Perang Banjar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Sejarah mencatat bahwa Kalimantan Selatan merupakan satu daerah yang pernah berdiri beberapa kerajaan Islam. Diantara kerajaan Islam yang terbesar adalah kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beraliran Hindu. Proses Islamisasi di kerajaan Banjar dibantu oleh kerajaan Demak. Sedangkan raja yang pertama masuk Islam adalah raja Samudera yang kemudian bergelar sultan Suryanullah. Sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya, perjalanan kerajaan Banjar juga mengalami pasang surut. Selain itu, kerajaan Banajr juga bersentuhan langsung dengan imperialisme bangsa asing, terutama Belanda. Kehadiran Belanda yang mencoba untuk menguasai semua aspek kehidupan di kerajaan Banjar membuat masyarakat jenuh. Masyarakat di sekitar kerajaan Banjar sangat tidak senang dengan kehadiran Belanda yang memonopoli seluruh aspek kehidupan, termasuk politik kerajaan. Keadaan demikian akhirnya memunculkan perlawanan-perlawanan sengit dari masyarakat Banjar terhadap Belanda. Perlawanan masyarakat Banjar terhadap Belanda tercatat sejarah dengan nama perang Banjar yang dipelopori oleh pangeran Antasari dan beberapa tokoh lainnya. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan perang Banjar.



B. a. b. c.



Rumusan Masalah Apa latar belakang terjadinya perang Banjar? Bagaimana proses terjadinya perang Banjar? Apa dampak terjadinya perang Banjar?



B. a. b. c.



Tujuan Penulisan Untuk mengetahui latar belakang terjadinya perang Banjar Untuk mengetahui proses terjadinya perang Banjar Untuk mengetahui dampak terjadinya perang Banjar



BAB II PEMBAHASAN A. Latar Belakang Terjadinya Perang Banjar (1859-1906 M) Pertikaian yang terjadi di Kalimantan Selatan dapat diklasifikasikan menjadi dua corak, yaitu perlawanan yang bersifat ofensif (1859-1863 M) dan perlawanan yang bersifat defensive (1863-1905 M). Pertikaian antara masyarakat Banjar dengan Belanda telah terjadi jauh sebelum tercetusnya perang Banjar. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui beberapa kejadian, diantaranya adalah peristiwa terbunuhnya nahkoda Belanda pada 14 Februri 1606 M. Menanggapi kejadian tersebut, Belanda melakukan serangan di daerah Kuin, tahun 1612 M. Terjadinya perang Banjar dilatar belakangi oleh ikut campurnya pihak Belanda terhadap keadaan politik kerajaan. Hal tersebut bermula ketika beberapa bangsawan di kerajaan Banjar tidak setuju dengan pengangkatan pangeran Tamjidillah. Pangeran Tamjidillah merupakan sultan terakhir dari kerajaan Banjar, yang memerintah dari tahun 1857-1859. Pengangkatan pangeran Tamjidillah sebagai sultan mendapat tantangan keras dari masyarakat, sehingga menimbulkan pergolakan. Namun pada perkembangannya, pangeran Tamjidillah tidak mampu memenuhi kebutuhan Belanda sehingga diturunkan dari tahtanya. Pada tanggal 11 Juni 1860, Belanda menghapuskan kesultanan. Kedatangan Belanda pada mulanya adalah untuk berdagang. Namun Belanda tidak dengan mudah mendapatkan persetujuan dari sultan untuk dapat berdagang di Banjarmasin. Keadaan tersebut tidak membuat Belanda putus asa. Mereka pernah diusir dari Banjarmasin, namun kembali lagi pada abad ke 18 M. Akhirnya Belanda berhasil mendapat persetujuan untuk berdagang di Banjarmasin melalui perjanjian yang diadakan antara sultan Tahlilillah dengan Belanda pada tahun 1734 M. Meskipun telah diperbolehkan untuk menjalankan perdagangan di Banjar, namun pada saat itu Belanda masih harus bergantung kepada kebijakan sultan. Belanda terus mencari cara agar dapat lepas dari kekuasaan sultan. Hingga akhirnya, terjadi pertentangan di kalangan bangsawan mengenai kedudukan sultan, yaitu sultan Nata dan pangeran Amir. Dalam keadaan demikian, sultan Nata meminta bantuan kepada Belanda. Melihat keadaan demikian, Belanda mempergunakan kesempatan ini dengan sebaik baiknya. Berkata bantuan Belanda, akhirnya pangeran Amir berhasil ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Sebelum hal tersebut terjadi, Belanda dan sultan Nata mengadakan perjanjian pada 13 Agustus 1787 M. Isi perjanjian tersebut adalah bahwa sultan Nata harus memberikan wilayah kesultanan kepada Belanda, seperti wilayah Tanah Bumbu, Pegatan, Kutai, Bulongan, dan Kotawaringin. Sedangkan daerah-daerah yang masih dikuasai sultan, hanya sebagai tanah pinjaman. Setelah perjanjian tersebut, menyusul perjanjian-perjanjian lainnya. Diantaranya adalah: perjanjian antara sultan Sulaiman dengan Belanda, pada 1 Januari 1817 M, dan perjanjian antara sultan Adam Alwasi



Billah dengan Belanda, pada 4 Mei 1826 M. Kesemua perjanjian tersebut mengakibatkan kekuasaan kerajaan Banjar menjadi semakin sempit. Sedangkan Belanda semakin menuai keuntungan dari dikuasainya daerah-daerah tersebut, termasuk penguasaan sumber daya alam yang ada di Banjarmasin. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa latar belakang terjadinya perang Banjar adalah intervensi Belanda terhadap keadaan politik kerajaan. Hal tersebut berkaitan dengan pengganti sultan Mangkubumi ketika ia meninggal dunia pada 1851 M. Terjadi perbedaan pandangan antara sultan Adam dengan Belanda. Belanda lebih mendukung kepada pangeran Tamjidillah untuk menjadi sultan. Hal tersebut dilakukan Belanda semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi mereka. Masalah tersebut berlanjut ketika sultan muda Abdurrakhman meninggal pada tahun 1852 M. Sultan Adam menginginkan agar pangeran Hidayat yang menggantikan kedudukan sultan muda Abdurrakhman. Namun keinginan ini tidak disepakati oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan sultan Hidayat adalah seorang yang sangat merakyat, cakap, dan berbudi luhur. Hal yang terpenting atas penolakan Belanda tersebut adalah bahwa sultan Hidayat tidak memiliki kedekatan dengan Belanda. Belanda tetap mendukung pangeran Tamjidillah untuk menjadi sultan. Hingga akhirnya Belanda mengangkat pangeran Tamjidillah menjadi mangkubumi. Melihat keadaan demikian, pada bulan Mei 1853 M, sultan Adam mengirimkan utusan ke Jakarta untuk menyampaikan beberapa permintaannya, diantaranya adalah penurunan pangeran Tamjidillah dari jabatan sebagai mangkubumi, dan pengangkatan pangeran Hidayat sebagai Raja muda dan Prabu Anom sebagai Mangkubumi. Namun semua permintaan ini ditolak oleh Belanda. Akhirnya pada 10 April 1852, Van Hengst menetapkan pilihannya pada pangeran Tamjidillah dan pada 8 Agustus 1852, pengangkatan dan deklarasi Tamjidillah sebagai pengganti di singgasana kerajaan berlangsung di keraton Martapura. Pengangkatan pangeran Tamjidillah sebagai sultan mengakibatkan permusuhan di kalangan keluarga raja di istana. Merasa dirinya terancam, maka pangeran Tamjidillah akhirnya berpindah dari Martapura ke Banjarmasin. Sultan Adam mengajukan agar pangeran Hidayat diangkat menjadi Mangkubumi. Hal tersebut akhirnya dipenuhi oleh Belanda pada bulan Oktober 1856 M. Pada 1 November 1857 M, sultan Adam meninggal dunia. Dua hari kemudian, pangeran Tamjidillah dilantik menjadi sultan. Pelantikan tersebut memicu kemarahan dari masyarakat Banjar. Sesaat setelah pangeran Tamjidillah diangkat sebagai sultan baru, kerajaan Banjarmasin langsung kehilangan tanah kekuasaan mereka. Masyarakat merasa sangat kecewa dengan keadaan demikian. Kekecewaan tersebut akhirnya tersalurkan ketika penghulu Abdul Gani di Batang Balangan mengecam terang-terang pengangkatan sultan baru tersebut. Terjadilah kisruh di berbagai daerah. Pada saat itu, masyarakat menjadi penentang atas pengangkatan pangeran Tamjidillah.



Melihat keadaan demikian, Belanda mendatangkan kolonel Andresen untuk mempelajari kekisruhan yang terjadi. Usaha itu membuahkan hasil. Belanda menyimpulkan bahwa sultan Tamjidillah merupakan penyebab terjadinya kekacauan. Hingga akhirnya ia diturunkan dan pemerintahan dipegang oleh Belanda. B. Proses Berjalannya Perang Banjar Proses berjalannya perang Banjar menjadi dua fase, yaitu fase di bawah pimpinan pangeran Antasari dan fase sesudah meninggalnya pangeran Antasari. 1. Fase dibawah pimpinan pangeran Antasari (1808-1863). Pada 28 April 1859 M, pangeran Antasari berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan melakukan penyerbuan terhadap pos-pos Belanda di Martapura. Pada fase ini, beberapa tokoh lainnya juga turut membantu dalam perjuangan melawan Belanda. Diantaranya adalah Kyai Demang Leman yang berjuang bersama Haji Nasrun, haji Buyasin, dan Kyai Langlang. Mereka berhasil menyerbu pos Belanda di Martapura pada 30 Juni 1859 M, dan berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio pada Agustus 1859 M. Pada tanggal 27 September 1859 M, Kyai Demang Leman mengalami kekalahan dalam menghadapi Belanda di benteng Gunung Lawak. Pada bulan Desember 1859 M, Tumenggung Surapati menyerang Belanda di atas kapal Onrust. Namun pada Februari 1860 M, mereka mendapat serangan balik dari Belanda. Serangan tersebut mengakibatkan Tumenggung Surapati dan pasukannya meninggalkan benteng. Sedangkan di daerah Amuntai dan Negara, perlawanan di pimpin oleh Tumenggung Jalil. Kedudukan pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi didesak oleh Belanda untuk diturunkan melalui surat 7 Maret 1860 M. Hal tersebut mengakibatkan kekosongan kekuasaan. Hingga akhirnya Belanda memanfaatkan keadaan dengan memasukkan wilayah kerajaan Banjar kedalam wilayah kekuasaan mereka dan menghapuskan kerajaan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860 M. Hal tersebut membuat rakyat semakin gencar untuk melakukan perlawanan. Dalam perlawanannya, pangeran Hidayat mengalami beberapa kekalahan, diantaranya adalah ketika serangan di Wang Bangkal pada 2-10 Juli, yang mengharuskan pasukan Hidayat pindah ke tempat lain. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh pangeran Antasari, menghadapi Belanda pada 9 Agustus 1860 di Ringkau Katan. Namun dalam pertempuran ini, pasukan pangeran Antasari berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Pangeran Hidayat ternyata tidak bernasib baik. Pada tanggal 3 Februari 1862 M, ia tertangkap dan diasingkan ke Jawa. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya semangat baru untuk melakukan perlawanan. Hal yang serupa juga dirasakan oleh pangeran Antasari. Mendengar kabar sepupunya diasingkan ke Jawa ia semakin giat untuk melakukan serangan terhadap Belanda. Diantaranya perjuangan yang



dilakukannya adalah usaha mempertahankan benteng Tundakan pada 24 September 1861, mempertahankan benteng di Gunung Tongka pada 08 November 1861. Berkat kegigihannya tersebut, akhirnya rakyat mengangkat pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatullah Mukminin pada 14 Maret 1862 M. Tanggal tersebut tepat sebelas hari peristiwa pembuangan pangeran Hidayat. Pada saat itu pula pangeran Antasari memproklamasikan suatu pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang dirampas Belanda, dan beribu kota di Teweh[8]. Namun pada tanggal 11 Oktober 1862, pangeran Antasari meninggal dunia di Hulu Teweh. Maka berakhirnya fase perang Banjar dibawah komando besar pangeran Antasari. 2. Fase setelah meninggalnya pangeran Antasari. Sepeninggal pangeran Antasari, perjuangan masyarakat Banjar dalam menghadapi kekuatan Belanda masih terus berlanjut. Perjuangan itu dipelopori oleh keturunan pangeran Antasari dan juga beberapa tokoh lainnya. Diantaranya adalah Muhammad Seman (Gusti Matseman), Gusti Matsaid, Pangeran Mas Natawijaya, Tumenggung Surapati, Tumenggung Naro, dan Penghulu Rasyid. Pada 17 Februari 1864 M, kiyai Demang Leman meninggal dunia, disusul oleh Haji Buyasin pada 26 Januari 1866. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda terus digencarkan meskipun tidak sebesar perlawanan seperti masa pangeran Antasari. Diantara perlawanan tersebut adalah perlawanan yang dipimpin oleh Tumenggung Surapati pada 25 Desember 1864 M. Mereka menyerang benteng Belanda di Muara Teweh. Namun pada pertempuran di benteng Kawatan, pasukan Surapati mengalami kekalahan. Perlawanan lainnya dipimpin oleh Demang Wangkang di Marabahan. Demang Wangkang menyerang ibu kota Banjarmasin pada 25 November 1870 M. Namun dalam pertempuran ini mereka dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Setelah kekalahan tersebut, pasukan Demang Wangsa tidak kembali ke Marabahan, melainkan mengasingkan diri di Sungai Durrakhman. Namun pada akhir Desember 1870 M, terjadi pertempuran antara mereka dengan Belanda dan mengakibatkan tewasnya Demang Wangkang. Sementara itu, perlawanan di daerah dusun Hulu yang dipimpin oleh Gusti Matseman pada akhir bulan Agustus 1883 melakukan serangan ke pos Belanda di Muara Teweh. Sementara perlawanan di Pahu dipimpin oleh Pangeran Perbatasari. Namun perlawanan ini tidak berjalan lancar. Pangeran Perbatasari akhirnya meninggal dunia. Sementara perjuangan dari Gusti Matseman terus dilanjutkan hingga ia meninggal dunia pada 1905 M. Saat itulah yang menjadi penanda berakhirnya perang Banjar.



C. Akibat dari perang Banjar 1. Politik, yaitu hilangnya kekuatan kerajaan, hilangnya wilayah kekuasaan, runtuhnya kerajaan Banjar. 2. Agama, yaitu misi kristenisasi dari Belanda berjalan. 3. Sosial-ekonomi, yaitu dikuasainya batu bara dan sumber daya alam lainnya oleh Belanda. Secara garis besar, dengan kalahnya pejuang Banjar dalam peperangan ini, menandakan berhasilnya tujuan imperialisme dari Belanda.



BAB III PENUTUP



A. Simpulan Kerajaan Banjar merupakan kerajaan yang sangat berpengaruh di Kalimanta Selatan. Namun invansi Belanda dalam segala aspek kenegaraan membuat masyarakat semakin tidak senang terhadap Belanda, dan akhirnya menimbulkan perang Banjar yang merupakan bentuk perlawanan masyarakat Banjar terhadap Belanda. Perang Banjar memunculkan tokoh pahlawanan yang sampai sekarang masih akan dikenang. Tokoh tersebut adalah pangeran Antasari. Selain itu, ada banyak tokoh lainnya, yang juga terlibat dalam perang Banjar ini. Perang Banjar berlangsung sangat lama. Keadaan pasukan Banajr yang sangat sedehanan ternyata tidak mampu untuk mengalahkan pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Maka dari itu, pada tahun 1906 perang ini akhirnya berakhir. Peperangan tersebut berakibat dalam segala aspek kehidupan masyarakat Banjar, yang terbesar adalah pada aspek politik yang dibuktikan dengan berakhirnya kerajaan Banjar dan invasi Belanda yang semakin meluas. B. Saran Dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penulis mohon kritikan, masukan dan saran demi perbaikan kedepan. Daftar Pustaka PT. Ichtiar Baru Van Hoeven. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Intermasa Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: PN. Balai Pustaka Sjamsuddin, Helius Sjamsuddin. 1997. Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada



MAKALAH



“PERANG BANJAR”



NAMA KELOMPOK VI : RAUDA HASBI RINA



SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS SMA NEGERI 7 KOTA JAMBI 2017/2018