Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Terorisme  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



Abstrak



Jagat SatrioUtomo (1117036) Pertanggungjawban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Terorisme Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 809/Pid.Sus/2018/Pn Jkt.Sel Suatu korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Salah satu korporasi yang melakukan tindak pidana tororisme adalah Jamaah Anshor Daulah (JAD) yang telah di putus oleh Pengadilan Negeri berdasarkan Putusan Nomor 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel. Syarat dan kriteria korporasi JAD yang melakukan tindak pidana tororisme ialah korporasi JAD memiliki tujuan dan kepentingan yang bertentangan dengan hukum, memiliki struktur organisasi yang teratur, korporasi ini bersifat klandestin (sembunyi-sembunyi). Pertanggungjawaban pidana korporasi JAD berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel korporasi JAD telah melanggar Pasal 17 Ayat 1 dan Ayat (2) jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Terorisme, shingga korporasi JAD di jatuhi pidana denda sebesar Rp. 5.000.000 dan pembekuan serta menyatakan sebagai suatu korporasi yang terlarang. Perbandingan pertanggunjawaban pidana korporasi setelah Undang-Undang Terorisme menagalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 maka pertanggungjawaban pidana tidak hanya dikenakan pada korporasinya saja namun kepada para pendiri, pemimpin, pengurus dan para anggota dan yang merekrut untuk menjadi anggota. Tidak hanya itu bahkan yang memberikan pelatihan milite dan yang mengikuti pelatihan militer pun dapat di jatuhkan pidana.



Korporasi menurut islam dikenal dengan



syakhṣiyyah ma‟nawiyyah/ i`tibariyyah (Badan Hukum). Badan Hukum ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan dapat mengadakan tindakan-tindakan tertentu. Akan tetapi menurut Syari‟at Islam Badan Hukum itu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, karena pertanggungjawaban ini didasarkan pada adanya pengetahuan dan pilihan, sedangkan kedua perkara itu tidak terdapat pada Badan Hukum. Dengan demikian, apabila terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak atas namanya, maka orang-orang (para pengurusnya) itulah yang dibebani pertanggungjawaban pidana. Kata Kunci: Tindak Pidana Terorisme, Korporasi, Pertanggungjawaban Pidana



ii



Abstact



Jagat SatrioUtomo (1117036) corporate criminal liability for terrorism crimes based on district court decision number 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel A corporation that commits a criminal act of terrorism can be held criminally responsible. One of the corporations that has committed acts of terrorism is Jamaah Anshor Daulah (JAD) which has been decided by the District Court based on Decision Number 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel. The requirements and criteria for a JAD corporation that commits a crime of terrorism is that the JAD corporation has goals and interests that are contrary to the law, has a regular organizational structure, and this corporation is clandestine (hidden). JAD's corporate criminal liability based on District Court Decision Number 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.JAD's corporate cell has violated Article 17 Paragraph 1 and Paragraph (2) in conjunction with Article 6 of Law Number 15 of 2003 concerning Combating Terrorism, so that corporations JAD was sentenced to a fine of Rp. 5,000,000 and freezing and declaring as a prohibited corporation. Comparison of corporate criminal liability after the Terrorism Act was changed to Law Number 5 of 2018 then criminal liability is not only imposed on the corporation but also on the founders, leaders, management and members and those who recruit to become members. Not only that, even those who provide military training and those who participate in military training can be subject to criminal penalties. Corporations according to Islam are known as syakhṣiyyah ma‟nawiyyah/ i`tibariyyah (Legal Entities). This legal entity is considered to have property rights and can carry out certain actions. However, according to Islamic Shari'ah, legal entities are not burdened with criminal responsibility, because this responsibility is based on knowledge and choice, while both cases do not exist in legal entities. Thus, if there are prohibited acts committed by people acting on their behalf, then it is the people (the administrators) who are charged with criminal responsibility. Keywords: Acts of Terrorism, Corporation, Criminal Liability.



iii



DAFTAR ISI Abstrak...................................................................................................................................................i Abstact...................................................................................................................................................ii BAB I....................................................................................................................................................4 PENDAHULUAN.................................................................................................................................4 A.



Latar Belakang...........................................................................................................................4



B.



Rumusan Masalah......................................................................................................................7



BAB II...................................................................................................................................................8 PEMBAHASAN...................................................................................................................................8 A. Syarat Dan Kriteria Jamaah Anshor Daulah Sebagai Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Terorisme...............................................................................................................................8 B. Pertanggungjawaban pidana korporasi terorisme Jamaah Ansharut Daulah berdasarkan Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel......................................13 C.



Pertanggungjawaban Pidana Menurut Islam............................................................................17



BAB III................................................................................................................................................24 PENUTUP...........................................................................................................................................24 A.



Kesimpulan..............................................................................................................................24



B.



Saran........................................................................................................................................25



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang menjadi perhatian dunia sekarang ini bahkan terutama di Indonesia. Terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan ideologis, sejarah, dan bahkan politis serta merupakan bagian dari dinamika lingkungan strategis pada tataran global dan regional. Kendatipun aksi terorisme yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir ini kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan hanya sedikit aktor-aktor dari luar. Namun tidak dapat dibantah bahwa aksi terorisme saat ini merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan mereka yang memiliki jejaring trans nasional. Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk terorisme terjadi didunia, masyarakat internasional maupun regional serta berbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komperhensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.1 Dengan terjadinya aksi terorisme di berbagai negara di dunia baik di negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu, yang menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian. Kejahatan terorisme yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita, terorisme dalam perkembangannya menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan internasional antara negara-negara yang berkepentingan di dalam 1



Muladi, 2002, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi.” tulisan dalam Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol II No. 03 Desember 2002, Hal. 1



4



5



menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas batas territorial.2 Kejahatan terorisme menggunakan salah satu bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat mengancam ketentraman dan kedamaian dunia. Kejadian aksi teror yang ada di Indonesia menimbulkan rasa keprihatinan dan tekanan dunia internasional untuk memberantas dan mencari pelaku terorisme tersebut. Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan 2 (dua) buah Resolusi yaitu Resolusi Nomor 1438 Tahun 2002 yang mengutuk dengan keras peledakan bom di Bali, menyampaikan duka cita dan simpati yang mendalam kepada pemerintah dan rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya, sedangkan Resolusi Nomor 1373 Tahun 2002 berisikan seruan untuk bekerjasama dan mendukung serta membantu pemerintah Indonesia untuk menangkap dan mengungkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa tersebut dan memproses ke pengadilan. Pada pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tersirat bahwa pemerintah Repubik Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional maupun internasional dan berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan negara serta memulihkan keutuhan dan integritas nasional dari ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri.3 Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extraordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”.4 Mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi korbannya.5 2



Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (PT Rafika Aditama, Bandung, 2000), hal.58.



3



Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, hal.10 Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Tahun 2002, hal. 8



4



5



Hamzah Junaid, Jurnal, Pergerakan Kelompok Terorisme Dalam Perspektif Barat Dan Islam, UIN Alauddin Makassar, Sulesana, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013, hlm. 120



6



Di Indonesia sendiri telah menyadari adanya tindak pidana terorisme terorisme. Karena itulah, Pemerintah membuat undang-undang khusus yang mengatur terorisme. Pentingnya undang-undang khusus yang mengatur terorisme semakin dirasakan Pemerintah setelah terjadi peristiwa bom Bali pada tahun 2002. Peristiwa Bom Bali I memberikan akibat yang luar biasa terhadap Indonesia, bukan hanya dampak traumatis, namun juga merapuhnya bangunan sosial ekonomi dalam skala mikro maupun makro. Indonesia sendiri memiliki undang-undang khusus yang mengatur terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Terorisme menjadi Undang-Undang. Kejahatan terorisme sebagaimana yang terjadi di Indonesia, telah memakan korban ratusan orang yang tidak berdosa baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara asing. Aksi-aksi teror dengan menggunakan bom juga banyak terjadi di Indonesia seperti bom bunuh diri di Sarinah Jakarta, bom bunuh diri di 5 tempat di Surabaya, dan bom bunuh diri di Polrestabes Medan bahkan aksi terorpun sampai melakukan penusukan kepada Pejabat Tinggi Negara. Dengan kata lain aksi teror tidak hanya ditargetkan kepada masyarkat sipil dan membuat takut masyarakat sipil namun aksi teror juga ditargetkan kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia dan Pejabat Negara. Aksi-aksi teror tersebut mengakibatkan disamping runtuhnya bangunan dan sarananya, juga telah menyebabkan timbulnya rasa takut bagi orang Indonesia maupun orang asing, yang menyebabkan turunnya rasa kepercayaan dunia internasional kepada sektor keamanan di Indonesia, menurunnya sektor pariwisata karena adanya pengakuan bahwa di Indonesia memang benar ada teroris. Terdapat macam-macam bentuk tindak pidana terorisme, baik yang tidak terorganisir sampai yang terorganisir yang membentuk suatu kumpulan orang berupa korporasi atau organisasi. Di Indonesia terdapat beberapa organisasi yang sudah divonis oleh Pengadilan dinyatakan bahwa organisasi tersebut sebagai organisasi terlarang, seperti organisasi Jamaah Islamiyah (JI) yang beafiliasi dengan organisasi teroris timur tengah yaitu Al-Qaeda dan organisasi JAD (Jamaah Ansharut Daulah) adalah sebuah kelompok militan Indonesia yang dilaporkan memiliki kaitan dengan pengeboman Surabaya pada tahun 2018. Kelompok ini berafiliasi dengan Negara



7



Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang telah mengklaim bahwa mereka bertanggung jawab atas beberapa peristiwa terror di Indonesia.6 Tindak Pidana Terorisme yang terorganisir dalam bentuk korporasi atau organisasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Terorisme menjadi Undang-Undang dalam Pasal 17. Dengan adanya undang-undang tersebut maka organisasi terorisme dapat diancam pidana, dan ruang gerak organisasi terorisme pun semakin sempit karena adanya ketentuan tersebut apabila memang terbukti didalam Pengadilan dan diputuskan menjadi organisasi terorisme atau organisasi terlarang. Dengan adanya permasalahan tersebut penulis ingin mengkaji atau menganalisis bagaimana syarat dan kriteria dari Organisasi Terorisme tersebut berdasarkan hukum positif dan pertanggungjawaban pidana menurut putusan pengadilan negeri dan pandangan islam. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana syarat dan kriteria korporasi Jamaah Ansharut Daulah sebagai korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme ? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi terorisme Jamaah Ansharut Daulah



berdasarkan



Putusan



Pengadilan



Jakarta



Selatan



Nomor



809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana menurut islam ?



C.



6



https://kumparan.com/erucakra-garuda-nusantara/al-qaeda-dan-isis-dari-ji-ke-jad diakses pada 25 Desember 2019.



BAB II PEMBAHASAN A. Syarat Dan Kriteria Jamaah Anshor Daulah Sebagai Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Terorisme Bentuk dan karakteristik kejahatan terorisme sangat sulit ditentukan, namun pada faktanya beberapa kasus yang telah berhasil diungkap dalam persidangan bahwa sebelum melakukan tindakan terorisme para terpidana berafiliasi dengan organisasiorganisai dan/atau jaringan-jaringan sehingga memecah menjadi cluster ataupun individu. Salah satunya adalah organisasi Jamaah Ansharut Daulah yang dibentuk pada tahun 2014. Kelompok ini didirikan atas inisaitif terpidana terorisme yaitu Aman Abdurrahman. Seiring dengan di deklarasikannya Daulah / Khilafah Islamiyah di Suriah oleh Abu Bakar Al Bagdadi pada sekitar bulan Agustus Tahun 2014, maka Aman Abdurrahman memanggil beberapa orang pengikut setianya diantaranya yaitu Marwan alias Abu Musa, Zainal Anshori, Muhammad Fachri, dan Khaerul Anwar untuk melakukan pertemuan di Lapas Nusakambangan Cilacap. Setelah pertemuan tersebut dan melakukan baiat kepada Daulah / Khilafah Islamiyah/ ISIS di Suriah Pimpinan Abu Bakar Al Bagdadi terbentuklah suatu wadah/korporasi bernama Jamaah Anshor Daulah (JAD). Korporasi ini memiliki pemimpin yang bernama Amir, mulai dari amir pusat hingga amir daerah. Maksud dari dibentuknya Jamaah Anshor Daulah (JAD) adalah : Untuk mewadahi para pendukung Khilafah Islamiyah/Pimpinan Syekh Abu Bakar Al Baghdadi di suriah, yang tersebar di Indonesia dalam kelompok berbeda, menjadi satu wadah/kelompok yakni JAD. Sedangkan tujuan di bentuknya JAD adalah : untuk mendukung Dulah Islamiyah yang ada di Suriah dengan melakukan kegiatan penyebaran dakwah Khilafah, melaksanakan hijrah dan berjihad. Korporasi JAD ini terbilang memiliki struktur kepengurusan yang terbilang rapi, mulai dari Amir (pusat dan daerah), bendahara, sekretaris, kepala bidang, dll. Pada awalnya pemimpin JAD ialah Marwan alias Abu Musa, namu stelah Marwan memutuskan untuk pergi ke suriah maka Amir pusat diserahkan kepada Zaenal Anshori. Walaupun Aman Abdurahmman sebagai inisiator pemebentukan JAD, 8



9



namun Aman tidak masuk kedalam struktur kepengurusan JAD. Aman hanya sebagai orang yang di tokohkan atau rujukan bagi para pengurus, anggota dan pendukung JAD dengan cara memberikan tausiah, dan motivasi, sesuai dengan pemahaman Tauhid Ahlusunnah Waljamaah. Diantaranya yang sering Aman tekankan kepada anggota adalah tentang kekafiran ajaran demokrasi, kekafiran syiah dan wajibnya mengakan syariat islam. Berikut merupakan struktur organisasi JAD Pusat dibawah Amir Pusat Zaenal Anshori : a) Amir / Pimpinan Pusat



: Zainal Anshori



b) Sekretaris



: Abu Asbal



c) Bendahara



: Aceng, Jakarta



d) Bidang Askariyah



: Abu Ghar



e) Bidang Tarbiyah



: Fauzan Mubarak



f) Bidang Maliyah



: Khaerul Anwar alias Abu Khatim



g) Bidang Istimaliyah



: Romli alias Gusrom



h) Bidang I’Lam



: Ali Azhar, Semarang



i) Amir Jawa Timur



: Abu Umar alias Syarif, Blitar



j) Amir Jawa Tengah



: Azzam



k) Amir Jawa Barat



: Asep



l) Amir Jabodetabek



: Abu Arkom



m) Amir Lampung



: Iwan alias Ujang



n) Amir Kalimantan



: Joko Sugito



o) Amir Sulawesi



: Fajrun



p) Amir Ambon



: Abu Ghar



Dari bidang tersebut memiliki program kerja masing-masing yaitu : a)



Bid Askary



: Mengadakan Idad/Tadrib askari, Dauroh Internal (Maliyah)



b)



Bid. Media



: Pembuatan website dan tabligh akbar



c)



Bid. Tarbiyah



: Dauroh Manhaj, Penerbitan Dabiq.



d)



Bid. Maliyah



: Penggalangan Dana atau Donatur



e)



Bid. Istimaliyah



: Baksos dan Dauroh Taksimul Qur’an



JAD dalam rangka mencapai dan mewujudkan tujuan tersebut organisasi ini melakukan Langkah-langkah seperti menyebarkan dakwah tauhid, melaksanakan hijrah dan berjihad. Sedangkan JAD memiliki kitab atau panduan yang digunakan



10



oleh Zainal Anshori selaku Amir Pusat dalam mengoprasionalkan organisasi JAD (Jamaah Anshor Daulah) adalah dengan menggunakan “Kitab Murqorror Fittauhid” yang ditulis oleh Dewan Fatwa Daulah Islamiyah (ISIS). Korporasi / orgaisasi Jamaah Anshor Daulah tidak pernah melaporkan atau mendaftarkan organisasinya kepada Kemenukumham, karena organisasi JAD adalah organisasi yang bergerak di bawah tanah/underground dan juga organisasi ini tidak memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Sumber keuangan yang digunakan untuk operasional organisasi JAD yaitu untuk tingkat pusat kebanyakan menggunakan uang pribadi dari infak anggota ada juga yang berasal dari Daulah Islamiyah (ISIS) di syam. Dalam melaksanakan tujaunya dalam hal jihad JAD memberikan program pelatihan militer untuk mendidik kedisiplinan dan ketertiban sehingga akan memiliki pemikiran dan watak seorang tentara yang teguh kepada perjuangannya serta memberikan



pelatihan



perakitan



bom



kepada



para



anggotanya.



Para



pendukung/anggota JAD yang ada di seluruh wilayah Indonesia mendukung maksud dan tujuan yang disampaikan oleh Amir Pusat, dimana para anggota dan pendukung JAD termotivasi dal melakukan aksi-aksi terror berupa bom bunuh diri dan penembakan di Jl. Thamrin Jakarta, peristiwa peledakan bom didaerah solo, peledakan bom gereja samarinda, rencana bom bunuh diri di istana dan rencana pembunuhan anggota Polri di Purwakarta serta peledakan bom di Cicendo Bandung dan semua aksi tersebut dilakukan oleh anggota-anggota pendukung Jamaah Anshor Daulah (JAD). Terpenuhinya syarat agar Jamaah Anshor Daulah (JAD) dikategorikan sebagai korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme, perlulah diketahui terlebih dahulu hal-hal yang mendasari JAD sehingga dapat dikatakan sebagai korporasi menurut hukum pidana Indonesia. Secara prinsip, antara korporasi secara hukum perdata dengan hukum pidana terdapat perbedaan dalam pengkategoriannya. Perkembangan hukum pidana di Indonesia, ketentuan pidana khusus telah memperlebar cakupan subjek hukum pidana yang tidak lagi terbatas pada orang perseorangan namun juga kepada korporasi, baik yang ber-legal standing maupun bukan. Korporasi yang ber-legal standing antara lain lain Perseroan Terbatas,



11



Yayasan, Koperasi, partai politik dan berbagai kesatuan organisasi lainnya. korporasi yang bukan berbadan hukum antara lain firma, CV, perusahaan dagang. Dengan berkembangnya hukum pidana Indonesia maka munculah pengertian korporasi yang mengartikannya secara luas. Walaupun suatu organisasi/ perkumpulan orang tidak berbentuk badan hukum, ia dapat dikatakan sebagai suatu korporasi dan subjek hukum. Akibat perluasan makna ini, maka pengertian korporasi tidak seperti yang seharusnya lagi. Jamaah Anshor Daulah dikategorikan sebagai korporasi dalam pengertian konsep undang-undang. Secara fundamental Jamaah Anshor Daulah memiliki struktur organisasi yang jelas sebagai syarat suatu korporasi, ditandai memiliki pemimpin organisasi yang diesebut Amir dan melakukan suatu persekutuan atau permufakatan, walaupun JAD tidak memliki anggaran dasar dan sifatnya bukan badan hukum resmi/terdaftar. Maka JAD dapatlah dikatakan sebagai korporasi, sebagaimana fakta berikut: 1) JAD memiliki tujuan tertentu Jamaah Anshor Daulah memiliki maksud dan tujuan yang berbeda, maksud dari dibentuknya JAD adalah untuk mewadahi para pendukung Khalifah Islamiyah Pimpinan Syekh Abu Bakar Al Baghdadi di Suriah, yang tersebar di Indonesia yang sebelumnya tersebar dalam berbagai kelompok yang berbeda menjadi satu kelompok atau wadah yakni JAD (Jamaah Anshor Daulah). Sedangkan tujan daru JAD yaitu untuk mendukung Daulah Islamiyah yang ada disuriah. Maksud dan tujuan dari korporasi ini tentu saja bertentangan dengan hukum. 2) JAD memiliki kepentinganya sendiri Korporasi JAD memiliki kepentingan yang berbenturan dengan hukum, dimana , JAD memiliki aktifitas-aktifitas tertentu seperti melaksanakan acara Dauroh Dai Nasional yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dimana dalam kegiatan tersebut para pengurus dan anggota yang hadir melakukan baiat kepada ISIS, JAD memberikan pelatihan militer dan perakitan bom sedangkan di negara kita legalisasi militer hanyalah dimiliki badan negara yakni TNI dan Polri. Selain itu Dana operasional yang digunakan JAD ialah



12



dana yang bersumber dari infaq anggota dan terdapat sumbangan dana dari ISIS di Suriah. 3) JAD memiliki struktur organisasi yang teratur Korporasi JAD ini jelas memiliki struktur kepengurusan dalam pendirianya. Mulai dari struktur kepengurusan JAD Pusat hingga struktur kepengurusan JAD tingkat daerah. Walaupun korporasi ini bukan berbadan hukum dan tidak memiliki AD/ART. 4) JAD merupakan organisasi yang bersifat klandestin JAD dikatakan sebagai organisasi terorisme karena organisasi ini bersifat klandestin yaitu rahasia, diam-diam atau gerakan bawah tanah. Terbukti dalam kegiatannya



yang



sembunyi-sembunyi



dan



tidak



didaftarkanya



ke



KEMENKUMHAM. Selain poin-poin diatas korporasi JAD dapat dikatakan sebagai korporasi terorisme karena korporasi ini telah karena kelompok ini berafiliasi kepada ISIS di Suriah. Sedangkan kelompok Islamic State Of Iraq and Syiria (ISIS) berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1267 tahun 1999 yang diperbaharui No. 1989 tahun 2011, Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014 yang diperbaharui No. 2253 tahun 2018 tentang organisasi Teroris, selanjutnya berdasarkan Penetapan Pengadilan No. 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 yang telah diperbaharui No. 02/Pen.Pid/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 15 Pebruari 2018, Daftar terduga teroris dan organisasi teroris domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014 yang telah diperbaharui No. DTTOT/P5a/719/IV/RES.6.1/2018 tanggal 30 April 2018 yang menetapkan ISIS sebagai organisasi teroris domestik di Negara Indonesia.



13



B. Pertanggungjawaban pidana korporasi terorisme Jamaah Ansharut Daulah berdasarkan Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel Pertanggungjawaban pidana korporasi JAD dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel jaksa mendakwakan korporasi JAD telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003. Dengan unsur-unsur pasal sebagai berikut : 1) “Setiap Orang” 2) “Tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi” 3) Dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama; 4) “Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan susasan terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. Berdasarkan dakwaan dan bukti-bukti di pengadilan hakim dalam putusannya memutuskan bahwa memutuskan Jamaah Anshor Daulah (JAD) yang diwakili oleh pengurusnya atas nama Zainal Anshori alias Abu Fahry alias Qomarudin Bin M. Ali telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 serta terbukti melakukan tindak pidana Terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi. Korporasi JAD juga dijatuhkan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000 dan membekukan korporasi atau organisasi Jamaah Anshor Daulah (JAD), organiasi lain yang berafiliasi dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) atau DAESH atau



14



IS (Islamic State) dan menyatakan sebagai suatu korporasi yang terlarang. Penjatuhan pidana tersebut didasarkan pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003. Korporasi JAD dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana terorisme dan sebagai korporasi terlarang karena perbuatan-perbuatan terdakwa untuk mencapai maksud dan tujuan korporasi JAD tersebut dengan cara antara lain yaitu : 1) Bahwa



Terpidana



terorisme



Aman



Aburahman



memrintahkan



orang



kepercayaanya yaitu Abu Musa, Zainal Anshori, Muhammad Fachri, dan Khaerul Anwar untuk mebentuk suatu wadah yang bertujuan untuk mewadahi orangorang yang bersimpati dengan Daulah Islamiyah yang mau bergabung dengan tujuan untuk menyamakan manhaz anggotanya dengan manhaz Daulah Islamiyah dan untuk membantu ihkwan yang ingin hijrah ke Suriah dan mejadikan Abu Musa sebagai Amir Pusat JAD dan setelah Abu Musa hijarah ke Suriah dan digantikan oleh Zainal Anshori; 2) Setelah Jamaah Anshor Daulah terbentuk Amir Pusat JAD tidak mendaftarkan korporasinya karena wadah ini bergerak dibawah tanah (under ground) atau sembunyi-sembunyi; 3) Dalam mewujudkan maksud dan tujuan wadah tersebut, JAD mengadakan acara Dauroh Dai Nasional yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau denga kamuflase acara pengobatan herbal dan ruqiyah. Dimana dalam acara tersebut melakukan video call dengan Terpidana Aman Abdurahman, membacakan fatwa dari juru bicara ISIS yang memerintahkan jihad; 4) Korporasi Jamaah Anshor Daulah dalam menjalankan kegiatan operasional menggunakan dana yang bersumber dari infak sodaqoh dari para anggota yang kelebihan harta dan terdapa sumbangan dari kelompok ISIS disuriah. 5) Kegiatan yang dilakukan oleh JAD dibawah pimpinan Zainal Anshori dimana dia memerintahkan agar tercapainya maksud dan tujuan JAD yaitu dengan cara menyebarkan dakwah tahuid, melaksanakan hijrah dan berjihad. Kelompok ini



15



dalam operasionalnya juga mempunyai kitab Muqorror Fittauhid yang di tulis oleh dewan fatwa ISIS. 6) Dengan disampaikannya maksud dan tujuan oleh Zainal Anshori maka para pendukung Jamaah Anshor Daulah yang ada di Indonesia termotivasi melakukan aksi-aksi teror di berbagai tempat di Indonesia dan sejak saat itu banyak terjadi peristiwa-peristiwa terorisme baik itu peledakan bom maupun pembunuhan terhadap anggota kepolisian indonesia, antara lain : a) Peledakan bom bertempat di gereja di daerah samarinda yang dilakuakan oleh terpidana JUHANDA yang tekoneksi (terhubung) dengan terpidana JOKO SUGITO selaku Amir JAD wilayah Kalimantan, pada bulan Desember 2015, yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 4 orang terdiri dari 3 orang luka-luka dan 1 orang anak meninggal dunia, serta kerusakan pasilitas umum lainnya. b) Melakukan peledakan bom bunuh diri dan penembakan di Jl. Thamrin Jakarta Pusat yang dilakukan oleh kelompok JAD Mudiriyah Jabodetabek, yakni sdr MUHAMMAD ALI als RIZAL als ABU ISA, terpidana SAEPUL MUHTORIR alias ABU GAR alias HARUN selaku Amir BIDANG ASKARI PUSAT yang Terjadi pada tanggal 14 Januari 2016, yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 27 orang terdiri dari 23 orang lukaluka dan 4 orang meninggal dunia, serta kerusakan pasilitas umum lainnya. c) Tindak pidana terorisme peledakan Mapolda Jabar Namun meledak di lapangan Cicendo Bandung yang dilakukan terpidana YAYAT alias ABU SALAM anggota JAD wilayah JABAR Mudiriyah Bandung Raya yang terkoneksi/terhubung dengan Terpidana UJANG selaku Amir Bandung Raya 27 Febuari 2017. d) Tindak pidana terorisme Bom Bunuh diri di Kampung Melayu yang dilakukan AHMAD SUKRI alias ABU HASAN dan IKHWAN NUR SALAM alias IWAN anggota JAD wilayah Jawa Barat, Mudiriyah Bandung Raya yang pelaku bom bunuh diri yang dimotivasi oleh terpidana KIKI MUHAMMAD IQBAL selaku penasihat pada JAD wilayah Jawa Barat, yang terjadi pada tanggal 34 Mei 2017 yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia diantaranya anggota POLRI, dan luka-luka.



16



Menurut ahli Prof. Dr. Sutanremy Sjahdeini., SH dalam kesaksiannya sebagai ahli di persidangan Korporasi Jamaah Anshor Daulah menganggap bahwa JAD bisa dikategorikan sebagai korporasi, korporasi bisa bertanggung jawab terhadap tindakan anggota dibawahnya, selama satu tujuan dengan misi korporasi dan membawa manfaat bagi korporasi, organisasi pasti punya visi dan misi walau tidak tertulis, pidana untuk korporasi adalah denda dan bisa juga pembubaran atau pelarangan organisasi tersebut untuk melakukan kegiatan. Dari keterangan tersebut Prof. Dr. Sutanremy Sjahdeini., SH menyatakan sebagai saksi ahli bahwa korporasi Jamaah Anshor Daulah (JAD) termasuk dalam subjek hukum maka bisa diajukan sebagai terdakwa walaupun JAD bukan berbadan hukum dan tidak mempunyai AD/ART. Setelah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Terdapat perbedaan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana terorsime. Setelah adanya perubahan Undang-Undang Terorisme menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, ancaman pidana tidak hanya diberikan kepada korporasi saja namun juga terhadap para pemimpin, pendiri, pengurus, orang yang mengendalikan korporasi, para anggotanya. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 12A Ayat (1), (2) dan (3). Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang hanya memberikan penjatuhan pidana kepada korporasinya saja namun tidak dengan pendiri, pemimpin, pengurus dan anggotanya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 memberikan ancaman pidana pula kepada orang yang sengaja merekrut untuk menjadi anggota serta setiap orang yang memberikan dan mengikuti pelatihan militer dengan maksud untuk melakukan tindakan terorisme. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 12B Ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 2018. Dengan adanya ketentuan ini walupun orang yang memberikan dan mengikuti pelatihan militer ini tidak termasuk kedalam pengurus atau anggota korporasi terorisme maka dapat diancam dengan pidana berdasarkan pasal tersebut.



17



Kententuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tidak dapat diberlakukan untuk korporasi Jamaah Ansharut Dauloh karena perbuatan terorisme yang dilakukan oleh JAD sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 ini. Sehingga ketentuan dalam undang-undang tersebut tidak dapat berlaku surut. Pemberlakuan surut dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 terdapat dalam Pasal 46. Setelah undang-undang terorisme mengalami perubahan menjadi UndangUndang Nomor 5 Tahun 2018 ketentuan dalam pasal 46 tersebut di hapus, sehingga ketentuan pidana yang ada dalam undang-undang ini tidak dapat berlaku surut dan tidak dapat diberikan kepada korporasi Jamaah Anshorut Daulah (JAD), pendiri, pemimpin, pengurus serta anggota dari korporasi JAD. Namun Pemimpin dan para anggota JAD tetap dimintai pertanggungjawaban pidananya karena pemimpin dan beberapa para anggota JAD telah di vonis oleh hakim karena terbukti telah melakukan tindak pidana terorisme. Penjatuhan pidana kepada pemimpin dan anggota JAD ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, bukan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Terorisme. Penjatuhan pidan tersebut bukan karena mereka sebagai pemimpin dan anggota JAD, namun penjatuhan pidana tersebut karena pemimpinda dan beberapa anggota JAD telah melakukan tindak pidana terorsime. Misalnya ialah Putusan terkait pimpinan JAD Zaenal Anshori yaitu divonis pidana tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur karena terbukti telah melakukan tindak pidana terorisme dan terlibat dalam penyelundupan senjata api dari Filipina selatan ke Indonesia.



C. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Islam Berbicara tentang Tindak pidana maka tidak dapat dilepaskan dengan pertanggungjawaban pidananya karena pertanggungjawaban pidana (Criminal Responsibility) termasuk dalam unsur kesalahan sebagai unsur subyektif yang melekat pada pelaku tindak pidana yang harus dibuktikan agar seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Jika tak dapat dibuktikan maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan yang sudah terbukti



18



melawan hukum belum tentu dapat serta merta di kenakan sanksi pidana jika unsur kesalahan



tidak



terbukti



dan



ini



artinya



pelaku



tersebut



tidak



dapat



dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.7 Dalam Islam (syari’at) pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya (Unsur Obyektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subyektif). 8 Pembebanan tersebut dikarenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti perbuatan yang dilarang secara syar’i, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga dikarenakan perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang lain secara paksa (dipaksakan). Syari’at Islam memberikan ketentuan bahwa pertanggungjawaban pidana itu hanya berlaku bagi manusia yang masih hidup dan resiko



perbuatan



yang



dilakukannya harus dipertanggungjawabkan sendiri dan tidak ada pembebanan kepada orang lain, (Q.S. Fāṭir :18) dan (Q.S. An Najm : 39). Pembebanan hukum berlaku hanya bagi subjek hukum, termasuk di dalamnya Badan Hukum.9 Perbuatan dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, pada umumnya sejalan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Namun demikian, terdapat sisi perbedaan yang di antara tindak pidana yang mesti berlaku dalam hukum Islam tidak dapat dilaksanakan dalam hukum pidana Indonesia, karena prinsip dasar pelaksanaan dari penjatuhan hukum pidana dalam Islam merupakan wujud ketaatan seorang hamba kepada kholiqnya yang didasari keimanan, sedangkan dalam hukum pidana positif prinsip dasar pelaksanaan penjatuhan pidana karena semata-mata taat pada aturan yang dibuat manusia.10 Pertanggungjawaban pidana dalam Syari‟at Islam bisa terjadi, apabila terpenuhi tiga asas/dasar, yaitu : 7



Elfa Murdiana, Pertanggungjawaban Pidana Dalam Prespektif Hukum Islam Dan Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, AL-MAWARID, VOL.XII, NO 1, FEB-AGUST 2012, hlm. 3 8 Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967), hlm,154. 9 Zakaria Syafe’i, Op.Cit, hlm. 99 10 Juhaya. S. Praja, Teori-Teori Hukum Islam, (Bandung: Pasca Sarjana UIN Bandung. 2009) Cet ke-1, hlm. 133-134



19



1) Adanya perbuatan yang dilarang/melawan hukum; 2) Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan 3) Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu. Jika ketiga asas tersebut terpenuhi, maka bagi seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut, terdapat pertanggungjawaban pidana. Bilamana salah satu asas tersebut tidak ada, maka baginya tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana. Dalam sebuah hadis di rawiyatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud di sebutkan : Aritnya : Dari Aisyah ra. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw : Di hapuskan ketentuan dari tiga hal,dari orang tidur sampai ia bangun, dari orang gila sampai ia sembuh dari anak kecil sampai ia dewasa. 11 Dengan demikian berdasarkan hadis tersebut orang gila, anak di bawah umur, orang yang di paksa dan



terpaksa



tidak



di



bebani



pertanggungjawaban,



karena



dasar



pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada. Pembebasan beban terhadap mereka itu, berdasarkan kepada naṣ (Q. S. AnNaḥl : 106) dan berbagai hadis : ۡ =ِ‫ش= َر َح ب‬ ۡ‫ص= ۡد ًرا فَ َعلَ ۡي ِهم‬ َ ‫ۡن َكفَ َر بِاهّٰلل ِ ِم ۡۢن بَ ۡع ِد اِ ۡي َمانِ ٖ ۤه اِاَّل َم ۡن اُ ۡك= ِرهَ َوقَ ۡلبُ= ٗ=ه ُم ۡط َم ِٕٮ ۢنٌّ بِااۡل ِ ۡي َم==ا ِن َو ٰلـ ِك ۡن َّم ۡن‬ َ ‫=ال ُك ۡف ِر‬ ‫هّٰللا‬ (Q.S An-Nahl : 106) ‫اب ع َِظ ۡي ٌم‬ ٌ ‫ب ِّمنَ ۚ‌ِ َولَ ُهمۡ َع َذ‬ ٌ ‫ض‬ َ ‫َغ‬ “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (Q. S. An-Naḥl : 106)



Dan berbagai hadis : “Dihapuskan ketentuan untuk ummatku berupa kekeliruan, kelupaan dan keadaan dipaksa.” (H.R. Ṭabrāni dari Ṡauban). 12 “Dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari orang yang gila hingga ia sembuh, dan dari anak kecil hingga ia 11 12



Jalaluddin As Sayuhuti, Al Jami’ Ash ShagirJuz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t, hlm. 24 Jalāludīin, Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Sayuṭi, Al-Jāmi‟uṣ-Ṣagīr (Bairut: Dār al Fikr. t.th), Juz 2, hlm. 24.



20



dewasa” (H.R. Aḥmad, Abū Dāwud, Nasā‟i, Ibnu Mājah, Ibnu Jarīr, Ḥākim dan Turmuẓi dari Aisyah).13 Pembebanan hukum berlaku hanya bagi subjek hukum, termasuk Badan Hukum. Islam telah mengenal Badan Hukum ini sejak mula pertamanya seperti adanya Baitul Mal.14 Badan Hukum ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan dapat mengadakan tindakan-tindakan tertentu. Akan tetapi menurut Syari‟at Islam Badan



Hukum



itu



tidak



dibebani



pertanggungjawaban



pidana,



karena



pertanggungjawaban ini didasarkan pada adanya pengetahuan dan pilihan, sedangkan kedua perkara itu tidak terdapat pada Badan Hukum. 15 Dengan demikian, apabila terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak atas namanya, maka orang-orang (para pengurusnya) itulah yang dibebani pertanggungjawaban pidana. Jadi, bukan syakhṣiyyah ma‟nawiyyah/ i`tibariyyah yang bertanggung jawab melainkan syakhṣiyyah ḥaqīqiyyah.16 Yang dimaksud dengan konsep entitas spiritual (syakhṣiyyah ma‟nawiyyah/ i`tibariyyah) ini adalah adanya pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi tersebut. Contoh, dalam hal ini adalah apabila sekelompok pribadi menginvestasikan bagian tertentu dari harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan kepada mereka untuk pendirian suatu lembaga perdagangan, maka  lembaga ini  menjadi terpisah dari para pendirinya, dan memiliki legalitas pribadi yang khusus baginya dan dikenal bahwa dia memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual). 17 Sedangkan syakhṣiyyah ḥaqīqiyyah disini adalah pengurusnya atau orang yang menjalankan urusan dalam korporasi tersebut. Korporasi dalam hukum islam menurut Hasbi Ash-Shiddieqy menggambarkan syakhṣiyyah pada asalnya ialah, syakhṣiyyah ma‟nawiyyah/ i`tibariyyah yang nampak pada manusia. Pandangan menetapkan bahwa disamping pribadi-pribadi manusia ada lagi bermacam-macam rupa maslahat yang harus mendapatkan 13



Ibid. Zakaria Syafe’I, Op Cit, hlm. 102 15 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 2, 1976, hlm. 120. 16 A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika. 2004), Cet ke-1, hlm. 76 17 www.jejakislam.com/2020/11/penjelasan-syakhsiyah-manawiyah-atau-itibariyahptcvkoperasi-dll.html (diakses pada 04 Juni 2021) 14



21



perawat tertentu dan tetap di perlakukan biaya dan harus memelihara harta-harta waqaf yang dibangun untuk memliharanya.18 Maka badan waqaf yang dibangun untuk memelihara suatu kepentingan umum, dapat kita pandang sebagai seorang pribadi dalam arti dapat memiliki, dan dipandang sebagai kepunyaan bersama. Jelasnya, yang mengurus kepentingankepentingan umum dipandang sebagai orang juga.19 Dengan demikian dapat dipahami dengan badan hukum dalam hukum islam menunjukan persamaan dengan badan hukum positif, namun badan hukum islam jelas berada sistem yang lain. Perbuatan



melawan



hukum



itu



sendiri



bertingkat-tingkat,



maka



pertanggungjawabannya pun bertingkat-bertingkat sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum itu. Tingkatan-tingkatan tersebut disebabkan oleh kejahatan seseorang yang erat kaitannya dengan qosad (niat)nya. Perbuatan yang melawan hukum itu adakalanya disengaja dan ada kalanya karena kekeliruan. Perbuatan sengaja ini terbagi kepada dua bagian yaitu sengaja semata-mata (al„amdi) dan menyerupai sengaja (syibhu al-„amdi). Sedangkan kekeliruan juga terbagi kepada dua bagian yaitu keliru semata-mata (al-khaṭa‟) dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan (mā jarā majrā al-khaṭa‟). 20 sedangkan Terdapat tiga macam perbuatan yang berkaitan dengan jarīmah (perbuatan dosa/tindak pidana), yaitu :21 1) Perbuatan langsung (al-mubasyarah); 2) Perbuatan sebab (as-sabab), dan 3) Perbuatan syarat (asy-syarṭ).



Dikaitkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh JAD maka, Jamaah Anshor Daulah (JAD) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena adanya perbuatan maksiat atau perbuatan yang melawan hukum, yaitu mengerjakan suatu perbuatan yang syara‟ melarangnya, atau sebaliknya meninggalkan suatu 18



Ahmad Warso, Munawir, Kamus al-Munawir, Edisi Kedua, Surabaya: Pustaka Progresif 2002, hlm. 700 Ari Wibowo, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi, Dalam Karya Ilmiah Skripsi Fakultas Syariah UIN Raden Fatah Palembang, 2015, hlm. 31-32 20 Ibid, hlm. 405 21 Ibid, hlm. 450 19



22



perbuatan yang syara‟ memerintahkannya. Perbuatan Jamaah Anshor Daulah (JAD) yang dilakukan oleh anggota-anggota atau pendukungnya seperti melakukan bom bunuh diri di berbagai daerah di Indonesia yang menimbulkan korban jiwa dan keresahan masyarakat, dalam tingkatan pertanggungjawaban pidana perbuatan tersebut merupakan disengaja (Syibhu al-amdi). Perbuatan jarimah bom bunuh diri yang dilakukan oleh pendukung/ anggot Jamaah Anshor Daulah (JAD) merupakan perbuatan langsung (al-mubasyarah). Namun perbuatan langusng tersebut merupakan akibat dari perbuatan sebab (assabab) yang dilakukan oleh pemimpin Jamaah Anshor Daulah (JAD) yaitu Zainal Anshori yang menyampaikan maksud dan tujuan dibentuknya JAD sehingga para pendukung Jamaah Anshor Daulah yang ada di Indonesia termotivasi melakukan aksi-aksi teror di berbagai tempat di Indonesia dan sejak saat itu banyak terjadi peristiwa-peristiwa terorisme baik itu peledakan bom maupun pembunuhan terhadap anggota kepolisian Indonesia. Perbuatan terorisme dalam fiqih jinayah adalah tindak pidana hirabah atau bisa disebut dengan qat’al-tariq. definisi qat’al-tariq yang dikemukakan oleh para pakar hukum islam, diantaranya seperti Shaikh Muhammad al-sharbini dalam kitab beliau, Mughni al-Muhtaj.22 Beliau mengemukakan bahwa qat’al-tariq secara bahasa sebagai berikut : “Dinamakan qat al-tariq karena tercegahnya manusia dari berjalan di jalan karena takut padanya”.



Sedangkan secara istilah, Sheikh Shamsuddin Muhammad al-Ramli dalam kitab beliau, Nihayah al-Muhtaj.23 Menyebutkan sebagai berikut : “qat al-tariqialah tindankan yang secara terang-terangan menampakkan diri dengan tujuan untuk merampas harta benda atau membunuh atau memberikan



22



23



Muhammad Bin Khatib al-Sharbini, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Al-faz Al-minhaj (Bairut: Dar al-Fikr, tt). Juz, IV, hlm. 224 Sheikh Shamsuddin Muhammad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Sharhz al-Minhaj (Mesir: Maktabah Mustafa al-Halbi, tt), Juz. VIII, hlm. 3



23



sebuah ketakutan, dengan besar hati, berpegang atas kekuatan serta jauh dari pertolongan”



BAB III A. Kesimpulan



PENUTUP



1. Jamaah Anshor Daulah (JAD) memiliki struktur organisasi yang jelas sebagai syarat suatu korporasi, ditandai memiliki pemimpin melakukan suatu persekutuan atau permufakatan, walaupun JAD tidak memliki anggaran dasar dan sifatnya bukan badan hukum resmi/terdaftar. Maka JAD dapatlah dikatakan sebagai korporasi. Syarat dan kriteria lainnya yaitu JAD memiliki struktur organisasi ditandai dengan memiliki pimpinan/amir pusat dan wilayah serta memiliki tujuan tertentu yaitu menduking ISIS dan mewadahi pendukung ISIS di Indonesia menjadi satu wadah. JAD mempunyai kepentinganya sendiri dimana kepentingan dari korporasi JAD bertentangan dengan hukum dan JAD merupakan organisasi yang bersifat klandestin (underground). 2. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 809/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel Jamaah Anshor Daulah telah melanggar Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 dan JAD telah memenuhi unsur-unsur pidananya. Sehingga hakim memutuskan Jamaah Anshor Daulah (JAD) yang diwakili oleh pengurusnya atas nama Zainal Anshori alias Abu Fahry alias Qomarudin Bin M. Ali telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi. Korporasi JAD juga dijatuhkan pidana denda Rp.5.000.000 oleh Majelis Hakim dan membekukan korporasi atau organisasi Jamaah Anshor Daulah (JAD), organiasi lain yang berafiliasi dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) atau DAESH atau IS (Islamic State) dan menyatakan sebagai suatu korporasi yang terlarang. Penjatuhan pidana tidak kepada JAD saja tetapi juga terhadap pengurus dan anggotanya yang telah divonis bersalah atas tindakan terorisme di berbagai daerah di Indonesia. Perbandingan pertanggunjawaban pidana korporasi setelah Undang-Undang Terorisme menagalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 maka pertanggungjawaban pidana tidak hanya dikenakan pada korporasinya saja namun 24



25



kepada para pendiri, pemimpin, pengurus dan para anggota dan yang merekrut untuk menjadi anggota. Tidak hanya itu bahkan yang memberikan pelatihan milite dan yang mengikuti pelatihan militer pun dapat di jatuhkan pidana. 3. Korporasi menurut islam dikenal dengan syakhṣiyyah ma‟nawiyyah/ i`tibariyyah (Badan Hukum). Badan Hukum ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan dapat mengadakan tindakan-tindakan tertentu. Akan tetapi menurut Syari‟at Islam Badan Hukum itu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, karena pertanggungjawaban ini didasarkan pada adanya pengetahuan dan pilihan, sedangkan kedua perkara itu tidak terdapat pada Badan Hukum. Dengan demikian, apabila terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak atas namanya, maka orang-orang (para pengurusnya) itulah yang dibebani pertanggungjawaban pidana.



B. Saran Peristiwa tindak pidana terorisme telah banyak terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu Pemerintah perlu hadir dalam menangani tindak pidana terorisme. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagaimana telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme membuat para terorisme dan kelompok terorisme dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Namun undang-undang saja tidak cukup, Pemerintah perlu adanya penaggulangan dan tindakan. Dalam hal penanggulangan Pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai ciri kelompok-kelompok terorisme yang tujuanya agar masyarakat tidak terhasut untuk menjadi anggota atau pendukung suatu kelompok terorisme. Dalam hal tindakan negara melalui alatnya seperti TNI, Polri, BIN (Badan Intelegen Negara) dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) perlu saling bekerja sama dalam menanggulangi dan melawan terorisme, karena kelompok terorisme bertindak secara sembunyi-sembunyi untuk mencapai tujuannya. Penilaian penulis dalam beberapa aksi terror bom yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade kebelakang baik Polri dan Badan negara lainnya dalam memberantas terorisme terbilang telat. Karena setelah terjadi peristiwa terror Polri baru melakukan suatu tindakan yang masif. Oleh sebab itu saran penulis ialah para alat negara/badan negara



26



terkait yang memiliki kewenangan mampu saling bekerja sama untuk melawan terorisme. Seringkali, terorisme menitikberatkan pada unsur kejutan—tidak seorangpun bisa memprediksi secara akurat tempat, waktu, dan cara tindak terorisme akan dilakukan. Unsur kejutan inilah yang menimbulkan dampak teror, yang memang merupakan tujuan utama terorisme. Sebaliknya, aksi terorisme akan kehilangan kekuatannya bila pihak yang berwenang (kepolisian atau militer) telah berhasil mengantisipasi tindakan tersebut. Terkait antisipasi ini, peranan dinas intelijen negara sangatlah besar. Pihak intelijen harus menyaring dan memilah-milah informasi, dan mengidentifikasi informasi yang mungkin mengarah ke tindak terorisme. Meski demikian, dalam praktiknya, amatlah sulit mendata dan menginterpretasikan ratusan (atau bahkan ribuan) variabel informasi yang setiap hari ditampung dinas intelijen. Oleh sebeb itu perlu adanya aksi yang bersinergi antar lembaga terkait dalam memeberantas terorisme di Indonesia baik di hulunya maupun di hilirnya.



DAFTAR PUSTAKA Buku Ahmad Warso, Munawir, Kamus al-Munawir, Edisi Kedua, Surabaya: Pustaka Progresif 2002. Al-Sharbini, Muhammad Bin Khatib, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Al-faz Al-minhaj (Bairut: Dar al-Fikr, tt). Juz, IV. Al-Ramli, Sheikh Shamsuddin Muhammad, Nihayah al-Muhtaj Ila Sharhz al-Minhaj (Mesir: Maktabah Mustafa al-Halbi, tt), Juz. VIII. Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (PT Rafika Aditama, Bandung, 2000). Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. 2, 1976 Muslich, A. Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika), Cet ke-1, 2004. Jalāludīin, Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Sayuṭi, Al-Jāmi‟uṣ-Ṣagīr (Bairut: Dār al Fikr. t.th), Juz 2. Jalaluddin As Sayuhuti, Al Jami’ Ash ShagirJuz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t. Jurnal Junaid, Hamzah, Pergerakan Kelompok Terorisme Dalam Perspektif Barat Dan Islam, UIN Alauddin Makassar, Sulesana, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013. Muladi, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi.” tulisan dalam Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol II No. 03 Desember 2002. Murdiana, Elfa, Pertanggungjawaban Pidana Dalam Prespektif Hukum Islam Dan Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Al-Mawarid, Vol.XII, No 1, Feb-Agust 2012. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang, dan telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.



27



28



Web https://kumparan.com/erucakra-garuda-nusantara/al-qaeda-dan-isis-dari-ji-ke-jad https://nasional.kontan.co.id/news/perbuatan-yangterkena-tindak-pidana-terorisme www.jejakislam.com/2020/11/penjelasan-syakhsiyah-manawiyah-atauitibariyahptcvkoperasi-dll.html