Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH Oleh: Najib Ubaidillah1, Happy Nur Afni R.2 Abstrak Dengan berakhirnya kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, maka era pemerintahan Islam dari al-Khulafa al-Rasyidin berubah menjadi era kedinastian yang diawali dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemimpin pertamanya yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada periode Dinasti Bani Umayyah, tata cara pemerintahan dan sistem ketatanegaraan sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan di era al-Khulafa al-Rasyidin, termasuk sistem peradilan yang dijalankan di beberapa wilayah kekuasan yang lebih luas. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait peradilan Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah. Pada masa Dinasti Bani Umayyah, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus, kemudian setelah itu dimulailah era baru dalam sejarah hukum Islam. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (Qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Seorang Qadhi merupakan figur yang berlaku adil dan mampu berijtihad dan sebagai sumber refrensinya adalah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Sahabat. Kewenangan Qadhi/hakim dibatasi hanya untuk memutus perkara dalam urusan khusus. Sedangkan yang berhak menjalankan keputusan hakim adalah penguasa sendiri atau wakilnya dengan instruksi. Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para penguasa tidak mencampuri urusan peradilan, dan peradilan bebas memutuskan dengan seadil-adilnya. Terdapat tiga lembaga peradilan, yakni wilayat al-mazhalim, wilayat al-hisbah dan al-qadhaa’ yang memiliki kewenangan dan tugas masing-masing dalam penyelesaian suatu perkara. Pada masa Dinasti Umayyah ini mulai ada pencatat perkara/panitera serta pertama kali dilakukan pembukuan putusan hakim. Key words: Peradilan, Bani Umayyah, Qadhi, Lembaga Peradilan



1 Mahasiswa S1 (NIM: 12350077) Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum ,UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, email: [email protected] 2 Mahasiswa S1 (NIM: 12350089) Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, email: [email protected]



1



A. Pendahuluan Seiring dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhir pula sistem kepemerintahannya pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, dan sekaligus sebagai pemutus era dari al-Khulafa al-Rasyidin yang kemudian berubah menjadi era kedinastian yang diawali dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemimpin pertamanya yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang pada zaman khalifah Umar merupakan Gubernur untuk wilayah Syam. Menurut ahli sejarah, dinasti ini terbentuk pada tahun 661 M (41 H), bukan pada saat Umayyah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliya (palestina) pada tahun 660 M (40 H). Pada periode Dinasti Bani Umayyah, tata cara pemerintahan dan sistem ketatanegaraan sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan di era al-Khulafa al-Rasyidin, perubahan yang sangat vital terjadi pada perubahan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan serta tatacara pengisian jabatan kepala negara yang menggunakan cara penunjukan oleh pemimpin yang akan digantikan, atau bisa disebut dengan sistem pewarisan jabatan. Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem yang digunakan di era al-Khulafa al-Rasyidin yang cara pergantian jabatannya menggunakan sistem Musyawarah. Dengan ini kemudian muncul suatu sistem dan bentuk pemerintahan baru yaitu Monarki Absolut. Munculnya Dinasti bani Umayyah tidak terlepas dengan sejarah adanya peradilan yang telah dikenal sejak masa silam, karena didorong oleh kebutuhan kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu peradilan telah dikenal sejak masa-masa pertama dan tidak mungkin suatu pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan. Pesan utamanya adalah bahwa perdamaian harus diwujudkan dengan menegakan keadilan, karena seperti kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Kata tersebut menandakan bahwa perdamaian hanya bisa tegak, ketika tidak ada pihak yang dipaksa dan ditindas untuk diam menerima kenyataan yang tidak adil baginya. Hal ini tentunya tidak terlepas oleh adanya peradilan yang tertata dengan rapi dan transparan sehingga dengan menegakan peradilan maka akan tercapai 2



sebuah perdamaian.3 Pada dasarnya, manusia tidak dapat menghindari persengketaan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pula maka peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya. Menegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedzaliman. Dengan adanya peradilan, jiwa, harta dan kehormatan dapat dilindungi. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.



B. Pembahasan 1. Pengertian Peradilan Kata “peradilan” berasal dari kata “adil” dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qaadha”, yang berarti “memutuskan”,



“melaksanakan”,



menyelesaikan”.4



dan



adapula



yang



menyebutkan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan peradilan dan pengadilan.5 Dalam literatur-literatur fikih Islam, peradilan” disebut “qadha” artinya “menyelesaikan” seperti firman Allah:



“manakala Zaid telah menyelesaiakan keperluanya dari Zainab” (QS. AlAhzab : 37)



3



Jum’at 18/09/2015 diakses 20 Sepetember 2015. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), Cet. Petama Tahun 1996 M, Jakarta, hlm. 1215. 5 Abdul Mujib Mabruri Talhah Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, Cet. Ketiga, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 258. Lihat pula Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cet. Ketujuh, (Jakarta: Dekdikbud, Balai Pustaka, 1996), hlm. 7. 4



3



Ada juga yang berarti “menunaikan”



“apabila sholat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi” (QS. Al-Jumu’ah : 10) Dalam dunia perdilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah yang dianggap singnifikan. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti “menghalangi” atau “mencegah”, karenanya qodhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiayaan. Oleh karena itu apabila seseorang mengatakan suatu hak atau mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.6 Kata “Peradilan” menurut istlah ahli fikih adalah berarti: a. Lembaga



Hukum



(tempat



di



mana



seseorang



mengajukan



permohonan). b. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang mempunnyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. 2. Sekilas tentang Sejarah Bani Umayyah Masa pemerintahan Islam setelah Al-Khulafa al-Rasyidin digantikan oleh pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan pertama kali dipimpin oleh Muawiyyah Bin Abu Sufyan. Pada masa Dinasti Bani Umayyah, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus, kemudian setelah itu dimulailah era baru dalam sejarah hukum Islam. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (Qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya.7



6 T.M. Hasby Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta: Penerbit PT Ma’arif, 1994), hlm. 29. 7 Anonim, Kekhalifahan Umayyah, , diakses 22 September, 2015.



4



Bani Umayyah (bahasa Arab: ‫بنو أمية‬, Bani Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya. Serta dari 756 sampai 1031 di Cordova, Spanyol. Nama dinasti ini diambil dari nama tokoh Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek buyut dari Khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah.8 Dinasti Bani Umayyah berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dengan 14 orang penguasa yaitu:9 1) Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680) 2) Yazid bin Muawiyah (680-683) 3) Muawiyah bin Yazid (683-684) 4) Marwan bin Hakam (684-685) 5) Abdul Malik bin Marwan (685-705) 6) Walid I bin Abdul Malik (705-715) 7) Sulaiman bin Abdul Malik (715-717) 8) Umar bin Abdul Aziz (717-720) 9) Yazid bin Abdul Malik (720-724) 10) Hisyam bin Abdul Malik (724-743) 11) Walid II bin Yazid II (743-744) 12) Yazid III (744-745) 13) Ibrahim bin Walid II (745-747) 14) Marwan II bin Muhammad II (747-750) Dalam usaha mensejahterakan rakyatnya, penguasa Bani Umayyah melakukan usaha positif dengan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan dan menata administrasi, antara lain membuat organisasi keuangan dan memberikan hak serta perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman.10 3. Peradilan pada Masa Bani Umayyah



8



Hodgson, Marshall G.S.; Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. (Jakarta: Paramadina, 1999), hal.34. 9 Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 72. 10 Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Setiaa, 1989), hlm. 215.



5



Pada masa Umayyah, ulama dan ahli hukum Islam berpencar ke berbagai pelosok negeri Islam. Mereka tidak lagi berkonsentrasi di ibukota Negara, Damaskus. Hal ini disebabkan semakin meluasnya daerah penaklukan. Kondisi tersebut berbeda dengan masa al-khulafa al-rasyidin yang cenderung terpusat di kota Madinah. Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para penguasa tidak mencampuri urusan peradilan, dan peradilan bebas memutuskan dengan seadil-adilnya. Khalifah hanya mengawasi keputusan yang mereka keluarkan. Selain itu, ada ancaman pemecatan bagi siapa saja yang berani melakukan penyelewengan.11 Pada masa Al-Khulafa al-Rasyidin sebelum Bani Umayyah, pemimpin secara langsung aktif berperan dalam pemecahan berbagai masalah. Akan tetapi, pada masa Umayyah tidak semua persoalan diselesaikan langsung oleh khalifah, tetapi khalifah menunjuk orang terpilih yang dipercaya untuk menyelesaikan masalah. Selain itu seperti imam sholat yang sebelumnya dilakukan langsung oleh khalifah, tetapi pada masa Umayyah imam sholat dipercayakan pada orang tertentu. Selain itu, pegawai, pengajar, ahli agama dan tokoh pemuka dipilih berdasarkan kemampuan, karakter dan bisa menjalankan fungsi yang sesuai. Jabatan hakim (Qadhi) diserahkan kepada orang yang mampu mewakili sebagai perwakilan penguasa dalam rangka untuk mengurangi beban khalifah. 12 Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh al-khulafa al-rasyidin, Bani Umayyah berusaha memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Periode kehakiman Islam (Qadha Islami) dibagi menjadi tiga periode besar. Pertama, peradilan di masa al-Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, dan permulaan Bani Abbas. Selanjutnya periode kedua pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, jaman keemasan hingga beralih ke pemerintahan Turkiyah dan 11



Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 153. Anwar Ahmad Qadri, Justice in Historical Islam, Kitab Bhavan (New Delhi: Taj Offset Press Urdu Bazar, 1982), hlm. 29-34. 12



6



periode terakhir dimulai dengan pemerintahan kesultanan selanjutnya. Pada periode pertama, dilakukan pemisahan lembaga peradilan dari tangan gubernur dan yang mula-mula melakukannya. Dimasa empat Khalifah dan Dinasti Umayyah, bisa dikatakan lembaga peradilan masih dalam taraf pembentukan, belum sempurna organisasi pembinaannya. Qadhi di zaman Khalifah dan Umayyah semuanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai keahlian ijtihad yang sempurna, bukan ahli taqlid yang bertaqlid kepada seseorang imam dalam menetapkan hukum. Pada masa itu taqlid belum terkenal dan mazhab belum dibukukan.13 Terdapat dua ciri khas bentuk peradilan pada masa Bani Umayyah, yaitu 14: 1) Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Pada saat itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pingikat bagi keputusan-keputusan hakim. Pedoman hakim hanya Al-Quran dan Sunnah. 2) Lembaga peradilan pada saat itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Keputusan mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa sendiri. Dalm hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim yang menyeleweng dari garis yang ditentukan. Hakim yang diangkat pada masa pemerintahan Bani Umayyah merupakan figur yang dapat berlaku adil dan memiliki kemampuan untuk berijtihad. Para hakim benar-benar bebas berijtihad dan memutuskan perkara yang diajukan sesuai dengan kemampuannya. Pada saat itu, hubungan antara satu hakim dengan hakim lainnya belum terbina. Dengan demikian, seorang hakim harus mengerahkan kemampuannya sendiri untuk berijtihad pada saat mengadili dan menyelesaikan



13



T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah Peradilan Islam, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Bulan Bintang 1970), hlm. 15-25. 14 Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahaasa Imron A.M. Cet. Keempat, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 20.



7



perkara yang tidak dijumpai berdasarkan sumber hukum yang ada yaitu Al-Quran, Hadits dan Ijma’ sahabat.15 Hakim memahami ketiga sumber hukum tersebut dengan baik dan benar. Para hakim menyadari bahwa akar konsepsi Islam terletak pada sebuah ide, bahwa hukum esensinya adalah religius. Karena itu, hukum harus bersumber pada pola perilaku yang diberikan Allah (Al-Quran). Dengan kata lain, hukum Islam harus berdasarkan pada wahyu ilahi yang menjadi sumber hukum pertama dan utama dalam hukum Islam. Disamping itu, mereka berasumsi bahwa cara terbaik yang harus ditempuh dalam menafsirkan dan mengaplikasikan Al-Quran adalah dengan melihat penjabaran Al-Quran pada masa Rasulullah. Inilah sunah nabi yang merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Mereka juga mengetahui dan meyakini benar bahwa para sahabat yang dekat dengan nabi memiliki pemahaman yang bagus sehingga pendapat mereka (ijma’ sahabat) digunakan sebagai sumber hukum ketiga.16 Pengangkatan hakim dipisah dari gubernur. Khalifah mengangkat QadhiQadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, sementara Qadhi yang bertugas di daerah diserahkan pengangkatannya pada kepala daerah tersebut. Permasalahan yang bisa ditangani oleh Qadhi ini terbatas pada masalah-masalah khusus sementara yang melaksanakan keputusan itu adalah khalifah. Lembaga peradilan dipegang oleh orang Islam, sedangkan kalangan non Islam mendapatkan otonomi hukum di bawah kebijakan masing-masing pemimpin agama mereka. Hal inilah yang mendasari mengapa hakim hanya ada di kota-kota besar.17 Peradilan pada masa Bani Umayyah menurut para pegiat dan pemerhati fikih qadha bahwa penyelenggaraan peradilan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik, sementara ijtihad hakim dalam menentukan dan menetapkan hukum berkembang pesat. Pernyataan tersebut dapat dipahami dengan tidak terlibatnya 15



Athiyah Musrifah, Tarikh al-Qadha’ fil Islam, Cetakan Kedua, (Syirkat al-Syarq alAusath, 1996), hlm. 42. 16 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: Dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 74. 17 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 79-80.



8



khalifah atau penguasa dalam praktik peradilan. Khalifah tidak langsung melibatkan dirinya menjadi Qadhi atau hakim. Sedangkan pada masa al-Khulafa Al-Rasyidin selain berperan sebagai khalifah juga sering terjun langsung dalam praktik peradilan bertindak langsung sebagai hakim. Dalam hal ini, kepentingan politik diartikan sebagai campur tangan penguasa dalam menyelesaikan masalah atau berperan sebagai hakim.18 Menurut M. Nazir dalam Oyo Sunaryo, setidaknya ada dua alasan yang mengakibatkan kurangnya perhatian penguasa/ pemerintah Bani Umayyah terhadap lembaga peradilan: pertama, karena pemerintah atau pemimpin Bani Umayyah pada umumnya kurang tertarik pada masalah hukum, dan lebih berkonsentrasi pada urusan politik dan perluasan wilayah kekuasaan. Kedua, figur penguasa pada umumnya tidak digolongkan pada kualifikasi ulama/fukaha, bahkan di antara mereka terdapat pribadi yang dinilai kotor.19



4. Kewenangan Hakim Pada masa ini kewenangan hakim dibatasi hanya untuk memutus perkara dalam urusan khusus. Sedangkan yang berhak menjalankan keputusan hakim adalah penguasa sendiri atau wakilnya dengan instruksi. Keputusan hakim tidak dipengaruhi



oleh



hal



pribadi



sehingga



keputusan



mereka



benar-benar



berwibawa.20 Kewenangan hakim perkara peradilan pada masa Bani Umayyah terbatas mengenai masalah-masalah yang bersinggungan dengan perkara perdata (al-madany) dan perkara perorangan serta hukum kekeluargaan (al-ahwal assyakhsiyyah) sementara perkara-perkara berat yang melibatkan masyarakat banyak (pidana) seperti hudud dan qishash tetap menjadi kewenangan pemerintah. Termasuk pelaksanaan hukuman perkara yang telah diputus hakim dan telah memiliki kekuatan hukum mengikat, eksekusinya dilakukan oleh pemerintah.21



18



Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 71-72. M. Nazir, dalam Oyo Sunaryo Mukhlas, Ibid, hlm. 7. 20 Basiq Djalil, Ibid. 21 Oyo Sunaryo Mukhlas, Ibid, hlm. 73. 19



9



Hakim pada saat itu ada yang memiliki kewenangan hukum terbatas maupun tidak terbatas. Kewenangan hakim yang terbatas hanya pada perkaraperkara khusus dan spesifik. Sedangkan hakim dengan kewenangan tidak terbatas tetap harus patuh dan tunduk pada penguasa, dengan begitu kewenangan hakim secara umum ditentukan oleh penguasa kecuali pada perkara-perkara perdata tertentu. Pada dasarnya, menyelesaikan dan mengadili perkara adalah hak penguasa sendiri, karena mengadili perkara merupakan sebagian dari kekuasan yang masuk dalam wilayah ‘ammah. Oleh karena itu, penguasa boleh menyelesaikan



sendiri



tugasnya



atau



mengangkat



wakil/wali



untuk



menyelesaikannya. Dalam hal mengangkat seorang wakil/wali, maka tugas penguasa dalam menyelesaikan perkara diberikan kepada hakim. Penguasa boleh menentukan banyak atau sedikitnya pekerjaan hakim. Tugas penguasa sebagai hakim pada saat itu seperti menunjuk wakil/wali, masalah wakaf, melaksanakan hukuman (eksekusi), urusan anak yatim, mengawasi bawahan hakim, dan menjadi imam sholat Jumat tidak harus dilakukan dan diselesaikan oleh penguasa sendiri, namun bisa diserahkan kepada Qadhi.22 Contoh tugas Qadhi pada perkara-perkara tersebut diatas antara lain23: a. Penyerahan urusan anak yatim kepada Qadhi Mesir, Abdur Rahman Bin Muawwiyah pada masa Khalifah Abdul Aziz Bin Marwan. b. Penyerahan urusan harta wakaf kepada Qadhi Mesir, Taubah Bin Namir pada masa Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Dengan usaha Taubah, harta waqaf Negera Mesir diurus oleh suatu dewan yang menjadi permulaan dewan wakaf di Mesir.



5. Pembukuan Putusan Pada masa Bani Umayyah, mulai muncul kesadaran kesadaran baru untuk mencatat produk hukum, terutama putusan hakim. Adapun hakim pertama yang 22



Al-Haj Muhammed Ullah, The Administration Of Justice In Islam: An Introduction To The Muslim Conception Of The State, 3rd Edition, Kitab Bhavan, (New Delhi: Lahoti Fine Art Press, 1990), hlm. 29-31. 23 T.M. Hasbi As Shiddieqy, Ibid, hlm. 23-24.



10



merasakan pentingnya pencatatan putusan peradilan itu adalah hakim Sulaim Bin ‘Atr yang menduduki kursi kehakiman di Mesir selama 20 tahun, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyyah Bin Abi Sufyan. 24 Hakim Sulaim Bin ‘Atr berpendapat bahwa pencatatan keputusan lembaga peradilan itu penting, karena pada suatu ketika telah terjadi sengketa harta pusaka yang telah diputus, kemudian di lain waktu pihak-pihak yang berperkara tersebut mengingkari keputusan hakim dan mereka saling berselisih tentang keputusan tersebut sehingga mereka mengajukan kembali perkara tersebut kepada hakim untuk diputus. Setelah diputus kembali, keputusan perkara tersebut dicatat dan dihimpun. Pada saat itulah pertama kalinya putusan perkara dibukukan.25



6. Lembaga Peradilan Terdapat dua institusi yang melengkapi lembaga peradilan, yaitu wilayat al-mazhalim dan wilayat al-hisbah. Wilayat al-mazhalim bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa dan keluarganya, sedangkan wilayat al-hisbah bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat. Secara kelembagaan, Wilayat al-mazhalim merupakan institusi pengendali, yaitu suatu kekuasaan peradilan yang lebih tinggi daripada pengadilan biasa, sedangkan wilayat al-hisbah adalah lembaga keagamaan yang merupakan lembaga peradilan moral, yang berfungsi untuk menegakkan misi amar ma’ruf nahi munkar. Namun pada awalnya, lembaga ini bertugas menjaga dan mengawasi kecurangan pedagang di pasar.26 Lembaga peradilan wilayat al- mazhalim dikendalikan oleh kepala negara atau seseorang yang diserahi tugas yang dinamakan Qadhi (wali) mazhalim. Sedangkan wilayat al-hisbah dikendalikan oleh seorang kepala yang dinamakan muhtasib. Para wali mazhalim memutuskan persengketaan selain perkara yang bersangkutan dengan hukum perdata seperti hutang piutang dan hukum pidana. 24



Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahaasa Imron A.M. Cet. Keempat, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 66. 25 Basiq Djalil, Ibid, hlm. 154. 26 Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 74-75.



11



Sedangkan muhtasib memutuskan perkara-perkara yang bersangkutan langsung dengan rakyat terkait hukum perdata dan pidana. Wilayat al-mazhalim yang diketuai oleh wali mazhalim merupakan instansi/lembaga peradilan tertinggi. Pada masa sekarang, kedudukan wilayat al-mazhalim dapat disamakan dengan mahkamah tertinggi yang hanya menerima dan memutuskan perkara-perkara orang besar seperti pejabat negara.27 Selain menyelesaikan perkara dan menghukum penguasa atau pejabat negara yang sewenang-wenang memeras (zalim) terhadap rakyat kecil, juga berwenang menampung pengaduan-pengaduan tentang kejahatan yang dilakukan oleh pejabat. Karena itu, lembaga ini dikenal juga dengan sebutan dewan pengaduan.28 Wilayat al-mazhalim yang dipimpin oleh kepala negara, wali atau seseorang yang telah ditunjuk biasanya melakukan sidang perkara di dalam masjid yang dihadiri oleh:29 a. Beberapa petugas dan pengawal Qadhi (hakim) yang dapat memberikan nasihat kepada orang-orang yang bersangkutan. b. Beberapa fuqaha yang akan diminta pendapatnya mengenai hukum yang harus diberikan, dan c. Para pencatat (panitera) serta beberapa orang yang sewaktu-waktu dapat diminta menjadi saksi. Adapun



khalifah



yang



pertama



kali



membuat



perhatian



dan



mengkhususkan wilayat al-mazhalim terpisah dari peradilan umum adalah Khalifah Abdul Malik Bin Marwan. Sedangkan khalifah yang memberikan perhatian lebih besar lagi terhadap wilayat ini adalah Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Disamping memperhatikan wilayat al-mazhalim, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz juga membangun dan menghidupkan wilayat al-syurthah (lembaga kepolisian) dan wilayah hukum operasionalnya (kompetensi relatif). 30 Lembaga al-syurthah yaitu institusi setingkat jabatan kepolisian yang bertugas untuk menguatkan penegakan amar ma’ruf nahi munkar, mengatur lalu lintas, 27



T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ibid, hlm. 18. Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 87. 29 Ibid, hlm. 19. 30 Su’ud Ibn Sa’ad dalam Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 75. 28



12



menertibkan dan mengawasi bangunan. Di samping itu, bertugas pula dalam mengurus jawatan kesehatan, mengatur perdagangan, membawa dan menyeret para pelanggar hukum, para pemabuk dan orang-orang yang melakukan perbuatan tidak senonoh ke pengadilan, serta mengeksekusi potong tangan bagi pencuri yang tertangkap basah.31 Di beberapa pustaka menyebutkan bahwa lembaga peradilan sejak masa al-Khulafa al-Rasyidin hingga Dinasti Bani Umayyah dikategorikan menjadi tiga instansi. Adapun instansi dan lembaga selain yang telah disebutkan di atas adalah al-qadhaa’ yang merupakan instansi yang berwenang dalam penyelesaian perkaraperkara yang berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.32



7. Hakim yang Terkenal pada Masa Dinasti Bani Umayyah 33 1) Al-Qadhi Suraih Nama lengkapnya adalah Suraih bin al-Harits al-Kindi, merupakan hakim di daerah Kufah yang menjabat selama 75 tahun sejak masa Khalifah Umar Bin Khattab. Beliau merupakan salah satu tabi’in besar dan banyak meriwayatkan hadits dari sahabat. Beliau juga merupakan hakim yang cerdas, berwibawa, dan dapat menyelesaikan perkara dengan cepat dan tepat. Suraih adalah hakim yang sangat berwibawa, karna beliau menyamaratakan antara rakyat dan penguasa dalam sidang pengadilannya. Sebagai contoh perilaku beliau ketika menjadi hakim, suatu hari Asy’ats bin Qais datang menemui Suraih di pengadilan dan disambut dengan ramah dan di persilahkan duduk disampingnya. Tidak lama kemdian datanglah seorang laki-laki yang mengadukan tentang Asy’ats bin Qais. Maka Suraih memerintahkan kepada Asy-ats bin Qais untuk berdiri disampimganya dan duduk ditempat terdakwa, akan tetapi Asy’ats bin 31 32



Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 87. Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),



hlm. 80. 33



Ibid, hlm. 88-90.



13



Qais menolaknya dan mengatakan akan menjawab pertanyaan dari samping tempat duduk Suraih saja. Lalu hakim menjawab: “ kamu berdiri dari tempat ini dan duduk di tempat terdakwa atau saya perintahkan orang lain menegakkanmu dan memaksamu pindah”. Mendengar hal ini Asy’ats berdiri dan pindah ke tempat duduk terdakwa. 2) Al-Qadhi Asisabi Nama lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi. Beliau merupakan seorang ulama tabi’in yang terkenal, lahir tahun 17 H. beliau adalah seorang hakim di Kufah yang menggantikan Suraih. Beliau juga banyak menerima hadits dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah dan Ibnu Umar. Beliau juga sebagai ahli fikih dan termasuk guru tertua Imam Abu Hanifah. 3) Al-Qadhi Ijas Nama lengkapnya adalah Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bin Qurrah, merupakan Qadhi dari khalifah Bani Umayyah yang paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. 4) Salim bin Ataz Seorang Qadhi di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara dan merupakan hakim pertama yang mencatatkan putusan perkara (pada pembahasan sebelumnya disebut Sulaim bin ‘Atr). Selain itu beliau juga menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan Muawiyah. Salah satu kasus yang pernah terjadi pada masa dinasti Umaiyah adalah kasunya Ibnu Futhais. Kasus ini terjadi pada masa Al-Hakam bin Hisyam. Seorang qadhi yang bernama Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi mengukum Ibnu Futhais dengan tidak menghadirkan saksi. Ibnu futhais ketika itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak sepakat dengan putusan tersebut Ibnu Futhais naik banding atau mengajukan perkara ini kepada khalifah dengan alasan bahwa dia telah di aniaya. Kemudian Al-Hakam mengirim surat kepada Muhammad bin Basyir al Mu’arifi dengan menerangkan keberatan keberatan Ibnu futhais, maka surat itu pun dibalas oleh Muhammad



bin



Basyir al Mu’arifi dengan mengatakan :” Ibnu Futhais tidak mengetahui siapa-



14



siapa yang telah menjadi saksi atas dirinya, maka dia akan mencari saksi tersebut dan tidak segan-segan menyakitinya”. Dari salah satu contoh kasus tersebut dapat disimpilkan bahwa hakim mempuyai hak untuk berijtihad dan mempunyai wewenang penuh dalam penerapan hukumnya. Pada masa Dinasti Bani Umayyah inilah mulai dibentuk jabatan sekretaris/panitera yang bertugas mencatat jalannya proses sidang berperkara. Selain itu, pada masa Dinasti ini pula mulai dilakukan pembukuan putusan oleh seorang hakim ternama di kota Mesir. C. Penutup 1. Kesimpulan Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda



ketika



memasuki



pola



kepemimpinan



dinasti-dinasti



yang



berkembang sesudahnya. Beberapa periode Kehakiman Islam antara lain pada masa: -



Al-Khulafa Al-Rasyidin Bani Umayyah Bani Abbasiyah



Pada masa Bani Umayyah seorang Qadhi merupakan figur yang berlaku adil dan mampu berijtihad sebagai sumber refrensinya adalah AlQur’an, Hadits, dan Ijma’ Sahabat. Namun pada masa ini Hakim/Qadhi belum terjalin keharmonisan dan belum terbina dengan baik. Terdapat tiga lembaga peradilan, yakni wilayat al-mazhalim, wilayat al-hisbah dan al-qadhaa’ yang memiliki kewenangan dan tugas masing-masing dalam penyelesaian suatu perkara. Al-qadhaa’



merupakan



lembaga



peradilan



dimana



qadhi



menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping 15



itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang-orang cacat mental. Selanjutnya wilayat al-hisbah, yang memiliki kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Lembaga ketiga, wilayat al-mazhalim yang merupakan lembaga tertinggi. Merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya. Lembaga ini juga mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah. Dan hal sangat penting sebagai catatannya bahwa setiap penyelenggara peradilan bebas dari kepentingan penguasa dan pengaruh oleh kepentingan politik. Lain halnya pada masa al-Khulafa Al-rasyidin seorang Khalifah yang memegang langsung peradilan dan bertindak sebagai seorang Hakim. Dimana Era umawiyyah adalah era bangkitnya patriarki di ranah pemerintahan. Islam yang relatif berkembang luas ke luar ternyata tidak dibarengi dengan penataan sistem intern yang baik. Pada tahap ini, pranata-pranata sosial yang sudah terbangun tidak bisa semuanya terealisasikan, karena akan selalu ada konflik yag mendera. Mungkin ini adalah sebuah contoh yang kurang baik dari “sejarah Islam” dan tentunya bagi orang yang demi kepentingan tertentu mengatasnamakan nama “Islam” akan menggunakan justifikasi ini demi tujuan dan cita-cita mereka Wallahu a’lam.



2. Saran Berbeda lain halnya dengan masa Bani Umayyah yang hanya terlalu sibuk pada urusan politik, kurang tertariknya pemerintah atau pemimpin pada masa Bani Umayyah pada masalah hukum mempengaruhi perkembangan dan kinerja lembaga peradilan, sehingga antara politik dan hukum harus diatur dengan baik untuk kemajuan bangsa atau negara itu sendiri. Sebagai pertimbangan hendaknya setiap periode pemerintahan disuatu bangsa dan negara. Kepemimpinn harus menjujung tinggi suatu hukum. Dengan demikian, ketika suatu hukum kita tegakkan dengan baik sebagai 16



pondasi kekuatan bangsa dan negara atau pemerintahan monarki sekalipun akan membawa perdamaian, keadilan dan kemaslahatan



Daftar Pustaka Anonim, diakses 20 Sepetember 2015. Anonim, Kekhalifahan Umayyah, , diakses tanggal 22 September 2015. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sedjarah Peradilan Islam, Cetakan Ketiga, Bulan Bintang, Jakarta, 1970. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Amzah, Jakarta, 2012. Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pustaka Setia, Yogyakarta, 1989. Koto, A., Sejarah Peradilan Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011. Madkur, M. S., Peradilan Dalam Islam, Alih Bahaasa Imron A.M. Cetakan Keempat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1993. Marshall G. S. H., Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. Paramadina, Jakarta, 1999. Mukhlas, Oyo S., Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011. Munawwir, Ahmad W., Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), Cet. Petama Tahun 1996 M, Jakarta, hlm. 1215. Musrifah, A. Tarikh al-Qadha’ fil Islam, Cetakan Kedua, Al-Syarq Al-Ausath, Jakarta, 1996. Qadri, Anwar A., Justice In Historical Islam, Kitab Bhavan, Taj Offset Press Urdu Bazar, New Delhi, 1982. Sapiah A.M., Kamus Istilah Fikih, Cet. Ketiga, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994. Ullah, Al-Haj Muhammed, The Administration Of Justice In Islam: An Introduction To The Muslim Conception Of The State, 3rd Edition, Kitab Bhavan, Lahoti Fine Art Press, New Delhi, 1990.



17



CURRICULUM VITAE (CV) I. Najib Ubaidillah 1. Nama 2. TTL 3. Alamat Asal



: Najib Ubaidillah : Grobogan, 28 Agustus 1993 : Dusun Krajan Rt 001/Rw 003/ Kec. Wirosari, Kab Grobogan, Jawa Tengah 4. Alamat Sekarang : Krapyak, Sewon, Bantul 5. Email : [email protected] 6. Riwayat Pendidikan : 2000-2006 SD N Gedangan 1 2006-2009 MTs Miftahul Amal, Jiken, Blora 2009-20012 MA Miftahul Amal 2012-sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 7. Riwayat Organisasi : PIK Remaja Mifa El Fata Ponpes Miftahul Amal IPNU Yogyakarta 8. Contact Person : 085727112407 9. Hobby : Membaca, Folly, Bernyanyi, Sholawatan 10. Motto : “Hina ketika mencari mulia ketika dicari” II. Happy Nur Afni Biodata Diri Nama Lengkap Tempat/Tgl. Lahir Kelamin Agama Status Kawin Gol. Darah Kebangsaan Alamat No. Hp Email Riwayat Pendidikan Nama MI Ma’arif Drono MTs Sunan Pandanaran MAN Insan Cendekia



Happy Nur Afni Roudhiyah Klaten/24-03-1992 Perempuan Islam Belum Kawin A Indonesia Gatak Rejo Rt. 02 Rw. 11 Drono, Ngawen, Klaten 57466 085729303224 [email protected] [email protected] Alamat Drono, Ngawen, Klaten Jakal Km12,5 Sleman, DIY BSD, Tangerang, Banten



Tahun 1998 - 2004 2004 - 2007 2007 - 2010



18



Universitas Gadjah Mada, Fak. Pertanian UIN Sunan Kalijaga, Fak.



Sleman, DIY



2010 - Sekarang



Jogjakarta, DIY 2012 - Sekarang Syariah dan Hukum Kemampuan Aplikasi Komputer : Microsoft Office (Word, Power Point, Excel, Publisher), Corel Draw, Adobe Photosop, Movie Maker, Visual Fox Pro Dasar, Visual Basic Dasar Kemampuan Bahasa : Indonesia, Inggris, Arab (Pasif) Keorganisasian Organisasi Jabatan Tahun Ikatan Mahasiswa Hama Dan Kepala Divisi 2012 - 2013 Penyakit Tumbuhan (IMHPT) Medkominfo PMIIKomsat Gadjah Mada Staff Media 2012 - 2013 Kepala Departemen PMII Rayon Agro 2011 - 2012 Media Forum Komunikasi Remaja Anggota 2010 - Dst Masjid (FKRM) Gatak Rejo Kepanitiaan dan Kegiatan yang Pernah Diikuti Panitia TIPM (Training For Integrated Pest Management) Th 2012 Panitia LMPST (Leadhership Motivation And Public Speaking Training) Th 2012 Relawan Pengajar TPA Korban Merapi Th 2011 Peserta Mapaba PMII Rayon Eksakta Th 2011 Panitia Mapaba PMIIRayon Agro Th 2012 Peserta PKD Komsat Gadjah Mada Th 2011 Panitia PKD Komsat Gadjah Mada Th 2012 Peserta Kajian PMII 2011-2012 Panitia Seminar Tani Th 2011 Panitia Rakornas HMPTI XIV(Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman Indonesia) Th 2011 Panitia Mukernas ISMPI X (Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia) Th 2012 Panitia Seminar Nasional Agraria (UUPA untuk Siapa) Th 2012 di Fak. Pertanian UGM Panitia Grenation Th 2012 Peserta Lokakarya Latihan Kepenulisan Ilmiah Th 2012 Asisten Dosen dalam Proyek Pembiakan Massal Serangga (Insect Factory) Asian Corn Borer Th 2013 Peserta Kegiatan Bersih-Bersih Pantai Goa Cemara Th 2012 Pengurus Admin Web IMHPT 2012, Pimred Buletin Proteksia 2012 Asisten Lapangan dalam Proyek “Yucoe Project 2012-2013” (Kerjasama 19



Indonesia-Vietnam-Sri Lanka) Asisten Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Hama Tanaman 2013/2014 Asisten Pendamping dalam Pelatihan Ditlin Hortikultura, Deptan 2014 di Faperta UGM Asisten Lapangan Pengamatan Serangga Pada Jagung Transgenik dan Non Transgenik Peserta Training ICT Uin Suka Yogyakarta Th 2013 Panitia Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Joglosemar Th 2014 Di Fak. Pertanian UGM Asisten Praktikum Entomologi Dasar Th 2014



20