Pengertian, Muatan Dan Prosedur Perubahan Konstitusi [PDF]

  • Author / Uploaded
  • yanti
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip



Pengertian, Muatan, dan Prosedur Perubahan Konstitusi A. Pengertian Konstitusi Bila ditinjau dari sudut bahasa istilah konstitusi bukanlah berasal dari bahasa Indonesia. Istilah konstitusi merupakan terjemahan dari bahasa asing. Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata constitutio (bahasa Latin, Italia), constitution (bahasa Inggris), constitutie (bahasa Belanda), constitutionnel (bahasa Perancis), Verfassung (bahasa Jerman), masyrutiyah (bahasa Arab)1. Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis, yakni; constituer, yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan ialah pembentuk suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.2 Secara etimologi antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan dan penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dsb), atau Undang-undang dasar suatu negara3. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpang dari konstitusi, berarti tindakan atau kebijakan tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yang diartikan sebagai suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.4 Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Cume dan Statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan….,” sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri” atau mendirikan (menetapkan). Dengan demikian, bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. Sejak zaman Yunani Kuno istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu masih diartikan secara materiil karena konstitusi itu belum diletakan dalam suatu naskah yang tertulis. Ini dapat dibuktikan pada paham Aristoteles (384-322 s.M) yang membedakan istilah politea dan nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa. Diantara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai.5 Dalam kebudayaan Yunani, istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan ucapan Resblica Constituere. Dari sebutan itu lahirlah semboyan yang berbunyi Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Suprema Lex” yang artinya Rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur daripada negara, oleh Lihat Catatan Kaki, Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, 2000, hlm. 17. Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, cetakan I, 1989, hlm. 10. 3 Istilah Undang-undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belanda disebut Grondwet. Perkata Wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Undang-undang, dan grond berarti tanah atau dasar. 4 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka Jakarta, cetakan kedua, 1991, hlm. 521. 5 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, diterbitkan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta , cetakan ketujuh 1988, hlm. 62. 1 2



1|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip karena ia adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Selanjutnya pada masa Kekaisaran Romawi pemahaman konstitusi mengalami perkembangan, menurut Charles Howard McIlwain6 dalam bukunya Constitutionalism; Ancient and Modern mengemukakan “In the Roman Empire the word in its Latin form became the technical term for acts of legislation by the emperor7”. Secara sederhana, konstitusi dapatlah didefenisikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematik untuk menata dan mengatur pokok-pokok struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk dalam hal ihwal kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga itu. Dalam arti yang lebih sempit, konstitusi bahkan “cuma” diartikan sebagai dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam praktek ketatanegaraan dan dalam polemik-polemik hukum tentang negara, perhatian orang sering kali tertuju secara terbatas pada ihwal konstitusi itu saja. Sebenarnya konstitusi itu hanyalah raga atau wadah, dan bukanlah jiwa atau semangat manifestasi yuridisnya saja serta bukan pula makna kulturalnya. Untuk memahami makna konstitusi secara utuh dan menyeluruh, orang haruslah mau membongkar dan menelaah “seluruh isi black box” yang menyiratkan ide-ide hukumnya, dan tidak cukup kalau cuma menangkap proksi-proksi atau cuatan-cuatan indikatifnya yang tampak di permukaan.8 Jadi, konstitusi pada dasarnya mengandung pokok-pokok pikiran dan pahampaham, yang melukiskan kehendak yang menjadi tujuan dari faktor-faktor kekuatan yang nyata (de reele machtsfactoren) dalam masyarakat yang bersangkutan. Pokok-pokok pikiran maupun paham-paham tersebut tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan lahir dari synthese ataupun reaksi terhadap paham-paham/pokok-pokok pikiran yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, bahwa paham-paham/pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam suatu konstitusi tertentu, telah memperoleh bentuknya karena pengaruh dari paham-paham/pokok-pokok pikiran terdahulu. Sedangkan sumber yang mempengaruhinya tersebut, dapat berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri sebagai akibat akulturasi proses. Beberapa Sarjana (terutama dari Eropa Kontinental) membedakan pengertian constitution atau verfassung dengan Undang-undang Dasar (grondwet). Pembedaan tersebut dikarenakan pengaruh paham kodifikasi dimana diharuskan semua peraturan hukum tertulis dengan maksud mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum, maka konstitusi yang tertulis disebut Undang-Undang Dasar. Sri Soemantri dan Dahlan Thaib menyamakan arti kedua istilah tersebut. Dikatakannya konstitusi adalah suatu naskah yang memuat suatu bangunan negara dan sendi-sendi sistem pemerintahan negara. Apabila pengertian yuridis ini kita pakai maka tidak dapat tidak artinya menyamakan konstitusi dengan Undang-undang Dasar. Konstitusi sebagai naskah tertulis pada saat ini lebih sesuai sebagai paham modern.9 E.C.S. Wade dalam Constitutional Law seperti yang diuraikan Sobirin Malian, mengatakan10: ,…a document having a special legal sanctifity which sets out the framework and the principal functions of the organs of government of a state and declares the principles governing the operation of the those organs.11 Charles Howard McIlwain adalah Guru Besar Emeritus Ilmu Pemerintahan pada Universitas Harvard di Amerika Serikat. Charles Howard McIlwain, Constitution; Ancient and Modern, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1966, hlm. 23 dan hlm. 135. 8Soetandyo Wignjosoebroto, Konstitusi dan Konstitusionalisme, dalam Konstitusionalime, Peran DPR dan Judicial Review, disusun oleh Jaringan Masyarakat Informasi dan YLBHI. 9 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, cetakan pertama 2000. 10 Sobirin Malian, Op-cit hlm. 14. 11 (Terjemahan) “Undang-undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok cara kerja badan tersebut” 6 7



2|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip



Bolingbroke12 memberikan pengertian konstitusi dalam arti luas ia mengemukakan : “….That assemblage of laws, institutions, and custom, derived from certain fixed principles of reason…. that compose the general system, according to which the community hath agreed to be governed. Pendapat James Bryce, seperti dikutip Dahlan Thaib13, menyamakan pengertian konstitusi dan Undang-undang Dasar. Menurut Bryce, konstitusi adalah : A Frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institusions with recognised functions and definited rights. C.F.Strong14 dalam bukunya Modern Political Constitution ; An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, yang banyak dikutip dalam literatur hukum tata negara, mengemukakan pendapatnya tentang konstitusi, yakni : Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted. Sri Soemantri menilai bahwa pengertian konstitusi yang diberikan oleh C.F. Strong lebih luas dari pendapat James Bryce. Walaupun dalam pengertian yang dikemukakan James Bryce itu merupakan konstitusi dalam kerangka masyarakat politik (negara) yang diatur oleh hukum. Akan tetapi dalam konstitusi itu hanya terdapat pengaturan mengenai alat-alat kelengkapan negara yang dilengkapi dengan fungsi dan hak-haknya. Dalam batasan Strong, apa yang dikemukakan James Bryce itu termasuk dalam kekuasaan pemerintah semata, sedangkan menurut pendapat Strong, konstitusi tidak hanya menganut tentang hak-hak yang diperintah atau hak-hak warga negara.15 Menurut Herman Heller, konstitusi lebih luas dari pada Undang-undang. Konstitusi, sesungguhnya tidak hanya bersifat yuridis, melainkan juga bersifat sosiologis dan politis. Sedangkan undang-undang dasar hanya merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yakni die geschreiben verfassung atau konstitusi yang tertulis.16 Untuk itu, menurut Herman Heller seperti yang diuraikan Sobirin Malian17 dan Muh. Ridwan Indra,18 membagi pengertian konstitusi menjadi tiga pengertian (tahapan) yaitu : 1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische verfassung als gesellschaftliche wirklichkeit), dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtverfassung), atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum pengertian hukum. 2. Baru setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut rechtsverfassung (Die verselbstandge rechtsverfassung). Tugas untuk



K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, 1966, hlm.2. Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan kedua Jakarta, 2001, hlm. 11. 14 C.F.Strong, Modern Political Constitutions; ; An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Sidgwick and Jakson Limited, London, 1963, hlm. 11. 15 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 16 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia Jakarta, cetakan I, 1983, hlm. 41. 17 Sobirin Malian, Op-cit hlm. 15. 18 Muh. Ridwan Indra, UUD 1945 Sebagai Karya Manusia, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, cetakan pertama, 1982, hlm. 2324. 12 13



3|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut dengan istilah abstraksi. 3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai Undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa bila kita menghubungkan pengertian konstitusi dengan pengertian Undang-Undang Dasar, merupakan sebagian dari pengertian konstitusi itu sendiri. Berarti Undangundang Dasar merupakan sebagian dari konstitusi dalam pengertian umum. Jadi menurut pembagian Herman Heller tersebut di atas bahwa undang-undang dasar itu hanyalah sebagian dari pengertian konstitusi. Konstitusi sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi ada aspek sosiologis dan nilai-nilai filsafat lainnya yang terkandung didalamnya. Suatu rechtverfassung memerlukan dua syarat utama, yaitu tentang bentuk dan isinya. Yang dimaksud dengan bentuknya adalah sebagian naskah tertulis yang merupakan undang-undang dasar yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara, sedangkan isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamental, yaitu tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal yang bersifat pokok (dasar) dan asas-asas saja. Ferdinand Lassalle dalam bukunya Uber Versfassungswesen, membagi pengertian konstitusi dalam dua pengertian, yakni19: 1. Pengertian sosiologi atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sinthese faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut diantaranya; raja, parlemen, kabinet, pressure group, partai politik dan lain-lain, itulah sesungguhnya konstitusi. 2. Pengertian yuridis (Juridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan. Menurut Carl Schmitt konstitusi dilihat dari segi pengertian dapat dikelompokan menjadi empat pengertian, yakni20: 1. Konstitusi dalam arti absolut, yang terbagi atas: a. Konstitusi dianggap sebagai kesatuan organis yang nyata dan mencakup bangunan hukum dan semua organisasi-organisasi yang ada dalam negara. b. Konstitusi sebagai bentuk negara, yang dimaksud dengan bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhan. Bentuk negara itu dapat demokrasi atau monarkhi. Sendi demokrasi adalah identitas sedangkan sendi pada monarkhi adalah representasi. c. Konstitusi sebagai faktor integrasi. Faktor integrasi ini sifatnya dapat abstrak dan fungsional. Abstrak misalnya hubungannya, bahasa persatuannya, bendera sebagai lambang persatuannya dan lain-lain. Sedangkan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilihan umum, referendum, pembentukkan kabinet, suatu diskusi atau debat dalam politik pada negaranegara liberal, mosi yang diajukan oleh DPR, baik yang bersifat menuduh atau tidak percaya dan sebagainya. d. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi di dalam negara.



19 20



Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Op-cit hlm. 73. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.cit, hlm. 67-71.



4|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip 2. Konstitusi dalam arti relatif. Maksudnya sebagai konstitusi yang dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat (misalnya golongan borjuis). Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi dua pengertian, yaitu : a. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-haknya dijamin dan tidak dilanggar oleh penguasa. b. Konstitusi dalam arti formal yang penting adalah prosedural pembuatan konstitusi yang dilakukan secara istimewa. Karena isinya itu penting yang menyangkut nasib rakyat selurunya dan negara. 3. Konstitusi dalam arti positif. Dalam arti ini, konstitusi dapat dihubungkan dengan pendapat Carl Schmitt yang mengatakan bahwa konstitusi dalam arti positif mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi, karena Undangundang Dasar telah mengubah struktur pemerintahan yang lama. 4. Konstitusi dalam arti ideal. Konstitusi ini adalah merupakan idaman dari kaum borjuis liberal sebagai jaminan bagi rakyat agar hak asasinya dilindungi. Setelah terbentuknya Konstitusi Amerika Serikat 1787, konstitusi-konstitusi yang ada di dunia pada umumnya dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu konstitusi politik dan konstitusi sosial. Konstitusi politik adalah semata-mata naskah hukum yang mengatur lembaga-lembaga politik di dalam negara. Sedangkan konstitusi sosial adalah bukan saja naskah hukum yang mengatur lembaga-lembaga politik, tetapi juga mencantumkan ideologi, aspirasi dan cita-cita politik, pernyataan-pernyataan pokok mengenai gagasan bernegara, dan pengakuan terhadap suatu keyakinan dan prinsipprinsip dasar yang dianut oleh bangsa yang menciptakannya.21 Inggris dan negara-negara bekas jajahannya dianggap sebagai negara penganut konstitusi jenis pertama. Di dalam konstitusi ini, kalaupun terdapat pembukaan (preambul), maka fungsinya hanya untuk menunjukkan badan-badan yang membuatnya dan merupakan “konsideran” konstitusi tersebut. Menurut Hukum Tata Negara Inggris, suatu preambul bukanlah merupakan rule of law atau ketentuan hukum. Karena itu, pengadilan akan mengenyampingkan penafsiran terhadap pasal-pasal dengan merujuk kepada kalimat-kalimat yang tertuang di dalam preambul atau konsiderannya. Pendapat bahwa preambul atau konsideran tidak mempunyai akibat hukum, secara umum diterima oleh para ahli hukum Inggris. Sementara Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia dianggap sebagai negara yang memiliki konstitusi jenis kedua. Dalam konstitusi ketiga negara ini, preambul konstitusi mempunyai arti penting. Sebab, di dalam preambul itulah dituangkan falsafah negara (yang sering diungkapkan dengan istilah-istilah seperti weltanschauung, philosopische grondslag, dan ideologi negara) yang akan dibentuk. Bahkan pembukaan UUD 1945 dapat dianggap sebagai preambul yang lengkap karena memenuhi unsur-unsur politis, religius, dan moral. Menurut hukum tata negara Indonesia, preambul atau konsiderans memang mempunyai kedudukan hukum dan membawa akibat hukum kepada pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan. Preambul atau pembukaan adalah bagian integral suatu perundang-undangan. Pada umumnya, di negara – negara modern abad kedua puluh, patokan – patokan dasar penyelenggaraan negara itu dirumuskan ke dalam konstitusi atau Undang –Undang Dasar Tertulis22. Dan apabila dilakukan penyelidikan nyatalah pada kita, bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang – undang dasar23. Selanjutnya dalam perkembangannya, dalam kenyataan tidak 21 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia; Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Pers, Jakarta, 1996, hlm. 19 22 Yusril Ihza Mahendra, Ibid, hlm. 17. 23 Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 1.



5|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip ada satu negara pun di dunia ini yang hanya memiliki konstitusi tertulis atau hanya memiliki konstitusi tidak tertulis24. Artinya dalam sebuah negara konstitusinya selalu terdiri atas konstitusi tertulis maupun konstitusi tidak tertulis25. Dalam perkembangannya, pandangan dan gagasan mengenai konstitusi ini disebut dengan “konstitusionalisme”26. Menurut Daniel S. Lev, konstitusionalisme adalah sebuah proses hukum dalam sistem kenegaraan.27. Sedangkan menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitusional Government and Democracy, yang dikutip oleh Dahlan Thaib dkk, mengartikan konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Menurut Miriam Budiardjo, gagasan konstitusionalisme sebenarnya lebih dahulu timbul daripada konstitusi itu sendiri.28 Konstitusionalisme dalam konteks ini artinya, bahwa penguasa perlu dibatasi (dengan hukum) kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas.29 Sri Seomantri menilai bahwa perkataan konstitusionalisme berasal dari konstitusi, dan berarti “suatu kerangka dari suatu masyarakat politik” (frame of political society) yang pada dasarnya terdapat pengaturan tentang “lembaga-lembaga negara”, dan “hak-hak serta kewajiban-kewajiban asasi manusia dan warga negara”. Konstitusionalisme sebagai satu faham, dapat diartikan sebagai suatu pikiran atau pandangan tentang segala hal ihwal konstitusi. Apabila kita amati dan pelajari negara-negara yang ada di dunia, ternyata setiap negara mempunyai konstitusi dan UUD. Dengan demikian negara dan konstitusi merupakan dua institusi yang tidak dapat dipatahkan satu sama lain.30 B. Muatan Konstitusi Sistem pemerintahan sebagian besar negara-negara di dunia adalah komposisi dari campuran aturan-aturan resmi dan tidak resmi. Kumpulan aturan-aturan ini disebut sebagai konstitusi. Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam sebuah studinya terhadap konstitusi-konstitusi di dunia yang dituangkan dalam buku Written Constitution yang banyak dijadikan landasan konseptual para pakar konstitusi dalam menelaah muatan konstitusi, mengatakan bahwa 31:



Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 6. Konstitusi tertulis adalah UUD, sedangkan Konstitusi tidak tertulis adalah konvensi ketatanegaraan. 26 Di Amerika Serikat wujud dan gerakan perjuangan konstitusionalisme dapat kita saksikan melalui The First Continental Conggres yang diawali lima puluh orang di Philadelphia. Setahun kemudian diadakan lagi konggres kedua. Dalam perjalanan panjang konstitusionalisme rakyat Amerika sendiri akhirnya membentuk konstitusi Bill of Rights 1787, ini merupakan kesepakatan gabungan (confederation) dari bebeberapa negara bagian. Yang menarik dalam suatu sidang konvensi konstitusional yang dimulai tanggal 25 Mei 1787, salah seorang anggotanya yang bernama Edmund Randolph, wakil dari Virginia, dalam sidang tanggal 29 Mei 1787 mengajukan sebuah resolusi yang berisi pengaturan tentang perubahan konstitusi. Lihat, Sri Soemantri, Op-cit. 27 Lihat Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1990, hlm. 513 28 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit Gramedia Jakarta, 1996, hlm. 29 Pada tahun 1215 Raja John dari Inggris dipaksa oleh beberapa bangsawan untuk mengakui beberapa hak mereka, yang kemudian dicantumkan dalam Magna Charta. Dalam Charter of Englis Liberties ini, Raja John menjamin bahwa pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan, dan bahwa tidak akan diadakan penangkapan tanpa peradilan. Meskipun belum sempurna, Magna Charta di dunia barat di pandang sebagai pemulaan dari gagasan konstitusionalisme serta pengakuan terhadap kebebasan dan kemerdekaan rakyat. 30 Sri Soemantri, Fungsi dan Peranan DPR dalam Kaitannya dengan Realitas Konstitusionalisme, dalam Konstitusionalime, Peran DPR dan Judicial Review, disusun oleh Jaringan Masyarakat Informasi dan YLBHI. 31 Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang, Written Constitution A Computerized Comparative Study, Oceana Publications Inc, Dobbs Ferry, New York, 1978, hlm. 4. 24 25



6|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip 1. Constitution as a means of forming the state’s own political and legal system; 2. Constitution as a national document, and as a birth certificate, and as a sign of adulthood and independence.32 Kedua ahli tata negara Belanda di atas mengatakan, bahwa selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya sendiri. Itulah sebabnya, menurut A.A.H. Struycken Undangundang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang memuat antara lain33: 1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau; 2. Tingkatan-tingkatan tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; 3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa mendatang; 4. Suatu keinginan dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan hendak dipimpin. Menurut Savonir Lohman ada tiga unsur yang terdapat menyelinap dalam tubuh konstitusi-konstitusi sekarang, yaitu 34: 1. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial), sehingga menurut pengertian ini, konstitusi-konstitusi yang ada adalah hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka. 2. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia berarti perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga negara yang sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya maupun alat-alat pemerintahannya. 3. Sebagai forma regimenis, berarti sebagai kerangka bangunan pemerintahan, dengan kata lain sebagai gambaran struktur pemerintahan negara. Apabila masing-masing materi muatan tersebut kita kaji, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa disamping sebagai dokumen nasional dan tanda kawasan dari kemerdekaan sebagai bangsa, konstitusi juga sebagai alat yang berisi sistem politik dan sistem hukum yang hendak diwujudkan. Dalam kaitan ini, Wheare mengemukakan adanya dua pendapat yang membedakannya satu sama lain. Pertama, ada yang menganggap bahwa konstitusi semata-mata hanya dokumen hukum dan isinya hanya berupa aturan-aturan hukum saja, tidak lebih dari itu. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa konstitusi tidak berisi kaidah-kaidah hukum saja akan tetapi berisi pernyataan tentang keyakinan, prinsip dan cita-cita. Lebih jauh K.C. Wheare, seperti dikutip Dahlan Thaib,35 mengemukakan tentang apa yang seharusnya menjadi muatan (isi) dari suatu konstitusi, yaitu the very minimum, and the minimum to be rule of law. Wheare tidak menguraikan secara jelas apa yang seharusnya menjadi materi pokok dari suatu konstitusi. Ia mengatakan bahwa sifat yang khas dan mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat mungkin untuk menghindari kesulitan-kesulitan para pembentuk Undang-undang Dasar dalam memilih mana yang penting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang Undang-undang



Dahlan Thaib, Op-cit hal. 16 Sri Soemantri, Prosedur,…Op.cit., hal. 2 34 M. Solly Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 48. 35 Dahlan Thaib, Op-cit, hlm. 18. 32 33



7|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip Dasar, sehingga hasilnya dapat diterima baik oleh mereka yang akan melaksanakannya maupun pihak yang akan dilindungi oleh Undang-undang Dasar tersebut. Sebagai perbandingan atas pendapat pakar konstitusi dari negara barat di atas, sangat menarik bila kita telaah pemikiran para founding father and mother tentang muatan konstitusi (Undang-undang Dasar).36 Menurut Muh. Hatta konstitusi harus memuat adanya pengakuan terhadap hak-hak sipil secara universal. Dalam pembahasan mengenai rancangan Undang-undang Dasar pada tanggal 15 Juli 1945, Hatta menegaskan : Hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara,….supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau masyarakat dan lainnya.37 Abidin (Anggota Konstituante dari Partai Buruh) pada kesempatan tersebut juga menegaskan : …menurut paham kami terpenting dan yang menjadi pokok pangkal dari isi Undang-undang Dasar itu ialah; hak-hak dasar warga negara. Jika mengenai hak-hak dasar warga negara itu telah ada sesuatu faham yang tentunya maka peraturan-peraturan pelaksananya, sistem pemerintahan dan juga bentuk dan organisasi negara harus sesuai dengan tujuan itu38 Soedjatmoko (PSI) menyoroti ciri-ciri negara konstitusional sebagai berikut : …fungsi daripada konstitusi di dalam masyarakat itu ialah, tentunya menentukan batas-batas daripada kekuasaan politik terhadap kebebasan anggota masyarakat itu, akan tetapi disamping itu juga hal ini yang ingin saya tegaskan, fungsi konstitusi di dalam suatu masyarakat yang bebas itu ialah untuk menentukan prosedur serta alat-alatnya untuk menyalurkan dan menyesuaikan pertentangan politik serta pertentangan kepentingan yang terdapat di dalam tubuh masyarakat.39 Soedjatmoko menekankan makna dasar dari prosedur demokrasi : Lebih daripada negara-negara yang sudah mencapai stabilitet serta kristalisasinya, bagi Indonesia perlu suatu konstitusi yang terutama menentukan saluran-saluran dan prosedur-prosedur yang akan memungkinkan dan menjamin bahwa pencarian kristalisasi ini akan dapat berlangsung dengan jalan yang damai dan bebas tanpa paksaan.40 Menurut J.G. Steenbeek, terdapat tiga muatan pokok konstitusi, yaitu 41: 1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya; 36 Konsep pemikiran para pemikiran negara barat tentang menyangkut konstitusi banyak dirujuk oleh para anggota konstituante dalam merancang Undang-undang Dasar. Para ahli seperti Gustav Radburch, A. Lysen, P.J. Bouman dan sebagainya (lihat Adnan Buyung Nasution, Op-cit hlm.100-102) 37 Muh. Yamin, Op-cit, hlm. 299. 38 Risalah, 1957/III:286-287), dikutip dari Adnan Buyung Nasution, Op-cit, hlm.125. 39 Risalah 1957/VII:219, dikutip dari Adnan Buyung Nasution, Op-cit, hlm.129. 40 Risalah 1957/VII:220, dikutip dari Adnan Buyung Nasution, Op-cit, hlm.129. 41 Sri Soemantri, Prosedur,…Op.cit., hlm. 51.



8|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip 2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; 3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Muatan konstitusi menurut Miriam Budiardjo lebih luas cakupannya dari pada pendapat J.G. Steenbeek, yaitu masuknya perubahan konstitusi sebagai salah satu muatan konstitusi. Adapun muatan konstitusi menurut M. Budiardjo sebagai berikut 42: 1.



2. 3. 4.



Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedural menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya; Hak-hak asasi manusia; Prosedur perubahan Undang-undang Dasar; Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-undang Dasar.



Dalam sejarah dunia barat, konstitusi dimaksud untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militan, konstitusi menjamin alat negara untuk konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan yang bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubungan dengan konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa. Jadi, dari konstitusi atau Undang-undang Dasar suatu negara, akan diketahui tentang negara itu, baik bentuk kedaulatan maupun sistem pemerintahannya. Misalnya bentuk negara Indonesia adalah Republik, menganut kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan negara dengan sistem pemerintahan presidential. Selanjutnya dalam setiap negara kita akan menemukan adanya supra stuktur politik dan infrastruktur politik. Dengan menggunakan teori Montesquieu maka supra struktur politik yang dimaksud adalah lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Untuk negara-negara tertentu kita masih menemukan lembaga-lembaga negara yang lain, misalnya Indonesia ditemukan adanya MPR, BPK, DPA dan lembaga tinggi lainnya. Sedangkan infrastuktur politik suatu negara pada umumnya terdiri dari komponen-komponen politik, yaitu partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan (pressure group) dan alat komunikasi politik. C. Prosedur Perubahan Konstitusi Secara konseptual, konstitusi yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri. Perubahan yang dilakukan di luar prosedur yang ditentukan bukanlah perubahan yang dapat dibenarkan secara hukum (verfassung anderung). Inilah prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri republik kita. Di luar itu, namanya bukan rechtsstaat, melainkan machtsstaa’ yang hanya menjadikan pertimbangan ‘revolusi politik’ sebagai landasan pembenar yang bersifat ‘post factum’ terhadap perubahan dan pemberlakuan suatu konstitusi. Bahkan, dalam perspektif Negara Hukum, kalaupun negara berada dalam keadaan darurat, maka kewenangan yang dapat dilakukan oleh seorang kepala pemerintahan berkenaan dengan keadaan darurat harus diatur pula dalam konstitusi 42



Miriam Budiardjo, Op-cit, hlm. 101.



9|Page



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip dengan rincian pelaksanaan ditentukan dalam undang-undang. Prinsip demikian ini penting karena pada hakikatnya konstitusi dan paham konstitusionalisme yang berkembang di zaman modern ini, pada pokoknya memang dimaksudkan sebagai usaha untuk mengatur dan membatasi kekuasaan pemerintah dari kemungkinan tindakantindakan sewenang-wenang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam sistem ketatanegaraan modern dianut dua sistem yang sedang berkembang dalam perubahan konstitusi, yaitu pembaharuan (renewel) dianut negaranegara Eropa Kontinental dan perubahan (amandement) seperti dianut negara-negara Anglo-saxon. Sistem yang pertama ialah, apabila suatu konstitusi (UUD) dilakukan perubahan (dalam arti diadakan pembaharuan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan.43 Sistem yang kedua adalah apabila suatu konstitusi diubah (diamandemen), maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya. Negara Amerika Serikat menganut paham kedua ini.44 Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakukan terhadap materi tertentu dengan menetapkan naskah amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD, sedangkan menurut tradisi Eropa perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD. Jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang asli tidak banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, jika materi yang diubah berbilang banyaknya dan apalagi isinya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru. Dengan demikian, perubahan identik dengan penggantian. Tetapi, dalam tradisi Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, materi yang diubah biasanya selalu menyangkut satu 'issue' tertentu. Bahkan Amandemen I sampai dengan Amandemen X, pada pokoknya sama-sama menyangkut 'issue' Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, dalam rangka perubahan UUD 1945 yang sekarang telah dikerjakan sampai dua kali, terpulang kepada materi yang telah diubah, apakah sangat banyak atau hanya menyangkut satu atau dua materi, dan apakah isinya sangat mendasar atau menyangkut soal-soal yang tidak mempengaruhi struktur dan sistematika berpikir yang terkandung dalam UUD 1945 itu sendiri. George Jellinek membedakan dua cara perubahan Undang-Undang Dasar, yaitu yang disebut Verfaasungsanderung dan Verfassungswandlung. Yang dimaksud Verfaasungsanderung adalah cara perubahan konstitusi atau undang-undang dasar yang dilakukan dengan sengaja dengan cara yang disebutkan dalam undang-undang dasar itu sendiri. Sedangkan yang disebut Verfassungswandlung adalah perubahan undang-undang dasar yang dilakukan tidak berdasarkan cara yang terdapat dalam undang-undang dasar tersebut, melainkan melalui cara-cara istimewa seperti revolusi, coup d’etat, conventions, dsb. Jadi menurut George Jellinek, perubahan undang-undang dasar dapat dilakukan menurut ketentuan formal yang diatur dalam undang-undang dasar, dan perubahan undang-undang dasar di luar ketentuan yang diatur dalam undang-undang dasar. Dalam hal ini perubahan undang-undang dasar tidak menurut ketentuan-ketentuan formal yang ada dalam undang-undang dasar itu tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan non formal, yaitu hal-hal yang diluar ketentuan undang-undang dasar45.



Negara-negara yang menganut sistem ini seperti Belanda, Jerman dan Perancis. Amandemen terhadap UUD Amerika Serikat hingga kini telah dilakukan sebanyak 27 kali, yaitu 10 kali pada tahun yang pertama kemudian 17 kali dalam jangka waktu 65 tahun berikutnya. Akan tetapi sebagaimana kita lihat bahwa praktek ketatanegaraannya sangat luar bisa dan perlu dicontoh. Karena itu kita tidak bisa berpendirian kalau tidak ada dalam UUD, maka itu secara apriori salah, lalu dikatakan sebagi barang haram. Sebab memang ada perkembangan-perkembangan baru yang harus ditampung di luar UUD itu. Akan tetapi hal itu harus terkendali. Jangan sampai UUD yang sudah ada itu di kesampingkan begitu saja. 45 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, 1977, hlm. 41-42. 43 44



10 | P a g e



Hanya dipakai pengantar diskusi dan tidak untuk dikutip Menurut K.C. Wheare ada empat macam cara yang dapat digunakan untuk mengubah konstitusi atau Undang-undang Dasar melalui jalan penafsiran, yaitu46: 1. Beberapa kekuatan yang bersifat primer (some primary forces); 2. Perubahan yang dianut dalam konstitusi (formal amandement); 3. Penafsiran secara hukum (judicial interpretation); 4. Kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention). Lebih lanjut C.F. Strong mengemukakan ada empat cara utama perubahan konstitusi modern yaitu : 1. By the ordinary legislature, but under certain restrictions; 2. By the people through a referendum; 3. By a majority of all the units of a federal state; 4. By a special convention47. Miriam Budiarjo mengemukakan adanya empat macam prosedur, yang pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan oleh C.F. Strong, sebagai berikut: 1. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya (Belgia, RIS 1949); 2. Referendum atau plebisit (Swiss, Australia); 3. Negara-negara bagian dalam negara federal (Amerika Serikat: ¾ dari lima puluh negara-negara bagian harus menyetujui; India); 4. Musyawarah khusus (special convention) (beberapa negara Amerika Latin). Sementara Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State menyatakan bahwa konstitusi asli dari suatu negara adalah karya para pendiri negara tersebut. Ada beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen, yaitu : 1. Sometimes any change in the constitution is outside the competence of the regular legislative organ instituted by the constitution, and reserved for such a constituante, a special organ competen only for constitutional amendment. (Perubahan yang dilakukan di luar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan oleh konstitusi tersebut, dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu organ khusus yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi). 2. In a federal State, any change of the federal constitution may have to be approved by legislatures of a certain number of member state. (Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh dewan perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu)48.



K.C.Wheare, Op.cit. hlm. 67-121. C. F. Strong, Op.cit, hlm. 146. 48 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Rusell & Rusell, New York, 1973, hlm. 259. 46 47



11 | P a g e