Perang Diponegoro [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERANG DIPONEGORO (1825-1830)



Kelas



: 8.1 SMPN 5 Bekasi.



Nama Anggota Kelompok



:



1. Emma Rahmalia (12) : Narator, Pengikut Diponegoro dan Ratu Ageng. 2. Indah Ayu Lestari (17) : Patih Danurejo ,Aria Prawirodiningrat, Pasukan Belanda dan Pihak Belanda. 3. Ivan Pranata (18) : Sultan Hamengkubuwono IV, Pangeran Diponegoro dan Alibasyah Sentot. 4. Juan Yaseer Alsayed (19) : Smissaert dan Pimpinan Belanda. 5. Nur Akny Sulistya Islamy (25) : Pihak Keraton, Penjaga Keraton dan Rakyat. 6. Verdinand Boas Michael Parestu Sinaga (38) : Daendles dan Jenderal de Kock.



Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa. Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.



Pangeran Diponegoro adalah salah seorang pahlawan Nasional Republik Indonesia. Beliau dilahirkan di Yogyakarta, 11 November 1785 dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Ia meninggal saat di pengasingannya di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun dan dimakamkan juga di Makassar. Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Ini kisah dimana perjuangan Pangeran Diponogero dimulai untuk merebut Indonesia dari tangan Belanda. Pada tanggal 5 Januari 1808, pada waktu penguasaan Daendels terjadi perseteruan antara pihak Belanda dengan Keraton. Deandles



: “Saya ingin pembangunan dari Anyer hingga Panarukan harus dilakukan secepatnya! Pokoknya saya tidak mau tahu, segera bukakan akses untuk melancarkan pembangunan jalan ini!” (Memukul kursi dan menunjuk ke arah luar).



Pihak Keraton



: “Tidak bisa sebelum ada persetejuan dari pihak kami. Pilih saja jalur lain.”



Daendles



: “Bagaimanapun caranya saya mau akses segera dibuka!” (Pergi meninggalkan keraton).



Kedua pihak tidak ada yang mengalah, mereka tetap bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Sri Sultan Hamengkubuwono IV ingin agar adiknya diangkat menjadi penguasa kerajaan Yogyakarta. Hamengkubowono IV



: (Mondar-mandir di dalam kamarnya). “Sistem birokrasi kerajaan mulai kacau. Dengan menaikkan tahta adikku, hal ini akan membantu system birokrasi kerajaan kita.”



Penasehat Keraton



: “Tapi tuan, bagaimana bisa Sri Sultan Hamengkubuwono V dapat memimpin di usia yang masih sangat muda?”



Pada tahun 1823, datanglah Residen Belanda Smissaert. Smissaert



: “Bagaimana jika kerajaan Tuan saya pimpin untuk menggantikan Tuan sampai adik Tuan bertumbuh dewasa?”



Hamengkubowono IV



: (Berpikir sejenak). “Baiklah, namun masih ada harapan dari bagian keraton yang dapat memimpin, keturunan wali, Ia dari Pakualam ialah Diponegoro.”



Smissaert



: (Mendekat dan terlihat marah). “Bagaimana Tuan bisa menolak niat baik saya ini?”



Hamengkubowo IV



: “Baiklah kalau memang tawaranmu itu didasarkan oleh niat baik.”



Smissaert



: “Saya berjanji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat di Kerajaan Yogyakarta, Tuan.”



Namun, setelah beberapa lama memimpin Smissaert tidak menepati janji yang dibuatnya kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IV. Pada kenyataannya, banyak rakyat yang sengsara selama masa kepemimpinannya. Suatu hari, datanglah seorang bangsawan, putra dari Hamengkubuwono III yaitu Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro gusar dan tidak puas dengan kepemimpinan Smissaert yang jauh dari kesejahteraan rakyat. Sejak peristiwa tersebut, pangeran Diponegoro memulai pemberontakannya terhadap Belanda karena menganggap tindakan Belanda sangat merugikan rakyat. (Suatu hari di keraton).



Penjaga Keraton



: (Sedang menyapu halaman keraton dan melihat seorang rakyat yang berpenampilan lusuh). “Maaf kenapa anda duduk di sini? Badanmu kurus seperti seseorang yang kekurangan makanan.”



Rakyat



: “Bagaimana bisa makan? Uang saja tidak punya! Saya rindu akan kepemimpinan Tuan Sri Sultan. Pemimpin dari Belanda itu sangat jauh berbeda dari Tuan kami, pemimpin Belanda itu kejam sekali dan tidak memiliki hati.”



Penjaga Keraton



: “Entahlah, keuangan kerajaan pun mulai mengalami kebangkrutan. Harus memperoleh uang darimana lagi untuk membayar kompensasi. Kita harus mencari siasat. Kita manfaatkan saja Diponegoro, Ia kan memiliki banyak kenalan dengan sesama bangsawan sepertinya.”



Rakyat



: “Kalau itu bisa membantu,lebih baik kita coba saja.”



Datanglah Pihak Keraton ke kediaman Diponegoro dan memohon meminjami Pihak Keraton sejumlah uang untuk membayar kompensasi.



Diponegoro



: “Baik akan saya usahakan, Inshaa Allah ada jalan.”



Kemudian Pangeran Diponegoro meminjam uang dari Kapten Tiong Hoa. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan Keraton. Diponegoro sangat membenci perlakuan dan penguasaan belanda di Nusantara, beliau melihat para rakyatnya menderita.



Diponegoro



: “Mengapa kalian bersedia bekerjasama dengan Belanda dengan memberikan kompensasi penyewaan tanah?”



Patih Danurejo



: “Dengan kami memberi kompensasi tersebut Belanda bersedia mengurusi semua tanah kita.”



Ratu Ageng



: “Benar apa yang dikatakan Patih Danurejo, pihak Belanda membantu kita.”



Pangeran Diponegoro



: “Seharusnya kalian tidak harus berhubungan dengan Belanda. Apa yang kalian lakukan itu membuat rakyat menderita dan keuangan Keraton menjadi bangkrut, karena kompensasi tersebut.”



Ratu Ageng



: “Tapi ini juga menguntungkan bagi kita!”



Pangeran Diponegoro



: ”Memang apa saja keuntungan yang kalian dapat dari Belanda?”



Patih Danurejo



: “Banyak sekali, tetapi tidak bisa kami sebutkan satu persatu , yang jelas kami akan tetap bekerjasama dengan pihak Belanda.”



Setelah konflik itu terjadi, Pangeran Diponegoro berniat menyatakan perang dengan Belanda. Dibalik itu juga, Smissaert memerintah untuk membangun jalan dari Anyer ke Panarukan. Smissaert



: “Perintahkan pada anak buah kita agar pemasangan patok segera dilaksanakan.”



Patih Danu Rejo



: “Baik segera saya laksanakan, tetapi apakah sudah mendapat persetujuan dari Pangeran Diponegoro? Karena pemasangan patok tersebut akan melewati pekarangan Pangeran Diponegoro.”



Smissaert



: “Biarkan saja apa pedulimu padanya, ini demi kelancaran pembangunan!”



Pangeran Diponegoro pun mengetahui akan hal ini, Ia sangat marah karena patok-patok yang dipasang itu melewati makam keluarga Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro marah dan menyuruh rakyat untuk mencabuti patok-patok tersebut. Kemudian Patih Danurejo datang.



Patih danurejo



: “Siapa yang menyuruh kalian mencabuti patok-patok ini? Cepat pasang kembali!”



Pengikut Diponegoro



: (Mencabuti patok-patok dan mengganti dengan tombak sebagai tanda memulai peperangan). “Kami tidak takut akan Belanda! Pangeran Diponegoro sudah meminta pemerintah Belanda secara baik-baik tetapi tetap tidak dihiraukannya.”



Rakyat



: “Tuan bagaimana ini? Kemana kita harus berlindung? Keadaannya semakin sengit dan kita tidak memiliki tempat berlindung, Tuan.”



Diponegoro



: “Mari kita pergi ke Selorong dan bangunlah sebuah goa untuk berlindung.”



Rakyat



: “Siap Tuan, kami akan melaksanakannya demi perjuangan melawan Belanda.”



Kemudian Pangeran Diponegoro menyusun siasat perang merencanakan untu menyerang Keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda. Sebagai Pemimpin Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi Alibasyah Sentot, dan Kyai Maja sebagai pengawas spiritual dalam perang ini. Perang ini semakin meluas hampir diseluruh Jawa. Karena itu Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya.



Jenderal De Kock



: “Kuatkan pasukan kita untuk melawan Diponegoro. Kirim Letkol Clurens ke Tegal dan Pekalongan dan Lerkol Diell ke daerah Banyumas.”



Pasukan Belanda



: “Tetapi kita harus benar-benar memperkuat pasukan. Bagaimana kalau kita meminta bantuan dari pasukan kita yang berada di Sumatra Barat?”



Jenderal De Kock



: “Lakukan saja kalau memang itu yang terbaik.”



Belanda menghancurkan pos-pos pertahanan Pasukan Diponegoro. Kemudian Pos Diponegoro dari Goa Selarong dipindahkan ke Dekso oleh Alibasyah Sentot. Alibasyah Sentot berhasil mengalahkan Belanda di daerah bagian barat. Dan pasukan Diponegoro pun mendapatkan kemenangan. Jendral De Kock



: “Bagaimana kalian ini! Kenapa menghadapi Diponegoro saja tidak bisa! Kalau begini caranya kita bisa habis dalam perang.”



Pasukan Belanda



: “Tapi kami sudah menjalankan siasat yang telah disusun.”



Jendral De Kock



: “Alasan! Akan kubuat strategi Benteng Stelsel.”



Pada tahun 1827 Perlawanan Diponegoro berhasil dikalahkan oleh Belanda. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang tertangkap walaupun perlawanan rakyat masih terjadi. Alibasyah Sentot



: “Serang habis pasukan Belanda, jangan sampai kita mau ditindas.”



Rakyat



: “Siap Tuan!”



Pasukan Belanda mencoba mendekati Alibasyah Sentot untuk berunding , tapi Ia selalu menolak. Pasukan Belanda



: “Bagaimana ini? Apakah kita bisa membuat Sentot menerima ajakan kita?”



Pimpinan Belanda



: “Apakah kita bisa meminta bantuan Aria Prawirodiningrat?”



Pasukan Belanda



: “Mungkin bisa , kami akan meminta bantuan kepadanya.”



Setelah itu pihak Belanda berhasil meminta bantuan Aria Prawirodiningrat. Aria Prawirodiningrat



: “Mengapa tidak kau terima saja rundingan yang akan diadakan oleh Belanda?”



Alibasyah Sentot



: “Untuk apa? Belanda itu musuh kita.”



Aria Prawirodiningrat



: “Yang ku tahu pihak Belanda ingin mengadakan rundingan dengan memberikan banyak keuntungan.”



Alibasyah Sentotpun menerima ajakan untuk berunding. Pihak Belanda



: “Bagaimana Tuan Alibasyah? Apa yang ingin anda pertahankan dan apa yang bisa kami dapatkan?”



Alibasyah Sentot



Pihak Belanda



: “Biarkanlah aku dan pasukan Pangeran Diponegoro berjuang dijalan Allah dan jangan cegah aku untuk melepas sorban ini.” : “Baiklah, akan kami wujudkan .Tetapi setelah perjanjian ini tanggal 24 Oktober 1829 kalian semua harus menyerahkan diri ke Ibu Kota Negeri Yogyakarta”.



Kemudian ditandatanganilah perjanjian Imogiri antara Alibasyah Sentot dengan pihak Belanda. Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Diponegoro merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Pimpinan Belanda



: “Keparat! Kemana Diponegoro pergi? Cari sampai dapat.”



Pasukan Belanda



: “Tidak tahu Tuan. Diponegoro selalu bergerak dari pos satu ke pos yang lain.”



PimpinanBelanda



: “Kita buat saja sayembara.”



Pasukan Belanda



: “Apakah isi sayembara itu? Akan segera kami sebar luaskan.”



Pimpinan Belanda



: “Buat saja pengumuman siapapun yang dapat menyerahkan Diponegoro dalam keadaan Hidup atau mati akan mendapat hadiah 20.000 ringgit.”



Segera pihak Belanda menyebarluaskan sayembara tersebut , tetapi tidak ada satupun yang tertarik. Pihak Belanda berhasil menemukan Diponegoro di daerah Gombong, tipuan dari Belanda berhasil menyerahkan Diponegoro dalam keadaan hidup. Kemudian Ia dikirim ke Semarang dan menuju pelabuhan untuk diasingkan ke Sulawesi Selatan. Hingga Pangeran Diponegoro meninggal di Benteng Belanda yang berada di Makasar yaitu Benteng Fort Rotterdam.