Referat Asma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ASMA PADA ANAK



Disusun oleh : Tita Fathia 1102017233



Pembimbing : Dr. dr. Elsye Souvriyanti, Sp.A



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 26 JULI – 22 AGUSTUS 2021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI



BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada anak maupun dewasa. Prevalens asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia, berkisar antara 1-18%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari, menganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga dan sektor pelayanan Kesehatan, asma yang tidak terkendali akan meningkatkan pengeluaran biaya. Pemahaman patogenesis, imunopatologi, genetika, manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksana asma telah mengalami banyak kemajuan. Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Akan tetapi, faktor mana yang lebih berperan tidak dapat dipastikan karena kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut. Asma terjadi karena inflamasi kronik, hiper-responsif dan perubahan struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan obstruksi pada saluran respiratori terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos, edema mukosa, hipersekresi mukus. Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah sama. Namun, ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai pada dewasa karena bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi yang sering tidak dapat diprediksi sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada anak usia balita (5 tahun •



Tatalaksana Jangka panjang



Tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga. 2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari. 3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan. 4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak. •



Cara Pemberian Obat



Tabel 4. Jeni salat inhalasi sesuai usia







Obat Pengendali Asma 1. Steroid Inhalasi Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang, namun demikian anak asma yang mendapatkan steroid inhalasi jangka panjang (terutama dosis tinggi) perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air bekas berkumur tersebut. Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang relatif baru, efek sistemik minimal dan deposisi obat



di orofaring lebih sedikit dibanding



preparat steroid inhalasi yang lain; namun obat ini belum tersedia di Indonesia. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut.



Tabel 5. Dosis berbagai preparate steroid inhalasi pada anak asma



2. Agonis b2 kerja panjang (long acting b2-agonist, LABA) Sebagai pengendali asma, agonis b2 kerja panjang tidak digunakan sebagai obat tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis b2 kerja panjang dengan steroid inhalasi terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid-agonis b2 kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-agonis b2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan agonis b2 kerja panjang Dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroidagonis b2 kerja panjang pada anak balita masih terbatasKombinasi steroid-agonis ß2 kerja panjang inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu olah raga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis ß2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis ß2 kerja panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda. 3. Antileukotrien Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoksigenase seperti zileuton. Antileukotrien yang aman untuk anak adalah montelukast. Studi klinik menunjukkan antileukotrien pada pasien asma memiliki efek bronkodilatasi yang kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi.Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan



asma



dan



menurunkan



kebutuhan



dosis



steroid



inhalasi.



Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga (exercise induced asthma, EIA) dan obstructive sleep apnea (OSA).



Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif pemberian steroid inhalasi, misalnya pada anak yang tidak dapat menggunakan alat inhalasi atau ada kontraindikasi pemakaian steroid. 4. Teofilin Lepas Lambat Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari. 5. Antiimunoglobulin E Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis b2 kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, pemberian omalizumab harus di bawah pengawasan dokter spesialis. Omalizumab terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi danmenurunkan angka serangan asma. Pemberian anti-IgE membutuhkanbeberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE.







Tatalaksana asma berdasarkan derajat kendali asma



Tabel 6. •



Jenjang Tatalaksana Jangka Panjang



Gambar 5. Jenjang dalam tatalaksana asma jangka panjang pada anak usia >5tahun Keterangan: 1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan klasifikasi kekerapan. 2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up).



3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang ke bawahnya (step down). 4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek penghindaran, penyakit penyerta, dan keteraturan penggunaan obat 5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan omalizumab. •



Tatalaksana Serangan Asma



Selain berdasarkan kekerapan serangan dan obat digunakan sehari-hari, klasifikasi asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan, yang terbagi menjadi serangan ringan sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas. Tabel 7. Derajat keparahan serangan asma



Kotak 1. Pasien risiko tinggi



Tahapan tata laksana serangan asma 1. Tatalaksana Serangan Asma di Rumah Jika tidak ada keadaan seperti pada kotak 1, berikan inhalasi agonis b2 kerja pendek, via nebulizer atau dengan MDI + spacer, sebagai berikut : A. Jika diberikan via nebulizer - Berikan agonis b2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas danwheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali. - Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi - Jika dengan 2 kali pemberian agonis b2 kerja pendek via nebuliser belum membaik, segera bawa ke fasyankes/UGD B. Jika diberikan via MDI + spacer - Berikan agonis b2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot. Berikan semprotan pertama obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui sambungan untuk perlekatan ke wajah, antar muka (interface) berupa masker atau mouthpiece. Lanjutkan semprotan kedua, dengan sebelumnya mengocok MDI, baru menyemprot ulang. Pemberian semprotan hingga 4 kali berturut turut (1 siklus), setara dengan 1 kali nebulisasi. Tunggu 30 menit, bila belum ada respons berikan semprot berikutnya dengancara yang sama. - Jika membaik dengan dosis ≤4 semprot, inhalasi dihentikan. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, berikan semprot berikutnya dengan siklus yang sama. - Jika gejala tidak membaik dengan dosis 2 kali 2-4 semprotan, segera bawa ke fasyankes/UGD.



2. Tatalaksana di Fasyankes/UGD



Gambar 6.







Tata laksana asma serangan ringan-sedang Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk asma serangan ringansedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis b2 kerja lewat nebulisasi atau MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan pertimbangan untuk menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi, jika tetap baik pasien dapat dipulangkan. Apabila pasien tidak membaik dengan 3 kali pemberian inhalasi agonis b2, dapat dipertimbangkan pemasangan jalur parenteral. Tindak lanjut a. Jika respon baik, pasien dipulangkan - Saat pulang, pasien dibekali dengan obat agonis b2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam selama 3-5 hari, dipakaiseperlunya hingga tidak ada gejala. Juga diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednisolon atau prednison dengan dosis 1-2 mg/ kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering off. Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep tambahkan keterangan ‘do not iter’. - Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan. Informasi lebih lengkap lihat di tata laksana jangka panjang. - Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 35 hari untuk direevaluasi tata laksananya. - Jika obat diberikan dalam bentuk inhaler, sebelum pasien dipulangkan, pastikan teknik pemakaian inhaler sudah tepat. b. Jika respon buruk, pasien dirujuk (jika di fasyankes primer ke UGD RS) atau dirawat inap (jika di UGD RS) Pasien diputuskan rujuk atau rawat inap jika tidak respon sampai nebulisasi ke3 atau memburuk setelah nebulisasi. - Di fasyankes primer: saat menunggu proses rujukan, maka tetap dilakukan pemberian oksigen, nebulisasi agonis b2, dan pemasangan jalur parenteral.



- Di UGD RS: jika diagnosis menjadi asma serangan berat, maka dipersiapkan untuk rawat inap (lihat keterangan berikutnya). Jika ancaman henti napas, harus segera dibawa ke ICU.







Tata laksana asma serangan berat Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria asma serangan berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah agonis b2 dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter per menit diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral pada pasien dan lakukan pemeriksaan Rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral. Jika ada kontraindikasi terhadap pemberian steroid IV, dapat diberikan steroid inhalasi dosis tinggi. -



Di fasyankes primer: Jika terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala



distres respirasi berat, dengan penurunan kesadaran (tampak mengantuk atau



gelisah), dan suara napas tak terdengar, segera siapkan untuk perawatan PICU (Pediatric Intensive Care Unit). Sambil menunggu persiapan tersebut, beri inhalasi agonis 2 kerja pendek via nebuliser, oksigen dan siapkan intubasi jika perlu -



Di UGD RS: Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman



henti napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan Rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. •



Tata laksana di ruang rawat RS Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RRS) Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan. Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respons parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi agonis b2 dan ipratropium bromida setiap 2 jam. Kemudian, berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon atau prednison. Pemberian steroid ini dilanjutkan hingga 3-5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan-sedang yang dipulangkan darifasyankes primer/UGD. Tata laksana di ruang rawat inap Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawat inap: -



Pemberian oksigen diteruskan.



-



Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi asidosisnya.



-



Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam.



-



Nebulisasi agonis b2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromia dan oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.



§



Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin



dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet. §



Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin



dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam. §



Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis



diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,250,5 mg/kgBB/jam). §



Bila



memungkinkan,



sebaiknya



kadar



aminofilin



diukur



dan



dipertahankan 10-20 mcg/ml. §



Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering



adalah mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. -



Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam



hingga mencapai 24 jam, dan steroid harus diganti dengan pemberian per oral, serta bila diperlukan aminofilin diganti dengan pemberian teofilin per oral. - Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat agonis b2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam. selama 3-5 hari, dipakai seperlunya hingga tidak ada gejala. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 35 hari untuk reevaluasi tata laksana. •



Kriteria rawat di ruang rawat intensif Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman henti napas langsung dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit, ICU). Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:



-



Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD dan atau perburukan asma yang cepat.



-



Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya kesadaran.



-



Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.



-



Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi oksigen (kadar PaO2 45 mmHg,meskipun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah



• 1.



Obat-obatan untuk serangan asma Agonis ß2 kerja pendek Gejala asma serangan ringan-sedang memberikan respons yang cepat terhadap inhalasi agonis b2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama bagi asma serangan ringan-sedang yang terjadi di rumah maupun di fasyankes. Obat ini juga diberikan sebagai premedikasi untuk terhadap inhalasi agonis b2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi b2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol. Pada serangan asma, agonis b2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebuliser dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien. Agonis b2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan. Tremor dan takikardia sering dialami pasien yang menggunakan agonis b2 kerja pendek pertama kali, namun biasanya kemudian efek tersebut cepat ditoleransi.



2.



Ipratropium bromida Ipratropium bromida terbukti memberikan efek dilatasi bronkus lewat penurunan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas. Pemberian



kombinasi



agonis



b2



kerja



pendek



dan



ipratropium



bromida(antikolinergik) pada inhalasi ke-3 saat serangan asma menurunkan risikorawat inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan agonis 2 saja. Sebaiknya, kombinasi agonis b2 kerja pendek dan ipratropium bromida diberikan hanya di bawah pengawasan dokter (fasyankes/UGD RS). 3.



Steroid sistemik Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam



pertama. Pemberian steroid sistemik peroral sama efektifnya dengan pemberian secara intravena. Keuntungan pemberian peroral adalah lebih murah dan tidak invasif. Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis. Pemberian secara intravena direkomendasikan bila pasien tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien memerlukan intubasi). Steroid sistemik berupa prednisolon atau prednison diberikan peroral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tappering off. 4.



Aminofilin intravena Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan asma serangan berat atau dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal nhalasi agonis b2 dan steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi iawal (inhalasi agonis b2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lamarawat inap. Perlu diingat bahwa rentang keamanan aminofilin sempit dan efek samping yang sering adalah mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang tinggi yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang tinggi. biasanya berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1 mg/kgBB/jam. Loading 1 mg/kgBB akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 ug/ml. Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/ml. Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loading dose diberikan.



5.



Magnesium sulfat (MgSO4) Pertimbangkan pemberian injeksi MgSO pada pasien dengan asma serangan berat yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setelah satu



jam pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis b2kerja pendek dan steroid sistemik). Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma, tapi boleh sebagai alternatif, apabila pengobatan standar tidak ada perbaikan. Pada penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa pemberian magnesium sulfat (MgSO) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam memunyai efektifitas yang sama dengan pemberian agonis b2. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka perawatan di RS.MgSO4 yang tersedia dalam sediaan 20% (1 g/5 ml), 40% (10 g/25 ml), atau 50% (10 g/20 ml) dapat diberikan dengan bolus tunggal, bolus berulang, drip kontinu, dan inhalasi. 6.



Adrenalin Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Epinefrin (adrenalin) intramuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml). Obat ini tidak diindikasikan untuk serangan asma lainnya. Namun demikian, di fasyankes yang tidak tersedia alat inhalasi, dapat diberikan injeksi adrenalin untuk serangan asma.



7.



Steroid inhalasi Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug atau 2-5 ampul budesonid) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma. Harap diperhatikan pula bahwa penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasienpasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik, misalnya pasien dengan gastritis akut.



Ø Tatalaksana Asma pada Balita •



Tatalaksana panjang pada balita Secara umum, evaluasi gejala pada asma anak balita sama dengan asma pada usia di atas 5 tahun. Komponen kunci adalah edukasi, pelatihan pemakaian alat inhalasi yang benar dan keteraturannya, strategi nonfarmakologi termasuk kontrol lingkungan yang baik, monitoring berkala, dan evaluasi klinis. Seperti pada asma anak >5 tahun, obat asma diberikan secara bertahap sesuai dugaan awal yang akan menentukan di jenjang mana terapi dimulai.







Sediaan steroid inhalasi dan dosisnya untuk balita







Penentuan tingkat kendali asma Menentukan tingkat kendali gejala asma pada anak balita tidak mudah. Dokter bergantung pada laporan anggota keluarga atau pengasuh, sehingga anamnesis harus dilakukan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.







Menilai respons dan penyesuaian terapi -



Kunjungan rutin tiap 3-6 bulan, untuk evaluasi kendali asma, faktor risiko dan efek samping.



-



Tinggi anak harus diukur minimal tiap 3 bulan, atau lebih sering.



-



Jika terapi dihentikan, jadwalkan kunjungan kontrol 3-6 minggu setelahnya untuk memeriksa apakah gejala muncul lagi.



-



Orang tua/pengasuh harus diberikan rencana aksi asma (RAA) dengan gejala spesifik yang rinci tentang perburukan asma, pengobatan yang harus diberikan di awal, dan kapan dan bagaimana mengontak petugas kesehatan.







Tatalaksana Serangan Asma pada Balita



2.9 Pencegahan Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter, khususnya spesialis anak, dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 4 bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi timbulnya alerg makanan dan khususnya dermatitis atopic pada bai. Tindakan pencegahan asma pada balita merupakan suatu proses berkelanjutan edukasi dokter terhadap orang tua dan keluarga pasien. Asma dapat dicegah dengan menghindari paparan asap rokok pada anak selama proses kehamilan atau setelah lahir. Persalinan per vaginam terbukti dapat mengurangi angka asma pada balita. ASI eksklusif wajib diberikan untuk mencegah asma dan alergi pada balita, karena ASI dapat meningkatkan kekebalan tubuh anak. Penggunaan antibiotik spektrum luas selama tahun pertama anak harus dihindari.



2.10 Komplikasi Komplikasi asma serangat berat adalah pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan gangguan asam basa seperti asidosis laktat. Pneumotoraks dan pneumomediastinum terjadi karena pecahnya alveolus yang dapat terjadi karena barotrauma sedangkan atelektasis terjadi karena adanya sumbatan saluran respiratorik akibat hipersekresi dan edema serta bronkokonstriksi. Asidosis laktat dapat terjadi karena meningkatnya proses glikogenolisis dengan hasil akhir asam laktat karena proses anaerob akibat hipoksemia. Pada keadaan aerob, piruvat sebagai produk dari glikogenolisis diubah menjadi H2O dan CO2 sedangkan pada keadaan anaerob (hipoksia) piruvat diubah menjadi laktat.



2.11 Prognosis Serangan asma yang tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan kematian. Pada serangan berat diberikan oksigen, inhalasi bronkodilator (β- agonis + antikolinergik), kortikosteroid sistemik, aminofilin (bolus dan rumatan), serta tata laksana suportif. Beberapa negara telah membuat suatu guideline (pedoman) tata laksana asma pada anak namun penggunaannya masih belum baik.



DAFTAR PUSTAKA



1. Rahajoe, N., Kartasasmita B,C., Supriyanto, B., dkk. (2016). Pedoman Nasional Asma Anak . Edisi-2, Jakarta: UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp. 1-69. 2. Rahajoe, N.,Supriyanto, B., Setyanto B.D. (2008). Buku Ajar Respirologi. Edisi-1, Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp.1-688. 3. Sinatra, C, T. (2019). Diagnosis dan Manajemen Jangka Panjang Asma pada Balita. CDK Journal (46).



http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/430



(diakses pada 16 Mei 2021) 4. Sudung Pardede. 2013. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. FKUI.