Pengelompokan Kayu-Perdagangan Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Djarwanto Ratih Damayanti Jamal Balfas Efrida Basri Jasni I.M. Sulastiningsih Andianto D. Martono Gustan Pari Adang Sopandi Mardiansyah Krisdianto



Penerbit FORDA PRESS Penerbitan untuk:



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan



PENGELOMPOKAN JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA Penulis: Djarwanto Ratih Damayanti Jamal Balfas Efrida Basri Jasni I.M. Sulastiningsih Andianto D. Martono Gustan Pari Adang Sopandi Mardiansyah Krisdianto Pengarah: Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si. Narasumber: Y.I. Mandang Penyunting: Prof. Dr. Imam Wahyudi, M.S. Ir. Nana Suherna M. Saad, M.P. Dr. David, S.E., M.M.



Penerbit FORDA PRESS 2017



PENGELOMPOKAN JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA Penulis: Djarwanto Ratih Damayanti Jamal Balfas Efrida Basri Jasni I.M. Sulastiningsih Andianto D. Martono Gustan Pari Adang Sopandi Mardiansyah Krisdianto Pengarah: Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si. Narasumber: Y.I. Mandang Penyunting:



Prof. Dr. Imam Wahyudi, M.S.



Ir. Nana Suherna M. Saad, M.P. Dr. David, S.E., M.M.



©2017, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Cetakan Pertama, April 2017 xiv + 228 halaman; 210 x 297 mm



ISBN: 978-602-6961-23-5 Penerbit: Forda Press (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)



Diterbitkan untuk: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jl. Gunung Batu, No. 5, Bogor



Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang menggandakan atau memperbanyak buku ini, baik sebagian maupun keseluruhan isi buku, termasuk foto ataupun materi lain dalam buku tanpa seizin penulis dan penerbit.



Sambutan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Tugas utama Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah menyelenggarakan penelitian, pengembangan, dan inovasi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan untuk mendukung eselon I teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pemangku kepentingan lainnya. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan keunggulan kompetitif dan kemampuan IPTEK, BLI harus menghasilkan IPTEK yang inovatif dalam rangka menjawab berbagai permasalahan dan tantangan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Hingga saat ini, BLI telah menghasilkan berbagai kajian dan hasil inovasi IPTEK yang menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan dan praktik pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menjelaskan bahwa inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan dan/atau perekayasaan yang bertujuan untuk mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Inovasi di bidang LHK cukup bervariasi, antara lain tentang sifat dasar kayu, perbaikan sifat dan pemanfaatannya. Penelitian sifat dasar kayu dari jenis yang kurang dikenal telah lama dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Hasil Hutan. Pengembangan hasil penelitian tersebut telah dituangkan dalam bentuk publikasi jurnal ataupun publikasi Atlas Kayu Indonesia. Hasil penelitian dalam bentuk publikasi tersebut semakin terasa manfaatnya dengan adanya kajian pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia. Dari hasil publikasi data dan informasi sifat dasar kayu bersama dengan pemberdayaan koleksi kayu di Xylarium Bogoriense 1915, Puslitbang Hasil Hutan telah mampu memberikan sumbangan pikiran bagi para pengambil keputusan dalam pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia. Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada para peneliti Puslitbang Hasil Hutan yang telah menghasilkan formula pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia sebagai bahan kebijakan dalam pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia.



Bogor, Januari 2017 Kepala Badan Litbang dan Inovasi



Dr. Henry Bastaman, M.E.S. | iii



Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jenis kayu yang biasa dipakai untuk keperluan bahan bangunan, mebel, barang kerajinan, dan kayu lapis semakin terbatas jumlahnya dan tidak seimbang dengan kebutuhan yang semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan kayu, saat ini mulai digunakan jenis kayu lain yang mudah didapat, seperti kayu kurang dikenal dari hutan alam ataupun dari hutan rakyat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, telah banyak diperdagangkan jenis kayu yang pada awalnya dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Ditunjang dengan perkembangan teknologi, semua jenis kayu memiliki nilai komersial, bahkan untuk jenis tertentu dapat diolah menjadi produk kayu mewah. Akibat kurang dikenalnya jenis kayu tersebut, muncul nama-nama yang tidak baku, seperti kayu borneo, kayu merah, kayu racuk, dan sebagainya. Penetapan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) bagi jenis ini relatif sulit sehingga untuk memudahkan penetapannya, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003, kayu tersebut masuk ke dalam kelompok Rimba Campuran. Padahal, kualitas kayunya belum tentu lebih rendah dari jenis yang sudah lebih dahulu dikelompokkan ke dalam kelompok kayu perdagangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.163/Kpts-II/2003, kayu perdagangan dikelompokkan dalam 121 kelompok dagang yang memuat sekitar 186 jenis/kelompok jenis kayu. Di sisi lain, berdasarkan informasi dari Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas Kayu, hingga November 2016, terdapat lebih kurang 1.044 jenis kayu yang diperdagangkan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis kayu yang diperdagangkan semakin bertambah. Namun, tambahan jenis tersebut dimasukkan dalam kelompok Rimba Campuran dengan besaran PSDH yang rendah. Untuk itu, pengelompokan kayu perdagangan perlu dikaji ulang agar jenis kayu yang belum termasuk dalam lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 dapat ditentukan nilainya berdasarkan kualitas kayu. Akhirnya, saya menyampaikan penghargaan dan ucapan selamat kepada tim penyusun dan tim penyunting buku ini yang telah mengkaji dan menentukan kriteria dan formula pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia. Harapannya, hasil kajian pengelompokan kayu perdagangan Indonesia dapat dijadikan sebagai acuan ilmiah dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kayu perdagangan. Terima kasih disampaikan pula kepada Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), PT. Sinarmas Forestry, dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang telah membantu dalam penerbitan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi khalayak luas, khususnya para pengambil keputusan di bidang pengusahaan hutan, baik di kalangan pemerintahan, dunia usaha maupun masyarakat luas. Bogor, Januari 2017 Kepala Pusat,



Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si.



|v



Kata Pengantar Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam berupa jenis pohon penghasil kayu yang sangat banyak jumlahnya. Berdasarkan hasil penelitian, ada sekitar 4.000 jenis pohon berkayu yang terdapat di hutan alam. Pengumpulan contoh kayu beserta bahan herbarium sudah dimulai sejak tahun 1915 oleh peneliti dan pejabat kehutanan daerah. Bersamaan dengan itu, pada tahun yang sama juga didirikan Xylarium, yaitu satuan kerja yang bertugas mengumpulkan dan menyimpan contoh kayu dari berbagai jenis pohon. Jumlah koleksi yang ada saat ini tercatat sebanyak 45.067 sampel kayu, yang tergabung dalam 110 suku, 675 marga, dan 3.667 spesies. Xylarium tersebut diberi nama Xylarium Bogoriense 1915 yang didirikan di bawah lembaga yang bernama Proefstation voor het Boschwezen. Lembaga tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan. Xylarium Bogoriense 1915 sudah tercatat dalam Index Xylariorum, Institutional Wood Collection of the World sejak tahun 1975, dan menempati peringkat ketiga di dunia setelah Forest Products Laboratory USA yang koleksinya mencapai 100.000 sampel kayu dari seluruh dunia dan The Royal Museum of Central Africa di Belgia dengan jumlah koleksi 57.165 sampel kayu. Selain itu, kegiatan eksplorasi untuk mengetahui kekayaan sumber daya hutan Indonesia sudah dilakukan sejak zaman Belanda melalui penelitian taksonomi tumbuhan berkayu di seluruh wilayah Indonesia. Hasil eksplorasi ini kemudian dituangkan ke dalam buku De Nuttige Planten van Indonesie oleh K. Heyne tahun 1927, kemudian diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan pada tahun 1987 dalam seri buku Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I-IV. Berdasarkan hasil pengumpulan sampel kayu dan bagian pohon lainnya (daun, bunga, dan lain-lain) oleh Den Berger, herbarium pun dibuat untuk penentuan jenis dan penelitian sifat kayu yang ditujukan untuk penentuan kelas kuat (I–V) dan kelas awet (I–V). Kayu dengan Kelas Kuat I dan II (berat jenis/BJ>0,60) diperuntukkan sebagai bahan konstruksi/bangunan berat yang selalu berhubungan dengan tanah basah dan/atau cuaca, serta angin (seperti kayu perkapalan, jembatan, tiang listrik, bantalan rel kereta api, dan konstruksi bangunan rumah), Kelas Kuat III untuk bangunan yang tidak berhubungan dengan tanah basah (mebel dan sebagainya), dan Kelas Kuat IV dan V untuk konstruksi/bangunan ringan (plafon, peti kemas, dan sebagainya). Penentuan kelas kuat sangat penting dalam aplikasinya di lapangan karena berhubungan langsung dengan keselamatan manusia dan lingkungan, terutama dalam penggunaannya sebagai bahan konstruksi yang memikul beban berat. Demikian juga keawetan yang menentukan umur pakai kayu. Kayu yang tidak awet jika digunakan tanpa adanya perlakuan pengawetan akan merugikan karena masa pakai rendah sehingga masyarakat setiap saat harus mengganti kusen, daun pintu, dan jendela rumah akibat dimakan rayap dan atau bubuk kayu. Sistem penggolongan kelas awet kayu terhadap organisme perusak seperti rayap tanah dan bubuk kayu kering diciptakan oleh Dr. Pfeiffer, lalu mengalami sedikit perubahan oleh Balai Penyelidikan Kehutanan pada tahun 1923 dan 1946. Berdasarkan kelas awet kayu, jenis kayu apa saja yang sangat awet dapat dengan mudah diketahui karena tidak pernah rusak dimakan rayap dan atau bubuk. Demikian pula kayu sangat tidak awet, yang mana dalam hitungan bulan sudah dimakan bubuk. Data tentang jenis kayu beserta kelas kuat dan kelas awetnya dirangkum | vii



pada tahun 1964 oleh Oey Djoen Seng dari Pusat Litbang Hasil Hutan dalam Pengumuman No. 13 tentang “Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek”, yang hingga saat ini masih digunakan oleh praktisi perkayuan di Indonesia. Hingga saat ini, Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH) masih intensif melakukan penelitian sifat dasar kayu, yaitu sifat inheren/asli yang melekat pada kayu. Pada tahun 1973 dan 1975, Pengumuman No. 3 dan No. 56 diterbitkan yang kemudian dirangkum pada tahun 1979 oleh Kartasujana & Martawijaya dalam buku Kayu Perdagangan Indonesia: Sifat dan Kegunaannya. Selanjutnya, hasil penelitian sifat dasar oleh P3HH dituangkan dalam seri Buku Atlas Kayu Indonesia Jilid I–IV dan menjadi buku terlaris dan paling banyak diunduh sampai ke luar negeri hingga saat ini. Publikasi yang terbit sebelum tahun 1995 menjadi acuan dalam pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. 311/Kpts-IV/1995 tentang Pengelompokan Jenis Kayu Sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan. Dalam perkembangannya, Keputusan Menteri Kehutanan tersebut sudah beberapa kali mengalami perubahan, yaitu melalui Kepmenhut No. 574/Kpts-II/1997, kemudian disempurnakan dengan Kepmenhut No. 707/Kpts-II/1997. Terakhir, peraturan tersebut diganti dengan Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 yang hingga saat ini masih tetap berlaku, serta hanya terbatas pada 121 kelompok dagang yang terdiri dari 186 jenis/kelompok jenis kayu. Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan jumlah jenis kayu nasional yang mencapai ±4.000 jenis. Hal yang menarik, amar kedua dari Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 menjelaskan bahwa jenis kayu yang belum ditentukan sebagai salah satu dari kelompok yang telah ditetapkan, dimasukkan ke dalam Kelompok Kayu Rimba Campuran/Komersial Dua. Hal ini berarti lebih dari 90% jumlah jenis kayu Indonesia masih tergolong dalam kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran, yang berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.68/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan Untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan, nilainya sangat rendah sehingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari komoditas kayu belum optimal. Hasil kajian terhadap Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi perdagangan kayu saat ini. Pertama, penetapan kriteria keindahan kayu dianggap kurang jelas. Kedua, hasil penelitian sifat dasar jenis kayu kurang dikenal oleh P3HH-KLHK menunjukkan bahwa banyak jenis kayu Indonesia yang saat ini masih dikelompokkan sebagai Kayu Rimba Campuran berpotensi untuk masuk sebagai kelompok Kayu Indah. Beberapa jenis diantaranya adalah mimba (Azadirachta indica A. Juss), gopasa (Vitex cofassus Reinw. ex Blume), tembesu (Fagraea fragrans Roxb), dan panggal buaya (Zanthoxylum rhetsum St. Lag). Beberapa hal lain yang juga perlu disempurnakan adalah tercampurnya kayu dengan berat jenis dan keawetan tinggi dengan kayu dengan berat jenis dan keawetan rendah; pengelompokan jenis meranti yang terlalu umum; dan belum mengikuti perubahan taksonomi dan nama botani, serta belum mengakomodasi jumlah jenis kayu yang diperdagangkan saat ini. Berdasarkan data dari KLHK awal November 2016 (http://silk/dephut.go.id), jumlah jenis kayu yang diperdagangkan di Indonesia yang tercatat



viii |



dalam License Information Unit (LIU) sudah mencapai 1.044 jenis sehingga sudah saatnya untuk dilakukan penyesuaian terhadap Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pusat Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK menyelenggarakan diskusi mengenai Pengelompokan Jenis Kayu Perdagangan Indonesia di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, pada tanggal 16 Desember 2016. Kegiatan ini dihadiri oleh peneliti dan akademisi, pemerintah hingga pengusaha yang bergerak di bidang perkayuan. Diskusi tersebut memaparkan hasil kajian mengenai evaluasi dan penyempurnaan terhadap substansi Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003, serta penetapan kriteria pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia berdasarkan status konservasi, nilai komersialitas (keindahan), dan kualitas kayu (berat jenis dan keawetan). Hasil kajian menunjukkan bahwa pengelompokan kayu perdagangan Indonesia dapat dilakukan secara sistematis menggunakan sistem skoring dengan memasukkan nilai keindahan dan kualitas sehingga semua jenis kayu Indonesia memiliki nilai komersial, serta dapat dipetakan berdasarkan kriteria yang ada ke dalam lima kelas komersial. Perbandingan hasil penilaian pengelompokan jenis kayu perdagangan berdasarkan komersialitas dan kualitas dengan klasifikasi dalam Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 menunjukkan bahwa hampir 40% kayu dari Kelas Rimba Campuran naik menjadi Kelas Komersial Indah I, Kelas Komersial Indah II, dan Kelas Komersial I, atau dari Kelas Indah Dua menjadi Kelas Komersial Indah I. Kenaikan ini mengindikasikan adanya potensi peningkatan PNBP dari PSDH. Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah jenis kayu yang datanya belum lengkap sehingga belum dapat diklasifikasikan. Pusat Litbang Hasil Hutan sebagai salah satu institusi penelitian di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkomitmen untuk terus melakukan kajian terhadap kayu Indonesia sehingga dapat menempatkan dan menilai suatu jenis kayu berdasarkan sifat yang dimilikinya: Adil untuk kayu, adil untuk negara dan adil untuk para pengusaha. Pada kesempatan ini, tim penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada narasumber, [Alm.] Ir. Y.I. Mandang, seorang ilmuwan sejati, wood anatomist Indonesia yang hingga akhir hidup beliau masih menyempatkan waktu, tenaga, dan pikiran mendampingi proses penilaian seluruh kayu dan pembuatan buku ini dari awal hingga siap terbit. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para penyunting, antara lain Prof. Dr. Imam Wahyudi, M.S. dari Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor; Ir. Nana Suherna M. Saad, M.P. dari Direktorat Iuran dan Peredaran Hasil Hutan, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari; dan Dr. David, S.E., M.M. dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), yang telah memberikan koreksi dan masukan yang berharga sehingga buku ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang secara langsung berhubungan dengan pemanfaatan dan perdagangan kayu. Bogor, Januari 2017 Tim Penulis | ix



Daftar Isi Sambutan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi..........................................................



iii



Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan ...................................................



v



Kata Pengantar ................................................................................................................................................................



vii



Daftar Isi .............................................................................................................................................................................



xi



Daftar Gambar .................................................................................................................................................................



xii



Daftar Tabel ......................................................................................................................................................................



xiii



Daftar Lampiran .............................................................................................................................................................



xiv



I.



Pendahuluan ...........................................................................................................................................................



1



II.



Kajian Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003 ..................................



3



III. Kriteria Keindahan Kayu ..................................................................................................................................



7



A. Corak Kayu ........................................................................................................................................................



7



B. Warna Kayu ......................................................................................................................................................



9



C. Orientasi Serat .................................................................................................................................................



10



D. Tekstur Kayu ....................................................................................................................................................



11



E. Kilap Kayu..........................................................................................................................................................



12



IV. Kriteria Kualitas Kayu ........................................................................................................................................



13



V.



Penetapan Kriteria Pengelompokan Jenis Kayu Perdagangan .......................................................



15



VI. Pengelompokan Jenis Kayu Perdagangan Indonesia ..........................................................................



19



VII. Penutup .....................................................................................................................................................................



47



Daftar Pustaka .................................................................................................................................................................



49



Lampiran ............................................................................................................................................................................



51



| xi



Daftar Gambar Gambar 1. Kayu yang memiliki corak kontras (a) (eboni, Diospyros celebica Bakh.), samar (b) (anggerit, Neonauclea pallida Bakh.f.), dan polos (c) (gelam, Melaleuca leucadendron (L.) L. (cajuputi)) ....................................................................................................



9



Gambar 2. Kayu yang memiliki warna merata (a) Artocarpus kemando dan tidak merata (b) Pterocymbium viridiflorum ......................................................................................................



10



Gambar 3. Ilustrasi berbagai arah serat miring kayu (sumber: Mandang & Pandit, 2002) ...



11



Gambar 4. Kayu dengan arah serat lurus (a) Mangifera foetida, serat berpadu (b) Pterospermum javanicum, dan serat bergelombang (c) Acacia mangium ...............



11



Gambar 5. Kayu dengan tekstur halus (a) Schima walichii dan tekstur kasar (b) Heritiera simplicifolia.............................................................................................................................................



12



Gambar 6. Diagram alir dasar pemikiran dan kriteria penilaian pengelompokan jenis kayu perdagangan ...............................................................................................................................



18



xii |



Daftar Tabel



Tabel 1. Kriteria seleksi keindahan kayu ..........................................................................................................



16



Tabel 2. Kriteria seleksi kualitas kayu berdasarkan berat jenis dan keawetan kayu untuk pengklasifikasian jenis kayu kelompok komersial lainnya ....................................................



16



Tabel 3. Hasil pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia .....................................................



19



Tabel 4. Perubahan pengelompokan jenis kayu perdagangan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan terhadap Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 ............................................



20



Tabel 5. Kelompok kayu perdagangan Kelas Komersial Indah I ...........................................................



21



Tabel 6. Kelompok kayu perdagangan Kelas Komersial Indah II ..........................................................



22



Tabel 7. Kelompok kayu perdagangan Kelas Komersial I .........................................................................



32



Tabel 8. Kelompok kayu perdagangan Kelas Komersial II .......................................................................



34



Tabel 9. Kelompok kayu perdagangan Kelas Komersial III......................................................................



40



| xiii



Daftar Lampiran Lampiran 1. Penampang tangensial, radial, dan transversal jenis kayu Kelas Komersial Indah I ....................................................................................................................................................



51



Lampiran 2. Penampang tangensial, radial, dan transversal jenis kayu Kelas Komersial Indah II ..................................................................................................................................................



61



Lampiran 3. Penampang tangensial, radial, dan transversal jenis kayu Kelas Komersial I ....



131



Lampiran 4. Penampang tangensial, radial, dan transversal jenis kayu Kelas Komersial II ..



142



Lampiran 5. Penampang tangensial, radial, dan transversal jenis kayu Kelas Komersial III.



189



xiv |



I. Pendahuluan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 311/Kpts-IV/1995 tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan pertama dilakukan melalui Kepmenhut Nomor 574/Kpts-II/1997. Selanjutnya, disempurnakan dengan Kepmenhut Nomor 707/Kpts-II/1997. Terakhir, peraturan tersebut diganti menjadi Kepmenhut Nomor 163/Kpts-II/2003. Perubahan peraturan tersebut selalu disesuaikan dengan kondisi perdagangan kayu dan perkembangan penelitian saat itu (Direktorat Iuran dan Peredaran Hasil Hutan 2015b). Hingga saat ini, keputusan Menteri Kehutanan tentang pengelompokan jenis kayu perdagangan yang berlaku adalah Kepmenhut Nomor 163/Kpts-II/2003. Dalam Keputusan tersebut, sebanyak 121 kelompok kayu perdagangan yang terdiri atas 186 jenis/marga dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu Kelompok Jenis Meranti (Komersial Satu), Kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran (Kelompok Komersial Dua), Kelompok Jenis Kayu Eboni (Kelompok Indah Satu), dan Kelompok Jenis Kayu Indah Dua. Pengelompokan dilakukan berdasarkan hasil penelitian terhadap kayu yang diperdagangkan saat itu namun jumlah kayu dalam Lampiran Kepmenhut Nomor 163/Kpts-II/2003 masih sedikit dibandingkan dengan perkiraan jenis pohon berkayu yang tumbuh di Indonesia, yang mencapai ±4.000 jenis (Kartasujana & Martawijaya 1979). Amar kedua dari Kepmenhut Nomor 163/Kpts-II/2003 menjelaskan bahwa terhadap jenis kayu yang belum tercantum dalam keputusan tersebut, maka jenis tersebut dimasukkan ke dalam Kelompok Rimba Campuran/Komersial Dua. Hal ini berarti lebih dari 90% jumlah jenis kayu Indonesia tergolong ke dalam kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran dengan nilai iuran kehutanan sangat rendah berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.68/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan, Ganti Rugi Tegakan, dan Penggantian Nilai Tegakan (Direktorat Iuran dan Peredaran Hasil Hutan 2015a). Pengelompokan jenis kayu dalam Kepmenhut Nomor 163/Kpts-II/2003 belum memuat aspek teknis yang menjadi variabel penting dalam penentuan kualitas suatu jenis kayu, seperti aspek penampilan, berat jenis, dan keawetan kayu. Ketiga aspek tersebut dianggap penting dalam penentuan komersialitas (nilai komersial) dan kualitas suatu jenis kayu sehingga dapat dijadikan dasar pengelompokan seluruh jenis kayu perdagangan Indonesia. Hasil penelitian sifat dasar jenis kayu kurang dikenal oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa banyak jenis kayu Indonesia yang saat ini termasuk ke dalam Kelompok Kayu Rimba Campuran berpotensi untuk masuk ke dalam Kelompok Kayu Indah. Beberapa jenis yang dimaksud tersebut, antara lain kayu mimba (Azadirachta indica A. Juss), gopasa (Vitex cofassus Reinw. ex Blume), tembesu (Fagraea fragrans Roxb), dan panggal buaya (Zanthoxylum rhetsum St. Lag). Dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), kayu yang diperdagangkan di Indonesia terekam di dalam License Information Unit (LIU) yang dapat diakses melalui http://silk/dephut. |1



go.id. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa jenis kayu yang diperdagangkan terus bertambah. Pada era tahun 1950–1970-an, jumlah jenis kayu yang penting diperkirakan sekitar 400 jenis yang terdiri atas 267 jenis kayu perdagangan dan 133 jenis kelompok jenis kayu kurang dikenal (Hildebrand 1952; Kartasujana & Martawijaya 1979). Perekaman LIU pada awal bulan November 2016 menunjukkan bahwa komoditas kayu yang diperdagangkan telah mencapai 2.146 komoditas yang terdiri atas 1.044 jenis kayu. Jumlah ini jauh di atas jumlah jenis kayu yang telah ditetapkan kelompoknya sehingga diperlukan kriteria ilmiah pengelompokan jenis kayu perdagangan yang dapat diaplikasikan pada setiap jenis kayu yang diperdagangkan. Oleh sebab itu, penyusunan buku ini dianggap penting guna menjawab tantangan yang dimaksud. Buku ini disusun berdasarkan hasil kajian substansi Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 yang bertujuan melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap Kepmenhut tersebut, serta mengembangkan penyusunan kriteria pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia berdasarkan parameter yang terukur.



2|



II. Kajian Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003 Penetapan jenis kayu perdagangan dan pengelompokannya telah dimulai sejak tahun 1995 melalui Kepmenhut No. 311/Kpts-IV/1995. Kemudian, terdapat penambahan jenis beberapa kali, hingga diubah dan ditetapkan kembali melalui Kepmenhut No. 707/Kpts-II/1997. Kebijakan ini dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Oleh sebab itu, pada tahun 2003, penetapan pengelompokan jenis baru dilakukan melalui Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 tanggal 26 Mei 2003. Sejak tahun 2003 hingga saat ini, penentuan pengenaan iuran kehutanan kayu perdagangan pun mengacu kepada Kepmenhut No. 163/KptsII/2003 tersebut. Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 hanya memuat pengelompokan bagi 121 nama kayu perdagangan yang didasarkan pada hasil penelitian jenis kayu yang sudah dikenal kayu perdagangan pada saat itu sebagaimana Pengumuman No. 3 Tahun 1973 dan Pengumuman No. 56 Tahun 1975 tentang Sifat dan Kegunaan Kayu Perdagangan Indonesia oleh Kartasujana & Martawijaya (1979). Pengelompokan dan jumlah jenis kayu sesuai Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 adalah sebagai berikut:  Kelompok Jenis Meranti/Kelompok Komersial Satu, 31 nama dagang  Kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran/Kelompok Komersial Dua, 55 nama dagang  Kelompok Jenis Kayu Eboni/Kelompok Indah Satu, 3 nama dagang  Kelompok Jenis Kayu Indah/Kelompok Indah Dua, 32 nama dagang Berdasarkan nama ilmiah yang tercatat dalam kolom keterangan Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 tersebut, terdapat 186 jenis/genus yang masuk dalam kriteria kayu perdagangan. Jumlah tersebut masih jauh dari perkiraan jumlah tumbuhan berkayu yang ada di Indonesia yang diperkirakan sebanyak 4.000 jenis (Kartasujana & Martawijaya 1979). Berdasarkan Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003, hanya sekitar 7% jenis kayu yang diperdagangkan, sedangkan sisanya sebanyak 93% jenis kayu dikategorikan ke dalam Kelompok Kayu Rimba Campuran. Terkait dengan hal ini, evaluasi perlu segera dilakukan terhadap Kepmenhut tersebut agar Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari provisi hasil hutan lebih optimal. Sistem perdagangan kayu di pasar domestik maupun internasional mengacu kepada pengelompokan jenis kayu berdasarkan karakteristik umum yang dianggap penting dan dimiliki oleh kelompok jenis yang bersangkutan. Acuan karakteristik umum tersebut dinyatakan oleh Boampong et al. (2015), terutama dari segi penampilan atau dekoratif (appearance), berat jenis, dan keawetan. Berdasarkan parameter penampilan kayu, terdapat banyak jenis kayu Indonesia yang diduga dapat dimasukkan ke dalam kategori kayu indah, yang saat ini hanya terbatas pada 35 kelompok jenis kayu, sebagaimana tercantum pada Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003. Salah satu jenis kayu yang populer diperdagangkan pada tahun 80-an adalah kayu ramin. Berdasarkan Kepmenhut No.163/Kpts-II/2003, kayu ramin (Gonystylus bancanus Baill.) termasuk ke dalam Kelompok Jenis Kayu Indah Dua. Sejak tahun 2001, kayu ramin telah |3



dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) dan statusnya naik ke Appendix II pada tahun 2004 (Wardhani et al., 2010). Ketentuan ini menyebabkan perdagangan kayu ramin harus dibatasi dan dikontrol untuk menghindari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan pelestarian habitatnya yang dapat menyebabkan kepunahan kayu tersebut. Di sisi lain, permintaan pasar terhadap jenis kayu ramin relatif tetap tinggi sehingga pelaku pasar dan pihak terkait mencari jenis kayu di Indonesia yang memiliki kemiripan sifat dengan kayu ramin, yakni dengan tujuan mensubstitusi kayu ramin. Hasil penelitian Basri et al. (2009); Hadjib (2006); dan Oey (1964) menyebutkan terdapat 28 jenis kayu yang memiliki kemiripan dengan jenis ramin berdasarkan struktur anatomi (warna, tekstur, arah serat, dan kilap), berat jenis, dan kekuatannya (Oey 1964; Hadjib 2006). Jenis kayu tersebut adalah gopasa/biti (Vitex sp.), pimping (Sterculia foetida), ketimon (Timonius timon), sendok-sendok/sesendok (Endospermum malaccense), balobo (Diplodiscus sp.), kibulu (Gironniera subaequalis), ki sampang (Evodia aromatica), segoe/nyatoh putih (Pouteria duclitan), saribanaek/ki bancet (Turpinia sphaerocarpa), dan nyaling (Mastixia trichotoma). Kelompok kayu tersebut dalam Kepmenhut No.163/Kpts-II/2003 umumnya termasuk ke dalam kategori Kayu Rimba Campuran dengan nilai provisi paling rendah. Publikasi ilmiah yang ditulis oleh Panshin et al. (1964), Saranpää et al. (2003), dan Boampong et al. (2015) menyebutkan bahwa kualitas kayu sangat ditentukan oleh sifat kekuatan dan keawetan kayu sehingga kedua variabel tersebut dapat dijadikan dasar dalam pengelompokan jenis kayu perdagangan. Namun, di dalam Kepmenhut No.163/Kpts-II/2003, beberapa jenis kayu yang memiliki berat jenis dan keawetan tinggi justru dikelompokkan bersama dengan jenis kayu yang memiliki berat jenis dan keawetan rendah. Seharusnya, kelompok jenis kayu kuat dan awet memiliki kelas tersendiri agar penggunaan kayu dari kelompok jenis ini dapat diarahkan sesuai kegunaan atau fungsinya, seperti untuk konstruksi penyangga beban. Selain itu, kelompok jenis kayu dengan berat jenis tinggi memiliki kecenderungan pertumbuhan fisiologi yang lambat sehingga memerlukan daur tanam yang panjang. Dalam hal ini, lamanya waktu penanaman dari kelompok jenis yang memiliki berat jenis dan kelas awet tinggi dapat diantisipasi oleh manajemen hutan tanaman. Dalam Kepmenhut No.163/Kpts-II/2003, kelompok jenis kayu meranti secara jelas dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu meranti merah, meranti kuning, dan meranti putih. Pada masingmasing kelompok tersebut, banyak dijumpai jenis meranti yang memiliki sifat kekuatan dan keawetan yang lebih tinggi, namun dikenakan tarif iuran yang sama dengan jenis meranti yang memiliki berat jenis rendah dan kurang awet. Oleh sebab itu, pengelompokan jenis kayu perdagangan yang lebih spesifik perlu dilakukan menurut kualitas kayunya. Lampiran jenis dan kelompok jenis dalam Kepmenhut No.163/Kpts-II/2003 masih mencantumkan jenis kayu yang dilindungi. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyebutkan jenis tumbuhan yang dilindungi di antaranya adalah jenis tengkawang, yaitu Shorea stenopten, S. stenoptera, S. gysberstiana, S. pinanga, S. compressa, S. seminis, S. martiana, S. mexistopteryx, S. beccariana, S. micrantha, S. palembanica, S. lepidota, dan S. singkawang. Dari ketiga belas jenis (spesies) Shorea



4|



tersebut, Shorea palembanica dan S. lepidota masih termasuk ke dalam kelompok jenis meranti (Komersial Satu) yang dapat diperdagangkan menurut Kepmenhut No.163/Kpts-II/2003. Selain itu, dalam kelompok jenis balau pada Kepmenhut tersebut, terdapat jenis kayu dengan nama spesies Shorea spp. Hal ini dapat diartikan bahwa seluruh jenis kayu marga Shorea dapat diperdagangkan, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Selain pengelompokan jenis kayu, nama botani kayu juga mengalami perubahan berdasarkan perubahan taksonominya. Namun, nama botani yang tercantum di dalam Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 hingga saat ini belum pernah diperbaharui. Padahal, perubahan nama berdasarkan taksonomi terjadi secara dinamis, seperti marga Eugenia sp. untuk kayu jambu-jambu atau kelat telah direvisi menjadi Syzygium sp. dan kayu sengon atau jeungjing yang memiliki nama botani Paraserianthes falcataria telah direvisi menjadi Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes. Selain kedua jenis kayu tersebut, kayu giam yang termasuk dalam kelompok Komersial Satu dengan nama lokal resak batu dan resak gunung memiliki nama botani Cotylelobium sp. dan di perdagangan internasional, jenis ini dikenal dengan nama dagang resak. Padahal, dalam perdagangan domestik, kayu giam merujuk pada kayu dari marga Hopea yang memiliki berat jenis tinggi. Sejak tahun 2012, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerapkan SVLK. Untuk melengkapi dokumen kelengkapan ekspor dan impor, produk kayu harus disertai dokumen V-legal yang dapat diperoleh melalui Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas Kayu secara daring melalui laman http://silk/dephut.go.id yang lebih dikenal dengan nama SILK (Sistem Informasi Legalitas Kayu). Sejak diluncurkan pada tanggal 1 Agustus 2012, SILK daring ini telah berfungsi sebagai penerbit dokumen V-legal dan menjadi pusat data dan informasi verifikasi legalitas kayu. Dalam laman tersebut, terdapat informasi jenis kayu yang diperdagangkan di Indonesia saat ini, baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang diimpor dalam License Information Unit (LIU). Jumlah jenis kayu yang diperdagangkan di Indonesia dan tercatat dalam LIU mencapai sekitar 200 jenis pada tahun 2013, kemudian bertambah menjadi 400 jenis pada tahun 2014, dan menjadi sekitar 700 jenis pada tahun 2015. Jenis kayu yang diperdagangkan terus bertambah dan mencapai 1.044 pada awal November 2016. Penambahan jenis kayu pada data LIU mengindikasikan bahwa jumlah kayu yang diperdagangkan semakin hari semakin bertambah. Saat ini, jenis kayu yang diperdagangkan dari dokumen LIU sudah di luar daftar jenis yang ada pada Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003. Hal ini dapat menjadi koreksi terhadap kebijakan Pemerintah agar bisa memberikan ruang yang memadai bagi perubahan perdagangan kayu yang akan terus bertambah dan berubah di masa yang akan datang. Pertambahan ragam jenis kayu yang diperdagangkan akan terus berlangsung hingga suatu saat mencapai penggunaan secara totalitas jenis-jenis kayu Indonesia. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir terdapat beberapa jenis kayu dari kelompok pohon pionir, seperti mahang (Macaranga spp.) dan beringin (Ficus spp.) yang telah dimanfaatkan secara profesional oleh industri kayu dengan teknologi pengolahan kayu tingkat tinggi untuk pembuatan beberapa produk panel.



|5



Secara umum, pendapatan negara dari Iuran Hasil Hutan yang mengacu pada implementasi Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 masih dapat dioptimalkan. Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.68/Menhut-II/2014 (Direktorat Iuran dan Peredaran Hasil Hutan 2015a), telah menetapkan nilai iuran untuk setiap kelompok jenis dalam Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003, yaitu untuk kayu yang termasuk dalam Kelompok Jenis Kayu Eboni (Kelompok Indah Satu) di dalamnya termasuk kayu eboni bergaris (Diospyros celebica Bakh.), eboni hitam (D. rumphii Bakh.), dan eboni (D. ebenum Koen., D. ferrea Bakh., D. lolin Bakh., D. macrophylla Bl., D. cauliflora Bl., D. areolata King. et G., dan Diospyros spp.) tanpa batasan diameter batang dikenakan Iuran Hasil Hutan sebesar Rp 9.150.000,00/ton. Sementara itu, jenis kayu yang termasuk dalam Kelompok Jenis Rimba Campuran (Kelompok Komersial Dua) dikenakan tarif jauh lebih rendah. Nilai tarif iuran kayu dari Kelompok Jenis Rimba Campuran hampir setengah dari nilai tarif Kelompok Jenis Meranti/Kelompok Komersial Satu; bahkan, jenis kayu bulat Rimba Campuran (Ø>30 cm) yang belum tercantum dalam kelompok jenis komersial hanya dikenakan tarif Rp 200.000,00/m3. Berdasarkan Permenhut No. P.68/Menhut-II/2014, nilai iuran untuk jenis Kayu Indah Dua lebih tinggi sekitar 400% dari nilai iuran untuk jenis Rimba Campuran. Dari hasil kajian, terdapat 205 jenis kayu Rimba Campuran yang berdasarkan pengelompokan baru naik ke Kelas Indah Dua. Dengan demikian, apabila Kepmenhut No. 163/Kpts-II/2003 disempurnakan, maka pendapatan negara dari PSDH kayu bulat dan dana reboisasi akan lebih optimal.



6|



III. Kriteria Keindahan Kayu Kayu merupakan produk dari proses metabolisme suatu tumbuhan tingkat tinggi (pohon) sehingga sifat-sifatnya sangat bervariasi akibat pengaruh faktor dari dalam dan dari luar selama hidupnya. Kayu yang dihasilkan oleh suatu jenis pohon memiliki karakteristik yang khas (Panshin et al. 1964). Sifat dan karakteristik kayu yang bervariasi dalam setiap jenis akan menentukan peruntukan kayu dan terkait langsung dengan nilai ekonomi suatu jenis kayu. Salah satu parameter yang menentukan nilai ekonomi kayu adalah corak atau figure kayu. Kayu yang memiliki corak yang lebih baik atau lebih indah akan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, terutama untuk tujuan pembuatan produk kayu berkualitas tinggi, seperti veneer dekoratif dan mebel kayu mewah. Keindahan kayu merupakan resultan dari beberapa unsur penentu penampilan kayu, seperti corak, warna (kecerahan dan kerataan), kontras, orientasi serat, kehalusan, dan kilap, yang semuanya disebut sebagai ciri umum kayu (Forest Product Laboratory 2010). Pada proses identifikasi kayu, ciri umum merupakan karakter/sifat kayu yang ditetapkan berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis (Mandang & Pandit 2002). Pengamatan secara makro meliputi pengamatan terhadap elemen makro penyusun kayu yang tampak jelas terlihat dan mudah diamati menggunakan mata secara langsung atau dengan bantuan lup dengan perbesaran 10–15 kali. Secara makro, ciri umum dapat diamati pada tiga bidang pengamatan kayu, yaitu bidang aksial, radial, dan tangensial (Bowyer et al., 2003; Mandang & Pandit, 2002; Panshin et al., 1964). Ciri umum yang dapat diamati secara makro adalah riap tumbuh, rasio kayu teras dan kayu gubal, arah serat, tekstur, kilap, warna, corak, kekerasan, dan bau (Booker & Sell, 1998; Mandang & Pandit, 2002; Pandit & Kurniawan, 2008; Pandit et al., 2009). Ciri umum yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan keindahan kayu adalah corak, warna, orientasi serat, tekstur, dan kilap (Jane et al., 1970; Forest Product Laboratory, 2010). A. Corak Kayu Corak kayu yang atraktif dan berkesan indah sangat berhubungan dengan struktur anatomi sel penyusunnya (Panshin et al. 1964). Mandang & Pandit (2002) menuliskan bahwa corak suatu jenis kayu dapat ditimbulkan akibat adanya perbedaan warna kayu awal dan kayu akhir, perbedaan warna jaringan seperti jaringan parenkim, dan perbedaan intensitas pewarnaan pada lapisan kayu yang dibentuk dalam jangka waktu yang berlainan. Gambar 1 menunjukkan contoh perbedaan jenis kayu yang memiliki corak tegas, samar, dan polos. Secara lebih detail, Pandit et al. (2009) menyampaikan bahwa struktur anatomi kayu yang menimbulkan corak permukaan kayu indah antara lain susunan pori tata lingkar, perbedaan warna kayu awal dan kayu akhir, susunan jari-jari multiseriate, struktur jari-jari kerinyut (ripple mark), parenkim paratrakeal dan marginal, kayu teras yang tidak teratur, dan adanya kayu reaksi. Susunan pori yang tata lingkar, yang mana pori berukuran besar bersusun konsentris pada daerah kayu awal dan pori kecil tersusun pada daerah kayu akhir, memberikan gambaran yang menarik pada kayu. Pola susunan pori seperti ini membentuk riap pertumbuhan berupa |7



garis yang jelas. Corak kayu yang disebabkan oleh pola pori tata lingkar ini tampak berbeda menurut bidang orientasinya. Pada permukaan papan tangensial, pori tata lingkar menimbulkan corak atraktif berupa garis tipis membentuk parabola yang saling menutup. Pada permukaan papan radial, pori tata lingkar memberikan gambaran berupa garis yang bersusun sejajar satu dengan yang lain. Salah satu jenis kayu yang memiliki corak akibat susunan pori tata lingkar adalah kayu jati. Selain karakteristik lainnya, adanya corak menjadi daya tarik tersendiri bagi produk kayu jati, seperti mebel dan veneer indah kayu jati. Dalam pertumbuhan pohon, pembentukan sel penyusun kayu dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Pada saat cuaca mendukung pertumbuhan pohon, kambium pun membentuk xilem secara optimal yang disebut dengan istilah kayu awal dengan diameter sel yang relatif lebih besar namun berdinding tipis. Pada saat cuaca tidak mendukung, kambium kurang optimal membentuk xilem sehingga elemen sel kayu yang terbentuk lebih kecil dan berdinding tebal (Jane et al. 1970). Di negara yang memiliki empat musim, pembentukan kayu awal terjadi pada musim semi dan kayu akhir dibentuk pada musim panas; sedangkan di negara yang memiliki dua musim, kayu awal dibentuk pada musim hujan dan kayu akhir pada musim kemarau. Variasi ukuran dan ketebalan dinding sel pada kayu awal dan kayu akhir memberikan perbedaan yang kontras, serta menimbulkan corak yang menarik dengan pola tebal tipis yang teratur. Jari-jari kayu merupakan jaringan parenkim yang menyusun kayu ke arah transversal. Berdasarkan lebarnya, jari-jari kayu dibagi menjadi dua bagian: jari-jari sempit dan jari-jari lebar. Jari-jari sempit adalah struktur jari-jari yang terdiri atas satu seri (uniseriate) dan jari-jari dua seri (biseriate). Jari-jari lebar (multiseriate) adalah struktur jari-jari yang terdiri dari lebih dua seri. Struktur jari-jari multiseriate akan menyebabkan susunan sel jari-jari yang tampak jelas, terutama pada bidang lintang karena tersusun oleh banyak sel, sehingga menimbulkan kesan yang lebar. Pada permukaan papan radial, susunan jari-jari multiseriate ini akan menampilkan corak yang sangat atraktif karena tersingkapnya potongan jari-jari. Susunan jarijari kayu yang teratur pada permukaan papan tangensial menimbulkan kesan jari-jari kayu bertingkat, kerinyut, atau disebut ripplemark. Struktur ripplemark ini akan menimbulkan gambaran yang menarik. Parenkim paratrakeal adalah sel parenkim aksial yang menyinggung sel pembuluh dengan pola, sedangkan parenkim marginal adalah parenkim aksial yang berbentuk pita pada batas riap tumbuh. Pola susunan sel parenkim seperti ini tergambar pada penampang melintang batang membentuk riap pertumbuhan yang jelas terlihat. Dalam sebuah papan, kayu yang mempunyai struktur parenkim seperti ini akan menampilkan corak kayu yang indah. Pembentukan kayu teras sekunder menyebabkan warna kayu tidak merata, yang mana ada bagian yang warnanya jelas dan ada bagian yang warnanya kurang jelas. Warna kayu teras yang tidak merata membentuk corak kayu yang cukup atraktif sehingga dalam sebuah papan, corak kayu akibat perbedaan warna tersebut memberikan pola yang tidak teratur dengan gambaran yang khas. Kayu reaksi adalah massa xilem yang dibentuk oleh kambium sebagai reaksi internal akibat adanya aksi dari luar. Kayu reaksi yang terjadi pada kayu daun jarum (softwood) disebut 8|



kayu tekan (compression wood), dan disebut kayu tarik (tension wood) jika terjadi pada kayu daun lebar (hardwood). Karakteristik struktur mikroskopis kayu reaksi sangat berbeda dengan struktur mikroskopis kayu normal. Struktur mikroskopis kayu reaksi ditandai oleh dimensi sel penyusun kayu berukuran pendek, diameter dan rongga sel yang lebar, serta dinding sel yang tipis (Bowyer et al. 2003). Struktur mikroskopis kayu reaksi sangat berbeda dengan struktur mikroskopis kayu normal sehingga kayu reaksi sering dianggap sebagai cacat kayu. Cacat ini banyak menimbulkan masalah dalam proses pengolahan kayu, seperti pada proses penggergajian, pengeringan, dan pengerjaan. Dalam proses pengeringan, adanya kayu reaksi menyebabkan cacat pecah dan perubahan bentuk, seperti melengkung pada arah memanjang kayu (bowing). Sementara itu, selama proses penyerutan, adanya kayu reaksi sering menimbulkan cacat permukaan berupa serat berbulu. Namun demikian, adanya kayu reaksi dapat memberikan gambaran corak yang indah ditandai dengan adanya warna kayu yang lebih gelap dan pola permukaan melintang batang yang eksentrik.



a



b



c



Gambar 1. Kayu yang memiliki corak kontras (a) (eboni, Diospyros celebica Bakh.), samar (b) (anggerit, Neonauclea pallida Bakh.f.), dan polos (c) (gelam, Melaleuca leucadendron (L.) L. (cajuputi))



B. Warna Kayu Warna kayu terutama disebabkan oleh adanya zat ekstraktif yang mempunyai zat warna atau pigmen tertentu. Warna kayu bervariasi menurut jenis kayu, posisi kayu di dalam batang, dan kondisi lingkungan. Warna kayu bervariasi dari putih, krem, kuning, kemerahan, cokelat, hingga hitam (Mandang & Pandit 2002). Warna suatu jenis kayu umumnya terdiri atas campuran berbagai warna sehingga sulit dinyatakan secara pasti. Pernyataan warna kayu secara tepat umumnya disesuaikan dengan warna suatu benda yang mempunyai warna yang sama. Sebagai contoh, kayu damar dinyatakan warnanya seperti warna jerami. Penilaian warna suatu jenis kayu umumnya dilihat dari warna bagian terasnya dalam kondisi kering udara. Untuk bahan baku industri mebel, kayu yang lebih disenangi umumnya yang berwarna terang, cerah, atau putih karena mudah untuk dikonversi menjadi warna yang



|9



diinginkan. Homogenitas dan kerataan warna menentukan nilai keindahan pada suatu jenis kayu. Semakin homogen atau merata warnanya, kayu pun dianggap semakin indah. Kayu ramin memiliki nilai keindahan yang cukup tinggi karena kecerahan dan kerataan warnanya yang jarang dimiliki oleh jenis kayu lainnya. Gambar 2 menunjukkan contoh kayu yang memiliki warna yang merata dan tidak merata. Pemilihan warna kayu untuk bahan baku industri mebel juga sangat dipengaruhi oleh selera pasar. Untuk pasar Eropa, kayu berwarna gelap umumnya lebih disukai karena memberi kesan antik; sedangkan untuk pasar Jepang atau Korea, mereka umumnya lebih menyukai warna kayu yang terang (Damayanti 2010).



a



b



Gambar 2. Kayu yang memiliki warna merata (a) Artocarpus kemando dan tidak merata (b) Pterocymbium viridiflorum



C. Orientasi Serat Arah serat kayu adalah orientasi sel-sel serat kayu yang bentuknya memanjang terhadap sumbu panjang batang. Arah serat pada permukaan kayu pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam dua pola umum, yaitu arah serat lurus (straight grain) dan arah serat miring (cross grain) (Panshin et al. 1964; Bowyer et al. 2003). Serat kayu dikatakan lurus apabila sel-sel yang berukuran panjang yang menyusun kayu tersusun sejajar dengan sumbu batang. Sebaliknya, serat kayu dikatakan miring apabila sel-sel panjang yang menyusun kayu orientasinya tidak sejajar sehingga membentuk sudut dengan sumbu batang. Serat miring dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu serat melilit/terpilin (spiral grain), serat berpadu (interlocked grain), serat bergelombang (wavy grain), dan serat diagonal (Gambar 3). Serat diagonal dapat disebabkan oleh kesalahan dalam penggergajian atau juga sering disebabkan karena bentuk batang yang mempunyai taper besar. Orientasi serat yang tidak lurus memberikan gambaran corak kayu yang menarik, seperti serat kayu bergelombang memberikan gambaran kayu berpola gelombang tebal dan tipis yang khas (Gambar 4c).



10 |



a. serat berpadu



b. serat terpilin



c. serat bergelombang



d. serat diagonal



Gambar 3. Ilustrasi berbagai arah serat miring kayu (sumber: Mandang & Pandit, 2002)



a



b



c



Gambar 4. Kayu dengan arah serat lurus (a) Mangifera foetida, serat berpadu (b) Pterospermum javanicum, dan serat bergelombang (c) Acacia mangium



D. Tekstur Kayu Tekstur kayu adalah kesan permukaan kayu yang disebabkan oleh besar kecilnya ukuran diameter sel penyusun kayu. Tekstur kayu dikatakan kasar apabila diameter sel penyusun kayu berukuran besar, sedangkan tekstur kayu dikatakan halus apabila diameter sel penyusun kayu berukuran kecil. Gambar 5 menunjukkan contoh kayu yang memiliki tekstur halus dan kasar. Pada kayu daun lebar (hardwood), bentuk dan ukuran sel penyusun kayu yang dapat memengaruhi tekstur kayu, antara lain sel pembuluh/pori (vessel) dan sel serat (fiber). Tekstur kayu daun lebar dikatakan kasar apabila diameter sel pembuluhnya mempunyai ukuran >200 µm, tekstur sedang atau moderat apabila diameter porinya berkisar 100–200 µm, dan tekstur kayu disebut halus jika diameter pori 0,90; Kelas Kuat II dengan BJ 0,90–0,60; Kelas Kuat III dengan BJ 0,60–0,40; Kelas Kuat IV dengan BJ 0,40–0,30; dan Kelas Kuat V dengan BJ 0,90 0,85–0,90 0,75–