Policy Brief - Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

POLICY BRIEF NOVEMBER 2019



EVALUASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN WAJAH KEMISKINAN NUSANTARA



Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan Yusuf Wibisono, Febbi Meidawati, Meli Triana Devi



Pemerintahan pertama Presiden Jokowi menunjukkan kinerja penanggulangan kemiskinan yang mengesankan. Untuk pertama kalinya sejak era Orde Baru, angka kemiskinan dapat ditekan dibawah satu digit (dibawah 10 persen). Sejak Maret 2016 angka kemiskinan secara konsisten terus menurun dari 10,89 persen menembus 9,82 persen pada Maret 2018, dan kini per Maret 2019 berada di 9,41 persen. Dalam 4 tahun terakhir (Maret 2015 – Maret 2019) 3,45 juta penduduk mampu keluar dari kemiskinan. Namun demikian, pencapaian ini lebih rendah dari target RPJMN yang mematok target angka kemiskinan 7-8 persen pada 2019. Keberhasilan pemerintah menekan inflasi secara umum di tingkat yang rendah, berkontribusi besar pada meningkatnya pengeluaran kelompok miskin.



Program bansos di era Presiden Jokowi mengalami ekspansi yang signifikan, terutama PKH (Program Keluarga Harapan).



Secara makro, kombinasi kebijakan stabilitas tingkat harga dan penciptaan lapangan kerja secara luas, adalah kebijakan utama pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Keberhasilan pemerintah menekan inflasi secara umum di tingkat yang rendah, berkontribusi besar pada meningkatnya pengeluaran kelompok miskin. Namun, secara mikro dalam tahun-tahun terakhir, peran bantuan sosial (bansos) menjadi andalan utama pemerintah untuk menekan kemiskinan secara cepat. Pertumbuhan garis kemiskinan yang rendah sepanjang 2016-2019, di satu sisi menggambarkan keberhasilan pengendalian harga komoditas kebutuhan pokok, namun di saat yang bersamaan juga menggambarkan kenaikan pengeluaran rumah tangga miskin yang dipicu oleh bantuan sosial. Program bansos di era Presiden Jokowi mengalami ekspansi yang signifikan, terutama PKH (Program Keluarga Harapan). Anggaran dan cakupan sasaran PKH, yang diperkenalkan pada 2007 dengan 500 ribu keluarga penerima manfaat (KPM) dan anggaran Rp 390 miliar,



1 POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan



POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan 2



3 POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan



meningkat signifikan dalam 3 tahun terakhir. Bila pada 2014 PKH baru mencakup 2,8 juta KPM dengan alokasi anggaran Rp 4,1 triliun, maka pada 2018 PKH mencakup 10 juta KPM dengan anggaran Rp 17 triliun. Pada 2019, alokasi anggaran PKH berlipat menembus Rp 32 triliun. Lebih jauh, kenaikan pengeluaran kelompok miskin juga tidak selalu berkualitas, sehingga kenaikan pengeluaran tidak selalu bermakna kenaikan kesejahteraan. Sebagai misal, rumah tangga miskin memiliki pengeluaran untuk rokok yang signifikan. Proporsi pengeluaran si miskin untuk rokok adalah terbesar ke-dua setelah beras. Rokok adalah produk adiktif yang membuat perokok memiliki sifat kecanduan miopik. Sumbangan rokok terhadap garis kemiskinan yang terus meningkat sepanjang 2011-2019, mengindikasikan bahwa perokok miskin tidak menurunkan konsumsi rokoknya meski harga rokok meningkat. Besarnya pengeluaran untuk rokok, keras memukul keluarga miskin: menurunkan kesehatan dan produktivitas, sekaligus tidak terpenuhinya kebutuhan karena pendapatan yang terbatas dialokasikan untuk rokok.



Kenaikan pengeluaran kelompok miskin juga tidak selalu berkualitas, sehingga kenaikan pengeluaran tidak selalu bermakna kenaikan kesejahteraan.



Antara Data dan Fakta Kemiskinan Secara empiris, masalah kemiskinan jauh lebih besar dari angka kemiskinan resmi. BPS menggunakan pendekatan moneter untuk mengukur kemiskinan. Kebutuhan dasar minimal individu didekati dari kebutuhan makanan dan bukan makanan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Nilai moneter dari kebutuhan minimal yang harus dipenuhi setiap individu inilah yang membentuk Garis Kemiskinan (poverty line).



BPS menggunakan pendekatan moneter untuk mengukur kemiskinan. Kebutuhan dasar minimal individu didekati dari kebutuhan makanan dan bukan makanan menurut daerah perkotaan dan perdesaan.



Dari pendekatan ini, dihasilkan estimasi jumlah dan persentase penduduk miskin (headPOLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan 4



count index – P0) di setiap daerah, serta indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index – P1) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index – P2). Angka kemiskinan “makro” ini menjadi data kemiskinan resmi yang digunakan pemerintah untuk perencanaan dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan dengan target geografis. Angka kemiskinan resmi ini sering menjadi kontroversial karena “menyembunyikan” sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit diatas garis kemiskinan, dan karenanya rentan menjadi miskin.



Dalam rangka pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan yang bersifat targeted, seperti PKH, pemerintah sejak 2011 melakukan upaya besar membangun BDT.



Dengan BDT, insiden kemiskinan melonjak tajam.



Angka kemiskinan resmi ini sering menjadi kontroversial karena “menyembunyikan” sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit diatas garis kemiskinan, dan karenanya rentan menjadi miskin. Garis kemiskinan resmi cenderung konservatif dan sensitif, dimana banyak penduduk berada di sekitar garis kemiskinan. Hal ini dikonfirmasi oleh BDT (Basis Data Terpadu). Dalam rangka pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan yang bersifat targeted, seperti PKH, pemerintah sejak 2011 melakukan upaya besar membangun BDT, yaitu data kemiskinan yang bersifat “mikro” yang diperoleh dari sensus terhadap 40 persen penduduk dengan status kesejahteraan terendah. Berbeda dengan angka kemiskinan “makro”, BDT ini mampu menunjukkan siapa dan dimana si miskin, by name by address. Dengan BDT, insiden kemiskinan melonjak tajam. Pada 2015, ketika angka kemiskinan “makro” adalah 11,13 persen atau 28,5 juta penduduk miskin, angka kemiskinan “mikro” dari BDT menunjukkan jumlah penduduk miskin dan “rentan miskin” adalah 81,6 juta jiwa, atau 31,84 persen. Dengan kata lain, penduduk “rentan miskin” mencapai 53,1 juta jiwa. Hal ini menjelaskan mengapa program bansos memiliki penerima manfaat yang sangat besar seperti PKH mencakup 10 juta KPM, Rastra (BPNT) mencakup 15,5 juta keluarga, dan bantuan iu-



5 POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan



POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan 6



7 POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan



ran JKN yang mencapai 96,8 juta jiwa. Secara rata-rata, angka kemiskinan “mikro” hampir tiga kali lipat dari angka kemiskinan “makro”. Masalah kemiskinan beberapa daerah jauh lebih besar dari angka resmi, seperti Kota Depok, Kab. Jepara, Kab. Tegal, Kab, Tangerang dan Kab. Bandung. Beberapa daerah menghadapi masalah kemiskinan yang tidak jauh berbeda dari angka resmi seperti Kab, Musi Banyuasin, Kota Palembang, dan Kab. Malang. Dengan BDT terlihat kantong kemiskinan kecamatan didominasi daerah di Jawa seperti kecamatan di Kab. Brebes (Wanasari, Bulakamba, Ketanggungan), Kab. Pemalang (Petarukan, Taman, Belik) dan Kab. Bandung (Pangalengan, Pacet, Ciparay). Beberapa daerah di luar Jawa memiliki kantong kemiskinan kecamatan yang setara dengan Jawa seperti Kota Palembang, Kab. Deli Serdang dan Kab. Kubu Raya.



Secara rata-rata, angka kemiskinan “mikro” hampir tiga kali lipat dari angka kemiskinan “makro”.



Dengan BDT terlihat kantong kemiskinan kecamatan didominasi daerah di Jawa, dan beberapa daerah di luar Jawa memiliki kantong kemiskinan kecamatan yang setara dengan Jawa.



Arah Ke Depan Ke depan, penanggulangan kemiskinan selayaknya tidak mengandalkan bantuan sosial yang rawan ditunggangi kepentingan pragmatis jangka pendek, bukan pengembangan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood). Kemiskinan mungkin menurun karena bansos, namun cenderung temporer dan rentan kembali jatuh pada kemiskinan.



Kemiskinan mungkin menurun karena bansos, namun cenderung temporer dan rentan kembali jatuh pada kemiskinan.



Dalam jangka panjang, ketergantungan pada bansos berpotensi menimbulkan dampak negatif pada modal sosial masyarakat dengan membuat segregasi antara penerima dan non-penerima. Program transfer pendapatan secara massif dan permanen juga berpotensi konflik dan melemahkan program penguatan kapasitas si miskin dan pemberdayaan ekonomi yang membutuhkan disiplin pasar



Jangka panjang, ketergantungan pada bansos berpotensi menimbulkan dampak negatif pada modal sosial masyarakat dengan membuat segregasi antara penerima dan non-penerima.



POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan 8



dan keberlanjutan keuangan. strategi penanggulangan kemiskinan berbasis pertumbuhan dan stabilitas makroekonomi semakin sulit dilakukan. Perubahan iklim dan cuaca ekstrim menjadi tantangan berat untuk stabilitas harga pangan.



Strategi penanggulangan kemiskinan berbasis pertumbuhan ekonomi (pro-poor growth) sulit dilakukan pada perekonomian yang terbelah oleh kesenjangan pendapatan yang lebar.



Penanggulangan kemiskinan yang permanen, dibutuhkan upaya serius dalam jangka panjang untuk meningkatkan ketersediaan dan cakupan pelayanan dasar yang berkualitas bagi penduduk miskin dan rentan.



Di sisi lain, strategi penanggulangan kemiskinan berbasis pertumbuhan dan stabilitas makroekonomi semakin sulit dilakukan. Perubahan iklim dan cuaca ekstrim menjadi tantangan berat untuk stabilitas harga pangan. Di sisi lain, penguatan harga komoditas dunia menjadi pisau bermata dua: mendorong pertumbuhan dari sisi ekspor komoditas primer, namun juga menciptakan tekanan pada administered price seperti harga BBM dan TDL. Strategi penanggulangan kemiskinan berbasis pertumbuhan ekonomi (pro-poor growth) sulit dilakukan pada perekonomian yang terbelah oleh kesenjangan pendapatan yang lebar. Perbedaan hasil penanggulangan kemiskinan yang bertolak belakang antara Chili dan China misalnya, banyak disumbang oleh kesenjangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi juga sulit memberi manfaat yang luas ketika sektor informal yang subsisten dan marjinal adalah besar dan tidak terintegrasi dengan sektor formal-modern. Pro-poor growth juga sulit diwujudkan ketika perekonomian masih sangat bergantung pada ekspor komoditas primer dengan diversifikasi struktur produksi yang rendah dan tanpa pendalaman industri. Untuk penanggulangan kemiskinan yang permanen, dibutuhkan upaya serius dalam jangka panjang untuk meningkatkan ketersediaan dan cakupan pelayanan dasar yang berkualitas bagi penduduk miskin dan rentan. Lebih jauh lagi, dibutuhkan penguatan kapasitas masyarakat miskin agar dapat keluar dari kemiskinan dengan menggunakan potensi dan sumber daya yang dimilikinya. Reformasi struktural seperti reforma tanah, bukan sekedar sertifikasi tanah, menjadi pilihan menjanjikan meski sulit dan penuh tantangan.



9 POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan



Wajah Kemiskinan Nusantara Yusuf Wibisono, Fajri Azhari



Tingkat kesejahteraan antar daerah adalah sangat bervariasi. Penduduk dengan status kesejahteraan 40 persen terendah mencapai 22,5 juta rumah tangga, setara 82 juta jiwa, atau sekitar 32,1% dari total penduduk. Penduduk miskin dan rentan miskin ini terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dimana ketiga-nya menjadi rumah bagi setengah dari total penduduk miskin. Kantong-kantong kemiskinan nasional ini antara lain Kab. Bogor, Kab. Brebes, Kab. Garut, Kab. Malang, Kab. Banyumas dan Kab. Cirebon. Lebih jauh, permasalahan yang dihadapi kantong-kantong kemiskinan ini adalah berbeda. Masalah kemiskinan yang lebih berat dihadapi oleh kantong-kantong kemiskinan dengan penduduk miskin didominasi oleh mereka dengan status sosial-ekonomi 10 persen terendah. Dari 82 juta penduduk dengan status kesejahteraan 40 persen terendah, 29,6 juta jiwa diantaranya berada di desil 10 persen terbawah. Dari 7.098 kecamatan di seluruh Indonesia, kantong kemiskinan dengan tipologi seperti ini ditemui antara lain Pujut (Lombok Tengah) dan Pringgabaya (Lombok Timur). Disisi lain, sebagian kecamatan menghadapi kondisi lebih ringan dimana proporsi penduduk di bottom of the pyramid adalah tidak signifikan seperti Koja dan Cilincing (Jakarta Utara). Wajah Kemiskinan Kemiskinan yang menimpa penduduk usia muda dan penduduk usia tua, memberi perbedaan dalam pendekatan dan cara penanggulangan kemiskinan.



Kemiskinan yang menimpa penduduk usia muda dan penduduk usia tua, memberi perbedaan dalam pendekatan dan cara penanggulangan kemiskinan. Sebagai misal, konsumsi makanan berkualitas dengan gizi tinggi berperan penting dalam sistem pertumbuhan dan pertahanan tubuh balita. Buruknya kualitas asupan gizi balita miskin akan menurunkan tingkat kecerdasan mereka secara permanen. Secara umum, kantong kemiskinan nasional memiliki jumlah balita dan lansia miskin terbesar seperti Pangalengan (Kab. Bandung). Namun beberapa daerah memiliki proporsi penduduk miskin balita jauh lebih besar, seperti Sagulung (Kota Batam), atau sebaliknya memiliki proporsi penduduk miskin lansia jauh lebih POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara 10



11 POLICY BRIEF Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan



besar, seperti Rogojampi (Kab. Banyuwangi). Karakteristik sosial lain dari rumah tangga miskin adalah tingginya tingkat putus sekolah. Dari 21,5 juta anak miskin usia sekolah (7-18 tahun), 4,6 juta diantaranya putus sekolah. Permasalahan paling serius dihadapi wilayah dengan angka putus sekolah didominasi anak usia 7-12 tahun yang bermakna wajib belajar 6 tahun-pun gagal dipenuhi. Wilayah dengan tipologi seperti ini antara lain Abenaho (Kab. Yalimo), Cilincing (Jakarta Utara) dan Pangalengan (Kab. Bandung). Pendidikan dasar, terutama usia 7-12 tahun, memiliki social return yang tinggi karena itu dibutuhkan intervensi lebih luas disini untuk memutus rantai kemiskinan.



Karakteristik sosial lain dari rumah tangga miskin adalah tingginya tingkat putus sekolah.



Pencapaian pendidikan adalah faktor penting untuk penghasilan individu, dan karenanya kesenjangan ekonomi dan transmisi kesenjangan lintas generasi. Dalam “capabilities approach” dari Sen tentang kemiskinan, pendidikan adalah determinan utama dari kemampuan seseorang untuk mengembangkan kemampuannya, sehingga dapat menggunakan otonominya untuk melakukan pilihan-pilihan terbaik dalam semua aspek kehidupannya.



Pencapaian pendidikan adalah faktor penting untuk penghasilan individu, dan karenanya kesenjangan ekonomi dan transmisi kesenjangan lintas generasi.



Secara umum, partisipasi sekolah anak miskin menurun secara progresif seiring tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Akses dan kualitas pendidikan yang tidak memadai memiliki korelasi kuat dengan kemiskinan. Capaian jenjang pendidikan yang lebih tinggi berkorelasi dengan konsumsi yang lebih tinggi, dimana pendidikan dasar menjadi kondisi penting untuk lepas dari kemiskinan. Sebagian besar kepala rumah tangga miskin hanya berpendidikan SD dan tidak tamat SD, khususnya di daerah pedesaan.



Secara umum, partisipasi sekolah anak miskin menurun secara progresif seiring tingkat pendidikan yang lebih tinggi.



Karakteristik penting lainnya dari penduduk POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara 12



miskin adalah tingkat kesehatan yang rendah. Pendapatan menentukan tingkat kesakitan dan kematian, karena ketiadaan pendapatan akan memaksa penduduk miskin hidup dengan sanitasi yang buruk, lingkungan kerja dan tempat tinggal yang tidak sehat, serta nutrisi dan layanan kesehatan yang buruk. Pada 2015, seperempat rumah tangga miskin, atau sekitar 5,8 juta rumah tangga, tidak memiliki jamban dan hanya memiliki akses ke sumber air minum yang tidak terlindungi. Kemiskinan Kota dan Desa Agenda penanggulangan kemiskinan nasional memiliki dua dimensi spasial.



Agenda penanggulangan kemiskinan nasional memiliki dua dimensi spasial. Pertama, kantong kemiskinan di wilayah padat penduduk di daerah perkotaan, yang kini tidak hanya menjadi fenomena Jawa namun juga luar Jawa. Secara umum, kemiskinan perkotaan didominasi oleh keluarga miskin yang menggantungkan hidupnya di sektor informal kota, seperti menjadi pedagang skala kecil (2,8 juta jiwa) dan pemulung (2,5 juta jiwa). Daerah dengan tipologi ini, kantong kemiskinan perdagangan dan pemulung, dijumpai di Petarukan (Kab. Pemalang), Semampir (Surabaya), dan juga Bulakamba (Kab. Brebes) dan Koja (Jakarta Utara).



Tipologi lain dari kantong kemiskinan perkotaan adalah daerah dengan penduduk miskin yang menggantungkan hidup sebagai usaha mikro dan kecil.



Tipologi lain dari kantong kemiskinan perkotaan adalah daerah dengan penduduk miskin yang menggantungkan hidup sebagai usaha mikro dan kecil seperti Tahunan (Kab. Jepara) dan Tirto (Kab. Pekalongan), atau menggantungkan hidup sebagai buruh bangunan seperti Banjarharjo (Kab, Brebes) dan Belik (Kab. Pemalang). Pada 2015, terdapat 2,9 juta jiwa buruh dan karyawan miskin di sektor industri pengolahan dan 3,1 juta jiwa buruh bangunan miskin di sektor konstruksi. Fenomena ini membuka fakta bahwa daerah



13 POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara



POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara 14



15 POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara



urban seringkali memproduksi kemiskinan dalam jumlah yang signifikan. Kemajuan sektor industri dan jasa moderndi daerah urban, telah menjadi faktor penarik (pull factor) terkuat bagi migrasi, dan ketertinggalan dan kemiskinan daerah pedesaan menjadi faktor pendorong-nya (push factor). Ketidaksesuain (mismatch) antara struktur perekonomian metropolitan dan keahlian migran, telah menciptakan masalah pengangguran dan kemiskinan yang akut. Kemiskinan metropolitan adalah wajah dualisme pembangunan: sektor formal yang modern, terorganisir, berskala besar, padat modal dan memberi pendapatan tinggi bagi pemilik dan pekerjanya, berjalan beriringan namun tanpa keterkaitan dengan sektor informal kota yang tradisional, tidak terorganisir, berskala kecil, padat karya dan memberi pendapatan rendah bagi pemilik dan pekerjanya. Pembangunan kota gagal mengakomodasi dan mengintegrasikan sektor informal. Di sisi lain, kantong kemiskinan di daerah sentra pertanian adalah tersebar luas dan dalam jumlah jauh lebih besar. Pada 2015, terdapat 9,8 juta petani miskin di sektor tanaman padi dan palawija, serta 4,5 juta petani miskin di sektor perkebunan. Kemiskinan petani berakar dari kesenjangan yang sangat lebar dalam kepemilikan lahan pertanian, dimana sebagian besar petani tidak memiliki lahan dan menggantungkan kesejahteraannya pada upah sebagai buruh tani. Karena itu tenaga kerja pedesaan memiliki mobilitas yang tinggi dan beragam antar desa. Lebih jauh, petani tidak memiliki kapasitas untuk melakukan akumulasi kapital, dimana sebagian besar petani melakukan diversifikasi usaha dengan pendidikan untuk anak yang



Kemajuan sektor industri dan jasa moderndi daerah urban, telah menjadi faktor penarik (pull factor) terkuat bagi migrasi, dan ketertinggalan dan kemiskinan daerah pedesaan menjadi faktor pendorong-nya (push factor).



Kantong kemiskinan di daerah sentra pertanian adalah tersebar luas dan dalam jumlah jauh lebih besar.



Kemiskinan petani berakar dari kesenjangan yang sangat lebar dalam kepemilikan lahan pertanian, dimana sebagian besar petani tidak memiliki lahan dan menggantungkan kesejahteraannya pada upah sebagai buruh tani.



POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara 16



umumnya di bidang non pertanian, menjadi peluang akumulasi pada modal manusia. Working Poor Karakteristik terpenting dari kelompok miskin dan rentan miskin adalah giat bekerja, untuk alasan sederhana: bertahan hidup.



Karakteristik terpenting dari kelompok miskin dan rentan miskin adalah giat bekerja, untuk alasan sederhana: bertahan hidup. Penduduk miskin yang bekerja tidak hanya dari penduduk usia produktif, 15-59 tahun, namun juga usia tidak produktif, lebih dari 60 tahun, bahkan juga usia anak-anak, usia 5-14 tahun. Daerah dengan proporsi pekerja lansia tinggi antara lain Abenaho (Kab. Yalimo), sedangkan daerah dengan proporsi pekerja anak tinggi antara lain Ngrayun (Kab. Ponorogo). Pekerja miskin (working poor) secara umum terkonsentrasi di sektor tanaman padi dan palawija (9,8 juta jiwa), perkebunan (4,5 juta jiwa), bangunan/konstruksi (3,1 juta jiwa), perdagangan 92,8 juta jiwa), industri pengolahan (2,8 juta jiwa) dan pemulung (2,5 juta jiwa). Besarnya jumlah pekerja miskin ini mengindikasikan bahwa lapangan kerja dan sumber penghidupan si miskin tidak mencukupi untuk standar kehidupan yang layak. Fakta ini menunjukkan urgensi belanja publik yang signifikan untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja dan dan kebijakan afirmatif untuk penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan kemanusiaan.



Sebagai misal, kebijakan pertanian dan pedesaan yang secara umum tidak memadai karena ia mengabaikan fakta rendahnya tingkat upah riil pertanian, ketiadaan lahan bagi petani dan ketergantungan petani pada upah sebagai buruh.



Sebagai misal, kebijakan pertanian dan pedesaan yang secara umum berfokus pada pembangunan infrastruktur, kredit pertanian, income-generating projects, dan transmigrasi, adalah tidak memadai karena ia mengabaikan fakta rendahnya tingkat upah riil pertanian, ketiadaan lahan bagi petani dan ketergantungan petani pada upah sebagai buruh.



17 POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara



POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara 18



19 POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara



POLICY BRIEF Wajah Kemiskinan Nusantara 20