Pertanyaan MH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. aturan pengobatan MDT



2. Pengobatan MDT pada keadaan khususu ( ibu hamil, TB, dan HIV )  Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui.











Kusta seringkali mengalami eksaserbasi pada masa kehamilan, oleh karena itu MDT harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat-obatan MDT standar aman dipakai selama masa kehamilan dan menyusui baik untuk ibu maupun bayinya. Tidak diperlukan perubahan dosis pada MDT. Obat dapat melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, belum ada laporan mengenai efek simpang obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin. Pengobatan kusta pada pasien yang menderita tuberkulosis (TB) saat yang sama.  Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif, pengobatan harus ditujukan untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap diberikan bersamaan dengan pengobatan MDT untuk kusta.  Pasien TB yang menderita kusta tipe PB. Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.  Pasien TB yang menderita kusta tipe MB. Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai, maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT. Pengobatan kusta pada penderita yang disertai infeksi HIV pada saat yang sama. Manajemen pengobatan pasien kusta yang disertai infeksi HIV sama dengan menajemen untuk penderita non HIV.



3. bagaimana pada pasien yang tidak bisa mengonsumsi rifampisin, dapson, klofazimin?











Pasien yang menolak klofazimin Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti sindrom dapson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk pasien MB, sehingga MDT tetap dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien PB, dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan.



4. bagaimana menentukan prognosis pada pasien?  Cenderung ke dubia ad bonam: Diagnosis dini Tanpa kerusakan saraf pda saat awal diagnosis Pengobatan cepat dan tepat dan adekuat Melaksanakan kegiatan perawatan diri.  Cenderung ke dubia ad malam: Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke kutub lepromatosa dan mempunyai konsekuensi menularkan penyakit dan berisiko mengalami reaksi tipe-1 yang akan menyebabkan kerusakan saraf Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensasi pada anggota tubuh dan jari-jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka atau luka bakar kecil sampai terjadi infeksi. Luka terutama pada telapak kaki menimbulkan problematik Kerusakan saraf dan komplikasinya mungkin menyebabkan terjadinya cacat, terutama apabila semua alat gerak dan ke dua mata terkena Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan kerusakan permanen, walaupun telah diobati dengan steroid Tidak melakukan perawatan diri. 5. kenapa perlu mengetahui reaksi kusta? Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (eritema nodosum leprosum).



 Pengobatan reaksi tipe 1 MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta) atau tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta). Terapi spesifik bertujuan untuk menekan respons hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) terhadap antigen M. leprae dengan memberikan terapi anti inflamasi. Tatalaksana RR dengan berbagai tingkat keparahan dan berbagai pilihan terapi adalah sebagai berikut:  Terapi reaksi reversal ringan  inflamasi pada beberapa lesi lama (EEL) Reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau parasetamol. selama beberapa minggu.  Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut  Terdapat beberapa EEL dan juga bisa juga terdapat lesi baru  Nyeri saraf, nyeri tekan, parestesia, atau berkurangnya fungsi saraf  Demam, rasa tidak nyaman, nyeri sendi  Edema pada tangan dan/atau kaki  Lesi ulserasi di kulit  Reaksi menetap lebih dari 6 minggu Kortikosteroid (prednisolon) masih merupakan terapi utama dan terapi pilihan pada RR



Dengan pemberian dosis standar WHO, kesembuhan dapat tidak tercapai dan sering terjadi rekurensi. Durasi pemberian steroid yang lama dapat memberikan perbaikan yang lebih baik dan bertahan lebih lama. Pada sebuah studi acak membandingkan



pemberian prednisolon 30 mg yang diturunkan dosisnya dalam 20 minggu jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian predsinolon 60 mg yang diturunkan dalam 12 minggu.  Pengobatan reaksi tipe 2 Pemberian MDT bila terjadi reaksi harus tetap dilanjutkan, dan bila MDT belum diberikan saat terjadi reaksi, harus segera diberikan bersamaan dengan terapi spesifik ENL, terutama pada pasien LL/BL.  Reaksi ringan (hanya ada beberapa lesi ENL, tanpa keterlibatan organ lain, tetapi pasien merasa tidak nyaman) diterapi dengan obat analgetik dan obat antiinflamasi, misalnya aspirin dan OAINS lainnya. Aspirin diberikan dengan dosis 600 mg setiap 6 jam setelah makan.  Reaksi sedang (demam ringan