Referat Abortus - Danny Aguswahyudy Jeremy - 112018170 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat Abortus



Disusun Oleh: Danny Aguswahyudy Jeremy - 112018170



Pembimbing: dr. Novi, Sp. OG



Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Obstetri Ginekologi SMF Ilmu Penyakit Obstetri Ginekologi RSAU dr. Esnawan Antariksa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unvitersitas Kristen Krida Wacana Periode 18 April 2022 – 26 Juni 2022



Lembaran Pengesahan Referat dengan Judul: Abortus Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri Ginekologi RSAU dr. Esnawan Antariksa periode 18 April 2022 – 26 Juni 2022. Disusun Oleh: Danny Aguswahyudy Jeremy



Telah diterima dan di setujui oleh dr. Novi, Sp. OG Selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Obstetri Ginekologi RSAU dr. Esnawan Antariksa.



Jakarta,



/



/2022



............................................ dr. Novi, Sp. OG



FAKULTAS KEDOKTERAN  UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA LEMBARAN PENILAIAN Nama



Danny Aguswahyudy Jeremy



NIM



112018170



Tanggal Judul kasus Aspek yang dinilai



Abortus Skor 1



2



3



4



5



Kemampuan analisis Penguasaan teori Referensi Bentuk referat tertulis Cara penyajian Total Nilai %= (Total/25) x 100% Keterangan: 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%), dan 5 =sangat baik (100%) Komentar penilai Nama Penilai dr. Novi, Sp. OG



Paraf/Stempel



Daftar Isi



Halaman Judul.....................................................................................................................i Lembaran Pengesahan.........................................................................................................ii Lembaran Penilaian.............................................................................................................iii Daftar Isi..............................................................................................................................iv Bab I Pendahuluan...............................................................................................................1 Bab II Tinjauan Pustaka......................................................................................................2 2.1 Definisi Abortus...................................................................................................2 2.2 Epidemiologi........................................................................................................2 2.3 Etiologi.................................................................................................................3 2.4 Faktor Risiko........................................................................................................9 2.5 Klasifikasi............................................................................................................11 2.6 Patofisiologi.........................................................................................................17 2.7 Penegakkan Diagnosis.........................................................................................17 2.8 Tatalaksana...........................................................................................................20 2.9 Komplikasi...........................................................................................................24 2.10 Prognosis............................................................................................................24 2.11 Pencegahan.........................................................................................................24 Bab III Kesimpulan.............................................................................................................26 Daftar Pustaka......................................................................................................................27



iv



Bab I Pendahuluan



Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering dikaitkan dengan kejadian abortus, misscarriage, early pragnancy loss. Perdarahan yang terajadi pada umur kehamilan yang lebih tua terutama setelah melewati trimester III disebut perdarahan antepartum. Perdarahan pada kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan pertimbangan masing-masing, tetapi setiap kali melihat terjadinya perdarahan pada kehamilan harus selalu berfikir tentang akibat dari perdarahan yang menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan itu sendiri.1. Kata abortion berasal dari kata latin aboriri yang berarti keguguran (miscarry). National Center for Health Statistics, Centers for Disease Conrol and Prevention, dan World Health Organization mendefinisikan abortus (abortion) sebagai suatu terminasi kehamilan yang terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu atau dengan berat janin < 500 gram. 2. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara spontan tanpa ada unsur tindakan kesengajaan. Abortus provokatus (induced abortion) adalah abortus yang terjadi karena tindakan yang sengaja dilakukan untuk mengakhiri kehamilan sebelum usia 20 minggu.1.,3. Di Indonesia, aborsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 346–349 dan dipandang sebagai kejahatan terhadap nyawa dengan ancaman hukuman antara 4 sampai 15 tahun. KUHP ini di dukung oleh undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali ada indikasi kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa ibu atau janin dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis.4.



1



Bab 2 Tinjauan Pustaka



2.1 Definisi Abortus Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1.,2. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara spontan tanpa ada unsur tindakan kesengajaan. Abortus provokatus (induced abortion) adalah abortus yang terjadi karena tindakan yang sengaja dilakukan untuk mengakhiri kehamilan sebelum usia 20 minggu. Abortus provokatus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk menyelamatkan ibu. Pertimbangan dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan spesialis Jiwa. Bila perlu dapat ditambahkan tokoh agama terkait.1.,3. 2.2 Epidemiologi Diperkirakan satu dari empat perempuan yang pernah hamil pernah mengalami keguguran dalam hidupnya, sebagian besar kasus terjadi di trimester pertama kehamilan, sedangkan estimasi insidens keguguran pada kehamilan berkisar antara 10-28%. Di dunia, terjadi 208 juta kehamilan dengan 41 juta mengarah ke aborsi dan 11 juta mengarah ke abortus spontan. Di negara berkembang, 90% abortus terjadi secara tidak aman, sehingga berkontribusi 11%-13% terhadap kematian maternal.5. Keguguran dalam Riskesdas 2010 diterjemahkan sebagai kejadian berakhirnya kehamilan pada usia kurang dari 22 minggu. Angka kejadian keguguran secara nasional adalah 4% pada kelompok perempuan pernah kawin usia 10-59 tahun. Angka kejadian bervariasi mulai terendah 2,4% yang terdapat di Bengkulu sampai dengan yang tertinggi 6,9% di Papua Barat. Ada 4 provinsi yang mempunyai angka kejadian lebih dari 6% dengan urutan dari yang tertinggi yakni provinsi Papua Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan masing-masing 6,3%, serta Sulawesi Selatan 6,1%.4.



2



Keguguran meningkat secara signifikan berhubungan dengan usia ibu, dari 10-15% pada wanita berusia 20 hingga 24 tahun menjadi 51% pada wanita berusia 40 hingga 44 tahun. Risiko keguguran jauh lebih tinggi pada wanita yang pernah mengalami keguguran sebelumnya. Risiko keguguran setelah dua kali keguguran berturut-turut adalah antara 1725%, dan risiko keguguran setelah tiga kali keguguran berturut-turut adalah antara 25-46%.6. 2.3 Etiologi 2.3.1 Penyebab Genetik Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip.1. Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya non-disjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi ditemukan pada 16 % kejadian abortus, di mana terjadi fertilisasi ovum normal haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat dari non-disjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak. Pada 50% kasus, keguguran dini diyakini disebabkan oleh kelainan kromosom janin. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan penyebab 20-25% kelainan sitogenetik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomi 21) bisa bertahan.1. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun. Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (terapioidi, triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan. Tetraploidi terjadi pada 8 % kejadian abortus 3



akibat kelainan kromosom, di mana terjadinya kelainan pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan.1. Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural terjadi pada sekitar 3 % kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada pria bisa berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan bisa mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran. 1. Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya mutasi gen yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy, yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis.1. Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma EhlersDanlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kriotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga beresiko abnormal. 2.3.2 Penyebab Anatomik Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien.1. Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus 4



bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan.1. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.1. 2.3.3 Penyebab Autoimun Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10%, dibanding populasi umum. Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai ani klinis yang penting, yaitu Lupus Anticoagulant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan biologically fake-positive untuk syphilis (FP-STS). APS (antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, Intrauterine growth restriction (IUGR) dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, dan hipertensi pulmonum.1. The International Consensus Workshop pada tahun 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS yaitu: Trombosis vaskular: satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapiler yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi (trombosisnya tanpa disertai adanya gambaran inflamasi); Komplikasi kehamilan: tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik, genetik atau hormonal. Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi secara sonografi normal. Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengna preeklamsia berat atau insufisiensi plasenta berat; Kriteria Laboratorium aCL: IgG dan IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih pemeriksaan dengan 5



jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu, aCL diukur dengan metode ELISA standar; Antibodi fosfolipid/antikoagulan: pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT dan CT), kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma platelet normal, adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid, singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin.1. aPA ditemukan kurang dari 2% pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33% pada perempuan dengan SLE. pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas, akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap B-2glikoprotein l yang lebih spesifik. Pemberian antikoagulan misalnya aspirin, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil yang efektif. Pada percobaan binatang, kerja IL-3 adalah menyerupai grorptb horrnone plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta.1. Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan terhadap prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregasi trombosit, penurunan c-reaktif protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya kehamilan pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu.1. Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah, prednison, imunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-control menunjukkan pemberian heparin 5.000 U 2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin meningkatkan daya tahan janin dari 50% menjadi 80% pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih dari 2 kali tes APLAs positif. Yang perlu diperhatikan ialah pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu pengawasan terhadap risiko hilangnya massa tulang, perdarahan serta trombositopeni.1. 2.3.4 Penyebab Infeksi Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain: [Bakteria] Listeria monositogenes, Klamidia trakomatis, Ureaplasma urealitikum, Mikoplasma hominis dan Bakterial vaginosis. [Virus] Sitomegalovirus, Rubela, Herpes simpieks virus (HSV), Human immunodeficient virus (HIV) dan Parvovirus. [Parasit] Toxoplasmosis gondii, Plasmodium falsiparum. [Spirokaeta] Treponema pallidum.1. 6



Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus/EPl, di antaranya sebagai berikut: Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitotoksin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta; Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berar sehingga janin sulit bertahan hidup; Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin; Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal Mikroplsama bominis, Klamidia, Ureaplasma urealitileum, HSV) yang bisa mengganggu proses implantasi. Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria monositogenes); Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksakie virus B, varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).1. 2.3.5 Faktor Hormonal Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terurama kadar progesteron.1. Diabetes Melitus. Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak lebih Jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2 - 3 kali lipat mengalami abortus.1. Kadar Progesteron Rendah. Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Corrier mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat di mana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan.1. Defek Fase Luteal. Jones (1943) yang perama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron saat fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23-60% perempuan dengan abortus berulang. Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis 7



gangguan ini. Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus ≥ 3 kali, didapatkan 1,7% kejadian defek fase lutea dan 50% perempuan dengan histologi defek fase luteal punya gambaran progesteron yang normal.1. Pengaruh Hormon terhadap imunitas desidua. Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus. Perubahan morfologi dan fungsi ini mendukung proses implantasi juga proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Di sini berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini berupa Large Granular Lymphocytes (LGL) dan makrofag, dengan sedikit sel T dan sel B. Sel NK dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada endometrium yang terpapar progesteron. Peningkatan sel NK pada tempat implantasi saat trimester pertama mempunyai peran penting dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan mendahului membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa ekspresi HLA. Trofoblas ekstravillous (dengan pembentukan cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK desidua, sehingga memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang normal.1. 2.3.6 Penyebab Hematologik Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan peningkatan kadar faktor prokoagulan, penurunan faktor antikoagulan dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.1. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4 - 6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8 - 11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu vasospasme serta agregrasi trombosit yang akan menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeprida.1. Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik ataupun plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari 8



22% kasus. Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke sistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar homosistein normal dalam beberapa hari.1. 2.3.7 Gaya Hidup Alkohol meningkatkan risiko keguguran secara signifikan, dan memiliki efek teratogen. Studi Denmark lainnya, menunjukkan peningkatan risiko keguguran pada wanita yang minum > 7 cangkir kopi per hari. Pada Studi Amstrong; Cnattingus; Klebanoff, intake kopi > 5 cangkir per hari atau sekitar 500 mg cafein, sedikit meningkatkan risiko kejadian abortus. Sebuah meta-analisis menyimpulkan bahwa wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) 25 kg/m2 berisiko tinggi mengalami keguguran dibandingkan dengan wanita dengan BMI 48 bulan adalah 4 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan jarak kehamilan 6 – 48 bulan. Hal ini dikaitkan dengan jarak kehamilan yang terlalu dekat dengan sebelumnya akan memberikan dampak buruk dikarenakan bentuk organ dan fungsi organ reproduksi belum kembali dengan sempurna. Jarak kehamilan agar organ reproduksi berfungsi dengan baik minimal 24 bulan. Jarak kehamilan yang terlalu jauh berhubungan dengan penurunan fungsi organ reproduksi dikarenakan oleh penambahan usia ibu.5. 2.4.3 Usia saat Hamil Usia yang aman untuk kehamilan ialah 20 sampai 35 tahun. Hal ini disebabkan pada usia di bawah 20 tahun kondisi organ reproduksi ibu seperti otot-otot rahim belum cukup baik, kekuatan dan kontraksinya serta sistem hormon yang belum terkoordinasi dengan baik. Selain itu kondisi psikologis ibu dianggap masih labil, rasa tidak siap dalam menghadapi kehamilan, dan perasaan tertekan pada kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Ketakutan mendapat cercaan dari keluarga, teman, dan lingkungan masyarakat juga akan memicu terjadinya stres pada ibu yang membuat hormon di dalam tubuh menjadi tidak stabil. Pada usia 35 tahun lebih, fungsi organ reproduksi ibu dan kondisi psikologis dianggap telah mengalami kemunduran. Tingginya umur ibu bertanggung jawab pada produksi progesteron yang tidak adekuat dan hal ini menyebabkan produksi pregesteron oleh korpus luteum tidak adekuat untuk mempertahankan implantasi.5. 2.4.4 Pekerjaan Perempuan dalam setiap jenis pekerjaannya memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami abortus spontan. Peningkatan risiko abortus spontan pada ibu hamil yang bekerja disebabkan oleh beban ganda ibu rumah tangga sekaligus sebagai wanita karir. Beban kerja yang berlebihan pada ibu hamil dapat menyebabkan kelelahan pada ibu.5. 2.4.5 Riwayat Abortus Risiko abortus spontan pada ibu yang memliki riwayat abortus adalah 5 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak memiliki riwayat abortus. Berdasarkan teori penanganan, 10



pada kasus abortus spontan dapat dilakukan beberapa tindakan yaitu kuretase sampai dengan histerektomi. Komplikasi dari tindakan kuretase adalah akan memberikan perubahan pada permeabilitas otot dinding rahim yang akan mempengaruhi kemampuan desidua basalis saat menerima implantasi embrio pada kehamilan selanjutnya. Akibat dari rahim yang pernah mendapat kuretase dan akibat dari otot serviks yang mendapat rangsangan untuk tetap terbuka saat kuretase akan meningkatkan resiko terjadinya inkompetensi serviks menahan beban kehamilan.5. 2.4.6 Paparan Asap Rokok Hal ini menunjukkan bahwa risiko abortus spontan pada ibu yang terpapar asap rokok >120 menit per hari adalah 2 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak terpapar asap rokok. Hal ini dikaitkan dengan perokok pasif selama kehamilan kondusif untuk terjadinya gangguan kehamilan. Bahan kimia yang dikeluarkan asap rokok jika terhisap akan berpengaruh kepada kehamilan, mempengaruhi plasenta dan pertumbuhan janin serta bisa terjadi hipoksia pada janin.5. 2.5 Klasifikasi 2.5.1 Treatened Abortion / Abortus Imminens Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.1. Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/l0. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya dubia ad malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed consent yang diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan harus maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah 11



terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan di samping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal. Pada USG transabdominal jangan lupa pasien harus tahan kencing terlebih dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang baik agar rincian hasil USG dapat jelas.1. Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.1. 2.5.2 Invitable Abortion / Abortus Insipiens Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.1. Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus.1. Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.1.



12



2.5.3 Incomplete Abortion / Abortus Inkompletus Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di mana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental size masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan 15 kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan.1. 2.5.4 Complete Abortion / Abortus Kompletus Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Aborsi kompletus adalah keguguran total. Biasanya, ada riwayat perdarahan vagina, sakit perut, dan keluarnya jaringan, besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7 - 10 hari setelah abortus. Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.1. Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hari sesuai dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun per oral dan antibiotika.1. 2.5.5 Missed Abortion 13



Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan janin mati tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.1. Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang.1. Kadangkala missed abortion juga diawali dengan abortus imminens yang kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamiian biasanya negatif setelah satu minggu dari terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.1. Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya secara baik karena risiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental penderita perlu diperhatikan, karena penderita umumnya merasa gelisah setelah tahu kehamilannya tidak tumbuh atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 1-2 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks urerus memungkinkan.1. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500 cc dekstrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.1.



14



Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin atau sintetisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah dengan pemberian mesoprostol secara sublingual sebanyak 400 mcg yang dapat diulangi 2 kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulitpada tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar atau fibrinogen. Pascatindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika.1. 2.5.6 Septic Abortion / abortus infeksiosus, Abortus Septik Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis). Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis.1. Abortus infeksiosus dan abortus septik perlu segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum, bahkan dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh dalam keadaan syok septik.1. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun.1. 2.5.7 Abortus Habitualis Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar 0,41 % dari seluruh kehamilan.1. 15



Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lympbocyte troboblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparinisasi. Akan tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab abortus ini secara lengkap sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya.1. Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan di mana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar.1. Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat. Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihi 8 mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks dianjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensi serviks harus dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12 - 14 minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari kanalis servikalis dengan benang sutera/MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.1. 2.5.8 Induce Abortion – Therapeutic Abortion, Elective or Voluntary Abortion Aborsi Terapeutik adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin mampu hidup untuk mencegah cedera tubuh yang serius atau permanen pada Ibu. Contohnya termasuk dekompensasi jantung persisten, terutama dengan hipertensi pulmonal tetap; penyakit pembuluh darah hipertensi lanjut atau diabetes; dan keganasan. Dalam kasus pemerkosaan atau inses, sebagian besar menganggap pemutusan hubungan kerja wajar. Indikasi yang paling umum saat ini adalah untuk mencegah kelahiran janin dengan kelainan anatomi, metabolisme, atau mental yang signifikan.



16



Pedoman Aborsi terapeutik diatur oleh American Collage of Obstetricians and Gynecologist (1987), yaitu: jika berlanjutnya kehamilan dapat mengancam nyawa atau menimbulkan gangguan kesehatan yagn serius bagi wanita yang bersangkutan. Dalam menentukan apakah risiko semacam itu ada atau tidak maka keadaan lingkungan keseluruhan saat itu atau dalam waktu dekat dapat dipertimbangkan. Jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan atau inses. Jika berlanjutnya kehamilan kemungkinan besar akan menghasilkan anak dengan deformitas fisik atau retardasi mental parah. Ada beberapa gangguan medis bedah yang menjadi indikasi terminasi kehamilan.2. Aborsi Elektif atau sukarela adalah penghentian kehamilan sebelum viabilitas atas permintaan wanita yang bersangkutan tetapi bukan karena alasan gangguan kesehatan ibu atau penyakit pada janin.2. 2.6 Patofisiologi Sebagian besar abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut dan akhirnya perdarahan per vaginam yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu vili korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan.5. 2.7 Penegakkan Diagnosis Penegakan diagnosis keguguran dilakukan oleh dokter atau bidan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dalam beberapa kasus, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan bilamana diperlukan.7. 2.7.1 Anamnesis Anamnesis pada kasus keguguran perlu dilakukan dengan memperhatikan kenyamanan pasien, menanyakan hanya hal-hal yang penting untuk asuhan pasca keguguran, dan tidak bertujuan untuk menggali kehidupan pribadi pasien. Terdapat beberapa hasil anamnesis yang dapat membantu menegakkan diagnosis kasus keguguran, misalnya: adanya



17



tanda dan gejala kehamilan awal, perdarahan pervaginam yang dapat disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi, dan rasa sakit atau kram perut di daerah atas simfisis.7.



18



Tabel 1. Informasi Anamnesis Keguguran7.



2.7.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada kasus keguguran meliputi pemeriksaan umum, abdomen dan panggul, terutama untuk memastikan diagnosis keguguran, menentukan jenis keguguran, menentukan ukuran dan posisi uterus (dengan pemeriksaan bimanual), serta ada atau tidaknya komplikasi. Pemeriksaan bimanual perlu selalu dilakukan sebelum melakukan prosedur aspirasi vakum, oleh tenaga kesehatan yang melakukan prosedur tersebut.7.



19



Gambar 1. Pemeriksaan Bimanual7. Saat melakukan pemeriksaan fisik, tenaga kesehatan perlu menjelaskan kepada pasien prosedur yang akan dilakukan serta apa yang mungkin ia rasakan selama pemeriksaan, misalnya rasa kurang nyaman pada saat pemeriksaan panggul (pelvis).7. Dalam melakukan pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan pula tanda dan gejala yang merujuk pada diagnosis banding keguguran. Salah satunya adalah kehamilan ektopik, yang ditandai dengan perdarahan per vaginam, nyeri perut bawah, pingsan atau pusing, nyeri Pundak (shoulder tip pain), gangguan gastrointestinal, nyeri tekan perut bawah, nyeri tekan dan massa adneksa, dan nyeri goyang porsio.7. 2.7.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan ultrasonografi. Apabila tersedia, pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk memeriksa letak, kondisi, dan usia kehamilan. Pemeriksaan laboratorium. Pengukuran beta hCG bila kehamilan belum dikonfirmasi, pengukuran kadar Hb jika dicurigai anemia, pemeriksaan golongan darah dan Rh, pemeriksaan HIV, skrining IMS bila ditemukan tanda infeksi genitalia, skrining kanker serviks, serta pemeriksaan lain yang sesuai dengan riwayat dan pemeriksaan medis (seperti fungsi hati dan ginjal). Pemeriksaan jaringan. Jika terdapat jaringan, dapat dikirim ke laboratorium patologi anatomi untuk mengkonfirmasi bahwa keguguran telah terjadi dan gejala tidak berhubungan dengan penyebab lain dari perdarahan kehamilan. Selain itu, pemeriksaan jaringan, khususnya setelah prosedur evakuasi hasil konsepsi, dapat pula dilakukan dengan cara sederhana menggunakan lampu, mangkok bening, dan air. Jaringan yang ingin diperiksa dilarutkan dalam air dan diamati dengan cahaya dari bawah.7.



20



Tabel 2. Diagnosis dan Klasifikasi Keguguran7.



2.8 Tatalaksana 2.8.1 Tatalaksana Kegawatdaruratan8. 1. Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu). 2. Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik