ ya ditujukan untuk perubahan sikap tetapi juga perilaku se­ perti yang diharapkan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



5. Penataran Pada masa Orde Baru dahulu, kita telah diperkenalkan dengan suatu mekanisme sosialisasi politik bernama pe­ nataran, yang dimasyhurkan dengan nama penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sesuai dengan namanya, penataran P4 merupakan suatu bentuk so­ sialisasi politik untuk menanamkan nilai­nilai, pengetahuan, kepercayaan­kepercayaan, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan Pancasila. Terdapat sekian butir tuntunan nilai, sikap dan perilaku yang dipandang Pancasilais ditatar dalam suatu pertemuan yang relatif panjang (beberapa tingkatan pena­ taran yang diklasifikasi menurut jumlah jam penataran) un­ tuk diwujudkan atau diimplementasikan ke dalam sikap dan perilaku keseharian. Nilai­nilai, pengetahuan, kepercayaan­kepercayaan, si­



170



BAB 5 Sosialisasi Poliik



kap, dan perilaku yang diharapkan untuk diwujudkan da­ lam realitas kehidupan sehari­hari dipandang sesuatu yang baik. Persoalan utama yang dihadapi oleh para penatar ada­ lah rujukan good practices dari agen atau aktor yang telah menerapkan nilai­nilai, pengetahuan, kepercayaan­keperca­ yaan, sikap, dan perilaku yang diharapkan tersebut. Bangsa Indonesia belum menuntaskan persoalan agen atau aktor yang menjadi rujukan dari good practices pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Sementara dalam Islam, mis­ alnya, Nabi Muhammad SAW. dipandang sebagai rujukan utama dalam penerapan ajaran Islam secara murni dan kon­ sekuen. Nabi Muhammad SAW. dipandang sebagai rujukan good practices dalam pengimplementasian ajaran Islam. Oleh karena itu, untuk merestorasi Pancasila sebagai rujukan uta­ ma dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka perlu dikembangkan suatu rujukan dari good practices pelak­ sanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.



http://facebook.com/indonesiapustaka



E. PERKEMBANGAN SOSIALISASI POLITIK Ketika lahir, kita belum tahu siapa kita. Apakah laki­laki atau perempuan, apakah tampan atau cantik, apakah Minang­ kabau atau Jawa, apakah orang miskin atau kaya, apakah na­ sionalis atau regionalis, apakah religius atau sekularis belum kita kenal pada saat lahir dan beberapa tahun setelah itu. Bagaimana kita mengembangkan diri (self), memahami diri melalui cermin, atau citra kita mengenai siapa kita? Untuk memahami perkembangan sosialisasi politik kita mencoba melalui teori yang dikembangkan oleh Charles Horton Cooley dan George Herbert Mead.



171



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



1. Cermin Diri Politik Charles Horton Cooley (1864­1929) menyelesaikan program doktornya di Uni­ versitas Michigan pada 1894. Karier do­ sennya telah dimulai semenjak sebelum meraih gelar Ph.D.­nya di alamamater­ nya sampai pensiun. Meski C.H. Cooley mengajar di Universitas Michigan, namun pemikiran sosiologinya mengikuti aliran Chicago yang sejalan dengan teori inter­ aksionisme simbolis.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Diri, sebagai sisi khas dari kemanusiaan (humanness), dibangun secara sosial; maksudnya, perasaan mengenai diri kita berkembang melalui interaksi dengan orang lain. Cooley (1964) mengusulkan konsep looking-glass self (cermin diri) untuk menggambarkan suatu analogi perkembangan diri melalui cermin, di mana cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, dari sana seseorang melihat dirinya: gagah, cantik, perkasa, dan sebagainya. Terdapat tiga unsur dalam looking-glass self (cermin diri): 1.



Anda membayangkan bagaimana Anda tampak bagi mer­ eka di sekeliling kita. Sebagai contoh, kita dapat berpikir bahwa orang lain menganggap Anda sebagai seorang de­ mokrat atau otoriter.



2.



Anda menafsirkan reaksi orang lain. Anda menarik ke­ simpulan bagaimana orang lain mengevaluasi Anda. Apakah mereka menyukai Anda karena Anda seorang demokrat?



3.



Anda mengembangkan suatu konsep diri (self-concept). Cara Anda menginterpretasikan reaksi orang lain ter­



172



BAB 5 Sosialisasi Poliik



hadap Anda memberikan Anda perasaan dan ide menge­ nai diri Anda sendiri. Suatu refleksi yang menyenangkan dalam cermin diri sosial ini mengarah pada suatu kon­ sep diri yang positif; suatu refleksi negatif mengarah ke suatu konsep diri negatif.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Melakukan cermin diri tidak berhenti pada suatu masa, misalnya masa dewasa yang dianggap telah memiliki konsep­ diri yang mapan dan tetap; sebaliknya konsep­diri dibangun terus­menerus sepanjang hayat. Dengan demikian, konsep­ diri menurut Cooley merupakan produk yang tidak pernah selesai dibentuk, bahkan sampai usia lanjut. Bagaimana relevansi looking-glass self (cermin diri) pada proses perkembangan diri di masyarakat saat ini, khususnya dimensi politik dari kehidupan politik? Kalau kita cermati apa yang dilakukan oleh para pejabat publik dan politisi yang bersaing untuk meraih kekuasaan pada berbagai tingkat­ an, seperti anggota legislatif dan elite eksekutif (pemerin­ tah pusat, provinsi, kabupaten, dan kota), ternyata mere­ ka mengeksplorasi dan mengintensifkan pemanfaatan efek cermin diri bagi pencitraan diri menjadi positif sesuai de­ ngan konstruksi yang diharapkan. Pencitraan diri melibatkan berbagai cara dan teknik efek citra melalui media sehingga apa yang dikatakan, bagaimana mengatakannya, dan dalam situasi apa hal tersebut dikatakan meminta pertimbangan berbagai ahli (seperti politik, sosiologi, militer, agama, etika, komunikasi, dan psikologi). Seseorang bisa mendapat pen­ citraan positif karena meraih award antikorupsi karena di­ berikan oleh suatu lembaga yang dibuat seolah independen pada saat sekian bulan menjelang suatu pemilihan, misalnya. Pencitraan positif tersebut dikristalkan melalui penyebaran informasi sedemi­kian rupa melalui berbagai media masa.



173



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Padahal sejatinya, orang tersebut tidak begitu serius mem­ berantas korupsi atau melakukan suatu program antikorupsi. Konsekuensi pencitraan seperti ini rating­nya menjadi naik di mata pemilih. Sehingga pemilih memberikan suara ter­ banyak pada kandidat yang memperoleh award antikorupsi tersebut. Apakah cermin diri politik bisa berubah? Dalam ke­ hidupan politik di Indonesia pernah ada satu partai politik yang mencitrakan diri sebagai “partainya wong cilik”. Pada awalnya pencitraan tersebut menarik banyak orang untuk memilih partai tersebut. Namun pencitraan tersebut memu­ dar di kala pemimpin “partainya wong cilik” menjadi kepala pemerintahan, yang memiliki otoritas untuk merealisasikan citra yang melekat pada partainya. Namun sayangnya ke­ banyakan kebijakan yang dibuat, menurut pandangan para pemilihnya, tidak mencerminkan keberpihakan pada “wong cilik”. Akibatnya lawannya memelesetkan jargon “partainya wong cilik” menjadi “partainya wong licik.” Sehingga “par­ tainya wong cilik” yang sebelumnya sebagai partai pemenang pemilihan umum dikalahkan oleh partai lain pada pemilihan berikutnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Pengambilan Peran Politik George Herbert Mead (1863­1931) mem­ peroleh pendidikan di bidang filsafat dan meng­ aplikasikannya dalam kajian psikologi sosial. Mead memperoleh sarjana muda di Oberlin Col­ lege serta memperoleh pendidikan di Har­vard. Atas permintaan John Dewey, Mead meniti ka­ rier di Universitas Chicago sampai akhir hayat­ nya.



174



BAB 5 Sosialisasi Poliik



Di dalam buku Mind, Self, and Society, Mead menje­ laskan tahap pengembangan diri (self) manusia. Ketika anak manusia lahir, dia belum memiliki diri. Diri manusia berkem­ bang secara bertahap melalui interaksi dengan orang lain. Pengembangan diri manusia berlangsung melalui beberapa tahap, yaitu tahap prepatory atau tahap play stage, tahap pertandingan (game stage), dan tahap the generalized other.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pada tahap perkembangan awal anak, yaitu tahap prepatory atau tahap play stage, seorang anak belajar mengambil perspektif orang lain, yang dianggap sesuai dengan kebutuh­ an hidupnya, dan melihat dirinya sebagai objek. Misalnya seorang anak sedang mengenakan pakaian seragam kerja, seolah­olah ia adalah ayah yang sedang memakai pakaian seragam kerja. Dia mengenakan pakaian seragam polisi lalu lintas ayahnya dengan segala asesorisnya. Dengan meniup peliut tangannya bergerak memberi tanda berhenti, jalan dan hati­hati, seolah­olah dia sedang dinas mengatur lalu lintas seperti ayahnya yang dilihatnya beberapa kali saat mengatur lalu lintas di suatu persimpangan jalan besar di kotanya. Pada tahap ini, ia menirukan peran orang tuanya, yaitu seba­ gai polisi lalu lintas. Pada tahap ini, si anak belum memahami sepenuhnya isi peran yang ditirunya tersebut. Pada perkembangan lanjut anak, yaitu tahap pertan­ dingan (game stage) seorang anak tidak hanya mengetahui peran yang dimainkannya, melainkan juga peran yang harus dimainkan orang lain dengan siapa dia melakukan interak­ si. Dalam suatu pertandingan, misalnya, anak mengetahui apa yang diharapkan oleh orang lain dari dia, juga mengerti apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain da­ lam suatu pertandingan. Dalam proses ini, terjadi proses pengambilan peran (role taking), di mana seseorang mem­



175



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



pertimbangkan atau mengantisipasi peran orang lain yang dianggap sesuai dengan kebutuhan atau sering muncul da­ lam hidupnya, dikenal dengan significant other.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Selanjutnya, perkembangan lanjutnya adalah anak mam­ pu mengontrol perilakunya sendiri menurut peran­peran umum yang bersifat impersonal, yang di dalamnya terdapat harapan­harapan dan standar­standar komunitas (masyarakat keseluruhan) berupa kebiasaan, pola normatif atau ideal yang abstrak, atau nilai­nilai universal, dikenal dengan the generalized other. Pada tahap ini seorang anak tidak hanya mema­ hami peran yang harus dijalankannya, tetapi juga dia telah mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang lain de­ ngan siapa dia berinteraksi. Misalnya, ketika seorang anak pergi ke sekolah, dia telah mengetahui peran apa yang di­ mainkan oleh dirinya ketika dia berhadapan dengan teman­ teman sekelas, kakak­kakak atau adik­adik lain kelas, guru kelas, guru lainnya, kepala sekolah, penjaga sekolah, atau petugas keamanan. Selain itu, dia mengetahui harus bersikap dan berperilaku seperti apa, misalnya bagaimana berbusana yang dikaitkan warna, bahan dan modelnya, atau bagaimana menuturkan kata sesuai dengan orang yang dihadapi.



176



6 PARTISIPASI POLITIK



A. PENGERTIAN PARTISIPASI



http://facebook.com/indonesiapustaka



Secara etimologis, konsep partisipasi dapat ditelusuri akar katanya dari bahasa Inggris, yaitu kata “part” yang ber­ arti bagian. Jika kata “part” dikembangkan menjadi kata kerja, maka kata ini menjadi “to participate”, yang bermakna turut ambil bagian. Kehidupan pertumbuhan partisipasi memerlukan tata nilai yang operasional (dimanifestasikan dalam bentuk pe­ rilaku yang nyata), yang menerima dan menghargai persa­ maan, keterbukaan, perbedaan pendapat, dan berpikir mem­ pertanyakan (critical thinking) (Abdul Aziz Saleh, 1990: 13). Penekanan Abdul Aziz Saleh terhadap penghargaan pada nilai­nilai persamaan, keterbukaan, perbedaan pendapat, dan berpikir mempertanyakan, berarti konsep partisipasi tidak mengandung nilai kebebasan, tanpa ada paksaan. Jika nilai yang disebut terakhir ada, berarti hal tersebut tidak tercakup sebagai konsep partisipasi. Kalau dipahami melalui pendekatan emik, misalnya, par­ tisipasi bisa dimengerti dalam kerangka berpikir orang Mi­ nangkabau sebagai sato sakaki (serta sekaki). Artinya ikut ambil bagian dalam suatu aktivitas publik walau sekadarnya,



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



katakanlah sekaki. Bagi orang Minangkabau, sato sakaki mer­ upakan bentuk atau perwujudan suatu kesukarelaan untuk melakukan sesuatu, khususnya sesuatu yang berhubungan dengan ruang publik atau kehidupan publik. Keikutsertaan yang disertai dengan kesukarelaan melakukan sesuatu se­ cara sadar, pada intinya menurut cara berpikir orang Mi­ nangkabau, merupakan suatu refleksi dari keberadaannya dalam suatu komunitas. Dia ada karena sato sakaki. Dalam konteks budaya Minangkabau, keberadaan seseorang dalam komunitas tidak selalu dikaitkan dengan keberadaan fisik orang tersebut dalam suatu komunitas. Orang yang berada di luar komunitas, karena memang berada di rantau (di luar kampung halaman sebagai perantau), bisa saja dirasakan selalu kehadirannya di tengah komunitas karena dia selalu sato sakaki dalam setiap aktivitas publik seperti mengirim­ kan uang untuk pembangunan masjid, perbaikan jalan kam­ pung, rehabilitasi kantor wali nagari, atau untuk merayakan peringatan hari besar keagamaan dan nasional. Partisipasi juga dimengerti sebagai berperan serta atau ikut serta, yang selama ini dipahami oleh masyarakat In­ donesia. Banyak kegiatan publik, baik yang memiliki dimensi politik maupun nonpolitik, dapat terselenggara dengan baik karena adanya peran serta atau keikusertaan warga. Dalam berbagai kegiatan pemilihan umum (legislatif, presiden, ke­ pala daerah, dan kepala desa) di Indonesia, warga merancang tempat dan lokasi pemilihan sedemikian rupa supaya warga tertarik datang ke tempat pemungutan suara. Kegiatan­ke­ giatan seperti ini dimengerti sebagai partisipasi.



178



BAB 6 Parisipasi Poliik



B. PENGERTIAN PARTISIPASI POLITIK Jika pengertian partisipasi politik dipahami melalui pe­ ngertian penggabungan dua konsep, yaitu partisipasi dan po­ litik, maka partisipasi politik dapat dijelaskan sebagai turut ambil bagian, ikut serta atau berperan serta dalam kegiatan­ kegiatan yang berhubungan dengan kekuasaan (power), ke­ wenangan (authority), kehidupan publik (publik life), peme­ rintahan (government), negara (stste), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Pengertian pengga­ bungan makna tersebut telah memberikan suatu pemahaman tentang sekitar apa saja cakupan konsep sosiologi politik. Pemahaman partisipasi politik yang tercakup dalam batasan ini sangat luas. Hampir semua aktivitas kehidupan bisa ter­ masuk atau terliput dalam pengertian konsep di atas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk memperbandingkan batasan konsep partisipasi politik yang lain ada baiknya kita mencoba menelusuri ba­ gaimana pula pengertian partisipasi politik menurut para ahli? Apakah mereka memiliki batasan yang sama tentang partisi­ pasi atau berbeda? Jika berbeda, sekitar apa yang mereka ber­ beda terhadap sesuatu? Untuk memahami pengertian terse­ but kita mencoba untuk menelusuri melalui berbagai pan­ dangan ahli. Berikut ini disajikan beberapa pendapat ahli.



1. Keith Fauls Dalam bukunya, Political Sociology: A Critical Introduction, Keith Fauls (1999: 133) memberikan batasan partisipasi politik sebagai “keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerin­ tahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses



179



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.”



2. Herbert McClosky Dalam International Encyclopaedia of the Social Sciences, Herbert McClosky memberikan batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan­kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemi­ lihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, da­ lam proses pembentukan kebijakan umum.”



3. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson Dalam buku No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, Huntington dan Nelson membuat ba­ tasan partisipasi politik sebagai “kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi­pribadi, yang dimaksud un­ tuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau de­ ngan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”



4. Michael Rush dan Philip Althoff



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam buku Sosiologi Politik, Rush dan Althoff (2003) memberi batasan partisipasi politik sebagai “keterlibatan da­ lam aktivitas politik pada suatu sistem politik.” Dari beberapa definisi partisipasi politik disebut di atas, tampaknya pengertian yang dibuat Rush dan Althoff lebih luas cakupannya sehingga definisi tersebut melingkupi se­ mua pengertian dari politik, yaitu kekuasaan (power), ke­ wenangan (authority), kehidupan publik (public life), peme­ rintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi



180



BAB 6 Parisipasi Poliik



konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Kalau demikian pe­ mahamannya maka batasan pengertian melalui penggabung­ an dua konsep partisipasi dan politik di awal pembahasan tadi menemukan kecocokan dengan definisi yang dibuat oleh ahli, dalam hal ini Rush dan Althoff.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Batasan yang dikemukakan oleh Keith Fauls serta Hun­ tington dan Nelson memfokuskan pada sesuatu yang ber­ hubungan dengan kepemerintahan. Fokus tunggal seperti ini mengabaikan bahwa politik itu tidak hanya berkaitan dengan kepemerintahan saja, tetapi lebih luas dari itu, yaitu meliputi berbagai aspek: kekuasaan (power), kewenangan, kehidup­ an publik, negara, konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan, dan pembagian atau alokasi. Sedangkan batasan yang dibuat oleh Herbert McClosky menekankan sesuatu yang tidak dicakup oleh batasan ahli lain, yaitu sifat sukarela. Itu berarti segala sesuatu peran ser­ ta yang bersifat selain sukarela, seperti paksaan, keharusan, atau kewajiban, maka melalui pandangan Herbert McClosky tidak bisa dikatakan sebagai partisipasi. Misalnya ketika se­ mua anggota dari suatu komunitas diharapkan untuk pergi bersama­sama ke kecamatan untuk mempertanyakan kebi­ jakan yang tidak adil terhadap komunitas mereka. Ketika harapan pergi bersama ke kecamatan tersebut dipahami se­ bagai suatu kewajiban, seperti PNS diharapkan pilih Golkar pada masa rezim Orde Baru di masa lampau, maka kegiatan seperti ini dipandang sebagai mobilisasi, bukan partisipasi. Jadi ditekankan sekali lagi bahwa konsep yang sering digu­ nakan oleh para ahli tentang peran serta yang bersifat pak­ saan, keharusan, atau kewajiban dikenal sebagai mobilisasi.



181



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ketika suatu komunitas, misalnya, mewajibkan warganya un­ tuk memberikan sumbangan terhadap kepentingan publik maka konsep sumbangan yang secara substansial adalah se­ suatu yang bersifat sukarela berubah menjadi suatu aktivitas yang memaksa. Oleh sebab itu, sumbangan wajib warga dari suatu komunitas tidak bisa dikategorikan sebagai partisipasi dalam kegiatan publik pada komunitas, namun lebih tepat­ nya sebagai mobilisasi kegiatan publik. Apa yang dikemukakan oleh Herbert McClosky tentang karakteristik sukarela dalam konsep partisipasi di atas sangat dipahami oleh Huntington dan Nelson. Untuk menemukan titik temu perdebatan konsep antara yang setuju dan tidak adanya karakteristik sukarela, maka Huntington dan Nelson mengusulkan dua konsep partisipasi, yaitu partisipasi mobili­ sasi dan partisipasi otonom. Partisipasi otonom menunjuk­ kan partisipasi yang dilakukan secara sadar, tanpa tekanan dan sukarela. Sedangkan partisipasi mobilisasi menunjuk­ kan sisi yang berseberangan dari yang dijelaskan pertama, yaitu tidak sadar, ada tekanan atau ada unsur paksaan, seke­ cil apa pun ia. Dalam kehidupan politik, semua ciri terse­ but bisa saling silang atau bercampur antara satu sama lain. Misalnya seorang yang diajak untuk ikut demonstrasi pe­ nolakan terhadap rancangan suatu undang­undang. Orang yang diajak tersebut mungkin saja mau ikut secara sukarela, namun bisa saja dia tidak paham untuk apa sebenarnya dia melakukan demonstrasi. Ketika ditanyakan apakah dia te­ lah membaca draft rancangan undang­undang tersebut, bi­ sa saja dia menjawab belum. Atau ketika seseorang ditanya kenapa dia melakukan demonstrasi, jawaban diberikan ada­ lah karena diajak dan dapat makan gratis serta uang saku. Dia merasa senang atas kegiatan tersebut, tidak ada tekanan



182



BAB 6 Parisipasi Poliik



yang menghimpitnya kalau tidak melakukannya. Sehingga perbedaan antara partisipasi otonom dan partisipasi mobili­ sasi bisa dilihat dalam konteks spektrum. Namun kesemua itu adalah partisipasi, kata Huntington dan Nelson.



C. TIPOLOGI PARTISIPASI POLITIK Para ahli sosiologi politik telah merumuskan berbagai macam tipologi partisipasi politik. Dari berbagai pandang­ an ahli yang ada ternyata mereka memiliki perbedaan dalam dasar tipologi. Berikut disajikan beberapa pandangan ahli ten­ tang tipologi partisipasi politik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. David F. Roth dan Frank L. Wilson Dalam buku The Comparative Study of Politics, Roth dan Wilson (1976) membuat tipologi partisipasi politik atas dasar piramida partisipasi. Pandangan Roth dan Wilson tentang piramida politik menunjukkan bahwa semakin tinggi inten­ sitas dan derajat aktivitas politik seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat di dalamnya. Intensitas dan derajat keterlibatan yang tinggi dalam aktivitas politik dikenal sebagai aktivis. Adapun yang masuk dalam kelompok aktivis adalah pemimpin dan para fungsionaris partai atau kelompok kepentingan, serta anggota partai atau kelompok kepentingan yang mengurus organisasi secara penuh waktu (full-time). Termasuk dalam kategori ini adalah kegiatan po­ litik yang dipandang menyimpang atau negatif seperti pem­ bunuh politik, teroris, atau pelaku pembajakan untuk meraih tujuan politik. Lapisan berikutnya setelah lapisan puncak piramida di­ kenal sebagai partisipan. Kelompok ini mencakup berbagai



183



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Akivis



Parisipan



Pengamat



Orang yang apoliis



Gambar 6.1 Piramida Parisipasi Poliik Sumber: Roth dan Wilson (1976)



http://facebook.com/indonesiapustaka



aktivitas seperti petugas atau juru kampanye, mereka yang terlibat dalam program atau proyek sosial, sebagai pelobi politik, aktif dalam partai politik atau kelompok kepentingan. Lapisan selanjutnya adalah kelompok pengamat. Mereka ikut dalam kegiatan politik yang tidak banyak menyita wak­ tu, tidak menuntut prakarsa sendiri, tidak intensif dan jarang melakukannya. Misalnya memberikan suara dalam pemilihan umum (legislatif dan eksekutif), mendiskusikan isu politik, dan menghadiri kampanye politik. Sedangkan lapisan ter­ bawah adalah kelompok orang yang apolitis, yaitu kelompok orang yang tidak peduli terhadap sesuatu yang berhubungan dengan politik. Mereka tidak memberikan sedikit pun terha­ dap masalah politik.



184



BAB 6 Parisipasi Poliik



2. Michael Rush dan Philip Althoff Rush dan Althoff mengajukan hierarki partisipasi poli­ tik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari par­ tisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisi­ pasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang­orang, seperti yang diperlihatkan oleh Bagan Hirarki Partisipasi Politik di mana garis vertikal segitiga menunjuk­ kan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari keterlibatan orang­orang. Menduduki jabatan poliik atau administraif Mencari jabatan poliik atau administraif Keanggotaan akif suatu organisasi poliik Keanggotaan pasif suatu organisasi poliik Keanggotaan akif suatu organisasi semu poliik Keanggotaan pasif suatu organisasi poliik Parisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb Parisipasi dalam diskusi poliik informal minat umum dalam poliik Voing (pemungutan suara)



http://facebook.com/indonesiapustaka



Apai total



Gambar 6.2 Hierarki Parisipasi Poliik



Sumber: Rush dan Althof (2003).



185



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



3. Gabriel A. Almond Dalam buku Perbandingan Sistem Politik yang disunting oleh Mas’oed dan MacAndrews (1981), Almond membeda­ kan partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu: 1.



Partisipasi politik konvensional, yaitu suatu bentuk parti­ sipasi politik yang “normal” dalam demokrasi modern.



2.



Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kon­ disi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.



Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi politik dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.1 Bentuk-bentuk Parisipasi Poliik Konvensional



http://facebook.com/indonesiapustaka



• Pemungutan suara • Diskusi poliik • Kegiatan kampanye • Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepeningan • Komunikasi individual dengan penjabat poliik dan administraif



NonKonvensional



• Pengajuan peisi • Demonstrasi • Konfrontasi • Mogok • Tindak kekerasan poliik terhadap benda (perusakan, pemboman, pembakaran) • Tindak kekerasan poliik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan) • Perang gerilya dan revolusi



Sumber: Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews (1981)



4. Robert D. Putnam Pandangan Putnam tentang tipologi partisipasi politik se­ benarnya tidak langsung. Dalam buku Perbandingan Sistem Politik yang disunting oleh Mas’oed dan MacAndrews (1981:



186



BAB 6 Parisipasi Poliik



80­82), Putnam membuat suatu model skematis stratifikasi sosial politik. Model tersebut dibangun berdasarkan data dari beberapa negara tentang proporsi warga negara yang terlibat dalam berbagai tingkat kegiatan politik. Pada puncak pirami­ da terletak kelompok pembuat keputusan (proximate decision makers), yaitu individu­individu yang secara langsung terlibat dalam pembuatan kebijaksanaan nasional. Lapisan di bawahnya adalah kaum berpengaruh (influentials), yaitu individu­individu yang memiliki pengaruh ti­ dak langsung atau implisit yang kuat, mereka­mereka yang dimintai nasihat oleh para pembuat keputusan, yang kepen­ tingan­kepentingannya dan pendapat­pendapatnya diperhi­ tungkan oleh para pembuat keputusan itu, atau yang sanksi­ sanksinya ditakuti oleh para pembuat keputusan itu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Selanjutnya lapisan aktivis, yaitu warga negara yang me­ ngambil bagian aktif dalam kehidupan politik dan pemerin­ tah, mungkin sebagai anggota partai, birokrat tingkat me­ nengah, atau editor­editor surat kabar lokal, atau mungkin pula melalui cara yang agak lebih privat, seperti aktif menulis surat kepada anggota parlemen. Berikutnya adalah publik peminat politik (attentive public), yaitu orang­orang yang menganggap kehidupan poli­ tik seperti halnya tontonan yang sangat menarik. Kelompok ini berbeda dengan sebagian besar warga negara akibat luar biasa besarnya perhatian yang mereka berikan terhadap ma­ salah­masalah pemerintahan dan kemasyarakatan. Lapisan selanjutnya merupakan kelompok pemilih (voters), yaitu kelompok warga negara yang melakukan aktivitas politik pada saat pemilihan umum saja. Lapisan ini meru­ pakan lapisan terbesar dari bangunan piramida stratifikasi.



187



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Sedangkan lapisan terbawah adalah nonpartisan, yaitu mere­ ka yang tidak melakukan kegiatan politik. Berikut disajikan gambar yang bisa menajamkan pemahaman tentang hal ini. Kelompok pembuat keputusan Kaum berpengaruh Akivis Publik peminat poliik



Kaum pemilih



Non-parisipan



Gambar 6.3 Suatu Model Skemais Straiikasi Poliik



Sumber: Putnam dalam Mas’oed dan MacAndrews (1981: 80-82)



http://facebook.com/indonesiapustaka



5. Samuel P. Huntington dan Juan M. Nelson Huntington dan Nelson (1994: 16­17) menemukan ben­ tuk­bentuk partisipasi politik yang berbeda dengan tipologi yang dibuat oleh ahli yang disebut di atas. Adapun bentuk­ bentuk partisipasi politik meliputi: 1) Kegiatan pemilihan, mencakup suara, juga sumbangan­ sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemi­ lihan, mencari dukungan dibagi seorang calon, atau se­ tiap tindakan yang bertujuan memengaruhi hasil proses pemilihan.



188



BAB 6 Parisipasi Poliik



2) Lobbying, mencakup upaya­upaya perorangan atau ke­ lompok untuk menghubungi pejabat­pejabat pemerintah dan pemimpin­pemimpin politik dengan maksud me­ mengaruhi keputusan­keputusan mereka mengenai per­ soalan­persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Seperti, kegiatan yang ditujukan untuk menimbulkan dukungan bagi atau oposisi terhadap suatu usul legislatif atau keputusan administratif tertentu. 3.



Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai ang­ gota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah memengaruhi pengam­ bilan keputusan pemerintah.



4.



Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat­pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang



5.



Tindak kekerasan (violence) juga dapat merupakan satu bentuk partisipasi politik, dan untuk keperluan analisis ada manfaatnya untuk mendefinisikannya sebagai satu kategori tersendiri; artinya sebagai upaya untuk me­ mengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang­orang atau harta benda.



http://facebook.com/indonesiapustaka



6. Lester Milbrath Lester Milbrath mengajukan tiga tipe partisipasi politik, yaitu tipe penonton, tipe transisional, dan tipe gladiator. Un­ tuk jelasnya siapa masuk tipe mana dalam suatu partisipasi politik yang dilakukan oleh warga. Berikut penjelasan yang dikemukakan oleh Milbrath (1965). 1.



Tipe penonton meliputi ketertarikan diri sendiri pada sti­



189



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



muli politik, mengikuti pemilihan umum (legislatif dan eksekutif), menginisiasi suatu diskusi politik, berusaha mendekati orang lain untuk ikut memilih dengan cara tertentu, dan menempelkan stiker pada kenderaan. 2.



Tipe transisional mencakup kegiatan menjalin kontak de­ ngan pejabat publik atau pemimpin politik, memberikan sumbangan finansial pada partai politik atau kandidat, dan mengikuti suatu pertemuan atau penjalanan poli­ tik.



3.



Tipe gladiator terdiri dari berbagai kegiatan antara lain menghabiskan waktu dalam suatu kampanye politik, men­ jadi anggota aktif dalam suatu partai politik, menghadiri suatu kaukus atau pertemuan strategi, memajukan pe­ ngumpulan dana politik, menjadi kandidat untuk suatu jabatan, dan menjadi pejabat publik dan partai politik.



Jika diperbandingkan dari berbagai pandangan para ahli tentang tipologi partisipasi politik, maka tipologi yang dikemukakan oleh Roth dan Wilson lebih jelas, tegas, dan lengkap. Pembedaan tipe partisipasi Roth dan Wilson mem­ bagi habis semua warga negara ke dalam tipe aktivis, parti­ san, pengamat, dan orang politik. Setelah itu, tipologi Lester Milbrath terlihat relatif jelas, tegas, dan lengkap. Milbrath mengelompokkan semua warga ke dalam tiga tipe partisipasi politik, yaitu tipe penonton, tipe transisional, dan tipe gladi­ ator. Sedangkan Rush dan Althoff mengajukan tipologi par­ tisipasi politik berdasarkan hierarki partisipan dalam suatu arena politik, yang menempatkan menduduki jabatan poli­ tik atau administratif sebagai sebagai hierarki tertinggi dari partisipasi politik dan orang yang apati secara total sebagai hierarki yang terendah. Sementara Gabriel A. Almond membedakan partisipasi



190



BAB 6 Parisipasi Poliik



politik atas dua bentuk, yaitu partisipasi politik konvensional yang meliputi suatu bentuk partisipasi politik yang “normal” dalam demokrasi modern serta partisipasi politik nonkon­ vensional yang mencakup suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal. Tipologi yang dikotomis Almond tersebut terlampau menyederhana­ kan pengelompokan partisipan. Putnam, seperti disebut di atas, tidak membuat tipologi partsisipasi politik, namun mengkonstruksi suatu model ske­ matis stratifikasi sosial politik. Sedangkan Huntington dan Nelson sekadar mendeskripsikan bentuk­bentuk partisipasi politik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



D. ALASAN PARTISIPASI POLITIK Dalam kenyataan pada kehidupan politik, tidak sedikit warga negara yang menghindari atau tidak menaruh perha­ tian sama sekali terhadap aktivitas politik. Kenapa demiki­ an? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Morris Rosenberg (1954) dalam Rush dan Althoff (2003: 144­146) menyatakan ada tiga alasan kenapa orang bersifat apatis da­ lam aktivitas politik. Pertama, aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Setiap ke­ putusan pasti ada biaya atau risikonya. Oleh sebab itu, jika seseorang menganggap bahwa keterlibatan dalam aktivitas politik akan mendatangkan risiko bagi berbagai aspek ke­ hidupannya, maka apatis merupakan pilihan terbaik bagi di­ rinya. Kedua, aktivitas politik dipandang sebagai suatu kerja yang sia­sia. Interpretasi individu terhadap realitas politik se­ bagai suatu kerja yang bermanfaat atau sebaliknya sesuatu hal yang sia­sia, akan memengaruhi keterlibatan seseorang



191



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



dalam politik. Ketiga, ketiadaan faktor untuk “memacu diri untuk bertindak” atau disebut juga sebagai “perangsang po­ litik”. Sebagai makhluk yang rasional setiap individu tahu apa yang diinginkannya. Apabila kebutuhan material dan immaterial tidak akan diperolehnya ketika akan melakukan aktivitas politik, maka tidak ada rasional atau faktor yang mendorong individu beraktivitas politik. Dengan menggunakan argumentasi Morris Rosenberg tersebut di atas, maka bisa pula dipahami kenapa orang mau melakukan aktivitas politik. Alasannya adalah pertama, ket­ erlibatan dalam aktivitas politik tidak merupakan ancaman bagi kehidupan dia secara keseluruhan. Artinya jika ses­ eorang melihat bahwa keterlibatan dalam kehidupan politik akan mendatangkan ancaman kematian atau tertutupnya pe­ luang usaha dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya atau mengancam survivalnya, maka orang tidak akan mau berpartisipasi dalam kegiatan politik. Pengalaman banyak orang yang berada pada suatu komunitas yang dicap seba­ gai pemberontak atau diberi stigma subversi terhadap negara menunjukkan kehati­hatian mereka untuk berinteraksi de­ ngan orang lain, terutama orang asing, dalam kaitan dengan kegiatan publik. Mereka sangat trauma jika kehadiran mereka kembali ke ruang publik akan membawa petaka seperti masa lampau. “Daripada mencari masalah, lebih baik menghindari,” begitu cara berpikir mereka. Itu sebabnya mengapa partisipasi mereka rendah. Berbeda dengan kelompok masyarakat yang tidak memiliki trauma politik masa lampau, mereka akan berpartisipasi pada kegiatan publik, termasuk yang berhu­ bungan dengan politik. Kedua, aktivitas politik dilihat sebagai sesuatu yang ber­ manfaat. Konsep sebagai sesuatu yang bermanfaat bersifat



192



BAB 6 Parisipasi Poliik



relatif, berbeda menurut orang dan kelompok orang yang memiliki konteks sejarah sosial, budaya, dan politik masing­ masing. Ketika seorang pengangguran terlibat dalam pen­ calonan menjadi anggota legislatif akan berbeda dengan se­ orang pengusaha dalam melakukan hal yang sama. Perbedaan itu karena latar belakang mereka yang memang berbeda. Manfaat bagi pengangguran adalah jika mereka berhasil akan mendapatkan pekerjaan selama lima tahun ke depan, sedangkan bagi pengusaha bisa saja tidak terlalu mement­ ingkan pendapatan secara ekonomi, tetapi mereka mungkin merasa akan memperoleh suatu prestise. Jadi manfaat terse­ but dipahami melalui motif dari suatu tindakan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ketiga, aktivitas politik memenuhi kebutuhan material dan/atau kebutuhan immaterial bagi kehidupannya. Dalam perspektif pertukaran, aktor merupakan makhluk yang ra­ sional yang mempertimbangkan untung rugi bila melaku­ kan suatu transaksi pertukaran (aktivitas) politik. Transaksi politik, melalui keterlibatan seseorang dalam aktivitas poli­ tik, tidak akan terjadi manakala para aktor yang terlibat ti­ dak memperoleh sesuatu, apatah lagi mengalami kerugian. Keuntungan yang diperoleh bisa bersifat intrinsik seperti perhatian, pengayoman, dukungan, dan dorongan atau bisa juga bersifat ekstrinsik seperti uang dan material lainya se­ perti beras, minyak tanah, garam, semen, dan sebaginya. Alasan berpartisipasi politik bisa juga merujuk pada ti­ pologi tindakan sosial Max Weber, seperti yang telah kita diskusikan pada bab terdahulu. Seseorang melakukan ak­ tivitas politik karena empat alasan: pertama, alasan rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai­nilai suatu kelompok. Perdebatan tentang Rancangan Undang­Undang Sistem Pendidikan Nasional dan



193



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Rancangan Undang­Undang tentang Pornografi menyita ke­ terlibatan masif dari berbagai pihak kepentingan (stakeholders) yang memiliki berbagai kepentingan nilai (agama dan bu­ daya). Perdebatan tersebut diikuti dengan berbagai demons­ trasi di berbagai daerah dan oleh berbagai kalangan profesi, tentunya dengan tujuan agar kepentingan nilai yang dimiliki tercapai. Perdebatan dan demonstrasi tersebut merupakan bentuk dari partisipasi politik yang digerakkan oleh alasan rasional nilai yang dimiliki. Untuk memahami secara lebih dalam tentang alasan ra­ sional nilai, mari kita ambil contoh lain tentang bom bunuh diri. Kalau kita telusuri berbagai kasus bom bunuh diri di berbagai belahan dunia, pelakunya berasal dari berbagai pe­ meluk atau penganut agama yang beragam: Islam, Kristen, Katolik, Yahudi, Budha, dan Hindu. Mereka memahami bu­ nuh diri dengan bom sebagai suatu usaha untuk mempertah­ ankan marwah dan identitas agama mereka agar tidak dileceh­ kan oleh dunia. Mengorbankan diri sendiri demi tegaknya marwah dan identitas agama di muka bumi dipandang seba­ gai bentuk jalan sahid, jalan martir, atau jalan menuju surga, suatu tempat di akhirat kelak yang didambakan oleh seluruh orang. Melalui bom bunuh diri, juga di dalamnya bermakna orang lain juga ikut terbunuh karena dipandang turut serta meremehkan marwah atau identitas agama dari sang pelaku bom bunuh diri, dapat dimengerti sebagai suatu alasan ra­ sional nilai kenapa orang melakukan bom bunuh diri. Jika dipahami perilaku bom bunuh diri yang terjadi selama ini, maka ia bisa dikategorikan sebagai partisipasi nonkonven­ sional menurut Almond. Kedua, alasan emosional afektif, yaitu alasan yang di­ dasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,



194



http://facebook.com/indonesiapustaka



BAB 6 Parisipasi Poliik



organisasi, partai atau individu. Alasan partisipasi politik seperti ini cenderung bersifat nonrasional. Ketika mengikuti suatu pemilihan umum, seperti pemilihan presiden, kepala daerah atau kepala desa, tidak jarang orang terlibat karena alasan emosional afektif. Oleh sebab itu, manajer kampanye dari suatu partai politik, pasangan atau individu peserta pe­ milihan umum mencoba menciptakan momen, situasi atau citra di mana partai politik, pasangan atau individu yang diusungnya dipandang sebagai pihak yang di(ter)aniaya atau di(ter)zalimi. Konstruksi yang teraniaya atau terzalimi dalam masyarakat Indonesia, khususnya dalam dunia poli­ tik, merupakan momen, situasi atau citra menguntungkan bagi yang mengalaminya, yaitu yang teraniaya atau terzalimi. Sebab suasana emosional afektif masyarakat Indonesia dapat memengaruhi partisipasi politik, khususnya perilaku memi­ lih, secara keseluruhan. Kemenangan PDIP pada pemilihan umum 1999 tidak bisa dilepaskan dari pencitraan partainya wong cilik, yang selama ini ketua umumnya dan wong cilik ditindas, dianiaya, dan dizalimi oleh sistem yang dibangun oleh pemerintahan rezim Orde Baru. Demikian pula dengan kemenangan SBY pada pemilihan presiden pertama secara langsung pada tahun 2004 juga tidak bisa dipisahkan dari ke­ mampuan memanfaatkan momen, situasi atau citra sebagai orang yang ditindas, dianiaya atau dizalimi oleh presiden. Pelecehan, terhadap permintaan izin seorang bawahan un­ tuk mengundurkan diri dari kabinet, oleh seorang presiden, yang tersebar secara luas dan masif melalui media elektronik dan cetak telah berhasil dimanfaatkan oleh manajer kampa­ nye SBY. Mereka memanfaatkan situasi di mana presiden yang sedang akan naik mobil mengipas­ngipaskan surat ke­ putusan presiden tentang pengunduran SBY, seorang jende­



195



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



ral yang loyalis dan taat hukum, sebagai suatu bentuk peng­ aniayaan atau penzaliman. Emosional afektif masyarakat pemilih digerakkan untuk berempati terhadap SBY. Sebagai jenderal yang ahli strategi dan politik, SBY sangat hati­hati untuk tidak memberikan ruang dan kesempatan terjadinya momen, situasi atau citra sebagai presiden yang menganiaya atau menzalimi pada masa pemerintahannya. Oleh karena itu, ketika ada usaha tim kampanye JK pada pemilihan pre­ siden 2009 untuk menciptakan momen, situasi atau citra di mana JK sebagai orang yang dianiaya atau dizalimi oleh SBY tidak berhasil.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Banyak contoh yang bisa menambah tajam pemahaman tentang alasan emosional afektif dalam partisipasi politik. Alasan kecantikan dan kegantengan seorang kandidat, alas­ an diajak sang kekasih, alasan kasihan untuk memilih atau ikut suatu demonstrasi merupakan beberapa contoh alasan emosional afektif yang terjadi di Indonesia. Jadi, ternyata alasan emosional afektif telah memberikan warna tersendiri dalam partisipasi politik di Indonesia. Ketiga, alasan tradisional, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi ter­ tentu dari suatu kelompok sosial. Pada kelompok masyarakat tertentu, tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum laki­laki yang hanya dibolehkan aktif di ranah publik, sedangkan pe­ rempuan diharapkan lebih mendominasi ranah domestik, se­ hingga akan memengaruhi pola partisipasi politik mereka. Oleh sebab itu, pada kelompok masyarakat seperti ini, misal­ nya, susah untuk mendapatkan perempuan yang mau jadi pengurus partai politik atau menjadi bakal calon anggota legislatif. Bisa juga kita mengambil contoh lain, misalnya da­ lam suatu kelompok masyarakat terdapat norma adat atau



196



BAB 6 Parisipasi Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



tradisi yang membolehkan jadi pemimpin hanya dari jalur keluarga tertentu saja. Sehingga ketika ada pemilihan kepala desa, misalnya, yang bersedia untuk mencalonkan diri seba­ gai kepala desa adalah jalur keluarga tertentu saja sedangkan individu lain yang tidak termasuk tidak bersedia dicalonkan karena alasan menghormati adat atau tradisi. Apakah me­ mang masih ada alasan tradisional dalam konstelasi perpoli­ tikan di republik ini? Pada ranah akar rumput perdesaan hal tersebut masih dijumpai. Sedangkan pada tataran nasional pemilihan ketua umum dari suatu organisasi keagamaan ter­ tentu masih mempertimbangkan latarbelakang keluarga. Keempat, alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi. Un­ tuk menjelaskan hal ini, meski telah disinggung di Bab 2, perlu didiskusikan lebih dalam lagi. Weber tampaknya perlu membedakan antara dua rasionalitas, yaitu rasionalitas nilai dan rasionalitas instrumental. Rasionalitas nilai merupakan rasionalitas yang dibangun atas dasar idealisme nilai yang di­ pandang agung dan dianggap tinggi. Sedangkan rasionalitas instrumental bersumber dari pemikiran utilitarianisme dan ekonomi politik Inggris. Apa maksudnya? Utilitarianisme mengasumsikan bahwa individu adalah makhluk yang rasio­ nal, senantiasa menghitung dan membuat pilihan yang da­ pat memperbesar kesenangan pribadi atau keuntungan pri­ badi, dan mengurangi penderitaan atau menekan biaya. Se­ dangkan ekonomi politik Inggris dibangun di atas prinsip “laissez faire, laissez passer”, yaitu “biarkan hal­hal sendiri, biarkan hal­hal yang baik masuk”. Artinya, biarkan individu mengatur dirinya, karena individu tahu yang dimauinya. Oleh sebab itu jangan ada kontrol negara. Kalaupun ada kontrol negara, itu diperlukan agar kebebasan individu dengan ra­



197



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



sionalitasnya untuk mengejar keuntungan pribadinya tetap terjaga. Sebab kesejahteraan masyarakat umumnya dalam jangka panjang akan sangat terjamin apabila individu itu dibiarkan atau malah didorong untuk mengejar kesenangan pribadi atau keuntungan pribadinya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Mari kita pahami dengan contoh. Untuk dapat bertahan hidup, setiap individu perlu bekerja. Pilihan berkarier da­ lam bidang politik dapat dipahami sebagai pilihan rasional instrumental seseorang. Mereka memilih karier berdasar­ kan pertimbangan untung rugi, tidak berdasar pada pilihan sembarangan dan asal. Ketika para pengusaha dan pengac­ ara, kelompok yang banyak menjadi elite partai politik pada berbagai tingkatan, memasuki karier dalam bidang politik, mereka tentunya telah mempertimbangkan secara matang pilihan tersebut. Jika mereka masuk dalam ranah politik, se­ bagai pengusaha misalnya, maka mereka bisa memperoleh pekerjaan­pekerjaan negara yang diberikan kepada swasta seperti proyek pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana penyelenggaraan negara. Perilaku pemilih tidak bisa dilepas pada pertimbangan rasional pragmatis seperti “apa aku peroleh jika kuberikan suaraku padamu?”. Pertimbangan rasional pragmatis seperti inilah memunculkan kegiatan politik uang (money politics) seperti menyelenggarakan undian kupon berhadiah pada saat kampanye, memberikan uang lelah mengikuti kampa­ nye, memberikan berbagai macam aktivitas “pengabdian pada masyarakat” seperti sunatan massal, pemeriksaan kesehatan gratis, atau pemberian kebutuhan pokok sehari­hari. Jika kita perbandingkan alasan partisipasi politik antara Morris Rosenberg dan Max Weber maka tipologi alasan poli­ tik yang diajukan oleh Weber lebih lengkap dan komprehen­



198



BAB 6 Parisipasi Poliik



sif bila dibandingkan dengan yang diajukan oleh Rosenberg. Tipologi Rosenberg jika dipahami lewat tipologi Weber, maka kita dapat memasukkan semua alasan tersebut ke dalam ala­ san rasional instrumental. Dengan demikian, alasan lain se­ perti alasan rasional nilai, emosional afektif dan tradisional menurut tipologi Weber luput dari perhatian Rosenberg.



http://facebook.com/indonesiapustaka



E. STRATIFIKASI SOSIAL DAN PARTISIPASI POLITIK Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa strati­ fikasi sosial dapat dipandang sebagai cermin dari suatu dis­ tribusi kekuasaan. Stratifikasi sosial dilihat melalui bagaima­ na masyarakat melakukan penggolongan individu secara berlapis berdasarkan kekuasaan, kekayaan, prestise, pendidi­ kan, dan sebagainya. Jika ditelisik secara lebih dalam ten­ tang stratifikasi sosial, terutama pandangan Max Weber dan Gerhard Lenski, maka kita dapati konsep partai politik dari Weber dan konsep kekuasaan dari Lenski sebagai dimensi pelapisan. Perbedaan individu dalam kaitan keterlibatannya dengan kekuasaan menjadikan individu dibedakan dengan individu lainnya. Individu yang mempunyai keterlibatan in­ tens dengan partai politik, katakanlah sebagai pengurus par­ tai politik, seperti yang ditegaskan oleh Max Weber, dilihat memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak pernah bersentuhan dengan partai politik sama sekali. Perbedaan strata dalam hubungannya dengan partai poli­ tik, secara implisit, mengisyaratkan kepada kita bahwa strati­ fikasi sosial memiliki hubungan dengan partisipasi politik. Bagaimana kaitan dari hubungan tersebut? Individu­individu yang berkarier dalam partai politik tidak hanya memikirkan



199



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



bagaimana mereka memperoleh kekuasaan dan memperta­ hankannya, tetapi juga bagaimana mereka memerhatikan dan mengantisipasi bahwa setiap tindakan mereka memiliki suatu implikasi politik. Dengan demikian, keterlibatan mere­ ka dalam partai politik bertujuan untuk meraih dan mem­ pertahankan kewenangan, memengaruhi kehidupan dan ke­ bijakan publik, pemerintahan, negara, serta menghadapi kon­ flik dan melakukan resolusi konflik. Variabel apa saja dalam stratifikasi sosial yang meme­ ngaruhi partisipasi politik? Variabel stratifikasi sosial yang sering dihubungkan dalam pembahasan tentang pengaruh­ nya terhadap kehidupan manusia, termasuk kehidupan po­ litik mereka, adalah variabel status sosial ekonomi, yang di­ kenal dengan singkatan SSE. Dalam variabel status sosial ekonomi terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk melakukan analisis tentang suatu hubungan atau pengaruh, yaitu antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan, atau ke­ kayaan? Asumsi teoretis tentang hubungan atau pengaruh yang dibangun oleh para ahli adalah sebagai berikut: “par­ tisipasi politik cenderung lebih tinggi pada kelompok ma­ syarakat yang berpendidikan tinggi, memiliki pekerjaan le­ bih bagus, mempunyai pendapatan lebih tinggi, dan memi­ liki kekayaan lebih banyak dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah, memiliki pekerjaan kurang bagus, mempunyai pendapatan rendah, dan memiliki kekayaan yang sedikit.” Apa penjelasan akademisnya sehingga asumsi hubungan antara stratifikasi sosial dan partisipasi seperti yang dikemu­ kakan di atas? Pendidikan yang lebih tinggi diperoleh me­ lalui sekolah atau pelatihan. Semakin tinggi pendidikan se­ seorang, itu artinya, semakin tinggi pula sekolah seseorang



200



http://facebook.com/indonesiapustaka



BAB 6 Parisipasi Poliik



atau semakin banyak pula pelatihan yang diikuti seseorang. Ketinggian pendidikan seseorang secara implisit menunjuk­ kan semakin lama orang mengikuti pendidikan. Itu artinya pula, semakin lama orang mengikuti pendidikan semakin lama pula orang menimba pengetahuan, teknologi dan sains. Kegiatan menimba pengetahuan, teknologi, dan sains terse­ but akan memperluas cakrawala pemikiran dan menajamkan kesadaran seseorang terhadap sesuatu, termasuk tentang po­ litik. Oleh sebab itu, dapat dipahami kenapa seseorang yang berpendidikan tinggi lebih cenderung memiliki partisipasi politik yang tinggi dibandingkan individu yang berpendidi­ kan rendah. Apakah dimungkinkan terjadi kebalikannya? Maksudnya orang yang berpendidikan rendah mempunyai partisipasi politik yang lebih tinggi dibandingkan dengan in­ dividu yang berpendidikan tinggi. Secara kasuistik hal terse­ but dimungkinkan terjadi. Misalnya bisa saja seorang yang berpendidikan tinggi memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan seorang yang berpendidikan rendah tentang para pasangan calon kepala daerah, sehingga kepu­ tusan untuk tidak memilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan keputusan yang masuk akal. Karena orang yang berpendidikan tinggi tersebut melihat bahwa dari pasangan calon kepala daerah yang ada tidak ada satu pun yang pantas untuk menjadi kepala daerah berdasarkan pers­ pektif dirinya. Oleh sebab itu, dia tidak berpartisipasi dalam pilkada melalui ketidakhadirannya ke tempat pemungutan suara. Apa argumentasi akademis dari variabel pekerjaan? Pe­ kerjaan yang lebih bagus, seperti dokter, akuntan, notaris, pengusaha, pengacara, dosen, dan lainnya memiliki cakrawa­ la pemikiran yang lebih luas, kesadaran yang lebih tinggi,



201



http://facebook.com/indonesiapustaka



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dan suasana dan situasi kerja yang lebih kondusif diban­ dingkan dengan pekerjaan yang kurang baik seperti nelayan, petani, buruh, dan pekerja kasar lainnya. Kelompok peker­ jaan yang disebut pertama lebih melek politik dibandingkan dengan kelompok pekerjaan kedua. Hal itu karena pekerjaan kelompok yang lebih bagus membutuhkan pendidikan dan pelatihan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan yang disebut belakangan. Seperti yang telah diba­ has di atas, konsekuensi dari pendidikan tinggi yang dimiliki adalah pemilikan terhadap cakrawala pemikiran yang lebih luas dan kesadaran yang lebih tinggi. Selain itu, suasana dan situasi kerja yang lebih kondusif yang dimiliki oleh mereka yang memiliki pekerjaan yang bagus memberikan kesem­ patan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam politik dibandingkan dengan mereka yang memiliki pekerjaan yang kurang bagus. Misalnya para notaris memiliki kesempatan yang lebih besar dibandingkan dengan para nelayan untuk melakukan berbagai aktivitas partisipasi politik. Jika pemilih­ an umum (legislatif, pilpres, atau pilkada) dilakukan pada saat nelayan melaut, maka mereka lebih mementingkan pergi mencari nafkah dibandingkan dengan menunda melaut un­ tuk ikut memberikan suara dalam pemilihan. Berbeda de­ ngan nelayan, kesempatan notaris untuk ikut memberikan suara pada suatu pemilihan umum lebih lapang. Oleh sebab itu, bisa dipahami kenapa partisipasi politik para nelayan le­ bih rendah dibandingkan para notaris. Bagaimana pula dengan variabel pendapatan? Penda­ patan merupakan variabel yang menunjukkan berapa banyak uang atau barang yang diperoleh pada jangka waktu terten­ tu, misalnya per minggu, dwimingguan, setengah bulanan atau bulanan, atas suatu pekerjaan yang dilakukan. Memang



202



http://facebook.com/indonesiapustaka



BAB 6 Parisipasi Poliik



ada kaitan erat antara pekerjaan dan pendapatan. Oleh kare­ na itu, pekerjaan yang lebih bagus cenderung mendapatkan kompensasi jumlah pendapatan yang lebih besar dibanding­ kan dengan pekerjaan yang kurang baik. Pendapatan para dokter, akuntan, notaris, pengusaha, pengacara, atau dosen cenderung lebih besar dibandingkan dengan pendapatan nelayan, petani, buruh, dan pekerja kasar lainnya. Jumlah pendapatan yang diterima dapat memengaruhi akses dan kesempatan untuk melakukan sesuatu, termasuk partisipa­ si politik. Ketika suatu pemilihan umum (legislatif, pilpres, atau pilkada) dilaksanakan pada saat hari pasar (marketday), misalnya, para pedagang dihadapkan pada dua alter­ natif, yaitu pergi berdagang atau tetap tinggal di rumah un­ tuk memberikan suara ke TPS. Dari pengalaman berbagai pemilihan umum yang telah dilakukan, para pedagang keli­ ling cenderung memilih pergi ke pasar ketimbang memberi­ kan suara di tempat pemungutan suara. Jika mereka tidak pergi ke pasar, maka peluang untuk memperoleh pendapat­ an akan tertutup, sebab sebagai pedagang peluang itu hanya ada di pasar. Hal seperti itu tidak dialami oleh individu yang berprofesi sebagai dosen. Pada saat pemilihan umum dosen cenderung pergi ke TPS untuk memberikan suara di sana. Hal itu bisa dilakukkan karena pada saat itu, semua insti­ tusi formal, termasuk perguruan tinggi, dalam keadaan libur. Karenanya mereka tidak menghadapi dilema, hal yang dia­ lami para pedagang keliling, seperti yang disebut di atas. Terakhir, bagaimana pula dengan variabel kekayaan? Va­ riabel kekayaan kelihatannya hampir mirip dengan variavel pendapatan, namun bagaimana tidak sama. Maksudnya? Setiap pendapatan dapat dipandang sebagai kekayaan dari seseorang atau kelompok orang. Namun tidak semua keka­



203



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



yaan berasal dari kekayaan. Bisa saja pendapatan seseorang dari pekerjaan yang dimilikinya relatif tidak besar, namun karena dia memiliki harta warisan yang banyak maka situa­ si dan kesempatan hidup yang dimiliki bisa lebih besar. Ar­ gumentasi tentang hubungan antara kekayaan dan partisi­ pasi politik tidak berbeda dengan argumentasi yang dimiliki ketika membahas pendapatan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Apakah terdapat variabel lain yang memengaruhi parti­ sipasi politik, selain status sosial ekonomi. Dalam berbagai literatur yang berkembang tentang hal ini, terdapat beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam menganalisis partisipasi politik selain status sosial ekonomi yang telah kita diskusikan barusan, yaitu aspek gender, budaya politik, kepemimpinan informal, dan tingkat kekecewaan terhadap realitas yang ada, termasuk realitas pemerintahan dan politik.



204



7 KOMUNIKASI POLITIK



A. PENGERTIAN KOMUNIKASI Pada Bab “Pengertian Sosiologi Politik”, kita telah men­ diskusikan pengertian komunikasi secara etimologis. Dari pengertian etimologis kata komunikasi, sebagai suatu peng­ ulangan, dapat dimengerti sebagai suatu proses penyam­ paian informasi timbal balik antara dua orang atau lebih. Informasi yang disampaikan dimungkinkan dalam beberapa bentuk seperti kata­kata, gerak tubuh, atau simbol lainnya yang memiliki makna.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dari pengertian etimologis, kita beralih bagaimana para ahli menjelaskan pengertian komunikasi. Para ahli telah mem­ berikan berbagai pandangan berbeda tentang batasan komu­ nikasi. Berikut dikutip beberapa pendapat ahli tentang ba­ tasan komunikasi.



1. Alo Liliweri Dalam Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan (2007), Alo Liliweri membuat batasan komunikasi, “merupakan proses pengalihan suatu maksud dari satu sumber kepada peneri­ ma, proses tersebut merupakan suatu seri aktivitas, rangkai­ an atau tahap­tahap yang memudahkan peralihan maksud



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



tersebut.” Di samping itu, Liliweri juga memberi pengertian komunikasi: “sebagai pengalihan suatu pesan dari satu sum­ ber kepada penerima agar dapat dipahami.”



2. Anwar Arifin Seperti yang dijelaskan dalam bukunya Ilmu Komunikasi (1998), Anwar Arifin membuat batasan yang sangat seder­ hana tentang komunikasi, yaitu “proses pernyataan antar­ manusia.”



3. Azriel Winnet Dalam portal Business Communication, Azriel Winnet membuat definisi komunikasi sebagai “segala aktivitas inter­ aksi manusia yang bersifat human relationships (hubungan manusiawi) disertai dengan pengalihan fakta.” Dari beberapa pengertian komunikasi di atas, dapat di­ tarik kesimpulan bahwa komunikasi merupakan aktivitas ma­ nusia yang mengandung: a. Sumber komunikasi. b. Pesan atau isi komunikasi. c. Media sebagai sarana, wadah, atau tempat pesan atau rang­ kaian pesan dialirkan, dialihkan atau disalurkan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



d. Cara, alat, atau metode untuk mengalirkan atau menya­ lurkan pesan. e. Penerima atau sasaran yang menerima komunikasi f. Jalinan rangkaian kegiatan antara sumber atau pengirim dengan sasaran atau penerima. g. Situasi komunikasi. h. Proses komunikasi, yakni proses satu arah, interaksi, dan proses transaksi.



206



BAB 7 Komunikasi Poliik



i. Konstruksi makna bersama atas pesan dari pengirim dan penerima yang terlibat dalam komunikasi. j. Berbagi pengalaman atas pesan yang dipertukarkan dari pengirim dan penerima yang terlibat dalam komunikasi. Dengan berbagai penjelasan di atas, kita dapat pula me­ rumuskan komunikasi sebagai suatu proses pengalihan pe­ san, (berupa data, fakta atau informasi), yang mengandung suatu maksud atau arti, dari pengirim kepada penerima yang melibatkan proses pemaknaan.



B. PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pengertian komunikasi politik dapat dimengerti dengan menandingkan makna dua konsep komunikais dan politik. Jadi komunikasi politik merupakan proses pengalihan pesan, (berupa data, fakta, informasi, atau citra), yang mengandung suatu maksud atau arti, dari pengirim kepada penerima yang melibatkan proses pemaknaan terhadap kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pe­ merintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Tentunya selain itu, pengertian komunikasi politik dapat juga dirujuk kepada berbagai pendapat para ahli. Berikut ini disajikan beberapa pandangan ahli:



1. Michael Rush dan Philip Althoff Dalam buku Sosiologi Politik­nya, Rush dan Althoff (2003) memberi pengertian komunikasi politik sebagai suatu proses di mana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu



207



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan di antara sistem sosial dan sistem politik.



2. Karl W. Deutsch Deutsch memberi batasan komunikasi politik sebagai transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu ba­ gian sistem politik kepada bagian sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik.



3. Hafied Cangara Cangara (2009) merumuskan batasan komunikasi poli­ tik sebagai suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. Jadi, menurut Cangara, perbedaan komunikasi politik dengan komunikasi lainnya adalah pada sifat dan isi pesannya.



4. Miriam Budiardjo, dkk



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam buku Pengantar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo dkk. (2005) memberikan pengertian bahwa “komunikasi politik merupakan fungsi sosialisasi dan budaya politik. Ko­ munikasi yang berjalan baik menjadi prasyarat sosialisasi politik untuk dapat berjalan dengan baik pula, sehingga bu­ daya politik dapat dilangsungkan dengan baik.” Dari empat definisi para ahli tentang komunikasi politik di atas tampak bahwa definisi yang diajukan Rush dan Althoff relatif tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Deutsch. Perbedaan antara para ahli tersebut terletak pada penggunaan konsep “suatu proses” oleh Rush dan Althoff dan konsep “transmisi” oleh Deutsch. Kedua konsep tersebut, baik proses maupun transmisi, menunjukkan suatu dinamika yang terjadi dari suatu interaksi. Sedangkan Cangara mene­



208



BAB 7 Komunikasi Poliik



kankan pada semua proses komunikasi yang memiliki sifat dan isi pesan politik. Antara Deutsch dan Cangara memi­ liki kedekatan pemikiran di mana segala sesuatu yang men­ gandung sifat dan isi yang politis maka komunikasi seperti itu disebut komunikasi politik. Berbeda dengan tiga definisi sebelumnya, Miriam Budiardjo tidak memaparkan secara te­ gas batasan dari komunikasi politik, namun dia melihat ko­ munikasi sebagai fungsi sosialisasi dan budaya politik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bagaimana pula kaitannya definisi awal yang kita jelas­ kan melalui penggabungan dua konsep dengan definisi para ahli? Dari penjelasan di atas terlihat bahwa definisi peng­ gabungan konsep yang kita ajukan memiliki kecocokan sub­ stantif dengan definisi yang dikemukakan oleh Rush dan Althoff, Rush, serta Cangara. Proses pengalihan pesan, (be­ rupa data, fakta, informasi, atau citra), yang mengandung suatu maksud atau arti, dari pengirim kepada penerima yang melibatkan proses pemaknaan memiliki kecocokan substan­ sial dengan dinamika yang terjadi dari suatu interaksi, yaitu proses dan transmisi. Dinamika yang terjadi dari suatu in­ teraksi tersebut melibatkan berbagai bagian kekuasaan yang meliputi soal kewenangan, kehidupan publik, pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan, dan pembagian atau alokasi.



C. FUNGSI KOMUNIKASI POLITIK Dalam perspektif struktural fungsional, seperti kita telah bahas dalam bab terdahulu, bahwa jika suatu bagian atau un­ sur terdapat dalam masyarakat sehingga masyarakat berta­ han, maka ia dipandang sebagai suatu unsur atau bagian yang memiliki fungsi, termasuk komunikasi politik. Komunikasi



209



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



politik, sebagai suatu unsur dari sistem politik, digerakkan oleh partai politik atau aktor politik dengan maksud untuk meraih berbagai fungsi. Banyak ahli telah membicarakan fung­ si komunikasi politik. Dari berbagai pandangan yang telah ada dalam berbagai literatur kita bisa menyimpulkan bahwa fungsi komunikasi politik meliputi:



1. Fungsi Informasi



http://facebook.com/indonesiapustaka



Seperti halnya komunikasi pada umumnya, komunikasi politik juga memiliki fungsi informasi politik, yaitu penyam­ paian pesan­pesan yang berkaitan dengan politik seperti visi, misi, tujuan, sasaran, atau arah kebijakan baik partai politik maupun aktor politik lainnya. Melalui komunikasi politik, in­ formasi atau pesan yang disampaikan oleh sumber atau pen­ girim (baik partai politik maupun aktor politik lainnya) dapat diketahui, dikenal, atau diserap oleh penerima (konstituen atau para pemilih). Sebagai fungsi informasi, komunikasi politik ditujukan kepada target sasaran, dalam hal ini penerima, dengan mak­ sud agar penerima memperoleh pengetahuan dan pengenalan tentang sesuatu yang dikomunikasikan. Pada sisi ini, komu­ nikasi politik lebih ditujukan pada aspek kognitif dari para penerima. Misalnya ketika diseminasi visi, misi, tujuan, sasar­ an, atau arah kebijakan dari suatu partai politik pada suatu acara komunikasi politik, maka tujuan kegiatan ini adalah agar para peserta acara tersebut memperoleh pengetahuan tentang visi, misi, tujuan, sasaran, atau arah kebijakan dari partai politik tersebut. Ketika seseorang yang berminat menjadi (bakal) calon bupati dalam suatu pemilihan kepala daerah pada pemilihan mendatang, misalnya, maka dia harus melakukan komunika­



210



BAB 7 Komunikasi Poliik



si politik kepada berbagai pihak, tidak hanya partai politik tetapi juga masyarakat pada umumnya. Untuk itu dia, kata­ kanlah, memasang baliho atau spanduk ucapan menyambut datangnya perayaan atau seremonial keagamaan seperti ucap­ an selamat menyambut datangnya ramadhan, kepulangan jamaah haji dari Mekkah, idul fithri, idul adha, natal, tahun baru, imlek atau nyepi. Kegiatan seperti ini sudah bisa dika­ takan sebagai suatu bentuk komunikasi politik karena pem­ beri pesan bermaksud menyampaikan bahwa dia ada di sini bersama dengan Anda. Keberadaan dia tersebut perlu dike­ tahui oleh khalayak penerima pesan. Jadi komunikasi politik tersebut ditujukan pada aspek kognitif penerima pesan.



2. Fungsi Pendidikan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Informasi utama yang disalurkan dari sumber kepada penerima adalah tentang pendidikan. Melalui komunikasi po­ litik transmisi pendidikan politik dari partai politik dan/atau aktor politik diharapkan bisa terjadi. Ada banyak isi pendidikan politik yang dikomunikasikan dalam kehidupan politik, yaitu antara lain ideologi (negara, partai politik, gerakan sosial, dan sebagainya), nilai (kebangsaan, patriotisme, demokrasi, kebebasan, dan lain­lain), praksis (visi, misi, tujuan sasaran, program, dan strategi partai politik atau aktor politik), atau keterampilan (pidato, lobi, resolusi konflik, dan lain­lain). Fungsi pendidikan politik dari suatu komunikasi poli­ tik tidak hanya dilakukan oleh partai politik tetapi juga oleh pemerintah. Media utama fungsi pendidikan politik dari suatu komunikasi politik oleh partai politik adalah pelatihan kader partai politik. Beberapa partai politik di Indonesia yang memi­ liki sistem pengkaderan yang baik seperti Partai Golongan Karya dan Partai Keadilan Sejahtera telah memiliki sistem



211



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



pendidikan politik yang mampu meyakinkan para kadernya bahwa partainya merupakan tempat berkarier politik yang baik. Pelatihan kader yang dimiliki oleh kedua partai tersebut memiliki beberapa penjenjangan atau tingkatan yang berbe­ da. Perbedaan pelatihan ditujukan untuk membedakan ka­ der, berdasarkan penjenjangan atau tingkatan yang ada, de­ ngan tugas dan fungsi yang diharapkan dalam partai. Kader partai dari kedua partai tersebut tidak hanya sekadar paham tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan ideologi, visi, misi, tujuan sasaran, program dan strategi partainya, tetapi lebih dari itu mereka para kader partai memiliki perasaan memiliki dan tanggung jawab bagi keberlangsungan bahkan kejayaan partai mereka. Oleh sebab itu, pelatihan kader se­ bagai fungsi pendidikan politik dari suatu komunikasi poli­ tik ditujukan agar memengaruhi tidak hanya aspek kognitif seseorang tetapi juga berkait dengan aspek afektif dan mo­ toriknya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam aturan perundangan yang ada, pemerintah, da­ lam hal ini lembaga yang terkait seperti beberapa institusi di pemerintahan daerah, juga memiliki kegiatan komunikasi politik yang berfungsi sebagai pendidikan politik bagi warga­ nya, terutama para pengurus lembaga swadaya masyarakat atau organisasi sosial lainnya. Pelatihan kepemimpinan, bela negara, dan lainnya merupakan kegiatan komunikasi politik yang berfungsi sebagai pendidikan politik bagi pesertanya.



3. Fungsi Instruksi Fungsi instruksi merupakan fungsi komunikasi politik yang berkaitan dengan pemberian perintah berupa kewajiban, larangan, atau anjuran. Perintah kewajiban berhubungan se­ suatu yang mau atau tidak mau, suka atau suka, sukarela



212



BAB 7 Komunikasi Poliik



atau terpaksa harus dilaksanakan atau dilakukan. Sedangkan instruksi larangan merupakan suatu perintah yang harus di­ lakukan dalam kondisi apa pun juga. Sedangkan instruksi anjuran merupakan suatu perintah untuk melakukan atau menghindari sesuatu secara sukarela.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam kehidupan politik banyak instruksi yang dikomu­ nikasikan kepada para konstituen, anggota, atau simpatisan oleh partai politik atau aktor politik. Di dalam aturan main partai politik di Indonesia terdapat aturan yang menjelaskan tentang kewajiban para kader untuk memberikan kontribusi sekian persen dari pendapatan sebagai anggota dewan (le­ gislatif) atau sebagai pejabat politik, menghadiri rapat partai, dan sebagainya. Bahkan di dalam partai kader, yaitu partai yang berbasiskan kader, seperti Partai Keadilan Sejahtera, terdapat berbagai instruksi yang dibuat secara rutin oleh de­ wan pimpinan daerah partai kepada seluruh kader untuk di­ pahami, ditaati, dilaksanakan, atau dihindari. Memang fungsi instruksi politik dari suatu komunikasi politik dari kebanyakan partai politik sering macet, hal ini berkait dengan budaya politik yang mereka miliki. Partai Go­ longan Karya sampai pemilihan umum 2009 masih merupa­ kan partai besar di republik ini. Sebagai partai besar, partai Golkar berhak untuk mencalonkan putra terbaiknya untuk maju bersaing untuk merebutkan jabatan presiden, guber­ nur, bupati atau wali kota. Oleh sebab itu, partai Golkar di banyak pemilihan (pilpres dan pilkada) ikut berkompetisi. Dari dua kali penyelenggaraan pilpres (2004 dan 2009), misalnya, ternyata pasangan yang diusung oleh partai Golkar tidak mampu menjadi pemenangnya. Jangankan jadi peme­ nang, untuk memperoleh jumlah suara nomor dua terba­ nyak saja tidak mampu. Padahal pada pemilu 2004, Golkar



213



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



sebagai peraih suara terbanyak, sedangkan pada pemilu 2009 meraih jumlah suara nomor dua terbanyak. Kenapa? Salah satu penyebabnya adalah fungsi instruksi politik dari komu­ nikasi politik partai tidak jalan. Kemacetan tersebut dikare­ nakan adanya budaya pragmatis dalam tubuh partai tersebut. Budaya politik pragmatis yang ditunjukkan oleh perilaku transaksional telah sedemikian berurat­berakar dalam tubuh partai sehingga jika tidak ada transaksional dalam fungsi instruksi politik dari komunikasi politik partai maka jangan harap akan dipatuhi oleh para kader partai.



http://facebook.com/indonesiapustaka



4. Fungsi Persuasi Fungsi persuasi adalah fungsi komunikasi politik yang berhubungan dengan kemampuan untuk memengaruhi orang lain sehingga melakukan, melaksanakan atau mengubah se­ suatu seperti yang diharapkan oleh pemberi pesan (pengi­ rim/sumber). Melakukan, melaksanakan atau merubah se­ suatu berkait dengan aspek kognisi, afeksi, dan sikap serta perilaku. Fungsi persuasi politik dari komunikasi politik ber­ langsung intens ketika musim pemilihan (pileg, pilpres dan pilkada) tiba. Kegiatan kampanye pemilihan umum melalui berbagai media, misalnya, bertujuan agar penerima pesan (konstituen, simpatisan atau anggota) melakukan, melaksa­ nakan atau merubah sesuatu sesuai dengan keinginan atau ke­ hendak pengirim pesan (partai politik atau aktor politik lain­ nya). Fungsi persuasi politik dari komunikasi politik dilaku­ kan dengan berbagai cara, yaitu antara lain menyajikan mimpi masa depan yang indah melalui janji implementasi visi, misi, tujuan, sasaran, atau arah kebijakan. Bagi penerima pesan yang berorientasi rasional instrumental dan rasional nilai,



214



BAB 7 Komunikasi Poliik



berdasarkan perspektif Weber, tawaran seperti itu dapat menjadi pemikat untuk melaksanakan seperti yang diharap­ kan oleh pemberi pesan. Selain itu, persuasi politik bisa juga dilakukan melalui sentuhan emosional penerima pesan se­ perti melalui cinta, kasih, atau perhatian. Persuasi seperti ini dapat menembus relung emosional dari penerima pesan yang berorientasi pada tindakan afeksional. Di samping itu, per­ suasi juga dilakukan oleh pemberi pesan melalui sentuhan yang berhubungan dengan tradisi misalnya soalnya perlunya menjaga budaya, adat atau tradisi yang luhur. Hal ini bisa terjadi apabila penerima pesan berorientasi pada tindakan tradisional.



http://facebook.com/indonesiapustaka



5. Fungsi Hiburan Fungsi hiburan merupakan fungsi komunikasi politik yang menyampaikan pesan­pesan hiburan di antara berba­ gai rangkaian isi pesan yang dikomunikasi. Dalam rangkaian acara rapat atau pertemuan politik, misalnya, terdapat acara hiburannya seperti lawak, band, atau nasyid. Tidak jarang penyampaian orasi atau pidato politik diselingi pula dengan humor, anekdot, atau lawakan. Dalam realitas kampanye partai politik pada masa kampanye pemilihan umum, misal­ nya, kegiatan tersebut dipandang sebagai salah satu sarana hiburan lima tahunan. Sebab ketika masa kampanye, partai politik berusaha mengajak massa sebanyak mungkin untuk menghadiri pelaksaan kampanye politik yang mereka laku­ kan. Agar bisa maka parpol tersebut menyediakan kendaraan umum untuk sampai ke arena kampanye, baju kaus atau atribut lainnya, dan tidak lupa menyediakan uang saku be­ serta makanan. Bagi masyarakat, kegiatan kampanye seperti itu sangat diminati karena ada hiburan gratis yang dikasih makan, bahkan diberi uang saku.



215



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Tidak hanya itu. Jika kita telisik apa yang dilakukan oleh partai politik dalam pemilihan umum 2009 dan tim kampa­ nye pasangan capres pada pemilihan presiden 2009 maka kita akan temukan berbagai materi kampanye, marketing dan demarketing yang dilakukan melalui berbagai media televisi, radio, dan surat kabar, memberikan hiburan yang menarik bagi penerima pesan. Tayangan atau siaran kampanye yang disajikan memberikan hiburan tidak hanya kepada orang dewasa tetapi juga kepada anak­anak yang belum mengerti apa itu politik. Pesan­pesan iklan kampanye yang ceria dan komunikatif melalui televisi dan radio dari Partai Demokrat membuat tidak hanya orang dewasa bahkan anak­anak men­ jadi senang dan terhibur mendengarkan atau menontonnya. Selain itu, singkatan partai juga menjadi pelesetan, yang bisa menghibur tetapi juga bisa menyakitkan bagi yang men­ jadi bagian dari partai tersebut. Berikut beberapa pelesetan yang beredar di tengah masyarakat tentang kepanjangan dari suatu partai:



http://facebook.com/indonesiapustaka



PKB PKP PBB Golkar



= = = =



Partai Kiai Buta Partai Kalah Perang Partai Bolak Balik Gerakan Orang Lama Kayaknya Anti Reformasi



Fungsi hiburan dalam komunikasi politik pada satu sisi, bisa menjadi fungsi informasi yang berdimensi demarketing atau negatif pada sisi lain. Begitulah fungsi hiburan dalam komunikasi politik.



D. MODEL KOMUNIKASI POLITIK Model komunikasi politik menunjuk pada suatu pola da­ ri suatu proses komunikasi yang berkaitan dengan berbagai



216



BAB 7 Komunikasi Poliik



aktivitas aliran informasi. Dalam komunikasi politik, paling sedikit, terdapat tiga model yang digunakan:



1. Model linier Dalam literatur komunikasi terdapat banyak pembaha­ san tentang model linear komunikasi. Salah satu model li­ nier yang sering dirujuk adalah model Laswell. Model lini­ er Laswell merupakan jawaban terhadap pertanyaan What says What to Whom through Which channel and with What Effect? Model ini menggambarkan arah linier komunikasi dari sumber, pesan, dan penerima. Dalam komunikasi poli­ tik, model linear digunakan oleh sumber, dalam hal ini partai politik atau aktor politik, untuk menginformasikan, men­ didik, memberikan instruksi, membuat hiburan, atau me­ mengaruhi sasaran, dalam hal ini konstituen. Model Laswell sering digunakan dalam kampanye politik yang bersifat mo­ nologis. Untuk memahami Model Laswell, berikut disajikan gambar berikut ini.



Who (sumber)



What (sumber)



Channel (saluran)



Whom (penerima)



Efect (berperilaku sesuai harapan sumber)



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gambar 7.1. Model Komunikasi Maswell



Dalam komunikasi massa politik, penggunaan saluran media cetak atau elektronik sangat membantu tugas atau ak­ tivitas pemberi pesan. Banyak saluran media massa yang da­ pat digunakan dalam komunikasi politik, yaitu antara lain televisi, radio, surat kabar, majalah, tabloid, poster, pamflet, stiker, kalender, dan baliho. Dalam masa kampanye pemili­ han umum, presiden dan kepala daerah, misalnya, partai po­



217



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



litik, calon presiden atau calon kepala daerah menginforma­ sikan tentang apa, siapa dan mengapa agar para konstituen yang sedang mendengar atau menonton terpengaruh melalui berbagai media massa seperti yang disebut di atas. Kampanye seperti ini bersifat monologis atau satu arah, sehingga isi dan kemasan iklan yang dibuat harus komunikatif agar setiap la­ pisan masyarakat memahami dan terpengaruh terhadap pe­ san yang disampaikan. Komunikasi massa politik dapat dilakukan oleh suatu pi­ hak agar aktor politik sebagai pemimpin opini, khususnya elite politik (legislatif dan eksekutif), mendengar pesan un­ tuk melakukan suatu kebijakan publik. Untuk sederhananya dapat dilihat gambar di bawah ini.



Sumber



Pesan



Media Massa



Pemimpin Opini



Kebijakan (Publik)



Gambar 7.2 Model Komunikasi Massa Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



2. Model Interaksi Secara sederhana interaksi, seperti telah didiskusikan pa­ da bab awal, dipahami sebagai suatu tindakan timbal balik; bukan tindakan sepihak atau satu arah, tetapi tindakan dua arah. Dalam model ini, suatu komunikasi politik tidak dipan­ dang sebagai proses stimuli­respons yang mekanik, tetapi sebaliknya suatu proses aksi reaksi yang dinamis yang di­ antarai oleh adanya interpretasi atau proses pemaknaan dari penerima pesan. Komunikasi politik dikatakan berhasil apa­ bila pemahaman makna atau makna yang dikonstruksi ten­ tang pesan antara sumber (pemberi informasi) dan penerima



218



BAB 7 Komunikasi Poliik



tidak berbeda (sama) dan penerima melakukan sesuatu se­ suai dengan yang diharapkan oleh sumber. Proses ini berawal dari sumber mengolah pesan. Kemu­ dian pesan tersebut disalurkan melalui media. Pesan yang disampaikan lewat media tersebut diinterpretasi oleh pene­ rima. Proses interpretasi penerima pesan akan relatif sama dengan apa yang dimasud oleh sumber, apabila antara sum­ ber dan penerima pesan memiliki latar belakang yang sama. Hasil dari interpretasi atas pesan oleh penerima akan berujud umpan balik dalam bentuk aksi atau perilaku yang dilakukan oleh penerima. Berikut gambar yang diharapkan bisa mema­ hami secara mudah model interaksi ini.



Pesan disampaikan sumber lewat media



Interpretasi atas pesan oleh penerima



Umpan balik dalam bentuk perilaku oleh penerima



Gambar 7.3 Model Interaksi Komunikasi Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Model Transaksional Transaksional menunjuk pada suatu proses transaksi an­ tara seseorang dengan orang lain. Dengan kata lain, model komunikasi ini terjadi dalam komunikasi antarpersonal oleh dua orang partisipan komunikasi. Dalam transaksi terdapat proses dialogis, yaitu proses bersama dalam pembentukan makna. Dalam model transaksional komunikasi politik, ke­



219



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dua belah pihak aktif saling bertukar pesan dan interpretasi. Artinya, pesan yang disampaikan diinterpretasi. Hasil in­ terpretasi disampaikan dan menjadi pesan. Proses tersebut berakhir ketika telah terbentuk suatu pemahaman bersama terhadap suatu pesan.



E. KOMUNIKATOR POLITIK Siapa yang mengomunikasikan pesan politik (berupa da­ ta, fakta, informasi, atau citra) kepada penerima? Terdapat beberapa aktor yang melakukan komunikasi politik, yaitu antara lain:



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Politisi Agar satu pemahaman tentang konsep komunikator po­ litik, maka setiap pembahasan siapa saja yang masuk perlu diberi batasan. Rumusan batasan yang kita miliki bisa saja berbeda dengan yang dimiliki oleh ahli lain. Konsep politi­ si, oleh sebab itu, dalam konteks Indonesia dapat dipahami sebagai orang yang beraktivitas untuk memengaruhi orang lain dalam rangka mengincar, mendapatkan atau mendu­ duki suatu jabatan politik, yaitu suatu jabatan yang diper­ oleh karena ada kaitannya dengan keputusan politik (melalui pemilihan umum atau seleksi lembaga legislatif) seperti ja­ batan presiden, anggota perwakilan rakyat (DPR, DPD, dan DPRD), menteri, kepala daerah, anggota mahkamah agung, anggota Mahkamah Konstitusi, ketua Kejaksaan Agung, ke­ pala kepolisian, panglima TNI, anggota komisioner (KPK, KPU, dan lain­lain), anggota Badan Pemeriksaan Keuangan, dan sebagainya. Batasan konsep politisi di atas sekali lagi harus dipahami



220



BAB 7 Komunikasi Poliik



dalam konteks Indonesia. Oleh sebab itu, bisa saja batasan konsep politisi berbeda bila dihubungkan dengan fenomena politik di Amerika atau Eropa Barat, misalnya.



2. Profesional



http://facebook.com/indonesiapustaka



Profesional merupakan komunikator yang dibayar kare­ na dia dipandang memiliki keahlian, kompetensi, kapabilitas, atau kepakaran untuk mengomunikasikan sesuatu yang ber­ hubungan dengan politik agar maksud yang dikehendaki pem­ beri dana tercapai. Profesional sebagai komunikator politik bisa saja merupakan individu dan dapat pula sebagai ke­ lompok individu. Jika individu sebagai profesional dalam ko­ munikasi politik, maka ia dipandang sebagai konsultan atau penasihat dalam mengomunikasikan politik. Dia dimintakan pandangan tentang apa dan bagaimana mengomunikasikan sesuatu yang berkaitan dengan politik dan dalam konteks apa sesuatu itu efektif dan efisien dikomunikasikan. Dalam kon­ teks ini, tidak jarang terjadi seorang yang dikatakan pakar dalam suatu bidang dimintakan pendapatnya, melalui re­ kayasa media, agar yang mengontraknya terdongkrak pula tingkat kepopularannya. Atau sebaliknya agar pesaing dari yang mengontraknya anjlok citra yang dimilikinya. Sedangkan profesional dalam bentuk kelompok indivi­ du biasanya merupakan perusahaan penjual jasa keahlian se­ perti Fox Indonesia atau Lingkaran Survey Indonesia. Me­ reka merancang segala sesuatu dari A sampai Z tentang marketing politik dari suatu partai dan pasangan calon presi­ den atau calon kepala daerah. Mereka melakukan berbagai survei seperti tingkat pengetahuan, persepsi, dan keinginan terhadap suatu partai atau calon presiden atau calon kepala daerah secara periodik. Berdasarkan data tersebut mereka



221



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



melakukan marketing terhadap partai atau calon presiden atau calon kepala daerah yang membayar mereka serta mem­ buat demarketing terhadap pesaing dari pembayar mereka.



3. Aktivis Aktivis merupakan individu atau kelompok orang yang melakukan berbagai kegiatan atau aktivitas pemberdayaan atau advokasi masyarakat yang tidak ada kaitannya dengan suatu partai politik tertentu. Mereka melakukan kegiatan ter­ sebut didasarkan atas idealisme tertentu yang mereka miliki. Sebagian besar kelompok aktivis adalah mereka yang men­ jadi bagian dari civil society. Di antara mereka memiliki jar­ ingan lokal, nasional, bahkan global. Oleh sebab itu, aktivis sebagai komunikator politik dilaksanakan dalam kaitannya dengan gerakan sosial yang dimainkannya. Mari kita ambil sebuah contoh gerakan antipolitisi busuk. Gerakan ini meru­ pakan gerakan yang dimotori oleh para aktivis antikorupsi. Mereka melakukan komunikasi politik melalui berbagai cara agar rakyat Indonesia tidak memilih mereka.



http://facebook.com/indonesiapustaka



4. Tokoh Masyarakat Kenapa tokoh masyarakat dikelompokkan sendiri seba­ gai komunikator politik? Bukankah tokoh masyarakat bisa dikelompokkan ke dalam aktivis? Memang dimungkinkan terdapat tokoh masyarakat menjadi aktivis atau seorang ak­ tivis karena kegiatannya sukses, maka ia dipandang oleh ma­ syarakat sebagai tokoh masyarakat. Dalam konteks ini, to­ koh masyarakat tidaklah dipandang seperti kategori yang barusan, namun dia adalah orang yang dihormati oleh ko­ munitasnya, “pergi tempat bertanya, pulang tempat berberi­ ta”, demikian kata bijak Melayu. Tokoh masyarakat adalah



222



BAB 7 Komunikasi Poliik



orang yang menjadi rujukan berpendapat dan berperilaku dari komunitasnya. Tokoh masyarakat bisa saja dari kalang­ an agamawan seperti ulama, pendeta, pastor, dan lainnya; atau dari kalangan pemangku adat seperti ninik mamak di Minangkabau, teuku di Aceh, dan lainnya; atau bisa juga dari kalangan cerdik cendikia, yaitu orang­orang yang dipandang memiliki pemahaman luas atau visi yang jauh ke depan ten­ tang kehidupan komunitas mereka. Pada menjelang musim pemilihan, biasanya, para politisi melakukan “silaturahmi” atau “sowan” politik kepada para tohoh masyarakat untuk memperoleh “restu” mereka. Kepemilikan “restu” politik da­ ri para tokoh masyarakat diharapkan akan menjadi bekal politisi untuk mendapatkan “pengaruh” yang melekat dari suatu “restu”. Fenomena ini memperlihatkan bahwa tokoh masyarakat masih dipandang sebagai komunikator politik yang relevan untuk memperjuangkan atau memfasilitasi ke­ inginan para politisi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



5. Elite Birokrasi Kenapa pula elite birokrasi dipandang sebagai komuni­ kator politik? Dalam konteks birokrasi Indonesia, elite bi­ rokrasi merupakan pejabat karier. Seseorang menjadi elite birokrasi seperti direktur jenderal, sekretaris jenderal, ins­ pektorat jenderal, sekretaris daerah, kepala biro, kepala di­ nas, kepala bagian, dan lainnya karena dipandang memiliki prestasi atau memiliki kompetensi dalam karier yang sedang dijalaninya. Memang tidak semua elite birokrasi tidak bisa dipandang sebagai komunikator politik, namun sebagian be­ sar dari mereka melakukan komunikasi politik karena tugas dan fungsi dari jabatan yang diembannya. Seorang sekreta­ ris daerah, misalnya, harus menjelaskan tentang rancangan



223



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



pembangunan daerah untuk lima tahun mendatang di depan anggota dewan untuk mewakili kepala daerah yang berha­ langan hadir. Atau dia harus memberikan kata sambutan di depan peserta pelatihan bela negara karena ditugaskan oleh kepala daerah untuk mewakilinya. Oleh sebab itu, elite bi­ rokrasi melakukan komunikasi politik karena perintah dari jabatan yang diembannya.



6. Penyambung Lidah



http://facebook.com/indonesiapustaka



Penyambung lidah dimaksud di sini adalah suatu fung­ si komunikasi yang dijalankan oleh orang atau kelompok orang untuk menyambungkan atau menyebarluaskan apa yang telah disampaikan oleh suatu sumber kepada orang lain. Penyambung lidah tidak sama dengan semua jenis komunika­ tor yang telah diperbincangkan di atas. Penyambung lidah tidak termasuk dalam kelompok politisi, sebab mereka tidak punya motif atau ambisi untuk mengincar, mendapatkan atau menduduki suatu jabatan politik. Mereka juga tidak dibayar karena melakukan komunikasi politik seperti yang dilakukan oleh para profesional. Mereka tidak pula termasuk sebagai aktivis, elite birokrasi, ataupun tokoh masyarakat. Mereka adalah orang atau kelompok orang yang secara sukarela, tidak ada aktivitas transaksional, untuk mengomunikasikan agen­ da politik. Dalam masyarakat perdesaan Indonesia terdapat bebe­ rapa sentra informasi yang mengalirkan berbagai informasi, termasuk politik. Salah satunya adalah warung, lapau, lapo, atau kedai kopi. Sebagian dari masyarakat pedesaan pergi ke warung untuk menikmati sarapan pagi berupa gorengan atau makanan tradisional lainnya. Pada saat di warung, sam­ bil menikmati sarapan mereka mengobrol berbagai macam



224



BAB 7 Komunikasi Poliik



topik termasuk persoalan politik. Di antara mereka tentu ada yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan suatu informasi, termasuk informasi tentang politik, dengan me­ narik, sehingga orang yang hadir dalam warung tersebut ter­ pikat olehnya. Fenomena seperti ini yang dimaksud dengan penyambung lidah dalam komunikasi politik.



F. ANTARA KOMUNIKASI, KAMPANYE, DAN MARKETING POLITIK Sejauh ini kita telah mendiskusikan komunikasi politik dengan berbagai dimensinya. Komunikasi politik, seperti yang telah kita bahas, merupakan komunikasi yang berkaitan de­ ngan segala sesuatu yang berhubungan dengan politik. Oleh sebab itu, komunikasi politik tidak hanya dipahami seba­ gai komunikasi yang berhubungan bagaimana memengaruhi orang lain agar memberikan suara seperti yang diharapkan pada suatu pemilihan, tetapi lebih luas dari itu seperti me­ ngomunikasikan berbagai aturan perundangan dan kebijak­ an, ideologi negara, paham kebangsaan, isi pendidikan ke­ warga negaraan, dan lain sebagainya. Selanjutnya, kita perlu menjawab pertanyaan tentang apa perbedaan antara komu­ nikasi politik, kampanye politik, dan marketing politik?



http://facebook.com/indonesiapustaka



1. Kampanye Politik Pada bagian ini kita mendiskusikan beberapa hal yang berkaitan dengan komunikasi politik, yaitu antara lain pe­ ngertian kampanye politik, perbedaan antara kampanye po­ litik dan kampanye pemilihan umum, dan sejarah singkat kam­ panye di Indonesia.



225



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



a) Pengertian Kampanye Politik



Jika kita telusuri pengertian kampanye politik, maka salah satu caranya adalah dengan merujuk kepada kamus. Bila kita menelusuri Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kampanye dipahami sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan keduduk­ an di parlemen dan sebagianya untuk mendapat dukungan massa pemilih di suatu pemungutan suara. Sedangkan bila kita mencoba melakukan pemahaman emik tentang kampanye, maka ia dimengerti sebagai suatu komunikasi yang ditujukan untuk memengaruhi orang atau kelompok lain agar menggunakan atau tidak menggunakan suara seperti yang diharapkan oleh pelaku kampanye pada suatu pemilihan. Bagaimana pula dengan batasan pengertian kampanye politik yang dibuat oleh berbagai ahli? Berikut kita coba pa­ hami 3 orang ahli, yaitu: 1. Pippa Norris



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam A Virtous Circle: Political Communication in Industrial Sociaties, Norris (2000) memberikan pengertian kampanye politik sebagai proses komunikasi politik, di mana partai politik atau kontestan individu berusaha mengomu­ nikasikan ideologi ataupun program kerja yang mereka ta­ warkan. 2. Haied Cangara



Dalam bukunya Komunikasi Politik, Cangara (2009: 275­ 76) membuat batasan dari pengertian kampanye politik se­ bagai aktivitas komunikasi yang ditujukan untuk memenga­ ruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai dengan kehendak penyebar atau pemberi informasi.



226



BAB 7 Komunikasi Poliik



3. Ronald E. Rise dan William J. Paisley



Dalam buku Public Communication Campaign, Rise dan Paisley menjelaskan kampanye politik sebagai strategi kon­ trol sosial dalam rangka mengarahkan psikologi dan perilaku pemilih untuk menyesuaikan dan pada saatnya menuruti apa yang diprogramkan oleh partai politik. Pengertian kampanye politik yang ditelusuri melalui ka­ mus dan pengertian emik menunjukkan cakupan batasan pengertian yang relatif tidak longgar, sehingga kampanye yang berdimensi politik oleh civil society tidak terlingkup di dalamnya. Padahal bisa saja aktivis dari civil society melaku­ kan kampanye politik secara nasional, misalnya, untuk meno­ lak politisi busuk untuk masuk ke dalam lembaga legislatif. Batasan yang diberikan oleh Norris serta Rise dan Paisley tentang kampanye politik termasuk dalam kategori ini, yaitu pengertian yang relatif sempit. Sedangkan pengertian kam­ panye politik yang relatif lapang adalah seperti yang ditulis oleh Cangara, sehingga aktivitas politik dari civil society ter­ cakup di dalamnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b) Kampanye Politik vs. Kampanye Pemilihan Umum



Secara sederhana, melalui pemahaman konsep, kampa­ nye pemilihan umum lebih kecil cakupannya dibandingkan dengan kampanye politik. Sebab pemilihan umum merupa­ kan salah satu dari beragam aktivitas politik yang ada. Pe­ mahaman tersebut muncul ketika Indonesia memasuki era baru dalam pemilihan umum yang lebih bebas, yaitu tepatnya pemilihan umum tahun 1999. Kemudian diperkuat dan di­ pertegas dengan berbagai pemilihan umum yang mana yang dipilih terutama orang bukan partai politik, terutama pemilih­ an umum dan pemilihan presiden 2004 dan berikutnya serta



227



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



bebagai pemilihan kepala daerah di Indonesia. Sebelumnya kampanye politik dipahami sebagai aktivitas pengumpulan massa, parade, orasi politik, pemasangan atribut partai, dan pengiklanan partai dalam jangka waktu yang telah ditentu­ kan oleh panitia pemilihan (Firmanzah, 2008). Pengertian kampanye politik sebatas periode tertentu, menurut Firmanzah (2008: 273­274), memiliki beberapa kelemahan. Pertama, interaksi politik antara partai politik dan publik seolah­olah hanya dalam periode tertentu saja, yaitu selama waktu kampanye pemilu saja. Kedua, komunika­ si cenderung dilakukan secara monologis, sehingga kesamaan pemahaman dan pandangan antara partai dan publik sukar didapatkan. Ketiga, publik dipandang sebagai objek, dibutuh­ kan hanya suaranya pada saat mencontreng. Keempat, publik disodorkan hal­hal yang parsial, oportunis, dan insidensial, sehingga pendidikan politik tidak dilakukan secara kompre­ hensif. Oleh karena itu, perlu redefinisi terhadap kampanye politik. Melalui redefinisi tersebut, Firmanzah membedakan antara kampanye politik dan kampanye pemilihan umum.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk memahami perbedaan antara kampanye politik dan kampanye pemilihan umum, Firmanzah membuat ta­ bel perbandingan antara kampanye politik dan kampanye pemilihan umum dapat merujuk pada pemikiran Firmanzah (2008: 276). Dari Tabel 7.1 tampak bahwa kampanye pemilu meru­ pakan bagian dari kampanye politik. Bagi Firmanzah kam­ panye politik saling melengkapi dengan kampanye pemilu dan bukannya harus memilih salah satu. Meskipun kampa­ nye pemilu memiliki keterbatasan, namun kampanye pemilu sangat diperlukan untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali reputasi dan image politik yang telah dibangun. Se­



228



BAB 7 Komunikasi Poliik



Tabel 7.1 Perbandingan antara Kampanye Poliik dan Kampanye Pemilu Kampanye Pemilu



Kampanye Poliik



Jangka dan batas Periodik dan tertentu waktu



Jangka panjang dan terusmenerus



Tujuan



Menggiring pemilih ke bilik suara



Image poliik



Strategi



Mobilisasi dan berburu pendukung Push-markeing



Membangun dan membentuk reputasi poliik Pull-markeing



Komunikasi Poliik



Satu arah dan penekanan kepada janji dan harapan poliik kalau menang pemilu



Interaksi dan mencari pemahaman beserta solusi yang dihadapi masyarakat



Sifat Hubungan antara Kandidat dan Pemilih



Pragmais/transaksi



Hubungan relasional



Produk Poliik



Janji dan harapan poliik Figur kandidit dan program kerja



Pengungkapan masalah dan solusi Ideologi dan sistem nilai yang melandasi tujuan partai



Sifat Program Kerja



Market-oriented dan berubah-ubah dari pemilu satu ke pemilu lainnya



Konsisten dengan sistem nilai partai



Retensi Memori Kolekif



Cenderung mudah hilang



Tidak mudah hilang dalam ingatan kolekif



Sifat Kampanye



Jelas, terukur dan dapat dirasakan langsung akivitas isiknya



Bersifat laten, bersikap kriis, dan menarik simpai masyarakat



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sumber: Firmanzah (2008: 276)



dangkan kampanye pemilu yang serba singkat tersebut perlu didukung terus­menerus melalui kampanye politik yang ber­ sifat jangka panjang, sehingga janji dan harapan politik yang ditawarkan pada masa kampanye pemilu diperkuat melalui reputasi dan image politik.



229



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



c) Sejarah Singkat Kampanye Politik di Indonesia



Seperti telah disinggung di atas, pemahaman kampa­ nye politik di Indonesia sampai sebelum pemilu 1999 masih sebatas kampanye pemilu. Hal tersebut dipertegas oleh Fir­ manzah yang menyebutkan bahwa “kampanye politik yang selama ini dilakukan terbatas pada kampanye partai politik untuk memenangkan kursi DPR, untuk selanjutnya juga di­ lakukan untuk memenangkan calon presiden.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Pada pemilu 1955 kontestan yang ikut dalam kompetisi memperebutkan suara sebanyak 28 partai politik. Pemilu per­ tama tersebut menghasilkan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai pemenang dengan 8.434.653 suara (57 kursi), diikuti Masyumi 7.903.886 suara (57 kursi), kemudian NU 6.955.141 suara (45 kursi), dan PKI 6.176.914 suara (39 kursi). Sisanya adalah partai­partai gurem yang memiliki jumlah suara seki­ tar satu juta dan kurang. Pada masa tersebut, kampanye di­ lakukan dengan mengandalkan penyebaran tanda gambar, ketokohan pengurus partai, pengerahan massa dalam ra­ pat umum terbuka, serta mengajak memilih pada saat me­ nit­menit menjelang pemilihan dilakukan, dikenal dengan “Serangan Fajar.” Pada era pemerintahan Soeharto, pemilu dilaksanakan sebanyak 6 kali, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, dengan kemenangan mutlak diraih oleh Golongan Karya. Pada pemilu pertama di masa Orde Baru, yaitu tahun 1971, diikuti oleh sepuluh kontestan, yaitu Golongan Karya, NU, Parmusi, Perti, PSII, PNI, Partai Katolik, Parkindo, Partai Murba, dan IPKI. Pada pemilu ini, Golkar mendu­ lang 227 kursi (62,8 %), NU meraih 58 kursi (18,67%), dan Parmusi 24 kursi (7.36 %). Sedangkan sisanya diperoleh oleh partai­partai kecil sekitar 10 kursi atau di bawahnya.



230



BAB 7 Komunikasi Poliik



Bagaimana Golkar bisa memenangkan pemilu sedang suara mayoritas? Apakah karena kampanye politik sangat efektif dan mumpuni? Atau ada faktor lain?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Jika ditelusuri apa yang dilakukan oleh Golkar dalam kampanye pemilu 1971 tidak berbeda dengan apa yang di­ lakukan oleh partai politik peserta pemilu pertama tahun 1955, yaitu penyebaran tanda gambar, ketokohan pengurus partai, pengerahan massa dalam rapat umum terbuka, dan “serangan fajar.” Perbedaan yang mencolok dalam pengerah­ an massa pada rapat umum terbuka yang dilakukan oleh Golkar, yang tidak dilakukan oleh Parpol lain dan pemilu ta­ hun 1955, adalah memobilisasi para selebiriti (penyanyi, pe­ nari, dan band) dari berbagai tingkatan, baik nasional maupun lokal, melalui Tur Safari. Kunci kemenangan Golkar dalam pemilu 1971, menurut Liddle (1992), terletak pada politik “ketakutan”, yaitu penggunaan berbagai cara intimidasi atau tekanan melalui mesin militer dan birokrasi sehingga muncul rasa takut yang berakhir pada pemberian suara kepada yang punya kuasa untuk memunculkan ketakutan. Politik “ketakutan” tersebut dikenal dalam cultural studies sebagai politicum horribilis, yaitu penggunaan elemen­ elemen kekerasan dan ketakutan sebagai bagian strategi politik (Piliang, 2006: 89­105). Hal ini memperlihatkan bagaimana pertautan antara kekuasaan dan kekerasan. Berbagai cara, trik, dan strategi digunakan seperti tidak mengizinkan orang masuk suatu pasar apabila belum menyatakan diri sebagai anggota partai, memberikan stigma subversif jika tidak ikut kampanye suatu partai, menandai atau menomori surat sua­ ra, tidak membangun infrastruktur jika partai lain menang pada suatu daerah, mempersulit kegiatan tokoh yang berse­ berangan, mengumumkan ada kelompok yang akan melaku­



231



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



kan kegiatan anti­pemerintah sementara karakteristik kel­ ompok tersebut sama dengan partai oposisi, atau memaksa orang agar pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) oleh aparat pertahanan keamanan. Siapakah yang dapat menggu­ nakan berbagai cara, trik, dan strategi tersebut? Aktor yang mampu melakukan semua itu adalah pihak yang memiliki kekuasaan. Bagaimana pula kampanye politik pada masa tiga partai ala Orde Baru? Melalui Undang­Undang No. 4 Tahun 1975 dikeluarkan kebijakan penyederhanaan jumlah partai dari 10 partai menjadi 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya. PPP merupakan fusi dari partai­partai yang memiliki akar massa pendukung kelompok Islam yaitu NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Sedangkan PDI merupakan fusi dari par­ tai­partai yang berakar pendukung kelompok Kristen yaitu Partai Katolik dan Parkindo serta kelompok abangan yaitu PNI, Partai Murba, dan IPKI. Politik “ketakutan” yang di­ lakukan oleh Golkar pada tahun 1971 dipandang sebagai suatu kelaziman pada masa kampanye politik berikutnya, yaitu pada masa tiga partai ala Orde Baru. Apa yang dilaku­ kan oleh Golkar tersebut sebenarnya bertentangan dengan hakikat dari kampanye politik. Sebab, menurut Cangara (2009: 276), suatu kesalahan jika kampanye dilakukan dengan cara­ cara yang tidak simpatik karena sasaran kampanye adalah merebut hati orang lain agar ia bersedia menerima dan men­ dukung partai atau calon yang ditawarkan. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No­ mor 35 Tahun 1985, maka kempanye pemilu 1987 bisa dise­ barluaskan melalui RRI dan TVRI. Kampanye pemilu melalui RRI dan TVRI bentuknya berupa penayangan pidato­pidato



232



BAB 7 Komunikasi Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



kampanye yang bersifat monologis oleh wakil­wakil peserta pemilu. Juga patut dipahami bahwa pada masa itu RRI dan TVRI merupakan media propaganda politik pemerintah, se­ hingga durasi tayangan kampanye pemilu partai pemerintah, ketika itu Golkar, lebih lama ketimbang partai politik lainnya (Danial, 2009). Demikian pula pada pemilu 1992 dan 1997, perbedaan perlakuan antara Golkar dan dua partai tidak berbeda dengan pemilu sebelumnya. Perbedaan yang patut dicatat adalah adanya kampanye pemilu monologis pada 1992 di RRI dan TVRI dan dialogis pada 1997, yang mana siaran tersebut wajib ditayangkan oleh lembaga penyiaran swasta secara nasional. Selain itu eskalasi perbedaan terh­ adap partai pemerintah semakin meningkat, terutama pada pemilu 1997. Warga negara yang punya hak pilih semakin muak dengan intimidasi dan rekayasa gaya Orde Baru. Ma­ syarakat semakin gerah melihat kondisi Indonesia yang se­ makin kolusif, koruptif, dan nepotis. Kegerahan tersebut diperparah oleh situasi lingkungan yang dilanda kekering­ an dan dipertajam oleh krisis moneter. Muara dari semua bentuk kegerahan tersebut adalah tumbangnya suatu rezim otoriter yang termasuk paling lama berkuasa di Asia, yaitu penyerahan kekuasaan Presiden Soeharto kepada wakilnya B. J. Habibie. Tumbangnya rezim Orde Baru menandai lahirnya era baru suatu tatanan kehidupan politik, yang dikenal sebagai Orde Reformasi. Dalam era baru, hak­hak politik warga ne­ gara tidak lagi dihambat, misalnya siapa saja boleh mendi­ rikan partai politik sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan penyelenggara pemilihan umum tidak lagi merupakan tugas pemerintah tetapi oleh lembaga lain yang berada di luar pemerintah. Perubahan tatanan kehidup­



233



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



an politik tersebut membawa dampak terhadap pemahaman tentang kampanye politik. Perubahan pemahaman tentang kampanye politik telah melahirkan pendekatan baru, salah satunya adalah marketing politik.



2. Marketing Politik Dalam bagian ini kita akan membicarakan beberapa hal tentang marketing politik, yaitu antara lain pengertian kon­ sep marketing politik, empat elemen marketing politik, dan sejarah singkat marketing politik di Indonesia. a) Pengertian Marketing Politik



Untuk memahami konsep marketing politik terlebih da­ hulu kita mendiskusikan batasan dari pengertian dari suatu konsep. Untuk itu kita mencoba melakukannya dengen be­ berapa cara, yaitu rujukan kamus, pengertian emik, dan pe­ ngertian ahli.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Jika kita merujuk pada Kamus Inggris-Indonesia, marketing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pemasaran. Kemudian bila kita mencoba memahami makna pemasaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di­ temukan pengertiannya sebagai proses, cara, perbuatan me­ masarkan suatu barang dagangan. Selanjutnya apabila kita mencoba memahaminya melalui pendekatan emik, maka pemasaran dipahami sebagai suatu proses menjual sesuatu agar orang lain (pembeli potensial) tertarik untuk membelinya. Jika sesuatu itu dikaitkan dengan politik maka pemahaman emik dari pemasaran politik dapat dijelaskan sebagai suatu proses menjual ide, gagasan, pro­ gram, termasuk citra diri agar orang lain mau “membeli”nya.



234



BAB 7 Komunikasi Poliik



Membeli di sini dimengerti sebagai memilih atau memberi­ kan suara kepada penjual. Bagaimana pula pandangan para ahli tentang penger­ tian marketing politik? Berikut ini didiskusikan beberapa pandangan ahli: 1. P. J. Mareek



Dalam bukunya Political Marketing and Communication, Mareek (1995: 2) menjelaskan marketing politik sebagai suatu proses yang kompleks dari hasil suatu usaha yang leb­ ih global dari implikasi semua faktor dari komunikasi politik dari para politisi. 2. Firmanzah



Dalam bukunya Marketing Politik (2008), Firmanzah menjelaskan marketing politik sebagai metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman mengenai ma­ syarakat, sekaligus berguna dalam membuat produk politik yang akan ditawarkan kepada masyarakat.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Hafied Cangara



Dalam bukunya Komunikasi Politik, Cangara (2009: 276­ 277) mengemukakan marketing politik sebagai konsep yang diintroduksi dari penyebaran ide­ide sosial di bidang pem­ bangunan dengan meniru cara­cara pemasaran komersial, tetapi orientasinya lebih banyak pada tataran penyadaran, sikap, dan perubahan perilaku untuk menerima hal­hal baru. Oleh karena itu, lanjutnya, marketing politik dimaksudkan sebagai penyebarluasan informasi tentang kandidat, partai, dan program yang dilakukan oleh aktor­aktor politik (komu­ nikator) melalui saluran­saluran komunikasi tertentu yang ditujukan kepada segmen (sasaran) tertentu dengan tujuan



235



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



mengubah wawasan, pengetahuan, sikap, dan perilaku para calon pemilih sesuai dengan keinginan pemberi informasi. Definisi yang dikemukakan oleh Mareek dan Firmanzah membatasi marketing politik dilakukan oleh para politisi. Se­ mentara para aktivis civil society tidak tercakup dalam definisi mereka. Sedangkan Cangara membuka komunikator politik lainnya seperti aktivis civil society, tokoh masyarakat, elite birokrasi, dan penyambung lidah untuk melakukan suatu kegiatan politik yang bernama marketing politik. b) Empat Elemen Marketing Politik



Dalam marketing politik, paling sedikit sedikit, terdapat empat elemen penting yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Product



http://facebook.com/indonesiapustaka



Product (produk) yang ditawarkan oleh institusi politik, seperti yang dikutip oleh Firmanzah (2008: 200) dari Nif­ fenegger, merupakan sesuatu yang kompleks, di mana pemi­ lih akan menikmatinya setelah suatu partai atau seorang kan­ didat terpilih. Oleh karena itu, arti atau makna penting dari suatu produk politik tidak hanya terletak pada karakteristik yang dimiliki olehnya, tetapi juga pada konstruksi pemak­ naan atau interpretasi yang dimiliki oleh pemilih. Produk politik itu sendiri menurut Niffenegger (Fir­ manzah, 2008: 200) terdiri dari party platform (platform par­ tai), past record (rekaman lampau), dan personal characteristic (karakteristik individual). Platform partai yang terdiri dari visi, ideologi, misi, tujuan, dan program partai merupa­ kan salah satu produk yang dijual kepada pemilih, terutama pemilih rasional. Pemilih rasional, yang terdiri dari orang­ orang terdidik dan memiliki idealisme bagaimana negara ini



236



BAB 7 Komunikasi Poliik



dibangun, sangat sensitif terhadap platform dari suatu partai. Rekaman lampau tentang apa yang telah dilakukan sebe­ lumnya bagi kepentingan publik adalah suatu produk yang layak dan pantas dijual kepada pemilih. Karakteristik indi­ vidual berupa keteladanan dan ketokohan seseorang dalam masyarakat dapat dilihat sebagai suatu produk yang bisa di­ jual pada masyarakat. 2. Place



http://facebook.com/indonesiapustaka



Place diterjemahkan secara harfiah, menurut kamus, berarti tempat. Terjemahan seperti ini tentu sulit dipahami dalam marketing politik, khususnya dalam memasarkan pro­ duk yang bersifat intangible seperti ide­ide. Untuk itu tempat bisa dihubungkan dengan dua hal. Satu, aksesibilitas produk terhadap konsumen. Apakah suatu produk politik bisa diper­ oleh dengan mudah (dari aspek waktu dan tingkat kesu­ litan) atau tidak? Misalnya pemasaran platform dari suatu partai atau seorang kandidat. Produk ini tidak akan laku di kalangan orang yang tidak punya waktu nonton telivisi dan bagian terbesar waktunya dihabiskan bersama internet jika tidak dipasarkan di berbagai media komunikasi informasi seperti situs, blog, facebook, dan sebagainya. Dua, letak dari posisi dari suatu produk politik. Apakah suatu produk politik bisa diperoleh di tempat yang sesuai dengan strata sosial dari para pemilih. Suatu produk politik memiliki segmen pasarnya. Produk politik yang disampaikan pada televisi dikemas berbeda dengan yang disajikan di ru­ ang dunia maya (cyberspace) tersebut. 3. Price



Price (harga) dalam marketing politik meliputi banyak hal, menurut Niffenegger (Firmanzah, 2008: 205), yaitu harga



237



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



ekonomi, harga psikologis, dan harga citra. Harga ekonomi merupakan kalkulasi segala biaya yang bisa dihitung nominal­ nya seperti biaya iklan, publikasi, pengerahan massa, “trak­ tir politik”, administrasi pengorganisasian, dan sebagainya. Sedangkan harga psikologis merujuk pada harga persepsi psikologis dari kandidat anggota legislatif atau top eksekutif (pasangan presiden dan wakilnya serta kepala daerah dan wakilnya) yang ditawarkan kepada pemilih. Misalnya, apakah latar belakang (suku, agama, pendidikan, daerah asal, dan lain­lain) dari kandidat pasangan bupati dan wakilnya pada suatu pilkada dirasa nyaman oleh para pemilih? Sementara harga citra berkait dengan kebanggaan yang diperoleh pemi­ lih jika ia memilih suatu kandidat. Kebanggaan tersebut bertingkat­tingkat mulai dari kebanggaan bersifat personal, keluarga, daerah sampai nasional. Seorang kandidat bupati mungkin memiliki citra yang tinggi secara personal di mata seorang pemilih, karena pemilih tersebut pernah dibantu oleh kandidat tersebut. Atau seorang kandidat presiden dicitrakan sebagai calon presiden yang ganteng dan gagah oleh pemilih­ nya. Oleh karena itu, para pemilih wanita seantero Nusantara merasa bangga jika punya presiden seperti itu. Dalam kon­ teks ini, lanjut Firmanzah, suatu partai politik atau tim kam­ panye berusaha untuk meminimalisasi harga produk politik (minimalisasi risiko) mereka di satu sisi, dan meningkatkan harga produk (maksimalisasi risiko) politik lawan. 4. Promoion



Promotion (promosi) merupakan suatu usaha dalam me­ mikat pembeli melalui teknik komunikasi dengan berbagai me­ dia seperti cetak, elektronik, maupun interpersonal. Promosi yang baik harus memerhatikan 3P (product, place. dan price) yang dibahas di atas. Suatu produk tertentu yang terletak



238



BAB 7 Komunikasi Poliik



pada tempat tertentu dengan harga tertentu harus dipromo­ sikan dengan cara tertentu pula. Misalnya, seorang kepala daerah telah banyak melakukan hal­hal yang berdampak pada kenaikan tingkat kesejahteraan, pendidikan dan keadil­ an di tengah masyarakat. Jika rekaman masa lampau ters­ ebut tidak disampaikan, tentu para pemilih tidak akan tahu apa saja yang telah dilakukannya selama ini. Bagaimana me­ nyampaikan, kepada siapa dan dengan media apa disampai­ kannya haruslah memerhatikan place dan price yang ada. Katakanlah seorang bupati yang ingin memasarkan reka­ man keberhasilannya tersebut harus memerhatikan di mana pemilih itu berada, yaitu antara di daerah yang terjangkau oleh media cetak dan elektronik dengan yang tidak. Media surat kabar dan televisi lokal bisa digunakan untuk mempro­ mosikan rekaman keberhasilan tersebut untuk daerah yang telah terjangkau oleh kedua media tersebut. Jika tidak, harus dicarikan media lain yang tepat, misalnya merekrut tokoh masyarakat menjadi tim sukses.



http://facebook.com/indonesiapustaka



c) Sejarah Singkat Marketing Politik di Indonesia



Akar dari sejarah marketing politik di Indonesia bisa di­ telusuri pada cara atau strategi pemenangan Golkar pada ta­ hun 1982 di Provinsi Riau. Kenapa demikian? Memang di­ pahami oleh banyak ahli bahwa kemenangan Golkar selama Orde Baru tidak lepas dari politicum horribilis. Namun tidak pula dimungkiri bahwa terdapat juga strategi yang berbeda dari strategi mainstream (yaitu intimidasi dan rekayasa ) da­ lam pemenangan pemilu. Ketika suara Golkar anjlok 13,4% pada Pemilu 1977 dibandingkan Pemilu 1971 di Provinsi Riau, Golkar tidak merasa puas. Untuk meningkatkan kem­ bali perolehan suara Golkar pada Pemilu 1982, maka Golkar



239



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



memberi tugas kepada Emil Salim untuk mengemban ama­ nah tersebut. Emil Salim mengambil strategi berbeda de­ ngan apa yang selama ini dan sedang dilakukan oleh berba­ gai eksponen Golkar dalam pemenangan Pemilu di berbagai daerah di Indonesia. Emil Salim melibatkan pakar komu­ nikasi M. Alwi Dahlan dan Wisaksono Noeradi untuk meng­ atur strategi pemenangan pemilu di Riau (Danial, 2009: 121­127). Sebelum Emil Salim turun ke seluruh pelosok Provinsi Riau untuk melakukan kampanye pemilu, terlebih dahulu tu­ run tim riset yang dibidani oleh M. Alwi Dahlan dan Wisaksono Noeradi untuk melakukan penyelidikan dan peneliteian ten­ tang anjloknya suara Golkar di Riau. Berdasarkan hasil riset tersebut, tim riset membuat segmentasi pasar politik, ke­ mudian targetisasi pasar politik, dan melakukan positioning pasar politik. Berdasarkan tiga langkah tersebut, tim riset mengusulkan agar Emil Salim masuk ke berbagai “daerah lawan”, sesuatu yang dihindari menurut Tim Riau (terdiri dari para elite Provinsi Riau), serta menjawab berbagai isu, harapan atau keluhan para pemilih, dan merangkul elite de­ sa yang selama ini diabaikan oleh Tim Riau. Bahkan Emil Salim harus mengingat nama dan keluarga para tokoh desa serta turut berhujan bersama para pemilih yang sedang men­ dengarkan pidato kampanye untuk menarik simpati mere­ ka. Hasil dari marketing politik seperti itu adalah Golkar pada tahun 1982 menang di Riau baik di perdesaan maupun perkotaan. Marketing politik seperti ini juga diterapkan di Provinsi Sulawesi Tengah pada pemilu 1987 dan Sulawesi Utara pada pemilu 1992 ketika Emil Salim dipercaya sebagai orang yang bertanggung jawab untuk memenangkan pemilu di provinsi tersebut.



240



BAB 7 Komunikasi Poliik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Marketing politik yang menggunakan media iklan di te­ levisi sebagai promosi partai dilakukan pertama kali oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada November 1998 di TPI, jauh sebelum Pemilu 1999 digelar. Iklan PKB yang bertajuk “Saya Mendengar Indonesia Menyanyi”, menurut Danial (2009: 173), menampilkan spoke person dan sekali gus orang paling utama di PKB, yaitu Abdurrahman Wahid, yang mengatakan: “Saya boleh saja dianggap tidak bisa meli­ hat dengan baik, akan tetapi saya dapat mendengar, menden­ gar dengan baik Indonesia kita menyanyi. Menyanyikan lagu harapan, pengabdian, dan perjuangan.” Selain ditayangkan ditelivisi, iklan tersebut juga dimuat di berbagai media cetak nasional seperti Majalah Ummat, Panji Masyarakat, Gatra, Bisnis Indonesia, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Singgalang, dan Tabloid Realitas. Setelah PKB menyusul partai­partai be­ sar dan memiliki banyak uang seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Daulat Rakyat, dan Partai Republik. Pemilu 1999 juga telah memberikan suatu kesempatan bagi semua partai untuk melakukan marketing politik sesuai dengan cara atau strategi yang dipandang mumpuni menurut partai. Salah satu marketing politik yang relatif berbeda dari pernah dilakukan partai­partai sebelumnya adalah strategi direct selling. Salah satu partai yang menggunakan marketing politik melalui direct selling adalah Partai Keadilan. Sebagai partai baru, Partai Keadilan, berhasil memikat massa pemi­ lih melalui direct selling, meskipun tidak memiliki tokoh. Sebagai partai kader, Partai Keadilan mampu menggerak­ kan para kadernya untuk memasarkan platform partai dari rumah ke rumah sehingga berhasil. Suatu marketing politik yang sukar untuk dilakukan oleh partai lain, sekalipun oleh



241



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



partai besar seperti Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebab menggerakkan para kader dengan penuh keikhlasan dan tanpa ada motif transaksional dalam bekerja secara nasional belum ada partai lain yang mampu melaksanakannya, kecuali Partai Keadilan, yang kemudian bernama Partai Keadilan Sejahtera.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Marketing politik figuritas memasuki era baru ketika Pemilu 2004, di mana para calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersaing untuk memperebutkan satu dari 4 kursi di setiap provinsi. Para calon anggota DPD mengguna­ kan tim sukses, termasuk di dalamnya konsultan marketing politik, iklan politik di berbagai media cetak dan elektronik, serta perangkat peraga kampanye konvensional seperti pam­ flet, kartu nama, kaos, baliho, spanduk, dan lain­lain. Pemilihan presiden langsung pertama oleh rakyat Indo­ nesia pada tahun 2004 telah menguakkan lebih besar pintu untuk memasuki era baru marketing politik, yaitu era di mana munculnya industri jasa kampanye politik yang meli­ batkan pakar ilmu komunikasi, ilmu politik, sosiologi, mana­ jemen pemasaran, periklanan, dan public relations sebagai tenaga profesional nonpartisan dalam suatu tim. Pintu era baru marketing politik semakin terkuak lebih lebar lagi pada Pemilu dan Pilpres 2009. Partai Demokrat merupakan par­ tai yang paling serius melakukan marketing politik dengan menggunakan industri jasa kampanye politik, di samping tetap menggunakan cara lama seperti pengerahan massa dan rapat akbar. Pemilu 2004 dan 2009 telah memberikan ruang yang lebih luas bagi improvisasi dalam marketing politik oleh para calon anggota legislatif. Perlahan terjadi perubahan marketing politik tentang produk dari platform partai yang terdiri



242



http://facebook.com/indonesiapustaka



BAB 7 Komunikasi Poliik



dari visi, ideologi, misi, tujuan, dan program partai menjadi figuritas calon, kecuali Partai Demokrat yang diuntungkan oleh ketokohan dan Figuritas Susilo Bambang Yudhoyono. Berdasarkan hasil peneliteian yang dilakukan terhadap ter­ pilihnya kembali seseorang menjadi anggota dewan ternyata kebanyakan mereka dikarenakan mereka mampu menjaga suara di daerah pemilihan mereka. Bagaimana menjaga agar suara pemilih tetap berpihak kepada mereka? Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam terhadap seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pekanbaru dari PDIP dikatakan bahwa keberhasilan dia karena menerap­ kan 3P. Apa itu 3P? 3P itu singkatan dari penyapa, pelepau (pewarung), dan pembayar (pentraktir). Sebagai anggota dewan, dia sadar bahwa mewakili rakyat dari suatu daerah pemilihan. Oleh sebab itu, dia memiliki target yang ditetap­ kan oleh dirinya sendiri, paling tidak sehari dia harus berke­ nalan dengan satu orang yang berasal dari daerah pemili­ hannya. Di samping itu, siapa saja orang yang dikenalnya dia akan menyapa terlebih dahulu. Melalui cara seperti itu, dia menyadari bahwa hal itu merupakan strategi untuk memiliki banyak kenalan dan pertemanan. Selanjutnya dia juga mem­ buat target pergi setiap hari ke lepau (warung kopi) yang ada di daerah pemilihannya. Dia memiliki catatan lepau mana saja yang telah dan belum dikunjungi. Dengan ada catatan tersebut dia bisa menghindari kealpaan dalam melakukan kunjungan ke lepau. Pada saat di lepau, dia ikut serta da­ lam percakapan atau obrolan dari pengunjung lain yang ada di sana. Ketika selesai minum, dia mentraktir (membayar) semua tamu yang ada di lepau tersebut. Pada saat menje­ lang lebaran, dia mengantarkan beberapa botol minuman dan makanan kaleng ke rumah beberapa tokoh masyarakat



243



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



dan warga yang tidak mampu. Selain itu juga dia memer­ hatikan situasi dan kondisi lingkungan dari daerah pemili­ hannya. Apabila ada penerangan jalan yang lampunya tidak berfungsi, dia akan mengontak instansi yang berwenang mengurus itu, sampai penerangan jalan tersebut berfungsi kembali. Dengan cara dan strategi seperti yang disebut ba­ rusan, dia mampu memperoleh suara melebihi suara satu kursi pada Pemilu 2009. Padahal dia memasang pamflet dan baliho tidak banyak, sekadar untuk mengingatkan pada ke­ nalan dan temannya bahwa dia juga menjadi calon anggota legislatif pada pemilu ini.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Improvisasi marketing politik figuritas memiliki banyak varian, misalnya pergi ke lepau diganti pergi ke masjid (su­ rau/musholla) atau ke pondok pesantren dengan menyalur­ kan infak, sedekah, atau zakat. Improvisasi marketing politik figuritas seperti ini bisa meredam kekuatan marketing politik yang berskala nasional melalui media elektronik dan cetak yang dilakukan oleh partai besar dan memiliki dana banyak. Sebab rekaman masa lampau dan figuritas di akar rumput lebih terasa ketimbang sesuatu nun jauh di Jakarta sana.



244



8 PARTAI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



A. PENGERTIAN PARTAI Secara etimologis kata partai dapat ditelusuri jejaknya dari bahasa Latin, yaitu partire, yang bermakna “membagi” atau “memilah” atau juga bisa disejajarkan dengan kata ben­ da “part” dalam bahasa Inggris bermakna bagian. Apabila “part”dikembangkan menjadi kata kerja berubah jadi “to participate”, yang berarti turut ambil bagian. Dari pene­ lusuran etimologis tersebut, partai memiliki makna “memi­ lah” dan “turut ambil bagian.” Dengan pengertian tersebut, partai bisa dipahami sebagai “bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan bertujuan.” Sementara makna politik telah didiskusikan pada Bab I. Jika disan­ dingkan antara makna partai dan politik secara etimologis, maka partai politik dipahami sebagai bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan bertujuan kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



B. PENGERTIAN PARTAI POLITIK Banyak para ahli telah membuat batasan tentang partai politik. Namun karena keterbatasan ruang, untuk kebutuhan pemahaman disajikan beberapa pendapat ahli saja, yaitu:



1. G. Sartori Dalam bukunya Party and Party Systems: A Framework for Analysis, Sartori memberi pengertian partai politik seba­ gai “kelompok politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, dan mampu menempatkan, melalui pemilihan umum, para calon untuk duduk dalam legislatif dan pemerintahan”.



2. Miriam Budiardjo



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam buku Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Miriam Budiardjo mem­ buat batasan partai politik sebagai “suatu kelompok ter­ organisasi yang anggota­anggotanya mempunyai orientasi, nilai­nilai serta cita­cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui ke­ kuasaan itu, melaksanakan kebijakan­kebijakan mereka.” Dari pendapat dua ahli tersebut dapat disimpulkan bah­ wa partai politik adalah kelompok yang terorganisasi, ditan­ dai dengan adanya visi, misi, tujuan, platform, dan progam dan agenda, dan mengikuti pemilihan umum untuk meraih kekuasaan atau jabatan legislatif dan eksekutif.



C. FUNGSI PARTAI POLITIK Sepanjang sejarah perpolitikan modern, berdasarkan pengamatan bermacam ahli, partai politik memiliki berbagai fungsi. Berikut beberapa fungsi partai politik:



246



BAB 8 Partai Poliik



1. Sebagai Wahana Representasi Politik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Partai politik dibangun oleh para pendirinya sebagai su­ atu usaha untuk merepresentasi kepentingan politik mere­ ka pada lembaga perwakilan rakyat (legislatif) dan lembaga pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) seperti pre­ siden, gubernur, bupati, atau wali kota. Kepentingan politik yang diwakili oleh setiap partai politik berbeda, di antaranya merepresentasikan kepentingan agama, ideologi, kelompok, daerah, dan suku bangsa. Pada saat ide awal suatu partai politik dibangun, partai politik diharapkan akan mewakili dari suatu kepentingan ter­ tentu. Namun ketika partai politik tersebut telah menempati kursi di legislatif atau eksekutif, representasi kepentingan yang dikonstruksi pada awal pembentukan partai memudar seiring dengan meleburnya kepentingan ideal partai ke da­ lam kepentingan praktis sesaat. Ideologi dan platform partai politik yang terdapat dalam buku pintar partai politik terke­ san sekadar sebagai pajangan, karena program dan kegiatan partai politik sangat sedikit berhubungan dengan ideologi dan platform partai, bahkan di antara partai yang ada antara ideologi dan platform partai dengan program dan kegiatan bersinggungan saja tidak. Fenomena ini hampir menggejala pada semua partai yang ada. Oleh karena itu, kadang partai politik merupakan representasi dari romantisme masa lam­ pau dari sejarah kepartaian.



2. Sebagai Sarana Komunikasi Politik Komunikasi politik, seperti telah dibahas perinci pada Bab 7, merupakan proses pengalihan pesan, (berupa data, fakta, informasi, atau citra), yang mengandung suatu mak­ sud atau arti, dari pengirim kepada penerima yang melibat­



247



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



kan proses pemaknaan terhadap kekuasaan (power), ke­ wenangan (authority), kehidupan publik (public life), pe­ merintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decisionmaking), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Salah satu aktor penting dalam komunikasi politik adalah partai politik, yaitu melalui para anggota partai yang menjadi anggota legislatif atau memegang tampuk kekuasaan di lembaga eksekutif. Komunikasi politik, idealnya, dilakukan berkelanjutan dan holistik. Partai politik mengomunikasikan politik se­ panjang masa. Partai politik, oleh karena itu, tidak pernah putus melakukan komunikasi politik. Keterputusan partai politik mengomunikasikan politik akan menyebabkan suatu keadaan hampa (vacuum) informasi politik. Dalam konteks inilah, suatu partai selalu memanfaatkan berbagai momen sehingga tidak terjadi kehampaan informasi politik pada khalayak. Momen yang sering dimanfaatkan oleh partai po­ litik seperti ulang tahun partai politik, musyawarah partai politik,dan tanggapan partai politik terhadap suatu keadaan atau situasi. Pada saat ulang tahun dan musyawarah, par­ tai politik sering mengomunikasikan politik pada khalayak. Selain itu, tidak jarang partai politik melakukan komunikasi politik pada saat terdapat suatu keadaan atau situasi di mana partai politik harus menentukan sikap terhadap keadaan atau situasi tersebut. Misalnya ketika masyarakat Indonesia di­ hebohkan oleh kasus Bank Century, maka berbagai partai politik menjelaskan sikap dan posisi partai terhadap kasus tersebut. Komunikasi politik dilakukan secara holistik berarti po­ litik yang dikomunikasikan tidak. sepotong­sepotong, par­



248



BAB 8 Partai Poliik



sial, atau sektoral. Dalam konteks itu, diperlukan komuni­ kator politik yang andal sehingga dapat menerjemahkan apa yang diinginkan atau dimaksud oleh suatu partai secara utuh. Tidak jarang komunikasi politik memang dikonstruksi secara parsial. Kenapa dilakukan? Karena komunikasi poli­ tik holistik memerlukan konsistensi dan harmonisasi yang tinggi antara visi, misi, tujuan, dan platform partai dengan program dan kegiatan partai serta perilaku individual ang­ gota partai. Selain hal tersebut, biayanya cukup tinggi. Ada­ pun komunikasi parsial yang dibangun jika efektif dilakukan akan memberi dampak yang tidak sedikit, terutama berhu­ bungan dengan pencitraan terhadap partai. Biaya yang dike­ luarkan untuk itu relatif tidak besar dibandingkan dengan komunikasi holistik. Oleh sebab itu, bisa dipahami kenapa partai membangun citra melalui ketokohan individual, seh­ ingga visi, misi, tujuan, dan platform partai tidak perlu di­ harmonisasikan dengan program dan kegiatan partai serta tindakan anggota partai yang sedang menempati posisi di legislatif dan eksekutif.



http://facebook.com/indonesiapustaka



3. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik Sosialisasi politik, seperti dibahas pada Bab 5, merupakan suatu transmisi pengetahuan, sikap, nilai, norma, dan peri­ laku esensial dalam kaitannya dengan politik, agar mampu berpartisipasi efektif dalam kehidupan politik. Fungsi yang diharapkan dari partai politik untuk melakukan fungsi so­ sialisasi politik, pada kebanyakan negara Eropa Barat dan Amerika Utara, dijalankan dengan baik. Namun realitas po­ litik di Indonesia berbeda, kebanyakan partai politik yang ada tidak melakukan fungsi sosialisasi politik. Kebanyakan partai berbasis pada massa yang mengambang, di mana



249



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



http://facebook.com/indonesiapustaka



massa diperlukan hanya pada saat pemilihan legislatif (akan) dilakukan. Setelah itu massa dibiarkan memahami politik sendiri. Sosialisasi politik merupakan kegiatan yang berbiaya tinggi, karena untuk melaksanakan pengumpulan massa, me­ narik massa untuk berkumpul, dan membujuk massa untuk betah menerima nilai dan pandangan partai harus menge­ luarkan uang yang tidak sedikit. Akibatnya, masyarakat melihat partai politik tidak beda dengan perusahaan, yaitu sama­sama memiliki tujuan “membeli dengan harga sangat murah, tapi menjual dengan harga yang sangat tinggi” atau dengan modal sangat rendah untuk meraih keuntungan yang setinggi­tingginya. Oleh sebab itu, partai dipandang sebagai perusahaan pembeli “suara rakyat” dengan semurah mung­ kin dan menjual “suara partai” melalui anggota dewannya kepada siapa yang membutuhkan, seperti para individual yang ingin menduduki jabatan publik (anggota Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, deputi Bank Indonesia, dan sebagainya) semahal mungkin. Oleh sebab itu, sukar dira­ malkan kemenangan suatu partai politik pada suatu daerah pemilihan dikarenakan visi, misi, tujuan, platform, agenda dan program, namun tidak susah melihat kemampuan partai membeli suara yang piawai berkorelasi dengan perolehan su­ ara partai tersebut. Dengan memahami cara pikir masyarakat seperti itu, maka bisa dipahami mengapa partai politik tidak melalukan sosialisasi politik. Sebab massa menganggap se­ mua partai sama, yang berbeda adalah jumlah uang yang diterima pada saat kampanye atau menjelang hari pencon­ trengan.



250



BAB 8 Partai Poliik



4. Sebagai Sarana Partisipasi Politik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Partisipasi politik, seperti didiskusikan pada Bab 6, me­ rupakan turut ambil bagian, ikut serta atau berperan serta dalam kegiatan­kegiatan yang berhubungan dengan kekuasa­ an (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict and conflict resolution), kebi­ jakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Jika partai politik diharapkan sebagai sarana partisipasi politik, maka partai politik seyogianya menciptakan suatu mekanis­ me di mana kebijakan dan pengambilan keputusan para anggota legislatif dari partainya mengikutsertakan aspirasi, keinginan, dan harapan para konstituen, simpatisan, dan ka­ der partai mereka. Dengan kata lain, semua kebijakan dan pengambilan keputusan partai berbasis aspirasi dan suara rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat tersebut masih berada di tangan rakyat. Jika tidak, kedaulatan rakyat direduksi di ta­ ngan orang atau kelompok yang mewakili rakyat. Apabila hal yang disebutkan terakhir itu terjadi, maka penyalahgunaan kekuasaan rakyat (abuse of power) dilakukan oleh orang yang dipercayai oleh rakyat. Dalam kaitan hal tersebut di atas, aturan perundangan tidak pernah diciptakan untuk mengatur terhadap penyalah­ gunaan kekuasaan yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang mewakili rakyat tersebut. Tidak ada aturan yang meng­ atur untuk mencabut mandat rakyat kepada wakil rakyat oleh rakyat, kecuali tercabut dengan sendirinya karena masa jabatannya habis. Sistem seperti ini hampir tidak ditemukan di dunia, sehingga penyalahgunaan kekuasaan yang diberi­ kan oleh rakyat kepada wakilnya dipandang lumrah dan bia­



251



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



sa terjadi. Memang ada sebuah argumentasi yang menyata­ kan bahwa pemilihan umum merupakan suatu peluang bagi rakyat untuk menghukum wakil rakyat di lembaga perwa­ kilan rakyat untuk tidak dipilih lagi pada periode berikutnya. Argumentasi tersebut memang masuk akal, namun ia menjadi cacat karena sistem kepartaian dan pemilihan umum dicipta­ kan sedemikian rupa oleh para wakil rakyat yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan tersebut sehingga menguntung­ kan para pembuatnya, baik secara kelompok seperti partai politik maupun secara pribadi, yaitu anggota legislatif yang sedang menjabat.



http://facebook.com/indonesiapustaka



5. Sebagai Sarana Perekrutan Politik Perekrutan politik merupakan suatu proses melakukan pemilihan, pengangkatan, dan penetapan sehingga seseorang atau kelompok orang untuk jabatan politik dan pemerintah­ an. Semua partai politik melakukan proses perekrutan poli­ tik. Pada negara di mana sistem politiknya telah mapan, se­ perti negara­negara Eropa Barat dan Amerika Utara, proses perekrutan politik telah terpola. Seseorang yang telah ber­ giat dan beraktivitas sekian lama di suatu partai politik, maka jenjang kariernya dalam dunia politik jelas tampak. Adapun di Indonesia, proses perekrutan politik dilakukan oleh keba­ nyakan partai hanya pada saat menjelang pemilihan umum. Setelah direkrut pada jabatan tertentu di politik, tidak ada jaminan loyalitas terhadap partai yang merekrut. Seseorang bisa saja menjadi “kutu loncat politik” di mana seseorang dapat saja berpindah atau meloncat partai dari satu partai ke partai lainnya. Ini salah satu cermin bagaimana tidak ada etika dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Politik penuh transaksional, politik tanpa roh.



252



BAB 8 Partai Poliik



6. Sebagai Sarana Persuasi dan Represi Politik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Persuasi politik, seperti dibahas pada Bab 7 adalah suatu proses memengaruhi orang lain sehingga melakukan, melak­ sanakan atau mengubah sesuatu seperti yang diharapkan oleh pemberi pesan (pengirim/sumber). Melakukan, melaksana­ kan, atau mengubah sesuatu berkait dengan aspek kognisi, afeksi, dan sikap serta perilaku. Fungsi persuasi politik dari partai politik dilakukan secara intens ketika musim pemilih­ an (pileg, pilpres, dan pilkada) tiba. Partai politik melakukan kampanye pemilihan umum bertujuan agar penerima pesan (konstituen, simpatisan, atau anggota) melakukan, melaksa­ nakan atau mengubah sesuatu sesuai dengan keinginan atau kehendak partai politik. Represi politik merupakan suatu proses tekanan terha­ dap orang lain sehingga melakukan, melaksanakan atau mengubah sesuatu seperti yang diharapkan oleh pelaku pembuat tekanan (partai politik). Seperti juga persuasi, da­ lam represi politik, partai politik melakukan, melaksanakan, atau mengubah sesuatu berkait dengan aspek kognisi, afek­ si, sikap, dan perilaku. Bedanya adalah persuasi politik le­ bih berdimensi positif sedangkan represi politik berdimensi negatif. Memang dalam persuasi politik biasanya digunakan media massa sehingga terkesan positif. Namun bukan berarti persuasi politik tidak ada yang berdimensi negatip. Politik uang (money politics) dapat dikategorikan sebagai persuasi politik yang negatif. Represi politik, oleh karena itu, dilaku­ kan dengan cara pengerahan massa, demonstrasi, ancaman, bahkan dengan menggunakan paksaan atau kekerasan. Pe­ ngumpulan “cap jempol darah”, seperti dilakukan oleh PDI Perjuangan dalam berbagai kegiatannya, merupakan suatu bentuk dari represi politik oleh partai tersebut terhadap poli­



253



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



tik Indonesia. Penggunaan paksaan atau kekerasan merupa­ kan kebiasaan dilakukan oleh rezim otoriter seperti negara komunis dan fasis. Masyarakat dipaksa untuk turut atau patuh terhadap apa yang dipandang secara politik oleh pe­ merintah dan partai politik yang berkuasa, melalui tangan kekuasaan yang sah maupun tidak sah.



7. Sebagai Sarana Mobilisasi Politik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Mobilisasi politik merupakan proses pengerahan massa dalam proses­proses politik. Apabila pengerahan massa ter­ sebut ditujukan untuk melakukan, melaksanakan, atau me­ ngubah sesuatu seperti yang diharapkan oleh partai politik, maka seperti ini bisa dimasukkan ke dalam represi politik. Adapun pengerahan massa dilakukan untuk menghadiri ke­ giatan transmisi pengetahuan, sikap, nilai, dan norma politik dari suatu partai, maka mobilisasi politik seperti ini dapat dimasukkan sebagai kegiatan komunikasi politik atau so­ sialisasi politik. Sementara bila pengerahan massa dilakukan dalam rangka melakukan pemilihan, pengangkatan, dan pe­ netapan sehingga seseorang atau kelompok orang mendudu­ ki suatu jabatan politik dan pemerintahan, maka mobilisasi politik tersebut dikategorikan sebagai rekrutmen politik. Ke­ semua proses tersebut mengandung makna sebagai komu­ nikasi politik.



8. Sebagai Sarana Mobilitas Sosial Mobilitas sosial merupakan suatu proses gerakan naik turun individu atau kelompok dalam suatu penjenjangan sosial (hierarki sosial). Seorang tukang parkir atau penjaga keamanan suatu kantor bank, misalnya, melalui keikutser­ taan dalam partai politik di masa booming partai tahun 1998,



254



BAB 8 Partai Poliik



bisa menjadi anggota legislatif provinsi. Keikutsertaan dalam anggota partai dan ikut pemilihan umum sehingga terpilih jadi anggota dewan menyebabkan status sosialnya berubah dari seorang tukang parkir atau penjaga keamanan suatu kantor bank menunjukkan terjadinya proses mobilitas sosial yang menaik.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Keikutsertaan dalam partai juga dapat menyebabkan terjadinya mobilitas sosial yang menurun. Para petani gurem di perdesaan pada masa Orde Lama, misalnya, sering dira­ yu untuk ikut dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Karena buta aksara dan kelugu­ an, tawaran partai tersebut diikuti sehingga tanpa pengeta­ huan dan kesadaran diri ternyata di belakang hari nama me­ reka terdaftar menjadi anggota partai. Pada saat partai ini di­ bubarkan dan pengikutnya diburu, maka jadilah mereka kor­ ban atas kebodohan dan keluguan mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan mobilitas sosial menurun terjadi pada diri mereka, yaitu dari seorang yang bebas menjadi orang yang senantiasa dicurigai pada masa Orde Baru. Keikutsertaan seseorang dalam partai politik dapat me­ nyebabkan terjadinya dua mobilitas sosial sekaligus, yaitu menaik dan menurun. Seseorang yang ikut menjadi pengu­ rus partai sehingga melalui pemilihan umum dapat menjadi anggota parleman telah mengalami mobilitas sosial menaik. Namun seiring berjalannya waktu, pada saat menjadi anggota parlemen, orang tersebut ikut dalam arus penyalahgunaan uang negara, maka ketika hal tersebut diketahui dan dinyata­ kan bersalah oleh pengadilan dan masuk penjara. Situasi ini menyebabkan ia mengalami mobilitas menurun. Hal tersebut telah menjadi suatu hal lumrah pada masa reformasi, yang sangat jarang ditemukan pada masa sebelumnya.



255



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



9. Sebagai Kendaraan Politik



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kendaraan politik menunjuk suatu proses di mana sese­ orang melakukan, suatu perjalanan politik, ingin bersaing untuk mendapatkan jabatan politik sebagai gubernur, bupati atau gubernur, membutuhkan suatu kendaraan. Kendaraan tersebut berupa partai politik yang memiliki representasinya di parlemen. Dalam fenomena perpolitikan di Indonesia, ter­ dapat dua jenis kendaraan politik yaitu kendaraan pribadi dan kendaraan sewa. Kendaraan pribadi merupakan partai politik yang hanya bisa digunakan oleh anggota atau kader partai politik itu sendiri. Jika ingin dipakai, maka kendaraan tersebut disinergikan dengan kendaraan lain sehingga ken­ daraan yang ada bisa digunakan secara utuh untuk menuju persaingan merebut posisi jabatan gubernur, bupati atau wa­ likota. Adapun kendaraan sewa merupakan partai politik yang bisa digunakan oleh siapa saja oleh penyewa. Siapa penye­ wa yang bisa menggunakannya tergantung penawaran yang dilakukan. Semakin tinggi tawaran yang diberikan, maka semakin besar kemungkinan seseorang memperoleh kenda­ raan tersebut. Konsekuensi logis dari itu adalah loyalitas ter­ hadap partai yang mencalonkan sangat tipis, bahkan tidak ada sama sekali. Karena para penyewa beranggapan bahwa mereka telah menyewa kendaraan, setelah sampai ketujuan, yaitu kedudukan sebagai gubernur, bupati, atau walikota. maka putuslah hubungan antara penyewa dan pemilik ken­ daraan alias partai politik.



10. Sebagai Bunker Politik Bunker politik dimaksud di sini adalah suatu tempat per­ lindungan terhadap terpaan atau konsekuensi aktivitas poli­



256



BAB 8 Partai Poliik



tik sebagai politisi atau pejabat publik seperti menteri, guber­ nur, bupati, wali kota, atau anggota parlemen. Partai politik sebagai bunker politik telah lama berkembang di republik ini. Semenjak zaman Orde Baru, perlahan tapi pasti, orang ber­ pindah ke partai yang sedang berkuasa untuk memperoleh perlindungan politik. Fenomena ini semakin mengkristal pada masa pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Banyak orang yang bermasalah dengan hukum menyeberang atau: masuk ke dalam Partai Demokrat, karena menurut banyak pengamat politik bahwa perpindahan terse­ but akan menyebabkan permasalahan hukum yang membelit akan terselesaikan, diamankan atau “dipeti­eskan” oleh poli­ tik. Politik menyembunyikan persoalan hukum, paling tidak untuk sementara. Bisa jadi juga, seiring dengan perubahan rezim pemerintahan dan peta kekuasaan, persoalan masa lampau yang bisa disembunyikan, diamankan atau “dipeti­ eskan” dimunculkan lagi. Itu artinya suatu bunker politik bisa rapuh seiring dengan memudarnya kekuatan partai tersebut. Rapuhnya bunker politik tersebut memunculkan fenomena akrobatik politik di mana “kutu loncat politik” masuk ke da­ lam bunker politik yang baru dan kukuh. Begitulah siklus bunker politik yang terjadi di republik ini.



http://facebook.com/indonesiapustaka



C. TIPOLOGI PARTAI POLITIK Bagaimana tipe dan partai politik? Jawabnya tergantung berdasarkan apa suatu tipologi dibuat. Oleh karena itu, beri­ kut ini disajikan beberapa tipologi partai politik yang dilihat dari berbagai sudut pandang:



257



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



1. Atas Dasar Jumlah Partai Politik Berdasarkan jumlah partai politik yang berkembang pa­ da suatu negara, terdapat beberapa tipe partai politik, yaitu antara lain: a). Partai Tunggal



Keberadaan partai tunggal hanya dapat muncul pada suatu pemerintahan otoriter. Negara yang diperintah secara otoriter membuat bibit demokrasi dan perbedaan pandangan politik yang berujung pada kemunculan partai baru tidak pernah muncul. Sebab bila bibit kemunculan partai baru akan bertunas dengan segera dicabut oleh suatu kekuatan yang tanpa batas. Penguasa membolehkan hanya satu partai yang terdapat dalam negara, yang lain dipandang ilegal atau haram. Jika ada partai lain, maka ia dipastikan tidak akan bisa menjadi besar, sehingga tidak mampu menyaingi partai yang berkuasa. Partai kecil tersebut di samping tidak akan pernah menjadi lebih besar, juga tidak mampu menyalurkan aspirasi para konstituennya, jika memang ada. Situasi seperti itu sering ditemukan pada negara­negara komunis misalnya negara sosialis Vietnam dan Cina serta negara fasis misalnya negara Italia pada masa Perang Dunia II.



http://facebook.com/indonesiapustaka



b) Dwipartai



Miriam Budiardjo, dkk. (2005) menyebutkan tiga ke­ mungkinan munculnya dwipartai dalam suatu negara, yaitu: 1.



Memang hanya ada dua partai besar yang mendominasi, sementara partai­partai lain terlalu kecil memiliki sig­ nifikansi politik.



2.



Adanya dua partai di mana salah satu berperan sebagai



258



BAB 8 Partai Poliik



partai berkuasa sedangkan yang lain menjadi oposisi se­ cara bergantian. 3.



Adanya satu partai dominan yang biasanya memerintah sendiri dengan sebuah partai lain yang selalu menjadi kekuatan oposan.



Sistem dwipartai dimungkinkan hadir dalam sistem politik yang mana pemilihan umumnya berdasarkan simple majority, yaitu setiap daerah pemilihan hanya diwakili oleh satu orang wakil. Setiap distrik, dengan demikian, hanya ada satu partai yang mewakili daerah tersebut dan mendapatkan kursi, yaitu partai dari mana orang yang mewakili distrik tersebut berasal. Jika terdapat partai kecil, maka secara oto­ matis harus bergabung pada partai pemerintah atau partai oposisi. Penggabungan karena aturan yang mengatur untuk melakukan itu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



c) Multipartai



Sistem multipartai memperlihatkan keberadaan lebih dari dua partai yang memiliki peran dalam lembaga legislatif. Sistem ini mengakomodasi kemajemukan dalam latar bela­ kang etnis, agama, daerah, dan ideologi. Karena terdapat­ nya banyak partai, sangat sukar sekali ditemukan ada partai yang mampu meraih single majority (mayoritas tunggal). Oleh sebab itu, pemerintahan sering dibentuk oleh dua atau lebih partai dalam wadah koalisi. Ada kecenderungan sistem pemilihan umumnya mengambil bentuk sistem perwakilan berimbang (proportional representation).



259



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



2. Atas Dasar Dukungan Massa Merujuk pada basis dukungan massa dari partai politik, maka partai politik memiliki dua tipe, yaitu: a) Partai Integratif



http://facebook.com/indonesiapustaka



Menurut Macridis, dalam Amal (1988), berdasarkan sumber dukungan, partai integratif, bersifat sektarian kare­ na partai ini dibangun atas dasar sifat­sifat eksklusif seperti dasar kedaerahan (regionalitas), etnisitas, ideologi, atau ke­ las tertentu. Adapun merujuk pada sifat organisasi, partai in­ tegratif dibangun pada sistem kepartaian tunggal, sehingga fungsi sosialisasi, artikulasi, dan perekrutan dari partai ditu­ jukan untuk mengintegrasikan masyarakat. Dalam kaitan ini, partai menggunakan pendekatan langsung, represif, dan otoriter dalam mencapai integrasi dalam pengorganisasian. Itu hanya bisa dilakukan pada organisasi kepartaian yang bersifat tertutup. Pada sistem kepartaian integratif, integrasi dalam par­ tai merupakan cerminan dari integrasi nasional. Sebaliknya, jika terjadi keretakan partai pada tingkat nasional berarti ter­ jadi disintegrasi pada tingkat nasional pula. Oleh sebab itu pula, partai pada tingkat nasional memerlukan perencanaan matang secara sentralistik, sedangkan cabang melaksanakan program­program yang dimobilisasi dan disesuaikan pada kondisi dan situasi yang ada. b) Partai Kompetitif



Berbeda dengan partai integratif, partai kompetitif diba­ ngun secara komprehensif di mana partai berorientasi untuk mencapai kepentingan pada anggota, pendukung dan sim­ patisan serta menyelesaikan masalah pragmatis yang sedang



260



BAB 8 Partai Poliik



berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu, partai seperti ini juga dipandang partai yang bersifat inklusif. Adapun basis pengorganisasian partai bersifat terbuka. Karena partai membutuhkan dukungan sebanyak­banyaknya dari para anggota, pendukung, dan simpatisan, maka partai harus membuka diri bagi perbedaan yang ada sehingga ke­ pentingan bersama dapat diraih. Oleh sebab itu, pula partai ini dirancang bersifat pluralistik, permisif, dan demokratis. Sifat tersebut bukan saja ditujukan dalam pengorganisasian internal tetapi juga menjadi etika umum kepartaian. Sistem kepartaian kompetitif dibangun atas dasar plu­ ralitas dan demokrasi. Oleh sebab itu, dukungan bukan ber­ dasarkan atas kepatuhan yang membabi buta, tetapi seba­ liknya dikarenakan partisipasi dari para anggota, pendukung dan simpatisan yang loyal karena pencapaian tujuan bersa­ ma. Sistem ini dicirikan dengan dwi­partai dan multi partai. Dukungan



Organisasi Cara kegiatan dan fungsi



http://facebook.com/indonesiapustaka



Jumlah partai



Integratif Sektarian: eksklusif, regional, kelas, sangat ideologis. Tertutup: otoriter, aksi langsung, represif. Menyebar: integrasi nasional, pembangunan masyarakat, menekankan pada mobilisasi. Satu partai.



Kompetitif Komprehensif: berorientasi klien, pragmatis. Terbuka: serba boleh/permisif, pluralistik. Terspesialisasi: agregatif dan representatif.



Dua atau lebih partai.



Sumber: Amal, 1988: 32



3. Atas Dasar Basis Perolehan Suara Partai politik bisa juga dikelompokkan atas beberapa tipe berdasarkan basis perolehan suara:



261



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



a) Partai Massa



Partai massa dibangun atas kemampuan untuk memobi­ lisasi massa yang mengambang. Partai melakukan mobilisasi massa dengan memerhatikan keberagaman massa yang ada dan menempatkan partai melindungi semua golongan dan lapisan masyarakat yang ada. b) Partai Kader



Partai memfokuskan perhatian bagaimana mampu me­ rekrut orang menjadi anggota partai. Perekrutan orang men­ jadi anggota partai diiringi dengan perhatian dan pening­ katan kualitas para kadernya. Untuk melakukan itu, partai melakukan berbagai kegiatan tentang komunikasi politik dan sosialisasi politik secara intensif. Berbagai jenjang pelatihan dibuat agar seseorang bisa direkrut untuk jabatan politik ter­ tentu di partai, parlemen, atau pemerintahan nantinya.



4. Atas Dasar Primordialisme Latar belakang primordialisme dapat menjadi dasar pembentukan tipologi partai politik, yaitu:



http://facebook.com/indonesiapustaka



a) Partai Kelas Sosial



Partai dibentuk oleh persamaan dalam kelas sosial ter­ tentu. Partai terbentuk oleh karena masyarakat membedakan antara kelas pekerja sehingga terbentuklah partai buruh de­ ngan kelas aristokrat sehingga muncullah partai konservatif, misalnya. b) Partai Agama



Partai dikonstruksi atas dasar kesamaan dalam agama tertentu. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bawah.



262



BAB 8 Partai Poliik



c) Partai Etnisitas



Partai dibangun atas kesamaan etnisitas seperti suku bangsa, bahasa, daerah/regionalitas atau budaya tertentu.



5. Atas Dasar Rujukan Agama Secara khusus rujukan agama dapat pula dijadikan se­ bagai dasar pembentukan suatu tipologi partai politik:



http://facebook.com/indonesiapustaka



a) Partai Agama



Partai politik dibangun atas dasar rujukan agama yang dianut oleh masyarakat. Tujuan dibangunnya partai jenis ini adalah untuk memperjuangkan ideologi dan kepentingan agama mereka dalam konstelasi politik yang ada. Dalam perkembangannya antara partai agama dengan bukan partai agama tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Misalnya antara partai agama Kristen CDU dan partai sosialis SDP di Jerman tidak terlihat perbedaan yang sangat berarti. Pada suatu waktu mereka melakukan koalisi. Demikian juga de­ ngan beberapa partai agama di Indonesia, juga tidak tampak perbedaannya antara satu dengan lainnya. Bahkan antara partai yang mengaku berbasis gama, misalnya, tidak berbeda dengan partai yang tidak menggunakan label agama, teruta­ ma berkait dengan perilaku individual anggotanya di parle­ men. Perbedaan antara partai yang berbasis agama dan bu­ kan agama akan terlihat bila di parlemen dibicarakan tentang rancangan undang­undang yang terkait atau berhubungan dengan isu agama. Sehingga terkesan bahwa ideologi agama tersebut sekadar cantelan. b) Partai Sekuler



Pada negara sekuler di mana identitas keagamaan tidak boleh ditampilkan di ruang publik tertentu, maka partai yang



263



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



boleh hadir di sana adalah partai yang tidak menghubungkan antara agama dan negara. Negara yang relatif keras meng­ anut sekuler adalah negara­negara komunis dan Perancis. Adapun pada negara di mana masyarakatnya masih meng­ akui dan memeluk suatu agama serta tidak memisahkan se­ cara tegas antara ruang agama dan negara, maka lobi pemu­ ka agama turut juga berperan dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, seperti lobi Yahudi di Amerika. c) Partai Netral



http://facebook.com/indonesiapustaka



Partai netral melihat bahwa ideologi agama tidak begitu signifikan diangkat menjadi ideologi partai. Meskipun de­ mikian bukan berarti partai sama sekali menafikan pengaruh agama dalam kehidupan politik. Agama dipandang perlu di­ perlukan, namun bukan satu­satunya perlu diperhatikan. Bagaimana posisi agama pada negara akan berpenga­ ruh pada bagaimana partai politik memosisikan agama. Pada negara yang menegaskan sekuler merupakan ideologi neg­ ara, maka simbol agama di ruang publik diharapkan mini­ mal. Dengan demikian, suatu hal yang tabu apabila partai mencantumkan agama sebagai ideologi partai. Adapun jika tidak ada penegasan konstitusional bahwa sekuler merupa­ kan negara, maka dimungkinkan agama digunakan ideologi oleh partai politik. Sebaliknya, jika secara konstitusional dinyatakan bahwa agama merupakan ideologi agama, maka partai tidak akan mencantumkan sekuler sebagai ideologi partai. Namun bisa saja muncul partai netral seperti yang dikemukakan di atas pada negara sekuler maupun negara berideologi agama.



264



REFERENSI



Aberle, D. F. (1966). The Peyote Religion among the Nevaho. Chicago: Aldine. Almond, G. A. dan S. Verba. (1984). Budaya Politik. (terj.) Jakarta: Bina Aksara. Almond, G. A. dan G. B. Powell Jr. (1978). Comparative Politics: System, Process, and Policy. Amal, I (ed.). (1988). Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana. Andrain, C. F. (1992). Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Anwar, M. K. dan V. Salviana (2006). Perilaku Partai Politik. Yogyakarta: UMM Press.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Arifin, A. (1998). Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGrafindo Per­ sada. Bachtiar, W. (2006). Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosda. Beilharz, P. (2003). Teori-teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pe­ lajar. Bellamy, R. (1990). Teori Sosial Modern: Perspektif Itali (terj.). Jakarta: LP3ES. Blau, P. M. (1964). Exchange and Power in Social Life. New York: Willey.



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Blumer, H. (1969). Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood, N.J.: Prentice Hall. Brinkerhoff, D. B. dan L. K. White. (1989). Essentials of Sociology. New York: West. Brewer, A., (2000). Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx. Yog­ yakarta, Teplok Press. Budiardjo, M. (1994). Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia. Budiardjo, M. (2004). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gra­ media Pustaka Utama. Cangara, H. (2009). Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Caporaso, J. A. dan D. P. Levine. (2008), Teori-teori Ekonomi Politik, (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chandoke, N. (2001), Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Wacana. Chaney, D. (2004). Lifestyles. Yogyakarta: Jalasutra. Cooley, C.H. (1964). Human Nature and the Social Order. New York: Scribner’s. Coser, L. (1956). The Function of Social Conflict. New York: The Free Press.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Craib, I. (1986). Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: Rajawali Press. Crick, B. (1964). In Defence of Politics. Middlesex, England: Penguin Books. Dahl, R. A. (1980). Analisa Politik Modern. (terj.). Jakarta: Dewaruci Press. Dahrendorf, R. (1986). Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik (terj.) Jakarta: Rajawali Press. Damsar (2000), “Masyarakat Madani dan Peran Perguruan



266



REFERENSI



Tinggi: Suatu Kajian Sosiologis”, dalam Indonesia Baru Menuju Masyarakat Madani diedit oleh Syakirman M. Noor. Padang: Baitul Hikmah Press. Danial, A. (2009). Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: LkiS. Davis, K. dan W. Moore (1945). “Some Principles of Stra­ tification”, American Sociological Review 24: 362­417. Derrida, J., (2000). Hantu-hantu Marx. (terj.). Yogyakarta, Bentang. Duverger, M. (1982). Sosiologi Politik. (terj.) Jakarta: YIIS. Easton, D. (1981). “Analisa Sistem Politik” dalam Perbandingan Sistem Politik, diedit oleh M. Mas’oed dan C. Mac­ Andrews. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Evers, H. D. (1994). “The Traders Dilemma: A Theory of the Social Transformation of Markets and Society”, dalam H. D. Evers and H. Schrader (eds.), The Moral Economy of Trade: Ethnicity and Developing Markets. London: Routledge. Fauls, K. (1999). Political Sociology: A Critical Introduction. Eidenburgh: Eidenburgh University Press. Featherson, M. (2001). Posmodernisme dan Budaya Konsumen. (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Foucault, M. (1980), The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Language. New York: Harper Colophon.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Fried, M. (1967). The Evolution of Political Society. New York: Random House. Fromm, E. (2001). Konsep Manusia Menurut Marx. (terj.). Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Gans, H. (1972). “The Positive Functions of Poverty.” AJS 78: 275­89. Gatara, S. A. A. dan M. D. Said. (2007). Sosiologi Politik. Bandung: Pustaka Setia.



267



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Geerzt, C. (1973). Penjaja dan Raja. (terj.). Jakarta: Gramedia. Gellner, E. (1995). Membangun Masyarakat Sipil. (terj.) Ja­ karta: Mizan. Giddens, A. dkk. (1986), Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. (terj.) Jakarta: UIP. Giddens, A. dkk. (2005), Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. (terj.), Yogyakarta: Kreasi Wacana. Giddens, A. dkk. (2008). Social Theory Today. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Henslin, J.M. (2008). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga. Hikam, M. A. S. (1999). Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga. Homans, G. (1974). New York: Harcout Brace Javanovich.



.



Huntington, S. P. dan J. M. Nelson, No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Johnson, D.P. (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1 & 2 (terj.) Jakarta: Gramedia. Kantaprawira, R. (2004). Sistem Politik Indonesia: Suatu Mo­ del Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kartono, D. T. (2007), Sosiologi Distribusi. Buku Materi Pokok UT. Penerbit: Universitas Terbuka. Kinloch, G.C. (2005), Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. (terj.). Bandung: Pustaka Setia. Krasner, S. (1978). Defending the National Interest. Princeton. N.J.: McGraw­Hill. Lasswell, H.D. (1936), Politics: Who Gets What, When, and How. New York: Whittlesey House. Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Jakarta, Gramedia.



268



REFERENSI



Lawang, R. M. Z. (1985). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi (modul 1­5). Jakarta: Universitas Terbuka. Lenski, G. (1966), Power and Privelege: A Theory of Social Stratification. New York: McGraw­Hill. Liddle, R.W. (1992), Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES. Liliweri, A. (2007). Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan. Yog­ yakarta: Pustaka Pelajar. Mahasim, A. (1995), “Masyarakat Madani dan Lawannya: Sebagai Suatu Mukadimah,” kata pengantar pada Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil. Bandung: Mizan. Maliki, Z. (2003), Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: LPAM. Maran, R. R. (2001), Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Mas’oed, M. dan C. MacAndrews. (1981). Perbandingan Sistem Politik. Jakarta: Gadjah Mada University Press. Mareek, P. J. (1995), Political Marketing and Communication. London: John Libbey & Co. Marx, K. dan F. Engels, (1962), Selected Works, Vol. 1. Mos­ cow: Foreign Language Publishing House.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Mead, G. H. (1971). Mind, Self, and Society. Chicago: The University of Chicago Press. Merton, R. K. (1967). On Theoretical Sociology. New York: The Free Press. Mills, C.W. (2003), Kaum Marxis: Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangan (terj.). Yogyakarta, Pustaka Pelajar. ______ (1956), The Power Elite. New York: Oxford University Press. Morgenthau, H. J. (1960), Politics among Nations. New York: Alfred Knopf.



269



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Morisson, K. (1995), Marx, Durkheim, Weber: Formation of Social Thought. London: Sage Publication Ltd. Muhaimin, Y. A. (1990), Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES. Mumford, L. (1973), The City in History. Middlesex: Penguin Book. Nordlinger, E. (1981), On the Autonomy of the Democratic State. Cambridge. Mass.: Harvard University Press. Norris, P. (2000), A Virtous Circle: Political Communication in Industrial Sociaties. New York: Cambridge University Press. Orum, A. M. (1989). Introduction to Political Sociology. New Jersey: Printice­Hall, Inc. Parwitaningsih, dkk. (2005). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Uni­ versitas Terbuka. Poloma, M. M. (1984). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja­ wali Press. Ricardo, D. (1951), “The Principle of Political and Taxation”, dalam Work and Corresponsdence of David Ricardo. P. Sraffa Cambridge: Cambridge University Press. Ritzer, G. (1985), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press. Ritzer, G. dan D. J. Goodman. (2004), Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana­Prenada Media Group. http://facebook.com/indonesiapustaka



Ritzer, G. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Rajawali. Roth, D. dan F. L. Wilson (1976). The Comparative Study of Politics. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc. Rush, M. dan P. Althoff. (2003). Pengantar Sosiologi Politik (terj.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Russel, B. (1988) Kekuasaan. Jakarta: YOI. Saleh, A. A. (1990). Partisipasi Sosial. Pidato pengukuhan



270



REFERENSI



Guru Besar Sosiologi pada Jurusan Sosiologi, Padang, 25 Juli 1990. Salim, A. (2008). Pengantar Sosiologi Mikro. Yogyakarta: Pus­ taka Pelajar. Sanderson, S. K. Makrososiologi. Jakarta: RajaGrafindo Per­ sada. Sanit, A. (1980). Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: YIIS. Sartori, G. (1976). Party and Party Systems: A Framework for Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Schattschneider, E. F. (1960), The Semisovereign People: A Realst’s View of Democracy in America. New York: Holt, Rinehart & Winston. Schmitt, C. (1976). The Concept of the Political. New Brun­ swick, N.J.: Rutger University Press. Scott, J. (1976). The Moral Economy of the Peasant. New Haven: Yale University Press. Simamora, S. (1985). Pembangunan Politik dalam Perspektif. Jakarta: Bina Aksara. Situmorang, A. W. (2007). Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Skocpol, T (1995). “Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current Research”, dalam Peter B. Evans et al. (ed.), Bringing the State Back In. Cambridge: Crambridge University Press. Slater, D. (1997). Consumer Culture and Modernity. Cam­ bridge: Polity Press. Smith, A. (1965). An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. New York: Modern Library. Soesilo, A. S. dkk. (2004). Sosiologi Politik. Jakarta: Universi­ tas Terbuka.



271



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



Stark, R. (1987). Sociology. California: Wardsworth Pub. Comp. Sudarsono, Y. (ed.) (1982). Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: YOI. Suhelmi, A. (2007). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sullivan, T. J. dan K. S. Thompson. (1984). Sociology. New York: John Willey & Sons. Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES. Suparb, P. O. (1990). Market and Petty-Trade along the ThaiMalaysian Borders. Disertasi (tidak diterbitkan) di Fakultas Sosiologi Universitas Bielefeld. Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Widia­ sarana Indonesia. Suwarsono dan A. Y. So. (2000), Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Thio, A. (1989). Sociology: An Introduction. New York: Har­ per & Row. Tocqueville, A. de (2005). Alexis de Tocqueville: Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Jakarta: YOI. Thompson, G. et al., (1991), Market, Hierarchies, and Networks: the Coordination of Social Life. London: Sage.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Triwibowo, D. dkk. Gerakan Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi. Jakarta: LP3ES. Turner, J.H. (1978). The Structure of Sociological Theory. Homewood, Ill: Dorsey. Veeger, K.J. (1985), Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia. Weber, M. (2000), Sociology from Max Weber, (terj.). Yogya­ karta: Pustaka Pelajar ______ (2006). Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.



272



REFERENSI



Surabaya: Pustaka Promethea. Winnet, A. (2004). Communicating Effectively in the Workplace: Four Essential Steps Your Communication Skills. Da­ lam portal Business Communication. Wiryanto (2000). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo Zanden, J. W. Vander (1986) Sociology: The Core. New York: Alfred A. Knopf. Zeitlin, I. M. (1995). Memahami Kembali Sosiologi. Yogya­ karta: Gadjah Mada University Press.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Zuzmelia (2007). Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari Minangkabau: Kasus Pasar Kayu Manis (Cassiavera) di Kabupaten Tanah Datar dan Agam Sumatera Barat. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.



273



http://facebook.com/indonesiapustaka



INDEKS



A



C



Aberle, D. F. 133, 135 Adaptasi 44, 157 Aktivis 222 Almond, G. A. 153, 186, 190, 194 Alokasi 11, 13, 179, 207 Althoff., P. 153, 181, 185, 190, 207 Amal, I. 245 Andrain, C. F. 72, 73 Anwar, M. K. 245 Apatisme politik 30 Arifin, A. 206



Calvinisme 34 Cangara, H. 208, 209, 226, 235 Caporaso, J. A. 11, 106, 115, 116, 120 Cara produksi 22 Cermin diri (looking-glass self) 172, 173 Chiefdom 105, 106, 108 Civil society 110, 124­128, 143­ 145, 149, 227 Cooley, C. H. 171­173 Crick, B. 11



D



http://facebook.com/indonesiapustaka



B Barang publik (public good) 120, 122 Barter 112 Berger, P. L. 5, 8 Birokrasi 35, 38, 39 Blau, P. M. 62, 76, 77 Blumer, H. 4 Brinkerhoft, D. B. 1, 2, 151, 152, 97 Budaya politik 17, 204, 209 Budiardjo, M. 208, 209



Dahrendorf, R. 47, 53, 77, 79, 80, 82 Davis, K. 82 Demokrasi 17, 42, 138, 143, 144, 148, 150 Desiminasi 169 Diskursus 74 Distribusi kekuasaan 83, 84, 87, 99 Distribusi melalui pemberian 90 Distribusi melalui usaha 91 Durkheim, E. 26­28, 30



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK



E



G



Easton, D. 11 Ekonomi campuran baru (new mixed economy) 150 Ekonomi klasik 112, 120, 137, 138 Ekonomi neoklasik 112, 120, 137, 138 Ekonomi pasar bebas (the free market economy) 138, 140 Ekonomi pasar sosial (soziale markt-wirtschaft) 149, 150 Ekonomi politik 22 Eksprimen 17 Eksternalitas 27, 121 Elite birokrasi 22 Emerson, K. 76 Engels, F. 22, Etika Protestan 35 Evers, H. D. 138, 146



Gans, H. 46 Geertz, C. 111 Gellner, E. 126 Gerakan ekspresif (expressive movement) 131 Gerakan perlawanan (resistance movement) 133 Gerakan perpindahan (migratory movement) 131 Gerakan sosial (social movement) 69, 130, 133, 135, 136, 144 Gerakan sosial alternatif (alternative social movement) 133, 134 Gerakan sosial redemptif (redemptive social movement) 133 Gerakan sosial reformatif (reformative social movement) 134 Gerakan sosial transformatif (transformative social movement) 134 Gerakan sosial transnasional (transnational social movment) 135 Gerakan sosial metaformatif (metaformative social movement) 135 Gerakan reformasi (reform movement) 132 Gerakan revolusioner (revolutionary movement) 132 Gerakan utopia (utopian movement) 132 Gerontokrasi 63



http://facebook.com/indonesiapustaka



F Fakta sosial 27, 28 Fasisme 135 Fauls, K. 180 Federalisme 43 Ferguson, A. 126, 127 Firmanzah 228, 235, 237 Foucault, M. 74, 75 Fried, M. 103, 107 Fungsi hiburan 215 Fungsi informasi 210 Fungsi komunikasi politik 209 Fungsi pendidikan 211 Fungsi persuasi 214 Fungsi instruksi 212



276



H Hak Istimewa



87



IINDEKS Harga (price) 115, 117, 237 Harga yang wajar (just price) 124 Hegel, G. 22 Henslin, J. M. 84, 102, 130, 135, 136, Homans, C. H. 61 Horton, P. B. 5,7,9, 84, 130­ 134, 151, 164,183 Hubungan produksi 22­24, 77, 78 Hunt, L. H. 5, 7, 9, 84, 130, 131, 134, 151, 164 Huntington, S. P. 180, 182, 183, 188



I Ideologi 25 Ideologi politik 18 Imitasi 44, 45, 166, 167 Infrastruktur ekonomi 25, 26 Informasi yang sama (symmetric information) 124 Instruksi 168, 169, 213 Interaksi sosial 2, 12, 13, 19, 60, 61, 67, 152 Intervensi negara 109, 126, 140, 142



http://facebook.com/indonesiapustaka



J Jalan ketiga (the third way) 150 Johnson, D. P. 23, 25



K Kampanye pemilihan umum 168, 214, 227



149,



Kampanye politik 190, 225, 227, 232 Kapital sosial (social capital) 146 Karakteristik individual (personal characteristic) 236 Kaum berpengaruh (influentials) 187, 188 Kebudayaan 6­8 Kegagalan negara (state failure) 108, 110 Kegagalan pasar (market failure) 118, 120­124 Kehidupan publik 11, 13, 181, 207 Kehormatan 79, 87 Kekerasan 40, 66, 67 Kekuasaan 11, 40, 41,105, 66, 68, 67, 69, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 129, 80, 84, 168, 179, 181, 207, 87, 88 Kekuasaan revolusioner 71 Kekuasaan tanpa persetujuan 71 Kekuasaan tradisional 71, 72 Kekuatan ekonomi (economic power) 129 Kekuatan politik (political power) 129 Kekuatan sosial (social power) 78­129 Kekuatan produksi 22, 23, 78 Kelas 85 Kelas borjuis 86 Kelas proletar 86 Kelly, H. H. 61 Kelompok aktivis 183 Kelompok kepentingan 183, 184



277



http://facebook.com/indonesiapustaka



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK Kelompok kerabat (kinship) 70 Kelompok orang yang apolitis 184 Kelompok pembuat keputusan (proximate decision makers) 187 Kelompok pengamat 184 Kelompok pemilih (voters) 187 Kelompok status 87 Kelompok teman sebaya (peer group) 164 Keluarga 126 Keluarga posisional (positioncentered family) 155 Keluarga terpusat pada pribadi (person-centered family) 156 Kepentingan pribadi 128 Kerjasama 96 Kesadaran palsu 25, 26 Keterbatasan lingkungan (environmental circumsciption) 108 Keuntungan pribadi (profit seeking) 128 Kewenangan 11, 13, 35, 106, 66, 68, 69, 70, 79, 80, 81, 179, 181 Kewenangan tradisional 37, 69, 70 Kewenangan karismatik 37, 69, 70 Karakteristik individual (personal characteristic) 297 Kewenangan legal­rasional 371 Komunikasi 2, 3, 30, 205, 206 Komunikasi politik 18, 205, 207, 208, 210, 215, 216, 217, 223 Komunikator politik 221 Komunisme 71, 135



278



Konsumsi kekuasaan 93, 95 Konflik 11, 45, 53, 54, 55, 107, 108, 111, 77, 161, 175, 207, 209 Konsep 14, 15, 19, 22, 66, 67, 68, 21, 24, 74, 79, 83, 172 Konsumsi politik 18 Kontak 2, 3 Krasner, S. 100 Kumpulan (band) 105



L Lapisan aktivis 187 Lawang, R. M. Z. 157 Layendecker, L. 23 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 114 Levine, D. P. 11, 106, 115, 116, 120 Liliweri, A. 205 Lasswell, H. D 10



M Mahasim, A. 119 Maksimalisasi Kegunaan (utility maximization) 128 Marketing politik 234, 235, 237, 240, 244 Mareek, P. J. 235 Marshal, A. 111 Marx, K. 21­26, 106­179, 145, 85 Masyarakat 19­39, 46, 49, 54, 55, 60, 111, 67, 125­180 Masyarakat hortikultura 105 Masyarakat pemburu­peramu 105



IINDEKS Masyarakat peternak 105 Masyarakat sipil 124 Masyarakat warga/kewargaan 124 Masyarakat madani 124 Masyarakat primitif 112 Materialisme historis 22 McClosky, H. 180­182 Mead, G. H 60, 171, 174, 175 Mekanisme mengatur diri sendiri (self-regulating mechanism) 115 Metode verstehen 31 Metode survey 17 Mills, C. W. 141, 142 Mode produksi 22, 78 Model interaksi 218 Model komunikasi politik 216 Model laswell 217 Model linier 217 Model transaksional 219 Monopoli 113, 120 Moore, W. 82 Mosca, G. 40, 41, 77, 80 Morisson, K. 22 Motivasi 170 Morgentthau, H. J 11



http://facebook.com/indonesiapustaka



N Negara 11, 14, 106, 107, 109, 110, 124, 125, 137, 141, 142, 143, 145, 149, 168, 207, 209, 99, 102 Negara pristin 103 Negara sekunder 103 Nelson, J. M. 180, 182, 188



O Observasi partisipasi Oligopoli 123 Oposisi 44, 45



17



P Paksaan 66, 67 Pareto, V. 39 Parsons, T. 157, 161 Partai Amanat Nasional (PAN) 241 Partai Daulat Rakyat 241 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 195 Partai Demokrat (PD) 216 Partai Golongan Karya (Golkar) 182, 213, 116 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 168, 213 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 241 Partai Republik 241 Partai Politik 18, 168, 169, 190, 199, 213, 231 Partisipan 184 Partisipasi 143, 177, 178, 180, 182, 183 Partisipasi Politik 18, 153, 177, 179, 180, 181, 183, 188, 189, 193, 199 Partisipasi Politik Konvensional 186, 191 Partisipasi Politik Non­ Konvensional 186, 191 Pasar 110, 111, 113, 115, 116, 117, 120, 124, 125, 137, 138, 140, 141, 142, 145, 150



279



http://facebook.com/indonesiapustaka



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK Pasar lokal 112 Pasar mengatur dirinya sendiri (self-regulating market) 113 Patriarkalisme 69 Patrimonial 69 Pembagian 179, 207 Pembagian kerja 78 Pembangunan politik 18 Pembonceng (free rider) 122 Pemerintahan 11, 14, 179, 181, 207, 209 Penataran 170 Pendekatan materialisme histo­ ris 22 Pengambilan keputusan 17 Pengambilan peran (role taking) 175 Pengaruh 67 Pengertian pasar 110 Pengertian politik 10, 163 Pengertian sosiologi 1 Pengertian sosiologi politik 12 Penyambung lidah 224 Percaya diri (self­relianc) 126 Perdagangan internal 113 Perdagangan jarak jauh 112 Perekrutan politik 18 Perilaku politik 18 Perjuangan kelas 34 Persaingan 96 Perubahan politik 18 Platform partai (party platform) 236, 242 Polanyi, K. 111, 112, 113, 115 Politicum horribilis 231 Politisi 220 Poloma, M. M. 62 Produk (product) 23, 236



280



Produksi politik 18, 221 Profesional 238 Promosi (promotion) 238 Publik peminat politik (attentive public) 187



R Rekaman lampau (past record) 236 Resolusi konflik 11, 179, 207, 209 Ricardo, D. 22, 118 Roth, D. 183, 190 Rubah 40 Russel, B. 71 Rush, M 21, 153, 180, 181, 185, 190, 207



S Saleh, A. A. 177 Sanderson, S. K. 105, 106, 107, 167, 168 Say, J. B. 118 Scott, J. 146 Sekolah 164 Semangat kapitalisme 34 Simon, St. 22 Singa 40 Sirkulasi elite 41 Sistem 25, 84, 159 Skocpol, T. 100 Soekanto, S. 5 Sosialisasi partisipatif 155 Sosialisasi politik 12, 22, 151, 152, 153, 154, 156, 170, 171, 179 Sosialisasi represif 154



IINDEKS Smith, A. 22, 111, 116 Stratifikasi sosial 105, 78, 79, 83, 84, 85, 199, 200, 87, 89, 104 Studi kasus 17 Suhelmi, A. 102, 103 Sukarela (voluntary) 126 Suku (tribes) 108 Sunarto, K. 130, 84, 155 Sundhaussen, U. 143 Suparb, P­O. 146 Superstruktur sosio­budaya 25 Swasembada (self-supporting) 126 Swedberg, R. 110 Schttschneder, E. F 11 Schmitt, C. 11



http://facebook.com/indonesiapustaka



T Tahap pertandingan (game stage) 175 Tahap play stage 175 Tahap prepatory 175 Tahap the generalized other 175 Tangan­tangan tersembunyi” (invisible hand) 116, 117 Tarde, G. 44 Tempat (place) 237 Teokratis 104 Teori 16, 45 Teori alienasi 23 Teori anomi 30 Teori ekologis 108 Teori fungsionalis 105 Teori interaksionisme simbolik 46, 56, 57, 172 Teori marxian 106 Teori perubahan sosial 24



Teori pertukaran 60 Teori struktural fungsional 16, 46, 47, 48, 52, 53, 81 Teori struktural konflik 16, 46, 52, 53 Tesis solidaritas sosial 28 Thibout, J. 61 Thio, A. 153 Thompson, G. 151 Tindakan Afektif 36 Tindakan rasional instrumental 36, 37 Tindakan rasional nilai 36 Tindakan tradisional 36 Tindakan sosial 2, 35, 37, 57 Tipe ideal 31, 38 Tipe penonton 189 Tipe transisional 180 Titik keseimbangan (ekuilibrium) 138 Tocqueville, A. de 42, 43, 143 Tokoh masyarakat 222 Turner, J. H. 57 Tylor, S. E. 6



U Utilitarianisme



113, 139



V Variabel



16, 19, 201, 202, 203



W Weber, M. 30, 31, 34, 35, 37, 38, 66, 67, 68, 69, 71, 79, 85, 144, 193, 197, 87, White, L. K. 1, 2 151, 152, 97



281



PENGANTAR SOSIOLOGI POLITIK Wilson, F. L. 183, 190 Winnet, A. 206



Z



http://facebook.com/indonesiapustaka



Zanden, J. W. Vander 152 Zusmelia 110, 124, 152



282



TENTANG PENULIS



Prof. Dr. Damsar, lahir 3 Juli 1963 di Tanjung Tiram, Batubara Sumatera Utara. SD dan SMP ditamatkan di sana. SMA diselesaikan di SMA Negeri 2 Bukittinggi Sumatera Barat. S1 selesai di Sosiologi UNAND 1987, S2 Sosiologi UI 1992, dan S3 Sosiologi Universitas Bielefeld Jerman. Sedangkan guru besar dianugerahi dalam bidang sosiologi ekonomi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Berbagai tulisan ilmiah akademis dan ilmiah populer telah diterbitkan dalam bentuk buku, bagian dari suatu buku, jurnal working paper, dan surat kabar. Berikut beberapa buku yang telah ditulis: Fleamarket in a German Town: A Study in Economic Sociology; Sosiologi Ekonomi, edisi revisi (2004); Sosiologi Pasar (2005); Sosiologi Uang (2006), dan Sosiologi Konsumsi (2009) dan Pengantar Sosiologi Ekonomi (2009). Fokus kajian dan keahlian adalah sosiologi ekonomi dan sosiologi politik. Beberapa kajian sosiologi ekonomi yang sedang dikembangkan mencakup sosiologi pasar, sosiologi uang, sosiologi konsumsi, sosiologi gaya hidup, dan sosiologi manajemen. Sedangkan sosiologi politik yang dikembangkan sosiologi kekuasaan dan sosiologi ekonomi politik.



http://facebook.com/indonesiapustaka