PPK DM TB 2019 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Panduan Praktik Klinis Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru



RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo 2019



LEMBAR PENGESAHAN



Buku Panduan Praktik Klinis DIABETES MELITUS dengan TUBERCULOSIS - RSCM, telah disahkan di Jakarta, pada tanggal ………………2019 oleh:



dr. Lies Dina Liastuti, SpJP (K), MARS, FIHA



------------------------------------------------------------Direktur Utama



i



TIM PENYUSUN



Pengarah Direktur Utama dr. Lies Dina Liastuti, SpJP(K), MARS Direktur Medik dan Keperawatan Dr. dr. Ratna Dwi Restuti, SpTHT-KL(K) Tim Penyusun (diisi dengan nama Departemen atau Unit (diisi dengan nama personil yang terlibat Kerja yang terlibat dalam penyusunan dalam penyusunan PPK) PPK) Departemen Ilmu Penyakit Dalam: - Divisi Metabolik Endokrin Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, SpPDKEMD Prof. Dr. dr. Imam Subekti, SpPD-KEMD Dr. dr. H Suharko Soebardi, SPPD-KEMD Dr. dr. Em Yunir, SpPD-KEMD dr. Dante Saksono H, SpPD-KEMD, PhD Dr. dr. H Budiman Darmowidjojo, SpPDKEMD Dr. dr. Dyah Purnamasari, SpPD-KEMD Dr. dr. Tri Juli Edi Tarigan, SpPD-KEMD dr. Wismandari Wisnu, SpPD-KEMD dr. Farid Kurniawan, SpPD - Divisi Respirologi dan Penyakit dr. Ujainah ZN, SpPD-KP, MARS Kritis dr. Herikurniawan, SpPD



Departemen Ilmu Gizi



dr. Diyah Eka Andayani, M.Gizi, SpGK dr. Wina Sinaga, M.Gizi, SpGK



Tim Penelaah Internal Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrin Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, SpPDKEMD dr. Dicky Levenus Tahapary, SpPD, PhD - Divisi Respirologi dan Penyakit dr. Ceva W Pitoyo, SpPD-KP, KIC Kritis Departemen Ilmu Gizi dr. Lily I Octovia, M.T, M.Gizi, SpGK



ii



PENDAHULUAN



Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan Mycobacterium tuberkulosis (M.Tb), umumnya memengaruhi paru-paru (TB paru) tetapi juga dapat memengaruhi organ lain (TB ekstra-paru). Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2018, estimasi kasus TB di Indonesia ada sebanyak 842.000 kasus dan merupakan terbanyak ketiga di dunia.1 Sejumlah data telah menunjukkan diabetes melitus (DM) sebagai salah satu komorbid dan faktor risiko tersering pada TB paru.2 Sekitar 80% penyandang DM di dunia tinggal di negara berkembang dan berpendapatan rendah terutama di Asia termasuk Indonesia.2 Indonesia sebagai negara yang memiliki beban TB terberat ketiga di dunia, juga memiliki penderita DM nomor empat terbanyak di dunia. Studi epidemiologi menunjukkan prevalensi TB pada penderita DM adalah 2,3–4,3 kali lebih tinggi daripada populasi non-DM.3 Prevalensi TB dengan DM di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah sebesar 27,06 % di antara penderita TB.4 Data dari sesama pusat pelayanan tersier seperti Rumah Sakit Dr. Kariadi menunjukkan prevalensi terjadinya TB pada penderita DM sebesar 9,1%.5 Beban ekonomi yang ditimbulkan akibat komorbiditas TB-DM juga lebih besar dibandingkan beban dari penyakit TB saja, terutama dari sisi diabetes.6 DM juga berpengaruh negatif pada hasil akhir terapi obat anti tuberkulosis (OAT). DM dihubungkan dengan meningkatnya risiko kegagalan terapi OAT, kematian, dan relaps karena beberapa faktor yang belum jelas seluruhnya. Kepustakaan menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan kegagalan terapi OAT antara lain penyebaran kuman MTB yang lebih ekstensif, berkurangnya konsentrasi OAT pada penyandang DM, dan perubahan respon imun.7 Penanganan pasien TB dengan DM dipersulit oleh faktor-faktor di atas, ditambah dengan kontrol glikemik yang sering kali suboptimal. Kontrol glikemik suboptimal umumnya disebabkan oleh infeksi TB itu sendiri dan interaksi OAT terutama rifampisin dan isoniazid dengan obat antidiabetik oral (OAD).8 Durasi terapi OAT pada penyandang DM dengan TB umumnya enam bulan, penelitian menunjukkan tingkat rekurensi yang tinggi pada terapi OAT enam bulan dibandingkan dengan sembilan bulan.9,10 Oleh karena itu dipahami bahwa TB dan DM merupakan konvergen dari dua keadaan yang memengaruhi pengelolaannya.



iii



Melihat besarnya permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan TB-DM maka dibuatlah suatu panduan praktik klinis (PPK) TB-DM untuk lingkungan RSCM. Diharapkan dengan adanya PPK ini penanganan TB-DM di RSCM dapat dilakukan secara holistik dan komprehensif berdasarkan evidence based terkini sehingga tercapai outcome yang optimal bagi pasien serta cost effective.



iv



METODE PENYUSUNAN



Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 1438/MENKES/PER/IX/2010 mengenai Standar Pelayanan Kedokteran, PPK ini disusun mengacu kepada PNPK Tuberkulosis yang telah disahkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia. PPK ini juga berdasarkan panduan manajemen DMTB dari UNION-WDF 2019 dan summaries of review yang berbasis evidence yang diakses melalui Dynamed® dan Clinical Practice Guidelines terbaru yang telah dilakukan critical appraisal Penyusunan PPK ini dilakukan dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia di RSCM meliputi: 1. Alat medis (diagnostik dan terapeutik) yang tersedia di RSCM 2. Ketersediaan obat di Formularium RSCM dan Formularium Nasional 3. Pagu pembiayaan BPJS untuk RSCM PPK ini akan ditinjau kembali dan diperbaharui (jika diperlukan) sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sejak disahkan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.



v



1.1. DEFINISI Diabetes Melitus: suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1,2 TB paru: Tuberkulosis paru adalah infeksi pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) kompleks. 1.2. ANAMNESIS Keluhan diabetes melitus antara lain: • Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya • Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita Faktor risiko diabetes antara lain: • Faktor tidak dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin (risiko lebih tinggi pada lakilaki), riwayat DM keluarga, riwayat glukosa darah tinggi sebelumnya, riwayat melahirkan bayi besar ( > 4kg). • Faktor dapat dimodifikasi seperti berat badan lebih atau obesitas, pola hidup sedenter, faktor gaya hidup, diet rendah buah-buahan, sayur, dan karbohidrat kompleks, dan konsumsi alkohol. Keluhan tuberkulosis paru di antaranya: • Batuk (bisa batuk berdahak atau tidak berdahak atau batuk darah). Batuk berdahak lebih dari 2 minggu merupakan gejala yang sering. • Keluhan lain yang dapat terjadi adalah demam, menurunnya nafsu makan, penurunan berat badan, lemah, lelah dan keringat malam Faktor risiko infeksi tuberkulosis di antaranya: • Riwayat medis seperti infeksi human immunodeficiency virus (HIV), diabetes mellitus (DM), keganasan, penggunaan antagonis tumor necrosis factor-alpha (TNF-) atau obat obatan yang menekan sistem imun. • Faktor risiko infeksi lainnya adalah kontak dengan penderita TB aktif, merokok, pajanan kerja dengan debu silika, malnutrisi, penggunaan alkohol yang berlebihan, tinggal di lingkungan padat penduduk dan tunawisma Pada penyandang diabetes, perjalanan penyakit TB berlangsung lebih cepat dengan gejala lokal paru dan sistemik yang lebih sering dan berat – umumnya disertai temuan bakteri yang lebih tinggi dari pemeriksaan mikroskopik atau kultur. Beratnya gejala saat diagnosis berhubungan dengan derajat hiperglikemia yang tidak terkontrol.



1



1.3. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik pada TB paru dibahas lebih lanjut di PPK TB paru rawat jalan dan diabetes dibahas lebih lanjut di PPK DM Rawat Jalan.



1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang untuk diabetes Pemeriksaan penunjang untuk diabetes dibahas lebih lanjut di PPK DM Rawat Jalan Pemeriksaan penunjang untuk tuberkulosis Pemeriksaan penunjang untuk penunjang TB paru dibahas lebih lanjut di PPK TB paru



1.5. SKRINING DAN DIAGNOSIS DIABETES Kriteria diagnosis diabetes dibahas lebih lanjut di PPK DM Rawat Jalan Skrining dan diagnosis DM pada pasien TB Kadar glukosa darah dapat dipengaruhi oleh TB melalui stress-related hyperglycaemia. Infeksi TB tidak dapat menyebabkan DM, tapi dapat memunculkan DM pada individu yang berisiko terkena DM di masa depan. Apabila diagnosis DM ditegakkan pada saat diagnosis TB, kendali glukosa darah dapat menjadi normal pada akhir pengobatan TB karena itu skrining diabetes pada TB disarankan dilakukan pada saat diagnosis TB paru ditegakkan. Pasien TB saat didiagnosis



Apakah menyandang DM? Apakah saat ini sedang dalam pengobatan DM?



TIDAK Cek GDP, GD2JPP (Lakukan evaluasi sesuai PPK DM Rawat Jalan)



YA Evaluasi kendali glikemik dan tatalaksana lebih lanjut



Gambar 1. Alur skrining DM pada pasien TB



2



1.6. SKRINING DAN DIAGNOSIS TB PARU Kriteria diagnosis dan klasifikasi TB Krtieria diagnosis dan klasifikasi TB dibahas lebih lanjut di PPK TB paru Alur skrining DM pada pasien TB dijabarkan di Gambar 1. Skrining TB pada penyandang diabetes Pada daerah dengan prevalensi TB yang tinggi (>100 kasus / 100.000 populasi), individu yang baru terdiagnosis DM yang tinggal di Indonesia disarankan untuk dilakukan skrining TB. Penyandang diabetes yang tinggal di daerah endemik TB juga harus diedukasi mengenai tanda, gejala, dan risiko TB – terutama pada pasien risiko tinggi seperti perokok atau hiperglikemia tidak terkontrol. Pertanyaan yang perlu ditanyakan pada anamnesis yang perlu ditanyakan mencakup: a. Batuk > 2 minggu b. Demam subfebris c. Penurunan berat badan d. Keringat malam e. Sesak saat menarik napas f. Terdapat gejala TB ekstra paru Selain itu, skrining TB pada DM dibagi menjadi: a. Pasien DM yang baru terdiagnosis Kelompok ini memerlukan skrining berupa anamnesis gejala TB paru dan pemeriksaan foto rontgen dada. Jika didapatkan minimal salah satu dari butir anamnesis atau hasil foto thorax sugestif TB, penegakkan diagnosis akan dilanjutkan sesuai PPK TB Paru Rawat Jalan. Jika hasil skrining negatif, penapisan gejala klinis TB akan dilakukan setiap kunjungan berikutnya b. Pasien DM lama Kelompok ini memerlukan skrining berupa anamnesis gejala TB paru pada setiap kunjungan. Pada pasien dengan glukosa darah yang tidak terkontrol, pemeriksaan foto rontgen dada ulang dapat dilakukan sesuai dengan penilaian klinis dokter Diagnosis Banding Diagnosis Banding TB dan DM dijabarkan lebih lanjut di PPK masing-masing



3



1.7. MANAJEMEN DIABETES MELITUS DENGAN INFEKSI TUBERKULOSIS Prinsip manajemen terapi pada kelompok pasien DM yang juga menderita TB mencakup: a. Manajemen DM dengan TB • Secara umum, pilar penanganan DM mencakup edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis sesuai dengan Panduan Penatalaksanaan Diabetes Melitus oleh Perkeni tahun 2015.11 Untuk panduan DM pada seting rawat jalan dapat merujuk ke PPK DM Rawat Jalan yang digunakan di RSCM. • Untuk mencegah penularan, pada pasien DM dengan TB paru (bakteriologis positif), pengelolaan DM pada 2 minggu pertama dilakukan di Poli TB Paru, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, yang bekerja sama dengan Poli Endokrin dan Diabetes, Depertemen Ilmu Penyakit Dalam. • Menurut panduan yang dipublikasikan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disesase pada tahun 2019, terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan dalam manajemen DM dan TB, yaitu Metformin, Sulfonilurea (SU), dan insulin (Tabel 1). Hal ini disebabkan data dan pengalaman mengenai penggunaan obat-obat golongan baru (GLP-1, DPPIV-i) pada kasus DM dan TB masih terbatas.9 1. Metformin merupakan pilihan pertama untuk pengelolaan pasien DM secara umum. Pada pasien DM dengan TB, metformin juga masih dapat digunakan. Namun perlu memperhatikan efek samping gastrointestinal yang mungkin timbul. Pada kondisi TB paru berat dengan hipoksemia, penggunaan metformin sebaiknya dihindari karena meningkatkan risiko asidosis laktat.9 2. Penggunaan Sulfonilurea (SU) pada pengelolaan pasien DM dengan TB, memerlukan kehati-hatian karena dikaitkan dengan interaksi dengan Rifampicin yang menyebabkan penurunan efikasi SU. OHO golongan ini memiliki risiko hipoglikemia yang lebih tinggi dan memiliki variabilitas interaksi dengan Rifampicin (30–80%) akibat terjadinya peningkatan metabolism SU oleh hepar.9 3. Insulin menjadi alternatif pada pasien yang gagal mencapai kendali glikemik dengan kombinasi OAD. Insulin juga menjadi pilihan pada pasien yang sudah dalam terapi insulin sebelumnya dan pasien yang sedang dalam kondisi rawat inap di rumah sakit. • Berdasarkan Konsensus DM TB yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, pada pasien DM dan TB, insulin merupakan intervensi farmakologis pilihan yang dapat diberikan.12 Keuntungan penggunaan insulin pada ini mengacu pada tidak adanya interaksi dengan Rifampicin atau OAT lain. Akan tetapi, insulin memiliki beberapa kekurangan seperti ketersediaannya serta distribusinya yang terbatas, harganya yang mahal, penyimpanannya yang membutuhkan perhatian khusus, dan penolakan pasien untuk menggunakan insulin.7 • Ada beberapa hal mengenai interaksi obat TB pada kondisi DM yang perlu diperhatikan:9 1. Efek samping Isoniazid yang berupa polineuropati perifer dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin sebagai terapi adjuvan 2. Efek samping etambutol terhadap mata perlu menjadi perhatian karena pasien DM sering mengalami komplikasi retinopati, bila perlu konsul spesialis Mata.



4







3. Efek samping hampir semua obat TB terhadap sistem gastrointestinal yang dapat diperparah dengan efek samping laktoasidosis metformin (jarang). Namun, jika terjadi penggunaan metformin harus dihentikan terutama jika terjadi perburukan pada pasien DM yang sedang diterapi TB. Jenis terapi farmakologis yang digunakan untuk terapi DM dan TB dapat dilihat di Tabel 19 berikut: Tabel 1. Pemilihan Terapi Farmakologis pada DM dengan TB Karakteristik Drug of choice



Risiko hipoglikemia Dosis awal



Interaksi dengan Rifampicin



Efek samping utama Penggunaan pada kasus penurunan fungsi ginjal



Keuntungan kardiovaskular







Metformin Terapi inisial



Turunan Sulfonilurea Tambahan (atau digunakan saat terdapat kontraindikasi atau intoleransi terhadap metformin Tidak Ya 500 mg sekali atau Gliclazid 40–80 mg dua kali perhari sekali/hari (dosis maksimal Glibenclamid 2.5–5 mg 2000 mg) sekali/hari Glimepirid 1–2 mg sekali/hari Gliquidon 30 mg dua atau tiga kali/hari Glipizide 5 mg sekali perhari Tidak berhubungan Ya, 30–80% terjadi penurunan efikasi karena interaksinya dengan Rifampicin Gastrointestinal Hipoglikemia Asidosis laktat Penyesuaian dosis Peningkatan risiko pada eGFR < 45 hipoglikemia (lebih mL/menit dipilih Gliclazide) Kontraindikasi pada eGFR < 30 mL/menit Ada Netral



Insulin Digunakan saat target HbA1c atau GDP tidak tercapai atau saat terjadi hiperglikemia yang simptomatik Ya Insulin basal dapat dimulai 10 unit perhari untuk kemudian dititrasi sesuai dengan kadar glukosa darah. Titrasi dan intensifikasi regimen insulin dapat mengacu pada PPK DM Rawat Jalan Tidak berhubungan



Hipoglikemia Aman digunakan



Netral



Target kontrol glukosa darah pada pasien DM dengan TB juga tidak berbeda dengan pasien DM pada umumnya. Target glikemik pada subjek kelompok ini dapat dilihat pada Tabel 212 Tabel 2. Sasaran Pengendalian DM Parameter IMT Glukosa darah preprandial kapiler (puasa) Glukosa darah 1–2 jam sesudah makan kapiler HbA1c



5



Sasaran 18,5–23 kg/m2 80–130 mg/dL < 180 mg/dL < 7%



Menurut panduan yang dipublikasikan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disesase pada tahun 2019, target kontrol glikemik pada pasien DM dengan TB dapat lebih tinggi karena kondisi TB dan DM digolongkan ke dalam manajemen DM dengan komorbid yang bermakna sehingga targetnya boleh lebih longgar.9 b. Manajemen TB pada DM • Paduan OAT TB paru dengan DM dan tanpa DM tidak berbeda.13 • Lama pemberian regimen OAT minimal selama 6 bulan yang terbagi menjadi fase intensif dan fase lanjutan. Durasi OAT dapat diperpanjang menjadi 9 bulan dengan mempertimbangkan klinis pasien.3,12 • WHO merekomendasikan pemberian OAT dosis harian baik pada fase intensif dan lanjutan, Tetapi sampai saat ini OAT yang berasal dari program kementerian kesehatan masih memberikan terapi pada fase lanjutan dengan dosis intermitten • Evaluasi pengobatan TB paru kasus baru dapat dilihat pada PPK TB Paru secara lebih lengkap c. Manajemen Nutrisi • Tujuan manajemen nutrisi adalah mengatasi hiperglikemia dan malnutrisi yang dapat dialami pasien DM dengan TB paru • Definisi hiperglikemia dan malnutrisi pasien DM dengan TB paru mengacu kepada PPK Diabetes Rawat Jalan dan PPK Malnutrisi • Tatalaksana Nutrisi yang diberikan mengacu kepada PPK Diabetes Rawat Jalan, PPK TB Multidisiplin, dan PPK Malnutrisi, yaitu: a. Pemberian energi berdasarkan kondisi hiperkatabolisme dan malnutrisi yang dialami dapat mencapai 35–40 kkal/kgBBI/hari dengan mempertimbangkan beratnya TB sebagai faktor stress metabolic. b. Pemberian karbohidrat sebesar 45–65% total asupan energi.11 Dianjurkan untuk mengonsumsi bahan makanan sumber karbohidrat kompleks misalnya beras merah, roti gandum, sayur dan buah-buahan yang cukup serta menghindari konsumsi karbohidrat sederhana yaitu minuman dan makanan selingan yang manis. c. Pemberian protein sebesar 10–30% total asupan energi dengan mempertimbangkan fungsi ginjal pasien. d. Pemberian lemak sebesar 20–30% total asupan energi, dengan menghindari makanan digoreng untuk mengurangi asupan asam lemak jenuh, dan memilih jenis ikan, kacangkacangan dan minyak tertentu sebagai bahan makanan sumber tinggi asam lemak rantai jamak dan asam lemak rantai tunggal. e. Pemberian mikronutrien dari suplementasi dianjurkan pada pasien TB rawat jalan dengan malnutrisi sampai malnutrisi teratasi atau IMT kembali normal. Pemberian suplemen mikronutrien memerlukan pendekatan individual yang didasarkan pada penyebab dari malnutrisi. Kebutuhan mikronutrien pasien dengan malnutrisi sedang berbeda dengan malnutrisi berat. Suplemen multivitamin dan mineral 1x angka kecukupan gizi (AKG) dianjurkan pada pasien malnutrisi sedang sampai berat jika asupan tidak adekuat atau tidak tersedia makanan yang telah difortifikasi zat gizi. • Mengacu pada PPK DM Rawat Jalan, pasien DM baru perlu diberikan asuhan dan konseling gizi oleh dietisien.



6



• Pasien DM dengan TB paru dengan episode hiperglikemia dan malnutrisi memerlukan konsultasi Dokter Spesialis Gizi Klinik dan atau tim terapi gizi untuk mendapatkan terapi nutrisi medik lebih lanjut terutama pasien dengan MST > 3.



d. Manajemen Risiko Kardiovaskular • Penilaian dan manajemen risiko kardiovaskular sangat penting untuk dilakukan pada pasien DM dan TB. Jenis risiko kardiovaskular, target, dan intervensi yang dibutuhkan untuk penilaian dan manajemen risiko kardiovaskular pada pasien DM dan TB tersaji pada Tabel 39. • Aspirin dapat diberikan sebagai profilaksis sekunder pada pasien DM dan TB yang menderita penyakit kardiovaskular yang bersifat atherosklerotik seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer. 7,9 Tabel 3. Manajemen Risiko Kardiovaskular pada DM dengan TB Risiko Kardiovaskular Merokok



Target Berhenti merokok



Obesitas



Indeks Massa Tubuh (IMT) IMT > 25 kg/m2 Menghindari konsumsi alkohol selama terapi TB



Konsumsi Alkohol



Intervensi Konseling untuk berhenti merokok Konseling diet dan aktivitas fisik



Perhatian Khusus Berhubungan dengan luaran TB Peningkatan BB + 10% karena terapi TB



Konseling



Peningkatan risiko gangguan fungsi hati yang berhubungan dengan terapi TB Rifampicin mengurangi efektivitas beberapa obat anti-hipertensi (Golongan penghambat kanal kalsium dan ACE inhibitor) Rifampicin mengurangi efektivitas obat golongan statin



Hipertensi



TD < 140 mmHg



Terapi anti-hipertensi



Hiperlipidemia



LDL < 100 mg/ dl



Penyakit kardiovaskular atherosklerotik (infark miokard, strok, dan penyakit arteri perifer)



Pencegahan sekunder



Terapi statin untuk yang berusia > 40 tahun atau yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya Statin (Simvastatin 20 40 mg perhari atau Pravastatin 40 - 80 mg perhari)



Risiko perdarahan dengan hemoptisis



1.8. EDUKASI Edukasi yang baik sangat diperlukan baik bagi pasien maupun pengawas minum obat (PMO)1,2. • Pengendalian glukosa darah pada pengobatan TB dan dampak glukosa darah tidak terkendali • Pasien dan PMO harus diyakinkan bahwa tuberkulosis bisa sembuh apabila pasien minum obat secara benar dan teratur.



7



• • • • •



Pemberian OAT memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 6 bulan. OAT dapat menyebabkan efek samping, efek interaksi obat dan alergi, pasien dan PMO harus diinformasikan mengenai kemungkinan yang terjadi dan tindakan yang harus dilakukan apabila hal tersebut terjadi. Sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pasien minum obat selain edukasi, diperlukan tempat layanan kesehatan yang nyaman dan mudah dijangkau oleh pasien. Edukasi mengenai etika batuk Edukasi nutrisi untuk mencapai target kontrol glikemik dan kenaikan berat badan mencapai status nutrisi normal.



1.8. PROGNOSIS DM dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dan kegagalan terapi pada kasus TB serta munculnya relaps. Implikasi dampak negatif DM pada luaran TB mencakup hasil luaran yang buruk, peningkatan risiko penularan sekunder, dan peningkatan insidensi TB.14



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.



4.



5. 6.



7.



8. 9.



10.



WHO. Global tuberculosis report. Global Tuberculosis report. 2015. Baghaei P, Marjani M, Javanmard P, Tabarsi P, Masjedi MR. Diabetes mellitus and tuberculosis facts and controversies. J Diabetes Metab Disord. 2013;12(1):1–8. Zheng C, Hu M, Gao F. Diabetes and pulmonary tuberculosis: A global overview with special focus on the situation in Asian countries with high TB-DM burden. Glob Health Action [Internet]. 2017;10(1):1–11. Available from: http://dx.doi.org/10.1080/16549716.2016.1264702 Singgih A. Hubungan antara kadar hemoglobin dengan prevalensi tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus 2 di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo pada tahun 2010. Universitas Indonesia; 2012. Nadliroh Z, Kholis FN, Ngestiningsih D. Prevalensi terjadinya tuberkulosis pada pasien diabetes melitus di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Media Med Muda. 2015;4(4):1714–25. Arnold M, Beran D, Haghparast-Bidgoli H, Batura N, Akkazieva B, Abdraimova A, et al. Coping with the economic burden of Diabetes, TB and co-prevalence: Evidence from Bishkek, Kyrgyzstan. BMC Health Serv Res [Internet]. 2016;16(1):1–13. Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s12913-016-1369-7 Riza AL, Pearson F, Ugarte-gil C, Alisjahbana B, De S Van, Panduru NM, et al. Clinical management of concurrent diabetes and tuberculosis and theand the Implications for Patient Services. 2014;2(9):740–53. Niazi A, Kalra S. Diabetes and tuberculosis: a review of the role of optimal glycemic control. J Diabetes Metab Disord. 2012;11(1):28. Lin Y, Harries A D, Kumar A M V, Critchley J A, van Crevel R, Owiti P, Dlodlo R A DA. Management of diabetes mellitus-tuberculosis: a guide to the essential practice. Paris, France: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. 2019. Wang JY, Lee MC, Shu CC, Lee CH, Lee LN, Chao KM, et al. Optimal duration of antiTB treatment in patients with diabetes: Nine or six months? Chest [Internet].



8



11. 12. 13. 14.



2015;147(2):520–8. Available from: http://dx.doi.org/10.1378/chest.14-0918 PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2015. Kemenkes RI. Buku Konsensus Nasional Tuberkulosis dan Diabetes melitus. 2015. p. 51. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. 2016; Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A, Lönnroth K, et al. The impact of diabetes on tuberculosis treatment outcomes: A systematic review. BMC Med [Internet]. 2011;9(1):81. Available from: http://www.biomedcentral.com/1741-7015/9/81



9