REFERAT Hiperbilirubinemia Pada Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU. Haji Medan



Pembimbing : dr. Syarifah Mahlisa Soraya Sp.A Disusun Oleh : Mohamad Rheza Firmansyah Zamzami (20360043) KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusuran Referat referat ini dengan judul “Hiperbilirubinemia Pada Neonatus”. Penyelesaian referat ini banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Syarifah Mahlisa Soraya Sp.A selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan Referat ini. Penulis menyadari bahwa Referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan karena kebatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga Referat ini dapat memberikan manfaat.



Bogor,18 Agustus 2020



Penulis



BAB I PENDAHULUAN Kuning pada bayi baru lahir atau dikenal dengan istilah ikterus neonatorum adalah perubahan warna kekuningan pada kulit dan / atau sklera pada neonatus yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin ( Ali, 2012). Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir. Ikterus terjadi ketika bilirubin disimpan di dalam jaringan subkutan dan terlihat ketika tingkat serum bilirubin melebihi enam mg/dL (Mansjoer, 2000). Ikterus disebabkan oleh proses normal terjadi pada 25% sampai 50% dari semua bayi yang baru lahir cukup bulan yang sehat (Deslidel, 2012). Peningkatan kadar bilirubin lebih sering terjadi pada bayi kurang dari 38 minggu masa gestasi (American Academy of Pediatrics, 2004). Kejadian hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sekitar 60-70%, bahkan pada bayi kurang bulan (BKB)/bayi berat lahir rendah (BBLR) jauh lebih tinggi. Lebih dari 85% BCB yang dirawat kembali dalam minggu pertama kehidupan karena hiperbilirubinemia neonatal tersebut. Walaupun hiperbilirubinemia pada neonatus kejadiannya tinggi, tetapi hanya sebagian kecil yang bersifat patologis yang mengancam kelangsungan hidup neonatus tersebut baik akibat peninggian bilirubin indirek (hiperbilirubinemia ensefalopati) maupun hiperbilirubinemia direk akibat hepatitis neonatal ataupun atresia biliaris.



1.2 Tujuan Referat Adapun tujuan dari penulisan referat ini untuk memahami mengenai kelainan hiperbilirubinemia pada neonatus dan sebagai salah satu pemenuhan tugas kepaniteraan anak Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.



1.3 Manfaat 1.



Menambah pengetahuan mengenai kelainan hiperbilirubinemia pada neonatus



2.



Mengetahui tatalaksana pada neonatus dengan kelainan hiperbilirubinemia



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definsi Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungktiva, dan mukosa yang diakibatkan penumpukan bilirubin , sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus kearah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin jika kadar bilirubin tidak dikendalikan. (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan nonfisiologik. Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009). Ikterus terjadi ketika bilirubin disimpan di dalam jaringan subkutan dan terlihat ketika tingkat serum bilirubin melebihi enam mg/dL (Mansjoer, 2000). Ikterus disebabkan oleh proses normal terjadi pada 25% sampai 50% dari semua bayi yang baru lahir cukup bulan yang sehat (Deslidel, 2012). Peningkatan kadar bilirubin lebih sering terjadi pada bayi kurang dari 38 minggu masa gestasi (American Academy of Pediatrics, 2004). Bilirubin adalah produk samping pemecahan protein yang mengandung heme dalam sel darah merah pada sistem retikuloendotelial yang terbagi menjadi dua bentuk yaitu bilirubin tak terkonjugasi dan terkonjugasi (Haws, 2007). Heme merupakan hasil hemolisis eritrosit dan protein heme lainnya seperti sitokrom, mioglobin, peroksidase dan katalase. Usia hidup



eritrosit pada neonatus lebih pendek berkisar 80-90 hari dibandingkan orang dewasa yaitu 120 hari, sehingga bilirubin diproduksi dua kali lebih tinggi pada neonatus (Klaus, 1993). Proses metabolisme bilirubin terdiri dari produksi, transpotasi, konjugasi dan ekskresi, dimana sebagian besar produksi bilirubin berasal dari eritrosit yang rusak. Heme dikonversi menjadi bilirubin tak terkonjugasi kemudian berikatan dengan albumin dan dibawa ke hati kemudian dikonjugasi oleh asam glukuronat pada reaksi yang dikatalisasi oleh glukuronil transferase. Bilirubin terkonjugasi disekresikan ke traktus bilier untuk diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya bebas dari bakteri, pembentukan sterkobilin tidak terjadi, namun usus bayi mengandung banyak beta glukuronidase yang menghidrolisis bilirubin glukoronid menjadi bilirubin indirek dan akan direabsorpsi kembali melalui siklus enterohepatik ke aliran darah (Mansjoer, 2000).



2.2. Epidemiologi Kejadian ikterus neonatorum menjadi penyebab yang paling banyak terjadi pada kelahiran neonatal. 30-50% bayi baru lahir mengalami ikterus neonatorum. Ikterus neonatorum terjadi 3-5 hari setelah kelahiran (Viswanath, Menon, Phabhuji, Kailasam, & Kumar, 2013). Ikterus neonatorum pada bayi saat lahir biasa terjadi saat 25-50% neonatus yang sudah cukup bulan dan sangat meninggi lagi untuk neonatus belum cukup bulan (Vivian, 2010). Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai 50% bayi cukup bulan dan kejadian ikterus neonatorum pada bayi kurang bulan (premature) mencapai 58%. Rumah Sakit Dr. Sarditjo melaporkan kejadian ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan



sebanyak 85% yang mana memiliki kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dl. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang melaporkan bahwa insiden ikterus fisiologis paling sering terjadi jika dibandingkan ikterus patologis dengan angka kematian terkait hiperbilirubin sebesar 13,10%. Insiden ikterus neonatorum di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya sebesar 13% dan 30% (Hafizah & Imelda, 2013). Penelitian di RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung oleh Putri & Rositawati (2016) angka kejadian bayi ikterus neonaotum tahun 2013 yaitu 4,77%. Angka kejadian ikterus neonatorum tahun 2014 yaitu 11,87%.



2.3. Etiologi Etiologi ikterus secara garis besar meliputi produksi bilirubin yang berlebihan serta gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit. ( Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Etiologi berdasarkan jenis bilirubin dibagi kedalam dua bagian , etiologi hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang sering ditemukan ialah: ikterus fisiologis, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas. Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom LuceyDriscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipotiroid, dan hemoglobinopati. Etiologi hiperbilirubinemia terkonjugasi yang paling sering ialah infeksi CMV, TORCH, hepatitis neonatal, sepsis. Sedangkan yang jarang terjadi meliputi gangguan



metabolisme ( galaktosemia, tyrosinemia), cystic fibrosis, atresia biliar, kista choledochal, sindrom alagille, penyakit kandung empedu).



2.4 Klasifikasi Ikterus 2.1



Klasifikasi Ikterus Neonatorum



1.



Ikterus Fisiologis Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena berikut:



a. Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (kadar hemoglobin/ Hb neonatus cukup bulan sekitar 16,8 gr/dl). b. Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan protein pengikat di hepatosit (rendahnya ambilan) dan karena aktivitas yang rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga bilirubin menjadi larut dalam air (konjugasi). c. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada ambilan nutrisi.



Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat



pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus fisiologis adalah sebagai berikut: a. Timbul pada hari kedua – ketiga. b. Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg % e. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari. f. Tidak mempunyai dasar patologis. Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-7.



2.



Ikterus Patologis Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang



dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain: a.



Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.



b.



Bilirubin



indirek



untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL. c.



Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.



d.



Kadar



bilirubin



direk > 2 mg/dL. e.



Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)



f.



Ikterus yang disertai oleh: berat lahir 8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada prematur). Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak



selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD.



2.5 Manifestasi Klinis Menurut PPNI (2017) adapun gejala dan tanda mayor pada ikterik neonatus yaitu:



a. Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total >2mg/dL, bilirubin serum total pada rentang risiko tinggi menurut usia pada normogram spesifik waktu) b. Membran mukosa kuning c. Kulit kuning d. Sklera kuning Sedangkan menurut Arief & Weni (2009) tanda dan gejala ikterik neonatus sebagai berikut: a. Ikterus fisiologis 1) Timbul pada hari kedua dan ketiga 2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan 3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% per hari 4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg% 5) Ikterus menghilang pada minggu pertama, selambat-lambatnya 10 hari pertama setelah lahir 6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis b. Ikterus patologis 1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama 2) Kadar bilirubin serum melebihi 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan 3) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari 4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama



5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg% 6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik



2.6 Patofisiologi Ikterus Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata



tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.



2.7 Diagnosis 1. Anamnesis Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi: 1. Onset ikterus. 2. Usia gestasi 3. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin) 4. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa. 5. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur. 6. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi 7. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi tukar pada bayi sebelumnya 8. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal) 9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek 10. Gejala-gejala kernikterus



2. Pemeriksaan Fisik Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.



Pemeriksaan fisik penting yang menunjang diagnosis meliputi: 1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis, status hidrasi. 2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry. 3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik. 4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali. 5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.



1



4



2



3



4



5



4



Gambar 1 Derajat Ikterus Neonatal Menurut Kramer



Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: 1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg%) 2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%) 3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg%) 4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%) 5. Kramer V pada telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)



3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin. Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL ( 72 > 2 Minggu



15-18 18-20 20 Transfusi tukar



Fototerapi & persiapan Transfusi tukar jika transfusi tukar 25 30 30 Transfusi tukar



fototerapi gagal 20 25 25 Transfusi tukar



Fototerapi Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.



Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru



mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.



Gambar 2 Prinsip Fototerapi.



Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi. Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan



lumirubin yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air merupakan prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Faktor yang menentukan pembentukan lumirubin antara lain: spektrum dan jumlah dosis cahaya yang diberikan Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar. Fototerapi (penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan (feeding on demand) dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal. Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar. Pelaksanaan pemberian terapi sinar dan yang perlu diperhatikan (Ladewig, 2006) antara lain: 1. Letakkan bayi tanpa mengenakan pakaian di bawah sinar fototerapi, kecuali untuk menutupi alat kelamin, untuk memaksimalkan pajanan terhadap sinar. 2.



Tutup mata bayi saat disinar



3. Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam. 4.



Pantau asupan dan keluaran setiap 8 jam



5.



Berikan asupan cairan 25% diatas kebutuhan cairan normal. Untuk memenuhi peningkatan kehilangan cairan yang tidak tampak mata serta pada feces.



6. Reposisi bayi sedikitnya setiap 2 jam. 7. Matikan sinar terapi saat orang tua berkunjung dan memberikan ASI.



8. pantau panjang gelombang sinar fototerapi menggunakan bilimeter, setiap penggantian sorotan cahaya ke area mata yang lain. Pantau kadar bilirubin setiap 8 jam selama 1 hingga 2 hari pertama atau setiap pemberian sesuai dengan protokol institusi setelah penghentian fototerapi. 2.



Terapi sinar  konvensional dan intensif Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif.



Terapi sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Sedangkan fototerapi intensif menggunakan intensitas penyinaran >12 μW/cm2/nm dengan area paparan maksimal Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar  standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit. Tabel 3 Komplikasi Terapi Sinar Kelainan Bronze baby syndrome Diare Hemolisis Dehidrasi



Mekanisme yang mungkin terjadi Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin Bilirubin indirek menghambat lactase Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit Bertambahnya Insensible Water Loss (30-



Ruam kulit



3.



100%) karena menyerap energi foton Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamine



Transfusi tukar Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang



dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin. Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan keseimbangan elektrolit, graftversus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut:



a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir c. Gagal fototerapi intensif d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama f. Hemoglobin < 12 gr/dl g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar bilirubin berapapun. Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan prosedur fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi penggunaannya. Transfusi pengganti digunakan untuk: 1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi. 2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi 3. Menghilangkan serum bilirubin 4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang terikat albumin. Prosedur pelaksanaan pemberian transfusi tukar antara lain : a) Bayi ditidurkan rata diatas meja dengan fiksasi longgar. b) Pasang monitor jantung, alarm jantung diatur diluar batas 100 –180 kali / menit. c) Masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis



d) Melalui kateter, darah bayi dihisap sebanyak 20 cc dimasukkna ke dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi 28 diambil lagi sebanyk 20 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukkan darah pengganti dengan jumlah yang sama, demikian siklus pengganti tersebut diulang sampai selesai. e) Kecepatan menghisap dan memasukkan darah ke dalam tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar berkisar 140 –180 cc/ kg BB tergantung pada tinggi kadar bilirubin sebelum transfusi tukar (Prawirohardjo, 2005). Hal-hal yang perlu diperhatikan selama transfusi tukar : a) Neonatus harus dipasangi alat monitor kardio-respirasi b) Tekanan darah neonatus harus terus dipantau c) Neonatus dipuasakan bila perlu dipasang selang nasogastrik d) Neonatus dipasang infus e) Suhu tubuh dipantau dan dijaga dalam batas normal f) Disediakan peralatan resusitasi (Surasmi, 2003).



Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar 1.



Darah yang digunakan harus golongan O.



2.



Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.



3.



Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.



4.



Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.



5.



Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.



6.



Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap plasma dan eritrosit bayi.



7.



Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu sekitar 160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80 ml/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.



8.



Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique. Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.



9.



Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.



10.



Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.



11.



Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O rhesus positif.



12.



Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.



Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: -          Emboli, trombosis -          Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia -          Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin -          Perforasi pembuluh darah Komplikasi tranfusi tukar -          Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis -          Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung -          Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis -          Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih -          Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan -          Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia. 4.



Terapi farmakologis Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan



konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-transferase, tetapi



penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada neonatus karena: a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian. b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin. c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan. d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi. Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari fungus. Indikasi untuk merujuk ke RS 



Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan







Ikterus hingga di bawah umbilikus







Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena kemungkinan membutuhkan transfusi tukar.







Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus







Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik







Ikterus memanjang > 14 hari.



2.9



Pencegahan



Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin. Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian ASI yang sering atau asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar bilirubin serum pada bayi yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan dengan air atau dekstrosa dapat mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bilirubin. Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin dan meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah diujikan. Pada sebuah penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi secara signifikan dapat menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam. Cholestyramine yang digunakan untuk terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan



ekskresi bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di dalam intestinal dan membentuk suatu kompleks yang tidak dapat diabsorbsi. Inhibisi produksi bilirubin Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi inhibitor kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat lahir 15002500 gram, dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6 μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam pertama kelahiran dapat menurunkan kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan konsentrasi puncak bilirubin serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah eritema sementara akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin saat ini belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir. Pencegahan ensefalopati bilirubin Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah ensefalopati, karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 – 7,55) dapat diperoleh dengan infus bikarbonat atau dengan menggunakan strategi ventilator untuk menurunkan tekanan parsial karbon dioksida sehingga pH meningkat.



2.10



Komplikasi Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan



kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta  mengganggu sintesis DNA. 



Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf. Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan. Komplikasi ikterus neonatorum adalah Ensefalopati bilirubin atau kernikterus, yaitu ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan benar dan dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebellum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya. Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar



albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin. Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.



BAB III KESIMPULAN



Ikterus neonatorum adalah perubahan warna kekuningan pada kulit dan / atau sklera pada neonatus yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin ( Ali, 2012). Walaupun hiperbilirubinemia pada neonatus kejadiannya tinggi, tetapi hanya sebagian kecil yang bersifat patologis yang mengancam kelangsungan hidup neonatus tersebut baik akibat peninggian bilirubin indirek (hiperbilirubinemia ensefalopati) maupun hiperbilirubinemia direk akibat hepatitis neonatal ataupun atresia biliaris. Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatic Tujuan



utama



dalam



penatalaksanaan



ikterus



neonatorum



adalah



untuk



mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern ikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Pemberian fototerapi, dan jika tidak berhasil dilanjut dengan transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi



enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.



DAFTAR PUSTAKA



American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hiperbilirubinemia.2004. The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics; 2004. David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Agustus 2015] Available fromhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm Depkes RI, 2001. MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI:Jakarta. Ennery P, Eidman A, Tevenson D.2001.



Neonatal Hiperbilirubinemia. New England



Journal of Medicine. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. 2004. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo Surabaya. Gartner, Lawrence M. 1994. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review. Hansen, Thor W.R. 2010. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews: Newyork. Hassan R,2007. Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. FKUI:Jakarta. IDAI, 2008. Hiperbilirubinemia. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. IDAI: Jakarta. Kliegman, Robert M, 2015. Nelson Textbook Of Pediatrics. 19ThEdition. Saunders: Philadelphia. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F 2008. .Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England Journal of Medicine.



Reisa Maulidya Tazami, Mustarim, Shalahudden Syah. Gambaran Faktor Risiko Ikterus Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2013. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi. Ritarwan, Kiking, 2011. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam Malik. USU digital librar: Sumatra Utara.