Periodisasi Sejarah Gerakan Mahasiswa (SGM) .-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



PERIODISASI DINAMIKA GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA SEBUAH PENGANTAR Oleh : Dwi Hartanto (Mahasiswa IISIP, Jurusan Ilmu Politik 2009)



I.



PENGANTAR, DEFINISI UMUM TENTANG GERAKAN MAHASISWA



Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Kajian tentang dinamika pergerakan mahasiswa merupakan suatu kajian yang tidak akan terputus, ini sangat menarik. Sungguh suatu kenyataan baik dari perspektif kesejarahan maupun dalam konteks realita kekinian, bahwa dinamika pergerakan mahasiswa telah memberikan fenomena yang berlangsung terusmenerus seolah tidak berujung. Ada saja tindakan yang ditunjukkan oleh pergerakan mahasiswa, yang mengundang berbagai reaksi dan gejolak baik yang positif, maupun negatif. Semuanya itu telah mengundang berbagai kontroversi yang seolah juga tidak berujung. Mahasiswa tetap berjuang dengan berbagai atribut yang diembannya dan birokrat atau pihak-pihak yang berkepentingan tetap bertahan dengan berbagai keyakinannya. Hal inilah yang kadang tidak membawa penyelesaian yang produktif. Pertanyaan mendasar yang patut kita lontarkan adalah “Mengapa mahasiswa bergerak? Apa sebabnya mahasiswa bergerak?” Serangkaian pertanyaan ini bukan sekedar pertanyaan klise, tetapi dibalik itu semua terkandung suatu makna yang sangat mendalam. Apa dan bagaimana jawabannya, tentu sangat menarik untuk dikaji. Menurut Profesor dan Guru besar Sosiologi Belgia, Ernest Mandel, dalam rangkaian presentasi dan pidato keliling-nya dihadapan 33 Perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver, tanggal 12 September 1968. mengatakan : “Makin terasingnya tenaga kerja intelektual ini, sedikit banyak menggerakkan perlawanan mahasiswa yang, walaupun tidak menduduki posisi sebagai pelopor atau representasi kekuatan Rakyat (seperti Parpol), akan tetapi dia dapat menjadi picu peledak di dalam masyarakat luas. Mahasiswa memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik yang radikal (mendasar) terhadap keadaan masyarakat sekarang, dan tentunya relevan dengan keinginan dan yang dirasakan oleh mayoritas penduduk. Mahasiswa harus berjuang di dalam universitas dan di balik itu untuk masyarakat yang menempatkan pendidikan untuk rakyat di hadapan penumpukan barang (baca, kesenjangan Ekonomi-politik) dan kesewenang-wenangan Penguasa”. (Sumber: Ernest Mandel, Gerakan Mahasiswa Revolusioner,Teori dan Praktik, New York University, 21 September 1968)



Gerakan Mahasiswa juga sering di indentifikasikan sebagai bagian dari Gerakan Sosial (Social Movement), Menurut Ron E. Robert dan Robert Marsh Kloss Definisi Gerakan Sosial yaitu : “Gerakan sosial selalu mengacu pada upaya suatu komunitas dalam mengubah (changing) hubungan kekuasaan (power relation) dan tatanan sosial yang ada (social order). Upaya tersebut merupakan respon atas sejumlah kecenderungan sosial (social tendencies)”. (Sumber: Ron E. Robert and Robert Marsh Kloss, Social Movements: Between the Balcony and Barricade, St.Louis, Missouri: The CV. Mosby Company, 1979)



Kecenderungan sosial yang di identifikasi Roberts and Kloss terdiri atas tiga kategori, yaitu Industrialisasi, Birokratisasi, dan Imperialisme. Masing-masing kecenderungan sosial tersebut membuahkan tipe gerakan sosial yang alasan kemunculan maupun variannya berbeda pula. Kecenderungan social (social tendency). Industrialisasi dan Develelopmentalisme (Pembangunan) dalam suatu masyarakat, melahirkan konflik sosial yang kemunculannya dipicu akibat dampak kontrol utama (methods of control), kecenderungan itu seperti kemiskinan dinamis, kelangkaan sumber daya, dominasi kekuasaan politik, otoritarianisme dan kesenjangan dalam masyarakat. Kecenderungan-kecenderungan ini kemudian memunculkan gerakan Rakyat dengan Varianvarianya, dalam konteks Indonesia manifestasinya berupa Gerakan Fundamentalisme Keagamaan, Gerakan Kesukuan/Kedaerahan, Gerakan Petani, Gerakan Buruh dan tentunya juga dalam hal ini Gerakan Mahasiswa. Berdasarkan kajian literatur ini, gerakan sosial Kemahasiswaan dinyatakan bersifat politik saat mempersoalkan hubungan kekuasaan di tengah masyarakat, dalam struktur kekuasaan yang sedang berlangsung. Maka, devinisi Gerakan Mahasiswa sebagai salah satu Kekuatan Politik di Indonesia, dalam setiap momentum dalam periodisasi perubahan sejarah di Indonesia, merupakan sebuah dinamika Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



1



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



yang tidak terelakan dan terus berlangsung. Baik pada masa lalu, dinamika hari ini, dan mungkin juga perubahan yang akan terjadi dimasa-masa yang akan datang.



II.



DINAMIKA SEJARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA, SEBUAH TINJAUAN HISTORIS.



Immanuel Kant, pernah berkata : “Sejarah bukanlah sesuatu yang pernah terjadi belaka, akan tetapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti”. Maka dalam konteks ini, gerakan mahasiswa telah menggoreskan tinta emasnya sebagai avant garde dalam setiap perubahan yang terjadi dalam tubuh bangsa ini. Topik mengenai sejarah gerakan mahasiswa seolah tak pernah habisnya untuk terus dikaji, begitu fenomenalnya gerakan mahasiswa, sehingga diberikan label yang prestisius sebagai agent of change, agent of control dan berbagai label lainnya.



A. Gerakan Mahasiswa Indonesia di Masa Penjajahan. 1. Latar Belakang Lahirnya Gerakan Pemuda Pelajar(Mahasiswa). Setelah sistem Monarki Absolut di Belanda berhasil di kalahkan oleh kelompok liberal dan digantikan oleh sistem Monarki Parlementer, akhirnya terjadi perubahan pola menjajah di negeri jajahan seperti Indonesia, dengan diterapkannya Politik Etis (Politik Balas Budi) yang memiliki tiga program dasar: Irigasi, Edukasi dan Emigrasi setelah terbitnya sebuah artikel oleh Van Deventer berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gids kemudian gagasan ini dimenangkan oleh Pieter Brooshooft seorang wartawan Koran De Locomotief dan C. van Deventer seorang politikus. Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia lahir akibat dari konsekuensi logis penerapan Politik Etis yang diterapkan Kolonial Belanda dengan mendirikan sekolah-sekolah modern, inilah awal penyuntikan kesadaran baru dan wacana baru yang akhirnya mendorong manusia terjajah (Pribumi) menjadi sadar akan ketertindasannya. Walaupun sekolah-sekolah ini dalam penerimaan siswanya masih diskriminatif hanya dari kalangan anak-anak Priyayi (kalangan pejabat pribumi) saja yang diperbolehkan untuk sekolah. Hasil dari politik Etis ini sebenarnya akan dimanfaatkan oleh fihak kolonial sebagai pasokan tenaga kerja administratif perkebunan dan pegawai pemerintahan yang dapat dibayar murah dan dapat diandalkan, daripada harus membayar tenaga kerja dari Eropa nunjauh disana yang akan memakan biaya sangat mahal. Hasil dari pendidikan politik Etis inilah yang pada akhirnya membawa kesadaran dan wacana baru dikalangan orang-orang yang beruntung dapat masuk kesekolah dan dapat meneruskannya sampai keluar negeri, mahasiswa yang sampai sekolah keluar negerilah yang mengimport teori-teori baru untuk perjuangan Indonesia merdeka, karena mereka yang lebih banyak mengakses buku-buku dan bacaan-bacaan bermutu seperti teori Marxisme, liberalisme, nasionalisme dan sosialisme. Tetapi disatu sisi kelompok masyarakat yang tidak beruntung mengenyam pendidikan khususnya dari kelas bawah(buruh perkebunan, pabrik dan kereta api) prikehidupan mereka sangatlah memprihatinkan, mereka dipaksa bekerja penuh (dieksploitasi) dengan upah yang sedikit,sehingga banyak upah yang mereka terima tidak cukup untuk membiayai hidup mereka sendiri bahkan pada saat itu banyak sekali penyakit yang berjangkitan di masyarakat. Ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan pemuda pelajar(mahasiswa) pertama adalah penyerapan informasi dan bertambahnya wacana baru dari hasil pendidikan modern dan kedua adalah faktor sosial kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan di bawah rezim kolonial yang haus menghisap dan mearmpas hasil jerih-payah rakyat. Faktor inilah yang menggerakkan pemuda pelajar untuk mau berlawan dan melakukan perubahan keadaan yang perih ini. 2. Periode Awal Gerakan Mahasiswa di Indonesia. Untuk pertama kalinya di Hindia-Belanda berdiri perkumpulan Pelajar, bernama Boedi Oetomo (BO), merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA (sekolah Dokter Jawa), wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual, terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya, serta belum memiliki orientasi Politik terhadap kebijakan Pemerintahan Kolonial Belanda. BO Pada konggres pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



2



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Dalam 5 tahun permulaan BO sebagai perkumpulan, keinginan untuk bergerak maju dapat dilakukan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BO maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan kurang lebih 10.000 anggota. Para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, seperti Moh.Yamin, Ahmad Soebardjo, Mohammad Hatta dll yang sedang belajar di Nederland Handel shogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging (IV), yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, sesuai dengan perkembangan, awalnya hanya sebuah pusat kegiatan diskusi, kemudian menjadi wadah yang berorientasi politik secara tegas. Dan terakhir untuk mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI), tahun 1925. Berdirinya IV dan organisasi lain seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Kehadiran BO, Indische Vereeninging dan lain-lain, pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme. Tahun 1915-1930, Merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memiliki dan merumuskan penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme, dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan mahasiswa, guna mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain itu gerakan ini telah melewati masa-masa sulit, kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintahan kolonial yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera terhadap Pemerintahan Belanda, pada tahun 1926-1927 serta pemogokan-pemogokan buruh. (Sumber: Richard Robison, Indonesia: The Rise and Capital, Sidney and Unwin, 1980) 3. Kongres Pemuda 1928.



Serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air, pada pertengahan 1923. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) oleh kaum nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI. 4. Masa Pendudukan Jepang. Organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam, Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini umumnya di pelopori oleh para aktifis muda revolusioner seperti Amir Syarifudin (Perdana Menteri Pertama RI), Muso, Tan Malak dan lain-lain, yang tidak ingin bekerjasam dengan



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



3



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



Facisme jepang, dan membentuk wadah Front Anti-Facis. Amir sempat ditangkap dan di gantung oleh Militer Jepang akibat gerakan perlawanan bawah tanahnya. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno seperti PETA, BPUPKI, merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti Facisme Jepang. Suatu jalan keluar yang mencekam, represif dan tidak berorientasi pada massa yang besar seperti sebelumnya. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan. Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa. Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh, Wikana, Sayuti melik dan Soekarni saat itu, terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.



B. Gerakan Mahasiswa Indonesia di Masa Kemerdekaan (Orde Lama) 1. Masa 1945-1950. Merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar, selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI. Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947. 2. Periode Demokrasi Liberal 1950-1959. Demokrasi Liberal ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor, PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan akstivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih aktiv dalam kegitan rekreatif, Hedonisme, perploncoan dan mencari dana saja. 3. Persiapan Pemilu 1955. Gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnnya menjelang pemilu 1955. Pada saat itu berdiri organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke Partai-partai, seperti : 1. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI. 2. Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI. 3. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Partai Masyumi. 4. Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI. 5. Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik. 6. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, dan lain-lain. Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berinisiatif menggalang senat mahasiswa dari berbagai universitas, dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara itu peran militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak akhir 1950-an. Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penanda tanganan kerja sama antara pemuda dan Angkatan Darat tanggal 17 Juni 1957. Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



4



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan dalam aktivitas-aktivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah berhubungan dengan para perwira militer yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas Soekarno. GMNI, CGMI dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu politik. Ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa yang tergabung dengan MMI. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung dan medirikan Majelis Permusywaratan Mahasiswa Indonesia (Mapemi) pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.



C. Gerakan Mahasiswa 66’, Seputar Periode Transisi Perubahan Orde Lama Menuju Orde Baru. Umumnya sangat sedikit Penulisan Literatur maupun makalah gerakan mahasiswa yang mengupas dan menggambarkan secara obyektif situasi Krusial gerakan mahasiswa di masa transisi berakhirnya Orde Lama dan naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan dimasa Orde baru, kalaupun ada umumnya di tulis oleh para Indonesianist (Akademisi dari luar negeri) seperti, Ruth Macvey, Ben Anderson, Richard Robison, George McTurnan Kahin dan lain-lain. Atau akademisi muda yang lahir dalam era Gerakan Reformasi 98’. Menjelang meletusnya Peristiwa 65’, Gerakan Mahasiswa secara umum terpecah menjadi dua kubu : Kubu Pertama merupakan sekutu Angkatan Darat dalam proses transisi kekuasaan politik nasional. Hal ini di awali dengan Implementasi strategi Angkatan Darat guna menghadapi Partai Komunis Indonesia, hal ini diwujudkan dengan merangkul kelompok aktivis mahasiswa antikomunis ke dalam pengaruh mereka, maka berdirilah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Blok Mahasiswa antikomunis ini juga tengah menghadapi masalah akibat agresivitas organ-organ pro-komunis atau pro Sukarno. Kesamaan Isyu common enemy yaitu PKI inilah yang kemudian memperlancar terjalinnya aliansi taktis Angkatan Darat dengan KAMI. Kubu Kedua : Gerakan Mahasiswa Nasionalis-Kerakyatana dan komunis, yang paling berpengaruh adalah CGMI, yang bersama-sama dengan GMNI, GERMINDO dan PERHIMI, aktif melakukan manuver politik anti imperialis Barat di tubuh PPMI. Pasca penemuan jenazah para perwira AD disumur tua Lubang Buaya, Mayor Jenderal Syarif Thayeb (Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) mengumpulkan tokoh-tokoh organisasi mahasiswa anti komunis dirumahnya tanggal 25 Oktober 1965. Melalui mediasi Thayeb, AD tampaknya ingin memanfaatkan konflik ideologis antar organisasi mahasiswa untuk kepentingannya sendiri: Menghantam PKI, dan selanjutnya mengkondisikan peralihan kekuasaan dari Sukarno ke tangan Angkatan Darat. Thayeb mengusulkan dibentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan usul ini disetujui para tokoh mahasiswa. Berdirinya KAMI mereduksi signifikansi peran PPMI, federasi mahasiswa terdahulu yang ditinggalkan organ-organ mahasiswa. KAMI berdiri tanggal 25 Oktober 1966 merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI, PMII, GMKI, Sekber Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas) dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Namun, Angkatan Darat tidak akan mudah mengkooptasi organ-organ mahasiswa jika momentumnya tidak tersedia. Devaluasi mata uang, membumbungnya harga bahan pokok dan bahan bakar, langka dan mahalnya buku-buku teks, kesemrawutan suasana belajar, tentu mengganggu mahasiswa yang kepentingan ‘utamanya’ adalah belajar. Selain itu, ‘chauvinisme’ GMNI dan CGMI berupa tuntutan pemecatan dosen liberal dan staf pengajar asing (Barat) membuat mekanisme perkuliahan di kampus-kampus tidak lagi berjalan lancar. Protes-protes mahasiswa mulai berangsur surut saat konsolidasi awal peralihan kekuasaan politik nasional dari Sukarno ke Soeharto. Sebagai sekutu Angkatan Darat yang loyal, beberapa tokoh



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



5



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



mahasiswa kemudian diintegrasikan ke dalam struktur politik pusat. Tokoh-tokoh KAMI seperti Fahmi Idris, Johnny Simandjuntak, David Napitupulu, Mar’ie Muhammad, Liem Bian Koen, Soegeng Sarjadi, Nono Anwar Makarim, Yozar Anwar, Cosmas Batubara, masuk parlemen. Namun, masuknya sejumlah aktivis mahasiswa ini mengundang kritik dari sesama mereka. Rahman Tolleng yang secara ideologis dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) menyatakan bahwa “Mereka sudah menjadi politisi-politisi tulen, bukan lagi intelegensia yang berjiwa bebas dan merdeka.” Meskipun mengkritik, Rahman Tolleng pun akhirnya masuk ke DPRGR bersamasama dengan Hatta Mustafa, Slamet Sukirnanto, Liem Bian Koen, Cosmas Batubara, Nono Anwar Makarim, Zamroni, Johnny Simandjuntak, Harijadi Darmawan, Jacob Tobing, Mar’ie Muhammad, Rohali Sani, Salam Sumangat, dan David Napitupulu melalui perombakan struktur parlemen bulan Pebruari 1968. Masuk atau tidaknya seorang mahasiswa ke dalam struktur kekuasaan merupakan pilihan politik, dan mulai titik ini, gerakan sosial mahasiswa terlembaga dan harus berkompromi dengan kepentingan politik bernuansa pragmatis. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang didukung oleh PKI. Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabinet pemerintahan Orde Baru. Di masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum tahun 1970-an aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan ini, juga salah satu tokoh yang memiliki kesadaran Populisme dan kritis terhadap AD, yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa idealis setelah masanya, dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini, dia adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI). Eksistensi KAMI yang berangsur-angsur surut dapat dipahami sebab secara genealogis, ia bukan merupakan suatu organisasi kemahasiswaan organis seperti PPMI atau MMI, karena dasar pembentukannya sekedar aliansi taktis yang dibangun Angkatan Darat untuk melakukan counter action atas agresivitas komunis. Partisipasi politik mahasiswa dengan pola ‘show of force’ mulai ditinggalkan, sebagai gantinya mereka mendirikan kembali kelompok-kelompok studi layaknya pada masa sebelum kemerdekaan. Namun, tidak seperti di masa kolonial Belanda di mana kegiatan studi ini diawasi ketat, pada masa konsolidasi Orba, kegiatan yang mereka lakukan cukup leluasa. Pada bulan juli 1968, Soe Hok Hie dan Harry Victor mendirikan Grup Diskusi Universitas Indonesia, Nono Anwar Makarim, Cosmas Batubara, David Napitupulu dan Marsilam Simandjuntak mendirikan Club Diskusi Kita. Di Bandung, pada tanggal 10 Nopember 1968 didirikan Studi Grup Mahasiswa Indonesia. Tokoh-tokoh militer seperti Pangdam Siliwangi Jenderal H.R. Dharsono turut memberi dukungan atas pendirian kelompok studi terakhir ini. Menurut saya penting untuk membaca kembali dinamika dan realitas gerakan mahasiswa 66’, karena sejak saat itulah predikat sebagai Agen perubahan, pelopor perubahan dan pujian-pujian berlebihan disematkan kepada gerakan Mahasiswa yang terkadang memabukan, walaupun dalam realitasnya hal ini lebih banyak merupakan persekutuan skenario Militer di dalam negeri dan sekutu asing yang ingin menerapkan ekonomi pasar yang liberal dan eksploitatif, disamping upaya mengubur kekuatan Nasionalisme-Kerakyatan, yang dimasa lalu merupakan kekuatan utama dalam melawan Kolonialisme dan eksploitasi terhadap Rakyat Indonesia.



D. Gerakan Mahasiswa di Masa Kekuasaan Orde Baru 1. Berawal dari Bulan Madu, Mahasiswa dan Militer Setelah naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan, orientasi kebijakan Politik dan Ekonomi Indonesia mengalamai perubahan drastis dari pada periode pemerintahan sebelumnya. Hal ini ditandai dengan dikeluarkanya UU No.1 tentang PMA tahun 1967. Strategi Developmentalisme, Ekonomi Liberal yang berorientasi Pasar diberlakukan, instrument Investasi asing, bantuan luar negeri dan hutang mulai membanjiri periode awal pemerintahan Orde baru. Paradigma pembangunan dan pertumbuhan Ekonomi (minus pemerataan), menjadi tema sentral sepanjang kekuasaan Soeharta. Sementara itu, hubungan harmonis mahasiswa-militer (pemerintah) tidak berlangsung lama. Sejak tahun 1971, aksi-aksi kritik terhadap penyelenggara baru negara mulai dilancarkan, terutama oleh



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



6



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



generasi baru mahasiswa. Fokus kritik bukan ditujukan terhadap personalitas kekuasaan saja, melainkan strategi pembangunan yang diambil. ‘Kegelisahan’ mahasiswa ini juga diwarnai konflik dua kelompok kepentingan didalam internal pendukung utama Ordebaru, yaitu : Kelompok pertama Mengacu pada peran yang dimainkan Amerika Serikat jauh sebelum peralihan kekuasaan nasional terjadi di tahun 1965. Amerika Serikat telah mem-plot strategi ekonomi versi mereka dengan memakai ‘tangan’ orang-orang Indonesia, orang-orang yang oleh David Ransome disebut Mafia Berkeley. Melalui program beasiswa ke Universitas California dan pendidikan di Sekolah-sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) sejak awal 1960-an, Amerika Serikat berusaha mengintrojeksikan paradigma ekonomi yang berorientasi liberal-kapitalis terhadap para ekonom sipil dan kelompok militer Indonesia. Produk introjeksi tampak dalam serangkaian kebijakan ekonomi propasar dan berstrategi pertumbuhan (minus pemerataan). Para ekonom seperti Sumitro Djojohadikusumo, Emil Salim dan Widjojo Nitisastro adalah ‘Mafia Berkeley’-nya, sementara para jenderal seperti Sumitro, Sutopo Juwono, Sarwo Edhie, dan H.R. Dharsono, sebagai pelindung militernya. Kelompok Kedua, adalah kelompok yang mendukung simbiosis negara dan swasta ke dalam perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia, dan lebih dekat kepada Jepang ketimbang Amerika Serikat. Di kalangan militer terdapat nama-nama seperti Ali Moertopo, Sudjono Hoemardhani, dan Ibnu Sutowo, sementara di kalangan eks-KAMI, David Napitupulu, Zamroni, Cosmas Batubara, serta Liem Bian Kie. Konflik antara kelompok ‘pronegara’ versus ‘propasar’ ini juga dianggap sebagai salah satu pemicu peristiwa Malari 1974. Selain masalah ekonomi, konflik antarkelompok di tubuh AD terjadi pula. Sumitro yang merepresentasikan kubu Hankam berusaha mereduksi peran Aspri (kelompok Ali Moertopo), yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan negara secara ‘tidak kelihatan.’ Sebagai sebuah lembaga, secara struktural Aspri dianggap tidak memiliki garis koordinasi yang jelas dalam struktur resmi ABRI. Di sisi lain, kunjungan Sumitro ke kampus-kampus untuk meredakan protes mahasiswa (kunjungan yang tidak ada hasil), dituduh kelompok Ali Moertopo sebagai upaya kampanye guna menggantikan Soeharto sebagai presiden, melalui peredaran Dokumen Ramadi 1973, yang mensinyalir adanya conditioning kepemimpinan nasional menggantikan Soeharto. 2. Gerakan Mahasiswa 1974 Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 sebaliknya adalah konfrontasi dengan militer. Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti: • Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang. • Menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat. Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD. Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan. Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



7



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



Protes berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden. 3. Gerakan Mahasiswa 1978. Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada. Pada vertikal, suhu politik Indonesia mulai dinamis menjelang Pemilu 1977 dan pemilihan presiden 1978. Sementara itu pada sisi horizontal, di Jakarta terjadi kenaikan tarif bus kota, di Surabaya terjadi penggusuran pedagang kaki lima dan di Bogor terjadi banyak penguasaan tanah masyarakat oleh pejabat. Pasca pelaksanaan Pemilu 1977 (yang dimenangkan Golkar), respon atas pergolakan didaerah dilakukan oleh Dewan-dewan Mahasiswa / Senat-senat Mahasiswa (DM/SM) se-Bandung melalui Gerakan Anti Kebodohan (GAK). Para mahasiswa organisasi intra kampus ini mengkomunikasikan ‘proses pembodohan’ yang dilakukan negara terhadap masyarakat, Kaskopkamtib Laksamana Sudomo menganggap bahwa GAK ini ‘ditunggangi. Akumulasi protes atas kondisi obyektif mengkerucut pada personalitas kekuasaan, Soeharto. Pada tanggal 18 Januari 1978, lima dewan mahasiswa dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Surabaya, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Sumatera Utara menerobos masuk ke kediaman Presiden dan menyerahkan surat yang isinya menuntut agar Soeharto tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai presiden RI untuk periode ke-3, sebab “bila terpilih kembali maka akan terulang peristiwa penggulingan pemerintah seperti yang terjadi pada saat-saat terakhir almarhum Presiden Sukarno”. Pernyataan tersebut memunculkan sikap yang sesungguhnya dari pemerintah atas protes para mahasiswa. Pemerintah sesungguhnya telah bersiaga, terutama sejak dikeluarkannya Pernyataan Sikap Mahasiswa ITB pada tanggal 14 Januari 1978, ditandatangani Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB Heri Akhmadi, Yang menyatakan “Tidak mempercayai lembaga eksekutif termasuk Pimpinan/Presiden Republik Indonesia (Soeharto), lembaga-lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang masih menjalankan tugas secara konstitusional”. Meskipun digerakan oleh lembaga intra kampus, protes-protes mahasiswa 1978 mengindikasikan gerakan politik yang high profile sebab tertuju langsung pada pimpinan ‘kunci’ negara. Laksamana Soedomo selaku Pangkopkamtib, menilai bahwa tindakan para mahasiswa tersebut telah “merongrong” wibawa pemerintah, menimbulkan rasa benci, perpecahan, pertentangan, yang jika terus dibiarkan akan berimbas pada kekacauan di tengah masyarakat. Partisipasi politik mahasiswa itu juga diklasifikasikan pihak Pangkopkamtib menjurus kepada tindakan “subversi.” Reaksi pemerintah atas gerakan ini cukup keras, baik melalui instrumen fisik maupun kebijakan. Pada tanggal 21 Januari 1978 Sudomo melalui Surat keputusan Pangkopkamtib SKEP/02/KOPKAM/I/1978 membekukan kegiatan dewan mahasiswa universitas/perguruan tinggi/institut. Tindakan ini disertai serangkaian pendudukan kampus (misalnya 25 Pebruari 1978 kampus Universitas Gadjah Mada jatuh ke tangan tentara), penangkapan atas pemimpinnya, pembreidelan surat kabar umum dan mahasiswa, serta tindak pengucilan pemerintah atas empat jenderal yaitu H.R. Dharsono, Kemal Idris, Ali Sadikin, dan Abdul Haris Nasution yang dianggap memprovokasi protes mahasiswa sepanjang tahun 1977-1978. 4. Era NKK/BKK Yang Mencekam Gerakan Mahasiswa Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



8



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan. Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat. Depolitisasi mahasiswa semakin efektif dengan pemberlakuan Sistem Kredit Semester (SKS) yang membatasi waktu studi mahasiswa hingga misalnya untuk mahasiswa Strata I--- adalah selama tujuh tahun. Dengan SKS ini maka mahasiswa tidak dapat lagi mengambil ‘cuti panjang’ untuk terlibat dalam kegiatan politik seperti di masa Dewan Mahasiswa, oleh sebab masa cuti di bawah SKS termasuk ke dalam batas waktu maksimal studi yang tujuh tahun itu. Selain SKS, mahasiswa tersita waktunya hanya untuk belajar, yang diindikasikan oleh sistem Indeks Prestasi (IP) dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), di mana kumulasi SKS yang ditempuh seorang mahasiswa amat mempengaruhi perizinan atasnya untuk menempuh mata kuliah tertentu atau menulis proposal skripsi. Jika pun organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII (dikenal sebagai Kelompok Cipayung) kemudian akan dipilih sebagai alternatif partisipasi mahasiswa aktivis, tetapi organisasi-organisasi tersebut telah ‘dikorporatisasi’ negara ke dalam Kementerian Pemuda dan Olahraga (Belakangan dilebur ke dalam wadah tunggal KNPI), di mana pembinaan terhadap mereka bukan dilakukan oleh pihak kampus melainkan oleh kementerian lain. Menurut logika NKK/BKK, seperti yang tercantum didalam penjelasan Daoed Joesoef, maka ketika seorang mahasiswa bergabung kedalam ormas-ormas tersebut, status kemahasiswaan harus ditinggalkan menjadi pemuda. Dalam implementasi NKK/BKK, kekuatan militer juga ikut andil di dalam melakukan pengawasan (supervising). Gayatri menulis bahwa “pada setiap Korem, seorang petugas secara khusus ditempatkan di dalam universitas-universitas, dan secara langsung menerima laporan, bahkan lewat telepon, melalui wakil Rektor atau Pembantu Rektor III pada setiap kegiatan mahasiswa yang ada di lingkup wewenangnya.” Dalam situasi ini, mahasiswa berhasil dibuat seperti berada di dalam Aquarium besar (dirumah kaca-kan), dimana setiap pergerakan dan aktifitasnya, yang paling terkecil sekalipun dapat dipantau dan diamati oleh Militer dan penguasa pada saat itu. Kondisi ini juga dialami oleh seluruh gerakan rakyat yang kritis terhadap Orde Baru, dalam jangka waktu yang relatif panjang, sampai menjelang tumbangnya Rezim Orde Baru tahun 1998, mahasiswa mulai sedikit memiliki kebebasan akibat kebijakan NKK/BKK tersebut. 5. Gerakan Mahasiswa 80-an dan 90-an, Lahirnya Kelompok Studi, Komite Aksi, Pers Mahasiswa serta Munculnya LSM. Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan represif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus. Secara keseluruhan, karakter umum aktivis mahasiswa di sejumlah metode gerakan dapat disebut sebagai: Komite aksi bercorak radikal, pers mahasiswa bercorak liberal, dan kelompok studi bercorak moderat. Tipikal ini tidak persis sama di kenyataan, tetapi dapat dipergunakan sebagi type ideal guna mendekati watak ketiga kelompok ini. Tiga bentuk penyaluran aktivitas politik mahasiswa di atas merupakan trikotomi gerakan mahasiswa pasca NKK. Namun, trikotomi tersebut dapat ditambah satu bentuk lagi yaitu aktivitas di LSM. Cukup riskan untuk menganggap aktivitas mahasiswa di dalam LSM sebagai bahan kajian atas gerakan mahasiswa oleh sebab bentuk keorganisasian ini tidak secara penuh dianggotai mahasiswa melainkan juga kalangan profesional. Namun sejumlah literatur yang membahas fenomena gerakan mahasiswa kerap menyinggung bentuk aktivitas ini.



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



9



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



Komite Aksi, mirip dengan metode konvensional gerakan mahasiswa 1974 dan 1978 dalam hal metode lapangannya. Namun, mereka berbeda dalam hal aliansi dan pengangkatan isu. Gerakan mahasiswa 1974 dan 1978 menjaga eksklusivitas partisipan hanya di kalangan berstatus mahasiswa, sementara kelompok aksi yang tumbuh marak di penghujung 1980-an menjalin aliansi yang begitu dekat dengan Rakyat, mereka kerap menginap di wilayah konflik, dan kerap membawa Rakyat (secara fisik) ke institusi-institusi negara yang dianggap bertanggung jawab terhadap munculnya konflik. Dalam hal pengangkatan isu, gerakan mahasiswa 1974 dan 1978 terfokus pada high politics seperti strategi pembangunan nasional atau masalah jabatan presiden, sementara kelompok aksi lebih mempersoalkan masalah-masalah yang langsung dirasakan masyarakat ‘bawah’ seperti penggusuran tanpa ganti rugi atau kekerasan aparatur negara atas mereka, dan gerakan ini memiliki watak Polulisme atau Kerakyatan. Tercatat banyak sekali aksi-aksi Solidaritas yang di galang pada saat itu, sampai menjelang jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, seperti Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO), Komite Mahasiswa Penurunan Tarif Listrik (KMPTL), Solidaritas untuk Petani Badega, Pencabutan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), Aksi Penolakan Helm di Makasar, Aksi Menolak Pembredelan Tempo, Editor dan Detik. Aksi bersama Mahasiswa dan Buruh dalam bentuk Advokasi dan Pemogokan 15.000 buruh Great Rivers Industri (GRI) di Bogor, 10.000 Buruh Sri Tex di Solo dan 20.000 di Surabaya, dan lain-lain. Pers Mahasiswa. Pers Mahasiswa dapat dipandang sebagai counter mahasiswa atas hegemoni negara dalam bidang informasi. Melalui pers mahasiswa, isu-isu sensitif yang enggan diekspos pers resmi dapat dipublikasikan. Selain itu, pers mahasiswa berperan sebagai media penyambung informasi antar kelompok aktivis, baik yang ada di kelompok studi maupun komite aksi. Pembreidelan atas sejumlah terbitan pers mahasiswa mendorong munculnya solidaritas aktivis pers mahasiswa dengan aktivis kelompok aksi yang juga sering menemui represivitas negara dalam aktivitas protesnya. Secara umum, watak perlawanan aktivis pers kampus hampir sama dengan yang terdapat di kelompok aksi. Perbedaan antara mereka adalah, aktivis pers mahasiswa mengedepankan aksi informasi, sementara aktivis komite aksi mengedepankan pola ‘aksi jalanan’. Karakter mereka dipersatukan oleh perasaan ‘ketertindasan’ yang sama di dalam menghadapi otoritarianisme politik Orde Baru. Kelompok Study, Irine H. Gayatri, mendefinisikan Kelompok Studi sebagai “suatu bentuk kegiatan sekelompok mahasiswa di luar kampus yang masih tetap mempertahankan posisi mahasiswa sebagai pelaku utama dan sekaligus kelompok sasaran yang dituju, dengan penekanan pada intelektualisme, khususnya pengkajian pada masalah-masalah teoritis.” Teori-teori yang dipelajari di kelompok studi cukup bervariasi, tetapi seluruhnya dapat dikategorisasi sebagai bersifat ‘kritis’. Teori-teori ketergantungan Andre Gunder-Frank, pendidikan pembebasan Paulo Freire, counter-hegemony Antonio Gramsci, kritik struktural kapitalisme dari para teoritisi neomarxis Mazhab Frankfurt (Herbert Marcuse, Jurgen Habermas), bahkan kehidupan tokoh demonstran ‘legendaris’ Indonesia Soe Hok Gie atau komunis ‘misterius’ seperti Tan Malaka, banyak dibahas dalam kelompok-kelompok diskusi ini. LSM, Salah satu manifestasi kekuatan politik di tingkat masyarakat sipil awal 1990-an adalah LSM. Mansour Fakih menjelaskan tiga paradigma LSM di Indonesia, yaitu Konformisme, Reformis, dan Transformatif. LSM Konformisme merujuk pada aktivis LSM yang melakukan kerja berdasarkan bantuan karitatif, bekerja tanpa teori, berorientasi proyek, serta cenderung menyesuaikan diri kepada sistem dan struktur sosial-politik yang ada. LSM Reformis, yaitu LSM yang mendasarkan diri pada teori developmentalisme dan modernisasi. Bagi LSM tipe ini, kesalahan bukan berasal dari basis ideologi pembangunan ekonomi Indonesia (pendekatan liberal ekonomi) melainkan implementasinya di lapangan. Mereka menyebut bahwa corak partisipatif yang seharusnya dilakukan dalam implementasi kebijakan tertutup oleh bias topdown kebijakan. Mereka juga menjadi fasilitator dalam untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat agar menjadi “lebih modern.” Struktur kelas, eksploitasi atas dunia ketiga, dan hegemoni negara atas masyarakat sipil belum disentuh oleh LSM bertipe Reformis ini. LSM Transformatif justru mempertanyakan basis ideologis hubungan negara-masyarakat sipil. LSM jenis ini menganggap bahwa inti masalah kemasyarakatan adalah diskursus pembangunan maupun struktur masyarakat yang timpang. Mereka menganggap bahwa ‘rakyat’ adalah pusat perubahan yang sebab itu mutlak harus ditransformasi terlebih dahulu cara berpikirnya. Khusus mengenai LSM Transformatif versi Fakih ini, cukup paralel dengan kategorisasi LSM versi Anders Uhlin yang ia sebut ‘Generasi Baru LSM Prodemokrasi dan Hak Asasi Manusia’. Terbentuknya LSM generasi baru ini banyak dipengaruhi bergabungnya bekas aktivis mahasiswa yang menjadi anggota inti organisasi.



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



10



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



Atmosfir gerakan mahasiswa tahun 80-an dan tahun 90-an tampaknya lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsurunsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun atmosfir tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya. Aksi demonstrasi Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) di depan Gedung DPR/MPR 1993, FAMI menuntut DPR/MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto atas masalah-masalah kemasyarakatan yang terjadi. Spesifikasi isu yang mereka angkat adalah “Seret Presiden RI ke Sidang Istimewa MPR-RI”, “Pendekatan Keamanan = Pembantaian”, dan “Holakul Yaqin, Rakyat Tidak Butuh Lapangan Golf” Tahun 1990-an, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasuskasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Inndonesia untuk Demokrasi (SMID), yang merupakan penggabungan dari berbagai Organ mahasiswa tinggkat kota/lokal di Indonesia, seperti Solidaritas Mahasiswa Jakarta (SMJ), SM Yogyakarta, SM Semarang, SM Solo, Salatiga, Surabaya, Medan, Makasar, Palu, Manado dan lain-lain. Kader-kader SMID banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, Kaum Miskin Kota, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, Kausus Petani Kaneyan, Aksi bersama Mahasiswa dan Buruh dalam bentuk Advokasi dan Pemogokan 15.000 buruh Great Rivers Industri (GRI) di Bogor, 10.000 Buruh Sri Tex di Solo dan 20.000 di Surabaya, Peringatan Mayday, Hari Ham Internasional, dan lain-lain. SMID tercatat merupakan organisasi Mahasiswa Kerakyatan yang radikal menjelang jatuhnya Soeharto, Organisasi kemahasiswaan ini pada akhirnya mampu membidani lahirnya organisasiorganisasi rakyat yang independent, lepas dari kooptasi kepentingan Penguasa, yaitu Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Serikat rakyat Indonesia (SRI), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER) dan Menyatukan gerakan rakyat dengan gerakan mahasiswa pada saat itu dalam wadah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dalam aktifitasnya menjelang lahirnya gerakan 98’, Aktifis-aktifis SMID dan PRD menuntut di cabutnya Paket 5 UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI, sehingga kader-kader SMID dan PRD banyak yang diculik, dibunuh dan di tangkap oleh Rejim Orde Baru. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim Orba semakin besar, sentimen anti Soeharto semakin meningkat, situasi inilah yang kemudian menjadi pembukan gerakan Mahasiswa dan Rakyat yang begitu membesar dan serentak terjadi diseluruh Indonesia.



E. Gerakan Mahasiswa dan Reformasi 1998 Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi sebagai akibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Pada saat krisis tersebut, justru gerakan mahasiswa mulai mersepon, dengan kelahiran dan munculnya banyak sekali organisasi-organisasi independent dalam tubuh gerakan Mahasiswa (bak jamur dimusim hujan), hampir di semua kota-kota di Indonesia seperti : Di Jakarta, Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Komite Mahasiswa dan rakyat untuk Demokrasi (KOMRAD), KB-UI, Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek (FORKOT/Forum Kota), Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (FAMRED) Front Nasional, Front Jakarta dan lain-lain. Di Bandung, lahir Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan (GMIP). Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung (FKMB), Front Indonesia Muda Bandung (FIM-B) dll. Di Jogjakarat, Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP). Di Solo, Solidaritas Mahasiwa Peduli Rakyat (SMPR), Dewan Reformasi Mahasiswa Surakarta (DRMS), Di Surabaya, Arek Pro Reformasi (APR), Arek Surabaya Pro Reformasi (ASPR). Di Purwokerto, Forum Aksi Mahasiswa Purwokerto untuk Reformasi (FAMPR), Di Medan, Dewan Mahasiswa untuk Demokrasi (DEMUD), Lampung, KMPPRL dan lain-lain. Gerakan 1998 menuntut Reformasi Total dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme), Turunkan Soeharto, Turunkan Harga dan Pencabutan Paket 5 UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI.



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



11



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik sebelumnya, bahwa perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif, hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya, posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, membuat Poster, selebaran, pamflet, terbitan, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru dan menggairahkan saat itu. Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis mahasiswa sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan diberbagai kampus2 di Indonesia (Trisakti, Univ Juanda, UGM, UI-Guna Darma, IISIP, Unas, IIKIP Jakarta dll). Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang manifestasinya dilakukan dalam bentuk kerusuhan masal, penyerangan pos-pos polisi dan tentara, pembakaran Mobil dll, sementara masa tak di kenal yang di gerakan oleh operasi Inteligent Soeharta (Kopasus dan BIA) justru memprovokasi dan melakukan tindakan kontra produktif dengan melakukan pengrusakan, penjarahan toko-toko ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur. Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat membentuk komite-komite rakyat untuk bersama-sama menumbangkan Rejim Orba dan kaki tanganya. Propagandapropaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto, cabut 5 UU Politik dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik. Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah, gagap dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan belum tuntasnya agenda-agenda Reformasi Total (baca Revolusi Nasional), hingga hari ini.



F. Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi Setelah Soeharto dilengserkan yang menggantikannya ialah BJ. Habibie yang notabene sebagai Wakil President saat itu, Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban jiwa dari pihak mahasiswa dan massa rakyat. Pasca 98, Organisasi-organisasi Mahasiswa mulai melakukan konsolidasi secara nasional, pada tanggal 28 Februari - 5 Maret 1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh 53 organisasi dari seluruh Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13 April di kota-kota besar Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di Surabaya yang mengalami jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun RMNI I &II tersebut tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan mahasiswa. Perdebatan yang terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999. Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi. Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda RUU tersebut. Tanggal 20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Pemerintahan GusDur-Mega terbukti ternyata tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang membuat



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



12



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan Pemerintahan GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas terhadap kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer. Namun disatu sisi ternyata GusDur yang masih bersifat setengah hati dalam menegakkan demokratisasi di Indonesia, mencoba menarik simpati dengan menyingkirkan elit politik pendukung Orba dan militer yang pada saat Pemilu telah mendukungnya. Tentu hal ini berakibat pada munculnya konflik diinternal kabinet Gus Dur. Elit-elit politik yang disingkirkan GusDur menggunakan berbagai macam cara baik itu intra maupun ekstra parlementer dalam rangka mendelegitimasi Pemerintahan GusDur. Gerakan mahasiswa yang ada saat itu tidak luput dari intervensi kepentingan para elit politik. Akibatnya terjadi polarisasi antara gerakan yang pro GusDur dengan yang anti terhadap GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang terjebak dalam polemik ini adalah kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM]. Diantaranya yang cukup dominan melakukan aksi-aksi massa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM-SI), HMI, KAMMI yang melakukan penolakan terhadap GusDur lewat isu seperti Buloggate, dan mengusulkan segera dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR. Golongan Kedua adalah yang menamakan diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia (BEMI) dan PMII dengan aksiaksi mendukung GusDur. Saat inilah mahasiswa mengalami ketidak fokusan isu dan terjebak kembali masuk dalam konflik elite kekuasaan. Namun demikian ada golongan diluar itu yang melihat bahwa ada usaha permainan politik oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes dalam partai Golkar serta Militer dibalik ini semua. Analisa ini datang dari golongan gerakan ekstra parlementer seperti LMND, FORKOT, KAMTRI, FAMRED dan lain-lain. Golongan yang terakhir ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi propaganda bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah pro-kontra GusDur melainkan adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan Parlemen. Namun lewat upaya-upaya licik dari elit politik gadungan –GusDur termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih esensial ini menjadi kabur dan berakhir dengan kejatuhan GusDur. Lewat mekanisme undang-undang politik yang ada dipilihlah Wakil Presiden pada saat itu, Megawati untuk menggantikan Gus Dur. Pemerintahan yang baru ini segera melakukan reshuffle kabinet dalam rangka melakukan power sharing dengan elit-elit politik lainya seperti PAN, PPP, PBB, GOLKAR, serta militer. Format baru ini telah membentuk sebuah Pemerintahan baru Mega dan Hamzah Haz sebagai wakilnya. Dimasa Pemerintahan SBY - JK yang sejak awal menitik beratkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen. Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran politis adalah konkretisasi kepeloporan yang dimaksud.



KESIMPULAN DAN PENUTUP Dari perjalanan gerakan mahasiswa dari masa ke masa ada persamaan ciri dari gerakan mahasiswa angkatan 98 dengan gerakan mahasiswa angkatan lainnya, yaitu : • Sebagai Motor penggerak Pembaharuan. • Kepedulian dan Keberpihakan terhadap rakyat Dalam banyak hal, Aktifis gerakan Mahasiswa 98’ memiliki kemiripan dengan aktifis gerakan mahasiswa 66’ yang sebagian terserap masuk kedalam kekuasaan. Dulu mereka kritis dan Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



13



Periodisasi Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia



menggugat ORBA, tapi sekarang duduk dan bergabung dalam lingkaran Kekuasaan. Inilah suatu realitas perpolitikan di Indonesia. Saat ini banyak sekali mantan aktifis 98’ yang masuk dalam lingkaran kekuasaan seperti Elit Politik seperti menjadi Pimpinan elit parpol, anggota DRP RI dan DRPD, staf ahli Presiden, Staf ahli Menteri, Kepala daerah, Komisaris BUMN dan lain-lain. Sedangkan perbedaan yang mencolok adalah, penyikapan isu yang tidak sentral lagi, karena REFORMASI TOTAL belum tuntas dan aktivis angkatan 98 sudah melepas statusnya sebagai mahasiswa, serta mereka sudah tidak seidealis lagi ketika waktu masih menjadi mahasiswa dalam menyikapi persolan bangsa, mereka sekarang sudah terjun kedalam dunia politik praktis dan tersebar di banyak partai pemilu 2004. Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struk¬tural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya. Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah akan bermakna di dalam organisasi, jika mahasiswa ditempa dan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya. 2. Pemihakan pada rakyat dan kelas pekerja. 3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah organisasi, massa, kaderisasi dan pendidikan. 4. Mampu membongkar secara Kritis, Ilmiah dan Radikal akar persoalan yang di hadapi Rakyat, dan secara aktif berpartisi memberikan solusi dan jalan keluar menuju kehidupan yang lebih baik. 5. Memiliki sikap dan tindakan Bersolidaritas terhadap kondisi kehidupan rakyat banyak. Ketiga syarat tersebut mencerminkan: 1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa. 2. Metodologi gerakan mahasiswa. 3. Strukturalisasi sumber daya manusia, Logistik dan Kemandirian gerakan mahasiswa, serta 4. Orientasi program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis dan taktis.



Tugas Makalah Perkuliahan, KKPI.



14