4 0 404 KB
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada bunuh diri. Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan karena dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, dapat menggunakan seutas tali, kain, dasi atau bahan apa saja yang dapat melilit leher. Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman mati dengan cara penggantungan yang sudah digunakan sejak zaman dahulu. Penggantungan (hanging) adalah penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan.1,2 Penggantungan merupakan metode bunuh diri yang sering ditemukan di banyak negara. Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan penggantungan dilaporkan setiap tahun. Penggantungan baik akibat bunuh diri atau pembunuhan lebih sering ditemukan di perkotaan.1 Di Departemen Forensik Leeds menunjukkan bahwa gantung diri sekitar 6 dari 146 kasus kematian mendadak tidak wajar pertahun.3 Data statistik mengenai frekuensi dan distribusi variasi kasus gantung diri di Indonesia masih sangat langka. Penelitian tentang gantung diri di Indonesia juga masih sangat terbatas jumlahnya. Data yang dihimpun dari Polda Metro Jaya diketahui bahwa pada tahun 2009 ada 90 kasus gantung diri, tahun 2010 ada 101 kasus dan tahun 2011 ada 82 kasus gantung diri.4 Dalam kasus gantung diri diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk mencegah kemungkinan lain, seperti pembunuhan atau kecelakaan. Penggantungan juga merupakan penyebab kematian yang paling sering menimbulkan persoalan karena rawan terjadi salah interpretasi. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk mengetahui lebih mendalam mengenai penggantungan (hanging), khususnya mengenai gantung diri mengingat kasus ini merupakan penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan. Selain itu, dalam aspek medikolegal, sebagai dokter yang memeriksa perlu memastikan apakah kasus penggantungan tersebut merupakan tindakan bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan sehingga dapat membuat terang suatu perkara pidana, khususnya penggantungan.
1
1.2. Tujuan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi Tugas Kepaniteraaan Klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai gantung diri.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Gantung diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh diri sendiri melalui suatu penggantungan.5Ada beberapa definisi tentang penggantungan. Penggantungan atau hanging adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat jerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian.1 Penggantungan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan yang mana daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala.1,6 Dengan demikian berarti alat penjerat bersifat pasif dan berat badan bersifat aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.1,2 Keadaan tersebut berbeda dengan penjeratan, dimana yang aktif (kekuatan yang menyebabkan konstriksi leher), adalah terletak pada alat penjeratnya.5 2.2. Epidemiologi Suatu tinjauan pada tahun 2008 di 56 negara berdasarkan data mortalitas World Health Organization (WHO) ditemukan bahwa penggantungan merupakan metode bunuh diri yang paling utama pada sebagian besar negara-negara tersebut. 5 Di Amerika Serikat, pada tahun 2005, the National Center for Injury Prevention and Control melaporkan 13,920 kematian di seluruh Amerika Serikat akibat sufokasi, dengan angka rata-rata 4,63 per 100.000. Angka ini meliputi pula strangulasi dan hanging aksidental, strangulasi dan sufokasi aksidental, hanging, strangulasi dan sufokasi serta ancaman terhadap pernafasan aksidental lainnya.7 Penggantungan bunuh diri disetujui bersama lebih banyak pada laki-laki. 7 Di Eropa Timur (misalnya Estonia, Latvia, Polandia dan Romania), proporsi tertinggi kasus gantung diri lebih banyak pada laki-laki, yaitu 90%, sedangkan pada wanita 80%.8Namun akhir-akhir ini wanita lebih banyak memilih metode ini untuk melakukan bunuh diri dibanding penggunaan senjata api dan racun.7Sedangkan berdasarkan usia, kelompok remaja melakukan tindakan bunuh diri akibat depresi dimana dapat memicu gantung diri. Terdapat pula peningkatan insidensi accidental hanging karena "the choking game", suatu strangulasi leher yang disengaja dalam rangka menikmati perubahan status mental dan sensasi fisik. Pada kelompok usia dewasa muda, penyebab tersering adalah penyerangan dan bunuh diri akibat depresi. Para narapidana sering memilih gantung diri sebagai upaya bunuh diri karena ini merupakan satu dari sedikit metode yang tersedia bagi mereka.7
3
2.3. Mekanisme Kematian pada Penggantungan Kematian pada kasus gantung diri dapat disebabkan oleh mekanisme tertentu, diantaranya sebagai berikut : 1.
Asfiksia. Merupakan penyebab kematian yang paling sering. Terjadi akibat terhambatnya
aliran
udara
pernafasan.1 Kekuatan
kontriksi
dari
pengikat
menyebabkan penyempitan kompresif pada lumina laring dan trakea, dan menekan ke atas dasar lidah terhadap dinding posterior faring, dan melipat epiglotis di atas pintu masuk laring untuk menghalangi aliran udara.6 2.
Apopleksia (kongesti pada otak). Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi.Tekanan pada vena jugularis bisa menyebabkan kematian korban penggantungan dengan mekanisme asfiksia. Kebanyakan kasus penggantungan bunuh diri mempunyai mekanisme kematian seperti ini. Seperti yang diketahui, vena jugularis membawa darah dari otak ke jantung untuk sirkulasi. Pada penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis oleh tali yang menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati darah untuk kembali ke jantung dari otak tersumbat. Obstruksi
total maupun
parsial
secara
perlahan-lahan
dapat
menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak. Darah tetap mengalir dari jantung ke otak tetapi darah dari otak tidak bisa mengalir keluar. Akhirnya, terjadilah penumpukan darah di pembuluh darah otak. Keadaan ini menyebabkan suplai oksigen ke otak berkurang dan korban seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian, terjadilah depresi pusat nafas dan korban mati akibat asfiksia. Besarnya tekanan yang diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini idak penting tetapi durasi lamanya tekanan yang diberikan pada leher oleh tali yang menggantung korban yang menyebabkan mekanisme tersebut. Ketidaksadaran korban memerlukan waktu yang lama sebelum terjadinya depresi pusat nafas. Secara keseluruhan, mekanisme ini tidak menyakitkan sehingga sering disalahgunakan oleh pria untuk memuaskan nafsu seksual mereka (autoerotic sexual asphyxia). Pada mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala sianosis. Wajahnya membiru dan sedikit membengkak. Muncul peteki di wajah dan mata akibat dari pecahnya kapiler darah karena tekanan yang lama. Didapatkan lidah yang menjulur keluar pada pemeriksan luar.1 Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal ini karena secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena jugularis. Oleh karena itu, obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus bunuh diri dengan penggantungan. Biasanya korban mati karena tekanan yang lebih besar, misalnya dicekik atau pada penjeratan. Pada pemeriksaan dalam turut ditemukan jejas pada jaringan lunak sekitar arteri karotis akibat tekanan yang besar ini. Tekanan ini menyebabkan aliran darah ke otak tersumbat. Kurangnya suplai darah ke otak
4
menyebabkan korban tidak sadar diri dan depresi pusat nafas sehingga kematian terjadi. Pada mekanisme ini, hanya ditemukan wajah yang sianosis tetapi tidak ada peteki.1
Gambar 1.Kongesti yang mencolok pada leher akibat gantung diri (Sumber: forensics4fiction.com) 3.
Kombinasi dari asfiksia dan apopleksia.
4.
Iskemia serebral. Hal ini akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri yang memperdarahi otak.
5.
Syok Vaso-Vagal (refleks vagal). Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan henti jantung. Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme: a. Inhibisi vagal sering diikuti oleh fibrilasi ventrikel b. Secara experimental pada binatang yang dibuat dalam keadaan obstruktive asphyxia, setelah beberapa menit akan diikuti dengan berkurangnya detak jantung kemudian beberapa saat terjadi takikardi sampai terjadi kematian.
6.
Kerusakan pada batang otak dan medula spinalis. Hal ini terjadi akibat dislokasi atau fraktur vertebra servikalis. Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan dengan mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Sering terjadi fraktur atau cedera pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis dan atlas) atau lebih dikenali sebagai “hangman fracture”. Fraktur atau dislokasi vertebra servikal akan menekan medulla oblongata sehingga terjadi depresi pusat nafas dan korban meninggal karena henti nafas.6 Kejadian ini biasa terjadi pada hukuman gantung atau korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi.Pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5–2 meter maka akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan.1
2.4. Pengelompokkan Penggantungan Penggantungan dapat dikelompokkan berdasarkan posisi korban pada saat gantung diri, yang terdiri dari :1,6 1. Complete Hanging, yaitu posisi penggantungan dimana kedua kaki tidak menyentuh lantai.
5
Gambar 2. Contoh posisi pada complete hanging (Sumber: www.rimanews.com) 2. Partial Hanging, yaitu posisi penggantungan berupa duduk berlutut. Istilah ini digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial.
Gambar 3. Contoh posisi pada partial hanging (Sumber: forensics4fiction.com) 3. Berbaring, posisi penggantungan seperti ini biasanya dilakukan di bawah tempat tidur.
Gambar 4. Contoh posisi gantung diri posisi berbaring (Sumber: forensics4fiction.com)
6
Selain berdasarkan posisi, penggantungan (hanging) juga dapat dikelompokkan berdasarkan letak jeratan, yaitu typical hanging dan atypical hanging.1 1. Typical hanging, yaitu bila titik penggantungan ditemukan di daerah oksipital dan tekanan pada arteri karotis paling besar. 2. Atypical hanging, yaitu bila titik penggantungan terletak di samping, sehingga leher sangat miring (fleksilateral), yang mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar. . 2.5. Aspek Medikolegal Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada penggantungan, tetapi pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain. Kepentingan medikolegal dalam kasus penggantungan adalah menentukan 2 hal, yaitu :6 - Apakah kematian disebabkan oleh penggantungan? Pertanyaan ini sering diajukan kepada dokter pemeriksa dalam persidangan - Apakah penggantungan tersebut merupakan bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan? Beberapa faktor di bawah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan: a. Penggantungan biasanya merupakan tindakan bunuh diri, kecuali dibuktikan lain. b. Cara terjadinya penggantungan c. Bukti-bukti tidak langsung di sekitar tempat kejadian d. Tanda berupa jejas penjeratan e. Tanda-tanda kekerasan atau perlawanan 2.6. Gambaran Post-Mortem Korban Penggantungan Ada beberapa hal yang dapat kita jumpai pada pemeriksaan luar dan dalam pada korban penggantungan. Ada 5 bagian tubuh korban yang kita perhatikan saat melakukan pemeriksaan luar dan dalam, yaitu:9 1. Kepala. 2. Leher. 3. Anggota gerak (lengan dan tungkai). 4. Dubur. 5. Alat kelamin. Ada 4 bagian kepala korban yang kita perhatikan saat melakukan pemeriksaan luar autopsi, yaitu:9 1. Muka. 2. Mata. 3. Konjungtiva.
7
4. Lidah. Gambaran yang ditemukan pada korban berdasarkan alat penggantung:9 1. Penampang kecil (tali) Muka korban penggantungan (hanging) akan mengalami sianosis dan terlihat pucat karena vena terjepit. Pucat yang tampak pada wajah korban disebabkan tekanan alat penggantung tidak hanya menyebabkan terjepitnya vena, tetapi tekanan penggantung juga menyebabkan terjepitnya arteri. 2. Penampang lebar (sarung, sprei) Mata korban penggantungan (hanging) melotot akibat terjadinya bendungan pada kepala korban.wajah korban tampak kongesti. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya vena-vena kepala tetapi arteri kepala tidak terhambat. Hasil Pemeriksaan Luar dan Pemeriksaan Dalam Korban Penggantungan Pemeriksaan Luar9 1) Tanda penjeratan pada leher. Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk lingkaran (V shape). Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Alur jeratan pucat. 2. Tepi alur jerat coklat kemerahan. 3. Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan. Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan (hanging) menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher korban. Alur jeratan yang asimetris / atipikal menunjukkan letak simpul disamping leher.
Gambar 5. Gambaran post-mortem pada leher korban hanging (sumber: forensicforclinic.com) Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter, dan keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi:
Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil dibandingkan jika menggunakan tali yang besar. 8
Bentuk jeratannya berjalan miring (oblik) pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas di antara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas pada bagian belakang.
Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas perkamen, disebut tanda parchmentisasi.
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit di bagian bawah telinga, tampak daerah segitiga pada kulit di bawah telinga.
Pinggirannya berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi di sekitarnya.
Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak 2 kali.
Deskripsi leher korban penggantungan (hanging) yang penting kita berikan antara lain:9 - Lokasi luka Lokasi luka pada leher korban penggantungan (hanging) dapat berada di depan, samping dan belakang leher. Luka yang berada di depan leher kita ukur dari dagu atau manubrium sterni korban. Luka yang berada di samping leher kita ukur dari garis batas rambut korban. Luka yang berada di belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban. - Jenis luka Jenis luka korban penggantungan (hanging) terdiri atas luka lecet, luka tekan dan luka memar. Penting juga kita mendeskripsikan mengenai warna, lebar, perabaan dan keadaan sekitar luka. Anggota gerak korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya lebam mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai. - Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher). - Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati). 2) Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung 3) Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang 4) Tanda-tanda asfiksia. Mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia tampak pada wajah dan subkonjungtiva. Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban penggantungan (hanging) terjadi akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah karena asfiksia.
9
Gambar 6. Petechie pada mata sebagai tanda asfiksia pd kasus gantung diri (sumber: logilmu.blogspot.com) Lidah menjulur menunjukkan adanya penekanan pada bagian leher. Lidah korban penggantungan (hanging) bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada diatas kartilago tiroidea. 5) Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan tempat simpultali. Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan ante-mortem 6) Lebam mayat paling sering terlihat pada tungkai 7) Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam 8) Urin dan feses bisa keluar. Pengeluaran urin pada korban penggantungan disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia. Pemeriksaan Dalam9 1) Kepala korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan tanda-tanda bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla oblongata. 2) Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung cukup lama.Pada jaringan di bawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya. 3) Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus penggantungan yang disertai dengan tindakan kekerasan. 4) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding pembuluh darah. 5) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra. Adanya efusi darah di sekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungannya ante-mortem. 6) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi. 7) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi pada korban hukuman gantung
10
Gambar 7. Kiri: Fraktur melintang pada prosesus servikalia ke lima-enam (C5-6) (panah lurus penuh), fraktur pada tepi depan C6 (panah melengkung) dan perluasan persendian antara tulang C5 dan C6 (panah kosong). Kanan: patah tulang krikoid (sumber:scribd.com) 8) Dada dan perut korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya perdarahan (pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan / kongesti organ. 9) Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih gelap dan konsistensinya lebih cair. 2.7. Perbedaan Antara Penggantungan Ante-Mortem dan Penggantungan PostMortem Perbedaan antara penggantungan ante-mortem dan penggantungan post-mortem dapat dilihat pada tabel.1 di bawah ini.9 No 1.
Penggantungan Ante-Mortem Tanda-tanda
Penggantungan Post-Mortem
penggantungan Tanda-tanda
antemortem
bervariasi. menunjukkan kematian yang bukan
Tergantung dari cara kematian 2.
Tanda
jejas
post-mortem
jeratan
disebabkan penggantungan
miring, Tanda
jejas
jeratan
biasanya
berupa lingkaran terputus (non- berbentuk lingkaran utuh (continuous), continuous) dan letaknya pada agak sirkuler dan letaknya pada bagian leher bagian atas 3.
leher tidak begitu tinggi
Simpul tali biasanya tunggal, Simpul tali biasanya lebih dari satu, terdapat pada sisi leher
diikatkan dengan kuat dan diletakkan pada bagian depan leher
11
4.
Ekimosis tampak jelas pada salah Ekimosis pada salah satu sisi jejas satu sisi dari jejas penjeratan. penjeratan tidak ada atau tidak jelas. Lebam mayat tampak di atas jejas Lebam mayat terdapat pada bagian jerat danpada tungkai bawah
tubuh
yang
menggantung
sesuai
dengan posisi mayat setelah meninggal
5.
Pada
kulit
di
tempat
jejas Tanda parchmentisasi tidak ada atau
penjeratan teraba seperti perabaan tidak begitu jelas kertas
perkamen,
yaitu
tanda
parchmentisasi 6.
Sianosis pada wajah, bibir,
Sianosis pada bagian wajah, bibir,
telinga, dan lain-lain sangat jelas
telinga dan lain-lain tergantung dari
terlihat terutama jika kematian
penyebab kematian
karena asfiksia 7.
Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata mengalami
kongesti
dan tidak terdapat, kecuali jika penyebab
agak menonjol, disertai dengan kematian gambaran pembuluh dara vena
adalah
pencekikan
(strangulasi) atau sufokasi
yang jelas pada bagian dahi 8.
Lidah bisa terjulur atau tidak Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus sama sekali
9.
Penis.
Ereksi
kematian akibat pencekikan penis
disertai Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
dengan keluarnya cairan sperma tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak sering terjadi pada korban pria. ada Demikian juga sering ditemukan keluarnya feses 10. Air liur. Ditemukan menetes dari Air liur tidak ditemukan menetes pada sudut mulut, dengan arah yang kasus selain kasus penggantungan vertikal menuju dada. Hal ini merupakan
pertanda
pasti
penggantungan ante-mortem
2.8. Perbedaan Penggantungan pada Gantung Diri dan Penggantungan pada Pembunuhan Perbedaan gantung diri dan penggantungan pada pembunuhan dapat dilihat pada table.2 di bawah ini.9 12
No 1.
Gantung Diri
Penggantungan pada Pembunuhan
Usia. Gantung diri lebih sering Tidak mengenal batas usia, karena terjadi pada remaja dan orang tindakan pembunuhan dilakukan oleh dewasa.Anak-anak di bawah usia musuh atau lawan dari korban dan 10 tahun atau orang dewasa di atas tidak bergantung pada usia usia 50 tahun jarang melakukan gantung diri
2.
Tanda jejas jeratan, bentuknya Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran miring, berupa lingkaran terputus tidak terputus, mendatar, dan letaknya (non-continuous) dan terletak pada di bagian tengah leher, karena usaha bagian atas leher.
pelaku pembunuhan untuk membuat simpul tali
3.
Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul samping leher
4.
Riwayat
tali tersebut terikat kuat
korban.
Biasanya Sebelumnya
korban
tidak
korban mempunyai riwayat untuk mempunyairiwayat untuk bunuh diri mencoba bunuh diri dengan cara lain 5.
Cedera. Luka-luka pada tubuh Cedera berupa luka-luka pada tubuh korbanyang
bisa
menyebabkan korban biasanya mengarah kepada
kematianmendadak
tidak pembunuhan
ditemukan pada kasusbunuh diri 6.
Racun.
Ditemukannya
racun Terdapatnya racun berupa asam opium
dalam lambung korban, misalnya hidrosianat
atau
kalium
sianida
arsen,sublimat korosif dan lain- tidak sesuai pada kasus pembunuhan, lain
tidak bertentangan
dengan karena untuk hal ini perlu waktu dan
kasus gantung diri. Rasa nyeri kemauan dari korban itu sendiri. yang disebabkan racun tersebut Dengan
demikian
maka
kasus
mungkin mendorong korban untuk penggantungan tersebut adalah karena melakukan gantung diri 7.
bunuh diri
Tangan tidak dalam keadaan Tangan yang dalam keadaan terikat terikat karena sulit untuk gantung mengarahkan diri dalamkeadaan tangan terikat
8.
dugaan
pada
kasus
pembunuhan
Kemudahan. Pada kasus bunuh Pada
kasus
pembunuhan
mayat
diri mayat biasanya ditemukan ditemukan tergantung pada tempat
13
tergantung
pada
tempat
yang yang sulit dicapai oleh korban dan alat
mudah dicapai oleh korban atau di yang
digunakan
untuk mencapai
sekitarnya ditemukan alat yang tempat tersebut tidak ditemukan digunakan untuk mencapai tempat tersebut 9.
Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada berlangsung
di
dalam
kamar, ruangan ditemukan terkunci dari luar,
dimana pintu, jendela ditemukan maka penggantungan adalah kasus dalam terkunci
keadaan dari
tertutup dalam,
dan pembunuhan maka
kasusnya pasti merupakan bunuh diri 10. Tanda-tanda perlawanan,
Tanda-tanda perlawanan hampir selalu
tidak ditemukan pada kasus
ada kecuali jika korban sedang tidur,
gantung diri
tidak sadar atau masih anak-anak
BAB III RINGKASAN 1. Gantung diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh diri sendiri melalui suatu penggantungan. 2. Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. 3. Penggantungan merupakan metode bunuh diri yang paling utama di beberapa negara menurut WHO (World Health Organization)
14
4. Kematian pada kasus penggantungan antara lain disebabkan karena adanya mekanisme, seperti terhambatnya aliran udara pernafasan, kongesti pembuluh darah otak, iskemia serebral, terjadinya refleks vagal atau karena terjadinya dislokasi atau fraktur vertebra servikalis. 5. Hanging dapat dikelompokkan berdasarkan posisi, yaitu complete hanging, partial hanging dan berbaring. Selain itu dapat juga dibedakan berdasarkan letak jeratan, yaitu typical hanging dan atypical hanging. 6. Ada 2 hal yang harus ditentukan dalam kasus penggantungan, yaitu apakah hanging tersebut terjadi pada antemortem atau postmortem dan apakah penggantungan tersebut akibat pembunuhan atau bunuh diri. 7. Penilaian terhadap kasus penggantungan dapat dilihat dari hasil pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada korban
DAFTAR PUSTAKA 1. Noharakrizo. Makalah Hanging. Online. 2011. http://www.scribd.com/doc/49388289/Makalah-Hanging
Diunduh
dari:
2. Idries AM. Penggantungan. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: EGC. 1997. hal.202-7. 3. Rao D. Asphyxia: Hanging. 2012. http://forensicpathologyonline.com/index.php? option=com_content&view=article&id=103&Itemid=120.
15
Diunduh
dari:
4. Felisiani T. Laporan Wartawan Tribunnews.com.: Gantung diri jadi trend 2009 hingga awal 2012. Rabu 7 Maret 2012 09.24 WIB. Diunduh dari: http://m.tribunnews.com/2012/03/07/gantung-diri-jadi-trend-2009-hingga-awal2012. 5. Apuranto, Hariadi, Hoediyanto. 2010. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal edisi ke-enam. Penerbit Departemen Ilmu kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UNAIR: Surabaya. 6. Fikasari D. Gantung Diri (Hanging). Online. 2008. Diunduh http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/11/gantung_diri.pdf
dari:
7. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Online. 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/826704-overview#showall 8. Gross VA, Weiss MG, Ring M, Hepp U, Bopp M, Gutzwiller F. Methods of suicide: international suicide patterns derived from the WHO mortality database. Bulletin of the World Health Organization. 86(9): 726-32. 2008. Diunduh dari: http://www.scielosp.org/pdf/bwho/v86n9/a17v86n9.pdf 9. Aflanie I, Abdi M, Setiawan R, Muna. Roman’s Forensic 25 th Ed. Banjarmasin: Departemen Kedokteran Kehakiman FK UNLAM-RSUD Ulin. 2011.
16