Referat - Anestesi Pada Pasien Ginjal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT GINJAL



Mahasiswa : Nur Syuhada Binti Roslan, 11 2011 137



Pembimbing : Dr. Rizqan, Sp.An



KEPANITERAAN ILMU ANESTESI RSUD CIAWI PERIODE 12 AGUSTUS 2013 – 31 AGUSTUS 2013 2013



1



Daftar Isi



Kata Pengantar………………………………………………………………….. ..……….…3 Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………….…………4 Bab II Isi ……………………………………………………………………………………………..5 1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal…………………………………………………………5 2. Fungsi Ginjal…………………………………………………………………………12 3. Perubahan Fungsi Ginjal Dan Efeknya Terhadap Agen-Agen Anestesi......................17 4. Anestesia Pada Pasien Dengan Gagal Ginjal…………………………………...……23 5. Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan gangguan ginjal ...........................................................................................................34 6. Anestesi Pada Pasien Dengan Gangguan Ginjal Ringan Sampai Sedang...................38 Bab III Kesimpulan ..............................................................................................................................42 Daftar Pustaka .........................................................................................................................43



2



Kata pengantar



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Anestesi pada Pasien dengan Penyakit Ginjal” dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr Rizqan, Sp.An di atas bimbingan dan tunjuk ajar yang sentiasa diberikan tanpa lelah. Terima kasih juga saya ucapkan kepada ibu bapa saya, teman-teman yang sentiasa mendukung saya dan berbagi ilmu dalam proses pembikinan referat ini. Tidak lupa juga terima kasih pada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan referat ini. Saya sangat menyadari bahwa penyusunan referat ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukan yang membangun terhadap referat ini akan diterima dengan tangan terbuka semoga kedepannya akan lebih baik. Akhir kata, saya berharap agar referat ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca mengenai Anestesi pada Pasien dengan Penyakit Ginjal secara singkat dan mendalam.



Ciawi, 20 Agustus 2013



Penulis



3



BAB I PENDAHULUAN



Anestesi adalah suatu tindakan menahan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ada beberapa anestesi yang menyebabkan hilangnya kesadaran sedangkan jenis lain hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya sadar. Saat pasien mau dianestesi, sangat penting untuk memantau keadaan umum, status generalis dan tanda-tanda vital pasien karena sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya. Penyakit-penyakit yang mempengaruhi ginjal sering dikelompokkan pada sindromsindrom berdasarkan temuan klinis dan laboratorium nephrotic syndrome, GGA, GGK, nefritis, nefrolithiasis dan PGOI. Perawatan anestesi pada pasien-pasien dengan sindroma tersebut dikelompokkan berdasarkan status fungsi ginjal preoperatif daripada berdasarkan sindrom-sindrom tadi. Referat ini akan mendiskusikan tentang pendekatan dan perhatian terhadap anestesi yang digunakan pada setiap grup.



4



BAB II ISI



I.



ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL



Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan duktus kolektivus, serta di lapisan dalam,medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) Henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal. Puncak piramid medulla menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan ujung kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus papilaris Bellini yang ujungnya bermuara di papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada 18-24 lubang muara duktus Belini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai lapisan beras dan disebut juga dengan area kribosa.



5



Antara dua piramid tersebut, terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabangcabang arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks mayor yang bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal dan kemudian bermuara ke dalam ureter. Ureter kanan dan kiri bermuara di kandung kemih yang juga disebut buli-buli atau vesika urinaria. Urin dikeluarkan dari kandung kemih melalui urethra.



Sirkulasi Ginjal Setiap ginjal menerima kira-kira 25% isi sekuncup jantung. Bila diperbandingkan dengan berat organ ginjal hal ini merupakan suplai darah terbesar didalam tubuh manusia. Suplai darah pada setiap ginjal biasanya berasal dari arteri renalis utama yang keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yagn terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.



Struktur Nefron Tiap ginjal mengandung kurang lebih 1 juta nefron ( glomerolus dan tubulus yang berhubungan dengannya). Pada manusia, pembentukkan nefron selesai pada janin 35 minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah hyperplasia dan hipertrofi struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional. Perkembangan paling



6



cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir. Oleh karena itu bila pada masa ini terjadi gangguan misalnya infeksi saluran kemih atau refluks, maka hal ini dapat mengganggu pertumbuhan ginjal. Tiap nefron terdiri atas glomerolus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa henle dan tubulus distal. Glomerolus bersama kapsula Bowman juga disebut badan Malpigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerolus tetapi peranan tubulus dalam pembentukkan urin tidak kalah pentingnya dalam pengaturan meliau internal. Fungsi ginjal normal terdiri atas 3 komponen yang saling berhubungan yaitu :



1. Ultrafiltrasi glomerolus 2. Reabsorbsi tubulus terhadap solute dan air 3. Sekresi tubulus terhadap zat-zat organic dan non-organik Populasi glomerolus ada 2 macam : 1. Glomerolus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar korteks 2. Glomerolus jukstamedular yang mempunyai ansa henle yang panjang sampai ke bagian dalam medulla. Glomerolus semacam ini berada diperbatasan korteks dan medulla dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsorpsi air dan solute.



Fisiologi Ginjal Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus.



7



Fungsi Utama Ginjal



Fungsi Ekskresi Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 m osmol dengan mengubah-



1.



ubah sekresi air. Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengna mengeluarkan kelebihan H+



2.



dan membentuk kembali HCO3. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama



3.



urea, asam urat dan kreatinin. Fungsi Non-ekskresi (Endokrin)



1.



Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.



2.



Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.



3.



Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.



4.



Degenerasi insulin



5.



Menghasilkan prostaglandin



APARATUS JUKSTAGLOMERULUS •



Tempat menempelnya aa.efferen dan tubuli distal –



Sel bergranula/jukstaglomerulus







Sel mesangial ekstraglomerulus







Sel makula densa 8







Sel juxtaglomerulus menghasilkan renin







Keadaan yang dapat menimbulkan pengeluaran renin : –



Penurunan laju filtrasi glomeruli







Penurunan tekanan glomeruli







Peningkatan rangsangan simpatis







Renin berdifusi ke dalam darah, masuk ke sirkulasi







Di dalam darah renin memisahkan angiotensin I dari substrat renin, yaitu alfa 2 globulin







Angiotensin I adalah deka peptida, jika mengalir ke paru-paru, akan pecah menjadi okta peptida Angiotensin II dibawah pengaruh



Angitensin Converting Enzyme



(ACE) yang ada di jaringan paru-paru. •



Angiotensin II adalah bahan vasokonstriktor yang kuat dan dapat menimbulkan vasokonstriksi ekstensif di seluruh tubuh



9



Fisiologi Hormon antidiuretik (ADH) Hormon antidiuretik ((ADH) adiuretin, vasopresin) dibentuk di nucleus supraoptikus dan paraventrikular hipotalamus, dan ditransport ke lobus posterior kelenjar hipofisis melalui akson neuron penghasil hormon. ADH melalui reseptor V2 dan cAMP menyebabkan penggabungan kanal air ke dalam membran lumen sehingga meningkatkan reabsorsi air pada tubulus distal dan duktus koligentes ginjal. ADH juga merangsang absorsi Na+ dan urea di tubulus. Konsentrasi ADH yang tinggi juga menyebabkan vasokonstriksi (melalui reseptor V1 dan IP3). Rangsangan untuk pelepasan ADH adalah hiperosmolaritas ekstrasel (atau penyusutan sel) dan penurunan pengisian di kedua atrium, serta muntah, nyeri, stress, dan gairah (seksual). Sekresi ADH selanjutnya dirangsang oleh angiotensin II, dopamine, dan beberapa obat atau toksin (misal nikotin, morfin, barbiturat). Peningkatan perenggangan atrium serta asam aminobutirat-γ (GABA), alkohol, dan pajanan terhadap dingin menimbulkan efek penghambatan.



Patofisiologi Hormon antidiuretik



Kelebihan ADH Sering kali terjadi akibat penigkatan pembentukan ADH di hipotalamus, misal, karena stress. Selain itu, ADH dapat dibentuk secara ektopik pada tumor (terutama small cell carsinoma bronchus) atau penyakit paru. Hal ini menyebabkan penurunan eksresi air (oligouria). Konsentrasi komponen urin yang sukar larut dalam jumlah yang bermakna dapat menyebabkan pembentukan batu urin (urolitiasis). Pada waktu yang bersamaan terjadi penurunan osmolaritas ekstrasel (hiperhidrasi hipotonik) sehingga terjadi pembengkakan sel. Hal ini terutama berbahaya jika menyebabkan edema serebri.



10



Defisiensi ADH Terjadi jika pelepasan ADH berkurang, seperti pada diabetes insipidus sentralis yang diturunkan secara genetic, pada kerusakan neuron, missal oleh penyakit autoimun, atau trauma kelenjar hipofisis lainnya. Penyebab eksogen lainnya termasuk alkohol atau pajanan terhadap dingin. Di sisi lain, ADH mungkin gagal mempengaruhi ginjal, bahkan jika jumlah yang dieksresikan normal, misal pada kerusakan kanal air, atau jika kemampuan pemekatan ginjla terganggu, seperti pad defisiensi K+, kelebihan Ca2+, atau inflamasi medilla ginjal. Penurunan pelepasan ADH atau efek yang timbul akibat pengeluaran urin yang kurangpekat dalam jumlah besar dan dehidrasi hipertonik menyebabkan penyusutan sel. Pasien akan dipaksa mengkompensasi kehilangan air melalui ginjal dengan meminum banyak air (polidipsia). Jika osmoreseptor dihipotalamus rusak, defisiensi ADH akan disertai dengan hipodipsia dan dehidrasi hipertonik akan menjadi sangat nyata. Antidiuresis Hormon (ADH) fungsinya : Merangsang penyerapan semula air di tubul ginjal



Peranan ADH Terhadap Osmolalitas Cairan Extrasel







Osmolalitas cairan extrasel rata-rata 300 mOsm/liter dengan konsentrasi Na 142 mEq/liter







Osmolalitas cairan extrasel sebagian besar ditimbulkan oleh ion Na







Oleh karena itu kontrol osmolalitas dan kontrol konsentrasi Na terjadi secara bersamaan







Kontrol osmolalitas terjadi melalui mekanisme umpan balik







Peningkatan osmolalitas akan merangsang osmoreseptor (hipotalamus anterior dekat nukleus supra optikum)







Sehingga akan menstimulasi pengeluaran ADH oleh hipofise posterior







ADH akan meningkatkan permeabilitas tubuli distal dan duktus koligentes sehingga meningkatkan absorpsi air, sehingga air lebih banyak ditahan dalam cairan extrasel dan osmolalitas akan kembali normal



11



II.



FUNGSI GINJAL



Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan renal (renal impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau obstruksi traktus urinarius. Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya gangguan yang hebat dan dapat dideteksi, tes laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan GFR (glomerular filtration rate).



BUN (Blood Urea Nitrogen) Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah pembentukan dari toksik amonia : 2NH3 + CO2



2N



– CO – NH2 + H2O



BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik dengan GF. Hasilnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara normal di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini (bawah) Konsentrasi BUN normal adalah 10 – 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada starvasi dengan penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status katabolisme tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah baik pada traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl biasanya berhubungan dengan renal impairment.



12



SERUM KREATININ Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke kreatinin. Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan dengan massa otot, rata-rata 20-25 mg/kg pada pria dan 15-20 mg/kg pada wanita. Kreatinin lalu difiltrasi (dan pada perpanjangan sekresi) tapi tidak di reabsorpsi di ginjal (lihat chapter 31). Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Konsentrasi kreatinin serum normal adalah 0.8 – 1.3 Mg/dl pada pria dan 0.6-1 Mg/dl pada wanita. Catatan dari figure 32.1 yaitu pada setiap penggandaan pada kreatinin serum menunjukkan penurunan GFR 50%. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidin, peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis) bisa meningkatkan pengukuran pada kreatinin serum tanpa perubahan di GFR. Daging meningkatkan muatan kreatinin dan konsentrasi asetosetat tinggi yang mempengaruhi metode laboratorium yang biasa pada pengukuran kreatinin. Simetidin tampak menginhibisi sekresi kreatinin oleh tubulus-tubulus ginjal. GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade setelah umur 20 tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa menunjukkan perubahan besar pada GFR. Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula / rumus untuk pria.



13



[( 140 – umur ) x BB] CrCl = --------------------------72 x kreatinin plasma Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan kecil pada massa otot. Konsentrasi serum kreatinin memerlukan 48-72 jam untuk menyeimbangkan pada level baru yang berhubungan dengan perubahan akut pada GFR.



BUN : RASIO KREATININ Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak mempunyai efek pada ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN terhadap kreatinin serum meningkat diatas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal atau obstruksi traktus urinari. BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan dengan berkurangnya aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis, nefrotik sindrome) dan juga pada obstruksi uropati. Peningkatan katabolisme protein bisa meningkatkan rasio ini.



CREATININ CLEARANCE Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat yang tersedia untuk menilai secara klinik keseluruhan fungsi ginjal.Walaupun biasanya pengukuran setelah 24 jam, 2 jam adalah akurat dan lebih mudah dilakukan. Mild renal impairment berdasarkan CrCl 40-60 mL/min. Clearances antara 25 dan 40 mL/min membentuk disfungsi renal moderate dan hampir biasanya menyebabkan simptom. CrCl kurang dari 25 mL/min merupakan indikasi dari gagal ginjal.



14



Penyakit ginjal progresif mempertinggi sekresi kreatinin pada tubulus proksimal. Sebagai hasil, dengan penurunan fungsi ginjal CrCl secara progresif melebihi perkiraan GFR sebenarnya. Terlebih lagi, pemeliharaan relatif dari GFR bisa terjadi lebih awal penyakit ginjal yang progresif akibat dari kompensasi hiperfiltrasi pada nefron-nefron dan peningkatan tekanan filtrasi glomerulus. Oleh karena itu penting untuk melihat tanda-tanda lain dari perburukan fungsi ginjal seperti hipertensi, proteinuria atau abnormalitas dari sedimen urin.



Kelompok pasien berdasarkan fungsi glomerulus Creatinin Clearance (mL/mnt) Normal



100-120



Penurunan cadangan ginjal



60-100



Kerusakan ginjal ringan



40-60



Insufisiensi ginjal sedang



25-40



Gagal ginjal



< 25



Penyakit ginjal tingkat akhir



< 10



15



URINALISIS Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi renal. Walaupun penggunaan untuk tujuan itu dipertanyakan, urinalisis bisa membantu untuk identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH,berat jenis(BJ), deteksi dan kuantitas glukosa, protein, bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin. PH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik asidosis memberi kesan asidosis tubulus renal. BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam merupakan indikasi adekuatnya kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang konsisten dengan diabetes insipidus. Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah ( normal 180 mg/dl) atau hiperglikemia. Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang seharusnya dievaluasi pada pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan. Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari. Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau sel darah putih, bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma. Sel putih dan bakteria biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level nefron membentuk tubular cast .Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau metabolisme kistin.



16



III.



PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP AGENAGEN ANESTESI



Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal, modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi terakhir mungkin bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada sawar darah otak, atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.



AGEN INTRAVENA Propofol & Etomidate Farmakokinetik baik propofol dan etomidate tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada pasien hipoalbuminemia bisa mempercepat efek–efek farmakologi.



Barbiturat Pasien-pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi walaupun profil farmakokinetik tidak berubah. Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang berkurang. Asidosis bisa menyebabkan agen-agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat.



17



Ketamin Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasienpasien hipertensi ginjal.



Benzodiazepin Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.



Opioid Banyak opioid yang biasanya digunakan pada manajemen anestesi (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah, kecuali morfin dan meferidin, akumulasi metabolit biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini. Akumulasi morfin (morfin-6glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang. Farmakokinetik yang sering digunakan dari agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.



18



AGEN-AGEN ANTIKOLINERGIK Dalam dosis premedikasi, atropin dan glycopyrolate biasanya aman pada pasien gangguan renal karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang. Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.



PHENOTHIAZINES, H2 BLOCKERS DAN AGEN-AGEN YANG BERHUBUNGAN. Banyak phenothiazines, seperti promethazine dimetabolisme menjadi komponen inaktif oleh hati. Walaupun profil farmakokinetik tidak berubah oleh gangguan ginjal, potensiasi dari depresi pusat oleh azotemia bisa terjadi. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan mual preoperatif. Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Walaupun akumulasi bisa dilihat pada dosis besar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal, biasanya droperidol digunakan pada dosis kecil (< 2,5 mg) Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal. Walaupun lebih dari 50% dolasetron diekskresikan di urin, tidak ada dosis yang disesuaikan yang di sarankan untuk 5 HT3 bloker pada pasien dengan insufisiensi ginjal.



AGEN-AGEN INHALASI Agen-agen volatile Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien-pasien dengan disfungsi renal karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal. Walaupun pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang tidak menunjukkan perubahan cepat atau distribusi, percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb