Referat LMN New [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dari area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. Sedangkan lower motor neuron (LMN), merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak atau yang keluar dari cornu anterior medulla spinallis yang kemudiannya pergi ke otot.1 Impuls motorik untuk gerakan volunteer terutama dicetuskan di girus presentralis lobus frontalis (korteks motorik primer, area 4 Brodman) dan area kortikal di sekitarnya (neuron motorik pertama). Impuls tersebut berjalan di dalam jaras serabut yang panjang (terutama traktur kortikonuklearis dan traktus kortikospinalis/jaras pyramidal), melewati batang otak dan turun ke medulla spinalis ke kornu anterius, tempat mereka membentuk kontak sinaptik dengan neuron motorik kedua- biasanya melewati satu atau beberapa interneuron perantara.



Gambar 1 : Hubungan dari korteks serebri hingga otot1 Serabut saraf yang muncul dari area 4 dan area kortikal yang berdekatan bersamasama membentuk traktus piramidalis, yang merupakan hubungan yang paling langsung dan tercepat antara area motorik primer dan neuron motorik di kornu anterius. Selain itu, area kortikal lain (terutama korteks premotorik, area 6) dan nuclei subkotikalis (terutama ganglia 1



basalia) berpartisipasi dalam control neuron gerakan. Area-area tersebut membentuk lengkung umpan balik yang kompleks satu dengan lainnya dan dengan korteks primer dan serebelum; struktur ini mempengaruhi sel-sel di kornu anterius medulla spinalis melalui beberapa jaras yang berbeda di medulla spinalis. Fungsinya terutama untuk memodulasi gerakan dan untuk mengatur tonus otot. Impuls yang terbentuk di neuron motorik kedua pada nuclei nervi kranialis dan kornu anterius medulla spinalis berjalan melewati radiks anterior, pleksus saraf (diregio servikal dan lumbosakral) serta saraf perifer dalam perjalanannya ke otot-otot rangka. Impuls dihantarkan ke sel-sel otot melalui motor end plate taut neuromuscular. Lesi pada neuron motorik pertama di otak dan medulla spinalis biasanya menimbulkan paresis spastic, sedangkan lesi neuron motorik orde kedua di kornu anterius, radiks anterior, saraf perifer, atau motor end plate biasanya menyebabkan paresis falsid. Deficit motorik akibat lesi pada system saraf jarang terlihat sendiri-sendiri; biasanya disertai oleh berbagai defisit sensorik , otonomik, kognitif, dan/atau defisit neuropsikologis dalam berbagai bentuk, tergantung pada lokasi dan sifat lesi penyebabnya. Kelumpuhan tipe LMN mempunyai ciri-ciri seperti flasid , atoni, atrofi, fasikulasi, reflex fisiologis menurun namun tidak ditemukan reflex patologis. Berikut merupakan perbandingan anatara ciri-ciri kelumpuhan tipe LMN dan tipe UMN.1



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu : 1.Sistem saraf pusat (sentral), terbagi atas: a) Otak b) Sumsum tulang belakang(medula spinalis) 2.Sistem saraf perifer (tepi) terdiri atas:1 a) Divisi Aferen, membawa informasi ke SSP (memberitahu SSP mengenai lingkungan eksternal dan aktivitas-aktivitas internal yg diatur oleh SSP b) Divisi Eferen, informasi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke organ efektor (otot atau kelenjar yg melaksanakan perintah untuk menimbulkan efek yg diinginkan), terbagi atas: i.



Sistem saraf somatik, yg terdiri dari serat-serat neuron motorik yg mempersarafi otot-otot rangka



ii.



Sistem saraf otonom, yg mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar, terbagi atas : a.



Sistem saraf simpatis



b.



Sistem saraf Parasimpatis



 Susunan Saraf Pusat Sistem saraf pusat terdiri dari Otak (encephalon; brain) tersusun atas cerebrum dan cerebellum; Batang Otak yang terdiri dari mesencephalon, pons, medulla oblongata; dan Sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas 3



berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Area bicara motorik Broca terletak pada gyrus frontalis inferior di antara ramus ascendens anterior dan ramus ascendens posterior fissure lateralis (area Broadman 44 dan 45). Area ini penting di hemisphere bagian kiri atau hemisphere dominan dan ablasio akan menimbulkan paralisis fungsi bicara. Area bicara Broca membentuk kata-kata melalui hubungannya dengan area motorik primer yang ada di dekatnya; otot-otot laring, mulut, lidah, palatum molle, dan otot-otot pernapasan distimulasi sesuai kebutuhan. Cerebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.1



Gambar 2 : Perjalanan Impuls Motorik1  Pusat Motoris Dan Sensoris Pada corteks cerebral terdapat beberapa daerah : Korteks serebral mengandung 3 jenis fungsional area yaitu motor area, sensori area, dan asosiasi area. Neuron motoris dan neuron sensoris terdapat pada motoris area dan sensoris area pada korteks serebri. Semua neuron pada korteks serebri merupakan inter neuron. Setiap hemisfer terdapat fungsi motoris dan sensoris yang berlawanan pada sisi tubuh (kontralateral).



4



Sekalipun sebagian besar struktur pada 2 hemisfer kanan dan kiri simetris, tetapi tidak ada fungsi yang sama. Masing – masing memiliki spesialisasi fungsi kortikal. Yang sangat penting yang harus kita ingat tidak ada fungsi area pada korteks serebri yang bekerja sendirian.  Area Motoris Motoris area pada korteks serebri, dengan gerakan volunter yang terkontrol yang terdapat pada lobus frontalis terdiri dari motor korteks primer, premotor korteks, area broca, frontal eye field.  Area Sensoris Terdapat pada korteks serebri yaitu pada lobus parietal, insular, temporal,dan occipital. Terdiri dari korteks primer somatosensoris, korteks asosiasi somatosensoris, area visual, area auditory, korteks olfaktori, korteks gustatory, area sensori visual, korteks vestibuler. 



Definisi Lower Motor Neuron2 Lower Motor Neuron (LMN) merupakan neuron motorik yang menghubungkan antara



batang otak/medula spinalis (melalui kornu anterior) dengan neuromuscular junction (NMJ), yang membawa impuls dari Upper Motor Neuron (UMN) dengan sel otot sebagai efektornya. Motor neuron penyakit (seperti namanya) melibatkan motor neuron, yang ada dua jenis: upper motor neurone dan lower motor neuron. Upper motor Neuron memiliki sel tubuh pada korteks motor (di otak) dan mengirim akson proyeksi ke tulang sedangkan lower motor neurones memiliki sel tubuh dalam sumsum tulang dan akson proyeksi yang berhubungan dengan otot-otot di berbagai bagian tubuh. Jika upper motor neuron atas menjadi aktif, itu mengirimkan



sinyal



ke



bawah



yang



akson,



yang



menyebabkan



pembebasan



neurotransmiter. Neurotransmiter ini menyebabkan lower motor neurone yang lebih rendah yang terhubung untuk menjadi aktif dan, pada gilirannya, mengirim sinyal ke bawah yang akson. Ini kemudian menyebabkan pembebasan neurotransmiter berbeda, yang dirilis ke jaringan otot, menyebabkan otot berkontraksi. Reaksi berantai ini membolehkan manusia ada mampu bergerak.



5



Gambar 4 : Perjalanan UMN dan LMN1 



Gambaran Klinis



Lesi Lower Motor Neuron menpunyai tanda – tanda sebagai berikut : 1. Paralisis flaksid otot yang disuplai. 2. Atrofi otot yang disuplai. 3. Kehilangan reflek otot yang disuplai. 4. Vasikulasi



muskuler. Keadaan ini



merupakan



twitching otot



yang hanya terlihat jika terdapat kerusakan yang lambat dari sel 5. Kontraktur muskuler. Ini adalah pemendekan otot yang mengalami paralise, lebih sering terjadi pada otot antagonis, dimana kerjanya tidak lagi dilawan oleh otot yang mengalami paralise. 3



6



Gambar 1: Pembagian kelumpuhan LMN adalah menurut letaknya2



Lidah biasanya dikenai secara simetris, gerakannya melambat, dijumpai fasikulasi dan atrofi. Bila spastisitas dan parese berlanjut bisa terjadi disfagia. Gangguan sensoris biasanya tidak dijumpai pada MND , tetapi kadang-kadang bisa dijumpai parestesia, perasaan dingin dan perasaan tebal (numbness) 1,3 Jarang dijumpai adanya gangguan miksi dan defekasi, kecuali terjadi paralise yang berat dari otot-otot skelet yang melibatkan otot-otot gluteus dan daerah sakral. Hal ini karena nukleus Onuf yang terdapat di anterior horn safar spinal S 2 dan S3 relatif resisten terhadap denervasi yang terjadi pada MND 3 Fungsi otonom umurnnya normal. Penderita MND tidak mengalami dekubitus sekalipun pada tahap lanjut karena fungsi sensorik dan regulasi otonom dari aliran darah kulit berjalan baik. Demensia bisa ditemukan pada 3-5% penderita MND tetapi tipenya berbeda dengan dernensia tipe Alzheimer dan biasanya menunjukan demensia lobus frontalis1,3 Lower motor neuron weakness (LMN) Flaccid Decreased tone



Upper motor neuron weakness (UMN) Spasticity Increased tone 7



Decreased muscle stretch reflexes Increased muscle stretch reflexes Profound muscle atrophy Minimal muscle atrophy Fasciculations present Fasciculations absent Pathologic reflexes (-) Pathologic reflexes (+) Table 1: perbedaan antara UMN dan LMN1 



Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Yang terpenting untuk menegakkan diagnosa Motor Neuron Disease (MND) adalah



diagnosa klinis



3,4



Karena belum ada pemeriksaan khusus untuk MND, maka diagnosa pasti



baru dapat diketahui pada otopsi post-mortem dengan memeriksa otak ,medulla spinalis dan otot penderita. Gejala utama yang menyokong diagnosa adalah adanya tanda-tanda gangguan UMN dan LMN pada daerah distribusi saraf spinal tanpa gangguan sensoris dan biasanya dijumpai fasikulasi spontan. Gambaran khasnya berupa kombinasi tanda-tanda UMN dan LMN pada ekstremitas dengan adanya fasikulasi lidah 3 Implikasi dari penegakan diagnosa MND adalah bahwa kita menegakkan adanya suatu penyakit yang akan berkembang terus menuju kematian. Jadi penting sekali untuk menegakkan diagnosa secara teliti dengan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain dengan melakukan pemeriksaan yang lengkap dan sesuai. Pemeriksaan elektrofisiologis, radiologis,



biokimiawi,



imunologi



dan



histopatologi



mungkin



diperlukan



untuk



menyingkirkan penyakit lainnya. Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menegakkan .diagnosa MND 3 .Rekaman EMG menunjukkan adanya fibrilasi dan fasikulasi yang khas pada atrofi akibat denervasi Pemeriksaan biokimiawi darah penderita MND kebanyakan berada dalam batas normal 3.Punksi lumbal dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa MND. Protein cairan serebrospinal sering dijumpai normal atau sedikit meninggi



1,3,6



.Kadar plasma



kreatinin kinase (CK) meninggi sampai 2-3 kali nilai normalnya pada sebagian penderita tetapi penulis lain menyatakan kadarnya normal atau hanya sedikit meninggi



3,4,6



,



1,9



. Enzim otot



carbonic anhydrase III (CA III) merupakan petunjuk yang lebih sensitif 3. Pemeriksaaan radiologis berguna untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa lainnya .MRI dan CT-scan otot bermanfaat untuk membedakan atrofi otot neurogenik dari penyakit miopatik dan dapat menunjukkan distribusi gangguan penyakit ini



3



.MRI mungkin dapat



menunjukkan sedikit atrofi dari korteks motorik dan degenerasi Wallerian dari traktus motorik di batang otak dan medulla spinalis 1 .



8



Block dkk mendemonstrasikan kemampuan proton magnetic resonance spectroscopy untuk mendeteksi perubahan metabolik pada korteks motorik primer dari penderita MND yang sesuai dengan adanya kerusakan sel neuron regional dan berbeda secara bermakna dengan orang sehat atau penderita neuropati motorik Biopsi otot mungkin perlu dilakukan untuk membedakan MND yang menimbulkan slowly progressive proximal weakness dari miopati 1. Bila dilakukan biopsi otot, terlihat serabut otot yang mengecil dan hilangnya pola mosaik yang nomlal dari serabut-serabut otot . Diagnosa MND menurut El Escorial Criteria For ALS Diagnosis adalah : 1. ALS: a) tanda UMN dan LMN pada regio bulbar dan minimal 2 regio spinal, atau b) tanda UMN dan LMN pada 3 regio spinal. 2. Kemungkinan besar ALS (probable ALS) : a) tanda UMN dan LMN pada minimal 2 regio (beberapa tanda UMN harus restoral terhadap tanda LMN) 3. Kemungkinan ALS (possible ALS) : a) tanda UMN dan LMN hanya pada 1 regio atau b) hanya tanda UMN pada minimal 2 regio atau c) tanda LMN rostral terhadap tanda UMN. 4. Curiga ALS (suspected ALS) : a) tanda LMN pada minimal 2 regio. Handisurya dan Yan Utama 6 mengajukan kriteria diagnostik MND berdasarkan : 1. Anamnesa: adanya kelemahan yang progresif. 2. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai : a. adanya gangguan motorik. b. tidak ada gangguan sensorik. c. tidak ada gangguan fungsi otonom. d. didapat salah satu atau keduanya dari tanda-tanda LMN (atrofi, fasikulasi) dan tanda-tanda UMN (peninggian refleks tendon pada ekstremitas yang atrofi, refleks patologis yang positif). 3. Pemeriksaan penunjang : a. laboratorium: kadar protein dalam CSS normal atau sedikit meninggi. b. Enzim CPK meningkat (pada 70% kasus). 9



c. EMG: terdapat adanya potensial denervasi dan otot-otot yang dipersarafi oleh dua atau lebih akar safar pada setiap tiga daerah atau lebih (ekstremitas, badan, kranium). Biasanya terdapat potensial sinkron, kadang-kadang terdapat giant potential. d. Kecepatan Hantaran Saraf (: normal e. Biopsi otot : terdapat gambaran histologis yang sesuai dengan atrofi neurogen. f. Biopsi saraf: tidak terdapat kelainan pada saraf Pembagian Lesi pada Lower Motor Neuron : Lesi pada Jaras Motorik Perifer Paralisis flaksid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat manapun, dapat di kornu anterius, salah satu atau beberapa radiks anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer. Kerusakan unit motorik memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunter maupun refleks. Otot-otot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat penurunan tonus otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya refleks (arefleksia) karena lengkung refleks regang monosinaptik terputus. Atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara perlahan-lahan digantikan oleh jaringan ikat; setelah beberapa bulan atau tahun terjadinya atrofi yang progresif, penggantian ini akan selesai. Sindrom paralisis flaksid terdiri dari: • Penurunan kekuatan kasar • Hipotonia atau atonia otot • Hiporefleksia atau arefleksia • Atrofi otot Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterius, radiks anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer dengan bantuan elektromiografi dan elektroneurografi. Jika paralisis pada satu atau beberapa ekstremitas disertai oleh defisit somatosensorik dan otonom, lesi diduga berada di distal radiks saraf dan dengan demikian terletak di pleksus saraf atau di saraf tepi. 1. Lesi Pada Sel Motorik Cornu Anterior Medulla Spinalis6 1.1. Poliomielitis 10



A. Definisi Poliomielitis ialah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot.3,4 B. Etiologi Virus polimielitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel.Terdapat 3 strain virus yaitu tipe 1(brunhilde),tipe 2 (langsing),dan tipe 3 (leon).Epidemi yang ganas biasanya disebabkan virus tipe 1, ringan tipe 3,sedangkan tipe 2 kadang menyebabkan kasus sporadik.3 Virus dapat bertahan berbulan-bulan dalam air dan bertahun dalam deep freeze.Virus dapat dimusnahkan dengan pengeringan atau pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganat.Reservoir alamiah satu-satunya adalah manusia .Masa inkubasi antara 7-10 hari, kadang antara 3-35 hari.3



C. Patogenesis Virus



masuk



lewat



rongga



orofaring



,berkembang



dalam



traktus



digestivus,kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotel.Dalam keadaan ini timbul : 1.perkembangan virus 2.tubuh bereaksi dengan membentuk tipe antibodi spesifik.Bila pembentukan antibodi



cepat dan mencukupi maka virus akan



ternetralisasi,sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak sama sekali.Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti,maka akan timbul viremia dan gejala klinis,kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk beberapa minggu.3,4 D. Patofisiologi Virus masuk lewat rongga orofaring ,berkembang dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotel. Dalam keadaan ini timbul : 1.perkembangan virus 2.tubuh bereaksi dengan membentuk tipe antibodi spesifik. Bila pembentukan antibodi cepat dan mencukupi maka virus akan ternetralisasi, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak sama sekali. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti, maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk beberapa minggu.2,3 11



Berbeda dengan virus lainnya yang menyerang saraf,maka neuropatologi poliomielitis biasanya patognomik.Virus hanya menyerang sel dan daerah tertentu susunan saraf.Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama . Daerah yang biasa terkena poliomielitis :4 a. Medula spinalis terutama kornu anterior b. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formasio c. d. e. f. g.



retikularis yang mengandung pusat vital Serebelum terutama inti-inti pada vermis Midbrain terutama masa kelabu ,substansia nigra dan kadang-kadang nucleus rubra. Talamus dan hipotalamus Palidum Korteks serebri hanya daerah motorik



E. Manifestasi Klinik Tanda klinis penyakit polio pada manusia sangat jelas.Sebagian besar (90%) infeksi virus polio menyebabkan inaparent infection, sedangkan 5% menampilkan gejala abortive infection,1% nonparalitik dan sisanya menunjukan tanda klinik paralitik.Bagi penderita dengan tanda klinik paralitik, 30% akan sembuh, 30% menunjukan kelumpuhan ringan, 30% menunjukan kelumpuhan berat dan 10% menujukan gejala berat serta bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi 3-35 hari. Penderita sebelum ditemukannya vaksin terutama berusia di bawah 5 tahun.Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin,usia penderita bergeser menjadi kelomok anak usia di atas 5 tahun.4 Stadium akut sejak ada gejala klinis hingga dua minggu,ditandai dengan suhu tubuh meningkat,jarang terjadi lebih dari 10 hari,kadang disertai sakit kepala dan muntah.Kelumpuhan itu terjadi akibat kerusakan sel-sel motor neuron di medulla spinalis



dan



invasi



virus.Kelumpuhan



tersebut



bersifat



asimetris



sehingga



menimbulkan deformitas(gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat.Sebagian besar kelumpuhan terjadi pada tungkai (78,6%), sedangkan 410,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.7,8 22



Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.7,8 2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.4,5 Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.7,8 EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG. 3. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.7,8 4. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).7,8 23



5. Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.7,8 2.1.6. Diagnosis Banding GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut: 



Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.7 \







Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski.7







Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.7,8







Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi. Gejala dimulai dengan diplopia13 disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS.7







Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.7,8







Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik delta.7,8







Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.7 24







Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.7,8







Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.7,8







Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.7,8 2.1.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan



perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah wajib.6 Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif untuk4: a) Pengaturan jalan napas Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit. b) Pemantauan EKG dan tekanan darah Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan 25



posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3. c) Plasmaparesis Menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma. Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi (plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya penyakit, namun terdapat tindakan2 lain yang membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai penyakit ini. Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. Hanya plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu hampir sama dan komparabel.6 Sekarang ini pengobatan lebih diarahkan pada imunomodulasi. Terapi yang lebih efektif yaitu dengan pemberian imunogobulin secara intravena (IVIG, intravenous immunoglobin). Hasil dari pemberian plasmapharesis dan IVIg sama saja, tetapi IVIG lebih kecil efek sampingnya. 6 Plasmaferesis (PE): secara historis dan case control studies terbukti menurunkan beratnya penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis.



PE seringkali digunakan pada anak2 dan pada



sindroma Miller Fisher; suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2 penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan 26



(unable to walk unassisted).Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 – 10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti plasma yang dipakai adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga dilakukan didaerah subklavia. Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan perdarahan karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi. 6 Pengobatan Imunoglobulin IV Imunoglobulin intravena (IVIg 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari SGB dan mengurangi produksi otoantibodi dan meningkatkan pelarutan dan penyingkiran kompleks imun. IVIg menetralisir antibodi mielin yang bersirkulasi melalui antibodi anti idiotipik dan men- down-regulate sitokinin pro-inflamatoir termasuk interferon gamma (INF-gamma). Selain itu juga memblok kaskade komplemen dan mempromosikan terjadinya remielinisasi. Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2g selama 5 hari) atau cara lain dengan pemberian 2g/kg IVIg yang diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal.



1 2



dengan pemberian dengan pompa infus (infusion pump), dan bila perlu diulang



setelah 4 minggu, sehingga juga memerlukan beaya yang banyak. Pemberian IVIg adalah aman dan lebih mudah daripada PE, namun harganya mahal. IVIg berguna di rumah-rumah sakit, dimana tidak ada fasilitas PE. 6 Pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis dewasa adalah 0,4g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya.4,5 27



Kontraindikasi adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA dan antibodi anti IgE / IgG. Tidak ada interaksi dengan obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan. Sebaiknya diperiksa serum IgA sebelum pemakaian IVIg. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya.6 Albumin dipakai pada plasmaferesis, karena plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma dengan pemberian 50 mL/kg dan agaknya juga bisa menyingkirkan otoantibodi dan imun kompleks dari serum dan juga menyingkirkan konstituen sitotoksik dari serum . Kontraindikasi adalah oedema pulmoner dan insufisiensi renal. Tidak ada interaksi dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan.6 2.1.8. Prognosis Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60-80%) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki. Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps.4,5 3. Lesi Pada Neuromuskular Junction 3.1. Myasthenia Gravis 3.1.1. Definisi Myasthenia Gravis (MG) merupakan kelainan antibodi yang jarang terjadi, di mana terbentuk antibodi IgG yang merusak reseptor ACh nikotinik pada membran postsinaps di taut saraf otot (neuromuscular junction). Sehingga terjadi hambatan pengikatan ACh pada reseptornya di NMJ, mengakibatkan kelemahan otot, penurunan kekuatan dan proses recovery dari kelelahan yang cukup lama. Gejala timbul jika ± 30% reseptor mengalami kerusakan, diawali dengan kelemahan otot bulbar lalu kelemahan generalisata. Antibodi ini tidak



28



menyerang reseptor ACh di sel otot polos dan otot jantung, karena perbedaan antigenisitas dengan reseptor ACh postsinaps di otot rangka. Penyebab produksi autoantibodi ini belum diketahui sepenuhnya, namun diduga thymus berperan dalam terjadinya penyakit ini. Sekitar 75% pasien MG memiliki gangguan thymus (hiperplasia thymus, thymoma) dan terjadi perbaikan gejala MG apabila dilakukan thymectomy. Prognosis MG cukup baik apabila didiagnosis dan tatalaksana dengan tepat. Gejala pada MG antara lain: a. 85% pasien mengalami kelemahan otot kelopak mata dan ekstraokular menyebabkan ptosis dan/atau diplopia. b. Jika mengenai otot fasial menyebabkan perubahan raut wajah dan berbicara, jika mengenai otot faringeal menyebabkan kesulitan mengunyah dan menelan. c. Kelemahan otot bulbar dan dapat berlanjut menjadi MG generalisata d. Kelemahan leher dan tungkai proksimal e. Kelemahan respiratorik. Sebanyak 1% mengalami gagal bernapas. f. Mortalitas bila terdapat aspirasi (akibat kelemahan otot faringeal), pneumonia, atau gagal bernapas. Diagnosis pada MG ditentukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis (gejala). Pada anamnesis hendaknya ditemukan keluhan kelemahan generalisata atau otot-otot tertentu (misal: pada saat menaiki tangga), penurunan toleransi aktifitas fisik yang membaik setelah istirahat. Riwayat pengobatan tertentu dapat memperburuk (eksaserbasi) gejala, seperti pada penggunaan antibiotik (makrolid, fluorokuinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, klorokuin), antidisritmia (beta bloker, ca-channel bloker, kuinidin, lidokain) , difenilhidantoin, lithium, CPZ, relaksan otot, L-tiroksin, ACTH, dan kortikosteroid. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala sbb: a) Ptosis b) Kelemahan otot yang membaik setelah istirahat



29



c) Gangguan ekspresi wajah akibat kelemahan otot fasial. Rahang terlihat lemah. d) Leher cenderung jatuh (fleksi) ke arah depan pada saat duduk e) Gaya berjalan pincang f) Penggunaan suara hidung g) Refleks muntah (-) h) Napas cepat dan dangkal. Batuk (-). i) Dapat dilakukan tes dengan antikolinesterase (AChEI). Diberikan 2mg edrofonium, disusul 8mg 45 detik kemudian bila dosis pertama tidak menimbulkan reaksi. Respons positif ditandai dengan peningkatan kekuatan otot. Tatalaksana



untuk



MG



meliputi



pemberian



antikolinesterase



(penghambat



asetilkolinesterase/AChEI), seperti edrofonium, piridostigmin atau neostigmin. Pemberian kortikosteroid (prednison, metilprednisolon) untuk mengatasi kelainan autoimun yang terjadi, baik idiopatik maupun didapat. Dampak dari pemberian antikolinesterase adalah kontriksi saluran napas dan bronkospasme,untuk itu dapat diberikan bronkodilator β1-agonis (salbutamol, albuterol), atau bronkodilator antikolinergik (ipratropium). Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas14,15. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction14. 3.1.2. Epidemiologi Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang



30



lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun14,15. 3.1.3. Patofisiologi Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain15. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata14,15. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik15. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptorreseptor asetilkolin yang baru disintesis15.



31



Gambar 6: patofisiologi miastenia gravis15 3.1.4. Gejala Klinis Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat15. Gejala klinis miastenia gravis antara lain : I.



Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis . Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala15.



32



Gambar 8. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).15 II.



Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas14. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.14,15



3.1.5. Klasifikasi Myasthenia Gravis Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut16: a. Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. b. Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. c. Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. d. Kelas IIb



33



Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa. e. Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang. f. Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. g. Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. h. Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. i. Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. j. Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi. k. Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun14.



3.1.6. Diagnosis Myasthenia Gravis Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut34 : 1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. 34



2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain; A. Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. B. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. C. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat. 3.1.7. Pemeriksaan Penunjang 3.1.7.1. Pemeriksaan Laboratorium i.



Anti-asetilkolin reseptor antibody 35



Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody15. Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut15: Tabel Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis 15 Osserman Class R I IIA IIB III IV



Mean antibody Titer 0.79 2.17 49.8 57.9 78.5 205.3



Percent Positive 24 55 80 100 100 89



Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe15 Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.







Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.







Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.



36



Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. 



Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.



3.1.7.2. Imaging  Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan 



adanya thymoma ukuran kecil. Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama







pada penderita dengan usia tua. MRI MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.



37



Gambar 9. CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass (thymoma) in a patient with myasthenia gravis.15



3.1.7.3.



Elektrodiagnostik15



A. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. B. Single-fiber Electromyography (SFEMG) Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal. 3.1.8. Penatalaksanaan 3.1.8.1. Plasma Exchange (PE)17 Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat 38



menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. 3.1.8.2.



Intravenous Immunoglobulin (IVIG)17



Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. 3.1.8.3. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)17 IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan. 3.1.8.4.



Kortikosteroid17 39



Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.



3.1.8.5. Azathioprine Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis



pemeliharaan



2-3



mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan



terjadi



pada



sekitar



50%



kasus,



kecuali



penggunaannya



juga



dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain. 3.1.8.6. Cyclosporine Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam 40



dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. 3.1.8.7.



Thymectomy (Surgical Care)



Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan. 4. Lesi Pada Saraf Tepi 4.1. Neuropathy Perifer 4.1.1. Definisi Neuropati perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan gangguan



saraf



(-saraf)



perifer



akibat



berbagai



penyebab.



Polineuropati



sering berkaitan dengan penyakit sistemik, misalnya diabetes dan obat, toksin 41



lingkungan,



dan beragam



penyakit



genetik.



Mononeuropati



mengisyaratkan



keterlibatan fokal satu berkas saraf dan menandakan penyebab lokal seperti trauma, penekanan, atau penjepitan. 11,12 4.1.2. Etiologi Ada beberapa penyebab neuropati perifer. Antaranya cedera mendadak, tekanan berkepanjangan pada saraf, dan destruksi saraf akibat penyakit atau keracunan. Penyebab tersering neuropati perifer adalah diabetes mellitus, defisiensi vitamin, alkoholisme yang bersamaan dengan gizi buruk, dan kelainan bawaan. Tekanan pada saraf dapat akibat tumor, pertumbuhan tulang abnormal, penggunaan kast atau kruk, atau postur paksa karena kekakuan untuk jangka yang lama. Artritis rematoid, vibrasi berlebihan dari peralatan berat, perdarahan pada saraf, herniasi diskus, terpapar dingin atau radiasi, dan berbagai jenis kanser juga dapat menekan saraf. Neuropati perifer yang umum, parestetika meralgia, khas dengan sensasi terbakar, baal, dan sensitifitas bagian depan paha. Mikroorganisme dapat menyerang saraf secara langsung dengan akibat kerusakan saraf tepi. Penyebab lain adalah bahan toksik, termasuk logam berat (timbal, air raksa, arsen), karbon monoksida, dan pelarut. Penyebab utama Neuropati Perifer12 a. Autoimmunitas (poliradikuloneuropati demielinatif inflamatori). b. Vaskulitis (kelainan jaringan ikat). c. Kelainan sistemik (diabetes, uremia, sarkoidosis, myxedema, akromegali). d. Kanser (neuropati paraneoplastik). e. Infeksi (leprosi, kelainan Lyme, AIDS, herpes zoster). f. Disproteinemia (mieloma, krioglobulinemia) g. Defisiensi nutrisional serta alkoholisme. h. Kompresi dan trauma. i. Bahan industri toksik serta obat-obatan. j. Neuropati keturunan. 4.1.3. Klasifikasi Neuropati perifer dapat diklasifikasikan mengikut jumlah saraf yang terkena atau jenis sel saraf yang terkena (motorik, sensorik, otonom), atau proses yang memberi afek pada saraf (peradangan misalnya dalam neuritis).13 42



Mononeuropati Mononeuropati adalah jenis neuropati yang hanya mempengaruhi saraf tunggal. Penyebab paling umum mononeuropati adalah melalui kompresi fisikal pada saraf yang dikenal sebagai neuropati kompresi. Salah satu contoh dari neuropati kompresi adalahCarpal tunnel syndrome. Cedera langsung ke saraf, gangguan suplai darah (iskemia), atau peradangan juga dapat menyebabkan mononeuropati.13 Multipleks Mononeuritis Multipleks mononeuritis adalah keterlibatan simultan atau berurutan individu batang saraf tidak infektif, baik sebagian atau seluruhnya, berkembang dari harian ke bertahun dan biasanya menyajikan dengan kehilangan akut atau subakut dari sensori dan fungsi motorik saraf tepi individu. Pola keterlibatan adalah asimetris, walaubagaimanapun, apabila penyakit ini berkembang, defisit menjadi lebih terimpit dan simetris, sehingga sulit untuk membedakan dari polineuropati. Multipleks mononeuritis juga dapat menyebabkan rasa sakit yang dicirikan sebagai nyeri yang sangat dalam dan memburuk pada malam hari dan seringnya pada punggung bawah, pinggul atau kaki. Pada pasien dengan diabetes mellitus, multipleks mononeuritis biasanya ditemui sebagai akut, nyeri unilateral, nyeri paha parah diikuti oleh kelemahan otot anterior dan kehilangan refleks lutut.1,6,7 Polineuropati Dalam polineuropati, sel-sel saraf di berbagai bagian tubuh yang terafek, tanpa memperhatikan saraf mana yang dilalui. Tidak semua sel saraf yang terkena dalam kasus tertentu.Dalam aksonopati distal, satu pola umum, badan sel neuron tetap utuh, tapi akson yang terpengaruh secara proporsional panjangnya. Neuropati diabetes adalah penyebab paling umum dari pola ini. Dalam polineuropati demielinasi, selubung mielin sekitar akson rusak, yang mempengaruhi kemampuan akson untuk mengkonduksi impuls listrik. Pola ketiga dan yang paling tidak biasa terjadi mempengaruhi sel tubuh dari neuron secara langsung. Efek dari ini menyebabkan gejala di lebih dari satu bagian tubuh, sering secara simetris. Adapun neuropati apapun, gejala utama termasuk kelemahan atau kejanggalan gerakan (motor), sensasi yang tidak biasa atau tidak menyenangkan seperti kesemutan atau terbakar, pengurangan kemampuan untuk merasakan tekstur, suhu,



dan gangguan 43



keseimbangan ketika berdiri atau berjalan (sensorik ). Pada kebanyakan polineuropati, gejala-gejala ini dirasakan dahulu dan paling parah pada kaki. Gejala otonom juga dapat terjadi, seperti pusing ketika berdiri, disfungsi ereksi dan kesulitan mengendalikan buang air kecil.12,13 Neuropati Otonom Neuropati otonom merupakan bentuk polineuropati yang mempengaruhi sistem involunter, sistem saraf non-sensorik (sistem saraf otonom) yang mempengaruhi sebagian besar organ internal seperti otot-otot kandung kemih, sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan organ kelamin. Saraf-saraf ini tidak berada di bawah kendali kesadaran seseorang dan berfungsi secara otomatis. Serabut saraf otonom membentuk koleksi besar di toraks, abdomen dan panggul di luar medula spinalis, namun mereka memiliki hubungan baik dengan medula spinalis dan otak. Umumnya neuropati otonom terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan 2 dalam jangka panjang. 13 Neuritis Gejala tergantung pada saraf yang terlibat, tetapi mungkin termasuk rasa sakit, paresthesia, paresis, hypoesthesia (mati rasa), anestesi, lumpuh, dan hilangnya refleks. Jenis-jenis neuritis meliputi: a. Polineuritis atau Neuritis Multiple b. Neuritis Brakial c. Neuritis Optik d. Neuritis Vestinular e. Neuritis Kranial, sering mewakili sebagai Bell’s Palsy 4.1.4. Gejala Klinis Gejala klinis bagi pasien-pasien dengan disfungsi nervus perifer



adalah



masalah pada fungsi normal saraf perifer tersebut. Seperti pada fungsi sensorik, biasanya terdapat gejala kehilangan fungsi ( simtom negatif), yang disertai dengan kekebasan, tremor dan abnormalitas cara berjalan.11,13 Gejala pertambahan fungsi (simtom positif) termasuk kesemutan, nyeri, gatal dan merangkak. Nyeri dapat menjadi cukup kuat sehingga perlu penggunaan opioid (narkotika) obat (misalnya, morfin, oksikodon). Kulit dapat menjadi begitu hipersensitif sehingga pasien dilarang menyentuh apa pun bagian-bagian dari tubuh 44



mereka, terutama kaki. Orang dengan tingkat sensitivitas ini tidak dapat memakai kaus kaki atau sepatu, dan akhirnya menjadi tidak dapat keluar dari rumah.11,13 Gejala motorik termasuk kehilangan fungsi (negatif) gejala kelemahan, kelelahan, terasa berat, dan kelainan gaya berjalan, dan mendapatkan fungsi (positif) gejala kram, tremor, dan muscle twitch.11,13 Dari pemeriksaan fisik, pasien dengan neuropati perifer umum biasanya kehilangan sensori distal atau motorik dan kehilangan sensori, meskipun mereka yang memiliki patologi (masalah) pada saraf tepi dapat normal; mungkin menunjukkan kelemahan proksimal, seperti pada neuropati inflamasi seperti Guillain- Barre syndrome, atau mungkin menunjukkan gangguan fokal sensorik atau kelemahan, seperti di mononeuropati. 11,13



Gambar 9. Polineuropati13 4.1.5. Penatalaksanaan



13



Tujuan pengobatan adalah untuk menangani penyebab neuropati tersebut. Sekiranya penyebab dapat diatasi, neuropati akan sembuh dengan sendiri. Satu lagi tujuan pengobatan adalah untuk melegakan dan mengurangkan rasa sakit yang disebabkan oleh neuropati perifer. 45



4.1.5.1.



Anti nyeri



Simptom yang ringan dapat diatasi dengan obat anti nyeri. Untuk simptom yang berat, obat yang lebih kuat dapat digunakan. Tapi obat yang mengandung opioid seperti kodein, dapat menyebabkan ketergantungan, efek sedatif atau konstipasi. Jadi obat ini hanya digunakan apabila kesemua obat lain tidak berkesan. 4.1.5.2.



Obat anti kejang



Obat seperti gabapentin (Neurontin), topiramate (Topamax), pregabilin (Lyrica), carbamazepine (Tegretol) dan fenitoin (Dilantin) pada asalnya indikasinya adalah untuk epilepsi. Tetapi dapat juga digunakan untuk nyeri saraf. Efek samping antaranya adalah mual dan pusing. 4.1.5.3.



Patch Lidokain



Mengandung anestesi topikal. Dipakai pada area di mana terasa sangat nyeri dan penggunaan boleh sehingga empat patch dalam sehari. Efek sampingnya kurang tetapi dapat terjadi rash pada tempat pemakaian. 4.1.5.4.



Antidepressan



Antidepressan trisiklik seperti amitriptyline dan nortriptyline pada asalnya digunakan untuk merawat depresi. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengurangkan rasa nyeri saraf dengan cara mengganggu proses biokimia pada otak dan saraf tunjang .Inhibitor reuptake Serotonin dan norepinefrin duloxetine juga terbukti efektif untuk neuropati perifer disebabkan diabetis. Efek samping antaranya termasuk mual, pusing, hilang nafsu makan dan konstipasi.13 4.1.5.5.



Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)



Pada prosedur ini, elektrod yang boleh melekat diletakkan pada kulit dan arus elektrik yang kecil disalurkan pada frekuensi yang pelbagai. Terapi ini harus sering dilakukan dan terbukti dapat meringankan gejala neuropati.13



46



BAB III PENUTUP Kesimpulan Gangguan pada Lower Motor Neuron (LMN) merupakan gangguan yang terjadi pada jaras LMN yaitu mulai dari keluarnya saraf melalui cornu anterior medulla spinalis hinggalah ke otot-otot. Lesi pada LMN memiliki ciri antara lain: penurunan tonus otot, penurunan kekuatan, refleks fisiologis berkurang atau (-), refleks patologis (-). Dapat dijumpai atrofi otot rangka yang dipersarafi oleh LMN yang bersangkutan, fasikulasi (gerakan involunter) dan paralisis. Penyebab lesi pada LMN bermacam-macam dan dapat dikelompokkan berdasarkan letak lesinya. Gangguan pada LMN dapat dikelaskan kepada beberapa bagian berdasarkan letak lesi tersebut. Jika lesi tersebut terdapat pada cornu anterior maka gangguan yang terdapat adalah poliomyelitis, manakala sekiranya lesi terletak pada radix medulla spinalis adalah terjadinya Guillian Barre syndrome dan hernia nucleus pulposus. Namun seringnya Guillian Barre syndrome terjadi kerusakkan pada serabut myelin tersebut. Jika lesi tersebut pada neuromuscular junction akan menyebabkan penyakit myasthenia gravis. Sekiranya terdapat lesi pada saraf tepi maka terjadinya neuropati yang dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab. Sekiranya lesi terletak pada otot gangguan yang terjadi pada otot adalah miopati. Miopati dapat disebabkan oleh keturunan (bawaan) yang terdapat berbagai jenis kelainan distrofi otot ataupun didapat dari infeksi atau lain-lain. Namun begitu, penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut adalah berdasarkan penyebabnya tersebut. Tidak ada pengobatan spesifik untuk gangguan pada LMN.



47



Daftar Pustaka 1. Snell R. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 5th ed. Jakarta: EGC; 2005. 2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1998. 3. Poliomeilitis. Diunduh dari http://www.scribd.com/ 4. Imunisasi Poliomyelitis. Diunduh dari http://www.health.vic.gov.au 5. Goldenberg W, Sinert H. Myasthenia Gravis. [Online]; Diunduh dari, URL: http://emedicine.medscape.com/article/793136-overview 6. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. New York: Mc-Graw Hill Co ; 1997. p.1089-1094. 7. Martin JE, Swash M. The Pathology of Motor Neuron Disease. In : Leigh PN , Swash M. editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: Springer-Verlag ; 1995.p.163-188. 8. Swash M, Schwartz MS. Motor Neuron Disease: The Clinical Syndrome. In : Leigh PN., Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: SpringerVerlag ; 1995.p.1-17. 9. Greenhall R. Motor Neurone Disease: A description. In: Cochrane GM editor. The Management of Motor Neurone Disease. Edinburgh: Churchill Livingstone ;1987.p.1-13. 10. Chou SM. Pathology of Motor System Disorder. In : Leigh PN , Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London: Springer-Verlag ; 1995.p.53-92. 11. Handisurya I, Utarna Y. Gambaran Klinis Motor Neuron Disease. Neurona. 1995; 12 : 21-26. 12. Martin JE, Swash M. The Pathology Of Motor Neuron Disease. In : Leigh PN 13. Mc Donald CM: Neuromuscular Diseases.Pediatric Rehabilitation (3rd Edition). Edited by: Molnar EG. Philadelphia. 1999. 14. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page: 301305. 1991



48



15. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5



REFERAT LOWER MOTOR NEURON (LMN)



Disusun Oleh : Angela Sondang 11-2015-214



Dokter Pembimbing : Dr. Sekarsunan, Sp.S



49



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA, DEPOK FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA



50