Perikoronitis  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

Perikoronitis [PDF]

PERIKORONITIS 1.1 Definisi Perikoronitis didefinisikan sebagai keradangan pada jaringan lunak mulut sekitar gigi yang me

4 0 240 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE


File loading please wait...
Citation preview

PERIKORONITIS 1.1 Definisi Perikoronitis didefinisikan sebagai keradangan pada jaringan lunak mulut sekitar gigi yang mengalami erupsi sebagian. Perikoronitis didapat dan campuran antara bahasa Latin dan Yunani sebagai berikut: "Peri" bahasa Latin berarti "di sekitar atau sekitar". "Conon" berasal dari kata Yunani yang berarti "Mahkota" dan "Itis" adalah akhiran bahasa Yunani yang berarti "keradangan (Nutt and Mathew 2007, p. 2). Keradangan pada jaringan lunak yang menutupi sebagian mahkota dari gigi yang erupsi sebagian ini dapat mengakibatkan rasa nyeri yang hebat, trauma dapat diperparah oleh gigi lawan. Kondisi ini sering terjadi pada masa erupsi gigi molar tiga pada dewas muda, dan karena infeksi di antara gigi dan jaringan lunak (Marsh and Martin 2009, p. 155).



Gambar 5: Gambaran klinis perikoronitis pada gigi impaksi memperlihatkan gambaran operkulum berwarna kemerahan dan bengkak (Hupp 2008, p. 155).



1



1.2 Etiologi Penyebab umum yang menyebabkan perikoronitis adalah terjebaknya makanan di bawah operkulum. Selama makan, debris makanan dapat berkumpul pada poket antara operkulum dan gigi impaksi. Poket yang tidak bisa dibersihkan mengakibatkan bakteri berkolonisasi. Streptococcus dan beberapa bakteri anaerob lainnya dapat menyebabkan perikoronitis (Hupp 2008, p. 156). Menurut Marsh and Martin (2009, p. 155) bakteri anaerob yang terlibat dalam terjadi nya perikoronitis antara lain Prevotella intermedia, Fusobacterium sp, Actinomycetemcomitans, dan Tannerella forythia. Perikoronitis dapat juga diikuti oleh trauma minor dan molar tiga rahang atas. Jaringan lunak yang menutupi permukaan oklusal dan gigi yang mengalami erupsi sebagian ini mengalami trauma dan menjadi kemerahan sehingga dapat memperparah keradangan (Hupp 2008, p. 156). 1.3 Patogenesis Perikoronitis berawal dari gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi diliputi oleh jaringan lunak yang disebut dengan operkulum. Antara operkulum dengan mahkota gigi yang erupsi sebagian terdapat spasia, bagian dari dental follicle, yang berhubungan dengan rongga mulut melalui celah membentuk pseudopoket (Guiterrez and Perez, 2004). Selama makan, debris makanan dapat berkumpul pada poket antara operkulum dan gigi impaksi. Operkulum tidak dapat dibersihkan dari sisa makanan dengan sempurna sehingga sering mengalami infeksi oleh berbagai macam flora normal rongga mulut, terutama mikroflora subgingiva yang membentuk koloni di celah tersebut. Kebersihan rongga mulut yang kurang, sehingga terdapat akumulasi plak, dapat mendukung berkembangnya koloni bakteri (Bataineh et al, 2003). Menurut Keys dan Bartold (2000) infeksi tersebut dapat bersifat lokal atau dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam dan melibatkan spasia jaringan lunak. Perikoronitis juga diperparah dengan adanya trauma akibat gigi antagonis. Selain itu faktor emosi, merokok, dan infeksi saluran respirasi juga memperparah perikoronitis (Topazian, 2002).



1.4 Gejala 2



Gingiva kemerahan dan bengkak di regio gigi yang erupsi sebagian, rasa sakit pada waktu mengunyah makanan, merupakan gejala klinis yang sering ditemukan pada penderita perikoronitis (Samsudin dan Mason, 1994). Bau mulut yang tidak enak akibat adanya pus dan meningkatnya suhu tubuh dapat menyertai gejala-gejala klinis yang tersebut di atas. Pada beberapa kasus dapat ditemukan ulkus pada jaringan operkulum yang terinfeksi akibat kontak yang terus menerus dengan gigi antagonis. Apabila perikoronitis tidak diterapi dengan adekuat sehingga infeksi menyebar ke jaringan lunak, dapat timbul gejala klinis yang lebih serius berupa limfadenitis pada kelenjar limfe submandibularis, trismus, demam, lemah, dan bengkak pada sisi yang terinfeksi (Laine et al, 2003) 1.5 Klasifikasi 1.5.1 Klasifikasi Perikoronitis secara klinis diklasifikasikan berdasakan tiga kategori diagnostik: 1.) Perikoronitis akut, 2.) Perikoronitis sub-akut, dan 3.) Perikoronitis kronis. Ketiga klasifikasi mempunyai ciri ciri yang membedakan (Mathew 2007). 1.5.2 Perikoronitis Akut Perikoronitis akut biasa dilaporkan dengan keluhan susah membuka mulut dan nyeri kedua dihubungkan dengan proses inflamasi lokal, penyebaran nyeri melalui beberapa otot, ketidaknyamanan mengunyah dan pembengkakan ekstra oral. Nyeri berhubungan dengan serangan akut yang tajam dan kambuh selama mastikasi, dan terkadang saat tidur. Gejala meliputi limfadenitis pada kelenjar submandibula, dan kelenjar limfe yang dalam, pembengkakan wajah, eritema, edema dan terasa keras selama palpasi pada operkulum gigi molar, malaise, bau mulut, eksudat yang purulen dapat keluar pada palpasi. Demam akan terjadi apabila tidak diobati. Umumnya serangan akut dapat menyebabkan demam dibawah 38,5°C, selulitis, dan ketidaknyamanan (Mathew 2007). Pengobatan perikoronitis tergantung keparahan keradangan, komplikasi sistemik, dan gigi yang terlibat. Pengobatan perikoronitis akut meliputi 1.) Membersihkan area dengan dengan air hangat untuk menghilangkan debris dan 3



eksudat, 2.) mengusapkan daerah radang dengan antiseptik. Antibiotik dapat diresepkan pada kasus tertentu (Takei 2006, p. 707). 1.5.3 Perikoronitis Sub Akut Gejala perikoronitis sub akut biasa dominan akan rasa nyeri dengan inflamasi lokal namun tidak disertai dengan kesulitan membuka mulut. Tidak adanya kesulitan membuka mulut ini terjadi pada tahap akut ke sub akut. Pada tahap ini rahang dan otot kaku. Gejala nyeri yang terjadi biasanya terus menerus, tajam. Tidak seperti serangan akut, penjalaran ke otot yang dalam jarang ditemukan. Tanda umum pada perikoronitis sub akut hampir sama dengan perikoronitis akut, kecuali beberapa hal berikut: demam jarang terjadi, dan limfadenitis hanya terbatas pada kelenjar limfe submandibula. Pada kasus ini, pengobatan diperlukan. Waktu serangan baik akut maupun sub akut tidak lama dan beberapa hari hingga dua minggu (Mathew 2007). 1.5.4 Perikoronitis Kronis Perikoronitis kronis meliputi nyeri ringan hingga sedang yang diawali satu hingga dua hari kemudian menghilang. Hanya ada sedikit tanda mengenai perikoronitis kronis, yaitu adanya nyeri saat ditekan pada kelenjar getah bening, dan maserasi jaringan. Periode kronis mengikuti episode akut yang terjadi sekitar 3-15 bulan (Mathew 2007).



4



1.6 Penatalaksanaan Perikoronitis dapat mengakibatkan infeksi sedang atau bahkan berat sehingga terkadang penderita hams dirawat di rumah sakit. Karena variasi infeksi yang beragam, maka perawatan dan pengobatan perikoronitis pun beragam mulai dan ringan hingga agresif. Pada perikoronitis yang ringan dimana terjadi pembengkakan lokal jaringan lunak dan rasa sakit. Pada beberapa pasien dengan infeksi ringan dapat dilakukan irigasi oleh dokter gigi, maupun irigasi bisa dilakukan sendiri pada pasien di rumah masing-masing (Hupp 2008). Prosedur perawatan awal perikoronitis dapat dilakukan secara mekanik dengan pembersihan pada keseluruhan poket periodontal yang meliputi operkulum dengan menggunakan hidrogen peroksida 3% sebagai larutan irigasi. Hidrogen peroksida tidak hanya menghilangkan bakteri, namun juga dapat mengurangi jumlah bakteri anaerobik dengan cara melepaskan oksigen pada lingkungan anaerobik pada poket. Selain itu larutan salin diberikan melalui syringe untuk mengurangi jumlah bakteri dan membersihkan debris makanan (Hupp 2008). Pasien juga dapat diinstruksikan untuk mendapatkan irigasi dengan air garam hangat atau klorheksidin 0,12% dapat juga mengurangi jumlah bakteri di poket (Edwards and Kanjirath 2010). Pengobatan awal adalah simptomatik untuk membuat pasien merasa nyaman. Setelah dilakukan irigasi, maka pasien diinstrusikan untuk beristirahat di rumah, berkumur dengan air garam hangat pada daerah yang terinfeksi, dan minum banyak cairan untuk menghindari dehidrasi. Antibiotik hams diberikan apabila pasien mengalami demam. Pasien hams kembali lagi keesokan harinya. Kunjungan kedua area hams dibersihkan dan penggunaan instrumen boleh dilakukan, meningkatkan pengetahuan pasien dan membersihkan plak biofilm yang terbentuk. Setelah fase akut berhenti kemudian pasien dievaluasi kembali oleh dokter gigi untuk pengobatan lebih lanjut, pencabutan gigi molar tiga yang mengalami erupsi sebagian sering dilakukan. Apabila gigi dapat dipertahankan maka operkulum dapat diambil dengan tindakan bedah untuk menghasilkan kembali kontur gingiva yang normal (Perry and Beemsterboer 2007). Pada beberapa pasien dengan pembengkakan lokal dan nyeri di wajah, trismus karena otot pengunyahan mengalami inflamasi, demam sedang, maka dokter gigi hams mempertimbangkan penggunaan antibiotik disertai irigasi dan melakukan tindakan pencabutan setelah fase akut reda. Pilihan antibiotik yang umum adalah golongan penisilin, maka apabila pasien mempunyai alergi terhadap penisilin bisa diberikan klindamisin sebagai



5



salah satu alternatif (Hupp 2008). Antibiotika lain yang digunakan menurut Topazian (2002) adalah dengan pemberian amoksisilin (500 mg) Dressing agent adalah penutup luka yang bisa meredakan nyeri, melindungi luka, dan memacu penyembuhan (Harty and Ogston 1995) Alvogyl ® adalah salah satu dressing agent yang umum dipergunakan di kedokteran gigi sebagai pasta pasca ekstraksi, dry socket, dan perikoronitis. (Sheikh et al. 2010). Pada penelitian ini dressing agent yang akan digunakan untuk melihat perubahan jaringan perikorona adalah Alvogyl ® yang diproduksi oleh Septodont Company.



ULKUS DEKUBITUS 6



Ulkus dalam rongga mulut dapat diklasifikasikan menurut etiologinya menjadi ulkus rekuren, ulkus akibat infeksi, ulkus neoplastik, ulkus akibat gangguan hematologik, ulkus dermatologik, ulkus akibat gangguan granulomatosa, ulkus iatrogenik, dan ulkus akibat trauma atau ulkus traumatik. 2.1 Definisi: 1. 2.



ulserasi akibat oklusi arteri atau tekanan yang lama. Terminologi untuk ulkus traumatik dari mukosa oral. 2.2 Etiologi



1.



Trauma mekanik, dapat disebabkan oleh benda asing, malposisi gigi, supraposisi gigi,



sisa akar yang tajam, ataupun perforasi radiks gigi sulung. 2. Trauma kimia 3. Trauma termal 2.3 Lokalisasi Lokasi ulkus dekubitus dapat dimana saja dalam mulut namun paling sering ditemukan pada tepi lateral lidah, mukosa buccal, bibir, dan fossa labioalveolar dan buccalveolar. 2.4 Insidensi 1.



Anak, akibat pergantian gigi sulung oleh gigi tetap terutama incisivus atas, bila gigi 4



dan 5 bawah terjadi ulkus pada mukosa bibir 2. Dewasa, pada tepi corona gigi tajam akibat trauma, gigi yang tumbuh terlalu ke buccal, sisa akar, pinggir cavitas yang dalam akibat karies 3. Orang tua, biasanya trauma disebabkan oleh protesa rahang atas/bawah 2.5 Patofisiologi Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, kalau salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan). Jaringan yang lebih dalam dekat tulang, terutama jaringan otot dengan suplai darah yang baik akan bergeser kearah gradient yang lebih rendah, sementara kulit dipertahankan pada permukaan kontak oleh friksi yang semakin meningkat dengan terdapatnya kelembaban, keadaan ini menyebabkan peregangan dan angggulasi pembuluh darah (mikro sirkulasi) darah yang dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang dalam, ini akan menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit 7



2.6 Dasar Diagnosis Anamnesa Pasien mengeluh nyeri dari ringan sampai berat, bergantung pada kedalaman dan lokasi ulkus di dalam mulut. Pasien mempunyai riwayat trauma :  



Tergigit sendiri saat tidur, berbicara, atau makan Trauma mekanik baik sebab dari ekstra oral (benturan dengan benda lain), maupun



dari intra oral (malposisi gigi)  Trauma kimia, suhu. Gambaran mikroskopis dapat berupa area yang dilingkupi oleh membran fibrinopurulen, terdiri dari sel radang akut dan fibrin. Epitel squamous kompleks dapat mengalami hiperplasi dan daerah atipik. Dasar ulkus disusun oleh jaringan granulasi yang berproliferasi dengan area edema dan sebukan sel radang akut dan kronis. 2.7 Terapi Penatalaksanaan terhadap ulkus bergantung pada penyebab ulkus, ukuran, tingkat keparahan dan lokasinya. Terapi ulkus yang disebabkan oleh trauma secara umum adalah menghilangkan faktor penyebab. Pada ulkus yang disebabkan trauma mekanik atau trauma suhu, biasanya akan sembuh sendiri dalam 10-14 hari. Lesi traumatik pada mukosa oral dapat diatasi dengan menghilangkan faktor penyebab. Trauma kimia dan suhu menyebabkan nyeri yang hebat pada mukosa oral, sehingga memerlukan analgesik selama penyembuhan. Terapi suportif seperti memperbaiki oral higiene dan penggunaan obat kumur sangat disarankan. Modalitas terapi untuk ulkus traumatik adalah :    



Hindari faktor penyebab Gunakan pelindung mulut. Konsumsi diet lunak Kumur dengan NaCl hangat Aplikasi anestesi topikal atau pemberian obat kumur anestetik dapat digunakan untuk



mengurangi rasa nyeri pada lesi. dalam. Rasa nyeri pada lesi dapat dikurangi dengan pemberian obat kumur anestetik. Pemberian antiseptik kumur seperti clorhexidine terbukti dapat mengurangi nyeri walaupun tidak begitu nyata. Antibiotik broad spectrum seperti penisilin dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri terutama jika lesi ulkus parah dan dalam. 8



Bila penyebab ulkus dekubitus adalah gigi maloklusi atau supraposisi, dapat dilakukan ekstraksi gigi penyebab sesuai prosedur tetap sebagai berikut: a. b. c. d.



Anestesi lokal Pencabutan pemberian tampon, digigit selama 1/2 jam antibiotika, analgetika (bila diperlukan)



MOBILITY 3.1 Definisi Merupakan masalah gigi yang ditandai dengan longgarnya gigi akibat penyakit atau lesi pada ginggiva dan tulang yang menyokong gigi. Mobility menyebabkan nyeri akut terutama ketika mengunyah (Samir, 2008). 3.2 Klasifikasi Mobility terdiri dari fisiologis dan patologis 9



Mobility fisiologis: tekanan sedang pada corona dentis yang dikelilingi dengan jaringan yang sehat dan periodontium yang intak, dapat menyebabkan gerakan pada akar terhadap jaringan tulang. Mobility gigi 1mm atau gigi dapat ditekan secara vertical atau gigi dapat diputar dari tempatnya. (Caputo dan Wylie, 2010) 3.3 Etiologi Etiologi mobility patologis: a. 



Penyebaran dari inflamasi/infeksi Inflamasi dari ginggiva atau periodontal menuju ligamentum periodontium



mengakibatkan peningkatan terjadinya mobility b. Hilangnya jaringan pendukung gigi c. Trauma dari oklusi Secara umum dikenal dua bentuk trauma karena oklusi (Strasser, 2009):  Trauma karena oklusi primer Trauma oklusi primer diartikan sebagai cedera atau kerusakan akibat dari tekanan oklusal yang berlebihan yang diterima gigi pada gigi dengan dukungan periodontium yang sehat atau normal.  Trauma karena oklusi sekunder Trauma oklusi sekunder diartikan sebagai cedera atau kerusakan akibat dari tekanan oklusal yang normal yang diterima gigi pada gigi dengan dukungan periodontium yang inadekuat atau lemah. d. Kehamilan  akibat hormonal e. Proses patologis dari mandibular yang merusak tulang alveolar f. Pembedahan periodontal g. Penyakit sistemik: Diabetes mellitus (anonymous, 2010) 3.4 Patogenesis Dua faktor utama yang berperan dalam mempertahankan posisi gigi yang normal adalah : (1) kesehatan dan tinggi jaringan periodontium yang normal. (2) Tekanan yang mengenai gigi. Tekanan yang mengenai gigi bisa merupakan tekanan dari oklusi atau tekanan dari bibir, pipi dan lidah. 10



Dalam hubungannya dengan tekanan dari oklusi, faktor berikut adalah penting : morfologi gigi dan inklinasi tonjol; adanya komplemen gigi yang lengkap; kecenderungan bermigrasi ke mesial secara fisiologis; keadaan dan lokasi hubungan titik kontak; atrisi proksimal, insisal dan oklusal; inklinasi aksial dari gigi. Perubahan pada salah satu atau beberapa faktor-faktor tersebut akan memulai serangkaian perubahan yang saling berkaitan pada lingkungan dari satu atau sekelompok gigi yang akan menyebabkan migrasi patologis. Migrasi patologis terjadi pada kondisi-kondisi yang melemahkan dukungan periodontal dan/atau meningkat atau dimodifikasinya tekanan yang mengenai gigi. 3.5 Gejala klinis -



Gigi goyang ketika tekanan diberikan pada satu gigi saat mulut terbuka  bidigital



motility Gigi goyang ketika sedang berfungsi  fremitus. Bidigital mobility: memegang gigi menggunakan 2 instrumen atau 1 instrumen dan 1 jari Fremitus(functional mobility): pergerakan dari gigi selama fungsi atau parafungsi. Fremitus dideteksi lebih cepat dibandingkan bidigital mobility dan berhubungan dengan inflamasi dimana terjadi peningkatan hilangnya jaringan penyokong gigi. 3.6 Perawatan mobility Stabilisasi dari gigi yang goyang 2 tipe stabilisasi: -



Permanen  seluruh corona gigi menggunakan splint Sementara (anonymous, 2010).



Indikasi penggunaan splint: Ketika pasien mengalami mobility multipel akibat hilangnya tulang alveolar secara gradual, dan berkurangnya jaringan periodontal. Indikasi yang kedua adalah pasien mengalami mobility gigi disertai dengan nyeri dan rasa tidak nyaman pada gigi yang bersangkutan. Kontraindikasi Splinting tidak direkomendasikan pada pasien dengan stabilitas oklusal dan kondisi periodontal yang sudah tidak apat diperbaiki lagi (Bernal et al, 2002). 11



Penyingkiran faktor inflamasi Berupa terapi bedah dan non bedah, diantaranya: o



Skeling dan penyerutan akar, untuk mengurangi inflamasi, mengurangi keberadaan



mikroba pathogen , dan mengurangi terjadinya perkembangan penyakit. o Penggunaan obat lokal dan sistemik, kontrol dengan penggunaan agen kemoterapi mengubah keadaan flora pathogen dan memperbaiki tanda klinis, penggunaan serat etilen vinil asetat yang mengandung tetrasiklin, lempeng gelatin yang mengandung klorheksidin dan formula polimer minosiklin dapat mengurangi kedalaman sak, perdarahan sewaktu probing dan meningkatkan perlekatan klinis jaringan. o Terapi bedah, untuk memperoleh akses untuk menyingkirkan faktor etiologi mobility, mengurangi kedalamn saku serta perbaikan terhadap jaringan periodontium yang hilang. Penyingkiran penyebab trauma karena oklusi Perawatan terhadap gejala trauma karena oklusi harus dilakukan bersamaan dengan terapi periodontal. Karena penyingkiran tekanan oklusi yang traumatik pada keadaan periodontitis tidak akan membantu mengurangi mobility gigi dan regenerasi tulang alveolar. Perawatannya berupa: o



Penyelarasan oklusal, mampu mengurangi mobility gigi sebesar 18-28% setelah



perawatan selama 30 hari. o Stabilisasi temporer, provisional atau jangka panjang menggunakan alat lepasan atau cekat splin untuk menstabilisasi gigi dan membantu gigi untuk berfungsi normal meskipun jumlah periodontium terbatas. o Pergerakan gigi dengan menggunakan alat ortodonti o Rekonstruksi oklusal o Ekstraksi gigi 12



Apabila mobility yang terjadi tidak memberikan respon terhadap perawatan yang telah dilakukan, gigi tersebut dapat diekstraksi untuk selanjutnya dilakukan perawatan definitif yaitu dengan pembuatan gigi tiruan sebagiam lepasan atau gigi tiuran cekat. Untuk memperoleh hasil perawatan yang maksimal, sejumlah perawatan periodontal pendukung wajib dilakukan. Kontrol plak harian yang efektif serta control berkala harus dilakukan oleh pasien sehingga jaringan periodontium yang sehat dapat diperoleh (J Periodon, 2001).



PERSISTENSI GIGI 4.1 Definisi Persistensi gigi sulung (over retained deciduous teeth) yaitu gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal.. Keadaan ini sering dijumpai pada anak usia 6-12 tahun. 4.2 Etiologi Beberapa faktor penyebab persistensi pada gigi susu yaitu: 1. Resorpsi akar gigi susu yang lambatHal ini bisa dikarekanakan gangguan nutrisi, hormonal atau gigi berlubang besar dengan indikasi perawatan saraf yang tidak dirawat. 2. Posisi abnormal benih gigi tetap / arah tumbuh gigi tetap tidak searah dengan arahtumbuh gigi susu yang akan digantikannya. 3. Ketidakcukupan tempat bagi gigi tetap yang akan tumbuh menggantikan gigi susu. Dengan demikian gigi tetap mengarah kepada tempat yang kosong, bisa di depanatau belakang gigi susunya. 4.3 Penatalaksanaan Pada persistensi gigi susu, dokter gigi akan melakukan pencabutan terhadap gigisusu tersebut. Bila sudah terlihat bertumpuk/ bersusun, segera bawa anak anda kedokter gigi. Tidak disarankan untuk menunggu hingga gigi susu tersebut lebihgoyang lagi atau bahkan hingga tumbuh seluruhnya. Bila segera dilakukan pencabutan, terdapat kemungkinan gigi tetap akan bergerakke posisi ideal (kadang dibantu didorong dengan lidah) jika posisi 13



memungkinkandan tersedia tempat untuk gigi tersebut. Terkadang posisi gigi hanya sedikit berubahdan masih terlihat berjejal, sehingga diperlukan perawatan orthodontic (kawat) untukmerapihkan gigi sekaligus mengembalikan fungsi pengunyahan. Waktu yang tepat untuk perawatan orthodontic berbeda untuk masing –masing kasus. Bila persistensi dibiarkan, dapat menyebabkan gangguan fungsi pengunyahan,gangguan pertumbuhan rahang dan tentunya susunan gigi menjadi tidak estetik.



Daftar Pustaka Perry, D. A., & Beemsterboer, P. Periodontology for the dental hygienist. St. Louis, Mo, Saunders/Elsevier. 2007 Salzmann JA. Orthodontics: Principles and Prevention_ Philadelphia, JB Lippincott Co; 1957: 333-8 Schuurs AHB, alih bahasa Suryo Sutatmi. Dental Pathology. Gajah Mada University Press; 1990: 119-20 Caputo A, Wylie R. Force Generation and reaction within the periodontium. http://www.dent.ucla.edu/pic/member. 2010 Bernal G, Carvajal JC, Muñoz-Viveros CA. A Review of the Clinical Management of Mobile Teeth. J Contemp Dent Pract 2002 November;(3)4:010-022. J Periodon. 2001. The American Academy of Periodontology. Treatment of Plaque induced gingivitis chronic periodontitis and other clinical condition. P: 1790-1800 Samir, 2008.Tooth mobility. http://www.india-dental-care.com/tooth-mobility.html. Anonymous, 2010. Tooth mobility. http://www.docstoc.com/docs/18593987/toothmobility Newman, Takei, et al. 2003. Carranza’s Clinical Periodontology Teenth Edition. New York : Elseiver. Page 546-547 Damle, S G. 2004. Textbook of Pediatric Dentistry Third Edition. New Delhi : Arya (Medi) Publishing House. Page 233 Murray I J. The Prevention Of Dental Disease. rded. New York, Oxford University Press; 1989: 441-7



14



Erna Yenitha Siagian: Beberapa Anomali Yang Disebabkan Persistensi Gigi Serta Perawatannya, 2004.



15