Perse Dia An [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERSEDIAAN 1. PENGERTIAN Perusahan dagang dan perusahaan manufaktur selalu memiliki persedaan di toko maupun di gudang perusahaan. Persediaan tersebut dapat berupa persedaan bahan baku, barang dalam proses, atau barang jadi. Persediaan harus dimiliki karena merupakan produk perusahaan yang harus dijual sebagai sumber pendapatan. Persediaan merupakan salat satu aset perusahaan yang sangat penting karena berpengaruh langsung terhadap kemampuan perusahan untuk memperoleh pendapatan. Karena itu, persediaan harus dikelola dengan baik dan dicatat dengan baik agar perusahaan dapat menjual produknya serta memperoleh pendapatan sehingga tujuan perusahaan tercapai. Persediaan adalah sejumlah barang jadi, bahan baku, dan barang dalam proses yang dimilki perusahaan dengan tujuan untuk dijual atau diproses lebih lanjut. Perusahaan dagang yang aktivitasnya adalah membeli dan menjual barang jadi, memiliki persediaan dalam bentuk barang jadi atau barang dagang. Sedangkan perusahaan manufaktur yang harus memperoses bahan baku hingga menjadi barang jadi, memiliki tiga jenis persediaan, yaitu persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan perdediaan barang jadi. Barang dagang yang berada di gudang perusahaan tetapi bukan milik perusahaan tidak dapat dikelompokkan sebagai persediaan. 2. METODE PENCATATAN Persediaan perusahaan dicatat dan diakui sebesar harga belinya, bukan harga jualnya. Harga beli adalah yang tercantum di faktur pembelian. Jika dalam transaksi pembelian terdapat pengeluaran tambahan seperti ongkos angkut pembelian, maka akan dicatat di akun yang terpisah, yatiu ongkos angkut pembelian. Jika dalam transaksi pembelian tersebut perusahaan memperoleh potongan pembelian, maka harus dicatat di akun terpisah, yaitu akun potongan pembelian. Walaupun akun-akun tersebut pada akhirnya akan dijumlahka ketika menghitung beban pokok penjualan, tetapi pada dasarnya persediaan barang dagang harus dicatat sebedar harga belinya. Secara umum, terdapat dua metode yang dipakai untuk menghitung dan mencatat persediaan berkaitan dengan penghitungan beban pokok penjualan: 1. Metode Fisik Metode fisik atau disebut juga metode periodik adalah metode pengelolaan persediaan, di mana arus keluar masuknya barang tidak secara terinci sehingga untuk mengetahui nilai persediaan pada suatu saat tertentu harus melakukan penghitungan barang secara fisik (stock



1



opname) di gudang. Penggunaan metode fisik mengharuskan penghitungan barang yang ada (tersisa) pada akhir periode akuntansi ketika menyusun laporan keuangan. - Persediaan awal barang - Pembelian



xxx xxxx



- Persediaan Total



xxxxx



- Persediaan akhir



(xx)



- Beban Pokok Penjualan



xxx



Beban pokok penjauan adalah harga beli atau total produksi dari sejumlah barang yang telah laku terjual pada suatu periode tertentu. Untuk mengetahui beban pokok penjualan pada suatu periode tertentu, harus diketahui volume dan nilai persediaan akhir pada periode tersebut. Dan untuk mengetahui nilai persediaan akhir, harus dilakukan penghitungan fisik (stock opname) di gudang. Metode ini lebih cocok dipakai oleh perusahaan yang frekuensi transaksinya tinggi dan nilai uang per transaksi yang rendah, seperti dalam perusahaan eceran. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk mengetahui beban pokok penjualan suatu perusahaan dengan menggunakan megode periodik, harus dilakukan perhitungan fisik persediaan yang dimilikinya. Dalam perhitungan fisik (stock opname) persediaan tersebut, harus ditentukan jumlah persediaan yang dimiliki perusahaan secara pasti. Setelah diketahui volume persediaannya, jumlah barang dikalikan dengan harga beli per unit barang dagang tersebut. Persoalannya, jika harga beli barang berbeda satu dengan lainnya, maka perusahaan memiliki pilihan untuk menggunakan beberapa harga beli yang berbeda. Untuk menentukan harga beli sebagai dasar penentuan nilai persediaan yang dimiliki perusahaan pada suatu periode, terdapat beberapa metode, yaitu: a) FIFO (First In First Out) Dalam metode ini, barang yang masuk (dibeli atau diproduksi) terlebih dahulu akan dikeluarkan (dijual) pertama kali, sehinggi yang tersisa pada akhir periode adalah barang yang berasal dari pembelian atau produksi terakhir. Contoh: PT. Niaga Jaya adalah distributor microwave merek “Hotmix” yang berlokasi di Medan. Selama bulan Januari 2019, data yang dimiliki perusahaan ini berkaitan dengan persediaan microwave adalah sebagai berikut: Tanggal 1 Janari 2019 12 Januari 2019 21 Januari 2019 31 Januari 2019



Keterangan Persediaan Pembelian Pembelian Pembelian TOTAL



volume 250 unit 300 unit 350 unit 100 unit 1.000 unit



Harga/unit Rp.550.000 Rp.600.000 Rp.640.000 Rp.675.000



Nilai Rp.137.500.000 Rp.180.000.000 Rp.224.000.000 Rp.67.500.000 Rp.609.000.000



Selama bulan Januari 2019, perusahaan ini menjual 700 unit microwave kepda para pelanggannya secara tunai dengan harga jual Rp.900.000 per unit, dan perusahaan tidak 2



mencatat keluar masuknya barang tersebut secara rinci. Pada akhir bulan Januari 2019, bagian akuntansi dan gudang perusahaan melakukan stock opname persediaan. Hasil perhitungan fisik menunjukkan jumlah persediaan pada akhir bulan Januari sebanyak 300 Unit microwave. Karena perusahaan menggunakan metode FIFO, maka dari 300 unit persediaan pada akhir bulan Januari itu, harga beli microwave yang digunakan adalah harga terakhir, yaitu sebanyak 100 unit menggunakan harga Rp.675.000 per unit dan sebnyak 200 unit menggunakan harga Rp.640.000 per unit. Jadi, nilainya adalah: - 100 unit @ Rp.675.000 - 200 unit @ Rp.640.000 - Total



= Rp. 67.500.000 = Rp.128.000.000 = Rp.195.000.000



Karena hasil stock opname menunjukkan nilai persediaan pada akhir Januari 2019 sebesar 300 Unit bernilai Rp195.000.000, maka beban pokok penjualan (BPP) bulan Januari 2019 adalah Rp.413.500.000 yang dihitung sebagai berikut: -



Persediaan awal (1 Januari 2019) Rp.137.500.000 Pembelian 471.500.000 Persediaan Total 609.000.000 Persediaan akhir (31 Januari 2019) (195.000.000) Beban Pokok Penjualan 413.500.000



Nilai beli sebesar Rp.471.500.000 adalah nilai beli pada bulan Januari 2019 untuk 3 kali transaksi pembelian, yaitu pada tanggal 12, 21, dan 31 Januari 2019. b) LIFO (Last In First Out) Dalam metode ini, barang yang masuk (dibeli atau diproduksi paling akhir akan dikeluarkan/dijual paling awal). Jadi, barang yang tersisa pada akhir periode adalah barang yang berasal dari pembelian atau produksi awal periode. Dalam kasus PT Niaga Jaya, jika perusahaan menggunakan metode LIFO, maka akan menghasilkan nilai persediaan akhir yang berbeda di mana hasil perhitngan fisik (sotock opname) menunjukkan jumlah persediaan pada akhir bulan Januari sebanyak 300 unit microwave.



Karena perusahaan menggunakan metode LIFO, maka dari 300 unit



persediaan pada akhir bulan Januari harga beli microwave yang digunakan adalah harga awal, yaitu sebanyak 250 unit menggunakan harga Rp.550.000 per unit dan sebanyak 50 unit menggunakan harga Rp.600.000 per unit. Jadi, nialinya adalah: - 250 unit @ Rp.550.000 - 200 unit @ Rp.640.000 - Total



= Rp.137.500.000 = Rp. 30.000.000 = Rp.167.500.000



Karena hasil stock opname menunjukka nilai persediaan pada kahir bulan Januari 2019 sebanyak 300 unit bernilai Rp.167.500.000, maka beban pokok penjualan (BPP) bulan Januari 2019 adalah Rp.441.500.000 yang dihitung sebagai berikut: 3



-



Persediaan awal (1 Januari 2019) Rp.137.500.000 Pembelian 471.500.000 Persediaan Total 609.000.000 Persediaan akhir (31 Januari 2019) (167.500.000) Beban Pokok Penjualan 441.500.000



IFRS tidak mengizinkan penggunaan LIFO dalam mencatat persediaan. Tetapi dalam pelajaran ini, metode LIFO tetap disajikan untuk menambah wawasan pembelajaran pada pembaca, agar tetap dapat memahami metode pencatatan dan perhitungan BPP dengan metode LIFO. Namun, pada saat yang sama pembaca juga mengetahui bahwa metode tersebut tidak diizinkan untuk digunakan. c) Rata-rata (Average) Dalam metode ini barang yang dikeluarkan/dijual maupun barang yang tersisa dinilai berdasarkan harga rata-rata, sehingga barang yang tersisa pada akhir periode adalah barang yang memiliki nilai rata-rata. Dalam kasus PT. Niaga Jaya, jika perusahaan meggunakan metode rata-rata, maka akan menghasilkan nilai persediaan akhir yang berbeda di mana hasil perhitungan fisik (sock opname) menunjukkan jumlah persedian pada akhir bulan Januari sebanyak 300 unit microwave. Karena perusahaan menggunakan metode Rata-rata (Average), maka dari 300 unit persediaan pada akhir bulan Januari harga beli microwave yang diguanakan adalah harga rata-rata. Selama bula Januari 2019, PT. Niaga Jaya Memiliki 1000 unit microwave dengan nilai sebesar Rp.609.000.000. Karena dari 1000 unit persediaan tersebut memiliki harga beli yang berbeda, maka harga beli rata-rata persediaan adalah Rp.609.000.000 : 1000 unit = Rp.609.000 per unit. Jadi nilai persediaan perusahaan pada akhir bulan Januari 2019 adalah Rp.609.000 x 300 unit = Rp. 182.700.000. Karena hasil stock opname menunjukkan nilai persediaan pada akhir bula Januari 2019 sebanyak 300 unit bernilai Rp.182.700.000, maka beban pokok penjualan (BPP) bulan Januari 2019 adalah Rp.426.300.000 yang dihitung sebagai berikut: -



Persediaan awal (1 Januari 2019) Rp.137.500.000 Pembelian 471.500.000 Persediaan Total 609.000.000 Persediaan akhir (31 Januari 2019) (182.700.000) Beban Pokok Penjualan 426.000.000



4



2. Metode Perpetual Metode ini adalah metode pengelolaan di mana arus masuk dan arus keluar persediaan dicatat secara terinci. Dalam metode ini setiap jenis perdediaan dibuatkan kartu stock yang mencatat secara rinci keluar masuknya barang di gudang beserta harganaya. Metode ini dapat juga menggunakan ketiga metode penialian persediaan yang sudah dijelaskan di atas yaitu FIFO, LIFO, dan MOVING AVERAGE (rata rata bergerak) a) FIFO (First In First Out) Dalam metode ini, barang yang masuk (dibeli atau diproduksi) terlebih dahulu akan dikeluarkan (dijual) pertama kali, sehingga yang tersisa pada akhir periode adalah barang yang berasal dari pembelian atau produksi terakhir. b) LIFO (Last In First Out) Dalam metode ini, barang yang masuk (dibeli atau diproduksi paling akhir akan dikeluarkan/dijual paling awal), sehingga barang yang tersisa pada akhir periode adalah barang yang berasal dari pembelian atau produksi awal periode. c) Moving Average Dalam metode ini, barang yang dikeluarkan/dijual maupun barang yang tersisa dinilai berdasarkan harga rata-rata bergerak. Jadi, barang yang tersisa pada kahir periode adalah barang yang memiliki nilai rata-rata. Karena metode erpetual mengharuskan perusahaan memiliki kartu stok, maka setiap arus keluar barang dapat diketahui beban pokoknya. Jadi, dalam membuat jurnal transaksi penjualan, metode perpetual mengharuskan akuntan mencatat beban pokok penjualannya dari setiap transaksi penjualan yang dilakukan. Dengan demikian, dari setiap jurnal transaksi penjualan, dapat diketahui laba kotor yang diperoleh perusahaan. Metode ini, jika diterapkan secara murni, lebih cocok digunakan dalam perusahaan yang frekuensi transaksinya tidak terlalu tinggi, tetapi nilai per unit transaksinya besar. Metode periodik dan metode perpetual tidak hanya memiliki perbedaan dalam cara menghitung beban pokok penjualan dan cara mengelola persediaannya, tetapi juga dalam metode membuat jurnal transaksi yang berkaitan dengan pembelian dan penjualan. Seperti terlihat berikut ini: Jurnal Transaksi Periodik Perpetual Pembelian barang dagang: Pembelian xxx Persediaan xxx Kas xxx Kas xxx Penjualan barang dagang: Kas xxx Kas xxx Penjualan xxx Penjualan xxxx BPP xxx Persediaan xxx 5



Kedua metode pencatatan tersebut memiliki cara mencatat yang berbeda, khususnya untuk transaksi pembelian dan penjuala seperti terlihat pada tabel di atas. Karena kedua transaksi tersebut memiliki metode pencatatan yang berbeda, maka dalam penyusunan laporan laba rugi pun akan menghasilkan susunan yang sedikit berbeda. Contoh berikut ini mungkin dapat memperjelas penjelasan di atas megenai metode pencatatan persediaan dan pengaruhnya terhadapa perolehan laba perusahaan. PT. DoReMi adalah distributor monitor komputer yang berlokasi di Medan. Pada akhir bulan Maret 2019, perusahaan tersebut memiliki jumla persediaan monitor sebanyak40 unit @Rp.800.000. Transaksi pembelian dan penjualan yang dilakukan selama bulan April 2019 adalah sebagai berikut: - 5 April



Membeli tunai 50 unit monitor



@ Rp. 900.000



- 8 April



Membeli secara kredit 40 unit monitor



@ Rp.1.000.000



- 10 April



Menjual 70 unit monitor



@ Rp.1.200.000



- 14 April



Membeli secara kredit 30 unit monitor



@ Rp.1.200.000



- 22 April



Menjual secara kredit 65 unit monitor



@ Rp.1.400.000



Berdasarkan data tersebut, buatlah kartu persediaan PT. DoReMi untuk bulan April 2019 dengan menggunakan metode: a. FIFO Perpetual b. LIFO Perpetual c. Moving Average! d. Berdasarkan data tersebut, juga buatlah laporan laba rugi komparatif per 30 April 2019, untuk menunjukkan perbedaan perolehan laba PT DoReMi jika digunakan metode pencatatan persdiaan yang berbeda (FIFO, LIFO, Moving Average)1 Jika diguanakan metode FIFO (First In First Out), maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencatat volume dan nilai persediaan pada kolom saldo awalnya, yaitu 40 unit dengan harga beli Rp.800.000 per unit dan nilai total sebesar Rp.32.000.000.



6



FIFO Tanggal 2019 April 1 5 8



Kartu Stok Unit 50 40



MASUK Harga Nilai 900.000 1.000.000



22



Keterangan:



40 30 #70 30



1.200.000



KELUAR Harga BPP



45.000.000 40.000.000



10



14



Unit



800.000 900.000



32.000.000 27.000.000 #59.000.000



36.000.000



20 900.000 18.000.000 40 1.000.000 40.000.000 5 1.200.000 6.000.000 #65 #64.000.000 # = Volume dan BPP penjualan pada tanggal tertentu * = Saldo vomume dan nilai persediaan pada tanggal tertentu.



Unit 40 50 40 *130



SALDO Harga Nilai 800.000 32.000.000 900.000 45.000.000 1.000.000 40.000.000 *117.000.000



20 40



900.000 1.000.000



18.000.000 40.000.000



30 *90



1.200.000



36.000.000 *94.000.000



*25



1.200.000



*30.000.000



Setelah itu, pada tanggal 5 April 2019 dilakukan transaksi pembelian 50 unit monitor pada harga beli sebesar Rp.900.000 per unit dengan nilai total sebresar Rp.45.000.000. Transaksi ini dicatat di kolom pembelian. Demikian pula, pada tanggal 8 April 2019 dilakukan transaksi pembelian 40 unit monitor dengan harga Rp.100.000 per unit. Pembelian pada tanggal 5 dan 8 April ini lalu dipindahakan ke kolom saldo, sehingga pata tanggal 8 April 2019 perusahaan memiliki saldo persediaan monitor sebanyak 130 unit dengan nilai Rp117.000.000,Jika kemudian pada tanggal 10 April 2019 terjadi transaksi penjualan monitor sebanyak 70 unit, maka dari 70 unit yang terjual tersebut sebanyak 40 unit diambil dari saldo awal per 1 April 2019 dan sebanyak 30 unit diambil dari pembelian tanggal 5 April 2012. Itu berarti dari penjualan 70 unit monitor pada tanggal 10 April 2019 memiliki harga pokok penjualan sebesar Rp.59.000.000. Sementara saldo persediaan pada tanggal 10 April 2012 sebanyak 60 unit dimana yang 20 unit berasal dari sisa pembelian tanggal 5 April 2019 dan 40 unit berasal dari pembelian tanggal 8 April 2019 Kemudian pada tanggal 14 April 2019, saat dilakukan pembelian 30 unit monitor dengan harga Rp.1.200.000 per unit, pembelian tersebut dicantumkan di kolom pembelian dan juga ditambahkan ke komom saldo. Jadi, pada saat ini perusahaan memiliki persediaan sebanyak 90 unit monitor dengan nilai total Rp 94.000.000.



7



Transaksi penjualan 65 unit monitor yang terjadi pada tanggal 22 April 2019 sebanyak 20 unit diambil dari persediaan yang memiliki harga beli Rp.900.000 per unit, sebanyak 40 unit yang memiliki harga sebesar Rp.1.000.000, dan sisanya sebanyak 5 unit berasal dari pembelian terakhir yang memiliki harga beli Rp.1.200.000. Itu berarti transaksi tersebut memiliki harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp.64.000.000. Jadi, pada tanggal 22 April 2012 perusahaan memiliki saldo persediaan sebanyak 25 unit yang berasal dari pembelian tanggal 14 April 2019 dan berharga beli Rp.1.200.000 per unit serta bernilai total Rp.30.000.000. Berdasarkan transakdi pembelian dan penjualan tersebut, jurnal umum yang diperlukan untuk mencatat transaksi itu adalah sebagai berikut: Buku Jurnal Tanggal Keterangan 2019 April 5 Persediaan Kas 8 Persediaan Hutang Usaha 10 Kas BPP Penjualan Persediaan 14 Persediaan Hutang Usaha 22 Kas BPP Penjualan Persediaan



Jumlah Ref.



Debit Rp.45.000.000



Kredit Rp.45.000.000



Rp.40.000.000 Rp.40.000.000 Rp.84.000.000 Rp.59.000.000 Rp.84.000.000 Rp.59.000.000 Rp.36.000.000 Rp.36.000.000 Rp.91.000.000 Rp.64.000.000 Rp.91.000.000 Rp.64.000.000



Nilai penjualan sebesar Rp.84.000.000 pada tanggal 10 April 2019 merupakan perkalian antara volume penjualan sebanyak 70 unit monitor dan harga jual sebesar Rp.1.200.000 per unit.



Sedangkan nilai BPP dan persdiaan sebesar Rp.59.000.000 dicatat menurut



perhitungan BPP dalam kartu stok perusahaan pada tanggal transaksi dengan menggunakan metode FIFO. Demikian pula, jika dingunakan metode LIFO (Last In First Out), maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencatat volume dan nilai pada kolom saldo awalnya, yaitu sebanyak 40 unit dengan harga beli Rp.800.000 per unit dan nilai total sebesar Rp.32.000.000



8



Setelah itu, pada tanggal 5 April 2019 dilakukan transaksi pembelian 50 unit monitor dengan harga beli Rp.900.000 per unit yang bernilai total Rp.45.000.000 yang dicatat di kolom pembelia. Demikian pula pada tanggal 8 April 2012, dilakukan transaski pembelian 40 unit monitor dengan harga Rp.1.000.000 per unit. Pembelian pada tanggal 5 dan 8 April lalu dipindahkan ke kolom saldo, sehingga pada tanggal 8 April 2019 perusahaan memiliki saldo persediaan monitor sebanyak 130 unit dengan nilai Rp.117.000.000 LIFO



Kartu Stok



Tanggal 2019 April 1 5 8



Unit 50 40



MASUK Harga Nilai 900.000 1.000.000



22



Keterangan:



40 30 #70 30



1.200.000



KELUAR Harga BPP



45.000.000 40.000.000



10



14



Unit



1.000.000 900.000



40.000.000 27.000.000 #67.000.000



36.000.000



30 1.200.000 36.000.000 20 900.000 18.000.000 15 800.000 12.000.000 #65 #66.000.000 # = Volume dan BPP penjualan pada tanggal tertentu * = Saldo vomume dan nilai persediaan pada tanggal tertentu.



Unit 40 50 40 *130



SALDO Harga Nilai 800.000 32.000.000 900.000 45.000.000 1.000.000 40.000.000 *117.000.000



40 20



800.000 900.000



32.000.000 18.000.000



30 *90



1.200.000



36.000.000 *86.000.000



*25



800.000



*20.000.000



Jika kemudian pada tanggal 10 April 2019 terjadi transaksi penjualan monitor sebanyak 70 unit, maka dari 70 unit yang terjual tersebut sebanyak 40 unit diambil dari pembelian terakhir pada tanggal 8 April 2019 yang memiliki beban pokok Rp.1.000.000 per unitnya, dan sebanyak 30 unit diambil dari pembelian tanggal 5 April 2012 yang berharga pokok Rp.900.000 per unit. Itu berarti dari penjualan 70 unit monitor pada tanggal 10 April 2019 memiliki harga pokok penjualan sebesar Rp.67.000.000. Saldo persediaan pada tanggal 10 April 2012 sebanyak 60 unit dimana sebanyak 40 unit berasal dari saldo awal yang berharga pokok Rp.800.000 per unit dan dan sebanyak 20 unit berasal dari pembelian tanggal 5 April 2019 yang memiliki beban pokok sebesar Rp900.000 per unit Kemudian pada tanggal 14 April 2019, dilakukan pembelian 30 unit monitor dengan harga Rp.1.200.000 per unit, pembelian tersebut dimasukkan di kolom pembelian dan ditambahkan ke komom saldo, sehinng, pada saat ini perusahaan memiliki persediaan sebanyak 90 unit monitor dengan nilai total Rp 86.000.000. Transaksi penjualan 65 unit monitor yang terjadi pada tanggal 22 April 2019, sebanyak 30 unit diambil dari persediaan yang memiliki harga beli Rp.900.000 per unit, sebanyak 40 unit 9



yang memiliki harga sebesar Rp.900.000 per unit, dan sisanya sebanyak 15 unit berasal dari saldo awal yang memiliki harga beli Rp.800.000. Itu berarti transaksi tersebut memiliki harga pokok penjualan



(HPP) sebesar Rp.66.000.000 sehingga, pada tanggal 22 April 2019



perusahaan memiliki saldo persediaan sebanyak 25 unit yang berasal dari saldo awal bulan dan berharga beli Rp.800.000 per unit yang bernilai total Rp.20.000.000 Berdasarkan transakdi pembelian dan penjualan tersebut, jurnal umum yang diperlukan untuk mencatat transaksi itu adalah sebagai berikut: Buku Jurnal Tanggal Keterangan 2019 April 5 Persediaan Kas 8 Persediaan Hutang Usaha 1 Kas 0 BPP Penjualan Persediaan 1 Persediaan 4 Hutang Usaha 2 Kas 2 BPP Penjualan Persediaan



Jumlah Ref.



Debit Rp.45.000.000



Kredit Rp.45.000.000



Rp.40.000.000 Rp.40.000.000 Rp.84.000.000 Rp.67.000.000 Rp.84.000.000 Rp.67.000.000 Rp.36.000.000 Rp.36.000.000 Rp.91.000.000 Rp.66.000.000 Rp.91.000.000 Rp.66.000.000



Nilai penjualan sebesar Rp.84.000.000 pada tanggal 10 April merupakan perkalian antara volume penjualan sebanyak 70 unit monitor dan harga jual sebesar Rp.1.200.000 per unit. Sementara itu, nilai BPP dan persediaan sebesar Rp.67.000.000 dicatat menurut perhitungan BPP dalam karut stok perusahaan pada tanggal transaksi dengan menggunaka metode FIFO. Terlihat dari kartu stok tersebut bahwa BPP dari transaksi penjualan akan lebih tinggi jika digunakan metode LIFO. Akibatnya. Laba kotor perusahaan akan lebih rendah. Dampak lanjutannya adalah laba yang dikenakan pajak akan menjadi lebih rendah, sehingga jumlah pajak penghasilan badan yang akan diterima pemerintah juga menjadi rendah. Karena itu. IFRS tidak mengizinkan penggunaan metode LIFO dalam pencatatan persediaan. Namun dalam buku ini, metode LIFO tetap disajikan guna kebutuhan proses pembelajaran kepada para pembaca agar tetap memahami metode pencatatan dan perhitungan BPP dengan metode LIFO. Tetapi pada saat yang sama, pembaca juga mengetahui bahwa metode tersebut tidak diizinkan untuk digunakan.



10



Jika digunakan metode Moving Average (rata-rata bergerak), maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencatat volume dan nilai persediaan pada kolom saldo awal, yaitu sebanyak 40 unit dengan harga beli Rp.800.000 per unit dan nilai total sebesar Rp.32.000.000. Setelah itu pada tanggal 5 April 2019, dilakukan transaksi pembelian 50 unit monitor dengan harga beli Rp.900.000 per unit dan niali total sebesar Rp.45.000.000 yang dicatat di kolom pembelian. Demikian pula pada tnggal 8 April 2019, dilakukan transaksi pembelian 40 unit monitor dengan harga Rp.1.000.000 per unit. Pembelian pada tanggal 5 dan 8 April ini lalu dipindahka ke kolom saldo, sehingga pada tanggal 8 April 2019 perusahaan memiliki saldo persediaan 130 unit dengan nilai Rp.117.000.000. Jika nilai total persediaan pada tanggal ini sebesar Rp.117.000.000 dibagi dengan jumlah persediaan monitor sebanya 130 unit, maka akan diperoleh harga beli rata-rata persediaan sebesar Rp.900.000 per unit. Harga beli ratarata inilah yang dijadikan dasar untuk menghitung beban pokok penjualan pada saat terjadi transaksi penjualan. Moving Average Tanggal 2019 April 1 5 8



Unit 50 40



Kartu Stok MASUK Harga Nilai



900.000 1.000.000



22



30



1.200.000



KELUAR Harga BPP



#70



900.000



45.000.000 40.000.000



10 14



Unit



1.000.000



SALDO Harga Nilai 800.000 32.000.000 900.000 45.000.000 1.000.000 40.000.000 900.000 *117.000.000



63.000.000



36.000.000 #65



Unit 40 50 40 *130 *60



900.000



54.000.000



30 *90



1.200.000 1.000.000



36.000.000 *90.000.000



*25



1.000.000



*25.000.000



65.000.000



Keterangan: # = Volume dan BPP penjualan pada tanggal tertentu * = Saldo vomume dan nilai persediaan pada tanggal tertentu.



Jika kemudian pada tanggal 10 April terjadi transaksi penjualan monitor sebanyak 70 unit, maka 70 unit yang terjual tersebut dikalikan dengan harga beli rata-rata sebesar Rp.900.000 per unit sehingga diperoleh nilai beban pokok penjualan sebesar Rp.63.000.000. Saldo persediaan akhir pada saat itu adalah 60 unit dengan nilai total Rp.54.000.000. Kemudian pada tanggal 14 April dilakukan pembelian 30 unit monitor dengan harga Rp.1.200.000 per unit. Pembelian tersebut dimasukkan di kolom pembelian dan ditambahkan di kolom saldo, sehingga pada saat ini perusahaan memiliki persediaan sebanyak 90 unit monitor dengan nilai total Rp.90.000.000. Jika nilai persediaan sebesar Rp.90.000.000 ini



11



dibagi dengan volume persediaan sebanyak 90 unit, maka akan diperole beban pokok persediaan rata-rata sebesar Tp.1.000.000 per unit. Transaksi penjualan 65 unit monitor yang terjadi pada tanggal 22 April 2019 itu dihitung dengan mengalika 65 unit monitor dengan harga rata-rata per unit sebesar Rp.1.000.000, sehingga diperoleh beban pokok penjualan sebesar Rp65.000.000. Pada saat ini, saldo persediaan monitor adalah 25 unit dengan nilai Rp.25.000.000. Berdasarkan transaksi pembelian dan penjualan tersebut, jurnal umum yang diperlukan untuk mencatat transaksi itu adalah sebagai berikut: Buku Jurnal Tanggal Keterangan 2019 April 5 Persediaan Kas 8 Persediaan Hutang Usaha 1 Kas 0 BPP Penjualan Persediaan 1 Persediaan 4 Hutang Usaha 2 Kas 2 BPP Penjualan Persediaan



Ref.



Jumlah Debit Rp.45.000.000



Kredit Rp.45.000.000



Rp.40.000.000 Rp.40.000.000 Rp.84.000.000 Rp.63.000.000 Rp.84.000.000 Rp.63.000.000 Rp.36.000.000 Rp.36.000.000 Rp.91.000.000 Rp.65.000.000



Rp.91.000.000 Rp.65.000.000



Nilai penjualan sebesar Rp.84.000.000 pada tanggal 10 April 2019 merupakan perkalian antara volume penjualan sebanyak 70 unit monitor dan harga jual sebesar Rp.1.200.000 per unit. Sedangkan nilai BPP dan persediaan sebesar Rp.63.000.000 dicatat menurut perhitungan BPP dalam kartu stok perusahaan pada tanggal transaksi dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang. 3. PENGARUH PEMILIHAN METODE Karena antara metode FOFO, LIFO, dan MOVING AVERAGE menggunakan harga pokok penjualan (HPP) yang berbeda untuk setiap transaksi penjualan atau setiap arus keluar barang yang terjadi, maka akan dihasilkan beban pokok penjualan yang berbeda dan perolehan laba kotor yang juga berbeda dari setiap transaksi penjualan yang terjadi. Demikian pula, akumulasi beban pokok penjualan selama suatu periode akan memiliki jumlah yang berbeda, seperti terlihat pada buku jurnal perusahaan yang melakukan dua kali transaski penjualan selama bulan April 2019 dengan harga jual per unit yang berbeda.



12



Tanggal 2109 Apr 10



22



FIFO Kas BPP



84.000.000 59.000.000 Penjualan Persediaan Kas 70.000.000 BPP 64.000.000 Penjualan Persediaan



JURNAL TRANSAKSI KOMPARATIF LIFO



84.000.000 59.000.000 70.000.000 64.000.000



Kas BPP



84.000.000 67.000.000 Penjualan Persediaan Kas 70.000.000 BPP 66.000.000 Penjualan Persediaan



84.000.000 67.000.000 70.000.000 66.000.000



MOVING AVERAGE Kas BPP



84.000.000 59.000.000 Penjualan 84.000.000 Persediaan 63.000.000 Kas 70.000.000 BPP 65.000.000 Penjualan 70.000.000 Persediaan 65.000.000



Jika jurnal transaksi tersebut diposting ke buku besar perusahaan bersangkutan, maka akan terlihat saldo akun Beban Pokok Penjualan yang berbeda, seperti berikut ini: FIFO BPP 59.000.000 64.000.000 123.000.000



LIFO BPP 67.000.000 66.000.000 133.000.000



Moving Average BPP 63.000.000 65.000.000 128.000.000



Dari jurnal transaksi dn buku besar tersebut, terlihat bahwa penggunaan metode pencatatan persediaan yang berbeda menghasilkan beban pokok penjualan yang juga berbeda, baik untuk setiap transaksi maupun akumulasinya. Jika digunakan metode FOFO, akan dihasilka beban pokok penjualan sebesar Rp.123.000.000. Jika diguanakan metode LIFO, akan dihasilkan bebn pokok penjualan sebesar Rp.133.000.000. Jika diguanakan metode Moving Average, akan dihasilakan beban pokok penjaualan sebesar Rp.128.000.000. Tentu saja, perbedaan beban pokok penjualan tersebut akan menghasilkan laba kotor yang juga berbeda seperti terlihat dalam laporan laba rugi komparatif berikut ini: Keterangan Penjualan HPP Laba Kotor



LAPORAN LABA RUGI KOMPARATIF FIFO LIFO 154.000.000 (123.000.000) 31.000.000



Moving Average



154.000.000 (133.000.000) 21.000.000



154.000.000 (128.000.000) 26.000.000



Demikian pula, jika digunakan metode periodik ketika menyusun laporan laba rugi, akan dihasilkan beban pokok penjualan yang berbeda dan laba kotor yang juga berbeda karena ketiga metode tersebut akan memiliki nilai persediaan akhir yang berbeda, seperti berikut ini.



13



Keterangan



LAPORAN LABA RUGI KOMPARATIF FIFO LIFO



Penjualan BPP: -Persediaan Awal -Pembelian -Persediaan Total -Persediaan akhir Laba Kotor



Moving Average



154.000.000



154.000.000



154.000.000



32.000.000 121.000.000 153.000.000 30.000.000 31.000.000



32.000.000 121.000.000 153.000.000 20.000.000 21.000.000



32.000.000 121.000.000 153.000.000 25.000.000 26.000.000



Penggunaan metode pencatatan persediaan yang berbeda akan menghasilkan nilai persediaan akhir yang berbeda, di mana penggunaan metde FIFO menghasilkan persediaan akhir sebedar Rp.30.000.000, penggunaan meode LIFO menghasilkan persediaan akhir sebesar Rp.20.000.000, dan penggunaan metode Moving average menghasilkan persediaan akhir sebesar Rp25.000.000. Perbedaan ini akan menyebabkan beban pokok penjualan yang berbeda untuk setiap metode yang digunakan, dan pada kahirnya kan menghasilkan laba kotor yang jga berbeda. Jika digunakan metode FIFO, akan menghasilkan laba kotor sebesar RP.31.000.000, jika menggunakan metode LIFO akan menghasilkan laba kotor sebesar Rp.31.000.000 dan jikga menggunakan metode Moving Average, akan menghasilkan laba kotor sebesar Rp.26.000.000. Dari laporan laba rugi komparatif tersebut, terlihat bahwa jika harga beli barang dagang cenderung naik dari waktu ke waktu, maka BPP transaksi penjualan akan lebih tinggi jika menggunakan metode LIFO dibangingkan dengan metode FIFO dan Moving Average. Akibatnya, penggunaan metode LIFO akan menghasilka laba kotor yang lebih rendah dibandingkan dengan metode FIFO dan Moving Average. Dampak lanjutannya adalah laba yang dikenakan pajak kan menjadi lebih rendah sehingga menyebabkan pajak penghasilan badan yang akan diterima pemeritah juga menjadi lebih rendah. Karena itu, IFRS tidak mengizinkan penggunaan metode LIFO dalam pencatatan persediaan. Tetapi dalam buku ini, metode LIFO tetap disajikan guna kebutuhan proses pembelajaran kepada pada pembaca agar tetap memahami metode pencatatan dan perhitungan BPP dengan metode LIFO.



Tetapi ada saat yang sama, pembaca juga



mengetahui bahwa metode tersebut tidak diizinkan untuk digunakan. 4. METODE BIAYA GABUNGAN Adakalnya sebuah perusahaan membeli atau memproduksi sekelompok barang dengan satu harga jual tunggal, yang kemudian dijual secara terpisah satu dengan lainnya pada harga jual per unit yang berbeda. Perbedaan harga jual produk tersebut terjadi karena adanya perbedaan berat atau perbedaan luas atau perbedaan kualitas di antara produk tersebut. Jadi, penentuan beban pokok penjualan per unit produk tidak dihitung secara merata. Dalam kasus seperti itu, metode 14



yang dapat digunakan adalah metode biaya gabungan atau ada yang menyebutnya dengan metode pembelian sekeranjang (basket purchase). Karena itu, langkah yang diperlukan untuk menentukan beban pokok penjualan per unit produk dalam kasus seperti itu adalah menghitung proporsi harga jual dari satu unit produk dibanding nilai penjualan total yang direncanakan. Berdasarkan proporsi harga jual tersebut ditentukanlah proporsi beban pokok penjualan per unit produk. Jika beban pokok penjualan per unit telah dapat ditentuka, maka nilai persediaan pada akhir periode akan dapat ditentuka dengan jelas. Contoh: Untuk memudahkan pemahaman pembaca perihal yang dijelaskan di atas, dibawah ini akan diberikan contoh kasus pencatatan persediaan dengan mengunakan metode biaya gabungan: PT. Griya Riatur Indah adalah sebuah perusahaan pengembang rumah (real estate developer). Pada awal bulan Januari 2019, perusahaan ini membeli sebidang tanah dengan harga Rp.10.000.000.000. Tanah ini kemudian dibagi menajdi 400 kavling yang dikelompokkan de dalam tiga ukuran yang berbeda. Kelompok kavling A sebanyak 100 unit dengan harga jual Rp.100.000.000 per kavling. Kelompok kavling B sebanyak 100 unit dijual dengan harga Rp.65.000.000 per kavling dan kelompok kavling C sebanyak 200 unit dijual dengan harga Rp.45.000.000 per kavling. Jadi penghitungan beban pokok penjualan per unit kavling tersebut dapat dilakukan dengan cara menghitung proporsi nilai penjualan per jenis kavling dibandingkan dengan nilai penjualan total. Karena kavling A direncanakan dijual seharga Rp.100.000.000 per unit dan tersedia sebanyak 100 unit, maka nilai penjualan total kavling A adalah Rp.10.000.000.000. Sedangkan kavling B direncanakan dijual seharga Rp.60.000.000 per unit dan tersedia sebanyak 100 unit, sehingga total kavling B adalah Rp.6.000.000.000. Sementara itu, kavling C direncanakan akan dijual seharga Rp.45.000.000 per unit dan tersedia sebanyak 200 unit, sehingga nilai penjulan kavling C adalah Rp.9.000.000.000. Jadi, nilai total penjualan yang direncanakan untuk ketiga jenis kavling tersebut adalah Rp.25.000.000.000. Dengan demikian, kavling A memberikan kontribusi 40% dari nilai total penjualan (Rp.10.000.000.000 : Rp.25.000.000.000), kavling B memberikan kontribusi sebesar 24% (Rp.6.000.000.000 : Rp.25.000.000.000),



sedangkan kavling C



memberikan kontribusi



sebesar 36%



(Rp.9.000.000.000 : Rp.25.000.000.000)



15



Jenis Kavling



Harga Jual per Unit



A B C



Rp.100.000.000 Rp. 60.000.000 Rp. 45.000.000



Jumlah Kavling 100 100 200 Total



Nilai Penjualan Total Rp10.000.000.000 Rp. 6.000.000.000 Rp. 9.000.000.000 Rp.25.000.000.000



Proporsi 40% 24% 36% 100%



Setelah diketahui proposrsi nilai penjualan per jenis kavling terhadap nilai total penjualan seluruh kavling, maka langkah berikutnya adalah menentukan proporsi beban pokok penjualan per jenis kavling, seperti terlihat berikut ini; Jenis Kavling A B C



Proporsi 40% 24% 36%



BPP Per Jenis Rp. 4.000.000.000 Rp. 2.400.000.000 Rp. 3.600.000.000 Rp.10.000.000.000



BPP Per Unit Rp.40.000.000 Rp.24.000.000 Rp.18.000.000



Karena harga beli (BPP) seluruh lahan tersebut adalah Rp.10.000.000.000, maka harga beli (BPP) untuk seluruh kavling A adalah Rp.4.000.000.000, yaitu 40% dari Rp.10.000.000.000. Sedangkan untuk seluruh kavling B adalah Rp.2.400.000.000 (24%), dan seluruh kavling C sebesar Rp.3.600.000.000 (36%). Karena kavling A berjumlah 100 unit, maka BPP per unit kavling tersebut adalah Rp. Rp.40.000.000 (Rp.4.000.000.000 : 100 unit), Kavling B Rp.24.000.000 per unit (Rp.2.400.000.000 : 100 unit), dan kavling C adalah Rp18.000.000 per unit (Rp.3.600.000.000 : 200 unit). Jika pada akhir tahun perusahaan melaporkan telah menjual 77 unit kavling A, 80 unit kavling B, dan 120 unit kavling C, maka laba kotor yang diperoleh atas penjualan setiap jenis kavling adalah: Keterangan Penjualan BPP Laba Kotor



Kavling A Rp.7.700.000.000 (3.080.000.000) Rp.4.620.000.000



Kavling B Rp.4.800.000.000 (1.920.000.000) Rp.2.880.000.000



Kavling C Rp.5.400.000.000 (2.160.000.000) Rp.3.240.000.000



Total Rp.17.900.000.000 (7.160.000.000) Rp.10.740.000.000



Karena setiap kavling A dijual seharga Rp100.000.000 dan pada tahun 2019 terjual sebanyak 77 unit, maka total nilai penjualan kavling A adalah Rp.7.700.000.000, sedangkan setiap unit kavling B dijual seharga Rp.60.000.000 dan pada tahun 2019 terjual sebanyak 80 unit, maka total nilai penjualan kavling B adalah Rp.4.800.000.000. Sementara itu, setiap unit kavling C dijual seharga Rp.45.000.000 dan pada tahun 2019 terjual sebanyak 120 unit, sehingga total nilai penjualan kavling C adalah Rp.5.400.000.000. Jadi, nilai penjualan ketiga jenis kavling tersebut pada tahun 2019 sebesar Rp.17.900.000.000.



Karena BPP kavling A adalah 16



Rp.40.000.000 per unit dan terjual sebanyak 77 unit pada tahun 2019, maka BPP kavling A adalah Rp.3.080.000.000. Karena BPP kavling B adalah Rp.24.000.000 per unit dan terjual sebanyak 80 unit pada tahun 2019, maka BPP total kavling B adalah Rp.1.920.000.000. Karena BPP kavling C adalah Rp.18.000.000 per unit dan terjual sebanyak 120 unit pada tahun 2019, maka BPP total kavling C adalah Rp.2.160.000.000. Jadi, BPP total untuk ketiga jenis kavling pada tahun 2019 adalah Rp.7.160.000.000. Selisih antara nilia penjualan dan BPP per jenis kavling tersebut akan menghasilkan laba kotor per jenis kavling untuk tahun 2019, dimana masing-masing sebesar Rp.4.620.000.000 untuk kavling A, sebesar Rp.2.880.000.000 untuk kavling B, dan sebesar Rp.3.240.000.000 untuk kvling C. Karena itu, total laba kotor dari penjualan ketiga jenis kavling tersebut pada tahun 2019 adalah Rp.10.740.000.000. Jumlah persediaan yang dimiliki PT Griya Riatur Indah pada akhir tahun 2019 merupakan jumlah kavling per jenis pada awal tahun dikurangi dengan jumlah yang terjual, dikalikan BPP per unit kavling. Jadi, pada akhir tahun 2012, nilai persediaan PT. Griya Riatur Indah adalah Rp.2.840.000.000 seperti terlihat dalam tabel berikut: Jenis Kavling



BPP Per Unit



A B C



Rp.40.000.000 Rp.24,000.000 Rp.18.000.000



Jumlah Kavling 23 20 80 Total



Nilai Persediaan Total Rp. 920.000.000 Rp. 480.000.000 Rp.1.440.000.000 Rp.2.840.000.000



5. PERTANYAAN EVALUASI 1. Secara umum, terdapat dua metode pencatatan dan pengelolaan persediaan yang dapat digunakan, yaitur metode periodik atau metode perpetual.Jelaskanlah pengertian dari kedua metode tersebut sehingga jelas perbedaannya? 2. Salah satu perbedaan dalam metode periodik (fisik) dan metode perpetual adalah cara menghitung dan menyajikan harga pokok penjualan. Jelaskanlah perbedaan tersebut! 3. Jika suatu perusahaan menggunakan metode perpetual dalam mencatat dan mengelola persediaan yang dimilikinya, perusahaan tersebut dapat memilih metode FIFO atau LIFO atau Moving Average. a. Jelaskanlah pengertian dari ketiga metode tersebut sehingga jelas perbedaannya? b. Pada saat harga beli persediaan cenderung naik, sementara harga jual produk perusahaan tidak berubah, metode manakah yang akan memberikan laba usaha yang lebih besar? 6. LATIHAN



17



1. PT. Leonardo adalah distributor lemari es merek “Sharp” yang berlokasi di Kampung Baru Medan. Perusahaan ini membeli lemari es dari produsen “Aneka Elektronik” dan menjualnya keada berbagai toko pengecer yang ada di Medan serta Medan Sekitarnya. Transaksi yang dilakukan ole perusahaan ini pada bulan Januari 2019 adalah sebagai berikut: 5 Januari 2019 Membeli 100 unit lemari es seharga Rp.1.600.000 per unit atau bernilai total Rp.160.000.000 secara tunai dari produsen “Aneka Elekronik” 7 Januari 2019 Menjual 75 unit lemari es dengan BPP sebesar Rp.1.600.000 per unit kepada Toko “Naga Jaya” di Binjai seharga Rp.1.800.000 per unit secara tunai. 15 Januari 2019 Menjual 50 unit lemari es dengan BPP sebesar Rp.1.600.000 per unit kepada Toko “Sumber Waras” di Pematang Siantar seharga Rp.1.900.000 per unit secara kredit. Jika pada tanggal 1 Januari 2019 PT Leonardo memiliki jumlah persediaan lemari es sebanyak 55 unit dengan harga beli Rp.1.600.000, catatlah transaksi pembelia dan penjualan tersebut dengan metode periodik dan perpectual serta buatlah laporan laba rugi komparatifnya! 2. PT. “Sinar Mobile” adalalah distributor mesin Hendphone CDMA bermerek “Samsung” yang berlokasi di Medan. Selama bulan Januari 2019, data yang dimiliki perusahaan ini berkaitan dengan persediaan Handphone adalah sebagai berikut: Tanggal Keterangan Volume Harga/unit Nilai 1 Januari 2019 Persediaan 140 unit Rp.700.000 Rp. 8.000.000 16 Januari 2019 Pembelian 200 unit Rp.750.000 Rp.150.000.000 23 Januari 2019 Pembelian 400 unit Rp.800.000 Rp.320.000.000 29 Januari 2019 Pembelian 110 unit Rp.850.000 Rp.93.500.000 Total 850 unit Rp.661.500.000 Selama bulan Januari 2019, perusahaan menjual 640 unit Handphone kepada para pelanggannya secara tunai dengan harga jual Rp.950.000 per unit, dan perusahaan tidak mencatat keluar masuknya barang tersebut secara terinci (menggunakan metode periodik/fisik). Pada akhir bulan Januari 2019, bagian akuntansi dan gudang perusahaan melakukan stock opname persediaan. Hasil perhitungan fisik menunjukkan jumlah persediaan pada akhir bulan Januari sebanyak 260 unit Handphone. Berdasarkan data tersebut, buatlah laporan laba rugi komparatif dengan menggunakan metode FIFO dan Average secara periodik. 3. PT Dolok Martimbang adalah distributor monitor komputer yang berlokasi di Medan. Pada akhir bulan Maret 2019, perusahaan tersebut memiliki jumlah persediaan monitor sebanyak 40 unit @ Rp.800.000. Transaksi pembelian dan penjualan yang dilakukan perusahaan tersebutr selama bulan April 2019 adalah sebagai berikut: 5 April Membeli 50 unit monitor @ Rp. 900.000 8 April Membeli 25 unit monitor @ Rp.1.000.000 10 April Menjual 70 unit monitor @ Rp.1.200.000 14 April Membeli 30 unit monitor @ Rp.1.100.000 22 April Menjual 35 unit monitor @ Rp.1.400.000 Berdasarkan data tersebut, kartu persediaan PT. Dolok Martimbang untuk bulan April 2019 dengan menggunakan metode: a. F I F O Perpetual! b. Moving Average!



18



c. Berdasarkan data tersebut, juga buatlah laporang laba rugi komparatif per 30 April 2019, untuk menunjukkan perbedaan perolehan laba PT. Dolok Martimbang jika digunakan metode pencatatan persediaan yang berbeda (FIFO, Moving Average) 4. PT. Hutahean adalah distributor VCD Player merek “Sony” yang berlokasi di Medan. Pada akhir bulan Septepber 2019, perusahaan tersebut memiliki jumlah persediaan VCD Player sebanyak 25 unit @ Rp.550.000 Transaksi dan penjualan yang dilakukan perusahaan selama bulan Okotober 2019 adalah sebagai berikut: 5 Oktober Membeli 45 unit DVD Player @ Rp. 600.000 8 Oktober Membeli 35 unit DVD Player @ Rp. 625.000 10 Oktober Menjual 73 unit DVD Player @ Rp. 750.000 14 Oktober Membeli 40 unit DVD Player @ Rp. 675.000 19 Oktober Menjual 39 unit DVD Player @ Rp. 850.000 22 Oktober Menjual 12 unit DVD Player @ Rp. 900.000 Berdasarkan data tersebut, buatlah kartu persediaan PT Hutahean untuk bulan Oktober 2019 dengan menggunakan metode: a. F I F O Perpetual! b. Moving Average! c. Berdasarkan data tersebut, juga buatlah laporang laba rugi komparatif per 30 Oktober 2019, untuk menunjukkan perbedaan perolehan laba PT. Hutahean jika digunakan metode pencatatan persediaan yang berbeda (FIFO, Moving Average) 5. PT. Pengharapan Iman adalah distributor Elektronik Dictionery bermerek “Nokia” yang berlokasi di Medan. Selama bulan Maret 2019, data yang dimiliki perusahaan ini berkaitan dengan persediaan Elektronic Dictionery adalah sebagai berikt: Tanggal Keterangan Volume Harga/unit Nilai 1 Maret 2019 Persediaan 40 unit Rp.800.000 Rp. 32.000.000 16 Maret 2019 Pembelian 900 unit Rp.850.000 Rp. 765.000.000 23 Maret 2019 Pembelian 900 unit Rp.900.000 Rp. 810.000.000 29 Maret 2019 Pembelian 160 unit Rp.950.000 Rp. 152.000.000 Total 850 unit Rp.1.759.000.000 Selama bulan Maret 2019, perusahaan ini hanya melakukan dua kali transaksi penjualan Elektronic Dictionery, yaitu pada tanggal 17 Maret 2019 menjual sebanyak 720 unit Electronic Dictionery dengan harga Rp.1.050.000 per unit secara kredit, dan pada tanggal 26 Maret 2019 menjual sebanyak 840 unit secara tunai dengan harga Rp.1.000.000 per unit. Pada akhir bulan Maret 2019, bagian akuntansi dan gudang perusahaan melakukan stock opname persedian. Hasil perhitungan fisik menunjukkan jumlah persediaan pada akhir bulam Maret sebanyak 440 unit Elektronic Dictionery. Berdasarkan data dan keterangan tersebut, buatlah: a. Kartu stok dengan menggunakan metode FIFO dan Moving Average secara perpetual! b. Laporan laba rugi komparatif dengan menggunakan metode FIFO dan Average secara periodik serta FIFO dan Average secara perpetual c. Jurnal transaksi komparatif untuk setiap transaksi pembelian dan penjualan yang dialukan PT. Pengharapan Iman denan menggunakan dasar FIFO Periodik dan FIFO Perpetual! 6. PT. Kayu Manis adalah perusahaan pengembang rumah. Pada awal bulan Januari 2020, perusahaan ini membeli sebidang tanah dengan harga Rp.30.000.000.000. Tahun ini 19



kemudian dibagi menjadi 1.100 kavling yang dikelompokka ke dalam tiga ukurang berbeda. Kelompok A-1 sebanyak 300 unit dijual dengan harga Rp.125.000.000 per kavling, kelompok kavling B-2 sebanyak 200 unit dijual dengan harga Rp.80.000.000 per kavling, dan kelompok kavling C-3 sebanyak 600 unit dijual dengan harga Rp. 50.000.000 per kavling. Pada kahir tahun 2020, perusahaan melaporkan telah lmenjual 82 unit kavling A-1, 117 unit kavling B-2, dan 342 unit kavling C-3. Berdasarkan data tersebut, hitunglah: a. Nilai persediaan/harga pokok per jenis persediaan PT. Kayu Manis pada awal bulan Januari 2020 dengan metode Biaya Gabungan atau metode Basket Purchase.! b. Laba kotor yang diperole PT. Kayu Manis pada tahun 2020! c. Nilai persediaan PT. Kayu Manis pada akhir tahun 2020!. 7. PT. Indokimia adalah sebuah perusahaan yang menghasilkan bahan kimia. Perusahaan ini menghasilkan empat jenis produk yang diberi kode A1, B2, C3, dan D4. Keempat jenis produk ini diproses melalui suatu prosed produksi srentak. Setelah itu, pada titik produksi tertentu, produk tersebut diproses secara terpisah. Pada akhir bulan Januari 2020, akuntan pabrik perusahaan menyajikan data berikut: Jumlah produk yang dihasilkan adalah 20.000 unit Kg A1; 15.000 unit Kg B2; 10.000 unit Kg C3; dan 15.000 unit Kg D4. Untuk menghasilkan keempat produk itu dengan volume seperti tersebut di atas dibutuhka biaya total sebesar Rp.120.000.000. Harga jual keempat produk tersebut pada titik ini adalah Rp.250 untuk A1; Rp.3.000 untuk B2; Rp.3.500 untuk C3; dan Rp.5.000 untuk D4. Pada bulan Januari 2019, PT Indokimia telah menjual sebanyak 15.000 unit Kg A1; 11.000 unit Kg B2; 7000 unit Kg C3; dan 12.000 unit Kg D4. Berdasarkan data dan keterangan tersebut, hitunglah: a. Nilai persediaan/harga pokok per jenis persediaan PT. Indokimia pada awal bulan Januari 2020 dengan metode Biaya Gabungan atau metode Basket Purchase.! b. Laba kotor yang diperole PT. Kayu Manis pada tahun 2020! c. Nilai persediaan PT. Kayu Manis pada akhir tahun 2020!. 8. PT. Warna-Warni adalah distributor cat yang berlokasi di Medan. Pada bulan Desemberr 2019, gudang persediaan (cat) perusahaan ini terbakar, sehingga seluruh persediaan cat perusahaan habis. Dari catatan yang dimiliki bagian akuntansi, diketahui bahwa penjualan yang dilakukan perusahaan selama bulan Desember 2019 berjumla Rp.600.000.000, sedangkan persediaan pada kahir bula November 2019 berjumlah Rp.125.000.000. Sementara itu, pembelian yang dilakukan perusahaan selama bulan Desember 2019 berjumlah Rp.750.000.000. Selama tahun 2019 perusahaan menetapkan laba kotor sebesar 20%. Berdasarkan data dan keterangan tersebut, buatlah taksiran nilai persediaan PT. WarnaWarni pada akhir tahun 2012, yaitu setelah gudang perusahaan terbakar



20