Polmas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

Polmas [PDF]

STRATEGI OPTIMALISASI KINERJA POLMAS GUNA MENANGGULANGI KONFLIK SOSIAL POLITIK PADA PENYELENGGARAAN PEMILU KEPALA DAERAH

8 0 239 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE


File loading please wait...
Citation preview

STRATEGI OPTIMALISASI KINERJA POLMAS GUNA MENANGGULANGI KONFLIK SOSIAL POLITIK PADA PENYELENGGARAAN PEMILU KEPALA DAERAH DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI



BAB I PENDAHULUAN



Cita-cita



reformasi



untuk



mewujudkan



masyarakat



madani



dan



berkeadilan dan demokratis, merupakan harapan kita bersama. Kemelut politik yang sering terjadi di daerah pasca Orde Baru memang sebuah tantangan besar bagi kepolisian dalam menyelesaikannya. Sejak diberlakukannya pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada, konflik sosial kerap terjadi di sebagian besar daerah di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir dalam setiap pelaksanaan pilkada ditanah air baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi, berbagai bentuk konflik dan tindak kekerasan baik dalam skala besar maupun kecil selalu terjadi. Kondisi tersebut sekaligus menjadi cermin bahwa kehidupan politik sangat kental dengan perilaku atau tindak kekerasan. Pada masa-masa kampanye, konflik dalam berbagai bentuk pun sudah mulai terjadi. Mulai dari pemerasan, pengrusakan, intimidasi untuk memilih hingga menyiksaan terhadap salah satu kontestan kerap sekali terjadi. Saat penghitungan suara hingga penetapan pemenang, konflik belum juga reda, bahkan sering sekali konflik semakin meluas.



1



Ketidakpuasan



terhadap



hasil



pilkada



biasanya



disalurkan



lewat



demonstrasi. Jika demonstrasi dilakukan secara damai dan tertib, tentu tidak akan menjadi masalah dan persoalan, bahkan demonstrasi yang dilakukan secara aman adalah merupakan salah satu bentuk partisipasi politik. Namun jika demontrasi dilakukan secara anarkis, justru akan menimbulkan masalah besar, bukan hanya bagi pemerintah tapi juga bagi masyarakat. Tidak sedikit konflik yang lahir dari pilkada tersebut meluas hingga keranah lainnya, seperti agama, ras, suku hingga kelompok dalam masyarakat. Kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut hingga kini masih sulit dicari jalan keluarnya. Disinilah peran kepolisian dipertaruhkan. Karena, fungsi kepolisian adalah sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai hasil yang maksimal dari fungsi ini dibutuhkan kebersamaan antara polisi dan masyarakat, sehingga satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Polisi tidak akan dapat menciptakan situasi yang tertib dan aman dalam suatu lingkungan masyarakat tanpa adanya kemauan dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri, akan pentingnya suasana yang aman dan tertib. Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah menggugah kesadaran seluruh komponen bangsa untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan atas berbagai ketimpangan, kinerja dan hal-hal yang dianggap tidak profesional serta proporsional menuju masyarakat sipil yang demokratis. Polri pun tidak lepas dari wacana besar perubahan ini. Karena kepolisian merupakan cerminan dari tuntutan dan harapan masyarakat akan adanya rasa



2



aman, keamanan, ketertiban dan ketentraman, yang mendukung produktifitas yang mensejahterakan warga masyarakat. Di samping itu sebagai pribadi dapat dijadikan panutan masyarakat dan mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Polri dalam hal ini harus membangun interaksi sosial yang erat dan mesra dengan masyarakat, yaitu keberadaannya menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dengan polisi dengan mengedepankan dan memahami kebutuhan adanya rasa aman warga masyarakat, yang lebih mengedepankan tindakan pencegahan kejahatan (crime prevention). Paradigma baru Polri tersebut menjadi kerangka dalam mewujudkan jati diri, profesionalisme dan modernisasi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersamanya. Inilah paradigma yang dikenal sebagai community policing. Syarat utama dari paradigma baru ini adalah terjalinnya kedekatan hubungan antara polisi dan masyarakat. Tepatnya, kemitraan yang harmonis dan upaya – upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan rasa aman warga masyarakat. Melalui konsep Polmas, kemitraan yang terjalin antara anggota Polri digaris depan dengan masyarakat yang berada dalam kawasan tugasnya, akan sangat mendukung dan memberikan kontribusi bagi keberhasilan anggota Polri tersebut menyelesaikan setiap masalah sejak dini. Dengan melihat keanekaragaman ini, kepolisian dapat mencari solusi setiap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga berbagai kemungkinan dan isu-isu negatif, kemungkinan–kemungkinan terjadinya konflik



3



khususnya konflik pada pilkada. Dengan demikian, dapat diketahui dan dicari solusinya untuk kepentingan bersama, khususnya dalam hal menanggulangi konfliks sosial pilkada guna mendukung Kamdagri. 1.



Pokok Permasalahan Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi



permasalahan adalah : “STRATEGI OPTIMALISASI KINERJA POLMAS GUNA MENANGGULANGI KONFLIK SOSIAL POLITIK PADA PENYELENGGARAAN PEMILU KEPALA DAERAH DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI”.



2.



Pokok-Pokok Persoalan Bertolak dari pokok permasalahan di atas, berikut ini adalah pokokpokok persoalan yang akan dibahas dalam penulisan ini, yaitu : a.



Bagaimana perkembangan konflik sosial dan pilkada saat ini ?



b.



Bagaimana strategi Polmas dalam penanggulangan konflik sosial dan pilkada?



c.



Apa yang mempengaruhi belum optimalnya penanggulangan yang dilakukan Polmas terhadap konflik sosial dan pilkada?



d.



Bagaimana kondisi ideal strategi Polmas dalam penanggulangan konflik sosial dan pilkada?



e.



Bagaimana strategi Polmas dalam penanggulangan konflik sosial dan pilkada guna mewujudkan keamanan dalam negeri?



3.



Ruang Lingkup Pembahasan Ruang lingkup pembahasan penulisan ini dibatasi pada strategi dan optimalisasi polmas guna menangguloangi konflik sosial pilkada dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri yang dianalisa dengan teori SWOT .



4



4.



Maksud Dan Tujuan a.



Maksud Maksud dari penulisan naskah ini untuk mengkaji situasi dan



kondisi konflik pilkada serta optimalisasi polmas guna mewujudkan keamanan dalam negeri. b.



Tujuan Tujuan dari tulisan berjudul “STRATEGI OPTIMALISASI KINERJA



POLMAS GUNA MENANGGULANGI KONFLIK SOSIAL POLITIK PADA PENYELENGGARAAN PEMILU KEPALA DAERAH DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEAMANAN DALAM NEGERI” ini bertujuan untuk mencari formulasi terbaik dalam penerapan Polmas dalam masyarakat Indonesia yang mukltikultural.



5.



Tata Urut (Sistematika) Untuk memudahkan pembahasan, tulisan ini akan ditulis dalam sistematika sebagai berikut : BAB I, dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang, pokok permasalahan dan persoalan, ruang lingkup, maksud dan tujuan, metode dan pendekatan, tata urut serta pengertian-pengertian yang dianggap penting dalam naskah. BAB II, berisi tentang teori atau konsep yang digunakan dan dijelaskan untuk menganalisis masalah dan persoalan yang dipilih, dalam naskah ini teori yang digunakan adalah teori analisis SWOT. BAB III, membahas dan mengemukakan hal-hal atau kondisi realistik terkait konflik sosial pilkada serta peran polmas guna mewujudkan keamanan dalam negeri. Termasuk didalamnya berbagai factor yang mempengaruhi, yaitu factor internal dan eksternal.



5



BAB VI, merupakan penutup yang berisi kesimpulan penulisan naskah serta rekomendasi untuk dijadikan bahan pertimbangan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.



6



BAB II LANDASAN TEORI



1. Polisi Masyarakat (POLMAS) Salah satu tantangan utama Polri ke depan adalah menciptakan polisi masa depan,



yang mampu



secara



terus-menerus



beradaptasi dengan



perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat. Polisi harus dapat menjadi mitra. Memahami atau cocok dengan masyarakat, menjadi figur yang dipercaya sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum. Di samping itu sebagai pribadi dapat dijadikan panutan masyarakat dan mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Polri dalam hal ini harus membangun interaksi sosial yang erat dan mesra dengan masyarakat, yaitu keberadaannya menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dengan polisi dengan mengedepankan dan memahami kebutuhan adanya rasa aman warga masyarakat, yang lebih mengedepankan tindakan pencegahan kejahatan (crime prevention). Paradigma baru Polri tersebut menjadi kerangka dalam mewujudkan jati diri, profesionalisme dan modernisasi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersamanya. Inilah paradigma yang dikenal sebagai community policing. Model community policing ini telah diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.



7



Community Policing adalah bentuk polisi sipil untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan: (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakan akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Penerapannya dengan mengedepankan untuk senantiasa memperbaiki dan menjaga hubungan antara polisi dengan warga komuniti sesuai dengan peran dan fungsinya masingmasing. Hubungan polisi dengan warga komuniti dibangun melalui komunikasi dimana polisi bisa menggunakan dengan kata hati dan pikirannya untuk memahami berbagai masalah sosial yang terjadi maupun dalam membahas masalah yang bersifat lokal dan adat istiadat masyarakat sukubangsa setempat. Model community policing dapat dianalogikan bagwa posisi polisi adalah dapat berpindah secara fleksibel yaitu ; 1) Posisi setara antara polisi dengan warga komuniti dalam membangun kemitraan dimana polisi bersama-sama dengan warga dalam upaya untuk mencari solusi dalam menangani berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. 2) Posisi di bawah adalah polisi berada di bawah masyarakat yaitu polisi dapat memahami kebutuhan rasa aman warga komuniti yang dilayaninya, dan 3) posisi polisi di atas yaitu polisi dapat bertindak sebagai aparat penegak hukum yang dipercaya oleh warga masyarakat dan perilakunya dapat dijadikan panutan oleh warga yang dilayaninya.



8



Tugas Polisi yang mencakup tugas perlindungan, pengayoman dan pelayanan disamping tugasnya sebagai alat negara penegak hukum membuka format yang lebih luas kearah pemberdayaan masyarakat. Namun demikian dalam operasional Polmas adalah dalam lingkup wilayah yang kecil (Kelurahan atau RW) dengan tetap menitik beratkan kepada orientasi pada masyarakat yang dilayaninya (polisi cocok dengan masyarakat). Dalam penyelenggaraan tugas Polri community policing akan dikenal dengan istilah Polmas (Perpolisian Masyarakat) . Paradigma baru ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia kepolisian yang terbatas tidak mungkin mengamankan masyarakat secara solitair atau seorang diri. Polisi membutuhkan peran serta masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Syarat utama dari paradigma baru ini adalah terjalinnya kedekatan hubungan antara polisi dan masyarakat. Tepatnya, kemitraan yang harmonis dan upaya – upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan rasa aman warga masyarakat. Melalui konsep Polmas, kemitraan yang terjalin antara anggota Polri digaris depan dengan masyarakat yang berada dalam kawasan tugasnya, akan sangat mendukung dan memberikan kontribusi bagi keberhasilan anggota Polri tersebut menyelesaikan setiap masalah sejak dini. 2. Teori Konflik Sosial dan Jenisnya Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan ebrpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan social politik. Instilah konflik sering sekali berkonotasi negatif bagi kelompok masyarakat tertentu.



9



Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun Poerwadarmita (1976), konfli adalah pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul dalam bentuk pertentangan ide dan pertentangan fisik antara dua pihak yang saling berseberangan. Pada masa Orde Baru, konflik dianggap sesuatu yang harus ditiadakan dari



dunia



sosial



dan



politik.



Karena,



konflik



berarti



ketidakstabilan,



ketidakharmonisan, dan ketidakamanan. Pada pemahaman ini Orde Baru menciptakan stabilisasi politik., Orde Baru mendefinisikan konflik secara sempit dan



engatif.



Konflik



selalu



dikaitkan



dengan



ketidakamanan



dan



ketidakharmonisan (Susan Novri, 2009). Susan Novri menyatakan, konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antara orang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan Negara (vertical conflict), konflik antar Negara (interstate conflict). Setiap konflik tersebut seluruhnya memiliki latar belakang dan arah perkembangannya. Menurut John Paul Lederach (1996), ada tujuh beberapa asumsi tentang konflik sosial, diantaranya adalah : a. Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah, suatu pengalamanpengalaman umum yang hadir di setiap hubungan dan budaya. b. Konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial. Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang. c. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan makna bersama.



Kini, fenomena konflik di dunia telah mengalami perkembangan yang menarik. Banyak konflik terjadi pada dimensi yang berbeda. Seperti konflik etnis



10



beragama,



konflik



buruh,



sampai



konflik



sparatisme



telah



mengalami



peningkatan baik secara kualitas dan kuantitas. Beranekaragaman konflik tersebut membutuhkan kajian dan pendekatan sosiologis untuk kepentingan bersama dalam menanggulangi konflik-konflik pada masa depan. Ada dua jenis konflik, pertama dimensi vertikal atau konflik atas. Yaitu, konflik antara elite dan massa (rakyat). Elite disini bisa para pengambil kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnis ataupun aparat militer. Konflik yang kedua adalah konflik horizontal. Yaitu, konflik yang terjadi dikalangan masyarakat itu sendiri. Di Indonesia, pernah terjadi beberapa konflik horizontal yang tergolong besar, yaitu konflik agama yang sempat terjadi di Ambon, Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Sedangkan konflik horizontal lainnya adalah konflik antar suku sebagaimana konflik yang pernah terjadi antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat (Suadi dkk, 2003).



3. Konflik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Konflik menjelang, proses hingga penghitungan suara pada pemilihan kepala daerah, baik yang mengatasnamakan bendera partai maupun kelompokkelompok pendukung para calon terus mewarnai lembaran suram kehidupan berdemokrasi bangsa Indonesia. Masing-masing kelompok tidak siap menerima kekalahan atau tidak mau mengalah. Kekerasan seringkali menjadi pilihan terakhir. Masalah timbul saat kekerasan dihadapi dengan kekerasan. Seolah sudah tidak ada lagi ruang untuk duduk bersama menemukan titik temu secara kekeluargaan. Kekuasaan merupakan generator dinamika sosial yang mana individu dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi. Pada saat bersamaan, kekuasaan



11



menjadi sumber dari hubungan konflik. Pada banyak kasus, terjadi kombinasi kepentingan dari setiap unsure stratifikasi sosial sehingga menciptakan dinamika konflik. (Wallace and Wolf, 2000). Semua masyarakat sangat menginginkan agar pelaksanaan setiap pilkada dapat berjalan secara demokratis, jujur dan adil serta dalam suasana aman dan terkendali. Sifat ini adalah merupakan sifat social masyarakat dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Namun ditengah sifat sosial tersebut, berbagai potensi konflik juga turut membayangi penyelenggaraan pilkada dimaksud. Berbagai potensi konflik dapat saja muncul mulai dari lingkungan partai politik, birokrasi, lembaga penyelenggara (KPUD dan Panwaslu) serta masyarakat. Perlu juga disadari bahwa pelaksanaan pilkada sejak Juni 2005 lalu sebenarnya dilaksanakan karena system perwakilan yaitu pemilihan kepala daerah lewat parlemen (DPRD) tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Akibatnya, tidak jarang wakil rakyat tersebut yang memilih para calon kepala daerah justru lebih mengutamakan kepentingan partainya dibanding kepentingan masyarakat. Apalagi, dengan memilih orang dalam dari partainya, mereka dapat melakukan deal-deal dan perjanjian politik dan tentunya tetap untuk kepentingan partainya. Akibatnya, masyarakat menjadi rentan untuk percaya. Dan ketidakpercayaan itulah timbul protes dan demonstrasi yang akhirnya melahirkan konflik. Kondisi ini semakin diperparah oleh sikap para konstentan pilkada yang memanasi pemilihnya. Isu-isu strategis diangkat kepermukaan demi meraih simpati masyarakat, bahkan para calon umumnya merasa dekat dengan masyarakat, sehingga tidak mengherankan bila mereka harus sampai turun gunung demi menyambut partisipasi kalangan bawah dalam pilkada nanti. Tidak sedikit juga para pasangan calon yang berusaha melakukan pendekatan secara cultural, religi dan dari sudut lain. Disaat kalah dalam perhitungan, isu strategis



12



ini kembali dikobarkan untuk membakar para pemilihnya untuk melakukan tindakan anarkis. Selain itu, salah satu peluang yang begitu rentan menimbulkan konflik dalam skala besar adalah pada saat penghitungan suara. Ketika penghitungan suara sudah hampir mencapai titik puncak, maka bisa dipastikan bahwa para pasangan yang sudah menduga kekalahan berpihak pada mereka akan mulai mempersiapkan langkah-langkah, baik langkah hukum maupun langkah pengerasan massa. Disinilah biasanya konflik paling parah yang dapat merusak nilai demokrasi itu sendiri (Janpatar, 2008).



4. Teori SWOT Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memutuskan strategi organisasi, analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengts) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threaths). Proses pengembangan



pengambilan misi,



tujuan



keputusan strategi



strategi dan



selalu



kebijakan



berkaitan



dengan



organisasi



dengan



menganalisis faktor-faktor strategis organisasi, dalam hal ini Polri dalam kondisi yang ada pada saat ini. Teori ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal (IFAS) dan eksternal (EFAS) yang akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan organisasi. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pemakaian metode SWOT ini secara jelas dapat dilihat prosesnya, mulai dari analisis eksternal, internal sampai dengan penyusunan formulasi dan analisis strategi, pemilihan alternatif strategi dan pengambilan keputusan strategi yang sesuai untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi secara optimal.



13



BAB III PEMBAHASAN



A. Konflik Sosial, Polmas dan Kearifan Lokal Dalam upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia membangun kepercayaan (trust building) masyarakat maka perlu diterapkan suatu perpolisian yang memasyarakat, membumi, demokratis, dan sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa. Namun



pelaksanaan



polmas



ini



hendaknya



dapat



melihat



pada



karakteristik suatu daerah, budaya, agama dan pranata sosial setempat dalam menyelesaiakn sebuah konflik sosial. Menurut Endang Poerwanti, nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara



mulus. Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk



(heterogen)



dan



jamak



(pluralistis)



seringkali



bersumber



dari



masalah



komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala. Karena itu, pelaksanaan polmas dengan kearifan lokal mutlak diperlukan karena akan menjadi formulasi yang baik. Formulasi yang dihasilkan akan memberi gambaran dan pemahaman kepada kepolisian tentang kondisi daerah setempat sehingga Kamdagri yang telah dicanangkan kepolisian dapat terealisasi dengan baik. Kepercayaan masyarakat lokal terhadap polmas dalam menyelesaikan sebuah konflik sangatlah penting. Parsudi Suparlan (2004), menyatakan bahwa polisi untuk dapat memperoleh kepercayaan dari anggota-anggota komuniti harus dapat memahami corak kehidupan dalam komuniti tersebut. Beliau mengatakan bahwa dengan memperhatikan corak kehidupan warga dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam komuniti-komuniti. Sebagaimana sasaran



14



dan tujuan Polmas, yaitu membangun dan meningkatkan pemahaman masyarakat dan polisi, mengenai keanekaragaman budaya, suku, maupun ras yang ada di masyarakat setempat. Dengan melakukan pendekatan secara lokal, personel polmas akan lebih cepat menerima isu dari masyarakat lokal terhadap segala permasalah yang mereka alami. Sebelum konflik terjadi dan meluas, pemahaman dan penguasaan personel polmas akan kearifan lokal akan memudahkan untuk menemukan titik masalah dan segera bertindak menyelesaikannya. Bagaimana mungkin sebagai isu konflik diperoleh seandainya personel polmas tidak memahami kondisi masyarakat lokal. Beberapa pendekatan melalui kearifan lokal yang dapat dilakukan polmas dalam menyelesaikan sebuah konflik social atau pilkada, guna mewujudkan keamanan dalam negeri diantaranya adalah :



1. Pendekatan Agama Implementasi Polmas melalui pendekatan agama merupakan salah satu kunci keberhasilan polmas. Sebagaimana dinyatakan KH Hasyim Muzadi (2009), beragama yang benar akan membuahkan sikap toleransi serta inklusif dengan berbagai perbedaan. Pendekatan subtansi ini akan mendekatkan antara agama dan Indonesia. Untuk implementasi di Provinsi Aceh misalnya, tentu tidak akan bisa sama penerapannya dengan Provinsi Bali. Perbedaan mayoritas agama di kedua provinsi ini tentu dibutuhkan implementasi yang berbeda. Bali mayoritas penduduknya beragama hindu, tentu tidak dapat menerapkan sistem kerja polmas di Padang. Demikian halnya sebaliknya. Perbedaan-perbedaan subtansial ini dapat menjadi pijakan Polri untuk mencari solusi dalam mengimplementasikan polmas dalam masyarakat.



15



Di Aceh bahkan, penerapan polmas juga melibatkan lembaga pendidikan dayah. Dayah merupakan lembaga pendidikan agama yang telah berakar kuat dalam perjalanan Islam di Aceh. Lalu bagaimana jika satu daerah memiliki multi agama, maka dapat dilakukan dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama setempat. Berdialog dan berdiskusi bagaimana perapan polmas. Dari hasil musyawarah tersebutlah maka polmas akan mudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang multi agama. Melibatkan tokoh agama akan meminimalisir perbedaan-perbedaan yang mungkin akan timbul dalam penyelesaian sebuah konflik. Hal ini terbukti berhasil saat dilakukannya Perjanjian Malino di Poso, Sulawesi Tengah, saat terjadi konfliks social pada tahun 2002 lalu.



2. Pendekatan Bahasa Harus difahami, pendekatan bahasa merupakan faktor penting dalam keberhasilan polmas. Bahasa, secara tidak langsung akan memudahkan jalinan komunikasi antara personel kepolisian dengan masyarakat setempat. Dalam penjelasan www.wikipedia.org, pendekatan bahasa merupakan salah satu cara untuk mengetahui kondisi dari masyarakat setempat. Bahasa merupakan sarana pendekatan paling efektif. Untuk itu, setiap personil kepolisian yang terlibat dalam polmas, diharapkan faham dan mampu berbahasa daerah dimana dia bertugas agar memudahkan komunikasi. Karena, harus diakui, masih banyak masyarakat Indonesia di pedalaman yang belum faham dan tidak mengerti dengan bahasa Indonesia. Memahami bahasa daerah setempat secara tidak langsung akan mendekatkan kepolisian dengan masyarakat. Interaksi sosial akan lebih mudah tercapai dengan bahasa daerah. Sebagaimana salah satu sasaran dan tujuan forum kemitraan polisi dan masyarakat



(FKPM)



adalah



mempererat



16



hubungan



dan



meningkatkan



komunikasi antara polisi dan masyarakat. Apabila bahasa setempat tidak mampu dimengerti oleh personil kepolisian, bagaimana sebuah permasalahan ataupun konflik yang terjadi dapat dipahami. Tentu tujuan ini akan sulit tercapai.



3. Pendekatan Adat Istiadat Pendekatan khusus ini menjadi penting dalam implementasi polmas. Karena, hingga kini masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang tetap menggunakan hokum adat dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Selama ini, institusi adat di berbagai daerah telah banyak terbentuk namun banyak juga yang tidak berjalan. Untuk itu, kehadiran polmas akan memaksimalkan tugas dan peran adat yang sudah terbentuk tersebut. Jika lembaga atau istitusi adat dapat berjalan, maka secara tidak langsung akan mendukung keamanan dalam negeri yang diharapkan oleh polri. Di Provinsi Aceh misalnya, lembaga adat sudah terbentuk sejak lama. Herman (2009), salah seorang aktivis jaringan Komunitas Adat (JKMA) menyatakan bahwa, yang memahami tentang masyarakat di suatu tempat adalah orang-orang yang dipilih oleh masyarakat setempat, yang telah berbaur bersama masyarakat setempat. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh pendapat Hendra Fadli (2007), bahwa implementasi polmas tidak harus diseragamkan dengan model yang berlaku di provinsi lain, apalagi secara historis komunitas Aceh memiliki kecenderungan sulit untuk beradabtasi dengan hal-hal baru yang berpotensi mereduksi fungsi tatanan sosial yang telah ada. Aceh sendiri memiliki lembaga adat yang telah diakui pemerintah setempat, yaitu Tuha Peut.



Yaitu sekumpulan orang yang dituakan karena



memiliki beberapa kelebihan. Kondisi yang sama juga terjadi di Papua dan Irian Jaya. Implementasi polmas dengan pendekatan adat mutlak diperlukan. Posisi adat di masih sangat



17



kuat. Pemahaman akan sebuah kebiasaan dalam masyarakat lokal, akan memudahkan penyelesaian sebuah konflik dengan menggunakan hukum adat.



4. Memahami Karakteristik Masyarakat Lokal Multikultural Indonesia memang harus difahami secara mendalam oleh setiap personil kepolisian yang bertugas dalam polmas. Perbedaan karakter masyarakat antara satu provinsi dengan provinsi lainnya sangat penting difahami dan dipelajari. Perbedaan karakteristik secara tidak langsung juga berimplikasi pada perbedaan tingkat keseriusan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Setiap daerah, konflik terjadi sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Personel kepolisian yang bertugas di daerah hendaknya melihat dan memahami karakteristik masyarakat setempat. Karakteristik masyarakat yang keras tentu berbeda menghadapinya saat bertemu dengan karakteristik masyarakat yang santun. Masyarakat Papua memiliki karakteristik tersendiri, begitupun dengan masyarakat Bugis dan karakteristik masyarakat di provinsi lainnya. Semuanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan memahami karakteristik lokal, personel polmas akan lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat, sehingga konflik yang belum terjadi dapat diredakan dengan memperhatikan karakteristik atau tabiat masyarakat lokal.



5. Psikologi Sosial Masyarakat Selain masalah agama, adapt istiadat, bahasa dan karakteristik masyarakat, implementasi polmas hendaknya juga melihat psikologis sosial masyarakat. Kondisi psikologi masyarakat yang belum stabil akan mempengaruhi implementasi dilapangan. Apalagi jika psikologis social tersebut masih berkaitan



18



dengan unsusr kepolisian atau aparat keamanan, tentu perlu penanganan khusus agar masyarakata mampu menjali kerjasama dan dapat membuka diri. Ambon contohnya. Kekerasan berdarah yang pernah terjadi dan meluluhlantakkan provinsi ini tentu belum dapat terhapus tuntas dalam bayangan masyarakatnya. Beban psikologi ini harus difahami personil kepolisian yang bertugas. Selain itu ada Papua. Hingga kini, konflik antar suku kerap terjadi dalam kehidupan mayarakat setempat. kondisi psikologis ini sangat labil dan rentan bagi implementasi polmas. Setiap personel kepolisian harus benar-benar memiliki kapasitas dan capabilitas yang mumpuni dalam mengimplementasikan polmas di Papua. Begitu juga dengan Provinsi Aceh. Konflik berkepanjangan yang sempat melanda Aceh, ditambah bencana maha dahsyat tsunami tahun 2004 silam tentu masih meninggalkan trauma mendalam bagi masyararakat. Selain harta benda, korban nyawa juga tak terhitung.



B. Polmas dan Politik Lokal Perkembangan perpolitikan di Indonesia diakui semakin mengalami perbaikan. Selain partai politik nasional, sebagain daerah juga memiliki karakteristik politik yang berbeda. Aceh misalnya, selain partai nasional, kehadiran partai local juga menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Kehadiran partai politik lokal di Aceh telah memberi pelajaran kepada siapapun, bahwa dinamika politik bersifat dinamis. Dari perpolitikan Aceh ini, akhirnya meluas dan layak diterapkan di daerah lain, walaupun bukan dalam bentuk partai politik. Melainkan dalam hal calon perseorangan untuk menjadi pimpinan daerah. Sebuah perubahan yang sangat signifikan. Karena, selama ini, pimpinan daearah hanya bisa diusulkan dari partai politik peserta Pemilu.



19



Pasca keputusan revisi terbatas UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya mengenai diperbolehkannya calon perseorangan untuk ikut berkompetisi, menurut Wahyurudhanto (2009), tentu saja akan membuat dinamika politik lokal mempunyai warna baru. Ada hal yang sangat spesifik dalam pemilihan kepala daerah. Yang pertama, kampanye Pilkada akan selalu mengangkat isu lokal Saat ini telah terjadi pergeseran dalam paradigma kampanye di Indonesia. Jika dulu kampanye hanyalah sarana untuk meyakinkan pemilih, kini kampanye sudah merupakan komunikasi politik dan pendidikan politik. Wahyurudhanto menambahkan, isu kampanye dan komunikasi politik dalam kampanye yang tidak tepat akan menyebabkan ketersinggungan pada kelompok-kelompok di daerah. Hal ini ditunjukkan dengan isu-isu yang diangkat selalu merupakan isu yang bisa membawa kebanggaan daerah, baik dalam kesejahteraan maupun semangat kebanggaan atas kepopuleran daerah. Selain itu, terkait dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 perihal calon independen, maka antisipasi konflik akibat dinamika politik lokal yang tidak terkendali harus bisa sejak awal “dibaca” oleh Polri selaku penanggung-jawab keamanan dalam negeri. Implementasi Polmas melalui optimalisasi deteksi dini oleh petugas polmas dan masyarakat merupakan langkah yang tepat dalam situasi seperti sekarang ini, karena petugas Polmas akan bisa secara intensif berfungsi melakukan pengumpulan bahan keterangan terhadap dinamika dan perubahan masyarakat yang meliputi aspek statis dan dinamis dalam kehidupan masyarakat.



C. Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Polmas melalui kearifan lokal diakui memiliki berbagai keuntungan bagi keberlangsungan Polmas. Namun, untuk mencapai semua tujuan ini, selain melihat multikultural bangsa Indonesia, terdapat beberapa faktor pendukung yang sangat mempengaruhi.



20



Faktor-faktor pendukung ini sudah seharusnya disiapkan oleh Polri guna mencapai sasaran dan tujuan implementasi polmas. Diantara faktor-faktor pendukung tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dari kepolisian sedangkan faktor internal adalah faktor dari masyarakat yang multikultural.



1. Faktor Internal 



Kurangnya SDM personil, baik secara kualitas maupun kuantitas.







Belum adanya sebuah lembaga pendidikan di tingkat provinsi untuk meningkatkan pemahaman tentang suatu daerah. Seperti adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya.







Anggaran yang masih terbatas dalam membentuk sebuah lembaga pelatihan seperti poin a.







Banyaknya



personil



kepolisian



yang



tidak



memahami



kultur



masyarakat setempat. 



System informasi yang minim. Pihak kepolisian di tingkat provinsi belum membuat sebuah buku khusus tentang kepolisian di daerah masing-masing, sebagaimana yang telah dibuat oleh Polda Aceh, yaitu Professionalism, Courage and Dignity. Buku ini menjadi pegangan yang sangat baik bagi personil kepolisian di Aceh.







Secara kultur anggota masih bersikap militeristik, arogan, diskriminatif, tidak tepat waktu dan lain-lain.



2. Faktor Eksternal Beberapa faktor eksternal yang harus dilihat oleh setiap personil kepolisian yang terlibat polmas adalah : 



Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah di beberapa daerah di Indonesia.



21







Pemahaman akan hukum masih rendah.







Tingkat ekonomi masyarakat setempat.







Strata sosial masyarakat yang kuat.







Faktor psikologis masyarakat karena berbagai hal, seperti konflik dan bencana.



22



BAB IV KESIMPULAN



1. Kesimpulan



Dari



pemaparan



dan



penjelasan



diatas,



maka



dapat



diambil



kesimpulan sebagai berikut : A. Polmas harus mampu melihat peluang multikultural Negara Indonesia sebagai kunci penyelesaian konflik sosial dalam masyarakat serta konflik yang terjadi pada pilkada. Keragaman bahasa, budaya dan adat-istiadat menjadi agenda utama bagi optmalisasi polmas. B. Perlunya pendekatan khusus di berbagai daerah dengan karakteristik masing-masing, melalui : 



Pendekatan Agama







Pendekatan Bahasa







Pendekatan Budaya dan Adat Istiadat







Memahami Karakteristik Lokal







Psikologi Sosial Masyarakat



C. Memahami kondisi dan situasi politik lokal pada masa pilkada adalah kunci untuk mengetahui isu yang berkembang dalam perpolitikan masyarakat setempat. D. Indikator pendukung dalam optimalisasi polmas untuk penyelesaian sebuah konflik yang mengacu pada kearifan lokal ada dua. Yaitu faktor eksternal dan faktor eksternal. Kedua faktor ini sangat menentukan keberhasilan polmas, serta dapat menjadi rujukan bagi setiap personil kepolisian yang terlibat.



23



2. Saran Guna memaksimalkan Polmas untuk menyelesaikan konflik sosial dan pilkada, diperlukan sebuah kerja sama yang berkesinambungan. Untuk itu, kepolisian diharapkan : 1. Meningkatkan kinerja polmas dengan melihat kearifan lokal sebagai solusi penyelesaian konflik. 2. Dapat meningkatan kapasitas personil kepolisian guna memahami permasalah dan kondisi lokal. 3. Member pelatihan khusus kepada masyarakat tentang pendidikan hukum untuk meminimalisir konflik sosial dan pilkada. 2. Memberi pelatihan khusus bagi personil kepolisian yang terlibat polmas guna mempermudah komunikasi dengan masyarakat setempat. khususnya dalam hal penguasaan bahasa daerah setempat.



24



DAFTAR PUSTAKA



Hasyim Muzadi, K.H. 2009. Seminar Nasional Perpolisian Masyarakat Peranan Tokoh Agama dalam Mensukseskan Program Polmas. http://www.isiindonesia.com/content/view/783/29/ Hendra Fadli. 2007., Gampoeng dan Perpolisian Masyarakat. Kontras. http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=39 Herman R.N. 2009. Aceh Butuh Polmas?. Sosbud Kompasiana. http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/30/aceh-butuh-polmas/ Janpatar, Simamora. 2008. Opini : Tradisi Kekerasan Dalam Pilkada. Medan : http://janpatarsimamora.wordpress.com/2008/07/22/tradisi-kekerasandalam-pilkada/ Lederach, John, P. 1996. Preparing For Peace: Conflict transformation Across Culture. Syracus, NY : Syracus University Press. Poerwadaminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.



Poerwanti Endang. 2006. Pemahaman Psikologi Maysrakat Indonesia Sebagai Upaya Menjembatani Permasalahan Silang Budaya. Makalah Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang. Ramli, H. 2010. Opini : Perilaku Pemilih dan Konflik Pilkada. Medan: Waspada. http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&i d=2178:perilaku-pemilih-dan-konflik-pilkada&catid=59:opini&Itemid=215 Suadi, Asyari., dkk. 2003. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta : INIS Universitas Leiden dan Pusat Bahasa dan Budaya UIN SYarif Hidayatullah. Suparlan, Parsudi. 2004. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Jakarta, YPKIK.



25



Susan Novri, MA. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Indonesia: Kencana Prenada Media Group. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Wallace and Wolf. 1995. Reading in Contemporary Sociologycal Theory From Modernity to Post-Modernity.New Jersey : Prentice Hall. Wahyurudhanto, A. 2009. Polmas dan Dinamika Politik Lokal. Makalah Pomas. http://wahyurudhanto.blogspot.com/2009/01/polmas-dan-dinamika-politiklokal.html. --------------, Aplikasi Polmas, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. --------------, Grand Strategi Polri 2005 – 2025.



26