Penurunan Kesadaran [PDF]

  • Author / Uploaded
  • A
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENURUNAN KESADARAN I. Definisi Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari suatu keadaan sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi kesadaran menggambarkan keseluruhan dari fungsi cortex serebri, termasuk fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu rangsangan. Penurunan kesadaran merupakan keadaan individu yang tidak dapat mengenali lingkungannya dan tidak mampu memberikan tanggapan yang adekuat terhadap rangsangan (visual, auditorik, sensorik) Langkah pertama yang harus dilakukan untuk memeriksa kesadaran adalah menentukan derajat kesadaran. Derajat kesadaran dinilai secara kualitatif dan kuantitatif a.) Derajat Kesadaran Kualitatif 1. Delirium: suatu tingkat kesadaran dimana terjadi peningkatan yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat, meronta-ronta 2. Somnolen: keadaan mengantuk. Kesadaran akan pulih penuh bila dirangsang. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rasa nyeri 3. Stupor: keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsangan kuat tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberi jawaban verbal yang baik. Pada stupor reflek kornea dan pupil baik, BAB dan BAK Tidak terkontrol 4. Koma: Penurunan kesadaran yang dangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respon terhadap nyeri.



1



b.) Derajat Kesadaran Kuantitatif Penurunan kesadaran dapat dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) yang memiliki kriteria yang dapat dilihat pada tabel berikut. Keterangan



Skor



Eye (E) Membuka mata spontan Membuka mata dengan



4 (3) ‘



Stimulus verbal Membuka mata dengan



3 (2)



Rangsang nyeri Tidak membuka mata (1)



2 1



Respon Motorik (M) Dapat mengikuti perintah



6



Dapat melokalisasi rangsang nyeri



5



Tidak dapat melokalisasi rangsang nyeri, Fleksi menjauhi



4



rangsang nyeri Dekortikasi



3



Deserebrasi



2



Tidak ada respon motorik



1



Respon Verbal (V) Orientasi tempat, waktu dan orang baik. Konversasi seperti biasa.



5 4



Disorientasi, confuse, tetapi masih dapat berbicara dalam bentuk kalimat.



3



Kata-kata yang tidak berarti



2



Hanya merintih atau mengerang



1



Tidak ada respon verbal



Keterangan : Skor GCS tertinggi 15 dan terendah 3. Pasien dengan derajat kompos mentis memiliki nilai Skor GCS 15 sedangkan pasien dengan koma Skor GCS 3.



2



II. Klasifikasi 1. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk Gangguan iskemik Gangguan metabolic Intoksikasi Infeksi sistemik Hipo/hipertermia Epilepsi 2. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk Perdarahan subarachnoid Meningitis Ensefalitis 3.



Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal Tumor otak Perdarahan otak Infark otak



III. Diagnosis Diferensial Diagnosis diferensial terhadap penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi sebagai berikut. A.



Penyakit intrakranial



-



Trauma susunan saraf pusat



-



Gangguan peredaran darah otak



-



Infeksi susunan saraf pusat



-



Tumor susunan saraf



-



Serangan kejang dan epilepsi



-



Penyakit degeneratif susunan saraf pusat



-



Peninggian tekanan intrakranial oleh berbagai sebab



B.



Penyakit ekstrakranial



-



Vaskuler



: syok, hipertensi, hipotensi



3



-



Metabolik



: asidosis diabetik, hioglikemi, hiperglikemi, koma



uremi hepatik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit -



Keracunan : alkohol, barbiturat, narkotik, CO



-



Infeksi sistemik berat : pneumonia, malaria, tifoid



-



Lain-lain



: hipertermi, hipotemi, syok anafilaktik



IV. Patofisiologi A.) Vaskuler 1. Syok



4



2. Hipertensi



B.) Metabolik 1. Asidosis diabetik Keadaan defisiensi insulin dan peningkatan hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol, dan hormone pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. 2. Hipoglikemia Glukosa merupakan bahan bakar metabolism yang utama untuk otak. Selain itu otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya menyimpan cadangan glukosa(dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu, fungsi otak yang normal sangat tergantung pada konsentrasi asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan gangguan sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma. 5



Penurunan konsentrasi glukosa plasma memicu respon tubuh yaitu penurunan konsentrasi insulin secara fisiologis seiring dengan turunnya konsentrasi glukosa plasma yang masih dalam batas fisiologis, peningkatan konsentrasi glucagon dan epinefrin sebagai respon neuroendokrin pada konsentrasi glukosa plasma sedikit dibawah batas normal, dan timbulnya gejala neurogenik (autonom) dan penurunan kesadaran pada konsentrasi glukosa darah dibawah batas nomal. 3. Hiperglikemia Tidak



tercukupinya



kebutuhan



insulin



menyebabkan



timbulnya



hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati. Adanya hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotic dan mengakibatkan turunnya cairan tubuh total. Kehilangan cairan dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan hyperosmolar tidak teratasi maka timbul hypovolemia. Sehingga terjadi gangguan sistem saraf pusat keluhan dapat terjadi seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang , dan koma. 4. Koma uremi hepatic 5. Hipoksia Efek dari terjadinya hipoksia adalah gangguan terhadap suplai energy aerob pada sel. Jika suplai O2 kurang, beberapa sel memenuhi kebutuhan energy dengan memecah glukosa menjadi asam laktat. Namun energy yang dihasilkan sedikit. Turunnya curah jantung dan aliran darah melalui ginjal dan otak. Berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan gangguan seperti pusing, kejang, penurunan kesadaran. 6. Ketidakseimbangan elektrolit a. Kekurangan air dan NaCl Pada keadaan kekurangan cairan ruang intrasel akan berkurang sementara ruangnya akan membesar bila keadaan kehilangan NaCl saja. Setiap pengurangan ruang ekstrasel terutama berbahaya karena menurunkan volume plasma. Tanda dari keadaan ini adalah penurunan tekanan vena sentralis, 6



takikardia, dan kecenderungan untuk pingsan. Sebaliknya pembesaran volume ekstrasel meningkatkan tekanan darah jika sebgaian volume tetap berada di ruang intravascular. Pada perburukan dapat menyebabkan edema paru. pengurangan volume intrasel menyebabkan gangguan sistem saraf pusat yang menyebabkan penurunan kesadaran. b. Gangguan Natrium Hiponatremia akut bila berlangsung kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala penurunan kesadaran akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Hypernatremia adalah adanya peningkatan natrium plasma diatas 158 meq/L secara akut. Gejala yang ditimbulkan dapat penurunan kesadaran bila dari mengecilnya volume otak karena air keluar dalam sel akibat osmolalitas ekstrasel lebih tinggi. Pengecilan volume tersebut menimbulkan robekan pada vena yang menyebabkan perdarahan local di otak dan perdarahan subarachnoid. c. Gangguan kalium Hipokalemia disebut bila kadar kalium kurang dari 3,5meq/L. Efek hypokalemia pada ginjal dapat menimbulkan vakuolisasi pada tubulus proksimal dan distal. Juga gangguan pemekatan urin yang menyebabkan polyuria dan polydipsia. Hypokalemia akan meningkatkan produksi NH4 dan produksi bikarbonat di tubulus proksimal yang akan menimbulkan alkalosis metabolic. Meningkatnya NH4 (ammonia) dapat mencetuskan koma pada pasien dengan gangguan fungsi hati. B.) Infeksi Sistemik Berat 1. Malaria Malaria serebral (MS) merupakan komplikasi dari infeksi malaria yang prevalensinya mencapai 2%, terutama pada penderita dengan kekebalan rendah, wanita hamil dan anak-anak pada daerah hiperendemik. Gejala utama MS adalah penurunan kesadaran secara mendadak yang mempunyai derajat ringan sampai berat. Gejala lain adalah kejang, nyeri kepala, mual sampai muntah, hemiplegi, afasia, dan gejala neurologis yang lain. Plasmodium falciparum mempunyai masa inkubasi 9 – 14 hari (rata-rata 2 7



minggu) bahkan gejala yang timbul bias lebih awal. Plasmodium ini mempunyai siklus hidup dalam tubuh nyamuk Anopheles ataupun manusia. Anopheles menggigit penderita yang terinfeksi yang mengandung micro dan macrogametosit. Gametosit dalam tubuh nyamuk mengalami multiplikasi seksual (sporogoni), yang memproduksi sporozoid akan masuk ke dalam selsel hepar dan mengalami multiplikasi aseksual menjadi schizogoni. Rupturnya sel hepar akan melepaskan Merozoid, dan akan penetrasi ke dalam eritrosit menjadi shizogoni intra eritrosit. Eritrosit yang rupture akan melepaskan hemoglobin, debris sel darah merah, parasit dan pigmen parasit. Selanjutnya parasit akan membentuk gamettosit dan sebagian akan infiltrasi jaringan reticuloendotel (hati, limpa), ginjal, pembuluh darah, jantung, otak dan dapat menimbulkan komplikasi malaria yang bisa berakibat fatal. Pada malaria serebral eritrosit yang berparasit (shizogoni) akan mudah melekat pada pembuluh kapiler otak. Perlekatan ini menyebabkan penderita plasmodium falciparum mempunyai sedikit parasit dalam sirkulasi. Kapolerkapiler pembuluh darah otak mengalami obstruksi dengan akibat hipoksia sampai anoksia, sehingga sel-sel neuron menjadi iskemia, nekrosis dan bisa berakibat fatal. 2. Tifoid Gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (apatis, delirium, sonolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal disebut toksik tifoid. Beberapa peneliti menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Toksik tifoid merupakan komplikasi ekstraintestinal dari demam tifoid. Kasus toksik tifoid dianggap sebagai demam tifoid berat dan langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. 3. Pneumoni Pneumonitis aspirasi (Mendelson’s syndrome) adalah jejas kimia yang 8



disebabkan oleh inhalasi isi lambung. Aspirasi merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap orang.Di sini terdapat perananaksi mukosilier dan makrofag alveoler dalam pembersihan material yang teraspirasi. Terdapat 3faktor determinan yang berperan dalam pneumonia aspirasi, yaitu sifat material yang teraspirasi,volume aspirasi, serta faktor defensif host. Perubahan patologis pada saluran napas pada umumnya tidak dapat dibedakan antaraberbagai penyebab pneumonia, hampir semua kasus gangguan terjadi pada parenkim disertaibronkiolitis dan gangguan interstisial. Perubahan patologis meliputi kerusakan epitel,pembentukan mukus dan akhirnya terjadi penyumbatan bronkus.Selanjutnya terjadi infiltrasi selradang peribronkial (peribronkiolitis) dan terjadi infeksi baik pada jaringan interstisial, duktusalveolaris maupun dinding alveolus, dapat pula disertai pembentukan membran hialin danperdarahan intra alveolar. Gangguan paru dapat berupa restriksi, difusi dan perfusi. Pneumonia aspirasi mengarah kepada konsekuensi patologis akibat secret orofaringeal,nanah, atau isi lambung yang masuk ke saluran napas bagian bawah. Penyakit ini terjadi pada orang dengan level kesadaran yang berubah karena serangan cerebrovascular accident (CVA), CNS lesion mass, keracunan obat atau overdosis dan cidera kepala. Kebanyakan individumengaspirasi sedikit secret orofaringeal selama tidur, dan secret tersebut akan dibersihkan secaranormal. Faktor predisposisi terjadinya aspirasi berulangkali adalah: 1.



Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glottis,



reflex batuk (kejang,stroke, pembiusan, cedera kepala, tumor otak) 2.



Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker



nasofaring, scleroderma) 3.



Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga peran



jumlah bahan aspirasi,hygiene gigi yang tidak baik, dan gangguan mekanisme klirens saluran napas.



9



C. Lain-lain 1. Hipertermi Pada aktivitas fisik yang berat, pembentukan panas meningkat dan/atau lingkungan yang panas, sehingga mekanisme pengaturan suhu menjadi sangat terbebani, terutama bila kekurangan cairan dan kelembaban udara yang tinggi. Berlawanan dengan keadaan demam, suhu inti tubuh tidak dapat dipertahankan pada set level 37°C sehingga terjadi hipertermia. Keadaan yang berbahaya apabila suhu inti tubuh mencapai 40.5°C (heat stroke) karena pada suhu tersebut otak sudah tidak dapat lagi menoleransinya. Pusat pengatur suhu di otak tengah akan gagal, dan pengeluaran keringat pun terhenti. Hal ini mengakibatkan terjadinya disorientasi, sikap apatis, dan kehilangan kesadaran. Pengobatan heat stroke dapat dilakukan dengan membawa pasien ke lingkungan yang lebih dingin dan/atau berendam di air dingin. Tetapi permukaan tubuh tidak boleh terlalu dingin karena dapat menyebabkan vasokontriksi yang memperlambat penurunan suhu inti. Pengobatan heat stroke yang berhasil dapat meninggalkan kerusakan menetap pada pusat pengaturan suhu. Hal tersebut membuat toleransi terhadap suhu lingkungan yang ekstrem menjadi terbatas di masa mendatang. 2. Hipotermi Hipotermi adalah penurunan suhu inti dibawah 35°C. Apabila suhu inti terancam menurun, maka sebagai upaya untuk mengatasinya adalah mengatur produksi panaas (tremor otot dan bergerak). Jika reaksi ini tidak berhasik maka dapat terjadi hipotermia. Risiko hipotermia paling tinggi pada orang tua karena rentang pengaturan suhunya terbatas, dan bayi terutama bayi baru lahir karena perbandingan luas permukaan dengan massa tubuh relative besar, produksi panas



10



basal yang kurang, dan lapisan lemak subkutan yang tipis. Gejala hipotermi dibagi menjadi 3 stadium, yaitu: 1. Stadium Perangsangan Hipotermi ringan (32-35°C), terjadi tremor otot, akibatnya kecepatan metabolisme basal sangat meningkat, sehingga semua sumber glukosa dipakai dan penggunaan O2 meningkat hingga 6 kalinya. Takikardi dan vasokontriksi menimbulkan peningkatan tekanan darah. Pasien pada awalnya berada dalam kesadaran penh, lalu menjadi bingung bahkan apatis. 2. Stadium Kelelahan Hipotermi sedang (32-28°C), sumber glukosa tidak ada lagi, terjadi bradikardi, aritmia, dan depresi pernapasan. Pasien mulai berhalusinasi dan berperilaku menyimpang yang berujung pada tidak sadarkan diri. 3 Stadium Paralisis Hipotermi berat (