Referat Burn Out [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



KEJADIAN BURNOUT PADA MAHASISWA



Diajukan sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik di Departemen Penyakit Dalam RSUD Ernaldi Bahar Palembang



Disusun oleh: Bima Indra, S.Ked



04054821820031



Hilda Nadhila Hasbi,S.ked.



04054821820118



Muhammad Ma’ruf Agung, .Ked



04054821820143



Pembimbing dr.Bintang Arroyantri, Sp.KJ.



DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUD ERNALDI BAHAR PALEMBANG 2019



HALAMAN PENGESAHAN



Referat



KEJADIAN BURN OUT PADA MAHASISWA



Oleh: Bima Indra, S.Ked



04054821820031



Hilda Nadhila Hasbi,S.ked



04054821820118



Muhammad Ma’ruf Agung, .Ked



04054821820143



Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 April17 Mei.



Palembang, April 2019



dr.Bintang Arroyantri, Sp.KJ



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah



dan



rahmat-Nya



sehingga



penulis



dapat



menyelesaikan



dapat



menyelesaikan referat yang berjudul “Kejadian Burn Out pada Mahasiswa”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Psikiatri RSUD Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Bintang Arroyanti, Sp.KJ. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.



Palembang, April 2019



Penulis



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Kesehatan



mental



mahasiswa



kedokteran



telah



lama



menjadi



perhatian. Terlalu banyaknya tugas dengan berkewajiban untuk mempelajari semuanya dan bertanggung jawab dalam merawat umat manusia yang bisa menguras dedikasi menjadi pemicu potensial atau penyebab gangguan emosi atau biasa



disebut



burnout. Perubahan psikologis



yang



signifikan



dapat tercerminkan dalam penggunaan narkoba, depresi, bunuh diri dan disfungsi profesionalitas dalam bekerja. Stresor menciptakan toksisitas psikologis yang memengaruhi pelatihan dan aktivitas mahasiswa kedokteran, kondisi seperti itu juga ada dalam kursus untuk profesi kesehatan lainnya. Dengan demikian, beban kerja studi berlebih, persyaratan pendidikan yang menuntut, kurangnya waktu luang dengan keluarga dan teman, dan sifat-sifat kepribadian individu seperti perfeksionisme dan standar yang dipaksakan menjadi potensi pemicu stres dan perilaku disfungsional. Selain itu, pada titik-titik tertentu selama pendidikan kedokteran siswa, pemicu stres kritis dapat muncul, seperti kontak dengan pasien dan penyakit serius dan kematian atau kelulusan siswa, yang disertai dengan ketidakpastian tentang masa depan juga dapat menjadi penyebab terjadi burnout pada mahasiswa kedokteran Burnout atau kejenuhan adalah respon terhadap beban emosional dan interpersonal yang berlangsung secara kronis dalam kaitannya dengan pekerjaan atau aktivitas yang menyediakan jasa. Istilah ini dapat diterapkan pada kegiatan yang memiliki beban serupa dengan kegiatan sebagai pekerja, salah satunya pada proses perkuliahan mahasiswa 1,2 Burnout pada awalnya digunakan pada konteks pekerjaan tetapi dalam perkembangannya burnout ini tidak hanya dialami oleh para pekerja sosial, mahasiswa juga mengalami burnout. Meskipun pelajar tidak memegang sebuah pekerjaan, namun dari perspektif psikologis aktivitas yang mereka alami dapat



1



2



dikatakan sebagai pekerjaan, misalnya menghadiri kelas dan mengerjakan tugastugas untuk lulus dalam ujian sehingga memperoleh gelar. Kalangan mahasiswa, khususnya pada bidang ilmu kedokteran seringkali dikaitkan dengan kejadian burnout. Pernyataan tersebut didukung oleh metaanalisis yang dilakukan Costa dkk.



1



yang menemukan prevalensi burnout pada



siswa kedokteran sangat tinggi, yaitu berkisar antara 45% sampai 71 %. Sementara itu, penelitian Santen dkk. 3 yang menilai burnout pada 249 mahasiswa kedokteran merinci fenomena burnout pada mahasiswa kedokteran. Penelitian tersebut menyatakan bahwa jumlah mahasiswa yang mengalami kejenuhan tingkat sedang hingga tinggi menunjukkan pola peningkatan sejak tahun pertama (21%), tahun kedua (41%), tahun ketiga (43%) dan diakhiri penurunan pada tahun keempat (31%). Kejadian burnout yang tinggi diduga berkaitan dengan padatnya jadwal perkuliahan (Almeida dkk, 2016). Referat ini berisi bagaimana burnout dapat menyebabkan gejala pada area profesi yang berlainan, dengan penekanan khusus pada profesi kesehatan. Telah diketahui bahwa banyak pekerja kesehatan yang memiliki burnout. Walaupun pekerjaan pada area kesehatan dapat memuaskan, namun bisa menyebabkan stres karena beberapa faktor, contohnya harus menghadapi kematian dan penyakit. Oleh karena itu, dasar-dasar burnout dipaparkan disini 5.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burnout 2.1.1. Definisi Burnout Burnout pada awalnya digunakan pada konteks pekerjaan tetapi dalam perkembangannya burnout ini tidak hanya dialami oleh para pekerja sosial, mahasiswa juga mengalami burnout. Meskipun pelajar tidak memegang sebuah pekerjaan, namun dari perspektif psikologis aktivitas yang mereka alami dapat dikatakan sebagai pekerjaan, misalnya menghadiri kelas dan mengerjakan tugas-tugas untuk lulus dalam ujian sehingga memperoleh gelar. Burnout merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli psikologi klinis, Herbert Freundenberger, pada tahun 1973. Menurut Freudenberger, burnout adalah keadaan kelelahan mental dan fisik yang disebabkan kehidupan profesi (Pangastiti, 2014). Definisi ini disempurnakan oleh Maslach dkk. dimana burnout dianggap sebagai sindrom



multidimensional



depersonalisasi,



dan



yang



penurunan



terdiri rasa



dari



kelelahan



pencapaian



emosional,



diri



(personal



accomplishment) (Salvagioni dkk, 2017). Definisi tersebut selanjutnya dipergunakan secara luas, khususnya dalam bidang ilmu psikologi. Burnout menurut Pines & Aronson didefinisikan sebagai “state of physical, emotional and mental exhaustion that results from long-term involvement with people in situations that are emotionally demanding”. Dalam konteks belajar siswa, Schaufeli et al (2002) menjelaskan bahwa burnout merujuk pada situasi perasaan keletihan dikarenakan tuntutan belajar, memperlihatkan sikap sinis dan menghindari pada pembelajaran, serta merasa tidak kompeten sebagai siswa. Kondisi burn out pada mahasiswa dapat memicu keengganan untuk mengikuti kegiatan profesi, rendahnya motivasi belajar, tingginya angka drop out, kecenderungan



4



berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya rasa keinginan untuk sukses. Pada praktik yang berkembang saat ini, burnout dapat dinyatakan sebagai kondisi kelelahan emosional dan fisik yang dialami oleh suatu individu dan memiliki kaitan terhadap pekerjaan atau aktivitas yang menyediakan jasa. Istilah burnout tidak hanya berlaku pada pekerjaan saja, tetapi dapat diterapkan juga pada kegiatan yang mirip dengan pekerjaan, seperti perkuliahan (Cetinkaya dkk, 2017).



2.1.2. Dimensi Burnout Burnout dapat dibagi atas tiga dimensi, yaitu:: a) Kelelahan emosional (Emotional exhaustion) Kelelahan emosional merupakan ciri utama serta menjadi manifestasi paling jelas dari burnout. Kelelahan emosional adalah perasaan kelelahan yang dialami di tempat kerja. Ketika seseorang mengalami exhaustion maka mereka akan merasakan energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan “kosong” yang tidak dapat teratasi lagi (Meldrum, 2010).



b) Depersonalisasi (Depersonalization) Depersonalisasi merupakan upaya untuk memberi jarak antara diri sendiri dan orang lain melalui tindakan menghiraukan kualitas yang membuat mereka unik dan menarik. Fenomena ini dapat terjadi sebagai proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan individu. Manifestasi depersonalisasi berupa sikap sinis terhadap orangorang yang berada dalam lingkup pekerjaan disertai kecenderungan menarik diri serta mengurangi keterlibatan dalam bekerja. Perilaku tersebut dikaitkan dengan upaya proteksi diri dari perasaan kecewa, karena penderita menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu, maka mereka akan terhindar dari ketidakpastian dalam pekerjaan (Meldrum, 2010).



5



c) Penurunan pencapaian prestasi pribadi Fenomena ini ditandai dengan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan penderita mengalami kesulitan untuk meningkatkan prestasi pribadi di masa depan. (Meldrum, 2010)



2.1.3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Burnout a. Jenis kelamin Menurut kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary, jenis kelamin adalah keadaan laki-laki atau perempuan dan memiliki hubungan terhadap perbedaan sosial dan budaya. Jenis kelamin merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian burnout. Studi oleh Costa dkk. (2012) menemukan bahwa jenis kelamin merupakan variabel sosiodemografi yang memiliki hubungan dengan burnout secara signifikan. Studi lain oleh Adebayo (2013) menemukan bahwa wanita lebih rentan terhadap kejadian burnout dibandingkan pria yang dikaitkan dengan tingginya nilai kelelahan emosional dan depersonalisasi wanita dibandingkan pria. Hal ini sejalan dengan penelitian Caccese dan Mayeberg (1984) yang menemukan pelatih wanita memiliki tingkat kelelahan emosional yang lebih tinggi dibandingkan pelatih pria. Fenomena kejadian burnout yang lebih tinggi pada wanita diduga erat kaitannya dengan persepsi stressor yang lebih tinggi (lebih sensitif) dan bukan karena stressor yang lebih banyak dibandingkan pria. Selaras dengan pernyataan ini, studi oleh Ranjita dkk. dalam Muzafar dkk. (2015) pada mahasiswa menemukan bahwa mahasiswa perempuan menilai tingkat keburukan suatu kejadian negatif lebih tinggi dibandingkan mahasiswa pria.



b. Efikasi diri Efikasi diri adalah persepsi individu terhadap kemampuannya dalam menjalankan suatu tugas atau tanggung jawab secara tepat dan efektif.



6



Penilaian efikasi diri bersifat subjektif karena menitikberatkan keyakinan individu akan persepsi kemampuan yang ia miliki (Suraya dkk, 2017). Keyakinan



itu



akan



memengaruhi



bagaimana



seorang



individu



berperilaku, berpikir, dan reaksi emosionalnya. Perasaaan bahwa suatu keadaan dapat dikontrol atau ditangani menyebabkan efek negatif dari tekanan (stressor) menurun, sehingga orang dengan efikasi diri yang tinggi cenderung mengalami stres dan burnout yang lebih rendah (Lailani, 2012). Hubungan efikasi diri dan burnout dapat dijelaskan oleh studi yang dilakukan Hall tentang kesuksesan psikologis (psychological success). Individu yang secara mandiri berhasil menyelesaikan tujuan yang penting untuk dirinya akan menyebabkan terjadinya kesuksesan psikologis. Kesuksesan psikologis akan memacu individu untuk lebih bersemangat pada pekerjaannya dan memiliki kepercayaan diri yang meningkat. Hall menekankan bahwa yang penting adalah perasaan kesuksesan yang dimiliki individu tersebut dan bukan sukses yang diukur objektif. Bila individu tidak dapat mengalami kesuksesan psikologis, maka individu tersebut dapat mengalam kegagalan psikologis (psychological failure) yang dapat menyebabkan (Schaufeli, Maslach, dan Marek, 2017): 1. Menarik diri dari pekerjaan dengan cara menurunkan standar kerja dan menjadi apatis dan tidak tertarik 2. Lebih



menekankan



pada



imbalan



material



dan



tidak



memperhitungkan imbalan intrinsik 3. Melindungi diri melalui mekanisme pertahanan 4. Melawan organisasi 5. Meninggalkan organisasi Beberapa studi mencoba melihat hubungan antara efikasi diri dan burnout. Studi yang dilakukan oleh Yang (2004) pada sekolah di Taiwan menemukan bahwa efikasi diri memiliki hubungan signifikan dengan burnout. Hubungan antara efikasi diri dan kejadian burnout adalah hubungan negatif, dimana peningkatan efikasi diri akan berimbas pada penurunan kejadian burnout.



7



c. Dukungan sosial Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi yang membuat seorang individu percaya bahwa mereka dipedulikan, dicintai, dan dihargai sehingga mereka mengambil peran dalam komunikasi dan tanggung jawab bersama. Dukungan sosial yang baik terhadap seseorang berpengaruh baik terhadap pencegahan kejadian burnout (Yang, 2004, Kim, Lee dan Lee, 2018). Efek positif dukungan sosial dan keluhan burnout telah dibuktikan melalui berbagai penelitian (Ben-zur dan Michael, 2007, Kim, Lee dan Lee, 2018, Pangastiti, 2014). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut juga telah dirumuskan dua model mekanisme yang diperkirakan berkaitan dengan hubungan kedua fenomena tersebut, yaitu model hubungan langsung dan model sawar (buffer effect). Model hubungan langsung menyatakan bahwa dukungan sosial memiliki efek langsung terhadap burnout. Sedangkan model sawar menyatakan bahwa dukungan sosial berperan sebagai pelindung suatu individu terhadap kejadian burnout (Taylor, 2011). Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kuat cenderung lebih kebal terhadap burnout (Kim, Lee dan Lee, 2018). Salah satu studi yang menguji hubungan antara social support dan burnout adalah studi yang Ben-Zur dan Michael (2007) yang menemukan dukungan sosial memiliki korelasi negatif terhadap dua komponen burnout yaitu aspek depersonalisasi dan kelelahan emosional. Sejalan dengan penemuan ini, meta-analisis oleh Kim dkk. (2018) menemukan hubungan signifikan antara burnout pada siswa dan dukungan sosial yang dimiliki. Siswa yang merasa burnout terhadap studi mereka cenderung berpikir bahwa mereka kurang didukung oleh kolega mereka. Kim dkk. (2018) menyatakan bahwa dukungan sosial berperan sebagai sawar terhadap stres sehingga individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi, akan lebih kebal terhadap stres.



8



d. Aktivitas fisik Aktivitas fisik merupakan segala gerakan yang dilaksanakan oleh otot lurik yang membutuhkan energi. Berdasarkan meta-analisis oleh Narckenski dkk. (2017), terdapat hubungan antara aktivitas fisik dan burnout. Aktivitas fisik ditemukan dapat mengurangi kejadian burnout. Beberapa mekanisme diajukan oleh para ahli untuk menjelaskan hubungan antara aktivitas fisik dan burnout, yang secara besar dapat dibagi dua, yaitu mekanisme psikologis dan fisiologis. Mekanisme psikologis menyatakan bahwa aktivitas fisik yang rutin dilakukan dapat memfasilitasi psychological



detachment



dari



pekerjaan.



Aktivitas



fisik



juga



meningkatkan self-efficacy sehingga pekerja akan merasa lebih percaya diri dalam melakukan tugas-tugas mereka. Untuk mekanisme fisiologis, dikatakan bahwa dengan aktivitas fisik rutin, seseorang mampu menghadapi stres psikologis. Hal ini akan berdampak pada pemulihan tubuh yang cepat setelah kejadian stres dan menurunkan risiko burnout. Aktivitas fisik rutin juga dapat memicu perubahan neurotransmitter dan neuromodulator sehingga terjadi peningkatan mood dan energi (Naczenski dkk, 2017).



e. Kualitas tidur Kualitas tidur merupakan karakteristik subjektif yang menandakan tingkat kepuasan individu terhadap tidur mereka (Kozier, 2008; Ohayon dkk, 2018). Berdasarkan penelitian oleh Ekstedt, dkk (2006) individu yang mengalami burnout memiliki hasil polisomnografi yang lebih buruk daripada individu yang tidak mengalami burnout. Individu yang memiliki burnout memiliki rasa kantuk dan rasa lelah sepanjang hari. sehingga penelitiannya menyimpulkan bahwa gangguan kualitas tidur dapat memainkan peran dalam terjadinya burnout (Shad, Thawani dan Goel, 2015). Gangguan kualitas tidur merupakan mekanisme yang mungkin terjadi dalam proses perjalanan burnout, yang dimengerti sebagai deplesi



9



sumber daya diri secara kronik. Menurut pandangan ini, burnout adalah sindrom yang dicirikan oleh deplesi energi fisik, emosi dan kognitif sebagai konsekuensi dari stresor di tempat kerja. Konsep ini muncul dari teori konservasi sumber daya (conservation of resources) yang menyatakan secara insting, individu akan mencari dan mempertahankan sumber daya, sementara stres adalah hasil dari ancaman terhadap sumber daya, kegagalan mempertahankan sumber daya, atau kehilangan sumber daya. Sumber daya tersebut adalah ciri diri, kondisi, atau energi yang dianggap berharga oleh individu. Hal ini merupakan dasar kejadian burnout akibat siklus kehilangan sumber daya bagi individu selama periode waktu tertentu. Proses ini adalah sebuah “lingkaran setan” dimana individu yang mengalami burnout dapat memperparah kehilangan sumber daya mereka karena menghadapi stressor (Vela-bueno dkk, 2008). Studi lain menemukan bahwa pada kesulitan tidur, terjadi gangguan aksis HPA (Hypothalamus-Pituitary-Adrenal). Studi yang mencari hubungan antara burnout dan kortisol menemukan hasil yang kontradiksi, beberapa mengaitkan kejadian burnout dengan kortisol yang meningkat, penelitian lain mengaitkannya dengan kadar kortisol yang menurun (Åkerstedt, Perski dan Kecklund, 2010). Kesimpulannya, disregulasi aksis HPA dapat ditemukan pada individu yang mengalami burnout dan gangguan kualitas tidur (Vela-bueno dkk, 2008).



f. Tingkat kepuasan kerja Tingkat kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi burnout. Kepuasan kerja merupakan tingkat pekerja menyukai pekerjaan mereka dan memiliki sifat positif atau negatif terhadap pekerjaan mereka. Ketidakpuasan individu terhadap pekerjaan mereka termasuk emosi negatif yang dapat merusak kesehatan fisik, mental dan sosial dari individu tersebut. Hal ini merupakan dasar bahwa emosi negatif dapat menjadi indikasi terhadap perkembangan burnout (Cetinkaya dkk, 2017).



10



Tingkat kepuasan kerja telah ditunjukkan memilii hubungan dengan burnout pada beberapa studi. Salah satu dari studi tersebut adalah studi Jelena, Rusac, dan Zorec (2008) yang menemukan korelasi negatif signifikan antara kepuasan kerja dengan burnout. Studi ini didukung oleh meta-analisis Gigantesco (2003) yang menyatakan kepuasan kerja berhubungan erat dengan kesehatan fisiologis dan psikologis. Korelasi ini bersifat signifikan terhadap aspek kesehatan mental seperti burnout syndrome, kecemasan, dan depresi. Penelitian lain menemukan bahwa kepuasan kerja juga didukung faktor lain yang terkait burnout, yaitu dukungan sosial. Kondisi tersebut tergambar dari fenomena kurangnya proses bertukar pengalaman dan ide disertai kurangnya masukan positif dari atasan (komponen dukungan sosial) menjadi alasan kepuasan kerja yang menurun (Ogresta, Rusac dan Zorec, 2008)



g. Locus of control Locus of control merupakan bagian kepribadian yang dikaitkan dengan ekspektasi seseorang terhadap kemampuannya dalam mengontrol nasib diri sendiri. Orang-orang yang memiliki ekspektasi bahwa mereka dapat mengatur nasib disebut dengan internal, sedangkan orang dengan ekspektasi bahwa kekuatan di luar daya mereka atau keberuntungan yang mengatur nasib disebut dengan eksternal (Sunbul, 2003). Individu dengan locus of control yang berbeda juga memiliki perbedaan sikap dalam menyikapi permasalahan. Individu dengan internal locus of control memiliki kencenderungan untuk bersifat proaktif dan berusaha menemukan solusi terhadap suatu masalah dibandingkan dengan penganut paham external yang berusaha menghindari konflik. Walaupun dihadapkan pada situasi yang sama, individu dengan internal locus of control mampu mengambil tindakan untuk mengatasi stres kerja sehingga mengalami kejadian burnout yang lebih sedikit. Hal ini didasari kemampuan orang-orang dengan karakteristik internal untuk menghadapi



11



faktor yang menyebabkan stres dan mencoba mengubahnya menjadi lebih baik untuk menekan kejadian burnout (Souza, 2017).



2.1.4. Diagnosis Kelelahan emosional, gangguan fungsi kognitif, penurunan pencapaian/ pemenuhan pribadi, peningkatan tanda distress emosional, distress interpersonal, gangguan penampilan perilaku, peningkatan gejala fisik, organizational distress. Peneliti medis sering menggunakan Maslach Burnout Inventory (MBI) untuk mengukur derajat burnout pada seseorang dan acuan "gold standart". MBI mengandung 3 dimensi yang terdiri dari exhaustion, cynicism, inafficacy. Schaufeli et al (2001) menggunakan neurasthenia, sebagaimana didefinisikan dalam International Classification of Diseases (ICD-10, 1994) setara dengan burnout yang parah . Menurut ICD-10, diagnosis neurasthenia (kode F43.8) harus memenuhi: - Peningkatan kelelahan atau kelemahan yang persisten setelah usaha (mental) yang minimal - Sedikitnya terdapat 2 dari 7 gejala distres seperti mudah marah dan ketidakmampuan untuk bersantai - Tidak adanya gangguan lain seperti gangguan mood atau gangguan kecemasan. Dalam sistem ICD-10, diagnostik burnout juga ditempatkan dalam kategori



"masalah



yang



berkaitan



dengan



kesulitan



pengelolaan



kehidupan" (kode Z73.0) dan digambarkan sebagai "keadaan kelelahan vital", Kriterianya adalah: (Departemen Kesehatan RI Jendral Pelayanan Medik, 1993) 



Gejala kelelahan fisiologis atau mental selama setidaknya 2 minggu.







Berkurangnya energi dan timbulnya gejala seperti kesulitan berkonsentrasi, penurunan kemampuan untuk mengatasi stres, mudah tersinggung atau ketidakstabilan emosional, gangguan tidur, nyeri otot, pusing atau jantung berdebar-debar.



12







Gejala-gejala ini harus terjadi setiap hari selama periode 2 minggu dan harus menyebabkan penderitaan yang signifikan dengan kapasitas kerja terganggu.







Gejala tidak harus berhubungan dengan diagnosis psikiatri lain, penyalahgunaan zat, atau diagnosis medis. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV



(10th Revision) mendefinisikan burnout sebagai gangguan penyesuaian (mental adjustment disorder) yang ditandai oleh "perkembangan gejala emosional atau perilaku yang signifikan secara klinis dalam menanggapi stresor psikososial atau stres. Gejala tersebut harus berkembang dalam waktu 3 bulan dari onset stresor dan harus selesai dalam waktu 6 bulan dari penghentian stresor". DSM-IV membedakan 6 subtipe gangguan penyesuaian tetapi subtipe nonspesifik adalah diagnosa yang paling mirip dengan definisi burnout. Hal ini ditandai dengan adanya "reaksi maladaptif (keluhan fisik, social withdrawal, terhambatnya pekerjaan atau kegiatan akademis) terhadap stresor psikososial yang tidak diklasifikasikan sebagai salah satu subtipe tertentu dari gangguan penyesuaian. Menggunakan gangguan penyesuaian untuk mendiagnosis burnout, bagaimanapun mungkin bermasalah. Burnout biasanya bukan reaksi langsung terhadap stresor tetapi akibat dari stres yang bersifat kronis terhadap situasi yang bermasalah, berlangsung agak lambat dan biasanya tidak terselesaikan dalam 6 bulan (American Psychiatric Association, 2005).



2.1.5. Cara Penilaian burnout Maslach Burnout Inventory (MBI)- Student Survey merupakan kuesioner yang sering digunakan untuk mengukur burnout. MBI-SS adalah kuesioner dengan 22 item penilaian untuk mengukur burnout dan dianggap sebagai gold standard. Penilaian MBI-SS menggunakan skala Likert dari 0 sampai 6 (0= tidak pernah, 1= beberapa kali per tahun, 2= 1x per bulan, 3 = beberapa kali per bulan, 4 = sekali seminggu, 5 = beberapa kali per minggu, dan 6 = setiap hari). MBI-SS menilai tiga dimensi dari



13



burnout, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian diri. Nilai cutoff untuk kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian diri didpatkan dari data normatif. MBI-SS memiliki nilai koefisien Cronbach 0,757 dengan koefisien Cronbach untuk kelelahan emosional, sinisme, dan penurunan akademik masing-masing 0,838, 0,844, dan 0,875. Hal ini berarti skala ini dapat mengidentifikasi kejadian burnout pada mahasiswa yang mungkin merasa lelah karena beban akademik atau beban hidup mereka (Pérez-Mármol dan Brown, 2018).



2.1.6. Gejala Burnout a. Gejala somatik Umumnya, gejala somatik burnout dilupakan karena gejala psikologis dan perilaku nya. Namun, beberapa penelitian menunjukkan keluhan atipikal somatik yang menyertai burnout. Gejala somatik dicirikan dengan energi yang rendah dan kelelahan kronik. Gangguan makan (terlalu banyak atau terlalu sedikit) juga dapat ditemukan. Gangguan tidur dapat bermanifestasi dalam bentu ekstrim dari insomnia atau tidur berlebih. Terdapat peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan gejala psikosoatis juga ditemukan. Gejala somatik lain adalah peptic ulcer, sakit kepala, demam yang menetap, sakit punggung, tekanan darah tinggi, gangguan gastrointestinal, sesak nafas, masalah kulit 20.



b. Gejala psikologis Untuk gejala psikologis dari burnout dicirikan oleh rasa lelah atau deprsi dan dapat dibagi menjadi 



Kelelahan emosional yang melibatkan perasaan apati, tidak berdaya, dan terkekang. Hal ini ditemani oleh freefloating anxiety, yang bermanifestasi menjadi rasa cemas, dan nervous. Rasa putus asa yang mendalam menyebabkan kekurangan energi emosi, yang



14



menyebabkan pekerja yang burnout melaporkan bahwa mereka merasa tidak punya apapun lagi untuk diberikan siapapun. 



Kelelahan mental dicirikan oleh ketidakmampuan konsentrasi dan fokus.



Kelelahan



mental



terkadang



dihubungkan



dengan



ketidakmampuan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Studi menunjukkan sikap negatif terhadap diri sendiri, pasien, teman sejawat, dan lingkungan kerja merupakan tanda untuk kelelahan mental. Gejala ini mirip dengan apa yang dideskripsikan



oleh



Maslach,



yaitu



depersonalisasi,



yang



melibatkan respon penarikan diri dari individu-individu yang menerima pelayanan dirinya. Selain itu, individu yang mengalami burnout dapat memiliki opini rendah terhadap kapabilitas dan kepercayaan diri 20.



c. Gejala perilaku Perubahan perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan berupa penurunan efisiensi kerja (kuantitatif dan kualitatif), datang terlambat, tidak hadir, gangguan hubungan interpersonal didalam pekerjaan, dll. Bukti empiris menunjukkan adanya perubahan kualitas dan frekuensi interaksi antara klien dan teman sejawat. Terdapat perubahan hubungan keluarga dan sosial juga. Perilaku konsumtif seperti merokok dan peningkatan penggunaan alcohol dan obat-obatan telah dilaporkan sebagai tanda burnout 20



2.1.7. Dampak Burnout pada Mahasiswa Burnout tidak hanya berakibat negatif pada individu, seperti depresi, perasaan gagal, kelelahan dan hilangnya motivasi dan menurunkan produktivitas kerja (Van Dierendonck, dkk., 1998). Schaufeli dan Buunk (1996) mengelompokkan dampak berdasarkan : a. Manifestasi mental



15



Tipikal penderita burnout akan mengalami kelelahan emosi, serta merasa hampa dan terjebak. Simptom yang berkaitan dengan depresi merupakan simptom yang paling menonjol seperti merasa tertekan, tidak berdaya, tidak ada harapan, dan merasa tidak berarti. Perasaan negatif tersebut dapat membuat rendahnya harga diri pada penderita burnout. Individu yang menderita burnout memiliki toleransi yang rendah terhadap frustasi, mudah marah, menjadi sensitif, berperilaku memusuhi dan curiga tidak hanya pada resipien tapi juga pada kolega dan atasan. Simptom kognitif yang dapat terjadi ialah tidak mampu berkonsentrasi pelupa, kesulitan dalam membuat keputusan.



b. Manifestasi fisik Keluhan fisik yang sering timbul seperti sakit kepala, mual, sakit pada otot-otot terutama pada punggung, masalah seksual, gangguan tidur, hilangiya nafsu makan. Manifestasi fisik y ㎎ tipikal adalah keletihan yang kronis. Gangguan fisik yang sering pula terjadi adalah menderita flu yang tidak kunjung sembuh.



c. Manifestasi perilaku Manifestasi



perilaku



individu



terutama



disebabkan



karena



meningkatnya level of arousal seperti hiperaktivitas, perilaku kasar. Meningkatnya konsumsi stimulan seperti kopi dan alkohol.



d. Manifestasi sosial Masalah interpersonal ingkungan kerja dapat terjadi terhadap penderita, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami burnout dapat membawa masalah ditempat kerja ke rumah. Yang oleh Jackson dan Maslach disebut dengan negatif spillover. Tipikal Individu yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial dan lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.



16



e. Manifestasi sikap Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan interpersonal saja tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan atau organisasi. Sikap negatif dalam hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak berperasaan (callous), memisahkan diri (detached), acuh tak acuh (indifferent), sinis (synical) terhadap resipien, merupakan karakteristik yang paling sering muncul pada penderita burnout.



f. Manifestasi organisasi Burnout dapat memperburuk kualitas kerja (Schultz dan Schultz 1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan, turn over tinggi, dan juga absen. Serta rendahnya produktivitas kerja (Schaufell dan Buunk, 1996) menambahkan bahwa burnout dapat menimbulakrn masalah bagi organisasi atau perusahaan kerena simtom burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun, fustasi, penurunan semangat kerja, hilangnya dedikasi dan kreativitas individu. Simptom ini sering juga disertai dengan munculnya simptom fisik.



Sikap negatif terhadap pekerjaan atau organisasi yang sering muncul adalah hilangnya motivasi intrinsik individu seperti semangat, antusiasme, minat dan idealisme. Individu yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh organisasi atau rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan akhirnya mengkritik dan tak mempercayai pihak manajemen rekan kerja, maupun supervisor, individu yang mengalami burnout merasa tujuantujuannya tidak tercapai dengan disertai perasaan serba kurang dan rendahnya harga diri (self esteem). Menurut Cherniss (1980) individu yang mengalami burnout menunjukkan rendahnya energi dan minat pekerjaan. Individu mengalami kelelahan emosional, apatis, murung, mudah marah, dan merasa bosan, cenderung mencari kesalahan pada semua aspek yang ada di lingkungannya, termasuk pada rekan kerja dan bersikap negatif kepada orang lain, serta kualitas kerjanya menurun. Schultz dan



17



Schultz (2010) menyatakan sikap negatif yang dapat berkembang adalah individu yang cendering bersikap kaku pada pekerjaan, mengikuti peraturan dan prosedur kerja dengan terpaksa karena mereka mengalami kelelahan untuk bersikap fleksibel terhadap pendekatan-pendekatan alternatif. Kejadian Burnout memiliki dampak yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan, instansi maupun organisasi seperti menurunnya prestasi pekerja (Kounenou, 2012), meningkatnya kecelakaan (Enache, 2013), absensi pekerja semakin meningkat (Hallsten, dkk., 2011), ketidakpuasan dalam bekerja (Ogresta, dkk., 2008), rotasi kerja dan perubahan pekerjaan terus meningkat, menurunnya kualitas kerja pekerja (Payami, 2002), serta menurunnya kepuasaan pelanggan. Di Finlandia pekerja mengalami penurunan level kepuasan kerja sehingga menimbulkan banyak terjadi kecelakaan dan kecelakaan tersebut lebih banyak tergolong dalam kecelakaan berat. Burnout menimbulkan insiden, baik itu unsafe act maupun unsafe condition (Greenberg, 2002)



2.1.8.Tatalaksana dan Pencegahan Burnout Pencegahan dan tatalaksana burnout perlu dilakukan tindak lanjut agar dampak yang ditimbulkan tidak meluas. Adapun cara mereduksi burnout menurut Maslach, Schaufeli, Lelter (2001) sebagai berikut : A. Changing the Individual (Mengubah Individu) Fokus paling utama dalam mengurangl burnout yaitu intervensi pendidikan untuk menambah kapasitas Individu ditempat kerja. Sehingga dapat mengurangi level burnout. Training merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas individu. Mengubah individu yang paling tepat yaitu individu tersebut melakukan coping pada dirinya. Namun tidak banyak yang tau bagaimana cara melakukan coping untuk dirinya sendiri Kedua yaitu menerapkan pengetahuan baru ditempat kerja dapat menjadi tantangan karena orang bekerja dengan berbagai kendala. Peran individu ditempat kerja mengharuskan berperilaku dengan cara sesual dengan prosedur organisasi yang telah ditetapkan. Rekan kerja ditunjuk sesuai dengan fungsi pekerjaan individu. Dengan demikian jika ada perubahan



18



yang signifikan dalanm cara kerja maka perlu adanya pemahaman tentang konsekuensi perubahan organisasi tersebut. Berbagai macam cara intervensi diantaranya yaitu pelatihan terhadap stres, relaksasi, manajemen waktu, pelatihan dalam kerampilan interpersonal dan sosial, team building. manajemen tuntutan profesional, dan meditasi. Terdapat bukti bahwa pendekatan individu dapat menurukan burnout dan stres ditempat kerja. Salah satu metanalisis mengenai intervensi di tempat kerja untuk menurunkan stress menunjukkan dampak kecil namun positif dari program yang target nya perorangan. Sebagai contoh, terdapat bukti bahwa pelatihan staf dapat efektif dalam mencegah gejala burnout. Hal ini bisa melibatkan kurus kesadaran stress dengan fokus pada mengatasi masalah. Pendekatan individu lain seperti cognitive behavioural therapy menunjukkan dampak positif dan memiliki dampak yang lebih besar daripada intervensi tempat kerja lain seperti relaksasi dan meditasi. Mindfulness based interventio juga ditemukan efektif dalam menurunankan efek negatif psikologis di lingkungan pekerjaan. Namun belum ada bukti yang menunjukkan intervensi ini lebih efektif daripada manajemen stres lain seperti relaksasi atau yoga 23.



B. Changing The Organization (Mengubah Organisasi) Intervensi paling efektif dalam menanggulangi masalah burnout yaitu dengan menggabungkan intervensi pada manajerial dengan pendidikan yang dijelaskan pada mengubah individu. Fokus pada beberapa ketidaksesuaian akan mungkin lebih efektif. Pekerja mungkin dapat mentolerir beban kerja yang besar jika mereka dihargal dalam pekerjaannya sesuai dengan usaha yang pekerja lakukan. menanggulangi masalah burnout seperti keglatan refreshing untuk seluruh pekerja, melakukan rotasi kerja kerja atau segala bentuk keputusan atatu pembuatan



program



yang



dimaksudkan



untuk



mengurangi



atau



menanggulangi masalah burnout yang disebabkan oleh faktor pekerjaan. Kegiatan atau program yang dibua untulk perusahaan untuk Salah satu



19



keuntungan darl pendekatan intervensi gabungan manajerial dan pendidikan yaitu cenderung menekankan membangun keterlibatan dengan pekerjaan. Keterlibatan ini memungkinkan pekerja lebih dekat dengan misi organisasi, terutama aspek-aspek yang berkaitan dengan kualitas kerja d organisasi. Sebuah lingkungan kerja yang dirancang untuk mendukung perkembangan energi yang positif, semangat, keterlibatan, dedikasi, dan efektivitas produktivitas dengan promosi kesejahteraan pekerja. Meskipun nilai intervensi organtsasi besar namun tidak mudah dalam penerapannya. Hal Iinl sering terhambat pada investasi waktu, tenaga dan uang. Terdapat studi yang lebih sedikit mengenai intervensi berbasis organisasi. Salah satu studi menemukan bahwa intervensi berbasis organisasi memiliki dampak positif yang berlangsung lebih lama daripada intervensi yang berorientasi individu. Walaupun butuh bukti empiris yang lebih banyak untuk memvalidasi hal ini, mungkin modifikasi pada aspek budaya organisasi dan perilaku kerja dapat dimodifikasi, selain intervensi tingkat individu ,sehingga memiliki dampak yang lebih kuat dalam pencegahan burnout. Pengubahan dalam beban kerja ditunjukkan mampu menurunkan stressor dan faktor yang menyebabkan burnout. 23



20



BAB III KESIMPULAN



Pengertian terhadap permasalahan burnout dapat bermanfaat pada mahasiswa khususnya dalam ruang lingkup pekerjaan baik dari perspektif kesehatan masyarakat atau meningkatknya produktifitas kerja. Burnout merupakan masalah yang tidak sederhana, burnout merupakan permasalahan unidimensional yang penyebab dan solusi dapat diterapkan, burnout merupakan masalah kompeks yang penyebabnya multikausal berupa faktor individual dan organisasi. Intervensi untuk mencegah burnout lebih sering pada tingkat individu dan kelompok kecil dibandingkan tingkan organisasi. Terdapat bukti bahwa pendekatan perseorangan seperti workshop, cognitive behavioral therapy dapat menurunkan tingkat burnout dapat mengubah aspek dari budaya organisasi dan perilaku tempat kerja dan juga dapat diterapkan selain intervensi tingkat individu agar pencegahan yang lebih efektif dapat tercipta. Perubahan terhadap beban kerja juga dapat menurunkan stressor dan faktor yang menyebabkan burnout. Beberapa bukti menemukan intervensi tingkat organisasi dapat menghasilkan dampak yang lebih lama dari pendekatan individu. Menggabungkan



pendekatan



individu



dan



organisasi



dapat



menghasilkan pencegahan yang lebih efektif, namun membutuhkan komunikasi yang terbuka, lingkungan yang mendukung, budaya belajar, dan partisipasi dari pekerja dalam perencanaan dan implementasi intervrensi



DAFTAR PUSTAKA Åkerstedt, T., Perski, A. dan Kecklund, G. 2010. Sleep, Stress, and Burnout. Principles and Practice of Sleep Medicine: Fifth Edition, hal.814–821. Ali, M., Fahim, H., Jafari, R. dan Zohoorian, Z. 2012. Relationship between physical activity and it ’ s components with burnout in academic members of Daregaz Universities. , 46, hal.4291–4294. Almeida, G. de C., Souza, H.R. de, Almeida, P.C. de, Almeida, B. de C. dan Almeida, G.H. 2016. The prevalence of burnout syndrome in medical students. Revista de Psiquiatria Clinica, 43(1), hal.6–10. Aparecido, R., Paiva, C.E., De, M.A., Tavares, H., Fregnani, G., Lucchetti, G. dan Paiva, S.R. 2018. Burnout among medical students during the first years of undergraduate school : Prevalence and associated factors. , hal.1–15. Bekker, M.H.J., Croon, M.A. dan Bressers, B. 2005. Work & Stress : An International Journal of Work , Health & Organisations Childcare involvement , job characteristics , gender and work attitudes as predictors of emotional exhaustion and sickness absence. , (October 2014), hal.37–41. Ben-zur, H. dan Michael, K. 2007. Social Work in Health Care Burnout , Social Support , and Coping at Work Among Social Workers , Psychologists , and Nurses. , (January 2015). Caccese, T.M. dan Mayerberg, C.K. 1984. Gender Differences in Perceived Burnout of College Coaches. Journal of Sport Psychology, 6(3), hal.279–288. Cetinkaya, F., Akbulut, Z., Dur, N., Eryalçin, Ö. dan Korkmaz, M. 2017. Analysis of Job Satisfaction and Burnout Level of Nurses in Different Generations. International Journal of Caring Science, 10(3), hal.1507–1513. Dyrbye, L.N., Thomas, M.R., Harper, W., Massie, F.S., Power, D. V., Eacker, A., Szydlo, D.W., Novotny, P.J., Sloan, J.A. dan Shanafelt, T.D. 2009. The learning environment and medical student burnout: A multicentre study. Medical Education, 43(3), hal.274–282. Dyrbye, L.N., Thomas, M.R. dan Shanafelt, T.D. 2006. Systematic Review of Depression , Anxiety , and Other Indicators of Psychological Distress Among



21



22



U . S . and Canadian Medical Students. , 81(4), hal.354–373. Ekstedt, M., Söderström, M., Åkerstedt, T., Nilsson, J., Søndergaard, H.P. dan Aleksander, P. 2006. Disturbed sleep and fatigue in occupational burnout. Scandinavian Journal of Work, Environment and Health, 32(2), hal.121–131. Famodu, O.A., Barr, M.L., Holásková, I., Zhou, W., Morrell, J.S., Colby, S.E. dan Olfert, M.D. 2018. Shortening of the Pittsburgh Sleep Quality Index Survey Using Factor Analysis. , 2018. Gates, M., Wingert, A., Featherstone, R., Samuels, C., Simon, C. dan Dyson, M.P. 2018. Impact of fatigue and insufficient sleep on physician and patient outcomes : a systematic review. , hal.1–12. Gigantesco, A., Sc, D. dan Picardi, A. 2003. Job Satisfaction Among Mental Health Professionals in Rome , Italy. , 39(4), hal.349–355. Ishak, W., Nikravesh, R., Lederer, S., Perry, R., Ogunyemi, D. dan Bernstein, C. 2013. Burnout in medical students: A systematic review. Clinical Teacher, 10(4), hal.242–245. Israeli, I.N. 2001. Center for Work Safety and Human Engineering, Technion - Israel Institute of Technology, Haifa,. , (1997), hal.357–362. Janko, M.R., Smeds, M.R. dan Louis, S. 2018. Burnout , depression , perceived stress , and self-ef fi cacy in vascular surgery trainees. Journal of Vascular Surgery, hal.1–10. Kim, B., Lee, J. dan Lee, S.M. 2018. Relationships between social support and student burnout : A meta ‐ analytic approach. , (January 2017), hal.127–134. LaFaver, K., Miyasaki, J.M., Keran, C.M., Rheaume, C., Gulya, L., Levin, K.H., Jones, E.C., Schwarz, H.B., Molano, J.R., Hessler, A., Singhal, D., Shanafelt, T.D., Sloan, J.A., Novotny, P.J., Cascino, T.L. dan Busis, N.A. 2018. Age and sex differences in burnout, career satisfaction, and well-being in US neurologists. Neurology, 91(20), hal.e1928–e1941. Lailani, F. 2012. BURNOUT PADA PERAWAT DITINJAU DARI EFIKASI DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL. , 1(1), hal.66–86. Louis, K.S. 1998. Effects of Teacher Quality of Work Life in Secondary Schools on Commitment and Sense of Efficacy. School Effectiveness and School



23



Improvement, 9(1), hal.1–27. Meldrum, H. 2010. Exemplary physicians’ strategies for avoiding burnout. Health Care Manager, 29(4), hal.324–331. Moffat, K.J., Mcconnachie, A., Ross, S. dan Morrison, J.M. 2004. Undergraduate medical education problem-based learning medical curriculum. , hal.482–491. Muzafar, Y., Khan, H.H., Ashraf, H., Hussain, W., Sajid, H., Tahir, M., Rehman, A., Sohail, A., Waqas, A. dan Ahmad, W. 2015. Burnout and its Associated Factors in Medical Students of Lahore, Pakistan. Cureus, 7(11). Naczenski, L.M., Vries, J.D. De, Hooff, M.L.M. Van dan Kompier, M.A.J. 2017. Systematic review of the association between physical activity and burnout. , hal.477–494. Ng, T.W.H., Sorensen, K.L. dan Eby, L.T. 2006. Locus of control at work : a meta-analysis. , 1087(April), hal.1057–1087. Ogresta, J., Rusac, S. dan Zorec, L. 2008. Relation Between Burnout Syndrome and Job Satisfaction Among Mental Health Workers. , hal.364–374. Olanrewaju, A.S. dan Chineye, O.J. 2013. Gender differences in burnout among health workers in the Ekiti State University Teaching Hospital Ado-Ekiti. International Journal of Social and Behavioural Sciences, 1(6), hal.112–121. Oliva Costa, E., Santos, A., Abreu Santos, A., Melo, E. dan Andrade, T. 2012. Burnout Syndrome and associated factors among medical students: a crosssectional study. Clinics, 67(6), hal.573–579. Pangastiti, N.K. 2014. Analisis Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Burnout pada Perawat. , hal.1–26. Pérez-Mármol, J.M. dan Brown, T. 2018. An Examination of the Structural Validity of the Maslach Burnout Inventory-Student Survey (MBI-SS) Using the Rasch Measurement Model. Health Professions Education. Rubino, C., Volpone, S.D. dan Avery, D.R. 2013. Gender in Management : An International Journal Article information : Salvagioni, D.A.J., Melanda, F.N., Mesas, A.E., González, A.D., Gabani, F.L. dan De Andrade, S.M. 2017. Physical, psychological and occupational



24



consequences of job burnout: A systematic review of prospective studies. PLoS ONE, 12(10), hal.1–29. Santen, S.A., Holt, D.B., Kemp, J.D. dan Hemphill, R.R. 2010. Burnout in medical students: Examining the prevalence and associated factors. Southern Medical Journal, 103(8), hal.758–763. Schaufeli, W.B. dan Salanova, M. 2011. Increase engagement , and enhance performance ? A quasi-experimental study. , hal.339–355. Shad, R., Thawani, R. dan Goel, A. 2015. Burnout and Sleep Quality : A Cross- Sectional Questionnaire-Based Study of Medical and Non-Medical Students in India. , 7(10). Shoji, K., Cieslak, R., Smoktunowicz, E., Rogala, A., Benight, C.C. dan Luszczynska, A. 2015. Associations between job burnout and self-efficacy: A meta-analysis. Anxiety, Stress and Coping, 29(4), hal.367–386. Souza, J.B.D. 2017. The Influence of Self-monitoring and Locus of Control on Burnout of Thai Employees. , 17(1), hal.97–114. Sunbul, A.M. 2003. An analysis of relations among locus of control, burnout and job satisfaction in Turkish. , 47(I), hal.58–72. Suraya, Wan, H. dan Yunus, Jamel, N. 2017. Self-Efficacy and Academic Performance of Secondary Schools Students in Perak: An Exploratory Outlook. International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, 6(3). Thomas, N.K. 2004. Resident Burnout. , 292(23). Vela-bueno, A., Moreno-jiménez, B., Rodríguez-muñoz, A., Olavarrietabernardino, S., Fernández-mendoza, J., José, J., Cruz-troca, D., Bixler, E.O. dan Vgontzas, A.N. 2008. Insomnia and sleep quality among primary care physicians with low and high burnout levels. , 64, hal.435–442. Wilski, M., Chmielewski, B. dan Tomczak1, M. 2015. WORK LOCUS OF CONTROL AND BURNOUT IN POLISH PHYSIOTHERAPISTS : THE MEDIATING EFFECT OF COPING STYLES. , 28(5), hal.875–889. Yang, H.J. 2004. Factors affecting student burnout and academic achievement in multiple enrollment programs in Taiwan’s technical-vocational



25



colleges. International Journal of Educational Development, 24(3), hal.283–301. Yao, Y., Zhao, S., Gao, X., An, Z., Wang, S., Li, H., Li, Y., Gao, L., Lu, L. dan Dong, Z. 2018. General self-efficacy modifies the effect of stress on burnout in nurses with different personality types. BMC Health Services Research, 18(1), hal.1–9. Zuger, A. 2004. Special report Dissatisfaction with Medical Practice. , hal.69–75.