Referat Anastesi Terapi Cairan Dan Elektrolit [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT



Diajukan sebagai salah satu persyaratan menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter (PPPD) Bagian Ilmu Kedokteran Anestesi dan Reanimasi RSUD Embung Fatimah Batam



Pembimbing : dr. Indah Waty Muchlis, SpAn dr. Indra Nur Hidayat, SpAn dr. Aprilina Rusmala Dewi, SpAn dr. Ferry Hamdany, SpAn



Oleh : Meidya Mukarramah, S.Ked 61110056



KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KEDOKTERAN ANESTESI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM RSUD EMBUNG FATIMAH BATAM 2016



1



LEMBAR PENGESAHAN



Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa: Nama



: Meidya Mukarramah, S. Ked.



Stambuk



: 611 11 056



Judul Referat



: Terapi Cairan dan Elektrolit



Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Batam – RSUD Embung Fatimah Kota Batam



Batam, 12 Oktober 2016



ii



2



KATA PENGANTAR



Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Referat ini dengan judul Terapi Cairan dan Elektrolit. Syukur Alhamdulillah ya Allah. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Anestesi dan Reanimasi. Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas Referat ini. Namun berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih banyak kepada dr. Indah Waty Muchlis, SpAn, dr. Indra Nur Hidayat, SpAn, dr. Aprilina Rusmaladewi, SpAn dan dr. Ferry Hamdany, SpAn selaku pembimbing yang telah banyak



meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai. Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari yang diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga Referat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus. Batam, 12 januari 2016



Penulis



iii



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen utama dari seluruh cairan yang berada dalam tubuh. Tubuh terdiri atas 60 % air, sementara 40 % sisanya merupakan zat padat seperti protein, lemak, dan mineral. Jumlah cairan tubuh berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, dan banyak atau sedikitnya lemak tubuh. Proporsi cairan tubuh menurun dengan pertambahan usia, dan pada wanita lebih rendah dibandingkan pria karena wanita memiliki lebih banyak lemak dibanding pria, dan lemak mengandung sedikit air. Sementara neonatus atau bayi sangat rentan terhadap kehilangan air karena memiliki kandungan air yang paling tinggi dibandingkan dengan dewasa.1,2,3 Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringan dan uap air pada saat bernapas. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan terpenuhi. Selain itu terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa. 1,2,3 Selain untuk mempertahankan atau memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit,



penderita



yang



akan/sedang



menjalani



masa



pascabedah



memerlukan tambahan pemberian cairan untuk mengganti asupan cairan selama pasien dipuasakan, mengganti kehilangan darah, kehilangan cairan ke rongga ketiga, dan kehilangan cairan lambung, dll. Tiga prinsip utama yang harus dipenuhi untuk melakukan terapi cairan yaitu memenuhi kebutuhan normal per hari, koreksi keku-rangan atau kehilangan cairan, dan koreksi kekurangan atau kehilangan elektrolit. Koreksi tidakperlu dilakukan sampai mencapai nilai normal, namun cukup sampai masuk ke batas kompensasi



1



karena selanjutnya akan diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh. Hal ini bertujuan menghindari penyulit iatfogenik akibat terapi yang berlebihan. 4,5 Pemenuhan kebutuhan normal cairan adalah untuk mengganti cairan yang normalnya keluar melalui ginjal, saluran cerna, paru-paru dan keringat (lihatTabel 8-7). Rata-rata kebutuhan cairan 30-40 mL/kgBB/24 jam. Bila pasien tidak dapat minum, cairari diberikan melalui infus atau pipa lambung. Dalam perhitungan pemberian cairan selain dihitung jumlah cairan, juga dihitung kebutuhan elektrolit terutama natrium dan kalium. Kebutuhan natrium harian yaitu 2-4 mEq/ kgBB/hari sedangkan kebutuhan kalium harian sebesar 1-2 mEq/kgBB/hari. Pada hari pertama atau kedua pascabedah biasanya tidak diperlukan pemberian kalium kecuali jika hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hipokalemia.5,6 Pada saat lahir, kandungan air mengisi sekitar 75% berat badan manusia, saat menginjak usia 1 bulan mencapai 65% berat badan, sedangkan saat dewasa pada pria mencapai 60% berat badan dan 50% berat badan pada wanita. Air dalam tubuh terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu yang berada pada ruang interselular, serta yang berada pada ruang ekstraselular. Ekstraselular dibagi lagi menjadi cairan intravaskuler dan cairan interstisial.5,6 Terapi cairan dibutuhkan pada keadaan tertentu, saat kebutuhan akan air serta nutrisi-nutrisi tersebut tidak dapat terpenuhi secara peroral. Misalnya pada kasus pasien yang harus puasa dalam jangka waktu lama, karena pembedahan saluran cerna, dan dibutuhkan juga pada kondisi pasien dengan perdarahan masif, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah tak berkesudahan, serta kondisi-kondisi lainnya. Hampir seluruh pasien yang menjalani prosedur pembedahan membutuhkan akses vena serta terapi cairan intravena. Pemeliharaan volume intravaskuler agar tetap pada batas normal sangatlah penting dalam periode perioperatif. Penilaian volume intravaskuler serta penggantian dari cairan dan elektrolit yang hilang selama prosedur pembedahan sedang berlangsung harus dapat dilakukan dengan tepat. Kesalahan dalam penggantian cairan dapat menyebabkan morbiditas yang cukup bermakna atau bahkan sampai kematian. Mengingat akan hal tersebut,



2



maka penulis akan mencoba menguraikan tentang terapi cairan dalam referat ini.7 Tujuan umum pemberian cairan dan elektrolit adalah mengganti atau mempertahankan volume cairan intravaskular, interstisial, dan intraselular; mempertahankan keseimbangan air, elektrolit, dan komponen darah; atau mempertahankan kadar protein darah. Sedangkan tujuan khususnya adalah mempertahankan beban pra-jantung (beban hulu, preload) serta curah jantung (cardiac output). Dengan demikian, oksigenasi dan perfusi jaringan dapat menjamin keseimbangan metabolisme sel.7,8 Pembedahan memicu gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit puasa sebelum pembedahan, terjadi kehilangan banyak cairan melalui saluran cerna (muntah, dilatasi lambung atau usus, diare), perdarahan, atau berpindahnya cairan ke rongga ketiga (peritonitis, ileus obstruksi). Masalah keseimbangan cairan dan elektrolit pada saat pembedahan bertambah rumit jika terdapat komorbid, misalnya penyakit ginjal, jantung, dan masalah paruparu.8



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.



Cairan Tubuh Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk hidup. Persentase air tubuh total (Total Body Water) terhadap berat badan berubah sesuai umur, menurun cepat pada awal kehidupan. Pada saat lahir, TBW 78% berat badan. Pada beberapa bulan pertama kehidupan, TBW turun cepat mendekati kadar dewasa 55-60 % berat badan pada saat usia 1 tahun. Pada masa pubertas, terjadi perubahan TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai kadar air yang lebih rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita dewasa yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-laki, yang mempunyai sedikit lemak. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen ekstraselular. 1,2 Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Distribusi cairan tubuh manusia dewasa: 2 1. Zat padat



: 40% dari berat badan



2. Zat cair



: 60% dari berat badan



Zat cair (60% BB), terdiri dari: a. Cairan intrasel



: 40% dari BB



b. Cairan ekstrasel : 20% dari BB, terdiri dari: cairan intravaskuler : 5% dari BB cairan interstisial : 15% dari BB c. Cairan transselular (1-3% BB), terdiri dari: LCS, sinovial, gastrointestinal dan intraorbital Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler terlibat dalam



4



proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien dalam cairan tubuh.1,3 Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. 1,3 Cairan ekstraselular adalah deficit cairan dalam ruang ini adalah biasa dalam populasi dirawat di rumah sakit sebagai contoh obstruksi cairan cerna atai muntah, kehilangan cairan termasuk isotonik, maka intravascular dan cairan interstitial hilang. Cairan intraselular tidak akan memberikan kompensasi efektif karena perubahan osmolaritas tidak ditandai. Kristaloid isotonik adalah pilihan lebih disukai.2,3 Intraselular (40%) Interstitial (15%)



Cairan Tubuh (60%) Ekstraselular (20%) Cairan ekstraselular dibagi menjadi : 1,3



Intravaskular (5%)



1. Cairan Interstitial



Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. 2. Cairan Intravaskular Merupakan



cairan



yang



terkandung



dalam



pembuluh



darah



(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet. 3. Cairan transeluler Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan



5



transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler. Tabel 1. Komposisi cairan intrasel (CIS) dan Cairan Ekstrasel (CES)8 CIS (mEq/L) 20 150 3 10 110 – 115 75



Natrium Kalium Klorida Bikarbonat Fosfat Protein



CES (mEq/L) 135 – 145 1–5 98 – 110 20 – 25 5 10



Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit. Elektrolit yang terpenting dalam: 1,2  



: Na+ dan Cl: K+ dan PO4-



Ekstrasel Intrasel Non elektrolit:



 



BM kecil BM besar



: Glukosa : Protein



Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah eritrosit (3% BB) menjadi darah. Jadi volume darah sekitar 8% dari berat badan. Jumlah darah bila dihitung berdasarkan estimated blood volume (EBV) adalah: 1,2   



Neonatus = 90 ml/kg BB Bayi = 80 ml/kg BB Anak dan dewasa = 70 ml/kg BB Bayi



mempunyai



cairan ekstrasel lebih besar dari intrasel.



Perbandingan ini akan berubah sesuai dengan perkembangan tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel dua kali cairan ekstrasel. 1,2 Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan ekstrasel, konsentrasi ion-ion penting dan keseimbangan asam basa. Fungsi ginjal sempurna setelah anak mencapai umur satu tahun, sehingga komposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada saat terapi cairan. 1.



Kebutuhan Air dan Elektrolit setiap hari3 a. Dewasa: Air



: 30-35 ml/kg, kenaikan 1 derajat Celcius ditambah 10-5%



6



Na+: 1,5 mEq/kg (100 mEq/hari atau 5,9g) K+



: 1 mEq/kg (60 mEq/hari atau 4,5g)



b. Bayi dan anak: Air 



0-10 kg



: 4 ml/kg/jam (100 ml/kg)







10-20 kg



: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 10 kg (1000



ml + 50 ml/kg di atas 10 kg) 



>20 kg



: 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1500



ml + 20 ml/kg di atas 20 kg) Na+



: 2 mEq/kg



K+



: 2 mEq/kg



Cairan masuk: 



Minum



: 800-1700 ml







Makanan



: 500-1000 ml







Hasil oksidasi : 200-300 ml



Hasil metabolisme: - Anak



- Balita Cairan keluar:



- Dewasa



: 5 ml/kg/hari



: 2-14 tahun



= 5-6 ml/kg/hari



: 7-11 tahun



= 5-7 ml/kg/hari



: 5-7 tahun



= 8-8,5 ml/kg/hari = 8 ml/kg/hari



- Urin



: normal > 0,5-1 ml/kg/jam



- Feses



: 1 ml/hari



- Invisble loss : - dewasa : 15 ml/kg/hari - anak : {30-usia (tahun)} ml/kg/hari Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara: a. Osmosis Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya



7



sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein. 4 Perpindahan cairan tubuh dipengaruhi oleh: 



Tekanan hidrostatik







Tekanan onkotik = mencapai keseimbangan







Tekanan osmotik Gangguan kesimbangan cairan tubuh umumnya menyangkut



extracell fluid atau cairan ekstrasel. Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang mempengaruhi pergerakan air melalui dinding kapiler. Bila albumin rendah maka tekanan hidrostatik akan meningkat dan tekanan onkotik akan menurun sehingga cairan intravaskuler akan didorong masuk ke interstisial yang berakibat edema. 4 Tekanan onkotik atau tekanan osmotik koloid adalah tekanan yang mencegah pergerakan air. Albumin menghasilkan 80% dari tekanan onkotik plasma, sehingga bila albumin cukup pada cairan intravaskuler maka cairan tidak akan mudah masuk ke interstisial. 4 Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik. 4 b. Difusi Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik. 4,5 c. Pompa Natrium Kalium



8



Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel. 4,5 2.



Faktor-faktor modifikasi kebutuhan cairan Kebutuhan ekstra / meningkat pada: 4,5 •



Demam ( 12% tiap kenaikan suhu 1C )







Hiperventilasi







Suhu lingkungan tinggi







Aktivitas ekstrim







Setiap kehilangan abnormal ( ex: diare, poliuri, dll )



Kebutuhan menurun pada :



B.







Hipotermi ( 12% tiap penurunan suhu 1C )







Kelembaban sangat tinggi







Oligouri atau anuria







Aktivitas menurun / tidak beraktivitas







Retensi cairan ( ex: gagal jantung, gagal ginjal, dll )



Jenis Cairan5,6,7 Cairan intravena ada tiga jenis: 1. Cairan Kristaloid Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Cairan yang mengandung zat dengan BM rendah (< 8000 Dalton) dengan atau tanpa glukosa. Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraselular.



9



a. Ringer Laktat Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis. Kalium yang terdapat di dalam RL pula tidak cukup untuk maintenance sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium. RL juga tidak mengandung glukosa sehingga bila akan dipakai sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk mencegah terjadinya ketosis. b. Ringer Komposisinya mendekati fisiologis tetapi bila dibandingkan dengan RL ada beberapa kekurangan, seperti: 



Kadar Cl- terlalu tinggi, sehingga bila dalam jumlah besar dapat menyebabkan asidosis dilusional dan asidosis hiperkloremia.







Tidak mengandung laktat yang dapat dikonversi menjadi bikarbonat untuk memperingan asidosis.







Dapat digunakan pada keadaan dehidrasi dengan hiperkloremia, muntah-muntah dan lain-lain.



c. NaCl 0,9% (normal saline) Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement therapy) terutama pada kasus:  



Kadar Na+ yang rendah Keadaan di mana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada



 



alkalosis, retensi kalium Cairan pilihan untuk kasus trauma kepala Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi Tetapi ia memiliki beberapa kekurangan yaitu:



 



Tidak mengandung HCO3Tidak mengandung K+



10







Kadar Na+ dan Cl- relatif lebih tinggi sehingga dapat terjadi asidosis hiperkloremia, asidosis delusional dan hipernatremia.



d. Dextrose 5% dan 10% Digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan pembatasan intake natrium atau cairan pengganti pada pure water deficit. Penggunaan perioperatif untuk:    



Berlangsungnya metabolisme Menyediakan kebutuhan air Mencegah hipoglikemia Mempertahankan protein yang ada, dibutuhkan minimal 100g



 



karbohidrat untuk mencegah dipecahnya kandungan protein tubuh Menurunkan level asam lemak bebas dan keton Mencegah ketosis, dibutuhkan minimal 200g karbohidrat Cairan infus mengandung dextrose, khususnya dextrose 5% tidak



boleh diberikan pada pasien trauma kapitis (neuro trauma). Dextrose dan air dapat berpindah secara bebas ke dalam sel otak. Sekali berada dalam sel otak, dextrose akan dimetabolisme dengan sisa air yang menyebabkan edema otak. e. Darrow Digunakan pada defisiensi kalium untuk mengantikan kehilangan harian, kalium banyak terbuang (diare, diabetik asidosis). 2. Cairan Koloid Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar). Cairan yang mengandung zat dengan BM tinggi (> 8000 Dalton), misal: protein



11



Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler. Yang termasuk golongan ini adalah: 



Albumin







Bloood product: RBC







Plasma protein fraction: plasmanat







Koloid sintetik: dextran, hetastarch



Kristaloid dibanding Koloid Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang interstisial, sedangkan koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspansi ke volume intravaskuler dengan menarik cairan dari ruang interstitial. Koloid isoonkotik akan mengisi ruang intravaskuler tanpa mengurangi volume interstisial. Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibandingkan koloid. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan merembes ke dalam ruang interstisial dan akan meningkatkan tekananan onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik plasma ini dapat menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi. Keunggulan



koloid



terhadap



respons



metabolik



adalah



meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi oksigen (VO2) serta menurunkan laktat serum. DO2 dan VO2 dapat menjadi indikator untuk mengetahui prognosis pasien.



12



Tabel 2. Perbandingan Kristaloid dan Koloid7 Kristaloid Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia dan murah. 2. Komposisi serupa dengan plasma (Ringer asetat/ringer laktat) 3. Bisa disimpan di suhu kamar 4. Bebas dari reaksi anafilaktik 5. Komplikasi minimal



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Kekurangan



1. Edema bisa mengurangi 1. ekspansibilitas dinding dada 2. 2. Oksigenasi jaringan terganggu 3. karena bertambahnya jarak kapiler dan sel 3. Memerlukan volume 4. kali lebih banyak



Koloid Ekspansi volume plasma tanpa ekspansi interstisial Ekspansi volume lebih besar Durasi lebih lama Oksigenasi jaringan lebih baik. Gradien O? alveolararterial lebih sedikit Insiden edema paru dan/atau edema sistemik lebih rendah Anafilaksis Koagulopati Albumin bisa memperberat depresi miokard pada pasien syok (mungkin dengan mengikat kalsium, mengurangi kadar ion Ca+ + )



Efek terhadap Volume Intravaskuler Antara ruang intravaskuler dan interststial dibatasi oleh dinding kapiler yang permiabel terhadap air dan elektrolit tetapi impermeabel terhadap makro (protein plasma). Cairan dapat melewati dinding kapiler akibat adanya tekanan hidrostatik. Bila tekanan onkotik menurun maka tekanan hidrostatik lebih besar, sehingga akan mendorong cairan dari intervaskuler ke interstisial. Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat dibanding koloid. Ini karena kristaloid dengan mudah didistribusi ke cairan ekstraseluler, hanya sekitar 20% elektrolit yang diberikan akan tinggal di ruang intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler yang lama sering dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan merugikan jika terjadi hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipovolemia yang tidak sengaja, khususnya pada pasien penyakit jantung.



13



Kristaloid akan menyebabkan terjadinya hipovolemia pasca resusitasi. Resusitasi dengan kristaloid dan koloid sampai saat ini masih kontroversi. Untuk menentukan apakah diberikan kristaloid, harus dilihat kasus per kasus. Efek terhadap Volume Interstitial Pasca syok hemoragik akan terjadi perubahan cairan interstitial. Pada syok terjadi defisit cairan interstitial, pendapat lain yang menyatakan volume cairan interstitial meningkat pasca syok hemoragik. Kedua pendapat yang bertentangan ini mungkin bias diterima, karena pada syok hemoragik dini dapat terjadi defisit cairan interstitial sedangkan pada syok hemoragik lanjut atau syok septik akan terjadi perubhan permeabilitas kapiler sehingga volume cairan interstitial meningkat. Pada keadaan volume cairan interstitial berkurang maka kristaloid lebih efektif untuk mengantikan defisit volume dibanding koloid. Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstitial. Jika volume cairan interstitial bertambah, maka garam hipertonik atau albumin 25% akan lebih efektif, karena cairan interstitial akan berpindah ke ruang intravaskuler. Pada pemberian koloid dapat terjadi reaksi-reaksi yang tidak diinginkan, seperto gangguan hemostasis yang berhubungan dengan dosis. Pada umumnya pemberian koloid maksimal adalah 33 ml/kg BB. 3. Cairan khusus 



Digunakan untuk koreksi atau indikasi khusus, seperti NaCl 3%, Bicnat, Manitol



Berdasarkan tujuan pemberian cairan, ada 3 jenis: 1. Cairan rumatan (maintenance) 



Cairan bersifat hipotonis: 5% Dextrose, 5% Dextrose in 0,25 NS dan 5% Dextrose in 0,5 NS



2. Cairan pengganti (replacement)



14







Cairan bersifat isotonis: RL, NaCl 0,9%, koloid



3. Cairan khusus 



Cairan bersifat hipertonis: NaCl 3%, Manitol 20%, Sodium bicarbonas (Bicnat).



C.



Elektrolit Gangguan elektrolit yang sering mengancam kehidupan pada pasien keadaan kritis adalah kalium, natrium, kalsium, magnesium dan fosfat. Urgensi terapi tergantung pada keadaan klinis, bukan kadar absolut (absolute electrolyte value). 7,8 1. Jenis Elektrolit a) Kalium 



Kalium penting untuk mempertahankan membran potensial







elektrik. Gangguan







kardiovaskuler, neuromuskuler dan gastrointestinal. Kadar normal: 3,5-5,5 mEq/L.



kadar



kalium



terutama



mempengaruhi



system



b) Natrium 



Natrium penting dalam menentukan osmolaritas darah, berperan







pada regulasi volume ekstrasel. Gangguan natrium mempengaruhi neuronal dan neuromuscular



junction.  Kadar normal: 135-145 mg/L. Kalsium c) Kalsium berfungsi untuk kontraski otot, transmisi impuls saraf, sekresi hormone, pembekuan darah, pembelahan dan pergerakan sel dan penyembuhan luka.  Kadar kalsium sebaiknya dinilai dari ionized calcium.  Kadar normal: 1-1,25 m.mol/L. d) Fosfat Berperan dalam metabolism energy e) Magnesium Berfungsi untuk transver energy dan stabilitas elektrik.



15



D.



Perubahan Cairan Tubuh Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu : 7,8,9,10 1. Perubahan volume a. Defisit volume Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan



pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi



jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi. Dehidrasi Dehidrasi



sering



dikategorikan



sesuai



dengan



kadar



konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. 



Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.







Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan



cairan



hipertonis).



Secara



garis



besar terjadi



kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen



16



intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.15 



Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.15



b. Kelebihan volume Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.10 2. Perubahan konsentrasi a. Hiponatremia Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L, sudah dapat dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli



ginjal,



diare,



muntah,



third



space



losses,



diuretika),



hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan



17



restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12 Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus : Na= Na1 – Na0 x TBW Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq) Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan Na0 = Na serum yang aktual TBW = total body water = 0,6 x BB (kg) b. Hipernatremia Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia. Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12 c. Hipokalemia Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat



18



berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obatobatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam



dengan



monitoring



oleh



EKG



(untuk



hipokalemia



berat; 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis. 3. Perubahan komposisi a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg) Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang bkiu7erlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari



19



defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting. b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg) Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi. c. Asidosis metabolik (pH27 mEq/L) Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan



20



potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering. E.



Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan9,10,11,12 Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif. 1. Faktor-faktor preoperatif a. Kondisi yang telah ada Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres akibat operasi. b. Prosedur diagnostik Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis osmotik. c. Pemberian obat Pemberian



obat



seperti



steroid



dan



diuretik



dapat



mempengaruhi eksresi air dan elektrolit. d. Preparasi bedah Enema



atau



laksatif



dapat



menyebabkan



peningkatan



kehilangan air dan elekrolit dari traktus gastrointestinal. e. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada f. Restriksi cairan preoperative Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan. g. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.



21



2. Faktor-faktor intraoperative a. Induksi anestesi Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi. b. Kehilangan darah yang abnormal c. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi) d. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan) 3. Faktor-faktor postoperative a. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi b. Peningkatan katabolisme jaringan c. Penurunan volume sirkulasi yang efektif d. Risiko atau adanya ileus postoperative F.



Terapi Cairan 1. Definisi Terapi Cairan2,3,4,5,6 Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena. Terapi cairan ini dilakukan pada pasien-pasien dengan keadaankeadaan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Selain itu khususnya dalam pembedahan dengan anestesia yang memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan, maka terapi cairan tersebut berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan dan mengganti perdarahan yang terjadi.



22



2.



Tujuan Terapi Cairan9,10 Pemberian cairan intravena adalah untuk memulihkan volume sirkulasi darah. Pada syok, tujuan resusitasi cairan adalah untuk memulihkan perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel (DO2) agar tidak terjadi iskemia jaringan yang berakibat gagal organ. Dalam terapi cairan perlu dipertimbangkan distribusi diferensial air, garam, dan protein plasma. Volume cairan pengganti yang diperlukan untuk mengembalikan volume sirkulasi darah ditentukan oleh ruang distribusi cairan pengganti, yang tergantung kadar koloid dan NA+ cairan pengganti. Formula efek cairan dalam mengekspansi plasma volume (PV) Δ PV = Volume infus (PV/Vd) Δ PV = Perubahan yang diharapkan Vd



= Volume distribusi cairan infus



PV : 5% dari BB



ECF: 20% dari BB



Rumus di atas berlaku bila tidak ada syok: syok, sepsis atau hipoksemia



yang



berkepanjangan,



sebab



keadaan



tersebut



akan



mengganggu kemampuan membran kapiler untuk membatasi perpindahan transvaskuler protein serum. 3.



Terapi Cairan Resusitasi dan Rumatan9,10 a. Terapi Cairan Resusitasi Kristaloid : -



NaCl 0,9% : maksimal 15 ml/kg Lactate Ringer: dapat sampai 5L



Koloid : -



6% HES 0,5 dalam NaCl : maksimal 15 ml/kg 6% HES 0,5 dalam larutan berimbang : maksimal 33 ml/kg HES BM 130.000 dan derajat substitusi 0,4 adalah ideal. Koloid pada umumnya: maksimal 20 ml/kg



Resusitasi berhasil bila: -



Central venous pressure : 8-12 mmHg



23



-



Mean arterial pressure : ≥ 65 mmHg Urine output : ≥ 0,5 ml/kg/jam Central venous (superior vena cava) or mixed venous oxygen



-



saturation: ≥ 70% Cardiac Index : ≥ 2,5 L/min/m2 Normal mental status



-



Terapi



cairan



resusitasi



ditujukan



untuk



menggantikan



kehilangan akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 l dalam 10 menit. Larutan plasma ekspander dapat diberikan pada luka bakar, peningkatan sirkulasi kapiler seperti MCI, syok kardiogenik, hemoragik atau syok septik. Koloid dapat berupa gelatin (hemaksel, gelafunin, gelafusin), polimer dextrose (dextran 40, dextran 70), atau turunan kanji (haes, ekspafusin). Jika syok terjadi : • Berikan segera oksigen • Berikan cairan infus isotonic RA/RL atau NS • Jika respon tidak membaik, dosis dapat diulangi Pertimbangan dalam resusitasi cairan : 



Medikasi harus diberikan secara iv selama resusitasi







Perubahan Na dapat menyebabkan hiponatremi yang serius. Na serum harus dimonitor, terutama pada pemberian infus dalam volume besar.







Transfusi diberikan bila hematokrit < 30







Insulin infus diberikan bila kadar gula darah > 200 mg%



24







Histamin H2-blocker dan antacid sebaiknya diberikan untuk menjaga pH lambung 7,0



b. Terapi Cairan Rumatan Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Diberikan dengan kecepatan 80 ml/jam. Tabel : Terapi Cairan sesuai Rumus Haliday Segar



Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengendung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik. Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu : •



6-8 ml/kg untuk bedah besar







4-6 ml/kg untuk bedah sedang







2-4 ml/kg untuk bedah kecil



25



4.



Terapi Cairan Preoperatif Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi. Tabel 3. Pengganti deficit prabedah Usia Dewasa Anak Bayi Neonatum



5.



Jumlah kebutuhan (ml/Kg/jam) 1,5 – 2 2–4 4–6 3



Terapi Cairan Intraoperatif Jumlah



penggantian



cairan



selama



pembedahan



dihitung



berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang : a. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.



26



b. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R. c. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam. d. Kehilangan cairan saat pembedahan 



Perdarahan Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari: 1)



2)



Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump).8 Kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ± 10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah ± 10-100 ml.8 Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan



hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadangkadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.11 



Kehilangan cairan lainnya Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan



27



akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.11 Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.8,11 6.



Terapi Cairan Postoperatif Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini: 1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.



28



Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah: -



Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C suhu tubuh



2. Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah. -



Penderita



dengan



hiperventilasi



atau



pernapasan



melalui



trakeostomi dan humidifikasi. 3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen. 4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit. G.



TRANSFUSI 1. Definisi dan tujuan tranfusi darah Tranfusi darah adalah suatu rangkain proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi dari resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya untuk menyelamatkan kehidupan. Berdasarkan asal darah yang diberikan tranfusi dikenal 1. Homologous tranfusi (berasal dari darah orang lain), 2. Autologous tranfusi (berasal dari diri sendiri). Tujuan tranfusi darah adalah : a. Mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran b. c. d. e.



darah Menggantikan kekurangan komponen seluler atau kimia darah Meningkatkan oksigenasi jaringan Memperbaiki fungsi homeostasis Tindakan terapi khusus



29



2. Tranfusi darah dalam klinik Dasar pemikiran penggunaan komponen darah: (1)lebih efisien, ekonomis, memperkecil reaksi transfusi, (2)lebih rasional, karena (a)darah terdiri dari komponen seluler maupun plasma yang fungsinya sangat beragam, serta merupakan materi biologis yang bersifat multiantigenik, sehingga pemberiannya harus memenuhi syarat- syarat variasi antigen minimal dan kompatibilitas yang baik, (b) transfusi selain merupakan live saving therapy tetapi juga replacement therapy sehingga darah yang diberikan haruslah safety blood. 3. Indikasi Tranfusi darah Secara garis besar Indikasi Tranfusi darah adalah : a. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau luka bakar luas. b. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya pada anemia, trombositopenia, hipotrombinemia, dan lainlain. Keadaan yang memerlukan Tranfusi darah : a. Anemia karena perdarahan, biasanya digunakan batas Hb 7-8 g/dL. Bila telah turun hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada fase yang membahayakan dan tranfusi harus dilakukan secara hati-hati. b. Anemia haemolitik, biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita dapat mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5g/dL. Hal ini dipertimbangkan untuk menghindari terlalu seringnya tranfusi darah dilakukan. c. Anemia aplastik d. Leukimia dan anemia refrekter e. Anemia karena sepsis 4. Macam-macam komponen darah



30



31



32



33



34



35



5. Komplikasi Tranfusi Darah a. Reaksi transfusi darah secara umum Apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama



kali dilakukan



adalah menghentikan



transfusi, tetap



memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank darah. b. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan. Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi.



36



Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: 



Meningkatkan perfusi ginjal,







Mempertahankan volume intravaskuler,







Mencegah timbulnya DIC.



c. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya ekstravaskuler. Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal, penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA. d. Reaksi Transfusi Non-Hemolitik a. Demam Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat



37



peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya. b. Reaksi Alergi Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi tersebut. c. Reaksi anafilaktik Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan renjatan. Penatalaksanaannya adalah : a) Menghentikan transfusi dengan segera, b) Tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid, c) Berikan antihistamin dan epinefrin. Pemberian



dopamin



dan



kortikosteroid



perlu



dipertimbangkan. Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen



38



dengan kateter hidung atau masker atau bila perlu melalui intubasi. 6. Efek samping lain dan resiko lain transfuse a. Komplikasi dari transfusi massif Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam. Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan faktor- faktor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury. b. Penularan penyakit Infeksi 1)



Hepatitis virus Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari



200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. 2) AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome) Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat. 3) Infeksi CMV Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini



39



menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV ini. 4) Penyakit infeksi lain yang jarang Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease). Pencemaran



oleh bakteri



juga mungkin



terjadi saat



pengumpulan darah yang akan ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu ditangani seperti pada 5)



RTHA ditambah dengan pemberian antibiotic yang adekuat. GVHD(Graft versus Host disease) GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien dengan imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit rendah.



40



DAFTAR PUSTAKA 1.



2. 3. 4.



5. 6.



Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah; 2010.p.259-64. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2009; 133-9. Graber, A Mark. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik Edisi 3. Farmedia. Jakarta: 2010. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures: An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s Anesthesia 7th ed. US : Elsevier Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.



41



7.



Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins 8. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 9. Garner K. Management of Hypovolemic Shock in the Trauma Patient. 2013 10. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI



42