Proposal Bab 1 Restrain (Fix) (1) New [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG RESTRAIN DENGAN TINDAKAN PEMASANGAN RESTRAIN PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2019



DIAJUKAN OLEH : SRI RAHMAWATI 1710062P



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG 2019



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia. Kesehatan jiwa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia. Menurut data World Health Organization (WHO, 2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Organisasi Kesehatan Dunia WHO telah mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan sengaja fisik kekuatan atau kekuasaan, terancam atau aktual, melawan diri sendiri, orang lain atau terhadap kelompok atau komunitas yang baik menghasilkan atau memiliki kemungkinan tinggi yang mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, malfungsi pembangunan atau kekurangan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), menyatakan jumlah penderita gangguan jiwa di indonesia mencapai 2,5 juta jiwa yang terdiri dari pasien dengan perilaku kekerasan (Wirnata,2012). Di Indonesia, dengan



berbagai



faktor



biologis,



psikologis



dan



sosial



dengan



keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Restrain yang dilakukan di rumah sakit Indonesia, Menurut penelitian Ellyta (2013) pada RSJ Tampan didapatkan data sebanyak 498 pasien dengan tindakan restrain dan seklusi selama 8 jam tahun 2012. Diikuti dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hert,et, al (2011) menunjukkan bahwa terdapat 67 dari 1000 orang pasien dengan diagnosa perilaku kekerasan yang di rawat di rumah sakit jiwa di Amerika Serikat selama 10 tahun terakhir sebanyak 29 % atau 42,7 dari 1000 orang pasien dilakukan restrain setiap harinya. Australia mengalami peningkatan jumlah restraindari 9% hingga



31% dari tahun 1998 hingga tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian restrain masih cukup tinggi prevalensinya dengan alasan untuk penanganan pasien dari tindakan yang dapat menciderai dirinya, orang lain, dan lingkungan. Menurut RISKERDAS 2018, ditemukan data pasien dengan gangguan jiwa terjadi peningkatan proporsi dari 1,7% pada tahun 2013 menjadi menjadi 7% pada tahun 2018. Di Indonesia, terbesar di daerah Bali. Akan tetapi prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia terjadi peningkatan di Sulawesi Tengah dengan persentase 19,8%. Hal ini sependapat dengan penelitian yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Surakarta angka kejadian perilaku kekerasan di Ruang Kresna tahun 2004 sebesar 15% atau 43 klien. Di Sumatera Barat gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan juga mengalami peningkatan dari 2,8 % meningkat menjadi 3,9%. Perlu diketahui, gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan (Neurosa) dan gangguan jiwa berat (Psikosis). Gangguan jiwa berat merupakan gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa ilusi, waham, gangguan proses pikir serta tingkah laku aneh, seperti agresifitas dan katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan psikosis, dan salah satu contohnya adalah Skizofrenia. Skizofrenia ditunjukkan dengan gejala klien suka berbicara sendiri, mata melihat ke kanan dan ke kiri, jalan mondar mandir, sering tersenyum sendiri, sering mendengar suara-suara, dan hal ini dapat merujuk pada perilaku diluar kendali, seperti rasa ingin marah, atau emosi yang tidak bisa dikontrol, hal ini dikenal dengan Perilaku Kekerasan. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Muhith, 2015). Klien dengan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan tingkah laku tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi (Kusumawati & Hartono, 2010).



Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting dan semua yang ada di lingkungan. Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling maladaptif, yaitu amuk. North



American



Nursing



Diagnosis



Association



(NANDA)



menyatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan salah satu gangguan perilaku dimana seseorang berisiko melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa tindakan individu dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain secara fisik, emosional, dan atau seksual yang tidak sesuai dengan norma lokal, kultural dan menganggu fungsi sosial, kerja dan fisik individu (NANDA, 2014). Klien dengan perilaku kekerasan akan memberikan dampak baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Dampak perilaku kekerasan yang dilakukan klien terhadap dirinya sendiri adalah dapat mencederai dirinya sendiri atau merusak lingkungannya. Perawat adalah orang yang paling sering di libatkan dalam peristiwa perilaku kekerasan pasien, sehingga perawat beresiko memiliki pengalaman tindakan perilaku kekerasab dari klien. Menurut penelitian Ellita, dkk (2013), menunjukkan kekerasan fisik yang dilakukan pasien pada diri sendiri (84%) merupakan bentuk perilaku kekerasan yang paling sering terjadi di ruang rawat inap jiwa. Penelitian yang dilakukan terhadap 61 responden di RSJ Tampan Pekan Baru didapati bahwa terjadi tindakan perilaku kekerasan berupa ancaman fisik kepada perawat (79%), penghinaan kepada perawat (77%) dan kekerasan verbal (70%). Perawat yang bekerja di Ruang rawat inap seringkali menjadi korban dari perilaku agresif pasien, dikarenakan beberapa faktor internal atau eksternal yang sulit diketahui. Oleh karena itu perawat yang bekerja di ruang



rawat harus mampu mengkaji pasien yang berisiko melakukan perilaku kekerasan. Kemudian, perawat secara efektif harus menangani pasien sebelum, selama dan sesudah perilaku kekerasan berlangsung (Stuart, 2013). Untuk itu perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melakukan manajemen kekerasan. Petugas kesehatan diwajibkan untuk menyediakan manajemen kekerasan dan agresi dengan benar, seperti pelatihan, edukasi yang fokus pada identifikasi awal, teknik manajemen de-eskalasi, dan menggunakan restrain bila semua strategi tidak berhasil (Hodge dan Marshall, 2007). Perawat jiwa sebagai pemberi asuhan keperawatan jiwa selain dituntut untuk memberikan asuhan keperawatan yang profesional juga harus dapat mempertanggungjawabkan asuhan yang diberikan secara ilmiah (Yosep, 2007). Salah satu strategi yang sering digunakan di Rumah Sakit Jiwa adalah restrain. Restrain adalah tindakan langsung dengan menggunakan kekuatan fisik pada individu yang bertujuan untuk membatasi kebebasan dalam bergerak. Kekuatan fisik ini dapat menggunakan tenaga manusia, alat mekanis atau kombinasi keduanya. Strategi lain dalam pencegahan meliputi didalamnya yaitu self awareness perawat, edukasi, managemen marah, terapi kognitif, dan terapi kognitif perilaku. Sedangkan strategi perilaku meliputi teknik komunikasi, perubahan lingkungan, psikoedukasi keluarga, dan pemberian obat antipsikotik. Strategi yang ketiga yaitu pengekangan (Restrain) meliputi tindakan manajemen krisis, pengikatan, dan pembatasan gerak (Stuart & Laraia, 2013). Standar restrain dari Komisi Gabungan Akreditasi Kesehatan Organisasi (JCAHO) pada tahun 2000, yang menyatakan bahwa penggunaan restrain hanya dapat digunakan untuk darurat, situasi ketika ada risiko besar akan membahayakan fisik kepasien atau orang lain. Tindakan restrain masih dilakukan di rumah sakit jiwa seluruh dunia. Prevalensi tindakan restrain rata - rata berkisar antara 4% sampai 85% dilakukan pengikatan di rumah (Gastmans & Milisen 2006). Sementara itu, restrain yang dilakukan di rumah sakit berkisar antara 8% sampai 68% (Hamers & Huizing, 2006).



Dampak yang dirasakan pasien dari tindakan restrain adalah luka secara fisik, memicu perasaan negatif pada diri pasien, menyebabkan kematian, pengalaman distress secara psikologis, memicu tindakan penyerangan, merusak hubungan terapeutik antara pasien dan perawat (Pollard, et, al, 2007 dalam Moghadamet, et, al 2014). Penelitian Johnson (2004) mengatakan dalam tindakan restrain umumnya perawat yang berpengalaman dapat lebih efektif menenangkan pasien daripada perawat yang kurang berpengalaman. Beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan tindakan restrain yang dilakukan perawat pada pasien dapat dipengaruhi oleh emosional, karakteristik pengalaman perawat. Berdasarkan survey penelitian yang dilakukan oleh Florentina (2016) di RSJ.HB. Saanin Padang didapatkan keterangan bahwa restrain sering dilakukan oleh perawat kepada pasien tidak sesuai dengan SOP dikarenakan tenaga yang berada di ruangan tidak mencukupi, maka apabila pasien telah di restrain perawat tidak ada mengobservasi keadaan pasien. Dari perawat mengatakan untuk melakukan restrain komunikasi yang dilakukan dengan pasien ada sambil menginggatkan bila pasien tidak tenang akan restrain, Perawat wanita mengatakan melakukan restrain sering menjadi protokol dan pada saat persiapan perawat mencari 2 atau lebih perawat lelaki atau bantuan dengan pasien lain, saat restrain dilakukan teriakan, menjerit, memaki dan mengancam sambil melakukan perlawanan, kalau pasien sudah dipegang dan tidak dapat bergerak baru perawat wanita membantu melakukan tindakan restrain. Tindakan restrain akan dilepas apabila pasien tenang. Beberapa penelitian tersebut juga tidak jauh berbeda dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Bangka Belitung yang merupakan satu-satunya Rumah Sakit Jiwa di Provinsi Bangka Belitung. Berdasarkan data yang di peroleh , presentase diagnosa keperawatan dengan Perilaku Kekerasan merupakan urutan 3 besar tertinggi setelah halusinasi dalam kurun waktu 3 tahun (2016-2018). Pada Tahun 2016 jumlah pasien yang di rawat di rumah sakit jiwa daerah provinsi kepulauan bangka belitung sebanyak 1475 dengan diagnosa perilaku kekerasan berjumlah 51 pasien



(2,43%). Selanjutnya pada tahun 2017 jumlah pasien yang di rawat inap mengalami penurunan jumlah keseluruhan sebanyak 1022 pasien dengan diagnosa perilaku kekerasan sebanyak 45 pasien (2%). Pada tahun 2018 jumlah pasien yang di rawat di rumah sakit jiwa daerah provinsi kepulauan bangka belitung total keseluruhan pasien menjadi 953 pasien



dengan



diagnosa perilaku kekersana sebanyak 50 pasien (2%). Data peneliti yang peneliti dapatkan dari survey awal pada 4 maret 2019 di temukan pada bulan januari sampai dengan febuari 2019 sebanyak 33 pasien dengan perilaku kekerasan. Sementara data pasien yang di retrain pada tahun 2018 sebanyak 339 pasien. Berdasarkan hasil observasi awal tahap penerapan restrain pada pasien yang di rawat inap di rumah sakit jiwa daerah provinsi kepulauan bangka belitung terdapat 339 pasien yang di lakukan restrain termasuk di dalamnya pasien dengan perilaku kekerasan sehingga dapat di katakan pasien perilaku kekerasan yang di lakukan restrain sebanyak 9,73%. Perolehan data yang didapat dengan masalah gangguan mental emosional yang dialami sebagian besar pasien adalah perilaku kekerasan. Selain membahayakan diri sendiri, perilaku kekerasan juga berimbas pada perawat sebagai petugas kesehatan. Perawat adalah orang yang paling sering dilibatkan dalam peristiwa perilaku kekerasan pasien, Sehingga perawat beresiko memiliki pengalaman tindakan perilaku kekerasan dari klien. Dari hasil surveyz peneliti juga mendapat pernyataan dar beberapa perawat bahwa penggunaan restrain terkadang tidak efektif dikarenakan ada beberapa pasien yang bisa membuka ikatan restrainnya sendiri, dan terkadang mendapat bantuan dari pasien lain, sehingga perawat terkadang perawat perlu berulang kali melakukan restrain. Berdasarkan latar belakang dan penelitian sebelumnya yang hampir berkaitan, serta data yang didapat tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengetahuan perawat tentang restrain dengan tindakan pemasangan restrain pada pasien perilaku kekerasan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dikarenakan



beberapa dampak fisik yang ditimbulkan karena pemasangan restrain, dengan potensi kurangnya pengetahuan perawat terhadap pemasangan restrain sesuai SOP.



1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan



masalah



penelitian sebagai berikut “Apakah Ada Hubungan Antara Pengetahuan Perawat tentang Restrain dengan Tindakan Pemasangan Restrain pada Pasien dengan Perilaku Kekerasan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?”



1.3



Tujuan Penelitian



1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui



Hubungan Antara Pengetahuan Perawat tentang



Restrain dengan Tindakan Pemasangan Restrain pada Pasien dengan Perilaku Kekerasan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?”



1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Restrain Dengan Tindakan Pemasangan Restrain di Rumah sakit jiwa Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. b. Mengetahui Lama Kerja Perawat Di Ruang Intensive Dengan Tindakan Pemasangan Restrain di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Bangka Belitung. c. Mengetahui Tingkat Pendidikan Perawat Tentang Restrain Dengan Tindakan Pemasangan Restrain di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Bangka Belitung.



1.4



Manfaat Penelitian



1.4.1 Bagi Peneliti/Perawat Diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang di dapatkan di perguruan dalam upaya pencegahan terjadinya hal buruk dari dampak penggunaan restrain yang tidak terstandar. Diharapkan juga penelitian ini dapat dijadikan refrensi bagi peneliti selanjutnya. 1.4.2 Bagi Instansi Tempat Penelitian Sebagai masukan serta evaluasi dalam perbaikan kinerja perawat yang diharapkan dapat menghasilkan suatu metode dan intervensi dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan optimal kepada pasien perilaku kekerasan, khususnya kesesuaian dalam pemasangan restrain yang sesuai dengan SOP.



1.4.3 Bagi STIKES Citra Delima Bangka Belitung Penelitian ini di harapkan dapat di jadikan sebagai Salah satu sumber informasi, bahan pustaka serta bisa di jadikan salah satu referensi ilmiah bagi mahasiswa Stikes Citra Delima Bangka Belitung.



DAFTAR PUSTAKA



http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukungkesehatan-jiwa-masyarakat.html http://www.depkes.go.id/article/view/18110200003/potret-sehat-indonesia-daririskesdas-2018.html