Perspektif Teoretik Mengenai Gangguan Mental [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PETA KONSEP PERSPEKTIF TEORITIS GANGGUAN MENTAL



Psikodinamika



Humanistik



Sosiokultural



Perspektif Teoritis Gangguan Mental



Behavioristik



Kognitif



Biologis



Biopsikososial (Integrated)



1



PENJELASAN PETA KONSEP



Tujuan Perspektif Teoretis dalam Psikologi Abnormal Perspektif teoretis mempengaruhi para klinis dan peneliti dalam menginterpretasi atau mengklasifikasi observasi mereka mengenai perilaku. Kita akan melihat jawaban yang diberikan oleh setiap perspektif atas pertanyaan yang terkait dengan psikologi abnormal terkait: model apa yang mendasari perilaku awal manusia; bagaimana perspektif tertentu menjelaskan perilaku manusia; apa implikasi dari perspektif tersebut dalam penelitian; serta pendekatan treatmen apa yang mengikuti perspektif tertentu dan seberapa baik treatmen tersebut bekerja. Perspektif teoretis mengenai gangguan mental berdasarkan cara pandang psikologis meliputi: 1. Perspektif Psikodinamika 2. Perspektif Humanistik 3. Perspektif Sosiokultural 4. Perspektif Behavioral 5. Perspektif Kognitif 6. Perspektif Biologis 7. Perspektif Biopsikososial (integrated)



Penjelasan masing-masing perspektif akan kami kemukakan di bawah ini. 1.



Perspektif Psikodinamika Perspektif psikodinamika (psychodynamic perspective) adalah orientasi



teoritis yang menekankan determinan perilaku yang tidak disadari. Pandangan Sigmund Freud (1856-1939) tentang gangguan psikologis berfokus pada motifmotif yang tidak disadari dan konflik. Idenya mengenai penyebab dan treatmen gangguan psikologis membentuk dasar bagi perspektif psikodinamika tersebut. Teori Psikoanalisis Freudian Freud memformulasikan teori bahwa gangguan pada pikiran memunculkan perilaku yang aneh dan eksotis serta menggejala. Perilaku dan gejala-gejala ini dapat diteliti serta dijelaskan secara ilmiah. Istilah psikoanalisis diidentifikasikan dengan teori orisinal dan pendekatan terapi yang dikemukakan Freud. Istilah



2



psikodinamika merujuk lebih luas terhadap perspektif yang memfokuskan kepada proses-proses yang tidak didasari serta memiliki cakupan yang lebih luas dalam membahas kepribadian dan treatmen. Latar Belakang Freud Freud dikenal dengan ucapannya, “Anak adalah ayah dari seorang laki-laki” yang berarti bahwa pengalaman-pengalaman hidup yang terjadi di masa awal kehidupan seseorang memainkan peran penting dalam pembentukan kepribadian. Observasi ini bermula dari proses menganalisis masa kecilnya sendiri. Pada usia 30-40 tahun-an, Freud menyadari bahwa kejadian-kejadian yang terjasi pada masa kanak-kanaknya telah mengakar pada tingkat kesadaran paling dalam pada dirinya, di bagian yang disebutnya „unconscious” atau alam tidak sadar dan pengalamanpengalaman masa kecil ini memainkan peran penting dalam pembentukan kepribadiannya. Ia menyimpulkan hal ini setelah melakukan analisis menyeluruh terhadap mimpi-mimpinya, pikiran-pikirannya, serta kenangan yang dimunculkan. Pada proses analisis diri ini, ia menemukan bahwa ia dapat memperoleh ketenangan dari berbagai gejala yang mengganggu seperti ketakutan terhadap kereta api yang muncul dari suatu kejadian traumatis ketika bepergian dengan kereta api dari tanah kelahirannya di Wina pada saat ia berusia 4 tahun. Lebih jauh lagi, pelatihan medis Freud meyakinkan dirinya bahwa suatu pemahaman terhadap gangguan pikiran dapat dicapai dengan menggunakan metode ilmiah dan semua fenomena psikologis dapat ditelusuri dari proses-proses fisiologis. Pendekatan ilmiah juga berperan dalam pekerjaan yang dilakukan sebagaimanaia mengonfirmasi teorinya melalui observasi dan analisis terhadap para pasiennya. Model Struktural Kepribadian Freud: Id, Ego, dan Superego Model struktural kepribadian Freud: Id, Ego, dan Superego. Menurut Freud (1923), pikiran kita memiliki tiga struktur, yaitu Id, Ego, dan Superego. Ketiga struktur ini membentuk psyche (bahasa Yunani dari “jiwa”) dan ketiga secara terus menerus berinteraksi satu sama lain secara dinamis. Freud menggunakan istilah psikodinamika (psychodynamic) untuk menggambarkan proses interaksi antara struktur kepribadian yang terjadi dibalik perilaku yang dapat terobservasi. Id adalah struktur kepribadian yang mengandung insting seksual dan agresif yang



3



oleh Freud disebut sebagai suatu “kawah yang mendidih”. Tidak dapat menembus area sadar, Id berada sepenuhnya pada lapisan tidak sadar. Id mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle), suatu kekuatan yang mendorong ke arah pemenuhan segera terhadap kebutuhan dan nafsu sensual. Menurut Freud, kenikmatan hanya dapat diperoleh ketika tekanan terhadap suatu keinginan atau hasrat berkurang. Upaya Id untuk mencapai kepuasan tidak perlu melalui pemberian penghargaan (reward) yang nyata terkait dengan kebutuhan yang dirasakan. Id menggunakan prinsip harapan pemenuhan kebutuhan untuk mencapai kepuasan. Melalui prinsip ini, Id membangun suatu gambaran mengenai apa saja yang akan dapat memenuhi kebutuhan yang muncul pada suatu waktu. Freud menggunakan frase proses berpikir primer (primary process thinking) untuk menggambarkan sesuatu secara bebas asosiasi, keanehan, dan representasi kognitif yang menyimpang tentang dunia yang dimiliki oleh Id. Dalam proses berpikir primer, pikiran, perasaan, serta hasrat mengenai insting seksual dan agresif direpresentasikan secara simbolis dengan gambaran visual yang tidak sepenuhnya sesuai secara rasional dan logis. Waktu, ruang, kausalitasntidak terkait dengan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Proses berpikir primer paling sesuai digambarkan dalam bentuk mimpi . misalnya, mimpi tanggalnya sebuah gigi mungkin dapat benar-benar mewakili ketakutan terhadap kematian. Pusat kesadaran dalam kepribadian adalah ego. Ego berfungsi untuk memeberikan kekuatan mental kepada individu untuk membuat penilaian, memori, persepsi, dan pengambilan keputusan yang membantu individu untuk beradaptasi terhadap realitas yang berada di dunia luar. Hal ini berbeda dengan id yang tidak mampu membedakan fantasi dan realitas. Ego diperlukan untuk mengubah suatu harapan ke pemenuhan yang nyata . Freud menggambarkan ego sebagai suatu yang dibanguna tas prinsip realitas (reality principle), suatu kekuatan motivasi yang mendorong individu untuk menghadapi tekanan dari dunia luar. Berlawanan dengan proses berpikir primer tidak logis yang dimiliki oleh Id, fungsi ego dicirikan dengan proses berpikir sekunder (secondary process thinking) yang melibatkan proses penyelesaian masalah secara logis dan rasional. Dalam teori Freud, ego tidak memiliki kekuatan pendorong itu sendiri. Semua energi yang dimiliki oleh ego berasal dari Id, suatu tekanan untuk memperoleh



4



pemenuhan yang oleh Freud disebut dengan libido. Ego menampilkan fungsi pemenuhan hasrat Id secara nyata, bukan hanya fantasi. Oleh karena itu, Id disebut juga sebagai pembuat tugas bagi ego. Meskipun ego adalah pusat kesadaran, tidak semua isi ego dapat diakses kedalam kesadaran. Bagian tidak sadar dari ego terdiri dari memori terhadap pengalaman-pengalaman di masa lalu yang mencerminkan ketidakkesenangan atas keadaan sadar seseorang. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup kepribadian mencakup kejadian ketika seorang bersikap egois, bertingkah laku tidak tepat secara seksual, atau melakukan kekerasan yang tidak perlu. Superego, sebagaimana namanya, berada di “atas” ego, mengontrol usaha yang dilakukan ego untuk memenuhi hasrat id. Fred percaya bahwa tanpa superego, seseorang akan mencari kepuasan terhadap hasrat Id melalui cara yang tabu atau cara yang secara sosial tidak dapat diterima, seperti dengan memperkosa, membunuh, atau menikahi saudara sedarah. Superego juga disebut sebagai hati nurani seorang dan berlaku sebagai pemberi inspirasi. Termasuk didalamnya adalah ego ideal yang merupakan model individual mengenai bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku. Kesimpulannya, menurut Freud (1923), dalam kepribadian seseorang yang sehat, id mencapai hasrat insting melalui kemampuan ego untuk mengarahkannya di dunia nyata dalam suatu lingkup yang diijinkan oleh superego. Psikodinamika atau interaksi diantara struktur-struktur pikiran merupakan dasar dari fungsifungsi psikologis, baik yang normal maupun abnormal. Mekanisme Pertahanan Diri Aspek lain dari teori psikoanalisis Freud adalah ide bahwa untuk melindungi diri mereka dari kecemasan seseorang menggunakan berbagai macam pendekatan untuk menjaga pikiran-pikiran, insting-insting, atau perasaan yang tidak dapat diterima tersebut tetap berada diluar area kesadaran. Freud menyebut pendekatan ini sebagai mekanisme pertahanan diri (defence mechanism). Menurut Freud, setiap orang menggunakan mekanisme pertahanan diri secara berkelanjutan untuk menyeleksi pengalaman-pengalaman yang berpotensi menimbulkan gangguan. Sebagai contoh, ketika anda mendapatkan nilai yang jelek dalam ujian akhir, anda mungkin akan mencoba meyakinkan diri anda bahwa ujian tersebut tidak terlalu



5



penting atau dosen anda adalah seseorang yang keras. Menurut Freud, mekanisme tersebut jika dipergunakan secara berlebihan dapat menimbulkan gangguan psikologis. Contoh dari beberapa mekanisme pertahanan diri antara lain: 1.



Humor: menekankan aspek yang menyenangkan dari suatu konflik atau situasi yang menekan.



2.



Self assertion: menghadapi sutuasi yang sulit dengan mengekspresikan perasaan atau pikiran secara langsung kepada orang lain.



3.



Supresi: menghindari pikiran mengenai masalah-masalah yang menggangu.



4.



Displacement: mengalihkan perasaan atau impuls tidak menyenangkan dari target perasaan tersebut kepada seseorang yang lebih tidak mengancam atau kepada sebuah objek.



5.



Disosiasi: memecah kognisi, persepsi, atau proses motorik dari fungsi seseorang yang sebelumnya merupakan suatu kesatuan.



6.



Intelektualisasi: melakukan proses berpikir abstrak secara berlebihan dalam merespons suatu masalah yang menyebabkan konflik atau stres.



7.



Reaksi formasi: mengubah suatu perasaan atatu hasrat tidak menyenangkan menjadi sebaliknya untuk membuat hal tersebut menjadi dapat diterima.



8.



Represi: secara tidak sadar menghilangkan harapan-harapan, pikiran, atau pengalaman tidak menyenangkan dari pikiran sadar.



9.



Devaluasi: mengatasi konflik emosional atau stres dengan memberikan penilaian negatif kepada orang lain.



10. Iidealisasi: mengatasi konflik emosional atau stres dengan memberikan penilaian negatif terhadap orang lain. 11. Omnipotence: merespons stres dengan bersikap superior kepada orang lain. 12. Denial: mengatasi konflik emosional atau stres dengan menolak untuk mengetahui aspek realitas yang menyakitkan yang akan kelihatan jelas bagi orang lain. 13. Proyeksi: memberikan karakter personal atau perasaan yang tidak menyenangkan kepada orang lain untuk melindungi ego seseorang yang memiliki atribut personal yang tidak menyenangkan.



6



14. Rasionalisasi: menyembunyikan motivasi sebenarnya untuk pikiran, tindakan, atau perasaan dengan cara menawarkan kepastian atau sesuatu yang bermanfaat, namun tanpa penjelasan yang tepat. 15. Splitting: menggolongkan tingkat afek yang berlawanan dan gagal mengintegrasikan kualitas positif dan negatif dari diri atau orang lain ke dalam suatu gambaran yang kohesif. 16. Acting out: mengatasi konflik emosional atau stres dengan suatu tindakan dan bukan dengan perasaan atau pikiran. 17. Passive aggression: memunculkan suatu citra di hadapan publik yang berupa kepatuhan yang berlebih untuk menutupi resistensi, kemarahan, atau kebencian. 18. Regresi: mengatasi konflik emosional atau stres dengan melakukan tindakan kekanak-kanakan. 19. Delusional Protection: secara delusi mengatributkan sifat atau perasaan tidak baik kepada orang lain untuk melindungi ego seseorang dari atribut personal yang tidak menyenangkan. 20. Psychotik distortion: mengatasi konflik emosional atau stres dengan cara melihat kepada interpretasi yang salah secara delusi terhadap kenyataan. Perkembangan Psikoseksual Freud mengusulkan bahwa terdapat suatu tahapan normal perkembangan yang terdiri dari serangkaian tahapan yang disebut sebagai tahapan psikoseksual (psychosexsual stages). Setiap tahap berfokus kepada zona erogenous yang berbeda (bagian tubuh yang peka terhadap rangsang seksual); cara anak-anak mempelajari pemenuhan hasrat seksual yang diasosiasikan dengan setiap tahap menjadi suatukomponen penting kepribadian seorang anak. Menurut Freud, kegagalan melewati tahap-tahap ini secara normal menimbulkan berbagai gangguan psikoseksual dan gangguan karakter. Deskripsi Freud terhadap tahapan psikoseksual sebagian besar didasarkan pada observasi terhadap orang dewasa yang dirawatnya dalam psikoterapi yang meyakinkannya bahwa kesulitan-kesulitan mereka berawal dari insting seksual yang ditekan pada usia awal kehidupan mereka. Menurut Freud, perhatian terhadap regresi dan fiksasi merupakan hal yang penting bagi perkembangan



7



gangguan psikologis. Seseorang dapat melakukan tindakan yang pada umumnya dilakukan oleh individu pada tahapan usia yang lebih muda atau terjebak pada tahap tersebut. Dalam fiksasi, individu tetap berada pada suatu tahap perkembangan psikoseksual yang dicirikan pada masa kanak-kanak. Pada fase oral (oral stage) usia 0-18 bulan, pusat kenikmatan bagi bayi adalah stimulasi pada daerah mulut dan bibir. Tahapan ini terbagi ke dalam dua fase . fase pertama adalah oral pasif atau fase menerima, ketika perasaan puas berasal dari menyusu atau makan. Pada fase kedua, oral agresif, kenikmatan diperoleh dari mengulum atau menggigit apapun yang dimasukkan ke dalam mulut bayi. Regres atau fikasasi pada fase oral pasif dapat menyebabkan pencarian kepuasan sumber oral pada masa dewasa (menggigit kuku, merokok, makan berlebihan). Orang yang mengalami regresi atau fiksasi pada fase oral agresif gemar berkata-kata kasar atau memiliki perilaku kasar terhadap orang lain. Pada fase anal (anal stage) usia 18 bulan-3 tahun, energi seksual anak-naak berfokus pada stimulasi daerah anal dari menahan ataupun mengeluarkan kotoran (feses). Seseorang yang terjebak apda tahap anal dapat memiliki struktur karakter yang terlalu mengontrol dan gemar menahan atau menimbun yang disebut dengan anal retentive, berhubungan dengan dunia luar melalui cara menyimpan sesuatu. Sebaliknya, fiksasi pada fase anal dapat menyebabkan karakter cceroboh, impulsif, dan tidak terkontrol yang disebut dengan anal expulsive. Regresi pada tahap anal dapat membuat individu sangat rapi atau sebaliknya sangat tidak rapi. Sebagai contoh, seorang wanita yang membersihkan laci pakaiannya dengan cara tertentu setiap kali ia berdebat dengan suaminya. Pada fase phalik (phalic stage) usia 3-5 tahun, perasaan seksual anak terpusat pada area genital. Freud percaya bahwa nasib kesehatan psikologis anak pada masa depan terbentuk pada fase ini, ketika anak harus mengatasi masalah palinng penting dalam kehidupan awal. Pada fase phalik, anak menjadi tertarik secara seksual kepada orangtua yang berlawanan jenis kelamin. Freud menyebut situasi ini pada anak laki-laki dengan sebutan Oedipus complex yang merujuk pada Oedipus, karakter tragis dalam sejarah Yunani yang diketahui membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Freud menggambarkan proses paralel pada anak perempuan. Elektra complex, merujuk pada karakter Yunani Kuno yang bekerja



8



sama untuk membunuh ibunya. Freud percaya bahwa terdaat perbedaan jenis kelamin yang penting dalam mengatasi krisis tersebut, namun bagi kedua jenis kelamin, masalah ini dapat terselesaikan dengan baik ketika sang anak mengidentifikasikan orangtua dengan jenis kelamin yang sama. Anak memperoleh superego yang mendorong penilaian masyarakat terhadap inses dan membentuk tahapan untuk menghadapi hasrat seksual ataupun hasrat agresi yang mungkin muncul di masa depan. Freud percaya bahwa kegagalan dalam menghadapi Oedipus complex, sebagaimana yang terjadi pada jenis kelamin perempuan maupun laki-laki merupakan sumber utama munculnya neurosis. Menurut Freud, setelah kekacauan Oedipus complex, energi seksual akan mengalami penyusutan. Pada fase laten (latency) 5-12 tahun, anak berinteraksi dengan teman sebaya dan meniru perilaku orangtua serta orang dewasa lainnya yang berjenis kelamin sama dengan anak tersebut. Dengan asumsi bahwa masalah seks tidak lagi menjadi fokus pada tahap ini, masalah-masalah psikologis pun mulai jarang terjadi. Pada fase genital (genital stage) usia 12 tahun hingga dewasa, bersamaan dengan terbentuknya kembali dorongan seksual menjelang masa pubertas, perasaan seksual yang terkait dengan Oedipus complex pun muncul kembali. Menurut Freud, orang dewasa harus belajar untuk mentransfer ketertarikan seksual dari figur orang tua ke teman sebaya dengan jenis kelamin yang berbeda. Adult genitality, kemampuan untuk mengekspresikan perasaan seksual melalui cara yang bijak dan dalam konteks yang tepat, tercapai ketika individu mampu bekerja dan bercinta dengan orang lain. Fiksasi dan regresi yang terjadi pada tahap sebelumnya dapat menghambat kemampuan individual untuk melewati tahapan ini secara memuaskan. Pandangan Psikodinamika Post-Freudian Para teoretikus post-Freudian yang berangkat dari teori Freud menentang pendapat Freud yang terlalu menekankan insting seksual dan agresif sebagai akar kepribadian. Mereka lebih berfokus pada kebutuhan interpersonal dan sosial serta peranan faktor-faktor sosiokultural. Carl Jung mengembangkan suatu teori yang sangat berbeda dari teori Freud yang menekankan pada seksualitas dan konseptualisasi



ketidaksadaran.



Menurut



Jung,



lapisan



terdalam



dari



9



ketidaksadaran meliputi gambaran-gamabaran umum bagi seluruh pengalaman manusia yang disebutnya archetype. Beberapa archetype ini meliputi gambaran mengenai baik buruk, pahlawan, kelahiran kembali, dan diri. Jung percaya bahwa seseorang merespons kejadian dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan archetype karena archetype- archetype tersebut bagian dari komposisi genetik kita. Sebagai contoh, Jung menekankan bahwa karakter-karakter yang memiliki ciri khas menjadi terkenal karena mengaktifkan archetype- archetype kepahlawanan. Jung percaya bahwa tujuan dari perkembangan kepribadian yang sehat meliputi integrasi antara kehidupan alam bawah sadar dengan pikiran-pikiran sadar dan bahwa gangguan-gangguan psikologis muncul dari ketidakseimbangan bagianbagian dari kepribadian. Alfred Adler (1870-1937) dan Karen Horney (1885-1952) memberikan kontribusi penting bagi teori psikodinamika melalui penekanan mereka terhadap ego dan konsep diri. Menurut kedua teoretikus tersebut, seseorang termotivasi untuk menjaga pandangan yang konsisten dan positif terhadap diri serta mengembangkan pertahanan-pertahanan psikologis untuk melindungi pandangan positif terhadap diri. Adler dan Horney juga menekankan pengaruh sosial serta hubungan inter personal dalam perkembangan kepribadian. Hubungan yang dekat dengan kuluarga dan teman serta keterkaitan terhadap kehidupan atau komunitas dipandang sebagai bentuk pemuasan terhadap hak mereka sendiri, bukan karena suatu hasrat seksual atau agresif yang secara tidak langsung terpuaskan dalam proses tersebut, orang dewasa yang mengalami neurotis adalah seseorang yang merasa inferior atau tidak berharga, suatu perasaan yang terbentuk pada masa kanak-kanak. Erik



Erikson



(1902-1994)



mengemukakah



bahwa



perkembangan



kepribadian terjadi sepanjang rentang kehidupan dalam serangkaian delapan krisis yang dialami individu. Setiap krisis merupakan periode krisis karena individu sangat rentang terhadap dua kekuatan yang berlawanan, yaitu kekuatan yang menarik seseorang untuk menampilkan ego yang sehat dan sesuai dengan usia serta kekuatan lain yang menarik seseorang untuk menampilkan ego yang tidak sehat. Jika krisis ini berhasil diatasi, maka ego seseorang akan mencapai suatu kekuatan baru yang berasal dari tahapan krisis tersebut. Ketika kekuatan dari



10



suatu krisis tertentu menarik seseorang ke arah resolusi yang tidak sehat dari masalah tersebut, maka individu tersebut menjadi rentan terhadap perkembangan masalah-masalah yang sejenis. Revolusi terhadap krisis memiliki efek kumulatifjika suatu tahap tidak dapat teratasi maka tahap selanjutnya cenderung tidak akan teratasi. Kegagalan untuk mengtasi masalah-masalah psikososial pada masa awal kehidupan memiliki konsekuensi serius bagi perkembangan selanjutnya. Menolak keyakinan Freud bahwa pemuasan hasrat seksual dan agresi adalah dasar dari kepribadian, parateoritikus yang menekankan pada hubungan antar objek mengusulkan bahwa hubungan interpersonal merupakan inti kepribadian (Greenberg & Mitchell , 1983) para teoretikus tersebut, termasuk Melain Klein (1882-1960), D.W. Winnicott (1896-1971), dan Heinz Kohut (1913-1981) percaya bahwa pikiran bahwa sadar terdiri dari gambaran – gambaran orang tua dari seorang anak dan hubungan anak tersebut dengan orang tuanya. Gambaran – gambaran yang tertanam tersebut tetap tinggal sebagai landasan kepribadian sepanjang kehidupan. Perspektif ini disebut relasi objek yang terkait dengan penggunaan istilah objek (object) oleh Freud yang merujuk pada seseorang atau suatu benda yang menjadi target (objek) dari hasrat insting seseorang. Margaret Mahler (1897-1985) dan koleganya mengintegrasikan hasil kerja para teoretikus tersebut melalui observasi sistematik terhadap bayi dan anak-anak yang kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu rentang waktu terjadinya fase-fase pada perkembangan relasi objek tersebut (Mahler, Bergman, & Pine, 1975). Menurut teori Mahler, gangguan psikologis dapat berasal dari masalahmasalah yang muncul pada masa perkembangan. Gaya



kelekatan



para



post-Freudian



memperluas



cakupan



teori



psikodinamika dengan memasukkan hubungan antara individu dengan lingkungan sosial. Mereka membentuk tahapan bagi para teoritukus dan peneliti berikutnya untuk mengekploriitasi peranan proses kognitif, hubungan interpersonal, serta konteks sosial bagi perkembangan kepribadian dan gangguan psikologis. Banyak penelitian yang melibatkan teori relasi objek dilakukan dalam beberapa dekade terakhir, khususnya terhadap perilaku sosial bayi dan anak-anak. Salah satu penelitian yang penting dan menarik adalah penelitian yang dilakukan oleh psikolog Mary Salter Ainsworth dan rekannya yang mengembangkan karakteristik



11



bayi berdasrkan gaya kelekatan (attachment style) atau cara bayi tersebut berhubungan dengan orang-orang yang mengasuhnya. Treatment Tujuan utama dari treatment psikoanalisis sebagaimana yang dikembangkan oleh Freud (Freud, 1913-1914, 1963) adalah untuk membawa hal-hal yang ditekan dan tidak disadari kealam sadar. Hal tersebut sebagian besar dicapai melalui dua metode terapi. Dalam asosiasi bebas, klien dengan bebas berbicara selama sesi terapi, mengungkapkan apapun yang muncul dalam pikirannya. Analisis mimpi melibatkan klien untuk menceritakan kejadian – kejadian yang dilihatnya dalam mimpi kepada klinis untuk kemudian menghubungkan kejadian-kejadian ini secara bebas. Psikoanalisis mencoba untuk menginterpretasikan arti dari mimpi tersebut berdasarkan isi maupun dari asosiasi yang dibuat oleh klien terhadap mimpinya. Menurut Freud, metode dengan memasuki alam bawah sadar tersebut paling baik dilakukan dengan mengintruksikan klien untuk berbaring diatas sofa dalam posisi yang paling rileks. Menurut Freud, proses psikoanalisis distimulasi oleh tranference, kondisi ketika klien diasumsikan melepaskan hubungan penuh konflik denga orangtuanya melalui cara-cara mentransfer perasaan mengenai orangtuanya kepada klinis. Klinis sebaiknya mendukung transference dengan menjaga perilaku atau sikap netral, tidak menyebutkan informasi apapun yang mengandung unsur pilihan klinis tersebut, latar belakang personal, atau reaksi terhadap perilaku klien dalam terapi. Ketika perasaan konflik mengenai orangtua terpacu melalui proses teransference, klinis dapat membantu klien ntuk memulai proses working through. Pada proses ini, klien dibantu untuk mencapai suatu resolusi yang lebih sehat bagi masalahnya dibandngkan dengan apa yang telah terjadi pada masa kanakkanaknya. Sebagai contoh ketika klien dapat mentransfer perasaan ditolak sebagai anak kepada klinis. Dengan mengungkapkan perasaan ini secara terbuka dalam hubungan terapi, klinis dapat mengeksplorasi alasan klien merasa ditolak. Dengan berjalannya waktu, klien tersebut dapat belajar bahwa merupakan hal yang mungkin untuk mempercayai figur orangtua dan kesadaran ini akan membantu klien untuk merasa lebih aman dalam menjalin hubungan luar terapi.



12



Resistensi (resistance) klien atau menarik diri, sering terjadi dalam perkembangan proses terapi. Melawan ketakutan dan hasrat bawah sadar merupakan suatu proses yang menyakitkan dan sulit dan klien dapat melupakan hal-hal penting, menolak asosiasi bebas, atau menghentikan terapi untuk melindungi diri mereka dari kecemasan yang terkait dengan proses ini. Seatu bagian penting dari tugas klinisi adalah membantu klein untuk mengatasi resistensi. Interpretasi adalah sebuah teknik yang mungkin dapat digunakan untuk melakukan hal ini. Sebagai contoh jika seorang klien terus menerus datang terlambat untuk sesi terapi, klinis akan mencoba membantu klien menydari bahwa perilaku ini dapat menunjukkan hasrat bawah sadar untuk menghindari kecemasan. Meskipun para psikoanalis yang menerobos tradisi Freudian telah mengembangkan teori kepribadian mereka sendiri, metode terapi yang mereka gunakan sangat bergantung kepada prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Freud dalam mendorongg klien untuk mengeksplorasi dinamika kepribadian alam bawah sadar. Beberapa klinis memfokuskan pada type kepribadian dan mekanisme pertahanan diri klien serta mengadaptasi pendekatan mereka melalui cara tertentu bagi setiap klien. Mereka memperhatikan reaksi terhadap seorang klien dan menggunakan informasi ini untuk membentuk intervensi mereka. 2.



Perspektif Humanistik Pusat dari perspektif humanistik (humanistic perspective) adalah keyakinan



bahwa motivasi manusia didasarkan pada suatu tendensi bawaan untuk pencarian pemenuhan diri dan arti dalam hidup. Menurut kepribadian humanistik, seseorang termotivasi oleh kebutuhan untuk memahami diri mereka dan dunia serta untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dengan cara memenuhi potensi unik mereka. Hasil kerja para teoritikus humanistic sangat dipengaruhi oleh psikologi eksistensial, suatu potensi teoritis yang menekankan pentingnya penghargaan penuh terhadap setiap momen pada saat hal tersebut terjadi. Menurut psikologi eksistensial, seseorang yang selaras dengan dunia yang berada disekitar mereka dan menjalani kehidupan semaksimal mungkin pada setiap momen adalah seseorang yang sehat secara psikologis. Gangguan psikologis muncul ketika seseorang tidak mampu menjalani kehidupan pada suatu waktu tertentu.



13



Kekurangan dalam diri seseorang bukanlah hal yang menyebabkan gangguan psikologis, seseorang menjadi terganggu karena harus hidup dengan batasanbatasan kebebasan yang diberikan oleh masyarakat social. Menurut model humanistik, penyebab gangguan perilaku adalah terhambat atau terdistorsikannya perkembangan pribadi dan kecendrungan wajar kea rah kesehatan fisik dan mental. Hambatan atau distorsi itu sendiri dapat bersumber pada faktor-faktor berikut: 



Penggunaan mekanisme pertahanan diri yang berlebihan, sehingga individu semakin kehilangan kontak dengan realitas;







Kondisi sosial yang tidak menguntungkan serta proses belajar yang tidak semestinya;







Stres yang berlebihan. Maka, menurut model ini, tujuan psikoterapi adalah menolong individu



meninggalkan benteng-benteng atau topeng-topeng pertahanan diri dan belajar mengakui atau menerima pengalaman-pengalaman sejati mereka, belajar mengembangkan berbagai bentuk kompetensi yang diperlukan, dan menemukan nilai-nilai hidup. Dengan kata lain, individu ditolong mengembangkan kemampuan untuk membuat pilihan dan keputusan secara tepat dan benar, tumbuh dan mencapai pemenuhan diri. Tujuan-tujuan di atas dicapai lewat berbagai tekhnik seperti pertemuanpertemuan kelompok (encounter groups), berbagai jenis pelatihan (seperti awareness training yaitu sejenis pelatihan untuk lebuh memahami dan menemukan diri, asertifeness training yaitu pelatihan untuk mengembangkan sikap asertif atau sikap terbuka terus terang dengan tetap mempertahankan hubungan baik dengan orang lain, dan sebagainya), dan berbagai tekhnik eksperinsial lain yang betujuan menolong individu mengaktualisasikan diri, menjalin hubungan yang lebih memuaskan dengan orang lain, dan menguasai cara-cara yang lebih efektif dalam menghadapi berbagai situasi hidup. Menurut para eksistensialis, manusia modern terjebak dalam situasi hidup tidak menyenangkan yang merupakan buah pahit dari proses moderenisasi berupa antara lain melemahnya nilai-nilai tradisional, krisis iman, hilangnya pengakuan atas diri individu sebagai pribadi akibat berubahnya masyarakat kea rah



14



masyarakat dirokratik yang bersifat masal, dan menghilangnya banyak hal yang dapat menjadi sumber makna hidup seperti persahabatan, ketidaksetakawanan, dan sebagainya. Dengan kata lain, orang modern mengalami alienasi atau keterasingan. Ia tidak lagi mengenal tuhan, tidak lagi mengenal sesamanya, bahkan tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Segalanya telah berubah menjadi fungsi-fungsi belaka. Situasi ini mebuat banyak orang merasa kosong hidupnya, merasa serba cemas, dan akhirnya terperosok kedalam psikopatologi. Maka, menurut model eksistensial, tujuan psikoterapi adalah menolong individu menjernihkan niali-nilai hidupnya menemukan cara atau jalan hidup yang bermakna. Sebagai makhluk yang diyakini mampu membuat keputusan dan pilihan secara rasional dan bertanggungjawab, individu ditolong mengembangkan gaya hidup yang lebih menjamin terciptanya hubungan yang konstruktif dengan sesamanya serta tercapainya pemenuhan diri. Pada pertengahan abad ke-20, para psikolog yang menganut pendekatan teoritis utama untuk memahami perilaku manusia dan gangguan psikologis telah kehilangan kontak dengan sisi manusiawi dari perilaku manusia. Para humanis ini bersatu untuk membentuk “kekuatan ketiga” dalam psikologi dengan niat untuk menentang paham psikoanalisis dan behaviorisme. Dua teoretikus yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Carl Rogers & Abraham Maslow. Teori yang berpusat pada pribadi Teori yang berpusat pada pribadi (person-centered theory) yang dikemukakan oleh Carl Rogers (1902-1987) berfokus pada keunikan setiap individu, pentingnya mengijinkan setiap individu untuk mencapai pemenuhan maksimal bagi potensinya, serta pemenuhan kebutuhan individu untuk secara jujur menghadapi realitas pengalaman-pengalamannya di dunia. Teori Aktualisasi Diri Terkait dengan pandangan Rogers mengenai seseorang yang berfungsi penuh adalah teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (1962) yang menekankan aktualisasi diri (self-actualization) pencapaian maksimal dari potensi perkembangan psikologi seseorang. Seperti Rogers, Maslow (1971) mendefinisikan gangguan psikologis dalam istilah tingkat deviasi dari keadaan



15



ideal dan memiliki pandangan yang mirip mengenai kondisi yang menghalangi aktualisasi diri. Teoritikus dan klinisi humanistic melihat ide-ide mereka sebagai suatu titik awal radikal dari fokus tradisional di bidang psikologis yang meminimalkan peranan kehendak bebas dalam pengalaman manusia. Para teoritikus ini juga melihat perilaku manusia dalam istilah-istilah yang jauh lebih positif serta memandang gangguan psikologis sebagai hasil dari terhambatnya potensi perkembangan. 3.



Perspektif Sosiokultural Menurut model ini, sumber penyebab utama perilaku abnormal adalah



keadaan objektif dimasyarakat yang bersifat merugikan, seperti kemiskinan, deskriminasi dan prasangka ras, serta kekejaman/kekerasan. Maka, bentuk stressor atau situasi menekan diberbagai tempat dapat berbeda-beda tergantung konteks sosiokultural



diamana



individu.



Misalnya,



di



daerah



pedesaan



yang



masyarakatnya bersifat homogeny sumber utama penyebab gangguan perilaku kemungkinan besar adalah kemiskinan. Sebaliknya dikota-kota besar dengan masyarakat yang heterogen, penyebab penting timbulnya gangguan perilaku dikalangan kelompok minoritas mungkin adalah deskriminasi. Selain itu, pola gangguan perilaku di suatu masyarakat dapat berubah-ubah sejalan dengan perubahan peradaban. Sebagai contoh, pada masa ketika Sigmund Freud hidup gangguan perilaku yang banyak ditemukan pada kaum wanita adalah sejenis neurosis yang disebut hysteria. Pada jaman modern sekarang, gangguan yang cukup “popular” dimana-mana, khususnya di kota-kota besar, adalah stres. Para teoretikus dalam perspektif sosiokultural (sociocultural perspective) menekankan cara individu terpengaruh oleh orang lain, institusi sosial, dan kekuatan sosial yang berasal dari dunia yang mengelilingi mereka. Pengaruhpengaruh ini dapat dikelompokkan kedalam pengaruh yang langsung berdampak kepada individu seperti keluarga dan lingkaran yang lebih jauh seperti lingkungan masyarakat. Tidak seperti persperktif teoritis lain, perspektif sosiokultural memiliki hubungan yang relatif lebih fleksibel. Para teoritikus dalam perspektif ini cenderung berfokus pada satu atau beberapa bagian dari pengaruh, namun semuanya memiliki penekanan terhadap factor eksternal individu sebagai penyebab dari munculnya gangguan psikologis.



16



Perspektif Keluarga Pendukung



perspektif



keluarga



(family



perspective)



memandang



abnormalitas disebabkan oleh gangguan-gangguan pada pola interaksi dan hubungan yang ada di dalam keluarga. Meskipun terdapat perbedaan teori dalam perspektif keluarga, keseluruhan teori memfokuskan pada dinamika keluarga (family dynamic), interaksi diantara anggota keluarga. Menurut teori system keluarga, penyebab utama dari gangguan psikologis adalah disfungsi dalam hubungan keluarga. Diskriminasi Sosial Peneliti



dengan



perspektif



sosiokultural



juga



memfokuskan



pada



diskriminasi social sebagai suatu penyebab masalah psikologis. Fakta yang tidak menguntungkan, namun tampak jelas bahwa banyak orang mengalami diskriminasi karena jenis kelamin, ras, orientasi seksual, agama, kelas sosial, atau usia dan stress yang dikaitkan dengan diskriminasi tersebut. Ketika orang dari kelas social yang lebih rendah juga menjadi anggota dari etnis atau ras minoritas, maka kekuatan diskriminasi sosiokultural akan semakin meningkat. Meskipun diskriminasi yang terkait dengan kelas sosial berbeda dengan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan usia, akibat yang ditimbulkan relative sama. Ketika orang-orang diberi sedikit kesempatan, mereka sepertinya mengalami frustasi dan stress yang menyebabkan berkembangannya simtom-simtom sikologis. Pengaruh Sosial dan Kejadian Bersejarah Di samping atribut pribadi seperti jenis kelamin dan kelas sosial, kita dapat pula terkena pengaruh buruk dari kekuatan masyarakat umum. Gangguan psikologis dapat juga terjadi sebagai hasil kejadian sejarah yang destruktif, seperti kekerasan revolusi politik, kekacauan bencana alam, atau resesi kemiskinan nasional. Treatmen Para klinis dapat mengambil peran penting dalam membantu orang yang didera masalah yang telah berkembang dalam sistem keluarga, lingkungan terdekat, atau masyarakat luas. Terapi keluarga Terapi kelompok



17



Pendekatan multikultural Terapi Milieu 4.



Perspektif Behavioristik Pada bagian ini kita akan mendiskusikan dua perspektif yang berfokus pada



perilaku abnormal dan proses berfikir, yaitu perspektif perilaku dan perspektif kogniti-perilaku.



Menurut



perspektif



perilaku



(behavioral



perspective),



abnormalitas disebabkan oleh pengalaman belajar yang keliru. Dalam perspektif kognitif-perilaku (kognitif-behavioral perspective), abnormalitas disebabkan oleh proses berfikir yang maladaptive yang mengakibatkan disfungsi perilaku. Perspektif kognitif-perilaku kadang disederhanakan menjadi “Kognitif” meskipun sebagian besar orang yang bekerja di bidang ini lebih suka memakai istilah “kognitif-perilaku” Pengkondisian Klasik Menurut para penganut behaviorisme, kebanyakan reaksi spontan emosi kita terjadi melalui proses pengkondisian klasik (classical conditioning), ketika kita mengasosiasikan suatu respon spontan dengan stimulus yang tidak berhubungan. Misalnya, bau merk parfum tertentu mungkin membuat anda merasa sangat sedih hingga anda menyadari bahwa parfum tersebut adalah parfum yang digunakan kakek anda yang baru saja meninggal. Pada contoh ini, anda membentuk asosiasi antara stimulus yang secara alamiah bersifat netral (parfum) dengan stimulus yang secara alamiah bersifat membangkitkan kenangan (kakek yang sudah meninggal) yang menghasilkan suatu reaksi emosi (menjadi berlinang air mata). Hubungan ini terbentuk melalui pemasangan dua jenis stimulus secara berulang-ulang. Stimulus netral disebut sebagai stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus) karena menghasilkan respon sebelum pengondisian apapun terjadi. Stimulus yang memunculkan sesuatu secara alami disebut stimulus tak terkondisikan (unconditioned



stimulus)



karena



menghasilkan



respon



sebelum



diberi



pengkondisian apapun. Reaksi emosi yang diasosiasikan dengan stimulus terkondisikan (parfum) disebut respon terkondisikan (conditioned response). Sebelum



pengkondisian,



refleks



ini



disebut



respon



tak



terkondisikan



(umconditioned response) karena tidak diperlukan pembelajaran bagi anda untuk menangis ketika anda teringat kakek anda.



18



Pengondisian operan Pengondisian operan (operant conditioning) adalah proses pembelajaran ketika individu memeperoleh seperangkat perilaku melalui penguatan. Kebalikan dengan pengkondisian klasik, pengondisian operan melibatkan perilaku yang tidak otomatis. Orang yang belajkar tersebut mencoba menjadi cakap untuk menampilkan perilaku yang akan memberi hasil yang positif, seperti perhatian, pujian atau pemuasan kebutuhan biologis. Prinsip pengondisian operan dikembangkan oleh B.F. Skinner (1904-1990) yang gagasannya mengenai perilaku menjadi dasar bagi filosofi sifat manusia didunia. Seseorang yang memuaskan kebutuhan biologis (lapar, haus, sembuh dari luka, seks) disebut penguat primer karena mereka mendapat penghargaan secara intrinsic. Perilaku juga digerakkan oleh penguat sekunder yang memperoleh nilai mereka dari asosiasi dengan penguat primer. Dalan pengondisian operan seperti halnya pada pengondisian klasik, penguatan memiliki efek menyenangkan atau tidak menyenangkan. Saat tidak ada penguatan, sebagian besar perilaku yang dipelajari cenderung berkurang dan akhirnya hilang. Pengondisian operan juga dimaksudkan untuk menerapkan perolehan penguasaan perilaku, mempelajari suatu bahasa atau menjadi musisi yang mahir. Pembelajaran sosial dan kognisi sosial Para teoretikus yang mengusung teori belajar sosial tertarik untuk memahami bagaimana orang mengembangkan gangguan psikolagis melalui hubungan mereka dengan orang lain dan melalui obsevasi orang lain. Beberapa teoretikus dalam perspektif ini juga memfokuskan diri pada kognisi sosial, faktorfaktor yang memengaruhi cara orang memersepsi dirinya dan orang dan serta membentuk penilaian penyebab perilaku. Menurut pespektif-perspektif ini, tidak hanya penguatan langsung yang memengaruhi perilaku, tetapi pengutan tidak langsung juga dapat memengaruhi perilaku, ketika orang memperoleh perilaku tersebut dengan melihat orang lain melakukan perilaku tersebut dengan orang lain melakukan perilaku tertentu dan melihat mereka diberi penghargaan atau hukuman. Evaluasi Perspektif Berbasis Perilaku



19



Mungkin hal utama yang menarik dari perspektif perilaku adalah kesederhanaan dan ketergantungannya pada konsep yang dapat diterjemahkan menjadi objek yang terukur. Perspektif ini menggunakan serangkaian perspektif impiris yang terbatas dan mengelakkan pertanyaan filosofis yang sulit dengan tidak mengajukan struktur kompleks yang mendasari perilaku. Kesederhanaan yang sangat dari perspektif perilaku juga menjadiknnya tidak terlaku melekat dipikiran banyak psikolog. Para humanis menentang dengan mengatakan bahwa dengan membatasi definisi psikologi hanya pada kajian perilaku yang dapat teramati saja, ahli bihavoiris gagal menangkap kompleksitas sifat manusia dan menggambarkan kehendak bebas sebagai pengaruh yang terbaikan pada manusia dibandingkan dengan kekuatan luar yang berasal dari lingkungan. Para psikoanalis berpendapat bahwa tidak ditekankannya pengaruh ketidaksadaran yang menjadi karakteristik pendekatan perilaku, berarti telah mengabaikan sebagian besar hal yang menarik dan unik dari manusia.



5.



Perspektif Kognitif Dalam perspektif kognitif (kognitif perspective), abnormalitas disebabkan



oleh proses berfikir yang maladaptive yang mengakibatkan disfungsi perilaku. Pembelajaran sosial dan kognisi social Para teoretikus yang mengusung teori belajar sosial tertarik untuk memahami bagaimana orang mengembangkan gangguan psikolagis melalui hubungan mereka dengan orang lain dan melalui obsevasi orang lain. Beberapa teoretikus dalam perspektif ini juga memfokuskan diri pada kognisi sosial, factorfaktor yang memengaruhi cara orang memersepsi dirinya dan orang dan serta membentuk penilaian penyebab perilaku. Menurut pespektif-perspektif ini, tidak hanya penguatan langsung yang memengaruhi perilaku, tetapi pengutan tidak langsung juga dapat memengaruhi perilaku, ketika orang memperoleh perilaku tersebut dengan melihat orang lain melakukan perilaku tersebut dengan orang lain melakukan perilaku tertentu dan melihat mereka diberi penghargaan atau hukuman.



20



Teori berbasis kognitif Teori berbasis kognitif berfokus pada kontribusi pikiran seseorang terhadap emosi dan perilaku maladaptive. Aaron Beck (b.1921) dan Albert Ellis (19132007)



yang



merupakan



penyokong



utama



pendekatan



ini,



telah



mengembangkannya sebagai sebuah cara dalam memahami gangguan depresi. Menurut Beck, ciri keseluruhan dari banyak gangguan psikologis adalah adanya pikiran otomatis (outomatic thoughts) – gagasan yang tertanam secara mendalam, sehingga individu bahkan tidak menyadari bahwa gagasan tersebut menyebakan perasaan tidak bahagia dan putus asa. Pikiran otomatis kelihatannya muncul secara spontan dan sulit dihindari. Treatmen Menurut



perspektif



berbasis



kognitif,



abnormalitas



muncul



dari



pembelajaran dan pikiran yang salah serta dapat diubah dengan metode yang mengarah pada proses tersebut. Dalam terapi kognitif, klinisi bekerja sama dengan klien untuk mengubah pola berfikir maladaptive. Evaluasi Perspektif Berbasis Kognitif Teoretikus yang berorientasi kognitif hampir dapat memuaskan karena mereka mengganggap proses berfikir sebagai hal yang penting dalam belajar (memuaskan pandangan humanis) dan menyatakan bahwa perilaku dpat dipengaruhi oleh asumsi yang tidak terkatakan tentang diri (memuaskan pandangan psikoanalisis). Meskipun tidak komprehensif, teori kognitif memiliki dasar empiris yang kuat. Sebagai hasilnya para peneliti kontemporerterus memperluas aplikasi teori-teori ini ke beragam klien dan berbagai kondisi.



6.



Perspektif Biologis Dalam perspektif biologis, gangguan emosi, prilaku, dan proses kognitif



dipandang sebagai akibat abnormalitas fungsi tubuh. Sistem saraf dan sistem endokrin memainkan peranan penting dalam menentukan abnormalitas seperti halnya susunan genetic pada individu.



21



Sistem Saraf dan Prilaku Perilaku, pikiran dan emosi yang kompleks merupakan hasil dari aktifitas system saraf pusat. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan jaringan saraf dari dan keotak melalui saraf tulang belakang. Kita dapat mengangap system saraf pusat sebagai inti tempat pemerosesan informasi dalam tubuh, memngirimkan informasi mengenai keadaan tubuh saat ini kepusat pengambilan keputusan, dan kemudian membawa keputusan-keputusan ini kembali ketubuh sebagai dasar pengambilan tindakan. Aktifitas-aktifitas ini terjadi pada tingkat kecepatan yang melebihi computer paling cangih sekalipun dan melibatkan jutaan keputusan setiap detiknya yang melibatkan triliunan sel. Neuron, Sinaps, dan Neurotransmiter Sebuah neuron atau sel saraf merupakan unit dasar dari struktur dan fungsi dalam system saraf. Neuron adalah komunikator yang mengirimkan informasi antara tubuh dan otak. Pengiriman informasi melalui system syaraf terjadi pada sinaps atau titik titik komunikasi antar-neuron. Sinyal elektrik yang mengandung informasi dikirim kan secara kimiawi melalui sinaps dari satu neuron ke neuron lainnya. Melalui transmnisi ini, neuron dari jaringan yang saling terhubung bersama informasi melakukan perjalanan dari satu bagian system saraf ke bagian yang lainnya. Sinaf dapat memiliki salah satu dari dua efek baik “menyalakan” ataupun “memadamkan” neuron yang menerima informasi. Suatu sinaps eksitatorik merupakan sinaps yang mengkomunikasikan pesan ke neuron penerima dengan menjadikannya seolah-olah seperti respon pemicu. Sebaliknya, sinaps inhibitor, menurunkan aktifitas neuron penerima. Pada saat-saat tertentu, aktifitas neuron dan apakah ia mengirimkan sinyal ke neuron lain dalam jaringannya, bergantung pada keseimbangan antara sinaps eksitatorik dan inhiobitor. Dengan demikian, setiap neuron mengintegrasikan informasi dari semua sinyal yang tertuju padanya dan merespon pada sinyal yang lebih kuat. Neuron tidak menyentuh malah terdapat jarak antara neuron yang disebut celah sinaps. Transmisi informasi dari akson suatu neuron kedendrid neuron lain meliputi aktifitas kemiawi dan elktrik yang terjadi melalui celah sinaps. (Fakta bahwa sinaps tidak melibatkan koneksi langsung akan dibutikan sebagai hal yang penting nanti, ketika kita



22



mendiskusikan bagaimana pengobatan psikoakrif memengaruhi otak). Zat kimia dilepaskan dari neuron transmisi ke celah sinaps, kemudian mengalir melalui sinaps dan diabsorpsi oleh neuron penerima. Zat ini disebut dengan neurotransmitter (neurotransmitter). Ada beberapa jenis neurotransmiter yang berbeda komposisi kimiawinya. Beberapa yang penting adalah acetylcholine (Ach), gamma-aminobutyric acid (GABA), serotonim, dopamine, norepinephrine, dan enkephalins. Beberapa transiter bersifat eksitatorik, yaitu meningkatkan kemuungkinan bahwa neuron penerima akan memicu suatu respons. Norepinefrin secara umum dianggap sebagai neurotransmiter eksitatorik dan kekurangan zat ini dianggap seagai factor penyebab depresi. Neurotransmiter lain seperti GABA memiliki efek penghambat ketika melewati sinaps. Beberapa obat penenang bekerja dengan memfasilitasi aktivitas GABA yang efeknya dapat “memperlambat” system saraf. Enkephalins telah mendapat perhatian khusus sejak awal 1980-an karena zat ini diakui sebagai zat pembunuh sakit yang dihasilkan secara alami oleh tubuh. Abnormalitas pada neurotransmiter lain dianggap sebagai sumber penyebab beberapa abnormalitas perilaku. Misalnya, para peneliti berhipotesis bahwa serotonin berperan dalam beberapa gangguan, termasuk gangguan obsesif kompulsif, depresi, dan gangguan makan. Akibat dari aktivitas dopamine telah diduga menjadi penyebab simtomsimtom skizofrenia. Sebaliknya, kekurangan dopamine menyebabkan gemetar dan kesulitan berjalan yang merupakan simtom penyakit Parkinson. Gangguan lain, khususnya gangguan yang merupakan peran respons dari pengobatan,



suatu



saat



mungkin



diketahui



merupakan



akibat



dari



ketidakseimbangan neurotransmiter. Potensi yang ditawarkan oleh pendekatan ini dalam memahami dan menangani gangguan psikologis tidak dapat terlalu diandalkan karena menyarankan intervensi yang relative lagsung dan sederhana yang dapat mengurangi bencana yang diakiatkan oleh gangguan-gangguan mental pada kualitas hidup manusia. Akan tetapi, sepertinya tidak mungkin diteukan suatu penyembuhan magis yang dapat menghilangkan bermacam gangguan mental yang serius.



23



Pengaruh Genetis pada Perilaku Hal yang umum bagi orangtua untuk mencermati anak-anak mereka untuk melihat karakteristik apa yang berkembang pada anak-anak mereka, dari jari yang panjang seperti ayahnya sampai hidung kecil seperti ibunya. Kerabat sering kali membuat banyak spekulasi tentang asal mula ini dan itu atau karakteristik pada generasi berikutnya. Mungkin bibi atau paman memberitahu Anda bahwa Anda memiliki senyum nenek Anda atau bahwa Anda nakal seperti ayah Anda ketika ia muda. Di luar asesmen-asesmen informal ini, sebagian besar orang akan sulit melacak jejak secara tepat rute genetis melalui keturunan mana asal mula perilaku dan ciri kepribadian yang menurun melalui pohon keluarga mereka. Ada alasan yang tepat untuk hal tersebut. Mekanisme pewarisan genetis sering kali membingungkan para peneliti yang canggih sekali pun. Konsep Dasar Genetika Ketika kita membicarakan karakteristik yang diwariskan, kita berbicara tentang komponem genom (genome), seperangkat nstruksi yang lengkap untuk membentuk organisme. Genom manusia ditemukan di setiap inti sel (nucleus) dari berjuta-juta sel seseoorang. Sebagaimana rencana pembangunan, hal-hal dapat berubah akibat factor lingkungan. Interaksi antara gen dan lingkungan ini tercermin dalam fenotipe (phenotype) yang merupakan tampilan luar dari gen. kitta akan kembali pada bahasan penting ini pada bagian berikutnya. Genom setiap makhluk hidup terdiri dari benang-benang molekul asam deoksiribonukleat (deoxyribonucleic acid-DNA) yang tergulung dengan kettat. Molekul DNA terletak didalam inti sel seluruh sel-sel tubuh dalam bentuk 23 pasangan untaian yang masing-masing berbentuk spiral dengan heliks ganda, suatu bbentuk yang menyerupai tangga yang membelit. Empat zat kimia mengandung nitrogen yang disebut basis, terlihat seperti manik-manik kalung pada masing-masing untaian DNA dan membentuk suatu rangkain khusus. Rangkaina basis ini mengandung informasi yang dibutuhkan sel untuk memproduksi protein, komponem utama semua makhluk hidup. Fungsi lain dari DNA adalah untuk menduplikasi dirinya sebelum sel terbelah. Hal ini memungkinkan setiap sel baru memiliki kopian pesan pennting DNA secara lengkap, sehingga proses produksi protein dapat diteruskan oleh sel baru ini.



24



Gen (gene) adalah unit fungsional dari mlekul DNA yang membawa seperangkat instruksi khusus untuk memproduksi prtein yang spesifik. Ada sekitar 32.000 gen dalam tubuh manusia dan setiap gen terdiri dari 2 juta pasang unit kimiawi yang disebut basis nukleotida. Gen manusia bervariasi panjangnya, sering kali memanjang melebihi ribuan basis, namun hanya sekitar 10 persen genom yang benar-benar mengandung rangkain gen yang digunakan untuk mengode protein. Sisanya mengandung rangkain basis yang mengode sesuatu yang tidak diketahui. Genom diatur menjadi kromosom (chromosome) unit gulungan benang DNA dan molekul protein terkait yang berbeda yang terpisah secara fisik (Figur 4.4). setiap kromosom mengandung ratusan hingga ribuan gen. ppada manusia terdapat dua kumpulan kromosom, salah satunya diberikan oleh kedua orangtua. Setiap sel memiliki 23 kromosom tunggal;22 merupakan autosom dan mengandung informasi yang tidak berkaitan dengan jenis kelamin, sedangkan yang ke 23 adalah kromosom jenis kelamin X atau Y. wanita yang normal memiliki sepasang kromosom X dan lelaki yang normal memiliki pasangan kromosom X dan Y. meskipun setiap kromosom selalu memiliki gen yang sama, tidak ada alasan yang menjelaskan mengenai distribisi gen dalam kromoson. Suatu gen yang menghasilkan suatu protein yang memengaruhi warna mata mungkin brsebelahan dengan gen yang berperan dalam produksi energy sel. Gen dapat mengalami perubahan yang disebut mutasi, sring kali terjadi karena kesalahan pengopian ketika sel mereproduksi dirinya atau karena perubahan zat kimia oleh sinar matahari atau zat karsinogen. Perubahan yang signifikan pada DNA dapat mengakibatkan kegagalan fungsi protein. Mutasi genetik dapat diwariskan dari orang tua atau didapatkan karena peristiwaperistiwa yang terjadi dalam hidup seseorang ( mutasi yang dipelajari). Mutasi yang diwariskan berasal dari DNA sel yang terlibat dalam reproduksi (sperma dan telur). Ketika



sel reproduksi yang mengandung mutasi tergabung dalam



keturunan seseorang, mutasi tersebut akan berada dalam semua sel tubuh si keturunan tersebut. Mutasi yang diwariskan bertanggung jawab terhadap penyakirt – penyakit, seperti fibrosis sistik (Cystic Fibrosis) dan anemia sel sabit serta dapat menyebabkan kecenderungan individu mengidap kanker, penyakit



25



kejiwaan mayor, atau penyakit kompleks lainnya. Mutasi yang dipelaqjari adalah perubahan DNA yang berkembang di sepanjang hidup seseorang. Secara menajubkan, sel memiliki kemampuan memperbaiki mutasi – mutasi ini. Akan tetapi, jika mekanisme perbaikan ini gagal maka mutasi akan terus terjadi pada semua pengopian sel – sel berikutnya. Model Transmisi Genetik Ingatlah bahwa sel-sel tubuh mengandung dua set kromoson satu diwariskan dari ibu dan satu dari ayah. Setiap sel kromosom memiliki gen yang sama namun kebanyakan dari gen ini berasal dari farian yang berbeda yang disebut alel (Aleles) sifat – sifat yang berdasarkan genetic (seperti warna rambut dan warna mata) ditentukan oleh kombinasi dua alel gen yang diwarisi oleh individu, masing – masing dari kedua orang tua. Alel ada yang dominan dan ada yang resesif, tergantung apakah salah satu atau keduanya harus ada dalam genom individu untuk sifat yang Nampak. Alel yang dominan selalu menampakan sifat yang dikodenya, tidak peduli yang mana saja alel yang satunya. Alelk yang resesif akan ditampakan hanya jika berpasangan dengan alel lain yang juga resesif. Gangguan gen tertentu didasarkan pada pola pewarisan yang dominan. Dalam hal ini seseorang mewarisi alel “normal” dan alel “berpenyakit”. Karena allele berpenyakit fdominan, alel tersebut dinampakan dalam individu yang kemungkinan yang berpengaruh oleh gangguan tersebut. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh membawa satu alel normal dan satu alel berpenyakit. Pola pewarisan penyakit yang lain melibatkan perubahan gen resesif. Dalam hal ini kedua orangtua mewariskan dengan membawa satu alel normal dan satu alel berpenyakit. Ketika para ilmuwan mencoba untuk menentukan asal genetic dari cirri – cirri psikologis dan psik tertentu, mereka sering memulainya dengan asumsi bahwa suatu cirri diproleh melalui tipe pola transmisi dominan resesif ini. Tantangan lain yang tak terbatas adalah proses penentuan dan pewarisan saat pola tersebut tidak mengikuti salah satu transmisi dominan resesif. Sifat – sifat yang kompleks adalah karakteristik – karakteristik yang mencerminkan pola pewarisan yang tidak mengikuti peraturan sederhana dari kombinasi dominan dan resesif. Pola pewarisan mengikuti model poligen dari pewarisan genetic yang melibatkan



26



dua atau lebih gen dalam menentukan suatu karakteristik. Dalam model poligen, gen majemuk diasumsiskan memainkan peranan dalam pengfombinasian, mungkin pada lefel yang berbeda untuk menentukan keseluruhan penampakan karakteristik. Pola yang dikombinasikan dari sepuluh atau seratus gen menentukan apakah individu memproleh karakteristik yang ditentukan secara polygenic seperti ukuran tubuh. Memperkirakan heritabilitas, proporsi fenotipe keturunan karena sebab genetis telah diaplikasikan pada sifat – sifat seperti bakat dan religiusitas, orientasi politik, kepuasan kerja, hobi, kerentanan bercerai, kesejahteraan subjektif, dan bahkan persepsi terhadap bakat atau kemampuan seseorang. Para teoritikus mengklain bahwa karakteristik – karakterisk ini memiliki komponen genetis yang kuat sebagaimana diindikasikan oleh angka heritabilitas yang tinggi. Gangguan psikologis Variasi model ini adalah bahwa orang-orang meilih lingkungan yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka yang sudahj ditentukan secara genetis dan bahwa sebaliknya lingkungan akan mempengaruhi tampilan dari kualitas – kualitas ini. Menurut model ini, karakrteristik yang berbasis genetic ditingkatkan oleh pengalaman – penmgalaman yang diupilih seseorang karena mereka memiliki minmat-minat tersebut. Pandangan inrteraktif lain dari hubungan antara gen dan lingkungan adalah model diathesis setres suatu pendapat bahwa manusia dilahirkan dengan suatu diagtesis (predisposisi genetis) atau mendapatkan suatu kerentanan diawal –awal kehidupan mereka karena kejadian – kejadian berpengaruh, seperti trauma penyakit, komplikasi kelahitran, dan bahkan pengalaman keluarga ( Zubin & Spring, 1977). Kerentanan seperti itu menempatkan individu pada resiko mengembangkan gangguan psikologis. Variabel kunci penelitian ini adalah adanya perilaku maladaptive dari orang tua. Anak –anak dari orang tua yang memiliki gangguan jiwa mengembangkan gangguan jiwa hanya jika orangtua mereka memiliki riwayat prilaku maladaktif. Diatesis memiliki orang tua dengan gangguan jiwa akan berakibat pada berkembangnya gangguan pada si anak hanya jika dikombinasikan dengan adanya tekjanan kehidupan dirumah dengan orangtua yang memiliki perilaku terganggu.



27



Hal yang lebih rumus lingkungan adalah fakta bahwa, sebagaimana ditekankan seblumnya, genom tidak selalu tanpak dalam fenotive atau karakteristik yang teramati dari individu. Beberapa orang genitive yang akan memberi kecenderungan mengembangkan suatu penyakit pada mereka dapat tidak termanifestasi dalam penyakit tersebut, sebuah fenomena yang disebut penembusan tak lengkap. Faktor – faktor seperti usia, jenis kelamin, lingkungan, dan gen lain mempengaruhi tingkat penembusan dari karakteristik yang diwariskan secara genetis. Pada kqasus lain, seseorang dapat mengembangkan suatu penyakit karena faktor lingkungan atau faktor lainnya, tanpa mewarisi prtedisposisi terhadap posisi penyakit tersebut. Perspektif lain mengenai faktor genetis diusulkan oleh model multifaktorial polygenic tareshold. Para peneliti yang menganut model ini berpendirian bahwa beberapa gen dengan pengaruh yang beragam terlibat dalam transmisi suatu gangguan atau suatu kharakteristik. Kerentanan terhadap suatu penyakit memiliki rentang dari rendah hingga tinggi, bergantung kombinasi gen yang diwarisi oleh individu. Simtom-simtom gangguan dihasilkan ketika akumulasi factor genetic dan lingkungan melebihi suatu batas nilai tertentu. Sebagian besar peneliti kontemporer sepakat bahwa model ini menyajikan penjelasan yang lebih baik untuk pola aktual dari pengaruh keluarga daripada model gen-tunggal atai modelmodel yang berdasarkan mekanisme pewarisan genetic yang lebh sederhana. Ada kemungkinan bahwa semua model member sebagian jawaban, bergantung dari kemudahan kharakteristik yang dimaksud untuk dimodifikasi. Seseorang yang memiliki genotype tinggi badan tidak menjadi lebih tinggi karena bermain bola basket, namun seseorang yang memiliki bakat seni dapat menjadi lebih mahir dengan melakukan latihan. Kharakteristik fisik juga juga dapat geragam tingkat kemudahan modifikasinya; seseorang dengan gen berat badan dapat memiliki berat badan rata-rata dengan melakukan diet dengan hati-hati dan juga melakukan olahraga. Akan tetapi mata yang biru tidak dapat diubah menjadi coklat, apapun yang dilihat pleh orang tersebut dan siapapun yang melihatnya. Diluar kharakteristik yang jelas-jelas dibatasi ini, gagasan bahwa memodifikasi penampakan sifat yang diperoleh secara genetis atau masalah kesehatan melalui



28



pengontrolan terhadap factor-faktor gaya hidup menyajikan kemungkinan yang menarik. Treatment Terapis yang mengikuti perspektif biologis berorientasi mengurangi atau meringankan simtom-simtom gangguan dengan mengarah pada abnomarlitas fisiologis yang mungkin. Terapi somatic (jasmani) (somatic therapis) meliputi treatment yang dilakukan berdasarkan penyebab gangguan yang diketahui atau diduga. Psikosurgeri Bentuk awal dari terapis somatic adalah berupa cara-cara yang paling ekstrem:



intervensi



operasi



pada otak



yang disebut



juga psikosurgei



(psychosurgery). Bentuk psikosurgery yang paling umum adalah memutus lobus frontal dari bagian otak yang lain. Prosedur dasar dari tipe operasional ini dikembangkan oleh ahli bedah Portugis Egas Moniz pada tahun 1935 sebagai cara untuk menghilangkan simtom-simtom pada penderita psikosis berat. Tehnik ini dianggap sebgai terobisan besar saat itu dan moniz menerima nobel prize pada tahun 1945 untuk karyanya tersebut. Setelah berkembnagnya pengobtan anti psikotik pada tahun 1950-an, psikosurgeri yang sdah dipraktikan secara luas kemudian segera dihentikan karena efek negative yang ditimbulkanya, seperti tumpulnya emosi dan hilangnya motifasi. Meskipun psiko surgery jarang diperaktikan



saat



ini,



beberapa



professional



kesehatn



mental



masi



merekomendasikan prosedur ini untuk menangani orang dengan gangguan ofsesif compulsive yang keras. Terapi Elektokonvulsif Terapi yang kurang ekstrem dibandingkan dengan psikosurgei, namun sama-sama controversial adalah terapi elektrokonvulsif (electroconconvulsife theraphy-ECT) untuk menangani depresi berat. Dalam ECT, sebuah kejutan listrik dipasangkan pada elektroda yang dipasang pada elektroda yang dipasangkan pada kepala, sehingga menghasilkan konvulsi pada tubuh. Metode ini dikembangkan pada tahun 1973 oleh Ugo Cerletik, seorang neurology Italian yang mengembangkan prosedur ini dibidang penanganan epilepsi, suati gangguan serangan otak. Cellety menelaah eksperimennya dengan menggunakan anjing-



29



anjing yang dibujuk untuk menjalani konvulsi dari kejutan listik ternyata lebih jinak setelahnya. Usaha untuk menangani gangguan psikologis berat dengan menyebabkan perubahan radikanl pada lingkungan otak didasarkan pada gagasan bahwa perubahan kimiawi ini akan menstimulasi perubahan yang menguntungkan dalam neuron, sehingga dapat mengurangi simtom-simtom pasien. Ketika ECT mulai dopraktikan sevara luas di Eropa, modifikasi dilakukan untuk mengurangi resiko cerda otot selama dilakukan konvulsi. Saat popularitas ECT meningkat di tahun 1940-an dan 1950-qn demikina pola praktik terhadapnya yang sebagian disebabkan karena terapi yang sering kali dipraktikan secra tidak tepat kepda pasien yang tampaknya tidak terkontrol. Hal ini adalah gambaran yang dilukiskan dalam One Flew over the Cuckoo‟s Nest karya Ken Kesey. Akibat kontroversi yang meliputi ECT, metode ini sangat jarang dipake lagi ditahun 1970-an. Akan tetapi, metode ini masi digunakan untuk menangani beberapa gangguan dan national institute of health (1985) mengeluarkan pernyataan dukungan untuk aplikasi terbatas metode ini terhadap beberapa gangguan. Saat ni, terlihat adanya kebangkitan terhadap ketertarikan pada ECT sebagai metode treatment untuk depresi berat ( Lisanby,2007). Metode ini juga berhasil digunakan pada orang dewasa penderita depresi berat (Gebretsadik, Jayaprabhu, & Grrossberg, 2006). Sebagaimana kita diskusikan pada bab 9. Ada kontoversi penggunaan ECT dengan kekhawatiran khusus pada efek samping yang ditimbulkanya berupa terganggunya beberapa bentuk memori. Stimulasi Magnetik Transkranial Dalam stimulasi magnetic transkranial (trnscarnial magnetic stimulationTMS), sebuah elektro magnet berdaya kuat diletakan pada kulit kepala individu dan sebuah aliran listrik dialirkan melalui korteks. Prosedur ini secara umum sering kali digunakan (r.TMS) dengan tujuan untuk meningkatkan atau menurunkan tingkat rangsangan neuron dari area yang dituju. Proses yang dilakukan saat ini tidak terbatas pada korteks, tetepai tampaknya memberikan pengaruh lebih pada struktur dalam area subkortital pada otak. Ada harapan bahwa r.TMS pada akhirnya dapat menggantikan ECT dalam merawat gangguan depresi yang berat, tetapi masi terlalu awal untuk diketahui. Meskipun demikian,



30



r.TMS tetap merupakan treatment yang efektif jika dikombinasikan dengan obatobatan. Stimulasi otak dalam Pada stimulasi otak dalam (deef brain stimulation/DBF), seorang ahli bedah neuron menanamkan micrielectroda kedalam otak yang menghantarkan stimulasi elektrik yang rendah secara constant kedalam daerah kecil pada otak. Berdasarkan fakta bahwa sistim control motorik yang terletak dalam otak, bangsal ganglia kurang aktif pada orang dengan gangguan neorolgis seperti pada penyakit pakinsong, ahli bedah neuron mengembangkan DBS sebagai metode treatment untuk meningkatkan aktivitas bangsak ganglia. Sitem DBS terdiri dari 3 komponen, yaitu, timah, kwat penyambung dan neurostimulator. Timah pada komponen berbentuk tipis, mengisolasi kawat yang dimasukan melalui tengkorak kepala yang telah dibuka dengan ukuran kecil dan ditanamkan dalam otak. Ujung elektroda ditempatkan didalam area otak yang menjadi target. Kawat penyambung merupakan kabel yang diisolasi yang dimasukan melalui kepala, leher, dan bahu menghubungnkan timah dengan neurostimilator. Neurostimulator (alat yang memberikan tenaga tanbahan) biasanya ditanamkan dibawah kulit dekat dengan collarbone. Dalam beberapa kasus dapat ditanamkan didada bagian bawah atau dibawah kulit diatas abdomen. Begitu system telah ditempatkan pada tempatnya, inpuls elektrik dialirkan melalui neurostimulator melewati kabel penyambung dan timah serta masuk kedalam otak (Figur). Aplikasi terbaru dari DBS sedang diselidiki untuk digunakan dalam treatment dalam gangguan psikologis, termasuk gangguan obsesif konfulsif dan gangguan depresi berat (Kopell & Greenberg, 2007). Salah satu keuntungan dari DBS adalah stimulasi dapat diubah sebagai respond terhadap reaksi klient selama treatment. Harapanya adalah prosedur yang bersifat inpasi yang minimum ini dapat memberikan pengaruh yang luas terhadap berbagai kondisi yang melemahkan individu ketika treatment konvensional sudah tidak efektif lagi. Pengobatan Intervensi somatic yang paling umum adalah pengobatan. Kita akan membahas berbagai macam gangguan dalam buku ini serta kita juga akan menggambarkan pengobatan yang diperlihatkan efektif dalam mengurangi simtom



31



dari gangguan-gangguan tersebut. Pengobatan ini biasanya mengubah zat kimiawi dalam tubuh dengan cara tertentu, sehingga memmengaruhi tingkat dan aktifitas neurotransmiter otak. Selama beberapa dekade terakhir, kemajuan yang pesat dalam psikofarmakologi (tsychopha machology) menghasilkan perkenalan terhadap pengobatan yang secara dramatis lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan yang telah digunakan. Seperti yang nanti akan kit abaca pada buku ini, pengobatan yang disebut dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) (misalnya fluoxetine/Prozac) telah terbukti sangat efektif dalam merawat simtom yang berhubungan dengan banyak gangguan, seperti depresi dan gangguan obsesif konpulsif. Seperti yang akan kita baca pada bab gangguan mood, selective serotonin reuptake inhibitors menghalangi meningkatnya serotonin pada sinats yang memungkinkan neurotranmiter ini mudah digunakan bagi area resektor, bagi klien yang menderita skizofrenia, pengobatan anti psikotik yang tidak umum ini (misalnya closapine/closaril) telah mengubah hidup orang-orang yang memiliki simtom kognitif, emosional, dan perilaku yang mengganggu yang sebelumnya dapat menimbulkan kerusakan. Closapine menhalangi serotonin, begitu jg dengan dopamine, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah. 7.



Perspektif Biopsikososial (Integrated) Pendekatan yang menggunakan teknik dengan pendekatan ekletik (technical



eclecticism) berusaha untuk mencocokkan antara intervensi spesifik bagi setiap klien dan dalam hal menampilkan permasalahan (Beutler, Consoli, & Williams, 1995). Para terapis tersebut tidak berafiliasi dengan model teoretis tertentu, tetapi mereka bersedia untuk mengakui bahwa teknik tertentu dapat efektif dalam menangani permasalahan tertentu. Misalnya, terapis yang tidak terlalu sering menggunakan teknik perilaku dapat memahami kelebihan dari desensitisasi sistematik dalam merawat klien dengan fobia dan penggunaan teknik-teknik yang bersifat eksplorasi dalam memahami sumber perkembangan dari ketakutan dan gaya dependen klien tersebut. Integrasi teoretis (theoretical integration) melibatkan formulasi pendekatan psikoterapi yang memberikan model yang berbeda-beda dan memberikan dasar yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang (Wachtel, 1977, 1997). Misalnya, klinisi secara konsisten dapat memilih dua dasar teoretis, seperti sistem keluarga



32



dan perilaku-kognitif yang kemudian dari kedua dasar teoretis tersebut klinisi mengembangkan modelnya sendiri berdasarkan sintesis konseptual yang memberikan kontribusi terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada permasalahan independen yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang maladaptif memberikan kontribusi terhadap stress pada klien. Intervensi yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua model secara bersamaan. Pada saat menggunakan pendekatan faktor umum (common factor approach) pada integrasi, klinisi mengembangkan strategi dengan mempelajari kesamaan inti unsure dari berbagai macam terapi dan memilih komponen yang selama beberapa waktu memperlihatkan sebagai kontributor yang sangat efektif dalam memberikan hasil yang positif dari psikoterapi (O‟Leary & Murphy, 2006). Dukungan yang kuat telah muncul dalam beberapa tahun terakhir terhadap pentingnya membina hubungan antara klien dan terapis dalam menentukan efisiensi treatmen. Sejalan dengan analisis ilmiah yang dapat dipercaya mengenai hasil penelitian psikoterapi, Wampold (2001) menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan dengan teknik yang spesifik adalah faktor yang dapat membuat psikoterapi bekerja. Pada kenyatannya, ia mempertimbangkan faktor-faktor yang saling bergabung sebagai komponen kunci dari psikoterapi. “Penggabungan tampaknya merupakan aspek yang penting dari terapi, tanpa menghiraukan sifat dasar terapi” (hlm. 158). Beberapa klinisi mengombinasikan elemen dari tiga pendekatan integral yang menghasilkan dengan apa yang disebut sebagai mixed model of integration. Ketika membaca kasus Dr. Tobin pada teks ini, terlihat bagaimana ia melakukan pekerjaannya berdasarkan kerangka kerja yang integral. Sebagai tambahan dalam menggabungkan teknik dari berbagai model ke dalam pendekatan treatmennya, Dr. Tobin terbiasa untuk memperhatikan pentingnya beberapa faktor tertentu dalam pekerjaannya. Misalnya, saat membaca mengenai penekanan Dr. Tobin terhadap hubungan kerjanya dengan klien. Ia menyadari bahwa teknik yang paling efektif sekali pun tidak akan berfungsi jika ia dan kliennya tidak memiliki hubungan kerjasama yang kolaboratif.



33



Contoh Kasus dari Dr. Tobin: Pendekatan Integratif untuk Memberikan Treatmen kepada Meera Terapis integratif seperti Dr. Tobin akan menghadapi beberapa pilihan dalam merawat klien seperti Meera. Mungkin depresi Meera berasal dari konflik yang telah berlangsung sepanjang hidupnya, sehingga membutuhkan beberapa penjelasan. Pada waktu yang bersamaan, Meera mungkin akan mendapatkan keuntungan dari strategi kognitif yang bertujuan membantunya dalam mengubah pandangannya terhadap dirinya sendiri, dunia, dan masa depannya. Meskipun depresi Meera tidak begitu berat sehingga membutuhkan intervensi biologis ekstrem, beberapa klinisi mungkin dapat mempertimbangkan memberikan saran untuk menggunakan obat antidepresi jika simtomnya memburuk. Selain itu, terapis mungkin menyarankan agar keluarga Meera ikut berpartisipasi dalam terapi karena depresi Meera berkembang sebagai respons adanya trauma dalam keluarga. Keputusan dalam terapi keluarga diambil berdasarkan pada pilihan Meera; beberapa klien merasa cukup kuat untuk membatasi psikoterapi mereka menjadi terapi yang yang lebih pribadi, tanpa dipersulit dengan melibatkan anggota keluarga. Teknik terapeutik apa pun yang dipergunakan, klinis yang terlatih akan memusatkan terapi Meera atas dasar empati, penerimaan, dan dukungan.



Referensi: Halgin, Richard.P and Whitbourne, Susan Krauss. 2010. Psikologi Abnormal (Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologis). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.



34