Referat HHD HD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hypertensive Heard Disease : Hipertensi dan Manajemen Komplikasi Gagal Jantung



Penyebab dari Hypertensive Heart Disease adalah peningkatan tekanan darah yang terjadi secara kronik dengan berbagai penyebab. Hipertensi essensial merupakan penyebab utama dari seluruh kejadian hipertensi pada dewasa dengan prevalensi 90 %, dengan hipertensi sekunder mengambil peranan dalam 10 % kasus lainnya. Berdasarkan dari studi Framingham, hipertensi memegang peranan penting dalam seperempat kasus gagal jantung. Begitu pula populasi geriatrik, sebanyak 68 % kasus gagal jantung di pengaruhi oleh hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi, resiko gagal jantung meningkat sebanyak dua kali lipat pada laki-laki dan tiga kali lipat pada perempuan. Peningkatan tekanan darah yang kronik dan tak terkontrol dapat menyebabkan berbagai perubahan pada struktur myokardium, pembuluh darah koroner, dan jaringan konduksi dari jantung. Berbagai perubahan ini dapat memicu terjadinya hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, berbagai gangguan konduksi jantung, maupun disfungsi sistolik dan diastolic dari myokardium. Berbagai komplikasi ini dapat bermanifestasi sebagai suatu angina pektoris atau infark myocardium, berbagai bentuk arimia jantung ( khususnya atrial fibrilasi ), dan gagal jantung kongenstif. Dengan demikan, Hypertensive heart disease adalah sebuah istilah yang secara umum merujuk pada berbagai penyakit jantung, seperti hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, aritmia jantung, dan gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh efek peningkatan tekanan darah baik secara langsung maupun tak langsung. Walaupun berbagai kondisi di atas umumnya disebabkan sebagai respon terhadap peningkatan kronik tekanan darah, peningkatan tekanan darah yang terjadi akut dan bermakna juga dapat menimbulkan berbagai macam gejala yang berhubungan denga hipertensi kronik. Pada akhir tahun 1950an, sebelum adanya kemajuan pesat dari teknik pengobatan yang efektif terhadap hipertensi, gagal jantung merupakan penyebab utama kematian oleh karena hipertensi. Perkembangan dalam manajemen terhadap hipertensi telah menyebabkan pengurangan yang bermakna terhadap angka kematian akibat gagal jantung terkait hipertensi dan secara signifikan menunda onset dari gagal jantung. Namun, sampai saat ini, hipertensi masih merupakan penyebab utama dari gagal jantung dengan preserved systolic function dan sebaliknya, gagal jantung merupakan salah satu komplikasi utama dari hipertensi yang kronik dan tak terkontrol.



Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai nilai tekanan sistolik ≥140 mmHg dan atau nilai tekanan darah diastolik ≥90 mmHg, yang didasarkan pada bukti – bukti yuang didapatkan dari berbagai RCT yang menunjukkan nilai manfaat yang signifikan dari efek penurunan tekanan darah pada pasien – pasien dengan range tekanan darah tersebut. Klasifikasi yang sama juga berlaku pada subjek usia muda, usia menengah, dan usia tua.



Pada 90 % penderita hipertensi, penyebab dari peningkatan tekanan darah tidak dapat diketahui, kondisi ini dikenal dengan hipertensi primer atau esensial. Sementara itu, peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh sebab yang jelas atau suatu kondisi patologis tertentu dikenal dengan istilah hipertensi sekunder. Nilai tekanan darah bervariasi pada suatu populasi dan cenderung meningkat sesuai dengan umur. Resiko komplikasi vaskuler meningkat secara progresif dan linear dengan nilai tekanan darah yang lebih tinggi. Tekanan darah merupakan produk dari kardiak ouput dan total resistensi perifer, dimana kardiak output ditentukan pula oleh stroke volume dan frekuensi nadi. Stroke volume ditentukan oleha kontraktilitas kardial, venous return ( preload ), dan tahanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri untuk memompakan darah ke aorta (afetrload). Berdasarkankan konsep di atas, dapat ditarik kesimpulan setidaknya ada empat system yang secara langsung bertanggung jawab dalam pengaturan tekanan darah : jantung sebagai pengatur kerja pemompaan darah; tonus pembuluh darah, yang berpengaruh besar dalam menentukan resistensi sistemik; ginjal, yang mengatur volume intravaskuler; dan neurohormonal yang mempengaruhi fungsi dari tiga sistem sebelumnya. Peranan ginjal dalam pengaturan tekanan darah memerlukan sorotan khusus. Seberapapun tingginya kardiak output dan total resistensi perifer, ekskresi renal memiliki kemampuan untuk mengembalikan sepenuhnya tekananan darah ke nilai normal dengan mengurangi volume intravaskuler. Pada ginjal normal, Peningkatan tekanan darah akan menimbulkan peningkatan volume urine dan ekskresi natrium, yang akan mengembalikan tekanan darah ke normal. Proses ini dikenal dengan pressure natriuresis, yang mana proses ini kurang berjalan pada ginjal pasien hipertensi. Pada ginjal penderita hipertensi, tekanan darah yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume urine dan ekskresi natrium menjadi lebih tinggi. Berbagai bukti yang ada menunjukkan ada setidaknya dua hal yang bertanggung jawab terhadap fenomena ini. Pertama, injuri mikrovaskuler dan tubulointerstitial yang dialami ginjal penderita hipertensi yang menyebabkan gangguan ekskresi natrium. Kedua, adanya gangguan hormonal yang memiliki peranan kritikal pada reaksi ginjal terhadapt perubahan natrium dan volume intravaskuler, seperti sistem renin angiotensin (RAA System). Blood Pressure Refleks Sistem kardiovaskuler dilengkapi dengan feedback mekanisme yang secara berkelanjutan mengontrol tekanan arterial. Sistem feedback ini akan memonitor secara berkelanjutan tekanan dari arteri. Salah satu mekanisme yang berperan adalah refleks baroreseptor yang dimediasi oleh reseptor-reseptor pada dinding lengkung aorta dan sinus karotis. Baroreseptor memonitor perubahan tekanan dengan cara menilai peregangan dan deformasi dari arteri. Jika tekanan arteri meningkat, baroreseptor akan terstimulasi dan mengakibatkan peningkatan transmisi impuls nya ke sistem saraf pusat. Signal feedback negatif selanjutknya akan dikirim ke sistem sirkulasi melalui sistem saraf otonom yang berakhir pada penurunan tekanan darah ke level baseline nya. Semakin tinggi kenaikan tekanan darah, semakin banyak baroreseptor yang teregang dan semakin besar pula transmisi impuls ke medulla. Signal dari reseptor di sinus karotis akan dibawa oleh nervus glossopharyngeal, sedangkan signal dari lengkung aorta akan dibawa oleh nervus vagus. Serabut saraf dari beberapa nervus ini akan bersatu di traktus solitarius di



medulla, dimana akan menghambat sinyal dari sistem saraf simpatis dan memunculkan efek parasimpatis. Hasil akhirnya adalah, penurunan resistensi vaskular perifer (misal : vasodilatasi) dan penurunan kardiak output oleh karena penurunan detak jantung dan kekuatan dari kontraksi kardiak. Kedua mekanisem ini cenderung akan menurukan tekanan darah kembali ke nilai dasarnya. Sebaliknya, bila baroreseptor menilai adanya penurunan tekanan darah sistemik, maka intensitas sinyal yang ditransmisikan ke medulla akan berkurang, sehingga akan terjadi peningkatan dari tekanan darah. Efek utama dari mekanisme baroreseptor adalah untuk memodulasi variasi waktu ke waktu dari tekanan darah sistemik. Namun, baroreseptor refleks ini tidak terlibat dalam pengaturan jangka panjang dari tekanan darah dan tidak mencegah timbulnya hipertensi kronik. Hal ini terjadi oleh karena baroreseptor secara konstan akan mereset dirinya, dimana setelah beberapa hari terekspos dengan tekanan darah yang lebih tinggi dari nilai dasar tekanan darah, kecepatan pengiriman impuls baroreseptor akan otomatis kembali ke laju dasarnya. Variasi besarnya peranan dari sistem neurohormonal, renal, dan vaskuler yang saling berinteraksi akan mempengaruhi efek hemodynamik dari hipertensi. Mekanisme neural lain yang berpengaruh pada hipertensi adalah sistem persarafan ginjal. Saraf simpatis pada ginjal dapat menyebabkan vasokonstriksi renal, hipertrofi vaskuler, dan meningkatkan reabsorbsi air dan natrium dari ginjal melalui reseptor alfa1, dan menstimulasi rennin melalui reseptor beta-1. Pada dewasa muda, hipertensi primer berkaitan secara konsisten dengan peningkatan denyut jantung dan kardiak output, level norepinefrin pada plasma dan urin, kelebihan norepinefrin regional, kecepatan impuls saraf simpatik perifer postganglionik, dan tonus vasokonstriksi yang dimediasi oleh reseptor alfa adrenergic pada sirkulasi perifer. Overaktivitas simpatis terjadi pada awal hipertensi primer. Pada kondisi ini, dapat disebabkan oleh adanya deaktivasi dari input saraf inhibitorik (missal : baroreseptor), aktivasi dari input saraf eksitatorik (missal : chemoreseptor badan karotis dan saraf afferent renal ), atau angiotensin II yang ada pada sirkulasi, yang akan mengaktivasi pusat saraf eksitatorik di batang otak. Pada hipertensi, baroreseptor mereset dirinya untuk menyesuaikan dengan tekanan darah yang lebih tinggi. Kontrol barorefleks terhadap fungsi nodus sinus menjadi abnormal bahkan pada hipertensi ringan, namun kontrol barorefleks terhadap tahanan vaskuler sistemik dan tekanan darah tetap terjaga sampai adanya gangguan fungsi sistolik. Kegagalan baroreseptor total dapat menyebabkan hipertensi labil, paling sering dialami oleh pasien kanker tenggorokan sebagai komplikasi lanjut dari radioterapi. Disfungsi baroreseptor parsial umumnya terjadi pada pasien hipertensi usia lanjut dan umumnya memberikan manifestasi berupa hiportensi orthostatic, hipertensi supinasi, dan hipotensi postprandial simptomatik. Mekanisme utama dari ginjal dalam terjadinya hipertensi adalaha adanya defek dapatan atau bawaan dalam kemampuan ginjal untuk mengekskresikan kandungan natrium yang berlebih sebagai efek dari pola diet modern yang tinggi garam. Oleh karena manusia berkembang dalam lingkungan yang rendah natrium dan tinggi kalium, ginjal manusia kurang dapat beradaptasi dengan paparan tinggi natrium dan rendah kalium. Retensi natrium ginjal menyebabkan penambahan volume plasma, peningkatan kardiak output dan memicu respon autoregulatorik yang meningkatkan tahanan perifer vaskuler. Retensi garam juga meningkatkan kontraksi otot polos yang disebabkan oleh vasokonstriktor endogen. Selain meningkatkan tekanan darah, diet tinggi garam juga mempercepat kerusakan organ target terkait hipertensi.



Pada individu yang normotensif, peningkatan tekanan darah memicu timbulnya peningkatan segera dari ekskresi natrium di ginjal untuk mengurangi volume plasma dan mengembalikan tekanan darah ke normal. Pada hampir semua tipe hipertensi, kurva pressure – natriuresis bergeser ke kanan, dan pada salt-sensitive hipertensi, kecuraman kurva berkurang. Adanya pengaturan ulang dari kurva pressurenatriuresis mencegah kembalinya tekanan darah ke normal, sehingga keseimbangan cairan dapat dipertahankan namun dengan konsekuensi tekanan darah yang tinggi. Hal ini juga memicu terjadinya nokturia, salah satu gejala yang umum dan sangat mengganggu pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Penderita hipertensi mengekskresikan sejumlah yang sama kandungan natrium dietnya sepertihalnya orang yang normotensif, tetapi pada tekanan darah yang lebih tinggi, dan dalam waktu yang lebih lama hingga mencapai keseimbangan natrium. Perubahan pada struktur dan fungsi dari arteri baik yang besar maupun kecil memegang peranan penting dalam pathogenesis dan progresifitas dari hipertensi. Lapisan endotel dinding pembuluh darah merupakan komponen penting dalam mempertahankan fungsi vaskuler yang baik dan berperan sebagai pertahanan utama terhadap hipertensi. Lapisan endotel yang terganggu memiliki gangguan pelepasan faktor relaksasi (seperti nitric oxide) dan meningkatkan pelepasan faktor konstriksi, proinflamatorik, protrombotik, dan growth faktor. Lapisan endotel dari seluruh pembuluh darah mengekspresikan enzim nitric oxide sintase, yang dapat diaktifkan oleh bradikinin, asetilkolin, atau shear stress yang bersifat siklik dan laminar. Enzim nitric oxide sintase ini akan memacu pembentukan nitric oxide, suatu gas yang mudah menguap yang akan berdifusi ke otot polos terdekat dan mengaktifasi berbagai tipe G kinase yang akan menimbulkan vasodilatasi. Pada manusia, vasodilatasi yang bersifat endothelium dependent dapat dinilai dengan mengukur peningkatan diameter arteri besar setelah pemberian infus asetilkolin intra arterial atau setelah perbaikan dari suatu iskemia, atau setelah adanya peningkatan mendadak dari tekanan darah. Bukti yang didapatkan dari intervensi di atas menunjukkan adanya tanda peradangan vaskuler yang berpengaruh pada pembentukan dan keparahan komplikasi dari hipertensi. C-reaktif protein (CRP) merupakan suatu serum biomarker yang mudah diukur dan berfungsi sebagai bukti adanya peradangan. Beberapa bukti klinis telah menunjukkan hubungan antara CRP dan kejadian dan komplikasi dari hipertensi. Stres oksidatif juga berperan dalam menyebabkan disfungsi vasodilator dari sel endotel pada kasus hipertensi. Superoxide anion dan Reactive Oxygen Species (ROS) menghambat pembentukan nitric oxide, sehingga mengurangi bioavailibitasnya. Beberapa jalur yang memproduksi superoxide di arteri, antara lain : NADPH oxidase, yang diekspresikan di seluruh tipe sel vaskuler dan diaktivasi oleh angiotensin II yang beredar di sirkulasi; nitric oxide synthase, yang memproduksi superoxide hanya pada saat adanya defisiensi dari kofaktor tertentu (tetrahydrobiopterin) melalui suatu proses yang dikenal dengan nama nitric oxide syntase uncoupling; xanthine oxidase yang memproduksi asam urat; dan di mitokondria. Pembentukan ROS oleh xanthine oxidase menjelaskan hubungan antara hiperuricemia dan disfungsi endotel dan hipertensi. Seiring dengan waktu, disfungsi sel endotel, aktivasi neurohormonal, dan peningkatan tekanan darah menyebabkan remodeling dari pembuluh darah, yang semakin memperparah hipertensi. Peningkatan ketebalan relative tunika media terhadap diameter lumen merupakan ciri khas hipertensi remodeling



pada arteri kecil dan besar. Vasokonstriksi memulai proses remodeling pada arteri kecil yang akan menormalkan tekanan pada dinding pembuluh darah. Sel otot polos normal menyusun dirinya pada lumen yang diameternya telah mengecil, sebuah proses yang disebut inward eutrophic remodeling. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan rasio tunika media – lumen, namun area medial cross sectional tetap tidak berubah. Dengan mengurangi diameter lumen pada sirkulasi perifer, inward eutrophic remodeling menyebabkan terjadinya peningkatan tahanan vaskuler sistemik yang merupakan ciri khas hemodinamik dari hipertensi diastolik. Di sisi lain, proses remodeling yang terjadi pada arteri besar dicirikan oleh adanya ekspresi gen – gen hipertrofik, yang memicu peningkatan ketebalan tunika media dan ratio media – lumen. Bentuk hipertrofik remodeling seperti ini melibatkan adanyan peningkatan ukuran dari sel otot polos vaskuler dan akumulasi dari protein matriks ekstraseluler, seperti kolagen, oleh karena aktivasi dari TGF-B. Hasil akhirnya adalah kekakuan dinding arteri besar yang merupakan ciri khas hemodinamik dari isolated systemic hypertension. Terapi antihipertensi tidak dapat memberikan proteksi kardiovaskuler yang optimal tanpa mencegah atau membalikkan remodeling vaskuler dengan cara menormalkan beban hemodinamik, mengembalikan fungsi normal sel endotel, dan menghilangkan aktivasi neurohormonal yang melatarbelakangi. Hormonal Mechanisms Renin-Angiotensin-Aldosterone System Aktivasi dari renin-angiotensi-aldosterone system (RAAS) ada salah satu mekanisme yang paling penting dalam menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel, remodeling vaskulern dan hipertensi. Renin merupakan sejenis protease yang hanya dihasilkan oleh sel juxtaglomerulus ginjal, memecah angiotensinogen ke angiotensin I, yang nantinya akan di ubag menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme (ACE). ACE paling banyak terdapat di paru – paru namun juga tersedia juga di jantung dan sistemik vaskulatur (tissue ACE). Chymase, merupakan sejenis serine protease di jantung dan arteri sistemik, menyediakan jalur alternatif konversi angiotensin I ke angiotensin II. Interaksi yang terjadi antara angiotensin II dengan G protein – coupled AT1 receptor mengaktivasi sejumlah proses seluler yang berkonstribusi kepada hipertensi dan mengakselerasi kerusakan organ target oleh karena hipertensi, termasuk vasokonstriksi, pembentukan ROS, peradangan vaskuler, remodeling vaskuler dan kardiak, dan produksi aldosteron. Bukti klinis terkini semakin banyak yang menunjukkan bahwa aldosteron, angiotensin II, dan bahkan renin dan prorenin dapat mengaktivasi sejumlah jalur signaling yang dapat menyebabkan kerusakan vaskuler dan menyebabkan hipertensi. Aldosterone and Epithelial Sodium Channel Regulation Aktivasi dari RAAS merupakan mekanisme homeostasis utama untuk menghadapai hipovolemik hipotensi. Interaksi aldosteron dengan reseptor cytosolic mineralocorticoid pada sel tubulus kolektivus ginjal menyebabkan pengumpulan channel natrium dari sitosol ke permukaan epithelium ginjal. Channel natrium ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi dari natrium, sehingga meningkatkan kembali volume plasma. Sebaliknya, pola diet tinggi garam akan menimbulkan feedback inhibisi yang berkelanjutan terhadap RAAS. Supresi dari serum aldosteron yang terjadi akan memicu pengurangan dari channel natrium oleh endositosis dan meningkatkan ekskresi natrium ginjal, sehingga menyebabkan



pengurangan volume plasma sebagai suatu cara untuk mengatasi salt-sensitif hipertensi. Dengan demikian, pada kondisi diet tinggi natrium disertai tekanan darah yang meningkat, RAAS berada dalam kondisi terhambat secara total dan setiap aktivitasnya menjadi terganggu. Pada individu yang normotensif, resiko terjadinya hipertensi meningkat sejalan dengan peningkatan level serum aldosteron walaupun masih berada dalam range normal. Dengan menstimulasi reseptor mineralokortikoid di jantung dan ginjal, aldosterone yang beredar dapat berkonstribusi kepada terjadinya fibrosis pada jantung dan ginjala oleh karena hipertensi. Aldosteron juga dapat berkonstribusi terhadapt overaktivitas simpatis dengan cara menstimulasi reseptor mineralokortikoid di batang otak. Receptor-Mediated Actions of Angiotensin II Saat ini dikenal ada dua tipe reseptor angiotensin. Resepetor AT1 merupakan tipe yang banyak diekspresikan di vaskulatur, ginjal, adrenal, jantung, liver, dan otak. Aktivasi dari resepton angiotensin I menjelaskan sebagian besar aksi hipertensif dari angiotensin II. Disisi lain, reseptor AT2 terdistribusi secara luas di fetus, namun pada dewasa, reseptor ini terlokalisasi hanya medulla adrenal, uterus, ovarium, endotel vaskuler, dan regio otak tertentu. Pada tikus, aktivasi reseptor AT2 menyebabkan efek yang berlawanan dari efek merugikan yang ditimbulkan oleh reseptor AT1 dengan cara merangsang vasodilatasi melalui jalur bradikinin dan nitric oxide. Studi pada hewan telah menunjukkan bahwa reseptor AT2 dapat bersifat profibrotik, namun peranannya terhadap hipertensi pada manusia masih belum diketahui secara pasti. Insulin Resistance, Obesity, and the Metabolic Syndrome Berbagai penelitian terkini menunjukkan bahwa hormon insulin dapat memiliki peranan dalam terjadinya hipertensi esensial. Pada banyak penderita hipertensi, khususnya pada mereka yang obese atau dengan diabetes tipe 2, terjadi gangguan pada transport glukosa yang insulin dependen ke dalam berbagai jaringan tubuh atau dikenal dengan resistensi insulin. Sebagai hasilnya, terjadi peningkatan level glukosa serum, yang memicu pancreas untuk mengeluarkan tambahan insulin. Peningkatan kadar insulin dapat berkonstribusi terhadap kejadian hipertensi melalu peningkatan aktivasi simpatis atau melalui stimulasi hipertrofi otot polos pembuluh darah yang nantinya akan meningkatkan resistensi vaskuler. Hipertrofi sel otot polos dapat disebabkan oleh efek mitogenik langsung dari insulin atau melalui peningkatan sensitivitas terhadap platelet derived growth factor. Obesitas sendiri memiliki kaitan langsung dengan kejadian hipertensi. Beberapa penjelasan yang dapat menjelaskan hubungan tersebut termasuk pelepasan angiotensinogen dari adiposity, penambahan volume darah terkait peningkatan masa tubuh, dan peningkatan kekentalan darah yang disebabkan oleh adanya profibrinogen dan plasminogen activator inhibitor yang dilepaskan oleh adiposit. Kejadian epidemik obesitas yang terjadi saat ini telah menyebabkan adanya peningkatan yang dramatis dari jumlah penderita sindroma metabolic.



PATHOGENESIS OF HYPERTENSIVE HEART DISEASE



Hipertensi merupakan faktor resiko utama tidak hanya dari CAD namun juga terhadap hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung. Pada pasien hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri merupakan faktor predictor yang kuat terhadap morbiditas dan mortalitas, sebagai faktor predisposisi dari gagal jantung, aritmia ventrikel, stroke iskemik, atrial fibrilasi, dan stoke emboli. Kelainan structural dari jantung yang terkait hipertensi tidak hanya berupa hipertrofi dari myosit, namun juga mencakup hipertrofi medial dari arteri koroner intramyocardial dan deposisi kolagen yang berakhir pada fibrosis jantung. Perubahan ini merupakan hasil lagi overload tekanan dan aktivasi neurohormonal yang terjadi pada hipertensi. Pada hewan coba, angiotensi II, aldosteron, norepinefrin, dan prorenin mempercepat hipertrofi otot jantung yang terjadi oleh karena overload tekanan dan merangsang terjadinya fibrosis yang merupakan ciri khas dari hipertrofi ventrikel kiri yang patologis. Impaired Coronary Vasodilator Reserve Jantung penderita hipertensi yang telah mengalami hipertrofi memiliki aliran istirahat koroner yang normal, namun fungsi vasodilator menjadi terganggu ketika otot jantung berkontraksi dan mengganggu aliran darah. Bahkan dengan tidak adanya atherosclerosis, jantung penderita hipertensi memiliki kemampuan vasodilatasi yang berkurang atau hilang sama sekali, yang memicu terjadinya iskemia subendokarcial pada kondisi – kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen. Kombinasi dari iskemia subendokardial dan fibrosis jantung menyebabkan gangguan dari relaksasi pada saat diastole, yang menyebabkan adanya dispneu exertional dan gagal jantung dengan fungsi sistolik yang tetap baik. Heart Failure Sebelum adanya kemajuan dalam pengobatan efektif dari hipertensi di akhir tahun 1950, gagal jantung merupakan penyebab kematian utama dari hipertensi. Manajemen yang lebih baik telah secara nyata mengurangi jumlah kasus kematian yang terkait hipertensi oleh karena gagal jantung dan secara signifikan menunda onses dari gagal jantung. Namun, hipertensi tetap merupakan penyebab utama dari gagal jantung dengan fungsi sistolik baik. Sebagai tambahan, hipertensi secara tak langsung menyebabkan gagal jantung sistolik oleh karena peranannya sebagai faktor resiko mayor infark miokard. Apapun penyebab peningkatan tekanan darah, hasil akhir yang terjadi umumnya serupa. Hipertensi sendiri umumnya tidak bergejala, gejala dapat muncul setelah adanya efek yang merusak pada berbagai organ, khususnya pembuluh darah, jantung, ginjal, dan retina. Beberapa gejala yang dianggap sebagai gejala klasik hipertensi termasuk nyeri kepala, epistaksis, dan pusing (dizziness). Secara umum, kebanyakan penderita hipertensi bersifat asimptomatik dan diagnosis ditegakkan hanya berdasarkan pengukuran tekanan darah pada pemeriksaan fisik rutin. Beberapa temuan pemeriksaan fisik dari hipertensi termasuk pembesaran ventrikel kiri dan retinopati. Sebagai tambahan, hipertensi yang disertai dengan atherosclerosis dapat memunculkan arterial bruit, khususnya pada arteri karotis dan femoral.



Organ Damage Caused by Hypertension



Komplikasi target organ pada hipertensi mencerminkan derajat dari peningkatan kronik dari tekanan darah. Kerusakan organ tersebut dapat disebabkan oleh : peningkatan beban kerja dari jantung, kerusakan arterial yang disebabkan oleh efek kombinasi dari peningakatan tekanan darah dan proses atherosclerosis. Pengaruh utama hipertensi pada jantung terkait adanya peningkatan afterload dan proses atherosclerosis di dalan arteri koroner. TIngginya tekanan arterial (peningkatan afeterload) meningkatkan tekanan yang dialami oleh dinding ventrikel kiri, yang akan dikompensasi dengan hipertrofi. Pola normal dari kompensasi ini adalah berupa hipertrofi konsentris (tanpa dilatasi), namun, kondisi dimana tekanan darah meningkat disebabkan oleh peningkatan volume darah dapat menyebabkan hipertensi eksenterik yang disertasi dilatasi dari ruang jantung. Hipertrofi yang terjadi menyababkan peningkatan kekakuan dari ventrikel kiri yang disertai disfungsi diastolic, dimanifestasikan oleh peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang menyebabkan kongesti paru. Temuan pemeriksaan fisik dari pembesaran ventrikel kiri termasuk detak ventrikel kiri yang teraba jelas pada palpasi dinging dada, yang menandakan peningkatan masa ototnya. Hal ini biasanya disertai dengan adanya suara jantung empat. Pembesaran ventrikel kiri merupakan prediktor terkuat dari morbiditas kardiak dari pasien hipertensi. Derajat dari hipertrofi berkorelasi dengan perkembangan gagal jantung kongestif, angina, aritmia, infark miokard, dan kematian jantung mendadak. Walaupun hipertrofi pada awalnya berperan sebagai suatu mekanisme kompensasi, pada fase lanjut dari hipertensi sistemik, peningkatan masa otot ventrikel kiri ini akhirnya tidak mampu untuk mengimbangi tingginya tekanan yang dialami dinding ventrikel kiri. Hal ini akan berlanjut pada memburuknya kapasitas kontraktil dari ventrikel kiri dan timbulnya disfungsi sistolik. Disfungsi sistolik juga dipicu oleh percepatan perkembangan dari penyakit jantung koroner yang disertai periode iskemik miokard. Hypertensive heart disease merupakan kumpulan abnormalitas yang melingkupi hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi sistolik dan diastolic, dan berbagai manifestasi klinisnya seperti aritmia dan gagal jantung simptomatik. Paradigma klasik dari hypertensive heart disease adalah bahwa dinding ventrikel kiri menebal sebagai respons terhadap kenaikan tekanan darah sebagai suatu mekanisme kompensatorik untuk meminimalisir wall stress. Selanjutnya, setelah berbagai macam kejadian yang memperburuk kondisi tersebut (“transition to failure”), ventrikel kiri akan berdilatasi, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri akan menurun (disebut juga dilated cardiac failure). Perubahan patologis pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri yang terkait hipertensi terdiri atas peningkatan ukuran dari kadiomyosit, perubahan dalan matriks ekstraseluler dengan akumulasi dari fibrosis, dan abnormalitas vaskularisasi koroner intramiokardial termasuk medial hipertrofi dan perivascular fibrosis. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap progresifitas dari hipertrofi termasuk tidak hanya hasil dari respons terhadap stress mekanik dari peningkatan tekanan darah namun juga adanya keterlibatan neurohormon, growth factor, dan sitokin. Massa ventrikel kiri dapat bertambah baik dari penebalan dinding maupun dilatasi dari ruang ventrikel. Penebalan dinding ventrikel umumnya terjadi sebagai respon dari pressure overload, dan dilatasi ruaang sebagai respon terhadap volume overload. Untuk mengklasifikasikan kedua pola dari respons tersebut,



dapat digunakan echocardiografi untuk mengukur ratio ketebalan dinding ventrikel kiri terhadap diameter diastolikn (ketebalan dinding relative). Ketika ketebalan dinding relatif bertambah, hipertrofi diklasifikasikan sebagai konsentrik; ketika ketebalan dinding relatif tidak meningkat, hipertrofi diklasifikasikan sebagai eksentrik. Pola ketiga dikenal dengan istilah remodeling konsentrik, terjadi ketika ketebalan dinding relative meningkat, namun tidak dengan masa ventrikel kiri. Pasien hipertensi dapat mengalami salah satu pola hipertrofi di atas. Perubahan pada matriks ekstraseluler dicurigai sebagai mediator kritikal dari terjadinya pelebaran ruang ventrikel kiri. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa penderita dilated heart failure memiliki jumlah kolagen yang lebih sedikit di sekitar myosit nya, jumlah perivascular and scar related collagen yang lebih tinggi, dan rasio matrix metalloproteinase-1 terhadap MMP-1 tissue inhibitor yang lebih tinggi. Masih belum dapat dijelaskan dengan pasti penyebab adanya perbedaan respon pola hipertrofi ventrikel kiri pada pasien hipertensi. Beberapa faktor yang paling dicurigai adalah volume overload, pressure overload dan disfungsi kontraktilitas. Perbedaan pola hipertrofi yang terjadi pada pasien hipertensi akan menimbulkan perbedaan pada peningkatan tekanan darah dan efek yang ditimbulkannya. Individu dengan hipertrofi konsentrik dibandingkan eksentrik akan memiliki tekanan darah sistolik dan total tahanan perifer yang lebih tinggi. Selain faktor di atas, beberapa faktor lain yang berpengaruh antara lain : faktor demografi (ras, jenis kelamin, dll), kondisi medis lain yang menyertai (DM, obesitas dan CAD), variasi dalam aktivasi neurohormonal, dan faktor genetik. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menjelaskan hubungan antara semua faktor di atas dengan variabilitas dari respon hipertrofi yang terjadi pada penderita hipertensi. Perjalanan hipertensi menjadi hipertrofi ventrikel kiri yang konsentrik tidak bersifat unidireksional. Dengan adanya kotrol farmakologis dari tekanan darah, massa ventrikel kiri dapat berkurang dan berhubungan dengan penurunan resiko dari even klinis seperti kematian kardiovaskular, infark miokard, dan stroke. Namun, besarnya manfaat klinis yang didapat dari kontrol tekanan darah ini dibandingkan dengan kontrol tekanan darah konvensional masih belum dapat dijelaskan secara pasti. Paradigma klasik dari progresifitas dari hipertensi menjadi hipertrofi konsentrik dan kemudian menjadi dilated cardiac failure telah dapat dibuktikan pada hewan coba, namun data terkini menunjukkan beberapa hal berbeda. Pertama, pada hewan coba yang diberikan overload tekanan, hipertrofi konsentrik yang terjadi untuk menormalkan stress diniding tidak harus ada untuk mencegah dilated cardiac failure. Sehingga membuka peluang untuk menjadikan jalur hipertrofi sebagai target terapi untuk mencegah hypertensive heart disease. Kedua, progresi dari hipertrofi konsentrik menjadi dilated cardiac failure tanpa adanya infark miokard yang terjadi di masa transisi meupakan jalur yang tidak lazim. Ketiga, penderita hipertensi dapat langsung mengalami dilated cardiac failure tanpa mengalami infark miokard sebelumnya maupun hipertrofi konsentrik. Namun, frekuensi kejadiannya dan faktor-faktor yang memicu masih belum diketahui secara pasti. Seperti yang dibahas sebelumnya, gagal jantung yang terjadi pada pasien hipertensi dapat berupa gagal jantung dengan ejeksi fraksi berkurang atau dengan ejeksi fraksi tetap. Salah satu faktor yang berhubungan dengan gagal jantung pada individu dengan hipertrofi ventrikel kiri dan normal fraksi ejeksi



adalah perubahan progresif dari matriks ekstraseluluer. Berdasarkan hasil uji klinis, beberapa faktor yang berhubungan antara lain : aktivasi reseptor mineralokortikoid yang behubungan dengan progresif fibrosis kardiak dan peningkatan kekakuan ventrikel kiri, rasio MMP-1 dan MMP-1 tissue inhibitor pada serum yang berkorelasi dengan akumulasi kolagen, dan kandungan MMP-2, MMP-9, dan amino peptide of procollagen type 3 pada serum. Komponen kunci lainnya adalah peningkatan dari left ventrikel (LV) filling pressure.