Pola Pembiayaan Usaha Kecil Menengah - Budidaya Cabai Merah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pola Pembiayaan Usaha Kecil Menengah USAHA BUDIDAYA CABAI MERAH



Kata Pengantar Usaha Mikro, Kecil dan menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional memiliki peran penting dan strategis. Namun demikian, UMKM masih memiliki kendala, baik untuk mendapatkan pembiayaan maupun untuk mengembangkan usahanya. Dari sisi pembiayaan, masih banyak pelaku UMKM yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses kredit dari bank, baik karena kendala teknis, misalnya tidak mempunyai/tidak cukup agunan, maupun kendala non teknis, misalnya keterbatasan akses informasi mengenai pola pembiayaan untuk komoditas tertentu. Di sisi lain, perbankan juga membutuhkan informasi tentang komoditas yang potensial untuk dibiayai. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menyediakan rujukan bagi perbankan untuk meningkatkan pembiayaan terhadap UMKM serta menyediakan informasi dan pengetahuan bagi UMKM yang bermaksud mengembangkan usahanya, maka menjadi kebutuhan untuk penyediaan informasi pola pembiayaan untuk komoditas potensial tersebut dalam bentuk model/pola pembiayaan komoditas (lending model). Sampai saat ini, Bank Indonesia telah telah menghasilkan 124 judul buku pola pembiayaan pola konvensional dan 34 judul buku pola pembiayaan pola syariah. Dalam upaya menyebarluaskan hasil penelitian dimaksud kepada masyarakat, maka buku pola pembiayaan ini akan dimasukkan dalam minisite Info UMKM yang dapat diakses melalui internet di alamat: http://www.bi.go.id/ id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang bersedia membantu dan bekerjasama serta memberikan informasi dan masukan selama pelaksanaan kajian. Bagi pembaca yang ingin memberikan kritik, saran dan, masukan bagi kesempurnaan buku ini atau ingin mengajukan pertanyaan terkait isi buku ini dapat menghubungi: BANK INDONESIA Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Grup Pengembangan UMKM Divisi Pengembangan dan Pengaturan UMKM Jalan M. H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat Telp. 021 2981-7991 | Faks. 021 351-8951 Besar harapan kami, bahwa buku ini dapat melengkapi informasi tentang pola pembiayaan komoditas bagi perbankan dan sekaligus memperluas replikasi pembiayaan terhadap UMKM pada komoditi tersebut. n



Jakarta, november 2013 i



RINGKASAN POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL MENENGAH USAHA BUDIDAYA cabai MERAH No Usaha Pembiayaan



Uraian



1



Jenis Usaha



Usaha Budidaya Cabai Merah



2



Lokasi Usaha



Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat



3 Dana Yang Digunakan 4



Investasi Modal Kerja Total



: Rp 9.200.000 : Rp 75.274.100 : Rp 84.474.100



Sumber Dana a. Kredit (60%) Rp 50.684.460 b. Modal Sendiri (40%) Rp 33.789.640



5 Periode Pembayaran Kredit



Pembayaran angsuran pokok dan bunga dilakukan sejak bulan ke-4 s.d. ke-6 (mulai panen) dari masa musim tanam



6 Kelayakan Usaha a. Periode proyek b. Produk utama c. Skala proyek d. Pemasaran produk e. Teknologi



3 tahun Cabai merah 1 hektar dengan produksi 14 ton/ha per siklus Lokal/Regional/Nasional Teknik budidaya cabai merah sistem mulsa plastik



7 Kriteria Kelayakan Usaha a. NPV Rp 32.027.167 b. IRR 63,19% c. Net B/C Ratio 4,48 kali d. Pay Back Period 2,04 tahun e. Penilaian Layak dilaksanakan 8 Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6% Analisis Profitabilitas a. NPV Rp 3.367.496 b. IRR 17,76% ii



No Usaha Pembiayaan



Uraian



c. Net B/C Ratio d. Pay Back Period e. Penilaian



1,37 kali 2,87 tahun Layak dilaksanakan



9 Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 7% Analisis Profitabilitas a. NPV - Rp 1.409.115 b. IRR 11,04% c. Net B/C Ratio 0,85 kali d. Pay Back Period 3,06 tahun e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan 10 Analisis Sensitivitas : Kenaikan Biaya Variabel 10% Analisis Profitabilitas a. NPV Rp 777.737 b. IRR 14,09% c. Net B/C Ratio 1,08 kali d. Pay Back Period 2,97 tahun e. Penilaian Layak dilaksanakan 11 Analisis Sensitivitas : Kenaikan Biaya Variabel 11% Analisis Profitabilitas a. NPV - Rp 2.347.206 b. IRR 13,63% c. Net B/C Ratio 0,80 kali d. Pay Back Period 3,14 tahun e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan 12 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 4% dan Biaya Variabel Naik 4% Analisis Profitabilitas a. NPV Rp 420.948 b. IRR 13.59% c. Net B/C Ratio 1,05 kali d. Pay Back Period 2,98 tahun e. Penilaian Layak dilaksanakan 13 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 5% dan Biaya Variabel Naik 5% Analisis Profitabilitas a. NPV - Rp 7.480.607 b. IRR 2,79% c. Net B/C Ratio 0,19 kali d. Pay Back Period 3,34 tahun e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan iii



Daftar Isi KATA PENGANTAR RINGKASAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I



PENDAHULUAN



BAB II



PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN 2.1. Profil Usaha 2.2. Profil Pengusaha 2.3. Pola Pembiayaan



i ii iv vi vi vii 1 8 9 11 14



BAB III ASPEK TEKNIS PRODUKSI 16 3.1. Lokasi Usaha 17 3.2. Fasilitas Produksi dan Peralatan 19 3.3. Bahan Baku 23 3.4. Tenaga Kerja 23 3.5. Teknologi 24 3.6. Proses Produksi 25 3.7. Jumlah, Jenis, dan Mutu Produksi 35 3.8. Produksi Optimum 37 3.9. Critical Point 38



iv



BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN 4.1. Aspek Pasar 4.1.1. Permintaan 4.1.2. Penawaran 4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha 4.2. Aspek Pemasaran 4.2.1. Harga 4.2.2. Jalur Pemasaran Produk 4.2.3. Kendala Pemasaran



48 49 49 50 51 52 52 55 55



BAB V ASPEK KEUANGAN 5.1. Pemilihan Pola Usaha 5.2. Asumsi dan Parameter dalam Analisis Keuangan 5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya Modal Kerja 5.3.1. Biaya Investasi



58 59 59 61 61



Daftar Isi



5.3.2. Biaya Modal Kerja 62 5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja 63 5.5. Produksi dan Pendapatan 65 5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point 68 5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek 68 5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha 70 5.9. Kendala Keuangan 72 BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN 6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial 6.2. Dampak Lingkungan



74 75 76



BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 7.2. Saran



80 81 82



DAFTAR PUSTAKA



86



LAMPIRAN



90



v



Daftar Tabel Tabel 1.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Besar 3 Tabel 1.2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Besar Tahun 2008-2012 4 Tabel 3.1. Potensi Lahan Kawasan Cabai di Jawa Barat 19 Tabel 3.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Usaha Tani Cabai Merah per Hektar 24 Tabel 3.3. Warna Hunter lab. Pengenceran 20% 36 Tabel 3.4. Persyaratan Mutu Cabai Merah Segar 37 Tabel 4.1. Volume dan Nilai Ekspor Cabai Indonesia 50 Tabel 4.2. Volume dan Nilai Impor Cabai Indonesia 51 Tabel 4.3. Harga Cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten Sentra Produksi dan Kota Besar di Indonesia Maret-April 2013 54 Tabel 5.1. Asumsi dalam Analisis Keuangan 60 Tabel 5.2. Biaya Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 62 Tabel 5.3. Biaya Variabel Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 62 Tabel 5.4. Biaya Tetap Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 63 Tabel 5.5. Struktur Kebutuhan Dana Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 63 Tabel 5.6. Angsuran Kredit Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 64 Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 65 Tabel 5.8. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Budidaya Cabai Merah per Hektar 67 Tabel 5.9. Proyeksi Laba-Rugi Budidaya Cabai Merah per Hektar 69 Tabel 5.10. Proyeksi Arus Kas Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 70 Tabel 5.11. Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 70 Tabel 5.12. Sensitivitas Pendapatan Turun 71 Tabel 5.13. Sensitivitas Peningkatan Biaya Variabel 72 Tabel 5.14. Sensitivitas Kombinasi 72



Daftar Gambar Gambar 1.1. Daftar Sepuluh Komoditas Utama Penyebab Inflasi Tahun 2010 Gambar 2.1. Salah Satu Kelompok Tani Responden Gambar 3.1. Persiapan Lahan Gambar 3.2. Pengikatan Tanaman Cabai Gambar 3.3. Tanaman Mulai Berbunga Gambar 3.4. Tanaman Cabai yang Sudah Berbuah Gambar 3.5. Cabai Siap untuk Dipetik Gambar 3.6. Pemetikan Cabai Gambar 3.7. Nimfa thrips Dewasa Gambar 3.8. Lalat Buah Gambar 3.9. Perangkap Lalat Buah Gambar 3.10. Kutu Kebul Gambar 3.11. Serangan Layu Fusarium pada Cabai Merah Gambar 3.12. Layu Bakteri pada Cabai Merah



vi



6 13 27 30 32 33 34 35 39 40 41 41 43 44



Gambar 3.13. Serangan Gemini Virus pada Tanaman Cabai Gambar 4.1. Perkembangan Harga Cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten Sentra Produksi dan Kota Besar di Indonesia Tahun 2010 - April 2013 Gambar 4.2. Perbandingan Harga Cabai Domestik dan Harga Internasional



45 53 55



Daftar Lampiran Lampiran 1. Luas Panen Cabai Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012 Lampiran 2. Produksi Cabai Merah Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012 Lampiran 3. Asumsi Untuk Analisis Keuangan Lampiran 4. Biaya Investasi Lampiran 5. Biaya Operasional Lampiran 6. Sumber Dana Lampiran 7. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Lampiran 8. Angsuran Kredit Investasi Lampiran 9. Angsuran Kredit Modal Kerja Lampiran 10. Proyeksi Rugi Laba Usaha Lampiran 11. Proyeksi Arus Kas Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6% Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 7% Lampiran 14. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 10% Lampiran 15. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 11% Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 4% dan Biaya Variabel Naik 4% Lampiran 17. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 5% dan Biaya Variabel Naik 5% Lampiran 18. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan



91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108



vii



BAB I PENDAHULUAN



viii



BAB I – PEndahuluan



Subsektor hortikultura memegang peranan penting dalam pertanian Indonesia secara umum. Salah satu jenis usaha agribisnis hortikultura yang cukup banyak diusahakan oleh para petani adalah cabai (Capsicum annuum L.). Saat ini cabai menjadi salah satu komoditas sayuran yang banyak dibutuhkan masyarakat, baik masyarakat lokal maupun internasional. Setiap harinya permintaan akan cabai semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di berbagai negara. Cabai merupakan tanaman sayuran buah semusim yang diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai bumbu atau penyedap makanan. Tanaman cabai memiliki banyak nama populer di berbagai negara. Namun, secara umum tanaman cabai disebut sebagai pepper atau chili. Nama pepper lebih umum digunakan untuk menyebut berbagai jenis cabai besar, cabai manis, atau paprika. Sedangkan chili, biasanya digunakan untuk menyebut cabai pedas, misalnya cabai rawit. Di Indonesia sendiri, penamaan cabai juga bermacammacam tergantung daerahnya. Cabai sering disebut dengan berbagai nama lain, misalnya, lombok, mengkreng, rawit, cengis, cengek, sebie dan sebutan lainnya (Anonim, 2011 a). Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self -pollinated crop). Namun demikian, persilangan antar varietas secara alami sangat mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengansendirinya (Cahyono, 2003). Beberapa sifat tanaman cabai yang dapat digunakanuntuk membedakan antar varietas di antaranya adalah percabangan tanaman, perbungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya (Prajnanta,1999). Tanaman cabai berasal dari dunia baru (Meksiko, Amerika Tengah dan, Pegunungan Andes di Amerika Selatan), kemudian menyebar ke Eropa pada abad ke-15. Kini tanaman cabai sudah mulai menyebar ke berbagai negara tropik, terutama di Asia, Afrika Tropika, Amerika Selatan dan Karibia. Di Indonesia, tanaman cabai tersebar luas di berbagai daerah seperti: Purworejo, Kebumen, Tegal, Pekalongan, Pati, Padang, Bengkulu, dan lain sebagainya (Sunaryono, 2003). Cabai masuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan dan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan sarang serta tidak tergenang air.



1



BAB I – PEndahuluan



Berdasarkan bentuk dan ukuran buah, cabai dikelompokkan dalam 4 (empat) tipe, yaitu cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika. Cabai besar dicirikan dengan permukaan buah rata atau licin, berdaging dan berdiameter tebal, relatif tidak tahan simpan, dan kurang pedas. Cabai besar banyak terdapat di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Sulawesi. Cabai keriting memiliki ciri permukaan buah bergelombang atau keriting, buah ramping dan berdaging tipis, umur panen agak lama, relatif lebih tahan simpan dibanding cabai besar dan lebih pedas. Cabai keriting banyak terdapat di daerah Jawa Barat dan Sumatera. Cabai rawit memiliki ciri berukuran kecil, permukaan buah licin dan rasanya pedas.Sedangkan paprika memiliki ciri berbentuk segi empat panjang atau seperti bel, rasa tidak pedas, sering digunakan untuk campuran salad (Syukur et al. 2012). Cabai merah termasuk tanaman semusim (setahun) yang berbentuk perdu, tingginya bisa mencapai 1,5 m atau lebih. Tanaman cabai memiliki perakaran yang cukup rumit. Akar tunggangnya dalam dengan susunan akar sampingnya (serabut) yang baik. Biasanya di akar terdapat bintil-bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Daun cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang berbentuk oval, lonjong, bahkan ada yang lanset. Warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat, atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus ada pula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3 - 11 cm, dengan lebar antara 1 - 5 cm (Sunaryono, 2003). Batang pada tanaman cabai merah tidak berkayu. Bentuknya bulat sampai agak persegi dengan posisi yang cenderung agak tegak. Warna batang kehijauan sampai keunguan dengan ruas berwarna hiaju atau ungu. Pada batang-batang yang telah tua (batang paling bawah), akan muncul warna coklat seperti kayu. Ini merupakan kayu semu yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim. Biasanya batang akan tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian membentuk banyak percabangan (Sunaryono, 2003). Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempurna, artinya dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan sendiri. Bunga berbentuk bintang, biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2 - 3 bunga saja. Mahkota bunga tanaman cabai warnanya putih, putih kehijauan, dan ungu. Diameter bunga antara 5 - 20 mm. Tiap bunga memiliki 5 daun buah dan 5 - 6 daun mahkota.



2



BAB I – PEndahuluan



Cabai selain berguna sebagai penyedap masakan, juga mengandung zatzat gizi yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia. Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin, dan mengandung senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavenoid, dan minyak esensial (Tabel 1.1).



Tabel 1.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Besar



Cabai mengandung capsaicin yang berfungsi untuk menstimulir detektor panas dalam kelenjar hypothalmus sehingga mengakibatkan perasaan tetap sejuk walaupun di udara yang panas. Penelitian lain menunjukkan bahwa capsaicin dapat menghalangi bahaya pada sel trachea, bronchial, dan bronchoconstriction yang disebabkan oleh asap rokok dan polutan lainnya. Hal ini berarti cabai sangat baik bagi penderita asma dan hipersensitif udara. Capsaicin juga dipergunakan dalam pembuatan krim obat gosok antirematik maupun dalam bentuk Koyo Cabai. Penggunaan capsaicin di kalangan pecinta burung ocehan konon dapat membantu merangsang burung-burung ocehan lebih aktif mengoceh. Selain capsaicin, cabai pun mengandung zat mucokinetik. Zat ini dikenal sebagai zat yang mampu mengatur, mengurangi, atau mengeluarkan lendir dari paru-paru. Oleh karena itu, cabai sangat membantu penderita bronchitis, masuk angin, influenza, sinusitus dan asma dalam pengeluaran lendir (Kahana, 2009).



3



BAB I – PEndahuluan



Cabai selain mengandung zat gizi yang cukup lengkap, juga mengandung zat-zat fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan zat yang dapat menetralisir radikal bebas yang mempercepat proses penuaan dan membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai gangguan penyakit. Selain itu berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan akibat kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna, dan aroma serta kerusakan fisik lain pada produk pangan (Trubus, 2003). Selain dijadikan sebagai bahan penyedap makanan, cabai juga bisa dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk olahan seperti saos cabai, sambel cabai, pasta cabai, bubuk cabai, cabai kering, dan bumbu instant. Sebagian produk-produk tersebut sudah berhasil di ekspor ke Singapura, Hongkong, Saudi Arabia, Brunei Darussalam, dan India. Luas areal panen cabai merah besar pada tahun 2008-2012 cenderung fluktuatif. Luas panen tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 122.755 ha. Produksi cabai merah secara nasional terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 - 2012. Produktivitas cabai (ton/ha) secara nasional cenderung mengalami peningkatan, kecuali tahun 2010. Pada tahun 2012, produksi cabai besar nasional mencapai 954.310 ton dengan produktivitas rata-rata 7,93 ton/ha (Tabel 1.2). Menurut Data BPS (2013), daerah utama sentra penanaman cabai besar adalah Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Luas areal panen cabai besar di Jawa Barat pada tahun 2012 mencapai 16.043 ha dengan produksi 201.384 ton. Produktivitas cabai merah di Jawa Barat jauh di atas rata-rata nasional yaitu mencapai 12,55 ton/ha.



Tabel 1.2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Merah Besar Tahun 2008-2012



Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2013)



4



BAB I – PEndahuluan



Produksi cabai besar Jawa Barat tahun 2012 sebesar 81,63% dihasilkan di tujuh wilayah sentra yaitu Kabupaten Garut sebanyak 49.592 Ton, Kabupaten Cianjur 33.991 ton, Kabupaten Tasikmalaya 31.784 ton, Kabupaten Bandung 20.128 ton Kabupaten Sukabumi 12.587 ton, Kabupaten Bandung Barat 8.276 ton, dan Kabupaten Majalengka 8.030 ton. Sisanya sebesar 18,37% tersebar di 19 kabupaten/kota lainnya (BPS Provinsi Jawa Barat, 2013). Cabai merah termasuk dalam golongan enam besar dari komoditas sayuran di Indonesia, selain bawang merah, tomat, kentang, kubis, dan kol bunga. Meskipun telah mengekspor cabai merah segar, sampai saat ini kebutuhan cabai secara nasional masih belum dapat terpenuhi, untuk menutupi kekurangan tersebut maka dilakukan impor. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008 - 2012 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi cabai besar dari 15,486 ons/kapita pada tahun 2008 menjadi 16,529 ons/kapita di tahun 2012. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia setiap tahun dan mencapai 255.587.718 jiwa pada tahun 2012 (Data KPU, 2012). Dengan demikian kebutuhan cabai merah secara nasional juga mengalami peningkatan. Budidaya cabai merah menjadi peluang usaha yang masih sangat menjanjikan, bukan hanya untuk pasar lokal saja namun juga berpeluang untuk memenuhi pasar ekspor. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, nilai impor cabai secara nasional pada tahun 2012 mencapai US$ 27.935.228 dan nilai ekspor komoditas tersebut mencapai US$ 24.979.192 (http://aplikasi. deptan.go.id/eksim2012). Data tersebut menunjukkan Indonesia adalah nett importir komoditas cabai. Fluktuasi harga cabai merah yang sering terjadi, umumnya disebabkan oleh ketersediaan pasokan cabai merah yang tidak merata sepanjang tahun. Akibatnya harga cabai biasanya akan melonjak naik ketika pasokan di pasar sedikit, terutama saat mendekati hari besar nasional atau keagamaan. Sebaliknya harga komoditas ini akan menukik turun ketika pasokan dari sentra produksi membanjiri pasar. Meroketnya harga cabai merah ternyata juga membawa dampak negatif secara nasional. Cabai merah dinilai sebagai salah satu komoditas utama yang berkontribusi terhadap terjadinya inflasi. Pada tahun 2010, cabai merah merupakan komoditas 3 (tiga) besar yang menyebabkan terjadinya inflasi (Gambar 1.1). Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menjaga kestabilan pasokan dan kestabilan harga komoditas tersebut.



5



BAB I – PEndahuluan



Sumber : BPS dalam Bisnis Indonesia



Gambar 1.1. Daftar Sepuluh Komoditas Utama Penyebab Inflasi Tahun 2010



Sekalipun cabai merah mempunyai prospek permintaan yang baik, tetapi sektor budidaya cabai merah dalam skala usaha kecil masih menghadapi berbagai masalah atau kendala. Permasalahan/kendala utama yang dapat menyebabkan bisnis usaha kecil budidaya cabai merah sering menghadapi resiko gagal, tidak adanya kepastian jual, harga yang berfluktuasi, kemungkinan rendahnya margin usaha, lemahnya akses pasar, dan ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan teknis bank. Upaya peningkatan produksi cabai merah dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Penumbuhan sentra produksi cabai merah dilakukan melalui upaya ekstensifikasi dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan agroklimat, potensi pasar, dan potensi sumber daya manusia. Pemantapan sentra dilakukan melalui upaya intensifikasi dengan menerapkan Iptek serta pengembangan pemasaran dan kelembagaan. Upaya yang ditempuh untuk membantu UKM dalam bidang agribisnis budidaya cabai merah agar mereka mampu memanfaatkan peluang dan sekaligus untuk memecahkan masalah yang dihadapi (kelemahan dalam sistem, penerapan teknologi, kelemahan dalam distribusi/pemasaran) dilaksanakan melalui pengembangan kebijakan di sektor-sektor pemerintah, moneter dan di sektor riil. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membantu pelaku UKM budidaya cabai merah yaitu menyediakan kredit yang sesuai dan cocok untuk agribisnis berskala kecil, menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan tanaman hortikultura sayur-sayuran yang tergolong rempah-rempah termasuk komoditas cabai merah dan memfasilitasi pelaksanaan Program Kemitraan Terpadu (PKT) 6



BAB I – PEndahuluan



yang dapat memberikan jaminan keberhasilan proyek budidaya cabai melalui kemitraan dengan Usaha Besar dan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu kesepakatan kerjasama. Melalui studi pola pembiayaan yang mencakup penilaian kelayakan usaha budidaya cabai merah dan Program Kemitraan Terpadu (PKT) yang dilaksanakan di daerah yang menjadi objek penelitian, yaitu Tasikmalaya, diharapkan dapat direplikasi hampir di seluruh propinsi yang memiliki kesuburan lahan atau kecocokan lahan, serta iklim yang paling cocok untuk pelaksanaan budidaya cabai merah. Sebagai upaya optimalisasi pengembangan cabai merah, pihak Bank Indonesia Tasikmalaya telah membuat Program Klaster Nasional Cabai Merah Besar. Dalam rangka pelaksanaan klaster nasional yang digagas oleh Bank Indonesiatersebut, Provinsi Jawa Barat bersama dengan enam daerah lainnya terpilih untuk mengembangkan klaster cabai merah. Salah satu definisi klaster adalah upaya untuk mengelompokkan industri/usaha inti yang saling berhubungan, baik industri pendukung, industri terkait, jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian, pelatihan, pendidikan, informasi, teknologi, sumber daya alam, serta lembaga-lembaga terkait. Klaster juga merupakan cara untuk mengatur beberapa aktivitas pengembangan ekonomi. Untuk wilayah Priangan Timur, klaster cabai merah ini dilaksanakan di Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis yang memiliki kondisi alam dan geografis yang sesuai bagi pengembangan klaster cabai, terlebih lagi daerah tersebut saat ini telah menjadi produsen cabai merah dan sayur mayur lainnya. Program ini merupakan upaya mengoptimalkan potensi sektor pertanian hortikultura, khususnya cabai merah di wilayah Ciamis dan Tasikmalaya. Dalam klaster cabai tersebut, koperasi dijadikan sebagai lokomotif perkembangan cabai industri. Usaha budidaya cabai merah ini telah menciptakan kesempatan bagi para petani untuk meningkatkan pendapatannya, tetapi pada umumnya petani jarang memperhitungkan besar kecilnya biaya yang diinvestasikan dan keuntungan yang diperoleh. Dengan demikian untuk menghindari kerugian dan meningkatkan keuntungan, petani sebagai pengusaha harus bisa memperhitungkan dan mengukur biaya yang akan dikeluarkan untuk kepentingan produksinya sehingga akan diketahui apakah usaha tani cabai merah itu menguntungkan atau tidak. Cukup banyak kendala yang dijumpai dalam usaha budidaya cabai merah, diantaranya adalah masalah teknis produksi dan pengadaan modal usaha. Menyadari akan hal ini maka perlu dilakukan kajian tentang Pola Pembiayaan atau Lending Model Usaha Kecil dan Menengah bagi para petani cabai, khususnya yang ada di wilayah klaster cabai. n 7



BAB II PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN



8



BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan



2.1. Profil Usaha Agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang terkait satu sama lain. Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem agribisnis hulu, (2) subsistem agribisnis usaha tani, (3) subsistem agribisnis hilir dan (4) subsistem jasa penunjang. Adanya salah satu subsistem tidak berjalan sesuai fungsi dapat mengakibatkan subsistem lain juga tidak berjalan (Saragih, 2010). Salah satu usaha yang termasuk dalam bidang ini adalah budidaya cabai merah. Cabai merah adalah komoditas yang memiliki peluang margin keuntungan yang menggiurkan tapi juga beresiko tinggi. Budidaya cabai merah adalah suatu usaha pertanian yang bersifat intensif, padat modal, dan padat tenaga kerja.Para petani cabai harus memiliki kejelian baik dalam mengamati kondisi iklim di lapangan maupun kondisi pasar. Para petani juga harus memiliki informasi tentang pelaksanaan waktu tanam cabai yang dilakukan oleh rekan mereka yang lain, baik di daerah yang sama maupun di sentra penanaman cabai di daerah lain. Para petani cabai Tasikmalaya, Ciamis, dan mungkin juga di daerah lain biasanya bergabung dalam kelompok tani. Beberapa kelompok tani tersebut bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Setiap satu desa hanya boleh ada satu Gapoktan. Salah satu upaya yang ditempuh untuk membantu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam bidang agribisnis budidaya cabai merah yaitu Program Kemitraan Terpadu (PKT). Secara umum kelembagaan kemitraan dapat dipilah menjadi dua pola usaha yaitu pola dagang umum dan kelembagaan kemitraan usaha contract farming dengan berbagai variasinya. Beberapa keunggulan pola dagang umum antara lain adalah: (1) Kelembagaan kemitraan pola ini umumnya lebih fleksibel yang didasarkan atas ikatan-ikatan informal yang tidak mengikat, ikatan langganan, ikatan modal tanpa bunga, serta ikatan sosial lainnya; (2) Umumnya pedagang memiliki jaringan pasar yang luas namun tidak mengikat (pasar tradisional, supplier, dan supermarket); (3) Memiliki fleksibilitas keluar masuk pasar; dan (4) Dapat menampung hasil produksi sayuran pada hampir semua kelas kualitas dengan perbedaan harga pembelian. Beberapa kelemahan pola ini adalah : (1) Efisiensi dalam pengumpulan hasil rendah karena produksi tersebar; (2) Efisiensi dalam pengangkutan rendah karena seringkali tidak mencapai skala angkut maksimal; (3) Fluktuasi harga tajam karena mengikuti mekanisme pasar sepenuhnya; dan (4) Kurang mendorong petani pada peningkatan kualitas hasil karena sistem pembelian dari pedagang seringkali dilakukan dengan sistem borongan, tebasan, dan ijon, meskipun terdapat juga petani yang memasarkan dengan sistem timbang atau kiloan. 9



BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan



Sementara itu beberapa keunggulan pada pola contract farming (dalam pelaksanaannya berupa kontrak pemasaran) antara lain adalah: (1) Efisiensi dalam pengumpulan hasil tinggi karena kontrak dilakukan secara berkelompok dalam hamparan tertentu; (2) Efisiensi dalam pengangkutan tinggi karena dapat mencapai skala angkut maksimal; (3) Harga relatif stabil karena ditetapkan dengan sistem kontrak pemasaran di mana harga ditetapkan sebelum tanam; dan (4) Mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, karena hanya produk-produk yang memenuhi standar mutu tertentu yang ditampung, produk yang tidak memenuhi standar mutu akan dikenakan rafaksi oleh perusahaan mitra; serta (5) Efektif diterapkan pada komoditas atau produk yang memiliki struktur pasar yang oligopolistik-oligopsonistik, di mana pada sebagian besar komoditas menghadapi kondisi ini. Jika dilihat dari tujuan penjualannya, secara umum terdapat dua pola penanaman cabai merah yaitu penanaman untuk tujuan industridan penanaman untuk konsumsi. Untuk tujuan industri, perusahaan penampung yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis adalah PT Heinz ABC. Untuk tujuan konsumsi, biasanya cabai merah tersebut ditampung oleh pengumpul untuk kemudian dikirim ke pasar lokal dan pasar induk yang ada di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Pada usaha budidaya cabai merah untuk industri, kelompok tani tersebut dibina oleh suatu lembaga pendamping, misalnya koperasi. Salah satu koperasi yang membina para petani ini adalah Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) yang terletak di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. Koja membina 20 kelompok tani dengan luas pertanaman cabai 168 ha. Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) STA Panumbangan adalah koperasi jasa yang berada di Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis yang didirikan pada tanggal 20 Juni 2003 dengan Badan Hukum No: 11/188.5/BH/KUKM/ VI/2003. Kehadiran Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) STA Panumbangan seharusnya dapat menjadikan gerakan koperasi di Indonesia menjadi lebih hidup karena mempunyai sumber daya yang baik. Selain itu, binaan Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) STA Panumbangan juga cukup banyak yaitu membina kelompok tani di Kecamatan Panumbangan dan Sukamantri. Koja mempunyai wilayah kerja dalam wilayah Kabupaten Ciamis meliputi enam Kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Panjalu, Kecamatan Cihaurbeuti, Kecamatan Kawali, Kecamatan Lumbung, Kecamatan Sindangkasih, dan Kecamatan Cikoneng. Namun, pada perjalanannya koperasi ini mengalami mati suri pada tahun 2006 hingga 2009, tetapi pada awal tahun 2010 koperasi dihidupkan kembali berdasarkan inisiatif para anggota yang merasa bahwa keberadaan koperasi tersebut sangatlah penting bagi kelangsungan kesejahteraan anggota dan masyarakat. Koja STA Panumbangan merupakan koperasi yang bergerak 10



BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan



di bidang jasa, unit usaha yang dilakukan yaitu usaha budidaya pertanian hortikultura, dan usaha simpan pinjam. Koja berperan dalam pembinaan para petani, menyalurkan kebutuhan benih dan sarana produksi serta menampung hasil panen cabai yang dihasilkan. Koja juga bermitra dengan perusahaan industri (PT. Heinz ABC) yang siap menampung cabai yang memenuhi syarat yang ditentukan. Setiap harinya, PT. Heinz ABC membutuhkan sekitar 100 ton bahan baku cabai merah untuk keperluan industri. Pasokan cabai tersebut terutama didatangkan dari Jawa barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Para petani binaan yang telah dianggap berpengalaman dan mampu akan direkomendasikan oleh Koja untuk mendapatkan pinjaman kredit dari Bank. Pada saat ini sebagian kelompok tani tersebut mendapatkan bantuan pinjaman kredit modal kerja dari Bank BNI. Skim kredit yang diberikan oleh BNI adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Di Kecamatan Cihaurbeuti, terdapat petani cabai merah didampingi oleh suatu lembaga yang bernama Kelompok Usaha Karya Unggul Agrotama (KUAT). Lembaga ini yang membantu mengatur penyaluran sara produksi dan pengelolaan keuangan mitra binaan kelompok tani. KUAT bermitra dengan PT AETRA sebagai off taker yang menjamin pembelian hasil produksi. PT AETRA ini juga mengirim cabai merah tersebut ke PT Heinz ABC. Dalam kegiatan usaha budidaya cabai merah industri ini, mutlak diperlukan skim kerjasama kemitraan dengan industi sebagai penampung produksi. Oleh sebab itu, bentuk kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan dan bersifat saling membutuhkan (setara) perlu terus dikembangkan. Harga kontrak pembelian saat ini dari PT Heinz ABC untuk cabai yang berasal dari sentra produksi di Jawa Barat adalah Rp 10.000/kg. Dari harga tersebut maka bagian yang diterima petani adalah Rp 7.000/kg. Selisih harga yang Rp 3000/kg digunakan untuk biaya sortasi, transportasi, dan keuntungan dari pembina (misal Koja). Jika harga pembelian PT Heinz ABC dari suplier lebih dari Rp14.000/kg maka akan ada insentif harga bagi petani pemasok sesuai kontrak yang disepakati. Dari data yang didapat, pada musim tanam tahun 2012/2013 ini kontrak yang dilakukan oleh Koja dan PT Heinz ABC adalah 800 ton dengan luas kebun yang disepakati 100 ha. 2.2. Profil Pengusaha Pada umumnya para pelaku usaha budidaya cabai merah ini adalah para pengusaha skala mikro dan kecil. Mereka memiliki posisi yang lemah dalam 11



BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan



proses tawar menawar. Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus dilakukan petani untuk menaikkan posisi tawar petani adalah dengan: 1) Konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit sertajeratan hutang tengkulak. 2) Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai melalui skala usaha yang lebih besar dan terintegrasisehingga tercipta penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam. 3) Kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. 4) Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata niaga yang tidak menguntungkan. Luas lahan atau skala usaha petani cabai merah sangat bervariasi. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah melakukan koordinasi antarasesama anggota kelompok sertaanggota kelompok dengan pihak luar seperti koperasi dan instansi lainnya. Ketua kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.



12



BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan



Pada umumnya, petani cabai memiliki luas lahan rata-rata berkisar antara 0,5 hektar hingga 1,0 hektar. Tanah untuk menanam cabai tersebut umumnya milik petani sendiri. Petani responden yang didatangi memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi, mulai dari SD hingga tingkat perguruan tinggi. Dalam melakukan budidaya cabai merah ini para petani bergabung dalam kelompok tani. Meski demikian, tanggungjawab keberhasilan proses produksi ada di tangan individu petani. Usaha budidaya cabai merah ini pada umumnya dimiliki oleh perorangan, serta sebagai usaha keluarga sejak lebih dari 5 tahun yang lalu dan mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Motivasi usaha budidaya cabai merah yaitu harga jualnya yang cukup baik dengan adanya kontrak harga minimal dengan PT. Heinz ABC, sumber daya alam yang mendukung, teknologi tersedia atau adanya pengalaman dengan keterampilan yang sederhana. Namun, dalam menjalankan usaha budidaya cabai merah diperlukan keuletan dan ketelatenan yang ekstra. Pengusaha dapat memperoleh teknik budidaya yang baik dari berbagai instansi, seperti penyuluhan dari Dinas Pertanian, pembinaan dari balai benih, pendampingan dari perusahaan mitra atau juga pertukaran informasi dari pengusaha sejenis yang telah sukses. Pengalaman cara budidaya cabai merah secara turun-temurun sesungguhnya memberikan tingkat ketrampilan yang sangat baik untuk petani, namun hal tersebut menyebabkan petani susah menerima hal-hal baru terkait dengan budidaya cabai merah dalam rangka perbaikan produksi serta kelestarian alam. Dari pengamatan lapang, tenaga agronomis yang paling berperan dalam pendampingan petani adalah tenaga lapang yang berasal dari perusahaan penyalur benih dan saprotan (PT. Tanindo) serta tenaga agronomis yang berasal dari industri pengguna produk (PT. Heinz ABC). Untuk itu, perlu adanya bimbingan dan penyuluhan yang lebih intensif bagi petani dari penyuluh Dinas Pertanian.



Gambar 2.1.Salah Satu Kelompok Tani Responden



13



BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan



Secara teknis, petani memperoleh benih dari perusahaan mitra dan akan dibayar setelah panen, sedangkan untuk modal kerja lainnya (non benih) diperoleh daripinjaman ke bank. Hal ini seperti yang dilakukan oleh kelompok Tani Cinta Mekar, mitra dari Koperasi Jasa Agribisnis (KOJA) dimana kelompok tani tersebut memperoleh pinjaman dari BNI Cabang Tasikmalaya. Beberapa petani juga memperoleh pembiayaan dari BRI Cabang Tasikmalaya. 2.3. Pola Pembiayaan Pola pembiayaan usaha budidaya cabai merah berasal dari petani/pengusaha sendiri (modal sendiri), kredit bank, ataupun berasal dari lembaga lain yang non bank (dengan mekanisme pencairan dana dan pembayaran kredit melalui bank). Proporsi pola pembiayaan ini bervariasi antar petani/pengusaha. Pola pembiayaan ini juga sangat tergantung pada skala usahanya (luasan lahan yang dikelola). Beberapa pengusaha/petani menggunakan 100% modal sendiri dari perputaran usahanya atau dukungan dari usaha lainnya, dan pola pembiayaannya menggunakan kombinasi antara modal sendiri dan kredit bank/non bank. Pada umumnya, di awal pendirian usaha, seluruh pendanaan berasal dari pemilik usaha, baik pribadi maupun dukungan usaha lainnya. Dalam perkembangannya, beberapa pengusaha berhasil mendapatkan kredit dari bank, kemitraan, dan bantuan program dari dinas terkait. Beberapa bank yang memberikan kredit untuk usaha budidaya cabai merah adalah BNI dan BRI. Selain itu, terdapat juga anggota kelompok tani yang mendapatkan bantuan pembiayaan dari investor swasta. Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsipprinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih. Di samping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksi yang diperlukan, kajian Pola Pembiayaan/Lending Model 14



BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan



ini juga melakukan analisis terhadap kelayakan keuangan. Pihak bank dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan pemenuhan persyaratan kredit yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan budidaya cabai merah. Skim kredit yang akan digunakan untuk pembiayaan ini bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai dengan bentuk usaha tani ini. Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk itu, bank perlu membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/UKM sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit. Bank BRI dan BNI cabang Tasikmalaya menyalurkan kredit modal kerja untuk budidaya cabai merah melalui skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Lama pengembalian kredit bagi usaha budidaya cabai merah umumnya 12 bulan, dengan suku bunga 13% per tahun untuk KUR dan 4% per tahun untuk KKPE. Jangka waktu ini sudah mencakup masa pengolahan lahan hingga panen petikan terakhir. Salah satu syarat supaya petani cabai mendapat kredit ini yaitu petani harus terlebih dahulu memiliki jaminan pasar pascapanen. Misalnya, petani harus sudah memiliki kontrak kerja sama dengan perusahaan besar yang menerima hasil pertanian mereka. Hal itu disyaratkan sebagai kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit, mengingat kredit pertanian cukup berisiko bagi dunia perbankan. Dalam hal ini, seluruh kelompok tani tersebut sudah melakukan kontrak dengan PT. Heinz ABC yang akan menampung cabai merah yang dihasilkan. BNI Cabang Tasikmalaya mencatat realisasi kredit untuk penanaman cabai merah di Priangan Timur hingga 2012 mencapai Rp3,46 miliar. Kredit tersebut disalurkan kepada 8 Gapoktan dengan luas lahan penanaman cabai total, yaitu 57 ha. Gapoktan tersebut di atas berasal dari Kabupaten Ciamis tepatnya Kecamatan Sukamantri, Panumbangan, Panawangan, dan Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya Kecamatan Gentong. Sementara itu, BRI mencatat realisasi kredit sejumlah Rp 560 juta kepada 11 Gapoktan dengan menggunakan skim KKPE. n 15



BAB III ASPEK TEKNIS PRODUKSI



16



BAB III – Aspek teknis produksi



3.1. Lokasi Usaha Pemilihan lokasi budidaya cabai merah harus disesuaikan dengan persyaratan tumbuh cabai merah untuk mencegah kegagalan proses produksi dan dapat menghasilkan cabai merah sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan serta tidak merusak lingkungan. Secara umum lahan yang digunakan bukan bekas tanaman sejenis atau sefamili sehingga memungkinkan untuk melakukan penanaman2 atau 3 kali musim tanam per tahun. Lahan untuk penanaman cabai harus terbuka, tidak ternaungi sehingga matahari dapat langsung menyinari tanaman. Lokasi lahan diusahakan dekat dengan sumber air untuk memenuhi ketersediaan air untuk penyiraman. Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah tanah yang mengandung bahan organik sekurang-kurangnnya 1,5% dan mempunyai pH antara 6,0 - 6,5. Keadaan pH tanah sangat penting karena erat kaitannya dengan ketersediaan unsur hara. Apabila ditanam pada tanah yang mempunyai pH lebih dari tujuh, tanaman cabai akan menunjukkan gejala klorosis, yakni tanaman kerdil dan daun menguning yang disebabkan kekurangan unsur hara besi (Fe). Sebaliknya, pada tanah yang mempunyai pH kurang dari lima, tanaman cabai juga akan kerdil, karena kekurangan unsur hara kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) atau keracunan aluminium (Al) dan mangan (Mn) (Sumarni 1996). Secara geografis tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 1.200 m di atas permukaan laut.Pada dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terserang penyakit. Cabai akan tumbuh optimal pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600 - 1.250 mm pada tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% (Suwandi et al. 1997). Suhu udara optimal untuk pertumbuhan cabai pada siang hari adalah 18o27oC. Bila suhu udara malam hari di bawah 16oC dan siang hari di atas 32oC, proses pembungaan dan pembuahan tanaman cabai akan terhambat. Cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah, karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit, terutama yang disebabkan cendawan (Sumarni 1996). Menurut Setiadi (1987), dalam penanaman cabai juga perlu memperhitungkan kandungan air tanah. Jika penanaman cabai dilakukan di sawah, maka sebaiknya dilakukan pada akhir musim hujan. Penanaman cabai di lahan tegalan akan lebih baik jika dilakukan pada akhir musim kemarau karenasaat itu tanah memiliki kelembaban atau kandungan air yang cukup untuk penanaman cabai. Di tanah sawah, kandungan airnya tidak kelewat banyak,sehingga bisa meminimalkan tanaman cabai dari serangan cendawan yang menyerang akar. Di tanah tegalan, siraman air hujan sudah cukup memenuhi kebutuhan tanaman cabai. 17



BAB III – Aspek teknis produksi



Salah satu lokasi klaster cabai merah adalah Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis. Berdasarkan data monografi desa dalam Rachma 2008, sekitar 70% wilayah desa ini merupakan lahan pertanian. Sekitar 66% penduduk Desa Cibeureum berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Para petani cabai melakukan penanaman cabai merah baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Desa Cibeureum memiliki iklim relatif agak sejuk dengan suhu rata-rata harian di desa ini 17-26 oC. Curah hujan rata-rata daerah ini sebesar 2.500 mm/ tahun dengan jumlah bulan basah rata-rata 6 bulan dalam setahun. Sebagian besar tanah di desa ini berwarna hitam dengan tekstur agak berpasir. Topografi Wilayah Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis memiliki ketinggian berkisar antara 400-800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Adapun temperatur normal atau suhu rata-rata 20ºC - 24ºC. Keadaan permukaan tanah berbukitan 30%, berombak s/d berbukit 30% dan datar 40% (http://su.wikipedia.org/wiki/Obrolan: Cibeureum,_Sukamantri,_ Ciamis). Menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, Kabupaten Ciamis pada umumnya mempunyai tipe iklim C, dengan rata-rata curah hujan sekitar 2.987 mm/tahun dan suhu rata-rata antara 200C-300 C (http://e-slr.blogspot. com/2012/04/ kabupaten-ciamis.html). Pada pengamatan lapang, kondisi tanah di lokasi penanaman cabai di Sukamantri dan Cihaurbeuti relatif gempur dan mengandung cukup banyak bahan organik. Secara umum dapat disimpulkan bahwa wilayah pertanaman cabai merah dari responden kelompok tani yang didatangi sudah memenuhi syarat bagi pertumbuhan dan produksi tanaman cabai. Daerah sentra penanaman cabai merah di Kabupaten Ciamis adalah di Kecamatan Sukamantri, Panumbangan, Cihaurbeuti, dan Panjalu. Sentra cabai di Tasikmalaya adalah Kecamatan Cisayong, Cigalontang, dan Leuwisari. Pasokan cabai dari wilayah sentra tersebut akan mampu mempengaruhi harga di pasaran lokal. Potensi luas areal kawasan cabai di Jawa Barat adalah 10.466 ha. Potensi areal terluas terdapat di Kabupaten Garut 4.010 ha, disusul dengan Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Tabel 3.1 menyajikan potensi lahan kawasan cabai di Jawa Barat.



18



BAB III – Aspek teknis produksi



Tabel 3.1. Potensi Lahan Kawasan Cabai di Jawa Barat



Sumber: http://ditsayur.hortikultura.deptan.go.id



3.2. Fasilitas Produksi dan peralatan Untuk memenuhi permintaan pasar khususnya untuk industri, kontinuitas, dan kuantitas pasokan dalam jumlah besar yang tepat waktu dan kualitas sesuai standar maka perlu adanya perbaikan dalam cara bertanam cabai dengan menerapkan kaidah-kaidah praktek pertanian yang baik (Good Agricultural Practices disingkat G.A.P). Agar kaidah-kaidah G.A.P dapat diterapkan dengan benar maka diperlukan suatu panduan standar operasional yang dikenal dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Untuk menghasilkan cabai merah berkualitas dengan produktivitas yang optimal diperlukan upaya produksi sesuai dengan norma budidaya yang baik dan benar. Oleh sebab itu pelaksanaan Prosedur Operasional Standar (POS) harus konsisten dan terdokumentasi dengan baik oleh setiap pelaku usaha. Pelaksanaan POS dengan baik dapat menghasilkan produktivitas cabai lebih dari 1 kg/tanaman (tergantung varietas cabai merah), dengan tingkat kehilangan hasil lebih kecil 10% dan kualitas cabai sesuai standar pasar yang mencapai 90%. Untuk dapat melaksanakan POS tersebut diperlukan fasilitas dan peralatan produksi yang sesuai aktivitasnya. 1) Persiapan Lahan Sebelum penanaman dilakukan perlu pembersihan lahan dari segala sesuatu yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman agar diperoleh lahan yang siap ditanami dan terbebas dari gangguan fisik (batu-batuan, sampah, dll) maupun biologis (gulma atau sisa-sisa tanaman). Peralatan yang digunakan untuk aktivitas tersebut adalah: a. Parang/arit/golok untuk memotong dan membersihkan semak belukar yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman muda, 19



BAB III – Aspek teknis produksi



b. c.



Cangkul/kored untuk membersihkan tanah dari rumput dan sisa-sisa semak belukar/ tanaman yang tertinggal serta untuk mengolah tanah, Keranjang/pikulan/carangka untuk mengangkut hasil pembersihan lahan.



2) Pengolahan Tanah dan Pembuatan Bedeng Suatu upaya pembuatan lahan pertanaman menjadi siap tanam, dengan cara mengolah tanah sampai gembur dan diratakan, membuat parit dan garitan dengan bentuk membujur atau disesuaikan dengan denah/ letak lahan (bila tidak persegi) dan dengan arah datangnya sinar matahari. Tujuannya agar diperoleh media tanam yang optimal bagi pertumbuhan tanaman cabai merah. Peralatan yang digunakan untuk pengolahan tanah sangat tergantung pada skala usaha atau luasan lahan yang dikelola, yaitu: a. Garpu/cangkul/kored untuk mengolah tanah dan meratakan pupuk kandang, b. Meteran sebagai alat ukur menentukan ukuran, c. Tali untuk tarikan garitan dan parit agar diperoleh garitan dan parit yang lurus, d. Bambu untuk pemancang tali pada pembuatan garitan dan par. 3) Penyiapan Jarak Tanam Setelah selesai pembuatan bedengan, maka akan dilakukan penutupan mulsa plastik yang kemudian dibolongi sesuai dengan jarak tanam cabai. Alat yang dibutuhkan adalah mulsa hitam perak,kaleng susu yang sudah dipertajam, bambu dan alat potong. Penetapan jarak tanam dilakukan dengan membuat tanda jarak tanam yang memungkinkan untuk pertumbuhan cabai secara normal dan optimal. Tujuan penetapan jarak tanam yaitu agar diperoleh jarak yang sama pada seluruh bedengan untuk meletakkan bibit cabai. Dalam penetapan jarak tanam digunakan seperti peralatan/belahan bambu/tali/tambang serta meteran. Jarak tanam ini sangat penting karena erat kaitannya dengan jumlah bibit yang dibutuhkan per satuan luas, serta akan sangat besar pengaruhnya terhadap ukuran cabai merah yang dihasilkan. 4) Penyiapan Benih dan Persemaian Penyiapan benih adalah menyiapkan benih bermutu dari varietas unggul yang bersertifikat. Tujuannya adalah menjamin benih yang ditanam jelas varietasnya, memiliki tingkat keseragaman yang tinggi, berproduktivitas tinggi dan sehat. Varietas cabai yang disetujui oleh PT. Heinz ABC adalah Biola, Gada, Adipati, Imperial, Fantastic, dan TM 99. Dalam proses budidaya cabai merah, benih tidak langsung ditanam di lapang melainkan harus disemaikan terlebih dahulu. Peralatan yang digunakan untuk aktivitas tersebut yaitu wadah semai, polibag kecil, sungkup, ember dan emrat untuk penyiraman. Ciri benih cabai merah varietas unggul: a. Produksi tinggi. Potensi hasil cabai besar hibrida 1,2 kg/tanaman/musim, cabai keriting hibrida 1 kg/tanaman/musim, cabai rawit hibrida 0,6 kg/ 20



BAB III – Aspek teknis produksi



tanaman/musim dan paprika 3,7 kg/tanaman/musim. b. Umur panen lebih disukai genjah. Secara umum berkisar 90 sampai 120 hari setelah semai. c. Tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Saat kemarau panjang, intensitas serangan hama (thrips, kutu daun, tungau dan kutu kebul) sangat tinggi, maka perlu varietas yang tahan serangan hama. Pada saat musim hujan, kelembaban tinggi sehingga intensitas serangan penyakit (layu bakteri, fusarium, phytopthora dan antraknosa) sangat tinggi. d. Daya simpan lebih lama. Umumnya kualitas akan turun setelah disimpan 2-3 hari pada suhu kamar. Jika pada suhu dingin (5-7oC) dan kelembaban 90-95% dapat bertahan 10-20 hari. Cabai unggul dapat disimpan lebih lama sehingga tahan pengangkutan ke lokasi lebih jauh. e. Tingkat kepedasan tertentu. Cabai terasa pedas karena adanya zat capsaicin. Tingkat kepedasan yang diinginkan industri saus tertentu yaitu mencapai 400x pengenceran setara dengan kandungan capsaicin 380 ppm. f. Kualitas buah sesuai konsumen. Contoh, industri saus tertentu menyukai buah dengan diameter pangakal batang 1,00-1,70 cm, panjang buah 9,5-14,5 cm, warna buah merah tanpa belang dan tingkat kepedasan 400 ppm. Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998), panjang buah cabai merah mutu I=12-14 cm, mutu II = 9-11 cm dan mutu III kurang dari 9 cm; diameter buah cabai merah mutu I=1,5-1,7 cm, mutu II = 1,3-1,5 cm dan mutu III kurang dari 1,3 cm; 5) Penanaman Penanaman cabai adalah kegiatan meletakkan bibit dengan posisi akar di dalam lubang tanam yang disiapkan. Tujuannya agar tersedia unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman secara optimal dan benih diletakkan dengan benar. Peralatan yang digunakan dalam aktivitas ini adalah: wadah tempat angkut bibit, pisau, dan bambu. 6) Perawatan Tanaman Perawatan tanaman cabai meliputi penyiraman, peletakkan ajir, penyiangan, pemupukan, perompesan dan pengendalian hama dan penyakit. Aktivitas ini disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan dilakukan dengan peralatan berikut ini. a. Golok/gergaji digunakan untuk memotong dan membelah bambu, b. Meteran sebagai pengukur panjang ajir/turus, c. Bambu digunakan sebagai tiang ajir/ turus, d. Tali plastik untuk mengikat tanaman pada ajir/ turus, e. Cangkul digunakan untuk meninggikan guludan, f. Alas plastik/terpal digunakan sebagai alas untuk mencampur pupuk, 21



BAB III – Aspek teknis produksi



g. Sekop untuk mencampur dan memindahkan pupuk, h. Pompa untu menarik air, i. Drum dan selang, j. Ember digunakan untuk mengangkut air dan juga pupuk selama penaburan. Penyiangan dan sanitasi adalah melakukan pemeliharaan dan membersihkan guludan dari gulma, tanaman pengganggu lainnya, dan tanaman yang sakit. Tujuannya adalah menjaga kebersihan kebun dan kesehatan tanaman dengan menggunakan cangkul/kored. Pada periode ini juga masih memungkinkan untuk dilakukan penyulaman, yakni menanam kembali pada bagian cabai merah yang mati atau tidak tumbuh dengan baik. Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah tindakan untuk menekan serangan OPT guna mempertahankan produksi dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Tujuannya adalah agar OPT terkendali tanpa merusak lingkungan. Kegiatan ini adalah yang paling kritis dalam kaitannya dengan keberhasilan produksi cabai merah. Dalam kondisi tertentu, misalnya saat intensitas curah hujan sangat tinggi, maka pengendalian OPT ini juga harus lebih sering dilakukan karena OPT akan sangat cepat berkembang. Peralatan yang biasa digunakan pada aktivitas ini adalah Knapsack Sprayer, sebagai alat untuk mengaplikasikan pestisida, ember, drum, alat pengaduk untuk mencampur pestisida dengan air, takaran (skala cc, ml, liter dan gram) untuk menakar pestisida dengan air, alat/sarana pelindung (sarung tangan, masker, topi, sepatu boot, baju lengan panjang) untuk melindungi bagian tubuh dari cemaran bahan kimia. 7) Pemanenan Panen adalah proses pemetikan cabai merah yang sudah menunjukkan ciri (sifat khusus) untuk dipetik. Penentuan saat panen yang tepat menjadi sangat penting karena berkaitan dengan produktivitas dan tujuan penggunaan cabai merah. Alat yang digunakan untuk aktivitas ini, yaitu: a. Keranjang/krat/karung/warring/pengki/ember untuk meletakkan dan mengangkut cabai yang telah dipanen, b. Pikulan sebagai alat angkut dari kebun ke tempat pengumpulan cabai, c. Timbangan untuk menimbang hasil panen. 8) Pasca Panen Kegiatan pasca panen untuk budidaya cabai yang melakukan kontrak dengan industri dilakukan oleh pengumpul, diantaranya Koperasi Jasa Agribisnis (Koja). Pihak KOJA inilah yang akan melakukan proses sortasi dan grading. Beberapa peralatan yang digunakan dalam pasca panen, yaitu: timbangan untuk menimbang cabai merah yang akan dikemas dan krat/kontainer plastik digunakan sebagai wadah kemasan 22



BAB III – Aspek teknis produksi



Aktivitas pasca panen terakhir adalah distribusi, yaitu proses memindahkan cabai merah dari produsen ke industri (PT Heinz ABZ). Peralatan penunjangnya adalah timbangan untuk menimbang cabai merah sebelum dipindahkan ke alat transportasi serta alat transportasi yang memadai untuk mengangkut krat cabai tersebut. 3.3. Bahan Baku Pihak industri memiliki kriteria tertentu untuk varietas yang digunakan. Varietas cabai yang dikehendaki oleh PT Heinz ABC adalah Biola, Gada, Adipati, Imperial, Fantastic dan TM 99. Para petani bisa mendapatkan benih dan sarana produksi lainnya dari pembina yang sekaligus juga menampung hasil panen, contohnya Koja yang terletak di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Tasikmalaya. 3.4. Tenaga Kerja Tenaga kerja usahatani cabai merah berasal dari keluarga tani (suami dan isteri) dan tenaga upah/harian (pria/wanita). Upah harian pria lebih mahal daripada wanita, karena tenaga wanita biasanya hanya dihitung sama dengan 0,8 tenaga kerja setara pria (TKSP). Besarnya upah harian tenaga kerja laki-laki di Ciamis dan Tasikmalaya adalah Rp 35.000/hari dan upah tenaga kerja wanita Rp 25.000/ hari. Banyaknya tenaga upah harian yang digunakan sangat bergantung jenis pekerjaan dan luas lahan yang ditangani. Pekerjaan yang cukup berat, seperti mengolah tanah,membuat bedengan, mengangkut sarana produksi dan hasil produksi, menyemprot, dan menyiram lebih dominan dikerjakan oleh pria, sedangkan wanita lebih dominan untuk pekerjaan yang lebih ringan, seperti memupuk, menyulam, menyiang, dan memanen. Untuk satu siklus musim tanam cabai merah membutuhkan 947 HOK (Hari Orang Kerja). Jumlah HOK untuk satu musim tanam cabai merah disajikan pada Tabel 3.2.



23



BAB III – Aspek teknis produksi



Tabel 3.2.Kebutuhan Tenaga Kerja Usaha tani Cabai Merah per Hektar



3.5. Teknologi Teknologi yang diterapkan dalam usaha budidaya cabai merah didasarkan pada pengalaman yang telah dimiliki oleh petani atau pengusaha. Rata-rata petani memiliki pengalaman budidaya cabai merah selama lebih dari 5 tahun. Namun, petani/pengusaha senantiasa memperbarui wawasannya dengan mengikuti penyuluhan, pelatihan teknis, dan manajemen. Usaha budidaya cabai merah masih menerapkan teknologi sederhana dan pengetahuan lokal yang ditunjang dengan ketelitian dan pengelolaan yang baik. Teknologi budidaya yang diterapkan pada skala usaha mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan dilakukan secara manual. Misalnya untuk pengolahan tanah menggunakan cangkul dan garpu, penyemprotan menggunakan sprayer punggung (knapsack). Secara umum, usaha budidaya cabai merah menerapkan sistem intensifikasi dengan mengacu pada teknik budidaya yang baik dan benar sesuai Standar POS budidaya cabai. 24



BAB III – Aspek teknis produksi



3.6. Proses Produksi Usaha budidaya cabai merah secara umum mengikuti POS budidaya cabai merah. Penerapan POS yang baik dan benar diharapkan dapat mengurangi kehilangan hasil yang masih besar, pencapaian produktivitas yang maksimal serta kualitas cabai merah yang sesuai standar lebih dari 90%. Meskipun demikian, teknologi yang terbaru dapat diterapkan untuk lebih meningkatkan nilai tambah dan pendapatan usaha. Tahapan proses produksi dalam budidaya cabai merah sesuai dengan POS adalah sebagai berikut: 1) Pemilihan Lokasi, 2) Penentuan Waktu Tanam, 3) Persiapan Lahan, 4) Persemaian, 5) Penanaman, 6) Pemeliharaan, 7) Panen dan Pengelolaan POS merupakan acuan dalam pelaksanaan kegiatan produksi cabai merah yang memuat alur proses budidaya dari on-farm sampai penanganan pasca panen, sesuai dengan norma budidaya yang baik dan benar (Good Agriculture Practices/GAP). 1) Pemilihan lokasi Seperti penjelasan sebelumnya, pemilihan lokasi usaha budidaya cabai merah dipengaruhi oleh kesesuaian lokasi terhadap persyaratan tumbuh tanaman cabai merah. Secara ringkas terdapat tiga (3) hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi, yaitu: (1) lahan yang digunakan bukan bekas tanaman sejenis atau sefamili sehingga memungkinkan 2-3 kali musim tanam per tahun, terbuka (tidak ternaungi) sehingga matahari dapat langsung menyinari tanaman serta dekat dengan mata air; (2) lahan memiliki ketinggian tempat tumbuh < 1.200 m dpl, kemiringan lahan anjuran < 30 derajat, suhu udara optimal untuk pertumbuhan cabai pada siang hari adalah 18o - 27oC dengan curah hujan berkisar antara 600 – 1.250 mm/tahun dan tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% ; serta (3) lahan bukan sumber penyakit tular tanah. 2) Penentuan waktu tanam Cabai tidak mengenal musim, namun penanaman di musim hujan lebih beresiko dibanding musim kemarau karena cabai tidak tahan terhadap hujan lebat yang terus menerus.Genangan air bisa menyebabkan penyakit akar dan kerontokan daun. Kelembaban udara tinggi menyebabkan tanaman rentan terserang penyakit. Pada saat awal pertumbuhannya tanaman cabai butuh banyak air. Jika penanaman dilakukan di sawah, sebaiknya waktu penanaman cabai pada akhir musim hujan. Penanaman cabai di lahan tegalan akan lebih baik 25



BAB III – Aspek teknis produksi



jika dilakukan pada akhir musim kemarau. Hal ini disebabkan pada kondisi yang demikian situasi dalam tanah cukup memenuhi syarat kelembabannya atau kandungan airnya cukup. Di tanah sawah, kandungan airnya tidak kelewat banyak, sehingga bisa meminimalkan tanaman cabai dari serangan cendawan yang menyerang akar. Di tanah tegalan, siraman air hujan sudah cukup memenuhi kebutuhan tanaman cabai. Secara umum tanaman cabai merah dapat ditanam 2 kali dalam satu tahun. Setelah panen terakhir dimusim tanam pertama, lahan bekas tanaman cabai tersebut dapat ditanami dengan sayuran berumur pendek seperti timun, bawang daun, dan caisin. Pemilihan tanaman penyelang tersebut tergantung lokasi, iklim, situasi pasar dan perkiraan waktu tanam cabai yang kedua. Tanaman penyelang tersebut ditanam tanpa ada biaya olah tanah dan pupuk. Setelah tanaman penyelang tersebut selesai dipanen maka dapat segera dilakukan persiapan lahan untuk musim tanam cabai yang kedua. Sebagian petani ada juga yang membiarkan tanahnya beberapa minggu (diberakan) sebelum masuk musim tanam kedua. Setelah panen terakhir di musim tanam kedua maka lahan tersebut harus ditanami komoditas lain yang berkerabat jauh dengan cabai. Petani dianjurkan mencari lokasi lain untuk menanam cabai guna menghindari serangan hama dan penyakit. Petani bisa kembali menanam di lahan awal setelah satu tahun kemudian. Pada saat itu diharapkan siklus hama dan penyakit cabai telah terputus. Jika penanaman cabai akan dilakukan pada lahan seluas satu hektar, sangat disarankan waktu penanaman tidak dilakukan secara serempak. Sebaiknya areal tersebut di bagi menjadi 2 atau 4 bagian dengan selisih waktu tanam antara areal satu dengan lainnya 1-2 minggu. 3) Persiapan lahan Penyiapan lahan terpilih diawali dengan pembersihan lahan dari batu-batuan, gulma, semak belukar yang dapat menghalangi pertumbuhan tanaman muda. Kotoran dan sisa-sisa bahan yang telah dibersihkan ditampung pada tempat yang aman atau dapat dikubur dalam tanah. Selain itu, dibuang tanaman atau bagian tanaman lain yang dapat menjadi sumber penyakit.



26



BAB III – Aspek teknis produksi



Gambar 3.1. Persiapan Lahan



Lahan penanaman seluruhnya harus dibajakan/dicangkul/digarpu. Pengapuran disesuaikan dengan pH tanah, pemberian kapur ditebar di lahan secara merata dengan dosis standar 2 ton/ha. Pekerjaan ini dilakukan 30 hari sebelum tanam (H-30). Pada H-23 dilakukan pebuatan bedengan berukuran 110 cm x12 m atau 120 cm x12 m (sesuai kontur). Tinggi bedengan 40 - 60 cm dengan jarak antar bedengan 70 cm. Di sekeliling lahan dibuat saluran drainase dengan kedalaman 70 cm. Pemberian pupuk kandang sebanyak 30 ton/ha dilakukan dengan cara diaduk rata dan ditebarkan dalam bedengan sedalam mata cangkul. Pupuk kandang yang diaplikasikan harus sudah matang dan diperkaya dengan agen hayati seperti Tricoderma sp dan Glicodium sp. Tanaman cabai pada dasarnya bisa ditanam pada berbagai jenis tanah asal tanahnya sudah diolah terlebih dahulu agar menjadi gembur dan layak untuk ditanami sebab kalau tidak begitu maka pertumbuhan akar dan perkembangan tanaman akan terganggu. Penggunaan bedengan dalam budidaya cabai adalah salah satu cara yang tepat untuk membantu pertumbuhan akar agar mampu menyokong perkembangan tanaman cabai menjadi lebih maksimal. Selain itu, penggunaan bedengan dalam budidaya tanaman cabai dapat membantu akar tanaman tidak tergenang air dan menurut beberapa ahli penggunaan bedengan 27



BAB III – Aspek teknis produksi



dalam budidaya tanaman mampu meningkatkan hasil produksi tanaman cabai. Keuntungan lain dari penggunaan bedengan dalam budidaya cabai ini antara lain mempermudah perawatan, memaksimalkan dan mengefisiensikan penyerapan pupuk yang diberikan pada tanaman, meminimalisir persaingan tanaman cabai dengan gulma dalam mendapatkan unsur hara. Pada H-15 dilakukan penanaman tanaman perangkap (jagung) untuk daerah endemik virus. Jarak tanam yang digunakan 3 baris x 30 cm dengan 2 benih per lubang. Penanaman dilakukan pada lokasi yang tidak mengganggu tanaman cabai. Penaburan pupuk dasar SP-36 dengan dosis 1.000 kg/ha dilakukan pada pada H-9. Pupuk ditebar di atas guludan. Pemberian pupuk dasar kimia dengan waktu pengapuran harus berjarak 3 minggu. Pada 7 hari sebelum tanam (H-7) dilakukan pemasangan mulsa plastik hitam perak, yang diikuti dengan pembuatan lubang tanam dan pemasangan ajir dengan jarak tanam 60 cm x 60 cm (musim kemarau) atau 60 cm x 70 cm (musim hujan). Lubang dibuat dari kaleng susu atau plat besi pemanas berbentuk tabung dengan diameter 10 cm dan tinggi 20 cm dengan menggunakan tali rafia yang telah diberi tanda sesuai dengan jarak tanam dalam barisan. Sistem tanam yang digunakan segi tiga (zig-zag) atau segi empat. Populasi tanaman efektif sekitar 17.500 batang/ha. Penggunaan mulsa mutlak diperlukan apalagi jika kita melakukan budidaya cabai pada musim hujan. Salah satu keuntungan pemakain mulsa plastik ini adalah bisa menekan serangan hama dan penyakit. Keuntungan ini muncul karena warna perak akan memantulkan sinar ultra violet ke permukaan bawah daun yang banyak dihuni oleh hama aphid, thrips, tungau, ulat dan cendawan. Keuntungan lain dari penggunaan mulsa ini adalah: mengurangi penguapan air dan pupuk oleh sinar matahari sehingga mampu menekan biaya pemupukan, penyiraman bahkan penyiangan gulma, mencegah erosi bedengan pada musim hujan, menjaga kelembaban, suhu dan kegemburan tanah; mengoptimalkan sinar matahari untuk fotosintesis dengan pantulan sinar matahari dari lapisan warna perak pada mulsa; menekan pertumbuhan gulma; membantu merangsang pertumbuhan akar tanaman akibat suhu hangat dalam bedengan; mencegah hilangnya pupuk akibat siraman air hujan dan mencegah kelebihan air pada media tanam. Sehari sebelum tanam (H-1) dilakukan pengairan (leb) dan penugalan lubang tanam. Pada daerah endemik Phytopthora sp. dan Fusarium sp. dilakukan pemberian agen hayati pada lubang tanam. Agen hayati yang digunakan adalah Tricoderma sp. misal Trico-G sebanyak 1,2 g/lubang dan atau bakteri pemacu pertumbuhan (PGPR). 28



BAB III – Aspek teknis produksi



4) Persemaian Pada H-30 dilakukan pembuatan bedeng persemaian, persiapan polibag, membuat media semai yang terdiri dari tanah gembur, kompos, dan NPK 16:16:16 dengan perbandingan (4:1:1) di tambah Tricoderma sp. dan Furadan (bahan aktif karbofuran). Semua bahan tersebut diaduk rata dan dimasukkan ke polibag ukuran 6 x 8 atau 8 x 10 cm. Pengisian media semai sampai 90% dari volume polibag, lahan, luas pembibitan 0,5% dari luas areal tanam. Pada H-25 dilakukan perendaman benih cabai. Benih cabai merah direndam dalam air dingin atau air hangat atau dalam larutan fungisida sistemik selama 12 jam. Benih yang mengambang dalam perendaman segera dibuang. Benih tersebut kemudian diperam 3-5 hari. Pada H-21, setelah benih cabai keluar calon akar, dilakukan pemindahan ke media menggunakan lidi atau pinset. Kedalaman penyemaian 0,5 cm dan ditutup tanah. Bibit dimasukkan ke dalam sungkup plastik, dilakukan penyiraman setiap pagi dan sore dengan gembor halus. Umur bibit cabai 10 hari sungkup plastik dibuka penuh. Pada H-5 dilakukan pemberian pupuk daun dengan konsentrasi 1 g/l. Pupuk daun tersebut untuk mempercepat pertumbuhan bibit. Pada H-1 bibit cabai yang akan ditanam disemprot dengan Previcur N dengan konsentrasi 2,5 cc/l dan Agrept/Bactocyn/Plantomicyn 1,2 g/l. Penyemprotan berfungsi mencegah serangan penyakit pada bibit. 5) Penanaman Pada hari H (H+0), setelah bibit cabai muncul 4-5 daun, dilakukan seleksi bibit. Bibit yang ditanam adalah yang sehat, normal, dan berukuran seragam. Bibit yang sudah diseleksi segera dibawa ke lahan dengan menggunakan nampan/ wadah dan diletakkan di lubang tanam pada setiap bedengan. Sebelum polibag disobek, dilakukan pemadatan media semai dengan cara dikepal. Hal ini bertujuan agar tanah tidak pecah dan akar tidak putus. Jangan sampai ada rongga antara mulsa dengan tanah di lubang tanam. Penanaman bibit sebaiknya dilakukan pada sore hari, kedalaman penanaman bibit setinggi ukuran polibag. 6) Pemeliharaan Pada H+1 hingga H+7 dilakukan penyulaman. Penyulaman dilakukan terhadap tanaman yang mati atau tidak tumbuh normal. Setelah itu dilakukan pemasangan ajir bambu berukuran panjang 120 cm. Pemasangan ajir jangan terlalu dekat perakaran karena bisa merusak akar. Pada H+8 hingga H+14 dilakukan perompesan tunas air (rempelan). Perompesan sebaiknya dilakukan pada pagi hari di bawah jam 10.00. Pekerja 29



BAB III – Aspek teknis produksi



harus mencuci tangan sebelum perompesan dimulai. Interval perompesan tunas air tergantung pada kondisi tanaman. Pada H+10 hingga H+15 dilakukan pemberian pupuk susulan KNO3 Merah sebanyak 2 kg per 150 liter air (kebutuhan per hektar 16 kg). Dosis pengocoran 250 cc per tanaman, dikocor di lubang tanaman. Pada saat pemupukan diharapkan tidak kena langsung bagian tanaman. Jika dilakukan pemupukan kocor maka harus segera diikuti penyiramanan tanaman. Interval pemberian pupuk tergantung kondisi pertumbuhan tanaman, jika pertumbuhan tanaman sudah bagus maka waktu interval bisa diperpanjang. Jika masih ada tunas air yang tersisa atau tumbuh kembali, dilakukan perompesan lagi. Pada fase ini juga dilakukan pengikatan tanaman pada ajir dengan cara mengikat bagian batang di bawah batang utama tanaman dengan tali plastik pada batang ajir. Ikatan membentuk simpul 8, harus longgar, tidak mencekik tanaman. Tanaman cabai perlu ditopang pertumbuhannya agar kokoh dan mampu menopang tajuknya yang rimbun. Pemasangan ajir diusahakan sedini mungkin, maksimal satu bulan setelah tanam. Ajir biasa dipasang miring membentuk sudut 45o dengan batang tanaman cabai atau tegak lurus dengan batang tanaman. Beberapa fungsi dari ajir ini adalah: membantu tegaknya tanaman dari buahnya yang rimbun, tiupan angin, mengoptimalkan sinar matahari pada tanaman sehingga fotosintesis berlangsung maksimal, membantu penyebaran daun dan ranting supaya teratur sehingga mempermudah penyiangan dan pemupukan. Menurut Prajanata (2006) penanaman cabai dengan ajir dapat menaikkan produksi buah cabai sampai 48% dan dapat mengurangi serangan hama dan penyakit.



Gambar 3.2. Pengikatan Tanaman Cabai



30



BAB III – Aspek teknis produksi



Pada H+20 hingga H+25 dilakukan pengocoran dengan NPK (16;16:16) sebanyak 3 kg per 150 liter air (kebutuhan per hektar 25 kg). Dosis pengocoran sebanyak 250 cc per tanaman yang diberikan di lubang pupuk dengan jarak 20 cm dari tanaman. Pada saat tersebut juga dilakukan pemeliharaan rutin (penyiraman, penyiangan gulma, drainase, perompesan cabang air atau tunas samping. Dilakukan juga sanitasi tanaman sakit dan penyemprotan rutin pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit. Pada H+25 sampai H+30 dilakukan penyemprotan Calcium (Ca) murni. Pemberian Ca dilakukan dengan cara penyemprotan secara merata dengan interval 1 minggu sekali (6-7 kali pemberian). Pada saat tersebut juga dilakukan pengamatan hama dan penyakit tanaman. Dilakukan juga pengamatan musuh alami dan inangnya serta melakukan konservasi terhadap keduanya. Pengendalian trips dilakukan dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif Imidakloprid dan Profenofos secara bergantian. Konsentrasi insektisida yang digunakan 1 – 2 ml/l air dengan volume semprot minimal 200 l/ha. Jika hama trips sudah parah bisa ditambah dengan insektisida dengan bahan aktif Kartap Hidroklorida. Jika tanaman terserang tungau maka tanaman dapat disemprot dengan Akarisida berbahan aktif Pridaben. Pengendalian penyakit bisa menggunakan fungisida dengan bahan aktif Propineb atau Mankozeb. Konsentrasi fungisida yang digunakan 1 – 2 gr/l air dengan volume semprot minimal 200 l/ha. Penyakit layu dicegah dengan pemberian Agrept atau Bactocyn sebanyak 1,2 gr/l ditambah Trico G 1,2 gr/l. Larutan dikocorkan pada lubang tanam sebanyak 250 cc (satu gelas aqua). Untuk menghemat biaya, biasanya penyemprotan insektisida dan fungisida dilakukan secara bersamaan. Sistem penyemprotan pestisida tersebut dikenal dengan istilah tank mixture. Pencampuran kedua jenis pestisida yang berbeda tersebut dapat dilakukan jika keduanya bersifat kompatibel. Pada H+35 hingga H+40 dilakukan pemupukan dengan cara tugal. Pupuk yang diberikan adalah SP-36+KCl+Boron (100 kg + 100 kg + 10 kg) yang dicampur merata. Jarak pemupukan sekitar 20 cm dari batang tanaman. Dilakukan juga penyemprotan Ca dan aplikasi agen hayati bakteri pemacu pertumbuhan (PGPR) dan pengamatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dilakukan pengendalian hama secara mekanis dengan memasang perangkap lampu (untuk ngengat/induk ulat), perangkap biru (untuk trips), perangkap pheromon (lalat buah). Perangkap sebaiknya diletakkan di luar kebun. Setelah hujan turun, sebaiknya dilakukan penyiraman tanaman untuk mengantisipasi sumber inokulum penyakit yang berada di tanah terciprat ke daun atau batang tanaman. Jika ada buah atau bagian tanaman yang terserang 31



BAB III – Aspek teknis produksi



penyakit harus diambil/dicabut.Jika ada tanaman yang mati pucuk maka segera dilakukan pemangkasan. Pada fase tersebut tanaman cabai masuk pada fase generatif.



Gambar 3.3. Tanaman Mulai Berbunga



Pada H+40 sampai H+45 dilakukan pemberian pupuk Multi KP (Kalium Phosfat) 20 gr/L (setara dengan 5 sendok makan/tangki). Kebutuhan pupuk Multi KP untuk sekali semprot atau sekali kocor adalah sebanyak 7 L. Aplikasi dilakukan 7-10 hari sekali sampai mulai panen. Pada umur tersebut juga diberikan Ca murni. Dilakukan juga pemberian Agrept atau Bactocyn sebanyak 1,2 gr/l ditambah Trico G 1,2 g/l. Aplikasi dilakukan dengan cara dikocorkan pada lubang tanam dengan dosis 250 cc/tanaman. Pada H+50 sampai H+55 dilakukan pemberian pupuk SP-36 + KCl + Boron (100 kg + 100 kg+ 10 kg) yang telah dicampur rata. Pemupukan dilakukan dengan cara ditugal dengan jarak 20 cm dari lubang tanam, selain itu juga dilakukan pemberian Ca murni dan Multi KP. Jika serangan trips masih belum teratasi maka bisa menggunakan insektisida berbahan aktif Abamektin bergantian dengan Imidakloprid. Untuk mengatasi lalat buah bisa memasang kapur barus/kamper di sekitar tanaman atau tanaman disemprot dengan insektisida berbahan aktif Dimetoat. 32



BAB III – Aspek teknis produksi



Pada umur H+60 sampai H+65 dilakukan pemberian Kalsium (Ca) murni dan Multi KP. Pada saat tersebut juga dilakukan pengambilan daun pada batang bawah yang terserang penyakit kemudian dibakar. Dilakukan juga penyiangan gulma di sekitar lubang tanaman dan selokan antar bedengan serta digunakan agen hayati (PGPR) pada saat tersebut. Pada tahap ini, karena tanaman sudah menghasilkan buah maka pengamatan terhadap kemungkinan serangan hama dan penyakit buah harus dilakukan dengan lebih intensif.



Gambar 3.4. Tanaman Cabai yang Sudah Berbuah



Bagian tanaman yang sakit atau terserang hama diambil dan dimusnahkan. Dilakukan juga penyemprotan pestisida secara rutin dengan interval 2-3 hari sekali dengan penambahan perekat jika kondisi hujan terus menerus. Umur H+68 sampai H+75 dilakukan pemupukan Multi KP sebanyak 20 g/l dan penyemprotan Ca murni. Daun pada batang bawah yang terserang penyakit diambil kemudian dibakar. Dilakukan juga penyiangan gulma di sekitar lubang tanaman dan selokan antar bedengan serta penggunaan agen hayati (PGPR). Pada umur tersebut bunga sudah menjadi buah. Pada saat H+76 sampai H+81 dilakukan pemupukan Multi KP sebanyak 20 gr/l. Pada saat tersebut juga dilakukan pengamatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan dilakukan pekerjaan sanitasi tanaman atau buah yang kena hama penyakit. 33



BAB III – Aspek teknis produksi



Pada H+84 sampai H+90 dilakukan pemupukan Multi KP sebanyak 20 g/l. Pada saat tersebut juga dilakukan pengamatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan dilakukan pekerjaan sanitasi tanaman atau buah yang kena hama penyakit. Pada umur tersebut, cabai sudah sudah siap untuk dipetik.



Gambar 3.5. Cabai Siap untuk Dipetik (sumber: kliniktaniorganik.com)



7) Panen dan pengelolaan pasca panen Pada saat H+91 hingga H+100 dilakukan pemanenan buah cabai yang pertama. Buah yang dipanen adalah yang sudah matang sempurna (warna merah) dan tidak belang. Cara pemetikan buah dilakukan dengan menarik tangkai ke atas. Buah yang rusak, misal terkena patek dipisahkan dengan buah yang bagus pada wadah yang berbeda.Interval pemanenan dilakukan 5-7 hari sekali, jika perawatan dilakukan dengan baik dapat mencapai 15-20 kali panen. Setelah pemanenan sebaiknya pada hari berikutnya disemprot dengan pestisida/agen hayati. 34



BAB III – Aspek teknis produksi



Gambar 3.6. Pemetikan Cabai (sumber:metrosiantar.com)



Kegiatan pasca panen untuk cabai keperluan industri tidak dilakukan oleh petani tapi dilaksanakan oleh pengumpul, misalnya Koja. Koperasi tersebut yang melakukan proses sortasi dan grading sehingga cabai yang memenuhi syarat dikirim ke industri (PT Heinz ABC) dan yang tidak memenuhi syarat di jual ke pasaran lokal. Cabai yang dikirim ke industri adalah cabai merah yang telah dipetik tangkainya. 3.7. Jumlah, Jenis, dan Mutu Produksi Dari setiap pengiriman, PT. Heinz ABC secara acak mengambil contoh dengan berat berkisar antara 15-25 kg dari setiap 12 ton kontainer (atau bagian darinya yang dikirimkan). Contoh-contoh yang diambil dari pengiriman cabai untuk menentukan kualitas cabai sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, dilakukan secara acak dengan suatu proses mekanik sehingga setiap contoh mewakili kontainer cabai dari manja contoh tersebut diambil. Persyaratan cabai yang dikehendaki oleh PT Heinz ABC harus memenuhi persyaratan berikut: 1) Deskripsi: Cabai besar merah adalah buah cabai berwarna merah memiliki kelopak dan tangkai berwarna hijau dan mempunyai rasa pedas, 2) Persyaratan Kemasan: Krat plastik bersih, utuh/tidak rusak, kapasitas 22-25 kg, 3) Persyaratan Transportasi: bak truk bersih, kering, tidak terkontaminasi bahan kimia/bahan bukan makanan, 35



BAB III – Aspek teknis produksi



4) 5) 6)



Kondisi Penyimpanan: Ruangan bersih, bebas: bau, panas, serangga dan hewan pengerat. Suhu 5 - 20 oC, Umur simpan: maksimum 48 jam suhu 5-20 oC, Persyaratan Fisika-kimia: Standar: Bersih, segar, warna merah cerah, bersih dari tangkai/kelopak, rasa pedas, tidak langu/pahit/sepat. Pedas masih terdeteksi pada pengenceran 400x. Diameter pangkal cabai maksimal 20mm. Bebas dari bahan/benda asing. Berbiji padat dan tidak hitam. Warna cabai Hunter Lab pada pengenceran 20% tercantum pada Tabel 3.3,



Tabel 3.3. Warna Hunter lab. Pengenceran 20%



7) Tidak Standar Cacat : Busuk dan pecah-pecah maksimal 10%; bolong/berulat maksimal 10% dan terkena patek maksimal 5%. Penyimpangan warna : Belang, hitam/kehijauan maksimal 4%; Orange, pemakaian campurtergantung hasil test warna. Ukuran : Ukuran terlalu besar maksimal 25%. Cabai terlalu besar, biji cenderung tidak padat. Visual kusam dan kisut maksimum 20%; masih berkelopak maksimum 15%, 8) Persyaratan lain: aman untuk dikonsumsi, 9) Persyaratan Pemerintah: sesuai dengan peraturan Departemen Kesehatan dan SNI, 10) Standar Penolakan: Cabai ditolak jika: a. Busuk, pecah-pecah dan bolong berulat > 10% b. Patek > 5% c. Warna belang hitam/hijau > 4% d. Warna orange dan tidak ada stok cabai merah untuk campuran e. Ukuran tidak memenuhi spesifikasi f. Aroma tidak normal g. Rasa langu/pahit/sepat 36



BAB III – Aspek teknis produksi







h. Pengenceran 400x tidak terdeteksi rasa pedas i. Jumlah cabai kusam/kisut/kelopak/masih ada tangkainya > spek maksimum



Adapun grading atau pengelompokan buah cabai menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) mencakup 3 kelas mutu yaitu mutu I, mutu II dan mutu III. Persyaratan masing-masing kelas mutu disajikan pada Tabel 3.4.



Tabel 3.4. Persyaratan Mutu Cabai Merah Segar



Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-4480-1998)



Berdasarkan persyaratan mutu di atas dalam usaha budidaya cabai merah biasanya diperoleh cabai merah yang bermutu baik (kualitas industri) sebesar 95%, sedangkan off-grade sekitar 5%. Oleh karena itu dengan produktivitas 15 ton/ha dapat dihasilkan cabai merah berkualitas sebanyak 13.300 kg dan offgrade sekitar 700 kg. 3.8. Produksi Optimum Jarak tanam cabai yang diterapkan biasanya menggunakan jarak tanam 60 cm x 70 cm. Secara teoritis, populasi tanaman cabai per hektar adalah 23.800 tanaman. Biasanya populasi efektif tanaman cabai di lapang adalah 17.500 tanaman/ha, sisa luas lahan digunakan untuk drainase, jalan kontrol, dan lain-lain. Dari populasi tersebut, jumlah tanaman cabai yang dapat tumbuh baik dan menghasilkan cabai yaitu sekitar 14.000 tanaman/ha atau 80% dari total tanaman. Dengan produktivitas rata-rata1 kg/tanaman maka hasil yang 37



BAB III – Aspek teknis produksi



dicapai adalah 14 ton/ha, dengan pengelompokan cabai yang berkualitas industri sekitar 95% (13.300 kg) dan sisanya masuk dalam katagori off grade (5%). Jika pemeliharaan dilakukan dengan baik dan tidak terjadi fluktuasi iklim yang ekstrim maka jumlah tanaman yang tumbuh dan menghasilkan dapat ditingkatkan. 3.9. Critical Point Dari pengamatan di lapang, yang menjadi critical point adalah serangan organisme pengganggu pada tanaman cabai merah. Pada fase vegetatif, serangan penyakit yang paling ditakuti oleh para petani adalah penyakit layu. Petani sering menamakan penyakit layu ini dengan istilah mati bujang. Akibat serangan penyakit layu ini maka tanaman cabai akan mati sebelum masa panen. Terdapat dua jenis penyakit layu yaitu layu fusarium dan layu bakteri. Ketika masa generatif, penyakit yang ditakuti oleh para petani adalah serangan patek (antraknosa) yang disebabkan oleh Collectrotichum gloeospoiroides. Penyakit ini menyerang buah cabai sehingga kualitas cabai akan rusak dan tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke industri. Demikian hebatnya serangan penyakit tersebut sehingga beberapa petani yang menerima kucuran kredit mengalami penurunan panen yang sangat signifikan sehingga mereka tidak mampu melunasi hutang dari bank. Salah satu solusi yang dilakukan oleh Bank adalah melakukan penjadwalan kembali terhadap pembayaran kredit tersebut. Menyadari tingginya kemungkinan serangan hama penyakit terhadap tanaman cabai maka sudah sepatutnya para petani cabai mengenali berbagai jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang ada sehingga dapat segera dilakukan tindakan pengendalian yang efektif. Tindakan pencegahan dan pengendalian yang efektif akan mampu menyelamatkan hasil secara signifikan. Beberapa langkah antisipasi untuk mengatasi critical point tersebut adalah: l l l l



Lokasi penanaman yang dipilih hendaknya bukan bekas lokasi serangan endemik patogen tersebut, Petani menerapkan rotasi tanaman secara disiplin, Pemilihan varietas cabai yang tahan terhadap serangan patogen, Penerapan manajemen Pengelolaan Hama secara Terpadu (PHT).



Secara umum serangan OPT terdiri atas serangan hama dan penyakit. Berikut ini adalah beberapa jenis hama dan penyakit penting yang menyerang tanaman cabai merah beserta teknik pengendaliannya (Dinas Pertanian D.I Yogyakarta, 2009): 38



BAB III – Aspek teknis produksi



Hama-hama penting pada cabai merah 1) Thrips (Thrips parvispinus Karny)



Gambar 3.7. Nimfa Thrips Dewasa



a. Gejala serangan : Hama ini merupakan vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Pada musim kemarau perkembangan hama sangat cepat, sehingga populasi lebih tinggi sedangkan pada musim penghujan populasinya akan berkurang karena banyak thrips yang mati akibat tercuci oleh air hujan. Hama ini menyerang tanaman dengan menghisap cairan permukaan bawah daun (terutama daun-daun muda). Serangan ditandai dengan adanya bercakbercak keperak-perakkan. Daun yang terserang berubah warna menjadi coklat perak, mengeriting atau keriput dan akhirnya kerdil. Pada serangan berat menyebabkan daun, tunas atau pucuk menggulung ke dalam dan muncul benjolan seperti tumor, pertumbuhan tanaman terhambat dan kerdil. b. Cara Pengendalian : (1) Menggunakan tanaman perangkap seperti kenikir kuning. (2) Sanitasi lingkungan dan pemotongan bagian tanaman yang terserang thrips. (3) Penggunaan perangkap likat warna kuning sebanyak 40 buah per ha atau 2 buah per 500 m2 yang dipasang sejak tanaman berumur 2 minggu. Dapat dibuat dari botol/pralon yang berwarna putih. Plastik diolesi dengan lem agar thrips yang tertarik menempel. Apabila botol / plastik sudah penuh dengan thrips maka plastik perlu diganti (2 minggu sekali). (4) Pemanfaatan musuh alami yang potensial untuk mengendalikan hama thrips, antara lain predator kumbang Coccinellidae, tungau, predator larva Chrysopidae, kepik Anthocoridae, dan patogen Entomophthora sp. 39



BAB III – Aspek teknis produksi



(5)



Pestisida digunakan apabila populasi hama atau kerusakan tanaman telah mencapai ambang pengendalian (serangan mencapai lebih atau sama dengan 15% per tanaman contoh) atau cara-cara pengendalian lainnya tidak dapat menekan populasi hama.



Lalat Buah (Bactrocera sp) a. Gejala serangan : Buah cabai yang terserang ditandai dengan adanya lubang titik hitam pada bagian pangkal buah, tempat serangga betina meletakkan telurnya. Telur-telur diletakkan pada buah yang agak tersembunyi dan terhindar dari cahaya matahari langsung. Jika buah cabai dibelah, di dalamnya terdapat larva lalat buah. 2)



Larva tersebut membuat saluran di dalam buah dengan memakan daging buah serta menghisap cairan buah menyebabkan terjadi infeksi oleh OPT lain sehingga buah menjadi busuk dan gugur sebelum larva berubah menjadi pupa. Serangan berat terjadi pada musim hujan disebabkan oleh bekas tusukan ovipositor serangga betina terkontaminasi oleh cendawan/penyakit sehingga buah yang terserang menjadi busuk dan jatuh ke tanah.



Gambar 3.8. Lalat Buah



b. Pengendalian: (1) Mengumpulkan buah yang terserang kemudian dimusnahkan dengan cara di bakar atau dibenamkan. (2) Pemanfaatan musuh alami antara lain parasitoid larva dan pupa (Biosteres 40



BAB III – Aspek teknis produksi



sp. Opius sp.), predator semut, Arachnidae (laba-laba), Staphylinidae (kumbang) dan Dermatera (Cecopet). (3) Pengendalian pasang sekperamon dan kombinasikan dengan pelikat kuning pada hamparan 40 buah per ha (4) Pengendalian secara kimiawi dilakukan apabila cara-cara pengendalian lainnya tidak dapat menekan populasi hama. Pestisida yang digunakan harus efektif, terdaftar dan sesuai anjuran.



Gambar 3.9. Perangkap Lalat Buah



3)



Kutu Kebul (Bemisia tabaci)



Gambar 3.10. Kutu Kebul



41



BAB III – Aspek teknis produksi



a. Gejala serangan : Gejala serangan pada daun berupa bercak nekrotik, disebabkan oleh rusaknya sel-sel dan jaringan daun akibat serangan nimfa dan serangga dewasa. Pada saat populasi tinggi, serangan kutu kebul dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Embun muda yang dikeluarkan oleh kutu kebul dapat menimbulkan serangan jamur jelaga yang berwarna hitam, menyerang berbagai bagian tanaman. b. Pengendalian : (1) Pemanfaatan musuh alami, seperti predator, parasitoid, dan patogen serangga. Predator yang diketahui efektif melawan kutu kebul, antara lain Menochilus sexmaculatus (mampu memangsa larva Bemisia Tabaci sebanyak 200-400 larva/hari), Coccinella Septempunctata, Scymus Syriacus, Chrysoperla Carnea, Scrangium Parcesetosum, Orius Albidipennis, dll. Parasitoid yang diketahui efektif menyerang B. tabaci adalah Encarcia Adrianae (15 spesies), E. Tricolor, Eretmocerus corni (4 spesies), sedangkan jenis patogen yang menyerang B. Tabaci, antara lain Bacillus thuringiensis, Paecilomyces farinorus, dan Eretmocerus. (2) Penggunaan perangkap likat kuning dapat dipadukan dengan pengendalian secara fisik/mekanik dan penggunaan insektisida secara selektif. Dengan cara tersebut populasi hama dapat ditekan dan kerusakan yang ditimbulkannya dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih cepat. (3) Sanitasi lingkungan. (4) Tumpangsari antara cabai dengan tagetes (nikir kuning). (5) Penggunaan pestisida selektif sebagai alternatif terakhir antara lain Permethrin, Amitraz, Fenoxycarb, Imidacloprid, Bifenthrin, Deltamethrin, Buprofezin, Endosulphan dan asefat. 4)



Uret Pada musim hujan muncul hama uret. Pengendalian dilakukan dengan lampu perangkap dan pestisida. Penyakit-Penyakit Penting pada Cabai Merah Pada umumnya penyakit yang sering menyerang tanaman cabai merah disebabkan oleh cendawan, terutama disebabkan oleh lahan yang selalu lembab sehingga memungkinkan cendawan berkembang dengan baik. Beberapa jenis penyakit penting yang menyerang tanaman cabai merah, antara lain : 1)



42



Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.sp)



BAB III – Aspek teknis produksi



Gambar 3.11. Serangan Layu Fusarium pada Cabai Merah



a. Gejala Serangan : Daun yang terserang mengalami kelayuan mulai dari bagian bawah, menguning dan menjalar ke atas ke ranting muda. Bila infeksi berkembang tanaman menjadi layu. Warna jaringan akar dan batang menjadi coklat. Tempat luka infeksi tertutup hifa putih seperti kapas. Bila serangan terjadi pada saat pertumbuhan tanaman maksimum, maka tanaman masih dapat menghasilkan buah. Namun, bila serangan sudah sampai pada batang, maka buah kecil akan gugur. b. Pengendalian: (1) Sanitasi dengan mencabut dan memusnahkan tanaman terserang. (2) Dianjurkan memnafaatkan agen antagonis Trichoderma spp. atau Gliocladium spp yang diaplikasikan bersamaan dengan pemupukan dasar dan pupuk susulan. 2)



Penyakit Layu Bakteri Ralstonia (Pseudomonas solanacearum)



a. Gejala Serangan : Pada tanaman tua, layu pertama biasanya terjadi pada daun yang terletak pada bagian bawah tanaman. Pada tanaman muda, gejala layu mulai tampak 43



BAB III – Aspek teknis produksi



pada daun bagian atas tanaman. Setelah beberapa hari, gejala layu diikuti oleh layu yang tiba-tiba dan seluruh daun tanaman menjadi layu permanen, sedangkan warna daun tetap hijau, kadang-kadang sedikit kekuningan. Jaringan vaskuler dari batang bagian bawah dan akar menjadi kecoklatan. Bila batang atau akar dipotong melintang dan dicelupkanke dalam air yang jernih, maka akan keluar cairan keruh koloni bakteri yang melayang dalam air menyerupai kepulan asap. Serangan pada buah menyebabkan warna buah menjadi kekuningan dan busuk. Infeksi terjadi melalui lentisel dan akan lebih cepat berkembang bila ada luka mekanis. Penyakit berkembang dengan cepat pada musim hujan.



Gambar 3.12. Layu Bakteri pada Cabai Merah



b. Pengendalian : (1) Kultur teknis dengan pergiliran tanaman, penggunaan benih sehat, dan sanitasi dengan mencabut dan memusnahkan tanaman sakit. (2) Dianjurkan memanfaatkan agen antagonis Trichoderma spp dan Glicladium spp. yang diaplikasikan bersamaan dengan pemupukan dasar. (3) Penggunaan bakterisida sesuai anjuran sebagai alternatif terakhir. 3)



Penyakit Busuk Buah Antraknosa (Collectrotichum gloeospoiroides) a. Gejala Serangan : Gejala awal adalah bercak kecil seperti tersiram air dengan bercak



44



BAB III – Aspek teknis produksi



berwarna coklat kehitaman pada permukaan buah yang terinfeksi kemudian menjadi busuk lunak. Ekspansi bercak yang maksimal membentuk lekukan dengan warna merah tua ke coklat muda, dengan berbagai bentuk konsentrik dari jaringan stromati cendawan/garis yang berwarna gelap. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang merupakan kelompok spora. Serangan yang berat meyebabkan seluruh buah keriput dan mengering. Warna kulit buah menjadi menyerupai jerami padi. b. Pengendalian : (1) Kultur teknis dengan pergiliran tanaman, penggunaan benih sehat dan sanitasi dengan memotong dan memusnahkan buah yang sakit. (2) Dianjurkan memanfaatkan agen antagonis Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. yang diaplikasikan bersamaan dengan pemupukan dasar. (3) Penggunaan fungisida sesuai anjuran sebagai alternatif terakhir. 4)



Penyakit Virus Kuning (Gemini Virus)



Gambar 3.13. Serangan Gemini Virus pada Tanaman Cabai



a. Gejala Serangan : Helai daun mengalami “vein clearing” dimulai dari daun pucuk berkembang menjadi warna kuning jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas. Infeksi lanjut dari gemini virus menyebabkan daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil, dan tidak berbuah. 45



BAB III – Aspek teknis produksi



b. Pengendalian : (1) Mengendalikan serangga vektor virus kuning yaitu kutu kebul (Bemisia tabaci). (2) Melakukan sanitasi lingkungan terutama tanaman inang seperti ciplukan, terong, gulma bunga kancing, dan wedusan. (3) Membuat benih/pesemaian dengan sungkup untuk membantu mengurangi berkembangnya penyakit. (4) Melakukan pemupukan tambahan untuk meningkatkan daya tahan tanaman agar tanaman tetap berproduksi walaupun terserang virus kuning. 5)



Penyakit Pucuk Kering (Choanophora cucurbitarum)



Gejala serangan cabang terserang layu dan akhirnya mengering daun dan buah ikut mengering. Pengendalian: sanitasi bagian yang terserang dengan memotong (cabang yang terserang) dan dibakar/musnahkan. Penggunaan fungisida yang efektif sesuai anjuran. n



46



BAB III – Aspek teknis produksi



47



BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



48



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



4.1. Aspek Pasar 4.1.1. Permintaan Penyediaan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang mencakup aspek produksi, ekspor, impor, dan stok. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan ini perlu dilakukan secara komprehensif dimulai sejak perencanaan produksi, perkiraan ketersediaan, dan kebutuhan pangan pokok yang dapat menjadi acuan untuk instansi terkait dalam menentukan target produksi, rencana penyaluran pangan, dan pemasukan bahan pangan pokok melalui distributor. Cabai merupakan salah satu komoditas yang sangat dicari masyarakat Indonesia dan ketersediaannya sangat bergejolak. Secara garis besar, permintaan cabai besar adalah untuk keperluan konsumsi rumah tangga, usaha rumah makan, dan pemenuhan bahan baku industri. Konsumsi cabai dalam bentuk tepung atau bubuk semakin meningkat dengan berubahnya selera masyarakat yang semakin menghendaki bentuk makanan siap hidang. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008-2012 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi cabai besar dari 15,486 ons/kapita pada tahun 2008 menjadi 16,529 ons/kapita di tahun 2012. Hal ini sejalan dengan jumlah penduduk Indonesia yang juga terus meningkat setiap tahunnya dan mencapai 255.587.718 jiwa pada tahun 2012 (Data KPU, 2012). Dengan denikian kebutuhan cabai merah secara nasional juga mengalami peningkatan. Menjelang Hari-Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) umumnya permintaan akan pangan meningkat, hal ini akan menyebabkan harga pangan meningkat pula bila ketersediaan pangan (penawaran) di pasaran rendah. Untuk menjaga kestabilan harga pangan pada saat hari-hari besar keagamaan diusahakan permintaan seimbang dengan penawaran. Secara total, pada Juli 2013 terdapat 15,4 ton cabai segar yang masuk ke dalam negeri atau senilai US$12 ribu. Impor dilakukan keseluruhan dari negara Vietnam (www.finance.detik.com). Dalam rencana impor cabai pada Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) mencapai 10 ribu ton cabai. Impor ini nantinya dipastikan tidak akan mengganggu petani cabai. Jumlah yang diimpor sesuai RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura), merupakan jumlah yang normal untuk memenuhi sedikit kekurangan atas kebutuhanakan produk hortikultura. Untuk keperluan industri, PT Heinz ABC membutuhkan pasokan cabai merah secara continue sebagai salah satu bahan dasar utama pembuatan saus dan sambal. Kebutuhan perusahaan tersebut akan komoditas ini sebanyak 100 ton per hari. Daerah pemasok utama berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 49



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



Indonesia adalah negara pengekspor cabai tapi juga sekaligus sebagai pengimpor komoditas tersebut. Pada tahun 2012, ekspor cabai asal Indonesia tercatat 9.986.222 kg dengan nilai US$24.979.292 (Tabel 4.1). Tujuan utama ekspor cabai Indonesia adalah Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Indonesia juga tercatat sebagai negara pengekspor benih cabai yang pada tahun 2012 mencapai US$24.112.285.



Tabel 4.1. Volume dan Nilai Ekspor Cabai Indonesia



Sumber: aplikasi.deptan.go.id



4.1.2. Penawaran Menurut data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, luas areal pertanaman cabai merah cenderung berfluktuasi. Selama tahun 2012, luas panen cabai merah besar adalah 120.275 ha, mengalami penurunan 1,38% dibanding tahun 2011 yang luas areal panennya mencapai 121.063 ha. Produksi cabai merah besar secara nasional pada tahun 2012 adalah 954.310 ton, meningkat sebanyak 7,36%, dibanding tahun tahun 2011 yang mencapai 888.852 ton. Luas areal panen untuk komoditas cabai merah secara nasional tercantum pada Lampiran 1. Pada tahun 2012 tercatat beberapa daerah sentra yang memasok cabai merah ke pasaran. Sentra penghasil cabai merah besar secara nasional adalah Jawa Barat (201.384 ton), Sumatera utara (197.409 ton), Jawa Tengah (130.127 ton), Jawa Timur (99.670 ton), Sumatera Barat (57.671 ton), Aceh (51.411 ton), dan Lampung (42.437 ton). Pasokan cabai dari 7 provinsi tersebut mencapai 81,7% dari produksi cabai merah secara nasional. Produksi cabai merah pada tahun 2008-2012 tercantum pada Lampiran 2. Selain pasokan dari sentra produksi di dalam negeri, dalam waktuwaktu tertentu Indonesia juga mengimpor komoditas ini dari negara lain. Pada tahun 2012, volume impor cabai mencapai 26.838.681 kg dengan nilai US$27.935.228 (Tabel 4.2). Secara netto, nilai impor cabai Indonesia lebih besar dari ekspornya. Impor cabai tersebut terutama berasal dari India, Japan, Korea, dan China. Selain itu, Indonesia juga mengimpor benih cabai pada tahun 2012 yang nilainya mencapai US$3.857.890. 50



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



Tabel 4.2. Volume dan Nilai Impor Cabai Indonesia



Sumber: http://aplikasi.deptan.go.id/eksim2012



Sekalipun ada kecenderungan peningkatan kebutuhan, tetapi permintaan terhadap cabai merah untuk kebutuhan sehari-hari dapat berfluktuasi, yang disebabkan karena tingkat harga yang terjadi di pasar eceran. Fluktuasi harga yang terjadi di pasar eceran, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi sisi permintaan juga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran. Dapat dijelaskan bahwa kadang-kadang keseimbangan harga terjadi pada kondisi jumlah yang ditawarkan relatif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang diminta. Hal inilah mengakibatkan harga akan sangat tinggi begitu juga sebaliknya sehingga harga sangat rendah. Dari sisi penawaran menunjukkan bahwa proses penyediaan (produksi dan distribusinya) cabai merah belum sepenuhnya dikuasai para petani. Faktor utama yang menjadi penyebab hal tersebut adalah bahwa petani cabai merah adalah petani kecil-kecil yang proses pengambilan keputusan produksinya diduga tidak ditangani dan ditunjang dengan suatu peramalan produksi dan harga yang baik. 4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha Sentra produksi cabai merah hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan proporsi utama ada di 7 provinsi. Data BPS dan Ditjen Hortikultura menyebutkan bahwa pada tahun 2012 total produksi cabai merah nasional adalah 954.310 ton. Jawa Barat merupakan penghasil cabai merah terbesar dengan produksi 201.384 ton (21,10%). Daerah lain yang juga dikenal sebagai sentra produksi cabai merah yaitu Sumatera Utara memproduksi sebanyak 197.409 ton (20,69%), Jawa Tengah memproduksi 130.127 ton (13,64%), Jawa Timur memproduksi 99.670 ton (10,44%), Sumatera Barat memproduksi 57.671 ton (6,04%), Aceh memproduksi 51.411 ton (5,39%), dan Lampung memproduksi 42.437 ton (4,45%). Komoditas cabai merah memiliki tingkat fluktuasi harga yang tinggi sehingga ketika pasokan cabai sedikit maka harga akan segera melambung tinggi jauh di atas harga normal. Kondisi sebaliknya juga terjadi, jika pasokan membanjiri pasar maka harga komoditas tersebut akan jatuh sangat jauh. 51



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



Untuk mengatasi hal ini maka beberapa kelompok yang tergabung dalam asosiasi cabai merah melakukan koordinasi dengan rekan-rekan sesama petani/ pengusaha cabai di kabupaten dan provinsi lain untuk berusaha bekerjasama menjaga stabilitas pasokan cabai. Dengan adanya kerjasama dan pertukaran informasi tersebut maka mereka berusaha menjaga agar harga cabai tidak melambung terlalu tinggi tapi juga jangan sampai jatuh terlalu rendah. Bagi petani yang bekerjasama dengan industri, stabilitas harga lebih terjaga karena adanya sistem kontrak yang disepakati. Meski demikian masih sering terdengar keluhan bahwa harga kontrak tersebut secara rata-rata masih berada di bawah harga pasar. Dalam menyiasati persaingan yang terjadi, biasanya para petani melakukan kiat-kiat tertentu baik secara individu maupun berkelompok. Sedapat mungkin mereka akan menekan biaya produksi, misal mengurangi penggunaan input pupuk dan pestisida sehingga mendapatkan margin keuntungan yang lebih besar. Pengurangan pestisida dapat menjadi peluang ke arah budidaya cabai secara organik. Biasanya harga cabai merah akan melonjak ketika mendekati hari besar keagamaan dan hari besar nasional (khususnya Idul Fitri dan Tahun Baru). Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh petani, dengan melihat fase pertumbuhan cabai maka mereka akan menghitung mundur jadwal tersebut sehingga jadwal panen jatuh pada bulan puasa atau mendekati natal dan tahun baru. 4.2. Aspek Pemasaran 4.2.1. Harga Kebutuhan akan cabai merah, diduga masih dapat ditingkatkan dengan pesat sejalan dengan kenaikan tingkat konsumsi per kapita, kenaikan pendapatan dan pertambahan jumlah penduduk. Sekalipun ada kecenderungan peningkatan kebutuhan, tetapi permintaan terhadap cabai merah untuk kebutuhan seharihari dapat berfluktuasi, yang disebabkan karena tingkat harga yang terjadi di pasar eceran. Fluktuasi harga yang terjadi di pasar eceran, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi sisi permintaan juga disebabkan oleh faktorfaktor yang mempengaruhi sisi penawaran. Dapat dijelaskan bahwa kadangkadang keseimbangan harga terjadi pada kondisi jumlah yang ditawarkan relatif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang diminta. Hal inilah yang mengakibatkan harga akan sangat tinggi demikian pula sebaliknya. Dari kegiatan pemasaran cabai di Jawa terutama yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah dapat di jumpai 4 pengendali harga (price leader) yang berperan, yakni : 52



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



1) 2) 3) 4)



Pasar Induk Kramat Jati sebagai pemasok cabai untuk wilayah Jabotabek dan sekitarnya. Harga cabai di Pasar Induk Kramat Jati dapat digunakan sebagai patokan harga cabai. Demikian pula pasar induk di kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta dan kota besar lainnya, Pedagang pengumpul yang terdekat dengan para produsen, Pedagang pengumpul yang mampu memasarkan lebih lanjut ke pasar yang terdekat dengan konsumen, Industri pengolahan cabai yang menetapkan harga beli cabai sebagai bahan baku kepada petani (misal PT. Heinz ABC).



Tren perkembangan harga cabai merah mulai bulan Januari 2010 - April 2013 (Minggu III), cenderung menurun 0,02% di kabupaten sentra produksi. Di beberapa kota besar di Indonesia, trend harga komoditas ini meningkat 0,25% Gambar 4.1.



Gambar 4.1. Perkembangan Harga cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten Sentra Produksi dan Kota Besar di Indonesia, April 2010 - April 2013



Harga rata-rata cabai pada bulan April 2013 dibandingkan dengan harga rata-rata cabai pada bulan Maret 2013 di kabupaten sentra produksi dan kota besar menurun masing-masing sebesar 10,50% dan 11,93%. Harga rata-rata cabai pada bulan April 2013 dibandingkan dengan April 2012 di kabupaten sentra produksi dan kota besar meningkat masing-masing sebesar 20,13% dan 16,69%. Harga rata-rata cabai pada Minggu III April 2013 dibandingkan dengan Minggu II April 2013 di kabupaten sentra produksi dan kota besar meningkat masing-masing sebesar 5,82% dan 3,48% (Tabel 4.3). 53



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



Di daerah Ciamis, pada periode tersebut harga cabai merah terendah di tingkat petani adalah Rp9.500/kg (April Minggu I 2013) dan tertinggi mencapai Rp13.250/kg (Maret Minggu II 2013). Harga cabai merah rata-rata di kabupaten ini pada bulan Maret 2013 adalah sebesar Rp12.050/kg dan di bulan April 2013 Rp11.433/kg. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa harga cabai merah tingkat petani di Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Maret - April 2013 berkisar Rp7.400/kg (Maret Minggu III 2013) hingga Rp12.000/kg (April Minggu III 2013). Harga cabai merah rata-rata di Tasikmalaya pada bulan Maret 2013 adalah Rp9.288/kg dan di bulan April 2013 Rp11.267/kg. Harga terendah di Ciamis dan Tasikmalaya tersebut ternyata masih lebih tinggi dari harga yang diterima petani jika penjualan dengan sistem kontrak. Harga beli dari PT. Heinz ABC di daerah Tasikmalaya dan Ciamis adalah Rp10.000/kg s.d. Rp11.000/kg, tapi yang diterima petani sebesar Rp7.000/kg s.d. Rp8.000/kg.



Tabel 4.3. Harga Cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten Sentra Produksi dan Kota Besar di Indonesia Maret-April 2013 (Rp)



Sumber: http://pphp.deptan.go.id



Harga tingkat konsumsi di Jakarta pada periode Maret-April tersebut berkisar Rp12.000/kg hingga Rp20.400/kg. Di Bandung, kisaran harga cabai merah pada periode yang sama berkisar Rp13.200/kg hingga Rp27.500/kg. 54



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



Periode bulan Agustus 2012, fluktusi harga cabai domestik dengan harga internasional terlihat pada Gambar 4.2. Gambar tersebut menunjukkan harga cabai domestik mengalami fluktuasi kenaikan lebih tajam dibandingkan harga internasional. Secara umum, harga cabai merah di internasional lebih rendah dari harga domestik.



Sumber: PDN Kemendag 2010 - 2012



Gambar 4.2. Perbandingan Harga Cabai Domestik dan Harga Internasional



4.2.2. Jalur Pemasaran Produk Rantai pemasaran cabai merah untuk keperluan industri (sistem kontrak) relatif sederhana. Dari pengamatan di lapang, petani bertanggungjawab hanya sampai kegiatan panen. Dalam pemanenan tersebut, dilakukan dengan cara petik tangkai. Hasil cabai merah yang sudah dipetik ini kemudian diangkut ke STA Koja. Koja inilah yang bertanggungjawab terhadap proses grading dan sortasi. Cabai yang memenuhi syarat yang telah ditentukan akan segera dikirim ke PT. Heinz ABC di Cikarang. Setelah sampai di lokasi, PT. Heinz ABC juga akan melakukan pemeriksaan kembali terhadap produk yang dikirim. Hanya produk yang memenuhi syarat saja yang akan dibayar. Seluruh persyaratan yang dikehendaki tercantum pada surat perjanjian jual-beli cabai yang ditandatangani oleh Direktur PT. Heinz ABC dan Ketua Koperasi (diantaranya Koja). 4.2.3. Kendala Pemasaran Dari sisi teknis pemasaran, sebenarnya tidak ada kendala yang berarti, karena secara teknis, dengan adanya kontrak jual beli cabai antara koperasi dengan industri maka sudah ada jaminan bahwa cabai yang dihasilkan akan terserap 55



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



oleh pasar. Meski demikian masih ada beberapa hal yang dirasakan menjadi kendala seperti : 1) 2) 3)



56



Lemahnya posisi tawar petani dalam penentuan harga cabai karena hampir sepenuhnya ditentukan oleh pihak industri. Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa harga cabai yang diterima petani (Rp7.000/ kg s.d. Rp8.000/kg). Secara umum harga tersebut masih lebih rendah dari harga di pasaran bebas. Solusi yang bisa dilakukan terkait lemahnya kemampuan tawar petani yaitu melibatkan instansi terkait (Dinas Pertanian) dan perbankan sebagai mediator pada saat penandatanganan kontrak harga minimal antara perusahaan cabai (PT. Heinz ABC) dengan pihak petani atau koperasi (Koja). Keluhan dari sebagian kecil petani yang merasa bahwa jika harga di pasar sedang turun, sortasi yang dilakukan oleh industri terasa lebih ketat sehingga relatif banyak cabai yang ditolak untuk dibeli (tidak masuk standar industri). Namun keluhan ini lebih bersifat subjektif sehingga perlu penelusuran lebih lanjut. Cabai-cabai yang ditolak oleh pabrik akan relatif sulit di jual di pasar bebas karena kondisi cabai tersebut sudah tidak memiliki tangkai lagi. Pada saat sortasi sedapat mungkin tenaga ahli yang mewakili pabrikan hadir di lokasi sehingga jika ada cabai yang tidak lolos sortasi, bisa dilakukan sedini mungkin sehingga cabai yang sampai di lokasi industri adalah cabai yang sudah lolos sortasi. Kendala selanjutnya yaitu iklim yang ekstrim yang dapat memacu serangan hama dan penyakit sehingga mengakibatkan produksi cabai yang dihasilkan jauh di bawah target yang diharapkan. Hal ini menyebabkan petani tidak dapat memenuhi kuota perjanjian pasokan cabai ke industri. Jika terjadi hal ini terjadi maka terpaksa dilakukan revisi dalam kontrak tersebut. n



BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



Halaman ini sengaja dikosongkan



57



BAB V ASPEK KEUANGAN



58



BAB V – ASPEK Keuangan



5.1. Pemilihan Pola Usaha Melihat sebaran sentra produksi cabai merah yang luas, usaha budidaya cabai merah berkembang sebagai unit bisnis yang prospektif, terlebih adanya permintaan pasar yang semakin meningkat. Oleh karena itu, budidaya cabai merah tidak saja menjadi tradisi masyarakat di sentra produksi tetapi sudah merupakan usaha yang berorientasi pada peningkatan pendapatan dan nilai tambah. Dalam upaya meningkatkan nilai tambah usaha budidaya cabai merah dan mengatasi permasalahan yang ada, maka ada beberapa pola usaha budidaya cabai merah yaitu usaha cabai merah konsumsi, cabai merah industri, penangkar benih hingga usaha lepas panen seperti pengolahan lanjut produk berbasis cabai merah. Dengan diversifikasi usaha tersebut, maka kegiatan usaha dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu usaha on-farm dan off-farm. Usaha yang tergolong dalam on-farm adalah budidaya cabai merah dengan produk cabai merah konsumsi, yaitu cabai merah yang digunakan sebagai sayuran, kemudian cabai merah produksi adalah cabai merah segar yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Usaha off-farm adalah seluruh kegiatan lain yang berhubungan dengan budidaya cabai merah. Dari sisi teknik budidaya, tidak ada perbedaan untuk memproduksi cabai merah sebagai bahan baku industri pangan dengan cabai untuk konsumsi, hanya penggunaan varietas cabai untuk bahan baku industri tidak boleh sembarangan tapi harus dikonsultasikan dulu dengan pabrik pengolah. Tidak semua jenis varietas cabai mau diterima oleh pabrik. Untuk itu, dalam pemilihan pola usaha ini digunakan kriteria minimal bahwa usaha tersebut bersifat ekonomis dan bankable. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan pola usaha adalah produktivitas yang optimal, baik dari segi jumlah dan mutu maupun kepastian harga jual dan pasar melalui pola kemitraan dengan industri pengolahan. Berdasarkan kriteria tersebut, pola usaha yang dilakukan adalah usaha budidaya cabai merah industri dengan kemitraan usaha. Skala usaha budidaya cabai merah sangat tergantung pada ketersediaan lahan, musim, ketersediaan bibit, serta fasilitas dan teknologi produksi yang diterapkan oleh petani/pengusaha yang umumnya berbasis pada pengalaman budidaya cabai merah sesuai POS (Prosedur Operasional Standar). 5.2. Asumsi dan Parameter Dalam Analisis Keuangan Dari pemilihan pola usaha di atas, ditetapkan asumsi dan parameter yang akan digunakan untuk analisis kelayakan usaha dari sisi keuangan. Asumsi dan parameter ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap usaha budidaya cabai 59



BAB V – ASPEK Keuangan



merah di sentra produksi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya serta informasi yang diperoleh dari pengusaha, pustaka, dan kajian komparasi dengan sentra produksi yang lainnya. Asumsi untuk analisis keuangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.1.



Tabel 5.1. Asumsi Dalam Analisis Keuangan



Diasumsikan bahwa musim tanam cabai merah dapat dilakukan 2 kali dalam satu tahun dengan catatan antara musim tanam pertama dan kedua dilakukan di lokasi berbeda. Populasi efektif yang digunakan adalah 17.500 tanaman/ha, dari populasi tersebut terdapat 14.000 atau 80% tanaman yang dapat tumbuh dan menghasilkan. Hasil rata-rata cabai merah sebanyak 1 kg/ tanaman. Harga cabai merah industri di tingkat petani adalah Rp 7.500/kg dan yang off grade Rp 2.000/kg. 60



BAB V – ASPEK Keuangan



Periode proyeksi dalam analisis ini selama 3 tahun dengan penyusunan aliran kas selama 12 bulan. Periode proyeksi tersebut tidak menggambarkan pola investasi, sebab siklus produknya yang singkat, yaitu 6 bulan dengan 2 musim tanam per tahun. Suku bunga yang berlaku diasumsikan 13% per tahun (Skim KUR). Asumsi proporsi modal investasi adalah 40% milik petani sendiri dan 60% kredit dari bank (walau dalam kenyataannya pada skim KUR, seluruh modal investasi berasal dari petani). Proporsi modal kerja juga diasumsikan 40% milik petani sendiri (equity) dan 60% dari kredit bank. Berdasarkan informasi lembaga pembiayaan di wilayah sentra produksi cabai merah, pinjaman sebagian besar digunakan untuk modal kerja dengan jangka waktu kredit diasumsikan 1 tahun. Pola pembayaran kredit dilakukan setiap selesai panen terakhir, yaitu 6 bulan per musim. 5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya Modal Kerja Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha budidaya cabai merah dibedakan menjadi dua yaitu biaya investasi dan dan biaya modal kerja. Biaya investasi adalah komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan peralatan dan mesin budidaya cabai merah. Adapun biaya modal kerja merupakan gabungan dari biaya tetap (yang diperhitungkan setiap musim tanam) dan biaya variabel. Biaya modal kerja atau biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk memulai usaha budidaya cabai merah industri akandipersiapkan pada awal pelaksanaan budidaya. 5.3.1. Biaya Investasi Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal usaha budidaya cabai merah per hektar berupa biaya untuk pengadaan peralatan dan mesin budidaya. Kebutuhannya tergantung pada skala usaha (luas lahan usaha) budidaya. Kebutuhan biaya investasi untuk usaha budidaya cabai merah per hektar adalah sebesar Rp9.200.000 dengan kondisi sesuai asumsi dengan nilai penyusutan alat dan mesin per tahun sebesar Rp2.230.000, seperti ditunjukkan pada Tabel 5.2



61



BAB V – ASPEK Keuangan



Tabel 5.2. Biaya Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar



5.3.2. Biaya Operasional Biaya modal kerja dalam usaha budidaya cabai merah industri, seperti dijelaskan sebelumnya terdiri dari biaya variabel (yang tergantung pada skala usaha atau luas lahan yang dikelola) dengan biaya tetap (yang sebagian tergantung pada skala usaha). Total biaya variabel yang digunakan sebagai biaya modal kerja usaha budidaya cabai merah industri sebesar Rp66.174.100 per musim tanam atau Rp132.348.200 per tahun dengan asumsi 2 kali musim tanam. Komposisi biaya variabel terbesar adalah untuk upah tenaga kerja yaitu sebesar Rp33.145.000 (50,09%). Besaran biaya variabel tersebut tercantum pada Tabel 5.3.



Tabel 5.3. Biaya Variabel Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar



Besarnya biaya tetap untuk budidaya cabai merah adalah Rp9.100.000 per musim tanam atau Rp18.200.000 per tahun. Komponen biaya tetap terbesar digunakan untuk sewa lahan yaitu sebesar 57,69%. 62



BAB V – ASPEK Keuangan



Tabel 5.4. Biaya Tetap Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar



5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja Biaya investasi yang diperlukan untuk budidaya cabai merah adalah Rp9.200.000. per hektarnya. Diasumsikan bahwa sebanyak 40% dana berasal dari modal sendiri (Rp3.680.000) dan 60% (Rp5.520.000) merupakan pinjaman dari Bank. Biaya modal kerja yang diperlukan untuk per hektar per musim adalah sebesar Rp75.274.100. Struktur kebutuhan dana untuk budidaya cabai merah tercantum pada Tabel 5.5.



Tabel 5.5. Struktur Kebutuhan Dana Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar



63



BAB V – ASPEK Keuangan



Kredit investasi ini berjangka waktu 1 tahun dengan pembayaran bunga setiap bulan dan pembayaran angsuran pokok mulai panen musim pertama (bulan ke-4 pada setiap musim tanam) dengan suku bunga 13% per tahun. Estimasi pengembalian pinjaman ditunjukkan pada Tabel 5.6. Total Angsuran pembayaran kredit investasi cabai merah adalah sebesar Rp6.237.600 untuk 2 kali musim tanam dengan sistem pembayaran dilakukan pada saat mulai panen (akhir bulan ke-4) atau bayar saat panen (yarnen).



Tabel 5.6. Angsuran Kredit Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar (Rp)



Catatan : Pembayaran angsuran pokok dan bunga dilakukan sejak bulan ke-4 s.d. ke-6 (mulai



panen) dari masa musim tanam



Dalam kegiatan usaha budidaya cabai merah diperlukan biaya modal kerja sebesar Rp75.274.100 untuk satu hektar. Dalam pelaksanaannya petani memperoleh pinjaman kredit untuk modal kerja untuk satu kali musim tanam dengan proporsi pinjaman 60% atau sebesar Rp45.164.460 dan sisanya menggunakan modal sendiri sebesar Rp30.109.640. Kredit tersebut menggunakan skim KUR dengan bunga 13% per tahun. Angsuran pokok dan bunganya dibayar pada saat panen dengan estimasi pengembalian seperti pada Tabel 5.7



64



BAB V – ASPEK Keuangan



Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar (Rp)



Dari tabel tersebut terlihat bahwa setiap musim panen maka petani akan membayar angsuran pokok dan bunganya sebesar Rp25.517.920 atau Rp51.035.840 untuk satu tahun (2 kali musim tanam). Angsuran kredit tersebut diprediksikan akan lunas pada akhir musim ke-2 pada tahun pertama, kemudian mendapatkan pinjaman kredit lagi untuk 2 musim tanam lagi dengan pelunasan pada akhir musim ke-4 di tahun kedua. 5.5. Produksi dan pendapatan Produksi budidaya cabai merah industri sesuai dengan asumsi produktivitas sebesar 1 kg/tanaman, dalam satu ha terdapat populasi eferktif 17.500 tanaman. Dari populasi tersebut, diasumsikan hanya 14.000 tanaman yang dapat tumbuh baik dan menghasilkan. Dengan demikian, produktivitas tanaman per ha adalah 14.000 kg, di mana 5% diantaranya off grade (700 kg). Dengan demikian, cabai yang layak masuk ke industri sebanyak 13.300 kg untuk setiap musim. Harga 65



BAB V – ASPEK Keuangan



cabai merah untuk industri di tingkat petani adalah Rp7.500/kg dan yang off grade Rp2.000/kg. Proyeksi produksi dan pendapatan budidaya cabai merah per hektar disajikan pada Tabel 5.8. Perkiraan pendapatan usaha per hektar untuk satu musim tanam sebesar Rp101.150.000 sehingga pendapatan usaha dalam satu tahun mencapai Rp202.300.000.



66



Tabel 5.8. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Budidaya Cabai Merah Per Hektar



BAB V – ASPEK Keuangan



67



BAB V – ASPEK Keuangan



5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point Keuntungan dari usaha budidaya cabai merah industri diproyeksikan pada setiap musim tanam di tahun pertama dapat menghasilkan laba bersih (setelah pajak) sebesar Rp18.246.449 atau dalam satu tahun mencapai Rp36.492.897. Dengan asumsi pada tahun tersebut seluruh produk terjual. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa adanya kepastian pasar, kesepakatan harga, dan semua produk yang dihasilkan dapat terjual. Dalam proyeksi ini juga diasumsikan bahwa selama masa proyeksi tidak terjadi perubahan produktivitas, sehingga Profit on Sales usaha mencapai 18,0% pada tahun pertama (Tabel 5.9). Disamping itu, terlihat gambaran yang jelas pencapaian titik impas (BEP) nilai penjualan usaha budidaya cabai pada setiap musim tanam di tahun pertama sebesar Rp 39.069.328 dan tahun berikut menjadi Rp38.031.681 untuk setiap musim tanam. Pencapaian BEP volume produksi untuk setiap musim tanam pada tahun pertama sebesar 5.926 kg dan pada musim tanam tahun berikutnya 5.768 kg dan 4.480 kg. 5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek Secara umum aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan cabai merah setiap panen selama musim tanam. Dalam usaha budidaya cabai merah industri setiap tahun dapat dilakukan 2 kali musim tanam dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesesuaian lahan. Idealnya lahan tidak dapat dilakukan penanaman secara terus-menerus untuk tanaman sejenis, sehingga perlu dilakukan rotasi tanam dengan tanaman lainnya, seperti timun, bawang daun dan caisin. Untuk analisis ini diasumsikan musim tanam per tahun 2 kali. Oleh karena itu, proyeksi arus kas disusun per tahun dengan 2 kali musim tanam dan analisis dilakukan per tahun. Proyeksi arus kas budidaya cabai merah industri per tahun selama 3 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.10. Evaluasi profitabilitas rencana investasi dilakukan dengan menilai kriteria investasi untuk mengukur kelayakan usaha budidaya cabai merah industri, yaitu meliputi NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C Ratio (Net Benefit-Cost Ratio). Usaha budidaya cabai merah skala usaha 1 hektar sesuai dengan asumsi yang ada menghasilkan NPV Rp32.027.167 pada tingkat bunga 13% dengan nilai IRR adalah 63,19% dan Net B/C Ratio 4,48 (Tabel 5.11). Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan bahwa usaha budidaya cabai merah per hektar selama masa proyeksi sudah layak untuk dilaksanakan dengan Pay Back Period (PBP) selama 2,04 tahun. 68



Provit on sales



Tabel 5.9. Proyeksi Laba-Rugi Budidaya Cabai Merah Per Hektar



BAB V – ASPEK Keuangan



69



BAB V – ASPEK Keuangan



Tabel 5.10. Proyeksi Arus Kas Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar



untuk



Discount Factor Present Value



Tabel 5.11. Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar



5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha Biaya produksi dan pendapatan secara umum dijadikan patokan dalam mengukur kelayakan usaha dalam suatu analisis kelayakan suatu proyek. Hal ini dikarenakan kedua hal tersebut merupakan komponen inti dalam suatu kegiatan usaha. Terlebih lagi bahwa komponen biaya produksi/variabel dan pendapatan juga didasarkan pada asumsi dan proyeksi sehingga memiliki tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Untuk mengurangi dan mengantisipasi resiko, diperlukan 70



BAB V – ASPEK Keuangan



analisis sensitivitas yang menguji tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan input maupun output. Dalam pola pembiayaan usaha budidaya cabai merah digunakan tiga skenario sensitivitas yang didasarkan pada perubahan harga produk yang menyebabkan penurunan pendapatan, kenaikan biaya variabel, dan kombinasi keduanya. 4) Skenario 1 : Pendapatan Turun Dalam struktur aliran kas, penurunan pendapatan bisa disebabkan oleh penurunan produksi maupun penurunan harga jual. Terjadinya penurunan pendapatan sebesar 6% menyebabkan usaha budidaya cabai merah masih dinilai layak diusahakan.



Tabel 5.12. Sensitivitas Pendapatan Turun



5) Skenario 2 : Biaya Variabel Naik Sensitivitas kenaikan biaya produksi terutama biaya variabel kemungkinan terjadi dengan melihat perkembangan ekonomi saat ini dengan perkembangan pasar bebas yang sulit dibendung. Sehingga memunculkan asumsi peningkatan biaya produksi/variabel sedangkan pendapatan dianggap tetap/konstan. Pada usaha budidaya cabai merah, komponen biaya variabel mencapai 88% total biaya operasional yang sebagian besar dialokasikan untuk pupuk dan tenaga kerja. Apabila terjadi peningkatan biaya variabel 10% maka usaha budidaya cabai merah juga layak dilakukan, tapi hampir mendekati titik impas (Net B/C hanya 1,08). Hal ini karena nilai NPV positif, IRR lebih besar dari suku bunga dan net B/C ratio lebih besar dari 1. Oleh karena itu, perubahan biaya produksi harus dipikirkan dengan baik agar usaha budidaya cabai merah walaupun pada seperti kondisi ini tidak mempengaruhi kelayakan usaha.



71



BAB V – ASPEK Keuangan



Tabel 5.13. Sensitivitas Peningkatan Biaya Variabel



6) Skenario 3 : Kombinasi Penurunan harga cabai merah dapat terjadi karena kenaikan biaya produksi seiring dengan peningkatan harga saprotan dapat juga terkombinasi dengan turunnya produk yang terjual ataupun turunnya nilai jual produk cabai merah. Sensivitivitas kombinasi tersebut memperlihatkan bahwa pada saat terjadinya kenaikan biaya variabel sebesar 4% dengan terjadinya penurunan pendapatan sebesar 4% maka usaha budidaya cabai merah masih dinilai layak.



Tabel 5.14. Sensitivitas Kombinasi



Dari ketiga skenario tersebut, meskipun harga pupuk dan upah tenaga kerja memiliki proporsi pengeluaran yang cukup besar, namun usaha budidaya cabai merah masih layak untuk dijalankan. Hal-hal yang perlu dicermati dalam usaha budidaya cabai merah ini adalah ketersediaan lahan dan musim yang dapat berakibat pada produktivitas. Apabila produktivitas mengalami penurunan maka dapat terjadi penurunan faktor kelayakan yang cukup signifikan. 5.9. Kendala Keuangan Kegiatan pemasaran dan teknologi produksi cabai merah dapat diatasi dengan melakukan pola kemitraan, namun usaha budidaya cabai merah tetap 72



BAB V – ASPEK Keuangan



memiliki kendala pembiayaan. Berbagai skim pembiayaan telah diterapkan dan diterima oleh petani/pengusaha budidaya cabai merah, tetapi usaha ini belum berkembang secara maksimal sehingga kurang menarik bagi lembaga keuangan untuk dibiayai. Adanya kebijakan penggunaan lahan yang terkendali dan ramah lingkungan semakin mempersempit kesempatan usaha budidaya cabai merah di daerah-daerah yang memiliki potensi yang besar, seperti di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Oleh karena itu, pembiayaan tidak saja diberikan untuk peningkatan produksi, tetapi juga diarahkan untuk penguatan pasar. Program pembiayaan yang ada saat ini lebih diarahkan untuk penguatan produksi dalam bentuk pembiayaan modal kerja, sementara untuk investasi usaha ini masih relatif belum berkembang. Jika dilihat per hektar, kebutuhan pembiayaan untuk investasi relatif kecil, namun pada skala usaha yang lebih luas, biaya investasi berpengaruh terhadap kelayakan usaha. Untuk itu, perbankan juga harus memberikan porsi yang cukup untuk pembiayaan investasi ini. Pola pembiayaan pemerintah belum mampu menguatkan daya jual produk cabai merah, karena pembiayaan untuk penguatan pasar tidak diberikan pada tingkat petani. Meskipun dalam beberapa program seperti PUAP dapat dialokasikan untuk penguatan pasar, namun belum optimal. Selain itu, dalam pola kemitraan yang ada saat ini, petani secara individu belum memiliki kekuatan untuk akses pembiayaan, karena tidak memiliki dokumen kontrak yang diperlukan oleh perbankan sebagai jaminan atas usaha yang dilakukan. Disinilah sebetulnya peran mitra industri sebagai avalis atau off-taker menjadi sangat vital dalam usaha budidaya cabai merah industri. Hingga saat ini mitra industri belum bersedia menjadi avails/penjamin dalam kaitannya peminjaman modal kerja ke bank, namun mitra ini hanya memberikan jaminan pasar bagi produk cabai merah yang dihasilkan oleh petani. n



73



BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN



74



BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN



6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial Usaha budidaya cabai merah pada awalnya merupakan mata pencaharian yang bersifat sub-sistence masyarakat di daerah dataran tinggi. Namun dengan potensi dan peluang yang ada, usaha ini mampu diarahkan sebagai unit bisnis usaha kecil. Usaha yang dikelola secara profesional dapat meningkatkan pendapatan dan kepastian pendapatan. Pengusaha dapat mengandalkan pendapatannya secara rutin dan menyisihkan hasilkan untuk kebutuhan pendidikan keluarga, kebutuhan sekunder dan tertier, misalnya untuk ibadah. Usaha budidaya cabai merah adalah suatu bentuk usaha yang bersifat padat modal dan padat karya. Bagi masyarakat sekitar, dampak ekonomi yang dirasakan dengan adanya usaha budidaya cabai merah ini adalah penyerapan tenaga kerja karena kebutuhan tenaga kerjanya cukup banyak. Dampaknya mampu mengurangi pengangguran di wilayah produksi dan tentu saja mengurangi urbanisasi ke perkotaan. Di sektor on farm, setiap hektar usaha budidaya cabai merah membutuhkan tenaga kerja sebanyak 947 HOK untuk satu siklus musim tanam. Selain itu, usaha budidaya komoditas ini juga memberikan lapang kerja untuk sektor penunjang, misalnya koperasi dan penyediaan sarana produksi. Di daerah sentra produksi, banyaknya petani yang menanam komoditas ini akan mampu berkontribusi secara signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah. Dengan demikian, keberadaan usaha budidaya cabai merah berperan positif dalam pembangunan ekonomi daerah. Para petani budidaya cabai merah umumnya bekerja dalam kelompok dan bergotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Sifat gotong royong tersebut tidak hanya mencakup urusan budidaya cabai tapi juga mencakup kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian keberadaan usaha ini memberikan dampak sosial yang positif kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk jangka panjang, pembentukan klaster cabai di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis dapat mendorong kedua daerah tersebut sebagai agropolitan dengan komoditas hortikultura, khususnya cabai merah sebagai andalan. Agropolitan merupakan kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan agribisnis yang melayani, mendorong dan memacu pembangunan pertanian kawasan dan wilayah-wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa sentra produksi pertanian dan didukung dengan berbagai infrastruktur yang mendukung kegiatan pertanian dan industri pengolahnya. Pengembangan kawasan agropolitan dirancang untuk 75



BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN



mendorong berkembangnya sistem dan usaha agrobisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi yang difasilitasi oleh pemerintah. Usaha ini juga dapat mensinergikan kebijakan pemerintah, pengabdian masyarakat lembaga pendidikan tinggi, pengembangan IPTEK serta kemitraan dengan dunia usaha lainnya. Dalam perkembangannya, kemitraan pemasaran tidak hanya melibatkan petani, lembaga penelitian, dan perusahaan pengolahan, tetapi juga mampu menarik pihak lain seperti lembaga pembiayaan dan pedagang saprodi untuk berpartisipasi dalam kemitraan. Dengan demikian, kemitraan pemasaran mampu memberikan dampak yang cukup besar bagi perputaran roda perekonomian masyarakat di pedesaan. Oleh karena itu, model ini patut didorong dan dijaga keberlanjutannya. 6.2. Dampak Lingkungan Kondisi wilayah Ciamis dan Tasikmalaya saat ini menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap lahan khususnya lahan pertanian. Lebih ekstrim lagi adalah tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hasil produksi tanaman cabai merah. Hal ini disebabkan hasil produksi tanaman cabai merah telah nyata-nyata membawa perubahan yang signifikan terhadap tingkat sosial ekonomi masyarakat. Perubahan ini ditunjukkan dengan semakin tingginya daya beli masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan primer, sekunder bahkan barang-barang yang bersifat pelengkap. Adanya peningkatan taraf hidup masyarakat menunjukkan bahwa hasil yang ada sekarang ini sangatlah bermanfaat bila ditinjau dari sudut pandang ekonomi. Peluang untuk meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikan pada level yang lebih baik sangatlah terbuka. Hal ini berarti dapat mendukung peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang indikator pencapaiannya adalah daya beli, derajat kesehatan, dan tingkat pendidikan masyarakat. Namun keberhasilan pembangunan tidak hanya pada peningkatan sumber daya manusianya tetapi juga pada pengelolaan sumber daya alam dan lingkungannya. Adanya keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan merupakan syarat mutlak yang harus dicapai dalam suatu program pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development program). Sehingga dapat dikatakan bahwa dari segi ketepatan, hasil yang dicapai di daerah Pangalengan saat ini memberi manfaat secara ekonomi dan sosial, namun bagi lingkungan cenderung memberi resiko yang tinggi bagi terjadinya kerusakan dan bencana alam. Secara visual nampak bahwa lahan yang diusahakan untuk budidaya cabai merah berada pada daerah dengan kemiringan lebih dari 10%. Pada 76



BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN



daerah yang relatif miring tersebut, usaha budidaya harus dilakukan secara hati-hati terutama dalam pengolahan tanah. Pembuatan terasering, bedengan, dan saluran drainase harus dikerjakan dengan benar agar tidak menyebabkan terjadinya erosi. Disamping itu, tanaman cabai merah adalah jenis tanaman hortikultura yang sangat intensif dalam penggunaan pestisida kimiawi, karena sifat tanamannya yang memang sangat rentan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman OPT. Sudah umum diketahui bahwa daerahdaerah penghasil komoditas hortikultura, seperti cabai merah di Indonesia menggunakan bahan kimiawi yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan permasalahan tingkat keamanan konsumsi komoditas tersebut mengingat ada residu yang ditinggalkan melalui penggunaan pestisida. Jika mengacu pada masalah keamanan pangan serta pertanian berkelanjutan, maka sebaiknya secara bertahap dilakukan perbaikan cara bertani menuju pertanian yang rendah penggunaan bahan kimia, walaupun mungkin tidak nol sama sekali. Berdasarkan konsepsi PHT, pestisida hanya digunakan kalau memang benar-benar diperlukan (sesuai dengan hasil pengamatan agroekosistem). Selain itu, penggunaannya harus berhati-hati dan sekecil mungkin gangguannya terhadap lingkungan. Secara umum, penggunaan pestisida harus mengikuti lima kaidah, yaitu: 1) Tepat sasaran 2) Tepat jenis 3) Tepat waktu 4) Tepat dosis/konsentrasi 5) Tepat cara penggunaan Pertanian organik saat ini sudah banyak dipraktekkan untuk tanaman pangan lain, misalnya beras, dan tampaknya permintaan pasar untuk produk jenis ini juga sudah sangat tinggi. Di sisi lain juga ternyata penghasilan petani bukannya menurun, tapi justru naik secara signifikan, maka mungkin dalam jangka menengah-panjang perlu dilakukan secara bertahap cara budidaya cabai merah ini di masa mendatang. Masih terdapatnya petani yang menerapkan sistem tanam cabai merah secara monokultur secara terus-menerus dapat membawa dampak yang serius yaitu kemungkinan terjadinya ledakan hama dan penyakit cabai seperti serangan layu dan antraknosa. Akibat yang lebih jauh lagi, serangan tersebut bisa menyebar tidak hanya menyerang tanaman cabai saja tapi juga dapat menyerang komoditas lain yang berkerabat dekat dengan cabai. Kondisi ini dapat diminimalkan antara lain dengan menerapkan sistem tanam tumpang sari antara cabai dengan komoditas lain yang relatif kompatibel, misalnya bawang daun. Selain itu, setelah siklus musim tanam cabai berakhir, segera 77



BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN



ditanam komoditas lain yang berumur pendek (kurang dari 40 hari) dengan memanfaatkan bedengan dan sisa hara dari tanaman cabai tersebut sehingga tidak ada biaya pengolahan tanah dan pemupukan bagi tanaman antar waktu tersebut. Beberapa komoditas yang dapat ditanam antara lain adalah timun, bawang daun dan caisin. Adanya perubahan cuaca yang ekstrim dalam satu tahun terakhir (tahun 2012-2013) sangat berpengaruh terhadap kesinambungan budidaya cabai merah di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Kondisi cuaca tersebut berakibat terhadap meningkatnya serangan OPT, khususnya serangan penyakit layu dan patek. Akibatnya produktivitas rata-rata cabai merah yang seharusnya mencapai 1 kg/tanaman menurun drastis hingga hanya mencapai 0,2-0,3 kg/tanaman. Akibat kondisi tersebut maka ditemui cukup banyak para petani cabai yang mengalami kesulitan dalam mengembalikan kredit sehingga perlu penjadwalan kembali. Mengantisipasi hal ini maka sangat diperlukan pemilihan benih cabai dari varietas yang mampu toleran terhadap kondisi cuaca yang ekstrim tersebut. Sangat diperlukan peranan lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk terus menghasilkan varietas cabai yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap kondisi cuaca ekstrim dan toleran terhadap serangan OPT. n



78



BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN



Halaman ini sengaja dikosongkan



79



BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN



80



Komoditi PAdi | Peningkatan BAB VII – Kesimpulan Akses Pemasaran dan saran



7.1. Kesimpulan Usaha budidaya cabai merah atau usaha tani cabai merah yang memiliki prospek dan peluang usaha yang tinggi dapat diarahkan sebagai unit bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan dan memberikan nilai tambah produk cabai merah. Dengan kajian pola pembiayaan usaha budidaya cabai merah ini, dapat disimpulkan beberapa poin penting, yaitu: 1. Usaha budidaya cabai merah industri dengan pola kemitraan usaha mampu menarik minat lembaga pembiayaan, baik perbankan maupun lembaga pembiayaan non-bank untuk memberikan bantuan modal usaha, terutama untuk pembiayaan modal kerja. Dalam pola tersebut, mitra usaha menyediakan bantuan dalam bentuk kredit bibit yang berkualitas dengan pembayaran pada saat panen. Selain itu, mitra membeli semua produk cabai merah yang dihasilkan dengan harga sesuai kesepakatan, sehingga bagi petani/pengusaha ada jaminan kepastian pasar dan harga. 2. Pemilihan lokasi dan penentuan musim tanam yang tepat pada budidaya cabai merah sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas cabai merah. Daerah yang selama ini dijadikan klaster Cabai di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis (Seperti Panumbangan, Sukamantri dan Cihaurbeut) merupakan lokasi yang sangat sesuai untuk usaha ini. Namun keterbatasan lahan perlu mendapatkan perhatian sebab usaha budidaya cabai merah pada lahan yang sama tidak dapat dilakukan penanaman secara continue, sehingga pengembangan usaha bisnis cabai merah ini juga selayaknya masih menganut pengembangan pertanian berkelanjutan. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya cabai merah selain lokasi, adalah penggunaan benih yang baik, sesuai yang dikehendaki industri dan bersertifikasi. 3. Pola usaha dalam budidaya cabai merah dapat bervariasi tergantung pada kondisi lahan, musim dan ketersediaan benih. Pola usaha budidaya cabai merah yang dapat dikembangkan diantaranya adalah usaha budidaya cabai merah industri dan cabai merah konsumsi. 4. Kebutuhan dana usaha budidaya cabai merah sangat tergantung pada ketersediaan lahan (luasan lahan) dan jenis cabai merah yang dibudidayakan. Total modal yang diperlukan untuk budidaya cabai merah industri per hektar per musim tanam di tahun pertama sebesar Rp84.474.100 yang terdiri dari biaya investasi sebesar Rp9.200.000 dan modal Kerja sebesar Rp75.274.100. Dana yang dibiayai dari kredit bank dengan proporsi 60% dengan Skim kredit yang diberikan berupa KUR pada tingkat bunga 13% per tahun dengan jangka pinjaman selama 1 tahun. Untuk usaha yang sudah berjalan biaya investasi yang diperlukan biasanya diperoleh dari modal sendiri. 81



BAB VII – Kesimpulan dan saran



5. Usaha budidaya cabai merah untuk industri per hektar sesuai dengan asumsi yang ada menghasilkan NPV Rp32.027.167 pada tingkat bunga 13% dengan nilai IRR adalah 63,19% dan Net B/C Ratio 4,48. Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan bahwa usaha budidaya cabai merah industri per hektar selama masa proyeksi sudah layak untuk dilaksanakan dengan Pay Back Period (PBP) selama 2,04 tahun. 6. Peningkatan biaya produksi sangat berpengaruh terhadap tingkat kelayakan usahanya. Komponen biaya variabel seperti upah tenaga kerja dan harga pupuk kandang memiliki proporsi pengeluaran yang besar. 7.2. Saran 1. Pola pembayaran pinjaman setiap musim panen dapat diterapkan di sentra produksi lainnya. 2. Untuk usaha yang baru perlu diperhitungkan jenis investasinya berdasarkan skala usaha dan jenis usahanya. 3. Diperlukan pembiayaan untuk pengembangan pemasaran cabai merah agar dapat membentuk sistem rantai pasok yang kuat dan petani/pengusaha memiliki kekuatan untuk membangun harga jual dengan sumber daya yang dimilikinya. 4. Petani/pengusaha juga harus berwawasan lingkungan dengan tetap memperhatikan kelestarian lahan dan penggunaan bahan kimia yang terkendali dan bertanggung jawab. 5. Perlu dilakukan penelitian yang intensif agar dapat dihasikan varietas cabai merah yang mampu beradaptasi terhadap kondisi cuaca yang ekstrim sehingga toleran terhadap serangan hama dan penyakit. n



82



BAB VII – Kesimpulan dan saran



Halaman ini sengaja dikosongkan



83



INFO UMKM



INFO INF UMKM PADA WEBSITE BANK INDONESIA FO UMKM M PADA  WEBSITTE BANK  INDONESIA  http://jktbiwfe/id/umkm/Default.aspx htttp://jktbiwffe/id/umkm m/Default.asspx 



INFFO UMKM M PADA WEBSITTE BANK INDONESIA    htttp://jktbiwffe/id/umkm m/Default.asspx 



pada website Bank Indonesia www.bi.go.id terdapat minisite Info UMKM yang   o.idterdapa Padaweb bsite Ba ank informasi Ind donesia www.bi.go atminisite Inffo simulasi UM MKM yang menyediakan terkait pengembangan UMKM, termasuk pola menyedia akaninforma an www.bi.go UMKM, ,termasuksim mulasipolap (lending Padaweb bsite asiterkaitpe Ba ank engembanga Ind donesia o.idterdapa atminisite Inffo embiayaan UM MKMyang pembiayaan (lending model) usaha kecil menengah sebagaimana dicantumkan model)usa aha kecil meenengahseb bagaimanad dicantumkan ndalambuku uini. menyedia akaninforma engembanga an UMKM, ,termasuksim mulasipolap embiayaan (lending dalam buku ini. asiterkaitpe model)usa aha kecil meenengahseb bagaimanad dicantumkanndalambukuuini.



meenu informa asi yang terssediapadaInfo I UMKM M Beberapa menuBeeberapa informasi yang tersedia pada Info UMKM



Info Beeberapa meenu informa asi yang terssediapadaInfo I UMKM M UMKKM TenttangLayananIIni > KoordinasidanKe erjasama



Info UMK KM



> Konssultasi Usaha



Tent tangLayananI ∨ Kela ayakan Usaha a Ini > KooKomoditiUng rdinasidanKe erjasama ggulan > Kons sultasi Usaha PolaPembia ayaan ∨ Kela ayakan Usaha a SistemPenun njangKeputu sanUntukInve estasi



KomoditiUng ggulan



PolaPembia ayaan > Dattabase Profil UMKM > Kre edit UMKM SistemPenunnjangKeputu



sanUntukInve estasi > Kisa ahSuksesPemb biayaan > Pennelitian >> Dat ta tabase KomoditiProfil Dat



UMKM



k Web UMKM M > Link Kre edit UMKM  



> Kisa ahSuksesPemb biayaan



84



> Pennelitian > Datta Komoditi



INFO UMKM



POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH    POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH PenelitianlengkapPOLA



PEMBIAYAAN



(LENDING



MODEL)



USAHA



KECIL



Penelitian POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) oleh Bank Indonesia dapatdiunduhpada Info USAHA UMKM:KECIL MENENGAHlengkap MENENGAH oleh Bank Indonesia dapat diunduh pada Info UMKM: http://www. http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx OLA PEMBIAYAAN ( LENDING  MODEL) USAHA KECIL MENENGAH  bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx (Menu: P Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)   (Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan). PenelitianlengkapPOLA



PEMBIAYAAN



(LENDING



MODEL)



USAHA



KECIL



Bank Indonesia dapatdiunduhpada Info UMKM: MENENGAHoleh SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI)  (Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)



Beberapa pola pembiayaan pembiayaan (lending kecil menengah tersebut Beberapa pola (lending model)model) usaha usaha kecil menengah tersebut dapat dapat disimulasikan secaradan interaktif dinamis dengan aplikasi SPKUIpada Info SPKUI UMKM:pada disimulasikansecara interaktif dinamisdan denganaplikasi Info UMKM: http://www.bi.go.id/spkui http://www.bi.go.id/spkui SISTEM  PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI)  (Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang (Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang Keputusan Keputusan Untuk Investasi)Untuk Investasi). Beberapa pola pembiayaan (lending model) usaha kecil menengah tersebut dapat disimulasikansecara interaktif dan dinamis denganaplikasiSPKUIpada Info UMKM: http://www.bi.go.id/spkui (Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang Keputusan Untuk Investasi)



ƒ



n Simulasi Simulasi SPKUI SPKUI dilakukan dengan mengakses menu yang tersedia secara bertahap, yaitusecara dilakukan dengansub mengakses sub menu yang tersedia



Home ƒ



bertahap, Komoditi  yaitu Sumber Dana  Asumsi  dengan BiayaInv  Simulasi SPKUI dilakukan mengaksesBiaya Ops  sub menu yang tersedia secaraR/L  bertahap,ArusKas  yaitu



Home 



Komoditi 



Asumsi 



BiayaInv 



Biaya Ops 



Sumber Dana 



R/L 



ArusKas 



Kelayakan 



Kelayakan 



ƒ



Setiap pengguna SPKUI dapat melakukan simulasi perhitungan analisis kelayakan n Setiap pengguna usaha/proyek dengan melakukan perubahan (editing) terhadap variabel/parameter yang melakukan simulasi perhitungan ƒ Setiap pengguna SPKUISPKUI dapat dapat melakukan simulasi perhitungan analisis kelayakan analisis terdapat pada Tabel Asumsi Usaha,perubahan Tabel Biaya Investasi Usahavariabel/parameter dan Tabel Biayayang Operasi usaha/proyek dengan melakukan (editing) terhadap kelayakan usaha/proyek dengan melakukan perubahan (editing) terhadap Usaha, untuk pada disesuaikan dengan dan kondisi daerah pengguna terdapat Tabel Asumsi Usaha,situasi Tabel Biaya Investasi Usaha dandimana Tabel Biaya Operasiakan variabel/parameter yang terdapat pada Tabel Asumsi Biaya melaksanakan usahanya. Usaha, untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dimana Usaha, pengguna Tabel akan



ƒ



Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam penentuan kelayakan ƒ Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi akan utama dalam penentuan kelayakan situasi dan kondisi daerah pengguna melaksanakan usahanya. suatu usaha dalam SPKUI, yaitu: dimana dalam SPKUI, yaitu: - suatu Net usaha Present Value (NPV), n Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam - Net Rate Present - Interest of Value Return(NPV), (IRR), - Interest Rate of Return (IRR), usaha dalam SPKUI, yaitu: penentuan kelayakan suatu - Net B/C, dan - Net B/C, dan - Net Present Value (NPV), - Payback Period (PBP). - Payback Period (PBP).



melaksanakan usahanya. Investasi Usaha dan Tabel Biaya Operasi Usaha, untuk disesuaikan dengan



- Interest Rate of Return (IRR), - Net B/C, dan - Payback Period (PBP).



85



DAFTAR PUSTAKA



86



Daftar Pustaka



Akhmad, S., 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian. Tegalan Diterbitkan oleh BABAD. Purwokerto. Jawa Tengah. Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jawa Barat No.3 9/08/32/Th.XV, 1 Agustus 2013. Cahyono, B. 2003. Teknik Budidaya Cabai Rawit dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2009. Standard Operating Procedure (SOP) Budidaya Cabai Merah Gunungkidul. Yogyakarta. Kahana, BP. 2009. Strategi Pengembangan Agribisnis Cabai Merah di Kawasan Agropolitan Kabupaten Magelang. Tesis Program Magister Agribisnis Universitas Diponegoro. Semarang. Prajnanta, F. 1999. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan ke 4. Penebar Swadaya. Jakarta. Saptana K., S. Indraningsih dan E. L Hastuti. Analisis Kelembagaan Kemitraan Usaha di Sentra Produksi Sayuran. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sunaryono H dan Rismunandar. (1981). Pengantar Pengetahuan Dasar Hortikultura. Bandung : CV Sinar Baru. Saragih, B. 2010. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. IPB Press. Bogor. 287 hal. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 850 hal. Setiadi. 1987. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 hal. Sunaryono, H H. 2003. Budidaya Cabai Merah. Sianar Baru Algensindo.Cetakan Ke V. Bandung. 46 h. Suryaningsih ER, Sutarya, Duriat AS. 1996. Penyakit tanaman cabai merah dan pengendaliannya. dalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 64-83.



87



Daftar Pustaka



Sumarni N. 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Di dalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 36-47. Suwandi N, Nurtika, Sahat S. 1989. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah. Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang.pp: 3.1-3.6. Syukur, M. R. Yunianti dan R. Dermawan. 2012. Sukses Panen Cabai Tiap Hari. Penebar Swadaya. Jakarta 148 hal. Trubus. 2003. Menguak Pasar Cabai Paprika. Trubus no. 399. Jakarta.



88



Daftar Pustaka



Halaman ini sengaja dikosongkan



89



Lampiran



90



Lampiran



Lampiran 1. Luas Panen Cabai Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012



91



Lampiran



Lampiran 2. Produksi Cabai Besar Menurut Provisi, 2008 - 2012 (Rp) Lampiran 2. Produksi Cabe Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012



92



Lampiran



Lampiran 3. Asumsi Untuk Analisis Keuangan



(off-grade) Off-grade (Flat)



93



Lampiran 4. Biaya Investasi



Lampiran



94



Lampiran



Lampiran 5. Biaya Operasional



Polybag



polybag



95



Lampiran



Lampiran 6. Sumber Dana



96



(Rp)



(Rp)



(Rp)



on grade off grade



on grade off grade



Lampiran 7. Proyeksi Produksi dan Pendapatan



Lampiran



97



Lampiran 8. Angsuran Kredit Investasi (Rp)



Lampiran



98



Lampiran



Lampiran 9. Angsuran Kredit Modal Kerja (Rp) Suku Bunga Periode



13% Kredit



Tahun 0 Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4 Bulan ke-5 Bulan ke-6 Akhir Musim Tanam ke-1 Bulan ke-7 Bulan ke-8 Bulan ke-9 Bulan ke-10 Bulan ke-11 Bulan ke-12 Akhir Musim Tanam ke-2 Total Tahun 1



45.164.460



Tahun 2 Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4 Bulan ke-5 Bulan ke-6 Akhir Musim Tanam ke-3 Bulan ke-7 Bulan ke-8 Bulan ke-9 Bulan ke-10 Bulan ke-11 Bulan ke-12 Akhir Musim Tanam ke-4 Total Tahun 2



45.164.460



Angsuran Tetap



Bunga



Total



Saldo Awal



Saldo Akhir



45.164.460



45.164.460



37.637.050 30.109.640 22.582.230



0 0 0 7.527.410 7.527.410 7.527.410



0 0 0 978.563 978.563 978.563



0 0 0 8.505.973 8.505.973 8.505.973



45.164.460 37.637.050 30.109.640



22.582.230



2.935.690



25.517.920



22.582.230



0 0 0 7.527.410 7.527.410 7.527.410



0 0 0 978.563 978.563 978.563



0 0 0 8.505.973 8.505.973 8.505.973



22.582.230 15.054.820 7.527.410 0



15.054.820 7.527.410 0



22.582.230



2.935.690



25.517.920



45.164.460



5.871.380



51.035.840 45.164.460



45.164.460



0 0 0 7.527.410 7.527.410 7.527.410



0 0 0 978.563 978.563 978.563



0 0 0 8.505.973 8.505.973 8.505.973



45.164.460 37.637.050 30.109.640



37.637.050 30.109.640 22.582.230



22.582.230



2.935.690



25.517.920



22.582.230



0 0 0 7.527.410 7.527.410 7.527.410



0 0 0 978.563 978.563 978.563



0 0 0 8.505.973 8.505.973 8.505.973



22.582.230 15.054.820 7.527.410 0



22.582.230



2.935.690



25.517.920



45.164.460



5.871.380



51.035.840



15.054.820 7.527.410 0



Catatan • Pembayaran angsuran (pokok dan bunga) dilakukan mulai bulan ke-4 dari setiap musim tanam (bayar panen). • Pada awal tahun ke-2 (musim tanam ke-3) memperoleh kembali pinjaman modal kerja untuk 1 musim tanam.



99



Profit on Sales



Lampiran 10. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp)



Lampiran



100



Discount Factor (13%) Present Value



untuk IRR



Lampiran 11. Proyeksi Arus Kas



Lampiran



101



102



Discount Factor (13%) Present Value



untuk IRR



untuk IRR



Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6%



Lampiran



Discount Factor (13%) Present Value



untuk IRR



untuk IRR



Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 7%



Lampiran



103



104



Discount Factor (13%) Present Value



untuk IRR



untuk IRR



Lampiran 14. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 10%



Lampiran



Discount Factor (13%) Present Value



untuk IRR



untuk IRR



Lampiran 15. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 11%



Lampiran



105



106



Discount Factor (13%) Present Value



untuk IRR



untuk IRR



Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 4% dan Biaya Variabel Naik 4%



Lampiran



Discount Factor (13%) Present Value



untuk IRR



untuk IRR



Lampiran 17. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 5% dan Biaya Variabel Naik 5%



Lampiran



107



Lampiran



Lampiran 18. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan 1 Menghitung Jumlah Angsuran. Angsuran kredit terdiri dari angsuran pokok ditambah dengan pembayaran bunga pada periode angsuran. Jumlah angsuran pokok tetap setiap bulannya. Periode angsuran (n) adalah selama 36 bulan untuk kredit investasi dan 12 bulan untuk kredit modal kerja.



Cicilan pokok Bunga Jumlah angsuran



= Jumlah Pinjaman dibagi periode angsuran (n). = i% x jumlah (sisa) pinjaman. = Cicilan Pokok + Bunga.



2. Menghitung Jumlah Penyusutan/Depresiasi dengan Metode Garis Lurus dengan Nilai Sisa 0 (nol). Penyusutan = Nilai Investasi /Umur Ekonomis. 3. Menghitung Net Present Value (NPV). NPV merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari biaya. Adapun rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut:



n NPV = ∑ t = 1











108



Bt – Ct (1 + i)t



Keterangan : Bt = Benefit atau manfaat (keuntungan) proyek yang diperoleh pada tahun ke-t. Ct = Biaya atau ongkos yang dikeluarkan dari adanya proyek pada tahun ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap merupakan modal atau dana rutin/operasional. i = Tingkat suku bunga atau merupakan social opportunity cost of capital. n = Umur Proyek. Untuk menginterpretasikan kelayakan suatu proyek, dapat dilihat dari hasil perhitungan NPV sebagai berikut: a. Apabila NPV > 0 berarti proyek layak untuk dilaksanakan secara finansial; b. Apabila NPV = nol, berarti proyek mengembalikan dananya persis sama besar dengan tingkat suku bunganya (Social Opportunity of Capital-nya). c. Apabila NPV < 0, berarti proyek tidak layak untuk dilanjutkan karena proyek tidak dapat menutupi social opportunity cost of capital yang digunakan.



Lampiran



4. Menghitung Internal Rate of Return (IRR). IRR merupakan nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan 0 (nol). IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dari suatu proyek, sepanjang setiap benefit bersih yang diperoleh secara otomatis ditanamkan kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan i yang sama dan diberi bunga selama sisa umur proyek. Cara perhitungan IRR dapat didekati dengan rumus dibawah ini: NPV1 IRR = i1 + (i2 – i1) X (NPV1 – NPV2) Keterangan : IRR = Nilai Internal Rate of Return, dinyatakan dalam %. NPV1 = Net Present Value pertama pada DF terkecil NPV2 = Net Present Value kedua pada DF terbesar i1 = Tingkat suku bunga /discount rate pertama. i2 = Tingkat suku bunga /discount rate kedua. Kelayakan suatu proyek dapat didekati dengan mempertimbangkan nilai IRR sebagai berikut: a. Apabila nilai IRR sama atau lebih besar dari nilai tingkat suku bunganya maka proyek tersebut layak untuk dikerjakan. b. Apabila nilai IRR lebih kecil atau kurang dari tingkat suku bunganya maka proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dikerjakan. 5. Menghitung Net B/C. Net benefit-cost ratio atau perbandingan manfaat dan biaya bersih suatu proyek adalah perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit bersih itu bersifat positif, sedangkan penyebut terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit itu bersifat negatif. Cara menghitung Net B/C dapat menggunakan rumus dibawah ini: NPV B-C Positif Net B/C = NPV B-C Negatif Keterangan : Net BC = Nilai benefit-cost ratio. NPV B-C Positif. = Net present value positif. NPV B-C Negatif. = Net present value negatif. 109



Lampiran







Hasil perhitungan Net B/C dapat diterjemahkan sebagai berikut: a. Apabila nilai Net B/C > 1, maka proyek layak dilaksanakan. b. Apabila nilai Net B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.



6. Menghitung Titik Impas (Break Even Point). Titik impas atau titik pulang pokok atau Break Even Point (BEP) adalah suatu keadaan dimana tingkat produksi atau besarnya pendapatan sama dengan besarnya pengeluaran pada suatu proyek, sehingga pada keadaan tersebut proyek tidak mendapatkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian. Terdapat beberapa rumus untuk menghitung titik impas yang dapat dipilih, namun dalam buku ini digunakan rumus pada huruf a, b dan c di bawah ini : a. Titik Impas (Rp.) = 1



b. Titik Impas (satuan) = c.



Biaya Tetap Total Biaya Variabel Hasil Penjualan



Titik Impas (Rp) Harga satuan Produk



Jika biaya variabel dan biaya tetap tidak dipisahkan maka pencarian titik impas dapat menggunakan prinsip total pendapatan = total pengeluaran. Total Pendapatan = Harga x Jumlah produk yang dihasilkan. Total Pengeluaran = Jumlah semua biaya yang diperlukan proyek. Jadi harga produk x jumlah produk yang dihasilkan = Total Pengeluaran.



d. Titik Impas (n)



Titik Impas (Rp.) = Hasil Penjualan (Rp.)



x Total Produksi.



7. Menghitung PBP (Pay Back Period atau Lama Pengembalian Modal) PBP digunakan untuk memperkirakan lama waktu yang dibutuhkan proyek untuk mengembalikan investasi dan modal kerja yang ditanam. Cara menterjemahkan PBP untuk menetapkan kelayakan suatu proyek adalah sebagai berikut: a. Apabila nilai PBP lebih pendek dari jangka waktu proyek yang ditetapkan maka suatu proyek dinyatakan layak. b. Apabila nilai PBP lebih lama dari jangka waktu proyek maka suatu proyek dinyatakan tidak layak. 110



Lampiran



8. Menghitung Discount Factor (DF). DF dapat didefinisikan sebagai: “Faktor yang dipergunakan untuk memperhitungkan nilai sekarang dari suatu jumlah yang diterima di masa dengan mempertimbangkan tingkat bunga yang berlaku atau disebut juga faktor nilai sekarang (present worth factors)” DF diperhitungkan apabila suatu proyek bersifat multi-period atau periode lebih dari satu kali. Dalam hal ini periode lazim diperhitungkan dengan semester atau tahun. Nilai dari DF berkisar dari 0 sampai dengan 1.



Cara memperhitungkan DF adalah dengan rumus sebagai berikut :



1 Rumus DF per tahun = , dimana (1+ r) n r = suku bunga n = tahun 0, 1, ……….. n ; sesuai dengan tahun proyek



111



Halaman ini sengaja dikosongkan



112



113



114