Proposal Pengambilan Data Awal Penelitian [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENGAMBILAN DATA AWAL PENELITIAN



PENERAPAN METODE TIME SERIES DALAM PERAMALAN KEJADIAN PERCERAIAN DI KABUPATEN LUMAJANG TAHUN 2015 BERDASARKAN ANALISIS DATA PERCERAIAN TAHUN 2009-2013



Oleh: NURMALASARI NIM. 101011158



UNIVERSITAS AIRLANGGA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA



2014 PROPOSAL PENGAMBILAN DATA AWAL PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KABUPATEN LUMAJANG



I.



PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Menurut Supranto (2008, h. 2), data merupakan sesuatu yang diketahui atau dianggap dan dapat memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan yang pada umumnya dikaitkan dengan tempat maupun waktu. Berdasarkan waktu pengumpulannya, data dibedakan menjadi dua kategori, yaitu data cross section dan data berkala (time series) (Supranto, 2008, h. 11). Data berkala (time series data atau yang disebut time series saja tanpa menggunakan kata data) merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk menggambarkan perkembangan suatu kegiatan atau kondisi tertentu (Supranto, 2000, h. 121). Kondisi yang dapat digambarkan juga semakin berkembang. Tidak hanya kondisi ekonomi (perkembangan produksi, harga, hasil penjualan), namun juga kondisi sosiologi, antropologi, dan kesehatan masyarakat. Salah satu kondisi kesehatan masyarakat yang dapat digambarkan dengan adanya data berkala (time series) adalah perkawinan dan perceraian. Secara sosiologis, perkawinan merupakan proses sepasang manusia dalam mencari kesejahteraan diri (Bappeda Kabupaten



2



Majalengka, 2011, h. 11). Sedangkan secara biologis, perkawinan merupakan alat kesejahteraan manusia dalam membentuk suatu keluarga besar yang merupakan perbesaran dari keluarga batih (nucleus family) (Bappeda Kabupaten Majalengka, 2011, h. 11). Perkawinan sebagai suatu alat untuk mengamati tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari dua segi, yaitu status perkawinan dan umur perkawinan pertama (Bappeda Kabupaten Majalengka, 2011, h. 11). Status perkawinan sendiri memiliki empat kriteria, dimana salah satunya adalah penduduk dengan status bercerai (Bappeda Kabupaten Majalengka, 2011, h. 11). Perceraian yang dalam hal ini disebut cerai hidup merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan, selain karena kematian (cerai mati) dan keputusan pengadilan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974). Permasalahan kegagalan dalam suatu perkawinan yang pada akhirnya menyebabkan perceraian terus mengalami peningkatan. Di dunia, Amerika Serikat merupakan negara industri dengan tingkat perceraian tertinggi, di mana sekitar 50% perkawinan berakhir dengan perceraian (Cannon dkk., 2008). Tingkat perceraiannya naik setiap 10 tahun sejak masa Perang Persaudaraan (Fukuyama, 2005, h. 50). Selain itu, di Nepal, jumlah perceraian juga meningkat hingga 70% yang banyak dilakukan oleh para wanita dengan pendidikan tinggi serta setengah dari perkawinan di Swedia dan Norwegia berakhir dengan perceraian (Januar, 2007, h. 23).



3



Kasus perceraian di Indonesia juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, jumlah perceraian yang diputus oleh Pengadilan Agama (PA) sebanyak 167.807 kasus, meningkat menjadi 213.960 kasus pada tahun 2008, dan 223.371 kasus pada tahun 2009 (Lestari, n.d., h. 175). Persentase jumlah penduduk yang berstatus cerai hidup juga mengalami peningkatan dari 1,76% pada tahun 2009 menjadi 1,82% pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2012). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2012, diketahui bahwa beberapa daerah di Indonesia dengan persentase jumlah penduduk berstatus cerai hidup tahun 2012 di atas persentase Indonesia (1,68%), yaitu Sumatera Barat (2,23%), Kepulauan Bangka Belitung (1,91%), DKI Jakarta (1,80%), Jawa Barat (2,12%), Jawa Timur (1,80%), Nusa Tenggara Barat (2,86%), Kalimantan Selatan (2,13%), Gorontalo (1,73%), Sulawesi Tengah (2,06%), Sulawesi Selatan (1,95%), Sulawesi Barat (2,36%), dan Sulawesi Tenggara (1,74%)(Badan Pusat Statistik, 2012). Semakin tingginya angka perceraian di beberapa daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa semakin banyak perkawinan yang bermasalah (Wijayanti, 2008, h. 4). Apabila terjadi sesuatu dengan perkawinan, yang dalam hal ini adalah perceraian, maka akan timbul berbagai masalah yang harus dihadapi baik oleh pasangan yang bercerai maupun anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian (Karim dalam Ihromi ed., 2004, h. 136).



4



Meningkatnya angka perceraian ini dianggap sebagai salah satu indikasi merosotnya nilai-nilai keluarga, sehingga berujuang pada menurunnya tingkat kesejahteraan keluarga (Lestari, n.d., h. 175). Menurut Australian Unity Wellbeing Index Tahun 2008 dalam Susanto (2013) disebutkan bahwa masyarakat dengan status cerai memiliki tingkat kesejahteraan paling rendah. Indeks kesejahteraan pribadi pada masyarakat dengan status kawin sebesar 77,3 sedangkan pada masyarakat dengan status belum kawin sebesar 71,5 dan pada yang bercerai hanya 68,3 (Susanto, 2013). Menurut Dariyo (n.d., 168-169), individu yang telah melakukan perceraian, baik disadari ataupun tidak akan membawa dampak negatif, yaitu: 1) Pengalaman traumatis pada salah satu pasangan hidup baik laki-laki maupun perempuan, seperti kesedihan, kekecewaan, frustasi, ketidaknyamanan, tidak tenteram, tidak bahagia, stress, depresi, takut, dan khawatir dalam diri sendiri. Selain itu, juga sulit konsentrasi dalam pekerjaan, tidak berdaya, putus asa, dan jika tidak tertanggulangi dengan baik maka bisa mengakibatkan gangguan psikosomatis, gila, bahkan lebih parah lagi bunuh diri. 2) Pengalaman traumatis pada anak. Anak-anak yang ditinggalkan orang tua yang bercerai akan mengalami kebingungan harus ikut siapa dan merasa tidak ada contoh positif yang harus ditiru, sehingga mempunyai pandangan negatif terhadap perkawinan dan orang tua. Ketika dewasa, anak-anak merasa takut mencari pasangan hidup dan menikah, karena adanya kekhawatiran akan berakhir pada perceraian juga. 3) Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan. Ketidakstabilan psikologis karena perceraian mengakibatkan ketidakstabilan pada fisiologis individu, seperti tidak dapat tidur dengan tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja, sehingga mengganggu kehidupan kerja, prestasi kerja



5



menjadi turun, dan tentu menurunkan produktivitas kerja yang nantinya berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh. Dalam struktur masyarakat Indonesia yang sangat mengutamakan harmoni dan kekerabatan, dampak perceraian tidak hanya menyangkut pasangan yang bercerai saja, melainkan seluruh keluarga besar kedua belah pihak (Surbakti, 2008). Menurut Sanchez dalam Tresia (2006, hh. 1-2), perceraian dapat meningkatkan kenakalan pada anak serta dapat meningkatkan jumlah anak



yang



mengalami



gangguan



emosional



dan



mental,



menyalahgunakan obat bius dan alkohol, dan menyebabkan anak perempuan muda menjadi ibu di luar nikah. Apabila dilihat dalam skala yang lebih luas, perceraian dapat membentuk generasi yang tidak produktif dan tidak dapat diandalkan sebagai modal SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas dalam pembangunan, yang selanjutnya hanya akan menjadi beban masyarakat dan negara (Tresia, 2006, h. 2). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingginya angka perceraian di Indonesia memainkan peranan yang cukup besar bagi wanita untuk terjun ke dunia prostitusi (Tresia, 2006, h. 2). Tingginya angka perceraian dan besarnya dampak perceraian menciptakan suatu kebutuhan untuk melakukan upaya antisipiasi baik secara promotif maupun preventif terhadap terjadinya perceraian baik dalam skala lokal maupun nasional. Sebelum upaya tersebut disusun, terlebih dahulu perlu dilakukan suatu perencanaan.



6



Dalam manajemen, perencanaan merupakan kebutuhan yang besar, karena waktu tenggang untuk pengambilan keputusan dapat berkisar dari beberapa tahun sampai beberapa hari atau bahkan beberapa jam, sehingga dibutuhkan suatu alat bantu agar perencanaan tersebut dapat terlaksana secara efektif dan efisien, yakni dengan peramalan (forecasting) (Makridakis, dkk., 1988, h. 3). Peramalan (forecasting) merupakan suatu kegiatan untuk melakukan dugaan atau perkiraan mengenai terjadinya suatu kegiatan atau perisiwa di waktu yang akan datang (Supranto, 2008, h. 9). Untuk melakukan peramalan (forecasting), dapat menggunakan metode kualitatif (teknologis) dan metode kuantitatif (Makridakis, dkk., 1988, h. 8). Metode kualitatif meliputi meliputi metode eksploratoris dan normatif, sedangkan metode kuantitatif meliputi metode kausal dan deret berkala (time series). Peramalan dengan metode kuantitatif dapat dilakukan bila terdapat tiga kondisi berikut: 1) Tersedia informasi tentang masa lalu. 2) Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik. 3) Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa mendatang. Analisis deret berkala (time series) yang merupakan salah satu metode dalam peramalan kuantitatif, dilakukan berdasarkan nilai masa lalu dari suatu variabel dan atau kesalahan masa lalu, untuk menemukan pola dalam deret data historis dan mengekstrapolasikan pola tersebut ke masa depan (Makridakis, dkk., 1988, h. 9). Bentuk atau jenis pola data



7



dalam deret data historis terdiri dari empat macam, yaitu: 1) Pola Horisontal (H); 2) Pola Musiman (S); 3) Pola Siklis (C); dan 4) Pola Trend (T) (Makridakis, dkk., 1988, h. 10). Berbagai bentuk atau jenis pola data tersebut berpengaruh pada pemilihan metode peramalan yang digunakan. Oleh karena itu, perlu adanya berbagai pertimbangan yang cermat, seperti keakuratan hasil, ketepatan waktu, serta kemudahan untuk dimengerti, agar hasil peramalan yang sudah dilakukan dapat digunakan untuk membantu pembuatan keputusan dalam proses perencanaan suatu program (Arsyad, 2001 dalam Awwaliyyah, 2013, h. 2). I.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2012, diketahui bahwa Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan persentase jumlah penduduk berstatus cerai hidup tahun 2012 di atas persentase Indonesia (1,68%), yaitu sebesar 1,80% (Badan Pusat Statistik, 2012), sehingga dapat dikatakan bahwa perceraian ini masih menjadi masalah yang harus segera diselesaikan karena dapat mengakibatkan beberapa dampak negatif serta dapat menurunkan indeks kesejahteraan pribadi. Menurut laporan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, jumlah kasus perceraian di Jawa Timur mengalami peningkatan dari 69.956 kasus pada tahun 2010 menjadi 74.777 kasus pada tahun 2011 yang merupakan kalkulasi dari cerai talak dan cerai gugat dari JanuariDesember.



8



Cerai talak adalah perceraian khusus bagi yang beragama islam, jika yang mengajukan adalah istri maka disebut “gugat cerai” dan jika yang mengajukan adalah suami maka istilahnya menjadi “permohonan cerai” dan diajukan oleh suami kepada Pengadilan Agama (PA) (YLBHI, 2007, h. 100). Sedangkan cerai gugat merupakan gugatan perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN), baik diajukan oleh istri maupun suami, di wilayah tempat tinggal penggugat (istri), kecuali penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin (YLBHI, 2007, h. 100). Menurut laporan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 2010, kasus cerai talak di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 adalah sebanyak 25.228 kasus dengan rata-rata sebanyak 681,84 kasus. Dari 37 daerah di Jawa Timur, terdapat 15 daerah dengan jumlah kasus cerai talak di atas rata-rata kasus Jawa Timur, yaitu Banyuwangi (1.964), Blitar (1.167), Bojonegoro (936), Jember (1.428), Kediri (Kab.) (1.026), Kraksaan (721), Lamongan (870), Lumajang (981), Malang (Kab.) (1.961), Mojokerto (702), Sidoarjo (840), Situbondo (787), Surabaya (1.338), Tuban (1.194), dan Tulungagung (824). Sedangkan untuk cerai gugat di Jawa Timur pada tahun 2010, dilaporkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya sebanyak 44.728 kasus dengan rata-rata kasus sebanyak 1.208,86 kasus. Namun, daerah dengan jumlah kasus di atas rata-rata jumlah kasus Jawa Timur terdapat 12 daerah dengan rincian sebagai berikut: Banyuwangi (2.959), Blitar



9



(2.255), Bojonegoro (1.402), Jember (3.220), Kediri (Kab.) (2.145), Lamongan (1.358), Lumajang (1.854), Malang (Kab.) (3.686), Mojokerto (1.370), Sidoarjo (1.532), Surabaya (2.430), dan Tuban (1.242). Menurut laporan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 2011, kasus cerai talak di Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan menjadi 25.907 kasus dengan rata-rata kasus sebanyak 700,19 kasus. Dari 37 daerah di Jawa Timur, terdapat 14 daerah dengan jumlah kasus cerai talak di atas rata-rata kasus Jawa Timur, yaitu Banyuwangi (1.921), Blitar (1.183), Bojonegoro (937), Jember (1.340), Kediri (Kab.) (1.042), Lamongan (841), Lumajang (964), Malang (Kab.) (2.106), Mojokerto (716), Sidoarjo (1.049), Situbondo (790), Surabaya (1.447), Tuban (1.161), dan Tulungagung (857). Sedangkan untuk cerai gugat di Jawa Timur pada tahun 2011, dilaporkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya sebanyak 48.870 kasus dengan rata-rata kasus sebanyak 1.320,81 kasus. Namun, daerah dengan jumlah kasus di atas rata-rata jumlah kasus Jawa Timur terdapat 13 daerah dengan rincian sebagai berikut: Banyuwangi (3.414), Blitar (2.343), Bojonegoro (1.514), Jember (3.415), Jombang (1.582), Kediri (Kab.) (2.332), Lamongan (1.457), Lumajang (1.805), Malang (Kab.) (3.694), Mojokerto (1.464), Sidoarjo (1.968), Surabaya (2.768), dan Tulungagung (1.584). Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa salah satu daerah dengan jumlah kasus cerai talak dan cerai gugat tahun 2010-2011 di atas



10



rata-rata jumlah kasus Provinsi Jawa Timur, yaitu Lumajang dengan total kasus perceraian pada tahun 2010 sebanyak 2.835 kasus dan pada tahun 2011 sebanyak 2.469 kasus. Sedangkan pada tahun 2012, menurut Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kabupaten Lumajang (2012), dikatahui bahwa jumlah kasus cerai talak dan cerai gugat mengalami peningkatan dari tahun 2011, yakni menjadi 1.034 kasus cerai talak dan 2.103 cerai gugat dengan total kasus sebanyak 3.137 kasus. Adanya peningkatan kasus ini tentu menjadi suatu bahan koreksi bagi pemerintah dan stakeholder terkait serta harus segera dicari solusinya. Semakin banyaknya angka perceraian di suatu daerah dalam hal ini adalah di Kabupaten Lumajang, maka menunjukkan bahwa semakin banyak perkawinan yang bermasalah (Wijayanti, 2008, h. 4). Apabila terjadi sesuatu dengan perkawinan, yang dalam hal ini adalah perceraian, maka akan timbul berbagai masalah yang harus dihadapi baik oleh pasangan yang bercerai maupun anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian (Karim dalam Ihromi ed., 2004, h. 136). Salah satu solusi yang dapat dilakukan, yaitu melakukan upaya antisipiasi baik secara promotif maupun preventif terhadap terjadinya perceraian di Kabupaten Lumajang. Sebelum upaya tersebut disusun, terlebih dahulu perlu dilakukan suatu perencanaan dengan menggunakan salah satu alat, yakni peramalan (forecasting) dengan metode time series seperti yang sudah dijelaskan pada anak sub bab sebelumnya.



11



Pada metode time series, terdapat beberapa teknik yang meliputi: rata-rata bergerak (moving average), pemulusan eksponensial tunggal (single exponential smoothing), pemulusan eksponensial ganda (double exponential smoothing), pemulusan ekponensial berganda (triple exponential smoothing), dekomposisi (decomposition), metode ARIMA (box-jenkins), serta metode regresi. Pemilihan teknik tersebut untuk aplikasinya dipengaruhi pola data, perubahan waktu, serta faktor gangguan yang disebabkan oleh pengaruh acak pada waktu sebelumnya. Oleh karena itu, agar bisa menentukan teknik yang akan digunakan dalam peramalan kejadian perceraian di Kabupaten Lumajang tahun 2015, maka terlebih dahulu harus mengetahui pola data dalam kejadian perceraian di Kabupaten Lumajang. Untuk mengetahui pola data tersebut, tentunya membutuhkan data perceraian minimal dalam kurun waktu 2009-2013 baik itu yang tercatat di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri di Kabupaten Lumajang.



II. DASAR KEGIATAN Dasar kegiatan dalam pengumpulan data awal penelitian ini adalah penyusunan skripsi calon Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.



12



III. TUJUAN KEGIATAN III.1



Tujuan Umum



Tujuan kegiatan pengumpulan data awal penelitian ini adalah untuk mendapatkan data awal penunjang permasalahan atau topik yang akan digunakan sebagai dasar pada penelitian untuk penyusunan skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. III.2



Tujuan Khusus



Untuk mendapatkan data kasus perceraian tahun 2009-2013 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Lumajang, sehingga bisa ditentukan pola data kejadian perceraian di Kabupaten Lumajang. Dengan diketahuinya pola data tersebut, maka teknik peramalan dalam metode time series yang digunakan untuk meramalkan kejadian perceraian di Kabupaten Lumajang tahun 2015 dapat ditentukan dan harapannya skripsi bisa disusun dengan baik dan lancar.



IV. BENTUK KEGIATAN IV.1



Pengumpulan Data Primer



Dilakukan dengan metode wawancara secara mendalam kepada pihak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Lumajang berkaitan dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian tentang kasus perceraian tahun 2009-2013.



13



IV.2



Pengumpulan Data Sekunder



Pengumpulan data sekunder di Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Negeri (PN) dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah data sebagai berikut. 1) Data kasus perceraian secara umum tahun 2009-2013; 2) Data kasus perceraian tahun 2009-2013 yang disusun per bulan; 3) Data



kasus



perceraian



tahun



2009-2013



yang



digolongkan



berdasarkan penyebab perceraian; 4) Data registrasi perceraian tahun 2009-2013; serta 5) Data lainnya yang mendukung baik berupa hardcopy maupun softcopy.



V. PELAKSANAAN KEGIATAN V.1 Peneliti Nama Lengkap



: Nurmalasari



NIM



: 101011158



Departemen



: Biostatistika dan Kependudukan



Prodi



: S-1 Ilmu Kesehatan Masyarakat



Fakultas



: Fakultas Kesehatan Masyarakat



Universitas



: Universitas Airlangga



Alamat



: Jalan Sutorejo No. 26 Surabaya Uranggantung. Jarit. Candipuro. Lumajang



No. Handphone



: 085-730-637-509



14



E-mail



: [email protected]



V.2 Tempat 1. Pengadilan Agama Kabupaten Lumajang Jalan Jenderal Ahmad Yani, No. 12, Lumajang, Jawa Timur. 2. Pengadilan Negeri Kabupaten Lumajang Jalan Gatot Subroto No.74, Lumajang, Jawa Timur. V.3 Waktu 10 Februari 2014-28 Maret 2014



VI. RENCANA KEGIATAN Tabel 1. Rencana Kegiatan Pengambilan Data Awal Penelitian



No 1. 2. 3.



4.



5.



Kegiatan



Bulan Februari Minggu keIII IV V



Penyusunan Proposal Pengambilan Data Awal Penelitian Pengajuan Surat ke Fakultas dan Perizinan Pengajuan Surat ke Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dan Perizinan Perizinan ke Pengadilan Agama dan Pengajuan Surat Pengadilan Negeri Kabupaten Lumajang Pengambilan data awal penelitian di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Lumajang



15



Bulan Maret Minggu keI



II



III



IV



V



VII. PENUTUP Demikian proposal kegiatan pengumpulan data awal penelitian skripsi ini disusun. Besar harapan kami agar kegiatan ini dapat terlaksana dengan lancar serta memberikan manfaat baik semua pihak yang terlibat di dalamnya. Atas partisipasi dan dukungan semua pihak yang membantu terlaksananya kegiatan ini, kami sampaikan terima kasih.



16



LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL KEGIATAN PENGAMBILAN DATA AWAL PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KABUPATEN LUMAJANG



Surabaya, 7 Februari 2014 Mengetahui, Dosen Pembimbing Skripsi,



Pelaksana,



Prof. H. Kuntoro, dr., M.PH., Dr.PH



Nurmalasari



NIP. 19480808 197603 1 002



NIM. 101011158



17