Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia oleh: Arifatus Sholikha/SAA VIII Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia di kenal sejak tahun 1930. Ilmu ini dipelajari pada sekolah-sekolah swasta, seperti pada kursus “Normal Puri”, Sekolah Tsanawiyah di Bukitinggi dan Islamic College di Padang. Materi ini diajarkan oleh Muchtar Luthfi dan Ilyas Ya’kub yang menjadi pengajar di sana dimana kedua nya pernah belajar di Kairo, Mesir. Ilmu ini juga dijadikan sebagai bidang studi, seperti yang dipraktikkan di Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Batu Sangkar dan Training College di Paya Kumbuh. Prof. Dr. Mahmud Yunus, masyhur menjadi pengajar utama dengan buku karangannya ‘Al-Adyan‘, yang artinya ‘agama-agama/agama (jamak)’. Materi ini juga telah digunakan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor, di Jawa Timur sebagai materi dalam kurikulum KMI (Kulliyatul Mu’alimin AlIslamiyyah) untuk para santrinya. Materi ini juga diaplikasikan di level perguruan tingginya,yaitu di Fakultas Ushuluddin. Program Studi Perbandingan Agama lahir semenjak berdirinya perguruan tinggi ini. Tujuannya terutama tidaklah lain guna kepentingan dan orientasi dakwah bagi para alumni Gontor. [1]             Di Indonesia, Ilmu ini mulai diajarkan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1961. [2] Pada tahun 1964 terbitlah buku pertama tentang Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Dr. A. Mukti Ali dengan judul Ilmu Perbandingan Agama Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistima. Pada periode pra-Mukti Ali, Ilmu ini masih sangat terbatas sekali. Ilmu ini dijadikan alat dakwah dan secara apologetis membuktikan keunggulan dan ketinggian dari agama Islam, sekaligus buku-buku yang ditulis hanya memperlihatkan segi kelemahan agama lain. Tulisan-tulisan Mukti Ali diniscayakan menguatkan akidah umat Islam ketika itu karena derasnya arus kristenisasi.             Keadaan seperti inilah yang melatarbelakangi ulama-ulama seperti M. Arsyad Thalib Lubis[3] di Sumatera Utara untuk menjaga keutuhan akidah Islam dengan menulis buku-buku yang sifatnya membela Islam dan menolak lajunya kristenisasi saat itu. Pada periode H. A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia mengalami perkembangan, Ilmu ini telah membahas tentang metode, sistematika, sejarah dan berbagai pendekatan yang digunakan dalam mempelajari Ilmu Perbandingan Agama. pada periode ini, mempelajari Ilmu Perbandingan Agama tidak lagi dimaksudkan untuk saling menyalahkan,



kecam-mengecam, namun telah mampu membangun suatu kesadaran “Agree in Disagreement” (setuju dalam perbedaan).[4] Ilmu Perbandingan Agama dan Tantangan Kerukunan             Konsekuensi dan tantangan kerukunan juga muncul dari disiplin ilmu tersebut. Pasalnya, berlandaskan ilmu ini, masyarakat Indonesia mampu menjalankan dialog antar umat beragama. Pada pemerintah tercatat 23 kali menyelenggarakan dialog yang berlangsung di 21 kota, adanya diaog ini menunjukan betapa pentingnya jalinan hubungan yang harmonis antar penganut agama, terutama di mata pemerintah. Bahkan menghasilkan Badan Konsultasi Antar Umat Beragama di Indonesia. Tidak hanya itu, Ilmu Perbandingan Agama juga menginisiasi kesadaran baru akan ttantangan yang dihadapi agama adalah juga tantangan yang harus dihadapi oleh umat manusia secara bersamasama. Tantangan-tantangan tersebut adalah pluralisme, kemiskinan, hak asasi manusia, keterbelakangan dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangannya, kendala-kendala dan problematika muncul atas Ilmu tersebut dalam konteks ke-Indonesiaan.[5] kendala tersebut meliputi: Masuknya Islam di Indonesia pertama kali lebih bercorak tasawuf, yang mana lebih menekankan amaliyah daripada pemikiran. Pemikiran ulama-ulama Indonesia tentang Islam lebih banyak berorientasi dalam bidang fiqh. Munculnya semangat dakwah yang menimbulkan suatu cabang ilmu pengetahuan sendiri “Ilmu Dakwah”, yang tentu berbeda dengan Ilmu Perbandingan Agama dari segi pembahasannya.[6] Anggapan bahwa Ilmu ini lahir dari Barat. Ada dua hal yang menyebabkan Ilmu Perbandingan Agama menjadi kurang berkembang terutama di Indonesia:[7] Pertama, adanya kekhawatiran bahkan keberatan dari sebagian kalangan jika didekati secara ilmiah, karena akan membawa ketidak berpihakan kepada salah satu agama dan bisa jadi akan menimbulkan pendapat bahwa agama itu sama bagusnya. Kedua, dalam agama tidak mampu diberlakukan metode ilmiah -logiko, hipotetiko, verifikasi-. Adanya anggapan ilmu ini datang dari Barat, yang mana mengakibatkan pendangkalan akidah bahkan sebagai perelatifan agama. Sejarah mencatat, bahwa kegagalan dialog antar umat beragama yang diadakan pada tahun 1969, merupakan bukti nyata penting ilmu perbandingan agama. Hal ini pernah dilontarkan Mukti Ali bahwa “tanpa ilmu Perbandingan Agama dialog mustahil dilaksanakan.” Sebab, dialog yang diprakarsai oleh pemerintah,



dengan melibatkan pemimpin-pemimpin agama, seperti Islam, Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha mustahil diadakan kalau peserta dialog tidak memiliki kualifikasi disiplin ilmu ini, sehingga materi yang diperbincangkan memasuki Kawasan teologi dan ibadah. akhirnya tidak dikatakan kata sepakat karena mempertahankan pendapatnya.[8] Dua tahun setelah dialog pertama, tepatnya pada tahun 1971 sebuah dialog kembali diadakan, akan tetapi dialog kali ini tidak melibatkan para pemimpin agama, akan tetapi dialog dihadiri oleh sarjana-sarjana agama, sehingga materi pembicaraan tidak memasuki arena teologi atau keyakinan, akan tetapi difokuskan pada masalah-masalah pembangunan, kemanusiaan dan hal-hal yang menyangkut kerjasama atas nama kemanusiaan. sehingga menghasilkan kesepakatan dan lahirnya “Trilogi Kerukunan” umat beragama, yaitu: Kerukunan intern Umat Beragama, Kerukunan antar Umat Beragama, dan Kerukunan antar Umat Beragama dengan Pemerintah.[9] (Ed. Rizal Maulana) Catatan Kaki [1] Muhammad Adib Fuadi Nuriz, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Spirit for Education and Development) hal.45 [2] Khairah Husin, 2014. Peran Muhkti Ali dalam Pengembangan Toleransi antar Agama di Indonesia, Jurnal Ushuluddin, vol. 21, hal. 102 [3] Seorang politikus Indonesia, penulis, ulama dan tokoh pendiri Al Washliyah [4] Muhammad Adib Fuadi Nuriz, Ilmu Perbandingan Agama…, hal. 49. [5] Muhammad Adib Fuadi Nuriz, Ilmu Perbandingan Agama…, hal. 50. [6] Darojat Ariyanto, 2006. Ilmu Perbandingan Agama (Isi, Perkembangan dan Manfaatnya bagi seorang Muslim), Suhuf, Vol.18, No. 2, hal. 112. [7]Kamaluddin, Perbandingan Agama: Menulis Upaya Menciptakan Kesadaran Pluralisme [8] Muhammad Adib Fuadi Nuriz, Ilmu Perbandingan Agama…, hal. 53-54. [9] Khairah Husin, 2014. Peran Muhkti Ali …, hal. 107.



Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang tergolong masih muda bila dilihat dari umurnya yang baru mencapai masa kejayaannya pada abad ke-19. Namun bila kita cermati seksama, tidak ada suatu apapun didunia ini yang muncul secara tiba-tiba tanpa disertai asal-usul, begitu pula dengan Ilmu Perbandingan Agama. Proses suatu keilmuan memerlukan tahapan yang panjang dan waktu yang lama untuk mencapai sebuah disiplin keilmuan. Sehingga Ilmu ini bukanlah tidak memiliki asal-usul atau suatu proses. Proses itu telah terjadi beberapa abad yang lalu, dan telah dikaji dari berbagai ilmuwan Yunani, Kristen, Yahudi dan lain-lain. Oleh karena itu, junal ini berusaha mengulas tentang sejarah perkembangan Ilmu Perbadingan Agama dengan menggunakan tinjauan pustaka atau literatur. 1. Yunani dan Romawi Kuno Di Barat Ilmu Perbandingan Agama mulai mencapai masa keemasan yaitu sekitar abad ke-19 masehi. Pencapaian masa tersebut merupakan usaha dua tokoh besar ilmu perbandingan agama yaitu seorang sarjana belanda ahli mesir yang bernama “C.P Tiele” dan seorang ahli filologi kelahiran jerman yang bernama “Friedrich Max Muller”.[1] Namun ilmu ini telah di bahas jauh sebelum masa tersebut, yaitu ketika masa Yunani dan Romawi Kuno.  Munculnya ilmu ini di sebabkan rasa ketertarikan Yunani dan Romawi Kuno terhadap agama lain yang memiliki ajaran yang berbeda. Metode yang di gunakanpun tidak jauh berbeda dengan metode yang di gunakan pada saat ini dimana metode yang di gunakan adalah studi kritik terhadap bentuk-bentuk agama yang di pelajari. Selain itu, metode yang digunakan adalah dengan metode Fenomenologi dan Perbandingan. Metode Fenomenologi adalah metode dengan cara mencatat dan mendekskripsikan gejala-gejala agama sesuai dengan kejadian dan meninggalakan segala asumsi yang bersifat subjektif. Sedangkan metode perbandingan adalah metode dengan cara membandingkan agama satu dan agama lainnya untuk mencari persamaan universal dari semua agama.[2] 2.  Yahudi dan Kristen Sebelumya telah di jelaskan tentang peradaban Yunani yang mencerminkan sikap terbuka dan toleran.  Hal demikian terbukti dengan munculnya ilmu perbandingan agama di yunani  berbeda dengan yahudi yang memiliki sikap intoleran dan eksklusif. Yahudi memilki kepercayaan dan bertanggung jawab untuk menjaga kemurnian tehadap Yahweh, sikap tersebut muncul sebagai reaksi terhadap agama yang ada pada saat itu yaitu agama kan’an yang memiliki



dewa dewi yang banyak. Maka munculnya ilmu perbandingan agama di yahudi sangat sulit karna reaksi yang ada pada kaum Yahudi itu sendiri.[4] Sikap intoleran yang ada pada agama yahudi ini tidak berhenti sampai di sini, bahkan melanjut sampai kepada agama keristen yang menyatakan bahwasanya tidak ada keselamatan di luar gereja dan keselamatan hanya dengan mengimani yesus kristus sebagai tuhan, mereka bahkan sampai menyerang agama lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama mereka. Menurut mereka, ajaran di luar kristen merupakan karya setan atau roh jahat lainnya. Hal demikian sebagaman yang sering dikemukakan oleh para apologiste kristen abad ke 2 masehi seperti Justin Martyr,Tatian,Minucius, Felix, Tertulian, dan Cyprian.[5]   3. Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Barat Sejarah ilmu perbandingan agama dapat terbagi atas tiga fase. Pertama, pada abad ke-15 dan 16 yang merupakan awal munculnya ilmu perbandingan agama. Ke dua, pada abad ke-17 dan 18 yang merupakan titik perkembangan dan pertumbuhan ilmu perbandingan agama. Ketiga, abad ke-19 yang merupakan puncak keemasan ilmu perbandingana agama. [6] Seperti yang kita ketahui, di abad 15-16 adalah abad di mana terjadinya masa Renaissans yang menimbulkan dua fenomena yaitu munculnya perhatian terhadap studi mithologi dan di lakukan perjalanan-perjalanan eksplorasi ke negara-negara lain. Akan tetapi gerakan reneissens ini hanya memilki dampak yang sedikit terhdapa ilmu perbandingan agama. Hal itu terbukti dengan jumlah tokoh yang mengkaji tentang ilmu perbandingan agama tidak terlalu banyak. Seperti Martin Luther yang mengkaji tentang islam dan Zwingli yang tertarik dengan filsafat Yunani. Setelah melihat dari apa yang terjadi, abad ini hanya dapat di katakan sebagai titik awal munculnya ilmu perbandingan agama saja, karena sulitnya perkembangan ilmu tersebut pada abad ini.[7] Perkembangan selanjutnya terlihat pada abad ke 17-18 dengan munculnya gerakan konter-reformasi, yaitu kelompok masyarakat yesus (The Society of Yesus) dan perluasan misi ke Amerika Utara, Asia Timur, India dan Cina. Perhatian lebih kemudian muncul pada studi agama di cina. Menurut Matteo Ricci ajaran konfusius tentang hakekat Tuhan sama dengan ajaran gereja, dan ajaran konfusius untuk tidak memuja langit yang tidak terlihat akan tetapi memuji tuhan yang tidak terlihat, tuhan langit dengan mudah di serap menjadi ajaran agama Kristen.[8]



4.  Islam Munculnya ilmu perbandingan agama dalam islam di tandai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Ibnu Hazm Alandalusy (wafat 1013 M), As-Shahrastani (wafat 1153 M), Abu Royhan Al-Birruni (wafat 1048 M), Abu Hamid AlGhazali (wafat 1111 M).[15] Ibnu Hazm Al-Andalusy merupakan tokoh ilmu perbandingan agama dengan Karangannya adalah Al-Fashl fil Milal Wal Ahwa Wa Nihal. Ibnu Hazm menjelaskan di dalam bukunya tentang pembagian Kristen menjadi dua golongan. Golongan politeistis dan golongan yang masih berpegangan teguh dengan ajarannya. Golongan politeistis adalah mereka yang ajarannya telah di selewengkan oleh Yahudi dan kaum mereka sendiri. Selain itu Ibnu Hazm mengungkapkan terdapat 78 pasal dalam kitab injil yang saling bertentangan sehingga dapat di simpulkan bahwa kitab Injil bukanlah berasal dari wahyu.[16] Kecerdasan Ibnu Hazm terlihat dari pemahamannya terhadap perjanjian lama dan perjanjian baru yang tergambarkan dalam karya agungnya di atas. Selain itu karena kritikan yang tajam terhadap umat Kristen dan sumbangan yang besar terhadap ilmu perbandingan agama, para sarjana barat dan islamis barat memberikan pengakuan dan pengukuan terhadap karya-karyanya.[17] Ilmu perbandingan agama dalam Islam selanjutnya di kembangkan oleh seorang theolog terkemuka yang telah mendapat epresiasi besar dari Timur maupun di Barat. Diapun telah berhasil merekam sejarah panjang pemikiran para filusuf, teolog, ahli hikmah, termasyhur dari penjuru dunia serta berbagai bentuk agama, kepercayaan, sekte lainnya di luar Islam di dalam sebuah buku yang berjudul Al-Milal wa Al-Nihal.[18] Namun perkembangan ini hanya bersifat apologis, yaitu jawab atas kritik Kristen terhadapap islam. Sebagaimana Ahmand As-sanhaji Al-qorafi yang menulis tentang Al-Ajwibah Al-Fakhirah an Al-As’ilah Al-Fajirah. Kitab ini berisi tentang jawaban atas buku yang dikarang oleh Uskup dari Sidon dengan judul Risalah ila Ahad Al-Muslim. Lalu Muhammad Abduh menulis buku AlIslam Wa Al-Nasraniyyah Ma’a Al-Ilmi Wa Al-Madaniayah sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan dalam Al-Jami’ah.[19] Ada dua faktor yang menyebabkan ilmu perbandingan agama kurang berkembang dalam Islam di antar lain sedikitnya literatur-literatur orisinil yang berasal dari penilitian dan pengkajian langsung terhadap agama. Selain itu kurangnnya perhatian agama islam terhadap ilmu-ilmu yang bersifat empiris dan lebih mementingkan ilmu yang bersifat teologis, seperti Tauhid, Fiqh, Ilmu Kalam, Tasawuf dan Ulum Al-Hadits.[20] 5. Referensi



 Djam’annuri “Studi Agama-Agama, Sejarah dan Pemikiran” Pustaka Rihlah, Jogjakarta: 2003  Wach, Joachim “Ilmu Perbandingan Agama, Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan”. Penerbit CV Rajawali, Jakarta Utara, cetakan ke -3 : 1992  Adib Fuadi, Muhammad “Ilmu Perbadingan Agama”. Spirit for Education and Development, Yogyakarta: 2012