Referat GBS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna (Inawati, 2010) Guillaine Barre Syndrome merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik (Japardi, 2002). Guillaine Barre Syndrome adalah suatu penyebab disabilitas jangka panjang yang penting untuk sedikitnya 1,000 orang tiap tahun di Amerika Serikat. Karena GBS terjadi pada umur yang relatif muda dan harapan hidup yang masih panjang setelah GBS,setidaknya 50.000 orang di Amerika Serikat mengalami efek residual dari GBS. Lebih kurang 40% pasien yang diopname dengan GBS akan memerlukan rehabilitasi saat dirawat. Di Indonesia sendiri, angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,61,6 setiap 10.000-40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Mikail, 2012).



Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit GBS relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir ternyata jumlah kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan angka nasional negara Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan dengan kasus yang terjadi di negara ini, karena RSCM merupakan salah satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional. Berdasarkan fakta di atas perlu kita mengenal penyakit GBS secara lebih rinci.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda, sistem kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh. Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi, 2002). Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa (Judarwanto, 2009). Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem



kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post



Infectious



Polyneuritis,



Acute



Inflammatory



Demyelinating



Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. 2.2 Etiologi Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang



membutuhkan



perawatan



segera.



Sekitar



30%



penderita



membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara. Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.



Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 



Infeksi







Vaksinasi







Pembedahan







Diare







Peradangan saluran nafas atas







Kelelahan







Demam







Kehamilan/ dalam masa nifas







Penyakit sistematik: Keganasan systemic lupus erythematosus tiroiditis penyakit Addison



2.3 Patogenesis Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi. 2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi. 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada



pembuluh



darah



saraf



tepi



yang



menimbulkan



proses



demielinisasi saraf tepi. Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.



Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf. 2.4 Patofisiologi



Gambar 4.1. Bagan patofisiologi GBS (www.nature.com) Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada



GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya



sebagai



sel-sel



asing. Organisme



tersebut



kemudian



menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin. Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan



berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih. Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter). Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan



paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase progresif Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala. 2. Fase plateau Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot



dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan



dan



penyembuhan



spontan.



Sistem



imun



berhenti



memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi. 2.5 Manifestasi Klinis Umumnya pasien akan mengalami satu kali serangan, berlangsung selama beberapa minggu kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Kerusakan myelin menyebabkan gangguan fungsi saraf perifer yakni; motorik, sensorik dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan otototot pernapasan yang dapat menimbulkan kematian. 2.5.1 Gejala Klinis Gejala klinis GBS bervariasi. Kelemahan dan gangguan sensoris merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Biasanya bersifat progresif dimulai dari tungkai bawah dan bergerak naik, menyebabkan kesukaran dalam bergerak yang sering disebut kaki karet, kaki cenderung goyah dengan atau tanpa mati



rasa atau kesemutan sampai paralisis. Kelemahan bergerak ke atas sampai otot lengan dan wajah, biasanya selama beberapa jam sampai hari (24 – 72 jam). Seringkali, saraf kranial bawah terpengaruh, menyebabkan kelemahan bulbar (disfagia orofaringeal, yang meliputi sulit menelan, meneteskan air liur, dan



/



atau



kesulitan



mempertahankan



jalan



nafas



terbuka)



dan



ophthalmoplegia, yang dapat mempengaruhi otot-otot pernapasan sehingga menyebabkan gagal napas. Sebagian besar pasien memerlukan rawat inap, dan sekitar 30% memerlukan bantuan ventilasi mekanik (Pithadia, 2010). Gejala sensoris biasanya berbentuk kehilangan proprioceptiv (position sense) dan fibrosia (kehilangan refleks tendon dalam yang dalam), yang merupakan ciri penting GBS, termasuk juga nyeri, parastesia dan mati rasa. Rasa nyeri adalah gejala yang umum terjadi sering didapatkan akibat gangguan tulang belakang bagian bawah dan biasanya labih parah. Mati rasa dan parastesia dimulai dari bagian distal dan bergerak naik (asending) dijumpai bentuk yang sama dengan kelemahan motorik pada 80% kasus. Nyeri dapat hilang sendiri dibutuhkan hanya obat analgetik standar. Perubahan otonom dapat



mencakup



takikardia,



bradikardia,



flushing



wajah,



hipertensi



paroksismal, hipotensi ortostatik, anhidrosis dan atau diaphoresis. Dijumpai juga retensi urin dan ileus paralitik. Disfungsi usus dan kandung kemih jarang ditemukan pada gejala awal, tetapi dapat juga bertahan untuk periode waktu tertentu, terutama pada kasus yang parah, yang dijumpai pada dua pertiga kasus.6 Pasien GBS dengan meningitis, ensefalitis, pneumonia, septikemia, malaria berat, serta bronkitis, sering dijumpai SIADH (syndrome inappropriate anti diuretic hormone) karena defisit natrium atau kelebihan air akibat kelebihan cairan iatrogenik. Adanya penghambatan saluran Na



+



pada cairan



serebrospinal biasanya berhubungan dengan GBS akut. Na+ yang berlebihan hampir selalu bersifat iatrogenik. Koreksi cepat hiponatremia dapat menyebabkan terjadinya osmotic brain demyelination (Pithadia, 2010).



2.6 Diagnosis Kriteria diagnosis GBS pertama kali dilansir tahun 1981 dan dimodifikasi pada tahun 1990 oleh Asbury AK dan Comblath DR. Kemudian review yang ditulis olah Eposito S dan Longo MR pada tahun 2016, menyatakan bahwa kriteria diagnosis GBS berdasarkan pada gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada tabel 2 (Asbury, 1990 dan Eposito, 2016). Kriteria Diagnostik Sindroma Guillain-Barre Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis •



Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih



Arefleksia



Temuan klinis yang mendukung diagnosis : •



Gejala atau tanda sensorik ringan







Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya







Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti







Disfungsi otonom







Tidak adanya demam saat onset







Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu







Adanya tanda yang relatif simetris



Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis: •



Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel