Perkasal Nomor 32 Tahun 2009 TTG Protap Kamla [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TENTARA NASIONAL INDONESIA MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT



Lampiran Peraturan Kasal Nomor Perkasal/ 32 /V/2009 Tanggal 4 Mei 2009



PROSEDUR TETAP PENEGAKAN HUKUM DAN PENJAGAAN KEAMANAN DI WILAYAH LAUT YURISDIKSI NASIONAL OLEH TNI AL



BAB I PENDAHULUAN



1.



Umum. a. Secara universal Angkatan Laut mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan Angkatan Laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional, memelihara keamanan di laut serta mendukung pembangunan bangsa. b. Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 secara yuridis formal memberikan kewenangan penegakan hukum bagi kapal perang terhadap berbagai bentuk tindak pidana yang dilakukan di dan atau lewat laut, terutama kejahatan yang bersifat trans nasional. Di samping itu dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional juga memberikan kewenangan kepada TNI AL sebagai pelaksana penegakan hukum dan menjaga keamanan di laut. c. Di dalam Undang-UndangNomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia memberikan tugas kepada TNI Angkatan Laut sebagai penegak hukum dan menjaga keamanan di laut sebagaimana tercantum pada pasal 9. Adapun salah satu bagian dari upaya penegakan hukum di dan atau lewat laut adalah kegiatan penyidikan, agar kemampuan tersebut dapat dilaksanakan secara profesional dan proporsional diperlukan suatu Prosedur Tetap (Protap) tentang langkah-langkah Penegakan hukum dan Penjagaan keamanan diwilayah laut yurisdiksi nasional oleh TNI Angkatan Laut. Sehubungan dengan adanya perubahan peraturan perundangundangan nasional yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana di laut dan semakin meningkatnya kualitas, kuantitas dan jenis tindak pidana di laut, maka diperlukan revisi terhadap Protap tentang penanganan terhadap tindak pidana di laut.



2.



Maksud dan Tujuan. a. Maksud. Protap Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional oleh TNI AL ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi unsur operasional dan Pangkalan TNI AL dalam menangani setiap tindak pidana di laut.



2



b. Tujuan. Protap Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional oleh TNI AL bertujuan untuk memberikan keseragaman dan kepastian hukum bagi Penyidik TNI AL dalam menangani tindak pidana di laut secara profesional dan proporsional sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional maupun Hukum Nasional.



3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Ruang lingkup Protap ini meliputi langkah-langkah penegakan hukum dan penjagaan keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional yang dilaksanakan oleh KRI/KAL maupun Pangkalan TNI AL, mulai dari tindakan pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan, dengan tata urut sebagai berikut: a.



Bab I Pendahuluan.



b.



Bab II Ketentuan Umum.



c. Bab III Dasar Kewenangan TNI AL dalam Penegakan Hukumdan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional. d.



Bab IV Tindak Pidana di Laut.



e.



Bab V Prosedur Pelaksanaan Penindakan.



f. Bab VIPenerimaan dan Penyerahan Perkara dari/kepada Pihak/Instansi di luar TNI AL. g.



Bab VIIPenutup.



BAB II KETENTUAN UMUM



4.



Pengertian Umum. a. Penegakan hukum dilaut adalah segala kegiatan yang dilaksanakan oleh TNI AL dalam rangka menegakkan hukum dan menjaga keamanan di laut. b. Pengejaran adalah proses dan upaya untuk menghentikan dan menangkap pelaku yang patut di duga melakukan tindak pidana dan melarikan diri. c. Penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau kapal apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh undangundang. d. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang tertentu.



3



e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik sesuai KUHAP dan ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang tertentu dan ditujukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. f. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktiandalampenyidikan, penuntutan dan peradilan. Benda yang dapat disita adalah benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan atau berhubungan dengan suatu tindak pidana, dan atau hasil dari suatu tindak pidana, benda tersebut dapat berupa antara lain speed boat, kapal, dokumen-dokumen, ikan, kayu, dll. g. Penggeledahan adalah tindakan penyidik untuk menaiki dan memasuki kapal, kendaraan air, instalasi dan bangunan di laut, badan dan atau pakaian tersangka serta tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dan undang-undang tertentu lainnya. h. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang dan atau kapal pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras digunakan untuk melakukan tindak pidana atau hasil dari tindak pidana. i. Penahanan adalah penempatan tersangka pada tempat tertentu oleh penyidik dengan penetapannya (surat perintah), dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. j. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan Undang-Undang kepada penyidik yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. k. Laporan Kejadian adalah laporan yang dibuat oleh Perwira Jaga tentang telah atau sedang terjadinya suatu tindak pidana dan diserahkan kepada penyidik yang berwenang. l. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri. m. Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sebagai contohnya ahli dibidang mutu/kualitas ikan, jenis/mutu kayu dll. n. Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara) adalah tempat penyimpanan barang bukti baik dalam tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan pengadilan. Apabila di suatu daerah tidak ada Rupbasan maka barang bukti tersebut dapat disimpan menurut sifat dan jenisnya sehingga tempat tersebut sebagai Rupbasan sementara. o. Illegal adalah suatu tindakan/kegiatan yang tidak sah, tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertentangan dengan hukum.



4



5. Zona Yurisdiksi dalam Hukum Laut Internasional. Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) zona yurisdiksi dalam hukum laut terbagi atas: a.



Perairan Pedalaman.



b.



Perairan Kepulauan.



c.



Laut Teritorial.



d.



Zona Tambahan.



e.



ZEE.



f.



Landas Kontinen.



g.



Laut Lepas.



Indonesia sebagai Negara Kepulauan menurut UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 memiliki perairan sebagai berikut: a. Perairan Indonesia (Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial). 1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial. a) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai, teluk dan pelabuhan. b) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. c) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. 2) Kewenangan. Indonesia mempunyai kedaulatan di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta ruang udara di atas perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Semua peraturan perundang-undangan Indonesia diberlakukan sepenuhnya di perairan pedalaman, sedangkan di perairan kepulauan dan laut teritorial pelaksanaannya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan Hukum Laut Internasional dan Hukum Internasional lainnya.



3)



Hak bagi pengguna laut di perairan Indonesia. a)



Hak lintas damai di perairan Indonesia.



5



b)



Hak lintas alur laut kepulauan di ALKI.



c) Hak lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Selat Malaka dan Selat Singapura). d) b.



Hak akses dan komunikasi sesuai perjanjian bilateral.



Zona Tambahan. 1) Zona tambahan adalah zona yang berbatasan dengan laut teritorial yang lebarnya 24 mil laut diukur dari garis pangkal darimanalebar laut teritorial diukur. 2) Kewenangan. Mencegah terjadinya/memproses secara hukum atas pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kepabeanan, fiskal, imigrasi dan sanitasi. 3) Hak bagi pengguna laut. Hakkebebasan pelayaran dan penerbangan serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut.



c.



Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). 1) ZEEI adalah suatu area laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. 2)



Kewenangan: a) Hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati (termasuk usaha perikanan), dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi di zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin. b) Yurisdiksi berkaitan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. c) Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan yurisdiksi di ZEEI antara lain: (1) Melindungi dan mengamankan sumber daya alam hayati maupun non hayati di ZEEI. (2) Melindungi dan mengamankan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi maupun alat-alat lainnya dalam rangka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati maupun non hayati di ZEEI. (3) Mengawasi dan menindak kegiatan penangkapan ikan tanpa izin.



6



(4) Mencegah pencemaran laut. (5)



perbuatan



yang



dapat



menimbulkan



Mencegah riset ilmiah kelautan tanpa izin.



3) Hak bagi pengguna laut. Hak kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut. d.



Landas Kontinen Indonesia. 1) Landas Kontinen Indonesiameliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratnya hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. Batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau hingga jarak 200 mil dalam hal tepi landas kontinen lebarnya kurang dari 200 mil. 2) Kewenangan negara pantai atas Landas Kontinen adalah sebagai berikut: a) Mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi dan eksplorasi sumber kekayaan alam di Landas Kontinen. b) Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur kegiatan dalam rangka mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber kekayaan alam di Landas Kontinen negara pantai tersebut. 3) Hak bagi pengguna laut. Hak kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut.



e.



Laut Lepas. 1) Laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Laut Teritorial, Perairan Kepulauan atau Perairan Pedalaman suatu negara. 2) Kewenangan. Di laut lepas setiap negara harus mencegah, menindak dan bekerjasama untuk menumpas perbuatan-perbuatan yang diatur dalam UNCLOS 1982, meliputi: a)



Perompakan/pembajakan.



b)



Perdagangan manusia.



c)



Penyiaran gelap.



d) e)



Kapal tanpa bendera/kebangsaan. Narkotika dan bahan psikotropika.



f)



Terorisme di laut.



7



3) Hak bagi pengguna laut. Kebebasan di laut lepas meliputi kebebasan berlayar, penerbangan, memasang pipa/kabel di bawah laut, kebebasan membangun pulau buatan/instalasi lainnya, menangkap ikan, kebebasan riset ilmiah kelautan, dengan memperhatikan ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982 dan Hukum Internasional lainnya.



BAB III DASAR KEWENANGAN TNI AL DALAM PENEGAKAN HUKUM DAN PENJAGAAN KEAMANAN DI WILAYAH LAUT YURISDIKSI NASIONAL



6. TZMKO. Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) 1939 Stbl.1939 Nomor 442 Pasal 13 menyatakan bahwa: ”Untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuan–ketentuan dalam ordonansi ini ditugaskan kepada Komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandankomandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari Angkatan Laut”.



7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP penjelasan pasal 17 menyebutkan bahwa: “bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI penyidikan dilakukan oleh perwira TNI AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya”.



8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). DalamPasal 14 ayat (1) memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983.



9.



Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain pasal 107,110, 111 dan 224 UNCLOS 1982.



10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 39 ayat (2)kewenangan penyidik Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan Undang-UndangNomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 11. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentangPerairan Indonesia. Dalam penjelasan pasal 24 ayat (3) Penegakan hukum dilaksanakan oleh instansi terkait antara lain TNI AL, Polri, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian, Departemen



8



Keuangan dan Departemen Kehakiman sesuai dengan wewenang masing-masing instansi tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional.



12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Dalam pasal 40 ayat (5) “Bahwa penyidikan tindak pidana di lingkungan hidup di perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (lihat pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983).



13. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentangPerikanan. Dalam Pasal 73 ayat (1) menyebutkan bahwa “Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”.



14. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam pasal 9 huruf (b) Angkatan Laut bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.



15. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentangPelayaran. Dalam pasal 282 ayat (1) : “Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Adapun dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “penyidik lainnya” adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan dipertegas pada pasal 340 untuk di ZEEI.



16. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam Pasal 7 disebutkan “Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di wilayah Yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”. Dan Pasal 22 disebutkan “Negara Indonesia berhak melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan laut di laut bebas serta dasar laut internasional yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional.



BAB IV TINDAK PIDANA DI LAUT



9



17.



Tindak Pidana dalam TZMKO Stbl. 1939 No. 442. a.



Definisi. 1) Perairan Indonesia adalah perairan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, yaitu perairan yang terdiri dari perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. 2) Lingkungan maritim adalah lingkungan-lingkungan laut yang telah ditunjuk atau akan ditunjuk oleh Presiden pada wilayah tertentu dari wilayah perairan Indonesia.



b. Kualifikasi tindak pidanadan pasal-pasal yang dilanggarmenurut TZMKO Stbl. 1939 No. 442, sebagai berikut: 1) Melakukan pengintaian atau survei Hydrograpy di Perairan Indonesia, melanggar pasal 12 ayat (1) huruf g jo pasal 9 ayat (1) huruf a. 2) Menggambar atau memotret dalam lingkungan maritim, sehingga lingkungan maritim atau sebagian dari itu tampak pada gambar atau potret,melanggar pasal 12 ayat (1) huruf g jo pasal 9 ayat (1) huruf b. 3) Mengumpulkan bahan-bahan keterangan atau petunjuk petunjuk yang berkenaan dengan lingkungan maritim dan yang penting untuk pertahanan, melanggar pasal 12 ayat (1) huruf g jo pasal 9 ayat (1) huruf c. 4) Dengan tanpa hak membuang jangkar/sauh, berlabuh atau tinggal mengambang dengan kapal atau tongkang dalam lingkungan maritim atau Perairan Indonesia, melanggar pasal 12 ayat (1) huruf h jo pasal 10 ayat (1). c.



Penyidik dan Dasar Hukum. 1)



TNI AL dan PPNS (Dephub) berdasarkan pasal 13 ayat (1) TZMKO.



2)



PPNS (Bea Cukai) Pasal 13 ayat (2) TZMKO.



d. Tindakan penyidikan.



18.



yang



diambil:pengejaran,



penangkapan,



penyelidikan



dan



Tindak Pidana Perompakan/Pembajakan di Laut. a. Perompakan/pembajakan adalah setiap tindakan kekerasan/perampasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang atau barang, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal/kapal lain.



b.



Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar: 1) Pembajakan (piracy) di laut lepas melanggar pasal 438 KUHP jo pasal 103 jo pasal 110 jo pasal 105 jo pasal 107 UNCLOS 1982.



10



2)



Pembajakan di pantai (perompakan), melanggar pasal 439 KUHP.



3)



Pembajakan di pesisir, melanggar pasal 440 KUHP.



4)



Pembajakan di sungai, melanggar pasal 441 KUHP.



5) Nakhoda bekerja sebagai/menganjurkan melakukan pembajakan, melanggar pasal 442 KUHP. 6) Bekerja sebagai ABK di kapal yang digunakan untuk pembajak di pantai melanggar pasal 443 KUHP. 7)



Menyerahkan kapal untuk dibajak, melanggar pasal 447 KUHP.



8)



Penumpang merampas kapal, melanggar pasal 448 KUHP.



9)



Nahkoda melarikan kapal dari pemiliknya, melanggar pasal 449 KUHP.



10) Bekerja sebagai nakhoda atau ABK di kapal yang digunakan untuk pembajak, melanggar pasal 450 atau pasal 451 KUHP. c.



Penyidik dan Dasar Hukum. 1)



TNI AL berdasarkan pasal 14 TZMKO jo pasal 110 UNCLOS 1982.



2)



Polri berdasarkan pasal 6 KUHAP.



d. Tindakan yang diambil: pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan (Jarkaplidik).



19. Tindak Pidana Senjata Api dan Bahan Peledak (Undang-Undang Drt. Nomor 12 Tahun 1951). a. Tindak pidana senjata api dan bahan peledak adalah perbuatan tanpa hak untuk memasukkan, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau bahan peledak. b. Kualifikasi tindak pidana pengangkutan senjata api dan bahan peledak lewat laut melanggar pasal 1 Undang-Undang Drt Nomor 12 Tahun 1951 tentang perubahan STBL 1948 Nomor 17 atau Pasal 13 Undang-Undang Senjata Api Tahun 1939 LN. Nomor 279. c. Penyidik dan dasar hukumnya. Polisi berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Drt Nomor 12 Tahun 1951. d.



Tindakan yang diambil: 1)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan(Jarkaplid).



2)



Serahkan ke Polri.



11



20.



Tindak Pidana di ZEE Indonesia (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983). a.



Definisi. 1) Sumber daya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). 2) Sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan ruang air ZEEI. 3) Penelitian ilmiah adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut, dan tanah dibawahnya di ZEEI.



b.



Kualifikasi tindak pidanadan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983, sebagai berikut: 1) Tanpa ijin melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga air, arus dan angin di ZEEI, melanggar pasal 16 ayat (1) jo pasal 5 ayat (1). 2) Tanpa ijin membuat dan/atau menggunakan pulau-pulau buatan atau instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di ZEEI, melanggar pasal 16 ayat (1) jo pasal 6. 3) Tanpa ijin melakukan kegiatan penelitian ilmiah di ZEEI, melanggar pasal 16 ayat (1) jo pasal 7. 4) Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup dalam ZEEI, melanggar pasal 16 ayat (3). 5) Merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di ZEEI, melanggar pasal 17 jo pasal 16 ayat (1).



c. Penyidik dan Dasar Hukumnya. Perwira TNI AL berdasarkan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. d. Tindakan yang diambil: pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan (Jarkaplidik).



21. Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990). a.



Definisi.



12



1) Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air. 2) Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara. b. Kualifikasi tindak pidanadan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990, sebagai berikut: 1) Dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan suaka alam, melanggar pasal 40 ayat (1) jo pasal 19 ayat (1). Jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (3) jo pasal 19 ayat (1). 2) Dengan sengaja mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati, melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 21 ayat (1) huruf a. Jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (3) jo pasal 21 ayat (1). 3) Dengan sengaja mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia, melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 21 ayat (1) huruf b. Jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (4) jo pasal 21 ayat (1) huruf b. 4)



Dengan sengaja: a) Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. b) Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati.



dan



c) Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. d) Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. e) mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 21 ayat (2). Jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (4) jo pasal 21 ayat (2). 5) Dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, melanggar pasal 40 ayat (1) jo pasal 33 ayat (1). Jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (3) jo pasal 33 ayat (1).



13



6) Dengan sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 33 ayat (3). Jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (4) jo pasal 33 ayat (3). c. Penyidik dan Dasar Hukum.Penyidik TNI AL berdasarkan pasal 39 ayat (2) atau Polri atau PPNS tertentu berdasarkan pasal 39 ayat (1) Undang-UndangNomor 5 Tahun 1990. d. Tindakan yang diambil: pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan.



22.



Tindak Pidana Benda Cagar Budaya (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992). a.



Definisi. 1) Benda berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya, ekonomi dan lainnya. 2) Kapal yang tenggelam adalah kapal Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Belanda, Portugis, Inggris, Jepang, Cina dan kapal lain yang tenggelam di perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia sekurang-kurangnya selama lima puluh tahun. 3) Pengangkatan adalah kegiatan yang meliputi penelitian, survei dan pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam. 4) Pemanfaatan adalah kegiatan yang meliputi penjualan kepada pihak ketiga dan pemanfaatan lain untuk kepentingan pemerintah.



b. Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1992 sebagai berikut: 1) 26.



Pengangkatan benda bersejarah/budaya tanpa izin, melanggar pasal



2) Penggalian, penyelaman, pengangkatan atau cara yang lain untuk mencari benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah melanggar pasal 27. 3) Mengetahui/menemukan benda berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) tidak melapor kepada pejabat yang berwenang melanggar pasal 28 c jo pasal 10 ayat (1). c. Penyidik dan Dasar Hukum.PPNS yang mempunyai wewenang dan bekerja sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan pasal 25 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1992. d.



Tindakan yang diambil: 1)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan (Jarkaplid).



14



2) Menyerahkan ke PPNS Depbudpar atau PPNS Departemen Kelautan dan Perikanan. 23.



Tindak Pidana Keimigrasian (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992). a.



Definisi. 1) Tindak pidana keimigrasian adalah kedatangan atau kehadiran orang di wilayah RI dimana orang tersebut tidak terdaftar sebagai warga negara Indonesia dan tidak memiliki/dilindungi dengan dokumen keimigrasian. 2) Wilayah negara RI/wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah negara RI yang meliputi darat, laut dan udara berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.



b. Kualifikasi tindak pidanadan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992, sebagai berikut: 1) Setiap orang yang masuk/keluar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan, melanggar pasal 48. 2) Orang asing yang memalsukan visa/ijin keimigrasian menggunakan visa/ijin keimigrasian palsu, melanggar pasal 49.



atau



3) Orang asing yang menyalahgunakan/melakukan kegiatan tidak sesuai ijin keimigrasian, melanggar pasal 50. 4) Orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau pernah diusir/deportasi dan berada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah, melanggar pasal 53. c. Penyidik dan Dasar Hukum. Polri dan PPNS tertentu bidang keimigrasian berdasarkan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992. d.



Tindakan yang diambil: 1)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan(Jarkaplid).



2)



Serahkan ke PPNS Keimigrasian atau Polri.



24. Tindak Pidana Psikotropika (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997) dan Narkotika (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997). a.



Tindak Pidana Psikotropika. 1)



Definisi. a) Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif



15



pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. b) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan psikotropika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara moda atau sarana angkut apapun, dalam rangka produksi dan peredaran. c) Transito adalah pengangkutan psikotropika di wilayah RI dengan atau tanpa berganti sarana angkutan antara dua negara lintas. 2) Kualifikasi Tindak Pidanadan pasal-pasal yang dilanggarmenurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, sebagai berikut: a) Melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau impor, melanggar pasal 61 ayat (1) huruf c. b) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa psikotropika, melanggar pasal 62. c) Melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan yang sah, melanggar pasal 63 ayat (1) huruf a. 3) Penyidik dan Dasar Hukumnya. Polri atau PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus berdasarkan pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997. 4)



b.



Tindakan yang diambil: a)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan (Jarkaplid).



b)



Serahkan ke Polri atau PPNS Depkes.



Tindak Pidana Narkotika. 1)



Definisi. a) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan dapat menimbulkan ketergantungan. b) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara atau sarana angkutan apapun.



2) Kualifikasi Tindak Pidana dan pasal-pasal yang dilanggarmenurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, sebagai berikut: a) Secara melawan hukum memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II atau golongan III, melanggar pasal 79 ayat (1).



16



b) Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika sesuai golongan masing-masing, melanggar pasal 81. c) Nakhoda yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan: (1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dan disaksikan pengirim. (2) Membuat Berita Acara tentang muatan narkotika yang diangkut. (3) Dalam waktu 24 jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada kantor Pabeanan setempat. (4) Membongkar muatan narkotika tanpa disaksikan oleh pejabat Bea dan Cukai. (5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat Berita Acara, mengamankan dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang. Melanggar pasal 93 jo pasal 24. 3) Penyidik dan Dasar Hukumnya. Polri atau PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus berdasarkan pasal 65 ayat (1)Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. 4)



25.



Tindakan yang diambil: a)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan (Jarkaplid).



b)



Serahkan ke Polri atau PPNS Depkes.



Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997). a.



Definisi. 1) Pelestarian lingkungan adalah upaya untuk menyelamatkan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk didalamnya manusia dan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.



17



2) Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayati lingkungan yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan. 3) Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya/dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh manusia sehingga kualitas turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. b. Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997, sebagai berikut: 1) Dengan sengaja melakukan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, melanggar pasalpasal 41. 2) Karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, melanggar Pasal 42. 3) Dengan melanggar ketentuan perundangan yang berlaku, sengaja membuang atau melepas zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau Beracun masuk ke dalam air, melakukan import/eksport, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum melanggar pasal 43. c.



Penyidik dan Dasar Hukum. 1) Polisi dan PPNS, berdasarkan pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. 2) TNI AL berdasarkan pasal 40 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 jo pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 jo pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996.



d. Tindakan yang diambil: pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan (Jarkaplidik).



26.



Tindak Pidana Kehutanan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). a.



Definisi. 1) Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.



18



2) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 3) Hasil hutan adalah benda-benda hayati yang berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) selain tumbuhan dan satwa liar yang dipungut dari hutan negara. 4) Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. 5) Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang , dipergunakan dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang diangkut secara langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah melalui proses verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi PSDH dan atau DR. 6) Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh penerbit FA-KB yang merupakan petugas perusahaan, dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari perijinan yang sah pada hutan alam negara atau hutan tanaman di kawasan hutan produksi , dan untuk pengangkutan lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari kawasan hutan negara yang berada di luar kawasan. 7) Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh penerbit FA-KO, dipergunakan dalam pengangkutan untuk hasil hutan berupa kayu olahan berupa kayu gergajian, kayu lapis, veneer, serpih dan laminated veneer lumber (LVL). 8) Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh petugas FA-HHBK yang digunakan untuk pengangkutan HHBK yang berasal dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara. b. Kualifikasi tindak pidana. Dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, melanggar pasal 78 ayat (7) jo pasal 50 ayat (3) huruf h. c. Penyidik dan dasar hukum. Polri dan PPNS Kehutanan berdasarkan pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.



d.



27.



Tindakan yang diambil: 1)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan(Jarkaplid).



2)



Serahkan ke PPNS Kehutanan atau Polri.



Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003).



19



a.



Definisi. 1) Tindak pidana terorisme adalah perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. 2) Obyek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan yang sangat tinggi termasuk fasilitas internasional.



b. Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003, sebagai berikut: 1) Secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persedian padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan atau dari Indonesia sesuai senjata api, amunisi, bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme (pasal 9 Perpu Nomor 1 Tahun 2002). 2) Dengan sengaja menggunakan senjata kimia, biologis, radiologi, mikro organisme, radio aktif atau komponen lainnya sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat masal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional (pasal 10 Perpu Nomor 1 Tahun 2002). c. Penyidikan dan Dasar Hukumnya. Polri sesuai dengan Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo pasal 25 Perpu Nomor 1 Tahun 2002. d.



Undang-



Tindakan yang diambil: 1)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan (Jarkaplid).



2)



Serahkan ke Polri.



28. Tindak Pidana Kepabeanan (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 jo UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995). a.



Definisi. 1) Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di ZEE dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini. 2)



Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.



20



3)



Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.



b. Kualifikasi tindak pidanadan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 17 Tahun 2006, sebagai berikut: 1)



Setiap orang yang: a) Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat (2). b) Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean. c) Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat (3). d) Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan. e)



Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum.



f) Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini. g) Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya. h) Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor (pasal 102).



2)



Setiap orang yang: a) Mengekspor pabean.



barang



tanpa



menyerahkan



pemberitahuan



b) Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlahbarang ekspor dalam pemberitahuan pabean secarasalah sebagaimana dimaksud dalam pasal 11A ayat(1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutannegara di bidang ekspor.



21



c) Memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 11A ayat (3). d) Membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean. e) Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 9A ayat (1), dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor (pasal 102A). 3) Setiap orang yang mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 102, pasal 102A, atau pasal 102B (pasal 104). c. Penyidik dan Dasar Hukum. PPNS tertentu di lingkungan Dirjen Bea dan Cukai berdasarkan pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995. d.



29.



Tindakan yang diambil: 1)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan (Jarkaplid).



2)



Serahkan ke PPNS Bea dan Cukai.



Tindak Pidana Perikanan(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004). a. Tindak pidana perikanan adalah perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan penangkapan ikan, budidaya ikan serta upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan termasuk ekosistem , jenis dan genetiknya. b. Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004, sebagai berikut: 1) Setiap orang menangkap dan atau pembudidayaan ikan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan merugikan dan/atau membahayakan kelestarian SDA dan/atau lingkungannya, melanggar pasal 84 ayat (1). 2) Nahkoda, Ahli penangkapan ikan dan ABK menangkap dan/atau pembudidayaan ikan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan merugikan dan/atau membahayakan kelestarian SDA dan/atau lingkungannya, melanggar pasal 84 ayat (2). 3) Pemilik kapal, pemilik perusahaan, penanggung perusahaan, dan atau operator melakukan usaha penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan merugikan dan/atau membahayakan kelestarian SDA dan/atau lingkungannya, melanggar pasal 84 ayat (3). 4) Pemilik, kuasa pemilik dan atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan melakukan pembudidayaan ikan menggunakan bahan



22



kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan merugikan dan/atau membahayakan kelestarian SDA dan/atau lingkungannya, melanggar pasal 84 ayat (4). 5) Memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang, melanggar pasal 85. 6) Mengakibatkan pencemaran/kerusakan SDA dan lingkungannya, melanggar pasal 86 ayat (1). 7) Membudidayakan ikan yang dapat membahayakan SDA dan lingkungannya, melanggar pasal 86 ayat (2). 8) Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang membahayakan SDA dan lingkungannya, melanggar pasal 86 ayat (3). 9) Merusak plasma nutfah (Substansi yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan bibit unggul), melanggar pasal 87 ayat (1). 10)



Mengakibatkan rusaknya plasma nutfah, melanggar pasal 87 ayat (2).



11) Memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, SDA dan/atau lingkungannya dalam dan/atau keluar wilayah Indonesia, melanggar pasal 88. 12) Tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, melanggar pasal 89. 13) Memasukan/mengeluarkan ikan dan/atau hasil perikanan tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia, melanggar pasal 90. 14) Melaksanakan pengelolaan ikan dengan menggunakan bahan baku, tambahan makanan, penolong dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia, melanggar pasal 91. 15) Melakukan usaha perikanan dengan tidak mempunyai SIUP, melanggar pasal 92. 16) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia/ZEEI/laut lepas tanpa dilengkapi SIPI, melanggar pasal 93 ayat (1). 17) Kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan di perairan Indonesia/ZEEI tanpa dilengkapi SIPI, melanggar pasal 93 ayat (2). 18) Kapal pengangkut ikan melakukan pengangkutan ikan tanpa SIKPI, melanggar Pasal 94.



23



19) Membangun, mengimpor atau memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan instansi terkait, melanggar pasal 95. 20) Mengoperasikan kapal perikanan namun tidak mendaftarkan kapalnya sebagai kapal perikanan, melanggar pasal 96. 21) Kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki ijin menangkap ikan, yang selama berada di perairan Indonesia/ZEEI tidak menyimpan alat tangkap di dalam palkah, melanggar pasal 97 ayat (1). 22) Kapal penangkap ikan berbendera asing yang memiliki ijin penangkapan ikan dengan satu alat tangkap tertentu di ZEEI tertentu yang membawa alat tangkap lainnya, melanggar pasal 97 ayat (2). 23) Kapal penangkap ikan berbendera asing yang memiliki ijin tetapi tidak menyimpan alat tangkap di palkah selama berada di luar daerah penangkapan yang diijinkan, melanggar pasal 97 ayat (3). 24) Kapal perikanan yang berlayar tanpa Surat Ijin Berlayar, melanggar pasal 98. 25) Orang asing yang melakukan penelitian perikanan tanpa ijin, melanggar pasal 99. 26) Melakukan usaha perikanan melanggar ketentuan dalam pasal 7, antara lain: a)



Jenis, jumlah dan ukuran alat tangkap.



b) Jenis, jumlah, penangkapan.



ukuran



dan



penempatan



alat



bantu



c)



Daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan.



d)



Persyaratan atau standar prosedur operasi penangkapan.



e)



Sistem pemantauan kapal perikanan.



f)



Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan.



g) Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya. h)



Pembudidayaan ikan dan perlindungannya.



i) Pencegahan lingkungannya.



pencemaran



dan



kerusakan



SDI



serta



j)



Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap.



k)



Suaka perikanan.



l)



Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.



24



m) Jenis ikan yang dilarang diperdagangkan, dimasukan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah RI. n)



Jenis ikan yang dilindungi.



c. Penyidik dan Dasar Hukum. TNI AL, Polri dan PPNS Perikanan berdasarkan pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. d. Tindakan yang diambil:pengejaran, penyidikan (Jarkaplidik).



30.



penangkapan,



penyelidikan



dan



Tindak Pidana Pelayaran (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008). a.



Definisi. 1) Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhan, serta keamanan dan keselamatan, serta perlindungan lingkungan maritim. 2) Alur pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari. 3) Sarana bantuan navigasi pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.



b. Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 17 Tahun 2008, sebagai berikut: 1) Setiap orang dilarangmengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antar pulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) melanggar pasal 284 jo pasal 8 ayat (2). 2) Setiap orang yang melayani kegiatan angkutan laut khusus dilarang mengangkut muatan barangmilik orang lain dan atau mengangkut muatan/barang milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan/barang umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (4) melanggar pasal 285 jo pasal 13 ayat (4). 3) Nakhoda angkutan sungai dan danau dilarang melayarkan kapalnya ke laut tanpa izindari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (6) melanggar pasal 286 ayat (1) jo pasal 18 ayat (6). 4) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat mengakibatkan kerugian hartabenda melanggar pasal 286 ayat (2).



(1),



5) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang melanggar pasal 286 ayat (3).



25



6) Setiap orang dilarang mengoperasikan kapal pada angkutan di perairan tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 melanggar pasal 287 jo Pasal 27. 7) Setiap orang dilarang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa izin trayek sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (4) melanggar pasal 288 jo pasal 28 ayat (4). 8) Setiap orang dilarangmengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memiliki persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) melanggar pasal 289 jo pasal 28 ayat (6). 9) Setiap orang dilarang menyelenggarakan usaha jasa terkait tanpa memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 melanggar pasal 290 jo pasal 33. 10) Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) melanggar pasal 291 jo pasal 38 ayat (1). 11) Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnyasebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) melanggar pasal 292 jo pasal 41 ayat (3). 12) Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khususkemudahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) melanggar pasal 293 jo pasal 42 ayat (1). 13) Setiap orang dilarang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 melanggar pasal 294 ayat (1) jo pasal 46. 14) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan kerugian harta bendamelanggar pasal 294 ayat (2). 15) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta bendamelanggar pasal 294 ayat (3). 16) Setiap orang dilarang mengangkut barang-barang berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 melanggar pasal 295 jo pasal 47. 17) Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 melanggar pasal 296 jo pasal 54. 18) Setiap orang dilarang membangun dan mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) melanggar pasal 297 ayat (1) jo pasal 98 ayat (1). 19) Setiap orang dilarang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di



26



pelabuhan, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 338 melanggar pasal 297 ayat (2) jo pasal 338. 20) Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 100 ayat (3) melanggar pasal 298 jopasal 100 ayat (3). 21) Setiap orang dilarang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (2) melanggar pasal 299 jo pasal 104 ayat (2). 22) Setiap orang dilarang mengunakan terminal khusus untuk kepentingan umum tanpa mimiliki izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 melanggar pasal 300 jo pasal 105. 23) Setiap orang dilarang mengoperasikan terminal khusus untuk melayani perdagangan dari dan ke luar negeri tanpa memenuhi persyaratan dan belum ada penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 111 ayat (4) dan ayat (6) melanggar pasal 301 jo pasal 111 ayat (4) dan ayat (6). 24) Nakhoda dilarang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 117 ayat (2) melanggar pasal 302 ayat (1) jo pasal pasal 117 ayat (2). 25) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan kerugian harta bendamelanggar pasal 302 ayat (2). 26) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda melanggar pasal 302 ayat (3). 27) Setiap orang dilarang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam pasal 122 melanggar pasal 303 ayat (1) jo pasal 122. 28) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan kerugian harta bendamelanggar pasal 303 ayat (2). 29) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang melanggar pasal 303 ayat (3). 30) Setiap orang yang tidak membantu pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (2) melanggar pasal 304 jo pasal 128 ayat (2). 31) Setiap orang yang tidak memelihara kapalnyasehingga tidak memenuhi sesuai persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 130 ayat (1) melanggar pasal 305 jo pasal 130 ayat (1). 32) Setiap orang dilarang mengoperasikan kapal yang tidak memenuhi persyaratan navigasi dan/atau navigasi elektronika kapal sebagaimana



27



dimaksud dalam pasal 131 ayat (1) melanggar pasal 306 jo pasal 131 ayat (1). 33) Setiap orang dilarang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat komunikasi radiodankelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 131 ayat (2) melanggar pasal 307 jo pasal 131 ayat (2). 34) Setiap orang dilarang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (1) melanggar pasal 308 jo pasal 132 ayat (1). 35) Nakhoda yang sedang berlayar dan mengetahui adanya cuaca buruk yang membahayakan keselamatan berlayar namun tidak menyebarluaskannya kepada pihak lain dan/atau instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (3) melanggar pasal 309 jo pasal 132 ayat (3). 36) Setiap orang dilarang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 melanggar pasal 310 jo pasal 135. 37) Setiap orang dilarang menghalang-halangi keleluasaan Nakhoda untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 138 ayat (4) melanggar pasal 311 jo pasal 138 ayat (4). 38) Setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijildan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 145 melanggar pasal 312 jo pasal 145. 39) Setiap orang dilarang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam pasal 149 ayat (1) melanggar pasal 313 Jo pasal 149 ayat (1). 40) Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapalyang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 ayat (5) melanggar pasal 314 Jo pasal 158 ayat (5). 41) Nakhoda dilarang mengibarkan bendera negara lain sebagai tanda kebangsaan dimaksud dalam pasal 167 melanggar pasal 315 Jo pasal 167. 42) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak berfungsinya Sarana Bantu NavigasiPelayarandan fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai dan danau serta Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 174 melanggar pasal 316 ayat (1) Jo pasal 174. 43) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan tidak berfungsinya Sarana Bantu Navigasi-Pelayarandan fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai dan danau dan Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 174 melanggar pasal 316 ayat (2) Jo pasal 174.



28



44) Nakhoda yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 193 ayat (1) melanggar pasal 317 Jo pasal 193 ayat (1). 45) Setiap orang dilarang melakukan pekerjaan pengerukan serta reklamasi alur-pelayaran dan kolam pelabuhan tanpa izin Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat (1) melanggar pasal 318 Jo pasal 197 ayat (1). 46) Petugas pandu dilarang melakukan pemanduan tanpa memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 199 ayat (1) melanggar pasal 319 Jo pasal 199 ayat (1). 47) Pemilik kapal dan/atau Nakhoda yang tidak melaporkan kerangka kapalnya yang berada di perairan Indonesia kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 202 ayat (1) melanggar pasal 320 Jo pasal 202 ayat (1). 48) Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 203 ayat (1) melanggar pasal 321 Jo pasal 203 ayat (1). 49) Nakhoda dilarang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 216 ayat (1) melanggar pasal 322 Jo pasal 216 ayat (1). 50) Nakhoda dilarang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayaryang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 219 ayat (1) melanggar pasal 323 ayat (1) Jo pasal 219 ayat (1). 51) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kerugian harta benda melanggar pasal 323 ayat (2). 52) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kematianmelanggar pasal 323 ayat (3). 53) Setiap Awak Kapal yang tidak melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 227 melanggar pasal 324 Jo pasal 227. 54) Setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah air balas, kotoran, sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) melanggar pasal 325 ayat (1) Jo pasal 229 ayat (1). 55) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup melanggar pasal 325 ayat (2).



29



56) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kematian seseorangmelanggar pasal 325 ayat (3). 57) Setiap orang dilarang mengoperasikan kapalnya dengan mengeluarkan gas buang melebihi ambang batassebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2) melanggar pasal 326 Jo pasal 229 ayat (2). 58) Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 231 ayat (2) melanggar pasal 327 Jo pasal 231 ayat (2). 59) Setiap orang dilarang melakukan pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun tanpa memperhatikan spesifikasikapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 233 ayat (1) melanggar pasal 328 Jo pasal 233 ayat (1). 60) Setiap orang dilarang melakukan penutuhan kapal dengan tidak memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam pasal 241 ayat (1) melanggar pasal 329 Jo pasal 241 ayat (1). 61) Nakhoda yang mengetahui adanya bahaya dan kecelakaan di kapalnya, kapal lain, atau setiap orang yang ditemukan dalam keadaan bahaya, yang tidak melakukan tindakan pencegahan dan menyebarluaskan berita mengenai hal tersebut kepada pihak lain, tidak melaporkan kepada Syahbandaratau Pejabat Perwakilan RI terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila bahaya dan kecelakaan terjadi di luar wilayah perairan Indonesia serta sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 ayat (3) dan ayat (4), pasal 247 dan pasal 248 melanggar pasal 330 Jo pasal 244 ayat (3) dan ayat (4), pasal 247 dan pasal 248. 62) Setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya tidak memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan kepada Nahkoda dan/atau Anak Buah Kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 246 melanggar pasal 331 Jo pasal 246. 63) Setiap orang mengoperasikan kapal atau pesawat udara yang tidak membantu usaha pencarian dan pertolonganterhadap setiap orang yang mengalami musibah sebagaimana dimaksud dalam pasal 258 ayat (2) melanggar pasal 332 Jo pasal 258 ayat (2). 64) Tindak pidana di bidang pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama melanggar pasal 333 ayat (1). 65) Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya melanggar pasal 333 ayat (2). 66) Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus



30



di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus melanggar pasal 334. 67) Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya melanggar pasal 335. 68) Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan melanggar pasal 336 ayat (1). 69) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannyamelanggar pasal 336 ayat (2). c. Penyidik dan Dasar Hukum. Polri, PPNS dan Penyidik lainnya (TNI AL) berdasarkan pasal 282 ayat (1) dan penjelasannya. d. Tindakan yang diambil: pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan (Jarkaplidik).



31.



Tindak Pidana Wilayah Negara (Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008). a.



Definisi. 1) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. 2) Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial. 3) Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. 4) Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. 5) Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. 6) Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain,



31



dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan. b. Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggarmenurut UndangUndang Nomor 43 Tahun 2008, sebagai berikut: 1) Melakukan upaya menghilangkan, merusak, mengubah atau memindahkan tanda-tanda batas Negara, atau melakukan pengurangan luas wilayah negara melanggar Pasal 20 ayat (1). 2) Menghilangkan, merusak, mengubah, memindahkan tanda-tanda batas atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan tanda-tanda batas tersebut tidak berfungsi, melanggar Pasal 20 ayat (2). 3) Dalam hal pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh korporasi. 4) Korporasi yang melanggar Pasal 21 ayat (4) dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha. c. Penyidik dan Dasar Hukumnya. TNI AL dan Penyidik lain sesuai Pasal 7 jo Pasal 22 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008. d.



Tindakan yang diambil: 1) Locus Delicty di wilayah perbatasan laut laksanakan Pengejaran, Penangkapan, Penyelidikan dan Penyidikan (Jarkaplidik). 2) Locus Delicty di wilayah perbatasan darat serahkan kepada Polisi (sesuai KUHAP) dan Penyidik lain yang berwenang.



32.



Tindak Pidana lain yang melalui Laut. a.



Semua tindak pidana melalui laut antara lain: 1)



Semua pengangkutan bahan galian: a) Bahan galian golongan A adalah bahan galian strategis seperti minyak bumi, gas alam, aspal, antrasit, batubara, uranium, bahan radio aktif, nikel dan timah. b) Bahan galian golongan B adalah bahan galian yang vital seperti besi, mangan, khrom, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, emas, platina, perak, air raksa, intan, belerang, yodium, klor, brom dan logam langka lainnya. c) Bahan galian golongan C adalah bahan galian di luar golongan A dan B seperti pasir laut, batu granit, batu apung dll.



32



2) Semua pengangkutan komoditi pangan seperti beras, kopra, gula, bawang putih dll. 3) Semua pengangkutan bahan manufaktur seperti barang elektronik, ranmor dll. b. Kualifikasi tindak pidana: melakukan pengangkutan sebagaimana dalam subsub pasal 1), 2), 3)subpasal a pasal 32 di atas di Perairan Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumen yang sah dan melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia. c. Penyidik dan Dasar Hukum. Polri dan PPNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. d.



Tindakan yang diambil: 1)



Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan (Jarkaplid).



2)



Serahkan ke PPNS atau Polri.



BAB V PROSEDUR PELAKSANAAN PENINDAKAN



33. Pengejaran Kapal. Pengejaran kapaladalah upaya untuk menghentikan dan menangkap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dan melarikan diri, meliputi tindakan-tindakan pendeteksian, pengenalan dan penilaian sasaran sebagai berikut: a. Pendeteksian. Melaksanakan kegiatan pengawasan di sektor-sektor perairan yang rawan terjadi tindak pidana berdasarkan informasi yang diperoleh antara lain: 1) 2)



Data/informasi intelijen. Analisa Daerah Operasi (ADO).



3)



Laporan/informasi dari patroli udara maritim.



4)



Laporan/informasi dari masyarakat.



5)



Laporan/informasi dari kapal lain.



b. Pengenalan. Apabila dalam kegiatan patroli dijumpai sasaran, adakan pengenalan dengan menggunakan sarana yang ada (ESM, radar, sonar, teropong, TDS, optronik, komunikasi, radio, atau isyarat). c.



Penilaian Sasaran. Dimaksudkan untuk menilai dan menentukan: 1)



Jenis kapal (kapal perang, kapal pemerintah, kapal niaga).



2) dll).



Tanda pengenal kapal (nomor kapal, bendera, nomor lambung, warna



33



3) Kegiatan kapal (menarik jaring, menarik tongkang, lego jangkar, bongkar/muat dll). 4)



34.



Data-data lain (pelabuhan asal dan tujuan, muatan kapal dll).



Penangkapan dan Penyelidikan Kapal. a.



Penghentian Kapal. 1) Apabila kapal dicurigai melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, diadakan penghentian dengan alasan-alasan sebagai berikut: a) Di Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial, melakukan tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan Indonesia. b) Di Zona Tambahan, melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan kepabeanan, imigrasi, fiskal dan karantina. c)



Di ZEEI dan Landas Kontinen Indonesia: (1)



Melakukan penelitian ilmiah kelautan tanpa ijin.



(2) Melakukan eksplorasi/eksploitasi sumber daya di ZEEI/ Landas Kontinen tanpa ijin pemerintah RI. (3) Meletakkan/membongkar kabel dasar laut/pipa saluran tanpa ijin. (4) Membangun dan menggunakan pulau buatan, instalasi dan bangunan tanpa ijin. (5)



Melakukan pencemaran.



(6) Melakukan kegiatan lain yang bertentangan dengan hukum nasional dan internasional. d) Di laut lepas, kapal melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum internasional. Contoh: Perompakan, penyiaran gelap, dll. 2) Prosedur penghentian. Pada dasarnya penghentian kapal dilakukan bilamana ada dugaan yang cukup telah terjadi pelanggaran hukum dan atau untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. a) Pada saat KRI/KAL akan melaksanakan penghentian suatu kapal, laksanakan peran pemeriksaan dan penggeledahan yang didahului peran tempur bahaya permukaan. b) Dimulai dengan memberikan isyarat untuk berkomunikasi dengan cara:



34



(1) Mengibarkan bendera:“K” (pada batas cuaca yang dapat di-lihat). (2)



Optis lampu “KKK” (pada batas cuaca yang dapat dilihat).



(3) Semaphore, huruf “K” (pada batas cuaca yang dapat dilihat). (4)



Radio komunikasi channel 16.



c) Apabila komunikasi gagal, perintah berhenti dapat dilaksanakan dengan cara: (1) Mengibarkan bendera Upen “L” (pada batas cuaca yang dapat dilihat). (2)



Megaphon (pada batas yang dapat didengar).



(3)



Isyarat Gauk.



d) Jika permintaan untuk berkomunikasi dan perintah berhenti menurut cara-cara di atas tidak di indahkan, maka diberikan peringatan tembakan dengan menggunakan amunisi jenis peluru hampa atau tajam ke arah atas. e) Jika peringatan ini tidak diindahkan, laksanakan tembakan ke arah laut disekitar kapal yang percikannya dapat dilihat oleh kapal yang dicurigai. f) Apabila dengan peringatan tersebut kapal tidak juga berhenti, dapat diambil tindakan sesuai dengan pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 jo pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dalam rangka mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dengan menembak ke arah badan kapal pada tempat yang diperkirakan tidak ada ABK-nya dan laksanakan pertolongan jika diperlukan. g) Dalam hal kapal melakukan manuver yang membahayakan dan atau ABK melakukan perlawanan tindak kekerasan maka dapat diambil tindakan bela diri. 3) Dalam melakukan penghentian kapal asing harus memperhatikan hakhak kapal tersebut selama melakukan lintas di Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982. b. Pemeriksaan Kapal. tindakan:



Setelah kapal dihentikan maka dilaksanakan



1)



Melaksanakan pemeriksaan.



2)



Atas perintah Komandan, kapal merapat ke KRI/KAL atau sebaliknya.



3) Dalam keadaan tertentu dapat menggunakan sekoci KRI untuk merapat ke kapal yang diperiksa atau sekoci kapal yang diperiksa merapat ke KRI/KAL (KRI harus melaksanakan pengawasan terhadap kapal yang dicurigai tersebut pada jarak aman).



35



4)



Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pemeriksaan di laut: a) Pemeriksaan di laut harus menggunakan sarana yang sah/resmi dengan identitas/ciri-ciri luar yang jelas dan dapat dikenali sebagai kapal perang, KAL atau kapal pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan tersebut. b) Tim Pemeriksa harus menggunakan seragam lengkap dan dilengkapi surat perintah. c) Pemeriksaan harus disaksikan oleh nahkoda atau ABK kapal yang diperiksa. d) Pemeriksaan harus dilakukan secara tertib, tegas, teliti, cepat, tidak terjadi kehilangan, kerusakan dan tidak menyalahi prosedur pemeriksaan. e) Selama peran pemeriksaan tim pemeriksa harus selalu berkomunikasi dengan kapal pemeriksa. f) Selama kekerasan. g)



melakukan



pemeriksaan



hindari



menggunakan



Setelah selesai pemeriksaan, hal-hal yang harus diperhatikan: (1) Membuat surat pernyataan tertulis dan ditandatangani oleh nahkoda kapal, yang menerangkan bahwa pemeriksaan berjalan dengan tertib tidak terjadi kekerasan, kerusakan atau kehilangan. (2) Membuat surat pernyataan tertulis dan ditandatangani oleh nahkoda kapal, yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan surat-surat/dokumen dengan menyebutkan tempat dan waktu. (3) Mencatat dalam buku jurnal kapal yang diperiksa berisi: (a)



Kapan dan dimana kapal diperiksa.



(b) Pendapat tentang hasil pemeriksaan secara garis besar. (c)



Perintah yang diberikan.



(d) Perwira pemeriksa menandatangani hasil pemeriksaan pada jurnal kapal dibubuhi stempel kapal pemeriksa. (4) Dalam hal buku jurnal kapal tidak ada, agar nahkoda membuat surat pernyataan tentang tidak adanya buku jurnal kapal. c. Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan. Apabila tidak terdapat bukti yang cukup atau petunjuk yang kuat tentang adanya tindak pidana:



36



1)



Kapal diijinkan melanjutkan pelayaran.



2) Dalam buku jurnal pelayaran dicatat bahwa pemeriksaan dengan menyebutkan posisi dan waktu.



telah



diadakan



3) Meminta surat pernyataan tertulis dari nahkoda bahwa tidak terjadi kekerasan, kerusakan dan kehilangan selama pemeriksaan. Apabila terdapat bukti yang cukup atau petunjuk yang kuattentang telah terjadi suatu tindak pidana: 1) Perwira pemeriksa memberitahukan kepada nahkoda bahwa telah terjadi tindak pidana dan untuk itu kapal akan dibawa kepangkalan/pelabuhan yang ditentukan. 2) Meminta kepada nahkoda kapal untuk memberikan tanda tangan pada peta posisi, gambar situasi pengejaran dan penghentian. 3) Komandan KRI/KAL mengeluarkan surat perintah untuk membawa kapal dan orang kepangkalan/pelabuhan yang telah ditentukan. Alternatif cara membawa kapal: 1)



Di ad hoc. a) Komandan KRI/KAL menerbitkan surat perintah ad hoc kepada nahkoda/tersangka supaya membawa sendiri kapalnya ke pelabuhan sesuai yang diperintahkan. b) Surat-surat/dokumen kapal/muatan dan benda-benda yang mudah dipindahkan diamankan di KRI/KAL. c) Perintah ad hoc hanya diberlakukan terhadap kapal berbendera Indonesia yang diyakini tidak akan melarikan diri. d) Surat perintah ad hoc dibuat rangkap tiga (nahkoda, instansi yang dituju dan arsip KRI/KAL).



2)



Dikawal. a) Kapal tetap dibawa nahkoda dan ABK-nya menuju pelabuhan yang dituju. b)



Ditempatkan tim kawal di atas kapal.



c)



KRI/KAL dapat mengawal pada jarak aman.



d) Surat-surat/dokumen kapal/muatan dan benda-benda yang mudah dipindahkan, diamankan di KRI/KAL. e) Sebagian ABK dari kapal yang dikawal dapat dipindahkan ke KRI/KAL. 3)



Digandeng/ditunda/ditarik.



37



a) Dalam hal kapal mengalami kerusakan dapat dibawa oleh KRI/ KAL dengan cara di gandeng/ ditunda/ditarik. b) Sebagian ABK dapat dipindahkan ke menempatkan petugas di atas kapal yang dikawal.



KRI/KAL



dan



c) Apabila kapal mengalami kerusakan berat dan kemungkinan besar akan tenggelam serta upaya penyelamatan kapal tidak memungkinkan, maka nahkoda dan ABK di pindahkan ke KRI/KAL sebagai upaya pertolongan. d) Apabila kapal yang di gandeng/ditunda/ditarik karena kerusakan berat mengakibatkan tenggelam, harus dibuat Berita Acara yang berisi tentang posisi dan sebab-sebab tenggelamnya kapal tersebut. d. Penyerahan kepada Pangkalan TNI AL. Pada prinsipnya Komandan KRI/KAL adalah Penyidik, namun dengan pertimbangan efisiensi waktu penyidikan lanjut diserahkan kepada pangkalan. Setelah kapal sampai di pangkalan/pelabuhan Komandan KRI/KAL segera menyerahkan kapal dan muatan, nahkoda dan ABK serta surat-surat/dokumen kapal/muatan kepada pangkalan dengan dilengkapi: 1)



Laporan kejadian.



2)



Gambar situasi pengejaran dan penghentian kapal.



3)



Pernyataan tentang posisi kapal.



4)



Surat perintah dan berita acara pemeriksaan kapal.



5)



Pernyataan hasil pemeriksaan kapal.



6) 7)



Pernyataan hasil pemeriksaan surat-surat kapal. Pernyataan keadaan muatan kapal.



8)



Pernyataan tidak tersedianya buku jurnal kapal (kalau tidak ada).



9)



Surat perintah dan berita acara membawa kapal dan orang.



10)



Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi dari KRI/KAL (min. 2 orang).



11) Berita acara pengambilan sumpah/ janji saksi dari KRI/KAL (minimal dua orang). 12) Berita acara serah terima kapal dan perlengkapannya, Nahkoda dan ABK, dokumen kapal serta berkas perkara. e. Mekanisme Penyerahan dan Pelaporan Kapal Tangkapan. Dalam rangka meningkatkan efektifitas, efisiensi dan kemandirian Pangkotama dalam melaksanakan penegakan hukum di laut disusun suatu mekanisme penyerahan dan pelaporan kapal tangkapan (Periksa Sublampiran A Mekanisme Pelaporan Hasil Tindak Pidana di Laut), sebagai berikut: 1)



Penangkapan dan Penyerahan kapal kepada Pangkalan TNIAL.



38



a) KRI/KAL BKO Pangarmada atau Komandan Guspurla atau Komandan Guskamla, dalam melaksanakan penangkapan dan penyerahan kapal, Komandan KRI/KAL membuat laporan berupa berita telegram kepada Penerima BKO dengan tembusan kepada Kasal, Pangarma (Bila BKO Guspurla/Guskamla), Danguspurla (bila BKO Danguskamla), Danguskamla (bila BKO Danguspurla) dan Danlantamal/Lanal sesuai daerah penangkapan/penyerahan. b) KRI/KAL unsur Kolinlamil, dalam melaksanakan penangkapan dan penyerahan kapal, Komandan KRI/KAL membuat laporan berupa berita telegram kepada Panglima Kolinlamil dengan tembusan kepada Kasal, Pangarma, Danguspurla, Danguskamla dan Danlantamal sesuai daerah penangkapan/penyerahan. c) KRI/KAL unsur Dishidros, dalam melaksanakan Penangkapan dan penyerahan kapal, Komandan KRI/KAL membuat laporan kepada Kasal Up.Kadishidrosdengan tembusan kepada Kasal, Pangarma, Danguspurla, Danguskamla dan Danlantamal sesuai daerah operasi. d) KRI/KAL unsur Pangkalan TNI Angkatan Laut/Lanal dalam melaksanakan penangkapan, Komandan KAL membuat laporan berupa berita telegram kepada Komandan Pangkalan, selanjutnya Komandan Pangkalan lapor ke Pangarma dengan tembusan Danguskamla. e) KRI/KAL yang di BKO ke instansi lain, dalam melaksanakan penangkapan melaporkan ke penerima BKO dan tembusan ke pengirim BKO. 2). Dalam melaksanakan penyerahan kapal tangkapan kepada Kejaksaan/Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau PPNS atau Polri, Pangkalan TNI AL membuat laporan berupa berita telegram kepada Panglima Armadadengan tembusan kepada Kasal, Pangkolinlamil (bila penangkap adalah unsur Kolinlamil), Kadishidros (bila penangkap adalah unsur Dishidros), Danguspurla, Danguskamla, Danlantamal (bila yang membuat laporan adalah Lanal) dan KRI/KAL penangkap.



35.



Penyidikan oleh Pangkalan TNI AL. a. Pemeriksaan oleh Pangkalan TNI AL. Pangkalan melakukan pemeriksaan terhadap kapal dan muatan, nahkoda dan ABK serta surat-surat/dokumen kapal/muatan yang diserahkan oleh KRI/KALmaupun dari instansi lain untuk proses hukum lebih lanjut. b. Proses Penyidikan. Penyidik segera menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada pihak Kejaksaan. Untuk keperluan penyidikan, dilakukan tindakan: 1) Penggeledahan kapal. Pelaksanaan penggeledahan dilakukan dengan memperhatikan: a)



Dilakukan oleh penyidik atau atas perintah penyidik.



39



b) Harus dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan dan dibuat berita acara yang ditandatangani oleh petugas dan dua orang saksi. Salinan berita acara diberikan kepada nakhoda atau yang bertanggung jawab. c) Ijin penggeledahan dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal sangat mendesak penyidik dapat menggeledah terlebih dahulu untuk kemudian dimintakan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat. d)



Dilakukan dengan disaksikan oleh nakhoda dan ABK.



e) Hindari terjadinya kerusakan atau hilangnya benda yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana. f) Harus tertib dan cermat, kemudian nakhoda membuat pernyataan bahwa penggeledahan tersebut tidak menimbulkan kerusakan atau kerugian. 2)



Pemeriksaan saksi. a) Pemeriksaan saksi dilakukan oleh penyidik yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan saksi. b) Pemeriksaan terhadap saksi (minimal dua orang) untuk memperoleh keterangan tentang perbuatan tersangka. c) Berita acara pemeriksaan harus memuat secara jelas tentang identitas saksi dan hubungannya dengan tersangka. d) Apabila saksi tidak mengerti bahasa Indonesia maka pemeriksa dibantu oleh juru bahasa. Juru bahasa dibuatkan berita acara pengambilan sumpah. e) Berita acara pemeriksaan harus dibacakan ulang kepada saksi dan apabila isinya telah disetujui maka berita acara ditandatangani oleh saksi, penyidik dan juru bahasa apabila menggunakan juru bahasa.



3)



Pemeriksaan Tersangka. a) Pemeriksaan dilakukan oleh penyidik yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka. b) Sebelum melakukan pemeriksaan, penyidik wajib menyampaikan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum. c) Apabila tersangka tidak mengerti bahasa Indonesia maka penyidik dibantu juru bahasa yang harus disumpah terlebih dahulu. d) Tersangka harus diberitahu tentang apa yang dipersangkakan terhadapnya.



40



e) Tersangka harus berada dalam kondisi yang sehat dan tidak dilakukan penekanan atau paksaan. f) Berita acara pemeriksaan harus jelas memuat identitas tersangka. g) Berita acara harus dibacakan ulang kepada tersangka dan apabila sudah menyetujui isinya maka tersangka, penyidik dan juru bahasa menandatangani berita acara. 4)



Penyitaan.



Dalam melakukan penyitaaan harus memperhatikan:



a) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat. b) Dalam hal keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik dapat menyita terlebih dahulu untuk kemudian dimintakan persetujuan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. c)



Benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah: (1) Benda atau bukti surat yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana. (2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkanya. (3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan. (4) Benda yang khusus melakukan tindak pidana.



dibuat



atau



diperuntukkan



(5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. d)



Hal-hal yang harus diperhatikan: (1) Dalam hal orang/nakhoda dari siapa benda tersebut disita menolak untuk menandatangani berita acara penyitaan supaya dicatat dalam berita acara penyitaan dengan menyebutkan alasan penolakan tersebut. (2)



Barang bukti/benda sitaan harus disimpan: (a) Di rumah negara/Rupbasan. (b)



penyimpanan



benda



sitaan



Ditempat khusus di kantor penyidik.



(c) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin disimpan di Rupbasan/kantor penyidik, maka benda sitaan dapat diamankan ditempat yang dapat diawasi oleh penyidik.



41



(3) Barang bukti/benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat, berat dan atau jumlahnya, diikat menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat fisik, tempat, hari dan tanggal penyitaan serta identitas orang dari mana benda itu disita kemudian diberi lak dan cap jabatan serta ditandatangani penyidik. (4) Barang bukti yang tidak mungkin dibungkus menurut cara seperti tersebut diatas, diberi label pada bagian benda sitaan yang mudah terlihat. (5) Dalam hal barang/benda sitaan disimpan dalam kemasan/peti dan jumlahnya banyak, maka kemasan/peti itu dihubungkan satu sama lain dengan mempergunakan tali yang kuat kemudian dilak dan dicap/stempel. (6) 5)



Barang bukti berupa kapal agar dilumpuhkan.



Pelelangan barang bukti/benda sitaan. a) Dalam hal benda sitaan karena keadaan atau sifatnya sedemikian rupa mudah rusak atau biaya penyimpanan yang terlalu tinggi dan lain sebagainya, maka benda sitaan tersebut dapat dilelang. b) Pelaksanaan lelang barang/benda sitaan sedapat mungkin dengan ijin Pengadilan Negeri setempat dan persetujuan tersangka. c) Pelaksanaan lelang harus dengan perantara Pejabat Kantor Lelang Negara. d) Uang hasil lelang dipergunakan sebagai pengganti barang bukti. e) Diupayakan barang bukti.



6)



sebagian kecil benda sitaan disisihkan sebagai



Penahanan tersangka. a) Dilaksanakan berlaku. b)



sesuai ketentuan perundang-undangan yang



Penahanan dilaksanakan di Rumah Tahanan Pangkalan.



c) Surat Perintah Penahanan harus memuat jenis penahanan dan jangka waktu penahanan. Lama penahanan maksimum 20 hari dan dapat diperpanjang atas ijin Penuntut Umum maksimum 40 hari (khusus untuk tindak pidana perikanan masa perpanjangan maksimal 10 hari). 7) Penanganan ABK yang bukan tersangka. ABK yang bukan tersangka setelah selesai dilakukan pemeriksaan segera dibebaskan. Khusus ABK WNA koordinasi dengan instansi terkait.



42



8) Pengamanan tersangka dan barang pangkalan dengan menerbitkan surat perintah. 9)



bukti dilaksanakan



oleh



Berita Acara Pendapat/Resume. a) Penyidik setelah membaca dan mempelajari semua hasil pemeriksaan saksi-saksi dan para tersangka serta memperhatikan bukti-bukti yang ada, maka penyidik membuat suatu kesimpulan/pendapat tentang: (1)



Tindak pidana yang terjadi.



(2) Pelaku, orang yang menyuruh dan membantu melakukan tindak pidana. (3)



Kapan dan dimana tindak pidana terjadi.



(4)



Bagaimana cara tindak pidana dilakukan.



b) Penyidik menguraikan unsur tindak pidana yang disangkakan dihubungkan dengan rangkaian perbuatan tersangka yang diperkuat dengan alat bukti lain. c) Apabila penyidik berpendapat bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam beberapa ketentuan, maka sangkaan dibuat primair, subsidair dan lebih subsidair (dimulai dari yang terberat).



10)



d) Apabila penyidik berpendapat bahwa tersangka telah melakukan beberapa tindak pidana maka sangkaan dibuat secara kumulatif. Penghentian penyidikan. a)



Penghentian penyidikan dilakukan karena : (1)



Tidak cukup bukti.



(2)



Bukan merupakan suatu tindak pidana, atau



(3)



Dihentikan demi hukum.



b) Mengajukan permohonan penghentian penyidikan kepada komando atas secara berjenjang dalam waktu yang tidak terlalu lama. c) Membuat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Berita Acara Penghentian Penyidikan. d) Memberitahukan kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya. e) Mengembalikan barang bukti dengan disertai Berita Acara kepada tersangka.



43



11)



f) Melaporkan pelaksanaan penghentian penyidikan kepada komando atas. Berkas perkara. a) Sampul berkas perkara memuat antara lain: kop satuan, nomor berkas perkara dan identitas tersangka. b)



Berkas perkara yang dibuat oleh penyidik berisi: (1)



Register perkara.



(2)



Daftar isi perkara pidana atas nama tersangka.



(3)



Berita acara pendapat/resume.



(4)



Surat Perintah Penyidikan.



(5) Surat pemberitahuan kepada Kejaksaan Negeri tentang dimulainya penyidikan (SPDP). (6)



Surat perintah dan Berita acara penahanan.



(7) Surat permohonan perpanjangan penahanan kepada Kejaksaan. (8)



Surat perintah perpanjangan penahanan.



(9)



Berita acara perpanjangan penahanan.



(10) Surat perintah dan berita acara mengeluarkan dari tahanan. (11) Surat permohonan ijin atau pemberitahuan kepada Pengadilan Negeri tentang telah dilakukan penggeledahan. (12)



Surat perintah dan Berita acara penggeledahan.



(13)



Daftar barang bukti yang digeledah.



(14)



Surat perintah dan Berita acara penyitaan.



(15) Surat permohonan ijin atau pemberitahuan kepada Pengadilan Negeri tentang telah dilakukan penyitaan barang bukti. (16)



Daftar barang bukti yang disita.



(17)



Foto barang bukti yang disita.



(18)



Daftar adanya saksi.



(19)



Berita acara pemeriksaan saksi.



(20)



Berita acara pengambilan sumpah/ janji saksi.



44



(21)



Daftar adanya tersangka.



(22)



Berita acara pemeriksaan tersangka.



(23)



Foto tersangka.



(24)



Berita acara pengambilan sumpah/ janji juru bahasa/ahli.



(25)



Daftar barang bukti.



(26) Surat perintah dan berita acara mengeluarkan dari tahanan. (27)



Risalah lelang.



(28) Berkas-berkas yang dibuat oleh kapal penangkap (oleat, laporan kejadian, dll). (29)



Foto-foto/dokumentasi (kalau ada).



(30) Berita acara pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan undang-undang. 12)



Penyerahan perkara kepada Kejaksaan. a) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Kejaksaan Negeri setempat secepat mungkin disertai dengan Surat penyerahan berkas perkara. b) Kejaksaan Negeri akan mempelajari berkas tersebut untuk kemudian memeriksa kelengkapannya. Apabila tidak lengkap, maka berkas perkara dikembalikan kepada penyidik dengan surat P.18 (surat pengembalian berkas perkara yang tidak lengkap), disertai dengan petunjuk perbaikan P.19. c) Apabila penyidik terlalu lama menyelesaikan perbaikan berkas perkara tersebut, maka Kejaksaan Negeri akan memberikan peringatan dengan memberikan P.20. d) Dengan lengkapnya berkas perkara, pihak Kejaksaan Negeri akan mengeluarkan P.21. Apabila dalam jangka waktu 14 hari pihak Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil penyidikan maka penyidikan dianggap sudah selesai dan penyidik dapat menyerahkan tersangka dan barang bukti. e) Penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti sesuai P.21 kepada Kejaksaan Negeri disertai Berita acara serah terima tersangka, Barang Bukti dan Berkas Perkara. f) Apabila berkas perkara ditolak oleh Kejaksaan Negeri dan penyidik tidak dapat melengkapinya karena tidak cukup bukti atau bukan perkara pidana, maka:



45



(1) Penyidik mengusulkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kepada komando atas disertai alasan yuridis. (2) Tersangka dapat dibebaskan dan barang bukti dikembalikan kepada yang berhak setelah mendapat persetujuan dari komando atas. (3) Persetujuan dari komando atas, diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama untuk mencegah implikasi hukum dikemudian hari.



36.



Laporan Perkembangan Proses Hukum. a. Laporan Perkembangan Hasil Penyidikan. Penyidik Pangkalan membuat dan melaporkan perkembangan proses penyidikan sampai dengan diterimanya berkas penyidikan oleh Jaksa Penuntut Umum (P21). Laporan dibuat secara periodik ke Panglima Armada sesuai mekanisme pelaporan. b. Laporan Perkembangan Hasil Persidangan. Dalam hal perkara telah dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri maka penyidik wajib memonitor proses hukum perkara tersebut sampai mendapatkan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Penyidik melaporkan perkembangan kasusnya secara periodik ke Panglima Armada sesuai mekanisme pelaporan.



BAB VI PENERIMAAN DAN PENYERAHAN PERKARA DARI/KEPADA INSTANSI DI LUAR TNI AL



37.



Menerima Tersangka dan Barang Bukti dari Instansi Lain. a. Penerimaan tersangka dan barang bukti dari instansi di luar TNI AL dapat dilakukan apabila tindak pidana yang diduga dilakukan, penyidikannya merupakan kewenangan penyidik TNI AL. b.



Tindak pidana tersebut antara lain : 1) Tindak Pidana dalam TZMKO Stbl. 1939 No. 442, sesuai pasal 13 ayat (1) TZMKO. 2) Tindak Pidana Perompakan/Pembajakan di Laut, sesuai ketentuan pasal 14 TZMKO jo pasal 110 UNCLOS 1982. 3) Tidak Pidana yang terjadi di ZEEI, sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.



46



4) Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, sesuai ketentuan pasal 39 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. 5) Tindak Pidana Lingkungan Hidup, sesuai ketentuan pasal 40 ayat (5) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo pasal 14 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1983 jo pasal 24 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1996. 6) Tindak Pidana Perikanan, sesuai ketentuan pasal 73 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 7) Tindak Pidana Pelayaran, sesuai ketentuan pasal 282 ayat (1) dan penjelasannya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 8) Tindak Pidana Wilayah Negara, sesuai ketentuan pasal 7 UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. c. Dalam hal TNI AL menerima pelimpahan tersangka dan barang bukti dari pihak/instansi lain, didahului dengan pembuatan Berita Acara Serah Terima dan disertai penyerahan: 1)



Tersangka.



2)



Barang bukti.



3)



Sedapat mungkin dengan Berkas Perkara (awal).



d. Melaporkan penerimaan tersebut kepada Komando Atas sesuai mekanisme pelaporan. e. Laksanakan proses penyidikan sesuai ketentuan yang berlaku dan laporkan perkembangan kasusnya secara periodik ke Panglima Armada sesuai mekanisme pelaporan serta tembusan kepada pihak/instansi yang menyerahkan sebelumnya.



38.



Menyerahkan Tersangka dan Barang Bukti kepadaInstansi Lain. a. Dalam hal TNI AL melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana yang penyidikannya bukan merupakan kewenangan Penyidik TNI AL, maka harus diserahkan kepada Penyidik instansi lain. b.



Tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tindak pidana Senjata Api dan Bahan Peledak (Undang-Undang Drt. Nomor 12 Tahun 1951), TNI AL menyerahkan penyidikannya kepada Penyidik Polri. 2) Tindak Pidana Benda Cagar Budaya (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992),TNI AL menyerahkan penyidikannya kepada PPNS Depbudpar atau PPNS Departemen Kelautan dan Perikanan. 3) Tindak Pidana Keimigrasian (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992), TNI AL menyerahkan penyidikannya kepada PPNS Keimigrasian atau Polri.



47



4) Tindak Pidana Psikotropika (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997) dan Narkotika (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997), TNI AL menyerahkan penyidikannya kepada PPNS Depkes atau Polri. 5) Tindak Pidana Kehutanan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999), TNI AL menyerahkan penyidikannya kepada PPNS Kehutanan atau Polri. 6) Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003), TNI AL menyerahkan penyidikannya kepada Polri. 7) Tindak Pidana Kepabeanan (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995), TNI AL menyerahkan penyidikannya kepada PPNS Bea Cukai. c. Pada saat TNI AL menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada pihak/instansi lain, didahului dengan pembuatan Berita Acara Serah Terima dan disertai penyerahan:



d.



1)



Tersangka.



2)



Barang bukti.



3)



Berkas Perkara (awal).



Melaporkanpenyerahan kepadaKomando Atas sesuai mekanisme pelaporan.



BAB VII PENUTUP



39.



Perlakuan. a. Prosedur Tetap Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional oleh TNI AL ini merupakan penjabaran dari petunjuk operasi keamanan laut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Prosedur tetap ini digunakan sebagai pedoman bagi prajurit TNI AL di lapangan dalam menangani pelanggaran tindak pidana di laut dan harus ada di KRI, KAL, Pangkalan TNI AL dan Kotama operasional lainnya.



40.



Penerapan. a. Dengan diberlakukannya prosedur tetap ini, dapat memberikan kepastian akan kebenaran langkah-langkah yang diambil dalam menangani tindak pidana di lautpada masa damai. b. Dalam penerapannya, prosedur tetap ini akan selalu dikaji dan dievaluasi, serta bila perlu diadakan perubahan sesuai dengan perkembangan peraturan perundangan.



48



c. Pada saat berlakunya prosedur tetap ini, apabila terdapat kekeliruan dan/atau adanya perubahan peraturan perundang-undangan, maka akan direvisi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Kepala Staf Angkatan Laut,



Tedjo Edhy Purdijatno, S.H. Laksamana TNI



TENTARA NASIONAL INDONESIA MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT



PERKASAL NOMOR 32 /V/2009 TENTANG PROSEDUR TETAP PENEGAKAN HUKUM DAN PENJAGAAN KEAMANAN DI WILAYAH LAUT YURISDIKSI NASIONAL OLEH TNI AL



49



4 Mei 2009