Prof. Dr. Ir Wiratman Wangsadinata, SI 54 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ramsi
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Prof. Dr. Ir Wiratman Wangsadinata, SI ‘54 http://alsi-itb.org/prof-dr-ir-wiratman-wangsadinata-si-54/



Mahaguru Konstruksi Indonesia Berkarya lebih dari setengah abad, Wiratman telah membuktikan integritas, dedikasi dan profesionalistas sebagai engeneer sekaligus entreprenuer sukses. Jejak karyanya tersebar diberbagai bidang dan wilayah, mewarnai sejarah karya konstruksi monumental di Indonesia. Lewat keahliannya telah lebih dari 4100 proyek ditanganinya. Puluhan penghargaan yang mengapresiasi kerja keras dan inovasinya juga telah diraih pria yang hingga hari ini mengaku tak pernah berhenti belajar. Dengan keahlian yang sangat multidisipliner, Wiratman sangat pantas menyandang gelar : ahli beton, ahli gempa, ahli jembatan dan ahli gedung tinggi. Predikat yang tidak sembarang orang mampu meraihnya. Berkiprah dalam pengerjaan berbagai proyek monumental sejak tahun 1960-an, tak cukup ratusan halaman untuk menuliskan catatan karya dan prestasinya. Di era tahun 60 s.d. 70-an, saat Gubernur Jakarta Ali Sadikin memacu perkembangan Jakarta menjadi kota moderen, Wiratman dijuluki “Motor Penggerak Jakarta” setelah ia diangkat sebagai Wakil Ketua Tim Penasehat Konstruksi Bangunan DKI. Profesor Roosseno yang dijuluki bapak beton Indonesia, mendapatkan asisten tangguh saat mewujudkan impian terbesarnya untuk memugar Candi Borobudur dengan cepat (1973-1983) serta membuatnya tetap tegak berdiri kokoh hingga ratusan tahun kedepan. Wiratman adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah perjalanan bangsa, termasuk ketika Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno mencanangkan proyek nation dan character building dengan mempercepat pembangunan kota moderen. Membangun proyek-proyek mercusuar agar rakyat Indonesia memiliki harga diri dan kebanggaan sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain didunia.



Wiratman, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil ITB tahun 1954, yang sangat menyukai Fisika dan Matematika ini mengaku bahwa jalan Tuhan telah membuat dirinya ada dalam pengabdian penting dibidang keteknik sipilan. Dunia yang sangat dicintai, sebanding dengan kecintaannya pada dunia pendidikan.



Berikut catatan karya dan perjalanannya sebagai ahli Beton, Gempa, Gedung Tinggi dan Jembatan yang disarikan dari buku Momentum & Innovation Wiratman (1960-2010). Ahli Beton Perjalanannya sebagai ahli beton dimulai tahun sekitar tahun 1960-an. Saat itu Wiratman yang baru menyesaikan pendidikan di ITB mendapatkan tawaran untuk menjadi dosen di Jurusan Teknik Sipil. Sebagai dosen muda, Wiratman bertindak sebagai asisten dosen konstruksi mendampingi Prof. Roosseno sebelum menjadi dosen utama. Saat Prof. Roosseno berhenti mengajar di ITB dan rekan-rekannya melanjutkan studi keluar negeri, Wiratman yang saat itu juga telah bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebagai ahli teknik di Jawatan Jalan-Jalan dan Jembatan diangkat menjadi dosen tunggal Konstruksi Beton di ITB. Ia merupakan satu-satunya dosen beton di Jurusan Teknik Sipil yang mengajar semua jurusan sampai tahun 1969, sampai saat ia diberangkatkan oleh Kementerian PU ke Inggris untuk pengalaman kerja. Penguasaan ilmu betonnya bertambah setelah ia dikirim menteri PU, Ir. Sutami ke Inggris melaui beasiswa Colombo Plan. Di Inggris ia bekerja di perusahaan konsultan terkenal, Scott Wilson & Kirkpatrick di London pada tahun 1969. Di tempat ini, ia ditugaskan mempelajari cara-cara mutakhir, metode baru dan perkembangan teknik sipil khususnya konstruksi Beton. Ia juga diikutsertakan dalam tim perencana Hong Kong Cross-Harbour Tunnel 1 yang saat itu sedang dikerjakan perusahaan tersebut. Dalam tim ini, Wiratman bertugas menyelidiki stabilitas segmen-segmen terowongan sewaktu diluncurkan dari darat ke laut. Ini merupakan kontribusi pertamanya dalam mega proyek internasional. Di Inggris ia tidak hanya belajar struktur, tapi juga mengenal komputer untuk pertama kalinya, mengingat pada saat itu dunia konstruksi Indonesia belum mengenal komputer. Sekembalinya dari Inggris, Wiratman diundang mengajar sebagai dosen luar biasa di almamaternya. Ia tidak puas dengan metode pengajaran yang sama, oleh karena itu ia terus memperbaharui dan memperdalam pengetahuannya. Berbekal dasar ilmu yang dikuasainya, Wiratman kemudian mengembangkan sendiri teori-teori tentang beton untuk mata kuliahnya, sambil menemukan metode pengajaran baru yang sesuai dengan tuntutan kemajuan dunia praktisi. Sepulang dari Inggris pula, Wiratman mendapatkan tugas dari Ir. Sutami, Menteri PU saat itu untuk menyusun peraturan beton bertulang Indonesia 1971. Wiratman memimpin tim yang beranggotakan 15 orang ahli yang bekerja secara marathon selama 21 bulan. Hasilnya kemudian diluncurkan pada tanggal 1 Oktober 1971. Disisi lain pesatnya pembangunan proyek-proyek penting di Jakarta yang sedang mengembangkan diri sebagai kota metropolitan memberikan kesempatan kepada para insinyur muda termasuk Wiratman untuk mengembangkan ilmunya. Gabungan pengetahuan, keilmuan dan lapangan membuatnya kemudian menghasilkan banyak tulisan, analisa diberbagai jurnal profesi. Wiratman juga melahirkan sejumlah perhitungan dan teori struktur beton baru.



Saat menjadi ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia ( HAKI) tahun 1974-1980, Wiratman semakin mempopulerkan pemakaian prestressed concrete secara luas bersama PT. VSL (Vorspann System Losinger) Indonesia, sebuah kontraktor pelaksana prestressed concrete yang berpusat di Swiss.



Disamping mengajar, menyusun peraturan konstruksi beton, menulis dan mempopulerkan pemakaian beton prestressed, Wiratman juga banyak menghasilkan karya-karya nyata konstruksi beton yang outstanding.



Ahli Gempa Wiratman punya peran sangat penting dalam menghadirkan ilmu Teknik Gempa di Indonesia. Ia juga merupakan orang yang pertama kali memasukkan pengaruh gempa dalam Peraturan Beton Bertulang Indonesia sebagai faktor mutlak dalam perencanaan gedung tinggi. Pelajaran formal mengenai teknik gempa pertama kali diperoleh Wiratman pada tahun 1969, saat ia ditugaskan Kementerian PU untuk mengikuti teaching seminar di Skopje, Yugoslavia yang bertema Inter-regional Seminar on Low Cost Construction Resistant to Earthquakes and Hurricanes. Saat itu Skopje sedang membangun kembali setelah hancur dilanda gempa setahun sebelumnya, sehingga bisa sekaligus dimanfaatkan sebagai laboratorium lapangan oleh para peserta. Seminggu penuh Wiratman digembleng prinsip-prinsip dasar perencanaan bangunan tahan gempa oleh para pengajar internasional. Pengetahuan baru tersebut kemudian mengantarnya mahir dalam ilmu teknik gempa, baik sebagai dosen maupun praktisi. Pada awal tahun 1970-an, sepulang dari Inggris, Wiratman memperoleh kesempatan untuk semakin memperdalam ilmu teknik gempanya saat ditugaskan Kementerian PU menjadi supervisor proyek Wisma Nusantara. Sebuah proyek pembangunan gedung tinggi pertama di Jakarta dan Asia Tenggara, yang sejak dalam proses perencanaannya telah memperhitungkan pengaruh gempa dalam konstruksinya. Dikerjakan oleh perusahaan konstruksi Jepang yang sangat ahli dibidang teknik gempa, Wiratman memperoleh kesempatan emas untuk menimba ilmu dan memperdalam pengetahuan teknik gempanya. Berbekal tiga tahun pengalaman terlibat dalam pembangunan Wisma Nusantara, sebagai seorang dosen Teknik Sipil, Wiratman kemudian mengusulkan kepada ketua Jurusan Teknik Sipil ITB yang pada masa itu dijabat Ir. Kadarman Harsokusumo agar Jurusan Teknik Sipil ITB mengadakan mata kuliah Teknik Gempa. Hal tersebut dipandangnya perlu dilakukan di Indonesia, khususnya di ITB mengingat kondisi geografis Indonesia yang berada diatas empat lempeng tektonik aktif yaitu : Indo Australia, Pasifik, Eurasia dan Filipina yang menyebabkan frekuensi terjadinya bencana gempa sangat tinggi. Maka sejak tahun 1970, Wiratman mengajar Teknik Gempa di Jurusan Teknik Sipil ITB hingga pensiun. Ia menyusun silabus pengajaran, terus mendalami ilmu ini, menulis dan mempublikasikan, serta menjadi pembicara dalam berbagai seminar mengenai masalah kegempaan. Wiratman memperkenalkan metoda D-value yang dicetuskan Profesor Kiyoshi Moto dari Universitas Kyoto saat menggarap proyek Wisma Nusantara, serta metoda-metoda lain seperti metoda Kani dari Jerman, metoda Takabeya yang ditemukan orang Jepang yang bermukim di Jerman, serta metoda Cross yang dimodifikasi oleh Wiratman.



Pada tahun 1976-1981, Wiratman terlibat sebagai salah satu anggota tim counterpart Indonesia yang bersama-sama konsultan Beca Carter Holding & Ferner yang ditunjuk pemerintah Selandia Baru untuk membuat peraturan perencanaan bangunan tahan gempa, termasuk membuat peta zonasi gempa untuk Indonesia yang didahului studi kegempaan Indonesia (Indonesian Earthquake Study). Proyek ini akhirnya menghasilkan Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung, 1983 (PPTGI-UG, 1983) yang secara resmi dikeluarkan Kementerian PU dan dijadikan Standar Nasional SNI 03-1726-1989 yang kemudian dikeluarkan secara resmi oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN).



Pada tahun 2000, ia kembali diminta Kementerian PU untuk mengetuai tim pembaharuan SNI SNI 03-1726-1989. Tim melakukan tugas diwarnai diskusi alot selama dua tahun. Drafnya kemudian diresmikan sebagai SNI 03-17262002 oleh Badan Standardisasi Nasional. Keahlian teknik gempa Wiratman semakin diakui setelah ia bergabung dengan tim pemugaran Candi Borobudur yang dipimpin Prof. Roosseno pada tahun 1973. Dalam proyek tersebut, Wiratman melakukan perhitungan secara cermat penataan candi agar tetap tahan gempa hingga ratusan tahun. Ia juga melengkapi dengan perhitungan tingkat-tingkat risiko gempa di lokasi Candi Borobudur yang didasarkan pada hasil Probabilistic Seismic Hazard Analysis berdasarkan data statistik kegempaan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dari sumbersumber gempa dalam radius 500 km dari lokasi Candi. Eksistensi Wiratman sebagai ahli gempa makin diakui. Pada akhir tahun 2010, ia diminta Kementerian PU menjadi ketua tim penasehat dari sebelas ahli yang terdiri dari ahli geoteknik kegempaan, geologi, seismologi, struktur bangunan hingga ahli deformasi kerak bumi untuk menyusun peta zonasi gempa yang baru. Peta ini akan menjadi landasan bagi perancangan bangunan, tidak hanya gedung tapi juga infrastruktur di seluruh Indonesia. Ahli Gedung Tinggi Berbekal keahlian dalam ilmu beton dan teknik gempa, Wiratman terlibat dalam pembangunan berbagai proyek monumental pertama di Indonesia, khususnya gedung bertingkat banyak/ tinggi. Wiratman mengungkapkan bahwa pengetahuan dalam merencanakan gedung tinggi diperolehnya dari pengalaman memeriksa pekerjaan perencanaan para insinyur Jepang. Pada akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an, Jakarta sedang giat-giatnya membangun. Ali Sadikin, gubernur saat itu membentuk Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK), Tim Penasehat Konstruksi Bangunan (TPKB) dan Tim Penasehat Instalasi Bangunan (TPIB). Timtim tersebut ditempatkan di bawah Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (sekarang Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan). Wiratman dipilih sebagai Wakil Ketua Tim Penasehat Konstruksi Bangunan. Ada peristiwa yang dikenangnya sebagai peristiwa sangat bersejarah dalam karinya sebagai ahli gedung tinggi yaitu saat pertemuannya dengan ahli-ahli gedung tinggi didunia seperti : Prof. See Seng Lip, Prof. T.Y Lin, dan Prof. Kiyoshi Muto dalam sebuah konferensi internasional pertama mengenai gedung-gedung tinggi di Lehigh University, Amerika Serikat pada tahun 1972. Belakangan para ahli-ahli ternama dunia ini menjadi teman-teman baiknya.



Wiratman banyak mengembangkan dan menerapkan ilmunya antara lain dengan menemukan teori baru yang menyederhanakan analisis struktur gedung tinggi terhadap pengaruh seperti struktur gedung ATD Plaza, memperkenalkan soldier piles untuk pertama kalinya pada pembangunan basement di gedung Niaga Tower dan penggunakaan beton pratekan di Wisma Dharmala dan pracetak di Niaga Tower hingga inovasi struktur pada dinding berliuk di Jakarta Bakrie Tower. Ahli Jembatan Wiratman membangun karirnya sebagai ahli jembatan sejak tahun 1960. Karya-karya jembatan dan jalannya tersebar diberbagai wilayah di Indonesia. Keterlibatannya dalam proyek jembatan dan jalan ditekuninya sejak ia lulus ITB, tepatnya saat diangkat sebagai ahli teknik di Jawatan Jalan-Jalan dan Jembatan Kementerian PU pada 1 Januari 1960.



Setelah itu ia terlibat sebagai ahli dalam merencanakan sejumlah jalan dan jembatan diseluruh Indonesia seperti : Jembatan Ciliwung di Jl. MT Haryono yang merupakan bagian dari proyek Asian Games, jalan dan jembatan dari Cawang ke Semanggi, Jembatan Way Lela di Ambon, Maluku. Dalam proyek jembatan Way Lela untuk pertama kalinya ia bertemu Dr. Rudolph yang kemudian menjadi mentornya di bidang Jembatan. Ahli teknik berkebangsaan Austria yang sangat mencintai Indonesia inilah yang kemudian mengembleng Wiratman untuk berpikir rasional, logis, bekerja sistematis, inovatif dan teliti dalam setiap perencanaan jalan dan jembatan. Pengalaman dibidang konstruksi jalan diperolehnya pada tahun 1963. Saat itu Wiratman bergabung dengan Perusahaan Negara Indah Karya, perusahaan perencana di bawah PU yang sebelumnya merupakan perusahaan Belanda bernama Ingenieurs Bereau Ingenegeren-Vrijburg /N.V. (IBIV) untuk menggarap jalan tol pertama di Indonesia yaitu Jalan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi atau yang dikenal sebagai Jagorawi.



Di proyek ini, Wiratman bertugas melakukan pengecekan lapangan untuk mengkaji kelayakan trase jalan setelah trase diplot di atas peta topografi. Data lapangan kemudian dicatat pada trase yang sudah di plot di peta jalan. Metoda ini sekarang dikenal dengan Geographic Information System (GIS). Bersama dua rekannya, Ir. Suparman Sentot, ahli geodesi dan Lou Eakens, seorang insinyur sipil Australia, Wiratman melakukan pengecekan lapangan dengan berjalan kaki dari Kramat jati sampai Ciawi selama tujuh hari. Setelah itu Wiratman berperan sebagai ahli teknik sipil Indonesia yang bertugas memeriksa perencanaan dan pembangunan jembatan Ampera di sungai Musi, Palembang. Sebagai pengawas proyek, Wiratman diutus Menteri PU, Ir. Sutami berkunjung ke perusahaan Fuji Car Manufacturing Co. Ltd di Jepang yang bertindak sebagai perencana dan fabrikator jembatan tersebut. Dalam kunjungan tersebut Wiratman menemukan beberapa kejanggalan. Sayangnya



hasil studinya tersebut terkalahkan oleh ambisi penguasa saat itu, sehingga meskipun telah mengetahui risikonya, proyek tersebut tetap dilanjutkan. Ditahun–tahun berikutnya Wiratman masih terlibat diberbagai proyek pembangunan jembatan, ditengah kesibukannya dalam proyek-proyek yang membutuhkan keahliannya dibidang beton, gempa dan gedung tinggi ia terlibat dalam pembangunan Jembatan. Beberapa diantaranya yaitu : Jembatan Ancol pada ruas jalan tol Tanjung Priok-Pluit yang dibangun tahun 1994 dan Jembatan Rajamandala pada tahun 1995. Terkait keahlian dibidang jembatan, Wiratman masih menyimpan impian terbesarnya yaitu, membangun Jembatan Selat Sunda. Jembatan yang ditaksir bernilai ratusan triliun ini akan membentang sepanjang 29km dari Anyer hingga Bakauheuni, yang akan terdiri dari dua jembatan gantung ultra-panjang, masing-masing dengan bentang tengah 2.200 meter dan bentang samping 800 meter, sisanya merupakan jembatan beton. Panjang bentang tengah jembatan gantungnya akan jauh melampaui Jembatan Golden Gate di San Fransisco, Amerika Serikat yang memiliki panjang bentang tengah hanya 1.280 meter, serta lebih panjang dari Jembatan Akashi-Kaikyo di Jepang yang saat ini memegang rekor bentang tengah terpanjang didunia yakni 1.991 meter. Jembatan Selat Sunda merupakan pengembangan dari konsep Tri Nusa Bima Sakti yang dicetuskan Profesor Sedyatmo di ITB dalam suatu orasi ilmiah pada tahun 60-an. Melalui konsep ini, Sedyatmo bermimpi menjadikan Jawa, Sumatera dan Bali sebagai kesatuan ekonomi di masa depan. Pada mulanya Presiden Soeharto yang mencanangkan proyek Tri Nusa Bima Sakti meminta Badan Pengkajian dan penerapan Teknologi (BPPT) untuk mempelajari teknologi terowongan dan jembatan untuk melintasi Selat Sunda. Mengingat proyek ini rencananya akan dibiayai oleh Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA), maka rujukannya adalah teknologi terowongan dan jembatan. Tahun 1992, Wiratman telah mengusulkan agar pemerintah menggunakan teknologi terbaru pembangunan jembatan gantung dengan bentang yang sangat panjang dari Italia. Jembatan rancangan Italia tersebut merupakan rancangan jembatan gantung generasi terakhir yang canggih. Gagasan tersebut yang ditulisnya bersama P. Chow dan T.Y Lin disampaikan Wiratman dalam seminar di BBPT pada bulan September 1992.



Pada tahun 1997, jembatan dinilai sebagai pilihan yang paling tepat, aman, multimoda dan berumur panjang dibandingkan terowongan. Habibie pun kemudian mengutus Wiratman sebagai ahli yang mengusulkan jembatan gantung ultra panjang tersebut ke Italia untuk mempelajari teknologinya. Laporan Wiratman berjudul “Jembatan Selat Sunda dan Kelayakannya Sebagai Penghubung Jawa dan Sumatera”, dibahas dalam rapat koordinasi di BPPT, pada bulan Mei 1997. Terjadinya krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998-1999 sempat memadamkan rencana tersebut. Baru pada tahun 2005, pengusaha Tommy Winata dari Artha Graha Network mengajak Wiratman menghidupkan kembali gagasan tersebut. Roadshow digelar keberbagai pemerintah daerah terkait seperti : Lampung dan Banten. Hasilnya Pemerintah Daerah Lampung, Banten dan Artha Graha Network sepakat menandatangani nota kesepahaman untuk mempercepat pembangunan Jembatan Selat Sunda. Saat ini kelanjutan proyek ada di Pemerintah pusat yang harus mempersiapkan landasan hukum untuk proyek-proyek Public Privat Partnership (P3).



Jembatan Selat Sunda merupakan mimpi terbesar Wiratman yang akan menyempurnakan catatan panjang jejak karir profesionalannya.







+Prof. Dr. Ir Wiratman Wangsadinata



Ir. Bigman Marihat Hutapea, M.Sc., Ph.D.(Dosen Teknik Sipil ITB) http://alsi-itb.org/ir-bigman-marihat-hutapea-m-sc-ph-d-dosen-teknik-sipil-itb/



Jangan Sampai Praktisi Kita Jadi Penonton Di Rumah Sendiri! Empat puluh tahun memang waktu yang singkat, apalagi jika dibandingkan dengan seratus tahun yang hampir dilalui Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak pertama kali didirikan. Banyak hal yang sudah dialami Ir. Bigman Marihat Hutapea, M.Sc., Ph.D sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus Ganesha. Selama hampir empat puluh tahun ini juga Bigman, begitu Beliau biasa disapa, mengamati perkembangan keilmuan rekayasa sipil, khususnya di lingkungan ITB dan Indonesia secara umum. “Keilmuan kita mengalami perkembangan yang baik,” begitu tutur dosen dari bidang Rekayasa Geoteknik. Bukan tanpa alasan Beliau berpendapat. Menurutnya, saat ini semua staf pengajar Rekayasa Sipil ITB minimal telah mendapatkan gelar doktor (S3). Berpisahnya rekayasa geoteknik dari bidang rekayasa struktur, menurut Beliau, menunjukkan perkembangan yang positif. “Artinya, keilmuan kita berkembang menjadi semakin luas. Tidak diam di situ-situ saja,” katanya. Sudah banyak hal yang dilakukan oleh dosen yang sempat menjabat sebagai Ketua Kelompok Keahlian Bidang Rekayasa Geoteknik Teknik Sipil ITB. Bigman Hutapea pernah menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI) selama 8 tahun. Selama menjalani masa jabatannya, Beliau gencar mempromosikan sertifikasi bagi praktisi geoteknik tanah air. “Ini penting dik. Kalau tidak melakukan sertifikasi, bagaimana bisa kemampuan engineering kita diakuidunia praktis?”, ujarnya bersemangat. Selain berkiprah melalui institusi, Bigman Hutapea juga banyak terlibat dalam proyek infrastruktur. Menurutnya, keterlibatannya dalam proyek pendesainan dan pengawasan pembangunan Dam Rempang di Batam meninggalkan kesan tersendiri. “Ini semacam ledekan dari kontraktor untuk para doktor yang baru pulang studi. Semacam proyek percobaanlah menurut saya,” kenangnya. Proyek ini merupakan proyek pertama Beliau sejak kepulangannya dari Amerika paska menuntut ilmu dari University of Colorado. Di proyek ini, Bigman ditantang untuk menyelesaikan permasalahan timbunan di atas tanah lunak. “Semacam laboratorium pertama bagi kami yang baru pulang studi rasanya,” tambahnya. Belum lama ini juga, Bigman Hutapea terlibat dalam proyek pembangunan Bandara Kualanamu, bandara internasional yang baru saja diresmikan di Medan beberapa waktu lalu. Pada saat itu, proyek mengalami kendala dalam pembangunan runway akibat kondisi tanah yang lunak. Beliau mengerjakan proyek ini bersama dengan Harmen Rahman, staf pengajar bidang Rekayasa Transportasi Teknik Sipil ITB. Menurutnya, Kualanamu ini merupakan proyek yang menarik. “Kualanamu didesain dan dibangun oleh orang-orang Indonesia dik. Artinya, praktisi kita memang qualified. Sumber daya manusia kita juga tidak kalah dari orang asing,” ucapnya bangga.



Menanggapi isu ASEAN Market Society yang dimulai 2015 nanti, Bigman Hutapea beranggapan bahwa secara umum kita masih perlu berbenah dalam banyak hal. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Kekhawatiran tentang kualitas dan kesiapan praktisi dalam negeri supaya tidak hanya menjadi penonton di rumah sendiri. Pengalaman menjadi ketua HATTI memberikan gambaran nyata bagaimana kesiapan Indonesia menyambut pasar terbuka 2015 nanti. “Di daerah-daerah, knowledge dan skill kita masih kalah jauh. Yang sudah bersertifikat pun masih dapat dihitung dengan jari. Persaingan yang cukup berat,” tukasnya. Walaupun demikian, menurutnya, banyak cara yang masih bisa diusahakan untuk menyiapkan industri konstruksi Indonesia. Langkah paling nyata adalah memperkuat keilmuan nasional. Menurutnya, di ITB sendiri saat ini semua dosen telah bergabung dengan asosiasi keahliannya masing-masing. “Setidaknya mereka telah dipersiapkan supaya tidak kaget saat free market dimulai,” jelasnya. Selain itu, perlindungan dari negara pun dirasa penting. Saat ini, proyek-proyek nasional banyak dikerjakan oleh orang-orang asing. Praktisi lokal harus diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Jika tidak, bukan tidak mungkin engineer-engineer kita kehilangan pekerjaan di rumah sendiri. Bigman Hutapea memiliki harapan sendiri mengenai kiprah Alumni Sipil ITB (ALSI). Menurutnya, saat ini alumni sipil ITB terlalu ‘sukuisme’ dan terkesan milik pribadi. ALSI merupakan organisasi yang cukup besar. Jika ALSI yang banyak anggotanya ini bisa dihimpun dan dikoordinasikan dengan baik, bukan tidak mungkin ALSI dapat melakukan hal yang besar, tidak hanya untuk almamater. Dimulai dengan memperbanyak kegiatan untuk mempertemukan kembali alumni yang telah lama terpisah; mempererat tali silaturahmi, menggalang dana untuk pemberian beasiswa kepada mahasiswa, sampai berkontribusi dalam memberikan masukan kepada program studi terkait kebutuhan industri di masa depan sehingga lulusan teknik sipil ITB dapat disiapkan secara dini. “Banyak hal yang dapat Alsi lakukan untuk menunjukkan kontribusi nyata bagi bangsa ini,” tutupnya.