PROPOSAL TESIS KEVIN SETYA WAGNER S (Recovered) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



KEPASTIAN HUKUM TENTANG KEWENANGAN



KURATOR DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI OBJEK JAMINAN YANG TIDAK TERDAFTAR ATAS NAMA DEBITOR PAILIT DIHADAPAN NOTARIS/PPAT



Proposal Tesis Diajukan Sebagai Bahan Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Penulisan Tesis Program Magister Ilmu Kenotariatan (M.Kn)



Oleh : KEVIN SETYA WAGNER SIMARMATA



20170104611040



PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS JAYABAYA JAKARTA 2019



2



DAFTAR ISI Halaman BAB I



PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................



1



B. Rumusan Masalah ..................................................................



11



C. Tujuan Penelitian ....................................................................



11



D. Kegunaan Penelitian ...............................................................



11



E. Kerangka Pemikiran ...............................................................



12



1. Teоri Kepastian Hukum ...................................................



14



2. Teori Kewenangan ............................................................



18



F. Metode Penelitian ...................................................................



21



1. Metode Pendekatan ..........................................................



22



2. Spesifikasi Penelitian .......................................................



23



3. Teknik Pengumpulan Data ...............................................



24



4. Metode Analisis Data .....................................................



26



5. Keaslian Penelitian ..........................................................



27



G. Rencana Sistematika Penulisan .............................................



31



DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, dan perkembangan ekonomi di Indonesia semakin bersaing, para pelaku usaha bisnis harus mempunyai pendanaan yang kuat agar dapat mempertahankan eksistensi dan tergenapinya tujuan bisnis tersebut dalam mencari keuntungan. Dana/modal berperan penting bagi pelaku usaha dan dibutuhkan pelaku usaha. Dana dapat didapatkan salah satunya dari fasilitas pinjaman / kredit, baik diperoleh melalui perorangan maupun lembaga keuangan, seperti Bank. Bank berperan menambah modal usaha pelaku usaha baik utang dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Apabila terjadi ikatan utang piutang antara pelaku usaha dengan Bank, maka kedudukan pelaku usaha yang berhutang disebut debitor dan kedudukan bank yang memiliki Piutang atau memberikan pinjaman disebut sebagai kreditur. Didalam ikatan dengan perjanjian induk utang piutang ini, terikat perjanjian accecoir penjaminan pelunasan piutang yaitu jaminan. Jaminan ini menjadi tanggungan yang diberikan oleh debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan sehingga kreditor terlindungi guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat assessoir dari perjanjian pokok tersebut. Dengan demikian hak jaminan tersebut dalam proses 1



2



kepailitan merupakan sendi yang penting sekali dalam sistem pengkreditan suatu Negara, khususnya dalam sistem kredit perbankan.1 Bank sebagai kreditur yang akan menyalurkan dananya memerlukan jaminan dikarenakan faktor lebih terjaminnya keamanan dengan adanya jaminan, khususnya apabila terjadinya kredit macet oleh debitur. Jaminan atau Agunan menjadi salah satu unsur dalam pemberian kredit. Kredit merupakan penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Pasal 1 angka 11 UU nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan). Penjaminan dikenal dalam pasal 1131 dan pasal 1132 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) bahwa seluruh harta benda seorang baik barang-barang bergerak dan tidak bergerak milik debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur tersebut.2 Prinsip yang dikenal dalam jaminan kebendaan seperti:3 1. Memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditur pemegang hak jaminan terhadap kreditur lainnya.



1



M.Isnaeni, Hukum Jaminan Sebagai Sarana Pendukung Ekonomi, Hukum Ekonomi, Agustus 1995. Erna Idjajati, Hukum Perusahaan dan Kepailitan di Indonesia, Jalur, Jakarta,2014, hlm 66. 3 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, memahami undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Edisi 3, Jakarta,2009, hlm 281. 2



3



2. Bersifat asesor terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut. 3. Memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang hak jaminan. Artinya benda yang dibebani hak jaminan bukan merupakan harta pailit dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan. 4. Merupakan hak kebendaan. Artinya hak jaminan akan selalu melekat di atas benda tersebut (droit de suite) kepada siapapun juga benda tersebut beralih kepemilikannya. 5. Kreditur pemegang hak jaminan mempunyai wewenang penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya. 6. Berlaku bagi pihak ketiga, dimana berlaku asas publisitas. Artinya hak jaminan tersebut harus didaftarkan. Sementara dalam Pasal 1132 KUHPerdata dengan ada penjaminan tersebut, tindakan pelaksanaan apabila tidak terpenuhinya pembayaran hutang tersebut maka memerintahkan agar seluruh harta debitur dijual lelang dimuka umum dan hasilnya dibagikan kepada kreditur secara proporsional, kecuali diantara para kreditor tersebut terdapat kreditor yang didahulukan pemenuhan piutangnya. `



Dalam hal Debitur tidak dapat mengembalikan pinjaman beserta turutan-



turututannya yang sudah jatuh tempo kepada salah satu kreditor atau beberapa kreditornya mengakibatkan kreditor khususnya kreditor pemegang jaminan (separatis) normatifnya harus mendapat akses terhadap kekayaan debitor yang dinyatakan pailit dikarenakan debitor tidak mampu membayar lagi utang-utangnya. Kreditor pemegang jaminan mendapat hak istimewa yang diberikan oleh undang-



4



undang dengan cara kreditor pemegang jaminan (hak tanggungan, hak gadai, hipotik dan fidusia) tidak termasuk dalam harta pailit, didahulukan dari para kreditor lainnya sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan) menyebabkan kreditor pemegang hak jaminan tidak terpengaruh oleh putusan pernyataan pailit. Untuk hal itu lembaga kepailitan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 atau UU Kepailitan mengatur penyelesaian terkait konflik antara kreditur dan debitur menyangkut utang dimulai dari syaratnya4 sebagaimana diatur yaitu kreditur yang memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta memiliki setidaknya-tidaknya 2 (dua) kreditur, dapat dimohonkan dengan cara permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri.



Kreditur yang dimaksud diatas yaitu kreditur konkuren,



kreditur preferen maupun kreditur separatis. Kreditur separatis merupakan kreditur pemegang jaminan kebendaan seperti pemegang



gadai, jaminan fidusia, hak



tanggungan, hipotek dan agunan kebedaan lainnya. Disebutkan separatis yang notabene dikaitkan dengan terminologi pemisahan karena kreditur ini dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti mempunyai hak untuk menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil penjualan, yang terpisah dengan harta/bundel pailit umumnya.5



4



Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang 5 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Citra Aditya Bakti, Bandung,2005, hlm 99.



5



Selain itu poin penting yang ditegaskan dalam UU Kepailitan yaitu bahwa cakupan kepailitan sebagaiman disebutkan dalam Pasal 21 UU Kepailitan yaitu Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan, dengan kata lain yang bisa dieksekusi adalah harta/boedel pailit atas nama debitur. Sementara dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat UUHT) mengatur apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Maka dari itu pemegang Hak Tanggungan diberi hak untuk melakukan parate eksekusi yakni pemegang hak tanggungan (dalam hal ini kreditur separatis) tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, juga tidak perlu meminta penetapan pengadilan apabila debitur cidera janji. Hal tersebut menjadi keistimewaan pemegang hak tanggungan, bahkan dalam Pasal 21 UUHT menyebutkan apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, kreditur tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut UUHT. Dengan pasal tersebut, Objek hak tanggungan menjadi tidak termasuk dalam boedel pailit debitur sebelum pemegang hak tanggungan (dalam hal ini kreditur separatis) mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan tersebut. Sejalan sebagaimana dalam Pasal 55 Ayat (1) UndangUndang Kepailitan sebutkan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai,



6



jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun, adanya batasan yang ditegaskan dalam UU Kepailitan yaitu sebagaimana tertulis dalam pasal 56 UU Kepailitan yaitu Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Kemudian ditegaskan dalam pasal Pasal 59 (1) UU Kepailitan yaitu; (1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). (2) Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut. Dengan demikian, pemegang jaminan hak tanggungan (kreditor separatis) diberikan hak untuk melakukan eksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan debitur insolvensi, setelah lewat jangka tersebut maka harta itu masuk ke dalam harta boedel pailit dan menjadi kewenangan kurator untuk menjual bundel pailit debitur baik sebagaimana dalam Pasal 185 UU Kepailitan yaitu: (1)Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal penjualan di muka umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas.



7



sementara Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT) disebutkan: Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnyadari hasil penjualan tersebut. Maka dari itu harta pailit adalah harta yang setelah berakhirnya masa waktu kreditur separatis/ bank untuk menjualnya. Jika sudah terjual oleh kreditur separatis maka aset jaminan tersebut bukanlah merupakan harta pailit. Debitur dapat berupa perseorangan maupun badan usaha, khususnya badan hukum berupa Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya PT). PT untuk menambah modal untuk kegiatan usahanya terikat dengan perjanjian utang piutang dengan kreditor salah satunya kreditor separatis seperti bank beserta jaminan biasanya berupa jaminan kebendaan dapat berupa tanah, bangunan, pabrik dan lain-lain yang menjadi kekayaan/aset perseroan sendiri. Khususnya tanah, yang merupakan aset perusahaan yang harus terdaftar atas nama perusahaan, bukan atas nama perseorangan sehingga bukan lagi menjadi harta pribadi perseorangan, atau harta pribadi pemegang saham. Apabila tanah tersebut masih atas nama perseorangan, maka harus dibalik nama atas nama perusahaan, sehingga dengan demikian apabila perseroan meminjam uang kepada kreditur dengan jaminan benda yang terdaftar nama perusahaan, bukan atas nama pribadi. Sebagai kajian penelitian ini penulis bermaksud meneliti dengan mengacu pada salah satu kasus kepailitan yaitu perkara perdata dengan nomor 769K /Pdt.SusPailit/2016 antara pihak penggugat yaitu PT.Bank OCBC NISP, Tbk dan tergugat yaitu PT. Mega Graha Internasional yang tidak lain merupakan debitur dari



8



PT Bank OCBC NISP,Tbk. Dalam perkembangannya PT. Mega Graha International telah dinyatakan Pailit dengan segala akibat hukumnya berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 16/PdtSusPailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst., tertanggal 23 Juli 2015. Dengan Pailitnya PT. Mega Graha International, maka PT. Mega Graha International terbukti telah cidera janji/wanprestasi terhadap PT. Bank OCBC NISP Tbk dan konsekuensi hukumnya PT. Bank OCBC NISP Tbk sebagai Pemegang Hak Tanggungan berhak untuk segera melakukan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan terhadap Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 3505/Meruya Utara, terdaftar atas nama The Hwie Gwan. Kemudian PT. Bank OCBC NISP Tbk telah mengajukan Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan atas Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 3505/Meruya Utara tersebut di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV pada tanggal 15 September 2015, namun ternyata terhadap Permohonan Lelang tersebut KPKNL Jakarta IV menyatakan tidak dapat melanjutkan permohonan lelang eksekusi Hak Tanggungan atas Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 3505/Meruya Utara tersebut dengan alasan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 3505/Meruya Utara telah dimasukkan oleh Tergugat ke dalam Daftar Aset Sementara/Boedel Pailit PT. Mega Graha International dengan alasan karena biaya pembelian asset tersebut berasal dari harta kekayaan PT. Mega Graha International. Akibat dari hal itu PT. Bank OCBC NISP Tbk merasa dirugikan karena menganggap tindakan tersebut yang dengan secara sepihak telah memasukkan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 3505/Meruya Utara ke dalam Daftar Harta/Boedel Pailit, tertanggal 9 September 2015, padahal



9



secara jelas dan terang benderang Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 3505/Meruya Utara tersebut bukan merupakan Harta/Boedel Pailit PT. Mega Graha International. Kemudian PT. Bank OCBC NISP Tbk mengajukan permohonan kasasi kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar dapat memberikan keadilan seadil-adilnya. Berdasarkan putusan pengadilan gugatan lain-lain yaitu perkara perdata dengan nomor 02/Pdt.Sus-Gugatan lain-lain/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst yang diajukan PT.Bank OCBC NISP, Tbk diputuskan oleh pengadilan bahwa jaminan tersebut merupakan bundel/harta pailit debitur. Dengan demikian, berdasarkan putusan tersebut bermaksud meneliti apakah kurator berwenang menjual harta pailit yang terdaftar atas nama pihak ketiga. Undang-Undang Kepailitan dan KUHPerdata belum mengakomodir kewenangan kurator dalam dalam menjual harta pailit atas nama pihak ketiga. Berdasarkan kasus diatas normatifnya yang menjadi penjual dalam jaminan tersebut adalah pemilik tanah yang terdaftar dalam sertipikat, namun pada prakteknya kurator menjadi pihak penjual harta pailit atas nama pihak ketiga tersebut. Hal ini yang menjadi yang menjadi das sein dalam tesis ini. Sementara Pasal 21 UU Kepailitan menyebutkan: “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.” Dengan kata lain yang bisa dieksekusi kurator adalah harta/boedel pailit atas nama debitur pailit, bukan pihak ketiga. Sehingga kurator hanya berewenang menjual harta debitor sesuai pasal 185 UU Kepailitan apabila harta terdaftar atas



10



nama debitor, bukan atas nama pihak ketiga. Hal ini yang menjadi yang menjadi das sollen dalam tesis ini. Dengan demikian, melalui penulisan ini penulis bermaksud mencari dasar kewenangan kurator dalam menjual harta debitur yang terdaftar atas nama pihak ketiga, dan tidak tumpang tindih dengan UU HT dimana kreditor separatis berhak untuk mengeksukusi jaminan tersebut. Dengan demikian berdasarkan uraian diatas menarik untuk diteliti masalah kepastian jual beli yang tidak terdaftar atas nama pihak ketiga, maka dirumuskan Penelitian Tesis yang akan diajukan dengan judul: KEPASTIAN HUKUM TENTANG KEWENANGAN KURATOR DALAM MELAKSANAKAN JUAL BELI OBJEK JAMINAN YANG TIDAK TERDAFTAR ATAS NAMA DEBITOR PAILIT DIHADAPAN NOTARIS/PPAT.



11



B. Rumusan Masalah Mengacu pada uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang penulis ajukan yaitu sebagai berikut:



1. Bagaimana mewujudkan kepastian hukum dalam pelaksanaan jual beli objek jaminan oleh kurator yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit? 2. Bagaimana pelaksanaan transaksi jual beli yang dilakukan oleh kurator dihadapan Notaris/PPAT terhadap objek jaminan yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit?



C. Tujuan Penelitian Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Untuk memahami dan menganalisis pelaksanaan jual beli yang dilakukan oleh kurator dihadapan Notaris/PPAT terhadap objek jaminan yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit. 2. Untuk memahami dan menganalisis kepastian hukum dalam pelaksanaan jual beli objek jaminan yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit.



D. Kegunaan Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu : 1. Secara Teoritis



12



Sebagai pengembangan pemikiran dan landasan teoritis bagi perkembangan bidang hukum kepailitan maupun hukum jaminan. 2. Secara Praktis Selain sebagai penambah wawasan bagi peneliti, kegunaan praktis penelitian ini diharapkan menjadi solusi yang tepat bagi praktisi dalam menyikapi penjualan harta jaminan debitur yang tidak terdaftar atas nama debitur serta dapat menjadi landasan teori bagi aparat penegak keadilan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat terhadap penjualan harta yang bukan atas nama debitur sehingga tercapai kepastian hukum.



E. Kerangka Pemikiran Menurut Soerjono Soekanto, bahwa kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.6 Snelbecker dalam Lexy Moeloeng mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.7 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan



6



Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986, hlm 6 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hlm. 34-35. 7



13



menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.8 Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.9 Teori Hukum itu sendiri adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan keputusankeputusan hukum, yang untuk suatu bagian penting sistem tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif.10 Berkaitan dengan teori, maka kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak



8



Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Andi, 2006, hlm 6. 9 Lawrence M. Friedman, Teori dan Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 2. 10 Arief Sidharta. Refleksi tentang Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 4. 11 Ibid, hlm. 5



14



disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.12 Kerangka pemikiran merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. “Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butirbutir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”. Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.13 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arah dan menjelaskan gejala yang diamati untuk tercapainya kepastian hukum terhadap kewenagan kurator dalam melaksanakan jual beli objek jaminan yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit dihadapan Notaris/PPAT. Teori yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah Teori Kepastian Hukum dan Teori Kewenangan. I.



Teоri Kepastian Hukum Hukum merupakan peraturan yang berupa norma dan sanksi yang



dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban keadilan, mencegah terjadi kekacauan, sebagaimana yang disebutkan oleh J.C.T Simorangkir bahwa:



12 13



M.Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm 80 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1991, hlm 254.



15



“Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, dengan hukuman tertentu.14 Kepastian dalam hukum berkaitan erat dengan keteraturan masyarakat, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri sehingga diperlukan masyarakat untuk mencapai ketertiban dalam bermasyarakat. Tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum demi adanya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum, supaya tercipta suasana yang aman dan tentram di dalam masyarakat.15 Kepastian hukum dapat dicapai apabilasituasi tertentu: a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible); b. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat tersebut; c. Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturanaturan tersebut



14



T.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Prenhallindo, 2007, hlm.30 15 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia (suatu tinjauan secara sosiologis), cetakan keempat, Jakarta : Universitas Indonesia, 1999, hlm. 55.



16



d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu-waktu mereka menyelesaikan sengketa; e. Keputusan peradilan secara kongkrit dilaksanakan; 16 Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis, kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Lon Fuller dalam bukunya The Moralty of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:17 1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu; 2. Peraturam tersebut diumumkan kepada publik; 3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem 4. Dibuat dalam rumusan yang mudah dimengerti oleh umum;



16



Jan Michael Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono, Jakarta : Komisi Hukum Nasional, 2003, hlm. 25 17 Http;// Sonny-tobelo.blogspot.com. diakses pada tanggal 9 November 2019



17



5. Tidak boleh ada peraturam yang saling bertentangan; 6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7. Tidak boleh sering diubah-ubah; 8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan seharihari. Dengan demikian pendapat Lon Fuller diatas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaanya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif yang dijalankan. Tujuan hukum diantaranya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Menurut Jan Michie Otto, kepastian huku yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis, namun Otto memberikan batasan kepastian hukum yang lebih jauh dengan mendefinisikan kepastian sebagai kemungkinan dalam situsi tertentu:18 a.



Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;



b.



Instansi-intansi penguas (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga dan taat kepadanya.



18



Jan Michiel Otto, terjemahan Tristam Moeliono dan Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung: PT REVIKA ADITAMA, 2006, hlm 85.



18



c.



Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturanaturan tersebut.



d.



Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelsaikan sengketa hukum tersebut, dan;



e.



Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan .



II. Teori Kewenangan Istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis: pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.19 Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: “Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”20



19



Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, 1993, Jakarta , hlm. 90 20 Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 7.



19



Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).21 1. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu wewenang. Cara yang biasa dilakukan untuk melengkapi organ pemerintahan dengan penguasa pemerintah dan wewenang-wewenangnya adalah melalui atribusi. Dalam hal ini pembentuk undang-undang menentukan penguasa paemaerintah yang baru dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu. Untuk atribusi, hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undangundang orsinil (pembentuk UUD, parlemen pembuat undang-undang dalam arti formal, mahkota, serta organ-organ dari organisasi pengadilan umum), Sedangkan pembentuk undang-undang yang diwakilkan (mahkota, menterimenteri, organ-organ pemerintahan yang berwenang untuk itu dan ada



21



Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1998. hlm.2.



20



hubungannya dengan kekuasaan pemerintahan) dilakukan secara bersama. Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan itu didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam sautu peraturan pemerintah tetapi tidak didahului oleh suatu Pasal dalam undangundang untuk diatur lebih lanjut. 1. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Delegatie Kata



delegasi



(delegatie)



mengandung



arti



penyerahan



wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuasaan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya. Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum karena bila pemberi delegasi ingin menarik kembali wewenang yang telah didelegasikannya, maka harus dengan peraturan perundang-undangan yang sama. Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula di-subdelegasikan kepada subdelegatoris. Untuk subdelegatoris ini berlaku sama dengan ketentuan delegasi. Wewenang yang diperoleh dari atribusi dan delegasi dapat dimandatkan kepada orang atau pegawai-pegawai bawahan bilamana organ atau pejabat yang secara resmi memperoleh wewenang itu tidak mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut.



21



2. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat Kata Mandat (mandat) mengandung pengertian perintah (opdracht) yang di dalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht). Mandat mengenai kewenangan penguasaan diartikan dengan pemberian kuasa (biasanya bersamaan dengan perintah) oleh alat perlengkapan pemerintah yang memberi wewenang ini kepada yang lain, yang akan melaksanakannya atas nama tanggung jawab pemerintah yang pertama tersebut. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat atas nama yang diwakili. Hanya saja mandat, tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenangnya bila ia menginginkannya. Pemberi mandat juga bisa memberi segala petunjuk kepada mandataris yang dianggap perlu. Pemberi mandat bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang diambil berdasarkan mandate. Sehingga, secara yuridis-formal bahwa mandataris pada dasarnya bukan orang lain dari pemberi mandat.



F. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode dan cara tertentu,



22



sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu.22 Penelitian merupakan pencerminan secara kongkrit kegiatan ilmu dalam porses ilmu pengetahuan.23 Penelitian penting dilakukan karena manusia memerlukan jawaban untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Untuk itu diperlukan pengetahuan ilmiah yang berlangsung sesuai prosedur dan langkah-langkah yang dilakukan secar sistematis, kritis, terkontrol, dan dilakukan menurut hukum dan hasil penelitian bermanfaat secara teoritis dan praktis.24 Dalam melaksanakan pendekatan permasalahan yang berhubungan dengan topik penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Metode penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang didukung yuridis empiris. Hal ini berarti dalam penelitian ini yang digunakan adalah kajian kepustakaan atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier.25 Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal biasanya hanya digunakan sumber-sumber data sekunder saja yaitu peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori-



22



Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 42. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 10. 24 Idem, hlm.9. 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1991, hlm. 43. 23



23



teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka, sedangkan analisis yang dilakukan berupa analisis normatif kualitatif.26 Penelitian memegang peranan penting dalam membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan baru dalam memecahkan masalah, disamping menambah ragam pengetahuan baru.27 Ketentuan penyusunan tesis ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yang berupa penelitian dengan pengkajian terhadap beberapa aturanaturan hukum sekaligus konsep dan landasan teori yang terkait dalam rangka menjawab isi dari permasalahan dan konsep yang diutarakan dalam kajian tentang kepastian hukum tentang kewenangan kurator dalam melaksanankan jual beli objek jaminan yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit dihadapkan Notaris/PPAT.



2. Spesifikasi Penelitian Spesisifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu dimaksudkan untuk memberikan penjelasan secara rinci, lengkap dan komperhensif penyelesaian menggunakan segala sesuatu baik peraturan perundang-undangan, Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang seperti Akta Jual Beli dan Akta Risalah Lelang, teori-teori hukum, maupun praktek praktisi sebelumnya dimaksudkan terhadap pelaksanaan jual beli objek jaminan yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit dihadapkan Notaris/PPAT.



26 27



R.H Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993, hlm. 9. Moh. Nazir Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 41.



24



3. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data dan bahan hukum dengan cara menginventarisasi data sebanyak mungkin yang berkaitan dengan penelitian ini baik dengan penelitian lapangan (field research) yang sifatnya sebagai pendukung atau pelengkap data sekunder. Penelitian



kepustakaan



(library



research).



Sesuai



dengan



penggunaan data sekunder dalam penelitian ini, maka pengumpulan datapun akan dilakukan dengan cara mengumpul, mengkaji, dan dan mengolah secara sistematis bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan. Data sekunder baik yang menyangkut bahan hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh dari bahan pustaka, dengan memperhatikan prinsip pemuktahiran dan rekavensi. Data tersebut disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran relatif yang lengkap dari klasifikasi secara kualitatif.28 Data sekunder adalah data yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, sampai dengan dokumendokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah.29 Menurut Bambang Waluyo, data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,



28 29



Lexi Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosada Karya, 2000, hlm. 2. Ibid. hlm. 3.



25



hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.30 Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup: a. Bahan Hukum Primer yaitu peraturan perundang-undangan yang menyangkut pelaksanaan jual beli objek jual beli objek jaminan. b. Bahan Hukum Sekunder, memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer meliputi buku-buku ilmu hukum, karya ilmiah, Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang HT, Undang-Undang Perseroan Terbatas, serta peraturan lainnya berhubungan pelaksanaan jual beli objek jual beli objek jaminan. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk tentang bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari kamus bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum Ensikplodia serta sarana ajar tentang cara penulisan karya ilmiah. d. Wawancara Dalam penelitian ini guna mendukung hasil penelitian penulis melakukan wawancara, yaitu cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang berwenang, mengetahui dan terkait dengan pelaksanaan jual beli objek jual beli objek jaminan seperti dari Kurator dan Praktisi Hukum. Wawancara dilakukan terstruktur dengan terlebih dahulu



30



31.



mempergunakan



pedoman



wawancara



yang



kemudian



Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1991, hlm.



26



dilanjutkan dengan pertanyaan yang timbul dengan sendirinya untuk dapat mengetahui lebih detail mengenai kepastian hukum cara penjualan khususnya dibawah tangan terhadap jaminan harta kekayaan yang bukan atas nama debitur oleh Kurator dihadapan notaris/PPAT atau alternative lainnya yang menjadi kebiasaan praktisi ntuk penjualan harta jaminan tersebut. Adapun penelitian kepustakaan tersebut meliputi: 1. Perpustakaan Magister Kenotariatan Jayabaya 2. Buku-buku hukum koleksi pribadi. 3. Yurisprudensi dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 4. Situs-situs yang relevan dengan penelitian ini.



4. Metode Analisis Data Metode analisis yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil penilitian ini adalah analisis yuridis kualitatif yaitu apa yang dinyatakan oleh narasumber tertulis atau lisan. Selain itu metode yang digunakan juga teoritis normatif yuridis, yaitu dengan cara meneliti, mencari, mengkaji, buku-buku terkait dan peraturan perundang-undangan maupun lingkup teori yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Sebelum melakukan



analisis



bahan



hukum



terlebih



dahulu



diadakan



pengorganisasian terhadap data sekunder yang diperoleh melalui dokumentasi kepustakaan. Bahan hukum yang terkumpul kemudian



27



dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menguraikan bahan hukum dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif dengan menggunakan pendekatan normative terkait pelaksanaan jual beli objek jual beli objek jaminan. 5. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan dan Tata Usaha Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya, belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat



judul:



KEPASTIAN



HUKUM



TENTANG



KEWENANGAN KURATOR DALAM MELAKSANAKAN JUAL BELI OBJEK JAMINAN YANG TIDAK TERDAFTAR ATAS NAMA DEBITOR PAILIT DIHADAPAN NOTARIS/PPAT. Akan tetapi ada beberapa Penelitian yang judulnya menyerupai dan mendekati dengan pembahasan yang berbeda, penulis mengambil 3 (tiga) penelitian tersebut sebagai perbandingan yaitu sebagai berikut : a. Penelitian yang dilakukan oleh RINA MARLINA (2011), mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul: “PERAN PPAT DALAM JUL BELI HARTA PAILIT BERUPA TANAH DIKAITKAN DENGAN PASAL 185 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (ANALISA TERHADAP AKTA JUAL BELI NOMOR 21/2010 TANGGAL 14 APRIL 2010)”. Adapun permasalahan yang



28



akan dibahas dalam penelitian ini adalah hal-hal apa saja yang harus diperhatikan oleh PPAT dalam komparisi untuk penjualan harta pailit berupa tanah dikaitkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? Apakah Akta Jual Beli Nomor 21/2010 telah sah memenuhi ketentuan Pasal 185 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajuban Pembayaran Utang? Kesimpulan yang didapat dalam menuliskan komparisi kurator selaku penjual, PPAT harus memberikan keterangan mengenai dasar kewenangan bertindak kurator yaitu putusan pailit yang mnejadi dasar penunjukkanya dan penetapan hakim pengawas yang memberikan izin penjualan pailit tidak melalui lelang. b. Penelitian yang dilakukan oleh : Firmansyah, SH (2013) mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universita Islam Indonesia, dengan judul “TANGGUNG JAWAB DALAM KURATOR DALAM PENGURUSAN



DAN



PEMBERESAN



HARTA



PAILIT”.



Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana tanggung jawab kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit PT Pelita Propertindo Sejahtera? Upaya-upaya hukurn apakah yang dapat dilakukan oleh kurator dalam melaksanakan pemberesan harta pailit PT Pelita Propertindo Sejahtera? Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif, melalui pendekatan undangundang, konseptual dan perbandingan guna memperoleh pandangan dan



29



doktrin sebagai dasar argumentasi hukum atas isu hukum yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Tanggung jawab kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit PT Pelita Propertindo Sejahtera dilakukan dengan mengadakan koordinasi dengan Hakim Pengawas, Penetapan Hakim Pengawas mengenai Rapat Kreditor Pertama, Batas Pengajuan Tagihan dan Rapat Verifkasi, serta Mengumumkan keadaan pailit dalam swat kabar dan harian berita Negara Republik Indonesia. Kurator juga harus memberitahukan putusan pailit dan mengadakan pertemuan dengan Direksi PT Pelita Propertindo Sejahtera, meminta dokumen-dokumen yang haruss diserahkan debitor, penetapan penyegelan harta pailit, memberikan pengarahan



kepada



direksi



tentang



konsekuensi



kepailitan,



mengirimkan undangan rapat kreditor pertama kepada debitor pailit dan para kreditor, serta menerima pendaftaran kreditor dan daftar kreditor sementara, serta untuk jawaban kedua Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kurator dalam melaksanakan pemberesan harta pailit PT Pelita Propertindo Sejahtera adalah Untuk mengamankan dan memaksimalkan harta pailit. c. Penelitian yang dilakukan oleh PENDI (2017) mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya, dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR SEPARATIS DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN ATAS NAMA PIHAK KETIGA



TERHADAP



PERSEROAN



TERBATAS



YANG



30



DINYATAKAN PAILIT”. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana kepastian hukum pelaksanaan eksekusi jaminan atas nama pihak ketiga terhadap Perseroan Terbatas menurut kepailitan Indonesia? Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi kreditur separatis dalam proses kepailitan berkaitan dengan pelaksanaan ekseskusi jaminan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif,



melalui



pendekatan



undang-undang,



konseptual



dan



perbandingan guna memperoleh pandangan dan doktrin sebagai dasar argumentasi hukum atas isu hukum yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak terdapat kepastian hukum pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan atas nama pihak ketiga sebagai pemberi jaminan atas utang debitur (Perseroan Terbatas), kemudian kurangnya perlindungan bagi kreditur separatis sebagai penerima jaminan dari pihak ketiga selaku pemberi jaminan untuk pelunasan utang debitur pailit, karena adanya pemasukan asset pihak ketiga oleh kurator sebagai harta debitur pailit Perbedaan yang sangat terlihat yaitu, Penulis Pertama menulis penjualan jaminan debitur atas nama debitur oleh kurator di PPAT, penulis kedua lebih fokus kepada tanggung jawab kurator untuk pemberesan harta pailit atas nama debitor pailit dan penulis ketiga mengangkat tentang kepastian hukum hak kreditor separatis, tidak mengkaji penjualan harta debitur yang bukan atas nama debitur. Sementara penulis fokus dengan cakupan dasar kewenangan kurator menjual harta pailit atas nama pihak



31



ketiga, dan praktik jual beli yang dilakukan berdasarkan Pasal 185 ayat 2 UU Kepailitan yaitu penjualan bawah tangan terhadap asset/harta atas nama pihak ketiga/bukan atas nama debitur dihadapan oleh kurator di Notaris/PPAT.



Oleh



karena



itu,



keaslian



tesis



ini



dapat



dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka.



G. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima BAB, dimana pada setiap bab akan di uraikan hal sebagai berikut : BAB I



PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian serta sistematika penulisan.



BAB II



TINJAUAN



UMUM



TENTANG



KEPAILITAN



DI



INDONESIA Dalam bab ini diuraikan mengenai Tinjauan umum tinjauan kepailitan



mencakup



pengertian



kepailitan,



pihak-pihak



kepailitan,syarat dan pernyataan pailit, harta pailit,akibat pailit, kreditur dalam kepailitan, prosedur kepailitan, proses setelah pailit, tugas wewenang kurator. BAB III JUAL BELI OBJEK JAMINAN YANG TIDAK TERDAFTAR ATAS NAMA DEBITOR PAILIT DIHADAPAN NOTARIS



32



Dalam bab ini diuraikan mengenai Tinjauan umum hak tanggungan, Bentuk Eksekusi Jaminan, Jaminan atas nama Pihak Ketiga, Pemasukan Modal kedalam Perseroan (Inbreng),



Pelelangan



Jaminan, Jual beli bawah tangan oleh Kurator, Deskripsi kasus. BAB IV



KEPASTIAN



HUKUM



TENTANG



KEWENANGAN



KURATOR DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI OBJEK JAMINAN YANG TIDAK TERDAFTAR ATAS NAMA DEBITOR PAILIT DIHADAPAN NOTARIS/PPAT Dalam bab ini diuraikan dan dianalisa



mengenai apa dasar



kewenagan kurator dapat menjual harta pailit atas nama pihak ketiga untuk tercapainya kepastian hukum, kedua mengenai proses pelaksanaan penjualan oleh kurator dihadapan Notaris/PPAT terhadap objek jaminan yang tidak terdaftar atas nama debitor pailit. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan dari uraian pada bab sebelumnya kemudian penulis memberikan beberapa saran atas kesimpulan yang telah diberikan oleh penulis.



33



DAFTAR PUSTAKA BUKU Arief Sidharta. Refleksi tentang Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008. Djuhaendah Hasan dan Salmidjas Salam, Aspek Hukum Jaminan Perorangan dan Kebendaan, Jakarta, 2000. Erna Idjajati, Hukum Perusahaan dan Kepailitan di Indonesia, Jalur, Jakarta,2014 Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, 1993, Jakarta , hlm. 90 Jan Michael Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan TristamMoeliono, Jakarta : Komisi Hukum Nasional, 2003 Jan Michiel Otto, terjemahan Tristam Moeliono dan Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung: PT REVIKA ADITAMA, 2006 M.Isnaeni, Hukum Jaminan Sebagai Sarana Pendukung Ekonomi, Hukum Ekonomi Agustus 1995 M.Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju, 1994. Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Andi, 2006. Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Citra Aditya Bakti, Bandung,2005 Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994



34



Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1998. hlm.2. Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1991, hlm 254 Satrio, Jaminan Hukum Jaminan Hak-Hak kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia (suatu tinjauan secara sosiologis), cetakan keempat, 1996



Lawrence M. Friedman, Teori dan Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta : Universitas Indonesia, 1999 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, memahami undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Edisi 3, Jakarta,2009 T.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Prenhallindo, 2007



WEBSITE Http;//Sonny-tobelo.blogspot.com. diakses pada tanggal 9 November 2019



PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN _____________, KUHPerdata _____________, UU Nomor 4 Tahun 1996 UU Hak Tanggungan _____________, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang



35



_____________, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas _____________, Putusan Pengadilan Niaga 769K /Pdt.SusPailit/2016 _____________, Putusan Pengadilan Niaga No.02/Pdt.Sus-Gugatan lainlain/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst _____________, Putusan Mahkamah Agung Nomor nomor 614 K/Pdt.Sus/2011 _____________, Putusan Mahkamah Agung Nomor 569K/Pdt.Sus/2013