Pola Pendidikan Di Indonesia Orde Lama [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MAKALAH STUDI SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTUR



Pola & Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara Zaman Kemerdekaan dan Orde Lama



Dosen Pengampu :



Dr. Muh. Anang Firdaus S.Ag.,M.Fil.I



Disusun Oleh : Husaini (NIM : 161920181120005) Irsafitri Isnaini (NIM : 161920181120006)



KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) FM PAPUA PROGRAM PASCASARJANA 2018



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Revolusi Nasional meletus pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk proklamasi kemerdekaan. Dengan ini, tercapailah kemerdekaan yang diidam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Proklamasi mematahkan belenggu penjajahan dan menimbulkan hidup baru diberbagai bidang . terutama dalam bidang pendidikan dirasakan perluh mengubah system pendidikan yang sesuai dengan suasana baru. Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia , sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agam baru tersebut sudah barang tentu ingin mempelajari dan mengetahui lebih mendalami tentang ajaran-ajaran Islam. Ingin pandai shalat, berdo’a dan membaca al-qur’an yang menyebabkan timbulnya proses belajar meskipun dalam pengertian yang amat sederhana. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah , langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren . setelah itu baru timbul siistem madrasah yang teratur sebagaimana yang di kenal sekarang. Kendati demikian pendidikan Islam dimulai sejak pertama Islam itu sendiri menancapkan dirinya di kepulauan Nusantara, namun secara pasti tidak dapat diketahui sebagaimana cara pendidikan pada masa permulaan Islam di Indonesia, tentang buku yang dipakai , pengelola dan system pendidikan. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan yang terbatas. Yang dapat dipastikan pendidikan Islam waktu itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang sangat sederhana. B. Rumusan Masalah



2



Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan rumusan masalah yang akan menjadi subpembahasan dalam makalah ini sebagai berikut; 1. Bagaimana pola pendidikan Islam di Nusantara pada masa Kemerdekaan dan Orde Lama? 2. Bagaimana kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada masa kemerdekaan dan Orde Lama? 3. Bagaimana pengaruh dikotomi dalam dunia pendidikan islam di Indonesia? C. Tujuan Pembahasan Adapun yang menjadi tujuan dalam penyusunan makalah ini sebagai berikut; 1. Untuk mengetahui pola pendidikan Islam di Nusantara masa Kemerdekaan dan orde lama. 2. Untuk mengetahui kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada masa kemerdekaan dan Orde Lama. 3. Untuk mengetahui pengaruh dikotomi dalam dunia pendidikan islam di Indonesia.



BAB II PEMBAHASAN A. Pola Pendidikan Islam di Nusantara Pada Masa Awal Kemerdekaan dan Orde Lama Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia dipermukaan bumi, yang dimulai manusia pertama (Adam) memberikan warisan budaya kepada anak-anaknya sampai sekarang.1 1. Pola Pendidikan Islam di Nusantara Pada Masa Awal Kemerdekaan. Pendidikan agama islam memiliki orientasi pada pengembangan kepribadian sebagai warga muslim sekaligus warga negara Indonesia. Didalam permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi dinyatakan bahwa “pendidikan agama islam memfokuskan pada peningkatan potensi spiritual dan membantu peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia”. 2 Penyelenggaraan pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh badan pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 Desember 1945 menyebutkan bahwa: Madrasah dan pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.3 Sementara itu bila membicarakan organisasi dalam kegiatan pendidikan, sudah tentu tidak bisa terlepas dari membicarakan bentuk, 1 Asmaun Sahlan, Religiulitas Perguruan Tinggi: Potret Pengembangan Tradisi Keagamaan di Perguruan Tinggi Islam, (Malang: UIN–Maliki Press, 2012), hal. 22 2 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2009), hal. 141 3 H. A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Pengembangan Perguruan Agama, (Jakarta: CV Darmaga, 1980), hal. 71



3



4



system dan cita-cita bangsa Indonesia yang sekian lama. Dasar Negeri yang telah disepakati bersama saat mendirikan Negara adalah Pancasila, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang dijadikan pangkal tolak pengelolaan Negara dalam membangun Bangsa Indonesia.4 2. Pola Pendidikan Islam di Nusantara Pada Masa Orde Lama Pengembangan pendidikan agama islam pada masa orde lama oleh pemerintah saat itu diserahkan pada dua menteri yaitu menteri Depertemen Agama dan Menteri Depertemen pendidikan dan kebudayaan.5 Untuk pendidikan umum diserahkan pada depertemen pendidikan dan kebudayaan sedangkan untuk pendidikan Islam diserahkan kepada depertemen agama. Oleh karena masalah pendidikan diserahkan pada dua menteri yang berbeda maka sejak itulah sistem pendidikan di indonesia menjadi sistem dualisme pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Kedaan seperti ini menurut hasbullah sempat mendapat pertentangan dari para akademisi maupun praktisi pendidikan. Sebab dengan adanya perpisahan antara pendidikan umum dan agama tersebut seolah-olah terkesan bahwa agama terpisah dari pendidikan dan pendidikan terpisah dari agama.6 Dualisme pendidikan yaitu sistem pendidikan becorak sekuler warisan dari pemerintah kolonial/penjajah Belanda-tidak mengenal ajaran agama dan sistem pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam sendiri. Kedua, sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. 7



B. Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara Pada Masa Kemerdekaan dan Orde Lama 4 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam ; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rosullulah Sampai Indonesia, Cetakan 5, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 346 5 Zuhairini, “Metodik Khusus Pendidikan Agama”, (Surabaya: PT. Usaha Nasional, 1983), hal. 153 6 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. RajaGravindo, 1996), hal. 97 7 Tobroni, Memperbincangkan Pemikiran Pendidikan Islam dari Idealisme Substantif hingga Konsep Aktual, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hal. 167



5



Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) pertama Ki Hajar Dewantara mengeluarkan Instruksi Umum yang isinya memerintahkan pada semua kepala-kepala sekolah dan guru-guru, yaitu; 1. Mengibarkan Sang Merah Putih tiap-tiap hari di halaman sekolah. 2. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. 3. Menghentikan Pengibaran Bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimogayo lagu Kebangsaan Jepang. 4. Menghapuskan Pelajaran Bahasa Jepang, serta segala ucapan yang berasal dari pemerintah Bala Tentara Jepang. 5. Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid-muridnya.8 Tindakan pertama diambil pemerintah Indonesia adalah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi: a) Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. b) Pemerintah mengusahakan suatu system pengajaran Nasional yang diatur dengan undang-undang. Andi dalam Tobroni, mengatakan bahwa pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia para tokoh bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Hasyim Asy’ari dan yang lainnya dalam sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tahun 1945, mengatakan bahwa perlunya pendidikan agama dimasukkan dalam sekolah-sekolah negeri dalam rangka merealisasikan pendidikan Islam terintegrasi kedalam sistem pendidikan nasional.9 Sehingga untuk pendidikan agama secara khusus diatur dalam UU No 4 Tahun 1950 pada Bab XII pasal 20 yaitu: 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid yang menetapkan anaknya mau memilih pelajaran tersebut atau tidak.



8 Ibid. 9 Ibid.



6



2) Cara penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah-sokolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh dua menteri yaitu menteri P dan K dengan menteri Agama.10 1. Kebijakan



Pendidikan



Islam



di



Nusantara



Pada



Masa



Kemerdekaan Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/ Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut: 1) Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan. 2) Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan. 3) Musuh-musih RI (Belanda / sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi merekaan. 4) Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.11 Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolahsekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lainlain.



10 Suparta, Pengantar Teori dan Aplikasi pengembanagn kurikulum PAI, (Jakarta: PT. RajaGravindo, 2016), hal. 122 11 Ibid, hal. 347



7



Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama mulai kelas I SR. 2. Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara Pasa Masa Orde Lama Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.12 Selanjutnya kemajuan



pendidikan



agama



sebagai



komponen



pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Pentingnya pendidikan agama yang telah ada dengan pendidikan nasional akhirnya mendapat kekuatan hukum dalam Rumusan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi: “bahwa pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan,



daya



mengembangkan



estetik,



dirinya



dan



jasmaninya



bersama-sama



sehingga



dengan



sesama



ia



dapat manusia



membangun masyarakatnya, serta membudayakan alam sekitar” Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah



12 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 349



8



Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah: 1) Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat. 2) Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa



pengetahuan



umumnya



tidak



boleh



berkurang



dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV. 3) Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu. 4) Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya. 5) Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.13 Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya. Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang



pendidikan



agama



telah



mengalami



kemajuannya



dengan



menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai



Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh



Indonesia. Berdasarkan tekad dan semangat tersebut diatas maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintah dan dalam masyarakat pada 13 Ibid.



9



umumnya. Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran. Dalam perkembangannya, pendidikan islam/agama dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan seiring dengan kemajuan zaman. Semua ini dilakukan dengan tujuan peningkatan kualitas pendidikan agama dilembaga pendidikan agama dan menghilangkan pengaruh dikotomi dalam dunia pendidikan islam di Indonesia.14 C. Pengaruh Dikotomi dalam Dunia Pendidikan Islam di Indonesia Menurut Mansur (2012), Pendidikan yang mendukung falsafah sekuler telah mewujudkan pemetakan ilmu, yang berujung pada pemisahan antara ilmu aqliyah dengan ilmu naqliyah. Dualism pendidikan menimbulkan kecacatan pendidikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia memiliki dua system yang dikotomik, dan tentu keduanya memiliki alur berbeda yang sangat bersenjangan. Pada akhirnya akan muncul tantangan pendidikan saat itu yang meletakkan dasar-dasar agama islam kepada individu dan masyarakat yang masih minim pengetahuan agama islam. Ilmu agama menjadi benteng perubahan budaya masyarakat Indonesia dari dampak globalisasi. Upaya



penjagaan



dan



kelestarian



pengetahuan



agama,



menimbulkan kesan dikotomi keilmuan, sehingga muncul paradigm dualism dalam system pendidikan. System yang pertama disebut system pendidikan tradisional. System ini cenderung melahirkan golongan muslim tradisional. Adapun system yang kedua disebut system pndidikan sekuler, yakni system pendidikan yang cenderung melahirkan golongan muslim modern yang kebarat-baratan. (Hanifah, 2012). 15 Upaya untuk memecahkan permasalahan yang muncul karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya atau akibat 14 Tobroni, Memperbincangkan Pemikiran Pendidikan Islam dari Idealisme Substantif hingga Konsep Aktual, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hal. 168 15 Tobroni, Memperbincangkan Pemikiran Pendidikan Islam dari Idealisme Substantif hingga Konsep Aktual, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hal. 25-26.



10



dikotomi antara ilmu pengetahuan dengan agama yang dipengaruhi oleh paham sekuler atau barat, adalah melalui integrasi nilai-nilai Islam kedalam sains (ilmu penetahuan). Proses integrasi tersebut melibatkan beberapa unsur penting dalam pendidikan islam, yaitu manusia, sains (ilmu pengetahuan) dan Islam. Untuk itu harus lebih meninjau secara khusus tentang dikotomi keilmuan, islamisasi sains dan spiritualisasi human being. 16



16 Ibid, H. 25-26.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tatkala Indonesia masih berumur belia, pendidikan masih mewarisi system yang bersifat dualism, yairu system pendidikan bercorak sekuler warisan dari pemerintah colonial/penjajah belanda- tidak mengenal ajaran agama dan system pendidikan islam yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat islam sendiri. Kedua, system pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Andi dalam Abdul Rahman Saleh, mengatakan bahwa pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia para tokoh bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Hasyim Asy’ari dan yang lainnya didalam siding Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tahun 1945, mengatakan bahwa perlunya pendidikan agama dimasukkan diskolah-skolah negeri dalam rangka merealisasikan pendidikan islam terintegrasi kedalam system pendidikan nasional. Usaha para tokoh islam itu belum terwujud karena lahir Undang-undang No. 4 Tahun 1950, tentang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “Undangundang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah agama dan pendidikan masyarakat”, (Andi, 2011:52). Senada dengan hal tersebut, BPKNP mengusulkan “hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat atau mengintegrasikan kedua system pendidikan warisan budaya bangsa tersebut”, yaitu pemberian pengajaran agama secara teratur dan seksama disekolah-sekolah yang bersifar sekuler dan pemberian tuntunan dan bantuan kepada madrasah dan pesantren-pesantren dimaksudkan agar lembaga pendidikan Islam mampu meningkatkan usaha dan peran sertanya sebagai alat pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa serta mampu



11



12



berkembang dan mengadakan pembaruan secara terintegrasi dalam satu pendidikan nasional (Muhaimin, 2003:83). Kenyataan yang demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang sangat dalam setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajahan belanda, pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam terbuka secara sangat sempit. Dalam hal ini, minimal ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu sikap dan kebijakan pemerintah colonial yang amat diskriminatif terhadap kaum muslimin, dan politik nonkooperatif para ulama terhadap Belanda yang menfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah suatu bentuk penyelewenganm kedurhakaan terhadap agama. Para ulama tersebut berpegangan pada salah satu Hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Barangsiapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk kedalam golongan itu” (Saidi, 1984:6). Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan pada sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada bulan Desember 1946, dikeluakan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Hasbullah, 1995:76). Untuk menyempurnakan isi peraturan-peraturan bersama tahun 1946 diterbitkan pula peraturan bersama Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama. No. 1768/16 Juli 1951. Isi peraturan bersama itu diantaranya memuat: Lamanya Pendidikan Agama di Sekolah Rakyat (SR) sejak kelas 4, dua jam setiap minggu yaitu : (a) untuk lingkungan istimewa sejak kelas 1 dengan jumlah jam dapat ditambah sampai empat jam setiap minggu; (b) untuk SMP dan SMA dua jam setiap minggu (Saridjo, 2011).



DAFTAR PUSTAKA Djaelani, H.A. Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Pengembangan Perguruan Agama, Jakarta: CV Darmaga, 1980 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangannya, Jakarta: PT. RajaGravindo, 1996. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2009 Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam ; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rosullulah Sampai Indonesia, Cetakan 5, Jakarta: Kencana, 2013 Sahlan, Asmaun. Religiulitas Perguruan Tinggi: Potret Pengembangan Tradisi Keagamaan di Perguruan Tinggi Islam, Malang: UIN–Maliki Press, 2012. Suparta, Pengantar Teori dan Aplikasi pengembanagn kurikulum PAI, Jakarta: PT. RajaGravindo, 2016 Tobroni, Memperbincangkan Pemikiran Pendidikan Islam dari Idealisme Substantif hingga Konsep Aktual, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018 Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: PT. Usaha Nasional, 1983



13